Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI (BPH)

Disusun Oleh :

SUMIATUN
30901301838

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2014
LAPORAN PENDAHULUAN ASKEP(BPH)
BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI
1. Pengertian
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum
pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat
obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D,
2000 : 671 ).
Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.
(Kapita Selekta,2000).
2. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum
diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada
hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah
proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1). Dihydrotestosteron(DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2). Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen
dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3). Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor
dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan
hiperplasi stroma dan epitel.
4). Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5). Teori kebangkitan Kembali (reawakening) atau reinduksi dari
kemampuan mesenkim sinus urogenital untuk berproliferasi dan
membentuk jaringan prostat.
3. Patofisiologi
Peningkatan Sel Sterm Peningkatan 5 Alfa reduktase ProsesMenua Interaksi
Sel Epitel dan Stroma Berkurangnya sel yang mati
Ketidakseimbangan hormon
( Estrogen dan testoteron )
Penyempitan Lumen Ureter Protatika
Menghambat Aliran Urina
Retensi Urina, Peningkata tekanan intra vesikal, Hidro Ureter , Hiperirritable
pada bladder, Hidronefritis, Peningkatan Kontraksi Otot detrusor dari buli-
buli, Penurunanan, Hipertropi Otot detrusor,trabekulasi
Fungsi ginjal
Terbentuknya Sekula-sekula dan difertikel buli-buli, Frekuensi Intermiten,
Disuria, Urgensi Hesistensi, Terminal dribling
4. Anatomi Dan Fisiologi
Spincter externa mengelilingi urethra di bawah vesica urinaria pada wanita,
tetapi pada laki-laki terdapat kelenjar prostat yang berada dibelakang spincter
penutup urethra. Prostat mengekskresikan cairannya ke dalam urethra pada
saat ejakulasi, cairan prostat ini memberi makanan kepada sperma. Cairan ini
memasuki urethra pars prostatika dari vas deferens.
Prostat dilewati oleh :
1. Ductus ejakulatorius, terdiri dari 2 buah berasal dari vesica seminalis
bermuara ke urethra.
2. Urethra itu sendiri, yang panjangnya 17 – 23 cm.
Secara otomatis besarnya prostat adalah sebagai berikut :
1. Transversal : 1,5 inchi
2. Vertical : 1,25 inchi
3. Anterior Posterior : 0,75 inchi
Prostat terdiri dari 5 lobus yaitu :
1. Dua lobus lateralis
2. Satu lobus posterior
3. Satu lobus anterior
4. Satu lobus medial
Kelenjar prostat kira-kira sebesar buah kenari besar, letaknya di bawah
kandung kemih. Normal beratnya prostat pada orang dewasa diperkirakan 20
gram.
Ada 3 cara untuk mengukur besarnya hipertropi prostat, yaitu
1. Rectal grading
Recthal grading atau rectal toucher dilakukan dalam keadaan buli-buli
kosong. Sebab bila buli-buli penuh dapat terjadi kesalahan dalam
penilaian. Dengan rectal toucher diperkirakan dengan beberapa cm
prostat menonjol ke dalam lumen dan rectum. Menonjolnya prostat dapat
ditentukan dalam grade. Pembagian grade sebagai berikut :
1. 0 – 1 cm……….: Grade 0
2. 1 – 2 cm……….: Grade 1
3. 2 – 3 cm……….: Grade 2
4. 3 – 4 cm……….: Grade 3
5. Lebih 4 cm…….: Grade 4
Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostat tidak dapat diraba karena
benjolan masuk ke dalam cavum rectum. Dengan menentukan rectal
grading maka didapatkan kesan besar dan beratnya prostat dan juga
penting untuk menentukan macam tindakan operasi yang akan dilakukan.
Bila kecil (grade 1), maka terapi yang baik adalah T.U.R (Trans Urethral
Resection) Bila prostat besar sekali (grade 3-4) dapat dilakukan
prostatektomy terbuka secara trans vesical.
2. Clinical grading
Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya sisa urine.
Pengukuran ini dilakukan dengan cara, pagi hari pasien bangun tidur
disuruh kemih sampai selesai, kemudian dimasukkan catheter ke dalam
kandung kemih untuk mengukur sisa urine.
1. Sisa urine 0 cc……………….…… Normal
2. Sisa urine 0 – 50 cc…………….… Grade 1
3. Sisa urine 50 – 150 cc……………. Grade 2
4. Sisa urine >150 cc………………… Grade 3
5. Sama sekali tidak bisa kemih…… Grade 4
6. Intra urethra grading.
Untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen
urethra. Pengukuran ini harus dapat dilihat dengan penendoskopy dan
sudah menjadi bidang dari urology yang spesifik.
Efek yang dapat terjadi akibat hypertropi prostat:
1. Terhadap urethra
Bila lobus medius membesar, biasanya arah ke atas mengakibatkan
urethra pars prostatika bertambah panjang, dan oleh karena fiksasi
ductus ejaculatorius maka perpanjangan akan berputar dan
mengakibatkan sumbatan.
2. Terhadap vesica urinaria
Pada vesica urinaria akan didapatkan hypertropi otot sebagai akibat
dari proses kompensasi, dimana muscle fibro menebal ini didapatkan
bagian yang mengalami depresi (lekukan) yang disebut potensial
divertikula.
Pada proses yang lebih lama akan terjadi dekompensasi dari pada
otot-otot yang hypertropi dan akibatnya terjadi atonia (tidak ada
kekuatan) dari pada otot-otot tersebut.
Kalau pembesaran terjadi pada medial lobus, ini akan membentuk
suatu post prostatika pouch, ini adalah kantong yang terdapat pada
kandung kemih dibelakang medial lobe.
Post prostatika adalah sebagai sumber dari terbentuknya residual
urine (urine yang tersisa) dan pada post prostatika pouch ini juga
selalu didapati adanya batu-batu di kandung kemih.
3. Terhadap ureter dan ginjal
Kalau keadaan urethra vesica valve baik, maka tekanan ke ekstra
vesikel tidak diteruskan ke atas, tetapi bila valve ini rusak maka
tekanan diteruskan ke atas, akibatnya otot-otot calyces, pelvis, ureter
sendiri mengalami hipertropy dan akan mengakibatkan hidronefrosis
dan akibat lanjut uremia.
4. Terhadap sex organ
Mula-mula libido meningkat, teatapi akhirnya libido menurun.
5. Gejala Benigne Prostat Hyperplasia
Berdasarkan gradenya, terbagi menjadi 4 grade yaitu :
a. Pada grade 1 (congestic)
1) Mula-mula pasien berbulan atau beberapa tahun susah kemih dan
mulai mengedan.
2) Kalau miksi merasa puas.
3) Urine keluar menetes dan pancaran lemah.
4) Nocturia
5) Urine keluar malam hari lebih dari normal.
6) Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.
7) Pada cytoscopy kelihatan hyperemia dari orificium urethra interna.
Lambat laun terjadi varices akhirnya bisa terjadi perdarahan
(blooding)
b. Pada grade 2 (residual)
1) Bila miksi terasa panas.
2) Dysuri nocturi bertambah berat.
3) Tidak bisa buang air kecil (kemih tidak puas).
4) Bisa terjadi infeksi karena sisa air kemih.
5) Terjadi panas tinggi dan bisa menggigil.
6) Nyeri pada daerah pinggang (menjalar ke ginjal).
c. Pada grade 3 (retensi urine)
1) Ischuria paradosal.
2) Incontinensia paradosal.
d. Pada grade 4
1) Kandung kemih penuh.
2) Penderita merasa kesakitan.
3) Air kemih menetes secara periodik yang disebut over flow
incontinensia.
4) Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba
ada tumor, karena bendungan yang hebat.
5) Dengan adanya infeksi penderita bisa menggigil dan panas tinggi
sekitar 40-41°C.
6) Selanjutnya penderita bisa koma.
Dari kapita selekta, 2000. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne
Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma
Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
a. Gejala Obstruktif yaitu :
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-
buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan
tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
3) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
4) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di
uretra.
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum
puas.
b. Gejala Iritasi yaitu :
1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat
terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
6. Komplikasi
a. Perdarahan
b. Inkotinensia
c. Batu kandung kemih
d. Retensi urine
e. Impotensi
f. Epididimitis
g. Haemorhoid, hernia, prolaps rectum akibat mengedan
h. Infeksi saluran kemih disebabkan karena catheterisasi
i. Hydronefrosis
Hal-hal yang harus dilakukan pada pasien setelah pulang dari rumah
sakit adalah ;
1. Latihan berat, mengangkat berat dan sexual intercourse dihindari selama
3 minggu setelah dirumah.
2. Tidak boleh membawa kendaraan.
3. Mengedan pada saat defekasi harus dihindari, faeces harus lembek kalau
perlu pemberian obat untuk melembekkan faeces.
4. Menganjurkan banyak minum untuk mencegah statis dan infeksi dan
membuat faeces lembek.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
• Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan
kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan
umum klien.
• Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
• PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai
kewaspadaan adanya keganasan.
b. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin.
Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter
dengan penilaian :
• Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
• Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
• Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
c. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
• BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase
pada tulang.
• USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi,
volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual
urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral
dan supra pubik.
• IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya
hidronefrosis.
• Pemeriksaan Panendoskop
Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli.
d. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan
gambaran adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran prostat pada bidang
transversal maupun sagital pada berbagai bidang irisan, namun
pameriksaan ini jarang dilakukan karena mahal biayanya.
e. Pemeriksaan sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada
pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat
memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau
sumber perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau
batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi
keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra
pars prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.
8. Penatalaksanaan
Modalitas terapi BPH adalah :
1) Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian
setiap tahun tergantung keadaan klien
2) Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang,
dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal
dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll),
gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.
3) Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a). Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi
urin akut.
b). Klien dengan residual urin > 100 ml.
c). Klien dengan penyulit.
d). Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e). Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
a). TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ® 90 – 95 % )
Dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada lobus medial yang
langsung mengelilingi urethra. Jaringan yang direseksi hanya sedikit
sehingga tidak terjadi perdarahan dan waktu pembedahan tidak
terlalu lama. Rectoscope disambungkan dengan arus listrik lalu di
masukkan ke dalam urethra.Kandung kemih di bilas terus menerus
selama prosedur berjalan.Pasien mendapat alat untuk masa terhadap
shock listrik dengan lempeng logam yang di beri pelumas di
tempatkan pada bawah paha.Kepingan jaringan yang halus di buang
dengan irisan dan tempat-tempat perdarahan di tutup dengan cauter.
Setelah TURP di pasang catheter Foley tiga saluran yang di
lengkapi balon 30 ml.Setelah balon catheter di kembangkan, catheter
di tarik ke bawah sehingga balon berada pada fosa prostat yang
bekerja sebagai hemostat.Ukuran catheter yang besar di pasang
untuk memperlancar pengeluaran gumpalan darah dari kandung
kemih.
Kandung kemih diirigasi terus dengan alat tetesan tiga jalur
dengan garam fisiologisatau larutan lain yang di pakai oleh ahli
bedah.Tujuan dari irigasi konstan ialah untuk membebaskan
kandung kemih dari ekuan darah yang menyumbat aliran
kemih.Irigasi kandung kemih yang konstan di hentikan setelah 24
jam bila tidak keluar bekuan dari kandung kemih.Kemudian catheter
bisa dibilas biasa tiap 4 jam sekali sampai catheter di angkat
biasanya 3 sampai 5 hari setelah operasi.Setelah catheter di angkat
pasien harus mengukur jumlah urine dan waktu tiap kali berkemih.
b). Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
Pada prostatectomy retropubic dibuat insisi pada abdominal
bawah tapi kandung kemih tidak dibuka.
c). Perianal Prostatectomy
Dilakukan pada dugaan kanker prostat, insisi dibuat diantara
scrotum dan rectum.
d). Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
Metode operasi terbuka, reseksi supra pubic kelenjar prostat
diangkat dari urethra lewat kandung kemih.
4) Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi,
Terapi Ultrasonik.
9. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan pasien dengan hipertropi prostat melalui
pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian keperawatan,
perencanaan keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.
a. Pengkajian Keperawatan
1) Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower
Urinary Tract Symptoms) antara lain:
a) Nyeri pada daerah tindakan operasi.
b) Pusing.
c) Perubahan frekuensi berkemih.
d) Urgensi.
e) Dysuria
f) Flatus negatif.
g) Luka tindakan operasi pada daerah prostat.
h) Retensi, kandung kemih penuh.
i) Inkontinensia
j) Bibir kering.
k) Puasa.
l) Bising usus negatif.
m) Ekspresi wajah meringis.
n) Pemasangan catheter tetap.
o) Gelisah.
p) Informasi kurang.
q) Urine berwarna kemerahan.
2) Pemeriksaan Fisik
• Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan
suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada
retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin
serta urosepsis sampai syok – septik.
• Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual
untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis.
Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan
menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien
akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui
ada tidaknya residual urin.
• Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose
meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun
fimosis.
• Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
• Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk
menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra
dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui
derajat dari BPH, yaitu :
a). Derajat I = beratnya ± 20 gram.
b). Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c). Derajat III = beratnya > 40 gram.
b. Diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :
1) Pre Operasi :
a) Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan
ketidakmapuan kandung kemih unmtuk berkontraksi secara
adekuat.
b) Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli –
buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
c) Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan pasca
obstruksi diuresis..
d) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
menghadapi prosedur bedah
e) Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
2) Post Operasi :
a) Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi
sekunder pada TUR-P
b) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat
selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
c) Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan
pembedahan
d) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan
akan impoten akibat dari TUR-P.
e) Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan
kurang informasi
f) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek
pembedahan
c. Intervensi
Pre Operasi
1) Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan
kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat, ditandai dengan :
a) Perubahan frekuensi berkemih.
b) Urgensi.
c) Dysuria.
d) Pemasangan catheter tetap.
e) Urine berwarna kemerahan.
Tujuan : Klien mengatakan tidak ada keluhan, dengan kriteria :
a) Catheter tetap paten pada tempatntya.
b) Tidak ada sumbatan aliran darah melalui catheter.
c) Berkemih tanpa aliran berlebihan.
d) Tidak terjadi retensi pada saat irigasi.
Rencana tindakan dan rasional
a) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba
dirasakan.
R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada
kandung kemih
b) Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran
urina
R / Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
c) Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran
perkemihan yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
d) Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.
R / Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta
membersihkan ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
e) Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)
R/ mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat
penyembuhan
2) Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli,
distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
Tujuan : Nyeri hilang / terkontrol.
Kritera hasil :
Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan
ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi
untuk situasi individu. Tampak rileks, tidur / istirahat dengan
tepat.
Rencana tindakan dan rasional
a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 – 10 ).
R / Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih /
masase urin sekitar kateter menunjukkan spasme buli-buli,
yang cenderung lebih berat pada pendekatan TURP
( biasanya menurun dalam 48 jam ).
b) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan
selang bebas dari lekukan dan bekuan.
R/ Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem,
menurunkan resiko distensi / spasme buli – buli.
c) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.
d) Berikan tindakan kenyamanan ( sentuhan terapeutik,
pengubahan posisi, pijatan punggung ) dan aktivitas
terapeutik.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali
perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
e) Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila
diindikasikan.
R/ Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema
serta meningkatkan penyembuhan ( pendekatan perineal ).
f) Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik
R / Menghilangkan spasme
3) Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca
obstruksi diuresis.
Tujuan : Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
Kriteria hasil : Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan:
tanda -tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer
baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.
Rencana tindakan dan rasional
a). Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran
100-200 ml/.
R/ Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total
karena ketidakl cukupan jumlah natrium diabsorbsi tubulus
ginjal.
b). Pantau masukan dan haluaran cairan.
R/ Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian.
c). Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan
pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
R/ Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
d). Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi
R/ Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis
sirkulasi.
e). Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium
sesuai indikasi, contoh:
Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi,
jumlah trombosit
R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan
penggantian. Serta dapat mengindikasikan terjadinya
komplikasi misalnya penurunan faktor pembekuan darah,
4) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
menghadapi prosedur bedah.
Tujuan : Pasien tampak rileks.
Kriteria hasil
Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan
rentang yang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Rencana tindakan dan rasional
a). Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
R/ Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
b). Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan
dilakukan.
R / Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu
tindakan.
c). Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah
atau perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi
pemecahan masalah
Post operasi
1) Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi
sekunder pada TUR-P
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
a) Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
b) Ekspresi wajah klien tenang.
c) Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
d) Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
e) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana tindakan :
a) Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
R/ Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
b) Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam,
untuk mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung
kemih.
R/ Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat – obatan
bisa diberikan
c) Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan
berkurang dalam 24 sampai 48 jam.
R/ Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
d) Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar
kateter.
R/ Mengurang kemungkinan spasmus.
e) Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama
sesudah tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada luka insisi
f) Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas
dalam, visualisasi.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian
dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat
selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria hasil:
a) Klien tidak mengalami infeksi.
b) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
c) Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda –
tanda shock.
Rencana tindakan:
a) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter
dengan steril.
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
b) Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga
dapat menurunkan potensial infeksi.
R/ . Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK
dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal.
c) Pertahankan posisi urobag dibawah.
R/ Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan
bakteri ke kandung kemih.
d) Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan
demam.
R/ Mencegah sebelum terjadi shock.
e) Observasi urine: warna, jumlah, bau.
R/ Mengidentifikasi adanya infeksi.
f) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
R/ Untuk mencegah infeksi dan membantu proses
penyembuhan.
3) Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan
pembedahan .
Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
a) Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
b) Tanda – tanda vital dalam batas normal .
c) Urine lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
a) Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah
pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
R/ Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui tanda – tanda
perdarahan
b) Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran
kateter
R/ Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan
peregangan dan perdarahan kandung kemih
c) Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk
memudahkan defekasi .
R/ Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan
mengendapkan perdarahan .
d) Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal
atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan prostat .
e) Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran
dan warna urine
R/ Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang
tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen .
4) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan
impoten akibat dari TUR-P.
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
a) Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
b) Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
c) Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
d) Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
Rencana tindakan :
a) Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang
pengaruh TUR – P terhadap seksual .
R/ Untuk mengetahui masalah klien .
b) Jelaskan tentang : kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti
semula dan kejadian ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
R/ Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan
berdampak disfungsi seksual
c) Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi .
R/ Bisa terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan
d) Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di
rumah sakit dan kunjungan lanjutan .
R / Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan memberikan akses
kepada penjelasan yang spesifik.
5) Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang
informasi
Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta
kebutuhan berobat lanjutan .
Kriteria hasil:
a) Klien akan melakukan perubahan perilaku.
b) Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
c) Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan
dan kebutuhan berobat lanjutan .
Rencana tindakan:
a) Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4
minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan .
b) Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama
4-6 minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai
kebutuhan.
R/ Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa
mengurangi kebutuhan mengedan pada waktu BAB
c) Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
R/ Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah .
d) Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
R/. Untuk menjamin tidak ada komplikasi .
e) Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh
R/ Untuk membantu proses penyembuhan .
d. Implementasi
Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan, yang
pelaksanaannya berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan
pada langkah sebelumnya (intervensi).
e. Evaluasi Keperawatan.
Asuhan keperawatan dalam bentuk perubahan prilaku pasien merupakan
focus dari evaluasi tujuan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University
Press. Surabaya
4. Basuki B Purnomo, 2000, Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI,
Katalog Dalam Terbitan (KTD), Jakarta.
5. Guyton, Arthur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Editor, Irawati. S,
Edisi : 9, EGC ; Jakarta.
6. Kumpulan Kuliah, 2010, Modul Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan, Cirebon.
7. Schwartz, dkk, 2000, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom
Shires dkk, EGC ; Jakarta.
8. Jong, Wim de, dan Syamsuhidayat R, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Editor :
R. Syamsuhidajat, Wim De Jong, Edisi revisi : EGC ; Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai