Anda di halaman 1dari 48

SKENARIO ROLE PLAY

PENGELOLAAN KEPERAWATAN METODE PRIMARY NURSE

Tugas disusun untuk memenuhi tugas kelompok


Mata Ajar Perilaku Organisasi dan Manajemen Pelayanan Keperawatan
Fasilitator: Dr. Hanny Handiyani, SKp., MKep.

Disusun Oleh :
Kelompok II

1. Ade Irma Dahlia (NPM. 1806256105)


2. Dina Warashati (NPM. 1806170385)
3. Laras Adythia Pratiwi (NPM. 1806256300)
4. Mira Damayanti (NPM. 1806170624)
5. Putri Nilasari (NPM. 1806170800)

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
DEPOK, 2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan
keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-
bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi
Perserikatan Bangsa -Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia. Pasal 25
Ayat (1). Deklarasi menyatakan, setiap orang berhak atas derajat hidup yang
memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk
hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan
sosial yang diperlu kan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur,
menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan
lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar
kekuasaannya. Berdasarkan Deklarasi tersebut, pasca Perang Dunia II beberapa
negara mengambil inisiatif untuk mengembangkan jaminan sosial, antara lain
jaminan kesehatan bagi semua penduduk (Uni versal Health Coverage).
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke lima juga
mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45
pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian
diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan
bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas
sumber daya di bidang kesehatan dan mem peroleh pelayanan kesehatan yang
aman, ber mutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai
kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. Untuk
mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah bertanggung
jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan.(Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013).
Untuk mengurangi risiko masyarakat menanggung biaya kesehatan dari kantong
sendiri (out of pocket), dalam jumlah yang sulit diprediksi dan kadang-kadang
memerlukan biaya yang sangat besar, diperlukan suatu jaminan dalam bentuk
asuransi kesehatan karena peserta membayar premi dengan besaran tetap. Dengan
demikian pembiayaan kesehatan ditanggung bersama secara gotong-royong oleh
keseluruhan peserta, sehingga tidak memberatkan orang per orang.

Tetapi asuransi kesehatan saja tidak cukup. Diperlukan asuransi kesehatan sosial
atau Jaminan Kesehatan Sosial (JKN). Karena asuransi kesehatan sosial
memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi terjangkau. Asuransi
kesehatan sosial menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu. Itu berarti peserta
bisa mendapatkan pelayanan bermutu memadai dengan biaya yang wajar dan
terkendali, bukan “terserah dokter” atau terserah “rumah sakit”. Serta asuransi
kesehatan sosial menjamin kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang
berkelanjutan serta memiliki portabilitas sehingga dapat digunakan di seluruh
wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, untuk melindungi seluruh warga, kepesertaan
asuransi kesehatan sosial/JKN bersifat wajib. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2016).

Undang- Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tahun
2004 mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk
termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). Namun dalam pelaksanaannya, sistem JKN ini
mengundang banyak polemik di masyarakat. Layanan BPJS Kesehatan yang
bergulir sejak 2014 menyisakan banyak persoalan, antara lain kasus peserta yang
ditolak di rumah sakit, pelayanan yang kurang memadai hingga defisit anggaran
yang menahun (Ringkang Gumiwang, 2018). Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan kerap menuai kritikan dari berbagai pihak terkait
pelayanan dan keterlambatan pembayaran, hingga menimbulkan tumpukan utang.
Selain itu, pasien yang mengakses layanan kesehatan melalui BPJS juga beberapa
kali mengaku kecewa atas berbagai bentuk pelayanan yang didapatkan.
Kekecawaan itu misalnya karena lamanya menunggu giliran mendapat kamar,
perbedaan pelayanan yang didapatkan pasien BPJS, keterbatasan jenis obat yang
disediakan, atau proses administrasi pasien yang memakan waktu.(Azanella,
2018).

Sebagai upaya optimalisasi implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional,


BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik yang mengelola keuangan Dana
Jaminan Kesehatan senantiasa menjalankan fungsi kendali mutu dan kendali
biaya dengan tetap mengutamakan mutu pelayanan kepada pasien JKN. Per 25
Juli 2018, BPJS Kesehatan menerapkan implementasi (1) Peraturan Direktur
Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Penjaminan
Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan, (2) Peraturan Direktur
Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penjaminan
Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat, dan (3) Peraturan Direktur
Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Penjaminan
Pelayanan Rehabilitasi Medik. Terbitnya peraturan ini mengacu pada ketentuan
perundang-undangan khususnya Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Pasal 24 ayat (3) yang menyebutkan
BPJS Kesehatan dapat mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem
kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk
meningkatkan, efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan.

“Kebijakan 3 Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan ini kami lakukan,


untuk memastikan peserta program JKN-KIS memperoleh manfaat pelayanan
kesehatan yang bermutu, efektif dan efisien dengan tetap memperhatikan
keberlangsungan Program JKN-KIS. Hal ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari
Rapat Tingkat Menteri awal tahun 2018 yang membahas tentang sustainibilitas
Program JKN-KIS dimana BPJS Kesehatan harus fokus pada mutu layanan dan
efektivitas pembiayaan” ujar Kepala Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat.
(Humas BPJS, 2018)
Isu akhir-akhir ini terkait pelaksanaan JKN adalah defisit anggaran. Selama tiga
tahun terakhir keuangan BPJS selalu negatif. Pada tahun 2014 defisit anggaran
perusahaan publik itu mencapai Rp3,3 triliun. Angka itu membengkak menjadi
Rp5,7 triliun tahun 2015 dan Rp9,7 triliun pada 2016. Adapun, dalam dua bulan
terakhir kekurangan anggaran BPJS mencapai Rp2 triliun. Hingga berita ini
diturunkan, BPJS defisit itu sebesar Rp7,05 miliar. Pada akhir 2018, BPJS
Kesehatan diperkirakan akan menanggung defisit anggaran sebesar Rp16 triliun
(Selly, 2018).

Untuk itu, komisi IX DPR/MPR RI membentuk tim Adhoc dalam mencari


penyebab dan penyelesaian masalah JKN ini. Tim ini diketuai oleh Prof. Budi
Hidayat. Dalam pemaparannya pada rapat sidang terbuka komisi IX DPR/MPR
RI di depan stake holder terkait, bahwa pembenahan mengenai JKN ini dibagi
dalam 6 cluster, yaitu Cluster pendanaan, Pembayaran faskes, Cluster
pemanfaatan kualitas pelayanan, Cluster output, Cluster kepesertaan, dan Cluster
tumpang tindih.

Mata kuliah Kepemimpinan dan Kebijakan Pelayanan Keperawatan mewajibkan


setiap mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan UI Program Studi Magister
Keperawatan untuk melakukan kunjungan ke DPR/MPR RI dalam rangka
Eksperiental Learning, mempelajari dan menganalisis proses pembentukan
kebijakan dalam sidang MPR. Dalam hal ini kami berhasil melihat langsung
proses sidang dan melakukan diskusi ringan bersama Ketua Komisi IX
DPR/MPR RI terkait penetapan kebijakan publik setelah sidang berakhir. Hasil
pembelajaran kami, akan kami jabarkan di Pembahasan.

1.2 Masalah
1.2.1 Bagaimana proses pembentukan kebijakan dalam sidang DPR/MPR ?
1.2.2 Bagaimana analisis kebijakan publik yang dilakukan oleh DPR/MPR ?
1.2.3 Bagaimana proses diskusi dan pemecahan masalah dalam sidang DPR/MPR?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mampu menganalisis proses pembentukan kebijakan dalam sidang
DPR/MPR
1.3.2 Mampu menjelaskan proses analisis kebijakan publik yang dilakukan oleh
DPR/MPR
1.3.3 Mampu menjelaskan langkah-langkah DPR/MPR dalam melakukan analisis
kebijakan publik
1.3.4 Mampu menjelaskan proses diskusi dan pemecahan masalah terkait kebijakan
publik dalam sidang DPR/MPR
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Asuransi Kesehatan Sosial (Jaminan Kesehatan Nasional-JKN


Sebelum membahas pengertian asuransi kesehatan sosial, beberapa pengertian yang
patut diketahui terkait dengan asuransi tersebut adalah asuransi sosial merupakan
mekanisme pengumpulan iuran yang bersifat wajib dari peserta, guna memberikan
perlindungan kepada peserta atas risiko sosial ekonomi yang menimpa mereka dan
atau anggota keluarganya (UU SJSN No.40 tahun 2004). Sistem Jaminan Sosial
Nasional adalah tata cara penyelenggaraan program Jaminan Sosial oleh Badan
Penyeleng gara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Jaminan Sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat
agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Dengan demikian,
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan
bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013). Di dalam Naskah Akademik UU SJSN tahun 2004
disebutkan bahwa Program Jaminan Kesehatan Nasional, disingkat Program JKN,
adalah suatu program pemerintah dan masyarakat dengan tujuan memberikan
kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar
penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera. UU No. 40 Tahun
2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) tidak menetapkan definisi
atau pengertian JKN dalam salah satu ayat atau pasalnya. Dengan merangkai
beberapa pasal dan ayat yang mengatur tentang program jaminan sosial, manfaat,
tujuan dan tatalaksananya, dapat dirumuskan pengertian Program Jaminan Kesehatan
Nasional sebagai berikut: “Program jaminan sosial yang menjamin biaya
pemeliharaan kesehatan serta pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan yang
diselenggarakan nasional secara bergotong-royong wajib oleh seluruh penduduk
Indonesia dengan membayar iuran berkala atau iurannya dibayari oleh Pemerintah
kepada badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan nirlaba - BPJS
Kesehatan.”(Putri, 2014)
Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi,
sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang
layak.(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)

2.2 Prinsip-prinsip Pelaksanaan JKN


Prinsip-prinsip Pelaksanaan JKN mengacu pada prinsip pada SJSN. (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2016)
2.2.1 Prinsip Kegotong-royongan

Prinsip gotong-royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang
mampu. Peserta yang sehat membantu peserta yang sakit atau berisiko tinggi. Hal ini
dapat terwujud karena sistem ini bersifat wajib bagi seluruh penduduk Indonesia.

2.2.2 Prinsip Nirlaba

Pengelolaan dana amanat oleh BPJS bukan untuk mencari laba/keuntungan.


Sebaliknya tujuan utama adalah memenuhi kebutuhan peserta. Dana yang
dikumpulkan dari peserta adalah dana amanat sehingga pengembangannya akan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.

2.2.3 Prinsip Portabilitas

Prinsip ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada


peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.2.4 Prinsip Kepersertaan

Bersifat Wajib Kepersertaan bersifat wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi
peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepersertaan bersifat wajib,
penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah
serta kelayakan penyelenggaraan program.

2.3 Kepesertaan

Beberapa pengertian tentang kepesertaan (Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia, 2013). Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja
paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar Iuran. Pekerja
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam
bentuk lain. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum,
atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara
yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan
dalam bentuk lainnya. Perpres RI No. 111 Tahun 2013 Pasal 6 menyatakan:
Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan mencakup seluruh penduduk
Indonesia. Di dalam UU SJSN diamanatkan bahwa seluruh penduduk wajib menjadi
peserta jaminan kesehatan termasuk Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal di
Indonesia lebih dari enam bulan. Untuk menjadi peserta harus membayar iuran
jaminan kesehatan. Bagi yang mempunyai upah/gaji, besaran iuran berdasarkan
persentase upah/gaji yang dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja. Bagi yang tidak
mempunyai gaji/upah besaran iurannya ditentukan dengan nilai nominal tertentu,
sedangkan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu membayar iuran maka iurannya
ditanggung oleh pemerintah. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016)

2.3.1 Kepesertaan Mandiri (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016)


Peserta mandiri adalah bukan penerima bantuan iuran, yang termasuk dalam
kategori ini adalah:
2.3.1.1 Pekerja Penerima Upah
Pekerja penerima upah adalah setiap orang yang bekerja pada pemberi kerja
dengan menerima upah atau gaji:
1) Pegawai Negeri Sipil
2) Anggota TNI/ Polri
3) Pejabat Negara
4) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri
5) Pegawai Swasta
6) Pekerja yang tidak termasuk di atas yang menerima upah.
2.3.1.2 Pekerja penerima upah dapat menyertakan anggota keluarga yang lain seperti
yang dijelaskan dalam Perpres No. 12 tahun 2013, Pasal 5, yaitu:
1) Suami/istri yang sah dari peserta.
2) Anak kandung/anak tiri dan atau anak angkat yang sah dari peserta.
Dengan kriteria tidak atau belum menikah atau mempunyai penghasilan
sendiri. Belum berusia 21 tahun atau 25 tahun yang masih melanjutkan
pendidikan formal. Bagi pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) atau disabilitas tetap terdapat mekanisme yang telah diatur
yaitu bagi pekerja yang dalam masa enam bulan tidak mampu kembali
bekerja akan dimasukkan dalam kategori PBI sedangkan yang dalam
jangka waktu enam bulan dapat bekerja kembali dapat memperpanjang
status dan melanjutkan pembayaran iuran.
2.3.1.3 Pekerja Bukan Penerima Upah
Pekerja bukan penerima upah adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha
atas risiko sendiri. Termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat
enam bulan.
1) Notaris/Pengacara/LSM dan sebagainya
2) Dokter praktik swasta/Bidan swasta dan sebagainya
3) Pedagang/Penyedia Jasa dan sebagainya
4) Petani/Peternak/Nelayan dan sebagainya
5) Pekerja Mandiri lainnya
2.3.1.4 Bukan pekerja
1) Investor
2) Pemberi kerja
3) Penerima pension
4) Veteran
5) Perintis kemerdekaan
6) Bukan pekerja yang tidak termasuk kriteria di atas. Bayi yang baru
lahir
Bayi dapat didaftarkan terhitung sejak terdeteksi adanya denyut jantung
bayi dalam kandungan, yang dibuktikan dengan melampirkan surat
keterangan dokter atau bidan. Surat keterangan dokter paling sedikit
mengandung informasi mengenai deteksi denyut jantung, usia bayi dalam
kandungan, dan hari perkiraan lahir. Mengisi formulir daftar isian peserta
seperti pendaftaran perorangan dan diserahkan ke kantor BPJS terdekat.
Iuran pertama dilakukan paling cepat setelah bayi dilahirkan dalam
keadaan hidup dan paling lambat 30 hari kalender setelah perkiraan lahir.
2.3.2 Peserta Penerima Bantuan Iuran (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2016)
Penerima Bantuan Iuran (PBI) jaminan kesehatan adalah fakir miskin dan orang
tidak mampu. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber
mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak (Kebutuhan Hidup
Layak yang selanjutnya disingkat KHL adalah standar kebutuhan yang harus
dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik,
non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.) bagi kehidupan diri dan/ atau
keluarga. Standar kehidupan yang layak diatur berdasarkan Keputusan Menteri
Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2012.

Orang tidak mampu adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji
atau upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak
mampu membayar iuran bagi dirinya maupun keluarga. Kriteria fakir miskin dan
orang tidak mampu yang terdaftar sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial No. 146
Tahun 2013.
Kategori fakir miskin dan orang tidak mampu yaitu fakir miskin dan orang tidak
mampu yang terdaftar dan fakir miskin dan orang tidak mampu yang belum terdaftar.
Fakir miskin dan orang tidak mampu yang belum terdaftar terdapat di dalam lembaga
kesejahteraan sosial maupun di luar lembaga kesejahteraan sosial yang terdiri atas:
1) Gelandangan
2) Pengemis
3) Perseorangan dari komunitas adat terpencil
4) Perempuan rawan sosial ekonomi
5) Korban tindak kekerasan
6) Pekerja migran bermasalah sosial
7) Masyarakat miskin akibat bencana alam dan sosial pasca tanggap darurat
8) Perseorangan penerima manfaat lembaga kesejahteraan sosial
9) Penghuni rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan
10) Penderita thalassemia mayor
11) Penderita Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
12) Peserta program keluarga harapan menggunakan kartu keluarga harapan
13) Penerima bantuan langsung sementara masyarakat
14) Perseorangan penerima program beras miskin

2.3.2 Cara Pendaftaran peserta PBI APBN


Pendaftaran PBI tidak dapat dilakukan secara perorangan, tetapi melalui
proses verifikasi, validasi, dan penetapan sasaran menjadi PBI sebagaimana
telah diatur oleh Kementerian Sosial RI. Informasi selanjutnya dapat
menghubungi Dinas Sosial kab/kota. Di tingkat daerah, pendaftaran
penduduk PBI APBD diatur tersendiri oleh Pemerintah Daerah (Pemda)
masing-masing. Pada umumnya, penduduk yang didaftarkan oleh Pemda
adalah penduduk miskin dan tidak mampu yang tidak terdaftar sebagai
peserta Jamkesmas atau PBI APBN.

2.3.3 Mekanisme Verifikasi PBI


Kegiatan verifikasi PBI jaminan kesehatan pengganti merupakan
pemutakhiran basis data terpadu. Pemutakhiran data diawali dengan kegiatan
musyawarah desa/musyawarah kelurahan untuk mengusulkan PBI pengganti.
Kemudian dilakukan verifikasi oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan
(TKSK). Sebelum melakukan verifikasi PBI pengganti. Hasil verifikasi
dikirim ke pusat basis data terpadu untuk memperbaharui Basis Data PBI.
Kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut. Pendaftaran PBI tidak
melalui Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Sehingga silakan
menghubungi Dinas Sosial Kabupaten / Kota setempat untuk informasi lebih
lanjut tentang PBI. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
101 tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan bahwa
data Penerima Bantuan Iuran (PBI) setiap 6 bulan akan dilakukan validasi
oleh Kementerian Sosial. Menteri Sosial telah menetapkan kriteria dan
pendataan fakir miskin dan orang tidak mampu melalui Keputusan Menteri
Sosial Republik Indonesia Nomor 146/HUK/2013 tentang Penetapan Kriteria
dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.(Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2016)
2.3.4 Pendaftaran Penduduk
Dua hal yang penting dalam pendaftaran penduduk adalah:
A. Pemberian Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada seluruh
penduduk Indonesia. • NIK adalah identitas penduduk dan merupakan
kunci akses dalam melakukan verifikasi dan validasi data diri seseorang
guna mendukung pelayanan publik. • NIK bersifat unik atau khas,
tunggal dan melekat kepada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk.
B. Pendataan penduduk rentan administrasi kependudukan
Menindaklanjuti Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 11 Tahun 2010
tentang Pedoman Pendataan dan Penerbitan Dokumen Kependudukan
bagi Penduduk Rentan Administrasi, dan Surat edaran Menteri Dalam
Negeri No. 470/41/MD Tahun 2010. Perihal petunjuk pemutakhiran data
kependudukan bagi penduduk rentan administrasi kependudukan. Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan Dinas Sosial melakukan
pendataan terhadap orang terlantar yang telah ditampung di panti dan
rumah singgah binaan Dinas Sosial dan juga memberikan penggantian
dokumen administrasi kependudukan. Terdapat beberapa masalah terkait
NIK maupun identitas ganda di masyarakat sehingga menyebabkan
permasalahan dalam pendataan.
ALUR PELAYANAN DAN PEMBENTUKAN DATA PENDUDUK
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016)

DAFTAR PENDUDUK CATATAN SIPIL


1. Pencatatan Biodata Penduduk 1. Pencatatan Kelahiran
dan Penerbitan NIK 2. Pencatatan Lahir mati
2. Pencatatan atas Pelaporan 3. Pencatatan Perkawinan
Peristiwa Kependudukan 4. Pencatatan Pembatalan Perkawinan 5.
3. Pendataan Penduduk Rentan Pencatatan Perceraian
Kependudukan 6. Pencatatan Pembatalan Perceraian 7.
4. Pelaporan Penduduk yang tidak Pencatatan Kematian
dapat melapor sendiri 8. Pencatatan Pengangkatan Pengesahan dan
Pengakuan Anak
9. Pencatatan Perubahan Nama dan
Perubahan Status Kewarganegaraan
10. Pencatatan Peristiwa Penting
11. Pelaporan Penduduk yang tidak bisa
melapor sendiri

INFORMASI KEPENDUDUKAN SISTEM


INFORMASI ADMINISTRASI DAN
KEPENDUDUKAN

DOKUMEN KEPENDUDUKAN DATABASE KEPENDUDUKAN


( Biodata, KK, KTP, Surat Keterangan Yang dimutakhirkan terus−menerus (1)
Kependudukan, Akta, Kutipan Akta) (2)

MANFAAT
Input 1. Perumusan Kebijakan
2. Perencanaan Pembangunan
3. Kebutuhan Sektor Pembangunan lain
Output
4. Pemilukada dan Pemilu
5. Penyusunan Perkembangan Kependudukan
6. Penyusunan Proyeksi Kependudukan
7. Verifikasi Jati Diri Penduduk dan Dokumen
Kependudukan
2.4 Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2016)
Manfaat JKN mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Termasuk pelayanan obat dan medis habis pakai sesuai dengan
kebutuhan medis. Manfaat pelayanan preventif dan promotif meliputi
penyuluhan kesehatan perorangan, imunisasi dasar, keluarga berencana,
skrining kesehatan. Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat
komprehensif, masih ada manfaat yang tidak dijamin meliputi:
1) Pelayanan di luar prosedur
2) Pelayanan di luar fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan
BPJS
3) Pelayanan bertujuan kosmetik
4) General check-up/pengobatan alternative
5) Pengobatan untuk mendapatkan keturunan
6) Pelayanan kesehatan saat bencana
7) Percobaan bunuh diri penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk
menyiksa diri/bunuh diri/narkoba.
Pelayanan kesehatan yang dijamin meliput pelayanan kesehatan tingkat
pertama, yaitu pelayanan kesehatan non spesialistik mencakup: Administrasi
kesehatan. Pelayanan promotif dan preventif. Pemeriksaan, pengobatan dan
konsultasi medis. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non
operatif. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai, Tranfusi darah sesuai
kebutuhan medis. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat
pertama. Rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi.

2.5 Pembiayaan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)


Setiap peserta wajib membayarkan iuran yang besarnya berdasarkan
presentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah
nominal tertentu (bukan penerima upah dan PBI). Bagi peserta PBI jaminan
kesehatan dibayarkan oleh pemerintah. Bagi peserta pekerja penerima upah
dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja. Iuran jaminan kesehatan bagi peserta
pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja dibayar oleh peserta
yang bersangkutan.
Sedangkan tatacara pembayaran kepada fasilitas kesehatan yaitu BPJS
Kesehatan membayarkan kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan
kapitasi. Sedangkan untuk fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan BPJS
membayarkan dengan cara INA CBG’s (sistem paket). Jika suatu daerah tidak
memungkinkan pembayaran berdasarkan kapitasi, BPJS Kesehatan diberi
wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih
berhasil guna. Pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh fasilitas
kesehatan yang tidak menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan dibayar
dengan penggantian biaya, yang ditagihkan langsung oleh fasilitas kesehatan
setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut. BPJS Kesehatan wajib
membayar fasilitas kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada peserta
paling lambat 15 hari sejak dokumen klaim lengkap diterima.

2.6 INA CBGs


Pembiayaan kesehatan merupakan bagian yang penting dalam implementasi
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Menurut Miller (2007) tujuan dari
pembiayaan kesehatan adalah mendorong peningkatan mutu, mendorong
layanan berorientasi pasien, mendorong efisiensi tidak memberikan reward
terhadap provider yang melakukan over treatment, under treatment maupun
melakukan adverse event dan mendorong pelayanan tim. Dengan sistem
pembiayaan yang tepat diharapkan tujuan diatas bisa tercapai. Terdapat dua
metode pembayaran rumah sakit yang digunakan yaitu metode pembayaran
retrospektif dan metode pembayaran prospektif. Metode pembayaran
retrospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas layanan
kesehatan yang diberikan kepada pasien berdasar pada setiap aktifitas layanan
yang diberikan, semakin banyak layanan kesehatan yang diberikan semakin
besar biaya yang harus dibayarkan. Contoh pola pembayaran retrospektif
adalah Fee For Services (FFS). Metode pembayaran prospektif adalah metode
pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang besarannya sudah
diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan. Contoh pembayaran
prospektif adalah global budget, Perdiem, Kapitasi dan case based payment.
Tidak ada satupun sistem pembiayaan yang sempurna, setiap sistem
pembiayaan memiliki kelebihan dan kekurangan. Berikut tabel perbandingan
kelebihan sistem pembayaran prospektif dan retrospektif.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembayaran Prospektif

KELEBIHAN KEKURANGAN

Pembayaran lebih adil Kurangnya


sesuai dengan kualitas Koding
kompleksitas akan
pelayanan menyebabkan
Provider
ketidaksesuaian
Proses klaim lebih proses grouping
cepat (pengelompokan
kasus)
Kualitas Pelayanan Pengurangan
baik Kuantitas
Pelayanan
Dapat memilih Provider merujuk
Pasien
Provider dengan ke luar / RS lain
pelayanan terbaik

Pembayar Terdapat pembagian Memerlukan


resiko keuangan pemahaman
dengan provider mengenai konsep
prospektif dalam
implementasinya
Biaya administrasi Memerlukan
lebih rendah monitoring Pasca
klaim
Mendorong
peningkatan sistem
informasi

Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembayaran Retrospektif

KELEBIHAN KEKURANGAN
Resiko keuangan Tidak ada intensif
sangat kecil untuk yang
memberikan
Provider
Preventif Care
Pendapatan RS Supplier induced-
tidak terbatas demand
Waktu tunggu yng Jumlah pasien di
lebih singkat klinik sangat
banyak
(Overcrowded
Pasien Clinics”
Lebih mudah Kualitas
mendapat pelayanan kurang
pelayanan dengan
teknologi terbaru
Mudah mencapai Biaya
kesepakatan dengan administrasi
provider tinggi untuk
Pembayar
proses klaim
Meningkatkan
resiko keuangan
Sistem pembiayaan prospektif menjadi pilihan karena :
1. Dapat mengendalikan biaya kesehatan
2. Mendorong pelayanan kesehatan tetap bermutu sesuai standar
3. Memberikan batas pelayanan kesehatan yang tidak diperlukan
berlebihan atau under use
4. Mempermudah administrasi klaim
5. Mendorong provider untuk melakukan cost containment

Di Indonesia, metode pembayaran prospektif dikenal dengan Casemix (case based


payment) dan sudah diterapkan sejak tahun 2008 sebagai metode pembayaran pada
program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Sistem casemix adalah
pengelompokan diagnosis dan prosedur dengan mengacu pada ciri klinis dan
penggunaan sumber daya atau biaya perawatan yang mirip atau sama yang
dikelompokan dengan menggunakan software grouper.

Dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diatur pola


pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan dengan INA-CBGs sesuai
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013. Untuk tarif yang
berlaku pada 1 Januari 2014, telah dilakukan penyesuaian dari tarif INA-CBG
Jamkesmas dan telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69
Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam penyelenggaraan
Jaminan Kesehatan.

Sistem casemix pertama kali dikembangkan di Indonesia pada Tahun 2006 dengan
nama INA-DRG (Indonesia- Diagnosis Related Group). Implementasi pembayaran
dengan INA-DRG dimulai pada 1 September 2008 pada 15 rumah sakit vertikal, dan
pada 1 Januari 2009 diperluas pada seluruh rumah sakit yang bekerja sama untuk
program Jamkesmas. Sejak bulan Oktober 2010 sampai Desember 2013, pembayaran
kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) Lanjutan dalam Jaminan kesehatan
masyarakat (Jamkesmas) menggunakan INA-CBG. Sejak diimplementasikannya
sistem casemix di Indonesia telah dihasilkan 3 kali perubahan besaran tarif, yaitu
tarif INA-DRG Tahun 2008, tarif INA-CBG Tahun 2013 dan tarif INA-CBG Tahun
2014. Tarif INA-CBG mempunyai 1.077 kelompok tarif terdiri dari 789 kode
grup/kelompok rawat inap dan 288 kode grup/kelompok rawat jalan, menggunakan
sistem koding dengan ICD-10 untuk diagnosis serta ICD-9-CM untuk
prosedur/tindakan. Pengelompokan kode diagnosis dan prosedur dilakukan dengan
menggunakan grouper UNU (UNU Grouper). UNUGrouper adalah Grouper casemix
yang dikembangkan oleh United Nations University (UNU).

Tarif INA-CBGs yang digunakan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional


(JKN) per 1 Januari 2014 diberlakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan,
dengan beberapa prinsip sebagai berikut :

1) Pengelompokan Tarif 7 kluster rumah sakit, yaitu :


a) Tarif Rumah Sakit Kelas A
b) Tarif Rumah Sakit Kelas B
c) Tarif Rumah Sakit Kelas B Pendidikan
d) Tarif Rumah Sakit Kelas C
e) Tarif Rumah Sakit Kelas D
f) Tarif Rumah Sakit Khusus Rujukan Nasional
g) Tarif Rumah Sakit Umum Rujukan Nasional

Pengelompokan tarif berdasarkan penyesuaian setelah melihat besaran Hospital Base


Rate (HBR) sakit yang didapatkan dari perhitungan total biaya pengeluaran rumah
sakit. Apabila dalam satu kelompok terdapat lebih dari satu rumah sakit, maka
digunakan Mean Base Rate.

1. Regionalisasi, tarif terbagi atas 5 Regional yang didasarkan pada Indeks Harga
Konsumen (IHK) dan telah disepakati bersama antara BPJS Kesehatan dengan
Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan 3.
2. Terdapat pembayaran tambahan (Top Up) dalam sistem INA-CBGs versi 4.0
untuk kasus – kasus tertentu yang masuk dalam special casemix main group
(CMG) ,meliputi :
a. Special Prosedure
b. Special Drugs
c. Special Investigation
d. Special Prosthesis
e. Special Groups Subacute dan Kronis

Top up pada special CMG tidak diberikan untuk seluruh kasus atau kondisi, tetapi
hanya diberikan pada kasus dan kondisi tertentu. Khususnya pada beberapa kasus
atau kondisi dimana rasio antara tarif INA-CBGs yang sudah dibuat berbeda cukup
besar dengan tarif RS. Penjelasan lebih rinci tentang Top Up dapat dilihat pada poin
D.

3. Tidak ada perbedaan tarif antara rumah sakit umum dan khusus, disesuaikan
dengan penetapan kelas yang dimiliki untuk semua pelayanan di rumah sakit
berdasarkan surat keputusan penetapan kelas yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kesehatan RI.
4. Tarif INA-CBGs merupakan tarif paket yang meliputi seluruh komponen sumber
daya rumah sakit yang digunakan dalam pelayanan baik medis maupun non-
medis.

Untuk Rumah Sakit yang belum memiliki penetapan kelas, maka tarif INA-CBGs
yang digunakan setara dengan Tarif Rumah Sakit Kelas D sesuai regionalisasi
masing-masing.

Penghitungan tarif INA CBGs berbasis pada data costing dan data koding rumah
sakit. Data costing didapatkan dari rumah sakit terpilih (rumah sakit sampel)
representasi dari kelas rumah sakit, jenis rumah sakit maupun kepemilikan rumah
sakit (rumah sakit swasta dan pemerintah), meliputi seluruh data biaya yang
dikeluarkan oleh rumah sakit, tidak termasuk obat yang sumber pembiayaannya dari
program pemerintah (HIV, TB, dan lainnya). Data koding diperoleh dari data koding
rumah sakit PPK Jamkesmas. Untuk penyusunan tarif JKN digunakan data costing
137 rumah sakit pemerintah dan swasta serta 6 juta data koding (kasus).

Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana


telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013, mengamanatkan
tarif ditinjau sekurang-kurangnya setiap 2 (dua) tahun. Upaya peninjauan tarif
dimaksudkan untuk mendorong agar tarif makin merefleksikan actual cost dari
pelayanan yang telah diberikan rumah sakit. Selain itu untuk meningkatkan
keberlangsungan sistem pentarifan yang berlaku, mampu mendukung kebutuhan
medis yang diperlukan dan dapat memberikan reward terhadap rumah sakit yang
memberikan pelayanan dengan outcome yang baik. Untuk itu keterlibatan rumah
sakit dalam pengumpulan data koding dan data costing yang lengkap dan akurat
sangat diperlukan dalam proses updating tarif.

2.7 APLIKASI INA-CBGs 4.0


Aplikasi INA-CBGs merupakan salah satu perangkat entri data pasien yang
digunakan untuk melakukan grouping tarif berdasarkan data yang berasal dari
resume medis. Aplikasi INA-CBGs sudah terinstall dirumah sakit yang
melayani peserta JKN, yang digunakan untuk JKN adalah INA-CBGs 4.0
Untuk menggunakan aplikasi INA-CBGs , rumah sakit sudah harus memiliki
kode registrasi rumah sakit yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina
Upaya Kesehatan, selanjutnya akan dilakukan aktifasi software INA-CBGs
setiap rumah sakit sesuai dengan kelas rumah sakit serta regionalisasinya.
Bagi rumah sakit yang ingin melakukan aktifasi aplikasi INA-CBGs dapat
mengunduh database rumah sakit sesuai dengan data rumah sakit di website
buk.depkes.go.id.

Rumah sakit harus memulai perubahan cara pandang dari pola pembayaran
fee for service ke pembayaran dari mulai tingkat manajemen rumah sakit,
dokter dan seluruh karyawan rumah sakit. Seluruh komponen dalam rumah
sakit harus bisa bekerja sama untuk melakukan upaya efisiensi dan mutu
pelayanan.dan memiliki komitmen untuk melakukan efisiensi karena
inefisiensi di salah satu bagian rumah sakit akan menjadi beban seluruh
komponen rumah sakit. Dalam proses pembentukan tarif INA-CBGs
dilakukan pengumpulan data keuangan secara agregat sehingga analisa
kecukupan tarif juga harus menggunakan data agregat, tidak bisa lagi melihat
kasus per kasus yang rugi atau untung, yang perlu dilihat adalah secara
agregat pendapatan rumah sakit, hal ini dikarenakan dalam tarif INA-CBGs
yang terdiri dari 1077 group tarif berlaku sistem subsidi silang antar group
yang ada.(BPJS Kesehatan, 2014)

2.8 FRAUD
Sejak beroperasi 1 Januari 2014 sampai sekarang BPJS Kesehatan mengalami
banyak tantangan dalam melaksanakan program jaminan kesehatan nasional
(JKN, salah satunya mencegah terjadinya tindak kecurangan (fraud). Menurut
Kepala Sub Bagian Hukum Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Kementerian Kesehatan, Andi Ardjuna Sakti, tindak kecurangan disinyalir
bisa terjadi dalam pelaksanaan JKN. Bisa dibiliang fraud adalah tindakan yang
dilakukan untuk mencari keuntungan secara tidak wajar.(BPJS Kesehatan,
2015).

Instrumen hukum itu diharapkan bisa digunakan sebagai pedoman para pihak
terkait untuk mencegah terjadinya kecurangan (fraud) dalam pelaksanaan
JKN. Mengacu pada Permenkes 36 Tahun 2015 ada sejumlah pihak yang
berpotensi melakukan fraud dalam program JKN yakni peserta, fasilitas
kesehatan tingkat pertama (FKTP), fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan
(FKRTL), petugas BPJS Kesehatan, penyedia obat dan alat kesehatan. FKTP
berpotensi melakukan kecurangan diantaranya memanfaatkan dana kapitasi
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; memanipulasi
Klaim pada pelayanan yang dibayar secara nonkapitasi; menerima komisi atas
rujukan ke FKRTL; menarik biaya dari peserta yang seharusnya telah dijamin
dalam biaya kapitasi dan/atau nonkapitasi sesuai dengan standar tariff yang
ditetapkan; melakukan rujukan pasien yang tidak sesuai dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan tertentu; untuk FKRTL bentuk-bentuk kecurangan
yang rawan dilakukan yakni penulisan kode diagnosis yang
berlebihan/upcoding; penjiplakan klaim dari pasien lain/cloning; klaim
palsu/phantom billing; penggelembungan tagihan obat dan alkes/inflated bills;
pemecahan episode pelayanan/services unbundling or fragmentation; rujukan
semu/ selfs-referals; tagihan berulang/repeat billing; memperpanjang lama
perawatan/ prolonged length of stay; memanipulasi kelas perawatan/ type of
room charge; membatalkan tindakan yang wajib dilakukan/cancelled services;
Kecurangan yang terjadi dalam program JKN sangat merugikan, bukan saja
terhadap BPJS Kesehatan dan pesertanya tapi juga negara. Sebab, sebagian
peserta BPJS Kesehatan seperti penerima bantuan iuran (PBI) dan pegawai
negeri sipil (PNS) iurannya dibayar oleh pemerintah yang anggarannya
berasal dari APBN/APBD. Untuk BPJS Kesehatan Permenkes 36 Tahun 2015
memerintahkan penyusunan kebijakan dan pedoman pencegahan Kecurangan
JKN, pengembangan budaya pencegahan Kecurangan JKN sebagai bagian
dari tata kelola organisasi yang baik dan pembentukan tim pencegahan
kecurangan JKN di BPJS Kesehatan.

Secara umum fraud terjadi karena sistem kesehatan yang berjalan


menggunakan jaminan dalam bentuk klaim. Dalam program JKN/KIS, BPJS
Kesehatan membayar pelayanan yang telah diberikan fasilitas kesehatan
seperti RS ke peserta dengan berbasis klaim. Klaim yang disusun itu
berdasarkan berbagai kode tindakan. Kode tindakan itu dapat dimanipulasi
sehingga menguntungkan oknum di RS. Akibat fraud itu BPJS Kesehatan
membayar klaim lebih besar dari yang seharusnya. Perilaku fraud itu
merupakan tindakan yang bisa menular. Jika ada pelaku fraud yang tidak
terdeteksi dan tidak ditindak, itu akan menjadi contoh bagi pihak lain untuk
melakukan fraud. Tanpa pencegahan dan penindakan maka kerugian yang
timbul akibat fraud akan terus menumpuk dan membesar.

Ada yang beranggapan tindakan itu sebagai bentuk kompensasi karena


persepsi pemberi layanan terhadap besaran tarif yang ada di INA-CBGs di
nilai rendah. Sehingga kecurangan dilakukan untuk menutupi kekurangan
besaran tarif INA-CBGs itu. Motivasi mencari 'keuntungan ekonomi'
merupakan naluri dasar manusia. Selain itu belum berjalannya penindakan
juga berpotensi memunculkan fraud dalam JKN. Salah satu titik paling rawan
potensi fraud dalam program JKN/KIS itu ada di tingkat fasilitas kesehatan
(faskes). Kalau BPJS Kesehatan sendiri relatif baik pengawasannya karena
yang mengawasi itu internal dan eksternal (DJSN, OJK). Untuk faskes seperti
fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) paling rawan melakukan rujukan
yang tidak perlu. Sementara di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan
(FKRTL) paling rawan melakukan penulisan kode diagnosis yang berlebihan
(upcoding). Potensi rawan fraud juga terjadi dalam hal klaim yang dibayar
BPJS Kesehatan ke RS. Sebab klaim yang dibayar BPJS Kesehatan mengacu
paket tarif INA-CBGs tanpa batas atas. Ini terjadi karena aturan mainnya
belum jelas, JKN/KIS ini program besar tapi regulasinya minim.

UU SJSN dan UU BPJS tidak mengatur secara jelas dan rinci tentang
penipuan atau fraud. Kedua regulasi itu hanya menekankan pada kendali mutu
dan biaya. Padahal dalam setiap skema asuransi potensi fraud itu pasti ada.
Apalagi asuransi kesehatan yang pelaksanaannya sangat rumit. Bahkan
sekalipun regulasi yang ada untuk mencegah dan menindak fraud sangat kuat,
seperti yang ada di Amerika Serikat (AS), tetap saja tidak bisa 100 persen
mencegah fraud. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi yang ketat mengatur
guna meminimalisir terjadinya fraud dalam program JKN/KIS. Untuk saat ini
Permenkes No.36 Tahun 2015 sudah cukup bagus walau memang masih perlu
disempurnakan. Apalagi peraturan itu hanya menjatuhkan sanksi administratif
saja bagi pelaku fraud. Harus ada sanksi yang lebih tegas lagi untuk mencegah
agar orang tidak berani melakukan fraud dalam program JKN/KIS.(BPJS
Kesehatan, 2015)

2.9 Masalah Kebijakan Publik


Masalah atau problem adalah ketidaksesuaian atau ketidakcocokan antara
kenyataan dengan yang diinginkan. Namun begitu, pendefinisian masalah
kebijakan perlu memperhatikan : ketidaksesuaian, tekanan-tekanan untuk
bertindak atau menyusun kebijakan, serta sumber daya yang dibutuhkan untuk
melakukan tindakan atau implementasi kebijakan. Tidak semua masalah
memiliki nilai strategis untuk diidentifikasi dan dirumuskan sebagai masalah
kebijakan. Masalah kebijakan yang strategis adalah masalah yang memiliki
dampak terkait dengan tujuan jangka panjang yang diharapkan, keamanan dan
kelangsungan negara, serta hajat hidup dan keselamatan banyak orang
sehingga perlu ditanggulangi. Masalah kebijakan harus dapat menjawab
pertanyaan bagaimana, siapa yang terlibat, kapan, bagaimana sebaiknya
permasalahan public tersebut dipecahkan, serta dimana dilaksanakan.
Ketepatan pengenalan dan identifikasi masalah strategis akan memudahkan
dalam memformulasikan, implementasi, perubahan serta pengontrolan
kebijakan. Jadi, masalah yang strategis harus memperhatikan aspek proses, isi,
serta konteks. Ketiga aspek tersebut akan menempatkan masalah menjadi
lebih mudah dianalisis dan dipecahkan melalui kebijakan, dan pada akhirnya
dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. (Ayuningtyas, 2015).

2.10 Pembentukan Agenda (Handoyo, 2012)


Suatu masalah atau isu publik dapat berkembang menjadi agenda publik atau
agenda pemerintah, tergantung pada sejauhmana kondisi permasalahan
tersebut berkembang dalam masyarakat. Mengutip pandangan Ripley,
berikut ini Kusumanegara (2010) menyebutkan beberapa kondisi yang
mempengaruhi apakah suatu masalah publik dapat bertransformasi menjadi
agenda publik atau tidak.
1. Ekstrimitas masalah, yaitu isu yang dirasakan sangat
membutuhkan pemecahan,
2. Konsentrasi masalah, yakni jika isu dari berbagai sumber akan
terkonsentrasi pada satu area,
3. Cakupan masalah, yakni jika isu tersebut memiliki dampak luas
mencakupi banyak orang,
4. Mountain Climber Problem, yakni isu tersebut akan terus berkembang
setelah program yang telah dijalankan ternyata tidak bisa memecahkan
masalah secara tuntas,
5. Analogi agenda setting, yaitu isu yang baru muncul ternyata hanya
analogi isu lama yang belum berhasil diatas
6. Simbol, jika problem berhubungan dengan simbol-simbol nasional
yang dianggap penting dan sensitif,
7. Ketersediaan teknologi, yakni jika ada teknologi yang dapat digunakan
untuk memecahkan permasalahan,
8. Ketidakhadiran peran swasta, yakni jika ada persoalan yang tidak dapat
dipecahkan melalui mekanisme pasar atau peran swasta.

Dye (dalam Widodo 2007) memahami penyusunan agenda (agenda


setting) sebagai “who decides what will be decided” atau siapa
memutuskan apa yang akan diputuskan. Tidak semua masalah publik
(public problem) dapat menjadi masalah kebijakan (policy problem).
Hanya masalah publik yang dapat menggerakkan orang banyak untuk
ikut memikirkan dan mencari solusi atas masalah yang dihadapi orang
banyak, yang dapat menjadi masalah kebijakan. Agar kebijakan publik
mampu memecahkan masalah publik, maka masalah publik harus dapat
ditransformasikan ke dalam masalah kebijakan. Kegiatan membuat
masalah publik menjadi masalah kebijakan disebut dengan penyusunan
agenda. Dengan demikian, penyusunan agenda akan memuat masalah
kebijakan yang perlu direspon oleh sistem politik yang bersumber dari
lingkungan (Widodo 2007). Proses perumusan kebijakan biasanya
diawali dengan kegiatan penyusunan agenda. Pertanyaan yang
mengemuka adalah, apa yang dimaksud dengan penyusunan agenda
(agenda setting) dan bagaimana proses tahapan agenda setting.
Penyusunan agenda diawali dari masalah yang muncul di masyarakat.
Masalah tersebut mungkin berasal dari masalah pribadi atau kelompok,
yang kemudian berkembang lebih lanjut menjadi masalah publik ketika
menyangkut hajat hidup orang banyak. Masalah privat hanya
menimbulkan dampak pada sejumlah orang, sedangkan masalah publik
menimbulkan dampak terhadap masyarakat luas. Masalah publik
diartikan sebagai masalah yang mempunyai akibat luas, temasuk yang
berakibat pada orang atau kelompok yang terlibat secara tidak langsung
(Widodo 2007).

Masalah publik dalam tahap selanjutnya dapat berkembang menjadi isu


kebijakan (policy issues). Jones (dalam Widodo 2007) mengartikan isu
kebijakan sebagai problema publik yang saling bertentangan satu dengan
lainnya. Isu juga bermakna sebagai perbedaan pendapat di kalangan
masyarakat tentang persepsi dan solusi terhadap masalah kebijakan
publik. Isu kebijakan berkenaan dengan ketidaksepakatan mengenai arah
tindakan potensial dan aktual serta mencerminkan pertentangan
pandangan mengenai sifat masalah. Isu kebijakan juga dipahami sebagai
hasil perdebatan tentang definisi, klasifikasi, eksplanasi, dan evaluasi
terhadap masalah (Dunn dalam Widodo 2007).

Pembentukan agenda yang terjadi sebagai dampak dari perluasan isu dari
perhatian kelompok tertentu ke perhatian publik yang lebih luas
tergantung pada tiga hal (Cob dan Elgar dalam Parsons 2005). Pertama,
semakin mendua suatu isu didefinisikan, semakin besar kemungkinannya
akan mencapai publik yang lebih luas. Kedua, definisi isu yang semakin
signifikan secara sosial akan semakin besar kemungkinannya
berkembang menjadi perhatian publik yang lebih luas. Ketiga, jika isu
didefinisikan sebagai isu yang memiliki relevansi jangka panjang,
semakin besar peluangnya akan terungkap ke hadapan audiensi yang
lebih luas
Dalam tahap selanjutnya, isu kebijakan dapat berkembang dan masuk ke
dalam agenda pemerintah. Agenda pemerintah adalah sejumlah daftar
masalah di mana para pejabat publik menaruh perhatian serius pada
waktu tertentu (Jones dalam Widodo 2007). Agenda pemerintah juga
dapat dipahami sebagai sejumlah daftar subjek atau masalah untuk mana
pejabat pemerintah atau orang-orang di luar pemerintahan yang memiliki
relasi dekat dengan pemerintah memberikan perhatian serius terhadap
masalah publik pada waktu tertentu (Fischer et al (ed). 2007).
Agenda pemerintah dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu agenda
sistemik (systemic agenda) dan agenda institusional (institutional
agenda). Agenda sistemik diartikan sebagai semua isu yang pada
umumnya dirasakan oleh para anggota masyarakat politik yang patut
mendapat perhatian publik dan isu tersebut berada dalam kewenangan
pemerintah. Agenda institusional dimaknai sebagai serangkaian masalah
atau isu yang secara tegas membutuhkan pertimbangan yang aktif dan
serius dari pembuat keputusan yang sah dan otoritatif.
Berkaitan dengan aliran masalah privat ke masalah publik dan isu
kebijakan, muncul pertanyaan, apakah semua masalah dapat menjadi
masalah publik. Demikian pula, dipersoalkan apakah masalah publik
dapat menjadi isu kebijakan dan dapat masuk ke dalam agenda
pemerintah. Menjawab persoalan tersebut, Walker (dalam Widodo 2007)
menegaskan bahwa suatu masalah dapat berubah menjadi masalah publik
jika (1) mempunyai dampak yang besar terhadap banyak orang, (2) ada
bukti yang meyakinkan agar lembaga legislatif mau memperhatikan
masalah tersebut sebagai masalah serius, dan (3) terdapat pemecahan
masalah yang mudah dipahami terhadap masalah yang sedang menjadi
perhatian.

Dalam kaitan dengan transformasi masalah publik menjadi masalah


kebijakan, Jones (dalam Widodo 2007) mengemukakan tiga indikator.
Pertama, ruang lingkup dan kemungkinan dukungan terhadap masalah
publik (isu) tersebut dapat dikumpulkan. Kedua, problem atau isu dinilai
penting. Ketiga, ada kemungkinan masalah publik tersebut dapat
dipecahkan. Isu kebijakan akan dapat masuk ke dalam agenda pemerintah
(sistemik) jika (1) isu tersebut memperoleh perhatian luas dari
masyarakat atau menimbulkan kesadaran masyarakat, (2) adanya
persepsi, pandangan atau pendapat publik yang luas bahwa suatu
tindakan tertentu perlu dilakukan untuk memecahkan masalah, (3)
adanya persepsi yang sama dari masyarakat bahwa masalah tersebut
merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab yang sah dari unit
pemerintahan untuk memecahkannya (Jones dalam Widodo 2007).

Penyusunan agenda atau agenda setting adalah kegiatan membuat


masalah publik (public problem) menjadi masalah kebijakan (policy
problem). Jones (dalam Widodo 2007) mengartikan agenda sebagai “a
term commonly use to portray those issues judged to require public
action”. Anderson (dalam Widodo 2007) menyebutkan lima langkah
dalam penyusunan agenda, yaitu (1) private problems, (2) public
problems, (3) issues, (4) systemic agenda, dan (5) institutional agenda.

Penyusunan agenda diawali dari masalah yang muncul di masyarakat.


Masalah tersebut mungkin berasal dari masalah pribadi atau kelompok,
yang kemudian berkembang lebih lanjut menjadi masalah publik ketika
menyangkut hajat hidup orang banyak. Masalah privat hanya
menimbulkan dampak pada sejumlah orang, sedangkan masalah publik
menimbulkan dampak terhadap masyarakat luas. Masalah publik
diartikan sebagai masalah yang mempunyai akibat luas, temasuk yang
berakibat pada orang atau kelompok yang terlibat secara tidak langsung
(Widodo 2007).

Masalah publik dalam tahap selanjutnya dapat berkembang menjadi isu


kebijakan (policy issues). Jones (dalam Widodo 2007) mengartikan isu
kebijakan sebagai problema publik yang saling bertentangan satu dengan
lainnya. Isu juga bermakna sebagai perbedaan pendapat di kalangan
masyarakat tentang persepsi dan solusi terhadap masalah kebijakan
publik. Isu kebijakan berkenaan dengan ketidaksepakatan mengenai arah
tindakan potensial dan aktual serta mencerminkan pertentangan
pandangan mengenai sifat masalah. Isu kebijakan juga dipahami sebagai
hasil perdebatan tentang definisi, klasifikasi, eksplanasi, dan evaluasi
terhadap masalah (Dunn dalam Widodo 2007).
Agenda Setting Process (Handoyo, 2012)

2.11 Analisis Kebijakan


2.11.1 Pengertian Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan sebagaimana dijelaskan Walt dan Buse Mays & Walt
dalam (Ayuningtyas, 2015) bahwa analisis kebijakan kesehatan adalah suatu
pendekatan multi disiplin dalam kebijakan public yang bertujuan menjelaskan
interaksi antara institusi, kepentingan, dan ide dalam proses pengembangan
kebijakan kesehatan. Analisis kebijakan juga dapat dipandang sebagai proses
berargumentasi dan debat untuk mengkaji secara kritis permasalahan
kebijakan. Itulah sebabnya, analisis kebijakan seringkali juga didefinisikan
sebagai “pengkomunikasian” dan penilaian kritis, pengetahuan (yang relevan
dengan kebijakan). Analisis kebijakan pada dasarnya adalah awal, bukan
akhir, dari upaya untuk meningkatkan proses pengembangan kebijakan.

2.11.2 Lingkup Analisis Kebijakan (Ayuningtyas, 2015)


Analisis kebijakan yang dilakukan dapat menggambarkan proses dan isi kebijakan.
Mengetahui isu strategis dan permasalahan kebijakan yang penting untuk
ditindaklanjuti, kekurangan dan ketidaksesuaian yang perlu di intervensi untuk
meningkatkan proses implementasi kebijakan dan mengarah hasil kesehatan yang
lebih baik. Menggambarkan kebutuhan akan intervensi yang menyoroti isu-isu
kebijakan, mengembangkan proses implementasi kebijakan dan memastikan
kebijakan tersebut berdampak pada status kesehatan yang lebih baik. Memfokuskan
analisis kebijakan pada: pembuatan kebijakan, sebab dan akibat, rekomendasi sebuah
kebijakan

2.12 Metode Analisis Kebijakan (Ayuningtyas, 2015)


Titik berat analisis kebijakan adalah pada penggunaan metodologi penelitian
modern untuk menemukan pemecahan masalah serta menghasilkan informasi
yang bermanfaat untuk pengambilan keputusan termasuk keuntungan dan/
ataukerugian yang mungkin timbul bila pemecahan masalah tersebut
diterapkan di tengah masyarakat. Metodologi yang digunakan dlam analisis
kebijakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif (Dunn, 1994) dalam
(Ayuningtyas, 2015). Namun, metode yang digunakan dalam melakukan
analisis kebijakan dapat lebih berkembang, tidak sebatas pada kualitatif atau
kuantitatif dan dapat pula berkembang sesuai dengan hasil analisis
sebelumnya.

Apapun bentuk metode yang digunakan, metode tersebut harus dapat


menggali informasi sebagai berikut :
1. Masalah kebijakan : Nilai atau kebutuhan ataukesempatan yang
belum terpenuhi, dan dapat diidentifikasi untuk diperbaiki atau
dicapai melalui tindakan publik
2. Masa depan kebijakan : Konsekuensi dari serangkaian tindakan untuk
pencapaian nilai-nilai dank arena itumerupakan penyelesaian
terhadap suatu masalah kebijakan
3. Aksi kebijakan : Gerakan atau serangkaian gerakan yang dituntut
oleh alternative kebijakan yang dirancang untuk mencapai hasil masa
depan yang bernilai
4. Hasil kebijakan : Konsekuensi yang teramati dari aksi kebijakan
5. Kinerja kebijakan : Derajat dari hasil kebijakan yang ada, dapat
memberi kontribusi terhadap pencapaian nilai-nilai

2.13 Analisis Kebijakan dalam Proses Pembuatan Kebijakan


Analisis kebijakan yang dilakukan dapat menggambarkan proses dan isi
kebijakan. Mengetahui isu strategis dan permasalahan kebijakan yang penting
untuk ditindaklanjuti, kekurangan dan ketidaksesuaian yang perlu di
intervensi untuk meningkatkan proses implementasi kebijakan dan mengarah
hasil kesehatan yang lebih baik. Menggambarkan kebutuhan akan intervensi
yang menyoroti isu-isu kebijakan, mengembangkan proses implementasi
kebijakan dan memastikan kebijakan tersebut berdampak pada status
kesehatan yang lebih baik. Memfokuskan analisis kebijakan pada: pembuatan
kebijakan, sebab dan akibat, rekomendasi sebuah kebijakan

2.14 Tahapan proses analisis KPP


1) Perumusan Masalah (Problem Stucturing)
Masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai, atau kesempatan yang
tidak terealisasi melalui tindakan publik. Ciri Masalah: interdependence,
subjectivity, artificiality dan dynamic. Tingkatan isu dalam masalah
kebijakan: Isu Utama, Isu sekunder, Isu Fungsional dan Isu Minor

2) Peramalan (Forecasting)
Prosedur untuk membuat informasi faktual tentang masalah kebijakan.
Ramalan dengan bentuk utama yaitu proyeksi, prediksi, dan perkiraan
3) Rekomendasi
Proses rasional yang memperoleh informasi dan argumen-argumen
tentang solusi dari masalah public. Prosedur umum untuk memecahkan
dengan cara deskripsi, prediksi, evaluasi dan preskripsi dengan
mempertimbangkan sesuai waktu sebelum dan setelah tindakan dengan
jenis pertanyaan yang sesuai: empirik, valuarif dan normative
4) Pemantauan
Merupakan analisa kebijakan yang menghasilkan informasi tentang
penyebab dan konsekuensi dari kebijakan public. 4 Fungsi Pemantauan:
ketundukan, pemeriksaan, akuntansi dan eksplanasi. 2 Jenis hasil
kebijakan: Keluaran dan dampak
5) Evaluasi
Membedakan metode, hubungan antara nilai dan fakta, orientasi masa
kini dan masa lalu dan dualitas nilai. Kriteria evaluasi Kebijakan:
Efektivitas, estimasi, kecukupan, kesamaan, daya tanggap dan kelayakan.
3 Pendekatan utama dalam analisis kebijakan: evaluasi semu, evaluasi
formal dan evaluasi teoritis keputusan

2.15 Tahap Proses Analisis Kebijakan


1) Menentukan Konteks
2) Menetapkan Masalah
3) Menggali Bukti
4) Memperhitungkan Pilihan Kebijakan yang Berbeda
5) Memproyeksi Dampak
6) Menetapkan Kriteria Evaluasi
7) Menimbang Dampak
8) Membuat Keputusan

2.15.1 Faktor yang mempengaruhi kebijakan


1) Faktor Situasional Yang Bersifat Sementara, contohnya : Kerusuhan atau
kudeta pemerintahan
2) Faktor Struktural (Bersifat permanen), contohnya : struktur politik,
ekonomi, sistem social
3) Faktor Budaya (Nilai Sosial)
4) Faktor Lingkungan (Faktor Internasional/ Eksternal), contohnya :
perjanjian perdagangan yang mempengaruhi hubungan organisasi
bilateral dan multilateral

Masalah kesehatan adalah suatu situasi atau kondisi yang telah terjadi
atau memiliki potensi yang berdampak pada kesehatan masyarakat.
Menurut Collins (2004), masalah merupakan tahapan yang krusial dalam
analisis kebijakan. Sangat penting untuk melihat pernyataan masalah
secara berulang dalam proses analisis kebijakan. Agar hasil analisis
kebijakan tepat mengenai akar masalah. Dalam penetapan masalah, ada 3
kondisi yang diperlukan pada saat riset
1) Ketidaksesuaian antara kenyataan dengan kondisi ideal atau yang telah
direncanakan
2) Alasan ketidaksesuaian
3) Adanya alternatif penyelesaian masalah lebih dari 1 (satu)
Menggali bukti merupakan pengumpulan data yang mengandung makna
dan mendukung dalam identifikasi bagian dalam masalah kebijakan yang
mungkin belum ditemukan serta alternative solusi yang memungkinkan
untuk dilakukan. Penting untuk menentukan prioritas dalam mencari
bukti untuk mendefinisikan isu kebijakan yang dianalisis agar tidak
terjadinya kesalahan dalam analisis kebijakan. Mengumpulkan bukti
dengan mengkaji literature dan melakukan survey merupakan cara yang
efektif untuk mengumpulkan informasi dan menemukan akar
permasalahan yang dapat mengarah pada solusi terhadap situasi pada
masalah yang dikaji. Setelah bukti dikumpulkan maka dilakukan
konstruksi alternatif solusi untuk mengurangi masalah. Alternatif tersebut
merupakan serangkaian cara atau strategi yang dapat digunakan untuk
mengurangi atau menyelesaikan masalah. Penting untuk memperhatikan
hubungan kebijakan terhadap factor kontekstual karena penambahan
yang sederhana pada tindakan kebijakan bias jadi menyelesaikan masalah
kebijakan

2.16 Pengembangan kebijakan: urgensi, pendekatan/ model, kontrol, &


rekomendasi
2.16.1 Alasan pengembangan kebijakan
Kebijakan yang ada masih bersifat terlalu umum
Kebijakan yang ada sulit untuk diimplementasikan di lapangan
Kebijakan yang sudah ada menandung potensi konflik
Kebijakan yang ada menemui banyak masalah permasalahan/ kesenjangan
Adanya faktor eksternal, situasi politik yang tidak stabil
2.16.2 Faktor yang diperhatikan dalam pengembangan kebijakan
Penerima pengaruh
Tujuan & hasil yang diharapkan
Implementasi
Elemen sistem politik

2.16.3 Pendekatan Pengembangan kebijakan


Model Pengembangan

1) Model Kelembagaan

2) Model sistem

3) Model Kelompok

4) Model Elite Massa

5) Model Rasional

6) Model Teori Permainan

7) Model Inkremental

8) Model Pilihan Publik


9) Model Proses

2.16.4 Dampak kebijakan publik


Meminimalkan penggunaan sumber daya yang tidak diperlukan (efficiency).
Meningkatkan partisipasi masyarakat. Mengatasi permasalahan tertentu atau
kebutuhan konkret yang berkembang di masyarakat (adequacy). Mencapai
tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak (effectiveness). Meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik.

2.16.5 Dampak kebijakan publik dapat berupa (dimensi dampak) :


Dampak pada masalah publik (pada kelompok sasaran) yg diharapakan atau
tidak. Dampak pada kelompok diluar sasaran sering disebut eksternalitas /
dampak melimpah(spillover effects). Dampak sekarang dan yg akan datang.
Dampak biaya langsung dikeluarkan untuk membiayai program dan tak
langsung (yang dikeluarkan publik akibat suatu kebijakan.

2.16.6 Dimensi dampak (Langbein, 1980):


Waktu, dimensi ini penting karena : Kebijakan dpt memberikan dampak
sekarang dan yang akan datang. Semakin lama periode waktu semakin sulit
mengukur dampak. Ini disebabkan :

a) hub kausalitas semakin kabur,

b) faktor lain yg akan dijelaskan semakin banyak,

c) jika efek thd individu dipelajari terlalu lama maka akan kesulitan
menjaga track record individu dalam waktu yg sama

d) Semakin terlambat sebuah evaluasi dilakukan akan semakin sulit mencari


data dan menganalisis pengaruh program yg diamati.

Selisih antara dampak aktual dengan yang diharapkan.


Evaluator selain memperhatikan efektivitas tujuan perlu pula memperhatikan
(a) berbagai dampak yang tak diinginkan, (b) dampak yang hanya sebagian
saja dari yg diharapkan dan (c) juga dampak yang bertentangan dari yg
diharapkan

Tingkat agregasi dampak

Dampak juga bersifat agregatif artinya bahwa dampak yg dirasakan secara


individual akan dapat merembes pada perubahan di masyarakat secara
keseluruhan

Tipe dampak

Ada 4 tipe utama dampak program :

1) Dampak pada kehidupan ekonomi : penghasilan, nilai tambah dsb

2) Dampak pada proses pembuatan kebijakan: apa yg akan dilakukan pada


kebijakan berikutnya

3) Dampak pada sikap publik : dukungan pada pemerintah, pada program


dsb

4) Dampak pada kualitas kehidupan individu, kelompok dan masyarakt yg


bersifat non ekonomis
BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pada rapat yang digelar tanggal 25/10/18 jam 14.30 di ruang rapat komisi IX DPR RI dipimpin
oleh bapak Dede Yusuf M.E.,ST, M.Si. dengan tujuan menghasilkan kebijakan terbaik mengenai
prosedur penyelenggaraan JKN. JKN merupakan kebijakan terbaik yang sudah diakui oleh
semua pihak. Untuk itu JKN harus tetap diselenggarakan dengan cara meperrtahankan kinerja
positif, dan meredam serta menihilkan hal negative. Di kesempatan kali ini ada 6 faktor yang
menjadi batasan utama:

1) Pendanaan (Financing)
2) Pembayaran (Payments) : Faskes
3) Utilisasi dan Kualitas : pemanfaatan kualitas pelayanan
4) Luaran (Outputs)
5) Kepersertaan (Memership)
6) Tumpang Tindih

Namun, pada rapat kali ini hanya membahas hingga point ke 3, dan point selanjutkan serta
keputusan akhir akan dilanjutkan dilain waktu. Tujuan pembahasan rapat kali ini adalah untuk
menghasilkan suatu kebijakan yang akan dibukukan dalam buku putih JKN yang berisi berbagai
Policy brief terkait 6 cluster utama tersebut.

3.1 Pendanaan
Pembiayaan kesehatan merupakan bagian yang penting dalam implementasi Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Dengan sistem pembiayaan yang tepat diharapkan peningkatan
mutu, layanan berorientasi pada pasien, pelayanan tim yang professional dapat tercapai.
Beberapa masalah perihal pendanaan JKN adalah belum adanya definisi operasional manfaat
dari pendanaan JKN, tentu hal ini berpengaruh pada premi yang dibayar belum sesuai standar
operasional, sehingga terjadi defisit pendanaan yang terus menerus, serta fiscal yang juga
berperan dalam pendanaan JKN. Berikut ini merupakan usulan solusi yang muncul
berdasarkan permasalahn diatas,yaitu : dibentuknya standar dan penyesuaian manfaat,
dilakukannya penghitungan ulang premi ideal, dilakukannya politik anggaran &
mainstreaming kesehatan sebagai investasi, menetapkan budgeting neutrality, menghasilkan
inovasi sumber dana potensial, membangun system dan tata kelola kepesertaan yang
terintegrasi dengan baik.

3.2 Pembayaran
Mengenai isu pembayaran INA-CBGs yang menjadi masalah utama yaitu clinical pathway
dan panduan PPK, Fairness tarif INA-CBs antara kelas, region, dan kepemilikan (public vs
swasta), transparan dan conlict intersert seting tarif, efek fomino terhadap kualitas dan
dugaan fraud (readmisi, bloody discharge, dumping, uploading). Kemudian diusulkan solusi
formulasi clinical pathway-PNPK, Kombinasi CBGs dengan index kualitas dan global
budget, Lembaga independe setting tarif (strategic purchasing dan wakil all actor,
pelembangaan medical “audit”). Sejak beroperasi 1 Januari 2014 sampai sekarang BPJS
Kesehatan mengalami banyak tantangan dalam melaksanakan program jaminan kesehatan
nasional (JKN, salah satunya mencegah terjadinya tindak kecurangan (fraud). Menurut
Kepala Sub Bagian Hukum Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian
Kesehatan, Andi Ardjuna Sakti, tindak kecurangan disinyalir bisa terjadi dalam pelaksanaan
JKN. Bisa dibiliang fraud adalah tindakan yang dilakukan untuk mencari keuntungan secara
tidak wajar.

Hasil Keputusan

• Komisi IX DPR RI meminta komitmen pemerintah untuk menutup defisit keuangan


BPJS Kesehatan sampai Tahun 2018 sesuai hasil review BPKP sesuai amanat UU No.
40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24 Tahun 2011
Tentang BPJS. Komisi IX DPR RI meminta pemerintah untuk segera menerbitkan
peraturan pelaksana dari Perpres No. 82 Tahun 2018 Tentang JKN serta mengevaluasi
peraturan teknis terkait. Komisi IX DPR RI mendesak Kemenkes untuk:

• Mempercepat terbitnya peraturan pelaksana UU No. 36 Tahun 2006 Tentang Kesehatan


• Mempercepat terbitnya PP tentang upaya promotif dan rehabilitatif sebagai amanat UU
No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa untuk menekan biaya kuratif kesehatan jiwa
sebagai salah satu penyakit kronik tertinggi

• Merumuskan kebijakan terkait JKN untuk penyakit katastropik dengan tetap


mengedepankan mutu dan martabat pelayanan

Komisi IX DPR RI mendesak BPJS Kesehatan segera menindak lanjuti amar putusan MA yang
mencabut:

• Peraturan DirJamPelKes No. 2 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Katarak


dalam Program JKN

• Peraturan DirJamPelKes No. 3 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan


dengan Bayi Lahir Sehat

• Peraturan DirJamPelKes No. 5 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Rehabilitasi Medik.

• Komisi IX DPR RI meminta Kemenkes RI, Kemenkeu RI, DJSN dan BPJS Kesehatan
untuk menyampaikan jawaban tertulis atas pertanyaan Anggota Komisi IX DPR RI
paling lambat 9 Nov 2018. Komisi IX DPR RI akan mengundang BPKP untuk
menjelaskan hasil review atas proyeksi arus kas DJS Tahun 2018 pada masa persidangan
II Tahun Sidang 2018-2019. Komisi IX DPR RI akan melanjutkan Rapat Kerja dengan
Menkes, Menkeu, RDP, Dirut BPJS, dan Ketua DJSN untuk membahas lebih lanjut Peta
Jalan Restrukturisasi Sistem Program JKN pada masa persidangan II Tahun Sidang
2018-2019.

Proses Pembahaan Kebijakan:


1. Agenda Setting :
a. Problem
b. Possible solution to the problems
c. Politic circumstances
2. Policy Formulation
3. Policy Adoption
4. Policy Implementations
5. Policy Evaluation and Termination

Policy Formulation

1. Kemenkes RI
Pelaksanaan uji public melalui pembahasan sisi teknis dan dampak implementasi
kebijakan sesuai amanah perpres No.82 Tahun 2018. Revisi Permenkes tentang
pelayanan kesehatan, sistem rujukan dan rujukan balik, pengaturan kompensasi, kendali
mutu dan kendali biaya, pencegahan dan penangan kecurangan (fraud). Penyusunan
Permenkes baru. Review kelas RS. Penerapan hasil penilaian teknologi keehatan.
Implementasi urun biaya dalam pelayanan kesehatan yangberpotensi moral hazard.
Audit medis secara berkala.
2. Kemenkeu RI
Mencairkan bantuan APBN sebesar 4,993T pada 24 September 2014. Bauran kebijakan:
a. Intercept tunggakan pemda
b. Penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau
c. Efisiensi dana operasional BPJS
d. Percepatan pencairan dana iuran PBI
e. Potongan pajak rokok
f. Efisiensi pembayaran layanan kesehatan melalui sinergi dengan badan
penyelenggara lain.
Revisi PP No. 87 Tahun 2013 tentang pengelolaan aset Jamsoskes. Meminta BPKP
melakukan review kondisi keuangan Dana Jaminan Sosial Kesehatan.
3. Dewan Jaminan Sosial Nasional
Restrukturisasi JKN:

a. Tetapkan manfaat pasti JKN

b. Naikkan iuran JKN

c. Tetapkan daftar tarif tertinggi layanan kesehatan sesuai nilai keekonomian

d. Benahi tata kelola DJSN dan BPJS Kesehatan

e. Manfaatkan data dan teknologi informasi

f. Wujudkan kepesertaan wajib dan tegakkan kepatuhan

g. Perbaiki keseimbangan piutang dan utang dana JKN

4. BPJS Kesehatan
a. Alternatif penyesuaian iuran menurut perhitungan aktuaria:
1) PBI = 36.000
2) PBPU Kelas I = 80.000, Kelas II=63.000, Kelas III= 53.000
3) PPU = 6% dari gaji pokok

b. Alternatif penyesuaian manfaat

c. Suntikan dana

Policy Adoption

Rapat terbuka Tim Adhoc Komisi IX DPR RI pada tanggal 25 oktober 2018 dan Rapat Kerja
Komisi IX DPR RI dengan Menkes dan Menkeu RI serta Rapat Dengar Pendapat dengan Ketua
DJSN dan Direktur Utama BPJS Kesehatan pada Tanggal 29 Oktober 2018 belum mencapai
tahap pengembangan kebijakan policy adoption karna belum menetapkan sebuah regulasi atau
produk kebijakan yang selanjutnya akan dilaksanakan. Hasil keputusan dari Rapat ini adalah
rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi IX DPR RI untuk Pemerintah, Kementrian
Keuangan, Kementrian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional agar
dapat dilaksanakan sebagai upaya pengendalian defisit keuangan BPJS Kesehatan.
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Rapat Komisi IX DPR RI pada tanggal 25 dan 29 Oktober 2018 belum menetapkan sebuah
regulasi atau produk kebijakan yang selanjutnya akan dilaksanakan. Rapat ini belum mencapai
tahap pengembangan kebijakan policy adoption, dimana output dari rapat ini adalah rekomendasi
yang dikeluarkan oleh Komisi IX DPR RI untuk Pemerintah, Kementrian Uang, Kementrian
Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional.
DAFTAR PUSTAKA

Ayuningtyas, Dumilah. (2015). Kebijakan Kesehatan : Prinsip dan Praktik.


Jakarta : Rajawali Pers

Azanella, L. A. (2018). Pelayanan Dikeluhkan, BPJS Kesehatan Sebut Bagian


dari Proses Perbaikan - Kompas.com. Retrieved October 26, 2018, from
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/08/16413851/pelayanan-
dikeluhkan-bpjs-kesehatan-sebut-bagian-dari-proses-perbaikan

BPJS Kesehatan. (2014). Perubahan Tarif INA-CBGs Membuat Biaya


Kesehatan Lebih Efektif. Info BPJS Kesehatan, 8.

BPJS Kesehatan. (2015). Tindak Kecurangan (Fraud) Merugikan Program


JKN (Negara). Info BPJS Kesehatan, (November), 12.

Collins, T. (2004). Health policy analysis: A Simple Tool for Policy Makers.
Journal of Royal Institute of Public Health.
Doi:10.1016/j.puhe.2004.03.006

Dunn, W.N. (2003). Pengantar analisis kebijakan publik, edisi kedua.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Handoyo, E. (2012). Kebijakan Publik. (Mustrose, Ed.). Semarang: Widya


Karya.

Humas BPJS. (2018). Terbitkan 3 Peraturan, BPJS Kesehatan Fokus Pada


Peningkatan Mutu Layanan dan Efektifitas Pembiayaan. Retrieved
October 26, 2018, from https://bpjs-
kesehatan.go.id/bpjs/index.php/post/read/2018/851/Terbitkan-3-
Peraturan-BPJS-Kesehatan-Fokus-Pada-Peningkatan-Mutu-Layanan-dan-
Efektifitas-Pembiayaan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Buku Pegangan


Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Departemen Kesehatan RI, 1–75.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Buku Panduan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) Bagi Populasi Kunci. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia (Vol. 3).

Langbein, Laura Irwin. 1980. A Guide to Statistical Methods for Program


Evaluation, London: Scott, Foreman and Company

Putri, A. E. (2014). Paham JKN Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta:


Friedrich-Ebert-Stifung Kantor Perwakilan Indonesia.

Ringkang Gumiwang. (2018). Daftar Masalah yang Bikin BPJS Kesehatan


Terseok-seok - Tirto.ID. Retrieved from https://tirto.id/daftar-masalah-
yang-bikin-bpjs-kesehatan-terseok-seok-cCGi

Rodriguez, & Garcia. (2000). Health Policy Analysis in A Nutshell.


Washington, DC. The George Washington Universitu Centel for Global
Health.

Selly, F. (2018). Dikritik, uang pajak rokok untuk atasi defisit anggaran BPJS
Kesehatan - BBC News Indonesia. Retrieved October 26, 2018, from
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45563324

Seavey, J.W., Aytur, S.A. McGrath, R.J. (2014). Health policy analysis :
Framework and Tools for Success. New York: Springerlink Publishing
Company

Anda mungkin juga menyukai