Anda di halaman 1dari 33

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini akan dipaparkan tentang tinjauan pustaka. Tinjauan

pustaka yang menunjang dalam penelitian ini adalah tentang sensor, serat optik,

fiber coupler dan logam tembaga. Karena ketiga bahan tersebut mempunyai

peranan penting dalam penelitian ini. Serta juga akan dipaparkan tentang expansi

linear. Expansi linear tersebut yang akan menunjang pada proses pemanasan

logam tembaga.

2.1. Sensor

D Sharon dkk. 1982 (dalam www.docstoc.com), mengatakan sensor

adalah suatu peralatan yang berfungsi untuk mendeteksi gejala-gejala atau sinyal-

sinyal yang berasal dari perubahan suatu energi seperti energi listrik, energi fisika,

energi kimia, energi biologi, energi mekanik dan sebagainya. Contoh: kamera

sebagai sensor penglihatan, telinga sebagai sensor pendengaran, kulit sebagai

sensor peraba, LDR (light dependent resistance) sebagai sensor cahaya, dan

lainnya.

William D.C, 1993 (dalam www.docstoc.com), mengatakan transduser

adalah sebuah alat yang bila digerakan oleh suatu energi di dalam sebuah sistem

transmisi, akan menyalurkan energi tersebut dalam bentuk yang sama atau dalam

bentuk yang berlainan ke sistem transmisi berikutnya”. Transmisi energi ini bisa

berupa listrik, mekanik, kimia, optik (radiasi) atau termal (panas). Contoh:

generator adalah transduser yang merubah energi mekanik menjadi energi listrik,

7
Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin
Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

motor adalah transduser yang merubah energi listrik menjadi energi mekanik, dan

sebagainya.

William D.C, 1993 (dalam www.docstoc.com), mengatakan alat ukur

adalah sesuatu alat yang berfungsi memberikan batasan nilai atau harga tertentu

dari gejala-gejala atau sinyal yang berasal dari perubahan suatu energi. Contoh:

voltmeter, ampermeter untuk sinyal listrik, tachometer, speedometer untuk

kecepatan gerak mekanik, lux-meter untuk intensitas cahaya, dan sebagainya.

Peryaratan Umum Sensor dan Transduser

Dalam memilih peralatan sensor dan transduser yang tepat dan sesuai

dengan sistem yang akan disensor maka perlu diperhatikan persyaratan umum

sensor berikut ini: (D Sharon dkk., 1982, dalam www.docstoc.com)

a. Linearitas

Ada banyak sensor yang menghasilkan sinyal keluaran yang berubah

secara kontinyu sebagai tanggapan terhadap masukan yang berubah secara

kontinyu. Sebagai contoh, sebuah sensor panas dapat menghasilkan tegangan

sesuai dengan panas yang dirasakannya. Dalam kasus seperti ini, biasanya

dapat diketahui secara tepat bagaimana perubahan keluaran dibandingkan

dengan masukannya berupa sebuah grafik. Gambar 2.1 memperlihatkan

hubungan dari dua buah sensor panas yang berbeda. Garis lurus pada Gambar

2.1(a). memperlihatkan tanggapan linear, sedangkan pada Gambar 2.1(b).

adalah tanggapan non-linear.

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

1 1

Temperatur (masukan)
Temperatur (masukan)

0 0
100 100
Tegangan (keluaran) Tegangan (keluaran)

(a) Tangapan linear (b) Tangapan non linear

Gambar 2.1. Keluaran dari transduser panas (D Sharon dkk., 1982, dalam
www.docstoc.com)

b. Sensitivitas

Sensitivitas akan menunjukan seberapa jauh kepekaan sensor terhadap

kuantitas yang diukur. Sensitivitas sering juga dinyatakan dengan bilangan

yang menunjukkan “perubahan keluaran dibandingkan unit perubahan

masukan”. Beberepa sensor panas dapat memiliki kepekaan yang dinyatakan

dengan “satu volt per derajat”, yang berarti perubahan satu derajat pada

masukan akan menghasilkan perubahan satu volt pada keluarannya. Sensor

panas lainnya dapat saja memiliki kepekaan “dua volt per derajat”, yang

berarti memiliki kepakaan dua kali dari sensor yang pertama. Linearitas

sensor juga mempengaruhi sensitivitas dari sensor. Apabila tanggapannya

linear, maka sensitivitasnya juga akan sama untuk jangkauan pengukuran

keseluruhan. Sensor dengan tanggapan pada Gambar 2.1(b) akan lebih peka

pada temperatur yang tinggi dari pada temperatur yang rendah.

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

10

c. Tanggapan Waktu

Tanggapan waktu pada sensor menunjukan seberapa cepat

tanggapannya terhadap perubahan masukan. Sebagai contoh, instrumen

dengan tanggapan frekuensi yang jelek adalah sebuah termometer merkuri.

Masukannya adalah temperatur dan keluarannya adalah posisi merkuri.

Misalkan perubahan temperatur terjadi sedikit demi sedikit dan kontinyu

terhadap waktu, seperti tampak pada Gambar 2.2(a).

Frekuensi adalah jumlah siklus dalam satu detik dan diberikan dalam

satuan hertz (Hz). { 1 hertz berarti 1 siklus per detik, 1 kilohertz berarti 1000

siklus per detik]. Pada frekuensi rendah, yaitu pada saat temperatur berubah

secara lambat, termometer akan mengikuti perubahan tersebut dengan “setia”.

Tetapi apabila perubahan temperatur sangat cepat lihat Gambar 2.2(b) maka

tidak diharapkan akan melihat perubahan besar pada termometer merkuri,

karena ia bersifat lamban dan hanya akan menunjukan temperatur rata-rata.


Temperatur

Rata-rata

50 50

40 40
Waktu

30 1 siklus 30

(a) Perubahan lambat (b) Perubahan cepat


Gambar 2.2 Temperatur berubah secara kontinyu (D. Sharon dkk, 1982, dalam
www.docstoc.com)

Ada bermacam cara untuk menyatakan tanggapan frekuensi sebuah

sensor. Misalnya “satu milivolt pada 500 hertz”. Tanggapan frekuensi

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

11

dapat pula dinyatakan dengan “decibel (db)”, yaitu untuk membandingkan

daya keluaran pada frekuensi tertentu dengan daya keluaran pada frekuensi

referensi.

Pemilihan Jenis Sistem sensor suhu

Hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pemilihan jenis

sistem sensor suhu adalah: (Yayan I.B, 1998, dalam www.docstoc.com)

1. Level suhu maksimum dan minimum dari suatu substrat yang diukur

2. Jangkauan (range) maksimum pengukuran

3. Konduktivitas kalor dari substrat

4. Respon waktu perubahan suhu dari substrat

5. Linearitas sensor

6. Jangkauan temperatur kerja

Selain dari ketentuan diatas, perlu juga diperhatikan aspek phisik dan

kimia dari sensor seperti ketahanan terhadap korosi (karat), ketahanan terhadap

guncangan, pengkabelan (instalasi), keamanan dan lain-lain.

2.2. Serat optik

Serat optik adalah pandu gelombang dielektrik atau media transmisi

gelombang cahaya yang terbuat dari bahan transparan berbentuk silinder. Serat

optik terdiri dari bagian inti (core) yang dikelilingi oleh bagian yang disebut

selubung (clading). Bagian terluar dari serat optik disebut jaket (coating) yang

berfungsi sebagai pelindung. Bagian inti yang mempunyai indeks bias

merupakan jalur utama pemanduan gelombang cahaya, sedangkan bagian

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

12

selubung mempunyai indeks bias yang nilainya sedikit lebih rendah daripada

(Keiser,1991).

Gambar 2.3. Skema bagian penyusun serat optik (Keiser, 1991).

Berdasarkan struktur indeks bias bahan bagian inti, serat optik terbagi

menjadi dua jenis, yaitu serat optik step-index dan serat optik graded-index. Jenis

step-index bagian inti mempunyai nilai indeks bias yang seragam, sedangkan jenis

graded-index bagian inti mempunyai nilai indeks bias yang menurun secara

gradual dari sumbu serat sampai ke bidang batas selubung. Selubung kedua jenis

mempunyai nilai indeks bias yang seragam. Berdasarkan jumlah moda gelombang

yang terpandu, serat optik dibedakan menjadi dua, yaitu serat optik moda tunggal

(singlemode) jika hanya satu moda gelombang yang dipandu dan serat optik moda

jamak (multimode) jika moda gelombang yang terpandu lebih dari satu

(Suematzu, 1982). Perbandingan struktur serat optik singlemode dan multimode,

step-index dan graded-index serta profil indeks biasnya diperlihatkan pada

Gambar 2.4.

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

13

Gambar 2.4a. Struktur serat optik singlemode, multimode, step-index, graded-


index, serta profil indeks biasnya (Krohn, 2000).

Gambar 2.4b. Perbedaan serat optik multimode dan singlemode (Keiser, 1991).

Mekanisme pemanduan gelombang cahaya dalam serat optik berdasarkan

pada hukum Snellius dan pemantulan dalam total. Untuk memudahkan

pemahaman mekanisme pemanduan gelombang cahaya dalam serat optik step-

index, digunakan teori sinar dalam mendeskripsikan perambatan muka gelombang

cahaya.

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

14

Gambar 2.5. Perambatan sinar pada serat optik step-index (Keiser, 1991).

Penerapan hukum Snellius dilakukan pada proses pemantulan dan

pembiasan sinar pada bidang batas antara dua medium yang berbeda. Sinar yang

datang dari medium rapat (n1) ke medium kurang rapat (n2) akan dibiaskan

menjauhi garis normal. Pada bidang batas antara core dan cladding dalam Gambar

2.4, jika sudut  diperbesar secara gradual maka pada sudut tertentu sinar akan

dirambatkan pada bidang batas kedua medium yaitu bidang batas core dan

cladding (sinar tidak dibiaskan pada cladding). Sudut  pada keadaan tersebut

dinamakan sudut kritis yang dilambangkan dengan c.

Gambar 2.6. Sketsa perambatan sinar pada serat optik (Keiser, 1991)

Dengan menggunakan hukum Snellius diperoleh nilai sudut c, maka n1 sin

c = n2 sin 1 dengan 1 = 900 karena sinar merambat pada bidang batas antara

core dan cladding (gelombang evanescant) sehingga:

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

15

n1 sin c = n2 sin 900

n 
sin c =  2 
 n1 

n 
c = arcsin  2  (2.1)
 n1 

dengan n1 dan n2 menunjukkan indeks bias core dan indeks bias cladding. Dalam

 
ungkapan sudut θ melalui hubungan θc = – c maka sin c = sin ( – θc),
2 2

dengan θc merupakan sudut kritis sehingga sudut kritis dapat ditulis menjadi:

n 
cos θc =  2 
 n1 

n 
θc = arccos  2  (2.2)
 n1 

Untuk nilai sudut θc < θ dalam Gambar 2.6, tidak ada sinar yang dibiaskan ke

dalam selubung, sehingga seluruh sinar akan terpandu dalam core serat optik.

Untuk mengetahui sudut sinar masukan pada bagian core serat optik agar

sinar dapat terpandu, diterapkan hukum Snellius pada bidang batas antara core

dan udara. Agar sinar dapat terpandu, maka sudut θ = θc dan θo = θo max dengan

demikian persamaan Snellius menjadi :

n sin θo max = n1 sin θc (2.3)

n sin θo max = n1 sin (90o- c)

n sin θo max = n1 cos θc

dengan n adalah indeks bias udara yang nilainya 1, sehingga persamaan (2.3)

dapat dituliskan kembali menjadi persamaan (2.4)

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

16

sin θo max = n12  n22 (2.4)

Persamaan (2.4) menunjukkan hubungan antara sudut masukan sinar dengan

indeks bias ketiga medium yang berinteraksi. Hubungan tersebut dinyatakan

sebagai tingkap numeris atau NA (numerical aperture), sehingga nilai NA serat

optik dapat ditulis sebagai berikut:

NA = n12  n22 (2.5)

Didefinisikan beda indeks bias antara core dan selubung (  ) menurut persamaan:

n1  n2
Δ = (2.6)
n1

2 2
NA = n1  n2

= n1 n1  n2 

Perbedaan nilai n1 dan n2 sangat kecil sehingga n1  n2  = 2 n1 , oleh sebab itu:

NA = n1 2 (2.7)

Nilai Δ berkisar 1 % sampai 3 % untuk serat optik multimode dan 0,2 %

sampai 1 % untuk serat optik singlemode (Keiser, 1991). Nilai NA untuk serat

optik step-index berkisar antara 0,2 – 0,5, serat optik graded-index di sekitar 0,2

(Hoss, 1993). Untuk serat optik step-index multimode dari bahan plastik

berdiameter core besar, nilai NA antara 0,3 – 0,5 (Krohn, 2000).

2.3. Teori Moda pada Serat optik Step-Index

Pandu gelombang adalah sebuah struktur yang memandu gelombang,

seperti gelombang elektromagnetik atau gelombang bunyi. Terdapat beberapa

jenis pandu gelombang, satu diantaranya adalah pandu gelombang optik. Pandu

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

17

gelombang optik atau optical wave guide adalah penyalur cahaya yang terdiri atas

material dielektrik berbentuk lempeng, kepingan, atau silinder dan dikelilingi oleh

material dielektrik lainnya dengan indek bias lebih rendah. Pandu gelombang

planar adalah pandu gelombang optik ditinjau berdasarkan geometrinya. Pandu

gelombang planar terdiri atas inti film pusat dengan ketebalan < 0.1mm yang

terletak diantara dua lapisan dengan indek bias lebih rendah dari pada inti, namun

harus tidak sama.

Tiap jenis pandu gelombang optis, baik silinder maupun planar, memiliki

moda. Karena pandu gelombang yang ditinjau merupakan pandu gelombang

optik, maka moda pada pandu gelombang ini merupakan moda optik. Moda optik

adalah solusi spesik dari fungsi gelombang yang memenuhi syarat batas yang

sesuai dan memiliki sifat bahwa distribusi spasialnya tidak berubah terhadap

perambatannya.

Jumlah moda yang terdapat dalam suatu pandu gelombang ditentukan oleh

sebuah parameter tunggal yang disebut parameter-V atau disebut juga frekuensi

ternormalisasi (normalized frequency). Analisis mengenai moda diawali dengan

tinjauan pada serat optik moda tunggal step index melalui penyelesaian persamaan

Maxwell. Bentuk persamaan Maxwell tersebut adalah sebagai berikut:

1. .D   (2.8a)

2. .B  0 (2.8b)

B
3.   E   (2.8c)
t

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

18

D
4.   H  j  (2.8d)
t

Bentuk persamaan Maxwell pada kondisi bebas muatan sumber adalah sebagai

berikut:

1. .D  0 (2.9a)

2. .B  0 (2.9b)

B
3.   E   (2.9c)
t

D
4.   H  j  (2.9d)
t

dengan E dan H adalah vektor medan listrik dan medan magnet, sedangkan D dan

B adalah rapat fuks. Kerapatan flux berhubungan dengan vektor medan dengan

hubungan D = εoE + P dan B = µoH + M, εo dan µo masing – masing adalah

permitivitas ruang hampa dan permeabilitas ruang hampa, sedangkan P dan M

masing-masing adalah polarisasi listrik dan magnet terinduksi. Untuk serat optik

nilai M = 0 karena sifat nonmagnetic kaca silika.

Persamaan (2.9c) dan (2.9d) menunjukkan bahwa antara E dan H saling

terkopel satu sama lain. Untuk memisahkannya, dilakukan dengan cara

menerapkan operasi curl dan substitusi kedua persamaan sehingga didapatkan

persamaan sebagai berikut:

1 2 E
2 E  0 (2.10)
c 2 t 2

2 1 2 H
 H 2 0 (2.11)
c t 2

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

19

1
dengan c  adalah kecepatan gelombang elektromagnetik di medium,


1
sedangkan pada daerah vakum c0  . Persamaan (2.10) dan (2.11)
 0 0

memperlihatkan medan E dan H tidak saling terkopel satu sama lain. Secara

umum, persamaan (2.10) dan (2.11) dapat ditulis dalam bentuk persamaan

gelombang berikut:

1  2
 2  0 (2.12)
c 2 t 2

Fungsi gelombang mempresentasikan medan harmonik E dan H yang tidak

saling terkopel. Jika solusi persamaan (2.12) berbentuk persamaan

  U exp  jt 

dengan U menyatakan amplitude kompleks gelombang U  U o exp  jkr  dan

exp  jkr  menyatakan faktor harmonik maka dari persamaan (2.12) diperoleh

persamaan Helmholtz sebagai berikut:

 2U  k 2U  0 (2.13)

 c
dengan k  yang merupakan konstanta perambatan. Dari hubungan n 
c co

2
dan k o  , maka k  nk o dengan 0 menunjukkan medium vakum.
o

Untuk mengetahui persamaan gelombang EM dalam serat optik, maka

koordinat posisi gelombang EM disesuaikan dengan geometri serat optik yang

berbentuk silinder. Jika diasumsikan gelombang EM merambat dalam arah z,

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

20

 
maka fungsi gelombang untuk medan E dan H dalam koordinat silinder,

masing-masing dapat ditulis sebagai berikut:


 
E r , , z, t   Eo r , e j t z  (2.14)
 
H r , , z, t   H o r , e j t z  (2.15)

Persamaan (2.14) dan (2.15) juga merupakan solusi persamaan (2.12), masing-
 
masing untuk medan harmonik E dan H , sedangkan  identik dengan k yang

menyatakan konstanta perambatan gelombang EM dalam arah z.


 
Berikutnya akan ditentukan komponen-komponen medan E dan H

dalam arah r,  , dan z dalam serat optik.



Untuk medan E :
 
E r ,  , z, t   Eo r ,  e j t z   Er eˆr  E eˆ  E z eˆ z e jt (2.16)

dengan :

Er  E0 r e  jz (2.17a)

E  E0  e  jz (2.17b)

Ez  Ez (2.17c)

Er E
  jEr dan   jE (2.17d)
z z

Sementara itu untuk medan H :
 
H r ,  , z, t   H o r ,  e j t z   H r er  H e  H z ez e jt
  
(2.18)

kemudian
 
B H
  j H r er  H  e  H z ez e jt
  
   (2.19)
t t

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

21

 
sehingga hubungan E dan H untuk masing-masing komponen vektor adalah:

1  E z 
  jrE er =  jH r (2.20a)
r   

E z
 jEr  jH  (2.20b)
r

1  rE  Er 
     jH z (2.20c)
r  r  

Jika langkah yang sama di terapkan pada persamaan (2.9d), akan diperoleh
 
hubungan H dan E untuk masing-masing komponen vektor sebagai berikut:

1  H z 
  jrH er =  jEr (2.21a)
r   

H z
 jH r  jE (2.21b)
r

1  rH  H r 
     jE z (2.21c)
r  r  

dengan saling mensubstitusikan persamaan-persamaan yang didapatkan dari


   
hubungan E dan H dengan hubungan H dan E untuk masing-masing komponen

vektor maka akan didapatkan persamaan:

j  E z  H z 
Er      (2.22a)
q 2  r r  

j   E z H z 
E   2 
   (2.22b)
q  r  r 

j   E z H z 
Hr  2 
  (2.22c)
q  r  r 

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

22

j  E z j  H z 
H     2  (2.22d)
q2  r q r  
 
Untuk mendapatkan persamaan gelombang pada medan E dan H dalam

koordinat silinder dilakukan dengan cara sebagai berikut: Substitusi persamaan

(2.22c) dan (2.22d) ke persamaan (2.21c) sehingga didapatkan:

 2 E z 1 E z 1  2 E z
   q 2 Ez  0 (2.23)
r 2 r r r 2  2

Persamaan (2.23) adalah persamaan gelombang untuk medan E E z  dalam

koordinat silinder. Cara yang sama dilakukan untuk mendapatkan persamaan



gelombang untuk medan H H z  yaitu mensubstitusikan persamaan (2.22a) dan

(2.22b) ke persamaan (2.20c), sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:

 2 H z 1 H z 1  2 H z
  2  q2H z  0 (2.24)
r 2
r r r  2

Persamaan (2.23) dan (2.24) masing-masing memuat E z dan H z saja, artinya E z

dan H z tidak saling terkopel. Secara umum, kopling antara E z dan H z

ditentukan oleh syarat batas komponen medan EM. Jika syarat batas tidak dapat

menunjukkan kopling antar komponen-komponen medan, maka solusi moda

dapat diperoleh dengan menentukan E z  0 dan H z  0 (moda TE atau TM). Jika

E z dan H z keduanya tidak sama dengan nol, maka disebut moda hibrid dan

dilambangkan dengan HE atau EH yang bergantung pada kontribusi E z dan H z

mana yang lebih dominan. Moda hibrid memiliki tingkat analisa yang lebih rumit.

Untuk mengetahui bentuk fungsi gelombang medan E dan H dalam serat

optik, dilakukan dengan cara sebagai berikut: Serat optik adalah pandu gelombang

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

23

EM yang berbentuk silinder, sehingga rambatan gelombang EM dalam serat optik

seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Rambatan gelombang EM dalam serat optik

Pada gambar tersebut, n  n1 untuk r < a (core) dan n  n2 untuk r > a (cladding),

serta gelombang EM diasumsikan merambat pada arah sumbu z. Dalam koordinat

silinder, persamaan Helmholtz mempunyai bentuk sebagai berikut:

 2U 1 U 1  2U  2U
    n 2 k 02U  0 (2.25)
r 2 r r r 2  2 z 2

dengan U  U r, , z  adalah amplitudo kompleks medan E dan H serta r,  , dan z

menyatakan posisi dalam koordinat silinder. U dalam koordinat silinder pada

persamaan (2.25) merepresentasikan E z dan H z yaitu medan listrik dan medan

magnet ke arah z. Jika diasumsikan amplitudo kompleks merambat ke arah z dan

dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut:

U r, , z   U r e  j l z  (2.26)

dengan  adalah konstanta perambatan dan l  0,1,2,.... menunjukkan

perioditas  dengan periode 2  , maka persamaan (2.25) akan berbentuk:

 2U 1 U  2 2 l2 
   n k   2
 U  0 (2.27)
r 2 r r  r 2 
0

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

24

Syarat gelombang terpandu adalah n2 k 0 <  < n1k 0 , untuk itu ddidefinisikan

parameter sebagai berikut:

kT2  n12 k02   2 (2.28a)

dan  2   2  n22 k02 (2.28b)

Untuk gelombang terpandu, kT2 dan  2 bernilai positif dan kT dan 

bernilai real. kT menyatakan komponen transversal gelombang terpandu di dalam

core, sedangkan  menyatakan komponen transversal gelombang di cladding

atau gelombang evaniscent. Dengan demikian persamaan (2.27) dapat di pisahkan

antara core dengan di cladding seperti persamaan berikut:

d 2U 1 dU  2 l 2 
   kT  2 U  0 , r ≤ a (2.29a)
dr 2 r dr  r 

d 2U 1 dU  2 l 2 
     2 U  0 , r ≥a (2.29b)
dr 2 r dr  r 

Persamaan (2.29) berbentuk persamaan Bessel dengan solusi berupa fungsi

Bessel. Agar fungsi tidak bernilai ∞ di r  0 (core) dan di r  ∞ (cladding),

maka solusi terbatas adalah sebagai berikut:

J1 kT r  , r ≤ a

U r  (2.30)

K1 r  , r ≥a

J 1 x  dan K1 x  adalah fungsi Bessel jenis pertama dan kedua orde l . Pada limit

r≥1, fungsi Bessel tersebut adalah sebagai berikut:

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

25

1
 1 2   1  
J 1 x     cos  x   l    , r ≤ a (2.31a)
 x    2 2

1
   2  4l  1  x
2
K1 x     1  e , r ≥a (2.31b)
 2x   8x 

Persamaan (2.31) menunjukkan bahwa J 1 x  berosilasi, sedangkan K1 x 

menurun secara eksponensial seiring bertambahnya x (Saleh, 1991). Dengan

demikian berbentuk amplitudo kompleks medan adalah sebagai berikut:

U z r a   AJ 1 kT r e  j l z  , r ≤ a (2.32a)

U z r a   AK1 r e  j l z  , r ≥a (2.32b)

Untuk nilai kT besar, distribusi medan di dalam core berosilasi secara cepat,

sedangkan untuk nilai  besar, penurunan amplitudo medan terjadi secara cepat

sehingga penetrasi medan (gelombang) di dalam cladding menjadi kecil

(Keiser,1991). Distribusi amplitudo medan di core dan cladding untuk l = 0 dan l

= 3 diperlihatkan pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Distribusi amplitudo medan di core dan cladding untuk orde 0 dan 3
(Saleh, 1991)

Jika persamaan (2.28a) dan (2.28b) dijumlahkan, maka diperoleh persamaan

(2.35).

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

26

 
kT2   2  n12  n22 k02  NA k02
2
(2.33)

Ruas paling kanan persamaan (2.33) bernilai konstan, sehingga jika nilai kT besar

maka nilai  kecil, pada keadaan ini penetrasi medan ke cladding menjadi besar

(Salah, 1991). Jika persamaan (2.33) dikalikan dengan a 2 , terdefinisi parameter

V yang berkaitan dengan keadaan cutoff dengan definisi sebagai berikut:

2
V aNA (2.34)
0

Jika nilai V ≤ 2,405, maka serat optik bertipe singlemode (Keiser,1991).

Solusi bagi  ditentukan melalui syarat batas bahwa di bidang batas yaitu

r  a komponen medan E z dan E di dalam core dan cladding harus bernilai

sama, demikian pula dengan H z dan H  , hubungan antara komponen E z dengan

E dan H z dengan H  dapat diperoleh dengan saling mensubstitusikan diantara

persamaan (2.9c) dan (2.9d), dalam koordinat silinder hasilnya adalah sebagai

berikut:

j   E z H z 
E   
2 
   (2.35a)
n k 0  r 
2
r 

j   H z E 
H   
2 
  z  (2.35b)
n k 0  r 
2
r 

Mengacu pada persamaan (2.32) untuk nilai E z dan H z , maka akan diperoleh E

dan H  di dalam core dan cladding. Dengan menerapkan syarat batas

Ez1  Ez 2  0 , E1  E 2  0 , H z1  H z 2  0 dan H1  H 2  0 di r  a dengan

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

27

indeks 1 dan 2 menunjukkan daerah core dan cladding, akan diperoleh persamaan

berikut:

 1 1 
1  1 n12 k021  n22 k021    l   2  (2.36)
 a  kT  
2

J1 kT r  K1 r 
dengan : 1  dan 1 
kT J 1 kT r  K1 r 

Persamaan (2.36) adalah persamaan non linear, sehingga solusi bagi  dengan

batas n2 k0    n1k0 harus dilakukan dengan metode numerik (Keiser, 1991). Solusi

bagi  bernilai diskrit dengan orde l dan m adalah sebagai berikut:

 lm  n1k0 1 
 l  2m  (2.37)
 M 

Dengan M adalah jumlah moda yang didefinisikan sebagai berikut:

4
M V2 (2.38)
 2

Dalam hal ini  lm terkait dengan moda-moda TElm , TM lm , EH lm atau HElm .

2.4. Fiber Coupler

Pemahaman tentang pengkopel dapat divisualisasikan dengan sepotong

kabel serat optik yang membawa sinyal menuju ke dua terminal yang berbeda.

Sinyal tersebut tentunya harus dibelah menjadi dua dan hal ini dapat dilakukan

dengan mudah menggunakan sebuah alat yang disebut pengkopel (coupler),

sehingga pengkopel untuk tujuan ini disebut splitter (pembagi). Pengkopel juga

bersifat bi-direksional dan dapat menghantarkan cahaya ke dua arah, maju

maupun balik, sehingga pengkopel dalam kasus ini disebut sebagai combiner

(penggabung) yang penggunaannya untuk menggabungkan sinyal-sinyal dari

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

28

beberapa sumber berbeda ke dalam satu saluran transmisi serat optik tunggal.

Dalam kasus pengkopel, energi cahaya yang masuk mengalami hamburan

(scattering) atau penyerapan (absorbing) saat merambat didalam pengkopel

sehingga sebagaiannya tidak muncul diujung keluaran (output). Perbedaan antara

splice mekanik dengan pengkopel terdapat pada jumlah penggunaan serat optik

dikedua ujung alat. Apabila terdapat sebuah serat optik tunggal dikedua ujung

alat, maka alat tersebut adalah splice mekanik jika lebih dari satu maka disebut

pengkopel.

Jika dua pandu gelombang berada pada jarak yang sedemikan dekat, maka

cahaya terpandu dari salah satu pandu gelombang dapat terkopel pada pandu

gelombang lainnya. Dengan kata lain, terjadi proses transfer daya optik antar

pandu gelombang. Untuk kasus coupling antara dua pandu gelombang sejajar

yang diasumsikan untuk serat optik singlemode diilustrasikan pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9. Kopling cahaya pada dua pandu gelombang planar (Saleh, 1991).

Analisa secara eksak dari proses pengkopelan cahaya pada pandu

gelombang sangat sulit, tetapi untuk kopling lemah (weakly), penggunaan teori

untuk moda terkopel masih memadai. Teori moda terkopel digunakan dengan

asumsi bahwa moda pada masing-masing pandu gelombang sebelum terkopel

(salah satu pandu gelombang belum ada) adalah sama. Amplitudo kompleks

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

29

medan listrik pada pandu gelombang 1 dan pandu gelombang 2 jika tidak terkopel

ditulis dalam bentuk sebagai berikut:

E1  y, z   a1u1  y e  j1z (2.39)

E2  y, z   a2u2  y e  j2 z (2.40)

Indeks 1 dan 2 masing-masing menyatakan pandu gelombang 1 dan 2, sedangkan

a , u  y  dan  masing-masing menyatakan moda amplitudo, fungsi distribusi

medan transversal dan konstanta perambatan gelombang cahaya pada arah z.

Sebelum terkopel, a1 dan a2 adalah konstan. Saat terjadi kopel, a1 dan a2 berubah

menjadi fungsi z yang ditulis a1 z  dan a2 z  . Sedangkan u1  y  , u2  y  , 1 dan

 2 tidak berubah.

Proses kopling dianggap sebagai efek hamburan yang artinya medan pada

pandu gelombang 1 merupakan hamburan medan dari pandu gelombang 2,

hamburan tersebut mengubah amplitudo medan pada pandu gelombang 2,

demikian pula sebaliknya medan pada pandu gelombang 2 merupakan hamburan

dari pandu gelombang 1. Analisis saling interaksi antara dua pandu gelombang

tersebut merujuk pada dua persamaan diferensial orde satu yang saling terkopel

dengan perubahan terjadi pada amplitude a1 z  dan a2 z  . Kedua persamaan

tersebuat adalah sebagai berikut:

da1z  jz
  jC 21a2 z e (2.41a)
dz

da2 z 
  jC12a1 z e jz (2.41b)
dz

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

30

dengan :   1   2 (2.42)

 k2
a d


C21   n 22 n 2 0
21
  u  y u  y dy 
2 1
(2.43a)
 a

 k2
a d


C12   n 21 n 2 0
2 2
  u  y u  y dy
1 2
(2.43b)
 a

C 21 dan C12 adalah koefesien kopling,

Persamaan (2.41a) dan (2.41b) adalah persamaan moda terkopel. Dengan asumsi

bahwa amplitudo cahaya masukan pada pandu gelombang 1 adalah a1 0 dan

pada pandu gelombang 2 tidak ada cahaya yang masuk atau a2 0  0, maka solusi

bagi a1 z  dan a 2 z  pada persamaan moda terkopel adalah sebagai berikut:

z
j   
a1 z   a1 0e 2
cos z  j sin z  (2.44a)
 2 

z
C12 j
a2 z    j a1 0e 2
sin z (2.44b)

2
  
dengan  2     C 21C12 (2.45)
 2 

Daya optik pada kedua pandu gelombang adalah sebagai berikut:

 2   
2

P1 z   P1 0cos z    sin 2 z  (2.46a)
  2  

2
k12
P2 z   P1 0 sin 2 z (2.46b)
 2

Persamaan (2.46a) dan (2.46b) memperlihatkan pertukaran daya optik secara

periodik diantara kedua pandu gelombang dengan periode sebesar 2 /  .

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

31

Jika kedua pandu gelombang identik, yaitu 1   2 dan C12  C21  K ,

maka   0 dan   K , dengan demikian persamaan (2.44a) dan (2.44b)

menjadi :

a1 z   a1 0 cos Kz (2.47a)

a2 z    ja1 0sin Kz (2.47b)

Sehingga daya optik pada pandu gelombang yang identik adalah :

P1 z   P0 0 cos 2 Kz (2.48a)

P2 z   P0 0 sin 2 Kz (2.48b)

Perlu dicatat bahwa kedua pandu gelombang di asumsikan tanpa redaman atau

atenuasi. Grafik pertukaran daya optik terhadap jarak interaksi z (yang akhirnya

disebut sebagai panjang kopling) diperlihatkan pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10. Grafik pertukaran daya optik terhadap jarak interaksi z

1
Pertukaran daya optik secara penuh terjadi setiap periode (n + )
2

dengan n = 0,1,2,….. maka untuk pertukaran daya optik secara penuh dapat ditulis

hubungan:

 1
 n  
2
z (2.49)
K

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

32

Jika z = Lc, dengan Lc adalah panjang kopling, maka :

 1
 n  
2
Lc   (2.50)
K

Fiber coupler merupakan salah satu pandu gelombang yang tersusun atas

dua pandu gelombang sejajar yang mampu mentransmisikan informasi melalui

banyak saluran. Salah satu sifat dari fiber coupler adalah kemampuannya

memindahkan daya ke pandu gelombang kedua ketika pandu gelombang pertama

ditransmisikan gelombang optik. Hal ini dikarenakan terjadinya kopling dalam

fiber coupler yang mempengaruhi perambatan daya gelombang optik sepanjang

pandu gelombang. Pada bidang optik, fiber coupler dapat berfungsi sebagai

pemecah berkas cahaya (splitter), pembagi daya (power divider), optical swtcing,

divais WDM, divais interferometer baik Michelson maupun Mach Zender serta

divais optik yang lain. Fiber coupler dapat dibuat dari serat optik singlemode

maupun multimode dengan cara menggabungkan (fused) kedua buah serat optik

tersebut dengan panjang daerah interaksi dan lebar gap tertentu. Proses kopling

atau transfer daya optik pada fiber coupler serat optik analog dengan pandu

gelombang planar. Bedanya distribusi medan yang terkopel pada directional

coupler serat optik berbentuk fungsi Bessel. Proses perpindahan daya gelombang

optik antar pandu gelombang dapat dijelaskan menggunakan teori moda

tergandeng (couple mode theory). Berdasarkan teori moda tergandeng (couple

mode theory), bila lebar gab antara dua pandu gelombang sangat kecil akan

mengakibatkan gelombang evanescent dari kedua buah pandu gelombang

disepanjang daerah gab saling memberikan gangguan (perturbation), kopling

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

33

antar keduanya akan menyebabkan amplitudo gelombang optik yang merambat

pada masing-masing pandu gelombang berubah sepanjang jarak rambatnya. Jika

ke dalam pandu gelombang pertama ditransmisikan gelombang optik, maka

sebagian berkasnya ter-evanescant ke pandu gelombang kedua. Berkas pada

pandu gelombang tersebut terpandu dan sebagian berkasnya akan ter-evanescant

ke pandu gelombang pertama lagi. Overlaping antar gelombang evanescent yang

saling berinterferensi mengakibatkan terjadinya proses perpindahan daya antar

pandu gelombang optik. Jika interferensinya saling menguatkan akan terbentuk

gelombang optik simetri dengan tetapan perambatan βb, dan ketika interferensinya

saling melemahkan maka akan terbentuk gelombang optik asimetri dengan tetapan

perambatannya βa.

Fiber coupler yang tersusun dari dua buah serat optik mempunyai empat

buah port dan disebut fiber coupler serat optik struktur simetri 2×2. Skema fiber

coupler serat optik struktur simetri 2×2 yang dibuat dengan metode fused biconal

tapared diperlihatkan pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11. Fiber coupler strutur simetri 2 x 2 berbahan serat optik dengan
metode fused (Fernando, 2007)

Berdasarkan Gambar 2.11, jika port Al bertindak sebagai port masukan

dengan mengambil analogi teori moda terkopel untuk pandu gelombang planar

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

34

singlemode, maka sebagian berkas cahaya akan terkopel menuju port keluaran B2

dengan rasio kopling (ratio coupling) tertentu saat melewati daerah interaksi

kopling sepanjang Le. Berkas cahaya yang tidak terkopel akan keluar menuju port

A2. Rasio kopling ditentukan oleh panjang daerah interaksi kopling (Lc) dan lebar

gap antar core serat optik (g) yang digabungkan. Akibat struktur penggabungan

serat optik, sebagian kecil berkas cahaya dipantulkan menuju port Al dan Bl.

Rasio daya optik berkas cahaya pantulan yang menuju port B I terbadap daya

optik masukan disebut Crosstalk. Proses kopling berkas cahaya diantara kedua

serat optik menyebabkan rugi (losses) akibat struktur fiber coupler. Rugi tersebut

adalah rugi keluaran atau excess loss yaitu fraksi daya optik keluaran terbadap

daya optik masukan dan rugi sisipan atau insertion loss yaitu fraksi daya optik

pada port keluaran B2 terhadap daya optik masukan (Samian dkk., 2008).

Parameter-paremeter fiber coupler sebagai divais optik antara lain copling

ratio (CR), excess loss (Le) dan Crosstalk (Ct). Berikut beberapa pengertian dari

parameter-parameter fiber coupler. Seberapa besar proporsi dari daya input yang

muncul di masing-masing ujung output disebut sebagai rasio pembagian atau

copling ratio (CR). Rasio daya optik berkas cahaya pantulan yang menuju port P3

terhadap daya optik masukan disebut Crosstalk. Proses kopling berkas cahaya

diantara kedua serat optik menyebabkan rugi (losses) akibat struktur fiber coupler.

Rugi tersebuat adalah rugi keluaran atau excess loss yaitu fraksi daya optik

keluaran terhadap daya optik masukan. Dengan mengacu pada Gambar 2.11,

parameter-parameter tersebut dituliskan dalam persamaan-persamaan sebagai

berikut:

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

35

P2
CR  (2.51)
P1  P2 

P 
Lins 
  inout
 (2.52)
 Poutput

Po
Le  10 log (2.53)
P1  P2

Po
Ct  10 log (2.54)
P3

Jika P1 = P2 , maka nilai CR = 0,5, disebut coupler 3 dB (Fernando, 2007).

Standarisasi fabrikasi fiber coupler adalah pemenuhan nilai parameter-parameter

fiber coupler hasil fabrikasi sesuai dengan nilai parameter standar seperti yang

diperlihatkan pada Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1. Standarisasi parameter fiber coupler (Hoss, 1993).

2.5. Expansi Linear

Untuk sebuah benda dalam bentuk batang atau kawat seringkali yang perlu

diperhitungkan hanya perubahan panjangnya saja akibat perubahan suhu.

Andaikan semua benda berbentuk balok berukuran , , dan pada suatu suhu

. Jika suhu balok itu naik menjadi , ukuran balok tersebut menjadi

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

36

, , dan . Pada kebanyakan zat, perubahan relatif atau

fraksional dari ukuran-ukuran panjang benda itu sama, artinya:

(2.55)

Jika expansi linear suatu zat didefinisikan sebagai perubahan fraksional

dari panjangnya persatuan perubahan suhu, dimensi panjangnya , maka:

(2.56)

(2.57)

Koefisien muai panjang (koefisien expansi linear) suatu bahan

berhubungan dengan daya tahan bahan terhadap perubahan suhu. Semakin rendah

koefisien muai panas suatu bahan, semakin tinggi daya tahan bahan dalam

menerima perubahan suhu. Setiap bahan yang dipanaskan akan mengalami

pertambahan ukuran karena pemuaian. Pertambahan ukuran pada arah satu

dimensi bisa disebut sebagai pertambahan panjang, pada arah dua dimensi

dinyatakan sebagai pertambahan luas. Pertambahan panjang pada arah tiga

dimensi dinyatakan sebagai pertambahan volum. Besar pertambahan panjang

akibat kenaikan suhu masing-masing bahan berbeda bergantung koefisien muai

panjang dari bahan tersebut.

Gambar 2.12. Pertambahan Panjang Logam Akibat Perubahan Suhu (Edward,


2005)

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

37

Pemuaian yang lazim dialami oleh bahan yang mengalami pemanasan

yang ditimbulkan oleh peningkatan getaran termal atom-atom. Pendekatan

menghasilkan pertambahan panjang sebanding dengan kenaikan suhu ,

sehingga persamaan (2.16) menjadi:

(2.58)

Gambar 2.13. Plot Hubungan Panjang Logam (L) dengan suhu (T)
(Meiners,1986)

Atom-atom suatu bahan tidak bergetar pada suhu 00C (-273 K). Pada

keadaan seperti ini atom-atom menduduki keadaan dengan energi terendah

diantara tetangga-tetangganya. Bila suhu naik, peningkatan energi memungkinkan

atom-atom bergetar dengan jarak antar atom yang lebih besar dan kecil. Hal ini

mengakibatkan muai panas karena rata-rata jarak antar atom membesar.

Tabel 2.2. Harga Rata-rata Untuk Beberapa Bahan (Lawrence, 1991)

Zat Padat α (0C)-1


Aluminium 2,4 x 10-5
Kuningan 2,0 x 10-5
Tembaga 1,7 x 10-5
Kaca 0,4 s/d 0,9 x 10-5
Baja 1,2 x 10-5
Invar 0,09 x 10-5
Kwarsa 0,04 x 10-5

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

38

Atom-atom bahan yang mempunyai koefisien muai panjang tinggi

memerlukan suhu yang relatif lebih kecil dari pada bahan yang mempunyai

koefisien muai panjang kecil untuk bergetar dengan jarak antar atom yang lebih

besar. Sehingga semakin kecil nilai koefisien muai panjang, maka semakin tinggi

nilai titik lebur bahan.

Tabel 2.3. Nilai titik lebur beberapa logam (Emsley, 1998)

Jenis Logam Titik Lebur (K)


Aluminium 933,52
Tembaga 1356,6
Emas 1337,58
Perak 1235,08
Baja 996-1473

2.6. Tembaga

Tembaga adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki

lambang dan nomor atom 29. Lambangnya berasal dari bahasa Latin Cuprum.

Tembaga merupakan konduktor panas dan listrik yang baik. Selain itu unsur ini

memiliki korosi yang lambat sekali. Tembaga mempunyai koefiesien muai

panjang sebesar 1,7 x 10-5 (C0)-1 (Lawrence, 1991). Tembaga mempunyai

kesamaan struktur elektron dengan perak dan emas, sehingga ketiganya

mempunyai banyak sifat yang mirip. Diantaranya adalah ketiganya memiliki

konduktivitas panas dan listrik yang tinggi, serta mudah dibentuk. Di antara

logam murni pada suhu kamar, tembaga memiliki resistivitas listrik dan

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

39

kuonduktivitas panas tertinggi setelah perak (Hammond, 2004). Pada 385 W m-1
-1
°C tembaga memiliki konduktivitas termal tertinggi dibandingkan emas dan

perak. Hal ini disebabkan karena hampir semua elektron valensi (satu per atom)

mengambil bagian dalam konduksi. Yang dihasilkan elektron bebas dalam jumlah

tembaga ke densitas muatan sebesar 8960 kg/m3. Densitas muatan tinggi

bertanggung jawab atas agak lambat kecepatan arus di kabel tembaga (kecepatan

drift dapat dihitung sebagai rasio dari rapat arus untuk mengisi kepadatan).

Misalnya, dengan kepadatan arus 5x106 A/m2 (biasanya, kepadatan arus

maksimum hadir dalam jaringan kabel rumah tangga dan distribusi grid)

kecepatan drift hanya sedikit lebih dari ⅓ mm/s (Seymour, 1972).

Skripsi Aplikasi Multimode Fiber Coupler Sebagai Sistem Yuliatin


Sensor Suhu Dengan Menggunakan Probe Logam
Tembaga

Anda mungkin juga menyukai