Anda di halaman 1dari 47

REFERAT EPILEPSI

Oleh :
Jimmy Salomo Nugraha Tobing
112019012

Pembimbing :
dr.Hexanto Muhartomo, Sp.S(K),M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT SARAF
PANTI WILASA dr.CIPTO

Periode : 8 Februari – 13 Maret 2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai,


terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih
banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang
akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua,
kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.
Prevalensi epilepsI berkisar antara 0,5% - 2%. Di Indonesia penelitian
epidemiologi tentang epilepsy belum pernah di lakukan, namun bila dipakai
angka prevalensi yang dikemukakan, maka dapat diperkirakan bahwa bila
penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan 1,1 sampai 4,4
juta penderita penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi.
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “serangan” atau
penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang
umum terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya
dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita
maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsy merupakan
stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita
epilepsi.1
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan
mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak
klinik dan psikososial yang merugikan baik penderita maupun keluarganya. 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1Epilepsi
2.1.1 Definisi

2
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak
dan tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak. 3
Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan
berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron
yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman
elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di
otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu
episode).3
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan
International Bureau for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi
didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya factor
predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi social yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang
epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai
tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron
yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak. Status epileptikus
merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang berulang tanpa
disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.

2.1.2 Epidemiologi
 Prevalensi
Prevalensi di Negara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi
dari pada negara maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar
antara 4-7/1000 orang dan 5-74/1000 orang di negara sedang
berkembang. Daerah pedalaman memiliki angka prevalensi lebih tinggi
dibendingkan daerah perkotaanya itu 15,4/1000 (4,8-49,6) dipedalaman
dan 10,3 (2,8-37,7) diperkotaan1.
Pada negara maju, prevalensi median epilepsy yang aktif (bangkitan
dalam 5 tahun terakhir) adalah 4,9/1000 (2,3-10,3), sedangkan pada
negara berkembang di pedalaman 12,7/1000 (3,5-45,5) dan di perkotaan
5,9 (3,4-10,2). Di negara Asia, prevalensi epillepsi aktif tertinggi

3
dilaporkan di Vietnam 10,7/1000 orang dan terendah di Taiwan 2,8/1000
orang1.
Prevalensi epilepsy pada usia lanjut (>65 tahun) di negara maju
diperkirakan sekitar > 0,9%, lebih dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada
usia >75 tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi
di negara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2 dibandingkan
pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang rendah
dan usia harapan hidup rata-rata di negara maju lebih tinggi. Prevalensi
epilepsi berdasarkan jenis kelamin di negara-negara Asia, dilaporkan pria
sedikit lebih tinggi dari pada wanita1.
Kelompok studi epilepsy perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (Pokdi Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18
rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatan 2288
pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801 kasus lama. Rerata usia kasus
baru adalah 25,06 ± 16,9 tahun, sedangkan rerata usia pada kasus lama
adalah 29,2 ± 16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali ke
dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum, sedangkan sisanya
berobat ke dukun dan tidak berobat1.

2.1.3 Etiologi
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan,
yaitu:
 Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi
genetic, awitan biasanya pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan alat-alat diagnostic yang canggih kelompok ini
semakin sedikit.
 Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan
saraf pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat
(SSP), gangguan metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia
neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
serta kelainan neurodegenerative.

4
 Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya
belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom
Lennox-Gastaut dan epilepsy mioklonik.2

2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsi
(ILAE) terdiri atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis
bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi1.

 Klasifikasi ILAE 1981 untuk jenis bangkitan epilepsi


1. Bangkitan parsial / fokal
1.1 Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala somatosensorik
1.1.3. Dengan gejala otonom
1.1.4. Dengan gejala psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
1.2.2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal
bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik,
tonik atau klonik)
1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum
1.3.2. Parsial kompleks menjadi umum
1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi
umum
2. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)
2.1 Lena(absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-
tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik,

5
di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan
kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-
anak, mungkin menghilang waktu remaja atau diganti dengan
serangan tonik-klonik.
2.2 Mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang
singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau
asinkronis. Muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok
otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya
berlangsung sejenak. Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran
selama serangan. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan
ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang
berulang dan terjadinya cepat.
2.3 Klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di
sebebkan aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng
singkat. Keadaan ini diikuti sentakan bilateral yang lamanya 1 menit
sampai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi
pada satu anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya,
seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.
2.4 Tonik
Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba
meningkat dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap
yang khas. Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau
pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang
menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi. Biasanya kesadaran hilang hanya
beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
2.5 Tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang
klasik epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan
atau pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan

6
kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba penderita akan jatuh
disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian
diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-
klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat
serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya
sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan
sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan
biasanya akan tertidur setelahnya.
2.6 Atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh.
Keadaan ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-
angguk, lutut lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa
jatuh serta mendapatkan luka-luka. Biasanya penderita akan
kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba. Bangkitan ini
jarang terjadi.
3. Bangkitan tak tergolongkan

 Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi


1. Fokal / partial
1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1 Epilepsi benigna dgn gelombang paku di daerah
sentrotemporal (childhood epilepsi with centro temporal spikes)
1.1.2 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah
oksipital
1.1.3 Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsi)
1.2 Simtomatis
1.2.1 Epilepsi parsial kontinu yang kronis progresif pada anak-
anak (Kojenikow’s Syndrome)
1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan,
hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal
tinggi, membaca)

7
1.2.3 Epilepsi lobus temporal
1.2.4 Epilepsi lobusfrontal
1.2.5 Epilepsi lobus parietal
1.2.6 Epilepsi oksipital
1.3 Kriptogenik

2. Epilepsi umum
2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1 Kejang neonates familial benigna
2.1.2 Kejang neonates benigna
2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4 Epilepsi lena pada anak
2.1.5 Epilepsi lena pada remaja
2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7 Epilepsi dgn bangkitan umum tonik-klonik padasaat terjaga
2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu
diatas
2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
2.2 Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai peningkatan usia)
2.2.1 Sindrom West (spasme infantile dan spasme alam)
2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut
2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik
2.2.4 Epilepsi mioklonik lena
2.3 Simtomatis
2.3.1 Etiologinonspesifik
 Ensefalopati mioklonik dini
 Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst
suppression
 Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di
atas
2.3.2 Sindrom spesifik

8
2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1 Bangkitan umum dan fokal
3.1.1 Bangkitan neonatal
3.1.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3 Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
3.1.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
3.1.5 Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
3.2 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4.Sindrom khusus
4.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1 Kejang demam
4.1.2 Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya
sekali
4.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian
metabolik akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia,
hiperglikemi non ketotik.
4.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi
refrektorik)

Bangkitan parsial adalah apabila dari awal serangan hanya melibatkan


area otak yang terbatas (localized), sedangkan yang disebut dengan serangan
umum/ general adalah apabila sejak awal serangan melibatkan kedua
hemisfer otak.

1) Serangan parsial sederhana


Pada serangan parsial sederhana tidak disertai gangguan atau
penurunan kesadaran. Selama serangan berlangsung, penderita tetap sadar
dan mampu menjawab pertanyaan. Pada serangan parsial dengan gejala

9
motorik, pada umumnya area yang terlibat adalah korteks motorik, yang
menyebabkan adanya gangguan aktivitas otot seperti tonik atau klonik.
Pada serangan parsial dengan gejala sensorik sering muncul sebagai
halusinasi atau ilusi yang melibatkan rasa sentuh, penghidungan,
pengecapan, penglihatan dan pendengaran. Pada serangan autonomik, dapat
menyebabkan perubahan pada kecepatan denyut jantung atau pernapasan,
berkeringat, bulu roma berdiri, atau rasa aneh di dalam perut. Sedangkan,
pada serangan psikis, menunjukkan adanya gangguan pada daerah sistim
limbik dan area neokorteks pada lobus frontalis dan temporalis. Serangan ini
berdampak pada cara berpikir, berperasaan dan menerima pengalaman.
Manifestasi klinisnya antara lain rasa takut, cemas, depresi, deja vu, dan out
of body experience.

2) Serangan parsial kompleks


Pada serangan parsial kompleks terjadi penurunan kesadaran. Dalam
hal ini, penderita mengalami gangguan dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Penderita dapat tampak sadar, namun apabila diperiksa lebih
lanjut, maka penderita tidak sadar dengan lingkungannya, dan kemudian
tidak dapat mengingat kembali apa yang baru saja terjadi padanya. Ciri khas
lainnya adalah adanya automatisme pada pasien.

3) Serangan parsial yang berkembang menjadi serangan umum


Serangan umum sekunder terjadi melalui beberapa tahapan yang
merupakan refleksi dari penyebaran cetusan ke berbagai area otak yang
berbeda. Sebagai contoh, serangan parsial berlanjut menjadi serangan parsial
kompleks dan kemudian berkembang menjadi serangan umum (tonik-
klonik).

4) Serangan epilepsi umum


Serangan epilepsi umum menunjkkan terlibatnya kedua belah
hemisferium secara sinkron sejak awal. Mula serangan berupa kehilangan
kesadaran, kemudian diikuti gejala lainnya yang bervariasi. Jenis-jenis

10
serangan ini dibedakan oleh ada atau tidak adanya aktivitas motorik yang
khas.
Tonik-klonik umum : Pada serangan tonik-klonik, setelah biasanya
didahului adanya aura, pasien langsung kehilangan kesadaran, yang segera
diikuti oleh jatuhnya penderita ke tanah atau lantai. Pada tahap klonik, otot-
otot menjadi kaku dan berkontraksi yang dapat menyebabkan epileptic cry.
Rigiditas segera berhenti menjadi klonik secara sinkron yang melibatkan
kepala, wajah lengan dan tungkai. Sedangkan serangan ini biasanya
berlangsung 2-5 menit.
Absence : Pada absence, biasanya terjadi pada usia 4-14 tahun dan
seringkali menghilang pada usia 18 tahun. Serangan berupa mata terbelalak
dalam waktu singkat, disertai gangguan kesadaran, mulai tanpa tanda
peringatan dan berhenti secara mendadak dan kemudian penderita sadar
kembali seperti sediakala dengan perhatian penuh. Pada jenis absence
sederhana, penderita hanya tampak seperti melamun sejenak, sedangkan
pada serangan absence kompleks, bisa disertainya adanya automatisme.
Atonik : Serangan atonik memiliki gambaran klinis berupa hilangnya
tonus otot secara total dan mendadak, disertai hiangnya kontrol postur
tubuh. Dengan demikian, terjadi ptosis, kepala menunduk, dan penderita
jatuh ke lantai atau biasa disebut drop attack.
Mioklonik : Gejala berupa kedutan otot atau sekelompok otot yang
bersifat mendadak, dan singkat.
Tonik : Gejala khas adalah adanya pengkakuan bilateral secara
mendadak pada tubuh, lengan atau tungkai. Serangan berlangsung kurang
dari 20 detik, dan muncul lebih sering pada penderita tidur.

2.1.5 Sindrom Epilepsi


Pada umumnya sindrom epilepsi bersifat khas, unik dan terutama dijumpai
pada golongan anak-anak4.
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang
terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan,
faktor pencetus, dan kronisitas5.

11
Sindrom epilepsi merupakan kelainan dimana epilepsi merupakan gejala
yang paling dominan, dan terdapat bukti yang cukup secara klinis, EEG,
radiologi, atau obsevasi genetik untuk menentukan mekanisme yang
mendasarinya. Ada tiga sindroma epilepsi yang penting seperti dibawah ini:

 Juvenile Myoclonic epilepsy (JME)


JME merupakan jenis kejang umum yang tidak diketahui penyebabnya yang
terjadi pada usia awal remaja, dan biasanya ditandai dengan bilateral
myoclonic jerks yang bisa terjadi hanya satu kali atau berulang. Kejang
mioklonik sering terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur dan bisa dipicu
karena kurang tidur. Tidak ada gangguan kesadaran kecuali pada mioklonik
yang berat. Banyak pasien juga mengalami kejang umum tonik-klonik dan
lebih dari 1/3 mengalami kejang absence. Meskipun kondisi ini sepertinya
ringan, pemulihan yang utuh jarang terjadi tetapi kejang ini berespon baik
terhadap OAE. Ada riwayat kejang pada keluarga, dan studi genetik
menunjukkan bahwa ada penyebab poligenik.

 Lennox-gastaut syndrome (LGS)


Terjadi pada anak-anak dengan TRIAS : tipe kejang multiple (biasanya tonik-
klonik, atonik, dan kejang atipikan absence), EEG menunjukan <3Hz spike-
and-wave dan variasnya, gangguan perkembangan fungsi kognitif sering
terjadi tapi tidak selalu. LGS dihubungkan dengan penyakit SSP atau disfungsi
dari berbagai macam penyebab termasuk gangguan perkembangan, perinatal
hypoxia/iskemia, trauma, infeksi, dan lesi bawaan yang lain.

 Mesial temporal lobe epilepsy syndrome (MTLE)


MTLE merupakan sindroma yang paling umum yang dihubungkan dengan
kejang parsial kompleks, dan ini merupakan contoh gejala klinis kejang
parsial yang khas, electroencephalographic, dan karakteristik patologi. MRI
resolusi tinggi dapat mendeteksi sklerosis hipocampus yang tampak dan
menjadi penting sebagai patofisiologi MTLE pada beberapa pasien.

12
mengenali sindrom ini sangat penting karena sindrom ini cenderung sulit
diatasi dengan OAE tetapi berespon baik dengan intervensi pembedahan.

2.1.6 Patofisiologi Kejang


Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan
muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi
pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi 6.
Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial
membran, dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-
100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak
mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan
letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na +, K+ dan Ca2+. Bila sel saraf
mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan mengakibatkan
menurunnya potensial membran. Penurunan potensial membran ini akan
menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na + akan meningkat,
sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Apabila hanya sedikit
Na+ yang masuk ke dalam sel maka perubahan potensial membran masih
dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na + dan ion K+ sehingga selisih
potensial membran kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang
demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon lokal. Bila rangsangan
cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level),
maka permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat secara besar-
besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial
aksi ini akan dihantarkan ke sel sarat berkutnya melalui sinap dengan
perantara neurotransmitter. Bila perangsangan telah selesai, maka
permeabilitas membran kembali ke keadaan instirahat, dengan cara Na + akan
kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-
K yang membutuhkan ATP6.
Secara umum, terdapat beberapa teori mengenai mekanisme
terjadinya kejang6, teori-teori tersebut antara lain sebagai berikut:
a) Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan

13
pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi
hipoksemia.
b) Perubahan permeabilitas membran sel saraf, misalnya hipokalsemia
dan hipomagnesemia.
c) Perubahan relatif pada neurotransmiter yang bersifat eksitasi
dibandingkan dengan neurotransmiter yang bersifat inhibisi dapat
menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidak-
seimbangan antara GABA dan glutamat akan menimbulkan kejang.

Sumber lain menyatakan bahwa patofisiologi kejang secara pasti


belum diketahui, namun diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi
peningkatan reaksi kimia tubuh7. Beberapa faktor fisiologis berperan dalam
timbulnya kejang. Untuk memulai kejang, harus terdapat kelompok neuron
yang dapat menimbulkan suatu discharge dan kerusakan pada γ-
aminobutyric acid (GABA)-ergic inhibitory system. Transmisi discharge
sangat bergantung pada eksitasi sinaps glutamat-ergik. Neurotransmitter
asam amino eksitator (glutamat dan aspartat) berperan dalam timbulnya
eksitasi neuronal melalui aksi terhadap reseptor spesifik 8.
Kejang dapat disebabkan oleh kerusakan neuron pada otak, dan
daerah yang mengalami kerusakan ini dapat menyebabkan hipereksitabilitas
sinaps yang dapat menyebabkan kejang. Lesi pada lobus temporalis
menyebabkan kejang, dan bila jaringan abnormal ini diambil melalui
pembedahan, kejang mungkin berhenti. Ada dua hipotesis yang menyatakan
bahwa kejang diakibatkan oleh trauma otak. Yang pertama adalah kerusakan
sebagian neuron inhibitor dan hipereksitabilitas neuron eksitator. Hipotesis
lain menyatakan bahwa jalur eksitator abnormal yang terbentuk akibat
reorganisasi setelah trauma8.
Kejang tertentu pada anak bersifat spesifik terhadap usia, hal ini
disebabkan karena otak yang belum berkembang sempurna lebih rentan
terhadap kejang dibandingkan dengan otak pada anak yang lebih tua atau
dewasa. Selain itu, otak imatur lebih eksitabel dibandingkan otak matur,
dilihat dari peran glutamat yang dominan. Sedangkan GABA, yang

14
merupakan neurotransmiter inhibitor utama, sering secara berlawanan
menyebabkan eksitasi pada otak imatur. Lebih lagi, substansia nigra memiliki
peran terhadap timbulnya kejang umum. Aktifitas kejang elektrografik
menyebar dalam substansia nigra, menyebabkan peningkatan uptake 2-
deoksiglukosa pada hewan dewasa, tetapi tidak ada atau sedikit aktivitas
metabolik dalam substansia nigra ketika hewan imatur mengalami kejang.
Selain itu, substansia nigra yang imatur mungkin berperan dalam
peningkatan kerentanan terhadap kejang. lebih lagi, substansia nigra pars
retikulata yang sensitif GABA berperan dalam pencegahan demam.
Nampaknya jalur aliran keluar substansia nigra memodulasi dan mengatur
penyebaran kejang tetapi tidak menyebabkan timbulnya bangkitan kejang 8.
Pada dasarnya mekanisme kejang dapat dirangkum sebagai berikut 9:

a) Depolarisasi paroksismal pada neuron tunggal menyebabkan kanal


ion Ca2+ aktif sehingga ion Ca2+ masuk. Masuknya ion Ca 2+ membuka
kanal kation yakni Na+ sehingga menyebabkan depolarasasi yg
berlebihan. Depolarisasi akan terhenti oleh adanya pembukaan kanal
K+ dan Cl- yg diaktivasi oleh Ca2+, dimana ion Cl- akan masuk
sedangkan ion K+ akan dikeluarkan.
b) Kanal ion Ca2+ dapat dihambat oleh oleh ion Mg2+, sedangkan pada
hipomagnesemia akan terjadi peningkatan aktivitas kanal Ca2+
sehingga menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi. Peningkatan
konsentrasi K+ ekstrasel mengurangi efluk K+ melalui kanal K+. Hal ini
berarti K+ memiliki efek depolarisasi, dan karena itu pada waktu yang
bersamaan meningkatkan pengaktifan kanal Ca2+.
c) Dendrit sel piramidal juga didepolarisasi oleh glutamat dari sinaps
eksitatorik. Glutamat bekerja pada kanal kation yg tidak permeable
terhadap Ca2+ (kanal AMPA) dan pada kanal yang permeable terhadap
Ca2+ (kanal NMDA). Akan tetapi, depolarisasi yang dipicu oleh
pengaktifan kanal AMPA akan menghilangkan penghambatan Mg 2+
pada kanal NMDA. Jadi defisiensi Mg2+ dan depolarisasi akan
memudahkan pengaktifan kanal NMDA.

15
d) Potensial membrane neuron normalnya dipertahankan oleh kanal K +.
Syarat : gradient K+ yg melewati membrane sel harus adekuat. Gradien
ini dihasilkan oleh Na+/K+- ATPase. Kekurangan energy (baik karena
penurunan oksigen atau hipoglikemia) akan menghambat Na+/K+-
ATPase sehingga memudahkan depolarisasi sel.
e) Depolarisasi umumnya dikurangi oleh beurin inhibitorik yang
mengaktifkan kanal K+ dan/atau Cl- diantaranya melalui GABA. GABA
dihasilkan oleh glutamat dekarboksilase yakni enzim yang
memnbutuhkan piridoksin (vitamin B6) sebagai ko-faktor. Defesiensi
vitamin B6 atau berkurangnya afinitas enzim terhadap vitamin B 6
(kelainan genetik) memudahlan terjadinya epilepsi. Hiperpolarisasi
neuron talamus dapat meningkatkan kesiapan kanal Ca 2+ tipe-T untuk
diaktifkan dengan memudahkan serangan absans.

Gambar 1. Patofisiologi Kejang9


2.1.7 Gejala / Gambaran Klinis
I. Epilepsi Umum (Generalized)

16
Pada kelompok epilepsi ini, perubahan EEG menunjukkan bahwa dari
awalnya cetusan epileptik melibatkan kedua hemisphere dengan
serentak.
A. Epilepsi Grandmal (Tonic-clonic seizure)
 Bentuk yang paling sering dijumpai.
 Dapat didahului gejala prodromal seperti
jeritan,sentakan,mioklonik, tegang, perubahan emosi, cepat
tersinggung,dll.
 Pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30
detik, diikuti gerakan kejang kelonjotan pada kedua lengan dan
tungkai (fase klonik) selama 30-60 detik, dapat disertai mulut
berbusa
 Selesai serangan pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan tampak
bingung.
 Pasien sering tidur setelah bangkitan.
 Fase tonik  semua lengan dan tungkai ekstensi, penderita
tampak mengejan sehingga wajahnya merah. Kemudian penderita
menahan napas ±30 detik, pada akhir fase ini terjadi sianosis,
tekanan darah meningkat, pupil melebar, refleks cahaya negatif,
refleks patologi positif, kadang-kadang terjadi inkontinensia
karena kontraksi involunter
 Fase klonik  terjadi kejang ritmik, penderita bernapas kembali,
kadang lidah tergigit, ludah bercampur darah (buih kemerahan).
Pada fase ini wajah menjadi normal kembali, tekanan darah
menurun, tanda gejala vital normal.
 Fase post iktal  setelah kejang penderita tertidur. Waktu
terbangun mula-mula terjadi disorientasi, tetapi beberapa menit
setelah ini penderita menjadi normal kembali dan dapat berjalan
seperti biasa.

B. Epilepsi Petit mal (Absence seizure)

17
 Tidak terjadi kejang. Terjadi gangguan kesadaran dalam waktu
singkat (6-10 detik).
 Penderita berhenti dari aktivitas yang sedang dilakukan, seakan-
akan melamun, kemudian melakukan aktivitas kembali
 Serangan kadang-kadang dapat 10-20 kali dalam sehari. Karena
singkat biasanya tidak diketahui orang sekitarnya.
 EEG menunjukkan gambaran yang sangat jelas yaitu 3 Hz spike
slow wave.
 Banyak terjadi pada anak-anak usia sekolah.

C. Epilepsi mioklonik
 Banyak terjadi pada anak-anak
 Terjadi gangguan kesadaran sebentar, disertai gerakan
involunteer yang aneh dari sekelompok otot, terutama pada tubuh
bagian atas (bahu dan lengan) yang disebut myoclonic jerking.

D. Epilepsi Atonik
 Secara mendadak penderita kehilangan tonus otot.
 Dapat mengenai beberapa bagian tubuh ataupun otot seluruh
badan, misalnya tiba-tiba kepalanya terkulai karena kehilangan
tonus otot leher atau secara tiba-tiba penderita terjatuh karena
hilangnya tonus otot tubuh. Serangan ini berlangsung singkat
disebut drop attack.
II. Epilepsi Parsial (Fokal)
Epilepsi parsial adalah serangan epilepsi yang bangkit akibat lepas
muatan listrik disuatu daerah dikorteks serebri (terdapat suatu fokus
dikorteks serebri)
A. Epilepsi parsial sederhana (simple)
Manifestasinya bervariasi tergantung dari susunan saraf pusat yang
terkena. Biasanya dengan gejala motorik, sensorik, autonom,
maupun psikis. Tidak terjadi gangguan kesadaran.

18
 Epilepsi parsial sederhana dengan gejala motorik
Fokus epilepsi biasanya terdapat di gyrus presentralis lobus frontalis
(pusat motorik). Kejang dimulai di daerah yang mempunyai
representasi yang luas di daerah ini. Dimulai di ibu jari, meluas
keseluruh tangan, lengan, muka, dan tungkai. Kadang-kadang
berhenti di satu sisi. Tetapi bila rangsangan sangat kuat dapat
meluas ke lengan/tungkai yang lain sehingga menjadi kejang umum.
Disebut sebagai jackson motoric epilepsy.
 Epilepsi parsial sederhana dengan gejala sensorik
Fokus epilepsi terdapat di gyrus postsentralis lobus parietalis.
Penderita merasa kesemutan didaerah ibu jari, lengan, muka, dan
tungkai, tanpa kejang motorok yang dapat meluas ke sisi yang lain.
Disebut sebagai jackson sensoric epilepsy.

B. Epilepsi parsial kompleks


Bangkitan fokal disertai gangguan kesadaran. Sering diikuti
automatisme stereotipik seperti mengunyah, menelan, tertawa, dan
kegiatan motorik lainnya tanpa tujuan yang jelas. Tanda tanda yang
menonjol adalah gejala psikis dan automatisme. Disebut juga epilepsi
psikomotor. Sering didapatkan penderita dengan gangguan pikiran
yaitu de javu dan jamaisvu. Bila epilepsi ini sudah lama timbul , maka
dapat timbul afasia sensorik dan hemianopsia, oleh karena kelainan
di lobus temporalis. Pada rekaman EEG terdapat spikes dan kadang-
kadang slow-wave daerah temporal.
III. Epilepsi umum sekunder
 Berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks yang
dalam waktu singkat menjadi bangkitan umum.
 Bangkitan parsial dapat berupa aura
 Bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat tonik-klonik

2.1.8 Diagnosa
Ada 3 langkah untuk mendiagnosa epilepsi, yaitu :

19
1. Pastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal menunjukkan
bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi
2. Bila bangkitan tersebut merupakan suatu bangkitan epilepsi,
kemudian tentukan bangkitan yang ada termasuk jenis bangkitan apa
(klasifikasi epilepsi)
3. Pastikan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan
tersebut atau epilepsi jenis apa yang diderita oleh pasien serta
tentukan etiologisnya.
Diagnosa epilepsi ditegakkan bila terdapat gejala dan tanda klinis berupa
bangkitan epilepsi berulang minimal 2 kali yang ditunjang dengan gambaran
epileptiform pada EEG11.

a) Anamnesis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
yang dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun,
apabila pemeriksa secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka diagnosis epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan. Hal
demikian ini bermanfaat bagi pemeriksa yang tidak didukung fasilitas yang
lengkap2.
Penderita dan/atau orangtuanya perlu dimintai keterangan tentang
adanya riwayat epilepsi pada keluarga. Seorang ayah yang menderita epilepsi
hanya sedikit meningkatkan kemungkinan epilepsi pada anaknya. Bila ibu
menderita epilepsi maka kemungkinan mewariskan epilepsi pada anaknya
lebih besar, namun kemungkinan tersebut di bawah 5%. Bila kedua
orangtuanya menderita epilepsi maka kemungkinan untuk mewariskan
kepada anaknya hanya meningkat sedikit. Epilepsi umum lebih banyak
diwariskan daripada epilepsi parsial2.

 Kecermatan anamnesis
Karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang
dialami penderita maka anamnesis harus dilakukan secara rinci,
cermat dan menyeluruh. Laporan penderita dan saksi mata sangat

20
bermanfaat untuk mengarahkan diagnosis. Penjelasan mengenai
segala sesuatu yang terjadi, sebelum, selama dan sesudah serangan
meliputi gejala dan lamanya serangan merupakan informasi yang
sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Sementara itu,
anamnesis juga harus mengarah kepada faktor pencetus serangan2.

 Mode of onset
Merupakan gambaran klinis yang harus dirinci secara jelas. Serangan
merupakan kejadian yang mulai dan berakhir secara cepat. Suatu
episoda yang mulai secara lambat (beberapa menit) dengan gejala
berikutnya yang terjadi secara bertahap pada umumnya bukan
gambaran serangan. Namun, pada kasus tertentu baik epilepsi parsial
atau umum dapat didahului tanda atau gejala awal yang berlangsung
beberapa menit, jam atau bahkan beberapa hari sebelum serangan
terjadi. Gejala-gejala yang tidak spesifik, sebagai pendahulu serangan
meliputi, nyeri kepala, iritabilitas, labilitas emosional, letargi dan
perasaan letih. Serangan parsial kompleks dan serangan umum tonik-
klonik sekunder seringkali didahului oleh aura selama beberapa detik-
menit. Bagaimanapun juga, aura bermula secara mendadak dan jangan
sampai dirancukan dengan gejala yang berkembang secara bertahap
pada penyakit lain seperti migrain atau serangan panik 2.

 Aura
Pemeriksa harus mengajukan pertanyaan secara sistematik, baik
kepada penderita maupun saksi mata tentang aura, yang mungkin
bersifat samar atau tidak menentu gambarannya. Beberapa penderita
mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah atau tidak seperti
biasanya; sementara itu penderita lain menceritakan tentang keluhan
spesifik tetapi tidak dapat merinci secara tepat. Bentuk aura yang
dapat digambarkan lebih jelas antara lain : sensasi aneh dalam perut,
dada, atau kepala, perasaan kesemutan atau seperti ditusuk jarum,
halusinasi atau ilusi, vertigo atau perasaan seperti dirinya

21
mengambang di udara, distorsi waktu, kesulitan untuk menemukan
kata-kata, de ja vu, serta perasaan takut atau cemas yang luar biasa.
Sensasi abdominal dan kepala terasa ringan dapat mendahului
terjadinya sinkop2.

 Kejadian selama dan sesudah serangan


Kejadian selama serangan harus dirinci atau dideskripsikan secara
tepat ; bila perlu saksi mata menirukan gerakan atau kejadian yang
dilihatnya. Pemeriksa harus menelusuri secara cermat selagi
penderita menunjukkan sikap responsif : apakah tubuh terasa kaku
atau menyentak-nyentak, apakah ada gerakan otomatis pada mulut,
kepala, lengan, atau tungkai; apakah mulut penderita berkomat-kamit;
apakah ada perubahan warna kulit dan apakah ada inkontinensia urin
atau lidah tergigit. Lamnya serangan, sebisa mungkin diperhitungkan2.
Kondisi penderita sesudah serangan bermanfaat untuk menentukan
perjalanan serangan. Sesudah serangan tonik-klonik, penderita
tampak koma sejenak kemudian siuman secara bertahap dan tampak
bingung, mengantuk atau bahkan mengamuk. Pada serangan parsial
kompleks, penderita tampak sedikit bingung dan lelah, tetapi gejala
pascaserangan dapat minimal atau bahkan tidak ada sama sekali. Pada
absence dan mioklonus tidak diikuti oleh gejala pasca serangan2.

 Lain-lain
Anamnesis harus memunculkan informasi tentang trauma kepala
dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, stroke, tumor
otak, malformasi vaskular, gangguan metabolik, metastase, AIDS dan
obat-obat tertentu2.
Sehingga dapat disimpulkan pada anamnesa harus digali untuk
mendapatkan informasi mengenai11:
1. Pola atau bentuk bangkitan
2. Lama bangkitan
3. Gejala sebelum, selama maupun pasca bangkitan

22
4. Frekuensi bangkitan
5. Ada atau tidaknya penyakit lain yang diderita saat ini
6. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
7. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan atau kelahiran
dan perkembangaan saat bayi/anak
8. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
9. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

b) Pemeriksaan fisik umum dan neurologi


Pemeriksaan fisik harus menyingkirkan sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada penderita yang lebih tua, auskultasi di daerah leher penting
untuk mendeteksi penyakit vaskular. Pada anak-anak, pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan pertumbuhan, adenoma sebasea, dan
organomegali (storage disease). Perbedaan ukuran antara anggota tubuh
dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral2.
Penilaian neurologi meliputi status mental, gait, koordiansi, saraf
kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta reflesks tendon. Penderita yang
menunjukkan tanda-tanda kelainan neurologis yang tidak jelas perlu
diperiksa lebih teliti. Harus diingat bahwa kelainan neurologis yang samar
atau ringan dapat menunjukkan lesi otak, sehingga harus dilakukan secara
hati-hati2.
Pemeriksaan secara hati-hati dari status mental (termasuk memori,
fungsi bahasa, dan berpikir abstrak) dapat menunjukkan lesi di lobus
anterior frontal, parietal atau lobus temporal. Uji lapang pandang dapat
membantu menyaring lesi di jalur optik dan lobus oksipital. Uji penyaringan
dari fungsi motorik seperti pronator drift, deep tendon reflexes, gait dan
koordinasi dapat menunjukkan lesi di korteks motorik (frontal), dan uji
sensori kortikal (contoh: double simultaneous stimulation) dapat mendeteksi
lesi di korteks parietal.
Perhatikan adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan
dengan epilepsi seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinusitis,

23
gangguan kongenital, gangguan neurologi fokal atau difus, kecanduan alkohol
maupun obat terlarang dan kanker11.

c) Pemeriksaan penunjang
- Elektro-ensefalografi (EEG)
Elektroda yang ditempelkan ke kulit kepala dapat mendeteksi
aktivitas listrik spontan di otak. EEG mengkonduksikan aktivitas di otak
sebagai gelombang; frekuensi gelombang diukur per detik (Hz). EEG dapat
mendeteksi berbagai jenis abnormalitas baik yang bersifat fokal maupun
difus. Ada dua jenis kelainan utama, ialah aktivitas yang lambat dan
epileptiform2.
Pada epilepsi pola EEG dapat membantu untuk menentukan jenis dan
lokasi serangan. Gelombang epileptiform berasal dari cetusan paroksismal
yang bersumber pada sekelompok neuron yang mengalami depolarisasi
secara sinkron. Gambaran epileptiform antar cetusan yang terekam pada EEG
muncul dan berhenti secara mendadak, seringkali dengan morfologi khas.
Perlu diketahui bahwa pola epileptiform ini dapat muncul pada orang yang
tidak menderita epilepsi sekitar 1-2%. Sebaliknya, rekaman EEG pada
penderita epilepsi dalam keadaan sadar dan istirahat dapat menunjukkan
gambaran yang normal. Perlu diperhatikan bahwa hasil pemeriksaan EEG
saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosa
epilepsi2.
EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun tidur, dengan stimulasi
fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada
epilepsi refleks). Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan)
pada orang dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%. Pada pemeriksaan
ulang gambaran epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77% 5.
Bila EEG pertama menunjukkan hasil normal sedangkan dugaan
epilepsi sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam
setelah bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus seperti dengan
mengurangi tidur (sleep deprivation) atau dengan menghentikan obat anti
epilepsi (OAE)5.

24
Indikasi EEG5 :
1. Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural
2. Adanya perubahan bentuk bangkitan
3. Terdapat defisit neurologi fokal
4. Epilepsi dengan bangkitan parsial
5. Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
6. Untuk persiapan tindakan pembedahan

EEG juga digunakan untuk mengklasifikasikan gangguan kejang dan


membantu menseleksi pengobatan OAE. Seperti contohnya episodic
generalized spike-wave activity seringkali terlihat pada pasien dengan
epilepsi tipe absans dan dapat terlihat dengan sindroma epilepsi menyeluruh
lainnya. Focal interictal epileptiform discharge akan mendukung diagnosis
dari gangguan kejang parsial seperti kejang epilepsi lobus temporalis atau
frontalis.
Rekaman EEG rutin pada kulit kepala dapat juga digunakan untuk
menilai prognosis gangguan kejang; pada umumnya suatu EEG normal
menyatakan prognosis yang lebih baik, mengingat suatu latar belakang
abnormal atau aktivitas epileptiform yang profus menunjukkan hasil yang
buruk.

Rekaman EEG dari video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan
lokasi sumber serangan. Rekaman video-EEG memperlihatkan hubungan
antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk
mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini
bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti,
serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus
epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan
operasi2.

25
- Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging studies
bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila
dibandingkan dengan CT-Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik
akan tampak lebih rinci2.
MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
Selain itu, MRI dapat mengidentifikasi kelainan pertumbuhan otak, tumor
yang berukuran kecil, malformasi vaskular tertentu, dan penyakit
demielinisasi2.
Secara teori, semua kasus epilepsi parsial (kecuali anak dengan
epilepsi rolandik benigna) harus diperiksa dengan MRI. Indikasi yang lain
adalah adanya kelainan neurologis fokal, gelombang lambat fokal pada EEG,
epilepsi refrakter (untuk mencari sklerosis temporal mesial dan glioma
derajat rendah), dan penderita yang serangannya makin sering serta makin
berat2.
Sementara itu PET mengukur metabolisme otak regional dengan
menggunakan molekul radioaktif. PET (positron emission tomography)
antarcetusan bermanfaat untuk evaluasi pra-operasi terutama pada
penderita dengan epilepsi lobus temporalis (fokusnya menunjukkan
gambaran hipometabolisme atau disebut juga a cold spot), single photon
emission computed tomography (SPECT) mengukur aliran darah otak regional
dengan menggunakan molekul radioaktif. SPECT digunakan selama dan
sesudah serangan, bermanfaat untuk evaluasi pra-operasi penderita dengan
fokus baik di temporal maupun di luar daerah temporal 2.

) Pemeriksaan Laboratorium
Uji darah rutin diindikasikan untuk mengidentifikasi penyebab
metabolik yang lebih sering menjadi penyebab kejang seperti abnormalitas
elektrolit, glukosa, kalsium atau magnesium dan penyakit hepar maupun
ginjal. Pemeriksaan toxin pada darah dan urin juga harus diperoleh dari
semua pasien yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi, terutama ketika
faktor pemicunya tidak jelas. Pungsi lumbar diindikasikan bila ada

26
kecurigaan meningitis atau encephalitis dan pada semua pasien yang
terinfeksi dengan HIV, walaupun tidak ada gejala atau tanda yang
menunjukkan infeksi.

2.1.10 Diagnosis Banding


Tabel 1. Diagnosis banding epilepsi
Kejang Epileptik Syncope Non Epileptic Attack
Disorder
Riwayat Trauma kepala, Menggunakan Wanita (3:1)
alkohol, obat Ketergantungan
ketergantungan obat, antihipertensi, seksual dan fisik
kejang demam yang antidepressan
berkepanjangan,
meningitis,
ensefalitis, stroke.
Riwayat keluarga (+)
Faktor Sleep deprivation Perubahan Stres
Pencetus Putus alkohol posisi Distress sosial
Stimulasi fotik Prosedur medis
Berdiri lama
Gerakan leher
(carotis
baroreceptor)
Karakteristik Steriotipi Lightheadednes Gejala awal tidak
Klinis Paroksismal (detik) s khas
Menjelang Bisa disertai aura Gejala visual
Serangan
Gelap, kabur
Karakteristik Gerakan: Tonik Pucat Mirip kejang
Klinis Saat (kaku) diikuti Bisa disertai epileptik tetapi
Serangan gerakan jerking yang kaku atau gerakan lengan tidak
ritmis menghentak- beraturan,
Gerakan otomatism hentak sebentar pengangkatan pelvis,
Sianosis kadang tidak

27
Bisa terjadi di mana bergerak sama sekali
saja dan kapan pun
Gejala Sisa Mengantuk Lesu
Setelah Lidah tergigit
Serangan Nyeri anggota gerak
Defisit neurologis
fokal (Todd’s
paralisis)

2.1.11 Penatalaksanaan Epilepsi


Setelah membuat diagnosis yang tepat, hal yang perlu
diperhatikan sebelum menentukan terapi obat anti epilepsi (OAE)
adalah berapa besar kemungkinan terjadinya bangkitan berulang, berapa
besar kemungkinan terjadinya konsekuensi psikososial, masalah
pekerjaan, atau keadaan fisik akibat bangkitan selanjutnya dan
pertimbangkan untung rugi antara pengobatan dan efek samping yang
ditimbulkan. Ketepatan diagnosis merupakan dasar terapi, diagnosis
yang kurang tepat dapat menyebabkan terapi yang tidak tepat juga1.
Penatalaksanaan seluruh penderita epilepsy didasarkan atas
hal-hal sebagai berikut:
 Diagnosis yang tepat disertai deskripsi jenis serangan
 Identifikasi dan koreksi penyebab yang mendasarinya
 Pemilihan OAE yang paling efektif untuk jenis serangan yang
ada
 OAE diberikan dengan dosis awal yang rendah dan bila perlu
dinaikkan sampai efektif atau sampai muncul efek samping,
 Monoterapi sebagai prioritas utama.
Sementara itu identifikasi pencetus terjadinya serangan sangat penting
artinya dalam penatalaksaaan epilepsy. Tujuan identifikasi pencetus tadi
adalah untuk menghindari terjadinya serangan berikutnya. Hal-hal tersebut
berlaku bagi penderita pria maupun wanita. Sementara itu, oleh karena ada

28
perbedaan fisiologis pada wanita maka dalam hal-hal tertentu diperlukan
adanya perhatian khusus dan/atau modifikasi2.

Tujuan terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang
epilepsi dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk
penyandangmental yang dimilikinya. Harapannya adalah “bebas
bangkitan, tanpa efek samping”. Untuk tercapainya tujuan tersebut
diperlukan beberapa upaya, antara samping/dengan efek samping yang
minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian1.

Penatalaksanaan tahap akut


Walaupun serangan konvulsif tampak menakutkan orang lain dan
menyakitkan penderita, si penderita itu sendiri tidak menyadari apa yang
sedang terjadi. Siapa pun yang menyaksikan serangan tonik-klonik harus
tetap tenang, menolong penderita agar tetap berbaring di tempat yang
aman. Penderita perlu dimiringkan agar tidak terjadi aspirasi saliva atau
muntahan. Sementara itu penolong tidak perlu melakukan tindakan
melawan gerakan/kejang karena dapat mencederai penderita maupun si
penolong itu sendiri. Pakaian yang ketat segera dilonggarkan, kalung dan
kacamata dilepas. Jangan memasukkan benda apapun (termasuk jari) ke
dalam mulut penderita; benda yang di masukkan ke mulut dapat
mencederai mulut dan gigi penderita atau jari penolong dapat tergigit 2.
Setelah kejang reda maka penderita dapat bingung dan/atau agresif.
Dalam keadaan demikian ini jangan memberi makan/minum kepada
penderita sampai dengan dia sadar betul. Sebelum dibiarkan sendirian,
maka perlu dipastikan bahwa penderita sudah sadar penuh atau belum
dengan mengajukan pertanyaan yang jawabannya bukan sekedar ya atau
tidak2.
Apabila seseorang mengalami serangan parsial kompleks, dengan
demikian masih ada “sisa kesadaran”, maka pertolongannya lebih
sederhana. Penderita dibawa ke tempat yang aman; dapat dilakukan sedikit

29
pemaksaan bila misalnya penderita berjalan ke arah arus lalu lintas.
Otomatisme selama serangan biasanya tampak memalukan tetapi tidak
berbahaya. Bila mungkin maka penderita dibawa ke tempat yang tenang
dan aman2.

Macam-macam terapi epilepsi


Terapi pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologi dan
nonfarmakologi1.

A. Terapi Farmakologi
Prinsip terapi farmakologi
 OAE diberikan bila1:
o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
o Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
o Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima
penjelasan tentang tujuan pengobatan.
o Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang
kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE.
o Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah
dihindari (misalnya:alcohol, kurang tidur, stress, dll)
 Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan
sesuai dengan jenis bangkitan (Tabel 2.1) dan jenis sindrom epilepsi
(Tabel 2.2)1.
 Pemberian obat dimulai dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan
bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping
(Tabel 2.3)1.
 Kadar obat dalam plasma ditentukan bila1:
o Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
o Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan
oleh kehamilan, penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan
absorpsi OAE)

30
o Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan
o Setelah penggantian dosis/regimen OAE
o Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.
 Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak
dapat mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua.
Caranya bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama diturunkan bertahap (tapering off). Bila terjadi
bangkitan saat penurunan OAE pertama maka kedua OAE tetap
diberikan. Bila responsyang didapat buruk, kedua OAE hares
diganti dengan OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga baru
dilakukan bila terdapat respons dengan OAE kedua, tetapi respons
tetap suboptimal walaupun pergunaan kedua OAE pertama
sudah maksimal1.
 OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda
dengan OAE pertama1.
 Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk
dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila1:
o Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
o Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi
yang berkorelasi dengan bangkitan; misalnya
meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak ensafalitis
herpes.
o Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang
mengarah pada adanya kerusakan otak
o Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung
(bukan orang tua)
o Riwayat bangkitan simtomatis
o Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko
kekambuhan tinggi seperti JME (Juvenile Myoclonic
Epilepsi)

31
o Riwayat trauma kepala terutama yang disertai
penurunan kesadaran stroke, infeksi SSP
o Bangkitan pertama berupa status epileptikus
 Efek samping OAE perlu diperhatikan (Tabel 2.4), demikian pula
halnya dengan profil farmakologis tiap OAE (Table 2.5) dan
interaksi farmnakokinetik antar-OAE1.
 Strategi untuk mencegah efek samping1:
o Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
o Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan
terkecil mengacu pada sindrom epilepsi dan karakteristik
penyandang.

Jenis obat antiepilepsi dan mekanisme kerjanya


 Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis
OAE, efek samping OAE, profil farmakologi, interaksi antara OAE1.

a) Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari jenis


bangkitan
Table 2.1 a. Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari
jenis bangkitan10.
Pemilihan obat antiepilepsi berdasarkan dari jenis bangkitan
Kejang umum tonik Parsial* Absence Atipikal absence,
klonik myoclonic dan
atoniv
First line Valproic acid Carbamazepine Valproic acid Valproic acid
Lamotrigine Phenytoin Ethosuximide
Lamotrigine
Valproic acid
Second Phenytoin Topiramate Lamotrigine Lamotrigine
line Carbamazepine Levetiracetam Clonazepam Topiramate
Topiramate Tiagabine Clonazepam
Zonisamide Zonisamide Felbamate
Felbamate Gabapentine
Primidone Primidone

32
Phenobarbital Phenobarbital

Note: Termasuk : Bangkitan parsial, Bangkitan parsial kompleks, bangkitan parsial yang menjadi
umum sekunder

Table 2.1 b. Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari jenis


bangkitan11.
No Jenis Bangkitan OAE lini pertama OAE lini kedua OAE lain yang dapat
di pertimbangkan
1 Bangkitan Lena Sodium valproate Ethosuximide Levetiracetam
Lamotrigine Zonisamide

2 Bangkitan Sodium Valproate Topiramate Lamotrigine


myoklonik Levetiracetam Clobazam
Zonisamide Clonazepam
Phenobarbital
3 Bangkitan Tonik Sodium Valporate Lamotrigine Topiramate
klonik Carbamazepin Oxcarbazepine Levetiracetam
Phenytoin Zonisamide
phenobarbital Primidon
4 Bangkitan Atonik Sodium Valproate Lamotrigine Felbamate
Topiramate
5 Bangkitan fokal Carbamazepine Sodium Tiagabine
dengan/tanpa Phenytoin valproate Vigabatrin
umum sekunder Phenobarbital Levetiracetam Felbamate
Oxcarbazepine Zonisamide Primidone
Topiramate Pregabalin
Lamotrigine
6 Tidak Sodium Valporate Lamotrigine Topiramate
terklasifikasikan Levetiracetam
Zonisamide

b) Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari sindroma


epilepsi
Tabel 2.2 Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari
sindroma epilepsi1.
Sindrom Lini pertama OAE Lini ketiga Dapat

33
Epilepsi Tambahan memperburuk
bangkitan
Childhood Etosuksimid, Etosuksimid, Clobazam, Carbamazepin,
absence Lamotrigin, Lamotrigin, klonazepam, gabapentin,
epilepsy (CAE) Sodium Sodium Levetirasetam, Okskarbazepin,
atau sindroma valproat, valproat, Topiramat phenytoin,
absence zonisamid pregabalin,
lainnya tiagabin,
vigabatrin
Juvenile Etosuksimid, Etosuksimid, Clobazam, Carbamazepin,
absence Lamotrigin, Lamotrigin, klonazepam, gabapentin,
epilepsy (JAE) Sodium Sodium Levetirasetam, Okskarbazepin,
atau sindrom valproat, valproat, topiramat phenytoin,
absence zonisamid pregabalin,
lainnya tiagabin,
vigabatrin
Juvenyl Lamotrigin, Lamotrigin, Clobazam, Carbamazepin,
mioclonic Levetirasetam, Levetirasetam, klonazepam, gabapentin,
epilepsy (JME) Sodium Sodium zonisamid Okskarbazepin,
valproat, valproat, phenytoin,
topiramat topiramat pregabalin,
tiagabin,
vigabatrin
Epilepsi Carbamazepin, Clobazam,
dengan Lamotrigin, Levetirasetam,
bangkitan Okskarbamaze Sodium
umum tonik pin, Sodium valproat,
klonik saja valproat topiramat
Epilepsi Lamotrigin, Lamotrigin, Clobazam, Carbamazepin,
umum Sodium Levetirasetam, klonazepam, gabapentin,
idiopatik valproat, Sodium zonisamid Okskarbazepin,
topiramat valproat, phenytoin,
topiramat pregabalin,
tiagabin,
vigabatrin
Spasme Rujuk ke ahli
infantil yang neuropediatri
tidak Vigabatrin,
disebabkan atau steroid

34
sklerosis (prednisolon
tuberous atau
tetrakosasid)
Spasme Rujuk ke ahli
infantil yang neuropediatri
disebabkan Vigabatrin,
sklerosis atau steroid
tuberous (prednisolon
atau
tetrakosasid)
Epilepsi Carbamazepin, Carbamazepin, Esilkarbazepin
benigna Lamotrigin, Clobazam, asetat,
dengan Levetirasetam, gabapentin, lakosamid,
gelombang Okskarbamaze Lamotrigin, fenobarbital,
paku didaerah pin, Sodium Levetirasetam, phenytoin,
sentrotempor valproat Okskarbamaze pregabalin,
al (benign pin, Sodium tiagabin,
epilepsy with valproat, vigabatrin,
sentrotempor topiramat zonisamid
al spikes)
Sindrom Carbamazepin, Carbamazepin, Esilkarbazepin
panayiotopoul Lamotrigin, Clobazam, asetat,
os Levetirasetam, gabapentin, lakosamid,
Okskarbamaze Lamotrigin, fenobarbital,
pin, Sodium Levetirasetam, phenytoin,
valproat Okskarbamaze pregabalin,
pin, Sodium tiagabin,
valproat, vigabatrin,
topiramat zonisamid
Late onset Carbamazepin, Carbamazepin, Esilkarbazepin
childhood Lamotrigin, Clobazam, asetat,
occipital Levetirasetam, gabapentin, lakosamid,
epilepsy (tipe Okskarbamaze Lamotrigin, fenobarbital,
gastaut) pin, Sodium Levetirasetam, phenytoin,
valproat Okskarbamaze pregabalin,
pin, Sodium tiagabin,
valproat, vigabatrin,
topiramat zonisamid
Sindrom Rujuk ke ahli Clobazam, Carbamazepin,

35
dravet neuropediatri Siripentol gabapentin,
Sodium Lamotrigin,
valproat, Okskarbazepin,
Topiramat phenytoin,
pregabalin,
tiagabin,
vigabatrin
Epilepsi Rujuk ke ahli
dengan neuropediatri
gelombang
paku kontinu
selama tidur
dalam
(continues
spikes and
wave during
sleep)
Sindrom Rujuk ke ahli Lamotrigin Felbamat, Carbamazepin,
lennox neuropediatri rufinamid, gabapentin,
gastaut Sodium topiramat Okskarbazepin,
valproat pregabalin,
tiagabin,
vigabatrin
Sindrom Rujuk ke ahli
landau- neuropediatri
kleffner
Epilepsi Rujuk ke ahli
astatik neuropediatri
mioklonik

.
Penghentian OAE
 Pada dewasa; penghentian OAE secara bertahap dapat
dipertimbangkan setelah 3-5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat
dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Dalam hal
penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu diperhatikan,
yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan

36
kambuhan bangkitan setelah OAE dihentikan(Kusumastuti,
2014).
 Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah
sebagai berikut1:
o Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran
EEG normal
o Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau
keluarganya.
o Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula
setiap bulan dalam jangkat waktu 3-6 bulan
o Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian
dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.
 Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar
kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut1:
o Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan
semakin tinggi
o Epilepsi simtomatis
o Gambaran EEG yang abnormal
o Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
o Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat
jarang pada sindrom epilepsi benigna dengan gelombang
tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada epilepsi
lena masa anak kecil, 25-75%, epilepsi parsial
kriptogenik/simtomatis, 85-95% pada epilepsi mioklonik
pada anak, dan JME.
o Penggunaan lebih dari satu OAE.
o Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan
kekambuhan lebih kecil pada penyandang yang telah
bebas bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari lima
tahun).

37
 Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif
terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian
dievaluassi kembali. Rujukan ke spesialis epilepsi perlu
ditimbangkan bila1:
o Tidak responsive terhadap 2 OAE pertama
o Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi
o Berencana untuk hamil
o Dipertimbangkan untuk penghentian terapi.

Terapi terhadap epilepsi resisten Obat-antiepilepsi


Yang dimaksud dengan epilepsi resisten OAE adalah kegagalan setelah
mencoba dua OAE pilihan yang dapat ditoleransi, dan sesuai dosis (baik
sebagai monoterapi atau kombinasi) yang mencapai kondisi bebas
bangkitan1.
Sekitar 25-30% penyandang akan berkembang menjadi epilepsi
resisten OAE. Penanganan epilepsi resisten OAE mencakup hal-hal sebagai
berikut1:
 Kombinasi OAE
 Mengurangi dosis OAE ( pada OAE induced seizure)
 Terapi bedah
 Dipikirkan penggunaan terapi nonfarmakologis.

B. Terapi Non-Farmakologis
Meliputi:
1. Tindakan operasi
Sekitar 20% dari penderita epilepsi resisten terhadap
OAE sehingga perlu beberapa terapi untuk dikombinasikan
dengan OAE. Untuk beberapa penderita, operasi sangat efektif
untuk mengurangi frekuensi kejang dan bahkan dapat
mengontrol kejang kompleks. Pentingnya pembedahan dapat
dipahami ketika mendiagnosis pasien yang mengalami

38
sindrom epilepsi yang dianggap mungkin resisten terhadap
OAE. Pasien harus diupayakan untuk mendapat terapi medis
yang efisien dan relatif singkat kemudian dirujuk untuk
dievaluasi dengan pembedahan daripada membiarkan pasien
gagal di terapi dengan obat-obatan selama bertahun-tahun dan
mengalami trauma psikososial juga meningkatkan mortalitas 10.
Prosedur pembedahan yang paling umum untuk pasien
dengan epilepsi lobus temporal meliputi reseksi lobus
temporal anteromedial (temporal lobectomy) atau hanya
sebatas mengambil hipocampus dan amygdala
(amygdalohypocampectomy). Kejang focal yang berasal dari
daerah ekstratemporal dapat dihilangkan dengan reseksi
neokortikal fokal dengan mengambil lesi yang sudah
teridentifikasi dengan tepat (lesionectomy). Apabila bagian
kortikal tidak dapat diambil, dapat dilakukan transeksi subpial
multiple yang menghalangi koneksi intrakortikal untuk
mencegah penyebaran kejang. Hemispherectomy atau reseksi
multilobar berguna untuk beberapa pasien dengan kejang yang
berat karena kelainan di hemisfer seperti
hemimegaloencephaly, atau kelainan displastik lainnya, dan
corpus callosotomy telah terbukti efektif untuk menghentikan
kejang tonik atau atonik yang biasanya ada pada kasus kejang
campuran contohnya pada lennox-gastaut syndrome10.
Evaluasi prabedah dirancang untuk mengidentifikasi
dasar fungsional atau struktural pada pasien kejang. Penilaian
dengan Video EEG pasien rawat inap digunakan untuk
menentukan lokasi anatomi dari fokus kejang dan untuk
mengkorelasi aktivitas elektrofisiologi yang abnormal dengan
manifestasi kejang. Rekaman Sclap rutin atau scalp sphenoidal
biasanya cukup digunakan untuk neuroimaging menggunakan
pengawasan invasif elektrofisiologi seperti implant elektrode
atau yang lebih umum dengan sub dural elektroda. Scan MRI

39
resolusi tinggi rutin dipakai untuk identifikasi lesi struktural.
Pencitraan fungsional seperti SPECT dan PET adalah
pemeriksaan tambahan yang membantu memverifikasi lokasi
yg tampak dibagian epileptogenik10.

2. Stimulasi nervus vagus


Stimulasi nervus vagus merupakan salah satu
alternative untuk meredakan serangan pada epilepsy
refrakter yang tidak mungkin untuk dilakukan tindakan
operasi. Pada mulanya dikerjakan pada binatang
percobaan dengan memberi stimulasi kronis secara
intermiten terhadap nervus vagus kiri. Percobaan pada
manusia dilakukan sejak tahun 1987. Stimulasi nervus
vagus memperlihatkan efek antikonvulsan pada binatang
percobaan dan kemudian percobaan dilakukan pada
manusia, secara buta-tunggal. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut kemudian dilakukan penelitian di 17
pusat penanganan epilepsy terhadap 114 penderita secara
buta-ganda placebo. Pada pengamatan jangka pendek
maupun jangka panjang, stimulasi nervus vagus tadi
memperlihatkan efek anti-konvulsan yang bermakna
secara statistic2.
Mekanisme yang tepat dari fungsi Stimulasi nervus
vagus tidak diketahui, meskipun penelitian experimental
telah menunjukkan bahwa stimulasi pada nucleus nervus
vagus menyebabkan aktivasi yang luas pada jalur cortical
dan subcortical dan berhubungan dengan peningaktan
ambang kejang10.

3. Diet Ketogenik
Diet ketogenic dapat mengendalikan serangan
yang ada, terutama pada anak-anak. Berdasarkan

40
pengetahuan bahwa ketosis dan asidosis mempunyai efek
antikonvulsan maka Wilder pada tahun 1921
mengenalkan diet ketogenic sebagai terapi epilepsy. Diet
tersebut memerlukan protein 1 gr/kg/BB/hari, ditambah
lemak untuk kalori tambahan dan karbohidrat minimal.
Restriksi karbohidrat dan pemasukan lemak yang tinggi
akan menyebabkan rasa yang sangat tidak enak. Efek
antiepilepsi bergantung kepada derajat ketosis yang
ditentukan oleh rasio lemak-karbohidrat2.
Mekanisme diet ketogenic mengandalkan serangan
atau bagaimana diet ketogenic mempengaruhi proses
epileptogenic belum diketahui secara jelas. Penelitian
lebih lanjut tentang diet ketogenic memungkinkan untuk
pengembangan OAE baru yang efeknya menyerupai diet
ketogenic2.
4. Deep brain stimulation
5. Relaksasi, behavioral cognitive therapy dan biofeedback

2.1.12 Status Epileptikus


Definisi
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari
30 menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-
bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran1.

Etiologi
- Hipoglikemi
- Hipoksemia
- Trauma
- Infeksi
- Tumor

41
- Toksisitas obat
- Gangguan metabolik
- Tidak diketahui (30%)10

Klasifikasi
Dikenal dua tipe status epileptikus, yaitu:
 SE konvusif (terdapat bangkitan motorik)
Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari
5 menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran
diantara bangkitan.
 SE non-konfusif (tidak terdapat bangkitan motorik).
Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat
aktivitas bangkitan elektrografik memanjang (EEG status) dan
memberikan gejala klinis nonmotorik termasuk perubahan perilaku atau “
awareness” 1.

Penanganan
A. Pengelolaan Status Epileptikus Konvulsif
 Protokol penanganan status epileptikus konvulsif :
Stadium 1 (0-10 menit) SE Dini
Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi
Berikan oksigen
Periksa fungsi kardiorespirasi
Pasang infuse

Stadium 2 (0-30 menit)


Monitor pasien
Pertimbangkan kemungkinan kondisi non epileptik
Terapi antiepilepsi emergensi
Pemeriksaan emergensi (lihat di bawah)
Berikan glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250 mg i.v bila ada
kecurigaan penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi

42
Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat

Stadium 3 (0-60 menit) SE Menetap


Pastikan etiologi
Siapkan untuk rujuk ke ICU
Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi
Vasopressor bila diperlukan

Stadium 4 (30-90 menit)


Pindah ke ICU
Perawatan intensif dan monitor EEG
Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan
Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang

 Obat anti epilepsi yang digunakan1


Stadium Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat diulangi 15 menit
premonitor kemudian bila kejang masih berlanjut, atau midazolam
(sebelum ke RS) 10 mg diberikan intrabuccal( belum tersedia di
Indonesia. Bila bangkitan berlanjut, terapi sebagai
berikut.
SE dini Lorazepam (intravena) 0,1 mg/kgBB( dapat
diberikan 4 mg bolus, diulang satu kali setelah 10-20
menit).
Berikan OAE yang biasa digunakan bila pasien sudah
pernah mendapat terapi OAE
SE menetap Bila bangkitan masih berlanjut terapi sebagai
berikut dibawah ini.
Phenytoin i.v dosis of 15-18 mg/kg dengan
kecepatan pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus
Phenobarbital 10-15
mg/kg i.v dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit
SE refrakter Anestesi umum dengan salah satu obat
dibawah ini:
- Propofol 1-2 mg/KgBB bolus, dilanjutkan

43
2-10 mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE
terkontrol
- Midazolam 0,1-0,2 mg/kg bolus, dilanjutkan
0,05-0,5 mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE
terkontrol
- Thiopental sodium 3-5 mg/kg bolus ,
dilanjut 3-5 mg/kg/jam dititrasi naik sampai
terkontrol
Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus
diturunkan karena saturasi pada lemak.
Anastesi dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah
bangkitan klinis atau ektrografis terakhir,
kemudian dosis diturunkan perlahan.

Gambar 2. Alur penanganan status epilepticus konvulsif1

B. Pengelolaan Status Epileptikus Non Konvulsif


 Dapat ditemukan pada 1/3 kasus SE

44
 Dapat dibagi menjadi status epileptikus lena, status epileptikus parsial
kompleks, nonkonvulsif pada penyangdang dengan koma dan status
epileptikus pada penyandang dengan gangguan belajar.
 Pemilihan terapi untuk status epileptikus nonkonvulsivus bermacam-
macam sesuai jenis bangkitannya.

Dosis OAE pada SE Non Konvulsif


SE lena biasanya bisa dihentikan dengan benzodiazepine intravena:
diazepam 0,2-0,3 mg/kg, atau clonazepam 1 mg (0,25-0,5 mg pada anak-
anak) atau lorazepam 0,07 mg/kg (0,1 mg/kg pada anak), dapat diulangi
bila diperlukan. Bila terapi ini tidak efektif, mungkin bisa diberikan fenitoin
atau valproat intravena. Pada epilepsi lena pada anak, terapi rumatan dengan
valproat atau ethosuximide diberikan setelah status terkontrol. Kondisi ini
sering disebabkan oleh putus obat (khususnya obat psikotropik atau
benzodiazepine), dan dapat dietrapi dengan diazepam atau lorazepam
intravena. Terapi rumatan jangka panjang biasanya tidak diperlukan.
SE parsial kompleks paling baik diterapi dengan benzodiazepine. Terdapat
kontroversi tentang perlunya pemberian intravena pada kasus ini, tetapi
pada kebanyakan kasus terapi oral member hasil yang cukup baik 1.

2.1.13 Prognosis
Resiko kematian mendadak individu dengan pengobatan epilepsy 24
kali lebih tinggi pada populasi pada umumnya. Penyebab kematian pada
epilepsy yang tidak dapat di jelaskan tidak jelas (SUDEP : sudden explained

45
death in epilepsy). Hipothesa termasuk didalamnya arrytmia, asphyxia, dan
gagal nafas merupakan perkiraan antara 2% dan 17% dari semua kematian
pada individu dengan epilepsi kemungkinan disebabkan karena SUDEP. Factor
resiko SUDEP termasuk pengontrolan kejang yang buruk, onset awal dari
kejang, riwayat kejang tonik-klonik.
BAB III
KESIMPULAN

Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan


untuk menimbulkan bangkitan epileptic yang terus menerus, dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial. Penyebab epilepsy
dapat idiopatik, kriptogenik maupun simptomatik. Klasifikasi jenis bangkitan
epilepsy terdapat pada ILAE 1981, sedangkan klasifikasi sindroma epilepsy terdapat
pada ILAE 1989. Mekanisme terjadinya epilepsy melalui berbagai hal antara lain
oleh karena gangguan pada membrane sel neuron, gangguan mekanisme inhibisi
paska sinaps, dan gangguan pada sel glia.
Diagnosis epilepsy didasarkan oleh anamnesa, pemeriksaan fisik dan
neurologic, pemeriksaan penunjang (EEG, laboratorium, dan imaging). Tujuan terapi
epilepsy adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien. Terapi epilesi bisa
dengan farmakologi dan non farmakologi. Untuk terapi farmakologi pemilihan
OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek samping
OAE, profil farmakologi, interaksi antara OAE. Terapi non farmakologi meliputi
Tindakan operasi, stimulasi nervus vagus, Diet ketogenic, Deep brain stimulation,
Relaksasi, behavioral cognitive therapy dan biofeedback.
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari
30 menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-
bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran.

DAFTAR PUSTAKA

46
1. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. Pedoman tatalaksana
epilepsi. Edisi ke 5. Surabaya: Airlangga University Press; 2014.
2. Harsono. Epilepsi. Edisi ke 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press;
2001.
3. Fisher SG, Acevedo C, Arzimanoglou A et.al. A practical clinical definition
of epilepsi. Epilepsia 2014: 1-8.
4. Rahardjo J, Wahono E. Buku ajar ilmu penyakit saraf; Ditulis dalam
Tatalaksana penanganan penderita epilepsi. Surabaya: Departemen ilmu
penyakit saraf universitas airlangga; 2011.
5. Commission on Classification and Terminology of the International
Leage Against Epilepsi. Proposal for revised clinical and
electroencephalographic classification of epileptic seizure. Epilepsia
1981; 22: 489-501.
6. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Edisi ke 2. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press; 2007
7. Budiarto G. Penatalaksanaan kejang yang rasional. Surabaya: Gramik FK
Unair; 1997.
8. Mahar M, Sidartha P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2000.
9. Lang F. Color atlas of pathophysiology. New York: Thieme; 2008.
10. Lowenstein, Daniel H. Harrison’s neurology in clinical medicine.
California: McGraw-Hill; 2006.
11. Machfoed MH, Hamdan M, Machin A. Buku ajar ilmu penyakit saraf.
Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga; 2012.

47

Anda mungkin juga menyukai