Anda di halaman 1dari 55

MAKALAH MULTIPLE TRAUMA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
Dosen pembimbing : Bapak Sumbara, S.Kep., Ners., M.Kep

DISUSUN OLEH
Kelas SGD 3C

PINPIN FITRIANI AK118213


PUSPA SRI AGUSTRI AK118135
RIRIN NOVIYANI AK118151
ROSLIANA AK118157
SHEILA SYAADATUL I AK118169
SOMANTRI AK118178

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
rahmat-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Multiple Trauma”
tepat pada waktunya. Makalah ini kami susun untuk melengkapi tugas pada mata kuliah
keperawatan gawat darurat, selain itu untuk memahami dan mengetahui tentang
bagaimana pengaplikasian Multiple Trauma pada pasien.
Kami mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu setiap pihak diharapkan dapat memberikan masukan berupa kritik
dan saran yang bersifat membangun.

Bandung, 06 Juni 2021

SGD C, Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.............................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................5

BAB II KAJIAN PUSTAKA


2.1 Definisi Multiple Trauma...........................................................................6
2.2 Penyebab Multiple Trauma.........................................................................6
2.3 Macam-Macam Multiple Trauma yang sering terjadi................................7
2.4 Patofisiologi Multiple Trauma....................................................................8
2.5 Manifestasi Klinis Multiple Trauma..........................................................9
2.6 Klasifikasi Multiple Trauma......................................................................10
2.7 Komplikasi Multiple Trauma....................................................................25
2.8 Pemeriksaan Penunjang Multiple Trauma.................................................27
2.9 Pencegahan Multiple Trauma....................................................................31
2.10 Penatalaksanaan Multiple Trauma..........................................................37

BAB III PEMBAHASAN KASUS


3.1 Asuhan keperawatan pada kasus Multiple Trauma...................................40

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan................................................................................................51
4.2 Saran..........................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................53
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH


Trauma saat ini merupakan penyebab kematian paling sering di empat dekade
pertama kehidupan dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di
setiap negara (Gad, 2012). Data WHO (World Health Organization) menyebutkan
sebanyak 5,6 juta orang meninggal dan sekitar 1,3 juta orang mengalami cacat fisik
akibat kecelakaan lalu lintas di seluruh dunia selama tahun 2011. Data dari
Kepolisian Republik Indonesia tahun 2010 menyebutkan pada tahun 2009 terjadi
57.726 kasus kecelakaan di jalan raya dengan korban terbanyak berusia 15-55 tahun.
Sebagai penyebab utama kematian dan kecacatan, trauma telah menjadi masalah
kesehatan dan social yang signifikan. Multi trauma adalah Keadaan yang di
sebabkan oleh luka atau cedera defenisi ini memberikaan gambaran superficial dari
respon fisik terhadap cedera, trauma juga mempunyai dampak psikologis dan social.
Pada kenyataannya trauma adalah kejadian yang bersifat holistic dan dapat
menyebabkan hilangnya produktif seseorang. Berdasarkan mekanismenya, terdapat
trauma tumpul yang biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor
dan trauma tajam biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman atau tembakan
senapan.
Trauma yang terjadi seringkali melibatkan beberapa regio tubuh. Pada multiple
trauma, sering terjadi perdarahan yang akan mengakibatkan kematian (Sauaia,
1995). Selain itu, pada multiple trauma juga terjadi keadaan hipoperfusi dan asidosis
serta koagulopati yang juga akan meningkatkan mortalitas pasien multiple trauma
(Brohi, 2007). Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan
pasien dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah
mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran udara secara efektif, dan
mengontrol pendarahan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apakah Definisi dari Multiple Trauma?
1.2.2 Bagaimana Etiologi dari Multiple Trauma?
1.2.3 Apa saja Macam-Macam Multiple Trauma yang sering terjadi?
1.2.4 Bagaimana Patofisiologi dari Multiple Trauma?
1.2.5 Bagaimana Manifestasi Klinis dari Multiple Trauma?
1.2.6 Apa Klasifikasi dari Multiple Trauma?
1.2.7 Apa saja Komplikasi pada Multiple Trauma?
1.2.8 Apa Pemeriksaan untuk Multiple Trauma?
1.2.9 Apa Pencegahan untuk Multiple Trauma?
1.2.10 Apa Penatalaksanaan untuk Multiple Trauma?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Mengetahui Definisi dari Multiple Trauma.
1.3.2 Mengetahui Etiologi Multiple Trauma
1.3.3 Mengetahui Macam-Macam Multiple Trauma
1.3.4 Mengetahui Patofisiologi Multiple Trauma
1.3.5 Mengetahui Manifestasi klinis dari Multiple Trauma
1.3.6 Mengetahui Klasifikasi Multiple Trauma
1.3.7 Mengetahui Komplikasi dari Multiple Trauma.
1.3.8 Mengetahui Pemeriksaan untuk Multiple Trauma
1.3.9 Mengetahui Pencegahan untuk Multiple Trauma
1.3.10 Mengetahui Penatalaksanaan untuk Multiple Trauma
BAB II
TINJAUN PUSTAKA

2.1 DEFINISI MUTLIPLE TRAUMA


Multiple trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera
definisi ini memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera,
trauma juga mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya trauma
adalah kejadian yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan hilangnya produktif
seseorang. Informasi tentang pola atau mekanisme terjadinya cedera seringkali akan
sangat terbantu dalam mendiagnosa kemungkinan gangguan yang diakibatkan.
Trauma tumpul terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor (KKB) dan jatuh,
sedangkan trauma tusuk (penetrasi) seringkali diakibatkan oleh luka tembak atau
luka tikam. Umumnya, makin besar kecepatan yang terlibat dalam suatu
kecelakaan, akan makin besar cedera yang terjadi, misalnya : KKB kecelakaan
tinggi, peluru dengan kecepatan tinggi, jatuh dari tempat yang sangat tinggi
(Hudak,carolyn 1996). Multiple Trauma atau politrauma adalah apabila terdapat
2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana
salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal,
kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional. Trauma
kepala paling banyak dicatat pada pasien politrauma dengan kombinasi dari kondisi
yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan, post- traumatic
stress syndrome dan kondisi
kelainan jiwa yang lain (Veterans Health Administration Transmittal Sheet).

2.2 ETIOLOGI MUTLIPLE TRAUMA


Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru.
Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam
kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena, organ apa
yang cedera ,dan bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui biomekanik
terutama cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan,
perlambatan (deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda tajam , benda tumpul,
peluru, ledakan,
panas, maupun zat kimia. Akibat cedera ini dapat menyebabkan cedera
muskuloskeletal dan kerusakan organ.

2.3 MACAM – MACAM TRAUMA YANG SERING TERJADI


2.3.1 Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang
tinggi serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan
cedera pada beberapa bagian ini. Antara kemungkinan kecederaan yang bisa
timbul adalah seperti berikut :
a) Kerusakan pada tulang servikal C1-C7; cedera pada C3 bisa
menyebabkan pasien apnu. Cedera dari C4-C6 bisa menyebabkan pasien
kuadriplegi, paralisis hipotonus tungkai atas dan bawah serta syok batang
otak.
b) Fraktur Hangman terjadi apabila terdapat fraktur hiperekstensi yang
bilateral pada tapak tulang servikal C2.
c) Tulang belakang torak dan lumbar bisa diakibatkan oleh cedera kompresi
dan cedera dislokasi.
d) Spondilosis servikal juga dapat terjadi.
e) Cedera ekstensi yaitu cedera ‘Whiplash’ terjadi apabila berlaku ekstensi
pada tulang servikal.
2.3.2 Trauma toraks
Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding toraks dan
cedera paru. Cedera dinding torak seperti berikut :
a) Patah tulang rusuk
b) Cedera pada sternum atau ‘steering wheel’
c) Flail chest
d) Open ‘sucking’ pneumothorax
Cedera pada paru adalah seperti berikut :
a) Pneumotoraks.
b) Hematorak.
c) Subcutaneous (SQ) dan mediastinal emphysema.
d) Kontusio pulmonal
e) Hematom pulmonal.
f) Emboli paru.
2.3.3 Trauma Abdominal
Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian organ dalam
dan bagian luar abdominal yaitu seperti berikut :
a) Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kanan abdomen adalah seperti
cedera pada organ hati, pundi empedu, traktus biliar, duodenum dan ginjal
kanan.
b) Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kiri abdomen adalah seperti
cedera pada organ limpa, lambung dan ginjal kiri.
c) Kecederaan pada kuadran bawah abdomen adalah cedera pada salur ureter,
salur uretral anterior dan posterior, kolon dan rektum.
d) Kecederaan juga bisa terjadi pada organ genital yang terbagi dua yaitu
cedera penis dan skrotum.
2.3.4 Tungkai Atas
Trauma tungkai atas adalah apabila berlaku benturan hingga menyebabkan
cedera dan putus ekstrimitas. Cedera bisa terjadi dari tulang bahu, lengan atas,
siku, lengan bawah, pergelangan tangan, jari-jari tangan serta ibu jari.
2.3.5 Tungkai Bawah
Kecederaan yang paling sering adalah fraktur tulang pelvik. Cedera pada
bagian lain ekstrimitas bawah seperti patah tulang femur, lutut atau patella, ke
arah distal lagi yaitu fraktur tibia, fraktur fibula, tumit dan telapak kaki (James,
Corry dan Perry, 2000).

2.4 PATOFISIOLOGI MULTIPLE TRAUMA


Respon metabolik pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase yaitu sebagai berikut :
a) Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam fase
ini akan terjadi kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan
hiperglikemia.
b) Pada fase kedua terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang
negative, hiperglikemia, dan produksi panas. Fase ini yang terjadi setelah
tercapainya perfusi jaringan dengan baik dapat berlangsung dari beberapa hari
sampai beberapa minggu, tergantung beratnya trauma, keadaan kesehatan
sebelum terjadi trauma, dan tindakan pertolongan medisnya.
c) Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu penumpukan kembali protein dan
lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan infeksi teratasi. Rasa
nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secar keseluruhan sudah teratasi. Fase ini
merupakan proses yang lama tetapi progresif dan biasanya lebih lama dari fase
katabolisme karena isintesis protein hanya bisa mencapai 35 gr /hari.

2.5 MANIFESTASI KLINIS MULTIPLE TRAUMA


a) Laserasi, memar,ekimosis
b) Hipotensi
c) Tidak adanya bising usus
d) Hemoperitoneum
e) Mual dan muntah
f) Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah biasanya
pada arteri karotis)
g) Nyeri
h) Pendarahan
i) Penurunan kesadaran
j) Sesak
k) Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
l) Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
m) Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada
perdarahan retroperitoneal
n) Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada
fraktur pelvis
o) Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri
atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe (Scheets, 2002 : 277-278)
2.6 KLASIFIKASI MULTIPLE TRAUMA
Berdasarkan Hudak Carolyn 1996:517-534 bahwa klasifikasi dari multiple trauma
adalah sebagai berikut :
2.6.1 Trauma Tumpul
Pada kecelakaan kendaraan mobil, badan kendaraan memberikan
sebagian perlindungan dan menyerap energi dari hasil benturan tabrakan.
Pengendara atau penumpang yang tidak menggunakan sabuk pengman,
bagaimanapun akan terlempar dari mobil dan dampaknya mendapat cedera
tambahan. Pengendara sepeda motor mempunyai perlindungan yang
minimal dan seringkali akan menderita cedera yang lebih parah apabila
terlempar dari motor. Perlambatan yang cepat selama KKB atau jatuh dapat
menyebabkan kekuatan yang terputus yang dapat merobek struktur tertentu.
Organ-organ yang berdenyut seperti jantung dapat terlepas dari pembuluh
besar yang menahannya. Demikian juga organ-organ abdomen (limpa,
ginjal, usus) akan terlepas dari mesenteri.
Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang disebabkan oleh
kekuatan tabrakan berat. Pada kasus demikian, jantung dapat terhimpit
diantara sternum dan tulang belakang. Hepar, limpa, dan pancreas juga
sering tertekan terhadap tulang belakang. Cedera karena benturan seringkali
menyebabkan kerusakan internal dengan sedikit tanda-tanda trauma
eksternal.
Tipe kerusakan pada kendaraan seringkali memberikan petunjuk-
petumjuk cedera spesifik yang diderita pada KKB. Stir atau kemudi
kendaraan yang bengkok atau rusak memperbesar dugaaan akan
kemungkinan cedera pada dada, iga, jantung, trakea, tulang belakang atau
abdomen. Trauma kepala dan wajah, cedera tulang belakang servikal dan
cedera trakeal sering berkaitan dengan kerusakan pada kaca depan mobil
atau dashboard. Benturan lateral dapat menyebabkan patah iga, luka dada
penetrasi akibat pegangan pintu atau jendela, cedera limpa atau hepar dan
fraktur pelvis.
2.6.2 Trauma Penetrasi
Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih tinggi dari
luka-luka tikaman. Peluru dapat menyebakan lubang di sekitar jaringan dan
dapat terpecah atau merubah arah dalam tubuh, mengakibatkan peningkatan
cedera. Perdarahan internal, perforasi organ, dan fraktur kesemuanya dapat
disebabkan oleh cedera penetrasi. Dengan menggunakan keterampilan
pengkajian yang baik dan kewaspadaan pada mekanisne terjadinya cederam,
perawat unit perawatan kritis dapat membantu dalam mengidentifikasi
cedera yang tidak didiagnosa di unit kegawatdaruratan.
2.6.3 Trauma Torakik
Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah karena cedera
torakik. Banyak cedera toraks yang secara potensial mengancam jiwa,
misalnya tension atau pneumotoraks terbuka, hemotoraks massif, iga
melayang (flail chest) dan tamponade jantung, dapat ditangani secara cepat
dan mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika tidak ditangani, maka akan
mengancam jiwa. Cedera pada paru dan iga antara lain sebagai beikut :
a) Pneumotoraks dan hematoraks
Trauma tumpul dan penetrasi dapat menyebabkan pneumotoraks
dan hemotoraks. Seringkali satu-satunya tindakan yang diperlukan
adalah pemasangan selang dada. Hemotoraks massif (>1.500ml pada
awalnya atau >100-200ml/jam) akan memerlukan torakotomi,
sedangkan selang dada untuk mengembangkan kembali paru-paru
seringkali sudah memadai tamponade dengan sumber perdarahan yang
lebih kecil. Intervensi pembedahan juga mungkin diperlukan dalam
kasus pneumotoraks terbuka (luka menyedot dada) atau kebocoran udara
yang tidak terkontrol.
Selain memberikan perawatan rutin post operasi (spirometri, batuk,
latihan napas dalam), perawatan unit perawatan kritis harus mengkaji
fungsi pernapasan dan hemodinamik dengan cermat. Pasien dengan
cedera paru mempunyai resiko lebih besar untuk mengalami komplikasi
pulmonal seperti atlektaksis, pneumonia, dan empiema. Selang dada
harus dikaji patensi dan fungsinya serta dokter harus diberitahu jika
drainase menjadi berlebihan. Untuk kehilangan darah dalam jumlah
besar dari selang dada, mungkin harus dilakukan ototranfusi.
b) Iga melayang
Iga melayang terjadi bila trauma tumpul menyebabkan fraktur
multiple iga, menyebabkan ketidakstabialan dinding dada. Iga melayang
berkaitan dengan pneumotoraks, hemotoraks kontusio pulmonal,
kontusio miokardial. Tujuan utama dari perawatan terhadap tulang iga
mengambang adalah untuk meningkatkan ventilasi yang adekuat. Jika
status pernapasan terganggu atau diperlukan operasi untuk cedera
terjadi, maka ada indikasi pemasangan intubasi dan ventilasi mekanis.
Mungkin juga digunakan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP). Pada
kejadian yang langka, mungkin dilakukan stabilisasi operatif dengan
kawat dan staples. Fraktur iga tidak pernah dibalut karena hal ini
nantinya hanya akan mengurangi fungsi pulmonal.
Fraktur iga sering berkaitan dengan nyeri hebat. Control nyeri yang
adekuat dapat meningkatkan ekspansi paru tanpa memerlukan ventilasi
mekanis jangka panjang. Sering diberikan analgesi parenteral,
intramuscular, atau analgesia yang dikontrol pasien. Analgesic sistemik
tidak cukup kuat untuk menghilangkan nyeri iga melayang, sehingga
membutuhkan metode lain untuk meringankan nyeri seperti blok
interkosta atau analgesia epidural.
Asuhan keperawatan pada pasien dengan iga melayang ditujukan
pada pengkajian dan pengontrolan nyeri deisertai dengan peningkatan
oksigenasi dan pertukaran gas yang adekuat. Hipoventilasi akiibat nyeri
meningkatkan resiko terhadap komplikasi pernapasan, termasuk
atlektaksis dan pneumonia. Berbagai intervensi untuk memperbaiki
fungsi pernapasan dapat dilaksanakan termasuk batuk dan napas dalam,
spirometrik, drainase, dan chapping, mukolitik, bronkodilator,
pernapasan tekanan positif intermitten (PTPI), suksion endotrakeal dan
nasotrakeal, bronkoskopi terapeutik. Serangkaian pengkajian pulmonal,
termasuk sinar x-dada, gas-gas arterial darah, pemeriksaan fisik, dan
kadang-kadang pemantauan dengan oksimetrik adalah penting.
c) Kontusio pulmonal
Kontusio pulmonal adalah memar pada parenkim paru, seringkali
akibat trauma tumpul. Gangguan ini dapat tidak terdiagnosa pada foto
dada awal. Bagaimanapun adanya fraktur iga atau iga melayang harus
mengarah pada dugaan kemungkinan adanya kontusio pulmonal.
Kontusio pulmonal terjadi bila perlambatan cepat memecahkan dinding
sel kapiler, menyebabkan hemoragi dan ekstravasasi plasma dan protein
ke dalam alveolar dan spasium interstisial. Hal ini mengakibatkan
atlektaksis dan konsolidasi, mengarah pada pengalihan (shunting)
intrapulmonal dan hipoksemia. Tanda-tanda dan gejala- gejalanya
tgermasuk dispnea, rales, hemoptisis, takipnea. Kontusio yang hebat
juga akan mengakibatkan peningkatan tekanan puncak jalan udara,
hipoksemia, dan asidosis respiratorik. Kontusio pulmonal mirip dengan
ARDS dimana keduanya berespon sangat terburuk terhadap fraksi
inspirasi oksigen yang tinggi (FiO2).
Perbedaan antara kontusio pulmonal dan ARDS
Kontusio ARDS
Pulmonal
Awitan gagal pernapasan Awitan gagal pernapasan
Bertahap mendadak

Perubahan- perubahan gambaran Perubahan-perubahan gambaran


radiografi dapat segera terlihat radiografi seringkali tertunda 2-3
hari setelah timbul gejala- gejala.

Infiltrat Infiltrat menyebar


Setempat
Dapat mengarah pada terbentuknya Dapat mengarah pada fibrosis
rongga dan pulmonal kronis
Abses
Pasien dengan kontusio ringan memerlukan pengamanan ketat.
Perlu sering dilakukan pengukuran gas darah arterial (GDA) atau
oksimetri nadi. Inter vensi keperawatan tambahan termasuk pengkajian
pernapasan yang kerap, perawatan pulomonal dan control nyeri.
Fisioterapi dada dan analgesia epidural kontinu juga akan sangat
bermanfaat. Kontusion pulmonal yang parah akan memerlukan
dukungan ventilator dengan TAEP. Kateter arteri oksimetrik pulmonal
(oximetri Swans-Ganz) dan biasanya aliran arteri untuk membantu
memantau GDA, hemodinamik dan parameter respiratori (pengiriman
oksigen, pirau intrapulmonal).
Meskipun ventilasi alveolar membaik dengan penambahan TAEP,
aliran darah ke alveoli dapat berkurang, mengarah pada pirau
intrapulmonal. Untuk mengoptimalkan perfusi jaringan dan oksigenasi,
setiap pergantian pada TAEP membutuhkan status pirau, pengiriman
oksigen, dan indicator lain perfusi jaringan (curah jantung, tekanan
darah, haluaran urine). Pernapasan yang parah, peningkatan atau
paralisis dapat menjadi tanda untuk menurunkan pemakaian energi dan
kebutuhan oksigen. Tempat tidur berrotasi seperti Roto- Rest (Kinetic
Concepts, Ins., San Antonio, TX) juga harus dipertimbangkan.
Penggunaan ventilasi jet frekuensi tinggi untuk tipe cidera seperti ini
masih merupakan suatu kontroversia. Kontusio unilateral berat dapat
ditangani dengan ventilasi paru independen simultan dan
membaringkan posisi pasien dengan bagian cidera di sebelah atas.
Penatalaksanaan cairan juga penting. Masukkan dan haluarkan,
berat badan setiap hari, tekanan vena central, tekanan desak kapiler
pulmonal harus dipantau. Konsentrasi medikasi mungkin diperlukan
untuk mengurangi masukan yang berlebihan, dan diuretik akan
diperlukan secara periodik. Pembatasan ketat cairan tidak dianjurkan.
Sebaliknya, keseimbangan cairan harus dipertahankan pada tingkat
mendekati normal untuk mendukung curah jantungdan pengiriman
oksigen. Karena
paru yang basah dan mengalami kontusio mengalami kemampuan untuk
membersihkan bakteri, mungkin diberikan antibiotik profilaktik.
Steroid profilaktik dan pemberian protein tetap menjadi suatu hal yang
kontroversial. Pneumonia dan gangguan ARDS adalah komplikasi yang
umum.
d) Cidera Trakeobronkial
Cedera pada trakea atau bronki dapat disebabkan oleh trauma
tumpul atau penetrasi dan seringkali disertai dengan kerusakan pada
esofagus dan vaskuler. Ruptur bronki sering terjadi berkaitan dengan
fraktur iga bagian atas atau pneumotoraks. Cedera trakeobronkial yang
parah mempunyai angka kematian yang tinggi, bagaimana pun dengan
bertambah baiknya perawatan dan transportasi prarumah sakit akhir-
akhir ini, maka makin banyak pasien ini yang bertahan hidup. Cidera
jalan udara seringkali tidak tersamar. Tanda-tandanya termasuk dispnea
(adakalanya satu-satunya tanda), hemoptasis, batuk, dan emfisema
subkutan. Berdasarkan sinar-x dada dapat memberikan tanda pada
dokter terhadap kemungkinan adanya cedera, bagaimanapun biasanya
diagnosa dibuat dengan bronkoskopi atau selama operasi. Perbaikan
operasi dengan ventilasi mekanis pascaoperasi melalui selang
endotrakeal atau trakeostomi akan diperlukan.
Asuhan keperawatan melibatkan pengkajian terhadap oksigenasi
dan pertukaran gas, disertai dengan perawatan pulmonal yang tepat.
Selama beberapa hari pertama, dokter akan melakukan bronkoskopi
untuk melihat tempat yang diperbaiki serta untuk memberikan suction
yang lebih efektif. Pneumonia adalah komplikasi jangka pendek,
sedangkan stenosis trakeal dapat terjadi kemudian.
2.6.4 Cedera pada Jantung
a) Kontusio Miokard
Memar pada miokardium kebanyakan disebabkan oleh benturan dada
pada batang stir atau dashboard selama KKB. Perlambatan cepat
mengakibatkan jantung yang berdenyut akan menbentur dinding dada
anterior. Ventrikel kanan, karena letaknya di sebelah anterior, adalah yang
paling sering terkena.
Kontusio juga dapat terjadi apabila jantung terdesak diantara sternum dan
tulang belakang. Gejala-gejala kontusio jarang bervariasi dari tidak ada
gejala (umum) sampai pada gagal jantung kongestif yang berat dan syok
kardiogenik. Setelah trauma, keluhan-keluhan tentang nyeri dada harus di
evaluasi dengan cermat. Perubahan-perubahan ECG nonspesifik sering
terlihat dan dapat mencakup setiap tipe disritmia. Takikardia sinus, kontraksi
atrial ventrikular prematur, takikardia supraventrikular paroksimal, blok
berkas his kanan, atau perubahan- perubahan gelombang ST dan T adalah
hal yang paling umum. Secara histologi, kontusio jantung mirip dengan
infark miokardial.
Diagnosa bisa sulit ditegakkan. Untuk menegakkannya dilakukan
serangkaiaan pemeriksaan EKG dan serangkaian pengukuran kreatin kinase
isoenzim miokardial, namun pemeriksaan ini tidak 100% sensitif. Ada
dokter yang menginstruksi pemeriksan ekokardiogram dua dimensi untuk
memeriksa komplikasi-komplikasi dan tingkat cedera manakala kontusio
sudah dipastikan terjadi.
Pemantauan dengan ketat diperlukan sampai kontusio miokardial telah
disingkirkan. Yang lebih umum dari kontusio miokardial yang sudah
dipastikan adalah cedera tipe “konkusio” (gegar) yang dapat pilih. Tanda-
tanda dan gejala-gejala yang bersifat temporer akan terlihat tanpa adanya
perubahan dalam isoenzim. Selama diagnosanya belum jelas, oksigenasi,
hemodinamik, dan toleransi aktivitas harus diamati dengan cermat. Jika
timbul takikardia, maka penyebab-penyebab alternatif seperti nyeri,
penipisan volume herus menjadi pertimbangan. Manakala kontusio sudah
dipastikan, maka tindakan yang dilakukan serupa dengan untuk infark
miokardial akut.
b) Cedera Penetrasi jantung
Cedera penetrasi pada jantung mengakibatkan kematian korban
prarumah sakit sekitar 60% sampai 90% dari kasus. Pada 10% sisanya,
hemoragi dan syok adalah yang umum terlihat. Luka tikam kecil yang
mengenai ventrikel ada kalanya menutup sendiri karena tebalnya muskulatur
ventrikular. Pada kondisi dimana terjadi hemoragi terus menerus, volume
yang hilang harus
diganti, dan operasi perbaikan diperlukan. Pada kasus-kasus parah,
torakotomi departemen gawat darurat mungkin harus dilakukan sebagai
Tindakan untuk menyelamatkan jiwa. Setelah operasi perbaikan, kateter
arteri pulmonal dn selang arterial dipasang untuk memudahkan pemantauan
hemodinamik dengan cermat. Vasopresor atau agen-agen inotropik mungkin
diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung yang
adekuat. Keseimbangan cairan dan elektrolit, sejalan dengan irama jantung,
harus dipantau dengan seksama. Bunyi jantung harus dikaji terhadap
murmur, yang menandakan kelainan katup atau septum, dan sebagai tanda-
tanda gagal jantung kongestif. Drainase selang dada dan mediastinal harus
sering dicatat. Berikan plasma beku segar dan platelet, sesuai instruksi,
untuk memperbaiki koagulopati. Komplikasi termasuk hemoragi berlanjut
dan sindrom poskardiotomi.
2.6.5 Trauma Abdomen
Rongga abdomen memuat baik organ yang padat maupun yang berongga.
Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan kerusakan yang serius organ-
organ padat dan trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-organ berongga.
Kompresi dan perlambatan dari trauma tumpul menyebabkan fraktur pada
kapsula dan parenkim organ padat, sementara organ berongga dapat kolaps dan
menyerap energi benturan. Bagaimana pun usus yang menempati sebagian besar
rongga abdomen, rentan untuk mengalami oleh trauma penetrasi. Secara umum,
organ- organ padat berespons terhadap trauma dengan perdarahan. Organ-organ
berongga pecah dan mengeluarkan isinya dan ke dalam rongga peritoneal,
menyebabkan peradangan dan infeksi.
Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen. Pasien yang
memperlihatkan adanya cedera abdomen penetrasi fasia dalam peritoneal,
ketidakstabilan hemodinamik, atau tanda-tanda dan gejala-gejala abdomen akut
dilakukan eksplorasi dengan pembedahan. Pada kebanyakan kasus trauma
abdomen lainnya, dilakukan lavase peritoneal diagnostic (LPD). LPD yang
positif juga mengharuskan dilakukan eksplorasi pembedahan. Baik LPD ataupun
CT scan adalah 100% diagnostic, sehingga pasien-pasien trauma dengan hasil
negative harus diobservasi. Dilakukan serangkaian pengukuran tingkat
hematokrit dan amylase. Pengobatan nyeri mungkin ditunda sehingga tidak
mengaburkan tanda-tanda dan gejala-gejala yang potensial. Masukan per oral
juga ditunda untuk berjaga-jaga jika dilakukan pembedahan. Pasien dikaji untuk
mendapatkan tanda-tanda abdomen akut, seperti distensi, rigiditas, guarding, dan
nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan menjadi perlu dengan adanya awitan setiap
tanda-tanda dan gejala-gejala yang mengindikasikan cedera. Penggunaan CT
abdomen telah memperoleh popularitas dan sering digunakan atau sebagai
tambahan pada LPD. Cedera retroperitoneal, seringkali terlewatkan dengan LPD
dan bahkan dengan pembedahan eksplorasi, sering dapat diidentifikasi dengan
CT scan. Namun CT scan tidak dapat terlalu diandalkan dalam mendeteksi
cedera pada organ-organ berongga.
a) Cedera pada lambung dan usus halus
Cedera lambung yang signifikan jarang ditemui, namun usus halus lebih
umum mengalami cedera. Meskipun sering mengalami kerusakan oleh
trauma penetrasi, trauma tumpul juga dapat menyebabkan usus halus memar.
Konvolusi multiple adakalanya membentuk loop tertutup yang dapat menjadi
sasaran pecah karena meningkatnya tekanan dari benturan dengan kemudi
atau sabuk pengaman. Mobilitas usus di sekitar titik tetap (seperti
ligamentum treitz) mencetuskan terjadinya cedera dengan adanya
perlambatan.
Cedera tumpul usus halus atau lambung dapat terlihat dengan adanya
darah pada aspirasi nasogastrik atau hematemesis. Namun sering tidak
terdapat tanda-tanda fisik dan diagnosis tidak dapat ditegakkan sampai
timbul peritonitis. Cedera penetrasi biasanya menyebabkan LPD positif.
Meskipun kontusio usus ringan dapat diatasi secara konservatif (dekompresi
lambung dan menunda masukan per oral), pembedahan biasanya diperlukan
untuk memperbaiki luka-luka penetrasi.
Dekompresi pasca operasi, baik dengan selang nasogastrik atau selang
lambung, dipertahankan sampai fungsi usus pulih. Pada kebanyakan kasus
selang makan, jejunustomi dipasang sebelah distal dari tempat yang
diperbaiki. Selang pemberi makan dapat dipasangkan segera pasca operasi.
Dengan ditingkatkannya konsentrasi dan frekuensi pemberian makan secara
bertahap, maka pengkajian secara berkala terhadap tanda- tanda intolerans
(distensi, muntah) adalah penting. Karena lambung dan usus halus
mengandung jumlah bakteri yang signifikan, maka resiko terhadap sepsis
adalah kecil, namun pemberian antibiotic profilaktik dapat dilakukan kapan
saja terjadi perforasi usus. Pada sisi lain, getah asam lambung mengiritasi
peritoneum dan dapat menyebabkan peritonitis. Potensial komplikasi lainnya
termasuk perdarahan pasca operasi, hipovolemia karena “spasium ketiga”,
serta timbulnya fistula atau obstruksi. Beberapa dari keadaan ini
mengharuskan adanya tindakan pembedahan tambahan. Sindrom
malabsorpsi jarang terjadi kecuali jika lebih dari 200 cm usus telah diangkat.
b) Cedera pada duodenum dan pancreas
Pancreas dan duodenum akan dibahas bersama-sama karena keduanya
adalah organ-organ retroperitoneal dan secara anatomi dan fisiologi
mempunyai hubungan yang dekat. Diperlukan kekuatan yang besar untuk
mencerai organ-organ ini, karena organ-organ ini terlindung dengan baik,
jauh di dalam abdomen. Cedera pada organ yang berdekatan hampir selalu
ada. Letak retroperitoneal membuat cedera ini sulit untuk didiagnosa karena
LPD sering negative, oleh karena itu CT scan abdomen sangat penting untuk
keadaan ini. Tanda-tanda dan gejala-gejala dapat mencakup abdomen akut,
peningkatan kadar amylase serum, nyeri epigastrik yang menjalar ke
punggung, mual, dan muntah.
Laserasi minor atau kontusio hanya akan memerlukan pemasangan drain,
sedangkan luka-luka besar memerlukan perbaikan pembedahan. Kebanyakan
cedera pankreatik akan membutuhkan drain pasca operasi untuk menghindari
pembentukan fistula. Pankreatektomi distal atau anstomosis Roux-en-Y
adalah dua prosedur yang umum dilakukan pada cedera tubuh dan bagian
ekor pancreas. Adakalanya limpa juga harus diangkat karena banyaknya
perlekatan vascular. Kerusakan pada kaput pancreas berkaitan dengan cedera
duodenal dan hemoragi hebat karena kedekatan dari struktur vascular.
Prosedur pembedahan yang dilakukan pada kasus- kasus ini termasuk
pankreotikoduodenektomi, anastomosis ROUX-en-Y, dan pada keadaan
yang langka dilakukan pankreatektomi total.
Pengkajian dan asuhan keperawatan pasca operasi adalah sama untuk
berbagai prosedur. Patensi drain harus dipertahankan dan pasien dipantau
terhadap timbulnya fistula. Perlindungan terhadap kulit adalah penting jika
fistula sudah terbentuk, karena tingginya kandungan enzim dari getah
pankreatin. Pengkajian keseimbangan cairan dan elektrolit adalah penting
karena fistula pankreatik mengakibatkan kehilangan cairan juga kalium dan
bikarbonat. Stimulasi pancreas dapat dikurangi dengan pemberian
hiteralimentasi parental atau pemberian makanan jejuna daripada diet oral.
Awitan diabetes mellitus jarang terjadi kecuali jika dilakukan
pankreatektomi total. Komplikasi lainnya termasuk perdarahan dari fistula
yang mengikis ke dalam pembuluh, peritonitis, sepsis intraabdominal atau
sistemik, pancreatitis, dan obstruksi usus mekanis.
Cedera pada duodenum sendiri dapat disembuhkan dengan anastomosis
primer atau Billroth II. Selang duodenostomi mungkin dipasang untuk
dekompresi dan selang jejunustomi untuk pemberian makanan. Trauma
tumpul pada duodenum juga dapat menyebabkan hematoma intramural, yang
dapat mengarah pada obstruksi duodenal. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan diatrizoate (Gastrografin) gastrointestinal atas. Obstruksi
menyeluruh umumnya memerlukan drainase pembedahan dari hematoma.
c) Cedera pada kolon
Cedera pada kolon biasanya berkaitan dengan trauma penetrasi. Sifat dari
cedera paling sering menuntut segera dilakukannya operasi eksplorasi.
Perbaikan primer adalah tindakan pilihan untuk laserasi kolon. Pada
beberapa keadaan, perlu dilakukan perbaikan eksterior atau kolostomi.
Selang sekostomi bisa dipasang untuk dekompresi. Jaringan subkutan dan
kulit pada tempat insisi mungkin dibiarkan terbuka untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya infeksi luka. Kolon mempunyai jumlah bakteri yang
tinggi, tumpahnya isi kolon dapat mencetuskan terjadinya sepsis intra
abdominal dan pembentukan abses.
Asuhan keperawatan pasca operasi difokuskan pada pencegahan infeksi.
Penggantian balutan penting untuk insisi terbuka dan biasanya diberikan
antibiotic profilaktik. Pada kasus perbaikan kolon eksterior dan dilakukan
anastomosis ujung ke ujung eksterior untuk memudahkan identifikasi
kebocoran. Kolon eksterior harus dijaga agar tetap lembab dan ditutup
dengan balutan yang tidak melekat atau kantung untuk melindungi integritas
jahitan. Karena sepsis adalah komplikasi utama pada cedera kolon, mungkin
diperlukan serangkaian prosedur radiografi dan pembedahan untuk
menemukan dan mengalirkan abses.
d) Cedera pada hepar
Setelah limpa, hepar adalah organ abdomen yang paling umum
mengalami cedera. Baik trauma tumpul maupun trauma penetrasi dapat
menyebabkan cedera. Pasien dalam persentase yang kecil dapat ditangani
non operasi dengan serangkaian CT scan. Pada banyak kasus, baik sifat dari
cedera atau LPD positif atau CT scan digabung dengan kondisi klinis pasien
akan menuntut dilakukannya pembedahan. Trauma hepatic dapat
menyebabkan kehilangan banyak darah ke dalam peritoneum, namun
perdarahan dapat berhenti secara spontan. Laserasi kecil dperbaiki,
sedangkan cedera lebih besar dapat memerlukan reseksi segmental atau
debridement. Pada kasus hemoragi tak terkontrol, hepar dibungkus. Setelah
dibungkus, abdomen ditutup atau hanya ditutup dengan penutup (mesh).
Prosedur pembedahan tambahan diperlukan dalam beberapa hari kemudian
untuk mengangkat pembungkus dan memperbaiki laserasi. Cedera besar
pada hepar juga memerlukan drainase empedu dan darah pasca operasi
melalui drain (Penrose, Davol, atau Jackso-Pratt).
Setelah pembedahan, mungkin timbul syok hipovolemik dan
koagulapati. Hemostatis inkomplit juga mungkin terjadi dan harus dibedakan
dari perdarahan akibat koagulopati. Perdarahan hebat karena hemostatis
inkomplit mengharuskan kembali ke ruang operasi untuk pengangkatan
bekuan, pembungkusan, dan perbaikan tambahan. Dengan koagulopati,
perdarahan timbul dari berbagai tempat, sedangkan dengan hemostatis
inkomplit
perdarahan terutama berasal dari tempat pembedahan. Asuhan keperawatan
termasuk penggantian produk darah sambil memantau hematokrit dan
pemeriksaan koagulasi. Pengkajian tipe dan jumlah selang drainase disertai
keseimbangan cairan, juga adalah penting. Potensial komplikasi dari cedera
hepar termasuk abses hepatic atau perihepatik, obstruksi atau kebocoran
saluran empedu, sepsis, ARDS, dan KID.
e) Cedera pada limpa
Limpa adalah organ abdomen yang paling umum mengalami cedera,
lebih sering sebagai akibat trauma tumpul. Adanya fraktur iga kiri bawah
dapat meningkatkan kecurigaan terhadap cedera limpa. Tanda-tanda dan
gejala- gejala yang ditunjukkan termasuk dukungan nutrisi parenteral.
Diberikan transfuse darah berulang, namun hematokrit dan tekanan darah
sistolik tetap rendah (Ht = 20-25%, TDS = 90 mmHg). Perdarahan internal
berkelanjutan mengharuskan pasien kembali ke ruang operasi untuk tindakan
debridement dan pembungkusan ulang hepar. Sampai hari berikutnya,
perdarahan berhasil diatasi. Pembungkus lalu dilepaskan, laserasi liver dapat
diperbaiki dan dipasang selang drain.
Pada hari berikutnya, timbul tanda-tanda dan gejala-gejala sepsis pada
pasien, termasuk kenaikan suhu dan jumlah sel darah putih, takikardia,
takipnea, peningkatan curah jantung, penurunan tahanan vascular sistemik,
dan penurunan tingkat kesadaran. Biakan diperoleh dan pemberian antibiotic
dimulai. Kemudian berkembang ARDS dan GGA, meningkatkan kebutuhan
dukungan ventilator dan hemodialisis.
Asuhan keperawatan intensif perlu untuk mengatasi gangguan yang ada
dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Dukungan psikososial bagi pasien
dan keluarganya juga diberikan. Setelah prosedur pembedahan ketiga untuk
debridement jaringan nekrotik dan mengalirkan abses perihepatik, akhirnya
pasien mulai membaik. Beberapa minggu kemudian, dukungan dialysis dan
ventilator dihentikan. Dua bulan setelah masuk rumah sakit, pasien keluar
dari unit rawat intensif, dan tiga minggu kemudian diperbolehkan pulang.
2.6.6 Trauma Pelvik
a) Cedera pada Kandung Kemih
Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau pecah, paling sering
sebagai konsekuensi trauma tumpul. Cedera pada kangdung kemih sering
kali berhubungan dengan fraktur pelvik.adanya hematuria (nyata atau
mikroskopik), nyeri abdomen bawah, atau tidak mampuan berkemih
memerlukan pemeriksaan terhadap cidera uretra dengan uretrogram
retrograd sebelum pemasangan kateter urine. Cidera pada kandung kemih
dapat mennyebabkan ekstravasasi urine intraperitonial atau ekstraperitoneal.
Ekstravasi ekstraperitoneal sering dapat ditangani dengan drainase kateter
urine . ektravasi intraperitoneal, bagaimanapun memerlukan pembedahan.
Mungkin dipasang selang sistostomi suprapubik . komplikasi jarang tejadi
infeksi karena kateter urine atau sepsis akibat ekstra vasasi urine.
b) Fraktur Pelvik
Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan mortalitas yang tinggi.
Hemoragi sekunder adalah penyebab yang paing sering dari kematian dini,
sedangkan sepsis menyebabkan penundaan mortalitas. Radiografi dan scan
CT dapat memastikan adanya dan menentukan tingkat fraktur pelvik. Fraktur
pelvik sering sering menyebabkan laserasi pembuluh – pembuluh kecil yang
mengeluarkan darah ke dalam jaringan lunak pada rongga retroperineal.
Areal ini meluas dari difragma sampai ke pertengahan paha dan akan
menampung beberapa liter darah sebelum terjadi tamponade. Angiogram
sering kali diperlukan untuk menemukan letak dan menyumbat sumber
darah. Control terhadap hemoragi merupakan pokok permasalahan primer.
PASG mungkin dipasang pada fase prarumah sakit atau di unit gawat
intensif. PASG dapat membantu membelat pelvis dan tamponade hemoragi,
karena PASG menurunkan volume tidal, maka ada kemungkinan dibutuhkan
bantuan ventilator mekanik. Fiksasi internal atau eksternal adalah lebih
efektif dalam menstabilkan fraktur juga dalam mengontrol perdarahan. selain
itu, fiksasi dini mengurangi nyeri dan membantu ambulasi lebih dini.
Pembedahan untuk mengontrol hemoragi mungkin juga diperlukan.
Perhatian utama dari perawat unit perawatan kritis adalah untuk
mencegah syok hemoragi. Tranfusi multiple dan pemantauan hemodinamik
diperlukan dalam kasus hemoragi yang signifikan. Hematoma pelvik dapat
menjadi sumberdari sepsis dan dapat memerlukan drainase perkuata atau
pembedahan. Komplikasi utama lain dari fraktur pelvik termasuk
keterlibatan saraf pelvik dan emboli pulmonal. Penting untuk dilakukan
terapi fisik yang berkepanjangan dan rehabilitasi yang sering.
2.6.7 Trauma pada Ekstremitas
a) Fraktur
Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang jarang pada trauma
penetrasi. Manakalah radiografi sudah memastikan adanya fraktur, maka
harus dilakukan stabilitas atau perbaikan fraktur. Karena prosedur ortopedik
akan memakan banyak waktu,sehingga cidera lain yang mengancam jiwa
harus terlebih dahulu di atasi, dan operasi perbaikan dapat di tunda sampai
masalah itu teratasi. Fiksasi internal fraktur sering memungkinkan ambulasi
dini pada pasien dengan cidera multiple yang mungkin akan mengalami
komplikasi akibat tirah baring berkepanjangan (ulkus dekubitus, emboli
pulmonal, penyusutan otot). Penatalaksanaan fraktur juga dapat dikerjakan
dengan fiksasi eksternal atau traksi skeletal. fraktur terbuka akan
memerlukan debridemen dengan pembedahan. Tanggung jawab keperawatan
termasuk pengkajian neurovaskular, sejalan dengan perawatan lika dan pin.
Fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi. Potensial
komplikasi lainnya adalah emboli lemak dari fraktur tulang panjang dan
sindom kompartemen. Asuhan keperawatan harus di arahkan terhadap
pencegahan dan deteksi dini tentang masalah – masalah ini. Perawat juga
harus bekerja sama dengan terapis fisik untuk meningkatkan kekuatan dan
mobilisasi dini.
b) Dislokasi
Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat. Dislokasi mudah
dikenali karena adanya perubahan dari anatomi yang normal. Dislokasi sendi
umumnya tidak mengancam jiwa, tapi memerlukan tindakan darurat karena
apabila tidak dilakukan tindakan secepatnya, akan menyebabkan gangguan
pada daerah distal yang mengalami dislokasi. Sangat sulit diketahui apakah
fraktur disertai dengan dilokasi atau tidak, maka sangat penting untuk
mengetahui denyut nadi, gerakan dan gangguan persyarafan distal dari
dislokasi. Kebanyakan tindakan yang baik untuk klien adalah menyangga
dan meluruskan ekstremitas ke posisi yang lebih menyenangkan untuk klien
dan membawanya ke pelayanan kesehatan yang terdapat fasilitas ortopedi
yang baik.
2.6.8 Cedera vascular
Cedera vaskular seringkali mengakibatkan perdarahan atau trombosis
pembuluh. Cedera vaskular biasanya disebabkan oleh trauma penetrasi, dan
kurang sering karena fraktur. Ultrasonografi doppler seing digunakan untuk
mendiagnosa cedera vascular perifer. Angiogram juga dapat digunakan untuk
menetukan tempat cedera dan mengidentifikasi fistula arteriovenosa,
psudoaneurisme, dan penutupan intima. Dilakukan perbaikan pembedahan
primer atau tandur vaskular. Segera setelah periode pascaoperasi, terdapat resiko
perdarahan berlanjut atau oklusi trombotik dari pembuluh keduannya
mengharuskan kembali kekamar operasi. Perawat harus mengkaji nadi distal,
warna kulit, sensasi gerakan , dan suhu ekstrimitas yang cedera. Indeks ankel –
brakial (ABI) serinkali berguna dalam mendeteksi perkembangan oklusi setelah
trauma ekstrimitas bawah. Untuk meghitung nilai ABI, tekanan darah sistolik
pada pergelangan kaki di bagi dengan tekanan darah sistolik lengan . penurunan
ABI menunjukkan peningkatan gradien tekanan yang menembus pembuluh.
Metoda ini memberikan data yang lebih objektif ketimbang hanya meraba nadi.
Perawat juga harus memperhatikan perkembangan sindrom kompartemen.

2.7 KOMPLIKASI MULTIPLE TRAUMA


1) Penyebab kematian dini (dalam 72 jam)
a) Hemoragi dan cedera kepala
Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab utama kematian dini
setelah trauma multiple. Untuk mencegah kehabisan darah, maka
perdarahan harus dikendalikan. Ini dapat diselesaikan dengan operasi ligasi
(pengikatan)
dan pembungkusan, dan embolisasi dengan angiografi. Hemoragi
berkelanjutan memerlukan tranfusi multiple, sehingga meningkatkan
kecenderungan terjadinya ARDS dan DIC. Hemoragi berkepanjangan
mengarah pada syok hipovolemik dan akhirnya terjadi penurunan perfusi
organ.
Mekanisme yang mengarah pada penurunan perfusi jaringan :
Faktor penyebab (seperti , penurunan volume, pelepasan

toksin)
Penurunan isi secukup

Penurunan curah jantung

Penurunan perfusi jaringan yang tidak sama

Berbagai organ memberikan respon yang berbeda terhadap


penurunan perfusi yang disebabkan oleh syok hipovolemik.

2) Lambat Kematian (Setelah 3 Hari)


a) Sepsis
Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma multiple.
Pelepasan toksin menyebabkan dilatasi pembuluh, yang mengarah pada
penggumpalan venosa yang mengakibatkan penurunan arus balik vena.
Pada mulannya, curah jantung mengikat untuk mengimbangi penurunan
tekanan vaskular sistemik. Akhirnya, mekanisme kompensasi terlampaui
dan curah jantung menurun sejalan dengan tekanan darah dan perfusi.
Sumber infektif harus ditemukan dan di basmi. Diberikan antibiotik,
dilakukan pemeriksaan kultur, mulai dilakukan pemeriksaan radiologok,
operasi eksplorasi sering dilakukan. Abses intra abdomen merupakan
penyebab sepsis paling sering . Sebagaian abses dapat keluarkan perkuatan,
sedangkan yang lainnya memerlukan pembedahan. Setelah pembedahan
drainase abses abdomen, insisi di biarkan terbuka, dengan drainase
terpasang, untuk memungkinkan penyembuhan dan menghindari
kekambuhan .sumber – sumber infeksi lainnya yang perlu diperhatikan
adalah selang invasif, saluran kemih, dan paru – paru. Di perkirakan bahwa
pemberian nutrisi yang dini dapat menurunkan perkembangan sepsis dan
gagal organ multiple.

2.8 PEMERIKSAAN MUTIPLE TRAUMA


2.8.1 Pemeriksaan Diagnostik
a) Trauma Tumpul
1. Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang
bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya, dan dianggap 98
% sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan
oleh team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan
hemodinamik yang abnormal,terutama bila dijumpai :
a. Perubahan sensorium trauma capitis, intoksikasi alcohol,
kecanduan obat - obatan.
b. Perubahan sensasi trauma spinal.
c. Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.
d. Pemeriksaan diagnostik tidak jelas.
e. Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam
waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal,
pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiografi.
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal
nilai dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas
USG ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah
adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi relative
antara lain adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity,
shirrosis yang lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa
dipakai tekhnik terbuka atau tertutup (Seldinger) di infraumbilikal
oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu
hamil, lebih baik
dilakukan supraumbilikal untuk mencegah kita mengenai hematoma
pelvisnya ataupun membahayakan uterus yang membesar. Adanya
aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu
yang keluar, melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang
abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada
darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan lavase dengan
1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg). Sesudah cairan
tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan
ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi
gastrointestinal, serat maupun empedu (American College of Surgeon
Committee of Trauma, 2004 : 149-150).
Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm3,
leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri
atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau
lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah
5000/mm3 atau lebih (Scheets, 2002 : 279-280).
2. FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG
untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan
khusus di tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki
sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan
intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen
Ultrasound memberikan cara yang tepat, noninvansive, akurat dan
murah untuk mendeteksi hemoperitorium, dan dapat diulang
kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside
dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan
beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi
pemakaiannya sama dengan indikasi DPL (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150).
3. Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang
mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk
mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di
diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL (American
College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151).
b) Trauma Tajam
1. Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada
diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan
fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi, laparoskopi maupun
pemeriksaan CT scan.
2. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL
pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik
(kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang
tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam, DPL
maupun laroskopi diagnostik.
3. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau
triple contrast pada cedera flank maupun punggung. Untuk pasien yang
asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik serial,
CT dengan double atau triple contrast, maupun DPL. Dengan
pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang mula-mula
asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh ketajaman
terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun intraperineal
untuk luka dibelakang linea axillaries anterior (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151).
2.8.2 Pemeriksaan penunjang
1. Radiologi
a) Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul.
b) Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan
pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma.
Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah tegak dan lateral
decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah
diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau
ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan laparatomi.
Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera
retroperitoneal.
2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas umbilicus
atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan hemodinamik yang
abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan
kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya
udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal,
pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka tembak
dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal
pada rontgen foto abdomen tidur.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
b) Penurunan hematokrit/hemoglobin
c) Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat, SGPT, SGOT
d) Koagulasi : PT, PTT
4. MRI
5. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic
6. CT Scan
7. Scan limfa
8. Ultrasonogram
9. Peningkatan serum atau amylase urine
10. Peningkatan glucose serum
11. Peningkatan lipase serum
12. DPL (+) untuk amylase
13. Peningkatan WBC
14. Peningkatan amylase serum
2.9 PENCEGAHAN MULTIPLE TRAUMA
No Jenis Trauma Pencegahan Primer Pencegahan Sekunder Pencegahan
Terserier
1 Trauma kepala Upaya yang 1. Penanganan segera 1. Pada cedera
dan wajah dilakukan perawat secara cepat dan kepala ringan
untuk pencegahan tepat pada a. Klien harus
primer yaitu penderita multiple didampingi
melakukan trauma, pada oleh
penyuluhan kepada cedera otak: seseorang
masyarakat luas a. Pertahankan selama
melalui Lembaga kepala harus waktu 24
sosial lainnya. berada dalam jam
Program penyuluhan posisi garis b. Sesudah
diarahkan tengah cedera
kepenggunaan helm b. Berikan jangan
saat mengemudi sedative untuk minum
kendaraan bermotor, mengatasi minuman
anak anak yang agitasi, ventlasi beralkohol.
masih balita selalu mekanis Beristirahat
diawasi oleh c. Berikan obat selama 24
orangtua, jangan untuk jam
mengemudikan menghentikan berikutnya
kendaraan pada kejang : c. Jangan
kecepatan tinggi benzodiazepin mengemudi
d. Tindakan kan
untuk kendaraan,
menurunkan mengopersik
TIK an mesin.
2. Pencegahan
komplikasi akut
dan kronis
a. Cegah
pendarahan
yang hebat

2 Trauma thoraks Sama dengan yang 1. Tindakan untuk -


dan leher diatas mengeluarkan
cairan yang massif
lewat chest tube
2. Bebaskan jalan
napas dengan
mengatur posisi
mandibula yang
tepat

3 Trauma Sama dengan yang Lakukan pemeriksaan Pada trauma limfa:


abdomen diatas fisik secara cermat 1. Imunisasi rutin
dengan vaksin
pneumucocus,
dilakukan pada
pasien yang
baru menjalani
splenektomi
yang baru
pulang dari
RS, untuk
mengurangi
resiko
overwhelming
potsplenectom
y infection
(OPSI)
2. Pada pasien
yang
mengalami
hematoma
limpa
subcapsular
menghindari
aktivitas yang
berat dan
olahraga fisik
selama kurang
lebih 3 bulan
untuk
mencegah
terjadinya
perdarahan
ulang yang
menyebabkan
rupture limpa
Pada pasien yang
megalami cedera
colon:
1. Pasien harus
diberikan
profillaksis
antibiotic
parenteral
untuk
mengatasi
kuman kuman
seperti
Escherichia
coli.
Pada cedera
vascular abdomen
: Tindakan untuk
mencegah
hipotermi
a. Menghangat
kan semua
cairan infus
kritaloid dan
darah
b. Menggunakan
rangkaian
proses
pemanasan
c. lewat
ventilator
d. Memberikan
selimut
e. Memasang
lampu
menutup
kepala pasien

4 Trauma tulang Sama dengan yang 1. Pasien harus -


belakang diatas diimobilisasi
2. Stabilisasi kepala
dengan
memfiksasinya
dalam posisi
segaris dan
memerintahkan
kepada pasien
untuk tidak
menggerakkan
leher atau
kepalanya
3. Pengkajian fungsi
motoric dan
sensorik
4. Bantuan langsung
untuk memasang
serta mengunci
kollar servical
yang kaku sesuai
dengan ukuran,
menggulingkan
tubuh pasien satu
garis ke sisi
tubuhnya serta
memasang papan
punggung dan
mengikat tali
papan punggung
serta alat
penyangga kepala
dan pita nya.
5. Cegah hipoksia
dengan
mempertahankan
saturasi oksigen
yang melebihi 90%
dan nilai
hematokrit yang
melebihi 30%

5 Trauma Sama dengan yang 1. Untuk 1. Untuk


muskuloskeletal diatas mengendalikan menangani
perdarahan avulsi yaitu :
lakukan penekanan a. Memantau
langsung (turniket) dan
2. Apabila benda mengendal
yang menancap ikan
maka harus perdarahan
distabilkan dengan dengan
metode apa saja, penekanan
sehingga langsung
mencegah trauma b. Imobilasi
lebih lanjut fraktur
3. Imobilisasi fraktur 2. Pembidaian
4. Pembidaian bagian dengan
atas dan bawah pemasangan
fraktur, meliputi bantalan untuk
persendian mencegah
proksimal dan disrupsi kulit
distal yang lebih
5. Pada pasien yang lanjut.
fraktur pembatasan 3. Perawatan gips
aktivitas yang harus
sederhana dengan
penggunaan mitela disampaikan
dan kruk serta dan dicatat.
reposisi tertutup 4. Pasien yang
diikuti oleh menggunakan
pemasangan gips. kruk harus
mengajarkan
cara berjalan
yang tepat.

2.10 PENATALAKSANAAN MULTIPLE TRAUMA


Menurut NCCEP (2009) penatalaksanaan yang dilakukan adalah :
a) Penanganan pasien multiple trauma
Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan
pasien dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah
mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran udara secara efektif, dan
mengontrol pendarahan. Kematian akibat trauma memiliki pola distribusi
trimodal. Puncak morbiditas pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit
setelah cedera. Kematian ini diakibatkan gangguan pada jantung atau pembuluh
darah besar, otak, atau saraf tulang belakang. Cedera seperti ini sangat parah
dan jumlah pasien yang dapat diselamatkan relatif kecil. Puncak kedua
kematian terjadi dalam hitungan menit sampai jam sesudah trauma terjadi.
Kematian dalam periode ini terjadi pada umumnya karena memar intrakranial
atau pendarahan yang tidak terkontrol akibat patah tulang panggul, robekan
pada solid organ (organ padat) atau beberapa luka. Perawatan yang diterima
dalam satu jam pertama (golden period) sesudah cedera sangat penting untuk
mempertahankan nyawa pasien (NCCEP, 2009).
The Trauma Nursing Core Course (TNCC) dan Advanced Trauma Life
Support (ATLS) menggunakan pendekatan primary dan secondary survey.
Pendekatan ini berfokus pada pencegahan kematian dan cacat pada jam-jam
pertama setelah terjadinya trauma. Puncak morbiditas ketiga terjadi beberapa
hari sampai minggu sesudah trauma. Kematian pada periode ini terjadi karena
sepsis, kegagalan beberapa organ dan pernapasan, atau komplikasi lain. Oleh
karena kerumitan, keparahan cedera, serta kebutuhan akan evaluasi dan
intervensi secara bersamaan, pasien yang mengalami multipel trauma
memerlukan tindakan dari tim yang terkoordinasi untuk menyelamatkan
pasien. Pemimpin dalam tim mengamati jalannya usaha penyelamatan pasien.
Komposisi tim berbeda-beda dari tempat ke tempat yang lain, terapi biasanya
terdiri atas paling tidak satu satu dokter, satu perawat, dan petugas perawat
tambahan (NCCEP, 2009).
The Trauma Nursing Core Course (TNCC) dan Advanced Trauma Life
Support (ATLS) menggunakan pendekatan primary dan secondary survey
sebagai berikut :
1. Survey primeri (Primery survey)
Penilaian awal pasien trauma terdiri atas survei primer dan survei
sekunder. Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan dan menyediakan
metode perawatan individu yang mengalami multiple trauma secara
konsisten dan menjaga tim agar tetap terfokus pada prioritas perawatan.
Masalah-masalah yang mengancam nyawa terkait jalan napas, pernapasan,
sirkulasi, dan status kesadaran pasien diidentifikasi, dievaluasi, serta
dilakukan tindakan dalam hitungan menit sejak datang di unit gawat
darurat. Kemungkinan kondisi mengancam nyawa seperti pneumothoraks,
hemotoraks, flail chest, dan pendarahan dapat dideteksi melalui survei
primer. Ketika kondisi yang mengancam nyawa telah diketahui, maka dapat
segera dilakukan intervensi yang sesuai dengan masalah/ kondisi pasien.
Pada survei primer terdapat proses penilaian, intervensi, dan evaluasi
yang berkelanjutan. Komponen survei primer adalah sebagai berikut :
A : Airway (jalan napas)
B : Breathing (pernapasan)
C : Circulation (sirkulasi)
D : Disability (defisit neurologis)
E : Exposure and environmental control (pemaparan dan kontrol lingkungan)
2. Survey Sekunder (Sekundery survey)
Setelah dilakukan survei primer dan masalah yang terkait dengan jalan
napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran telah selesai dilakukan
tindakan, maka tahapan selanjutnya adalah survei sekunder. Pada survei
sekunder pemeriksaan lengkap mulai dari head to toe. Berbeda dengan
survei primer, dalam pemeriksaan survei sekunder ini apabila didapatkan
masalah, maka tidak diberikan tindakan dengan segera. Hal-hal tersebut
dicatat dan diprioritaskan untuk tindakan selanjutnya. Jika pada saat
tertentu, pasien tiba-tiba mengalami masalah jalan napas, pernapasan
atau sirkulasi, maka segera lakukan survei primer dan intervensi sesuai
dengan indikasi. Mnemonic yang digunakan untuk mengingat survei
sekunder ialah huruf F ke I.
F : Full Set of Vital Signs, Five Interventions, and Facilitation of Family
Presence (Tanda-tanda vital, 5 intervensi, dan memfasilitasi kehadiran
keluarga)
Tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
sebagai berikut :
a. Pemeriksaan X-ray pada tulang belakang (leher, toraks, pinggang).
b. CT scan tulang belakang
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN KASUS


Seorang laki-laki berusia 30 tahun dibawa ke IGD Sebuah rumah Sakit oleh tim
ambulance PSC 119 karena mobil yang kendarainya menabrak mobil lain dan
terguling, pasien saat ditemukan berada di posisi pengemudi, pasien mengalami
benturan di kepala dan dada. Pada pemeriksaan breathing didapatkan data saat di
auskultasi suara nafas redup atau tidak terdengar pada sisi yang sakit, saat
diperkusi terdapat hipersonor, terdapat peningkatan JVP, terdapat hematom pada
daerah kepala, Tensi : 90/60 mmHg, Nadi; 90x/menit, RR; 26x/menit.

A. PENGKAJIAN
Tanggal masuk : Tidak terkaji
Tanggal pengkajian : Tidak terkaji

Identitas Klien
Nama : Tn. X
Umur : 30 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : Tidak terkaji
Dx Medis : Multiple Trauma
No. RM : Tidak terkaji

Identitas penanggung jawab


Nama : Tidak terkaji
Umur : Tidak terkaji
Jenis kelamin : Tidak terkaji
Alamat : Tidak terkaji
Hub. Dengan klien : Tidak terkaji
1. Pengkajian Primer
a. Circulation
Nadi : 90x/menit, teraba lemah, irama tidak teratur
Perdarahan : Tidak ada
Perfusi/CRT : Terdapat hipersonor, peningkatan JVP, hematom
pada daerah kepala
Sianosis : Tidak ada
TD : 90/60 mmHg
Suara Jantung : Tidak ada
b. Airway
1. Look (Melihat obstruksi jalan nafas)
Obstruksi jalan nafas : Tidak ada
2. Listen (Mendengarkan suara jalan nafas)
suara nafas redup atau tidak terdengar pada sisi yang sakit
3. Feel (Meraba)
Hembusan udara : Tidak ada
Deviasi trachea : Tidak ada
c. Breathing
1. Look (Lihat pergerakan dada)
Pengembangan dada : RR; 26x/menit
2. Listen (Mendengarkan suara pernafasan)
Saat di auskultasi suara nafas redup atau tidak terdengar pada sisi
yang sakit
3. Feel (Meraba)
Saat diperkusi terdapat hipersonor, terdapat peningkatan JVP
d. Disability
1. Kesadaran : Tidak ada
2. GCS : Tidak ada
3. Pupil : Tidak ada
4. Papil edema : Tidak ada
5. Lateralisasi : Tidak ada
e. Exprosure
Tidak terkaji

2. Pengkajian Sekunder
a. Anamnesa
1. Riwayat penyakit saat ini
Pasien mengalami benturan di kepala dan dada.
2. Alergi
Riwayat alergi (-)
3. Medikasi
Riwayat medikasi (-)
4. Riwayat penyakit sebelumnya
Tidak terkaji
5. Makan minum terakhir
Tidak terkaji
6. Peristiwa penyebab
Seorang laki-laki berusia 30 tahun dibawa ke IGD Sebuah
rumah Sakit oleh tim ambulance PSC 119 karena mobil yang
kendarainya menabrak mobil lain dan terguling, pasien saat
ditemukan berada di posisi pengemudi, pasien mengalami benturan
di kepala dan dada.
7. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 90x/menit
RR : 26x/menit
Suhu : Tidak ada

3. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala dan leher
a. Inspeksi : Tidak terkaji
b. Palpasi : peningkatan PVJ
2) Dada
a. Paru-paru
Inspeksi : tidak ada
Palpasi : tidak ada
Auskultasi : suara nafas redup atau tidak
terdengar pada sisi yang sakit
Perpusi : hipersonor
b. Jantung
Inspeksi : tidak ada
Palpasi : tidak ada
Auskultasi : tidak ada
Perkusi : tidak ada
c. Abdomen
Inspeksi : tidak ada
Palpasi : tidak ada
Auskultasi : tidak ada
Perkusi : tidak ada
d. Pelvis
Inspeksi : tidak ada
Palpasi : tidak ada
Auskultasi : tidak ada
Perkusi : tidak ada
e. Ekstremitas
Ekstremitas atas
Inspeksi : tidak ada
Palpasi : tidak ada
Ekstremitas bawah
Inspeksi : tidak ada
palpasi : tidak ada
f. Punggung
Tidak terkaji
g. Neurologis
Tidak terkaji

4. Pemeriksaan diagnostic
1. Rontgen : Tidak terkaji
2. CT-Scan : Tidak terkaji
3. USG : Tidak terkaji
4. EKG : Tidak terkaji
5. Endoskopi : Tidak terkaji
6. Lain-lain : Tidak terkaji

B. ANALISA DATA
Data Etiologic Masalah
DS : - Kecelakaan lalu Gangguan pertukaran
DO : lintas gas berhubungan
1. TTV dengan
RR : 26x/mnt Multiple trauma ketidakseimbangan
N : 90x/mnt trauma thorax perfusi ventilasi
TD : 90/60 mm/Hg tumpul tension
S :- pneumothorax
2. Pada pemeriksaan mendesak
perkusi dada terdengar paru unilateral
bunyi hipersonor

penurunan
ventilasi (15-
20%)

pergeseran
mediastinum
kearah
kontralateral

Kapasitas ventilasi
menurun

Sesak nafas

DS : - Kecelakaan lalu lintas Nyeri akut


DO : berhubungan
1. TTV Multiple trauma dengan agen cedera fisik
RR : 26x/mnt (trauma)
N : 90x/mnt
Trauma thorax
TD : 90/6mm/Hg
tumpul
S :-
2. Terdapat nyeri
Fraktur iga
tekan pada dada

Stimulasi saraf nyeri

Nyeri dada

DS : - Kecelakaan lalu Resiko syok


DO : lintas berhubungan dengan
1. TTV hipoksia
RR : 26x/mnt Multiple trauma
N : 90x/mnt
TD : 90/60 mm/Hg
Trauma thorax
S :-
tumpul
2. Terdapat hematom
didaerah kepala Tension
pneumothorax

Hipoperfusi jaringan

Oksigen tidak cukup

Resiko syok

DS : - Kecelakaan lalu Ansietas berhubungan


DO : lintas dengan status Kesehatan
1. Pasien tampak cemas
2. TTV Multiple Trauma
RR : 26x/mnt
N : 90x/mnt
ansietas
TD : 90/60 mm/Hg
S :-

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma)
3. Resiko syok berhubungan dengan hipoksia
4. Ansietas berhubungan dengan status Kesehatan
D. RENCANA/INTERVENSI ASUHAN KEPERAWATAN

No. Diagnosa Keperawatan Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional

1. Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan Respiratory Monitoring Respiratory Monitoring
berhubungan dengan ketidak- asuhan keperawatan 5 menit 1. Monitor tanda-tanda 1. Mengetahui keadaan umum
seimbangan perfusi ventilasi diharapkan gangguanpertukaran vital normal pasien.
gas teratasi. Dengan kriteria hasil : 2. Buka jalan nafas dengan cara 2. Posisi memudahkan membuka
1. TTV dalam batas teknik chint lift atau juw jalan nafas pasien
normal RR : 16 – 24 thrust 3. Mengetahui adanya suara nafas
x/menit 3. Auskultasi suara nafas, catat tambahan
N : 80 – 100 x/menit adanya suara tambahan 4. Mengetahui pemenuhan
TD : 120/90 mmHg S : 4. Monitor saturasi oksigen kebutuham saturasi oksigen
35-37ºC Fluid / Electrolyte Management
2. Tidak ada sianosis Fluid / Electrolyte Management 1. Mengetahui apakah ada sianosis
3. SpO2 dalam batas normal 1. Observasi sianosis khususnya yang terjadi pada pasien
(90 – 100%) membrane mukosa
4. Status perfusi
ventilasi seimbang

49
2. Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan asuhan Pain Management Pain Management
agen cedera fisik (trauma) keperawatan 5 menit diharapkan 1. Monitor tanda-tanda vital 1. Mengetahui keadaan umum
pasien tidakmengalami nyeri. 2. Monitor nyeri : lokasi, pasien
Dengan kriteria hasil : karacteristik, frekuensi, 2. Mengetahui nyeri yang dialami
1. Tanda-tanda vital dalam batas kualitas, intensitas pasien
normal 3. Observasi tentang 3. Mengetahui adanya
RR : 16 – 24 x/menit ketidaknyamanan ketidaknyaman yang dialami
N : 80 – 100 x/menit 4. Anjurkan pasien 4. Memberi kesempatan pasien
TD : 120/90 mmHg mengungkapkan pengetahuan untuk mengungkapkan
S : 35 – 37ºC dan keyakinan tetntang nyeri pengetahuannya
2. Mampu mengontrol nyeri 5. Latih untuk relaksasi nafas 5. Untuk mengurangi rasa nyeri di
3. Melaporkan bahwa dalam alami pasien
nyeri berkurang 6. Kolaborasi pemberian analgetik 6. Untuk mengurangi tingkat nyeri
4. Mampu mengenali nyeri Pasien

3. Resiko syok berhubungan Setelah dilakukan tindakan Shock Management Shock Management
dengan hipoksia asuhan keperawatan 3 menit 1. Monitor tanda-tanda vital 1. Mengetahui keadaan umum
diharapkan pasien tidak 2. Monitor respirasi saturasi O2 klien
mengalami syok. Dengan 2. Mengetahui derajat pola
kriteria hasil : Pernafasan pasien dan mengetahui
1. Tanda-tanda vital dalam tingkat PCO pasien
batas normal Fluid / Electrolyte Management Fluid / Electrolyte Management
RR : 16 – 24 x/menit 1. Observasi sianosis khususnya 1. Sianosis menunjukkan aliran
N : 80 – 100 x/menit membrane mukosa darah ke perifer berkurang
TD : 120/90 mmHg S :
35 – 37ºC
2. Tidak ada sianosis
3. SpO2 dalam batas normal(90
– 100%)
4. Tidak mengalami dyspnea

4. Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Anxiety Reduction Anxiety Reduction
status kesehatan asuhan keperawatan 3x24 jam 1. Monitor tanda-tanda vital 1. Mengetahui keadaan umum
diharapkan ansietas teratasi. 2. Gunakan pendekatan pasien
Dengan kriteria hasil : yang menenangkan 2. Untuk membina hubungansaling
1. Tanda-tanda vital dalam batas 3. Identifikasi tingkat kecemasan percaya
normal 3. Mengetahui tingkat kecemasan
RR : 16 – 24 x/menit yang dialami oleh pasien
N : 80 – 100 x/menit 4. Bantu pasien mengenal situasi 4. Mengenali kecemasan yang
TD : 120/90 mmHgS : yang menimbulkan kecemasan sedang dialami
35 – 37ºC 5. Dorong pasien 5. Untuk membuat pasien lebih
2. Pasien mampumengidentifikasi mengungkapkanperasaan, tenang sehingga tidak
dan mengungkapkan gejala ketakutan, persepsi mengalami kecemasan
cemas 6. Mengetahui tingkat derajat
3. Pasien dapat menunjukkan 6. Instruksikn motivasi pasien terhadap teknik
teknik untuk mengontrolcemas pasi relaksasi
4. Cemas dapat berkurang enmenggunakan teknik
relaksasi

50
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Menurut F.D. Hobbs (1995) yang dikutip Kartika (2009) mengungkapkan
kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sulit diprediksi kapan dan dimana
terjadinya. Kecelakaan tidak hanya trauma, cedera, ataupun kecacatan tetapi juga
kematian. Kasus kecelakaan sulit diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring
pertambahan panjang jalan dan banyaknya pergerakan dari kendaraan.
Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Raya merupakan produk hukum yang menjadi acuan utama yang mengatur aspek-
aspek mengenai lalu lintas dan angkutan jalan di Indonesia.
Faktor-faktor yang menyebabkan kecelakan lalulintas diantaranya Faktor
Manusia (Human Factors), Faktor Kendaraan (Vehicle Factors), Faktor Kondisi
Jalan dan Kondisi Alam. Adapun dampak dari kecelakaan adalah meninggal dunia,
luka berat, luka ringan dan kecelakaan berdasarkan posisi terjadinya.
Multipel trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi seseorang
yang telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti cedera kepala serius selain
luka bakar yang serius. Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2
atau lebih kecederaan secara fisikal pada regioatau organ tertentu, dimana salah
satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif,
psikologik atau kelainan psikososial dandisabilitas fungsional (Lamichhane P, et al,
2011).
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Trauma
pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan, fraktur
terjadi dapat berupa fraktur tertutup atauterbuka. Fraktur tertutup tidak disertai
kerusakan jaringan lunak sedangkan fraktur terbuka disertai dengan kerusakan
jaringan lunak seperti otot, tendon, ligamen dan pembuluh darah (Smeltzer S. C,
2001: Simarta, 2014).
Menurut Kartika (2012), manifestasi klinis yang dapat muncul diantaranya
laserasi, memar, ekimosis, Hipotensi, Tidak adanya bising usus Hemoperitoneum,

51
mual dan muntah, nyeri, pendarahan, penurunan kesadaran,sesak, Tanda Kehrs,
Tanda Cullen, Tanda Grey-Turner, Tanda Coopernail, Tanda Balance. Trauma dapat
diklasifikasikan menjadi trauma tumpul, trauma Penetrasi, trauma Thorak, Trauma
abdomen, Trauma pelviks, Trauma pada ekstremitas, dan Cidera vaskuler.
Menurut NCCEP (2009) untuk menegakkan suatu diagnosa diperlukan
pemeriksaan penunjang seperti radiologi, Pemeriksaan X-Rayuntuk screening
trauma tajam, Pemeriksaan Labolatorium, MRI, Angiografi untuk kemungkinan
kerusakan vena hepatic, CT Scan, Radiograf dada mengindikasikan peningkatan
diafragma, kemungkinan pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X, Scan
limfa, Ultrasonogram, Peningkatan serum atau amylase urine, Peningkatan glucose
serum, Peningkatan lipase serum, DPL (+) untuk amylase, Peningkatan WBC,
Peningkatan amylase serum, Elektrolit serum, AGD.
Penatalaksanaan untuk multiple trauma prinsipnya sama dengan pada
kegawatdaruratan yaitu termulai dari Survey primeri (Primery survey), dan Survey
Sekunder (Sekundery survey) yang akan menghasilkan diagnosa keperawatan salah
satunya ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas, rencana asuhan keperawatan yang akan dilakukan seperti kaji tanda-tanda
vital, Buka jalan nafas dengan cara teknik chint lift atau juw thrust, Posisi pasien
untuk memaksimalkan ventilasi, Auskultasi suara nafas, catat adanya sdan stuara
tambahan, Monitor respirasi dan status oksigen serta kolaborasi untuk dilakukan
suctioning.

4.2 SARAN
Makalah ini membahas tentang kegawatdaruratan dengan multiple trauma. Saran
kami sebagai penulis, kepada para pembaca agar terus memperluas pengetahuan
tentang multiple trauma dengan mencari referensi lain baik dari buku, jurnal
terupdate. Diharapkan dari referensi-referensi tersebut dapat menjadi bahan
perbandingan kebenaran informasi oleh para pembaca, sehingga perlunya suatu
analisa data hingga pengujian ilmu, dan mengambil kesimpulan, yang kemudian
dapat diaplikasikan di ruang lingkup dunia kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem.


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Doengoes, M.E, (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta

Eliastam, Michael. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis. Jakarta. EGC

Kartikawati, Dewi. 2012. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.


Jakarta: Salemba Medika.

Simarta Teresia T. (2014). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Pernafasan Pada


Pasien Dengan Trauma Thoraks. Program studi NERS: Stikes Santa Elisabeth
Medan.

Anda mungkin juga menyukai