Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PRAKTIKUM SEMENTARA

BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA


PRAKTIKUM IV
PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP BIOAVAILABILITAS SUATU OBAT
DENGAN MENGGUNAKAN DATA DARAH

Disusun Oleh :

Nama : Nur Wulan Septiyani


NIM : E0018080
Kelas :3B
Kelompok : 8 (Delapan)
Dosen Pengampu : 1. apt. Arifina Fahamsya, M. Sc
2. apt. Lailana Garna N, M. Pharm., Sci

LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI


PROGRAM STUDI S-1 FARMASI
STIKes BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI
SEMESTER 6
2021
PRAKTIKUM IV

PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP BIOAVAILABILITAS

SUATU OBAT DENGAN MENGGUNAKAN DATA DARAH

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jalur pemberian obat ada 2 yaitu intravaskular dan ekstravaskular. Pada pemberian
secara intravaskular, obat akan langsung berada di sirkulasi sistemik tanpa mengalami
absorpsi, sedangkan pada pemberian secara ekstravaskular umumnya obat mengalami
absorpsi (Zunilda,.dkk, 1995).
Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui jalur
pemberian tertentu masuk ke sirkulasi sistemik (Batubara, 2008). Faktor-faktor yang
mempengaruhi bioavailabilitas yaitu obat (sifat fisiko-kimia zat aktif, formulasi, dan teknik
pembuatan), Subjek (karakteristik subjek (umur, bobot badan), kondisipatologis, posisi,
dan aktivitas tubuh (pada subjek yang sama)), Rute pemberian, Interaksi obat atau makanan
(Batubara, 2008).
Pemilihan metode bergantung pada tujuan studi, metode analisis utntuk penetapan
kadar obat dan sifat produk obat. Data darah dan data urin lazim digunakan untuk menilai
ketersediaan hayati sedian obat yang metode analisis zat berkhasiatnya telah diketahui cara
dan validitasnya. Jika cara validitas analisi belum diketahui dapat digunakan data
farmakologi dengan syarat efek farmakologik yang timbul dapat diukur secara kuntitatif,
seperti efek pada kecepatan denytu jantung atau tekanan darah yang dapat digunakan
sebagai indeks dari ketersediaan hayati obat. Untuk evaluasi ketersediaan hayati
menggunakan data respons klinik dapat mengalami perbedaan antar individu akibat
farmakokinetika dan farmakodinamik obat yang berbeda. Faktor farmakodinamik yang
mempengaruhi meliputi : umur, toleransi obat, interaksi obat, dan faktor- faktor
patofisiologik yang tidak diketahui. (Rowland, 1980)

1.2 Dasar Teori


Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral . Jalur Enternal Jalur
enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI), seperti pemberian obat
melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian melalui oral merupakanjalur
pemberianobat paling banyak digunakankarena paling murah, paling mudah, dan paling
aman. Kerugian dari pemberian melalui jalur enternal adalah absorpsinya lambat, tidak
dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar atau tidakdapat menelan. Kebanyakan obat
diberikan melalui jalur ini, selain alasan di atas jugaalasan kepraktisan dan tidak
menimbulkan rasa sakit. Bahkan dianjurkan jika obatdapat diberikan melalui jalur ini dan
untuk kepentingan emergensi (obat segera berefek), obat harus diberikan secara
enteral.Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral
adalahtransdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam
trakeamenggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui jalur ini
dapatmenimbulkan efek sistemik atau lokal (Priyanto, 2008).
Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui jalur
pemberian tertentu masuk ke sirkulasi sistemik (Batubara, 2008). Untuk suatu dosis
intravena dari obat, bioavailabilitas adalah sama dengan satu (Holford, 1998), atau
dianggap 100% masuk ke dalam tubuh (Batubara, 2008). Untuk obat yang diberikan
peroral, bioavailabilitas dapat berkurang 100% karena absorpsi yang tidak lengkap dan
eliminasi first-pass (Holford, 1998).
Menurut (Mutschler, 1999), konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh
Osser pada tahun 1945, yaitu pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan
vitamin. Istilah yang dipakai pertama kali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian
diperluas pengertiannya dengan istilah bioavailabilitas. Dimulai di negara Amerika Serikat,
barulah pada tahun 1960 istilah bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosi obat. Hal
ini disebabkan oleh semakin banyaknya produk obat yang sama yang diproduksi oleh
berbagai industri obat, adanya keluhan dari pasien dan dokter di man obat yang sama
memberikan efek terapeutik yang berbeda, kemudian dengan adanya ketentuan tidak
diperbolehkannya Apotek mengganti obat yang tertulis dalam resep dengan obat merek
lainnya. Sebagai cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai definisi tentang
bioavailabilitas dalam berbagai literatur. Bagian yang esensial dalam konsep
bioavailabilitas adalah absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur penting
dalam absorpsi obat yang perlu dipertimbangkan, yaitu kecepatan absorpsi obat dan jumlah
obat yang diabsorpsi. Kedua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang
diinginkan dengan toksisitas yang minimal. Atas dasar kedua faktor ini dapat diperkirakan
bagaimana seharusnya definisi tentang bioavailabilitas. Dua definisi berikut ini merupakan
definisi yang relative lebih sesuai dengan kedua faktor di atas adalah:
Definisi 1: Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat
dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke dalam
sirkulasi sistemik.
Definisi 2 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat
dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi.
Menurut (Shargel, 2005), parameter yang harus diperhatikan ketika menggunakan
data darah adalah sebagai berikut:
1. T maks

Waktu kadar plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang
diperlukan obat untuk mencapat kadar maksimum. Pada T maks absorbsi adalah terbesar
dan laju absorbsi sama dengan laju eliminasi obat.
2. Cp maks

Kadar plasma puncak menunjukan kadar obat maksimum dalam darah setelah
pemberian obat secara oral. Cp maks memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup
diabsoorbsi secara sistemik untuk memberikan respon terapetik.
3. AUC

AUC adalah kadar obat dalam plasma terhadap waktu, yaitu suatu ukuran dari
jumlah bioavailabilitas suatu obat.
Untuk mendapatkan data yang benar dari parameter tersebut, maka data darah yang
dipakai harus memenuhi persyaratan yang ditentukan yaitu:
- Pengambilan darah harus kontinyu selama paling sedikit tiga atau lebih baik lima kali
dari waktu paruh biologiknya
- Waktu pengambilan sampel harus menggambarkan tiga titik fase absorbsi, fase puncak
dan fase distribusi (untuk kompartemen dua), serta fase eliminasi.

1.3 Tujuan Praktikum

Tujuan umum :

Membandingkan biovailabilitas suatu obat dari rute pemakaian yang berbeda

Tujuan khusus :
- Melakukan uji bioavailabilitas suatu obat dari sediaan suspensi (peroral) dan larutan
injeksi (intamuskular dan intravena) dengan menggunakan data darah.
- Menghitung dan mengintepretasikan bioavailabilitas suatu obat.
II. ALAT DAN BAHAN YANG DIGUNAKAN

2.1 Alat

- Spektroometer

- Alat pemusing

- Disposible syringe 1 cc

- Timbangan untuk hewan uji

- Cage (kotak tikus)

- Vortex mixture

- Alat pencukur

- Alat gelas

- Feeding rube

2.2 Bahan

- Sulfametoksazol

- Asam trikloroasetat 1.5%

- Natrium nitrit 0,1 %

- Ammonium sulfamat 0,5 %

- N (Nafttil) etilen diamin dihidroklorida 0,1 %


III. CARA KERJA

3.1 Pembuatan larutan baku kerja sulfametoksazol


100mg sulfametoksazol

- Dilarutkan dalam NaOH 0,1 N dan H2SO4 4N (1:5)

- Dditambahkan aquadest ad 100 ml

- Dibuat larutan baku kerja sulfametoksazol

- Diencerkan lart.baku induk dengan aquadest sampai didapat


lart.dengan kadar 25, 50,100,200 dan 400 mcg/ml

Hasil

3.2 Penentuan panjang gelombang maksimum


Larutan baku kerja 10 dan 100 mcg/ml
- Direaksikan sesuai prosedur penetapan kadar sulfametoksazol

- Diamati dengan panjang gelombang 520-560nm


- Dibuat kurva serapan panjang gelombang dari larutan baku kerja 10&100
mcg/ml pada kertas grafik bersekala sama , ditentukan e maksimum

Hasil
-

3.3 Pembuatan kurva baku


Larutan kurva baku
- Dilakukan pengamatan pada 1 yg telah direaksikan seperti metode
penetapan kadar sulfametoksazol dalam darah dengan metode penetapan
dari bratton marshall
- Dibuat tabel dari hasil pengamatan dan buat kurva kadar larutan baku kerja
terhadap serapan pada kertas grafik bersekala sama,dihitung koefisien
korelasinya dan dibuat persamaan garisnya
Hasil
3.4 Penetapan kembali kadar sulfametoksazol yang ditambahkan dalam darah (recovery)
Lart.baku kerja kadar 10,20,30,50 dan 100 mcg/ml

- 0,5 ml baku kerja dan 0,5 ml darah ditambah 7,0 ml


aquadest,homogenkan,diamkan 15 menit
- Ditambahkan 2 ml TCA 1,5% kocok dan pusingkan, diambil supernatant
5ml
- Ditambahkan 0,5ml NaNO2 0,1%, didiamkan 3 menit

- Ditambahkan 0,5ml ammonium sulfamat 0,5%, reaksikan selama 2 menit


-ditambahkan 2,5ml N (naftil) etilen diemina hidroklorida 0,1%,
didiamkan 10 menit, amati e maksimum

Hasil

3.5 Pengumpulan sampel darah


Sampel darah
- Diambil secara i.v pada waktu : 0, 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60, 90 dan 120
menit setelah pemberian obat
- Diambil secara i.m pada waktu : 0, 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60, 90 dan 120
menit setelah pemberian obat
- Diambil secara p.o pada waktu : 0, 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60, 90 dan 120
menit setelah pemberian obat

Hasil

3.6 Penetapan kadar sulfametoksazol dalam darah


Kadar sulfametoksazol
- Ditetapkan kadar sulfametoksazol dalam cuplikan darah dengan reaksi
azotasi dari bratton marshall, diamati serapan panjang gelombang
maksimum .
- imasukkan data serapan ke persamaan garis recovery untuk mendapatkan
data kadar sulfametoksazol dalam darah dari setiap waktu pengambilan.

Hasil
DAFTAR PUSTAKA

Batubara, P. L., 2008, Farmakologi Dasar, Edisi II. Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi,
Jakarta.
Holford, N.H., 1998, Farmakokinetik dan Farmakodinamik: Pemilihan Dosis yang Rasional dan
Waktu Kerja Obat Dalam Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi IV, Penerbit Salemba
Medika, Jakarta.
Mutschler, Ernest, 1999, Dinamika Obat, Penerjemah: Mathilda B, Widianto dan Anna Setiadi Ranti,
Edisi V, Cetakan Ketiga, Penerbit ITB, Bandung.
Priyanto, 2008, Farmakologi Dasar Untuk Mahasiswa Farmasi & Keperawatan, Edisi II, Leskonfi,
Jakarta.
Rowland, M. and Tozer., T. M., 1980, Clinical Pharmacokinetics : Concept and Application, Lea
and Febiger, Philadelphia.
Shargel, Leon, 2005, Biofarmasetika Dan Farmakokinetika Terapan, Airlangga University Press,
Surabaya.
Zunilda, S.B, dan F.D. Suyatna, 1995, Pengantar Farmakologi. Dalam Farmakologi dan Terapi
Edisi kelima, Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai