Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KECAKAPAN MATEMATIS (MATHEMATICAL PROFICIENCY)

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah


Pembelajaran Matematika Sekolah 1

Dosen Pengampuh:
Dr. Abdur Rahman As’ari, M.Pd., M.A

Disusun oleh:
Khoirul Khotimah (180311866020)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN MATEMATIKA
2018/2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut Kilpatrick, Swafford, & Findell (2001) di Amerika terlalu sedikit siswa di sekolah

yang berhasil mendapatkan pengetahuan, kecakapan, dan keyakinan matematika yang

dibutuhkan mereka dalam mempelajari matematika itu sendiri. Begitu juga pada kenyataannya,

pada zaman sekarang dalam kegiatan belajar mengajar yang diadakan di sekolah masih terdapat

banyak siswa yang kurang dalam menguasi konsep matematika.

Siswa yang belum memahami tentang sebuah konsep, definisi, prosedur, dan fakta

matematis secara signifikan tidak bisa dianggap cacat dalam matematika. Tentunya harus ada

pengetahuan yang mendasar. Pembelajaran matematika yang diterapkan di sekolah haruslah

memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari suatu konsep dan prosedur yang

matematis sehingga memicu pemikiran siswa yang dapat membuat siswa merasa tertarik dan

tertantang dalam mengikuti pembelajaran matematika, sehingga pada kegiatan pembelajaran

tidak ada rasa bosan, kurang percaya diri, bahkan menyerah sebelum berhasil menyelesaikan

permasalahan matematika.

Ada faktor penting yang mempengaruhi kesuksesan belajar matematika siswa selain faktor

dari diri siswa, dan lingkungan, yaitu kecakapan matematis (mathematical proficiency).

Kecakapan matematis harus dikuasi siswa agar sukses dalam belajar matematika. Seperti yang

diungkapkan Kilpatrick, Swafford, & Findell (2001) bahwa kecakapan matematis dapat

menangkap apa yang dipikirkan dan berarti bagi siapapun untuk dapat sukses dalam belajar

matematika. Pembelajaran matematika memerlukan penguasaan kecakapan matematis, yang

dimana menurut Kilpatrick, Swafford, & Findell (2001) kecakapan matematis terdiri dari 5

komponen yaitu (1) pemahaman konseptual (conceptual understanding), (2) kelancaran

1
prosedural (procedural fluency), (3) kompetensi strategis (strategic competence), (4) penalaran

adaptif (adaptive reasoning), dan (5) disposisi produktif (productive disposition). Kelima

komponen ini memiliki aspek yang berbeda namun saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Tentunya kecakapan matematis ini yang meliputi pengetahuan, kemampuan, kecakapan, dan

kepercayaan diri, didapatkan siswa dengan adanya bantuan dari lingkungan belajarnya seperti

guru dan kelas, tidak bisa murni berasal dari diri sendiri. Oleh karena itu, diharapkan siswa

dapat mengembangkan kecakapan matematisnya untuk dapat mempermudah siswa dalam

belajar. Sehingga berdasarkan masalah tersebut, penulis membuat makalah yang berjudul

“Kecakapan Matematis (Mathematical Proficiency)”.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa macam dan definisi dari setiap komponen kecakapan matematis (mathematical

proficiency)?

2. Bagaimana contoh dari siswa yang memiliki dan yang tidak memiliki komponen dalam

kecakapan matematis?

1.3.Tujuan

Disusunnya makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan macam dan definisi dari setiap

komponen kecakapan matematis (mathematical proficiency), beserta contoh siswa yang

memiliki dan yang tidak memiliki komponen dalam kecakapan matematis tersebut.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Kecakapan matematis (Mathematical Proficiency) dapat menangkap semua aspek

keahlian, kompetensi, pengetahuan, dan fasilitas dalam matematika yang sangat berguna dalam

belajar matematika dengan sukses. Kecakapan matematis itu sendiri menurut Kilpatrick,

Swafford, & Findell (2001) memiliki 5 komponen, yaitu conceptual understanding, procedural

fluency, strategic competence, adaptive reasoning, dan productive disposition. Semua

komponen ini tidak berdiri sendiri, namun saling berkaitan dalam pengembangan kemampuan

dalam matematika. Berikut gambaran 5 komponen menurut Kilpatrick et al., (2001):

2.1.Pemahaman Konseptual (Conceptual Understanding)

Menurut Kilpatrick et al., (2001) pemahaman konseptual yaitu bentuk pemahaman yang

berkaitan dengan suatu konsep, operasi, dan hubungan matematis. Siswa yang memiliki

pemahaman konseptual lebih tahu dari fakta dan metode yang terisolasi/terpencil. Mereka

mengorganisir pengetahuan mereka menjadi satu kesatuan yang padu, sehingga

3
memungkinkan mereka untuk mempelajari ide-ide baru dan menghubungkan ide tersebut

dengan apa yang sudah mereka ketahui. Karena adanya keterhubungan antara pemahaman,

fakta dan metode yang telah dipelajari, mereka akan lebih mudah mengingat, dan dapat

direkonstruksi ketika lupa. Jika siswa sudah memahami suatu metode, mereka akan lebih

mudah mengingatnya dengan benar.

Kemampuan untuk menyajikan situasi matematika dengan cara yang berbeda dan

mengetahui bagaimana representasi yang berbeda dapat berguna untuk berbagai tujuan adalah

indikator signifikan dari pemahaman konseptual (Kilpatrick et al., 2001). Tingkat pemahaman

konseptual siswa berkaitan dengan kekayaan dan luasnya koneksi yang dapat mereka buat.

Perhatikan gambar berikut!

Contoh dari siswa yang memiliki pemahaman konseptual (conceptual understanding) pada

matematika adalah ketika siswa disuguhkan pada gambar 2 segitiga yaitu ∆ABC dan ∆PQR,

siswa dapat menggambarkan serta menentukan segitiga mana yang siku-siku dan dapat

menjelaskan alasan bahwa ∆PQR merupakan segitiga siku-siku, karena ukuran pada salah satu

sudutnya 90° dengan siku-siku di titik P. Sedangkan contoh dari siswa yang tidak memiliki

pemahaman konseptual (conceptual understanding) pada matematika adalah ketika siswa bisa

menggambarkan ∆ABC dan ∆PQR dengan benar dan bisa menentukan segitiga mana yang

merupakan segitiga siku-siku, tetapi tidak bisa menjelaskan alasan dari definisi segitiga siku-

siku tersebut.

4
Contoh lain lagi dari siswa yang memahami konsep pada matematika adalah ketika siswa

diberi tugas untuk menjumlahkan 26 + 38, siswa yang memiliki pemahaman konseptual dalam

masalah ini akan membuat ide untuk mengatur ulang, serta membuat bilangan secara terpisah

akan tetapi tetap mendapatkan hasil yang sama. Seperti 26 + 38 = 20 + 30 + 6 + 8 = 64.

Kemudian siswa juga bisa mengerti dan menafsir bahwa nilai atau hasilnya akan lebih besar

dari 50 tapi tidak jauh lebih besar. Sedangkan siswa yang tidak memiliki pemahaman

konseptual akan menghitungnya dengan menggunakan tangan atau jari jemarinya.

2.2.Kelancaran Prosedural (Procedural Fluency)

Menurut Kilpatrick et al., (2001) kelancaran prosedural (Procedural Fluency) merupakan

suatu keterampilan dalam melakukan prosedur secara efisien, fleksibel, tepat dan akurat.

Kelancaran prosedural mengacu pada pengetahuan tentang prosedur, kapan dan bagaimana

menggunakannya, dan keterampilan dalam melakukannya. Sedangkan menurut (NCTM, 2014)

kelancaran prosedural dibangun berdasarkan pencarian awal dan diskusi konsep yang dimana

strategi dan sifat operasi digunakan sebagai metode untuk penyelesaian masalah. Maka dapat

disimpulkan bahwa kelancaran prosedural adalah pengetahuan, penggunaan aturan, dan

prosedur yang digunakan dalam melaksanakan proses matematika dan juga simbolisme yang

digunakan pada matematika.

Siswa akan mengalami kesulitan pada pemahaman mereka mengenai ide-ide atau

memecahkan masalah dalam matematika jika tidak memliki kelancaran prosedural (procedural

proficiency) yang cukup (Kilpatrick et al., 2001). Bisa dikatakan ketika siswa mempraktikkan

prosedur yang tidak mereka pahami, itu akan membuat mereka nantinya menerapkan prosedur

yang salah sehingga mereka akan gagal mendapatkan jawaban yang benar dalam suatu

masalah.

5
Contoh dari siswa yang memiliki kelancaran prosedural (Procedural Fluency) pada

3
matematika adalah ketika siswa dihadapkan pada bentuk soal dalam penjumlahan pecahan +
4

4
siswa dapat mengerjakan soal secara sistematis, dan menerapkan langkah-langkah
5

pengerjaan dengan benar, seperti mencari penyebut yang sama terlebih dahulu dengan mencari

hasil perkalian dari kedua penyebut. Sehingga didapatkan:

3 4 15 16 31 11
+ = + = =1
4 5 20 20 20 20

Atau bisa juga dicari dengan mengalikan kedua bilangan pada pecahan pertama dengan

bilangan bawah (penyebut) pada pecahan kedua, brgitu juga sebaliknya. Sehingga didapatkan:

3 4 3×5 4×4
+ = +
4 5 4×5 5×4

15 16 31 11
= + = =1
20 20 20 20

Kemudian contoh siswa yang tidak memiliki kelancaran prosedural (Procedural Fluency)

pada matematika, akan mengerjakan dengan prosedur yang kurang tepat. Misalnya pada

penjumlahan pecahan seperti soal diatas, siswa bisa saja mengerjakan dengan prosedur yang

salah yaitu dengan menjumlahkan semua pembilang dan penyebutnya. Seperti:

3 4 3+4 7
+ = =
4 5 4+5 9

Tentunya cara seperti ini salah.

2.3.Kompetensi Strategis (Strategic Competence)

Menurut Kilpatrick et al., (2001) kompetensi strategis merupakan kemampuan yang dimiliki

dalam merumuskan, merepresentasikan, dan memecahkan suatu masalah matematika.

Sedangkan menurut (MacGregor, 2013) kompetensi strategis adalah kemampuan dalam

6
menafsirkan, merumuskan suatu masalah matematika, dan kemampuannya dalam

menyelesaikannya.

Pada prosesnya, ini mengambil situasi lalu mengubahnya menjadi masalah yang dapat

dipecahkan melalui model dan keterampilan matematika untuk mendapatkan solusi, kemudian

menafsirkan serta mengevaluasi solusi permasalahan tersebut. Dengan adanya kompetensi

strategis, siswa dapat menerapkan pengetahuan matematika yang mereka miliki dan memilih

prosedur yang tepat ketika siswa dihadapkan dengan permasalahan matematika (MacGregor,

2013).

Ketika diberikan sebuah soal, seperti:

Sebuah toko sepeda memiliki total 42 sepeda roda dua dan sepeda roda tiga. Semua total roda

pada sepeda yaitu 90 roda. Berapakah banyak sepeda roda dua dan banyak sepeda roda tiga?

Contoh dari siswa yang memiliki kompetensi strategis (Strategic Competence) pada

matematika adalah ketika siswa menyelesaikan soal tersebut dengan menggunakan permisalan

seperti 𝑎 untuk sepeda roda dua, dan 𝑏 untuk sepeda roda tiga. Sehingga didapat 𝑎 + 𝑏 = 42

dan 2𝑎 + 3𝑏 = 90. Lalu menyelesaikannya dengan metode eliminasi dan metode subtitusi,

sehingga didapatkan bahwa banyaknya sepeda roda dua adalah 36 dan sepeda roda tiga adalah

6.

Sedangkan contoh siswa yang tidak memiliki kompetensi strategis (Strategic Competence)

pada matematika akan menyelesaikannya dengan menebak-nebak angka dan memeriksa satu-

persatu apakah angkanya cocok atau tidak dengan hasil 90 roda. Misal, siswa menebak jumlah

sepeda roda dua adalah 25, dan sepeda roda tiga adalah 19. Kemudian ketika dioperasikan

(25 × 2) + (19 × 3) = 50 + 57 = 107 roda. Ternyata hasilnya lebih banyak dari 90 roda,

akhirnya siswa akan mencobanya lagi dengan menebak angka yang lebih kecil.

7
2.4.Penalaran Adaptif (Adaptive Reasoning)

Menurut Kilpatrick et al., (2001) penalaran adaptif mengacu pada daya untuk berpikir

secara logis mengenai hubungan antara konsep dan situasi. Menurut Wibowo (2016) siswa

dikatakan memiliki penalaran adaptif jika siswa tersebut mampu berpikir logis mengenai

masalah yang ada, memperkirakan masalah hingga dapat menyimpulkan. Dalam prosesnya,

siswa diharapkan dapat memberikan alasan atas apa yang telah dilakukan. Jadi dapat

disimpulkan bahwa penalaran adaptif merupakan kemampuan seseorang dalam berpikir logis

mengenai hubungan antara konsep dan situasi, berpikir reflektif, menjelaskan, mengevaluasi

dan menjustifikasi pekerjaan mereka serta memberikan pembenaran.

Ketika diberikan sebuah gambar kubus, seperti:

Siswa yang memiliki penalaran adaptif (Adaptive Reasoning) akan mudah

mengidentifikasi bahwa itu merupakan bangunan kubus, dan bisa menjelaskan alasannya

seperti karena bangunan tersebut adalah bangun ruang tiga dimensi yang dibatasi dengan

enam bidang sisi yang kongruen berbentuk bujur sangkar yang dimana bangun ruang itu

adalah kubus, serta siswa dapat menyebutkan diagonal bidang pada bangunan tersebut dan

bisa menyimpulkannya, yaitu AC, BD, EG, HF, AF, BE, CH, DG, AH, DE, BG, CF jadi

jumlahnya ada 12 diagonal bidang. Kemudian siswa memeriksa ulang jawabannya apakah

jawaban itu benar atau salah, dan yakin atau tidak pada jawabannya.

8
Sedangkan siswa yang bisa mengidentifikasi jenis bangunan apakah itu namun tidak

bisa memberikan alasannya, dan juga mengetahui jumlah diagonal ruangnya tetapi tidak bisa

meyebutkan diagonal bidangnya, maka siswa tersebut tidak memiliki penalaran adaptif

karena tidak mampu menyimpulkan suatu pernyataan.

2.5.Disposisi Produktif (Productive Disposition)

Menurut Kilpatrick et al., (2001) disposisi produktif yaitu kecenderungan seseorang dalam

menganggap belajar matematika adalah sesuatu hal yang berguna dan berharga sehingga

percaya diri akan usaha belajar matematikanya terbayarkan, dan menilai dirinya sendiri

sebagai pelaku matematika dan pembelajar yang efektif. Siswa yang mengembangkan

disposisi produktif akan merasa percaya diri atas pengetahuan dan kemampuan mereka, dan

dengan menganggap bahwa matematika itu masuk akal dan dapat dimengerti, serta adanya

usaha dan pengalaman yang juga sesuai, mereka dapat belajar dengan baik dan termotivasi

untuk melakukan segala upaya yang dibutuhkan untuk belajar.

Apabila siswa dapat mengembangkan kemampuan pemahaman konseptual, kelancaran

prosedural, kompetensi strategis, penalaran adaptif, dan percaya bahwa matematika itu dapat

dimengerti, maka dengan adanya usaha yang tekun, itu semua dapat siswa pelajari dan juga

siswa mampu untuk mencari tahu (Groves, 2012).

Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa yang mengembangkan disposisi produktifnya

akan yakin pada pengetahuan dan kemampuan mereka, karena kebiasaaan produktif mereka

yang membuat matematika terlihat sebagai hal yang bermanfaat, berharga, serta adanya rasa

percaya diri dan tekun untuk belajar dengan matematika. Berhubungan dengan hal itu, jika

siswa memiliki disposisi produktif yang tinggi, mereka juga akan mampu untuk

mengembangkan kemampuan matematis mereka pada pemahaman konseptual, kelancaran

prosedural, kompetensi strategis, serta penalaran adaptif. Begitu pula sebaliknya, ketika

9
mereka sudah memiliki kemampuan dalam pemahaman konseptual, kelancaran prosedural,

kompetensi strategis, serta penalaran adaptif, maka disposisi produktifnya juga akan

berkembang.

Siswa yang memiliki disposisi produktif (Productive Disposition) akan tetap

bersemangat dalam menyelesaikan permasalahan matematika, dan rasa ingin tahunya tinggi.

Sehingga ketika ada permasalahan dalam matematika, untuk menggali pemahaman yang lebih

mendalam, siswa akan mencoba menyelesaikan soal tersebut dengan cara yang lainnya, serta

ketika dihadapkan dengan soal yang sulit siswa tidak mudah menyerah dan akan terus berusaha

hingga mendapatkan jawaban yang benar. Sedangkan siswa yang tidak memiliki disposisi

produktif, ia meyakini bahwa dalam menyelesaikan permasalahan matematika hanya ada satu

cara yang benar dan ketika dihadapkan dengan soal yang sulit, siswa menyelesaikan dengan

caranya sendiri yang akhirnya pada proses pengerjaan sudah terarah namun tidak selesai. Dan

siswa tidak mau mencoba dengan cara yang lainnya, dalam artian sudah menyerah dalam

menyelesaikan soal matematika.

10
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang ada, kecakapan matematis

memiliki 5 komponen, yaitu (1) pemahaman konseptual (conceptual understanding)

yaitu bentuk pemahaman yang berkaitan dengan suatu konsep, operasi, dan hubungan

matematis, (2) kelancaran prosedural (procedural fluency) yaitu suatu keterampilan

dalam melakukan prosedur secara efisien, fleksibel, tepat dan akurat, (3) kompetensi

strategis (strategic competence) yaitu kemampuan yang dimiliki dalam merumuskan,

merepresentasikan, dan memecahkan suatu masalah matematika, (4) penalaran adaptif

(adaptive reasoning) yaitu mengacu pada daya untuk berpikir secara logis mengenai

hubungan antara konsep dan situasi, dan (5) disposisi produktif (productive disposition)

yaitu kecenderungan seseorang dalam menganggap belajar matematika adalah sesuatu

hal yang berguna dan berharga sehingga percaya diri akan usaha belajar matematikanya

terbayarkan. Semua komponen ini saling berkaitan menjadi satu padu dalam

pengembangan kemampuan siswa dalam matematika.

Bagi kedepannya, diharapkan guru dapat menanamkan 5 komponen kecakapan

matematis ini pada siswa, karena dengan adanya kecakapan matematis dapat

mempermudah siswa dalam belajar matematika.

11
DAFTAR PUSTAKA

Groves, S. (2012). Developing Mathematical Proficiency. Journal of Science and

Mathematics, 35(2), 119–145.

Kilpatrick, J., Swafford, J., & Findell, B. (2001). Adding It Up: Helping Children Learn

Mathematics. (Mathematics Learning Study Committee, Ed.). Washington, DC:

National Research Council.

MacGregor, D. (2013). Developing Mathematical Proficiency. EPS literacy and Intervention.

National Council of Teacher of Mathematics. (2014). Procedural Fluency in Mathematics.

Wibowo, T. (2016). Adaptive Reasoning Junior High School Students In Mathematics

Problem Solving. Yogyakarta: Proceeding of 3rd International Conference on Research,

Implementation and Education of Mathematics and Science.16-17 May. 2016.

12

Anda mungkin juga menyukai