Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH ANALISIS DAERAH MELALUI PENDEKATAN KLASSEN

TYPOLOGI, WILLIAMSON INDEX, DAN ENTROPI THEIL INDEX

Makalah Ini Disusun Guna Melengkapi Ujian Tengah Semester


Mata Kuliah Ekonomi Regional
Dosen Pengampu: Rian Destiningsih, S.E, M.Si

Disusun oleh :
Ega Wahyu Okta Prasetya (1610101098)

EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS TIDAR
2018/2019
BAB I
GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

Sumber: Google Maps

1.1. Keadaan Geografis


1.1.1. Letak Geografis
Kota Salatiga terletak di tengah-tengah wilayah Kabupaten Semarang.
Terletak antara 007o.17’ dan 007o.17’.23” Lintang Selatan dan antara
110o.27’.56,81” dan 110o.32’.4,64” Bujur Timur.
1.1.2. Penggunaan Lahan
Secara administratif Kota Salatiga terbagi menjadi 4 kecamatan dan
23 kelurahan. Luas wilayah Kota Salatiga pada tahun 2016 tercatat
sebesar 56,781 km². Luas yang ada, terdiri dari 7,799 km2 (13,73 persen)
lahan sawah dan 48,982 km² (86,27 persen) bukan lahan sawah.
Menurut penggunaannya, sebagian besar lahan sawah digunakan
sebagai lahan sawah berpengairan teknis (46,71 persen), lainnya
berpengairan setengah teknis, sederhana, tadah hujan dan lain-lain.
Berikutnya, lahan kering yang dipakai untuk tegal/ kebun sebesar
32,72 persen dari total bukan lahan sawah.

1.2. Industri dan Energi


1.2.1. Perindustrian
Pembangunan di sektor industri merupakan prioritas utama
pembangunan ekonomi tanpa mengabaikan pembangunan di sektor
lain. Sektor industri dibedakan menjadi industri besar dan industri
sedang serta industri kecil dan industri rumahtangga. Definisi yang
digunakan BPS, industri besar adalah perusahaan yang mempunyai
tenaga kerja 100 orang atau lebih, industri sedang adalah
perusahaan dengan tenaga kerja 20 orang sampai dengan 99 orang,
industri kecil adalah perusahaan dengan tenaga kerja 5 orang
sampai dengan 19 orang, dan industri rumah tangga adalah
perusahaan dengan tenaga kerja 1 orang sampai dengan 4 orang..
Menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Salatiga, terdapat
1.946 perusahaan industri pada tahun 2016 atau meningkat relatif
kecil dibandingkan jumlah perusahaan tahun sebelumnya. Jumlah
tenaga kerja yang diserap sebanyak 15.243 orang.
Total nilai investasi industri yang ditanamkan di Kota Salatiga
tahun 2016 sebesar 1.483.671 juta rupiah atau naik sekitar 2,07
persen dibandingkan dengan tahun 2015.

1.3. Pendapatan Regional


Pertumbuhan ekonomi Salatiga tahun 2016 yang ditunjukkan oleh laju
pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2010, mengalami
pertumbuhan yang cukup baik. Pada tahun 2015 pertumbuhan ekonomi
mencapai 5,17 persen, dan di tahun 2016 pertumbuhan sebesar 5,23 persen.
Sektor Industri Pengolahan memberikan sumbangan tertinggi terhadap
ekonomi Kota Salatiga yaitu sebesar 31,56 persen, dengan laju
pertumbuhan sebesar 3,84 persen. Sektor Konstruksi dan sektor Perdagangan
Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor yang juga
merupakan sektor dominan memberikan sumbangan yang cukup signifikan
yaitu masing- masing sebesar 14,08 persen dan 13,02 dengan pertumbuhan
sebesar 7,29 dan 4,50 persen.

1.4. Perbandingan Antar Kabupaten/Kota


Jika dilihat dari jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah, Kota Salatiga
menempati peringkat ke tiga puluh empat, atau kedua terkecil dengan
jumlah penduduk sebesar 186,42 ribu jiwa. Kabupaten yang memiliki
jumlah penduduk terbesar adalah Kabupaten Brebes dengan 1.788,88 ribu
jiwa, sedangkan yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit adalah
Kota Magelang dengan 121,11 ribu jiwa.
Pada tahun 2016, Kabupaten Blora memiliki Laju pertumbuhan PDRB atas
dasar harga konstan 2010 tertinggi di Jawa Tengah, yaitu sebesar 23,53
persen. Kota Salatiga menempati peringkat ke sembilan belas bila
dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain di Provinsi Jawa Tengah,
sedangkan di posisi terbawah adalah Kabupaten Kudus, yaitu sebesar 2,42
persen.
BAB II
TELAAH PUSTAKA

Telaah pustaka dalam peneliti menggali informasi dari jurnal-jurnal yang


ada kaitannya tentang analisis pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
pendapatan baik dari jurnal nasional maupun jurnal internasional.
Penelitian terdahulu yang menjadi referensi penyusun dalam melakukan
penelitian ini seperti penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Adi Sutrisno (2012
tentang “Analisis Ketimpangan Pendapatan Dan Pengembangan Sektor Unggulan
Di Kabupaten Dalam Kawasan Barlingmascakeb Tahun 2007-2010”. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan di Kawasan
Barlingmascakeb dari Tahun 2007-2010 rata-rata sebesar 0,185 (indeks
Williamson) dan 0,722 (indeks entropi Theil). Ketimpangan pendapatan di
kawasan ini masih tergolong rendah, akan tetapi ada kecenderungan peningkatan
ketimpangan selama periode pengamatan. Kabupaten Banjarnegara memiliki
sektor unggulan di sektor jasa-jasa. Kabupaten Purbalingga memi- liki sektor
unggulan di sektor bangunan, perdagangan, keuangan dan jasa-jasa. Kabupaten
Banyumas memiliki sektor unggulan di sektor bangunan, keuangan, jasa-jasa dan
listrik gas air bersih. Kabupaten Cilacap memiliki sektor unggulan di sektor
pertanian, perdagangan dan industri pengolahan. Kabupaten Kebumen memiliki
sektor unggulan di sektor pertanian, pertambangan dan penggalian. Kab. Cilacap
dan Kab. Banyumas merupakan daerah dengan kondisi infrastruktur lengkap.
Penelitian berikutnya oleh Devi Nurita Noviana (2014) yang berjudul
“Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Dan Tingkat Ketimpangan Pendapatan
Antar Kabupaten/Kota Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2003-
2012” yang mengemukakan Ketimpangan pendapatan antar wilayah masih
menjadi masalah yang kompleks di Indonesia. Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki tingkat ketimpangan yang tinggi dibandingkan dengan
Provinsi yang ada di Jawa hal tersebut dibuktikan dengan data Indeks Gini
seluruh provinsi di Pulau Jawa dari tahun 2003- 2012. Penelitian ini bertujuan
untuk 1) menghitung tingkat ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota,
2) mengetahui sektor potensial dan 3) membuktikan berlaku atau tidaknya
kurva kuznet di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis
Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil untuk mengukur ketimpangan
pendapatan antar daerah, analisis Location Qoutient (LQ) dan analisis Shift
Share untuk mengetahui sektor-sektor potensial yang terdapat di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dan analisis Typology Klassen untuk
mengkelompokkan tiap-tiap wilayah berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan perkapita dan mengkelompokkan sektor- sektor dalam klasifikasi 4
kuadran.
Hasil Penelitian menunjukkan Ketimpangan pendapatan antar
kabupaten/kota di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tergolong tinggi (>0,5)
yaitu dengan analisis Indeks Williamson sebesar 0,71 dan analisis Indeks
Entropi Theil sebesar 4,35. Sementara, hipotesis kurva “U” terbalik Kuznets
yang menggambarkan hubungan antara pertumbuhan dengan Indeks
ketimpangan belum berlaku di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berdasarkan temuan tersebut saran yang dapat diberikan adalah
dengan meningkatkan investasi swasta dengan memberikan kemudahan
birokrasi dan investasi tersebut diarahkan pada daerah yang realtif tertinggal.
Serta, mengembangkan dan meningkatkan sektor potensial di masing-masing
daerah guna mempercepat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Peneltian selanjutnya oleh Hatta dan Astuti (2018) yang berjudul “The
Economic Growth Pattern Analysis of Ajatappareng Region Using Klassen
Typology Approach” mengemukakan bahwa Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dengan Sektoral Klassen Tipologi Pendekatan, sektor ekonomi termasuk dalam
Kuadran I yang menjadi sektor utama dalam kabupaten / kota di Ajatappareng
Daerah adalah Pengadaan Listrik dan Gas sektor, yang terkandung dalam Pinrang
dan Parepare. sementara Klassen analisis tipologi melalui Pendekatan Regional,
mengelompokkan kabupaten / kota di Ajatappareng Daerah yang termasuk dalam
daerah yang relatif tertinggal (Relatif Mundur wilayah) sehingga mereka harus
mendapatkan perhatian dan upaya untuk meningkatkan lapangan kerja melalui
teknologi berbasis tenaga kerja. Berdasarkan hasil tersebut diperoleh catatan yang
perlu menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru di kabupaten / kota di
Ajatappareng Daerah, sehingga dapat meningkatkan integrasi dan interkoneksi
seluruh wilayah mengakibatkan pemerataan pembangunan.
Selain itu, perlu juga untuk mengidentifikasi serta ke daerah-daerah yang
memiliki potensi ekonomi terkemuka sehingga pemerintah bisa lebih bijak dalam
menentukan prioritas pembangunan, sehingga untuk mengubah posisi kabupaten /
kota masuk ke dalam yang lebih baik atau meminimalkan kehadiran daerah relatif
terbelakang. Berikutnya adalah perlu untuk merevitalisasi semua sektor di
masing-masing kabupaten / kota di Ajatappareng Daerah, dan memacu
peningkatan produktivitas dan profesionalisme dalam mengelola sektor potensial
untuk memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif untuk meningkatkan
pendapatan daerah. Bagi investor yang ingin berinvestasi di kabupaten dan kota di
Ajatappareng Daerah, penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam
perhatian sektor potensial untuk dikembangkan serta prioritas pembangunan
masing-masing sektor di setiap Kabupaten / Kota.
Penelitian berikutnya “The Analysis of Development Disparities Inter
Districts/City in Special Region of Yogyakarta (DIY) Province 2003-2013” oleh
Anisa Nurpita dan Aulia Agni Nastiti (2016) menyatakan bahwa Salah satu tujuan
pembangunan ekonomi daerah adalah untuk meningkatkan sektor ekonomi, di
mana peningkatan sektor ekonomi akan bermanfaat bagi masyarakat. Indikator ini
penting untuk mengenali kondisi ekonomi di wilayah tertentu dalam periode
tertentu yang ditunjukkan oleh data PDRB (Produk Domestik Regional Bruto)
dari wilayah atau wilayah tersebut. Sejak diberlakukannya otonomi maka
Pemerintah daerah memiliki peran lebih besar dalam mengelola potensi ekonomi
daerah yang ada di wilayahnya. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator
yang mempengaruhi perkembangan ekonomi. Pembangunan ekonomi secara
substansi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Provinsi
Yogyakarta adalah salah satu kota di pulau Jawa dengan tingkat PDRB yang terus
meningkat setiap tahun sejak tahun 2003 hingga 2013. Dalam proses
pembangunan ada juga daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah
tetapi kekurangan sumber daya manusia, namun masih ada juga daerah yang
kurang memiliki sumber daya alam namun memiliki sumber daya manusia yang
melimpah, baik secara kualitas maupun kuantitas. Situasi ini kemudian mengarah
pada perbedaan dalam pembangunan yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi
dan kesenjangan kesejahteraan di masing-masing daerah. Penelitian ini juga
bertujuan untuk mengidentifikasi pola-pola pertumbuhan ekonomi menurut
Tipologi Klassen dan menggambarkan tingkat kesenjangan regional antar
kabupaten / kota di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Metode analisis yang
digunakan meliputi analisis Tipologi Klassen, Indeks Williamson ketidaksetaraan,
dan Indeks Entropi Theil. Hasil penelitian menunjukkan klasifikasi menurut
Tipologi Klassen, Yogyakarta disimpulkan dalam kategori daerah maju dan
tumbuh cepat. Disparitas indeks menunjukkan pola peningkatan. Ini menyiratkan
bahwa pembangunan di kabupaten / kota di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
semakin tidak merata.
BAB III
HASIL PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN

3.1. Tipologi Klassen Sektoral

Tabel 3.1 Klassen Sektoral 2012

Tabel 3.2 Klassen Sektoral 2013


Tabel 3.3 Klassen Sektoral 2014

Tabel 3.4 Klassen Sektoral 2015


Tabel 3.5 Klassen Sektoral 2016

Analisis Klassen Tipologi ini digunakan untuk mengetahui


pembagian sektor perekonomian wilayah Kota Salatiga. Dalam analisis ini
terdampat empat pembagian dalam sektor-sektor ekonomi yang masing-
masing memiliki karakter yang berbeda yaitu sektor maju atau tumbuh cepat
(rapid growth sector), sektor maju tapi tertekan (retarted sector), sektor
berkembang cepat dan sektor relatif tertinggal (relativully backward sector).
Dari hasil Klassen Typology, untuk menunjukkan hasilnya dapat dilihat
melalui rata-rata laju pertumbuhan serta kontribusi sektor ekonomi di
Provinsi Jawa Tengah dan Kota Salatiga.
Dari hasil perhitungan tabel 3.1 sampai 3.5 di atas, yang termasuk
dalam kategori sektor maju adalah Pengadaan Listrik dan Gas; Pengadaan
Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang; Konstruksi;
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor;
Transportasi dan Pergudangan; Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum;
Informasi dan Komunikasi; Jasa Keuangan dan Asuransi; Real Estate; Jasa
Perusahaan; Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial
Wajib; Jasa Pendidikan; dan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial. Sektor
tersebut mengalami fluktuatif namun masih dalam kriteria karakter sektor
PDRB Per Kapita ADHK 2010 (Juta
Laju Pertumbuhan PDRB Jawa Tengah
No Wilayah Rupiah) klassen typologi
2012 2013 2014 2015 2016 Rata-rata 2012 2013 2014 2015 2016 Rata-rata
1 Kabupaten Cilacap 47.83 48.34 49.47 52.13 54.49 50.45 1.98 1.66 2.92 5.96 5.06 3.52 Daerah Berkembang Cepat
2 Kabupaten Banyumas 16.34 17.31 18.12 19.05 20.02 18.17 5.88 6.97 5.67 6.12 6.05 6.14 Daerah Maju Tapi Tertekan
3 Kabupaten Purbalingga 13.95 14.52 15.07 15.72 16.31 15.11 5.79 5.27 4.85 5.47 4.78 5.23 Daerah Relatif Tertinggal
4 Kabupaten Banjarnegara 11.85 12.41 12.98 13.60 14.25 13.02 5.23 5.44 5.31 5.47 5.41 5.37 Daerah Relatif Tertinggal
5 Kabupaten Kebumen 11.70 12.18 12.84 13.60 14.23 12.91 4.88 4.57 5.79 6.28 4.97 5.30 Daerah Relatif Tertinggal
6 Kabupaten Purworejo 13.39 13.99 14.57 15.30 16.03 14.66 4.59 4.94 4.48 5.33 5.12 4.89 Daerah Relatif Tertinggal
selalu membaik.

7 Kabupaten Wonosobo 12.99 13.43 14.00 14.61 15.30 14.07 4.70 4.00 4.78 4.67 5.13 4.66 Daerah Relatif Tertinggal
8 Kabupaten Magelang 13.29 13.93 14.54 15.13 15.79 14.54 4.88 5.91 5.38 5.18 5.37 5.34 Daerah Relatif Tertinggal
9 Kabupaten Boyolali 16.26 17.09 17.90 18.85 19.72 17.96 5.33 5.83 5.42 5.96 5.30 5.57 Daerah Maju Tapi Tertekan
10 Kabupaten Klaten 16.70 17.62 18.56 19.47 20.39 18.55 5.71 5.96 5.84 5.30 5.14 5.59 Daerah Maju Tapi Tertekan
11 Kabupaten Sukoharjo 21.79 22.84 23.87 25.01 26.21 23.94 5.90 5.78 5.40 5.69 5.71 5.70 Daerah Maju dan Tumbuh Cepat
12 Kabupaten Wonogiri 17.07 18.72 20.80 22.73 24.46 20.76 5.94 4.78 5.26 5.40 5.23 5.32 Daerah Relatif Tertinggal
3.2. Tipologi Klassen Wilayah

13 Kabupaten Karanganyar 21.90 22.92 23.89 24.86 25.96 23.91 5.90 5.69 5.22 5.05 5.37 5.45 Daerah Maju dan Tumbuh Cepat
14 Kabupaten Sragen 20.62 21.91 23.04 24.33 25.64 23.11 6.12 6.70 5.59 6.05 5.74 6.04 Daerah Maju Tapi Tertekan
15 Kabupaten Grobogan 10.42 10.83 11.21 11.81 12.28 11.31 5.08 4.57 4.07 5.96 4.46 4.83 Daerah Relatif Tertinggal
16 Kabupaten Blora 13.23 13.87 14.41 15.12 18.60 15.05 4.90 5.36 4.39 5.36 23.53 8.71 Daerah Maju Tapi Tertekan
17 Kabupaten Rembang 15.37 16.06 16.75 17.52 18.30 16.80 5.32 5.43 5.15 5.50 5.23 5.33 Daerah Relatif Tertinggal
18 Kabupaten Pati 17.42 18.33 19.06 20.08 21.00 19.18 5.93 5.97 4.64 6.01 5.46 5.60 Daerah Maju Tapi Tertekan
19 Kabupaten Kudus 71.76 73.92 76.23 78.23 79.15 75.86 4.11 4.36 4.43 3.88 2.52 3.86 Daerah Berkembang Cepat
20 Kabupaten Jepara 13.05 13.55 13.99 14.47 14.98 14.01 5.86 5.39 4.81 5.10 5.02 5.24 Daerah Relatif Tertinggal
21 Kabupaten Demak 11.85 12.33 12.73 13.34 13.87 12.82 4.46 5.27 4.29 5.93 5.05 5.00 Daerah Relatif Tertinggal
22 Kabupaten Semarang 25.31 26.44 27.61 28.74 29.86 27.59 6.03 5.97 5.85 5.52 5.27 5.73 Daerah Maju dan Tumbuh Cepat
23 Kabupaten Temanggung 14.82 15.44 16.06 16.74 17.42 16.10 4.27 5.20 5.03 5.24 4.98 4.94 Daerah Relatif Tertinggal
24 Kabupaten Kendal 4.26 5.30 4.26 4.39 4.78 4.60 5.21 6.22 5.14 5.21 5.53 5.46 Daerah Maju Tapi Tertekan
25 Kabupaten Batang 14.51 15.22 15.88 16.59 17.25 15.89 4.62 5.88 5.31 5.42 4.98 5.24 Daerah Relatif Tertinggal

Tabel 3.6 Klassen Wilayah Jawa Tengah


26 Kabupaten Pekalongan 13.29 13.98 14.56 15.14 15.81 14.56 4.81 5.99 4.95 4.78 5.16 5.14 Daerah Relatif Tertinggal
27 Kabupaten Pemalang 9.79 10.29 10.82 11.39 11.96 10.85 5.32 5.57 5.52 5.58 5.38 5.47 Daerah Maju Tapi Tertekan
28 Kabupaten Tegal 12.00 12.76 13.35 14.03 14.88 13.40 5.23 6.73 5.03 5.49 5.92 5.68 Daerah Maju Tapi Tertekan
29 Kabupaten Brebes 12.80 13.49 14.14 14.92 15.58 14.19 4.58 5.91 5.30 5.98 5.08 5.37 Daerah Relatif Tertinggal
30 Kota Magelang 37.55 39.67 41.45 43.44 45.57 41.54 5.37 6.04 4.98 5.11 5.17 5.33 Daerah Berkembang Cepat
31 Kota Surakarta 47.73 50.48 52.90 55.55 58.28 52.99 5.58 6.25 5.28 5.44 5.32 5.57 Daerah Maju dan Tumbuh Cepat
32 Kota Salatiga 37.36 39.11 40.69 42.21 43.80 40.63 5.53 6.30 5.57 5.17 5.22 5.56 Daerah Maju dan Tumbuh Cepat
33 Kota Semarang 56.47 58.98 61.63 64.13 66.68 61.58 5.97 6.25 6.31 5.82 5.84 6.04 Daerah Maju dan Tumbuh Cepat
34 Kota Pekalongan 17.89 18.76 19.59 20.39 21.28 19.58 5.61 5.91 5.48 5.00 5.36 5.47 Daerah Maju Tapi Tertekan
maju atau tumbuh cepat, sektor maju tapi tertekan dan memiliki hasil yang

35 Kota Tegal 31.52 33.15 34.66 36.38 38.20 34.78 4.21 5.67 5.04 5.45 5.44 5.16 Daerah Berkembang Cepat

Jumlah 744.08 779.17 811.63 849.00 888.33 814.44 180.83 193.74 178.48 190.88 200.30 188.85
Rata-rata 21.26 22.26 23.19 24.26 25.38 23.27 5.17 5.54 5.10 5.45 5.72 5.40
r/y Yi / y Yi / y
Kabupaten memiliki tingkat
pertumbuhan PDRB yang lebih cepat
dari kabupaten, wilayah ini juga dapat
Kabupaten memiliki tingkat
dikatakan maju karena memiliki
pertumbuhan PDRB yang lebih lambat
pendapatan yang lebih tinggi per kapita
dari provinsi. Namun, wilayah ini
dibandingkan dengan provinsi, wilayah
dikatakan maju karena memiliki tinggi
ini kaya, dan penduduk juga kaya.
ri > r pendapatan per kapita dibanding dengan
Kecamatan yang dikatakan maju dan
provinsi, ini berarti bahwa daerah kurang
tumbuh cepat adalah Kabupaten
berkembang tetapi penduduk kaya.
Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar,
Kabupaten yang dikatakan berkembang
Kabupaten Semarang, Kabupaten
adalah Cilacap, Kudus, dan Kota Tegal.
Kendal, Kota Magelang, Kota
Surakarta, Kota Salatiga, dan Kota
Semarang.
Kabupaten memiliki tingkat
Kabupaten memiliki tingkat
pertumbuhan PDRB yang lebih cepat
pertumbuhan PDRB yang lebih lambat
dari provinsi. Namun, wilayah ini juga
dibandingkan dengan kabupaten, wilayah
dikatakan tertekan karena memiliki
ini juga dikatakan miskin karena
pendapatan yang lebih rendah per
memiliki pendapatan yang lebih rendah
kapita dibandingkan dengan provinsi,
per kapita dibandingkan dengan provinsi,
ini berarti bahwa wilayah ini kaya, tapi
ri < r ini berarti bahwa wilayah ini kurang
penduduk miskin. Kabupaten yang
berkembang dan penduduk miskin,
dikatakan maju tapi tertekan adalah
kabupaten yang dikatakan relatif
Banyumas, Banjarnegara, Kebumen,
tertinggal antara lain Purbalingga,
Kab. Magelang, Boyolali, Klaten,
Purworejo, Wonosobo, Grobogan,
Wonogiri, Sragen, Blora, Rembang,
Jepara, Demak, Temanggung, Batang,
Pati, Pemalang, Kab. Tegal, Brebes,
Kab. Pekalongan.
Kota Pekalongan.
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah (diolah)
Tabel 3.7 Klassen Kabupaten Tipologi di Provinsi Jawa Tengah
2012-2016
Dari tabel 3.7 di atas dapat diketahui bahwa Kota Salatiga termasuk
dalam kuadran I yaitu sektor maju dan tumbuh cepat artinya Kota Salatiga
memiliki tingkat pertumbuhan PDRB yang cepat memiliki pendapatan per
kapita yang tinggi dan mayoritas kondisi masyarakat Kota Salatiga memiliki
tingkat kemakmuran yang tinggi.
Di Kota Salatiga sendiri terdapat pola pertumbuhan ekonomi yang
cukup baik di setiap kecamatannya. Kesuksesan dalam peningkatan hasil ini
juga pemerintah daerah dengan masyarakat bekerjasama agar terus dapat
meningkatkan dan memacu perekonomian daerah melalui kebijakan yang
memprioritaskan daerah tertinggal sehingga dapat menjaga dan semakin
meningkatkan pembangunan diwujudkan seperti pengembangan
infrastruktur pendukung ekonomi yang diikuti dengan bantuan manajemen
kewirausahaan mengikuti kondisi dan potensi lingkungan setempat.

3.3. Indeks Williamson


Besar kecilnya ketimpangan PDRB perkapita antar kabupaten/kota
memberikan gambaran tentang kondisi perkembangan pembangunan di
wilayah Provinsi Jawa Tengah. Gambaran tentang perkembangan
pembangunan daerah di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat dari pemerataan
PDRB perkapita antar kabupaten/kota yang dianalisis dengan menggunakan
Indeks Williamson. Formula indeks Williamson menggunakan PDRB
perkapita dan jumlah penduduk. Nilai Indeks Williamson diperoleh antara
nol dan satu (0 < IW < 1). Angka Indeks Williamson yang semakin kecil
atau mendekati nol menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil, dan
apabila semakin jauh dari nol menunjukkan ketimpangan yang semakin
melebar (Kuncoro, 2004).
Tabel 3. 8 Indeks Williamson 2012

Tabel 3. 9 Indeks Williamson 2013


Tabel 3. 10 Indeks Williamson 2014

Tabel 3. 11 Indeks Williamson 2015


Tabel 3. 12 Indeks Williamson 2016

Tingkat ketimpangan pendapatam antar kabupaten/kota di Provinsi


Jawa Tengah yang dihitung menggunakan indeks ketimpangan Williamson
selama lima tahun pengamatan sebesar 0,694. Hal ini berarti bahwa di Jawa
Tengah telah terjadi ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota pada
tingkat level tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya indeks Williamson
yang rata-rata nya di atas 0,5 (lihat tabel 3.8 sampai 3.12). Indeks
Williamson Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah selama lima tahun
pengamatan dari tahun 2012 sampai dengan 2016 nilai indeks nya terus
mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan
pemerataan walaupun dengan nilai indeks sebesar 0,694 masih tergolong
sangat tinggi ketimpangannya di Provinsi Jawa Tengah.
Pengamatan yang sama menggunakan Indeks Williamson juga
dilakukan di Kota Salatiga yaitu dari tahun 2012 sampai 2016 adalah
sebesar 1.012. Hal ini berarti ketimpangan yang terjadi di Kota Salatiga
dikategorikan dalam ketimpangan tinggi karena nilai indeksnya lebih dari 1.
Tingginya ketimpangan pembangunan antar Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Tengah salah satunya disebablan oleh ketidaklancaran proses
perdagangan dan mobilitas faktor produksi antar daerah merupakan salah
satu penyebab terjadinya ketimpangan wilayah. Karena itu, kebijakan dan
upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan
adalah dengan memperlancar mobilitas barang dan produksi antar daerah.
Upaya untuk mendorong kelancaran mobilitas barang dan faktor produksi
antar daerah dapat dilakukan melalui penyebaran pembangunan prasarana
dan sarana perhubungan keseluruh pelosok wilayah. Prasarana perhubungan
yang dimaksudkan adalah fasilitas jalan, terminal, pelabuhan laut serta
bandar udara guna mendorong proses perdagangan antar daerah (Syafrizal,
2008).

3.4. Indeks Enthropi Theil


Untuk mengetahui besarnya tingkat ketimpangan/kesenjangan
daerah selain memakai Indeks Williamson juga dapat menggunakan Indeks
Entropi Theil. Indeks Entropi Theil pada dasarnya merupakan aplikasi
konsep teori informasi dalam mengukur ketimpangan ekonomi industri. Jika
nilai Indeks Entropi Theil adalah 0 maka hal itu menunjukkan kemerataan
sempurna dan jika bergerak lebih jauh dari 0 maka ada ketimpangan yang
lebih besar. Ini berarti bahwa suatu daerah yang memiliki nilai yang lebih
tinggi dari Indeks Entropi Theil dikategorikan semakin tidak seimbang
pembangunannya (Syafrizal, 1997).

Tabel 3. 13 Indek Enthropi Theil 2012


Tabel 3. 14 Indek Enthropi Theil 2013

Tabel 3. 15 Indek Enthropi Theil 2014

Tabel 3. 16 Indek Enthropi Theil 2015


Tabel 3. 17 Indek Enthropi Theil 2016

Tabel diatas menunjukkan angka ketimpangan PDRB perkapita


antar Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah selama periode tahun
2012-2016 yaitu indeks Enthropi Theil sebesar 0,1. Angka ini
menunjukkan bahwa di Propinsi Jawa Tengah distrib ,musi pendapatannya
relatif cukup merata, dengan kata lain mengalami ketimpangan/disparitas
pendapatan yang rendah. Selain memakai indeks Williamson juga dapat
memakai indeks Entropi Theil untuk mengetahui besarnya
ketimpangan, dari hasil analisis indeks entropi Theil juga terjadi
kecenderungan naik dimana pada tahun 2012 sebesar 0.101 menjadi
0.179 pada tahun 2016 sehingga memungkinkan untuk setiap tahunnya akan
terjadi disparitas yang semakin meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

Devi Nurita Noviana. 2014. Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat
Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun 2003-2012.Skripsi Universitas Diponegoro
Semarang

Adi Sutrisno. 2012. Analisis Ketimpangan Pendapatan dan Pengembangan


Sektor Unggulan Di Kabupaten Dalam Kawasan BARLINGMASCAKEB
Tahun 2007-2010. Economics Development Analysis Journal. EDAJ 1
(1) 1

Anisa Nurpita, Aulia Agni Nastiti. 2016. The Analysis of Development


Disparities Inter Districts/City in Special Region of Yogyakarta (DIY)
Province 2003-2013. JKAP Volume 20

Mohammad Hatta, Tri Astuti. 2018. The Economic Growth Pattern Analysis of
Ajatappareng Region Using Klassen Typology Approach. International
Journal of Economics, Commerce and Management. Volume VI

Anda mungkin juga menyukai