Anda di halaman 1dari 16

MATA KULIA : FARMAKOGNOSI II

DOSEN : RUGAYYAH ALYIDRUS M. Si., Apt

MAKALAH
PENENTUAN AFLATOKSIN

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
FIDYAH MUHDAR D1B120055
IRMA D1B120132
ADE NURKHOTIMA D1B120116
GUSNAENI D1B120300
NURDIANTI D1B120126

FAKULTAS S1 FARMASI
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-
Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah farmakognosis II yang berjudul “Penentuan Alfatoksin”
dapat terselesai tepat pada waktunnya. Makala ini juga sebagai tugas yang harus
dikerjakan untuk arahan pembelajaran bagi kita.
Makalah ini kami buat berdasarkan apa yang kani terima dan kami kutib dari
berbagai sumber baik dari Jurnal maupun dari internet. Semonga isi dari makala ini
dapat berguna bagi kita dan dapat menamba wawasan serta pengetahuan kita.
Kselayaknya manusia biasa kami menyadari bahwa banyak terdapat
kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari ibu maupun para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 29 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………...……………………………...
DAFTAR ISI………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………………..…..….
B. Rumusan Masalah……………………………..………………………..…
BAB II PEMBAHASAN
A. Menjelaskan Morfologi Jamur Penghasil senyawa Aflatoksin……………
B. Menjelaskan Tentang Sejarah Aflatoksin……………………..…………..
C. Menjelaskan Bagaimana Efek Alfatoksin……………………..………….
D. Bagaimana Upaya Pencegahan Alfatoksin……………………..………
E. Bagaimana Langka Penanganan Alfatoksin……………………..………

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………………….
B. Saran…………………………………………………………………….
BAB I

PENDAHLUAN

A. Latar Belakang
Masalah penyakit kanker tetap menghantui umat manusia, di mana
diberitakan bahwa kanker ini merenggut 30% dari sekitar 7 juta kematian tiap
tahun di seluruh dunia. Hal ini terutama disebabkan karena gejala awal masih
sulit diketahui dan sampai sekarang dunia kedokteran masih belum menemukan
obat yang mujarab untuk mengobatinya.
Sir Richard Dool salah seorang ahli kanker terkemuka Inggris
menyatakan baru-baru ini bahwa penyakit kanker yang mematikan masih dapat
dikurangi dengan sekitar 60% jika orang memakan makanan yang lebih sehat
dan berhenti merokok. Peranan serat makanan yang antara lain berfungsi untuk
mencegah timbulnya penyakit kanker saluran pencernaan. Hal ini diperkuat oleh
ahli kanker tersebut yang menyatakan bawa makanan yang baik yang diperkaya
dengan sayuran dan bahan pangan berkadar serat tinggi dapat mengurangi
timbulnya penyakit kanker empedu, kandungan dan usus besar.
Jagung dan kacang tanah selalu selalu dikonsumsi oleh banyak orang.
Selain itu, jagung dan kacang tanah juga diekspor keluar negeri. Kualitas dari
jagung dan kacang tanah ini, harus perlu diperhatikan. Kualitas jagung dan
kacang tanah ini dapat menurun dikarenakan adanya parasit yang tumbuh seperti
jamur. Komoditi ekspor ini sangat mudah terserang oleh jamur atau kapang
misalnya Aspergillus flavus. Selain merusak dan mengganggu, Aspergullius
flavus dapat menghasilkan metabolit berupa micotoxin. Toxin ini dikenal
dengan Aflatoxin. Selain pada hasil komoditi pertanian, aflatoxin juga dijumpai
pada sector perikanan melalui pakan yang diberikan. Walau demikian bahaya
micotoxin ini belum diketahui efeknya secara luas bagi hasil perikanan.
Menurut Dr. Ir Deddy Muchtadi Sinar harapan, Pada tahun 1960 di
Inggris terjadi kasus 100.000 ayam kalkun mengalami kematian yang tidak
diketahui penyebabnya, sehingga penyakit tersebut dinamakan “Turkey X
disease” dan beberapa waktu kemudian kejadian tersebut terjadi kembali di
Uganda dan Kenya. Para peneliti Inggris dari Tropical Product
Institute menemukan bahwa penyebab Turkey X disease berasal dari pakan
ternak yang diberikan. Dengan penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa
penyakit ini disebabkan oleh suatu zat hasil metabolit kapang
(jamur) Aspergillus flavus yang tumbuh di kacang tanah. Aflatoxin kemudian
diresmikan menjadi nama racun atu micotoxin yang diambil dari singkatan
nama genus (Aspergillus) dan spesies (flavus).
Pada tahun 1729, Michelli dapat menjelaskan genus
dari Aspergillus. Species Aspergillus kurang lebih berjumlah 180 species.
Kapang Aspergillus ini dapat tumbuh dengan baik dengan kadar air minimal
80%. Aspergillus dapat menyebabkan penyakit yang disebut Aspergilosis.
Hewan terserang kapang ini, dapat menyebabkan mucotic pneumonia, rhinitis
kronis, penyakit sistemik yang disebabkan oleh jamur atau kapang, penyakit
kulit, alergi, aspergilosis pada saluran pencernaan, mastitis dan keratomycosis.
Ada dua species dari genus Aspergillus yang menghasilkan senyawa berbahaya
Aflatoxin yaitu Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Aspergillus
flavus dapat ditemukan di belahan dunia yang beriklim panas dan lembab
diantaranya afrika sub-sahara dan asia tenggara. genus Aspergillus dapat
menyerang biji kacang tanah yang rusak atau kulitnya terkelupas.
B. Ruusan Masalah
1. Menjelaskan Morfologi Jamur Penghasil senyawa Aflatoksin
2. Menjelaskan Tentang Sejarah Aflatoksin
3. Menjelaskan Bagaimana Efek Alfatoksin
4. Bagaimana Upaya Pencegahan Alfatoksin
BAB II

PEMBAHASAN

A. Morfologi Jamur Penghasil senyawa Alfatiksin


Klasifikasi
Super kingdom            :  Eukaryota                                        
Kingdom                     :  Fungi
Sub kingdom               :  Dikarya
Phylum                        :  Ascomycota
Subphylum                  :  Pezizomycotina
Classis                         :  Eurotiomycetes
Sub classis                   :  Eurotiomycetidae
Ordo                            :  Eurotiales
Familia                        :  Trichocomaceae
Genus                          :  Aspergillus
Spesies                        :  Aspergillus flavus
Aspergillus parasiticus
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup 
Aspergillus yang sudah sangat dikenal karena peranannya sebagai patogen pada
tanaman dan kemampuannya untuk menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang
terinfeksi. Kedua spesies tersebut merupakan produsen toksin paling penting
dalam grup Aspergillus yang mengkontaminasi produk agrikultur. Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus mampu mengakumulasi aflatoksin pada
berbagai produk pangan meskipun tipe toksin yang dihasilkan berbeda.
B. Aflatoksin
1. Sejarah
Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian
seratus ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960.
Penyakit tersebut dikenal dengan nama Turkey X Disease karena belum
diketahui penyebabnya pada waktu itu. Penyebab penyakit tersebut
ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung kacang tanah
pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak
mengungkapkan keberadaan sejenis kapang.  Toksin  tersebut berasal dari
kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran  ransum ternak tersebut. 
Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus
flavus toksin yang disingkat menjadi aflatoksin karena Aspergillus
flavus dan  Aspergillus parasiticus merupakan spesies  dominan yang
bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum
dipanen maupun selama penyimpanan.
2. Sifat dan Karakteristik
Jenis aflatoksin dan spesies penghasilnya dijelaskan pada
Tabel 1. Terdapat 18 jenis racun aflatoksin, empat yang paling kuat daya
racunnya adalah aflatoksin B1, G1, B2, dan G2. Tahun 1988, International
Agency for Research on Cancer menyatakan bahwa aflatoksin B1 bersifat
karsinogen (menyebabkan kanker) pada manusia. Batas maksimum
kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada produk olahan jagung dan
kacang tanah adalah masing-masing 20 dan 35.

Spesies Jenis aflatoksin Ditemukan pada

Aspergillus flavus B1, B2. Kacang tanah, jagung,


Aspergillus dan olahannya serta
nomius pakan
Aspergillus B1, B2, G1, G2 Susu
parasiticus M1, M2 (metabolit
aflatoksin)
Tabel 1.  Jenis kapang dan jenis aflatoksin yang dihasilkan
Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya dihasilkan
oleh Aspergillus parasiticus. Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk ke dalam
tubuh hewan ternak melalui pakannya, maka senyawa tersebut akan
dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadi aflatoksin M1 dan M2,
yang dapat diekskresikan dalam susu dan urin.

Aflatoksin Rumus molekul Berat Molekul Titik leleh (0C)


B1 C17H12O6 312 268-269
B2 C17H14O6 314 286-289
G1 C17H12O7 328 244-246
G2 C17H14O7 330 237-240
M1 C17H12O7 328 299
M2 C17H14O7 330 293
B2A C17H14O7 330 240
G2A C17H14O8 346 190
G2A C17H14O8 346 190
Tabel 2. Karakteristik Aflatoksin                                               

Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya


dibawah sinar UV pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel
yang disinari ultraviolet.  Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B
(blue) dan penampakan fluorosensi hijau diberi akhiran G (green). 
Berdasarkan mobilitas pada kromatografi lapisan tipis, penamaan aflatoksin
diberi indeks angka tambahan menjadi B1, B2, G1, dan G2, masing-masing
dengan struktur molekul yang berbeda namun mirip.

Sifat senyawa aflatoksin stabil, sulit terurai, tidak larut dalam air,
tidak rusak pada suhu panas. Kondisi optimum untuk pertumbuhan kapang
dan memproduksi aflatoksin yaitu: nilai water activity (Aw) > 0,7 ;
kelembaban (RH) > 70% dan kisaran suhu 11-41°C dengan suhu untuk
pembentukan aflatoksin maksimum sedikit di bawah suhu optimum untuk
pertumbuhan kapangnya yaitu 24-30°C. Suhu pertumbuhan minimum dan
maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti konsentrasi oksigen,
kadar air, nutrien dan lain-lain.
Selain itu kapang akan berkembang biak pada kondisi lingkungan
yang tidak higienis, misalnya  banyak tikus, serangga gudang,  burung  dan
lain-lain, dapat pula terserang komoditas lain yang sudah terserang penyakit
tanaman atau Aspergillus. Tumbuhan yang terserang penyakit biasanya juga
mengandung aflatoksin. Jadi perkembangbiakan Aspergillus sudah terjadi
saat pertumbuhan komoditi di lahan petani, sampai penyimpanan di gudang.

Aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap. Tahap


pertama ialah pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa
pembentukan decaketide anthraquinone. Beberapa seri reaksi oksidasi-
reduksi yang sangat terorganisir kemudian menghasilkan aflatoksin. Skema
produksi aflatoksin yang umum diterima saat ini ialah sebagai berikut.

Hexanoyl CoA precursor —> norsolorinic acid, NOR —> averantin,


AVN —> hydroxyaverantin, HAVN —> averufin, AVF —>
hydroxyversicolorone, HVN—> versiconal hemiacetal acetate, VHA —>
versi-conal, VAL —> versicolorin B, VERB —> versicolorin A, VERA —>
demethyl-sterigmatocystin, DMST —> sterigmatocystin, ST —>
Omethylsterigmatocystin, OMST—> aflatoxin B1, AFB1 dan aflatoxin G1,
AFG1.2

C. Efek Alfatoksin
1. Efek Alkatoksin Terhadap kesehatan Manusia
Aflatoksin dapat bersifat toksigenik, mutagenik, teratogenik,
karsinogenik, dan immunosuppresif pada hewan percobaan. Aflatoksin
mendapat perhatian yang lebih besar daripada mikotoksin lain karena
memiliki potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas
akut terhadap manusia. Pada sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat
menyebabkan nekrosis akut, sirosis, dan karsinoma hati serta berpotensi
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Tidak ada hewan yang resisten
terhadap efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu sangat logis jika
diasumsikan bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek yang
sama. Pada kebanyakan spesies hewan, LD50 aflatoksin berkisar antara 0,5
hingga 10 mg/kg berat badan.
Toksisitas akut terjadi tak lama setelah mengonsumsi bahan
makanan yang terkontaminasi racun dengan dosis relatif besar dan yang
terserang adalah hati, pankreas, serta ginjal. Pada efek kronis, aflatoksin
menyebabkan timbulnya kanker hati (hepatic carcinoma). Secara umum
konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkannya dapat dilihat pada
Tabel 3.

Konsentrasi Aflatoksin  (ppb) Efek yang Ditimbulkan


20 Level maksimal yang diijinkan
untuk manusia
50 Level maksimal yang diijinkan
untuk hewan
100 Pertumbuhan lambat pada usia
muda
200 – 400 Pertumbuhan lambat pada usia tua
>400 Kerusakan hati dan kanker
Tabel 3. Konsentrasi Aflatoksin dan Akibat yang Ditimbulkan
Aflatoksin yang dikonsumsi secara terus-menerus, walaupun
dalam jumlah kecil, mampu menyebabkan kanker hati, organ tubuh yang
sangat penting dan juga berperan dalam detoksifikasi aflatoksin itu sendiri.
Data dari berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan ada 20% kasus
kanker hati tidak menunjukkan kaitan dengan infeksi hepatitis B maupun
hepatitis C. Diduga Aflatoksin B1 memegang peran sebagai faktor pemicu
mutasi P53 gen sel hati yang seterusnya menimbulkan kanker sel hati,
timbul dugaan bahwa kasus kanker hati itu berhubungan dengan senyawa
karsinogen termasuk Aflatoksin B1 (RASYID, 2006).5 Sampai saat ini obat
yang diketahui dapat menyembuhkan kontaminasi Aspergillus adalah
amphotericin B (AmB) dan itraconazole. Saat ini penggunaan voriconazole,
posaconazole, dan caspofungin juga telah diterima untuk pengobatan
kontaminasi Aspergillus.
2. Efek Aflatoksin Bagi Ternak
Hasil-hasil penelitian (MANI et al., 2001; MUTHIAH et al.,
1998) melaporkan bahaya aflatoksin dan dampaknya terhadap hewan yaitu
dapat menghambat peningkatan bobot badan ternak unggas dan ruminansia,
mengurangi produksi telur, menurunkan respon imun (daya kekebalan tubuh
ternak),  jumlah kematian ternak tinggi, mempengaruhi absorpsi unsur
mineral Ca, Cu, Fe dan P, kerusakan organ hati serta menyebabkan residu
pada produk ternak, yang akan berbahaya bagi manusia.
D. Upaya pencegahan
1. Produksi pangan yang benar-benar bebas mikotoksin merupakan hal yang
sangat sulit dilakukan. Namun, metode penyimpanan dan penanganan
komoditi yang baik dapat meminimalkan pertumbuhan kapang sehingga
dapat menurunkan risiko pencemaran mikotoksin pada produk pangan.
Penyimpanan komoditi pangan tersebut sebaiknya di tempat yang kering
(kelembaban rendah) dan sejuk (lebih baik jika disimpan di freezer)
2. Untuk mengurangi masuknya aflatoksin ke dalam tubuh melalui pangan,
sangat bijaksana jika konsumen bersikap selektif terhadap pangan yang akan
dikonsumsinya, antara lain dengan menghindari mengkonsumsi pangan yang
telah berjamur, telah berubah warna, telah berubah rasa atau tengik.
3. Upaya menghindari pertumbuhan mikrobia pada bahan pakan bisa dilakukan
dengan jalan menjaga kelembaban yang rendah, kurang dari 80% sehingga
pertumbuhan fungi akan terhambat. Hindari suhu optimum untuk
pertumbuhan fungi A. Flavus maupun A. parasiticus, yaitu 25 – 40 oC.
Penyimpanan dalam keadaan kering,  kira-kira kadar air 10-12% terhadap
bahan pakan sangat dianjurkan.
4. Pemilihan bahan pakan yang baik dan utuh, terhindar dari kelukaan atau
kerusakan oleh serangan hama harus ditegakkan, karena serangan serangga
merupakan predisposisi bagi pertumbuhan fungi pada bahan pakan tersebut.
Pada jagung yang terserang serangga menunjukkan kandungan aflatoksin
hampir 90%. Hindari pH 5,5 – 7,0 yang optimum untuk pertumbuhan A.
Flavus.
5. Seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) perlu mengetahui tingkat
cemaran aflatoksin melalui pengujian aflatoksin pada komoditi bahan pangan
dan pakan yang menjadi komoditas perdagangan. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mencegah kontaminasi aflatoksin, tetapi hal ini masih tetap
menjadi masalah. Berbagai negara telah mencoba membatasi paparan
aflatoksin dengan mengeluarkan peraturan batasan kadar aflatoksin pada
komoditi yang akan digunakan sebagai makanan dan pakan. Food and Drug
Administration di Amerika Serikat, misalnya, memberi batasan kadar
aflatoksin maksimum 20 ppm pada makanan dan pakan, termasuk produk-
produk kacang tanah.
E. Upaya mendiagnosis
1. Teknologi Deteksi Aflatoksin
Teknologi deteksi aflatoksin secara kuantitatif, teknik kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan cara pendeteksian yang umum
digunakan dan merupakan metode konfirmasi. Sedangkan metode semi
kuantitaf aflatoksin adalah kromatografi lapis tipis (KLT) dan Enzyme
Linked Immunoassay (ELISA), telah pula dikembangkan di laboratorium
Bbalitvet. Saat ini laboratorium Toksikologi Bbalitvet telah dapat
menentukan cemaran aflatoksin untuk kepentingan penelitian maupun
pengujian diagnostik dengan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) atau
HPLC (High Pressure Liquid Chromatography) dengan detektor fluoresen,
dimana metoda deteksi ini memerlukan tahapan derivatisasi untuk mengubah
aflatoksin menjadi senyawa berfluoresensi kuat, serta teknik ELISA.
Telah pula dikembangkan teknik deteksi menggunakan LCMS dapat
memotong tahapan derivatisasi dan memberikan hasil konfirmasi yang lebih
akurat dan diharapkan lebih sensitif. Untuk teknologi deteksi secara ELISA
telah dapat dirakit berupa kit yang dapat di suplai ke para pengguna, sehingga
laboratorium lain dalam ruang lingkup kegiatan yang hampir sama dapat
melakukan analisis aflatoksin pada laboratoriumnya.
Analisis menggunakan kit ELISA lebih disukai, karena dapat
menganalisis sampel dalam jumlah banyak dalam satu waktu analisis dan
ekstraksi sampel lebih sederhana, sehingga waktu analisis lebih cepat.
Meskipun kit serupa produksi luar negeri tersedia di Indonesia (kit impor),
namun kit hasil pengembangan Bbalitvet dapat diperoleh di dalam negeri
dengan harga relatif murah (3 kali lebih murah) .
2. Teknik Dekontaminasi
Upaya menekan kandungan aflatoksin dapat dilakukan dengan
menggunakan cendawan Neurospoa sp. dan Rhizopus sp. Selanjutnya untuk
menghindari serangan cendawan A. Flavus pada jagung dapat dilakukan
dengan sesegera mungkin menjemur tongkol jagung yang sudah dipanen
sampai kadar air 17%, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai kadar air 11%
kemudian disimpan. Pada kondisi kadar air rendah pada biji jagung, maka
tidak terserang cendawan A. Flavus. Upaya lain adalah penggunaan bahan
kimia yaitu ammonia dan asam propionate dapat negurangi jumlah spora
yang menempel pada jambul jagung, sehingga mengurangi sumber inokolum
untuk infeksi di penyimpanan.
Upaya untuk mengatasi mikotoksin adalah dengan ekstraksi
menggunakan pelarut organik, antara lain dengan kalsium klorida atau
sodium bikarbonat atau dengan pemanasan dalam air garam. Penggunaan
amonia atau monometylamine dan kalsium hidroksida juga efektif dalam
mengatasi toksin tersebut. NaOCl bisa digunakan untuk dekontaminasi pada
kacang tanah, formaldehid dan NaOH pada tepung kacang. Perendaman atau
pencelupan kacang tanah dalam p-amino benzoat, kalium sulfit, kalium
fluorida, ammonia 2%, asam propionat, Na-asetat, dan H2O2. Detoksifikasi
dengan ammonia terhadap aflatoksin adalah sangat praktis dan mudah,
sehingga banyak dipraktekkan. 

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aspergillus sp.  merupakan kapang yang tersebar luas di alam.
Kapang ini menghasilkan racun aflatoksin yang dapat mencemari bahan pangan
maupun pakan ternak. Bahan pangan terutama kacang tanah, jagung, dan biji
kapas. Terdapat 18 jenis racun aflatoksin, empat yang paling kuat daya racunnya
adalah aflatoksin B1, G1, B2, dan G2. Aflatoksin B1 bersifat karsinogen pada
manusia.
Kapang A. flavus tidak selalu menghasilkan racun sehingga adanya
kapang ini belum tentu memberikan pencemaran racun aflatoksin. Aflatoksin
yang mencemari pakan ternak dapat membahayakan kesehatan dan
produktivitas ternak. Sementara residunya pada hasil ternak dapat menyebabkan
keracunan (aflatoksikosis) baik akut maupun kronis pada manusia bila hasil
ternak tersebut dikonsumsi.
B. Saran
1. Bagi berbagai negara telah mencoba membatasi paparan aflatoksin dengan
mengeluarkan peraturan batasan kadar aflatoksin pada komoditi yang akan
digunakan sebagai makanan dan pakan.
2. Bagi seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) baik pemerintah,
petani, produsen dan konsumen pada komoditi bahan pangan dan pakan
yang berpeluang terkena cemaran aflatoksin untuk dapat melakukan Upaya
pencegahan aflatoksin dengan sebaik-baiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Dharmaputra. 2013. Kualitas Fisik, Populasi Aspergillus flavus, dan Kandungan


Aflatoksin B1 pada Biji Kacang Tanah Mentah. J Fitopatol Indones.9(4):99-
106.

Kasno A. 2010. Varietas kacang tanah tahan Aspergillus flavus sebagai komponen
esensial dalam pencegahan kontaminasi aflatoksin. Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian. 3(4):260-273.
Rahmianna. 2005. Kacang tanah: Sumber pangan sehat dan menyehatkan. Sinar Tani
Badan Litbang Pertanian. 42(3449):1-8.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 7385:2009. 2009. Batas Maksimum Kandungan


Mikotoksin dalam Pangan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

Anda mungkin juga menyukai