Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

GUILLAIN–BARRÉ SYNDROME

Disusun Oleh:

Bintang Evelin Lorenza Sinaga (112019244)

Pembimbing:

dr. Martua Rizal Situmorang, Sp.S, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT TARAKAN JAKARTA
PERIODE 19 April – 22 Mei 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul “ Guillain–
Barré syndrome”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan
klinik pendidikan profesi dokter di Departemen Neurologi Rumah Sakit Tarakan Jakarta.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada dokter Martua Rizal Situmorang,
Sp.S,M.kes sebagai dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan
petunjuk, serta kerjasama dari berbagai pihak yang telah membantu penyusunan referat ini.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak kekurangan disebabkan
keterbatasan kemampuan penulis, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak demi perbaikan di masa mendatang. Lepas dari segala
kekurangan yang ada, penulis berharap semoga referat ini membawa manfaat bagi kita semua.

Jakarta, 12 Mei 2021

Penulis

Bintang Evelin Lorenza Sinaga

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................5
2.1 Guillain-Barré syndrome ................................................................................5
2.1.1 Definisi Guillain-Barré syndrome ........................................................5
2.1.2 Epidemiologi Guillain-Barré syndrome ...............................................5
2.1.3 Etiologi Guillain-Barré syndrome ........................................................5
2.1.4 Patofisiologi Guillain-Barré syndrome ................................................5
2.1.5 Klasifikasi Guillain-Barré syndrome ...................................................7
2.1.6 Manifestasi Guillain-Barré syndrome ..................................................8
2.1.7 Diagnosis Guillain-Barré syndrome.......................................................9
2.1.8 Diagnosis Banding .............................................................................11
2.1.9 Penatalaksanaan Guillain-Barré syndrome ..........................................12
2.1.10 Komplikasi Guillain-Barré syndrome ................................................18
2.1.11 Prognosis Guillain-Barré syndrome ...................................................18
BAB III. KESIMPULAN................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................20

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Guillain-Barré syndrome (GBS) merupakan salah satu penyebab terbanyak kelumpuhan


flaksid akut secara global.1 Manifestasi awal GBS biasanya bermula di saraf perifer berupa
kelumpuhan di daerah tubuh bagian distal yang semakin lama semakin naik (ascending).
Penderita SGB pada awalnya akan merasakan kelemahan dan kesemutan pada anggota gerak
mulai dari kaki, tungkai, kemudian menyebar ke anggota gerak atas dan ke badan, dan sekitar
setengah dari penderita merasakan keluhan mulai dari wajah atau ekstrimitas atas.
Penyebab GBS diduga bahwa kelainan yang mendasari penyakit ini bersifat autoimun.
Infeksi sebagai faktor pencetus dan proses imunopatogenesisnya masih terus mendapat
perhatian. SGB menyerang 0,81 – 1,89 per 100.000 penduduk setiap tahunnya dan lebih sering
menyerang dewasa pada rentang usia 40 tahun dibandingkan anak-anak. Berdasarkan jenis
kelamin, SGB lebih sering menyerang laki-laki dibandingkan perempuan.2,3 Hingga sekarang
belum ada tes yang cukup spesifik dalam mendiagnosis GBS Untuk penatalaksanaannya sendiri,
banyak dilakukan uji klinis dengan hasil yang berbeda, namun sebagian besar menunjukkan
terapi dengan immunoglobulin intravena (IVIg) dan plasmapharesis cukup efektif.2 Meskipun
telah mendapat terapi yang cukup optimal, GBS tetap menimbulkan permasalahan seperti
komplikasi akibat perawatan yang lama, bahkan kematian.4,5
Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai SGB sehingga dapat
didiagnosis lebih cepat oleh karena semakin awal penegakan diagnosis SGB dapat menginisiasi
terapi sehingga memberikan prognosis yang lebih baik pada penderitanya

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Guillain-Barré syndrome

2.1.1 Definisi Guillain-Barré syndrome

Sindrom Guillain-Barre adalah suatu kelainan pada susunan saraf tepi, yang sering disebut
sebagai sebagai poliradikuloneuropati.1 GBS disebutkan sebagai salah satu penyebab tersering
dari kelumpuhan flaksid akut, setelah eradikasi poliomyelitis secara global.

2.1.2 Epidemiologi Guillain-Barré syndrome

Insidens sindrom Guillain-Barre berkisar antara 0,81-1,89 kasus per 100.000 penduduk
pertahun dan meningkat seiring bertambahnya usia, sehingga SGB lebih sering ditemukan pada
orang dewasa dibandingkan anak-anak.3 Di Indonesia, penelitian di RSCM menunjukan kasus
baru SGB yang dirawat sekitar 7,6 kasus /tahun. Penderita SGB di RSCM kebanyakan lelaki
dewasa muda dengan usia rata-rata 40 tahun dengan rasio laki-laki:perempuan 1,2:1. 4 Beberapa
kasus SGB dilaporkan berhubungan dengan penggunaan vaksin rabies dan Influenza A.5
Disamping itu, penggunaan vaksin dapat menurunkan risiko terkena SGB paska terpapar virus
influenza A secara langsung. Secara umum, tidak ada kontraindikasi pemberian vaksinasi kepada
individu yang telah mengidap SGB.

2.1.3 Etiologi Guillain-Barré syndrome

Infeksi yang mendahului SGB sebagian besar berasal dari infeksi saluran pernafasan dan
saluran cerna. Sekitar 31% kasus SGB ditemukan Campylobacter jejuni pada analisis tinja.
Patogen lain yang dapat menyebakan SGB adalah Haemophilus influenzae, Mycoplasma
pneumonia, Cytomegalovirus (CMV), Epstein-Barr virus (EBV), dan Varicella Zoster virus
(VZV).5

2.1.4 Patofisiologi Guillain-Barré syndrome

Terdapat sejumlah teori yang menjelaskan terjadinya GBS, dimana sistem imun tiba-tiba
menyerang saraf, namun teori yang paling sering adalah adanya organisme (misalnya virus atau

5
bakteri) mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya
sebagai sel-sel asing. Pada GBS terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi
terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh seperti bakteri maupun virus. Antibodi
yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin dan merusaknya, dengan bantuan sel-sel
leukosit sehingga terjadi inflamasi pada saraf.4 Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret
kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan yang seharusnya menghasilkan materi lemak
penghasil myelin. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun seperti limfosit dan
makrofag menyerang myelin. Limfosit T akan tersensitisasi bersamaan dengan limfosit B yang
akan memproduksi antibodi melawan komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi
myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu yang
bersamaan, myelin yang ada dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut
jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Malfungsi sistem imunitas yang terjadi pada
GBS menyebabkan kerusakan sementara pada saraf perifer dan timbulah gangguan sensorik,
kelemahan yang bersifat progresisf ataupun paralisis akut.

4
Gambar 1. Demyelinasi saraf

Mekanisme lain yang sering disebut pada GBS adalah mimikri molekuler. Mimikri
molekuler ini berhubungan dengan situasi dimana patogen dan tuan rumah memiliki antigen
yang hampir sama, Atau terjadi kesalahan sistem imun sehingga menyerang myelin atau akson.
Kesalahan ini terjadi karena permukaan mikroba (terutama C.jejuni) mengandung polisakarida
yang glikokonjugasinya mirip dengan sistem saraf manusia, kemiripan ini disebut molekuler
mimikri, yang dikenali oleh reseptor sel T dan sel B dari struktur mikroba serta dikenali juga

6
oleh antigen tuan rumah, yang disebut juga infeksi memicu antibodi silang reaktif yang
menyebabkan penyakit autoimun.

2.1.5 Klasifikasi Sindrom Guillain-Barre

Variasi pertama SGB berupa Sindrom Miller Fischer (SMF) yang dimana dapat ditemukan
opthalmoplegia, ataksia dan arefleksia tanpa adanya kelemahan.6 Penderita SMF harus
memenuhi minimal 2 gejala dan didukung oleh peningkatan protein cairan serebrospinal dan
ditemukannnya antibodi spesifik.

Variasi SGB berikutnya berupa Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) yang menyerang
akson motoric. Tidak lama setelah ditemukannya AMAN, muncul subtype baru dari kerusakan
akson yang menyerang sistim motoric dan sensorik yang kita namankan sebagai Acute Motor
and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN). AMAN dan AMSAN dipercaya berhubungan
dengan infeksi C. jejuni dan memiliki prognosis yang buruk. Variasi lainnya berupa Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) yang menyerang myelin saraf perifer.
Pasien yang mengidap AMAN mengalami kelemahan yang memburuk lebih cepat dibandingkan
AIDP sehingga dapat menyebabkan paralisis berkepanjangan dan gagal nafas dalam beberapa
hari.4

Gambar 2. Variasi klinis Sindrom Guillain-Barré.4

7
2.1.6 Manifestasi Klinis Guillain-Barré syndrome

Sindroma Guillain-Barre adalah penyakit poliradikuloneuropati akut yang disertai dengan


progresif monofasik secara umum dan kelemahan simetris yang melibatkan kedua ekstremitas
atas maupun bawah dan berhubungan dengan hipo/arefleksia. Penyakit SGB memiliki
karakteristik kelemahan yang dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan langsung menuju ke
ekstremitas bagian atas dengan ascending fashion. Pada umumnya pasien merasakan kelemahan
di kedua kakinya yang seperti ‘rubbery legs’ atau kaki yang cenderung goyah, dengan atau tanpa
mati rasa atau kesemutan.6,7 Pada saat kelemahan ini menuju ke ekstremitas bagian atas, biasanya
beberapa jam sampai beberapa hari, otot tangan dan wajah juga menjadi terpengaruh. Biasanya,
saraf kranial bagian bawah mungkin terpengaruh, dimulai dari kelemahan bulbar (disfagia
orofaringeal, termasuk susah menelan, mengeluarkan air liur dan atau masalah mempertahankan
jalan nafas) dan sulitnya bernafas. Kebanyakan pasien membutuhkan rawat inap dan sebanyak
30% memerlukan bantuan ventilasi8

Kelemahan otot yang pertama muncul dari kedua kaki (ascending type) dan kemudian
menuju kedua tangan dan saraf pada wajah dalam waktu 24 jam sampai dengan 72 jam. Kadang
– kadang kelemahan otot juga dapat dimulai dari kedua tangan (descending type) atau pada
kedua tangan dan kedua kaki secara bersamaan.6 Pada kasus yang ringan dari penyakit SGB,
kelemahan otot mungkin dapat mempengaruhi saraf kranial ataupun bisa juga tidak. Perjalan
penyakit dari SGB dapat digambarkan menjadi tiga fase, antara lain:

1. Fase progresif (The initial phase)


Fase progresif dimulai ketika pertama kali gejala muncul. Berakhir satu sampai tiga minggu
kemudian, tidak ada tanda kerusakan lebih lanjut.

2. Fase plateau (The plateau phase)

Fase plateau berlangsung beberapa hari sampai dua minggu.

3. Fase penyembuhan (The recovery phase)

Fase penyembuhan bertepatan dengan remielinasi dan proses perkembangan aksonal. Fase ini
berlangsung lebih empat sampai enam bulan, pasien dengan penyakit SGB yang berat mungkin

8
membutuhkan sampai dua tahun untuk sembuh dan mungkin penyembuhan tidak dapat kembali
normal secara keseluruhan.

Gambar 3. Perjalanan penyakit Sindrom Guillain-Barré.7

2.1.7 Diagnosis Guillain-Barré syndrome

Diagnosis SGB ditegakan melalui gejala dan tanda kelemahan akut progresif pada
ekstrimitas bawah dan atas disertai arefleksia atau hiprefleksia. Unutk menegakan dengan
spesifik, dapat menggunakan kriteria diagnostic menurut National Institute of Neurological and
Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) sebagai berikut:9

Tanda minimum untuk penegakan diagnostic

1. Kelemahan progresif pada kedia lengan dan tungkai


2. Hiporefleksia atau arefleksia

Tanda yang memperkuat diagnosis

1. Perburukan gejala yang mencapai titik nadir kurang atau sama dengan 28 hari
2. Pola distribusi deficit neurologis yang simetris
3. Gangguan sensorik minimal
4. Sangguan nervus kranialis, terutama kelemahan otot fasialis bilateral

9
5. Disfungsi saraf autonomy
6. Nyeri
7. Peningkatan protein pada CSS
8. Gambaran elektrodiagnostik khas yang sesuai dengan kriteria SGB

Tanda yang meragukan diagnosis

1. Disfungsi pernafasan berat lebih dominan daripada kelemaha ekstrimitas pada


awal onset
2. Gangguan sensorik lebih dominan daripada motoric di awal onset
3. Gangguan BAB dan BAK pada awal onset
4. Demam pada awal onset
5. Defisit sensorik berbatas tegas
6. Progresivitas lambat dengan gangguan motoric minimal tanpa keterlibatan
gangguan pernafasan
7. Kelemahan asimetris persisten
8. Gangguan BAB dan BAK persisten
9. Peningkatan jumlah sel mononuclear pada cairan serebrospinal
10. Peningkatan sel polimorfonuklear pada CSS

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium sebagai panduan untuk diagnosa banding pada setiap pasien, tetapi
secara umum pemeriksaan yang dilakukan pada semua pasien suspek SGB yaitu pemeriksaan
darah lengkap dan tes darah untuk memeriksa glukosa, elektrolit, fungsi ginjal, dan enzim hati.
Hasil dari pemeriksaan laboratorium ini dapat digunakan untuk mengecualikan diagnosa banding
dari kelemahan akut yang disebabkan oleh infeksi atau metabolik atau gangguan elektrolit.10

2.Lumbal pungsi (lumbar puncture)/ pemeriksaan CSF

Pemeriksaan ini sangat penting untuk menyingkirkan diagnosa lain untuk mengkonfirmasi
diagnosa SGB dan dilakukan pada evaluasi awal pasien. Gabungan dari peningkatan level
protein dan jumlah sel normal dalam CSF (disosiasi albuminositologikal) merupakan tanda khas

10
dari penyakit SGB. Jumlah sel CSF >50 sel/μL (pleositosis) sangat meragukan untuk
menegakkan diagnosis SGB dan diagnosa banding lainnya harus dipertimbangkan seperti
keganasan leptomeningeal, radikulitis sitomegalovirus, HIV polineuropati dan poliomielitis.10,11

3. Kecepatan Hantar Saraf (KHS)

Kriteria elektrodiagnosis yang digunakan secara luas adalah kiteria dari Ho dkk dan Haden
dkk. Ho dkk menekankan pada gambaran dispersi temporal sedangkan Haden dkk menjelaskan
mengenai blok konduksi. Dikatakan AIDP bila ditemukan salah satu tanda berupa penurunan
KHS < 90% pada batas bawah nilai normal, latensi memanjang >110% BAN, atau disperse
temporal terlihat nyata. Apabila tidak ada tanda demyelinisasi, atau terdapat blok konduksi maka
kita sebut sebagai AMAN.10

4. Tes antibodi antigangliosida

Meskipun antibodi antigangliosida diketahui berperan dalam patogenesis dari penyakit SGB,
tetapi belum diketahui dalam penegakan diagnosis. Secara umum frekuensi jumlah antibodi
spesifik rendah menggambarkan bahwa nilai prediksi negatif pada tes deteksi juga rendah dan
hasil tes negatif tidak ditemukan dengan begitu dapat mengecualikan SGB sebagai diagnosis.11
Selain itu tes antibodi ini terbatas nilai prediksi positif, karena antibodi antigangliosida (terutama
kelas IgM) juga terjadi di penyakit lainnya. Pemeriksaan ini bermanfaat, namun hasil negative
tidak menggugurkan diagnosis SGB.

5. Pemeriksaan gambaran saraf (neuroimaging studies)

Gambaran resonansi magnetik (MRI) dari lumbosakral dapat menunjukkan perluasan cauda
equina nerve root pada kasus AIDP.10 Meskipun pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, tetapi
MRI sangat berguna pada pasien jenis parastesis dari SGB digunakan untuk menentukan tempat
dimana lesi berada dan juga dapat membantu mengecualikan diagnosa banding.

2.1.8 Diagnosis Banding

 Mielitis Transversa
Gejala klinis SGB dapat menyerupain gejala lesi medulla spinalis akut. Namun, pada lesi
medulla spinalis gangguan berkemih muncul lebih awal dan deficit sensorik memiliki
batas yang tegas.12

11
 Lesi SSP
Pada 10% kasus SGB memiliki reflek tendon normal atau bahkan meningkat. Oleh
karena itu lesi SSP harus disingkirkan.4
 Myastenia gravis
MG merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan fluktuatif pada otot-
otot ektraokular, bulbar, dan otot-otot proksimal. Kelemahan otot yang memburuk saat
beraktivitas dan membaik setelah beristirahat.13
 Periodical paralytic
Periodical paralitik merupakan suatu kelompok penyakit genetic yang menyebabkan
kelemahan atau paralisis yang dapat dipicu oleh suhu, konsumsi karbohidrat tinggi, tidak
makan, stress, dan aktivitas fisik. Mekanisme dasar penyakit ini akibat adanya kebocoran
ion pada membrane otot skeletal yang menyebabkan otot berdepolarisasi sehingga tidak
dapat bergerak.14
 Botulisme
Botulisme merupakan suatu gangguan pada otot akibat paparan toksin botulinum yang
menyebabkan paralisis. Paralisis berawal dari wajah dan menyebar ke ekstrimitas.
Apabila toksin menyerang otot pernafasan dapat mengakibatkan gagal nafas.15

2.1.9 Penatalaksanaan Guillain-Barré syndrome (GBS)

Tujuan terapi GBS adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi).1 Penatalaksanaan GBS, termasuk penggunaan IVIg harus
dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan secara klinis. Aspek terpenting dari penatalaksanaan
GBS adalah terapi suportif. Pilihan imunoterapi pada penderita GBS terdiri dari plasmapharesis
dan IVIg. Plasmapheresis adalah terapi yang pertama terbukti efektif membantu penyembuhan
penderita GBS. Plasmapharesis umumnya dilakukan sebanyak lima kali dalam waktu dua
minggu sejak munculnya gejala. Namun karena kepraktisan dan ketersediaannya, IVIg menjadi
terapi pilihan. Dosis rekomendasi pada penderita yang tidak mampu berjalan adalah total IVIg 2
gram/kgBB yang dibagi merata dalam dosis harian selama lima hari. Efek samping yang sering
muncul adalah demam, mialgia, nyeri kepala, menggigil, mual, dan muntah. Reaksi
hipersensitivitas atau bahkan anafilaksis dapat terjadi.

12
Ketersediaan pedoman klinis yang berlaku secara global sangat penting, karena kemungkinan
wabah dari patogen baru dapat memicu terjadinya penyakit GBS. Berdasarkan konsensus yang
didapatkan dari tujuh kali analisis, ditetapkan 10 langkah penting diagnosis dan tatalaksana pada
pasien GBS meliputi diagnosis (menetapkan suspek GBS dan diagnosa GBS), tatalaksana akut
(penanganan di ICU, kapan dimulai pengobatan, pilihan terapi, pemantauan fungsi otonomik dan
reguler, komplikasi awal, dan progres klinis), dan Tatalaksana jangka panjang (prediksi
prognosis dan rehabilitasi).10

1. Tahap 1 – Suspek GBS


GBS harus dipertimbangkan sebagai diagnosis dari pasien yang memiliki progresif
kelemahan yang cepat pada kedua kaki dan kedua lengan yang progresif cepat, tanpa adanya
keterlibatan SSP atau penyebab lain yang jelas. Serta refleks menurun atau tidak ada pada
kebanyakan pasien. Disautonomia sering terjadi dan dapat mencakup tekanan darah atau
ketidakstabilan detak jantung, disfungsi pupil, dan disfungsi usus atau kandung kemih.10

2. Tahap 2 – Diagnosa GBS


Tidak adanya biomarker penyakit yang cukup spesifik dan sensitif, sehingga diagnosis GBS
berdasarkan pemeriksaan dan perjalanan klinis dan didukung oleh pemeriksaan tambahan seperti
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan CSF, pemeriksaan elektrodiagnostik dan imaging.10

3. Tahap 3 – Perawatan di ICU (Intensive Care Unit)


Alasan pasien dipindahkan ke dalam ruangan ICU meliputi gangguan pernafasan dengan
insufisiensi pernafasan segera, disfungsi sistem otonomik kardiovaskular (contoh: Aritmia atau
tanda lainnya dalam tekanan darah), susah menelan atau refleks batuk yang berkurang dan
kelemahan progresif yang cepat.10 Pasien GBS dirawat di ICU (Intensive Care Unit) untuk
memungkinkan pemantauan ketat fungsi pernafasan, bulbar dan fungsi otonomik. Keadaan
insufisiensi pernafasan pada GBS dapat diketahui secara klinis, tetapi tes fungsi paru
menggunakan MIP (Maximal Inspiratory Pressure) dan MEP (Maximal Expiratory Pressure)
dan kapasitas vital juga bisa sangat berguna. Penurunan kapasitas vital sampai 20 mL/kg, MIP
turun sampai 30 cm H20 dan MEP menurun hingga 40 cm H20 (Pola 20-30-40) merupakan
tanda kritis yang memerlukan intubasi. Hampir 22% dari pasien GBS membutuhkan ventilasi
mekanik pada satu minggu masuk rumah sakit, pasien dengan risiko tersebut harus diidentifikasi
segera dengan menggunakan model prognostik EGRIS.

13
Gambar 4. Perkiraan kriteria triase di ICU dengan pasien SGB 16

4. Tahap 4 – Mulai terapi

Terapi immunomodulatori harus segera diberikan jika pasien tidak bisa berjalan sendiri
sejauh 10 meter. Bukti dari efikasi pengobatan pada pasien yang masih bisa berjalan sangat
terbatas, tetapi perawatan harus dilakukan, jika pasien menunjukkan kelemahan progresif yang
sangat cepat atau gejala yang berat meliputi disfungsi otonomik, kegagalan bulbar atau
insufisiensi pernafasan.10

5. Tahap 5 – Pilihan terapi

A. Strategi pengobatan

Pemberian awal obat Intravenous Immunoglobulin (IVIg) (0.4 g/kg BB hari untuk 5 hari) dan
plasma exchange (PE) (200 – 250 ml plasma/kg BB dalam 5 kali pemberian) memiliki
efektivitas yang sama dalam terapi pasien GBS. Karena penggunaan IVIg (Intravenous
Immunoglobulin) lebih mudah dan umum dari pada PE (plasma exchange), sehingga penggunaan
IVIg (Intravenous Immunoglobulin) lebih sering menjadi pilihan terapi.10,17 Selain IVIg
(Intravenous Immunoglobulin) dan PE (plasma exchange), tidak ada lagi prosedur atau obat lain
yang efektif dalam pengobatan GBS. Meskipun pengobatan kortikosteroid diharapkan dapat
mengurangi peradangan dan sering digunakan dalam pengobatan penyakit autoimun oleh karena
itu dilakukan penelitian mengenai progresif GBS. Tetapi dari beberapa penelitian menunjukkan
tidak adanya pemulihan signifikan dan juga pengobatan dengan kortikosteroid oral tidak
menunjukkan efek samping. Penelitian pada terapi kombinasi dari PE yang diikuti oleh IVIg

14
tidak menunjukkan hasil yang signifikan dari kedua kombinasi obat ini. Penggunaan antimikroba
atau antiviral dapat dipertimbangkan dalam pengobatan pasien GBS dimana jika masih terjadi
infeksi, meskipun begitu infeksi sebelumnya sudah dilakukan pengobatan sebelum onset dari
kelemahan pada GBS.

B. Pasien spesifik

Pada pasien dengan jenis GBS lainnya seperti pasien MFS cenderung memiliki perjalanan
penyakit yang ringan dan biasanya dapat sembuh kembali tanpa pengobatan selama 6 bulan.
Pada pasien wanita hamil, pengobatan IVIg maupun PE merupakan kontraindikasi selama masa
kehamilan.10 Meskipun begitu, PE membutuhkan pertimbangan dan pemantauan tambahan
lainnya, sehingga penggunaan IVIg lebih disarankan. Pada pasien GBS usia anak-anak, tidak ada
perbedaan dengan pengobatan yang dilakukan terhadap pasien GBS usia dewasa. Meskipun
begitu penggunaan obat IVIg efektif pada kelompok usia anak-anak dengan efek samping yang
dapat diabaikan dan biasanya digunakan sebagai terapi pertama.

6. Tahap 6 – Pemantauan progresif penyakit


Penilaian rutin dibutuhkan untuk memantau perkembangan progresif penyakit dan
komplikasi yang akan terjadi. Pertama, disarankan pengukuran fungsi pernafasan, tidak semua
pasien menunjukkan tanda klinis dari dispnea. Kedua, kekuatan otot pada leher, kedua lengan
dan kaki harus diperiksa dengan menggunakan skala MRC dan disabilitas fungsional dengan
menggunakan skala disabilitas GBS yang umum digunakan dalam dokumentasi tingkatan
perjalanan klinis dari GBS. Ketiga, pasien harus dipantau kesulitan dalam menelan dan batuk.
Terakhir, pemantauan disfungsi anatomi melalui elektrodiograf dan pemantauan frekuensi
denyut jantung, tekanan darah dan fungsi sistem pencernaan dan kandung kemih. Hampir dua
pertiga kematian pasien GBS terjadi pada fase penyembuhan (recovery phase) dan paling sering
disebabkan oleh penyakit sistem kardiovaskular dan pernafasan. Oleh karena itu, pada fase
penyembuhan diperlukan pemantauan potensi aritmia, tekanan darah, atau distress pernafasan
yang disebabkan oleh penumpukan mukus. Pemantauan ini sangat penting pada pasien yang
sudah tidak di rawat di ruangan ICU dan pasien yang memiliki faktor risiko kardiovaskular.10

7. Tahap 7 – Tatalaksana komplikasi awal

15
Komplikasi pada pasien GBS meliputi ulkus dekubitus, infeksi nosokomial (pneumonia atau
infeksi saluran kemih) dan DVT, dapat terjadi pada pasien yang tidak dapat bergerak di rumah
sakit. Komplikasi spesifik lainnya meliputi susah menelan pada pasien kelumpuhan otot saraf
bulbar, ulkus kornea pada pasien dengan kelumpuhan pada wajah dan kontraktur pada lengan,
osifikasi dan kelumpuhan anggota gerak. Nyeri, halusinasi, kecemasan dan depresi juga sering
dialami oleh pasien GBS, sehingga dokter dan perawat harus memantau pasien terkait keluhan
tersebut, khususnya jika memiliki ketidakmampuan berbicara dan atau pasien yang berada di
ICU. Pengobatan yang adekuat dan terbaik dilakukan oleh tim kesehatan yang meliputi perawat,
fisioterapi, spesialis rehabilitasi, terapis bicara dan okupasi dan ahli gizi.10

8. Tahap 8 – Tatalaksana progresif klinis

A. Respon terhadap pengobatan yang kurang

Hampir 40% pasien yang melakukan pengobatan menggunakan PE dan IVIg tidak membaik
pada awal minggu ke empat.10 Sehingga dokter akan mengulangi perawatan atau mengubah ke
pengobatan alternatif lainnya, tetapi belum ada bukti mengenai pengulangan perawatan dan
pengobatan alternatif lainnya dapat meningkatkan pemulihan pasien.

B. Fluktuasi dari pengobatan (Treatment-related fluctuations)

TRF harus dibedakan dari progresif klinis tanpa respon awal terhadap pengobatan. TRF
menunjukkan bahwa efek pengobatan telah memudar pada saat terjadi fase inflamasi dari
penyakit GBS yang masih berlangsung. Sehingga pasien dengan TRF mungkin dapat dilakukan
perawatan lebih lanjut dan mengulangi penggunaan IVIg atau PE, meskipun bukti ini belum ada
yang mendukung.10

C. CIDP

Sekitar 5% pasien SGB terjadi relaps sehingga didiagnosis kembali menjadi penyakit kronis
yaitu CIDP (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy). Diagnosis awal CIDP jika
pada pasien mengalami TRF tiga kali atau lebih dan atau kemunduran klinis ≥ 8 minggu setelah
penyakit ini muncul. 10

9. Tahap 9 – Prediksi prognosis (predicting outcome)

16
Pasien GBS yang mengalami kelumpuhan tetraplegia dan membutuhkan ventilasi mekanik,
untuk menunjukkan penyembuhan yang lama, khususnya pada tahun pertama terjadinya penyakit
ini. Kemungkinan pasien dapat berjalan kembali dapat dihitung sendiri menggunakan model
prognostik mEGOS (modified Erasmus GBS Outcome Score).10

10. Tahap 10 – Rehabilitasi

Pasien GBS dapat mengalami komplikasi jangka panjang meliputi penyembuhan yang tidak
sempurna dari fungsi sensorik dan motorik, kelelahan (fatigue), nyeri dan distress psikologikal.10
A. Fungsi sensorik dan motorik

Menyusun sebuah program rehabilitasi pada pasien GBS dengan spesialis rehabilitasi,
fisioterapi dan terapi okupasi merupakan langkah penting dalam proses pemulihan. Program
rehabilitasi harus bertujuan untuk mengurangi kecacatan pada tahap awal pemulihan dan
kemudian memulihkan kembali fungsi motorik dan sensorik seperti semula.10

B. Fatigue (kelelahan)
Penyebab dan faktor terjadinya tidak diketahui, tetapi fatigue ini mungkin muncul sebagai
sebagian keadaan dari kelumpuhan dan dekondisi otot secara umum. Program latihan seperti
pemulihan fungsi fisik, latihan yang bertahap dan dibawah pengawasan telah terbukti mampu
dapat mengurangi fatigue. 10
C. Nyeri
Nyeri yang berat telah dicatat setidaknya satu pertiga dari pasien GBS setelah satu tahun
terjadi penyakit ini dan dapat bertahan sampai lebih dari sepuluh tahun. Nyeri kronik pada pasien
GBS digambarkan oleh nyeri otot di punggung bagian bawah dan anggota gerak tubuh, nyeri
parastesia, artralgia dan nyeri radikular. Penggunaan obat anti inflamasi non steroid boleh
digunakan tetapi sering tidak adekuat menghilangkan nyeri. Penggunaan gabapentin dan
carbamazepine digunakan dalam perawatan di ruangan ICU pada fase akut GBS. Penggunaan
obat analgesik narkotika yang tepat dapat digunakan tetapi harus dalam pemantauan efek
samping pada denervasi otonomik. Terapi adjuvan dengan pengobatan trisiklik antidepresan,
tramadol, gabapentin, carbamazepine atau meksiletin dapat membantu untuk pengobatan jangka
panjang.10
D. Distress psikologikal

17
Kehilangan fisik secara tiba-tiba dapat membuat seorang pasien mengalami traumatis sehingga
menyebabkan kecemasan dan atau depresi. Pemberitahuan yang cepat dan pengobatan yang tepat
dari distres psikologikal sangat penting bagi pasien GBS dan juga keadaan mental berpengaruh
pada penyembuhan fisik dan sebaliknya.10 Memberikan informasi akurat kepada pasien
mengenai pemulihan yang relatif baik dan resiko rekuren rendah (2-5%) dapat membantu pasien
mengurangi rasa cemasnya. Menghubungkan pasien GBS dengan pasien lainnya yang menderita
GBS dapat juga membantu mereka dalam rehabilitasi

2.1.10 Komplikasi Sindroma Guillain-Barre


Komplikasi yang terjadi pada SGB dapat menyebabkan kecacatan yang berat dan kematian.
Komplikasi yang sering dan mungkin terjadi pada pasien SGB meliputi komplikasi jangka
pendek antara lain komplikasi kardiovaskular, syndrome of inappropriate antidiuretic hormone
hypersecretion (SIADH), ensefalopati, gangguan pernafasan, ventilasi mekanik, gangguan
disfungsi otonomik, glomerulonefritis serta rhabdomiolisis dan komplikasi jangka panjang yaitu
gangguan psikologis, kram otot dan nyeri otot 10

2.1.11 Prognosis Sindroma Guillain-Barre

Prognosis sangat penting bagi seorang dokter untuk menentukan perawatan dan pengobatan
yang diperlukan bagi pasien dan untuk membantu menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai
perjalanan penyakit SGB yang diharapkan.

1. Prognosis pasien yang memerlukan ventilasi


Kriteria penilaian prognostik untuk pasien yang memerlukan ventilasi mekanik dalam
seminggu yaitu Erasmus GBS Respiratory Insufficiency Score (EGRIS).18 Pasien yang
memerlukan ventilasi mekanik memiliki faktor resiko untuk prognosis yang buruk

2. Prognosis komplikasi jangka panjang


Di hampir semua penelitian, prognosis buruk terjadi pada seseorang pasien dengan skor
disabilitas SGB ≥ 3 setelah 6 bulan ataupun 12 bulan. Kriteria penilaian prognostik lainnya
sudah berkembang untuk menentukan prognosis pasien SGB. Sebagai contoh yaitu Erasmus
GBS Outcome Score (EGOS).19
3. Prediksi mortalitas

18
Kejadian mortalitas pada pasien SGB sangat bervariasi antara 3% - 7%.19 Prognosis buruk
pada pasien dengan risiko umur yang lebih tua, penyakit berat, komorbiditas meningkat,
komplikasi pada paru-paru dan jantung, ventilasi mekanik, dan infeksi.

BAB III

KESIMPULAN

SGB merupakan suatu poliradikuloneuropati yang ditandai dengan kelemahan progresif dari
distal ke proximal. Perjalanan klinis SGB terbagi dalam beberapa fase dengan puncak
perburukan klinis yang biasanya tidak lebih dari 28 hari. Sindrom Guillain-Barre biasanya
diawali oleh infeksi atau stimulasi sistim imun yang memicu respon autoimun yang menyerang
sistim saraf perifer dan serabut spinalnya. Kelemahan ekstrimitas dan gangguan sensorik terjadi
dalam 1-2 minggu setelah imun tubuh terstimulasi dengan puncah 2-4 minggu. Diagnosis SGB
sebagian besar melalui pola klinis yang timbul. Semua pasien dengan SGB memerlukan
pengawasan ketat serta penanganan suportif. Inisiasi pemberian intravenous immunoglobulin
(IVIg) atau tukar plasma terbukti bermanfaat terutama bagi pasien dengan progresivitas yang
cepat. Prognosis untuk pasien SGB dilihat dari penilaian EGRIS, EGOS, serta dari faktor usia
dan komplikasi.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Sawelinggi D, Aryabiantara W, Wiryana M. Penatalaksanaan guillan-Barre syndrome di ICU


sebuah laporan kasus.2019;50(2):304-307.
2. Sejvar, J. J., Baughman, A. L., Wise, M., & Morgan, O. W. 2011, ‘Population Incidence of
Guillain-Barré Syndrome: A Systematic Review and Meta-Analysis’, Neuroepidemiology, 36(2),
123–133. doi:10.1159/000324710
3. Bae JS, Yuki N, Kuwabara S, Kim JK, Vucic S, Lin CS, et al. Guillain–Barré syndrome in
Asia. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2014;85(8):907-13.
4. Safri AY. Sindrom Guillain Barre. InBuku ajar Neurologi 2017. Departemen Neurologi
FKUI-RSCM.
5. Wijdicks EF, Klein CJ, editors. Guillain-barre syndrome. Mayo Clinic Proceedings; 2017:
Elsevier.
6. Pithadia B. A., Kakadia N. 2010, ‘Review on Guillain–Barré syndrome’, Pharmacological
Reports, 62, 220-232.
7. Willison HJ, Jacobs BC, van Doorn PA. Guillain-barre syndrome. The Lancet.
2016;388(10045):717-27.
8. Malek, E. and Salameh, J. 2019, ‘Guillain – Barre Syndrome’, Seminars in Neurology, vol.
39, no. 5, pp. 589-595.
9. Poser CM. Criteria for the diagnosis of the Guillain-Barré syndrome: A critique of the
NINCDS guidelines. Journal of the neurological sciences. 1981;52(2-3):191-9.
10. Leonhard, Sonja E.; Bresani-Salvi, Cristiane C.; Lyra Batista, Joanna D.; Cunha, Sergio;
Jacobs, Bart C.; Brito Ferreira, Maria Lucia; P. Militão de Albuquerque, Maria de Fatima;
Viennet, Elvina, 2020, ‘Guillain-Barré syndrome related to Zika virus infection: AÂ
systematic review and meta-analysis of the clinical and electrophysiological phenotype’,
PLOS Neglected Tropical Diseases, 14(4), e0008264–. doi:10.1371/journal.pntd.0008264
11. Van den Bergh, P. Y. K., Piéret, F., Woodard, J. L., Attarian, S., Grapperon, Aude-Marie;
Nicolas, G., Brisset, M., Cassereau, J., Rajabally, Y. A., Van Parijs, V., Verougstraete, D.,
Jacquerye, P., Raymackers, Jean-Marc; Redant, C., Michel, C., Delmont, E., 2018, ‘Guillain-

20
Barré syndrome subtype diagnosis: A prospective multicentric European study’, Muscle &
Nerve, (), –. doi:10.1002/mus.26056
12. Rodríguez Y, Rojas M, Pacheco Y, Acosta-Ampudia Y, Ramírez-Santana C, Monsalve DM,
et al. Guillain–Barré syndrome, transverse myelitis and infectious diseases. Cellular &
molecular immunology. 2018;15(6):547.
13. Kaminski HJ, Kusner LL. Myasthenia gravis and related disorders: Springer; 2018.
14. Kokunai Y, Vicart S, Dalle C, Sternberg D, Fontaine B, Nicole S. A case of periodic
paralysis with hypo and hyperkalemic characteristics. Journal of the Neurological Sciences.
2017;381:659-60.
15. Parkinson N, Johnson E, Ito K. Botulism. Foodborne Diseases: Elsevier; 2017. p. 381-93.
16. Wijdicks, E. F. M., & Klein, C. J. 2017, ‘Guillain-Barré Syndrome’, Mayo Clinic
Proceedings, 92(3), 467–479, doi:10.1016/j.mayocp.2016.12.002
17. Fadia, M., Shroff, S., & Simpson, E. 2019, ‘Immune-Mediated Neuropathies’, Current
Treatment Options in Neurology, 21(6), doi:10.1007/s11940-019-0569-y
18. Walgaard, C., Lingsma, H. F., Ruts, L., Drenthen, J., Koningsveld, R. van, Garssen, M. J. P.,
Van Doorn, P. A., Steyerberg, E. W., Jacobs, B. C. 2010, ‘Prediction of respiratory
insufficiency in Guillain-Barré syndrome’ Annals of Neurology, NA–NA.
doi:10.1002/ana.21976
19. Van den Bergh, P. Y. K., Piéret, F., Woodard, J. L., Attarian, S., Grapperon, Aude-Marie;
Nicolas, G., Brisset, M., Cassereau, J., Rajabally, Y. A., Van Parijs, V., Verougstraete, D.,
Jacquerye, P., Raymackers, Jean-Marc; Redant, C., Michel, C., Delmont, E., 2018, ‘Guillain-
Barré syndrome subtype diagnosis: A prospective multicentric European study’, Muscle &
Nerve, (), –. doi:10.1002/mus.26056

21

Anda mungkin juga menyukai