Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH ASKEP REMAJA DAN ANAK DENGAN GANGGUAN

HIV-AIDS
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Kewirausahaan
Dosen Pembimbing : Nety Rustikayanti S.Kep, Ners, M.kep

Disusun Oleh :
Kelompok 3
Kelas A
M. Salman Firdaus AK118110 Ririn Noviyani AK118151
Nurrisma Safitri AK118128 Rosliana AK118157
Pinpin Fitriani AK118213 Salma Safrina AR AK118161
Puspa Sri Agustri AK118135 Senny Apriliani AK118165
Putu Jaya Arta AK118139 Sheila Syaadatul I AK118169
Rezty Zalza Putri AK118143 Somantri AK118178
Rika Purnama Putri AK118147 Iin Indriyani AK117113

PROGRAM PENDIDIKAN S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamua’alaikum Wr Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan berjudul
“MAKALAH“ penyusun makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Kewirausahaan.

Menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk melengkapi segala kekurangan dan
kesalahan dari mkalah ini.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu


selama proses penyusunan makalah ini.

Bandung, 9 November 2020

Kelompok 3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah HIV/ AIDS adalah maslah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
Negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi masalah AIDS,
memperkirakan jumlah odha di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9 – 44,3
juta orang. Saat ini tidak ada Negara yang terbebas dari HIV/ AIDS. HIV/ AIDS
menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis
pembangunan Negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan
kata lain HIV/ AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS
memerlukan respon dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan
untuk individu yang terinfeksi HIV. Individu yang terjangkit HIV ini biasanya adalah
individu yang mendapat darah atau produk darah yang terkontaminasi dengan HIV dan
anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang menderita infeksi HIV.
AIDS pada anak pertama kali dilaporkan oleh Oleske, Rubbinstein dan Amman pada
tahun 1983 di Amerika serikat. Sejak itu laporan jumlah AIDS pada anak di Amerika
makin lama makin meningkat. Kasus infeksi HIV terbanyak pada orang dewasa maupun
pada anak-anak tertinggi didunia adalah di Afrika.
Dengan demikian , pada makalah ini akan dibahas mengenai infeksi HIV yang terjadi
pada anak-anak. Hal ini perlu dibahas agar dapat melakukan tindakan yang tepat pada
anak-anak yang terkena HIV, khususnya bagi pemberi perawatan agar laju pertumbuhan
anak yang terkena HIV/AIDS dapat dikurangi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari HIV/AIDS?
2. Apa penyebab dari timbulnya penyakit HIV/AIDS?
3. Bagaimana patofisiologi HIV/AIDS?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari HIV/AIDS?
5. Apa komplikasi yang akan terjadi pada HIV/AIDS?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis pada HIV/AIDS?
7. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada penderita HIV/AIDS khususnya pada anak?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah sebagai penambah pengetahuan tentang HIV/AIDS. Selain itu juga, tujuan khusus
dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian dari HIV/AIDS.
2. Mengetahui penyebab dari timbulnya penyakit HIV/AIDS.
3. Mengetahui patofisiologi HIV/AIDS.
4. Mengetahui manifestasi klinis dari HIV/AIDS.
5. Mengetahui komplikasi yang akan terjadi pada HIV/AIDS.
6. Mengetahui penatalaksanaan medis pada HIV/AIDS.
7. Mengetahui asuhan keperawatan pada penderita HIV/AIDS khususnya pada anak.
BAB 2
2.1.  Definisi
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi
Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer, 2000:162)
AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system kekebalan alamiah
melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan hancurnya sel limfosit T (sel-T).
(Tambayong, J:2000)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler
yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana
kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan keperawatan canggih selama perjalanan
penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler akibat kehilangan kekebalan yang
dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus tertentu
yang bersifat oportunistik. ( FKUI, 1993 : 354)
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh
retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri, jamur,
parasit dan virus.

2.2.  Etiologi
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan memasuki
limfosit T helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel imunologik
lain dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap (Betz dan Sowden, 2002).
Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV (Human Immunodeficiency
Virus) ke dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005).

2.3.  Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang
bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit penolong dengan
peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga meperlihatkan pengurangan
bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang
menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang
bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit penolong dengan
peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga memperlihatkan pengurangan
bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang
menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti, meskipun kemungkinan mencakup infeksi
litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai
superantigen; penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu
dan kematian atau disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar
getah bening. HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit,
tidak seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang
terinfeksi dapat berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat
membawa virus ke organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi
memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa usus, epitel glomerular dan
tubular dan astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang paling konsisten adalah dari
otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun sering sulit
untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan oleh infeksi virus local atau
komplikasi infeksi lain atau autoimun.
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut, sering
simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun pada replikasi
viral, selama individu biasanya bebas gejala, dan priode akhir gangguan imun sitomatik
progresif, dengan peningkatan replikasi viral. Selama fase asitomatik kedua-bertahap dan dan
progresif, kelainan fungsi imun tampak pada saat tes, dan beban viral lambat dan biasanya
stabil. Fase akhir, dengan gangguan imun simtomatik, gangguan fungsi dan organ, dan
keganasan terkait HIV, dihubungkan dengan peningkatan replikasi viral dan sering dengan
perubahan pada jenis vital, pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan infeksi
aportunistik.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun “ priode
inkubasi “  atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum lebih singkat pada
infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama fase ini, gangguan regulasi
imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan dengan fungsi sel B;
hipergameglobulinemia dengan produksi antibody nonfungsional lebih universal diantara
anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6
bulan. Ketidak mampuan untuk berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi
imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen sebelumnya,
berperang pada infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV
pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak
berkorelasi dengan status simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV sering
memiliki jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin
memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang untuk
beberapa alasan menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan kerentanan
perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif ensefalopati yang terjadi
pada infeksi HIV anak.
2.4.  Tanda Dan Gejala
Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara klinis dan
imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis tidak tampak sering
mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian imunologik bayi beresiko dipersulit
oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter spesifik usia untuk hitung limfosit CD4 dan
resiko CD4/CD8 memperlihatkan jumlah CD4 absolut yang lebih tinggi dan kisaran yang
lebih lebar pada awal  masa bayi, diikuti penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama.
Selain itu, pajanan obat ini beresiko dan bahkan pajanan terhadap antigen HIV tanpa infeksi
dapat membingungkan fungsi dan jumlah limfosit. Oleh karena itu, hal ini peting untuk
merujuk pada standar yang ditentukan usia untuk hitung CD4, dan bila mungkin
menggunakan parameter yang ditegakkan dari observasi bayi tak terinfeksi yang lahir dari ibu
yang terinfeksi.
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang
diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen Control sebagai
bagian definisi mencakup demam, kegagalan berkembang, hepatomegali dan splenomegali,
limfadenopati generalisata (didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau
lebih area tidak bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare. Diantara semua anak yang
terdiagnosis dengan infeksi HIV, sekitar 90% akan memunculkan gejala ini, kebergunaannya
sebagai tanda awal infeksi dicoba oleh studi the European Collaborativ pada bayi yang lahir
dari ibu yang terinfeksi. Mereka menemukan bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi
memperlihatkan tanda dan gejala yang tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan angka yang
lebih rendah diantara bayi yang tidak terinfeksi. Pada penelitian ini, kondisi yang
didiskriminasi paling baik antara bayi terinfeksi dan tidak terinfeksi adalah kandidiasis
kronik, parotitis, limfadenopati persistem, hepatosplenomegali. Otitis media, tinitis, deman
yang tidak jelas, dan diare kronik secara tidak nyata paling sering pada bayi yang terinfeksi
daripada bayi yang tidak terinfeksi.
PUSAT UNTUK KLASIFIKASI CONTROL PENYAKIT INFEKSI HIV PADA
ANAK
Kelas P-O: infeksi intermediate
Bayi <15 bulan yang lahir dari ibu yang terinfeksi tetapi tanpa tanda infeksi HIV
Kelas P-1: infeksi asimtomatik
Anak yang terbukti terinfeksi, tetapi tampa gejala P-2; mungkin memiliki fungsi
imun normal (P-1A) atau abnormal (P-1B)
Kelas P-2: infeksi sitomatik
P-2A: gambaran demam nonspesifik (>2 lebih dari 2 bulan) gagal berkembang,  
limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, parotitis, atau diare rekuren atau persistem
yang tidak spesifik.
P-2B: penyakit neurologi yang progresif
P-2C: Pneumonitis interstisial limfoid
P-2D: infeksi oportunistik menjelaskan AIDS, infeksi bakteri rekuren, kandidiasis
oral persisten, stomatitis herpes rekuren, atau zoster multidermatomal.
P-2E: kanker sekunder, termasuk limfoma non-Hodgkin sel-B atau limforma otak
P-2F: penyakit end-organ HIV lain (hepatitis, karditis, nefropati, gangguan
hematologi)

Tanda pertama infeksi tidak nyata. Pengalaman dari beberapa pusat penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 20% bayi yang terinfeksi secara cepat akan berkembang menjadi
gangguan imun dan AIDS. Banyak dari bayi ini akan menampakkan gejala aneumonia
Pneumocystis carinii (PCP) pada usia 3 sampai 6 bulan, atau menderita infeksi bakteri serius
lain. Pada beberapa bayi, jumlah CD4 mungkin normal saat terjadinya PCP.
Dalam 2 tahun setelah lahir, kebanyakan bayi akan mengalami beberapa derajat
kegagalan berkembang, demam rekuren atau kronik, keterlambatan perkembangan, adenopati
persisten, atau hepatosplemegali. Semua ini bukan keadaan kecacatan, dan konsisten dengan
kelangsungan hidup yang lama. Melebihi ulang tahun pertama, sekitar 8% bayi ini akan
berkembang menjadi AIDS terbatas CDC per tahun. Penunjukan “AIDS” merupakan
kebergunaan yang sangat terbatas pada prognosis atau pada nosologi deskriptif infeksi HIV,
tetapi penyakit indicator AIDS berperang sebagai tanda tingginya perkembangan penyakit dan
sebagai catalog kondisi yang sering terlihat dengan perkembangan penyakit. Masing-masing
dibahas secara singkat dibawah:
Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP). PCP merupakan penyakit indicator AIDS
paling sering, yang terjadi pada sekitar sepertiga anak dan bayi yang terinfeksi. Usia rata
untuk munculnya penyakit adalah sekitar usia 9 bulan, meskipun puncaknya sampai usia 3
sampai 6 bulan diantara bayi-bayi yang berkembang sangat cepat. Tidak seperti reaksi PCP
pada orang dewasa, infeksi ini biasanya merupakan infeksi primer pada anak yang terinfeksi
HIV, bergejala subkutan atau mendadak dengan demam, batuk, takipnea, dan ronki. PCP sulit
dibedakan dengan infeksi paru lain atau usia ini, dan karena trimetoprim-sulfametoksasol dan
kortikosteroid intravena diberikan pada awal perjalanan penyakit menyebabkan perbaikan
yang signifikan, lavese bronkoalveolar diagnostic harus dipikirkan secara serius pada bayi
beresiko dengan gambaran klinis konsisten. PCP memberikan prognosis yang tidak baik pada
awal penelitian dengan kelangsungan hidup media 1 bulan setelah diagnosis. Saat ini dikenali
bahwa penyakit yang lebih ringan dapat terjadi dan konsisten dengan kelangsungan hidup
yang lama. Profilaksin PCP dengan trimetoprim-sulfametoksasol oral efektif, dan merupakan
indikasi untuk bayi dengan kehilangan limfosit CD4 yang signifikan, sebelum PCP, dan pada
beberapa bayi muda dengan perkembangan gejala terkait HIV yang cepat.
Pneumolitis Interstisial Limfoid (LIP). Infiltrasi paru intersisial kronik telah
ditentukan pada orang dewasa yang terinfeksi HIV dalam jumlah kecil, tetapi terjadi pada
sekitar 20% anak yang terinfeksi HIV. Dianggap berhubungan dengan infeksi virus Epstein-
Barr. Kondisi ini ditandai dengan perjalanan kronik eksa-serbasi intermiten (sering selama
infeks respirasi yang terjadi di antara infeksi atau selama infeksi. Infiltra dada kronik yang
terlihat pada sinar-X sering menunjukkan diagnosis, tetapi hanya biopsy paru terbuka yang
dapat dipercaya untuk diagnosis definitive. Hipoksia jaran parah sampai terbawa selama
beberapa tahun, dan beberapa perbaikan pada kostikosteroid. LIP sebagai gejala yang timbul
pada infeksi HIV dapat disertai prognosis yang lebih baik, dan sering terlihat pada kelompok
gejala dengan hipergamaglobulinemia yang nyata dan parotitis.
Infeksi Bakteri Rekuren. Untuk criteria AIDS pediatric CDC, infeksi bakteri rekuren
adalah dua atau lebih episode sepsis, meningitis, pneumonia, abses internal, atau infeksi
tulang dan sendi; ini semua terlihat pada 15% anak-anak dengan AIDS pediatric. Infeksi
bakteri yang lebih sedikit, seperti infeksi sinus rekuren atau kronik, otitis media, dan
pioderma masih sering terjadi. Streptococcus pneumonia merupakan isolate darah yang paling
sering pada anak yang terinfeksi HIV, meskipun stafilokokal gram-negatif, dan bahkan
bakteremia pseudomonal terjadi berlebihan. Penanganan episode demam pada anak yang
terinfeksi HIV sama dengan penanganan anak dengan kondisi yang menganggu imunitas lain.
Gangguan kemampuan untuk menjaga respons antibody yang efektif dan kurangnya pajanan
membuat anak yang terinfeksi HIV rentang terhadap penyakit bakteri yang lebih setius.
Profilaksis dengan immunoglobulin intravena dapat mengurangi frekuensi dan keparahan
infeksi bakteri yang serius.
Penyakit Neurologi Progresif. Sampai 60% anak yang terinfeksi HIV dapat
munculkan tanda infeksi system saraf pusat. Pada sekitar seperempatnya, infeksi ini dalam
bentuk ensefalopati static yang biasanya bermanifestasi pada tahun pertaman dengan
keterlambatan perkembangan. Pada sekitar sepertiganyan, terjadi ensefalopati progresif,
dengan kehilangan kejadian yang penting sebelumnya dan deficit motorik dan kognitif yang
berat. Pencitraan saraf dapat memperlihatkan atrofi serebral, kelainan subtansi alba, atau
klasifikasi ganglion basal, atau kesemuanya, meskipun keparahan abnormalitas pencitraan
sering tidak berkorelasi dengan gambaran klinis. Zidovudin IV kontinu ditemukan
menyebabkan perbaikan yang dramatic pada beberapa anak dengan deficit perkembangan
saraf; kostikosteroid juga menguntungkan pada laporan terisolasi.
Wasting Syndrome. Kegagalan kronik untuk tumbuh pada infeksi HIV lanjut terjadi
pada sekitar 10% bayi dan anak dengan AIDS dan hamper selalu multifaktorial. Deficit
system saraf pusat dari latergi sampai kelemahan dalam mengunyah; abnormalitas
neuroendokrin; malabsorpsi dan diare akibat infeksi HIV primer, infeksi usus sekunder, atau
terapi; dan katabolisme yang diinduksi infeksi sering berperang pada masalah yang
menjengkelkan ini.
Infeksi Oportunistik. Lebih dari satu lusin infeksi oportunistik spesifik memenuhi
AIDS, meskipun setelah PCP, paling sering pada AIDS pediatric adalah esofagistis kandida,
terjadi pada sekitar 10%, dan infeksi kompleks, Mycobakterium avium. Diantara virus-virus,
infeksi CMV diseminata dan lama pada saluran cerna, dan infeksi virus varisela zoster
apitikal, rekuren dan ekstensif sering terjadi. Walaupun daftar panjang pathogen yang
menyebabkan penyakit berat dan lama tidak lazim pada penjamu ini, virus respirasi yang
lazim, mencakup virus sinsitial respiratorius, jarang menyebabkan penyakit yang
berkomplikasi.
Terkenanya organic lain. Terkenanya hepar padi infeksi HIV pediatric sering
mengambil bentuk organ yang membesar sedang sampai berat, transaminitis berfluktuasi.
Yang jarang adalah hepatitis kolestatik berat yang terjadi pada bayi yang terinfeksi pada tahun
pertama, dengan prognosis buruk. Kelainan hati dapat disebabkan oleh infeksi yang bersama
dengan CMV, HCV, atau HBV, oleh infeksi HIV itu sendiri, atau banyak agen infeksius lain.
Penyakit ginjal yang sering terjadi, paling sering bermanifestasi protenuria. Perubahan
mesangial dan glomerulokslerosis fokal telah diindentifikasi sebagai patologi yang paling
sering terjadi pada anak dengan AIDS. Kelainan jantung dapat diperhatikan pada separuh
anak semua usia penyakit HIV, meskipun insiden kardiomiopati simtomatik hanya 12 sampai
20%; efusi pericardial dan gangguan fungsi ventrikel merupakan kelainan ekokardiografi
yang paling sering ditemukan. Meskipun frekuensi penyakit paru kronik pada pasien ini,
terkenanya vertikel kiri beberapa kali lebih sering daripada yang kanan. Tekanan HIV
langsung, autoimunitas, malnutrisi dan infeksi bersama dengan virus miotropik semuanya
telah dihipotesis sebagai etiologi. Fenomena autoimun mencakup anemia hemolitik positif-
coombs dan trombositopenia. Sarcoma Kaposi dan kanker sekunder lain jarang pada anak
yang terinfeksi HIV.
2.5. Komplikasi
1.      Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat
badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim
dalam rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus
dan lambung. Tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan
rasa sakit di balik sternum (nyeri retrosternal).
2.      Neurologik
•   ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC; AIDS dementia
complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan
berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium
lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan efektif
seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor,
inkontinensia, dan kematian.
•   Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise, kaku kuduk,
mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis ditegakkan dengan
analisis cairan serebospinal.
3.      Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui untuk
penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari BB awal, diare
yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang
kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala ini.
 Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
 Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
 Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai
akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.

4.      Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-batuk,
nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi infeksi oportunis, seperti
yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI), cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides.
5.      Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis,
reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi
sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai
dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit. moluskum
kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai
deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang
mengenai kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis
menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis
atopik seperti ekzema dan psoriasis.
6.      Sensorik
 Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis
sitomegalovirus berefek kebutaan
 Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek
nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi
obat.

2.6.  Pemeriksaan Penunjang


Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes ini
meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex agglutination
dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila dikatakan positif HIV
harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah dengan cara menguji antigen HIV,
yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit,
maka dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
 Tes untuk diagnosa infeksi HIV :ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan
western blot)
 Western blot (positif)
 ü  P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas) Kultur HIV(positif; kalau dua
kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi enzim reverse transcriptase atau antigen
p24 dengan kadar yang meningkat)
2.      Tes untuk deteksi gangguan system imun.
 LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
 CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi terhadap
antigen)
 Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
 Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya penyakit).
 Kadar immunoglobulin (meningkat)

7.  Penatalaksanaan
1)      Perawatan
 Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:Suportif
dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah kemungkinan
terjadi infeksi
 Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada
 Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan dideosinukleotid,
yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke
DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
 Mengatasi dampak psikososial
 Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan
prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
 Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu
memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)
2.8.          Pengobatan
Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS. Penatalaksanaan
AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan perkembangan penyakit dan
pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan dengan menmggunakan tiga parameter : status
kekebalan, status infeksi dan status klinik dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2)
tanda supresi sedang dan 3) tanda supresi berat. Seorang anak dikatakan dengan tanda dan
gejala ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi imun dikategorikan sebagai A2. Status imun
didasarkan pada jumlah CD$ atau persentase CD4 yang tergantung usia anak (Betz dan
Sowden, 2002).
Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan ditujuan terhadap
mencegah dan menangani infeksi oportunistik seperti Kandidiasis dan pneumonia interstisiel.
Azidomitidin ( Zidovudin), videks dan Zalcitacin (DDC) adalah obat-obatan untuk infeksi
HIV dengan jumlah CD4 rendah, Videks dan DDC kurang bermanfaat untuk oenyakit sistem
saraf pusat. Trimetoprin sulfametojsazol (Septra, Bactrim) dan Pentamadin digunakan untuk
pengobatan dan profilaksi pneumonia cariini setiap bulan sekali berguna untuk mencegah
infeksi bakteri berat pada anak, selain untuk hipogamaglobulinemia. Imunisasi disarankan
untuk anak-anak dengan infeksi HIV, sebagai pengganti vaksin poliovirus (OPV), anak-anak
diberi vaksin vorus polio yang tidak aktif (IPV) (Betz dan Sowden, 2002).
2.9.          Pencegahan
Pencegahan infeksi HIV primer pada semua golongan usia kemungkinan akan
memengaruhi epidemil global lebih dari terapi apa pun dimasa depan yang dapat diketahui.
Kesalahan konsepsi mengenai factor resiko untuk infeksi HIV adalah target esensial untuk
usaha mengurangi perilaku resiko, terutama diantara remaja. Untuk dokter spesialis anak,
kemampuan member konsultasi pada pasien dan keluarga secara efektif mengenai praktik
seksual dan penggunaan obat adalah aliran utama usaha pencegahan ini. Bahkan pendidikan
dan latihan tersedia dari The American Medical Assosiation dan The American Academy of
Pediatrics yang dapat membantu dokter pediatric memperoleh kenyamanan dan kompetensi
yang lebih besar pada peran ini.
Pencegahan infeksi HIV pada bayi dan anak harus dimulai dengan tepat dengan
pencegahan infeksi pada perempuang hamil. Langkah kedua harus menekan pada uji serologi
HIV bagi semua perempuan hamil. Rekomendasi ini penting karena uji coba pengobatan
mutakhir menunjukkan bahwa protocol pengobatan bayi menggunakan obat yang sama
selama beberapa minggu secara signifikan mengurangi angka transmisi dari ibu ke bayi.
Pemberian zidovudin terhadap wanita hamil yang terinfeksi HIV-1 mengurangi
penularan HIV-1 terhadap bayi secara dermatis. Penggunaan zidovudin (100 mg lima kali/24
jam) pada wanita HIV-1 dalam 14 minggu kehamilan sampai kelahiran dan persalinan dan
selama 6 minggu pada neonatus (180 mg/m2 secara oral setiap jam) mengurangi penularan
pada 26% resipien palasebo sampai 8% pada resipien zidovudin, suatu perbedaan yang sangat
bermakna. Pelayanan kesehatan A.S. telah menghasilkan pedoman untuk penggunaan
zidovudin pada wanita hamil HIV-1 positif untuk mencegah penularan HIV-1 perinatal.
Wanita yang HIV-1 positif, hamil dengan masa kehamilan 14-34 minggu, mempunyai anak
limfosid CD4 +  200/mm atau lebih besar, dan sekarang tidak berada pada terapi
atteretrovirus dianjurkan menggunakan zidovudin. Zidovudin intravena (dosis beban 1 jam 2
mg/kg/jam diikuti dengan infus terus menerus 1 mg/kg/jam sampai persalinan) dianjurkan
selama proses kelahiran. Pada semua keadaan dimana ibu mendapat zidovudin untuk
mencegah penularan HIV-1, bayi harus mendapat sirup zidovudin (2 mg/kg setiap 6 jam
selama usia 6 minggu pertama yang mulai dan8 jam sesudah lahir). Jika ibu HIV-1 positif dan
tidak mendapatkan zidovudin, zidovudin harus dimulai pada bayi baru lahir sesegera mungkin
sesudah lahir, tidak ada bukti yang mendukung kemajuan obat dalam mencegah infeksi HIV-
1 bayi baru lahir sesudah 24 jam. Ibu dan anak diobati dengan zidovudin harus diamati
dengan ketak untuk kejadian-kejadian yang merugikan dan didaftar pada PPP untuk menilai
kemungkinan kejadian yang merugikan jangka lama. Saat ini, hanya anemia ringan reversible
yang telah ditemukan pada bayi. Untuk melaksanakan pendekatan ini secara penuh, semua
wanita harus mendapatkan prenatal yang tepat, dan wanita hamil harus diuji untuk positivitas
HIV-1.
Penularan seksual. Pencegahan penularan seksual mencakup penghindaran
pertukaran cairan-cairan tubuh. Kondom merupakan bagian integral program yang
mengurangi penyakit yang ditularkan secara seksual. Seks tanpa perlindungan dengan mitra
yang lebih tua atau dengan banyak mitra adalah biasa pada remaja yang terinfeksi HIV-1.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK

DENGAN HIV-AIDS

A. Pengkajian
1. Data Subjektif, mencakup:
a. Pengetahuan klien tentang AIDS
b. Data nutrisi, seperti masalah cara makan, BB turun
c. Dispneu (serangan)
d. Ketidaknyamanan (lokasi, karakteristik, lamanya)
2. Data Objektif, meliputi:
a. Kulit, lesi, integritas terganggu
b. Bunyi nafas
c. Kondisi mulut dan genetalia
d. BAB (frekuensi dan karakternya)
e. Gejala cemas
3. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran TTV
b. Pengkajian Kardiovaskuler
c. Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat. Gagal jantung
kongestif sekunder akibat kardiomiopati karena HIV.
d. Pengkajian Respiratori
e. Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea, hipoksia, nyeri
dada, napas pendek waktu istirahat, gagal napas.
f. Pengkajian Neurologik
g. Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku, nyeri otot,
kejang-kejang, enselofati, gangguan psikomotor, penurunan kesadaran,
delirium, meningitis, keterlambatan perkembangan.
h. Pengkajian Gastrointestinal
i. Berat badan menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan menelan, bercak
putih kekuningan pada mukosa mulut, faringitis, candidisiasis esophagus,
candidisiasis mulut, selaput lender kering, pembesaran hati, mual, muntah,
colitis akibat diare kronis, pembesaran limfa.
j. Pengkajain Renal
k. Pengkajaian Muskuloskeletal
l. Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak (ataksia)
m. Pengkajian Hematologik
n. Pengkajian Endokrin
4. Kaji status nutrisi
a. Kaji adanya infeksi oportunistik
b. Kaji adanya pengetahuan tentang penularan

B. Dapatkan riwayat imunisasi


1) Dapatkan riwayat yang berhubungan dengan faktor resiko terhadap aids pada anak-
anak: exposure in utero to HIV-infected mother, pemajanan terhadap produk darah,
khususnya anak dengan hemophilia, remaja yang menunjukan prilaku resiko tinggi.
2) Obsevasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal tumbuh, limfadenopati,
hepatosplenomegali
3) Infeksi bakteri berulang
4) Penyakit paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii (pneumonitys inter
interstisial limfositik, dan hyperplasia limfoid paru).
5) Diare kronis
6) Gambaran neurologis, kehilangan kemampuan motorik yang telah di capai
sebelumnya, kemungkinan mikrosefali, pemeriksaan  neurologis abnormal
7) Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian missal tes antibody serum.

C. Diagnosa Keperawatan
Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak
dengan HIV antara lain:
1) Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret sekunder
terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2) Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder
terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
3) Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan
pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan
diare
4) Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan motilitas
usus sekunder proses inflamasi system pencernaan
5) Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik
dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integumen
6) Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh, adanya
organisme infeksius dan imobilisasi
7) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
8) Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik,
hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV
9) Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK sekunder proses penyakit (misal:
ensefalopati, pengobatan).
10) Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan
penyakit yang mengancam hidup.

D. Intervensi Keperawatan
Menurut Betz dan Sowden (2002) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan oleh
seorang perawat terhadap anak dan ibu yang sudah menderita infeksi HIV antara lain :
1) Lindungi bayi, anak atau remaja dari kontak infeksius, meskipun kontak biasa
dari orang ke orang tidak menularkan HIV
2) Cegah penularan infeksi HIV dengan membersihkan bekas darah atau cairan
tubuh lain dengan larutan khusus, pakai sarung tangan lateks bila akan terpajan
darah atau cairan tubuh, pakai masker dengan pelindung mata jika ada
kemungkinan terdapat aerosolisasi atau terkena percikan darah atau cairan
tubuh, cuci tangan setelah terpajan darah atau cairan tubuh dan sesudah lepasa
sarung tangan, sampah-sampah yang terrkontaminasi darah dimasukkan ke
dalam kantong plastik limbah khusus.
3) Lindungi anak dari kontak infeksius bila tingkat kekebalan anak rendah dengan
cara lakukan skrining infeksi, tempatkan anak bersama anak yang non infeksi
dan batasi pengunjung dengan penyakit infeksi.
4) Kaji pencapaian perkembangan anak sesuai usia dan pantau pertumbuhan
(tinggi badan, berat badan, lingkar kepala
5) Bantu keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat
kepatuhan terhadap perencanaan pengobatan
6) Ajarkan pada anak dan keluarga untuk menghubungi tim kesehatan bila
terdapat tanda-tanda dan gejala infeksi, ajarkan pada anak dan keluarga
memberitahu dokter tentang adanya efek samping
7) Ajarkan pada anak dan keluarga tentang penjadualan pemeriksaan tindak lanjut
: nama dan nomor telepon dokter serta anggota tim kesehatan lain yang sesuai,
tanggal dan waktu serta tujuan kunjungan pemeriksaan tindak lanjut
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada ibu dan anak yang belum terinfeksi HIV
antara lain :
1) Ibu jangan melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan tanpa kondom
2) Gunakan jarum suntik steril, dan tidak menggunakan jarum suntik secara bersama
secara bergantian atau tercemar darah mengandung HIV.
3) Tranfusi darah melalui proses pemeriksaan terhadap HIV terlebih dahulu.
4) Untuk Ibu HIV positif kepada bayinya saat hamil, proses melahirkan spontan/normal
sebaiknya tidak menyusui bayi dengan ASInya
5) HIV tidak menular melalui : bersentuhan, bersalaman dan berpelukan (kontak sosial),
berciuman (melalui air liur), keringat, batuk dan bersin, berbagi makanan atau
menggunakan peralatan makan bersama, gigitan nyamuk atau serangga lain, berenang
bersama, dan memakai toilet bersama sehingga tidak perlu takut dan khawatir tertular
HIV.
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi
Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer, 2000:162)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang
disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana
kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan keperawatan canggih selama
perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara klinis dan
imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis tidak tampak sering
mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian imunologik bayi beresiko
dipersulit oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter spesifik usia untuk hitung
limfosit CD4 dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan jumlah CD4 absolut yang lebih tinggi
dan kisaran yang lebih lebar pada awal  masa bayi, diikuti penurunan terhadap pada
beberapa tahun pertama
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang
diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen Control
sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan berkembang, hepatomegali dan
splenomegali, limfadenopati generalisata (didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm
terdapat pada 2 atau lebih area tidak bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare.
.
B. Saran
Pemberian materi yang lebih mendalam dapat meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan disamping
pengarahan dan bimbingan yang senantiasa diberikan sehingga keberhasilan dalam tugas
dapat dicapai
DAFTAR PUSTAKA

Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.

Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London.

Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th
edition, Mosby Year Book, Toronto

Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa
dan Ni Made S, EGC, Jakarta

Christine L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.

Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua, EGC,
Jakarta.

Katiandagho, D. (2015). Epidemiologi HIV-AIDS. Bogor: IN MEDIA.

Purwoastuti, E., & dkk. (2015). Panduan Materi Kesehatan Reproduksi & Keluarga
Berencana. Yogyakarta: PUSTAKABARUPRESS.

Anda mungkin juga menyukai