Disusun Oleh :
Kelompok II
Di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke lima juga
mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45
pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian
diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan
bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas
sumber daya di bidang kesehatan dan mem peroleh pelayanan kesehatan yang
aman, ber mutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai
kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. Untuk
mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah bertanggung
jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan.(Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013).
Untuk mengurangi risiko masyarakat menanggung biaya kesehatan dari kantong
sendiri (out of pocket), dalam jumlah yang sulit diprediksi dan kadang-kadang
memerlukan biaya yang sangat besar, diperlukan suatu jaminan dalam bentuk
asuransi kesehatan karena peserta membayar premi dengan besaran tetap. Dengan
demikian pembiayaan kesehatan ditanggung bersama secara gotong-royong oleh
keseluruhan peserta, sehingga tidak memberatkan orang per orang.
Tetapi asuransi kesehatan saja tidak cukup. Diperlukan asuransi kesehatan sosial
atau Jaminan Kesehatan Sosial (JKN). Karena asuransi kesehatan sosial
memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi terjangkau. Asuransi
kesehatan sosial menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu. Itu berarti peserta
bisa mendapatkan pelayanan bermutu memadai dengan biaya yang wajar dan
terkendali, bukan “terserah dokter” atau terserah “rumah sakit”. Serta asuransi
kesehatan sosial menjamin kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang
berkelanjutan serta memiliki portabilitas sehingga dapat digunakan di seluruh
wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, untuk melindungi seluruh warga, kepesertaan
asuransi kesehatan sosial/JKN bersifat wajib. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2016).
Undang- Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tahun
2004 mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk
termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). Namun dalam pelaksanaannya, sistem JKN ini
mengundang banyak polemik di masyarakat. Layanan BPJS Kesehatan yang
bergulir sejak 2014 menyisakan banyak persoalan, antara lain kasus peserta yang
ditolak di rumah sakit, pelayanan yang kurang memadai hingga defisit anggaran
yang menahun (Ringkang Gumiwang, 2018). Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan kerap menuai kritikan dari berbagai pihak terkait
pelayanan dan keterlambatan pembayaran, hingga menimbulkan tumpukan utang.
Selain itu, pasien yang mengakses layanan kesehatan melalui BPJS juga beberapa
kali mengaku kecewa atas berbagai bentuk pelayanan yang didapatkan.
Kekecawaan itu misalnya karena lamanya menunggu giliran mendapat kamar,
perbedaan pelayanan yang didapatkan pasien BPJS, keterbatasan jenis obat yang
disediakan, atau proses administrasi pasien yang memakan waktu.(Azanella,
2018).
1.2 Masalah
1.2.1 Bagaimana proses pembentukan kebijakan dalam sidang DPR/MPR ?
1.2.2 Bagaimana analisis kebijakan publik yang dilakukan oleh DPR/MPR ?
1.2.3 Bagaimana proses diskusi dan pemecahan masalah dalam sidang DPR/MPR?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mampu menganalisis proses pembentukan kebijakan dalam sidang
DPR/MPR
1.3.2 Mampu menjelaskan proses analisis kebijakan publik yang dilakukan oleh
DPR/MPR
1.3.3 Mampu menjelaskan langkah-langkah DPR/MPR dalam melakukan analisis
kebijakan publik
1.3.4 Mampu menjelaskan proses diskusi dan pemecahan masalah terkait kebijakan
publik dalam sidang DPR/MPR
BAB II
TINJAUAN TEORI
Prinsip gotong-royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang
mampu. Peserta yang sehat membantu peserta yang sakit atau berisiko tinggi. Hal ini
dapat terwujud karena sistem ini bersifat wajib bagi seluruh penduduk Indonesia.
Bersifat Wajib Kepersertaan bersifat wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi
peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepersertaan bersifat wajib,
penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah
serta kelayakan penyelenggaraan program.
2.3 Kepesertaan
Orang tidak mampu adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji
atau upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak
mampu membayar iuran bagi dirinya maupun keluarga. Kriteria fakir miskin dan
orang tidak mampu yang terdaftar sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial No. 146
Tahun 2013.
Kategori fakir miskin dan orang tidak mampu yaitu fakir miskin dan orang tidak
mampu yang terdaftar dan fakir miskin dan orang tidak mampu yang belum terdaftar.
Fakir miskin dan orang tidak mampu yang belum terdaftar terdapat di dalam lembaga
kesejahteraan sosial maupun di luar lembaga kesejahteraan sosial yang terdiri atas:
1) Gelandangan
2) Pengemis
3) Perseorangan dari komunitas adat terpencil
4) Perempuan rawan sosial ekonomi
5) Korban tindak kekerasan
6) Pekerja migran bermasalah sosial
7) Masyarakat miskin akibat bencana alam dan sosial pasca tanggap darurat
8) Perseorangan penerima manfaat lembaga kesejahteraan sosial
9) Penghuni rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan
10) Penderita thalassemia mayor
11) Penderita Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
12) Peserta program keluarga harapan menggunakan kartu keluarga harapan
13) Penerima bantuan langsung sementara masyarakat
14) Perseorangan penerima program beras miskin
MANFAAT
Input 1. Perumusan Kebijakan
2. Perencanaan Pembangunan
3. Kebutuhan Sektor Pembangunan lain
Output
4. Pemilukada dan Pemilu
5. Penyusunan Perkembangan Kependudukan
6. Penyusunan Proyeksi Kependudukan
7. Verifikasi Jati Diri Penduduk dan Dokumen
Kependudukan
2.4 Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2016)
Manfaat JKN mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Termasuk pelayanan obat dan medis habis pakai sesuai dengan
kebutuhan medis. Manfaat pelayanan preventif dan promotif meliputi
penyuluhan kesehatan perorangan, imunisasi dasar, keluarga berencana,
skrining kesehatan. Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat
komprehensif, masih ada manfaat yang tidak dijamin meliputi:
1) Pelayanan di luar prosedur
2) Pelayanan di luar fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan
BPJS
3) Pelayanan bertujuan kosmetik
4) General check-up/pengobatan alternative
5) Pengobatan untuk mendapatkan keturunan
6) Pelayanan kesehatan saat bencana
7) Percobaan bunuh diri penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk
menyiksa diri/bunuh diri/narkoba.
Pelayanan kesehatan yang dijamin meliput pelayanan kesehatan tingkat
pertama, yaitu pelayanan kesehatan non spesialistik mencakup: Administrasi
kesehatan. Pelayanan promotif dan preventif. Pemeriksaan, pengobatan dan
konsultasi medis. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non
operatif. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai, Tranfusi darah sesuai
kebutuhan medis. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat
pertama. Rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi.
KELEBIHAN KEKURANGAN
KELEBIHAN KEKURANGAN
Resiko keuangan Tidak ada intensif
sangat kecil untuk yang
memberikan
Provider
Preventif Care
Pendapatan RS Supplier induced-
tidak terbatas demand
Waktu tunggu yng Jumlah pasien di
lebih singkat klinik sangat
banyak
(Overcrowded
Pasien Clinics”
Lebih mudah Kualitas
mendapat pelayanan kurang
pelayanan dengan
teknologi terbaru
Mudah mencapai Biaya
kesepakatan dengan administrasi
provider tinggi untuk
Pembayar
proses klaim
Meningkatkan
resiko keuangan
Sistem pembiayaan prospektif menjadi pilihan karena :
1. Dapat mengendalikan biaya kesehatan
2. Mendorong pelayanan kesehatan tetap bermutu sesuai standar
3. Memberikan batas pelayanan kesehatan yang tidak diperlukan
berlebihan atau under use
4. Mempermudah administrasi klaim
5. Mendorong provider untuk melakukan cost containment
Sistem casemix pertama kali dikembangkan di Indonesia pada Tahun 2006 dengan
nama INA-DRG (Indonesia- Diagnosis Related Group). Implementasi pembayaran
dengan INA-DRG dimulai pada 1 September 2008 pada 15 rumah sakit vertikal, dan
pada 1 Januari 2009 diperluas pada seluruh rumah sakit yang bekerja sama untuk
program Jamkesmas. Sejak bulan Oktober 2010 sampai Desember 2013, pembayaran
kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) Lanjutan dalam Jaminan kesehatan
masyarakat (Jamkesmas) menggunakan INA-CBG. Sejak diimplementasikannya
sistem casemix di Indonesia telah dihasilkan 3 kali perubahan besaran tarif, yaitu
tarif INA-DRG Tahun 2008, tarif INA-CBG Tahun 2013 dan tarif INA-CBG Tahun
2014. Tarif INA-CBG mempunyai 1.077 kelompok tarif terdiri dari 789 kode
grup/kelompok rawat inap dan 288 kode grup/kelompok rawat jalan, menggunakan
sistem koding dengan ICD-10 untuk diagnosis serta ICD-9-CM untuk
prosedur/tindakan. Pengelompokan kode diagnosis dan prosedur dilakukan dengan
menggunakan grouper UNU (UNU Grouper). UNUGrouper adalah Grouper casemix
yang dikembangkan oleh United Nations University (UNU).
1. Regionalisasi, tarif terbagi atas 5 Regional yang didasarkan pada Indeks Harga
Konsumen (IHK) dan telah disepakati bersama antara BPJS Kesehatan dengan
Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan 3.
2. Terdapat pembayaran tambahan (Top Up) dalam sistem INA-CBGs versi 4.0
untuk kasus – kasus tertentu yang masuk dalam special casemix main group
(CMG) ,meliputi :
a. Special Prosedure
b. Special Drugs
c. Special Investigation
d. Special Prosthesis
e. Special Groups Subacute dan Kronis
Top up pada special CMG tidak diberikan untuk seluruh kasus atau kondisi, tetapi
hanya diberikan pada kasus dan kondisi tertentu. Khususnya pada beberapa kasus
atau kondisi dimana rasio antara tarif INA-CBGs yang sudah dibuat berbeda cukup
besar dengan tarif RS. Penjelasan lebih rinci tentang Top Up dapat dilihat pada poin
D.
3. Tidak ada perbedaan tarif antara rumah sakit umum dan khusus, disesuaikan
dengan penetapan kelas yang dimiliki untuk semua pelayanan di rumah sakit
berdasarkan surat keputusan penetapan kelas yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kesehatan RI.
4. Tarif INA-CBGs merupakan tarif paket yang meliputi seluruh komponen sumber
daya rumah sakit yang digunakan dalam pelayanan baik medis maupun non-
medis.
Untuk Rumah Sakit yang belum memiliki penetapan kelas, maka tarif INA-CBGs
yang digunakan setara dengan Tarif Rumah Sakit Kelas D sesuai regionalisasi
masing-masing.
Penghitungan tarif INA CBGs berbasis pada data costing dan data koding rumah
sakit. Data costing didapatkan dari rumah sakit terpilih (rumah sakit sampel)
representasi dari kelas rumah sakit, jenis rumah sakit maupun kepemilikan rumah
sakit (rumah sakit swasta dan pemerintah), meliputi seluruh data biaya yang
dikeluarkan oleh rumah sakit, tidak termasuk obat yang sumber pembiayaannya dari
program pemerintah (HIV, TB, dan lainnya). Data koding diperoleh dari data koding
rumah sakit PPK Jamkesmas. Untuk penyusunan tarif JKN digunakan data costing
137 rumah sakit pemerintah dan swasta serta 6 juta data koding (kasus).
Rumah sakit harus memulai perubahan cara pandang dari pola pembayaran
fee for service ke pembayaran dari mulai tingkat manajemen rumah sakit,
dokter dan seluruh karyawan rumah sakit. Seluruh komponen dalam rumah
sakit harus bisa bekerja sama untuk melakukan upaya efisiensi dan mutu
pelayanan.dan memiliki komitmen untuk melakukan efisiensi karena
inefisiensi di salah satu bagian rumah sakit akan menjadi beban seluruh
komponen rumah sakit. Dalam proses pembentukan tarif INA-CBGs
dilakukan pengumpulan data keuangan secara agregat sehingga analisa
kecukupan tarif juga harus menggunakan data agregat, tidak bisa lagi melihat
kasus per kasus yang rugi atau untung, yang perlu dilihat adalah secara
agregat pendapatan rumah sakit, hal ini dikarenakan dalam tarif INA-CBGs
yang terdiri dari 1077 group tarif berlaku sistem subsidi silang antar group
yang ada.(BPJS Kesehatan, 2014)
2.8 FRAUD
Sejak beroperasi 1 Januari 2014 sampai sekarang BPJS Kesehatan mengalami
banyak tantangan dalam melaksanakan program jaminan kesehatan nasional
(JKN, salah satunya mencegah terjadinya tindak kecurangan (fraud). Menurut
Kepala Sub Bagian Hukum Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Kementerian Kesehatan, Andi Ardjuna Sakti, tindak kecurangan disinyalir
bisa terjadi dalam pelaksanaan JKN. Bisa dibiliang fraud adalah tindakan yang
dilakukan untuk mencari keuntungan secara tidak wajar.(BPJS Kesehatan,
2015).
Instrumen hukum itu diharapkan bisa digunakan sebagai pedoman para pihak
terkait untuk mencegah terjadinya kecurangan (fraud) dalam pelaksanaan
JKN. Mengacu pada Permenkes 36 Tahun 2015 ada sejumlah pihak yang
berpotensi melakukan fraud dalam program JKN yakni peserta, fasilitas
kesehatan tingkat pertama (FKTP), fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan
(FKRTL), petugas BPJS Kesehatan, penyedia obat dan alat kesehatan. FKTP
berpotensi melakukan kecurangan diantaranya memanfaatkan dana kapitasi
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; memanipulasi
Klaim pada pelayanan yang dibayar secara nonkapitasi; menerima komisi atas
rujukan ke FKRTL; menarik biaya dari peserta yang seharusnya telah dijamin
dalam biaya kapitasi dan/atau nonkapitasi sesuai dengan standar tariff yang
ditetapkan; melakukan rujukan pasien yang tidak sesuai dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan tertentu; untuk FKRTL bentuk-bentuk kecurangan
yang rawan dilakukan yakni penulisan kode diagnosis yang
berlebihan/upcoding; penjiplakan klaim dari pasien lain/cloning; klaim
palsu/phantom billing; penggelembungan tagihan obat dan alkes/inflated bills;
pemecahan episode pelayanan/services unbundling or fragmentation; rujukan
semu/ selfs-referals; tagihan berulang/repeat billing; memperpanjang lama
perawatan/ prolonged length of stay; memanipulasi kelas perawatan/ type of
room charge; membatalkan tindakan yang wajib dilakukan/cancelled services;
Kecurangan yang terjadi dalam program JKN sangat merugikan, bukan saja
terhadap BPJS Kesehatan dan pesertanya tapi juga negara. Sebab, sebagian
peserta BPJS Kesehatan seperti penerima bantuan iuran (PBI) dan pegawai
negeri sipil (PNS) iurannya dibayar oleh pemerintah yang anggarannya
berasal dari APBN/APBD. Untuk BPJS Kesehatan Permenkes 36 Tahun 2015
memerintahkan penyusunan kebijakan dan pedoman pencegahan Kecurangan
JKN, pengembangan budaya pencegahan Kecurangan JKN sebagai bagian
dari tata kelola organisasi yang baik dan pembentukan tim pencegahan
kecurangan JKN di BPJS Kesehatan.
UU SJSN dan UU BPJS tidak mengatur secara jelas dan rinci tentang
penipuan atau fraud. Kedua regulasi itu hanya menekankan pada kendali mutu
dan biaya. Padahal dalam setiap skema asuransi potensi fraud itu pasti ada.
Apalagi asuransi kesehatan yang pelaksanaannya sangat rumit. Bahkan
sekalipun regulasi yang ada untuk mencegah dan menindak fraud sangat kuat,
seperti yang ada di Amerika Serikat (AS), tetap saja tidak bisa 100 persen
mencegah fraud. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi yang ketat mengatur
guna meminimalisir terjadinya fraud dalam program JKN/KIS. Untuk saat ini
Permenkes No.36 Tahun 2015 sudah cukup bagus walau memang masih perlu
disempurnakan. Apalagi peraturan itu hanya menjatuhkan sanksi administratif
saja bagi pelaku fraud. Harus ada sanksi yang lebih tegas lagi untuk mencegah
agar orang tidak berani melakukan fraud dalam program JKN/KIS.(BPJS
Kesehatan, 2015)
Pembentukan agenda yang terjadi sebagai dampak dari perluasan isu dari
perhatian kelompok tertentu ke perhatian publik yang lebih luas
tergantung pada tiga hal (Cob dan Elgar dalam Parsons 2005). Pertama,
semakin mendua suatu isu didefinisikan, semakin besar kemungkinannya
akan mencapai publik yang lebih luas. Kedua, definisi isu yang semakin
signifikan secara sosial akan semakin besar kemungkinannya
berkembang menjadi perhatian publik yang lebih luas. Ketiga, jika isu
didefinisikan sebagai isu yang memiliki relevansi jangka panjang,
semakin besar peluangnya akan terungkap ke hadapan audiensi yang
lebih luas
Dalam tahap selanjutnya, isu kebijakan dapat berkembang dan masuk ke
dalam agenda pemerintah. Agenda pemerintah adalah sejumlah daftar
masalah di mana para pejabat publik menaruh perhatian serius pada
waktu tertentu (Jones dalam Widodo 2007). Agenda pemerintah juga
dapat dipahami sebagai sejumlah daftar subjek atau masalah untuk mana
pejabat pemerintah atau orang-orang di luar pemerintahan yang memiliki
relasi dekat dengan pemerintah memberikan perhatian serius terhadap
masalah publik pada waktu tertentu (Fischer et al (ed). 2007).
Agenda pemerintah dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu agenda
sistemik (systemic agenda) dan agenda institusional (institutional
agenda). Agenda sistemik diartikan sebagai semua isu yang pada
umumnya dirasakan oleh para anggota masyarakat politik yang patut
mendapat perhatian publik dan isu tersebut berada dalam kewenangan
pemerintah. Agenda institusional dimaknai sebagai serangkaian masalah
atau isu yang secara tegas membutuhkan pertimbangan yang aktif dan
serius dari pembuat keputusan yang sah dan otoritatif.
Berkaitan dengan aliran masalah privat ke masalah publik dan isu
kebijakan, muncul pertanyaan, apakah semua masalah dapat menjadi
masalah publik. Demikian pula, dipersoalkan apakah masalah publik
dapat menjadi isu kebijakan dan dapat masuk ke dalam agenda
pemerintah. Menjawab persoalan tersebut, Walker (dalam Widodo 2007)
menegaskan bahwa suatu masalah dapat berubah menjadi masalah publik
jika (1) mempunyai dampak yang besar terhadap banyak orang, (2) ada
bukti yang meyakinkan agar lembaga legislatif mau memperhatikan
masalah tersebut sebagai masalah serius, dan (3) terdapat pemecahan
masalah yang mudah dipahami terhadap masalah yang sedang menjadi
perhatian.
2) Peramalan (Forecasting)
Prosedur untuk membuat informasi faktual tentang masalah kebijakan.
Ramalan dengan bentuk utama yaitu proyeksi, prediksi, dan perkiraan
3) Rekomendasi
Proses rasional yang memperoleh informasi dan argumen-argumen
tentang solusi dari masalah public. Prosedur umum untuk memecahkan
dengan cara deskripsi, prediksi, evaluasi dan preskripsi dengan
mempertimbangkan sesuai waktu sebelum dan setelah tindakan dengan
jenis pertanyaan yang sesuai: empirik, valuarif dan normative
4) Pemantauan
Merupakan analisa kebijakan yang menghasilkan informasi tentang
penyebab dan konsekuensi dari kebijakan public. 4 Fungsi Pemantauan:
ketundukan, pemeriksaan, akuntansi dan eksplanasi. 2 Jenis hasil
kebijakan: Keluaran dan dampak
5) Evaluasi
Membedakan metode, hubungan antara nilai dan fakta, orientasi masa
kini dan masa lalu dan dualitas nilai. Kriteria evaluasi Kebijakan:
Efektivitas, estimasi, kecukupan, kesamaan, daya tanggap dan kelayakan.
3 Pendekatan utama dalam analisis kebijakan: evaluasi semu, evaluasi
formal dan evaluasi teoritis keputusan
Masalah kesehatan adalah suatu situasi atau kondisi yang telah terjadi
atau memiliki potensi yang berdampak pada kesehatan masyarakat.
Menurut Collins (2004), masalah merupakan tahapan yang krusial dalam
analisis kebijakan. Sangat penting untuk melihat pernyataan masalah
secara berulang dalam proses analisis kebijakan. Agar hasil analisis
kebijakan tepat mengenai akar masalah. Dalam penetapan masalah, ada 3
kondisi yang diperlukan pada saat riset
1) Ketidaksesuaian antara kenyataan dengan kondisi ideal atau yang telah
direncanakan
2) Alasan ketidaksesuaian
3) Adanya alternatif penyelesaian masalah lebih dari 1 (satu)
Menggali bukti merupakan pengumpulan data yang mengandung makna
dan mendukung dalam identifikasi bagian dalam masalah kebijakan yang
mungkin belum ditemukan serta alternative solusi yang memungkinkan
untuk dilakukan. Penting untuk menentukan prioritas dalam mencari
bukti untuk mendefinisikan isu kebijakan yang dianalisis agar tidak
terjadinya kesalahan dalam analisis kebijakan. Mengumpulkan bukti
dengan mengkaji literature dan melakukan survey merupakan cara yang
efektif untuk mengumpulkan informasi dan menemukan akar
permasalahan yang dapat mengarah pada solusi terhadap situasi pada
masalah yang dikaji. Setelah bukti dikumpulkan maka dilakukan
konstruksi alternatif solusi untuk mengurangi masalah. Alternatif tersebut
merupakan serangkaian cara atau strategi yang dapat digunakan untuk
mengurangi atau menyelesaikan masalah. Penting untuk memperhatikan
hubungan kebijakan terhadap factor kontekstual karena penambahan
yang sederhana pada tindakan kebijakan bias jadi menyelesaikan masalah
kebijakan
1) Model Kelembagaan
2) Model sistem
3) Model Kelompok
5) Model Rasional
7) Model Inkremental
c) jika efek thd individu dipelajari terlalu lama maka akan kesulitan
menjaga track record individu dalam waktu yg sama
Tipe dampak
Pada rapat yang digelar tanggal 25/10/18 jam 14.30 di ruang rapat komisi IX DPR RI dipimpin
oleh bapak Dede Yusuf M.E.,ST, M.Si. dengan tujuan menghasilkan kebijakan terbaik mengenai
prosedur penyelenggaraan JKN. JKN merupakan kebijakan terbaik yang sudah diakui oleh
semua pihak. Untuk itu JKN harus tetap diselenggarakan dengan cara meperrtahankan kinerja
positif, dan meredam serta menihilkan hal negative. Di kesempatan kali ini ada 6 faktor yang
menjadi batasan utama:
1) Pendanaan (Financing)
2) Pembayaran (Payments) : Faskes
3) Utilisasi dan Kualitas : pemanfaatan kualitas pelayanan
4) Luaran (Outputs)
5) Kepersertaan (Memership)
6) Tumpang Tindih
Namun, pada rapat kali ini hanya membahas hingga point ke 3, dan point selanjutkan serta
keputusan akhir akan dilanjutkan dilain waktu. Tujuan pembahasan rapat kali ini adalah untuk
menghasilkan suatu kebijakan yang akan dibukukan dalam buku putih JKN yang berisi berbagai
Policy brief terkait 6 cluster utama tersebut.
3.1 Pendanaan
Pembiayaan kesehatan merupakan bagian yang penting dalam implementasi Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Dengan sistem pembiayaan yang tepat diharapkan peningkatan
mutu, layanan berorientasi pada pasien, pelayanan tim yang professional dapat tercapai.
Beberapa masalah perihal pendanaan JKN adalah belum adanya definisi operasional manfaat
dari pendanaan JKN, tentu hal ini berpengaruh pada premi yang dibayar belum sesuai standar
operasional, sehingga terjadi defisit pendanaan yang terus menerus, serta fiscal yang juga
berperan dalam pendanaan JKN. Berikut ini merupakan usulan solusi yang muncul
berdasarkan permasalahn diatas,yaitu : dibentuknya standar dan penyesuaian manfaat,
dilakukannya penghitungan ulang premi ideal, dilakukannya politik anggaran &
mainstreaming kesehatan sebagai investasi, menetapkan budgeting neutrality, menghasilkan
inovasi sumber dana potensial, membangun system dan tata kelola kepesertaan yang
terintegrasi dengan baik.
3.2 Pembayaran
Mengenai isu pembayaran INA-CBGs yang menjadi masalah utama yaitu clinical pathway
dan panduan PPK, Fairness tarif INA-CBs antara kelas, region, dan kepemilikan (public vs
swasta), transparan dan conlict intersert seting tarif, efek fomino terhadap kualitas dan
dugaan fraud (readmisi, bloody discharge, dumping, uploading). Kemudian diusulkan solusi
formulasi clinical pathway-PNPK, Kombinasi CBGs dengan index kualitas dan global
budget, Lembaga independe setting tarif (strategic purchasing dan wakil all actor,
pelembangaan medical “audit”). Sejak beroperasi 1 Januari 2014 sampai sekarang BPJS
Kesehatan mengalami banyak tantangan dalam melaksanakan program jaminan kesehatan
nasional (JKN, salah satunya mencegah terjadinya tindak kecurangan (fraud). Menurut
Kepala Sub Bagian Hukum Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian
Kesehatan, Andi Ardjuna Sakti, tindak kecurangan disinyalir bisa terjadi dalam pelaksanaan
JKN. Bisa dibiliang fraud adalah tindakan yang dilakukan untuk mencari keuntungan secara
tidak wajar.
Hasil Keputusan
Komisi IX DPR RI mendesak BPJS Kesehatan segera menindak lanjuti amar putusan MA yang
mencabut:
• Komisi IX DPR RI meminta Kemenkes RI, Kemenkeu RI, DJSN dan BPJS Kesehatan
untuk menyampaikan jawaban tertulis atas pertanyaan Anggota Komisi IX DPR RI
paling lambat 9 Nov 2018. Komisi IX DPR RI akan mengundang BPKP untuk
menjelaskan hasil review atas proyeksi arus kas DJS Tahun 2018 pada masa persidangan
II Tahun Sidang 2018-2019. Komisi IX DPR RI akan melanjutkan Rapat Kerja dengan
Menkes, Menkeu, RDP, Dirut BPJS, dan Ketua DJSN untuk membahas lebih lanjut Peta
Jalan Restrukturisasi Sistem Program JKN pada masa persidangan II Tahun Sidang
2018-2019.
Policy Formulation
1. Kemenkes RI
Pelaksanaan uji public melalui pembahasan sisi teknis dan dampak implementasi
kebijakan sesuai amanah perpres No.82 Tahun 2018. Revisi Permenkes tentang
pelayanan kesehatan, sistem rujukan dan rujukan balik, pengaturan kompensasi, kendali
mutu dan kendali biaya, pencegahan dan penangan kecurangan (fraud). Penyusunan
Permenkes baru. Review kelas RS. Penerapan hasil penilaian teknologi keehatan.
Implementasi urun biaya dalam pelayanan kesehatan yangberpotensi moral hazard.
Audit medis secara berkala.
2. Kemenkeu RI
Mencairkan bantuan APBN sebesar 4,993T pada 24 September 2014. Bauran kebijakan:
a. Intercept tunggakan pemda
b. Penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau
c. Efisiensi dana operasional BPJS
d. Percepatan pencairan dana iuran PBI
e. Potongan pajak rokok
f. Efisiensi pembayaran layanan kesehatan melalui sinergi dengan badan
penyelenggara lain.
Revisi PP No. 87 Tahun 2013 tentang pengelolaan aset Jamsoskes. Meminta BPKP
melakukan review kondisi keuangan Dana Jaminan Sosial Kesehatan.
3. Dewan Jaminan Sosial Nasional
Restrukturisasi JKN:
4. BPJS Kesehatan
a. Alternatif penyesuaian iuran menurut perhitungan aktuaria:
1) PBI = 36.000
2) PBPU Kelas I = 80.000, Kelas II=63.000, Kelas III= 53.000
3) PPU = 6% dari gaji pokok
c. Suntikan dana
Policy Adoption
Rapat terbuka Tim Adhoc Komisi IX DPR RI pada tanggal 25 oktober 2018 dan Rapat Kerja
Komisi IX DPR RI dengan Menkes dan Menkeu RI serta Rapat Dengar Pendapat dengan Ketua
DJSN dan Direktur Utama BPJS Kesehatan pada Tanggal 29 Oktober 2018 belum mencapai
tahap pengembangan kebijakan policy adoption karna belum menetapkan sebuah regulasi atau
produk kebijakan yang selanjutnya akan dilaksanakan. Hasil keputusan dari Rapat ini adalah
rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi IX DPR RI untuk Pemerintah, Kementrian
Keuangan, Kementrian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional agar
dapat dilaksanakan sebagai upaya pengendalian defisit keuangan BPJS Kesehatan.
BAB IV
Rapat Komisi IX DPR RI pada tanggal 25 dan 29 Oktober 2018 belum menetapkan sebuah
regulasi atau produk kebijakan yang selanjutnya akan dilaksanakan. Rapat ini belum mencapai
tahap pengembangan kebijakan policy adoption, dimana output dari rapat ini adalah rekomendasi
yang dikeluarkan oleh Komisi IX DPR RI untuk Pemerintah, Kementrian Uang, Kementrian
Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Collins, T. (2004). Health policy analysis: A Simple Tool for Policy Makers.
Journal of Royal Institute of Public Health.
Doi:10.1016/j.puhe.2004.03.006
Selly, F. (2018). Dikritik, uang pajak rokok untuk atasi defisit anggaran BPJS
Kesehatan - BBC News Indonesia. Retrieved October 26, 2018, from
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45563324
Seavey, J.W., Aytur, S.A. McGrath, R.J. (2014). Health policy analysis :
Framework and Tools for Success. New York: Springerlink Publishing
Company