Puji syukur pemakalah ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga kelompok dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Kejang Demam Simplek pada An. A”.
Makalah ini merupakan salah satu tugas dari proses pembelajaran pada mata kuliah Keperawatan
Maternitas . Kelompok menyadari bahwa dengan bantuan dan bimbingan dari Ibuk Ns. Kriscillia Molly
Monita.S.Kep,M.Kep sebagai CI Akademik dan Ns.Sri Betharia M, S.Kep sebagai CI Klinik makalah ini
dapat selesai tepat pada waktunya.
Kelompok menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kelompok dengan
tangan terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata kelompok berharap makalah ini bermanfaat
khususnya bagi kelompok sendiri dan pihak yang telah membacanya, serta kelompok mendoakan semoga segala
bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin
Bukittinggi, 6 Mei 2021
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kejang demam merupakan kejang yang diawali dengan demam. Kejang demam merupakan salah
satu kelainan saraf yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Menurut The International
League Against, kejadian kejang demam pada bayi atau anak pasti disertai suhu lebih dari 38°C
tanpa bukti adanya ketidakseimbangan elektrolit akut dan infeksi sistem saraf pusat (Paul, 2010).
Lebih 90% kejang bersifat umum, berlangsung kurang dari 5 menit dan terjadi pada awal penyakit
infeksi yang menyebabkan demam. Infeksi akut saluran napas oleh virus adalah penyebab yang
tersering (Judith, 2013).
Kejang demam terbagi kepada kejang demam sederhana dan kompleks. Kejang demam sederhana
umum terjadi saat onset, berlangsung kurang dari 15 menit, dan tidak terjadi lebih dari sekali
dalam 24 jam. Kejang kompleks lebih tahan lama, memiliki gejala fokal, dan bisa kambuh dalam
24 jam. Risiko terkena epilepsi lebih meningkat pada anak-anak dengan riwayat kejang demam
kompleks. Kejang demam sederhana berlaku singkat dan sedikit meningkatkan risiko
pengembangan epilepsi, namun tidak ada data efek samping pada perilaku, kesulitan belajar atau
gangguan kognitif (Leena D, 2008).
Studi epidemiologi mengatakan penyakit ini terjadi sekitar 4% pada anak berumur 6 bulan hingga
5 tahun dan sering terkena pada anak berumur 9 hingga 20 bulan (Mark, 2002). Angka kejadian
kejang demam di Swedia, Amerika Utara dan Inggris sebesar 2-5%, terutama pada anak-anak
berusia 3 bulan - 5 tahun (Paul, 2010) tapi lebih tinggi prevalensinya di negara Asia. Di Japang,
prevalensi kejang demam pada anak dilaporkan sekitar 7% atau lebih tinggi sekitar 9-10%
(Pengekuten,2012). Kejadian kejang demam di Indonesia disebutkan terjadi pada 2-5% anak
berumur 6 bulan sampai dengan 3 tahun dan 30% diantaranya akan mengalami kejang demam
berulang. Di Indonesia khususnya didaerah tegal, jawa tengah tercatat 6 balita meninggal akibat
serangan kejang demam, dari 62 kasus penderita kejang demam (Kuncoro, 2011). Hasil penelitian
Imaduddin (2013), mengatakan kasus kejang demam di Sumatera Barat yang dirawat di bangsal
anak RSUP Dr. M. Djamil Padang pada periode Januari 2010 sampai Desember 2012 adalah 173
kasus anak dengan kejang demam. Sedangkan dari survey awal yang dilakukan peneliti di Rumah
Sakit Tingkat III Dr. Reksodiwiryo Padang pada 13 Januari 2017 ditemukan 216 orang anak
dengan kasus kejang demam pada tahun 2014. Sedangkan dalam satu tahun terakhir terdapat skitar
112 kasus kejang demam pada anak diruangan Ibu dan Anak Rumah Sakit Tingkat III Dr.
Reksodiwiryo Padang.
Satu penelitian juga mengatakan bahwa kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki
daripada anak perempuan dengan perbandingan 1,25:1 (Lumantobing, 1995).
Kemungkinan kambuhnya kejang demam pada anak umur dibawah 12 bulan adalah 50% dan akan
menurun sampai 30% setelah anak berumur di atas 12 bulan. Kemungkinan terjadinya kambuh
kembali akan meningkat menjadi 50% pada anak-anak yang mengalami kejang demam untuk
yang kedua kalinya (Ahmad Talebian, 2017).
Angka mortalitas akibat kejang demam relatif rendah. Berdasarkan studi kohort yang dilakukan di
Denmark selama 28 tahun diperoleh Case Fatality Rate kejang demam adalah 0,42%. Resiko
kematian sekitar 80% pada tahun pertama dan 90% lebih tinggi pada tahun kedua setelah kejang
demam pertama pada anak. Namun, resiko yang lebih tinggi ini sering disebabkan oleh anak–anak
yang memiliki kelainan neurologis yang mendasarinya terutama pada kejang demam kompleks
(Vestergaard dkk., 2008).
Kejang demam sederhana mempunyai prognosis yang baik namun masih sering menyebabkan
kedua orang tua rasa cemas dan panik. Sebagian orang tua sering melakukan kesalahan dalam
menangani anak dengan demam kejang. Kesalahan yang dilakukan salah satunya disebabkan
karena kurang pengetahun dalam mengatasi anak dengan demam kejang (Syndi Seinfeld, 2013).
Fuadi dkk (2010) dalam penelitian studi kasus control, 164 anak dipilih secara consecutive
sampling dari pasien yang berobat di RS. Dr. Kariadi Semarang periode bulan Januari 2008-Maret
2009. Hasil didapatkan hubungan yang bermakna antara faktor risiko dengan terjadinya bangkitan
kejang demam yaitu faktor demam lebih dari 39°C dan faktor usia kurang 2 tahun. Namun
penelitian ini belum dapat menjelaskan peran dari seluruh faktor risiko yang diteliti dan perlu
dilakukan penelitian selanjutnya untuk memperoleh hasil yang lebih akurat. Dengan mengetahui
faktor risiko kejang demam sederhana seperti usia, jenis kelamin, suhu tubuh, berat badan lahir
dan riwayat kejang demam dalam keluarga, diharapkan dapat diketahui perkiraan kemungkinan
terjadinya kejang demam sederhana sehingga orang tua pasien dapat diedukasi untuk
meningkatkan kewaspadaan. Dari situlah peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Identifikasi
Faktor Resiko Kejang Demam Sederhana pada Anak”.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan suatu masalah yaitu apakah ada hubungan faktor
risiko dengan penyakit kejang demam sederhana?
3. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor risiko kejang demam sederhana pada anak di
RSI IBNU SINA BUKITTINGGI
b. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan KDS
b. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan KDS
c. Mahasiswa mampu merumuskan intervensi keperawatan pada pasien dengan KDS
d. Mahasiswa mampu memberikan implementasi keperawatan pada pasien dengan KDS
e. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan KDS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam bab ini kelompok akan membahas tentang kasus KDS yang terjadi pada An.A di ruang Anak
RSI Ibnu Sina Yarsi Bukittinggi dengan tinjauan teori. Kasus KDS yang terjadi pada An.A
disebabkan karna infeksi sistem saraf pusat, ini sejalan dengan teori dimana salah satu penyebab
KDS adalah infeksi sistem saraf pusat. Keluhan pasien masuk rumah sakit dengan keluhan suhu
diatas 38 C disertai dengan kejang kurang dari 15 menit yang berlangsung 1 kali dalam 24 jam
dengan anak usia >3 tahun <6 tahun. Ibu dengan riwayat kejang demam simplek berpeluang
menurunkan kejang demam pada anaknya. Semestinya ibu harus dapat mengontrol apabila
terjadi kejang demam pada anaknya sesegera mungkin agar dapat mencegah terjadinya kejadian
kejang demam pada anaknya. Pada pengkajian yang dilakukan pada An.A didapatkan
Pada saat pengkajian tanggal 22 mei 2021 jam12:00 wib , ibu mengatakan anak sudah demam sejak 1 minggu
yang lalu, anak kejang 1x dirumah dan sudah berpbat kerumah bidan dan tidak ada angsuran demam anak tetap
naik turun. Suhu 38,5C, N : 80x/menit, P : 20x/menit, kulit pasien tampak kemerahan, bibir tampak kemerahan,
dan ibu pasien juga mengatakan anak batuk berdahak sudah 3 hari yang lalu, batuk berdahak, susah mengeluarkan
dahak, ibu pasien mengatakan nafsu makan anaknya menurun, biasanya makan 3x sehari, saat sakit Cuma 2 kali
sehari kadang juga 1 kali sehari dalam porsi sedikit
Hasil penelitian di atas, maka perlu dilakukan beberapa untuk mencegah terjadinya kejang
demam simplek (KDS) khususnya pada ibu yang memiliki riwayat keturunan kejang demam.
BAB V PENUTUP
1. Kejang demam adalah perubahan potensial listrik serebral yang berlebihan akibat kenaikan
suhu dimana suhu rectal diatas 38°C sehingga mengakibatkan renjatan kejang yang biasanya
terjadi pada anak dengan usia 3 bulan sampai 5 tahun.
2. Data yang didapat dari pengkajian berupa ibu klien mengtakan ankanya panas, tubuh klien
teraba hangat, hasil pengukuran tanda-tanda vital klien yaitu nadi : 100x/menit, suhu : 37,2°C,
RR: 30x/menit, ibu klien mengatakan anaknya tidak nafsu makan, klien mengatakan mulutnya
pahit dan malas makan. Klien makan hanya habis 1⁄4 porsi karena klien tidak suka, klien lebih suka
makan pisang, kklien tampak lemah dan pucat, konjungtiva tampak anemis
3. Diagnosa keperawtan yang muncul :
1. Hipetermi b.d proses penyakit
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan
3. Resiko defisit nutrisi b.d faktor psikologis (keengganan untuk makan )
4. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan yaitu mengukur TTV, memotivasi klien banyak
minum, menimbang BB klien, memberi motivasi danpendidikan kesehatan tentang nutrisi,
membantu gosok gigi, dan mengajak klien dalam aktivitas seperti terapi bermain.
5. Ketiga diagnosa pada An.A telah dilakukan tindakan keperawtan oleh penulis dan semuanya
telah teratsi, baik secra penuh maupun sebgaian.
B. Saran
1. Perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan tentang manajemen demam pada anak
untuk mencegah kejang demam.
2. Anjurkan orang tua untuk melakukan manajemen anak demam untuk mencegah terjadinya
kejang demam.