LAPORAN PENDAHULUAN
PPOK/COPD (CRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE)
Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah KMB 1
Dosen : Syaukia Adini, M.Tr.Kep
Disusun oleh :
FERDY ILHAM
P2.06.20.1.19.014
TINGKAT 2A
D3 KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES TASIKMALAYA
Jl. Cilolohan no.35, Kel. Kahuripan, Kec. Tawang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat 46115
Tlp. 0265 – 340186 – 7035678 Fax. 0265 – 338939
Email : direktorat@poltekkestasikmalaya
2020
A. DEFINISI
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara
di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta
adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD,
2009).
PPOK/COPD (CRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE) merupakan
istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama
dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya (Price, Sylvia Anderson : 2005)
PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap
aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang
membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPDadalah : Bronchitis kronis,
emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001)
P P O K adalah merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat
aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru (Bruner & Suddarth,
2002).
PPOK merupakan obstruksi saluran pernafasan yang progresif dan ireversibel, terjadi
bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya (Snider, 2003).
B. KLASIFIKASI
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai
berikut:
1. Bronchitis Kronis
a. Definisi
Bronchitis Kronis merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan
mucus yang berlebihan dalam bronkus dan termanifestasikan dalam bentuk batuk
kronis dan pembentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun, paling sedikit 2 tahun
berturut – turut (Bruner & Suddarth, 2002).
b. Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis yaitu:
1) Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.
2) Alergi
3) Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll
c. Manifestasi klinis
1) Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang
mana akanmeningkatkan produksi mukus.
2) Mukus lebih kental
3) Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan
mukus. Oleh karena itu, "mucocilliary defence" dari paru mengalami kerusakan
dan meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul,
kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus
akan meningkat.
4) Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan
normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan
produksi mukus yang banyakakan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi
hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.
5) Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas,
terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap
pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi
alveolar, hypoxia dan asidosis.
6) Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal
timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga
meningkatkan nilai PaCO2.
7) Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi
polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi
sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary.
8) Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV
dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang
akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF
2. Emfisema
a. Definisi
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus
alveolaris dan destruksi dinding alveolar (Bruner & Suddarth, 2002).
b. Etiologi
1) Faktor tidak diketahui
2) Predisposisi genetic
3) Merokok
4) Polusi udara
c. Manifestasi klinis
1) Dispnea
2) Takipnea
3) Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
4) Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
5) Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
6) Hipoksemia
7) Hiperkapnia
8) Anoreksia
9) Penurunan BB
10) Kelemahan
3. Asthma Bronchiale
a. Definisi
Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trachea dan
bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran
bernafas yang disebabkan oleh peyempitan yang menyeluruh dari saluran nafas (Bruner
& Suddarth, 2002).
b. Etiologi
1) Alergen (debu, bulu binatang, kulit, dll)
2) Infeksi saluran nafas
3) Stress
4) Olahraga (kegiatan jasmani berat)
5) Obat-obatan
6) Polusi udara
7) Lingkungan kerja
8) Lain-lain (iklim, bahan pengawet)
c. Manifestasi Klinis
1) Dispnea
2) Permulaan serangan terdapat sensasi kontriksi dada (dada terasa berat),
3) wheezing,
4) batuk non produktif
5) takikardi
6) takipnea
C. ETIOLOGI
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Brashers (2007) adalah :
a. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita
PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru
secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan
fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
b. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada
kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang
diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
c. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan
rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko
terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
d. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko
morbiditas PPOK.
Secara keseluruhan penyebab terjadinya PPOK tergantung dari jumlah partikel gas
yang dihirup oleh seorang individu selama hidupnya. Partikel gas ini termasuk :
I. asap rokok
a. perokok aktif
b. perokok pasif
II. polusi udara
a. polusi di dalam ruangan- asap rokok - asap kompor
b. polusi di luar ruangan- gas buang kendaraan bermotor- debu jalanan
III. polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
a. infeksi saluran nafas bawah berulang
D. PATOFISIOLOGI
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen
untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil
metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi
adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa
pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi
darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu
gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara
di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah
kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama
terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang
melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-
perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang
menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul
hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada
paru.Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang
di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi
akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila
tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara
kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi
kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan
pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan
hipersekresi mukus.Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada
arteriol (Chojnowski, 2003).
E. MANIFESTASI KLINIS
Batuk merupakan keluhan pertama yang biasanya terjadi pada pasien PPOK. Batuk
bersifat produktif, yang pada awalnya hilang timbul lalu kemudian berlangsung lama dan
sepanjang hari. Batuk disertai dengan produksi sputum yang pada awalnya sedikit dan
mukoid kemudian berubah menjadi banyak dan purulen seiring dengan semakin
bertambahnya parahnya batuk penderita.
Penderita PPOK juga akan mengeluhkan sesak yang berlangsung lama, sepanjang hari,
tidak hanya pada malam hari, dan tidak pernah hilang sama sekali, hal ini menunjukkan
adanya obstruksi jalan nafas yang menetap. Keluhan sesak inilah yang biasanya
membawa penderita PPOK berobat ke rumah sakit. Sesak dirasakan memberat saat
melakukan aktifitas dan pada saat mengalami eksaserbasi akut.
Gejala-gejala PPOK eksaserbasi akut meliputi:
1) Batuk bertambah berat
2) Produksi sputum bertambah
3) Sputum berubah warna
4) Sesak nafas bertambah berat
5) Bertambahnya keterbatasan aktifitas
6) Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronis
7) Penurunan kesadaran
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1 Pemeriksaan radiologi
a. Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar
dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang
menebal.
2) Corak paru yang bertambah
b. Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
1) Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan
bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink puffer.
2) Corakan paru yang bertambah.
3) Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan
KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM
(kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate),
kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih
jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas
kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli
untuk difusi berkurang.
2 Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi
vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik
merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi
umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan
merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
3 Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor
pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan
aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari
satu. Sering terdapat RBBB inkomplet.
4 Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
5 Laboratorium darah lengkap
G. KOMPLIKASI
1 Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan
mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2 Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3 Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan
rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran
udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4 Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat
mengalami masalah ini.
5 Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
6 Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit
ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon
terhadap therapi yang biasa diberikan.Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi
vena leher seringkali terlihat.
H. DERAJAT PPOK
Klasifikasi derajat PPOK menurut Global initiative for chronic Obstritif Lung Disiase
(GOLD) 2011.
a. Derajat I (PPOK Ringan) : Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak
sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa menderita PPOK
b. Derajat II (PPOK Sedang) : Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang
ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai
memeriksakan kesehatannya.
c. Derajat III (PPOK Berat) : Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah
dan serangan eksasernasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien.
d. Derajat IV (PPOK Sangat Berat) : Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas
atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup
pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa biasanya disertai gagal
napas kronik
I. PENATALAKSANAAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untu
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Pengkajian keperawatan
adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses sistematis dalam
pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi
status kesehatan klien (Iyer,et.al.,1995).
Berikut ini data yang diperoleh ketika melakukan pengkajian pada klien :
a. Data Dasar
Data dasar adalah seluruh informasi tentang status kesehatan klien.Data dasar ini
meliputi data umum,data demografi,riwayat keperawatan,pola fungsi kesehatan,dan
pemeriksaan.
b. Data Fokus
Data fokus adalah informasi tentang status kesehatan klien yang menyimpang dari
keadaan normal. Data fokus dapat berupa ungkapan klien maupun hasil pemeriksaan
langsung sebagai seorang perawat.
c. Data Subjektif
Data yang merupakan ungkapan keluhan klien secara langsung dari klien maupun
tidak langsung melalui orang lain yang mengetahui keadaan klien secara langsung
dan menyampaikan masalah yang terjadi kepada perawat berdasarkan keadaan yang
terjadi pada klien.
d. Data Objektif
Data yang diperoleh secara langsung melalui observasi dan pemeriksaan pada
klien.Data objektif harus dapat diukur dan diobservasi,bukan merupakan interpretasi
atau asumsi dari perawat.
1 Anamnese
Pengkajian riwayat keperawatan pada masalah kebutuhan oksigenasi meliputi: ada atau
tidak adanya riwayat gangguan pernapasan (gangguan hidung dan tenggorokan), seperti
epitaksis (kondisi akibat luka/kecelakaan,penyakit rematik akut, sinusitis akut, hipertensi,
gangguan pada system peredaran darah, dan kanker), obstruksi nasal (kondisi akibat
polip, hipertropi tulang hidung, tumor, dan influenza), dan keadaan lain yang
menyebabkan gangguan pernpasan. Pada tahap pengkajian keluhan atau gejala, hal-hal
yang perlu diperhatikan adalah infeksi kronis dari hidung, sakit pada daerah sinus, otitis
media, keluhan nyeri pada tenggorokan, kenaikan suhu tubuh hingga 38,5 derajat celcius,
sakit kepala, lemas, sakit perut hingga muntah-muntah (pada anak-anak), faring
berwarna merah, dan adanya edema. Li dan Huang (2012), penderita PPOK akan
mengalami hipoksemia, hipercapnea sampai pada gangguan kognitif. Keluhan respirasi
ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa
terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik merupakan batuk yang hilang timbul selama 3
bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Berdahak kronik, kadang –
kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Sesak
napas, terutama pada saat melakukan aktivitas, seringkali pasien sudah mengalami
adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progresif lambat sehingga sesak napas ini
tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas
sesuai skala sesak. Pada pasien dengan PPOK terjadi gangguan otot pernapasan yang
dipengaruhi konstraksi otot dan kekuatan otot pernapasan. Dan menanyakan riwayat
penyakit klien
a. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama
b) Riwayat penyakit sekarang
c) Riwayat penyakit dahulu
d) Riwayat penyakit keluarga
2 Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Bentuk dada : barrel chest (dada seperti tong), terdapat cara, napas purse lips breathing
(seperti orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertropi (pembesaran) otot bantu
napas dan pelebaran sela iga.
Inspeksi spesifikasi penapasan meliputi:
Pertama; penentuan tipe jalan napas, seperti menilai apakah napas spontan melalui
hidung, mulut, oral, nasal, atau menggunakan selang endotrakeal atau tracheostomi,
kemudian menentukan status kondisi seperti kebersihan, ada atau tidaknya secret,
perdarahan, bengkak, atau obstruksi mekanik.
Kedua; penghitungan frekuensi pernapasan dalam waktu satu menit (umumnya, wanita
bernapas sedikit lebih cepat. Apabila kurang dari 10 kali per menit pada orang dewasa,
kurang dari 20 kali per menit pada anak-anak, atau kurang dari 30 kali per menit pada
bayi, maka disebut sebagai bradipnea atau pernapasan lambat. Gejala ini juga dijumpai
pada keracunan obat golongan barbiturat, uremia, koma diabetes, miksedema, dan proses
sesak ruang intrakranium. Bila lebih dari 20 kali per menit pada orang dewasa, kurang
dari 30 kali per menit pada anak-anak, atau kurang dari 50 kali per menit pada bayi,
maka disebut sebagai takhipnea atau pernapasan cepat
Ketiga; pemeriksaan sifat pernapasan, yaitu torakal, abnormal, atau kombinasi keduanya
(pernapasn torakal atau dada adalah mengembang dan pengempisannya rongga toraks
sesuai dengan irama inspirasi dan ekspirasi. Pernapasan abdominal atau perut adalah
seirama inspirasi dengan mengembanganya perut dan ekspirasinya dengan
mengempisnya perut. Selain itu, mengembang dan mengempisnya paru juga diatur oleh
pergerakan diagfagma. Pernapasan pada laki-laki adalah neonates, sedangkan pada anak
adalah abdominal atau tarokoabdominal, karena otot intercostal neonates masih lemah.
Keempat; pengkajian irama pernapasan, yaitu dengan menelaah masa inspirasi dan
ekspirasi (pada orang dewasa sehat, irama pernapasannya teratur dan menjadi cepat jika
terjadi pengeluaran tenaga dalam keadaan terangsang atau emosi, kemudian yang perlu
diperhatikan pada irama pernapasan adalah perbandingan antara inspirasi dan ekspirasi.
Pada keadaan normal, ekspirasi lebih lama dari pada orang yang mengalami sesak napas.
Keadaan normal, perbandingan antara frekuensi pernapasan dengan frekuensi nadi
adalah 1:1, sedangkan pada keracunan obat golongan barbiturate perbandingannya 1:6.
Penyimpanan irama pernapasan, seperti pernapasan kusmaul, dijumpai pada keracunan
alcohol, obat bius, koma diabetes, uremia, dan proses desak ruang instranium.
Pernapasan biot ditemukan pada pasien keruskn otak. Pernapasan cheyne stoke dapat
ditemui pada pasien keracunan obat bius, penyakit jantung, penyakit paru, penyakit
ginjal kronis, dan perdarahan pada susunan saraf pusat.
Kelima; pengkajian terhadap dalam/dangkalnya pernapasan (pada pernapasan yang
dangkal, dinding toraks tampak hamper tidak bergerak. Gejala ini timbul jika terdapat
empisema atau pergerakan dinding toraks terjadi proses desak ruang, seperti penimbunan
cairan dalam rongga pleura dan pericardium serta konsolidasi yang dangkal dan lambat.
b. Palpasi
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi kelainan, sepertinyeri tekan yang dapat
timbul akibat luka, peradangan setempat, metastasis tumor ganas, pleuritis, atau
pembengkakan dan benjolan pada dada. Palpasi dilakukan untuk menentukan besar,
konsistensi, suhu, apakah dapat atau tidak dipergerakan dari dasarnya. Melalui palpasi
dapat diteliti gerakan dinding toraks pada saat inspirasi dan ekspirasi terjadi. Cara ini
dapat dilakukan dari belakang dengan meletakan kedua tangan pada kedua sisi tulang
belakang. Jika pada puncak paru terdapat fibrosis, proses tuberculosis, atau suatu tumor,
maka tidak akan ditemukan pengembangan bagian atas pada toraks. Kelainan pada paru,
seperti getaran suara atau fremitu vocal, dapat dideteksi bila terdapat getaran sewaktu
pemeriksa meletakkan tangannya pada dada pasien ketika ia berbicara. Fremitus vocal
yang jelas mengeras dapat disebabkan oaleh konsolidari paru seperti pada pneumonia
lobaris, tuberculosis kaseosa pulmonum, tumor paru, atelektasis, atau kolaps paru dengan
bronkus yang utuh dan tidak tersumbat, kavitasi yang letaknya dekat permukaan paru.
Fremitus vocal menjadi lemah tau hilang sama sekali jika rongga pleura berisi air, darah,
nanah atau udara, bahkan jaringan pleura menjadi tebal, bronkus tersumbat, jaringan paru
tidak lagi elastis (emfisema), paru menjadi fibrosis, dan terdapat kaverna dalam paru
yang letaknya jauh dari permukaan. Getaran yang terasa oleh tangan pemeriksa dapat
juga ditimbulkan oleh dahak dalam bronkus yang bergetar pada waktu inspirasi dan
ekspirasi atau oleh pergeseran antara kedu membran pleura pada pleuritic.
c. Perkusi
Pengkajian ini bertujuan untuk menilai normal atau tidaknya suara perkusi paru. Suara
perkusi normal dalah suara perkusi sonor, yang bunyinya seperti kata “dug-dug”. Suara
perkusi lain yang dianggap tidak normal adalah redup, seperti pada infiltrate, konsolidasi,
dan efusi pleura. Pekak, seperti suara yang terdengar bila kita memperkusi paha kita,
terdapat pada rongga pleura yang terisi oleh cairan nanah, tumor pada permukaan paru,
atau fibrosis paru dengan penebalan pleura. Hipersonor, bila udara relative lebih padat,
ditemukan pada enfisema, kavitas besar yang letaknya perifer, dan pneumotoraks.
Timpani, bunyinya seperti “dang-dang-dang”. Suara ini menunjukkan bahwa di bawah
tempat yang diperkusi terdapatpenimbunan udara, seperti pada pneumotoraks dan kavitas
dekat dengan permukaan paru. Batas atas paru dapat ditentukan dengan perkusi pada
supraklavikularis kedua sisi. Bila didapat suara perkusi yang kurang sonor, maka kita
harus menafsirkan bahwa bagian atas paru tidak berfungsi lagi dan berarti batas paru
yang sehat terletak lebih bawah dari biasa. Pada umumnya, hal ini menunjukkan proses
tuberculosis di puncak paru. Dari belakang, apeks paru dapat diperkusi di daerah otot
trpezius antara otot leher dan pergelangan bahu yang akan memperdengarkan seperti
sonor. Batas bawah paru dapat ditentukan dengan perkusi, dimana suara sonor pada
orang sehat dapat didengar sampai iga keenam garis midaksilaris, iga kedelapan garis
mid aksilaris, dan iga kesepuluh garis skapularis. Batas bawah paru pada orang tua agak
lebih rendah, sedangkan pada anak-anak agak lebih tinggi. Batas bahwa meninggi pada
proses fibrosis paru, konsolidasi, efusi pleura dan asites tumor ina abdominal. Turunnya
batas bawah paru didapati pada emfisema dan pneumotoraks
d. Auskultasi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai adanya suara napas, di antaranya suara napas
dasar dan suara napas tambahan. Suara napas dasar adalah suara napas pada orang
dengan paru yang sehat, seperti; Pertama; suaravasikuler, ketika suara inspirasi lebih
keras dan lebih tinggi nadanya. Bunyi napas vasikuler yang disertai ekspirasi memanjang
terjadi pada emfisema. Suara vesikuler dapat didengar pada bagian paru-paru. Kedua;
suara bronchial, yaitu suara yang bisa kita dengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi,
bunyinya bisa sama atau lebih panjang, antara inspirasi dan ekspirasi terdengar jarak
pause (jeda) yang jelas. Suara bronchial terdengar didaerah trakea dekat bronkus, dalam
keadaan tidak normal bisa terdengar seluruh area paru. Ketiga; bronkovasikular, yaitu
suara yang terdengar antara vesikuler dan bronchial, ketika ekspirasi menjadi lebih
panjang, hingga hampir menyamai inspirasi. Suara ini lebih jelas terdengar pada
manubrium sterni. Pada keadaan tidak normal juga terdengar pada daerah lain dari paru.
Suara napas tambahan, Suara napas tambahan seperti suara ronkhi, yaitu suara yang
terjadi dalam bronkhi karena penyempitan lumen bronkus. Sura mengi (wheezing), yaitu
ronkhi kering yang tinggi, terputus nadanya, dan panjang, terjadi pada asma. Suara
ronkhi basah, yaitu suara berisik yang terputus akibat aliran udara yang melewati cairan
(ronkhi basah, halus sedang, atau ksar tergantung pada besarnya bronkus yang terkena
pada umumnya terdengar pada inspirasi). Sedangkan suara krepitasi adalah suara seperti
hujan rintik-rintik yang berasal dari bronkus, alveoli, atau kavitas yang mengandung
cairan. Suara ini dapat ditiru dengan jalan menggeser-geserkan rambut dengan ibu jari
dan telunjuk dekat telinga. Krepitasi halus menandakan adanya eksudat dalam alveoli
yang membuat alveoli saling berkaitan, misalnya pada stadium dini pneumonia. Krepitasi
kasar, terdengar seperti suara yang timbul bila kita meniup dalam air. Suara ini terdengar
selama inspirasi dan ekspirasi. Gejala ini dijumpai pada bronchitis (Alimul, 2009)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2012) adalah :
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi
bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontriksi dan
iritan jalan napas.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan
kebutuhan oksigen.
5. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penumpukan gas di lambung.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah.
C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2012) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan
energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan
mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersihatau jelas.
NOC :
Respiratory status : Ventilation
Respiratory status : Airway patency
Aspiration Control
Dengan Kriteria Hasil :
1 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis
dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah,
tidak ada pursed lips)
2 Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
3 Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan
nafas
Intervensi :
Mandiri :
1) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronkhi.
R/ mengetahui ada tidaknya obstruksi jalan nafas dan menjadi manifestasi adanya
bunyi nafas adventisius.
2) Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
R/ takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan
atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
3) Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas, distress
pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ mengetahui disfungsi pernapasan.
4) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur,
duduk pada sandaran tempat tidur.
R/ mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi.
5) Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.
6) Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah. Bantu
tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif.
7) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.
Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan.
R/ hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran.
8) Kolaborasi :
- Berikan obat sesuai indikasi.
- Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
- Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
- Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol
ruangan.
- Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
R/ merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal menurunkan spasme
jalan napas, mengi, dan produksi mukosa
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Setelah melakukan intervensi keperawatan, tahap selanjutnya adalah mencatat intervensi
yang telah dilakukan dan evaluasi respons klien. Hal ini dilakukan karena pencatatan
akan lebih akurat bila dilakukan saat intervensi masih segar dalam ingatan. Tulislah apa
yang diobservasi dan apa yang dilakukan (Deswani, 2009). Implementasi yang
merupakan kategori dari proses keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan
dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari
asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan. (Potter & Perry, 2005).
E. EVALUASI
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan. Namun, evaluasi dapat dilakukan
pada setiap tahap dari proses perawatan. Evaluasi mengacu pada penilaian, tahapan dan
perbaikan. Pada tahap ini, perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses
keperawatan dapat berhasil atau gagal (Alfaro-Lefevre, 1994 dalam Deswani, 2009).
Evaluasi terhadap masalah kebutuhan oksigenasi secara umum dapat dinilai dari adanya
kemampuan dalam:
1. Mempertahankan jalan napas secara efekttif yang ditunjukkan dengan adanya
kemampuan untuk bernapas, jalan napas bersih, tidak ada sumbatan, frekuensi, irama, dan
kedalaman napas normal, serta tidak ditemukan adanya tanda hiposia.
2. Mempertahankan pola pernapasan secara efektif yang ditunjukkan dengan adanya
kemampuan untuk bernapas, frekuensi, irama, dan kedalam napas normal, tidak
ditemukan adanya tanda hipoksia, serta kemampuan paru berkembang dengan baik.
3. Mempertahankan pertukaran gas secara efektif yang ditunjukkan denganadanya
kemampuan untuk bernapas, tidak ditemukan dispnea pada usaha napas, inspirasi, dan
ekspirasi dalam batas normal, serta siturasi oksigen dan pCO2 dalam keadaan normal.
4. Meningkatkan perfusi jaringan yang ditunjukkan dengan adanya kemampua pengisian
kapiler, frekuensi, irama, kekuatan nadi dalam batas normal, dan status hidrasi normal
(Alimul, 2009).
Referensi :
https://www.academia.edu/9820966/laporan_pendahuluan_PPOK
https://www.academia.edu/37422991/LAPORAN_PENDAHULUAN_PPOK_PENYAKIT_
PARU_OBSTRUKTIF_KRONIK_atau_CHRONIC_OBSTRUCTIVE_PULMONARY_DIS
EASE_COPD
http://lpkeperawatan.blogspot.com/2014/01/Laporan-pendahuluan-
ppok.html#.X2BcQGgzbIU
https://www.google.com/search?
q=kti+ppok&rlz=1C1GCEA_enID836ID836&oq=kti+pp&aqs=chrome.1.69i57j0l6j69i60.40
13j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8