Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Puji syukur pemakalah ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga kelompok dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Kejang Demam Simplek pada An. A”.
Makalah ini merupakan salah satu tugas dari proses pembelajaran pada mata kuliah Keperawatan
Maternitas . Kelompok menyadari bahwa dengan bantuan dan bimbingan dari Ibuk Ns. Kriscillia Molly
Monita.S.Kep,M.Kep sebagai CI Akademik dan Ns.Sri Betharia M, S.Kep sebagai CI Klinik makalah ini
dapat selesai tepat pada waktunya. 
Kelompok menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kelompok dengan
tangan terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata kelompok berharap makalah ini bermanfaat
khususnya bagi kelompok sendiri dan pihak yang telah membacanya, serta kelompok mendoakan semoga segala
bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin
 
                       Bukittinggi, 6 Mei 2021
 

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kejang demam merupakan kejang yang diawali dengan demam. Kejang demam merupakan salah
satu kelainan saraf yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Menurut The International
League Against, kejadian kejang demam pada bayi atau anak pasti disertai suhu lebih dari 38°C
tanpa bukti adanya ketidakseimbangan elektrolit akut dan infeksi sistem saraf pusat (Paul, 2010).
Lebih 90% kejang bersifat umum, berlangsung kurang dari 5 menit dan terjadi pada awal penyakit
infeksi yang menyebabkan demam. Infeksi akut saluran napas oleh virus adalah penyebab yang
tersering (Judith, 2013).
Kejang demam terbagi kepada kejang demam sederhana dan kompleks. Kejang demam sederhana
umum terjadi saat onset, berlangsung kurang dari 15 menit, dan tidak terjadi lebih dari sekali
dalam 24 jam. Kejang kompleks lebih tahan lama, memiliki gejala fokal, dan bisa kambuh dalam
24 jam. Risiko terkena epilepsi lebih meningkat pada anak-anak dengan riwayat kejang demam
kompleks. Kejang demam sederhana berlaku singkat dan sedikit meningkatkan risiko
pengembangan epilepsi, namun tidak ada data efek samping pada perilaku, kesulitan belajar atau
gangguan kognitif (Leena D, 2008).
Studi epidemiologi mengatakan penyakit ini terjadi sekitar 4% pada anak berumur 6 bulan hingga
5 tahun dan sering terkena pada anak berumur 9 hingga 20 bulan (Mark, 2002). Angka kejadian
kejang demam di Swedia, Amerika Utara dan Inggris sebesar 2-5%, terutama pada anak-anak
berusia 3 bulan - 5 tahun (Paul, 2010) tapi lebih tinggi prevalensinya di negara Asia. Di Japang,
prevalensi kejang demam pada anak dilaporkan sekitar 7% atau lebih tinggi sekitar 9-10%
(Pengekuten,2012). Kejadian kejang demam di Indonesia disebutkan terjadi pada 2-5% anak
berumur 6 bulan sampai dengan 3 tahun dan 30% diantaranya akan mengalami kejang demam
berulang. Di Indonesia khususnya didaerah tegal, jawa tengah tercatat 6 balita meninggal akibat
serangan kejang demam, dari 62 kasus penderita kejang demam (Kuncoro, 2011). Hasil penelitian
Imaduddin (2013), mengatakan kasus kejang demam di Sumatera Barat yang dirawat di bangsal
anak RSUP Dr. M. Djamil Padang pada periode Januari 2010 sampai Desember 2012 adalah 173
kasus anak dengan kejang demam. Sedangkan dari survey awal yang dilakukan peneliti di Rumah
Sakit Tingkat III Dr. Reksodiwiryo Padang pada 13 Januari 2017 ditemukan 216 orang anak
dengan kasus kejang demam pada tahun 2014. Sedangkan dalam satu tahun terakhir terdapat skitar
112 kasus kejang demam pada anak diruangan Ibu dan Anak Rumah Sakit Tingkat III Dr.
Reksodiwiryo Padang.
Satu penelitian juga mengatakan bahwa kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki
daripada anak perempuan dengan perbandingan 1,25:1 (Lumantobing, 1995).
Kemungkinan kambuhnya kejang demam pada anak umur dibawah 12 bulan adalah 50% dan akan
menurun sampai 30% setelah anak berumur di atas 12 bulan. Kemungkinan terjadinya kambuh
kembali akan meningkat menjadi 50% pada anak-anak yang mengalami kejang demam untuk
yang kedua kalinya (Ahmad Talebian, 2017).
Angka mortalitas akibat kejang demam relatif rendah. Berdasarkan studi kohort yang dilakukan di
Denmark selama 28 tahun diperoleh Case Fatality Rate kejang demam adalah 0,42%. Resiko
kematian sekitar 80% pada tahun pertama dan 90% lebih tinggi pada tahun kedua setelah kejang
demam pertama pada anak. Namun, resiko yang lebih tinggi ini sering disebabkan oleh anak–anak
yang memiliki kelainan neurologis yang mendasarinya terutama pada kejang demam kompleks
(Vestergaard dkk., 2008).
Kejang demam sederhana mempunyai prognosis yang baik namun masih sering menyebabkan
kedua orang tua rasa cemas dan panik. Sebagian orang tua sering melakukan kesalahan dalam
menangani anak dengan demam kejang. Kesalahan yang dilakukan salah satunya disebabkan
karena kurang pengetahun dalam mengatasi anak dengan demam kejang (Syndi Seinfeld, 2013).
Fuadi dkk (2010) dalam penelitian studi kasus control, 164 anak dipilih secara consecutive
sampling dari pasien yang berobat di RS. Dr. Kariadi Semarang periode bulan Januari 2008-Maret
2009. Hasil didapatkan hubungan yang bermakna antara faktor risiko dengan terjadinya bangkitan
kejang demam yaitu faktor demam lebih dari 39°C dan faktor usia kurang 2 tahun. Namun
penelitian ini belum dapat menjelaskan peran dari seluruh faktor risiko yang diteliti dan perlu
dilakukan penelitian selanjutnya untuk memperoleh hasil yang lebih akurat. Dengan mengetahui
faktor risiko kejang demam sederhana seperti usia, jenis kelamin, suhu tubuh, berat badan lahir
dan riwayat kejang demam dalam keluarga, diharapkan dapat diketahui perkiraan kemungkinan
terjadinya kejang demam sederhana sehingga orang tua pasien dapat diedukasi untuk
meningkatkan kewaspadaan. Dari situlah peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Identifikasi
Faktor Resiko Kejang Demam Sederhana pada Anak”.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan suatu masalah yaitu apakah ada hubungan faktor
risiko dengan penyakit kejang demam sederhana?
3. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor risiko kejang demam sederhana pada anak di
RSI IBNU SINA BUKITTINGGI
b. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan KDS
b. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan KDS
c. Mahasiswa mampu merumuskan intervensi keperawatan pada pasien dengan KDS
d. Mahasiswa mampu memberikan implementasi keperawatan pada pasien dengan KDS
e. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan KDS

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Kejang Demam


Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) (1993, dalam Pellock, 2014) kejang
demam merupakan gangguan neurologis akut yang paling umum terjadi pada bayi dan anak-anak
disebabkan tanpa adanya infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam terjadi pada umur 3 bulan
sampai 5 tahun dan jarang sekali terjadi untuk pertama kalinya pada usia <6 bulan atau >3 tahun.
Kejang demam dapat terjadi bila suhu tubuh diatas 38oC dan suhu yang tinggi dapat menimbulkan
serangan kejang. Menurut Maria (2011), setiap anak dengan kejang demam memiliki ambang
kejang yang berbeda dimana anak dengan ambang kejang yang rendah terjadi apabila suhu tubuh
38 derajat Celsius tetapi pada anak yang memiliki ambang kejang yang tinggi terjadi pada suhu 40
derajat Celsius bahkan bisa lebih dari itu. Demam dapat terjadi setiap saat dan bisa terjadi pada
saat setelah kejang serta anak dengan kejang demam memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan
dengan penyakit demam kontrol (Newton, 2015).
2 Klasifikasi Kejang Demam
Menurut American Academy of Pediatrics (2011), kejang demam dibagi menjadi dua jenis
diantaranya adalah simple febrile seizureatau kejang demam sederhana dan complex febrile
seizure atau kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang general yang
berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik) serta
tidak berulang dalam waktu 24 jam dan hanya terjadi satu kali dalam periode 24 jam dari demam
pada anak yang secara neorologis normal. Kejang demam sederhana merupakan 80% yang sering
terjadi di masyarakat dan sebagian besar berlangsung kurang dari 5 menit dan dapat berhenti
sendiri. Sedangkan kejang demam kompleks memiliki ciri berlangsung selama lebih dari 15 menit,
kejang fokal atau parsial dan disebut juga kejang umum didahului kejang parsial dan berulang atau
lebih dari satu kali dalam waktu 24 jam. Menurut Chung (2014), pada kejang demam sederhana
umumnya terdiri dari tonik umum dan tanpa adanya komponen fokus dan juga tidak dapat
merusak otak anak, tidak menyebabkan gangguan perkembangan, bukan merupakan faktor
terjadinya epilepsi dan kejang demam kompleks umumnya memerlukan pengamatan lebih lanjut
dengan rawat inap 24 jam.
3. Etiologi Kejang Demam
Tasmin (2013), menjelaskan bahwa penyebab kejang demam hingga saat ini belum diketahui
dengan pasti. Kejang demam tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi dikarenakan pada suhu
yang tidak terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kejang. Kondisi yang dapat menyebabkan
kejang demam diantaranya adalah infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti otitis
media akut, bronkitis dan tonsilitis (Riyadi, 2013). Sedangkan Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) (2013), menjelaskan bahwa penyebab terjadinya kejang demam antara lain obat-obatan,
ketidak seimbangan kimiawi seperti hiperkalemia, hipoglikemia, asidosis, demam, patologis otak
dan eklamsia (ibu yang mengalami hipertensi prenatal, toksimea gravidarum). Selain penyebab
kejang demam menurut data profil kesehatan Indonesia (2012) yaitu didapatkan 10 penyakit yang
sering rawat inap di Rumah Sakit diantaranya
adalah diare dan penyakit gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu, demam berdarah dengue,
demam tifoid dan paratifoid, penyulit kehamilan, dispepsia, hipertensi esensial, cidera intrakranial,
indeksi saluran pernafasan atas dan pneumonia.
Kejang pada neonatus dan anak bukanlah suatu penyakit, namun merupakan suatu gejala penting
akan adanya penyakit lain sebagai penyebab kejang atau adanya kelainan susunan saraf pusat.
Penyebab utama kejang adalah kelainan bawaan di otak sedangkan penyebab sekundernya adalah
gangguan metabolik atau penyakit lain seperti penyakit infeksi. Negara berkembang, kejang pada
neonatus dan anak sering disebabkan oleh tetanus neonatus, sepsis, meningitis, ensefalitis,
perdarahan otak dan cacat bawaan. Penyebab kejang pada neontaus, baik primer maupun sekunder
umumnya berkaitan erat dengan kondisi bayi didalam kandungan dan saat proses persalinan serta
masa- masa bayi baru lahir. Menurut penelitian yang dilakukan diIran, penyebab kejang demam
dikarena infeksi virus dan bakteri (Dewi, 2014).
4. Manifestasi Klinis Kejang Demam
Ngastiyah (2014), menyebutkan bahwa kejang pada anak dapat terjadi bangkitan kejang dengan
suhu tubuh mengalami peningkatan yang cepat dan disebabkan karena infeksi di luar susunan
saraf pusat seperti otitis media akut, bronkitis, tonsilitis dan furunkulosis. Kejang demam biasanya
juga terjadi dalam waktu 24 jam pertama pada saat demam dan berlangsung singkat dengan sifat
bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, klonik, tonik dan fokal atau akinetik. Pada umumnya
kejang demam dapat berhenti sendiri dan pada saat berhenti, anak tidak dapat memberikan reaksi
apapun untuk sejenak tetapi
setelah beberapa detik atau bahkan menit kemudian anak akan sadar kembali tanpa adanya
kelainan saraf.
Djamaludin (2010), menjelaskan bahwa tanda pada anak yang mengalami kejang adalah sebagai
berikut : (1) suhu badan mencapai 39 derajat Celcius; (2) saat kejang anak kehilangan kesadaran,
kadang-kadang napas dapat terhenti beberapa saat; (3) tubuh termasuk tangan dan kaki jadi kaku,
kepala terkulai ke belakang disusul munculnya gejala kejut yang kuat; (4) warna kulit berubah
pucat bahkan kebiruan dan bola mata naik ke atas; (5) gigi terkatup dan terkadang disertai muntah;
(6) napas dapat berhenti selama beberapa saat; (7) anak tidak dapat mengontrol untuk buang air
besar atau kecil.
5. Patofisiologi Kejang Demam
Ngastiyah (2014), menjelaskan bahwa untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ
otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak
terpenting adalah glukosa. Sifat proses ini adalah oksidasi dengan perantara fungsi paru-paru dan
diteruskan ke otak melalui kardiovaskular. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sumber
energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipercah menjadi CO2 dan air. Sel
dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu
ionik. Dalam keadaan normal membran sel neoron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium
dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida. Akibatnya
konsentrasi kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedangkan di luar sel
terdapat keadaan sebaliknya. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 derajat Celcius akan
mengakibatkan kenaikan Metabolisme basar 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat
20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat
mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi
dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas
muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan
terjadi kejang.
Faktor genetik merupakan peran utama dalam ketentanan kejang dan dipengaruhi oleh usia dan
metoritas otak. Kejang demam yang berlangsung lebih dari 15 menit biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan akhirnya terjadi hipoksemia., hiperkapnia, asidodosis laktat
disebabkan oleh matabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat. Hal ini mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada neuron dan terdapat gangguan perederan darah yang mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggalkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak. Kerusakan pada daerah
medial lobus temporalis setelah mendapatkan serangan kejang sedang berlangsung lama di
kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Karena itu kejang demam yang
berlansung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi (Nurindah ,
2014).
6. Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam
Dinas Kesehatan Jawa Barat tahun 2012 menjelaskan bahwa pemeriksaan penunjang merupakan
penelitian perubahan yang timbul pada penyakit dan perubahan ini bisa sebab atau akibat serta
merupakan ilmu terapan yang berguna membantu petugas kesehatan dalam mendiagnosis dan
mengobati pasien. Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menyingkirkan diagnosis yang serius
atau setidaknya data laboratoris yang menunjang kecurigaan klinis (Ginsberg, 2008).
Pemeriksaan penunjang pada anak yang mengalami kejang demam adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium pada anak yang mengalami kejang demam yang bertujuan untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam atau keadaan lain misalnya gastroenteritis
dehidrasi disertai demam dan pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah lengkap,
elektrolit serum (terutama pada anak yang mengalami dehidrasi, kadar gula darah, serum kalsium,
fosfor, magnesium, kadar Bloof Urea Nitrogen (BUN) dan urinalisis. Pemeriksaan lain yang
mungkin dapat membantu adalah kadar antikonvulsan dalam darah pada anak yang mendapat
pengobatan untuk gangguan kejang serta pemeriksaan kadar gula darah bila terdapat penurunan
kesadaran berkepanjangan setelah kejang (Arief, 2015).
2. Pungsi lumbal
Pada anak kejang demam sederhana yang berusia <18 bulan sangat disarankan untuk dilakukan
observasi dan pemeriksaan lebih lanjut seperti pungsi lumbal karena merupakan pemeriksaan
cairan serebrospinal yang dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis serta pada anak yang memiliki kejang demam kompleks (karena lebih banyak
berhubungan dengan meningitis) dapat dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal dan dilakukan pada
anak usia 12 bulan karena tanda dan gejala klinis kemungkinan meningitis pada usia ini minimal
bahkan dapat tidak adanya gejala. Pada bayi dan anak dengan kejang demam yang telah mendapat
terapi antibiotik, pungsi lumbal merupakan indikasi penting karena pengobatan antibiotik
sebelumnya dapat menutupi gajala meningitis (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016).
7. Faktor Resiko Kejang Demam
Faktor resiko merupakan penyebab langsung atau suatu pertanda terhadap hal yang merugikan dan
memudahkan terjadinya suatu penyakit serta mempunyai hubungan yang spesifik dengan akibat
yang dihasilkan (Nurwijaya, 2010). Anak yang mengalami kejang demam kemungkinan besar
akan menjadi penderita epilepsi jika adanya kelainan neurologis sebelum kejang demam pertama
dan kejang demam bersifat kompleks (Susilowati, 2011).
Kejang demam pada anak memiliki beberapa faktor resiko diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Resiko kekambuhan kejang demam merupakan kejang demam yang terjadi kedua kalinya
sebanyak setengah dari pasien tersebut. Usia pada saat kejang demam pertama merupakan faktor
resiko yang paling penting dalam kekambuhan ini, karena semakin muda usia pada saat kejang
demam pertama, semakin tinggi resiko keambuhan terjadi dan sebagai perbandingan, sebanyak
20% yang memiliki kekambuhan kejang demam pertama adalah usia tua lebih dari 3 tahun
(Gupta, 2016).
2. Resiko epilepsi merupakan resiko mengembangnya kejang setelah terjadi kejang demam dan
berdampak pada keterlambatan perkembangan atau pemeriksaan neurologis yang abnormal
sebelum terjadi kejang demam, riwayat kejang demam kompleks dan terjadi kejang demam
berkepanjangan serta menjadi resiko epilepsi. Resiko epilepsi ini merupakan faktor bawaan yang
sudah ada sebelumnya seperti perinatal, genetik atau keturunan (Panteliadis, 2013).
3. Resiko perkembangan, kecacatan perilaku dan akademik pada anak kejang demam adalah tidak
lebih besar dari pada populasi umum dan anak dengan kejang demam berkepanjangan dapat
mengembangkan konsekuensi neurologis jangka panjang (Bagiella, 2011).
4. Status demam epileptikus adalah kejang demam yaang memiliki durasi lebih dari 30 menit dan
merupakan bentuk paling parah dan berpotensi mengancam nyawa dengan konsekuensi jangka
panjang dan bersifat gawat darurat. Anak dengan kejang demam pertama memiliki potensi status
demam epileptikus dimana dikaitkan dengan usia yang lebih muda dan suhu tubuh lebih rendah
serta durasi yang lebih lama (Gupta, 2016).
5. Faktor genetik atau keturunan misalnya pada orang tua dengan riwayat kejang demam (pada
masa kanak-kanak), saudara kandung dengan riwayat kejang demam dan orang tua dengan
riwayat epilepsi tanpa demam (Handy, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa anak yang mempunyai
riwayat kejang dalam keluarga terdekat mempunyai resiko untuk bangkitan kejang demam 4,5 kali
lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat dan faktor riwayat kejang pada ibu,
ayah dan saudara kandung menunjukkan hubungan yang bermakna karena mempunyai sel yang
kosong (Wijayahadi, 2010).
6. Konsekuensi kejang demam, anak yang mengalami kejang demam sederhana memiliki resiko
yang sangat rendah dibandingkan dengan kejang demam kompleks karena pada kejang demam
kompleks memiliki durasi selama lebih dari 15-20 menit dan berulang dalam penyakit yang sama
(Camfield, 2015).
7. Faktor statistik yaitu faktor resiko kejang demam yang berhubungan dengan pendidikan orang
tua, ibu merokok pada saat sebelum melahirkan atau menggunakan minuman beralkohol, tingkat
demam dan memiliki penyakit gastroenteritis. Faktor resiko yang paling penting untuk kejang
demam adalah usia, karena semakin muda usia pada saat kejang demam pertama semakin tinggi
resiko kekambuhan (Salam, et al. 2012).
8. Pencegahan Kejang Demam
Pencegahan kejang demam adalah tindakan menghilangkan penyebab ketidaksesuaian yang
potensial atau situasi yang tidak dikehendaki (Hadi, 2007). Pencegahan yang harus dilakukan pada
anak yang mengalami kejang demam adalah sebagai berikut :
1. Imunisasi adalah dengan sengaja memasukkan vaksin yang berisi mikroba hidup yang sudah
dilemahkan pada balita yang bertujuan untuk mencegah dari berbagain macam penyakit. Imunisasi
akan memberikan perlindungan seumur hidup pada balita terhadap serangan penyakit tertentu.
Apabila kondisi balita kurang sehat bisa diberikan imunisasi karena suhu badannya akan
meningkat sangat tinggi dan berisiko mengalami kejang demam. Berbagai jenis vaksinasi atau
imunisasi yang saat ini dikenal dan diberikan kepada balita dan anak adalah vaksin poliomyelitis,
vaksin DPT (difteria, pertusis dan tetanus), vaksin BCG (Bacillus Calmette Guedrin), vaksin
campak (Widjaja, 2009).
2. Orang tua harus mengupayakan diri setenang mungkin dalam mengamati anak dengan cara
jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak karena benda tersebut justru dapat
menyumbat jalan napas, anak harus dibaringkan ditempat yang datar dengan posisi menyamping
bukan terlentang untuk menghindari bahaya tersedak, jangan memegangi anak untuk melawan,
jika kejang terus berlanjut selama 10 menit anak harus segera dibawa ke fasilitas kesehatan
terdekat dan setelah kejang berakhir jika <10 menit anak perlu dibawa ke dokter untuk meneliti
sumber demam terutama jika ada kekakuan leher, muntah-muntah yang berat dan anak terus
tampak lemas (Lissauer, 2013).
9. Penatalaksanaan Kejang Demam
Ngastiyah (2014), menjelaskan bahwa terdapat 4 faktor untuk menangani kejang demam
diantaranya adalah pemberantasan kejang secepat mungkin, pengobatan penunjang, memberikan
pengobatan rumat serta mencari dan mengobati penyebab.
1. Memberantas kejang secepat mungkin
Pada saat pasien datang dalam keadaan kejang lebih dari 30 menit maka diberikan obat diazepam
secara intravena karena obat ini memiliki keampuhan sekitar 80-90% untuk mengatasi kejang
demam. Efek terapeutinya sangat cepat yaitu kira-kira 30 detik dampai 5 menit. Jika kejang tidak
berhenti makan diberikan dengan dosis fenobarbital. Efek samping obat diazepam ini adalah
mengantuk, hipotensi, penekanan pusat pernapasan, laringospasme dan henti jantung (Newton,
2013).
2. Pengobatan penunjang yaitu dengan melepas pakaian ketat yang digunakan pasien, kepala
pasien sebaiknya dimiringkan untuk mencegah aspirasi isi lambung, usahakan agar jalan napas
bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen dan bila perlu dilakukan inkubasi atau trakeostomi serta
penghisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen. Fungsi vital seperti
kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi jantung diawasi secara ketat. Berikut
tindakan pada saat kejang : (1) baringkan pasien ditempat yang rata, kepala dimiringkan dan
pasangkan sudip lidih yang telah dibungkus kasa atau bila ada guedel lebih baik; (2) singkirkan
benda-benda yang ada di sekitar pasien dan lepaskan pakaian yang mengganggu pernapasan
seperti ikat pinggang dan gurita; (3) bila suhu tinggi berikan kompres secara intensif;(4)setelah
pasien bangun dan sadar berikan minum hangat; (5)isap lendir sampai bersih, berikan oksigen
boleh sampai 4L/menit dan jika pasien upnea lakukan tindakan pertolongan; (Ngastiyah, 2014).
3. Pengobatan rumat, pada saat kejang demam telah diobati kemudian diberikan pengobatan
rumat. Mekanisme kerja diazepam sangat singkat, yaitu berkisar antara 45-60 menit sesudah di
suntik. Oleh karena itu harus diberikan obat antiepileptik dengan daya kerja lebih lama misalnya
fenobarbital atau defenilhidantoin. Fenobarbital diberikan langsung setalh kejang berhenti dengan
diazepam. Lanjutan pengobatan rumat tergantung dari pada keadaan pasien. Pengobatan ini dibagi
menjadi dua bagiam yaitu profilaksis intermiten dan profilaksis jangka panjang (Natsume, 2016).
4. Mencari dan mengobati penyebab. Etiologi dari kejang demam sederhana maupun epilepsi
biasanya disebabkan oleh infeksi pernapasan bagian atas serta otitis media akut. Cara untuk
penanganan penyakit ini adalah dengan pemberian obat antibiotik dan pada pasien kejang demam
yang baru datang untuk pertama kalinya dilakukan pengambilan pungsi lumbal yang bertujuan
untuk menyingkirkan kemungkinan terdapat infeksi didalam otak seperti penyakit miningitis
(Arief, 2015).
Patel (2015), menjelaskan bahwa orang tua harus di ajari bagaimana cara menolong pada saat
anak kejang dan tidak boleh panik serta yang penting adalah mencegah jangan sampai timbul
kejang serta memberitahukan orang tua tentang apa yang harus dilakukan jika kejang demam
berlanjut dan terjadi di rumah dengan tersedianya obat penurun panas yang didapat atas resep
dokter yang telah mengandung antikonvulsan, anak segera diberikan obat antipiretik bila orang tua
mengetahui anak mulai demam dan jangan menunggu suhu meningkat serta pemberian obat
diteruskan sampai suhu sudah turun selama 24 jam berikutnya (Ghassabian, et al. 2012). Jika
terjadi kejang, anak harus dibaringkan ditempat yang rata dan kepalanya dimiringkan serta buka
baju anak dan setelah kejang berhenti, pasien bangun kembali suruh minum obat dan apabila suhu
pada waktu kejang tersebut tinggi sekali supaya dikompres serta beritahukan kepada orang tua
pada saat anak mendapatkan imunisasi agar segera beritahukan dokter atau petugas imunisasi
bahwa anak tersebut menderita kejang demam agar tidak diberikan pertusis (Patil, et al. 2012).

BAB IV
PEMBAHASAN

Dalam bab ini kelompok akan membahas tentang kasus KDS yang terjadi pada An.A di ruang Anak
RSI Ibnu Sina Yarsi Bukittinggi dengan tinjauan teori. Kasus KDS yang terjadi pada An.A
disebabkan karna infeksi sistem saraf pusat, ini sejalan dengan teori dimana salah satu penyebab
KDS adalah infeksi sistem saraf pusat. Keluhan pasien masuk rumah sakit dengan keluhan suhu
diatas 38 C disertai dengan kejang kurang dari 15 menit yang berlangsung 1 kali dalam 24 jam
dengan anak usia >3 tahun <6 tahun. Ibu dengan riwayat kejang demam simplek berpeluang
menurunkan kejang demam pada anaknya. Semestinya ibu harus dapat mengontrol apabila
terjadi kejang demam pada anaknya sesegera mungkin agar dapat mencegah terjadinya kejadian
kejang demam pada anaknya. Pada pengkajian yang dilakukan pada An.A didapatkan
Pada saat pengkajian tanggal 22 mei 2021 jam12:00 wib , ibu mengatakan anak sudah demam sejak 1 minggu
yang lalu, anak kejang 1x dirumah dan sudah berpbat kerumah bidan dan tidak ada angsuran demam anak tetap
naik turun. Suhu 38,5C, N : 80x/menit, P : 20x/menit, kulit pasien tampak kemerahan, bibir tampak kemerahan,
dan ibu pasien juga mengatakan anak batuk berdahak sudah 3 hari yang lalu, batuk berdahak, susah mengeluarkan
dahak, ibu pasien mengatakan nafsu makan anaknya menurun, biasanya makan 3x sehari, saat sakit Cuma 2 kali
sehari kadang juga 1 kali sehari dalam porsi sedikit
Hasil penelitian di atas, maka perlu dilakukan beberapa untuk mencegah terjadinya kejang
demam simplek (KDS) khususnya pada ibu yang memiliki riwayat keturunan kejang demam.
BAB V PENUTUP
1. Kejang demam adalah perubahan potensial listrik serebral yang berlebihan akibat kenaikan
suhu dimana suhu rectal diatas 38°C sehingga mengakibatkan renjatan kejang yang biasanya
terjadi pada anak dengan usia 3 bulan sampai 5 tahun.
2. Data yang didapat dari pengkajian berupa ibu klien mengtakan ankanya panas, tubuh klien
teraba hangat, hasil pengukuran tanda-tanda vital klien yaitu nadi : 100x/menit, suhu : 37,2°C,
RR: 30x/menit, ibu klien mengatakan anaknya tidak nafsu makan, klien mengatakan mulutnya
pahit dan malas makan. Klien makan hanya habis 1⁄4 porsi karena klien tidak suka, klien lebih suka
makan pisang, kklien tampak lemah dan pucat, konjungtiva tampak anemis
3. Diagnosa keperawtan yang muncul :
1. Hipetermi b.d proses penyakit 
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan 
3. Resiko defisit nutrisi b.d faktor psikologis (keengganan untuk makan )

4. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan yaitu mengukur TTV, memotivasi klien banyak
minum, menimbang BB klien, memberi motivasi danpendidikan kesehatan tentang nutrisi,
membantu gosok gigi, dan mengajak klien dalam aktivitas seperti terapi bermain.
5. Ketiga diagnosa pada An.A telah dilakukan tindakan keperawtan oleh penulis dan semuanya
telah teratsi, baik secra penuh maupun sebgaian.
B. Saran
1. Perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan tentang manajemen demam pada anak
untuk mencegah kejang demam.
2. Anjurkan orang tua untuk melakukan manajemen anak demam untuk mencegah terjadinya
kejang demam.

Anda mungkin juga menyukai