Anda di halaman 1dari 23

Manisfestasi Klinis Bell’s Palsy serta Penanganannya

Bintang Evelin Lorenza Sinaga

102016167

Mahasiswa Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi : Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510

Email : bintang.2016fk167@civitas.ukrida.ac.id

Abstract
Bell's palsy is the most common cause of facial paralysis in as many as 75% with unknown
causes. The course of the disease is usually progressive, and reaches maximum paralysis in
1-3 weeks. Symptoms of Bell's palsy that are often found, including the eyebrows down,
cannot close the eyes, the nasolabial folds are not visible, and the mouth is attracted to the
healthy side. Reduced tears, hyperacusis, and / or loss of taste in the two thirds of the tongue
can help in determining the location of the lesion, but has no diagnostic and prognostic value
so it is rarely used in clinical practice. Careful history and physical examination including
otoneurologic examination is needed to rule out disorders, which at first impression resemble
Bell's palsy, but have their own diagnosis. After the diagnosis is confirmed, a management
plan needs to be prepared and explained to the patient. The management includes medical
therapy, physical therapy and surgery for facial nerve decompression.
Keywords: bell's palsy, symptoms of bell palsy, and management

Abstrak
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering ditemukan yaitu
sebanyak 75 % dengan penyebab yang tidak diketahui. Perjalanan penyakit biasanya
progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 1-3 minggu. Gejala Bell’s palsy yang
sering dijumpai termasuk alis mata turun, tidak dapat menutup mata, lipatan nasolabial tidak
tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. Berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau
hilangnya rasa pada dua pertiga lidah dapat membantu dalam menentukan lokasi lesi, namun
tidak memiliki nilai diagnostik dan prognostik sehingga jarang digunakan dalam praktek
klinis. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat termasuk pemeriksaan otoneurologik
diperlukan untuk menyingkirkan gangguan-gangguan, yang pada kesan pertama menyerupai
Bell’s palsy, namun mempunyai diagnosis tersendiri. Setelah diagnosis dipastikan, maka
suatu rencana penatalaksanaan perlu disusun dan dijelaskan pada pasien. Penatalaksanaan
tersebut meliputi terapi medikamentosa, terapi fisik serta bedah untuk dekompresi saraf
fasialis.
Kata Kunci: bell’s palsy, gejala bell’s palsy, dan penatalaksanaan

1
Pendahuluan

Sistem saraf merupakan suatu “kabel” yang tersusun sangat spesifik membentuk jalur-jalur
anatomik yang rapi untuk meyalurkan sinyal dari satu bagian tubuh ke bagian yang lain.
Informasi dibawa sepanjang rantai neuron ke tujuan yang diinginkan melalui perambatan
potensial aksi disertai transmisi melalui sinaps. Salah satu bagian dari sistem saraf tersebut
adalah saraf kranial yang merupakan bagian dari sistem saraf tepi namun berlokasi di dekat
sistem saraf pusat yakni cranium atau tengkorak. Terdapat 12 pasang saraf kranial yang
dinyatakan dengan nama atau angka romawi. Saraf-saraf tersebut antara lain olfaktorius (I),
optikus (II), okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abdusen (VI), fasialis (VII),
vestibulokoklear (VIII), glosofaringeus (IX), vagus (X), aksesorius (XI) dan hipoglosus (XII).
Saraf kranial I, II dan VIII merupakan saraf sensorik murni; sedangkan saraf kranial III, IV,
VI, XI dan XII adalah saraf motorik. Dan saraf kranial V, VII, IX dan X merupakan saraf
gabungan. Adanya gangguan pada salah satu atau lebih dari susunan saraf terserbut tentunya
akan mengakibatkan kelainan pada proses berlangsungnya penyampaian sinyal dari satu
bagian tubuh ke bagian tubuh lain yang bersangkutan.

Dalam kasus yang akan dibahas ini, kelainan terjadi pada sistem saraf kranial ke VII
(Bell’s Palsy) yang menyebabkan kelumpuhan pada bagian wajah pasien. Saraf ke VII
merupakan bagian dari saraf kranial yang memegang peranan penting dalam mengatur
ekspresi wajah, gangguan pada jalur saraf facialis dapat mencetuskan beberapa gejala seperti
ketidakmampuan untuk menutup kelopak mata, garis-garis pada dahi menghilang, dan
penurunan sudut salah satu sisi mulut, dll. 1,2

Dengan demikian, makalah ini disusun dengan tujuan agar setiap mahasiswa mampu
mengerti dan memahami mengenai anatomi perjalanan N. VII dan persarafannya, serta
fisiologi, anamnesis, pemeriksaan yang diperlukan pada kasus ini, serta mampu menentukan
diagnosis dari gejala klinis dan hasil pemeriksaan yang ada, dan juga mampu menentukan
komplikasi, pencegahan, penatalaksanaan dari kasus ini.

Anatomi nervus VII

Saraf fasialis mempunyai perjalanan yang panjang dan sebagian besar berada di
dalam os temporal. Saraf ini bersifat sensorik, motorik dan parasimpatis.3,4,5,6
Serat-serat upper motor neuron dari saraf fasialis berasal dari korteks serebri hingga
nukleus saraf fasialis. Daerah motorik pertama berasal dari sepertiga bawah girus presentalis.

2
Serat-serat ini berjalan kebawah melalui genu dari kapsula interna ke basis pedunkuli dan
berakhir pada saraf fasialis kontralateral. Komponen saraf fasialis yang menginervasi bagian
atas wajah berasal dari korteks yang kontralateral. Daerah motorik kedua terletak di lobus
temporalis.3,4,5,6
Serat-serat lower motor neuron berasal dari nukleus saraf ke bawah, yang terbagi atas
3 tempat yaitu: ( Lihat gambar 1)

Pars Intrakranial
Saraf fasialis berjalan dari pons ke porus akustikus internus. Panjangnya sekitar 23-24
mm. pada daerah ini, saraf fasialis sebelah anterior dari saraf kokleovestibularis dan saraf
intermedius.5,6

Pars Intratemporal
- Segmen meatal
Berjalan dalam kanalis auditori internus sepanjang 8-10 mm.4,5,6

- Segmen labirin
Berjalan dari fundus meatus menuju ganglion genikulatum dengan panjang sekitar 3-5
mm, dimana saraf fasialis ini membelok ke arah posterior dengan tajam membentuk
suatu ‘genu’ (1st genu). Di daerah ini terdapat percabangan saraf fasialis yang disebut
saraf petrosus superior mayor yang keluar dari ganglion genikulatum. Saraf ini
memberikan rangsangan untuk sekresi pada kelenjar lakrimalis.4,5,6

- Segmen Timpani (segmen horizontal)


Panjangnya sekitar 8-11 mm, dan pada daerah ini membuat putaran kedua (2nd genu).
Pada segmen ini saraf fasialis berjalan melewati bagian atas dari eminensia piramidalis,
melewati bagian atas oval window dan berjalan ke bawah kanalis semisirkularis lateral.
Saraf berjalan turun dari 1st genu secara vertikal dan mengeluarkan cabang untuk otot
stapedius.4,5

- Segmen Mastoid (segmen vertikal)


Saraf berjalan dari eminensia piramidalis sampai dengan foramen stilomastoideus.
Panjangnya sekitar 10-14 mm. dibagian ini muncul cabang saraf fasialis yang masuk ke
telinga tengah sebagai saraf timpani. Korda membawa serabut-serabut nyeri, raba dan

3
suhu serta pengecapan untuk dua pertiga anterior lidah. Saraf ini juga mengurusi saliva
submandibula. Korda berjalan di antara maleus dan inkus.5,6

Gambar 1. Anatomi tofografi dari nervus Facialis ( N. VII).7

Pars Ekstrakranial
Setelah keluar dari foramen stilomastoideus, saraf berjalan ke arah anterior dan sedikit
inferior ke arah permukaan posterior dari daerah parotis yang kemudian bercabang menjadi
komponen dari saraf di daerah fasialis yang terbagi atas cabang saraf temporal, zigomatikus,
bukalis, mandibular, dan servikalis.3,4,6 (Lihat gambar 2)

Gambar 2. Perjalanan N.VII di daerah wajah.8

Fisiologi Kerusakan Saraf


Bila suatu akson mengalami cedera akibat trauma langsung ataupun peristiwa metabolik,
dapat terjadi perubahan histologi yang nyata atau perubahan biokimia yang dapat diukur

4
secara menyeluruh hingga ke badan sel. Tekanan pada suatu saraf dapat mengakibatkan
hambatan aliran aksoplasma.1,9
Sunderland mengklasifikasikan cedera saraf atas lima derajat, dengan kerumitan yang
semakin meningkat dan kemungkinan penyembuhan tanpa komplikasi yang semakin
menurun. Derajat 1 sampai 3 biasa terlihat pada proses inflamasi dan virus, sedangkan derajat
4 dan 5 terjadi biasanya akibat trauma, tindakan operasi dan keganasan. Berikut ini adalah
derajat cedera saraf menurut Sunderland. 1,3 (Lihat gambar 3)
1. Cedara tingkat pertama = neuropraksia
Hambatan parsial transmisi pada aksoplasma. Tidak terdapat perubahan morfologi.
Penyembuhan dan fungsi saraf dapat kembali komplit.
2. Cedera tingkat dua = aksonomesis
Kerusakan yang demikian parah sehingga mengakibatkan hilangnya akson, tetapi tanpa
kerusakan selubung neurilema atau selubung enduroneuron. Selama proses
penyembuhan akson akan tumbuh dan hasilnya biasanya baik.
3. Cedera tingkat tiga = neurotmesis
Gangguan yang disertai kerusakan anatomi batang saraf atau endoneurium. Selama
proses penyembuhan akson bisa saja kembali.
4. Cedera tingkat empat = transeksi parsial
Kerusakan perineum berasal dari atas. Timbul regenerasi dari serabut saraf.
5. Cedera tingkat lima = transeksi saraf komplit
Kerusakan perineum berasal dari atas yang parah. Terjadi transeksi saraf secara komplit.

Gambar 3. Gambaran cedera saraf dan kemungkinan penyembuhannya.9

5
Anamnesis Bell’s Palsy

Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau dalam keadaan
tertentu dengan penolong pasien. Berbeda dengan wawancara biasa, anamnesis dilakukan
dengan cara yang khas, berdasarkan pengetahuan tentang penyakit dan dasar-dasar
pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta bertolak dari masalah yang
dikeluhkan oleh pasien.10

A. Identitas pasien
Identitas pasien yang berisikan nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, alamat
tempat tinggal.
B. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien dengan kondisi Bell’s palsy. Misalnya pasien
merasa separuh/ satu sisi mukanya terasa tebal, muka yang asimetris, susah merasakan
sensasi rasa(manis, asam, asin), susah untuk berbicara, dan susah untuk menelan makanan
dan munuman karena setiap makanan yang dimakan akan terkumpul pada sisi yang sakit
dan air liurselalu menetes.
C. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh bibir sebelah tidak dapat bergerak, alis juga tidak bisa bergerak dan saat
memejamkan mata tidak bisa rapat, wajah sebelah terasa kesemutan dan tebal-tebal,
setelah pasien di berikan terapi berupa arus faradik dan laser. Kondisi pasien wajahnya
mencong ke sebelah dan mengeluh telinga sebelah bagian belakang terasa nyeri.
D. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pasti belum pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya.
E. Riwayat penyakit penyerta
Tidak ada riwayat penyakit lain yang menyertai kondisi pasien.
F. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga diketahui bahwa tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah
menderita penyakit serupa.

6
Pemeriksaan Fisik

Dari pemeriksaan umum dan fisik sering didapat keterangan – keterangan yang
menuju ke arah tertentu dalam usaha membuat diagnosis. Pemeriksaan fisik dilakukan
dengan melihat keadaan umum pasien, kesadaran, tanda-tanda vital (TTV), pemeriksaan
mulai dari bagian kepala dan berakhir pada anggota gerak yaitu kaki. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan beberapa hal berikut:

 Keadaan umum: tampak sakit sedang


 Kesadaran: compos mentis

Glasgow coma scale digunakan secara luas sebagai standar yang konsisten dan sensitif dalam
mengukur tingkat kesadaran.11 (Lihat gambar 4)

Gambar 4. Glasgow coma scale 11

Reflek fisiologis adalah gerak otot reflektorik dapat ditimbulkan pada setiap orang yang
sehat. tetapi pada kasus tidak ditemukan.10,11

Refleks patologis adalah refleks-refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada orang sehat.
diman terdiri dari: 10,11

1. Refleks trommer hoffmann


Merupakan fleksi jari-jari tangan atas perangsangan (goresan) terhadap kuku- kuku jari
tengah.
2. Refleks babinski
Merupakan gerakan dorsoekstensi ibu jari kaki serta pengembangan jari-jari kaki lainnya,
sebagai jawaban atas penggoresan terhadap bagian lateral telapak kaki.
3. Refleks chaddock
Untuk membangkitkan refleks ini dengan jalan penggoresan terhadap kulit dorsum pedis
bagian lateral.

7
4. Refleks gordon
Untuk membangkitkan refleks ini maka dengan jalan memencet betis secara keras.
5. Refleks gonda
Untuk membangkitkan refleks gonda ialah dengan jalan menekukan maksimal jari kaki
keempat.
6. Refleks schaeffer
Untuk membangkitkan refleks ini dengan cara jalan memencet tendon achilles secara
keras
7. Refleks oppenheim
Cara membangkitkan refleks ini dengan jalan pengurutan dari proksimal ke distal secara
keras dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan terhadap kulit yang menutupi os tibia
8. Refleks bing
Cara membangkitkan refleks bing adalah dengan jalan memberikan rangsang tusuk pada
kulit yang menutupi metatarsal kelima.

Ada berbagai Pemeriksaan untuk melihat Fungsi Nervus Fasialis 12,13


 Tes Topografi
1. Uji Lakrimasi (Uji Schirmer)
Dengan pemeriksaan ini fungsi lakrimalis dapat dinilai. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan memakai lipatan kertas filter yang diletakkan nmenggantung pada kedua
palpebra inferior lalu dibandingkan kecepatan sekresi airmata setelah diberi
rangsangan ammonia hirup. Setelah 3 menit panjang dari strip yang menjadi basah
dibandingkan dengan sisi satunya.
2. Pemeriksaan fungsi m. stapedius
Tujuan pemeriksaan ini adalah melihat impendance telinga tengah terhadap
rangsang suara.
3. Uji Pengecapan
Pemeriksaan ini merupakan suatu indikator yang dapat diandalkan dalam
mendeteksi terputusnya fungsi saraf korda timpani. Garam dan gula adalah uji
pengecapan yang sering dipakai dan sangat mudah. Hilangnya pengecapan akibat
cedera, terbatas pada 2/3 anterior lidah.
4. Pemeriksaan fungsi motorik wajah.

8
Pada pemeriksaan ini dilakukan inspeksi pada wajah penderita saat: mengerutkan
dahi, mengangkat alis, menutup mata, meringis, menggembungkan pipi, dan
bersiul. (Lihat gambar 5)

Gambar 5. Contoh khas pasien dengan 6 gradasi fasialis parese


menurut klasifikasi House dan Brackmann.13
Grade I Normal
Fungsi fasialis normal, simetri pada semua area.
Grade II Disfungsi ringan
Kelemahan ringan yang hanya dapat terlihat pemeriksaan yang teliti.
Dapat menutup mata sempurna dengan sedikit usaha
Asimetris ringan ketika tersenyum dengan usaha maksimal
Disfungsi sedang
Grade III Jelas terlihat kelemahan, tetapi tidak terlihat mencolok
Bisa tidak mampu mengangkat alis mata.
Dengan usaha keras dapat menutup mata sempurna tetapi gerakan mulut
asimetris.
Disfungsi sedang - berat
Grade IV Jelas terlihat kelemahan
Tidak dapat mengangkat alis mata
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna meskipun dengan usaha
yang maksimal
Disfungsi berat
Grade V Hanya sedikit gerakan yang terlihat
Asimetris saat istirahat
Paralisis total

9
Grade VI Tidak ada gerakan

Tabel 1. Sistem klasifikasi derajat fasialis parese Disusun oleh House dan
Brackmann.13
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang memiliki peranan penting dalam menegakkan diagnosis. Bell’s
palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk
menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Setiap pasien dengan
kelumpuhan saraf fasialis dianjurkan menjalani pemeriksaan THT yang lengkap seperti
pemeriksaan otoskopi, pemeriksaan massa pada parotis dan pemeriksaan audiologi untuk
menentukan fungsi dari N.VII dan N.VIII. selain itu juga ada pemeriksaan penunjang lainnya
seperti: 11,14

 Pemeriksaan laboratorium
Biasanya normal. Tetapi perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain kelumpuhan wajah.14
 Titer Serum HSV
Untuk mengetahui apakah ada infeksi dari HSV yang merupakan factor penyebab
terbanyak pada penyakit bells palsy.13
 MRI
Pemeriksaan MRI dapat dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal,
otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat
memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis. Gambaran MRI pada
kasus Bell’s palsy berupa peningkatan gadolinium saraf pada bagian distal kanalis auditorius
interna dan ganglion genikulatum yang merupakan lokasi tersering terjadinya edema saraf
fasialis yang menetap. Pada penderita bells palsy idiopatic dapat dilihat adanya
pembengkakan dan enhancement dari nervus facialis.11

 Pemeriksaan optalmologi
Pemeriksaan ini terutama dilakukan bila terdapat lagoftalmus pada mata sisi yang
lumpuh. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan tingkat lagoftalmus sehingga
dapat diperkirakan kesanggupan kelopak mata dalam melindungi kornea.
 pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos

10
pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan
keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
 Tes Elektrodiagnosis 11,13,14
1. Nerve Excitability Test (NET)
Tes ini mendeteksi besarnya potensial listrik yang menyebabkan saraf-saraf wajah
berkontraksi. Elektroda dari alat stimulator diletakkan diantara mastoid dan
mandibula. Pemeriksaan dilakukan dengan membandingkan sisi yang normal
dengan sisi yang mengalami paralisis. Jika terdapat perbedaan pada kedua sisi
sebesar 3,5 mA menunjukkan terjadi kerusakan saraf yang berat.
2. Maximal stimulation test (MST)
Tes ini sama dengan NET, tetapi sebagai pengganti alat pengukur threshold
stimulation biasanya dilihat tingkat pergerakan wajah yang maksimal yang
dibandingkan dengan sisi yang normal. Responnya digambarkan sebagai “sama”,
“menurun”, atau “absen” dengan stimulasi maksimal yang menunjukkan
degenerasi dan perbaikan yang tidak sempurna.
3. Electroneuronography (ENOG)
Tes ini merupakan salah satu jenis evoked electromyography. Nervus fasialis
dirangsang pada area foramen stylomastoid dan potensial aksi otot oleh elektroda.
Stimulasi maksimal digunakan untuk mendapatkan potensial aksi yang maksimal.
Respon pada sisi yang mengalami paralisis dibandingkan dengan respon yang
muncul pada sisi yang normal.
4. Electromyography (EMG)
Tes ini mengukur aktivitas motorik otot wajah dengan cara melakukan insersi
Jarum elektroda yang diletakkan pada oculi orbicular dan musculus oris orbicularis
dan direkam aktivitasnya selama fase istirahat dan saat otot berkontraksi. EMG
akan membantu mengevaluasi prognosis penyembuhan fungsional.

Diagnosis Kerja

Bell’s Palsy
Bell’s palsy merupakan suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat
unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), dan akut. Diagnosis biasanya
ditegakkan bila Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda. Bila lesi
di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua
otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s
11
phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis
yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan
dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air
liur keluar dari sudut mulut. Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda
timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di
foramen stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada
sisi yang sama. Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi
hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion
genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan
saraf kedelapan.15
Karena saraf pada bagian wajah memiliki banyak fungsi dan kompleks, kerusakan
atau gangguan fungsi pada saraf tersebut dapat mengakibatkan banyak masalah. Penyakit ini
seringkali menimbulkan gejala-gejala klinis yang beragam akan tetapi gejala-gejala yang
sering terjadi yaitu wajah yang tidak simetris, kelopak mata tidak bisa menutup dengan
sempurna, gangguan pada pengecapan, serta sensasi mati rasa pada salah satu bagian wajah.
Pada kasus yang lain juga terkadang disertai dengan adanya hiperakusis (sensasi
pendengaran yang berlebihan), telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang. Hal
tersebut terjadi mendadak dan mencapai puncaknya dalam dua hari. Keluhan yang terjadi
diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap sebagai infeksi. Selain itu
juga terjadi kelemahan atau paralisis otot, Kerutan dahi menghilang, Tampak seperti orang
letih, hidung terasa kaku terus - menerus, sulit berbicara, sulit makan dan minum, sensitive
terhadap suara (hiperakusis), salivasi yang berlebih atau berkurang, pembengkakan wajah,
berkurang atau hilangnya rasa kecap, air liur sering keluar, air mata berkurang, alis mata
jatuh, kelopak mata bawah jatuh, sensitif terhadap cahaya.
Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit ini yaitu, pada
awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi
atau berkumur, minum atau berbicara. Mulut tampak mencong terlebih saat meringis, kelopak
mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita menutup kelopak matanya maka
bola mata akan tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila
berkumur maka air akan keluar ke sisi melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala
dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.14,15
Diagnosis banding
1. Ramsay Hunt Syndrome (komplikasi herpes zoster)

12
Pasien dengan Ramsay Hunt Syndrome memiliki suatu prodromal nyeri dan sering
berkembang erupsi vesikel pada kanal telinga dan faring. Penyakit ini disebabkaan oleh virus
herpes zoster, dengan klinis berupa paralisis fasialis, atau gangguan pendengaran atau
keseimbangan.10
2. Stroke iskemik
Oklusi akut terhadap pembuluh darah intracranial dapat menyebabkan aliran darah menuju ke
jaringan otak menjadi berkurang sesuai region mana yang disumbat. Tidak adanya aliran
darah sama sekali menuju jaringan otak selama 4-10 menit menyebabkan matinya jaringan
otak secara spontan. Jika oklusi tersebut hanya terjadi secara sebentar maka keadaan tersebut
disebut TIA (Transient Ischemic Attack) dan kelainan neurologis bersifat reversible. 15
3. Guillain Barre Syndrome
Suatu poliradikuloneuropati inflamasi yang bersifat akut. Gangguan berupa paralisis fasialis
bilateral dapat dijumpai pada ± 50% kasus GBS. Klinis lainnya adalah kelumpuhan pada
saraf motorik ekstremitas, dan pernafasan. Refleks tendon negatif pada daerah yang terlibat.
10,15

Etiologi bell’s palsy

Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu: iskemik vaskuler, infeksi
virus, herediter, dan imunologi. Pada teori iskemik vaskuler terjadi gangguan regulasi
sirkulasi darah ke N.VII. Terjadi vasokontriksi arteriole yang melayani N.VII sehingga terjadi
iskemik, kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat
dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler
limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih
menekan kapiler dan venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik. Menurut teori
infeksi virus Bell’s palsy sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit virus, sehingga
menurut teori ini penyebab Bell’s palsy adalah virus. Juga dikatakan bahwa perjalanan klinis
Bell’s palsy menyerupai viral neurophaty pada saraf perifer lainnya. Pada teori herediter
penderita bell’s palsy kausanya herediter, autosomal dominan. Bell’s palsy terjadi mungkin
karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut, sehingga
menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis. Pada teori imunologi dikatakan
bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul
sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.15

13
Berdasarkan beberapa penelitian penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes
(HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes
zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di
ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Berdasarkan teori ini maka penderita Bell’s palsy diberikan pengobatan
kotikosteroid dangan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam kanalis Fallopii
dan juga sebagai immunosupresor.15

Epidemiologi Bell’s Palsy


Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.
Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun
sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy
rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih
tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan
terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester
ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi
daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar
19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas
maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara
dingin atau angin berlebihan.10,15

Patofisiologi bell’s palsy

Bell’s palsy terjadi reaksi inflamasi di sekitar nervus kranialis ketujuh dan biasanya
inflamasi ini terjadi pada meatus audiorius interna, tempat saraf facialis tersebut
meninggalkan jaringan tulang. Reaksi inflamasi ini akan membuat suatu blok hantaran yang
akan menghambat stimulasi saraf yang tepat pada otot oleh serabut-serabut motorik nervus
facialis sehingga terjadi bell’s palsy. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori

14
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui
kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi,
demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik
yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear,
nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik
primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan
daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.15
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu pencetus terjadinya Bell’s palsy. Karena itu
nervus fasialis bisa sembab, terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN dapat terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di
os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi
nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis
LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa
mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi
bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan,
fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata
yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan
platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan
secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis
tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak
mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius. 15
(Lihat gambar 6)

15
Gambar 6. Patofisiologi bell’s palsy 15

Gejala dan tanda Bell’s Palsy


 Timbul keluhan kelumpuhan otot-otot wajah secara tiba-tiba, biasanya kurang dari 48
jam.
 Unilateral/pada satu sisi wajah.
 Tidak dijumpai kelainan neurologi atau kelainan otak sebelumnya, tidak ada riwayat
infeksi telinga tengah.
 Gejala yang sering timbul: otalgia, hiperakusis, disgeusia, nyeri pada wajah dan daerah
retroaurikular, fenomena Bell.
 Saat penderita tenang, secara inspeksi pada sisi wajah yang terkena tampak kerutan dahi
menghilang, alis lebih rendah, celah mata lebih besar, lipatan nasolabial menghilang dan
bentuk lubang hidung yang tidak simetris.
 Saat menggerakkan otot-otot wajah, penderita tidak dapat mengangkat alis. Pada saat
menggembungkan pipi, bersiul akan tampak deviasi ke arah yang sehat.
 Biasanya didahului adanya riwayat infeksi saluran nafas atas. 12,13,15

Komplikasi bell’s palsy


Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat
diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy :14,15
(1) Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis
seluruh atau beberapa muskulus fasialis.
(2) Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan),
ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama
dengan stimuli normal).
(3) Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat
menyebabkan :

16
a. Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya
timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau
pengerutan dahi saat memejamkan mata.
b. Crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat
regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada
saat mengkonsumsi makanan.
c. Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba
(shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium
awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).
Penatalaksanaan bell’s palsy
Prioritas utama pada penatalaksanaan Bell’s palsy adalah untuk menghilangkan
penyebab kerusakan saraf secepatnya. Beberapa kasus, penyakit ini dapat sembuh dengan
sendirinya. Penatalaksanaan Bell’s palsy meliputi medikamentosa, terapi fisik dan tindakan
bedah.13,14,15
Medikamentosa
 Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid pada penatalaksanaan penyakit ini sudah banyak digunakan.
Lambert menyarankan pemberian dosis tinggi prednison dengan dosis awal 1
mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi diberikan sampai 7 hari dan diturunkan pada hari
berikutnya sampai dosis nol. Tetapi bila terdapat paralisis komplit maka kortikosteroid
diberikan selama 10 hari lagi dan diturunkan pada 5 hari berikutnya.13,15
 Anti virus
May et al menyarankan pemberian obat anti virus ( acyclovir ) pada usia dewasa adalah
4000 mg / hari selama 7-10 hari, sedangkan pada anak dengan usia lebih dari 2 tahun
adalah 1000 mng/hari selama 10 hari.13
 Neurotonik
Pemberian obat-obat neurotonik digunakan untuk membantu proses perbaikan saraf-saraf
yang rusak. Tujuannya untuk meningkatkan sintesis asam nukleat dan protein di dalam
sel saraf yang dapat digunakan untuk mielinisasi dan stimulus regenerasi saraf.12,14

Terapi fisik
Yaitu dengan cara merangsang denervasi otot dengan cara stimulasi memakai metode
pijat pada wajah, melatih pergerakan otot wajah dan jika perlu stimulasi elektrik. Sekarang

17
ini terapi akupuntur juga dicobakan pada penderita Bell’s palsy. Tindakan tersebut
diharapkan dapat melancarkan sirkulasi darah dan meningkatkan tonus otot.7,12,13
Melatih pergerakan wajah dilakukan di depan cermin, dan dilakukan sendiri di rumah,
dengan cara: menutup mata sekuat tenaga, tersenyum, bersiul dan meniup, menarik sudut
mulut ke samping dan menggerakkan semua otot wajah.12
Kelopak mata yang lumpuh perlu diperhatikan pada Bell’s palsy kebanyakan pasien akan
mengalami kekeringan pada mata, sehingga kornea perlu dilindungi memakai obat tetes atau
salap mata. Kaca mata perlu dipakai untuk menghindarkan paparan angin atau debu.

Tindakan pembedahan
Pembedahan fasialis dianjurkan pada kasus Bell’s palsy dengan paralisis total yang
memiliki tanda-tanda degenerasi saraf yang luas atau menderita kelumpuhan yang
berulang.12,13
Tujuan dari pembedahan pada nervus fasialis adalah untuk menentukan kontinuitas
axon nervus fasial yang telah mengalami trauma atau infeksi. Pembedahan juga dilakukan
ketika nervus terpotong, adanya infiltrasi tumor dan adanya tumor pada saraf.
Beberapa pendekatan bedah untuk eksplorasi nervus fasial berupa:11
1. Pendekatan transmastoid
2. Pendekatan translabirin
3. Pendekatan fossa media

Pendekatan transmastoid 12,13


Pendekatan transmastoid dapat mengeksplorasi nervus fasialis mulai dari segmen horizontal
sampai segmen vertikal.
Cara:
 Korteks mastoid harus dibersihkan terlebih dulu dengan melakukan simple mastoidektomi.
Kemudian labirin vestibuler ditipiskan bersama sinus sigmoid dan garis nervus fasialis
dari foramen stilomastoid dengan menyusuri eminensia digastrik. Resesus suprapiramidal
terletak antara korda timpani bagian anterior dengan nervus fasialis bagian posterior dan
ketika dibuka tampak inkus dan stapes.
 Kemudian dilakukan pemisahan inkus dengan stapes dengan ligamen posteriornya
dibiarkan terbuka dan tetap dipertahankan. Inkus dipisahkan dari malleus tetapi prosesus
brevis tetap melekat pada fossa inkudis.

18
 Inkus kemudian dirotasikan ke arah telinga tengah untuk mempermudah melakukan
diseksi mulai dari bagian proksimal segmen timpani, sampai ke bagian distal segmen
labirin.
 Tulang harus di bur dengan menggunakan bur diamond dengan diameter 1 mm. Di bur
dengan arah dari ganglion genikulatum ke arah ujung dari ampula kanalis semisirkularis
horizontal.
 Setelah seluruh bagian nervus fasialis dibebaskan dari tulang maka selubung saraf akan
terbuka. Selubung saraf diiris dengan menggunakan pisau kecil. Setelah dekompresi
selesai, inkus dikembalikan ke posisi semula dan luka di tutup.

Gambar 7. Pendekatan Transmastoid.9

Pendekatan Translabirin 7,15

Teknik operasi dengan pendekatan translabirin untuk penanganan dekompresi nervus fasialis
sama dengan teknik reseksi translabirin pada neuroma akustik kecuali diseksinya diperluas
sampai ganglion genikulatum.
Cara:
 Dilakukan simple mastoidektomi terlebih dulu. Segmen vertikal nervus fasialis di
skeletonisasi dengan hati-hati sampai ke foramen stilomastoid.
 Tulang-tulang diruntuhkan dari dura fossa posterior dan internal auditori kanal posterior
dan segmen labirin nervus fasialis.
 Seluruh internal auditory canal dibuka. Dasar vestibulum menjadi landmark nervus
vestibular bagian distal untuk memisahkannya dengan nervus fasialis. Segmen labirin dari
nervus fasialis dibuka untuk memudahkan diseksi tumor/decompresi pada nervus fasialis
di dalam internal auditori kanal.
 Pada dura fossa posterior di insisi di bagian anterior kearah lateral sinus venosus, lalu
sinus dan dura fossa posterior diretraksi.

19
Gambar 8. Dekompresi Nervus Fasialis dengan pendekatan Translabirin.11

Pendekatan fossa media .11

Pendekatan fossa media sangat baik digunakan untuk penatalaksanaan trauma pada
segmen labirin.
Cara:
 Dilakukan insisi 1 cm di depan tragus sampai subkutan lalu insisi di teruskan kearah
superior kira-kira 6 cm. Otot temporalis dipotong dan disishkan, lalu dilakukan kraniotomi
dengan menggunakan bur.
 Selanjutnya dura dielevasi. Daerah operasi dibuka sampai foramen spinosum di bagian
anterior dan eminensia arkuata di bagian posterior.
 Lalu nervus petrosal superfisial mayor diidentifikasi ke arah ganglion genikulatum.
Kemudian nervus ditelusuri sampai ke internal auditori kanal. Pendekatan ini dilakukan
untuk mencapai nervus di segmen labirin tanpa harus mengorbankan pendengaran.

Gambar 8. Dekompresi Nervus Fasialis dengan pendekatan Fossa Media.9

Graf Interposisi pada nervus fasialis

20
Graf interposisi dilakukan untuk mempersarafi kembali nervus fasialis yang telah
terputus. Bahan graf yang dipilih tergantung besarnya defek nervus fasialis. Untuk defek
sebesar 6-8 cm digunakan nervus aurikularis mayor. Pleksus cervikalis digunakan untuk
defek sampai 12 cm. Bila lebih dari 12 cm dapat digunakan nervus sural yang diambil dari
medial dan posterior maleolus lateralis.
Ujung nervus yang mengalami kerusakan dipotong. Graf yang diambil harus dipotong
sedikit lebih panjang untuk menghindari tension. Graf kemudian diletakkan dalam kanalis
falopii secara tepat dengan posisi end to end diantara kedua ujung saraf. Penyambungan saraf
menggunakan benang nilon 9-0 atau 10-0 monofilamen. Penyambungan ini juga bisa
distabilisasi dengan fibrin glue. Kemudian defek ditutup dengan fasia. Regenerasi graf akan
lengkap setelah 6-12 bulan.7,8,9
Saat ini tindakan operatif dengan pendekatan dekompresi fasialis pada Bell’s palsy mulai
ditinggalkan. Penatalaksanaan berupa medikamentosa dan terapi fisik yang tepat lebih
memberikan hasil yang lebih baik.13,15
Pencegahaan Bell’s Palsy
Agar Bell's Palsy tidak mengenai kita, cara-cara yang bisa ditempuh adalah :
1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin
mengenai wajah.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah
langsung.Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-langit,
jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian
kipas.
3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain tidak
bagusuntuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung mata. Suhu
rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan
Andamenderita Bell's Palsy.5. Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atau
mencuci wajah dengan air dingin.6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah
terkena angin langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup.15

Prognosis Bell’s Palsy


Prognosis pada pasien Bell’s palsy umumnya baik. Perbaikan biasanya dimulai pada hari
kesepuluh dengan penyembuhan yang sempurna rata-rata satu setengah bulan. Sekitar 85%
penderita Bell’s palsy akan sembuh sempurna.13,15

21
Kesimpulan
Bell’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis otot wajah akut unilateral, yang disebabkan
oleh disfungsi saraf fasialis (nervus VII) perifer tanpa diketahui penyebabnya secara pasti
(idiopatik). Etiologi dan patogenesisnya belum jelas, diduga peran virus yang menyebabkan
inflamasi pada saraf. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat termasuk pemeriksaan
otoneurologik diperlukan untuk menyingkirkan gangguan-gangguan, yang awalnya diduga
Bell’s palsy. Penatalaksanaan berupa medikamentosa dan terapi fisik yang tepat dipercaya
oleh beberapa ahli lebih memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan operasi.
Tindakan operasi disarankan pada kasus paralisis total dan berulang. Prognosis pada pasien
Bell’s palsy umumnya baik dan sekitar 85% penderita Bell’s palsy akan sembuh sempurna.

Daftar Pustaka

1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2011.
h.134.
2. Muttaqin A. Pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
persarafan. Jakarta: Salemba Medika; 2008. h. 17 & 210.

3. Dhingra PL. Facial Nerve and its Disorders. In: Disease of Ear Nose and Throat. 4th
ed. Elsevier. New Delhi. 2007. 90-5.
4. Lee KJ. Facial nerve paralysis. In: Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery. 8th ed. Mc Graw-Hill Medical Publishing. New York. 2003. 169-89.
5. Soefferman RA. Facial nerve injury and decompression. In: Nadol JB, Mckenna MJ
(ed). Surgery of the Ear and Temporal Bone. 2nd ed. Lippincott Williams & Wikins.
Philadephia. 2005. 435-49.
6. May M. Anatomy for the clinician. In: May M, Schaitkin BM (ed). The Facial
Nerve. 2nd ed. Theime. New York. 2000.1-53.
7. Maisel RH, Levine SC. Gangguan saraf Fasialis. Dalam : Adams GL, Boies LR,
Higler PA (ed). BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Penerbit EGC. Jakarta.
1997. 139-52.
8. Awas Lumpuh Wajah Mengintai Pengendara Motor. 2010. Available in:
http://www.eocommunity.com/showthread.php?tid=2181
9. Schaitkin BM, May M. Disorder of the Facial Nerve. In: Kerr AG (ed). Scott-
Brown’s Otolaryngology. Vol 3. 6th ed. Butterworth-Heinemann. Oxoford. 1997.
3/24/1-25.

22
10. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke -5. Jakarta
Pusat: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009.h.25-28.
11. Ross J. Sistem saraf. Edisi 1. Jakarta: Elsevier; 2017. H: 402-403.

12. Vrabec JT, Coker NJ. Acute Paralysis of the Facial Nerve. In: Bailey BJ, Johnson
JT (ed). Head & Neck Surgery-Otolaryngology. Vol 2. 4th. Lippincott Williams &
Williams. Philadelphia. 2006. 2147-8.
13. Dhingra PL. Facial Nerve and its Disorders. In: Disease of Ear Nose and Throat. 4th
ed. Elsevier. New Delhi. 2007. 90-5.
14. Lo B. Bell’s palsy. 2010. Available in:
http://www.emedicine.medscape.com/article/791311-overview
15. Beal MF, Hauser SL. Trigeminal neuralgia, Bell’s palsy, and other cranial nerve
disorders in Harrison’s neurolog in clinical medicine. Philadelphia: The McGraw-
Hill Companies;2006.p.314-47.
16.

23

Anda mungkin juga menyukai