Anda di halaman 1dari 11

PROSPEK INDUSTRI DAN PERDAGANGAN PRODUK KELAPA

PROVINSI SULAWESI UTARA


Oleh pajow.henry

I. Kondisi Perkebunan Kelapa di Sulawesi Utara


Luas areal, jumlah pohon, jumlah produksi kelapa di Sulut 1995 – 2005

Jumlah Pohon
Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)
Menghasilkan
1995 284.805 25.585.890 298.661
1996 286.976 25.922.270 305.695
1997 289.976 26.035.130 307.000
1998 295.976 26.202.220 294.686
1999 301.120 27.001.810 305.043
2000 262.870 27.431.461 267.014
2001 262.930 26.046.020 268.128
2002 263.930 23.262.300 271.385
2003 265.634 23.517.794 276.680
2004 258.293 20.935.840 246.304
2005 187.719 *
Sumber : Dinas Perkebunan Sulut, 2006
* Data Produksi dari BPS, 2006

II. Produksi Kelapa Berdasarkan Kabupaten/Kota di Sulut, 2006


Kabupaten/Kota Produksi (Ton)
Bolaang Mongondow 56.671,30
Minahasa 17.599,38
Kepulauan Sangihe 19.001,37
Kepulauan Talaud 11.675,60
Minahasa Selatan 76.049,87
Minahasa Utara 33.752,52
Manado 4.792,70
Bitung 11.498,10
Tomohon 736,80
Jumlah di Sulut 231.777,64
Sumber : Disperindag Sulut, Klaster Kelapa, 2006.

III. Potensi Industri Kelapa di Sulut


Kapasitas Produksi Tenaga Kerja
Jenis Industri
(Ton/Tahun) (orang)
Minyak Kelapa 190.260 5.086
Minyak Goreng 137.100 1.043
Tepung Kelapa 7.224 1.904
Kopra 246.000 7.000
Arang Tempurung 4.766 1.000
Karbon Aktif 7.200 150
Sabut Kelapa 15.800 308
VCO 6.000 1.000
Sumber : Disperindag Sulut, Klaster Kelapa, 2006.
2

IV. Pertumbuhan Nilai Ekspor Produk Kelapa dan Ikutannya di Sulut, 2005
Tahun 2004 Tahun 2005 Pertumbuhan
Komoditi
Ekspor Nilai Nilai
Vol. (kg) Vol. (kg) Nilai (US$) Vol. (%)
(US$) (%)
Minyak Kelapa 122.012.67 77.471.081 223.081.80 128.974.945 83 67
Kasar 9 7
Minyak Goreng 36.430.372 27.989.984 45.942.241 30.642.645 26 10
Kelapa
Kopra 25.385.580 9.975.000 38.738.547 11.671.142 53 17
Bungkil Kopra 49.333.595 9.795.600 63.789.337 10.027.685 29 2
Tepung kelapa 8.812.022 8.632.497 12.476.290 15.316.856 83 77
Karbon Aktif 120.000 61.038 3.139.257 1.117.760 2.518 1.731
Sumber : Disperindag Sulut, diolah.

V. Kontribusi Nilai Ekspor 10 Komoditi Utama Produk Turunan Kelapa


Provinsi Sulut Tahun 2005
Kontribusi terhadap
Komoditi/ Produk Volume Ekspor Nilai Ekspor Produk Harga Ekspor
Total Ekspor Sulut
Ekspor Produk (Kg) (US$) Produk (US$/Kg)
(%)
Minyak Kelapa 223.081.807 128.974.945 0,578 32,9
Kasar
BungkilKopra 63.789.337 10.027.685 0,157 2,6
Minyak Goreng 45.942.241 30.642.645 6,669 7,8
Kelapa
Kopra 38.738.547 11.671.142 0,301 3,0
Tepung Kelapa 12.478.290 15.316.856 1,220 3,9
Karbon Aktif 3.139.257 1.117.760 0,349 0,3
Arang Tempurung 2.739.522 390.642 0,142 0,09
Batang Kelapa 275.616 66.372 0,24 0,016
Kursi Kayu 1.525 1.830 1,20 0,0004
Kelapa
VCO 158 521 3,29 0,0001
Sumber : Disperindag Sulut, 2006, diolah.

POTENSI INDUSTRI PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN LIMBAH KELAPA

1. Jenis Industri
Jenis industri pengolah dan pemanfaatan limbah kelapa di Sulut adalah sebagai
berikut :
a. Industri minyak kelapa.
b. Industri minyak goreng.
c. Industri tepung kelapa.
d. Industri karbon aktif.
e. Industri arang tempurung.
f. Industri serat sabut kelapa.
g. Industri kecil nata de coco.
h. Industri tepung batok kelapa.
i. Industri meubel kelapa.
j. Aneka kerajinan dari kelapa.

Dari jenis industri yang ada tersebut di atas, relatif masih jauh ketinggalan apabila
dibandingkan dengan negara lain seperti Filipina.
3

2. Perusahaan Industri
Perusahaan industri yang banyak menyerap bahan baku kelapa adalah perusahaan
industri minyak kelapa/minyak goreng. Perusahaan industri lainnya yang
menggunakan bahan baku kelapa segar baru industri tepung kelapa. Industri
pengolah limbah kelapa seperti industri karbon aktif, serat sabut kelapa, arang
tempurung, tepung batok kelapa, industri kecil nata de coco, meubel batang kelapa
dan aneka kerajinan dari kelapa tingkat pertumbuhannya lambat perkembangannya.

Data eksportir komoditi kelapa tahun 2003 Kota Bitung.


a. PT. Bimoli : minyak kelapa kasar, minyak goreng kelapa kasar, bungkil kopra.
b. PT. Bukit Zaitun : minyak kelapa kasar, minyak goreng kelapa kasar, bungkil
kopra.
c. PT. Sirontalo Perkasa : minyak kelapa kasar.
d. PT. Inimexintra : minyak kelapa kasar, bungkil kopra.
e. PT. Cargill : kopra.
f. PT. Jaka Sakti Buana : kopra, tepung kelapa.
g. PT. Mapalus Makawanua : karbon aktif.
h. PT. Bukit Permata Hijau : minyak kelapa kasar, minyak goreng kelapa kasar.
i. PT. Multi Nabati Asahan : minyak kelapa kasar, minyak goreng kelapa kasar,
bungkil kopra.

PERMASALAHAN INDUSTRI KELAPA DI SULUT

1. Masalah on farm dan off farm


Perilaku stakeholder kelapa di Sulut :

PETANI PAKOPRAAN PEDAGANG PERANTARA PABRIK CCO

Petani :
a. Panen maksimum
b. Muda/tua sama
c. Jual di pohon
d. Cara pemetikan

Pakopraan :
a. Tunai
b. Berat
c. Kebutuhan mendesak proses sesingkat mungkin.

Pedagang Perantara :
a. Volume
b. Kadar air
c. Minimum stok
d. Spekulasi

Pabrik CCO :
a. Volume
b. Kadar air
c. Menimbun stok (forward market)
4

2. Permasalahan Tingkat Petani (on farm)


a. Tingkat harga yang berfluktuasi.
b. Rendah produktivitas (1 ton/hektar).
c. Tanaman tua, rentan sexava dan busuk pucuk.
d. Kurangnya kelembagaan ekonomi dan pembiayaan dan tidak ada payung
hukum kelembagaan petani.
e. Kurang infrastruktur jalan kebun.
f. Minimnya teknologi on farm.

3. Strategi Penguatan Industri (Public Private Partnership)


a. Memberdayakan peran Public Private Partnership :
Unsrat (on farm dan off farm).
Balitka dan Palma Lain (on farm).
Baristand Industri Manado (off farm).
b. Output : peningkatan daya saing industri dan peningkatan pendapatan petani,
peningkatan pendapatan daerah dan peningkatan devisa negara.

4. Strategi Pemantapan Kelembagaan Petani


a. Terbentuknya Koperasi Perkelapaan Kabupaten/Kota (pembiayaan untuk
modal kerja dan transportasi).
b. Terbentuknya kelompok/unit pakopraan (teknologi).

5. Strategi Pengembangan Industri Kelapa :


a. Jangka Pendek dan Menengah :
1) Menghasilkan bahan baku kopra yang berkualitas (kopra putih)
dalam rangka membangun industri masa depan (coco chemicals).
2) Menghasilkan VCO yang berkualitas sebagai bahan baku industri.
3) Menghasilkan diversifikasi tanaman kelapa di tingkat petani dan
pakopraan (zero waste).
4) Membentuk platform jaringan kemitraan pelaku on farm, off farm,
konsumen dalam Klaster Industri Kelapa.
5) Membangun kerjasama Regional Asean dan Sub-Regional
(BIMP-EAGA).

b. Jangka Panjang :
1) Menghadirkan investasi industri Coco Chemicals yang memanfaatkan bahan
baku (volume dan kualitas) yang berskala ekonomi (sabun, herbal, shampo,
kosmetik, gliserin, dan lain-lain).
2) Membangun global supply chain specialties product antara lain : makanan bayi
dan makanan khusus lainnya.
pajow.henry@juni2007
KONDISI PERKELAPAAN DAN PERDAGANGAN KOMODITI KELAPA
DI INDONESIA

1. Kondisi Perkelapaan di Indoensia


a. Luas Areal dan Produksi
Pada tahun 2004, luas areal pertanaman kelapa sebesar 3.872 ribu hektar terdiri
atas Perkebunan Rakyat seluas 3.760 ribu hektar (97,07%), Perkebunan Besar
Negara seluas 5 ribu hektar (0,14%), dan Perkebunan Besar Swasta seluas 107
ribu hektar (2,79%). Sedangkan untuk produksi kelapa (equivalent kopra) tahun
2004 sebesar 3.304 ribu ton terdiri dari perkebunan rakyat sebesar 3.191 ribu ton
(82,39%), perkebunan besar negara 4 ribu ton (0,10%) dan perkebunan besar
swasta 109 ribu ton (2,81%). Dengan demikian perkebunan rakyat masih
mendominasi perkebunan kelapa secara nasional dengan melibatkan petani
pekebun sekitar 6.923 ribu KK.
Luas areal tanaman kelapa selama 10 tahun terakhir mengalami pertumbuhan
yang sangat lambat, sehingga untuk tahun-tahun mendatang kecenderungan akan
terjadi kekurangan pasokan kelapa. Menurut komposisi keadaan tanaman tahun
2004, untuk tanaman belum menghasilkan (TBM) seluas 1.233 ribu hektar
(16,48%), tanaman menghasilkan (TM) 5.539 ribu hektar (74,01%), dan tanaman
tua/rusak (TT/TR) seluas 712 ribu hektar (9,51%). Tanaman tua/rusak tersebut
perlu segera dilakukan peremajaan.
Jika ditinjau dari luas areal kelapa dunia tahun 2002 mencapai 11,08 juta hektar
dan areal kelapa untuk Indonesia mencapai 26,31% dari areal dunia. Sedangkan
untuk produksi kelapa dunia (setara kopra) sebesar 10,5 juta ton dan produksi
Indonesia sekitar 22% dari produksi dunia. Urutan tiga besar negara yang
merupakan produsen kelapa dunia adalah Indonesia, Filipina dan India dengan
areal 8,7 juta hektar atau 73,48% dari total areal kelapa dunia.

b. Ekspor Produk Kelapa


Selain untuk konsumsi dalam negeri produk-produk kelapa juga diekspor. Produk
kelapa yang diperdagangkan di pasar internasional seperti kopra, crude coconut
oil (CCO), desicated coconut (DC), serat sabut, kelapa butir, arang tempurung,
dan activated carbon.

Ekspor Produk Kelapa dan Posisi Indonesia Tahun 2003


Anggota APCC
Jenis Produk Dunia (000 Ton) Indonesia (%)
(%)
Kopra 125.349 74,09 20,03
Minyak Kelapa 1.817.055 96,13 18,28
Bungkil 867.415 93,00 31,26
Desicated Coconut 265.367 73,89 13,66
Sabut dan Olahannya 174.965 99,74 0,25
Tempurung dan Karbon 117.516 27,98 10,56
Sumber : Coconut Statistical Yearbook dan APCC

Dari tabel terlihat bahwa jenis produk kelapa yang banyak diekspor di tingkat
dunia adalah minyak kelapa, bungkil, dan desicated coconut serta sabut. Untuk
Indonesia posisi ekspor produk kelapa yang besar dibandingkan ekspor dunia
adalah bungkil (31,26%), kopra (20,03%), minyak kelapa (18,28%) dan desicated
coconut (13,66%).
Ekspor berbagai produk kelapa tersebut umumnya mengalami peningkatan,
kecuali serat sabut. Secara keseluruhan pada tahun 2003 hasil ekspor produk-
produk kelapa tersebut mencapai US $ 221,6 juta terutama berasal dari CCO
sebesar US $ 153,6 juta dan DC sebesar US $ 23,7 juta.
2

2. Permasalahan yang Dihadapi


Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan agribisnis kelapa di Indonesia
adalah sebagai berikut :
a. Produktivitas tanaman kelapa rendah sekitar 1 ton/hektar ekuivalen kopra atau
sekitar 50% dari potensi produksinya.
b. Pada umumnya kondisi tanaman sudah tua dan tidak produktif yang mencapai
luasan sekitar 400 ribu hektar atau 11% dari total areal kelapa yang perlu segera
diremajakan.
c. Sekitar 90% pengembangan kelapa di Indonesia merupakan perkebunan rakyat
dan sebagian besar diusahakan secara monokultur, kepemilikan lahan sempit dan
pemanfaatannya belum optimal dengan penerapan teknologi yang belum utuh.
d. Struktur industri perkelapaan saat ini belum terpadu dan hampir seluruhnya masih
bersifat parsial, sehingga nilai tambahnya belum optimal.
e. Ekspor sebagian besar masih dalam bentuk produk primer.
f. Jenis produk turunan kelapa yang baru dapat dihasilkan kurang dari sepuluh jenis,
sementara itu negara produsen kelapa lain, seperti Filipina telah dapat
mengembangkan sebanyaklebih dari 100 jenis produk. Disamping itu penanganan
agribisnis perkelapaan sampai saat ini masih tersegmentasi/sektoral sehingga
belum mencerminkan suatu bentuk usaha yang efisien dan cenderung merugikan
posisi petani kelapa sebagai penghasil produk primer.
g. Persaingan dengan minyak nabati lainnya, khususnya kelapa sawit telah menekan
pengembangan tanaman kelapa.
h. Tidak tersedianya lagi kredit murah untuk peremajaan tanaman, sehingga upaya
untuk meremajakan tanaman kelapa yang tua dan rusak menjadi terhambat.

3. Prospek Komoditi Kelapa


Kebutuhan produk kelapa bagi masyarakat Indonesia setiap tahunnya meningkat
sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Apalagi pada tahun 1999 konsumsi
minyak kelapa di dalam negeri sebesar 1,132 juta ton, maka pada tahun 2003
konsumsi naik sekitar 58,81% atau menjadi 2,748 juta ton. Diperkirakan kebutuhan ini
akan terus meningkat pada masa yang akan datang mengingat pola hidup masyarakat
Indonesia ke depan tidak dapat dilepaskan dari kelapa dan produk olahannya.
Sebagai bahan pangan, kontribusi kelapa dalam bentuk minyak goreng mencapai 0,4
juta ton setara minyak goreng atau 12% dari konsumsi minyak goreng nasional yang
jumlahnya mencapai sekitar 3,3 juta ton.
Disamping itu, dengan semakin tingginya harga minyak bumi, maka minyak kelapa
dapat dimanfaatkan untuk substansi energi khususnya solar. Substitusi solar dari
minyak kelapa memungkinkan khususnya untuk daerah-daerah terpencil sentra
kelapa.
pajow.henry@juni2007
HAMBATAN PERDAGANGAN KOPRA DAN MINYAK KELAPA

Kondisi yang kurang menguntungkan dalam industri ada beberapa handicap yang
mempersulit perdagangan antara negara penghasil dan pemakai kopra dan minyak
kelapa :

1. Pertama adalah logistik dalam hal ini jarak.


Dalam ilmu transportasi jarak menentukan waktu dan volume transaksi. Waktu berarti
biaya, apabila dikaitkan dengan ketidakpastian dan resiko yang harus
dipertimbangkan ke dalam harga. Volume transaksi menentukan feasibility of
transport. Demikian pula kualitas dapat menurun apabila tidak adanya sarana
pengangkutan laut yang tetap dan kurangnya fasilitas dalam pelabuhan.

2. Kedua adalah isu kesehatan.


Faktor aflatoksin muncul di tahun delapan puluhan dan kembali menjadi ancaman.
Pada tahun 1989, European Union menetapkan standar kadar aflatoksin 200 ppb,
tahun 1991 negara-negara European Union menetapkan standar baru 20 ppb.
Sekarang Codex Alimentarius Commission of FAO sedang berunding untuk
menurunkan kadar Aflatoksin B1 pada kopra dan kopra meal menjadi 5 ppb. Dengan
cara pembuatan kopra seperti sekarang ini sangat sulit untuk mencapai 5 ppb.
Selain faktor Aflatoksin beberapa negara di Uni Eropa telah mulai melarang
penggilingan smoke dried copra (kopra hasil proses pengasapan) seiirng dengan
ditetapkannya standar Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) di dalam minyak. PAH
adalah unsur karsinogenik yang masuk ke dalam kopra karena asap.

3. Ketiga adalah kendala birokrasi.


FOSFA adalh federasi yang didirikan dan didominasi para broker (pedagang antara)
yang pada kenyataannya menjadi penentu harga kopra dan minyak kelapa di Eropa.
Organisasi ini mengeluarkan referensi harga untuk kopra dan minyak kelapa secara
reguler. Yang menjadi permasalahan Average Price Settlement FOSFA yang dibuat
atas dasar perbandingan Actual Level of Inventories semua minyak nabati dan
Planned Level of Inventories semua minyak nabati. Ini tidak memberikan nilai
terhadap keunggulan-keunggulan kopra dan minyak kelapa sebagai bahan baku.
pajow.henry@juni2007
PROSPEK PASAR VCO

Pasar yang baru berkembang ini telah menciptakan peluang ekspor bagi negara-negara
penghasil kelapa. Dan juga karena VCO lebih baik di produksi dalam skala produksi kecil
untuk menjaga kualitas, maka produksi VCO membuka peluang bagi petani kelapa untuk
berpartisipasi dan mendapatkan keuntungan dan peningkatan pendapatan besar dari
hasil kelapanya.

Dampak dari publikasi diberbagai media dan promosi dari banyak pihak di Indonesia
tentang VCO, telah menciptakan suatu semangat kewirausahaan yang besar, sehingga
usaha membuat VCO bermunculan dimana-mana di seluruh Indonesia. Dan karena teknik
pembuatan VCO dapat dibuat dari beberapa proses, maka muncul berbagai teknologi
proses. Masing-masing teknologi proses ini mengklaim bahwa prosesnya yang terbaik.
Keadaan ini tentu perlu perhatian pihak-pihak yang berkepentingan karena dalam
keadaan seperti ini kualitas dan standardisasi mutu menjadi hal yang menentukan
sustainability usaha-usaha tersebut.

Pembeli dan pemakai VCO datang dari beragam industri. Dan dapat dibagi dalam 2
kategori :

1. Mereka yang membeli dan mengkonsumsi sebagai :


a. Obat.
b. Vitamin/suplemen makanan.
c. Minyak makan.
d. Minyak gosok.

2. Mereka yang membeli untuk dipakai sebagai bahan baku :


a. Industri makanan.
b. Industri perawatan kulit dan rambut.
c. Industri kecantikan buatan.
d. Industri farmasi.

Sebagai produk dalam kategori 1, potensi VCO sangat besar, tetapi masih diperlukan
usaha yang serius dari semua stakeholder untuk membuktikan bahwa manfaat VCO
tersebut mempunyai kekuatan hukum untuk dikomersialkan. Dan tentu apa yang semua
kita harapkan adalah percepatan dalam inisiatif pembuktian baik secara ilmiah dan klinis
maupun komesial, manfaat dan khasiat VCO.

Pasar untuk kategori 2 (sebagai bahan baku) sangat besar juga. Karena pasar dunia
cenderung menginginkan bahan baku yang bebas kimia. Dengan melambungnya harga
minyak bumi sebagai sumber bahan baku petrokimia, maka daya saing VCO makin kuat
dan favorable untuk digunakan. Permasalahan yang dihadapi adalah, bagaimana
menawarkan Product Offerings yang membuat VCO menjadi bahan baku pilihan
(prefered). Dalam hal ini masalahnya terletak lebih banyak pada sisi suplai daripada sisi
deman, karena pemasaran VCO untuk kebutuhan bahan baku industri lebih banyak
permintaannya di negara industri. Ini berarti bahwa perdagangan VCO harus
menyesuaikan kepada Rule of Game perdagangan internasional dengan segala
hambatannya. Dan tentunya harus memperhitungkan variabel dan imponderables akses
pasar internasional. Sudah ada beberapa success stories mengenai VCOdalam hal
peningkatan pendapatan petani kelapa, seperti di Southtern Luzon Filipina dan Fiji di
Pasific Selatan.
VOLUME DAN NILAI EKSPOR PRODUK KELAPA INDONESIA
TAHUN 2005 (APCC 2005)

Jenis Produk Volume (Ton) Nilai (x 1000 US $) FOB (US $/Ton)


Desicated Coconut 51.456 35.939 698
Copra 56.884 14.417 253
Minyak Kelapa Kasar 752.072 413.762 550
Bungkil Kelapa 323.774 25.269 78
Karbon Aktif 25.671 16.303 635
Arang Tempurung 800 111 138
Lain-lain (kelapa 59.853 24.030
segar, tempurung,
krim/susu kelapa dan
serat sabut
Jumlah 529.830

Dari tabel terlihat bahwa hanya karbon aktif produk yang menghasilkan nilai tambah yang
cukup besar, yaitu dari harga US $ 138/ton dalam bentuk arang tempurung menjadi US $
635/ton dalam bentuk arang aktif. Indonesia belum tercatat sebagai eksportir produk-
produk oleokimia, VCO, dan produk jadi dari serat sabut dan arang aktif. Meskipun harga
kelapa parut kering cukup tinggi, sebenarnya nilai tambahnya sangat kecil karena relatif
sama dengan minyak kelapa kasar. Untuk menghasilkan 1 ton minyak kelapa kasar (US $
550) diperlukan 1,8 ton kopra (US $ 455,4), atau memberi nilai tambah US $ 94,6 dan
untuk menghasilkan 1 ton kelapa parut kering (US $ 698) diperlukan kelapa segar setara
dengan 2,4 ton kopra (US $ 607,2) atau nilai tambah sebesar US $ 90,8. Oleh karena itu,
maka harga pembelian kelapa segar oleh industri kelapa parut kering biasanya mengikuti
harga kopra.

Dengan produktivitas tanaman produktif rata-rata 1,0 ton kopra/ha/tahun atau rata-rata
4.500 butir/ha/tahun, berarti potensi produksi kelapa dari 3,8 juta ha adalah 17,19 milyar
butir/tahun. Sebagian dari kelapa tersebut dikonsumsi masyarakat sebagai kelapa segar
dan sisanya diolah sebagai bahan baku industri berupa kopra atau kelapa butiran.
Konsumsi kelapa segar diperkirakan rata-rata 30 butir/kapita/tahun, berarti konsumsi
kelapa segar dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia akan mencapai 7,7 milyar butir
atau 45% dari total produksi. Dengan demikian, maka buah kelapa yang dapat diolah di
sektor industri tinggal 9,4 milyar butir/tahun. Sekitar 80% diantaranya diolah menjadi
kopra yang selanjutnya diproses menjadi CNO dan sisanya diolah dalam industri CNO
berbahan baku kelapa segar serta industri DC, santan/krim, dan akhir-akhir ini VCO.
Dengan demikian masih terbuka peluang sangat besar untuk mengembangkan produk-
produk yang memiliki nilai tambah lebih tinggi dengan secara bertahap mengalihkan
industri CCO ke industri sekunder dan tertier, termasuk biodisel di kawasan terpencil.
pajow.henry@juni2007
ENERGI ALTERNATIF DARI KELAPA

Jika produksi biodisel dalam skala relatif kecil dibutuhkan untuk menggantikan (atau
menambal kekurangan) pasokan solar di daerah-daerah penghasil kelapa, minyak kelapa
tentu saja dapat dimanfaatkan seutuhnya sebagai bahan mentah. Akan tetapi, jika
produksi biodisel berbasis minyak kelapa akan dilakukan dalam skala industri besar,
maka perlu diingat bahwa minyak kelapa merupakan komoditas dunia yang berharga
cukup mahal di pasar internasional, karena minyak ini sangat dibutuhkan oleh industri
oleokimia dan industri pangan. Agar mampu bersaing dalam penyediaan minyak kelapa
bahan mentah, maka produsen besar cocodiesel sebaiknya melakukan ko-produksi
komoditas lain yang juga berbasis minyak kelapa tetapi berharga relatif sangat mahal.
Apabila liberalisasi bisnis BBM dalam negeri disertai dengan pencabutan subsidi
angkutan BBM, maka dapat dipastikan harga minyak diesel di daerah dengan
aksesibilitas terbatas seperti kepulauan akan menjadi lebih tinggi. Sebagai ilustrasi,
daerah Kabupaten Sangihe dan Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, harga BBM eceran di
luar SPBU milik Pertamina sering berada disekitar Rp. 15.000/liter sebagai akibat
tambahan biaya angkut dari kabupaten ke pulau-pulau. Disisi lain, karena faktor biaya
angkut, kemungkinan harga kopra ditingkat desa atu kecamatan hanya setengah dari
harga kopra di pabrik CCO di Bitung. Dengan demikian akan lebih menguntungkan
mengolah kopra menjadi biodisel. Jika harga minyak diesel fosil Rp. 8.000/liter atau harga
ekspor biodisel kelapa Rp.10.000/liter, maka kopra petani dapat dibeli dengan harga Rp.
2.000 – Rp. 3.000 per kg. Jika harga kopra Rp. 2.000/kg dapat dihasilkan biodisel dengan
harga jual Rp. 6.000. Dengan mengolah kopra setempat menjadi biodisel dapat
mengatasi banyak persoalan sekaligus yaitu harga bahan bakar diesel dan harga kopra
lebih stabil pada tingkat yang menguntungkan konsumen biodisel dan petani kelapa serta
membantu kesulitan pemerintah daerah dalam menjamin penyediaan energi di lokasi
terisolir tersebut serta membuka lapangan kerja off farm di daerah. Kegiatan ini juga
memiliki efek ganda berupa peningkatan produktivitas nelayan, meningkatkan ekonomi
masyarakat melalui penyediaan energi listrik pedesaan, dan meningkatnya transaksi
perdagangan lokal.
pajow.henry@juni2007

Anda mungkin juga menyukai