Anda di halaman 1dari 589

Ebook gratis http://ebukita.wordpress.

com
Bidadari dari Sungai Es
(Peng Tjoan Thian Lie)

Sungai es di puncak gunung laksana Thianho*) yang nyungsang.


Dengarlah 'tu kepingan es mengalir dengan bersuara perlahan sekali,
Ibarat suara tetabuhan yang dipentil dengan jeriji si gadis jelita,
Si nona tanya pada sang pengembara: Berapa gunung es lagi yang
harus kau daki? Berapa topan lagi harus kau lewati? Pengembara!
Sang elang di atas padang rumput pun tak dapat terbang terus-
terusan. Tapi kau jalan, jalan terus, jalan terus,
Sampai tahun apa, bulan apa, barulah kalian mau turun dari kuda?
Nona, terima kasih atas kebaikanmu.
Tapi kami tak dapat menjawab pertanyaanmu.
Apakah kau pernah melihat bunga di padang pasir?
Apakah kau pernah melihat gunung es menjadi lumer?
Kau belum pernah lihat? Belum pernah!
Maka itu, kami pengembara.
Juga tak akan berhenti jalan selama-lamanya.

*) Thianho, Bima Sakti atau Milky Way adalah sehelai sinar terang
di waktu malam yang membentang di langit, terdiri dari rangkaian bintang-
bintang. Sungai es yang mengalir dari atas puncak gunung ke bawah
diibaratkan Thianho yang membentang nyungsang.

Itulah suara nyanyian, diseling dengan klenengan kuda, yang pada


suatu hari dapat didengar di padang rumput perbatasan Tibet. Nyanyian itu
keluar dari mulutnya pengembara yang sedang lewat di padang rumput
tersebut. Pegunungan Himalaya yang berentet-rentet, puncak-puncak gunung
yang tertutup es dan menjulang tinggi sehingga menembus awan seperti juga
sedang mendengari nyanyian itu yang menyedihkan hati.
Dan tanpa diketahui oleh sang penyanyi, satu pemuda bangsa Han
turut pasang kupingnya. Air mata berlinang di kedua matanya. Ia menghela
napas panjang dan berkata seorang diri: "Aku dan kalian tak ada bedanya.
Kalian mengembara ke ujung langit, aku pun tak tahu kapan bisa dapat
pulang ke kampung kelahiranku."
Pemuda itu she Tan, bernama Thian Oe, kelahiran Souwtjiu, daerah
Kanglam. Ayahnya, Tan Teng Kie, dahulu pegang pangkat di kota raja, tapi
lantaran ia berani ajukan pengaduan yang menyerang Ho Kun, satu menteri
busuk yang sangat disayang oleh Kaizar Kian Liong, ia dikirim ke Tibet
(Seetjong) sebagai Amban1) (Soanwiesoe) pada sekte Sakya. Sedari waktu
itu sampai sekarang, delapan tahun sudah lewat. Waktu datang di Tibet,
Thian Oe masih anak-anak berusia sepuluh tahun, sekarang ia sudah jadi
pemuda 18 tahun.
Berada jauh di tempat orang, hatinya Thian Oe sangat rindukan
kampung halamannya, terutama lantaran ayahnya hampir saban hari ceritakan
keindahannya Kanglam yang permai.
Jumlahnya pengembara itu ada belasan orang, antaranya terdapat
orang Tibet, Uighur dan dua orang Han. Rupanya mereka bertemu di tengah
jalan dan lalu membentuk satu rombongan penjual suara yang berkelana ke
sana-sini. Kedua matanya Thian Oe yang mengikuti mereka mendadak terpaku
kepada satu gadis dari suku Tsang yang memakai pakaian serba putih.
Berjalan di antara kawan-kawannya, gadis itu adalah laksana burung ho di
antara kawanan ayam. Lain orang menyanyi, ia sendiri tutup mulut rapat-
rapat, sedang kedua matanya yang bersinar terang mengawasi langit dan
awan tanpa berkesip. Duduk di atas sela, ia seperti juga tidak dengar
suara kawan-kawannya, seperti sedang memikir sesuatu. Kalau bukan biji
matanya masih bergerak-gerak, Thian Oe bisa salah mata dan menduga ia
sebagai patung di atas kuda.
Selagi mengimplang seperti orang kehilangan semangat, tiba-tiba
terdengar suara burung gagak di tengah udara. Thian Oe dongak dan
mendadak dengar suara menjepratnya tali gendewa dan sebatang anak panah,
yang dilepaskan oleh salah satu orang Han, menyambar ke arah ia. Dari
mendesingnya sang anak panah yang menusuk telinga, ia tahu bahwa orang
yang melepaskan mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat.
Thian Oe kelit sembari angkat tangannya yang tepat menangkap buntut
anak panah. Baru mau membentak, ia kembali dengar suara menjeprat dan
sang gagak jatuh terguling sembari berteriak keras.
Dengan tangan mencekal gendewa, orang itu memberi hormat kepada
Thian Oe dan berkata: "Lantaran jengkel mendengar suara gagak, aku jadi
panah padanya. Cuma menyesal, sebab kepandaianku belum sempurna, aku jadi
membikin kongtjoe mendapat kaget."
Thian Oe keluarkan suara di hidung dan berkata dengan berdongkol:
"Jika aku tidak mengerti ilmu menangkap anak panah, apakah aku sekarang
masih bisa bicara dengan kau? Kenapa kau memanah secara begitu?"
"Harap kongtjoe perhatikan anak panahku," kata orang itu sembari
tertawa. "Anak panah itu tidak bisa mencelakakan orang!
Aku sebenarnya mau panah gagak, tapi sebab kepandaianku belum
cukup, maka aku membikin kongtjoe jadi salah mengerti."
Tan Thian Oe periksa anak panah itu, yang ternyata benar tidak ada
tajamnya. Orang itu cabut sebatang anak panah yang ada tajamnya dan
berkata: "Ini barulah anak panah yang dapat mencelakakan orang."
Ia lantas pentang gendewanya dan memanah ke udara. Selagi anak
panah itu jatuh ke bawah, ia susul dengan lain anak panah yang secara
tepat sekali ujungnya kebentrok dengan ujung anak panah pertama, sehingga
lelatu api kelihatan muncrat di udara dan kedua anak panah jatuh
berbareng ke muka bumi. Orang itu tertawa berkakakan dan merangkap kedua
tangannya, akan kemudian keprak kudanya buat susul kawan-kawannya.
Thian Oe jadi seperti orang kesima. "Ilmu memanah orang itu jarang
terdapat dalam dunia," kata ia dalam hatinya.
"Barusan terang-terangan ia memanah aku, tapi bilang kesalahan
tangan. Sedang aku tidak kenal padanya, kenapa ia panah padaku? Dan kalau
toh sudah memanah aku, kenapa ia gunakan anak panah tumpul? Apa
maksudnya?"
Selagi putar otaknya buat mencari-cari jawabannya, mendadak
kedengaran satu seman "Siauwya (majikan kecil)!" dan satu kacung yang
berusia kurang lebih 17 tahun kelihatan muncul.
Tan Thian Oe terkejut dan berkata: "Kang Lam, kau juga ada disini?
Kenapa aku tadi tidak lihat kau?"
Lantaran kangen pada daerah Kanglam yang ia sudah tinggalkan dalam
tempo lama, ayahnya Thian Oe memberi nama Kang Lam kepada kacungnya,
sebagai semacam peringatan bagi tempat kelahirannya. Usianya Kang Lam
hampir bersamaan dengan Thian Oe yang menjadi kawan memainnya sedari
kecil.
Mendengar pertanyaan majikannya, kacung yang nakal itu lalu tertawa
haha-hihi dan menyahut: "Looya (majikan tua) perintah aku cari kau dan
waktu orang hitam itu panah padamu, aku mengumpat di alang-alang.
Siauwya, banyak tahun aku ikuti kau, tapi aku tidak tahu kau mempunyai
kepandaian begitu tinggi dan sekali jambret saja, kau bisa tangkap anak
panah itu! Dan lebih heran lagi, aku belum pernah lihat kau belajar
memanah. Siauwya, bolehkah kau ajarkan aku."
Parasnya Thian Oe berobah dan ia berkata dengan sungguh-sungguh:
"Kang Lam, aku larang kau memberitahukan hal ini kepada looya! Jika hal
aku menangkap anak panah kau beritahukan kepada lain orang, aku akan
keset kulitmu!"
Melihat sikap majikan kecilnya begitu sungguh-sungguh, Kang Lam
segera berkata sembari leletkan lidah: "Tidak, aku tentu tidak omong
dengan siapa pun juga." Tapi dalam hatinya ia merasa heran, kenapa juga
majikan itu sungkan memberitahukan kepandaiannya kepada sang ayah.
Sembari lari loncat-loncatan, Kang Lam pungut burung gagak yang
barusan dipanah jatuh oleh orang itu. "Hei!" mendadak ia berseru. "Kenapa
gagak ini mati tanpa ada lukanya?"
Thian Oe terkejut dan periksa bangkai burung itu yang ternyata
benar tidak terluka barang sedikit, sedang sebatang anak panah tumpul
menggeletak di dekat bangkai burung itu. Ia tahu, gagak itu binasa dengan
luka di dalam badannya lantaran terpukul batang anak panah. "Jika gagak
ini yang terbang begitu tinggi binasa tertikam tajamnya anak panah,
tidaklah usah dibuat heran," kata Thian Oe di dalam hatinya. "Tapi dengan
binasa cuma lantaran kena terpukul batang anak panah, bisalah dibayangkan
hebatnya tenaga dalam orang yang memanah itu."
Demikianlah dengan hati masgul, Thian Oe lalu berjalan pulang
bersama ka.cungnya. Setibanya di rumah, ia lihat ayahnya sedang pasang
omong dengan satu orang di kamar tetamu. Orang itu berusia kurang lebih
50 tahun, paras mukanya bersih dan jujur, jenggotnya panjang, punggungnya
sedikit bongkok, sehingga ia kelihatannya seperti seorang sastrawan tua
yang gagal dalam ujian. Orang itu bukan lain dari gurunya (guru surat),
she Siauw bernama Tjeng Hong.
Guru itu mulai bekerja pada tahunan Tan Teng Kie dikirim ke Tibet
oleh Kaizar Kian Liong. Waktu itu ia masih menjabat pangkat Tjiesoe, dan
oleh karena keuruk dengan tugasnya, ia jadi tidak mempunyai tempo
senggang untuk mendidik puteranya. belakangan salah satu sahabatnya
pujikan Siauw Tjeng Hong buat ajar ilmu surat kepada puteranya itu.
Sesudah omong-omong, ia dapat kenyataan Siauw Tjeng Hong mempunyai
pengetahuan yang cukup baik, maka tanpa rewel ia segera pekerjakan
padanya. Tidak lama kemudian, lantaran menulis surat pengaduan yang
menyerang Ho Kun, Teng Kie dikirim ke Tibet sebagai semacam hukuman.
Sebenarnya ia merasa tidak enak hati buat ajak sang guru pergi ke tempat
yang begitu jauh, akan tetapi Siauw Tjeng Hong sendirilah yang sudah
mendesak supaya diajak. Ia mengatakan merasa cocok dengan majikannya itu
dan secara suka rela suka turut pergi ke Tibet. Oleh karena lihat
kesungguhan orang, Tan Teng Kie jadi sangat hargakan padanya dan
perlakukan ia seperti anggauta keluarga sendiri.
Sesudah Thian Oe memberi hormat kepada ayah dan gurunya, Teng Kie
lantas menanya: "Oe-djie (anak Oe), kemana kau pergi begitu lama? Lain
kali tidak boleh pergi memain sendirian."
"Datang serombongan penyanyi, malam ini mungkin ada pertunjukan,"
si kacung menyeletuk.
Thian Oe lirik kacungnya itu, tapi ia seperti juga tidak melihat.
"Sinshe (guru)," kata Kang Lam lagi. "Kau adalah seorang berpengalaman
dan
berpengetahuan luas, tapi pernahkah kau lihat orang panah gagak
dengan anak panah tumpul?"
Paras mukanya Siauw Tjeng Hong berobah dengan mendadak. "Apa?" ia
menegasi. Sehabis berkata begitu, mukanya pucat seperti kertas, sedang
badannya bergoyang-goyang.
Tan Teng Kie kaget dan menanya: "Kau kenapa, Siauw sinshe?"
"Lantaran perobahan hawa, mungkin kena pilek," jawabnya.
"Kang Lam," kata Teng Kie. "Pergi antar sinshe ke kamarnya supaya
mengasoh."
"Sinshe lagi kurang enak badan, kau jangan banyak bicara," memesan
Thian Oe.
Kang Lam manggutkan kepalanya. Diam-diam ia lirik Thian Oe dan
bikin muka badut. "Aku toh tidak sebut-sebut soal kau tangkap anak panah.
Kenapa kau jadi kebingungan?" kata ia dalam hatinya.
Thian Oe jadi heran sekali. Ia tidak mengerti, kenapa gurunya jadi
begitu ketakutan, setelah mendengar perkataannya Kang Lam.
"Mulai dari sekarang, kau tidak boleh lagi pergi keluar sendirian,"
kata lagi sang ayah. "Kalau tidak ada pekerjaan, berdiamlah di dalam
rumah. Kau tahu? Tahun yang lalu, suku Gurkha dari Nepal telah menyerang
Tibet dan telah dipukul oleh tentara kerajaan 2). Mereka tentu penasaran.
Sepanjang warta, mereka telah kirim sejumlah pembunuh buat binasakan
pembesar-pembesar kerajaan Tjeng. Sekarang pembesar-pembesar yang
bertugas di Tibet tidak berani keluar tanpa pengawal."
"Apa benar? Apa benar mereka begitu besar nyalinya?" tanya sang
putera.
"Warta ini datang dari markas besar Jenderal Hok. Kita tidak boleh
tidak percaya," sahut sang ayah.
Jenderal Hok itu adalah Hok Kong An (Fu Kang An). Ada orang bilang,
ia adalah "anak gelapnya" Kian Liong, akan tetapi, ini cuma merupakan
desas-desus yang tidak ada buktinya. Tapi memang benar, Hok Kong An
adalah jenderal yang paling disayang oleh Kian Liong, yang lantaran
sangat mengutamakan keselamatan di daerah perbatasan, sudah kirim
jenderal tersebut untuk menduduki Tibet, dengan markas besarnya di Lhasa.
Malam itu, siang-siang Thian Oe sudah disuruh tidur oleh ayahnya.
Akan tetapi, gulak-gulik di atas bantal, ia tidak bisa pulas lantaran
otaknya selalu ingat rombongan pengembara yang ia ketemukan tadi siang.
Ia tidak dapat menebak siapa adanya itu orang yang mempunyai kepandaian
memanah begitu tinggi. Ia tidak dapat singkirkan dari otaknya itu gadis
Tsang yang sangat aneh. Begitu meramkan mata, parasnya si nona lantas
terbayang di depan matanya. Itu muka yang seperti patung dengan sinar
mata yang dingin bagaikan es seakan-akan diam-diam melirik padanya dalam
malam yang gelap-gelita itu.
Mendadak kupingnya dapat tangkap suara tambur yang kedengarannya
lapat-lapat di tempat yang jauh. Di sebelahnya tambur, kedengaran juga
suara cecer dan terompet. Tapi suara tetabuhan itu sangat membosankan
lantaran tetap begitu-begitu juga, tanpa ada perubahan tinggi dan rendah,
cepat dan perlahan. Tan Thian Oe tahu, tentulah rombongan penyanyi yang
tadi siang sedang membuka pertunjukan malam di padang rumput. Mendengari
suara itu, di tengah malam yang sunyi, tanpa merasa ia jadi mengkirik
bulu badannya.
Pada besokan paginya, baru saja Thian Oe sadar dari tidurnya, di
luar sudah kedengaran Kang Lam bicara: "Hei! Kau percaya atau tidak?
Semalam aku lihat setan perempuan. Ha! Benar loh! Aku tidak mendusta.
Setan perempuan!"
Thian Oe terkejut. Berapa saat kemudian, si kacung berkata lagi:
"Ha! Setan itu pakai dua selendang sutera merah, rambut palsunya terurai
sampai di pinggangnya, dia pakai kedok tiga pasegi, lidahnya yang panjang
melelet keluar! Ha! Dia juga menari, putar, putar, putar, luar biasa
cepatnya. Di bawah kedua kateknya terselip dua golok pendek. Sesudah
menari, dia poksay (loncat jungkir balik), goloknya mengkeredep benar-
benar menakuti. Sesudah itu, ia lemparkan rambut palsu dan tarik
kedoknya. Ha! Kau bisa tebak! Aduh cantiknya! Aku belum pernah lihat
wanita Tibet yang begitu cantik seperti ia. Cuma paras mukanya dingin
seperti es. Ha! Tak bedanya seperti muka setan perempuan!"
Kang Lam ternyata sedang bicara dengan Loo Ong (si tua she Ong),
penjaga pintu. Ia sedang ceritakan pertunjukan yang ia telah saksikan
semalam. Thian Oe tahu, yang ia namakan "setan perempuan" tentulah juga
itu gadis Tibet yang aneh.
Loo Ong keluarkan suara di hidung dan berkata sembari tertawa
dingin: "Kulitmu kelihatannya sudah gatal. Looya baru saja pesan, kita
tidak boleh sembarangan keluar, kau seorang sudah nyolong lihat wayang."
Kang Lam tertawa terbahak-bahak. "Aku satu orang keluar lihat
wayang?" kata ia dengan suara yang menggenggam rahasia. "Ha! Loo Ong, kau
salah raba! Sinshe kita juga pergi kesana! Hi! Cara-caranya lebih
mengherankan daripada setan perempuan itu. Sinshe kita...."
Baru Kang Lam bicara sampai disitu, Thian Oe sudah loncat keluar
dari kamarnya dan membentak: "Kang Lam, sampai kapan penyakit rewelmu
bisa hilang? Hayo, lekas bereskan pembaringanku!"
Melihat majikannya gusar, Loo Ong ngeloyor dengan cepat, sedang
Kang Lam masuk ke kamarnya Thian Oe sembari leletkan lidah. "Siauwya",
kata ia seperti orang yang diperlakukan tidak adil. "Kenapa dalam dua
hari ini kau begitu galak?"
Thian Oe rapatkan pintu. "Siauw sinshe kenapa semalam?" ia tanya
dengan suara perlahan.
"Oh, kalau begitu Siauwya juga kepengen dengar cerita?" kata ia
sembari tertawa nakal. "Menurut penglihatanku, sinshe kita juga mempunyai
kepandaian yang sangat tinggi. Semalam jumlah penonton bukan main
banyaknya. Sesudah keluarkan banyak keringat, barulah aku dapat
menyelesep masuk, tapi toh tidak bisa berdiri tetap sebab tak hentinya
kena didorong ke depan dan ke belakang. Tapi sinshe kita, jangan kau
pandang rendah badannya yang kelihatannya lemah. Ia berdiri tegak.
Orang-orang yang mendorong sudah pada mental sebelum senggol
badannya. Aku tidak tahu, ilmu apa ia gunakan. Aku heran bukan main.
Sebetulnya aku mau tegor padanya, tapi orang terlalu banyak, sedang itu
setan perempuan sudah keluar, maka aku urungkan niatan itu. Tapi siapa
tahu, baru saja pertunjukan setan perempuan itu selesai, ia sudah pergi.
Kalau ia suka nonton, kenapa tidak nonton terus? Siauwya, bukankah ia
seorang aneh?"
"Kang Lam," kata Tan Thian Oe sembari perengutkan mukanya.
"Urusannya Siauw sinshe, kau cuma boleh ceritakan kepadaku. Pada lain
orang, dari Loo Ong sampai Looya, kau tidak boleh cerita. Jika kau
langgar, aku akan keset kulitmu. Tidak, aku akan tidak ladeni kau lagi."
Thian Oe dan Kang Lam adalah kawan memain sedari kecil. Perhubungan
antara mereka adalah perhubungan sahabat dan bukannya perhubungan antara
majikan dan bujang. Thian Oe kenal baik adatnya si kacung, yang paling
takut kalau tidak diajak omong oleh majikan kecilnya.
Baru saja Thian Oe cuci muka dan makan sarapan pagi, Kang Lam
datang lagi dan berkata: "Looya panggil kau."
"Ada urusan apa ayah panggil padaku?" tanya ia dalam hati sambil
masuk ke ruangan tengah, dimana ia ketemukan orang tua itu sedang duduk
dengan paras muka seperti orang yang lagi berpikir keras.
"Touwsoe mau bertemu dengan kau," kata sang ayah. "Aku tak tahu ada
urusan apa. Touwsoe ini adatnya sangat jelek. Pembesar-pembesar kerajaan
tidak ada satu yang dipandang mata olehnya. Selama berdiam disini delapan
tahun, baru berapa kali saja aku bertemu dengan ianya. Sekarang ia
sengaja undang aku bersantap dan pesan juga supaya ajak kau datang
bersama-sama. Lekas pergi salin pakaian."
"Aku tidak kenal ia," kata sang putera dengan suara heran. "Ada
urusan apa ia pesan supaya aku datang? Tidak, ayah, aku tak kesudian."
"Tidak boleh begitu, anakku," kata Teng Kie. "Aku bertugas dalam
daerah kekuasaannya. Ia tuan rumah, kita tetamu. Perhubungan antara tuan
rumah dan tetamu haruslah baik, apalagi dalam banyak hal aku harus
mengandal kepada pengaruhnya. Dalam kalangan pembesar negeri, perhubungan
antara kedua keluarga adalah kejadian yang lumrah. Sekarang ia mengundang
kita dan kita tidak boleh menolak. Jangan kau bawa adat anak-anak."
Mendengar ayahnya berkata begitu, Thian Oe tidak membantah lagi dan
lalu pergi salin pakaian.
Amban adalah pembesar sipil dan cuma mempunyai beberapa puluh
serdadu pengawal. Sesudah pilih memilih, Teng Kie ajak delapan pengawal
buat antar padanya.
Selagi mau berangkat, diluar mendadak terdengar suara berbengernya
kuda dan penjaga pintu datang melaporkan: "Nyepa
Omateng ingin bertemu dengan taydjin (orang besar = panggilan buat
orang berpangkat)."
"Nyepa" adalah semacam pangkat di Tibet. Di bawah saban Touwsoe ada
empat Nyepa.
Tan Teng Kie kaget berbareng girang. "Apa benar?" Nyepa yang
berkuasa atas ketentaraan dan pengadilan, sehingga pengaruhnya besar
sekali. Saban kali satu Nyepa keluar dari rumahnya, ia selalu diiring
oleh satu pasukan tentara, dan oleh karena begitu, Teng Kie jadi merasa
heran dan ajukan pertanyaan, waktu mendengar Nyepa Omateng datang seorang
diri. "Omateng?" ia menegasi. "Kenapa ia datang seorang diri?"
Thian Oe berdiri di satu pinggiran buat turut sambut kedatangannya
pembesar Tibet itu. Ia lihat Omateng masuk dengan tindakan meniru caranya
pembesar-pembesar kerajaan Tjeng. Sembari menggendong tangan, ia
mendatangi setindak demi setindak sampai di hadapannya Teng Kie. Ia
memberi hormat dengan sikap hormat sekali dan berkata: "Apakah Ponpo mau
hadiri perjamuan Touwsoe?" (Ponpo = Pembesar negri. Panggilan menghormat
untuk orang berpangkat).
"Benar," jawab Teng Kie dengan suara terperanjat. "Aku sungguh
merasa jengah sampai Nyepa datang buat menyambut."
Hatinya merasa heran, sebab sang Nyepa yang biasanya angkuh,
sekarang jadi begitu menghormat.
Omateng awasi padanya dan berkata sambil tertawa: "Kalau tidak ada
urusan penting, aku tentu tidak datang kesini. Kedatanganku ini adalah
buat mohon Ponpo lakukan satu pekerjaan mulia."
Teng Kie yang tadinya duga ia datang atas perintah Touwsoe untuk
menyambut padanya, jadi tercengang mendengar
perkataannya itu. "Urusan apa?" ia tanya.
"Apakah Ponpo tahu kemarin datang serombongan pengembara yang
menjual suara?" tanya ia.
"Aku dengar orang bilang begitu," sahutnya.
"Mereka sebenarnya kawanan pencuri kuda," menerangkan Omateng.
"Kepandaian mereka juga lumayan dan mereka telah dapat curi lima ekor
kudanya Touwsoe. Yang lelaki bisa kabur semuanya, yang kena dibekuk satu
wanita muda."
Thian Oe terkesiap. "Yang lain aku tidak tahu, tapi orang yang
lepaskan anak panah benar-benar mempunyai kepandaian tinggi. Kenapa
mereka curi kuda? Dalam urusan ini tentu ada lain latar belakang. Wanita
yang kena ditangkap tentulah juga itu gadis yang aneh," demikian Thian Oe
memikir dalam hatinya.
"Ponpo sudah berdiam disini banyak tahun dan tentu mengetahui
peraturan Touwsu terhadap pencuri kuda," kata lagi Omateng.
Kembali Thian Oe terkesiap. Ia pun sudah pernah dengar penuturan
ayahnya, bahwa hukuman terhadap pencuri-pencuri kuda adalah kejam sekali.
Paling dahulu kedua matanya pencuri dikorek dan kemudian kedua tangannya
dibacok kutung. Mengingat sinar matanya gadis itu yang bening seperti es,
tanpa terasa badannya jadi gemetar.
Paras mukanya Teng Kie juga berobah, tapi ia tentu tidak dapat
mencampuri urusannya Touwsoe.
"Sebagaimana Ponpo tahu, hatiku selalu tidak tegaan," Omateng
sambung
pembicaraannya. "Aku sungguh tidak tega, kalau gadis itu sampai
mesti jalankan hukuman yang biasa. Maka itu, kalau sebentar bertemu
dengan Touwsoe, aku sangat harap Ponpo sudi mintakan ampun. Jika mesti
membayar hukuman denda dengan emas, mohon Ponpo suka talangi dahulu dan
aku akan pulangkan emas itu secara diam-diam."
Mendengar permintaan orang, Teng Kie jadi terlebih heran lagi.
"Omateng biasanya sangat sekaker, kenapa hari ini dia begitu loyar?
Apakah wanita itu mempunyai hubungan apa-apa dengan ia? Tapi kalau benar
wanita itu mempunyai hubungan rapat dengan Omateng, kenapa juga ia mesti
menjual suara di padang rumput?" tanya Teng Kie dalam hatinya.
Melihat Teng Kie bersangsi, Omateng kelihatannya bingung sekali.
"Ponpo Taydjin," kata ia. "Jiwanya nona itu sekarang berada dalam
tanganmu."
"Menolong jiwanya satu manusia ada lebih baik daripada berdirikan
menara tujuh tingkat," kata Teng Kie akhirnya. "Aku berjanji akan berbuat
apa yang bisa. Kalau harus membayar denda, aku juga masih mempunyai
sedikit uang, sehingga tidaklah perlu Nyepa mesti mengodol kantong. Cuma
aku kualir Touwsoe tidak akan mau meluluskan."
"Jika Ponpo yang minta, Touwsu pasti meluluskan," kata Omateng
dengan suara girang. "Sekarang aku mau permisi. Urusan hari ini harap
Ponpo jangan sebut-sebut di hadapan Touwsoe."
Ia lalu pamitan dengan cara hormat sekali dan waktu bertindak
keluar pintu, ia mesem-mesem kepada Thian Oe dengan sikap yang
mengherankan.
Baru saja Omateng berangkat, Thian Oe lantas berkata: "Ayah,
hayolah."
"Bukankah tadi kau sungkan pergi?" kata sang ayah sembari mesem.
Mukanya sang putera jadi bersemu merah, tapi Teng Kie berlagak
tidak lihat dan lantas suruh orang sela-kan kuda.
Gedungnya Touwsoe dibikin dengan menyender pada suatu bukit,
sehingga gedung itu jadi bertingkat-tingkat, yang satu lebih tinggi dari
yang lain. Dipandang dari bawah, gedung tersebut agaknya seperti satu
benteng yang berbentuk pasegi.
Rombongan Tan Teng Kie tiba waktu matahari sudah naik tinggi dan
tepat pada waktunya bersantap tengah hari. (Perjamuan Touwsoe di Tibet
biasanya dimulai tengah hari dan berlangsung sampai sore). Tan Teng Kie
bersama puteranya diantar ke satu pendopo dalam kebun bunga, sedang para
pengikutnya tersebar dalam kebun itu untuk mengawal. Di tengah-tengah
pendopo sudah siap sedia sebuah meja santapan. Baru saja, ayah dan anak
duduk, serdadu-serdadu yang berbaris di bawah pendopo sudah berseru:
"Touwsoe datang!"
Touwsoe itu berusia kira-kira 50 tahun, hidungnya bengkok, janggut
pasegi, sedang kedua matanya bersinar tajam, sehingga macamnya jadi
kelihatan angker sekali.
Sesuai dengan adat kebiasaan orang Tibet, Tan Teng Kie lebih dahulu
mempersembahkan khata 3) kepada tuan rumah. Sembari tertawa dengan meram-
meramkan matanya, Touwsoe mengawasi tetamunya dan sesudah selang beberapa
saat, ia lantas berkata: "Apakah pemuda ini puteramu? Sungguh cakap
romannya!"
Saat itu, Thian Oe mendadak rasakan jantungnya mengetok keras dan
napasnya agak sesak. Dua serdadu Tibet kelihatan mengiring satu wanita
yang jalan menghampiri perlahan-lahan dan berhenti di luar pendopo.
Wanita itu ternyata bukan orang lain daripada gadis aneh yang ia ketemu
kemarin. Di bawah pendopo sudah siap sedia pekakas hukuman, antaranya dua
golok tajam dan dua bungbung bambu yang digunakan untuk korek biji
matanya orang yang terhukum. Di sebelahnya terdapat satu batu bundar yang
di atasnya dipasangi dua pelat besi tipis dari setengah lingkaran. Thian
Oe tidak mengetahui kegunaannya alat itu.
Menghadapi alat menghukum itu, si jelita melirik pun tidak. Paras
mukanya tetap tenang, sedang pada kedua matanya tertampak semacam sinar
yang mengejek, seolah-olah orang yang lagi menghadap pengadilan bukannya
ia, tapi si Touwsoe sendiri. Dengan adanya alat-alat menghukum dan dengan
sikapnya si nona yang sedemikian rupa, kecuali Touwsoe, semua orang yang
menyaksikan jadi mengkirik bulu badannya.
Touwsoe itu tertawa kejam dan berkata sembari tunjuk pekakas hukum
itu: "Taruh batu itu di atas kepalanya pesakitan dan ketok pelat besi itu
dengan martil kecil. Matanya akan lantas nonjol keluar dan korek kedua
biji matanya sama bungbung bambu kecil!"
Sehabis berkata begitu, ia kebaskan tangannya dan niat segera
perintah supaya hukuman itu lantas dijalankan.
"Tahan! Tahan!" Tan Teng Kie mendadak berseru.
Touwsoe bangun dan berkata: "Apa? Kalian orang Han kecil nyalinya.
Apa kau tidak berani saksikan hukuman itu?"
"Aku mohon tanya," sahut Teng Kie sambil menahan amarah. "Berapa
ekor kuda sudah dicuri mereka?"
"Lima ekor yang paling baik," sahutnya.
"Bagaimana kalau aku ganti dengan sepuluh ekor?" tanya Tan Teng
Kie.
"Dia juga niat bakar istalku," berkata Touwsoe.
"Apa sudah dibakar?" Teng Kie tanya lagi.
"Dia sudah kena dibekuk selagi nyalakan batu api," sahutnya.
Teng Kie mesem dan keluarkan batu api dari kantongnya. "Kau lihat,
aku pun membawa barang ini!" kata ia.
Si Touwsoe tertawa terbahak-bahak. Ia mengerti maksudnya Teng Kie,
yang hendak mengatakan, bahwa dengan membawa batu api belum merupakan
suatu bukti bahwa seseorang berniat jahat.
Sedikitpun Tan Teng Kie tidak unjuk perasaan keder. Ia diawasi, ia
balas mengawasi. "Bagaimana, Touwsoe? Bisakah kau memberi pengampunan?"
tanya ia.
Thian Oe tahan napasnya. Ia awasi Touwsoe itu, kemudian awasi ayah
sendiri. Tak pernah ia begitu kagumi ayahnya seperti pada saat itu. Kalau
biasanya sang ayah suka takut ini dan takut itu, sekarang ia berdiri
tegak, dengan paras muka yang sama tenangnya seperti si gadis itu.
Sedikitpun tidak terdapat tanda-tanda keder. Mungkin sekali, semangat
yang sedemikian juga telah diunjuk oleh sang ayah, ketika ia ajukan surat
pengaduan buat serang sepak terjangnya Ho Koen. Demikianlah, pada saat
itu Tan Thian Oe dapat lihat semangat muda dari ayahnya yang sekarang
sudah berambut putih.
Touwsoe terkejut. "Tak dinyana, pembesar Han yang kelihatannya
begitu lemah mempunyai nyali yang begitu besar," ia kata.dalam hatinya.
Mendadak ia tertawa dan berkata: "Menurut pantas, aku sebenarnya harus
meluluskan permintaan Ponpo. Cuma saja, peraturannya kakek moyang tidak
dapat gampang-gampang dirobah."
Tan Thian Oe cekal keras-keras belati yang ia sembunyikan dalam
tangan bajunya. Ia sudah mengambil putusan pasti buat lantas menerjang,
begitu lekas Touwsoe itu memerintahkan di jalankannya hukuman.
Sesudah berpikir beberapa saat dan manggut-manggut beberapa kali,
Touwsoe itu berkata: "Peraturan leluhur memang tidak dapat dirubah, akan
tetapi muka Ponpo pun tidak harus hilang. Baiklah! Sekarang kita
pertaruhkan nasibnya pesakitan itu!"
Ia kebaskan tangan bajunya dan satu serdadu lantas taruh satu buah
apel merah di atas kepalanya si gadis.
Sang Touwsoe kembali tertawa besar. Ia berpaling kepada Tan Teng
Kie dan menanya: "Apa kalian pandai menggunakan hoeito (golok terbang)?"
Dengan satu suara "srett!" ia cabut satu golok lancip yang ditaruh di
atas meja.
"Jika dengan sebatang golok terbang, kalian dapat membelah buah
apel itu di sama tengah, tanpa penggantian apa pun juga, aku akan segera
lepaskan dia," kata Touwsoe itu. "Cara ini juga adalah peraturan leluhur
kita. Baiklah. Sekarang bawa pesakitan itu sampai seratus tindak
jauhnya!"
Satu serdadu lantas saja tuntun gadis itu sembari menghitung
tindakannya dan lantas berhenti sesudah cukup seratus tindak.
"Aku permisikan kau atau siapa saja di antara pengikutmu buat
membelah apel itu dengan golok terbang," berkata si Touwsoe.
Tan Teng Kie adalah seorang pembesar sipil yang lemah, sedang di
antara pengikutnya pun tidak ada orang yang berkepandaian begitu tinggi.
Cangkriman yang dibertelorkan oleh Touwsoe terang-terangan adalah buat
hinakan orang Han. Ia jadi naik darah dan berkata dengan suara gusar:
"Touwsoe, cara bagaimana jiwa manusia bisa dibuat permainan?"
Touwsoe itu lantas saja kasih unjuk paras yang memandang rendah.
"Jika kalian tidak berani pertaruhkan nasibnya, biarlah hukuman itu di
jalankan saja," kata ia sembari tertawa.
Mendadak Tan Thian Oe berdiri dengan sinar mata yang berapi dan
berkata: "Jika dengan sebatang golok terbang aku dapat membelah buah apel
itu..."
"Aku lantas lepaskan dia!" Touwsoe potong perkataan orang.
"Aku harap perjanjian ini tidak berobah lagi," kata Thian Oe.
"Aku tidak pernah omong kosong," Touwsoe itu menyahut dengan
pendek.
Tan Teng Kie terkesiap dan menanya: "Oe-djie, apa kau gila?"
Baru habis ayahnya bicara,
Thian Oe sudah jumput golok itu dan tanpa mengincar, ia menimpuk!
Bagaikan kilat golok itu terbang ke kepalanya si jelita, dan di lain
saat, sang apel terpental menjadi dua! Satu serdadu lantas pungut dan
berseru: "Tepat betul terbelah dua di tengah-tengah!"
Paras mukanya Touwsoe berobah, tapi ia segera tertawa berkakakan
sembari acungkan jempol tangannya. "Sungguh bagus ilmu menimpuk golok
itu!" ia kata
Tan Teng Kie adalah seperti orang baru sadar dari mengimpi.
Perasaan herannya sukar dapat dilukiskan. Apa yang ia tahu, puteranya
belum pernah belajar ilmu silat. Delapan belas tahun mereka bersama-sama,
en toh ia tidak mengetahui sang anak mempunyai kepandaian yang sedemikian
tinggi.
Satu serdadu segera lepaskan tali urat kerbau yang mengikat
badannya nona itu. Ia lirik penolongnya dan kemudian berjalan keluar dari
antara dua baris serdadu yang memegang macam-macam senjata. Parasnya yang
tenang tetap tidak berobah, kedua matanya tetap bersinar dingin bagaikan
es! Ia tidak mengucapkan sepatah kata, malahan tidak menghaturkan terima
kasih kepada Tan Thian Oe.
Touwsoe geleng-gelengkan kepalanya. "Hm!" kata ia.
"Sungguh terlalu enak pesakitan ilu!" Seperti satu bola yang sudah
kempes, ia sekarang tidak begitu bersemangat lagi. Mereka kembali
mengambil tempat duduk di seputar meja perjamuan. Waktu Tan Teng Kie mau
angkat cawan sebagai pemberian hormat. Touwsoe itu lirik Thian Oe. Tiba-
tiba ia jadi gembira kembali dan berkata kepada salah satu pengikutnya:
"Undang Kangma Kusiu datang kesini!"
Kangma Kusiu dalam bahasa Tibet berarti siotjia (nona). "Ah? Kenapa
ia suruh puterinya keluar buat temani tetamu?" tanya Teng Kie dalam
hatinya.
Barulah sekarang Thian Oe merasa tangannya gemetaran lantaran ia
ingat bagaimana besar adanya bahaya waktu menimpuk dengan golok. Inilah
buat pertama kali, ia unjuk kepandaiannya di muka umum dan sungguh mujur,
ia berhasil.
"Siapa wanita itu? Apa benar ia curi kuda? Apa ia mengerti silat?
Kenapa paras mukanya begitu luar biasa?" demikian rupa-rupa pertanyaan
mengaduk dalam otaknya pemuda itu, sehingga ia seperti tidak dengar waktu
Touwsoe perintah orang undang puterinya datang kesitu.
Tiba-tiba ia jadi sadar mendengar kerincingnya perhiasan, dibarengi
dengan kedatangannya satu gadis Tibet. Nona itu memakai perhiasan yang
reboh sekali. Jubahnya yang panjang berwarna biru muda, sedang badannya
ditutup dengan baju sutera warna biru langit dan pinggangnya diikat sama
selendang sutera. Dengan dandanan yang kaya-raya, ia seperti juga
sekuntum bunga mawar di musim panas. Tapi, setahu bagaimana, dengan
segala kerebohannya itu, orang yang melihat masih mendapat perasaan bahwa
nona itu berharga murah.
Dengan mulut tersungging senyuman, puterinya Touwsoe berjalan ke
arah Thian Oe. Pemuda itu terkejut. Begitu berhadapan, gadis itu
membungkuk dan sembari tertawa ia berkata: "Tali sepatumu kendor!" Di
lain saat, dengan kedua tangannya ia bikin kencang tali sepatunya Thian
Oe.
Kejadian itu yang tidak terduga-duga, membuat Thian Oe jadi kesima.
Ia seperti tidak tahu apa yang dilakukan oleh gadis itu dan juga tak tahu
apa yang ia harus berbuat. Sesudah ikatkan sepatunya Thian Oe, gadis itu
lalu bangun berdiri dan paras mukanya jadi bersemu merah. Ia pelengoskan
mukanya supaya matanya tidak kebentrok dengan matanya Thian Oe yang
mengawasi dengan perasaan tidak mengerti.
Sementara itu, Tan Teng Kie kasih lihat paras yang penuh keheranan,
tercampur sedikit kegirangan. Touwsoe tertawa besar dan berkata dengan
suara girang: "Keringkan cawan! Mulai dari sekarang, kita jadi orang
sendiri!"
Tan Thian Oe seperti orang sadar dari tidurnya dan mukanya lantas
berobah pucat. Ia ingat, bahwa menurut adat kebiasaan di Tibet, jika
seorang gadis ikatkan tali sepatunya satu pria, berarti gadis itu
meminang si pria. Dan jika pihak lelaki tidak menolak, berarti ia setuju
dan tinggal pilih hari buat langsungkan pernikahan. Puteri Touwsoe sering
tunggang kuda dan memanah di padang rumput, dimana beberapa kali ia
bertemu dengan Tan Thian Oe, yang sama sekali tidak menaruh perhatian.
Gadis itu sudah cukup usianya dan sudah temponya buat menikah, akan
tetapi belum ada pemuda yang pantas buat jadi suaminya. Melihat Thian Oe
yang cakap, puterinya Touwsoe jadi menaruh hati. Dan sekarang ternyata,
bahwa maksud perjamuannya Touwsoe adalah buat rangkap jodoh puterinya
dengan puteranya Tan Teng Kie.
Dengan paras muka berseri-seri, Touwsoe angkat satu cawan yang
kakinya tinggi. "Aku sungguh merasa puas dengan perjodohan ini." kata ia
kepada Teng Kie. "Tjinke (besan), marilah kita keringkan cawan."
Tan Teng Kie tidak tahu harus berbuat bagaimana. Mendadak sang
putera berkata dengan suara gugup: "Tidak, aku tidak puas!"
Mukanya Touwsoe berobah dengan mendadak."Apa?" ia membentak. "Kau
tidak puas dengan puterinya seorang Touwsoe?" Sedang sang ayah marah,
sang puteri lantas menangis.
"Oleh karena masih berusia sangat muda, anakku jadi tidak mengenal
aturan," berkata Teng Kie dengan perasaan bingung. "Mohon Touwsoe jangan
jadi gusar."
Touwsoe itu kembali tertawa girang. "Nah, inilah baru omongan yang
benar," kata ia. "Hei, bocah! Lekas keringkan cawan bersama tunanganmu!"
Puterinya Touwsoe yang barusan menangis juga lantas tertawa. Ia
segera angsurkan satu cawan arak kepada Thian Oe, yang jadi bingung
sekali.
Saat itu... di luar kebun bunga mendadakan saja terdengar suara
ribut. Tiba-tiba, seorang yang rambutnya teriap-riap menerobos dan
berteriak: "Tan Taydjin, celaka! Celaka!"
Teng Kie terperanjat. "Ada apa?" ia tanya.
"Kantor dibakar penjahat! Banyak yang mati dan luka!" sahut orang
itu.
Cawan arak terlepas dari tangannya Teng Kie, sedang Thian Oe, tanpa
mengucapkan sepatah kata, segera loncat turun dari pendopo dan cemplak
seekor kuda yang lantas dikaburkan sekeras bisa.
"Segala perampok kecil, buat apa bikin banyak ribut?" kata Touwsoe
sembari tertawa. "Kangho Nyepa, tolong siapkan seratus serdadu untuk
bekuk kawanan kecu itu, Tjinke, dengan aku sebagai sandaran, kau tidak
usah takutkan apa juga!"
Teng Kie bingung sekali. Baru saja Touwsoe tutup mulutnya, ia sudah
lari turun dari pendopo, cemplak kudanya yang lantas dikaburkan. Lapat-
lapat ia dengar suara tertawanya Touwsoe yang berteriak: "Tjinke Ponpo,
perjamuan belum berakhir. Sesudah penjahat dibekuk, lantas balik kesini
bersama puteramu!"
Thian Oe yang kaburkan kudanya seperti terbang, jauh-jauh sudah
lihat sinar api. Bagus juga waktu itu tidak turun angin dan api belum
mengamuk hebat. Ia loncat turun depan kantor Amban, dimana ia dengar
teriakan dan rintihan, tapi sang penjahat sudah tidak kelihatan mata
hidungnya.
Buru-buru ia loloskan jubah panjangnya dan menerobos masuk ke dalam
kantor. Disitu ia ketemukan banyak mayat yang pada menggeletak, tapi
tidak lihat tanda-tanda darah, la mengetahui, bahwa mereka binasa sebab
kena pukulan berat. Beberapa di antaranya yang belum mati pada berteriak-
teriak kesakitan.
Thian Oe terkejut dan memanggil: "Siauw sinshe! Siauw sinshe!"
Mendadak di antara tumpukan mayat terdengar suara orang: "Siauw sinshe
dan penjahat sudah pergi!" Orang itu adalah Kang Lam.
"Aduh! Terima kasih kepada Tuhan, kau tidak binasa," kata Thian Oe.
"Dua perampok itu duga aku sudah mampus," kata si kacung sembari
Ieletkan lidah. "Ha! Sebenarnya aku berlagak mati dan berhasil tipu
mereka. Kalau tidak begitu, sekarang aku tentu sudah tidak bernyawa!"
Dalam keadaan yang berbahaya, ternyata Kang Lam masih belum hilang
kebawelannya.
Thian Oe lantas ajak ia menyingkir keluar dari dalam kantor dan
kemudian berkata: "Bagaimana sih kejadiannya? Coba ceritakan."
"Baru saja kalian berangkat, dua penjahat datang kesini," Kang Lam
mulai menutur. "Mereka itu adalah dua orang Han yang turut rombongan
penyanyi. Satu antaranya adalah orang yang telah panah padamu. Apa kau
masih ingat?"
"Ingat. Bicara terus," kata sang majikan.
"Satu penjahat membawa bungbung penyemprot api. Kemana juga ia
menyemprot, api segera berkobar," kata si kacung. "Siauwya, apa kau
pernah lihat benda yang luar biasa itu?"
"Belum pernah. Lekas teruskan, jangan omongkan segala tetek
bengek," kata Thian Oe dengan suara berdongkol dan tidak sabaran.
Kang Lam manggutkan kepalanya dan teruskan penuturannya: "Penjahat
yang satunya lagi membawa satu gendewa besar. Wah tangannya cepat sekali!
Begitu ketemu serdadu pengawal, ia menyabet ke arah kepala, dan begitu
kena, serdadu itu kontan roboh tanpa bersuara lagi. Sebelum ia datang
dekat kepadaku, buru-buru aku rebahkan diri di atas lantai dan berlagak
mati. Ha! Waktu itu Siauw sinshe keluar. Punggungnya tidak bongkok lagi,
kedua matanya besar dan bundar. "Orang she Siauw ada disini!" ia
berteriak. "Urusan kita tak ada sangkut pautnya dengan majikan rumah ini.
Marilah kita pergi ke gunung di belakang buat mendapat kepastian, siapa
mati, siapa hidup. Hari ini akan aku iring keinginanmu buat bereskan
hutang yang sudah sepuluh tahun lamanya!"
Baru saja Kang Lam bicara sampai disitu, di sebelah kejauhan
kelihatan debu mengepul, diikuti dengan suara berbengemya kuda. Tan Teng
Kie dan pengawalnya ternyata sedang mendatangi.
"Aku mau pergi ke gunung buat cari sinshe," kata Thian Oe kepada
kacungnya. "Kau cuma boleh beritahukan hal ini kepada looya." Sehabis
berkata begitu, ia cemplak kuda yang lantas dikaburkan.
Jalanan gunung penuh bahaya, disini es disana salju dengan batu-
batu dari macam-macam bentuk, sehingga sang kuda tidak dapat lari cepat.
Sesudah lewati dua lembah, kupingnya Thian Oe dapat dengar suara "ting-
tang, ting-tang", seperti juga suara tetabuhan yang tidak ada lagunya dan
membikin sakit kuping pendengar.
Thian Oe naik ke tempat tinggi dan melongok ke bawah. Ia lihat
gurunya yang bersenjatakan hudtim (kebutan debu) sedang dikepung oleh
dua orang. Satu musuh bersenjata gendewa besar yang talinya mengeluarkan
suara "ting-tang" jika kelanggar senjata gurunya. Musuh yang satunya lagi
bersenjata Tjittjiat Djoanpian (Pian lemas tujuh tekukan), yang
menyambar-nyambar bagaikan kilat.
"Soehoe!" Thian Oe berteriak.
Sembari sampok gendewa musuh, Siauw Tjeng Hong berseru: "Oe-djie,
jangan kemari!" Suaranya tidak lampias, lantaran napas sengal-sengal.
Thian Oe kaget. Biarpun ia baru saja mendapat dasar-dasarnya pelajaran
Iweekang (ilmu dalam), tapi, mendengar suara gurunya, ia mengetahui bahwa
sang guru sudah mendapat luka di dalam.
Siauw Tjeng Hong sebenarnya adalah satu tayhiap (pendekar) yang
umpatkan diri. Secara diam-diam ia turunkan pelajaran ilmu silat kepada
muridnya itu, dengan memesan wanti-wanti, bahwa hal itu tidak dapat
dibocorkan. Ia memberitahukan, bahwa kalau bocor, jiwanya terancam
bahaya. Demikianlah, Thian Oe belajar ilmu surat di-waktu siang dan ilmu
silat di waktu malam, sehingga ayahnya sendiri tidak mengetahui.
Thian Oe belajar ilmu silat di tahun kedua sedari datangnya Tjeng
Hong, sehingga ia sudah belajar tujuh tahun lamanya. Selama itu, ia cuma
mengetahui, bahwa gurunya adalah ahli silat kenamaan dari Tjengshia pay
(Partai kota hijau). Tentang asal-usulnya sang guru dan kenapa ia
tinggalkan Tionggoan (wilayah Tiongkok) buat ikut keluarga Tan, Tjeng
Hong sama sekali belum pernah bilang kepada muridnya dan larang sang
murid menanya melit-melit. Ia cuma mengatakan, bahwa mereka berjodoh dan
kalau sang murid bocorkan asal-usulnya, jodoh itu akan habis. Thian Oe
adalah seorang yang sangat jujur dan hormati gurunya itu. Sesudah menanya
sekali, ia tidak berani menanya lagi.
Pertempuran di atas lapangan yang tertutup es jadi semakin hebat.
Sering-sering terdengar suara hancurnya kepingan-kepingan es yang
terinjak oleh ketiga orang itu. Buat orang biasa, jangan kata berkelahi,
berjalan di atas es yang licin mungkin sudah tidak mampu. Hatinya sang
murid bergoncang keras. "Walaupun mesti dicomeli, kali ini aku tidak
dapat menurut lagi perintahnya guru," kata ia dalam hatinya. Sembari
menahan napas, ia buru-buru turun. Ia tahu, kedua musuh itu sangat
tangguh dan penyerbuannya sama juga mengantarkan jiwa. Akan tetapi,
hatinya tidak tega buat peluk tangan, sedang jiwa gurunya terancam
bahaya.
Mendadak ia melihat badan gurunya limbung, disusul dengan suara
hancurnya kepingan es, seperti juga kaki gurunya terpeleset dan badannya
jadi limbung doyong ke depan. Orang yang bersenjata pian sungkan sia-
siakan ketika yang baik dan menyabet bagaikan kilat dengan sabetan yang
membinasakan. Thian Oe terkesiap dan keluarkan teriakan tertahan. Akan
tetapi, sedang mulutnya masih menganga, matanya lihat satu bayangan hitam
melesat ke tengah udara, dibarengi dengan teriakan hebat dan badannya
seorang lain tergelincir ke dalam jurang es.
Orang yang bersenjata gendewa menggereng seperti binatang terluka
dan menyabet dengan senjatanya. Ternyata orang yang barusan loncat ke
atas adalah Siauw Tjeng Hong yang sengaja berlagak terpeleset, dan ketika
musuhnya menyabet dengan pian, ia kirim satu tendangan yang sudah
mendapat hasil.
Kupingnya Thian Oe mendadak dengar suara mengaungnya tali gendewa
dan lihat benang-benang hudtim gurunya yang halus bagaikan sutera
berterbangan di tengah udara, seperti juga kena ditarik putus dengan tali
gendewa.
Harus diketahui, bahwa kebutannya Siauw Tjeng Hong dilihatnya halus
seperti buntut kuda, tapi sebenarnya benang-benang itu terbuat dari emas
hitam yang luar biasa kuat dan uletnya, sehingga merupakan satu senjata
mustika. Dan sekarang, benang-benang itu kena ditarik putus dengan tali
gendewa musuh. Dari sini dapat dibayangkan, bagaimana tinggi adanya
tenaga dalam sang musuh.
Mukanya Thian Oe jadi pucat. Selagi ia niat memburu, kupingnya
mendadak dengar lagi satu suara
"ting-tang" yang luar biasa keras dan berkumandang jauh. Di lain
saat, kedua orang yang sedang bertempur terpental dan jatuh duduk di atas
tanah. Gurunya goyang-goyang hudtimnya seperti orang yang mau memukul,
sedang sang musuh pentil tali gendewanya, yang sekarang sudah tidak
bersuara lagi. Heran sungguh hatinya Thian Oe melihat kejadian itu.
Ketika itu Thian Oe sudah memburu ke tanah datar dan cuma terpisah
kurang lebih 100 tindak dari kedua orang itu. Ia lihat gurunya duduk di
atas es dengan kepala mengeluarkan uap putih dan musuhnya juga sami
mawon. Mereka duduk berhadapan dalam jarak tidak lebih dari sepuluh
tindak dan matanya saling mengawasi dengan penuh kegusaran, tapi badan
mereka sama sekali tidak bergerak.
Melihat begitu, Thian Oe mengetahui, bahwa gurunya sedang ukur
tenaga sama musuhnya dengan gunakan lweekang (tenaga dalam) yang paling
tinggi. Di lain saat, ia melihat gurunya kalah seurat dari musuhnya.
Tanpa berpikir lagi, ia pentang gendewanya dan lepaskan sebatang anak
panah ke arah bebokongnya musuh.
"Oe-djie! Lekas lari!" mendadak gurunya berteriak. Pada detik itu,
sang musuh kebaskan gendewanya dan anak panahnya Thian Oe menyambar
balik. Thian Oe terkesiap, tapi masih keburu angkat goloknya buat
menangkis. Ia rasakan lengannya kesemutan dan telapakan tangannya pecah,
sedang anak panah itu menancap di atas golok! Kalau bukan secara
kebetulan goloknya dapat menangkis, anak panah itu tentu sudah menembus
ulu hatinya.
Thian Oe kaget tidak terhingga dan sebelum ia dapat tetapkan
hatinya, kupingnya sudah dengar lagi satu teriakan keras. Ia lihat badan
gurunya melesat ke udara, sedang sang musuh bergulingan beberapa kali dan
badannya tergelincir ke dalam jurang, seperti kawannya tadi.
Thian Oe buru-buru menghampiri. Siauw Tjeng Hong waktu itu sudah
jatuh duduk di atas tanah, matanya meram, mukanya pucat seperti kertas,
sedang kebutannya menggeletak di dekatnya. Sambil tundukkan kepala,
sang murid berdiri mengawal gurunya itu. Kira-kira sepasangan hio,
mukanya Siauw Tjeng Hong perlahan-lahan bersemu merah dan kedua matanya
terbuka. "Oe-djie, tolong ambilkan hudtim," kata ia dengan napas sengal-
sengal. Thian Oe lantas saja pungut kebutan itu.
"Gantung hudtim itu di pinggangku," memerintah lagi sang guru.
Sekarang Thian Oe baru dapat lihat, bahwa jeriji gurunya gemetaran,
pundaknya turun dan gerakannya sukar sekali.
"Soehoe, kau kenapa?" ia tanya dengan suara berkuatir.
"Hudtim-ku masih ketinggalan separoh, sedang tali gendewanya kena
aku kebut putus," kata sang guru sembari mesem. "Dalam pertandingan ini,
aku tidak terhitung kalah."
"Tapi, tanganmu... tanganmu," kata sang murid.
Siauw Tjeng Hong kembali mesem dan berkata: "Orang she Tjoei itu
adalah ahli silat kelas satu dari Khongtong pay. Dengan berhasil
gulingkan dia ke dalam jurang, aku sendiri pun mesti mendapat sedikit
luka. Kedua lenganku kena kepukul senjatanya, hingga jadi begini. Akan
tetapi, ia masih belum mampu membuat aku bercacat selamanya. Dalam tempo
lima hari, atau paling lama tujuh hari, aku sendiri akan dapat
menyembuhkan. Oe-djie, sekali ini aku ketolongan lantaran anak panahmu."
Thian Oe jadi kemalu-maluan dan berkata: "Anak panah yang
dilepaskan olehku sama juga telor menghantam batu. Bukan saja tidak
mengenakan sasaran, malahan kena dipukul balik. Ini semua disebabkan ilmu
silatku masih sangat rendah, sehingga tidak dapat membantu soehoe."
"Oe-djie, kau ternyata masih belum mengerti terang persoalannya,"
kata sang guru.
"Kalau begitu, mohon soehoe sudi menerangkan," kata Thian Oe.
"Tadi musuh sedang layani aku dengan tumplek semua tenaganya,"
demikian Siauw Tjeng Hong memberi keterangan. "Oleh karena mesti
menyambut anak panahmu, perhatiannya jadi terpecah dan dengan menggunakan
kekosongan itu, aku menyerang masuk. Kalau bukannya begitu, walaupun aku
tidak sampai menjadi kalah, tapi buat menang juga bukannya perkara
gampang. Cuma saja, kau sudah menempuh bahaya yang terlalu besar. Kalau
bukan jaraknya ada seratus tindak, kau pasti tidak akan kuat menahan
serangannya itu. Kalau diingat, sungguh luar biasa. Ilmu memanah yang aku
ajarkan padamu sudah membikin bocor rahasia tempat sembunyiku. Tapi ilmu
itu juga sudah membantu aku untuk jatuhkan musuh."
Sang murid jadi merasa heran dan menanya: "Kalau begitu, apakah
soehoe mau bilang, bahwa ia memanah padaku dengan anak panah tumpul
adalah buat cari tahu rahasia?"
"Benar." sahut gurunya. Dengan melihat caranya kau menangkap anak
panah, ia lantas tahu bahwa kau adalah muridku. Sepuluh tahun ia cari
ubak-ubakan dan akhirnya dapat ketemukan juga padaku."
Hatinya sang murid jadi sangat tidak enak sebab ia mendadak ingat
suatu hal. "Kalau begitu, apakah semua pengembara yang menjual suara
adalah orang-orang jahat?"
"Ah, tidak," sahut sang guru. "Aku sudah cari keterangan, bahwa
selainnya itu wanita Tsang, yang lain semuanya benar-benar adalah kaum
pengembara. Kedua musuhku dan wanita itu masing-masing mempunyai maksud
tertentu dan sudah campuri dirinya ke dalam rombongan pengembara."
"Apakah soehoe mendapat tahu asal-usulnya wanita Tsang itu?" tanya
lagi Thian Oe dengan hati berdebar.
"Tidak, aku tidak tahu," kata Siauw Tjeng Hong. "Urusan sendiri
sudah cukup bikin aku jadi sakit kepala, manalah aku mempunyai
kegembiraan buat cari tahu asal-usulnya wanita itu. Ah, Oe-djie, sekarang
jodoh kita sudah sampai pada akhirnya."
Sang murid jadi sangat terkejut. "Ada apa lagi yang harus ditakuti?
Bukankah kedua musuh itu sudah binasa?" kata ia.
Siauw Tjeng Hong meringis dan menyahut: "Ong Lioe Tjoe yang kena
tendanganku mungkin tidak dapat hidup lagi. Tapi Sinkiong (Gendewa
malaikat) Tjoei Loosam (Si tua ketiga she Tjoei) mempunyai tenaga dalam
yang sangat kuat dan aku duga ia tidak mati lantaran jatuh. Selainnya
begitu, aku bukannya cuma mempunyai dua musuh berat. Kepandaiannya musuh
yang ketiga malahan banyak lebih tinggi dari kepandaianku. Jika Tjoei
Loosam tidak mati, ia tentu akan ajak musuh itu cari padaku. Aku kuatir
dalam dunia ini tidak ada orang yang dapat menolong."
"Habis bagaimana baiknya, soehoe?" tanya Thian Oe dengan suara
bingung.
"Aku dengar di pinggiran Tibet ada hidup satu orang luar biasa,"
kata Siauw Tjeng Hong. "Mungkin sekali ia masih dapat melawan musuhku
itu. Cuma aku tidak tahu apa ia sudi menolong atau tidak. Akan tetapi,
dalam keadaan yang serba sulit, aku tidak dapat lihat lain jalan lagi.
Hari ini juga aku mau berlalu dari tempat ini buat coba-coba cari
padanya."
Selagi Thian Oe mau menanya lagi, mendadak ia lihat satu titik
hitam di lamping gunung yang sedang turun mendatangi dan semakin dekat
jadi semakin nyata. "Ah, itulah Kang Lam," kata Thian Oe.
Sesudah berhadapan, napasnya Kang Lam memburu dan sengal-sengal.
Sesudah sengal-sengalnya jadi lebih reda, ia berkata: "Looya
perintah aku cari kalian. Urusan hari ini, sesuai dengan pesanan
Siauwya, aku sudah beritahukan Looya."
"Bagaimana keadaan Looya?" tanya Thian Oe.
"Looya datang bersama serdadu pengawal dan tidak lama kemudian
pasukannya Touwsoe juga sampai," menerangkan Kang Lam. "Sekarang api
sudah padam, yang binasa sudah dirawat, yang luka sudah diobati. Serdadu
kantor banyak sekali yang tewas dan yang ketinggalan cuma beberapa belas
orang saja. Looya bilang, ia mau pergi ke Lhasa buat memberi laporan
kepada Jenderal Hok. Nyepa yang pimpin pasukannya Touwsoe, mengatakan ia
mau cari kau. Menurut katanya, malam ini kau harus pergi ke rumahnya
Touwsoe."
"Tidak, aku tidak mau!" kata Thian Oe.
"Benar," kata Kang Lam lagi. "Looya juga tahu, kau tentu tidak mau.
Ia perintah aku sampaikan kepadamu, bahwa ia tak mau paksa kau melakukan
apa-apa yang tidak disukai olehmu. Sekarang ia tahu, bahwa Siauw sinshe
adalah orang yang berkepandaian tinggi, sehingga hatinya jadi lega dan
suka permisikan kau mengikuti sinshe. Siauwya, ada urusan apa yang kau
tidak suka lakukan?"
Sang majikan tidak gubris pertanyaannya si kacung. "Soehoe," kata
Thian Oe sambil berpaling kepada gurunya. "Kalau begitu, biarlah aku ikut
cari orang luar biasa itu."
"Kau ikut? Tak boleh! Berbahaya sekali," kata gurunya.
"Soehoe, kalau berdiam terus disini malahan akan lebih berbahaya,"
kata lagi Thian Oe. "Bagaimana persoalannya aku akan ceritakan
belakangan. Kang Lam, kau pulang saja dan beritahukan Looya, bahwa aku
akan pergi ke Lhasa buat ketemui ia."
Tjeng Hong awasi kedua tangannya dengan perasaan terharu sekali.
"Muridku," kata ia dengan suara sember. "Aku mengerti niatanmu yang
sangat baik. Baiklah, kau boleh ikut padaku."

***

Waktu itu sudah buntut musim semi, akan tetapi di jalanan


pegunungan antara Sakya (di Tibet Selatan) dan Shigatse (Tibet Barat), es
dan salju masih belum mulai lumer. Pengembara yang nyalinya paling besar
juga mesti tunggu kira-kira setengah bulan lagi sampai sinarnya matahari
musim panas lumerkan gumpalan-gumpalan salju yang menutup jalanan,
barulah berani berjalan. Tapi tak terduga, pada waktu itu toh masih
ada dua penunggang kuda yang berani lalui jalanan gunung yang
bulat-belit dan penuh bahaya itu. Kedua penunggang kuda itu, satu tua dan
satu muda, bukan lain daripada Siauw Tjeng Hong dan Tan Thian Oe.
Tibet dikenal sebagai "Atapnya dunia." Daerah antara Sakya dan
Shigatse, di sebelah selatan terdapat pegunungan Himalaya, sedang di
sebelah utara membentang gunung Koenloen san, sehingga jalanannya lebih-
lebih sukar dilewati. Di tempat tinggi, tipisnya hawa udara membikin
orang lebih sukar bernapas. Baik juga, Siauw Tjeng Hong mempunyai tenaga
dalam yang sangat kuat, sedang Tan Thian Oe sudah memiliki dasar-dasarnya
ilmu silat dan usianya masih sangat muda, sehingga mereka tidak merasakan
penderitaan yang terlalu berat. Tapi kedua tunggangannya sangat
kepayahan, napasnya sengal-sengal, sedang dari mulutnya keluar
ilar tak hentinya.
"Manusia masih dapat tahan, sang kuda dapat mati kecapaian," kata
Siauw Tjeng Hong sembari usap-usap bulu suri kudanya.
Hawa udara di Tibet Barat sangat luar biasa. Waktu siang, matahari
sangat panas, dan ditambah sama tipisnya hawa udara, panasnya menakuti
orang. Akan tetapi, di tempat-tempat teduh, atau di waktu malam,
dinginnya bukan main.
Walaupun di puncak gunung, es bertumpuk-tumpuk, sedang di lurang,
sungai es mengalir legat-legot laksana naga, akan tetapi orang yang
berkepandaian bagaimana tinggi pun tidak berani menempuh bahaya buat
coba-coba memacul es atau salju buat dilumerkan menjadi air. Harus
diketahui, bahwa dengan sedikit getaran saja, tumpukan salju bisa menjadi
ambruk dan manusia serta binatang bisa terkubur hidup-hidup. Maka itulah,
dengan tumpukan es di seputarnya, seorang pelancong bisa kehausan
setengah mati, tanpa berani mengambil es itu.
Melihat tunggangannya sengal-sengal, Siauw Tjeng Hong menanya:
"Kita masih punya berapa kantong air?"
"Tiga kantong," jawab muridnya.
"Bagus," kata sang guru. "Coba berikan setengah kantong kepada
kedua kuda. Kita irit sedikit. Tanpa diberi minum, kedua binatang ini
tidak akan kuat berjalan terus."
Kedua lengannya Siauw Tjeng Hong yang kena dibikin luka oleh musuh,
masih belum dapat bergerak leluasa, sehingga segala pekerjaan dilakukan
oleh Thian Oe seorang.
Thian Oe lantas loncat turun, buka kantong air dan beri minum kedua
binatang itu. Mendadak di sebelah belakang terdengar suara kelenengan
kuda dan tiga penunggang kuda kelihatan mendatangi. Mereka itu adalah
orang-orang Han, alisnya tebal, matanya besar dan romannya kasar sekali.
Melihat Thian Oe sedang kasih minum kudanya, satu antaranya berkata:
"Sayang! Sayang!"
Orang yang jalan paling depan tahan les dan berhenti di pinggirnya
Thian Oe. "Eh," ia menegur. "Apa kau punya banyak air? Persediaan kami
sudah hampir habis. Dapatkah kau bagi satu kantong?"
Cara bicaranya orang itu yang sangat kasar membuat Thian Oe jadi
kaget dan, berkata dalam hatinya: "Disini air lebih berharga daripada
emas. Cara bagaimana bisa bagi kau?"
Tapi sebelum ia menyahut, gurunya sudah mendahului: "Pelancong
harus saling membantu. Oe-djie, kasihkan!"
Thian Oe tidak berani membantah. Ia serahkan satu kantong kepada
orang itu yang lantas tenggak dengan bernapsu sekali. "Kau orang baik.
Mau kemana?" kata ia sembari lirik Siauw Tjeng Hong.
"Ke Shigatse," jawabnya dengan pendek.
"Kenapa begitu buru-buru, tak mau tunggu sampai salju lumer?" ia
tanya lagi.
"Ada anggauta keluarga yang sakit keras di Shigatse dan kami mesti
lekas-lekas tengok padanya," jawab Tjeng Hong.
Orang itu awasi kawannya. Paras mukanya mengunjuk kesangsian.
"Oe-djie," kata Siauw Tjeng Hong pada muridnya. "Hati-hati obat
itu. Kantong obat lebih baik jangan digantung di sela. Simpan saja.
Jalanan sangat jelek, kalau kuda terpeleset dan kantong obat hilang,
akibatnya bisa hebat sekali. Yang lain masih tidak apa, tapi Iiongsoeko
sukar dicari."
Thian Oe terperanjat. Kantong yang tergantung di sela sebenarnya
adalah kantong senjata rahasia. Ia lirik gurunya yang balas mengawasi ia
dengan sorot mata berarti. Ia mendusin dan berkata dalam hatinya: "Benar,
ketiga orang yang berani jalan di waktu sekarang tentulah mempunyai
kepandaian tinggi. Kita tidak boleh perlihatkan muka yang sebenarnya.
Tapi Iiongsoeko bukannya barang langka dan bisa dibeli dengan gampang di
Sakya. Kenapa soehoe bilang begitu?"
"Oh, kalau begitu pamilimu dapat sakit keluar-keluarkan darah?"
kata lagi orang itu. "Liongsoeko memang obatnya, tapi belum tentu bisa
berhasil baik. Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan dan juga mau pergi ke
Shigatse.
Marilah kita jalan bersama-sama."
"Bagus! Bagus!" jawab Siauw Tjeng Hong. "Walaupun aku pernah baca
beberapa buku obat, tapi tidak mengerti banyak tentang penyakit yang
keluarkan banyak darah waktu datang bulan. Maka itu, rasanya aku mesti
minta pertolongan saudara untuk mengobatinya."
"Sesudah dihadiahkan air, aku tentu akan menolong apa yang bisa,"
kata orang itu sembari menyoja.
Ia lantas kedut les, sedang kedua kawannya apit Thian Oe di tengah-
tengah.
Thian Oe merasa jengkel lantaran tidak mengerti maksud perkataan
gurunya, dan dengan diapit di sama tengah seperti orang perantaian,
hatinya jadi mendeluh. Ia tidak tahu, bahwa biarpun di Sakya liongsoeko,
bukannya barang langka, akan tetapi pada waktu begini, liongsoeko sukar
didapat di Shigatse, karena mesti menunggu sampai lumernya salju barulah
ada pedagang yang angkut obat itu ke Shigatse.
Di sepanjang jalan, ketiga orang itu coba pancing-pancing Siauw
Tjeng Hong. Akan tetapi ia berlaku sangat hati-hati. Begitu lekas
pembicaraan biluk ke soal Kangouw, ia lantas memberi jawaban tolol dan
belokkan omongan ke ilmu pengobatan.
Mereka ternyata tidak mempunyai banyak pengetahuan tentang ilmu
tersebut dan cuma kenal cara mengobati orang kepukul, muntah darah dan
sebagainya, yang umumnya harus dimengerti oleh orang yang pandai silat.
Sesudah jalan beberapa lama, matahari doyong ke barat. "Untung kita
tidak ketemukan salju roboh," kata orang yang jalan paling depan. Belum
habis ia ucapkan perkataannya, di sebelah depan mendadak terdengar suara
tindakan kaki kuda. Ia terkejut dan lihat satu penunggang kuda mendatangi
dari satu lembah. Kaki kudanya dibungkus kain wol tebal buat menjaga hawa
dingin, sehingga tindakannya baru dapat didengar, sesudah ia datang
dekat.
Jalanan disitu sangat berbahaya dan sempit dan cuma dapat dilalui
oleh seekor kuda. Kuda yang mendatangi jalan sangat cepat dan agaknya
tidak akan dapat ditahan oleh si penunggangnya, sehingga satu tubrukan
sukar disingkirkan.
Orang yang beroman kasar dan jalan paling depan dari rombongan
Siauw Tjeng Hong, jepit keras perut kuda dengan kedua dengkulnya dan kuda
itu lantas berhenti. Satu tangannya terangkat dan dorong orang yang baru
datang, dengan niatkan jatuhkan ia ke dalam jurang. Sembari menjerit,
orang itu tergelincir dari kudanya, sedang satu tangannya jambret selanya
orang kasar itu. Ia jatuh tepat di depan kudanya Thian Oe, sedang
jambretannya mengenakan kantong air si kasar yang lantas menggelinding
jatuh ke dalam jurang.
Hatinya Thian Oe kembali jadi kaget. Ia lihat orang itu adalah
pemuda yang dandanannya seperti anak sekolah. Disitu ia berdiri, dengan
sikap yang ketakutan. Si orang kasar loncat turun dari kudanya dan
memaki: "Apa kau buta? Hayo lekas ganti kantong airku!"
"Airku sendiri sudah diminum habis. Aku justru sedang mencari air,
mana bisa mengganti?" jawabnya.
"Tak bisa ganti?" membentak si kasar. "Baiklah! Aku keset saja
kulitmu dan hirup darahmu!" Ia cabut goloknya dan jalan menghampiri buat
pegang tangannya si anak sekolah.
Thian Oe jadi sangat gusar. Anak sekolah itu memang ceroboh, tapi
mengambil jiwanya adalah perbuatan keterlaluan. "Aku yang ganti!" ia
berseru tanpa merasa lagi.
Si kasar kelihatan terkejut. "Baik!" kata ia sembari tertawa
dingin. "Kau yang mau ganti? Mari!"
Thian Oe lantas saja lepaskan satu kantong air yang tergantung di
sela kuda. Waktu berangkat, mereka bawa tiga kantong air. Satu kantong
sudah dihadiahkan, satu kantong dibuat mengganti, isinya sekantong lagi
sudah diminum separoh oleh sang kuda, sehingga sekarang mereka cuma
mempunyai setengah kantong air. Si kasar tidak main sungkan-sungkan. la
angsurkan tangannya untuk sambuti kantong air itu.
Anak sekolah itu rangkap kedua tangannya dan memberi hormat kepada
Thian Oe. "Terima kasih banyak-banyak buat budi saudara yang sudah
menolong jiwaku," kata ia. "Ah, sekarang bisalah kita melihat budi
pekertinya seorang koentjoe (manusia utama) dan serakahnya seorang
siauwdjin (orang rendah)."
"Kau bilang apa?" tanya si kasar sembari mendelik.
"Aku sedang bersyair, ada sangkut paut apakah dengan kau?" kata si
anak sekolah.
"Sama-sama pelancong kita harus saling mengalah," kata Thian Oe
dengan suara berkuatir. "Sudahlah, pihak tuan toh tidak mendapat rugi
apa-apa."
Satu orang yang berada di belakangnya Siauw Tjeng Hong (rupanya, ia
adalah saudara paling tua antara mereka bertiga), juga turut membujuk:
"Loosam, dengan memandang mukanya ini saudara kecil, biarlah kita ampuni
padanya."
Sembari marah-marah si kasar loncat naik ke atas kudanya. "Sekarang
mundurkan kudamu sampai dibilukan yang lebih luas, supaya kita bisa lewat
lebih dahulu," kata ia kepada si anak sekolah dengan suara aseran.
"Ah, buat apa begitu berabe," jawabnya. "Kemanakah kalian mau
pergi?"
"Bukan urusan kau," kata si kasar.
"Manalah aku berani tanya kau? Aku tanya ini saudara kecil," kata
si anak sekolah dengan suara tenang.
"Kita semua mau pergi ke Shigatse," kata Thian Oe.
"Bagus! Bagus!" kata si anak sekolah lagi. "Kalau begitu, kita
beramai semua satu tujuan."
"Kau barusan datang dari jurusan sana, kenapa sekarang bilang mau
ke Shigatse?" tanya Thian Oe dengan penuh keheranan.
"Barusan aku cari air dan lantaran jalanan bulat-belit, jadi sampai
disini," menerangkan ia. "Aduh, haus! Haus! Saudara kecil, menolong orang
harus menolong sampai di akhirnya. Kasihlah aku minum barang dua
ceglukan."
Thian Oe tidak dapat berbuat lain daripada buka lagi kantong
airnya, yang isinya tinggal separoh. Si anak sekolah lantas saja gelogok
isinya dan Thian Oe mengawasi dengan perasaan sayang.
Sesudah minum, si anak sekolah miringkan badannya dan lewat di
pinggir kudanya si orang kasar. Ia angkat les buat bilukkan kepala kuda,
supaya si anak sekolah jadi kaget. Tapi tak dinyana gerakannya si anak
sekolah luar biasa cepat dan di lain saat, ia sudah cemplak kudanya. Ia
rangkap kedua tangannya dan soja kepada Thian Oe sembari berkata: "Aku
jalan duluan sebagai pengunjuk jalan."
"Siapa mau kau jadi pengunjuk jalan?" kata si kasar dengan suara
perlahan. Si anak sekolah seperti tidak mendengar dan lantas jalankan
kudanya.
Si kasar yang kelihatannya masih berdongkol, tak hentinya mengoceh
sama dua kawannya dalam bahasa Kangouw yang tidak dimengerti oleh Thian
Oe.
Ketika itu, matahari sudah silam ke barat. Angin gunung mulai turun
dan hawa luar biasa dinginnya. Mendadak di sebelah depan terdengar suara
"srr, srr." Orang yang jalan di belakangnya Siauw Tjeng Hong, berkata
dengan girang: "Kita kuatir malam ini tidak bisa dapat tempat mengasoh
yang baik. Untung benar sekarang ketemu sumber air panas."
Sesudah lewati satu lembah, mereka tiba di satu tanah datar luas
dan dari antara batu-batu gunung yang besar, uap panas keluar bergulung-
gulung, sedang cipratan air muncrat berterbangan di tengah udara,
sehingga merupakan bunga-bunga dalam warna ungu dan merah muda.
Pemandangan itu sungguh indah, seakan-akan kembang api yang dipasang di
waktu pesta Goansiauw (Capgomeh).
Dalam bumi Tibet terdapat banyak sekali gunung api yang antaranya
masih terus bekerja dan semburkan air mancur yang sangat panas ke atas
bumi, dan inilah yang merupakan salah satu pemandangan yang aneh di
wilayah Tibet. Oleh karena di pegunungan sukar mencari bahan bakar, maka
penduduk sangat hargakan ini sumber air panas. Sering-sering mereka
mengikat daging kering sama tali dan dicemplungkan ke dalam air panas
itu. Sesudah lewat beberapa jam, daging itu akan matang.
Hawa di sekitar sumber air panas ini hangat seperti hawa musim
semi. Selainnya itu, sesudah dibikin dingin, air panas tersebut merupakan
minuman yang paling baik. Maka itulah, para pelancong paling girang kalau
bertemu dengan sumber panas itu. Mereka turun dari kuda dan pasang tenda
buat mengasoh.
Ketiga orang yang berkawan lantas saja pasang satu tenda buat
mereka mengasoh. Oleh karena kuatir si anak sekolah dihina oleh ketiga
orang itu, diam-diam Thian Oe berdamai dengan gurunya buat undang ia itu
mengasoh bersama-sama dalam tendanya. Tapi sang guru unjuk paras muka
sungguh-sungguh dan gelengkan sedikit kepalanya, sehingga si murid tidak
berani bicara lebih jauh.
Sesudah ambil air dan makan rangsum kering, mereka semua masuk ke
dalam tenda.
"Soehoe, apakah kau lihat apa-apa yang kurang baik dalam dirinya
anak sekolah itu?" Thian Oe berbisik.
"Aku masih belum tahu asal-usulnya. Tapi ketiga orang yang berkawan
adalah musuhku!" jawab sang guru.
"Habis bagaimana?" tanya Thian Oe dengan terkejut.
"Pada sepuluh tahun berselang, aku telah tanam bibit permusuhan
dengan tiga orang," menerangkan si guru. "Dua antaranya kemarin dulu
datang di Sakya buat cari padaku. Yang satu bernama Ong Lioe Tjoe, sedang
yang lain Tjoei In Tjoe. Kepadaiannya Ong Lioe Tjoe berada di sebelah
bawahanku, sedang Tjoei In Tjoe kira-kira berimbang dengan aku. Musuhku
yang ketiga adalah ahli silat kelas satu dari Boetong pay, yaitu Loei
Tjin Tjoe. Kepandaiannya banyak lebih tinggi daripada aku. Buat
singkirkan diri, aku mengumpat di tempat sepi. Tapi, siapa nyana, mereka
dapat juga cari diriku."
"Apa antara tiga orang di tenda itu terdapat Loei Tjin Tjoe?" tanya
Thian Oe.
"Kalau Loei Tjin Tjoe ada, aku tentu sudah tidak bernyawa," jawab
Siauw Tjeng Hong. "Mereka itu adalah murid-muridnya Loei Tjin Tjoe.
Barusan aku dapat dengar pembicaraannya dalam bahasa Kangouw. Ternyata
mereka mendapat perintah Loei Tjin Tjoe buat cari Ong Lioe Tjoe dan Tjoei
In Tjoe. Masih untung, mereka tidak tahu aku adalah musuh gurunya. Tapi
mereka curigai anak sekolah itu, yang diduga adalah muridku. Menurut
pemandanganku, anak sekolah itu juga adalah seorang yang
berkepandaian tinggi, cuma masih belum terang, apa ia kawan atau lawan.
Biar bagaimana juga, kita harus sangat berhati-hati."
Thian Oe gulak-gulik di dalam tenda dan tidak dapat tidur pulas.
Tak tahu sudah lewat berapa lama, kupingnya mendadak dengar suara
tangisan di tempat jauh. Suara itu yang menyayatkan hati seperti juga
tangisan setan dalam tempat yang belukar itu. Waktu baru mendengar, bulu
badannya Thian Oe pada bangun. Lama kelamaan, Thian Oe merasa seperti
sudah pemah dengar suara begitu. Ia lantas loncat berdiri.
"Mau apa?" tanya gurunya.
"Soehoe," berbisik sang murid.
"Dengarlah tangisannya wanita itu, seperti orang sedang hadapi
bencana. Rasanya masih bisa ditolong."
"Baiklah, Oe-djie! Pergi selidiki," kata sang guru dengan mata
bersinar.
"Tidak, aku harus temani soehoe," kata sang murid.
Meskipun ilmu silatnya Siauw Tjeng Hong sangat tinggi, tapi
lantaran kedua tangannya belum dapat bergerak leluasa, ia seperti juga
orang bercacat. Thian Oe kuatir, begitu ia berlalu, musuh segera
menyatroni. Dari sebab itu, sedang di satu pihak, ia sangat pikirkan
nasibnya wanita yang sedang menangis,, di lain pihak ia tidak berani
tinggalkan gurunya.
Tapi parasnya sang guru lantas berobah dan berkata: "Kita adalah
kaum ksatria yang mengutamakan pribudi dan kita tidak boleh berpeluk
tangan, jika ketemu dengan sesama manusia yang menghadapi kebinasaan.
Dengarlah suara tangisannya wanita itu. Kalau bukan ketemu
penjahat, ia tentu mau bunuh diri. Kau pergilah! Aku masih dapat menolong
diri sendiri, jika perlu. Hayo, lekas!"
Thian Oe bersangsi. Suara tangisan jadi lebih menyayatkan hati.
"Urusan ada yang penting, ada yang kurang penting," kata Siauw Tjeng Hong
dengan suara gusar.
"Saat ini menolong orang yang paling penting. Kenapa kau membandel?
Hayo lekas!"
"Soehoe, kalau begitu, jagalah diri baik-baik. Aku pergi lantas
kembali," kata sang murid dengan suara terharu melihat tingginya budi
pekerti sang guru.
Dengan perlahan Thian Oe keluar dari tenda dan lalu berlari-lari
menuju ke arah suara tangisan, dengan gunakan ilmu entengi badan.
Thian Oe belajar ilmu silat dengan sembunyi-sembunyi dan belum
pernah digunakan dalam praktek. Inilah buat pertama kali, ia menggunakan
ilmu tersebut. Jalanan gunung yang penuh bahaya dan banyak batunya,
ditambah lagi sama gelapnya sang malam, membikin perjalanan jadi semakin
sukar. Begitu kerahkan ilmu Teetjiongsoet, badannya melesat beberapa
tombak jauhnya. Lantaran belum mahir dan lari terlalu cepat, kakinya
terpeleset dan ia jatuh terguling. Mendadakan, ia dengar suara tertawa
dingin. Buru-buru ia bangun dan memandang ke seputarnya, tapi tidak
kelihatan bayangannya barang satu manusia.
Sesudah tetapkan hatinya, ia kembali berlari-lari, kali ini dengan
terlebih hati-hati. Sesudah jalan kurang lebih setengah jam, ia tiba di
depannya satu bukit es.
Di atas bukit es itu berdiri seorang wanita, yang bukan lain
daripada itu gadis Tsang!
"Thianlie tjietjie," kata si nona sembari menangis. "Sungguh aku
menyesal tidak belajar lebih lama dengan kau. Sekarang bukan saja sakit
hati tak dapat dibalas, malahan berbalik didesak orang. Oh, ayah dan
ibuku! Terlebih baik anakmu mengikut kau!"
Thian Oe terperanjat. Mendadak, ia lihat nona itu bergerak seperti
orang mau buang diri, tapi tidak jadi. "Biarlah! Bisa lawan satu, aku
lawan satu! Mari! Mari!" katanya dengan suara geregetan.
Ketika itu Thian Oe masih berada dalam jarak belasan tombak dari
bukit es dan di depannya menghalang satu batu besar. Si gadis pun
bukannya berdiri berhadapan dengan ia, maka perkataannya tadi tentulah
bukan berarti ditujukan kepadanya.
Hatinya Thian Oe jadi legaan sebab tahu si nona tidak akan segera
mengambil jalanan pendek. Rupa-rupa pikiran saling susul berkelebat dalam
otaknya. Apakah Touwsoe itu yang jadi musuhnya si nona? Kalau benar,
kenapa Touwsoe mau melepaskan ia secara begitu gampang? Apakah, diam-diam
si Touwsoe perintah orang ubar padanya? Kalau bukan begitu, kenapa ia
bilang sedang didesak orang? Dtm siapa itu wanita yang dinamakan
Thianlie? Kenapa namanya begitu luar biasa?
Sembari memikir begitu, Thian Oe niat melangkah buat mendaki bukit
es. Tiba-tiba ia dengar wanita itu berteriak keras, tangannya diayun dan
sehelai sinar terang menyambar bagaikan kilat. Itulah golok terbang!
Sebelum Thian Oe dapat melihat tegas, wanita itu, yang rupanya terpleset
lantaran gunakan tenaga terlalu besar, jatuh terpelanting. Pada saat yang
sangat berbahaya, dari pojokan bukit es loncat keluar satu orang yang
lantas jambret padanya.
Thian Oe terkesiap, sebab orang itu bukan lain adalah Nyepa Omateng
yang telah minta pertolongan ayahnya buat menolong wanita Tsang itu.
Tidak dinyana, Nyepa yang rakus dan gemuk itu, yang biasanya sukar dapat
berjalan tegak, sekarang dapat loncat ke atas bukit es dalam gerakan yang
sedemikian cepatnya.
Pada saat itu, Thian Oe mengawasi dengan mulut ternganga, sedang
satu tangannya mencekal hoeito keras-keras, siap sedia buat lantas
menimpuk jika Omateng coba bikin celaka gadis itu.
"Minggir!" gadis itu membentak. "Aku memang bukan tandinganmu.
Sakit hatiku tak dapat dibalas, biarlah aku terjun ke bawah. Kau yang
sudah terima perintahnya Touwsoe buat mengubar padaku, harus mengetahui
bahwa aku ini sebangsa apa. Manalah aku mau kasih diri dihina olehmu?"
Omateng tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Aku tahu, nama
pedenganmu adalah Sanma, sedang namamu yang asli adalah Chena. Kau adalah
puterinya Raja muda Chinpu!"
"Kalau kau sudah tahu, kenapa masih rewel!" membentak sang puteri.
"Puterinya Raja muda Chinpu cuma mengenal bunuh diri, tapi tidak boleh
dihina orang! Sesudah aku binasa di bawah bukit, barulah kau boleh
kutungkan kepalaku!"
Omateng terus cekal tangannya dan berkata sembari tertawa" "Apa kau
tahu, siapa adanya aku?"
"Anjingnya Touwsoe Sakya!" sahutnya.
"Tidak," kata Omateng. "Kau salah. Aku pun musuhnya Touwsoe dan aku
sengaja datang kemari buat menolong jiwamu."
Sekarang Chena kaget. Sesudah berdiam beberapa saat, ia menanya:
"Jadi kau datang bukan buat menangkap aku?"
"Touwsoe tidak mengetahui, bahwa kau adalah puterinya Raja muda
Chinpu," kata Omateng. "Kalau ia tahu, ia tentu akan kirim orang buat
bekuk padamu."
Chena menghela napas, sedang Omateng lepaskan cekalannya. "Nyalimu
cukup besar, cuma terlalu goblok," kata ia
"Apa?" Chena menegasi.
"Goblok," mengulangi Omateng. "Kau sama sekali tidak pikirkan
Touwsoe mempunyai berapa banyak orang pandai, dan dengan seorang diri,
kau sudah berani coba-coba membalas sakit hati. Aku sendiri, yang
mempunyai kepandaian banyak lebih tinggi daripada kau, bertahun-tahun
mengabdi padanya sebagai Nyepa dengan menukar she dan nama. Buat membalas
sakit hati, orang harus menunggu sampai datang temponya yang tepat. Orang
Han ada bilang: "Koentjoe membalas sakit hati, sepuluh tahun masih belum
terlambat. Apakah kau belum pernah dengar nasehat itu?"
Kedua matanya Chena lantas saja berlinang air. Ia agaknya sudah
percaya habis kepada Nyepa itu.
"Siapa yang ajarkan kau ilmu silat?" Omateng mendadak tanya.
"Pengtjoan Thianlie (Bidadari dari Sungai Es)!" sahutnya.
"Pengtjoan Thianlie?" menegaskan Omateng dengan paras muka berobah.
"Apa benar Pengtjoan Thianlie?"
"Ia menolak buat jadi guruku dalam artian yang sebenarnya. Ia cuma
mau ajarkan ilmu silat buat tiga hari lamanya," menerangkan Chena.
"Oh, kalau begitu, aku percaya," kata Omateng. Dengan berkata
begitu, Omateng seperti mau bilang, bahwa jika benar Chena adalah
muridnya Pengtjoan Thianlie, ilmu silatnya mesti banyak lebih tinggi
daripada apa yang dipunyai olehnya sekarang.
"Dimana tempat tinggalnya Pengtjoan Thianlie?" tanya lagi Omateng.
"Di Thian-ouw (Telaga Langit)" jawab Chena. "Namanya yang sejati
jarang diketahui orang. Cara bagaimana kau dapat mengenal padanya?"
"Sebenarnya aku tidak kenal, cuma aku tahu, ada orang yang sedang
cari pad-anya," kata Omateng. Sesudah itu, ia bicara bisik-bisik,
sehingga Thian Oe tidak dapat dengar. Ia cuma lihat, sang puteri manggut-
manggutkan kepalanya.
"Sekarang pergilah kau lari dengan ambil jalanan di bawah jurang es
itu," kata Omateng. "Disini ada satu lengtjian-nya (pertandaan) Touwsoe.
Ambillah. Dengan lengtjian itu, orang tidak akan berani ganggu padamu.
Hi! Aku dengar suara orang. Pergi sembunyi. Aku pergi lebih dahulu."
Thian Oe pasang kupingnya, tapi tidak dapat dengar suatu apa.
Dengan mengintip, ia dapat lihat Omateng keluarkan seutas tambang
panjang, dengan apa ia turun ke bawah bukit. Mendadak, dari sinar
rembulan dan es, ia lihat Omateng keluarkan satu senyuman yang membikin
bulu badannya berdiri. Itulah senyuman licik, berlapis kejam! Sesudah
mendengar pembicaraannya barusan, perasaan membencinya Thian Oe terhadap
Omateng sebenarnya sudah menjadi hilang. Ia anggap, Nyepa itu adalah
seorang baik. Tapi sekarang, sesudah lihat senyuman itu, hatinya timbul
perasaan sebal dan kembali curigai orang yang serakah itu.
Sang puteri perlahan-lahan menengok ke belakang dan menggape ke
arah tempat sembunyinya Thian Oe. "Keluarlah! Aku sudah lihat kau," kata
ia. Sehabis berkata begitu, ia lantas jalan turun ke bawah bukit es.
Hatinya Thian Oe berdebar keras. Ia datang buat menolong si nona,
tapi sekarang, sesudah berhadapan, ia tak tahu mesti bicara apa.
Sesudah datang dekat, si nona berkata sambil tertawa: "Terima kasih
atas pertolonganmu kepada wanita yang menderita ini!"
Tan Thian Oe sudah hidup delapan belas tahun lamanya dan selama
itu, belum pernah ia bicara dengan wanita asing. Sebab begitu, mukanya
lantas saja bersemu merah dan ia berdiri dengan sikap kemalu-maluan. Akan
tetapi, melihat gadis itu mengawasi padanya dengan mulut tersungging
senyuman, biarpun paras mukanya masih tetap dingin dan angkuh, Thian Oe
jadi merasa lebih tetap hatinya.
Tanpa merasa, Thian Oe balas mesem. Ia keluarkan selampe sutera
yang berwarna putih dan persembahkan kepada sang puteri, sebagai suatu
khata. Si gadis mesem simpul dan sambuti hadiah itu dengan dua jerijinya.
Sembari masukkan khata dalam sakunya, ia berkata: "Terima kasih buat
hadiahmu. Sudah berapa lama kau datang disini?"
"Cukup lama buat menyaksikan apa yang telah terjadi barusan," jawab
Thian Oe. "Sungguh 'ku tidak nyana bahwa kau ini adalah sang puteri yang
kita muliakan."
"Urusanku kau tak usah sebut-sebut lagi," kata Chena. "Di antara
orang Tsang ada satu pepatah yang mengatakan: Impian semalam jangan
ceritakan di siang hari."
Thian Oe merasa kikuk sekali. Tanpa mengetahui sebabnya, hatinya
sangat memperhatikan wanita itu. Ia sangat ingin mengeluarkan isi
hatinya, akan tetapi mulutnya seperti terkancing. Akhirnya, dengan
memberanikan hati, ia berkata: "Alangkah baiknya kalau nona tidak terlalu
percaya Nyepa Omateng."
"Apa ia?" kata Chena. "Urusanku aku dapat mengurus sendiri.
Legakanlah hatimu." Sesudah berkata begitu, ia agaknya merasa menyesal
dan kuatir kalau-kalau perkataannya menyinggung perasaan. Maka itu, ia
kembali mesem dan berkata: "Biar bagaimana juga, aku menghaturkan banyak
terima kasih buat maksudmu yang sangat baik. Sebenarnya aku pun tidak
percaya habis padanya! Sedari tadi, aku sudah mengetahui kedatanganmu,
akan tetapi aku tidak membilang apa-apa di hadapannya."
Thian Oe juga membalas dengan satu meseman. Baru ia akan buka
suara, sang puteri sudah mendahului "Terima kasih banyak buat hadiahmu.
Aku sendiri tidak mempunyai suatu apa untuk membalasnya. Biarlah aku
persembahkan sekuntum bunga kepadamu."
Thian Oe heran. "Di tempat yang begini tinggi dan dengan hawa
sedemikian dingin, dimanalah orang dapat mencari kembang?" kata ia dalam
hatinya.
Chena keluarkan satu vas perak kecil dari dalam sakunya. Dalam vas
itu terdapat sekuntum bunga putih yang di atasnya masih menempel butiran-
butiran embun, seperti juga baru dipetik dari tangkainya.
"Bunga ini adalah hadiah dari Pengtjoan Thianlie dan aku sudah
simpan setahun lamanya," kata Chena. "Sekarang biarlah aku persembahkan
kepadamu."
Bukan main herannya Thian Oe. Dalam dunia ini dimanakah tumbuhnya
bunga itu, yang sesudah dipetik setahun, masih kelihatan begitu segar?
"Menurut keterangan Thianlie tjietjie," kata lagi Chena. "Bunga ini
dinamakan soatlian (Teratai salju) yang ia cabut dari pegunungan Thiansan
dan dipindahkan ke tempat tinggalnya. Tidak perduli orang mendapat luka
di dalam yang bagaimana berat, begitu makan bunga ini, jiwanya akan
ketolongan. Kau ambillah."
"Ah, manalah aku berani terima hadiah yang berharga sedemikian
besar," kata Thian Oe.
"Apa kau lupakan gurumu?" tanya Chena. "Aku tahu, dua orang Han itu
cari permusuhan dengan gurumu. Mungkin sekarang ia mendapat luka Hari itu
kau sudah menolong jiwaku dan aku tidak mempunyai apa-apa buat membalas
budimu. Soatlian ini justru cocok buat gurumu. Ambillah."
Mendengar begitu, Thian Oe tidak berlaku sungkan lagi dan lantas
menerima vas tersebut. Meskipun gurunya bilang, dalam tujuh hari, ia
sendiri dapat menyembuhkan lukanya, akan tetapi sekarang, sesudah lewat
empat hari, kedua lengannya masih belum dapat bergerak leluasa, sehingga
belumlah tentu, apa cara pengobatan dengan jalankan napas itu bisa
berhasil baik.
"Gurumu tentu sedang menunggu dengan tidak sabaran. Kau pulanglah,"
kata Chena sembari tertawa. Sehabis berkata begitu, dari pinggangnya ia
loloskan seutas tambang panjang yang ujungnya dipasangi gaetan. Dengan
sekali lempar, gaetan itu nyangkol pada batangnya satu pohon siong tua.
Sambil mencekal tambang, ia ayun badannya yang lantas terbang ke
seberang. Dengan berbuat begitu beberapa kali, dalam tempo sekejap, ia
sudah lewati tanjakan di sebelah depan dan sesudah biluk di satu lembah,
badannya lantas menghilang.
Thian Oe menghela napas panjang. "Ah, bertahun-tahun aku belajar
silat, tapi ia, yang baru belajar tiga hari, sudah mempunyai kepandaian
entengi badan yang lebih tinggi daripada aku," katanya di dalam hati.
Sesudah kantongi soatlian itu, ia lantas berbalik dan berjalan
pulang. Sembari jalan, otaknya penuh dengan rupa-rupa pikiran. Ia ingat
kejadian-kejadian luar biasa selama beberapa hari paling belakang. Itu
gadis dari Tsang sudah aneh sekali, akan tetapi, didengar dari
pembicaraannya sama Omateng, Pengtjoan Thianlie lebih aneh lagi. Cara
bagaimana, dalam tempo cuma tiga hari, ia sudah bikin puteri yang lemah
dari seorang raja muda menjadi seorang yang ilmu silatnya tinggi.
Dengan berjalan sembari ngelamun, tanpa merasa ia sudah lewati
beberapa lembah dan ia sudah lihat uap putih yang disemburkan oleh sumber
air panas. Sesudah datang lebih dekat, di antara suara semburan air,
lapat-lapat terdengar suara bentrokan senjata yang semakin lama jadi
semakin tegas. Thian Oe terkejut dan cepatkan tindakannya.
Sekonyong-konyong kupingnya dengar suara tertawa dingin yang keluar
dari pinggir jalan. Thian Oe cabut pedangnya dan di lain saat, dari
pinggir jalanan loncat keluar satu orang yang tangannya mencekal pecut
panjang.
"Bocah tolol!" ia mengejek sembari tertawa. "Kau mau pulang buat
antar jenazahnya tua bangka she Siauw?"
Dengan gusar Thian Oe menyabet dengan pedangnya. Orang itu berkelit
sembari sabetkan pecutnya ke arah pinggangnya Thian Oe, yang hampir saja
kena terpecut kalau tidak buru-buru loncat tinggi. Sembari tertawa
berkakakan, orang itu gentak pecutnya yang menyambar dua kali beruntun
bagaikan ular. Dengan gerakan Toeitjhung bonggoat (Buka jendela melongok
bulan), Thian Oe membabat lengannya musuh. Orang itu benar liehay. Dengan
cepat ia robah gerakan dan sapu kakinya Thian Oe yang jadi sangat ripuh
lantaran diserang atas dan bawah. Dalam kerepotannya itu, Thian Oe kirim
satu tikaman hebat. Mendadakan, ia rasakan lengannya berat, sebab
pedangnya kena digulung sama ujung pecut. Thian Oe bingung dan tanpa
berpikir keluarlah ilmu silat simpanan dari gurunya. Ia pasang kuda-kuda
dan gentak pedangnya Orang itu keluarkan seruan tertahan lantaran ujung
pecutnya yang sedang melibat jadi terlepas. Saat itu, Thian Oe segera
barengi dengan dua serangan yang saling susul. Diserang secara begitu,
orang itu terpaksa mundur beberapa tindak.
Ilmu silatnya Thian Oe sebenarnya ada lebih tinggi dari lawannya.
Cuma saja lantaran baru pertama kali bertempur dengan musuh, maka pada
gebrakan pertama, hatinya sedikit keder. Sesudah lihat kemampuan sang
lawan cuma sebegitu saja, nyalinya jadi lebih besar dan dengan tenang ia
keluarkan Tjengshia Kiamhoat (Ilmu pedang dari Tjengshia pay) yang lantas
menyambar-nyambar bagaikan seekor naga. Lima puluh jurus sudah lewat
tanpa ada yang keteter. Thian Oe lebih unggul dalam ilmu pedang, tapi
orang itu lebih matang dalam pengalaman. Sekarang orang itu tidak berani
lagi memandang enteng kepada pemuda lawanannya. "Murid dari guru ternama,
memang juga tidak sembarangan," kata ia dalam hatinya.
Sesudah bertempur lagi beberapa jurus, orang itu lalu keluarkan
akal licik. Kakinya terus bergerak ke kiri dan ke kanan, sehingga Thian
Oe terpaksa mengikuti padanya.
Sebagaimana diketahui, jalanan gunung itu sangat berbahaya.
Ditambah dengan gelapnya sang malam dan licinnya jalanan lantaran es,
bahaya itu jadi semakin besar. Thian Oe belum mempunyai pengalaman. Buat
jalan di atas jalanan gunung saja, ia sudah tidak biasa, apalagi mesti
bertempur hebat. Maka itu, baru saja bulak-biluk beberapa kali dalam
mengikuti tindakan lawannya, kakinya sudah terpeleset beberapa kali dan
hampir-hampir jatuh terguling. Dengan perlahan orang itu tuntun Thian Oe
ke pinggir jurang dan hatinya diam-diam merasa girang.
Tapi mendadak, muridnya Siauw Tjeng Hong tancap kedua kakinya dan
tidak mau bergerak lagi. Ia putar pedangnya untuk melindungi badannya dan
saban-saban musuh datang dekat, ia menikam atau menyabet bagaikan kilat.
Ternyata Thian Oejuga sangat cerdik. Begitu melihat cara berkelahinya
orang itu, ia tahu akan bahaya yang mengancam. Buru-buru ia kerahkan ilmu
Tjiankin toei (Ilmu bikin berat badan seribu kati) dan tancap kedua
kakinya di atas tanah. Dalam kedudukan begitu, ia mengambil siasat
membela diri. Berulang kali orang itu coba pancing padanya, tapi ia tetap
tidak mau bergerak.
Dua puluh jurus kembali sudah lewat. Orang itu tidak dapat
menyerang masuk, sedang Thian Oe pun sungkan menyerang keluar. Selagi
hatinya merasa sangat tidak sabaran, kupingnya Thian Oe mendadak dengar
suara tertawa dari seorang tua. "Hm!" kata orang itu. "Masa segala bocah
kau tidak dapat takluki! Jangan bikin malu padaku. Houw-tjoe, coba
dekatan supaya aku dapat melihat terlebih nyata."
Thian Oe awasi orang itu dan hatinya kaget bukan main. Seorang
lelaki tinggi besar dan bermuka hitam panggul sebuah tandu dan dalam
tandu itu duduk satu orang yang mukanya kuning dan menakuti sekali,
sedang kedua matanya bundar dan besar. Orang itu bukan lain daripada
Tjoei In
Tjoe yang kena dipukul terguling ke dalam jurang oleh gurunya. Kena
terpukul hudtim, isi perutnya mendapat luka berat, badannya mati sebelah
dan tidak dapat bergerak. Lantaran begitu, ia perintah dua muridnya tandu
padanya buat pergi ke Shigatse guna cari Loei Tjin Tjoe supaya dapat
diobati oleh saudara angkatnya itu. Dan tidak dinyana, di tengah jalan ia
bertemu dengan Tan Thian Oe.
Sebagai orang yang lebih tua, ia masih menjaga kedudukannya dan
sungkan turun tangan terhadap orang dari tingkatan lebih muda. Ia lebih
dahulu perintah salah satu muridnya menyerang pemuda itu. Ia menduga,
berhubung usianya yang masih sangat muda. Thian Oe tidak mempunyai
kepandaian tinggi, sedang muridnya sudah berlatih dua puluh tahun,
sehingga dengan sekali gebrak, ia taksir murid Siauw Tjeng Hong akan
dapat dibekuk.
Tapi siapa nyana, dugaannya meleset jauh sekali. Apa yang
dibelajarkan oleh Thian Oe adalah lweekang (ilmu tenaga dalam) yang tulen
dari Tjengshia pay dan pemuda itu sudah mempunyai dasar-dasar yang kuat.
Ditambah dengan ilmu silat pedangnya yang sangat bagus, kalau bukan ia
masih kurang pengalaman, murid Tjoei In Tjoe benar-benar bukan
tandingannya. Melihat muridnya keteter, mau tidak mau Tjoei In Tjoe
terpaksa munculkan diri.
Mendengar makian gurunya, muridnya Tjoei In Tjoe jadi kemalu-maluan
dan ia berdiri sembari tunduk di pinggir tandu. Badan Tjoei In Tjoe mati
sebelah di bagian bawah, tapi kedua tangannya masih dapat bergerak
leluasa. Sembari tertawa menyeramkan, dua jerijinya sentil sebutir
Thielian tjoe (Biji teratai besi) ke arah Thian Oe. Senjata rahasia itu
melesat bagaikan kilat dan sebelum Thian Oe keburu kelit, ia rasakan
dadanya kesemutan dan badannya terguling di atas tanah. Masih untung,
lantaran mendapat luka, tenaga dalamnya Tjoei In Tjoe sudah banyak
kurang, sehingga muridnya Siauw Tjeng Hong tidak sampai menjadi pingsan.
Muridnya Tjoei In Tjoe yang bermuka hitam lantas taruh tandu di
atas tanah dan bersama soehengnya, ia ikat Thian Oe seperti lepat.
"Geledah badannya!" memerintah sang guru.
Hasil penggeledahan itu adalah itu vas kecil yang berisi soatlian.
Tjoei In Tjoe tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Ha! Kalau begitu Sanma
rela menyerahkan soatlian dari Thiansan kepadamu. Muridku, serahkan vas
itu kepadaku."
Bukan main gusarnya Thian Oe. "Itu adalah milik guruku!" ia
berseru.
"Gurumu tak perlu lagi barang begini," kata Tjoei In Tjoe.
"Sebentar aku akan kirim kau ketemui gurumu."
Thian Oe berontak-rontak sekuat tenaga, tapi tali yang bebat
badannya ada cukup kuat. "Houwtjoe, totok jalanan darahnya dan taruh ia
ke dalam tandu," Tjoei In Tjoe perintah muridnya.
Dengan badan rebah di dampingnya musuh itu, Thian Oe menyaksikan
cara bagaimana ia buka tutup vas, ambil soatlian yang lantas dimasukkan
ke dalam mulutnya! Mengingat soatlian itu tadinya adalah untuk gurunya
sendiri, bukan main sakit hatinya Thian Oe.
Tandu lalu diangkat oleh dua muridnya Tjoei In Tjoe yang lantas
jalan dengan cepat sekali. Ketika itu, sang rembulan pancarkan sinarnya
di atas puncak-puncak gunung yang tertutup es, sehingga puncak-puncak itu
jadi bersinar putih bagaikan perak.
Sambil menggeletak di dalam tandu, dengan perasaan sangat heran
Thian Oe awasi perubahan pada mukanya sang musuh. Kalau tadi muka In Tjoe
kuning pias, adalah sekarang, sesudah makan soatlian, mukanya mulai
bersemu merah. Ia duduk disitu dengan meramkan kedua matanya, sambil
kasih jalan napasnya. Lewat beberapa saat, ia tertawa nyaring sekali.
"Sungguh manjur soatlian dari Thiansan!" ia berseru. Suaranya yang
nyaring berbeda sekali daripada tadi. Tak terkira sakit hatinya Thian Oe,
sakit hati yang tercampur keheranan. "Aku tidak duga soatlian begitu
manjur. Luka di dalam dari manusia ini sudah menjadi sembuh secara begitu
cepat. Ah, malam ini jiwanya guru dan murid akan binasa!" pikir Thian Oe
dalam hatinya.
Sesudah lewat beberapa lama, suara semburan air panas kedengaran
semakin nyata, diseling dengan suara bentakan dan beradunya senjata.
Paras muka Tjoei In Tjoe menunjukkan keheranan. "Ih! Urat lengan si tua
bangka she Siauw sudah diputuskan dengan tali gendewaku. Cara bagaimana
ia masih bisa bertempur?" kata ia.
Mendadak dengan dua jerijinya ia gunting tali yang mengikat badan
Thian Oe, yang lantas diangkat, dan ia lantas loncat turun dari tandu.
"Tak usah digotong lagi!" kata ia. "Aku Tjoei Loosam tidak berdusta.
Sekarang juga aku antar kau ketemui gurumu."
Dikempit oleh musuh tangguh, Thian Oe tidak dapat berkutik.
Setibanya di dekat sumber air panas, ia lihat tendanya robek sana sini,
sedang ketiga orang kasar yang masing-masing mencekal golok mengkilap,
sedang kepung gurunya yang bersita di tengah-tengah tenda yang robek itu.
Thian Oe terperanjat. Gurunya bersila dengan badan tidak bergerak,
sedang mulutnya menggigit hudtim. Golok yang menyambar, ia sampok dengan
hudtim. Tak perduli serangan datang dari depan, samping atau belakang,
dengan sedikit saja goyang kepalanya, hudtim itu selalu dapat menyambut
dengan tepat sekali! Semakin hebat bacokan musuh, semakin hebat lagi
tenaga yang menangkis.
Tjoei In Tjoe kerutkan alisnya dan kemudian tertawa berkakakan.
"Siauw Tjeng Hong!" ia berseru. "Marilah aku sambut lagi hudtimmu." Tiga
orang yang sedang mengepung lantas loncat mundur. Dengan sekali loncat,
Tjoei In Tjoe sudah berhadapan dengan Siauw Tjeng Hong dan kedua
tangannya lantas terangkat naik.
Dengan seruan tertahan, Tjeng Hong pentang mulutnya dan kebutannya
melesat bagaikan anak panah. Dengan sebet, Tjoei In Tjoe kelit senjata
itu.
"In Tjoe," berkata Siauw Tjeng Hong sambil menghela napas.
"Lweekangmu ternyata lebih tinggi daripada aku. Empat hari aku kerahkan
hiankong, kedua lenganku belum dapat bergerak, tapi kau sudah bisa jalan
sebagaimana biasa. Aku mengaku kalah!"
"Tidak! Soehoe, kau tidak kalah!" berseru Thian Oe. "Dia yang
kalah. Dia rampas soatlian-ku."
Siauw Tjeng Hong kaget dan berseru: "Apa? Dari mana kau..." Belum
habis perkataannya, Tjoei In Tjoe sudah loncat sembari menotok jalan
darahnya sama jerijinya, sehingga ia tidak keburu menanya terus.
Tan Thian Oe yang jalanan darahnya masih belum terbuka, ketika itu
telah didorong roboh oleh satu muridnya Tjoei In Tjoe.
"Siauw Tjeng Hong," kata Tjoei In Tjoe sembari tertawa. "Mengenai
ilmu, kau memang lebih tinggi daripadaku. Tapi memang sudah maunya Tuhan,
aku mesti membunuh kau. Maka itu, dengan pinjam tangan muridmu, Tuhan
sudah kirim soatlian yang langka untukku!"
Paras mukanya Siauw Tjeng Hong berobah dan keluarkan suara di
hidung. "Bagus!" kata ia. "Sungguh gagah! Hari ini aku dapat saksikan
kepandaiannya ahli silat Khongtong pay!"
Tjoei In Tjoe kembali tertawa dan berkata: "Menurut peraturan
Kangouw, aku mesti tunggu sampai kau sembuh, barulah jajal lagi
kepandaianmu. Cuma aku kuatir, sesudah sembuh, kau kembali akan kabur
sembari kelepotan buntut. Kemana aku mesti cari padamu? Apalagi dahulu,
kau bersama itu perempuan siluman juga menggunakan akal bulus buat
celakakan kita. Hai! Dengarlah! Sekarang lebih dahulu aku mau balaskan
sakit hatinya toako dengan persen empat bacokan di atas mukamu!"
Sehabis berkata begitu, ia ambil sebatang golok dari tangan soetit-
nya (keponakan murid, tiga orang itu adalah murid-muridnya Loei Tjin
Tjoe). Sembari bulang-balingkan golok itu, ia tarik tangannya Siauw Tjeng
Hong dan awasi muka korbannya dengan sorot mata kejam. Mendadak ia
keluarkan satu suara tertawa seperti orang kalap dan angkat goloknya yang
akan segera menyabet mukanya Siauw Tjeng Hong.
Mendadak, mendadakan saja, satu suara tertawa dingin terdengar,
disusul dengan perkataan halus mengejek: "Aduh! Gagah betul!"
Tan Thian Oe kaget sebab satu bayangan berkelebat di pinggir
badannya, dan apa yang membikin ia jadi lebih kaget lagi, adalah jalanan
darahnya mendadak terbuka sendirinya! Orang yang baru datang adalah si
anak sekolah yang berdiri disitu sembari mesemmesem simpul.
Tjoei In Tjoe mengawasi dan menanya: "Apa tuan tidak suka hati?"
"Mana aku berani!" jawab si anak sekolah. "Dalam kalangan Kangouw,
soal membalas sakit hati adalah soal yang lumrah. Cuma saja orang tua ini
mempunyai sedikit hubungan denganku."
"Dalam kalangan Kangouw, hal membantu sahabat adalah hal yang
lumrah," kata Tjoei In Tjoe sembari tertawa dingin. "Baiklah. Kita jangan
banyak omong yang tidak ada perlunya. Cabut senjatamu, aku Tjoei In Tjoe
akan meladeni beberapa jurus dengan tangan kosong."
Si anak sekolah dongak dan tertawa terbahak-bahak. "Aku belum
keluar dari rumah perguruan," kata ia. "Guruku larang aku adu tenaga
dengan orang."
"Kalau begitu, apakah dengan dengar omongannya satu pitik, aku
harus ampuni si tua bangka?" kata Tjoei In Tjoe sembari tertawa bergelak-
gelak. "Siapa kau? Siapa gurumu?"
"Siapa suruh kau ampuni si tua bangka?" sahut si anak sekolah. "Si
tua bangka adalah musuhku juga!"
Tjoei In Tjoe kaget dan berkata: "Kalau begitu aku salah sangka.
Apa kau juga mempunyai permusuhan dengan dia?"
"Benar," sahutnya.
"Sungguh bagus nasibmu," kata Tjoei In Tjoe dengan sikap sombong.
"Dengan ilmu silatmu, sekali pentil saja, dia bisa bikin kau terguling ke
dalam jurang. Mengingat kita berdua sama-sama bermusuh padanya, sesudah
aku membacok empat kali, kau boleh bacok satu kali buat lampiaskan
ganjelanmu."
"Tidak," kata si anak sekolah. "Sakit hatiku dalam seperti lautan.
Kasihlah aku yang membalas lebih dahulu."
Hatinya Tjoei In Tjoe gusar sekali, tapi oleh karena perasaan
herannya, ia segera menahan sabar. "Kau mempunyai permusuhan apa dengan
dia?" tanya ia. "Coba ceritakan."
"Kemarin di tengah jalan aku bertemu mereka, guru dan murid," ia
menerangkan. "Waktu aku minta air dari muridnya, si tua unjuk paras
sekaker. Baik juga muridnya yang baik hati, bagikan air kepadaku. Ah,
orang kehausan bisa jadi mati, dan si tua rela melihat kebinasaan sambil
berpeluk tangan. Inilah sakit hatiku yang pertama Tadi, saudara kecil itu
sebenarnya mau undang aku buat sama-sama mengasoh dalam tendanya. Tapi si
tua tidak permisikan. Tendaku sudah pada robek dan angin dingin menyerang
hebat sekali, hingga hampir-hampir aku mati kedinginan. Ah,
mendesak orang sampai mesti mati kelaparan dan kedinginan adalah kedosaan
hebat. Inilah sakit hatiku yang kedua."
Begitu bertemu dengan si anak sekolah, Siauw Tjeng Hong sudah
merasa heran. Sekarang, sesudah dengar omongannya, hatinya jadi kaget
sekali. "Cara bagaimana ia bisa dapat dengar pembicaraanku dengan Oe-
djie?" tanya ia dalam hatinya.
Tjoei In Tjoe jadi gusar sekali. "Jangan banyak bacot!" ia
berteriak sembari sabetkan goloknya ke arah si anak sekolah.
Sembari berteriak "A-yo!" ia miringkan badannya dan goloknya Tjoei
In Tjoe jatuh di tempat kosong.
"Kau tidak bacok si tua, sebaliknya membacok aku," berseru si anak
sekolah. "Punya sakit hati tidak dibalas, berbalik hantam kawan sendiri.
Dalam dunia mana ada aturan begitu!"
Diejek secara begitu, Tjoei In Tjoe jadi seperti orang kalap dan ia
lalu membacok beruntun tiga kali.
"Kalau kau tak mau membalas sakit hati, biarlah aku turun tangan
lebih dahulu," kata si anak sekolah, "aku belum keluar dari perguruan dan
guruku larang aku menggunakan senjata tajam. Tapi menggunakan senjata
rahasia rasanya masih boleh juga."
Sembari kelit sana-sini buat loloskan diri dari bacokan saling
susul, ia ayun satu tangannya dan beberapa sinar emas melesat ke arah
Siauw Tjeng Hong.
Ketika itu Siauw Tjeng Hong tak dapat bergerak lantaran jalanan
darahnya sudah kena ditotok dan beberapa jarum emas itu mengenakan tepat
pada sasarannya!
Thian Oe terkesiap. Barusan mendengar si anak sekolah permainkan
Tjoei In Tjoe, Thian Oe menduga, ia berdiri sebagai kawan. Tapi tak
dinyana, benar-benar ia menggunakan senjata rahasia buat menyerang *
gurunya. Tanpa berpikir lagi, ia loncat dan hantam jalanan darah Tayyang
hiat si anak sekolah dengan gerakan Kimkouw kibeng (Tambur emas
bersuara). Si anak sekolah berkelit. "Dengan menghadiahkan air, kau
adalah tuan penolongku," kata ia sembari tertawa. "Seorang laki-laki
harus membalas budi dan sakit hati secara tepat. Maka itu, manalah aku
boleh turun tangan terhadap seorang penolong." Sehabis berkata begitu,
badannya berkelebat dan lantas tidak kelihatan lagi!
Sesudah membacok tempat kosong empat kali dan setelah melihat lagak
lagunya si anak sekolah yang sedemikian aneh, Tjoei In Tjoe jadi bengong
beberapa saat. Hatinya sungguh tidak dapat mengerti apa maunya orang itu.
Ia balik badannya dan menoleh kepada Siauw Tjeng Hong. Kali ini, ia
benar-benar kaget! Siauw Tjeng Hong sudah bisa angkat kedua tangannya dan
berseru: "Tjoei Loosam, marilah kita adu tenaga lagi!" Beberapa jarum
emas yang menancap di dagingnya masih kelihatan menonjol di luar bajunya
dan pancarkan sinar yang gilang-gemilang!
Ketika si anak sekolah menimpuk dengan jarum emas, hatinya Siauw
Tjeng Hong terkejut bukan main. Tapi di lain saat, mendadak ia rasakan
satu perasaan segar dalam badannya, hawa dan darah mengalir lagi seperti
biasa, bukan saja jalanan darah yang tertotok terbuka kembali, akan
tetapi, urat-uratnya yang kena terpukul juga sudah pulih seperti
sediakala, sedang buku-buku tulang yang kesemutan pun sudah dapat
bergerak leluasa. Inilah ada kejadian seperti di dalam impian dan Siauw
Tjeng Hong kaget berbareng girang.
Tjoei In Tjoe terperanjat bukan main. Ketika itu tangannya Siauw
Tjeng Hong sudah terangkat dan terus menghantam dengan sepenuh tenaga. In
Tjoe menyambut dan rasakan tenaga yang luar biasa besarnya, mendorong ia
sehingga badannya sempoyongan ke belakang beberapa tindak. "Tenaga
dalamnya si tua cuma lebih tinggi setingkat daripadaku. Tapi kenapa dalam
tempo yang begitu pendek, ia sudah jadi begitu liehay?" tanya In Tjoe
dalam hatinya. Ia tidak mengetahui, bahwa tenaganya Siauw Tjeng Hong
sudah pulih kembali, sedang tenaganya sendiri, biarpun lukanya sudah
disembuhkan dengan soatlian, belum balik seperti biasa, oleh karena ia
mendapat luka yang lebih berat daripada musuhnya. Itulah sebabnya kenapa
ia kalah jauh dari tenaganya Siauw Tjeng Hong.
Melihat gurunya sembuh mendadak, Thian Oe jadi seperti orang kalap
lantaran kegirangan. "Oe-djie, hati-hati!" mendadak ia dengar gurunya
berteriak.
Dua muridnya Tjoei In Tjoe menyerang dari kiri dan kanan dengan
mendadak. Melihat dirinya dikerubuti, Thian Oe lantas menyambut dengan
gerakan Kaykiong siatiauw (Pentang gendewa memanah burung tiauw). Murid-
muridnya Loei Tjin Tjoe juga sudah menyabet dengan goloknya. Dikerubuti
oleh beberapa musuh, manalah Thian Oe bisa tahan? Dalam tempo sekejap, ia
sudah keteter dan keadaannya berbahaya sekali. Mendadak terdengar suara
berkerontrangan dan goloknya satu musuh terlempar di atas tanah, sedang
musuh itu berteriak kesakitan sembari pegang tangannya.
Orang yang menolong adalah gurunya sendiri. Sembari desak Tjoei In
Tjoe dengan serangan-serangan hebat, Siauw Tjeng Hong masih sempat hantam
jatuh senjata murid-muridnya Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe. Melihat
gelagat tidak baik, Tjoei In Tjoe lantas berseru: "Kabur!" dan bersama
dua murid serta tiga cucu murid, ia panjangkan langkahnya.
Thian Oe segera mengejar sembari tengteng pedang. "Oe-djie, balik!
Jangan kejar!" berteriak Siauw Tjeng Hong. Thian Oe lantas balik dan
waktu mau menanya, ia lihat gurunya sedang cabuti jarum, jarum emas dari
badannya, dengan saban-saban gelengkan kepalanya.
"Soehoe, bagaimana sih duduknya kejadian ini?" tanya Thian Oe.
"Dalam ilmu pengobatan ada semacam cara mengobati dengan
menggunakan jarum,"
menerangkan Siauw Tjeng Hong. "Akan tetapi, yang paling luar biasa
adalah dengan menimpuk dari tempat jauh, tujuh batang jarumnya pemuda itu
bisa menancap tepat di jalanan darah yang diingini. Dari sini dapat
dibayangkan, bukan saja ilmu ketabibannya pemuda itu luar biasa tinggi,
tapi tenaga dalamnya pun tak dapat diukur bagaimana dalamnya!"
"Kalau begitu, barusan ia menolong soehoe?" kata sang murid. "Tadi
aku ketakutan setengah mati!"
Siauw Tjeng Hong menghela napas panjang dan berkata: "Sungguh-
sungguh di luar langit masih terdapat langit, di atas kepandaian masih
terdapat kepandaian. Ia itu masih berusia begitu muda, tapi ilmu silatnya
banyak lebih tinggi daripada aku. Benar-benar aku seperti kodok di dalam
sumur yang tidak mengetahui luasnya langit dan bumi. Mulai dari sekarang,
sungguh-sungguh aku tak berani tonjol-tonjolkan lagi ilmu silatku." ..-
"Soehoe berdiam di rumahku hampir sepuluh tahun, tapi semua orang,
kecuali aku, tidak mengetahui, bahwa soehoe mempunyai kepandaian yang
begitu tinggi," kata Thian Oe. "Dari sini dapat dilihat, bahwa kesabaran
soehoe sukar terdapat dalam dunia ini."
Siauw Tjeng Hong kembali menghela napas panjang dan berkata: "Kau
mana tahu, bahwa di waktu muda, lantaran gara-gara tonjolkan kepandaian,
aku sudah bentur bencana dan tanam permusuhan hebat dengan beberapa
memedi itu."
Thian Oe yang belum pernah dengar asal-usulnya sang guru, jadi
merasa sangat ketarik dan pasang kuping terang-terang.
"Apakah kau tahu, di kolong langit dalam jaman ini, ilmu pedang
partai mana yang paling bagus?" Tjeng Hong tanya muridnya.
"Bukankah soehoe pernah bilang, ilmu pedang yang paling bagus
adalah dari Thiansan?" jawab sang murid. "Ilmu pedang dari Thiansan, yang
digubah oleh Hoeibeng Siansu telah diturunkan kepada Leng Bwee Hong dan
kemudian diwarisi pula kepada Tong Siauw Lan. Mereka itu adalah pendekar-
pendekar besar dari setiap jaman dan rasanya sukar dicari tandingannya di
dalam dunia."
"Benar," kata sang guru. "Akan tetapi ilmu pedang Thiansan,
lantaran berpusat di tempat jauh, sesudah jamannya Tayhiap Tong Siauw
Lan, jarang sekali terlihat di daerah Tionggoan. Maka itulah, tiga cabang
besar dari Rimba Persilatan di daerah Tionggoan adalah Boetong, Siauwlim
dan Gobie. Partai kita, Tjengshia pay, adalah pecahan dari Gobie dan
telah berdiri sebagai satu partai sendiri."
Mendengar sang guru mau bicarakan soal partai-partai ilmu pedang
dengan dirinya, Thian Oe jadi merasa heran.
"Coba kau tebak, berapa usiaku tahun ini?" tanya sang guru.
Sembari awasi rambut orang yang sudah putih, Thian Oe menjawab:
"Mungkin tidak berjauhan dengan usia ayah." Ayahnya Thian Oe berusia lima
puluh tahun lebih.
"Lantaran jengkel, rambutku jadi putih sebelum waktunya," kata
Siauw Tjeng Hong sembari tarik napas. "Sekarang aku baru berusia empat
puluh lebih sedikit."
Thian Oe kaget. Sebelum ia menanya apa-apa, gurunya sudah lanjutkan
penuturannya: "Pada tiga belas tahun berselang, aku berada di Soetjoan.
Tahun itu kebetulan tahunan Moh Tjoan Seng mengadakan kiatyan, yang
diadakan saban sepuluh tahun sekali (Kiatyan = Dalam agama Budha, memberi
ceramah dan sedekah kepada orang-orang miskin). Moh Tjoan Seng adalah
tokoh kenamaan dari Boetong pay."
"Apakah Moh Tayhiap satu hweeshio (pendeta)?" tanya Thian Oe.
"Bukan," jawab sang guru sembari tertawa. "Moh Tayhiap bukannya
memberi ceramah tentang keagamaan seperti caranya seorang pendeta. Ia
memberi ceramah kepada orang tingkat mudaan dari kalangan Rimba
Persilatan. Menurut
pendengaranku, Moh Tjoan Seng adalah ahli pedang dari tingkatan tua
dan ia adalah puteranya Koei
Tiong Beng, ahli waris ilmu pedang Tatmo dari Partai Utara Boetong.
Oleh karena harus menyambung turunan keluarga Moh, ia jadi menggunakan
she ibunya, yaitu she Moh. Dalam kalangan Rimba Persilatan di daerah
Tionggoan, ia diakui sebagai orang yang mempunyai ilmu silat paling
tinggi. Saban sepuluh tahun sekali, Moh Tayhiap membuka pintu dan memberi
ceramah tentang ilmu silat. Di sebelahnya itu, ia juga memberi petunjuk-
petunjuk kepada orang-orang dari tingkatan lebih muda. Maka itulah,
saban-saban ia mengadakan Kiatyan, orang-orang pandai dari berbagai
cabang persilatan pada naik gunung buat mendengar ceramahnya. Pada tempo
itulah, aku mulai kenal Loei Tjin Tjoe, Tjoei In Tjoe dan Ong Lioe Tjoe.
Waktu itu, di lehernya Ong Lioe Tjoe belum tumbuh daging lebih. Namanya
ketika itu adalah Ong Lioe (Lioe dalam artian "Mengalir") Tjoe.
Selewatnya tahun tersebut, lantaran di lehernya tumbuh daging lebih yang
nonjol, orang-orang Kangouw tukar huruf Lioe (Mengalir) jadi Lioe (Daging
lebih). Antara orang-orang yang hadiri Kiatyan terdapat pula seorang
murid wanita Gobie pay yang bernama Tjia In Tjin, tergelar Sengtjhioe
Siannio (Dewi tangan malaikat). Sepanjang warta, ia mempunyai ilmu silat
paling tinggi di antara orang-orang tingkat kedua dari Gobie pay." Waktu
menyebutkan namanya Tjia In Tjin, badannya Siauw Tjeng Hong kelihatan
sedikit gemetar.
Pada waktu biasa, girang dan gusarnya sang guru jarang terlukis di
atas mukanya, tapi sekarang ia kelihatannya sangat dipengaruhi oleh
perasaannya, sehingga Thian Oe jadi merasa heran.
"Tjia In Tjin adalah seorang wanita cantik dan ilmu silatnya pun
sangat tinggi," Siauw Tjeng Hong lanjutkan penuturannya. "Di sebelahnya
itu, adatnya juga sangat ramah-tamah. Dalam perguruan, aku dan ia memang
masih terhitung ada sangkut pautnya. Dalam kalangan Rimba Persilatan
memang tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan yang dapat bergaul
secara bebas sekali. Maka itulah, ketika Moh Tayhiap mengadakan Kiatyan,
aku dan ia sudah bergaul rapat."
Biarpun Thian Oe masih belum mengenal urusan cinta, akan tetapi,
dengan melihat cara bicara gurunya, ia sudah dapat menebak, bahwa gurunya
sangat menyukai wanita yang bernama Tjia In Tjin itu.
"Pada suatu hari," kata sang guru selanjutnya. "Aku dan ia
rundingkan ilmu pedang dari berbagai partai. Menurut ia, dalam jaman
ini,- biarpun ilmu pedang
Boetong tersohor dan menjagoi di Tionggoan, akan tetapi dalam soal
pukulan aneh dan kemujijatan, ilmu pedang Gobie paling terutama.
"Lain-lain partai semuanya berada di sebelah bawah dan tidak
berharga buat dirundingkan, demikian katanya. Aku tidak nyana ia begitu
temberang. Ketika itu aku masih berusia muda dan berdarah panas dan
lantas saja berkata: "Aku rasa perkataanmu tidak begitu tepat. Kau harus
mengetahui, bahwa saban cabang persilatan masing-masing mempunyai
kebagusannya sendiri. Dalam hal ilmu silat tidak ada yang boleh dibilang
nomor satu dalam dunia." Mendengar omonganku, ia cuma tertawa dingin dan
tidak berkata apa-apa lagi.
"Di antara orang-orang yang hadir dalam perhimpunan, Loei Tjin Tjoe
adalah ahli dari Boetong, Tjoei In Tjoe jagoan dari Khongtong, sedang Ong
Lioe Tjoe adalah muridnya The Peng, seorang ahli silat kenamaan di
Djielam. Tjoei In Tjoe mempunyai satu adik lelaki, Tjoei Ie Tjoe namanya,
yang juga masuk Gobie pay. Tak tahu lantaran apa, Ie Tjoe telah diusir
keluar dari perguruan, dan pada tahun itu, ia pun hadiri ceramahnya Moh
Tayhiap. Empat orang itu sering berada sama-sama dan mereka bergaul rapat
dengan aku.
"Satu hari, kita kembali bicarakan ilmu silatnya berbagai partai,
Loei Tjin Tjoe mengatakan, bahwa Moh Tayhiap yang menjadi tjiangboen
(pemimpin) dari Boetong pay, mempunyai ilmu silat yang sedemikian tinggi,
sehingga sudah tentu ilmu silat Boetong adalah yang paling bagus di
kolong langit. Aku tidak setuju dan lantas berkata: "Bakatnya orang
berbeda satu sama lain, latihannya juga tidak bersamaan. Maka itu, kalau
sang guru nomor satu dalam dunia, murid-muridnya belum tentu semua nomor
satu. Mendengar perkataanku, Loei Tjin Tjoe lantas saja menantang buat
adu pedang dengan syarat lantas berhenti, jika ada yang kena ketowel.
Dalam pertandingan, aku yang kalah. Akan tetapi, aku telah kirim pukulan
Senglo kogoan (Bintang jatuh di tanah tinggi), yaitu pukulan istimewa
dari Tjengshia pay, yang telah dapat tembuskan tangan bajunya Loei Tjin
Tjoe. Biarpun kalah, aku jadi bukannya kalah seluruhnya. Sesudah
bertanding, Loei Tjin Tjoe tertawa terbahak-bahak dan puji tinggi ilmu
silatku. Melihat ia tidak sombong dalam kemenangannya, hatiku menjadi
lega.
"Cuma saja, sesudah mendapat pengalaman begitu, aku mengambil
putusan buat tidak mau sembarangan adu pedang lagi. Tapi dalam dunia
sering terjadi apa-apa yang tidak diduga-duga. Belum lewat tiga hari
sesudah mengambil keputusan begitu, aku kembali terpaksa mengadu pedang."
"Ahli silat panai mana lagi yang berlaku sombong dan soehoe tidak
merasa senang?" tanya Thian Oe.
"Bukan," jawab sang guru. "Kejadiannya terjadi satu malam sebelum
Moh Tayhiap bubarkan perhimpunan. Ong Lioe Tjoe mendadak datang sendirian
dan tarik tanganku buat diajak omong di tempat sepi. Ia bilang Gobie
Liehiap Tjia In Tjin mau jajal ilmu silatku dan minta ia sampaikan
keinginannya kepadaku. Selainnya itu dijanjikan kedua belah pihak memakai
kedok dan pertandingan dilakukan di belakang gunung pada jam tiga pagi.
Sesudah bertanding, kedua belah pihak lantas bubaran dan anggap seperti
tidak kejadian suatu apa. Dengan cara begini, siapa yang menang dan siapa
yang kalah, tidak akan merasa kurang enak hati. Aku menolak, tapi Ong
Lioe Tjoe lantas berkata sembari tertawa: 'Hm! Kau benar tolol! Tjia In
Tjin sebenarnya ada hati terhadapmu, apa kau tak tahu? Ia sangat kagumi
budi pekertimu, cuma belum mendapat tahu tinggi rendahnya ilmu silatmu.
Sesudah aku omong begitu terang, apa kau belum mengerti maksudnya?'
Mendengar begitu, hatiku jadi goncang dan menyetujui. Tapi siapa nyana,
disitu terselip satu akal busuk."
"Bagaimana?" tanya Thian Oe.
Kedua matanya Siauw Tjeng Hong mengawasi ke tempat gelap dengan
mendelong dan kemudian berkata lagi: "Kau harus mengetahui, bahwa dalam
kalangan Kangouw, jika seorang pria dan seorang wanita saling penuju,
mereka paling suka menjajal ilmu silat, seperti caranya kalangan
sastrawan adu bikin syair. Maka itu, mendengar perkataannya Ong Lioe
Tjoe, aku jadi girang bukan main. Akan tetapi, setelah mengingat bahwa
Tjia In Tjin adalah orang terpandai dalam tingkat kedua Gobie pay, hatiku
kembali merasa sangsi.
"Ong Lioe Tjoe seperti dapat baca jalannya pikiranku dan ia lantas
berkata sembari tertawa: 'Mengenai ilmu silat dan ilmu pedang, mungkin
sekali kau masih kalah sedikit, akan tetapi, kalau di dalam beberapa
puluh jurus saja, Jcau tentu tidak sampai menjadi kalah. Ia suka sekali
menggunakan pukulan Lengkim liantjie (Burung malaikat tarik sayapnya),
dan dalam puluhan jurus itu, pukulan tersebut rasanya mesti dikeluarkan
sedikitnya satu kali. Pukulanmu Senglo kogoan (Bintang jatuh di tanah
tinggi) justru adalah pukulan yang dapat pecahkan Lengkim liantjie.'
Memang juga, sesudah Tjengshia pay lepaskan diri dari
Gobie pay, telah digubah banyak sekali pukulan yang menjadi
lawannya pukulan Gobie. Maka itu, perkataannya Ong Lioe Tjoe bukannya
dusta.
"Pada besok malamnya, sesuai dengan perjanjian, aku pergi ke gunung
belakang. Malam itu gelap-gulita, sedang sang angin meniup keras sekali,
sehingga orang tidak dapat melihat suatu apa dalam jarak yang lebih dari
sepuluh tindak. Setibanya di gunung itu, benar saja aku lihat bayangan
orang yang memakai baju hitam dan mukanya ditutup kedok. Potongan
badannya orang itu bersamaan dengan badannya In Tjin. Aku dihinggapi
perasaan tegang dan tidak berani mengeluarkan sepatah kata. Sesudah cabut
pedang, aku segera menyerang. Orang itu balas menyerang seperti hujan
angin dengan serangan-serangan yang membinasakan, seakan-akan ia sedang
adu jiwa. Aku kaget bukan main. Apakah Tjia In Tjin maukan jiwaku? Akan
tetapi aku berbalik pikir, mungkin sekali ia sengaja berbuat begitu,
supaya aku keluarkan segala kepandaianku. Aku tak dapat memikir panjang-
panjang lagi sebab serangannya semakin hebat. Mau tidak mau aku mesti
keluarkan segala rupa kebisaanku buat layani padanya. Dengan cepat tiga
puluh jurus sudah lewat, tapi sebegitu jauh bukan saja pukulan Lengkim
liantjie tidak muncul, malahan cara bersilatnya tidak mirip-mirip ilmu
pedang Gobie dan lebih mirip dengan ilmu pedang Boetong. Bukan main
heranku. Selagi mau menanya, dari tempat gelap mendadak loncat keluar
tiga orang yang lantas saja kerubuti aku. Sedang melawan satu orang saja,
aku sudah kewalahan, bagaimana ditambah lagi dengan tiga musuh tangguh?
Dalam sekejap, aku menghadapi bahaya.
"Dengan lantas aku berteriak: "Hei! Aku ini adalah Siauw Tjeng Hong
dari Tjengshia pay. Siapakah adanya kau orang?" Teriakanku cuma disambut
dengan tertawa dingin oleh tiga musuh. Mendadakan terdengar satu suara
tertawa nyaring. Berbareng dengan itu, satu wanita baju hijau loncat
turun dari atas pohon. Ia tidak memakai kedok."
"Apa ia Tjia In Tjin?" menanya Thian Oe.
"Benar," jawab sang guru. "Ia benar Tjia In Tjin. Aku jadi bengong
lantaran kaget. Tiba-tiba aku dengar sambaran golok dari samping dan satu
bayangan hitam melesat ke arahku. Hampir pada detik yang bersamaan,
sebatang pedang yang mengkilap sudah sampai di depan mukaku dan pukulan
yang digunakan adalah Lengkim liantjie. Pikiranku sedang kalut, dan buat
tolong jiwa, tanpa merasa aku menyambut dengan pukulan Senglo kogoan.
Orang itu keluarkan jeritan keras sebab satu lengannya kena terbabat
kutung. Pada saat itu juga, pedangnya In Tjin menyambar dan binasakan
padanya!
"Aku berteriak, tapi pedangnya In Tjin sudah menyambar lagi dua
kali dan persen dua bacokan pada mukanya lawanku yang pertama. Dengan dua
kali suara "srt", kedoknya robek, dan biarpun dalam kegelapan, aku masih
dapat lihat darah yang berketel-ketel. Lantaran kesakitan, orang itu
cakar mukanya dan kedoknya jatuh. Melihat mukanya, aku jadi terkesiap!"
"Apakah soehoe jadi kaget sebab lihat mukanya tidak keruan macam?"
tanya Thian Oe.
"Benar," jawab Tjeng Hong. "Mukanya ditapak jalak, sedang biji
matanya yang sebelah kiri kena ditusuk pedang, sehingga meletos keluar
dan kelihatannya menakuti sekali! Tapi itu belum seberapa. Begitu
mengenali siapa adanya ia, aku jadi lebih-lebih kaget. Apakah kau bisa
tebak dia siapa?"
Mendengar penuturannya sang guru, hatinya Thian Oe berdebar-debar
dan waktu gurunya menanya, seperti orang kesima, ia balas menanya: "Siapa
ia?"
Siauw Tjeng Hong tarik napas beberapa kali. "Loei Tjin Tjoe!" kata
ia dengan suara sember.
"Ah! Kenapa Loei Tjin Tjoe?" kata Thian Oe.
"Tangannya Tjia In Tjin cepat sekali," Tjeng Hong lanjutkan
penuturannya. "Sesudah lukakan Loei Tjin Tjoe, sembari tertawa nyaring,
tangan kanannya yang mencekal pedang menyabet satu kali, sedang tangan
kirinya terayun dan beberapa senjata rahasia menyambar. Dua orang lantas
saja terguling. Antara empat orang yang sedang bertempur denganku, satu
binasa, tiga mendapat luka. Sebelum dapat tetapkan semangatku, Tjia In
Tjin sudah berkata sembari tertawa: "Kau juga sebenarnya harus terima
satu bacokan. Tapi mengingat kau sudah membantu aku, maka aku suka
mengampuni!" Sesudah berkata begitu, ia enjot badannya dan lantas
menghilang di tempat gelap.
"Aku nyalakan umpan api dan buka kedoknya ketiga orang itu. Begitu
lihat, aku jadi lebih-lebih terperanjat, sebab yang binasa adalah Tjoei
Ie Tjoe, yang kena senjata rahasia adalah Ong Lioe Tjoe, yang kebacok
adalah Tjoei In Tjoe, sedang Loei Tjin Tjoe menggoser di atas tanah. Aku
menghampiri dengan niat tolong bebet lukanya, tapi ia membentak dengan
suara keras: "Pergi!" Ong
Lioe Tjoe dan Tjoei In Tjoe juga mengawasi dengan mata gusar. Dalam
malam yang gelap itu, tiga pasang mata yang bersinar mengincar diriku,
seakan-akan matanya binatang liar yang mengawasi sang pemburu. Aku
mengkirik, balik badan dan lantas kabur sekeras mungkin, tanpa pamitan
dengan Moh Tayhiap."
"Dilihat begitu, Loei Tjin Tjoe agaknya sengaja mau celakakan
soehoe," kata Thian Oe. "Tapi kenapa, ia juga pancing Gobie Liehiap Tjia
In Tjin datang kesitu?"
"Kau cuma dapat menebak separoh," jawab sang guru. "Belakangan aku
baru tahu, bahwa Loei Tjin Tjoe-dan Tjoei Ie Tjoe kedua-duanya pernah
melamar In Tjin. Lamarannya Loei Tjin Tjoe ditolak sehingga ia mendapat
malu besar, sedang Tjoei Ie Tjoe, sebab mau coba nodai soetjie-nya (kakak
perempuan seperguruan), sudah diusir dari rumah perguruan. Malam itu,
Loei Tjin Tjoe sudah janjikan In Tjin buat mengadu pedang, dengan masing-
masing memakai kedok. Diam-diam ia atur tiga kawannya buat membantu
padanya. Lantaran masih kuatir tak dapat menangkan In Tjin, ia perintah
Ong Lioe Tjoe pancing diriku.
"Loei Tjin Tjoe sebenarnya niat menarik keuntungan selagi aku dan
In Tjin bertempur. Tapi, dengan menggunakan siasat yang sampai sekarang
tidak diketahui olehku, sebelum tiba jam yang dijanjikan, Tjia In Tjin
berhasil pancing keluar Loei Tjin Tjoe, yang, dengan serupa tangan jahat,
sudah dibikin kalang-kabut jalan darahnya, sehingga otaknya menjadi
kalut.
"Malam itu, lantaran tidak sabaran, aku sudah tiba di gunung
sebelum jam tiga. Lantaran gelap dan sebab badannya Loei Tjin Tjoe hampir
bersamaan dengan tubuhnya Tjia In Tjin, aku jadi bergebrak dengan ia.
Belakangan datanglah Tjoei In Tjoe bertiga. Mereka duga aku sudah
mengetahui akal busuknya dan berbalik membantu Tjia In Tjin. Maka itu,
mereka lalu menyerang. Tjoei Ie Tjoe adalah murid Gobie pay dan tanpa
disengaja, ia sudah menyerang dengan pukulan Lengkim liantjie, sehingga
menemui ajalnya. Jika malam itu tidak terjadi salah mengerti, biarpun
ilmu silatnya In Tjin lebih tinggi lagi, aku rasa ia sukar dapat melawan
empat musuhnya itu.
"Loei Tjin Tjoe sebenarnya mempunyai paras yang cakap dan bergelar
Giokbin Holie (Rase muka batu kemala). Sekarang mukanya rusak dan satu
matanya menjadi buta. Dengan begitu, ia jadi sangat sakit hati terhadap
aku dan In Tjin. Tjoei In Tjoe sendiri menaruh dendam lantaran kebinasaan
adiknya. Ong Lioe Tjoe kena terpanggang jarum beracunnya In Tjin, dan
sesudah lukanya sembuh, pada tempat bekas luka tumbuh daging lebih. Di
sebelahnya itu, ilmu silatnya pun tidak dapat pulih kembali seperti
sediakala. Sesudah peristiwa malam itu, Tjia In Tjin tidak kelihatan mata
hidungnya lagi. Tiga orang itu lantas saja tumpleki kegusarannya atas
diriku dan selama sepuluh tahun, ubak-ubakan mencari aku buat
dibinasakan."
Thian Oe dengarkan penuturan gurunya dengan perasaan seram sekali.
"Kalau begitu soehoe menjadi sinshe dan kemudian ikut kita ke Tibet,
lantaran mau menyingkirkan diri dari mereka," kata Thian Oe.
"Ya!" kata Siauw Tjeng Hong sembari menghela napas panjang.
"Sesudah peristiwa malam itu, lantaran jengkel dan kuatir, rambutku
menjadi putih sebelum waktunya. Cuma ada satu hal yang aku masih belum
dapat tahu terang. Sebab apa Ong Lioe Tjoe mau membantu Loei Tjin Tjoe
memasang jebakan itu?"
"Apakah itu orang yang kena ditendang jatuh kedalam jurang oleh
soehoe?" tanya Thian Oe.
"Benar," jawabnya. "Lantaran terdesak, aku terpaksa binasakan
padanya. Dendaman ini jadi semakin dalam saja. Sepanjang warta, sesudah
mendapat luka, Loei Tjin Tjoe terus menerus berlatih dan sekarang ilmu
silatnya sudah maju jauh sekali. Belasan tahun berselang, aku sudah bukan
tandingannya, dan kalau sekarang bertemu lagi, jiwaku tentu akan
melayang!"
"Sesudah mendengar penuturan soehoe, aku merasa, bahwa biarpun
perbuatannya Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya tidak pantas, akan tetapi
tangannya Tjia In Tjin juga terlalu kejam," kata Thian Oe.
Mendadak Siauw Tjeng Hong kelihatan seperti orang terkesiap. Di
antara menderunya angin, terdengar suara tertawa. Di lain saat, dari luar
menyambar serupa benda. ... Tjeng Hong kelit sembari loncat keluar tenda.
Akan tetapi, kecuali semburan air panas dan sinarnya rembulan, diluar
tidak kelihatan barang satu manusia. Tjeng Hong terkejut. Ilmu entengi
badan orang itu ternyata luar biasa tingginya, sebab dalam tempo yang
begitu pendek, ia sudah dapat menyingkirkan diri.
Dengan hati bimbang Tjeng Hong masuk lagi ke dalam tenda. "Lihatlah
soehoe!" kata Thian Oe dengan suara sedikit gemetar, sambil menuding
dengan telunjuknya. Tjeng Hong mengawasi ke tempat yang ditunjuk oleh
muridnya. Ia lihat sepotong kulit kerbau, bagian atasnya menembus dan
nyangkol di tenda, sedang bagian bawahnya tergulung. Lagi-lagi Tjeng Hong
terkejut. Walaupun kulit itu lebih tebal dari kertas, akan tetapi
sebagaimana diketahui, kulit bukannya benda yang dapat digunakan buat
menimpuk. Bahwa orang itu dapat menggunakan kulit seperti senjata rahasia
yang menancap pada kain tenda, dapatlah dibayangkan berapa tinggi tenaga
dalamnya. Thian Oe ambil kulit kerbau itu yang di atasnya terdapat dua
baris huruf, ditulis dengan menggunakan kuku dan berbunyi seperti
berikut:
"Di atas telaga dan lautan terumbang-ambing belasan tahun, Hanya di
Kanglam dan Gobie Utara menetap buat sementara. Tuan-tuan lekas pergi ke
telaga Thian-ouw, Cari seorang yang dijuluki Thiekoay sian."
Kedua matanya Siauw Tjeng Hong keluarkan sinar terang dan berkata
seorang diri: "Tadinya aku kira Loei Tjin Tjoe. Siapa tahu yang datang
adalah Thiekoay sian (Dewa tongkat besi). Ih, inilah sungguh
mengherankan!"
"Siapa Thiekoay sian?" tanya muridnya.
"Pada dua puluh tahun berselang, Thiekoay sian adalah seorang
pendekar aneh yang malang melintang di daerah Kanglam. Katanya, ia adalah
muridnya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie. Sesudah binasanya Liauw In, Kam
Hong Tie cabut tongkat besinya soeheng itu yang menancap pada batu di
gunung Binsan dan turunkan ilmu silat tongkat kepadanya..."
"Cara bagaimana tongkatnya Liauw In bisa menancap di batu gunung?"
tanya Thian Oe.
"Bermula, Liauw In adalah kepala dari Kanglam Pathiap (Delapan
Pendekar Kanglam)," menerangkan sang guru. "Hubungan antara Liauw In dan
Hong Tie adalah hubungan setengah guru (Liauw In pernah ajarkan ilmu
silat kepada Hong Tie). Belakangan oleh karena Liauw In langgar
sumpahnya, Tujuh Pendekar Kanglam telah binasakan dia di hadapan makam
gurunya. Yang bunuh padanya adalah Liehiap Lu Soe Nio. Sesudah kalah dan
sebelum tarik napasnya yang penghabisan, Liauw In timpukkan tongkat
besinya ke batu gunung dari gunung Binsan, sehingga tongkatnya nancap
dalam sekali di batu itu. Belakangan Kam Hong Tie cabut tongkat itu dan
turunkan ilmu silat tongkat kepada muridnya, sebagai satu peringatan
untuk soeheng-nya yang pernah mewakili sang guru untuk mengajar ia. Nama
muridnya Hong Tie adalah Lu Tjeng. Sesudah mendapat tongkatnya sang
supeh, ia robah namanya menjadi Thiekoay (Tongkat besi). Hong Tie ajarkan
ia 108 jalan ilmu silat tongkat yang dinamakan Hokmo Tianghoat (Ilmu
silat Tongkat takluki iblis), dan oleh karena begitu, ia jadi dikenal
sebagai Thiekoay sian."
"Apakah Thiekoay sian mempunyai hubungan dengan soehoe?" tanya
Thian Oe.
"Waktu aku baru keluar dari rumah perguruan, namanya sudah tersohor
di kalangan Kangouw. Aku sangat kagumi ia, tapi belum mempunyai
kesempatan buat bertemu muka," jawab Siauw Tjeng Hong.
"Kalau begitu soehoe belum kenal Thiekoay sian. Tapi kenapa ia
djanjikan kau buat bertemu di Thian-ouw?" kata lagi sang murid.
"Yah, aku juga sedang pikirkan sebabnya," jawab Siauw Tjeng Hong.
"Kedatanganku di Thian-ouw adalah buat cari satu orang luar biasa. Jika
disitu aku juga bisa bertemu dengan Thiekoay sian, kejadian itu sungguh
menggirangkan."
Omong-omong sampai disitu, Thian Oe ingat perkataannya itu wanita
Tsang. "Orang yang soehoe cari, apa masih mempunyai hubungan dengan
Pengtjoan Thianlie?" tanya ia.
"Apa? Pengtjoan Thianlie?" menegasi sang guru. "Nama itu
kedengarannya luar biasa, tapi aku belum pernah dengar. Siapakah
Pengtjoan Thianlie?"
"Aku pun tidak mengetahui," jawab Thian Oe. "Tapi menurut gadis
Tsang itu, ia juga berdiam di Thian-ouw." Sehabis berkata begitu, Thian
Oe lantas tuturkan segala kejadian dalam pertemuannya sama Chena di bukit
es. "Tapi, apakah aku boleh mengetahui, siapa yang sedang dicari oleh
soehoe?" kata ia akhirnya.
"Aku dapat dengar, adiknya Tayhiap Moh Tjoan Seng yang bernama Koei
Hoa Seng telah kabur ke Tibet dan menetap di Thian-ouw sesudah kalah
sejurus dalam pertandingan pedang melawan suami isteri Tong Siauw Lan.
Cerita ini tersiar luas, akan tetapi aku sendiri tidak dapat pastikan
benar tidaknya. Akan tetapi oleh karena keadaan terlalu mendesak dan
kepandaiannya Loei Tjin Tjoe lebih unggul banyak daripada aku, maka
sesudah pikir pergi datang, harapanku satu-satunya adalah Koei Tayhiap,
yang mungkin masih dapat singkirkan bencana yang sedang mengancam."
"Kenapa adiknya Moh Tayhiap she Koei?" tanya Thian Oe.
"Pernikahan antara Koei Tiong Beng tjianpwee dan pendekar wanita
Moh Hoan Lian telah dikurniai tiga putera. Yang satu ambil she ayahnya,
yang lain teruskan she ibunya, sedang yang satunya lagi pakai she ayah
angkatnya. Yang paling tua bernama Moh Tjoan Seng, yang kedua Tjio Kong
Seng, sedang yang ketiga adalah Koei Hoa Seng. Antara ketiga saudara, Moh
Tjoan Seng mempunyai lweekang yang paling tinggi, sedang Koei Hoa Seng
unggul dalam ilmu pedang. Tingkatannya Koei Hoa Seng sangat tinggi dan
jika ia sudi menolong, Loei Tjin Tjoe tentu tak dapat berbuat apa-apa.
Hai! Cuma tak tahu, apakah ia masih hidup dalam dunia ini!"
"Bagaimana kalau
kepandaiannya Thiekoay sian dibandingkan dengan Loei Tjin Tjoe?"
tanya Thian Oe.
"Sesudah berpisahan belasan tahun, aku tidak tahu, sampai dimana
kemajuan Loei Tjin Tjoe," sahut sang guru. "Akan tetapi, sesudah lihat
kepandaiannya Thiekoay sian yang barusan, aku kira Loei Tjin Tjoe masih
belum mampu menangkan ia."
Sesudah berdiam beberapa saat, Siauw Tjeng Hong berkata lagi dengan
paras muka guram: "Aku dan Thiekoay sian tidak mengenal satu sama lain
dan ia djanjikan aku buat bertemu di Thian-ouw. Apakah maksudnya itu?
Loei Tjin Tjoe adalah orang Boetong pay, yang mempunyai hubungan luas
sekali dalam kalangan Rimba Persilatan. Kalau Thiekoay sian datang buat
membantu Loei Tjin Tjoe, kedudukanku akan lebih celaka lagi!"
Thian Oe sebenarnya ingin usulkan supaya gurunya minta bantuan
Thiekoay sian, akan tetapi, sesudah dengar begitu, hatinya jadi semakin
tidak enak.
Separoh malam guru dan murid berdiam dalam tenda yang robek itu.
Angin dingin meniup keras dan rasanya meresap ke tulang-tulang. Tak lama
kemudian fajar menyingsing, dan mereka lalu bereskan bekalannya. Tendanya
musuh masih berada disitu. Waktu lari, mereka tidak keburu ambil tenda
tersebut. Tanpa sungkan-sungkan, Thian Oe lantas benahkan tenda orang.
Tjeng Hong mengawasi dan berkata sembari menghela napas: "Lweekang-mu
belum sempurna, sehingga kau tidak dapat menahan hawa dingin. Baiklah.
Kau boleh ambil tenda itu."
Siauw Tjeng Hong dinginkan air panas yang kemudian diisikan ke
dalam tiga kantong.
Sesudah beres bebenah, mereka segera teruskan perjalanan dengan
menunggang kuda. Hari pertama hawa udara masih lumayan, tapi di hari
kedua turun hujan salju, sehingga Thian Oe menggetget lantaran
kedinginan.
Pada hari ketiga, biarpun udara terang, tapi hawa jadi lebih dingin
sebab lumernya salju. Lewat lohor mereka keluar dari mulut gunung dan
keadaan bumi jadi lebih merata, sedang kota Shigatse lapat-lapat sudah
dapat dilihat.
"Malam ini kita bisa sampai di Shigatse," kata Tjeng Hong dengan
suara girang. Mendadak dengan satu suara "Ih!", paras mukanya jadi
berubah. Thian Oe yang bermata jeli lantas dapat lihat, bahwa di atas
satu tanjakan sedang rebah satu pengemis yang rambutnya kusut seperti
rumput, sebelah mukanya terpendam dalam salju, kepalanya ditandelkan atas
sebatang tongkat besi, pakaiannya rombeng, sehingga kulitnya kelihatan
merah lantaran kedinginan.
Thian Oe yang mempunyai hati kasihan, lantas menghampiri dan dorong
badannya pengemis itu sembari berkata: "Hei! Hei! Jangan tidur disini!"
Pengemis itu miringkan badannya, yang hampir-hampir jadi
tergelincir. Thian Oe buru-buru angkat padanya. Pengemis itu mengulet dan
mendadak membentak: "Jangan raba!"
Sekarang ia baru dapat lihat, pengemis itu pincang, dengan kaki
kiri lebih panjang dari kaki kanan. Ia lantas menghaturkan maaf dan
menanya: "Apa kau mau makan apa-apa?" Pengemis itu perlahan-lahan angkat
kepalanya dan kedua matanya kebentrok dengan matanya Thian Oe, yang jadi
sangat kaget, lantaran mukanya hitam seperti pantat kuali, rambutnya
awut-awutan, sedang kedua matanya bersinar tajam dingin bagaikan es.
"Taruh!" kata pengemis itu.
Thian Oe lantas taruh sekantong ransum kering di atas tanah. Orang
itu tidak menghaturkan terima kasih, ia miringkan badannya dan sesapkan
lagi mukanya ke dalam tumpukan salju.
Waktu ia dongak, Thian Oe lihat kedua mata gurunya bersorot kuatir,
seperti juga mau suruh ia buru-buru tinggalkan tempat itu. Thian Oe
segera loloskan baju .luarnya yang terbuat dari bulu onta dan kerebongi
badannya pengemis itu. Sesudah itu, bersama gurunya, ia tunggang kembali
kudanya. Tidak lama kemudian mereka tiba di tanah datar dan Siauw Tjeng
Hong barulah bernapas lega.
"Soehoe, apa ada apa-apa yang kurang baik?" tanya Thian Oe.
"Apa kau perhatikan tongkat besinya?" Siauw Tjeng Hong balas
menanya.
Thian Oe terkejut. "Apa ia Thiekoay sian?" ia tanya.
"Aku belum pernah bertemu dengan Thiekoay sian dan juga belum
pernah dengar bahwa ia itu adalah seorang pincang," kata Tjeng Hong.
"Cuma saja, tongkat itu yang besarnya seperti mangkok nasi, paling
sedikit beratnya tujuh puluh kati. Pengemis biasa mana bisa angkat
tongkat yang begitu berat! Apalagi ia berani rebahkan diri di atas salju
yang sangat dingin. Maka itulah, aku berani pastikan, ia itu bukannya
orang biasa."
"Kalau ia benar Thiekoay sian, kenapa soehoe tidak mau coba-coba
berkenalan?" tanya lagi Thian Oe.
"Kau baru saja terjun ke dalam kalangan Kangouw, mana kau tahu
peraturan orang Kangouw," kata sang guru sembari geleng-gelengkan
kepalanya. "Kalau ia benar Thiekoay sian, lebih-lebih lagi aku tak dapat
menegur di tempat itu."
"Kenapa?" tanya sang murid.
"Ia djanjikan aku bikin pertemuan di Thian-ouw, kawan atau lawan,
masih belum terang," menerangkan Siauw Tjeng Hong. "Menurut peraturan
Kangouw, sesudah tiba di Thian-ouw, barulah aku boleh bertemu dengan
ianya. Di waktu itulah, baru aku boleh dengar apa maksudnya. Andaikata
kedatangannya adalah untuk sahabatnya buat jajal kepandaianku, satu
pertemuan yang dibikin lebih siang dari tempo yang dijanjikan, berarti
suatu kesombongan dan mau bertempur dengan ia, sebelum waktunya. Sekarang
ini, kita masih belum tahu, apakah ia Thiekoay sian atau bukan. Kalau
benar ia Thiekoay sian, dengan buka rahasia penyamarannya, kita juga
melanggar kebiasaan Kangouw."
"Kalau ia bukannya Thiekoay sian?" tanya lagi Thian Oe.
"Orang-orang aneh dari kalangan Kangouw yang kita tidak tahu benar
asal-usulnya, tak dapat diganggu secara sembrono," kata sang guru. "Apa
kau lupa kejadian pada tiga hari berselang, kapan kau coba dekati
manusia-manusia itu?"
Thian Oe tidak berkata apa-apa, tapi hatinya kurang menyetujui
perkataan gurunya. Biarpun benar waktu itu ia seperti juga menuntun
anjing hutan masuk ke dalam rumah, akan tetapi, dengan menolong si anak
sekolah, mereka telah mendapat bantuan yang tidak diduga-duga. Biarpun
hatinya berpikir begitu, Thian Oe sungkan berbantahan dengan gurunya.
Mereka lantas pecut tunggangannya yang lantas lari terlebih cepat.
Kira-kira magrib, benar saja mereka tiba di kota Shigatse. Kota itu
adalah kota yang kesohor di
Tibet, cuma saja karena berkedudukan di tempat jauh dan sepi,
jumlahnya pelancong yang mundar-mandir tidaklah banyak dan dalam kota
cuma terdapat sebuah rumah penginapan yang lumayan. Guru dan murid lantas
masuk ke rumah penginapan itu. Sang pelayan yang lihat mereka berpakaian
seperti orang asing, buru-buru antar mereka masuk dengan sikap hormat
sekali.
Tapi baru saja mereka menginjak lorak, di dalam mendadak terdengar
suara ribut-ribut. Siauw Tjeng Hong mengawasi dan hatinya terkejut. Ia
lihat satu pengemis dengan pakaian rombeng dan tongkat besi ditandelkan
di tanah, sedang memaki kalang kabut: "Kau orang buka rumah penginapan
kenapa tidak kasih aku menginap disini. Hm, hm! Mata anjingmu betul
berminyak. Orang yang berpakaian bagus dihormat-hormati, sedang tuan
besarmu yang pakaiannya rombeng, ditegur pun tidak!" Sehabis berseru
begitu, ia ketruk tongkatnya dan satu ubin persegi lantas hancur.
"Mohon tayya (tuan besar) jangan gusar," kata pengurus rumah
penginapan. "Lantaran rumah penginapan ini sangat kecil dan modal tidak
seberapa, maka telah diadakan aturan, ongkos sewa kamar dan harga makanan
harus dibayar terlebih dahulu."
Pengemis itu tertawa besar. "Ah, kenapa kau tidak bicara siang-
siang. Apa kau takut tuan besarmu nganglap?" kata ia. Ia rogoh sakunya
dan keluarkan sepotong perak. Sedang bajunya begitu rombeng, tak tahu
perak itu ia taruh dimana. Sembari lempar perak itu di atas meja, ia
berkata: "Bereskan kamar, sediakan dua kati arak dan seekor ayam yang
gemuk. Baik-baik layani tuan besarmu, mengerti! Apa? Kenapa matamu
melotot? Apa uang tidak cukup?"
Si pengurus hotel yang tak duga pengemis itu mempunyai sepotong
perak yang begitu besar, jadi girang hatinya. "Dua tail sudah cukup,"
kata ia. "Siauwdjie, coba timbang perak ini. Kalau ada lebihnya,
pulangkan kepada tayya."
Pengemis itu kembali tertawa berkakakan. Sembari kebaskan
tangannya, ia berkata: "Tak usah, lebihnya ambil! Besok pagi, tuan
besarmu mau lantas berangkat. Lain kali cuci bersih-bersih matamu. Jangan
lihat orang miskin lantas mau diusir."
"Maaf Maaf!" kata si pengurus hotel sembari tertawa. "Kalau rawatan
kurang memuaskan, harap tayya sudi maafkan."
Siauw Tjeng Hong terkejut lantaran ia itu adalah pengemis yang tadi
siang mereka ketemu di tengah jalan. Mereka tunggang kuda, ia jalan kaki,
tapi ia sampai lebih dahulu. Andaikata ia potong jalan, toh kepandaiannya
sudah cukup luar biasa. Tjeng Hong sebenarnya mau mundur kembali, tapi
kakinya sudah menginjak lorak, dan kalau mundur, orang bisa jadi curiga.
Maka itu, ia ikuti terus pelayan rumah penginapan.
Tjeng Hong minta satu kamar besar buat dua orang. Sesudah mengunci
pintu, guru dan murid duduk saling berhadapan dengan perasaan masgul.
Sesudah bersantap, mereka dengar suara berbengernya kuda dan di luar
datang lagi dua tetamu. Begitu masuk, mereka berteriak-teriak minta
disediakan kamar dan makanan. Tjeng Hong melongok dari jendela dan lihat
kedua tetamu itu adalah pembesar tentara. Orang yang jalan duluan
mengempit satu peti kayu merah yang kelihatannya sangat berharga. Kamar
mereka justru berhadapan dengan kamar Siauw Tjeng Hong.
Tjeng Hong melirik. Mendadak ia lihat di kamar sebelah depan juga
muncul dua kepala orang yang begitu nongol, lantas ditarik masuk kembali.
Kepalanya kedua orang itu diikat sama ikatan kain putih, matanya blau,
kumisnya merah dan ternyata adalah orang asing. Waktu kepala mereka
nongol, di bibirnya tersungging dengan senyuman luar biasa.
Tjeng Hong jadi heran. Waktu pelayan hotel masuk buat bereskan
kamar, ia memberi persen satu tail perak dan tanya siapa adanya itu dua
tetamu asing.
"Bahasa mereka aku tidak mengerti," jawab sang pelayan. "Menurut
katanya pengurus, yang mengerti banyak bahasa, mereka itu adalah boesoe
(pahlawan) dari Nepal."
Sesudah si pelayan pergi, Thian Oe lantas berkata: "Tahun yang
lalu, orang Gurkha dari Nepal telah menyerang Tibet Barat. Mereka
membunuh banyak penduduk pribumi dan merampas kerbau dan kambing yang
tidak sedikit jumlahnya. Belakangan mereka kena dipukul mundur oleh
tentara kerajaan. Sudah hampir setahun mereka tidak berani masuk lagi di
Tibet Barat. Belakangan aku dengar keterangan ayah, bahwa sesudah keadaan
menjadi reda, mereka mulai bergerak lagi. Maka itu, kedua boesoe ini
mungkin mempunyai tujuan yang kurang baik."
"Sesudah dua negara mengadakan perdamaian, memang juga tidak bisa
diambil sikap bermusuhan lagi dan perhubungan harus pulih seperti
sediakala. Inilah ada kelumrahan dalam perhubungan antara negara dan
negara," demikian Tjeng Hong memberi keterangan. "Di antara boesoe bangsa
Nepal terdapat banyak sekali ksatria. Maka itu, kita tidak boleh sama
ratakan semua orang."
Mendengar nasehatnya sang guru, Thian Oe manggut-manggutkan
kepalanya.
"Andaikata benar ada apa-apa yang luar biasa, malam ini kau tidak
boleh bergerak," memesan Siauw Tjeng Hong.
Selagi mereka omong-omong, di luar jendela mendadak berkelebat
bayangan orang. Thian Oe melongok dari jendela dan lihat seorang tua yang
bermuka merah dan jenggotnya kasar, sedang mundar-mandir di luar kamar.
Orang itu mendadak dongak dan menyanyi dengan suara nyaring sekali:
"Di bawah gunung Holan san
barisan laksana awan.
Gerakan tentara siang malam
dapat kedengaran,
Sapu debu di pakaian perang
dengan kebutan,
Angkat pedang buat tantang
pihak lawan.
Sungguh 'ku ingin dapatkan gendewa malaikat buat memanah panglima
musuh,
Supaya tak usah mendapat malu dan tangisi raja lantaran kalah dalam
peperangan."
Belum habis nyanyian itu, dua perwira di kamar seberang sudah
memaki: "Siapa yang bikin ribut di luar, sampai aku tak bisa tidur? Kalau
berani lagi, aku akan gebuk supaya kau bisa berkaok-kaok sepuas hati."
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Ia tidak gusar dan juga tidak
berkata suatu apa. Ia lantas masuk ke dalam kamarnya, yang terletak di
sebelah kanannya kamar Siauw Tjeng Hong.
Waktu Thian Oe menengok, ia lihat kedua mata gurunya bersinar
terang, sedang paras mukanya mengunjuk kegirangan.
"Siapa orang tua itu?" tanya Thian Oe.
"Bintang penolong datang," kata gurunya.
"Apa?" muridnya menegasi. "Orang tua itu bernama Bek Eng Beng,"
sahut sang guru. "Ia adalah seorang pendekar yang paling ternama di
propinsi Siamsay dan Kamsiok. Bagaimana dalam ilmu .silatnya, sukar orang
dapat mengukur. Ia adalah seorang mulia yang sangat suka menolong sesama
manusia, dan di sebelahnya itu, ia masih mempunyai hubungan rapat dengan
golongan kita. Cuma aku tidak tahu, sebab apa ia berada disini."
Sesudah berpikir beberapa saat, Tjeng Hong niat keluar dari
kamarnya buat mengunjungi orang tua itu. Tapi mendadak si pengemis aneh
yang berdiam di kamar sebelah kiri, berjalan keluar dan setibanya di
depan kamar Tjeng Hong, ia keluarkan suara tertawa. Tjeng Hong kerutkan
alis. Sekonyong-konyong ia tiup lampu dan tidur tanpa membuka baju.
"Kenapa soehoe tidak jadi pergi?" tanya Thian Oe.
"Malam ini, dalam rumah penginapan ini sudah datang begitu banyak
orang pandai," kata gurunya. "Kalau dilihat gelagatnya, ini malam mesti
terjadi apa-apa. Buat sementara aku tidak mau unjuk muka. Biarlah kita
tunggu saja,"
Perasaannya Thian Oe menjadi tegangv Ia ambil kantong senjata
rahasia dari atas meja dan taruh di bawah bantalnya.
"Oe-djie," kata Tjeng Hong. "Tidak perduli di luar ada kejadian
apapun juga, aku larang kau bergerak."
Mendengar perkataan gurunya, hatinya Thian Oe jadi semakin
bergoncang. Ia gulak-gulik di atas bantal dan tentu saja tidak dapat
tidur pulas. Akan tetapi, sesudah lewat sekian lama, di luar tetap sepi-
sepi saja. Tidak lama kemudian, kentongan berbunyi empat kali, tapi masih
juga belum terjadi suatu apa. Thian Oe jadi merasa sangat ngantuk dan ia
meramkan kedua matanya. Dalam layap-layap, mendadak ia seperti lihat
bayangan orang dan waktu membuka mata, orang itu ternyata adalah gurunya
sendiri yang sudah bangun berdiri. Ia loncat bangun dengan perasaan
kaget. "Jangan bergerak," berbisik gurunya. "Aku mau keluar buat lihat-
lihat."
Thian Oe tidak mengetahui, bahwa di atas genteng lewat satu tetamu
malam. Cuma saja sebab ilmu entengi badannya sangat tinggi dan gerakannya
cuma mengeluarkan sedikit suara, maka Thian Oe tidak dapat mendengar.
Tapi Siauw Tjeng Hong bukan saja sudah mendengar, tapi juga
mengetahui, bahwa gerakan itu adalah gerakan dari seorang ahli Heng-ie
pay. Bek Eng Beng adalah tokoh dari partai tersebut, maka orang itu
tentulah mesti ianya.
Tjeng Hong lantas salin pakaian hitam peranti jalan malam dan lalu
loncat keluar dari jendela. Begitu berada di luar, ia lihat satu bayangan
hitam mendekam di payon kamar seberang dan sedang mengintip ke dalam
kamar. Tjeng Hong loncat ke atas genteng dan waktu orang itu menengok,
ternyata ia memang Bek Eng Beng adanya.
Tjeng Hong segera memberi tanda dengan gerakan tangan, buat
mengasih tahu, bahwa ia adalah seorang kawan. Biarpun sudah belasan tahun
tidak pernah bertemu, Bek Eng Beng kelihatannya masih belum lupa. Ia
angkat tangan kanannya yang digoyang beberapa kali, seperti juga mau
bilang, Tjeng Hong tak usah campur urusannya. Siauw Tjeng Hong segera
mendekam di satu tempat ceglok di atas genteng. Ia lihat dalam kamar
perwira itu dipasang lilin sebesar lengan, jendelanya ditutup separoh,
sedang suara menggeros kedengaran keras sekali. "Persiapan semacam itu
tidak akan dibikin, kalau bukannya orang itu mempunyai kepandaian tinggi.
Orang Kangouw yang tanggung-tanggung, begitu lihat persiapan begitu,
tentu akan lantas angkat kakinya. Tak dinyana, kedua perwira itu adalah
orang-orang Kangouw - yang berkepandaian tinggi," demikian Tjeng Hong
berkata dalam hatinya.
Bek Eng Beng juga rupanya memikir begitu, sebab, sesudah mendekam
lama, ia kelihatan masih bersangsi. Sementara itu, suara menggeros
kedengaran semakin santer. Di lain saat, Bek Eng Beng rupanya sudah
mengambil putusan. Ia cabut pedangnya dan bagaikan walet menembus tirai,
ia loncat ke dalam kamar.
Siauw Tjeng Hong lantas bergerak dan loncat ke tempat dimana
barusan Bek Eng Beng mendekam. Semua itu terjadi dalam tempo sekejapan
mata saja. Begitu masuk, tangannya Bek Eng Beng lantas menjambret ke peti
kayu merah yang ditaruh di pinggir pembaringan. Hampir berbareng, kedua
perwira sudah loncat dari pembaringan dan dua batang pedang menyambar ke
arah jalanan darah di kedua pundaknya Bek Eng Beng.
Tak malu Bek Eng Beng bergelar Siamkam Tayhiap (Pendekar dari
propinsi Siamsay dan Kamsiok). Diserang selagi membungkuk, badannya
mendadak lempeng dan melesat ke atas, sedang pedangnya sampok kedua
senjata musuh. Sebelum hinggap di muka bumi, badannya diputar, kaki
kirinya menendang lebih dahulu, disusul dengan kaki kanannya. Itulah
Lioeseng Kangoat Toeihong kiam (Ilmu pedang Bintang sapu mengejar bulan
dan angin) dan Lianhoan Tokbeng Wanyangkak (Tendangan berantai membetot
jiwa) dari Heng-ie pay yang digunakan secara saling susul. Dihantam
secara begitu, kedua perwira itu lantas terdesak ke pojok kamar.
Bek Eng Beng berbalik buat jumput peti merah itu. "Bangsat yang
bernyali besar!" membentak satu perwira. "Malam ini kita pasang umpan
buat tangkap ikan emas. Apa kau masih berani turun tangan?"
Baru saja Bek Eng Beng mau lonjorkan tangannya, di bebokongnya
sudah menyambar senjata musuh. Ia tendang peti itu sampai di pinggir
pintu, sedang pedangnya tangkis senjata musuh. Bek Eng Beng menyerang
dengan serangan-serangan yang
membinasakan, tapi kedua perwira itu pun bukannya lawanan empuk.
Mereka putar pedangnya secara rapat sekali dan berbareng mengirim
serangan-serangan yang tidak kurang hebatnya.
"Barang apa terdapat dalam peti itu?" tanya Tjeng Hong dalam
hatinya. "Tapi biarlah aku bantu Bek Tayhiap." Selagi ia mau loncat
turun, mendadak terdengar suara gedubrakan dan pintu kamar terpentang
akibat tendangan.
Berbareng dengan itu, dua boesoe Nepal menerobos masuk dengan sikap
garang, sedang satu antaranya lantas jumput peti merah itu.
Selagi kedua boesoe mau lari keluar, badannya Tjeng Hong melayang
turun sembari mengebut dengan hudtim-nya. Satu boesoe lantas memapaki
dengan goloknya. Golok itu' berbentuk bulan sisir dengan tajamnya bengkok
ke dalam. Itulah senjata yang bukan saja dapat melukakan orang, tapi juga
dapat menggaet senjata musuh. Tapi hudtim-nya Siauw Tjeng Hong juga
adalah senjata mustika yang jarang terdapat dalam Rimba Persilatan.
Kebutan itu bisa keras dan bisa lemas. Begitu lekas ia membacok, boesoe
itu rasakan goloknya seperti membacok kapas, tanpa ada tenaga yang
melawan. Hatinya terkesiap dan tarik pulang goloknya, tapi golok itu
sudah tergubat hudtim. Boesoe itu membetot, tapi goloknya tak dapat
putuskan benang-benang hudtim. Tjeng Hong kerahkan tenaganya dan
membentak: "Lepaskan golokmu!" Lantaran sayang goloknya, boesoe itu
kerahkan seluruh tenaganya pada lengan kanannya buat lawan tenaga musuh.
Itulah justru yang diingini Siauw Tjeng Hong. Mendadakan saja tangan
kirinya menyambar dan betot peti merah itu yang dipeluk dengan tangan
kirinya boesoe tersebut. Itu adalah tipu yang dinamakan suara di timur,
menyerang di barat. Oleh karena perhatiannya sedang dipusatkan kepada
sang golok, bagian kirinya jadi terbuka dan di lain saat, peti merah itu
sudah pindah ke tangannya Tjeng Hong.
Boesoe itu seperti terbang semangatnya. Ia baru sadar, bahwa isinya
peti itu ada laksaan kali lipat lebih berharga dari goloknya. Sedang
pikiran musuh kalut, dengan sekali gentak saja, Siauw Tjeng Hong bikin
terpental golok musuh dari tangannya.
Ketika peti merah kena dirampas oleh sang boesoe, keadaan
pertempuran dalam kamar lantas jadi berobah. Kedua perwira dan Bek Eng
Beng berhenti berkelahi dan ketiga batang pedang lantas meluruk kepada
dua musuh yang baru datang. Tapi baru saja pedang mereka menyambar, peti
merah itu sudah pindah ke tangannya Siauw Tjeng Hong. Semua itu sudah
terjadi dalam tempo sekejap mata.
Tapi boesoe itu juga bukan orang sembarangan. 1 Begitu goloknya
terpental, ia loncat, tangannya menyambar dan sanggap pulang goloknya
itu. Berbareng dengan itu kaki kanannya sapu kedua kakinya Siauw Tjeng
Hong. Kawannya juga lantas menubruk dan kirim tiga bacokan beruntun ke
arah Tjeng Hong.
Dengan satu tangan memeluk peti merah, Tjeng Hong kelit serangan
boesoe yang pertama. Golok boesoe yang satunya lagi, ia sampok dengan
hudtim-nya. Tiba-tiba ia rasakan sambaran angin tajam di bebokongnya dan
pedangnya kedua perwira menikam dengan berbareng. Ia menangkis dengan
hudtim-nya, dan selagi perhatiannya ditujukan kepada serangannya kedua
perwira itu, boesoe Nepal yang kedua berhasil merampas lagi peti merah
itu. Bek Eng Beng kebaskan pedangnya dan sampok pedangnya dua perwira.
Pada saat itu, kedua boesoe Nepal sudah menerobos keluar pintu dan terus
kabur.
"Ubar!" berseru Bek Eng Beng sembari enjot badannya. Siauw Tjeng
Hong dan dua perwira berhenti berkelahi dan turut mengubar.
Bagaikan kilat, keenam orang itu berlari-lari melewati genteng-
genteng rumah. Tidak lama kemudian, mereka sudah berada di luar kota.
Antara mereka, Bek Eng Beng-lah yang mempunyai ilmu entengi badan paling
tinggi dan ia paling dahulu dapat menyandak.
Begitu kecandak, kedua boesoe Nepal lantas berbalik dan kerubuti
Bek Eng Beng. Beberapa saat kemudian, Siauw Tjeng Hong sudah menyusul.
Dengan dua lawan satu, keadaan kedua boesoe masih boleh juga, tapi begitu
lekas Tjeng Hong turut ambil bagian, mereka segera jadi keteter. Dengan
hebat Eng Beng desak dua lawannya, yang napasnya jadi sengal-sengal.
Menggunakan kesempatan itu, Tjeng Hong putar hudtim-nya buat melindungi
badan, sedang satu tangannya menyambar buat rampas balik peti merah itu.
"Serahkan peti itu kepadaku!" mendadak kedengaran orang membentak.
Dua perwira yang ketinggalan ternyata sudah sampai disitu. Dua pedangnya
menyabet dari kiri dan kanan, ke arah boesoe Nepal yang peluk peti merah
itu.
Diserang oleh empat orang yang mempunyai kepandaian tinggi,
kelihatannya boesoe itu tak akan dapat loloskan diri lagi. Tak dinyana,
sembari membentak, ia timpuk mukanya Bek Eng Beng dengan peti itu, yang
lantas menanggapi. Sekarang
pertempuran kembali berobah. Dua perwira dan dua boesoe jadi
berkawan dan kerubuti Bek Eng Beng, yang cuma dibantu oleh Siauw Tjeng
Hong seorang.
Demikianlah pertempuran berjalan dengan hebat. Dua perwira dan dua
boesoe itu, kalau satu lawan satu, tak ada yang bisa jadi tandingannya
Bek Eng Beng atau Siauw Tjeng Hong. Tapi dengan empat lawan dua, mereka
jadi berada di atas angin. Selainnya itu, dengan tangan memeluk peti
merah, perhatiannya Eng Beng jadi terpecah. Sesudah lewat kurang lebih
lima puluh jurus, mereka jadi kedesak dan cuma dapat membela diri, tanpa
mampu balas menyerang.
Dua perwira dan dua boesoe makin lama menyerang makin hebat.
Mendadak, sembari membentak keras, Bek Eng Beng lemparkan peti itu kepada
sang boesoe Nepal. Melihat begitu, dua perwira terkejut. Bek Eng Beng
putar pedangnya dan menyerang kalang kabutan sembari membentak: "Biar
aku bikin mampus dahulu dua manusia ini!"
Sekarang dua perwira itu berbalik menghantam sang boesoe yang
pegang peti merah. Sembari tertawa nyaring, ia menangkis dengan goloknya
dan berbareng lempar peti itu. Siauw Tjeng Hong yang berdiri paling dekat
sambutí peti tersebut dan ia lantas saja dikepung oleh dua perwira dan
dua boesoe! Peti merah itu yang tadi menjadi rebutan, sekarang jadi bibit
penyakit!
Sesudah melawan beberapa jurus, Tjeng Hong lempar peti itu ke arah
satu perwira. Tidak dinyana, sembari tertawa dingin, perwira itu angkat
tangannya buat hantam peti itu. Bek Eng Beng terkesiap dan lantas loncat
menyambut. Di lain saat, ia sudah dikepung oleh kedua perwira dan kedua
boesoe!
Selagi bertempur hebat, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa
yang sangat nyaring dan satu bayangan hitam berkelebat bagaikan kilat.
Orang yang baru datang bukan lain dari si pengemis aneh. Begitu tiba, ia
putar tongkat besinya dan mengamuk secara aneh pula. Keanehannya ialah ia
hantam siapa juga yang menghalang di depannya. Si perwira, si boesoe dan
Bek Eng Beng semua dirabu olehnya.
"Kalau begitu ia mau bikin semua orang jadi lelah, akan kemudian
menarik keuntungan dan kantongi peti merah itu." pikir Tjeng Hong dalam
hatinya. Selagi ia mau buka kedoknya si pengemis, sekonyong-konyong
terdengar suara tertawa yang sangat panjang dan dalam gelanggang
pertempuran, tambah lagi satu orang baru! Orang itu datang secara luar
biasa. Barusan, ketika si pengemis datang, suaranya terdengar lebih
dahulu, belakangan barulah manusianya muncul. Tapi kali ini, suara dan
manusia datang berbareng.
Dengan bantuannya sinar rembulan, Siauw Tjeng Hong lantas kenali,
bahwa orang itu adalah si anak sekolah yang beberapa hari berselang telah
tolong jiwanya dengan jarum emas. Sembari tolak pinggang dengan satu
tangannya, ia membuat setengah lingkaran dengan tangannya yang lain.
"Barang langka apakah yang membikin kalian jadi berebut?" ia tanya dengan
suara malas-malasan.
Munculnya si anak sekolah membikin semua orang jadi kaget dan
mereka segera hentikan pertempuran. Si-pengemis aneh tertawa dingin dan
bawa sikap acuh tak acuh, tapi sebenarnya ia pusatkan seluruh
perhatiannya kepada anak sekolah itu dan siap sedia dengan tongkatnya.
Bek Eng Beng yang mempunyai banyak pengalaman lantas mengetahui,
bahwa anak sekolah itu bukannya sembarang orang. Sembari usap gagang
pedangnya, ia memberi hormat dan berkata: "Aku, Pokee Bek Eng Beng, ingin
mengambil serupa barang dari tangannya ini kedua kuku garuda. Jika tuan
adalah seorang kawan dalam Rimba Persilatan, aku tak berani minta
bantuan, tapi memohon supaya tempatkan diri di luar gelanggang. Di lain
hari, aku tentu akan membalas budi ini." Harus diketahui bahwa Bek Eng
Beng adalah pendekar besar di propinsi Siamsay dan Kamsiok. Di beberapa
propinsi Tiongkok Utara barat, namanya besar sekali dan dikenal oleh
semua orang kalangan Rimba Persilatan. Sekarang ia sendiri memperkenalkan
diri dan menggunakan kata-kata yang menghormat. Menurut taksiran,
usianya si anak sekolah tidak lebih dari dua puluh tahun, sehingga
tingkatannya tidak bisa berada di atas Bek Eng Beng. Dalam omongannya
itu, Bek Eng Beng tidak menonjolkan kedudukan sebagai tjianpwee (orang
dari tingkatan lebih tua), tapi cuma singgung soal pribudi dalam kalangan
Kangouw. Ia menaksir, sesudah dengar omongannya, biarpun tidak sampai
membantu, si anak sekolah tentu akan minggir.
Tapi siapa nyana, ia cuma berkata dengan suara dingin: "Hm! Aku
tahu!" Dari lagu suaranya, seperti juga ia belum pernah dengar namanya
Bek Eng Beng, sehingga Siauw Tjeng Hong sendiri sampai merasa, si anak
sekolah bersikap sedikit keterlaluan.
Mendengar perkataan yang dingin itu, kedua perwira jadi merasa
sangat girang. Sembari rangkap kedua tangannya, salah seorang berkata:
"Kami adalah anggauta dari Gielimkoen (Pasukan pengawal kaizar) dan
menerima perintah Bansweeya (Kaizar) buat antar serupa barang ke Lhasa.
Tapi di tengah jalan, barang itu kena dirampas oleh bangsat tua ini. Maka
itu, kami memohon bantuan tuan."
Si anak sekolah kembali keluarkan satu gerendengan dan berkata
dengan tawar: "Yah, aku tahu!"
Si pengemis tertawa dingin dan niat lantas lampiaskan amarahnya.
Tapi mendadak si anak sekolah maju dua tindak, dan setahu bagaimana,
dengan sekali berkelebat, tangannya sudah dapat rampas peti merah itu
dari cekatannya Bek Eng Beng! Bagaimana tinggi kepandaiannya Bek Eng Beng
sudah sukar diukur, tapi toh, barang yang dicekal olehnya, sudah dapat
dirampas secara begitu gampang! Hal itu bukan saja sudah membikin Siauw
Tjeng Hong jadi terkejut, tapi kedua perwira dan kedua boesoe pun sampai
keluarkan teriakan tertahan dan loncat mundur beberapa tindak.
Si anak sekolah cepat bagaikan kilat, si pengemis pun tidak kurang
cepatnya. Hampir pada saat yang berbareng, tongkatnya si pengemis
berkelebat dan menimpa gegernya si anak sekolah. Melihat bahaya itu Siauw
Tjeng Hong yang pernah ditolong jiwanya, tanpa merasa keluarkan teriakan
"Ayo!"
Tanpa menengok, si anak sekolah menyampok dengan tangannya, sedang
badannya sudah melesat setombak lebih. Betul indah gerakannya itu! Pada
sebelum si pengemis tarik pulang tongkatnya, ia sudah berkata dengan
suara nyaring: "Sungguh Thiekoay sian bukannya cuma nama kosong!"
Tjeng Hong terkejut. Si pengemis aneh ternyata memang benar
Thiekoay sian adanya! Sementara itu, si anak sekolah sudah berkata lagi
sembari tertawa: "Sekarang aku mau lihat, barang luar biasa apakah yang
membikin kalian jadi berebut sampai begitu." Ia menepok dan peti merah
itu lantas terbuka. Ia ambil isinya, banting di atas tanah dan dengan
satu suara krontangan benda itu pecah jadi delapan potong!
Bek Eng Beng keluarkan teriakan kaget. "Ah, bukannya guci emas!" ia
berseru. Si pengemis aneh juga kelihatan tidak kurang kagetnya. Ia
goyang-goyang tongkatnya, tanpa mengeluarkan sepatah kata. Tjeng Hong
mengawasi dan ternyata yang hancur itu adalah vas porselen biasa. Ia
sungguh heran, kenapa mereka berebuti barang begitu.
Sesudah banting vas porselen itu, si anak sekolah dongakkan
kepalanya dan tertawa nyaring. "Bibit bencana hilang, pertempuran
berhenti," kata ia. "Kejadian ini bisa keja Louw Tiong Lian 51 jaman
sekarang jadi mati tertawa. Ha, ha! Sungguh menggembirakan! Sekarang aku
permisi pergi!" Ia kebaskan tangan bajunya, badannya melesat seperti
seekor burung dan berlalu seperti terbang.
Mendadak Bek Eng Beng menggereng. "Kau sudah nyebur ke dalam air,
mana bisa begitu gampang lepaskan senjata?" ia membentak sembari
mengudak. Dua perwira dan dua boesoe Nepal juga turut memburu sembari
berteriak-teriak, sehingga suaranya berkumandang jauh di padang rumput
yang luas itu.
Si pengemis aneh ketruk tongkatnya di atas tanah, tapi badannya
tidak bergerak. Melihat begitu, Siauw Tjeng Hong yang tadinya mau ikut
mengubar, jadi urungkan niatannya. Selagi ia niat menegur, kedua matanya
si pengemis mendadak mendelik.
"Hm, apa kau rasa bisa menyandak?" katanya dengan suara tawar.
"Simpan tenagamu buat pertemuan di Thian-ouw!"
Sehabis berkata begitu, tiba-tiba ia angkat tongkatnya dan sabet
pinggangnya Siauw Tjeng Hong. Pukulan ini bukan saja datangnya tidak
diduga-duga, tapi juga cepat bagaikan kilat, sehingga biarpun mempunyai
kepandaian yang lebih tinggi, Siauw Tjeng Hong tidak akan dapat loloskan
diri. Dengan satu suara "buk", tongkatnya si pengemis sudah mampir di
pundaknya. Ketika tongkat itu menyambar, dengan perasaan mencelos, Siauw
Tjeng Hong berkata dalam hatinya: "Tak dinyana aku mesti mati secara
mengecewakan di tempat ini!"
Tapi aneh, sungguh aneh, ketika tongkat itu mampir di pundaknya, ia
bukan rasakan pukulan biasa, tapi semacam dorongan hebat yang membikin
badannya ngapung beberapa tombak tingginya! Sebagai ahli silat, selagi
berada di tengah udara, Tjeng Hong putar badannya yang lantas turun ke
bumi tanpa mendapat luka apa-apa! Dan waktu ia mengawasi sekelilingnya,
si pengemis sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Sungguh heran hatinya Tjeng Hong. Jika si pengemis mempunyai
dendaman, kenapa ia tidak turunkan tangan jahat?
Kalau tidak mempunyai ganjelan, kenapa juga ia permainkan dirinya?
Biarpun sudah lama tenggelam timbul dalam kalangan Kangouw, kali ini
benar-benar ia tidak mengerti.
Sekarang marilah kita tengok rumah penginapan itu yang menjadi
kacau balau lantaran terjadinya pertempuran yang berlangsung dari dalam
sampai diluar.
Tak usah dibilang lagi, pemilik rumah penginapan dan para tetamu
jadi ketakutan setengah mati dan pada mengumpat sambil sesepkan kepala.
Sesudah orang-orang yang berkelahi pergi jauh, barulah pemilik hotel
berani muncul sembari bawa lampu buat periksa keadaan rumah
penginapannya. Ia lihat kamarnya Bek Eng Beng, kamar kedua perwira, dua
boesoe dan kamarnya si pengemis semuanya terpentang dengan tidak ada
manusianya. "Sudahlah! Sudahlah! Aku sudah duga, si pengemis bukannya
orang baik!" ia kata sembari banting kaki. Ia tidak berani maki itu
pembesar militer, itu kedua boesoe dan Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng, maka
si pengemis yang menjadi korban.
Tapi si pelayan kelihatannya masih mempunyai liangsim (perasaan
hati). "Berat peraknya ada dua belas tail, aku sudah timbang," kata ia.
Mendengar perkataan itu, paras mukanya si pemilik hotel jadi
berobah. Buru-buru ia lari masuk ke kamarnya, akan kemudian keluar lagi
sembari berteriak-teriak: "Bangsat! Bangsat besar! Dia berani colong
perakku!"
Ternyata pemilik hotel adalah seorang sekaker yang suka sekali
tukarkan perak hancur dengan goanpo (potongan perak besar) buat disimpan.
Beberapa hari berselang, ia baru saja tukarkan sepotong goanpo yang
beratnya dua belas tail. Barusan waktu dicari, potongan perak itu lenyap!
Tak usah. disangsikan lagi, potongan perak itu tentu sudah dicuri oleh si
pengemis! Sembari memaki, si pemilik hotel menangis pikirkan peraknya
yang hilang.
Tan Thian Oe yang dengar itu semua, berkata dalam hatinya:
"Pengemis aneh itu liehay sekali, akan tetapi, dengan mau tidur dan makan
gratis, ia agaknya keterlaluan." Sebagai seorang pemuda yang berhati
kasihan, tanpa pikirkan segala akibatnya, ia lantas berjalan keluar dari
kamarnya dan berkata: "Tiam tjoedjin (pemilik hotel) tak usah bersedih
hati dan mencaci maki. Goanpo itu biarlah aku yang ganti. Mpe pengemis
adalah seorang tjianpwee-ku (orang tingkatan lebih tua). Adatnya aneh
sekali dan aku rasa ia sengaja main-main dengan kau."
Si pemilik hotel merasa heran, kenapa Thian Oe yang pakaiannya
indah seperti seorang kongtjoe hartawan bisa kenal pengemis itu. Tapi
mendengar kerugiannya bakal ditutup, ia jadi kegirangan setengah mati dan
haturkan ribu-ribu terima kasih, tanpa berani menanya melit-melit.
Waktu Thian Oe balik ke kamarnya, fajar sudah menyingsing, tapi
gurunya belum juga balik, sehingga hatinya merasa sangat kuatir. Mendadak
ia dengar suara orang tertawa di luar jendela. "Bocah ini hatinya baik
sekali!" kata orang itu.
"Tjianpwee siapakah yang bicara?" ia menanya dengan perasaan
terkejut. Ia tolak jendela dan melongok keluar, tapi tidak kelihatan
bayangan manusia. Begitu balik lagi badannya, ia lihat satu bungkusan di
atas meja kecil, di pinggir pembaringan. Bungkusan itu ternyata berisi
baju bulu onta yang ia hadiahkan kepada si pengemis dan sepotong goanpo!
Thian Oe terkesiap dan berkata: "Ah, tjianpwee itu benar-benar luar
biasa."
Sesudah siang, barulah Siauw Tjeng Hong kembali di rumah
penginapan. Guru dan murid saling tuturkan pengalamannya yang semalam dan
kedua-duanya merasa sangat heran. Mereka tak tahu, apa pengemis itu kawan
atau lawan. Mereka tak dapat tebak, kenapa Bek Eng Beng, dua perwira dan
dua boesoe Nepal sampai perebutkan satu vas porselen biasa. Sesudah
bersantap pagi, dengan perasaan masgul mereka lalu teruskan perjalanan.
Sesudah berjalan lagi setengah bulan, tibalah mereka di sebelah
utara barat Lhasa. Jauh-jauh mereka lihat satu gunung tinggi menghadang
jalanan.
Itulah gunung Nyenchin Dangla yang tingginya cuma kalah dari gunung
Himalaya. Waktu itu sudah masuk musim panas. Di kaki gunung ratusan macam
kembang berbunga indah sekali, sedang di lamping gunung, air yang bening
laksana kaca mengalir legat-legot di antara batu-batu dan hawa udara
kira-kira bersamaan dengan hawa musim semi di daerah Kanglam. Tapi di
sebelah atas, salju putih masih menutupi puncak gunung yang tinggi,
sehingga memberi pemandangan yang istimewa sekali.
"Aku dengar, Lootjianpwee Koei Hoa Seng berdiam di gunung ini."
kata Siauw Tjeng Hong. "Aku hanya berharap beliau masih hidup, supaya
dapat menolong kesukaranku ini."
Guru dan murid yang sudah siap sedia dengan alat-alat, lantas mulai
mendaki gunung. Sesudah berjalan tiga hari, barulah mereka tiba di
pinggang gunung. Dari situ, mereka dapat lihat sungai es yang melingkar-
lingkar seperti naga perak dan mengasih lihat lain pemandangan yang
mengherankan. Lapisan atas sungai es itu sudah menjadi lumer lantaran
kena sorotnya matahari yang hangat. Tapi kembang salju dari puncak gunung
selembar-selembar melayang turun ke bawah, seakan-akan lembaran-lembaran
kertas kristal yang jatuh di atas muka sungai es itu. Lembaran-lembaran
salju itu segera menjadi keras, yang tidak lama kemudian menjadi lumer
pula lantaran hangatnya sang matahari. Maka itulah, sedari dahulu sampai
sekarang sungai es di pegunungan Nyenchin Dangla selalu tidak berobah.
Disorot sinar matahari, lapisan es itu merupakan benda transparan yang
berwarna hijau muda dan keindahannya sungguh sukar dilukiskan dengan sang
kalam. Salju dari permulaan musim panas sifatnya lebih keras dan basah,
dan di dalamnya mengandung lebih banyak air, sehingga pada sebelumnya
menjadi es, salju itu seperti juga bunga-bunga bwee yang ngambang di atas
sungai es. Maka itulah, ada satu syair yang berbunyi kira-kira seperti
berikut:
Salju musim semi di tengah udara berterbangan, Sekuntum-kuntum
bagaikan bunga yang sedang mekar. Sehingga orang yang kurang pengetahuan.
Akan kira mereka itu bunga sungguhan.
Itulah syair yang sering diucapkan oleh mereka yang menyaksikan
pemandangan yang menakjubkan itu.
Selagi guru dan murid puaskan matanya, di sebelah bawah pinggang
gunung mendadak terdengar suara apa-apa. Dua orang berpakaian warna- abu-
abu kelihatan loncat ke atas puncak di seberang. Pegunungan Nyenchin
Dangla penuh dengan puncak-puncak yang antaranya cuma berjarak kira-kira
satu li satu antara lainnya. Di lain saat, dua bayangan orang itu sudah
masuk ke mulut gunung dan tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Tjeng Hong dan Thian Oe merasa heran. Sementara itu, tiba-tiba
kuping mereka menangkap suaranya tetabuhan khim yang datang dari tempat
jauh.
Mereka lantas saja tujukan tindakan ke arah tetabuhan itu. Semakin
lama berjalan, semakin hangat hawa udara. "Beberapa hari yang lalu, makin
tinggi, kita merasa makin dingin. Tapi kenapa sekarang, sesudah tiba di
pinggang gunung, hawa jadi berbalik hangat?" tanya Thian Oe.
"Mungkin di bawah tanah ini terdapat sebuah gunung berapi,"
menerangkan Tjeng Hong.
Dengan perlahan, suara khim jadi semakin tedas kedengarannya.
Sebagai satu ahli, Thian Oe lantas mengetahui bahwa tetabuhan itu adalah
o-khim yang bertali lima.
Suaranya tetabuhan itu sangat menyedihkan hati, dan sesudah
mendengari berapa lama, hatinya Thian Oe jadi bergoncang, sebab ia merasa
pernah mendengar suara seperti itu. Mendadak, suara khim diiring dengan
nyanyian yang seperti berikut:
Di bawah sungai es seekor anak kambing.
Kehilangan ayah, kehilangan bunda.
Sang elang memburu dia. Mau dicengkeram, dijadikan santapan.
Pengtjoan Thianlie — oh, ciciku yang mulia!
Dengarkah kau teriakannya yang menyayatkan hati.
Tahukah kau penderitaannya? Tolonglah usir sang elang yang jahat,
Selama hidup dia tak akan melupakannya.
Thian Oe kenali. Suara itu keluar dari mulutnya Chena, itu gadis
Tsang yang aneh. "Soehoe", kata ia dengan kaget tercampur girang.
"Dengarlah! Nyanyian itu adalah permintaan tolong kepada Pengtjoan
Thianlie. Tak salah lagi, Pengtjoan Thianlie berdiam di ini tempat! Hai!
Gadis itu sungguh hebat penderitaannya. Nyanyian itu mengunjuk, bahwa ia
kembali diubar orang."
Tanpa tunggu jawaban gurunya, Thian Oe cabut dua hoeito dan
berlari-lari ke arah suara nyanyian itu. Sesudah lewati satu lembah
gunung, matanya dapat lihat satu telaga yang sangat luas, yang seputarnya
dikitari gunung. Telaga itu adalah telaga yang paling tinggi dalam dunia,
yang dalam bahasa Tibet dinamakan Tengri Nor. Telaga tersebut terletak di
tempat yang tingginya lebih dari 4.672 kaki, sehingga lebih tinggi 800
kaki lebih dari telaga Titicaca, di antara Peru dan Bolivia di Amerika
Selatan. Telaga inilah yang orang Han namakan Thian-ouw, atau Telaga
Langit.
Air telaga bening jernih seperti kaca, sedang ombak halus menyapu
ke sana-sini tak henti-hentinya. Di tengah telaga terdapat lempengan-
lempengan es yang mengambang, yang berkilat-kilat, lantaran tertojo
sinarnya sang matahari. Air telaga seakan-akan menempel dengan tepian
langit, sang langit menempel dengan air telaga. Thian Oe jadi seperti
orang kesima. "Tempat ini benar-benar bagaikan surga. Apakah benar
Pengtjoan Thianlie tinggal disini?" kata ia dalam hatinya.
Di pinggir telaga penuh dengan rumput hijau dan pohon-pohon bunga
yang menyiarkan bau harum sekali. Dan di antara pohon-pohon kembang itu,
kelihatan berkibar-kibar selendang sutera putih dari seorang wanita.
"Nona Chena! Aku disini!" berseru Thian Oe. Baru saja gadis itu
menengok, kembali terdengar lain suara: "Nona Chena! Kami pun berada
disini!" Berbareng dengan itu, dari gombolan pohon loncat keluar dua
orang tinggi besar yang berpakaian warna abu-abu. Sembari nyengir, mereka
tubruk Chena.
Thian Oe membentak sembari menimpuk dengan kedua hoeito-nya. Kedua
orang itu mengebut dengan tali pinggangnya dan kedua golok terbang
tersampok jatuh ke dalam telaga.
Dalam kagetnya, Thian Oe dengar satu orang berteriak kesakitan,
sedang yang satunya jatuh menggelinding ke bawah tanjakan. Orang yang
membantu Thian Oe adalah Siauw Tjeng Hong yang telah timpuk jitu jalanan
darah kedua orang itu dengan cabang pohon.
Kedua orang itu sebenarnya bukan makanan empuk, tapi lantaran
mereka sedang perhatikan hoeito-nya Thian Oe dan juga sebab tenaga
dalamnya Tjeng Hong ada cukup tinggi, maka biarpun jaraknya jauh, jalanan
darahnya kena ketotok juga dan dirasakan sakit bukan main, walaupun tidak
sampai roboh klengar. Mereka tahu sedang berhadapan dengan orang pandai
dan buru-buru kabur buat minta bala bantuan.
Gadis Tsang itu berlari-lari dengan paras muka ketakutan. "Sudah
tak ada apa-apa lagi. Musuh sudah kena diusir oleh guru," kata Thian Oe.
Melihat sikap muridnya, Tjeng Hong jadi ingat pengalamannya sendiri,
ketika diam-diam ia mencintai Tjia ln Tjin. Ia segera jalan perlahan
sekali, supaya tidak mengganggu kedua orang muda.
Sekonyong-konyong dari gombolan pohon berkelebat bayangan orang.
"Timpukan bagus! Timpukan Bagus! Sahabat-sahabat lama sekarang bertemu
kembali!" demikian kedengaran satu orang berkata.
Hatinya Tjeng Hong mencelos. Dua orang kelihatan muncul. Pada
mukanya orang yang jalan di depan terdapat tapak golok tapak jalak, satu
matanya buta, mukanya menyeringai, sehingga kelihatannya menakuti sekali.
Orang itu bukan lain daripada Loei Tjin Tjoe, pentolan nomor satu dari
tingkatan kedua Boetong pay dan yang ditakuti oleh Siauw Tjeng Hong.
Orang yang jalan belakangan adalah Tjoei In Tjoe yang sudah sembuh
lantaran kasiatnya soatlian dan tangannya mencekal satu gendewa dengan
tali baru.
Diudak oleh Tan Thian Oe, gadis Tsang itu berlari-lari lewat di
pinggirnya Tjoei In Tjoe, yang berkata sembari tertawa: "Sanma! Terima
kasih buat soatlian-mu." Sesudah Chena lewat, ia kebaskan gendewanya dan
papaki Thian Oe. "Oe-djie, balik!" berseru Siauw Tjeng Hong. Thian Oe
hampiri gurunya, sedang si nona lari terus.
Loei Tjin Tjoe cabut pedangnya dan setindak demi setindak ia
mendekati Siauw Tjeng Hong.
"Kejadian pada tahun itu, sebenarnya sudah terjadi lantaran tidak
sengaja. Loei Toako buat apalah mendendam sampai begitu," kata Tjeng
Hong.
Loei Tjin Tjoe keluarkan satu suara "htn" dan spier mukanya
berkerut, sehingga macamnya menakuti sekali. "Kalau kau tidak ingin aku
menaruh dendam, tidak sukar," kata ia dengan suara tawar. "Kau kemari dan
kasih aku bacok mukamu dua kali dan kemudian korek biji matamu."
"Itu toh bukan dilakukan olehku," sahut Tjeng Hong. "Aku cuma
secara tidak disengaja sudah membantu Tjia In Tjin."
Matanya Loei Tjin Tjoe yang tinggal satu mendelik. Ia jadi semakin
gusar ketika Tjeng Hong sebutkan namanya Tjia In Tjin. Ia dahulu adalah
seorang lelaki yang berparas cakap sekali dan sekarang jadi tidak keruan
macam. Sedang Tjia In Tjin tidak dapat dicari, semua amarahnya jadi
tumplek ke atas kepalanya Tjeng Hong.
Sesudah datang dekat, ia menuding sembari berkata: "Sahabat,
kepandaianmu tidak mundur, sedang akupun sudah berlatih beberapa macam
ilmu. Belasan tahun berselang kita pernah bertanding dan sekarang aku
kembali mau persembahkan kebodohanku." Pedang lantas berkelebat dan ia
kirim satu serangan membinasakan.
"Loei Toako kau mendesak siauwtee (adik) sampai di satu pojokan,"
kata Tjeng Hong sembari meringis.
Loei Tjin Tjoe kirim tiga serangan beruntun yang semuanya dapat
dikelit oleh Tjeng Hong.
Bacokan Loei Tjin Tjoe yang satu lebih cepat dari yang lain dan
serangan ke empat, dalam gerakan Pekhong koandjit (Bianglala tembuskan
matahari), menikam jalanan darah Tongboen hiat pada dadanya Siauw Tjeng
Hong. Serangan itu hebat luar biasa dan kelihatannya Tjeng Hong tidak
akan dapat singkirkan dirinya lagi. Mendadak ia putar badan sembari
mengebut dan ribuan benang halus lantas gulung pedangnya Loei Tjin Tjoe.
Oleh karena kuatirkan pembalasan, belasan tahun lamanya Tjeng Hong
pikirkan cara buat jatuhkan musuh. Ilmu silatnya Loei Tjin Tjoe banyak
lebih tinggi, sehingga kemungkinan satu-satunya adalah melawan dengan
tipu. Dengan terus kelit tiga serangan, ia sengaja perlihatkan rasa
ketakutan, dan ketika musuh menikam habis dengan pedangnya, barulah ia
menggulung dengan kebutannya. Harus diketahui, bahwa kebutannya Siauw
Tjeng Hong adalah mustika dalam Rimba Persilatan. Hudtim itu rupanya
mirip dengan buntut kuda, tapi sebenarnya terbuat dari benang-benang emas
hitam yang luar biasa uletnya dan tak dapat diputuskan dengan senjata
tajam. Melihat ilmu pukulannya yang sudah dilatih belasan tahun, mendapat
hasil, hatinya Tjeng Hong jadi girang sekali.
Loei Tjin Tjoe tertawa dingin dan lantas kerahkan tenaganya sembari
betot pedangnya. Di lain saat, ribuan benang halus pada berterbangan di
tengah udara!
Tjeng Hong mencelos hatinya. Ia tak duga, tenaga dalamnya begitu
tinggi. Sementara itu musuh kembali sudah menyerang tiga kali beruntun
dan ia tidak dapat berbuat lain daripada putar hudtim-nya buat menjaga
diri, tanpa mampu balas menyerang lagi.
Semakin lama Loei Tjin Tjoe menyerang semakin cepat. Tjeng Hong
terus mundur dan dari kepalanya keluar uap putih, yang menandakan ia
sudah kerahkan setaker tenaga yang berada dalam dirinya. Sesudah lewat
kurang lebih tiga puluh jurus, Loei Tjin Tjoe mendadak meniup dengan
mulutnya, sedang pedangnya berbareng membabat. Saat itu juga, sebagian
hudtim-nya Tjeng Hong terbabat putus dan benang-benangnya berterbangan
bagaikan rumput. Jika benang-benang hudtim-nya Tjeng Hong berkumpul jadi
satu, senjata yang paling tajam tak akan dapat memutuskannya. Akan
tetapi, sesudah kena ditiup buyar oleh Loei Tjin Tjoe yang berbareng
kerahkan tenaga dalamnya ke badan pedang, hudtim itu jadi seperti sesapu
yang terbuka ikatannya dan tak sukar buat dibabat putus.
Bukan main sakit hatinya Tjeng Hong yang tidak berani berkelahi
lagi. "Baiklah, aku terima nasib!" kata ia dengan suara sedih.
Loei Tjin Tjoe keluarkan tertawa nyaring. Ia maju dua tindak dan
matanya mengawasi musuhnya. "Baiklah," kata ia sembari kebas pedangnya.
"Aku akan kirim dua sabetan tapak jalak ke mukamu seperti contoh mukaku
sendiri. Tjoei Hiantee, mari sini! Saksikanlah bagaimana aku turunkan
tangan!"
Satu perasaan dingin bagaikan es dirasakan oleh Tjeng Hong. Ia
meramkan kedua matanya, tak berani ia lihat pedangnya musuh yang
mengkilap.
Tiba-tiba saja ia dengar suara "tring" dan Loei Tjin Tjoe
kedengaran membentak: "Bocah dari mana berani membokong aku!"
Tjeng Hong buka kedua matanya dan lihat ujung pedangnya musuh
miring dan tergetar tak hentinya, dengan keluarkan sedikit suara
mengaung. Teranglah bagi Siauw Tjeng Hong, bahwa pedangnya Loei Tjin Tjoe
kena terpukul miring dengan semacam senjata rahasia. Heran benar hatinya.
Siapakah yang mempunyai tenaga dalam sedemikian tinggi sehingga dapat
pukul miring senjatanya Loei Tjin Tjoe?
Baru saja Loei Tjin Tjoe habis membentak, satu suara menyahut: "Apa
matamu buta? Tuanmu berada disini." Loei Tjin Tjoe menengok dan lihat
satu orang berdiri di sebelah kanannya.
Orang itu adalah satu pengemis yang mukanya seperti pantat kuali,
rambutnya awut-awutan,
hidungnya dongak ke atas, sedang bajunya penuh tambalan. Tjeng Hong
kaget berbareng girang. "Thiekoay sian datang, tak tahu apa ia kawan atau
lawan," kata ia dalam hatinya. Tapi ia, yang sudah tinggal tunggu
kebinasaannya, tidak jadi lebih keder hatinya. Taruh kata si pengemis
datang sebagai musuh, buntutnya toh sama saja. Adalah Loei Tjin Tjoe yang
merasa kaget dan bersangsi.
Dengan terpincang-pincang si pengemis menghampiri.
Biarpun tahu orang genggam niatan kurang baik, tapi dengan andalkan
kepandaiannya yang tinggi, Loei Tjin Tjoe tidak jadi keder.
"Siauw Tjeng Hong, boleh juga kau!" kata ia sembari tertawa dingin.
"Tak kukira, kau sudah sediakan sahabatmu." Ia lirik Tjoei In Tjoe,
supaya kawannya bersiap untuk bertempur.
"Ha, ha!" tertawa si pengemis. "Hari ini aku bukan mau bantu orang
berkelahi, tapi mau menerima gebukan. Eh, bukankah kau niat kirim dua
bacokan pada mukanya?"
"Apa?" kata Loei Tjin Tjoe. "Apa kau tidak tega dan mau gulung
tangan baju?"
Si pengemis lagi-lagi tertawa.
"Aku pengemis miskin mana punya begitu banyak sahabat?" kata ia.
"Cuma saja, aku lihat ini Siauw sinshe mempunyai paras muka yang begitu
halus, dan seperti juga kau, dahulu tentunya cakap sekali. Kalau mukanya
dibacok, bukankah sayang sekali? Ha! Aku adalah seorang yang sangat tahu
diri. Aku tahu romanku jelek dan tak pernah ngimpi akan dicintai oleh
wanita cantik. Maka itu, andaikata di atas mukaku tambah dua tapak golok,
muka yang sudah jelek tidak akan bertambah banyak lebih jelek. Ha!
Biarlah aku talangi dua bacokan itu, hayolah gunakan pedangmu! Eh, Siauw
sinshe! Mau apa kau awasi aku? Apa kau tak suka hati pernah digebuk
olehku? Kalau tak suka hati, kau boleh lantas turun tangan!"
Siauw Tjeng Hong turunkan hudtim-nya. "Tak berani," kata ia sembari
mundur.
Mendengar sepatah-sepatah perkataannya si pengemis mengandung
ejekan, Loei Tjin Tjoe lantas saja menjadi gusar.
"Baiklah! Kalau kau sendiri yang minta, lihatlah pedangku!" ia
membentak, sembari menyabet dengan pedangnya yang menyambar bagaikan
kilat. Si pengemis angkat tongkatnya dan dengan suara "trang", lelatu api
muncrat berhamburan, sedang badannya Loei Tjin Tjoe melesat ke udara.
Selagi badannya masih berada di tengah udara, dengan satu gerakan Pengpok
kioesiauw (Garuda terbang ke sembilan lapis langit), pedangnya menikam ke
bawah.
"Bagus!" berteriak si pengemis yang lantas papaki dengan tongkatnya
yang menotok ke pusarnya musuh. Buat tolong dirinya, Loei Tjin Tjoe
poksay (jungkir balik) turun dan pedangnya menyambar ke pundaknya si
pengemis. Sembari merengketkan sedikit pundaknya, si pengemis menyampok
dengan tongkat, sehingga pedang dan tongkat kebentrok sedikit. Semua
pukulan itu adalah pukulan yang membinasakan dan sudah terjadi dalam
tempo yang sangat cepat, sehingga Siauw Tjeng Hong merasa sangat kagum
dalam hatinya.
Sesudah lewat beberapa gebrakan lagi, Loei Tjin Tjoe mendadak
berseru dengan suara kaget: "Apakah kau Thiekoay sian?"
"Apa?" kata si pengemis. "Kalau kau tidak berani bacok mukaku,
akulah yang akan gebuk bebokongmu tiga kali buat ajar adat!"
Loei Tjin Tjoe gusar sangat. "Biarpun kau Thiekoay sian, aku tak
takut!" ia membentak sembari menikam. Si pengemis loncat sembari menyapu
dengan tongkatnya dan mereka kembali bertempur dengan sengit sekali,
sehingga Siauw Tjeng Hong yang menyaksikan merasa matanya berkunang-
kunang. Pedang dan tongkat berkelebat-kelebat dan siapa yang meleng
sedikit saja, jiwanya tentu akan segera melayang.
Siauw Tjeng Hong cekal keras hudtim-nya, sedang Tjoei In Tjoe
pegang gendewanya. Mata mereka mengawasi jalannya pertempuran sambil siap
sedia.
Sesudah lewat kurang lebih setengah jam, di atas kepalanya Loei
Tjin Tjoe keluar uap putih, sedang gerakan tongkatnya si pengemis jadi
semakin perlahan. Siauw Tjeng Hong keluarkan napas lega dan berkata dalam
hatinya: "Untung juga Thiekoay sian masih lebih unggul setingkat."
Walaupun gerakannya terlebih lambat, pukulannya si pengemis malahan jadi
semakin berat. Pedangnya Loei Tjin Tjoe sekarang sudah kena didesak
dengan sang tongkat.
Berbeda dengan gurunya, Tan Thian Oe tidak pusatkan perhatian
kepada gelanggang pertempuran. Badannya berada disitu, tapi hatinya terus
memikiri gadis Tsang itu, yang sekarang sudah tidak kelihatan lagi
bayang-bayangannya.
Permukaan Tengri Nor, atau Thian-ouw, luar biasa luasnya.
Thian Oe lihat, di pojokan utara barat dari telaga tersebut,
terdapat satu sungai es yang kelihatannya seperti satu Thianho (Milky
way), yang terbentang nyungsang. Sungai es itu dari puncak gunung
mengalir ke bawah, laksana satu air tumpah. Bisa jadi lantaran adanya
hawa yang lebih hangat, berbeda dari yang lain, sebagian es di sungai
tersebut pada lumer. Di lapisan sebelah bawah, esnya keras seperti bukit-
bukit, tapi di lapisan atas, es itu lumer menjadi kepingan-kepingan besar
dan kecil, yang dengan suara ribut mengalir ke sebelah bawah dan terus
masuk kedalam telaga. Itulah sebabnya, kenapa di tengah telaga terdapat
banyak kepingan-kepingan es yang pada ngambang.
Thian Oe dongak mengawasi ke atas. Di bagian atas dari sungai es,
yaitu yang berdekatan dengan puncak gunung, lapat-lapat seperti juga
berdiri sebuah keraton, atau sedikitnya satu gedung yang sangat besar.
Cuma saja lantaran jaraknya terlalu jauh, Thian Oe tak dapat melihat
tegas dan tak dapat menentukan, apakah yang kelihatan itu ada gedung-
gedung atau cuma batu-batu belaka.
Mendadak kupingnya dengar suara tindakan dan suara orang bicara. Di
tempat, dari mana gadis Tsang itu keluar, muncul sererotan orang yang
sedang mendaki gunung. Yang paling depan adalah tiga orang yang jalan
berbaris. Dua orang yang di kiri dan kanan adalah mereka yang tadi
ditimpuk jatuh oleh gurunya, sedang orang yang berjalan di tengah adalah
satu Lhama yang memakai jubah panjang warna merah. Setiba di pinggir
telaga, mereka awasi pertempuran antara si pengemis dan Loei Tjin Tjoe,
dan kemudian, tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka lantas jalan menuju
ke arah sungai es.
Di belakangnya tiga orang itu, terdapat dua boesoe Nepal yang Thian
Oe pernah ketemu dalam rumah penginapan di Shigatse. Tangannya kedua
boesoe memegang hio Tibet, sikapnya menghormat sekali dan tanpa menengok,
mereka terus menuju ke arah sungai es, dengan mulut kemak-kemik, seperti
juga orang yang sedang berdoa.
Di belakangnya kedua boesoe terdapat lima atau enam orang. Antara
mereka, ada pemuda cakap, ada orang kasar, ada pendeta dan sebagainya.
Waktu tiba disitu, mereka kelihatannya ketarik dengan pertempuran
antara si pengemis dan Loei Tjin Tjoe. Mereka berhenti sebentar. Ada yang
rundingkan jalannya pertempuran, sembari menunjuk-nunjuk, ada juga yang
cuma omong-omong antara kawannya.
"Dua manusia ini benar tak tahu diri," demikian Thian Oe dengar
seorang berkata. "Kodok buduk mau makan daging angsa langit! Mereka
kelihatannya sudah mendahului kita."
Belum sempat orang itu tutup mulutnya, dengan tongkatnya Thiekoay
sian sontek sepotong batu yang lantas menyambar ke arah orang yang
barusan bicara. "Bagus!" berseru orang itu sembari menyampok dengan dua
tangannya dan batu itu terpental jatuh ke jurang.
Disontek oleh Thiekoay sian yang mempunyai tenaga dalam sedemikian
tinggi, batu itu mempunyai tenaga ratusan kati dan menyambar luar biasa
cepatnya. Bahwa orang itu dapat menyampok dengan gampang saja, merupakan
bukti bahwa ilmu silatnya tidaklah lemah. Siauw Tjeng Hong sungguh tak
mengerti, kenapa di tempat itu muncul begitu banyak orang pandai dengan
berbareng.
Sesudah lihat tindakannya Thiekoay sian, orang-orang itu tidak
banyak bicara dan lalu menuju ke arah sungai es. Thian Oe dengar, sembari
jalan mereka itu beromong-omong.
"Bagaimana sih macamnya Pengtjoan Thianlie?" kata seorang.
"Namanya begitu bagus, orangnya tentu juga cantik," sahut seorang
lain.
"Ah, kalau jelek, aku serahkan saja pada kau," kata seorang lagi.
"Jangan terburu napsu. Pengtjoan Thianlie kita belum pernah lihat.
Tapi nona Chena sudah cantik luar biasa," kata yang lain. Demikianlah
mereka bicara sembari tertawa-tawa, sampai suaranya tidak kedengaran
lagi.
Thian Oe kaget sekali, "Ah kalau begitu mereka maui Pengtjoan
Thianlie dan niat rampas juga nona Tsang itu," kata ia dalam hatinya.
Terhadap Pengtjoan Thianlie, Thian Oe cuma sangat kepengen tahu.
Akan tetapi terhadap Chena, ia mempunyai serupa perasaan yang sukar
dilukiskan. Ia lirik gurunya yang ternyata sedang pusatkan seluruh
perhatiannya kepada pertempuran.
Siapa yang bakal menang dan siapa yang bakal kalah, sekarang sudah
kelihatan nyata. Thiekoay sian jadi semakin gagah, tongkatnya menyambar-
nyambar seperti ular dan naga, sesuatu sabetan mengeluarkan kesiuran
angin yang menderu-deru, sehingga di empat penjuru seperti juga penuh
dengan bayangan Thiekoay sian dan tongkat itu berubah menjadi puluhan
batang. Loei Tjin Tjoe sudah terkurung dalam sinar tongkat dan lingkaran
sabetan pedangnya semakin lama jadi semakin ciut. Cuma saja, lantaran
ilmu pedangnya memang sudah sampai pada puncak yang tinggi, maka biarpun
keteter, tongkatnya Thiekoay sian masih belum dapat tembuskan sinar
pedangnya.
Thian Oe tak mempunyai kegembiraan buat menyaksikan jalannya
pertempuran. Matanya ditujukan ke arah tempat sungai es masuk ke dalam
telaga. Mendadak, kupingnya mendengar suara luar biasa, sedang matanya
dapat lihat bahwa di aliran atas sungai es itu, terdapat satu titik hitam
yang turut mengalir *ke bawah. Dengan perlahan titik hitam itu menjadi
besar dan ternyata adalah sebuah perahu kecil yang di dalamnya berduduk
tiga orang.
Mukanya ketiga orang itu belum kelihatan nyata, akan tetapi,
kecuali dua boesoe Nepal yang masih berlutut, lain-lain orang keluarkan
teriakan girang, sedang semua mata ditujukan kepada sungai es.
"Apa yang datang Pengtjoan Thianlie?" tanya Thian Oe dalam hatinya.
Sebagaimana diketahui, aliran air sungai es, yang dari puncak
gunung turun ke bawah, deras luar biasa. Di lapisan atas terdapat banyak
kepingan-kepingan es, sedang di lapisan bawah sembunyi bukit-bukit es.
Jika kebentur dengan kepingan es, apalagi bukit es, jangan kata perahu
kecil, perahu besar pun akan segera menjadi hancur. Tapi heran sungguh,
perahu kecil itu seperti juga sedang laju di atas sungai biasa yang
tenang airnya. Begitu lekas sang perahu mendekati, kepingan-kepingan es
itu lantas minggir sendirinya, seperti juga didorong dengan satu tenaga
yang tidak kelihatan!
Biarpun tidak tahu cara bagaimana, Thian Oe mengerti, bahwa hal itu
sudah terjadi lantaran di dalam perahu terdapat orang yang kepandaiannya
tidak dapat diukur bagaimana tingginya.
Tak lama kemudian, perahu itu sudah datang dekat. Dalam perahu
kecil terdapat tiga wanita. Di sebelah kiri adalah Chena yang mukanya
sekarang tersungging dengan senyuman girang. Di sebelah kanan berdiri
seorang wanita, yang dalam usia pertengahan, romannya masih cantik
sekali. Yang paling luar biasa adalah wanita yang di sama tengah.
Rambutnya awut-awutan dan berdiri seperti jarum, mukanya putih meletak
seperti juga bukan muka manusia, kedua tangannya dirangkap di dada dan
sepuluh jerijinya seperti juga cakar ayam, dan dengan mata yang mengawasi
ke depan, rupanya wanita itu sungguh seperti satu mayat yang baru keluar
dari kuburan. Orang-orang yang melihat semua keluarkan teriakan tertahan,
bahna kagetnya. Tiga orang yang hatinya lebih kecil lantas saja balik
badannya dan turun gunung.
"Apa Pengtjoan Thianlie berada di perahu itu?" tanya Thian Oe dalam
hatinya. "Kalau ia ada disitu, jika bukan si wanita usia pertengahan,
tentulah juga wanita yang seperti mayat."
Mendadak, gurunya keluarkan satu seruan kaget. Thian Oe menengok
dan lihat muka gurunya pucat bagaikan mayat, kaki tangannya gemetar,
seperti orang yang sakit keras. "Ah, sungguh tak dinyana, aku bisa
bertemu ia di tempat ini!" demikian gurunya berkata seorang diri.
"Soehoe, siapa yang kau maksudkan?" tanya Thian Oe.
"Gobie Lihiap Tjia In Tjin!" sahut sang guru.
"Apa wanita yang di tengah?" tanya lagi sang murid.
"Bukan, yang sebelah kanan," sahut Siauw Tjeng Hong. "Mukanya masih
sama saja seperti pada belasan tahun berselang."
Thian Oe terkejut. "Apakah wanita yang di tengah Pengtjoan Thianlie
adanya?" tanya ia dalam hatinya.
Perahu itu sekarang sudah terpisah cuma belasan tombak saja dan
sudah hampir masuk ke dalam telaga. Lhama yang memakai jubah merah
mendadak membentak:
"Yang mana Pengtjoan Thianlie?" Sehabis membentak begitu, badannya
melesat ke arah sungai es, kedua kakinya menotol kepingan es yang
ngambang dan dengan kecepatan kilat memburu ke arah perahu. Begitu
berhadapan, ia angkat tangannya yang seperti kipas, yang menyambar ke
arah Tjia In Tjin. Rupanya si Lhama menduga, bahwa Tjia In Tjin adalah
Pengtjoan Thianlie. Dengan pukulan Lengshan tjiang (Pukulan gunung
Lengshan), tangannya si Lhama menyambar, sehingga Siauw Tjeng Hong
keluarkan satu teriakan kaget.
Tjia In Tjin tertawa tawar, tapi sebelum ia dapat bergerak, wanita
yang di tengah sudah pentil sekeping es ke arah uluhatinya Lhama itu.
Dengan satu teriakan menyayatkan hati, ia terguling dan badannya tersapu
air yang mengalir ke bawah deras luar biasa. Mungkin sekali badannya
kebentur bukit es, sebab warna air lantas berobah merah!
Bukan main terkejutnya Siauw Tjeng Hong. Harus diketahui, bahwa
orang yang belajarkan ilmu pukulan Lengshan tjiang, tentu mesti mempunyai
juga ilmu Kimtjiongto dan Tiatposan (dua macam ilmu weduk), dan badannya
dapat melawan tekanan ribuan kati. Ditimpuk dengan senjata rahasia,
paling banyak kulitnya merasa sedikit gatal-gatal. Tapi, siapa nyana,
dengan kepingan es yang begitu kecil, ia roboh dan melayang jiwanya!
Orang-orang yang berkumpul di pinggir telaga, dapat dibagi menjadi
tiga rombongan. Satu rombongan adalah itu kedua boesoe Nepal yang masih
terus berlutut sembari tundukkan kepalanya. Lain rombongan adalah si
Lhama yang sudah binasa dan dua orang Tibet yang ubar-ubar Chena. Mereka
itu adalah orang-orangnya Touwsoe di Sakya yang diperintah buat bekuk
gadis tersebut. Rombongan ketiga yaitu orang-orang, yang lantaran dengar
nama wanginya Pengtjoan Thianlie sudah datang buat coba-coba meminang
dengan niatan merampas juga Chena yang cantik. Melihat liehaynya wanita
dalam perahu itu, orang-orang rombongan kedua dan ketiga jadi ketakutan
bukan main. Ada yang ketakutan sampai kaki tangannya lemas, ada yang
lantas balik badannya buat kabur dan ada juga, yang lebih besar nyalinya,
ingin menjajal-jajal dengan jalan mengerubuti.
Sementara itu, jerijinya Chena kelihatan menuding dua kali. "Yang
mau menangkap aku adalah dua orang itu," kata ia. Wanita yang mukanya
seperti mayat, lantas pungut kepingan es yang dipentil dengan jerijinya.
Dua orang Tibet itu, yang baru tiga kali melangkah dalam percobaan kabur,
kena kesambar jitu dan lantas terguling sembari muntahkan darah hidup!
"Orang-orang itu semuanya bukan orang baik-baik," berkata Tjia In
Tjin. Wanita itu kembali ayun tangan kanan dan tangan kirinya dan
kepingan-kepingan es menyambar bagaikan kilat. Dalam tempo sekejapan,
kecuali kedua boesoe Nepal, semua orang sudah kena dihantam kepingan es.
Dua antaranya yang mempunyai kepandaian lebih tinggi, masih dapat kabur
dengan menderita luka berat. Yang lainnya semua roboh binasa!
Kejadian itu ada begitu mengejutkan, sehingga bukan saja Siauw
Tjeng Hong dan Tan Thian Oe mengawasi dengan mulut ternganga, tapi
Thiekoay sian dan Loei Tjin Tjoe pun jadi lebih lambat serang
menyerangnya.
Ketiga wanita itu lantas mendarat dan naik dari gili-gili dengan
tindakan perlahan. Saat itu, kedua matanya Siauw Tjeng Hong kebentrok
dengan matanya Tjia In Tjin, yang mengawasi dengan paras muka seperti
tertawa, tapi bukannya tertawa. Pada saat itu, perasaan mencinta dan
membenci mengaduk jadi satu. Hatinya Tjeng Hong niat memanggil, tapi
mulutnya seperti terkancing. Tjia In Tjin cuma manggut-manggutkan sedikit
kepalanya dan bersama dua kawannya terus menghampiri gelanggang
pertempuran.
Semakin dekat, mukanya wanita itu jadi semakin hebat. In Tjin
berkata sembari tertawa: "Hei kawan hidup! Pengtjoan Thianlie sudah
datang. Apa kau enak hati masih terus hinakan anak cucunya? Lekas simpan
tongkat pemukul anjing itu!"
Mendengar perkataan itu, hatinya Tjeng Hong mencelos. Ia sama
sekali tidak mengimpi, bahwa wanita yang begitu cantik seperti Tjia In
Tjin sudah mau menjadi isterinya Thiekoay sian yang begitu jelek rupanya.
Thian Oe juga tidak kurang kagetnya. Sekarang dapat dipastikan, bahwa
Pengtjoan Thianlie adalah itu wanita yang mukanya seperti mayat.
Mendadak gadis Tsang itu berkata sembari tertawa: "Thianlie
tjietjie, anak muda itu adalah orang baik. Tjietjie, jangan bikin takut
padanya."
Tiba-tiba Pengtjoan Thianlie usap kepalanya dan rambutnya yang
seperti rumput jatuh ke bawah. Rambut itu adalah rambut palsu. Ia buka
jubah luarnya dan usap kedua tangannya. Sekarang kelihatan, bahwa jeriji-
jeriji yang seperti cakar ayam adalah jeriji palsu dari sarung tangan.
Paling belakang ia usap mukanya dan locoti satu kedok. Pada saat itu, Tan
Thian Oe jadi kesima!
Disitu ia berdiri, cantik dan agung laksana satu dewi atau
bidadari. Badannya yang langsing ditutup dengan baju warna biru telaga,
mukanya bundar laksana rembulan tanggal lima belas, kedua alisnya panjang
dan lentik, biji matanya yang bersinar terang berwarna agak kebiru-
biruan, mulutnya kecil seperti buah engtoh yang masak, yang agaknya
selalu tersungging senyuman, rambutnya yang hitam jengat dikepang jadi
dua cacing yang pada ujungnya diikat dengan sutera merah, kulitnya halus
ibarat batu kemala yang bersinar terang lantaran kena sorotnya salju dan
sebagai pelengkap dari itu semua, gerakannya ayu dan halus! Tan Thian Oe
sering bayangkan kecantikannya Pengtjoan Thianlie, tapi apa yang sekarang
ia saksikan adalah melebihi dari segala lamunannya.
Pengtjoan Thianlie menyapu dengan matanya dan berkata: "Tolong
berhenti bertempur!" suaranya halus, tapi sangat berpengaruh.
Thiekoay sian tarik pulang tongkatnya dan loncat berdiri di
dampingnya Tjia In Tjin. Loei Tjin Tjoe juga lintangkan pedangnya di
depan dada dengan paras muka yang heran sekali.
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya dan berkata: "Loei Tjin Tjoe,
lepaskan pedangmu. Berlutut tiga kali di hadapan Siauw sinshe dan lantas
turun gunung!" Ia ucapkan perkataannya dengan lagu suara seperti seorang
tingkatan lebih tua kepada orang dari tingkatan lebih muda.
Loei Tjin Tjoe terkesiap. Lantaran terlalu gusar, ia jadi tertawa
besar. "Siapa kau?" ia tanya. "Dengan andalkan apakah, kau berani
perintah aku berlutut di hadapannya?"
Loei Tjin Tjoe adalah jago terutama dari tingkatan kedua partai
Boetong pay. Di sebelahnya itu, usianya sudah empat puluh tahun lebih,
sedang Pengtjoan Thianlie baru kirarkira berusia dua puluh tahun. Juga
harus diingat, bahwa sudah banyak tahun ia mendapat nama besar di
kalangan Kangouw, sehingga adatnya jadi sombong sekali. Maka itulah dapat
dimengerti, perutnya seperti mau meledak waktu dengar perkataannya nona
yang cantik itu. . "Apa bunyinya larangan kedua belas dari Boetong pay?"
tanya Pengtjoan Thianlie. Bunyinya larangan ke 12 adalah: "Harus dapat
membedakan yang mana benar, yang mana salah. Dalam segala urusan, harus
tanya diri sendiri, apakah ada berbuat kesalahan atau tidak. Dilarang,
dengan andalkan kekuatan, menghina orang." Loei Tjin Tjoe terkejut. Ia
merasa heran, kenapa wanita itu yang tinggal di atas Puncak Es, bisa
mengetahui larangan-larangan dari partainya.
"Urusanmu aku sudah tahu semuanya," berkata lagi Pengtjoan
Thianlie. "Asal mulanya adalah salahmu sendiri. Tapi lantaran ingat
walaupun hatimu kurang baik, tapi kau bukannya melakukan kedosaan besar,
dan juga sebab dalam urusan itu terselip tangannya orang jahat, maka aku
ampuni kau dari hukuman mati. Hayo lekas haturkan maaf kepada Siauw
sinshe!"
Matanya Loei Tjin Tjoe yang tinggal satu, mendelik. "Biarpun
andaikata kau ini adalah tjianpwee dari Boetong pay, kau masih tidak
dapat campur urusanku," kata ia dengan suara keras. "Perlu apa aku ladeni
omongan segala perempuan yang masih ada pupuknya!"
Paras mukanya Pengtjoan Thianlie berubah. "Murid siapa kau? Berani
buka suara begitu besar!" kata ia.
Loei Tjin Tjoe lintangkan pedangnya sembari mengawasi dengan sorot
mata gusar dan tidak sahuti pertanyaannya Pengtjoan Thianlie. Lantaran
begitu, Thiekoay sian lantas talangi: "Dia adalah muridnya tjiangboen
(pemimpin) Boetong pay, Hian In Toodjin." Hian In adalah soetit-nya
(keponakan murid) Moh Tjoan Seng. Biarpun memegang tampuk pimpinan, tapi
lantaran suka sekali berkelana, ia jadi tidak banyak mengurus urusan
partai, dan dari sebab begitu, semakin lama Loei Tjin Tjoe jadi semakin
besar kepala.
"Apa yah?" kata Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. "Aku dengar
peraturan Boetong pay dijaga dengan keras sekali, sedang perbedaan antara
tingkatan tua dan muda sangat diindahkan. Apakah sekarang keadaan sudah
berobah? Kalau begitu, orang-orang tua dari partaimu sudah tak dapat
mengurus kau, akulah yang mau talangi mereka mengurus kau!"
Loei Tjin Tjoe tidak dapat menahan sabar lagi. Ia -kebas pedangnya
dan loncat maju. "Baiklah! Cobalah! Aku Loei Tjin Tjoe bersedia buat
terima pengajaranmu!" ia berteriak.
"Oh, kalau begitu kau mau adu pedang denganku?" tanya Pengtjoan
Thianlie sembari tertawa. Ketika itu kedua tangannya kosong, sedang ia
pun tidak membawa senjata. Selagi Tjia In Tjin mau serahkan pedangnya,
Pengtjoan Thianlie berkata: "Tak usah!" Ia lantas jalan menuju ke pinggir
telaga dan jumput sepotong es, yang berbentuk toya. Dengan menabas
beberapa kali sama tangannya, potongan es jadi merupakan sebatang pedang.
Sembari mesem Thianlie sabetkan pedang es itu. "Loei Tjin
Tjoe," kata ia. "Jika kau dapat melayani aku dalam sepuluh jurus, aku
akan biarkan kau berbuat sesuka hati terhadap Siauw sinshe." Waktu itu
adalah kira-kira tengah hari dan sang matahari pancarkan sinarnya yang
hangat dan gilang gemilang. Sedang kepingan-kepingan es yang ngambang di
atas sungai es sudah mulai lumer, apalagi es yang tercekal dalam tangan,
yang menerima hawa hangat dari badan manusia.
Mendengar perkataannya Thianlie, Siauw Tjeng Hong jadi terkejut.
"Taruh kata Loei Tjin Tjoe tak dapat putuskan pedang es itu, dalam tempo
cepat es itu toh akan menjadi lumer. Bukankah dengan demikian Pengtjoan
Thianlie bikin jiwaku jadi seperti lelucon?"
Loei Tjin Tjoe lantas saja tertawa besar. "Baiklah," kata ia.
"Inilah ada perjanjian yang dikatakan olehmu sendiri. Dan di pihakku,
jika dalam sepuluh jurus aku tak dapat putuskan pedang es itu, aku akan
berlutut di hadapanmu!"
"Kemauanku adalah kau mesti berlutut di hadapan Siauw sinshe," kata
Thianlie.
"Sudah, jangan banyak bacot. Aku turut segala perkataanmu.
Sambutlah!" Pedangnya lantas berkelebat dan coba tabas pedang es itu.
"Jurus pertama!" Thiekoay sian menghitung dengan suara keras.
Sabetan pertama cepat bukan main, ditambah dengan tenaga dalam yang
sudah dilatih oleh Loei Tjin Tjoe puluhan tahun lamanya.
Jangan kata es, biarpun senjata logam akan putus kena sabetannya
itu. "Bagus!" kata Thianlie sembari mesem dan pedang es berkelebat
meluncur ke arah jalanan darah Hiankie hiat di bagian dada. Serangan itu
dilakukan dari suatu kedudukan (posisi) yang tak dapat diduga, sedang
Hiankie hiat adalah jalanan darah yang kalau ketotol dapat membinasakan
orang. Loei Tjin Tjoe terkesiap. Dengan Seantero kemampuannya ia
membungkuk buat tarik pulang tenaganya yang sudah dikeluarkan, dan dengan
lintangkan pedangnya serta menggunakan banyak tenaga, barulah ia dapat
punahkan serangan yang sangat berbahaya itu. Sembari mesem, Pengtjoan
Thianlie tarik pulang pedang esnya dan gebrakan pertama sudah selesai.
Sesudah bikin rapi lagi kedudukannya, Loei Tjin Tjoe mendadak
lakukan tiga serangan beruntun. Itulah serangan dari ilmu pedang Lianhoan
Tokbeng Kiamhoat (Ilmu pedang berantai membetot jiwa), yang sangat hebat
dan sukar dijaga.
"Ilmu pedangmu masih jauh dari sempurna," kata Thianlie sembari
tertawa. Badannya bergerak dan dalam sekejap sudah membalas dengan tiga
serangan pula. Setiap serangan berbeda satu dengan lainnya dan perubahan
itu dibikin selagi sang pedang es tengah menyambar. Sedang serangan Loei
Tjin Tjoe dengan mudah dapat dipunahkan, serangannya Thianlie sudah
membikin matanya Tjin Tjoe menjadi kabur, sehingga ia terpaksa main
mundur dan main kelit. Sementara itu, Thiekoay sian sudah menghitung
empat kali.
Loei Tjin Tjoe terkesiap sebab ternyata ilmu pedangnya Pengtjoan
Thianlie adalah ilmu pedang Tatmo Kiamhoat dari Boetong pay! Tatmo
Kiamhoat yang tulen telah menjadi hilang pada jaman Kerajaan Goan, dan
baru pada permulaan Kaisar Konghie (Tjeng), barulah Sin Liong Tjoe dapat
cari lagi itu ilmu pedang yang sejati, yang belakangan diwariskan kepada
Koei Tiong Beng. Lantaran begitu, Koei Tiong Beng menjadi leluhur dari
Boetong pay cabang Utara. Tapi oleh karena Tatmo Kiamhoat luar biasa
sukarnya dan di sebelahnya itu, pulangnya lagi ilmu pedang tersebut belum
berapa lama, maka selama beberapa puluh tahun, jumlahnya orang yang
benar-benar sudah dapat mewarisi tidaklah lebih dari beberapa orang saja.
Loei Tjin Tjoe adalah murid dari Boetong pay cabang Selatan.
Walaupun ilmu pedang Boetong Selatan dan Boetong Utara belakangan
berendeng bersama-sama, akan tetapi, pengetahuan orang-orang cabang
Selatan terhadap Tatmo Kiamhoat ada lebih rendah daripada orang-orang
cabang Utara. Loei Tjin Tjoe sendiri tentu saja pernah belajarkan Tatmo
Kiamhoat, tapi belum sampai pada puncak yang tinggi. Ketika lihat ilmu
pedangnya Pengtjoan Thianlie malahan lebih tinggi dari gurunya sendiri,
dapat dimengerti kalau Loei Tjin Tjoe jadi kaget bukan main.
"Apakah tidak bisa jadi, perempuan ini benar-benar orang tingkatan
atas dari -Boetong pay?" tanya ia dalam hatinya. Mendadakan saja, ia
ingat satu hal dan hatinya jadi lebih bingung lagi. Tapi, selagi ia mau
buka mulut buat menanya, ia lihat Thiekoay sian mengawasi padanya dengan
meseman mengejek, sehingga hatinya jadi panas sekali. "Baiklah! Biar aku
buang-buangan jiwaku sekali ini," demikian ia kata dalam hatinya. Ketika
itu Thianlie berdiri dengan sikap tenang, ujung pedangnya menuding
dirinya, tapi tidak mau bergerak lebih dahulu. Inilah ada sikapnya orang
dari tingkatan lebih tua jika menghadapi orang tingkatan muda.
Dengan adanya kelambatan begitu, pedang es yang dicekal oleh
Thianlie sudah lumer sebagian dan air es tak hentinya mengetel-
ngetel. Pedang es itu sudah jadi lebih tipis dan lebih kecil. Tiba-tiba
saja Loei Tjin Tjoe ingat suatu cara yang sangat beracun.
"Baiklah!" kata ia dalam hatinya. "Bagus sekali jika kau tidak mau
menyerang. Aku pun tidak mau buka serangan. Asal pedang esmu lumer, tanpa
bertempur aku sudah dapat kemenangan!" Sebelum bertempur, mereka sudah
janji bahwa pertempuran dilakukan dengan menggunakan pedang. Maka itu,
jika pedang esnya Thianlie lumer sampai habis dan belum bisa dapat
kemenangan, Loei Tjin Tjoe tidak bisa disalahkan menarik keuntungan
dengan akal bulus.
"Hei! Loei Tjin Tjoe. Kau kenapa?" tanya Thiekoay sian dengan paras
muka gusar. Yang ditanya tidak meladeni. Ia cekal pedangnya dan mengawasi
Thianlie dengan mata tajam.
Tapi Pengtjoan Thianlie tidak menjadi gusar. Sebaliknya, ia kembali
mesem. "Dengan adanya niatanmu yang kurang baik, baiklah aku wakilkan
Hian In Tootiang memberi pelajaran kepadamu," kata ia. Sehabis berkata
begitu, kedua jerijinya mementil dan air es menyambar ke arah Tjin Tjoe.
Mendadakan saja ia rasakan kedua matanya kabur, beberapa ketel air es
mengenakan tepat pada mukanya dan sakitnya menembus ke tulang-tulang.
Dalam keadaan yang kabur itu, Pengtjoan Thianliee mendadak kirim satu
serangan aneh.
Sebagaimana biasanya orang yang pandai silat, reaksi badan dan
tangannya semua terjadi tanpa merasa. Begitu ada gerakan musuh, gerakan
membela diri muncul secara otomatis. Demikianlah, begitu lihat Thianlie
bergerak, tangannya Loei Tjin Tjoe yang mencekal pedang juga lantas
bergerak buat mendahului menyerang.
Tapi baru saja pedangnya menyambar sampai di tengah jalan, ia ingat
bahwa dengan berbuat begitu, ia jadi masuk dalam perangkap. Ia niat tarik
pulang pedangnya, tapi sudah tidak keburu. Hampir pada detik yang
bersamaan, ia rasakan tenggorokannya dingin. Pedang esnya Pengtjoan
Thianlie ternyata sudah menempel pada tenggorokannya! Tenggorokan adalah
bagian tubuh manusia yang lemah dan jika Thianlie sedikit saja
menggunakan tenaganya, jiwanya Loei Tjin Tjoe akan segera melayang!
Thianlie tertawa sembari berkata: "Sebenarnya aku mau lihat
kepandaianmu dalam sepuluh jurus, buat mendapat tahu sampai bagaimana
jauh majunya pelajaranmu. Tapi lantaran hatimu kurang bersih, aku
kurangkan separuh dan cuma jajal kau dalam lima jurus? Apa di hari
kemudian kau masih berani kurang ajar terhadap orang yang lebih tinggi
tingkatannya? Apa kau masih berani hinakan orang dengan andalkan
kegagahanmu?"
"Kau, apakah kau puterinya Koei Soesioktjouw?" tanya Loei Tjin Tjoe
dengan suara gemetar.
"Kau menebak jitu," sahut Thianlie.
"Koei Soesioktjouw" yang disebutkan oleh Loei Tjin Tjoe adalah Koei
Hoa Seng. Di antara tiga saudara dalam keluarga Koei, Koei Hoa Seng yang
paling muda usianya, tapi yang paling tinggi kepandaiannya dalam ilmu
pedang. Loei Tjin Tjoe pernah dengar penuturannya orang tua-tua, bahwa
Koei Hoa Seng telah meninggalkan daerah Tionggoan dengan hati penuh
kegusaran. Dan sungguh tidak terduga, puterinya Koei Hoa Seng bisa berada
di Thian-ouw.
Loei Tjin Tjoe keluarkan helahan napas dan lemparkan pedangnya.
Sesudah itu, ia hampiri Pengtjoan Thianlie dan berlutut tiga kali.
Pedang es sudah lumer dan cuma ketinggalan satu kepingan kecil saja.
Sembari tertawa Thianlie gosok kedua telapakan tangannya dan es yang
ketinggalan lantas lumer menjadi air. Mendadak mukanya berubah dan
membentak: "Kau belum mau jalankan kehormatan kepada Siauw sinshe?"
Mukanya Loei Tjin Tjoe pucat seperti kertas. Tanpa berkata suatu
apa, ia lari menghampiri Siauw Tjeng Hong dan berlutut tiga kali.
Mendadak ia membungkuk, jumput pedang yang menggeletak di atas tanah dan
gorok lehernya sendiri.
Harus diingat, bahwa nasibnya Loei Tjin Tjoe ada buruk sekali. Ia
bukan saja gagal dalam percintaan, tapi malahan juga kena dirusak mukanya
oleh wanita yang ia pernah cintakan. Maka itu, perasaan cinta berobah
jadi satu dendaman hebat. Di sebelahnya membenci Gobie Liehiap Tjia In
Tjin, kegusarannya ditujukan terhadap Siauw Tjeng Hong. Sesudah menaruh
dendam belasan tahun, ia sekarang dapat ketemukan musuhnya, tapi siapa
nyana, selagi mau bikin pembalasan, ia bertemu dengan Pengtjoan Thianlie
dan mengalami lagi penghinaan yang begitu besar. Maka tidaklah heran,
dalam putus harapan dan kegusaran, ia jadi nekat dan mengambil putusan
pendek.
Siauw Tjeng Hong keluarkan teriakan tertahan. Ia tak keburu
menolong, sebab gerakannya Loei Tjin Tjoe terlalu cepat. Mendadak dengan
satu suara "trang" dan muncratnya kepingan es, pedangnya Loei Tjin Tjoe
jatuh di atas tanah. Orang yang menolong bukan lain daripada Pengtjoan
Thianlie yang telah menimpuk dengan sekeping es.
"Manusia tak punya nyali!" berkata si nona. "Kalau kepandaian
kurang, apa tak bisa dipelajari lagi?"
Mendengar perkataan itu, matanya Loei Tjin Tjoe berkunang-kunang
dan dadanya dirasakan seperti mau meledak. "Benar," kata ia dalam
hatinya. "Kalau aku bunuh diri, ia akan kira aku benar-benar tidak
mempunyai nyali."
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie berkata pula: "Kalau kau harus
mendapat hukuman mati lantaran dosamu, siang-siang aku sudah jatuhkan
hukuman mati. Tidak perlu kau sendiri yang turun tangan, Segala kejadian
pada tahun itu sudah dituturkan oleh Thiekoay sian suami isteri kepadaku.
Dalam urusan itu, hatimu memang mengandung niatan yang kurang baik, tapi
kau sendiri tidak mengetahui, bahwa dalam urusan itu, kau sudah
dipermainkan oleh seorang jahat. Sungguh kau harus dikasihani dan
ditertawai dengan berbareng. Apa kau tahu bagaimana maksud hatinya Ong
Lioe Tjoe? Kalau kau ingin tahu, pada Tiongtjhioe (pertengahan musim
rontok, atau Bulan Delapan tanggal 15) tahun ini, kau boleh pergi ke
Chaklun buat mencari tahu."
Loei Tjin Tjoe terperanjat mendengar omongan itu. "Ong Lioe Tjoe
sudah binasa, cara bagaimana orang masih bisa dapat mengetahui isi
hatinya," pikir ia. "Cara bagaimana, dengan pergi ke Chaklun, aku bisa
mendapat tahu isi hatinya Ong Lioe Tjoe yang sekarang sudah tidak ada
lagi dalam dunia?" Dengan timbulnya perasaan heran, ia tidak ingat lagi
soal membunuh diri. Sesudah pungut pedangnya, bersama Tjoei In Tjoe, ia
segera turun gunung sembari tundukkan kepala.
Ketika itu Siauw Tjeng Hong seperti juga berada dalam mengimpi. Ia
lihat Tjia In Tjin dan Thiekoay sian bicara dengan suara perlahan sembari
tertawa-tawa, dengan tingkah laku yang hangat sekali. Menyaksikan itu,
hatinya seperti diremas-remas. "Suatu orang mempunyai nasib sendiri-
sendiri dan segala apa tidak dapat dipaksa," pikir Tjeng Hong. "Walaupun
Thiekoay sian beroman buruk, akan tetapi ia adalah murid yang mewarisi
kepandaiannya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie sehingga dengan jadi
pasangannya Tjia In Tjin, ia tidaklah membikin turun derajatnya Gobie
Liehiap."
Mengingat bahwa bekas kecintaannya sekarang sudah mendapat pasangan
yang setimpal, hatinya Siauw Tjeng Hong jadi tenang. Mendadak ia lihat
Thiekoay sian menghampiri dengan terpincang-pincang dan memberi hormat
sesudah berhadapan. Siauw Tjeng Hong buru-buru balas hormatnya, sambil
ucapkan perkataan-perkataan merendah.
"Siauw loote," katanya sembari tertawa. "Apakah kau tahu kenapa aku
sudah gebuk kau dan sekarang memberi hormat padamu?"
Siauw Tjeng Hong gaga-gugu dan tak tahu harus menjawab bagaimana.
Thiekoay sian tertawa lagi dan berkata: "Aku tahu, bahwa aku adalah
seorang yang berparas buruk sekali. Maka itu, maka itu..."
Sebelum ia dapat teruskan omongannya, Tjia In Tjin sudah membentak:
"Setan tak kenal malu! Apa kau mau ditertawakan orang? Tutup mulutmu!"
Sang isteri membentak begitu, sebab mengetahui, kalau si suami bicara
terus, ia bakal jadi jengah sekali. Thiekoay sian tahu parasnya jelek
sekali. Apa mau, ia dapat isteri yang sangat cantik. Sebagai seorang yang
mempunyai adat aneh, dalam hatinya timbul rasa cemburu yang aneh pula.
Hatinya belum merasa puas kalau belum hantam siapa juga yang pernah jatuh
hati pada isterinya itu. Siauw Tjeng Hong mana tahu adatnya Thiekoay sian
yang luar biasa itu.
Dengan omongannya diputuskan oleh sang isteri, Thiekoay sian
tertawa meringis. "Baiklah," kata ia. "Aku tak omong lagi sebabnya kenapa
aku memukul kau. Sekarang aku mau bicara tentang kenapa aku jalankan
kehormatan padamu. Hei, Siauw Tjeng Hong, berapa usiamu sekarang?"
Siauw Tjeng Hong kembali terkejut. "Buat apa dia tanya begitu?"
pikirnya. "Siauwtee sekarang baru berusia empat puluh lebih sedikit," ia
jawab.
"Kalau begitu, kau banyak lebih muda dari aku," kata Thiekoay sian.
"Sungguh kasihan, rupamu sudah kelihatan begitu tua, dan rambutmu sudah
putih semua. Aku dengar, pada belasan tahun berselang, kau masih jadi
pemuda yang cakap sekali."
Mukanya Siauw Tjeng Hong yang putih mendadakan saja bersemu merah.
"Itu semua lantaran gara-gara isterimu," kata ia dalam hatinya.
"Siauw loote," kata lagi Thiekoay sian. "Aku tahu adanya perasaan
kecewa dalam hatimu. Maka itu, isteriku minta aku wakilkan ia menjalankan
kehormatan di hadapanmu buat meminta maaf. Ia kata, hatinya merasa sangat
tidak enak lantaran sudah menyeret kau kedalam gelombang. Dari sebab
begitu, di sebelahnya meminta maaf, isteriku ingin persembahkan serupa
barang kepada kau."
Sehabis berkata begitu, ia rogoh sakunya, keluarkan satu kotak batu
kemala yang lantas diserahkan kepada Siauw Tjeng Hong. "Bukalah!" kata
ia.
Siauw Tjeng Hong buka dan kotak itu berisi sekuntum bunga warna
merah darah yang sebesar mangkok. Heran sekali hatinya Siauw Tjeng Hong
yang tak tahu harganya hadiah itu.
"Itu adalah kembang dewa Yoetam Sianhoa," menerangkan Thiekoay
sian. "Orang yang makan kembang itu, rambut putih bisa berobah jadi
hitam, sedang parasnya yang tua dapat berobah menjadi muda lagi. Aku si
jelek tak gunanya makan bunga itu, maka aku rela mempersembahkan kepada
kau."
Waktu masih muda, Tjia In Tjin digelarkan Tokbeng Siantjoe (Dewi
tukang betot jiwa orang). Hatinya kejam dan tangannya telengas. Pada
belasan tahun berselang, tanpa pikir-pikir lagi ia turunkan tangannya
secara ganas, dan sebagai akibatnya, Siauw Tjeng Hong yang kena getahnya.
Tapi sesudah menikah, adatnya jadi berubah. Saban-saban ingat Siauw Tjeng
Hong, hatinya merasa menyesal sekali. Satu ketika, bersama suaminya, ia
berkelana di daerah Utara barat. Waktu pesiar di pegunungan Thiansan, ia
telah dapatkan kembang itu dan lantas saja ia mengambil putusan buat
menghadiahkan kepada Tjeng Hong buat menebus dosa.
"Ah, kalau begitu kembang ini Yoetam Sianhoa?" kata Tjeng Hong
dengan perasaan terkejut tercampur girang. Ia jadi ingat penuturannya
orang-orang tua, bahwa buat satu kali mekar, kembang itu harus melalui
tempo 60 tahun. Pada seratus tahun lebih yang lalu, leluhur Boetong pay
Toh It Hang ingin petik kembang itu buat dipersembahkan kepada Pekhoat
Molie, tapi sesudah menunggu seluruh penghidupannya, kembang itu belum
mekar juga. Belakangan Thiansan Liehiap Ie Lan Tjoe telah dapatkan dan
makan kembang tersebut, sehingga sampai mati rambutnya masih tetap tidak
berobah putih. Sekarang bukan saja ia dapat lihat benda yang langka itu,
tapi juga bisa punyakan sebagai hadiah dari Thiekoay sian.
Siauw Tjeng Hong mengawasi kembang itu dengan mata mendelong. Ia
tak berani menerima. Tjia In Tjin menghampiri dengan perlahan dan berkata
sesudah berhadapan: "Tjeng Hong! Kau makanlah. Pada lima tahun berselang,
di Soetjoan barat aku telah bertemu piauwmoay-mu (saudara misan
perempuan) Gouw Tjiang Sian, yang tanyakan keselamatanmu. Ibumu juga
sekarang masih kuat dan sehat. Apakah kau tidak niat pulang buat tengok
mereka?"
Hatinya Tjeng Hong lantas saja tergerak. Secara mendadakan saja, ia
jadi ingat kepada orang tua, famili, sahabat dan kampung kelahirannya.
"Sekarang sedang permusuhan sudah menjadi beres, memang seharusnya aku
pulang," kata ia dalam hatinya. "Lantaran gara-gara dia, aku telah
menderita begitu hebat, maka adalah sepantasnya saja, jika aku menerima
hadiahnya itu." Memikir begitu, ia lantas ambil kembang.-tersebut dan
berkata sambil dongakkan kepala dan menghela napas: "Terombang-ambing di
dunia Kangouw puluhan tahun lamanya. Bermula ketemu, rambut belum putih,
usia masih muda."
"Maka sekarang lebih baik pulang, buat cari kawan memain waktu
masih kecil," In Tjin sambungi.
"Benar, benar!" kata Tjeng Hong sembari tertawa berkakakan.
"Perkataanmu benar sekali! Oe-djie, gurumu sekarang mau berpisahan
denganmu!"
Selama setengah harian itu, Thian Oe telah saksikan banyak sekali
kejadian mengherankan, sehingga ia seperti juga sedang mengimpi. Sekarang
mendadak ia dengar gurunya mau pulang ke kampung kelahirannya, maka ia
jadi sangat kaget dan buat beberapa saat, tidak dapat mengucapkan sepatah
kata. Siauw Tjeng Hong juga merasa berat buat berpisahkan dengan murid
yang baik itu.
"Muridmu itu sangat baik hatinya dan aku sangat penuju padanya,"
kata Thiekoay sian sembari tertawa. "Aku si pengemis, kalau lihat barang
baik, memang lantas mau meminta, Siauw Loote, serahkan saja muridmu
kepadaku."
"Sungguh mujur jika kau sudi menerima Oe-djie sebagai murid," kata
Tjeng Hong dengan girang sekali. "Oe-djie, lekas berlutut!"
"Soehoe," kata Thian Oe dengan suara sedih. "Apakah benar kau mau
pulang?"
"Kalau tidak pulang, aku mau bikin apa disini?" jawab sang guru.
"Aku pun merasa sangat berat harus berpisahan dengan kau, tapi oleh
karena orang tuamu berada di daerah ini, aku tentu tak dapat ajak kau
pergi bersama-sama."
"Ha, bocah," kata Thiekoay sian. "Apa kau tidak.suka angkat
pengemis busuk sebagai gurumu?"
Thian Oe buru-buru membantah pernyataan itu dan segera berlutut di
hadapan Thiekoay sian.
"Aku tidak begitu sabar sebagai gurumu," kata si pengemis sembari
tertawa terbahak-bahak. "Sebagai muridku, kau mesti mengemis nasi dan
uang, dan kalau tidak dengar kata, aku akan hantam pantatmu dengan
tongkat ini."
"Jangan bikin takut anak baik ini," kata Tjia In Tjin. "Aku bicara
terus terang, kalau kau sengaja cari, biar kau jalan sampai pecah sepatu
besi, tak nanti kau dapat ketemukan murid yang begini baik."
Sembari tahan air matanya, Siauw Tjeng Hong awasi sang murid dan
kemudian bekas kecintaannya. "Nah, sekarang aku berangkat saja," kata ia
dengan suara sedih. "Oe-djie, kau harus dengar segala perintah gurumu.
Kalau ada jodoh, di belakang hari .kita akan bertemu pula."
Tidak lama sesudah pulang ke kampung kelahirannya, Siauw Tjeng Hong
telah dapat pasangan yang setimpal sekali dan berkat latihannya yang
terus menerus, di kemudian hari, ia jadi seorang yang ilmu silatnya
paling tinggi dalam Tjengshia pay.
Sesudah Siauw Tjeng Hong berangkat, sembari tertawa Thiekoay sian
berkata: "Mau pergi, pergi saja, buat apa begitu rewel-rewel."
"Kau lihat, ada orang yang lebih rewel lagi," berbisik isterinya.
Thiekoay sian menoleh dan lihat kedua boesoe Nepal, yang tadi
berlutut di pinggir telaga, sekarang sedang bicara sama Pengtjoan
Thianlie dengan suara perlahan. Pengtjoan Thianlie sendiri sedang
dongakkan kepalanya, sikapnya tawar dan seperti acuh tak acuh. Tapi kedua
boesoe terus bicara sembari pentang-pentang tangan, seperti orang yang
sedang memohon-mohon, dengan paras muka yang bingung sekali. Thiekoay
sian tidak mengerti bahasa Nepal, sehingga biarpun pasang kuping, ia sama
sekali tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Thian Oe sudah berdiam
tujuh delapan tahun di Tibet, yang sering dikunjungi oleh pedagang Nepal,
sehingga sedikit-sedikit ia mengenal juga bahasa itu. Ia pun turut pasang
kuping dan dapat tangkap beberapa perkataan, seperti "guci emas",
"ayahanda raja" dan sebagainya, tapi tidak dapat hubungkan perkataan-
perkataan itu sampai dapat dimengerti apa maksudnya.
Mendadak ia ingat perebutan guci porselen di Shigatse antara Bek
Tayhiap, Thiekoay sian dan yang lain-lain. "Apakah urusan yang sedang
dibicarakan oleh kedua boesoe mempunyai hubungan dengan guci porselen
itu?" ia tanya dalam hatinya. "Tapi guci itu adalah porselen, dan
bukannya emas. Apa artinya itu perkataan ayahanda raja?"
Sedang Thian Oe diliputi perasaan heran, Pengtjoan Thianlie, yang
rupanya sudah tidak sabaran, membentak dalam bahasa Nepal: "Kecuali
Puncak Es roboh, aku tak nanti turun dari gunung ini." Bentakan itu
dikeluarkan dengan keras, sehingga Thian Oe dapat dengar nyata sekali.
"Pergi! Pergi! Kalian pergi pulang," kata lagi Pengtjoan Thianlie.
Suaranya tidak keras, tapi berpengaruh sekali dan diucapkan dengan sikap
angker, seperti juga seorang jenderal yang sedang pimpin ratusan laksa
tentara.
Kedua boesoe itu saling mengawasi. Mereka mundur tanpa berani buka
suara lagi, sedang pada paras mukanya terbayang perasaan putus harapan.
Sesudah itu, dengan muka yang bersorot sedih, seperti juga hatinya
sedang dipengaruhi oleh serupa perasaan, Pengtjoan Thianlie petik
sekuntum bunga yang ia lemparkan ke telaga dan jatuh pada tempat, dimana
sungai es masuk ke dalam telaga. Bunga itu digulung pusar air akan
kemudian selembar-lembar terombang-ambing, menurut alirannya gelombang-
gelombang halus.
Thian Oe jadi bergidik sebab ia ingat: "Jika benda tak berjiwa
(sang kembang) bisa bernasib sedemikian, apa lagi manusia?" la lihat itu
gunung salju dengan puncaknya yang menjulang menembus awan dan hawanya
dingin bukan main, akan tetapi di tempat dimana ia berdiri, sang telaga
dengan kembang-kembangnya memberi suatu pemandangan dari musim semi. Dan
di pinggir telaga berdiri seorang wanita cantik yang hidup sendirian di
atas Puncak Es. Keadaan sedemikian seakan-akan merupakan suatu musim semi
dalam musim dingin, cuma sayang, pemandangan yang begitu indah, tidak
banyak diketahui oleh manusia dalam dunia. Bahwa dalam gunung salju
terdapat telaga Thian-ouw, sudah merupakan kejadian yang mengherankan.
Akan tetapi, bahwa di atas sungai es hidup seorang bidadari, ada lebih
mengherankan lagi! Apakah Bidadari dari Sungai es ini akan mendapat nasib
seperti sang kembang, yang terbuka dan rontok sendirinya, akan kemudian
terombang-ambing menurut alirannya air?
Selagi Thian Oe ngelamun begitu, kupingnya mendadak dengar
Pengtjoan Thianlie berkata lagi: "Aku sebenarnya tidak pernah menerima
tetamu, akan tetapi, lantaran Kam Tayhiap dan ayahku adalah sahabat-
sahabat baik, maka, Thiekoay sian, sebab atas perintahnya Kam Tayhiap
dengan susah payah kau sudah mencari aku, dengan melanggar kebiasaan, aku
sekarang undang kalian berdua suami isteri buat menginap di rumahku
beberapa hari."
Sesudah Koei Hoa Seng menghilang, kedua kandanya telah mencari
ubak-ubakan dan memesan kawan-kawannya buat bantu mencari. Salah seorang
yang pernah diminta bantuannya, adalah Kam Hong Tie. Selama tiga puluh
tahun Hong Tie sudah berdaya tanpa mendapat hasil. Ia adalah seorang
ksatria yang pegang teguh janjinya, maka itu, pada sebelum menutup mata,
ia telah pesan muridnya supaya sang murid talangi ia melakukan satu
pekerjaan yang belum dapat dipenuhi. Thiekoay sian tidak sia-siakan
pesanan gurunya. Belakangan ia mendapat warta, bahwa di atas sungai es
ada hidup seorang wanita yang mendapat julukan Pengtjoan Thianlie. Ia
menduga, bahwa wanita itu sepuluh sembilan adalah puterinya Koei Hoa
Seng. Pada waktu ia sedang bertempur melawan Loei Tjin Tjoe, isterinya
justru sedang menemui Bidadari dari Sungai es itu.
"Sudah lama aku pangeni tempat ini yang seperti surga, akan tetapi
aku tidak berani membuka mulut," kata Thiekoay sian sembari tertawa.
"Maka itu, tentu saja aku merasa sangat girang, jika kau sudi menerima
kami berdiam beberapa hari."
"Kalau begitu, marilah kita turun ke perahu," kata Pengtjoan
Thianlie. "Kau adalah muridnya Thiekoay sian dan juga sahabatnya Chena
moaymoay. Maka itu, kaupun boleh ikut." Thian Oe bermula merasa sedikit
bersangsi, akan tetapi, ia lantas turut turun ke dalam perahu, tanpa
berkata suatu apa.
Waktu itu sudah lewat tengah hari. Kepingan-kepingan es yang
mengambang di atas sungai jadi semakin lumer dan air mengalir semakin
deras, dari puncak gunung menyapu ke bawah. "Naik ke atas dengan melawan
aliran air ada banyak lebih sukar dari turun ke bawah," pikir Thian Oe.
"Biarpun ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie ada sedemikian tinggi, tapi
apakah ia mampu bikin perahu itu manjat ke atas? Apakah ia bukan terdiri
dari darah dan daging seperti manusia biasa?"
Selagi hatinya sangat bersangsi, kupingnya sudah dengar Pengtjoan
Thianlie berkata: "Semua orang duduk biar benar. Perahu mulai jalan."
Sehabis berkata begitu, dengan sebatang kejen batu kemala, ia totol
sekeping es dan perahu itu lantas meluncur beberapa tombak jauhnya.
Mendadak perahu terpukul arus dan mundur lagi setombak lebih. Pengtjoan
Thianlie sapu kepingan-kepingan es yang ngambang akan kemudian menotol
lagi dengan kejennya dan sang perahu kembali meluncur beberapa tombak.
Thian Oe lihat Pengtjoan Thianlie pusatkan Seantero perhatiannya
dan menggunakan banyak sekali tenaga, sedang orang-orang yang berduduk di
dalam perahu semuanya berpeluk tangan. "Sedang dia begitu capai,
bagaimana kita bisa enak diam saja?" kata Thian Oe dalam hatinya.
Tiba-tiba arus yang sangat keras menerjang hebat sekali, sehingga
sang perahu terputar-putar dalam pusar air dan air yang muncrat membasahi
mukanya semua orang.
Thian Oe terkesiap. Melihat tongkat besi gurunya yang disenderkan
di pinggir perahu, tanpa banyak pikir, ia lantas jumput tongkat itu, yang
ternyata sangat berat, buat bantu mendorong. Tapi begitu lekas ia
mendorong dengan tongkat, sang perahu bergoncang dan berputar keras, dan
dengan dibarengi sama sambaran satu gelombang, sebagian badan perahu
tenggelam di dalam air, tapi untung timbul lagi dengan goncangan keras.
"Kau cari mampus?" membentak Thiekoay sian sembari rampas tongkat
itu dari tangan muridnya.
"Maksudnya baik sekali, kau tak usah marahi dia," kata Pengtjoan
Thianlie sembari tertawa.
Thian Oe rasakan mukanya panas lantaran malu. Ketika itu, setahu
bagaimana, badannya perahu sudah tetap kembali, sehingga hatinya jadi
legaan. Sekonyong-konyong satu arus yang lebih hebat daripada tadi,
menyambar dari sebelah kiri. Thian Oe mencelos dan berkata dalam hatinya:
"Sekarang matilah!" Mukanya jadi pucat seperti kertas. Tiba-tiba badannya
perahu terlempar ke atas, seperti juga terbang di tengah udara, dan di
lain saat, sudah hinggap di muka air dengan selamat dan terpisah agak
jauh dari tempat tadi!
Bukan main herannya Thian Oe. Melihat keheranan pemuda itu, Chena
berkata sembari tertawa: "Waktu pertama datang, aku pun sudah dibikin
kaget setengah mati oleh arus itu. Belakangan barulah aku mendapat tahu,
bahwa tanpa adanya arus tersebut, sang perahu malahan tak dapat naik
turun."
Pengtjoan Thianlie yang sedari kecil hidup di tempat tersebut,
mengenal baik sifatnya arus sungai, yang mempunyai tenaga menyapu balik.
Sifatnya arus sungai tersebut adalah ibarat sifatnya angin puyuh yang
terputar, dan dalam putarannya itu, dapat melempar sang perahu ke sebelah
atas. Maka itu, dalam menjalankan perahu di sungai es, biarpun benar
seorang harus mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi, tetapi kejadian
tersebut bukanlah suatu kejadian yang mujijat.
Belum cukup sejam, perahu sudah tiba di puncak gunung. Keraton yang
nangkring di puncak terbuat dari kristal, marmer atau balokan-balokan es,
sehingga di dalamnya jadi terang benderang, dan jika tertojo sinarnya
matahari, keraton itu berkredepan dalam rupa-rupa warna. Sungguh satu
pemandangan yang langka! Melihat itu semua, Thian Oe yang tadinya sudah
lelah sekali, mendadak jadi segar kembali. "Dengan berdiam seorang diri
dalam keraton ini, apakah Pengtjoan Thianlie tidak merasa kesepian?"
tanya ia dalam hatinya.
"Thianlie tjietjie," kata Chena sembari tertawa. "Jika kau sudi
menerima aku sebagai pelayan, aku rela berdiam di tempat ini seumur
hidupku."
"Anak otak!" menyahut Pengtjoan Thianlie sembari mesem. "Mana kau
bisa betah tinggal di tempat ini? Dan bukankah kau siang malam terus
pikirkan soal membalas sakit hatinya kedua orang tuamu?" Mendengar
omongan itu, Chena tidak berkata suatu apa lagi.
"Aku dengar kau selalu memanggil aku sebagai Thianlie tjietjie."
Berkata lagi Pengtjoan Thianlie. "Apa dengan memanggil begitu, kau tidak
kuatir orang nanti mentertawakan? Aku cuma bertempat tinggal di Pengtjoan
(Sungai es), dan manalah boleh disebut bidadari (Thianlie). Aku
sebenarnya she Koei bernama Peng Go. Thiekoay sian berdua suami isteri
juga rasanya belum mengetahui namaku."
"Nama itu sungguh bagus," kata Tjia In Tjin sembari tertawa. "Tapi
kau benar-benar cantik laksana bidadari, maka biarlah aku memanggil saja
Thianlie tjietjie."
Pengtjoan Thianlie segera anter semua tetamunya masuk ke dalam
keraton. Berbareng dengan tepukan kedua tangannya, di depan saban keraton
lantas muncul satu wanita muda, yang berpakaian indah sekali. Walaupun di
antara bangunan-bangunan terdapat banyak pintu, tapi oleh karena keraton
tersebut terbuat dari bahan-bahan yang terang seperti kristal dan es,
maka semua wanita itu lapat-lapat bisa dilihat. Semua dayang itu, yang
rata-rata berparas cantik, berpakaian secara luar biasa, bukan pakaian
Tibet maupun Han, dan sekali lihat lantas dapat diketahui, bahwa mereka
itu bukannya orang Tionghoa.
Thian Oe rasakan seperti masuk ke dalam surga. "Kalau begitu,
Pengtjoan Thianlie bukannya hidup sendirian," kata ia dalam hatinya.
"Cuma dari manakah ia dapatkan begitu banyak nona-nona?"
"Kalian tentu capai sekali, maka biarlah kalian mengasoh dahulu,"
kata Pengtjoan Thianlie.
Suami isteri Thiekoay sian, Tan Thian Oe dan Chena lalu diantar
oleh dayang-dayang itu ke gedung-gedung yang terpisah. Sesudah melalui
jalanan bulak-belok dengan diantar oleh sang dayang, Thian Oe tiba di
satu kebun kembang. Bunga-bunga dan rumput-rumput yang tumbuh disitu
dengan warna-warni yang gilang gemilang, hampir semua belum pernah
dilihat oleh Thian Oe.
"Siangkong (tuan) masuklah ke dalam gedung ini buat mengasoh," kata
dayang itu. "Jika siangkong memerlukan aku, tarik saja tali tembaga yang
terdapat di pojokan. Jalanan disini banyak belitannya, dan jika siangkong
mau jalan-jalan di dalam taman, ingatkan saja tanda itu, supaya tak
kesasar." Sembari berkata begitu, jerijinya menunjuk ke atas gedung,
dimana terukir satu singa-singaan batu. Ternyata di atas saban gedung
terdapat ukiran-ukiran binatang yang berlainan. Ada ukiran kuda, macan,
burung Hong dan sebagainya. Biarpun bukannya orang Tionghoa, akan tetapi
dayang itu dapat bicara bahasa Pakkhia dengan lancar sekali. Sesudah
memesan begitu, ia lantas undurkan diri.
Thian Oe tolak pintu dan masuk ke dalam gedung. Hatinya kaget
lantaran beberapa pemuda kelihatan mendatangi ke arah ia. Tapi segera
juga ia mengerti, bahwa semua pemuda itu adalah bayangannya sendiri,
lantaran di empat penjuru tembok dipasang kaca yang sangat besar. Gedung
itu dihias indah sekali dengan perabotan yang mahal harganya. Dalam kamar
tidur, kasurnya terbuat dari sutera mahal dengan kelambu sulam, sedang di
atas meja tulis terdapat satu vas yang ditancapkan semacam bunga luar
biasa, yang menyiarkan bau harum sekali. Di atas tembok tergantung sebuah
lonceng dari negara Barat yang mengeluarkan suara "tik-tak, tik-tak" tak
henti-hentinya. Pada jaman itu, yaitu jaman Kaizar Kianliong, masih
sedikit sekali lonceng Barat yang di impor ke Tiongkok. Pertama kali
Thian Oe lihat lonceng itu adalah di rumahnya Touwsoe.
Selainnya itu, di atas tembok juga terdapat sepasang gambar lukisan
dengan sajak yang tulisannya indah sekali.
Gambar yang satu memperlihatkan seorang pemuda yang memakai baju
warna kuning, sedang pada pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang.
Romannya pemuda itu bukan saja cakap, tapi juga angker sekali. Gambar
yang lain adalah gambarnya seorang wanita yang pakai pakaian kuno. Dengan
kedua alis yang bengkok dan potongan muka seperti kuaci, wanita itu
cantik luar biasa dan matanya sedikit mirip dengan Pengtjoan Thianlie.
Sajak yang tertulis pada kedua gambar itu seperti juga buah
kalamnya seorang wanita dan berbunyi seperti berikut:
Mengangkat cawan berpisahan.
Nyanyikan lagu berpisahan.
Bisiki kata-kata berpisahan, Siapakah yang membuat lagu itu,
seperti seekor burung berkelebat di atas air dan menghilang dalam
sekejapan mata? Tjioe Nio nyanyikan lagu Kim Louw.
Nyanyian berakhir, penonton bubar, cuma ketinggalan beberapa puncak
gunung yang hijau.
Tapi kumandangnya sang lagu tak putus-putusnya,
Sampai mengimpi tiba di kota Pakkhia.

Cawan penuh, tapi toh kosong. Nyanyian merdu, toh kosong juga,
Tetabuhan khim indah, pun kosong.
Rembulan terang, akhirnya kosong juga.
Semua orang sudah bubaran dari taman bunga anggrek dan ketinggalan
debu yang berhamburan.
Musim dingin meliputi daerah Kanglam,
Dalam liati mengutuk salju dan angin yang meresap ke tulang-tulang.
Orang yang dicinta berada di ujung langit.
Siapa lagi yang dapat hiburi hatinya anak yang terlantar?
Sebagai peringatan dari marhum ayah dan ibu,
Hoan Lian.
Tan Thian Oe sekarang tahu, bahwa lelaki dan wanita itu adalah
kakek dan neneknya Pengtjoan Thianlie, yaitu Koei Tiong Beng dan
isterinya Moh Hoan Lian, sedang sajak itu adalah buah kalam ayahnya Moh
Hoan Lian, yaitu Moh Pie Kiang.
Hatinya Thian Oe diliputi dengan perasaan heran yang sangat besar.
Bahwa Pengtjoan Thianlie adalah cucu perempuannya Koei Tiong Beng, sudah
merupakan satu hal yang mengherankan. Akan tetapi, keraton di puncak
gunung dengan dayang-dayangnya yang terdiri dari wanita-wanita asing,
merupakan keheranan yang lebih besar lagi. Walaupun asal-usulnya
Pengtjoan Thianlie sudah terbentet sekali, akan tetapi, dalam
keseluruhannya, ia masih merupakan satu teka-teki.
Malam itu, sesudah bersantap dengan hidangan yang diantar oleh sang
dayang, Thian Oe gulak-gulik di atas pembaringan dan tidak dapat tidur
pulas. Ia ingat Chena, itu gadis Tsang yang aneh, ia ingat Pengtjoan
Thianlie yang diliputi rahasia, ia ingat suami isteri Thiekoay sian, ia
ingat macam-macam hal yang datang saling-susul dalam otaknya.
Ia melongok keluar jendela dan saksikan satu dunia yang diselimuti
dengan sinar perak. Dengan sinar salju yang datang dari atas puncak
gunung, ditambah sama bunga-bunga yang memenuhi seluruh taman, Thian Oe
merasa seperti juga berada di tengah-tengah dunia kaca dengan warna-
warninya yang indah luar biasa.
Seperti dibetot besi berani, Thian Oe pakai jubah luarnya dan
dengan tindakan perlahan, ia keluar dari gedung itu buat menikmati
pemandangan alam yang seindah itu.
Mendadak kupingnya dengar orang bicara yang datang dari kejauhan.
Thian Oe lalu mengumpat di belakangnya satu gunung-gunungan dan lihat dua
bayangan orang sedang mendatangi ke arah ia. Yang jalan duluan adalah
Pengtjoan Thianlie, sedang yang belakangan bukan lain daripada Thiekoay
sian. Thian Oe merasa heran. Ada urusan apa, mereka jalan-jalan dalam
taman, di tengah malam buta itu?
Dalam jarak belasan tombak dari tempat sembunyinya Thian Oe, mereka
mendadak berhenti. "Terima kasih banyak buat berita yang kau sampaikan,"
demikian kedengaran Pengtjoan Thianlie berkata. "Dan terima kasih juga
kepada paman-paman sekalian yang sudah begitu memperhatikan diriku. Tapi
aku sudah bersumpah, bahwa selama hidup, aku tidak nanti turun dari
gunung ini."
"Tapi... Tapi guci emas itu ada luar biasa pentingnya," kata
Thiekoay sian. "Dahulu, pada jaman tujuh ahli pedang turun dari gunung
Thiansan, kakek dan nenekmu, bersama-sama Leng Bwee Hong Tayhiap, dengan
bersatu padu sudah melawan kerajaan Tjeng. Kau sendiri adalah cucunya
Koei Tayhiap. Apakah kau tega melihat Tibet menjadi jajahannya bangsa
Boan? Begitu lekas guci emas itu tiba, tamatlah riwayatnya Tibet."
"Aku tidak urus urusan begitu," kata Pengtjoan Thianlie dengan
suara tawar.
Thiekoay sian menghela napas. Baru ia mau buka mulut, Pengtjoan
Thianlie sudah mendahului:
"Kecuali Puncak Es roboh, putusanku tak dapat dirobah lagi.
Sebenarnya terhadap kalian suami isteri yang jauh-jauh sudah datang
disini, aku harus penuhkan kewajiban sebagai tuan-rumah buat melayani
beberapa hari Cuma menyesal, lantaran dahulu aku pernah bersumpah, bahwa
siapa saja yang berani membujuk aku turun gunung, biarpun ia adalah
seorang dari tingkatan yang lebih tua, aku tak dapat menahan lagi
padanya. Thiekoay sian! Terima kasih buat kebaikan hatimu, tapi besok aku
akan perintah dayang antar kalian turun gunung dan di kemudian hari tak
usah datang lagi disini."
Thian Oe tak dapat lihat mukanya Pengtjoan Thianlie yang berdiri
membelakangi ia. Suaranya halus, tapi tegas, seperti satu ratu yang
sedang keluarkan firman.
Thiekoay sian berdiri diam tanpa menjawab sepatah kata. Thian Oe
juga merasa heran, kenapa seorang wanita yang begitu cantik bisa bersikap
sedemikian keras dan mengeluarkan kata-kata yang terang-terangan mengusir
tetamunya. Ia merasa berat buat tinggalkan tempat itu yang sepera surga,
terutama itu gadis Tsang yang aneh. Hatinya merasa sedih, sebab ingat
besok ia harus berlalu bersama-sama gurunya dan tak akan bisa datang lagi
ke tempat itu.
Sesudah lewat sekian lama, barulah kedengaran Thiekoay sian
berkata: "Sesudah berbuat kesalahan terhadap nona, aku tak berani meminta
maaf. Aku akan turut apa yang diinginkan oleh nona." Sesudah itu lantas
kedengaran suara tindakan kaki yang semakin lama jadi semakin jauh, dan
waktu Thian Oe melongok dari gunung-gunungan, kedua orang itu sudah tidak
kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Sembari tarik napas panjang, Thian Oe keluar dari tempat
mengumpatnya. Tiba-tiba, dari antara pohon-pohon kembang muncul satu
orang. Baru saja ia niat menyingkir, orang itu sudah menanya dengan suara
nyaring: "Kau belum tidur?"
Thian Oe mengawasi dan ia itu adalah Chena, yang kepalanya
dibungkus dengan sutera putih, sedang kedua matanya yang jeli bersinar
terang dalam malam yang remang-remang itu dan pada mulutnya tersungging
meseman yang sukar dijajaki.
"Terima kasih buat budimu yang beberapa kali sudah menolong
jiwaku," katanya sembari mesem. "Cuma sayang besok kau sudah harus
berlalu dari sini."
"Hm," kata Thian Oe. "Apa kau juga dengar pembicaraan yang
barusan?"
Chena manggutkan kepalanya dan berkata: " Menurut Thianlie
tjietjie, jiwanya gurumu berada dalam bahaya, jika ia teruskan niatannya
buat merampas guci emas itu. Ia bilang, kau haruslah berlaku hati-hati."
Thian Oe terkejut. "Aku sungguh tidak mengerti persoalan ini," kata
ia. "Barang apakah adanya guci emas itu yang mau direbut?"
"Apa kau belum pernah dengar halnya guci emas itu?" menegasi Chena.
"Belum," jawab Thian Oe. Chena kerutkan alisnya dan paras mukanya
berobah jadi sungguh-sungguh sekali.
"Apakah kau tahu, bahwa Dalai Lama, Panchen Lama, Hutuketu dan
lain-lain Budha hidup semuanya menjalankan lahir mengulang (reinkarnasi)
"?" tanya Chena dengan suara perlahan.
Sebagai orang yang menjadi besar di Tibet, Thian Oe tentu saja
mengetahui kepercayaan itu. Ia menggutkan kepalanya dan Chena berkata
pula: "Oleh karena dalam soal reinkarnasi ini sering-sering timbul
percekcokan, maka kaizar Tjeng mengirimkan sebuah guci emas buat
mengakhiri segala pertentangan. Manakala timbul percekcokan, maka
Naichung yang berhak harus menulis nama-namanya semua calon di atas
sepotong kertas yang sesudah digulung, dikasih masuk ke dalam guci emas
itu. Kemudian, di hadapan orang banyak diambillah salah satu gulungan
kertas dan calon yang namanya kena diambil dianggap sebagai Budha hidup
yang tulen. Aku dapat dengar, guci emas itu sudah dikirim dari Pakkhia
dan setibanya di Lhasa akan disambut secara besar-besaran oleh Dalai Lama
dan lain-lain pembesar, akan kemudian ditaruh dalam Gereja Pusat di
Lhasa. Dengan demikian, guci tersebut akan menjadi semacam benda suci
yang sifatnya abadi. Kau tentu mengerti, bahwa pengiriman barang yang
begitu penting tentu saja bakal dilindungi oleh pengawal-pengawal yang
berkepandaian tinggi. Maka itu, bukankah gurumu seperti mau antarkan
jiwa, jika ia coba merampasnya?"
Thian Oe tadinya niat menanya, cara bagaimana Chena bisa mengetahui
persoalan itu. Akan tetapi mengingat gadis tersebut adalah puterinya Raja
muda Chinpu, Thian Oe jadi urungkan niatannya.
Ayahnya Thian Oe adalah seorang pembesar yang dikirim oleh Kaizar
Kianliong ke Tibet sebagai Amban. Walaupun hatinya merasa tidak puas
terhadap bangsa Boan, akan tetapi ia merasa, tindakannya kaisar Boan di
ini kali tidaklah boleh terlalu disalahkan, sebab sedikitnya dapat
menyingkirkan segala pertentangan di Tibet. Maka itu, ia tidak mengerti
sebab apa gurunya niat rampas guci emas tersebut.
"Kita orang Tibet paling memuja Budha hidup," kata lagi Chena
sesudah menghela napas panjang. "Jika orang Han bikin rusak guci emas itu
atau merampas benda suci kita, maka permusuhan antara bangsa Tibet dan
Han akan jadi semakin dalam. Aku dengar, di antara kau orang Han terdapat
sejumlah pendekar yang merasa kuatir, bahwa sesudah menerima guci emas
itu, pemerintahan yang berdasarkan keagamaan di Tibet akan jatuh di bawah
perintahnya kerajaan Tjeng dan Tibet akan jadi semacam jajahannya bangsa
Boan. Dari sebab begitu, mereka mati-matian mau merampas guci emas itu.
Cuma aku kuatir, maksud yang baik itu akan dianggap sebagai maksud jahat
oleh orang Tibet. Maka itu, aku rasa lebih baik kau bujuk supaya gurumu
batalkan niatannya."
"Adatnya guruku sangat luar biasa dan sebagai murid baru, cara
bagaimana aku berani membuka mulut?" kata Thian Oe.
Kedua orang muda berdiam buat beberapa lama. "Chena," kata Thian
Oe. "Cara bagaimana kau jadi bermusuhan dengan Touwsoe di Sakya?" Baru
saja ucapkan perkataan itu, Thian Oe lantas merasa menyesal sebab kuatir
ia sudah melewati batas kesopanan.
Tapi Chena kelihatannya tidak merasa tersinggung. "Kau sudah
menolong jiwaku dalam rumahnya Touwsoe, maka biarpun kau tidak menanya,
aku seharusnya memberitahukan padamu," katanya dengan suara perlahan.
"Biarlah sekarang aku tuturkan satu cerita, yang selainnya Thianlie
tjietjie, kau adalah orang kedua yang pernah mendengar ini.
"Dahulu, yaitu pada jaman kerajaan Tong, suku Tukuhun (daerah Koko
Nor) telah menyerang Tibet. Satu panglima Tibet yang gagah perkasa sudah
berhasil pukul mundur musuh yang menyerang itu. Tak lama kemudian, raja
Tibet mengadakan pesta pernikahan besar dan permaisurinya adalah Puteri
Boenseng dari Kaisar Tong. Dengan menggunakan kesempatan itu sang raja
memberi hadiah kepada mereka yang berjasa. Panglima yang sudah pukul
mundur serangan Tukuhun adalah orang yang paling berjasa, maka Raja Tibet
menghadiahkan ia sebidang tanah yang luasnya ditentukan dengan larinya
seekor kuda dalam tempo seharian. Panglima tersebut tersohor mahir dalam
ilmu menunggang kuda dan sepanjang cerita, dalam tempo seharian kudanya
dapat melalui satu lingkaran dari 5000 li lebih. Tanah yang seluas itu
segera dihadiahkan kepadanya dan ia diberi pangkat Hoan-ong (raja muda).
Panglima tersebut adalah leluhurku.
"Tanah dan pangkat itu dipegang turun menurun. Ayahku adalah
turunan yang ke 50. Ia berkuasa atas empat Touwsoe, antaranya Touwsoe di
Sakya yang mempunyai pengaruh paling besar. Isterinya Touwsoe Sakya itu
adalah puterinya paman misananku. Lantaran adanya hubungan pangkat dan
hubungan keluarga, maka kedua keluarga bergaul dengan sangat rapat.
"Ayahku suka sekali berburu. Siapa nyana, pada satu hari ketika
sedang mengubar seekor rase bulu emas, kepalanya kebentur cabang pohon
dan ia terguling dari kudanya akan terus meninggal dunia.
"Aku tak mempunyai saudara lelaki, maka setelah diadakan
perundingan, telah disetujui bahwa kedudukan ayahku harus diwarisi kepada
pamanku, dan jika sang paman meninggal dunia, kepada saudara-saudara
misananku.
"Tapi siapa kira beberapa kejadian ajaib terjadi dengan beruntun.
Pertama, sehabis minum semangkok susu kuda, badan pamanku mendadak pada
matang biru dan bengkak-bengkak dan meninggal dunia tidak lama kemudian.
Sesudah itu, beberapa saudara misananku dengan beruntun meninggal secara
luar biasa sekali. Badan mereka pada matang biru, sedang darah keluar
dari lubang mulut, kuping, hidung dan sebagainya. Orang-orang tua bilang,
kejadian ini adalah akibat gangguan setan memedi, maka sekeluarga kita
pada mengumpat dalam sebuah gereja yang terletak di dalam pekarangan
gedung. Sebuah kunci besar dipasang diluar gereja dan di seputar tembok
disebarkan kapur. Katanya, penjagaan itu dapat menahan masuknya kawanan
setan. Ah, sungguh menakutkan hari-hari yang seram itu!"
Thian Oe bergidik. Keindahan alam yang terbentang di depannya
segera juga berobah jadi pemandangan yang menyeramkan.
"Demikianlah saudara-saudara misananku satu persatu binasa secara
mengerikan itu," Chena lanjutkan penuturannya. "Aku ingat, itu hari,
saudara misananku yang terakhir, yang baru saja berusia tiga tahun, juga
tidak terluput dari kebinasaan. Bukan main rasa takutku. Aku merasa,
bahwa aku sendiri pun tidak akan hidup lama lagi di dalam dunia. "Hari
itu adalah hari
Hoeihoentjee 81 ayah. Sebenarnya satu sembahyangan harus dibikin
dalam gedung raja muda, akan tetapi, berhubung dengan terjadinya
kejadian-kejadian hebat, kami tidak berani mengisar dari dalam gereja,
sedang orang luar pun tak berani datang di rumah kita.
"Tapi masih ada satu orang yang tidak takut. Orang itu adalah
koekoe-ku (paman, saudara lelaki dari ibu) yang bernama Lochu. Apa kau
pernah dengar namanya?"
"Ya," menyahut Thian Oe. "Ayah kata, ia adalah orang gagah nomor
satu di bawah perintahnya Chinpu. Menurut katanya soehoe, ia adalah
seorang kenamaan dari Thianliong pay."
"Ilmu kepandaian koekoe sangat tinggi," kata Chena sambil
manggutkan kepalanya, "Ia juga tidak takuti segala setan memedi. Hari itu
ia kebetulan datang dan turut bersembahyang pada malam itu.
"Hatiku selalu ketakutan. Biasanya setiap malam aku tidur bersama
ibu di satu kamar. Tapi malam itu, koekoe yang temani aku, sedang ibu mau
menjaga meja sembahyang sampai jam lima pagi bersama dua dayang.
"Malam itu aku tak dapat pulas. Saban kesiuran angin atau
bergoyangnya rumput membuat aku kaget dan menduga kedatangannya roh ayah.
Aku ingat, bahwa semasa hidupnya ayah sangat mencintai aku, dan sekarang,
sesudah menjadi roh halus, ia haruslah menjaga aku, menjaga juga ibuku,
supaya kita jangan diganggu oleh segala setan keliaran.
"Jam tiga sudah lewat dan jam empat menyusul. Semua bujang sudah
pada tidur, sehingga keadaan jadi sunyi senyap, sedang di luar cuma
kedengaran suara ketak-ketiknya sang lonceng. Dalam kamar terdapat dua
pembaringan kayu. Aku tidur di pembaringan sebelah dalam, sedang koekoe
di pembaringan sebelah luar. Aku mengintip dari sela-sela pintu dan lihat
api lilin bergoyang-goyang. Mengingat seramnya keadaan diluar, aku mau
teriaki ibu supaya masuk saja ke dalam buat temani aku. Tapi sebelum
dapat buka suara, api lilin mendadak padam semuanya!
"Berbareng dengan itu, aku dengar teriakan ibu yang membikin bulu
badanku jadi berdiri. Tiba-tiba koekoe membentak sembari menjotos,
sehingga tiang ranjang sempal. Sekarang aku dapat lihat, satu bayangan
hitam sudah bertempur seru dengan koekoe.
"Sesudah bertempur beberapa lama, koekoe desak dia keluar kamar dan
mereka terus berkelahi dengan hebatnya. Setiap pukulan mengeluarkan
deruan angin dan mataku tak dapat membedakan, yang mana koekoe, yang mana
musuh. Perabot rumah tangga banyak yang hancur lantaran kepukul atau
ketendang. Tiba-tiba aku dengar teriakan koekoe yang menyeramkan.
Semangatku terbang, hampir-hampir aku pingsan, sebab duga koekoe kena
dirobohkan. Tapi, sesudah teriakan itu, keadaan jadi sunyi kembali. Aku
buka kedua mataku dan merasa satu orang usap-usap kepalaku."
"Apa koekoe?" Thian Oe menanya tanpa merasa.
Chena tarik napas panjang dan menyahut: "Benar, ia adalah koekoe.
Napasnya sengal-sengal dan suaranya gemetar waktu ia berkata: "Chena,
aku... Lekas ikut padaku." Ketika itu, aku sudah jadi begitu ketakutan,
sehingga kedua kakiku menjadi lemas. Koekoe pondong aku dan berjalan
keluar. "Mana ibu? Ajaklah ibu bersama-sama," kata aku. Koekoe tidak
menjawab. Ia buka pintu gereja dan lantas loncat ke atas punggung kuda,
yang lantas dikaburkan secepat bisa. Belakangan aku baru tahu, bahwa ibu
dan dua dayang semuanya binasa dalam tangannya pembunuh. Si
pembunuh sebenarnya maui juga jiwaku, dan kalau tidak ada koekoe,
sekarang aku tentu sudah tidak hidup lagi. Koekoe terus kaburkan kudanya
dan dalam tempo semalaman sudah melalui lebih dari dua ratus li. Disitu
barulah ia memberitahukan aku, bahwa paman dan saudara-saudara misanan
semua binasa dalam tangannya pembunuh itu, yang mempunyai semacam ilmu
pukulan sangat beracun yang dinamakan Tjit-im tjiang. Siapa yang kena
pukulan itu, sekujur badannya lantas matang biru dan dari lubang-lubang
tubuhnya mengeluarkan darah! Tak usah dibilang lagi, si korban tidak akan
dapat ditolong jiwanya. Dengan taruhkan jiwanya, koekoe lawan pembunuh
itu, yang dapat juga dipukul mundur, tapi koekoe sendiri sudah kena satu
pukulannya.
"Semangatku rasanya terbang dan buru-buru tanya bagaimana baiknya.
Koekoe menerangkan, bahwa lantaran mempunyai tenaga dalam yang cukup
kuat, maka ia masih bisa tahan tujuh hari lamanya. Koekoe dengar, di
pegunungan Nyenchin Dangla terdapat satu telaga Thian-ouw dan di pinggir
telaga tersebut hidup seorang dewi. Sepanjang cerita, air suci dari
telaga tersebut dan bunga Mantolo yang tumbuh di atas gunung dapat
mengobati macam-macam penyakit. Lantaran tidak terdapat lain jalan lagi,
dengan tidak perdulikan benar atau tidaknya cerita itu, sambil mendukung
diriku, koekoe panjat gunung
Nyenchin Dangla. Waktu matanya melihat air telaga, mendadak koekoe
keluarkan teriakan dan jatuh pingsan, mungkin lantaran lukanya dan
kecapaian, tercampur dengan perasaan girang sudah bisa sampai di telaga
tersebut. Sembari menangis, aku coba bikin sadar padanya. Lantaran lapar
dan lelah, sesudah menangis beberapa lama, aku pun jatuh pingsan.
"Tak tahu sudah selang berapa lama, perlahan-lahan aku jadi sadar.
Koekoe sudah tidak berada disitu, tapi di hadapanku berdiri seorang
wanita yang parasnya cantik sekali. Aku menduga, ia itu tentu sang dewi
yang bertempat tinggal di pinggir telaga. 'Sianlie tjietjie, mana koekoe-
ku?' aku menanya. Ia mesem dan menyahut: 'Apa ia koekoe-mu? Aku bukannya
dewi. Aku she Koei bernama Peng Go. Orang luar namakan aku sebagai
Pengtjoan Thianlie.' Mendengar begitu, aku segera berkata kembali: 'Kalau
begitu, Thianlie tjietjie, dimanakah adanya koekoe?' 'Aku belum pernah
permisikan orang luar naik disini, maka itu aku sudah usir koekoe-mu ke
bawah gunung,' jawab Pengtjoan Thianlie. Kembali aku menangis keras.
'Jangan nangis,' ia membujuk. 'Aku sudah obati lukanya koekoe-mu dan
sekarang jiwanya sudah ketolongan. Kalau bukannya begitu, cara bagaimana
ia bisa turun dari gunung ini?' Aku merasa heran mendengar cara-caranya
Thianlie tjietjie, yang sesudah menolong, lalu mengusir koekoe. 'Thianlie
tjietjie apakah kau akan usir juga diriku?' aku menanya. Waktu itu, aku
tidak mengerti barang sedikit ilmu silat, sehingga kalau benar diusir,
aku tentu mesti binasa, kalau tidak lantaran terpleset jatuh, tentu juga
lantaran kelaparan.
"Pengtjoan Thianlie kembali mesem dan berkata dengan suara halus:
'Aku dan kau ada berjodoh, maka aku bersedia buat menahan dirimu untuk
sementara waktu.' Belakangan aku baru mendapat tahu, bahwa Thianlie
tjietjie belum pernah bergaul dengan orang luar dan ia ingin sekali
mengetahui keadaan dalam dunia. Selainnya itu, ia juga merasa senang
terhadapku sebab mataku mirip sekali dengan matanya. Itulah sebabnya,
maka ia sudi menahan aku."
Mendengar begitu, Thian Oe segera awasi kedua matanya Chena yang
bundar dan besar, dengan kedua biji mata yang warnanya sedikit blau.
Kalau biji mata itu sedang memain, orang seperti juga melihat dua
gumpalan air perak putih yang memeluk dua titik hitam, sedang bergulikan
ke kiri-kanan. Sungguh indah kedua mata itu dan benar mirip dengan
matanya Pengtjoan Thianlie.
Diimplang dengan mata tajam oleh Thian Oe, paras mukanya Chena jadi
bersemu merah. "Lantaran lihat ia bersikap ramah tamah, aku segera
berdiam padanya dan ceritakan segala asal-usulku," kata lagi Chena
sembari tundukkan kepala.
"Belakangan bagaimana?" tanya Thian Oe.
"Biarpun ia belum mengasih lihat kepandaian luar biasa, aku sudah
merasa, Pengtjoan Thianlie bukannya sembarang orang," kata lagi Chena.
"Aku segera memohon buat menjadi muridnya, tapi ia mengatakan ia
selamanya tidak suka campur urusan dunia dan tidak ingin menjadi guru.
Sesudah aku memohon berulang-ulang, ia berkata: 'Baiklah, lantaran aku
merasa kasihan akan nasibmu, sebagai seorang saudara, aku akan turunkan
pelajaran ilmu silat secara lisan kepadamu, buat tiga hari lamanya.
Berapa banyak pelajaran kau bisa dapat selama tiga hari itu, tergantung
atas untungmu.' Demikianlah ia lalu turunkan pelajaran ilmu silat secara
lisan kepadaku. Sebulan lamanya aku berdiam dalam keraton Thianlie
tjietjie, dimana diam-diam aku berlatih di bawah petunjuk para dayangnya.
Dalam tempo yang sangat pendek itu, benar saja aku sudah mendapat
kemajuan yang sangat besar. Sebetulnya Thianlie tjietjie masih mau
menahan padaku, tapi lantaran hatiku sangat ingin membalas sakit hati
secepat mungkin, maka, tanpa mendengar nasihatnya, aku lalu turun gunung.
Dan tak dinyana, benar saja ilmu silatku masih terlalu rendah, sehingga
bukan saja aku sudah gagal dalam percobaan membalas sakit hati, tapi juga
hampir-hampir jiwaku sendiri turut melayang."
Harus diketahui, bahwa ilmu silatnya Chena pada ketika itu, sudah
terhitung tinggi. Ilmu entengi badannya sudah berada di sebelah atasan
Thian Oe. Mendengar penuturan itu, hatinya Thian Oejadi kagum sekali. "Ia
cuma belajar tiga hari, tapi ilmunya sudah begitu tinggi," kata Thian Oe
dalam hatinya. "Dari sini bisa dilihat, bahwa kepandaiannya Pengtjoan
Thianlie sungguh-sungguh sukar diukur bagaimana dalamnya. Dan
kecerdasannya Chena mungkin sukar dicari keduanya dalam dunia ini."
"Sesudah turun gunung barulah aku mendapat tahu, bahwa segala
kebencanaan dalam keluargaku adalah perbuatannya Touwsoe di Sakya,"
demikian Chena teruskan penuturannya. "Sesudah peristiwa hebat pada malam
itu, kapan ibuku binasa dan aku sendiri hilang, sedang sang paman dan
saudara-saudara misanan sudah binasa terlebih dahulu, maka di antara
keluarga dekat, sudah tidak ada orang lagi yang berhak mewarisi kedudukan
Raja muda Chinpu. Pada besokan harinya, dengan membawa satu pasukan
tentara, Touwsoe Sakya angkat paman misananku (yang bukan lain dari
mertua sang Touwsoe) menjadi raja muda. Orang-orang sekaumku tidak ada
yang berani membantah lantaran takuti pengaruh dan kekuasaannya yang
besar. Paman misananku sudah berusia 60 tahun lebih dan adalah ibarat api
lilin di tengah-tengah angin. Touwsoe Sakya segera perintah anak
lelakinya yang sulung menjadi Chiepa (semacam kuasa). Secara merdu
dikatakan, bahwa sang cucu membantu kakek, akan tetapi sebenar-benarnya
si cuculah yang menjadi raja muda dan sudah rampas banyak sekali tanahnya
Raja muda Chinpu. Mendengar itu, aku tak dapat menahan sabar lagi.
Bagaimana buntutnya sudah diketahui olehmu, sehingga aku tak perlu
menuturkan lagi."
"Apa Pengtjoan Thianlie meluluskan buat turunkan lagi ilmu silatnya
kepadamu?" tanya Thian Oe.
"Ia sudah meluluskan buat mengajar lagi tiga hari lamanya," jawab
Chena "Sesudah itu, apa aku mampu membalas sakit hati atau tidak, adalah
urusanku sendiri."
"Biarlah aku saja yang balaskan sakit hatimu," kata Thian Oe dengan
suara terharu.
Chena mesem dan berkata: "Apa? Terima kasih banyak buat kebaikanmu.
Cuma saja, buat balas sakit hatinya orang tua, kalau bukan terlalu
terpaksa, aku tidak mau pinjam tangannya orang lain. Selainnya itu,
Touwsoe di Sakya mempunyai banyak sekali orang pandai, antaranya itu
pembunuh yang mempunyai ilmu Tjit-im tjiang. Dengan ilmu silat yang
dipunyai oleh kau dan aku, biarpun kita belajar lagi tiga sampai lima
tahun, aku rasa belum tentu dapat menandingi dia."
Mengingat kepandaiannya yang masih sangat rendah dan sudah
keluarkan omongan besar, Thian Oe jadi merasa jengah sekali.
Di bawah sinarnya sang rembulan, Thian Oe dapat lihat sorot sangat
berterima kasih dalam kedua matanya Chena yang jeli. "Bukankah besok kau
akan ikut gurumu berlalu dari sini?" ia tanya dengan suara perlahan.
Hatinya Thian Oe bergoncang. "Benar, besok aku sudah mesti
berlalu," katanya dengan suara serak. Tapi baru ia habis ucapkan
perkataannya, di sebelah kejauhan mendadak terdengar bentakannya Thiekoay
sian.
Keraton kristal dari Pengtjoan Thianlie adalah keraton yang
transparan dan terang benderang.
Jauh di tengah-tengah taman terlihat dua bayangan orang yang sedang
bertempur hebat. Satu antaranya yang bersenjata tongkat besi, yang
diputar seperti titiran cepatnya, adalah Thiekoay sian. Yang satunya lagi
berbadan tinggi besar, seperti juga bukan badannya orang Han, dan memakai
jubah pertapaan yang berwarna merah. Di antara sinar rembulan yang
seperti perak, warna merah itu kelihatan menyolok sekali, seakan-akan
segumpal awan merah yang memain di antara awan-awan putih.
"Dengan dapat panjat sungai es dan bisa masuk ke dalam keraton ini,
kepandaiannya orang itu mestinya tinggi sekali," kata Thian Oe dalam
hatinya dengan perasaan kaget.
"Peraturan Thianlie tjietjie ada sangat keras, tapi kenapa ia belum
juga keluar dan biarkan orang itu bikin ribut dalam keratonnya?" kata
Chena dengan suara heran.
Chena kenal baik jalanan dalam keraton. Sesudah bulak-belok
bersama-sama Thian Oe mereka tiba dalam taman di depannya keraton dengan
ukiran kuda emas. Orang yang sedang berkelahi sama Thiekoay sian adalah
satu Hoantjeng (pendeta asing), yang hidungnya berpatok, mulutnya lebar
dan romannya jelek sekali. Ia bersenjata sianthung (tongkat pertapaan)
yang banyak lebih kecil dari tongkatnya Thiekoay sian, tapi yang dengan
mudah dapat punahkan sesuatu serangan.
Tidak jauh dari situ, di kaki satu gunung-gunungan, berdiri dua
orang lain yang mulutnya menggerendeng sembari rangkap kedua tangannya.
Mereka itu adalah kedua boesoe Nepal yang kita sudah kenal.
Thian Oe merasa heran sekali, kenapa kedua boesoe itu, yang
kelihatannya sangat memuja Pengtjoan Thianlie, berani ikut si pendeta
masuk ke dalam keraton tanpa permisi. "Dua boesoe itu memanggil Koksoe
(Guru negara) kepada si pendeta," berbisik Chena.
"Mereka kata apa?" tanya Thian Oe.
"Aku pun tak dengar terang. Rupa-rupanya mereka sedang membujuk
supaya si Koksoe jangan berkelahi terus." jawab Chena.
Semakin berkelahi, Thiekoay sian jadi semakin bersemangat.
Tongkatnya terputar bagaikan titiran yang kurung badannya si pendeta, dan
pada saat-saat beradunya kedua tongkat, sang kuping menjadi pengeng
lantaran kerasnya suara.
Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih 50 jurus.
Makin lama Thian Oe jadi makin heran. Suara beradunya tongkat ada cukup
keras buat bikin sadar orang yang tidur bagaimana nyenyak pun. Tapi,
bukan saja Pengtjoan Thianlie, malahan sang dayang pun tidak kelihatan
mata hidungnya.
"Chena," kata Thian Oe yang sudah tidak dapat menahan sabar lagi.
"Perlukah panggil kau punya Thianlie tjietjie?"
"Gerak-geriknya Thianlie tjietjie sangat luar biasa," jawab Chena.
"Sekarang ia belum keluar, tentulah juga ada sebab lain."
Tiba-tiba kedua tongkat beradu luar biasa kerasnya, sehingga
membikin pengeng kupingnya Thian Oe dan Chena. Di lain saat, si pendeta
sudah bersila di atas tanah, sedang sianthung-nya digoyang-goyang dengan
perlahan. Dengan kumis yang berdiri, Thiekoay sian menubruk dan
menghantam dengan sepenuh tenaga.
Melihat begitu, Thian Oe jadi girang dan berkata dalam hatinya:
"Sekarang tak perlu lagi bantuannya Pengtjoan Thianlie. Manusia itu sudah
bukan tandingannya guruku lagi."
Tapi ia tidak tahu, justru pada saat itu gurunya berada dalam
keadaan kejepit. Sebagai murid kepala dari Kam Hong Tie, tenaga dalamnya
Thiekoay sian tidak ada tandingannya, baik di sebelah selatan, "maupun di
sebelah utara Sungai Besar. Tapi tak nyana, berhadapan dengan pendeta
asing itu, ia tidak bisa mendapat angin. Ia menyerang sehebat-hebatnya
dengan menggunakan tenaga Kimkong Toalek, akan tetapi semua serangannya
dengan gampang dapat dipunahkan oleh si pendeta
Dua puluh tahun lebih Thiekoay sian malang melintang dalam dunia
Kangouw, dan inilah buat pertama kali ia bertemu musuh yang tangguh,
sehingga dengan terpaksa, ia mesti gunakan juga Hokmo Tianghoat (Ilmu
silat tongkat takluki iblis).
Hokmo Tianghoat adalah gubahan Tokpie Sinnie (Malaikat Wanita
Lengan Satu, gurunya Delapan Pendekar Kanglam) dan kemudian dipelajari
dan ditambah lagi oleh Liauw In Hweeshio. Ilmu tongkat tersebut mempunyai
108 jalan dan setiap pukulan mempunyai tenaga yang seribu kati beratnya.
Selainnya itu, kepala dan ujung tongkat juga dapat digunakan buat menotok
jalanan darahnya musuh. Ilmu silat tersebut luar biasa liehaynya, tapi
juga sangat memakan tenaga dalam. Sesudah bersilat habis 108 jalan, orang
mesti mengasoh sedikitnya tiga hari buat dapat pulang lagi tenaganya.
Itulah sebabnya kenapa Thiekoay sian jarang sekali menggunakan Hokmo
Tianghoat itu.
Sekarang dengan terpaksa ia gunakan juga! Mendadakan saja, sang
tongkat menyambar-nyambar bagaikan hujan dan angin dan benar saja si
pendeta menjadi ripuh. Thiekoay sian segera kerahkan tenaga dalam yang
lebih besar buat hantam jatuh padanya. Tiba-tiba si pendeta terputar dan
lantas bersila di atas tanah sambil meremkan mata dan tundukkan
kepalanya, seperti juga orang lagi bersemedhi, sedang tongkatnya
digoyang-goyang dengan perlahan.
Thiekoay sian adalah seorang yang berpengalaman, tapi melihat
begitu, hatinya jadi terkejut. "Apa maunya dia?" ia tanya dalam hatinya.
Di lain saat, ia rasakan serangan-serangannya kena ditutup dan satu
tenaga yang sangat besar terasa menolak dirinya. Semakin hebat ia
menghantam, semakin besar lagi tenaga yang menolak itu. Tongkatnya si
pendeta yang digoyang-goyang dengan perlahan merupakan satu tembok
tembaga yang tak dapat ditembuskan dengan serangan apapun juga.
Thiekoay sian terkesiap dan menyerang semakin gencar. Dalam sekejap
ia sudah gunakan habis 36 jalan yang pertama. 108 jalan Hokmo Tianghoat
dipecah jadi tiga bagian. Bagian pertama, yang terdiri dari 36 jalan,
adalah serangan-serangan hebat yang menggunakan tenaga Kimkong.
Kalau ini tidak berhasil, lantas menyusul bagian kedua, yang juga
terdiri dari 36 jalan. Pukulan-pukulan dari bagian kedua ini semuanya
dikeluarkan dengan menggunakan tenaga lweekeh (tenaga dalam) yang sejati,
dan hebatnya bukan kepalang, sehingga satu batu besar bisa hancur lebur
kalau kena pukulan itu. Pukulan-pukulan dari bagian pertama semuanya
mengeluarkan suara angin yang keras, tapi pukulan-pukulan bagian kedua
sama sekali tidak menerbitkan suara, sehingga jadi lebih sukar dijaganya.
Tapi sungguh heran, biarpun ia meremkan mata dan tundukkan kepala,
bebokongnya si pendeta seperti juga ada matanya, sehingga tidak perduli
pukulan Thiekoay sian datang dari mana, ia selalu dapat mengebas dengan
tongkatnya. Selainnya begitu, tenaga yang menolak juga jadi bertambah
besar dan beberapa kali hampir-hampir tongkatnya Thiekoay sian terlepas
dari tangannya!
Ilmu yang digunakan oleh si pendeta adalah ilmu Yoga dari India,
yang dicampur dengan ilmu silat Djioekang (ilmu silat lembek) dari cabang
silat Bittjong di Tibet. Djioekang ini juga adalah satu ilmu silat
lweekeh yang sangat tinggi, tapi berbeda dengan lweekeh dari Tiongkok
asli. Orang yang mempelajari Djioekang, paling terutama harus melatih
isi perutnya Kalau ilmunya sudah tinggi, ia bisa dimasukkan di dalam peti
yang kemudian direndam dalam laut, dan sesudah tiga hari diangkat lagi,
ia masih hidup seperti biasa. Yang paling sukar dipelajari adalah
menghentikan jalannya
pernapasan. Orang yang sudah berlatih sampai di puncak itu,
badannya seperti juga badan dewa yang tidak bisa rusak.
Ilmunya si pendeta belum sampai pada puncaknya, akan tetapi,
dibanding dengan tenaga Thiekoay sian, ia sudah menang seurat. Ilmu yang
dikeluarkan oleh si pendeta memerlukan kedudukan sila buat mengerahkan
napas, yang semakin lama mengeluarkan tenaga semakin besar. Itulah
sebabnya, walaupun Hokmo Tianghoat makin lama jadi makin hebat, tapi
masih terus dapat dipukul mundur oleh tenaga dalamnya si pendeta.
Dengan cepat, 36 jalan yang kedua juga sudah digunakan hampir
habis. Di atas kepalanya Thiekoay sian sudah kelihatan keluar uap putih,
tapi Pengtjoan Thianlie belum juga muncul. Melihat begitu, hatinya
Thiekoay sian jadi berdongkol. "Kalau begitu, buat apa aku campur
urusannya?" kata ia dalam hatinya. Memikir begitu, ia ambil putusan buat
tidak keluarkan bagian ketiga dari Hokmo Tianghoat dan sembari sabetkan
tongkatnya, ia niat loncat keluar dari gelanggang.
Tapi siapa nyana usaha itu tidak berhasil! Sianthung si pendeta
jubah merah seperti juga mempunyai tenaga menghisap dan ia tidak dapat
loloskan diri!
Kaget dan gusarnya Thiekoay sian teraduk menjadi satu. Buru-buru ia
kerahkan tenaga dalam dan kebas tongkatnya, yang bisa bergoyang tapi
tidak bisa copot sebab tenaga yang menghisap jadi semakin kuat. Maka itu,
Thiekoay sian tak dapat berbuat lain daripada tambah tenaganya buat
layani lawanan itu dan kemudian keluarkan bagian ketiga dari Hokmo
Tianghoat.
Bagian ketiga inilah yang paling memakan tenaga dalam. Thian Oe
lihat pukulan-pukulan kedua lawanan itu jadi semakin perlahan. Si pendeta
masih terus meremkan mata dan tundukkan kepala, tapi sekarang uap putih
juga sudah muncul di atas kepalanya, sedang napasnya mulai sengal-sengal.
Tapi keadaan gurunya ada terlebih menyedihkan. Pakaiannya Thiekoay sian
sudah cipruk dengan keringat yang terus mengetel-ngetel sebesar kacang.
Saban kali gerakkan tongkatnya, buku-buku tulangnya kedengaran peratak-
perotok.
Biarpun Thian Oe belum mengerti ilmu silat tinggi, tapi ia tahu
keadaan gurunya sudah kepayahan.
Lewat beberapa saat lagi, si pendeta mendadak buka kedua matanya
dan membentak: "Roboh kau!"
Thiekoay sian sempoyongan dan badannya bergoyang-goyang. Ia kertek
giginya, tongkatnya membuat setengah lingkaran dan terus menindih ke
jurusan bawah. "Belum tentu aku roboh!" kata ia. Waktu itu Thiekoay sian
menyerang dengan pukulan yang ke 96, yaitu Hangliong Hokhouw (Pukulan
takluki naga dan macan), dan Seantero tenaga dalamnya dipusatkan kepada
kepala tongkat.
Si pendeta mesem tawar dan berkata: "Apa kau mau cari mampus?" Ia
lantas angkat sianthung-nya ke atas dan bentur tongkatnya Thiekoay sian.
Sungguh aneh, tongkatnya Thiekoay sian yang sebesar mangkok lantas
melengkung dengan perlahan!
Mukanya Thiekoay sian jadi pias. Mendadak, dengan satu suara
"trang!", tongkatnya Thiekoay sian terpisah dari tempelan tongkat
lawannya, sedang si pendeta loncat mundur beberapa tindak, tongkatnya
diturunkan ke bawah dan ia berdiri dengan sikap hormat. Thian Oe heran
sungguh melihat perubahan yang begitu mendadak.
Waktu menoleh, ia segera tahu sebabnya. Dengan memakai jubah sutera
putih, Pengtjoan Thianlie kelihatan muncul dari antara pohon-pohon
kembang dengan tindakan perlahan, sedang di dampingnya kelihatan
isterinya Thiekoay sian, Gobie Liehiap Tjia In Tjin. Sembari keluarkan
teriakan perlahan, Tjia In Tjin loncat dan pegang tangan suaminya. Dengan
berpegangan tangan, mereka berdua lalu bersila di atas tanah sambil
jalankan napasnya.
Pengtjoan Thianlie tertawa dingin. Setindak demi setindak, ia
menghampiri. Kedua boesoe Nepal itu ketakutan sekali. Sembari rangkap
kedua tangannya, mereka berlutut dan meratap seperti juga sedang memohon
ampun.
Sambil cekal tongkatnya, si pendeta juga memberi hormat dan
keluarkan sehelai firman warna kuning dari kantongnya dan ucapkan
beberapa perkataan.
Chena keluarkan suara kaget dan berbisik di kupingnya Thian Oe:
"Ini Hoantjeng menggunakan panggilan puteri terhadap Thianlie tjietjie
dan minta ia menerima firman. Sungguh mengherankan."
Pengtjoan Thianlie terima firman itu, yang sesudah dibaca selewatan
lantas dipulangkan lagi. Mukanya si pendeta jadi merah dan ia ketruk
tongkatnya di atas tanah. "Kita orang tidak bisa biarkan guci emasnya
Kaizar Tjeng tiba di Lhasa," kata ia dalam bahasa Nepal. "Raja telah
memerintahkan supaya kau turun gunung buat memberi bantuan. Apakah kau
tidak sudi meluluskan?" Dengan adanya Chena sebagai juru bahasa, Thian Oe
juga mengerti apa yang dikatakan oleh pendeta itu.
Paras mukanya Pengtjoan Thianlie berobah sedikit, tapi pada
bibirnya masih terus tersungging senyuman. Si pendeta jubah merah
kelihatannya mau buka mulut lagi, tapi Pengtjoan Thianlie sudah menuding
dengan jerijinya dan berkata dengan suara tawar: "Semua orang
menggelinding turun dari gunung ini!"
Di bawah sinar rembulan yang putih dingin, mukanya si pendeta yang
barusan merah sekarang berubah menjadi hijau, sehingga kelihatannya
menakuti sekali! "Lihatlah, lantaran malu ia jadi gusar," berbisik Chena
di kupingnya Thian Oe.
Sebagai Koksoe (Guru negara) dari negara Nepal, manalah si pendeta
dapat menelan hinaan itu? Amarahnya meluap luber, sehingga jerijinya jadi
gemetar. Mendadak ia dongak dan tertawa terbahak-bahak akan kemudian
menuding sambil membentak: "Kau, kau suruh aku menggelinding turun? Raja
sendiri tak berani berlaku begitu kurang ajar terhadapku!"
"Tak salah," kata Pengtjoan Thianlie. "Aku perintah kau
menggelinding turun dari sini. Habis kau mau apa? Aku sebenarnya sudah
beri muka yang sangat besar kepadamu dengan membiarkan kau masuk ke dalam
keraton ini dan menemui aku. Apa kau tidak kenal puas? Aku sudah
bersumpah, bahwa siapapun berani membujuk aku turun gunung, ia itu mesti
berlalu dari sini. Kau pun tak terkecuali."
Si pendeta kembali tertawa berkakakan seperti orang kalap. Ia
ketruk lagi tongkatnya, sehingga mengeluarkan suara yang sangat nyaring.
Sesudah itu ia manggutkan .kepala dan berkata dengan suara nyaring: "Dari
tempat yang jauhnya laksaan li, aku datang disini buat menemui Paduka
Puteri. Memang juga hatiku tidak mengenal kepuasan. Aku dengar ilmu
silatnya Paduka Puteri terhitung nomor satu di daerah Tiongkok dan
wilayah Barat. Maka itu, aku sekarang ingin sekali dapat menambah
pengalaman."
"Apa?" menegasi Pengtjoan Thianlie. Ia tertawa dingin dan tepuk
kedua tangannya sambil berseru: "Kemari!"
Di lain saat, sembilan dayang sudah kelihatan muncul. Pengtjoan
Thianlie dongakkan kepalanya dan kebaskan tangannya dengan sikap agung.
"Usir ini pendeta liar!" ia memerintah.
"Ah, kalau begitu kau tidak sudi turun tangan sendiri?" kata si
pendeta. "Dengan demikian, undanganku yang barusan agaknya terlalu
melanggar pri kesopanan. Maka itu, dengan tidak mengimbangi kebodohan
sendiri, aku mohon belas kasihannya Paduka Puteri."
Kedua boesoe Nepal itu ketakutan setengah mati dan membujuk-bujuk
supaya Koksoe nya menyingkir saja, tapi si pendeta tidak meladeni.
Pengtjoan Thianlie ambil sikap acuh tak acuh. Begitu ia kebaskan
tangannya, sembilan dayang itu lantas kurung si pendeta. Kedua matanya
yang angker dan tajam laksana pedang, kemudian mengawasi si pendeta yang
tanpa merasa lantas mundur beberapa tindak. Sembilan dayang itu lalu
gerakkan tangannya seperti orang menggebah ayam, sehingga si pendeta
menjadi kalap lantaran gusarnya. "Baiklah!" ia membentak. "Biarlah lebih
dahulu aku minta pengajaran dari dayang-dayangmu dan kemudian barulah
minta pengajarannya Paduka Puteri sendiri."
Sebaliknya dari meladeni omongan si pendeta, Pengtjoan Thianlie
hampiri Chena yang lantas dipegang tangannya.
"Perhatikanlah, kiamhoat yang mereka gunakan, semuanya diajarkan
olehku," kata ia dengan suara menyayang. Thian Oe merasa bahwa sikapnya
Pengtjoan Thianlie terhadap Chena benar-benar seperti sikap seorang kakak
terhadap adiknya sendiri dan berbeda seperti langit dan bumi dengan
keangkerannya yang barusan. "Sifatnya Pengtjoan Thianlie benar-benar tak
dapat ditebak," demikian Thian Oe pikir dalam hatinya.
Si pendeta kebaskan tongkatnya dan pasang kuda-kuda, tapi tidak
lantas menyerang, mungkin sebab mau pertahankan kedudukannya sebagai
seorang yang lebih tua.
Apa yang mengherankan adalah pedangnya sembilan dayang yang
semuanya seperti kristal, dan begitu digerakkan, sinar serta hawa dingin
menyambar-nyambar sehingga Thian Oe jadi bergidik. Di lain saat, ia
rasakan dirinya seperti juga masuk ke dalam jurang es dan giginya
bercakrukan. Ia lirik Chena dan gadis itu juga ternyata gemetaran sekujur
badannya lantaran kedinginan.
Pengtjoan Thianlie berkata sembari tertawa; "Aku lupa kalian belum
dapat lawan hawa ini. Biarlah kalian menahan buat sementara waktu."
Mendadak, bagaikan kilat jerijinya menotok batang lehernya Thian
Oe.
Thian Oe terperanjat, sebab begitu kena, ia rasakan seperti juga
kena listrik dan sekujur badan jadi kesemutan. Tapi di lain saat, semacam
hawa panas naik dari tantian (bagian pusar) dan mengalir di seluruh
badannya. Ia rasakan jantung mengetok keras dan darahnya mengalir lebih
deras, seperti orang habis lari keras. Di luar hawa sangat dingin, tapi
badan berasa panas. Chena juga sudah mendapat totokan begitu. Ia sudah
tidak gemetaran dan kedua pipinya bersemu merah.
Thian Oe pernah dengar penuturan gurunya, bahwa orang yang
mempunyai lweekang (ilmu dalam) sangat tinggi, bukan saja dapat
membinasakan manusia dengan totokannya, tapi juga bisa mengobati penyakit
dengan totokan itu. Waktu mendengar itu, ia anggap penuturan tersebut
seperti cerita dongeng. Tapi sekarang, sesudah mengalami sendiri, barulah
ia percaya, bahwa dalam dunia benar-benar ada kepandaian yang sedemikian
tinggi.
"Thianlie tjietjie, apakah mereka menggunakan pedang es?" tanya
Chena. Ia menanya begitu sebab sudah pernah lihat Pengtjoan Thianlie
robohkan Loei Tjin Tjoe dengan sebatang pedang es. Thian Oe juga
sebenarnya ingin majukan pertanyaan begitu, maka itu, ia sangat
perhatikan jawabannya Pengtjoan Thianlie.
"Ah, manalah mereka mempunyai kepandaian begitu tinggi?" jawab
Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. "Pedang mereka adalah buatanku
sendiri yang diberi nama Pengpok Hankong kiam (Pedang Roh Es Sinar
Dingin). Pedang tersebut dibuat dari Oen-giok (Batu kemala hangat) yang
sudah ribuan tahun tuanya dan merupakan keluaran istimewa dari gunung
ini. Batu kemala tersebut, yang ribuan tahun teruruk es, harus diolah
tiga tahun lamanya barulah menjadi pedang yang demikian. Ituiah sebabnya
kenapa kalau digerakkan, pedang tersebut lantas keluarkan hawa dingin
yang sangat hebat. Orang yang belum mempelajari Iweekang yang tinggi
tidak bisa tahan hawa itu."
Melihat sinar dan merasa hawanya sembilan batang pedang itu, si
pendeta jubah merah juga kelihatannya sangat terkejut. Tapi berkat
lweekangnya, ia tidak takuti hawa itu. Sembilan batang pedang yang bagian
kepalanya bersambung dengan bagian buntut, segera merupakan satu jala
yang bersinar terang dan yang dengan perlahan menjadi semakin ciut.
Pendeta jubah merah tak dapat menahan sabar lagi. Dengan pukulan
Lekhoa hongkouw (Dengan tenaga menggurat perbatasan), sianthung-nya
mendorong keluar. Dengan beberapa suara kerontangan, empat batang pedang
beradu dengan tongkat itu. Melihat tongkatnya yang mempunyai tenaga
ribuan kati, kena ditahan oleh empat dayang itu, hatinya si pendeta
merasa heran. Berbareng dengan itu, empat pedang dari garisan belakang,
menikam bagaikan kilat cepatnya. Sembari berkelit, si pendeta sampok
pedang yang datang dari belakang dan pentil miring pedang yang datang
dari sebelah depan. Tapi dua pedang dari kiri dan kanan sudah menyambar
ke badannya!
"Bagus!" berseru Thian Oe.
"Anak-anak, awas!" Pengtjoan Thianlie berteriak hampir berbareng.
Pada detik itu, ke empat dayang kelihatan loncat dengan berbareng,
sedang si pendeta, sembari membentak keras, menyerang seperti hujan angin
dengan tangan dan sianthung-nya.
Ternyata, dengan mahir dalam ilmu Yoga, ototnya si pendeta dapat
berobah-robah menurut sukanya. Pada waktu pedangnya nempel pada jubahnya
si pendeta, kedua dayang yang menyerang dari kiri dan kanan mendadak
rasakan ujung pedang mereka terpeleset, sebab otot pundaknya si pendeta
mendadak berubah bentuknya dan jadi lebih besar beberapa dim.
Berbareng dengan itu, si pendeta lalu menyerang dengan tongkat dan
tangannya sembari kerahkan tenaga dalamnya.
Si pendeta sama sekali tidak duga, dayang-dayang itu mempunyai ilmu
entengi badan begitu tinggi. Begitu tongkatnya menyambar, mereka sudah
menghilang ke empat penjuru seperti cecapung menotol air atau kupu-kupu
berterbangan di antara bunga-bunga, sebentar ke kiri sebentar ke kanan,
sebentar berkumpul sebentar berpencaran. Beberapa kali ia kirim pukulan-
pukulan hebat, tapi semuanya jatuh di tempat kosong, dan tanpa merasa, ia
sendirilah yang berbalik kena dikepung di sama tengah.
Dengan perasaan sangat berdongkol, ia lalu bersila di atas tanah
dengan niatan menggunakan ilmu yang tadi ia gunakan terhadap Thiekoay
sian. Akan tetapi, melayani sembilan orang sangat berbeda dengan melawan
satu orang. Sembilan dayang itu bergerak tak hentinya dan tikaman-tikaman
pedang mereka selalu ditujukan ke arah jalanan darah yang berbahaya. Oleh
karena ilmu Yoga si pendeta belum sampai pada puncaknya, maka adalah
sangat sukar buat ia menutup semua jalanan darahnya dan berbareng
meladeni sembilan lawanan itu. Demikianlah, menghadapi serangan yang
bertubi-tubi, sesudah bersila sementara waktu, ia terpaksa loncat bangun
lagi sembari putar tongkatnya. Sesudah bertempur beberapa gebrakan, ia
bersila lagi, akan kemudian loncat bangun kembali. Kejadian itu terulang
sampai beberapa kali, sehingga kelihatannya lucu sekali sampai Thian Oe
yang tak tahan buat tidak tertawa berkakakan.
Bukan main gusarnya si pendeta mendengar hinaan itu. "Biar aku
lukakan dua orang lebih dahulu," kata ia dalam hatinya sembari loncat
bangun dan putar tongkatnya. Ia mengamuk seperti kerbau gila, seakan-akan
sudah tidak pcrdulikan lagi keselamatannya sendiri dan turunkan tangannya
tanpa sungkan-sungkan lagi. Disurung dengan hawa amarah, bukan main hebat
pukulan-pukulan tongkatnya, sehingga sembilan dayang itu tidak berani
menyambut lagi dan cuma berkelit ke sana-sini. Melihat begitu, Thian Oe
jadi terkejut. "Kalau terus begini, satu dua orang tentu akan kena
terpukul," kata ia dalam hatinya.
Tapi Pengtjoan Thianlie tetap tenang dan pada bibirnya terus
tersungging meseman yang manis.
Mendadakan, satu perobahan terlihat dalam barisannya sembilan
dayang itu. Sekarang mereka berlari-lari di empat penjuru, sebentar
berkumpul sebentar berpencaran, dan gunakan batu-batu hiasan taman
sebagai tameng mereka. Barisan itu berobah-robah bentuknya tak henti-
hentinya, sehingga matanya orang yang menyaksikan jadi kekunangan. Dengan
gerak-gerakannya yang seperti kilat, itu sembilan dayang berobah seperti
ratusan orang, dengan selendang suteranya yang berkibar-kibar dan
pakaiannya berkelebat-kelebat, sehingga dalam taman itu seperti juga
sedang dipertunjukan tarian "Bidadari Menyebar Bunga."
Thickoay sian sebenarnya sedang bersila sembari meramkan mata dan
jalankan pernapasannya. Dengan adanya perobahan itu, ia buka kedua
matanya dan hatinya merasa sangat heran. Ia heran oleh karena barisannya
sembilan dayang itu ada mirip-mirip dengan barisan Pattintouw dari
Tjoekat Boehouw (Tjoekat Boehouw adalah Tjoekat Liang atau Khong Beng,
koensoe Lauw Pie dari jaman Samkok). Cuma mirip dan tidak seluruhnya
bersamaan dengan Pattintouw. Kedudukannya delapan dayang adalah sesuai
dengan kedudukan delapan pintu, yaitu Hioe, Seng, Siang, Touw, Sie, Keng,
Kheng dan Kay. Delapan pintu ini saling bantu satu sama lainnya.
Perbedaan dengan Pattintouw adalah kelebihan satu orang dalam barisan
itu. Dayang yang ke sembilan tidak ikut bergerak. Ia menjaga di sama
tengah dan seperti juga otaknya barisan itu.
Si pendeta juga rupanya mendapat lihat kedudukannya barisan itu,
maka ia terus cecar dayang yang berdiri di tengah buat coba
menjatuhkannya. Tapi barisan itu berobah luar biasa cepatnya. Begitu ia
bergerak ke timur, musuh yang di sebelah barat lantas meluruk. Begitu ia
ke barat, pedang dari sebelah timur dan selatan lantas menyambar.
Biar bagaimanapun juga, ilmu silatnya si pendeta memang ada sangat
tinggi. Tanpa mengenal barisan itu, ia terus mengamuk dan tongkatnya sapu
segala apa yang menghadang di tengah jalan, sehingga banyak gunung-
gunungan dan batu-batu hiasan taman jadi hancur lebur. Pengtjoan Thianlie
kerutkan kedua alisnya dan paras mukanya jadi berobah. Di lain saat,
dayang yang menjadi kepala kedengaran membentak: "Kau benar keterlaluan!
Keindahan taman ini sampai menjadi rusak." Sehabis membentak, ia mementil
dengan dua jerijinya dan beberapa sinar terang menyambar ke arah pendeta
itu.
"Senjata rahasia mana bisa celakakan aku?" kata si pendeta sembari
tertawa dan lalu putar tongkatnya seperti titiran. Senjata rahasia itu,
yang masing-masing sebesar mutiara, terus menyambar-nyambar dan jadi
hancur lantaran sampokannya tongkat. Dan dalam kehancurannya itu, sinar
dan hawa yang sangat dingin menyambar-nyambar, sehingga si pendeta
sendiri sampai bergidik.
Di atas puncak gunung dari Telaga Thian-ouw terdapat semacam es
yang ribuan tahun tak pernah lumer. "Jantung"-nya es itulah yang diambil
oleh Pengtjoan Thianlie dan diolah menjadi serupa senjata rahasia yang
tidak ada keduanya dalam dunia dan diberi nama Pengpok Sintan (Peluru
malaikat roh-nya es). Dalam pembuatan lain-lain senjata rahasia di muka
bumi, tak perduli senjata rahasia buat lukakan musuh atau buat memukul
jalanan darah, yang diperhatikan adalah kejituannya dan ketajamannya
senjata rahasia tersebut. Cuma Pengpok Sintan yang lain dari yang lain.
Yang diandalkan adalah hawa dinginnya yang sangat luar biasa. Begitu
lekas senjata rahasia itu tersampok, keluarlah hawa dingin yang menusuk
ke tulang-tulang dan hebatnya bukan buatan.
Dengan tenaga dalam yang dipunyai olehnya, si pendeta sebenarnya
masih dapat melawan hawa dingin itu. Cuma saja, lantaran mesti layani
serangannya sembilan musuh, ia tak dapat pusatkan perhatiannya buat
kerahkan tenaga dalamnya. Di sebelahnya itu, lantaran Pengpok Hankong
kiam juga adalah senjata yang mengeluarkan hawa dingin, maka hawa dingin
itu makin lama jadi makin hebat, sehingga badannya si pendeta jadi
gemetaran dan giginya bercakrukan. Bagaikan orang edan, ia terus
mengamuk. Dari jidatnya keringat turun berketel-ketel, tapi badannya
tetap gemetaran.
Pengtjoan Thianlie mesem dan berkata pada Chena: "Dia anggap dengan
gunakan tenaga Iweekeh, dia bisa keluarkan hawa panas buat melawan hawa
dingin itu. Tapi dia tak tahu, dengan demikian, dingin dan panas jadi
berkelahi dan bisa mencelakakan. Ini kali, biarpun tidak menjadi mati,
rasanya dia bakal sakit keras beberapa hari."
Thian Oe yang hatinya sangat mulia lantas saja berkata: "Kalau
begitu, ampuni sajalah ia."
"Kau mintakan ampun?" kata Chena sembari melirik. Pengtjoan
Thianlie tidak berkata apa-apa dan cuma mesem.
Semakin lama pendeta itu kelihatan semakin lelah. Sesudah bertempur
lagi beberapa lama, dayang yang menjadi pemimpin membentak: "Robohlah!"
Ia ayun tangannya dan sebutir peluru kembali menyambar. Jantungnya si
pendeta gemetar, kedua kakinya lemas, kepalanya terputar dan badannya
bergoyang-goyang seperti mau jatuh.
"Berhenti!" Pengtjoan Thianlie membentak.
Di lain saat, sembilan dayang itu sudah tarik pulang pedangnya dan
berdiri berbaris di kedua pinggirnya Pengtjoan Thianlie.
Mukanya si pendeta jadi seperti kepiting direbus. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia tarik napas panjang beberapa kali, memberi
hormat kepada Pengtjoan Thianlie dan lantas lari keluar dari keraton es.
Kedua boesoe Nepal juga lalu memberi hormat dan dengan paras muka
ketakutan lalu mengikut di belakangnya si pendeta. Dalam sekejap, keadaan
kembali menjadi sunyi.
"Dengan dapat menerobos masuk kedalam keraton, kepandaiannya orang
itu tidaklah rendah," berkata Chena sembari tertawa.
"Tak bakal ada orang kedua yang bisa masuk secara begitu," kata
Pengtjoan Thianlie. "Sebenarnya akulah yang sengaja membiarkan dia masuk.
Kalau bukannya begitu, walaupun dia bisa menyebrangi sungai es, tak nanti
dia dapat tembus barisan Kioethian Hianlie (Dewi sembilan lapisan
langit)."
Mendengar omongan temberang itu, Thiekoay sian tertawa dalam
hatinya. "Kalau begitu, ia merobah sedikit Pattintouw Tjoekat Boehouw dan
ganti namanya," kata Thiekoay sian dalam hatinya. "Liehay memang cukup
liehay, tapi kalau mau dibilang barisan itu dapat menahan semua orang
pandai dalam dunia, rasanya terlalu terkebur."
Thiekoay sian adalah murid kepala Kam Hong Tie dan pengalamannya
luas sekali. Ia yakin, bahwa kepandaian manusia tak ada batasnya dan di
luar langit masih terdapat langit. Maka itu, ia tidak sependapat dengan
temberangnya Pengtjoan Thianlie.
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie berpaling kepada Thiekoay sian
dan bibirnya bergerak seperti orang mau bicara. Tapi lantaran lihat
mukanya Thiekoay sian yang sangat pucat, ia urungkan niatannya dan lantas
jalan menghampiri.
"Dia menghaturkan banyak terima kasih buat budimu," berkata Tjia In
Tjin. "Tapi sekarang dia belum bisa jalan, maka aku mohon kau suka kirim
dua dayang buat antar dia turun gunung."
Pengtjoan Thianlie awasi mukanya Thiekoay sian dan kemudian
berkata: "Masih untung kau cuma jalankan 96 jurus Hokmo Tianghoat. Kalau
kau jalankan habis 108 jurus, biarpun diberi obat dewa, tidak nanti kau
dapat pulang tenagamu yang sediakala. Sekarang benar-benar kau tidak
boleh berangkat."
"Apa?" Tjia In Tjin menegasi dengan suara kaget.
"Tak apa-apa," sahut yang ditanya dengan suara tawar. "Cuma
lantaran gunakan tenaga melewati batas, jalanan darahnya jadi kalang
kabut dan isi perutnya bergerak. Kalau ia turun gunung juga, begitu kena
goncangan di sungai es, walaupun tidak sampai menjadi mati, rasanya ia
akan bercacat seumur hidup dan tidak akan bisa jalan lagi, meskipun
memakai tongkat. Berkat tenaga dalamnya yang sangat kuat, dengan mengasoh
lima hari dan ditambah sama obat, aku rasa ia akan jadi sembuh kembali.
Baiklah aku beri tempo lima hari lagi." Ia lantas gapekan satu dayang dan
memberi perintah: "Bereskan satu kamar supaya ia bisa atur pernapasannya
--- siapapun tak boleh ganggu padanya. Dan juga pinjamkan Oen-giok
padanya."
Sesudah memesan begitu, ia berpaling pada Tjia In Tjin dan berkata
sembari tertawa: "Kali ini "menyimpang dari kebiasaan, aku permisikan
kalian berdiam lima hari lagi. Sesudah lewat lima hari, kalian boleh
turun gunung dengan tak usah pamitan!"
Mendengar perkataannya Pengtjoan Thianlie, Tjia In Tjin merasa
sangat terkejut, sebab ia tidak duga, suaminya mendapat luka di dalam
yang begitu berat. Di satu pihak sikapnya Pengtjoan Thianlie seperti juga
kurang mempunyai perasaan kemanusiaan, akan tetapi di lain pihak, ia rela
meminjamkan mustika Oen-giok buat mengobati suaminya, satu pertolongan
yang penuh pri kemanusiaan.
Maka itulah, perkataan-perkataannya Pengtjoan Thianlie membikin
Thiekoay sian suami isteri tak tahu mesti menangis atau tertawa. Perasaan
berdongkol dan berterima kasih tercampur menjadi satu.
"Kau boleh rawat ia, dan kalau tidak ada urusan penting jangan cari
padaku," kata lagi Pengtjoan Thianlie yang lantas saja berlalu dengan
dayang-dayangnya.
Dahulu, sifatnya Tjia In Tjin juga sombong dan dingin. Sesudah
mendapat banyak pengalaman pahit getir, ia berobah banyak, akan tetapi
toh ia masih tak dapat menelan kesombongan orang yang ditujukan
kepadanya. Tidak dinyana, kali ini sesudah melalui perjalanan laksaan li,
ia sudah mendapat perlakuan sedemikian, cuma lantaran membujuk supaya
Pengtjoan Thianlie suka turun gunung. Semakin diingat, ia jadi semakin
mendeluh dan hampir-hampir saja ia keluarkan perkataan perkataan keras
buat menimpali. Cuma saja, walaupun Pengtjoan Thianlie sepuluh kali lipat
lebih angkuh dari ianya, keangkuhan itu keluar dengan sewajarnya.
Sikapnya yang agung tanpa dibuat-buat membikin orang jadi tidak berani
banyak rewel terhadapnya. Tjia In Tjin coba tahan perasaan mendeluhnya
yang malang di tengah uluhatinya, dan beberapa saat kemudian dengan satu
suara "wah!", ia muntahkan cairan pahit yang naik dari kantong nasinya.
"Soenio (isteri dari guru), kau kenapa?" tanya Thian Oe dengan
perasaan kaget. Mukanya Tjia In Tjin pucat, disusul dengan semu merah.
"Anak kecil jangan campur urusan lain orang," kata ia sembari kebaskan
tangannya dan lalu ajak sang dayang tuntun Thiekoay sian pergi ke kamar
buat mengasoh.
Dengan rasa masgul Thian Oe berdiri bengong.
"Sesudah repot setengah malaman, kau pun harus mengasoh," kata
Chena. "Besok aku akan ajak kau jalan-jalan buat saksikan pemandangan-
pemandangan luar biasa dalam keraton." Sehabis berkata begitu, ia lantas
berlalu.
Thian Oe awasi belakangnya si nona, yang semakin lama jadi semakin
jauh dan akhirnya menghilang di antara pohon-pohon kembang. Ia ingat,
lima hari lagi ia toh bakal turun gunung juga, dan berhubung dengan
kekeliruan gurunya terhadap Pengtjoan Thianlie, mulai waktu itu ia tidak
akan dapat bertemu lagi. Mengingat begitu, hatinya jadi semakin masgul.
Pada besokan paginya, begitu mcndusin ia melongok keluar jendela
dan kedua matanya kembali saksikan pemandangan luar biasa. Di bawah
sorotnya matahari, keraton es yang terang benderang mengeluarkan cahaya
aneka warna, sehingga Thian Oe merasa seakan-akan berada dalam dunia
dongengan. Tidak lama kemudian, sang dayang antarkan makanan pagi yang
terdiri dari dua buah merah yang sangat besar. Dua buah itu bukan saja
rasanya manis, tapi baunya pun harum sekali.
Sebagaimana telah dijanjikan, Chena menyamper dan ajak ia keluar
jalan-jalan. Sesudah berdiam di keraton es, walaupun pada sinar matanya
masih terdapat sorot kesedihan, Chena sudah banyak lebih gembira. Ia
jalan perlahan-lahan sembari omong-omong dan tertawa-tawa, seperti juga
pohon yang sudah dapat hawanya musim semi yang menyegarkan.
Adalah sukar buat melukiskan pemandangan-pemandangan indah permai
di sekitar keraton itu. Pendopo-pendopo yang mungil, jalanan-jalanan
bulat-belit yang terawat baik, jendela-jendela dengan macam-macam ukiran,
gunung-gunungan dan batu-batu perhiasan yang hampir semuanya terbuat dari
kristal, beberapa air mancur yang tersebar di seluruh taman, solokan-
solokan dan empang-empang yang airnya jernih bagaikan kaca.
"Air pengempang dan solokan semuanya ditarik naik dari Thian-ouw,
makanya jernih luar biasa," kata Chena. "Aku paling suka minum air itu."
Buat memperlengkap keindahan disitu, di seluruh taman penuh dengan
pohon-pohon bebuahan dan pohon-pohon kembang yang menyiarkan bebauan
sangat harum. "Tempat ini seperti juga tempat dewa-dewa, maka tidaklah
heran kalau Pengtjoan Thianlie sungkan turun gunung," kata Thian Oe
sembari tertawa.
Demikianlah mereka pesiar ke sana-sini dan kalau merasa lapar
mereka petik buah-buah matang buat tangsel perut. Oleh karena luasnya,
sesudah jalan setengah harian mereka belum juga dapat putari habis
seluruh wilayah keraton itu.
Selagi enak jalan, hidungnya Thian Oe mendadak dapat endus bebauan
yang sangat luar biasa, harumnya melebihi bunga yang paling harum, tapi
bagaimana harumnya, tak mungkin dapat dilukiskan. Thian Oe segera
cepatkan tindakannya dan menuju ke arah keluarnya wewangian itu. Beberapa
saat kemudian, matanya dapat lihat sebuah bangunan yang sangat berbedaan
dengan semua gedung yang berada disitu. Bangunan tersebut berbentuk
gereja yang atapnya lancip, dan kalau lain-lain bangunan semuanya terbuat
dari kristal, marmer atau es yang keras, adalah bangunan itu berwarna
hitam, sehingga kelihatan menyolok sekali. Wewangian yang luar biasa itu
ternyata keluar dari rumah tersebut.
Dengan perasaan heran Thian Oe coba menolak pintunya. Parasnya
Chena berobah dengan mendadak dan buru-buru mencegah. "Waktu aku berdiam
disini pertama kali, Thianlie tjietjie pernah memesan, bahwa aku boleh
pergi kemana juga, cuma ke dalam rumah itu aku tidak boleh masuk," kata
Chena dengan suara berbisik.
"Kenapa?" tanya Thian Oe.
"Siapa tahu?" kata Chena.
"Menurut katanya para dayang, saban malam Tje-it (Tanggal 1
penanggalan Imlek, bulan gelap), ia pergi sendirian ke dalam rumah itu,
dimana ia berdiam kira-kira satu jam lamanya. Apa yang ia lakukan, tak
ada yang berani menanya. Dari dayang-dayang itu aku mendapat tahu, bahwa
rumah itu terbuat dari semacam kayu garu, yang kalau dibakar, baunya yang
harum bisa diendus dari tempat belasan li jauhnya."
Mendengar penuturan itu, hatinya Thian Oe jadi lebih-lebih heran
lagi.
Malam itu, Thian Oe tidak dapat tidur lantaran tidak dapat
melupakan rumah yang penuh teka-teki itu. Dalam layap-layap ia masuk ke
dalam dunia impian, la mengimpi lihat Pengtjoan Thianlie pasang hio dan
bersembahyang dalam rumah itu, dengan di dampingi oleh Chena. Setahu
bagaimana, ia sendiri juga berada dalam rumah tersebut. Mendadak
Pengtjoan Thianlie cabut sebatang pedang yang sinarnya bergemilapan dan
tikam uluhatinya. Rambutnya Pengtjoan Thianlie mendadak berobah jadi ular
terbang yang tak dapat dihitung berapa banyaknya dan terbang menyambar ke
arah dirinya. Chena keluarkan teriakan kaget dan rumah itu mendadak
roboh, dengan sebatang balok wuwungan menindih dirinya sendiri. Dalam
mengimpinya Thian Oe berteriak-teriak dan berontak-rontak.
"Jangan ngigo! Bangun, hayo bangun!" mendadak ia dengar suaranya
satu wanita di kupingnya. Thian Oe sadar. Ia buka kedua matanya dan
ternyata Chena berdiri di hadapannya.
"Hayo, bangun!" kata si nona sembari goyang-goyang badannya.
"Seorang aneh kembali masuk ke dalam keraton es tanpa permisi!"
Begitu mendengar, Thian Oe hilang ngantuknya. Ada orang lagi! "Apa
dia sudah bisa seberangi sungai es dan terobos barisan Kioethian Hianlie
yang dipasang di sebelah luar?" tanya Thian Oe.
"Kalau bukan sudah menerobos barisan itu, cara bagaimana ia bisa
sampai di keraton es?" jawab Chena. "Sekarang lonceng pertandaan bahaya
sudah dipukul dan Thianlie tjiitjie segera juga akan keluar!"
Thian Oe buru-buru pakai baju luarnya dan ikut Chena berlari-lari
keluar. Sembilan dayang yang kemarin sudah mengambil masing-masing
kedudukannya dan seorang pemuda yang memakai baju putih berada di tengah-
tengah mereka. Waktu itu mereka belum bergebrak. Begitu lihat, Thian Oe
keluarkan teriakan tertahan.
"Kenapa?" tanya Chena.
"Aku kenal orang itu!" jawabnya.
Si pemuda baju putih juga rupanya sudah lihat Thian Oe, sebab ia
lantas menengok sembari mesem. Orang itu bukan lain daripada si anak
sekolah yang pernah tolong jiwanya Siauw Tjeng Hong dengan jarum emas dan
yang pernah bikin repot Bek Tayhiap dan yang lain-lain di kota Shigatse.
"Siapa ia?" tanya lagi Chena.
"Aku tak tahu namanya," jawab Thian Oe. "Tapi ia pernah tolong
jiwanya guruku. Aku rasa ia adalah seorang baik."
"Wah, celaka!" kata Chena. "Menurut dayang-dayang, Thianlie
tjietjie merasa sangat gusar dan mengatakan, bahwa orang itu harus diajar
adat sekeras-kerasnya. Tanpa memberi hajaran keras, keraton es bisa-bisa
tidak aman lagi. Garisan pertahanan keraton es, semakin ke belakang,
semakin kuat. Ini dayang-dayang keraton sangat tinggi ilmu silatnya. Aku
kuatir, kalau toh tidak sampai mati, orang itu akan luka berat!"
Sembilan dayang itu lantas cabut pedangnya, tapi mendadak hentikan
gerakannya. Keadaan jadi sunyi senyap, sehingga kalau sebatang jarum
jatuh di atas tanah, suaranya akan bisa terdengar nyata. Thian Oe menoleh
dan lihat Pengtjoan Thianlie sudah berjalan keluar dengan paras muka yang
penuh kegusaran.
Begitu lihat si pemuda, ia keluarkan satu seruan perlahan. Sikapnya
lantas berobah, seperti orang yang sedang merasa heran. Pengtjoan
Thianlie tadinya kira, bahwa orang yang datang adalah sebangsa pendeta
jubah merah. Tapi tidak terduga, yang ia ketemukan adalah seorang pemuda
Han yang parasnya cakap sekali.
"Tanpa latihan puluhan tahun, tak gampang-gampang orang bisa lewati
sungai es dan terobos barisan depan," pikir ia dalam hatinya. "Apakah
pemuda ini yang usianya sepantaran denganku mempunyai kepandaian yang
lebih tinggi dari si pendeta jubah merah?"
Dua pasang mata lantas kebentrok. Pemuda baju putih itu tertawa dan
menanya: "Apa kau ini majikan dari keraton es? Kenapa kau begitu lambat
menyambut tetamu?"
"Siapa kau?" Pengtjoan Thianlie balas tanya. "Ada urusan apa kau
datang disini?"
"Jika aku menyebutkan namaku, kau tentu akan terlebih tidak
sungkan-sungkan lagi terhadapku," kata pemuda itu. "Biar bagaimana juga,
lambat laun aku harus memberitahukan, asal saja kau suka luluskan satu
permintaanku."
"Permintaan apa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Apa kau tahu halnya guci emas?" si pemuda balas tanya.
Pengtjoan Thianlie kerutkan kedua alisnya. "Ah, lagi-lagi guci
emas!" katanya. "Benar menyebalkan. Apakah kau mau minta aku turun gunung
buat rampas guci emas itu? Kalian bermusuhan sama bangsa Boan, sama aku
tak ada sangkut pautnya."
"Kau menebak salah," kata si pemuda sembari mesem. "Aku mau minta
kau turun gunung, justru buat melindungi guci emas itu! Orang Nepal mau
rampas guci itu. Beberapa hiapkek tolol, seperti sebangsa Thiekoay sian,
juga ingin merampas. Dengan sendirian saja, aku repot. Maka itu, kau
mestilah turun gunung buat membantu!"
Caranya si pemuda seperti juga sedang minta bantuan dengan satu
sahabat karib, yang seolah-olah tidak boleh tidak meluluskan. Pengtjoan
Thianlie merasa gusar sekali, sehingga kedua alisnya berdiri. "Dengan
memiliki ilmu silat seperti sekarang, boleh dibilang kepandaianmu sudah
lumayan. Lekas berlalu, supaya kau tidak, menyesal," kata Pengtjoan
Thianlie sembari kebaskan tangannya. Bahwa ia tidak lantas memberi
perintah kepada sembilan dayangnya buat mengusir dengan kekerasan,
Pengtjoan Thianlie sebenarnya sudah berlaku sungkan sekali.
Tapi, sebaliknya dari mundur, pemuda itu malahan maju setindak dan
pada kedua bibirnya terus tersungging senyuman. "Apa? Apakah kau tak sudi
memberi muka padaku?" tanya ia.
Pengtjoan Thianlie berobah parasnya. Dayang yang jadi pemimpin
lantas saja membentak: "Kau benar tak mengenal kesopanan? Apa benar-benar
kau mau kami mengusir dengan kekerasan?"
Si pemuda berbangkes dan berkata sembari tertawa: "Naik gampang,
turun sukar. Hari ini aku sudah capai sekali dan ingin tidur sebentaran!"
Sang dayang tepuk kedua tangannya dan barisan itu segera mulai
bergerak. Delapan batang pedang yang hawanya dingin lantas saja menyambar
bagaikan kilat.
"Dingin! Dingin! Ah, hilanglah perasaan ngantukku!" berseru si
pemuda yang badannya lantas saja berkelebat-kelebat di antara sinarnya
pedang-pedang itu. Sebagaimana diketahui, serangan-serangannya barisan
itu hebat sekali dan delapan pedang menyambar-nyambar saling susul
bagaikan gelombang. Sang pedang cepat, tapi si pemuda lebih cepat lagi.
Ujung pedang kelihatannya sudah menempel pada badannya, en toh pada detik
yang terakhir, ia selalu dapat mengegos dengan tepat sekali. Melihat
begitu, mau tak mau, Pengtjoan Thianlie jadi merasa kagum. Semakin lama
serangan delapan pedang jadi semakin seru dan badannya si pemuda seperti
juga sudah dikurung sinar pedang yang seperti jala.
Thian Oe amat berkuatir. "Chena tjietjie," berbisik ia. "Dapatkah
kau menolong padaku buat minta Pengtjoan Thianlie hentikan pertempuran?"
Chena tidak menyahut. Ia cuma geleng-gelengkan kepalanya.
Tiba-tiba si pemuda tertawa terbahak-bahak. "Ilmu pedang bagus!
Sungguh bagus sekali!" ia berseru. "Sekarang maafkan padaku."
Setahu bagaimana, selagi ia kelit delapan batang Pengpok Hankong
kiam, tahu-tahu tangannya sudah mencekal sebatang pedang panjang, yang
mengeluarkan sinar berkeredepan dan mengaung kapan dikebaskan. "Pedang
bagus!" Pengtjoan Thianlie berkata tanpa merasa.
Sesudah mengebas sekali, si pemuda membuat satu lingkaran bundar
dengan pedangnya dan di lain saat, dengan suara berkrontangan, pedangnya
dua dayang sudah terbabat putus! Semua dayang terkesiap dan lantas pada
loncat mundur. Dengan kecepatan yang tak dapat dilukiskan dan pengetahuan
akan Pattintouw dari Tjoekat Boehouw, ia menindak di pintu Hioe, biluk di
pintu Kay, putari pintu Sie, injak pintu Seng dan lantas balas menyerang.
Di lain saat, pedangnya dayang yang menjaga pintu Keng dan pintu Siang
sudah terbabat putus.
Dayang yang menjaga di tengah-tengah lantas saja timpukkan Pengpok
Sintan dengan gerakan Thianli Sanhoa (Bidadari sebar kembang). Di tengah
udara lantas saja penuh dengan peluru yang seperti mutiara dan bersinar
terang.
Si pemuda juga lantas ayun tangannya dan lepaskan senjata
rahasianya. Pengpok Sintan sudah luar biasa, tapi senjata rahasianya si
pemuda lebih luar biasa lagi. Senjata rahasia itu ada sedemikian halus,
sehingga tak dapat dikenali dengan sang mata, dan yang terlihat cuma
sinar emas yang berkredep. Dalam tempo sekejapan, Pengpok Sintan sudah
tidak kelihatan lagi.
Pengtjoan Thianlie terkesiap sebab lihat tenaga dalam si pemuda
yang luar biasa besarnya. Senjata rahasia itu macamnya seperti rumput
bong (rumput buat bikin kasut). Begitu nempel, Pengpok Sintan lantas
mental beberapa tombak dan jatuh di atas tanah! Hatinya si nona jadi
tergoncang, sebab ia mendadak ingat penuturan mendiang ayahnya mengenai
Thiansan Sinbong (Bong malaikat dari gunung Thiansan), semacam senjata
rahasia ahli-ahli pedang Thiansan, yang kalau dilepaskan mengeluarkan
sinar merah yang mengkredep. Mengingat begitu, pandangannya terhadap
pemuda itu lantas jadi lain.
Di lain saat, badannya si pemuda mendadak terputar-putar seperti
kilat. Para dayang cuma merasa bayangannya berkelebat dan empat batang
Pengpok Hankong kiam sudah pindah ke dalam tangannya si pemuda!
Bukan main kagetnya Pengtjoan Thianlie. "Berhenti!" ia berseru.
Dengan satu kelebatan, si pemuda sudah berdiri tegak di luar barisan dan
sembari tertawa ia mengawasi Pengtjoan Thianlie. "Kenapa?" ia tanya.
"Tak apa-apa," jawabnya dengan tawar. "Perkataanku tak dapat
dirobah lagi."
"Kalau begitu kau mau turun tangan sendiri buat mengusir aku?"
tanya si pemuda.
"Benar," jawabnya. "Kau masuk dengan kekerasan, maka tuan rumah
juga harus mengusir dengan kekerasan."
"Tak ada yang lebih baik daripada itu," kata si pemuda sembari
tertawa. "Aku jadi dapat kesempatan buat tambah pengalaman dan saksikan
Tatmo Kiamhoat yang sudah hilang dari wilayah Tiongkok."
Ia sama sekali tidak keder menghadapi sorot matanya Pengtjoan
Thianlie yang dingin. Pada kedua bibirnya terus tersungging senyuman dan
balas mengawasi dengan mata tajam.
Thian Oe dan Chena duga Pengtjoan Thianlie akan segera turun
tangan. Tapi tak dinyana, sembari menyapu dengan matanya yang bagus,
Pengtjoan Thianlie berkata: "Sesudah menyebrangi sungai es dan bertempur
lama, kau tentu lelah sekali. Maka itu biarlah besok tengah hari kau
datang lagi!"
Si pemuda memberi hormat dan berkata sembari tertawa: "Baiklah.
Kalau kau perintah aku datang lagi, aku tentu datang." Sesudah kasih
masuk pedangnya ke dalam sarung, ia putar badannya, tapi sebelum berjalan
pergi, ia berkata pula sembari mesem: "Masih boleh jugalah perlakuan itu
terhadap seorang sahabat."
"Apa kau bilang?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Tak apa-apa," sahutnya. "Dalam dunia ini, memang ada manusia yang
tidak tergerak perasaannya biarpun ia bertemu dengan sahabat yang saling
mengenal isi sang hati. Kau hidup tanpa sahabat dalam keraton yang begini
indah. Itulah yang dinamakan kekurangan dalam serba kecukupan."
Mukanya Pengtjoan Thianlie bersemu merah. Perkataan itu kena betul
pada uluhatinya. Memang juga, sedari ayah dan ibunya meninggal dunia, tak
ada seorangpun terhadap siapa ia dapat tumpleki isi hatinya. Saban-saban
bertemu dengan malam terang bulan, mau tak mau ia merasakan juga satu
kesepian.
"Kau terlalu rewel," kata Pengtjoan Thianlie. "Siapa suruh kau
campur urusan lain orang?" Sehabis berkata begitu, tanpa merasa ia
melangkah beberapa tindak, mengikuti si pemuda yang sedang naik ke atas
jembatan yang terbentang di atas satu pengempang teratai. Di sebelahnya
pohon-pohon teratai yang sedang berbunga, atas empang itu terdapat
beberapa macam pohon air yang bunganya luar biasa dan menyiarkan bau
harum sekali. Di atas jembatan itu terdapat satu pendopo yang di kedua
sampingnya tergantung sepasang lian (toeilian) yang bunyinya seperti
berikut:
Sinar rembulan, harumnya bunga
semua masuk impian. Keraton dewi,
ranggon indah sama-sama datangkan kedinginan.
"Perkataannya cukup bagus, cuma kurang cocok sama keadaannya," kata
si pemuda sembari tertawa. Ia tak tahu bahwa toeilian itu adalah buah
kalamnya Pengtjoan Thianlie sendiri. Moh Hoan Lian, neneknya Pengtjoan
Thianlie, adalah satu tjaylie (wanita pintar) yang tersohor namanya.
Sebagai satu cucu yang mewarisi pelajaran keluarganya, sedari kecil Koei
Peng Go (Pengtjoan Thianlie) sudah belajar membuat syair, menabuh khim
dan main tiokie. Semua toeilian yang terdapat dalam keraton itu adalah
buah kalamnya sendiri. Lantaran begitu, tidaklah heran kalau ia jadi
merasa berdongkol waktu dengar celaannya si pemuda.
Ia maju lebih dekat dan menanya dengan suara menantang: "Kenapa tak
cocok sama keadaannya? Coba kau bilang?"
"Sinar rembulan dan harumnya bunga bisa diketemukan dimana juga,"
menerangkan pemuda itu. "Keraton dewi dan ranggon indah juga cuma kata-
kata yang melukiskan keindahannya suatu gedung dan dapat digunakan di
segala tempat. Maka itulah, perkataan-perkataan tersebut tidak cukup
melukisi pemandangan istimewa yang terdapat disini. Apalagi, toeilian
tersebut cuma melukis pemandangan dan tidak melukis manusia. Itulah yang
aku namakan satu cacat dalam keindahan."
Walaupun bersifat sangat angkuh, tapi Pengtjoan Thianlie adalah
seorang gadis yang suci bersih. Mendengar penjelasannya si pemuda yang
beralasan, ia jadi mesem dan berkata: "Kalau begitu, cobalah kau tolong
bikinkan gantinya."
Baru saja si pemuda mau buka mulurnya, satu dayang menyeletuk:
"Apakah kau tahu, bahwa toeilian itu digubah berdasarkan namanya orang?
Tak gampang mengubah itu."
"Jangan banyak bacot," membentak Pengtjoan Thianlie sembari lirik
dayangnya. Sesudah itu, ia berpaling kepada si pemuda dan berkata:
"Cobalah kau sebutkan syairmu buat gantikan sepasang lian itu, supaya aku
dapat menimbang apa cocok dengan pemandangan disini."
"Kalau begitu, baiklah aku mempersembahkan kebodohanku," kata si
pemuda sembari mesem dan lalu bersyair:
"Sinar bulan atas sungai es, dewi rembulan turun,
Bidadari menyebar bunga. Sang penyair datang."
Sehabis bersyair, ia tertawa dan berkata pula: "Walaupun kata-
katanya tidak begitu bagus, tapi sang manusia yang disebutkan dalam lian
itu betul-betul cantik luar biasa, sehingga aku rasa, toeilian ini
bolehlah juga."
Hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang dan mukanya jadi bersemu
dadu. Syair yang disebutkan barusan bukan saja terdapat kata-kata
"Pengtjoan Thianlie," tapi juga menggenggam namanya sendiri, yaitu Peng
Go. (Sungai es = Pengtjoan, Bidadari = Thianlie, Es = Peng, yang kalau
digabung dengan Go-Dewi rembulan -- menjadi Peng Go).
Syair tersebut terang-terangan digubah untuk dirinya sendiri dan di
dalamnya menggenggam arti, bahwa si penyair mengagumi ia. Sinar rembulan
di atas sungai es adalah seperti sang dewi rembulan sudah turun ke muka
bumi. Belakangan disebutkan, bidadari sebarkan bunga, sehingga
menyebabkan datangnya si penyair. Dengan berkata begitu, si pemuda mau
bilang, bahwa ia datang kesitu lantaran kagumi Pengtjoan Thianlie. Akan
tetapi, orang tidak dapat katakan ia memberi umpakan murah, sebab syair
itu memang sesuai dengan keadaannya. Maka itulah, diam-diam Koei Peng Go
kagumi kepintarannya pemuda itu.
"Nah, sekarang aku sudah persembahkan syairku," kata si pemuda
sembari berpaling kepada sang dayang. "Barusan kau bilang, lian ini
dibuat berdasarkan nama orang. Nama siapa? Apa boleh kau memberitahukan?"
Dayang itu tidak menjawab, tapi tekap mulutnya sambil tertawa.
"Biarlah aku saja yang memberitahukan," Pengtjoan Thianlie
menyelak. "Kata-kata dalam toeilian itu aku gubah berdasarkan namanya.
Dalam taman ini ada dua belas pemandangan istimewa. Di saban tempat ada
toeilian dan setiap toeilian digubah berdasarkan namanya dayang-
dayangku."
"Sinar rembulan, harumnya bunga semua masuk impian,
keraton dewi, ranggon indah sama-sama datangkan kedinginan,"
demikian si pemuda ulangi bunyinya toeilian itu dan kemudian
berkata sambil menunjuk si dayang: "Kalau begitu, namamu Goat Sian."
(Rembulan = Goat, Dewi = Sian, kalau digabung jadi satu ialah Goat Sian).
"Benar," sahut sang dayang sembari manggutkan kepala.
"Bagus," kata si pemuda, "Sekarang izinkan aku mempersembahkan lagi
kebodohanku dan mengubah sepasang lian untukmu." Ia mesem-mesem dan
sambung omongannya: "Aku ingat syairnya seorang dahulu kala. Biarlah aku
pinjam syair itu untuk mengubahnya. Dengarlah:
"Sinar bulan tiada cacatnya, jendela jodoh, pintu merah, setiap
tahun dikitari.
Sang dewi patah hatinya, lautan blau, langit biru, saban malam
dipikiri.
Demikian ia mengubah toeilian tersebut. Kalau perkataan "bulan"
(goat) digabung sama perkataan "dewi" (sian), jadilah Goat Sian, namanya
dayang itu.
"Lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri" adalah sebagian
dari syairnya Lie Gie San yang berbunyi seperti berikut:
"Sang bidadari menyesal sudah curi obat mustajab,
lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri."
Dengan mengubah syair tersebut si pemuda ejek Pengtjoan Thianlie
seperti satu bidadari, yang dengan penuh kesunyian berdiam dalam keraton
es seorang diri. Pengtjoan Thianlie kerutkan kedua alisnya. Tanpa merasa,
ia sudah mengikuti si pemuda menyeberangi jembatan itu! Dengan main
bersyair secara begitu, dimanalah adanya sifat permusuhan antara mereka
berdua?
Sesudah menyebrang jembatan, si pemuda lalu angkat kedua tangannya
dan berkata sembari tertawa: "Tak usah mengantar terlebih jauh dan tak
usah kalian mengusir. Aku sekarang mau pergi, besok tengah hari aku akan
balik buat penuhi janji."
Mukanya Pengtjoan Thianlie kembali bersemu dadu. Si pemuda baju
putih lalu pentang kedua kakinya dan dalam sekejap sudah hilang dari
pemandangan.
Sesudah sang tetamu berlalu, semua orang dalam keraton ramai
bicarakan ia, antaranya juga Tan Thian Oe. Ilmu silatnya si pemuda baju
putih dan Pengtjoan Thianlie tak dapat diukur bagaimana tingginya, maka
besok tentulah juga bakal terjadi pertempuran yang sangat hebat.
Pada esokan harinya, sebelum tengah hari, Chena sudah samper Thian
Oe buat diajak saksikan keramaian. Baru saja menginjak taman, kuping
mereka sudah dengar suara tetabuhan khim yang merdu sekali.
"Apakah khim itu dipentil oleh Thianlie tjietjie? Main khim pagi-
pagi adalah diluar kebiasaannya," kata Chena.
Mereka pasang kuping dan ternyata yang sedang diperdengarkan adalah
lagu "Tjioelam" dari Siekeng (Kitab Syair). Nyanyian dari lagu tersebut
berbunyi kira-kira seperti berikut:
Di Selatan ada pohon tinggi, tapi
tak ada tempat meneduh.
Di Hankiang si cantik berenang,
tak mungkin dapat diubar.
Ibarat luasnya Sungai Hansoei,
jangan harap dapat
menyeberang.
Ibarat panjangnya Sungai Tiangkang,
jangan harap dapat diputari.
Syair itu melukiskan seorang gadis angkuh, yang hatinya tak dapat
dicuri oleh lelaki mana juga. Kata-kata yang digunakan dalam syair itu
semuanya petunjuk yang samar-samar. "Kenapa Pengtjoan Thianlie mainkan
lagu itu?" tanya Thian Oe dalam hatinya. "Apakah ia ibaratkan dirinya
seperti itu gadis Hankiang? Memang juga, jika dibandingkan, Pengtjoan
(Sungai es) adalah lebih sukar diseberangi daripada Hankiang."
Ketika itu, matahari sudah berada di tengah-tengah langit dan suara
khim mendadak berhenti. Seluruh taman diliputi kesunyian dan semua orang
berdebar hatinya, sebab saat pertemuan antara Pengtjoan Thianlie dan si
pemuda baju putih sudah tiba.
Mendadak dari kejauhan terdengar suara suling yang merdu sekali.
Lagu itupun adalah petikan dari Kitab Siekeng dan syairnya berbunyi kira-
kira sebagai berikut:
Kembang putih putih, embun menjadi es.
Jiwa hatiku, berada di seberang. Melawan arus air, aku mencari ia,
terputar-putar jauh sekali.
Mengikuti arus air, aku mencari ia, terombang-ambing di tengah air
yang tiada tepiannya.
Syair itu adalah syair percintaan yang melukiskan seorang lelaki
sedang cari kecintaannya, yang boleh dipandang, tapi tidak boleh
dipegang, penuh dengan perasaan cinta dan sedih dengan berbareng.
Begitu suara suling berhenti dalam taman sudah tambah satu orang
lagi, yaitu si pemuda baju putih, yang satu tangannya memegang suling
batu kemala, sedang di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang,
sehingga ia kelihatannya jadi lebih cakap dan angker.
"Nona pandai benar mementil khim, sehingga hampir-hampir aku lupa
soal adu pedang," kata ia sembari pegang gagang pedangnya.
"Kau juga pandai meniup suling," sahut Pengtjoan Thianlie dengan
suara tawar. "Ilmu pedangmu tentulah juga lebih tinggi lagi, maka itu,
lebih-lebih aku harus minta pengajaranmu."
Diam-diam Thian Oe tertawa dalam hatinya. Yang satu pentil khim,
yang lain tiup suling, manalah seperti dua musuh yang mau bertempur?
"Kalau turut kemauanmu, bukankah itu terlalu gila?" kata si pemuda.
"Kau mau aku turun gunung, bukankah itu pun terlalu gila?" kata
Pengtjoan Thianlie. "Jika kau sungkan adu pedang, aku pun tidak
memaksa. Pergilah, disini bukan tempatmu."
Si pemuda baju putih geleng-gelengkan kepalanya dan berkata sembari
tertawa: "Kecuali adu pedang, apakah tidak ada lain jalan buat undang kau
turun gunung? Baiklah, kita janji saja begini: Jika aku kalah, aku tidak
akan mengganggu lagi. Kalau kau kalah, kau harus bantu aku melindungi
guci emas itu."
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya dan berkata: "Memang juga dalam
dunia ini tak hentinya manusia main rebut-rebutan, sehingga aku merasa
mendeluh sekali. Baiklah, cabut pedangmu." Didengar dari lagu omongannya,
Pengtjoan Thianlie seolah-olah merasa, bahwa dalam pertempuran sebentar,
ia pasti menjadi pihak yang menang.
Sehabis berkata begitu, ia lantas cabut pedangnya yang lantas
mengeluarkan sinar berkilau-kilauan dan hawa dingin yang sangat hebat.
Pedangnya Pengtjoan Thianlie juga adalah Pengpok Hankong kiam, tapi tidak
sama dengan pedang yang digunakan oleh para dayangnya. Pedang itu terbuat
dari sarinya lima macam logam dan diolah di dalam gua es dan umbul
dingin. Thian Oe dan Chena sebenarnya sudah telan pel Liokyang wan yang
dapat menahan segala rupa hawa dingin, tapi toh mereka masih bergidik
begitu lekas pedang itu dicabut dari sarungnya.
Si pemuda bersikap tenang sekali, sembari mesem-mesem ia tarik
keluar pedangnya sendiri. Ia berdiri di sebelah bawah, ia berkata:
"Silahkan!"
Pengtjoan Thianlie menuding dengan pedangnya yang bagaikan kilat,
lantas saja menyambar. Sebelum Thian Oc dapat melihat tegas, badannya si
pemuda sudah ngapung ke atas beberapa kaki tingginya, sedang Pengpok
Hankong kiam lewat di bawah kakinya. Tanpa merasa, Pengtjoan •Thianlie
keluarkan satu seruan heran, sebab barusan ia sudah menyerang dengan
serangan Tatmo Kiamhoat yang sangat liehay. Satu serangan itu menuju ke
arah tiga jalanan darah musuh yang membinasakan, tapi tidak dinyana,
serangan sehebat itu dapat disingkirkan secara begitu gampang oleh si
pemuda baju putih.
Hampir berbareng, dengan satu siulan panjang, si pemuda balas
menyerang. Ia kirim dua tikaman ke sebelah kiri, dua tikaman ke sebelah
kanan dan satu tikaman di tengah-tengah, setiap serangan di kirim dengan
gerakan yang berbeda-beda. Dengan satu teriakan "Bagus!", Pengpok
Hankong kiam berkelebat-kelebat ke kiri kanan dengan gerakan yang
berobah-robah luar biasa cepat, dan di lain saat, pedang itu kembali
kelihatan menyambar lehernya si pemuda. "Sungguh indah Tatmo Kiamhoat!"
berseru si pemuda sembari tertawa dan dengan gampang ia sudah loloskan
diri dari serangan Pengtjoan Thianlie.
Pengtjoan Thianlie heran bukan main. Pemuda itu mengetahui
kiamhoat-nya, akan tetapi, ia sendiri tidak tahu, ilmu pedang apa yang
sedang digunakan oleh pemuda tersebut. Dengan demikian, kesombongannya
lantas hilang beberapa bagian.
Si pemuda kembali keluarkan siulan panjang dan mulai menyerang
secara hebat. Pedangnya menyambar-nyambar seperti hujan angin, sehingga
matanya orang yang melihat menjadi kabur. Pengtjoan Thianlie jadi sengit.
Cara bersilatnya mendadak berobah dan di lain saat, bayangannya dan sinar
pedang berkelebat-kelebat seperti titiran, seolah-olah dalam taman itu
muncul bayangannya puluhan Pengtjoan Thianlie.
"Dengan sesungguhnya Pengtjoan Thianlie bukan cuma mempunyai nama
kosong," kata si pemuda dalam hatinya dengan perasaan heran. "Ia ternyata
sudah tambahkan banyak pukulan-pukulan luar biasa ke dalam Tatmo
Kiamhoat." Memang juga, kedua orang tuanya Pengtjoan Thianlie sudah
tambahkan banyak pukulan heran-heran ke dalam Tatmo Kiamhoat. Dengan
gunakan ilmu pedang Tatmo sebagai dasar, kedua orang tua itu sudah
menambah dengan sarinya ilmu pedang di Tibet yang agak berlainan dengan
ilmu pedang dari Tiongkok asli.
Demikianlah kedua ahli pedang bertempur dengan luar biasa
sengitnya. Masing-masing keluarkan segala rupa ilmu simpanannya tanpa
mendapat hasil. Menit lepas menit, jam lepas jam, dari tengah hari mereka
sudah berkelahi sampai hampir magrib, tapi kedua-duanya masih tetap segar
dan belum ada yang keteter.
Mendadak satu suara sangat nyaring akibat bentrokan kedua pedang,
terdengar. Dengan berbareng, mereka loncat mundur beberapa tindak dan
masing-masing periksa pedangnya yang ternyata sama kuatnya dan masih
tetap utuh seperti biasa.
"Apakah hari ini kita boleh berhenti dahulu?" tanya si pemuda baju
putih sembari tertawa.
"Hari ini belum dapat keputusan siapa menang, siapa kalah. Besok
kau datang lagi," sahut Pengtjoan Thianlie.
"Hatiku merasa tidak tega," kata lagi si pemuda. "Dengan bertempur
disini kita bikin rusak pemandangan indah dari keratonmu."
Mendengar perkataan itu, para dayang baru memperhatikan itu gunung-
gunungan dan batu-batu hiasan yang ternyata benar sudah banyak somplak
lantaran tertabas pedang.
"Kita enak-enakan, adu pedang, batu-batu indah yang jadi korban.
Sungguh sayang!" kata si pemuda.
"Kalau begitu, sudahlah, jangan bertempur lagi," kata Pengtjoan
Thianlie.
"Kau belum menangkan aku dan kau juga sungkan turun gunung. Habis
bagaimanakah baiknya?" kata si pemuda sembari mesem-mesem.
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya. "Apa kau tidak bisa turun
gunung sendiri?" kata ia dengan suara tidak sabaran.
"Sebenarnya aku ingin sekali ikat tali persahabatan dengan kau,"
kata si pemuda. "Sesudah turun gunung, cara bagaimana aku dapat menemui
kau lagi? Di sebelahnya itu, ketemu tandingan setimpal adalah salah satu
kejadian paling menggembirakan dalam
penghidupan manusia. Sesudah turun gunung, cara bagaimana aku bisa
cari lagi satu tandingan seperti kau?"
"Habis bagaimana pendapatmu?" Pengtjoan Thianlie menanya tanpa
merasa.
"Selama dua hari ini, kau jadi tuan rumah, sedang aku sebagai
tetamu," sahut si pemuda. "Walaupun perlakuanmu terhadap tetamu ada
kurang sopan, akan tetapi aku merasa berwajib undang kau satu kali. Maka
pada besok tengah hari, aku undang kau datang ke lembah es buat mendapat
suatu keputusan. Disitu, biarpun andaikata kau tabas rata Puncak Es,
masih tidak ada halangannya. Dengan begitu, kita tak usah bertempur di
tempat ini dan merusak keindahan keratonmu."
Dengan berkata begitu, ia seperti mau bilang, bahwa hari itu,
lantaran kuatir bikin rusak -keindahan keraton, ia belum keluarkan semua
kepandaiannya.
Pengtjoan Thianlie mengerti maksud tersembunyi dari omongan si si
pemuda. "Baiklah, aku iringi Keinginanmu!" jawab ia dengan suara
bcrdongkol. Begitu habis bicara, ia lantas ingat, bahwa ia sekarang toh
sudah kena juga dipancing keluar dari keratonnya!
Dengan sikap tenang, kedua matanya si pemuda mengawasi gunung-
gunungan dan batu-batu hiasan yang ada pada rusak akibat pertempuran.
Mendadak ia tertawa dan berkata: "Hiasan sebuah taman adalah ibarat
pakaiannya seorang gadis, yang saban-saban harus ditukar coraknya.
Kerusakan ini ada juga baiknya supaya dapat dihias baru." Tanpa
perdulikan didengar atau tidak oleh Pengtjoan Thianlie, ia lantas saja
bicara panjang lebar mengenai cara-cara menghias taman.
Memang juga rencana menghias keraton disusun sendiri oleh Pengtjoan
Thianlie yang kemudian perintah dayang-dayangnya buat mengerjakannya.
Mendengar perundingannya si pemuda yang sangat menarik, dayang-dayang itu
lantas pada mendekati dan berkumpul di seputar ia. Pengtjoan Thianlie
berdongkol bukan main, tapi ia merasa kurang enak buat semprot dayang-
dayangnya di hadapan orang luar.
Sesudah bicara beberapa lama, si pemuda mendadak membungkuk dan
berkata: "Sayang sekali kau tidak sudi menerima tetamu. Malam ini baiklah
aku tidur lagi di bawahnya Puncak Es!"
"Yah, pergilah!" kata Pengtjoan Thianlie dengan suara gusar.
"Terhadap sahabat, kau benar tak sungkan-sungkan lagi," kata si
pemuda sembari mesem. "Baiklah, aku pun merasa sangat capai dan ingin
tidur. Sedang tuan rumah sungkan menerima tetamu, aku pun paling baik
jalan. Tapi besok, janganlah lupa janjimu!"
Sehabis berkata begitu, ia berlalu dengan jalan perlahan-lahan,
sedang mulutnya tak hentinya bicarakan bunga-bunga dan pohon-pohon dalam
taman itu. Sebentar ia ceritakan cara menggunting daun-daun kembang ini,
sebentar ia bentangkan cara merawat pohon itu. Bicaranya bukan saja
sangat menarik, tapi juga memperlihatkan satu pengetahuan yang mendalam
mengenai ilmu tumbuh-tumbuhan, sehingga para dayang yang mendengari jadi
bengong, dan tanpa merasa mereka ikuti pemuda itu, seperti juga sedang
mewakili sang majikan buat mengantar tetamu.
Pengtjoan Thianlie jadi sangat gusar. Ia menghampiri dengan niat
panggil pulang dayang-dayangnya.
Mendadak si pemuda hentikan tindakannya di depan satu gerbang. Di
belakangnya gerbang itu terdapat beberapa puluh pohon anggrek hitam yang
menyiarkan bau harum sekali. "Pemandangan disini luar biasa bagusnya.
Kenapa tidak dibuat toeilian?" kata si pemuda sembari tertawa.
Pengtjoan Thianlie lirik padanya, tapi tidak berkata apa-apa.
"Dalam dua hari memang juga mau ditulis dan kemudian dicukil," sahut satu
dayang. "Paduka Puteri bilang..."
"Jangan banyak bacot!" membentak sang majikan.
"Ah, kalau begitu belum ditulis beres," kata si pemuda. "Nama
dayang mana yang kau ingin gunakan buat toeilian itu?"
Kembali Pengtjoan Thianlie lirik padanya. "Aku lihat kau sudah
kepengen sekali," ia mendadak berkata. "Nah, coba kau tolong karangkan."
Si pemuda tertawa nyaring. "Baiklah," kata ia. "Lagi-lagi kau mau
uji aku. Aku ini memang tak tahu diri. Nah, biarlah aku coba persembahkan
kebodohanku."
Satu dayang lantas menunjuk dan berkata: "Toeilian yang mau dibuat
menggunakan namanya. Ia bernama Hoei Kheng."
Si pemuda berpikir. Dua huruf itu, yang satu huruf "kosong", yang
lain huruf "berisi", benar-benar sukar di-toei (dipasangkan). Hoei Kheng
adalah dayang yang biasanya membantu Pengtjoan Thianlie mengambil kertas
dan menggosok bak dalam kamar tulis, sehingga sedikit banyak ia mengerti
juga syair. "Tak bisa dapat?" ia tanya sembari tertawa.
"Kalau dipaksa-paksa bisa juga," jawab si pemuda. "Gerbang ini
sangat tinggi, maka perlu dibikin toeilian yang agak panjang. Begini
sajalah:
"Bakat kepintaran lebih berharga dari bunga anggrek. Yang bergoyang
tertiup angin di pegunungan kosong.
Rembulan benar terang, tapi sang hati berada dalam kesedihan.
Awan yang indah menyinari lautan perak.
Melayang-layang di selebar langit.
Pergi ke Yauwtie tiada jalanannya,
mundar-mandir (seperti awan) tiada juntrungannya."
Demikianlah huruf pertama "Kepintaran" (Hoei) dari syair yang
kesatu ditimpali dengan huruf pertama "Indah" (Kheng) dari syair yang
kedua, sehingga dapatlah "Hoei Kheng" atau namanya dayang itu.
Arti toeilian tersebut kembali mengenakan Pcngtjoan Thianlie. Si
pemuda umpamakan ia seperti lembah kosong dan anggrek yang sunyi dengan
cuma sang rembulan yang menjadi kawannya, sehingga menambahkan kesedihan.
Pengtjoan Thianlie tidak berkata apa-apa. Ia berdiri bengong
seperti orang yang sedang ngelamun.
Sembari menuding ke satu tempat, si dayang kembali berkata:" Eh,
coba karang lagi buat tempat itu. Kau harus gunakan namanya saudariku,
Yoe Pcng." Tempat itu adalah satu pendopo delapan pasegi yang berdiri di
atas satu empang teratai, yang penuh dengan pohon-pohon teratai dan
rumput air yang dinamakan "peng".
"Huruf Yoe Peng juga satu kosong dan satu berisi, sehingga lebih-
lebih sukar dipasangkan," kata si pemuda sembari tertawa. "Baik juga
pemandangan disitu dapat dipinjam buat menggubahnya. Kau dengarlah:
"Lembah sunyi, gunung belukar. Sinar rembulan menindih lain-lain
warna.
Batang peng (rumput), daun teratai.
Suara hujan menutup suara teratai."
Dengan begitu huruf Yoe (Sunyi) dipasangi dengan huruf Peng
(namanya semacam rumput).
Lembah sunyi, gunung belukar,
batang rumput (peng), daun teratai,
masing-masing sudah merupakan toei (pasangan). Perkataan yang di
sebelah bawah, si pemuda pinjam karangannya seorang penyair jaman dahulu
yang berbunyi:
Yang ketinggalan hanya bunga teratai yang sudah rontok,
sambil mendengari jatuhnya sang hujan.
Dengan demikian, syair itu bukan saja cocok dengan pemandangannya,
tapi juga mengenakan dirinya Pengtjoan Thianlie. Si pemuda seolah-olah
mau menyatakan simpatinya kepada ia, yang dengan penuh kesunyian,
bertempat tinggal dalam keraton es. Hatinya si nona jadi tergoncang. Ia
tidak kira, pemuda itu mempunyai kepandaian sedemikian tinggi, baik dalam
ilmu surat, maupun dalam ilmu silat.
"Sudahlah, jangan mengantar terus," kata si pemuda sembari angkat
kedua tangannya. "Terima kasih, terima kasih."
Pengtjoan Thianlie jadi tersadar. Tanpa merasa, -ia ternyata sudah
ikut menyeberangi jembatan batu giok putih. Mendadakan saja mukanya jadi
bersemu dadu dan berkata dengan suara tawar: "Piara semangatmu, besok
kita adu pedang lagi."
"Baiklah," kata ia sembari berjalan pergi dan di lain saat, ia
sudah menghilang di antara pepohonan.
Seperti orang yang kehilangan apa-apa, si nona berdiri di atas
jembatan. Ia dongak ke atas dan memandang itu lembaran-lembaran awan yang
mengambang, dengan paras muka sedih.
Sesudah si pemuda baju putih berlalu, Thian Oe jadi masgul lantaran
ingat, bahwa besok ia sudah mesti meninggalkan tempat itu. Ia lantas
balik ke kamarnya buat mengasoh. Selagi rebah-rebahan, mendadak seorang
dayang datang dan memberitahukan, bahwa Pengtjoan Thianlie undang ia
bersantap malam.
Dalam beberapa hari itu, barang santapan selamanya diantar oleh
seorang dayang dan ia selalu makan seorang diri dalam kamarnya. Maka itu,
ia merasa agak heran mendengar undangannya Pengtjoan Thianlie.
Tanpa berkata suatu apa, ia buru-buru salin pakaian dan ikut sang
dayang pergi ke keratonnya Pengtjoan Thianlie. Sesudah jalan bulak-belok,
mereka tiba pada satu telaga es. Di kakinya puncak gunung Nyenchin Dangla
terdapat satu gunung api, sehingga pemandangan dalam keraton adalah lain
dari yang lain. Dengan hawanya yang hangat, disitu terdapat bunga-bunga
yang mekar sepanjang tahun dan rumput-rumput yang tetap hijau sepanjang
masa. Di tengah telaga terdapat teratai putih, teratai merah, bunga
Mantolo yang harum luar biasa, dan lain-lain bunga yang aneh-aneh. Di
sebelahnya itu, kepingan-kepingan es kelihatan kelap-kelip di tengah
telaga, dan jika sang angin meniup dengan perlahan, bebauan yang harum
menyambar-nyambar ke dalam hidung. Sungguh orang tak tahu, musim apa
adanya itu? Apa musim semi, apa musim rontok, apa musim dingin atau musim
panas!
Di dekat telaga terdapat satu pendopo yang terbuat dari batu giok
putih mulus. Disorot dengan sinar matahari magrib, pendopo itu
mengeluarkan warna-warni yang luar biasa indahnya.
Di tengah pendopo dipasang satu meja makan, dimana terlihat, di
sebelahnya Pengtjoan Thianlie, Thiekoay sian suami isteri. Thian Oe
lantas memberi hormat dan mengambil tempat duduk di samping gurunya.
Selain masih sedikit layu, paras mukanya Thiekoay sian sudah pulih
seperti biasa.
"Keadaan gurumu sekarang sudah tidak berbahaya lagi," kata
Pengtjoan Thianlie.
"Terima kasih dan itu semua adalah berkat bantuannya Oen-giok yang
usianya laksaan tahun," kata Thiekoay sian. "Kalau tidak ada mustika itu,
aku masih harus mengasoh beberapa hari lagi." Suaranya tawar sekali yang
mana menandakan perasaan
berdongkolnya, sebab Pengtjoan Thianlie sudah bataskan tempo
berdiamnya dalam keraton es.
Pengtjoan Thianlie lirik padanya dan berkata lagi: "Masih ada
sedikit hawa dingin yang belum habis. Kau masih harus minum air godokan
rumput Sinlongtjo. Rumput itu bisa didapat di sebelah selatan Puncak Es
dan besok aku akan titahkan dayang antar In Tjin tjietjie pergi
memetiknya."
"Terima kasih," sahut In Tjin dengan pendek.
"Besok aku sudah janjikan orang buat mengadu pedang di bawah Puncak
Es dan mungkin pulangnya laat sekali," kata Pengtjoan Thianlie. "Lusa
pagi kalian harus berangkat, maka itu, aku siapkan meja perjamuan ini
buat memberi selamat jalan."
Thiekoay sian suami isteri lantas saja bangun berdiri dan
membungkuk sebagai pernyataan terima kasih. Sikap mereka kaku sekali,
tapi Pengtjoan Thianlie kelihatannya tidak memperdulikan.
Setelah undang tetamunya minum segelas arak, ia berkata: "Thiekoay
sian, kau sudah berkelana di seluruh negeri dan kenal baik segala ilmu
pedang dari macam-macam partai. Sekarang aku menemui semacam ilmu pedang,
yang aku tak kenal. Apa kau tahu ilmu pedang apa adanya itu?" Sehabis
berkata begitu, ia lalu petakan beberapa macam pukulan yang luar biasa.
"Ilmu pedang itu adalah ilmu pedangnya si pemuda yang sudah janjikan aku
buat mengadu pedang," ia sambung keterangannya. "Selain itu, ia mempunyai
senjata rahasia yang juga luar biasa. Senjata itu mengeluarkan sinar emas
hitam!"
"Aku tahu. In Tjin sudah dengar penuturannya dayangmu," sahut
Thiekoay sian.
"Jika kau kenal, coba beritahukan padaku namanya ilmu pedang itu,"
kata Pengtjoan Thianlie. "Dan lagi, apa namanya senjata rahasia itu? Apa
di dalamnya tidak terdapat cacat yang bisa diserang?"
"Oh, kalau begitu kau mau minta pengajaranku?" kata Thiekoay sian
dalam hatinya. "Biarlah aku gertak padanya!" Memikir begitu, ia lantas
saja berkata: "Ilmu pedang itu adalah ilmu pedang Thiansan yang kesohor
di kolong langit. Kiamhoat tersebut adalah gubahan tjianpwee Hoei Beng
Siansu, yang telah petik sarinya berbagai macam ilmu pedang dan tambah
sama gubahannya sendiri. Di kolong langit ini, tidak ada satu manusia
yang dapat pecahkan ilmu pedang itu!"
Pengtjoan Thianlie keluarkan suara di hidung dan berkata: "Oh,
kalau begitu Thiansan Kiamhoat!" Harus diketahui bahwa ayahnya Pengtjoan
Thianlie dahulu pernah dikalahkan oleh Tong Siauw Lan dan Phang Eng dari
Thiansan pay. Itulah sebabnya ia sudah kabur ke Tibet dengan niatan
memetik ilmu pedang daerah Barat buat dicampur sama Tatmo Kiamhoat, akan
kemudian digubah menjadi semacam ilmu pedang baru guna diadu lagi sama
Thiansan Kiamhoat. Sedari kecil Pengtjoan Thianlie sudah dengar namanya
Thiansan pay dan tak diduga, pemuda itu adalah orang dari partai
tersebut. 91
"Senjata rahasia itu mempunyai asal-usul yang lebih besar lagi,"
Thiekoay sian sambung keterangannya. "Namanya Thiansan Sinbong dan
bahannya cuma bisa didapat di Thiansan. Bukan emas dan juga bukan besi,
tapi sifatnya lebih keras dan emas dan besi. Bentuknya juga macam-macam,
ada yang panjang seperti anak panah, ada yang bundar seperti mutiara.
Dahulu Leng Bwee Hong Tayhiap mendapat nama besarnya lantaran Thiansan
Sinbong dan dari sini bisa dilihat liehaynya senjata rahasia itu."
Mendengar pujiannya Thiekoay sian, Pengtjoan Thianlie mendeluh dan
berkata dengan suara tawar: "Ah, belum tentu tak ada tandingannya di
kolong langit!"
"Dengan ilmu silatmu yang merangkap dua macam ilmu silat, mungkin
sekali masih setanding," kata Thiekoay sian. "Cuma saja dalam dunia
persilatan, jika kita menemui lawanan tangguh, pada sebelum ingat
kemenangan, lebih dahulu kita harus berjaga-jaga akan kekalahan, maka
itu, terlebih baik kau berlaku sedikit hati-hati." Dengan berkata begitu,
Thiekoay sian seperti juga mau bilang, ia bukan tandingannya pemuda
tersebut.
Pengtjoan Thianlie merasa tak senang dan kembali ia keluarkan suara
di hidung. Sebenarnya ia mau tanyakan dua rupa hal. Pertama, asal-usul
ilmu pedangnya pemuda itu, dan kedua, cacatnya ilmu pedang tersebut.
Sekarang, soal pertama ia sudah mengetahui, tapi dalam soal kedua,
menurut Thiekoay sian ilmu pedang itu sudah mencapai puncak
kesempurnaan dan sama sekali tidak ada cacatnya. Maka tidaklah heran ia
jadi merasa sangat berdongkol dan berkata dengan suara kaku: "Dalam
dunia tidak ada ilmu pedang yang tidak dapat dipecahkan. Setiap ilmu
silat mesti ada lawannya yang dapat menaklukinya. Tapi biar
bagaimanapun juga, aku harus menyatakan terima kasih buat segala
pengunjukanmu. Sekarang marilah aku undang kalian suami isteri minum
kering tiga cangkir arak. Pertama buat membilang terima kasih, dan kedua,
buat memberi selamat jalan." Seorang dayang lantas menuang arak dan
mereka lalu minum kering tiga gelas.
Mendadak terjadi perubahan pada dirinya Tjia In Tjin, yang seperti
juga tidak kuat tahan pengaruhnya alkohol. Ia bangun dan menuju ke
pinggir telaga, tapi sebelum sampai disitu, ia sudah muntahkan arak dan
makanan dari dalam perutnya.
"Arak itu dibuat olehku sendiri dengan mengambil sarinya ratusan
bunga," kata Pengtjoan Thianlie. "Sifatnya halus sekali dan bukannya arak
yang keras. Kenapa In Tjin tjietjie jadi tak tahan?"
Dengan badan bergoyang-goyang dan satu tangannya memegang uluhati,
Tjia In Tjin balik ke meja perjamuan dengan muka pucat.
"Kenapa?" tanya Thiekoay sian. Mukanya si isteri menjadi merah,
tapi tidak menyahut. Dilihat macamnya, ia sama sekali bukan mabok arak.
Pengtjoan Thianlie lantas perintah satu dayang ambil es dan selampe, tapi
In Tjin goyang tangannya dan berkata: "Tak usah! Tak usah!"
"Bukankah kau mabok arak? Dikompres sama es, maboknya bisa lantas
hilang," kata Pengtjoan Thianlie.
Mukanya In Tjin jadi semakin merah. Ia cuma geleng-gelengkan
kepalanya. Melihat begitu, sang suami agak mendusin dan lantas berkata:
"Ah, aku tahu. Coba aku tebak penyakitmu."
Kuatir suaminya bicara terus terang, buru-buru In Tjin berbisik:
"Jangan ribut! Aku... Aku ada..."
"Ada apa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
In Tjin jadi semakin kemalu-maluan. Hal yang sebenarnya, ia sedang
ngidam dan baru saja hamil. Mereka sudah menikah banyak tahun dan usianya
Thiekoay sian sudah mendekati setengah abad, tanpa mempunyai anak. Maka
itu, tentu saja ia jadi girang sekali, dan dalam kegembiraannya, ia keja
jatuh cangkir arak, untung tidak sampai pecah. Melihat begitu, Thian Oe
dan Pengtjoan Thianlie jadi sangat heran.
"Ada soal apa kau bergirang sampai begitu?" tanya si nona sembari
melirik. "Kesehatanmu belum pulih betul, tidak boleh terlalu girang atau
terlalu gusar. Baiklah, sekarang sudah laat, aku harus lantas balik ke
keraton. Lusa pagi kalian boleh lantas turun gunung dan tak usah menemui
aku lagi."
Perjamuan lantas dibubarkan dengan kurang kegembiraan. Malam itu,
Pengtjoan Thianlie tak dapat tidur pulas, begitu juga Thian Oe. Hatinya
sedih lantaran ingat, lusa pagi ia sudah mesti berlalu dari tempat itu.
Ia ingat besok Pengtjoan Thianlie dan pemuda baju putih itu akan
bertempur kembali. Hatinya ingin sekali menyaksikan keramaian itu, tapi
ia tak tahu, apa
Pengtjoan Thianlie kasih permisi atau tidak. Ia ingat juga Chena,
itu gadis Tsang yang luar biasa dan sangat menarik hatinya. Rupa-rupa
pikiran mengaduk dalam otaknya. Ia meramkan kedua matanya, tapi
sebaliknya dari pulas, ia jadi semakin segar.
Dengan perasaan kewalahan, ia lalu bangun, pakai baju luarnya dan
keluar jalan-jalan di dalam taman. Tanpa merasa, kakinya menuju ke arah
gedung yang aneh itu. Rembulan yang sangat terang menyelimuti bumi dengan
sinarnya yang seperti perak. Mendadak ia dengar suara tindakan dan buru-
buru ia mengumpat di belakangnya satu gunung-gunungan. Di lain saat,
pintunya gedung itu mendadak terbuka dan seorang wanita yang memakai baju
putih kelihatan keluar. Wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie sendiri.
Dari Chena, Thian Oe sudah mengetahui bahwa saban malam Tje-it,
Pengtjoan Thianlie masuk ke gedung itu seorang diri dan berdiam kurang
lebih satu jam lamanya. Apa yang dilakukan olehnya, tidak diketahui oleh
siapa juga.
"Ah, kalau ia tahu aku mengumpat disini, ia tentu akan menuduh aku
mau curi rahasianya," kata Thian Oe dalam hatinya. "Adatnya sangat luar
biasa. Ia tentu akan memberi hukuman berat!" Thian Oe jadi ketakutan. Ia
tak berani bergerak dan tahan napasnya.
Dengan paras muka sedih, Pengtjoan Thianlie jalan mendekati tempat
mengumpatnya Thian Oe. Jantungnya Thian Oe mengetok lebih keras.
Mendadak, dalam jarak kurang lebih setombak dari Thian Oe, ia berhenti
dan keluarkan satu seruan perlahan. Thian Oe terbang semangatnya dan
keringat dingin mengucur keluar dari dahinya, la duga, Pengtjoan Thianlie
sudah mengetahui tempat
mengumpatnya. Dengan hati berdebar, ia mengintip dari sela-sela
batu. Matanya mendadak lihat bayangannya seorang wanita lain, yang sedang
menuju ke arah utara barat, yaitu ke jurusan gedung tempat mengasohnya.
Thian Oe terkejut.
"Chena! Kenapa tengah malam buta kau masih jalan-jalan?" demikian
kedengaran Pengtjoan Thianlie menanya.
Thian Oe lega. "Chena tentulah mau cari aku," kata ia dalam
hatinya. "Tak tahu, ia mau omong apa. Ah, tinggal besok sehari. Lusa
sudah tak dapat bertemu lagi dengan ia."
"Thianlie tjietjie," demikian kedengaran Chena menyahut. "Aku cari
kau terputar-putar, tak tahunya kau berada disini."
Thian Oe mesem. Gadis itu ternyata pandai juga berdusta.
"Ada apa kau cari aku?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Apa tjietjie sudah mempunyai pegangan buat kalahkan musuh?" Chena
balas menanya.
"Oh, kalau begitu kau pikirkan soal itu?" kata Pengtjoan Thianlie.
"Legakan hatimu. Walaupun andaikata aku tidak bisa menang, tapi aku pun
tidak akan sampai kena dijatuhkan oleh pemuda itu."
"Maka itulah..." Kata Chena seraya tertawa, tapi tidak teruskan
omongannya.
"Maka apa?"
"Maka itulah, pertempuran besok tentu luar biasa menariknya," kata
Chena. "Aku ingin sekali... Aku kepengen..."
"Ingin nonton?"
"Benar, tjietjie," kata Chena. "Aku anggap, kalau tidak saksikan
pertempuran itu, mungkin selama hidupku, aku tak akan dapat saksikan
pertempuran yang sedemikian hebatnya."
Hatinya Pengtjoan Thianlie sebenarnya lagi pepat sekali. Tapi
melihat Chena begitu pandang tinggi pertempuran antara ia dan si pemuda
dan begitu kagumi ilmu pedangnya, tanpa terasa ia jadi tertawa. "Aku
sebenarnya tidak permisikan siapa juga pergi melihat, tapi sekarang aku
bikin kecualian," kata ia. "Baiklah, besok kau dan seorang dayangku boleh
nonton dari puncak gunung di sebelah barat."
"Bukankah puncak gunung itu jaraknya jauh sekali dari tempat adu
pedang?" tanya Chena dengan suara agak tidak puas.
"Puncak itu memang tinggi dan dari situ kau dapat saksikan jalannya
pertempuran," kata Pengtjoan Thianlie. "Terhadap kau, aku sudah bikin
kecualian itu. Apa kau masih belum merasa puas? Mari, ikut aku pulang.
Aku akan ajarkan lagi serupa ilmu pedang. Aku sudah janji akan ajar kau
tiga hari lagi. Sesudah pelajaran ini, aku sudah penuhi janji itu."
Mereka berdua lantas berjalan pergi. Keadaan kembali sunyi senyap.
Sesudah mengumpat beberapa lama lagi, barulah Thian Oe berani keluar.
Wewangian yang keluar dari rumah aneh itu jadi semakin keras dan seakan-
akan mempunyai serupa tenaga membetot. Tanpa merasa Thian Oe menghampiri
pintunya dan tangannya meraba-raba gelang-gelangan pintu. Gelang-gelangan
pintu ternyata bisa terputar. Iseng-iseng ia putar-putar dan sesudah
memutar dua kali, sang pintu mendadak bergerak dan terbuka sendirinya!
Thian Oe kaget dan mau lantas lari, tapi setahu bagaimana, kakinya
seperti juga dibetot. Ditambah dengan keinginan mengetahui rahasia gedung
itu, tanpa merasa ia sudah bertindak masuk.
Keadaan dalam gedung itu seperti juga sebuah gereja. Di tengah-
tengah terdapat patungnya seorang wanita yang mukanya bundar seperti
rembulan, sedang rambutnya yang berwarna emas terurai di kedua pundaknya.
Dari mukanya ternyata wanita itu adalah seorang wanita asing.
Selagi Thian Oe memandang dengan penuh keheranan, mendadak ia
dengar suara orang batuk di belakangnya.
Ia menengok dan Pengtjoan Thianlie berdiri disitu dengan paras muka
sangat gusar!
Semangatnya Thian Oe terbang. "Nyalimu benar besar," Pengtjoan
Thianlie berkata dengan suara tawar. "Mau apa kau masuk kesini?"
Thian Oe gugup dan menyahut dengan suara terputus-putus: "Aku...
aku... tidak tahu tidak boleh masuk kesini."
Pengtjoan Thianlie keluarkan suara di hidung. "Tak tahu?" ia
menegasi. "Chena belum pernah beritahukan kau? Aku tak percaya! Kalau dia
tidak memberitahukan, dialah yang bersalah. Aku nanti tanyakan dia. Aku
tak percaya Chena begitu ceroboh. Hayo, bicara saja terus terang, jangan
salahkan orang yang tidak berdosa."
Thian Oe memang tidak biasa berdusta dan di sebelahnya itu, ia juga
kuatir Pengtjoan Thianlie nanti salahkan Chena. Maka itu, lantas saja ia
berkata: "Benar, barusan aku berdusta. Pada hari pertama, Chena sudah
memberitahukan."
Pengtjoan Thianlie jadi semakin gusar. "Tapi kenapa kau toh sudah
mencuri masuk?" ia membentak. "Hm! Kau orang, guru dan murid, memang
bukannya orang baik. Apa gurumu yang ajar kau masuk kesini?"
"Bukan," jawab Thian Oe. "Aku sendiri yang mau masuk disini.
Disurung dengan hati yang kepengen tahu, tanpa merasa aku sudah masuk
kesini."
Sesudah bicara begitu, keberanian Thian Oe pulang kembali. Sekarang
ia dapat memandang keadaan disitu dengan hati yang lebih tenang. Di empat
pojokan gedung itu dipasang lampu-lampu, sedang pada temboknya terdapat
mutiara-mutiara yang mengeluarkan sinar terang. Sesudah berdiam beberapa
hari di keraton es, baru ini kali Thian Oe lihat Pengtjoan Thianlie
gusar. Kedua sinar matanya yang tajam dan dingin seperti es seperti juga
menembus sampai pada uluhatinya.
Mendadak ia rasakan lehernya ditepuk dan sekujur badannya jadi
kesemutan dan lemas. Ternyata badannya sudah diangkat naik oleh Pengtjoan
Thianlie. Di bawah pimpinan Siauw Tjeng Hong, ia sudah belajar silat
tujuh atau delapan tahun lamanya. Dalam kalangan Kangouw yang biasa, ilmu
silatnya sudah boleh dibilang lumayan. Tapi sekarang, menghadapi
Pengtjoan Thianlie, ia sama sekali tidak berdaya dan badannya diangkat
begitu rupa, seperti juga anak ayam disambar ulung-ulung.
"Kalau toh kau suka datang kesini, biarlah kau jangan keluar lagi!"
kata Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar. Sehabis berkata begitu, ia
putar badannya Thian Oe dua kali di tengah udara. Thian Oe rasakan
kepalanya puyeng dan sebelum dapat berbuat suatu apa, ia rasakan badannya
ambruk, sebab Pengtjoan Thianlie sudah banting ia ke atas lantai. Thian
Oe keluarkan teriakan ngeri, semangatnya terbang dan ia duga jiwanya akan
segera melayang. Tapi, begitu lekas badannya mengenakan lantai, disitu
mendadak terbuka satu lubang dan badannya lantas masuk ke dalam lubang
itu. Waktu jatuh di dasar lubang, ia rasakan sakit, tapi belakangan
ternyata tidak mendapat luka yang berarti.
Ia bangun dengan perlahan. Gua itu gelap petang. Ia tak dapat lihat
tangannya sendiri. Lubang di atas sudah tertutup kembali. Beberapa saat
kemudian, sayup-sayup ia dengar suara tindakan. Rupanya Pengtjoan
Thianlie sudah berlalu dari situ.
Belum berapa lama, hawa dingin dan hawa basah menyerang hebat
sekali. Buru-buru ia bersila dan jalankan pernapasannya. Baik juga ia
sudah mempunyai dasar ilmu dalam (lweekang), sehingga beberapa saat
kemudian ia rasakan badannya jadi cnakan dan tidak begitu menderita lagi
dari hawa dingin dan basah itu.
Perasaan takut dan menyesal mengaduk dalam pikirannya Thian Oe.
Mengingat perkataan "kau jangan keluar lagi," ia jadi bergidik. Apa benar
ia bakal dipenjarakan disitu seumur hidup? Ia lantas saja ingat ayahnya,
gurunya, soenio-nya (Tjia In Tjin) dan Chena. Dengan mereka itu, ia tak
akan dapat bertemu kembali! Thian Oe sebenarnya masih bersifat satu
bocah. Mengingat begitu, ia lantas saja kucurkan air mata dan menangis
segak-seguk.
Tak tahu sudah lewat beberapa lama, kupingnya mendadak dengar suara
tindakan orang di atas. Ia susut air matanya dan berkata dalam hatinya:
"Ah, kalau Pengtjoan Thianlie lihat aku menangis, ia tentu akan
tertawakan aku." Ia tidak merasa sakit hati, tapi ia pun sungkan
perlihatkan kelemahannya di hadapan Pengtjoan Thianlie. Berpikir begitu,
ia segera bersila dan meramkan kedua matanya.
Suara kaki yang barusan kedengaran mendekati, sekarang jadi semakin
jauh dan akhirnya tidak kedengaran lagi. Thian Oe tentu saja tidak
mengetahui, bahwa suara kaki itu adalah tindakannya Chena dan satu
dayangnya Pengtjoan Thianlie. Ilmu silat mereka belum seberapa tinggi dan
tindakannya masih berat, sehingga Thian Oe dapat mendengarnya. Mereka
berdua bangun sebelum fajar dan buru-buru pergi ke puncak gunung yang
terletak di sampingnya Puncak Es, buat saksikan adu pedang antara
Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih yang akan dilangsungkan pada
waktu tengah hari.
Dengan perasaan kecewa, Thian Oe terus bersemedhi. Tidak lama
kemudian, kupingnya dapat dengar suara nyanyiannya burung-burung yang
baru sadar dari tidurnya.
Mendengar nyanyian itu, hatinya Thian Oe kembali jadi sedih dan ia
berkata dalam hatinya: "Satu penyair ahala Tong ada bilang:
‘Tidur di musim semi, tak tahu datangnya sang fajar, di segala
tempat terdengar suara nyanyian burung-burung, semalam turun hujan dan
angin, tahukah kau berapa banyak bunga jatuh berhamburan?’
Keadaan diluar tentulah indah sekali, akan tetapi keadaanku
sekarang justru sebaliknya dari keindahan itu. Dengan mendengar suaranya
burung-burung itu, langit tentunya sudah menjadi terang. Semalam Chena
mencari aku, tapi manalah ia tahu, sekarang aku sedang terkurung disini
dan seluruh malam belum dapat pulas barang sekejap! Semalam sama sekali
tidak ada hujan maupun angin. Tapi pengalamanku semalam adalah ibarat
topan yang sangat hebat!"
Demikianlah Thian Oe ngelamun seorang diri. Matanya pedas dan
badannya lelah, tapi ia tidak rasakan ngantuk. Ia duduk terpekur seorang
diri dalam gua yang gelap itu dan rasakan sang tempo jalan luar biasa
perlahan.
Sesudah lewat lagi tak tahu berapa lama, ia mendadak ingat pula itu
adu pedang antara Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih. "Ah,
sekarang tentunya mereka sudah bertempur di kakinya Puncak Es," kata ia
dalam hatinya. "Sayang sungguh kedua mataku tidak mempunyai rejeki buat
menyaksikan."
Mendadak, mendadakan saja di dalam tanah terdengar suara luar
biasa, yang semakin lama jadi semakin keras. Di lain saat, dinding gua
bergoyang-goyang. Thian Oe terkesiap dan hatinya penuh tanda tanya. Tiba-
tiba dari dalam tanah muncul keluar hawa yang panas. Ia jadi semakin
heran. Suara gemuruh jadi semakin keras. Sekarang, bukan saja dinding,
tapi lantainya gua pun turut bergoyang-goyang. Sekonyong-konyong, dengan
satu suara gedubrakan, beberapa batu dinding mental keluar dan sinar
matahari masuk dari lubang itu! Badannya Thian Oe pun terpelanting di
atas lantai lantaran goncangan yang sangat keras.
"Ah, inilah gempa bumi!" Thian Oe berteriak dengan suara di
tenggorokan.
Di bawah tanah dari wilayah Tibet memang banyak terdapat gunung-
gunung api yang masih bekerja. Itulah sebabnya, maka di Tibet sering
terjadi gempa bumi besar dan kecil. Thian Oe juga mengetahui kenyataan
itu, akan tetapi ia sendiri belum pernah mengalami kejadian tersebut.
Mengingat gempa bumi, semangatnya Thian Oe kembali terbang. Badannya jadi
gemetar. Rasa takutnya malahan melebihi itu rasa takut, ketika ia baru
dipergoki oleh Pengtjoan Thianlie dalam rumah terlarang itu.
Di lain saat, satu suara menggeleger yang luar biasa hebatnya
terdengar. Suara itu ada terlebih hebat dari apa yang satu manusia pernah
bayangkan. Bumi bergoyang-goyang dan seakan-akan segera terbalik. Seperti
orang kalap, Thian Oe tutup kedua kupingnya. Kepalanya puyeng, matanya
berkunang-kunang dan ia roboh dalam keadaan pingsan!
Perlahan-perlahan ia sadar. Dengan hati kebat-kebit, ia merayap
keluar dari dinding yang melekah. Ia lihat udara ditutup dengan semacam
debu warna kuning, sehingga sinarnya matahari turut berwarna kuning.
Dilihat dari duduknya matahari, itu tempo sudah magrib. Thian Oe lantas
kerahkan tenaganya buat kasih jalan darahnya. Ia bangun berdiri dan jalan
beberapa tindak sambil memandang keadaan di seputarnya.
Itu gedung aneh yang atapnya lancip sudah miring dindingnya, tapi
tidak sampai roboh. Thian Oe tidak mempunyai kegembiraan lagi buat masuk
ke dalamnya, tapi lantas pergi ke taman sambil berlari-lari. Disitu
banyak sekali gunung-gunungan dan batu-batu hiasan yang pada terguling
dan rusak. Beberapa keraton juga sudah berobah jadi tumpukan puing, tapi
ada juga yang masih utuh. Thian Oe memanggil-manggil sekeras suara, tapi
tidak mendapat jawaban. Seluruh keraton es jadi sunyi senyap. Bukan main
takutnya
Thian Oe. Ia berlari-lari ke sana-sini seperti orang gila, mulutnya
memanggil-manggil Chena dan gurunya, tapi tak satu manusia ia dapat
ketemukan, malahan burung-burung dan binatang-binatang lainnya juga
rupanya sudah pada kabur.
Dan ketika Thian Oe dongak, kedua matanya lihat satu pemandangan
yang lebih mengejutkan lagi. Itu Puncak Es yang putih dan menjulang ke
awan, yang tadinya berhadapan dengan keraton es, sekarang sudah tidak
kelihatan bayang-bayangannya lagi! Puncak Es itu, yang siang malam
pancarkan sinar dingin, merupakan salah satu pemandangan luar biasa dari
pegunungan Nyenchin Dangla. Thian Oe ketakutan, tapi sekarang
ketakutannya itu dicampur dengan perasaan sayang.
Ia lalu naik ke tempat yang lebih tinggi dan memandang ke arah yang
lebih jauh. Secara menakjubkan, di selebar gunung, balokan-balokan es
raksasa masih terus menggelinding ke bawah. Ia juga lihat bahwa di
seputar keraton bertambah banyak sekali batu besar. Ia mengetahui, bahwa
batu-batu itu terbang melayang waktu Puncak Es sedang roboh. Masih untung
ada beberapa keraton yang tidak ketimpa batu dan keraton-keraton itulah
yang masih tinggal utuh.
Melihat perobahan yang hebat itu, Thian Oe jadi kcsima dan bengong
sekian lama. Ia ingat, waktu Puncak Es yang tingginya ribuan tombak
ambruk, Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih tentunya juga sedang
bertempur di kakinya puncak tersebut. Ketimpa secara begitu, bukankah
badan mereka dengan segera jadi perkedel? Walaupun ia baru saja kena
disemprot dan dihukum oleh si jelita, akan tetapi mengingat
kecantikannya, usianya yang masih begitu muda dan kepandaiannya yang
sedemikian tinggi, tanpa merasa Thian Oe dongak ke atas dan berkata
dengan suara gemetar "Oh, Thian, kenapa begitu tega?" la juga ingat Chena
yang menonton pertempuran dari puncak gunung yang terletak di sebelahnya
Puncak Es. Apakah ia bisa terlolos dari mala petaka itu? Depan matanya
lantas saja terbayang senyuman aneh dari gadis Tsang itu, yang ia pertama
bertemu di atas padang rumput. Dan di sebelahnya Chena, berbayang
pula Pengtjoan Thianlie yang cantik dan agung laksana ratu. Thian Oe
bergidik dan tak berani ngelamun terlebih jauh.
Lantaran perutnya lapar, Thian Oe lalu petik dua buah, yang
sesudahnya dimakan, memberikan ia tenaga baru. Ia kembali jalan terputar-
putar seraya memanggilmanggil, dengan harapan kalau-kalau bisa bertemu
manusia yang masih hidup. Tapi jangan kata manusia, binatang pun ia tidak
ketemu. Cuma pohon-pohon dan bunga-bunga masih tetap seperti kemarin,
masih terus siarkan keharumannya yang luar biasa. Yang paling
mengherankan Thian Oe adalah: Sesudah berputaran di seluruh keraton, ia
tidak ketemukan barang satu mayat! Apakah semua dayang dari seluruh
keraton dapat menghilang dengan begitu saja? Taruh kata mereka semua
binasa ketimpa reruntuk rumah atau batu-batu besar, mayatnya mesti dapat
diketemukan juga. Walaupun tidak banyak, satu dua toh mestinya dapat
diketemukan. Tapi kenyataannya: Thian Oe tak ketemukan barang satu mayat!
Andaikata mereka bisa kabur, sekarang toh mestinya sudah ada yang pulang
buat lihat-lihat keadaan. Waktu itu, rembulan sudah naik tinggi dan belum
ada barang satu manusia yang kelihatan balik. Itulah benar-benar membikin
Thian Oe jadi pusing sekali. Ia tidak mengerti apa artinya semua kejadian
itu.
"Apa kau sedang mengimpi?" ia tanya dirinya. Ia gigit jerijinya dan
segera berteriak kesakitan. Nyatalah ia bukannya lagi mengimpi!
Puteri Malam naik semakin tinggi dan debu kuning yang muncrat
keluar dari peledakan gunung dengan perlahan disapu bersih oleh sang
angin malam. Di bawah sinar rembulan yang laksana perak, keraton es masih
tetap indah, biarpun keindahan sekarang adalah kenangan yang menyedihkan.
Thian Oe kembali jadi seperti orang kalap. Ia berlari-lari lagi sembari
memanggil-manggil. Ia agaknya tidak mengenal capai.
Tiba-tiba di antara kesunyian malam yang menyeramkan, satu suara
perlahan kedengaran: "Oe-djie, apakah kau?"
Hatinya Thian Oe terkesiap. Suara itu adalah seperti barang yang
paling berharga dalam dunia ini. Ia memburu ke tempat dari mana suara itu
datang, yaitu dari bawah reruntuknya satu kamar yang roboh.
Thian Oe buru-buru gali puing itu dan didalamnya ia ketemukan
Thiekoay sian yang rebah dengan pakaian ternoda darah.
"Soehoe! Kau?" tanya Thian Oe dengan suara terharu.
"Benar. Aku," jawab sang guru. "Coba minta sedikit makanan. Oh,
ambil air lebih dahulu."
Thian Oe lantas petik dua buah dan gunakan selembar daun buat ambil
air telaga yang lantas diberikan kepada gurunya. Sesudah mengasoh
beberapa saat, Thiekoay sian berkata: "Kita berdua guru dan murid,
sekarang sudah lolos dari mala petaka. Tapi apakah masih ada lain orang
yang hidup?"
Thian Oe lantas saja tuturkan segala pengalamannya. Thiekoay sian
menghela napas dan berkata pula: "Pengtjoan Thianlie telah bilang, bahwa
ia tidak akan turun gunung, kecuali jika Puncak Es roboh. Sekarang puncak
itu sudah ambruk, cuma barangkali ia sudah terpendam buat selamanya dan
tidak dapat lagi turun gunung." Sehabis berkata begitu, ia ingat
isterinya yang sedang cari obat, ketika terjadinya gempa bumi. Mengingat
begitu, hatinya jadi sangat kuatirkan keselamatannya sang isteri.
"Soehoe, apa kau terluka?" tanya Thian Oe.
"Masih bagus cuma luka sedikit kena ketimpa batu," sahut sang guru.
Tapi sebenarnya, lukanya Thiekoay sian tidaklah enteng. Sedang
kesehatannya belum pulih, ia kembali mesti terima goncangan hebat di
dalam tubuhnya lantaran gempa bumi itu. Walaupun berkat lweekang-nya yang
sangat dalam, ia masih dapat selamatkan jiwanya, akan tetapi tenaga
latihan sepuluh tahun jadi musnah karenanya. Dan kalau Thiekoay sian
masih dapat berjalan, itu hanya terjadi berkat pertolongan sang tongkat.
Dengan perlahan guru dan murid berjalan didalam keraton dengan
mulut terus memanggil-manggil, tapi hasilnya nihil.
"Aku mendadak rasakan tanah goyang pada waktu sedang melatih diri
di dalam kamar buat mengobati lukaku," demikian Thiekoay sian tuturkan
pengalamannya. "Sesudah itu, aku dengar suara berlari-larinya dan
teriakan para dayang, dan di antara teriakan itu, aku dengar suara orang
memanggil-manggil namaku. Ketika itu, latihanku sedang mencapai puncak
yang sangat penting, dan jika aku menyahut, akibatnya bisa hebat sekali.
Maka itu aku teruskan latihan itu. Selagi aku mau akhiri latihan menurut
peraturan dan kemudian mau pergi keluar.buat menanyakan, kejadian hebat
sudah keburu terjadi. Kamarku sendiri turut ambruk."
Mendengar keterangannya sang guru, Thian Oe jadi menarik
kesimpulan, bahwa pada waktu terjadinya gempa bumi, di dalam keraton
masih terdapat banyak dayang. Tapi kemana perginya mereka?
Sesudah mengasoh semalaman, pada hari kedua, mereka keluar buat
membikin pemeriksaan terlebih lanjut. Kecuali beberapa keraton yang
roboh, kerugian harta benda agaknya tidak terlalu besar. Kawanan burung
juga sudah mulai balik kesitu. Persediaan bahan makanan didalam keraton
adalah lebih dari cukup, sehingga mereka boleh tidak usah kuatir.
"Soehoe, apa yang kita harus perbuat?" tanya Thian Oe sesudah
selesai dengan pemeriksaannya.
Thiekoay sian tertawa getir dan berkata: "Menurut perintahnya
Pengtjoan Thianlie, hari ini aku mesti turun gunung. Akan tetapi, dengan
kepandaianku seperti sekarang ini, aku tak akan bisa turun gunung pada
sebelumnya berlatih sepuluh tahun lamanya."
Thian Oe lantas ingat bahayanya sungai es yang tidak akan dapat
dilewati oleh orang yang tidak mempunyai ilmu silat sangat tinggi atau
oleh orang yang tidak mengetahui sifatnya sang air.
"Oleh karena terjadinya perobahan yang tidak terduga, maka kita
tidak dapat berbuat lain daripada langgar perintahnya Pengtjoan
Thianlie," kata lagi Thiekoay sian sembari tertawa getir. "Kita tidak
dapat berbuat lain daripada terus berdiam disini. Aku cuma berharap
Pengtjoan Thianlie masih hidup, supaya ia dapat menolong kita keluar dari
tempat ini." Tapi harapan itu hanya tinggal harapan belaka. Sesudah lewat
tujuh hari, jangan sentara Pengtjoan Thianlie, dayangnya saja tak seorang
yang muncul. Selama hari-hari itu, Thiekoay sian terus menerus berlatih
dan akhirnya ia dapat usir keluar sisa hawa dingin yang masih mengeram
dalam tubuhnya.
Tak usah dibilang lagi, Thian Oe bukan main merasa kesepian. Hari
itu, ia kembali berada di depannya itu gedung yang penuh rahasia.
Sebagaimana diketahui gedung itu belum roboh, cuma dindingnya saja yang
sudah miring. Mengingat pengalamannya, sebenarnya Thian Oe tidak
mempunyai perasaan senang terhadap gedung itu, akan tetapi ia merasa
tidak tahan buat tidak tolak pintunya dan masuk ke dalam.
Keadaan dalam gedung masih tetap seperti sediakala. Patungnya
wanita itu masih berdiri seperti biasa. Sekarang, tanpa kuatirkan suatu
apa, ia dapat meneliti keadaan disitu. Ia lihat pada dinding yang miring
penuh dengan macam-macam ukiran manusia yang sedang bersilat dengan
gunakan pedang. Diteliti dari gambar-gambar itu, gerakan-gerakan ilmu
pedang tersebut sangat berbeda dengan ilmu pedang yang dikenal di
Tiongkok.
"Inilah tentu ilmu pedang yang digubah oleh kedua orang tuanya
Pengtjoan Thianlie," kata Thian Oe seorang diri. "Tidak heran kalau ia
larang orang masuk kesini. Ia sering datang buat bersembahyang. Patung
itu tentulah patung ibunya."
Memikir begitu, asal-usulnya Pengtjoan Thianlie kelihatannya jadi
lebih sulit lagi buat diketahui. Sebab tidak niat belajarkan ilmu
pedangnya lain orang, sesudah mengawasi beberapa lama, Thian Oe segera
keluar dari gedung itu buat pergi cari gurunya.
Sesudah berlatih tujuh hari, Thiekoay sian sudah dapat usir sisa
hawa dingin dalam tubuhnya. Biarpun tenaga dalamnya berkurang banyak,
tapi sekarang ia dapat bergerak pula dengan leluasa dan tidak usah lagi
dapat pertolongannya tongkat.
Begitu bertemu dengan gurunya, Thian Oe segera ceritakan apa yang
dilihat dalam gedung aneh itu.
Buat beberapa saat Thiekoay sian tidak berkata apa-apa. Mendadak ia
berkata: "Aku rasa kau harus angkat satu guru lagi."
"Apa? Apa soehoe sudah tidak mau akui aku sebagai murid lagi?"
tanya Thian Oe dengan suara kaget.
"Bukan," kata Thiekoay sian. "Dengarlah perkataanku dahulu. Ilmu
silat tidak ada batasnya. Andaikata kau sudah dapatkan semua pelajaranku
dan sudah mempunyai kepandaian yang bersamaan dengan aku, toh
kepandaianmu itu masih belum cukup buat bertanding dengan ahli silat
kelas utama. Jangan sentara Pengtjoan Thianlie dan itu pemuda baju putih
yang ilmu silatnya luar biasa tinggi, sedang kepandaiannya itu Ihama
jubah merah saja masih berada di sebelah atasanku."
Thian Oe tidak berkata apa-apa. la tahu gurunya bicara dengan
sejujurnya.
"Kau tahu, tenaga dalamku belum pulih kembali," sang guru berkata
pula. "Aku harus berlatih lagi kira-kira sepuluh tahun, barulah ada
harapan bisa turun dari gunung ini. Dalam tempo sepuluh tahun, kalau ada
musuh datang mengganggu, cara bagaimana kita dapat melawannya. Itulah
sebabnya kenapa aku ingin kau belajarkan lain macam ilmu silat yang
tinggi dan angkat lagi seorang guru lain."
"Dalam keraton es ini cuma terdapat kita berdua. Siapakah adanya
guru baru itu?" tanya Thian Oe dengan perasaan heran.
"Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
Thian Oe terkejut, tapi lekas juga ia mengerti maksudnya Thiekoay
sian.
"Mati hidupnya Pengtjoan Thianlie belum ketahuan. Cara bagaimana
kita boleh pelajari ilmu pedangnya?" kata Thian Oe sembari gelengkan
kepalanya.
"Justru lantaran begitu, kau mesti pelajari ilmu pedangnya," jawab
Thiekoay sian. "Cobalah kau pikir: Kalau Pengtjoan Thianlie benar sudah
mati dan semua dayangnya pun ikut binasa, bukankah ilmu pedang itu akan
jadi hilang dari muka bumi? Buat menggubah ilmu pedang yang luar biasa
itu, ayah ibunya Pengtjoan Thianlie sudah gunakan banyak tenaga, pikiran
dan tempo. Kalau ilmu pedangnya sampai hilang dari muka bumi, di alam
baka rohnya kedua orang tua itu tentu tidak akan merasa senang. Selain
itu, kehilangan tersebut juga merupakan satu kerugian yang sangat besar
bagi dunia persilatan."
Mendengar keterangan yang beralasan itu, Thian Oe merasa takluk
terhadap gurunya yang berpemandangan jauh. Maka itu, mereka berdua lalu
pergi ke gedung itu buat meneliti gambar-gambar di dinding.
Dapat dimengerti, bahwa ilmu pedang yang diukir itu ada sangat
sulit dan tak mungkin dapat dipelajari oleh orang yang belum mempunyai
dasar-dasar yang kuat. Tapi Thiekoay sian adalah murid utama yang
mewarisi kepandaiannya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie. Apa yang dipelajari
oleh Thiekoay sian adalah ilmu silat yang tulen. Dalam dunia persilatan,
walaupun berbagai cabang mempunyai macam-macam cara yang istimewa, akan
tetapi dasar-dasarnya tidak berbeda banyak. Demikianlah, sesudah
mempelajari tiga hari lamanya, Thiekoay sian sudah dapat menyelami
artinya gambar-gambar itu.
Lebih dahulu ia ajarkan Thian Oe ilmu melatih napas dari lweekeh
(ilmu silat dalam). Sesudah belajar tujuh delapan tahun di bawah pimpinan
Siauw Tjeng Hong, Thian Oe sudah mempunyai dasar-dasar lweekang. Ditambah
dengan petunjuk-petunjuk Thiekoay sian, ia dapat kemajuan sangat pesat
dan dalam tempo sebulan, ia sudah siap sedia buat mulai belajarkan ilmu
pedangnya Pengtjoan Thianlie.
Mulai waktu itu, setiap hari Thian Oe belajar dua rupa ilmu silat.
Di waktu pagi, ia belajar ilmu silatnya Thiekoay sian, sedang pada
sorenya, ia belajar ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. Dengan kerepotan
sedemikian, tanpa terasa tiga bulan sudah berlalu.
Pada suatu malam, sedang Thiekoay sian berlatih sendirian, Thian Oe
jalan-jalan di dalam taman. Sinar rembulan terang sekali dan bunga-bunga
siarkan bebauan yang sangat harum. Sesudah selang beberapa bulan, keadaan
dalam taman sudah mulai pulih seperti dahulu, sedang burung-burung juga
sudah pada balik kesitu.
Melihat pemandangan itu, hatinya Thian Oe jadi sedih sekali. Pada
tiga bulan berselang, adalah Chena yang ajak ia jalan-jalan dalam taman
tersebut, tapi sekarang, ia berada seorang diri, sedang nasibnya gadis
itu belum ketahuan bagaimana jadinya. Ia ingat juga itu dayang-dayang
yang seperti lenyap dari muka bumi.
Thian Oe jalan tanpa tujuan, sedang hatinya ngelamun ke sana-sini.
Mendadak hidungnya dapat endus semacam wewangian yang datang dari satu
pojok taman. Sesudah berdiam tiga bulan lamanya, ia sudah kenal baik
segala tumbuh-tumbuhan yang terdapat di situ. Ia sudah dapat membedakan
wanginya macam-macam bunga. Tapi wewangian yang baru ia endus adalah
wewangian yang ia belum kenal. Dengan perasaan heran, ia segera menuju ke
pojok taman, dari mana harum-haruman itu datang.
Setibanya disitu ia lihat satu pohon besar yang berdiri mencil. Apa
yang luar biasa adalah pada pohon itu terdapat satu buah tunggal,
besarnya seperti mangkok dan warnanya merah terang. Buah itulah yang
menyiarkan bau harum. Thian Oe segera panjat pohon itu dan petik buah
tersebut, yang harumnya seakan-akan menembus sampai ke uluhatinya. Ia
masukkan ke dalam mulutnya dan terus digigit. Buah itu ternyata bukan
saja harum dan manis luar biasa, tapi juga mempunyai semacam hawa
menyegarkan yang seakan-akan menembus sampai di pusarnya. Sesudah makan
habis Thian Oe lalu turun dan coba mencari-cari lagi. Tapi seluruh taman
cuma terdapat satu pohon begitu yang berbuah tunggal.
Lewat beberapa saat, mendadak ia rasakan perutnya sakit. "Apa aku
kena makan buah beracun?" tanya ia dalam hatinya dan lalu buru-buru pergi
cari gurunya. Tapi baru saja lari puluhan tindak, perutnya jadi semakin
mules dan bersuara tak henti-hentinya. Ia tak tahan lagi dan lalu buang-
buang air besar.
Sesudah buang air besar, ia bangun dan berjalan pergi. Mendadak ia
rasakan satu perobahan yang benar-benar menakjubkan. Badannya dirasakan
enteng luar biasa! Ia coba-coba enjot badannya dan tubuhnya lantas
melesat ke atas dan hinggap di atasnya satu pohon besar. Tingginya pohon
itu ada lebih dari dua tombak. Biasanya, paling tinggi ia cuma dapat
melompat kurang lebih satu tombak, tapi sekarang, sesudah makan buah itu,
dengan gampang ia dapat melompat dua tombak lebih.
Ia jadi kaget tercampur girang dan buru-buru cari gurunya, kepada
siapa ia segera tuturkan pengalamannya yang luar biasa.
Mendengar penuturan itu, Thiekoay sian segera jajal muridnya dan
ternyata omongannya tidak dusta. Sang guru juga turut bergirang dan
berkata: "Keunggulan ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie berdasarkan
kegesitannya. Aku sebenarnya sedang pikiri kau punya ilmu entengi badan
yang belum mempunyai dasar yang kuat. Tak dinyana kau sudah mendapat
berkah yang begitu luar biasa! Sekarang, sebegitu jauh mengenai ilmu
entengi badan, walaupun kau belum bisa dapat menandingi Pengtjoan
Thianlie dan itu pemuda baju putih, sedikitnya kau sudah berada di
sebelah atasanku!"
Pada esokan paginya, waktu berlatih lagi ilmu pedangnya Pengtjoan
Thianlie, benar saja ia rasakan latihannya berjalan banyak lebih licin
berkat kegesitannya yang berlipat ganda. Hari itu, sesudah makan malam,
seorang diri ia pergi -lagi ke taman buat berlatih pula dengan pedangnya.
Semakin ia bersilat, semakin cepat gerak-gerakannya, dan semua pukulan-
pukulan yang sukar dapat ia jalankan secara otomatis.
"Sungguh indah ilmu pedang itu!" mendadak terdengar suaranya satu
orang. Thian Oe menoleh dan orang itu ternyata adalah Thiekoay sian.
"Kau sudah mendapat kemajuan pesat sekali," kata Thiekoay sian.
"Kalau dilihat begini, tidak usah sepuluh tahun, kita sudah bisa turun
dari gunung ini. Cuma saja, biarpun ilmu entengi badanmu sudah maju jauh,
kuping dan mata belum terlatih cukup. Barusan, sesudah aku berada dekat
sekali denganmu, barulah kau mengetahui."
Sehabis berkata begitu, Thiekoay sian segera turunkan serupa ilmu
buat melatih kuping kepada muridnya itu. Dengan ilmu tersebut, orang
dapat membedakan macam-macam senjata seperti senjata rahasia, dengan cuma
dengar suara anginnya senjata itu. Sesudah memberi semua petunjuk secara
terang, Thian Oe segera berlatih dengan ilmu baru itu.
"Sekarang aku mau coba padamu," kata Thiekoay sian. "Coba kau balik
badan dan aku akan datang dari sebelah belakang. Begitu dengar suaranya
angin, kau mesti lantas menimpuk dengan batu. Aku mau lihat, apa kau
dapat menimpuk jitu atau tidak." Thiekoay sian lantas pergi ke tempat
yang agak jauh, sedang sang murid berdiri menunggu.
Lewat beberapa saat, Thian Oe mendadak dengar suara tindakan yang
sangat enteng mendatangi dari samping, la kaget dan kata dalam hatinya:
"Kenapa terdengar tindakannya dua orang? Apa soehoe sengaja keluarkan
ilmu luar biasa, atau kupingku belum terlatih baik?"
Sementara itu, suara tindakan jadi semakin dekat. Thian Oe tak
sempat memikir panjang-panjang lagi. Ia ayun tangannya dan menimpuk.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa aneh dan batu itu terpukul balik.
Didengar dari anginnya, batu itu menyambar ke arah Thian Oe luar biasa
cepatnya. Ia terkesiap dan tidak mengerti kenapa gurunya menghantam
begitu hebat.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar bentakannya Thiekoay
sian: "Pendeta jahat! Jangan lukakan muridku!" Berbareng dengan itu satu
senjata rahasia menyambar dan kebentrok dengan batu itu. Kedua-duanya
kemudian jatuh kedalam telaga es.
Thian Oe berbalik. Segera juga ia jadi ternganga bahna kagetnya.
Orang yang muncui dari samping bukan gurunya, tapi itu pendeta jubah
merah yang pernah datang ke keraton es dan belakangan kena diusir oleh
Pengtjoan Thianlie! Di belakangnya pendeta itu mengikuti satu boesoe yang
berusia muda. Kedua orang itu mengawasi ia sembari menyeringai, sedang
gurunya memburu dari sebelah belakang dengan paras muka kaget dan heran.
Sembari tertawa tawar, pendeta itu ucapkan beberapa perkataan pada
Thiekoay sian yang tidak mengetahui apa yang dikatakan olehnya sehingga
ia cuma geleng-gelengkan kepalanya. Thian Oe yang mengerti juga sedikit
bahasa Nepal lantas berkata: "Soehoe, ia datang buat cari tahu dimana
adanya Pengtjoan Thianlie."
Thiekoay sian segera menuding ke arah bekas Puncak Es dengan
tongkatnya dan gerak-gerakkan tangannya buat memberitahu, bahwa Puncak Es
itu ambruk dan mungkin Pengtjoan Thianlie sudah mati tertindih gunung
yang ambruk itu.
Paras mukanya si pendeta lantas berobah gusar, sedang si boesoe
ucapkan beberapa perkataan sembari tunjuk-tunjuk Thiekoay sian. Pendeta
itu kelihatan jadi lebih gusar lagi. Mendadak dalam bahasa Tibet, ia
ucapkan perkataan "guci emas" dan tangannya membuat satu gerakan
merampas.
Perkataan "guci emas" dan gerakan itu membikin Thiekoay sian
mengerti apa yang dimaksudkan oleh si pendeta yang seperti juga mau
menanya: "Apa kau niat merampas guci emas?"
Thiekoay sian adalah seorang pendekar yang telah mewarisi
kepandaiannya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie. Ia tahu dirinya berada dalam
bahaya, tapi ia pantang berdusta. Maka itu, dengan suara angkuh ia segera
berkata:
"Tidak salah! Aku memang mau rampas guci emas itu!"
Pendeta jubah merah itu menggereng dan lantas menyapu dengan
sianthung-nya. Dalam hal ini telah terbit salah mengerti. Dari gerakan
tangannya Thiekoay sian, si pendeta anggap Pengtjoan
Thianlie sudah kena dibinasakan olehnya. Di sebelahnya itu, kisikan
sang boesoe muda, bahwa Thiekoay sian niat merampas guci emas, ternyata
benar. Demikianlah, dengan adanya dua macam kegusaran yang menjadi satu,
tanpa menyelidiki lebih lanjut, si pendeta lalu membuka serangan. Di lain
pihak, Thiekoay sian yang mempunyai ganjelan, juga jadi sangat gusar
melihat caranya si pendeta yang datang-datang sudah menyerang membabi
buta. Ia kerahkan tenaganya dan menyampok sama tongkat besinya. Dengan
satu suara keras, kedua senjata kebentrok dan Thiekoay sian terhuyung
beberapa tindak.
Bukan main kagetnya Thian Oe. Ia tahu tenaga gurunya belum pulih
dan bukan tandingannya si pendeta. Di antara suara beradunya senjata, ia
dengar sang guru berseru: "Oe-djie! Lari! Kalau tidak dengar perkataanku,
aku tidak akui lagi kau sebagai murid!"
Tan Thian Oe tahu, bahwa dengan berseru begitu sang guru ingin
selamatkan jiwanya. Sebagai seorang yang sangat tebal pribudinya, manalah
ia tega tinggalkan gurunya dalam' keadaan yang berbahaya itu. Sebaliknya
dari angkat kaki, ia berdiri dengan mulut ternganga. Sementara itu, kedua
orang sudah bertempur belasan jurus.
Si boesoe muda menyender di satu pohon, matanya menyapu ke arah
Thian Oe. Dengan menyaksikan cara bagaimana batu yang ditimpukkan oleh
Thian Oe, kena dibikin terpental oleh si pendeta, ia mengetahui ilmunya
Thian Oe masih cetek. Ia jadi tidak memandang mata dan perhatiannya lalu
dipusatkan kepada gelanggang pertempuran." .
Dalam tempo sekejap, Thiekoay sian dan si pendeta' sudah bertempur
kurang lebih dua puluh jurus. Walaupun mesti saban-saban mundur, tapi
gerakan-gerakannya Thiekoay sian sama sekali tidak jadi kalut dan masih
dapat menyambut serta membalas sesuatu serangan.
Mendadak dalam gelanggang pertempuran terjadi perobahan yang
membikin Thian Oe jadi terkesiap. Muka gurunya kelihatan menyeramkan
sekali, kedua kakinya bertindak menurut kedudukan Ngoheng Patkwa, sedang
tongkatnya diputar keras sehingga menerbitkan angin yang menderu-deru. Ia
tahu sang guru sedang bersilat dengan ilmu Hokmo Tianghoat yang paling
banyak meminta tenaga lweekeh. Ia ingat, sesudah gurunya pertama kali
bertempur melawan si pendeta, Pengtjoan Thianlie pernah mengatakan, bahwa
masih untung Thiekoay sian baru keluarkan sembilan puluh enam jurus Hokmo
Tianghoat, sebab kalau sampai di jalankan seluruhnya, yaitu sampai
seratus delapan jurus, Thiekoay sian tentu akan menderita sakit berat.
Dan sekarang, dengan kesehatan yang belum pulih, sang guru kembali
menggunakan ilmu silat tersebut. Ia mengetahui hebatnya bahaya yang
mengancam dan niat segera membantu, akan tetapi, sebelum ia bergerak,
gurunya sudah deliki padanya. Ia mengerti, delikan mata itu merupakan
satu tegoran lantaran ia tidak buru-buru angkat kaki. Saat itu, satu
bentrokan senjata yang sangat keras terdengar dan kedua lawan sama-sama
mundur beberapa tindak dengan badan sempoyongan, tapi lekas juga mereka
maju kembali dan bertempur semakin sengit.
Bahwa dengan pertaruhkan jiwanya Thiekoay sian sudah keluarkan
Hokmo Tianghoat adalah buat membikin muridnya dapat tempo untuk melarikan
diri. Tapi tidak dinyana, lantaran perasaan cinta terhadap sang guru, si
murid jadi tidak dengar kata dan rela binasa bersama-sama. Thiekoay sian
mengeluh dalam hatinya. Di satu pihak ia terharu sangat melihat
pribudinya sang murid, di lain pihak ia berdongkol lantaran kebandelannya
Thian Oe. Dan sungguh kasihan, biarpun hatinya mau, Thiekoay sian tidak
179
dapat bicara lagi dengan muridnya, sebab seluruh perhatiannya harus
dipusatkan kepada sang lawan.
Sebagaimana diketahui, Hokmo Tianghoat terbagi jadi tiga bagian.
Bagian pertama yang terdiri dari tiga puluh enam jurus dengan lekas sudah
dijalankan habis, dan bagian kedua yang juga terdiri dari tiga puluh enam
jurus, segera menyusul. Sambil kertek gigi Thiekoay sian kerahkan tenaga
lweekeh yang diperlukan buat jalankan bagian kedua dari Hokmo Tianghoat.
Oleh karena hatinya sudah mengambil putusan buat berkelahi sampai mati,
tak tahu dari mana datangnya, tenaganya jadi bertambah berlipat ganda,
sehingga buat sementara dapat juga ia mempertahankan dirinya.
Tiba-tiba si pendeta jubah merah keluarkan tertawa aneh dan
sianthung-nya menyambar ke atas buat totok tongkatnya Thiekoay sian.
Ketika itu bajunya Thiekoay sian sudah basah dengan keringat yang terus
turun berketel-ketel dari badannya. Melihat sambaran senjata lawan,
sambil membentak keras, ia menyampok dengan tongkatnya. Sianthung-nya si
pendeta dapat dibikin terpental, tapi tongkat itu yang sebesar mangkok
sudah jadi sedikit bengkok! Melihat begitu, jantungnya Thian Oe memukul
semakin keras.
Tidak lama kemudian, bagian kedua Hokmo Tianghoat juga sudah habis
dijalankan. Sekarang pertempuran berobah sifatnya. Tongkatnya Thiekoay
sian bergerak perlahan-lahan seperti juga beratnya ribuan kati. Saban
kali badannya bergerak, tulangnya kedengaran berkrotokan, sedang urat-
urat pada timbul di kepalanya, dan itu semua menandakan, bahwa ia sedang
menggunakan seluruh tenaga yang masih ketinggalan dalam badannya. Si
pendeta jubah merah juga hilang segala sikapnya yang memandang enteng dan
tumplek semua perhatiannya kepada gerakan sang lawan. Seperti dalam
pertempuran yang dahulu, ia kembali keluarkan ilmu Yoga dengan duduk
bersila dan goyang-goyang senjatanya. Seperti kena dibetot, semakin lama
Thiekoay sian semakin mendekati si pendeta. Hatinya terkesiap, la sudah
kerahkan semua tenaga dalamnya, tapi lantaran memangnya kalah tenaga,
sekarang ia tidak dapat melawan lagi betotan itu. Sedapat mungkin, ia
berusaha buat loloskan diri, tapi tongkatnya terus kena ditempel senjata
musuh dan tak dapat lolos. Ia tahu, begitu lekas badannya kena dibetot
cukup dekat, si pendeta akan segera turunkan pukulan yang membinasakan.
Ketika itu dari 108 jurus Hokmo Tianghoat, ia sudah jalankan jurus yang
ke-106.
Dengan Seantero semangatnya dipusatkan kepada senjatanya, si
pendeta mendadak membetot keras sembari membentak: "Robohlah!"
Thian Oe lihat badan gurunya bergoyang-goyang, sedang kepalanya
tunduk ke depan seperti juga akan segera terguling di hadapannya si
pendeta. Semangatnya Thian Oe terbang. Segala rupa perhitungan lenyap
dari otaknya. Dengan sekali jejak kakinya, badannya melesat seperti anak
panah dan pedangnya tikam jalanan darah Liongtjong hiat yang terletak di
bawah dadanya si pendeta. Dalam serangan itu Thian Oe cuma ingat menolong
gurunya. Ia tidak perhitungkan lagi jiwanya. Ia malahan tidak
perhitungkan apakah serangan itu bisa berhasil atau tidak.
Tapi, di luar semua dugaan, begitu pedangnya Thian Oe menyambar,
begitu juga terdengar teriakan si pendeta yang badannya terpental tiga
tombak jauhnya.
Oleh karena jarak dimana Thian Oe berdiri ada beberapa tombak dan
juga sebab mengetahui ilmu silatnya pemuda itu masih sangat cetek, si
pendeta jubah merah sama sekali tidak memandang mata padanya. Selainnya
itu, kawannya, yaitu si boesoe muda, juga berada disitu, sehingga lebih-
lebih ia tidak menjaga-jaga serangannya Thian Oe. Ia tentu saja tidak
mengetahui, bahwa sesudah makan buah mujijat, walaupun ilmu silatnya
tidak seberapa, ilmu entengi badannya Thian Oe sudah boleh berendeng sama
ahli silat kelas utama. Dengan sekali loncat saja, ia sudah lalui jarak
tiga tombak itu dan kirim tikamannya dengan sepenuh tenaga. Si boesoe
muda sudah tidak keburu menolong, sedang si pendeta, yang lagi pusatkan
Seantero perhatiannya kepada Thiekoay sian guna robohkan lawanan itu,
sudah tidak dapat menangkis lagi dan jalanan darahnya kena ditikam secara
telak sekali!
Sebenarnya dengan tenaga dalam yang dipunyai oleh si pendeta,
tikaman Thian Oe belum cukup buat robohkan padanya. Akan tetapi, pada
ketika badannya bergoyang akibat tikaman itu, Thiekoay sian tidak mau
kasih lewat kesempatan yang baik itu dan lantas kirim satu sabetan ke
arah dadanya dengan gunakan jurus ke-107 dari Hokmo Tianghoat. Dengan dua
serangan hebat yang datang hampir berbareng, andaikata si pendeta
mempunyai badan tembaga, ia toh tidak akan dapat pertahankan dirinya
lagi. Masih untung, berkat ilmu silatnya yang sangat tinggi, ia tidak
lantas jadi binasa. Tapi biarpun begitu, ia muntahkan darah hidup dan
tenaga dalamnya menjadi buyar, sehingga ilmu silatnya tidak akan dapat
pulang kembali, jika ia tidak berlatih lagi dari tiga sampai lima tahun.
Thian Oe kaget berbareng girang. Baru saja ia niat menghampiri
gurunya, mendadakan Thiekoay sian berteriak: "Minggir!"
Thian Oe menoleh dan satu bayangan hitam sedang menubruk ke arah
ia. Pada saat itu, Thiekoay sian menimpuk dan tongkat besinya
melesat bagaikan kilat. Itulah jurus Sinmo kwiwie (Siluman balik ke
kedudukannya), yaitu jurus penghabisan dari Hokmo Tianghoat. Sebegitu
jauh, belum pernah Hokmo Tianghoat, digunakan sampai pada jurus
penghabisan. Kalau toh jurus ke-108 sampai digunakan juga, itu berarti
yang menggunakannya bersedia buat binasa bersama-sama sang lawan.
Thiekoay sian menimpuk dengan pakai semua sisa tenaga yang ia dapat
kumpulkan dalam dirinya. Dapat dimengerti, kalau si boesoe muda tak dapat
loloskan diri dari serangan yang sedemikian hebat. Tongkatnya Thiekoay
sian mengenakan dadanya dan dari depan terus tembus sampai ke belakang.
Dengan satu teriakan ngeri, ia roboh binasa.
Selama hidupnya, belum pernah Thian Oe lihat pemandangan yang
begitu mengerikan. Kaki tangannya lemas dan ia tidak berani menengok
lagi. Di lain saat, ia dengar suara berkereseknya daun-daun. Rupanya si
pendeta jubah merah sudah melarikan diri.
Keadaan kembali jadi sunyi-senyap. Thiekoay sian menghela napas dan
memanggil: "Oe-djie, mari!"
Thian Oe lihat gurunya sedang menyender di satu pohon dengan muka
yang pias seperti kertas. Ia seperti juga seorang yang sedang menderita
sakit keras dan keadaannya banyak lebih hebat daripada waktu bertempur
dengan si pendeta jubah merah pertama kali.
Thian Oe menghampiri dan menanya dengan suara terharu: "Soehoe,
bagaimana keadaanmu?"
"Muridku," jawab sang guru. "Malam ini adalah malam perpisahan
kita!"
Sang murid lantas saja menangis dan air matanya mengucur deras.
Thiekoay sian terharu, tapi ia lantas tertawa dan berkata dengan suara
lemah: "Dalam dunia ini, tidak ada perjamuan yang tidak ada akhirnya.
Kejadian begini tidak berharga buat ditangisi."
"Tenaga dalam soehoe ada sangat kuat dan di dalam keraton terdapat
banyak sekali obat-obatan. Biarlah aku bawa kemari seraup obat-obatan
supaya soehoe bisa lihat yang mana dapat digunakan," kata Thian Oe dengan
suara sedih.
Thiekoay sian geleng-gelengkan kepalanya dan berkata: "Dalam
keadaan badan yang belum pulih kembali, barusan aku sudah jalankan habis
seratus delapan jurus Hokmo Tianghoat. Biarpun aku makan semua obat
mujijat dalam dunia ini, aku tidak dapat ditolong lagi. Aku tidak
mempunyai banyak tempo lagi. Lebih baik kau dengar apa yang aku mau pesan
kepadamu."
Sembari tahan air matanya, Thian Oe manggutkan kepalanya.
“Biarpun kita baru menjadi guru murid tiga bulan lamanya, aku sudah
mengetahui bahwa kau mempunyai pribudi yang sangat tinggi," kata sang
guru. "Aku berani pastikan, bahwa di belakang hari kau akan berhasil
dalam penghidupanmu. Sekarang aku mau minta satu pertolonganmu."
"Soehoe bilang saja," kata Thian Oe.
"Jika Tuhan menaruh belas kasihan, sehingga isteriku tidak sampai
turut binasa, dan kalau di kemudian hari kau bertemu dengan soenio-mu,
bilang padanya, bahwa aku pesan supaya dia rawat anak kita baik-baik.
Sesudah berusia sepuluh tahun, suruh anak itu angkat kau sebagai guru,"
demikian Thiekoay sian memberi pesanannya.
Thian Oe kaget sebab sebegitu jauh, gurunya belum pernah bilang
mempunyai anak. Akan tetapi, dalam keadaan begitu, ia tentu saja tidak
mau menanya melit-melit. Ia cuma manggut-manggutkan kepalanya, sebagai
tanda bersedia buat turut pesanan itu.
"Semua pelajaran ilmu silatku, aku sudah turunkan kepada kau," kata
lagi sang guru. "Ilmu tongkatku juga kau sudah mengerti semua. Biarlah
kau turunkan ilmu silat itu kepada anakku. Tongkat ini kau simpan baik-
baik. Nanti, kalau anak itu sudah besar, serahkanlah kepadanya dan
bentahukan, bahwa itulah ada warisan dari soetjouw-nya. Mengenai si
pendeta itu, meskipun malam ini dia bisa loloskan diri, tapi dia pasti
akan jadi orang yang bercacat. Maka itu, siapa juga tidak usah membikin
pembalasan apa-apa. Apa kau bersedia buat jadi gurunya anakku itu?"
"Jika murid bisa turun dari gunung ini dengan masih bernyawa,
pesanan soehoe murid akan jalankan satu persatu," jawab Thian Oe dengan
suara sedih sekali.
Thiekoay sian tertawa dan paras mukanya kelihatan terang. Ia
kumpulkan tenaganya dan kemudian berkata pula: "Dahulu aku pernah terima
pesanannya soetjouw-mu dan Moh Tjoan Seng lootjianpwee buat coba cari
turunannya Koei Hoa Seng tjianpwee. Sekarang kita sudah mengetahui, bahwa
Pengtjoan Thianlie adalah puterinya Koei tjianpwee. Maka itu andaikata
Pengtjoan Thianlie masih hidup, kau mesti cari padanya dan sampaikan
penuturanku ini. Sekarang Puncak Es sudah roboh dan ia merdeka buat cari
pamannya."
Thian Oe kembali manggutkan kepalanya. Mulutnya seperti terkancing
lantaran perasaannya yang sangat terharu. Thiekoay sian meramkan matanya
dan napasnya jadi semakin perlahan. Dengan hati-hati, Thian Oe dukung
gurunya itu.
Sesudah lewat beberapa saat, dengan suara terputus-putus Thiekoay
sian berkata: "Itu... itu guci emas. Aku sendiri tidak tahu harus
membantu pihak yang mana. Tapi, biar bagaimanapun juga tidak boleh
dibiarkan jatuh ke dalam tangan orang luar. Itu... itu pemuda baju
putih... omongannya ada juga benarnya. Kau... kau pergilah cari
padanya..." Semakin lama suaranya semakin perlahan dan belum habis ia
bicara, kedua kakinya berkelejet dan Thiekoay sian tinggalkan dunia ini
buat selama-lamanya.
Thian Oe menangis menggerung-gerung dan kemudian kubur jenazah
gurunya dalam taman itu. Ia juga galikan lubang buat kubur jenazahnya itu
boesoe muda. Sesudah beres mengubur, ia bersihkan semua bekas-bekas darah
dan ambil tongkat gurunya. Ia dongak dan lihat sang rembulan sudah doyong
ke barat, bintang-bintang sudah mulai menghilang dan sang malam sudah
mulai terganti sama fajar. Tanpa juntrungan, ia jalan ke sana-sini. Dalam
keraton es yang sedemikian luas, sekarang cuma ketinggalan ia seorang
diri. Hatinya sedih berbareng takut. Keraton dan tamannya yang begitu
indah sekarang hilang keindahannya dan ia segera mengambil keputusan buat
segera menyingkir dari tempat itu.
Baru saja matahari mengintip di sebelah timur, Thian Oe lantas
bebenah. Ia bekal makanan kering, bereskan barang-barangnya dan keluar
dari keraton es. Tapi baru saja jalan puluhan tindak, ia sudah mandek
lagi. "Dengan kepandaianku ini, cara bagaimana aku bisa seberangi sungai
es?" tanya ia dalam hatinya. Tapi, buat berdiam seorang diri dalam
keraton itu dengan peringatan-peringatannya yang hebat, benar-benar ia
tidak mau.
Selagi hatinya bersangsi, mendadak di bawah tanah timbul suara yang
aneh. Suara itu, yang Thian Oe tak dapat tebak suara apa, sebentar muncul
dan sebentar hilang. "Apa mau gempa bumi lagi? Tapi kenapa suaranya tidak
jadi lebih keras?" tanya ia dalam hatinya. Dengan hati berdebar-debar, ia
lari. Mendadak suara itu muncul lagi, tapi di lain saat, sudah menghilang
pula.
Thian Oe tetapkan hatinya. Sekarang ia tahu pasti, bahwa suara itu
bukannya gempa bumi. la jadi semakin heran. Dalam keraton tersimpan
banyak sekali mustika. Apakah datang orang jahat yang niat mencuri
barang-barang berharga itu? Walaupun ia sudah mengambil putusan buat
tidak berdiam lebih lama lagi, akan tetapi, sesudah tinggal tiga bulan
lamanya dalam keraton itu, setahu bagaimana, dalam hatinya timbul semacam
perasaan menyayang yang luar biasa. Ia tahu, bahwa sesudah ia pergi,
keraton yang seperti surga itu mungkin akan menjadi sarangnya kawanan
tikus, akan tetapi, sebegitu lama ia masih berada disitu, ia tidak mau
orang merusak atau menduduki keraton tersebut. Maka itulah, ia lalu
berjalan balik ke keraton es.
Begitu masuk ke dalam taman, suara di dalam tanah kedengaran lagi.
"Apa manusia? Kalau manusia, pasti tidak bisa berada di dalam tanah,"
pikir Thian Oe. Sesudah ketelanjur balik, ia segera ambil putusan buat
memeriksa di dalam keraton. Baru saja tiba di dekat telaga es,
kupingnya mendadak dengar suara tindakan manusia. Ia terkesiap dan dengan
indap-indap menghampiri suara itu. Oleh karena ia apal betul dengan
jalanan-jalanan disitu dan juga sebab ilmu entengi badannya sudah
sempurna, maka gerakannya tidak dapat diketahui oleh tetamu-tetamu yang
baru datang itu.
Di depannya itu gedung aneh yang atapnya lancip, Thian Oe lihat
berdiri tiga orang. Yang di tengah berbadan gemuk dan bukan lain daripada
Nyepa Omateng. Dua orang yang berdiri di kedua sampingnya Omateng adalah
itu dua boesoe Nepal yang kita sudah kenal.
"Suara apa itu?" tanya Omateng. "Apa bukan gempa bumi lagi?"
"Rasanya bukannya gempa bumi," sahut boesoe yang berusia lebih tua.
Mereka berbicara dalam bahasa Tibet yang dapat dimengerti juga oleh Thian
Oe.
"Barusan kita ketemukan darah yang masih baru di atas tanah, rupa-
rupanya disini masih ada manusianya," kata lagi Omateng. "Tapi heran,
tidak ada bayangannya barang satu manusia."
Kedua boesoe itu rangkap tangannya dan berteriak: "Pengtjoan
Thianlie!" Tapi kecuali kumandang suaranya tidak terdengar suatu apa
lagi. Mereka lantas saja perlihatkan paras muka ketakutan. "Jika Paduka
Puteri masih berada disini, ia tentu akan keluar," kata yang satu. "Apa
mungkin ia sudah jadi korban bencana alam?" sahut yang lain. "Ah, kalau
sampai kejadian begitu, bagaimana kita mesti bicara dengan Paduka Raja!"
Thian Oe segera mengetahui, bahwa kedua boesoe itu mendapat
perintah rajanya buat mencari Pengtjoan Thianlic. Tapi, apa yang ia tidak
mengerti, kenapa juga Omateng mesti ikut-ikutan. Biarpun Nyepa itu pernah
menolong Chena, setahu bagaimana, Thian Oe sangat membenci dia. Dalam
hatinya ia merasa, orang itu licik sekali. Mukanya manis, hatinya busuk.
"Tak perduli Paduka Puteri ada atau tidak, marilah kita bikin
pemeriksaan," kata Omateng.
"Tidak bisa," kata boesoe yang lebih tua. "Tempat ini adalah tempat
suci dari agama negara kita. Tanpa permisinya Paduka Puteri, siapa juga
tidak boleh masuk kesitu."
"Tempat ini sudah tidak ada majikannya. Halangan apa kalau kita
masuk buat lihat-lihat?" kata Omateng.
Sebagaimana diketahui, pintu gedung sudah rusak lantaran gempa
bumi. Sembari nyengir kepada dua boesoe itu, Omateng segera pentang
langkahnya buat masuk ke dalam.
Mengingat akan larangannya
Pengtjoan Thianlie dan juga sebab kuatir Omateng curi kiamhoat yang
terdapat disitu, Thian Oe lantas saja loncat keluar seraya membentak:
"Omateng! Besar sungguh nyalimu!"
Omateng berpaling dengan paras muka terkejut. Tapi begitu lihat
siapa yang datang, ia lantas tertawa. "Tan kongtjoe, kau?" kata ia. "Mana
Chena?"
"Jangan bicara yang tidak perlu," kata Thian Oe. "Kau orang keluar
dari sini!"
"Ah, itulah heran!" kata Omateng. "Apa kau sudah jadi majikan dari
keraton ini?"
"Tak usah perduli! Kau orang mau pergi atau tidak?" kata lagi Thian
Oe dengan suara gusar.
"Dan atas alasan apa kau mau campur-campur urusanku?" kata Omateng
sembari tertawa. Mulutnya tertawa, tapi tangannya lantas mencabut golok.
Thian Oe naik darahnya. "Pergi!" ia membentak sembari menikam
dengan pedangnya.
"Waduh, Tan kongtjoe!" kata Omateng sembari tertawa besar. "Kau mau
main-main senjata?" Omateng yang pernah saksikan ilmu silatnya Thian Oe
sedikitpun tidak pandang mata pemuda itu. Ia merasa pasti akan dapat
robohkan Thian Oe dengan sekali jurus. Tapi Thian Oe sekarang bukannya
Thian Oe dahulu. Serangannya adalah satu jurus aneh dari Tatmo Kiamhoat.
Ujung pedang berkelebat seperti juga mau menabas ke kiri, tapi berbalik
membabat ke kanan dan tanpa tercegah lagi, pundaknya Omateng kena
digores. Bagus juga ilmunya Thian Oe belum cukup tinggi, sedang Omateng
pun bukannya lawanan lemah. Kalau bukannya begitu, tabasan yang barusan
tentu sudah kutungkan pundaknya.
Mukanya Omateng segera berobah pucat. Buru-buru ia pusatkan
Seantero perhatian buat lawan pemuda itu yang tadinya dipandang rendah
dan dengan beruntun kirim tiga bacokan. Tapi biar bagaimanapun juga,
kiamhoat-nya Thian Oe ada lebih tinggi dan ia terus kena didesak mundur.
Kedua boesoe Nepal yang menonton dari pinggiran jadi heran tidak
habisnya.
"Anak ini adalah anaknya pembesar Boantjeng," berseru Omateng. "Dia
sudah mencuri masuk disini dan sudah belajarkan juga ilmu pedangnya
Pengtjoan Thianlie. Tidak bisa salah lagi dialah yang membunuh Pengtjoan
Thianlie yang sedang terluka akibat gempa bumi. Dia rupanya ingin
merampas keraton ini dan pandang dirinya sebagai majikan!"
Oboran itu, yang sebenarnya sama sekali tidak beralasan, benar-
benar sudah membikin panas hatinya kedua boesoe itu. Mereka cabut
goloknya yang berbentuk bulan sisir dan menyerang dengan berbareng.
"Dengar dahulu keteranganku!" berseru Thian Oe.
"Mau bicara apa lagi?" membentak Omateng yang terus mencecer
sehebat bisa supaya pemuda itu tidak sempat bicara. Thian Oe bukannya
seorang yang pandai omong dan juga memang sebenarnya ia sudah curi
belajar kiamhoat-nya Pengtjoan Thianlie. Lantaran begitu, ia tidak dapat
memberi keterangan yang memuaskan, sedang ketiga musuhnya terus menyerang
dengan sengit dan tidak memberi kesempatan buat ia bicara panjang-
panjang. Demikianlah dengan pedang di tangan kiri dan tongkat gurunya di
tangan kanan, Thian Oe melawan dengan keluarkan dua macam ilmu silat
dengan berbareng, yaitu ilmu pedang Tatmo dan ilmu tongkatnya Thiekoay
sian. Dalam sekejap saja, tiga puluh jurus sudah lewat.
Akan tetapi, meskipun sudah mengetahui jalan-jalannya kedua ilmu
silat yang sangat tinggi itu, Thian Oe belum matang betul dan tenaga
dalamnya juga belum cukup kuat. Maka itulah, semakin lama ia berkelahi,
semakin ia rasakan tidak tahan dikerubuti oleh ketiga lawan itu. Kedua
boesoe Nepal agaknya masih sungkan-sungkan dan cuma tangkis-tangkis saja
serangan-serangannya Thian Oe. Tapi tidak begitu dengan Omateng yang
sungguh-sungguh maui jiwanya pemuda itu. Setiap serangannya adalah
serangan yang membinasakan, yang ditujukan kepada bagian-bagian badan
yang lemah. Melihat Thian Oe mulai keteter, pada bibirnya tersungging
senyuman yang licik sekali.
Tiba-tiba itu suara di dalam tanah kedengaran lagi, sekali ini
lebih keras dan nyata. Keempat orang yang sedang bertempur kaget dan pada
loncat keluar dari gelanggang, sehingga Thian Oe bisa buang napasnya.
Selagi Thian Oe mau buka mulutnya guna memberi keterangan, mendadak suara
itu berhenti dan Omateng segera membentak: "Lebih baik bekuk dahulu
manusia ini, baru bikin penyelidikan." Sehabis membentak, ia lantas
menyerang, diturut oleh kedua boesoe Nepal. Napasnya Thian Oe sengal-
sengal dan keadaannya jadi semakin berbahaya.
"Lekas lepas senjatamu, supaya tak usah menderita lebih lanjut!"
berseru Omateng. Bukan main berdongkolnya Thian Oe. Pedangnya berkelebat
laksana kilat, Omateng coba kelit tapi pundaknya kembali tergores ujung
pedang! Sembari berteriak-teriak kesakitan ia membentak: "Binatang!
Kalau belum dihajar, memang kau belum kenal takut. Lihat, aku putuskan
kedua lenganmu!"
Dengan dilindungi oleh kedua boesoe Nepal, kakinya menginjak
kedudukan Tiongkiong dan lantas menyabet dengan senjatanya. Melihat dua
kali Thian Oe melukakan Omateng, kedua boesoe Nepal juga jadi berdongkol
dan segera menyerang tanpa sungkan-sungkan lagi.
Thian Oe jadi lelah dan jatuh di bawah angin. Ia menghela napas dan
duga bakal binasa di tempat itu. Girang sekali hatinya Omateng. Sembari
menyeringai, ia sabetkan goloknya ke arah pundaknya Thian Oe. Lantaran
kena didesak dengan dua goloknya si boesoe Nepal, sekali ini Thian Oe
tidak mampu menangkis lagi. Pada saat yang sangat berbahaya, mendadakan
saja Omateng dan kedua boesoe itu keluarkan teriakan kaget dan hentikan
serangannya.
"Mau apa kamu orang datang kesini? Apa mau cari mampus?" demikian
Thian Oe dengar bentakan yang halus nyaring. Ia menengok dan lihat
dayang-dayang keraton es pada meluber keluar dari antara pohon-pohon
kembang, sedang orang yang barusan membentak adalah Goat Sian, yaitu
dayang dari kamar tulisnya Pengtjoan Thianlie!
Thian Oe kaget berbareng girang. Munculnya para dayang itu membikin
ia merasa seperti juga berada dalam impian.
Pada waktu kedua orang tuanya Pengtjoan Thianlie masih hidup,
mereka sudah bersiap-siap buat menghadapi gempa bumi yang hebat. Di bawah
keraton terdapat satu gua es yang ribuan tahun tidak pernah mengenal
sinarnya matahari. Ayah ibunya Pengtjoan Thianlie mengetahui, bahwa
sebuah gunung berapi yang masih bekerja terletak di dekatnya Puncak Es
dan terpisah kira-kira lima puluh li dari keraton. Kalau sampai gunung
berapi itu meledak dan terjadi gempa bumi, keraton es bakal turut
tergetar, akan tetapi kerusakannya tidak bakal seberapa besar. Sebagai
penjagaan terhadap batu-batu yang terlempar akibat robohnya Puncak Es,
siang-siang mereka sudah siapkan tempat mengumpat di gua itu. Mereka
membuka satu jalanan di bawah tanah yang di tembok dengan batu gunung
yang sangat keras. Dalam gua itu selalu sedia bahan makanan buat beberapa
bulan lamanya, sedang sebagai air minum, orang dapat menggunakan es yang
dilumerkan. Demikianlah, sedari puluhan tahun berselang persiapan buat
menghadapi gempa bumi sudah dibikin dengan seksama.
Maka itulah, pada waktu terjadinya gempa bumi, kecuali Thiekoay
sian yang sedang berlatih seorang diri dalam kamarnya dan Tan Thian Oe
yang berada di dalam guanya gedung terlarang, semua dayang menyelamatkan
dirinya dengan masuk ke dalam gua es itu. Tapi biar bagaimanapun juga,
perhitungan manusia tak dapat melampaui maunya takdir. Sebagai akibat
gempa bumi yang sangat hebat, sebagian tanah melesak ke bawah dan tutup
jalanan di bawah tanah itu. Masih untung jumlahnya dayang cukup banyak
dan dengan bekerja sama-sama, tiga bulan lamanya mereka gali tanah yang
menutupi jalanan. Suara luar biasa yang didengar Thian Oe dan yang lain-
lain adalah suara menggali tanah.
Begitu muncul di muka bumi, para dayang itu jadi sangat kaget
lantaran lihat kedatangannya itu beberapa tetamu yang tidak diundang.
Dengan dikepalai oleh Goat Sian, sembilan dayang segera cabut Pengpok
Hankong kiam dan mengambil tempatnya masing-masing dalam barisan
Kioethian Hianlie. Hawa yang luar biasa dinginnya lantas saja menyambar-
nyambar sehingga Omateng dan kedua boesoe itu pada menggetget. Thian Oe
yang sudah belajarkan ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie dan telan beberapa
pel mustajab, dapat melawan hawa yang dingin itu.
Dayang yang menjadi kepala membentak dan mengebas dengan Hankong
kiam buat segera turun tangan. Omateng bercakrukan giginya dan tak dapat
mengeluarkan sepatah kata. Kedua boesoe Nepal itu buru-buru meratap
meminta ampun dan memberitahu maksud kedatangannya.
Di antara dayang-dayang ada seorang yang pernah dengar penuturan
Pengtjoan Thianlie mengenai asal-usulnya kedua boesoe itu dan lalu
memberitahukan kepada dayang kepala. Dayang kepala itu segera teriaki
satu tanda perintah dan barisan Kioethian Hianlie lantas terpencar.
"Kalau bukannya mengetahui bahwa kau orang tidak bermaksud jahat, sudah
pasti kau tidak bisa pulang kembali," membentak ia. "Baiklah! Sekarang
kau orang boleh pergi. Tapi kalau berani datang lagi, kami tentu tidak
akan berlaku sungkan lagi."
Boesoe Nepal yang berusia lebih tua mau coba buka mulutnya lagi,
tapi sudah didahului oleh salah seorang dayang. "Kongtjoe (Puteri) kami
tak perlu diurus oleh kau orang," kata ia, sembari kebaskan Pengpok
Hankong kiam. Omateng tak tahan lagi dinginnya hawa. Sembari berteriak
keras, ia kabur secepat bisa. Kedua boesoe menghela napas panjang. Mereka
rangkap kedua tangannya buat memberi hormat ke arah gedung terlarang dan
lalu berjalan pergi. Sekarang cuma ketinggalan Tan Thian Oe seorang yang
berdiri bengong di hadapannya para dayang itu.
Goat Sian mengawasi padanya dan berkata: "Kau masih berada disini?"
"Sungguh beruntung aku lolos dari bencana alam dan buat sementara
terpaksa berdiam disini lantaran tidak bisa keluar," sahut Thian Oe.
"Buat kelancangan itu, aku mohon dimaafkan."
"Kenapa kau curi belajarkan ilmu pedang kita?" tanya lagi Goat
Sian.
"Aku duga kalian tidak akan kembali lagi," sahut Thian Oe. "Dan
lantaran kuatir ilmu pedang itu menjadi lenyap dari muka bumi..."
Thian Oe yang tidak pandai bicara tidak dapat teruskan
perkataannya, lantaran sejumlah dayang sudah naik amarahnya dan pada
mencaci dirinya. "Hm!" kata yang satu. "Kau masih begitu kecil, tapi
hatimu sudah begitu tidak baik. Kau harap-harapkan supaya kami mati
semuanya!"
"Kami perlakukan kau sebagai tetamu terhormat, tapi kau sudah
mencuri masuk ke dalam tempat pemujaan yang suci dan malahan mempunyai
niatan buat menduduki keraton es ini!" kata yang lain. Beberapa dayang
yang pemandangannya sempit lantas saja mau cabut pedangnya buat mengusir
Thian Oe.
Dikerubuti secara begitu, Thian Oe tak dapat buka suara. Baik juga
dayang kepala masih mempunyai rasa kasihan. Sembari kebas tangan bajunya,
ia berkata dengan suara angker: "Sesudah kau mencuri masuk ke dalam
tempat pemujaan, Puteri kami sebenarnya niat kurung kau seumur hidup.
Sekarang, sesudah kau curi ilmu pedangnya, kami tak dapat berlaku sungkan
lagi. Cuma saja, lantaran mengingat kau adalah tetamu Puteri kami, maka
tanpa diminta kami suka ampuni jiwamu. Tapi kau tak dapat berdiam lebih
lama di tempat ini!"
Harus diketahui, bahwa peraturannya Pengtjoan Thianlie biasa
dipegang keras sekali, sehingga meskipun ia sendiri tidak berada dalam
keraton itu, para dayangnya tidak berani langgar segala peraturannya.
Satu dua dayang yang sifatnya agak sombong sudah bantu menggebah Thian Oe
dengan sikap keren sekali.
Diperlakukan secara begitu, Thian Oe naik darahnya. "Akupun mau
berlalu," ia berkata dengan suara angkuh. "Cuma saja lantaran kalian
belum balik, aku kuatir sembarang orang masuk disini, sehingga aku jadi
berdiam sampai di ini hari."
"Kalau begitu kau adalah seorang yang berpahala." kata satu dayang
dengan suara menyindir.
"Pujian itu tak dapat aku menerima," jawabnya dengan suara kaku.
"Cuma saja lantaran ingin melindungi keraton ini, guruku sudah korbankan
jiwanya di tempat ini. Sesudah aku berlalu, harap kalian tolong lihat-
lihat kuburannya." Sesudah berkata begitu, air matanya menetes turun dari
kedua pipinya.
"Ha! Thiekoay sian meninggal dunia?" tanya Goat Sian dengan suara
kaget. "Ia binasa cara bagaimana?"
Dengan ringkas Thian Oe segera tuturkan apa yang sudah terjadi.
Mendengar begitu hatinya Goat Sian jadi menyesal sudah perlakukan pemuda
itu secara sedemikian kasar, akan tetapi, dayang itu yang coba tiru-tiru
majikannya, sungkan tarik pulang perkataannya. Di sebelahnya itu,
mengingat semua penghuni keraton semuanya wanita, sedang Thian Oe adalah
lelaki satu-satunya, maka ia juga merasa tidak enak buat menahan pemuda
itu.
"Baiklah," kata ia. "Aku berjanji akan rawat baik-baik kuburannya
Thiekoay sian. Kau berangkatlah!
Apa perlu aku perintah orang antar padamu?"
"Tak usah," sahut Thian Oe yang masih berdongkol.
"Apa Paduka Puteri pernah pulang kesini?" tanya lagi Goat Sian.
"Tidak," jawabnya dengan pendek.
Goat Sian terkesiap dan berkata dengan suara sedih: "Paduka Puteri
pernah mengeluarkan perintah, bahwa tak perduli ia ada atau tidak, kami
tidak dapat turun dari gunung ini. Perintahnya itu kami tidak berani
langgar. Sesudah kau turun gunung, manakala Puteri kami masih berada
dalam dunia, tolong kau coba menyelidiki."
Mendengar begitu, depan matanya Thian Oe lantas terbayang parasnya
Pengtjoan Thianlie. Walaupun hatinya dingin, paras itu sangat
mengesankan. Ia angkuh dan tinggi hati, tapi keangkuhannya keluar secara
wajar dan bukannya •kesombongan dibuat-buat dari beberapa orang
dayangnya. Mengingat begitu, hatinya menjadi lemas dan ia menjawab dengan
suara terharu: "Aku mengerti. Aku akan perhatikan pesanan itu."
Sehabis berkata begitu, dengan menggendol bungkusannya dan tengteng
tongkat gurunya, tanpa menengok lagi Thian Oe lantas berjalan keluar dari
keraton es. Selagi berjalan, ia dengar helahan napas dari beberapa
dayang. "Ah, di antara dayang-dayang itu terdapat juga orang-orang yang
baik hatinya," ia menggerendeng dan hatinya jadi terhibur.
Dengan hati sedih, ia jalan perlahan-lahan. Mengingat bahayanya
sungai es, ia jadi berkuatir. Dengan kepandaiannya yang begitu cetek,
dapatkah ia lewati sungai tersebut? Cuma saja lantaran tadi sudah
menampik dengan penuh keangkuhan, ia jadi merasa tidak enak buat balik
lagi guna minta pengantar.
Thian Oe naik gunung pada permulaan musim panas, dan sekarang,
sesudah lewat tiga bulan, sudah masuk musim rontok. Di atas gunung, salju
putih bertumpuk-tumpuk, di lereng gunung daun-daun berwarna kemerah-
merahan. Dengan perasaan masgul, Thian Oe berjalan terus. Mendadak
matanya dapat lihat asap hitam mengebul ke tengah udara. Ternyata sesudah
robohnya Puncak Es, disitu muncul sebuah kawah yang semburkan api dan
asap, yang sehingga sekarang masih belum padam.
Thian Oe ternganga dan menghela napas berulang-ulang. Ia ingat
Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih yang hari itu mengadu pedang
di bawahnya Puncak Es tersebut. "Mereka lebih banyak mati daripada
hidup," kata Thian Oe dalam hatinya. Ia pun ingat sang soenio (Tjia In
Tjin) dan Chena dan hatinya jadi merasa lebih tidak enak.
"Harap saja Tuhan melindungi mereka," kata ia dalam hatinya. "Kalau
mereka masih hidup, walaupun mesti pergi ke ujung langit, aku tentu akan
mencarinya."
Tapi bagaimana ia dapat lewati sungai es yang sangat berbahaya itu.
Dengan pikiran kusut dan bimbang, ia tujukan tindakannya ke bawah gunung.
Sesudah jalan beberapa lama, ia merasa kedudukan bumi sudah berobah dan
tidak bersamaan lagi dengan keadaan pada waktu ia naik ke keraton es.
Itu sungai es yang berbahaya sebenarnya terletak tidak terlalu jauh
dari keraton. Ia ingat, dekat sungai tersebut terdapat satu hutan pohon
yanglioe, sedang di pinggir sungai berdiri satu pohon lioe yang sangat
besar, dimana tertambat sebuah perahu kecil. Tapi sekarang, dimanakah
adanya sungai es tersebut?
Bukan main herannya Thian Oe, tapi ia berjalan terus. Sesudah jalan
lagi kira-kira setengah jam, mendadakan saja di depan matanya terbentang
satu telaga yang luar biasa luasnya, sehingga air telaga seperti juga
menempel dengan tepian langit dan tepian langit menempel dengan telaga.
Kepingan-kepingan es yang warnanya gilang gemilang lantaran disorot
sinarnya matahari, kelihatan ngambang di atas telaga itu. Dan telaga itu
bukan lain daripada Thian-ouw, Telaga Langit atau Tengri Nor!
Sesudah memandang beberapa lama seperti orang mengimpi, Thian Oe
mengetahui apa sebabnya. Robohnya puncak telah merobah kedudukan bumi
banyak sekali. Sungai es itu, yang turun dari atas gunung terus sampai di
Thian-ouw, ternyata sudah diuruk dengan Puncak Es yang roboh itu!
Demikianlah, dengan urukan tanah Puncak Es, satu jalanan telah terbuka
antara keraton es dan telaga Thian-ouw!
Bukan main girangnya Thian Oe: "Tak heran kalau itu dua boesoe dan
Omateng bisa datang ke keraton es," kata ia dalam hatinya.
Keadaan Thian-ouw masih tetap seperti sediakala, dengan airnya yang
bening dan pohon-pohon dan rumputnya yang berwarna hijau. Thian Oe duduk
mengasoh di pinggir telaga dan isikan kantong kulitnya dengan air yang
bening. Lama sekali ia duduk termenung disitu dan sampai lewat lohor
barulah berjalan lagi.
Selang tiga hari, tibalah Thian Oe di kaki gunung. Oleh karena mati
hidupnya Pengtjoan Thianlie belum diketahui dan sukar mencarinya kalau
bukan bertemu secara kebetulan, maka ia lalu ambil putusan buat langsung
pergi ke Lhasa. Lhasa adalah ibukota Tibet dimana berdiam jenderal Hok
Kong An bersama pasukannya. Pada harian kantor Amban dirusak oleh Tjoei
In Tjoe dan Ong Lioe Tjoe, ayahnya Thian Oe (Tan Teng Kie) segera
meninggalkan Sakya buat pergi ke Lhasa guna melaporkan kejadian itu
kepada Hok Kong An. Sebagaimana diketahui, hal itu telah diberitahukan
kepada Thian Oe oleh si kacung Kang Lam. Itulah sebabnya kenapa sekarang
ia ambil putusan buat langsung pergi ke Lhasa dengan maksud menemui
ayahnya.
Sesudah berjalan lagi tujuh delapan hari, ia tiba di satu kota
Chaklun yang terletak antara Shigatse dan Lhasa. Tibet adalah satu tempat
yang tidak banyak penduduknya. Sebuah kota yang dinamakan kota besar
kebanyakan hanya mempunyai beberapa ratus rumah penduduk. Chaklun juga
terhitung kota besar, akan tetapi, di situ cuma terdapat satu rumah
penginapan. Thian Oe minta satu kamar dalam rumah penginapan itu dan
sesudah makan malam, ia lalu rebahkan dirinya di atas pembaringan
lantaran merasa capai sesudah lakukan perjalanan seharian suntuk.
Tapi baru saja rebahkan diri, ia dengar suara rintihan di kamar
sebelah. Dengan heran, ia panggil Tiam Siauwdjie (pelayan hotel) dan lalu
menanyakan siapa yang sakit.
"Mereka adalah dua pembesar ketentaraan dan sudah sakit tiga hari,"
sahut Tiam Siauw Djie.
"Mendapat sakit di tengah perjalanan adalah kejadian yang
menyedihkan," kata Thian Oe. "Apa disini tidak ada tabib?"
"Ada satu dua, tapi tak ada yang tahu penyakit apa," sahut si
pelayan. "Sesudah bongmeh (periksa nadi), ia tidak berani tulis surat
obat."
"Penyakit apa?" kata Thian Oe. "Kalau diceritakan sangat luar
biasa," Tiam Siauw Djie berkata dengan suara perlahan. "Hari itu, kedua
perwira tersebut yang menginap disini minum arak di ruangan luar. Kau
tahu, hotel ini juga menjual arak dan makanan buat melayani orang-orang
yang kebetulan mampir disini. Tiba-tiba datang seorang wanita muda yang
rupanya mampir buat makan dan minum. Ia kelihatannya seperti orang asing,
hidungnya mancung dan matanya rada-rada berwarna blau. Sembari nyengir,
kedua perwira itu keluarkan beberapa perkataan mengejek. Wanita itu tidak
jadi gusar, ia cuma tertawa dingin dan berkata: "Kalian suka main-main
disini. Biarlah kalian mengasoh beberapa hari." Sehabis berkata begitu,
tak tahu ia gunakan ilmu apa, mendadakan saja di depannya kedua perwira
itu berkelebat sinar yang sangat dingin. Aku yang menonton dari sebelah
kejauhan juga rasakan hawa yang sangat dingin. Wanita itu lalu lemparkan
sepotong perak di atas meja dan berlalu dengan cepat. Sembari berteriak-
teriak kedinginan kedua perwira itu lari masuk ke dalam kamar dan gulung
dirinya dengan selimut, tapi itu semua ternyata tidak menolong. Selama
tiga hari, mereka berada dalam keadaan ngelindur, badannya sebentar
panas, sebentar dingin. Coba pikir, apa bukannya luar biasa?"
Thian Oe kaget berbareng girang. Yang dilepaskan oleh wanita itu
tentulah juga Pengpok Sintan. Apa ia bukannya Pengtjoan Thianlie?
"Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan. Coba aku periksa
penyakitnya," kata ia kepada sang pelayan.
Tiam Siauw Djie antar Thian Oe ke kamar sebelah dan berkata: "Tuan,
ada satu tuan mau periksa penyakitmu."
Kedua perwira itu buka kedua matanya. Tiba-tiba mereka keluarkan
suara teriakan tertahan. "Siapa kau?" tanya satu antaranya.
Thian Oe mengawasi dan kenali, bahwa mereka itu adalah dua perwira
yang mengantar guci emas, yang tempo hari ia bertemu dalam penginapan di
Shigatse.
"Ayahku Tan Teng Kie adalah Soanwiesoe (Amban) pada suku Sakya,"
sahut Thian Oe. "Namaku Thian Oe. Kita sudah pernah bertemu di Shigatse."
Pada malam itu, ketika Siauw Tjeng Hong turut bertempur, Thian Oe
tidak munculkan muka, sehingga kedua perwira itu tidak menaruh curiga
apa-apa. Sesudah Thian Oe perkenalkan dirinya, salah seorang lantas
berkata: "Oh, kalau begitu Tan Kongtjoe?" Ia lalu minta Tiam Siauwdjie
berlalu dari kamar itu dan kemudian menanya pula: "Ada urusan apa Tan-
heng datang kesini?"
Selagi bicara, mereka diserang lagi dengan kedinginan, sehinggga
giginya pada bercakrukan. Thian Oe tidak tega dan segera berkata:
"Penyakit begini siauwtee mengerti juga sedikit."
la lalu keluarkan dua butir pel yang berwarna biru dan berikan
kepada mereka. Beberapa saat sesudah menelan pel itu, dalam badan mereka
muncul semacam hawa panas yang menembus sampai di pusar. Kedua perwira
itu mempunyai lweekang yang cukup tinggi. Buru-buru mereka kerahkan
pernapasannya buat bikin hawa panas itu mengalir terus sampai ke tangan
dan kaki. Semakin lama mereka rasakan semakin segar.
"Besok, sesudah semua hawa dingin keluar, kesehatan djiewie taydjin
(kedua tuan pembesar) akan pulih kembali," kata Thian Oe.
Kedua perwira itu – yang satu bernama Mauwyan dan yang satunya lagi
bernama Lunpo -- adalah ahli silat di bawah perintahnya jenderal Hok Kong
An. Jika hari itu mereka waspada dan kerahkan tenaga dalamnya buat
melindungi badannya, meskipun kena serangan Pengpok Sintan, mereka tidak
akan menderita begitu hebat. Waktu itu, lantaran sedang gembira minum
arak dan juga sebab tidak menduga wanita itu berkepandaian tinggi, mereka
jadi tidak berjaga-jaga. Sesudah hawa dingin menyerang masuk ke dalam
sumsum, barulah mereka kerahkan tenaganya buat melawan, tapi sudah kasep.
Sekarang, begitu telan pelnya Thian Oe, mereka rasakan banyak
entengan dan mereka tentu saja jadi merasa sangat heran. Mereka lantas
ingat, bahwa si orang tua yang turut bertempur di Shigatse adalah
kawannya Thian Oe. Tanpa merasa, mereka terkesiap dan salah seorang
menanya lagi: "Sebenarnya kau siapa?"
"Bukankah aku sudah beritahukan?" kata Thian Oe.
"Apa benar kau Tan Kongtjoe?" Mauwyan menegasi.
"Jika kalian tidak percaya, nanti setibanya di Lhasa kita boleh
sama-sama pergi ke kantornya Hok Tayswee buat cari ayahku," kata Thian
Oe.
"Tapi cara bagaimana kau bisa mempunyai yowan (pel) yang dapat
punahkan ilmunya wanita siluman itu?" tanya Lunpo.
Sebelumnya para dayang Pengtjoan Thianlie keluar dari gua es, Thian
Oe telah ketemukan banyak sekali yowan dalam keraton es. Ia ambil seraup
dan simpan dalam bungkusannya. Ia kenali, bahwa di antara yowan itu
terdapat Yanghowan, yaitu pel buat lawan hawa dingin. Pel itulah yang ia
berikan kepada Mauwyan dan Lunpo.
Didedas secara begitu, Thian Oe gelagapan dan tidak tahu mesti
menyahut bagaimana. Kedua perwira jadi semakin curiga dan Mauwyan
membentak: "Apa kau di kirim oleh wanita siluman itu?"
Baru saja Mauwyan habis ucapkan perkataannya, di luar jendela
mendadakan terdengar suara tertawanya seorang wanita yang lantas
membentak: "Inilah yang dinamakan sang anjing gigit Lu Tong Pin. Kau
tidak mengenal kebaikannya orang. Aku kirim obat, kau berbalik mencaci
aku. Apa kau mau sakit lagi beberapa hari?"
Kedua perwira itu yang badannya masih sangat lemas, jadi kaget
sekali dan tidak berani buka suara lagi.
"Orang yang curi lengtan (pel mustajab), lekas keluar ketemui aku,"
demikian terdengar lagi suaranya wanita itu, yang lagu suaranya mirip-
mirip dengan suaranya Pengtjoan Thianlie.
Dengan hati berdebar-debar, Thian Oe loncat keluar kamar, tapi
wanita itu sudah loncat naik ke atas genteng. Buru-buru ia balik ke
kamarnya buat ambil buntalannya, dan sesudah lemparkan uang penginapan,
ia lantas memburu. Wanita itu lari sangat keras, tapi untung ilmu entengi
badannya Thian Oe sudah maju jauh, sehingga begitu keluar dari pintu
kota, ia dapat menyandak.
Wanita itu menengok dan berkata sembari tertawa: "Ilmu silatmu
sudah banyak maju. Apa Puteri kami yang memberi pelajaran? Apa ia sudah
balik ke keraton?"
Di bawahnya sinar rembulan, Thian Oe kenali bahwa wanita itu adalah
Yoe Peng, dayangnya Pengtjoan Thianlie yang sangat disayang. Sedari kecil
ia ikuti majikannya dan di antara para dayang, ilmu surat dan ilmu
silatnya terhitung salah seorang dari kelas satu. Pada harian gempa bumi,
ia diperintah Pengtjoan Thianlie buat menemani Tjia In Tjin pergi petik
daun obat.
Thian Oe tentu saja merasa sangat girang dapat bertemu dengan
ianya. Tapi mendengar pertanyaannya, ia jadi jengah dan berkata: "Aku
curi belajar. Apakah kau mau jalankan perintah majikanmu buat menghukum
aku?"
Yoe Peng tertawa-tawa dan menyahut: "Puteri kami sebenarnya sangat
sayang kau. Sebetul-betulnya, ia sudah perintah aku ajarkan kau beberapa
macam ilmu silat, sebelumnya kau meninggalkan keraton. Cuma menyesal
malam itu kau mencuri masuk ke dalam tempat pemujaan, sehingga Kongtjoe
jadi gusar sekali. Menurut dugaanku, ia cuma mau gertak kau, dan sehabis
mengadu pedang, rasanya ia akan segera lepaskan kau dari kurungan.
Sesudah mengalami bencana alam yang hebat, tak dinyana kau dan aku masih
bisa hidup terus. Cobalah tuturkan pengalaman dalam keraton selama tiga
bulan yang lalu."
Thian Oe segera tuturkan segala kejadian secara ringkas. "Aku sudah
duga semua saudara-saudara tidak akan sampai binasa," kata Yoe Peng
setelah dengar penuturan Thian Oe. "Sebetul-betulnya, waktu itu aku cuma
kuatirkan keselamatanmu yang sedang dikurung dalam gua. Jika kau sampai
kenapa-kenapa, Kongtjoe tentu akan merasa tidak enak hati."
"Dan bagaimana dengan Pengtjoan Thianlie?" tanya Thian Oe.
Yoe Peng geleng-gelengkan kepalanya dan menyahut: "Selagi menemani
soenio-mu memetik daun obat, aku lihat tanda-tanda bakal terjadinya gempa
bumi. Maka itu, buru-buru kita naik perahu dan turun ke telaga Thian-ouw.
Aku sama sekali tidak mengetahui keadaannya Kongtjoe."
Thian Oe merasa putus harapan. "Soenio-ku?" ia tanya lagi.
"Ia sudah pulang ke Soetjoan buat tunggu lahirnya anak yang sedang
dikandung," sahut Yoe Peng.
Mendengar begitu, Thian Oe jadi sadar. Ia sekarang mengetahui,
bahwa soenio-nya sedang hamil, sehingga tidaklah heran gurunya sudah
tinggalkan pesanan begitu kepadanya.
"Tak lama lagi kau akan mempunyai soetee atau soemoay. Apa kau
tidak girang?" kata Yoe Peng sembari tertawa.
Mengingat kebinasaan yang menyedihkan dari gurunya, hatinya Thian
Oe kembali merasa sedih. "Tapi kenapa kau tidak buru-buru balik ke
keraton?" tanya ia dengan suara menegor.
"Kau tahu, hari itu gunung berapi meledak dan gempa bumi yang
hebat telah terjadi," menerangkan Yoe Peng. "Sesudah gempa bumi itu, di
selebar gunung penuh dengan batu-batu dan lahar yang sangat panas.
Selainnya itu, jalanan juga sudah tertutup semuanya. Melihat begitu, kita
tahu tidak akan bisa naik ke gunung pada sebelumnya lahar itu menjadi
dingin. Soenio-mu sedang hamil, mana bisa ia berdiam lama-lama di daerah
pegunungan yang tidak mempunyai tempat meneduh. Aku tahu dalam keraton
sudah siap sedia tempat berlindung, sehingga, kecuali pikirkan
keselamatanmu, aku anggap keselamatan para saudara dan Thiekoay sian
sudah terjamin. Aku segera bujuk soenio-mu supaya pulang lebih dahulu ke
Soetjoan buat melahirkan dan begitu ada kemungkinan, aku percaya Thiekoay
sian juga akan segera menyusul."
"Tapi guruku tak akan bisa pulang lagi," kata Thian Oe dengan suara
serak.
Mendengar kebinasaannya Thiekoay sian, Yoe Peng juga merasa sangat
terharu. Ia berdiri bengong beberapa saat dan kemudian menanya: "Kemana
kau mau pergi?"
"Ke Lhasa. Dan kau?" Thian Oe balas tanya.
"Aku tak tahu mau pergi kemana," jawab Yoe Peng sembari tertawa.
"Sebetulnya, aku cuma niat berdiam di daerah ini buat sementara waktu dan
lantas pulang begitu lekas lahar menjadi dingin dan keras."
"Sekarang, selainnya satu kawah yang masih semburkan api dan asap,
di atas gunung sudah tidak terdapat lahar panas lagi," menerangkan Thian
Oe.
"Itulah aku tidak tahu," kata Yoe Peng. "Aku sebetulnya niat
menunggu sampai musim semi baru pulang buat lihat-lihat keadaan."
Ia berdiam beberapa saat dan kemudian berkata lagi sembari mesem: "Apa
kau masih ingat itu toeilian yang digubah oleh si pemuda baju putih
dengan mengambil namaku? Ia persamakan diriku seperti seorang
wanita suci yang berdiam dalam lembah gunung yang sunyi. Tapi sebenar-
benarnya, sebagai manusia biasa, aku pun ingin sekali melihat-lihat
keadaan di dunia luar. Selama berdiam begitu banyak tahun dalam keraton,
sering-sering aku merasa sangat kesepian."
Dengan senyumannya yang manis, di bawah sinarnya sang bulan, Yoe
Peng seakan-akan satu bocah yang nakal. Hatinya Thian Oe juga masih
bebocahan. Ia tertawa dan berkata: "Hm! Kau rupanya ingin menggunakan
kesempatan ini buat jalan-jalan. Di seluruh Tibet, Lhasa-lah yang paling
ramai. Disitu terdapat gereja
Lhama yang luar biasa indahnya. Paling baik kau ikut aku pergi ke
Lhasa."
"Bagus! Kita juga bisa sekalian dengar-dengar halnya Kongtjoe,"
sahut Yoe Peng dengan suara girang.
Mendengar namanya Pengtjoan Thianlie, hatinya Thian Oe jadi
berdebar. Ia berdiam beberapa saat dan kemudian berkata sambil menghela
napas: "Tu hari mereka sedang adu pedang di kakinya Puncak Es. Apa mereka
bisa selamatkan diri?"
"Puteri kami bergelar Pengtjoan Thianlie (Bidadari dari Sungai
Es)," kata Yoe Peng. "Meskipun ia tidak dapat disamakan seperti sebangsa
dewi, akan tetapi kepandaiannya sesungguhnya tak dapat diukur bagaimana
dalamnya. Aku sama sekali tidak percaya ia sampai hilang jiwa lantaran
bencana alam itu." Dari perkataan dan sikapnya, Yoe Peng kelihatan
pandang majikannya betul-betul seperti seorang dewi, sehingga Thian Oe
jadi terpengaruh dan tidak percaya lagi Pengtjoan Thianlie binasa dalam
gempa bumi. Dengan demikian, hatinya jadi legaan.
"Kau lihat Puteri kami bertempur seru dengan si pemuda baju putih,
tapi janganlah kau anggap mereka berkelahi seperti musuh," kata Yoe Peng
sembari tertawa. "Aku sudah dapat lihat, Kongtjoe sebenarnya suka pemuda
itu!"
Thian Oe tertawa besar seraya berkata: "Kau ini benar-benar setan
yang cerdik!"
"Kau juga setan pintar yang berlagak bodoh," membalas Yoe Peng.
"Kau mencintai siapa, aku juga sudah tahu."
Paras mukanya Thian Oe lantas berubah guram. "Ilmu kepandaiannya
Chena masih sangat cetek. Belum tentu ia dapat loloskan diri," katanya
dengan suara perlahan.
"Orang baik tentu akan dilindungi Tuhan. Kalau belum takdirnya
mati, ia tentu tidak akan mati," kata Yoe Peng dengan suara menghibur.
Kata-kata itu sebenarnya cuma merupakan hiburan belaka, akan tetapi,
sesudah mendengar, hatinya Thian Oe jadi terhibur juga.
Sesudah berjalan beberapa lama, Thian Oe menanya: "Kau selalu
memanggil Pengtjoan Thianlie sebagai Paduka Puteri. Bolehkah aku mendapat
tahu, ia sebenarnya puteri dari negara mana? Kenapa ia mempunyai
kedudukan Kongtjoe, sedang ayahnya hanya seorang pendekar dalam Rimba
Persilatan?"
"Baiklah," sahut Yoe Peng. "Buat hilangkan kesepian, aku akan
ceritakan asal-usulnya Kongtjoe."
Demikianlah, dengan diterangi sinar bulan yang bagaikan perak, Yoe
Peng segera jalan lebih dekat dengan Thian Oe dan mulai dengan
penuturannya:
"Pada tiga puluh tahun yang lalu, di negara Nepal hidup seorang
puteri raja yang bernama Hoa Giok. Ia diberi nama Hoa Giok oleh karena
raja sangat mengagumi sifat ke Tionghoa-an dan juga oleh karena sang
puteri berparas sangat cantik, ibarat batu giok dari bangsa Han. Sesudah
besar, Hoa Giok Kongtjoe menjadi seorang gadis yang boenboe songtjoan
(mahir dalam ilmu surat dan ilmu silat). Ia belajar ilmu surat dari guru-
guru yang sengaja diundang dari Tiongkok, sehingga ia bukan saja apal
macam-macam kitab, tapi juga pandai menggubah syair-syair Tionghoa. Buat
menjadi guru silatnya, Raja Nepal undang ahli silat dari negara
Arab. Di sebelahnya itu, ia tentu saja mahir dalam ilmu menunggang kuda
dan ilmu memanah yang menjadi kesukaannya.
"Sang tempo berjalan cepat sekali. Dalam tempo sekejap, sang puteri
sudah berusia delapan belas tahun. Para pemuda di Nepal tentu saja sangat
ingin dapatkan Hoa Giok sebagai isterinya, akan tetapi, tak ada barang
satu yang dipenuju oleh sang puteri. Tahun lepas tahun dan Hoa Giok sudah
berusia dua puluh dua tahun. Raja Nepal yang cuma mempunyai seorang
puteri jadi merasa bingung juga. Supaya puterinya tidak sia-siakan usia
muda, ia niat pilih satu Hoema (menantu raja) dan kemudian paksa supaya
puterinya mau menikah dengan pemuda pilihannya itu. Akan tetapi, Hoa Giok
menolak dengan keras dan ajukan satu usul balasan.
"Sesuai dengan apa yang ia sering baca dalam buku-buku Tionghoa, ia
ingin memilih sendiri suaminya dengan berdirikan loeitay. Ia usulkan
kepada ayahnya, supaya dibcrdirikan dua loeitay, yaitu loeitay buat adu
ilmu surat dan loeitay buat adu ilmu silat. Setiap calon harus lebih
dahulu dijajal ilmu silatnya, dan jika lulus, baru dicoba ilmu suratnya.
Dalam ilmu silat, sesudah lulus beberapa ujian sulit, seorang calon harus
adu pedang dengan ia sendiri, dan kalau menang, barulah diuji ilmu
suratnya. Dalam ilmu surat, satu calon bukan saja harus mahir dalam
kesusasteraan Nepal, tapi juga mesti mengenal kitab-kitab dan syair
Tionghoa. Di antara orang Nepal memang banyak yang mengenal bahasa
Tionghoa, tapi pengetahuan mereka kebanyakan sangat cetek dan manalah
bisa gampang-gampang lulus dari ujiannya sang pulen. Selama dua tahun,
jumlah pemuda yang majukan lamaran semuanya ada seratus dua puluh empat
orang, tapi yang berhak adu pedang dengan sang puteri cuma ada tujuh
orang, sedang yang bisa menangkan Hoa Giok cuma tiga orang saja. Akhirnya
ketiga orang itu jatuh semuanya dalam ujian kesusasteraan Tionghoa.
"Raja jadi bingung sekali dan belakangan malahan permisikan
masuknya calon-calon bangsa Han. Tapi semua calon Tionghoa pun siang-
siang sudah pada roboh dalam ujian ilmu silat.
"Tanpa merasa, usianya Kongtjoe sudah menanjak jadi dua puluh empat
tahun. Pada suatu hari, dengan suara sungguh-sungguh Raja Nepal berkata
kepada puterinya: 'Sekarang kau sudah gagal dalam usaha memilih Hoema,
maka sepantasnya kau serahkan urusan itu ke dalam tanganku. Aku tak dapat
permisikan kau membuka loeitay terus-menerus dalam tempo yang tidak
terbatas.' Hoa Giok lalu minta tempo seratus hari lagi, dan kalau sudah
lewat seratus hari lagi ia belum juga berhasil, barulah ayah dan anak
berunding lagi. Akan tetapi, diam-diam Kongtjoe yang beradat tinggi dan
agung itu sudah mengambil putusan pasti buat tidak menikah dengan lelaki
sembarangan, dan jika sesudah seratus hari ia beium juga berhasil, ia
rela menjadi pendeta dan tidak menikah seumur hidupnya.
"Sesudah lewat sembilan puluh sembilan hari belum juga ada calon
yang berhasil, sehingga Kongtjoe sendiri juga merasa putus harapan. Pada
hari yang ke seratus mendadak datang satu calon bangsa Han yang mukanya
penuh debu dan mengatakan, bahwa ia baru saja tiba dari tempat jauh dan
ingin ajukan diri sebagai seorang calon. Dalam ujian ilmu silat, pemuda
itu ternyata pandai menunggang kuda dan memanah, sedang kedua tangannya
sanggup angkat batu yang beratnya ribuan kati. Sesudah lulus berbagai
ujian berat, ia akhirnya berhadapan dengan puteri Hoa Giok sendiri. Ia
layani sang puteri dari tengah hari sampai magrib dan akhirnya secara
indah sekali, ia sontek tutupan mukanya Puteri dengan ujung pedangnya.
"Ketika dijajal ilmu suratnya, Puteri Hoa Giok sendiri sampai
merasa sangat kagum. Ia ternyata mengenal baik kesusasteraan Nepal dan
tentu saja sangat mahir dalam kesusasteraan Tionghoa dan malahan banyak
penjelasan-penjelasan yang belum dikenal oleh sang puteri sendiri.
"Sekarang tinggal dua ujian terakhir buat coba kecepatan otakmu" kata
Puteri Hoa Giok. "Jika kau lulus, kau..." Kongtjoe tidak dapat teruskan
perkataannya dan mukanya jadi bersemu merah. Pemuda itu lantas saja minta
ia keluarkan dua ujian terakhir itu..."
"Pemuda itu tentulah juga ayahnya Pengtjoan Thianlie, Koei Hoa Seng
Tayhiap," Thian Oe potong penuturan orang. "Koei Tayhiap sedari kecil
mendapat didikan langsung dari ibunya sendiri, maka tidaklah heran kalau
ia mempunyai pengetahuan tinggi sekali dalam ilmu surat dan ilmu silat.
Apakah adanya itu dua ujian terakhir?"
"Ujian yang pertama ialah Kongtjoe rninta Koei Tayhiap menggubah
sepasang toeilian," Yoe Peng lanjutkan penuturannya. "Toeilian tersebut
harus digubah dengan menggunakan namanya, yaitu Hoa Giok. Buat itu Koei
Tayhiap diberi tempo sepasangan hio, dan kalau sampai hio terbakar habis,
toeilian belum selesai, Koei Tayhiap jatuh dari ujian itu. Sesudah
mendengar penjelasan Kongtjoe, Koei Tayhiap segera berkata: "Toeilian itu
sudah ada, cuma mungkin kata-katanya sedikit menyinggung, sehingga aku
mohon Paduka Puteri sudi maafkan." Sehabis berkata begitu, Koei Tayhiap
segera menulis toeilian yang bunyinya seperti berikut:
"Gunung indah, pemandangan permai,
siapakah yang mau diajak pesiar?
Melihat pohon Buhdi berkembang, Sa Kya bermesem simpul.
Suling giok (batu kemala), suaranya merdu,
mengundang tetamu turut bersuka ria.
Mendengar Siang Djie mementil khim, Tjoe Tjin meniup suling."
"Pada baris pertama dari toeilian itu, Koei Tayhiap telah mengambil
petikan dari kitab Budha, sedang pada baris kedua, ia menggunakan
hikayatnya Soema Siang Djie yang meminang Tjo Boen Koen dengan mementil
khim dan hikayatnya Tjoe Tjin yang dengan meniup suling, telah mengundang
burung Hong buat melamar puterinya Raja muda Tjin Bok Kong, yang bernama
Long Giok. Demikianlah, pada baris kedua itu, Koei Tayhiap telah kutib
cara melamar isteri dari dua orang dahulu kala itu. Ketika ia menulis
habis, hio baru saja terbakar sepertiga. Begitu membaca toeilian
tersebut, Hoa Giok Kongtjoe tertawa dengan paras muka girang dan lalu
maju dengan ujian yang kedua, yaitu ujian yang paling akhir." (Perkataan
"indah" –- hoa -- dari baris pertama, jika dirangkap dengan perkataan
"giok" dari baris kedua, jadilah Hoa Giok, yaitu namanya sang puteri).
Thian Oe tertawa seraya berkata: "Kalau begitu tidak heran
Pengtjoan Thianlie begitu suka menggubah toeilian dari namanya orang. Tak
tahunya ia mewarisi kesukaan itu dari ayah ibunya."
"Kedatangan si pemuda baju putih ke keraton es adalah seperti
kedatangan Koei Tayhiap ke Nepal buat meminang dirinya Kongtjoe," kata
Yoe Peng.
"Tapi bagaimana dengan ujian kedua?" tanya Thian Oe dengan suara
tidak sabaran. "Hayolah jangan omongi segala hal yang tidak ada
perlunya."
"Cerita ini adalah cerita didalam cerita," demikian Yoe Peng
lanjutkan penuturannya.
"Pendahuluan dari ujian kedua ialah satu cerita dahulu kala. Cerita
itu belum berakhir dan dapat di akhiri menurut sukanya orang. Dengan lain
perkataan, cerita itu bisa berakhir girang dan juga bisa berakhir sedih.
Buat uji kecerdasan otaknya, Kongtjoe minta Koei Tayhiap menulis akhirnya
cerita itu."
"Cerita itu adalah begini: Dahulu kala, seorang puteri diam-diam
jatuh cinta kepada seorang boesoe (pahlawan). Tidak terduga, boesoe itu
bercintaan dengan satu dayang. Apa mau rahasia ini terbuka. Dalam
kegusarannya, sang puteri beritahukan ayahnya. Kedosaan itu adalah
kedosaan besar dan si boesoe harus mendapat hukuman berat.
"Akan tetapi, negeri itu mempunyai cara menghukum yang sangat luar
biasa. Mereka percaya, bahwa di langit terdapat dewa yang memegang
nasibnya manusia. Apakah terdakwa berdosa atau tidak juga diputuskan oleh
sang dewa itu. Caranya adalah begini: Si terdakwa dilepaskan di atas satu
lapangan terbuka yang sangat luas. Di sebelah kiri dan kanannya lapangan
tersebut terdapat satu pintu. Dalam pintu yang satu ditaruh seekor singa
kelaparan, sehingga kalau si terdakwa masuk kesitu, ia tentu akan dibeset
dan dimakan oleh singa tersebut. Dalam pintu yang satunya lagi terdapat
satu jalanan yang menerus keluar lapangan. Jika si terdakwa masuk di
pintu itu, ia segera dapat pulang kemerdekaannya dan segala tuduhan
dibikin habis. Menurut kepercayaan, orang itu mendapat berkahnya dewa dan
siapa yang mendapat berkahnya dewa, bukannya seorang jahat."
"Oleh karena tidak mengetahui bahwa puterinya mencintai si boesoe
dan juga oleh karena sangat sayang pahlawan itu, maka raja sengaja
menaruh belas kasihan yang istimewa. Seperti biasa, dalam pintu yang satu
ditaruh seekor singa kelaparan. Akan tetapi, dalam pintu yang satunya
lagi, raja perintah taruh si dayang kecintaannya boesoe itu. Jika boesoe
itu masuk ke dalam pintu yang terisi singa, memang sudah nasibnya ia
mesti binasa dan dewa anggap ia berdosa. Akan tetapi, manakala ia masuk
ke dalam pintu yang berisi dayang, maka bukan saja ia akan memperoleh
kemerdekaannya, tapi juga diperbolehkan menikah dengan kecintaannya itu."
"Pada harian penentuan nasibnya boesoe tersebut, sang puteri juga
turut menonton. Panggungnya keluarga raja berdiri di tengah-tengah antara
kedua pintu nasib. Waktu lewat di depan panggung, boesoe tersebut
mengawasi sang puteri dengan sorot mata mohon dikasihani. Kongtjoe itu
tahu pintu mana yang berisi singa dan pintu mana yang berisi dayang."
"Saat itu, nasibnya si boesoe terletak dalam tangannya Kongtjoe.
Dengan sekali tunjuk, ia dapat memutuskan, apa boesoe itu mati atau
hidup. Pintu manakah yang akan ditunjuk oleh sang puteri? Di satu pihak,
hatinya gusar dan sakit hati lantaran perbuatannya boesoe itu, ditambah
pula dengan perasaan mengiri terhadap sang dayang yang sudah merebut
kecintaannya. Akan tetapi di lain pihak, dengan cintanya yang sangat
besar, dimana ia tega kalau boesoe itu sampai dibeset singa?"
"Pada saat itu, dua rupa pemandangan berkelebat di depan matanya
Kongtjoe. Di ini detik, ia lihat boesoe itu menikah dengan sang dayang
dengan penuh kecintaan dan kemanisan. Di lain detik, ia lihat tubuh yang
berlumuran darah dari boesoe tersebut, akibat dibeset singa. Ketika ia
dongakkan kepalanya, ia lihat sorot mata yang memohon kasihan dari
kecintaannya itu. Pintu manakah yang sang puteri harus tunjuk?"
Thian Oe sudah dibikin begitu ketarik dengan cerita itu, sehingga
ia mendengari dengan mata mendelong dan mulut ternganga, dan tanpa
merasa, hatinya berdebar-debar dan turut memikiri, pintu mana yang harus
ditunjuk oleh Kongtjoe.
Yoe Peng tertawa dan berkata pula: "Waktu itu, pertanyaannya Hoa
Giok Kongtjoe juga adalah sedemikian. 'Andaikata kau jadi puteri itu,'
kata Puteri Hoa Giok kepada Koei Tayhiap, 'pintu manakah yang kau akan
tunjuk?' Jawabannya Koei Tayhiap haruslah cocok dengan pendapatnya sang
puteri yang menurut sukanya dapat memutuskan sendiri, apa jawaban Koei
Tayhiap benar atau salah.
"Pertanyaan itu bukan main sukarnya. Tidak perduli pintu mana juga
yang ditunjuk oleh Koei Tayhiap, Hoa Giok Kongtjoe bisa bilang ia tidak
mengerti soal cinta. Soal cinta dapat ditafsirkan secara berbeda-beda,
menurut pendapat pribadi dari sesuatu orang. Sebagai contoh, jika sang
puteri dalam cerita itu menunjuk pintu yang ada singanya, maka dapat
ditafsirkan, bahwa ia menunjuk pintu itu lantaran mencinta, sebab cinta
menimbulkan cemburu dan cinta yang sangat dapat menimbulkan kebencian
yang sangat. Jika sang puteri tunjuk pintu yang berisi dayang, itu juga
bisa ditafsirkan bahwa ia menunjuk pintu itu lantaran mencinta, sebab
orang yang betul-betul mencinta selamanya bersedia buat mengampuni
orang yang dicinta, dan di sebelahnya itu, cinta berarti juga
pengorbanan guna keberuntungannya orang yang dicinta. Tapi
bagaimanakah pendapat Hoa Giok Kongtjoe mengenai soal itu? Itulah ada
soal sulit yang mesti ditebak dengan jitu oleh Koei Tayhiap!"
"Koei Tayhiap memikir beberapa saat dan kemudian tanya Hoa Giok
Kongtjoe: 'Puteri dalam cerita itu, apakah puteri dari negara Timur atau
puteri dari negara Barat?' Cerita itu sebenarnya adalah cerita dari Eropa
yang belakangan masuk ke Timur dan menjadi bahan dari berbagai penulis.
Koei Tayhiap mengetahui sumbernya cerita itu, akan tetapi ia sengaja
menanya begitu."
"Hoa Giok Kongtjoe yang tidak mengerti maksudnya segera balas
menanya: 'Kalau puteri Timur bagaimana? Kalau puteri Barat bagaimana?'
Koei Tayhiap tertawa dan menyahut: 'Kalau sang puteri adalah puteri dari
negara Timur, ia tentu akan tunjuk pintu yang berisi dayang. Tapi jika ia
adalah puteri dari Barat, ia tentu akan tunjuk pintu yang ada singanya.
Orang Timur biasanya lebih bersedia saling mengampuni, sedang kaum
wanitanya kebanyakan berhati welas asih, sehingga sepuluh sembilan ia
tidak akan tega melihat kecintaannya dibeset singa. Di lain pihak,
cintanya wanita negara Barat bersifat monopoli, yaitu tidak sudi membagi
kepada lain orang. Orang Barat suka mengatakan bahwa cinta adalah seperti
biji mata dan disitu tidak boleh menyelip barang sebutir pasir. Maka
itulah, jika sang puteri adalah puteri negara Barat, sepuluh sembilan ia
akan tunjuk pintu yang berisi singa, sebab ia kebanyakan lebih suka
kecintaannya binasa daripada direbut oleh lain perempuan. Akan tetapi,
jika boesoe itu adalah seorang Tionghoa, siang-siang ia tentu dapat
mengetahui kecintaannya sang puteri, sehingga kejadian itu sebenarnya
tidak usah terjadi!"
"Bukan main licinnya jawaban itu. Tapi Koei Tayhiap sebenarnya
boleh tidak usah susah-susah. Kita bisa duga, tak perduli Koei Tayhiap
menjawab bagaimana juga, Hoa Giok Kongtjoe tentu akan merasa puas."
"Begitulah Hoa Giok Kongtjoe segera menetapkan Koei Tayhiap sebagai
Hoema. Bukan main girangnya raja. Waktu dilangsungkan pesta pernikahan,
tiga hari libur diberikan di seluruh negeri dan semua orang pada bersuka
ria. Pada lain tahunnya, Hoa Giok Kongtjoe melahirkan seorang puteri yang
diberi nama Peng Go oleh Koei Tayhiap. Ia itulah yang belakangan dikenal
sebagai Pengtjoan Thianlie. Raja tidak mempunyai anak lelaki. Hoa Giok
Kongtjoe adalah anaknya yang tunggal. Dari sebab begitu, sang cucu Peng
Go juga diberi gelaran Kongtjoe."
"Kedua mempelai hidup beruntung sekali dan tidak terasa lima tahun
sudah lewat. Usianya raja sudah lanjut dan ia merasa jengkel memikiri
soal ahli waris yang harus gantikan ia menjadi raja."
"Dalam banyak negara, seorang puteri dapat naik ke atas tahta. Akan
tetapi, menurut kebiasaan di Tiongkok, cuma orang lelaki yang boleh
menjadi kaizar. Sudah lama Nepal kena pengaruhnya kebudayaan Tionghoa,
sehingga soal itu menjadi pertentangan antara dua partai. Satu partai
menghendaki supaya Hoa Giok Kongtjoe gantikan ayahnya, sedang lain pihak
ingin Raja Nepal angkat keponakan lelakinya sebagai ahli waris. Keponakan
itu sudah lama sekali incar-incar tahta kerajaan. Dia sudah mempunyai
banyak sekali konco-konco dan tukang pukul. Tak usah dibilang lagi, dia
sangat membenci Hoa Giok Kongtjoe. Pertentangan antara kedua partai
semakin lama jadi semakin hebat, sehingga dalam kerajaan Nepal yang
tenteram jadi timbul hujan angin."
"Hoa Giok Kongtjoe yang tidak tega melihat negaranya terancam
bahaya, segera berdamai dengan Hoema. Koei Tayhiap anjurkan isterinya
melepaskan haknya dan sama-sama menyingkirkan diri ke Tibet. Kedua suami
isteri itu, yang mempunyai ilmu silat sangat tinggi, telah melebur ilmu
pedang Tionghoa dan ilmu pedang daerah Barat menjadi satu dan menggubah
satu ilmu pedang baru. Hoa Giok menyetujui pikiran suaminya. Ia pun
merasa, bahwa hidup tenteram bersama-sama suaminya yang tercinta, ada
lebih beruntung daripada menjadi ratu. Maka itulah, ia tinggalkan sepucuk
surat buat ayahandanya dan diam-diam tinggalkan keraton bersama suami,
puterinya dan sejumlah dayang. Selama hidup dalam keraton, sang puteri
sangat dicintai orang. Waktu mau berangkat, beberapa puluh dayangnya
berkeras mau mengikut juga, sehingga ia terpaksa mesti mengajak."
"Sesudah keraton es berdiri, sejumlah dayang yang usianya lebih tua
telah pulang ke Nepal buat sementara waktu, guna memilih sejumlah anak
perempuan dari kalangan keluarga mereka buat diajak datang ke keraton
supaya dapat mengawani Puteri Peng Go. Anak-anak perempuan itu menjadi
besar bersama-sama Pengtjoan Thianlie dan mereka semuanya mempunyai ilmu
silat yang cukup tinggi."
"Sesudah Hoa Giok Kongtjoe meninggalkan keraton tiga tahun lamanya,
Raja Nepal wafat dan keponakan lelakinya naik ke atas tahta sebagai
gantinya."
"Menurut katanya orang, begitu naik tahta, raja baru coba
menyelidiki dimana adanya Koei Tayhiap suami isteri, akan tetapi mana dia
bisa mencarinya. Sesudah berdiam di atas Thian-ouw, hatinya Kongtjoe
menjadi lebih tawar terhadap segala urusan ke negaraan. Ia lebih-lebih
tidak sudi balik ke negaranya, ketika dapat dengar bahwa saudara
misanannya adalah satu raja yang kejam dan sombong. Hoa Giok Kongtjoe
meninggal dunia terlebih dahulu dari Koei Hoema. Waktu mau menutup mata,
ia tinggalkan pesanan, bahwa, kecuali kalau Puncak Es roboh, semua
penghuni dari keraton es tidak boleh turun gunung. Sesudah isterinya
meninggal dunia, Koei Tayhiap berdirikan sebuah kuil yang berbentuk kuil
Nepal dalam taman keraton. Selainnya membuat sebuah patung isterinya guna
pemujaan, ia ukir ilmu pedang gubahannya pada dinding kuil tersebut.
Kecuali Pengtjoan Thianlie, tak ada lain orang yang boleh masuk kedalam
kuil tersebut yang jadi semacam tempat terlarang.
"Lewat setahun sesudah meninggalnya sang puteri, Koei Tayhiap susul
isterinya ke alam baka dan Pengtjoan Thianlie menjadi majikan tunggal
dari keraton es. Seperti kedua orang tuanya, ia juga sangat suka dengan
kesusasteraan Tionghoa dan semua dayang-dayangnya diberikan nama Han."
Demikian penuturan mengenai riwayatnya Pengtjoan Thianlie yang
diberikan oleh Yoe Peng.
"Apa cerita itu cukup menarik?" tanya Yoe Peng dengan tertawa
sedih, setelah selesai dengan ceritanya.
Sesudah berdiam beberapa saat, Thian Oe berkata: "Cerita ini juga
belum berakhir. Seperti juga cerita si boesoe, cerita Pengtjoan Thianlie
juga bisa berakhir sedih atau berakhir girang."
"Bagaimana?" tanya Yoe Peng.
"Perangkapan jodoh antara dua orang yang berlainan bangsa dan
kemudian hidup seperti di dalam surga, ceritamu luar biasa indahnya,"
menerangkan Thian Oe. "Sepasang merpati itu kemudian dapat satu puteri –
yaitu Pengtjoan Thianlie – yang benar-benar seperti satu bidadari dari
kahyangan. Jika Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih bisa
terangkap jodoh dan dapat hidup seperti Koei Tayhiap dan Hoa Giok
Kongtjoe, maka cerita ini berakhir girang. Akan tetapi, jika Pengtjoan
Thianlie tak dapat loloskan diri dari bencana gempa bumi dan binasa
secara kecewa sekali, maka cerita ini berakhir sedih."
"Tentu bisa lolos! Tentu bisa lolos!" Yoe Peng berkata dengan suara
tetap.
"Harap saja begitu," berkata Thian Oe sembari dongakkan kepalanya.
Dengan hati sedih ia mengawasi itu rembulan yang sinarnya dingin.
Mendadakan saja ia ingat cerita tentang ia sendiri dan Chena. Ia juga tak
tahu, apa cerita itu akan berakhir sedih atau akan berakhir girang.
Thian Oe bengong terlongong-longong. Lama, lama sekali ia tak dapat
keluarkan sepatah kata.
"Anak tolol!" kata Yoe Peng sembari towel pipinya. "Apa yang kau
lagi pikirkan."
Mendadak ia lihat paras mukanya Thian Oe berobah, seperti juga
sedang mendengari apa-apa. Yoe Peng juga pasang kupingnya dan sudah
dengar suara itu. "Ih! Ada orang!" ia berbisik di kupingnya Thian Oe.
Mereka berdua lantas saja loncat dan sembunyikan dirinya di belakang satu
batu besar.
Di lain saat, beberapa bayangan orang kelihatan berkelebat
mendatangi. Di sebelah timur terdengar dua tepukan tangan, sedang di
sebelah barat juga terdengar dua tepukan tangan.
"Mari kita ke tempat yang lebih tinggi, supaya tak dapat dilihat
oleh mereka," kata Thian Oe. Dengan menggunakan ilmu entengi badan yang
sangat tinggi, seperti monyet mereka naik ke lereng gunung dan mengumpat
di belakangnya satu batu besar, dari mana, dengan bantuan sinar rembulan,
mereka dapat lihat keadaan di sebelah bawah dengan nyata sekali.
Dengan beruntun, bayangan-bayangan hitam itu berhenti di tempat
dimana barusan Thian Oe dan Yoe Peng berdiri. Mereka lalu bersila di atas
tanah dalam bentuk satu lingkaran bundar.
"Dilihat begini, mereka rupanya mau berunding," berbisik Thian
Oe, yang mempunyai lebih banyak pengetahuan daripada Yoe Peng
tentang kebiasaan orang-orang Kangouw, berkat pengunjukannya Thiekoay
sian.
Mendadak Yoe Peng tertawa dan berkata: "Pedagang-pedagang dari
Eropa yang sangat tahayul, sangat tidak menyukai hari Jumat dan angka
tiga belas. Mereka anggap, hari Jumat dan angka tiga belas membawa
kesialan. Coba lihat! Mereka itu berjumlah tiga belas orang dan kalau
tidak salah, hari ini adalah hari Jumat."
"Mana boleh!" kata Thian Oe. "Kalau toh benar-benar sial, aku
anggap cuma kebetulan saja." Mendengar Yoe Peng menyebutkan hari, tiba-
tiba Thian Oe ingat apa-apa. "Eh," katanya. "Tanggal berapa ini? Tanggal
penanggalan Tionghoa (Imlek)."
"Tak ingat," jawab Yoe Peng. "Penanggalan Tionghoa rewel sekali,
ada bulan besar, bulan kecil. Cuma semalam dan pagi tadi di dalam kota
aku lihat banyak orang Han membeli kue, katanya mau digunakan buat
sembahyang Tiongtjhioe (Pertengahan Musim Rontok)."
"Dengan Puteri Kecil (Pengtjoan Thianlie) kau pernah baca banyak
bukunya orang Han, apa kau tidak tahu bahwa perayaan Tiongtjhioe adalah
salah satu perayaan bangsa Han yang sangat penting?" kata Thian Oe. "Apa
kau tak tahu, perayaan itu jatuh pada Pegwee Tjapgo (bulan delapan
tanggal lima belas)?"
"Aku tahu," jawab Yoe Peng. "Tapi ada urusan apa dengan Pegwee
Tjapgo? Perlu apa kau begitu perhatikan penanggalan?"
"Aku jadi ingat perkataannya Pengtjoan Thianlie," jawab Thian Oe.
"Ah, aku kuatir benar-benar ada alamat jelek!"
Yoe Peng jadi merasa heran sekali. "Apa?", tanya ia. "Pengtjoan
Thianlie pernah bilang apa?"
"Apa kau tidak ingat kejadian pada harian aku tiba di keraton es?"
tanya Thian Oe. "Hari itu guruku yang pertama (Siauw Tjeng Hong) telah
bertemu musuhnya, yang belakangan diusir oleh Pengtjoan Thianlie."
"Aku tidak turut menyaksikan," kata Yoe Peng. "Baru belakangan aku
dengar penuturannya Kongtjoe. Ia bilang musuhnya Siauw Soehoe bernama
Loei Tjin Tjoe. Nama itu kedengarannya luar biasa sekali."
"Benar", kata Thian Oe. "Musuhnya Siauw Soehoe semuanya ada tiga
orang. Satu bernama Loei Tjin Tjoe, satu bernama Tjoei In Tjoe dan
satunya lagi bernama Ong Lioe Tjoe, yang sudah kena dibinasakan oleh
guruku. Yang hari itu kita bertemu di Thian-ouw adalah Loei Tjin Tjoe dan
Tjoei In Tjoe. Orang yang turun tangan cuma Loei Tjin Tjoe seorang.
Dengan gunakan pedang es, Pengtjoan Thianlie telah robohkan Loei Tjin
Tjoe yang mungkin lantaran malu, mau coba bunuh diri. Pengtjoan Thianlie
menolong dan mengatakan, bahwa ia sebenarnya sudah kena dipermainkan oleh
Ong Lioe Tjoe dan kalau mau tahu terang duduk persoalan, ia boleh datang
di Chaklun pada tanggal Pegwee Tjapgo tahun ini. Nah, tempat ini adalah
Chaklun dan justru Pegwee Tjapgo!"
Yoe Peng merasa heran sekali dan berkata: "Puteri Kecil selamanya
belum pernah turun gunung, cara bagaimana ia bisa mengetahui kejadian
yang bakal terjadi pada malam ini?" Tapi lantaran percaya Thian Oe tidak
berdusta, ia menanya pula: "Coba kau lihat, apa di antara tiga belas
orang itu terdapat Loei Tjin Tjoe?"
Thian Oe mengawasi dan lalu geleng-gelengkan kepalanya. "Tak ada,"
katanya. "Heran betul! Apa ia tidak datang? Sst! Diam! Mereka sudah mulai
bicara."
Ketiga belas orang itu pasang hio, rupanya sedang jalankan semacam
upacara. "Kenapa Ong Lioe Tjoe sampai sekarang belum datang?" demikian
terdengar suaranya satu orang. Thian Oe terkejut. Rupanya mereka belum
mengetahui, bahwa Ong Lioe Tjoe sudah binasa.
"Mana boleh tidak datang?" kata seorang lain. "Ia sendiri yang
janjikan supaya malam ini kita berkumpul disini."
"Tak usah tunggu padanya," kata orang yang pertama. "Mari kita
mulai. Bermula Hok Tayswee (Jenderal Hok, yaitu Hok Kong An) mau perintah
kita melindungi itu guci emas, tapi sekarang tidak perlu lagi. Ia
perintah kita memberitahukan kawan-kawan, supaya pada sebelum buntut
tahun, semua kawan pada pergi ke Sinkiang."
"Kenapa tenaga kita tidak dipakai lagi?" tanya seorang.
"Aku dengar suku Hapsatkek di Sinkiang memberontak," jawab orang
yang pertama. "Dalam pemberontakan itu ada turut sejumlah murid-murid
Boetong pay. Buat menghadapi mereka itu, Hok Tayswee memerlukan sekali
tenaga kita. Maka itu, Hok Tayswee bukannya pandang kita rendah. Saudara
tak usah banyak pikiran."
Mendengar perkataan itu, hatinya Thian Oe jadi berdebar. Ia ingat
penuturannya Siauw Tjeng Hong dan Thiekoay sian tentang riwayatnya
berbagai partai Rimba Persilatan. Partai Boetong dahulu sebenarnya
mempunyai peraturan keras yang melarang murid-muridnya mencampuri urusan
negara dan politik. Belakangan, pada buntutnya ahala Beng dan permulaan
dinasti Tjeng, muncul seorang pendekar Boetong yang bernama Toh It Hang.
Oleh karena mencintai Liehiap Giok Lo Sat, yang belakangan dikenal
sebagai Pekhoat Molie (Siluman Perempuan Rambut Putih), ia tinggalkan
Boetongsan dan pergi ke Sinkiang, dimana ia berdirikan satu partai baru
yang membantu Yo In Tjong (muridnya Hoei Beng Siansu) melawan tentara
Boantjeng. Demikianlah peraturan Boetong pay yang lama telah jadi
berobah. Hal itu terjadi pada kira-kira seratus tahun berselang.
Belakangan Koei Tiong Beng menjadi Tjiangboen (pemimpin) Boetong pay dan
mempunyai banyak sekali murid di wilayah Sinkiang. Sebagian besar murid-
murid itu adalah pencinta-pencinta negeri yang tentangkan pemerintahan
Boantjeng. Itulah sebabnya kenapa cabang Boetong di Sinkiang lebih
dihargai rakyat daripada Partai Boetong di Tionggoan (wilayah
Tiongkok asli).
"Kalau begitu orang-orang itu maui tentang murid-murid Boetong,"
kata Thian Oe dalam hatinya. "Tapi ada hubungan apa sama Ong Lioe Tjoe?
Ong Lioe Tjoe adalah saudara angkatnya Loei Tjin Tjoe dari Boetong pay,
sehingga sebenar-benarnya ia pun ada musuhnya orang-orang yang sedang
berunding itu."
Selagi hatinya bimbang, kupingnya sudah dengar lagi perkataannya
satu orang: "Kita tak dapat menghadapi Boetong pay, tanpa Ong Lioe Tjoe.
Kenapa sih ia belum juga datang? Apa ia sudah kena ditarik ke pihak
Boetong?"
Orang yang macamnya seperti toako (saudara tua) berkata sembari
tertawa: "Saudara janganlah terlalu bercuriga. Ong Lioe Tjoe adalah tokoh
dari partai Khongtong pay kita. Dengan banyak susah, sudah hampir dua
puluh tahun ia mendekati orang-orang Boetong pay, dengan tujuan
mempelajari rahasia ilmu pedang Boetong. Jika kita dapat melayani
pukulan-pukulan aneh dari ilmu pedang Boetong, kita jadi mempunyai
pegangan dalam usaha menindas pemberontakan di Sinkiang. Ong Lioe Tjoe
sudah janjikan supaya kita berkumpul disini, aku rasa ia tidak akan
hilang kepercayaan."
"Pada musim semi tahun ini, ada orang lihat ia datang bersama-sama
dua saudara angkatnya," berkata lagi seorang lain. "Tapi dalam beberapa
bulan, lantas tidak ada wartanya lagi. Apakah sudah terjadi kejadian di
luar dugaan?"
"Kejadian apa?" tanya seorang. "Mungkin ia kena ditahan oleh Loei
Tjin Tjoe dan tak dapat loloskan diri," kata orang itu. "Dalam soal ini
ada satu hal yang hiantee (adik) tidak mengetahui," menerangkan sang
toako. "Tujuannya Loei Tjin Tjoe adalah membalas sakit hati dan ia tak
nanti mau campur-campur urusan negeri. Kedatangannya bersama-sama Ong
Lioe Tjoe adalah buat membalas sakit hati terhadap Siauw Tjeng Hong.
Mereka sudah datang disini beberapa bulan lamanya, sehingga aku duga ia
sudah balas sakit hatinya dan sudah pulang ke kampungnya. Pada musim semi
yang baru lalu, Ong Lioe Tjoe telah memberi warta begitu kepadaku dan
mengatakan juga, bahwa ia akan berdiam terus disini dan tidak akan ikut
Loei Tjin Tjoe pulang ke Soetjoan."
Mendengar pembicaraan itu, bulu badannya Thian Oe jadi pada
berdiri. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa dalam kalangan Kangouw
terdapat orang-orang yang begitu macam. Ia bayangkan bagaimana gusarnya
Loei Tjin Tjoe andaikata ia dapat mendengar perundingan tersebut.
Meskipun Tan Thian Oe adalah puteranya seorang pembesar Boantjeng, akan
tetapi oleh karena sedari kecil ia telah mendapat didikannya Siauw Tjeng
Hong, diam-diam hatinya membenci pemerintahan yang menjajah bangsa Han
itu.
Sang rembulan dengan perlahan doyong ke barat. Ketiga belas orang
itu jadi semakin gelisah dan masing-masing lalu utarakan pikirannya
tentang tidak munculnya Ong Lioe Tjoe. Yang satu kata begini, yang lain
kata begitu, sedang yang satunya lagi berkata dengan suara keras: "Aku
tak percaya ilmu pedang Boetong begitu liehay. Jika Ong Lioe Tjoe tidak
datang, apakah kita tidak berani pergi ke Sinkiang?"
Di antara ramainya suara orang bicara, mendadak terdengar suara
tertawa dingin dan dari belakangnya batu-batu loncat keluar dua orang!
Pada mukanya orang yang jalan duluan terdapat tanda tapak golok, sehingga
mukanya jadi menyeramkan sekali. Orang itu bukan lain daripada Loei Tjin
Tjoe, jagoan nomor satu dari turunan kedua partai Boetong pay dan saudara
angkatnya Ong Lioe Tjoe! Orang yang jalan belakangan dengan satu tangan
mencekal gendewa, adalah Tjoei In Tjoe, ahli silat Gobie pay.
Ketiga belas orang Khongtong pay itu hampir berbareng loncat bangun
dengan perasaan kaget sekali. Yang menjadi kepala, yaitu Tjiangboen
(pemimpin) Khongtong pay yang bernama Tio Leng Koen, segera berseru
sembari rangkap tangannya: "Ah, kalau begitu orang sendiri! Loei Toako,
Tjoei Toako, lagi kapan kalian datang?"
"Kami sudah datang lama sekali," jawab Loei Tjin Tjoe dengan suara
tawar.
"Kenapa tidak lantas datang duduk-duduk disini?" tanya Tio Leng
Koen.
"Lantaran aku tidak berani menjadi orang sendirimu," jawab Loei
Tjin Tjoe dengan menyindir.
Paras mukanya Tio Leng Koen berobah mendadak. Ia tahu, pembicaraan
tadi tentu sudah dapat didengar oleh Loei Tjin Tjoe dan satu pertempuran
hebat tidak akan dapat disingkirkan lagi. Ia segera kasih tanda dengan
lirikan mata kepada kawan-kawannya dan berkata dengan suara nyaring:
"Oleh karena Loei Toako pernahkan diri sebagai orang luar, maka dapatkah
aku menanya, dengan maksud apa Toako datang pada malam ini?"
"Aku sengaja datang buat memberitahukan kau orang, bahwa Ong Lioe
Tjoe tidak bisa datang pada malam ini," jawab Loei Tjin Tjoe dengan suara
tawar. "Nanti juga dia tidak akan bisa datang!"
"Apa?" Tio Leng Koen menegasi.
"Kalau mau cari dia, kau orang boleh pergi menghadap Giam Loo Ong
(Raja Akhirat) di neraka!" jawabnya.
"Binatang!" membentak Tio Leng Koen. "Besar benar nyalimu! Sesudah
membunuh, kau masih berani datang kemari." Dengan sekali kebas tangannya,
saudara-saudaranya lantas bergerak mengurung Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In
Tjoe.
Loei Tjin Tjoe dongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Sungguh sayang bukannya tanganku sendiri yang membinasakan padanya!"
katanya dengan suara menyesal. Perasaan kecewanya sukar dilukiskan
bagaimana besarnya. Mengimpi pun ia tak pernah mengimpi, bahwa orang yang
sudah jadi saudara angkatnya hampir dua puluh tahun, sebenar-benarnya
adalah mata-mata dari Khongtong pay. Hatinya sedih dan suara tertawanya
kedengaran menyayatkan hati.
"Ong Lioe Tjoe bukan dibunuh olehmu?" tanya Tio Leng Koen dengan
terkejut. Pertanyaan itu disusul dengan bentakannya lain-lain jago
Khongtong pay yang memaki dan menanya siapa yang sudah membunuh Ong Lioe
Tjoe.
Loei Tjin Tjoe adalah seorang yang beradat angkuh dan dalam
kegusarannya, ia sungkan banyak bicara lagi. "Biarpun dimampuskan, Ong
Lioe Tjoe belum habis bayar dosanya," kata ia dengan suara tawar. "Siapa
juga boleh bunuh padanya. Kalau kau orang mau balas sakit hati, terjang
saja diriku!"
Dengan gusar Tio Leng Koen angkat tangannya dan lantas menerjang.
Loei Tjin Tjoe lantas tempel pundak dengan Tjoei In Tjoe dan segera putar
pedangnya.
Tio Leng Koen adalah Tjiangboen (Pemimpin) Khongtong pay, sehingga
dapat dimengerti kalau ilmu silat dan tenaga dalamnya sudah sampai di
puncak yang tinggi. Melihat serangan musuh yang hebat, tangan kirinya
menyambar sembari tekuk dua jerijinya dan coba cangkol lengannya Loei
Tjin Tjoe dengan ilmu Siauwkinna Tjhioehoat (Ilmu Menangkap dengan
tangan). Berbareng dengan itu, pedangnya yang dipegang dengan tangan
kanan, menuding dengan gerakan Wankiong siapeng (Pentang gendewa memanah
garuda). Maksudnya gerakan itu ialah, begitu lekas Loei Tjin Tjoe
bergerak menyerang, pedang tersebut akan mendahului. Tapi tidak dinyana,
Tatmo Kiamhoat yang digunakan oleh Loei Tjin Tjoe tidak bergerak menurut
jalannya ilmu pedang biasa. Mendadakan saja, pedangnya Loei Tjin
Tjoe berbalik dan papas pundak satu soetee-nya Tio Leng Koen yang sedang
menyerang dari sebelah kanan. Dengan suara "brt", baju dengan dagingnya
sudah sempoak!
Tio Leng Koen loncat sembari berteriak: "Serang dari empat
penjuru!" Dua belas murid Khongtong pay segera terbagi jadi tiga
rombongan dengan empat orang setiap rombongan dan mereka lalu menyerang
bagaikan gelombang, Tio Leng Koen sendiri berdiri di sama tengah buat
amat-amati serangan-serangannya Loei Tjin Tjoe yang luar biasa. Sambil
tempel pundak, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe tancap kakinya di atas
tanah dan melawan secara nekat.
Sesudah menonton beberapa lama Yoe Peng berbisik di kupingnya Thian
Oe: "Walaupun kiamhoat-nya Loei Tjin Tjoe cukup mahir, ia kelihatannya
belum mendapat sumsumnya Tatmo Kiamhoat yang tulen." Thian Oe manggut-
manggutkan kepalanya dan berkata: "Aku rasa Loei Tjin Tjoe masih bisa
bertahan setengah jam lagi, tapi Tjoei In Tjoe sudah sangat kepayahan."
Tali gendewanya Tjoei In Tjoe terbuat dari urat binatang Kauw dan benang
emas hitam, sehingga sebenarnya adalah semacam senjata mustika yang
dapat membetot serta memutuskan senjata musuh. Dalam pertempuran di
Sakya, tali gendewa itu telah diputuskan dengan hudtim-nya Siauw Tjeng
Hong. Belakangan ia perbaiki dan sambung tali itu, akan tetapi,
kekuatannya sudah banyak berkurang. Kalau bertemu sama lawanan
setanding, dengan menggunakan gendewa tersebut, memang Tjoei In Tjoe bisa
menang seurat Akan tetapi, dengan dikerubuti begitu banyak orang, gendewa
tersebut tentu saja tidak dapat menolong banyak dan semakin lama ia jadi
semakin kepayahan. Keadaannya Loei Tjin Tjoe cuma mendingan sedikit. Tiga
belas orang itu semuanya adalah jago-jago dari Khongtong pay. Kalau satu
lawan satu, memang mereka semua bukannya tandingan Loei Tjin Tjoe. Akan
tetapi, dengan mengerubuti dan menyerang saling ganti seperti gelombang,
mereka segera berada di atas angin.
Selagi pertempuran berlangsung sedang serunya, badannya Tio Leng
Koen mendadak "terbang" ke atas dan selagi tubuhnya melayang ke bawah,
pedangnya menyambar ke arah tengah-tengah antara Loei Tjin Tjoe dan Tjoei
In Tjoe, dengan pukulan Hoenkang toanlioe (Membendung sungai
memutuskan aliran). Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe yang repot melayani
serangan bergelombang, tidak keburu menangkis lagi dan terpaksa masing-
masing mengegos ke depan buat singkirkan sambaran pedang. Dengan
demikian, mereka jadi terpisah satu sama lainnya. Hampir berbareng, kedua
belas musuhnya meluruk, sehingga mereka tidak dapat tempel pundak
kembali.
Tio Leng Koen tertawa terbahak-bahak sembari pimpin kawan-kawannya
mengepung secara rapat sekali. Dengan andalkan pukulan-pukulan aneh dari
Tatmo Kiamhoat, buat sementara Loei Tjin Tjoe masih dapat pertahankan
diri. Tapi keadaannya Tjoei ln Tjoe tidak sedemikian, la kelihatannya
sudah kewalahan dan tali gendewanya tak hentinya berbunyi "ting-tang,
ting-tang." Beberapa saat kemudian, dengan satu teriakan kesakitan,
pundak kirinya kena dipapas pedang, sedang gendewanya pecah tersabet
golok.
"Tjoei Loojie!" membentak Tio Leng Koen. "Kau bukannya penjahat
utama. Lepaskan gendewamu! Aku akan ampuni jiwamu!"
"Kau mau aku menakluk terhadap kawanan tikus?" jawabnya sembari
tertawa getir. "Hm! Tjoei In Tjoe boleh mati, tapi tak sudi dihinakan
oleh manusia sebangsa kau!"
"Bagus! Itulah baru saudaraku!" berseru Loei Tjin Tjoe sembari
menerjang secara nekat buat menggabungkan dirinya sama saudaranya itu.
Akan tetapi, ia tidak berhasil lantaran sudah keburu dicegat oleh Tio
Leng Koen.
Terhadap Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe, Thian Oe tidak mempunyai
rasa simpati. Akan tetapi, sesudah menyaksikan pertempuran tersebut,
ia kagumkan juga keangkuhannya kedua orang itu, yang ternyata masih
mempunyai tulang punggung.
Lewat lagi beberapa saat, keadaan kedua orang itu, lebih-lebih
Tjoei In Tjoe, jadi semakin berbahaya. Suara tali gendewanya Tjoei In
Tjoe sudah kedengaran dengkek dan sumbang.
"Orang itu bisa hilang jiwa sembarang waktu," kata Yoe Peng. "Eh,
kau tak mau membantu?"
"Apa?" Thian Oe menegasi.
"Asalnya ilmu pedang Pengtjoan Thianlie adalah dari Boetong," kata
Yoe Peng. "Kau sudah belajarkan ilmu pedang tersebut, sehingga sama Loei
Tjin Tjoe kau masih terhitung saudara seperguruan."
"Baik, kita menyerbu bersama-sama!" kata Thian Oe yang lantas
munculkan dirinya di atas batu. "Loei Tjin Tjoe!" ia berseru. "Jangan
takut! Aku menolong!"
Orang-orang Khongtong pay, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe
terkejut semuanya. Mereka dongak dan lihat sepasang orang muda, satu
lelaki dan satu perempuan, sedang berlari-lari ke arah mereka. Di
bawahnya sinar bulan, muka mereka dapat dilihat nyata sekali.
Hatinya Loei Tjin Tjoe tergetar. "Aku kira siapa, tak tahunya murid
Siauw Tjeng Hong," kata ia dalam hatinya. Harus diketahui, bahwa Loei
Tjin Tjoe adalah seorang beradat tinggi yang anggap ilmu silatnya sudah
sempurna sekali. Sedang sang guru ia tak pandang sebelah mata, cara
bagaimana ia dapat hargakan muridnya Siauw Tjcng Hong?
Di lain pihak, melihat yang datang adalah orang-orang yang baru
berusia belasan tahun, Tio Leng Koen jadi tertawa besar. "Apa kamu tahu
berapa tingginya langit dan berapa tebalnya bumi?" katanya sembari
tertawa bergelak-gelak. "Bau susumu belum hilang, sudah berani datang
kesini buat cari mampus!"
"Tan kongtjoe! Lekas menyingkir!" Loei Tjin Tjoe juga berseru.
"Tolong beritahukan gurumu, aku sudah tidak membenci ia!"
"Lantaran kau sudah tidak membenci soehoe, maka aku mau menolong,"
jawab Thian Oe yang bagaikan kilat sudah menikam Tio Leng Koen dengan
pedangnya. Sembari kebas tangannya, Tio Leng Koen menyampok dengan
pedangnya buat bikin terpental senjatanya Thian Oe. Tapi siapa nyana
gerakan pedangnya Thian Oe malahan lebih aneh daripada pedangnya Loei
Tjin Tjoe. Tiba-tiba saja, ujung pedangnya tukar haluan dan sambar
dadanya Tio Leng Koen, yang jadi terbang semangatnya sebab sama sekali
tak menduga bakal diserang secara begitu. Sebagai orang yang
berpengalaman dan tinggi ilmunya, dalam bahaya ia tak jadi gugup. Dengan
gerakan Tiatpankio (Jembatan papan besi), badannya melenggak ke belakang
sampai hampir nempel ke tanah. Jantungnya tergetar, sebab meskipun
bagaimana cepat juga gerakannya, toh rambutnya masih kena terpapas juga!
Begitu lekas pedangnya Thian Oe lewat, Tio Leng Koen segera berdiri pula
sembari menyapu dengan tangannya. Ujung pedangnya Thian Oe, yang baru
disabetkan lagi, jadi mencong sebab kena getaran pukulan musuh. Hal ini
sudah terjadi lantaran tenaga dalamnya Thian Oe belum cukup kuat,
meskipun ilmu pedangnya sangat luar biasa. Melihat pemimpinnya hampir-
hampir binasa dalam tangannya satu bocah, semua murid Khongtong pay jadi
kaget bukan main.
"Hati-hati terhadap bocah ini!" Tio Leng Koen kasih peringatan
sembari loncat tinggi.
Yoe Peng sudah lantas loncat menyerbu dan berkata sembari tertawa:
"Masih ada aku! Aku mau menyerang dengan senjata rahasia. Kau orang juga
harus berlaku hati-hati!"
Senjata rahasia adalah senjata yang digunakan buat membokong musuh.
Dimana ada orang mau lepas senjata rahasia lebih dahulu memberitahukan
kepada
musuhnya? Tio Leng Koen jadi merasa geli dan tertawa terbahak-
bahak. "Bocah!" katanya. "Kau punya senjata apa? Coba kasih 'ku lihat."
Yoe Peng mementil dengan jerijinya dan di tengah udara lantas
terdengar suara "srr, srr". Menduga serangan jarum, Tio Leng Koen putar
pedangnya buat melindungi badan. Dengan suara "peletak!", senjata rahasia
itu yang berbentuk bundar seperti mutiara, hancur kena terpukul pedang.
Berbareng dengan itu, semacam hawa yang luar biasa dinginnya menyambar-
nyambar, sehingga Tio Leng Koen jadi bergidik. Itulah bukan lain dari
Pengpok Sintan yang tiada keduanya dalam dunia!
Tio Leng Koen terkesiap. "Ilmu iblis!" ia berteriak. "Kepung!
Jangan kasih dia menimpuk lagi!"
Yoe Peng mementil kembali dan lepaskan empat butir Pengpok Sintan.
Tiga antaranya mengenakan tiga orang, sedang yang keempat kena dipukul
jatuh dengan Kimtjhie piauw-nya Tio Leng Koen. Tiga orang itu yang tenaga
dalamnya belum seberapa, lantas saja gemetar sekujur badannya, tapi dari
janggutnya mengeluarkan keringat yang turun berketel-ketel.
"Kalau setiap orang aku persen dua peluru, mereka tak akan dapat
tahan lagi," katanya Yoe Peng dalam hatinya. "Cuma sayang, persediaanku
tak mencukupi."
Pengpok Sintan dibuat dari "rohnya es" yang diambil oleh Pengtjoan
Thianlie dalam gua es yang dalamnya ribuan tombak. Di seluruh dunia,
bahan tersebut cuma bisa didapatkan di daerah Nyenchin Dangla. Dalam
sakunya, Yoe Peng cuma membawa belasan peluru. Berbeda dengan senjata
rahasia lainnya yang bisa diambil pulang, begitu dilepaskan Pengpok
Sintan lantas meledak dan musnah. Sekali lepas berarti hilangnya satu
peluru. Maka itu, mau tidak mau Yoe Peng harus irit, dan selagi ia
bersangsi, gelombang musuh yang kedua sudah meluruk dan kepung padanya.
Sembari membentak, Yoe Peng cabut Pengpok Hankong kiam yang lantas
saja mengeluarkan sinar gemerlapan yang sangat dingin, sehingga empat
musuhnya kembali bergidik. Pedang tersebut dibuat dari Oen-giok (Batu
kemala hangat), yaitu keluaran istimewa dari Puncak Es. Sesudah direndam
di dalam Hantjoan (Umbul dingin) dan diolah tiga tahun lamanya, barulah
pembuatannya selesai. Dari sebab begitu, Pengpok Hankong kiam
mengeluarkan semacam hawa dingin, yang, meskipun tidak sehebat Pengpok
Sintan, dapat mencelakakan orang-orang yang tenaga dalamnya belum kuat
betul.
Ketiga belas jago Khongtong pay rata-rata sudah mempunyai lweekang
yang kuat, sehingga, biarpun merasa sangat tidak enak diserang sinar dan
hawa dingin, mereka masih dapat mempertahankan diri. Di bawah pimpinan
Tio Leng Koen, mereka dipecah jadi empat rombongan dan kepung empat
musuhnya itu.
Thian Oe dan Yoe Pcng segera keluarkan Tokboen Kiamhoat (Ilmu
pedang tunggal) dari Pengtjoan Thianlie dengan pukulan-pukulannya yang
aneh-aneh. Sesudah bertempur kurang lebih lima puluh jurus, murid-murid
Khongtong pay masih belum dapat mengetahui, ilmu pedang apa adanya itu!
Tio Leng Koen sendiri juga merasa bingung. "Ilmu siluman! Ilmu siluman!"
ia berkata sembari geleng-gelengkan kepala.
"Ilmu siluman apa!" membentak Yoe Peng sembari mementil lagi dengan
dua jerijinya. Dua butir Pengpok Sintan menyambar. Buru-buru Leng Koen
lepaskan dua Kimtjhie piauw. Sebutir peluru kena terpukul jatuh, tapi
sebutir lagi keburu meledak sendiri dan mengenakan tepat mukanya Tio Leng
Koen. Seperti kena arus listrik, hawa dingin yang sangat hebat masuk ke
dalam dua biji matanya, dan ia lantas tak dapat membuka matanya lagi.
Saat itu, dengan gerakan Pengho kiattang (Sungai es membeku), Yoe
Peng putar pedangnya dan menyerang dari tiga jurusan, yaitu dari atas,
tengah dan bawah. Pukulan ini adalah salah satu pukulan paling luar biasa
dari ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. Diserang dari tiga jurusan hampir
berbareng, pihak musuh jadi kabur penglihatannya, dan dalam usaha
sambutannya, ia bisa membikin kesalahan yang dapat mencelakakan dirinya
sendiri. Yoe Peng keluarkan pukulan itu dengan maksud buat lebih dahulu
merobohkan Tio Leng Koen, yang jadi pemimpin dari ketiga belas musuh itu.
Akan tetapi, tidak dinyana, baru saja pedangnya bergerak, badannya
Tio Leng Koen berkelebat dan tangannya sudah menyambar dari sebelah
kanan. Thian Oe coba menolong, tapi sudah tidak keburu. Dengan suara
"plak!", pundaknya Yoe Peng kena terpukul, sehingga terhuyung dan Pengpok
Hankong kiam hampir-hampir jatuh dari tangannya.
Keliehayannya pukulan Pengho kiattang ialah dapat membikin kabur
penglihatan musuh. Dalam serangan itu, Yoe Peng tidak ingat, bahwa
lantaran kedua matanya musuh tertutup rapat akibat serangan Pengpok
Sintan, Tio Leng Koen jadi tidak kena dibikin bingung. Sementara itu,
dalam kedudukannya yang sangat berbahaya, ia sudah keluarkan pukulan
Bittjiong tjiang dari Khongtong pay. Masih untung, lantaran matanya
rapat, arah tangannya jadi kurang tepat dan cuma mengenakan pundak. Kalau
lebih ke bawah beberapa dim saja, tangannya bisa menghantam dada dan Yoe
Peng bisa dapat luka berat.
Sesudah berhasil, Leng Koen loncat mundur beberapa tindak dan
kucek-kucek matanya yang penglihatannya jadi samar-samar dan seperti juga
melihat uap putih, la kaget berbareng gusar dan membentak dengan suara
keras: "Perempuan kejam! Kalau tak korek biji matamu, aku tak puas!" la
segera teriaki kawan-kawannya buat kepung Yoe Peng secara lebih keras,
sedang ia sendiri, dengan andalkan ilmu "Membedakan datangnya senjata
dengan mendengari sambaran angin," sudah turut menerjang.
Walaupun Yoe Peng merupakan salah satu dayang terkemuka dalam
keraton es, akan tetapi ilmu silatnya masih kacek jauh jika dibandingkan
dengan musuh-musuhnya. Maka itu, begitu dikepung sungguh-sungguh, ia
lantas berada di bawah angin. Buat sementara waktu, ia masih bisa
pertahankan diri dengan andalkan kegesitannya, akan tetapi, ia sudah
tidak mempunyai tempo buat menimpuk lagi dengan Pengpok Sintan.
Thian Oe terkejut dan menyerang dengan mati-matian dengan gunakan
segala rupa pukulannya Pcngtjoan Thianlie yang luar biasa. Di antara
dayang-dayang, meskipun mendapat didikan langsung dari Pengtjoan
Thianlie, akan tetapi tidak ada barang seorang yang belajarkan seluruh
Tokboen Kiamhoat. Di lain pihak, Thian Oe mencuri belajar dari gambar-
gambar di dinding gedung terlarang. Maka itu dibandingkan dengan
para dayang, ia dapat lebih banyak sumsumnya ilmu pedang tersebut. Dalam
terjangannya yang mati-matian, ia sudah berhasil membuka satu jalanan dan
dapat mempersatukan dirinya sama Yoe Peng. Oleh karena mesti meladeni
Thian Oe dan Yoe Peng yang mengamuk seperti kerbau edan, barisannya
Khongtong pay jadi kalut, sehingga Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe juga
dapat menerjang keluar dan gabungkan diri sama Thian Oe dan Yoe Peng.
Dengan demikian, ke empat orang itu menjadi dua pasangan, yang, dengan
saling tempel pundak, melawan serangan-serangannya ketiga belas jago
Khongtong pay.
Loei Tjin Tjoe sama sekali tidak pernah mengimpi, bahwa dalam tempo
beberapa bulan saja, ilmu silatnya Thian Oe sudah maju begitu jauh dan
kelihatannya sudah berada di sebelah atasan gurunya sendiri. Semangatnya
jadi terbangun dan ia dapat menyerang dan membela diri secara rapi. Tjoei
In Tjoe pun dapat pulang ketenangannya dan tali gendewanya kembali
bersuara nyaring.
Dengan perlahan sinar bulan condong ke sebelah barat dan mereka
sudah bertempur lebih dari satu jam. Perlahan tapi tentu, keadaan di
gelanggang kembali berobah.
Sesudah berkelahi begitu lama, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe
jadi lelah. Oleh karena tenaga dalamnya belum begitu kuat, Thian Oe dan
Yoe Peng juga sekarang cuma dapat membela diri.
Tio Leng Koen dan kawan-kawannya jadi girang dan mereka menyerang
semakin hebat. "Perempuan siluman! Sekarang baru kau tahu keliehayan
kami! Lekas keluarkan obat pemunah!" berseru Tio Leng Koen. Dengan
andalkan Iweekang-nya yang sangat tinggi, buat sementara ia masih dapat
menahan hawa dinginnya Pengpok Sintan. Tapi belakangan, ia rasakan kedua
biji matanya seperti juga ditusuk-tusuk jarum sehingga ia kuatir menjadi
buta, jika terlambat pengobatannya. Maka itu, ia mendesak hebat dan mau
paksa Yoe Peng keluarkan obatnya.
Yoe Peng ambil sikap acuh tak acuh. "Obat apa?" tanya ia sembari
tertawa.
"Kau tak mau keluarkan?" kata Tio Leng Koen. "Kalau kau tidak
keluarkan, biarpun buta, aku masih dapat membunuh engkau!" Sembari tekap
matanya dengan tangan kiri, pedangnya kembali menyerang hebat dengan
pukulan-pukulan yang membinasakan. Ketika itu, matanya sudah jadi bengkak
seperti buah engtoh dan hatinya takut bukan main.
Yoe Peng benar nakal. Dalam keadaan yang berbahaya, ia masih bisa
tertawa. "Ha! Tadi aku sudah suruh kau hati-hati!" katanya. "Kau sendiri
yang tak hati-hati, sekarang berbalik salahkan orang!" sembari tempel
pundak dengan Thian Oe, ia kembali singkirkan beberapa serangan. "Hai,
aku dengar lelaki Han lebih suka keluarkan darah daripada keluarkan air
mata. Tapi kau lebih suka menangis! Apa tak malu?" Yoe Peng mengejek
pula.
Tio Leng Koen jadi seperti orang kalap. Bersama empat saudaranya,
ia menyerang seperti macan edan, sehingga Thian Oe dan Yoe Peng jadi
benar-benar kedesak.
"Aku lihat kau, benar-benar kasihan! Biarlah aku berikan obat
pemunah!" kata Yoe Peng.
"Mari!" Leng Koen membentak.
"Galak benar, kau!" kata Yoe Peng. Kalau kau minta baik-baik,
mungkin aku mau juga kasihkan."
"Yah, hayo kasihkan!" kata Tio Leng Koen dengan suara lebih lunak.
"Mana bisa begitu gampang!" kata Yoe Peng sembari nyengir. "Kau
lebih dahulu harus minta maaf pada Loei-ya dan bersumpah tak akan pergi
ke Sinkiang buat satrukan orang-orang Boetong. Kau pun harus minta maaf
kepada kami. Sesudah itu, barulah aku mau kasihkan obatku."
Tio Leng Koen sangat bersangsi. Ia tak tahu mesti ambil jalanan
yang mana. Ia paksakan membuka kedua matanya dan samar-samar lihat cara
bersilatnya Loei Tjin Tjoe sudah menjadi kalut.
"Lebih dahulu mampuskan siluman perempuan ini!" mendadak ia berseru
sesudah mengambil putusan. "Saudara Thio, Oey dan Yo, kau bertiga pergi
layani itu dua manusia. Cukup kalau kau bikin mereka tak bisa membantu
kedua bocah ini!"
Sehabis memerintah begitu, di bawah pimpinannya sendiri, sepuluh
jagoan Khongtong pay segera meluruk mengepung Thian Oe dan Yoe Peng.
Maksudnya Tio Leng Koen adalah coba membinasakan Yoe Peng selekas mungkin
supaya bisa ambil obat pemunah dari badannya.
Akan tetapi, ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie ada sangat luar biasa
dan tak gampang-gampang dapat dipecahkan dalam tempo yang pendek. Tio
Leng Koen jadi bingung sekali dan dengan sepenuh tenaga, ia cecer kedua
orang muda itu dengan pukulan-pukulan yang paling hebat. Belasan jurus
kembali lewat. Thian Oe dan Yoe Peng sengal-sengal dan mereka tahu, tak
akan dapat pertahankan diri lebih lama lagi. Di lain pihak, kedua biji
matanya Tio Leng Koen juga dirasakan semakin sakit, sehingga kedua belah
pihak jadi sama-sama bingungnya.
Dalam keadaan yang sangat genting, mendadak terdengar suara
nyanyian:
"Pada malam Tiongtjhioe sama-sama memandang bidan, tapi kenapa hawa
pedang melonjak ke tengah awan?"
Suara itu kedengarannya datang dari tempat yang sangat jauh, dengan
kecepatan luar biasa. Begitu nyanyian berhenti, seorang pemuda baju putih
dengan mulut tersungging senyuman, sudah berada disitu.
Kecepatan bergeraknya pemuda itu, membikin semua orang jadi
terkejut. Tio Leng Koen loncat mundur tiga tindak dan berkata sembari
lintangkan pedangnya: "Sahabat dari mana adanya tuan? Pengajaran apakah
yang tuan hendak berikan kepada kami?"
Pemuda itu tertawa dingin seraya menyahut dengan suara nyaring:
"Kedatanganku adalah buat memberi sedikit pengajaran kepada kau orang.
Khongtong pay adalah salah satu partai besar dalam Rimba Persilatan dan
dengan banyak susah payah partai itu telah diberdirikan. Pada jaman yang
lampau, Tjiangboen Khongtong pay, Ouw Bong Tootiang, adalah seorang
pendeta beribadat yang menjaga keras peraturan partai. Akan tetapi,
begitu pimpinan jatuh ke dalam tanganmu, orang-orang Khongtong pay lantas
saja lakukan segala perbuatan yang tidak pantas. Apa kamu orang tidak
merasa malu kepada leluhurmu yang sudah berada di alam baka?"
Pemuda baju putih itu baru saja berusia kurang lebih dua puluh
tahun, akan tetapi ia bawa sikap seperti caranya seorang tingkatan tua
bicara terhadap orang dari tingkatan muda. Maka tidaklah heran jika Tio
Leng Koen lantas naik darahnya dan ia dongak sembari tertawa besar.
"Dengan berkata begitu, tuan rupanya ingin membersihkan rumah tangga
Khongtong pay!" katanya dengan suara dingin.
"Benar," jawab si pemuda dengan suara sungguh-sungguh. "Lantaran
tidak tega melihat seluruh Khongtong pay dikorbankan dalam tanganmu, maka
tanpa perdulikan kecapaian, aku sengaja datang kesini buat mengurus kamu
orang!"
Harus diketahui, bahwa menurut peraturan Rimba Persilatan,
pekerjaan "membersihkan rumah tangga" hanya dapat dilakukan oleh tetua
dari partai itu sendiri. Manakala seorang luar hendak "membersihkan rumah
tangga" partai lain, maka orang itu haruslah seorang yang tingkatannya
sangat tinggi dengan mempunyai ilmu silat yang dapat menindih semua
anggauta dari partai yang mau dibersihkan. Maka itu, dapat dimengerti
jika perkataannya si pemuda bukan saja sudah membikin gusarnya Tio Leng
Koen, tapi juga sudah keja dua belas orang Khongtong pay yang berada
disitu, jadi mata merah.
Sembari paksa buka kedua matanya, Tio Leng Koen tertawa terbahak-
bahak dan menuding dengan pedangnya.
"Sungguh malu, sebagai Tjiangboen dari Khongtong pay, aku mesti
membikin Lootjianpwee jadi berabe buat membersihkan rumah tangga kita!"
ia berseru sekeras suara. "Cuma saja aku orang she Tio sangat kepala batu
dan sukar menerima pengajaranmu! Maaf, maaf, aku yang rendah terpaksa
menolak segala kemauanmu!" Mendengar perkataan pemimpinnya, semua murid
Khongtong pay jadi tertawa keras. Mereka ejek si pemuda yang dianggap
sangat tidak tahu diri.
Tapi si pemuda tetap berlaku tenang. Ia menyapu dengan matanya dan
berkata pula: "Apa kau orang benar-benar mau aku turun tangan?"
"Binatang!" membentak Tio Leng Koen. "Kau betul-betul sudah bosan
hidup! Cabut pedangmu! Lihat, apa kau ajar aku, atau aku mengajar kamu!"
Si pemuda tertawa besar. "Buat menghadapi orang-orang seperti kau,
perlu apa aku mencabut pedang?" katanya. "Thian Oe! Kau semua menyingkir,
supaya tak menghalangkan gerakanku. Tio Leng Koen! Panggil semua kawanmu,
supaya aku tak usah turun tangan dua kali!"
Thian Oe manggutkan kepalanya dan sembari tarik tangannya Yoe Peng,
ia segera loncat keluar dari gelanggang. Bukan main herannya Loei Tjin
Tjoe. "Apa pemuda itu berotak miring?" tanya ia dalam hatinya. Selagi
terheran-heran, mendadakan kupingnya dengar teriakan Thian Oe: "Loei
Toako! Lekas mundur!" Mau tidak mau, ia lantas turut loncat keluar dari
kalangan.
Pada saat itu, ketiga belas jago Khongtong pay sudah meluruk ke
arah si pemuda itu. Dengan mata berkilat, pemuda itu ayun satu tangannya
dan di tengah udara lantas terdengar suara "srr, srr, srr!" Buat
keheranannya semua penonton, hampir pada detik yang bersamaan, tiga belas
orang itu, terhitung juga Tio Leng Koen, keluarkan teriakan kesakitan dan
roboh menggoser di atas tanah!
Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe ternganga bahna herannya.
"Tio Leng Koen! Apa kau menyerah?" tanya si pemuda sembari tertawa.
Sebagai orang yang mempunyai tenaga dalam yang lebih kuat daripada
saudara-saudaranya, dengan paksakan diri, Tio Leng Koen bisa juga bangun
duduk. "Terima kasih buat pengajaranmu," kata ia. "Jika kami tidak
binasa, kejadian ini tentulah tak dapat dilupakan. Dapatkah aku mendapat
tahu nama tuan yang mulia?"
Sebagai Tjiangboen dari satu partai, dalam kekalahannya, ia masih
tidak lupa buat keluarkan kata-kata yang sesuai dengan kebiasaan Rimba
Persilatan. Dengan berkata begitu, ia rnemberitahu, bahwa sebegitu lama
masih hidup, ia tentu akan membalas sakit hati.
"Kamu orang mau balas sakit hati? Jangan ngimpi!" kata si pemuda
dengan suara tawar. "Semua tulang pundakmu sudah kena ditobloskan! Yah,
mati sih tidak, tapi buat bisa bersilat lagi, jangan kau harap! Pulanglah
dan hidup tenteram!"
Baru perkataan itu habis diucapkan, semua orang kembali terkejut.
Bahwa dengan sekali gerakkan tangan, si pemuda sudah dapat robohkan tiga
belas ahli silat Khongtong pay, sudah sangat luar biasa. Tapi, bahwa
semua senjata rahasianya dengan tepat mengenakan tulang pundak orang,
adalah satu kepandaian yang sungguh tak dapat dibayangkan bagaimana
tingginya!
Tanpa merasa Tio Leng Koen meraba tulang pundaknya, dan benar saja,
tulang itu sudah hancur dan sakitnya sampai membikin ia keluarkan air
mata. Ia mengetahui, sekarang ia sudah jadi orang bercacat seumur hidup,
ilmu silatnya musnah dan ia cuma bisa hidup seperti orang biasa.
Si pemuda baju putih mesem dan berkata: "Aku sudah ampuni jiwamu,
apa kau masih tidak merasa puas? Pulanglah dan hidup secara tenteram."
Bukan main sedihnya Tio Leng Koen. "Apakah tuan dapat menaruh belas
kasihan buat perlihatkan senjata rahasia itu, supaya kita dapat membuka
mata kita?", katanya dengan suara perlahan.
Pemuda itu kembali mesem. Mendadak ia cabut pedangnya yang lantas
pancarkan sinar terang ke empat penjuru. "Barusan aku tak gunakan ia.
Sekarang perlu digunakan," katanya.
Hatinya Leng Koen berdebar-debar dan sebelum ia tahu si pemuda mau
berbuat apa, ujung pedang sudah sontek pundaknya dan ia merasa seperti
juga serupa benda panjang loncat keluar dari daging pundak. Pemuda itu
pegang benda tersebut dengan kedua jerijinya dan goyang-goyang di depan
matanya Tio Leng Koen. "Sudah lihat?" tanya ia.
Senjata rahasia itu bukannya emas dan juga bukannya besi. Warnanya
hitam dan bentuknya kecil panjang seperti anak panah tanpa bulu. Dengan
senjata itu, si pemuda ketok pedangnya yang lantas saja keluarkan suara
mengaung yang sangat jernih dan bersih.
Tio Leng Koen pucat bagaikan mayat. "Ah", ia berseru dengan suara
di tenggorokan. "Thiansan Sinbong dan Yoeliong kiam!"
"Benar," kata si pemuda. "Apa sekarang kau sudah tahu asal-usulku?"
Pedang Yoeliong kiam adalah senjata mustika yang dipandang suci
dalam kalangan partai Thiansan pay. Siapa yang membawa senjata itu, ia
tak bisa lain daripada ahli waris tulen dari Thiansan pay. Tjiangboen
Thiansan pay di waktu itu adalah Tong Siauw Lan yang tingkatannya dua
kali lebih tinggi dari Tio Leng Koen. Maka itu, jika si pemuda adalah
muridnya Tong Siauw Lan, tingkatannya berada lebih atas daripada Tio Leng
Koen.
Dengan cepat si pemuda keluarkan dua belas Thiansan Sinbong lainnya
dari pundaknya lain-lain jago Khongtong pay.
"Dia sudah tidak mempunyai ilmu silat lagi dan tak dapat jadi bibit
penyakit. Tak usah bikin matanya menjadi buta," kata si pemuda sembari
berpaling pada Yoe Peng.
"Baik," sahut Yoe Peng sembari keluarkan sebutir Yangho wan yang
lantas diberikan kepada Tio Leng Koen. "Telan ini dan mengasoh tiga
hari," katanya.
Tio Leng Koen kucek-kucek matanya, sikapnya seperti seekor ayam
jantan yang baru dipecundangkan. Sesudah memberi hormat kepada si pemuda
baju putih, dengan dipepayang oleh kawan-kawannya, ia segera berlalu dari
situ. Si pemuda tertawa bergelak-gelak dan berkata kepada Thian Oe:
"Pertempuran yang barusan sungguh menyenangkan! Eh, bocah, nasibmu benar-
benar baik. Baru berdiam di keraton es tiga bulan, ilmu silatmu sudah
maju begitu jauh."
"Bukankah kau berada sama-sama Pengtjoan Thianlie?" tanya Thian Oe.
"Dialah yang tak sudi berada sama-sama aku," sahut si pemuda
sembari tertawa. "Aku justru mau tanya keterangan mengenai dirinya dari
kalian."
Yoe Peng terkejut dan buru-buru menanya: "Bukankah pada hari itu
kau sedang adu pedang dengan Kongtjoe kami?"
"Janji adu pedang harus ditangguhkan sampai di lain hari," sahut si
pemuda.
"Meskipun adu pedang tidak dapat dilangsungkan, tapi kau toh mesti
bertemu muka dengan ianya!" kata Yoe Peng lagi.
"Sebelum tiba di kakinya Puncak Es, aku sudah rasakan alamat bakal
adanya gempa bumi," menerangkan si pemuda. "Apa kau kira aku masih berani
maju terus buat cari mati?"
"Kalau begitu, jadi kau tak pernah lihat padanya?" Thian Oe
menegasi.
"Ah, buat apa kau begitu berkuatir?" katanya dengan suara jengkel.
"Sedang aku dapat loloskan diri, apa kau kira ia tak mampu selamatkan
jiwanya? Hari itu, selagi aku kabur ke arah utara, aku lihat bayangannya
kabur ke jurusan selatan. Belakangan, sesudah gunung berapi meledak,
biarpun mau, aku pun tak akan dapat mencarinya. Barulah sekarang aku
mendapat tahu, ia belum balik ke keraton es."
Mendengar keterangan si pemuda, bahwa Pengtjoan Thianlie sudah
terlolos dari bencana alam, hatinya Thian Oe dan Yoe Peng menjadi lega.
"Apakah kalian mau pergi ke Lhasa?" tanya si pemuda.
Thian Oe manggutkan kepalanya, sedang si pemuda berdiam beberapa
saat seperti orang lagi berpikir. Mendadak ia keluarkan satu kotak sulam
dari sakunya dan berkata: "Ayahmu berada di tempatnya Hok Kong An.
Sekarang aku mau minta pertolonganmu buat serahkan kotak ini kepada Hok
Kong An, supaya aku tak usah berabe mundar-mandir."
Thian Oe sambuti kotak itu, dan selagi mau menanya, si pemuda sudah
mendahului sembari tertawa: "Kasihkan saja padanya. Percayalah, barang
ini mempunyai banyak kebaikan bagi ayahmu. Di belakang hari kita bakal
bertemu pula. Kau tak usah banyak menanya." Ia berpaling kepada Loei Tjin
Tjoe dan lanjutkan perkataannya: "Kau juga harus segera pulang ke
Soetjoan. Jika bertemu dengan Moh Tayhiap, tolong sampaikan salamku
kepadanya." Sehabis berkata begitu, ia angkat kedua tangannya dan dalam
sekejap, ia sudah lenyap dari pemandangan.
Sesudah dapat banyak pengalaman pahit getir, habislah segala
kesombongannya Loei Tjin Tjoe. Dengan mulut ternganga dan hati yang kagum
tak habisnya, ia awasi bayangannya si pemuda baju putih yang melesat
seperti anak panah. Sesudah mengasoh beberapa lama, keempat orang lantas
berpisahan. Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe menuju ke Soetjoan, sedang
Thian Oe dan Yoe Peng teruskan perjalanan ke Lhasa.
Tanpa mendapat rintangan suatu apa, pada satu magrib Thian Oe dan
Yoe Peng tiba di ibukota Tibet itu. Begitu masuk ke dalam kota, selagi
Thian Oe mau tanya orang dimana letaknya markas besar Hok Kong An, Yoe
Peng mendadak berkata: "Kenapa begitu terburu-buru? Marilah kita pesiar
barang semalaman, buat lihat-lihat pemandangan Lhasa di waktu malam.
Biarlah besok saja cari ayahmu."
Thian Oe mesem. Ia jadi ingat janjinya buat ajak Yoe Peng pesiar di
kota Lhasa dan ia juga merasa, bahwa begitu lekas sudah masuk ke markas
besarnya Hok Kong An, mereka tidak dapat keluar masuk lagi sesuka hati.
Maka itu, tanpa membantah, ia lantas tuntun tangannya Yoe Peng dan
keliling di seputar kota.
Sebagai ibukota Tibet, Lhasa dikurung oleh bukit-bukit yang
tingginya dari empat sampai lima ribu kaki. Rumah-rumah yang papak dan
tenda-tenda di sana-sini memperlihatkan pemandangan yang lain daripada
apa yang terlihat di Tiongkok Asli. Di waktu malam, sinar lilin yang
muncul dari beribu-ribu tenda memberi satu pemandangan yang sangat luar
biasa. Keraton Potala yang berdiri di atas bukit dan atapnya mengeluarkan
sinar emas berkredepan, kelihatannya angker dan indah sekali.
"Mari kita pergi kesana," mengajak Yoe Peng.
"Itulah keratonnya Budha Hidup, mana boleh orang sembarangan
masuk," menerangkan Thian Oe. "Mari kita pergi ke lapangan yang terletak
di sebelah bawahnya."
Lapangan yang terletak di bawahnya Keraton Potala adalah pusatnya
keramaian dari kota Lhasa. Di seputar lapangan berdiri tenda-tenda yang
berjejer-jejer, sedang di tengah-tengah terdapat macam-macam pedagang
yang gelar barang-barangnya di atas tanah. Di sebelahnya itu, terdapat
juga rombongan-rombongan penyanyi, wayang, dangsu dan sebagainya. Yoe
Peng yang biasa berdiam dalam keraton yang sepi, tentu saja belum pernah
saksikan keramaian yang sedemikian rupa. Ia merasa, keindahan bilang ribu
lilin dan lampu yang gilang-gemilang adalah lebih mengagumkan dari apa
yang dapat dilihat di keraton es. Sesudah nonton orang India bermain
ular, mereka pergi saksikan pertunjukan yang diberikan oleh rombongan
orang-orang Hapsatkek dari Sinkiang. Yang satu kasih lihat kepandaian
menelan pedang, sedang yang lain semburkan api menyala dari mulutnya.
Orang itu kasih masuk sebatang pedang yang panjangnya tiga kaki ke dalam
mulutnya. Pedang itu amblas dan yang ketinggalan di luar mulut cuma
gagangnya saja yang pendek.
"Ah!" kata Yoe Peng dengan suara kagum. "Ilmu silatnya orang itu
kelihatannya melebihi si pemuda baju putih!"
"Bukan ilmu sejati, semacam sulap," menerangkan Thian Oe sembari
tertawa. Baru saja Thian Oe berkata begitu, orang itu cabut pedangnya
yang lantas ditekuk-tekuk. Ternyata pedang itu terbuat dari timah tipis
yang sangat lemas. Yoe Peng tertawa terbahak-bahak dan hatinya girang
sekali. Mendadak ia rasakan badannya disenggol orang dan ketika ia meraba
dengan tangannya,
Pengpok Hankong kiam sudah lenyap!
Bukan main kagetnya Yoe Peng. Ia menengok dan lihat Thian Oe sedang
cekal satu orang sembari membentak: "Dia!" Tak salah lagi orang itu
adalah si pencopet, sebab sarung pedang kelihatan nongol di bawah
jubahnya yang panjang. Yoe Peng enjot badannya buat rebut pulang
pedangnya. Tiba-tiba orang itu tertawa nyaring dan dengan sekali goyang
badannya, ia sudah terlepas dari cekalannya Thian Oe, akan kemudian kabur
dengan menyelesap di antara orang banyak. Thian Oe ternganga sambil
pegangi jubahnya si copet, yang tenyata sudah akali ia dengan tipu
"Tonggeret lepaskan kulit." Selagi Thian Oe pegang tangan jubahnya dan
hendak membekuk dengan cekalan Kinna hoat, si copet loloskan tangannya
dari tangan jubah dan kabur dengan tinggalkan jubahnya.
Sembari berteriak "tangkap!", Thian Oe loncat memburu. Meskipun
ilmu entengi badannya sudah cukup tinggi, tapi si copet terlebih gesit
lagi dan dalam tempo sekejap, ia sudah kabur keluar dari antara orang
banyak. Thian Oe mengubar terus tanpa perdulikan beberapa orang yang jadi
terpelanting lantaran ditubruk olehnya. Di lain saat, ia lihat si copet
sudah loncat ke atas sebuah tenda. Pencopetan adalah kejadian lumrah di
tempat tersebut dan orang banyak mengambil sikap acuh tak acuh, malahan
beberapa antaranya yang kena dibikin terpelanting jadi berbalik maki
Thian Oe yang dikatakan ceroboh.
Dengan berdiri di atas tenda, si copet buat main Pengpok Hankong
kiam dan mulutnya memuji tak hentinya: "Pedang bagus! Sungguh bagus!"
Dengan gusar, Yoe Peng dan Thian Oe loncat ke atas tenda itu, tapi si
copet yang luar biasa gesitnya, sudah pindah ke lain tenda dan dengan
beberapa lompatan, ia sudah turun ke atas lapangan yang terletak di
belakangnya tenda-tenda.
Thian Oe terkejut. Ilmu entengi badannya si copet ternyata tidak
berada di sebelah bawahnya! Lapangan tersebut terletak di bawahnya suatu
bukit, di atas mana berdiri keraton Potala. Si copet lari dengan mendaki
tanjakan gunung, tapi ia menuju ke arah selatan barat dan bukannya ke
jurusan Potala.
Thian Oe dan Yoe Peng mengubar terus sekeras-kerasnya, tapi mereka
tetap ketinggalan di belakang dalam jarak beberapa tombak. "Orang ini
mungkin bukan copet sewajar," kata Thian Oe. "Tak perduli," kata Yoe
Peng. "Dia sudah curi pedangku, aku mesti merebut pulang."
Mereka terus ubar-ubaran, dari depan sampai di belakang bukit dan
akhirnya masuk ke satu daerah pegunungan yang sangat sepi.
"Sahabat!" Thian Oe berteriak. "Sudahlah, jangan main-main!"
Orang itu tidak meladeni dan lari terus, sambil mencekal Pengpok
Hankong kiam yang sinarnya menerangi jalanan. Sesudah kabur lagi beberapa
lama, si copet mendadak berhenti di depannya satu rumah, yang
mengeluarkan sinar lilin. Bentuknya rumah itu agak luar biasa, bukan
pasegi tapi bundar seperti tenda, sedang seputarnya dikurung tembok. Si
copet mendadak lompati tembok dan masuk ke dalam.
"Ha! Inilah sarangnya!" berseru Yoe Peng sembari enjot badannya.
Thian Oe mau mencegah, tapi sudah tidak keburu, sehingga ia pun lantas
turut loncat.
Begitu masuk, mereka menghadapi penerangan yang menyilaukan mata.
Di ruangan tengah terpasang dua baris lilin sebesar lengan, sehingga
ruangan itu jadi terang seperti siang. Di tengah ruangan duduk seorang
pembesar militer Boan dan si copet menyerahkan Pengpok Hankong kiam
kepadanya. Orang itu meneliti pedang tersebut dan berkata: "Benar! Benar
pedang ini! Apa wanita itu datang bersama-sama?" Sebagaimana diketahui,
Pengpok Hankong kiam mengeluarkan sinar dingin yang luar biasa dan dapat
membikin pingsan orang yang belum mempunyai cukup tenaga dalam. Tapi
pembesar itu, yang lantas cabut pedang tersebut dari sarungnya dan
bulang-balingkan beberapa lama, seperti juga tidak merasakan suatu apa.
Yoe Peng memburu bagaikan terbang seraya membentak: "Pulangkan
pedangku!"
Pembesar itu mengawasi dengan mata tajam dan berkata: "Apa pedang
ini milikmu? Ah, tak benar!"
"Kenapa tak benar?" tanya Yoe Peng.
Si pembesar mengawasi pula dan lalu berkata: "Coba kau jalan dua
tindak."
Bukan main gusarnya Yoe Peng yang segera enjot badannya sembari
ayun tangannya buat melepaskan dua butir Pengpok S intan, yang satu
menyambar ke arah si pembesar dan yang satunya lagi ke jurusan si copet.
Sungguh sebet gerakannya pembesar tersebut! Dengan satu gerakan
kilat, tangannya sudah menyambar ke depannya si copet, dan dengan gerakan
Tjianpie Djie Lay (Djie Lay Hud dengan seribu tangan), ia sudah sambuti
kedua senjata rahasianya Yoe Peng! Ia pencet dan kedua Pengpok Sintan
lantas meledak dalam telapakan tangannya! Gelombang demi gelombang, hawa
yang sangat dingin keluar dari sela-sela jarinya.
"Sekarang kau tahu keliehayanku!" kata Yoe Peng sembari tertawa.
"Hayo, pulangkan pedangku!" Dari jarak beberapa kaki, hawa dinginnya
Pengpok Sintan sudah menusuk sampai ke tulang-tulang, apa lagi jika
peluru itu meledak didalam tangan. Yoe Peng merasa pasti, pembesar itu
tak akan dapat mempertahankan dirinya lagi dan bakal segera memohon
ampun. Tapi tak dinyana, sedikitpun ia tidak kelihatan kedinginan, dan
seperti juga tidak terjadi apa-apa, ia susut kedua tangannya yang penuh
air es di bajunya. "Ah!" kata ia. "Baik juga ketemu aku. Kalau lain
orang, biar tak mati, sedikitnya mesti sakit keras."
Thian Oe terkesiap. Dengan meledakkan Pengpok Sintan secara
demikian, kepandaiannya orang itu kelihatannya tidak berada di sebelah
bawahnya si pemuda baju putih.
Baru saja ia niat memberi hormat, Yoe Peng sudah kebaskan tangan
kirinya dan membuat setengah lingkaran dengan tangan kanannya, akan
kemudian loncat menerjang. Itulah satu pukulan yang sangat liehay dari
Tatmo Tjianghoat. "Ah! Ini jadi semakin tak benar!" kata si pembesar
sembari lonjorkan tangannya buat tangkap lengannya Yoe Peng.
Thian Oe terkejut melihat gerakan orang yang sangat hebat. Dalam
kebingungannya tanpa memikir lagi, ia enjot badannya sembari mencabut
pedang. "Sungguh indah!" berseru pembesar itu. "Di antara tingkatan muda,
kepandaian seperti ini sungguh jarang terdapat!" Selagi mulutnya bicara,
tangan kirinya bekerja terus. Mendadakan saja, Thian Oe rasakan jari-
jarinya terbuka dan pedangnya sudah pindah ke tangannya orang itu, sedang
lengannya pun kena tercekal!
Demikianlah dengan satu gerakan saja, orang itu sudah dapat cekal
lengannya Yoe Peng dan Thian Oe yang lalu dilemparkan. Belum sempat
berteriak, mereka sudah jatuh duduk di atas kursi, tanpa mendapat luka
sedikit pun!
Thian Oe dan Yoe Peng mengawasi dengan mata mendelong dan mulut
ternganga. Mereka hampir tak percaya, bahwa dalam dunia masih ada orang
yang mempunyai kepandaian begitu tinggi.
Pembesar itu mesem dan berkata: "Tak susah buat dapat pulang kedua
pedang ini. Aku cuma mau minta kalian bicara sebenarnya. Siapakah adanya
kalian?"
"Ayahku adalah Tan Teng Kie, Soanwiesoe dari Sakya," sahut Thian
Oe. Orang itu keluarkan satu seruan kaget dan berkata: "Ah, kalau begitu
kau adalah Tan Kongtjoe. Maaf buat perbuatanku yang barusan." Ia lalu
berpaling kepada Yoe Peng dan menanya: "Dan kau?"
Lantaran masih berdongkol, Yoe Peng tutup mulutnya. "Kekeliruanku
yang tadi sudah terjadi lantaran adanya salah mengerti," kata si pembesar
dengan suara halus. "Aku menduga, kau adalah seorang wanita lain, tapi
siapa nyana, biarpun pedangmu mirip dengan pedangnya, ilmu silatmu masih
kacek terlalu jauh dengan ilmu silatnya! Itu sebabnya kenapa barusan aku
bilang, tak benar."
Begitu mendengar perkataannya si pembesar, Thian Oe dan Yoe Peng
loncat bangun dengan berbareng. "Wanita siapa yang kau ketemu?" tanya Yoe
Peng.
"Bagaimana sebenarnya hubungan antara kau dan wanita itu?" ia balas
menanya.
"Aku adalah dayangnya," jawab Yoe Peng.
Pembesar itu manggut-manggutkan kepalanya seraya berkata: "Nah,
kalau begitu barulah benar. Siapakah adanya majikanmu?"
Oleh karena tidak kenal siapa adanya orang itu, hatinya Yoe Peng
jadi sangsi. "Aku she Liong, namaku Leng Kiauw," ia perkenalkan dirinya
sembari mesem. "Banyak sahabat bilang namaku sukar diingat, dan oleh
karena aku adalah anak yang ketiga, mereka pada panggil aku Liong Sam.
Bukankah Tan Kongtjoe sudah pernah dengar namaku yang rendah?"
Thian Oe jadi berdebar hatinya. Ia sama sekali tak duga, bahwa
pembesar yang kelihatannya begitu sederhana adalah orang luar biasa nomor
satu di bawah perintahnya Hok Kong An -- Liong Sam Sianseng yang kesohor
namanya!
Dari ayahnya, Thian Oe pernah dengar, bahwa di bawah perintahnya
panglima besar tersebut terdapat seorang pandai yang tak mau munculkan
mukanya. Orang itu dikenal sebagai Liong Sam Sianseng. Pangkatnya kecil
saja, yaitu pangkat Tjamtjan (semacam penulis), tapi pengaruhnya sangat
besar dan semua nasehatnya selalu diturut oleh Hok Tayswee. Banyak sekali
usaha yang berfaedah di daerah perbatasan keluar dari otaknya.
Menurut katanya orang, kepandaian Liong Sam tak dapat diukur
bagaimana tingginya. Tugas Hok Kong An di Lhasa adalah tugas yang bukan
main beratnya, akan tetapi, selama beberapa tahun, ia selalu dapat
lakukan pekerjaannya secara licin, dan ini, menurut katanya orang,
sebagian besar adalah berkat bantuannya Liong Sam Sianseng. Namanya Liong
Sam tidak banyak dikenal orang dan cuma diketahui oleh beberapa pembesar
penting di bawahnya Hok Kong An. Dahulu, setiap kali Siauw Tjeng Hong dan
Tan Thian Oe bicara mengenai dirinya Liong Sam, mereka selalu merasa
sangsi, apakah benar orang itu mempunyai kepandaian yang tinggi. Mereka
anggap, manakala benar ia mempunyai kepandaian seperti yang diagulkan
orang, Liong Sam tentu tak akan sudi bekerja sebagai satu Tjamtjan di
bawahnya Hok Tayswee.
Tapi belakangan, ketika berada di keraton es, Thiekoay sian pernah
utarakan perasaan kagumnya terhadap Liong Sam. Dikatakan olehnya, bahwa
Liong Sam adalah seperti satu naga malaikat, yang kelihatan kepalanya,
tapi tak kelihatan buntutnya. Ketika itu, Thian Oe pernah tanyakan asal-
usulnya Liong Sam, akan tetapi sang guru sungkan banyak bicara dan cuma
geleng-gelengkan kepalanya. Ia cuma bilang, kalau nanti sudah turun
gunung, ia mau bawa Thian Oe pergi ketemukan orang pandai itu. Cuma
sungguh menyesal, sebelum niatan itu terwujut, Thiekoay sian sudah
tinggalkan dunia ini buat selamalamanya. Dan sekarang, secara kebetulan
sekali, dengan matanya sendiri, Thian Oe dapat saksikan kepandaiannya
Liong Leng Kiauw.
"Sesudah aku perkenalkan diri, apakah kau dapat memberitahukan
namanya majikanmu?" tanya Liong Sam sembari tertawa. Yoe Peng masih juga
belum menyahut. Ia hanya mengawasi dengan perasaan bimbang.
"Lagi kapan kau bertemu ia?" tanya Thian Oe.
"Apa kau kenal majikannya?" Liong Sam balas menanya.
"Majikannya adalah Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
Liong Sam kelihatan terkejut. "Hm!" ia menggerendeng. "Aku kira
Pengtjoan Thianlie cuma cerita burung. Tak tahunya, benar ada orangnya!"
"Lagi kapan kau bertemu Kongtjoe kami?" tanya Yoe Peng.
"Tiga hari yang lalu, di waktu malam," sahutnya.
"Bagaimana bertemunya?" tanya lagi Yoe Peng.
"Ia datang disini dan ambil serupa barang," menerangkan Liong Sam.
"Ia ambil barangmu?" tanya Yoe Peng sembari tertawa dingin,
lantaran ia sama sekali tak percaya. Puterinya mau mengambil barang lain
orang.
"Barang apa?" tanya Thian Oe.
"Bukan barang terlalu penting, cuma aku tak mau ia mengambilnya,"
sahut Liong Sam secara menyimpang. "Cuma sayang, aku tak dapat tahan
padanya."
Pada tiga malam yang lalu, seorang wanita telah satroni rumahnya
Liong Sam dan curi satu rencana cara bagaimana Hok Tayswee akan menyambut
guci emas yang di kirim dari Pakkhia. Rencana itu telah disusun oleh
Liong Sam sendiri. Wanita tersebut mempunyai ilmu entengi badan yang luar
biasa tingginya dan menggunakan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar
terang serta hawa dingin. Liong Sam mengubar dan sesudah beberapa
gebrakan, ia masih belum dapat jatuhkan wanita itu. Dalam kegelapan
malam, ia tak dapat lihat tegas mukanya wanita tersebut yang mendadak
tertawa bergelak-gelak dan berkata: "Cuma sebegini ilmunya Naga
Malaikat!" Sehabis berkata begitu, ia menyerang dengan serangan aneh,
sehingga Liong Sam terpaksa loncat mundur, dan dengan gunakan kesempatan
itu, ia enjot badannya dan menghilang di tempat gelap.
Kejadian itu sudah membikin Liong Sam yang pandai dan banyak
pengalamannya jadi garuk-garuk kepalanya. Itu sebabnya kenapa sudah
terjadi salah mengerti dan Yoe Peng, yang diduga adalah wanita itu sebab
mempunyai pedang yang mirip dengan pedangnya wanita tersebut, sudah
dipancing datang kesitu.
Sesudah Liong Leng Kiauw tuturkan duduknya persoalan, semua orang
jadi bengong dengan masing-masing mempunyai pendapat sendiri-sendiri.
Thian Oe sendiri sudah merasa pasti, bahwa wanita itu adalah Pengtjoan
Thianlie. Di lain pihak, Yoe Peng tidak percaya omongannya tuan rumah,
bahwa Pengtjoan Thianlie datang menyatroni buat mencuri barangnya.
"Bukankah di keraton es bertumpuk-tumpuk macam-macam mustika? Mana bisa
dipercaya, Kongtjoe mau curi barangnya!" kata Yoe Peng dalam hatinya.
Tapi Yoe Peng tidak tahu, bahwa rencana yang dicuri oleh Pengtjoan
Thianlie ada lebih berharga dari mustika apapun juga. Sementara itu,
Liong Leng Kiauw tak habis mengerti, kenapa Pengtjoan Thianlie sudah curi
rencananya. Apakah ia mau campur tangan? Mengingat ilmu silatnya
Pengtjoan Thianlie yang sangat tinggi, mau tak mau hatinya jadi keder
juga.
Matanya Liong Sam yang sangat tajam dapat lihat kesangsiannya Yoe
Peng, tapi ia tidak kata apa-apa dan lantas pulangkan Pengpok Hankong
kiam. Selagi Thian Oe mau pamitan, Liong Sam sudah mendahului dengan
berkata: "Tan Kongtjoe, jika kalian tak mencela tempatku yang buruk, aku
undang kalian mengasoh semalaman disini. Besok aku akan antar kau pergi
ke gedungnya Hok Tayswee. Mungkin sekali ayahmu juga berada disitu."
"Apa ayah tinggal disitu?" tanya Thian Oe.
"Bukan," sahut Liong Sam. "Ia menyewa rumah lain. Besok Hok Tayswee
mau berunding dengan ia, dan aku dengar, tak lama lagi ia sudah boleh
balik ke Sakya.
Besok paginya, bersama Liong Sam, Thian Oe pergi ke gedungnya Hok
Kong An, sedang Yoe Peng menunggu di rumah. Gedungnya Hok Tayswee
terletak di tengah-tengah kota dan berdekatan dengan Gereja Besar
(Thaytjiauw Sie). Di tengah jalan Liong Leng Kiauw tanyakan mengenai
Pengtjoan Thianlie dan dijawab dengan sejujurnya oleh Thian Oe.
Setibanya di gedung Hok Kong An, Liong Sam minta Thian Oe menunggu
di kamar peranti tetamu menulis nama. Tak lama kemudian, seorang pelayan
muncul dan undang Thian Oe masuk ke dalam. Baru saja kakinya menginjak
undakan batu, ia dengar suaranya Liong Sam yang berkata sembari tertawa:
"Tan Taydjin, aku bilang hari ini kau bakal dapat kegirangan besar, tapi
kau tidak mau percaya.
Coba lihat, siapa yang datang!” Begitu masuk, ia lihat di tengah-
tengah ruangan berduduk seorang pembesar Boantjiu yang berusia kurang
lebih 40 tahun. Ia berwajah angker sekali, tapi pada keangkeran itu
terselip sinar kejengkelan. Orang yang duduk di sebelahnya pembesar Boan
tersebut bukan lain daripada ayahnya sendiri, Tan li-ny Kie.
Melihat puteranya, Teng kie girang tak terhingga. "Oe-djie!" ia
berseru. "Lekas memberi hormat kepada Hok Tayswee!" Thian Oesegera
jalankan peradatan sesuai dengan adat istiadat, dan sesudah itu, ia lalu
berdiri di samping ayahnya.
Hok Tayswee lirik Thian Oe dan berkata: "Dengan lihat romannya Tan
Sieheng, dengan sesungguhnya burung Hong muda boleh berendeng dengan Hong
tua. Aku berani bilang, di belakang hari nama dan keberuntungannya Tan
Sieheng akan berada di sebelah atasannya Taydjin sendiri. Sungguh aku
harus memberi selamat kepada Taydjin."
"Buat itu semua kami ayah dan anak tentu saja harus mengandal
kepada bantuannya Tayswee," sahut Teng Kie.
Thian Oe sebal mendengar kata-kata yang manis-manis dari kalangan
pembesar negeri, maka itu, tanpa menunggu sampai Hok Kong An membuka
mulut lagi, ia sudah mendahului. "Hok Tayswee," katanya. "Ada orang minta
aku sampaikan serupa barang kepadamu."
"Ada orang minta kau sampaikan barang kepadaku?" menegasi panglima
itu dengan suara heran. "Barang apa?"
Thian Oe rogoh sakunya dan keluarkan kotak sulam yang ia terima
dari si pemuda baju putih dan serahkan itu kepada Hok Kong An, yang
lantas buka tutupnya. Kotak itu ternyata berisi sejilid buku. Begitu
membaca, paras mukanya Hok Kong An jadi berobah, dan sembari pegang buku
itu dengan satu tangannya, ia menanya dengan suara tidak sabaran: "Siapa
yang berikan buku ini?" Pada mukanya panglima itu, yang tadi kelihatan
begitu tenang, sekarang terlukis perasaan kaget dan girang. Teng Kie
gelisah dan awasi puteranya.
"Yang memberikan adalah seorang muda yang kelihatannya seperti anak
sekolah, yang aku ketemu di tengah jalan," menerangkan Thian Oe.
Tan Teng Kie yang tidak mengetahui apa isinya buku itu, jadi merasa
bingung dan tidak mengerti, cara bagaimana puteranya boleh sembarangan
terima saja barangnya orang yang tak dikenal, buat disampaikan kepada
panglima besar itu. Tapi Hok Kong An tidak jadi gusar dan tangannya
menggape kepada Liong Leng Kiauw, yang, begitu lihat isinya buku
tersebut, segera berkata dengan suara girang: "Hok Tayswee, sekarang kau
sudah boleh legakan hati. Tan Kongtjoe, sahabatmu sudah banyak membantu
kami."
"Urusan ini, benar-benar mengherankan," kata lagi Hok Kong An. "Tan
Sieheng, aku minta kau bicara terus terang. Siapakah adanya sahabatmu
itu?"
"Aku bertemu padanya secara kebetulan saja dan tak mengetahui asal-
usulnya," sahut Thian Oe.
"Aku rasa orang itu adalah seorang pendekar yang berkepandaian
sangat tinggi," berkata Liong Sam. "Menurut pendapatku, buku ini bukannya
dicuri olehnya."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Hok Kong An.
"Jika ia yang curi, tentu ia tak akan kirim pulang dengan begitu
saja," jawab Liong Sam.
Hok Kong An diam, ia rupanya sedang berpikir keras.
"Orang luar biasa dalam kalangan Kangouw, sering lakukan perbuatan
yang luar biasa pula," kata lagi Liong Leng Kiauw. "Aku rasa Tan Sieheng
sudah bicara sejujurnya, sehingga Tayswee tak usah sangsikan lagi.
Menurut anggapanku, kita memerlukan juga bantuannya Tan Sieheng."
"Benar," sahut Hok Kong An. "Sekarang lebih baik kita rundingkan
soal cara bagaimana harus menyambut guci emas itu. Tan Sieheng duduklah."
"Aku mohon tanya, buku apakah itu sebenarnya?" tanya Tan Teng Kie
yang sudah tak dapat menahan sabar lagi.
"Ini adalah firman yang dikirim oleh Hongsiang (kaizar)," sahut Hok
Kong An.
Teng Kie keluarkan teriakan kaget dan mukanya jadi pucat. Cara
bagaimana firman yang begitu penting bisa jatuh di tangan orang
sembarangan, dan malahan, nyasar juga ke dalam tangannya puteranya
sendiri?
Hatinya jadi berdebar-debar, ia tak tahu apa sedang menghadapi
kecelakaan atau kegirangan.
"Dalam firman ini ditulis dengan terang seluruh perjalanannya guci
emas itu," Hok Kong An lanjutkan keterangannya. "Segala jalanan yang
diambil dan tempat mengasoh pada setiap hari semuanya ditentukan secara
jelas sekali. Menurut rencana ini, tanggal satu lain tahun, guci emas
tersebut sudah mesti tiba di Lhasa dan kita ditugaskan buat menyambut
dari tempat lima ratus li jauhnya dari sini. Setibanya disini, guci itu
harus ditaruh di Gereja Besar dan segala upacaranya juga sudah ditentukan
dalam firman ini. Sedari mendapat laporan yang duluan, aku sudah tahu,
bahwa guci itu sudah berangkat dari kota raja. Tadi aku justru sedang
buat pikiran, kenapa firman ini belum juga datang, tapi sekarang hatiku
sudah menjadi lega."
Tan Teng Kie gemetaran dan keringat dingin keluar dari dahinya. Ia
lirik kotak itu dan kemudian lirik puteranya sendiri. Sementara itu Hok
Kong An sudah berkata lagi: "Cuma saja, sekarang kita tahu terang, bahwa
firman ini sudah kena dirampas orang di tengah jalan. Dimana adanya
pengawal yang melindungi firman, kita tidak mengetahui, dan jika
Hongsiang menyelidiki, kedosaan ini tidaklah enteng."
"Tayswee tak usah kuatir," kata Liong Leng Kiauw. "Biar bagaimana
pun juga, firman itu sekarang sudah berada dalam tangan kita. Di kemudian
hari, kalau pengawalnya datang, kita anggap saja dialah yang sudah antar
sampai kesini. Aku rasa, dia juga takut memikul kedosaan buat ketidak
becusannya. Maka itu, soal hilangnya firman di tengah jalan tentu tidak
akan sampai diketahui oleh Hongsiang."
"Bagaimana kau dapat pastikan, pengawal yang mengantar firman masih
hidup atau sudah mati?" tanya Hok Kong An.
"Menurut peraturan dalam kalangan Kangouw, kalau pengawal itu kena
dibinasakan, dalam kotak tentu mesti ditaruh pisau atau lain benda buat
memberitahukannya," menerangkan Liong Leng Kiauw.
Hok Kong An cuma menggerendeng dan tidak berkata apa-apa lagi. Ia
tidak begitu percaya dipegangnya peraturan begitu dalam kalangan Kangouw,
cuma saja, oleh karena keadaannya ada sedemikian, ia juga tidak dapat
berbuat lain daripada tunggu perkembangan selanjutnya.
"Apa yang aku kuatirkan adalah kemungkinan hilangnya guci emas di
tengah jalan," kata Liong Sam.
"Tak boleh terjadi!" kata Hok Kong An. "Kalau sampai dirampok di
tengah jalan, kita pembesar-pembesar yang bertugas di Seetjong (Tibet)
bisa kehilangan kepala! Liong Tjamtjan, apakah kita tetap akan menyambut
guci itu menurut rencana yang sudah ditetapkan?" Hok Kong An tak tahu,
bahwa rencana itu sudah kena dicuri oleh Pengtjoan Thianlie. Kalau tahu,
ia tentu akan jadi lebih kaget lagi.
Liong Leng Kiauw diam beberapa saat dan matanya lirik Thian Oe.
"Yah, kita turut rencana semula, dengan sedikit perobahan," sahutnya.
"Perobahan apa?" tanya Hok Kong An.
"Menurut rencana semula, aku menetap di Lhasa buat bantu Tayswee
pimpin upacara penyambutan," sahut Liong Leng Kiauw. "Sekarang dirobah,
biarlah aku yang pergi menyambut guci emas itu."
Matanya Hok Kong An memain dan hatinya bimbang. Liong Leng Kiauw
adalah pengawal pribadinya, dan tanpa kawalannya, ia kuatir
keselamatannya terancam.
Melihat panglima itu bersangsi, Liong Leng Kiauw segera berkata:
"Kalau toh ada orang maui guci itu, percobaan merampas tentu dilakukan...
di tengah jalan. Penjagaan disini ada cukup kuat, sehingga aku rasa
Tayswee tak usah berkuatir. Di sebelahnya itu, aku akan minta soetee-ku
bantu mengawal Tayswee. Andaikata sampai ada penjahat, aku anggap ia
masih dapat menghadapinya,"
Soetee-nya Liong Leng Kiauw bernama Gan Lok, yaitu orang yang telah
copet pedangnya Yoe Peng. Biarpun ilmu silatnya masih kacek jauh dengan
sang soeheng, ia mempunyai ilmu entengi badan yang istimewa. Walaupun
mengetahui kepandaiannya Gan Lok masih kalah dengan soeheng-nya, tapi
mengingat pentingnya guci itu, yang memang juga harus dilindungi oleh
orang semacam Liong Leng Kiauw, Hok Kong An segera manggutkan kepalanya
buat menyatakan persetujuannya.
"Aku pun ingin minta bantuannya Tan Kongtjoe," kata Liong Sam.
Tan Tang Kie kaget dan buru-buru berkata: "Anakku bisa apa?"
"Orang bilang, mengetahui anak tidak melebihi ayahnya," kata Liong
Sam sembari tertawa. "Tan Kongtjoe mempunyai kepandaian sangat tinggi,
maka buat apalah Taydjin berlaku begitu sungkan!"
"Pujian Liong Sianseng tentu tak salah," Hok Kong An sambungi.
"Baiklah, kita atur begitu saja."
Liong Leng Kiauw mesem dan berkata pula: "Di sebelahnya itu, kita
pun perlu minta bantuannya Tan Taydjin."
"Sebagai pembesar sipil, aku bisa membantu apa?" kata Teng Kie.
"Kalau sudah tiba temponya, aku bersama Tan Kongtjoe dan beberapa
pengikut akan berangkat lebih dahulu buat membuka jalan," kata Liong Leng
Kiauw. "Tan Taydjin sendiri boleh pimpin seribu serdadu pilihan buat
menyambut di tempat lima ratus li jauhnya. Berhubung dengan itu, aku
minta Hok Tayswee suka angkat Tan Taydjin sebagai utusan istimewa buat
menyambut guci emas itu."
"Liong Sianseng, kau... kau jangan main-main," kata Teng Kie dengan
suara gugup. "Bagaimana aku bisa pimpin pasukan tentara?"
"Tan Taydjin, aku bukan minta kau pergi perang atau atur barisan,"
jawabnya sembari mesem. "Bawa serdadu ada apa sukarnya? Tan Taydjin
adalah seorang keluaran Hanlim yang hafal dalam segala rupa adat istiadat
dan upacara. Menurut pendapatku, kau adalah calon satu-satunya yang
paling cocok buat menjadi utusan istimewa guna menyambut guci emas itu."
Tan Tang Kie cuma berpangkat Soanwiesoe (Amban) pada sekte Sakya,
yaitu pangkat sipil kelas empat. Menurut kepantasan, pangkatnya memang
tidak cukup tinggi buat menjadi utusan guna menyambut kiriman yang begitu
penting dari sang kaizar. Akan tetapi, sebagaimana diketahui, Hok Kong An
biasanya selalu turut nasehatnya Liong Sam, maka kali ini pun ia segera
menyetujui. Ia merasa, bahwa dengan terlebih dahulu minta bantuannya sang
putera dan kemudian memberi tugas kepada sang ayah, Liong Leng Kiauw
tentu mempunyai perhitungan yang sudah dipikir masak-masak, dan di
sebelahnya itu, firman kaizar telah didapat pulang dari tangannya Thian
Oe, yang menerimanya dari seorang lain, sehingga biar bagaimanapun juga,
Thian Oe tentu masih mempunyai hubungan apa-apa dengan orang tersebut.
Dengan diangkatnya Teng Kie sebagai utusan, sang putera tentulah juga
akan mengeluarkan segala tenaganya buat bantu melindungi keselamatannya
guci emas itu. Demikianlah jalan pikirannya Hok Kong An ketika ia memberi
persetujuannya. Saat itu juga, ia perintah seorang pegawai menulis satu
surat pengangkatan.
"Banyak tahun Tan Taydjin menderita dalam menjalankan tugas di
daerah perbatasan," kata Hok Kong An sembari tertawa. "Ini kali Taydjin
menjalankan tugas yang sangat berat dan penting dan pahala Taydjin tentu
akan sangat dihargakan oleh Hongsiang. Sesudah selesai, terdapat
kemungkinan besar Taydjin akan dapat pulang pangkat yang dahulu atau
malahan akan diberi pangkat yang terlebih tinggi. Inilah benar-benar satu
kesempatan sangat baik bagi Taydjin."
Teng Kie anggap omongannya panglima itu ada benarnya, maka,
walaupun mengetahui beratnya tugas, ia lantas menerima tanpa rewel lagi.
"Jika Tan Kongtjoe mempunyai sahabat, aku pun ingin minta
bantuannya," kata Liong Leng Kiauw, Thian Oe tahu, bahwa sahabat yang
dimaksudkan adalah Yoe Peng. Ingat Yoe Peng, ia jadi ingat Pengtjoan
Thianlie dan hatinya lantas jadi bergoncang. Ia ingat, bahwa Thiekoay
sian telah membujuk supaya Pengtjoan Thianlie bantu merampas guci itu,
sedang si pemuda baju putih minta ia melindunginya, tapi kedua usul itu
sudah ditolak secara mentah-mentah. Apa yang mengherankan, kenapa
sekarang ia curi rencananya Liong Sam? Apa ia niat merampas guci emas
itu? Kalau benar, bagaimanakah baiknya? Dan sikap apa yang akan diambil
oleh Yoe Peng? Itulah ada pertanyaan-pertanyaan yang mengaduk dalam
otaknya Thian Oe. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat lain, oleh karena
ayahnya sudah terima perbaik tugas tersebut.
Sesudah beres berunding dan minum teh, Teng Kie lantas pamitan dan
pulang bersama-sama puteranya. "Urusan ini benar-benar di luar dugaan,"
katanya kepada sang putera. "Sedari tiba di Lhasa, berulang kali aku
telah ajukan permohonan kepada Hok Tayswee supaya ia bikin betul kantor
Soanwiesoe yang rusak dan tambah penjagaan. Kalau tak diluluskan, aku
minta ia bebaskan saja tugasku dan kirim aku pulang ke kampung kita. Tapi
ia tidak mau pecat padaku dan juga sungkan luluskan permohonan yang
pertama. Dengan begitu, bulan lewat bulan, aku tetap luntang-lantung dan
makan gaji buta. Aku sungguh merasa tidak betah, tapi siapa nyana hari
ini aku mendapat tugas yang begitu berat."
"Yah, sesudah kita menerima, jalan satu-satunya adalah coba
menunaikan tugas itu sebaik bisa," kata sang putera. "Dan bagaimana
dengan keadaan di Sakya?"
"Aku dengar, sesudah aku meninggalkan Sakya, Touwsoe semakin
pentang pengaruhnya, sebab sudah tidak ada orang yang menjadi rintangan,"
jawab Teng Kie. "Cuma saja, ia kelihatannya tak dapat melupakan kau.
Bulan yang lalu, ia malahan kirim orang buat menanyakan keadaanmu." Thian
Oe jadi ingat cara bagaimana ia mau dipaksa menikah dengan puterinya
Touwsoe itu, sehingga tanpa merasa, ia jadi tertawa getir.
Rumah yang disewa oleh Tan Teng Kie cuma terpisah dua jalanan
dengan gedung Hok Tayswee. Rumah itu adalah rumah penduduk biasa yang
sangat sederhana, dan oleh karena Teng Kie kempes kantongnya, ia cuma
ambil seorang pelayan buat bantu mengurus rumahnya. Perabotan rumah juga
sangat sederhana dan berbeda jauh dengan kemewahan kantor Soanwiesoe.
Baru saja mereka masuk ke dalam mereka lihat seorang wanita muda yang
berdiri di tengah ruangan sembari tertawa. Wanita itu adalah Yoe Peng!
Tan Teng Kie terkesiap, sedang puteranya lantas buru-buru berkata:
"Nona ini adalah kawanku yang datang bersama-sama ke Lhasa. Eh, bagaimana
kau bisa datang kesini?"
"Lantaran tak sabaran menunggu di rumahnya keluarga Liong, aku
tanyakan dimana letaknya rumahmu dan lantas pergi cari sendiri,"
menerangkan Yoe Peng. "Apa orang tua ini ayahmu?"
Sesudah berkata begitu, ia segera memberi hormat menurut adat
istiadat bangsa Han. Teng Kie lihat gadis itu berparas cantik dan
sikapnya gagah, sehingga jika dibandingkan dengan puterinya Touwsoe, ia
menang beberapa kali lipat. "Kalau dipasangi dengan Thian Oe memang
pantas sekali, cuma gerak-geriknya terlalu luar biasa," kata Teng Kie
dalam hatinya.
Melihat ayahnya mengawasi dengan mata mendelong, Thian Oe jadi
tertawa dan berkata: "Ayah, dia adalah satu bidadari!"
"Foei! Jangan omong kosong!" membentak Yoe Peng sembari monyongkan
mulutnya. Melihat lagak orang yang masih kekanak-kanakan, Teng Kie jadi
tertawa lebar. "Memang juga seperti bidadari!" katanya.
"Ah, Looyatjoe (panggilan menghormat terhadap orang tua) juga suka
guyon-guyon!" kata Yoe Peng.
"Ayah, memang benar ia adalah satu bidadari, kalau tak percaya,
dengarlah ceritaku," kata sang putera yang lantas saja tuturkan segala
pengalamannya dalam keraton es selama beberapa bulan. Teng Kie mendengari
dengan mulut ternganga dan hampir-hampir tidak mau percaya cerita itu
yang seperti cerita dongeng.
Mulai waktu itu, Yoe Peng berdiam di rumahnya Teng Kie dan bersama
Thian Oe, diam-diam ia coba cari keterangan tentang halnya Pengtjoan
Thianlie, tapi sebegitu jauh, uasaha itu tidak berhasil. Tanpa terasa
musim dingin sudah hampir lewat dan tempo yang ditetapkan buat menyambut
guci emas sudah hampir tiba.
Menurut rencana, Liong Leng Kiauw, Thian Oe dan Yoe Peng berangkat
satu hari lebih dahulu buat membuka jalan. Sebelum berangkat, pemuda itu
beritahukan kekuatirannya kalau-kalau Pengtjoan Thianlie benar niat
merampas guci itu, kepada Yoe Peng. "Kalau benar Kongtjoe datang, aku
pasti berdiri di pihaknya," kata Yoe Peng. "Jika ia mau merampas guci
itu, aku tentu akan membantu. Manakala sampai kejadian begitu, kau buru-
buru kabur dan aku berjanji tidak akan menyerang dirimu." Mendengar
jawaban orang, hatinya Thian Oe jadi lebih kesal.
Liong Leng Kiauw pilih tiga ekor kuda Tibet yang paling baik buat
dijadikan tunggangan dan mereka berangkat pada Capdjiegwee Tjapgo (bulan
dua belas tanggal lima belas), supaya dapat bertemu dengan rombongan yang
mengantar guci itu di mulutnya gunung Tantat san pada tangal dua puluh
tiga. Jalanan gunung luar biasa sukarnya dengan jurang-jurang yang
berbahaya dan pegunungan itu dikenal sebagai tempat keluar masuknya
kawanan kecu.
Dalam perjalanan, Liong Leng Kiauw dan Thian Oe merasa cocok
sekali, tapi Yoe Peng selalu mengambil sikap tawar. Berhubung dengan
musim dingin, jalanan tertutup salju, dan perjalanan jadi terlebih sukar
lagi. Masih untung, ilmu silatnya Thian Oe sudah maju banyak, sehingga ia
dapat menahan segala penderitaan dengan tidak banyak susah.
Di sepanjang jalan Liong Sam berlaku sangat hati-hati, dan ditambah
sama sukarnya jalanan gunung, mereka maju lambat sekali. Sesudah berjalan
tujuh hari, barulah mereka dapat lalui kurang lebih empat ratus li. Hari
itu, mereka masuklah di dalam daerah pegunungan Tantat san. "Sesudah
lewati jalanan ini, besok pagi kita akan tiba di mulut gunung dan dapat
persatukan diri dengan mereka," kata Liong Sam.
"Siapakah yang dikirim buat antar guci itu dari kota raja?" tanya
Thian Oe.
"Aku dengar, pimpinan rombongan berada dalam tangannya Raja muda Ho
Sek Tjin-ong dan delapan pengawal utama dari keraton juga datang
semuanya," sahut Liong Leng Kiauw.
"Bagaimana kepandaiannya delapan pengawal itu?" tanya Thian Oe.
Liong Leng Kiauw tertawa dan menjawab: "Sudah lama mereka dapat
nama besar dan rasanya kepandaian mereka tidak berada di sebelah bawah
kita." Didengar dari lagu suaranya, Thian Oe merasa Liong Sam tidak
terlalu pandang mata kepada delapan orang itu.
Jalanan di sebelah depan diapit dua puncak gunung dan jalanan
gunung lugat-legot seperti ular. Sesudah lewati satu lembah, mereka lihat
tiga penunggang kuda yang jalan berbaris, semua berpakaian hitam, sedang
tudungnya pun berwarna hitam, sehingga kelihatannya menyolok sekali di
atas jalanan yang tertutup salju putih. Mendadak, orang yang jalan paling
dahulu menengok ke belakang dan begitu lihat mukanya, Thian Oe keluarkan
satu seruan tertahan, sebab ia kenali, orang itu bukan lain daripada
Siamkam Tayhiap Bek eng Beng, yang tempo hari ia ketemu di shigatse.
Untung juga, malam ini Thjian Oe tidak munculkan muka, sehingga sesudah
menengok sekali, Bek Eng Beng tidak perhatikan mereka lagi dan terus
teriaki dua kawannya supaya berjalan terlebih cepat.
"Yang di sebelah depan adalah Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng," kata
Thian Oe dengan suara perlahan.
"Kau kenal tidak sedikit orang," kata Liong Sam sembari tertawa.
"Walaupun mendapat julukan Siamkam Tayhiap, Bek Eng Beng tidak seberapa
liehay. Dua kawannya yang jalan belakangan banyak lebih tinggi
kepandaiannya."
"Siapa mereka?" tanya Thian Oe.
"Dilihat dari bebokongnya, mereka agaknya seperti dua jagoan dari
Tjionglam pay, yaitu Boe-sie Hengtee (dua saudara she Boe)," sahut Liong
Sam. Boe-sie Hengtee adalah turunannya Tayhiap Boe Goan Eng yang hidup
pada jamannya Kaizar Soentie dan keluarga Boe biasanya hidup mengumpat
dalam pegunungan Tjionglam san, tapi tak dinyana, sekarang kedua jagonya
berada di Tibet.
Di sebelah depan adalah jalanan sempit yang bulak-biluk seperti
usus kambing dan diapit oleh dua puncak gunung. Mendadak terdengar
suara kelenengan kuda dan seekor kuda Arab yang tinggi besar kelihatan
mendatangi, dengan seorang penunggangnya yang memakai jubah pertapaan
warna merah. Hampir berbareng Thian Oe dan Yoe Peng keluarkan teriakan
tertahan. "Ah, dia!" berseru mereka. Orang itu bukan lain daripada
Hoantjeng jubah merah yang pernah dua kali menyatroni keraton es dan
binasakan Thiekoay sian! Thian Oe merasa heran sekali, sebab, ketika mau
lepaskan napasnya yang penghabisan, Thiekoay sian bilang, bahwa paderi
itu telah mendapat luka berat dan harus berlatih lagi dari tiga sampai
lima tahun buat dapat pulang tenaganya. Tapi baru saja berselang empat
bulan, ia kelihatannya sudah sama gagahnya seperti sebelum mendapat luka.
Sembari membentak keras, paderi itu kaburkan kudanya. Bek Eng Beng
tidak keburu menyingkir dan hampir-hampir saja ia jatuh terguling. Dengan
sangat gusar, Siamkam Tayhiap angkat tangannya dan hantam kepalanya kuda
itu. Bagaikan kilat, si paderi gerakkan tangannya, sedang badannya Bek
Eng Beng kelihatan ngapung ke tengah udara. Hampir pada detik yang
bersamaan, kedua saudara Boe loncat dari tunggangannya dan dua pasang
tangan menyambar dengan berbareng. Paderi itu keluarkan teriakan keras
dan jatuh terguling dari kudanya.
"Binatang tak kenal aturan!" kedua saudara Boe membentak. Mereka
bergerak dengan berbareng, yang satu menendang dengan kaki kirinya,
sedang yang lain menyepak sama kaki kanannya. Si paderi buru-buru putar
badannya buat sambut kedua serangan yang hebat itu.
Mendadak kuda Arab itu berbenger keras. Ternyata lantaran kaget,
bintang itu terpeleset dan jatuh menggelinding ke bawah tanjakan. Di
sebelah bawah tanjakan terdapat jurang yang dalamnya ratusan tombak,
sehingga kalau dia sampai jatuh kesitu, badannya tentu akan hancur lebur.
Si paderi terkesiap dan terlalu gugup buat bisa menolong tunggangannya.
Tiba-tiba badannya kedua saudara Boe melesat ke bawah seperti anak panah.
Yang satu tangkap kaki belakang kanan, sedang yang lain cekal kaki
belakang kirinya sang kuda, dan kemudian, sembari kerahkan tenaga
dalamnya, dengan berbareng mereka lemparkan kuda itu ke atas! Tenaga yang
dikeluarkan tidak kebanyakan atau kesedikitan dan kuda itu hinggap di
atas tanah tanpa mendapat luka! Sesudah lihat kepandaian orang yang
istimewa itu, si paderi tidak berani banyak tingkah lagi. Tanpa keluarkan
sepatah kata, ia hampiri kudanya. Ketika itu, Bek Eng Beng juga sudah
duduk di atas sela, dan selagi ia mau menghalangi si paderi, Boe-sie
Hengtee mencegah dengan berkata: "Bek Toako, biarkan manusia itu
berlalu." Bek Eng Beng tundukkan kepalanya dan berbareng dengan
berkesiurnya angin, badannya si paderi sudah melesat di atasan kepalanya
dan hinggap di atas punggung kuda.
Liong Leng Kiauw tertawa dan berkata: "Hoantjeng itu cukup liehay.
Kalau satu lawan satu, Boe-sie Hengtee tentu tidak bisa gampang-gampang
dapat kemenangan." Melihat musuh besar yang sudah binasakan gurunya,
Thian Oe jadi merah matanya. Si paderi pun kelihatannya kaget ketika
dapat lihat Thian Oe bersama Yoe Peng dan lantas keprak kudanya. Thian Oe
cabut pedangnya yang lantas diputar buat sambut kedatangan musuh.
Mendadak kedengaran bentakan Liong Leng Kiauw dalam bahasa Nepal:
"Bangsat gundul minggir!" Thian Oe cepat, tapi tangannya Liong Sam
terlebih cepat lagi. Dengan gerakan menuntun kambing, ia angkat si paderi
dari atas kuda dan terus dilemparkan ke belakang, sedang sang kuda lari
terus. Ilmunya paderi itu sesungguhnya tinggi sekali. Selagi badannya
berada di tengah udara, dengan gerakan Leehie hoansin (Ikan Leehie balik
badan), ia hinggap dengan selamat di atas punggung kudanya yang sedang
lari keras! Cuma saja, lantaran sudah beruntun dua kali kena tubruk
tembok, semangatnya jadi merosot dan ia cuma menengok ke belakang dan
awasi Liong Leng Kiauw dengan sorot mata gusar.
Liong Sam tak ladeni dia dan perintah Thian Oe berjalan terus.
"Permusuhan apakah terdapat antara kau dan Hoantjeng itu?" tanya Liong
Sam.
"Ia binasakan guruku," jawab Thian Oe.
Liong Sam heran mendengar pengakuan itu. Benar si pendeta ada
terlebih liehay daripada Thian Oe, tapi keunggulan itu cuma terletak
kepada tenaga dalam yang hanya bisa didapat dengan latihan lama. Jika
dilihat ilmu silatnya Thian Oe yang mempunyai pukulan-pukulan sangat
aneh, gurunya tentu adalah seorang ahli silat kelas satu dalam Rimba
Persilatan. Tapi kenapa ia kena dibinasakan oleh paderi tersebut? Ia
heran, tapi tidak mau menanya pula, sebab bukan temponya buat bicara
panjang-panjang. "Sekarang bukan waktunya membalas sakit hati," kata ia.
"Hayolah kita jalan terus."
Thian Oe tidak membantah dan mereka lalu teruskan perjalanan.
Ketika itu, Bek Eng Beng bertiga sudah lewati lembah gunung. Kedua
saudara Boe menoleh ke belakang dan dari sikapnya, ternyata mereka juga
sedang dihinggapi perasaan heran.
"Ikuti tiga penunggang kuda itu, cuma jangan terlalu dekat," kata
Liong Leng Kiauw.
"Liong Sianseng, ilmu apa yang barusan kau gunakan?" tanya Thian
Oe.
Liong Sam tertawa dan menyahut: "Pukulan Soentjhioe kianyo (pukulan
menuntun kambing) yang sanggat sederhana. Kesalahan paderi itu ialah dia
terlalu tidak pandang mata kepada kita dan menerjang tanpa bikin
persediaan. Maka itulah, dengan meminjam tenaganya sendiri, sekali gentak
saja aku sudah berhasil keja dia jungkir balik." Liong Sam bicara secara
merendah sekali, akan tetapi, Thian Oe mengetahui, bahwa ia mempunyai
kepandaian yang sukar diukur bagaimana tingginya, lantaran dengan pukulan
yang begitu sederhana, ia sudah bisa robohkan satu musuh yang begitu
liehay. Dengan demikian, Thian Oe jadi lebih-lebih kagumi orang pandai
itu.
Sesudah berjalan beberapa lama, tiba-tiba terdengar pula suara
kelenengan kuda. Mereka menengok dan lihat si paderi jubah merah balik
lagi dan sedang mengikuti dari sebelah kejauhan.
"Paderi itu adalah Guru Negara dari Nepal dan dia bermaksud buat
merampas guci emas itu," kata Thian Oe.
"Jangan perdulikan padanya," kata Liong Sam. "Kepandaiannya belum
cukup buat bikin kita berkuatir. Di sebelah depan mungkin sekali bakal
muncul lain-lain orang yang lebih liehay dan kita harus sangat berhati-
hati."
Sesudah lewati lagi beberapa lembah, tiga penunggang kuda yang
jalan di depan mendadak tahan tunggangannya. Liong Sam lantas beri tanda
supaya Thian Oe dan Yoe Peng pun tahan kuda mereka dan mengawasi gerak-
gerik ketiga orang itu dari jarak belasan tombak jauhnya.
Mereka lihat, di mulutnya lembah, bersender pada satu batu besar
terdapat seorang paderi kurus kering yang mukanya hitam dan berpakaian
seperti paderi berkelana dari India. Di atas tanah terdapat satu paso
pecah dan sebatang tongkat bambu, sedang si paderi sendiri lagi angsurkan
kedua tangannya seperti juga lagi minta sedekah.
Bek Eng Beng dan Boe-sie Hengtee saling awasi. "Kasihlah," kata Boe
Lootoa (saudara she Boe yang lebih tua). Bek Tayhiap keluarkan sepotong
perak yang lantas dilemparkan ke dalam paso. Paderi itu menggerendeng dan
mendadak lonjorkan tangannya buat usap kepalanya Bek Eng Beng. Bek
Tayhiap yang tidak kenal kebiasaan "memberi berkah" dari paderi India,
buru-buru mengkeretkan lehernya dan tangannya si paderi jadi kena usap
pundaknya. Bek Eng Beng terkesiap lantaran rasakan pundaknya seperti kena
arus listrik dan ia loncat setombak lebih tingginya sembari berteriak:
"Ilmu iblis! Ilmu iblis!"
"Kami juga mau memberi sedekah," kata kedua saudara Boe sembari
keluarkan seraup perak hancur yang lantas dilemparkan ke arah paderi itu.
Dengan sikap tenang, si paderi kebas kedua tangan bajunya dan semua perak
itu masuk ke dalamnya, dan kemudian, dengan miringkan tangan bajunya, ia
tuang semua perak kedalam paso.
Kedua saudara Boe barusan menimpuk dengan ilmu Thianlie Sanhoa
(bidadari menyebar kembang), yaitu serupa ilmu menimpuk senjata rahasia
yang sangat tinggi. Dengan disertai tenaga dalam, perak hancur itu ada
lebih liehay daripada puluhan piauw. Tapi si paderi dapat menyambut
dengan begitu gampang, sehingga kedua saudara Boe jadi kaget sekali.
Paderi itu lalu menghampiri dengan perlahan sembari angsurkan kedua
tangannya buat "memberi berkah". "Tak usah banyak peradatan," berkata
Boe-sie Hengtee sembari menangkis dengan gerakan tangan Toalek Kimkong.
Begitu kebentrok, kedua saudara Boe rasakan tangannya seperti
memukul kapas sehingga mereka jadi terkejut. Mendadak semacam tenaga yang
sangat besar mendorong mereka. Buru-buru mereka tarik pulang tenaga yang
sudah dikeluarkan dan-berbareng loncat mundur setombak lebih. Mereka
jalankan pernapasannya dan mengetahui tidak sampai mendapat luka. Mereka
lantas saja cemplak kudanya dan berlalu tanpa menengok lagi.
Sembari menuntun kuda, Liong Leng Kiauw menghampiri. Paderi itu
kembali keluarkan beberapa patah perkataan yang tak dapat dimengerti dan
angsurkan kedua tangannya. Liong Sam segera keluarkan seraup perak
hancur, dan seperti caranya Boe-sie Hengtee, ia lemparkan ke arah sang
paderi. Thian Oe dan Yoe Peng merasa heran, lantaran, sesudah ada
contohnya Boe-sie Hengtee, Liong Sam masih juga mau menggunakan gerakan
Thianlie Sanhoa waktu melemparkan peraknya. Si paderi lalu kebas tangan
bajunya, dan seperti tadi, semua perak lantas masuk ke dalamnya. Mendadak
terdengar suara "bret" dan baju paderinya robek sedikit, sedang sebagian
perak moncor keluar.
Si paderi tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Sungguh bagus!" Ia
berseru sembari acungkan jempol tangannya. Ia pentang telapakan tangannya
yang lantas turun perlahan-lahan buat "memberi berkah".
Barusan Liong Leng Kiauw telah gunakan ilmu melepaskan senjata
rahasia yang istimewa sekali. Ia timpukkan seraup perak hancur itu dengan
sekali timpuk, akan tetapi, setiap keping menyambar dengan tenaga yang
berlainan beratnya. Selainnya itu, pada sebelum menimpuk, lebih dahulu ia
pencet sekeping perak dengan dua jarinya, sehingga kepingan perak itu
menjadi gepeng seperti Kimtjhie piauw (piauw uang tembaga) dan sangat
tajam. Itulah sebabnya, kenapa kepingan itu dapat merobek bajunya si
paderi. Tentu saja Thian Oe tak dapat lihat itu semua, sedang si paderi
sendiri jadi sangat terkejut.
Melihat tangan orang yang turun perlahan-lahan, Liong Leng Kiauw
segera angkat tangannya buat menangkis sembari berkata dengan tertawa:
"Jangan! Aku tak berani terima!" Begitu kebentrok, mereka sama-sama
rasakan seperti dilanggar arus listrik dan kedua-duanya mundur beberapa
tindak. Liong Sam balas memberi hormat dan lantas teriaki supaya Thian Oe
dan Yoe Peng buru-buru berangkat. Si paderi lalu punguti perak yang
berantakan dan kembali menyender di batu besar sembari meramkan kedua
matanya, buat tunggu kedatangannya lain orang.
"Orang macam apa adanya paderi itu?" tanya Thian Oe sesudah mereka
jalan beberapa jauh.
"Aku cuma harap
kedatangannya disini tidak mempunyai hubungan dengan guci emas,"
sahut Liong Sam. "Kepandaian yang barusan diperlihatkan olehnya adalah
ilmu Yoga yang tidak kalah dengan Hianboen lweekang dari Tiongkok. Jika
kedatangannya adalah buat mencampuri urusan guci emas, kita sunguh bakal
ketemu lawanan berat." Sesudah mereka lalui dua lembah gunung, tiba-tiba
mereka dengar teriakannya si paderi jubah merah. Waktu Liong Sam bertiga
menoleh ke belakang, mereka lihat paderi itu menggemblok di punggung kuda
tanpa bisa angkat kepalanya lagi!
"Hoantjeng itu tentulah juga unjuk kegalakannya, sehingga ia
dipersen sedikit berkah," kata Liong Sam sembari tertawa.
Thian Oe juga turut tertawa dan berkata: "Paderi itu memberi berkah
seperti juga pembesar ujian menguji calonnya. Setiap orang yang lewat
tentu mesti diujinya. Ah, caranya benar aneh sekali."
"Kalau Pengtjoan Thianlie yang lewat disitu, aku rasa dia bakal
telan tulang," Yoe Peng beri pendapatnya. Liong Sam tidak turut bicara,
ia seperti sedang berpikir keras.
Malam itu mereka menginap dalam gunung Tantat san dengan memasang
tenda. Pada esok paginya, ternyata si paderi jubah merah, Bek Eng Beng
dan kedua saudara Boe sudah tidak kelihatan mata hidungnya. Liong Sam
menghela napas dan sembari mengawasi keadaan di seputarnya, ia berkata:
"Marilah kita berangkat pada sebelumnya matahari keluar, supaya bisa tiba
terlebih siang di mulut gunung guna menanti kedatangannya guci emas!"
Baru saja matahari munculkan diri, mereka sudah tiba di mulutnya
selat Tantat san. "Kalian tunggu disini sebentaran, aku mau lihat-lihat
di sebelah depan," kata Liong Sam. Belum habis perkataannya, dalam selat
gunung tiba-tiba terdengar suaranya kaki kuda yang sangat ramai. "Heran
benar!" kata Liong Leng Kiauw dengan suara kaget. "Menurut rencana,
rombongan pengantar guci akan tiba pada waktu tengah hari. Kenapa mereka
sudah sampai begini pagi?" Sementara itu debu tebal sudah mengebul ke
tengah udara dan ribuan kuda dengan penunggangnya lapat-lapat sudah bisa
terlihat. Hatinya Thian Oe berdebar-debar, ia kuatir timbul kesulitan
yang bisa rembet diri ayahnya dan berbareng harapkan munculnya Pengtjoan
Thianlie.
Selat gunung itu berbentuk seperti terompet, di dalamnya sempit, di
luarnya lebar. Barisan Gielimkoen yang mengawal guci emas itu, terbagi
jadi dua pasukan yang keluar dari mulut selat secara angker sekali,
seperti dua ekor naga. Ribuan bendera seakan-akan menutupi sinarnya
matahari, sedang ribuan kuda dengan para penunggangnya yang berpakaian
indah dan beroman keren, tak hentinya berbenger-benger. Di antara barisan
itu terdapat sehelai bendera kuning yang berkibar-kibar menurut tiupannya
angin dan di belakangnya bendera, tertampak empat payung sulam warna
kuning, yang mendahului empat ekor kuda bulu putih. Sekali lihat saja,
orang akan mengetahui, bahwa salah satu dari empat kuda itu menggendol
guci emas di bebokongnya.
"Utusan istimewa belum datang, apakah kita boleh menyambut lebih
dahulu?" tanya Thian Oe.
"Tunggu dahulu," jawab Liong Sam.
Baru saja pasukan Gielimkoen berbaris di mulut selat, tiba-tiba
terdengar suara riuh dan serombongan orang menerjang keluar dari lereng
gunung, dengan dikepalai oleh si pendeta jubah merah. Sambil putar
sianthung-nya, ia menerjang masuk ke dalam pasukan Boan, dengan
dilindungi oleh enam boesoe Nepal yang bersenjata golok bulan sebelah.
Bagian depan Gielimkoen segera menjadi kacau. Dua perwira, yang satu
bersenjata tongkat besi dan yang lain cekal golok, loncat keluar dan
tahan majunya si pendeta. Dengan sepenuh tenaga, si pendeta jubah merah
sampok dua senjata musuhnya yang lantas terpental, tapi untung tidak
sampai terlepas. "Bangsat Hoan! Besar benar nyalimu berani coba-
coba merampas guci emas!" membentak satu perwira sembari kebaskan
tangannya dan Gielimkoen lantas bergerak. Pasukan anak panah segera maju
ke depan, sehingga enam boesoe Nepal itu jadi tertahan di luar sebab
dihujani anak panah, sedang si pendeta jubah merah dikepung oleh kedua
perwira di tengah-tengah.
Sembari mengumpat di belakang batu, Liong Sam bertiga tonton
pertempuran itu.
"Apa kita perlu membantu?" tanya Thian Oe.
"Coba kita tonton dahulu kepandaiannya delapan pengawal istana,"
sahut Liong Sam.
Pertempuran berlangsung dengan sangat seru, tapi lekas juga kedua
perwira itu berada di bawah angin.
"Dua perwira itu adalah Tiatkoay Thio Hoa (Thio Hoa si Tongkat
Besi) dan Tanto Tjioe Ngo (Tjioe Ngo si Golok Tunggal), yaitu dua antara
delapan pengawal istana yang utama," menerangkan Liong Sam. "Kalau sedang
berkelahi, mereka biasanya tak suka orang membantu, tapi sekarang rupanya
kebiasaan itu tak akan dapat dipertahankan lagi."
Semakin lama, serangan si pendeta jubah merah jadi semakin hebat.
Tongkatnya seperti juga berobah jadi puluhan batang dan menyambar-nyambar
dengan disertai sama deruan angin yang santer, sehingga kedua perwira itu
seakan-akan terkurung dalam bayangan tongkat. Selagi ia mau turunkan
tangan yang membinasakan, tiba-tiba dari belakang barisan Boan muncul
seekor kuda, yang dikaburkan keras sekali. Sebelum sang kuda tiba di
gelanggang pertempuran, badannya si penunggang sudah melesat ke tengah
udara. "Sungguh indah gerakan Tian-ek mo-in itu (Pentang sayap mengusap
awan)!" memuji Thian Oe.
Bagaikan sehelai bianglala putih, pedangnya orang itu menyambar. Si
pendeta angkat sianthung-nya dalam gerakan Kiehwee liauwthian (Angkat
obor menerangi langit) buat sambut serangan musuh. Tiba-tiba dengan satu
suara "srt", satu benda hitam ngapung ke udara, mengikuti berkelebatnya
sinar bianglala putih. Ternyata, topinya si pendeta yang pesegi delapan
sudah kena disontek dan dibabat putus dengan pedangnya orang itu.
"Orang itu adalah jagoan kedua, Ginhong kiam (Pedang Bianglala
Putih) Yoe It Gok," kata Liong Sam. "Sekarang si Hoantjeng ketemu
tandingan berat." Benar saja dalam tempo sekejap keadaan jadi berobah. Si
pendeta terus main mundur dan sekarang cuma dapat membela dirinya saja,
tanpa mampu balas menyerang. Yoe It Gok adalah jagoan kelas satu dari
Siauwlim pay dengan mempunyai ilmu pedang Lianhoan Kiamhoat (Ilmu pedang
berantai) yang liehay bukan main.
Selagi si pendeta terdesak hebat, tiba-tiba kembali terdengar suara
riuh dan dari sebelah selatan dan utara muncul keluar sejumlah orang.
Rombongan sebelah selatan dipimpin oleh Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng,
sedang yang datang dari sebelah utara berada di bawah pimpinannya Boe-sie
Hengtee. Liong Leng Kiauw mengawasi dan berkata sembari tertawa: "Si tua
she Bek benar-benar banyak kawannya. Jago-jago dari Lima Propinsi Utara
agaknya semua turun kesini." Sementara itu, kedua rombongan itu sudah
menyerbu sehingga barisan Gielimkoen kembali menjadi kalut.
Dengan satu tanda kebutan dari bendera pasukan tengah, delapan
jagoan istana lantas dipecah buat sambut kedua serangan itu. Rombongannya
Bek Eng Beng ditahan oleh satu pasukan di bawah pimpinannya satu perwira
yang bersenjata bandringan dan mereka lantas saja bertempur hebat. Boe-
sie Hengtee yang gagah luar biasa dapat menyerbu terus sampai di tengah-
tengahnya pasukan Boan. Dengan bekerja sama, kedua pedangnya menyambar ke
kanan kiri bagaikan hujan dan angin. Selagi mereka mengamuk hebat, dari
belakang barisan muncul dua perwira yang lantas tahan majunya kedua
saudara itu. Mereka itu adalah dua anggauta dari delapan jagoan istana,
yang satu bersenjata golok bergigi seperti gergaji, sedang yang lain
mencekal pedang.
"Yang merintangkan aku, mampus, yang menyingkir, selamat!"
membentak kedua saudara Boe sambil menyabet dengan pedangnya. Dengan satu
suara krontrangan, giginya golok kena tersabet putus, sedang pedangnya
perwira yang satunya lagi kena dibikin terpental ke tengah udara. Buru-
buru mereka bilukkan kudanya, tapi gerakannya Boe-sie Hengtee luar biasa
cepat, dan berbareng sama berkelebatnya sinar pedang, kedua perwira itu
kena bacokan dan roboh dari atas kudanya.
Sesudah robohkan kedua musuhnya, Boe-sie Hengtee segera menerjang
ke pasukan tengah, ke arah empat kuda putih itu.
Dengan hati terkejut, Yoe It Gok tinggalkan si pendeta j ubah merah
dan balik badannya buat cegat kedua saudara Boe itu. Tapi Boe-sie Hengtee
bergerak luar biasa cepat, mereka menubruk ke kiri dan ke kanan dan
segera sudah mendekati bendera kuning yang berkibar-kibar di pasukan
tengah.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan dan seorang perwira yang
berpakaian kebesaran kelas tiga, loncat keluar dari tengah-tengah pasukan
Boan. Ia itu berkumis merah dan tangannya mencekal senjata yang rupanya
aneh sekali. "Kau orang adalah bangsa Han, tapi kenapa sudi membantu
orang asing buat merebut guci emas!" ia membentak sembari cegat majunya
Boe-sie Hengtee. Suaranya orang itu luar biasa nyaring dan terdengar
jelas di antara gemuruhnya pertempuran.
Kedua saudara Boe balas membentak: "Hei, kau juga bangsa Han, tapi
kenapa kesudian menjadi budaknya bangsa Boan? Kami pasti tak akan
permisikan guci emas itu diantar ke Lhasa. Majikanmu sudah duduki
Tionggoan, apa dia belum puas? Dia sekarang masih mau telan juga
Sinkiang, Mongolia dan Tibet! Merampas guci itu adalah kemauannya kami
sendiri, sama sekali tidak ada hubungannya sama pendeta asing itu. Kau
jangan omong besar, sambutlah senjataku!"
Perwira kumis merah itu tertawa terbahak-bahak. "Kamu orang sudah
sekongkol sama bangsa asing dan memberontak, dan sekarang coba goyang
lidah di hadapanku," kata ia. "Kalau benar kau punya kepandaian, ambillah
guci emas itu dari tanganku!"
Boe-sie Hengtee tahu mereka sedang berhadapan sama lawanan berat,
dengan berbareng kedua pedang mereka menyambar, yang satu membabat, yang
lain menikam, sehingga gerakannya kedua pedang itu merupakan setengah
lingkaran yang bekerja sama, menyambar ke arah pingangnya perwira itu. Si
perwira dengan cepat sodok masuk senjatanya ke dalam setengah lingkaran
itu dan kedua pedangnya Boe-sie Hengtee lantas saja terpencar dan suara
mengaungnya logam akibat bentrokan senjata kedengaran lama sekali.
Liong Leng Kiauw mengawasi sembari manggut-manggutkan kepalanya,
sedang Thian Oe berkata sembari tertawa: " Orang itu tak usah malu
menjadi kepala dari delapan pengawal istana, benar-benar ilmu silatnya
liehay."
Ilmu silatnya Boe-sie Hengtee adalah warisan dari leluhurnya dan
liehaynya bukan main. Dalam sekejap, mereka berdua sudah kirim beberapa
serangan berbahaya dengan beruntun. Senjata aneh dari perwira itu ada
lebih pendek dari toya biasa, tapi lebih panjang dari Poankoan pit
(senjata yang macamnya seperti pit, pena Tionghoa yang terbuat dari
bulu). Di atasnya tongkat itu penuh dengan gaetan-gaetan mengkilap yang
biasa digunakan buat cangkol senjata musuh. Maka itu, walaupun ilmu
silatnya sangat tinggi, mau tidak mau Boe-sie Hengtee harus berlaku
sangat hati-hati.
"Apa namanya senjata perwira itu? Kenapa begitu liehay?" tanya
Thian Oe.
"Perwira itu bernama Tjiauw Tjoen Loei, kepala dari delapan
pengawal keraton," sahut Liong Leng Kiauw sembari tertawa. "Tenaga
dalamnya tidak kalah dari Boe-sie Hengtee, sehingga biarpun ia
menggunakan senjata biasa, dua saudara Boe tidak nanti bisa mendapat
kemenangan. Dengan gunakan Longgee pang (Tongkat gigi anjing hutan) yang
terutama digunakan buat menindih senjata sebangsa golok, dalam lima puluh
jurus, Boe-sie hengtee bakal menjadi kalah."
Sementara itu, barisan Tjeng sudah menjadi teguh kembali. Bek Eng
Beng dan kawan-kawannya terkepung di tengah-tengah, sedang si pendeta
jubah merah bersama enam boesoe Nepal kena ditahan di luar barisan.
"Dilihat begini, kita boleh tak usah keluar membantu," kata Thian
Oe.
"Mana bisa begitu mudah," sahut Liong Leng Kiauw dengan paras muka
guram. Baru saja ia habis ucapkan perkataannya, di mulut gunung sebelah
timur sudah terlihat munculnya tiga orang yang pakai pakaian seperti
Lhama Tibet, cuma warnanya putih.
Kaum Lhama di Tibet terbagi jadi dua sekte, yaitu Sekte Topi Merah
dan Sekte Topi Kuning. Warna jubahnya, kalau bukan merah, tentulah
kuning. Lhama yang pakai jubah putih, Thian Oe belum pernah lihat dan
jadi merasa sangat heran.
"Ah, Hoat-ong (raja) dari Tjenghay (Kokonor) juga kirim orang buat
ngaduk di air keruh," kata Liong Leng Kiauw. "Kalau begini, kita toh
mesti turun tangan juga!"
Thian Oe terkejut dan segera ingat sejarah agama Lhama yang pernah
dituturkan kepadanya oleh ayahnya.
Ketika itu, Dalai Lhama dan Panchen Lhama merupakan kepala dari
Sekte Topi Kuning di Tibet. Sekte Topi Merah telah mendapat kekuasaan
pada jaman kerajaan Goan. Akan tetapi, di sebelahnya kedua sekte itu
masih ada satu sekte lain, yaitu Sekte Topi Putih, yang pentang pengaruh
sesudah jaman Sekte Topi Merah dan sebelum Sekte Topi Kuning. Di jaman
Kerajaan Beng, Sekte Topi Putihlah yang berkuasa di Tibet. Pada jaman
Kaizar Beng yang terakhir, yaitu pada tahun ke-16 dari Kaizar Tjongtjeng,
Dalai Lhama ke lima telah minta bantuannya Kushi Khan, seorang pangeran
Mongol dari Kokonor, buat tergulingkan kekuasaannya Hoat-ong (Raja Tsang-
Pa). Mulai waktu itulah, Sekte Topi Kuning (atau Gelupa) berkuasa di
Tibet. Sesudah diusir dari Tibet, orang-orang Sekte Topi Putih lari ke
Tjenghay dan tancap kaki disitu dengan pemimpinnya yang dikenal dengan
nama Hoat-ong.
Mengingat sejarah itu, Thian Oe jadi tidak merasa heran lagi
melihat datangnya ketiga Lhama yang berjubah putih. "Kalau sampai guci
emas kena dirampas oleh mereka, Tibet bakal jadi kalut sekali," pikir
Thian Oe.
Ketiga Lhama itu bukan main garangnya. Mereka semua menggunakan
Kiuhoan Sekthung (tongkat timah) yang mengeluarkan suara keras waktu
diputar.
"Kita harus pasang mata," berbisik Leng Kiauw sembari cekal gagang
pedangnya.
Dalam tempo sekejap, mereka bertiga sudah menerjang masuk ke dalam
barisan Tjeng. Dengan ajak sejumlah boesoe, Yoe It Gok coba tahan mereka,
akan tetapi, baru saja beberapa gebrakan, ia dan kawan-kawannya sudah
terdesak mundur.
Selagi kegentingan memuncak, di atas gunung mendadak berkelebat
satu bayangan hitam.
"Celaka!" berseru Liong Leng Kiauw sembari cabut pedangnya dan
lantas pentang kedua kakinya. Thian Oe dan Yoe Peng lantas saja mengikuti
dari belakang. Thian Oe merasa heran sekali, kenapa Liong Leng Kiauw yang
begitu tenang, jadi begitu kaget setelah lihat berkelebatnya bayangan
hitam tersebut. Siapakah musuh itu?
Kecepatan bayangan hitam itu sungguh sukar dilukiskan. Barusan saja
ia terlihat di atas gunung Tantat san yang terpisah ribuan kaki dari
selat. Mula-mula cuma terlihat satu titik hitam. Dalam sekejap, seluruh
badannya sudah dapat dilihat, dan di lain saat, ia sudah berada di lereng
gunung. Begitu lihat romannya. Thian Oe terkesiap. Ia itu bukan lain
daripada si pendeta India berkelana, yang kemarin mereka bertemu di
tengah jalan. Di belakangnya pendeta itu kelihatan mengikuti beberapa
bayangan hitam lain.
"Dia satu saja sudah sukar dilawan, bagaimana dengan kawan-
kawannya," kata Thian Oe dalam hatinya. "Kalau begini, guci emas sukar
dilindungi lagi."
Gerakan Liong Leng Kiauw cepat bagaikan angin. Sembari acungkan
pedangnya, ia menerjang masuk ke dalam barisan. "Atas titahnya Hok
Tayswee, aku datang disini buat menyambut guci emas!" ia berseru. Dengan
serentak, Gielimkoen terpecah dua buat memberi jalan kepadanya.
Mendengar bentakan Liong Leng Kiauw, tiga Lhama jubah putih yang
sudah berada di dalam barisan, segera menengok dan tiga batang sekthung
menghantam dengan berbareng. Liong Leng Kiauw, yang tidak ingin bertempur
sama tiga Lhama itu, lantas tekan ujung pedangnya pada salah satu
sekthung dan badannya segera melesat ke tengah udara. Dengan satu gerakan
Koetjoe hoansin (Anak ayam putar badan) yang sangat indah, badannya sudah
"terbang" melewati kepalanya tiga Lhama tersebut, akan kemudian
langsung memburu ke pasukan tengah.
Thian Oe dan Yoe Peng yang datang belakangan sudah bertemu dengan
enam boesoe Nepal di luar barisan. Mereka berdiri berjajar sambil cekal
goloknya yang berbentuk bulan sebelah.
"Siauw Kongtjoe akan segera datang. Kenapa kau orang tidak mau
lantas melarikan diri?" berkata Yoe Peng dalam bahasa Nepal.
Enam boesoe itu terkejut. "Jangan percaya omongannya!" membentak si
pendeta jubah merah. "Pengtjoan Thianlie siang-siang sudah ditelan gunung
berapi!"
Tanpa berkata satu apa lagi, Yoe Peng lantas lepaskan dua butir
Pengpok Sintan. Enam boesoe itu jadi bergidik dan dua antaranya, yang
pernah turut si pendeta jubah merah naik ke keraton es dan mengenali Yoe
Peng, sudah jadi begitu ketakutan, sehingga badannya bergoyang-goyang.
Dengan menggunakan kesempatan itu, Thian Oe dan Yoe Peng segera menerjang
masuk ke dalam barisan.
Dalam barisan sedang terjadi pertempuran campur aduk. Oleh karena
tidak ingin kebentrok dengan jago-jago Lima Propinsi Utara, Thian Oe
segera teriaki Yoe Peng: "Mari kita gempur itu Hoantjeng!"
Oleh karena dibukakan jalan oleh tentara Tjeng, Thian Oe dan Yoe
Peng bisa masuk secara gampang. Selagi mereka mau menerobos lebih jauh,
tiga Lhama jubah putih mendadak menengok. "Bocah, lekas pergi!" kata satu
antaranya yang menjadi pemimpin dan yang lantas menghantam dengan
tongkatnya. Thian Oe dan Yoe Peng rasakan satu tenaga yang luar biasa
besar menyapu pedang mereka, yang lantas terbang ke tengah udara.
Ternyata, lantaran lihat usia mereka yang masih begitu muda, si Lhama
tidak tega turunkan tangan jahat dan cuma bikin terpental saja pedang
mereka.
Selagi Lhama itu tertawa girang, dengan berbareng Yoe Peng lepaskan
tiga Pengpok Sintan. Tiga Lhama tersebut mana tahu dalam dunia ada
senjata rahasia yang begitu liehay. Diserang selagi tidak bersedia, tiga
peluru itu dengan tepat mengenakan dada mereka yang terbuka lebar.
Mendadakan saja, mereka rasakan menyambarnya hawa yang luar biasa dingin,
sehingga badan mereka jadi gemetaran. Dengan gunakan kesempatan itu,
Thian Oe dan Yoe Peng sambut pedang mereka yang sedang jatuh ke bawah dan
lalu menerjang ke sebelah depan.
Begitu menerobos ke dalam barisan, pendeta berkelana itu segera
kasih lihat kepandaian yang menakjubkan. Dengan tongkat bambunya, ia
menotol ke kanan dan ke kiri, dan serdadu-serdadu Gielimkoen yang berada
dalam jarak tujuh tindak dari ianya, begitu kena ditotol, begitu roboh.
Mukanya Tjiauw Tjoen Loei jadi pucat bagaikan kertas. Sembari menyampok
dengan Longgee pang-nya, ia tinggalkan kedua saudara Boe dan coba cegat
si pendeta.
Pada saat tersebut, Liong Leng Kiauw juga sudah tiba disitu dan
lantas papaki kedua saudara Boe yang baru saja ditinggalkan oleh Tjiauw
Tjoen Loei. Kedua pedangnya saudara Boe lantas bekerja sama. Pedang kiri
menikam dengan gerakan Lioeseng kangoat (Bintang sapu ubar bulan), sedang
pedang kanan menyambar dengan gerakan Tjietian hoei-in (Kilat terbang di
awan). Pedangnya Liong Leng Kiauw terputar dan dengan satu sinar dingin,
kedua pedang yang barusan bersatu jadi berpencar. Begitu berpencar, kedua
pedang terus menikam jalanan darahnya Liong Leng Kiauw. Dalam ilmu
pedang, serangan pada jalanan darah dari jarak yang begitu dekat adalah
serangan yang luar biasa sukar ditangkisnya. Tapi ilmu pedangnya Liong
Leng Kiauw sangat luar biasa. Dengan sedikit gerakan, ujung pedangnya
sudah bentur ujung pedangnya Boe Lootoa, sehingga mengeluarkan suara
"trang" yang sangat nyaring. Berbareng dengan itu, dengan gunakan tenaga
berbaliknya sang pedang, gagang pedangnya Liong Leng Kiauw bentur ujung
pedangnya Boe Loodjie, yang lantas menjadi miring! Gerakan itu dilakukan
dalam waktu yang luar biasa tepatnya, sehingga Boe-sie Hengtee merasa
sangat terkejut.
"Minggir!" berseru Liong Leng Kiauw sembari mendesak dengan tiga
serangan kilat. Di antara ahli-ahli silat kelas utama, satu dua gebrakan
saja sudah cukup buat mengetahui isinya pihak lawan. Demikianlah Boe-sie
Hengtee segera mengetahui, bahwa ilmu silatnya sang lawan ada banyak
lebih tinggi dari mereka dan bahwa sang lawan itu masih berlaku sungkan
dan tidak mau turunkan tangan jahat. Dengan berbareng, mereka loncat ke
samping buat membuka jalan. "Terima kasih," berkata Liong Leng Kiauw
sembari loncat.
Sekarang marilah kita tengok Tjiauw Tjoen Loei, yang sesudah
tinggalkan Boe-sie Hengtee, lantas cegat majunya si pendeta berkelana.
Saat itu, si pendeta sudah totok roboh dua pengawal yang melindungi guci
emas. Melihat sambarannya Tjiauw Tjoen Loei, dengan sikap acuh tak acuh,
ia angkat tongkat bambunya yang lantas menyambar ke arah jalanan darah
Honghoe hiat. Buat ahli-ahli silat, ilmu menotok jalanan darah adalah
ilmu yang biasa saja. Akan tetapi, bahwa dalam perkelahian campur aduk di
antara ribuan orang, si pendeta masih dapat kirim totokan yang begitu
tepat, adalah satu kejadian yang langka dalam Rimba Persilatan.
Tjiauw Tjoen Loei tak berani berayal lagi. Ia segera kerahkan
tenaga dalamnya terus sampai di ujung Longgee pang, yang lantas digunakan
buat tempel tongkat bambunya si pendeta. Dengan seluruh tenaga, ia
menekuk buat mematahkan tongkat musuh. Tapi siapa nyana, Longgee pang itu
seperti juga kena dihisap dan nempel keras pada sang tongkat. Tjiauw
Tjoen Loei rasakan bukan saja tenaganya hilang tapi juga tekanan tenaga
musuh yang luar biasa besarnya. Ia betot Longgee pang-nya tapi tak dapat
terlepas lagi! Ia tahu, lweekang si pendeta ada banyak lebih tinggi dan
jika bertahan sedikit lama lagi. Ia akan mendapat luka di dalam badan.
Selagi ia kebingungan, mendadak berkelebat satu sinar hijau dan
dengan suara "srt", pedangnya Liong Leng Kiauw menyambar di tengah-tengah
dan pencarkan Longgee pang dari tempelannya tongkat bambu. "Tjiauw
Taydjin, pergilah lindungi guci emas," berkata Liong Leng Kiauw sembari
tertawa
Melihat pada tongkatnya terdapat tanda goresan pedang, pendeta itu
merasa agak terkejut tapi begitu lekas mendapat tahu siapa lawannya, ia
lantas tertawa terbahak-bahak. "Ah, kau pun datang!" katanya.
"Kemarin kau jajal aku, hari ini akulah yang mau jajal padamu,"
kata Liong Leng Kiauw sembari menyabet dengan pedangnya, yang lantas
ditangkis sama tongkatnya si pendeta. Menurut pantas, begitu kebentrok
sama pedang, tongkat bambu mestinya lantas putus. Akan tetapi,
sampokannya si pendeta disertai dengan tenaga dalam yang luar biasa
hebatnya, sehingga begitu lekas kedua senjata kebentrok, badannya Liong
Leng Kiauw jadi sempoyongan tiga tindak.
Di lain saat, tongkatnya si pendeta kembali menyambar. Dengan
tangan kiri mencekal pedang, Leng Kiauw mementil sama dua jerijinya dan
tongkat musuh segera terpentil miring. "Bagus!" berseru si pendeta dengan
perasaan kagum sebab barusan ia menyabet dengan gunakan tenaga dalam yang
cukup besar dan tidak nyana lawannya dapat punahkan serangan itu sama
satu pentilan jeriji. Bagaikan kilat, Leng Kiauw kirim tiga serangan,
dengan setiap serangan berisi tiga sambaran yang menuju ke arah sembilan
jalanan darah. Si pendeta berkelana juga benar-benar ahli silat kelas
utama. Dengan sekali putar tongkatnya, ia kirim empat serangan membalas
dan punahkan semua totokan lawannya. Kedua lawan itu merupakan tandingan
setimpal sehingga buat sementara waktu sukar dilihat siapa yang lebih
unggul.
Sekarang marilah kita tengok Thian Oe dan Yoe Peng, yang sesudah
lewatkan tiga Lhama jubah putih, lantas saja terjang si pendeta jubah
merah. "Waktu kau menyatroni keraton es, jiwamu sudah diberi ampun. Apa
kau lupa pesanan Kongtjoe kami?" membentak Yoe Peng. Pesanan Pengtjoan
Thianlie pada waktu itu adalah supaya ia buru-buru pulang ke Nepal dan
jangan campur-campur urusan guci emas. Sebagaimana diketahui, Hoantjeng
itu adalah Koksoe (Guru Negara) dari Nepal dan selama hidupnya, baru dua
kali ia mengalami kekalahan di keraton es. Maka itu, lantas ia menjadi
gusar, ketika Yoe Peng sebut-sebut kejadian tersebut.
"Perempuan tak kenal mampus!" ia membentak. "Biar aku kirim kau
pulang ke akherat, supaya bisa bertemu dengan Kongtjoe-mu!" Ia berkata
begitu lantaran menduga pasti, Pengtjoan Thianlie mesti binasa waktu
terjadi gempa bumi.
Melihat musuh besar yang sudah binasakan gurunya, Thian Oe jadi
seperti orang kalap. Sebelum si pendeta jubah merah bergerak, ia sudah
dahului dengan serangan yang membinasakan. Sama gerakan Totjoan pengpo
(Bikin terbalik sungai es), sinar pedangnya berkelebat-kelebat menyambar
dari empat penjuru. Si pendeta jubah merah terkesiap dan berkata dalam
hatinya: "Baru saja berdiam beberapa bulan di keraton es, ilmu silatnya
ini bocah sudah maju begitu jauh!" Buru-buru ia menyampok dengan
sianthung-nya. Pada saat itu, serupa hawa yang luar biasa dinginnya
mendadak menyambar, sehingga ia jadi bergidik dan gerakan tongkatnya jadi
agak terlambat. Tapi meskipun begitu, pedangnya Thian Oe kena tersampok
juga dan ia rasakan tangannya sakit sekali.
Tenaga dalamnya si pendeta jubah merah sebenarnya ada beberapa kali
lipat lebih tinggi dari Thian Oe. Akan tetapi, lantaran pertama ia sudah
capai sekali, kedua lantaran ilmu silatnya Thian Oe memang sudah maju
jauh dan ketiga lantaran Thian Oe mendapat bantuannya Yoe Peng, maka
dalam pertempuran itu, si pendeta jubah merah sama sekali tidak bisa
berada di atas angin. Harus diketahui, bahwa di antara dayang-dayangnya
Pengtjoan Thianlie, Yoe Peng mempunyai ilmu silat yang paling tinggi,
sedang Pengpok Hankong kiam juga merupakan senjata luar biasa yang
meminta banyak tenaganya musuh guna melawan hawa dinginnya yang sangat
hebat.
Waktu itu, pertempuran campur aduk di selat gunung sedang
berlangsung dengan serunya. Thian Oe dan Yoe Peng yang sedang pusatkan
seluruh perhatiannya guna melayani musuh, tidak mempunyai tempo buat
memperhatikan lain bagian. Tiba-tiba terdengar suara teriakan riuh di
antara tentara Tjeng dan ribuan orang bergerak seperti gelombang. Thian
Oe dan Yoe Peng melirik. Ternyata itu tiga Lhama jubah putih sudah
berhasil menerjang masuk ke pasukan tengah dan sudah rampas itu tiga kuda
putih, satu antaranya menggendol bungkusan besar yang ditutup sama sutera
sulam warna kuning. Tjiauw Tjoen Loei, kepala delapan pengwal istana,
kelihatan sedang ubar kuda putih itu, sembari keluarkan satu teriakan
geledek. Thian Oe terkejut dan menduga bahwa bungkusan itu tentulah juga
berisi guci emas. Di lain saat, ketiga Lhama jubah putih itu sudah duduk
di punggung kuda, yang sembari berbenger keras, sudah lantas menerjang
keluar.
Dengan sekuat tenaga Tjiauw Tjoen Loei coba menyandak, tapi
ketinggalan jauh dan tiga kuda putih tersebut kelihatannya akan segera
dapat menerjang keluar dari barisan Tjeng.
Sembari berteriak keras, Liong Leng Kiauw keluarkan ilmu pedang
Tjiauwhoen Sippat tjiauw (Ilmu pedang tarik nyawa yang mempunyai delapan
belas macam pukulan). Delapan belas pukulan itu, yang satu lebih cepat
dari yang lain, terutama digunakan buat menikam jalanan darah musuh.
Liehay memang luar biasa liehay, tapi sangat meminta tenaga dalam. Baru
saja ia keluarkan pukulan yang ke tujuh, yaitu Toeihoen tokpok (Memburu
roh menarik sukma), napasnya si pendeta berkelana sudah sengal-sengal dan
sembari kebas tongkatnya, ia loncat minggir buat kasih Liong Leng Kiauw
lewat.
Liong Leng Kiauw jadi heran bukan main. Ia mengetahui, bahwa tenaga
dalamnya si pendeta berkelana kira-kira setanding dengan tenaganya
sendiri. Menurut taksirannya, sesudah jalankan habis itu delapan belas
pukulan, barulah ada kemungkinan si pendeta dapat dipukul mundur. Maka
itu, ia merasa sangat tidak mengerti, kenapa sebelum ilmu pedangnya di
jalankan separoh, si pendeta sudah keteter. Liong Leng Kiauw adalah ahli
silat kelas berat dan tak gampang orang dapat kelabui padanya. Panca
inderanya yang sangat tajam sudah dapat tangkap, bahwa sengal-sengalnya
si pendeta adalah sengal-sengal yang dibuat-buat. Tapi kenapa toh ia
berlagak kalah? Tapi ketika itu, ia tidak sempat buat berpikir banyak-
banyak. Dengan gunakan ilmu entengi badan, bagaikan kilat ia molos dari
antara badan-badan manusia dan kejar tiga Lhama jubah putih itu.
Dalam tempo sekejap, ia sudah menyandak dan kemudian lewati Tjiauw
Tjoen Loei. Selagi lewat, lapat-lapat ia dengar Tjiauw Tjoen Loei
berkata: "Biarkan mereka pergi." Leng Kiauw yang sedang bergerak luar
biasa cepat, tidak dapat lantas hentikan tindakannya, akan tetapi, ketika
menengok, ia lihat Tjiauw Tjoen Loei masih terus mengubar sembari
acungkan tongkatnya.
Hatinya Liong Leng Kiauw jadi merasa sangat heran. "Apa aku dengar
salah?" tanya ia dalam hatinya. "Tjiauw Tjoen Loei adalah pemimpin dari
para pengawal istana dan tugas terutama dalam melindungi guci emas itu
jatuh di atas pundaknya. Tapi kenapa ia kata 'Biarkan mereka pergi'? Dan
kalau toh sudah berkata begitu, kenapa ia masih mengubar terus?"
Biarpun hatinya heran, ia mengejar terus dan dalam tempo sekejap
sudah dapat candak tiga kuda putih itu. Ketiga Lhama bilukkan kudanya dan
tiga batang Kioehoan Sekthung menyambar dengan berbareng. Dengan gerakan
Tianghong kengthian (Bianglala membentang di langit), Liong Leng Kiauw
menggurat dengan pedangnya dan tiga batang toya timah itu lantas
tersampok miring. Meskipun berhasil menangkis serangannya musuh, tapi
Leng Kiauw rasakan tangannya tergetar lantaran tiga musuh itu bukan ahli
silat sembarangan dan lebih pula, sang musuh duduk di atas kuda, sedang
ia sendiri berjalan kaki. Mendadak ia dengar teriakannya Tjiauw Tjoen
Loei. Ketika menengok, ia lihat pengawal istana itu menggape dengan paras
muka kebingungan.
Leng Kiauw heran bukan main, sehingga gerakan pedangnya jadi agak
lambat. Dengan menggunakan kesempatan itu, ketiga Lhama jubah putih putar
kudanya yang lalu dikaburkan seperti terbang. Dalam tempo sekejap mereka
sudah lewati mulut selat gunung yang seperti terompet. Pertahanan tentara
disitu agak tipis, sehingga dengan tidak banyak sukar mereka dapat
menerjang keluar.
Liong Leng Kiauw mendadakan saja ingat apa-apa. "Ah, apakah mereka
bukan gunakan siasat pancing macan keluar gunung?" tanya ia dalam
hatinya. "Apakah bungkusan yang digendol kuda putih bukannya berisi guci
emas?" Akan tetapi, walaupun hatinya berpikir begitu, ia masih sangat
bersangsi lantaran urusan ini adalah urusan yang sangat besar dan jika
guci emas sampai kena dirampas, semua pembesar Tjeng yang berada di Tibet
harus turut pikul kedosaannya.
Sedang Liong Leng Kiauw berada dalam kesangsian, tiga Lhama itu
yang sudah menerjang keluar dari kepungan, sedang mendaki satu tanjakan.
Melihat guci emas kena dirampas, beberapa ribu serdadu Gielimkoen lantas
saja menjadi kalut. Seluruh barisan lantas saja dirobah, pasukan belakang
jadi pasukan depan, sedang yang di depan mengambil kedudukan di sebelah
belakang. Laksaan anak panah menyambar dengan berbareng dan ribuan kuda
coba mengubar ketiga Lhama itu. Akan tetapi, tiga kuda putih yang
ditunggangi oleh mereka adalah kuda-kuda pilihan dari istal keraton
kaizar. Bagaikan kilat, tiga binatang itu sudah naik di atas tanjakan dan
tentara Gielimkoen ketinggalan jauh sekali.
Pada saat yang sangat genting, di atas tanjakan mendadak terdengar
siulan yang nyaring dan panjang dan di tengah jalan tiba-tiba muncul
seorang pemuda yang pakai baju putih. Dengan sekali ayun tangannya, tiga
kuda putih itu berjingkrak dan berbenger keras.
Dengan gusar, tiga Lhama jubah putih menyapu dengan tongkatnya.
Mendadak si pemuda ayun kedua tangannya dengan berbareng dan tiga sinar
hitam merah menyambar, masing-masing mengenakan tepat tiga tongkat itu.
Tiga Lhama rasakan tangannya sakit dan tongkat mereka hampir-hampir saja
terlepas dari tangannya.
Di bawah selat tiba-tiba terdengar suara teriakan orang: "Thiansan
Sinbong! Thiansan Sinbong!"
Sedang ketiga Lhama itu terkejut, si pemuda sudah berkata sembari
tertawa: "Serahkan guci emas itu dan lantas berlalu dari sini!"
Tiga Lhama itu yang merasa sudah kantongi hasil, mana mau gampang-
gampang menyerah. Mereka keprak kudanya yang lantas saja pentang kakinya
dan menerjang.
Si pemuda baju putih tertawa tawar dan berkata: "Kau orang benar-
benar kepengen dihajar, baru mau mengerti?" Ia ayun tangan kanannya dan
tiga sinar hitam merah kembali menyambar. Tiga Lhama itu coba menyampok
dengan tongkatnya, tapi luput, dan hampir pada saat itu juga, tiga
tunggangannya berjingkrak sambil berbenger keras diikuti dengan robohnya
ketiga Lhama itu.
Liong Leng Kiauw kaget berbareng girang dan mengetahui, bahwa si
pemuda itu adalah murid dari Thiansan pay. Ia pun mengetahui, bahwa
kepandaiannya pemuda tersebut ada lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri
dan sudah cukup buat melayani tiga Lhama tersebut, sehingga hatinya jadi
merasa lega. Tapi, baru saja ia mau maju menghampiri, dari lereng gunung
mendadakan muncul lima pendeta India dan semuanya memakai jubah pertapaan
warna hitam dan bersenjata tongkat bambu. Mereka itu ternyata adalah
murid-muridnya si pendeta berkelana.
Biarpun Liong Leng Kiauw berkepandaian tinggi, akan tetapi dengan
dikerubuti oleh lima ahli silat kelas satu yang bekerja sama secara erat
sekali, tak gampang ia bisa buru-buru loloskan diri. Dilihat dari cara
berkelahinya, lima pendeta India itu kelihatannya mau "ikat" Liong Leng
Kiauw di luar barisan, supaya ia tak dapat masuk lagi ke pasukan tengah.
Dengan begitu, hatinya Liong Leng Kiauw jadi sangsi dan curiga. Sesudah
bertempur beberapa gebrakan, ia dengar bentakannya si pemuda baju putih
dan tiga ekor kuda putih itu sudah balik ke barisan Tjeng. Sejumlah
serdadu lantas menyambut dan bungkusan yang digendol oleh salah satu
kuda, masih tetap berada di atas punggungnya kuda itu.
Tiga Lhama jubah putih kelihatan masih sangat penasaran dan ubar si
pemuda dengan tindakan sempoyongan. Si pemuda balik badannya dan berkata
sembari tertawa: "Lekas pulang ke Tjenghay. Kau orang semua sudah kena
Sinbong. Dengan mengasoh empat puluh sembilan hari, mungkin kau orang
akan sembuh kembali. Yang paling penting adalah jiwamu sendiri, buat apa
kau orang terus ubar-ubar aku."
Tiga Lhama itu tahu, mereka sudah kena senjata rahasia. Cuma saja,
dengan andalkan ilmu Kimtjiongto (semacam ilmu weduk), mereka percaya
senjata rahasia itu tidak akan dapat celakakan dirinya dan sesudah
pekerjaannya selesai, mereka masih dapat mencabutnya. Itulah sebabnya,
mereka tidak begitu percaya perkataannya si pemuda baju putih. Mereka
cuma kuatir, kalau-kalau senjata rahasia itu mengandung racun. Dengan
adanya kekuatiran tersebut, mereka jadi lebih ingin bertempur pula buat
paksa si pemuda keluarkan obat pemunah.
Gerakannya si pemuda baju putih cepat luar biasa dan dalam tempo
sekejap, ia sudah masuk ke pasukan tengah. Lima pendeta India yang lagi
kepung Liong Leng Kiauw dengan lantas berpencaran. Selagi Liong Leng
Kiauw mau menghaturkan terima kasih, mendadak ia dengar teriakannya Boe-
sie Hengtee: "Keng Thian-heng, sungguh kebetulan kau juga datang disini!
Bungkusan yang digendong oleh kuda putih itu berisi guci emas. Lekas
rampas guci itu!"
Liong Leng Kiauw terkesiap seperti orang disambar geledek. Ilmu
silatnya si pemuda itu lebih hebat daripada si pendeta berkelana. Jika ia
sampai turun tangan, siapakah yang dapat mencegahnya?
"Saudara-saudara Boe, Bek Lootjianpwee," kata si pemuda itu sembari
tertawa. "Aku sekarang ingin ajukan satu permohonan pada kalian. Aku
mohon kalian bubar saja dan biarkan guci emas itu tiba di Lhasa!"
Perkataan itu sudah membikin semua orang gagah dari Lima Propinsi
Utara jadi terkesiap.
"Apa?" berteriak Bek Eng Beng. "Kau mau bantu kerajaan Tjeng
melindungi guci emas itu?"
"Benar!" jawabnya dengan tenang. "Aku datang buat melindungi guci
emas itu."
"Tong Sieheng!" berseru Boe sie Hengtee. "Dengan membantu kerajaan
Tjeng, apakah kau masih ada muka buat menemui ayahmu?"
"Inilah justru kemauan ayahku sendiri," jawab si pemuda sembari
tertawa. "Boe Lootoa, sekarang lebih baik kalian bubaran saja dahulu.
Sebentar kita bertemu, di gunung depan, supaya aku dapat memberi
penjelasan terlebih lanjut."
"Aku tak percaya!" membentak Boe-sie Hengtee dengan suara keras.
Semua orang gagah kawan-kawannya Bek Eng Beng jadi heran bukan main
dan mereka mulai saling menyatakan pikirannya. "Oh, kalau begitu ia
adalah puteranya Tayhiap Tong Siauw Lan?" kata yang satu.
"Cara bagaimana Tong Tayhiap bisa permisikan puteranya menjadi kuku
garuda kerajaan Tjeng? Apakah ia bukan satu penipu yang menggunakan
namanya Tong Tayhiap?" tanya seorang lain.
"Ah," kata orang ketiga. "Dilihat dari ilmu silatnya dan didengar
panggilannya Boe-sie Hengtee, pasti tulen puteranya Tong Tayhiap. Hm!
Anak poethauw (tidak berbakti)!"
Demikianlah mereka berunding dan pertempuran terhenti buat
sementara waktu.
Pemuda itu memang benar adalah putera tunggal dari Tong Siauw Lan,
tjiangboen (pemimpin) dari Thiansan pay. Namanya pemuda itu adalah Tong
Keng Thian. Dengan keluarga Boe, Tong Siauw Lan mempunyai hubungan yang
sangat rapat, dan ketika masih kecil Boe-sie Hengtee pernah naik ke
Thiansan buat menemui Tong Siauw Lan dan oleh karena itu, mereka jadi
kenal Keng Thian. Oleh karena Keng Thian baru pertama kali terjun ke
dalam kalangan Kangouw, maka banyak tjianpwee dan orang gagah masih belum
tahu asal-usulnya. Mereka ingat, dahulu Tong Siauw Lan bersama-sama Kam
Hong Tie, Lu Soe Nio dan lain-lain pendekar sudah musuhi kerajaan Tjeng
secara hebat dan pernah lakukan pekerjaan yang menggemparkan seluruh
negeri. Salah satu antara tiga pendekar wanita yang menyatroni
keraton kaizar dan kemudian bunuh mati kaizar Yongtjeng, adalah isteri
Tong Siauw Lan sendiri. Sedang kepalanya kaizar, ayah ibunya masih berani
kutungkan, mana bisa jadi mereka sekarang permisikan sang putera
melindungi guci emas dari kerajaan Tjeng? Dengan adanya pendapat begitu,
semua orang gagah sukar percaya keterangannya Keng Thian dan mereka
mengawasi pemuda itu dengan sorot mata gusar. Keadaan yang sunyi senyap
menakuti sekali, seperti juga mendung tebal yang tinggal tunggu turunnya
hujan lebat.
Keng Thian mesem, tapi selagi ia mau buka suara, mendadakan saja
terdengar teriakan kaget dari Tjiauw Tjoen Loei dan para perwira yang
berkumpul di bawah bendera kuning jadi kalang kabut. Seluruh pasukan
tengah lantas saja menjadi kalut.
Ternyata dengan gunakan kesempatan selagi semua orang perhatikan
puteranya Tong Siauw Lan, si pendeta berkelana loncat ke atas satu kereta
keledai. Dari dalam kereta lantas menyambar dua martil besi, yang dengan
gampang dibikin terpental sama satu sampokan tongkat. Dengan sekali kasih
masuk tangannya ke dalam kereta, si pendeta tarik keluar dan terus
lemparkan dua perwira yang menjaga dalam kereta itu!
Dua perwira itu juga bukannya sembarang orang. Begitu jatuh, dengan
gerakan Leehie tahteng (Ikan leehie meletik), ia sudah loncat bangun dan
terus menubruk ke dalam kereta, tapi si pendeta sudah keburu loncat
keluar dan kabur ke jurusan barat.
Semua itu terjadi dengan luar biasa cepatnya. Baru saja Tjiauw
Tjoen Loei dan lain-lain perwira mengetahui kejadian itu, si pendeta
sudah kabur puluhan tombak jauhnya. Ia putar tongkat bambunya dan semua
serdadu
Gielimkoen, yang berada dalam jarak delapan kaki dari dirinya,
begitu kebentur tongkat, begitu rebah. Oleh karena di sekitar itu tidak
terdapat lawanan yang mempunyai ilmu silat berarti, maka ia kelihatannya
akan segera dapat menoblos keluar dari barisan Tjeng.
Sembari keluarkan teriakan kaget, Tong Keng Thian cabut pedangnya
dan terus mengubar. Kereta yang tadi diserbu oleh si pendeta berkelana
sebenarnya adalah kereta yang paling jelek kelihatannya, seperti juga
kereta rumput. Bukan saja tendanya tua dan pada robek, tapi keledainya
pun kurus kering. Akan tetapi, guci emas yang tulen justru terdapat dalam
kereta tersebut. Bungkusan indah yang digendong kuda putih hanya satu
siasat buat kelabui orang. Itu sebabnya, biarpun diluar Tjiauw Tjoen Loei
kelihatan bingung dan ubar tiga Lhama jubah putih yang merampas tiga kuda
putih itu, dalam hatinya ia merasa girang dan ingin supaya mereka buru-
buru pergi supaya lawanan berat jadi berkurang. Menyerbunya lima pendeta
India jubah hitam, yaitu murid-muridnya si pendeta berkelana, bertujuan
memecah perhatian orang, supaya sang guru dapat menyerbu kereta itu dan
rampas guci emas yang lagi diincar. Pendeta berkelana itu bukannya
pendeta biasa. Ia adalah ahli Yoga yang sengaja di kirim oleh raja
Kalimpong, India. Raja tersebut mempunyai angan-angan berkuasa di Tibet
dan dari sebab begitu, ia mengirim orang-orangnya buat coba rampas guci
emas kiriman kaizar Tjeng.
Tong Keng Thian yang sudah kuntit lama barisan Tjeng itu,
mengetahui rahasia tersebut. Maka itulah, begitu lihat si pendeta serbu
kereta keledai, ia jadi terkejut dan cabut pedangnya buat mengubar. Di
lain saat, Liong Leng Kiauw juga sudah turut memburu bagaikan terbang.
Seperti sudah direncanakan lebih dahulu, begitu lihat gurunya
berhasil, lima murid itu lantas saja cegat Keng Thian dan Leng Kiauw.
Walaupun ilmu silat mereka masih kalah jauh sekali jika dibanding dengan
Keng Thian dan Leng Kiauw, akan tetapi oleh karena adanya kerja sama
dalam menggunakan Ilmu Tongkat Tiantiok (Ilmu tongkat India) yang seperti
berantai dengan kepala dan buntut berhubungan satu sama lainnya, maka
buat sementara waktu, Leng Kiauw dan Keng Thian kena juga "diikat" oleh
mereka. Selagi Keng Thian mau turunkan tangan membinasakan, tiga Lhama
jubah putih tiba-tiba datang menyerbu, sehingga mereka berdua jadi
dikerubuti delapan orang. Dengan demikian, mereka jadi lebih sukar
menoblos dan pada ketika itu, si pendeta berkelana sudah berada di luar
barisan pasukan Tjeng.
"Apa kau orang sudah bosan hidup!" membentak Keng Thian. "Kau
bertiga sudah kena Thiansan Sinbong yang sekarang sudah masuk di jalanan
darah. Jika kau orang pulang dan mengasoh sambil kerahkan pernapasan,
mungkin masih bisa ditolong. Tapi kalau kau orang masih mau bertempur
terus dan Sinbong sampai menusuk ke jantung, biar ada obat apapun juga,
jiwamu tidak akan dapat ditolong lagi!" Tapi tiga Lhama itu, yang sangat
andalkan lweekang-nya yang tinggi, sudah tidak ladeni peringatannya Keng
Thian dan terus menyerang dengan sengit.
Ketika itu, si pendeta berkelana sudah keluar dari mulut selat dan
sedang mendaki tanjakan dengan cepat sekali. Ia bakal segera tiba di
lereng gunung dan kalau ia sudah berada disitu, biarpun bisa terlepas
dari "ikatannya" itu delapan musuh, Keng Thian dan Leng Kiauw tidak bakal
dapat menyandak lagi.
Hampir berbareng dengan siulan panjang yang dikeluarkan oleh si
pendeta berkelana, dari lereng gunung kembali muncul lima orang pendeta
India. Ternyata dalam rencana merebut guci emas, ia sudah bikin persiapan
yang sangat rapi dengan membawa sepuluh orang muridnya, yang dibagi jadi
dua rombongan. Lima orang ikut masuk ke dalam barisan Tjeng, sedang lima
murid lainnya menunggu di lereng gunung buat menyambut. Sepuluh murid itu
sebenarnya disiapkan buat cegat delapan pengawal istana atau cegat musuh-
musuh yang menjaga di bagian belakang. Akan tetapi, sebagaimana
diketahui, delapan pengawal istana telah dibikin repot oleh rombongannya
Bek Eng Beng, sehingga pertahanan di bagian belakang jadi kosong sama
sekali.
Begitu lekas si pendeta berkelana dan lima muridnya tiba di lereng
gunung, lima pendeta India yang kepung Keng Thian dan Leng Kiauw, lantas
mulai mundur, tapi tiga Lhama jubah putih masih saja menyerang secara
hebat.
"Hei!" berseru Keng Thian. "Coba kau bertiga rasakan, ada apa di
jalanan darah Thiansoan hiat, di bawah tulang dada."
Tiga Lhama itu kaget dan benar saja di dekat jalanan darah itu,
mereka merasa baal dan gatal, seperti juga ada binatang semut sedang
berjalan, dan semakin lama perasaan itu jadi semakin hebat. Tiga orang
itu adalah ahli silat kelas satu dan mereka segera mengetahui, bahwa
senjata rahasia musuh sedang berjalan dalam badan mereka dengan mengikuti
jalanan darah. Bukan main kagetnya mereka dan gerakannya lantas menjadi
lambat. Pada saat itu, lima pendeta India sedang berusaha buat kabur,
tapi belum dapat kesempatannya. Mendadak dengan satu bentakan keras, Tong
Keng Thian menyabet dengan Yoeliong kiam yang mengeluarkan sinar panjang
bagai bianglala "Rasakan tiamhoat-ku. Roboh!" Keng Thian berseru. Dengan
satu getaran tangan, pedangnya totok jalanan darah lima pendeta itu yang
hampir berbareng roboh di atas tanah! Tiga Lhama jubah putih terkesiap
dan buru-buru loncat minggir, sedang Liong Leng Kiauw dan Tong Keng Thian
lantas loncat melewati dirinya.
Ketika itu, si pendeta berkelana sudah tiba di lereng gunung.
Tingginya gunung Tantat san ada ribuan kaki dan buat mendaki setengah
gunung, orang biasa harus gunakan tempo setengah hari. Leng Kiauw dan
Keng Thian belum berada di kaki gunung, sehingga biarpun mereka mempunyai
ilmu entengi badan yang lebih tinggi lagi, mereka tidak akan dapat
menyandak pendeta itu. Selainnya berteriak-teriak, tentara Tjeng tidak
dapat berbuat suatu apa, sedang orang-orang gagah dari Utara barat pun
hanya dapat mengawasi dengan perasaan gusar. Berhubung dengan terampasnya
guci emas, pertempuran lantas berhenti dengan sendirinya.
Selagi semua orang menahan napas, mendadak di antara suasana gunung
yang sunyi senyap terdengar suara khim yang merdu sekali. Tiga ribu
serdadu Tjeng dan seratus lebih orang gagah jadi terkejut dan menduga-
duga siapa yang menabuh tabuh-tabuhan itu. Tapi orang yang paling kaget
adalah Tong Keng Thian, sebab ia kenali, bahwa lagu itu adalah lagu yang
ia pernah dengar ketika bertemu Pengtjoan Thianlie buat pertama kali.
Tanpa merasa, ia hentikan tindakannya dan dongak mengawasi ke atas.
Tiba-tiba di atas puncak gunung yang ditutup awan putih muncul
bayangannya seorang wanita, yang memakai jubah biru laut dengan ikatan
pinggang sutera merah. Dengan sekelebatan saja ia sudah kenali, bahwa
wanita itu adalah wanita yang siang malam ia tak dapat lupakan –
Pengtjoan Thianlie! Semua orang dongak memandang ke atas dan biarpun
disitu terdapat ribuan manusia dan kuda, keadaan ada sedemikian sunyinya,
sehingga andaikata jatuh sebatang jarum, suaranya akan dapat didengar.
Kecepatan bergeraknya Pengtjoan Thianlie sukar dapat dilukiskan.
Orang-orang yang berada di bawah cuma dapat lihat pakaiannya yang
berkibar-kibar, seolah-olah ia sedang terbang turun dengan mengikuti
alirannya sang angin. Dalam tempo sekejap, ia sudah tiba di lereng gunung
dan berhadapan sama si pendeta berkelana dan lima muridnya.
Si pendeta India juga kelihatannya terkejut. "Serahkan guci emas
itu dan pergi dari sini!" berkata Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar.
Suaranya lemah lembut, tapi tak mengenal kompromi, sedang sikapnya
seakan-akan seorang ratu yang sedang mengeluarkan perintah.
Si pendeta berkelana terkesiap dan sembari kebas tangannya, enam
batang tongkat bambu lantas menyambar dengan berbareng. Sesudah lihat
ilmu entengi badannya Pengtjoan Thianlie, ia mengetahui sedang berhadapan
sama musuh yang luar biasa tangguhnya. Maka itu, dengan mengebas tangan,
ia beri tanda supaya lima muridnya turun tangan dengan berbareng. Mereka
menyerang dengan Barisan Tongkat Thaythianlo (Jaring langit besar), yaitu
suatu ilmu yang paling -istimewa dari Ilmu Tongkat Tiantiok. Dengan
sambaran enam tongkat itu, biarpun seorang mempunyai tiga kepala enam
tangan juga masih sukar menjaganya.
Bukan main kagetnya Leng Kiauw dan Keng Thian. Mereka tak nyana,
begitu berhadapan, enam pendeta India itu sudah turunkan tangan yang
sedemikian kejam. Mendadak, badannya Pengtjoan Thianlie kelihatan
berkelebat dan jerijinya mementil. Hampir berbareng terdengar jeritan
kesakitan dan lima badan manusia tergelincir ke bawah gunung seperti
layangan putus!
Ternyata, melihat serangan musuh yang telengas, Pengtjoan Thianlie
jadi sangat gusar dan melepaskan Pengpok Sintan, senjata rahasia yang
tiada keduanya dalam dunia. Tenaga dalamnya Pengtjoan Thianlie berlipat-
lipat lebih kuat daripada Yoe Peng. Maka itu, biarpun sama-sama Pengpok
Sintan, bekerjanya lain sekali. Jika senjata itu dilepaskan oleh Yoe
Peng, paling banyak muridnya si pendeta berkelana gemetar badannya dan
masih dapat pertahankan diri. Tapi dengan dilepaskan oleh Pengtjoan
Thianlie, Sintan itu masuk ke dalam jalanan darah dan sang darah lantas
membeku, sehingga tidaklah heran jika lima pendeta itu lantas roboh
terguling ke dalam jurang.
Si pendeta berkelana juga kena satu Sintan dan rasakan hawa dingin
luar biasa yang meresap ke tulang-tulang. Akan tetapi, lantaran mempunyai
ilmu Yoga yang sangat tinggi, ia masih dapat pertahankan diri dan
menyerang terus. Sembari tertawa tawar, Pengtjoan Thianlie buka ikatan
pinggangnya yang lantas menyambar-nyambar seperti naga sedang memain di
tengah udara. Di lain saat, tongkatnya si pendeta sudah kena digulung dan
biarpun ia gunakan Seantero tenaga dalam, ia tidak berhasil lepaskan
tongkatnya dari gulungan itu.
Pengtjoan Thianlie juga merasa heran sebab ia pun tidak berhasil
betot terlepas tongkatnya si pendeta. Sembari keluarkan seruan "ih!" ia
lepaskan lagi dua butir Pengpok Sintan. Si pendeta yang tongkatnya masih
tergulung, tidak dapat berkelit dan dua peluru itu mengenai tepat pada
jalanan darah Soankhie hiat di dada dan Thiantjoe hiat, di belakang otak.
Seketika itu juga, ia bergidik beberapa kali. Buru-buru, ia kerahkan
khiekang (tenaga napas), tapi tidak dapat segera pulihkan kekuatannya.
"Masih belum mau menyerah?" membentak Pengtjoan Thianlie sembari
cabut pedangnya. Dengan sekali kebas, bagaikan halimun, sinar dan hawa
dingin seperti juga tutup seluruh badannya si pendeta. Ketika itu, dari
dalam jurang sayup-sayup terdengar suara jeritan lima muridnya si pendeta
yang sedang melarikan diri dengan dapat luka-luka berat.
Sambil menghela napas panjang, si pendeta masukkan tangan kirinya
ke dalam kantong. Di lain saat, ia sudah keluarkan sebuah guci emas
bertahta batu-batu permata yang pancarkan sinar gilang gemilang ke empat
penjuru. Pengtjoan Thianlie sambuti guci emas itu dan kemudian gentak
ikatan pinggangnya buat lepaskan tongkatnya si pendeta. Ia miringkan
sedikit badannya buat memberi jalan kepada si pendeta yang segera kabur
secepat mungkin.
Sesudah kasih masuk Pengpok Hankong kiam ke dalam sarung dan dengan
sebelah tangan memegang guci emas, Pengtjoan Thianlie melayang turun ke
bawah. Hosek Tjin-ong, raja muda yang pimpin barisan Tjeng segera memberi
perintah supaya pasukan belakang jadi pasukan depan, yang kemudian
dipecah jadi dua sayap buat kurung Pengtjoan Thianlie guna ditanya maksud
kedatangannya dan buat rampas pulang guci emas itu.
Sekarang marilah kita tengok Thian Oe dan Yoe Peng yang kerubuti si
pendeta jubah merah. Mengingat sakit hati gurunya. Thian Oe menyerang
sehebat mungkin dengan pusatkan seluruh perhatiannya kepada musuh.
Meskipun di lain gelanggang dengan dengan beruntun sudah terjadi banyak
perobahan luar biasa, ia sama sekali tidak mau perdulikan dan terus cecar
si pendeta jubah merah dengan setaker tenaganya. Pendeta itu adalah orang
yang pertama menyerbu dan sesudah bertempur lama, baru ia bertemu Thian
Oe dan Yoe Peng yang serang padanya dengan mata merah.
Selagi berkelahi mati hidup, pertempuran di seluruh garisan
mendadak berhenti dan keadaan jadi sunyi senyap. Hal itu sudah terjadi
oleh karena munculnya Pengtjoan Thianlie. Yoe Peng melirik dan
kegirangannya meluap-luap. "Thian Oe! Lihat siapa yang datang!" ia
berteriak seperti orang kalap. Mau tak mau, si pendeta jubah merah juga
turut menengok dan begitu lihat siapa yang muncul, semangatnya terbang.
"Pengtjoan Thianlie!" berseru Thian Oe sembari menikam dengan gerakan
Pengho kiattang (Sungai es membeku). Oleh karena hatinya sedang gemetar
dan tidak nyana bakal diserang secara begitu, si pendeta jubah merah
tidak keburu berkelit atau menangkis dan tak ampun lagi, pedangnya Thian
Oe bersarang di dadanya! "Suruh kau nyingkir, kau tak mau nyingkir,
sekarang sudah terlambat," berkata Yoe Peng sembari menikam dengan
pedangnya yang juga mengenai tepat pada dadanya. Dengan satu teriakan
keras, ia roboh dan badannya yang besar ditendang Thian Oe yang sudah
balaskan sakit hati gurunya. Sesudah itu, sembari tuntun tangannya Yoe
Peng, Thian Oe berlari-lari menghampiri Pengtjoan Thianlie.
Sembari cekal pedangnya, Liong Leng Kiauw mau bergerak. Tong Keng
Thian mendekati dan berbisik: "Lekas tahan tentara negeri. Biar aku yang
sambut padanya. Aku rasa ia tidak mempunyai niatan kurang baik."
Leng Kiauw merasa sangsi. Ia sekarang kenali bahwa Pengtjoan
Thianlie adalah itu wanita yang sudah curi rencana menyambut guci emas.
Di satu pihak, ia tidak percaya kalau Pengtjoan Thianlie mau membantu
pihaknya, akan tetapi, di lain pihak, ia merasa heran, kenapa sesudah
dapat rampas guci emas itu, sebaliknya dari kabur, Pengtjoan Thianlie
malahan datang menghampiri. Ketika itu, delapan pengawal istana sudah
loncat keluar dari barisan dan maju mengurung dari kiri dan kanan.
Mendadak, Boe-sie Hengtee juga loncat keluar dari dalam barisan dan
seperti angin puyuh mereka mendahului delapan pengawal istana. Di
belakang mereka ikut belasan orang gagah dari Utara barat.
Dengan anggapan bahwa Pengtjoan Thianlie adalah orang kalangan
sendiri, sembari pegang gagang pedangnya, Boe-sie Hengtee memberi hormat
dan berkata: "Terima kasih banyak buat bantuan Liehiap (pendekar wanita).
Harap serahkan guci emas itu kepadaku. Sekarang pekerjaan kita sudah
selesai dan Liehiap boleh mundur bersama-sama rombongan kita." Dengan
berkata begitu, kedua saudara Boe mempunyai maksud yang baik sekali.
Melihat delapan pengawal istana sudah bersiap buat mengepung, mereka
berkuatir Pengtjoan Thianlie tidak gampang dapat loloskan diri, lantaran
tangannya memegang guci emas yang menjadi bulan-bulanan perebutan. Maka
itu, mereka minta si jelita serahkan guci tersebut kepadanya, supaya
kawan-kawannya dapat melindungi ia mengundurkan diri.
Tapi tak dinyana, Pengtjoan Thianlie hanya kerutkan kedua alisnya
dan menanya: "Siapa kau?"
Sementara itu tentara Tjeng sudah mulai maju mengurung. Boe-sie
Hengtee jadi bingung sekali dan menyahut dengan pendek: "Kami adalah
kawan-kawan yang mau rebut guci itu. Segala omongan yang tidak perlu bisa
ditunda sampai sebentar." Sehabis berkata begitu, mereka angsurkan tangan
buat sambuti guci emas itu.
"Kau orang mau minggir atau tidak?" kata Pengtjoan Thianlie sembari
mementil dengan jerijinya dan lepaskan dua butir Pengpok Sintan. Kedua
saudara Boe lantas saja rasakan hawa dingin yang meresap sampai ke tulang
dan roboh seketika itu juga. Kawan-kawannya jadi terkejut dan memburu.
Pengtjoan Thianlie mementil lagi beberapa kali dan lima enam orang lantas
turut terjungkal. Kawan-kawannya yang lain jadi keder dan pada loncat
minggir, sedang Pengtjoan Thianlie terus bertindak maju.
Bek Eng Beng kaget tercampur gusar, sedang pemimpin tentara Tjeng
jadi bukan main girangnya. Mereka sama sekali tidak mengimpi, bahwa
Pengtjoan Thianlie berdiri di pihaknya. Tjiauw Tjoen Loei keprak kudanya
dan memberi hormat sembari peluk senjatanya. "Liehiap benar-benar
mengerti kesetiaan kepada negara dan sudah membantu kerajaan dalam
merebut pulang guci emas itu," katanya dengan sikap hormat. "Pahala itu
bukannya kecil dan dengan jalan ini, aku Tjiauw Tjoen Loei memberi
hormat. Aku adalah tongleng (pemimpin) dari pengawal-pengawal istana dan
mohon Liehiap serahkan guci itu kepadaku." Ia lantas angsurkan tangannya
buat ambil guci tersebut.
Tapi seperti tadi, di luar dugaan, Pengtjoan Thianlie cuma kerutkan
alisnya dan berkata dengan suara tawar: "Aku tak perduli tongleng atau
bukan tongleng. Aku tidak mempunyai tempo buat saling menghormat
denganmu!" Dengan sekali mementil, Tjiauw Tjoen Loei bergidik dan lantas
jatuh terguling dari kudanya. Semua pengawal istana terkesiap, beberapa
antaranya buru-buru menolong pemimpinnya, sedang yang lain serang
Pengtjoan Thianlie. Sembari mesem tawar, Pengtjoan Thianlie mementil
beberapa kali dan beberapa pengawal istana lantas roboh kejengkang.
Melihat itu semua, tentara Tjeng jadi seperti orang kesima. Mereka
tidak menduga, bahwa wanita yang begitu cantik bisa mempunyai kepandaian
yang begitu tinggi. Mereka berdiri bengong dan tidak berani bergerak buat
melepaskan anak panah atau angkat senjata.
Bek Eng Beng jadi kaget berbareng girang. Tiba-tiba Tong Keng Thian
menghampiri dan berkata sembari rangkap kedua tangannya: "Bek Tayhiap,
hari ini biar bagaimanapun juga kita tidak boleh rampas guci emas itu.
Mohon Bek Tayhiap keluarkan perintah supaya semua saudara-saudara lantas
undurkan diri."
"Hm!" menggerendeng Bek Eng Beng dengan berdongkol sekali. "Aku tak
nyana kau sekarang jadi kaki tangan kerajaan Tjeng." Ia angkat tangannya
buat menghantam Keng Thian, yang buru-buru gunakan tiga jerijinya buat
tekan kepalannya Bek Eng Beng dan berkata dengan suara perlahan: "Antara
dua mara bahaya, kita harus pilih yang lebih enteng. Lebih baik kerajaan
Tjeng yang menguasai Tibet daripada satu negara asing. Guci emas itu
benar-benar tidak boleh diganggu."
Bek Eng Beng terkesiap, sehingga keringat dingin mengucur di
seluruh badannya. "Tapi, Boe-sie Hengtee sudah kena senjata rahasianya
perempuan itu. Sakit hati ini bagaimana boleh tidak dibalas?" kata ia.
"Serahkan padaku, aku akan sembuhkan mereka," kata Tong Keng Thian.
"Lekas mundur! Lekas mundur!"
Bek Eng Beng berdiam beberapa saat dan memikir bulak-balik. Dalam
usaha merampas guci emas, tujuan mereka adalah buat tentangkan keinginan
bangsa Boan untuk berkuasa di Tibet. Tapi tidak dinyana, urusan itu
mempunyai latar belakang yang sedemikian ruwet. Nepal dan Kalimpong juga
ingin pentang pengaruh di Tibet dan coba merampas guci tersebut. Dilihat
dari sudut itu, sikapnya Keng Thian yang lebih suka Tibet dikuasai oleh
bangsa Boan daripada bangsa lain, agaknya cukup beralasan. Sesudah
menimbang-nimbang beberapa saat, ia lantas saja berkata: "Baiklah, aku
setujui pendapatmu. Kami tunggu kau di gunung depan." Dengan sekali
memberi tanda, orang-orang gagah dari Lima Propinsi Utara lantas pada
mundur ke gunung depan sambil mendukung Boe-sie Hengtee.
Pada waktu Keng Thian sedang membujuk Bek Eng Beng, Liong Leng
Kiauw juga lagi bujuk Hosek Tjin-ong supaya ia tahan majunya Gielimkoen
dan biarkan Pengtjoan Thianlie masuk ke dalam barisan. Melihat liehaynya
wanita itu dan juga sebab sekarang guci emas berada dalam tangannya,
sehingga andaikata ia dapat dibekuk atau dibinasakan, tapi kalau guci itu
sampai menjadi rusak, semua pengantarnya akan turut berdosa, maka,
sesudah memikir beberapa saat, ia segera menyetujui perkataannya Liong
Leng Kiauw dan memberi perintah supaya semua serdadu jangan bergerak.
Thian Oe dan Yoe Peng yang berdiri di dalam barisan tiba-tiba lihat
sayap depannya pasukan Tjeng mendadak terpencar dan membuka satu jalanan
buat Pengtjoan Thianlie.
"Dilihat begini, barisan Tjeng seperti benar-benar sedang menyambut
seorang Paduka Puteri," kata Thian Oe sembari tertawa.
"Ia toh memang seorang puteri," sahut Yoe Peng. "Ah, ia
kelihatannya sedang cari orang."
Dengan satu tangan memegang guci emas, perlahan-lahan Pengtjoan
Thianlie masuk ke dalam barisan Tjeng dengan sikap agung sekali. Dengan
kedua matanya yang angker, ia menyapu segala orang yang berada disitu.
Mendadak ia hentikan tindakannya dan mengawasi satu orang yang berdiri
disitu. Thian Oe kegirangan dan berbisik di kupingnya Yoe Peng: "Ah,
kalau begitu ia sedang cari dia!"
"Siapa?" tanya Yoe Peng.
"Pemuda baju putih," sahut Thian Oe.
Benar saja Yoe Peng lihat majikannya sedang mengawasi si pemuda
baju putih. Ia sebenarnya mau teriaki majikannya itu, tapi sudah ditahan
oleh suasana yang tegang dan sunyi senyap.
"Hm! Kau juga berada disini?" kata Peijgtjoan Thianlie sembari
mesem.
"Jah, kau pun sudah turun gunung," jawab Keng Thian. Dua pasang
mata kebentrok dan paras mukanya Pengtjoan Thianlie segera bersemu dadu.
"Aku tak mempunyai perkataan yang tepat buat menyatakan rasa terima
kasih," kata Keng Thian sambil tertawa. "Sungguh beruntung, guci emas
sudah dapat direbut pulang. Buat bantuanmu di ini hari, bukan saja aku,
tapi semua pembesar di Tibet juga ingin haturkan banyak terima kasih."
Pengtjoan Thianlie juga tertawa dan kemudian berkata dengan sikap
acuh tak acuh: "Ada hubungan apa guci emas ini dengan diriku? Aku juga
merampas ini bukan untuk mereka. Siapa mau mereka haturkan terima kasih.
Berapa harganya guci ini, sehingga dijadikan barang rebutan oleh semua
orang? Aku sendiri tak kesudian. Pada beberapa bulan berselang, kau
pernah bantu menyusun beberapa toeilian untuk keraton es. Mengetahui
bahwa kau juga sangat inginkan guci emas ini, maka aku mau serahkan
kepadamu sebagai tanda terima kasih. Mulai dari sekarang, kedua belah
pihak tidak berhutang budi lagi. Kau juga tidak perlu banyak rewel-rewel
lagi."
Sembari tertawa Keng Thian sambuti guci emas itu yang diangsurkan
kepadanya. "Eh," ia kata. "Kau lupakan satu urusan. Janji kita buat adu
pedang di kakinya Puncak Es, belum dipenuhi!"
Pengtjoan Thianlie kerutkan alis. "Kau masih mau bertanding?" tanya
ia. "Baiklah, malam ini jam tiga kau boleh datang ke atas gunung ini."
Ia kembali menyapu dengan matanya dan kali ini ia lihat Thian Oe
dan Yoe Peng yang berdiri di antara orang banyak. Pertemuan yang tidak
diduga-duga membikin ia agak kaget dan lalu gapekan tangannya buat
memanggil mereka.
"Kenapa kau berada disini?" ia tanya Yoe Peng.
"Hari itu, ketika aku antar Tjia Kouwkouw memetik daun obat, Puncak
Es mendadak roboh dan gunung berapi meledak," menerangkan Yoe Peng.
"Terhalang dengan lahar panas, aku jadi tidak bisa pulang dan belakangan
datang kesini."
"Dan kau?" tanya Pengtjoan Thianlie sembari mengawasi Thian Oe.
Thian Oe yang tidak tahu mesti mulai dari mana, lantas menyahut
dengan suara gugup: "Aku sebenarnya belum dilepaskan olehmu. Cuma saja
lantaran terjadinya gempa bumi, aku terpaksa lari keluar juga. Kalau kau
mau menghukum, boleh hukum sekarang. Kejadian yang lain-lainnya semuanya
diketahui oleh dayangmu."
"Baiklah," kata Pengtjoan Thianlie. "Buat bicara sebenar-benarnya,
aku kuatir kau tidak dapat loloskan diri. Kau sudah langgar peraturanku,
sebenarnya harus dipenjarakan seumur hidup. Akan tetapi, sesudah lewati
bencana itu, kau seperti juga sudah mati satu kali. Semua kedosaanmu yang
sudah-sudah aku sudah coret dan sekarang kau merdeka buat pergi kemana
juga." Ia berpaling pada Yoe Peng dan berkata pula: "Kau sekarang boleh
ikut aku pulang ke gunung."
Mendengar perkataan majikannya, hatinya Yoe Peng mencelos. Sedari
turun gunung, ia telah dapat banyak kegembiraan, terutama sesudah bertemu
Thian Oe yang merupakan sahabat baik sekali. Hatinya merasa sangat berat
buat segera berpisahan, akan tetapi, ia tentu saja tidak berani membantah
perintah majikannya, sehingga ia lantas saja menyanggupi sembari
tundukkan kepalanya.
Pengtjoan Thianlie lihat itu semua, tapi ia tidak berkata apa-apa
dan lantas tuntun tangannya Yoe Peng buat diajak pergi.
"Tahan!" kata Tong Keng Thian.
"Apa?" menegasi Pengtjoan Thianlie. "Kau terlalu tidak sabar dan
mau bertempur disini?"
"Bukan," sahut Keng Thian sembari tertawa. "Pengpok Sintan-mu
terlalu hebat!"
Pengtjoan Thianlie merasa bangga sekali dan lalu berkata: "Kalau
kau takut, aku berjanji tidak akan gunakan Sintan."
"Kau salah tangkap maksudku," kata Keng Thian. "Pengpok Sintan
telah lukakan banyak sahabatku. Aku mau minta obat buat mengobati
mereka."
"Oh begitu? Baiklah, ambil obat ini," kata si jelita sembari
angsurkan sebungkus obat, yang diterima oleh Keng Thian sambil
menghaturkan banyak terima kasih.
"Manusia dalam dunia memang banyak rewel," menggerendeng Pengtjoan
Thianlie seorang diri.
"Aku mau rewel lagi sekali. Jangan lupa janjian malam ini," kata
Keng Thian sembari tertawa.
Pengtjoan Thianlie juga jadi turut tertawa dan kemudian, dengan
sikap kemalu-maluan ia berlalu sembari menuntun Yoe Peng.
Tiba-tiba, dari dalam barisan loncat keluar enam boesoe Nepal yang
lantas berlutut di hadapan Pengtjoan Thianlie sembari acungkan kedua
tangannya di atasan kepala dan mulutnya keluarkan suara ratapan. Hosek
Tjin-ong heran dan tanya Liong Leng Kiauw: "Apa perlu kita bekuk itu
beberapa penjahat?"
"Urusan hari ini kita harus serahkan kepada putusannya Pengtjoan
Thianlie," berbisik Leng Kiauw. "Kalau bertindak salah, bisa terjadi
perobahan yang kurang enak."
Hosek Tjin-ong merasa jengah, tapi lantaran sudah dapat pulang guci
emas itu, hatinya sudah merasa sangat puas dan tidak membantah nasehat
itu. "Apa wanita itu dipanggil Pengtjoan Thianlie? Namanya luar biasa
betul," ia akhirnya kata sembari tertawa.
Pembicaraan antara Pengtjoan Thianlie dan enam boesoe Nepal cuma
dapat dimengerti oleh Liong Leng Kiauw, Tong Keng Thian dan Yoe Peng.
Mereka itu memohon supaya sang puteri suka pulang ke negerinya.
"Apa yang aku sudah bilang, aku tak akan robah," sahut sang puteri
dengan suara tawar. "Pergi pulang dan beritahukan rajamu, supaya ia baik-
baik saja mengurus negara."
Enam boesoe itu tidak berani buka suara lagi.
"Mana Koksoe-mu?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Ia sudah binasa," jawab satu boesoe sembari mengawasi Thian Oe.
"Aku yang bunuh ia," Yoe Peng menyelak.
"Dia memang suka cari urusan," kata Pengtjoan Thianlie. "Buat apa
rebut-rebut guci emas? Pergi beritahukan rajamu, mengurus negeri sendiri
saja sudah cukup meminta tenaga dan pikiran, buat apa mengaduk di Tibet?
Koksoe-nya binasa memang ada baiknya, supaya ia dapat sedikit pelajaran."
Mendengar perkataan itu, Liong Leng Kiauw terkejut, sedang Tong
Keng Thian bergirang. Leng Kiauw terkejut lantaran Pengtjoan Thianlie
yang ilmu silatnya begitu tinggi, adalah seorang puteri dari negara
Nepal, sedang Keng Thian bergirang, sebab, biarpun si jelita sudah
mengatakan tidak mau campur urusan dunia, sekarang ia toh telah membantu
usahanya.
Sesudah berkata begitu, Pengtjoan Thianlie kebas tangannya dan enam
boesoe Nepal itu, seperti orang baru dibebaskan dari hukuman, lantas
buru-buru undurkan diri dengan sikap hormat sekali, akan kemudian kabur
secepat mungkin. Atas perintah panglimanya, pasukan Tjeng membuka satu
jalan untuk mereka.
"Hayolah kita berangkat!" kata Pengtjoan Thianlie sembari menengok
kepada dayangnya dan mereka berlalu dengan tindakan perlahan. Ribuan
tentara Gielimkoen tahan napasnya, mata mereka mengawasi bayangannya
kedua wanita cantik itu dengan perasaan agak menyesal, bahwa mereka
berdua sudah berlalu sedemikian cepat.
Hatinya Thian Oe berdebar-debar dan perasaannya sukar dilukiskan.
Seperti kehilangan semangat, dengan mata mendelong ia mengawasi sang
puteri bersama dayangnya yang sedang berjalan keluar dari selat gunung.
Mendadak Yoe Peng menengok sembari tertawa dan kedua matanya yang bagus
kebentrok dengan matanya Thian Oe. Si anak muda goncang hatinya, tapi
saat itu juga ia ingat Chena, itu gadis Tsang yang aneh dan yang sudah
tarik seluruh perhatiannya. Chena yang pendiam adalah ibarat lembah
gunung yang sunyi senyap, sedang Yoe Peng yang nakal dan lincah adalah
seakan-akan bunga mawar di musim panas. Hatinya Thian Oe jadi merasa
sangat terharu, ia meramkan kedua matanya dan berdoa kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, agar Chena masih hidup dalam dunia ini.
Beberapa saat kemudian, Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng sudah
berada di lereng gunung dan kemudian mereka menghilang di antara pohon-
pohon yang rindang.
Hosek Tjin-ong tarik napas lega dan lantas bereskan pasukannya yang
telah jadi sedikit kacau akibat pertempuran. Sesudah itu, ia hampiri Tong
Keng Thian dengan niat mengambil pulang guci emas itu dari tangannya si
pemuda. Tapi ia jadi sangat kecele, lantaran Keng Thian cuma manggutkan
sedikit kepalanya secara tawar dan berbalik serahkan guci emas itu kepada
Liong Leng Kiauw. "Jagalah hati-hati, jangan hilang lagi," katanya
sembari tertawa. Leng Kiauw sambuti barang berharga itu, yang kemudian
lalu dipasrahkan kepada Hosek Tjin-ong.
"Bolehkah aku mendapat tahu Hiapsoe (pendekar) empunya she dan nama
yang mulia?" tanya Hosek Tjin-ong dengan sikap menghormat. "Kali ini
Hiapsoe sudah membuat pahala yang sangat besar dan Siauw-ong (raja muda,
bahasakan dirinya sendiri) akan melaporkan kepada Hongsiang (kaizar) yang
tentu akan memberi hadiah sepantasnya."
"Aku adalah rakyat kecil dari pegunungan yang sudah biasa dengan
hidup merdeka dan tidak inginkan nama maupun harta," jawab Keng Thian
dengan suara tawar. "Jika ada hadiah apa-apa, tolong bagikan saja hadiah
itu kepada para serdadu yang bantu mengawal guci emas itu." Ia keluarkan
beberapa butir yowan (pel) yang lalu diserahkan kepada Liong Leng Kiauw
seraya berkata; "Inilah obat buat orang-orang yang kena Pengpok Sintan.
Telan saja dengan air matang dan orang itu akan segera sembuh. Liong-
heng, aku mau berangkat lebih dahulu, biarlah kita bertemu pula di lain
kali."
Melihat sikapnya pemuda itu yang sangat tawar terhadap dirinya,
tapi sedemikian hangat terhadap Liong Leng Kiauw, hatinya Hosek Tjin-ong
jadi merasa sangat tidak senang.
Baru saja Keng Thian berjalan beberapa tindak, Leng Kiauw mendadak
berseru: "Tong-heng, tunggu dahulu!"
"Ada apa?" tanya Keng Thian sembari berbalik.
Liong Leng Kiauw keluarkan satu kotak batu pualam yang besarnya
lima tjoen pesegi dan angsurkan itu kepada Keng Thian sembari berkata:
"Harap Tong-heng suka ambil barang ini."
Parasnya Keng Thian lantas saja berobah kurang senang dan ia
berkata dengan suara kaku: "Apakah aku membayar pulang guci emas dengan
mengharap hadiah?"
"Ini bukanlah hadiah dari aku sendiri," sahut Leng Kiauw sembari
tertawa. "Ini adalah barang lama milik keluargamu, yang secara kebetulan
sudah jatuh ke dalam tanganku. Puluhan tahun aku tolong simpan dan
sekarang mau dibayar pulang. Jika kau merasa sangsi, tanyalah ayahmu."
Keng Thian jadi merasa sangat bimbang. "Didengar dari omongannya,
barang ini bukanlah barang biasa," kata ia dalam hatinya. "Ilmu silatnya
ayahku, dalam jaman ini sukar dicari tandingannya. Apakah mungkin,
barangnya sendiri jatuh ke dalam tangan lain orang? Ilmu silatnya Liong
Leng Kiauw tidak berada di sebelah bawahku, sedang gerak-geriknya aneh
sekali. Apa mungkin orang yang berkepandaian seperti ia, sudi bekerja di
bawah perintahnya Hok Kong An dengan satu pangkat yang tidak besar dan
tidak kecil? Apakah tidak bisa jadi ia ada seorang yang mempunyai asal-
usul besar?" Dengan hati yang penuh pertanyaan, akhirnya Keng Thian
mengambil putusan buat terima kotak batu pualam itu.
Saat itu, di sebelah belakang mendadak terdengar tiga dentuman
meriam, dan ketika Keng Thian menengok, ia lihat satu pasukan tentara
yang kelihatannya angker sekali, sedang masuk ke dalam selat gunung.
"Utusan istimewa buat menyambut guci emas sudah tiba," kata Liong
Leng Kiauw.
"Siapa utusan itu?" tanya Keng Thian.
Leng Kiauw menggape dan Thian Oe lantas keluar dari dalam barisan.
"Utusan itu adalah ayahnya," kata Leng Kiauw.
Thian Oe segera maju menghampiri dan menghaturkan terima kasih buat
pertolongan Keng Thian yang tempo hari sudah tolong jiwanya.
"Ilmu silatmu sudah maju jauh sekali," kata Keng Thian sembari
tertawa. "Dengan adanya kau dan Liong Loosam, guci emas itu pasti akan
dapat diantar sampai di Lhasa dengan selamat. Aku jadi tak usah buat
pikiran dan sekarang aku mau berlalu saja." Ia manggutkan kepalanya
kepada Liong Leng Kiauw dan lalu berjalan pergi. Hosek Tjin-ong jadi
merasa lebih tidak senang, tapi sebab harus buruburu menyambut utusan, ia
jadi tidak mempunyai tempo buat perhatikan Tong Keng Thian lagi.
Setibanya di gunung depan, Keng Thian segera bertemu dengan Bek Eng
Beng dan lain-lain orang gagah dari Utara barat. Semua orang merasa
sangat mendongkol dan mereka ramai-ramai sesalkan pemuda itu. Keng Thian
lalu memberi penjelasan berulang-ulang kenapa mereka sekarang tidak boleh
rampas guci emas itu dan kemudian lalu keluarkan yowan pemberiannya
Pengtjoan Thainli buat mengobati orang-orang yang kena Pengpok Sintan.
Boe-sie Hengtee adalah orang-orang yang sangat terbuka dan sesudah
mendengar penjelasannya Keng Thian yang dianggap beralasan, lantas saja
mereka berkata sembari tertawa: "Tong Sieheng benar berpemandangan sangat
jauh yang tidak dipunyai oleh orang-orang seperti kami. Dalam urusan di
ini hari, kamilah yang bertindak salah."
Keng Thian merasa senang dalam hatinya dan lalu berkata sembari
membungkuk: "Buat luka yang sudah diderita oleh saudara, dengan jalan ini
aku menghaturkan maaf."
"Cara bagaimana kami dapat sesalkan Ioohcng?" kata Boe-sie Hengtee
sembari tertawa. "Pernah apakah wanita itu dengan Tong heng? Sehingga
Tong-heng sudah haturkan maaf guna ianya?"
Mukanya Reng Thian lantas jadi berobah merah.
"Biarpun dalam bantuannya kepada Tong-heng, maksudnya wanita itu
adalah sangat baik, tapi tangannya terlalu kejam," kata Boe-sie Hengtee.
"Jika ada kesempatan, kami ingin minta pengajaran lagi dari ianya. Kita
semua adalah turunannya Thiansan Tjitkiam (Tujuh Pendekar Pedang dari
Thiansan), maka itu kalau temponya tiba, Tong-heng tak boleh membantu
orang luar!"
"Ah, janganlah kau main-main, saudaraku," berkata Keng Thian, yang
merasa geli dan berkata dalam hatinya: "Inilah yang dinamakan sang air
mau rendam kelenteng Raja Naga. Kau tidak tahu, semuanya orang sendiri.
Ia adalah cucu perempuannya Koei Tiong Beng dan kalau dihitung-hitung
tingkatannya masih lebih atas dari kau berdua."
Sesudah berpisahan dengan kawanan orang gagah dari Utara barat,
seorang diri Keng Thian mendaki gunung. Sembari jalan, ia ingat halnya
Liong Leng Kiauw yang membikin hatinya jadi penuh dengan kesangsian. Ia
buka kotak batu pualam itu yang didalamnya ternyata terisi sepotong batu
giok (batu pualam) yang luar biasa indah dan berwarna biru hijau. Di
tengahtengah giok itu terdapat sebuah cap merah dengan ukiran huruf-huruf
kuno yang berbunyi: "Sioe Beng Ie Thian, Kok Oen Kioe Tiang (Terima
firman dari Langit, rejeki negara kekal abadi). Membaca itu, Keng Thian
jadi seperti orang terkesima. Harganya giok itu yang sukar ditaksir
berapa besarnya tidaklah cukup buat membikin ia menjadi heran, akan
tetapi, huruf-huruf itulah yang keja Keng Thian jadi bukan main
terkejutnya, sebab tak bisa salah lagi, barang itu adalah miliknya
kaizar.
"Kenapa Liong Loosam bilang, barang ini adalah barang keluargaku?"
tanya ia dalam hatinya. Mendadakan saja, ia ingat cerita ibunya (Phang
Eng) yang sering tuturkan sepak terjang ayahnya waktu masih muda. Ibunya
pernah ceritakan, bahwa dahulu sang ayah pernah dihadiahkan sepotong batu
giok oleh Kaizar Konghie. Apakah giok itu adalah giok hadiah Konghie?
Tong Siauw Lan (ayahnya Keng Thian) sebenarnya adalah putera (tidak
resmi) Kaizar Konghie. Pada ketika Tong Siauw Lan masuk ke dalam keraton
buat menemui ibunya, Konghie pernah hadiahkan giok itu kepadanya. Oleh
karena tidak ingin sang putera mengetahui urusan itu yang cuma dapat
menambahkan kejengkelan, maka saban-saban ceritakan halnya giok tersebut,
Tong Siauw Lan dan Phang Eng cuma mengatakan, bahwa lantaran secara
kebetulan sudah menolong Konghie dalam peristiwa perebutan tahta antara
putera-putera kaizar, maka kaizar tersebut telah hadiahkan giok itu
kepadanya. Latar belakang yang sebenarnya sama sekali tidak pernah
disebut-sebut. Sebab-sebab hilangnya giok tersebut, Keng Thian juga belum
pernah dengar dari kedua orang tuanya. Maka itulah, ia jadi merasa sangat
heran dan terutama merasa sangat tidak mengerti, kenapa barang itu bisa
jatuh kedalam tangannya Liong Leng Kiauw.
Keng Thian putar otaknya sampai ia jadi uring-uringan, tapi lekas
juga ia menjadi sadar dan berkata seorang diri sembari tertawa: "Ah,
kenapa juga aku jadi begitu tolol? Dengan menanyakan ayah dan ibu, segala
apa tentu akan menjadi terang. Buat apa aku capaikan pikiran?" Ia lantas
masukkan kotak itu ke dalam sakunya dan terus mendaki gunung.
Sesudah lewat magrib, sang rembulan mulai naik dan mengintip dari
antara sela-sela puncak gunung. Di gunung itu juga terdapat satu sungai
es, yang meskipun tidak seindah sungai es pegunungan Nyenchin Dangla, toh
sudah memberi suatu pemandangan yang menggetarkan jiwanya
Keng Thian. Bagaikan seekor naga perak, sungai es itu putari lereng
gunung dan dengan sinar es dan sinar rembulan yang saling menyoroti,
keindahan pemandangan alam itu benar-benar mempengaruhi orang yang sedang
menanggung rindu.
Mengingat Pengtjoan Thianlie, Keng Thian mendapat suatu perasaan
yang sukar dilukiskan dan tanpa merasa mulutnya ucapkan suatu syair:
"Sinar rembulan atas sungai es, dewi rembulan turun, bidadari
menyebar bunga, sang penyair datang.
Ah, walaupun bagaimana juga, aku akan undang dewi rembulan turun ke
atas bumi."
Tiba-tiba, dari puncak gunung, sayup-sayup terdengar suara khim
yang dibawa angin masuk ke dalam kupingnya Keng Thian. Di antara suara
tabuh-tabuhan yang merdu itu, lapat-lapat terdengar suara nyanyian Yoe
Peng:
Lilin pendek di belakang sekosol akan padam dalam sekejap. Bintang
pagi kelak-kelik akan segera mengundurkan diri, Sang bidadari menyesal
sudah curi obat mustajab, Lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri.
Nyanyian itu adalah berdasarkan Syair Dewi Rembulan, buah kalamnya
Lie Sian Djin, satu penyair dari ahala Tong. Ketika naik di keraton es,
Keng Thian pernah petik baris terakhir dari syair tersebut buat menggubah
toeilian untuk namanya Yoe Peng. Mendengar sang majikan mementil khim,
sedang sang dayang nyanyikan syair tersebut, Keng Thian jadi tertawa dan
berkata dalam hatinya: "Ah, Konghan Siantjoe sekarang sudah ingin turun
ke dunia." Ia pentang langkahnya dan berlari-lari menuju ke arah suara
khim itu.
Selagi enak lari, tiba-tiba saja ia dengar suara kresekan di
sebelah depannya, pada jarak belasan tombak, dan berbareng dengan itu,
dua bayangan manusia yang pakai pakaian hijau kelihatan berkelebat dengan
gunakan ilmu entengi badan yang paling tinggi, yaitu Tengpeng touwsoei
(Menyeberangi sungai dengan menginjak rumput). Dengan ilmu tersebut,
mereka dapat berlari-lari di atas rumput-rumput yang tinggi. Di lain
saat, kedua orang itu sudah menghilang di antara pepohonan. Keng Thian
terkejut, sebab ia dapat kenyataan, bahwa ilmu entengi badannya kedua
orang itu sedikitnya tidak berada di sebelah bawah ia. Kenapa malam-malam
mereka berada di gunung belukar itu?
Dengan cepat dan hati-hati Keng Thian menguntit dari belakang.
Jauh-jauh ia lihat kedua orang itu sedang mengumpat di antara alang-alang
dan saling berbisik. Keng Thian menghampiri lebih dekat dan tahan
napasnya buat mendengari apa yang dibicarakan oleh mereka.
"Aku dengar hari ini semua orang dari Utara barat pada turun tangan
buat rampas guci emas," demikian dengar suaranya seorang lelaki tua.
"Tjiauw Tjoen Loei dan kawan-kawannya hampir-hampir dapat malu besar,
kalau tidak ditolong oleh Liong Loosam yang keluarkan kepandaiannya,
sehingga guci yang hilang dapat dirampas kembali. Dilihat begitu, Liong
Loosam benar-benar tidak boleh dipandang rendah."
Keng Thian tertawa dalam hatinya. Hal yang menarik perhatiannya,
adalah disebut-sebutnya nama Liong Leng Kiauw.
"Yah, memang juga mencurigakan," kata seorang perempuan. "Kenapa
Liong Loosam yang begitu tinggi kepandaiannya rela bekerja sebagai
Tjamtjan di bawah perintahnya Hok Kong An? Memang mencurigakan. Tak heran
jika Hoei Tjongkoan minta kita keluar buat selidiki asal-usulnya. Kiranya
Hongsiang pun sudah merasa curiga."
Keng Thian sekarang mengerti, bahwa kedua orang itu adalah kaki
tangannya keraton Tjeng yang ilmu silatnya lebih tinggi dari delapan
pengawal istana.
Beberapa saat kemudian, di atas gunung kembali terdengar suara khim
dan kali ini, lagu yang dimainkan berdasarkan sajak Souw Tong Po yang
berbunyi seperti berikut:
Antara dahan pohon Tong mengintip sang rembulan.
Larut malam, keadaaan penuh dengan kesunyian.
Kadang-kadang terlihat orang pertapaan mundar-mandir sendirian.
Atau sang burung Hong yang melayang-layang tanpa juntrungan.
Dalam kagetnya, sang burung menengok ke belakang.
Hatinya sedih, tiada manusia mengetahui perasaannya.
Mencari-cari, belum juga dapat sang cabang.
Lebih baik menclok di pulau mencil dengan air di seputarnya.
Arti sajak yang mengharukan membikin suara khim penuh dengan
kesedihan, sehingga Keng Thian jadi terpesona.
"Besok malam kita sudah mesti tiba di Lhasa, tapi kau mau juga
dengari orang main khim," kata si wanita. "Apakah maksudmu yang
sebenarnya?"
"Aku dengar hari ini ada seorang wanita yang bantu turun tangan,"
sahut yang lelaki. "Mungkin sekali, yang dimaksudkan adalah orang yang
sedang mementil khim. Sudah ketelanjur lewat disini, kita tidak boleh
tidak menyelidiki."
"Hm!" kata si wanita dengan suara di hidung. "Kalau yang pentil
khim segala lelaki bau, kau tentu tidak kesudian naik kesini!"
Cara bicaranya kedua orang itu yang mengunjuk, bahwa mereka adalah
suami isteri, sudah membikin Keng Thian jadi terkejut. "Di daerah
perbatasan sebelah barat, suami isteri kenamaan yang berusia seperti
mereka, kecuali lethio dan Iebo (Lie Tie dan Phang Lin) dan ayah ibuku,
cuma ada pasangan In Leng Tjoe dari Lengsan pay di Tjenghay," kata ia
dalam hatinya. "Apakah mereka itu benar-benar suami isteri In Leng Tjoe
yang sudah kena ditarik oleh bangsa Boan?"
"Ah, kau orang apa!" si lelaki membentak. "Wanita yang sedang
pentil khim itu, kalau bukannya Pengtjoan Thianlie, tentulah juga seorang
yang mempunyai asal-usul besar. Sesudah menerima firmannya Hongsiang,
kita harus bertindak secara hati-hati sekali. Kebetulan lewat disini,
tidak dapat tidak kita mesti menyelidiki sampai terang betul."
"Hongsiang perintah kau selidiki asal-usulnya Liong Loosam dan
bukannya wanita itu," sahut si wanita dengan suara berdongkol.
"Liong Loosam sekarang sedang repot melindungi guci emas dan tentu
tak duga diam-diam ada orang yang incar padanya," kata yang lelaki dengan
suara membujuk. "Begitu tiba di Lhasa, kita tentu akan berhasil. Apalagi
Lootoa sudah mendahului kita. Sudahlah, kau tak usah kuatir. Aku rasa
perlu kita tengok wanita itu, mungkin sekali kita dapat beberapa
keterangan penting tentang Liong Loosam dari mulutnya." Sehabis berkata
begitu, ia lantas loncat keluar dari tempat sembunyinya, diikuti oleh si
wanita.
Pengtjoan Thianlie yang sudah mulai berdongkol lantaran sehabis
mainkan dua lagu, Keng Thian belum juga kelihatan muncul, merasa terkejut
melihat munculnya sepasang lelaki dan perempuan yang beroman jelek
sekali. Yang lelaki nyengir-nyengir sembari perlihatkan giginya yang
tonggos, sehingga si nona jadi gusar sekali.
Melihat kecantikannya Pengtjoan Thianlie dan lagak suaminya, si
wanita naik darahnya dan lantas menanya dengan suara kaku: "Hei! Apakah
kau yang hari ini membantu Liong Loosam melindungi guci emas?"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan membentak: "Anjing! Berani
betul kau orang curi dengar aku mementil khim! Hayo, menggelinding turun
dari sini!" Berbareng dengan bentakan itu, ia ayun tangannya dan dua
butir Pengpok Sintan lantas menyambar.
Sesuai dengan dugaannya Keng Thian, mereka itu memang juga adalah
suami isteri In Leng Tjoe. Sebagai pemimpin dari suatu partai, mereka
tentu tidak dapat menerima hinaan. Tapi belum sempat turun tangan, mereka
sudah rasakan menyambarnya hawa yang sangat dingin, sehingga mereka jadi
terkejut dan buru-buru tutup semua jalanan darahnya, tapi meskipun
begitu, mereka toh masih bergidik juga.
Melihat dua pelurunya tak dapat robohkan mereka, Pengtjoan Thianlie
merasa agak kaget dan segera lepaskan lagi dua butir Pengpok Sintan
dengan gunakan tenaga dalam yang lebih besar. In Leng Tjoe kelit dan
Sintan meledak di pinggir badannya. Isterinya, yang lebih sebet, sudah
buka ikatan pinggangnya yang digunakan buat gulung Sintan yang satunya
lagi. Dengan sekali kedut Pengpok Sintan meledak di dalam ikatan
pinggang, yang segera digunakan sebagai pian lemas (djoanpian) buat
menghantam Pengtjoan Thianlie.
Pengtjoan Thianlie juga lantas buka ikatan pinggangnya, yang,
bagaikan seekor naga, papaki ikatan pinggangnya musuh. Di lain saat,
kedua ikatan pinggang sudah menyambar-nyambar di tengah udara dengan
kecepatan kilat, sehingga memberi pemandangan yang indah sekali.
"Apakah kau bukan Pengtjoan Thianlie?" membentak In Leng Tjoe.
"Kau sudah tahu aku siapa, kenapa tak mau buru-buru menggelinding
dari sini," sahut si nona.
"Biarpun kau benar-benar bidadari dari atas langit, aku toh mau
jajal-jajal dahulu kepandaianmu," kata In Leng Tjoe sembari tertawa
tawar. Ia lantas cabut sepasang Poankoan pit (senjata yang merupakan pit)
dari pinggangnya dan coba totok dua jalanan darah di bebokongnya
Pengtjoan Thianlie.
Sambaran Poankoan pit yang disertai dengan tenaga dalam yang hebat,
sudah membikin Pengtjoan Thianlie jadi terkesiap. Ia tak duga, si lelaki
yang mukanya jelek itu adalah ahli menotok jalanan darah. Lantaran
begitu, ia tidak berani memandang enteng lagi lawannya dan sembari putar
badan, ia cabut Pengpok Hankong kiam. In Leng Tjoe rangkap kedua senjata
yang lantas diacungkan buat papaki
Hankong kiam dengan gerakan Hoenka kimliang (Menunjang penglari
emas). Dengan latihan puluhan tahun, sambaran Poankoan pit itu mempunyai
tenaga ribuan kati dan In Leng Tjoe menduga, bahwa dengan sekali bentur
saja, ia akan dapat patahkan pedangnya Pengtjoan Thianlie. Tapi si jelita
yang gerakannya luar biasa gesit sudah egos pedangnya dan berbareng
dengan berkelebatnya sang pedang, In Leng Tjoe kembali bergidik lantaran
sambaran hawa dingin. Di lain saat, dengan beruntun Pengtjoan Thianlie
kirim tiga serangan, sehingga dari menyerang, In Leng Tjoe berbalik harus
membela diri. Dengan kedua kaki menginjak kedudukan Patkwa, ia terpaksa
mundur, tapi Poankoan pit-nya sudah tutup rapat seluruh badannya dan
ujung senjata itu terus bayangi jalanan darah musuhnya yang dapat ditotok
begitu lekas ada kesempatan.
Ilmu silat isterinya In Leng Tjoe, yang bernama San Tjeng Nio,
tidak berada di sebelah bawah suaminya. Melihat liehaynya sang lawan,
buru-buru ia kedut ikatan pinggangnya yang lantas jadi lempang bagaikan
pit dan mulai bersilat dengan ilmu Hoeiliong Pianhoat (Ilmu silat pian
naga terbang). San Tjeng Nio adalah ahli Djioekang (Ilmu silat lembek)
dari Bittjong pay di Tibet. Dengan "kelemasan," ia dapat tindih
"kekerasan" dan dengan ilmu itu yang mempunyai delapan rupa jalan, ikatan
pinggangnya bukan saja dapat mainkan peranan beberapa macam senjata, tapi
juga dapat digunakan buat merebut senjata musuh. Dibanding dengan
djoanpian biasa, ikatan pinggang tersebut lebih liehay ratusan kali
lipat.
Oleh karena harus layani dua lawanan berat, pembelaan ikatan
pinggangnya Pengtjoan Thianlie jadi kurang rapat. Melihat kesempatan itu,
San Tjeng Nio segera kedut senjatanya, yang seperti seekor ular terbang,
lantas menyambar ke arah matanya musuh. Dalam keadaan terdesak, Pengtjoan
Thianlie terpaksa gunakan Pengpok Hankong kiam buat menyabet dua kali –
ke kanan dengan gerakan Soathoa lioktjoet (Kembang salju berhamburan ke
enam penjuru), ke kiri dengan gerakan Kisoei lengpeng (Air membeku jadi
es) —— dan dua serangan itu berubah jadi delapan rupa serangan yang
menyambar-nyambar secara berantai. San Tjeng Nio tidak berani terlalu
mendesak, buru-buru ia tarik pulang ikatan pinggangnya buat lindungi
diri.
Baru saja singkirkan gencatan si isteri, sang suami sudah mendesak
dengan kedua senjatanya yang makin lama jadi makin hebat menyerangnya,
sehingga Pengtjoan Thianlie jadi tidak mempunyai kesempatan lagi buat
lakukan serangan membalas.
Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih lima puluh
jurus. Kedua belah pihak sama-sama merasa kaget dan heran. In Leng Tjoe
suami isteri adalah jagoan kelas berat yang sudah dapat nama lama sekali
di daerah perbatasan barat, maka dapat dimengerti, jika mereka merasa
kaget melihat tangguhnya Pengtjoan Thianlie yang tidak dapat dijatuhkan
biarpun dikerubuti berdua. Di lain pihak, si nona juga tidak kurang
kagetnya sebab ilmu pedangnya yang begitu liehay masih juga belum dapat
robohkan dua lawanan itu.
Keng Thian yang mengintip dari belakang batu, terus mengawasi
jalannya pertempuran dengan mata tidak berkesip. Ia lihat, makin lama
serangan In Leng Tjoe suami isteri jadi makin hebat. Sesuatu sambaran
Poankoan pit ditujukan kepada jalanan darah, sedang ikatan pinggangnya
San Tjeng Nio selalu siap sedia buat masuk ke tempat kosong. Demikianlah,
perlahan-lahan Pengtjoan Thianlie jadi berada di bawah angin. Tapi,
berkat ilmu silatnya yang luar biasa, setiap kali keteter, muncullah
pukulan-pukulannya yang aneh, yang tak dikenal oleh In Leng Tjoe suami
isteri, sehingga, walaupun sudah berada di atas angin, mereka selalu
mesti berlaku sangat hati-hati buat menjaga serangan-serangan yang tidak
diduga-duga.
Keng Thian tumplek seluruh perhatiannya dan diam-diam coba meraba-
raba ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. "Ah," ia menghela napas. "Tadinya
aku kira Thiansan Kiamhoat adalah ilmu pedang yang tiada keduanya dalam
dunia. Tapi sekarang aku dapat kenyataan, banyak pukulannya Pengtjoan
Thianlie yang lebih unggul daripada ilmu pedang Thiansan. Benar-benar
pelajaran tidak ada batasnya."
Jika mau dirundingkan soal ilmu pedang, ilmu pedangnya Pengtjoan
Thianlie memang sedikit lebih unggul dalam hal keanehannya dan perobahan-
perobahannya yang luar biasa. Akan tetapi, mengenai luasnya, dalamnya dan
teguhnya, kiamhoat-nya si jelita masih belum dapat menyusul Thiansan
Kiamhoat. Jika bertemu dengan lawan yang ilmu silatnya lebih tinggi,
seorang ahli Thiansan Kiamhoat masih dapat membela diri dengan
penjagaannya yang sangat rapat. Di lain pihak, kiamhoat-nya Pengtjoan
Thianlie ada lebih liehay dalam penyerangan, tapi masih kurang sempurna
dalam pembelaan diri, jika bertemu dengan lawanan yang lebih kuat.
Ilmunya suami isteri In Leng Tjoe adalah kira-kira sctanding dengan
si pendeta berkelana dan Liong Leng Kiauw. Jika satu lawan satu, dalam
seratus jurus, ia tentu roboh dalam tangannya Pengtjoan Thianlie. Akan
tetapi dengan mengerubuti, kedudukannya suami isteri itu jadi terlebih
unggul. Cuma saja, berkat kiamhoat-nya si nona yang luar biasa dan
ditambah lagi sama Pengpok Hankong kiam yang istimewa, maka buat
sementara mereka masih belum dapat menarik keuntungan dari keunggulan
itu.
Dengan perlahan, sang rembulan sudah mulai doyong ke barat. Sesudah
bertempur kurang lebih seratus jurus, Pengtjoan Thianlie mulai merasa
lelah dan napasnya jadi sedikit sengal-sengal. "Kenapa si pemuda baju
putih belum juga datang?" ia tanya dalam hatinya yang mulai jadi jengkel,
sehingga tidak dapat pusatkan lagi Seantero perhatiannya kepada
pertempuran yang sedang berlangsung dengan hebatnya.
In Leng Tjoe suami isteri adalah orang-orang yang sudah kawakan
dalam pertempuran. Begitu lihat kesempatan, mereka lalu mendesak semakin
hebat. Sepasang Poankoan pit In Leng Tjoe terus tindih pedangnya si nona
buat cegah ia keluarkan pukulan-pukulannya yang aneh, sedang ikatan
pinggangnya San Tjeng Nio terus menyambar-nyambar ke bagian-bagian yang
agak lowong. Yoe Peng yang sedari tadi menonton, dengan sikap acuh tak
acuh, sekarang mulai kuatirkan keselamatan majikannya.
Sekonyong-konyong dengan gerakan Lioeseng poengoat (Bintang sapu
mengubar bulan), kedua Poankoan pit menyambar ke arah kepalanya Pengtjoan
Thianlie, dan hampir berbareng, ikatan pinggangnya San Tjeng Nio melesat
ke garisan dalam dari pembelaan si nona. Saat itu, pedangnya Pengtjoan
Thianlie yang sedang digunakan di garisan luar buat tangkis Poankoan pit,
sudah tidak keburu ditarik pulang guna singkirkan sambarannya ikatan
pinggang. Yoe Peng terkesiap dan keluarkan satu teriakan: "Celaka!"
Pada detik itulah, Pengtjoan Thianlie keluarkan pukulan yang benar-
benar istimewa. Dengan sekali getarkan gagang pedangnya, begitu bentur
Poankoan pit musuh, dari Pengpok Hankong kiam seperti juga terbang keluar
ratusan "kembang pedang" yang sinarnya bergemilapan dan menyilaukan mata.
Satu batang pedang itu seakan-akan berobah jadi ratusan batang pedang.
Inilah pukulan Pengho kaytang (Sungai es melumer), yaitu pukulan
istimewa dari Pengtjoan Kiamhoat yang digunakan buat menolong diri dalam
bahaya. Ketika itu, jika In Leng Tjoe teruskan juga serangannya, batok
kepalanya si jelita memang bisa menjadi toblos, tapi mereka pun pasti
bakal jadi korbannya Pengpok Hankong kiam. Mereka berdua tidak berani
berlaku mati-matian lantaran, pertama, mereka tidak kenal ilmu pukulannya
Pengtjoan Thianlie, ditambah sama silaunya sang mata lantaran sinar
Hankong kiam sehingga mereka tidak dapat lihat tegas badannya musuh, dan
kedua, sebagai ahli-ahli kawakan dalam Rimba Persilatan, mereka selalu
taat pada nasehat yang berbunyi: Sebelum menghitung kemenangan, hitunglah
kekalahan.
Demikianlah buru-buru mereka tarik pulang senjatanya dan tutup
rapat dirinya. Pada saat itulah, dari belakang batu besar keluar satu
teriakan: "Bagus!" yang keluar dari mulutnya Tong Keng Thian. In Leng
Tjoe dan isterinya terkesiap. Sembari pentang senjatanya, In Leng Tjoe
membentak dengan suara keras: "Lengsan pay In Leng Tjoe ada disini.
Sahabat, keluarlah buat menemui aku."
In Leng Tjoe adalah seorang yang sudah dapat nama besar lama sekali
di daerah perbatasan sebelah barat dan dengan perkenalkan dirinya, ia
berharap, orang yang sembunyi akan merasa jeri. Tapi tak dinyana, baru ia
tutup mulutnya, dua sinar terang menyambar dan kedua senjatanya kena
terpukul miring, sehingga garisan pembelaannya jadi terbuka, dan
berbareng dengan itu, Pengpok Hankong kiam sudah menerobos masuk bagaikan
kilat.
In Leng Tjoe terbang semangatnya. Matanya silau dan hawa dingin
menyambar ke uluhatinya, sehingga .ia tak dapat membela dirinya lagi.
"Binasalah aku!" ia mengeluh.
Mendadakan terdengar suara terbesetnya kain dan sinar pedang
berkelebat di atasan kepalanya. Sebagai seorang yang tinggi ilmu
silatnya, pada saat itulah, dengan gerakan Yauwtjoe hoansin (Elang balik
badannya), In Leng Tjoe jejak kedua kakinya dan badannya melesat beberapa
tombak, akan kemudian jatuh menggelinding ke bawah tanjakan.
Suara terbesetnya kain yang didengar oleh In Leng Tjoe muncul
ketika ikatan pinggangnya San Tjeng Nio dibabat putus dengan Hankong
kiam. Barusan, melihat suaminya berada dalam bahaya, San Tjeng Nio
kerahkan tenaga dalamnya dan bagaikan sebatang pedang, ikatan pinggangnya
sambar kedua matanya Pengtjoan Thianlie, yang lantas papaki dengan
Hankong kiam. Oleh karena adanya pertolongan sang isteri, In Leng Tjoe
jadi dapat loloskan dirinya.
Sambil lempar ikatan pinggangnya yang sudah tinggal sepotong, San
Tjeng Nio turut loncat turun ke bawah tanjakan. Mereka menengok ke atas
dan lihat Pengtjoan Thianlie mau mengubar, tapi dicegah oleh seorang
pemuda baju putih.
In Leng Tjoe cabut senjata rahasia yang menancap pada kedua
senjatanya dan begitu lihat, ia terkesiap. "Hei!" ia berseru. "Thiansan
Tong Siauw Lan masih pernah apa dengan kau?"
"Aku wakili ayah buat menanyakan keselamatannya kedua
Lootjianpwee," sahut Keng Thian. "Harap kedua Lootjianpwee sudi maafkan
kekurang ajaranku."
In Leng Tjoe suami isteri saling mengawasi. Biar bagaimanapun juga,
mereka belum mempunyai nyali buat coba-coba bentur Tayhiap Tong Siauw
Lan, apalagi ilmu silatnya si pemuda sendiri sudah cukup tinggi dan dapat
pukul miring kedua Poankoan pit dengan Thiansan Sinbong. Di sebelahnya
itu, mereka juga harus perhitungkan Pengtjoan Thianlie yang terus
mengawasi dengan mata beringas. Keringat dingin keluar dari dahinya In
Leng Tjoe. Tapi buat tutup perasaan malunya, ia membentak dengan suara
keras: "Baiklah! Aku sungkan berurusan sama segala bocah. Aku akan bikin
perhitungan dengan ayahmu sendiri!"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan berkata: "Penjahat gundul! Kau
masih berani banyak bacot? Apa kau mau rasakan lagi pedangku?"
Mendengar perkataan "penjahat gundul," In Leng Tjoe terkejut dan
lantas raba kepalanya. Hatinya mencelos sebab ia dapat kenyataan,
rambutnya sudah kelimis dan tanpa berani mengeluarkan sepatah kata lagi,
ia tarik tangan isterinya dan menyingkir secepat bisa.
"Dua bangsat itu sudah berani curi dengar suara khim-ku, biarpun
senjatanya sudah diputuskan dan rambutnya dipapas, hatiku rasanya belum
merasa puas," berkata Pengtjoan Thianlie dengan suara mendongkol.
"Dalam dunia ini masih banyak orang-orang yang terlebih jahat
daripada mereka," kata Keng Thian sembari tertawa. "Mana boleh kau selalu
turuti napsu amarahmu."
Lewat beberapa saat, Keng Thian berkata pula sembari tertawa:
"Apakah kau mementil khim hanya untuk didengar olehku? Sungguh sayang aku
bukannya Pek Gee (Djie Pek Gee, seorang ahli khim dari jaman Liatkok),
sehingga tidak mengetahui dimana adanya hati tetabuhan tersebut."
Mukanya si jelita lantas saja bersemu dadu. "Cis" katanya. "Siapa
yang pentil khim untuk kau? Eh, apa kau mau adu pedang lagi?"
"Tak usah," sahut Keng Thian. "Barusan aku sudah saksikan
kepandaianmu yang sejati dan benar-benar tinggi sekali. Aku sekarang
mengaku kalah."
"Aku paling benci orang yang bicara lain, hatinya lain," kata lagi
si nona. "Dalam hati, kau tentu kata: "Kepandaiannya Pengtjoan Thianlie
cuma sebegitu saja? Mana bisa menangkan Thiansan Kiamhoat?"
Keng Thian jadi tertawa keras. "Ah!" katanya. "Kalau begitu kau
mempunyai ilmu membaca hati orang! Tapi, kali ini kau membaca salah.
Barusan hatiku kata: "Kiamhoat-nya Pengtjoan Thianlie benar-benar liehay.
Dalam tiga sampai lima tahun, aku belum dapat menangkan dia."
Pengtjoan Thianlie menghela napas, sebab dalam hatinya, ia justru
sedang pikir apa yang dikatakan oleh Keng Thian. Sesudah meneliti ilmunya
si pemuda, ia merasa, bahwa meskipun tak usah kalah, akan tetapi buat
bisa dapat jatuhkan Keng Thian, paling sedikitnya ia harus berlatih
antara tiga sampai lima tahun lagi. Dan ia merasa tercengang, sebab apa
yang lagi dipikir sudah dikatakan oleh Keng Thian.
"Kenapa tarik napas?" tanya Keng Thian.
Si nona tak menyahut. Lewat beberapa saat mendadak ia berkata:
"Kalau begitu, kau adalah puteranya Thiansan Tong Tayhiap."
"Sekarang kita sama-sama sudah mengetahui asal-usul masing-masing
dan kita sebenarnya bukan orang luar," kata Keng Thian. "Ayahku mempunyai
matan buat satu tempo kumpulkan semua turunan dan murid-muridnya Thiansan
Tjitkiam. Jika niatan itu terwujud, aku akan ajak kau, supaya dapat
berkenalan dengan sahabat-sahabatnya mendiang ayahmu."
Mendengar itu, parasnya Pengtjoan Thianlie segera jadi berobah.
"Ayahku sudah singkirkan diri ke daerah perbatasan dan sedari dahulu ia
sudah tidak anggap dirinya sebagai orang Thiansan pay," katanya. "Cara
bagaimana aku dapat hadiri pertemuan itu?"
Keng Thian terkejut, ia tak mengerti, kenapa si nona boleh
keluarkan perkataan begitu. Tapi ia lihat Pengtjoan Thianlie bicara
dengan sungguh-sungguh, sehingga ia tak menanya apa-apa lagi.
Keng Thian tidak mengetahui, bahwa ayahnya si nona, yaitu Koei Hoa
Seng, dahulu justru pernah dijatuhkan oleh ayah ibunya sendiri. Dengan
perasaan mendongkol, Koei Tayhiap pergi ke lain negara dengan tujuan
mempelajari ilmu pedang daerah sebelah barat guna digabung dengan ilmu
pedangnya sendiri, supaya bisa menggubah serupa ilmu pedang yang lebih
unggul dari Thiansan Kiamhoat.
Kedua matanya Pengtjoan Thianlie mengawasi ke arah jauh, seakan-
akan ia sedang berpikir keras. Beberapa saat kemudian, ia berkata dengan
suara agak terharu: "Berjodoh, manusia berkumpul. Jodoh habis, berpisah
kembali. Satu kali kau pernah naik ke atas Puncak Es dan aku telah
membalas budi dengan ambil pulang guci emas. Dengan demikian, kita sudah
rampungkan sekelumit lelakon hidup ini. Kita tak usah adu pedang lagi dan
biarlah kita berpisahan sebagai sahabat."
Nepal adalah satu negara yang banyak kena pengaruhnya agama Budha,
sehingga sebagai seorang Puteri Nepal, Pengtjoan Thianlie pun kena
pengaruh agama tersebut. Keng Thian tercengang mendengar kata-kata itu
dan buat beberapa saat, ia tak dapat membuka suara.
"Puncak Es sudah roboh dan kau sendiri sudah masuk lagi ke dalam
dunia pergaulan," berkata Keng Thian sembari mesem. "Apakah jodoh dalam
dunia dapat berakhir dengan begitu saja? Meskipun keraton es ada cukup
indah, akan tetapi dingin dan sunyi. Andaikata benar-benar di belakang
hari kau bisa jadi seorang bidadari, paling banyak kau jadi seperti
bidadari dari rembulan. Dan sebagaimana kau mengetahui, bidadari rembulan
saja masih kadang-kadang merasa kesepian, masih saban malam pikiri lautan
blau dan langit biru! Apakah, selainnya keraton es, dalam dunia sudah
tidak ada lain tempat yang cocok bagi dirimu?"
Hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang keras, sehingga dadanya turun
naik terlebih cepat. Ia angkat kepalanya dan mengawasi si pemuda, yang
dengan pakaiannya yang serba putih dan parasnya yang cakap sekali,
kelihatan angker dan agung di bawahnya sinar rembulan yang laksana perak.
Ketika itu, Keng Thian pun sedang mengawasi ia dengan sorot matanya yang
bening, sehingga dua pasang mata segera kebentrok. Paras mukanya
Pengtjoan Thianlie kembali bersemu dadu dan pikirannya jadi semakin
kusut. Hatinya merasa berat, akan tetapi, ia sendiri tidak mengetahui,
apa yang dibuat berat. Apakah keindahan dunia? Apakah pemuda itu dengan
kata-katanya dan cara-caranya yang sangat menarik hati? Tapi, bukankah
pemuda itu adalah seorang, dengan siapa ia harus ukur tenaga supaya tidak
sia-siakan capai lelah ayahnya sendiri? Mengingat begitu, si nona rasakan
kepalanya pusing.
"Apakah kau tidak mau pergi ketemui kedua pamanmu?" tanya Keng
Thian mendadakan. "Yang satu berada di Soetjoan, sedang , yang lain di
Ouwpak. Puluhan tahun mereka pikiri ayahmu dan pesan banyak sahabatnya
buat bantu mencari. Gurunya Thian Oe, yaitu Thiekoay sian, yang juga
pernah terima pesanan begitu, sudah naik ke atas Puncak Es tanpa
perdulikan bahaya, sehingga akhirnya ia mesti membuang jiwa di dalam
keraton es. Apakah sesudah mengetahui itu, hatimu sedikitpun tidak jadi
tergerak?"
"Apa? Thiekoay sian mati di keraton es?" tanya si nona dengan suara
terkejut.
"Benar," menyeletuk Yoe Peng. "Guna melindungi keraton es, Thiekoay
sian telah binasa dalam tangannya si pendeta jubah merah." Si dayang lalu
tuturkan segala apa yang ia dapat dengar dari Thian Oe, mengenai
kebinasaannya Thiekoay sian.
Mendengar penuturan itu, Pengtjoan Thianlie jadi merasa jengah. Ia
ingat budinya Thiekoay sian suami isteri yang sudah begitu sudi gawe buat
mendaki Puncak Es, guna kepentingan lain orang, sehingga akhirnya sang
suami harus membuang jiwa secara kecewa sekali.
"Jika kedua pamanmu mengetahui, mereka mempunyai satu keponakan
yang begitu pintar, mereka tentulah juga akan merasa girang sekali," Keng
Thian teruskan bujukannya. "Apa benar-benar kau tidak kepengen menemui
pamili di Tiongkok?"
"Aku tak tahu dimana mereka tinggal, bagaimana bisa mencarinya?"
kata Pengtjoan Thianlie akhir-akhir.
Melihat si nona sudah tergerak hatinya, Keng Thian jadi girang
sekali. "Itulah, jodoh kita memang belum habis dan kita tidak dapat
lantas berpisahan," katanya. "Biarlah aku antar kau pergi cari kedua
pamanmu itu. Lebih dahulu kita pergi cari ke Soetjoan barat buat cari Moh
Tjoan Seng Tayhiap dan sesudah itu, baru kita mendaki Boetong san buat
menemui Tjio Kong Seng Tayhiap."
Mukanya si nona jadi merah lantaran kemalu-maluan. Ia berdiri
bengong buat beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara perlahan:
"Baiklah. Kapan kita berangkat?"
"Pada sebelum aku antar kau cari kedua pamanmu, lebih dahulu kau
harus kawani aku pergi cari seorang lain," sahut Keng Thian.
"Siapa? Apa jauh?" tanya si nona.
"Orang yang aku mau cari adalah Liong Leng Kiauw," menerangkan Keng
Thian "Sekarang kita pergi dahulu ke Lhasa. Perjalanan itu tidak meminta
tempo terlalu lama."
"Guci emas toh sudah dipulangkan, buat apa cari ia lagi?" tanya
Pengtjoan Thianlie.
"Asal-usulnya Liong Leng Kiauw sangat mencurigakan," kata Keng
Thian. "Apa kau tahu, maksud kedatangan suami isteri In Leng Tjoe adalah
buat menyusahkan padanya?" Sesudah itu, ia lalu tuturkan segala apa yang
ia dengar dari mulutnya kedua suami isteri tersebut. "Ilmu silatnya suami
isteri In Leng Tjoe adalah lebih tinggi dari delapan pengawal istana,"
Keng Thian sambung penuturannya. "Tapi sebaliknya dari perintah mereka
lindungi guci emas, kaizar Boan suruh mereka pergi menyelidiki asal-
usulnya Liong Loosam. Dari sini dapat dilihat, bahwa di matanya kaizar,
pentingnya penyelidikan itu tidak kalah dari pentingnya guci emas. Itulah
sebabnya kenapa aku merasa perlu buat coba pecahkan teka-teki itu."
"Ah, kau memang sangat usilan!" kata si nona sembari kerutkan
alisnya.
"Biarpun kau tak sudi, tapi kali ini toh kau harus antarkan aku,"
kata Keng Thian sembari tertawa.
"Kenapa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Supaya kita sama-sama tak usah menanggung budi," sahut Keng Thian.
"Jika dikemudian hari, kau kebetulan ingin adu pedang lagi denganku, kau
jadi bisa buka mulut tanpa sungkan-sungkan lagi!"
"Cis" membentak si nona sembari tertawa. "Kau benar jail. Baiklah,
aku luluskan permintaanmu."
Demikianlah mereka bertiga lantas berangkat dan tiba di Lhasa pada
malaman Tahun Baru. Ketika itu, ibukota Tibet, sedang berada dalam
suasana pesta. Jalanan-jalanan penuh dengan rakyat yang keluar buat
saksikan keramaian, rumah-rumah pasang lampu terang-terang dan di segala
tempat terlihat menguleknya asap hio yang dibakar tak henti-hentinya.
Pusatnya keramaian terletak di sekitar Kelenteng Thaytjiauw sie yang
dipajang indah sekali dengan lampu-lampu yang beraneka warna. Gelombang
manusia semuanya mengalir ke kelenteng tersebut yang sudah jadi penuh
sesak dengan rakyat yang bersuka ria -- ada yang sembahyang, ada yang
menari-nari di tengah jalan atau menyanyi sekeras suara.
"Sekali ini kaizar Boan telah bertindak secara tepat sekali," kata
Keng Thian dalam hatinya. "Dengan mengirim guci emas, pemerintahan
keagamaan di Tibet jadi berada di bawah pimpinan langsung dari pemerintah
pusat di Pakkhia, sehingga Tiongkok dan Tibet tak dapat dipisahkan lagi.
Tak heran kalau rakyat jadi begitu girang." Dalam kepuasannya, si pemuda
merasa sedikit menyesal, bahwa mereka datang terlambat sedikit sehingga
tidak dapat saksikan upacara penyambutan guci emas yang tiba di Lhasa
pada siang harinya.
Sesudah lihat-lihat keramaian buat sementara waktu, mereka bertiga
lalu menuju ke lapangan yang terletak di bawahnya Keraton Potala. Sesudah
lewati lapangan tersebut, mereka tiba pada satu daerah pegunungan di
sebelah utara Gunung Anggur. Mereka terus mendaki satu tanjakan, di atas
mana berdiri sebuah rumah yang berbentuk bundar dan terkurung tembok,
yaitu rumahnya Liong Leng Kiauw. Sesudah pesan supaya Yoe Peng tunggu di
lapangan di kaki gunung, bersama Pengtjoan Thianlie, dengan gunakan ilmu
entengi badan, Keng Thian segera masuk ke dalam pekarangan dengan loncati
tembok.
Keadaan disitu sangat sunyi, mungkin para penghuninya pada pergi
nonton keramaian. Waktu tiba di dekat kamar tulisnya Liong Sam, kuping
mereka mendadak dengar suara tindakan orang yang jalan mundar-mandir di
dalam kamar tersebut. Mereka segera loncat ke atas payon rumah dan
sembari cantelkan kaki kepada payon, mereka mengintip ke dalam. Ilmu
entengi badannya Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian boleh dibilang
sudah mencapai puncak kesempurnaan, sehingga walaupun Liong Leng Kiauw
berilmu tinggi, ia masih belum mengetahui kedatangannya kedua tetamu
tersebut.
Di dalam kamar, tuan rumah kelihatan jalan mundar-mandir tak
hentinya, dengan paras muka yang sangat guram. Keng Thian merasa sangat
heran kenapa, sesudah guci emas berada dalam Gereja Besar, Leng Kiauw
masih kelihatan begitu bersusah hati.
Sekonyong-konyong dari sebelah luar kedengaran suara tindakan orang
Buru-buru Pengtjoan Thianlie dan Keng Thian naik ke atas dan mengumpat di
pancoran air. Tirai disingkap dan seorang yang tinggi kurus kelihatan
masuk ke dalam. Ia itu adalah Gan Lok, soetee-nya Liong Sam, yang pernah
curi pedangnya Yoe Peng.
"Soetee belum tidur!" tanya Leng Kiauw sembari menghela napas.
"Selama setengah bulan, aku sangat kuatirkan keselamatan soeheng,
tapi sekarang aku dapat bernapas lega," sahutnya.
Leng Kiauw meringis dan berkata: "Sesudah tibanya guci emas, urusan
kita justru baru mulai main!"
"Menurut pendapatku, lebih baik kita singkirkan diri dahulu buat
sementara waktu," kata Gan Lok.
"Apa kau takut?" tanya sang soeheng.
"Bukannya takut," jawabnya. "Cuma dalam beberapa hari, aku seperti
dapat firasat, bahwa rahasia kita sudah diketahui orang."
"Hok Tayswee sama sekali tidak merasa curiga," menghibur Leng
Kiauw. "Kau tak usah pikir yang tidak-tidak."
Gan Lok diam, mulutnya bergerak, tapi ia tidak jadi bicara.
"Belasan tahun lamanya kita mengumpat di gedungnya pembesar
negeri," kata pula Liong Leng Kiauw. "Buat apa? Sekarang kita sudah
mempunyai dasar yang kuat, dan di sebelahnya itu, sesuai sama rencanaku,
kita sudah dapat menyambut guci emas dengan selamat. Mulai dari sekarang,
Hok Tayswee akan lebih perlu sama tenaga kita. Andaikata sampai timbul
badai, aku rasa kita masih dapat lewati dengan selamat. Kau takut apa?"
"Aku harap saja begitu," kata sang soetee dengan paras lesu.
"Aku perintah kau adakan hubungan dengan berbagai Touwsoe, apa
jalannya urusan cukup licin?" tanya Leng Kiauw.
"Boleh juga," sahutnya.
"Dalam gedung Tayswee ada aku. Kali ini kita harus bertindak," kata
lagi Leng Kiauw.
"Dalam gedung Tayswee besok bakal diadakan pertemuan Tahun Baru,
sembari memberi hadiah kepada perwira dan serdadu yang berjasa," kata Gan
Lok. "Soeheng, baik kau pergi tidur."
"Dan kau?" tanya Leng Kiauw.
"Dalam pertemuan besok, soeheng pegang peranan terutama, sedang aku
cuma ambil peranan pembantu, sehingga datang terlambat masih tidak apa,"
kata sang soetee. "Aku masih mau pergi meronda."
Leng Kiauw tertawa dan berkata: "Kau memang terlalu hati-hati. Apa
sekiranya masih ada orang yang berani datang disini?"
"Apa soeheng lupa kejadian bulan yang lalu?" Gan Lok balas menanya.
"Dalam dunia ada berapa Pengtjoan Thianlie?" kata Leng Kiauw.
"Selainnya itu, Pengtjoan Thianlie pun tidak mengandung maksud jahat."
"Biarpun begitu, aku rasa lebih hati-hati ada lebih baik," kata Gan
Lok yang lantas berlalu sesudah ucapkan selamat tidur.
Sesudah mendengar pembicaraan antara kedua saudara seperguruan itu,
hatinya Tong Keng Thian jadi semakin bimbang. Pekerjaan apakah yang mau
dilakukan oleh Liong Leng Kiauw? Siapa sebenarnya dia? Selagi hatinya
bersangsi, mendadak tuan rumah menggerendeng seorang diri: "Balik bumi,
gulung langit adalah pekerjaanku. Ha, ha! Dengan sampainya guci emas,
tibalah temponya buat memperlihatkan kesaktianku!"
Keng Thian terkesiap. "Liong Loosam benar temberang!" katanya di
dalam hati. "Apa ia mau berontak? Tapi, di tempat ini dan dalam tempo
begini, manalah bisa berontak?"
Keng Thian sangsi sekali, ia tak dapat ambil putusan, apakah baik
loncat turun buat menemui orang yang luar biasa itu. Mendadak, di sebelah
kejauhan terdengar suara teriakannya Gan Lok, yang seperti juga kena
dipukul orang. Liong Leng Kiauw loncat dan selagi mau singkap tirai,
sedang suara teriakan masih berkumandang di dalam telinga, tiba-tiba
kedengaran suara tertawa menyeramkan. Tertawa itu, yang mula-mula
terdengar di tempat agak jauh, tahu-tahu sudah berada di depan rumah, dan
dari sini dapat dilihat, bahwa gerakannya orang yang tertawa sungguh luar
biasa cepat, sehingga Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian sendiri
merasa sangat terkejut.
Walaupun ilmu silatnya Gan Lok masih kalah setingkat dari Liong
Leng Kiauw, akan tetapi ia sudah terhitung seorang ahli kelas satu. Bahwa
dalam sekejap saja, ia sudah dapat dirobohkan, merupakan suatu petunjuk,
bahwa ia sudah bertemu dengan musuh yang bukan main liehaynya.
Saat itu, dalam tangannya, Keng Thian cekal dua batang Thiansan
Sinbong, sedang Pengtjoan Thianlie genggam dua butir Pengpok Sintan, siap
sedia buat menimpuk sembarang waktu. Keng Thian kedipi matanya, supaya si
nona suka bersabar buat sementara waktu.
Begitu tiba, orang itu lantas menerobos masuk dan berhadapan dengan
Leng Kiauw yang sedang mau singkap tirai. Beberapa sinar perak kelihatan
menyambar dan orang itu berseru: "Sungguh indah gerakan Patpie Lo Tjia
Tjopo (Lo Tjia yang mempunyai delapan tangan menangkap mustika). Apakah
gurumu Tong Loodjie dari Soetjoan?"
Di bawahnya sinar rembulan yang remang-remang, orang itu kelihatan
berbadan tinggi kurus, mukanya dekok, kedua matanya berkilat seperti api,
sedang rambutnya awut-awutan, sehingga rupanya jadi menakuti sekali.
Tong Keng Thian heran. Senjata rahasia yang dilepaskan oleh tetamu
malam itu, adalah paku Samleng Touwkoet teng yang selalu digunakan buat
timpuk jalanan darah musuh. Tapi hal ini tidak mengherankan. Apa yang
mengherankan adalah cara menyambut senjata rahasia yang diperlihatkan
oleh Liong Leng Kiauw, yang dengan sekali bergerak, sudah dapat tangkap
enam batang paku tersebut. Itulah ada gerakan istimewa dari keluarga Tong
di Soetjoan, yang terkenal sebagai ahli senjata rahasia yang kenamaan.
Keng Thian pernah dengar penuturan ayahnya, bahwa dalam keluarga Tong
terdapat seorang tertua bernama Tong Kim Hong, yang, sebagai putera
kedua, jadi dikenal sebagai Longsin Tong Loodjie. Dahulu, dengan gendewa
dan peluru, nama Tong Loodjie pernah menggetarkan seluruh dunia Kangouw.
"Tong Loodjie" yang disebutkan oleh tetamu malam itu, sudah tentu Tong
Kim Hong adanya. Akan tetapi, jika masih hidup, waktu ini Tong Kim Hong
sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun. Apakah bisa jadi, Leng
Kiauw muridnya orang tua itu?
Liong Leng Kiauw rangkap kedua tangannya dan membungkuk, seraya
menyahut secara hormat sekali: "Benar. Ia adalah guruku. Apakah aku boleh
tanya, ada urusan apa Lootjianpwee datang kesini dan siapa adanya
Lootjianpwee?"
Orang itu tertawa seram dan berkata: "Sepuluh tahun kau berada di
luar Tiongkok. Apakah masih belum tahu, siapa adanya aku?" Ia angkat
kedua tangannya yang digoyang beberapa kali di depan matanya Liong Sam.
Kedua telapak tangan itu berwarna merah bagaikan darah, seperti juga
tidak berkulit lagi, dan di bawah sinar bulan, tangan itu kelihatan
terang sekali.
Bukan main terkejutnya Keng Thian.
"Ah, kalau begitu Hiatsintjoe Tjianpwee yang datang!" demikian
terdengar suaranya Leng Kiauw. "Harap sudi maafkan ketololan boanpwee
(orang dari tingkatan lebih rendah) yang sudah tidak menyambut dari
tempat jauh."
Hiatsintjoe adalah satu memedi besar yang lama hidup mengumpat di
daerah perbatasan Tibet. Ilmu yang dipelajari olehnya ada sangat aneh. Ia
keset kulit kedua kaki tangannya yang kemudian direndam didalam cair dari
macam-macam rumput beracun, sampai akhirnya kaki tangannya berwarna merah
darah. Siapa saja yang kena dilanggar kaki tangan beracun itu, jangan
harap bisa hidup terus. Jago-jago Kangouw pada umumnya sangat segani ia
dan kasih julukan Hiatsintjoe (Si Malaikat Darah) kepadanya. Namanya yang
sebenarnya tidak ada orang yang mengetahui.
Pada ketika Tong Siauw Lan (ayahnya Tong Keng Thian) mulai
munculkan diri dalam kalangan Kangouw, Hiatsintjoe sudah malang melintang
di daerah Tiongkok Utara barat, tapi kemudian, dengan mendadak, orang tak
pernah dengar apa-apa lagi tentang dirinya. Sepanjang warta, ia sembunyi
sesudah kena dihajar oleh Bu Kheng Yao, salah seorang pendekar wanita
dari Thiansan Tjitkiam, akan tetapi, cara bagaimana dia dihajar, tak ada
seorang yang mengetahui terang. Sesudah Tong Siauw Lan undurkan diri dari
pergaulan umum dan hidup sembunyi di Thiansan, selama beberapa belas
tahun beberapa antara tujuh pendekar pedang itu meninggal dunia dengan
beruntun, antaranya Liehiap Ie Lan Tjoe dan Bu Kheng Yao sendiri. Sesudah
itu, Hiatsintjoe barulah kelihatan muncul kembali di dunia Kangouw. Satu
waktu, ia pernah tantang Tong Siauw Lan buat adu silat, akan tetapi Tong
Tayhiap sungkan ladeni padanya, sehingga ia pun tak dapat berbuat suatu
apa. Siapa nyana, malam itu puteranya Tong Tayhiap dapat ketemui ia di
rumahnya Liong Leng Kiauw.
Hiatsintjoe tertawa terbahak-bahak dan berkata dengan suara angkuh:
"Sesudah mengetahui siapa adanya aku, kau sekarang harus turut segala
perintahku. Pekerjaan apa yang kau lakukan selama belasan tahun di Tibet,
kau mesti tuturkan secara terus terang."
"Bilang belas tahun aku bekerja di bawah perintahnya Hok Tayswee,"
sahut Leng Kiauw dengan suara sabar. "Segala pekerjaan yang dilakukan
olehku, semuanya diketahui oleh Hok Tayswee. Jika Lootjianpwee tidak
percaya, pergilah tanyakan sendiri kepada Hok Tayswee."
Hiatsintjoe tertawa dingin seraya berkata: "Apa kau mau takut-
takuti aku dengan namanya Hok Kong An? Kau bisa kelabui Hok Kong An, tapi
tak dapat abui Thiantjoe (Anak Langit, yaitu kaizar). Apakah kau rasa aku
tak tahu, bahwa kau sembunyi disini dengan gunakan nama samaran?"
Leng Kiauw terkejut, akan tetapi ia masih dapat pertahankan
ketenangannya dan menyahut dengan suara tetap: "Aku sungguh tak mengerti
maksudnya Lootjianpwee. Aku sama sekali tidak melanggar undang-undang
negeri. Apa perlunya menggunakan nama samaran?"
Dalam penyelidikannya, Hiatsintjoe mengetahui, bahwa Tong Kim Hong
sudah meninggal dunia pada beberapa belas tahun berselang dan bahwa Liong
Leng Kiauw adalah muridnya jago silat itu. Akan tetapi, ia masih belum
dapat menyelidiki asal usulnya Liong Leng Kiauw yang sebenarnya.
Mendengar perkataan Liong Sam yang membikin ia jadi tidak berdaya, hawa
amarahnya mendadak naik dan ia tidak ingat lagi pesan Tjongkoan istana
buat bertindak secara hati-hati dalam penyelidikannya.
"Hm!" katanya dengan suara di hidung. "Pandai benar kau goyang
lidah buat cuci bersih dirimu! Baiklah, sekarang kau ikut saja padaku.
Apa kau berdosa atau tidak, nanti ada orang yang memutuskannya."
"Kalau begitu, Lootjianpwee harus minta permisi dahulu dari Hok
Tayswee," kata Leng Kiauw.
Hiatsintjoe lantas saja jadi gusar sekali. "Kau mau gunakan Hok
Kong An sebagai tameng pelindung?" ia membentak. "Belum tentu Hok Kong An
bisa lindungi dirimu! Sekarang pendek saja: Kau mau ikut atau tidak?"
"Boanpwee bukannya mau melawan perintah Lootjianpwee," sahut Leng
Kiauw. "Cuma saja berhubung dengan tugasku, aku tidak berani sembarangan
berlalu dari sini."
"Segala pangkat yang tak ada artinya! Sembarang waktu bisa
dicopot!" membentak Hiatsintjoe.
"Walaupun dicopot, tapi toh harus ada surat pemecatan resmi atau
atas perintahnya Tayswee," kata Leng Kiauw lagi. "Menurut undang-undang
kerajaan Tjeng, segala pembesar negeri, tak perduli pangkat tinggi atau
rendah, dilarang sembarangan meninggalkan tugasnya, jika tidak ada
perintah dari pihak atasannya. Dan justru oleh karena pangkatku kecil,
maka aku terlebih tidak berani sembarangan berlalu menurut suka sendiri."
Darahnya Hiatsintjoe jadi naik tinggi. "Hm!" ia membentak. "Kau
rupanya andali betul Hok Tayswee-mu! Ini Hok Tayswee, itu Hok Tayswee!
Aku tak perduli Hok Tayswee-mu atau undang-undangmu. Aku kasih tahu
terang-terangan: Jika malam ini kau tidak ikut aku, kau sendirilah yang
sengaja mencari susah!"
"Aku lebih suka terima hukuman Lootjianpwee daripada melanggar
peraturan Kaizar," sahut Leng Kiauw dengan suara tetap.
"Peraturan Kaizar!" Hiatsintjoe berkata dengan suara tawar. "Akulah
peraturan Kaizar!" Tiba-tiba ia lonjorkan tangannya yang sebesar kipas
dan coba cengkeram kepalanya Leng Kiauw.
Leng Kiauw yang sudah siap sedia lantas kebaskan tangan bajunya
yang gulung dan sampok tangannya Hiatsintjoe.
"Bagus!" berkata Hiatsintjoe sembari tertawa dingin. "Sekarang kau
berani lawan padaku dengan segala ilmu silat kucing pincang dari Tong
Loodjie!" Leng Kiauw sudah cepat, tapi tangannya Hiatsintjoe lebih cepat
lagi dan di lain saat, tangannya sudah menyambar ke arah dadanya Leng
Kiauw. Dengan sebet Liong Sam loncat ke pinggir lantaran ia tidak berani
bentur tangan yang sangat beracun itu. Dengan cepat enam tujuh jurus
sudah lewat dan buat keheranannya Pengtjoan Thianlie serta Tong Keng
Thian, mereka sudah dengar suara napas sengal-sengal dari Liong Leng
Kiauw.
Menurut taksirannya Pengtjoan Thianlie, meskipun Leng Kiauw kalah
dari musuhnya, akan tetapi ia sedikitnya bisa melayani sampai kira-kira
lima puluh jurus. Maka itu, ia jadi sangat heran ketika dengar suara
napasnya Liong Sam, sedang pertempuran baru saja berjalan beberapa jurus.
Dalam keheranannya itu, tanpa merasa si nona keluarkan suara "ih" yang
sangat perlahan.
"Hm!" berkata Hiatsintjoe sembari tertawa seram. "Kalau begitu kau
masih mempunyai kawan? Bagus! Suruh dia turun sekalian!" Sedang mulutnya
bicara, tangannya dikasih kerja lebih keras dan dengan satu suara
"breet!", tangan bajunya Liong Sam terbeset! Leng Kiauw terkesiap dan
terus mundur dengan didesak oleh lawannya.
Pada saat itulah, dengan diiringi tertawa nyaring, badannya
Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian melayang turun ke bawah. Melihat
datangnya penolong yang tidak diduga-duga itu, Liong Sam jadi bengong
seperti orang terkesima.
Hiatsintjoe juga tidak kurang kagetnya. Ia terutama merasa kaget
melihat kecantikannya si nona yang seakan-akan bidadari dari kahyangan.
Hampir ia tak percaya, bahwa dalam dunia terdapat wanita yang sedemikian
cantik. Ia kucek-kucek kedua matanya dan kemudian mengawasi Pengtjoan
Thianlie dengan tidak berkesip.
"Lihat apa? Biar aku hantam dahulu mata anjingmu!" membentak
Pengtjoan Thianlie sembari mementil dengan dua jerijinya.
Hiatsintjoe benar liehay. Meskipun diserang secara mendadak selagi
bengong, ia masih dapat selamatkan dirinya. Dengan gerakan Honghong
tiamtauw (Burung hong manggut), ia kasih lewat kedua Pengpok Sintan yang
kemudian ditangkap dengan tangan kirinya. Ia cuma keluarkan suara "ih"
ketika kedua peluru meledak dalam telapakan tangannya dan air es mengetel
keluar dari sela-sela jerijinya. Di lain saat, tangan kanannya sudah
memukul. Ia memukul dari jarak yang jauhnya kira-kira satu tombak, tapi
toh tenaganya menyambar hebat ke arah dadanya si nona.
Bukan main kagetnya Pengtjoan Thianlie. Pengpok Sintan yang barusan
dilepaskan olehnya, tidak akan dapat disambut oleh orang-orang yang
mempunyai kepandaian seperti Liong Leng Kiauw atau Tong Keng Thian. Tapi
Hiatsintjoe sudah dapat sambuti itu secara tenang sekali. Di sebelahnya
itu, apa yang membikin si nona menjadi kaget adalah hawa sangat panas
yang menyertai angin pukulannya Hiatsintjoe, sehingga ia merasa napasnya
agak sesak. Buru-buru ia kerahkan tenaganya dan kelit pukulan musuh
dengan gunakan ilmu entengi badan.
"Pendeta siluman!" ia membentak sesudah kelit tiga pukulan.
"Sekarang coba rasakan pedangku!"
Hiatsintjoe juga kagum melihat kegesitan si nona yang dengan mudah
sudah dapat loloskan diri dari tiga pukulannya yang sangat hebat. Di lain
saat, berbareng dengan berkredepnya satu sinar terang, Pengpok Hankong
kiam sudah menyambar ke arah mukanya!
Hiatsintjoe menyampok dengan kedua tangannya Angin panas dan hawa
dingin lantas saja kebentrok! Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur
kurang lebih dua puluh jurus tanpa ada yang keteter.
Sedari jatuh dalam tangannya Bu Kheng Yao pada tiga puluh tahun
berselang, barulah sekarang Hiatsintjoe bertemu dengan lawan berat. Oleh
karena begitu, semangatnya jadi terbangun dan ia tertawa terbahak-bahak.
"Bagus! Bagus!" ia berseru. "Aku justru sedang kepanasan, terima kasih
kau tolong kipasi!"
Pengtjoan Thianlie jadi meluap dan dengan mata mendelik, ia putar
Hankong kiam bagaikan titiran dan menyerang dengan Tokboen Kiamhoat yang
merangkap ilmu pedang Tatmo, ilmu pedang Eropa Barat serta ilmu pedang
Arab menjadi satu. Diserang secara begitu, Hiatsintjoe tidak berani main-
main lagi dan lantas pusatkan perhatiannya buat sambut serangannya si
nona yang menyambar-nyambar seperti hujan dan angin.
Sesudah bertempur lagi beberapa saat, Hiatsintjoe berkata dengan
suara kagum: "Bagus! Kau bisa lawan aku lebih dari lima puluh jurus, di
antara tingkatan orang-orang muda, boleh dibilang kaulah yang nomor satu.
Siapa kau? Siapa gurumu?"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan berkata: "Bukan gampang kau
mempunyai ilmu silat seperti ini. Maka itu, lebih baik kau berlalu dan
jangan rewel disini." Mulutnya bicara, pedangnya terus mencecer secara
hebat.
"Bocah tak kenal mampus!" membentak Hiatsintjoe. "Kau jadi banyak
tingkah dan tak tahu Tjouwsoeya sengaja ampuni jiwamu!" Sehabis membentak
begitu, ia empos semangatnya, sehingga pukulannya jadi bertambah berat
dan anginnya jadi semakin panas. Buat sementara Pengtjoan Thianlie masih
dapat melayani, tapi keringat sudah mulai mengucur dari badannya
Selagi Pengtjoan Thianlie bertempur hebat melawan Hiatsintjoe, Keng
Thian tarik tangannya Leng Kiauw dan berkata dengan suara perlahan:
"Liong Sam Sianseng. Siapa sebenarnya kau?"
"Apakah kau juga tidak percaya padaku?" tanya Leng Kiauw sembari
mesem. "Kasihkan batu giok itu kepada ayahmu dan ia tentu akan segera
mengetahui asal-usulku."
"Bukan, bukan tidak percaya padamu," jawab Keng Thian. "Aku
bukannya mau selidiki asal-usulmu. Aku hanya mau memberitahu, bahwa
kerajaan Tjeng sangat perhatikan gerak-gerikmu dan kaki tangannya yang
dikirim bukan cuma Hiatsintjoe seorang. Jika benar kau mempunyai niatan
apa-apa yang dianggap 'berdosa besar' oleh kaizar, sekarang kau masih
mempunyai kesempatan buat melarikan diri. Kami berdua akan tahan
Hiatsintjoe dan kawan-kawannya."
Liong Sam tidak menyahut, kedua biji matanya memain seperti orang
yang sedang berpikir keras. Mendadak ia cekal tangannya Keng Thian keras-
keras dan berkata dengan suara terharu: "Saudara Tong, terima kasih
banyak-banyak. Aku tak dapat melarikan diri. Kalian boleh tak usah
perdulikan aku."
Mendengar jawaban itu, hatinya Keng Thian jadi semakin bimbang dan
benar-benar tidak dapat meraba siapa adanya Liong Sam. Jika mau anggap ia
sebagai salah seorang pendekar dari kalangan Rimba Persilatan, jago-jago
dari Utara barat tak ada barang satu yang kenal padanya Jika mau
dikatakan ia sebagai seorang yang membela Hok Kong An secara mati-matian,
secara diam-diam ia perintah soetee-nya mengadakan hubungan dengan
berbagai Touwsoe. Jika mau mencap ia sebagai kaki tangannya negara asing
buat membikin kacau Tibet, ia toh sudah melindungi guci emas secara
begitu sungguh-sungguh. Jika mau dibilang ia sebagai seorang yang
mempunyai angan-angan besar dan hendak gunakan Tibet sebagai pangkalan
buat melawan kerajaan Tjeng, temponya justru tidak sesuai untuk melakukan
pekerjaan yang besar itu. Demikianlah semakin memikir Keng Thian jadi
semakin tidak mengerti dan tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap
orang yang gerak-geriknya luar biasa itu.
Selagi Keng Thian pikiri perkataan yang cocok buat coba menanyakan
lebih jauh, satu perobahan terjadi dalam gelanggang pertempuran.
Sekarang, cepat bagaikan kilat, mereka berkelahi secara renggang
dan main udak-udakan, sehingga, dengan berkelebat-kelebatnya bayangan
mereka, dalam gelanggang seperti juga sedang bertempur puluhan orang.
Meskipun ilmu pedangnya si nona luar biasa tinggi, akan tetapi, dengan
mengandalkan latihan puluhan tahun dan kedua tangannya yang beracun,
dalam suatu pertempuran yang lama, perlahan-lahan Hiatsintjoe dapat
mendesak lawannya
"Jika kelanggar tangannya memedi itu, orang bisa lantas binasa,"
kata Liong Sam. "Kalian lebih baik menyingkir dan tak usah menempuh
bahaya guna kepentinganku. Aku sendiri mempunyai daya buat menghadapi
ia."
Keng Thian tak menyahut sebab seluruh perhatiannya sedang
dipusatkan ke arah gelanggang pertempuran. Ia lihat kedua matanya si nona
yang mengandung sinar menegur, sedang awasi ia. Ia tahu adatnya Pengtjoan
Thianlie yang selamanya sungkan menyingkir walaupun keadaannya terdesak,
maka itu, sembari berpaling kepada Liong Sam, ia berkata sembari mesem:
"Aku akan segera berlalu, sesudah mengusir Hiatsintjoe!"
Sehabis berkata begitu, ia enjot badannya dan menerjang ke dalam
gelanggang, sembari ayun satu tangannya.
Selagi enak desak lawannya buat coba rebut Pengpok Hankong kiam,
Hiatsintjoe mendadak lihat menyambarnya satu sinar terang, yang disertai
dengan sambaran angin yang sangat hebat. Ia sudah angkat tangannya buat
menyambut, tapi buru-buru urungkan niatannya sebab merasa telapakan
tangannya bakal ditembuskan oleh senjata rahasia itu yang menyambar
sedemikian hebat!
Tapi dalam bahaya, Hiatsintjoe tak jadi bingung. Ia pentil
pedangnya Pengtjoan Thianlie yang lantas jadi miring, dan Thiansan
Sinbong lewat di tempat kosong antara mereka dan amblas di satu tiang
batu!
Pentilan Hiatsintjoe merupakan satu gerakan yang sangat sempurna
dan indah luar biasa. Gerakan pedangnya Pengtjoan Thianlie cepat seperti
angin, tetapi ia masih dapat mementil secara tepat sekali. Jika kurang
tepat sedikit saja, jerijinya bisa terpapas kutung. Apa yang lebih luar
biasa adalah: Ujung Pengpok Hankong kiam yang miring tepat sekali
mengenakan Thiansan Sinbong yang sedang menyambar!
Keng Thian terkesiap dan berkata dalam hatinya: "Ilmunya memedi ini
sungguh tinggi!"
Tapi Hiatsintjoe juga tidak kurang kagetnya. Baru saja ia anggap si
nona adalah jago nomor satu di antara orang-orang tingkatan muda. Tidak
dinyana, tenaga dalamnya si pemuda malahan ada lebih tinggi daripada
Pengtjoan Thianlie.
Begitu lihat Sinbong tidak mengenai sasarannya, Keng Thian segera
cabut Yoeliong kiam, pedang mustika dari gunung Thiansan, yang dibuat
oleh Hoei Beng Siansu dengan mengambil sarinya lima macam logam utama.
Pedang itu keluar dari sarungnya disertai dengan sinar yang menyilaukan
mata dan terus menyambar bagaikan seekor naga yang memain di tengah
udara. Tangannya Hiatsintjoe yang sedang memukul hampir-hampir saja kena
digores ujung Yoeliong kiam. Buru-buru ia putar badannya buat sampok
Pengpok Hankong kiam, akan kemudian menggunakan kedua tangannya buat
dorong pedangnya Keng Thian yang sudah menyambar lagi. Kesiuran angin
yang sangat panas menyambar keras, sehingga Keng Thian terpaksa mundur
beberapa tindak.
"Sungguh berbahaya!"
menggercndeng Hiatsintjoe sembari menyerang pula dan kedua kakinya
menginjak kedudukan Ngoheng Patkwa.
Sekarang Tong Keng Thian mendapat tahu, kenapa belum sepuluh jurus,
Liong Leng Kiauvv sudah sengal-sengal napasnya. Ia tentu merasa tidak
tahan dengan hawa yang sangat panas itu.
Lweekang Thiansan pay adalah ilmu tulen dari satu cabang persilatan
yang sejati. Walaupun latihannya Keng Thian masih belum sempurna betul,
akan tetapi berkat ajaran yang teliti dari kedua orang tuanya, begitu
lekas ia pusatkan seluruh semangatnya, segera juga ia dapat melawan hawa
panas yang luar biasa itu. Dengan kerja sama antara Hankong kiam dan
Yoeliong kiam, serangan-serangan kedua orang muda itu jadi semakin berat
bagi Hiatsintjoe. Jika satu lawan satu, memang juga Hiatsintjoe menang
setingkat. Tapi dengan dikerubuti dua orang, ia tidak gampang-gampang
bisa berada di atas angin lagi.
Semakin lama, pertempuran jadi semakin seru. Pengtjoan Thianhc yang
tidak takuti hawa panas, terus mendesak dengan pedangnya yang menyambar-
nyambar bagaikan rantai, sehingga mau tidak mau, Hiatsintjoe mesti
berkelahi sembari mundur. Sesudah lewat beberapa jurus, Hiatsintjoe sudah
mundur sampai di pinggir tembok dan tak dapat mundur lebih jauh lagi.
Dalam keadaan yang semakin berbahaya, mendadak di luar terdengar
satu suara aneh, disusul dengan munculnya dua orang dalam gelanggang
pertempuran. Mereka itu bukan lain dari In Leng Tjoe bersama isterinya!
Semangatnya Hiatsintjoe terbangun dan tertawa terbahak-bahak. Akan
tetapi, In Leng Tjoe suami isteri tidak lantas menyerbu, mereka berhenti
di luar gelanggang dan berdiri nonton.
"Kalau kalian takut dapat urusan, lebih baik jangan datang disini,"
kata Hiatsintjoe dengan perasaan mendongkol.
"Toako," kata In Leng Tjoe. "Orang yang sedang berkelahi dengan kau
adalah puteranya Tong Siauw Lan Tayhiap."
Hiatsintjoe berobah parasnya. Mendadak ia tertawa besar dan
berkata: "Kalian takut padanya, tapi aku tak takut. Sungguh percuma kau
jadi pemimpin dari satu partai, belum apa-apa sudah kena dibikin
ketakutan oleh namanya Tong Siauw Lan. Baiklah! Jika kau tak berani
langgar orang Thiansan pay, biarlah aku yang layani." Dengan berkata
begitu, Hiatsintjoe bermaksud supaya In Leng Tjoe berdua pergi layani
Pengtjoan Thianlie.
In Leng Tjoe jengah kena disikat begitu, tapi itulah justru ada
keinginannya. Ia tertawa tengal dan berkata buat tutup malu: "Kami bukan
takut, cuma sungkan berpandangan seperti orang dari tingkatan muda."
"Segala orang muda yang kurang ajar, kita pantas mengajar adat,"
kata Hiatsintjoe. "Baiklah, hari ini lebih dahulu aku bekuk anaknya Tong
Siauw Lan dan kirim dia pulang ke Thiansan, dengan kasih tegoran kepada
ayahnya yang tak mampu mengajar anak."
In Leng Tjoe suami isteri tidak berkata apa-apa lagi dan lantas
terjang Pengtjoan Thianlie sesudah hunus senjatanya. Pertempuran lantas
berobah. Kalau tadi Hiatsintjoe cuma bisa membela diri, sekarang ia
lantas saja buka serangan-serangan hebat terhadap Keng Thian.
Sembari tertawa dingin, Keng Thian lantas robah cara bersilatnya.
Yoeliong kiam diputar seperti titiran dan badannya seperti juga dikurung
dengan sinar pedang yang putih. Itulah ilmu pedang Thaysiebie yang paling
liehay dalam Thiansan Kiamhoat, yang istimewa digunakan jika bertemu
dengan lawan yang lebih tinggi ilmunya. Pembelaan Thaysiebie yang sangat
rapat bagaikan tembok tembaga, sukar dapat ditembuskan oleh orang yang
punya kepandaian bagaimana tinggi pun. Tapi ilmu Thaysiebie bukan cuma
buat membela diri. Dalam gerakannya yang laksana kilat, begitu ada tempat
kosong, ilmu itu juga dapat digunakan buat menyerang musuh.
Serangannya Hiatsintjoe semakin lama jadi semakin berat, tapi
sesudah lewat kurang lebih tiga puluh jurus, Keng Thian masih tetap tidak
bergeming. Cuma saja, walaupun tangannya Hiatsintjoe tidak dapat masuk ke
dalam tembok pedang, akan tetapi hawanya yang panas terus menyambar-
nyambar, sehingga, meskipun Keng Thian kerahkan seantero tenaga dalamnya,
perlahan-lahan ia mulai merasa tak tahan. Kalau tadi ia dapat pertahankan
diri selama ratusan jurus adalah berkat hawa dingin yang keluar dari
Pengpok Hankong kiam.
Di lain pihak, Pengtjoan Thianlie pun sudah mulai jatuh di bawah
angin, cuma keadaannya masih mendingan sedikit daripada Tong Keng Thian.
San Tjeng Nio yang sangat mendongkol lantaran lihat kecantikannya si
nona, terus menerus kirim serangan membinasakan dengan ikatan
pinggangnya. Kedua Poankoan pilnya In Leng Tjoe yang terutama digunakan
buat totok tiga puluh enam jalanan darah, juga terus menyambar-nyambar
seperti rantai, sehingga si nona jadi sangat repot.
Dengan gunakan seantero tenaga dan kepandaian, Keng Thian kembali
sudah layani musuhnya lebih dari lima puluh jurus. Matanya sudah merah
dan keringat ngucur dari badannya. Ia melirik dan lihat Liong Leng Kiauw
sedang nyender enak-enakan di tembok kamar tulisnya. Keng Thian
mendongkol berbareng heran, sebab ia tidak melarikan diri, tapi juga
tidak mau membantu. Keng Thian juga lihat Pengtjoan Thianlie sudah kena
didesak oleh dua musuhnya, sehingga hatinya menjadi bingung. Dalam
pertempuran antara ahli-ahli silat kelas satu, pantangan paling besar
adalah perasaan bingung atau gusar. Demikianlah, begitu lekas hatinya
bingung, gerakan pedangnya Keng Thian menjadi kalut dan pada garisan
pembelaannya segera terbuka beberapa kekosongan.
Hiatsintjoe tentu saja sungkan sia-siakan kesempatan yang baik.
Sambil membentak keras, ia kirim satu pukulan hebat di antara kekosongan
itu. Akan tetapi, mendadak saja sinar pedang kelihatan tergetar dan
bagaikan kembang api, dari atas menyambar ke bawah. Hiatsintjoe jadi
kekunangan, di delapan penjuru ia seperti lihat bayangan orang dan tak
tahu musuhnya berada dimana. la terkesiap, tak berani teruskan pukulannya
dan tarik pulang tangannya buat menjaga diri.
Pada saat itulah, dengan suara "srr, srr," dua Thiansan Sinbong
menyambar ke arah suami isteri In Leng Tjoe. Mereka itu, yang tahu
liehaynya senjata rahasia tersebut, buru-buru loncat minggir, dan dengan
gunakan kesempatan tersebut, Keng Thian segera loncat dan persatukan
dirinya dengan Pengtjoan Thianlie.
Pukulan yang barusan dikeluarkan oleh Keng Thian cuma digunakan
jika sangat terpaksa, lantaran banyak juga bahayanya. Namanya pukulan itu
adalah Tiansia sengtjie (Kilat menyambar, bintang mengubar), yaitu satu
pukulan dari ilmu pedang Toeihong (Memburu angin) dari Thiansan Kiamhoat.
Pukulan tersebut terdiri dari beberapa puluh gerakan gertakan, dalam
artian, ujung pedang kelihatan bergerak, tapi bukannya benar-benar
menyerang masuk. Oleh karena bergeraknya luar biasa cepat, maka di
matanya musuh, seolah-olah puluhan pedang menyambar dirinya dari berbagai
jurusan. Pukulan ini cuma dapat menyilaukan mata musuh dan bukan benar-
benar dapat melukakan orang. Jika sang lawan mengetahui siasat tersebut
dan terus mengirim serangan, pihak yang menggunakannya bisa jadi celaka.
Sebab keliwat terpaksa, Keng Thian mendadak tukar ilmu pedang Thaysiebie
dengan ilmu pedang Toeihong, dan benar-benar saja, lantaran tak mengenal
Thiansan Kiamhoat, Hiatsintjoe sudah kena dikelabui. Waktu ia sadar, Keng
Thian sudah berdampingan dengan Pengtjoan Thianlie dan mengawasi padanya
sembari mesem-mesem.
Hiatsintjoe jadi seperti orang kalap. Sembari berteriak-teriak, ia
menerjang pula, diikuti oleh suami isteri In Leng Tjoe yang kembali mau
coba kepung Pengtjoan Thianlie, tapi sudah keburu dicegat oleh Tong Keng
Thian. Di lain pihak, baru saja badannya Hiatsintjoe bergerak, sembari
mesem tawar Pengtjoan Thianlie lepaskan enam butir Pengpok Sintan dengan
berbareng. Hiatsintjoe menyampok dengan kedua tangannya dan enam Sintan
itu meledak di atas kepalanya dengan berbareng. Hawa dingin lantas
menyambar ke empat penjuru dan badannya Hiatsintjoe seperti juga tertutup
uap warna abu-abu yang luar biasa dinginnya. Biar bagaimana liehay,
Hiatsintjoe ternyata masih tidak cukup kuat buat tahan perledakan enam
butir Sintan itu dan mau tidak mau badannya jadi bergidik. Biarpun tidak
sampai mendapat luka di dalam, tapi ia toh rasakan napasnya agak sesak.
Satu perobahan kembali terjadi dalam pertempuran. Biarpun tidak
berada di atas angin, sekarang Tong Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie
tidak sampai jadi keteter. Hal ini disebabkan lantaran adanya Pengpok
Hankong kiam yang dapat melawan hawa panas dari pukulannya Hiatsintjoe
dan juga lantaran tenaga dalamnya Hiatsintjoe sudah mendapat sedikit
pukulan, akibat serangan enam butir Pengpok Sintan.

CATATAN

1) Amban, semacam duta sipil, pertama dikirim kc Tibi-i oleh Kaizar


Yong Tjeng dalam tahun 1726 buat damaikan golom-an golongan yang
bercekcokan.
2) Menurut sejarah, orang Gurkha menyerang Tibet dalam tahun 1791.
Pada tahun berikutnya, Kaizar Kian Liong kirim dua panglimanya yang
paling pandai, yaitu Fu Kang An (Hok Kong Au) dan Hai Lan Tsa, dengan
10.000 tentara lebih. Mereka usir pasukan Gurkha sampai di dekat Katmandu
(ibukota Nepal) dan kemudian mengadakan perdamaian dengan syarat-syarat
enteng.
3) Khata, atau selendang sutera, adalah barang penting dalam
pergaulan di Tibet. Semuanya ada tiga macam khata. Pertama dari sutera
tulen, panjang 12 kaki, lebar 3 kaki, tersulam, dipersembahkan hanya
kepada orang-orang yang berkedudukan paling tinggi, seperti Dalai Lama,
Panchen Lama dsb. Yang kedua, juga dari sutera, panjangnya 9 kaki, lebar
3 kaki, digunakan sebagai hadiah di kalangan atas. Yang ketiga, terbuat
dari campuran sutera dan linen, bentuknya banyak lebih kecil, digunakan
di kalangan bawahan.
Cara mempersembahkannya juga tiga cara. Kepada orang atasan, kedua
tangan diangkat sampai ke jidat. Kepada pantaran, diangsurkan secara
biasa dan yang memberi juga menerima khata dari yang diberikan. Kepada
orang bawahan, khata itu diselendangkan di belakang leher.
4) Cerita tentang Kam Hong Tie, Liauw In dan Lu Soe Nio dapat
diikuti dalam cerita Kangouw Sam Liehiap (Tiga Dara Pendekar)
5) Louw Tiong Lian adalah seorang ternama dari negara Tjee, pada
jaman Tjiankok. Ia terkenal sebagai seorang yang suka menolong orang dan
damaikan segala percekcokan.
6) Kisah cinta To It Hang dan Pekhoat Molie dan kisah bunga Yoetam
Sianhoa dapat diikuti dalam cerita Giok Lo Sat, Pek Hoat Mo Lie, Tjau
Guan Enghiong dan Thian San Tjit Kiam.
7) Kapan seorang Dalai Lama meninggal dunia, rohnya lahir kembali
(reinkarnasi). Yang menjadi soal adalah cara bagaimana harus mencari
Dalai Lama itu dalam inkarnasinya yang baru. Banyak jalan digunakan untuk
meramalkan, akan tetapi yang lebih dipercaya adalah Naichung (semacam
ahli nujum negara) dan visi yang dapat dilihat di Telaga Lhamo Namtso,
yang terletak di sebelah selatan timur Lhasa. Dalam usaha mencari
inkarnasi baru dari Dalai Lama, sesudah bersembahyang, seorang pembesar
tinggi Tibet lantas bersila di pinggir telaga buat tunggu visi. Visi yang
.muncul bisa berupa simbol keagamaan, roman manusia dan scbagainya,
yang belakangan digunakan sebagai petunjuk buat mencari Dalai Lama baru.
Dalam usaha itu sering muncul beberapa calon, sehingga menimbulkan
pertentangan. Buat mengakhiri pertentangan itu, dalam tahun 1792, Kaisar
Kian Liong telah memerintahkan penarikan lotre dari sebuah guci emas,
yang dihadiahkan oleh kaisar tersebut. Namanya semua calon ditulis di
atas sepotong kertas yang kemudian dimasukkan kedalam guci, yang ditaroh
di depan patung Sakya Muni dalam Gereja Pusat. Sesudah bersembahyang
tujuh hari, salah satu Amban ambil satu gulung kertas dari dalam guci
tersebut dan calon yang namanya kena diambil dianggap sebagai Dalai Lama
8) Menurut ketahayulan orang Tibet, sesudah meninggal 28 hari, roh
yang meninggal pulang dan harus dibikin Hoeihoentjie (sembahyang roh yang
pulang).
9) Adu pedang antara Koei Hoa Seng (ayah Pengtjoan Thianlie) dan
Tong Siauw Lan (Teng Hiau Lan) dan Phang Eng dapat diikuti dalam cerita
Kangouw Sam Liehiap (Tiga Dara Pendekar). Sedangkan perantauan Koei Hoa
Seng ke Tibet dan Nepal dapat diikuti dalam kisah Peng Pok Han Kong Kiam
(Pedang Inti Es).
Selagi pertempuran berlangsung dengan hebatnya, di luar mendadak
terdengar suara ribut-ribut dan beberapa saat kemudian, berbareng dengan
terbukanya pintu samping, serombongan pembesar negeri kelihatan masuk.
Orang yang jalan paling depan memakai bulu burung pada topinya dan
mengenakan baju makwa warna kuning, sehingga dapat diketahui, ia itu
adalah seorang pembesar sipil dari tingkatan kedua. Di belakangnya
mengikuti tujuh atau delapan pembesar militer, antaranya terdapat Gan
Lok, yang meskipun mukanya sangat pucat, masih dapat pertahankan dirinya.
Pembesar sipil tinggi itu adalah orang yang berkuasa pada bahagian
hukum dalam kantornya Hok Kong An dan kedudukannya bersamaan dengan hakim
dari pengadilan tinggi, namanya Tjong Lok dan masih mempunyai ikatan
keluarga dengan kaizar Boan. Beberapa perwira yang ikut padanya adalah
rekan-rekannya Liong Leng Kiauw. Ternyata, sesudah kena pukulannya
Hiatsintjoe, sambil pertahankan diri sekuat tenaga, Gan Lok terus pergi
ke kantornya Hok Tayswee buat memberi laporan dan undang mereka datang
guna memberi pertolongan.
"Siapa kau? Kenapa bikin ribut disini?" membentak Tjong Lok.
Sembari mesem, Keng Thian tarik pulang pedangnya dan bersama
Pengtjoan Thianlie lantas loncat keluar dari gelanggang pertempuran.
"Siapa adanya kami, aku rasa sudah diketahui oleh orang-orang yang ikut
padamu," jawab Keng Thian. Beberapa perwira itu lantas saja kenali mereka
dan salah seorang lantas berkata: "Mereka adalah kedua orang gagah yang
telah bantu lindungi guci emas di gunung Tantat san."
Tjong Lok lirik Pengtjoan Thianlie dan lantas tertawa sembari
manggut-manggutkan kepalanya. "Bagus," katanya. "Kalau begitu kalian
adalah orang-orang yang berjasa."
Sehabis berkata begitu, ia awasi Hiatsintjoe dan membentak:
"Nyalimu benar besar! Malam-malam berani satroni rumahnya pembesar negeri
dan coba lakukan pembunuhan! Kau betul-betul sudah tidak pandang lagi
undang-undang kaizar."
"Undang-undang kaizar?" Hiatsintjoe mengulangi perkataan orang.
"Aku justru datang kemari atas perintah kaizarmu!"
"Andaikata kau seorang Kimtjhee Taydjin (utusan kaizar), kau toh
tidak boleh berlaku begitu kurang ajar!" berteriak Tjong Lok dengan gusar
sekali.
Beberapa perwira itu juga naik darahnya dan siap sedia buat lantas
turun tangan. "Orang yang dikirim dari istana, mana bisa begitu biadab,"
kata satu antaranya. "Kalau dia benar terima perintahnya kaizar, tak
mungkin tidak diketahui oleh Hok Tayswee," sahut yang lain.
Bukan main gusarnya Hiatsintjoe yang lantas saja lemparkan surat
perintah yang ia dapat dan Tjongkoan istana. Melihat surat perintah itu
tulen adanya, Tjong Lok jadi terkesiap dan suaranya lantas berobah lunak.
"Tapi, apa maksudnya kalian datang kemari?" tanya ia.
"Orang itu sangat mencurigakan," jawab Hiatsintjoe sembari tuding
Liong Leng Kiauw. "Belasan tahun dia malang melintang di Tibet, kenapa
kau orang tidak mengetahui, sampai kaizar sendiri yang mesti turun
tangan. Kau orang malu atau tidak?"
"Dusta Taydjin," berkata Leng Kiauw dengan suara dingin. "Mereka
bertiga adalah manusia-manusia busuk dalam Rimba Persilatan dan dahulu
mempunyai ganjelan pribadi dengan aku. Sekarang, sesudah dapat masuk ke
dalam kalangan istana, mereka mau gunakan kedudukannya buat membalas
sakit hati pribadi dan palsukan perintah kaizar. Coba Taydjin tanya,
apakah mereka mempunyai surat perintah buat menangkap aku?"
Terhadap Liong Leng Kiauw, istana Tjeng sebenarnya cuma bercuriga
dan sama sekali belum mengetahui siapa adanya ia dan apa kesalahannya.
Maka itu, Tjongkoan istana cuma menyampaikan perintah rahasia kaizar yang
ingin supaya asal-usulnya Liong Sam diselidiki sampai terang dan sama
sekali bukannya surat perintah menangkapnya.
Hiatsintjoe terkejut dan lantas menyahut dengan sembarangan: "Apa
perlunya segala surat perintah, sedang yang mau dibekuk cuma seorang yang
pangkatnya begitu kecil?"
Sebagai seorang yang ulung dalam kalangan pembesar negeri, Tjong
Lok jadi merasa sangat bimbang. Jika Hiatsintjoe tidak berdusta, ia bisa
mendapat dosa besar atas tuduhan melindungi tangkapan kaizar. Tapi, jika
Hiatsintjoe main gila dan ia biarkan saja Liong Leng Kiauw dibekuk, Hok
Tayswee tentu akan gusar sekali. Walaupun Leng Kiauw berpangkat rendah,
siapa juga mengetahui, bahwa ia itu adalah tangan kanannya Hok Tayswee
yang sangat disayang.
Sesudah berpikir beberapa saat, Tjong Lok segera ambil jalan yang
paling selamat. "Hok Tayswee adalah orang yang sangat berpengaruh dan
disayang oleh kaisar," katanya di dalam hati. "Biarlah dia saja yang
memutuskan." Siasat kelit dan timpakan tanggung jawab ke pundak lain
orang adalah semacam modal yang sangat dikenal dalam kalangan pembesar
Tjeng.
Sesudah memikir begitu, ia lantas berkata: "Kalian masing-masing
mempunyai alasan sendiri-sendiri, sehingga aku juga merasa sukar buat
memutuskannya Akan tetapi, semua urusan di Tibet, menurut perintah Kaizar
berada di bawah kekuasaan Hok Tayswee. Jika benar kalian datang disini
buat menangkap orang, menurut pantas kalian lebih dahulu harus melaporkan
kepada Hok Tayswee. Baiklah, besok pagi semua orang ikut aku pergi
menghadap Hok Tayswee dan sekarang aku larang kalian bertempur lagi."
Meskipun Hiatsintjoe beradat angkuh, akan tetapi ia masih indahkan
juga pangkatnya Tjong Lok. Maka itu, ia lantas menyetujui dengan berkata:
"Baiklah, aku rasa Hok Tayswee pun tak nanti mau lindungi orang yang mau
ditangkap oleh Kaizar."
Tjong Lok berpaling kepada Pengtjoan Thianlie seraya berkata:
"Kedua giesoe (orang gagah) juga aku harap suka datang bersama-sama buat
menjadi saksi."
"Siapa mau begitu banyak rewel," sahut si nona.
Keng Thian tertawa dan berkata sembari membungkuk: "Kami berdua
adalah rakyat pegunungan yang tidak biasa bertemu dengan pembesar negeri.
Maka itu, kami harap Taydjin suka bebaskan kami dari tugas tersebut dan
sekarang juga kami ingin pamitan." Sehabis berkata begitu, ia jejak kedua
kakinya dan badannya lantas melesat, diikuti oleh Pengtjoan Thianlie.
Ketika menengok di waktu hinggap di atas tembok, Keng Thian lihat Leng
Kiauw manggutkan kepalanya sembari tertawa, dengan sorot mata yang
mengandung perasaan berterima kasih.
Hatinya Keng Thian jadi semakin tidak mengerti dan di sepanjang
jalan terus putar otaknya.
"Liong Loosam boleh dibilang satu manusia jempolan, cuma kenapa ia
tak mau singkirkan diri?" kata Pengtjoan Thianlie.
"Aku lihat ia adalah seorang yang bijaksana sekali," sahut Keng
Thian. "Sesudah urusan ini jatuh ke dalam tangannya Hok Kong An, keadaan
akan jadi berobah baik."
Mereka omong-omong sembari jalan dan tidak lama kemudian sudah tiba
di kakinya Gunung Anggur. Penerangan Keraton Potala pancarkan sinarnya
sampai ke lapangan yang terletak di kaki gunung, dimana Yoe Peng disuruh
tunggu majikannya.
Jauh-jauh mereka lihat di kaki gunung terdapat dua bayangan hitam
yang sangat berdekatan satu sama lain, seperti sedang bicara dengan suara
perlahan.
"Dilihat dari bayangannya, orang itu seperti lelaki," kata
Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. "Kenapa Yoe Peng kelihatan begitu
rapat?" Dengan tindakan perlahan Pengtjoan Thianlie mendekati dan segera
juga ia dapat dengar suaranya sang dayang: "Kongtjoe bilang buat
sementara tidak balik dahulu ke keraton es. Katanya, mau pergi ke
Soetjoan. Mungkin sekali aku akan diajak dan mulai dari sekarang, kita
lebih sukar bertemu muka lagi."
"Jika kau bertemu dengan Chena, aku mohon kau pesan ia pergi ke
Sakya buat menemui aku," kata bayangan hitam yang lain.
"Apakah kau cuma pikiri Chena Tjietjie seorang?" kata Yoe Peng
sembari tertawa.
Pengtjoan Thianlie merasa sangat geli dan tanpa merasa ia jadi
tertawa.
"Ada orang!" kata bayangan hitam itu sembari loncat dan raba gagang
pedangnya, tapi Pengtjoan Thianlie sudah mendahului loncat keluar dan
berkata sembari tertawa: "Thian Oe, ilmumu benar sudah maju jauh. Apakah
itu semua curian dari keraton es?"
Bayangan hitam itu memang juga Thian Oe adanya Ia juga dapat
dengar, bahwa Liong Leng Kiauw telah menemui urusan sulit dan ia sengaja
datang buat coba menyelidiki. Tapi baru saja tiba di kaki gunung, ia
sudah bertemu dengan Yoe Peng yang memberitahu, bahwa majikannya bersama
Tong Keng Thian sudah pergi ke rumahnya Liong Sam. Mendengar begitu,
hatinya Thian Oe menjadi lega dan ia segera pasang omong dengan
sahabatnya itu. Thian Oe dan Yoe Peng pandang Pengtjoan Thianlie dan Keng
Thian seperti dewi dan dewa dan mereka yakin, bahwa dengan bantuan kedua
orang itu, segala urusannya Liong Sam akan segera dapat dibikin beres.
Mereka sama sekali tidak nyana, bahwa persoalan Leng Kiauw mempunyai
latar belakang yang sedemikian sulit.
Thian Oe kaget bukan main waktu lihat munculnya Pengtjoan Thianlie.
"Aku sangat berhutang budi dengan gurumu dan tidak akan dapat
membalasnya," kata si nona dengan suara terharu. "Biarpun tanpa permisi,
kau sudah belajar ilmu silatku, akan tetapi, mengingat hal itu terjadi
sesudah gempa bumi dan juga lantaran kau belajar dengan tujuan
menyelamatkan ilmu silatku, maka aku tidak salahkan padamu. Aku cuma mau
tanya, perlu apa kau datang kemari?"
"Bagaimana dengan keselamatannya Liong Sam Sianseng," Thian Oe
balas tanya. "Aku lihat, ia adalah seorang baik. Apakah kalian sudah
membantu ia?"
Ketika itu Tong Keng Thian sudah muncul dan ia berkata sembari
tertawa: "Anak ini mempunyai hati yang hangat."
"Akan tetapi, kau lebih baik jangan campur-campur urusan ini," kata
Pengtjoan Thianlie. Mendengar itu, Thian Oe jadi tercengang.
"Kali ini ayahmu telah berpahala besar dan tentu akan sangat
dihargai oleh Hok Kong An dan Hosek Tjin-ong," kata lagi Keng Thian.
"Kalau nanti diberi hadiah, aku rasa paling sedikit ia akan dapat pulang
pangkatnya yang dahulu, sehingga kau, ayah dan anak, bisa pulang ke
negeri sendiri."
Tan Teng Kie, ayahnya Thian Oe dahulu berpangkat Tjiesoe di kota
raja. Oleh karena berani menentang dorna Ho Koen di hadapan kaisar,
belakangan ia disingkirkan ke Tibet dan sampai sekarang sudah ada sepuluh
tahun. Tak usah dibilang lagi, ayah dan anak sangat kangen dengan
kampungnya dan berharap-harap satu ketika akan dapat kesempatan buat
pulang kembali ke Tiongkok. Keng Thian berkata begitu lantaran tahu
rahasia hatinya Teng Kie dan puteranya.
Thian Oe tertawa getir dan berkata: "Ho Koen sedang disayang dan
pengaruhnya besar sekali, maka itu, manalah kami bisa pulang dengan
gampang-gampang. Ayahku benar sudah dapat kembali pangkatnya, cuma sayang
bukannya pangkat Tjiesoe."
"Pangkat apa?" tanya Keng Thian.
"Pangkat Soanwiesoe pada sekte Sakya," sahutnya. "Hok Tayswee sudah
menyetujui buat bikin betul kantor Soanwiesoe dan kirim satu pasukan
tentara guna antar ayah balik ke Sakya. Aku rasa, beberapa hari lagi kami
sudah harus berangkat. Kepada ayah, Hok Tayswee telah berkata begini: 'Di
Sakya kau sudah kehilangan serdadu dan kehilangan muka, sehingga
sebenarnya kau berdosa. Jasamu di ini kali digunakan buat menebus dosa
itu dan dalam hal ini, Kaizar sudah bersikap sangat longgar terhadapmu.
Maka itu, pergilah ke Sakya dan bekerja baik-baik untuk dua tiga tahun
lagi. Waktu itu aku akan majukan usul kembali, supaya kau bisa
dipermisikan pulang.' Demikian katanya Hok Tayswee. Hm! Ayahku bisa
bilang apa lagi? Ia cuma bisa menurut perintah."
"Hai!" Keng Thian menghela napas. "Aku tak nyana, dalam kalangan
pembesar Tjeng, hadiah dan hukuman diberikan secara begitu serampangan!
Tapi pekerjaan di Sakya toh bukannya pekerjaan terlalu berat, sedang
kalian sudah berdiam disana kurang lebih sepuluh tahun lamanya, maka apa
sebab kau kelihatannya begitu jengkel?"
Thian Oe tidak menjawab, la cuma kerutkan kedua alisnya.
"Kau tak tahu!" Yoe Peng mendadak menyeletuk sembari tertawa.
"Touwsoe di Sakya ingin rangkap puterinya dengan ia, sedang anak tolol
itu sudah penuju lain orang, la tentu kuatir rewel lagi, kalau balik ke
Sakya. Anak goblok! Lain orang mau, tapi tidak bisa, kenapa juga kau
begitu susah-susah hati!"
Sebagaimana diketahui, Yoe Peng pernah bergaul rapat sekali dengan
Thian Ce, sehingga ia jadi mengetahui segala isi hatinya anak muda itu.
Paras mukanya Thian Oe jadi merah seperti kepiting direbus, ketika dengar
si nakal buka rahasia.
Pengtjoan Thianlie jadi turut tertawa dan berkata: "Aku kira urusan
apa, tak tahunya segala urusan kecil. Apa kau tidak punya kaki? Kalau tak
mau, apa kau tak bisa kabur?"
Si nona omong seenaknya saja lantaran, ia tak tahu seluk-beluknya
kalangan pembesar yang sulit sekali. Buat Thian Oe,
perkataannya Pengtjoan Thianlie malah telah menambah kejengkelannya.
"Kau pulang saja," kata Keng Thian. "Mari! Aku ajarkan kau satu
siasat yang sangat baik!" Ia tarik tangannya Thian Oe dan bicara dengan
bisik-bisik di kuping orang.
"Hm! Kau memang paling senang main gila!" kata Pengtjoan Thianlie.
"Siasat busuk apa yang kau ajarkan padanya, sampai takut didengar orang?"
"Rahasia langit tak boleh dipecahkan!" Keng Thian nyengir.
"Siasatku ini tak boleh didengar oleh kalian."
"Siapa kesudian!" kata si nona sembari merengut.
Benar saja, sesudah dibisiki Keng Thian, parasnya Thian Oe jadi
lebih terang. "Tapi, Omateng pun sangat sukar dihadapinya," kata ia.
"Jangan takut," membujuk Keng Thian. "Ilmu silatmu sekarang sudah
bukan tandingannya Omateng lagi. Kau cuma perlu berlaku sedikit hati-hati
buat jaga segala akal busuknya."
Ketika itu, sang rembulan sudah selam ke barat, sedang di tepi
langit sebelah timur sudah kelihatan sinar terang. Oleh karena kuatir
ayahnya buat pikiran, Thian Oe lantas saja pamitan dengan tiga sahabatnya
itu.
Keng Thian ulap-ulapkan tangan sampai anak muda itu berjalan jauh,
sedang Yoe Peng mengawasi kawannya sambil berdiri bengong dengan paras
muka sedih.
"Anak otak!" kata Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. "Satu anaknya
Touwsoe saja sudah bikin dia jadi ubanan, apa kau mau tambah
kejengkelannya lagi?"
"Kongtjoe, kau sungguh jail!" kata Yoe Peng sembari monyongkan
mulutnya.
Pada waktu mereka bertiga tiba di pusatnya kota Lhasa, langit sudah
terang dan orang-orang yang pada pelesir seluruh malam sudah pada bubar.
Tiga hari kemudian, mereka tinggalkan Lhasa buat teruskan
perjalanan ke Sinkiang. Selama tiga hari itu, mereka menyelidiki
persoalannya Liong Leng Kiauw dan dapat tahu perkaranya sudah jatuh ke
dalam tangannya Hok Kong An. Buat sementara waktu Liong Sam ditahan dalam
penjara sebab Hok Kong An mau tanyakan dahulu pikirannya kaizar, dan
perjalanan pergi pulang ke kota raja akan meminta tempo setengah tahun.
Sebab mengetahui keselamatannya Leng Kiauw sudah terjamin, maka Keng
Thian bertiga lantas berangkat dengan hati lega.
Ketika itu adalah permulaan musim semi. Meskipun salju belum lumer
semuanya, akan tetapi jalanan sudah lebih gampang dilintasi. Sesudah
berjalan sepuluh hari lebih, mereka sudah lewati wilayah Tibet dari
sebelah selatan dan masuk ke dalam daerah Sinkiang.
Keadaan bumi jadi berobah. Mereka sekarang berada di lautan pasir
kuning dengan gunung yang berderet-deret "Tiongkok benar-benar besar,"
kata Pengtjoan Thianlie sambil menghela napas. "Gunung apakah itu yang
puncaknya menjulang awan?"
"Itulah gunung Thiansan yang kesohor dalam dunia," jawab Keng
Thian. "Deretan gunung yang berada di sekitar ini semuanya adalah cabang-
cabangnya
Thiansan yang panjangnya lebih dari tiga ribu li. Jarak antara
puncak selatan dan puncak utara ada kira-kira seribu li."
Pengtjoan Thianlie sebenarnya sedang gembira, tapi begitu lekas ia
dengar disebutkannya Thiansan, parasnya lantas jadi berobah, tapi tak
dapat dilihat oleh Keng Thian yang lantas berkata lagi: "Dari sini kalau
jalan terus ke jurusan timur, orang bisa masuk ke dalam propinsi Kamsiok,
dan dengan mengikuti jalanan canto (jalanan gunung dengan jembatan-
jembatan kayu buat lewati jurang-jurang) yang dahulu dibuat oleh Kaisar
Lauw Pang (pendiri kerajaan Han), orang bisa lantas masuk ke Soetjoan
barat. Kalau kita terus ambil jalanan ke arah utara, kita bisa tiba di
gunung Thiansan. Peng Go Tjietjie, apakah kau tak mau jalan-jalan dahulu
di Thiansan?"
Mendadak saja, Pengtjoan Thianlie tertawa tawar. "Apakah kau kira
semua orang yang belajar ilmu silat harus berziarah di gunung Thiansan-
mu?" katanya dengan suara kaku.
"Eh, eh. Kenapa kau kata begitu?" kata Keng Thian dengan perasaan
heran. "Bukankah mendiang ayahmu pun berasal dari partai Thiansan? Kenapa
kau jadi bicara begitu?" Si nona tak menjawab, sehingga Keng Thian jadi
lebih bingung lagi.
Dalam perjalanan di padang pasir, puluhan li tidak bertemu manusia
adalah kejadian yang lumrah. Hari itu, sesudah jalan kurang lebih seratus
li, Keng Thian bertiga cuma dapat menemukan sebuah bukit yang dapat
menahan angin dan pasir. Mereka lalu pasang tenda di kakinya bukit itu,
Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng satu tenda, sedang Keng Thian pasang
tendanya di tempat yang jauhnya kira-kira setengah li.
Malam itu, Pengtjoan Thianlie tak dapat tidur pulas dengan rupa-
rupa pikiran datang padanya berganti-ganti. Lantaran begitu, ia lalu
pasang omong dengan dayangnya dan goda Yoe Peng dengan mengatakan ia itu
agaknya tak dapat berpisah dengan Thian
Oe. Yoe Peng membantah dan lalu balas goda majikannya, yang
dikatakan sudah jatuh cinta kepada Keng Thian.
Selagi mereka enak bercanda, dari kejauhan mendadak terdengar
suara: "Uh! Uh!" Pengtjoan Thianlie berobah parasnya dan lalu pasang
kuping. Suara itu aneh kedengarannya, mirip-mirip suara terompet tanduk,
tapi juga seperti suara semacam tetabuhan Nepal.
"Aku mau pergi lihat! Kau jangan bikin kaget Tong Siangkong," kata
si nona sembari sembat Pengpok Hankong kiam dan lalu loncat keluar dari
tenda.
Sesudah lari kira-kira delapan li, Pengtjoan Thianlie lihat
beberapa orang sedang bertempur hebat di atas sebidang tanah rumput.
Sesudah datang dekat, ia kenali, bahwa mereka itu adalah dua boesoe Nepal
yang sedang ukur tenaga sama dua saudara Boe. Kedua boesoe itu bersenjata
golok berbentuk bulan sisir, yang bagian atas gagangnya kosong melompong,
sehingga
mengeluarkan suara "uh, uh," setiap kali digerakkan. Saat itu,
kedua boesoe itu sudah kena didesak hebat oleh Boe-sie Hengtee yang
pedangnya menyambar-nyambar bagaikan kilat.
Begitu lihat kedatangannya Pengtjoan Thianlie, dua boesoe itu
lantas berseru dalam bahasa Nepal dan dijawab oleh si nona dalam bahasa
itu juga, yang tidak dimengerti oleh kedua saudara Boe.
Boe Loodjie yang adatnya berangasan lantas saja berteriak: "Hei!
Kalau mau bicara, nanti saja bicara sama Giam Loo-ong!" Sehabis
membentak, ia menyabet dengan pedangnya yang sambar batang lehernya
boesoe yang barusan bicara. Saat itu goloknya justru kena disampok oleh
Boe Lootoa, sehingga ia tidak dapat menangkis lagi pedangnya Boe Loodjie.
Pada detik yang sangat berbahaya, Pengtjoan Thianlie mendadak berteriak:
"Tahan!" Sungguh cepat gerakannya si nona! Berbareng dengan bentakannya,
pedangnya sudah menyambar, sehingga kedua saudara Boe terpaksa loncat
mundur.
"Perempuan siluman!" mereka membentak. "Kalau tidak dihajar, kau
tentu kira di Tiongkok tidak ada orang yang bisa takluki padamu!"
Berbareng dengan itu, pedangnya kedua saudara Boe sambar dadanya
Pengtjoan Thianlie dengan satu gerakan Tianghong koandjit (Bianglala
tembuskan matahari), yaitu pukulan membinasakan dari kiamhoat Tjionglam
pay. Si nona merasa gusar sekali, sehingga alisnya jadi berdiri.
Mendadak, sembari empos semangatnya, ia getarkan Hankong kiam yang
berobah jadi seperti puluhan batang pedang. Boe-sie Hengtee terkesiap dan
buru-buru loncat ke samping buat hindarkan diri dari sambaran itu. Mereka
tak nyana, serangan Tianghong koandjit yang sedemikian hebat sudah dapat
dipunahkan secara begitu gampang.
Tapi si nona tidak berlaku kejam. Melihat musuhnya mundur, ia tidak
susul dengan lain serangan yang membinasakan. Ketika itu, kedua boesoe
Nepal sudah berlutut di atas tanah, dengan tak hentinya bicara dalam
bahasanya. Sembari putar pedangnya buat tangkis sesuatu serangan,
Pengtjoan Thianlie juga ucapkan beberapa perkataan dalam bahasa Nepal.
Sesudah mendengar perkataannya kedua boesoe itu, paras mukanya si nona
yang tadi mengandung kegusaran, jadi berobah sabar sampai akhirnya ia
manggutkan kepalanya sembari mesem.
Di lain pihak, Boe-sie Hengtee jadi meluap darahnya dan mereka
menyerang mati-matian seperti orang kalap. Harus diketahui, bahwa mereka
adalah turunan ahli silat kelas utama dan biasanya mereka merasa sangat
bangga dengan kepandaiannya yang dianggap sudah tinggi sekali. Bahwa
sekarang si nona layani mereka sembari bicara, seolah-olah tidak
memandang sebelah mata, oleh mereka dianggap seperti satu hinaan yang
sangat besar.
Melihat kedua lawannya menyerang seperti kerbau gila dengan
pukulan-pukulan yang sangat hebat, Pengtjoan Thianlie merasa agak
terkejut dan tidak berani lagi melayani secara sembarangan. Ia putar
pedangnya seperti titiran dan badannya seperti juga dikurung dengan sinar
putih yang sangat dingin. Mendadak, sembari kebaskan tangannya Pengtjoan
Thianlie ucapkan beberapa perkataan Nepal dan kedua boesoe itu, seperti
orang hukuman yang dapat pengampunan, manggut-manggutkan kepalanya
beberapa kali, akan kemudian bangun berdiri dan terus kabur secepat
mungkin. Boe-sie Hengtee mau mengubar, tapi ditahan oleh si nona
Tiba-tiba Pengtjoan Thianlie tertawa sembari menyampok dengan
pedangnya, sehingga kedua saudara Boe rasakan tangannya kesemutan dan
loncat mundur beberapa tindak.
"Aku sudah perintah dua boesoe itu pulang ke negerinya dan kalian
pun lebih baik pulang saja," katanya dalam bahasa Han, dengan suara
halus, tapi mengandung nada memerintah.
Sebagai turunan ahli silat kelas utama, dalam kalangan Kangouw,
Boe-sie Hengtee biasanya disegani orang dan kecuali beberapa orang dari
tingkatan tua, siapapun tak berani berlaku kurang ajar di hadapan mereka.
Maka itu, walaupun si nona bicara halus, mereka lantas saja menjadi
gusar.
"Dua bangsat itu datang kemari buat mengacau dan kau sudah berani
lepaskan mereka," membentak Boe Lootoa. "Sekarang, biarpun kau mau kabur,
kami tak akan permisikan lagi."
"Siluman perempuan!" Boe Loodjie sambung perkataan saudaranya. "Aku
memang sudah lihat, kau bukannya orang baik-baik. Tong Keng Thian
sekarang tidak berada di dampingmu. Kau mau cari dia buat mintakan ampun
juga sudah tidak keburu lagi!"
Mendengar cacian itu, keruan saja si nona lantas menerjang pula.
Pada waktu Pengtjoan Thianlie rebut guci emas, ia telah perintah
supaya boesoe-boesoe Nepal itu segera pulang ke negerinya dan jangan
mengacau lagi di Tiongkok. Maka itu, ketika baru bertemu, ia merasa gusar
lantaran anggap, mereka berdua sudah langgar perintahnya. Akan tetapi,
sesudah menanya terang, ia dapat kenyataan mereka bukannya melanggar
perintah. Mereka datang di Sinkiang buat samper beberapa kawannya yang
dikirim oleh Raja Nepal, guna pulang bersama-sama. Apa mau, di tengah
jalan mereka bertemu dengan kedua saudara Boe, yang duga mereka
mengandung maksud kurang baik. Dengan nasehatkan supaya Boe-sie Hengtee
pulang saja, si nona sebenarnya bermaksud baik dan tidak mau permusuhan
jadi berlarut-larut.
Sebagai seorang yang adatnya tinggi, bukan main gusarnya Pengtjoan
Thianlie mendengar cacian itu yang bawa-bawa juga namanya Tong Keng
Thian. Sesudah bertempur lagi beberapa lama, sembari berseru keras, kedua
saudara Boe pentang langkah seribu, dengan tak hentinya memaki "perempuan
siluman."
"Binatang tak kenal mampus!" kata si nona dalam hatinya. "Dengan
pandang mukanya Keng Thian, aku tidak ambil jiwa anjingmu. Tapi, kau
mesti dihajar adat!" Ia empos semangatnya dan terus mengubar. Begitu
menyandak, ia totol bebokongnya kedua saudara Boe dengan Hankong kiam dan
hawa dingin yang sangat hebat meresap ke tulang-tulang. Boe-sie Hengtee
seperti juga tahu si nona tidak akan turunkan tangan jahat dan begitu
Hankong kiam menotol, mereka lantas berbalik buat menyampok dengan
pedangnya akan kemudian lari lagi. Sesudah ubar-ubaran lima enam li,
beberapa kali bebokongnya Boe-sie Hengtee kena ditotol, sehingga
perlahanlahan mereka merasa tidak tahan lagi dan gemetar sekujur
badannya.
"Masih berani memaki?" tanya si nona* sembari tertawa.
Sekonyong-konyong kedua saudara Boe bersiul keras dan berbareng
dengan itu, dari atas satu gundukan tanah loncat keluar satu wanita muda.
Di bawah sinarnya rembulan, dapat dilihat ia memakai pakaian warna ungu
dengan satu tusuk konde emas pada rambutnya, parasnya cantik bagaikan
gambar dan tertawanya manis seperti bunga yang baru mekar.
"Ah, dua bocah ini sekarang kena tubruk tembok," katanya sembari
tunjuk kedua saudara Boe. "Betul bikin malu orang! Hayo lekas mundur!"
"Kouwkouw (bibi)," kata kedua saudara Boe. "Perempuan siluman itu
sangat liehay. Hati-hati! Lebih baik undang Loodjinkee (orang tua)."
"Omong kosong!" membentak si Kouwkouw itu. "Lekas mundur! Masa buat
urusan begini kecil mesti seret-seret tangan orang tua?"
Dilihat dari paras mukanya, nona itu belum cukup berusia dua puluh
tahun dan banyak lebih muda dari Boe-sie Hengtee. Tapi didengar dari
panggilan kedua saudara Boe, ia mempunyai tingkatan yang lebih tinggi
dari mereka itu.
Melihat munculnya orang baru, Pengtjoan Thianlie segera hentikan
tindakannya. Si nona mengawasi Pengpok Hankong kiam seperti lagaknya satu
bocah nakal dan berkata sembari tertawa: "Pedangmu bagus sekali,
mengkilap kredepan. Boleh dibuat main? Dibuat dari apa sih?"
Tanpa merasa, Pengtjoan Thianlie jadi tertawa. "Pedang ini bukan
barang mainan," katanya. "Aku suka hadiahkan padamu, tapi kau tentu tidak
akan dapat pegang padanya. Siapa kau?"
"Kenapa tak dapat?" kata si nona. "Ibu! Boleh aku ambil barangnya
lain orang?"
Pengtjoan Thianlie terkejut dan ketika ia menengok, di atas
gundukan tanah sudah berdiri seorang wanita usia pertengahan yang
mengenakan pakaian warna hitam dan rambutnya diikat dengan sutera putih
yang merupakan dua kupu-kupu. Pengtjoan Thianlie terkesiap, la kagum,
lantaran tanpa terdengar suara apa-pun, tahu-tahu nyonya itu sudah
berdiri disitu. Nyonya itu mengawasi padanya sembari mesem dan lagaknya
tidak berbeda dengan si nona muda. "Ada ibunya, ada anaknya," kata
Pengtjoan Thianlie dalam hatinya. "Coba lihat, ia mau apa."
"Bwee-djie (anak Bwee)," kata si nyonya sembari tertawa.
"Kepandaiannya Tjietjie itu ada lebih tinggi daripada kau. Jika tak
percaya, coba jajal. Kau tak akan dapat ambil barangnya. Eh, Toa-boe,
Siauw-boe, kenapa kau orang jadi berkelahi dengan ia?"
Boe-sie Hengtee maju mendekati dan bicara panjang lebar, antaranya
terdengar perkataan "perempuan siluman" yang diucapkan keras-keras dan
rupanya disengaja supaya dapat didengar oleh Pengtjoan Thianlie.
Pengtjoan Thianlie jadi gusar sekali, tapi sebelum sempat unjuk
kegusarannya, si gadis muda sudah berkata: "Ibu, kau selalu tidak
memandang mata padaku. Aku bukan anak-anak lagi. Cobalah aku jajal-
jajal." Ia berpaling kepada Pengtjoan Thianlie dan berkata sembari
tertawa: "Tjietjie, pinjam pedangmu. Bolehkah?"
Mendadakan saja, ia loncat tinggi dan lalu menubruk dari tengah
udara dalam gerakan yang luar biasa cepatnya. Pengtjoan Thianlie terkejut
dan menyabet dengan pedangnya.
"Ah, benar saja tak kena!" kata si gadis. Tiba-tiba, ia putar
badannya yang masih berada di tengah udara, tangan kirinya coba tepuk
pundaknya Pengtjoan Thianlie, sedang lima jerijinya tangan kanannya coba
cekal ugal-ugalannya Peng Go.
Ilmu entengi badannya Pengtjoan Thianlie sudah jarang terdapat
dalam dunia, akan tetapi, ilmunya gadis itu, yang dapat menubruk bulak-
balik seperti burung di tengah udara, lebih-lebih mengherankan. Tiga kali
Pengtjoan Thianlie menyabet dengan Hankong kiam, tapi selalu dapat
dikelit secara gampang sekali.
Sembari loncat pergi datang dan melesat ke sana-sini, seperti kupu-
kupu berterbangan di antara bunga-bunga, gadis itu kelit sabetan-
sabetannya Hankong kiam, dengan tangannya saban-saban menyambar buat coba
rebut pedang tersebut.
"Sungguh indah gerakanmu!" memuji Pengtjoan Thianlie sembari
tertawa.
"Bagus! Bagus sekali!" memuji wanita setengah tua itu. "Bwee-djie
hati-hati! Itulah Tatmo Kiamhoat!"
Ketika itu Pengtjoan Thianlie sudah mulai menyerang dengan pukulan-
pukulan Tatmo Kiamhoat yang terlebih hebat dan Hankong kiam menyambar-
nyambar seperti hujan dan angin. Lewat lagi beberapa saat, si gadis mulai
kelihatan keteter. Melihat begitu, Pengtjoan Thianlie yang memang tidak
bermaksud jahat, lantas mau hentikan serangannya, akan tetapi, sebelum ia
tarik pulang pedangnya, gadis itu sudah berseru: "Dengan tangan kosong
aku tak dapat menangkan kau. Sekarang aku mau gunakan pedang!" Berbareng
dengan perkataannya itu, ia putar Imdannya di tengah udara dan tahutahu
tangannya sudah mencekal sebatang pedang pendek yang mengeluarkan sinar
berkredepan.
Ketika itu, Pengtjoan Thianlie sedang menyerang dengan gerakan
Tjoenhong kiattang (Angin musim semi buyarkan kedinginan) dan ujung
pedangnya sambar kedua matanya gadis itu. Mendadak gadis itu menyampok
dengan pedangnya dan terus menikam ke arah perutnya Pengtjoan Thianlie.
Buru-buru Pengtjoan Thianlie putar tangannya dan membuat satu lingkaran
dengan pedangnya, dengan tujuan menggulung pedang lawannya. Tapi, siapa
nyana, kiamhoat-nya gadis itu tidak menurut peraturan yang biasa. Terang-
terangan, barusan ia menikam ke arah perut, tapi setahu bagaimana, ujung
pedangnya miring sedikit dan sambar dada! Bukan main kagetnya Pengtjoan
Thianlie yang lantas sedot napasnya dan otot dadanya "melesak" kira-kira
satu dim dalamnya. Saat itu, ujung pedang si gadis sudah menyentuh
bajunya Pengtjoan Thianlie. Mendadak ia rasakan ujung pedang seperti juga
menikam kapas dan tenaga pedang sudah kena dibikin buyar, sehingga ia
jadi terkesiap!
Pada saat itulah, Pengtjoan Thianlie balik tangannya dan kirim
pukulan Kisoei lengpeng (Air membeku menjadi es), yang meskipun
menyambarnya kelihatan enteng, disertai tenaga dalam yang sangat kuat.
Pengtjoan Thianlie duga gadis itu tidak akan dapat menyambut pukulannya
dan benar saja, ia lantas loncat mundur dua tindak dan kemudian barulah
menyambut dengan gerakan Hoeitouw imsan (Loncat melewati gunung).
Hoeitouw imsan adalah satu pukulan biasa dari ilmu pedang Boetong
yang dikenal baik oleh Pengtjoan Thianlie. "Kau tak boleh gunakan pukulan
itu," katanya sembari tertawa. "Buat sambut seranganku, kau harus gunakan
pukulan Hoayong kiatto (Di Hoayong mencegat jalanan)." Dengan pukulan
Hoeitouw imsan, si penyerang harus lebih dahulu menikam dua kali ke
sebelah kiri dan kemudian menikam satu kali ke sebelah kanan. Dua tikaman
yang pertama cuma gertakan dan tikaman yang ketiga barulah serangan yang
benar-benar. Oleh Karena mengetahui jalannya pukulan tersebut, Pengtjoan
Thianlie segera majukan dirinya buat tutup bagian kirinya, supaya dua
tikaman gertakan menjadi buyar dan tak dapat menikam lagi ke sebelah
kanan. Tapi tak dinyana, gerakannya gadis itu benar-benar luar biasa.
Barusan, terang-terangan ia menikam dengan gerakan Hoeitouw imsan, tapi
tak diduga, begitu ujung pedangnya menyambar, arahnya lantas berobah,
yaitu menikam beruntun dua kali dari sebelah kanan.
Dalam pertempuran antara ahli dan ahli, yang paling berbahaya
adalah taksiran yang salah. Saat itu, Pengtjoan Thianlie sudah majukan
dirinya dan perhatiannya ditujukan ke sebelah kiri, sehingga bagian
kanannya jadi terbuka. Buat menangkis dengan Hankong kiam sudah tidak
keburu lagi. Si gadis mesem dan coba sabet putus ikatan pinggangnya
Pengtjoan Thianlie.
"Bwee-djie, hati-hati!" mendadak si wanita setengah tua berteriak.
Saat itu, ikatan pinggangnya Pengtjoan Thianlie mendadak berkibar dan
gulung gagang pedangnya si gadis!
Barusan, jika gadis itu benar-benar menikam, Pengtjoan Thianlie
pasti akan mendapat luka. Tapi ia memang tidak mempunyai niatan kurang
baik. Melihat ikatan pinggangnya Pengtjoan Thianlie yang sangat indah,
dalam kenakalannya, ia ambil putusan buat putuskan ikatan pinggang itu.
Tenaga dalamnya Pengtjoan Thianlie ada banyak lebih tinggi daripada gadis
itu. Semua bagian badannya sudah terlatih baik dan otot-ototnya secara
otomatis menurut segala kemauannya. Pada detik si gadis sedikit
bersangsi, ia sudah keburu kerahkan tenaga dalam di pinggangnya dan
ikatan pinggang itu lantas berobah menjadi senjata yang kebut dan gulung
pedang sang lawan. Baik juga si gadis sudah diperingati oleh ibunya,
sehingga ia masih dapat loncat mundur pada saat yang tepat.
Begitu lawannya mundur, Pengtjoan Thianlie segera mencecer dengan
serangan-serangan kilat dan tidak memberi kesempatan lagi kepada gadis
itu buat keluarkan pukulan-pukulannya yang aneh. Dengan cepat ia jadi
keteter dan cuma dapat membela diri saja.
"Kau curang!" berseru si gadis sembari monyongkan mulutnya. "Kenapa
kau tak kasih aku balas menyerang? Adu pedang cara begini, aku tak mau!"
"Cis" Pengtjoan Thianlie tertawa. "Baiklah. Aku berikan lagi
kesempatan." Ia pertahankan gerakan Hankong kiam dan buka lowongan supaya
dapat diserang. Si gadis jadi gembira dan dengan beruntun kirim tiga
serangan yang masing-masing berbeda satu sama lainnya. Serangan pertama
adalah pukulan Bansoei tiauwtjong (Laksaan sungai mengalir ke laut) dari
kiamhoat Gobie pay, yang kedua Tjoenma poentjoan (Kuda bagus mengubar
mata air) dari Khongtong pay, sedang yang ketiga adalah Kimtjiam touwsie
(Jarum emas menolong manusia) dari Siongyang pay. Apa yang mengherankan
adalah: Setiap serangan berobah arahnya pada detik penghabisan, umpamanya
serangan yang bermula kelihatannya seperti Bansoei tiauwtjong mendadak
berobah arahnya dan menikam dari jurusan yang tidak diduga-duga.
Pengtjoan Thianlie yang sudah siap sedia sudah dapat loloskan diri dari
serangan-serangan itu dengan gunakan ilmu entengi badannya. Tapi lantaran
dicecer, ia sekarang cuma dapat membela diri dan tidak sempat lagi balas
menyerang.
Hatinya Pengtjoan Thianlie mendadak bergoncang sebab ia ingat
penuturan mendiang ayahnya. Dahulu, ketika sedang rundingkan berbagai
cabang persilatan di Tiongkok, ayahnya pernah ceritakan halnya satu ilmu
pedang tunggal gubahan Pekhoat Molie. Ilmu pedang itu merupakan petikan
dari sarinya macam-macam kiamhoat, yang kemudian diolah lagi menjadi
satu. Meskipun gerakannya bersamaan dengan gerakan macam-macam kiamhoat
itu, tapi arah serangannya, pada detik penghabisan, berbeda dan malahan
sebaliknya dari kiamhoat yang asli. "Apakah ilmu pedangnya nona ini ada
ilmu pedang Pekhoat Molie?" tanya Pengtjoan Thianlie dalam hatinya.
Tidak salah dugaannya si nona.
Ilmu pedang gadis muda itu memang juga ilmu pedangnya Pekhoat
Molie. Buat ahli silat biasa, biarpun kenal ilmu pedang tersebut, tak
gampang-gampang dia dapat melawannya. Tapi Pengtjoan Thianlie adalah lain
dari yang lain. Dasar dari ilmu pedangnya adalah Tatmo Kiamhoat yang
sangat tinggi dan kiamhoat tersebut telah dicampur dengan ilmu pedang
Eropa dan Arab, sehingga jadi sangat luar biasa. Maka itu, begitu lekas
mengenali ilmu pedangnya lawan dan pusatkan semangatnya buat melayani, si
gadis tidak dapat berbuat banyak lagi dengan pukulan-pukulan yang aneh.
Demikianlah sesudah lewat beberapa saat, gerakan pedangnya si gadis
lantas mulai kalut. "Mau bertempur terus?" tanya Pengtjoan Thianlie
sembari tertawa.
Gadis itu tak menyahut, dengan mendadak badannya melesat tinggi dan
selagi badannya turun ke bawah, ia menikam dengan pedangnya. Ia ternyata
gunakan ilmu aneh yang bisa menubruk di tengah udara seperti burung,
dicampur dengan ilmu pedangnya Pekhoat Molie. Pengtjoan Thianlie
terkesiap. Tanpa sempat berpikir lagi, badannya sudah turut melesat ke
udara dan membabat dengan gerakan Itwie touwkang (Rumput wie seberangi
sungai). Saat itu, mereka berdua sama-sama berada di tengah udara dan
gerakan pedang cepat bagaikan kilat. Begitu lekas pedangnya menyambar ke
tenggorokan orang, Pengtjoan Thianlie lantas merasa menyesal. Ia sama
sekali tak bermusuhan dengan gadis itu, kenapa juga turunkan tangan yang
jahat? Ia mau tarik pulang pedangnya, tapi sudah tidak keburu lagi!
Si gadis keluarkan satu teriakan kaget. "Bwee-djie, kau masih tak
percaya aku?" demikian ia dengar suara ibunya, dan berbareng, ia rasakan
badannya diangkat dan dilemparkan, akan kemudian hinggap di atas tanah
tanpa kurang suatu apa. Ketika menengok, ia lihat ibunya sudah berhadapan
dengan Pengtjoan Thianlie.
Barusan, pada saat hatinya menyesal tapi pedangnya sudah tak dapat
ditarik pulang, tiba-tiba saja depan matanya Pengtjoan Thianlie
berkelebat satu bayangan hitam, yang menyelak di antara kedua batang
pedang yang sudah hampir beradu dan sudah berhasil menolong gadis itu.
Pengtjoan Thianlie yang begitu liehay jadi kesima dan badannya kej
engkang ke belakang. "Hati-hati!" ia dengar satu suara berbisik dan
merasa badannya didukung orang. Ia jungkir balik, akan kemudian hinggap
di muka bumi dengan selamat.
Pengtjoan Thianlie mengawasi dengan berdebar-debar. Wanita setengah
tua itu, yang pakaiannya dan lagaknya seperti si wanita muda, ternyata
mempunyai kepandaian yang tak dapat diukur bagaimana dalamnya.
"Sungguh cantik! Apa kau sudah punya mertua?" tanya wanita itu
sembari tertawa, lagaknya mirip seperti bocah nakal.
Mukanya Pengtjoan Thianlie lantas saja bersemu merah. Sebagai
seorang yang mempunyai kedudukan puteri dan sedari kecil biasa dihormati
oleh para dayangnya, inilah buat pertama kali seorang yang baru ketemu
berani guyon-guyon padanya.
Sesudah kenyang tertawa, wanita itu lalu berkata lagi: "Ilmu
silatmu juga benar-benar indah. Inilah baru boleh dibilang, kepandaian
dan paras dua-dua jempol. Maukah kau dicarikan mertua olehku?"
"Kau tua-tua kenapa bicara begitu sembarangan?" sahut si nona
dengan perasaan mendongkol. "Jika kau terus omong gila-gila, aku tak akan
berlaku sungkan lagi!"
Wanita itu tertawa terbahak-bahak. "Usiamu masih begitu muda,
kenapa begitu galak?" katanya. "Sama seperti Tjietjie-ku. Titsoen-ku
(cucu keponakan) namakan kau perempuan siluman, tapi aku lihat kau
seperti nenek bawel!"
Si nona jadi meluap darahnya dan lantas angkat pedangnya. Ia tahu
bukan tandingan, tapi amarahnya mesti dilampiaskan.
Wanita itu tapinya terus tertawa. "Terhadap anakku kau berlaku
cukup sungkan," kata ia. "Tapi terhadap titsoen-ku, tanganmu kejam
sekali. Siapa gurumu?"
"Sudah! Sudah!" berteriak Pengtjoan Thianlie. "Memang aku hinakan
titsoen-mu. Nah, hukumlah aku!" Si nona yang beradat angkuh lantas saja
menikam, meskipun tahu bakalan kalah.
"Aku sungguh sayang padamu," kata si wanita yang terus kocok si
nona. "Kau begitu cantik, mana tega aku menghukum kau!" Sehabis berkata
begitu, dengan mendadak ia usap mukanya Pengtjoan Thianlie. Terang-
terang, si nona lihat gerakan tangannya, tapi toh ia tidak keburu kelit!
Sekarang Pengtjoan Thianlie benar-benar gusar. Seperti orang kalap
ia putar pedangnya dan menyerang dengan pukulan-pukulan yang
membinasakan.
"Kau benar-benar marah?" tanya wanita itu sembari tertawa dan
kembali usap kepala orang. Pengtjoan Thianlie terus menerjang dan kirim
beberapa tikaman. Wanita itu tidak jadi gusar, ia cuma kelit dan mulutnya
ngoceh lagi:
"Ah, pedangmu sungguh-sungguh bagus! Cuma sayang sekarang musim
dingin. Kalau musim panas tak perlu bawa-bawa kipas lagi. Dari apa
dibuatnya? Coba kasih aku lihat!"
Pengtjoan Thianlie terkejut dan lantas putar Hankong kiam bagaikan
titiran. "Aku mau lihat cara bagaimana kau rebut pedangku," katanya
didalam hati.
Tiba-tiba si nona endus bebauan yang sangat harum dan dengan satu
suara "tring!" Pengpok Hankong kiam sudah kena dipentil terbang dengan
dua jerijinya dan kemudian disambut dengan satu tangannya. "Benar-benar
aku pusing," katanya sembari bulak-balik pedang itu. "Benar-benar aku tak
tahu, dibuat dari bahan apa."
Kaget dan gusarnya si nona ngaduk menjadi satu. Tanpa pikir
akibatnya, ia menubruk seperti macan edan. "Buat apa begitu kesusu! Aku
toh tak inginkan milikmu!" kata lagi si wanita setengah tua sembari
tertawa. Ia angsurkan tangannya dan kembalikan pedang itu.
Begitu terima pedangnya, begitu si nona menikam lagi. Bagaikan
kilat, si wanita tangkap lengannya dan berkata pula: "Coba aku lihat
lagi. Aduh benar-benar cantik! Tugas comblang pasti aku jalankan!"
Sembari ngoceh, tangannya kembali usap mukanya
Pengtjoan Thianlie. Sesudah kenyang menggoda, ia lepaskan tangannya
dan sedang suara tertawanya masih kedengaran, bayangannya sudah
menghilang dari pemandangan!
Pengtjoan Thianlie celingukan. Boe-sie Hengtee dan si gadis juga
sudah tidak berada disitu. Rupanya mereka sudah berlalu, ketika si wanita
setengah tua goda dirinya.
Si nona menghela napas berulang-ulang dan parasnya lesu sekali.
"Ayah ibuku sudah peras pikiran dan tenaga buat gubah ilmu pedang ini
dengan anggapan tiada bandingannya di dalam dunia," katanya dalam hati.
"Tapi siapa nyana, wanita itu saja aku sudah tidak mampu menangkan. Ah,
kalau begini, keinginan ayahku rasanya tidak akan terwujut."
Pengtjoan Thianlie tentu saja tidak tahu, bahwa ilmu silat dan
tingkatannya wanita itu cuma dapat direndengi oleh dua tiga orang saja
dalam Rimba Persilatan.
Dengan hati mendeluh, si nona jalan balik ke tendanya. Ketika itu
sudah lewat tengah malam dan sang rembulan pancarkan sinarnya yang gilang
gemilang, sehingga padang pasir jadi seperti mandi dalam lautan perak,
dalam suasana yang sunyi-senyap. Di padang pasir, benda yang jauhnya
beberapa li masih dapat dilihat. Kedua tenda yang dipasang di kaki gunung
jauh-jauh sudah kelihatan. Mendadak hatinya Pengtjoan Thianlie
bergoncang. Di depan tendanya Tong Keng Thian terdapat dua bayangan
orang, satu lelaki dan satu perempuan. Yang lelaki adalah Keng Thian,
tapi potongan badan yang perempuan, bukan potongan badannya Yoe Peng.
Sesudah berlari-lari kurang lebih satu li lagi, barulah ia dapat tahu,
bahwa wanita itu adalah gadis yang barusan jadi lawannya!
Tadi, ketika Pengtjoan Thianlie keluar dari tendanya buat selidiki
itu suara "uh, uh," Keng Thian sedang gulak-gulik dalam tendanya dengan
tidak dapat pulas. Otaknya selalu tak dapat lupakan si nona yang sikapnya
membikin ia tidak mengerti. Sedikit banyak, ia sudah mengetahui asal-
usulnya, yaitu turunan dari jago partai Thiansan dan cucu perempuannya
Koei Tiong Beng. Tapi, kenapa terhadap Thiansan pay, si nona kelihatannya
adem sekali? Kenapa? Ia ingat, ketika mau turun gunung, ayah ibunya pesan
supaya ia cari tahu dimana adanya paman Koei Hoa Seng. Sekarang ia sudah
dapat cari puterinya Koei Hoa Seng, tetapi si nona tak sudi naik ke
Thiansan buat menemui sahabat-sahabat dari mendiang ayahnya. Kenapa?
Memikir pergi datang, pemuda itu jadi semakin jengkel. Jika lain
orang, ia tentu sudah memaksa buat mendapat tahu seterang-terangnya. Tapi
terhadap Pengtjoan Thianlie, ia benar-benar tak sanggup berlaku keras,
oleh karena adanya keagungan si nona yang wajar, yang membikin orang
tidak berani rewel-rewel di hadapannya.
Dalam kekesalannya itu, Keng Thian jadi gusar pada dirinya sendiri.
Kenapa, sesudah kenal Pengtjoan Thianlie, ia jadi begitu tolol? Saat itu,
dalam otaknya berkelebat bayangannya seorang wanita lain, seorang gadis
jelita yang usianya lebih muda dari Pengtjoan Thianlie. Gadis itu adalah
Lie Kim Bwee, puteri Ie-ie-nya (bibi) sendiri (puterinya Lie Tie dan
Phang Lin). Kim Bwee adalah kawan memainnya sedari kecil, tapi ia heran
sekali, terhadap nona itu, ia tidak mempunyai perasaan seperti yang
dirasakan terhadap Pengtjoan Thianlie.
Angin diluar tenda jadi semakin santer dan di antara suaranya
angin, sayup-sayup, ia dapat dengar suara "uh, uh." "Apakah itu bukan
suara goloknya boesoe Nepal?" ia tanya dalam hatinya. Dalam pertemuan di
Shigatse dan di gunung Tantat san ketika bantu merebut guci emas, ia tahu
gagang goloknya boesoe Nepal berlubang dan mengeluarkan suara "uh, uh,"
jika kesampok angin. Keng Thian heran. Kenapa mereka masih berada di
Tiongkok?
Ia keluar dan loncat ke atas tenda, dari mana ia lihat bayangannya
Pengtjoan Thianlie yang sedang berlari-lari ke arah utara barat. Tadinya
ia mau mengubar, tapi kemudian urungkan niatannya. Ia ingat, kedua boesoe
Nepal adalah orang sebawahannya Pengtjoan Thianlie, sehingga jika si nona
datang, segala urusan tentu bisa menjadi beres. Di sebelahnya itu, jika
menguntit, ia kuatir si nona jadi gusar dan menganggap ia terlalu mau
tahu urusan lain orang. Mengingat begitu, ia urungkan niatannya dan
dengan tindakan perlahan, menuju ke tendanya Pengtjoan Thianlie.
Di luar tenda ia bertemu Yoe Peng yang kelihatannya bingung. "Ah,
Tong Siangkong!" katanya. "Kenapa malam-malam begini masih jalan-jalan?"
"Kau dengar itu suara "uh, uh," tanya Keng Thian.
"Dengar,"sahutnya. "Mungkin cuma suara burung."
"Kongtjoe-mu?" tanya Keng Thian sembari tertawa.
"Ia kecapaian dan sudah pulas," Yoe Peng mendusta. "Aku keluar
lantaran dengar suara tindakanmu. Baliklah, kalau kau bikin ia mendusin,
ia bisa jadi gusar."
Keng Thian tertawa dan lantas balik ke tendanya. "Benar saja dia
tak mau aku mendapat tahu," kata pemuda itu dalam hatinya.
Biarpun mengetahui Pengtjoan
Thianlie bukan sedang menghadapi bahaya, Keng Thian tak dapat
tetapkan hatinya. Ia sulut sebatang lilin besar dan duduk termenung dalam
tendanya.
Tak tahu sudah lewat beberapa lama, mendadak di luar tenda
terdengar suara tindakan yang sangat enteng dan kain tenda dipentil
beberapa kali.
Keng Thian loncat bangun dan menanya: "Kau sudah pulang?" Ia heran.
Sedang si nona mau rahasiakan kepergiannya, kenapa sekarang ia datang
pada tendanya? Tangannya membuka tenda dan segera juga kupingnya dapat
dengar suara tertawa yang sudah dikenal baik. "Koko, kau sedang pikiri
siapa?" tanya satu suara wanita.
"Ah, aku kira siapa, tak tahunya setan kecil!" kata Keng Thian
sembari tertawa. Wanita itu bukan lain daripada Lie Kim Bwee, adik
misanannya (piauw).
"Tak salah omongannya Toa-boe dan Siauw-boe," kata Kim Bwee sembari
tertawa haha-hihi. "Ada dia, mesti ada kau. Mereka kata, tendamu mesti
berdekatan dengan tendanya dan benar saja tidak meleset. Eh, kau tahu
bagaimana keadaannya
kecintaanmu sekarang? Aku sih tahu!"
Keng Thian bingung berbareng geli. "Kenapa? Kau ketemu padanya?"
tanya ia sembari pukul si nona dengan perlahan.
"Sudah punya kawan baru, kenapa kau jadi begitu galak? Sudahlah,
aku tak mau bicara," Kim Bwee menggoda terus.
"Baiklah, Piauwmoay-ku yang manis," kata Keng Thian sambil
membungkuk. "Aku minta maaf. Puas? Hayo, lekas bilang."
Kim Bwee tertawa-tawa. "Tadi aku bertempur dengan dia," katanya.
"Benar-benar hebat! Aku rasa, kau juga bukan tandingannya. Hati-hati lho!
Mesti siap-siap buat dihajar olehnya!"
Keng Thian yang sangat kepengen tahu keadaannya Pengtjoan Thianlie,
seperti juga tidak dengar godaan adiknya. "Apa? Kau bertempur dengan ia?
Dan dia?" tanya Keng Thian.
"Ibu sedang main-main dengan dia," jawabnya. "Kau tahu adat ibu.
Tak tahu ia mau main-main sampai kapan."
"Dan Boe-sie Hengtee?" Keng Thian tanya lagi.
"Kedua mustika itu bilang, lantaran kau lindungi 'si perempuan
siluman', mereka sungkan menemui kau," jawab Kim Bwee. "Tapi aku tahu,
sebenar-benarnya mereka merasa jengah lantaran kena dikalahkan oleh
'perempuan siluman' itu. Eh, siapa sih namanya? Aku belum pernah lihat
wanita yang begitu cantik.
Sungguh tak pantas Toa-boe dan Siauw-boe namakan ia 'perempuan
siluman'."
Keng Thian yang sedang kebingungan, mana sempat ladeni godaan
adiknya. Ia jalan mundar-mandir dan tarik napas berulang-ulang seraya
berkata: "Hai, bagaimana baiknya? Ie-ie bertempur dengan ia. Bagaimana
baiknya?"
"Eh, kenapa kau begitu kebingungan?" kata Kim Bwee sembari tertawa.
"Ibu toh bukan mau binasakan padanya. Ibu sendiri bilang, dia cantik
sekali. Ia cuma mau main-main sedikit."
Tapi Keng Thian tidak dapat dihiburi dengan perkataan Kim Bwee. Ia
kenal adatnya Pengtjoan Thianlie yang tak dapat dipermainkan secara
begitu. Ia merasa sangat jengkel, kenapa semakin tua bibinya jadi semakin
suka geguyonan. Ia rupanya lupa, bahwa di waktu masih kecil, berkat sifat
bibinya yang suka bercanda, ia sendiri jadi lebih dekat dengan sang bibi
daripada dengan ibunya sendiri.
Phang Lin dan Phang Eng (ibunya Keng Thian) adalah saudara kembar,
tapi sifatnya berbeda seperti langit dan bumi. Phang Eng pendiam dan
sungguh-sungguh, Phang Lin nakal dan berandalan. Sifat itu tidak berubah
sampai Phang Lin berusia lanjut.
Boe Kheng Yab (ibunya Lie Tie atau neneknya Lie Kim Bwee) adalah
murid penutup dari Pekhoat Molie. Itu sebabnya kenapa Lie Kim Bwee paham
ilmu silatnya Pekhoat Molie. Di sebelahnya itu, ia juga dapat berbagai
macam ilmu dari ibunya, antaranya ilmu berkelahi di tengah udara seperti
seekor burung. Ilmu tersebut didapat oleh Phang Lin dari Patpie Sinmo
(Memedi Delapan Tangan) Sat Thian Tjek. Phang Lin bukan saja turunkan
ilmu silatnya, tapi juga adatnya yang suka bercanda kepada puterinya itu.
Melihat piauwheng-nya kejengkelan, Kim Bwee jadi semakin bungah
hatinya.
"Siapa suruh dia hinakan Toa-boe dan Siauw-boe," katanya sembari
tertawa. "Kau tak lihat cara bagaimana mereka dibikin kucar-kacir? Benar-
benar bikin orang mendongkol! Bebokongnya ditotol dengan pedang, tidak
ditikam, cuma dipermainkan, seperti kucing permainkan tikus. Aku sungguh
tak sampai hati! Ibu tolong balaskan sakit hatinya. Eh, kau belum
beritahu, siapa sih namanya?"
"Ah, jangan begitu melit," Keng Thian menghela napas. "Semua orang
sendiri. Namanya Peng Go. Koei Tiong Beng yang setingkat dengan nenekmu,
adalah kakeknya. Kalian permainkan dia, Iethio tentu akan menegur."
"Kau mau mengadu?" tanya Kim Bwee sembari letletkan lidahnya. "Aku
tak takut! Aku takut pada ayah, tapi ayah takut pada ibu dan ibu takut
padaku. Kau mengadu juga tak ada gunanya."
Keng Thian benar-benar tidak berdaya. Ia cuma mengharap, di
kemudian hari Pengtjoan Thianlie akan mengetahui adatnya sang ie-ie yang
suka memain dan dapat menyayang bibinya itu. Memikir begitu, hatinya jadi
lebih tenang.
"Eh, kenapa kalian bisa berada disini?" ia tanya sesudah berdiam
beberapa saat.
"Piauwko," kata si nona sembari colek janggut kakaknya. "Kau benar
sudah otak miring. Masakan ujian tiga tahun sekali yang diadakan oleh
ayahmu sendiri, kau sudah tidak ingat lagi?"
Thiansan pay mempunyai anggauta yang berjumlah besar, yaitu turunan
dan murid-muridnya Thiansan Tjitkiam (Tujuh Pendekar Pedang dari
Thiansan). Sesudah Tong Siauw Lan pimpin partai tersebut, tiga tahun
sekali ia kumpulkan murid-murid Thiansan pay buat diuji ilmu silatnya.
Ini dinamakan Pertemuan Kecil. Saban sepuluh tahun sekali diadakan
Pertemuan Besar, dimana bukan saja murid-murid, tapi orang-orang dari
tingkatan tua juga diundang datang, seperti Moh Tjoan Seng, Tjio Kong
Seng dan yang lain-lain.
Tahun itu ialah tahun Pertemuan Kecil. Tahun yang lalu, ketika mau
turun gunung, Tong Keng Thian telah dapat kelonggaran istimewa dari
ayahnya buat tidak usah hadiri Pertemuan Kecil itu, jika terpaksa. Kalau
mungkin, ia tentu saja mesti pulang pada temponya yang tepat, akan
tetapi, kalau dalam usaha mencari Koei Hoa Seng ia berada di tempat jauh,
maka ia boleh tidak usah pulang ke Thiansan. Itulah sebabnya, kenapa Keng
Thian sudah lupakan hal tersebut.
Biarpun sudah dibikin sadar, tapi masih ada hal yang kurang
dimengerti. "Ujian yang dibuka oleh ayahku, ada hubungan apa dengan
kedatangan kalian?" tanya ia.
"Apa benar kau belum pernah dengar penuturannya Iethio (ayahnya
Keng Thian)?" tanya Kim Bwee. "Biarlah aku ceritakan. Dahulu, Hoei-angkin
Lootjianpwee, yaitu soetji nenekku, pernah turunkan beberapa jurus
ilmu silat kepada suami isteri Huke-tsihu, pemimpin suku Hapsatkek.
Isterinya Huke-tsihu, yang bernama Mungmanlis, telah meninggal dunia pada
kira-kira sepuluh tahun berselang. Waktu aku masih kecil, aku pernah
bertemu padanya yang datang buat sambangi nenek (Boe Kheng Yao). Ketika
nenek meninggal dunia, ia sudah terlalu tua buat bisa datang
menyambangi."
"Tapi, kalian mempunyai hubungan apakah dengan Mungmanlis yang
sudah mati?" tanya Keng Thian dengan perasaan heran. "Apa kau mau cari ia
di tempatnya Giam Loo-ong?"
"Eh, apa kau tolol atau berlagak tolol?" kata si nona sembari
monyongkan mulutnya.
"Aku benar-benar tolol," jawab Keng Thian sembari tertawa.
"Nah, kalau begitu, kau dengarlah," kata Kim Bwee sembari mesem.
"Mungmanlis benar sudah meninggal dunia, tapi ia mempunyai anak cucu.
Dari Hui-angkin Lootjianpwee, ia cuma dapat beberapa jurus ilmu silat,
sehingga tidak bisa dibilang menjadi murid dan dengan demikian, ia pun
tidak termasuk anggauta Thiansan pay. Belakangan, cucu-cucunya Mungmanlis
mendapat tahu, bahwa Iethio dan Ie-ie tiga tahun sekali mengadakan
Pertemuan Kecil buat uji kepandaiannya murid-murid Thiansan dan juga
memberi petunjuk-petunjuk. Lantaran begitu, mereka ingin turut hadir
dalam pertemuan tersebut. Mengingat nenek, ibu sudah permisikan mereka
datang. Belakangan, oleh karena kuatir mereka tidak dapat cari tempat
pertemuan, ibu segera mengambil putusan buat sambut mereka. Tapi
sebenarnya, ibu sudah merasa sangat kesepian dan kepengen turun gunung
buat main-main. Aku sendiri tentu saja merasa sangat girang bisa turut
jalan-jalan. Itu sebabnya kenapa sekarang kami berada disini. Sudah
mengertikah kau? Eh, aku dengar di sebelah depan adalah wilayahnya suku
Hapsatkek. Apa benar?"
"Benar," sahut Keng Thian. "Ie-ie hapal benar keadaan di Sinkiang,
buat apa kau tanya-tanya aku?"
"Aku sudah sebal jalan di padang pasir ini," kata Kim Bwee sembari
tertawa. "Aku menanya sebab kuatir ibu dustai aku." Sesudah berdiam
beberapa saat, ia berkata pula: "Di tengah jalan, kami bertemu dengan
Toa-boe dan Siauw-boe yang mengatakan sedang ubar dua orang. Lantaran
kami juga mau seberangi padang pasir ini, maka kami lantas jalan bersama-
sama. Tak dinyana, malam ini kami bertemu dengan wanita yang bernama Koei
Peng Go itu." . "Dan dimana adanya dua boesoe Nepal itu?" tanya Keng
Thian.
"Boesoe Nepal?" menegasi si nona.
"Yah, itu dua orang yang diubar oleh Toa-boe dan Siauw-boe," jawab
Keng Thian.
"Aku tak lihat," jawabnya. "Sesudah mereka ribut-ribut, barulah aku
turun tangan."
Keng Thian jadi tertawa geli.
"Eh, kenapa kau tertawa?" tanya Kim Bwee. "Mungkin kedua boesoe itu
sudah dibinasakan oleh Toa-boe dan Siauw-boe, sehingga kau punya Peng Go
Tjietjie menjadi gusar."
Keng Thian tak mau ladeni ocehannya sang adik. Ia keluar dari tenda
dan memandang ke tempat jauh dengan paras muka guram. "Kenapa belum juga
pulang?" ia berkata seorang diri.
"Mungkin ibu belum cukup menggoda ia," kata si nona.
"Apa Ie-ie bakal datang kesini?" tanya Keng Thian.
Mendadak Kim Bwee pegang pundak kakaknya dan bisik-bisik di
kupingnya: "Ibu bilang, ia bersedia jadi comblang. Malam ini ia goda sang
penganten dan lantaran kuatir kau berdua menjadi gusar, ia tak mau datang
kesini. Ibu perintah aku memberitahukan kau, supaya ajak pengantenmu
pulang ke Thiansan."
"Omong kosong!" membentak Keng Thian.
"Ah, bukan omong kosong!" jawab Kim Bwee. "Apakah sesudah tiba
disini, kau tak mau menemui Twathio dan Twa-ie?"
Keng Thian jadi kewalahan. Ia angkat tangannya seperti orang mau
memukul dan si nakal berlari-lari sembari berteriak-teriak. Pada saat
itulah, mendadak berkelebat satu bayangan orang yang memakai pakaian
warna putih dan dalam sekejap sudah berada di hadapan mereka.
Lie Kim Bwee berhenti tertawa. "Cepat benar kau balik!" katanya.
Tong Keng Thian sendiri sembari tertawa lantas maju menghampiri.
Pengtjoan Thianlie awasi mereka dengan sorot mata dingin dan mendadak, ia
putar badannya dan berlalu tanpa berkata sepatah kata. Sebenarnya, ia
merasa suka terhadap Kim Bwee. Cuma saja, lantaran barusan ia lihat si
nona bercanda begitu hangat dengan Keng Thian, ditambah perkataan "cepat
benar kau balik," hatinya jadi berdongkol. Selainnya begitu, barusan ia
sudah digoda pulang pergi oleh ibunya Kim Bwee, sehingga amarahnya jadi
naik. Ia jalan terus balik ke tenda dan tidak ladeni teriakannya Keng
Thian.
"Hebat benar adatnya!" kata Kim Bwee sembari letletkan lidah. "Tong
Koko, aku sudah bikin marah kau punya Peng Go Tjietjie. Tak berani aku
berdiam lama-lama lagi disini."
Terhadap adik misan yang nakal itu, benar-benar Keng Thian tak
berdaya. Ia cuma bisa tertawa getir. Baru jalan beberapa tindak, si nona
berpaling dan berkata pula: "Ingat! Ajak isterimu supaya bisa berkenalan
dengan saudara-saudara. Penemuan kali ini dibikin di atas Puncak Onta
dari gunung
Mostako. Yang bakal memberi ceramah tentang ilmu silat adalah ibumu
sendiri. Kesempatan itu benar-benar tidak boleh dilewati begitu saja."
Sehabis berkata begitu, dengan satu tertawa nyaring, si nakal lantas
berlari-lari dengan gunakan ilmu entengi badan dan dalam sekejap saja, ia
sudah menghilang dari pemandangan.
Dengan pikiran kusut, perlahan-lahan KengThian hampiri tendanya
Pengtjoan Thianlie. Penerangan sudah padam, cuma lapat-lapat ia dengar
suara tangisan.
"Peng Go Tjietjie," ia memanggil.
Tak ada sahutan. Ia memanggil lagi beberapa kali, tapi tetap si
nona tidak menyahut, cuma suara tangisan lantas berhenti. Keng Thian
berdiri bengong di depan tenda.
Mendadak satu ingatan berkelebat di otaknya. "Piauwmoay guyon-
guyon, tapi perkataannya memang ada benarnya juga," katanya didalam hati.
"Memang baik juga jika aku bisa bawa Peng Go menemui ayah dan ibu. Ayah
dan beberapa tjianpwee lainnya sangat pikiri Koei Hoa Seng Pehpeh. Mereka
tentu akan girang sekali kalau bisa bertemu dengan puterinya Koei Pehpeh.
Cuma saja, Peng Go selalu kelihatan kurang senang jika dengar aku mau ke
Thiansan dan Ie-ie baru saja permainkan dia. Sekarang ia tentu lebih-
lebih sungkan pergi ke Thiansan. Ah, bagaimanakah baiknya?"
Dalam kebimbangan, tangannya mendadak kena langgar batu giok
pemberian Liong Sam yang berada dalam kantongnya. "Perjalanan buat
menemui Pehhu-nya (paman) Peng Go mesti makan tempo beberapa bulan,"
pikir Keng Thian. "Kalau bisa pergi dahulu ke Thiansan, dua urusan, bisa
beres dengan berbareng, sedang ayah dan ibu juga tak usah pikiri aku.
Berbareng dengan itu, aku juga bisa tahu asal-usulnya Liong Sam Sianseng.
Tapi bagaimana membujuk Peng Go?"
Sesudah putar otaknya, tiba-tiba ia dapat jalan yang sangat baik.
Ketika itu sang malam sudah hampir terganti dengan siang.
Sesudah mendapat pikiran baik, Keng Thian jadi bersemangat. Ia
tidak balik ke tendanya, tapi jalan mundar-mandir di depan tenda si nona
sampai fajar menyingsing. Begitu lekas terang tanah, tenda tersingkap dan
Yoe Peng munculkan diri. Ia merasa heran ketika lihat Keng Thian masih
berada disitu dan lalu berkata: "Kongtjoe bilang, kau tak usah kawani ia
lagi. Ia bisa pergi sendiri."
Tong Keng Thian tercengang. Ia tak duga hatinya Pengtjoan Thianlie
begitu keras. Sesudah putar otak setengah malaman, baru ia dapat satu
tipu bagus, tapi sekarang jadi sia-sia saja. Ia jadi bengong dan tak
dapat mengeluarkan sepatah kata.
Melihat si pemuda jadi seperti orang linglung, Yoe Peng jadi
kasihan berbareng geli. "Eh, apa semalam kau tak tidur?" ia tanya.
Keng Thian tertawa getir. Ia tidak jawab pertanyaan orang, tapi
berkata seorang diri:
"Keadaan sekarang bukannya seperti keadaan semalam, untuk siapakah
'ku gadangi sang malam di tengah angin dan embun!"
Baru saja ia habis ucapkan perkataan begitu, tenda kembali terbuka
dan Pengtjoan Thianlie kelihatan berjalan keluar!
Hatinya si nona sebenarnya masih mendongkol, akan tetapi begitu
dengar sajak yang diucapkan oleh Keng Thian, ia jadi girang berbareng
sedih, sehingga hampir-hampir ia kucurkan air mata. Sajak itu adalah buah
kalamnya Oey Tiong Tjek, seorang sastrawan kenamaan pada jaman itu, yang
dikenal bukan saja di sebelah selatan dan utara Sungai Besar, tapi
malahan sampai di daerah perbatasan yang jauh. Sedari usia sepuluh tahun,
pada waktu kedua orang tuanya masih hidup, Pengtjoan Thianlie sudah baca
kumpulan sajak-sajaknya Oey Tiong Tjek. Maka itulah, begitu dengar
ucapannya Tong Keng Thian, ia jadi merasa terharu, seolah-olah si pemuda
yang sengaja menggubah sajak tersebut untuk dirinya. "Ah, si tolol
ternyata sudah gadangi malam di tengah angin dan embun untuk diriku!"
katanya didalam hati.
Melihat Pengtjoan Thianlie muncul waktu ia baru saja habis ucapkan
perkataannya, mukanya Keng Thian jadi bersemu merah lantaran jengah.
"Peng Go Tjietjie! Pagi benar kau sudah bangun!" katanya sembari
menghampiri.
"Kau sendiri terlebih pagi," kata Yoe Peng. "Eh, Siauw Kongtjoe! Si
tolol tak tidur seluruh malam!"
Pengtjoan Thianlie lirik padanya, tapi tidak berkata suatu apa.
Sesudah lewat sekian lama, ia dongak dan berkata dengan suara tawar:
"Terima kasih yang kau sudah kawani kami selama banyak hari. Mulai dari
sekarang, tak usah lagi. Kami sendiri bisa tanya-tanya jalanan."
Keng Thian yang tajam kupingnya lantas bisa menangkap, bahwa
biarpun suaranya tawar, tapi cukup lunak."Di padang pasir, orang paling
gampang kesasar," katanya sembari tertawa. "Selainnya begitu, di tengah
jalan kalian belum tentu bisa bertemu orang-orang yang kenal jalan. Aku
justru sedang senggang dan dengan mau sendiri, aku bersedia jadi penunjuk
jalan. Kenapa juga kalian mau jalan sendiri?"
Sekali ini, si nona kena dikalahkan juga. Sebenarnya, jika turuti
adatnya, ia masih ingin ngambek dan semprot si pemuda dengan beberapa
perkataan tajam. Akan tetapi, lantaran sungkan dikatakan jelus terhadap
si nona cilik yang kelihatannya begitu rapat dengan Keng Thian dan juga
sebab merasa tidak tega buat keluarkan perkataan berat, maka, sesudah
dengar omongannya Keng Thian, ia manggut sedikit dan berkata dengan suara
perlahan: "Baiklah."
Sebagai orang yang belum pernah menjelajah di padang pasir,
Pengtjoan Thianlie tidak tahu ke arah mana mereka sedang berjalan, oleh
karena di hadapan mereka cuma terlihat lautan pasir yang seakan-akan
tiada tepinya. Sesudah berjalan beberapa hari, deretan gunung yang
tadinya hanya kelihatan samar-samar jadi semakin nyata, sedang sebuah
gunung besar yang menjulang keawan semakin lama jadi semakin dekat.
"Bukankah kau bilang mau pergi ke Soetjoan?" tanya Pengtjoan
Thianlie. "Tapi kenapa kita agaknya mendekati Thiansan?"
"Dari sini Thiansan masih jauh sekali," jawab Keng Thian sembari
tertawa. "Kita sekarang sedang potong jalan, supaya lebih dekat."
Si nona yang tidak kenal jalan, tidak berkata apa-apa lagi dan
terus mengikuti saja. Selama beberapa hari yang pertama, sikapnya
Pengtjoan Thianlie masih tawar, akan tetapi, sesudah lewat belasan hari,
ia dapat pulang kegembiraannya dan berjalan sembari omong-omong dan
tertawa-tawa. Sesudah seberangi lautan pasir, pada suatu hari tibalah
mereka di depannya satu gunung besar yang atasnya tertutup es dan salju.
Pada lerengnya gunung tersebut terdapat satu puncak tertutup salju yang
bentuknya seperti seekor onta, kepalanya di timur, buntutnya di sebelah
barat.
Hatinya Pengtjoan Thianlie jadi curiga dan tanya: "Apakah ini
bukannya Thiansan?"
"Bukan," jawab Keng Thian. Jika tak percaya, kau boleh tanya
gembala." Di kaki gunung itu .terdapat tanah rumput yang sangat subur,
dimana orang sering dapat ketemukan kaum gembala yang angon binatang
piaraannya. Sesudah berjalan lagi beberapa li, mereka bertemu serombongan
orang yang sedang giring ontanya dan waktu ditanya, mereka menerangkan,
bahwa gunung itu adalah gunung Mostako, sedang puncak yang seperti onta
dinamakan Puncak Onta. Mendengar keterangan itu, hatinya Pengtjoan
Thianlie baru menjadi lega. Ia tidak tahu, bahwa gunung Mostako
sebenarnya adalah cabangnya Thiansan, sedang tempat itu sudah dekat
sekali dari Puncak Selatan.
Pengtjoan Thianlie dongak mengawasi awan yang melayang hilir mudik,
sedang salju yang menutupi puncak menyiarkan ribuan warna gilang gemilang
lantaran disoroti sinarnya matahari. Melihat itu semua, mau tak mau, si
nona jadi ingat keraton es dan lama sekali ia berdiri disitu, menikmati
pemandangan alam yang sangat indah.
"Gunung ini agaknya lebih tinggi dari Nyenchin Dangla!" katanya
dengan suara kagum. "Pemandangannya juga luar biasa indah! Cuma saja di
Nyenchin Dangla terdapat Thian-ouw, yang merupakan timpalan tepat bagi
sang gunung dan tak dapat dicari bandingannya di lain tempat."
Keng Thian mesem dan berkata: "Di atas Puncak Onta terdapat sebuah
telaga es, yang meskipun tak dapat direndengkan dengan Thian-ouw,
mempunyai semacam keindahan yang sangat istimewa."
Si nona menengok dan tertawa. "Apa benar?" ia tanya, tapi lantas
juga ia menghela napas dan berkata lagi: "Cuma sayang kita mesti teruskan
perjalanan."
Mendadak di atas gunung lapat-lapat terdengar suara seperti
pecahnya kepingan es. "Ih!" kata Yoe Peng. "Itulah suara hancurnya es
lantaran kena diinjak orang. Apa di atas puncak terdapat banyak manusia?"
"Telaga es yang barusan aku sebutkan, bukan cuma pemandangan-nya
yang indah, tapi juga mempunyai daya penarik lain, yaitu Soatlian
(Teratai es) yang banyak tumbuh di tengah telaga," menerangkan Keng
Thian. "Pada permulaan musim semi, pemburu yang nyalinya besar sering
datang kesitu buat memetik Soatlian yang harganya sangat tinggi. Didengar
dari suaranya, orang yang berada di atas bukan cuma satu dua orang."
Thiansan Soatlian adalah semacam bunga yang langka dalam dunia,
bukan saja warnanya luar biasa indah, tapi juga merupakan satu obat yang
tiada bandingannya. Soatlian dapat menyembuhkan penyakit kurang darah,
macam-macam luka dan punahkan racun.
Dalam keraton es terdapat macam-macam obat, di antaranya ada juga
yang menggunakan Soatlian sebagai campuran, tapi Pengtjoan Thianlie belum
pernah lihat Soatlian yang sedang mekar. Kegembiraannya si nona jadi
terbangun dan ia berkata sembari tertawa: "Kalau begitu, apa tidak baik
kita korbankan tempo setengah hari buat naik ke atas untuk melihat bunga
yang langka itu?"
Keng Thian hampir bersorak lantaran girangnya, tapi sedapat
mungkin, ia tahan perasaan hatinya. "Jika Tjietjie ingin, aku bersedia
buat mengantar," katanya dengan sikap tenang.
Oleh karena tertutup es, Puncak Onta luar biasa licinnya, sehingga
sekalipun kawanan binatang masih sukar manjat ke atas. Pemetik Soatlian
biasanya mendaki gunung beramai-ramai dengan hubungkan badan mereka satu
sama lam dengan tambang yang kuat. Mereka pacul es guna membuat tempat
taruh kaki dan naik dengan perlahan sekali. Akan tetapi, biarpun begitu,
masih tidak jarang terjadi kecelakaan.
Tong Keng Thian bertiga yang mempunyai ilmu entengi badan sangat
tinggi, masih memerlukan satu jam lebih buat naik ke atas puncak.
Setibanya di atas, dengan hati terbuka, mereka pandang alam yang
luas. Bagaikan sehelai sutera putih, air yang sangat bening turun dengan
perlahan dari atas gunung dan masuk ke dalam satu telaga yang garis
tengahnya beberapa puluh tombak. Di atas telaga itu terlihat kepingan-
kepingan es yang bersinar terang dan rontokan bunga yang terombang-ambing
kesana-sini, menuruti gerakannya sang air. Di sebelah sana terdapat
pohon-pohon bunga hutan yang tumbuh berdampingan dengan pohon-pohon
berduri.
"Dimana adanya Soatlian?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Ah, semuanya sudah kena dipetik orang," jawab Keng Thian dengan
suara menyesal. Si nona merasa kecewa, akan tetapi, lantaran pemandangan
disitu benar-benar indah, ia merasa ada harganya juga buat datang ke
tempat tersebut. Selagi pandang keadaan di sekitarnya, mendadak ia lihat
banyak tapak kaki di atas salju, dari pinggir telaga sampai ke gerombolan
pohon-pohon
kembang. Di sebelah belakang pohon-pohon kembang itu lapat-lapat
masih terdengar suara tindakan manusia.
"Sesudah tiba disini, kau sebenarnya harus melihat-lihat lebih
banyak lagi," Keng Thian mendadak berkata sembari tertawa. "Tempat ini
adalah tempat asal dari partaimu."
"Apa?" menegasi si nona.
"Dahulu kakekmu bertemu dengan Soetjouw-mu, Sin Liong Tjoe, di ini
tempat," menerangkan Keng Thian.
"Kalau begitu, di belakangnya pohon-pohon kembang itu mesti
terdapat guanya Soetjouw," kata Pengtjoan Thianlie yang lantas cabut
pedangnya buat membabat pohon-pohon itu dan lalu masuk ke dalamnya.
Baru masuk beberapa tindak, ia dapatkan satu jalanan kecil, yang
dilihat dari tanahnya, baru saja habis dibuat. Pengtjoan Thianlie jadi
curiga.
Di belakangnya pohon-pohon kembang itu terdapat satu batu besar dan
di atas batu terpahat sebuah gua cetek yang bentuknya seperti manusia
yang sedang bersemedhi. Batu itu adalah tempat bersemedhinya Sin Liong
Tjoe yang pernah bersila disitu sembilan belas tahun lamanya, sehingga
badannya jadi terpeta di atas batu. Belakangan dengan turuti peta badan
itu, murid-muridnya pahat batu itu dan membuat satu gua cetek. Sesudah
Sin Liong Tjoe meninggal dunia, ia tinggalkan sejilid kitab ilmu silat.
Koei Tiong Beng, kakeknya Pengtjoan Thianlie, adalah murid yang mewarisi
kitab tersebut, sesudah Sin Liong Tjoe menutup mata. Maka itulah, tempat
tersebut dianggap sebagai tempat suci dari Boetong pay cabang Utara.
Sesudah memberi hormat dengan berlutut tiga kali, Pengtjoan
Thianlie putari batu itu. Tiba-tiba, suara tindakan kaki jadi semakin
jelas kedengarannya. Si nona angkat kepalanya dan lihat belasan gua di
lereng gunung seberang. Di depannya gua yang tengah, dipasang satu
tetarap bambu dan dalam tetarap itu kelihatan beberapa bayangan manusia.
Selainnya itu, ditanjakan gunung kelihatan sejumlah orang yang berjalan
berkelompok-kelompok, seperti juga sedang mau menghadiri serupa
pertemuan.
Pengtjoan Thianlie jadi semakin curiga. Walaupun belum kenal seluk
beluknya Kangouw, akan tetapi dengan sekali lihat saja, ia sudah
mengetahui, bahwa orang-orang itu bukannya tukang cari Soatlian. Dengan
mendadak, dalam hatinya muncul satu pertanyaan: "Buat apa Tong Keng Thian
pancing aku naik ke gunung itu?"
Mengingat begitu, si nona lantas lari seperti terbang dengan
gunakan ilmu entengi badan Tengpeng touwsoei (Menyeberangi sungai dengan
menginjak rumput).
Mendadak ia dengar satu orang berseru: "Hei, siapa wanita itu?
Orang luar toh tidak boleh hadiri pertemuan!"
"Ah! Dia berani bawa pedang!" berteriak seorang lain.
Pengtjoan Thianlie jadi sangat gusar. Ia lihat dua pemuda yang
mengenakan pakaian hitam dan berdiri ditanjakan, sedang tunjuk-tunjuk
dirinya. Selagi mau unjuk kegusarannya, mendadak terdengar suara tertawa
yang sangat nyaring. Orang yang tertawa adalah satu gadis cilik yang
bukan lain daripada Lie Kim Bwee. "Ha, Tong Koko!" Ia berseru sembari
gapekan Tong Keng Thian. "Benar saja kau turut nasehatku dan bawa dia
kemari. Hei! Kalian jangan pentang bacot! Bisa-bisa kalian digusari Tong
Koko! Dia bukan orang luar. Kau tahu dia siapa? Mari, mari! Aku
beritahukan kalian!" Sehabis berseru begitu, ia kembali tertawa nyaring
dan mengedip matanya kepada kedua pemuda yang berpakaian hitam, sehingga
Pengtjoan Thianlie merasa ia sedang diejek. Di belakangnya Lie Kim Bwee
berdiri Boe-sie Hengtee dan dua orang lagi yang tidak dikenal.
Bukan main gusarnya Pengtjoan Thianlie. "Hm, Tong Keng Thian!" ia
menggerendeng dengan hati panas. "Berani benar kau permainkan aku! Kau
pancing aku ke atas gunung buat jadi buah tertawaan orang!" Ia enjot
tubuhnya buat bikin perhitungan dengan Tong Keng Thian yang dianggap
kurang ajar sekali.
Ketika itu, Keng Thian sendiri sudah dicegat dan dikocok oleh Lie
Kim Bwe. "Piauwmoay, janganlah omong yang gila-gila!" kata Keng Thian
berulang-ulang dengan suara memohon.
Pengtjoan Thianlie jadi terlebih gusar lagi, tapi sebelum ia dapat
datang dekat, di depannya berkelebat bayangan orang dan seorang wanita
setengah tua sudah berdiri di hadapannya. Si nona kenali wanita itu
sebagai orang yang pernah permainkan dirinya di tengah jalan.
"Apakah kau datang bersama Keng-djie (anak Keng)?" tanya wanita itu
sembari tertawa.
Seperti api disiram minyak, tanpa pikir panjang, Pengtjoan Thianlie
ayun tangannya dan lepaskan enam butir Pengpok Sintan dengan berbareng.
Ia tahu, ilmu silatnya tidak nempil dengan nyonya itu dan lantas
mendahului dengan senjata rahasianya yang liehay.
"Apa artinya ini?" kata wanita itu sembari pentang lima jerijinya,
yang bagaikan bunga anggrek mendadak mekar, sudah pentil lima butir
pelurunya Pengtjoan Thianlie. Sungguh heran, begitu kena pentilan, lima
peluru itu melayang-layang di tengah udara, tidak meledak dan juga tidak
jatuh ke tanah! Dari sini dapat dilihat, bahwa lweekang-nya wanita itu
sudah mencapai puncaknya
kesempurnaan. Tapi ini belum seberapa. Apa yang membikin Pengtjoan
Thianlie jadi terkesima adalah: Ketika Pengpok Sintan yang terakhir
menyambar, wanita itu sanggap dengan mulutnya dan terus telan peluru
tersebut! "Sungguh menyegarkan!" katanya sembari mesem. "Lebih
menyegarkan dari air gunung."
Sebagaimana diketahui, Pengpok Sintan mempunyai hawa dingin yang
luar biasa. Orang yang lweekang-nya belum cukup, kena hawanya saja sudah
menggeletak. Orang yang lweekang-nya cukup tinggi kebanyakan mesti roboh,
jika kena dihantam jalanan darahnya. Maka itu, tidaklah heran jika
Pengtjoan Thianlie sendiri jadi terkesima waktu lihat wanita tersebut
dapat menelan pelurunya, seperti orang telan sebutir es.
Tanpa berkata suatu apa, si nona lantas balik badannya dan terus
kabur. Badannya wanita itu mendadak melesat ke tengah udara sembari kebas
tangannya dan lima butir Pengpok Sintan lantas masuk kedalam tangan
bajunya. "Senjata rahasia ini aku belum pernah lihat," katanya sembari
tertawa. "Nona, kita belum kenal satu sama lain, tapi kenapa, begitu
bertemu muka, kau lantas menyerang dengan senjata yang begitu hebat?"
Pengtjoan Thianlie yang pernah rasakan liehaynya wanita itu, lantas
duga dirinya mau dipermainkan lagi. Ia tahu tak akan dapat loloskan diri
dan segera hentikan tindakannya. "Jika kau benar-benar seorang pandai
dari tingkatan tua, tidaklah pantas berulang kali kau permainkan orang
dari tingkatan muda," ia membentak. "Hm! Thiansan pay benar pandai
menghina pihak yang lemah. Sekarang aku baru percaya!"
Wanita itu terkejut dan berkata dalam hatinya: "Lagi kapan aku
permainkan dia? Kenapa dia memaki?"
Sebenarnya nyonya itu bukannya Phang Lin (ibunya Lie Kim Bwee),
tapi Phang Eng, ibunya Tong Keng Thian. Phang Lin dan Phang Eng adalah
saudara kembar yang rupanya bersamaan seperti pinang dibelah dua, tapi
adatnya sangat berlainan bagaikan langit dan bumi. Phang Eng adalah ahli
warisnya Thiansan Liehiap Ie Lan Tjoe dan pernah dapat pelajaran juga
dari Lu Soe Nio, sehingga ilmu silatnya ada lebih tinggi dari suaminya,
Tong Siauw Lan, yang ketika itu jadi pemimpin dari Thiansan pay. Pada
jaman itu, ilmu silatnya Phang Eng tidak ada tandingannya di seluruh
Tiongkok. Pertemuan di Puncak Onta pada kali itu juga berada di bawah
pimpinannya.
Melihat kegusarannya Pengtjoan Thianlie, Phang Eng yang lemah
lembut berbalik jadi kasihan. Tadinya ia ingin menanyakan lebih jauh,
tapi sesudah dengar perkataannya si nona, ia jadi mundur tiga tindak dan
berkata sembari tertawa:
"Pemandanganmu terhadap Thiansan pay agaknya terlalu mendalam!
Baiklah, aku sungkan mendesak kau. Jika kau tak sudi, aku juga tak mau
menanyakan asal-usulmu."
"Peng-djie, hayo turun gunung!" berseru Pengtjoan Thianlie sembari
enjot badannya yang lantas melesat belasan tombak jauhnya. Melihat
begitu, Phang Eng sendiri jadi kagum dan berkata dalam hatinya: "Ketika
berusia seperti dia, ilmu entengi badanku masih belum begitu tinggi."
Selagi lari, lapat-lapat Pengtjoan Thianlie dengar seruannya Keng
Thian. Lantaran hatinya panas, ia menengok pun tidak. Dalam tempo
sekejap, ia sudah tiba di satu lembah. Tiba-tiba saja terdengar suara
tertawa. "Bwee-djie bilang, kau tentu datang, aku tadinya belum mau
percaya," kata seorang wanita yang mendadak menghadang di tengah jalan.
"Sekarang benar-benar kau berada disini. Tugas comblang rasanya harus
dilakukan juga!" Sehabis berkata begitu, ia tertawa bergelak-gelak,
sehingga dua pita kupu-kupu bergoyang-goyang di atas kepalanya. Pengtjoan
Thianlie tak tahu, bahwa wanita itu adalah Phang Lin. Ia kira Phang Lin
adalah wanita yang barusan telan Pengpok Sintan dan yang sekarang sengaja
cegat padanya dengan potong jalan. Ia egos badannya dan lari ke arah
tanjakan dan selagi mau mencaci, dari gundukan batu di tanjakan itu
sekonyong-konyong loncat keluar satu orang yang ternyata Hiatsintjoe
adanya!
Sesudah Liong Leng Kiauw ditahan oleh Hok Kong An, Hiatsintjoe
tidak dapat berbuat suatu apa. Ia cuma bisa perintah In Leng Tjoe pergi
ke kota raja untuk memberi laporan kepada Tjongkoan istana dan minta
isterinya berdiam di Lhasa untuk mengamat-amati, sedang ia sendiri segera
kuntit Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie, dengan harapan bisa dapat
bantuannya satu dua kawan di tengah jalan. Waktu Keng Thian bertiga tiba
di atas Puncak Onta, sebab tidak kenal jalan, ia baru sampai di pinggang
gunung. Maka itulah, sebelum sampai di atas, ia sudah bertemu dengan
Pengtjoan Thianlie yang sedang kabur ke bawah gunung Mostako.
Begitu bertemu si nona, Hiatsintjoe terkesiap. Tapi melihat
Pengtjoan Thianlie cuma sendirian dan juga rupanya baru kena dikalahkan
orang, diam-diam ia bergirang. Ia lantas loncat keluar dari tempat
sembunyinya dan menghantam sama tangannya.
Melihat di depan dicegat musuh dan di belakang diubar orang,
Pengtjoan Thianlie mengeiuh. Ia tidak berani mundur lantaran wanita yang
berada di belakangnya merupakan lawanan yang terlalu berat dan sesudah
berpikir beberapa saat, ia ambil putusan untuk terjang musuh yang di
depan. Dengan sekali ayun tangannya, ia lepaskan tiga butir Pengpok
Sintan dan sesudah cabut Pengpok Hankong kiam, ia segera menerjang dengan
sepenuh tenaga.
Mengetahui liehaynya peluru itu, Hiatsintjoe mengegos sembari maju
setindak, sehingga di lain saat, ia sudah berdampingan dengan si nona.
Dengan ilmu Kinna Tjhioehoat (Ilmu menangkap dengan tangan), ia sambar
pedangnya Pengtjoan Thianlie.
Selagi si nona mau membabat sama pedangnya, mendadak ia rasakan
lehernya ditiup angin dingin dan kupingnya dengar orang berkata: "Hawa
hari ini benar-benar luar biasa, ada dingin, ada panas!" Itulah Phang Lin
yang setelah melihat sambaran hawa panas dari tangannya Hiatsintjoe dan
hawa dingin dari Pengpok Hankong kiam, jadi timbul kegembiraannya dan
tiup lehernya kedua orang itu. Mendapat kesempatan, sembari kelit,
Pengtjoan Thianlie lalu kabur ke arah tanjakan.
Hiatsintjoe yang tidak kenal siapa adanya nyonya itu, bukan main
gusarnya dan lalu menghantam sama tangannya.
Sesudah tiba di tanjakan, lapat-lapat Pengtjoan Thianlie dengar
teriakannya Keng Thian. Hatinya jadi bergoncang dan ia pertahankan
tindakannya. Sekonyong-konyong, dari ujung tanjakan muncul keluar dua
pemuda baju hitam yang tadi berada sama-sama Lie Kim Bwee. "Tinggalkan
pedangmu! Baru boleh turun gunung!" berseru salah satu pemuda itu.
Salah satu antara dua pemuda itu adalah kakaknya Lie Kim Bwee yang
bernama Lie Tjeng Lian, sedang yang satunya lagi adalah muridnya Tong
Siauw Lan yang bernama Tjiong Tian, cucu keponakannya Tjiong Ban Tong
(Pemimpin Boekek pay). Mereka berdua yang bersamaan usia dan bersamaan
pula pakaiannya adalah seperti saudara kandung. Tadi mereka sudah kena
diobor oleh Boe-sie Hengtee dan sengaja cegat baliknya Pengtjoan Thianlie
untuk tolong balaskan sakit hatinya kedua saudara Boe itu.
Alisnya si nona jadi berdiri bahna gusarnya. "Aku tadinya tak
percaya murid-murid Thiansan begitu jago-jagoan!" katanya dengan suara
tawar, la jejak kakinya dan bagaikan kilat sudah berada di hadapannya
kedua pemuda itu. Dengan gerakan Tjianli penghong (Ribuan li es menutup),
ia membuat satu lingkaran dengan pedangnya dan kedua pedang lawannya
lantas saja terkurung di dalam sinar Pengpok Hankong kiam. Tadi, jarak
antara Pengtjoan Thianlie dan kedua pemuda itu ada kira-kira belasan
tombak. Jika si nona menggunakan ilmu entengi badan yang biasa, mereka
berdua masih mempunyai kesempatan untuk bersiap. Tak dinyana, kali itu
Pengtjoan Thianlie menggunakan Hoasoat (Menyerosot di salju) yang tiada
tandingannya dalam dunia dan lebih cepat daripada ilmu Lioktee hoeiteng
(Terbang di atas tanah). Suara dan manusianya tiba hampir berbareng dan
sebelum kedua pemuda dapat bergerak lebih jauh, pedang mereka sudah
berada dalam kurungan Hankong kiam. Mereka terkejut bukan main. Baru
Hankong kiam diputar beberapa kali, Lie Tjeng Lian dan Tjiong Tian sudah
merasa kewalahan dan hampir-hampir saja pedangnya kena dibikin terpental.
Si nona yang sedang panas hatinya tak sungkan-sungkan lagi dan terus
desak lawannya secara hebat.
Tjiong Tian yang berdiri di sebelah kanannya Pengtjoan Thianlie,
adalah murid satu-satunya dari Tong Siauw Lan. Walaupun ilmu silatnya
belum matang seperti Tong Keng Thian, tapi ia sudah dapat menyelami
isinya Thiansan Kiamhoat. Selagi keteter, ia tak jadi bingung dan
mendadakan saja ingat satu cara untuk membela diri.
Tiba-tiba ia robah cara bersilatnya dan menyerang dengan gerakan
Kanghay lengkong (Sungai dan lautan membeku sinar). Pukulan itu adalah
salah satu pukulan dari ilmu pedang Thaysiebie yang digubah untuk
pertahankan diri terhadap lawan yang lebih kuat. Dengan Kanghay lengkong,
semua tenaga dalam dipusatkan di ujung pedang. Pengtjoan Thianlie yang
sedang gembira jadi kaget sekali, ketika dapat kenyataan pedangnya lawan
tak dapat lagi disampok terpental. Di lain saat, Lie Tjeng Lian yang
mempunyai kepandaian lebih tinggi dari adiknya, tidak mau sia-siakan
kesempatan yang baik dan lalu kirim beberapa serangan dengan ilmu
silatnya Pekhoat Molie.
Jika satu sama satu, memang kepandaiannya Pengtjoan Thianlie ada
lebih tinggi dari kedua pemuda itu. Akan tetapi dengan dua lawan satu, si
nona jadi berada di bawah angin. Barusan, berkat ilmu Hoasoat, ia dapat
mendahului menyerang dan sudah bikin dua lawannya menjadi repot. Tapi itu
adalah untuk sementara waktu saja. Sesudah Tjiong Tian dan Lie Tjeng Lian
dapat tetapkan hatinya dan bersilat secara tenang, Pengtjoan Thianlie
mulai rasakan beratnya sang lawan. Akan tetapi, lantaran sudah pernah
lihat cara bersilatnya Lie Kim Bwee dan juga lantaran biasa bersilat di
atas salju yang licin, sesudah tiga puluh jurus, Pengtjoan Thianlie masih
terus dapat melayani secara berimbang.
Melihat begitu, diam-diam Lie Tjeng Lian dan Tjiong Tian merasa
terkejut berbareng kagum. Pengtjoan Thianlie juga tidak kurang kagumnya
dan mesti akui, bahwa murid-murid Thiansan pay benar-benar tidak boleh
dipandang enteng. Sedang serunya mereka bertempur, sekonyong-konyong
terdengar suara teriakan seorang wanita dari atas gunung: "Lian-djie!
Tian-djie! Biarkan dia pergi! Lekas balik!"
Pengtjoan Thianlie terkesiap. Suara itu terang-terangan datang dari
Puncak Onta yang jauh, en toh kedengarannya seperti di dalam kuping! Apa
yang lebih mengherankan adalah: Wanita setengah tua itu toh sedang layani
Hiatsintjoe di tanjakan gunung, tapi kenapa sekarang suaranya datang dari
atas gunung? Si nona tak tahu, bahwa yang sedang layani Hiatsintjoe
adalah Phang Lin, sedang yang panggil Tjeng Lian dan Tjiong Tian adalah
Phang Eng.
Mendengar panggilan itu, Tjeng Lian dan Tjiong Tian tak berani
membantah. Mereka mendesak hebat dengan berharap si nona mundur beberapa
tindak, supaya dapat undurkan diri. Tapi Pengtjoan Thianlie yang beradat
tinggi bukan saja tidak mau memberikan kesempatan, tapi malahan segera
ambil putusan untuk jatuhkan lawannya. Demikianlah, selagi kedua pemuda
itu mau tarik pulang pedangnya, ia barengi dengan dua kali babatan.
Tjiong Tian masih dapat tolong dirinya, tapi Lie Tjeng Lian yang
terlambat sedikit kena disontek pedangnya yang lantas terbang ke tengah
udara!
"Hm! Coba lihat siapa yang keok?" kata Pengtjoan Thianlie sembari
menyingkir dengan ilmu Hoasoat. Tjeng Lian berteriak-teriak bahna
gusarnya, tapi ia tidak dapat berbuat lain daripada pulang ke gunung
bersama sahabatnya.
Sekarang marilah kita tengok Keng Thian yang tadinya dengan pancing
Pengtjoan Thianlie ke atas Puncak Onta, ingin
mempertemukan si nona dengan kedua orang tuanya, supaya dapat
singkirkan ganjelan yang dahulu. Tapi siapa nyana, si nona sudah keliru
sangka ibunya sebagai bibinya dan tanpa banyak bicara lantas menimpuk
dengan Pengpok Sintan. Keng Thian tahu, ibunya yang pendiam tidak boleh
dibuat gegabah, beda jauh dengan bibinya yang suka bercanda. Begitu lihat
si jelita menimpuk, hatinya mencelos! la sangat kuatir, dengan adanya
peristiwa itu, sang ibu akan membenci kecintaannya. Dalam kebingungannya,
ia sudah diganggu oleh Kim Bwee yang nakal dan sesudah buang banyak
tempo yang berharga, barulah ia dapat mengubar.
Pengtjoan Thianlie lari terus tanpa ladeni segala teriakannya Keng
Thian, yang juga tak kenal sudah dan terus mengubar dengan sekuat tenaga.
Semakin lama, jarak antara mereka jadi semakin dekat dan sesudah Keng
Thian berada belasan tombak dari dirinya, barulah si nona menengok
sembari keluarkan suara di hidung.
"Peng Go Tjietjie, dengarlah dahulu omonganku!" berseru Keng Thian.
Pengtjoan Thianlie pungut segumpal salju yang lantas ditimpukan ke
mukanya si pemuda. "Baru sekarang aku tahu kau siapa!" ia membentak. "Aku
dibuat bahan guyonan olehmu!" Dengan ilmu Hoasoat, ia kembali sudah
terpisah jauh dari Keng Thian.
"Sesudah dengar omonganku, masih belum terlambat kalau kau mau
pergi juga," mengeluh Keng Thian.
Si nona kembali menimpuk dengan bola salju. "Siapa mau dengar
ocehanmu!" membentak ia. "Sudah, kau jangan bicara lagi sama aku!"
Sebagai seorang yang masih mempunyai keangkuhan,
mendengar itu Keng Thian segera hentikan tindakannya. Sedang ia
putar otaknya untuk mencari lain jalan, dari atas Puncak Onta mendadak
terdengar suara ibunya: "Keng-djie, balik!" Beberapa saat kemudian,
terdengar suara yang angker: "Keng-djie, tak boleh kau halangi nona itu!"
Itulah suara ayahnya, Tong Siauw Lan.
Waktu baru bertemu, Tong Siauw Lan suami isteri duga Pengtjoan
Thianlie adalah sahabat puteranya. Meskipun merasa kurang senang
puteranya bawa-bawa orang luar kesitu, mereka tidak merasa terlalu
keberatan. Belakangan, setelah tanpa sebab, si nona menyerang dengan
Pcngpok Sintan, mereka jadi salah menaksir. Mereka taksir nona itu adalah
muridnya salah satu siapay (cabang persilatan yang kotor) yang sengaja
dikirim kesitu untuk coba mengacau. Mereka malahan menduga, bahwa nona
itu sudah digiring ke Puncak Onta oleh Keng Thian, supaya mereka dapat
menjatuhkan hukuman. Akan tetapi, mengingat tingkatannya yang tinggi
dalam Rimba Persilatan, Tong Siauw Lan suami isteri sungkan menyusahkan
orang yang tingkatannya lebih rendah. Terlebih pula, tadi Phang Eng
sendiri sudah membiarkan ia turun gunung. Oleh karena begitu, mereka
lantas teriaki puteranya untuk larang sang putera menghalangi perginya si
nona.
Keng Thian tentu saja tidak berani membantah perintah kedua orang
tuanya. Dengan mata mendelong, ia mengawasi si nona yang kabur dengan
gunakan ilmu Hoasoat dan dalam tempo sekejapan saja, badannya berubah
seperti satu titik hitam, akan kemudian menghilang dari pandangan.
Dengan pikiran kusut, perlahan-lahan Keng Thian mendaki gunung.
Sesampainya di pinggang gunung, ia bertemu bibinya yang sedang permainkan
Hiatsintjoe. "Keng-djie!" berseru sang bibi. "Lihat, aku sedang main-main
dengan monyet tua ini. Lihat yang benar! Pukulan ini mesti kau pelajari!"
Sehabis berseru, ia tiup lawannya! Hiatsintjoe jadi kalap. Dengan kuping
yang sudah terlatih, ia tahu si nyonya sedang berada di belakangnya.
Sembari berbalik, ia menghantam dengan sekuat tenaga.
Phang Lin pentang tiga jerijinya dan dengan meniru caranya Niauw-eng
(semacam burung elang), ia sambar nadinya Hiatsintjoe. Nadi adalah bagian
tubuh yang sangat berbahaya. Jika nadi kena dicekel, biar bagaimana
pandai pun, ia bakalan tidak berdaya lagi. Secepat mungkin, Hiatsintjoe
tarik pulang tangannya, tapi toh masih kena juga kepentil, sehingga tanpa
tercegah lagi, tangannya balik menggaplok mukanya yang lantas saja
menjadi bengkak!
"Pukulan itu dinamakan pukulan gaplok diri sendiri!" kata si nyonya
sembari tertawa besar. Tong Keng Thian sebenarnya lagi sangat jengkel.
Tapi mendengar omongan bibinya yang sangat jail itu, ia jadi tertawa
berkakakan.
Puluhan tahun Hiatsintjoe berlatih dan sebegitu jauh ia merasa
kepandaiannya sudah tiada tandingannya lagi. Tapi siapa nyana, baru saja
turun gunung, beruntun dua kali ia kena tubruk tembok. Tidaklah heran
jika ia jadi berteriak-teriak seperti orang gila dan lantas ambil putusan
untuk bertempur mati-matian. Lebih dahulu ia tutup semua bagian badannya
yang berbahaya dan kemudian kerahkan seluruh tenaga dalamnya sampai pada
kedua tangannya yang lantas digunakan untuk serang Phang Lin secara
nekat-nekatan. Bukan main hebatnya pukulan-pukulan itu. Keng Thian yang
berdiri dalam jarak tiga tombak, masih dapat rasakan hawa yang sangat
panas!
"Aku sungguh sebal menghadapi setan kecil ini," kata Phang Lin
sembari kerutkan alisnya. "Anjing kecil bisa juga ngambek! Hm! Baiklah,
aku kasih kau sedikit ajaran!" Ia berpaling kepada Keng Thian dan
berkata: "Eh, Keng-djie! Kau tahu, siapa adanya siluman tua ini?"
"Anjingnya kerajaan Tjeng," jawab sang keponakan.
Phang Lin tanya begitu lantaran mau menimbang berat entengnya
hukuman yang ia mau jatuhkan. Begitu dengar jawaban Keng Thian, ia
tertawa gembira sekali.
"Bagus! Bagus!" katanya. "Kau andalkan kedua tangan anjingmu untuk
hinakan orang, baiklah aku putuskan dua tangan anjing itu!"
"Iebo (bibi), pakailah pedangku," kata Keng Thian.
"Hm, masakah untuk kutungkan tangan anjing saja aku memerlukan
pedang wasiat," kata si nyonya. "Kau lihat saja."
Phang Lin tertawa bergelak-gelak sehingga kedua kupu sutera yang
dipasang pada rambutnya, jadi tergoyang-goyang.
Mendadakan, ia raba kepalanya dan copotkan dua kupu-kupu itu, yang
ternyata dibuat dari puluhan lembar benang sutera berwarna. Ia buka
benang-benang itu yang lantas saja melayang-layang di tengah udara.
"Nah, kau lihat biar betul," kata sang bibi sembari menengok kepada
Keng Thian. Kedua tangannya pegang benang-benang itu yang lantas
disabetkan ke arah Hiatsintjoe.
"Perempuan siluman! Sungguh kau menghina aku!" membentak
Hiatsintjoe sembari membabat dengan dua tangannya. Sedikitpun ia tidak
percaya, benang yang begitu halus dapat mengikat tangannya. Tapi siapa
nyana, benang-benang itu yang tidak dapat dicengkeram dan juga tidak
dapat diputuskan dengan sabatan tangan, melayang terus ke arah kedua
tangannya yang dalam sekejap lantas kena terikat dan tidak dapat bergerak
lagi!
Ternyata, diam-diam Phang Lin sudah kerahkan tenaga dalamnya sampai
pada benang-benang itu yang lantas berobah sifatnya seperti kawat baja.
Demikianlah, seorang yang tenaga dalamnya sudah mencapai puncak
kesempurnaan, dapat binasakan musuhnya dengan selembar daun atau sekuntum
bunga.
Dalam Rimba Persilatan, tidak ada orang yang mempunyai begitu
banyak macam kepandaian seperti Phang Lin. Ilmu yang barusan dikeluarkan
olehnya berasal dari sekte Topi Merah di Tibet. Orang Tibet suka tangkap
badak dengan menggunakan laso. Oleh karena sang badak mempunyai tenaga
yang luar biasa besarnya, kecuali kalau kejirat kaki depannya, tambang
laso dengan mudah dapat dibikin putus olehnya. Melihat cara menangkap
badak itu, Tjouwsoe sekte Topi Merah yang bernama Khalpa segera menggubah
semacam ilmu untuk jirat nadinya musuh dengan tambang lemas. Jika nadi
kena diikat, biar orang itu mempunyai tenaga yang bagaimana besar juga,
ia pasti tidak berdaya lagi. Waktu masih kecil, selagi berdiam dalam
gedungnya Soehongtjoe (putera kaizar yang ke empat) In Tjeng (belakangan
jadi kaizar Yongtjeng), Phang Lin telah pelajari ilmu tersebut.
Belakangan, sesudah undurkan diri ke Thiansan dan pelajari Lweekeh
Khiekang, ia dapat kerahkan tenaga dalamnya sampai pada benang-benang
halus yang lantas berobah sifatnya jadi seperti kawat baja.
Begitulah, dengan terjiratnya kedua nadi, darahnya Hiatsintjoe
tidak dapat berjalan benar, sehingga bukan saja ia rasakan kesakitan
hebat, tapi napasnya juga lantas menjadi sesak. Ia tak dapat kerahkan
tenaga dalamnya, matanya melotot dan tak dapat mengeluarkan suara.
Melihat begitu, Keng Thian taksir, setengah jam lagi, biarpun kedua
tangannya tidak sampai menjadi putus, Hiatsintjoe pasti akan binasa.
Tiba-tiba dengan berkelebatnya bayangan orang di puncak seberang,
terdengar teriakan: "Lin-moay, guyonanmu sudah sedikit keterlaluan!"
Orang yang berseru begitu adalah Tong Siauw Lan.
"Kau tak tahu kejahatannya manusia ini," jawab Phang Lin. "Dia
adalah kaki tangannya bangsa Boan!"
Sesudah dapat tahu siapa yang terikat kedua tangannya, Tong Siauw
Lan segera berseru lagi: "Orang itu dahulu pernah dilepaskan oleh Popo-mu
(mertuanya Phang Lin, Boe Kheng Yao). Bukan gampang dia berlatih beberapa
puluh tahun. Jika tidak melanggar kedosaan besar, baik kau lepaskan
padanya."
"Lin-moay!" Phang Eng turut berseru dari Puncak Onta. "Kau masih
suka umbar adat seperti anak-anak. Lepas padanya! Tak senang aku lihat
paras mukanya."
Phang Lin paling segani kakaknya. Sembari mesem-mesem, ia lepaskan
benangnya seraya berkata: "Baiklah. Jika lain kali manusia ini satrukan
Keng-djie, aku tak akan ladeni lagi segala perintahmu."
Begitu lekas ikatan terbuka, Hiatsintjoe tarik napas dalam-dalam
sembari loncat menyingkir. Ia lihat di seputar nadinya terdapat tanda
seperti kena dibakar dan ugal-ugalan tangannya masih sukar digerakkan.
Mendengar
panggilannya Siauw Lan, ia tahu wanita itu adalah ie-ie-nya
(saudara perempuan dari isteri). Ia juga tahu, kepandaiannya Tong Siauw
Lan suami isteri ada terlebih tinggi daripada Phang Lin dan mengingat
begitu, ia jadi bergidik, sebab dahulu ia pernah tantang Siauw Lan
mengadu silat. Tanpa berkata sepatah kata, buru-buru ia kabur ke bawah
gunung.
"Keng-djie, mari!" berseru Tong Siauw Lan sembari balik ke Puncak
Onta dengan diikuti oleh puteranya. Mereka masuk ke dalam gua tengah.
Gua-gua itu semua dibuat untuk keperluan pertemuan Thiansan pay kali itu.
Gua yang di tengah adalah untuk Tong Siauw Lan suami isteri. Sesudah ajak
puteranya masuk, Siauw Lan undang juga Lie Tie dan Phang Lin dan kemudian
barulah menanya: "Keng-djie, siapa nona itu? Apa kau kenal? Kenapa begitu
bertemu, dia lantas timpuk ibumu dengan peluru es?"
"Ia biasa dipanggil Pengtjoan Thianlie," jawab sang putera. Oleh
karena sudah dua puluh tahun Siauw Lan tidak pernah ceburkan diri ke
dalam dunia Kangouw, ia jadi heran mendengar nama itu. "Nama itu
kedengarannya aneh sekali," katanya.
"Timpukannya indah sekali!" Phang Lin menyeletuk sembari tertawa.
"Apa?" tanya sang kakak. "Tjietjie, kaulah yang kena getahnya,"
kata Phang Lin sembari ha-ha, hi-hi. "Dia sebenarnya mau hajar aku!"
Phang Eng kenal adat adiknya.
"Tentulah kau yang sudah ganggu padanya," kata ia. "Aku lihat dia,
rasanya kasihan, tapi kau permainkan padanya. Tua-tua tak tahu harga
diri!"
"Tjietjie rewel sekali," jawab si adik. "Sang menantu belum masuk,
kau sudah bantu dia menyerang diriku. Aku cuma main-main
sedikit. Siapa hinakan padanya?" "Keng-djie, kalau begitu, nona itu
benar kau yang bawa kemari untuk menemui kami, bukan?"
Phang Eng tanya puteranya.
"Ibu jangan dengari omongannya Le-ie," jawab Keng Thian.
"Tjietjie, kau tak tahu, mereka berdua sudah bergaul rapat sekali
dan luar biasa manisnya!" menggoda Phang Lin yang lantas tuturkan segala
pengalamannya waktu bertemu Pengtjoan Thianlie pada malam itu. "Sekarang
kau masih berani menyangkal, bahwa dia memang dibawa olehmu kemari?"
tanya si bibi sembari tunjuk keponakannya.
"Benar," jawab Keng Thian sembari tertawa. "Benar aku yang ajak ia
datang kesini. Tapi kalian belum tahu, siapa adanya ia."
"Kalau tahu, untuk apa kita tanya kau?" kata lagi Phang Lin.
"Ayah," kata Keng Thian. "Pada waktu kau perintah aku turun gunung,
bukankah kau pesan aku sekalian cari tahu dimana adanya Koei Hoa Seng
Pehpeh? Koei Pehpeh sudah meninggal dunia, Pengtjoan Thianlie adalah
puteri tunggal dari Koei Pehpeh! Jadi dia bukannya orang luar dan kalian
tak dapat salahkan aku bawa-bawa orang luar datang kemari."
Keterangan itu sudah membikin semua orang jadi girang tercampur
kaget. Mereka lantas saja minta keterangan yang lebih jelas. Keng Thian
segera tuturkan segala pengalamannya di keraton es, cara bagaimana ia
minta si nona bantu lindungi guci emas dan sebagainya. Ketika Keng Thian
lukiskan keindahan keraton es yang seperti surga, semua orang jadi
terpesona dan seakan-akan sedang dengar cerita dongeng.
"Aku tak nyana, Koei Hoa Seng bisa mendapat pengalaman yang begitu
luar biasa dan mempunyai juga seorang puteri yang cantik bagaikan
bidadari," kata Phang Eng.
"Nah, sekarang Tjietjie lekas-lekas perintah Keng-djie susul
padanya," kata Phang Lin dengan suara menggoda. "Kalau terlambat, bisa-
bisa didahului orang!"
Keng Thian tak gubris godaan bibinya dan lantas berkata pada
ayahnya: "Tapi ada satu hal yang aku merasa sangat tidak mengerti. Kalau
diusut, ia sebenarnya masih terhitung anggauta dari keluarga Thiansan
pay. Tapi kenapa, setiap kali aku menyebutkan namanya Thiansan, ia lantas
bersikap tawar dan seperti juga merasa kurang senang. Thiansan yang
menjadi tempat ziarahnya orang-orang Rimba Persilatan, di mata dia
seakan-akan satu tempat yang menyebalkan."
Tong Siauw Lan kerutkan alisnya. Ia juga tidak mengerti sikapnya
Pengtjoan Thianlie yang aneh. Phang Eng yang sangat cerdas lantas saja
ingat satu kejadian dahulu. Ia tertawa seraya berkata: "Lin-moay, urusan
ini juga lantaran gara-garamu."
"Apa? Memang, segala apa kau salahkan aku!" kata sang adik sembari
monyongkan mulutnya.
"Keng-djie," kata Phang Eng pada puteranya. "Sekarang biarlah aku
tuturkan satu cerita. Pada kira-kira tiga puluh tahun berselang, ahli
senjata rahasia nomor satu di kolong langit adalah Tong Kim Hong dan dia
mempunyai seorang menantu, Ong Go namanya, yang telah lukakan ie-ie-mu
dengan dengan jarum Pekbie tjiam. Dalam gusarnya, ie-ie-mu telah bunuh
mati padanya. Dengan bawa puterinya Tong Kim Hong datang untuk bikin
pembalasan. Ketika itu, aku sedang berdiam di rumahnya Shoatang Tayhiap
Yo Tiong Eng. Tong Kim Hong dan puterinya salah anggap diriku sebagai ie-
ie-mu. Bersama Yo Tayhiap, aku pukul mundur mereka dan salah mengerti
serta sakit hati jadi semakin mendalam. Koci Hoa Seng adalah sahabatnya
keluarga Tong. Untuk kedua kalinya, mereka menyatroni bersama-sama Koei
Hoa Seng. Kami semua waktu itu tidak mengetahui, bahwa Koei Hoa Seng
adalah puteranya Koci Tiong Beng. Ilmu pedangnya Koei Hoa Seng sangat
liehay dan ia sudah bikin puterinya Yo Tayhiap kecebur di dalam telaga
dan kemudian diseret air deras." Berkata sampai disini, Phang Eng awasi
suaminya sembari tertawa. Puterinya Yo Tiong Eng, yang bernama Yo Lioe
Tjeng, dahulu adalah tunangannya Tong Siauw Lan dan sesudah pertunangan
diputuskan, barulah Siauw Lan menikah sama Phang Eng.
"Hari itu, ayahmu justru berada disitu," Phang Eng teruskan
penuturannya. "Dalam gusarnya, ia segera mau lakukan pertempuran mati
hidup dengan Koei Hoa Seng. Belakangan dengan gunakan Thiansan
Kiamhoat kita desak ia sampai hampir-hampir jatuh ke dalam telaga dan
tewas jiwanya. Beruntung Lu Soe Nio keburu datang sehingga
jiwanya ketolongan. Sesudah lewat beberapa lama diketahui bahwa Yo
Kouwkouw tidak mati di dalam air. Sebab sudah lama, sekarang ternyata
ayahmu sudah lupakan kejadian itu. Sedari waktu itu, Koei Hoa Seng
menghilang. Mungkin sekali, itulah kejadiannya yang ia tak dapat
lupakan."
"Oh, begitu?" kata Keng Thian. "Sekarang aku tak heran lagi."
"Apa?" tanya ibunya. "Tak heran kalau Koei Hoa Seng Pehpeh pergi merantau
ke lain negara dan dengan memetik bagian-bagian yang liehay dari ilmu
pedang Tionghoa dan Barat, menggubah semacam ilmu pedang baru,"
menerangkan sang putera. "Juga tak heran kalau Pengtjoan Thianlie selalu
ingin jajal ilmu silatku."
Tong Siauw Lan menghela napas. "Tak nyana Koei Hoa Seng mempunyai
keinginan mau menang yang begitu besar," katanya.
"Aku sendiri sebaliknya hargakan ia," kata sang isteri. "Dengan
cara begitu, ilmu pedang Tionghoa jadi bertambah maju. Bukankah kejadian
itu harus dibuat girang?"
Siauw Lan manggut-manggutkan kepalanya, tapi tidak berkata suatu
apa lagi.
"Ibu," Keng Thian mendadak berkata lagi. "Barusan kau bilang, ahli
senjata rahasia nomor satu di kolong langit adalah Tong Kim Hong. Apakah
ia itu bukannya yang biasa dipanggil Tong Djie Sianseng?"
"Bagaimana kau tahu?" tanya si ibu dengan perasaan heran.
"Apa Tong Djie Sianseng mempunyai murid?" Keng Thian menanya pula.
Paras mukanya Siauw Lan jadi sedikit berobah. "Keng-djie, dengan
siapa kau sudah bertemu?" tanya ia.
"Ada orang kasihkan aku semacam barang untuk diserahkan kepada
ayah," menerangkan sang putera. "Ia bilang, barang itu sebenarnya milik
keluarga kita."
Semua orang jadi merasa heran. "Coba kasihkan kepadaku," kata Siauw
Lan.
Keng Thian segera keluarkan batu giok yang ia dapat dari Liong Leng
Kiauw dan serahkan itu kepada ayahnya. Sesudah permainkan batu pualam
tersebut dalam tangannya Siauw Lan menghela napas dan segala kejadian di
jaman lampau kembali terbayang di depan matanya.
"Siapa yang kasih?" tanya Phang Eng.
"Orangnya Hok Kong An, yang dikenal sebagai Liong Leng Kiauw,"
jawab sang putera.
Siauw Lan geleng-gelengkan kepalanya. "She Liong?" ia menegasi.
"Tidak, tak bisa. Orang yang simpan Han-giok ini pasti bukannya orang
biasa. Aku rasa, nama itu mesti nama samaran."
"Benar, ayah," kata Keng Thian. "Hiatsintjoe pun bilang, ia tentu
gunakan nama palsu. Ia dikatakan sedang berusaha melakukan pekerjaan yang
melanggar undang-undang. Tapi Hiatsintjoe cuma tahu ia itu adalah
muridnya Tong Kim Hong dan tak tahu namanya yang sejati. Ayah, siapakah
dia?"
"Puteranya Lian Keng Giauw!" jawab sang ayah.
Tong Keng Thian terkesiap mendengar nama itu. Lian Keng Giauw
adalah jagoan yang dahulu menjadi satru terutama dari suami isteri Tong
Siauw Lan, Kanglam Tjithiap (Tujuh Pendekar Kanglam) dan lain-lain orang
gagah dari Rimba Persilatan. Cerita-cerita yang menggetarkan hati dari
orang she Lian itu, Keng Thian sudah sering dengar dari kedua orang
tuanya.
"Ah, puteranya Lian Keng Giauw!" kata Keng Thian. "Tak heran, kalau
ia mengadakan persekutuan dengan para Touwsoe di Lhasa. Dilihat begini,
ia agaknya mau dirikan kerajaan baru di daerah perbatasan, supaya jika
berhasil dapat jatuhkan kerajaan Tjeng, kalau gagal, bisa mundur dan jaga
daerahnya sendiri. Tapinya, Tibet mempunyai latar belakang yang sangat
sulit. Jika ia bergerak, kemungkinan besar orang luar akan gunakan
kesempatan itu untuk masuk ke Tibet."
"Tak salah pandanganmu, anak," kata Tong Siauw Lan.
"Tapi kenapa kau bisa pastikan dia anaknya Lian Keng Giauw?" tanya
Phang Lin.
"Pada waktu In Tjeng baru naik ke atas tahta kerajaan, diam-diam
aku telah masuk ke keraton," menerangkan Siauw Lan. "Disitu aku kena
ditangkap oleh Haputo dan Liauw In. Han-giok pemberian Kaizar Konghie
kena dirampas oleh mereka. Lian Keng Giauw adalah seperti juga majikannya
kedua orang itu. Aku merasa pasti, batu giok tersebut tidak diserahkan
kepada Yong Tjeng, tapi kepada Lian Keng Giauw."
"Jika orang itu benar-benar puteranya Lian Keng Giauw dan hal ini
dapat diketahui oleh si kaizar, ia tentu mesti mati," kata lagi Phang
Lin. "Bagaimana pikiranmu: Apa kau bersedia menolong padanya atau tidak?"
"Musuh besar kita adalah ayahnya dan bukan dia," jawab Siauw Lan.
"Dalam gerakannya menentang kerajaan Tjeng, rasanya ia akan berusaha
tarik tangan kita. Dengan menyerahkan batu giok itu kepada Keng-djie, ia
pasti mempunyai maksud yang dalam."
"Sudah terang, ia mau bergandengan tangan dengan kita," kata Phang
Eng.
Mendadak Phang Lin menghela napas panjang. "Hm!" katanya. "Sampai
sekarang begitu dengar orang menyebut namanya Lian Keng Giauw, aku lantas
merasa mendeluh. Harap saja anaknya tidak seperti bapaknya."
Mendengar bibinya menghela napas panjang, Keng Thian jadi merasa
agak heran, sebab sang bibi biasanya tak kenal jengkel dan selalu suka
bercanda. Keng Thian tidak tahu, bahwa dahulu, waktu masih kecil, bibi
itu dikukut dalam rumah keluarga Lian dan Lian Keng Giauw adalah kawan
bermainnya. Sesudah besar. Lian Keng Giauw jatuh cinta padanya, tapi
Phang Lin yang belakangan mengetahui bahwa orang she Lian itu busuk
hatinya, jadi berbalik benci padanya. Tapi biar bagaimana juga, sedikit
banyak ia masih ingat perhubungan yang dahulu. Maka itu, mendengar warta
tentang puteranya Lian Keng Giauw, ia jadi menarik napas panjang.
Phang Eng mesem melihat sikap adiknya. "Aku pun mengharap anaknya
jangan turut-turut kebusukan ayahnya," kata ia. "Tapi, oleh karena belum
mengetahui benar latar belakangnya, kita tidak boleh sembarangan
menolong. Begini saja: Keng-djie, bukankah kau mau pergi ke Soetjoan?
Sekalian jalan, baik kau mampir pada keluarga Tong dan beritahukan halnya
Liong Leng Kiauw. Keluarga Tong adalah keluarga yang terkenal dalam Rimba
Persilatan dan menurut peraturan Kangouw, merekalah yang berhak campur
tangan."
Keng Thian yang tadinya kuatir kedua orang tuanya akan menahan ia,
jadi merasa girang sekali. Sesudah berdiam beberapa saat, Phang Eng
tertawa seraya berkata: "Jika kau bertemu dengan Koei Moaymoay (Pengtjoan
Thianlie), bilanglah, bahwa aku sangat suka padanya. Kau juga boleh minta
Moh Pehpeh membujuk ia, supaya ganjelan dahulu dibikin habis saja.
Undanglah ia untuk datang kesini tiga tahun kemudian."
"Eh, Keng-djie," Phang Lin mendadak menyeletuk dengan paras
sungguh-sungguh. "Aku ajarkan kau satu siasat yang sangat bagus. Coba kau
ajak ia adu pedang lagi dan sengaja berlagak kalah dalam pertandingan
itu. Aku merasa pasti, dengan jalan begitu hatinya akan merasa puas."
Siauw Lan geleng-gelengkan kepalanya mendengar ajaran itu. "Ah,
inilah yang dinamakan orang tua tidak tahu tuanya," kata ia. "Sekarang
kau berbalik mengajar anak-anak jadi orang palsu." Mendengar tegoran itu,
Phang Lin jadi tertawa geli sekali.
Pada besok harinya, Tong Keng Thian kembali turun dari Puncak Onta
dan berjalan menuju ke jurusan timur. Jalan yang semula diambilnya adalah
dari Siamsay terus ke Soetjoan. Akan tetapi, oleh karena sudah mengambil
jalan mutar, maka sekarang ia harus masuk ke Tjenghay, akan kemudian
menuju ke Soetjoan barat.
Sesudah berjalan belasan hari, tibalah Keng Thian di padang rumput
Tsaidam yang terletak di Tjenghay tengah. Padang rumput itu luas luar
biasa dan meskipun di sana-sini terdapat pasir serta tanah yang berwarna
kuning, akan tetapi pada umumnya daerah itu gemuk tanahnya. Dengan hati
yang lapang, Keng Thian larikan kudanya di padang rumput itu, dengan
saban-saban bertemu rombongan-rombongan kambing liar yang pada lari
serabutan jika bertemu manusia. Melihat itu semua, Keng Thian sungguh
merasa tidak mengerti, kenapa tanah yang sedemikian kaya dibiarkan
tinggal tersia-sia.
Selagi enak berjalan, kupingnya mendadak mendengar suara kelenengan
kuda dan serombongan pelancong kelihatan mendatangi dari sebelah depan.
Di antara mereka itu terdapat lelaki dan perempuan, tua dan muda. Keng
Thian merasa heran. "Sekarang adalah permulaan musim semi dan menurut
kebiasaan, hanya orang-orang dari sebelah utara yang datang ke selatan,"
katanya di dalam hati. "Kenapa orang-orang ini dari selatan datang
kemari?"
Waktu hampir berpapasan, hatinya jadi lebih heran lagi, oleh karena
mereka kelihatan seperti orang sedang kebingungan, seolah-olah orang
hukuman yang sedang melarikan diri. Ia segera majukan kudanya dan menanya
seorang tua yang berjalan paling depan.
Orang tua itu mengawasi ia seraya berkata: "Apakah kau sendirian?"
"Benar," sahut Keng Thian. "Bolehkah aku menanya, kenapa Loopeh
meninggalkan daerah selatan yang sangat subur? Apakah kalian hendak pergi
ke Tibet untuk berdagang?"
Si tua menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jika kau seorang diri, tak
halangan berjalan terus," katanya. "Dua hari lagi, kau akan tiba di kota
Naichi, satu kota besar yang berada di bawah kekuasaan Tukuhun Khan."
"Kenapa, jika seorang diri tak ada halangan untuk aku berjalan
terus?" tanya Keng Thian dengan suara heran.
"Entah kenapa, sedari beberapa waktu berselang, Hoat-ong (Raja
Agama) dari Lhama sekte Topi Putih telah mencari wanita-wanita muda yang
berparas cantik. Setiap wanita yang datang dari tempat lain, asal ia
berparas cantik, tak ampun akan ditangkap, jika bertemu dengan orang-
orangnya Hoat-ong. Oleh karena itu, semua orang jadi ketakutan. Ketika
melewati kota itu, kami semua tak berani berhenti mengasoh dan terus
kabur secepat mungkin. Menurut pendengaran, lagi kemarin dulu, seorang
tetamu wanita yang berparas cantik dan pandai silat, sudah kena dibekuk
oleh mereka!"
"Hoat-ong sekte Topi Putih toh bukannya kaizar, untuk apa ia
mencari wanita-wanita cantik?" menanya Keng Thian dengan penuh keheranan.
"Kami pun tak tahu," sahut orang tua itu. "Ada orang berkata,
mereka mau dipersembahkan kepada malaikat. Ah! Sungguh menakutkan! Baik
juga, mereka hanya menangkap wanita. Orang lelaki sama sekali tidak
diganggu. Oleh karena itu, kau boleh tak usah kuatir."
Keng Thian kerutkan alisnya, hatinya sangat bersangsi. "Hoat-ong
sekte Topi Putih adalah pemimpin dari satu cabang agama," katanya dalam
hati. "Sungguh aku tak percaya, jika ia dikatakan melakukan perbuatan
yang tidak patut. Selain itu, agama Lhama masih merupakan satu cabang
dari agama Budha dan aku belum pernah mendengar kaum Lhama memerlukan
Tong-lam-lie (anak lelaki dan perempuan) untuk sembahyangi malaikat.
Bagaimana sih, duduknya persoalan yang sebenarnya? Aku sebetulnya tak
ingin pergi ke Naichi, tapi ada baiknya juga jika aku mampir disitu untuk
menyelidiki."
Memikir begitu, sesudah berpisah dengan rombongan itu, Keng Thian
segera menuju ke kota tersebut.
Pada esok harinya, kira-kira tengah hari, Keng Thian tiba di kota
Naichi. Naichi terletak di pinggir Tsaidam dan terhitung salah satu kota
besar di wilayah Tjenghay, akan tetapi, dengan jumlah penduduk yang belum
cukup sepuluh ribu jiwa, Naichi tentu saja tak dapat dibandingkan dengan
kota-kota di wilayah Tionggoan.
Dalam kota tersebut hanya terdapat beberapa jalan dan kecuali
rumah-rumah makan serta penginapan, pintu rumah-rumah penduduk hampir
semua terkunci rapat-rapat, sehingga memberi kesan yang agak menyedihkan.
Keng Thian masuk ke sebuah rumah penginapan dan sesudah bersantap,
ia memberi persen yang lumayan kepada sang pelayan yang jadi girang
sekali dan mulutnya lantas saja terbuka.
"Aku dengar Hoat-ong sedang memilih wanita cantik, apa benar?"
tanya Keng Thian.
"Benar," jawab si pelayan. "Apa kau tak lihat rumah-rumah yang pada
terkunci? Wanita muda tak berani keluar pintu. Tapi, kehebohan sudah
lewat. Katanya, jumlah wanita yang diperlukan, sudah cukup. Mulai hari
ini, sudah tak ada lagi peristiwa Lhama menangkap wanita muda."
"Kenapa mesti mengambil wanita-wanita cantik? Apa mau sembahyangi
malaikat?" menanya pula Keng Thian.
"Hoat-ong mengeluarkan perintah, siapa berani tanya-tanya?"
jawabnya. "Hanya katanya, dari Tibet datang satu Lhama Besar dan Hoat-ong
hendak menyambut ia dengan segala upacara. Dua hari lagi bakal ada satu
perhimpuan besar. Aku tak tahu perhimpunan apa, tapi yang pasti bukan
sembahyang malaikat."
Mendengar keterangan itu, Keng Thian jadi semakin tidak mengerti.
Harus diketahui, pada buntutnya ahala Beng, yaitu pada jaman
pemerintahan Kaizar Tjong Tjeng. Lhama sekte Topi Putih telah diusir
keluar dari Tibet oleh kaum Lhama sekte Topi Kuning, yang kemudian
berkuasa pada jaman itu (Kaizar Kian Liong). Selama seratus tahun lebih,
hubungan kedua sekte adalah seperti api dan air. Kenapa Lhama Besar sekte
Topi Kuning datang ke Naichi dan Hoat-ong Topi Putih mau menyambut dengan
upacara besar?
"Baik juga kau adalah seorang lelaki," kata lagi si pelayan. "Jika
kau seorang wanita, bisa-bisa diculik tanpa diketahui oleh keluargamu.
Dua hari berselang, seorang wanita yang datang dari tempat lain sudah
kena ditawan oleh beberapa Lhama. Wanita itu paham ilmu silat."
Hati Keng Thian jadi bergoncang. "Bagaimana kau tahu ia pandai ilmu
silat?" ia menanya.
"Kejadiannya di rumah makan seberang," jawab si pelayan. "Aku
sendiri turut menyaksikan peristiwa itu! Wanita itu mengenakan pakaian
orang Tibet. Ia bukan hanya pandai silat, tapi pandai juga ilmu siluman!"
"Omong kosong!" kata Keng Thian. "Siang hari bolong, dimana ada
ilmu siluman?"
"Kau tak percaya?" kata si pelayan, sungguh-sungguh. "Aku lihat
dengan mata sendiri. Bermula, yang turun tangan adalah empat Lhama.
Sekali bergebrak saja, dua antaranya roboh. Kemudian ia ayun tangannya.
Mendadak muncul hawa dingin yang sangat hebat dan dua Lhama yang lain
gemetar sekujur badannya. Apa itu bukan ilmu siluman?"
Begitu mendengar, Keng Thian terkesiap. Senjata rahasia itu sudah
pasti Pengpok Sintan adanya. Ia tak percaya, Pengtjoan Thianlie kena
ditangkap. Apa Yoe Peng?
Sementara itu, si pelayan sudah berkata lagi: "Tapi, biar
bagaimanapun juga, Yauwhoat (ilmu siluman) tak dapat mengalahkan Hoedhoat
(ilmu Budha). Sesudah empat Lhama kecil itu dirobohkan, datang pula dua
Lhama lainnya, sekali ini Lhama besar. Mereka tak takut ilmu siluman itu
Mereka hanya bergidik sedikit dan berhasil membekuk wanita itu."
"Agaknya mungkin benar-benar Yoe Peng-lah yang kena ditangkap,"
kata Keng Thian dalam hatinya. "Sudah pasti Pengtjoan Thianlie tidak akan
berpeluk tangan saja. Tak nyana, aku dapat menemukan ia disini."
Tanpa membuang tempo, ia segera menanyakan dimana letaknya kuil
Lhama.
"Apa tuan mau sembahyang?" tanya si pelayan. "Kuil itu biasanya
sangat ramai, tapi selama beberapa hari ini, sedikit sekali yang datang
berkunjung. Sebagai tetamu dari tempat lain, aku rasa tak ada halangannya
kalau kau ingin pasang hio. Kuil itu adalah gedung paling besar yang
terdapat dalam kota ini. Memang juga, sesudah tiba disini, ada harganya
untuk jalan-jalan di kuil itu."
Sesudah mendapat keterangan tentang letaknya kuil itu, Keng Thian
mengasoh sebentar dan setelah makan tengah hari, ia segera pergi ke kuil
itu.
Jika dibandingkan dengan Keraton Potala, kuil itu tentu masih
kalah jauh. Akan tetapi, menurut ukuran biasa, kuil itu sudah cukup besar
dan indah. Puluhan gedung besar dan kecil berdiri berjajar di lereng
gunung dan seluruh bangunan itu kelihatan angker dan mewah. Tiga gedung
yang paling depan adalah tempat pemujaan yang penuh dengan patung-patung
Budha. Ketika Keng Thian datang, jumlah tetamu yang mau pasang hio, boleh
dikatakan banyak juga. Ia menempatkan dirinya di antara para tetamu itu,
sambil memasang kuping. Benar saja, ia mendengar banyak sekali
pembicaraan tentang ditangkapnya wanita-wanita muda. Akan tetapi, ia juga
mendapat kenyataan, bahwa mereka itu sangat menghormat terhadap Hoat-ong.
Salah seorang malah berkata begini: "Dalam bertindak begitu, Budha Hidup
pasti mempunyai alasan kuat. Wanita-wanita itu dapat dikatakan besar
rejekinya oleh karena mereka sudah mendapat perhatiannya Budha Hidup.
Lebih baik kita jangan terlalu banyak bicara. Apa kau tak takut masuk ke
neraka?"
Sesudah memperhatikan kedudukan seluruh bangunan itu, Keng Thian
segera balik ke rumah-penginapan. Malam itu, kira-kira jam tiga, ia
segera menukar pakaian untuk jalan malam yang berwarna hitam dan memakai
topeng, dan begitu beres berdandan, ia segera pergi ke kuil Lhama dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Berhubung dengan banyaknya gedung-gedung, Keng Thian tidak dapat
lantas mengetahui dimana adanya gedung Hoat-ong. Ia loncat naik ke atas
genteng sebuah gedung yang paling besar dan memasang kupingnya. Sayup-
sayup, ia mendengar suara tabuh-tabuhan dan nyanyian di sebelah bawah.
Sembari mengkerutkan alisnya, ia loncat turun.
Tiba-tiba dari sebelah depan mendatangi dua orang Lhama. Buru-buru
Keng Thian berlindung di belakang pohon.
"Tak lama lagi kita akan mempunyai Wanita Suci," kata salah seorang
Lhama. "Dengarlah! Mereka membaca Keng (kitab suci) dan menyanyikan lagu-
lagu Budha. Sungguh merdu! 'Ku dengar, mereka juga akan belajar menari.
Mulai dari sekarang, jangan kuatir kesepian lagi."
"Setan kecil!" membentak kawannya. "Jangan sekali-kali kau
mengingat-ingat soal-soal keduniawian. Kau tahu, melihat saja sudah
berdosa!"
"Omong kosong!" jawab Lhama yang pertama. "Bukan aku, tapi kaulah
yang hatinya sudah bergoncang. Aku hanya mendengarkan dari jauh, tapi kau
sendiri sudah tiga kali lewat di depan gedungnya."
Dengan sekali mengenjot badan, Keng Thian sudah dapat merobohkan
kedua Lhama itu.
"Jangan bersuara!" ia berbisik. "Jawab apa yang aku tanya. Mampus
kau, jika berani berteriak!"
Kedua Lhama itu jadi kesima dan mengawasi dengan mulut ternganga.
"Dari mana wanita Suci itu?" menanya Keng Thian. "Apa mereka adalah
wanita-wanita yang telah ditangkap beberapa hari berselang?"
Kedua Lhama itu manggut-manggutkan kepalanya.
"Dimana mereka dikurung?" Keng Thian menanya pula.
"Mereka di tempatkan di gedung Wanita Suci, yaitu gedung yang
berdampingan dengan gedungnya Hoat-ong," jawab Lhama yang satu.
"Kau adalah murid-murid Budha," berkata Keng Thian. "Untuk apa
menangkap wanita-wanita muda?"
"Itu semuanya adalah hokki (untung bagus) mereka," jawabnya. "Hoat-
ong ingin mengangkat mereka sebagai Wanita Suci rombongan pertama."
"Untuk apa Wanita Suci itu?" mendesak Keng Thian.
Kedua Lhama itu mengawasi Keng Thian dengan paras muka heran,
seolah-olah menganggap pemuda itu sebagai seorang tolol. "Ah! Apakah kau
belum mengetahui?" kata satu antaranya. "Yang lelaki menjadi Lhama, yang
wanita menjadi Wanita Suci. Itu toh sudah disebutkan dalam kitab suci.
Sungguh heran, kau masih merasa perlu untuk menanya lagi!"
Keng Thian terkejut dan segera ingat, bahwa memang benar dalam
agama Lhama ada beberapa cabang yang cara-caranya agak berlainan. Cabang
(sekte) Topi Merah dan Topi Kuning sama sekali tidak menerima murid
wanita, tapi menurut kata orang-orang tua, sekte Topi Putih biasa
menerima penganut wanita. Oleh karena sudah seabad lamanya sekte Topi
Putih berada diluar Tibet, maka peraturan tersebut jarang sekali
dibicarakan orang, sehingga Keng Thian sendiri sampai menjadi lupa. Ia
sekarang mengerti, bahwa "Wanita Suci," atau Shengnu, berarti Lhama
wanita.
Hati si pemuda menjadi lega. "Apakah tidak ada yang mengganggu
mereka?" ia menanya dengan suara lunak.
Walaupun sedang dicekal keras dengan tangan yang seperti jepitan
besi, begitu mendengar pertanyaan Keng Thian, kedua Lhama itu lantas saja
menjadi gusar.
"Kau sungguh berdosa!" kata satu antaranya. "Berani sungguh kau
mengeluarkan perkataan begitu! Dalam istana Wanita Suci, lelaki mana juga
tidak dipermisikan datang berkunjung. Hanya beberapa Ibu Suci yang
diperbolehkan masuk kesitu untuk mengajar kitab suci dan lagu-lagu suci
kepada mereka. Mereka baru boleh keluar jika ada sembahyang atau upacara
besar."
"Di antara yang kena ditangkap oleh kau orang, bukankah terdapat
seorang wanita yang pandai silat?" menanya Keng Thian, tanpa
memperdulikan comelan orang.
"Yah, aku dengar memang begitu," jawab yang satu. "Akan tetapi,
katanya ia tak sudi menjadi Wanita Suci. Ini berarti ia tidak mempunyai
jodoh dengan agama kita dan Budha Hidup pun tak dapat memaksa padanya."
"Apa ia juga dikurung dalam istana Wanita Suci?" tanya Keng Thian.
"Mana aku tahu?" jawabnya. "Bukankah 'ku sudah kata, orang lelaki
tak boleh datang kesitu?"
Keng Thian percaya, bahwa Lhama itu bicara dengan sejujurnya, maka
ia sungkan mendesak lagi. Berselang beberapa saat, ia menanya pula:
"Tapi, dimana istananya Hoat-ong?"
Dengan jerijinya, mereka menunjuk sebuah gedung besar yang terletak
di tengah-tengah.
"Tapi, siapakah kau ini?" tanya mereka.
Sesudah mendapat keterangan yang diperlukan, Keng Thian tidak
meladeni lagi dan segera menotok Ah-hiat (jalanan darah yang membikin
orang jadi gagu) mereka. Dengan totokan itu, dalam tempo dua belas jam,
kedua Lhama tersebut tidak akan dapat bergerak atau berbicara.
Gedung yang di tengah-tengah itu terkurung tembok, dengan genteng
kaca yang berwarna kuning emas. Sesudah menyembunyikan kedua Lhama itu di
belakang pohon, Keng Thian segera melompati tembok dan masuk ke dalam
pekarangan gedung.
Muka gedung itu ternyata dijaga oleh dua Lhama baju putih. Ilmu
mengentengkan badannya Keng Thian boleh dibilang sudah mencapai puncaknya
kesempurnaan, gerakannya cepat bagaikan kilat dan hinggapnya di
atas bumi seperti juga jatuhnya selembar daun kering. Tapi, meskipun
begitu, kedua Lhama itu toh masih dapat mengetahui kedatangan pemuda
tersebut. Mereka agak kaget dan celingukan ke empat penjuru. Keng Thian
terkejut dan kemudian mengetahui, bahwa mereka adalah orang-orang yang
pernah turut dalam perebutan guci emas dan sudah pernah bertempur dengan
ia. Ia mengetahui, mereka mempunyai kepandaian yang cukup tinggi dan jika
kepergok, ia bakal jadi berabe.
Dalam pekarangan itu terdapat sebuah pohon tua yang berusia ratusan
tahun, Keng Thian mengenjot badannya dan seperti burung ia hinggap di
sebuah cabang. Di ujung pohon terdapat beberapa ekor burung besar yang
sedang mengasoh dan kedatangan Keng Thian, sudah membikin mereka
mengebas-ngebaskan sayap. Keng Thian segera memetik sehelai daun dan
mementil dengan menggunakan tenaga dalamnya. Bagaikan senjata rahasia,
daun itu menyambar ke atas, sehingga burung-burung itu pada berterbangan
sambil berbunyi keras.
"Ah, benar saja burung-burung itu yang kurang ajar!" berkata kedua
Lhama itu.
Tanpa mensia-siakan waktu, selagi kedua Lhama itu berdiri
membelakangi ia, dengan sekali mengenjot badan, Keng Thian sudah hinggap
di atas genteng dan lalu bersembunyi di pojok payon rumah.
Beberapa tombak dari tempat sembunyi Keng Thian terdapat sebuah
kamar, dimana, teraling tirai jendela, kelihatan dua bayangan manusia.
Seorang berbadan tinggi besar, yang sudah boleh dipastikan adalah Hoat-
ong sendiri, duduk di tengah kamar, sedang orang yang satunya lagi
berdiri didampingnya.
Keng Thian segera pusatkan semangatnya untuk mendengarkan
pembicaraan kedua orang itu.
"Sesudah menunggu seratus tahun lebih, hari yang ditunggu akhirnya
datang juga," kata Hoat-ong. "Utusan Panchen telah mengundang kita pulang
ke Tibet, dengan mengatakan, bahwa mulai dari sekarang, kita jangan
bertengkar lagi. Anan! Bagaimana pikiranmu?"
"Itulah memang kita semua harap-harapkan," sahut orang yang
dipanggil Anan. "Akan tetapi..."
"Tapi apa?" menanya Hoat-ong. "Apa pulangnya kita tidak cukup
mentereng?"
"Bukan, bukan itu yang aku maksudkan," jawab Anan. "Tapi kedudukan
kita disini adalah kedudukan yang paling atas..."
"Dan kalau pulang, kita jadi berada di bawah orang lain," Hoat-ong
menyambung. "Begitu yang kau maksudkan? Aku sekarang memberitahukan kau,
bahwa utusan itu sudah menyampaikan pesan kedua Budha Hidup, bahwa mereka
telah menyediakan tiga tempat untuk kita mendirikan kuil. Aku anggap,
tawaran itu cukup baik. Persoalan antara kita sama kita, memang juga
harus dipecahkan dengan saling mengalah. Sesudah bergulat seabad
lebih, aku sekarang sungkan mengangkat senjata lagi."
Mendengar itu, diam-diam Keng Thian memuji Raja agama itu, yang
ternyata mempunyai pandangan yang luas.
"Aku sendiri tak dapat berlalu dari sini," kata pula Hoat-ong. "Di
kemudian hari, tiga tempat itu di Tibet harus diurus olehmu."
Keng Thian melihat Anan merangkap kedua tangannya sambil membungkuk
untuk menghaturkan terima kasih.
Hoat-ong menghela napas panjang dan kemudian berkata pula: "Ah!
Dengan dapat pulang ke Tibet, terkabullah sudah angan-angan Tjouwsoe. Dan
dengan mempunyai tiga tempat itu, hatiku sudah merasa puas. Eh, bagaimana
dengan rombongan Wanita Suci?"
"Kecuali beberapa orang, yang lain semuanya rela menurut perintah
Budha Hidup," jawab A-nan.
"Tak boleh kita memaksa mereka," berkata Hoat-ong dengan suara
halus. "Pada seratus tahun yang lalu, yaitu pada waktu Tjouwsoe memegang
tampuk pimpinan agama di Tibet, para wanita pada berebut untuk menjadi
Wanita Suci. Akan tetapi, keadaan disini, yang penduduknya sebagian besar
terdiri dari orang Han, berlainan dengan keadaan di Tibet.
Mereka tak mengetahui, kemuliaan seorang Wanita Suci sehingga
tidaklah heran mereka jadi ketakutan tak keruan. Itulah justru sebabnya,
kenapa selama satu abad kami tidak memilih Wanita Suci. Akan tetapi, oleh
karena sekarang kita harus membuat persiapan untuk pulang ke Tibet, maka
tak dapat tidak, kita harus kembali pada kebiasaan lama. Dalam upacara
pembukaan kuil baru, kita mesti mempunyai rombongan Wanita Suci untuk
menjalankan upacara dengan nyanyian dan tarian."
"Oh! Kiranya begitu?" berkata Keng Thian dalam hatinya. "Hampir-
hampir saja aku menganggap mereka sebagai paderi cabul!"
"Benar," kata Anan. "Mereka ketakutan tak keruan. Sungguh tak
bagus!"
"Kita tak boleh terlalu salahkan mereka," berkata Hoat-ong."Tak
banyak orang Han yang rela mengirim puteranya untuk menjadi Lhama.
Apalagi puterinya! Mereka yang menentang kebanyakan adalah orang-orang
Han. Bukankah begitu?"
Anan manggut-manggutkan kepalanya. Sebelum ia keburu menjawab,
Hoat-ong sudah berkata pula: "Oleh karena terlalu repot, kita tidak
memberi penjelasan terlebih dulu kepada mereka. Ini sebenarnya adalah
kurang betul.
Begini sajalah: Besok kita mengadakan sembahyang besar dan pergilah
kau mengundang para pemuka dan orang-orang tua di seluruh kota ini,
supaya kita dapat memberi keterangan kepada mereka. Gadis-gadis yang
sungkan menjadi Wanita Suci boleh diambil pulang oleh orang tuanya."
"Di antara yang menolak terdapat seorang gadis, yang bukan orang
Han," melaporkan Anan. "Dilihat dari pakaiannya, ia kelihatannya datang
dari Tibet barat. Ketika mau ditangkap, ia sudah hajar beberapa orang
kita. Bagaimana? Apa ia pun dilepaskan saja?"
Mencaci atau memukul seorang Lhama adalah satu kedosaan besar di
daerah itu, sehingga Hoat-ong jadi bersangsi setelah mendengar laporan
Anan. Berselang beberapa saat, barulah ia berkata: "Lihat saja nanti.
Tapi janganlah membikin susah padanya."
"Aku dengar ia tak mau makan," Anan berkata lagi.
"Oh, begitu?" Hoat-ong menegaskan. "Biarlah besok aku perintah
seorang Ibu Suci pergi membujuk ia."
Berkata sampai disitu, Hoat-ong mendadak bangun seraya berkata:
"Tolong tuangkan secangkir arak."
Di lain saat, dengan jerijinya menjepit cangkir, ia menghampiri
jendela yang dibukanya secara tiba-tiba. Dengan sekali mementil, cangkir
itu melesat ke atas dan menyambar ke arah Tong Keng Thian!
Bukan main kagetnya Keng Thian. Melesatnya cangkir tersebut
disertai dengan suara mengaung dan apa yang mengherankan, cangkir
tersebut tepat menyambar ke arah jalan darah Hiankie hiat, di dadanya
Keng Thian. Pada sebelum sang cangkir mengenakan dada, hidung Keng Thian
mendadak mengendus bau wangi arak, dan berbareng dengan itu, bagaikan air
mancur, arak yang berada dalam cangkir, menyambar padanya! Ternyata,
dengan tenaga dalam yang luar biasa dan kepandaian menggunakan senjata
rahasia yang sudah mencapai puncaknya kesempurnaan, Hoat-ong sudah
menyerang Keng Thian bukan saja dengan cangkir, tapi juga dengan araknya.
Bagaikan kilat, Keng Thian mementil dan berkelit. Dengan
terdengarnya suara "tring!" cangkir itu hancur, tapi, biarpun gerakannya
cukup cepat, tak urung bajunya kecipratan juga beberapa tetes arak dan
menjadi berlubang!
"Manusia dari mana yang mempunyai nyali begitu besar?" membentak
Hoat-ong. Berbareng dengan bentakannya bagaikan segundukan awan, badan
Hoat-ong yang berjubah merah sudah melesat ke atas. Ketika itu, kedua
kaki Keng Thian masih menyantel di payon sedang sebagian badannya masih
menggelantung di luar genteng. Dengan kedua tangannya, Hoat-ong mendorong
dan lantas saja ia terkejut, oleh karena badan Keng Thian tidak
bergeming.
Dengan tangan kirinya tetap menahan kedua tangannya Keng Thian,
tiba-tiba ia tarik pulang tangan kanannya yang lalu digunakan untuk
mengorek kedua mata Keng Thian. Berbareng dengan itu, ia mengempos
semangatnya dan menambahkan tenaga pada tangan kirinya.
Di lain pihak, Keng Thian yang sedang bertahan dengan kedua
tangannya mendadak rasakan tekanan musuh di sebelah kiri menghilang dan
tekanan di sebelah kanan bertambah dua kali lipat. Pada detik itu juga
badannya bergoyang-goyang. Lebih celaka lagi, dua jeriji Hoat-ong dengan
mendadak menyambar matanya!
Selagi Keng Thian hendak menurunkan tangan kejam untuk menolong
diri, sekonyony-konyong ia ingat, bahwa orang berilmu itu adalah pemimpin
dari satu cabang agama, sehingga jika ia sampai celaka, akibatnya bakal
jadi besar sekali. Mengingat hal itu, ia lantas saja mengurungkan
niatannya. Buru-buru ia tarik pulang tenaga dalamnya dan menjejek kedua
kakinya, sehingga badannya melesat ke atas, akan kemudian melayang turun
ke bawah.
Hoat-ong tertawa dingin, "Hm!" katanya didalam hati: "Meskipun
dengan ilmu mengentengkan badan, kau dapat meloloskan diri dari serangan
jeriji, tapi punggungmu dijual kepadaku!" Dengan gerakan Tjhioehoei pipee
(Tangan merabu tali pipee), ia gasak punggung Keng Thian.
Dengan terdengarnya suara "buk!" tubuh Keng Thian terpental keluar
tembok, tapi, pada saat yang sama, dengan satu teriakan keras, badan
Hoat-ong pun roboh di atas genteng.
Ternyata, pada waktu punggungnya dihajar, Keng Thian membalik
sebelah tangannya dan mengebas dengan ilmu Hoedhiat (Mengebas jalanan
darah), semacam ilmu istimewa dari Thiansan pay. Dengan hanya satu
kebasan itu, lima jerijinya sudah menotok lima jalan darah Hoat-ong!
Buru-buru Hoat-ong menjalankan pernapasannya tiga kali, lima jalan
darahnya sudah kembali terbuka semua, tapi kaki tangannya masih dirasakan
sangat lemas. Herannya Hoat-ong tidak kepalang. Ia mengetahui, bahwa ilmu
silat Keng Thian tidak berada di sebelah bawahnya, dan jika mau, pemuda
itu dapat memunahkan serangannya dengan balas menyerang. Sungguh ia tak
mengerti, kenapa Keng Thian seperti sengaja menempuh bahaya dan memasang
punggungnya?
Mendengar suara ribut-ribut dan melihat larinya Keng Thian, kedua
Lhama yang menjaga di luar segera bergerak untuk mengubar.
"Tolol!" membentak Hoat-ong. "Apa kau mau antarkan jiwa? Dia sudah
kena pukulanku dan akan binasa dalam tempo tiga hari."
Sehabis berkata begitu, ia menghela napas. "Tak gampang orang itu
memiliki ilmu silat yang sedemikian tinggi," katanya di dalam hati.
"Entah siapa yang menyuruh ia datang kesini, sehingga ia mesti korbankan
jiwanya secara cuma-cuma. Sungguh sayang!" Dalam hatinya, pemimpin agama
tersebut merasa sangat menyesal, bahwa secara ketelanjur, ia sudah
menurunkan tangan yang begitu berat.
Keng Thian merasakan punggungnya sakit dan begitu tiba di rumah
penginapan, ia segera membuka Kimsie Djoanka, semacam baju kutang yang
terbuat dari semacam benang berwarna emas.
Dengan pertolongan sebuah kaca tembaga, ia melihat satu titik hitam
di punggungnya.
Keng Thian kaget, tapi sesaat kemudian ia berkata seorang diri:
"Baik juga ada ini Kimsie Djoanka, jika tidak, isi perutku bisa terluka
hebat. Sungguh tak terduga, tenaga dalamnya Hoat-ong begitu dahsyat."
Kimsie Djoanka itu mempunyai riwayat yang menarik. Dulu, ketika
Phang Eng dan Phang Lin jangkep berusia satu tahun, Tjiong Ban Tong,
pemimpin Boekek pay, telah menghadiahkan dua rupa mustika dari Rimba
Persilatan, yaitu, yang satu Kimsie Djoanka, sedang yang lain golok
Tokbeng Sinto. Pada hari itu, kedua saudara kembar itu dibiarkan memilih
sendiri dan sebagai hasilnya, Phang Eng mengambil Kimsie Djoanka, sedang
Phang Lin mengambil Tokbeng Sinto. Baju kutang tersebut terbuat dari bulu
warna emas yang diambil dari punggungnya Kimmo houw (semacam singa
berbulu emas) di pegunungan Himalaya. Djoanka itu, yang lemas dan enteng,
tak dapat ditembuskan senjata tajam juga tak dapat dihancurkan dengan
pukulan. Dengan adanya lapisan baju kutang itu, walaupun pukulan Hoat-ong
sangat dahsyat, tenaganya sudah hilang separoh, dan ditambah pula tenaga
dalam Keng Thian sendiri, pukulan tersebut hanya dapat menggetarkan isi
perutnya, tapi tak sampai mencelakakannya. Buru-buru Keng Thian
mengerahkan jalan pernapasannya dan menelan sebutir Pekleng tan yang
terbuat dari Soatlian. Sesudah itu, dengan hati lega, ia tidur untuk
mengasoh.
Pada besok paginya, si pelayan datang di kamar Keng Thian dan
mereka lalu membicarakan pula halnya Hoat-ong.
"Aku dengar, malam ini Hoat-ong akan mengadakan sembahyang besar,"
kata si pelayan. "Mereka telah mengundang tetua-tetua kota ini dan para
orang tua gadis-gadis yang kena ditangkap, semuanya ada seratus orang
lebih. Inilah satu kejadian yang baru pernah terjadi. Besok pagi kita
akan mengetahui, kenapa mereka menangkapi gadis-gadis cantik."
"Mereka tidak mengundang kau, cara bagaimana kau bisa mengetahui
begitu cepat?" Keng Thian sengaja menanya.
"Biarpun aku sendiri tak diundang, tapi majikanku mendapat
undangan," jawabnya. "Ialah yang memberitahukan hal itu kepadaku."
Keng Thian jadi girang dan lalu menanyakan lebih jauh tentang si
pemilik rumah penginapan. Ia itu ternyata adalah seorang yang mempunyai
kedudukan agak tinggi dalam kota Naichi dan telah mewarisi perusahaan
rumah penginapan dari orang tuanya.
Keng Thian juga mendapat tahu, bahwa orang bisa masuk ke dalam
ruangan sembahyang dengan memperlihatkan surat undangan, dan mengingat
banyaknya orang yang diundang, pemeriksaan tentu tidak dilakukan secara
teliti.
Kira-kira magrib, diam-diam Keng Thian masuk ke kamar tidur si
pemilik rumah penginapan dan lalu bersembunyi di atas salah satu balok
penyangga atap. Ia lihat, dengan penuh kegirangan, orang itu mengeluarkan
makwa hitam yang indah, sedang surat undangan yang berwarna merah
menggeletak di atas pembaringan. Keng Thian segera memulung sedikit tanah
yang melekat di tembok dan menimpuk jalan darah Hoenswee hiat dari si
pemilik rumah penginapan yang lantas saja terguling di atas lantai dan
akan tetap rebah selama dua belas jam.
Kemudian ia loncat turun dan sesudah membaringkan si pemilik rumah
penginapan di atas pembaringan, ia segera memakai pakaian orang itu yang
memang sudah tersedia. Untung juga, potongan badan si pemilik rumah
penginapan tidak banyak berbeda dengan potongan badannya. Selanjutnya, ia
mengeluarkan sepotong Yayong tan yang lantas dihancurkan dengan sedikit
air teh dan kemudian dipoleskan pada mukanya. Yayong tan atau obat untuk
merubah paras muka adalah semacam perlengkapan dari kawanan penjahat di
jaman itu. Tong Siauw Lan, ayah Keng Thian, telah belajar membuat obat
tersebut dari Kam Hong Tie. Setelah merubah paras mukanya, dengan tangan
mencekal surat undangan itu, sembari mesem Keng Thian segera berangkat
menuju ke kuil Lhama.
Cocok dengan dugaannya beberapa Lham? yang mendapat tugas untuk
menyambut para tamu, tidak banyak rewel dan semua tamu yang membawa surat
undangan dipersilahkan masuk tanpa pemeriksaan teliti.
Sebelum sembahyang, terlebih dulu diadakan perjamuan. Orang-orang
yang dijamu di gedung tengah adalah pemimpin-pemimpin dari berbagai kuil
Lhama dan tamu-tamu penting. Di gedung sebelah timur adalah tempat
perjamuan untuk para tetua kota Naichi dan ayah atau walinya gadis-gadis
yang telah ditangkap.
Sesudah para tamu minum beberapa gelas arak, murid kepala dari
Hoat-ong, yaitu Anan Tjoentjia (Tjoentjia adalah panggilan menghormat
terhadap satu paderi atau Lhama), datang sendiri untuk melayani para
tamu.
"Hari ini adalah hari yang sangat menggembirakan," demikian Anan
mulai dengan pidatonya, sesudah mengajak para tamu mengeringkan segelas
arak. "Hari ini kami ingin mengumumkan suatu berita menggirangkan kepada
kalian, yaitu: Budha Hidup di Tibet sudah mengadakan perdamaian dengan
Budha Hidup kita!"
Pengumuman itu disambut dengan sorak-sorai oleh para hadirin.
Selama seratus tahun, sudah puluhan kali kedua sekte bertempur hebat,
sehingga menerbitkan kerugian jiwa manusia dan harta benda yang tak dapat
dihitung berapa banyaknya. Maka itu, tidaklah heran jika berita tersebut
disambut dengan kegirangan besar.
Akan tetapi, sesudah sorakan mereka, beberapa tetua lantas saja
berkata: "Kami ingin Budha Hidup menetap di Tjenghay dan tak mau beliau
meninggalkan kami."
Anan mesem dan melanjutkan pidatonya: "Dalam perundingan
perdamaian, Budha Hidup Panchen sudah menyetujui untuk memberikan Chinka,
Sakya dan Chinpu kepada kita, supaya kita dapat mendirikan kuil-kuil yang
seperlunya. Sesudah kuil-kuil selesai didirikan, Hoat-ong tentu harus
pergi ke Tibet untuk melakukan upacara pembukaan. Akan tetapi, sesudah
itu, beliau akan menyerahkan segala tugas mengurusnya kepadaku dan beliau
sendiri akan balik kesini untuk melindungi kalian selama-lamanya."
Pidato itu kembali disambut dengan tampik sorak yang bergemuruh.
Apa yang diumumkan oleh Anan Tjoentjia sudah diketahui oleh Tong Keng
Thian. Yang belum didengar olehnya adalah nama-nama ketiga tempat itu.
Pada waktu Anan menyebutkan Sakya hati Keng Thian bergoncang oleh karena
ia ingat, bahwa Sakya adalah tempat kedudukan ayah Tan Thian Oe.
Sesudah suara sorakan menjadi reda, Anan berkata pula: "Untuk
keperluan upacara pembukaan kuil baru itu di Tibet, maka mau tidak mau,
kita harus mempertahankan kebiasaan lama dan memilih Wanita-wanita Suci.
Mereka yang dapat diangkat menjadi Wanita Suci mempunyai rejeki besar dan
mempunyai jodoh dengan Sang Budha. Akan tetapi, Hoat-ong juga dapat
mengerti jalan pikiran kalian, dan oleh karena itu, siapa saja yang tak
setuju puterinya menjadi Wanita Suci, dapat memberitahukannya secara
berterus terang dan beliau bersedia untuk melepaskan puteri-puteri
mereka."
Keadaan sunyi senyap, tak ada yang berani menyatakan, pikirannya
terlebih dahulu, sehingga Anan Tjoentjia mengulangi pula pertanyaannya.
Sebagai hasilnya, antara tiga puluh enam ayah atau wali yang puterinya
telah ditangkap, hanya tujuh yang menyatakan ingin mengambil pulang
puterinya. Belasan orang lainnya tidak berani membuka suara, meskipun
hatinya merasa tidak setuju, sedang beberapa belas ayah-ayah lain lagi
menyatakan kegirangannya, bahwa puteri mereka ternyata berjodoh untuk
menjadi murid Sang Budha.
Sesudah beres, Anan segera mengajak para tamunya mengeringkan gelas
arak sekali lagi.
"Sekarang Hoat-ong mengundang kalian untuk bersembahyang," kata
Anan sesudah semua orang mencegluk araknya. "Kalian boleh masuk ke tempat
sembahyang dan berbaris dengan rapi di lorak depan. Sesudah kalian
memasang hio, seorang Lhama akan ambil hio itu dari tangan kalian dan
menyampaikan semua nama."
Sehabis berkata begitu, Anan segera berjalan masuk, diikuti oleh
semua orang, antaranya tentu saja juga Keng Thian sendiri.
Ruangan sembahyang kelihatan angker sekali, dengan seratus lebih
Lhama yang berbaris di dalam ruangan dan seratus lebih tamu yang berdiri
di lorak. Di belakang meja sembahyang terdapat beberapa puluh patung
Budha besar dan kecil.
Perlahan-lahan Raja agama itu berdiri dan berjalan menuju ke depan
patung Djielayhoed. Ia menyalakan sebatang hio yang besar dan lantas saja
mulai bersembahyang.
Walaupun sudah pernah bertempur, baru sekarang Keng Thian melihat
tegas muka Hoat-ong. Badan Raja agama itu tinggi dan besar, mukanya
bundar bagaikan rembulan dan kelihatan angker sekali. Diam-diam Keng
Thian merasa girang, bahwa semalam ia tidak menurunkan tangan jahat.
Sesudah Hoat-ong dan semua tamunya beres memasang hio, tiba-tiba
terdengar suara lonceng dan di lain saat, dari belakang meja sembahyang
keluar dua baris wanita yang mengenakan pakaian putih. Setiap baris
terdiri dari delapan belas gadis yang dipimpin oleh seorang Ibu Suci.
Begitu tiba di depan meja sembahyang, mereka segera menari-nari dan
menyanyikan lagu-lagu Budha yang kedengarannya merdu dan melapangkan
dada.
Berselang beberapa saat, Hoat-ong menepuk tangan dua kali sebagai
tanda bahwa upacara sudah berakhir dan wanita-wanita itu segera masuk
pula ke dalam dengan berbaris. Seorang Ibu Suci yang barusan memimpin
salah satu barisan Wanita Suci, tidak turut masuk ke dalam, tapi segera
menghampiri Hoat-ong dan berbicara dengan bisik-bisik.
Semua orang menahan napas, tak ada yang berani berbicara. Keng
Thian segera memusatkan semangatnya dan coba mendengarkan bisikan Ibu
Suci itu.
"Aku sudah membujuk berulang-ulang, tapi ia masih juga sungkan
menurut," katanya.
"Baiklah," kata Hoat-ong. "Coba kau ajak ia keluar."
Hati Keng Thian berdebar-debar, matanya mengawasi ke belakang meja
sembahyang. Apakah ia harus lantas menyerbu, begitu Yoe Peng muncul? Ia
sungguh merasa sangat sangsi dan tak dapat lantas mengambil putusan.
Mendadak ia dengar suara tindakan dan dari pojok meja sembahyang
kelihatan keluar dua orang wanita, yang satu adalah sang Ibu Suci, sedang
yang lain adalah seorang wanita muda yang berpakaian serba putih. Keadaan
jadi sunyi senyap, ratusan pasang mata mengawasi mereka.
Mulut nona itu, yang mengenakan pakaian wanita Tibet, ditutup
rapat-rapat, kedua matanya yang bening mengawasi ke depan dengan
mendelong seperti juga orang yang tak sadar akan dirinya, sedang paras
mukanya adalah dingin bagaikan es. Muka gadis itu hanya agak mirip dengan
Pengtjoan Thianlie dan ia duga pasti bukannya Yoe Peng!
Keng Thian terkesiap lantaran barusan ia sudah menduga pasti, bahwa
wanita itu tentu bukan 4ain daripada Yoe Peng. Ia mengawasi si nona
dengan tidak berkesip, lapat-lapat ia ingat, seperti juga sudah pernah
bertemu dengan wanita itu, akan tetapi ia lupa dimana lagi kapan. Ia coba
mengingat-ingat segala kejadian di keraton es. Satu hal yang ia dapat
pastikan, bahwa dayang Pengtjoan Thianlie yang turun gunung hanya Yoe
Peng seorang. Siapakah gadis yang menggunakan Pengpok Sintan, satu
senjata rahasia yang hanya terdapat di keraton es? Ia memutar otak tapi
tetap tak dapat menjawab pertanyaan itu.
Dapat dimengerti jika Keng Thian tak ingat lagi siapa adanya gadis
itu, yang bukan lain daripada Chena, jantung hati Tan Thian Oe. Pada
waktu ia naik ke keraton es, di antara dayang-dayang Pengtjoan Thianlie
memang juga terdapat Chena. Akan tetapi, oleh karena pada waktu itu
seluruh perhatiannya ditujukan kepada Koei Peng Go seorang, maka dalam
pertemuan ini, ia tak dapat mengenali pula nona ini yang telah
dijumpainya baru sekali dua kali secara sepintas lalu.
"Inilah dia," berkata sang Ibu Suci sesudah berhadapan pula dengan
Hoat-ong. "Ia bukan saja cantik dan suci bersih, akan tetapi juga pandai
bersilat, sehingga aku tadinya berniat mengangkat ia sebagai Wanita Suci
yang memimpin kuil di Sakya. Hanya sayang, ia tak berjodoh dengan Sang
Budha, sehingga kita pun tak dapat berbuat apa-apa."
Di antara begitu banyak orang yang berdiri di lorak, perkataan Ibu
Suci hanya dapat didengar oleh Keng Thian seorang.
Tiba-tiba mata Chena bergerak dengan perlahan dan lalu mengawasi
Hoat-ong. Di lain saat, mukanya terlihat seakan-akan kaget dan alisnya
berkerut, seperti orang yang sedang memikir apa-apa. Akan tetapi,
perobahan itu hanya terjadi dalam sekejap mata dan parasnya segera juga
berbalik dingin kembali.
Ketika itu, kedua Lhama yang dulu pernah bertempur melawan Keng
Thian, berdiri di kiri kanan Hoat-ong. "Gadis ini tak boleh dilepaskan,"
kata salah satu antaranya. "Ia pernah melukakan beberapa Lhama dengan
ilmu siluman."
Muka Hoat-ong yang angker kelihatan menyeramkan dan ia tidak
menjawab perkataan Lhama itu. Hati segenap hadirin jadi berdebar, mereka
tak tahu, putusan apa yang akan diambil.
Orang yang duduk berendeng dengan Hoat-ong adalah Khan (raja) dari
Tukuhun. Sedari Chena muncul, kedua matanya mengawasi gadis itu tanpa
berkesip. Sekonyong-konyong ia berdiri dan sembari merangkap kedua
tangannya, ia berkata dengan suara perlahan: "Aku memohon kemurahan Budha
Hidup untuk mengampuni gadis itu. Izinkanlah aku membawa ia ke istanaku
untuk diberi nasehat. Izinkanlah aku menebus kedosaannya dengan
memperbarui istana Budha."
Pada jaman pemerintahan Tjeng, menurut kebiasaan di Tibet, Tjenghay
dan tempat-tempat lain, Hoat-ong atau Raja agama, berkuasa atas
keagamaan, sedang Khan, atau Raja, menguasai urusan pemerintahan dan
politik. Kekuasaan agama dipandang lebih tinggi daripada kekuasaan
politik, sehingga Raja agama mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
daripada Raja manusia. Akan tetapi, pada waktu para Lhama sekte Topi
Putih melarikan diri ke Tjenghay, mereka sudah bisa menetap disitu karena
bernaung di bawah perlindungan Khan. Maka itulah, begitu mendengar
perkataan Tukuhun Khan, Hoat-ong segera kerutkan alisnya dan paras
mukanya memperlihatkan kesangsian yang sangat sukar di atasinya.
Sementara itu, setelah mendengar permintaan Tukuhun Khan, Tong Keng
Thian lantas saja naik darahnya. Ia merasa, raja itu mempunyai maksud
yang kurang baik. Walaupun gadis itu bukannya Yoe Peng, Keng Thian sangat
tak setuju, jika ia terjatuh kedalam tangan Khan itu. Selagi memutar otak
untuk mencari jalan guna memberikan pertolongan, dari antara tamu-tamu
agung mendadak keluar satu orang yang, sesudah memberi hormat kepada
Hoat-ong, segera berkata dengan suara nyaring: "Perempuan siluman itu
agaknya mempunyai riwayat yang mencurigakan. Maka itu, aku memohon izin
Budha Hidup untuk menjajal padanya."
Keng Thian terkejut karena mengenali orang itu yang ternyata bukan
lain daripada In Leng Tjoe, yaitu konconya Hiatsintjoe, yang pernah
berusaha menangkap Liong Leng Kiauw.
Sebagaimana diketahui, In Leng Tjoe adalah kaki tangan Kaizar Boan
yang berada dalam perjalanan pulang ke kota raja, untuk melaporkan halnya
Liong Leng Kiauw. Oleh karena ia kenal Raja agama sekte Topi Putih, maka
waktu tiba di Tjenghay, ia mampir dan turut menghadiri upacara sembahyang
itu.
Dalam perhubungan antara kerajaan Tjeng dan Tukuhun Khan, meskipun
benar Khan tersebut dapat dikatakan berdiri sendiri, akan tetapi secara
resmi Tjenghay masih berada dalam kekuasaan Kaizar Boan. Oleh karena itu,
mengingat In Leng Tjoe adalah orang penting dalam istana Tjeng, maka
biarpun sangat gusar, Tukuhun tak berani sembarang mengumbar napsunya.
Parasnya lantas saja jadi berubah dan ia menanya dengan suara dingin:
"Cara bagaimana kau ingin menjajal ia?"
"Khan yang Besar tak usah kuatir," jawabnya. "Biarpun bagaimana
juga, aku tak akan merusak paras mukanya."
Dengan mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi, tanpa memperdulikan
kegusaran Khan dan juga tanpa menunggu persetujuan Hoat-ong, ia segera
menghampiri Chena dan menotok dada gadis itu dengan kedua jerijinya.
Totokan itu adalah satu serangan hebat dan dilihat dari cara ia
menurunkan tangan, In Leng Tjoe kelihatannya ingin memaksa supaya Chena
menangkis pukulannya.
Latar belakang dari tindakan itu adalah seperti berikut: Ketika
baru tiba di kota Naichi, ia mendengar halnya seorang wanita yang sudah
merobohkan beberapa Lhama dengan semacam senjata yang membikin orang
kedinginan. Seperti Keng Thian, ia segera menarik kesimpulan, bahwa
wanita itu adalah Yoe Peng. Barusan, sesudah melihat Chena, baru ia
mengetahui, bahwa gadis itu bukan Yoe Peng. Akan tetapi, Pengpok Sintan
adalah senjata rahasia istimewa yang hanya terdapat di keraton es. Maka
itu, meskipun Chena bukan dayang Pengtjoan Thianlie, akan tetapi, dengan
mempunyai Pengpok Sintan, ia tentu mempunyai hubungan rapat dengan Koei
Peng Go. Sebagaimana diketahui suami isteri In Leng Tjoe pernah dihajar
oleh Pengtjoan Thianlie dan mereka sangat membenci gadis tersebut. Itulah
sebabnya, mengapa lantas saja In Leng Tjoe mengambil putusan untuk
mempersulit Chena dan dengan totokannya itu, ia ingin mencari tahu,
apakah ilmu silat gadis itu sama dengan ilmu silat Koei Peng Go.
Melihat orang menurunkan tangan jahat. Tukuhun Khan lantas naik
amarahnya. "Jangan celakakan Wanita Suci!" ia membentak sembari loncat
bangun dan teriaki orang-orangnya supaya maju menolong.
In Leng Tjoe tidak memperdulikan bentakan itu dan dua jerijinya
terus menotok dada Chena. Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras dan
badan In Leng Tjoe melesat ke atas setombak lebih, dan berbareng dengan
itu, dua pahlawan Tukuhun Khan jatuh terlentang tanpa bisa bangun lagi.
Di lain saat, orang melihat In Leng Tjoe memegang pergelangan tangannya,
mukanya pucat dan keringatnya mengucur turun dari dahinya. Ia kelihatan
menderita kesakitan hebat dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
Hoat-ong terkesiap, ia sungguh tak mengerti bagaimana bisa terjadi
peristiwa begitu. Ia kenal kepandaian In Leng Tjoe yang tidak berada di
sebelah bawah kepandaiannya sendiri. Biarpun wanita itu pandai ilmu
silat, ia mengetahui, bahwa kepandaiannya belum seberapa dan masih kalah
jauh dari kedua pahlawannya sendiri. Maka itu, ia tidak mengerti, cara
bagaimana In Leng Tjoe bisa kena dihajar secara begitu mudah. Dengan
matanya yang sangat tajam, ia mengetahui, bahwa In Leng Tjoe terluka pada
jalan darahnya akibat serangan senjata rahasia. Dan sungguh luar biasa,
ia sendiri tak dapat melihat, senjata apa yang sudah digunakan untuk
menghantam In Leng Tjoe.
Dalam kagetnya, tanpa mengingat kedudukannya sebagai Budha Hidup,
ia segera berdiri dan menghampiri In Leng Tjoe guna menyelidiki terlebih
jauh.
Sekonyong-konyong Chena merangkap kedua tangannya dan berkata
dengan suara halus: "Terima kasih untuk budi Budha Hidup yang sangat
besar. Aku yang rendah mulai dari sekarang bersedia untuk mempersembahkan
jiwa dan raga kepada Sang Budha dan bersedia pula untuk menjadi
pengikutnya selama-lamanya."
Pernyataan Chena sudah membikin Ibu Suci dan semua Lhama jadi
terkejut. Dua hari ia tak makan dan tak minum, dua hari ia menolak segala
rupa bujukan. Sungguh di luar dugaan, bahwa pada saat itu, ia sudah
menyatakan persetujuannya tanpa diminta lagi.
Begitu mendengar perkataan Chena, sang Ibu Suci segera mengucapkan
doa, sebagai tanda, bahwa keinginan gadis itu sudah diterimanya dan
disetujui pula.
Sekonyong-konyong, Hoat-ong yang matanya sangat tajam melihat
semacam perhiasan luar biasa yang tergantung pada dada Chena. Perhiasan
itu dibuat daripada sepotong gading dan berbentuk bundar dengan ukiran
huruf-huruf Sansekerta. Itulah sebuah Lenghoe (jimat) untuk menjaga
keselamatan yang biasa diberikan oleh pemimpin agama Lhama kepada
pengikut-pengikutnya yang berjasa dan suci bersih. Dalam agama Lhama,
gajah putih dipandang sebagai hewan yang paling mulia.
Maka itu Lenghoe yang terbuat dari gading merupakan jimat yang
dianggap paling tinggi khasiatnya dan jarang diberikan kepada seorang
wanita.
Chena adalah puteri tunggal Chinpu Hoan-ong, yang dulu paling
berpengaruh dan paling luas wilayahnya di Tibet. Semasa hidupnya, Chinpu
banyak berjasa terhadap agama Lhama dan itulah sebabnya, mengapa pada
waktu Chena berusia tiga tahun, Panchen Lhama telah menghadiahkan Lenghoe
gading itu. Dalam kalangan Lhama terdapat suatu kepercayaan, bahwa jimat
tersebut mempunyai kekuatan untuk menolak segala "barang kotor."
Walaupun pernah berseteru, sekte Topi Kuning dan Topi Putih
bersumber satu. Dari sebab begitu, Lenghoe yang diberikan oleh Raja agama
sekte Topi Kuning atas nama Budha, juga diindahkan oleh Raja agama dari
sekte Topi Putih.
Ketika itu, Hoat-ong yang masih belum mengetahui asal-usul Chena,
sudah menduga bahwa gadis itu adalah Wanita Suci dari sekte Topi Kuning.
Mendengar Chena bersedia untuk menjadi Wanita Suci dari agamanya sendiri,
sudah tentu saja ia jadi merasa girang sekali. Tapi sebelum ia keburu
membuka suara, In Leng Tjoe sudah berteriak-teriak seperti orang gila.
Ternyata, ia sudah berhasil membuka jalan darahnya dan dalam gusarnya, ia
sudah berteriak-teriak.
"Lukamu masih belum sembuh, tak dapat kau banyak bergerak," berkata
Hoat-ong dengan suara tawar.
In Leng Tjoe terkejut dan menghentikan teriakannya. Mendadak,
Tukuhun Khan menghampirinya dengan diikuti dua pahlawannya. "Bekuklah
orang hutan ini!" ia membentak. "Siapa berani mengganggu Wanita Suci
kami!"
Selagi kedua pahlawan itu coba menangkap In Leng Tjoe, Tukuhun Khan
mendekati Chena.
Hoat-ong mesem dan berkata dengan suara nyaring: "Oh, Khan Yang
Besar! Perkataanmu tiada salahnya. Ia sekarang sudah menjadi Wanita Suci
dari agama kami, siapa pun tak boleh mengganggu padanya!"
Muka Khan lantas saja berubah, tapi ia tidak berani bergerak lebih
jauh. "Sesudah ia mendapat perlindungan Budha Hidup, aku pun tak mau
banyak urusan lagi," katanya dengan suara perlahan, tapi mukanya
kelihatan menyeramkan sekali.
Heran sungguh hati semua Lhama yang berada disitu. Inilah untuk
pertama kali mereka menyaksikan bentrokan antara Hoat-ong dan Khan Yang
Besar. Mereka merasa sangat tidak mengerti, mengapa Tukuhun Khan rela
berselisih dengan Hoat-ong untuk seorang wanita yang sama sekali tidak
diketahui siapa adanya.
Baru saja Tukuhun Khan memutar badan, tiba-tiba terdengar suara
gedubrakan. Ternyata, kedua pahlawannya yang mau membekuk In Leng Tjoe
sudah dirobohkan orang yang mau ditangkap.
Bukan main gusarnya Tukuhun Khan. Sedang terhadap sang Budha Hidup
ia tak dapat berbuat suatu apa, sekarang ia melampiaskan perasaan
mendongkolnya terhadap In Leng Tjoe.
"Bekuk padanya!" ia berteriak sekeras-kerasnya. Para
pahlawannya yang berjajar di lorak dengan serentak menyerbu ke atas
untuk menjalankan perintah sang raja.
Keng Thian menyaksikan semua kejadian itu dengan perasaan geli.
"Aku mau lihat, cara bagaimana Hoat-ong membereskan peristiwa ini,"
katanya di dalam hati.
Perlahan-lahan Raja agama itu menghampiri Tukuhun Khan. Mendadak,
dua bayangan melesat dari samping Hoat-ong dan bagaikan dua ekor garuda,
mereka menyambar ke arah Chena. Kedua bayangan itu adalah dua murid Hoat-
ong, ialah Lhama jubah putih yang pernah bertempur dengan Keng Thian pada
waktu perebutan guci emas. Di waktu itu, mereka berdua pernah mendapat
bantuan In Leng Tjoe dan sekarang, ketika melihat In Leng Tjoe mendapat
luka, tanpa berpikir panjang lagi, mereka segera menyerang Chena. Mereka
menganggap In Leng Tjoe telah dilukakan oleh Chena dan sama sekali tidak
teringat, bahwa kepandaian ln Leng Tjoe masih lebih tinggi dari
kepandaian mereka sendiri dan tentu saja banyak lebih tinggi daripada
kepandaian Chena. Di samping itu, mereka sangat membenci Chena, oleh
karena gadis itu pernah melukakan beberapa Lhama. Barusan, melihat sikap
Hoat-ong, mereka kuatir Raja agama itu akan mengampuni Chena. Pada waktu
menerjang, mereka belum mendengar terang perkataan Hoat-ong yang
diucapkan terhadap Tukuhun Khan dan mereka juga tidak memperhatikan
gading yang tergantung pada dada gadis tersebut.
Ketika Hoat-ong menghampiri Tukuhun Khan, ia sedang memutar otak
untuk mencari jalan guna meredakan keributan itu, maka ia tidak dapat
melihat gerakan kedua Lhama yang semberono itu dan waktu ia mengetahui
adanya serangan tersebut, ia sudah tidak keburu mencegah lagi.
Pada saat yang sangat genting, dari sebelah luar tiba-tiba
terdengar suara tertawa yang sangat nyaring, dan pada detik itu juga,
kedua Lhama itu bergemetar sekujur badannya dan meloncat setombak
tingginya.
Semua orang terkesiap dan menengok ke arah suara tertawa itu.
Mereka melihat dua orang wanita muda, dengan muka bersenyum, sedang maju
menghampiri dengan tindakan ayu. Wanita yang berjalan di sebelah depan
mengenakan pakaian warna biru laut, mukanya bundar laksana bulan, alisnya
melengkung dan kedua matanya yang berwarna kebiru-biruan bersinar terang
sekali. Dengan kecantikan-nya yang luar biasa dan sikapnya yang agung, ia
sudah membikin semua orang terpesona, antaranya In Leng Tjoe sendiri yang
mengawasi dengan mulut ternganga.
Wanita yang berjalan di sebelah belakang, memakai pakaian yang
hampir sama dengan wanita yang pertama, tetapi rambutnya dikepang dan
diikat dengan sutera merah. Paras mukanya, yang bagaikan paras bocah
nakal, kelihatan seperti mau tertawa, tapi bukan tertawa la mengikuti
wanita yang pertama, seperti caranya seorang budak mengikuti majikannya.
Melihat kedatangan mereka, Hoat-ong kaget tak kepalang. Harus
diingat, bahwa dalam ruangan itu terdapat empat sampai lima ratus orang
dan halaman di luar gedung dijaga oleh para Lhama yang jumlahnya tidak
sedikit. Bahwa kedua wanita itu muncul secara tiba-tiba tanpa diketahui
dulu oleh orang lain, adalah kejadian yang benar-benar luar biasa.
Tapi orang yang paling terpengaruh oleh kedatangannya kedua wanita
itu mungkin adalah Tong Keng Thian sendiri, oleh karena mereka bukan lain
daripada Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng! Dalam kaget dan girangnya,
hampir-hampir ia berteriak.
Di lain saat, Koei Peng Go sudah berdiri di samping Chena. Begitu
mengenali si nona yang dulu sudah membantu melindungi guci emas, kedua
Lhama jubah putih yang semberono itu menjadi sangat gusar dan tanpa
banyak bicara, mereka lalu menjotos.
Badan Pengtjoan Thianlie sama sekali tidak bergerak. Pada saat
empat buah tinju hampir mengenakan tubuhnya, tiba-tiba ia mengebas dengan
tangan jubahnya dengan menggunakan ilmu Tjiam-ic sippattiat (Delapan
belas cara merobohkan musuh dengan Kebasan baju), yaitu ilmu silat yang
paling tinggi dan harus digunakan dengan tenaga dalam yang sangat besar.
Begitu dikebas, badan kedua Lhama itu yang seperti kerbau besarnya lantas
terpental serombak (Kulinya dan menggelinding sampai di kaki Hoat-ong.
Di lain saat, Pengtjoan Thianlie sudah menarik tangan Chena dan
lalu bertindak keluar. Ketika itu, mata semua orang sedang ditujukan
kepada kedua Lhama itu yang kena dibikin terpental oleh Koei Peng Go dan
hanya Tong Keng Thian seorang yang terus memperhatikan kedua wanita itu.
Pada saat itu, Pengtjoan Thianlie agaknya tiba-tiba melihat Lenghoe yang
dipakai Chena dan ia mengeluarkan seruan tertahan. Di lain pihak, Chena
kelihatan mendekatkan mulutnya pada kuping Pengtjoan Thianlie dan telah
mengucapkan beberapa kata.
"Tahan!" berseru Hoat-ong, yang, dengan sekali menjejek kaki, sudah
berdiri di samping Pengtjoan Thianlie. Keng Thian kaget bukan main. Ilmu
silat kedua orang itu hampir sama tinggi dan jika mereka sampai
bertempur, mungkin ia tak akan dapat memisahkan.
Sekonyong-konyong Chena mundur dua tindak dan sembari menyoja
kepada Koei Peng Go, ia berkata dengan suara nyaring: "Sioelie (paderi
atau imam wanita) dari agama Topi Putih memberi hormat kepada Hoehoat
(Pelindung agama)."
Hoat-ong kaget dan mengawasi dada Peng Go, dimana kelihatan
tergantung sebuah Lenghoe yang mengeluarkan bau wangi-wangian halus.
Itulah Pweyap Lenghoe (jimat kitab Budha yang suci) yang oleh para
penganut agama Budha dianggap sebagai semacam mustika yang langka.
Kecuali beberapa gelintir paderi suci, Budha Hidup atau raja-raja yang
sangat berjasa terhadap agama, semua pengikut agama Budha, dari hidup
sampai mati, belum tentu pernah melihat Lenghoe tersebut.
Pweeyap Lenghoe yang dipakai oleh Pengtjoan Thianlie adalah warisan
ibunya, yaitu Hoa Giok Kongtjoe. Nepal adalah negeri yang beragama Budha.
Semasa hidupnya ayah Hoa Giok adalah murid Budha yang taat pada agamanya
dan dalam kedudukannya sebagai raja Nepal membuat banyak sekali jasa
terhadap agama. Itulah sebabnya, maka Raja agama telah menghadiahkan
Pweeyap Lenghoe kepadanya sebagai pernyataan terima kasih dan penghargaan
terhadap segala perbuatannya yang mulia. Sebagaimana diketahui, raja
tersebut semula ingin sekali menurut contoh raja-raja Barat dan hendak
mewariskan tahta kerajaan kepada puterinya yang tunggal. Oleh karena
adanya niatan tersebut, maka pada waktu usianya sudah lanjut, ia
mewariskan Lenghoe itu kepada Hoa Giok.
Pweeyap Lenghoe dari Pengtjoan Thianlie tidak dapat disamakan
dengan Hoesin Lenghoe (jimat untuk melindungi diri sendiri) dari Chena.
Dengan memakai Lenghoe tersebut, kedudukan Chena adalah sebagai seorang
Wanita Suci, atau Shenglie, yang masih berada di bawah kedudukan Lhama
Besar. Di lain pihak, kedudukan Pengtjoan Thianlie merupakan kedudukan
Pelindung agama, atau Hoehoat, dan tingkatannya dapat dibilang berendeng
dengan tingkatan seorang Budha Hidup. Maka itulah, waktu Pengtjoan
Thianlie memberi hormat kepada Hoat-ong, Raja agama itu pun segera
membalas dengan tidak kurang hormatnya. Para tetamu, terhitung juga Tong
Keng Thian, yang tidak mengetahui tata tertib agama Lhama rata-rata
merasa heran, ketika melihat Hoat-ong membalas hormatnya Koei Peng Go.
Sementara itu, Keng Thian melihat Yoe Peng sedang kasak-kusuk
dengan Chena. Mereka bicara dengan berbisik dan menggunakan bahasa Tibet.
Apa yang kuping Keng Thian dapat menangkap hanya perkataan "Sakya" dan
"Tan Thian Oe." Chena kelihatan mengerutkan alisnya dan mengawasi Yoe
Peng, seperti juga ia ingin meminta supaya dayang Koei Peng Go itu jangan
banyak berbicara.
"Hei! Siapa kau?" demikian terdengar bentakan Hoat-ong. Keng Thian
yang sedang memusatkan perhatiannya kepada kedua gadis itu, jadi
gelagapan ketika melihat Raja agama itu menuding padanya. Ternyata, untuk
coba mendengar pembicaraan antara Yoe Peng dan Chena, Keng Thian sudah
melupakan dirinya dan maju terlebih jauh, sehingga ia berada di garisan
depan.
Hampir berbareng dengan bentakan Hoat-ong, sembari menggereng
seperti harimau terluka, In Leng Tjoe menerjang Pengtjoan Thianlie.
Hoat-ong mengebas dengan tangan jubahnya sambil membentak: "In Leng
Tjoe! Jangan kurang ajar!"
"Lihatlah! Apa ini"" berteriak In Leng Tjoe sembari memperlihatkan
satu Sinbong yang hitam bersinar. "Inilah Thiansan Sinbong! Sekarang
terbukti, orang dari Thiansan pay, bersama-sama perempuan siluman itu,
sudah datang kemari untuk mengacau. Budha Hidup! Kenapa kau tak mau
lantas membekuk mereka?"
Ternyata, senjata rahasia yang barusan menghantam In Leng Tjoe
adalah Thiansan Sinbong yang dilepaskan oleh Tong Keng Thian. Sesudah
dapat membuka jalan darahnya, dalam kegusarannya ia segera menerjang Koei
Peng Go, yang sangat dibencinya.
Dengan terkejut, Hoat-ong kembali mengebas dengan tangan jubanya.
"In Leng Tjoe!" ia membentak. "Jangan bicara gila-gila. Lieposat (Wanita
mulia) ini adalah seorang Pelindung agama."
Akibat kebasan Hoat-ong, In Leng Tjoe terhuyung beberapa tindak.
Darahnya meluap, tapi ia tidak berani mengumbar napsu amarahnya terhadap
Raja agama itu.
Sesaat itu, para pahlawan Tukuhun Khan sudah menerjang In Leng
Tjoe, yang, sambil berteriak keras, menghantam kalang kabut, sehingga
dalam sekejap mata, banyak yang sudah terguling dengan mendapat luka-
luka. Sesudah mengamuk hebat, In Leng Tjoe segera lari ke lorak dan para
tetamu lantas saja menjadi kalut.
Dalam keadaan yang sedemikian kalut, Tong Keng Thian masih tetap
tenang dan kedua matanya terus mengawasi Koei Peng Go. Barusan, ketika In
Leng Tjoe menerjang padanya, Pengtjoan Thianlie mengegoskan badan sembari
mengebas tangan bajunya yang panjang dan gerakannya itu seperti juga
gerakan menyingkirkan diri dari serangan musuh yang kuat. Akan tetapi
sebenar-benarnya gerakan Peng Go ditujukan terhadap Keng Thian, oleh
karena, pada saat ia mengegos, tangan bajunya membuat saru huruf "Tjauw"
(lari) di tengah udara, dengan maksud supaya pemuda itu lekas-lekas
melarikan diri. Melihat itu, Keng Thian jadi semakin tidak mengerti.
Sebelum dapat memikirkan harus berbuat bagaimana, In Leng Tjoe
sudah lari sampai di hadapannya dengan diubar oleh dua Lhama. Dengan
cepat, Keng Thian pasang kuda-kuda, dua jeriji tangan kirinya dipentang
dan menyambar ke depan, sedang tangan kanannya ditarik ke belakang,
dalam gerakan mementang gendewa. Itulah pukulan Thiansan pay yang paling
liehay dan dikenal sebagai pukulan Houwtek siadjit (Houw Tek memanah
matahari). Kedua jeriji yang menghantam ke depan menggunakan ilmu
Tiattjie Sinkang (Ilmu jeriji besi), sedang sikutnya yang memukul ke
belakang bekerja seperti satu martil besi. Ilmu silat In Leng Tjoe memang
sudah kalah setingkat dari Tong Keng Thian dan ditambah dengan lukanya,
ia lebih-lebih bukan tandingan pemuda itu. Melihat sambaran kedua jeriji
Keng Thian, dengan mengandalkan ilmu Tiatposan (Ilmu baju besi, yaitu
semacam ilmu weduk), In Leng Tjoe menyambut dengan pundaknya Berbareng
dengan satu suara "tak!" tulang pundak itu patah dan hampir-hampir ia
roboh di atas lantai. Pada detik itu, kedua Lhama yang mengubar juga
sudah tiba dan sikut Keng Thian membentur tepat sang Lhama yang jalan di
depan. Dengan teriakan keras, ia jatuh kejengkang dan badannya menubruk
sang kawan yang berada di belakangnya, sehingga tak ampun lagi, mereka
berdua terguling dengan berbareng.
Biar bagaimanapun juga, In Leng Tjoe adalah pemimpin satu cabang
persilatan dan ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang tinggi.
Demikianlah, walaupun tulangnya patah, sesudah mengempos semangat, ia
segera menerjang pula. Mendadak, dua sinar dingin kelihatan menyambar.
Keng Thian, yang menduga Pengtjoan Thianlie sedang membantu ia, sudah
tidak berjaga-jaga dan tahu-tahu mukanya basah dan bukan main dinginnya.
"Jangan membiarkan dia lari!" berteriak kedua Lhama yang barusan
dirobohkan sikut Keng Thian. Sekarang Hoat-ong sendiri sudah dapat
mengenali, bahwa pemuda itu bukan lain daripada si tetamu bertopeng yang
semalam telah mengunjungi ia.
"Terima kasih atas bantuan Lieposat," berkata Hoat-ong sembari
membungkuk dan lalu bergerak untuk turun tangan sendiri.
Pengtjoan Thianlie mengawasi Raja agama itu sembari mesem. "Sesudah
Budha Hidup mengenali siapa adanya ia, kenapa juga masih mau turun
tangan? Apakah Budha Hidup masih ingin bertempur dengan agama Topi Kuning
di Tibet?" menanya si nona.
Hoat-ong terkejut dan lalu balas menanya: "Kenapa Lieposat berkata
begitu?"
"Apakah Budha Hidup mengetahui, bahwa orang itu sudah membantu
kerajaan Tjeng dan agama Topi Kuning untuk melindungi guci emas?"
Pengtjoan Thianlie berkata pula
Waktu itu, kedua Lhama tadi sedang mencaci Keng Thian yang dulu
telah melukakan mereka dalam perebutan guci emas. Hoat-ong jadi semakin
bersangsi, ia mengawasi Pengtjoan Thianlie tanpa berkesip.
"Pada waktu guci emas direbut kembali, aku pun berada disitu," kata
Pengtjoan Thianlie.
Soal inilah yang membikin Hoat-ong bersangsi. Dari murid-muridnya
ia mendapat tahu, bahwa dua lawan berat pada waktu itu adalah seorang
dari Thiansan pay dan seorang wanita yang dikenal sebagai Pengtjoan
Thianlie. "Ia adalah Hoehoat dari agama Budha, akan tetapi, siapakah yang
sebenarnya dilindungi?" tanya Hoat-ong dalam hatinya. "Apakah benar
pernyataan In Leng Tjoe, bahwa ia datang unuk menyeterukan aku?"
Selagi Raja agama itu berada dalam kesangsian, Koei Peng Go sudah
berkata pula: "Agama Topi Kuning dan Topi Putih sebenar-benarnya
bersumber satu. Sekarang, sesudah diadakan perdamaian, Budha Hidup
hendaknya jangan mempersulit orang itu. Bahwa guci emas waktu ini berada
di Lhasa, sebenarnya adalah suatu kejadian yang menguntungkan bagi kedua
belah pihak. Aku mohon Budha Hidup sudi memaafkan aku yang sudah
mencampuri urusan ini."
Hoat-ong adalah seorang yang sangat cerdas dan begitu mendengar
perkataan Pengtjoan Thianlie, ia segera menjadi sadar. "Benar!" katanya
didalam hati. "Untung juga hari itu mereka berdua sudah turun tangan.
Andaikata waktu itu guci emas dapat direbut, cara bagaimana dapat dicapai
perdamaian seperti yang tercapai hari ini? Ah! Ternyata mereka mempunyai
pandangan yang sangat luas dan diam-diam sudah menyingkirkan akar
permusuhan antara kedua agama." Memikir begitu, ia lantas saja memberi
hormat kepada Koei Peng Go dan menepuk kedua tangannya untuk memanggil
balik kedua muridnya.
Tadi, ketika Pengtjoan Thianlie menimpuk mukanya dengan Pengpok
Sintan guna membuka rahasia penyamarannya, Keng Thian merasa sangat tidak
mengerti, kenapa si nona sudah bertindak begitu. Sesaat kemudian, ia
menduga, bahwa Peng Go tidak sudi bicara dengan ia dan ingin mendesak
supaya ia berlalu dari tempat itu, dan berhubung dengan dugaan tersebut,
Keng Thian segera memutuskan untuk segera menyingkir. Akan tetapi, ia
sudah kena "diikat" oleh In Leng Tjoe dan kedua Lhama itu, sehingga untuk
sementara waktu, ia tak dapat meloloskan diri. Selagi bertempur hebat, ia
tentu saja tidak dapat mendengar pembicaraan antara Hoat-ong dan Peng Go
dengan jelas. Tiba-tiba Hoat-ong menepuk tangannya dan memanggil pulang
kedua muridnya yang sedang mengerubuti Keng Thian, sehingga pemuda itu,
yang justru sedang berkuatir Hoat-ong akan turut turun tangan sendiri,
jadi merasa sangat heran.
Sesudah dua lawan itu meninggalkan gelanggang pertempuran,
merobohkan In Leng Tjoe sudah tidak merupakan soal lagi baginya.
"Lootjianpwee, maafkan aku yang berlaku kurang ajar," kata Keng Thian
sembari tertawa dan mengirim dua pukulan berat, yang telak mengenakan
bagian tubuh yang berbahaya. Apa yang lebih hebat lagi, ialah pukulan
Keng Thian dengan menggunakan Imlat (Tenaga lembek), sehingga In Leng
Tjoe semula tidak merasakan apa-apa dan sesudah lewat beberapa saat, baru
ia terkena pengaruh pukulan itu. Sesaat itu, In Leng Tjoe bukan hanya
menghadapi Keng Thian, akan tetapi juga para pahlawan Tukuhun Khan juga
sudah bergerak untuk membekuk ia.
Jalan yang paling selamat untuk In Leng Tjoe adalah meminta
pertolongan Hoat-ong dan berdiam beberapa hari dalam kuil untuk mengobati
lukanya. Akan tetapi, sebagai seorang yang angkuh, sebaliknya dari
memohon pertolongan, ia menjejek kedua kakinya dan melompati tembok, akan
kemudian kabur tanpa menengok lagi. Tindakannya itu sudah membikin
lukanya jadi semakin berat dan ia terpaksa harus rebah sebulan lebih
untuk memulihkan kesehatannya. Akan tetapi, walaupun sudah sembuh, ilmu
silatnya banyak berkurang dan tugas melaporkan hal Liong Leng Kiauw
kepada atasannya di kota raja, jadi tertunda. Maka Tong Keng Thian sudah
melukakan In Leng Tjoe juga lantaran ingin memperlambat perjalanannya ke
kota raja.
Sesudah In Leng Tjoe kabur, Keng Thian lantas saja mengenjot
badannya yang segera melesat keluar tembok. Selagi melompati tembok, ia
menengok dan melihat si nona mengawasi padanya sembari mesem.
Pada waktu Keng Thian kembali ke rumah penginapan, para pelayan
sedang kebingungan dalam usaha menolong majikannya. Semula, mereka hanya
merasa heran melihat sang majikan belum juga keluar dari kamarnya untuk
memenuhi undangan Hoat-ong, tapi mereka tak berani masuk kedalam kamar.
Kemudian, sesudah siang berganti malam dan sang majikan belum juga
muncul, dengan memberanikan hati, salah seorang pegawai masuk ke dalam
kamar. Begitu masuk, ia terkejut oleh karena sang majikan sedang tidur
bagaikan mayat dan tak menjadi sadar meskipun dipanggil-panggil dengan
suara keras. Buru-buru ia keluar dan memberitahukan rekan-rekannya yang
jadi kebingungan dan menduga majikan itu terkena "barang kotor." Salah
seorang lantas pergi mengundang dukun untuk mengusir setan atau memedi
yang mengganggunya.
Keng Thian merasa geli dalam hatinya. Diam-diam ia mengembalikan
surat undangan Hoat-ong dan membuka jalan darah si pemilik rumah
penginapan. Sesudah itu, tanpa memperdulikan segala kekacauan, ia
membereskan buntalannya dan tanpa pamitan lagi segera berlalu dari
penginapan itu, sesudah meninggalkan sepotong perak di atas meja.
Dalam peristiwa pada malam itu, ada banyak hal yang tidak
dimengerti Keng Thian. Pertama, siapakah gadis Tibet itu? Kenapa, sedang
semula ia menolak begitu keras untuk dijadikan Wanita Suci, akhirnya
secara suka rela ia menyatakan suka menurut? Kedua, sebagai seorang yang
baru turun gunung, Pengtjoan Thianlie tak mengenal jalan. Kenapa ia bisa
datang ke kuil itu? Apakah kejadian itu hanya kejadian kebetulan saja?
Ketiga, Koei Peng Go bermula mendesak supaya ia cepat-cepat mengangkat
kaki, tapi kemudian mesem-mesem kepadanya. Apakah arti sikap itu? Selain
itu, sedang Pengtjoan Thianlie sendiri pernah membantu melindungi guci
emas, kenapa Hoat-ong bersikap begitu menghormat terhadapnya?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh Tong Keng
Thian. "Jika dilihat dari sikapnya, Peng Go pasti mengenal baik gadis
Tibet itu," katanya didalam hati. "Tapi gadis itu sudah pasti bukan
dayangnya."
Berselang beberapa saat, kentongan berbunyi empat kali. Keng Thian
lantas mengambil keputusan dan tanpa bersangsi, ia segera menuju lagi ke
kuil Lhama dengan gunakan ilmu mengentengkan badan. Begitu tiba, ia pergi
ke Istana Wanita Suci yang terletak di sebelah timur. Ia sudah bertekad
untuk menyelidiki hal ihwal gadis Tibet tersebut dalam usaha mencari tahu
dimana adanya Pengtjoan Thianlie.
Dengan sekali mengenjot badan, ia sudah hinggap di atas genteng
istana. Ketika itu, para Wanita Suci sudah berada dalam masing-masing
kamarnya dan penerangan sudah dipadamkan. Sesudah terjadinya peristiwa
hebat tadi, para wanita itu ternyata tak dapat tidur pulas dan masih
terus membicarakan kejadian tadi dengan suara bisik-bisik. Sambil
merangkak di atas genteng, Keng Thian mendengar suara kasak-kusuk itu,
akan tetapi ia tidak mengetahui suara yang mana adalah suara si gadis
Tibet dan ia juga tak berani sembarang masuk ke dalam kamar orang.
Sambil menghela napas, Keng Thian mengangkat kepalanya. Mendadak,
di sebuah loteng kecil yang terletak di sebelah timur, terlihat api lampu
yang berkelak-kelik. Buru-buru ia menghampiri dan setelah datang dekat,
lewat jendela kaca ia dapat kenyataan, bahwa di kamar itu terdapat tiga
wanita yang bukan lain daripada Pengtjoan Thianlie, Yoe Peng dan si
gadis Tibet yang sedang dicarinya.
Bukan main girangnya. Ia datang lebih dekat pula dan memasang
kuping.
"Ini beberapa lembar adalah pelajaran menimpuk dengan senjata
rahasia," demikian kedengaran suara Pengtjoan Thianlie. "Simpanlah baik-
baik."
"Budi Tjietjie yang sangat besar, sampai mati aku tak akan
melupakan," kata sigadis Tibet.
"Ah! Benar-benar mereka sudah saling mengenal," berkata Keng Thian
dalam hatinya. "Tapi kenapa ia turunkan pelajaran senjata rahasia, sedang
ilmu silat ada begitu banyak macamnya?"
Di lain saat terdengar suara tertawa Yoe Peng yang lalu berkata:
"Kau hidup atau mati, untuk aku tak ada halangannya. Tapi ada orang yang
tidak rela, jika kau sampai menutup mata!"
Dari luar jendela, Keng Thian melihat gadis Tibet itu menggebuk Yoe
Peng yang mulutnya usilan.
"Aku sama sekali tidak berdusta," kata pula Yoe Peng yang nakal.
"Benar-benar ia sedang menunggu kau dengan tidak sabar."
"Ah! Kalau begitu, ia sudah mempunyai kecintaan," kata Keng Thian
dalam hatinya. "Tapi siapa?" Walaupun pintar dan cerdas, Tong Keng Thian
sedikitpun tidak menduga, bahwa orang yang dimaksudkan Yoe Peng adalah
Tan Thian Oe. Dengan mata sendiri, ia pernah menyaksikan hubungan yang
rapat antara Thian Oe dan Yoe Peng, sehingga ia sama sekali tak mengira,
bahwa kecintaan Thian Oe adalah si gadis Tibet.
"Yoe Peng!" demikian terdengar Pengtjoan Thianlie membentak.
"Jangan bicara yang gila-gila! Adik Chena, jagalah dirimu baik-baik!"
Keng Thian tahu, si nona sudah mau berlalu. Tiba-tiba kesunyian
sang malam dipecahkan suara bentakan yang keluar dari atas loteng.
"Binatang!" membentak seorang wanita. "Berani betul kau menggerayang
kesini! Leng-ouw (Anjing sakti)! Gigit orang itu!"
Di lain saat, berbareng dengan suara menggeram yang dahsyat, empat
ekor anjing sebesar anak kerbau dan galak luar biasa, menerjang Keng
Thian. Anjing itu adalah dari daerah Tibet dan merupakan turunan dari
perkawinan campuran antara anjing hutan dan anjing biasa, dan itulah
sebabnya, mengapa galaknya luar biasa.
Mereka mengepung Keng Thian dari empat penjuru, tak berbeda dengan
cara manusia yang berakal budi. Baru saja Keng Thian membikin terpental
yang satu, dua ekor yang lain sudah menubruk, yang satu coba menggigit
lehernya, sedang yang lain menyambar pundaknya. Buru-buru Keng Thian
membentur dengan pundaknya sembari mengebas dengan tangan kirinya dan
kedua anjing itu lantas saja terguling dengan terkuing-kuing. Sekonyong-
konyong di tengah udara terdengar suara hebat bagaikan guntur, dibarengi
dengan menubruknya seekor anjing yang agaknya menjadi pemimpin rombongan
anjing itu. Kedua matanya yang berwarna biru seperti juga mengeluarkan
api dan tubrukannya tidak kalah dengan tubrukan seekor harimau.
Keng Thian memutarkan badan dan pada saat dua kaki depan anjing itu
hampir mengenakan badannya, ia mengirimkan satu tendangan keras. Akan
tetapi, binatang itu yang sudah mendapat latihan lama, dapat mengegosi
tendangan tersebut. Keng Thian terkejut! "Cara berkelit anjing ini
seperti juga manusia yang sudah belajar ilmu mengentengkan badan sepuluh
tahun lamanya," katanya di dalam hati. Mengingat ini, dalam hatinya
lantas timbul perasaan kasihan dan menyayangkan, jika binatang itu sampai
jadi celaka. Tendangan Keng Thian barusan adalah tendangan Wanyo Lianhoan
toeihoat, atau tendangan berantai. Sesudah tendangan kaki kiri meleset,
kaki kanan harus menyusul. Akan tetapi, oleh karena timbulnya perasaan
itu, Keng Thian tidak mengirimkan tendangan kedua. Di lain saat, anjing
tersebut kembali sudah menubruk secara hebat. Tiga kawannya yang barusan
terguling sekarang sudah bangun kembali dan sembari menyalak, mereka
kembali menerjang Keng Thian.
Sesudah mendapat pengalaman pahit, bagaikan manusia, keempat anjing
itu merobah siasatnya. Sekarang mereka menggunakan siasat gerilya, yaitu
buru-buru meloncat mundur jika Keng Thian menghantam dengan tangan atau
kakinya dan menyerobot begitu lekas terbuka lowongan. Sesudah bertempur
beberapa saat, karena mendengar bentakan-bentakan di atas loteng yang
sesuai benar dengan gerakan-gerakan kawanan anjing itu, Keng Thian
mengetahui, bahwa serangan itu dipimpin oleh seorang yang bersembunyi di
atas loteng. Sementara itu, para Wanita Suci sudah pada keluar dari
masing-masing kamarnya dan suara manusia menjadi semakin ramai.
Keng Thian merangkap kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga
dalam dari ilmu Lweekee, sehingga keempat anjing itu tertolak mundur oleh
satu tenaga yang tak kelihatan dan tidak dapat mendekati ia lagi.
"Kedatanganku ini adalah untuk menemui seorang sahabat," ia berseru
dengan suara nyaring. "Aku sama sekali tidak mempunyai niatan kurang baik
dan mengharap supaya pihak majikan yang terhormat sudi memanggil pulang
keempat anjing ini. Jika tidak, janganlah salahkan aku memukul anjing
tanpa memandang majikannya."
Baru saja Keng Thian berkata begitu, dari atas loteng melayang
turun seorang wanita tua yang mengenakan pakaian warna hijau dan
tangannya mencekal sebatang pedang panjang. "Binatang!" ia membentak.
"Apakah belum cukup kau mengacau di ruangan sembahyang maka datang lagi
ke Istana Wanita Suci? Jagalah pedangku!" Berbareng dengan makiannya ia
menikam dengan ilmu pedang Thianliong pay dari Tibet.
Keng Thian berkelit dan pada saat itu, keempat ekor anjing sudah
membantu menyerang. Dengan sekali melirik, ia mengetahui, bahwa wanita
tersebut adalah si Ibu Suci yang sudah dilihatnya di ruangan sembahyang.
"Benar-benar aku datang untuk menemui seorang sahabat yang berada
disitu!" berteriak Keng Thian sembari menunjuk loteng.
(bu Suci menjadi gusar bukan main. "Jika kau berani keluarkan pula
omongan kotor, kau akan binasa tanpa mempunyai tempat untuk mengubur
mayatmu!" ia mencaci.
Harus diingat, bahwa Wanita Suci dalam agama mereka dipandang
sedemikian suci bersih, sehingga seorang lelaki melirik saja sudah
tidak diperbolehkan. Lantaran begitu, mana boleh ia mempunyai sahabat
lelaki yang tidak dikenal? Perkataan Keng Thian merupakan pelanggaran
besar terhadap agama tersebut dan di mata sang Ibu Suci, ia adalah
seorang bermoral bejat. Demikianlah, sambil menyerang dengan pedangnya
secara sengit, ia memimpin serangan keempat anjing itu, sehingga Keng
Thian menjadi sangat repot dan tidak mempunyai kesempatan untuk memberi
penjelasan.
Pengtjoan Thianlie yang rupanya masih mendongkol tidak mau turun
dari loteng untuk memberikan pertolongan, sehingga kedudukan pemuda itu
menjadi sulit sekali. Ia sangat kuatir Hoat-ong keburu datang dan urusan
bisa menjadi terlebih ruwet lagi.
Dalam mendongkolnya, dengan kedua tangan ia menangkap seekor anjing
yang lalu dilontarkan ke anjing lain hingga sembari berkuing-kuing, kedua
binatang itu terguling-guling tanpa bisa bangun pula. Si Ibu Suci jadi
sangat gusar dan lalu mengirim tiga serangan berantai. Dengan gerakan
Poanliong djiauwpo (Tindakan naga), Keng Thian mengegos beberapa kali dan
kemudian bagaikan seekor burung, ia melewati badan Ibu Suci dan
menyambar seekor anjing lagi dengan ilmu Siauwkinna (Ilmu menangkap).
Seperti tadi, ia mengangkat badan anjing itu yang lantas dilemparkan ke
arah anjing yang ke empat. Tapi tak dinyana, anjing terakhir itu adalah
anjing yang paling liehay. Dengan geraman hebat, dia meloncat tinggi dan
terus menubruk Keng Thian. Loncatan tersebut sudah membikin timpukan Keng
Thian jatuh di tempat kosong dan kedua kaki depannya sudah mengenakan
baju pemuda itu.
Buru-buru Keng Thian mengeluarkan ilmu Tjiam-ie sippattiat- dengan
lweekang-nya yang sangat tinggi. Dengan sekali menggoyangkan badan,
anjing itu sudah dilontarkannya sejauh beberapa kaki dan dengan satu
egosan, ia berkelit dari tikaman si Ibu Suci. Mendadak suatu sinar dingin
menyambar ke arahnya. Keng Thian tahu, benda itu adalah Pengpok Sintan
dan lantas menangkap dengan sebelah tangannya. Setelah Sintan itu
lumer, dalam tangannya ketinggalan serupa benda lain, sehingga hatinya
menjadi kaget.
Mendadak terdengar suara Pengtjoan Thianlie yang ditujukan kepada
Ibu Suci: "Ibu Suci! Kau sedang repot, ijinkanlah aku berlalu lebih
dulu!" Di lain saat, dua bayangan putih kelihatan turun dari atas loteng
dengan cepat sekali.
Melihat perginya dua wanita itu, Keng Thian tak mempunyai
kegembiraan lagi untuk berdiam lebih lama. Tiba-tiba ia menyerang secara
hebat dan selagi si Ibu Suci meloncat mundur, ia lantas mengenjot
badannya untuk melarikan diri.
Ibu Suci itu meluap darahnya dan berseru: "Leng-ouw! Ubar bangsat
itu!" Berbareng dengan bentakannya, si Ibu Suci juga mengubar dengan
diikuti empat anjingnya, sehingga Keng Thian tak dapat mencapai
maksudnya. Sementara itu, di Istana Wanita Suci sudah terdengar suara
lonceng tanda bahaya.
Keng Thian mengerutkan alisnya, tapi lekas juga ia mendapat suatu
tipu. Selagi seekor anjing menubruk, ia mengebas dan mendorong binatang
itu ke arah Ibu Suci. Gerakannya cepat luar biasa dan sebelum Ibu Suci
melihat tegas, mulut anjing itu yang mengeluarkan air liur sudah berada
di depan mukanya yang lantas berlepotan air liur!
"Binatang!" berteriak Ibu Suci bagaikan kalap dan kedua tangannya
mendorong anjing itu. Di lain detik, berbareng dengan suara tertawanya
yang nyaring,
Keng Thian sudah berada di luar tembok
Setibanya di luar, ia mengawasi ke empat penjuru, tapi Pengtjoan
Thianlie sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi. Hal ini dapat
dimengerti oleh karena ilmu mengentengkan badan si nona memang setingkat
dengan Keng Thian dan mereka berdua sudah berlalu terlebih dulu. Dengan
rasa putus harapan, pemuda itu menghela napas berulang-ulang. Ia
membuka tangannya dan ternyata, benda yang disertakan Pengpok Sintan tadi
adalah selembar kertas kecil.
Keng Thian membuka kertas itu dan dengan pertolongan sinar
rembulan, ia membaca tulisannya:
"Jangan campur urusan orang lain!"
Keng Thian meringis. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seorang
diri: "Ah! Maksudku hanyalah ingin menemui kau. Siapa kesudian campur-
campur urusan orang lain? Hm! Jika kau tak sudi menemui aku, aku tentu
tak dapat memaksa. Tapi, kenapa beberapa kali kau mempermainkan aku?"
Ia menengok ke belakang dan melihat seluruh istana Wanita Suci
sudah terang benderang. "Ah! Hoat-ong tentu akan mendongkol sekali,"
katanya di dalam hati. "Tak dinyana, tanpa sengaja aku jadi menanam
permusuhan. Jika si gadis Tibet rela menjadi Wanita Suci, aku tentu tidak
berhak untuk mencampuri urusannya lagi."
Demikianlah dengan perasaan tertindih, Keng Thian keluar dari kota
Naichi dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Sembari jalan, ia
teringat, bahwa tujuan Pengtjoan Thianlie adalah Soetjoan barat untuk
mencari pamannya, sehingga, meskipun tak mengenal jalan, lama atau cepat
pasti ia akan tiba juga disitu. "Paling benar sekarang aku langsung
menuju ke tempat Moh Pehpeh untuk menunggu kedatangannya," pikir ia.
Sesudah mengambil putusan itu, hatinya menjadi lebih lega dan ia lalu
tidur di pinggir jalan. Pada besok paginya, ia lantas berjalan menuju ke
arah timur.
Sesudah melewati gunung Bayan Karasan, Keng Thian sudah berada di
bagian barat propinsi Soetjoan. Semenjak dulu, Soetjoan barat yang penuh
gunung dikenal sebagai tempatnya "manusia liar." Berhari-hari, Keng Thian
berjalan tanpa menemui manusia. Untung juga gunung itu kaya akan pohon-
pohon buah sehingga ia dapat menghilangkan rasa haus dengan memetik buah-
buahan hutan dan rasa lapar dengan membakar daging kambing hutan yang
terdapat banyak sekali di pegunungan itu.
Sesudah lewat lagi beberapa hari, tibalah ia di gunung Tjiakdjie
san yang sudah termasuk wilayah bangsa Han.
Tjiakdjie san dikenal sebagai gunung yang sangat berbahaya dengan
puncak-puncaknya yang menjulang tinggi ke angkasa dan curam luar biasa.
Jika seorang sudah tiba di puncak yang tinggi dan memandang ke sebelah
bawah, ia akan melihat gunung-gunung yang tertutup salju seakan-akan
binatang-binatang raksasa yang berbulu putih sedang mendekam di kaki
gunung. Dimana-mana orang dapat bertemu dengan batu-batu raksasa yang
beraneka bentuknya dan jika dipandang dari jauh, batu-batu itu seolah-
olah sekosol-sekosol yang diatur secara sedemikian indah oleh
tangan sang alam sendiri.
Sesudah berjalan lagi dua hari, di suatu lereng, Keng Thian melihat
mengepulnya asap. Hatinya jadi girang, tapi di lain saat ia teringat,
bahwa meskipun dilihatnya sangat dekat, tempat itu mungkin baru dapat
dicapai sesudah berjalan dua hari lagi.
Keng Thian mempercepat tindakannya dan sebelum berjalan berapa
lama, cuaca mendadak berobah gelap. Ternyata ia sekarang sudah masuk ke
bagian yang paling berbahaya dari gunung Tjiakdjie san. Jalan di tempat
itu diapit dua puncak yang berdiri hampir berdempetan, sehingga di
tempat-tempat yang tersempit, lebarnya hanya dua atau tiga kaki. Jalan
itu bukan saja naik turun, tapi juga berbelit-belit dan penuh dengan
batu-batu. Belum juga berapa jauh, mendadak Keng Thian mendengar suara
bernapasnya manusia. Dengan kaget, ia berjalan lebih cepat.
Di lain saat, ia melihat seorang lelaki yang berpakaian rombeng
sedang menyender pada lamping gunung.
"Siapa kau?" menanya Keng Thian.
Orang itu mengucapkan beberapa patah kata yang tidak terang. Keng
Thian mendekati. Sekonyong-konyong ia mengangsurkan kedua tangannya
seraya berkata: "Tolonglah aku si pengemis!"
Keng Thian mengawasi dan ia terkesiap. Kedua lengan orang itu penuh
dengan bisul-bisul besar dan kecil. Sepuluh jerijinya bengkok, sedang di
mukanya yang bersinar merah juga terdapat banyak sekali bisul. Tak bisa
salah lagi orang itu adalah penderita penyakit kusta (lepra), sehingga
Keng Thian yang gagah perkasa tanpa merasa mundur tiga tindak bahna
kagetnya.
Orang itu mengawasi dengan mata hampa sebagai tak ada semangatnya
dan seolah-olah sudah beberapa hari ia tak pernah ketemu nasi.
Sesudah dapat menetapkan hatinya, Keng Thian heran tak kepalang.
Pertama, menurut kebiasaan, penderita kusta kebanyakan terdapat di
Tiongkok Selatan, sedang di daerah Utara barat penyakit itu adalah hal
yang langka sekali. Kedua, Tjiakdjie san adalah sebuah gunung yang sangat
berbahaya dan, kecuali orang yang berkepandaian tinggi, jarang ada
manusia yang mampu mendaki gunung tersebut. Tapi, baru saja mengingat
itu, ia berkata dalam hatinya sendiri: "Ah! Dia tentu adalah seorang yang
melarikan diri karena desakan masyarakat."
Pada jaman ini, kita semua mengetahui, bahwa penyakit kusta bukan
disebabkan pengaruh setan atau hukuman Tuhan. Akan tetapi, pada jaman
itu, ialah jaman pemerintahan Boan, orang masih percaya, bahwa kusta
adalah satu penyakit yang menandakan dosa seseorang dan seorang penderita
kusta dipandang sebagai manusia berbahaya, sehingga mesti dibakar hidup-
hidup dan tulang-tulangnya harus dikubur di dalam tanah. Di Tiongkok
Utara barat jumlah penderita kusta ada sangat sedikit dan tidak banyak
orang yang mengetahui tanda-tanda penyakit tersebut. Maka itu, memang
benar ada sejumlah penderita kusta yang secara untung-untungan melarikan
diri ke daerah Utara barat untuk menyingkir dari buruan sesama manusia.
Akan tetapi, oleh karena macamnya si sakit memang sangat menakuti dan tak
ada orang yang sudi memberi tempat meneduh padanya, maka jarang sekali
mereka bisa tiba di Utara barat dengan masih bernapas.
Memikir begitu, dalam hati Keng Thian segera timbul rasa kasihan.
"Dengan badan menderita penyakit, ia lebih suka berkawan dengan binatang
daripada dengan sesama manusia yang selalu mengubar-ubarnya," katanya
dalam hati. "Sungguh harus dikasihani! Dan sungguh besar nyalinya!"
Ia segera mengeluarkan sepotong daging kambing dari sakunya dan
berkata sembari melemparkan daging itu kepada si sakit: "Ambillah. Di
sebelah depan terdapat banyak sekali buah-buahan. Kau bisa petik
sendiri."
Melihat daging itu dilemparkan, orang itu tidak lantas memungut.
Mendadak kedua biji matanya bergerak dan... suatu sinar berkredep keluar
dari kedua matanya! Keng Thian terkejut oleh karena sinar yang sedemikian
adalah sinar mata orang yang mempunyai kepandaian silat sangat tinggi.
Tapi, di lain saat, sorot kedua mata itu lantas berobah menjadi sayu
kembali dan perlahan-lahan ia membungkuk untuk memungut potongan daging
itu.
"Eh, siapa namamu?" menanya Keng Thian. "Apa kau pernah belajar
silat?"
Orang itu seperti juga tak mendengar perkataan Keng Thian. Ia duduk
di atas tanah sembari makan daging itu secara rakus.
"Ah, guna apa aku tanya namanya?" kata Keng Thian dalam hatinya.
"Andaikata benar ia pandai ilmu silat, aku toh tak bisa berkawan dengan
ia ini." Memikir begitu, ia lantas bergerak untuk segera berlalu, tapi
sebelum menindak, ia menengok ke belakang dulu. Di luar segala dugaan,
orang itu sedang mengawasi ia dengan sorot mata gusar dan membenci. Keng
Thian bergidik dan buru-buru berjalan pergi.
Sebelum berjalan herapa jauh, Keng Thian tiba-tiba mendengar suara
menggelegar di belakangnya dan ketika ia menengok, sebuah batu besar
sedang menggelinding dari atas ke arahnya. Sebagaimana diketahui, jalan
gunung itu sangat sempit, sehingga ia tak dapat menyingkir lagi. Oleh
karena sudah tak ada jalan lain, buru-buru ia mengerahkan tenaga dalamnya
dan dengan kedua tangannya menyampok batu itu, yang lantas saja terpental
dan jatuh ke dalam jurang. Ia mendongak dan melihat si penderita kusta
sedang menyontek sebuah batu lain.
"Kau bikin apa?" membentak Keng Thian. Baru habis ia berkata
begitu, batu tersebut sudah menggelinding ke bawah dengan kecepatan
kilat. Mau tidak mau, ia terpaksa mengerahkan lagi tenaga dalamnya dan
melontarkan pula batu itu. Pada waktu batu itu terpental, tanah dan debu
pada muncrat, sehingga Keng Thian harus meramkan kedua matanya. Waktu ia
membuka lagi matanya, orang itu sudah tak kelihatan bayang-bayangannya.
Keng Thian gusar bukan main. "Hei! Binatang!" ia berseru sekeras-
kerasnya. "Kita belum pernah saling mengenal, kenapa juga kau mau
mencelakakan aku!" Tapi hanya kumandang suaranya yang kedengaran. Si
penderita kusta tetap menghilang tanpa bekas.
Sedari turun gunung, ia sudah mengalami banyak juga kejadian-
kejadian mengherankan, tapi tak ada yang seaneh ini. Bahwa orang itu
tinggi ilmu silatnya, sudah tak usah disangsikan pula. Tapi yang membikin
Keng Thian tak habis mengerti, adalah: Terhadap orang itu, ia tak pernah
berdosa dan malah sudah melepas budi dengan memberikan sepotong daging.
Tapi kenapa, ia menurunkan tangan jahat? Apakah orang itu sudah hilang
sifat kemanusiaannya?
Tak lama kemudian, ia tiba di tempat terbuka dan jalan sudah tidak
begitu berbahaya seperti tadi. la sekarang sudah sampai di bagian selatan
dari gunung Tjiakdjie san dan sesudah mengasoh sebentar, ia segera
meneruskan perjalananannya.
Kira-kira magrib pada hari kedua, ia sudah tiba di tengah-tengah
gunung itu. Di satu tanjakan ia menemukan sebuah rumah tanah yang berdiri
sebelah menyebelah dengan sebuah gubuk beratap alang-alang. Dari dalam
rumah itu mengepul asap dan hidung Keng Thian mengendus wanginya daging
bakar dan nasi yang baru dimasak. Rumah tersebut berbentuk istal kuda
panjangnya kira-kira tiga tombak dan lebarnya setombak lebih. Keng Thian
mengetahui, bahwa rumah itu adalah semacam penginapan untuk orang-orang
yang mendaki gunung untuk memetik daun obat atau berburu binatang.
Sesudah berhari-hari lamanya menangsel perut dengan daging kering dan
buah-buahan hutan, Keng Thian ingin sekali makan nasi yang putih dan
segera juga ia mengetuk pintu.
Tuan rumah adalah seorang yang usianya kurang lebih lima puluh
tahun dengan cara-caranya yang sederhana, seperti biasanya seorang
pegunungan. Mendengar permintaan menginap, lantas saja ia berkata sembari
tertawa: "Beberapa bulan tak pernah ada tetamu, sekali datang satu
rombongan besar. Tuan, malam ini kau tak akan kesepian. Di dalam sudah
ada belasan orang, rombongan pedagang obat yang datang dari Selatan."
Sesudah memberikan sepotong perak untuk barang santapan, Keng Thian
segera bertindak masuk. Dalam ruangan itu berjajar belasan pikulan obat-
obatan dan begitu ia masuk, dua piauwsoe (orang yang bertugas sebagai
pelindung) setengah tua terus mengawasi gerak-geriknya. Tiba-tiba
terdengar suara mendehem dari seorang piauwsoe tua dan kedua kawannya itu
lantas menundukkan kepala, seperti juga tidak melihat masuknya seorang
tetamu baru.
Selain ketiga piauwsoe itu, terdapat juga tujuh delapan orang
lelaki yang berbadan kekar, pada menggeletak di atas tanah dengan
menggunakan pikulan sebagai bantal. Di samping si piauwsoe tua duduk
seorang pedagang yang berusia kira-kira lima puluh tahun dan yang matanya
terus melirik pedang Keng Thian.
Keng Thian memberi hormat dengan merangkap kedua tangannya. "Apakah
Saudarasaudara ingin pergi ke Tjenghay?" ia menanya sembari tertawa.
Si piauwsoe tua hanya manggutkan kepalanya sedikit, sedang si
pedagang menjawab dengan satu suara "hm."
"Aku sendiri ingin pergi ke Soetjoan barat," berkata pula Keng
Thian. "Aku merasa sangat beruntung malam ini dapat bertemu dengan
kalian. Dengan mempunyai banyak kawan, kita bisa tidur enak."
"Bagus! Bagus!" berkata si piauwsoe tua. "Apakah Saudara datang
dari utara?"
"Benar. Jalanan gunung sukar sekali dilewati," sahut Keng Thian.
"Dengan berkelana seorang diri, nyali saudara benar-benar besar,"
berkata pula piauwsoe itu. "Aku si tua mencari sesuap nasi dengan bekerja
sebagai piauwsoe dan dalam pekerjaan itu, aku hanya mengandalkan bantuan
sahabat-sahabat. Aku mohon saudara jangan mentertawakan diriku. Untuk
bicara terus terang, jika harus berjalan seorang diri, aku tak akan
berani mendaki gunung Tjiakdjie san." Sehabis berkata begitu, kedua
matanya mengawasi Keng Thian dengan sorot tajam.
"Gila! Si tua menganggap diriku sebagai perampok!" berkata Keng
Thian dalam hatinya. Ia lantas saja menyoja dan berkata dengan suara
hormat: "Loosoehoe janganlah bicara begitu merendah. Dapatkah aku
mendapat tahu she dan nama Loosoehoe yang mulia?"
"Aku she Kwee, namaku Tay Kie," jawabnya. "Dan siapakah adanya
saudara?" Mendengar pertanyaan orang, Keng Thian segera memperkenalkan
dirinya secara terus terang.
Piauwsoe itu ternyata sungkan banyak bicara. Setiap pertanyaan, ia
jawab dengan singkat. Keng Thian mengetahui, bahwa dalam kalangan Kangouw
orang selalu bercuriga terhadap mereka yang belum dikenal dan ia pun
mengetahui, bahwa dirinya sangat dicurigai. Maka itu, ia tidak banyak
menanya pula, hanya hatinya merasa agak heran, oleh karena belum pernah
mendengar nama Kwee Tay Kie.
Di daerah Seekong, Tibet, Tjenghay dan Sinkiang terdapat banyak
sekali bahan obat yang luar biasa, seperti nyali biruang dan sebagainya,
tapi sangat kekurangan obat-obatan biasa. Maka itu, setiap tahun seorang
dua orang pedagang obat-obatan yang besar selalu mengunjungi beberapa
propinsi itu dengan membawa obat-obatan biasa, untuk ditukar dengan
bahan-bahan obat istimewa keluaran daerah tersebut. Setiap kali berdagang
paling sedikit harganya meliputi sepuluh laksa tail perak, sehingga
piauwsoe yang berkepandaian tanggung-
tanggung, tak akan berani bertugas untuk melindungi rombongan
pedagang tersebut.
Sesudah bersantap malam, rombongan pedagang lalu menyalakan
perapian dan mereka tidur di sekitar perapian itu, dengan para piauwsoe
menjaga bergiliran. Keng Thian sendiri lantas saja merebahkan diri di
suatu sudut.
Baru saja ia meramkan mata, tiba-tiba di luar terdengar suara
tindakan dan dua piauwsoe setengah tua dengan serentak meloncat bangun.
"Ada orang!" mereka berbisik.
"Jangan ribut!" membentak si piauwsoe tua.
Menurut kebiasaan rumah penginapan, untuk menggampangkan para
tetamu yang keluar masuk, daun pintu hanya dirapatkan. Suara tindakan itu
cepat luar biasa dan dalam sekejap, sudah tiba di depan pintu. Sebelum
pintu ditolak, terdengar suara tertawa yang sangat nyaring lebih dulu.
Keng Thian dan semua orang merasa terkejut oleh karena suara itu adalah
suara seorang wanita.
Di lain saat, dua wanita masuk ke dalam, diikuti seorang lelaki.
Kedua wanita itu, satu tua dan satu muda, mempunyai paras muka yang
hampir sama, sehingga dapat diduga, bahwa mereka itu adalah ibu dan anak.
Si wanita muda, yang pada rambutnya ditancapkan sekuntum kembang hutan,
berparas riang gembira dan begitu masuk, ia berseru: "Ha! Begitu banyak
orang? Benar-benar ramai!"
Wanita yang setengah tua, yang kedua alisnya bengkok dan mengenakan
pakaian warna dadu dengan sulaman kembang Botan, mengeluarkan suara
"stt," sembari menempelkan jerijinya pada mulutnya. "Perlahan sedikit!",
katanya. "Jangan mengganggu tamu-tamu lain!" Walaupun perkataannya
merupakan perintah, akan tetapi paras mukanya mesem-mesem dan sama sekali
tak mempunyai keangkeran seorang ibu.
Keng Thian merasa geli. "Ie-ie-ku (Phang Lin) adalah satu manusia
aneh," katanya di dalam hati. "Wanita ini rasanya tak banyak beda dengan
Ie-ie."
Pada pinggang kedua wanita itu tergantung gendewa dan sembari
masuk, mereka tertawa haha-hihi, seolah-olah sepasang bocah yang belum
mengenal asam garam dunia. Akan tetapi, meskipun lagaknya seperti anak-
anak, mata mereka memancarkan sorot keksatriaan. Orang lelaki yang
mengikuti di belakang mereka berusia kurang lebih lima puluh tahun dan
berbadan tinggi besar. Ia tidak membawa senjata, akan tetapi dilihat dari
tindakannya yang mantap, sudah boleh dipastikan, bahwa ia seorang ahli
silat yang berkepandaian tinggi.
Rombongan pedagang obat belum ada yang tidur pulas. Begitu ketiga
tamu itu masuk, mereka semua membuka mata, terutama kedua piauwsoe
setengah tua, yang terus mengawasi mereka tanpa berkesip.
Si gadis mendadak tertawa nyaring seraya berseru: "Hei! Kalau mau
lihat, lihatlah secara berterang! Guna apa main sembunyi?"
Muka kedua piauwsoe itu lantas saja berobah merah dan matanya
mendelik. Tapi sebelum mereka membalas menyemprot, si orang tua yang
berbadan tinggi besar buru-buru menghampiri dan berkata sembari menyoja:
"Anakku memang nakal sekali. Aku sangat mengharap, mengingat usianya yang
masih sangat muda, saudara-saudara sudi memaafkannya." Sehabis berkata
begitu, ia mendorong puterinya seraya membentak: "Hee-djie! Lekas minta
maaf pada sekalian paman!"
Melihat sikap ayah si nona yang sangat patut, si piauwsoe tua
lantas saja berdiri dan berkata sembari tertawa: "Anak-anak guyon-guyon,
janganlah Looheng buat pikiran. Kedua kawanku adalah orang-orang kasar
yang tidak mengenal aturan. Nona! Aku pun mengharap kau jangan menjadi
gusar."
Dengan demikian, sengketa kecil itu sudah menjadi beres, orang-
orang piauwkiok lantas pada merebahkan diri lagi, sedang si nona terus
mengikuti kedua orang tuanya.
Sembari berjalan, wanita setengah tua itu berkata kepada suaminya
dengan suara yang cukup keras untuk didengar oleh semua orang: "Loyatjoe!
Kau sendiri yang terlalu rewel! Kau sudah mengganggu semua orang yang
ingin tidur." Nyonya itu yang sangat menyayangi puterinya, sudah sangat
mendongkol mendengar comelan sang suami dan orang-orang piauwkiok
mengetahui, bahwa perkataannya ditujukan kepada mereka.
"Dalam kalangan Kangouw, yang paling tak boleh dibuat gegabah
adalah hweeshio, toosu, sasterawan dan wanita," kata si piauwsoe tua
dalam hatinya. "Kedua wania ini, yang membawa gendewa, kelihatannya bukan
penjual silat. Ah! Malam ini aku harus berjaga-jaga."
Sesudah memilih suatu sudut, sang ibu dan puterinya segera
menggelar tikar untuk mengasoh. Sambil menyandar pada tembok, Keng Thian
mengawasi mereka. Mendadak, kedua mata si wanita setengah tua
mengeluarkan sinar luar biasa dan setindak demi setindak, ia menghampiri
Keng Thian. Tiba-tiba ia menghentikan tindakannya dan mengawasi pemuda
itu dengan muka bersemu dadu dan sebelah tangannya memegang koen, sebagai
lagaknya seorang gadis muda yang bertemu dengan kecintaannya.
Pada saat itu, si orang tua yang berbadan tinggi besar menghampiri
seraya berkata: "Tjeng-moay, lebih baik kita mengambil tempat di pojok
sana." Sekonyong-konyong kedua matanya bersinar dan seperti si wanita, ia
pun mengawasi Keng Thian.
Keruan saja Keng Thian jadi kaget. "Ah! Kenapa begini lagaknya
kedua orang tua ini?" ia menanya dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, sembari tertawa si orang tua menyoja dan
menanya: "Siauwko (Saudara kecil), bolehkah aku mendapat tahu she-mu yang
mulia?"
"Aku she Tong," jawab Keng Thian.
Si wanita mengeluarkan satu seruan tertahan dan menanya dengan
suara tergugu: "Kau... kau she Tong?"
"Perlahan sedikit!" membentak si tua.
"Tong Siangkong (tuan)," berkata pula wanita itu dengan suara
terlebih perlahan. "Kau datang dari mana dan sekarang mau pergi kemana?"
Sekonyong-konyong puterinya tertawa. "Ibu," katanya "Kenapa kau
menanya begitu melit?"
Keng Thian agak bersangsi, tapi akhirnya ia menyahut juga: "Aku
datang dari Tibet dan ingin pergi ke Soetjoan barat untuk mencari seorang
sahabat."
"Hm," berkata pula si wanita setengah tua. "Dari Tibet? Dilihat
dari gerak-gerikmu. Aku rasa kau sudah pernah belajar ilmu silat dalam
banyak tahun." Sembari berkata begitu, ia mengawasi Yoeliong kiam yang
digunakan sebagai bantal kepala oleh Keng Thian.
Gadis itu kembali tertawa nyaring dan berkata: "Ibu! Benar-benar
kau sudah linglung! Apakah kau tak lihat pedangnya? Perlu apa kau menanya
lagi?"
"Aku berjalan seorang diri dan dengan membawa pedang, hatiku jadi
lebih besar," kata Keng Thian. "Manalah aku mempunyai kepandaian silat?"
Orang tua yang berbadan tinggi besar itu mesem-mesem, seolah-olah
ingin memuji Keng Thian yang bisa merendahkan diri dan berbareng menegur
kedustaannya.
"Aku ingin menanyakan kau tentang satu orang yang she-nya sama
dengan kau," kata si-wanita setengah tua. "Mungkin sekali ia masih
tersangkut pamili dengan kau."
"Siapa?" menanya Keng Thian.
"Orang itu bernama Tong Siauw Lan!" sahutnya.
Keng Thian terkejut. Harus diketahui, bahwa kedua orang tua Keng
Thian dulu pernah mengamuk di istana kaizar dan sudah membinasakan Kaisar
Yong Tjeng. Walaupun kejadian itu sudah berselang banyak tahun, akan
tetapi Tong Siauw Lan suami isteri masih tetap merupakan orang buronan
yang menjadi musuh kerajaan Boan. Oleh karena itu, dapat dimengerti,
bahwa Keng Thian tak berani membuka rahasia di depan sembarang orang.
Wanita setengah tua itu mengawasi padanya dengan sorot mata tidak
sabar dan dilihat dari sikapnya, ia sama sekali tidak mengandung maksud
yang kurang baik.
Sesudah dapat menetapkan hatinya, Keng Thian segera berkata sembari
tertawa: "Nama Tong Tayhiap aku sudah pernah dengar lama sekali. Ia
adalah seorang pemimpin dari satu cabang persilatan dan aku sangat kagum
padanya. Hanya sayang sungguh, sampai sebegitu jauh aku belum pernah
dapat berjumpa."
Paras muka wanita setengah tua itu lantas saja berobah, seperti
orang yang kecewa dan putus harapan.

"Ibu!" kata puterinya. "Tong Pehpeh bertempat tinggal di atas


gunung Thiansan, orang biasa mana bisa jumpai ia? Tapi setiap kali
bertemu orang yang datang dari Sinkiang atau Tibet, kau selalu tak lupa
untuk menanya. Apakah ibu tidak takut ditertawai orang?"
Mendengar ejekan itu, sang ibu jadi mendongkol. "Setan kecil!" ia
membentak. "Sekarang anak mau mengajar orang tua!"
Oleh karena kuatir didesak terus, Keng Thian lantas berlagak
menguap, seperti orang yang sudah sangat mengantuk, sehingga si orang tua
jadi malu hati. "Hee-djie, Tjeng-moay, besok pagi-pagi Siauwko tentu
ingin meneruskan perjalannya dan kita pun harus mengasoh." Sehabis
berkata begitu, ia segera berjalan kembali ke tikarnya, diikuti kedua
wanita itu.
Sesudah mengalami beberapa kejadian luar biasa selama dua hari
beruntun, mana Keng Thian bisa cepat-cepat pulas. Ia putar otaknya, tapi
tak juga dapat menebak siapa adanya ketiga orang itu. Ia membuka matanya
sedikit dan melihat kedua piauwsoe setengah tua itu sedang duduk di
pinggir perapian dengan tangan mencekal golok dan matanya sering-sering
melirik ke arah dua wanita itu. Si piauwsoe tua menggeros, tapi Keng
Thian mengetahui, ia hanya berlagak pulas.
Berselang beberapa lama para pegawai piauwkiok yang sudah kecapaian
tak dapat menahan pula perasaan ngantuknya dan sudah pada menggeros
keras. Mendadak, Kwee Tay Kie, si piauwsoe tua, membuka kedua matanya dan
berkata dengan suara perlahan: "Awas!" Ia segera mencekal hoentjwee-nya
(pipa panjang), yang lalu diisikan tembako, dinyalakan dan kemudian
dihisap. Hoentjwee itu yang panjang dan kepalanya sebesar cangkir teh,
berwarna hitam mengkilap, sehingga dapat diduga, bahwa hoentjwee itu
bukan dibuat dari pada kayu, tapi dari pipa besi yang dapat digunakan
sebagai senjata.
Sekonyong-konyong terdengar suara gedubrakan, disusul dengan
terpentalnya daun pintu, dan di lain saat, belasan orang menerobos masuk.
Yang berjalan paling depan adalah seorang lelaki bertubuh tinggi besar
dan berusia kira-kira empat puluh tahun. Sembari mengacungkan gendewa
yang dicekalnya, ia berseru sembari tertawa berkakakan: "Bagus! Bagus!
Kambing-kambing gemuk semuanya berkumpul dalam rumah ini!"
Kedua piauwsoe setengah tua itu serentak meloncat bangun, tapi
sebelum mereka dapat bergerak lebih jauh, Kwee Tay Kie sudah meloncat ke
depan dan sambil mengebas dengan hoentjwee-nya, ia memberi hormat seraya
berkata: "Sahabat, selamat datang! Aku yang rendah adalah Kwee Tay Kie
dari Tjinwie Piauwkiok di Pakkhia dan mencari sesuap nasi dengan
menjalankan tugas sebagai satu piauwsoe. Mataku sungguh buta dan kupingku
tuli sehingga tak mengetahui, bahwa Tjeetjoe (pangilan terhadap kepala
perampok) bertempat tinggal di gunung ini, dan aku tidak mengunjungi
terlebih dahulu untuk memberi hormat. Untuk semua keteledoran itu, aku
memohon maaf."
Kawanan penjahat yang berdiri di belakang kepala perampok itu,
tertawa terbahak-bahak. "Hei! Tak perlu kami mendengar segala perkataan-
perkataan yang indah!" berteriak seorang. "Kami hanya tahu, kambing gemuk
berada di depan mata dan tinggal menunggu ditangkap. Majikan! Bukankah
begitu?"
Kepala perampok itu mengawasi Kwee Tay Kie dan berkata sembari
tertawa: "Siauwsamtjoe! Kau jangan bawel! Aku lihat, Kwee Piauwtauw
adalah seorang yang mengenal aturan dan di dalam kalangan Kangouw, kita
memang harus menghargakan tali persahabatan. Begini saja: Obat-obatan ini
justru sangat diperlukan di tempat kami dan tanpa sungkansungkan kami
ingin memintanya. Semua pegawai Piauwkiok boleh berlalu tanpa mendapat
gangguan dan kami pun tak akan merampas uang. Kwee Piauwtauw! Bukankah
peraturan ini sudah cukup pantas?"
Si pedagang obat ketakutan bukan main dan sekujur badannya jadi
gemetaran. Ia mengawasi Kwee Tay Kie dengan perasaan kuatir, kalau-kalau
si piauwsoe tua akan tunduk terhadap kemauan kepala perampok itu.
Kwee Tay Kie dongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Terima kasih atas kemurahan hati Tjeetjoe," katanya. "Sebenarnya aku
harus menurut pada kemauan Tjeetjoe, akan tetapi, seorang yang makan
gaji, harus setia terhadap majikannya. Orang yang menyewa tenaga kami
merupakan ayah ibu yang memberi makan kepada piauwkiok. Jika sekarang,
untuk menyelamatkan diri, kami tunduk terhadap perintah Tjeetjoe dan
meninggalkan sang ayah dan ibu, maka piauwkiok kami pasti akan segera
menggulung tikar dan puluhan keluarga kami akan mati kelaparan. Tjeetjoe!
Aku si tua mohon Tjeetjoe sudi mempertimbangkan perkataanku ini."
Kepala penjahat itu tertawa tawar. "Perkataan Kwee Piauwtauw
sedikitpun tiada salahnya," katanya dengan suara menyindir. "Akan tetapi,
jika kami tidak berjual beli (merampok), apakah Kwee Piauwtauw mau suruh
kami makan angin?"
"Soehoe!" berseru salah seorang piauwsoe setengah tua itu. "Jika
mereka sungkan memberi muka, guna apa kita bicara panjang-panjang lagi?"
Si kepala perampok tertawa besar sambil menarik tali gendewa.
Berbareng dengan suara menjepretnya gendewa, kedua piauwsoe setengah tua
itu menangkis dengan goloknya.
Mendadak terdengar suara "plak!" dan peluru itu pecah dengan
mengeluarkan api yang lantas saja membakar baju kedua piauwsoe itu. Buru-
buru mereka bergulingan di atas tanah dan waktu mereka bangun lagi, Kwee
Tay Kie sudah bertempur dengan kepala perampok itu.
Walaupun sudah berusia lanjut, gerakan Kwee Tay Kie sangat cepat
dan sebelum si penjahat dapat melepaskan pelurunya, hoentjwee-nya sudah
menyambar kepala si pemimpin rampok. "Bagus!" berteriak kepala perampok
itu sembari mengebas dengan gendewanya untuk membabat pergelangan tangan
Kwee Tay Kie. Serangan itu adalah satu serangan aneh, sehingga dengan
cepat si piauwsoe memutarkan badannya sambil menyodok dengan
hoentjwee-nya yang digunakan seperti sebatang tombak pendek. Serangan itu
disusul dengan pukulan Tjinpo lianhoan (Majukan kaki secara berantai),
hoentjwee-nya mengetok ke bawah, seperti orang mengetok dengan martil.
Dan sebagai serangan yang ketiga, sembari memutar badan sekali lagi, Kwee
Tay Kie menotok jalan darah Djoanma hiat di dada si penjahat dan kali ini
hoentjwee tersebut digunakan sebagai Poankoan pit (senjata yang bentuknya
seperti pit, pena Tionghoa). Demikianlah dengan beruntun Kwee Tay Kie
mengirimkan tiga serangan dengan menggunakan tiga macam pukulan yang
berlainan. Kepala perampok itu segera mengangkat gendewanya dan dengan
tiga macam pukulan yang berlainan, ia dapat memunahkan ketiga serangan si
piauwsoe tua.
Ia tertawa berkakakan. "Piauwtauw Tjinwie Piauwkiok sungguh
liehay!" katanya. "Tapi bertemu Hoeihweetan Tjoe Teng (Tjoe Teng si
Peluru Api Terbang), keangkerannya akan menjadi musnah!"
Sehabis berteriak, ia segera merobah cara bersilatnya, punggung
gendewa digunakan untuk menyapu dan memukul. Sedang tali gendewa
digunakan untuk membetot dan membabat. Gendewa tidak termasuk di dalam
delapan belas jenis senjata dan jika seorang dapat menggunakan gendewa
sebagai senjata, ia tentu mempunyai ilmu silat yang istimewa. Maka itu,
sesudah bertempur lama juga, walaupun mempunyai pengalaman puluhan tahun,
Kwee Tay Kie masih belum bisa berada di atas angin.
Sementara itu, dengan dipimpin oleh kedua piauwsoe setengah tua
itu, para pegawai piauwkiok sudah bertempur dengan kawanan perampok.
Jumlah kedua belah pihak kira-kira berimbang. Pihak perampok terlebih
unggul daripada para pegawai piauwkiok dalam ilmu silat, tapi dapat
diimbangi oleh kedua piauwsoe itu yang kepandaiannya banyak lebih tinggi
dari mereka. Dengan demikian, sesudah berkutet lama juga, belum kelihatan
siapa yang bakal kalah.
Keng Thian duduk dan menonton. Ia tidak mau lantas turun tangan dan
diam-diam mengawasi gerak-gerik keluarga yang terdiri atas tiga orang
itu.
Tiba-tiba si gadis tertawa geli. "Ibu," katanya "Perampok itu juga
dapat menggunakan Tankiong (Gendewa peluru)!"
"Fui!" membentak ibunya. "Dalam dunia yang lebar, apakah hanya kau
seorang yang dapat menggunakan Tankiong?"
"Benar! Tapi dalam dunia yang lebar ini, Tankiong dari keluarga Yo
yang paling liehay," berkata pula gadisnya. "Ibu! Aku masih ingat, kaulah
yang berkata begitu."
"Bawel benar kau!" mengomel sang ibu.
Keng Thian kaget. "Tankiong dari keluarga Yo?" ia menanya dirinya
sendiri. "Keluarga Yo yang mana?"
Sekonyong-konyong sambil mengeluarkan teriakan
menyeramkan, gendewa si perampok menyambar bagaikan kilat dan di
lain saat, pundak Kwee Tay Kie terluka dan ia terhuyung beberapa tindak.
"Binatang! Biar sekarang aku mengadu jiwa tuaku!" ia berteriak.
Kepala perampok itu tertawa berkakakan sembari mementang gendewa
dan melepaskan belasan peluru.
Begitu Lioehong Hweeyamtam (peluru api yang dibuat dari welirang)
menyambar, beberapa pegawai piauwkiok roboh terjungkal dan beberapa orang
lain pada terbakar bajunya, sehingga buru-buru mereka menggulingkan diri.
Selagi si perampok melepaskan peluru, orang tua yang berbadan
tinggi besar itu berkata pada puterinya: "Hee-djie. Aku lihat tanganmu
sudah gatal sekali. Sekarang boleh kau turun tangan!"
Si gadis tertawa girang dan sambil meloncat bangun, ia mementang
gendewanya. Di lain saat, bagaikan bintang sapu sejumlah peluru menyambar
peluru api si penjahat yang lantas pada jatuh dengan terbakar.
Bukan main gusarnya kepala perampok itu. Sambil mengegos untuk
menyingkir dari serangan Kwee Tay Kie, ia mementang gendewanya dan
puluhan peluru api menyambar si nona seperti hujan gerimis.
"Hee-djie!" berseru ibunya. "Caramu belum sempurna. Lihatlah ini!"
Bagaikan kilat, si nyonya segera melepaskan puluhan peluru ke arah
peluru-peluru api itu, yang, seperti juga mempunyai mata, lantas pada
berbalik menyambar ke kawanan perampok. Dalam sekejap, beberapa perampok
sudah bergulingan di atas tanah dengan 'pakaian terbakar dan sebuah
peluru api hampir-hampir saja mengenakan Tjoe Teng, si kepala perampok,
yang lalu berteriak-teriak bahna gusarnya.
Kwee Tay Kie yang sudah tidak menghitung hidup, jadi terkejut
berbareng girang melihat datangnya bintang penolong yang tidak diduga-
duga. Selagi ia bengong mengawasi si nyonya, tiba-tiba Tjoe Teng
menendang dadanya dengan ilmu tendangan Tengkak.
Pada detik yang sangat berbahaya, si orang tua yang berbadan tinggi
besar berseru: "Tjeng-moay! Bereskanlah buaya-buaya yang lainnya!"
Sehabis berseru begitu, ia menjejek kedua kakinya dan badannya lantas
melesat bagaikan seekor burung. Di lain saat, tangannya sudah menyambar
kepala perampok itu yang lantas dilemparkan keluar pintu.
Pada detik itu, di luar pintu tiba-tiba terdengar suara tertawa
menyeramkan yang tidak begitu diperhatikan orang oleh karena pertempuran
sedang berlangsung hebat. Sesaat kemudian, seorang lelaki sudah berada
dalam ruangan itu.
Keng Thian yang kupingnya liehay sangat terkejut ketika mendengar
suara tertawa itu. Ia mengawasi lelaki yang baru masuk itu, dan yang
ternyata adalah seorang pengemis berpakaian rombeng dengan sebelah tangan
mencekal tongkat hitam dan seluruh badannya penuh bisul. Orang tersebut
bukan lain daripada si penderita kusta dengan siapa ia pernah bertemu di
gunung Tjiakdjie san.
Keng Thian tetap menyandar pada tembok, ia mengangkat leher
bajunya, sehingga sebagian mukanya jadi ketutup. Begitu masuk, si
pengemis mengebas tangannya dan si orang tua mundur beberapa tindak.
"Siapa kau?" ia membentak dengan suara gusar.
Si penderita kusta lantas saja mengeluarkan suara tertawa yang
membikin orang bergidik. "Kau tak kenal aku, tapi aku kenal kau!" katanya
sembari tertawa ha-ha he-he. "Di Shoatang, namamu besar sekali. Aku kira
kau masih berada disitu dan telah mengunjungi dua kali, tapi selalu tidak
bertemu. Tak tahunya kau berada di tempat ini! Ha-ha! He-he! Sungguh
bagus! Sungguh bagus! Aku dengar Ngohengkoen-mu adalah ilmu silat yang
paling liehay di sebelah selatan dan utara Sungai Besar. Maka itu, aku
sengaja mencari kau untuk memperluas pemandanganku! Ah! Nyonya itu
katanya adalah puterinya Tiattjiang Sintan (si Tangan Besi Peluru
Malaikat, gelaran ayahnya nyonya tersebut). Hm! Aku dilahirkan agak
terlambat, sehingga tak mempunyai kesempatan untuk berjumpa dengan
Tiattjiang Sintan. Sungguh beruntung, di tempat ini aku dapat bertemu
dengan seorang pendekar wanita yang pada dua puluh tahun berselang, sudah
menggetarkan dunia Kangouw. Dari beliau, aku pun ingin memohon
pengajaran!"
Kepala perampok yang tadi dilemparkan keluar pintu, sekarang sudah
masuk kembali. Ia girang bukan main waktu mendengar kata-kata si
pengemis, yang diduga adalah seorang penjahat juga. "Eh," katanya.
"Kambing gemuk itu kita bagi seorang separoh. Semangkok air kita minum
bersama-sama!"
Si penderita kusta mendelik dan membentak: "Siapa perdulikan
kambing gemukmu! Keluar!" Ia mendorong dengan kedua tangannya dan badan
si perampok lantas terpental serta menubruk pintu, sehingga sebelah daun
pintu copot dari engselnya. Di antara desiran angin malam yang sayup-
sayup, terdengar suara jeritan si perampok yang menyayatkan hati.
Melihat itu semua, kawanan perampok jadi pecah nyalinya dan lari
serabutan untuk menyelamatkan jiwa Orang-orang dari Piauwkiok dan si
pedagang obat juga ketakutan setengah mati dan mereka mundur ke pojok
tembok.
Barusan, ketika si pengemis mendorong Tjoe Teng, baru Kwee Tay Kie
dapat melihat bisul-bisulnya dan ia kaget tak kepalang. Bagaikan kesima,
ia mengawasi dengan mata mendelong.
Muka si orang tua yang berbadan tinggi-besar jadi pucat. "Apakah
kau bukannya Toktjhiu Hongkay (si Pengemis Kusta Yang Tangannya Beracun)
yang sengaja menyeterukan orang-orang gagah di kolong langit?" ia
menanya.
"Ha-ha! Hehe! Tak salah!" jawabnya. "Dalam dunia ini, tak banyak
orang gagah yang mempunyai cukup derajat untuk bertempur dengan aku.
Hayo! Keluarkanlah kepandaianmu!"
"Hee-djie!" berseru si orang tua. "Lekas lari!" Dengan sekali
meloncat, ia menyambar sebatang golok seorang pegawai piauwkiok dan tanpa
berkata suatu apa, ia membacok. Orang tua itu sebenarnya tersohor liehay
dalam ilmu silat tangan kosong Ngohengkoen dan tidak begitu biasa
menggunakan golok. Akan tetapi, ia merasa jijik untuk berbenturan tangan
dengan si kusta oleh karena melihat bisul-bisul yang membikin bulu roma
berdiri.
Si pengemis mendelik akan kemudian tertawa berkakakan seperti orang
gila. "Ha! Kau jijik berbenturan tangan denganku?" ia berkata dengan
suara mengejek. "Hm! Sebentar kau rasakan bagaimana enaknya rasa
bisulku!" Ia pindahkan tongkat besinya ke tangan kiri dan tanpa
bersenjata, tangan kanannya segera mengirim serentetan pukulan hebat,
sembari mengangsek maju.
"Hee-djie! Lari!" si nyonya meneriaki puterinya, sembari melepaskan
tiga buah peluru yang menyambar ke muka, ke dada dan ke kaki, masing-
masing menuju ke jalan darah yang membinasakan. Cara melepaskan tiga
Sintan dengan beruntun itu sudah kesohor sedari dulu dan pernah
merobohkan banyak sekali orang gagah.
"Sintan keluarga Yo benar-benar liehay!" berseru si pengemis.
Dengan menundukkan kepala, ia menghindari Sintan yang menyambar mukanya,
dengan kedua jerijinya ia menjepit Sintan yang menghantam dada dan
akhirnya, dengan tongkatnya ia menyampok peluru yang terbang ke kakinya.
Sesudah itu, sambil membentak keras, ia membuka mulut dan menggigit
belakang golok si orang tua.
Puluhan tahun ia berkelana di sebelah selatan dan utara Sungai
Besar, tapi belum pernah ia bertemu dengan seorang lawan yang mempunyai
ilmu silat sedemikian luar biasa. Begitu goloknya digigit, ia merasakan
tangannya kesemutan dan tanpa tercegah lagi, senjata itu terlepas dari
tangannya.
Si pengemis tertawa keras dan melonjorkan sebelah tangannya untuk
mengusap muka lawannya. Si orang tua menggeram seperti harimau terluka
dan sembari mengempos semangat, ia mengirim satu pukulan ke dada musuh.
Dalam gusarnya, ia menghantam dengan pukulan membinasakan dari ilmu silat
Ngohengkoen.
Si penderita kusta mengeluarkan teriakan aneh dan meloncat mundur
beberapa tindak akan kemudian, dengan sekali menotok tanah dengan
tongkatnya, ia sudah meloncat pula ke depan dan berhadapan lagi dengan si
orang tua.
"Aku tak percaya kau dapat menahan tiga pukulanku!" katanya sembari
tertawa haha-hihi.
Jotosan Ngohengkoen si-orang tua barusan itu mempunyai tenaga
kurang lebih delapan ratus kati dan seumur hidupnya, pukulan tersebut
dapat dikatakan belum pernah meleset. Akan tetapi, kali ini tinjunya yang
sedemikian liehay sudah dapat dipunahkan secara begitu mudah oleh si
pengemis, maka tidaklah heran, jika ia jadi kaget berbareng kuatir.
Sekonyong-konyong si pengemis menjotos dengan sebelah tinjunya dan
selagi si orang tua mau loncat menyingkir, lehernya mendadak digaet
dengan tongkat besi.
Melihat ayahnya berada dalam bahaya, si gadis lantas melepaskan
segenggam peluru dengan menggunakan ilmu Boanthian hoa-ie (Hujan bunga di
selebar langit). Si pengemis terus menggentak sehingga orang tua itu jadi
terguling dan kemudian berkata sembari tertawa: "Sebentar kau akan
merasakan enaknya bisulku!" Berbareng dengan perkataannya itu, ia
putarkan tongkatnya sehingga semua peluru jatuh berhamburan di atas
tanah.
"Bagus!" ia berseru. "Biarlah nona cantik ini lebih dulu merasakan
gurihnya bisulku!" Sekali menotol tanah dengan tongkatnya, badannya
melesat ke atas dan lalu menyambar gadis itu yang lantas saja jatuh
kejengkang.
Dalam kaget dan bingungnya sang ibu melepaskan tujuh peluru yang
menghantam ke tujuh jalan darah si pengemis. Ia mengetahui, bahwa
pelurunya tak akan dapat melukakan si penderita kusta, akan tetapi, dalam
saat yang berbahaya itu, ia tak mempunyai lain jalan yang lebih baik.
Tanpa memperdulikan peluru-peluru itu, si pengemis menurunkan tangannya
untuk menjambak si nona.
Pada detik yang luar biasa gentingnya, tiba-tiba saja terdengar
suara "ssr, ssr" dan dua sinar merah berkelebat di tengah udara. Hampir
berbareng dengan itu, si pengemis mengeluarkan suara teriakan hebat dan
tubuhnya melesat ke atas, hampir-hampir kepalanya
mengenakan payon. Selagi badannya melayang turun ke bawah, ia
menghantam si nyonya dengan tongkatnya.
Nyonya itu kaget bukan main, sambil melemparkan gendewa, ia
mencabut sepasang Lioeyap to (Golok daun lioe) untuk menyambut serangan
itu. Si pengemis menyerang bagaikan harimau edan dan dalam tiga jurus
saja, sepasang golok si nyonya sudah terpental ke tengah udara Sekonyong-
konyong, pengemis itu menyembur dengan mulutnya sembari membentak:
"Bocah! Kau juga berada disini?"
Begitu kedua goloknya terpental, si nyonya jadi terkesima dan
berdiri bengong. Di lain saat, kedua matanya menjadi silau lantaran
munculnya sinar dingin dari sebatang pedang dan si pemuda baju putih
sudah mulai bertempur dengan pengemis itu.
"Yoeliong kiam!" berseru si nyonya dengan suara tertahan.
Pemuda baju putih itu tentu saja bukan lain daripada Tong Keng
Thian. Tadi, pada detik yang paling berbahaya, dengan satu timpukan yang
sungguh indah, ia melepaskan dua Thiansan Sinbong. Melihat menyambarnya
senjata rahasia, buru-buru pengemis itu menutup semua jalan darahnya Ia
menduga, dengan menutup jalan darah, senjata rahasia itu tak akan dapat
melukakan tubuhnya. Tapi sekali ini ia keliru. Thiansan Sinbong yang
liehay luar biasa, ditambah dengan tenaga dalam Keng Thian yang sudah
mencapai tingkat yang tinggi, sudah dapat menobloskan "tutupan" itu.
Begitu tertusuk, si pengemis merasakan jantungnya sakit dan ia
mengetahui, bawa ia sudah mendapat luka berat.
Hampir berbareng dengan senjata rahasianya, Keng Thian menerjang
dengan Yoeliong kiam. Saat itu, dalam kegusaran hebat, si pengemis
menyembur. Keng Thian segera berkelit dengan anggapan, bahwa musuh itu
ingin meludahinya. Juga ia sudah menduga keliru. Mengimpi pun ia tak
pernah, bahwa senjata rahasia si pengemis justru disimpan di dalam
mulutnya dan dengan semburan itu, sejumlah senjata rahasia yang sangat
halus menyambar dirinya
Mendadak ia merasakan pergelangan tangannya seperti digigit semut,
tak seberapa sakit, tapi sangat gatal.
Darah Keng Thian naik tinggi. "Binatang!" ia membentak. "Kau ini
tak bedanya dengan ular berbisa! Begitu bertemu manusia lantas
menggigit!"
Si pengemis tertawa besar. "Benar! Benar!" katanya. "Malam ini kau
adalah manusia pertama yang digigit ular!"
Tanpa banyak bicara, Keng Thian segera mengirim serangan berantai
yang sangat hebat. Si pengemis cekal tongkatnya dengan kedua tangannya
dan sekali tarik, ia mencabut keluar sebatang pedang besi yang hitam
mengkilap. Ternyata, tongkat itu merupakan sarung pedang yang dibuat
secara istimewa sekali.
Yoeliong kiam adalah senjata mustika yang sudah kesohor di seluruh
Rimba Persilatan. Begitu kedua senjata berbentrok, lelatu api muncrat dan
pedang si pengemis somplak. "Ih!" berseru si pengemis sembari meloncat
mundur. Keng Thian juga diam-diam merasa kaget, oleh karena Yoeliong kiam
yang dapat mengutungkan besi dan memapas baja, tak dapat memutuskan
pedang besi itu.
Ilmu silat si penderita kusta sangat aneh dan tak menurut peraturan
biasa. Akan tetapi, walaupun kelihatan kalang-kabut, setiap serangannya
sangat berbahaya dan mempunyai perobahan-perobahan yang tak diduga-duga.
Dengan penuh kegusaran, Keng Thian menyerang dengan ilmu pedang Toeihong
Kiamhoat, akan tetapi, sesudah menjalankan habis delapan belas rupa
serangannya, si pengemis belum memperlihatkan tanda-tanda keteter. Di
sebelah ilmu silatnya, penderita kusta itu pun sangat dalam lweekang-nya
dan kurang lebih dapat direndengkan dengan tenaga dalam Keng Thian.
Sesudah si nona sadar dari pingsannya, ayah, ibu dan puteri itu
lantas saja menerjang si pengemis jahat untuk membantu Keng Thian. Dengan
tangan kanan mencekal pedang besi, ia melawan Keng Thian, sedang tangan
kirinya yang memegang sarung pedang melayani tiga lawan baru itu. Tangan
kanannya lebih banyak membela diri daripada menyerang, sedang tangan
kirinya lebih banyak menyerang daripada membela diri. Dengan penuh
semangat, Keng Thian mencecer musuhnya dengan Toeihong Kiamhoat dan dalam
sekejap, tiga puluh jurus sudah lewat. Beberapa saat kemudian, di atas
kepala si pengemis keluar uap panas dan keringat mengucur dari mukanya
Keng Thian tahu, bahwa Thiansan Sinbong sudah mulai menyerang jantung
orang itu dan ia lalu memperhebat serangannya.
Si pengemis tiba-tiba mendelik dan menyapu Keng Thian dengan
matanya yang bersinar seperti kilat. "Bocah!" ia membentak. "Dengan
mengeluarkan tenaga begitu banyak, apa kau kira bisa hidup terus?"
Keng Thian kertek giginya dan mengirim satu tikaman hebat. Pada
saat ujung Yoeliong kiam hampir mengenakan badannya, si pengemis mendadak
berjungkir balik dan meloncat keluar melewati mulut pintu. Keng Thian
segera menjejek kedua kakinya untuk mengubar, akan tetapi, tiba-tiba ia
merasakan badannya seperti ditusuk-tusuk dengan ribuan jarum dan semacam
hawa amis naik ke tenggorokannya dari dalam perutnya! Di lain detik,
matanya berkunang-kunang dan tanpa dapat berdaya lagi, ia roboh di atas
tanah.
Keng Thian segera mengempos semangatnya untuk menjaga jantungnya.
Semua orang menjadi bingung dan berusaha untuk memberikan pertolongan.
Walaupun terluka hebat, kuping Keng Thian terang sekali dan dapat
menangkap satu-satu perkataan orang.
"Loopiauwtauw janganlah menghaturkan terima kasih," demikian
terdengar suara si orang tua. "Mari kita periksa luka sahabat ini."
Keng Thian tak dapat bicara lagi, kepalanya berat dan lapat-lapat
ia mendengar perkataan salah seorang: "Ih! Senjata rahasia apa yang
digunakan olehnya?"
"Jangan menggunakan sembarang obat, kalau salah, lukanya bisa jadi
semakin berat."
"Ah! Kenapa seperti gigitan ular?"
"Lihat! Mukanya bersemu hitam!"
"Siapa mempunyai jarum emas? Coba keluarkan darahnya."
"Tak usah. Senjata rahasia sudah terang direndam dalam bisa
ular..."
Hanya sebegitu yang dapat didengar Keng Thian. Ia ingin sekali
memberitahukan mereka, bahwa dalam kantongnya terdapat pil Pekleng tan
yang dibuat daripada Soatlian, tapi mulutnya sudah terkancing. Kepalanya
semakin lama jadi semakin berat dan sesaat kemudian, matanya gelap dan ia
tak ingat dirinya lagi.
Berselang tujuh hari, seperti orang yang baru mendusin dari suatu
impian jelek, ia sadar kembali. Ketika itu, ia sendiri tentu saja belum
mengetahui sudah pingsan begitu lama. Di antara kekaburan, ia ingat
kejadian tujuh hari berselang dan ketika membuka kedua matanya, ia
melihat sinar matahari yang menembus ke kamarnya dan dahan-dahan bunga
yang bergoyang-goyang diluar jendela. Hidungnya mengendus serupa wangi-
wangian yang halus sekali dan ia merasakan dadanya lapang.
"Oh, Tuhan! Terima kasih! Terima kasih banyak! Akhirnya ia mendusin
juga!" demikian terdengar suara wanita yang lemah lembut.
Ia melirik. Kedua wanita yang ia jumpakan di gunung Tjiakdjie san
pada tujuh hari berselang, kelihatan duduk di depan pembaringan sambil
mengawasi mukanya dengan paras muka girang, sedang Yoeliong kiam
tergantung di kepala ranjang.
"Kenapa aku bisa berada disini?" menanya Keng Thian. "Tempat
siapakah ini?"
"Hee-djie," berkata sang ibu. "Pergi ambil semangkuk Somthung (air
godokan Yosom)." Sesudah itu, dengan suara halus ia berkata kepada Keng
Thian: "Kau sudah terkena senjata rahasia beracun si pengemis kusta dan
sudah rebah disini tujuh hari dan tujuh malam. Ini adalah rumah kami."
Keng Thian meramkan kedua matanya, mengingat-ingat kejadian pada
malam itu. Ia bergidik dan berkata dengan suara terharu: "Terima kasih!"
"Bukan kau, tapi kamilah yang harus menghaturkan terima kasih
padamu," sahut si nyonya sembari tertawa.
Sesaat itu, gadisnya sudah masuk pula dengan membawa Somthung yang
lantas diberikan kepada Keng Thian. Sesudah minum air godokan itu, ia
merasa badannya segar dan semangatnya terbangun.
"Hee-djie," berkata pula sang ibu. "Bawa keluar pakaian Tong Koko.
Apa dua stel pakaian baru itu sudah selesai dijahit?"
"Siang-siang sudah selesai," jawab si nona
Keng Thian mengendus bau amis yang keluar dari pakaiannya dan
melihat mata ibu dan anak itu agak merah, satu tanda bahwa bermalam-malam
mereka sudah menggadangi dirinya
Mengingat kebaikan orang Keng Thian jadi sangat terharu dan berkata
dengan suara perlahan:
"Budimu yang sangat besar, seumur hidup tak akan aku lupakan."
Mendadak si nona tertawa nyaring. "Ibu," katanya. "Apakah lagak
ayahnya juga seperti ia, halus dan lemah lembut?"
Sang ibu tertawa dan tak meladeni pertanyaan puterinya yang nakal.
"Racun itu hebat luar biasa dan jarang terdapat dalam dunia," menerangkan
si nyonya. "Sebenar-benarnya kau sendirilah yang sudah menyembuhkan
lukamu. Untuk apa menghaturkan terima kasih kepada kami?"
"Apa?" menanya Keng Thian dengan rasa heran.
"Untung juga aku masih mengenali Yoeliong pokiam dan mengetahui
cara menggunakan Pekleng tan," jawab nyonya itu. "Kalau bukannya begitu,
kami pun tak akan dapat berdaya lagi."
Si nyonya tertawa-tawa dan kemudian menyambung pula penuturannya:
"Orang yang paling dulu mendapat tahu, bahwa kau sudah kena racun ular
adalah si pedagang obat. Ia segera memberikan dua butir yowan (pil) yang
istimewa untuk
menyembuhkan luka digigit binatang berbisa. Obat itu sebenarnya
sudah dipesan oleh sebuah toko obat besar di kota Pakkhia dan oleh karena
merasa sangat berhutang budi atas pertolongan kita, tanpa merasa sayang
ia sudah mengeluarkan obatnya yang mahal itu. Akan tetapi, yowan tersebut
juga hanya dapat menahan menjalarnya racun untuk sementara waktu. Buru-
buru kami menyewa tandu dan membawa kau sampai disini. Kami berusaha
memberikan pertolongan dengan mengurut jalan darahmu, tapi semua tinggal
sia-sia. Dalam kebingungan, tiba-tiba aku ingat, bahwa sebagai pemilik
Yoeliong kiam, kau tentu membawa juga Pekleng tan yang terbuat dari
Soatlian. Benar saja kami beruntung menemukan pil yang mujarab itu dalam
kantongmu dan buru-buru aku menghancurkan sebutir Pekleng tan dengan air
salju, separoh aku cekokkan ke dalam mulutmu dan separoh lagi dipoleskan
pada lukamu. Hm! Sungguh hebat racun si pengemis kusta! Thiansan Pekleng
tan yang dapat menyembuhkan segala rupa racun, masih memerlukan tujuh
hari dan tujuh malam!"
Ketika itu Keng Thian sudah sadar benar-benar dan ia ingat segala
kejadian pada malam itu. Mendengar penuturan sang penolong, tanpa merasa
ia menanya: "Kalau begitu kau kenal baik ayahku, bukan?"
Si nyonya mesem dan paras mukanya mendadak bersemu dadu, seperti
juga pada malam itu, ketika mereka baru bertemu muka. "Kenal baik?" ia
mengulangi dengan suara perlahan. "Kami berdua, aku dan ayahmu, adalah
kawan bermain sedari kecil! Apakah ayahmu belum pernah menyebutkan
namanya Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng? Aku adalah anak perempuan
Tiattjiang Sintan."
"Ha!" Keng Thian mengeluarkan seruan tertahan. "Kalau begitu, kau
adalah Yo Pehbo. Ibu sering sekali menyebut namamu."
"Apakah ibumu baik?" menanya nyonya itu sembari tertawa.
"Baik," jawabnya. "Sering sekali ibu mengatakan, bahwa pada dua
puluh tahun berselang, mereka pernah menerima budi ayahmu yang sangat
besar. Lima tahun ayahku pernah menjadi murid Yo soetjouw (Kakek guru)
dan kalau dihitung-hitung, aku harus memanggil Soesiok (Paman guru)
kepada Pehbo."
Mendengar itu, si nyonya lantas saja teringat segala kejadian pada
dua puluh tahun berselang dan paras mukanya lantas saja menjadi guram.
"Apakah ayahmu baik?" ia menanya.
"Baik, tak kurang suatu apa," jawabnya. "Di Thiansan, ayah
memelihara abunya Yo Soetjouw."
Mendengar itu, muka si nyonya lantas menjadi terang kembali.
"Kami sebenarnya ingin pergi ke Thiansan guna menyambangi kedua
orang tuamu. Tak dinyana, di tengah jalan bertemu dengan kau. Benar-benar
maunya Tuhan."
Nama nyonya itu adalah Yo Lioe Tjeng, bekas tunangan Tong Siauw
Lan. Belakangan sesudah pertunangan putus, ia menikah dengan Tjee Sek
Kioe, seorang ahli silat Ngohengkoen. Memang sudah lumrahnya, bahwa
seorang wanita sukar sekali dapat melupakan kecintaannya yang pertama.
Maka itu, walaupun sudah menikah dan mempunyai seorang puteri, kadang-
kadang ia teringat segala kejadian yang lampau. Sesudah banyak tahun
berpisah dengan Tong Siauw Lan, sering-sering ia teringat bekas tunangan
itu. Tjee Sek Kioe mengetahui isi hati isterinya dan pula mengetahui,
bahwa sesudah mereka menikah dengan segala keberuntungan, kecintaan sang
isteri terhadap Tong Siauw Lan bukannya "kecintaan" yang menyeleweng,
akan tetapi suatu kecintaan dari seorang saudara. Di sebelah itu, ia pun
merasa sangat kangen kepada Tong Siauw Lan, sahabatnya. Maka itulah,
ketika sang isteri mengutarakan keinginannya, dengan segala senang hati
ia menemani Yo Lioe Tjeng untuk pergi mencari Tong Siauw Lan. Dulu,
keluarga Tjee bertempat tinggal di rumah Yo Tiong Eng. Tapi belakangan,
gara-gara suatu kejadian, mereka pindah ke propinsi Soetjoan.
Oleh karena hebatnya racun, sesudah sadar beberapa hari, Keng Thian
baru dapat jalan merayap dengan berpegangan tembok dan untuk mendapat
kembali seluruh kesehatannya, agaknya ia harus mengasoh sedikitnya
setengah bulan lagi. Maka itu, tak dapat tidak ia harus berdiam terus di
rumah keluarga Tjee untuk beberapa lama.
Dengan penuh kecintaan, keluarga tersebut merawat Keng Thian,
terlebih pula Yo Lioe Tjeng yang memperlakukan ia seperti puteranya
sendiri. Puteri Tjee Sek Kioe, yang bernama Tjee Tjiang Hee, adalah
seorang gadis jang simpatik dan gembira sifatnya, dengan gerak-geriknya
yang lincah bagaikan seekor burung kecil. Sering sekali ia menemani Keng
Thian dan sering pula meminta petunjuk-petunjuk dalam ilmu silat. Dalam
hari-hari pertama, oleh karena si pemuda belum kuat, Tjiang Hee sering
menuntun si pemuda waktu jalan di kebun belakang. Keng Thian adalah
seorang ksatria yang jiwanya bebas dari segala ingatan kotor dan sudah
memperlakukan gadis itu seperti saudara kandungnya sendiri.
Selang sepuluh hari lagi, kecuali badannya yang belum kuat betul,
semua racun sudah tertolak keluar dari tubuhnya. Perlahan-lahan ia
mendapat kembali kesehatannya.
Malam itu, bersama Tjiang Hee, ia jalan-jalan di luar rumah. Di
bawah sinar bulan jang laksana perak, ribuan bunga menyiarkan bau harum
semerbak, oleh karena waktu itu adalah buntut musim semi dan permulaan
musim panas, di kala kembang-kembang sedang mekarnya.
Sesudah bercakap-cakap ke barat dan ke timur, mendadak Tjiang Hee
munculkan soal Thiansan.
"Apakah enak bertempat tinggal di Thiansan?" menanya si nona.
"Yang sudah biasa tak akan merasakan apa-apa," jawab Keng Thian.
"Tapi untuk seorang yang baru datang, keadaan disana tentu mengherankan
dan ia harus menyesuaikan diri dulu. Seluruh tahun gunung itu ditutup es
dan dimana-mana terdapat sungai es. Dipandang dari jauh, sungai-sungai es
itu seakan-akan ribuan naga yang berwarna putih."
"Oh, begitu?" berkata si nona dengan perasaan kagum. "Bukankah
tempat itu jadi seperti surga dalam dongengan tempat tinggalnya dewi-
dewi?"
Keng Thian jadi teringat Pengtjoan Thianlie dan tanpa merasa ia
berkata: "Aku sendiri pernah melihat keraton es!"
"Di Thiansan?" menanya Tjiang Hee.
"Bukan, bukan di Thiansan," jawabnya.
Tiba-tiba si nona melihat paras muka Keng Thian yang sedikit guram.
"Apakah kau jadi ingat keluargamu, lantaran aku menyebut-nyebut
Thiansan?" ia menanya. "Sesudah kau sembuh, kami semua akan mengantar kau
pulang ke Thiansan."
"Bukan, aku bukan teringat keluargaku," sahut Keng Thian. "Sesudah
sembuh, aku malah ingin meneruskan perjalanan ke Soetjoan barat."
"Apa orang yang hidup di Thiansan tak merasa kesepian?" menanya
pula si nona.
"Di atas gunung terdapat beberapa keluarga yang berhubungan rapat
sekali, sehingga kita tak merasa kesepian," menerangkan Keng Thian. "Ie-
ie-ku juga berada di Thiansan. Ia paling senang bergaul dengan nona-nona
yang nakal."
"Menurut kata ibu, ibumu dan adiknya adalah saudara kembar dan muka
mereka sangat mirip," kata lagi Tjiang Hee. "Apa benar begitu?"
"Benar," jawabnya sembari tertawa. "Aku sendiri sering tak dapat
membedakannya."
"Apakah muka saudara misanmu mirip dengan kau?" tanya Tjiang Hee.
"Tidak," jawab Keng Thian sembari tertawa dan kemudian menambahkan:
"Piauwmoay-ku (adik misan perempuan) mirip sekali dengan kau."
"Apa ia cantik?" tanya si nona.
"Cantik. Sungguh cantik!" jawabnya. "Secantik kau!"
"Dusta," kata Tjiang Hee. "Ia tentu banyak lebih cantik!" Sesaat
kemudian, ia tertawa dan berkata pula: "Kata ibu, kau adalah seorang
pemuda yang baik sekali, sama benar dengan ayahmu dulu. Kalau benar
begitu, kau juga tentu adalah seorang muda yang sangat romantis."
"Apa?" menegasi Keng Thian dengan perasaan jengah.
"Dulu, pada waktu ayahmu berdiam di rumah kakekku (Yo Tiong Eng),
ia telah menulis sebuah sajak yang kemudian disimpan oleh ibuku,"
menerangkan Tjiang Hee. "Belakangan, oleh karena merasa ketarik, aku
mengambil sajak itu dan selalu kubawa-bawa dalam kantongku. Aku sendiri
tak begitu mengerti isinya dan ingin minta petunjukmu. Sesudah membaca
itu berulang kali, sedikit banyak aku mengetahui, bahwa penulisnya adalah
seorang lelaki yang sangat romantis."
Tjiang Hee adalah puteri tunggal dari keluarga Tjee dan sedari
kecil mendapat didikan seperti seorang anak lelaki. Maka itu, ditambah
dengan adatnya yang sangat polos, ia selalu bicara terus terang, tanpa
tedeng aling-aling.
Di lain pihak, mendengar si nona membicarakan soal ayahnya, Keng
Thian merasa agak jengah. Akan tetapi, tersurung hati kepingin tahu,
lantas saja ia berkata: "Bolehkah aku membaca itu?"
Kertas itu sudah pecah di sana-sini, tapi huruf-hurufnya masih
lengkap dan dapat dibaca. Di atas kalimat "Pek Tjoe Leng" atau Sajak
Seratus Huruf terdapat tulisan yang artinya kira-kira seperti berikut:
Sungguh lelah, hidup terombang-ambing,
Di antara lautan manusia, Apakah ada sahabat yang mengetahuinya?
Sarung pedang dan kantong syair adalah kawan satu-satunya, Melawan sang
angin malam, menginjak embun pagi, berjalan tak henti-hentinya,
Nyanyiannya yang keras menembus awan. Suaranya yang santer membubarkan
halimun. Bagaikan seekor burung Gan yang terbang pergi akan kemudian
balik kembali! Bagaikan si burung Yo, bagaikan si burung walet, Menginjak
salju, tapaknya tak berbekas!

***
Gunung yang tertutup awan, bayangan dalam impian, semuanya samar-
samar, Anak walet mencari sarang. Tapi takut rintangan sang tirai,
Walaupun dalam kantong sudah penuh dengan tulisan indah, Tapi siapakah
yang dapat menyampaikan kepada si dia? Demikianlah sambil memeluk khim,
menggubah lagu. Dengan mata mengawasi sang langit yang tiada tepinya!
Sogo dan Tjenglie, Sampai kapankah kita dapat bertemu?
Dulu, sajak itu sebenarnya ditulis oleh Tong Siauw Lan lantaran ia
tak dapat melupakan Lu Soe Nio. Tapi Yo Lioe Tjeng sudah salah sangka, ia
menduga, bahwa Siauw Lan menulis untuk dirinya sendiri, dan itulah
sebabnya, mengapa ia lalu menyimpan sajak tersebut sebagai peringatan
yang indah.
Sehabis Keng Thian membaca, sambil tertawa Tjiang Hee berkata:
"Ibumu sungguh beruntung. Ayahmu membandingkan ia seperti seorang dewi
(Sogo dan Tjenglie)!"
Dengan begitu, Tjiang Hee juga sudah salah menafsirkan. Ia
menganggap, dengan "Sogo dan Tjenglie" dimaksudkan ibu Keng Thian.
Tapi Keng Thian sendiri merasa sangat heran dalam hatinya. Membaca
sajak itu, Keng Thian yang cerdas mengetahui, bahwa si penulis sedang
memikirkan seorang wanita yang berada jauh, yang bagaikan sekuntum bunga,
hanya dapat dipandang, tapi tak dapat dipetik. "Ketika itu ayah berada
dalam rumah keluarga Yo, maka tak bisa jadi sajak tersebut ditulis untuk
Yo Pehbo," katanya di dalam hati. Sebagai seorang yang tak mengetahui
asal-usul sajak tersebut, Keng Thian segera menarik kesimpulan, bahwa
ayahnya sudah menulis untuk ibunya sendiri.
"Begitu ayahnya, begitu juga anaknya," kata Tjiang Hee, tertawa.
"Kau pun tentu seorang muda yang romantis. Hanya sayang, piauwmoay-mu tak
berada disini." Mendengar perkataan si nona, Keng Thian jadi merasa geli
dan berkata dalam hatinya: "Hm! Mana kau tahu? Piauwmoay-ku dan kau
sendiri sama saja seperti ibumu dahulu, sedang aku sendiri tak berbeda
seperti ayahku. Mana kau tahu, bahwa di dalam hati aku sedang memikirkan
seorang lain!"
Melihat si pemuda sebentar merengut dan sebentar mesem, Tjiang Hee
jadi merasa heran sekali.
Tiba-tiba Keng Thian mendehem dan dari antara pohon-pohon bunga,
berjalan keluar ibu Tjiang Hee.
"Ibu, kenapa kau mencuri dengar pembicaraan kami?" tanya si nakal.
"Kalian bicara apa, sedikitpun aku tak dengar," jawabnya sembari
tertawa.
Ibu dan anak itu, yang perhubungannya, seperti juga kakak dan adik,
gemar sekali berguyon-guyon, akan tetapi Keng Thian yang mendengar kata-
kata mereka itu sudah jadi jengah sekali. "Malam sudah larut, untuk apa
Pehbo keluar seorang diri?" ia menanya.
"Yah memang sudah larut malam," jawab sang bibi sembari lirik
mereka.
Muka Keng Thian jadi berubah merah. Sesaat kemudian, Yo Lioe Tjeng
berkata dengan suara perlahan: "Keng Thian, sekarang ini kesehatanmu
belum pulih kembali. Hee-djie, tak boleh kau mengajak Tong Koko pergi
terlalu jauh dari rumah ini."
Mendengar ibunya bicara sungguh-sungguh, si nona segera menanya:
"Kenapa?"
"Keng Thian," berkata pula Yo Lioe Tjeng tanpa menjawab pertanyaan
puterinya. "Apakah kau masih ingat si pengemis kusta?"
Tjiang Hee bergidik dan mendului menjawab: "Manusia jelek yang
seperti beburonan itu? Sampai badanku menjadi debu, tak dapat aku
melupakannya!"
"Sebenar-benarnya, mukanya tidak begitu," kata Keng Thian sembari
mesem. "Jika tidak sengaja menakut-nakuti orang, ia sebenarnya adalah
seorang pemuda yang berparas cakap."
Baru saja berkata begitu, hati Keng Thian tergoncang, oleh karena
ia ingat serupa hal. Ia ingat penuturan kedua orang tuanya cara bagaimana
dulu mereka bertempur melawan Tokliong Tjoentjia di suatu pulau kecil.
Semula Tokliong Tjoentjia adalah seorang penderita kusta dan kemudian
melarikan diri ke pulau itu dan dapat menyembuhkan sendiri
penyakitnya. Oleh karena itu, di kemudian hari, ia jadi sangat
membenci manusia seumumnya.
Sebagai seorang jang pernah membaca buku-buku pengobatan, Keng
Thian sungguh tidak mengerti halnya si pengemis kusta. "Dengan bisul-
bisul yang memenuhi sekujur badannya, penyakitnya tentu sudah sangat
berat," pikir Keng Thian. "Tapi kenapa bulu alisnya tidak rontok? Apakah
ia bukan seperti Tokliong Tjoentjia? Jika benar begitu, penyakitnya tentu
sudah sembuh lama sekali. Dulu, sesudah berlatih puluhan tahun, baru
Tokliong Tjoentjia memperoleh ilmu silat yang tinggi. Di lain pihak, si
pengemis masih berusia sangat muda dan sebagai orang jang menderita
penyakit kusta, siapakah yang sudi menjadi gurunya? Tapi, kenapa ia
mempunyai kepandaian yang begitu tinggi?"
Demikianlah, macam-macam pertanyaan datang ke alam pikiran Keng
Thian. Apakah si pengemis adalah murid Tokliong Tjoentjia? Ini juga tak
mungkin, oleh karena, sepanjang penuturan ibunya, sesudah ditakluki oleh
Loe Soe Nio, Tokliong Tjoentjia telah kembali ke Tionggoan dan tiga tahun
kemudian, ia sudah meninggal dunia. Waktu itu, usia si pengemis kusta
paling banyak baru dua atau tiga tahun.
Keng Thian adalah seorang yang sangat cerdas, semakin ia memikir,
semakin besar rasa sangsinya terhadap pengemis itu. "Pehbo," katanya.
"Kau menyebut-nyebutkan pengemis kusta itu, apakah dia sedang berada di
dekat-dekat sini?"
"Benar," jawab Yo Lioe Tjeng. "Seorang guru silat dari Lengkoan
datang berkunjung dan mengatakan, bahwa di tempatnya telah muncul seorang
pengemis kusta yang menyeterukan orang-orang gagah dari Rimba Persilatan.
Menurut katanya, Tong Lootaypo juga telah dirobohkan. Kedatangannya
adalah untuk minta bantuan dari ayah Hee-djie, tanpa mengetahui bahwa
kita juga sudah bergebrak dengan pengemis itu."
Mendengar kisah itu, Keng Thian terkejut. Kesehatannya belum pulih
dan jika benar-benar si pengemis kusta datang, sungguh tak ada orang yang
akan melawannya.
"Apakah Tong Lootaypo yang pernah mengajarkan aku menimpuk senjata
rahasia?" tanya Tjiang Hee.
"Benar," jawab ibunya, yang kemudian sembari tertawa berkata kepada
Keng Thian: "Pada dua puluh tahun lebih berselang, suaminya telah dibunuh
oleh Ie-ie-mu. Ketika itu, beberapa kali ia telah mencari kami untuk
membalas dendam. Belakangan urusan itu dapat didamaikan oleh seorang
sahabat dan sekarang kita sudah menjadi sahabat."
"Tong Lootaypo" atau Nyonya Tua Tong yang disebutkkan oleh Yo Lioe
Tjeng, adalah Tong Say Hoa, yaitu soetjie (kakak seperguruan) Liong Leng
Kiauw. Hati Keng Thian berdebar sebab ia memang mau mencari keluarga Tong
yang secara kebetulan ternyata bertempat tinggal di Lengkoan.
"Pengemis kusta itu sungguh harus dimampuskan?" berkata Tjiang Hee
dengan suara gusar. "Tak bedanya seperti anjing gila yang menyerobot
segala orang."
"Apakah Pehbo tahu asal-usulnya?" tanya Keng Thian.
"Menurut kata Pehpeh-mu (pamanmu Tjee Sek Kioe), pengemis kusta itu
baru muncul sedari kira-kira dua tahun berselang," jawab sang bibi. "Dari
Tionggoan ia datang di Utara barat, dimana ia mencari orang-orang ternama
dari Rimba Persilatan untuk dibikin malu. Siapa juga tidak mengetahui
asal-usulnya."
Keng Thian menundukkan kepalanya, ia sungguh tak dapat memecahkan
teka-teki di sekitar si pengemis kusta.
"Soal si pengemis sudah cukup aneh, tapi ada lagi lain hal yang
terlebih aneh," berkata Yo Lioe Tjeng.
"Ada apa lagi?" menanya Keng Thian.
"Menurut kata orang, dua wanita yang cantik bagaikan dewi berjalan
bersama-sama pengemis itu," menerangkan sang bibi.
Keng Thian terkesiap. "Apa?" ia menegaskan.
"Ada orang melihat mereka bertiga jalan bersama-sama, sembari
bercakap-cakap dengan tertawa-tawa," menerangkan Yo Lioe Tjeng. "Kata
orang, kedua wanita itu juga pernah berkunjung ke rumah keluarga Tong,
tapi bagaimana kejadian yang sesungguhnya, orang itu tak mengetahui
jelas."
Tak kepalang herannya Keng Thian. Apakah tak bisa jadi, kedua
wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng? Tapi Koei Peng Go
adalah seorang angkuh dan sama sekali tak ada kemungkinan, bahwa ia sudi
berjalan bersama-sama dengan seorang penderita kusta. Tapi, selain mereka
berdua, siapa lagi yang "cantik bagaikan dewi?"

***

Sekarang biarlah kita meninggalkan Keng Thian yang sedang


kebingungan dan mengikuti gerak-gerik Pengtjoan Thianlie dan dayangnya.
Malam itu, sesudah meninggalkan kuil Lhama, malam-malam mereka
meneruskan perjalanan ke arah Soetjoan. Oleh karena tidak mengenal jalan,
walaupun tidak salah arahnya, beberapa kali mereka mengambil cabang jalan
yang salah, sehingga pada waktu tiba di Tjiakdjie san, mereka berada di
belakang Keng Thian.
Pada waktu berjalan di bagian gunung yang paling berbahaya, Yoe
Peng mendadak mengeluarkan seruan tertahan dan meloncat mundur beberapa
tindak.
Di bawah sebuah batu besar kelihatan sedang rebah seorang pengemis
yang pakaiannya rombeng dan kedua lengannya penuh bisul. Muka orang itu
yang bersinar merah dan bengkak-bengkak kelihatan menakutkan sekali.
Pengtjoan Thianlie yang tidak mengenal penyakit kusta, lantas saja timbul
rasa kasihannya dan lalu berkata pada dayangnya: "Menolong jiwa satu
manusia adalah lebih berharga daripada membuat gedung dari tujuh tingkat.
Yoe Peng, coba kau mengangkat orang itu. Aku mau memeriksa keadaannya."
Yoe Peng tak menduga nonanya akan bertindak begitu dan ia menjadi
serba salah.
"Tempat ini jarang diinjak manusia," berkata pula Koei Peng Go,
setelah melihat kesangsian dayangnya. "Jika kita tidak menolong, siapa
lagi yang akan memberikan pertolongan? Yoe Peng, hayo!"
Pengtjoan Thianlie yang belum mempunyai banyak pengalaman, sudah
bertindak dengan menuruti hatinya yang sangat mulia. Ia sama sekali tak
ingat, bahwa oleh karena gunung itu jarang diinjak manusia, seorang yang
bisa berada disitu tentu juga bukan manusia sembarangan
Dengan terpaksa Yoe Peng maju beberapa tindak dan mengawasi si
penderita kusta. "Orang ini rasanya tak akan bisa hidup lebih lama lagi,"
katanya.
"Bagaimana kau tahu?" tanya si nona.
"Lihatlah! Ia rebah seperti mayat dan sudah tak dapat bergerak
lagi," berkata Yoe Peng.
Belum habis Yoe Peng mengucapkan perkataannya, si pengemis mendadak
berbangkis dan sesudah mengulet beberapa kali, ia bangun duduk. Dengan
sorot mata ketolol-tololan, ia mengawasi Peng Go dan berkata dengan suara
perlahan: "Aku sudah hampir mati. Apakah kamu berdua masih merasa perlu
untuk hinakan diriku?"
Mendengar suara itu, yang meskipun lemah, masih juga mempunyai
semangat, si nona bersenyum dan lalu berkata: "Kau tentu sudah menahan
lapar beberapa hari. Makanlah ini."
Tanpa menghaturkan terima kasih, si pengemis mengambil sepotong
daging kambing kering yang diangsurkan oleh Peng Go itu dan lalu makan
dengan bemapsu.
"Kenapa sekujur badanmu penuh bisul?" menanya Pengtjoan Thianlie
dengan suara kasihan.
Si pengemis mendelik dan menyahut dengan suara aseran: "Sedari
kecil, aku sudah begini. Jika kau jijik, pergilah jauh-jauh!"
"Ah, bukan begitu," kata si nona. "Maksudku adalah, jika mungkin
aku mau coba mengobati penyakitmu."
"Mau mengobati aku?" menegasi si pengemis. Sesudah berkata begitu,
ia menunduk dan tidak berkata suatu apa lagi.
Dalam keraton es terdapat macam-macam obat yang mujarab dan
beberapa antaranya selalu dibawa-bawa oleh si nona. Ia lantas saja
mengeluarkan sebotol obat bubuk untuk mengobati rupa-rupa bisul beracun.
"Cobalah obat ini, usapkan di bisulmu," kata Peng Go sembari
mengangsurkan botol obat itu.
Sesudah mengusapkan obat bubuk itu di kedua lengannya, ia lalu
membuka baju. "Tanganku tak sampai ke punggung," katanya.
"Yoe Peng, kau tolonglah!" memerintah Pengtjoan Thianlie.
Sang dayang tentu saja tidak berani membantah perintah itu. Ia lalu
mematahkan sebatang cabang pohon dan membungkus ujungnya dengan selembar
kain putih, yang kemudian dicelup dalam air pancuran gunung. Kemudian ia
tuangkan obat bubuk tersebut di atas kain basah itu yang lalu digosok-
gosokan di punggung si pengemis.
"Obat ini dingin rasanya, benar-benar bagus," kata si pengemis.
"Tapi penyakitku sudah sering sekali diobati dan aku sudah menggunakan
ratusan macam obat tanpa berhasil. Maka itu, belum tentu obatmu dapat
menyembuhkan."
"Jika obat itu tidak berhasil sesudah dua hari, aku akan memberikan
kau lain obat," kata si nona.
"Hayolah kita berangkat!" berkata Yoe Peng dengan suara tidak
sabar.
"Bagus!" kata si pengemis. "Aku justru sedang kuatir tak dapat
makanan. Dengan berjalan bersama kalian, bukan saja ada obat, tapi juga
ada makanan!" Sehabis berkata begitu, lantas saja ia berdiri.
Pengtjoan Thianlie tak duga si sakit bakal berkata begitu. Sesudah
berpikir beberapa saat, ia berkata: "Baiklah. Menolong orang harus
menolong sampai akhirnya. Kau boleh mengikuti kami. Apa kau bisa jalan?"
"Sesudah perut kenyang, jalanan gunung tak menjadi soal bagiku,"
jawabnya dengan suara gagah dan sambil mengangkat tongkatnya, ia lalu
mulai bertindak.
Sesudah berjalan dua hari, tibalah mereka di bagian selatan gunung
Tjiakdjie san dan dari situ, mereka sudah melihat rumah-rumah penduduk di
kaki gunung. Selama dua hari itu, si pengemis mengikuti tanpa bicara.
Setiap hari, Pengtjoan Thianlie memburu binatang dan membakar dagingnya
untuk dijadikan barang santapan. Semua daging yang diberikan pengemis
itu. "Di atas ada air terjun, di bawah ada solokan, kalian bisa loncat,
tapi aku tak mampu." Sehabis berkata begitu, lantas saja ia duduk di atas
tanah.
Yoe Peng merasakan dadanya sesak, tak tahu apa ia mesti menangis
atau tertawa. "Siauwkontjoe! Sudahlah jangan ladeni padanya," kata ia.
"Tunggu," kata Pengtjoan Thianlie. Belum sempat ia menyambung
perkataannya, mendadak terdengar suara tertawa menyeramkan yang
menggetarkan seluruh selat.
Di lain saat, dari antara tumpukan batu di lamping gunung, loncat
keluar dua orang, satu antaranya bukan lain daripada Hiatsintjoe.
"Siluman perempuan kecil!" ia membentak sembari tertawa berkakakan.
"Akhir-akhir kita bertemu pula. Tong Keng Thian, si bocah bau, hari ini
tak dapat melindungi kau!"
Dengan sekali mengenjot badan, ia sudah berhadapan dengan Pengtjoan
Thianlie dan terus menghantam dengan kedua telapakan tangannya yang merah
bagaikan darah.
Kawannya juga sudah loncat turun dan tanpa berkata suatu apa, ia
menjotos Yoe Peng dengan tinjunya yang sebesar mangkok nasi. Yoe Peng
berkelit, tapi gerakan orang itu cepat luar biasa dan baru saja ia
berkelit, punggungnya kembali sudah disambar kesiuran angin yang sangat
tajam.
Orang itu adalah pembantu Hiatsintjoe, namanya Kok Sek Koen,
"manusia liar" dari gunung Tjiakdjie san. Selain mempunyai ilmu weduk
Kimtjiongto, tenaganya juga luar biasa besarnya dan sekali menjotos, ia
dapat membinasakan seekor harimau.
Sesudah mendapat hajaran dari Phang Lin di atas Puncak Onta, sakit
sekali hati Hiatsintjoe. Oleh karena tak ungkulan melawan Phang Lin,
lantas saja ia tumplekan sakit hatinya kepada Keng Thian. Tanpa
memperdulikan segala kesukaran, ia lalu pergi ke Tjiakdjie san untuk
mengundang Kok Sek Koen guna menghadapi Keng Thian dan Peng Go.
Ketika itu, melihat Keng Thian tidak berada bersama Pengtjoan
Thianlie, hati Hiatsintjoe jadi lebih besar lagi.
Sebagaimana di atas telah disebutkan, bahwa baru saja berkelit, Yoe
Peng sudah merasakan sambaran angin di punggungnya. Pukulan itu yang
cepat bagaikan kilat, sudah tak dapat diegosi lagi. Pengtjoan Thianlie
yang sedang repot melayani musuhnya tak dapat menolong lagi. "Celaka!" ia
berteriak dengan hati mencelos.
Tapi, satu kejadian tak diduga-duga telah terjadi. Bukannya Yoe
Peng yang terkena pukulan, sebaliknya adalah Kok Sek Koen yang terhuyung
beberapa tindak dan hampir-hampir jatuh terguling. "Binatang! Apa kau mau
cari mampus?" ia membentak.
Ternyata, pada detik yang sangat berbahaya, entah bagaimana, si
penderita kusta sudah menggulingkan badannya dan tepat menghadang di
antara Yoe Peng dan Kok Sek Koen, yang jadi sempoyongan karena dibentur
badannya yang keras seperti batu.
Dengan mata merah, Sek Koen menendang sekeras-kerasnya. "Celaka!"
berteriak si pengemis sembari menggelindingkan badannya. Sek Koen kaget
bukan main lantaran tendangannya yang begitu cepat masih dapat dikelit
oleh pengemis itu. Pada saat ia bengong, tiga sinar dingin menyambar dan
tiga jalan darahnya sudah kena dihantam Pengpok Sintan yang dilepaskan
oleh Pengtjoan Thianlie.
Kok Sek Koen yang bertulang besi dan berkulit tembaga, tidak takut
akan segala senjata rahasia. Tapi Pengpok Sintan adalah lain dari yang
lain. Begitu kena, ia bergidik. Dengan menggunakan kesempatan itu,
Pengtjoan Thianlie putar Pengpok Hankong kiam
untuk melindungi Yoe Peng.
Di lain pihak, si pengemis yang menggelinding pergi beberapa tombak
jauhnya, sudah rebah-rebahan di atas tanah dengan menggunakan sebuah batu
besar sebagai bantal kepala. Sambil membuka kedua matanya sedikit, ia
menonton pertempuran itu.
"Sahabat dari mana yang barusan munculkan diri?" seru Hiatsintjoe.
Si pengemis mengulet dan berkata dengan suara ogah-ogahan: "Pintu
kota kebakaran, sang ikan kekeringan. Tak bagus! Tak bagus!" Hiatsintjoe
gusar bukan main, badannya melesat ke arah si pengemis. Tapi mendadak si
pengemis sudah berguling pula dan menggelinding beberapa tombak jauhnya,
akan kemudian tandalkan lagi kepalanya di atas sebuah batu. Dengan sikap
acuh tak acuh, ia menonton pertempuran itu.
Melihat gerak-gerik si pengemis, Hiatsintjoe kaget dan selagi ia
mau mengubar untuk menurunkan tangan jahat, tiba-tiba ia mendengar
jeritan Kok Sek Koen yang ternyata sudah terkena pedang Pengtjoan
Thianlie.
Gwakang (tenaga luar) Kok Sek Koen sudah dilatih sampai di puncak
kesempurnaan, akan tetapi, apa mau ia harus menghadapi Pengpok Hankong
kiam, semacam senjata mustika yang satu-satunya di dalam dunia. Meskipun
pedang itu tidak dapat melukakan kulit musuh, akan tetapi hawanya yang
luar biasa dinginnya sudah membikin Kok Sek Koen kelabakan. Sesudah tiga
kali kena tikaman, Kok Sek Koen yang tenaga dalamnya belum seberapa
tinggi, sudah merasa seolah-olah darahnya membeku, sehingga mau tidak
mau, ia menjerit-jerit.
Waktu mengundang sahabatnya itu, Hiatsintjoe ingin menggunakan ia
untuk menghadapi Tong Keng Thian. Tapi tak dinyana, kawan yang berilmu
weduk itu sudah kena ditindih dengan peluru es dan pedang es, sehingga ia
tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya. Dengan hati mendongkol, tanpa
memperdulikan lagi si pengemis, buru-buru Hiatsintjoe menyerang Pengtjoan
Thianlie untuk membantu kawannya. Begitu lekas si Malaikat Darah
menghantam tiga kali beruntun dengan telapak tangannya, hawa yang sangat
panas segera menyambar-nyambar, sehingga Kok Sek Koen jadi bersemangat
pula dan lalu bantu menyerang secara hebat.
Sekarang pertempuran berlangsung antara dua pasang musuh. Pengtjoan
Thianlie dengan Pengpok Hankong kiam yang dingin melawan Hiatsintjoe yang
pukulannya panas. Mengenai tenaga dalam, Hiatsintjoe lebih unggul
setingkat daripada si nona, tapi dalam kiamhoat, Peng Go terlebih lihay
daripada lawannya. Masing-masing mempunyai keunggulan sendiri dan
kekacekan antara mereka tidak seberapa besar. Tapi tidak begitu dalam
pasangan antara Kok Sek Koen dan Yoe Peng. Baru saja bertempur setengah
jam, sedang Pengtjoan Thianlie masih dapat berkelahi dengan penuh
semangat, adalah Yoe Peng yang sudah tersengal-sengal napasnya.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, sambil membentak keras, tangan
kanan Hiatsintjoe menghantam kepala Pengtjoan Thianlie dengan pukulan
Soathoa kayteng (Kembang salju jatuh di kepala), sehingga si nona
terpaksa mundur setindak sambil membabat dengan pedangnya. Pada detik
itulah, yaitu pada waktu Peng Go berpisah dengan budaknya, tangan kiri
Hiatsintjoe mendadak menyambar ke arah kepala Yoe Peng.
Pukulan itu sedemikian cepatnya, sehingga Yoe Peng jadi seperti
orang kesima. Pada saat yang saat berbahaya, mendadak saja ia merasakan
betisnya dipeluk orang dan ditarik ke belakang, sehingga ia jadi
terguling. Pada betisnya, ia lihat dua bekas telapak tangan berlumpur
yang basah, sedang si pengemis lagi tidur meringkuk di tengah jalan.
Sekarang ia tahu, bahwa orang yang barusan sudah menolong jiwanya adalah
si pengemis kusta. Mengingat, bahwa betisnya itu telah dicekal tangan
yang penuh bisul, uluhatinya menjadi 'nak dan tanpa tercegah ia jadi
muntah.
Melihat sepak terjang si pengemis, Kok Sek Koen jadi gusar bukan
main. "Pengemis bau!" ia membentak. "Kau sengaja mau merintangi kami?"
Sehabis membentak, ia kirimkan tendangan Lianhoan toei (tendangan
berantai) Si pengemis yang tadi meram-melek, tiba-tiba saja bangun
berduduk dengan gerakan Lcehic tahteng (Ikan gabus meletik). "Eh, apa
tempat ini milik bapakmu?" ia membentak. "Aku senang tidur disini, anak
Allah (kaizar) pun tak dapat melarangnya." Sehabis membentak, ia
menyemburkan ludahnya.
Kuatir kesembur ludah, Kok Sek Koen buru-buru loncat minggir.
"Awas!" demikian teriakan Hiatsintjoe.
Kok Sek Koen sama sekali tidak mengimpi, bahwa senjata rahasia si
penderita kusta tersimpan dalam ludahnya. Sekonyong-konyong pundaknya
gatal dan di lain saat, matanya berkunang-kunang. Cepat bagaikan kilat,
pengemis itu bergulingan sambil membabat dengan tongkat besinya dan tak
ampun lagi, badan Kok Sek Koen yang tinggi besar rubuh bagaikan pohon
ditebang. Pengpok Hankong kiam menyambar dan menikam manusia weduk itu.
Selagi Peng Go menikam Kok Seng Koen, Hiatsintjoe sudah bergebrak
dengan pengemis itu. Dengan gemas, Hiatsintjoe menurunkan pukulan yang
membinasakan dengan kedua tangannya, tangan kanan mencengkeram
tenggorokan, tangan kirinya menghantam dada. Selagi mau menyampok dengan
tongkatnya, mendadak pengemis itu merasakan menyerangnya hawa yang sangat
panas, sehingga ia sukar bernapas. "Celaka!" ia berseru, badannya kena
disampok dan "plung!", ia kecebur dalam kobakan di bawah jurang.
Buru-buru Pengtjoan Thianlie memburu dan mengirim beberapa serangan
hebat. Mendadak, paras muka Hiatsintjoe berubah, sedang dari atas
kepalanya keluar uap putih. Dengan sekali menjejek kaki, badannya melesat
ke atas dan terus kabur mendaki gunung, tanpa memperdulikan lagi nasib
kawannya.
Pengtjoan Thianlie merasa sangat heran, ia tidak mengerti kenapa
Hiatsintjoe lantas melarikan diri. Ia mengawasi ke arah kobakan dan
mendadak sadja ia jadi terpaku bahna kagetnya. Si pengemis yang barusan
kecemplung, ternyata sedang duduk di atas batu dengan tidak memakai baju.
Apa yang membikin si nona jadi kesima adalah: Kulit badan dan mukanya
yang bisulan sudah berubah licin, sepuluh jerijinya yang bengkak-bengkok
sudah menjadi lempeng, sedang mukanya yang bersinar merah sudah berubah
menjadi putih! Meskipun ia tidak secakap Tong Keng Thian, tapi toh ia
bukan seorang pemuda yang jelek romannya.
Sekonyong-konyong Yoe Peng mengeluarkan teriakan kaget sambil
menuding ke satu jurusan. Yang membikin Yoe Peng berteriak ternyata
adalah Kok Sek Koen yang lengannya bengkak sebesar timba air, mukanya
berwarna hitam, sedang mulutnya mengeluarkan rintihan yang menyayatkan
hati. Dilihat dari tanda-tandanya, ia seperti juga kena digigit ular yang
sangat berbisa. Sesaat kemudian, ia bergulingan, mulutnya menggigit
rumput dan kedua tangannya mencengkeram tanah. Melihat begitu, Pengtjoan
Thianlie merasa tak tega. Ia pungut sebutir batu dan menimpuk jalan darah
Kok Sek Koen yang membinasakan.
Si pengemis tertawa terbahak-bahak. "Yang mujur adalah
Hiatsintjoe," katanya.
"Siapakah kau?" tanya Peng Go Sekali mengenjot badan, pengemis
itu sudah hinggap di atas tanah datar dan sesudah memungut tongkat
besinya yang berwarna hitam, ia menyahut sembari nyengir: "Aku adalah
seorang penderita kusta yang romannya seperti memedi!"
Waktu mempelajari buku obat-obatan bangsa Han, Peng Go pernah
membaca penuturan tentang penyakit itu.
"Apa? Penyakit kusta?" ia menegasi.
Si pengemis tidak menjawab pertanyaan itu. Dengan kedua tangan, ia
mencekal tongkatnya yang kemudian ditarik. Dengan satu suara "srt",
tercabutlah sebatang pedang yang hitam mengkilap. Ia tunggingkan tongkat
besi itu (atau lebih benar sarung pedang) dan dengan telapak tangannya,
ia menadah semacam bubuk yang keluar dari dalamnya. Sesudah itu, ia
mengusap mukanya. Hampir berbareng, Yoe Peng mengeluarkan teriakan kaget.
Pengemis itu yang barusan saja berparas cakap dan berkulit licin, sudah
pulang asal menjadi penderita kusta yang mukanya bersinar merah.
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya. "Sesudah memperlihatkan mukamu
yang sejati, guna apa kau main gila lagi?" kata si nona.
Si nona ternyata sudah dapat menebak, bahwa tanda-tanda penyakit
kusta itu adalah buatan belaka dengan mengerahkan tenaga dalam, sehingga
otot-ototnya pada menonjol keluar, seolah-olah bisul penyakit kusta. Peng
Go juga mengetahui, bahwa sinar merah pada mukanya adalah akibat semacam
sepuhan yang disimpan dalam sarung pedangnya.
Si pengemis menyapu dengan kedua matanya yang tajam. Mendadak ia
mengeluarkan tertawa aneh. "Apa artinya muka yang sejati?" ia tanya.
"Tahukah kau, bagaimana mukaku yang sejati?"
Tiba-tiba ia loncat dan menikam si nona dengan pedangnya.
Itulah serangan yang tidak diduga-duga!
"Kenapa kau menyerang?" membentak Peng Go.
Tanpa menyahut, si pengemis mengirim tiga serangan, serangan yang
sangat hebat.
Selama hidupnya, Pengtjoan Thianlie sering mengalami kejadian yang
luar biasa. Akan tetapi, kejadian pada hari itu adalah pengalamannya yang
paling aneh. Dengan mempunyai ilmu mengentengkan badan yang sangat
tinggi, hampir-hampir Peng Go tak dapat mengelit tiga serangan itu.
"Kongtjoe! Cabutlah senjata!" berseru Yoe Peng.
Dengan gerakan Djieyan tjoanliam (Anak walet menembus tirai), Peng
Go mengegos empat lima serangan. Waktu serangan ke enam menyambar,
Pengpok Hankong kiam sudah terhunus dan bagaikan kilat, Pengtjoan
Thianlie melakukan serangan pembalasan. Si pengemis bergidik akan
kemudian tertawa terbahak-bahak. "Maksudku adalah untuk berkenalan dengan
pedang mustikamu," katanya sembari menyerang terlebih hebat.
Pengemis itu ternyata mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya.
Saban kali kedua senjata berbentrok, Peng Go selalu merasa lengannya
pegal. Ia kaget berbareng heran, ketika mendapat kenyataan, bahwa ilmu
silat orang itu tidak berada di sebelah bawahnya ataupun Keng Thian.
Dengan cepat ia mengempos semangat dan melayani dengan terutama
menggunakan ilmu mengentengkan badan dan menjaga, supaya pedangnya tidak
kebentrok pedang si pengemis.
Pengpok Hankong kiam berkelebat-kelebat bagaikan titiran, seolah-
olah berubah menjadi puluhan pedang. Hawa yang luar biasa dinginnya
meliputi mereka berdua, sehingga orang yang ilmu silatnya kurang tinggi
tentu sudah roboh kedinginan, meskipun tidak ketikam pedang. Si pengemis
kusta seperti juga tidak merasakan hawa dingin itu. Ia tertawa terbahak-
bahak seraya berteriak: "Bagus! Bagus! Hawa memang sedang panas."
Dengan cepat mereka sudah bertempur kurang lebih lima puluh jurus,
tanpa ada yang keteter.
"Orang ini tentu mempunyai asal-usul luar biasa," pikir Pengtjoan
Thianlie.
"Untuk apa aku bertempur mati-matian?" Berpikir begitu, si nona
lantas saja menyerang dengan pukulan-pukulan simpanan dari Tatmo Kiamhoat
dan akhirnya, dengan pukulan Gioklie tauwso (Dewi menenun), Pengpok
Hankong kiam berhasil memapas rambut si pengemis. Tapi pada saat itu
juga, berbareng dengan suara "trang!", pedang Pengtjoan Thianlie terbang
ke atas udara!
Ternyata, kedua belah pihak mempunyai pikiran yang sama. Masing-
masing ingin
menghentikan pertempuran, begitu lekas sudah berhasil
memperlihatkan keunggulannya. Dalam gebrakan itu, gerakan Pengtjoan
Thianlie agak lebih cepat dari lawannya, tapi si pengemis mempunyai
tenaga dalam yang lebih besar, sehingga ia berhasil melontarkan pedang si
nona.
Yoe Peng terkesiap. "Binatang!" ia membentak. "Benar kau tak
mengenal budi. Kebaikan dibalas dengan kejahatan!"
Si penderita kusta tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba mulutnya
menyembur dan dua titik hitam sebesar kacang kedele, menyambar Yoe Peng.
Hati Pengtjoan Thianlie mencelos, ia sudah tak keburu menolong lagi. Pada
saat itu, sedapat mungkin Yoe Peng berkelit, tapi tak urung rambutnya
terpapas juga.
Dengan sekali meloncat, Peng Go sudah berhasil menyambut pedangnya
yang sedang melayang jatuh. Selagi ia hendak menyerang pula, sekonyong-
konyong si pengemis menangis, semakin lama semakin sedih dan keras.
"Eh, kenapa engkau?" tanya Peng Go akhir-akhirnya.
Tanpa menyahut, pengemis itu memasukkan pedang besinya ke dalam
sarung yang berupa tongkat besi itu, dan kemudian terpincang-pincang, ia
pergi ke solokan untuk mencuci mukanya. Di lain saat, sinar merah yang
menakutkan sudah hilang dari mukanya dan pada kulitnya pun tidak terlihat
lagi bisul-bisul yang menjijikan. Ia berdiri tegak dengan paras mukanya
yang cakap dan angker.
Mendadak ia menyoja dan berkata: "Untukmu, aku sudah melangggar
sumpahku. Dalam dunia ini, kau adalah manusia pertama yang tidak membenci
diriku. Kalian pergilah!"
"Apa artinya perkataanmu itu?" tanya si nona.
"Aku pernah bersumpah untuk memusuhi semua manusia yang ilmu
silatnya tinggi," jawabnya. "Kau dan aku adalah setanding. Sebenarnya aku
ingin berkelahi terus sampai ada keputusan, tapi sekarang aku
mengurungkan niatan itu."
"Kenapa?" tanya si nona.
"Karena kau tidak membenci aku," sahutnya.
"Aku tak percaya," kata Peng Go. "Aku sama sekali tidak percaya,
bahwa selain aku, semua orang membenci kau."
"Kecuali jika Lu Soe Nio masih hidup dalam dunia ini," kata si
pengemis. "Menurut Soehoe (guru), dalam dunia ini hanya Lu Soe Nio yang
tidak membenci kusta."
Dari mendiang ayahnya, si nona pun pernah mendengar nama Lu Soe
Nio, seorang pendekar wanita yang dianggap sebagai ahli silat nomor satu
di jaman itu. Ia menjadi heran karena ia tidak mengerti, ada hubungan apa
antara Lu Soe Nio dan pengemis itu.
"Bagaimana kau tahu, bahwa ia tidak membenci penderita kusta?"
tanya Peng Go. "Selain itu, bukankah kau sendiri sebenarnya tidak
menderita penyakit kusta!"
Si pengemis menyusut air matanya, akan kemudian tertawa terbahak-
bahak. "Perkataan guruku, mana bisa palsu?" katanya.
"Di dalam dunia, hanya ia yang tidak membenci penderita kusta.
Tidak! Sekarang ditambah dengan kau dan dalam dunia ini hanya dua orang
yang tak membenci si sakit kusta."
"Terang-terang kau tidak menderita penyakit kusta," kata pula si
nona. "Apakah gurumu seorang penderita kusta?"
"Aku dan guruku adalah sama saja," sahutnya. "Jika tak ada guruku,
siang-siang aku sudah mati di pinggir jalan, tanpa diperdulikan siapapun
juga."
Koei Peng Go tergoncang hatinya. Ia ingat, bahwa menurut kitab
ketabiban, kusta adalah penyakit yang tidak mungkin dapat disembuhkan.
Didengar dari keterangan si pengemis, gurunya seperti juga seorang yang
pernah menderita penyakit itu dan yang belakangan sudah menjadi sembuh.
Hatinya jadi semakin heran dan ia sungkan melepaskan orang itu dengan
begitu saja.
"Siapa gurumu?" tanya pula si nona.
Pengemis itu mendelik. "Aku juga tak tahu, guruku siapa," sahutnya.
"Mana bisa begitu?" Pengtjoan Thianlie mendesak.
"Apakah bocah yang baru berusia tiga empat tahun, bisa mengerti
segala urusan?" pengemis itu berbalik menanya.
"Ha?" Apakah kau mau mengartikan, bahwa kau sudah masuk dalam rumah
perguruan sedari usia tiga empat tahun?' tanya Peng Go lagi.
"Benar," jawabnya. "Baru saja aku belajar mendaki gunung sembari
merangkak, guruku sudah meninggal dunia,"
Pengtjoan Thianlie memanggut-manggutkan kepalanya. "Sungguh
kasihan!" katanya.
Mendadak paras muka si pengemis berubah. "Aku tak sudi dikasihani
orang!" ia membentak sembari mengangkat tongkatnya, tapi sesaat kemudian,
senjata itu diturunkan pula dengan perlahan.
Pengtjoan Thianlie mengawasi dengan mata tajam dan kemudian berkata
dengan suara perlahan: "Gurumu..." Sebenarnya ia ingin berkata begini:
"Jika benar gurumu sudah meninggal dunia ketika kau baru berusia tiga
empat tahun, dari mana kau mendapat ilmu silat yang begitu tinggi?" Tapi
ia tak dapat menanya terus, karena si pengemis sudah mendelik lagi dan
berteriak: "Aku tak memperkenankan manusia yang mengasihani penderita
kusta, menyebut-nyebut pula nama guruku!'
"Kongtjoe, marilah kita berangkat!" kata Yoe Peng yang sudah tidak
dapat menahan sabarnya lagi.
Pengtjoan Thianlie menggoyangkan tangannya dan dengan suara lemah
lembut menanya pula: "Siapa namamu? Apa boleh aku majukan pertanyaan
itu?"
Pengemis itu mengawasi si nona dan menghela napas panjang. Ia
menundukkan kepalanya dan menjawab dengan suara perlahan: "Kau adalah
orang pertama yang menanyakan namaku. Baiklah. Aku bersedia
memberitahukannya. Namaku Kim Sie Ie, nama pemberian guruku."
Begitu mendengar, Peng Go mengetahui, bahwa "Kim Sie Ie" yang
berarti "Peninggalan jaman emas" sama diucapkannya dengan "kim sie ie"
yang berarti "disia-siakan atau diasingkan seluruh penghidupannya." Kata
si nona di dalam hatinya: "Jika ia seorang penderita kusta yang belum
sembuh dari penyakitnya, menurut kebiasaan orang Han, memang ia harus
diasingkan seluruh masa hidupnya."
Sesudah memberitahukan namanya, Kim Sie Ie terus mengawasi Peng Go.
"Kemana kau mau pergi?" tanya si nona.
"Kemana kau pergi, kesitu aku juga pergi," jawabnya. "Kemana kau
mau pergi?"
"Ke Soetjoan barat," jawabnya.
"Kalau begitu, aku pun ke Soetjoan barat," kata Kim Sie le.
"Apakah kau kenal jalan?”
Pengtjoan Thianlie sebenarnya tak ingin berjalan bersama-sama
pemuda itu, tapi ia tidak bisa berdusta. "Aku sudah tanya-tanya,"
sahutnya. "Sesudah lewat gunung ini, aku tak tahu jalan lagi."
"Jika begitu, apa boleh aku menyertai kalian?" tanya pemuda itu.
Yoe Peng mendongkol sekali, ia mengawasi majikannya. Tapi Pengtjoan
Thianlie yang penuh welas asih merasa kasihan kepadanya dan juga kuatir,
jika pemuda itu nanti salah mengerti, kalau ia menolak. Maka itu, lantas
saja ia menyahut dengan suara perlahan: "Baiklah."
"Begitu turun dari gunung ini, kita akan bertemu dengan rumah-rumah
penduduk," kata Yoe Peng. "Siauwkongtjoe, bagaimana kita dapat jalan
bersama-sama dia?"
Pengtjoan Thianlie yang tadi bicara dengan hati setulusnya, menjadi
sadar begitu mendengar perkataan dayangnya. Pengemis yang berdiri di
hadapannya, tidak berbaju, sedang celananya yang rombeng terbuat dari
selembar karung. Sungguh tak pantas untuk seorang gadis seperti ia
berjalan bersama-sama dengan pengemis itu.
Kim Sie le tertawa terbahak-bahak. "Kau mencela pakaianku yang
rombeng?" katanya sembari memutarkan badan dan di lain saat, ia sudah
lari seperti terbang dan segera lenyap dari pemandangan.
"Kau lihat!" kata Peng Go dengan suara menyesal. "Tanpa sebab,
tanpa lantaran, kita kembali menanam bibit permusuhan."
"Siauwkongtjoe," kata si pelayan. "Melihat dia saja, nyaliku sudah
ciut."
"Ya," kata si nona sesudah berselang beberapa saat. "Baik juga aku
dulu-dulu tidak mengenal penyakit itu. Jika aku sudah tahu, mungkin
sekali aku juga akan jadi ketakutan." Ia sungguh tidak mengerti, kenapa
Kim Sie Ie berkelakuan begitu aneh. Ia memutar otak, tapi tidak dapat
memecahkan teka-teki di sekitar si pengemis yang luar biasa.

***
Di sekitar gunung Tjiakdjie san terdapat banyak sekali puncak-
puncak yang menjulang ke atas bagaikan gigi anjing. Selama berada di
bagian tertinggi dari gunung itu, dunia dirasakan sempit dan berjalan di
antara pohon-pohon besar, orang akan mendapat perasaan menyeramkan.
Sesudah melewati puncak tertinggi itu, baru orang akan tiba di
tempat terbuka, darimana ia dapat memandang puncak-puncak yang lebih
rendah dan kelihatan seolah-olah kambing-kambing berbulu putih.
Melihat pemandangan yang indah itu, semangat Yoe Peng jadi
terbangun. "Untung juga kita sudah melepaskan diri dari si kusta yang
menyebalkan," katanya sembari tertawa dan bertepuk tangan. "Jika ia masih
berada disini, pemandangan yang begini indah seperti juga dikotorkan
olehnya."
"Dia toh sebenarnya tidak mendapat penyakit itu," kata sang majikan
sembari tertawa. "Dia sama sekali tidak mengganggu kita, kenapa kau
begitu jengkel terhadapnya?"
"Aku sebal melihat tingkah lakunya yang aneh," kata pula Yoe Peng.
"Mana bisa dia dibandingkan dengan Tong Siangkong."
Mendengar sang dayang menyebutkan Tong Keng Thian, tanpa sadar si
nona menghela napas panjang.
Sesudah berjalan lagi kira-kira dua jam, mereka sudah melewati
selat gunung di sebelah selatan dan rumah-rumah penduduk sudah terlihat
di depan mata. Yoe Peng jadi semakin gembira. "Ah! Berjalan di jalan
gunung selama beberapa hari ini, sungguh-sungguh menyesakkan dadaku,"
katanya. "Sungguh menyebalkan terus menerus makan daging kambing bakar."
Pengtjoan Thianlie mesem mendengar perkataan dayangnya. Tiba-tiba
ia menuding ke sebelah depan seraya berkata: "Coba lihat, siapa itu?" Yoe
Peng mengawasi ke arah yang ditunjuk majikannya. Di lereng gunung tiba-
tiba muncul seorang yang mengenakan pakaian berwarna hijau, sedang
kepalanya dibungkus dengan ikat kepala pasegi. Beberapa saat kemudian,
mereka kenali, bahwa orang itu bukan lain daripada Kim Sie Ie!
Yoe Peng mendeluh, ia melengoskan mukanya.
"Kenapa kau kembali lagi?" tanya si nona sembari mesem, sesudah Kim
Sie Ie datang dekat.
"Sang Budha harus mengenakan pakaian bersalut emas, manusia harus
berpakaian rapi," jawabnya. "Karena kau mencela aku, tak ada jalan lain
daripada mencuri pakaian supaya aku dapat berjalan bersama-sama kau."
"Hm! Tak nyana, kau juga bisa menjadi pencuri," kata Peng Go
sembari tertawa.
"Benar," kata Kim Sie Ie. "Aku juga sudah mencuri lain macam
barang. Apa kau mau?" Sehabis berkata begitu, dari kantong yang
menggemblok di punggungnya, ia mengeluarkan rantang makanan yang terisi
empat macam sayur dan nasi putih.
Si nona menyambuti rantang itu dan berkata: "Terima kasih." Ia
membagi separoh makanan itu kepada Yoe Peng, tapi si dayang menggeleng-
gelengkan kepalanya dan berkata: "Tidak, aku tak mau." Meskipun
mengetahui, bahwa Kim Sie Ie tidak berpenyakit kusta, Yoe Peng tak dapat
menyingkirkan perasaan jijiknya. Selagi majikannya makan, ia sendiri lalu
memetik beberapa buah dari pohon yang tumbuh di pinggir jalan.
Melihat si nona makan santapan yang disuguhkan olehnya dengan enak
sekali, sorot mata Kim Sie Ie memperlihatkan sinar berterima kasih dan
dua butir air mata turun di kedua pipinya.
Selama dua hari mengikuti Pengtjoan Thianlie, Kim Sie Ie tidak
memperlihatkan lagak gila-gila lagi. Di sepanjang jalan, ia bercakap-
cakap sembari tertawa-tawa, tempo-tempo menceritakan kejadian aneh dalam
kalangan Kangouw.
Tapi, begitu lekas si nona coba menyelidiki asal-usulnya, ia
bungkam dalam seribu bahasa, sehingga Peng Go merasa tidak enak untuk
mendesak.
Hari itu, mereka tiba di sebuah kota kecil, di sebelah selatan
Tjiakdjie san. Di sepanjang jalan, orang-orang yang berpapasan dengan
mereka, selalu mengawaskan dengan sorot mata heran, sehingga Yoe Peng
merasa sangat tidak enak dan diam-diam menyesalkan majikannya yang sudah
mau berjalan bersama-sama pengemis itu.
Selagi enak berjalan, tiba-tiba Kim Sie Ie berkata: "Disini aku
mempunyai seorang sahabat. Mari kita mengunjungi ia."
"Kami tidak mengenal sahabatmu itu," kata Yoe Peng. "Kau pergilah
sendiri." Tapi Pengtjoan Thianlie berpikir lain, ia ingin mengetahui,
siapa sahabat orang aneh itu. "Sudah ketelanjur kita berjalan bersama-
sama, rasanya baik juga aku berkenalan dengan sahabatmu itu," katanya
sembari tertawa.
Yoe Peng mendongkol bukan main, tapi ia tak dapat membantah kemauan
nonanya.
Sesudah berjalan mengikuti Kim Sie Ie beberapa lama, mereka tiba di
depan sebuah gedung yang pintunya dicat merah. Kim Sie Ie memanggil-
manggil beberapa kali, tapi tak ada yang menyahut. Entah dengan
menggunakan ilmu apa, dalam sekejap saja ia dapat membuka pintu itu dan
di lain saat, dari dalam keluar seorang pemuda.
Paras muka pemuda itu, yang mengenakan baju makwa, tenang dan
agung, sehingga Peng Go merasa heran melihat si pengemis punya sahabat
serupa pemuda itu.
Begitu keluar, pemuda itu menyapu mereka bertiga dengan sorot mata
heran. Sesaat kemudian, ia merangkap kedua tangannya dan berkata sembari
tertawa: "Maaf, aku tidak mengenali Hengtay (saudara). Apakah sudah lama
Hengtay datang disini?"
Mendengar pertanyaan itu, Pengtjoan Thianlie terkejut. Lagi-lagi
Kim Sie Ie mengeluarkan lagak-lagaknya yang gila-gila!
"Aku datang untuk menemui Tong Djiesianseng," kata Kim Sie Ie.
"Siapa mau bertemu dengan kau?"
Sekali lagi Peng Go terkejut. Tong Djiesianseng? Nama itu agak tak
asing baginya.
"Mendiang kakekku sudah meninggal dunia lama sekali," jawab si
pemuda.
"Apa? Tong Djiesianseng sudah meninggal dunia?" Kim Sie Ie
menegasi. "Sayang! Sungguh sayang! Apakah kau masih mempunyai anggauta
keluarga yang tingkatannya tua?"
"Kakek dan pamanku sudah pada meninggal," jawabnya. "Tak ada orang
lagi yang dapat melayani kau."
"Mana bisa? Apakah semua orang, laki-laki dan perempuan, dari
tingkatan lebih tua sudah pada mati seanteronya?" tanya si pengemis
secara kurang ajar sekali.
Meskipun terdidik baik, mau tak mau, pemuda itu menjadi gusar.
"Yang tingkatannya lebih tua dalam keluarga kami hanya ketinggalan
Kouwkouw (bibi)," sahutnya dengan suara mendongkol. "Ia sudah tua
dan berpenyakitan, sudah beberapa tahun, ia tidak pernah keluar pintu/'
"Bagus!" kata Kim Sie Ie. "Coba panggil Kouwkouw-mu."
Pemuda itu tercengang. Sedikitpun ia tidak nyana, tetamu itu bisa
mengeluarkan kata-kata yang sedemikian kurang ajar. "Dua tahun berselang,
ketika Moh Tjoan Seng Loopeh datang berkunjung, Kouwkouw-ku juga tidak
keluar menyambut," katanya dengan suara dingin. "Dengan sebenar-benarnya
ia sakit dan bukan tidak sudi menemui tamu. Jika mungkin, beritahukan
saja kepadaku she dan nama tuan, supaya aku dapat menyampaikan kepada
Kouwkouw. Maafkanlah, siauwtee (adik) tak dapat mengantar kalian."
Ia menyoja, sebagai suatu tanda, bahwa ia tak dapat melayani lagi
terlebih lama.
Pengtjoan Thianlie terkejut. Moh Tjoan Seng yang disebutkan oleh
pemuda itu adalah paman yang ia sedang cari. Harus diketahui, bahwa pada
jaman itu, Moh Tjoan Seng adalah pemimpin Rimba Persilatan di wilayah
Tionggoan. Cobalah pikir: Jika seorang sebagai Moh Tjoan Seng masih belum
mendapat kehormatan untuk disambut oleh Kouwkouw pemuda itu, bukankah
permintaan Kim Sie Ie berarti, bahwa ia sungguh tak tahu diri?
Sementara itu, paras muka Kim Sie Ie sudah berubah. "Apakah kau mau
mengusir tamu?" tanyanya dengan suara aseran.
"Mana aku berani? Mana berani? Maaf, harap dimaafkan," jawab si
pemuda, tapi kedua tangannya tetap membuat gerakan seperti sedang
mengantar tamu keluar.
Kim Sie Ie tertawa berkakakan. Tiba-tiba ia mengusap mukanya. Di
lain saat, parasnya bersinar merah, mukanya penuh dengan daging yang
menonjol keluar seperti bisul dan di kedua lengannya pun muncul bisul-
bisul yang menjijikkan.
Pemuda itu mencelos hatinya. "Kau! Kau!" ia berteriak.
"Fui!" Kim Sie Ie menyemburkan ludah ke muka pemuda itu dan
tangannya bergerak, sehingga pemuda tersebut jatuh terpelanting. Ia
tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Kau mau mengusir aku, aku justru
tak mau pergi! Tong Lootaypo! Aku mau melihat, apakah kau mau keluar atau
tidak!'
"Sungguh jempol! Sungguh tinggi ilmu itu!" demikian terdengar suara
seorang tua. Beberapa saat kemudian, seorang nenek yang rambutnya sudah
putih semua, muncul dengan dipepayang seorang pelayan wanita.
Pemuda yang barusan dirobohkan Kim Sie Ie meloncat bangun dan
berseru sambil menuding pengemis itu: "Kouwkouw! Pengemis jahat itu mau
juga menemui kau."
"Bagaimana kau harus berbuat jika menghadapi anjing gila?" kata si
nenek. "Apa kau tak tahu? Ambil busurku!"
Begitu berbicara, sikap nenek itu berubah. Kalau barusan ia
kelihatan lemah dan tidak berdaya, sekarang ia berubah angker dan garang.
Ia menyambuti sebuah busur yang disodorkan pelayannya dan berbareng
dengan suara menjepret, belasan peluru menyambar susul menyusul.
Kim Sie Ie tertawa besar. "Sungguh beruntung hari ini aku dapat
menyaksikan senjata rahasia dari keluarga Tong!" ia berseru sambil loncat
dan memutarkan tongkatnya bagaikan titiran.
Pengtjoan Thianlie jadi seperti orang kesima. Dua belas peluru itu
menyambar dengan macam-macam cara-ada yang lurus menyambarnya, ada yang
miring, ada yang lebih dulu berbentrok satu dengan yang lain, kemudian
baru menyambar sasarannya, seperti bola bilyar -- dan anehnya, setiap
peluru itu menyambar ke arah jalan darah Kim Sie Ie yang besar! Cara
melepaskan senjata rahasia itu sungguh tiada keduanya dalam Rimba
Persilatan!
Tapi Kim Sie Ie agaknya juga sudah mempunyai persiapan. Dengan
disertai suara "tring-tring!" dan meletiknya api, tongkatnya yang diputar
luar biasa cepatnya, sudah berhasil mementalkan dua belas peluru itu.
Tapi walaupun berhasil, tak urung Kim Sie Ie mengeluarkan juga keringat
dingin. Tongkat besinya penuh titik-titik akibat hantaman peluru-peluru
itu. Ia sekarang mendapat bukti, bahwa meskipun tua, tenaga dalam nenek
itu tidak berada di sebelah bawahnya.
"Bagus!" seru si nenek. "Muda-muda tak sayang diri. Sungguh
sayang!"
Busur menjepret lagi, tapi kali ini berbeda dengan yang pertama.
Jika tadi peluru-peluru itu menyambar dengan bunyi nyaring, kali ini
menyambarnya tidak bersuara. Peluru-peluru itu melayang dalam empat
kelompok, setiap kelompok terdiri dari tiga butir peluru. Mereka
menyambar dari empat penjuru dengan kecepatan yang berbeda-beda. Begitu
mendekati sasaran, kelompok yang di belakang tiba-tiba seakan-akan
menambah kecepatannya dan melombai kelompok yang di sebelah depan. Di
lain saat, bagaikan hujan peluru-peluru itu menyambar tubuh Kim Sie Ie
dengan serentak!
"Senjata rahasia keluarga Tong benar-benar hebat!" teriak Kim Sie
Ie yang lantas saja jungkir balik beberapa kali di atas tanah.
"Kau pun boleh coba merasakan senjata rahasiaku!" ia berseru
sembari meloncat dan menyemburkan ludahnya.
Pengtjoan Thianlie terkesiap. Melihat senjata rahasia si nenek, ia
segera mengetahui, bahwa ia tentu bukan lain daripada Tong Say Hoa yang
namanya pernah disebut-sebut Tong Keng Thian. Beberapa puluh tahun
berselang, nama nenek itu telah menggetarkan seluruh dunia Kangouw dan ia
adalah puteri tunggal Tong Kim Hong, seorang ahli senjata rahasia nomor
satu di jamannya. Tong Kim Hong adalah putera kedua dalam keluarganya dan
oleh karena itu, belakangan ia dikenal sebagai Tong Djiesianseng. Dulu,
Tong Kim Hong dan puterinya pernah berbentrok dengan kedua orang tua Tong
Keng Thian dan dengan bantuan Lu Soe Nio, baru sengketa itu dapat
diselesaikan. Liong Leng Kiauw adalah murid penutup dari Tong Kim Hong
dan menjadi Soetee Tong Say Hoa. Dalam perjalanan ke Soetjoan untuk
sekalian menyelidiki soalnya Liong Leng Kiauw, orang yang ingin dicari
oleh Keng Thian adalah nenek itu.
Maka, demi mengetahui asal-usul si nenek, Pengtjoan Thianlie
terkejut ketika melihat Kim Sie Ie menggunakan senjata rahasianya yang
mengandung racun. Tanpa berpikir lagi, ia menghunus pedangnya dan sembari
meloncat, menikam jalan darah Hiankie hiat, di dada Kim Sie Ie, dengan
tujuan supaya pengemis itu batal melepaskan senjata rahasianya.
Di lain detik, berbareng dengan suara mengaung yang sangat keras,
busur Tong Say Hoa berbentrok dengan tongkat si pengemis dan sebagai
akibatnya, lima helai tali busur itu putus, sedang tongkat besi si
pengemis terpental ke tengah udara. Hampir berbareng dengan itu, baju Kim
Sie Ie, di bagian dada, dirobek ujung pedang Pengtjoan Thianlie.
"Bagus!" seru Kim Sie Ie sembari loncat menyambut tongkatnya yang
sedang melayang turun, dan sesudah itu, ia kabur bagaikan terbang.
"Kau benar manusia kejam!" seru Peng Go dengan gusar sekali. "Lain
kali jangan kau menemui aku lagi." Si pengemis tidak menyahut, ia kabur
terus sesudah melompati tembok.
Untuk sesaat, Koei Peng Go berdiri terpaku. Dengan mata mendelong,
ia mengawasi punggung si pengemis yang sedang kabur. Ia tak tahu, apakah
ia harus gusar, apakah ia merasa sayang melihat perbuatan pemuda yang
berkepandaian tinggi itu atau bersimpati kepadanya.
Dengan paras muka gusar, Tong Say Hoa melemparkan busurnya yang
rusak. "Nona yang cantik, apakah kau datang bersama-sama ia?" tanyanya.
"Moh Tjoan Seng adalah Pehpeh-ku," jawabnya dengan menyimpang.
Si nenek kelihatan heran. "Hm!" Ia menggerendeng. "Kau keponakan
Moh Tjoan Seng? Bagaimana kau bisa berada bersama-sama seorang pengemis
penderita kusta?"
Di waktu mengucapkan kata-kata "pengemis penderita kusta," suaranya
mengandung kegusaran dan penghinaan hebat. Pengtjoan Thianlie sebenarnya
belum menganggap Kim Sie Ie sebagai sahabatnya, akan tetapi, entah
kenapa, begitu mendengar nada suara dan melihat sikap si nenek, hatinya
lantas saja menjadi kurang senang.
Maka itu, ia hanya memberi jawaban pendek dengan suara tawar: "Aku
menjumpainya di tengah jalan."
Tiba-tiba ia melihat sinar hitam pada muka Tong Say Hoa. "Tong
Pehbo!" ia berseru dengan suara kaget. "Kau terkena senjata rahasianya!"
Mengingat hebatnya racun senjata si pengemis, ia bergidik dan segala rasa
simpatinya lantas saja hilang seperti ditiup angin. "Aku tak nyana, ia
seperti juga anjing gila yang menggigit setiap orang yang dijumpainya!"
katanya dengan suara gusar.
"Apakah tadinya menganggap dia manusia baik-baik?" tanya si nenek
sembari tertawa dingin.
Si nona mengerutkan alisnya. "Pehbo," katanya "Apakah kau sudi
menggunakan obatku untuk memunahkan racun?"
Pemuda keponakan Tong Say Hoa, yang kelihatannya merasa suka
terhadap Peng Go dan yang sedari tadi berdiri di dekat bibinya, lantas
saja berkata: "Nona, terima kasih untuk kebaikanmu. Untung ada kau yang
sudah bantu mengusir dia. Kau mempunyai obat mustajab?"
"Obat itu dibuat olehku sendiri," jawab Peng Go. "Meskipun tidak
dapat dipersamakan dengan Thiansan Soatlian, tapi boleh juga untuk
memunahkan racun. Tapi aku tak tahu, apakah obat itu berguna terhadap
racun senjata rahasia pengemis itu."
Oleh karena sedari kecil sehingga besar dipelihara dalam keraton es
yang terasing dari dunia luar, Peng Go tidak mengetahui, bahwa ia harus
menjalankan peradatan terhadap Tong Say Hoa sebagai seorang yang
tingkatannya lebih rendah terhadap orang yang tingkatannya tinggi. Selain
itu, iapun tidak menjawab dengan kata-kata yang tepat terhadap pernyataan
terima kasih pemuda itu, ditambah pula dengan sikapnya yang angkuh, ia
sudah membikin Tong Say Hoa jadi lebih mendongkol.
Tanpa sadar, bahwa sikapnya sudah menerbitkan salah mengerti,
Pengtjoan Thianlie merogoh sakunya untuk mengeluarkan obat.
Tiba-tiba si nenek mendongak "Tidak!"
"Kouwkouw, tak ada halangannya untuk dicoba-coba," bujuk si
keponakan.
Mendadak Tong Say Hoa mendelik. "Toan-djie!" ia membentak. "Senjata
rahasia keluarga Tong belum pernah dilepaskan dengan percuma. Orang luar
yang cupat pandangannya, mungkin tak tahu. Apa kau sendiri tidak tahu?
Dalam tempo tiga hari, kutanggung pengemis kusta itu akan datang untuk
menukar obatnya dengan obatku. Walaupun Kouwkouw-mu sudah tua, rasanya ia
masih dapat mempertahankan diri untuk tiga hari."
"Kouwkouw, apakah memedi itu terkena senjata rahasiamu?" tanya
pemuda itu.
"Pehbie tjiam (jarum alis putih)!" jawabnya. "Dalam tiga hari
racunnya akan mengamuk, dalam tujuh hari ia akan mampus, jika tidak
mendapat obat pemunahnya!"
Dulu Phang Lin, bibi Tong Keng Thian, pernah dilukakan dengan
Pehbie tjiam oleh suami Tong Say Hoa. Ketika itu, biarpun diobati oleh
Lie Tie menurut cara pengobatan yang liehay, tak urung ia masih harus
menderita agak lama juga. Kejadian itu diketahui Peng Go dari mulut Keng
Thian.
"Dua tahun berselang Moh Tjoan Seng pernah datang kesini dan
sekarang ia hidup menyendiri di Tjengshia san," kata Tong Say Hoa. "Dia
adalah tetua Rimba Persilatan jaman ini dan tidak mengherankan, jika kau
mempunyai kepandaian yang begitu tinggi. Aku sudah tua, maaf, aku tak
dapat mengantar kau mencari pamanmu itu."
Peng Go mengetahui, bahwa dengan berkata begitu, si nenek seperti
juga mau mengusir ia. "Aku bisa pergi sendiri, tak berani aku membikin
capai Pehbo," katanya. "Tapi ada suatu kejadian yang aku ingin
memberitahukan Pehbo. Liong Leng Kiauw telah di penjarakan di Lhasa.
Apakah Pehbo sudah tahu?"
"Apa?" teriak si nenek dengan suara kaget. "Liong Leng Kiauw
ditangkap di Lhasa?"
Harus diketahui, bahwa Tong Say Hoa tidak mempunyai anak. Sedari
berusia tujuh tahun, Liong Leng Kiauw sudah berguru kepada keluarga Tong.
Maka itu, meskipun secara resmi ia adalah Soetee (adik seperguruan) Say
Hoa, akan tetapi, si nenek menganggap ia seperti putera sendiri.
Pengtjoan Thianlie lantas saja menuturkan segala kejadian yang
diketahuinya.
"Hm!" si nenek menggerendeng sehabis Peng Go menutur. "Besar benar
nyali Hok Kong An dan Hiatsintjoe. Hm! Dilihat begini, benar-benar mereka
tidak mau membiarkan aku, si tua, hidup senang di rumah."
"Kouwkouw," kata keponakannya. "Lebih baik kau jangan terlalu
gusar. Sesudah kau sembuh, barulah kita berdamai bagaimana baiknya."
Tong Say Hoa memanggut-manggutkan kepalanya. "Benar!" katanya.
"Toan-djie! Antar aku masuk." Tanpa memperdulikan Pengtjoan Thianlie, ia
segera masuk ke dalam.
Dapat dibayangkan berapa besar rasa mendongkolnya Peng Go.
"Siauwkongtjoe, mari kita berangkat," kata Yoe Peng.
Pemuda itu merasa sangat tidak enak, buru-buru ia menghampiri dan
menyoja. "Kouwkouw-ku yang tua memang rada linglung dan aku mohon kalian
jangan menjadi kecil hati," katanya. "Siapakah ayahmu? Tjio Tayhiap atau
Koei Tayhiap?”
"Ayahku Koei Hoa Seng," jawab si nona.
Pemuda itu terkejut dan segera berkata: "Ah! Kalau begitu Koei
Tjietjie! Namaku Tong Toan. Aku mohon, dengan mengingat Kouwkouw tidak
mempunyai pelindung, supaya Tjietjie sudi berdiam disini beberapa hari,"
"Bukankah Kouwkouw-mu sudah melukakan pengemis kusta itu dengan
Pehbie tjiam dan sekarang hanya menunggu penukaran obat?" kata si nona.
"Kepandaianku sangat cetek. Mana bisa aku melindungi Kouwkouw-mu?"
Tong Toan tertawa dan berkata pula: "Kouwkouw mengandalkan
kepandaiannya secara berlebih-lebihan. Siapa dapat memastikan, bahwa
pengemis kusta itu tidak akan menyatroni lagi dalam tiga hari ini? Jika
ia, tanpa mengetahui liehaynya Pehbie tjiam menyatroni pula dalam tiga
hari, siapa yang akan dapat melawan ia?"
Peng Go berpikir sejenak. Ia merasa, perkataan pemuda itu memang
ada benarnya. "Walaupun nenek itu agak kurang ajar, tapi ia adalah
seorang Tjianpwee," katanya di dalam hati. "Jika aku lantas berlalu dan
sampai terjadi apa-apa, aku akan turut merasa berdosa." Mengingat begitu,
lantas saja ia menyanggupi untuk berdiam beberapa hari dalam rumah
keluarga Tong.
Dengan cepat tiga hari sudah lewat. Selama tiga hari itu, Tong Say
Hoa terus menyekap diri di dalam kamar, duduk bersemedhi untuk
mengeluarkan racun dari badannya. Dengan memperhatikan paras muka Tong
Toan yang semakin lama jadi semakin guram, Pengtjoan Thianlie mengetahui,
bahwa racun si pengemis sudah bekerja keras dan oleh karena itu, hatinya
merasa sangat tidak enak.
Berdasarkan sakit hatinya terhadap masyarakat, Kim Sie Ie memusuhi
semua orang-orang gagah dari Rimba Persilatan. Akan tetapi, melukakan
seorang tua dengan senjata beracun secara serampangan, adalah perbuatan
yang menurut Peng Go, tidak bisa dimaafkan. Berpikir sampai disini, tanpa
merasa si nona teringat Tong Keng Thian. Kedua-duanya adalah pemuda yang
berkepandaian tinggi, akan tetapi mengenai pendidikan, Kim Sie Ie tak
dapat direndengkan dengan Tong Keng Thian. Sesaat itu, mau tak mau, ia
ingat juga bagaimana Tong Keng Thian sudah mempermainkan dirinya dan
berbareng, ia ingat pula cara-cara Kim Sie Ie yang aneh, tapi yang
mengandung kejujuran dalam keanehannya itu.
Si nona sendiri tidak mengetahui, bahwa terhadap Tong Keng Thian,
ia sudah jatuh cinta.
Maka itu, ia selalu gusar dan ingin menghukum pemuda itu untuk
segala cacat dan kesalahannya. Tapi terhadap Kim Sie Ie, ia hanya
mempunyai perasaan kepengen tahu, paling banyak perasaan kasihan. Itulah
sebabnya, kenapa ia masih dapat melihat "sifat baik" dalam keanehan
pemuda itu.
Waktu itu sudah magrib dan si pengemis kusta belum juga muncul.
Dengan hati cemas, Peng Go keluar dari kamarnya untuk menanyakan keadaan
Tong Loothaypo. Keluarga Tong mempunyai rumah yang sangat besar, tapi
hanya sedikit bujang mereka. Begitu si nona berada di luar kamar Tong Say
Hoa, ia mendengar suara si nenek.
"Malam ini pengemis kusta itu pasti akan datang," kata si nenek
dengan suara keras. "Jika ia tidak berlutut memohon ampun, jangan kau
berikan obat pemunah itu!"
"Kouwkouw," kata Tong Toan. "Kita pun membutuhkan obatnya."
"Semenjak dulu, tak ada manusia yang berani memandang rendah
keluarga Tong," bentak Tong Say Hoa. "Bahwa seorang pengemis sudah berani
keluar masuk disini, adalah suatu kejadian yang sangat menghilangkan muka
kita. Kalau ia tidak berlutut minta ampun, tak boleh kau memberikan obat
itu. Mengerti?"
"Tapi, Kouwkouw, kau..." kata Tong Toan, terputus-putus.
"Jika ia tidak minta ampun, biarpun sampai mati aku akan tetap
menolak obatnya," kata si nenek yang kepala batu. "Lebih baik biar dia
mampus bersama-sama aku, supaya seluruh dunia mendapat tahu, siapa juga
yang berani melanggar keluarga Tong, dia mesti membayar dengan jiwanya."
"Kouwkouw," kata Tong Toan, tergugu. "Inilah... inilah..." Suaranya
gemetar, hatinya sangat berkuatir.
Tiba-tiba terdengar Tong Say Hoa menggebrak ranjang. "Manusia tak
punya semangat!" ia membentak dengan gusar. "Benar-benar kau tak berhak
menjadi anggauta keluarga Tong!"
Pengtjoan Thianlie bergidik. Menukar obat sebetulnya bukan kejadian
yang memalukan. Ia tidak nyana, Tong Say Hoa begitu keras kepala dan
kejam hati. Ia merasa gusar terhadap Kim Sie Ie, tapi sesudah mendengar
pembicaraan itu, perasaannya terhadap Tong Say Hoa menjadi lain.
Sementara itu terdengar suara Tong Toan yang sangat perlahan.
Mungkin sekali pemuda itu sedang membujuk bibinya. Tiba-tiba terdengar
pula ranjang digebrak.
"Benar bandel kau!" membentak si nenek. "Sebelum mati, lebih dulu
aku akan mengambil jiwanya!"
Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka dan Tong Toan berjalan
keluar. Buru-buru Pengtjoan Thianlie menyingkir. Gerakannya ini luar
biasa cepatnya, sekali berkelebat, ia sudah berada di belakang sebuah
gunung-gunungan batu. Meskipun kepandaian pemuda itu masih kacek jauh
jika dibandingkan si nona, tapi karena sedari kecil sudah berlatih
menggunakan senjata rahasia, perasaan dan kupingnya tajam luar biasa.
Dengan cepat ia memburu ke arah berkelebatnya bayangan orang. Sesaat itu,
dengan tindakan perlahan, Peng Go keluar dari tempat sembunyinya. Tong
Toan sudah membuka mulut untuk berteriak, tapi ia keburu mengenali nona
itu.
"Ah! Kiranya Koei Tjietjie!" katanya dengan suara halus. "Apakah
kau mencari aku?"
"Benar," jawabnya, tapi karena tidak biasa berdusta, mukanya lantas
saja bersemu dadu.
"Ada urusan apa?" tanya Tong Toan dengan suara girang.
"Aku mencari kau... mencari kau... untuk menanyakan hal ihwal
seseorang," jawabnya dengan suara tergugu.
"Siapa?" tanya pula Tong Toan.
"Tong Keng Thian, putera Tong Tayhiap, yang kemarin dulu disebutkan
olehmu," jawab si nona. "Menurut dugaanku, ia sudah lewat disini. Kau
adalah penduduk disini, lebih gampang untuk menyelidikinya."
Pengtjoan Thianlie sebenarnya tidak ingin menimbulkan halnya Tong
Keng Thian, tapi dalam keadaan kedesak, tanpa merasa ia sudah menyebutkan
nama pemuda itu.
Hati Tong Toan mencelos, tapi sebagai pemuda yang terdidik baik, ia
tidak mengentarakan perasaan itu pada paras mukanya. "Karena dalam
beberapa hari ini aku repot melayani Kouwkouw, tak sempat aku keluar
rumah," katanya. "Sesudah lewat malam ini, aku tentu akan menyelidiki.
Sst! Tjietjie! Lekas sembunyi!"
Peng Go yang kupingnya cukup tajam, juga sudah dapat menangkap
suara seperti jatuhnya daun kering di tempat yang jauhnya kira-kira
setengah li.
"Ini adalah urusan keluargaku sendiri," kata Tong Toan. "Hanya
dalam keadaan yang sangat berbahaya, baru aku mohon bantuan Tjietjie."
Pengtjoan Thianlie tahu, bahwa yang datang tak bisa lain daripada
Kim Sie Ie. Ia mengangguk dan lantas loncat ke belakang gunung-gunungan
batu. Diam-diam ia merasa heran oleh karena, sedang tiga hari berselang
Tong Toan berusaha menahan ia untuk bantu menghadapi Kim Sie Ie, kenapa
sekarang ia menolak bantuan, kecuali jika sangat perlu. Di lain saat ia
sadar. Perubahan sikap Tong Toan tentu juga disebabkan oleh kepala batu
si nenek yang berkeras ingin menyelesaikan urusan itu dengan tenaga
keluarga Tong sendiri.
Baru saja si nona berada di belakang gunung-gunungan, Kim Sie Ie
sudah berada di dalam pekarangan rumah sambil mengeluarkan suara tertawa
yang menyeramkan. Sebelum Tong Toan sempat membuka mulut, pengemis itu
sudah berseru: "Pehbie tjiam sungguh-sungguh liehay! Biar bagaimana pun
juga, aku sudah berkenalan dengan senjata rahasia keluarga Tong. Aku
sungguh kagum, begitu bertemu lawan, kamu tak sungkan-sungkan lagi
menggunakan senjata yang beracun. Apakah itu memang kebiasaan
keluargamu?"
Tong Toan gusar bukan main. Ia mendelik dan membentak: "Apakah
senjatamu tidak beracun? Tanpa sebab, tanpa lantaran melukakan seorang
tua. Apakah itu perbuatan seorang ksatria?"
Peng Go memuji Tong Toan yang sudah menyemprot secara tepat sekali.
Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak. "Aku memang bukan ksatria,"
katanya. "Perkataanmu tak perlu dikeluarkan!'
Dalam kalangan Kangouw, banyak sekali manusia keparat yang mengaku
ksatria dan tak pernah ada yang mengatakan, seperti yang dikatakan Kim
Sie Ie. Mendengar itu Tong Toan menjadi kaget.
Lagi-lagi Kim Sie Ie tertawa berkakakan. "Aku memang biasa meminta
pelajaran dari kaum ksatria yang berkepandaian tinggi," katanya. "Jika
Kouwkouw-mu seorang biasa, aku tentu tak akan perlu mencarinya. Tapi ia
sendiri yang mengaku dirinya ahli senjata rahasia nomor satu dalam dunia
dan di samping itu, sudah beberapa turunan keluarga Tong menempel merek
ksatria. Ha-ha! Dan sekarang aku sudah mendapat pelajaran bagus sekali."
"Apa katamu?" bentak Tong Toan. "Kami dari keluarga Tong tak akan
membokong orang seperti kau!'
Kim Sie Ie mendongakkan kepalanya dan kembali tertawa besar.
"Sekarang aku tanya," katanya. "Bukankah menurut peraturan Rimba
Persilatan, menjajal ilmu dianggap sebagai kejadian lumrah?"
"Benar," jawab Tong Toan.
"Nah," kata pula Kim Sie Ie. "Aku sebetulnya hanya ingin berkenalan
dengan senjata rahasia keluarga Tong. Adalah Kouwkouw-mu yang lebih dulu
menggunakan jarum beracun Pehbie tjiam, untuk membinasakan aku. Coba kau
katakan: Apakah yang aku harus lakukan? Dalam dunia, senjata beracun
bukan hanya dimiliki keluargamu. Ha-ha! Tak bisa lain, aku pun harus
melayani! Pehbie tjiam memerlukan tempo tujuh hari untuk mengambil jiwa
manusia. Tokliongteng-ku (Paku naga beracun) paling lama tiga hari. Kau
mau aku mati? Gampang! Tapi, sebelum mampus, lebih dulu aku mau
menyaksikan kau menangis di depan jenazah Kouwkouw-mu!"
Bukan main kagetnya Tong Toan. Sekarang ia baru mengetahui, bahwa
si pengemis kusta sudah menggunakan pakunya karena diserang lebih dulu
dengan jarum beracun.
Perkataan Kim Sie Ie ada benarnya juga. Jika Tong Say Hoa
mengetahui, bahwa ia hanya ingin menjajal ilmu, walaupun ia dapat
menggunakan senjata rahasia, tak pantas ia menggunakan senjata beracun.
Akan tetapi, dari Shoatang Kim Sie Ie telah menyatroni sampai di Soetjoan
utara dan sudah menghina banyak sekali orang-orang ternama dalam Rimba
Persilatan, sehingga namanya menjadi buruk, maka begitu bertemu, Tong Say
Hoa segera turun tangan untuk membinasakan pengemis itu. Dalam hal ini,
Tong
Say Hoa pun mempunyai alasan sendiri, yang dapat juga dimengerti
jika dipandang dari sudutnya.
Mendengar pertanyaan Kim Sie Ie, Tong Toan jadi kemekmek. Beberapa
saat kemudian, baru ia dapat menjawab dengan suara gusar: "Siapa mau
bicara hal peraturan Kangouw dengan manusia yang sepak'terjangnya seperti
anjing gila! Kouwkouw-ku mana kesudian menjajal ilmu dengan manusia
semacam kau!"
Paras muka Kim Sie Ie lantas saja berubah menyeramkan. "Jika kau
banyak rewel lagi, aku tak akan memperdulikan peraturan
Kangouw lagi!" ia membentak "Lebih dulu aku akan mengambil jiwamu!'
Selagi membentak kedua matanya mengeluarkan sinar yang sangat ganas,
sehingga Tong Toan menjadi terkejut. Beberapa saat kemudian, si pengemis
tertawa dingin seraya berkata:
"Kouwkouw-mu tak sudi melayani aku menjajal kepandaian, tapi
sekarang, bukankah kau ingin memohon obat?'
"Dan kau?" Tong Toan berteriak. "Bukankah kau juga datang untuk
memohon obat pemunah dari keluarga Tong?"
"Benar," jawabnya. "Tapi jangan kau lupa, Kouwkouw-mu tidak akan
dapat melalui malam ini, sedang aku masih mempunyai tempo empat hari. Aku
merasa, bahwa dia pantas berlutut tiga kali di hadapanku untuk perbedaan
empat hari itu?"
"Apa?" bentak Tong Toan dengan suara gusar. "Dalam saling menukar
obat, kau mau orang lain berlutut di hadapanmu?"
"Menurut dugaanku,
Kouwkouw-mu sudah tidak dapat bergerak lagi," kata Kim Sie le.
"Nah! Kau saja, yang mewakili ia berlutut di depanku."
"Bagus mukamu!" berteriak Tong Toan. "Kaulah yang harus memohon
ampun. Kalau kau tak mau berlutut, jangan harap bisa mendapat obat."
Kim Sie Ie mesem tawar dan berkata dengan suara tawar pula: "Kalau
begitu, tiada jalan lain daripada membuka mata lebar-lebar untuk
menyaksikan tangisanmu di hadapan peti jenazah!'
Tong Toan menjadi gusar berbareng kuatir. Tiba-tiba ia ingat, bahwa
sesudah tiga hari terkena jarum Pehbie tjiam, racun jarum tentu sudah
mengamuk hebat di dalam tubuh Kim Sie Ie, sehingga belum tentu ia tidak
dapat melawan pengemis itu. Selagi ia ingin turun tangan, si pengemis,
yang agaknya sudah dapat mengerti apa yang dipikirnya, sekonyong-konyong
memotes sebatang cabang pohon dan berkata sembari tertawa: "Aha! Kau
mau menggunakan kekerasan? Baiklah!"
Tapi, belum habis perkataan itu diucapkan, ketika mendadak sesosok
bayangan manusia berkelebat cepat bagaikan angin.
Tong Toan terkesiap, ia menduga, bahwa serangan itu datangnya dari
si pengemis. Cepat seperti kilat, tangan kirinya menghantam dengan
pukulan Wankiong siatiauw (Mementang busur memanah burung rayawali),
sedang tangan kanannya menabas dengan gerakan Pihong hoentjam (Mengebas
angin menabas miring).
Selain mengandalkan senjata rahasia yang dikenal di seluruh
Tiongkok, keluarga Tong juga mempunyai ilmu pukulan yang disegani orang.
Dua pukulan tersebut, yang menyerang berbareng membela diri, adalah
pukulan-pukulan rahasia yang hanya digunakan untuk menolong jiwa dalam
saat berbahaya. Tapi dengan sekali mengegos, bayangan itu sudah dapat
mengelit pukulan Tong Toan dan di lain saat, Pengtjoan Thianlie sudah
berdiri di tengah-tengah antara kedua lawan.
"Tak berani aku menerima bantuanmu," kata Tong Toan dengan suara
dingin. "Urusan keluarga Tong harus dipikul olehku sendiri."
Peng Go tidak menyahut. Dengan muka dingin bagaikan es, ia
berpaling ke arah Kim Sie Ie dan berkata: "Ambil ini dan keluarkan
obatmu!'
Bukan main kagetnya Tong Toan. Ia meraba sakunya dan mendapat
kenyataan, bahwa obat pemunah, yang tadi berada di dalam kantongnya,
sudah pindah ke tangan si nona. Ia terpaku dan setelah berselang beberapa
saat, baru ia dapat mengeluarkan suara terputus-putus: "Kau... Kau..."
Kim Sie Ie, yang tidak kurang terkejutnya, loncat mundur dan hampir
berbareng dengan Tong Toan iapun berseru dengan suara tertahan: "Kau!..."
"Keluarkan obat pemunah!” perintah si nona dengan nada suara
sebagai seorang ratu.
"Bagus!" Kim Sie Ie berseru.
Sambil menuding dengan pedangnya, Peng Go berkata pula: "Dengan
saling menukar obat, tak ada yang kehilangan muka. Lekas keluarkan obatmu
dan mulai dari sekarang, jangan kau menemui aku lagi!" "
Kim Sie Ie melirik. Tiba-tiba ia mengayun tangan dan berseru:
"Ambil!'
Baru saja si nona menyambuti obat itu, si pengemis kembali mengayun
tangan. "Ini juga!" ia berteriak.
Pengtjoan Thianlie mengebas lengan jubahnya dan menggulung benda
yang dilemparkan itu. Si nona heran, sebab benda itu adalah sebutir batu
yang dibungkus dengan kertas kulit kambing.
"Orang yang sedang dicari olehmu, berada di dalamnya," kata Kim Sie
Ie dengan suara mendongkol. "Pandanglah sepuas hatimu." Ia memutarkan
badan, melompati tembok dan melenyapkan diri dengan kecepatan luar biasa.
Tanpa merasa, Tong Toan bangun bulu romanya. "Sesudah terkena
Pehbie tjiam, tak nyana ia masih begitu liehay," katanya di dalam hati.
"Untung juga aku tadi tidak lantas turun tangan."
Pengtjoan Thianlie membuka kertas yang membungkus batu itu dan
mendadak saja, ia menjadi bengong. Di atas kertas itu terdapat gambar dua
orang, yang satu adalah Tong Keng Thian, yang lain seorang wanita muda
cantik dan kedua matanya mengawasi Keng Thian dengan meseman manis. Di
kertas itu terdapat pula peta bumi yang mengunjukkan jalan untuk mencari
tempat Keng Thian.
"Kalau begitu, Keng Thian berada di Lengkoan," kata si nona di
dalam hatinya. "Dari sini hanya memerlukan perjalanan dua hari. Siapa
nona itu? Dengan maksud apa Kim Sie Ie memberikan gambar ini kepadaku?"
Selagi ia berdiri bengong bagaikan orang linglung, kupingnya
mendadak mendengar suara Tong Toan: "Koei Tjietjie!” Buru-buru ia
memasukkan gambar itu ke dalam sakunya dan menengok. "Koei Tjietjie,"
kata pemuda itu. "Bagaimana baiknya? Kouwkouw tentu menggusari aku."
Si nona yang sedang kusut pikirannya, jadi merasa sebal. Ia
menyesapkan obat Kim Sie Ie ke dalam tangan Tong Toan dan berkata dengan
suara dingin: "Bagaimana kalau aku saja yang mewakili ia memohon maaf
kepadamu?'
Tong Toan terkejut, buru-buru ia loncat minggir.
"Kouwkouw-mu telah memesan, bahwa jika ia tidak berlutut memohon
ampun, obat keluarga Tong tak boleh diberikan," kata pula Peng Go.
"Bukankah begitu?"
"Benar!" jawabnya.
"Nah!" kata lagi si nona. "Obat keluarga Tong diberikan olehku
kepadanya dan tidak ada sangkut pautnya dengan kau. Jika Kouwkouw-mu
menghukum, ia tidak boleh menghukum kau. Obat ini lekas-lekas kau berikan
kepada Kouwkouw-mu dan tolong kau menyampaikan hormatku
kepadanya." Sehabis berkata begitu, ia lantas berseru: "Yoe Peng!
Yoe Peng!"
"Koei Tjietjie! Apa maksudmu?" tanya Tong Toan dengan suara
bingung.
Sementara itu, Yoe Peng sudah menghampiri. "Terima kasih untuk
pelayananmu selama tiga hari," kata Peng Go. "Sampai ketemu lagi!"
"Koei Tjietjie," kata Tong Toan. "Apakah kau merasa tidak senang
terhadap kami?"
"Kenapa tidak senang?" kata si nona. "Sesudah jiwa Kouwkouw-mu
selamat, sekarang aku boleh berlalu dengan hati lega."
Sehabis berkata begitu, bersama Yoe Peng, ia melompati tembok. Tong
Toan mengubar. Setibanya di luar, yang dapat dilihatnya hanya sang
rembulan yang memancarkan sinar gilang gemilang, tapi kedua gadis itu
sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Tong Toan menghela napas, ia ingat akan bantuan Pengtjoan Thianlie.
Tanpa bantuan itu, jika ia dan si pengemis kusta sampai bergebrak,
Kouwkouw-nya dan Kim Sie Ie tentu juga akan binasa bersama-sama Ia merasa
menyesal, bahwa si nona pergi begitu terburu-buru dan dengan perasaan
berat, ia segera menuju ke kamar Tong Say Hoa dengan membawa obat.
Tong Toan tidak mengetahui, bahwa pikiran Peng Go terlebih kusut
daripada pikirannya. Semenjak berpi sahan dengan Tong Keng Thian, entah
kenapa, si nona selalu merasa tidak gembira. Tadi, sesudah melihat gambar
itu, hatinya jadi berdebar-debar. Sesaat, ia ingin segera menemui Keng
Thian, di lain saat, ia kepengen mabur jauh, jauh sekali, supaya tidak
bertemu muka pula dengan pemuda itu untuk selama-lamanya. Ia sendiri
tidak mengetahui, apakah ia mencinta atau membenci pemuda tersebut, ia
juga tidak mengerti, apa yang sedang dipikirkannya.
Dan Pengtjoan Thianlie tentu saja tidak mengetahui, bahwa pada
malam itu, pada detik-detik yang sama, Tong Keng Thian pun sedang
memikiri dirinya.

***

Pada malam itu, selagi Keng Thian dan Tjee Tjiang Hee berjalan-
jalan di luar rumah, di bawah sinar rembulan, ibu si nona mendadak datang
untuk memberitahukan hal dilukakannya Tong Say Hoa oleh si pengemis kusta
yang berkawan dua wanita cantik bagaikan bidadari.
Mendengar itu, Keng Thian terkejut. Ia menduga, bahwa "dua wanita
cantik bagaikan bidadari itu" tentu bukan lain daripada Peng Go dan
dayangnya. Sebenarnya ia tak mau percaya cerita itu, akan tetapi, sesudah
mendengar lukisan roman dan cara-cara kedua wanita tersebut, mau tidak
mau, ia harus percaya juga.
Melihat paras pemuda itu yang sangat guram, Yo Lioe Tjeng menduga,
bahwa Keng Thian merasa jengkel karena mendengar munculnya pengemis itu.
"Dalam satu dua hari ini, lebih baik kita menyingkir dulu," katanya.
"Sesudah kau sembuh baru kita melawan pengemis itu."
Mendengar sang ibu tidak setuju mereka berjalan-jalan di luar,
sembari monyongkan mulut, Tjiang Hee berkata: "Tong Koko baru saja
sembuh, ia perlu banyak berjalan-jalan untuk menghibur hatinya. Mana ia
tahan disekap di dalam rumah?"
Melihat lagak si nona, Keng Thian jadi tertawa. Mengingat dengan
cara apa selama belasan hari nona itu sudah merawatnya, Keng Thian merasa
sangat berterima kasih dan lantas saja ia berkata: "Sebenarnya, kita
memang tidak perlu begitu berkuatir. Meskipun aku belum sembuh betul,
tapi jika bertemu dengan pengemis kusta itu, belum tentu ia dapat
melukakan diriku lagi."
Tjiang Hee girang. "Tong Koko," katanya. "Apakah kau sudah
mempunyai akal untuk merobohkan padanya?"
"Senjata pengemis kusta itu yang paling liehay adalah senjata
rahasianya yang disemburkan dari mulutnya," Keng Thian menerangkan. "Tapi
senjata itu hanya dapat menyerang dari jarak dekat. Thiansan Sinbong-ku
dapat merobohkan musuh yang berada dalam jarak lebih dari enam tombak
jauhnya. Jika sekarang aku harus menghadapi ia, aku dapat menggunakan
Sinbong untuk menahan majunya."
Yo Lioe Tjeng mesem dan segera berkata: "Jika kau sudah mempunyai
pegangan, boleh kau berjalan-jalan terus bersama Tjiang Hee. Aku tidak
menghalang-halangi lagi."
Melihat tingkah laku kedua orang muda itu yang kelihatannya rapat
sekali, Yo Lioe Tjeng, yang di dalam hatinya mempunyai maksud tertentu,
jadi merasa girang sekali.
Rumah keluarga Tjee berdiri membelakangi gunung, sedang di
pekarangan depan yang cukup luas, ditanami pohon-pohon bunga yang waktu
itu sedang mekarnya. Jalan-jalan di bawah sinar sang Puteri Malam, dengan
segala pemandangannya yang sangat indah dan bau-bauan bunga yang harum
semerbak, benar-benar seperti juga berada didalam surga.
Lama, lama sekali, tanpa berkata-kata, mereka keluar masuk di
antara pohon-pohon kembang.
"Tong Koko, kau lagi memikirkan apa?" tanya si nona.
"Tidak apa-apa," jawabnya.
Tjiang Hee tertawa geli. "Aku tahu," katanya "Kau tentu ingin
bertemu dengan kedua wanita itu yang katanya cantik seperti bidadari.
Benarkah?"
Tjiang Hee sebenarnya hanya berbicara guyon-guyon, tapi di luar
dugaan, Keng Thian menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang.
"Benar," sahutnya. "Aku sedang memikirkan mereka!"
Si nona terkejut. "Tong Koko, apakah kau benar-benar kenal dengan
mereka?" tanyanya.
"Kenal," jawab Keng Thian. "Mereka adalah sahabat-sahabatku."
"Tapi, kenapa mereka tidak berjalan bersama-sama kau, sebaliknya
justru berkawan pengemis kusta itu yang dibenci orang?" tanya Tjiang Hee
pula.
"Aku justru ingin mencari mereka untuk menanyakan sebab-sebabnya,"
jawab Keng Thian.
Paras muka Tjiang Hee lantas saja berubah guram. "Aku tak ingin
menemui pengemis kusta itu," katanya.
"Siapa menyuruh kau menemui ia?" kata Keng Thian.
"Tapi aku ingin sekali bertemu dengan kedua Tjietjie itu yang
cantik bagaikan bidadari," kata si nona.
"Kenapa?" tanya Keng Thian.
"Orang yang kau sukai, tentu juga kusukai," jawabnya. "Bolehkah aku
turut kau menemui kedua Tjietjie itu?”
"Aku sendiri tak tahu, apakah mereka sudi menemui diriku," kata
Keng Thian.
"Kenapa begitu?" tanya Tjiang Hee dengan suara heran. "Bukankah
mereka itu sahabat-sahabatmu?"
Keng Thian menghela napas panjang dan kemudian berkata dengan suara
perlahan: "Hee-moay, usiamu masih terlalu muda, sehingga biar pun aku
memberi penjelasan, kau tidak akan mengerti."
"Tapi usiamu tidak berbeda banyak dengan usiaku," kata si nona yang
merasa agak kurang senang dikatakan belum mengerti urusan. Ia berdiam
beberapa saat, kemudian berkata pula: "Dulu, waktu'aku baru saja mengerti
urusan, aku sudah ingin bertemu denganmu. Apakah kau tahu?"
Keng Thian tertawa. "Waktu itu bagaimana kau tahu, bahwa di dalam
dunia ini ada seorang yang bernama Tong Keng Thian?" tanyanya.
"Sedari aku mulai mengerti urusan, ibu sudah membicarakan hal
dirimu," jawab Tjiang Hee.
"Aku tak percaya," kata Keng Thian. "Ibumu sendiri baru mengenal
aku kira-kira setengah bulan lamanya."
"Ibuku sering-sering
membicarakan hal ayahmu dengan aku," si nona menerangkan. "Ia
sering menceritakan rupa-rupa kejadian-kejadian menarik di waktu mereka
masih belajar silat bersama-sama. Dalam beberapa tahun ini, ibu sering
mengutarakan keinginannya untuk pergi ke Thiansan guna menyambangi
kalian. Kata ibu, ayahmu pendiam, kadang-kadang suka marah-marah
terhadapnya. Hm! Dalam hal ini, kau agaknya berbeda dengan ayahmu.
Sering-sering Ibu berkata begini: 'Hee-djie, kau sangat mirip dengan aku.
Tong Pehpeh juga tentu sudah mempunyai anak. Tak tahu, apakah anaknya
juga seperti ia atau tidak.' Itulah sebabnya, mengapa sedari kecil aku
sering menanya diriku sendiri: Macam apakah, Tong Koko ini? Biarpun aku
belum pernah bertemu dengan kau, malah tidak mengetahui, apakah di dunia
ada seorang yang seperti kau, tapi sering sekali aku membayang-bayangkan
bagaimana kira-kira rupamu, sebagai putera Tong Pehpeh. Dan sesudah
benar-benar bertemu, ternyata rupa dan cara-caramu sungguh tiada beda
dengan apa yang telah kulihat dalam bayangan khayalku sekian lama."
Hati Keng Thian jadi bergoncang. "Didengar dari perkataan Tjiang
Hee, ternyata ibunya menganggap ayah seolah-olah seorang anggauta
keluarganya sendiri," katanya di dalam hati.
"Tapi kenapa ayah jarang sekali menyebutkan namanya?"
"Tong Koko, apa lagi yang kau pikirkan?" tanya pula si nona demi
melihat Keng Thian termenung.
"Aku terharu, kau benar-benar seperti adikku sendiri," jawabnya.
"Apakah benar? Kau suka padaku?" menegas si nona dengan suara
girang dan dengan sikap sebagai bocah yang baru mendapat kembang gula.
"Tentu saja," sahut Keng Thian sembari tertawa. "Aku melihat kau
seperti seekor burung Pekleng niauw. Saban-saban hatiku pepat, suara dan
lagak-lagakmu selalu dapat menghilangkan kejengkelanku itu."
"Ya, aku pun merasa senang bergaul denganmu," kata si nona.
Demikianlah, kedua orang muda itu, yang dalam pergaulannya bebas
dari segala pikiran menyeleweng, bercakap-cakap dengan gembira dan tanpa
merasa mereka berjalan sembari bergandengan tangan.
Sekonyong-konyong selagi berjalan di bawah pohon-pohon bunga yang
diterangi sinar sang rembulan, Keng Thian teringat, bahwa Pengtjoan
Thianlie pun sangat gemar akan kembang-kembang. Ia membayangkan,
bagaimana beruntungnya, jika ia dapat berjalan-jalan bersama Peng Go di
waktu itu dan dalam suasana yang begitu pula. Ia mengangkat kepalanya
dan... tiba-tiba di sebelah jauh, di antara cabang-cabang yang penuh
bunga, ia melihat wajah seorang wanita muda!
Kedua mata wanita itu, yang tajam luar biasa dan dingin bagaikan
es, sedang mengawasi ia. Sesaat itu, seluruh tubuh Keng Thian seolah-olah
terkena arus listrik. Ia gemetar, sembari mengeluarkan teriakan, ia
meloncat ke depan.
"Tong Koko! Ada apa?" seru Tjiang Hee. "Apakah manusia menyebalkan
itu?" Ia berteriak begitu karena menduga, bahwa si pengemis kusta
menyatroni pula. Tapi, setelah memperhatikan, ia melihat seorang wanita
yang parasnya cantik luar biasa. Ia jadi kesima dan terpaku!
"Peng Go!" Keng Thian berteriak.
Wanita itu, yang memang bukan lain daripada Koei Peng Go, menatap
wajah Keng Thian dengan sorot mata dingin, sedih dan gusar bercampur
menjadi satu! Tanpa merasa, Tjiang Hee bergidik. Di lain saat, Peng Go
memutarkan badannya dan dengan sekali berkelebat, ia menghilang dari
pemandangan.
"Peng Go! Koei Tjietjie! Koei Tjietjie!" berteriak Keng Thian
dengan suara menyayatkan hati, sembari mengubar. Kasihan, ia mengubar
dengan mengerahkan seantero tenaganya yang belum pulih kembali. Baru tiba
di suatu tanjakan, ia kesandung dan roboh terguling.
Beberapa saat kemudian, Tjiang Hee tiba dengan napas tersengal-
sengal. Dengan terkejut, ia membangunkan pemuda itu. "Apakah kau
terluka?" tanyanya.
Keng Thian tidak menjawab, la menggelendot pada tubuh Tjiang Hee,
kedua matanya mencilak, mukanya pucat bagaikan mayat. Seolah-olah
kehilangan semangat.
"Tong Koko! Tong Koko, kenapa kau?' tanya Tjiang Hee dengan suara
bingung.
Sesudah lewat beberapa saat, baru Keng Thian dapat membuka mulut:
"Dia! Dia sudah pergi!" "Siapa dia?" tanya Tjiang Hee. "Pengtjoan
Thianlie, yang barusan kita bicarakan," sahutnya. "Ah! Kenapa ia tak mau
bicara denganku?"
Tjiang Hee yang otaknya masih sederhana, merasa tidak mengerti, la
tidak mengerti, kenapa, jika toh Pengtjoan Thianlie sahabat Keng Thian,
ia sudah bersikap begitu? Keng Thian menghela napas berulang-ulang,
seperti juga melupakan, bahwa di sampingnya masih ada seorang wanita
lain, sehingga Tjiang Hee, mengeluh, ia merasa kasihan, berbareng
mendongkol.
Lama mereka tidak mengucapkan sepatah kata. "Tong Koko," kata
Tjiang Hee akhirnya. "Mari kita pulang. Ah! Aku tak nyana, di dalam dunia
ada wanita yang begitu cantik!"

***

Tak usah dikatakan lagi, bahwa Pengtjoan Thianlie mabur karena


menyaksikan Keng Thian berjalan-jalan dan bercakap-cakap secara hangat
dengan seorang wanita muda, dengan bergandengan tangan. Dan selain itu,
paras muka wanita tersebut benar-benar sama dengan gambar yang ia dapat
dari Kim Sie Ie, dengan hati hancur, ia kabur, tanpa memperdulikan lagi
teriakan-teriakan Keng Thian. Dalam sekejap saja ia sudah lari belasan li
dan tiba di tepi sebuah sungai kecil, di kaki gunung, dimana Yoe Peng
sedang menunggu.
Melihat majikannya kembali seorang diri dengan gerak-gerik seperti
linglung, Yoe Peng menjadi kaget dan menanya: "Kenapa Siauwkongtjoe
kembali sendirian?”
"Dia... dia..." kata si nona, terputus-putus, fa menengok dan
memandang pemandangan malam yang indah, tapi tak kelihatan bayang-
bayangan Keng Thian. Ia menjadi lebih-lebih mendongkol karena dalam
anggapannya, Keng Thian tidak bersungguh hati dan teriakannya hanya
keluar dari hati palsu. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa pemuda itu
telah roboh di tengah jalan karena kehabisan tenaga. "Dia... dia tak akan
datang," jawabnya sesenggukan.
"Kau sudah bertemu? Dan dia tak mau bersama-sama kau lagi?" tanya
Yoe Peng dengan hati mencelos.
Pengtjoan Thianlie merasakan hatinya seperti ditusuk-tusuk. Ia
menundukkan kepalanya dan air matanya mengucur deras.
Ia teringat bagaimana pertama kali Tong Keng Thian naik ke keraton
es, ia teringat bagaimana mereka bertanding pedang dan segala sesuatu
mengenai "toeilian" di dalam taman, la ingat akan semua kejadian itu yang
tak akan bisa dilupakan olehnya.
Mendadak, ia mendengar suara tertawa yang nyaring. Ia menoleh ke
arah suara itu dan di lain saat, sambil menenteng tongkat besi, kelihatan
Kim Sie Ie meloncat keluar dari antara pohon-pohon yang rindang daunnya.
Pemuda itu sekarang mengenakan pakaian sasterawan mirip dengan Tong Keng
Thian, akan tetapi, dengan menenteng tongkat dan meloncat-loncat seperti
bocah nakal, ia jadi kelihatan lucu dan tidak sesuai dengan pakaiannya.
"Kenapa kau tertawa?" bentak si nona, mendongkol.
"Mentertawakan kau!" jawabnya, sembari tertawa haha-hihi.
Dalam keadaan biasa, Pengtjoan Thianlie tentu sudah menghunus
pedangnya. Tapi sekarang, dalam kesedihannya, ia tidak memperdulikan lagi
segala ejekan.
"Bukankah kau ingin sekali menemui ia?" tanya Kim Sie Ie. "Sesudah
bertemu, kenapa kau jadi berbalik sedih. Apakah itu tidak lucu?"
"Jangan mencampuri urusan orang lain!" Peng Go membentak pula.
"Jika aku tak datang, kau tentu akan terus termenung-menung
disini," kata lagi Kim Sie Ie sembari nyengir. "Hayolah! Lebih baik
menangis lebih siang daripada terlambat. Nangislah biar puas! Sesudah
puas, kau akan merasa lega."
Mendengar itu, air mata Peng Go justru jadi berhenti.
Si pengemis kusta lagi-lagi tertawa haha-hihi. "Bagaimana gambar
pemberianku itu?" tanyanya. "Bukankah bagus sekali?'
"Bret!" Dengan gusar si nona merobek kertas bergambar itu.
Kim Sie Ie menepuk-nepuk tangan. "Bagus! Bagus! Sesudah gambar itu
dirobek, hatimu tentu menjadi enteng!" katanya.
Kata-kata Kim Sie Ie yang mengandung sindiran, dimengerti jelas
oleh Yoe Peng. Tapi Peng Go sendiri, yang sedang terbenam dalam kedukaan
hebat, sebaliknya merasa perkataan itu ada juga benarnya. Ia menganggap,
bahwa memang terlebih baik jika ia mencoret segala apa yang sudah lewat
dan menuntut penghidupan baru dengan hati enteng.
"Siauwkongtjoe, mari kita berangkat," kata Yoe Peng.
"Benar, memang lebih baik kalian kembali ke keraton es!" kata Kim
Sie Ie.
Pengtjoan Thianlie terkejut. "Bagaimana dia mengetahui asal-
usulku?" tanyanya di dalam hati.
Mendadak pemuda itu menghela napas panjang dan berkata dengan suara
sungguh-sungguh: "Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa di dalam dunia
hanya terdapat beberapa gelintir manusia baik-baik? Lebih baik berkawan
dengan binatang daripada hidup bersama-sama manusia. Apakah sekarang kau
percaya?'
Si nona tidak menjawab, ia berdiri bengong bagaikan patung.
"Aku juga sudah merasa sebal hidup dalam dunia ini," kata pula
pemuda itu. "Keraton es-mu adalah seperti surga dalam dunia. Sungguh
sayang kau sudah meninggalkan surga itu. Lebih baik kita pulang bersama-
sama. Pinjamkanlah kepadaku suatu pojokan dari keratonmu, supaya aku bisa
hidup secara tenteram."
"Kau ini benar-benar manusia yang tak tahu diri!" bentak Yoe Peng
yang sudah tak dapat menahan sabar lagi. "Apakah kau mengira
Siauwkongtjoe sudi mengijinkan keratonnya dinodakan oleh seorang
penderita kusta?"
Muka Kim Sie Ie lantas saja berubah pucat, kemudian ia mengeluarkan
suara tertawa menyeramkan. Ia mengangkat tongkatnya, seperti hendak
menyerang. Yoe Peng cepat-cepat menghunus Hankong kiam-nya dan loncat ke
belakang majikannya.
Peng Go mendongak mengawasi rembulan dan berkata dengan suara
tawar: "Kau pergilah! Aku pulang atau tidak adalah urusanku sendiri. Tak
usah kau mencampuri urusan orang lain. Kau sudah mengeluarkan perkataan
tidak pantas, tapi aku juga tidak mau meladeni kau."
Kim Sie Ie mengawasi, lagaknya seperti bola karet yang kempes
kehabisan angin. Perlahan-lahan ia menurunkan tongkatnya dan berkata:
"Baiklah. Dengan memandang kau, aku pun tidak mau meladeni budak
kecilmu." Mendadak ia tertawa keras dan berkata dengan suara nyaring:
"Sebenar-benarnya kita berdua adalah manusia-manusia yang telah disia-
siakan oleh dunia. Menurut pantas, kita harus saling mengasihani. Tapi
kau sebaliknya memandang aku sebagai lawan. Sungguh tak pantas! Jika di
belakang hari kau bisa mendusin, beritahukanlah kepadaku." Ia memutarkan
badan dan terus berlalu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Peng Go masih terus berdiri bengong.
"Pengemis kusta itu seperti juga setan air," kata Yoe Peng dengan
suara gusar.
Peng Go merasa heran dan lalu menanya: "Apa?”
"Menurut kata orang Han, setan air paling jahat," Yoe Peng
menerangkan. "Dia mati di dalam air dan menjadi setan. Sebagai setan, tak
hentinya ia mencari-cari pengganti. Begitu mengetahui ada orang yang
sedang menderita, ia lantas memancing-mancing dengan rupa-rupa akal
busuk, supaya orang itu membunuh diri dengan menyebur ke dalam air. Hm!
Semua perkataannya itu hanya bertujuan supaya Siauwkongtjoe tak
memperdulikan pula Tong Siangkong dan rela mengikuti jejaknya. Apakah
dengan begitu, ia bukan seperti setan air?"
Mendengar penjelasan dayangnya, tanpa merasa Peng Go yang sedang
bersedih, jadi tertawa. "Belum cukup setahun kau turun gunung, lidahmu
sudah begitu beracun," katanya sembari mesem.
"Apa Siauwkongtjoe tak percaya perkataanku?" tanya Yoe Peng.
Paras muka Pengtjoan Thianlie segera berubah keren. "Aku sendiri
mempunyai pendirian, tak usah kau banyak rewel," katanya.
Yoe Peng bungkam, tak berani membuka suara lagi.
"Baiklah," kata Peng Go dengan suara halus. "Kita sekarang menuju
ke Soetjoan barat. "Sesudah bertemu dengan Pehpeh-ku, baru kita pulang ke
Puncak Es dan tak usah memperdulikan lagi segala urusan dunia."
Yoe Peng menghela napas. Tanpa berkata suatu apa, ia mengikuti
tindakan majikannya.

***

Sekarang marilah kita menengok Keng Thian yang pulang ke rumah


keluarga Tjee dengan dipimpin oleh Tjiang Hee. Di tengah jalan, pemuda
itu menutup mulutnya, sehingga si nona jadi sangat berkuatir. Sesudah
Keng Thian mengunci kamar tidurnya, Tjiang Hee tidak berani masuk tidur
dan terus berjalan mundar-mandir dengan tindakan perlahan di depan kamar
pemuda itu. Sampai kurang lebih jam empat pagi, di dalam kamar Keng Thian
tidak terdengar suara apa-apa.
Ketika itu Tjiang Hee sudah merasakan betapa dinginnya hawa malam
dan ia juga sudah merasa ngantuk sekali. "Kakak tolol itu mungkin sudah
tidur," katanya di dalam hati.
Selagi mau masuk ke dalam kamarnya, mendadak ia melihat jendela
kamar Keng Thian terpentang dan seorang yang mengenakan pakaian putih
meloncat keluar. Buru-buru si nona meloncat ke atas genteng sembari
berseru: "Tong Koko!”
Keng Thian merandek dan menengok. "Jangan ribut," katanya dengan
suara perlahan. "Jangan sampai ibumu bangun. Terima kasih banyak-banyak
untuk pertolonganmu. Aku mempunyai urusan penting dan harus berangkat
sekarang juga!”
"Tak bisa! Tak boleh begitu!" berseru Tjiang Hee, tapi Keng Thian
sudah mengenjot badan dan dengan beberapa loncatan, ia sudah melompati
tembok pekarangan.
"Ibu!" teriak si nona. "Lekas keluar! Tong Koko mabur!"
Suami isteri Tjee Sek Kiu yang tidur di kamar sebelah barat, lantas
saja bangun, sedang Keng Thian sendiri, setelah mendengar teriakan Tjiang
Hee, lantas saja berlari lebih cepat. Tjiang Hee jadi bingung, tanpa
menunggu orang tuanya, ia segera mengubar.
Meskipun baru sembuh, ilmu mengentengkan badan Keng Thian masih
lebih unggul daripada Tjiang Hee. Sesudah mengubar beberapa lama, jarak
antara mereka menjadi semakin lebar.
"Tong Koko! Apakah benar-benar kau mau pergi juga secara begini!"
seru nona Tjee dengan suara sedih.
Mendengar seruan itu, hati Keng Thian menjadi sangat terharu dan
dengan terpaksa, ia menghentikan tindakannya. Ia berpaling seraya
berkata: "Hee-moay, di lain tahun, jika kalian pergi ke Thiansan, kita
masih mempunyai kesempatan untuk bertemu pula. Aku mempunyai suatu urusan
yang sangat penting dan mesti segera berangkat. Aku mohon kau jangan
mengantar terlebih jauh." Sehabis berkata begitu, lantas saja ia berlari
secepat-cepatnya, supaya tak mendengar pula teriakan si nona.
Sesudah kabur belasan li, barulah Keng Thian membuang napas dan
berlari lebih perlahan. Mengingat cara-caranya yang kurang pantas
terhadap keluarga Tjee, hatinya sungguh merasa tidak enak. Untuk menyusul
Pengtjoan Thianlie, ia pergi tanpa pamitan dan hanya meninggalkan sepucuk
surat. Ia merasa sangat malu terhadap Yo Lioe Tjeng dan puterinya yang
sudah melepaskan budi begitu besar terhadapnya.
Keng Thian telah menduga tepat, bahwa Peng Go akan pergi ke
Soetjoan barat untuk menemui pamannya. Akan tetapi, ketika ia menanya-
nanya di sepanjang jalan, tak ada seorang pun yang mengatakan pernah
bertemu dengan Peng Go dan Yoe Peng.
Sesudah berjalan sekian hari, tibalah ia di wilayah gunung Palong
san, di sebelah barat propinsi Soetjoan. Jika orang terus berjalan ke
arah selatan, ia akan tiba di daerah gunung Gobi san. Walaupun Palong san
tidak sampai seberbahaya Tjiakdjie san, tapi jalannya yang legat-legot
bagaikan ular dan terlebih panjang daripada Tjiakdjie san, malah di
puncak-puncaknya yang berundak-undak, masih terdapat jalan yang berputar-
putar ke atas seperti rumah keong. Sering sekali, puncak di sebelah depan
kelihatannya dekat, tapi sesudah didekati, ternyata masih jauh sekali.
Keng Thian adalah seorang yang mempunyai ilmu silat yang tinggi dan
berpengalaman luas dalam perjalanan di gunung, tapi toh, dalam sehari
paling banyak ia bisa berjalan seratus li lebih dalam jarak lurus. Untung
juga, daerah pegunungan di Soetjoan mempunyai pemandangan yang sangat
indah.
Sebagaimana diketahui, gunung Gobie san tersohor sebagai "Keindahan
istimewa di kolong langit." Dari Palong san, semakin ke selatan,
pemandangan alam semakin indah permai, sehingga seorang pelancong dapat
berjalan tanpa merasa jemu.
Di gunung itu sangat sedikit jumlah penduduknya, sehingga sering-
sering seorang pelancong tidak bisa mendapat tempat bermalam. Malam itu,
Keng Thian tak menemukan rumah orang dan ia sudah bersiap-siap untuk
mengasoh di salah sebuah gua. Tiba-tiba dari sebelah timur sang rembulan
memancarkan sinarnya yang gilang gemilang dan seluruh gunung seperti juga
sedang mandi dalam laut perak. Kegembiraannya terbangun dan ia segera
mengambil keputusan untuk meneruskan perjalanannya.
Selagi enak berjalan, di sebelah depan mendadak muncul suatu
pemandangan luar biasa, yaitu sekelompok batu-batu raksasa yang seolah-
olah hutan batu. Setiap batu, yang tingginya paling banyak dua atau tiga
puluh tombak, mempunyai bentuk-bentuk aneh dan indah luar biasa, ada yang
berbentuk harimau, singa, beruang atau macan tutul.
Tong Keng Thian adalah seorang yang sudah biasa menjelajah gunung-
gunung besar di daerah Utara barat. Akan tetapi, melihat keangkeran hutan
batu itu, tak urung ia merasa kagum dan heran. Dari jauh, hutan batu itu
seakan-akan merupakan sekosol yang menedengi sinar rembulan. Akan tetapi,
setelah didekati, Keng Thian menemukan suatu pintu gua, terbuat daripada
dua batu raksasa yang menempel satu pada yang lain. Pintu itu, yang
ditembusi sinar rembulan, hanya dapat dilewati seorang, sedang di
dalamnya terdengar suara mengalirnya air.
Dengan perasaan heran, Keng Thian masuk ke dalam pintu itu. Di
balik pintu tersebut ia melihat sebidang tanah kosong yang penuh dengan
pohon-pohon kembang dan di sekitarnya, terdapat pula batu-batu raksasa
dengan pintu-pintu yang beraneka bentuknya. Keng Thian memilih sebuah
terowongan yang paling besar dan merangkak masuk ke dalamnya. Semakin
lama, ia masuk semakin dalam dan selagi enak merangkak, lapat-lapat
kupingnya menangkap suara manusia.
Bukan main herannya Keng Thian. Ia merangkak terus keluar dari
terowongan dan kemudian, dengan menggunakan ilmu Pekhouw kang (Ilmu
cicak), ia merayap naik ke atas sebuah batu raksasa yang tingginya kira-
kira dua puluh tombak. Dari atas batu tersebut Keng Thian memandang ke
sebelah bawah. Ia terkesiap berbareng heran.
Di sebelah bawah terdapat sebidang tanah kosong yang merupakan satu
selat gunung, dimana berdiri pula sejumlah besar batu-batu yang lebih
kecil, paling tinggi hanya lima enam tombak. Batu-batu itu menjulang ke
atas dan dilihat dari kedudukannya, mereka merupakan suatu tin (barisan).
Dalam barisan batu itu terlihat dua orang, seorang lelaki dan seorang
perempuan, yang sedang berputar-putar seperti juga tengah mencari jalan
keluar.
Jarak antara mereka dan pintu "hidup" tersebut sangat dekat, tapi
sesudah berputar-putar mereka tetap tidak dapat keluar.
Tong Keng Thian adalah seorang yang berpengetahuan luas, bukan saja
tinggi ilmu silatnya, tapi ia juga mengenal ilmu Patkwa tin (Barisan
Patkwa). Ketika itu, dari sebelah atas, ia memandang ke bawah dan tidak
lama kemudian, ia sudah mengetahui, bahwa hutan batu itu yang muncul di
atas bumi secara wajar, mempunyai kedudukan seperti Pattintouw susunan
Tjoekat Boehouw (Tjoekat Liang, panglima besar kerajaan Han pada jaman
Sam Kok). Barisan batu itu mempunyai delapan pintu dan seorang yang sudah
masuk, tak akan bisa keluar lagi jika ia tidak dapat mencari "Pintu
Hidup."
Kedua orang itu mempunyai ilmu silat yang tidak rendah. Berulang
kali mereka meloncat setombak lebih dan memeluk salah sebuah pilar batu.
Akan tetapi, oleh karena licinnya pilar tersebut, mereka selalu tidak
berhasil memanjat ke atas. Dua kali, secara kebetulan mereka berhasil
mendekati "Pintu Hidup," tapi dua-dua kalinya, mereka dipukul mundur
dengan timpukan batu yang tepat sekali. Keng Thian kaget. Ia menduga,
bahwa dalam hutan batu itu mesti bersembunyi seorang yang berkepandaian
tinggi.
Lelaki dan perempuan itu agaknya juga. sudah mempunyai dugaan yang
sama. "Memang tidak pantas sekali Boanpwee (orang yang tingkatannya lebih
rendah) sembarangan masuk disini," seru yang lelaki. "Aku mohon majikan
dari tempat ini sudi memaafkan."
Keng Thian terkejut, karena suara itu agaknya tidak asing baginya.
Selagi mengingat-ingat, mendadak terdengar teriakan "Aya!" yang nyaring,
seperti suara anak tanggung.
Keng Thian jadi semakin heran. Sekonyong-konyong, dari
belakang segundukan batu yang terletak beberapa tombak jauhnya dari
tin itu, muncul seorang anak tanggung yang berusia kira-kira lima belas
tahun.
"Apa Siauw Loosoe?" seru anak itu.
"Benar, aku Siauw Tjeng Hong," sahut orang laki-laki itu dengan
suara kegirangan. "Apakah kau Kang Lam?"
Bukan main tercengangnya Keng Thian. Di Tibet, ia pernah bertemu
sekali dengan Siauw Tjeng Hong. Waktu itu, Siauw Tjeng Hong berbadan
kurus kering, mukanya pucat kuning dan sikapnya seperti seorang
sasterawan tua. Tapi sekarang, walaupun tak dapat dilihat tegas, tapi
dengan bantuan sinar rembulan, Keng Thian melihat ia sebagai seorang yang
bersemangat dan berparas angker, sedang usianya seperti juga sepuluh
tahun lebih muda daripada kira-kira setahun yang lampau.
"Tak heran jika tadi aku tidak mengenali ia," kata Keng Thian di
dalam hatinya. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa perubahan itu sudah
terjadi karena Siauw Tjeng Hong sudah makan buah Yoetam Sianhoa, hadiah
Thiekoay sian.
Sembari berlompat-lompatan dan tertawa-tawa di depan barisan batu
itu, Kang Lam berkata: "Ah! Benar-benar Siauw Loosoe! Jika kau tidak
bersuara lebih dulu, aku tentu tidak berani memanggil. Kenapa kau tidak
bongkok lagi? Kerut-kerutan di atas mukamu juga tidak kelihatan lagi. Ha-
ha! Siapa nyonya itu? Apa Siauw Soenio? Ah! Siauw Loosoe! Beruntung benar
kau! Kang Lam harus memberi selamat dengan secangkir arak. Eh, Siauw
Soenio! Apa Siauw Loosoe pernah menyebutkan namaku, si Kang Lam?'
Demikianlah Kang Lam yang sekali berbicara lantas saja seperti
petasan disulut.
Wanita itu tertawa seraya berkata: "Masakan ia tak pernah
menyebutkan nama besar Kang Lam yang kesohor? Bukankah kau menjadi kacung
Tan Kongtjoe yang paling suka bicara?"
Lagi-lagi Keng Thian merasa heran. Dari mana kacung Thian Oe ini
belajar silat? Dilihat dari gerak-gerakannya, ilmu anak itu berbeda
dengan ilmu Thian Oe.
"Eh," kata Siauw Tjeng Hong. "Sekarang jangan membicarakan yang tak
penting. Lebih dulu aku minta kau melepaskan kami."
"Mana aku mampu?" kata Kang Lam dengan suara jengkel.
"Kenapa tidak bisa?" tanya pula Siauw Tjeng Hong.
"Apakah kau sendiri tidak mengerti seluk-beluk barisan ini yang
sangat aneh?" Kang Lam balas menanya.
"Kenapa tadi kau menimpuk dengan batu?" tanya lagi Siauw Tjeng
Hong.
"Aku tak tahu, yang ditimpuk adalah kau," sahutnya.
"Oh, kalau lain orang, kau rasa boleh menimpuk sembarangan?" tanya
Siauw Tjeng Hong.
"Kang Lam, kau tidak kecil lagi. Kenapa masih begitu nakal?"
"Ada orang yang menyuruh aku berbuat begitu," anak itu menerangkan.
"Siapa?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Guruku," jawabnya. "Eh, salah! Tua bangka itu yang memaksa aku
mengangkat ia sebagai guruku."
"Tua bangka siapa?" tanya Siauw Tjeng Hong. "Sudah berapa lama kau
belajar silat? Mana Thian Oe? Ia memperlakukan kau sebagai saudara
sendiri, kenapa kau mabur dengan diam-diam dan mengangkat orang lain
sebagai gurumu? Sudah berapa lama kau kabur?"
" "Siapa kata aku mabur diam-diam?" teriak Kang Lam. "Dusta besar
jika dikatakan aku kesudian mengangkat orang lain sebagai guru. Kongtjoe
yang menyuruh aku. Kau tak tahu suatu apa, kenapa sudah mengatakan yang
tidak-tidak?"
Wanita itu tertawa dan berkata: "Dia tidak sabaran, kau pun begitu
juga. Tjeng Hong! Kau harus menanya satu demi satu. Jika kau majukan
pertanyaan seperti hujan, mana bisa mendapat jawaban beres."
"Benar," kata Siauw Tjeng Hong sembari mesem. "Aku melupakan adat
Kang Lam yang seperti api. Baiklah. Sekarang pertanyaan pertama: Kenapa
Tan Kongtjoe menyuruh kau pergi ke lain tempat?"
"Tan Kongtjoe?" kata Kang Lam. "Bukan! Looya (majikan tua) yang
menyuruh aku mengantarkan sepucuk surat kepada Tjioe Taydjin. Surat apa?
Tentu saja ia tidak memberitahukan. Ha! Tapi aku tahu. Tjioe Taydjin
adalah besannya. Aku mendapat tahu dari seorang budak perempuan, Tjay
Hong namanya. Dialah yang memberitahukan kepadaku. Aku malah tahu apa
yang ditulis. Eh, Siauw Loosoe! Apakah kau tahu, kenapa aku diberi nama
Kang Lam? Looya memberikan nama itu kepadaku lantaran ia selalu ingat
akan kampung kelahirannya, di daerah Kanglam. Aku sendiri merasa betah
hidup di Tibet, tapi Looya sangat tidak betah. Ia selalu ingin pulang ke
kampungnya. Suatu malam, aku telah mencuri mendengarkan pembicaraan
antara Looya dan Kongtjoe. Looya mengatakan, bahwa dengan menjadi
utusan istimewa untuk menyambut guci emas, ia sudah berjasa besar, tapi
sungguh sayang, Hok Taydjin-hm! Hok Kong An-tak sudi membantu ia.
Sebaliknya, dia malah memerintahkan Looya kembali ke Sakya untuk
menjabat pula pangkat Soanwiesoe."
"Oleh sebab itu, Looya segera mengambil keputusan untuk menulis
surat kepada besannya, dengan pengharapan Tjioe Taydjin suka
memberitahukan Hongsiang (kaisar) tentang jasa-jasanya dan memohon agar
Hongsiang sudi membebaskan ia. Tapi, kata Looya, perjalanan begitu jauh,
siapa yang dapat dipercayakan membawa surat itu? Ha! Siauw Loosoe. Coba
tebak, siapa yang dipujikan oleh Siauwya (majikan muda)? Bukan lain
daripada aku sendiri! Kata Siauwya: Orang yang paling tepat adalah Kang
Lam. Nah, lihatlah! Semua orang mengatakan aku rewel, banyak mulut, tak
mampu bekerja! Tapi, Siauwya? Siauwya memandang tinggi padaku! Maka itu,
jika tadi aku mengatakan, bahwa aku disuruh oleh Siauwya, aku pun tidak
bicara salah!"
Begitulah keterangan Kang Lam yang panjang lebar dan banyak
bumbunya. Mendengar itu, Keng Thian pun merasa geli dan berkata di dalam
hatinya: "Tak salah jika orang mengatakan, Kang Lam suka benar bicara!"
Siauw Tjeng Hong tertawa terbahak-bahak. "Siauwya sungguh memandang
tinggi dirimu, sehingga ia sudah menurunkan ilmu silat kepadamu,"
katanya.
"Bukankah begitu?"
"Benar, tepat sekali dugaanmu, jawabnya. "Pada musim semi tahun
yang lalu, sesudah beberapa pencuri kuda itu membakar kantoran dan
sesudah kau kabur, baru aku mengetahui, bahwa Siauw Loosoe mempunyai ilmu
silat yang sangat tinggi dan bahwa Kongtjoe pun memiliki ilmu yang tidak
rendah. Waktu itu, aku sudah lantas memohon supaya Kongtjoe sudi
menurunkan ilmunya kepadaku. Tapi, oleh karena ingin menghindari kawin
paksaan dan juga ingin mengantar kau, maka Kongtjoe tidak dapat
meluluskan permintaanku. Belakangan, sesudah kembali dari Lhasa, baru ia
mengajarkan aku beberapa macam ilmu silat yang kasar. Siauw Loosoe! Coba
kau pikir: Jika aku tak mempunyai bekal, bagaimana Kongtjoe mau memujikan
diriku untuk membawa surat yang begitu penting?"
"Jika kau tahu pentingnya surat itu, kenapa juga kau main lambat-
lambatan disini?" tanya Siauw Tjeng Hong lagi sembari menahan tertawa.
"Dan kenapa kau membiarkan dirimu dijadikan murid tua bangka itu?"
"Siapa mengatakan aku main lambat-lambatan disini?" teriak Kang Lam
dengan suara mendongkol. "Pengalamanku tiada bedanya dengan kau, Siauw
Loosoe! Aku lewat disini, hatiku heran, aku masuk untuk melihat-
lihat. Dan kau tahu, seperti kau, begitu masuk aku tak bisa keluar."
Muka Siauw Tjeng Hong jadi berubah merah. "Baiklah," katanya. "Aku
tidak mempersalahkan kau. Tapi kemudian, bagaimana kau dapat keluar?"
"Lama juga aku terkurung dalam barisan ini," Kang Lam menerangkan.
"Aku jalan terputar-putar, perutku lapar dan aku mencaci maki sekeras-
kerasnya. Ha! Baru aku memaki, sudah ada yang datang."
"Apakah tua bangka itu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Tak salah," sahutnya. "Selagi aku enak memaki, dengan sekali
berkelebat, si tua yang mengenakan jubah pertapaan kuning, sudah berdiri
di hadapanku. Tak tahu, dari mana datangnya. Katanya: Hei, anak muda!
Kalau kau mau menjadi muridku, aku akan mengeluarkan kau dari tempat
ini."
"Dan kau lantas menerima tawaran itu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Menolak pun tak ada gunanya," jawab si kacung. "Sehari suntuk aku
sudah terkurung dalam barisan batu ini, lebih lama daripada kau. Apakah
boleh tak usah makan? Biarpun hatiku tak kesudian, mulutku lantas saja
menyanggupi. Si tua tertawa girang. Dengan menuntun tanganku, ia berjalan
bulak-balik dan entah bagaimana, tahu-tahu aku sudah berada di luar.
Kataku: Maaf, Lootjianpwee. Jika kau memerlukan murid, carilah saja
yang lain. Aku sendiri perlu buru-buru meneruskan perjalanan. Tua bangka
itu lantas saja berkata: Anak kecil! Kau sungguh tak tahu diri. Lain
orang memohon-mohon berlutut di hadapanku tiga hari tiga malam, belum
tentu aku sudi mengambil dia sebagai murid. Apakah kau tahu, kenapa aku
mau menerima kau sebagai murid? Aku sudah bersumpah, bahwa sebelum mati,
aku akan mengambil seorang murid untuk mewarisi Seantero kepandaianku.
Tapi aku pun tak sudi keluar dari selat ini. Aku menunggu sampai orang
datang. Asal dia belum berusia delapan belas tahun, aku akan mengambilnya
sebagai murid. Bukankah kau beruntung sekali? Aku lantas menjawab, bahwa
aku tak sudi menerima keberuntungan itu lalu memutarkan badan untuk
berjalan pergi. Si tua bangka lantas saja berkata sembari tertawa:
Biarpun mempunyai kepandaian seratus kali lipat lebih tinggi, kau tak
akan bisa kabur. Cobalah! Aku tak meladeni dan berjalan terus. Mendadak,
kedua dengkulku kesemutan dan di luar keinginanku, aku jungkir balik tiga
kali sampai berhadapan pula dengan si tua bangka. Begitu berhenti
jumpalitan, rasa kesemutan di dengkulku lantas saja menjadi hilang. Si
tua berkata lagi: Bocah! Jika kau mabur untuk kedua kalinya, seluruh
badanmu akan kegatalan dan kesakitan tiga hari tiga malam lamanya. Kalau
kau berani mabur untuk ketiga kali, akan kumampuskan kau! Suaranya
tenang, agaknya jiwa manusia seperti jiwa kacoa di matanya. Sorot matanya
sungguh hebat. Aku menjadi ketakutan. Aku memberitahukan kepadanya, bahwa
Siauwya-ku menyuruh aku mengantarkan surat. Ia tidak meladeni dan kukuh
pada kemauannya. Demikianlah, aku tak dapat berbuat lain daripada
menerima nasib menjadi muridnya."
"Sudah berapa lama kau mengikuti dia?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Baru tujuh hari," jawab Kang Lam sesudah menekuk jerijinya.
"Dusta! Lagi-lagi kau membohong!" membentak Siauw Tjeng Hong.
"Lagi kapan aku berdusta?' tanya Kang Lam dengan suara keras.
"Tujuh hari?" Siauw Tjeng Hong menegaskan dengan suara tidak
percaya. "Dalam tujuh hari bagaimana kau mampu mempelajari ilmu menimpuk
jalan darah?"
"Ah!" seru Kang Lam. "Apakah itu ilmu menimpuk jalan darah dengan
senjata rahasia? Tadinya aku menduga ia hanya mengajarkan permainan anak-
anak belaka."
Keng Thian tercengang. Jika benar dalam tempo tujuh hari ia bisa
mengajar menimpuk jalan darah dengan batu, kepandaian orang tua itu
sungguh-sungguh tak dapat ditaksir bagaimana dalamnya.
"Apa si tua sudah mengetahui kedatangan kami dan menyuruh kau
menunggu disini untuk menimpuk dengan batu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Mungkin," jawabnya.
"Semalam dia berkata begini kepadaku: Ada dua orang yang telah
masuk ke dalam selat ini. Sesudah mempunyai murid, aku tak suka orang
luar datang kemari. "Hantamlah mereka dengan batu, tapi jangan menimpuk
sembarangan. Timpuklah sesudah mereka memutar dua kali ke sebelah kiri,
dua kali ke sebelah kanan dan mendekati pintu keluar. Siauw Loosoe! Aku
tak tahu, kedua orang itu adalah kalian. Aku menganggap senang juga bisa
bermain-main dan sudah segera menurut perintahnya. Siauw Loosoe! Harap
kau tidak menjadi gusar."
Siauw Tjeng Hong mendongkol berbareng geli. "Kalau begitu,"
katanya. "Kau tak dapat melepaskan kami."
"Memang tak bisa," kata Kang Lam. "Jika kalian lapar, aku bisa
mencuri sedikit makanan."
"Cobalah kami menjajal-jajal," kata Siauw Tjeng Hong yang segera
jalan mutar ke kiri dua kali dan ke kanan dua kali. Tapi, sesudah mencoba
berulang-ulang, ia masih belum berhasil menoblos dari barisan itu.
Tjeng Hong menjadi bingung. Ketika itu, rembulan sudah doyong ke
sebelah barat dan fajar akan segera menyingsing.
"Siauw Loosoe," kata Kang Lam. "Sudah semalam suntuk kau berputar-
putar disitu. Apakah kau tidak lapar? Jika lapar, aku bisa mencuri
makanan "
"Tidak, aku tak lapar," jawab Tjeng Hong sembari menggaruk-garuk
kepalanya.
Keng Thian tersenyum. Bagaikan seekor garuda, ia melayang turun
dari atas batu seraya berseru: "Siauw Sinshe! Selamat bertemu!"
Begitu mengetahui siapa yang datang itu, bukan main girangnya Siauw
Tjeng Hong. "Tong Siangkong!" ia berseru sembari berjingkrak. "Bagaimana
kau pun bisa berada disini?"
"Seperti juga kalian, aku tersurung perasaan kepingin tahu,"
jawabnya sembari masuk ke dalam barisan batu itu.
"Eh-eh," kata Kang Lam. "Sekali masuk, kau tak akan bisa keluar
lagi. Aku tak mengenal kau, tak dapat aku mencuri makanan untukmu."
Tapi Keng Thian tidak meladeni, ia masuk terus sembari mesem.
Dengan dipimpin olehnya, sesudah bulak-balik beberapa kali, Siauw Tjeng
Hong dan wanita itu sudah berada diluar tin (barisan).
Kang Lam membuka matanya lebar-lebar. "Ha!" katanya. "Tak nyana,
kau berkepandaian begitu tinggi. Siapa kau?"
Siauw Tjeng Hong tertawa dan berkata: "Dia adalah orang yang pernah
menolong Kongtjoe-mu..."
"Aku tahu!" Kang Lam putuskan perkataan orang. "Kau tentu Tong Keng
Thian. Tong Siangkong, Siauwya pernah menceritakan halmu kepadaku. Kata
Siauwya, Thiansan Kiamhoat-mu, tak ada bandingannya di dalam dunia.
"Eh, apakah kau bisa menolong supaya aku dapat meloloskan diri dari
tempat ini? Bukankah kau sudah mendengar semua pembicaraanku tadi? Aku
perlu berangkat buru-buru untuk menyampaikan surat."
"Kang Lam," kata Keng Thian sembari mesem. "Jangan kiiam Aku tahu,
apa yang harus kulakukan." Ia berpaling kcp.ula Tjeng Hong dan menyambung
perkataannya: "Selamat, Siauw Sinshe! Lagi kapan kau menikah?"
"Tahun yang lalu, sesudah pulang ke Sengtouw, aku lalu
mempersatukan diri pula ke dalam partai Tjengshia pay," Tjeng Hong
menerangkan. "Dia juga berada di Sengtouw, menunggu aku." Sesudah berkata
begitu, ia lalu memperkenalkan isterinya kepada Keng Thian.
Isteri Siauw Tjeng Hong adalah adik misanannya sendiri yang bernama
Gouw Tjiang Sian. Sebagai kawan bermain semenjak kecil, Tjiang Sian
mencintai Tjeng Hong, tapi ia selalu mengumpatkan rasa cintanya, karena
Tjeng Hong sudah jatuh cinta kepada Tjia In Tjin. Setelah terjadi
pertemuan di keraton es, Siauw Tjeng Hong mengetahui, bahwa orang yang
dicintainya itu sudah menikah dengan Thiekoay sian dan bahwa Gouw Tjiang
Sian masih menunggu ia. Begitu kembali ke Sengtouw, ia segera meminang
adik misanannya itu dan mereka lalu menikah. Di waktu menikah, Siauw
Tjeng Hong sudah berusia empat puluh tahun lebih.
"Kemana kalian mau pergi?" tanya Keng Thian. "Kenapa lewat disini?"
"Tahun yang lalu, aku dan Thian Oe telah mendaki Nyenchin Dangla,
bertemu dengan Pengtjoan Thianlie dan mengetahui, bahwa nona itu adalah
puteri Koei Hoa Seng," Tjeng Hong menerangkan. "Sesudah pulang sebenarnya
aku ingin sekali segera pergi menemui Moh Tjoan Seng Lootjianpwee untuk
menyampaikan warta girang itu. Akan tetapi, karena repot, belum juga aku
dapat mewujudkan niatan itu..."
"Siauw Loosoe!" Kang Lam mendadak menyeletuk. "Kau sudah menikah,
kenapa masih repot juga?"
"Kang Lam, jangan memotong perkataan Siauw Loosoe," kata Keng
Thian.
"Tapi sekarang, aku mendengar suatu urusan yang, walaupun bagaimana
juga, mesti diselidiki sampai seterang-terangnya untuk diberitahukan
kepada Moh Lootjianpwee," Tjeng Hong melanjutkan penuturannya.
"Urusan apa?" tanya Keng Thian.
"Moh Lootjianpwee adalah tetua dari Boetong pay," Siauw Tjeng Hong
menerangkan. "Di samping itu, ia telah diakui sebagai ahli silat nomor
satu dalam Rimba Persilatan di seluruh wilayah Tionggoan. Sebagaimana kau
tahu, setiap sepuluh tahun ia membuka pintu mengadakan Kiatyan (memberi
sedekah atau ceramah oleh seorang Budhis) dan memberi petunjuk-petunjuk
kepada orang-orang yang tingkatannya lebih rendah. Sekarang tempo untuk
Kiatyan sudah mendekati, yaitu tinggal setengah bulan lagi."
"Bagus!" kata Keng Thian. "Bukankah kita masih mempunyai tempo
untuk tiba pada waktunya?"
"Tapi... kali ini, mungkin bakal ada orang yang datang mengacau!"
kata Tjeng Hong.
Keng Thian terkesiap. Ia membuka kedua matanya lebar-lebar, hampir-
hampir ia tak percaya kupingnya sendiri. Harus diketahui, bahwa Moh Tjoan
Seng adalah pendekar besar dari jaman itu. Bukan saja ilmu silatnya sudah
mencapai puncak kesempurnaan, tapi kebatinannya pun sangat luhur,
sehingga kebesaran namanya dapat dipersamakan seperti gunung Thaysan atau
bintang Paktauw, yang diindahkan dan dikagumi oleh semua cabang dan
partai persilatan di seluruh Tiongkok. Dengan memiliki kepandaian begitu
tinggi dan nama begitu besar, siapakah yang berani mengganggu ia?
Siauw Tjeng Hong mendehem beberapa kali lalu berkata pula: "Menurut
apa yang kudengar, yang mau mengacau adalah seorang luar biasa dari
partai Khongtong pay." Keng Thian mesem.
"Tjiangboendjin (pemimpin) Khongtong pay adalah Tio Leng Koen,"
katanya. "Melawan muridmu, saudara Thian Oe, ia masih belum tentu bisa
memperoleh kemenangan."
Paras muka Siauw Tjeng Hong yang sangat guram, tetap tidak berubah.
"Selama kurang lebih tiga puluh tahun partai Khongtong pay memang sangat
merojan," katanya dengan suara sungguh-sungguh. "Orang-orangnya dari
tingkatan atas masih belum dapat menandingi ahli-ahli silat kelas satu.
Itulah sebabnya, mengapa berbagai partai jadi memandang rendah partai
tersebut. Akan tetapi, sebenar-benarnya, Khongtong pay mempunyai
keistimewaan yang luar biasa."
Keng Thian terkejut. "Benar," katanya. "Memang juga, jika tidak
mempunyai keistimewaan, Khongtong pay tentu tidak dapat menjadi suatu
partai. Kecerdasan manusia tidak dapat disamaratakan dan kerajinan orang
pun berbeda-beda, sehingga memang juga kita tidak dapat memukul rata
semua orang. Tadi, oleh karena mengingat kepandaian Tio Leng Koen yang
masih cetek, aku jadi memandang rendah Khongtong pay sebagai partai. Aku
mengakui, bahwa perkataanku itu tidak benar."
Dari sini dapat dilihat, bahwa Keng Thian adalah seorang pemuda
yang telah mendapat pendidikan sangat baik dan segera mengakui
kekeliruannya, begitu lekas ia menganggap dirinya bersalah.
"Menurut apa yang aku dengar," kata pula Siauw Tjeng Hong. "Oleh
karena melihat merojannya partai mereka, sedari tiga puluh tahun
berselang, sejumlah orang Khongtong pay dari tingkatan atas, pergi
menyembunyikan diri di tempat sepi untuk melatih diri dan meyakinkan
kitab-kitab ilmu silat dari Tjouwsoe (pendiri) Khongtong pay, dan selain
itu, mereka juga telah menggubah ilmu-ilmu silat baru. Selama beberapa
puluh tahun ini, tak seorang pun mengetahui sampai dimana mereka sudah
mencapai kemajuan. Paling belakang, secara kebetulan aku mendengar, bahwa
ada tetua Khongtong pay yang ingin turun gunung."
"Apakah kau maksudkan, bahwa sesudah turun gunung, ia segera ingin
menyatroni Moh Tayhiap untuk menjajal kepandaian?" tanya Keng Thian.
"Benar," jawab Tjeng Hong. "Jika tidak membentur ahli silat nomor
satu di wilayah Tionggoan, dia tak dapat memperlihatkan kepandaiannya dan
juga sukar mengangkat naik nama partainya yang sudah merosot. Tapi, di
samping itu, menurut yang kudengar, masih terselip sebab lain." Sesudah
berkata begitu, ia mengawasi Keng Thian sembari mesem dan menyambung pula
perkataannya: "Sebab itu, mungkin adalah karena gara-garamu."
"Sungguh mengherankan," kata Keng Thian.
"Aku mendengar, bahwa kau merobohkan tiga belas jago Khongtong pay
dengan Thiansan Sinbong," kata Siauw Tjeng Hong. "Apakah benar?”
"Benar, antara mereka terdapat juga Tio Leng Koen," jawabnya.
"Selain kau, terdapat seorang wanita muda yang menggunakan pedang
es bukan?" tanya lagi Tjeng Hong.
"Wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie bersama dayangnya yang
bernama Yoe Peng," Keng Thian menerangkan. "Di samping mereka berdua,
masih ada seorang lain, yaitu muridmu sendiri, Thian Oe. Jika lantaran
itu, Khongtong pay jadi merasa sakit hati, seharusnya mereka mencari aku
dan bukannya Moh Tayhiap."
"Kalian, ayah dan anak, mempunyai nama yang lebih besar daripada
Moh Tayhiap," kata Tjeng Hong. "Jika mereka menyatroni kalian dan
bertempur di atas gunung Thiansan, orang luar tak akan dapat menyaksikan
menang kalahnya. Maka itu, mereka telah mengambil putusan untuk
menyatroni Moh Tayhiap. Mereka menganggap Yoe Peng sebagai Pengtjoan
Thianlie dan entah bagaimana, mereka juga sudah mengetahui, bahwa
Pengtjoan Thianlie adalah keponakan Moh Tayhiap. Dengan adanya ikatan
keluarga itu, mereka jadi mempunyai alasan lebih kuat untuk menyukarkan
Moh Tayhiap. Selain itu, aku pun mendengar, mereka sudah mengundang
orang-orang pandai dari partai lain untuk mengacau di harian Kiatyan.
Kepergianku kali ini, pertama adalah untuk menyampaikan warta tentang
Pengtjoan Thianlie kepada Moh Tayhiap dan kedua, untuk memberitahukan hal
itu, supaya Moh Tayhiap bisa bersiap-siap. Tapi sedikitpun aku tidak
merasa kuatir. Dengan kepandaiannya yang sedemikian tinggi, Moh Tayhiap
tentu akan dapat mengatasi segala kejadian."
Keng Thian berpikir beberapa saat dan kemudian berkata sembari
mesem: "Bagus!"
"Kenapa kau kata bagus?" tanya Tjeng Hong.
"Bukankah kita akan dapat turut menonton keramaian?" kata Keng
Thian sembari mesem.
"Apakah kau juga ingin pergi menyambangi Moh Lootjianpwee?" tanya
Tjeng Hong.
"Benar," jawabnya. "Menurut perhitunganku, kita masih mempunyai
tempo untuk tiba pada waktu Kiatyan. Aku pun berharap agar Pengtjoan
Thianlie juga berada disitu. Ingin sekali aku menyaksikan ilmu apa yang
dimiliki orang Khongtong pay itu, sehingga ia berani menyatroni Moh
Lootjianpwee."
Mendengar itu, Siauw Tjeng Hong mengetahui, bahwa Keng Thian niat
turun tangan dan hatinya menjadi girang sekali. "Sebagai orang yang
tingkatannya tinggi, Moh Lootjianpwee tak pantas turun tangan sendiri,"
katanya didalam hati. "Tong Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie, mempunyai
kepandaian tinggi, tapi tingkatannya rendah. Sungguh bagus, jika mereka
berdua bisa berada bersama-sama."
"Kalau begitu, biarlah kita menunggu sampai fajar untuk segera
berangkat," kata Tjeng Hong.
Kang Lam yang sedari tadi sudah merasa sangat tidak sabar, lantas
saja menyeletuk, begitu lekas mereka berhenti berbicara. "Eh, aku
bagaimana? tanyanya.
"Kau, kau apa?" kata Keng Thian. "Kau sudah mempunyai guru yang
baik, apakah kau juga ingin mengikut?"
"Kau toh sahabat Kongtjoe-ku bukan?" Kang Lam berseru. "Apakah kau
tak tahu, aku diperintah membawa surat? Bagaimana kau bisa tidak mengajak
aku?”
Keng Thian tertawa. "Eh," katanya. "Aku mau menanya: Apakah
Kongtjoe-mu baik?"
"Bagaimana tak baik?" sahutnya. "Sehari makan tiga kali!"
"Gila kau!' bentak Keng Thian. "Aku mau menanya: Bagaimana dengan
puteri Touwsoe?"
"Apa lagi?" jawab Kang Lam sembari nyengir. "Setiap hari berhias,
seperti sundal saja! Dari pagi sampai malam, kerjanya memburu. Saban hari
lewat di depan kantoran. Karena takut kesomplok, siang hari malam,
Siauwya selalu bersembunyi di dalam, sejenak pun tak berani keluar.
Agaknya Siauwya takut digigit!" Sehabis berkata begitu, ia tertawa
terbahak-bahak, sehingga semua orang jadi turut tertawa.
"Kalau begitu, pernikahan mereka sudah tetap, bukan?" tanya Keng
Thian.
"Tidak, tidak! Kongtjoe menolak keras," jawabnya. "Tapi... tapi
sekarang sudah ada ketetapannya... antara Touwsoe dan Looya. Si Touwsoe
yang mendesak terus, supaya Looya meluluskannya. Lain tahun musim semi,
jika kuil Lhama yang sedang dibuat sudah rampung, aku mendengar, bakal
datang seorang Budha Hidup dari Agama Topi Putih untuk meresmikan
pembukaan kuil tersebut. Pada waktu itu, Touwsoe ingin minta bantuan
Budha Hidup untuk menikahkan mereka. Hm! Kongtjoe tentu tak bisa berkelit
lagi."
Hati Keng Thian berdebar-debar. "Thian Oe tak dapat melupakan
Chena, tapi ia tentu tak tahu, nona itu sekarang sudah menjadi Wanita
Suci," pikirnya. "Lain tahun di musim semi, ia akan mengikut raja agama
Sekte Topi Putih datang di Lhasa untuk meresmikan pembukaan kuil."
Ketika itu fajar sudah menyingsing dan sinar matahari pagi sudah
menembus ke dalam hutan batu itu.
"Apakah sekarang kita sudah boleh berangkat?" tanya Tjeng Hong.
"Eh, ajak aku!" kata Kang Lam.
"Baiklah," sahut Keng Thian. "Sebelum berangkat, aku minta kau
mengajak kami pergi menemui gurumu untuk berpamitan."
"Perlu apa berpamitan?" kata Kang Lam. "Jika pamitan, dia tentu
menghalangi."
Mendadak saja, dari jauh terdengar suara seorang tua: "Orang
berilmu dari manakah yang sudah penuju dengan muridku yang tolol itu?"
Suara itu tidak keras tapi "tajam" dan mengeluarkan suara "ung-ung", di
waktu gelombangnya membentur hutan batu.
Dengan hati mencelos, Kang Lam buru-buru bersembunyi di belakang
Keng Thian yang lalu merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Aku yang
muda adalah Tong Keng Thian yang sudah kesalahan masuk ke dalam tempat
dewa-dewa ini. Mohon Lootjianpwee suka memberi maaf." Suara Keng Thian
juga tidak besar, tapi nyaring, seolah-olah tikaman pedang ke dalam hutan
batu itu, yang segera berkumandang, setelah dibentur gelombang suara.
Baru saja ia mengucapkan perkataannya, dengan sekali berkelebat, di
hadapan mereka sudah berdiri seorang Toosoe (imam) yang paras mukanya
aneh dan mengenakan jubah pertapaan warna kuning.
Kang Lam gemetar sekujur badannya, ia mepet di belakang Keng Thian,
tanpa berani menongolkan kepala.
"Selama beberapa puluh tahun, tuan adalah orang satu-satunya yang
bisa keluar dari barisan batu ini," katanya. "Orang yang pandai tidak
perlu meminta maaf. Sesudah bisa keluar dari barisan batu, kau tentu
mempunyai kepandaian untuk membawa pergi muridku yang tolol. Baiklah. Kau
boleh membawa dia pergi!"
Keng Thian terkejut. Dari perkataannya, imam itu ingin mengukur
kepandaiannya. Waktu Toosoe itu pertama bicara, karena teraling puncak-
puncak, Keng Thian tidak mengetahui persis dimana ia berada, tapi bisa
ditaksir, ia sedikitnya terpisah seratus tombak. Dan hampir berbareng
dengan suaranya, manusianya sudah tiba di hadapannya. Dari sini, Keng
Thian mengetahui, bahwa imam itu mempunyai kepandaian yang sangat tinggi.
Sebagai penjagaan, ia menarik napas dalam-dalam untuk mengerahkan
tenaga Hiankong dari Thiansan pay. "Jika demikian," katanya sembari
membungkuk. "Sesudah urusanku beres, aku tentu akan datang lagi disini
guna menyampaikan hormat." Sembari menuntun tangan Kang Lam, perlahan-
lahan ia berjalan keluar dari hutan batu.
Toosoe itu mencekal Hudtim (kebutan) dalam tangannya. Melihat
tetamunya berangkat, tanpa menggerakkan badannya, ia mengebut dengan
Hudtim-nya dan berkata: "Sebelum mempunyai sayap, bocah nakal itu sudah
ingin terbang. Tuan harus menilik ia secara keras!"
Sebagai seorang yang sudah menyelami ilmu Thiansan pay, Keng Thian
mempunyai perasaan yang luar biasa tajamnya. Kebutan itu, yang sebenarnya
sangat perlahan, sudah dapat didengar olehnya, dan lebih dari itu, tanpa
menengok, ia juga mengetahui, bahwa beberapa helai benang Hudtim sedang
menyambar jalan darah Kang Lam dan ia sendiri! Dengan perkataan lain, si
Toosoe dapat menggunakan benang-benang yang begitu halus seperti semacam
jarum untuk menusuk jalan darah musuh. Dapat dibayangkan, bahwa seorang
yang tidak mempunyai "ketajaman" seperti Keng Thian, tidak akan dapat
mengelakkan serangan itu yang tidak ada suaranya dan hampir tak kelihatan
bahayanya.
Bagaikan kilat Keng Thian meloncat dan menarik tangan Kang Lam
sambil berkata: "Hati-hati! Ada batu." Dengan demikian, semua benang
Hudtim itu menyambar ke badannya. Akan tetapi, walaupun sudah berjaga-
jaga dengan mengerahkan tenaga Hiankong, tak urung ia merasa kesemutan di
beberapa jalan darahnya, seperti digigit semut. "Tenaga dalam Toosoe itu
sungguh hebat," katanya di dalam hati. "Meskipun belum bisa menandingi
Hoeihoa tjekyap (Bunga terbang memetik daun) Ie-ie-ku, ilmunya masih
lebih tinggi daripada aku."
"Mana ada batu?" tanya Kang Lam yang tidak mengetahui, bahwa tanpa
pertolongan Keng Thian, kedua dengkulnya tidak akan dapat digunakan lagi.
"Kang Lam," kata Keng Thian. "Haturkan terima kasih kepada gurumu!"
Ia mengetahui, bahwa sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, si Toosoe
pasti tidak akan menyerang dua kali kepada bocah yang menjadi muridnya
sendiri.
Kang Lam adalah seorang yang sangat cerdas otaknya Meski tidak
mengerti maksudnya, lantas saja ia menyoja dan berkata: "Terima kasih
atas budi Soehoe yang sudah melepaskan murid."
Keng Thian segera menggerakkan tangannya supaya Kang Lam berjalan
lebih dulu.
Muka imam itu menjadi merah padam. "Mulai dari sekarang, antara kau
dan aku sudah tidak ada hubungan guru dan murid lagi," katanya dengan
suara dingin. Suara itu menusuk kuping sehingga si bocah merasakan
kepalanya puyeng dan hampir-hampir ia jatuh terguling. Buru-buru ia
menutup kedua kupingnya dan mementang langkah lebar-lebar. Di lain saat,
ia merasakan badannya panas, tapi ia tidak menggubris itu dan terus
berjalan secepat mungkin.
Selagi Keng Thian mau berpamitan, imam itu mengawasi ia dengan
sorot mata tajam dan menanya dengan suara yang sangat tidak enak
kedengarannya: "Bagus! Liehay sungguh kepandaianmu! Siapa gurumu?
Bilanglah, supaya aku dapat meminta pengajarannya."
Keng Thian mesem. "Tempat tinggal Boanpwee jauh dari sini,"
jawabnya. "Mana berani aku membikin Tjianpwee bercapai lelah."
Kata-kata Keng Thian yang manis itu sebenarnya mengandung duri di
dalamnya. Dengan perkataannya itu, ia seperti ingin menyatakan, bahwa
gurunya sebenarnya dapat melayani permintaan si Toosoe, hanya ia tidak
berani membikin si imam menjadi capai. Keng Thian yang biasanya suka
merendah sudah terpaksa menggunakan kata-kata yang menusuk itu, oleh
karena ia mendongkol mendengar betapa temberangnya imam tersebut. Harus
diketahui, bahwa ayah Keng Thian adalah pemimpin suatu partai besar yang
kedudukannya sangat tinggi, sehingga ia boleh tak usah bicara sungkan-
sungkan untuk ayahnya itu.
Toosoe jubah kuning itu lantas saja mendelik. "Sebetulnya aku tak
ingin keluar dari hutan ini," katanya dengan suara tawar. "Tapi sesudah
mendengar perkataanmu, tak dapat tidak aku mesti mencari gurumu. Siapa
gurumu?"
Keng Thian terus mesem. Selagi mau menjawab, dalam hutan batu itu
tiba-tiba terdengar suara tertawa yang menyeramkan. Di lain saat, seorang
manusia muncul dari salah sebuah gua batu. "Hongsek Tooyu," katanya
sembari menyeringai. "Matamu lamur. Apakah kau tidak mengenali ilmu silat
dari Thiansan pay? Coba pikir: Di antara orang-orang tingkatan sebelah
bawah, selain putera tunggal Tong Siauw Lan, siapa lagi yang berani
berlaku begitu kurang ajar di hadapanmu? Sudah lama aku mengatakan, bahwa
Thiansan pay sangat sombong dan memandang lain cabang persilatan seperti
juga partai yang menyeleweng. Apakah sekarang kau percaya perkataanku
itu?"
Keng Thian menengok. Orang itu hitam kurus, mukanya melesek ke
dalam, kedua matanya bagaikan bara, rambutnya awut-awutan, sedang
romannya menakutkan sekali dan dia bukan lain daripada Hiatsintjoe.
Kang Lam mengeluarkan teriakan tertahan, hatinya heran bukan main.
Terang-terangan ia mengetahui, bahwa di dalam gua hanya terdapat gurunya
seorang diri. Dari mana datangnya manusia aneh itu? Apakah ada jalan
rahasia di dalam hutan batu itu?
Keng Thian juga tidak kurang terkejutnya. Dengan kedatangan
Hiatsintjoe, tak gampang-gampang ia akan dapat meloloskan diri.
Imam itu lantas saja tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba paras
mukanya berubah dan sambil mengebut dengan Hudtim-nya, ia berkata:
Sebenarnya aku tidak berniat menyusahkan orang yang tingkatannya di
sebelah bawah. Akan tetapi, oleh karena orang itu adalah anak Tong Siauw
Lan, jika aku melepaskan ia, orang lain akan menduga aku takut kepada
suami isteri Tong Siauw Lan."
Biarpun berada dalam bahaya, Keng Thian tetap berlaku tenang. Ia
mesem seraya berkata: "Jika kedua Lootjianpwee ingin menahan aku, aku
tentu tak akan bisa lari. Maka itu, aku bersedia untuk menerima segala
keputusan kalian."
Dengan berkata begitu, ia seperti mau mengatakan, bahwa dalam
kedudukannya sebagai Houpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah), ia
bersedia untuk melayani dua orang yang kedudukannya lebih tinggi itu.
"Hm!" si Toosoe mengeluarkan suara di hidung. "Untuk menahan kau,
aku tak perlu mendapat bantuan orang. Hiatsintjoe! Biarlah kau menjadi
saksi. Jika bocah itu dapat menyambut seranganku dalam tujuh jurus, aku
akan membiarkan mereka pergi. Bocah, sungguh sombong kau! Sampai kapan
baru kau mau menghunus senjata?"
Putera Tong Siauw Lan ini lantas saja tertawa besar. "Jika kau
ingin memberi pelajaran, tak usah dibatasi dalam tujuh jurus," katanya
"Aku berdiri disini, tak bisa melarikan diri. Lootjianpwee! Kenapa kau
tidak lantas menyerang? Mau tunggu sampai kapan?"
Diejek begitu, Hongsek Toodjin jadi marah besar. "Baiklah,"
katanya."Kau tidak mau mengeluarkan senjata, itu tandanya kau sendiri
yang mencari mampus!" Berbareng dengan perkataannya, badannya melesat
setombak lebih dan tangannya mengebut dengan Hudtim-nya.
Kebutan itu, yang kelihatannya biasa saja, sebenarnya berisikan dua
macam serangan dahsyat. Dalam serangan pertama, benang-benang Hudtim
berkumpul menjadi satu, dalam bentuk pit (alat tulis Tionghoa) dan
menghantam musuh dengan tenaga Yangkong (tenaga "keras"). Jika serangan
ini tidak dapat merobohkan musuh, benang-benang itu lantas terbuka dan
menusuk jalan darah musuh dengan tenaga Imdjioe (tenaga "lembek").
Kedua serangan itu hebat luar biasa dan tak akan dapat ditangkis
oleh ahli silat yang tanggung-tanggung. Tapi, dalam menghadapi serangan
sehebat itu, Keng Thian sama sekali tidak bergerak.
"Apakah benar-benar kau mau mampus?" Hongsek Toodjin membentak.
Ketika itu, benang-benang Hudtim sudah terbuka dan tengah menyambar muka
Keng Thian. Pada detik itu, si Toosoe berpikir: "Bukankah aku akan jadi
buah tertawaan, jika aku membinasakan bocah yang tidak bersenjata? Selain
itu, untung apa aku menanam permusuhan begitu hebat dengan Tong Siauw
Lan?'
Memikir begitu, tenaganya yang memang belum digunakan seanteronya,
jadi semakin berkurang. Tapi, biarpun begitu, jika kena dikebut, Keng
Thian pasti akan bercacat seumur hidupnya, meski tidak mati seketika.
Bagaikan kilat, ribuan benang itu menyambar. Pada saat yang sangat
berbahaya, tiba-tiba Keng Thian membuka mulutnya dan meniup sekeras-
kerasnya, sehingga benang-benang itu tersapu buyar. Tenaga dalam Hongsek
Toodjin banyak lebih tinggi daripada Keng Thian, tapi dalam serangannya
itu, ia hanya menggunakan separoh tenaganya. Di lain pihak, Keng Thian
sendiri telah menggunakan tenaga dalam yang paling dahsyat dari Thiansan
pay dan meniup sekeras-kerasnya, sehingga serangan itu menjadi gagal.
Hongsek Toodjin terkejut. Dengan sekali membalik tangan, ia membuat
ribuan benang itu serentak berdiri dan seperti jarum-jarum tajam,
menyambar ke arah tenggorokan dan mata Keng Thian.
Sebagaimana diketahui, Siauw Tjeng Hong pun bersenjata Hudtim Tapi
melihat liehaynya imam itu dalam menggunakan senjata tersebut, ia jadi
terpaku bahna kagumnya.
Hampir pada detik yang sama, sekonyong-konyong berkelebat sinar
terang dan dingin, dibarengi teriakan Keng Thian: "Bagus! Sambutlah
pedangku!'
Yoeliong kiam adalah senjata mustika dari Thiansan pay dan tajamnya
luar biasa. Hongsek Toodjin sama sekali tidak menduga pemuda itu dapat
menghunus pedang dengan begitu cepat dan oleh karena merasa jeri akan
tajamnya senjata itu, buru-buru ia menarik pulang tenaga Yangkong dan
memutar Hudtim-nya untuk menghindari sabetan Yoeliong kiam.
Keng Thian membabat dengan Toeihong Kiamhoat (Ilmu pedang memburu
angin) yang saling susul. Belum habis serangan yang pertama, serangan
kedua sudah menyusul. Begitulah selagi Hongsek Toodjin memikir untuk
balas menyerang, serangan Keng Thian yang kedua sudah menyambar.
"Bagus!" seru si imam sembari menggeser kakinya dan mengebut dengan
menggunakan tenaga Imdjioe, untuk memunahkan sabetan Yoeliong kiam.
Ketika itu. Hongsek sudah melakukan tii'.a serangan.
Tapi biar bagaimana juga Hongsek Toodjin benar-benar berkepandaian
tinggi. Barusan, setelah didesak dengan dua serangan Toeihong Kiamhoat,
ia agak terdesak dan harus membela diri. Mendadak, demi sekali mengebas
dengan Hudtim-nya, ia berhasil mengunci gerakan pedang Keng Thian.
Benang-benang Hudtim menyambar-nyambar dari segala jurusan dan jika Keng
Thian terus menggunakan Toeihong Kiamhoat, punggungnya tentu akan segera
kena ditusuk.
Selagi Hongsek bergembira, sekonyong-konyong sinar pedang merupakan
suatu tirai bundar yang menyelubungi seluruh badan Keng Thian. Itulah
ilmu pedang Thaysiebie dari Thiansan Kiamhoat yang hanya digunakan jika
bertemu dengan musuh yang lebih tangguh. Tubuh pemuda itu seolah-olah
dikitari tembok tembaga yang tak dapat ditembus dengan apapun juga.
Hongsek terkesiap. Sedikitpun ia tak menduga, bahwa "si bocah" akan
dapat merubah gerakannya sedemikian cepat, dari menyerang jadi membela
diri. Demikianlah, serangan si imam itu menjadi gagal.
Kang Lam menongolkan kepalanya dari lubang gua dan berseru: "Bagus!
Hanya ketinggalan tiga jurus lagi!"
Bukan main gusarnya Hongsek Toodjin. Sembari mengempos semangat, ia
menyapu dengan senjatanya. Sungguh hebat serangan itu, sebab dengan
sekali menyapu, senjata si imam menyambar dua belas jalan darah Tong Keng
Thian, di sebelah atas badannya.
Keng Thian terkejut. Hongsek mengetahui, bahwa pembelaan Thaysiebie
Kiamhoat sangat rapat, tapi kenapa ia menyerang juga? Dengan penuh
keheranan, ia terus memutar pedangnya. Di lain saat, beberapa puluh
benang Hudtim sudah kena terbabat putus dan sesudah tersabet lagi
beberapa kali, benang-benang itu menjadi potongan-potongan yang sangat
halus. Sekonyong-konyong Hongsek meniup sekeras-kerasnya dan hancuran
benang itu menyambar masuk ke dalam sinar pedang!
Biar bagaimana pun rapatnya pembelaan, Thaysiebie Kiamhoat tak akan
dapat menahan masuknya hancuran benang itu. Hati Keng Thian mencelos. Ia
mengetahui, bahwa jika hancuran benang itu masuk ke dalam mulut, mata
atau kupingnya, biar mempunyai kepandaian sepuluh kali lipat lebih
tinggi, ia toh akan roboh. Dalam keadaan terdesak, ia meloncat tinggi ke
atas, memutarkan badannya dan berbareng mengebas dengan tangan bajunya
untuk menyapu hancuran benang itu. Ia berhasil, tapi karena gerakannya
itu, pembelaan Thaysiebie Kiamhoat lantas saja berantakan.
"Kena!" teriak Hongsek Toodjin sembari menyodok dengan gagang
Hudtim-nya dan "brt!" baju Keng Thian, di sebelah bawah pundaknya,
berlubang!
Harus diketahui, bahwa ilmu silat Hudtim dari Hongsek Toodjin
terdiri dari tujuh rupa pukulan. Akan tetapi, dalam tujuh pukulan itu
terdapat pula banyak perubahan-perubahannya. Maka itu, dengan "membatasi
tujuh jurus", si imam sebenarnya sudah bersiap untuk mengeluarkan seluruh
kepandaiannya.
Sesudah mengeluarkan empat pukulan tanpa berhasil, si imam menjadi
agak bingung dan oleh karena itu, ia rela mengorbankan sebagian benang
Hudtim-nya untuk merobohkan musuh dengan serangan kelima dan keenam,
yaitu suatu serangan untuk memecahkan Thaysiebie Kiamhoat dan serangan
yang lain untuk menotok bagian badan Keng Thian yang tidak berbahaya
dengan gagang Hudtim, yang digunakan sebagai Poankoan pit.
Hudtim Hongsek adalah senjata istimewa. Gagangnya yang dibuat dari
campuran baja murni dan emas, berujung lancip tajam, sehingga dapat
digunakan untuk menikam jalan darah dan memecahkan Lweekeeh Khiekang
(ilmu dalam) dari musuhnya. Barusan, dengan menyodok jalan darah Iekie
hiat, di bawah pundak Keng Thian, Hongsek menduga pemuda itu akan lantas
menjadi roboh. Tak dinyana, begitu mengenakan sasarannya, gagang Hudtim
seperti kebentur dengan semacam tameng dan terpental kembali. Di saat itu
juga, Keng Thian memutarkan tubuhnya dan berkata sembari tertawa: "Hanya
tinggal satu jurus lagi!”
Hongsek Toodjin jadi seperti orang terkesima. Sodokannya itu, yang
berhasil merobek baju Keng Thian, menyambar tepat pada sasarannya dan
menurut perhitungan, walaupun pemuda itu mempunyai ilmu Kimtjiongto atau
Tiatposan (ilmu weduk), ia tak akan dapat menyelamatkan diri. Apakah
pemuda itu, yang usianya masih begitu muda, sudah mempunyai badan seperti
dewa yang tak dapat dilukakan dengan senjata? Benar-benar ia sukar
percaya!
Si imam tentu saja tidak mengetahui, bahwa sebab dari itu semua
adalah karena Keng Thian memakai Kimsie Djoanka, semacam baju mustika
peninggalan Po Tjeng Tjoe, yang pada empat puluh tahun lebih berselang,
telah diberikan kepada ibunya oleh Tjiong Ban Tong, pemimpin partai
Boekek pay.
Hiatsintjoe dan suami isteri Siauw Tjeng Hong, yang menyaksikan
bagaimana Keng Thian dapat menyelamatkan diri dari bahaya besar, dengan
berbareng mengeluarkan seruan tertahan. Siauw Tjeng Hong kaget lebih
dulu, belakangan girang, Hiatsintjoe bergirang lebih dulu, belakangan
kaget. Selagi Siauw Tjeng Hong menyusut keringatnya, tiba-tiba Hongsek
membentak keras, badannya melesat ke tengah udara dan selagi melayang
turun, ia menghantam dengan senjatanya!
Dalam serangan yang terakhir itu, si imam menggunakan Hudtim dan
tangannya dengan berbareng, Hudtim menghantam jalan darah, telapak
tangannya memukul dada Keng Thian. Belum sempat Keng Thian mengeluarkan
Thaysiebie Kiamhoat, serangan musuh sudah tiba dan tak dapat diegos lagi.
Kimsie Djoanka yang hanya melindungi bagian atas tubuh, tidak bisa
menahan tenaga pukulan itu yang dikirim dengan seluruh tenaga si imam.
Melihat bahaya, dalam keadaan kepepet, Keng Thian mengambil suatu
keputusan nekat. Ia memutarkan badan untuk menyambut pukulan itu dengan
punggungnya.
Pada detik itu, tiba-tiba saja terdengar bentakan Hiatsintjoe.
Siauw Tjeng Hong jadi terkesima. Dalam menyambut pukulan Hongsek dengan
seluruh tenaganya, belum tentu Keng Thian bisa berhasil. Siapa yang tidak
kaget melihat serangan Hiatsintjoe pada saat yang berbahaya itu?
Dan pada detik, sedang jiwa Keng Thian tergantung atas selembar
rambut, mendadak terdengar teriakan Hiatsintjoe. Berbareng dengan itu,
Hongsek bergidik dan tenaga pukulannya lantas saja berkurang banyak.
Sungguh gesit gerakan Tong Keng Thian! Hampir berbareng dengan itu,
badannya sudah melesat menyingkir, pedangnya menyambar dan pada detik itu
juga, lengan jubah Hongsek berlubang!
"Bocah dari mana berani kirim serangan gelap?" membentak si imam.
Sekonyong-konyong dari atas batu-batu terdengar suara tertawa yang
aneh. "Tua bangka, apakah kamu tidak malu?" kata orang itu. "Dua tua
bangka mengerubuti satu bocah! Ha-ha-ha!'
Keng Thian mendongak, mengawasi. Di atas sebuah batu kelihatan
bersila seorang pemuda yang bukan lain daripada Kim Sie Ie dan tak jauh
dari situ, terdapat Pengtjoan Thianlie bersama dayangnya. Agaknya
selagi pertempuran berjalan hebat-hebatnya, sedang perhatian semua orang
ditujukan ke arah pertempuran itu, mereka bertiga sudah datang dengan
diam-diam. Teriakan Hiatsintjoe dan bergidiknya Hongsek Toodjin
disebabkan oleh senjata rahasia Koei Peng Go dan si penderita kusta.
Si imam merasakan dadanya mau meledak. Dengan sekali menjejek kaki,
ia meloncat ke atas untuk mencengkeram Kim Sie Ie.
"Satu bocah saja kau masih belum dapat menjatuhkan," kata si
pengemis sembari menyengir. "Guna apa aku meladeni kau?" Ia meloncat
bangun dan bagaikan seekor kera, ia memanjat puncak batu dan dalam
sekejap, ia sudah berada di garisan luar.
Selagi si imam mau mengubar, sekonyong-konyong terdengar teriakan
kesakitan dari Hiatsintjoe. Ia menengok dan melihat muka kawannya bersemu
hitam, sebagai tanda sudah terkena senjata beracun.
Oleh karena merasa, bahwa seorang diri belum tentu ia dapat
melayani beberapa lawannya, lantas saja ia mengurungkan niatannya untuk
mengubar Kim Sie Ie dan kembali untuk menolong Hiatsintjoe.
"Tujuh jurus sudah lewat, sekarang aku berangkat," kata Keng Thian.
"Hm!" gerendeng si imam yang sedang berjongkok untuk memeriksa luka
Hiatsintjoe. Sesudah mengucapkan beberapa perkataan merendah seperti
lazimnya dalam dunia Kangouw, dengan terburu-buru Keng Thian lari keluar
hutan batu itu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Mengubar belum berapa lama, ia melihat Peng Go bersama dayangnya
berjalan di sebelah depan, sedang Kim Sie Ie mengikuti dari belakang.
"Peng Go Tjietjie! Peng Go Tjietjie!" teriak Keng Thian.
Si nona menengok dan mengawasi dengan sorot mata gusar dan sedih.
"Peng Go Tjietjie!" Keng Thian berseru pula. "Berhentilah sebentar!
Dengarkanlah dulu beberapa perkataanku."
Pentjoan Thianlie tidak meladeni. Sebaliknya dari menghentikan
tindakannya, sembari menuntun tangan Yoe Peng, ia berlari semakin keras.
"Peng Go Tjietjie!" teriak Keng Thian pula dengan suara menyayatkan
hati. "Berhenti dulu! Dengar dulu perkataanku!'
Kim Sie Ie tertawa berkakakan. Ia berhenti berlari, membalikan
badannya dan menghadang di tengah jalan. Begitu Keng Thian datang dekat,
ia menyembur dengan ludahnya. "Siapa kesudian mendengarkan segala
ocehanmu!” ia membentak.
Keng Thian naik darah. "Minggir!" ia membentak.
Kim Sie Ie tertawa besar. Sambil mementang kedua tangannya, ia
berteriak: "Tak tahu malu! Mengudak-udak gadis orang!'
Keng Thian tak dapat menahan sabar lagi. Sekali ia mengayun tangan,
sebatang Thiansan Sinbong menyambar Kim Sie Ie.
Di waktu pertama kali bergebrak, si pengemis sudah mengenal
liehaynya Sinbong. Sesudah mengerahkan tenaga Hiankong tujuh hari
lamanya, baru ia dapat menyembuhkan luka akibat serangan senjata rahasia
itu. Karena itu, sekali ini ia berwaspada. Begitu melihat sambaran
Sinbong, ia menjungkir balik, badannya melesat tiga tombak lebih dan
berbareng, menyampok dengan tongkatnya. "Tring!', lelatu api melentik dan
senjata rahasia itu kena tersampok jatuh. Dengan sekali berjungkir balik
lagi, Kim Sie Ie sudah menghadang pula di tengah jalan. "Si nona sudah
lari jauh sekali," katanya, mengejek.
Keng Thian bingung. Thiansan Sinbong hanya dapat mendesak dia untuk
sementara waktu. Dengan hati mendongkol, tanpa berkata suatu apa lagi, ia
melompat dan membabat dengan Yoeliong kiam-nya. Kim Sie Ie tak berani
berlaku ayal. Ia menghunus pedang besinya dan menangkis. "Trang!", dua
pedang itu kebentrok dan kedua belah pihak, yang tenaga dalamnya kira-
kira setanding, mundur terhuyung beberapa tindak.
Keng Thian tak mengasih hati lagi kepada lawannya. Begitu
bergebrak, ia segera menyerang dengan Toeihong Kiamhoat, yang saling
susul bagaikan gelombang. Baru bertempur beberapa saat, Keng Thian sudah
dapat melihat suatu kekosongan dalam pembelaan musuh. Yoeliong kiam yang
tengah menyambar dari kiri ke kanan, mendadak bergerak dalam suatu
lingkaran dan mengurung pedang Kim Sie Ie. Sekali dibalik lagi, ujung
pedang itu menggetar dan menyambar sembilan jalan darah Kim Sie Ie dengan
berbareng.
"Hebat!" teriak si pengemis. "Bocah! Gara-gara si nona manis, kau
lupa, bahwa barusan aku sudah menolong jiwamu!"
Ia menjejek kakinya dan badannya melesat keluar gelanggang.
Keng Thian bergoncang hatinya. "Tadi, waktu Hongsek Toodjin
mengirim serangan terakhir, aku tentu sudah akan kena dipukul jika dia
dan Peng Go tidak menolong dengan senjata rahasia," pikirnya. "Biarpun
aku mempunyai
Djoanka dan jika terluka, masih mempunyai Thiansan Soatlian untuk
mengobatinya, tapi budi mereka tak dapat diabaikan begitu saja." Memikir
begitu, lantas saja ia menarik pulang Yoeliong kiam dan membentak:
"Baiklah! Belum lama berselang, tanpa sebab kau sudah melukakan aku,
sehingga hampir-hampir aku terbinasa. Hari ini, mengingat pertolonganmu,
sakit hatiku sudah dibayar impas olehmu. Sekarang, kau minggirlah! Di
kemudian hari, kita masih bisa bersahabat."
Kim Sie Ie mengawasi dan sesudah mengeluarkan tertawa aneh, ia
berkata: "Siapa kesudian menjadi sahabatmu? Bocah tak kenal malu!
Sedikitpun kau tidak mengenal adat istiadat dalam kalangan Kangouw."
"Apa?" menegas Keng Thian. "Aku tak mengenal adat istiadat dalam
kalangan Kangouw? Siapakah yang kau maki? Cacian itu sungguh tepat untuk
ditujukan kepada alamatmu!"
"Aku memaki kau!" bentak Kim Sie Ie. "Jika tidak dijelaskan, kau
tentu masih penasaran. Aku mau menanya: Menurut adat istiadat kalangan
Kangouw, bukankah ada nasi sama-sama makan, ada pakaian sama-sama memakai
dan sudah punya tak boleh merampas milik orang? Bukankah begitu?"
"Benar," jawab Keng Thian.
"Orang-orang dari jalanan hitam sangat memperhatikan kebiasaan
itu."
"Bagus!" kata si pengemis. "Kau sudah mempunyai nona dari keluarga
Tjee itu, tapi kenapa masih juga ingin mengudak-udak nona Koei? Ha! Tak
sudi aku menjadi sahabatmu! Aku sudah menganggap nona Koei sebagai
sahabatku. Kau sendiri sudah punya satu, tapi masih mengubar-ubar sahabat
orang lain. Bukankah perbuatan itu perbuatan tak mengenal adat istiadat
Kangouw?"
Tong Keng Thian adalah seorang pemuda dari keluarga baik-baik yang
telah mendapat pendidikan yang baik pula. Seujung rambut pun, ia tidak
menduga bahwa ia akan mendengar perkataan itu.
Ia kemekmek, untuk sementara ia tak dapat menjawab.
Si pengemis lantas saja mengeluarkan tertawanya yang menyeramkan
dan berkata pula: "Benar atau tidak perkataanku? Apakah kau sudah merasa
bersalah?"
"Jangan ngaco!" Keng Thian membentak dengan gusar sekali. "Jika kau
bicara lagi yang tidak-tidak, tanpa sungkan-sungkan aku akan mengutungkan
kepalamu!"
"Apakah kau mampu?" tanya si pengemis dengan suara mengejek.
Keng Thian jadi gelap mata.
Bagaikan kilat, ia menyabet dengan Yoeliong kiam-nya. Kim Sie Ie
melayani dengan saban saban menengok ke belakang. Agaknya ia ingin
menunggu sampai Pengtjoan Thianlie sudah pergi cukup jauh, baru ia ingin
menghentikan pertempuran itu. Keng Thian gusar dan bingung. Ia menyerang
secara hebat, tapi karena kepandaian mereka kira-kira berimbang, maka
sedikitnya untuk sementara, ia tak dapat meloloskan diri.
Sekarang Keng Thian menumplek semua kemendongkolannya di atas
kepala Kim Sie Ie. "Hra!" katanya di dalam hati. "Kalau begitu, dia yang
menjadi setan." Dengan gergetan, lantas saja ia menyerang dengan pukulan-
pukulan Thiansan Kiamhoat yang paling liehay. Kim Sie Ie memutarkan
pedangnya bagaikan titiran dan menutup rapat-rapat dirinya dengan sinar
pedang, sehingga sesudah lewat seratus jurus lebih, belum juga ada yang
keteter.
Sementara itu, suami isteri Siauw Tjeng Hong dan Kang Lam sudah
menyusul. Mereka terkejut melihat pertempuran yang lebih hebat daripada
pertarungan antara Keng Thian dan Hongsek Toodjin.
Tiba-tiba sembari membentak keras, Keng Thian mengirimkan tiga
serangan dengan berbareng.
Tangan kirinya mengait tongkat Kim Sie Ie, kaki kanannya menendang,
sedang Yoeliong kiam menikam ke arah jantung. Menurut perhitungannya,
dengan tiga serangan hebat itu, walaupun tidak menjadi mati, si pengemis
pasti akan terluka berat.
Pada detik itu, berbareng dengan terdengarnya tertawa aneh, Kim Sie
Ie berjungkir balik dan menyemburkan ludah lendirnya. "Untuk seorang
wanita, kau mati-matian!" ia memaki. "Apakah ada harganya? Bocah! Aku
sungguh kasihan kepadamu. Baiklah, kakekmu mengijinkan kau lewat."
Berhubung dengan berjungkir baliknya, Kim Sie Ie berhasil
mengelakkan bahaya. Yoeliong kiam menikam tempat kosong, tapi kaki kanan
Keng Thian berhasil menendang tongkat si pengemis yang lantas saja
terbang ke tengah udara. Pada saat yang sangat berbahaya itu, dengan
meminjam tenaga terpentalnya tongkat itu, badan Kim Sie Ie turut melesat
ke udara dan menangkap tongkatnya yang sedang melayang turun. Ia hinggap
di tempat yang jauhnya kurang lebih enam tombak dan begitu kedua kakinya
menginjak bumi, ia mabur ke arah hutan, sembari menengok dan tertawa
kepada Keng Thian.
Dengan gergetan, Keng Thian mengeluarkan sebatang Thiansan Sinbong,
tapi sebelum ia sempat menimpuk, Kim Sie Ie sudah meloncat ke sebuah
pohon besar dan naik ke atas bagaikan seekor kera dan di lain saat, ia
sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Seperti kesima, putera Tong Siauw Lan ini berdiri terpaku. Melihat
tertawanya Kim Sie Ie di waktu ia ini barusan menengok, hati Keng Thian
jadi berdebar keras. Ia ingat, bahwa di waktu pertama kali bertemu, orang
itu adalah seorang pengemis kotor yang muka dan badannya penuh dengan
bisul-bisul penyakit kusta. Tapi sekarang, perbedaan bagaikan langit dan
bumi.
"Kalau begitu, ia juga adalah seorang pemuda tampan," katanya
didalam hati. "Untuk apa dia terus mengikuti Peng Go?"
Sebegitu jauh ia selalu menganggap, bahwa di dalam dunia ini, ia
adalah satu-satunya orang yang pantas menjadi pasangan Pengtjoan
Thianlie.
Sekarang, mau tak mau, di dalam hati kecil ia terpaksa mengakui,
bahwa pemuda itu yang berlagak sebagai penderita kusta, merupakan saingan
berat baginya. Di samping itu, ia ingat juga bagaimana Kim Sie Ie sudah
meloloskan diri dari dua serangannya yang sangat hebat. Dengan
pengetahuannya yang sangat luas mengenai berbagai cabang persilatan, ia
masih belum mengetahui, ilmu silat cabang mana yang dimiliki si pengemis.
Ia mengakui, bahwa Kim Sie Ie adalah seorang yang jarang ada tandingannya
dalam Rimba Persilatan, tapi kenapa tingkah lakunya begitu luar biasa?
Sementara itu, sesudah napasnya yang tersengal-sengal menjadi reda.
Kang Lam lantas saja berkata: "Sungguh berbahaya! Eh, Tong Siangkong,
siapa pemuda itu? Tadi dia membantu kau dengan senjata rahasia, tapi
kenapa belakangan menghalang-halangi kau mengubar nona itu?”
Keng Thian yang sedang kalut pikirannya tak menjawab pertanyaan
kacung itu.
"Sungguh cantik wanita itu," Kang Lam mengoceh lagi. "Aku tahu,
Kongtjoe-ku suka kepada seorang gadis Tsang yang sangat aneh. Aku pernah
melihat wajah gadis itu. Waktu itu, aku menganggap dalam dunia tidak ada
orang yang lebih cantik lagi. Ha! Sekarang, sesudah melihat yang barusan,
baru aku tahu, di luar langit masih ada langit, di atas manusia masih ada
manusia. Tong Siangkong, apakah dia kau punya?"
"Apa?" Keng Thian menegas, seperti baru mendusin dari tidurnya.
"Kau mirip sekali dengan Kongtjoe-ku," jawabnya. "Begitu melihat
wanita cantik, lantas kehilangan semangat. Aku tak mempersalahkan kau.
Tapi mereka datang bersama-sama. Jika kau memang sudah jatuh hati,
sepantasnya kau harus minta lelaki itu memperkenalkan kau kepadanya.
Mungkin mereka bersaudara. Itu masih tidak apa. Jika mereka suami isteri,
apakah mengherankan kalau lelaki itu lantas menghantam kau?"
Keng Thian tak tahu, apa ia mesti menangis atau tertawa. Sesudah
mengalami berbagai kesukaran, ia naik ke keraton es dan membujuk si nona
supaya turun gunung. Ia berhasil dalam usahanya itu, tapi siapa nyana,
buntutnya menjadi begini sehingga sampai Kang Lam juga menganggap si nona
adalah seorang asing baginya.
"Kang Lam, jangan rewel!" bentak Siauw Tjeng Hong. Kang Lam tidak
berani membuka suara lagi dan mereka lalu meneruskan perjalanan.
"Tong Siangkong," kata Siauw Tjeng Hong dengan suara perlahan.
"Jangan kau terlalu jengkel. Sekarang kita tak dapat menyandak ia, tapi
setibanya di tempat Moh Lootjianpwee, kita tentu akan bertemu pula."
Keng Thian lantas saja sadar. "Benar aku goblok," katanya di dalam
hati. "Sesudah sampai disini, ia tentu akan menyambangi pamannya." Akan
tetapi, begitu mengingat masih setengah bulan sebelum mereka dapat
bertemu lagi dan selama setengah bulan itu, Peng Go akan selalu berada
bersama-sama dengan "si pengemis kusta," hati Keng Thian lantas saja
menjadi pedih.
Tapi sebenarnya, pemuda itu sudah menduga salah. Pengtjoan Thianlie
tidak berjalan bersama-sama dengan Kim Sie Ie, tapi Kim Sie Ie-Iah yang
selalu mengikuti dari belakang. Ia tidak berani terlalu mendesak, oleh
karena mengetahui bahwa si nona tidak begitu menyukai dirinya. Sebenarnya
Pengtjoan Thianlie telah tiba lebih dulu di hutan batu, sedang Kim Sie Ie
menyusul kemudian. Melihat si nona melepaskan Pengpok Sintan, ia
mengetahui, bahwa Peng Go masih belum dapat melupakan Keng Thian, sehinga
ia jadi merasa jengkel. Akan tetapi, untuk menyenangkan hati Pengtjoan
Thianlie, ia pun segera melepaskan senjata rahasianya.
Dengan pikiran tertindih, Keng Thian meneruskan perjalanannya,
sedang Siauw Tjeng Hong, yang mengetahui persoalan si pemuda, juga kesal
hatinya.
Selagi mereka berjalan dengan masing-masing tenggelam dalam alam
pikiran sendiri, Kang Lam mendadak berteriak: "Aduh!"
"Kenapa?" tanya Tjeng Hong sembari menengok ke belakang.
Bocah itu berjongkok sembari memegang perutnya. "Perutku sakit,"
jawabnya.
"Tadi masih baik-baik, kenapa mendadak sakit?" tanya Tjeng Hong
yang lantas saja memegang nadi Kang Lam, tapi ia tidak mendapatkan tanda-
tanda penyakit.
"Setan kecil!"ia mengomel. "Kau selalu main gila! Siapa mempunyai
tempo untuk melayani kegila-gilaanmu? Kita mempunyai urusan penting dan
perlu berjalan buru-buru."
"Siapa yang main gila?" teriak Kang Lam "Benar-benar perutku
sakit."
Keng Thian segera mendekati dan memegang nadinya. Sesudah beberapa
saat, muka pemuda itu menunjukkan perasaan heran dan kaget. Tiba-tiba, ia
mengangkat tangannya dan dengan dua jeriji, ia menotok jalan darah
Hiankie hiat, di dada Kang Lam.
Tjeng Hong terkesiap. Hiankie hiat adalah jalan darah yang
membinasakan. Ia mau mencegah, tapi sudah tidak keburu lagi.
Begitu ditotok, Kang Lam lantas saja tertawa haha-hihi. "Gatal!
Gatal!" ia berteriak. "Aku paling takut kegatalan. Tong Siangkong,
ampun!"
"Perutmu masih sakit?" tanya Keng Thian.
"Ih! Heran sungguh. Sekarang tak sakit lagi," jawabnya.
Keng Thian mesem sambil menotok pundak Kang Lam dengan dua
jerijinya. Tjeng Hong mengetahui, bahwa yang ditotok adalah jalan darah
Tonghay hiat, yang jika diurut, dapat melemaskan urat dan menjalankan
darah. Menurut kebiasaan Rimba Perdilatan, jika seseorang kena ditotok
jalan darahnya dan jalan darah itu untuk sementara masih belum dapat
dibuka, maka orang itu biasanya minta salah seorang kawannya untuk
menotok Tonghay hiat guna menjalankan aliran darah di lain-lain bagian
badannya, untuk mempertahankan diri sementara waktu. Maka itu, totokan
Tonghay hiat ada baiknya dan tak ada jahatnya.
Tapi di luar dugaan, Kang Lam lantas saja berteriak-teriak: "Aduh!
Sakit! Sakit!"
Buru-buru Keng Thian menotok jalan darah Tjietong hiat, di
kempungan Kang Lam. Tjietong hiat adalah salah saru dari sembilan jalan
darah, yang jika ditotok, dapat membinasakan orang. Keruan saja, Siauw
Tjeng Hong menjadi kaget bukan main.
Tapi, sungguh luar biasa, Kang Lam lantas tidak berkaok-kaok lagi.
"Ah, Tong Siangkong," katanya. "Kenapa kau mengganggu aku? Perutku tidak
sakit lagi."
"Gatal tidak?" tanya Keng Thian.
"Tidak, hanya sedikit kesemutan," sahutnya.
Keng Thian tertawa berkakakan. "Ya sekarang aku tahu," katanya.
"Bukan aku, tapi gurumu yang mempermainkan kau."
"Apa?" Tjeng Hong menegas dengan suara heran. "Apakah benar
perbuatan si Toosoe tua? Dengan kepandaiannya yang begitu tinggi dan
kedudukannya sebagai guru, sedang ia sendiri sudah meluluskan, apakah
benar ia masih main gila terhadap muridnya?"
Keng Thian bersenyum. "Sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia
mempermainkan muridnya," katanya. "Mungkin kejadian ini adalah karena
untung Kang Lam yang baik."
"Apakah yang kau maksudkan?" tanya pula Siauw Tjeng Hong, yang
tidak mengerti perkataan pemuda itu.
Keng Thian berdiam beberapa saat, seperti sedang mengasah otak.
"Siauw Sinshe," katanya mendadak."Apakah kau tahu, siapakah nama dan
dimana tempat tinggal orang aneh dari Khongtong pay itu yang menurut
katamu ingin menyukarkan Moh Lootjianpwee?"
"Tidak," jawab Tjeng Hong sembari menggelengkan kepalanya. "Kalau
aku tahu, aku tentu sudah memberitahukan kepada Moh Lootjianpwee. Perlu
apa aku pergi ke berbagai tempat untuk mencari keterangan?"
"Dulu, di Thiansan, aku pernah mendengar pembicaraan antara ayah
dan Iethio (suami bibi) yang sangat menarik," Keng Thian menerangkan.
"Menurut mereka, partai Khongtong pay dulu mempunyai semacam ilmu yang
luar biasa. Dengan ilmu tersebut, seseorang dapat mengacaukan jalan
darahnya sendiri.
Maka itu, ia akan terus segar bugar, meskipun jalan darahnya yang
membinasakan kena ditotok. Akan tetapi, orang yang mempunyai ilmu
tersebut, harus berlatih terus seumur hidupnya. Jika ia berhenti, jiwanya
terancam. Di samping itu, walaupun berlatih terus-terusan, belum dapat
dipastikan, bahwa akhirnya ia tak akan masuk ke dalam jalan yang
menyeleweng. Itulah sebabnya, mengapa belakangan orang sungkan
mempelajari ilmu itu yang perlahan-lahan jadi tidak dikenal lagi."
"Kalau begitu," kata Tjeng Hong. "Apakah ilmu yang diajarkan oleh
si Toosoe kepada Kang Lam, adalah ilmu yang kau maksudkan?"
"Mungkin, mungkin sekali," jawabnya.
Siauw Tjeng Hong berdiam sejenak, kemudian ia berkata pula: "Jika
memang demikian, apakah, walaupun perhubungan guru dan murid sudah
diputuskan, seumur hidupnya Kang Lam harus terus menerus berlatih ilmu
tersebut?"
"Kang Lam baru saja tujuh hari menjadi muridnya, sehingga apa yang
didapat olehnya baru hanya pelajaran permulaan," Keng Thian menerangkan.
"Seperti juga pelajaran lain-lain, untuk memperoleh kemajuan,
ilmu itu harus dipelajari dengan perlahan, di bawah pimpinan guru yang
pandai. Mengenai Kang Lam, baik juga ia baru saja memperoleh sedikit
pelajaran, sehingga biarpun ada akibatnya, akibat itu hanya merupakan
sakit perut, sakit miang dan sebagainya. Jika ia sudah belajar lama dan
pelajaran dihentikan mendadak, akibatnya tentu akan hebat sekali, mungkin
ia akan binasa, atau sedikitnya, menjadi orang bercacat. Maka itu, selama
beberapa ratus tahun ini, dalam partai Khongtong pay, orang yang
mempelajari ilmu itu tidak pernah keluar dari rumah perguruan."
"Kalau begitu," kata Siauw Tjeng Hong. "Apakah kau maksudkan, bahwa
Kang Lam harus kembali lagi dan seumur hidupnya harus menemani siluman
tua itu?"
"Tidak!" teriak Kang Lam.
"Biarpun harus mati, aku tak akan kembali. Tong Siangkong,
tolonglah aku!"
Keng Thian tertawa. "Tak kembali juga boleh," katanya sembari
tertawa. "Hanya setiap hari kau harus menderita sakit perut sejam
lamanya."
"Tidak!" si bocah berteriak pula. "Aku paling takut akan sakit
perut. Perut sakit, makanan enak tak bisa masuk. Tong Siangkong, aku tahu
kau bisa menolong. Tolonglah. Aku akan menurut segala perintahmu."
"Baiklah," kata Tong Keng Thian yang merasa sudah cukup menggoda
kacung itu. "Tapi aku ingin kau berjanji, bahwa sesudah sembuh, mulutmu
jangan terlalu rewel."
"Baik, baik," jawabnya, terburu-buru. "Sesudah sembuh, orang
menanya sepatah, aku menj-awab setengah patah."
Keng Thian tak tahan untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Ia
menengok kepada Siauw Tjeng Hong seraya berkata: "Itulah! Itulah
sebabnya, mengapa aku mengatakan Kang Lam bagus untungnya. Sebagaimana
kau tahu, lethio-ku telah mewarisi kitab ketabiban, peninggalan Po Tjeng
Tjoe, sehingga ia mahir dalam ilmu pengobatan. Dalam kitab tersebut
terdapat suatu bagian yang membicarakan bahaya-bahaya akibat pelajaran
ilmu silat. Menurut kitab tersebut, jika seseorang ingin menyelamatkan
diri dari bahaya itu, jalan satu-satunya adalah melatih diri dalam ilmu
lweekang dari cabang persilatan yang murni. Dengan latihan itu, isi perut
dan bagian-bagian dalam badannya akan menjadi kuat dan dengan sendirinya,
dapat melawan segala akibat jelek dari latihan ilmu yang menyeleweng.
Maka itu, untuk menolong Kang Lam, aku harus menurunkan pokok-pokok
pelajaran lweekang dari Thiansan pay."
"Bagus!" seru Kang Lam, kegirangan. "Sekarang juga aku akan
berlutut di hadapanmu, untuk mengangkat kau menjadi guru." Berbareng
dengan perkataannya, ia segera menekuk lutut.
Keng Thian mencekal tangan si nakal, sehingga ia ini tak dapat
meneruskan niatannya.
"Siapa mau mempunyai murid begitu rewel?" kata Keng Thian sembari
tertawa.
"Jangan begitu," kata Kang Lam, meringis. "Aku toh sudah berjanji
untuk tidak rewel-rewel lagi"
"Dalam menerima murid Thiansan pay memegang peraturan yang sangat
keras," kata Keng Thian dengan paras sungguh-sungguh. "Usiaku masih
terlalu muda, sehingga tak dapat aku menerima kau sebagai murid.
Selain itu, yang akan kuturunkan hanya pokok-pokok lweekang, bukan
ilmu pedang atau ilmu silat. Maka itu, kau tak dapat dipandang sebagai
murid Thiansan pay."
"Kang Lam," kata Tjeng Hong sembari tertawa. "Dengan mendapat
pokok-pokok lweekang Thiansan pay, kau sudah mempunyai nasib yang bagus
luar biasa. Kenapa kau tidak mengenal puas?" Mendengar itu, si nakal
tidak berkata apa-apa pula. Ia manggut-manggutkan kepalanya dengan hati
girang.
Keng Thian yang merasa sangat suka terhadap anak yang cerdik itu,
lebih dulu memberikan dua butir Pekleng tan yang dibuat dari Thiansan
Soatlian, untuk memperkuat tubuh dan anggauta dalam Kang Lam. Sesudah
itu, baru ia menurunkan pelajarannya.
Waktu itu, Kang Lam sendiri tidak mengetahui, bahwa ia telah
mendapat suatu kefaedahan yang tidak kecil. Sesudah memperoleh dasar-
dasar ilmu aneh Khongtong pay dan tidak takut lagi akan totokan jalan
darah, sekarang ia mendapat pokok lweekang dari Thiansan pay. Dengan
mempunyai dua dasar itu, tenaga dalamnya bertambah secara luar biasa.
Walaupun ketika itu ia hanya mengenal ilmu silat yang sangat cetek dari
Tan Thian Oe, tapi jika digunakan, dengan mudah ia akan dapat merobohkan
ahli-ahli silat kelas tiga atau kelas dua dari kalangan Kangouw. Di
belakang hari, benar saja Kang Lam telah menjadi seorang ahli silat yang
kenamaan dan disegani.
Oleh karena harus memberi pelajaran kepada si bocah, dalam tiga
hari Keng Thian hanya dapat melalui seratus li lebih. Untung juga, berkat
kecerdasannya, pada hari ke empat Kang Lam sudah dapat menyelami
pelajaran yang diberikan kepadanya, sehingga Keng Thian dapat mengambil
selamat berpisah dengan hati lega.
Kang Lam sendiri segera menuju ke timur untuk pergi ke Tiongkeng,
dari mana, dengan perahu ia akan pergi ke Boehan, akan kemudian langsung
pergi ke kota raja untuk menyampaikan surat majikannya.
Keng Thian bersama suami isteri Siauw Tjeng Hong meneruskan
perjalanan ke Soetjoan selatan untuk kemudian mendaki gunung Gobie san
dan menemui Moh Tjoan Seng.
Sesudah berjalan sepuluh hari, Gobie san yang agung dan angker
sudah kelihatan di depan mata. Sebagai umumnya seorang yang sedang
menderita penyakit asmara, di sepanjang jalan Keng Thian lesu
kelihatannya, tapi begitu mendekati Gobie san, semangatnya terbangun
karena mengingat bahwa saat pertemuan dengan Koei Peng Go sudah dekat.
Tapi saban kali teringat "si penderita kusta", ia lantas menjadi lesu
kembali.
Dengan Tiangloo (paderi kepala) dari kuil Kimkong sie, Moh Tjoan
Seng bersahabat baik, sehingga selama kira-kira dua puluh tahun, ia
menetap dalam kuil tersebut. Seperti juga yang lalu, Kiatyan kali ini pun
diadakan dalam kuil itu, yang berdiri di puncak tertinggi -- yaitu Puncak
Emas-dari gunung Gobie san.
Di waktu Keng Thian bertiga sampai disitu, Kiatyan sudah tiba
waktunya dimulai.
Gobie san adalah salah satu dari empat gunung ternama di Tiongkok.
Tiga yang lain adalah Poto san di Tjiatkang, Kioehoa san di Anhoei dan
Ngotay san di Shoasay. Luas gunung tersebut adalah lebih dari empat ratus
li, bentuknya agung, angker dan indah. Dipandang dari kejauhan, Gobie san
seakan-akan merupakan sepasang alis yang tebal dan itulah sebabnya,
mengapa gunung itu dinamakan Gobie (Bie berarti alis).
Pagi-pagi sekali, Keng Thian bertiga mulai mendaki gunung. Di
sepanjang jalan, mereka melewati pohon-pohon siong tua, batu-batu cadas
yang bentuknya aneh, air terjun yang indah dan solokan-solokan yang
airnya jernih dan dingin. Gobie disebut sebagai salah satu "Keindahan
dalam dunia” dan julukan itu sungguh bukan pujian belaka. Berada di
tempat yang pemandangannya seindah itu, hati Keng Thian yang pepat
menjadi lapang.
Di sepanjang jalan, sering mereka bertemu dengan kelompok- kelompok
orang yang sedang mendaki gunung untuk menghadiri Kiatyan. Semenjak
kecil, Keng Thian berdiam di Thiansan yang jauh dan belum pernah
mengunjungi wilayah Tionggoan, sedang Siauw Tjeng Hong hidup bersembunyi
di Tibet untuk belasan tahun lamanya dan sekarang, mukanya sudah banyak
berubah. Maka itu, tidak mengherankan jika orang-orang Rimba Persilatan
itu, tak satu pun yang mengenali mereka.
Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, kira-kira tengah hari,
Keng Thian bertiga sudah tiba di Puncak Emas. Dari tempat yang tertinggi
itu, jika orang memandang keempat penjuru, ia akan melihat puncak-puncak
di sebelah bawah yang bersusun tindih dan lautan awan putih yang tiada
batasnya. Kimkong sie yang berdiri tegak di puncak itu, seakan-akan
diselimuti awan tersebut.
Begitu Keng Thian dan suami isteri Siauw Tjeng Hong masuk ke dalam
kuil, mereka disambut oleh paderi yang bertugas.
"Apakah Moh Tyahiap baik?" tanya Keng Thian. "Tolong kau
memberitahukan bahwa keponakannya mohon bertemu dengan beliau."
Si paderi merangkap kedua tangannya dan berkata sembari tertawa:
"Sudah tiga hari Moh Tayhiap bersemedhi, aku tak berani mengganggu ia.
Kalian tak usah memakai banyak peradatan, besok kalian akan dapat bertemu
dengan beliau."
Paderi itu yang tidak mengetahui asal-usul mereka, sudah menganggap
mereka sebagai orang-orang biasa yang ingin menghadiri Kiatyan. Harus
diketahui, bahwa karena kedudukannya yang sangat tinggi, di antara orang-
orang yang berkunjung sebagian besar mengaku sebagai "keponakan" dan
banyak juga yang ingin sekali dapat bertemu dengan Moh Tjoan Seng
pribadi, sehingga, jika diladeni, orang tua itu akan menjadi repot
sekali. Maka itu, benar Moh Tjoan Seng sedang bersemedhi atau tidak, si
paderi tak akan dapat meluluskan permintaan Keng Thian. Sesudah mengantar
tiga tamu itu kedua buah kamar yang sudah sedia, paderi itu segera
berlalu untuk menyambut tamu-tamu lain.
Moh Tjoan Seng adalah tetua Boetong pay dan orang yang paling
banyak datang untuk menghadiri Kiatyan, adalah orang-orang partai
tersebut. Entah dari mana, mereka juga rupanya sudah mengendus, bahwa
Kiatyan kali ini bakal dikacau orang. Dalam kelompok-kelompok, mereka
kasak-kusuk, masing-masing mengutarakan pendapat-nya. Ada yang gusar, ada
yang menganggap Boetong pay akan malu besar jika Moh Tjoan Seng sampai
mesti turun tangan sendiri, ada yang tidak percaya dan sebagainya.
Mendengar itu, Keng Thian merasa geli bercampur kuatir. Malam itu
ia tak dapat pulas. Sesudah berlatih lweekang kurang lebih sejam, kira-
kira tengah malam, ia menolak jendela dan melongok keluar.
Sang rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Tiba-tiba,
di sebelah jauh, di antara puncak-puncak gunung, muncul titik-titik sinar
api, seperti kunang-kunang, dari sedikit semakin lama menjadi semakin
banyak, perlahan-lahan mumbul ke atas dan bergoyang-goyang kian kemari,
seolah-olah ingin bersaing dengan bintang-bintang di langit.
Itulah pemandangan istimewa di gunung Gobie san yang oleh kaum
Budhis dinamakan "Sengteng" (Pelita Nabi). Pada malam-malam terang bulan,
jika udara bersih, titik-titik sinar api itu muncul, semakin lama semakin
banyak, seperti juga api ribuan pelita yang terombang-ambing di tengah
udara. Itulah sebabnya mengapa sinar-sinar itu dinamakan "Sengteng". Tapi
sebenar-benarnya sinar-sinar tersebut muncul karena fosfor yang banyak
sekali terdapat di gunung Gobie san.
Kuil Kimkong sie mempunyai peraturan yang dipegang keras. Pada
waktu itu, jumlah paderi dan tamu yang bernaung dalam kuil tersebut,
sedikitnya ada beberapa ratus orang, tapi keadaan di sekelilingnya sunyi
senyap dan tidur orang tidak terganggu suara apa-pun juga.
Dengan hati yang tidak keruan rasanya, Keng Thian mengawasi
pemandangan malam yang indah itu. "Tempat ini tenang dan damai," katanya
didalam hati. "Sungguh sayang jika kelak benar-benar dikacau orang."
Tiba-tiba ia ingat akan Hongsek Toodjin. Ia tak tahu, apakah benar
imam itu si orang aneh dari Khongtong pay yang telah disebutkan Siauw
Tjeng Hong. Jika benar dia, ia merasa tidak ungkulan untuk melayani musuh
itu seorang diri. Sesaat kemudian, ia ingat kepada Pengtjoan Thianlie.
Jika si nona berada disitu dan bersama-sama melayani musuh, ia tak akan
merasa keder lagi terhadap si Toosoe atau orang lain yang berkepandaian
lebih tinggi dari Hongsek Toodjin. Engingat Peng Go, tanpa merasa ia
teringat pula kepada "Si pengemis Kusta" yang terus mengikuti si nona
dari belakang. Kenapa Pengtjoan Thianlie sudi berkawan dengan orang itu?
Benar-benar ia tak mengerti.
Semakin berpikir, hatinya semakin pepat. Perlahan-lahan ia memakai
jubah panjangnya dan pergi ke kamar sebelah dengan niatan bercakap-cakap
dengan suami isteri Siauw Tjeng Hong. Tapi tak dinyana, mereka berdua
tidak berada dalam kamar.
Seperti Keng Thian, malam itu Siauw Tjeng Hong juga tak dapat
pulas. Inilah untuk kedua kalinya ia menghadiri Kiatyan. Ia ingat, dulu,
ketika datang untuk pertama kalinya, Tjia In Tjin telah mengadu pedang
dengan Loei Tjin Tjoe dan ia sendiri, tanpa sebab tanpa lantaran, sudah
terseret masuk ke dalam peristiwa itu dan jadi bermusuh hebat dengan Loei
Tjin Tjoe, sehingga ia mesti kabur ke Tibet dan hampir-hampir tak bisa
pulang lagi ke kampung halamannya. Ia menghitung-hitung, dari tempo itu
sampai sekarang, sudah berselang dua puluh tahun. Untung juga, pada tahun
yang lalu, ketika mendaki Puncak Es, permusuhan dengan Loei Tjin Tjoe
dapat dibereskan dan ia bisa pulang ke kampungnya, akan kemudian menikah
dengan Gouw Tjiang Sian. Bahwa sekarang ia bisa berada pula di Gobie san
dan akan turut pula dalam pertemuan Kiatyan, sudah sangat mengharukan
hatinya.
Sebagai isteri, Gouw Tjiang Sian mengetahui apa yang sedang dipikir
suaminya dan di waktu gembira, ia segera mengajak suaminya pergi ke
tempat dimana dulu mereka bertempur.
Malam ini adalah sama dengan malam pada dua puluh tahun berselang,
yaitu malaman Kiatyan. Tapi beda dengan dulu, malam ini terang cemerlang
disinari sang bulan, dengan udaranya yang sangat bersih dan dengan
"Sengteng" yang luar biasa. Di bawah sinar terang laksana perak, segala
apa dalam jarak setengah li, dapat dilihat tegas sekali. Siauw Tjeng Hong
menunjuk tempat dimana dulu terjadi pertempuran dan sekali lagi
menuturkan segala kejadian itu. Peristiwa itu sudah terjadi lama sekali,
akan tetapi, pada saat itu, dalam suasana yang sedemikian, Siauw Tjeng
Hong merasa seakan-akan segala sesuatu itu baru saja terjadi kemarin.
Gouw Tjiang San tertawa dan berkata: "Tak tahu dimana adanya
Tokbeng Siantjoe Tjia In Tjin sekarang ini. Apakah kau masih ingat
kepadanya?"
"Tjia In Tjin mempunyai tangan yang telengas," kata sang suami.
"Tapi, biar bagaimanapun juga, ia adalah seorang yang mencinta sahabat.
Terhadap sahabat begitu, siapapun tak akan dapat melupakannya. Di samping
itu, aku juga merasa sangat berterima kasih terhadapnya. Ia mengenal kau
lebih dari aku."
"Kenapa begitu?" tanya Gouw Tjiang Sian.
Ia pernah mengatakan, bahwa kau adalah seorang wanita yang halus
budi pekertinya," Tjeng Hong menerangkan. "Sekarang, aku juga mengetahui,
bahwa kau adalah seorang isteri yang sangat bijaksana. Sungguh sayang,
aku adalah manusia goblok. Jika pada dua puluh tahun berselang, aku sudah
mengetahui perasaan cintamu, mungkin sekali aku tak usah menderita
sepuluh tahun di Tibet."
Siauw Tjeng Hong mengucapkan kata-kata itu dengan suara lemah
lembut dan dengan hati yang penuh kecintaan, sehingga si isteri merasa
beruntung bercampur terharu.
"Aku sungguh ingin bertemu muka dengan Tjia In Tjin," kata Gouw
Tjiang Sian sembari mesem.
"Tak tahu, apakah ia dan Thiekoay sian sekarang masih berada di
Tibet," kata sang suami. "Memang tak gampang orang dapat menemui mereka."
Selagi mereka berbicara, di tempat agak jauh, di antara daun-daun
pohon kembang, tiba-tiba muncul muka seorang wanita.
Ketika wanita itu memutarkan badan, baru kelihatan bahwa di
punggungnya menggemblok seorang bayi, yang mungkin karena terpukul
cabang, mendadak sadar dari tidurnya dan segera menangis.
Hampir berbareng dengan itu, Siauw Tjeng Hong mengeluarkan teriakan
tertahan. Kedua matanya terbuka lebar sambil mengawasi wanita itu dengan
mata mendelong.
"Siapa?" tanya Gouw Tjiang Sian.
"Tjia In Tjin!" jawabnya dengan suara di tenggorokan. Saat itu,
hampir-hampir Siauw Tjeng Hong tidak percaya matanya sendiri.
Tapi, sebelum mereka dapat bergerak atau memanggil, kesunyian sang
malam sekonyong-konyong dipecahkan oleh bentakan: "Perempuan siluman! Kau
masih mempunyai nyali untuk datang pula di Gobie san?"
"Ha!" bentak seorang lain. "Kau kira kami tidak mengenali kau? Lagi
dua puluh tahun, biar kau sudah mampus menjadi abu, kami toh masih
mengenali kau!"
"Kami ingin berkenalan dengan cara-cara Tokbeng Siantjoe membetot
jiwa manusia," kata orang ketiga dengan suara mengejek. (Tokbeng
Siantjoe berarti Dewi Pembetot Jiwa)
Di lain saat muncul empat imam yang mengenakan pakaian hitam dan
masing-masing mencekal pedang. Mereka mengambil kedudukan di timur,
selatan, barat dan utara dan mengurung Tjia In Tjin dalam jarak sepuluh
tombak.
Siauw Tjeng Hong menghela napas mengingat sakit hati manusia yang
begitu berlarut. Tak bisa salah lagi, beberapa Toosoe itu sekarang ingin
membalas sakit hati Loei Tjin Tjoe yang didendam selama dua puluh tahun.
Tapi mereka mungkin tidak mengetahui, bahwa pada waktu itu, dengan segala
kesombongannya, Loei Tjin Tjoe telah memasang jebakan untuk mencelakakan
orang. Sebenarnya Siauw Tjeng Hong ingin segera tampil ke muka untuk
membujuk. Tapi mengingat, bahwa dalam peristiwa dulu, ia adalah salah
seorang yang turut tersangkut dan kalau sekarang ia muncul besar sekali
kemungkinannya ia akan terseret pula. Mengingat itu, ia lantas saja
mengurungkan niatannya dan mengambil keputusan untuk melihat dulu
bagaimana tindakan Tjia In Tjin. Ia segera menarik tangan isterinya dan
mereka berdua bersembunyi di belakang sebuah pohon besar.
Jika menuruti adatnya di waktu muda, siang-siang Tjia In Tjin sudah
menghunus pedangnya.
Akan tetapi, sesudah berkelana dua puluh tahun dalam dunia Kangouw
dan mendapat berbagai pengalaman, "hawa apinya" sudah berkurang banyak.
Ia menepuk-nepuk bayinya dan berkata dengan suara tawar: "Moh Tayhiap
telah meminjam Gobie san untuk mengadakan Kiatyan. Orang-orang dari
berbagai cabang persilatan semua diterima dengan tangan terbuka. Aku
adalah anggauta dari Gobie pay. Mengapa aku tak boleh datang kemari?"
"Moh Tayhiap adalah tetua Boetong pay kami," kata si imam yang
berdiri di timur. "Kau sudah melukakan Toasoeheng Loei Tjin Tjoe,
sehingga tak ketahuan dimana ia berada sekarang. Apakah kau masih
mempunyai muka untuk mendengarkan petunjuk-petunjuk Moh Tayhiap?"
Toosoe yang berdiri di sebelah barat tertawa dingin dan berkata
dengan suara mengejek: "Loei Tjin Tjoe telah roboh dalam tangan jahatmu.
Apakah kau yang berkepandaian begitu tinggi, sekarang ingin belajar dari
Boetong pay yang ilmunya begitu cetek?"
Lagi-lagi Siauw Tjeng Hong menghela napas. Ia ingat bahwa sebagai
partai, Boetong pay mengalami jaman makmur pada masa kerajaan Beng.
Sesudah itu, Boetong pay mulai merojan. Belakangan, yaitu seratus tahun
lebih yang lampau, Koei Tiong Beng telah mendapatkan Tatmo Kiamhoat yang
asli. Semenjak itu, Boetong pay kembali naik namanya. Sekarang, walaupun
putera Koei Tiong Beng, yaitu Moh Tjoan Seng, memiliki kepandaian yang
sangat tinggi dan cukup syarat-syaratnya untuk meneruskan pekerjaan
ayahnya, tapi ia adalah seorang yang sungkan pusing dan tak sudi mengurus
segala soal-soal yang dianggap remeh. Tjiangboen (pemimpin) Boetong pay
adalah seorang yang berilmu tinggi, tapi agak tolol, sehingga murid-murid
Butong tidak terlalu mengindahkan kepadanya. Demikianlah, seperti seratus
tahun lebih yang lalu, keadaan Boetong pay kembali merosot.
Nama Boetong pay masih kesohor sebagai suatu partai besar, tapi
sedalam-dalamnya, orang yang benar-benar berisi, jumlahnya sedikit
sekali. Yang banyak adalah orang-orang sombong.
Mendengar disebutkannya nama Loei Tjin Tjoe, Tjia In Tjin mesem dan
berkata: "Biarpun mendapat luka sedikit, Loei Tjin Tjoe sudah mendapat
keuntungan yang sangat besar."
Keempat Toosoe itu lantas saja menjadi gusar. "Perempuan siluman!"
bentak seorang antaranya. "Sudah melukakan orang, masih kau mengeluarkan
perkataan merdu."
Tjia In Tjin tadinya berniat untuk menceritakan segala kejadian di
Puncak Es, tapi melihat lagak beberapa imam itu, ia sengaja mengurungkan
niatannya. Ia mendongak dan berkata sembari menarik napas panjang:
"Sungguh sayang! Sungguh sayang!"
"Sayang apa?" empat Toosoe membentak dengan serentak.
Tjia In Tjin tak menyahut, tangannya kembali menepuk-nepuk bayinya.
"Anak, jangan takut," katanya. "Ini beberapa hidung kerbau boleh kau
pandang sepi saja."
Kecil-kecil bayi itu sudah mengunjukkan sifat-sifatnya yang
mengherankan. Tadi, lantaran kesampok cabang pohon, ia menangis keras.
Tapi sekarang, melihat empat Toosoe itu yang mencekal pedang mengkilap,
ia berbalik seperti orang kegirangan. Sembari mengeluarkan kedua
tangannya yang kecil montok, ia tertawa lebar.
"Sungguh sayang," kata pula Tjia In Tjin. "Moh Tayhiap adalah guru
besar dari satu jaman dan tetua dari sebuah partai besar. Beliau
dihormati oleh semua orang dari Rimba Persilatan dan diakui sebagai
pemimpin utama. Tapi kamu? Kamu sendiri hanya menganggap beliau sebagai
seorang Tiangloo (paderi yang memimpin kuil) dari Boetong pay. Dengan
begitu, bukankah kamu sangat merugikan keangkeran beliau? Ah! Sungguh aku
merasa sangat sayang, bahwa Boetong pay sudah mempunyai murid-murid yang
segoblok kamu!"
Keempat Toosoe itu adalah murid-murid Boetong pay yang mendapat
didikan langsung dari adik Moh Tjoan Seng, yaitu Tjio Kong Seng, yang
sudah meninggal dunia beberapa belas tahun yang lalu, dan mereka
mempunyai kedudukan yang agak tinggi di dalam partai.
Dimaki secara begitu oleh Tjia ln Tjin, tentu saja mereka menjadi
gusar sekali. "Tjia In Tjin!" bentak Toosoe yang berdiri di sebelah barat
sambil mengebaskan pedangnya. "Lepaskan anakmu! Kami ingin belajar kenal
dengan Tokbeng Kiamhoat!'
Tjia In Tjin tetap bersikap acuh tak acuh. "Hm!" ia menggerendeng.
"Besok Boetong pay bakal mengalami peristiwa berdarah, tapi kamu masih
tidak kenal takut dan masih ingin menyukarkan aku. Sungguh membikin orang
tertawa!"
Siauw Tjeng Hong terkejut. Ternyata Tjia In Tjin juga sudah
mendapat endusan dan perkataannya dikeluarkan secara begitu meyakinkan.
Apakah ia mempunyai pengetahuan yang lebih jelas mengenai mara bahaya
yang mengancam?
Beberapa Toosoe itu yang biasanya sombong, selalu menganggap bahwa
di dalam dunia ini tak ada manusia yang berani membentur partainya. Maka
itu, mendengar peringatan nyonya tersebut, sebaliknya dari berterima
kasih, mereka jadi semakin gusar.
"Mungkin sekali kaulah yang bersekutu dengan kaum siluman untuk
mengacau," maki imam yang berdiri di timur. "Lepaskan anakmu! Sambutlah
pedang tuanmu!”
Mendengar bentakan keras, bayi itu yang sedang tertawa-tawa,
menjadi kaget dan menangis.
"Aku sebenarnya sungkan meladeni kamu," kata Tjia In Tjin dengan
paras muka berubah. "Tapi karena kau, hidung kerbau, sudah membikin
nangisnya anakku, aku tak dapat mengampuni lagi!"
Sebelum si Toosoe sempat membuka suara, sebuah sinar hijau sudah
berkelebat. Semenjak dulu, Tjia In Tjin kesohor cepat gerakannya. Begitu
terhunus, pedang itu tahu-tahu sudah menyambar ke tenggorokan si imam
yang dengan hati terkesiap, sedapat mungkin coba menangkis.
Dengan berbunyi "trang!", pedang Toosoe itu kutung menjadi dua.
Sekali lagi pedang berkelebat dan konde si imam terpapas separoh! Memang
begitulah Kiamhoat Tjia In Tjin. Sekali menghunus pedang, tak main
sungkan-sungkan lagi. Muka Toosoe itu menjadi pucat pias dan ia segera
loncat mundur sejauh mungkin.
Bayi Tjia In Tjin mendadak berhenti mengangis dan kembali tertawa-
tawa sambil mengeluarkan suaranya yang tidak tegas, seolah-olah ia
mengetahui kemenangan ibunya.
Siauw Tjeng Hong yang menonton dari jauh, jadi merasa geli. "Ah!
Bayi itu sungguh-sungguh anak Thiekoay sian dan Tjia In Tjin," katanya di
dalam hati.
Tiga Toosoe lainnya gusar bukan main. Tanpa memperdulikan lagi bayi
yang sedang digendong, mereka membentak dan terus saja menyerang.
Beberapa saat kemudian, sesudah dapat menenteramkan jantungnya yang
bergoncang keras, Toosoe yang barusan dihajar juga lantas menerjang
dengan pedang kutungnya. "Berikan dua tanda di badan perempuan siluman
itu!" ia berteriak. "Tapi hati-hati! Jangan melukakan anak yang tidak
berdosa itu."
Empat Toosoe itu lantas saja mengurung dengan Soesiang Kiamtin
(Barisan Pedang Empat Gaya) yang kepala buntutnya bergandengan satu
dengan yang lain dan perlahan-lahan mereka mendekati Tjia In Tjin.
Soesiang Kiamtin adalah salah satu barisan pedang dari Boetong pay.
Cara mengurungnya barisan itu rapat bukan main dan kecuali, jika seorang
dua orang pengepung dibinasakan, orang yang dikepung tak akan gampang-
gampang dapat meloloskan diri.
Pada mulut Tjia In Tjin tetap tersungging meseman tawar. Dengan
keras ia mengebaskan pedangnya sehingga mengeluarkan suara "ung, ung",
siap sedia untuk membinasakan.
"Celaka!" Siauw Tjeng Hong mengeluarkan seruan tertahan. Baru saja
ia ingin loncat keluar untuk mendamaikan, tiba-tiba dari tanjakan gunung
berkelebat bayangan manusia yang gerakannya luar biasa cepatnya dan
mulutnya mengeluarkan suara tertawa aneh. Dalam sekejap, orang itu sudah
tiba di dekat gelanggang pertempuran.
Hampir berbareng empat Toosoe itu berteriak: "Aya!" dan serentak
loncat keluar gelanggang. "Toasoeheng!" mereka berseru.
Siauw Tjeng Hong mengenali, orang itu benar Loei Tjin Tjoe adanya.
Bajunya, di bagian atas, penuh darah, seperti baru saja bertempur dengan
musuh. Ia berlompat-lompat dan membentak: "Hian Boe! Hian Ham, bikin apa
kamu! Hi-hi. Lekas berhenti! Hi-hi." Ia berpaling kepada Tjia In Tjin dan
berkata pula: "Tjia Toatjie, kau juga datang? Hi-hi!"
Perkataan-perkataannya itu, yang diseling dengan tertawa aneh,
membikin ia jadi kelihatan lucu sekali. Di samping itu, tak hentinya ia
melompat-lompat, seperti juga tak tahan merasakan kesakitan atau
kegatalan.
Loei Tjin Tjoe adalah murid kepala dari turunan kedua partai
Boetong pay, sehingga, kecuali Tjiangboendjin, ialah yang paling tinggi
kedudukannya. Maka itu, walaupun geli melihat lagaknya yang aneh, empat
Toosoe itu tidak berani tertawa.
"Loei Tjin Tjoe, kenapa kau?" tanya Tjia In Tjin sembari tertawa.
"Kenapa kau bertempur dengan mereka?" Loei Tjin Tjoe balas menanya.
"Hi-hi! Biar mereka berdosa, kau harus pandang juga mukaku. Hi-hi!"
Tjia In Tjin yang barusan merasa geli, sekarang mengetahui, bahwa
Loei Tjin Tjoe telah menemui kejadian luar biasa. "Mereka mengatakan, aku
sudah mendesak kau, sehingga kau tak ketahuan kemana perginya," Tjia In
Tjin menerangkan. "Mereka mau juga bertempur denganku. Bagus juga kau
keburu datang. Jika tidak, jiwa Tokbeng Siantjoe berbalik lebih dulu
dibetot oleh murid-murid Boetong."
"Dua puluh tahun yang lalu, dia menghina kau," kata seorang Toosoe.
"Sekarang dia menghina kami. Toasoeheng, tak dapat kita melepaskan dia."
"Dan juga," sambung imam yang lain. "Dia mengatakan, besok partai
kita akan mengalami peristiwa berdarah. Hm! Toasoeheng, apa boleh manusia
itu dibiarkan mengaco belo?"
Mendadak, Loei Tjin Tjoe meloncat beberapa tombak tingginya.
"Benar!" ia berteriak. "Besok bakal ada mara bahaya! Hi-hi! Kamu benar-
benar sudah membikin malu Boetong pay. Hi-hi!"
Selagi badannya melayang turun, bagaikan kilat Loei Tjin Tjoe
menggaplok empat Toosoe itu yang lantas saja terguling sembari berkaok-
kaok. Di lain saat, ia juga roboh di atas tanah dengan mulut mengeluarkan
rintihan aneh dan badannya dingin bagaikan es.
Bukan main kagetnya keempat Toosoe itu, yang segera memeriksa
keadaan kakak seperguruan itu. Napas Loei Tjin Tjoe masih berjalan
sebagaimana biasa dan nadinya pun tidak berubah, tapi ia tak dapat
berbicara lagi.
"Buka bajunya," Tjia In Tjin memerintah dengan suara dingin.
"Mungkin sekali jalan darahnya kena ditotok."
Begitu baju Loei Tjin Tjoe dibuka, semua orang mengeluarkan
teriakan kaget. Dengan bantuan sinar rembulan, dapat dilihat, bahwa pada
pundak Loei Tjin Tjoe terdapat bekas tapak tangan yang berwarna merah
darah dan di lain bagian terdapat tiga tanda totokan pada jalan darah Ma-
hiat (jalan darah yang membikin orang merasa kesemutan), Yangyang hiat
(jalan darah yang menimbulkan rasa gatal) dan Siauwyauw hiat (jalan darah
yang menimbulkan tertawa).
Empat Toosoe itu saling mengawasi dengan muka pucat. Mereka heran
berbareng takut. Loei Tjin Tjoe adalah seorang yang sangat terpandang
dalam Boetong pay dan sekarang, ia sudah kena dilukakan secara begitu
menyedihkan. Mengingat
perkataan Tjia In Tjin dan kakak seperguruannya, mereka bergidik.
Jika begitu, mungkin sekali besok akan terjadi peristiwa berdarah.
Meskipun Tjia In Tjin berkepandaian banyak lebih tinggi dari empat
Toosoe itu, tapi sesudah melihat luka Loei Tjin Tjoe dan tiga totokan
jalan darah itu, ia juga tak dapat mengetahui tangan orang partai mana
yang begitu beracun.
Tersipu-sipu empat Toosoe itu mengurut badan kakak seperguruannya
untuk coba membuka jalan darah yang kena ditotok. Tapi keadaan Loei Tjin
Tjoe menjadi semakin hebat. Rintihannya jadi semakin keras dan keringat
dingin membasahi seluruh badannya.
"Sudahlah, kamu jangan mengurut sembarangan," kata Tjia In Tjin.
"Jika kamu bisa menolong, apakah soeheng-mu tak dapat membuka sendiri
jalan darahnya?"
Disemprot begitu, mereka yang sedang kebingungan, lantas saja naik
darah. "Kalau kami tak mampu, apakah kau mampu?" tanya seorang antaranya
dengan aseran.
Tjia In Tjin yang sebenarnya bermaksud baik, jadi mendongkol. Tapi,
sebelum ia membalas menyemprot, di sebelah belakang mendadak terdengar
suara tertawa. "Ia dijuluki Tokbeng Siantjoe, si Dewi Pembetot Jiwa,
bukan Kioebeng Siantjoe (Dewi Penolong Jiwa)," kata seorang.
Dengan serentak empat imam itu memutarkan badan dan di hadapan
mereka berdiri seorang pemuda baju putih, yang tak ketahuan kapan
datangnya. Tjia In Tjin segera mengenali, bahwa pemuda itu bukan lain
daripada Tong Keng Thian yang pernah naik ke Puncak Es dan mengadu pedang
dengan Pengtjoan Thianlie. Ia menjadi girang bukan main dan berkata
sembari tertawa: "Dewa penolong jiwa sudah datang! Hei, kawanan hidung
kerbau! Lekas berlutut untuk memohon pertolongan!"
Melihat usia Keng Thian yang masih begitu muda, tentu saja mereka
tak mau percaya perkataan Tjia In Tjin yang dianggap hanya ingin
mengejek. Mereka sudah lantas ingin mengumbar kegusaran mereka, tapi Keng
Thian keburu berkata: "Baiklah, aku mencoba-coba. Tjia Liehiap, dua kawan
lama sedang menunggu kau!"
Sedari tadi Tjia In Tjin memang mengetahui, bahwa suami isteri
Siauw Tjeng Hong bersembunyi di belakang pohon. Sesudah Keng Thian
menyanggupi untuk mengobati Loei Tjin Tjoe, lantas saja ia berlalu.
Tong Keng Thian mendapat kenyataan, bahwa luka Loei Tjin Tjoe
berhawa sangat panas dan berbau daging dibakar. Ia terkejut, sebab tak
bisa salah lagi, itulah akibat tangan Hiatsintjoe. Tapi ia juga
mengetahui, bahwa Hiatsintjoe hanya memukul dengan sebagian kecil
tenaganya untuk memberi "tanda" dan bukan untuk membinasakan. Waktu
memeriksa totokan jalan darah, ia menjadi heran sekali, sebab totokan itu
bukan totokan yang biasa digunakan oleh ahli-ahli silat wilayah
Tionggoan. Sesudah berpikir beberapa saat, tiba-tiba ia ingat kepada
seorang. "Apakah tak mungkin dia yang datang!" katanya di dalam hati.
Buru-buru Keng Thian mengeluarkan Pekleng tan yang lalu dikunyah
dan kemudian ditempelkan pada luka itu. Beberapa saat kemudian, Loei Tjin
Tjoe sadar dari pingsannya dan sesudah membalikkan badan, ia bangun
berduduk dan mengawasi Tong Keng Thian. Lantas saja ia mengenali, bahwa
si baju putih adalah pemuda yang sudah merobohkan tiga belas jago
Khongtong pay itu dengan sekaligus. Walaupun tak mengetahui nama Keng
Thian, ia yakin bahwa pemuda itu adalah murid Thiansan pay.
"Hian Boe! Hian Ham!" ia berseru. "Lekas berlutut! Hi-hi!'
"Tak usah banyak peradatan," kata Keng Thian yang segera memberikan
sebutir Pekleng tan kepadanya untuk ditelan.
"Kau ketemu siapa?" tanya Keng Thian.
"Lebih dulu seorang kusta," jawabnya. "Hi-hi! Belakangan seorang
siluman tua yang rambutnya awut-awutan. Hi-hi!"
Dugaan Keng Thian ternyata tidak meleset. Kedua orang itu ternyata
benar Kim Sie Ie dan Hiatsintjoe adanya. Tapi kenapa mereka bisa berada
bersama-sama?
"Bermula si penderita kusta menyerang aku," kata pula Loei Tjin
Tjoe. "Belakangan ia menolong aku. Hi-hi!"
Sesudah diobati dengan Pekleng tan, rasa sakit dan panas sudah
banyak mendingan, tapi jalan darahnya belum dibuka, sehingga Loei Tjin
Tjoe masih terus mengeluarkan tertawa aneh.
Keng Thian yang pernah bergebrak beberapa kali dengan Kim Sie Ie
dan sudah mengenal ilmu totokannya, buru-buru mengurut bagian badan Loei
Tjin Tjoe yang perlu, untuk membuka tiga jalan darah yang tertutup itu.
Dilihat dari bekas-bekasnya, totokan itu dikirim dengan gunakan tongkat
besi dan biarpun cukup keras, sama sekali tidak merusak urat. Dilihat
begitu, Kim Sie Ie rupanya hanya ingin guyon-guyon dan bukan mau
mencelakakan orang. Meskipun tidak ditolong, jalan darah itu akan terbuka
dengan sendirinya, tapi harus menunggu dua puluh empat jam.
Begitu jalan darahnya terbuka, rasa kesemutan dan geli segera
menjadi lenyap. Untuk beberapa lama, Loei Tjin Tjoe duduk mengasoh dengan
napas tersengal-sengal.
"Cara bagaimana, si kusta lebih dulu menyerang dan kemudian
menolong kau?” tanya Keng Thian.
"Untuk menghadiri Kiatyan, terburu-buru aku datang kemari," Loei
Tjin Tjoe menerangkan. "Di mulut gunung, aku bertemu dengan seorang yang
menderita penyakit kusta. Aku berpikir, peraturan kita begitu keras,
kenapa si kusta dibiarkan datang mengganggu? Maka itu, aku segera coba
mengusir dia. Ia menanyakan namaku. Aku memberitahukan sebenarnya dan
menambahkan bahwa masih untung dia bertemu aku. Jika dia bertemu Soetee-
ku, bisa-bisa jiwanya melayang. Sesudah itu, aku memberikan beberapa tail
perak kepadanya dan suruh dia lekas-lekas pergi. Tak dinyana, mendadak
dia tertawa besar. Katanya: 'Kalau begitu kau Loei Tjin Tjoe? Kudengar,
di antara turunan kedua dari Boetong pay, kaulah yang berkepandaian
paling tinggi." Begitu katanya. Aku heran, bagaimana ia mengetahui
namaku. Di luar dugaan, sedang ia belum habis tertawa, tongkatnya
menyambar dan berhasil menotok jalan darahku beberapa kali. Aku tak dapat
mempertahankan diri lagi, lantas saja aku melompat-lompat dan tertawa
seperti orang gila. Dengan gusar aku mengambil putusan untuk bertarung
mati-matian dengan ia. Tapi dalam sekejap, ia sudah menghilang, entah
kemana!"
Mendengar penuturan Soeheng-nya, empat Toosoe itu menjadi
tercengang. Dalam Boetong pay, Loei Tjin Tjoe mempunyai kepandaian tinggi
dan bahwa ia sudah kena diserang beberapa kali tanpa mampu membalas,
merupakan satu bukti dari hebatnya ilmu si pengemis kusta.
Keng Thian merasa geli dan berkata dalam hatinya: "Kau tentu saja
tak mengetahui, bahwa Kim Sie Ie memang paling senang mengganggu orang-
orang ternama dalam Rimba Persilatan. Jika kau tidak memberitahukan
namamu, kau tentu tidak akan mendapat gangguan suatu apa. Tapi disurung
kesombonganmu, kau sudah menonjolkan namamu yang dianggap besar. Dengan
begitu, sekalipun kau tidak mengusir-usir dia, kau tak akan bisa luput
dari guyonannya."
Sesudah mengasoh beberapa saat, Loei Tjin Tjoe segera
melanjutkan penuturannya: "Sesudah kena dipermainkan, sudah tentu
aku menjadi gusar bukan main. Tak terduga, baru saja berjalan beberapa
tindak, aku bertemu dengan manusia aneh yang rambutnya awut-awutan
seperti rumput. Dia ternyata mengenal diriku, sebab, begitu membuka
mulut, dia berkata: 'Loei Tjin Tjoe, kenapa kau tertawa begitu enak?'
"Bukan urusanmu!" aku membentak dengan aseran. Orang aneh itu mendelik
dan berkata: 'Baiklah. Sekarang aku ingin memberi tanda di badanmu,
supaya kau dapat melaporkan kepada Moh Tjoan Seng.' Dengan cepat aku
menghunus pedang, tapi pada saat itu juga, aku merasakan menyambarnya
hawa yang sangat panas. Hampir berbareng, kupingku mendengar suara
menyeramkan dan si kusta kembali muncul. 'Siluman tua!' ia membentak.
'Mengertikah kau peraturan Kangouw? Kenapa kau campur-campur jual
beliku?' Si orang aneh lantas saja loncat menyingkir, tapi tangannya yang
menyambar luar biasa cepat, sudah menowel pundakku."
Sekarang Keng Thian mengetahui, bahwa Hiatsintjoe bukan berbelas
kasihan, tapi oleh karena merasa jeri terhadap senjata rahasia Kim Sie
le, ia tidak keburu menurunkan tangan yang lebih berat.
Dengan pertolongan Thiansan Soatlian, racun panas yang mengeram
dalam badan Loei Tjin Tjoe sudah dapat diredakan, tapi luka di dalam
belum menjadi sembuh. Sesudah bicara banyak, ia kelihatan lelah dan
napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, beberapa murid Boetong yang
mendapat warta, sudah datang untuk memberi pertolongan.
"Loei-heng," kata Keng Thian. "Pergilah ke kuil untuk mengasoh.
Dengan menggunakan obat biasa, dalam tiga hari, kesehatanmu akan pulih
seperti sediakala."
Dua kali Loei Tjin Tjoe pernah bertemu dengan Tong Keng Thian, tapi
ia belum mengetahui nama pemuda itu. Tapi, baru saja ia ingin menanyakan,
dengan sekali berkelebat, badan si pemuda sudah melesat melewati pohon-
pohon dan di lain saat, sudah tak kelihatan lagi bayang-bayangannya.
Empat Toosoe yang tadi mau mengepung Tjia In Tjin, saling mengawasi
dengan mulut ternganga. Sekarang mereka mengerti, bahwa di luar langit
masih ada langit.
Keng Thian pergi tersipu-sipu oleh karena mengingat Pengtjoan
Thianlie. Ia memang sudah" menduga, bahwa Kim Sie Ie akan datang di
tempat Moh Tjoan Seng. Sekarang, sesudah dugaan itu merupakan kenyataan,
hatinya berdebar-debar. "Dia tentu datang bersama-sama Peng Go,"
pikirnya. "Peng Go adalah seorang yang suka akan kebersihan. Ia
sebenarnya adalah pemuda cakap. Tapi kenapa ia muncul pula sebagai
penderita kusta? Apakah ia tak kuatir Pengtjoan Thianlie merasa jijik?'
Ia menghela napas berulang-ulang. Memikirkan semua teka-teki itu, otaknya
yang cerdas agaknya sudah tidak dapat bekerja sebagaimana biasa lagi.
"Dengan berjalan bersama-sama, Kim Sie Ie tentu juga sudah
mengetahui, bahwa Peng Go adalah keponakan Moh Tayhiap," kata Keng Thian
pula dalam hatinya. "Ia tentu tahu, Peng Go juga terhitung orang Boetong.
Tapi, kenapa ia mempermainkan juga murid Boetong pay? Sekalipun adatnya
aneh, tak boleh ia berlaku begitu keterlaluan. Apa ia tak takut kepada
gusarnya Pengtjoan Thianlie?"
Sembari jalan, otak Keng Thian bekerja terus. Berkata lagi ia dalam
hatinya: "Sesudah tiba, kenapa Pengtjoan Thianlie tidak lantas menemui
pamannya? Apakah ia sudah ketularan sifat-sifat Kim Sie Ie dan bermain-
main dulu di dekat-dekat sini?"
Semakin berpikir, otaknya semakin butak, sehingga akhir-akhirnya ia
mengambil keputusan untuk tak tidur dan coba mencari Kim Sie Ie dan
Pengtjoan Thianlie.
Selagi berjalan dengan pikiran pepat, matanya tiba-tiba melihat dua
orang wanita dan seorang pria sedang jalan berendeng di suatu tanjakan,
di bawah pohon-pohon siong tua. Wanita yang berjalan di sebelah kanan,
menggendong bayi dan ia itu bukan lain daripada Tjia In Tjin, sedang dua
orang lainnya adalah suami isteri Siauw Tjeng Hong.
Keng Thian sungkan mengganggu mereka, tapi sambil lalu, ia
mendengar Tjia In Tjin berkata; "Tak salah! Yaitu orang yang berpenyakit
kusta!"
Hatinya melonjak dan ia menghentikan tindakannya secara mendadak,
sehingga menerbitkan suara kresekan.
Tjia In Tjin menengok dan menanya sembari tertawa: "Bagaimana?
Apakah keadaan Loei Tjin Tjoe tidak berbahaya?"
"Untung juga Hiatsintjoe tidak mengunakan seantero tenaganya,"
jawab Keng Thian. "Sesudah menelan Pekleng tan, kurasa jiwanya tidak
terancam lagi. Sebenarnya, ia harus berterima kasih kepada si kusta."
"Apa?" menegasi Tjia In Tjin. "Ah! Lagi-lagi si kusta!"
Keng Thian lantas saja menceritakan apa yang didengarnya dari Loei
Tjin Tjoe dan menambahkan: "Tangan
Hiatsintjoe sangat beracun, tapi cara-cara si kusta yang aneh juga
agak menakutkan. Baik juga aku mengenal ilmu totokannya. Jika tidak, Loei
Tjin Tjoe harus tertawa dan melompat-lompat seperti orang gila dua puluh
empat jam lagi. Sungguh sangat tak enak bagi Loei Tjin Tjoe yang terkenal
sebagai murid utama dari turunan kedua partai Boetong pay."
Tjia In Tjin terkesiap. "Ah, untung aku ditolong oleh seorang
berilmu," katanya. "Kalau tidak, aku pun harus menjadi korban si kusta
itu!'
"Kau juga bertemu dengan ia?" tanya Keng Thian.
"Benar," sahut Tjia In Tjin. "Selagi dia mau menimpuk jalan darahku
dengan batu, seorang wanita muda yang tak mau menampakkan diri, sudah
menggebah ia."
"Wanita mana yang mempunyai kepandaian begitu tinggi?" tanya pula
Keng Thian dengan penuh keheranan. "Apakah Pengtjoan Thianlie?"
Nyonya itu tidak lantas menjawab. Ia menepuk-nepuk bayinya yang
sudah pulas nyenyak dan mulutnya bersenyum manis, seolah-olah sekuntum
bunga yang indah mendadak muncul di tengah hutan belukar.
"Jika kau ingin mengetahui, bagaimana aku bertemu dengan si kusta,
aku harus bercerita dari kepala sampai di buntut," jawabnya.
Keng Thian manggutkan kepalanya dan segera memasang kuping. Tjia In
Tjin menepuk-nepuk pula anaknya. Mendadak ia tertawa dan berkata: "Coba
lihat! Sama sekali tak mirip dengan ayahnya."
"Sangat mirip dengan kau," celetuk Siauw Tjeng Hong. "Di kemudian
hari ia tentu akan menjadi seorang pendekar muda yang cakap dan ganteng."
Dengan berkata begitu Siauw Tjeng Hong sebenarnya ingin memuji kecantikan
nyonya itu.
Tjia In Tjin mesem. "Kau datang dari Tibet, apakah ayah anak ini
masih berada di Puncak Es?" tanyanya kepada Keng Thian. "Waktu terjadi
gempa bumi, aku sedang memetik daun obat. Belakangan jalan kembali sudah
tertutup lahar, sehingga aku terpaksa pulang lebih dulu. Aku sangat
kuatirkan keselamatan mereka. Hari itu, aku melihat keraton es masih
berdiri, hanya aku tak tahu bagaimana keselamatan mereka."
Keng Thian merasa sangat pilu. Siauw Tjeng Hong tak tahu, tapi ia
tahu, Thiekoay sian sudah pulang ke alam baka dan dalam dunia ini, Tjia
In Tjin tak bisa bertemu pula dengan suaminya. Melihat paras muka nyonya
itu, tak tega ia menyampaikan warta jelek itu. Maka itu, lantas saja ia
menjawab secara samar-samar: "Aku tidak naik lagi ke keraton es dan tak
tahu keadaan suamimu. Sesudah Kiatyan, kau boleh pergi ke Sakya untuk
menemui muridmu, Tan Thian Oe, yang tentu bisa memberikan keterangan
terlebih jelas."
Mendengar jawaban itu, Tjia In Tjin merasa agak heran, tapi ia
tidak mendesak terlebih jauh dan mulai dengan penuturannya. "Sebenar-
benarnya, sudah lama aku ingin datang kesini untuk menemui Moh Tayhiap
guna memberitahukan, bahwa keponakan perempuannya berada di atas Puncak
Es, di gunung Nyenchin Dangla," katanya. "Tapi karena anak ini, sampai
sekarang baru niatan itu terwujud. Sebelum berangkat, aku sudah medengar
desas-desus tentang adanya beberapa orang yang ingin menyukarkan Moh
Tayhiap dalam Kiatyan kali ini. Tadinya aku tidak begitu percaya, tapi
siapa nyana aku sendiri mendapat buktinya. Kalau tak salah, besok bakal
ramai sekali."
"Apa?" Keng Thian menegas. "Di samping si kusta, apakah kau bertemu
dengan orang lain?"
"Tak salah," Tjia In Tjin membenarkan. "Tadi, kira-kira magrib,
baru saja aku masuk ke mulut jalan gunung, anakku lapar. Aku segera
bersembunyi di belakang sebuah batu besar dan menetei ia. Tiba-tiba aku
mendengar suara tindakan beberapa orang yang sedang memasuki lembah. Aku
mengintip dan mendapat kenyataan, bahwa mereka itu adalah beberapa Toosoe
Boetong pay, bersama Tjoei In Tjoe. Agaknya mereka sedang bertengkar.
Mendadak aku mendengar suara Tjoei In Tjoe yang sangat keras: 'Loei Toako
tidak mati! Ia menjanjikan aku supaya malam ini berkumpul di Kimkong sie.
Jika kamu masih tidak percaya, sebentar kamu bisa menyaksikan dengan mata
sendiri.' Agaknya ia dan Loei Tjin Tjoe telah mengambil jalan yang
berlainan. Maka itu, waktu tadi bertemu dengan Loei Tjin Tjoe, aku tidak
menjadi heran. Beberapa Toosoe itu lantas saja mengatakan sesuatu, tapi
tak dapat didengar olehku. Di lain saat, Tjoei In Tjoe berteriak: 'Itu
semua tak ada sangkut-pautnya dengan Tokbeng Siantjoe Tjia In Tjin!
Semua-semua adalah main gilanya Ong Loei Tjoe!' Mendengar namaku disebut-
sebut, lantas saja aku memasang kuping dengan lebih sungguh-sungguh"
"Beberapa Toosoe itu agaknya merasa sangat heran. 'Tapi bukankah
Ong Lioe Tjoe saudara angkatmu?' seru satu antaranya. 'Benar,'jawab Tjoei
In Tjoe. 'Tapi dia adalah murid Khongtong pay. Khongtong pay...'
"Baru saja Tjoei In Tjoe berkata sampai disitu, tiba-tiba terdengar
suatu teriakan aneh dan dari atas cadas berkelebat turun sesosok bayangan
manusia yang lantas menubruk Tjoei In Tjoe."
"Tjoei In Tjoe mengangkat gendewanya untuk menangkis. Sekonyong-
konyong terdengar suara nyaring dan teriakan Tjoei In Tjoe yang
menyayatkan hati dan ia lantas roboh di atas tanah. Hampir berbareng
dengan itu, serupa benda hitam turun melayang ke arah kepalaku!"
Tjia In Tjin bergelar si Dewi Pembetot Jiwa. Dalam kalangan
Kangouw, orang lainlah yang takut terhadapnya. Tapi, di waktu menutur
sampai disitu, paras mukanya berubah pucat dan suaranya agak gemetar.
"Apakah itu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
Tjia ln Tjin menghela napas dan menjawab: "Sinkiong (Gendewa
Malaikat) Tjoei In Tjoe yang sudah berubah lempang bagaikan tongkat besi.
Coba pikir: Dengan sekali sambar, sekali membetot, senjata Tjoei In Tjoe
sudah berubah menjadi begitu!"
Mendengar itu, Keng Thian ternganga. Bahwa orang itu bisa membetot
dan melemparkan gendewa tersebut dalam tempo sekejap mata, terlebih pula
busur yang tadinya melengkung sudah kena dibetot menjadi lurus, adalah
suatu kejadian yang sungguh-sungguh luar biasa, la sendiri belum tentu
mampu berbuat begitu!
"Itu masih belum seberapa," kata pula Tjia In Tjin. "Sinkiong Tjoei
In Tjoe adalah senjata mustika. Talinya yang terbuat dari benang-benang
emas, tak dapat diputuskan dengan senjata tajam. Tapi sekarang, tali itu
putus seanteronya dan benang-benangnya berkibar-kibar di tengah udara.
Jika hanya putus beberapa lembar benang, aku juga tidak merasa heran.
Tapi orang itu, dengan sekali mengebas, sudah memutuskan semua tali itu.
Jika tak melihat dengan mata sendiri, aku pun tak akan percaya."
"Apakah orang itu seorang imam tua yang mengenakan jubah pertapaan
warna kuning?" tanya Keng Thian.
"Bukan," jawabnya sembari menggelengkan kepala. "Dilihat dari
mukanya, ia baru berusia tiga puluh tahun lebih. Orangnya tinggi kurus,
rambutnya awut-awutan seperti rumput dan di bawah sinar rembulan, mukanya
putih meletak, sehingga aku sendiri jadi bergidik."
"Ih!" kata Keng Thian, terkejut. "Kalau begitu, dia bukan Hongsek
Toodjin! Dalam dunia ini, kecuali beberapa Tjianpwee dari partai-partai
yang murni, siapa lagi yang mempunyai kepandaian begitu tinggi?"
Siauw Tjeng Hong juga heran bukan main, tapi sebagai orang yang
berpengalaman luas, ia segera dapat mengutarakan pikirannya. "Dilihat
begini," katanya. "Kalau orang itu bukan Khongtong pay, tentu juga ia
mempunyai sangkut paut rapat dengan partai tersebut. Maka itu, di waktu
Tjoei In Tjoe menyebut nama Khongtong pay, ia segera menyerang untuk
menutup mulutnya."
Keng Thian lantas saja ingat akan pengalamannya di waktu Loei Tjin
Tjoe dikepung oleh Tio Leng Koen dan dua belas kawannya. "Tak salah,"
katanya. "Sejumlah orang Khongtong pay, di bawah pimpinan Tio Leng Koen,
sudah menghamba kepada kerajaan Tjeng dan berniat membasmi orang-orang
Boetong yang melawan bangsa Boan di daerah Sinkiang."
"Apakah Tjoei In Tjoe ditotok jalan darah gagunya?" tanya Siauw
Tjeng Hong.
"Lebih dari itu!" sahut Tjia In Tjin. "Gendewa itu jatuh di pinggir
badanku dan sedikitpun aku tidak berani bergerak. Untung anakku sudah
kenyang dan sudah pulas. Dengan hati berdebar-debar, aku mengintip dari
sela-sela batu. Sesudah merobohkan Tjoei In Tjoe, bagaikan kilat, orang
itu mengerjakan kedua tangannya."
"Beberapa Toosoe itu mengeluarkan teriakan 'a-a u-u' yang luar
biasa dan melompat-lompat seperti orang menginjak bara. Orang itu tertawa
seraya berkata: 'Sekarang kamu tak bisa menggoyang lidah sembarang lagi.'
Di lain saat, bagaikan seekor kera, bayangannya sudah berada di tanjakan
gunung, tapi suara tertawanya yang membangunkan bulu roma masih
berkumandang terus di selat gunung yang sunyi."
"Sesudah orang itu pergi jauh, dengan memberanikan hati, aku keluar
dari tempat sembunyi untuk melihat keadaan para korban itu. Bermula aku
menduga mereka hanya ditotok jalan darah gagunya. Tapi segera juga hatiku
mencelos, sebab beberapa Toosoe itu, berikut Tjoei In Tjoe, sudah
dikutungkan lidahnya! Setelah memeriksa, aku mendapat kenyataan, bahwa
tulang pundak mereka juga dipukul hancur, sehingga mereka bukan saja
menjadi orang gagu, tapi juga bercacat untuk seumur hidupnya, tanpa
mempunyai lagi kepandaian silat."
Suami isteri Siauw Tjeng Hong kaget bukan main. "Kenapa dia begitu
kejam?" tanya Tjeng Hong. "Lebih kejam seratus kali daripada si penderita
kusta! Si kusta hanya main-main, tidak melukakan orang secara sungguh-
sungguh."
Tong Keng Thian tidak berkata suatu apa dan Tjia In Tjin lantas
saja meneruskan penuturannya: "Sorot mata mereka seperti orang berotak
miring, mulut mereka ternganga tak bisa ditutup dan juga tak dapat
mengeluarkan suara. Otot-otot muka mereka pada timbul dan kelihatannya
sangat menakutkan. Tentu saja dengan seorang diri, aku tidak bisa
menggendong mereka. Maka itu, tanpa memperdulikan bahaya, jalan satu-
satunya adalah memberi warta ke Kimkong sie. Secepat mungkin aku berlari-
lari. Tapi baru saja keluar dari selat gunung, aku melihat belasan Toosoe
yang membawa obor, masuk ke dalam mulut selat lain. Mereka berkaok-kaok,
memanggil-manggil saudara-saudara seperguruannya. Agaknya sesudah
mendengar teriakan-teriakan luar biasa, mereka berkuatir dan lalu mencari
saudara-saudaranya itu. Hatiku menjadi agak lega, tapi aku merasa, biar
bagaimanapun juga, aku harus melaporkan kejadian itu kepada Moh Tayhiap.
Demikian aku terus mendaki gunung. Tapi, di luar dugaan, sebelum tiba di
Puncak Emas, aku bertemu dengan si penderita kusta!"
Tong Keng Thian mesem dan berkata: "Si kusta tentu juga sudah
mendengar nama besar Tokbeng Siantjoe, sehingga ia sengaja mengganggu
kau."
"Ya," kata Tjia In Tjin. "Aku tak tahu, bagaimana ia bisa mengenal
aku. Waktu itu, Kimkong sie sudah dekat sekali dan gedungnya sudah bisa
dilihat nyata dari jauh. Mungkin lantaran aku berlari terlalu cepat,
anakku mendusin dan menangis. Aku berhenti dan mengusap-usap tubuhnya.
Saat itu hatiku sedih oleh karena mengingat, bagaimana seorang diri dan
dengan menggendong-gendong anak, aku terombang-ambing di dalam dunia.
Sambil menepuk-nepuk anakku, aku berkata: "Ah! Jika ayahmu berada disini,
bahaya apapun juga kita tak usah takuti lagi!' Anak itu seolah mengerti
perkataanku dan ia lantas saja berhenti menangis. Selagi mau meneruskan
perjalananku, di atas kepalaku mendadak terdengar suara tertawa. Aku
mendongak dan disitu, di atas sebuah batu besar, duduk bersila seorang
penderita kusta yang macamnya sungguh-sungguh menakutkan. Aku terkejut,
lebih terkejut daripada tadi!"
"Si kusta mengawasi aku dan tertawa haha-hihi. 'Apakah kau bukannya
Tokbeng Siantjoe Tjia In Tjin?'” tanyanya.
"Sesaat itu, aku ingat warta yang tersiar dalam kalangan Kangouw
tentang munculnya seorang penderita kusta yang sangat ditakuti. Dengan
memberanikan hati, aku berkata: 'Eh, jangan menakut-nakuti anakku!' si
kusta menyengir dan berkata pula: 'Hei! Bukankah kau Tokbeng Siantjoe?
Kau sendiri yang takut, sebaliknya kau mengatakan anakmu yang takut
kepadaku!' Sehabis berkata begitu, ia membuat lagak seperti monyet dan
mengeluarkan suara lucu. Entah bagaimana, anakku jadi tertawa. Ia
kelihatan girang sekali. 'Nah, lihatlah!' katanya. 'Anakmu tak takut
padaku. Eh, bukankah suamimu yang dipanggil Thiekoay sian? Kenapa ia
tidak bersama-sama kau?' Aku tak menjawab sebab sedang mencari jalan
untuk menghadapi gangguannya. Si kusta tertawa pula dan berkata: 'Sayang!
Sungguh sayang! Jika suamimu turut datang, bukankah aku dapat meminta
pengajaran dari seorang yang namanya begitu kesohor?' Dia mengenakan
pakaian rombeng seperti pengemis dan senjatanya juga sebatang tongkat
besi, sehingga mirip sekali dengan ayah anakku. Beberapa saat kemudian,
ia berkata lagi: 'Eh, jelek bagus aku adalah sekaum dengan suamimu.
Kenapa kau tak meladeni?'
"Darahku mulai naik. Aku meraba gagang pedang dan membentak supaya
ia menyingkir. 'Baiklah,' katanya. 'Tapi dengan satu syarat, yaitu kau
harus tertawa dulu terhadapku.' Aku tak dapat menahan sabar lagi, dengan
menghunus pedang, aku menerjang.
"Dia lagi-lagi tertawa dan berkata: 'Ha, galak benar kau! Aku tak
membetot jiwamu, hanya ingin melihat tertawamu yang manis. Kenapa kau
lantas marah?' Sembari berkata begitu, tangannya menjumput sebuah batu
yang lantas dicengkeram, sehingga menjadi hancur. Di lain saat, ia
mengayun tangannya dan hancuran batu itu menyambar ke arahku!"
Keng Thian mesem dan berkata: "Bukankah serangannya seperti
serangan terhadap Loei Tjin Tjoe? Hanya, terhadap Loei Tjin Tjoe, ia
menyerang dengan tongkat, terhadapmu ia menggunakan hancuran batu."
"Benar," jawab Tjia In Tjin. "Kepingan-kepingan batu itu cepat luar
biasa, satu menyambar Djoanma hiat (jalan darah yang membikin orang jadi
kesemutan) di dada kiri, satu menyambar Yangyang hiat (jalan darah gatal)
di dada kanan, satu lagi menyambar ke arah Siauwyauw hiat (jalan darah
tertawa), sehingga serangan itu merupakan serangan segitiga. Oleh karena
di depanku menghadang batu besar, jalan satu-satunya adalah loncat ke
belakang. Tapi kau tak tahu, bahwa tiga kepingan batu itu, yang menyambar
dari depan, bukan serangan satu-satunya. Di samping tiga serangkai
tersebut, dari kiri kanan malah dari belakang -- kepingan-kepingan itu
ada yang terbang melewati kepala dan kemudian berbalik menyambar lagi --
menyambar juga kepingan-kepingan lain. Apa yang sangat luar biasa adalah:
Kepingan-kepingan itu terbang dalam bentuk (formasi) segitiga dan
menyambar ke arah tiga jalan darah! Hatiku mencelos. Aku mengerti, biar
bagaimanapun juga, tak nanti aku dapat meloloskan diri."
"Memang," kata Keng Thian sambil mengangguk. "Memang ilmu
melepaskan senjata rahasia itu sudah mencapai puncaknya kesempurnaan.
Menurut pendapatku, dalam dunia ini, di samping keluarga Tong dan Han
Tiong San dari Lengsan pay, dia adalah orang ketiga yang mempunyai ilmu
itu. Dengan menggendong anak, lebih-lebih sukar kau menyelamatkan diri."
"Aku pun merasa tak akan terlolos lagi," kata Tjia In Tjin. "Dalam
kebingungan, buru-buru aku menarik napas dalam-dalam untuk menutup semua
jalan darahku. Tapi karena menyambarnya kepingan-kepingan itu luar biasa
cepatnya, aku tidak keburu lagi menutup jalan darahku. Pada detik yang
sangat berbahaya, tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring. Hampir
berbareng dengan itu, terdengar serentetan suara "tring-tring-tring" dan
batu-batu itu terpukul jatuh. Si kusta berteriak keras, lalu melompat
tinggi dan dalam sekejap, ia sudah menghilang ke dalam hutan. Di antara
pohon-pohon yang rindang daunnya, aku melihat berkelebatnya seorang
wanita yang mengenakan pakaian berwarna hijau dan yang lantas saja
menghilang."
Heran sungguh hati Keng Thian. "Didengar dari penuturanmu,"
katanya. "Wanita tersebut sudah menggunakan senjata rahasia untuk memukul
jatuh kepingan-kepingan batu itu. Apakah kau tahu, senjata apa adanya
itu?"
"Tidak," jawab Tjia In Tjin. "Tapi dari suaranya, aku dapat
memastikan, bahwa senjata rahasia itu adalah sangat halus, seperti
sebangsa jarum."
Keng Thian terperanjat dan berpikir: "Wanita itu berada di dalam
hutan, sehingga jarak antara ia dan Tjia In Tjin adalah terlebih jauh
daripada jarak antara si kusta dan nyonya itu. Bahwa ia bisa memukul
jatuh kepingan-kepingan batu itu dengan senjata jarum, membuktikan, bahwa
kepandaiannya sungguh-sungguh berada di sebelah atasku."
Sesudah berdiam beberapa saat, Keng Thian berkata pula dengan suara
perlahan: "Apakah benar bukan Pengtjoan Thianlie?"
"Waktu itu hatiku sedang berdebar-debar dan gerakan wanita tersebut
luar biasa cepatnya," jawabnya. "Selain itu, daun-daun pohon telah
menedeng tubuhnya dan aku hanya dapat melihat belakangnya, untuk sedetik
saja. Tapi, jika tak salah, badan Pengtjoan Thianlie agak lebih jangkung,
sedang wanita itu lebih kate sedikit. Menurut dugaanku, ia bukan
Pengtjoan Thianlie."
Sementara itu, sang Dewi Malam sudah doyong ke sebelah barat,
sedang titik-titik sinar "Sengteng" pun sudah mulai guram. Keng Thian
betul-betul pusing otaknya.
"Dalam keadaan begitu, mungkin sekali Tjia In Tjin sudah salah
melihat," katanya pula di dalam hati. "Aku tak percaya, bahwa selain Peng
Go, dalam dunia ini masih ada wanita lain yang mempunyai kepandaian
begitu."
Melihat pemuda itu berdiam saja dengan paras muka kusut, Tjia In
Tjin segera berkata: "Beberapa kali kau telah menyebutkan nama Pengtjoan
Thianlie. Bukankah ia pernah mengatakan, bahwa ia tak akan turun dari
Puncak Es? Apakah ia sekarang berada disini?"
"Puncak Es sudah roboh, tentu saja ia boleh turun gunung," jawab
Keng Thian. "Jika tak salah, ia sekarang berada di antara kita!"
Tjia In Tjin menghela napas."Jika benar ia berada disini, harap
saja ia tidak bertemu dengan si kusta itu," katanya. "Pengtjoan Thianlie
adalah bagaikan sekuntum bunga di selat gunung yang indah. Jika ia
melihat si kusta, jangankan sampai bertempur, melihat mukanya saja
mungkin ia sudah menjadi muntah."
Mendengar itu, di depan mata Keng Thian kembali terbayang si nona
yang sedang berjalan bersama-sama dengan Kim Sie Ie. Dalam dunia memang
banyak sekali terjadi apa-apa yang di luar dugaan. Siapa bisa percaya,
bahwa Pengtjoan Thianlie bisa mempunyai perhubungan dengan penderita
kusta itu? Mengingat begitu, ia jadi sangat berduka.
"Kau sedang memikirkan apa?" tanya Tjia In Tjin sembari tertawa.
"Lagi memikirkan Pengtjoan Thianlie atau si kusta? Lebih baik kau coba
mengusir dia, supaya dia tidak mengacau disini."
"Ya," kata Keng Thian. "Aku sudah mengambil keputusan untuk melek
terus malam ini, guna mencari mereka."
"Mereka?" Tjia In Tjin menegasi, yang merasa heran, bahwa Keng
Thian
menggabungkan Pengtjoan Thianlie dengan si kusta.
"Menurut dugaanku, malam ini mereka tidak menginap di kuil," kata
pula Keng Thian. "Kurasa, mereka masih berada di dekat-dekat sini.
Keadaan Loei Tjin Tjoe tentu sudah banyak mendingan dan menurut
perhitunganku, sekarang ia sudah bisa berjalan pula. Maka itu, pergilah
mencari ia dan minta mengantarkan kalian pergi menemui Moh Tayhiap.
Kejadian malam ini biar bagaimanapun juga harus segera diberitahukan
kepada Moh Tayhiap."
Sehabis berkata begitu, Keng Thian segera berlalu dan seorang diri
berputar-putar di seluruh bagian gunung, tapi sampai badannya lelah, tak
seorang manusia pun dapat ia temukan.
Bukan main kalut pikirannya.
Kedatangannya sekali ini, pertama adalah untuk mencari Pengtjoan
Thianlie dan kedua, adalah untuk menghadiri Kiatyan. Di luar dugaan,
dalam tempo semalam itu, ia sudah menemui begitu banyak kejadian yang
luar biasa. Jika dihitung-hitung, di pihak lawan sedikitnya terdapat tiga
orang yang berkepandaian tinggi, yaitu Hongsek Toodjin, Hiatsintjoe dan
orang aneh itu yang telah menganiaya Tjoei In Tjoe dan beberapa imam.
Kepandaian mereka semuanya berada di sebelah atasnya. Selain itu, masih
ada si penderita kusta yang belum diketahui, apakah ia akan menjadi lawan
atau kawan. Maka itu, harapan satu-satunya adalah coba mencari Pengtjoan
Thianlie, supaya ia dan si nona bisa bersama-sama melawan musuh-musuh
itu.
Dalam jengkelnya, ia berdongak dan berteriak: "Peng Go Tjietjie!
Peng Go Tjietjie!' dalam teriakannya itu, ia telah menggunakan lweekang
dari Thiansan pay, sehingga suaranya menjadi nyaring tajam dan bisa
terdengar dalam jarak belasan li. Tapi, sesudah berteriak berulang-ulang,
yang menjawab hanyalah kumandang suaranya sendiri.
Sekonyong-konyong dari puncak gunung di depan terdengar suara
tertawa yang sangat nyaring. Suara itu tak asing lagi baginya, tapi dalam
keadaan was-was, Keng Thian tak dapat memastikan, apakah itu suara Peng
Go atau orang lain. Tanpa berpikir lagi, lantas saja ia berteriak: "Peng
Go Tjietjie! Aku disini! Kau keluarlah!”
Mendadak serupa benda yang berwarna indah, datang menyambar.
Setelah disambuti, benda itu ternyata adalah karangan bunga yang sangat
indah, dengan disertai tulisan seperti berikut:
"Sekali kau punya, tetap kau punya."
Bunga-bunga dan batang-batangnya masih basah dengan air embun, hal
mana menandakan, bahwa karangan bunga itu baru saja dibuat.
Hati Keng Thian meluap kegirangan. Puncak gunung di depan dan
tempat dimana ia berdiri, dihubungkan dengan batu-batu. Sambil mengempos
semangat, dengan beberapa loncatan saja, ia sudah tiba di seberang dan
lantas berlari-lari masuk ke dalam hutan sambil berteriak-teriak: "Peng
Go Tjietjie! Peng Go Tjietjie!"
Kecuali beberapa Tjianpwee, yang dapat menandingi ilmu
mengentengkan badan Keng Thian, dengan sesungguhnya tiada berapa orang.
Sesudah mencari ke seluruh peloksok hutan, orang yang dicari itu masih
tak kelihatan bayang bayangannya.
"Andaikata benar Peng Go Tjietjie, dia toh tak bisa lari begitu
cepat," pikirnya. Di lain saat, mendadak ia ingat apa-apa yang membikin
ia seperti diguyur air dingin. "Ah!" katanya di dalam hati. "Pengtjoan
Thianlie adalah seorang wanita yang beradat angkuh. Tak mungkin ia
mengutarakan rasa cintanya begitu terang-terangan. Karangan bunga itu
pasti bukan dibuat olehnya! Tapi... jika bukan dia, siapakah yang begitu
nakal dan mempermainkan diriku?"
Baru bergirang, ia kembali menjadi seperti orang linglung dan jalan
sejalan-jalannya, tanpa tujuan.

***

Dalam gunung itu terdapat seorang lain yang diliputi kedukaan dan
kekecewaan yang lebih hebat daripada Keng Thian. Orang itu adalah Kim Sie
Ie.
Semenjak bertemu dengan Pengtjoan Thianlie di gunung Tjiakdjie san,
ia terus mengintil di belakang si nona, tempo-tempo muncul, kadang-kadang
menghilang, terus sampai di gunung Gobie san.
Hari itu, ketika baru memasuki Gobie san, oleh karena kuatir
diketahui si nona, Kim Sie Ie hanya berani mengikuti dari jarak kira-kira
setengah li jauhnya. Gobie san adalah sebuah gunung yang angker dan
berbahaya, penuh dengan pohon-pohon besar, cadas-cadas tajam dan jalan
yang berliku-liku. Mendadak ia kehilangan Pengtjoan Thianlie dan
dayangnya. Ia mempercepat tindakannya dan mencari ubek-ubekan. Baru ia
masuk ke suatu lembah, cuaca sudah mulai gelap. Di sebelah jauh, ia
melihat air terjun yang turun dari atas gunung. Ia mendekati dan disitu
ia mendapatkan suatu kobakan yang airnya jernih dan yang dikitari pohon-
pohon bunga hutan, yang seakan-akan merupakan sebuah sekosol sulam.
Sekonyong-konyong di antara pohon-pohon bunga terdengar suara
tertawa seorang wanita. "Siauwkongtjoe (Puteri kecil)," demikian wanita
itu berkata. " 'Ku sudah kata, Tong Siangkong pasti datang lebih dulu
disini untuk menunggu kau." Suara itu bukan lain daripada suara Yoe Peng,
sedang orang yang dipanggil "Puteri kecil" tentu Pengtjoan Thianlie
sendiri.
Jantung Kim Sie Ie memukul keras. Pengtjoan Thianlie tidak
mengeluarkan sepatah kata.
Berselang beberapa saat, Yoe Peng berkata pula sembari tertawa:
"Sebenar-benarnya walaupun kau membenci dia, kau toh seharusnya menanya
dulu biar terang."
Kim Sie Ie yang bersembunyi di belakang batu, menahan napas supaya
persembunyiannya tidak diketahui si nona.
Sesaat kemudian terdengar helaan napas panjang, disusul suara Peng
Go yang sangat perlahan: "Tak usah kau campur tahu."
Lagi-lagi Yoe Peng tertawa geli. "Siauwkongtjoe," katanya "Kenapa
kau jadi begitu? Terang-terang, aku mengetahui kau menyukai dia!"
"Jangan rewel!” bentak si nona.
"Andaikata kau tidak menyukai dia, aku tahu, kau tidak membenci
dia," kata si dayang.
Mendengar itu, jantung Kim Sie Ie kembali memukul keras. Ia merasa,
perkataan Yoe Peng adalah beralasan.
Pengtjoan Thianlie tetap menutup mulut.
"Ah, Siauwkongtjoe!" kata Yoe Peng dengan suara penasaran.
"Sekarang biarlah aku berterus terang: Jika kau tetap mengumbar napsu
terhadap Tong Siangkong, ada seorang siauwdjin (orang rendah) yang akan
merasa girang."
"Apa?" si nona menegas.
"Benarkah Siauwkongtjoe tak tahu?" jawabnya. "Ada seorang, seekor
anjing pemburu yang terus menguntit kita... tidak! Bukan, bukan anjing
pemburu, tapi kodok buduk, seekor kodok buduk yang mengimpi ingin gegares
daging angsa langit!”
Mendadak saja, Kim Sie Ie tak dapat menguasai diri lagi. Dengan
sekali mengenjot badan, ia sudah meloncat keluar dari tempat sembunyinya
dan membentak sekuat-kuatnya: "Apa? Aku kodok buduk?"
Daun-daun terdengar berkresekan dan Peng Go bersama dayangnya
keluar dari antara pohon-pohon bunga.
Yoe Peng tertawa dingin dan berkata: "Siauwkongtjoe, lihatlah!
Bukankah benar, apa yang kukatakan tadi? Tak bedanya seperti anjing
pemburu yang hidungnya tajam. Kemana juga kita pergi, dia selalu dapat
mengendusnya. Anjing pemburu sebenarnya lebih tinggi setingkat daripada
kodok buduk."
Kim Sie Ie tertawa dingin. Dengan paras muka berubah pucat, ia
mengangkat tongkatnya. Melihat begitu, buru-buru Peng Go loncat menyelak
di depan Yoe Peng. "Mau apa kau?" tanyanya.
"Kau adalah angsa langit, tak berani aku, si kodok buduk, melihat
wajahmu," kata Kim Sie Ie. "Tapi dayangmu adalah seekor bebek. Aku si
kodok buduk, ingin menelan dia!"
"Kim Sie Ie!" kata si nona dengan suara tawar. "Apakah kau masih
memandang aku atau tidak?"
Selama hidupnya, Kim Sie Ie selalu bertindak dengan menuruti
kemauannya sendiri saja. Dengan memiliki ilmu silat seperti yang
dimilikinya, dengan mudah ia akan dapat melukakan Yoe Peng. Tapi
mendengar teguran Peng Go, entah kenapa, ia menjadi keder. Ia merasa,
bahwa Pengtjoan Thianlie mempunyai keagungan dan keangkeran yang wajar,
yang tak dapat dilanggar oleh siapapun juga. Hatinya ingin menyindir,
tapi sindiran itu tak bisa keluar dari mulutnya. Maka itu, ia hanya
berkata: "Dayangmu telah mencaci aku. Aku..."
"Kau ingin mengajar adat?" si nona memotong. "Dayangku tak perlu
diajar oleh orang lain."
Kim Sie Ie kembali naik darah, tapi ia tak berani mengumbar
kegusarannya. Sambil menahan amarah, ia menanya dengan mengutib perkataan
Peng Go sendiri: "Pengtjoan Thianlie! Apakah kau masih memandang aku atau
tidak?"
Peng Go melirik dan kemudian dengan tawar: "Kita bertemu hanya
secara kebetulan saja. Soal pandang memandang sebenarnya bukannya soal di
antara kita."
Kim Sie Ie bungkam sejenak. Rasa jelus, membenci dan gusar
berkumpul di dalam dadanya. Sekonyong-konyong, bagaikan halilintar, ia
berteriak: "Dalam matamu, memang hanya terdapat si bocah she Tong!"
"Tak ada sangkut pautnya dengan kau!" jawab si nona sembari tertawa
tawar. Sehabis berkata begitu, Peng Go menghela napas panjang, kedua
matanya mengawasi Kim Sie Ie dengan sorot kasihan.
Meskipun berusia lebih muda dari Kim Sie Ie, dengan suara seperti
seorang kakak yang sedang menasehati adiknya, ia berkata: "Ah! dengan
kepandaianmu, sebenarnya kau bisa menjadi seorang pendekar di jaman ini,
jika kau berjalan dijalan lurus. Dan jika kau terus mempelajari ilmu, kau
bisa menjadi seorang guru besar dari suatu cabang persilatan. Tapi
kenapa, kenapa kau mengeluarkan lagak buaya?"
Kim Sie Ie terkesiap. Itulah kata-kata yang ia baru pernah
mendengar. Dalam mengeluarkan kata-kata itu, nada suara Pengtjoan
Thianlie penuh dengan rasa sayang. Tapi pada saat itu, mana Kim Sie Ie
dapat menerimanya dengan otak dingin? Mendadak saja, ia merasakan
darahnya mengalir deras dan dadanya seperti mau meledak.
"Kenapa lagak buaya?" tanyanya, dengan mata merah.
Seingatnya, ia selalu membenci dunia dengan segala umat manusia
yang hidup di dalamnya. Belum pernah ia menanya diri sendiri, apakah
sepak terjangnya benar atau tidak. Maka itu, baginya, kata-kata Peng Go
adalah bagaikan halilintar di tengah hari bolong.
Di lain pihak, ditanya begitu, Peng Go jadi kemekmek. Tak dapat ia
menjawab pertanyaan Kim Sie Ie. Harus diingat, bahwa pendidikan yang Peng
Go dapat adalah berlainan dengan pendidikan Kim Sie le. Bahwa ia sudah
menggunakan kata-kata yang kasar itu, sebenarnya sudah melampaui garis
kebiasaannya. Maka itu, tak mungkin si nona memberi penjelasan lebih
lanjut mengenai lagak buaya Kim Sie Ie.
Dengan sorot mata gila, Kim Sie Ie mengawasi Pengtjoan Thianlie,
sehingga Yoe Peng menjadi takut. "Kau terus mengintil di belakang kami,"
katanya. "Apakah itu bukan lagak buaya?"
"Jalan bukan milikmu," sahutnya. "Kau jalan sejalanmu, aku jalan
sejalanku. Kenapa lagak buaya?"
Koei Peng Go jadi merasa kurang senang. "Sie le-heng," katanya.
"Jalan ada banyak sekali. Sebaiknya, kita masing-masing mengambil jalan
sendiri-sendiri."
Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara teriakan nyaring dan
bagaikan seekor kera, tanpa menengok lagi, ia terus memanjat puncak
gunung yang berdekatan.
Seperti manusia edan, ia memanjat dan memanjat terus. Ia berteriak,
ia tertawa, menandak dan bergulingan, sehingga pakaiannya yang indah jadi
rubat-rabit, muka dan sekujur badannya ketusuk duri sehingga mengeluarkan
darah, tapi semua itu, sedikitpun tidak diperdulikannya. Ia merasa rohnya
seakan-akan mau berontak keluar dari raganya. Ia ingin sekali agar, pada
detik itu juga, seluruh badannya hancur lebur menjadi debu untuk
disebarkan ke seluruh bumi.
Seperti orang berotak miring, ia merobek-robek bajunya dan kemudian
berdiri di pinggir kobakan, bercermin di air yang bening bagaikan kaca.
"Tiada beda dengan manusia lain, tubuhku telah dilahirkan oleh ayah
bundaku," ia berteriak. "Tapi kenapa manusia begitu menghina diriku?"

***

Di detik itu, segala pengalamannya yang lampau, berbayang pula di


depan matanya. Ia ingat masa bocahnya. Lain orang melewati masa kecilnya
dengan penuh kebahagiaan, ia justru sebaliknya. Apa yang dialaminya
sepanjang masa itu, adalah kepahitan dan kegetiran. Siang-siang ibunya
sudah meninggal dunia, sedang ayahnya adalah seorang guru sekolah miskin
yang mencari makan di kampung orang.
Waktu ia berusia lima tahun, karena ayahnya berpenyakitan dan
hasilnya sebagai guru sekolah tidak mencukupi ongkos penghidupan, ayahnya
itu telah mengambil putusan untuk pulang ke kampung kelahirannya. Karena
tidak mempunyai kemampuan lain, maka mau tak mau, ayah dan anak itu
terpaksa harus mengemis di sepanjang jalan. Di tengah jalan, sang ayah
sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Masih untung, berkat
pertolongan seorang kawan pengemis, ia sendiri tak sampai mati kelaparan.
Demikianlah, dengan pakaian rombeng dan badan kurus kering, ia
menuntut penghidupan sebagai pengemis kecil, yang hidupnya tergantung
dari belas kasihan orang. Sesudah tiga tahun hidup begitu, di badannya
mulai tumbuh bisul-bisul dan pada mukanya timbul bintik-bintik merah yang
menonjol. Tentu saja ia tak mengerti apa artinya gejala-gejala itu. Ia
hanya merasa heran karena kawan-kawannya tak mau bergaul lagi dengan
dirinya, bahkan selalu menyingkir jauh-jauh.
Pada suatu hari, seorang pengemis tua berkata kepadanya: "Kurasa
kau menderita penyakit kusta. Sekarang kau tidak dapat mengemis lagi,
sebab kau bisa mati digebuk orang!”
Tentu saja ia jadi sangat ketakutan. Sekarang baru ia tahu, kenapa
kawan-kawannya selalu menyingkir jika di dekatnya. Mulai dari waktu itu,
ia menyembunyikan diri di waktu siang dan baru berani keluar di waktu
malam untuk mencari sayur atau buah-buahan di kebun orang. Beberapa kali,
hampir-hampir ia binasa dihajar pemiliknya. Kadang-kadang, jika ia
berpapasan dengan orang lain di waktu siang hari, ia tentu akan dicaci
sebagai "Siauwmahong (penderita kecil). Orang-orang yang bernyali kecil
menyingkir jauh-jauh, sedang yang berhati tabah mengejarnya dengan niat
akan menguburnya hidup-hidup. Untung juga, ia bisa lari keras sekali dan
beberapa kali ia berhasil meloloskan diri dari "lubang jarum."
Berbulan-bulan ia hidup sebagai orang liar. Dapatlah dibayangkan,
betapa besar penderitaannya pada waktu itu. Dalam otaknya yang masih
sangat sederhana, sering-sering ia mendapat pikiran nekat.
Pada suatu hari, dengan perut kosong dan badan kedinginan, ia
mendaki sebuah gunung yang tinggi. Akhirnya, tibalah ia di atas sebuah
batu cadas yang sangat besar, didampingi air terjun yang jatuh ke dalam
jurang yang dalamnya ratusan tombak. Sampai disitu habislah tenaganya,
dan mau tidak mau ia harus berhenti. Lama ia berdiri disitu dengan
kedukaan yang tak terlukiskan.
Mendadak, ia jadi nekat. Sembari berteriak: "Ayah! Ibu!", ia
melompat ke bawah!

***

Melamun sampai disitu, tiba-tiba Kim Sie Ie sadar dan ia merasa,


bahwa tanah di bawah kakinya, agak bergetar. Ia memperhatikan
sekelilingnya dan mendapat kenyataan, bahwa di hadapannya terdapat air
terjun, yang mencurahkan airnya ke dalam sebuah jurang yang dalamnya
ratusan tombak.
Ia menghela napas panjang-panjang. "Dulu, ada yang menolong aku,"
katanya di dalam hati. "Sekarang, siapakah yang akan menolong?" Berpikir
begitu, ia ingat pula kepada pertemuan luar biasa itu yang telah mengubah
seluruh penghidupannya.

***

Begitu ia melompat dari batu cadas itu, selagi badannya berada di


tengah udara, dalam keadaan setengah sadar, ia merasa, bahwa sebuah
tangan yang besar lagi kuat, menjambret bajunya. Bagaikan dalam mimpi, ia
merasakan tubuhnya dilontarkan ke ruang kosong tak berdasar, tidak pula
berbatas. Kepalanya pusing, kupingnya mendesing dan ia tak ingat orang
lagi...
Entah sudah berapa lama ia tak sadarkan diri, ketika sayup-sayup ia
mendengar seseorang berkata: "Sungguh kasihan anak ini!"
Ia merasakan pundaknya ditepuk-tepuk dan mulutnya disuapi makanan.
Kejadian itu telah menimbulkan lagi hal-hal di jaman lampau yang
sebenarnya sudah lama hilang dari ingatannya. Ia ingat pula kepada saat-
saat penuh bahagia, ketika ia didukung ibunya, ditepuk-tepuk dan diberi
makanan. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ia terkejut, karena yang
dilihatnya adalah pemandangan sebagai dalam impian. Ia mendapatkan
dirinya sedang berbaring di sebuah perahu kecil dan sekelilingnya
hanyalah laut biru yang berombak kecil-kecil. Dalam perahu itu terdapat
seorang kakek yang beroman aneh dan sedang memandangnya dengan sorot mata
menyayang.
Ia mengucak-ngucak matanya dan memandang orang tua itu, yang
berbadan tinggi besar dan mengenakan pakaian linen. Rambut kakek itu
panjang luar biasa, terurai sampai di pundak. Jika dalam keadaan biasa,
ia bertemu dengan orang begitu, sudah pasti ia akan menjadi ketakutan.
Tapi sekarang, sorot mata si kakek justru menimbulkan rasa hangat di
dalam hatinya dan ia merasa, bahwa berdampingan dengan orang tua itu ia
seolah-olah berdampingan dengan ibunya sendiri.
Si kakek tertawa seraya berkata: "Anak, kau sekarang sudah
mendusin. Apakah kau lapar?"
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Orang tua itu segera mengambil sebuah kendi merah dan menuangkan
isinya ke dalam mulutnya. Cair itu berasa seperti arak dan sesudah
mencegluk beberapa kali, semangatnya lantas saja terbangun. "Siapakah
kau?" tanyanya. "Apakah kau yang sudah menolong aku?"
Si kakek mengangguk sambil tertawa. "Anak, sudah sejak beberapa
hari aku memperhatikan dirimu," katanya. "Bahwa seorang diri kau berani
bergulat untuk hidup di pegunungan yang berbahaya, membuktikan, bahwa kau
mempunyai nyali yang besar. Tapi kenapa kau mengambil putusan pendek?
Jika aku terlambat sedikit saja, badanmu tentu sudah hancur di dalam
jurang."
Ia menggigit jarinya dan ia merasa sakit. Sekarang ia mendapat
kepastian, bahwa ia bukan sedang bermimpi.
"Sudah lima hari kau pingsan," kata si kakek sembari mesem pula.
"Badanmu ulet sekali. Jika anak lain yang mengalami kejadian ini,
dia pasti tak akan bisa sehat kembali begitu cepat."
Ia merangkak bangun. "Kenapa kau menolong aku?" tanyanya sembari
mengawasi orang itu. "Kenapa kau tak takut? Aku adalah penderita kusta!"
Si kakek tertawa seraya berkata dengan perlahan: "Bukan, kau bukan
penderita kusta. Aku, akulah, yang benar-benar seorang penderita kusta."
Ia terperanjat dan menatap wajah orang tua itu. Meskipun beroman
luar biasa dan berambut panjang, muka orang tua itu kelihatan sehat dan
bersinar merah, sedang kulitnya licin lagi halus, sedikitpun tak terlihat
tanda-tanda penyakit kusta kepadanya.
"Dulu, aku benar pernah menderita penyakit kusta, tapi sekarang
sudah sembuh," si kakek menerangkan. "Kau hanya mendapat penyakit kulit,
karena hidup di tempat kotor. Sesudah mandi dengan air laut beberapa kali
dan berjemur beberapa hari, kau akan segera sembuh. Ah! Sungguh sayang,
bahwa kau bukan penderita kusta!" Sehabis berkata begitu, ia menghela
napas panjang-panjang.
Waktu itu, Kim Sie Ie baru saja berusia sebelas tahun. Tapi
perkataan si kakek menimbulkan rasa heran dalam hatinya. "Kenapa ia
merasa menyesal, karena aku tidak menderita penyakit kusta?" tanyanya di
dalam hati sembari mengawaskan orang tua itu.
"Dulu aku pernah menderita penyakit kusta," kata kakek itu. "Aku
telah mengalami penderitaan yang sepuluh kali lebih hebat daripada
penderitaanmu.
Belakangan aku lari ke sebuah pulau dan bersumpah tak akan menemui
manusia lagi. Bertahun-tahun aku bersembunyi dan beberapa belas tahun
berselang, baru seorang pendekar wanita menyadarkan aku dari
kekeliruanku. Aku insyaf, bahwa hidup mengasingkan diri adalah tak benar.
Aku mengubah pendirianku dan akupun bersumpah untuk menolong para
penderita penyakit kusta, sebisaku dan sebanyak mungkin. Selama sepuluh
tahun ini, sudah banyak juga orang yang telah kutolong. Kini aku sudah
merasa, bahwa hidupku sudah tak lama lagi. Aku ingin sekali mengambil
seorang anak yang berpenyakit kusta untuk dijadikan murid. Hanya, sayang
aku belum bisa menemukan seorang yang cocok."
Kim Sie Ie adalah seorang cerdik. Begitu mendengar perkataan orang
tua itu, ia segera berlutut di hadapannya. "Semua orang mencaci aku
sebagai penderita kusta," katanya dengan suara memohon. "Jika kembali ke
darat, aku tentu akan mati digebuk orang. Soehoe, jika kau menolak, lebih
baik aku menceburkan diri ke dalam laut!"
Si kakek berdiam sejenak dan kemudian berkata: "Baiklah. Tapi kau
harus mempunyai nyali untuk hidup bersama-sama dengan aku di pulau
terpencil itu."
"Sedang mati 'ku tak takut, masakah aku takut hidup di pulau?" kata
Kim Sie Ie. Demikianlah, ia lalu menjalankan upacara mengangkat guru di
perahu itu.
Dalam beberapa hari, dengan mandi di air laut dan berjemur di sinar
matahari, Kim Sie Ie sudah sehat kembali. Bukan saja tenaganya sudah
kembali, malah bisul-bisulnya juga sudah rontok semua dan kulitnya
berubah licin. Berselang beberapa hari lagi, sebuah pulau kecil sudah
kelihatan di sebelah jauh. Setelah berada tak jauh dari pulau itu, Kim
Sie Ie mengendus bau wangi yang dibawa angin laut, tapi di antara bau
wangi itu tercium juga bau amis. Ia melihat, bahwa pulau itu ditumbuhi
pohon-pohon yang rindang daunnya dan sebuah sungai kecil juga terdapat
disitu. Ombak laut kecil-kecil tiada habisnya bermain di pantainya,
pantai berpasir putih. Pemandangan indah, tenang dan menyenangkan itu,
membikin hati Kim Sie Ie sangat gembira. "Aduh! Bagus benar tempat ini!"
ia berseru.
"Bagus atau tak bagus, sebentar baru kau dapat menentukannya," kata
si kakek sembari tertawa. Ia meloncat turun dari perahu itu dan sesaat
kemudian ia sudah berjalan di pesisir sambil menuntun muridnya. Mendadak,
dari dalam hutan terdengar suara berkresekan yang sangat luar biasa dan
di detik berikutnya, ribuan ular keluar menyambut mereka! Alangkah
hebatnya pemandangan itu, beribu jenis ular dengan aneka warna kulit
mereka, merayap, berbelit-belit mendatangi sambil mendesis tiada sudahnya
Seluruh pantai dipenuhi binatang menjijikan itu.
Kim Sie Ie kehilangan semangatnya, tapi si kakek sedikitpun tidak
merasa takut dan sembari bersenyum, ia maju mendekati. Sungguh
mengharukan, ular-ular itu serentak menunduk dan mengangguk-angguk
seperti juga memberi hormat kepada si tua.
"Anak, apakah kau takut?" tanya orang tua itu sembari tertawa
"Takut apa?" jawabnya "Paling ganasnya, mereka juga sama dengan
manusia-manusia di dunia yang menghendaki jiwaku."
Si kakek tertawa terbahak-bahak. "Jalan pikiranmu sama benar
pikiranku, ketika aku baru mendarat disini," katanya.
Mulai dari saat itu, Kim Sie Ie menetap di pulau tersebut dan
belajar silat di bawah pimpinan gurunya. Juga nama "Kim Sie le" itu
adalah pemberian gurunya.
Sesudah lewat beberapa bulan, ia baru mengetahui, bahwa sang guru
bernama Tokliong Tjoentjia, sedang pulau itu adalah Tjoato (Pulau Ular),
yang terletak di antara Laut Kuning dan Pokhay, dan semenjak dulu hampir
tak pernah didatangi orang lain.
Di waktu mudanya, Tokliong Tjoentjia adalah seorang guru silat.
Belakangan, karena terserang kusta, ia telah digebah dari rumahnya dan
diubar-ubar oleh manusia yang takut ketularan dan merasa jijik melihat
bisul-bisulnya. Bertahun-tahun ia bersengsara, dikejar kian kemari,
sampai akhirnya ia tiba di pulau itu. Dalam kenekatannya, ia berkawan
dengan kawanan ular itu. Kemudian, dengan pertolongan ular, ia berhasil
menyembuhkan penyakitnya. Ilmu silatnya yang sangat luar biasa, telah
diciptakannya sendiri di pulau tersebut.
Tokliong Tjoentjia menurunkan seantero kepandaiannya kepada
muridnya. Kim Sie Ie yang berotak cerdas, gampang sekali menerima
pelajaran, sehingga sang guru menjadi girang sekali.
Menurut kebiasaan setiap tahun sekali atau dua kali Tokliong
Tjoentjia pergi ke Tiongkok darat dan setiap kalinya selama sebulan atau
dua bulan. Selama gurunya menjalankan tugas sebagai penolong sesama
manusia, Kim Sie Ie sendiri terus berlatih silat di pulau itu, dengan
dikawani oleh ribuan ular. Di waktu senggang, Tokliong Tjoentjia sering
menceritakan pengalaman-pengalamannya dalam melaksanakan hasratnya,
menolong para penderita kusta yang hidup seperti dalam neraka. Ia juga
sering menuturkan segala kepahitan yang pernah dialaminya sendiri, selama
ia sendiri masih berpenyakit kusta, antara lain bagaimana hampir-hampir
ia mati dibakar oleh orang-orang yang merasa jijik terhadapnya. Semua
kisah itu, ditambah dengan pengalamannya sendiri, sudah membikin Kim Sie
le sangat membenci manusia dalam keseluruhannya. Ia berharap, supaya ia
bisa terus tinggal di pulau itu dan tak usah menemui lagi manusia untuk
selama-lamanya.
Tanpa terasa, tujuh tahun lewat dengan cepat sekali. Selama tujuh
tahun itu, tiada hentinya Kim Sie Ie belajar ilmu silat dan tanpa
disadarinya ia sekarang sudah menjadi ahli silat kelas satu. Mendadak
datanglah suatu hari yang telah mengubah seluruh jalan penghidupannya.
Pada suatu magrib, ketika sang matahari tengah menyelam di sebelah
barat dan tampak seolah-olah sebuah bola api, Kim Sie Ie dipanggil
gurunya.
Begitu berhadapan, ia melihat perubahan luar biasa yang terjadi
pada muka gurunya. "Sekarang kau sudah mewarisi semua kepadaianku," kata
sang guru dengan perlahan. "Jika kau kembali ke Tiongkok darat dan
berkelana di kalangan Kangouw, kurasa di waktu ini sedikit sekali orang
yang bisa menandingi ilmu silatmu."
"Soehoe," kata Kim Sie le dengan bingung. "Kebanyakan manusia dalam
dunia jahat sekali. Lebih baik aku terus berdiam disini seumur hidupku."
Tokliong Tjoentjia mengangguk dan kemudian menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Benar, benar, memang sangat banyak manusia berhati jahat,"
katanya dengan sabar. "Malah dalam Rimba Persilatan juga terdapat banyak
sekali manusia busuk. Tapi kau harus ingat, bahwa tidak semua manusia
berhati jahat. Antaranya, Lu Soe Nio dan Kam Hong Tie adalah orang-orang
yang berhati mulia."
Semenjak berdiam di pulau itu, Kim Sie Ie belum pernah mendengar
gurunya bercerita tentang orang-orang Rimba Persilatan. Maka sekali ini,
ia menjadi sangat heran. Baru saja ia ingin menanyakan siapa-siapa Lu Soe
Nio dan Kam Hong Tie itu, gurunya sudah berkata pula: "Di samping mereka,
ada pula orang-orang dari Thiansan pay. Ah! Jika kau tidak mencari orang-
orang Thiansan pay, kau bisa celaka!"
Kim Sie Ie tak mengerti apa maksud gurunya. "Kenapa?" tanyanya.
"Orang yang sudah mahir dalam ilmu silat gubahanku, rasanya tak
akan kalah dari pendekar-pendekar Thiansan," jawabnya. "Tapi... Tapi..."
"Tapi kenapa?" si murid menanya lagi.
Tokliong Tjoentjia mengerutkan alisnya. "Tak lama lagi, kau akan
mengerti sendiri," katanya. "Ah! Di antara murid-murid Thiansan, entah
siapa yang masih hidup. Bagaimana sikap mereka? Apakah mereka akan merasa
girang melihat kecelakaan dan membiarkan musnahnya ilmu silat partai
kita, agar partai mereka bisa hidup sendiri dalam dunia ini?"
"Apa?" tanya Kim Sie Ie. "Apakah dalam Thiansan pay tak ada orang
jahat? Teetjoe (murid) bersedia mengikut Soehoe untuk mencari mereka dan
menjajal kepandaian mereka."
Tokliong Tjoentjia kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sebentar akan kujelaskan," katanya. "Sekarang panggillah dulu kawanan
ular."
Sesudah tujuh tahun berdiam di Pulau Ular, Kim Sie Ie sudah mahir
dalam ilmu menjinakkan ular. Tapi baru saja ia ingin memutarkan badannya
untuk menjalankan perintah gurunya, tiba-tiba ia melihat uap putih yang
keluar dari kepala sang guru.
"Sie Ie," Tokliong Tjoentjia berkata dengan mendadak. "Kau harus
ingat segala penderitaanmu di waktu kecil."
"Teetjoe tak akan melupakannya," jawab si murid.
"Pergilah!" perintah sang guru sembari mengebaskan tangannya.
"Lekaslah kembali, karena aku masih ingin bicara pula!"
Kim Sie Ie segera meninggalkan gurunya dan pergi ke berbagai tempat
untuk memanggil kawanan ular. Ternyata, ular-ular itu mengerti maksud
manusia dan tak lama kemudian, mereka sudah berkumpul diluar hutan dalam
rombongan-rombongan yang masing-masing di kepalai seekor ular besar.
Sesudah menjalankan tugasnya, Kim Sie Ie lalu kembali ketempat
gurunya. "Soehoe!" ia berteriak. "Kawanan ular sudah datang." Tetapi,
segera juga ia terperanjat dan berdiri laksana patung dengan mata
membelalak.
Kedua mata Tokliong Tjoentjia terbuka lebar-lebar, biji matanya tak
bergerak, sedang keringat membasahi sekujur badannya. "Soehoe! Kau
kenapa?" teriak si murid.
Tokliong Tjoentjia tak menjawab. Dengan jantung berdebar keras, Kim
Sie le menubruk sang guru dan meraba badannya yang ternyata sudah kaku.
Ia sudah meninggal dunia! Di samping jenazahnya terdapat tongkat besinya
yang biasa digunakannya dan di bawah tongkat itu terdapat sejilid kitab
dengan tulisan "Tokliong Pitkip (Kitab Naga Beracun) di kulit luarnya.
Sesaat kemudian, Kim Sie Ie mendapat kenyataan, bahwa di atas tanah
terdapat tulisan yang terbaca seperti berikut:
"Sesudah kepandaianmu sempurna, pergilah mencari orang Thiansan pay
dan perlihatkan kitab ini kepadanya. Minta..."
Huruf "minta" agak guram dan bentuknya miring, sehingga bisa
ditarik kesimpulan, bahwa, tengah menulis huruf itu, Tokliong Tjoentjia
sudah kehabisan tenaga.
Kim Sie le menangis sedih sekali, sedang semua ular dengan serentak
menundukkan kepala sebagai penghormatan penghabisan terhadap majikan itu.
Sekarang Kim Sie le baru mengerti, bahwa gurunya telah memanggil
kawanan ular untuk berpamitan. Sang guru telah mengatakan bahwa sebelum
menutup mata, ia masih ingin bicara dengannya dan kini ia merasa sangat
menyesal, bahwa ia tak bisa mendengar pesan terakhir gurunya itu. Dengan
penuh kedukaan, ia mengubur mendiang gurunya. "Soehoe! Ia berteriak
dengan suara menyayatkan hati, sesudah jenazah Tokliong Tjoentjia diuruk
dengan tanah. "Aku tentu ingat segala perkataanmu. Aku tentu tak akan
melupakan, bahwa kau dan aku telah merasakan penderitaan yang sama. Aku
mengerti maksudmu. Aku benci semua manusia dalam dunia!"
Kim Sie Ie tentu saja tidak mengetahui, bahwa ia telah salah
menafsirkan perkataan gurunya! Memang benar Tokliong Tjoentjia pernah
melarikan diri ke pulau itu karena diubar-ubar manusia dan ia memang
pernah membenci manusia. Akan tetapi, tujuh belas tahun berselang, Lu Soe
Nio, Kain Hong Tie, Phang Eng, Tong Siauw Lan dan beberapa pendekar lain
pernah datang di Tjoato. Pada waktu itu, Lu Soe Nio dan Phang Eng telah
merobohkan Tokliong Tjoentjia dan berbareng menolong juga jiwanya.
Belakangan mereka telah memberi nasehat panjang lebar, sehingga Tokliong
Tjoentjia memperoleh kembali sifat kemanusiaannya. Kebenciannya berubah
menjadi kecintaan dan dengan segenap tenaganya, ia telah menolong para
penderita kusta. Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, ia ingin
meninggalkan pesan kepada Kim Sie Ie, supaya si murid tidak melupakan
penderitaannya di waktu kecil dan meneruskan pekerjaannya menolong para
penderita kusta. Tapi sungguh sayang, pesan terakhir itu tak keburu
diucapkan, sehingga Kim Sie Ie jadi salah mengerti!
Sesudah penguburan itu beres, Kim Sie Ie lalu mempelajari Tokliong
Pitkip. Ia mendapat kenyataan, bahwa meskipun sebagian besar pelajaran
ilmu silat dalam kitab itu sudah diketahuinya, tapi berapa bagian yang
sulit masih belum dapat diselaminya. Bagian-bagian itu diterangkan secara
jelas dalam kitab tersebut. Di samping itu, dalam Tokliong Pitkip juga
terdapat pelajaran untuk membuat dan menggunakan macam-macam senjata
rahasia beracun. Tiga tahun lamanya, dengan bantuan kitab tersebut, Kim
Sie Ie mempelajari segala apa yang belum keburu diyakinkannya di bawah
pimpinan sang guru. Berkat kegiatannya, ia memperoleh kemajuan yang
mentakjubkan. Dengan pukulan tangan kosong, ia sekarang bisa merobohkan
pohon yang besar dan dengan jarum beracun, i;i Ihmi membinasakan buaya
yang berenang di air.
Berselang lagi beberapa lama dalam kesepiannya, Kim Sie Ie sering
melamun. "Di pulau ini soehoe telah menggubah ilmu silat yang begitu
liehay," pikirnya pada suatu hari. "Sebagai murid, aku berkewajiban
membikin semua manusia di dunia mengetahui keliehayan soehoe. Dengan
demikian, barulah capai lelahnya tidak tersia-sia." Di lain saat, ia
berpikir pula: "Menurut kata soehoe, berbagai cabang persilatan di
wilayah Tionggoan sebenarnya tidak seberapa liehay. Dulu, semua manusia
telah memandang rendah kepada soehoe dan mengejar-ngejarnya. Paling baik,
aku sekarang main-main ke daerah Tionggoan dan menghantam mereka sampai
kalang kabut. Sesudah aku merobohkan semua orang gagah di kolong langit,
baru aku akan mengumumkan asal-usul soehoe. Hanya dengan berbuat begitu
aku bisa membikin nama soehoe menjadi harum untuk selama-lamanya."
Demikianlah, dengan adanya angan-angan begitu, dalam hati Kim Sie
Ie segera timbul niatan untuk meninggalkan Pulau Ular.
Akan tetapi, semenjak gurunya meninggal dunia, selama tiga tahun,
ia selalu merasa tertekan karena ada dua teka-teki yang tak dapat
dijawabnya sendiri. Teka-teki itu adalah perkataan Tokliong Tjoentjia
sebelum menarik napas yang penghabisan.
Kenapa sang guru telah memesan, supaya sesudah kepandaiannya
sempurna, ia pergi mencari orang Thiansan pay? Kenapa, jika tidak berbuat
begitu, menurut gurunya ia bisa celaka? Ia mengingat-ingat dan merasa,
bahwa ketika mengeluarkan perkataan itu, sang guru sama sekali tidak
memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Thiansan pay. Selain itu, kenapa
ia harus memperlihatkan Tokliong Pitkip kepada orang Thiansan pay? Ia
benar-benar heran. Walaupun belum pernah berkelana di Rimba Persilatan,
ia mengetahui, bahwa setiap partai sangat merahasiakan ilmu simpanan
masing-masing dan tak akan gampang-gampang membocorkannya kepada orang
luar. Apakah tak mungkin, jika tulisan gurunya itu telah ditulis dalam
keadaan setengah sadar? Huruf "minta" sudah menimbulkan rasa tak rela di
dalam hati Kim Sie Ie. Ia tak tahu, sang guru ingin memerintah ia "minta"
apa dari Thiansan pay. Ia hanya merasa, bahwa ilmu silat Tokliong
Tjoentjia yang sedemikian tingginya tak memerlukan apapun juga dari orang
lain.
Yang lebih mengherankan lagi adalah meninggalnya sang guru secara
begitu tiba-tiba. Ia yakin, bahwa semua manusia tak dapat melawan takdir.
Jika sudah sampai temponya, setiap manusia memang harus berpulang ke alam
baka. Akan tetapi, dengan memiliki ilmu yang tak bisa diukur tingginya,
kenapa sang guru tak dapat bertahan untuk beberapa saat, guna
menyampaikan pesan terakhir kepadanya.
Ketika baru datang, Kim Sie Ie memang berniat untuk berdiam terus
di Pulau Ular sepanjang hidupnya. Akan tetapi, sesudah gurunya meninggal
dunia, perlahan-lahan ia merasa kesepian dan tak betah. Ketika baru
datang, ia masih berusia sebelas tahun. Sekarang, sesudah lewat sepuluh
tahun, ia sudah menjadi seorang pemuda yang berusia dua puluh satu tahun.
Perasaan dan pikiran seorang dewasa berbeda jauh dengan angan-angan anak
kecil. Dulu, ia sudah merasa puas dengan dunianya yang sempit kecil.
Dulu, hari-hari dapat dilewatinya dengan gembira, ia bermain dengan ular,
menangkap burung, berenang, main pasir dan sebagainya. Tapi sekarang,
saban-saban ia teringat kepada dunia luar, dunia yang luas dan ramai,
meskipun dunia itu agak asing baginya dan sangat dibencinya.
Demikianlah, ditambah dengan beberapa teka-teki itu yang selalu
mengganggu pikirannya, sesudah kurang lebih tiga tahun Tokliong Tjoentjia
meninggal dunia, ia tak tahan lagi. Dengan membawa tongkat dan kitab
gurunya, ia naik sebuah perahu kecil, menyeberangi laut untuk merantau ke
daratan Tiongkok
Sepuluh tahun adalah jangka waktu yang tidak terlalu pendek dan
juga tidak terlalu panjang. Akan tetapi, bagi Kim Sie Ie, jangka waktu
itu telah mengubahnya sama sekali. Dari seorang anak berpenyakit kusta
yang dikejar dan dihina orang, ia sekarang sudah menjadi pemuda tampan
yang mempunyai kepandaian sangat tinggi.
Tapi pemuda itu mempunyai suatu tujuan edan. Ia menantang dunia
yang pernah menghinanya! Dengan lweekang-nya yang sangat tinggi, ia bisa
mengubah mukanya, sehingga kelihatan sebagai penderita kusta. Celakalah
orang yang berani menghinanya! Delikan dibalas dengan delikan, gigi
dibayar dengan gigi! Banyak orang yang berpapasan dengan dia, lantas saja
dianggapnya berdosa, menangis salah, tertawa pun keliru. Kemana saja ia
pergi, ia tentu mencari jago-jago setempat untuk diajak mengadu
kepandaian. Begitulah, dalam beberapa tahun saja, nama Toktjhioe Hongkay
sudah menggetarkan seluruh dunia Kangouw. Dalam menjajal ilmu, belum
pernah ia menemukan tandingan. Semakin besar nama seorang jago dari
kalangan Kangouw, semakin hebat orang itu dipermainkan, sehingga banyak
orang ternama buru-buru menyingkir jika Kim Sie Ie hendak menjumpainya.
Ia pernah berniat mencari Kam Hong Tie dan Lu Soe Nio, tapi
belakangan ia mendengar, bahwa Kam Hong Tie sudah meninggal dunia, sedang
Lu Soe Nio sudah lama menyingkir dari pergaulan umum. Oleh sebab itu, ia
telah melepaskan niatannya itu. Menurut gurunya, dalam Rimba Persilatan
hanya terdapat dua orang mulia, yaitu Kam Tayhiap dan Lu Liehiap. Sesudah
yang satu meninggal dunia dan yang lain menghilang, tanpa sungkan-sungkan
lagi, ia mempermainkan siapa saja yang hendak dipermainkannya.
Selama beberapa tahun, sudah banyak jago roboh dalam tangannya.
Setiap kali memperoleh kemenangan, hatinya menjadi gembira. Akan tetapi,
kegembiraan itu selalu disusul dengan rasa kesepian dan kedukaan. Semakin
banyak ia mendapat kemenangan, semakin besar kedukaannya. Kegembiraan itu
hanya bagaikan pelangi di tepi langit, suatu bayang-bayang tak kekal,
sedang kesepiannya dan kedukaannya sebagai juga awan tebal yang gelap
suram dan selalu meliputi seluruh jiwa dan pikirannya!
Kenapa? Karena dia mempermainkan dunia, dunia meninggalkan dia
seorang diri. Tak ada seorang manusia pun yang dapat disebutkannya
sebagai sahabatnya. Juga tak ada manusia yang menganggap dia sebagai
orang waras. Dia menghantam dunia, tapi dunia membalas menghantamnya
dengan tenaga yang seratus kali lebih dahsyat. Apa yang didapatnya tiada
lain daripada kesepian... kesepian... kesepian... tiada habisnya, tiada
akhirnya.
Menurut rencananya sesudah menjatuhkan jago-jago di wilayah
Tionggoan, ia akan berkelana ke daerah barat laut untuk coba mencari
Tjiangboendjin dari Thiansan pay. Tak dinyana, sebelum kakinya menginjak
Sinkiang, di gunung Tjiakdjie san, ia bertemu dengan seorang wanita yang
memperlakukan dirinya sebagai sahabat, yang tak menghina, tak membenci,
malah berusaha untuk mengobati dirinya serta bersedia untuk berjalan
bersama-sama. Wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie. Tapi ia tak
mengetahui, bahwa Pengtjoan Thianlie sebenarnya belum pernah mengenal
penyakit kusta dan belum pernah melihat seorang penderita kusta.
Pertemuan itu seakan-akan menembusnya sinar matahari yang hangat ke
dalam lembah yang sunyi lagi dingin. Tanpa merasa, Koei Peng Go telah
membuka hatinya. Kecuali dengan gurunya, ia tak pernah mempunyai
keinginan untuk bersahabat dengan manusia. Tapi begitu bertemu dengan si
nona, ia merasa berat untuk berpisah lagi. Perasaan itu sama sekali bebas
dari niat kurang baik dan caci Yoe Peng bahwa "kodok buduk ingin makan
daging angsa langit" adalah cacian yang tidak pada tempatnya, Kim Sie le
hanya merasa, bahwa dalam dunia ini Pengtjoan Thianlie adalah manusia
satu-satunya yang boleh dijadikan sahabatnya.
Di Tjiakdjie san, ia juga bertemu dengan Tong Keng Thian.
Belakangan, sesudah mengetahui, bahwa Keng Thian adalah murid Thiansan
pay dan kecintaan Peng Go, entah kenapa, di dalam hatinya segera muncul
rasa mengiri. Semula ia berniat mencari Tjiangboendjin dari Thiansan pay
untuk lebih dulu diajak mengadu silat dan kemudian ia akan coba
menyelidiki perhubungan antara gurunya dan partai tersebut, untuk
memecahkan teka-teki yang memberatkan hatinya. Akan tetapi, sesudah
bertemu dengan Keng Thian, ia mengurungkan niatannya itu, pertama karena
adanya perasaan mengiri, kedua karena ia tak sudi meminta apapun juga
dari Thiansan pay dan ketiga karena ia mendapat kenyataan, bahwa ilmu
silat Keng Thian tidak berada di bawahnya. "Bocah itu adalah houwpwee
(orang yang tingkatannya rendah) dalam Thiansan pay dan kepandaiannya
sudah begitu tinggi," pikirnya. "Ayahnya, yang menjadi Tjiangboendjin,
sudah tentu mempunyai kepandaian yang lebih tinggi daripada aku. Kalau
begitu, kepandaianku belum sempurna."
Sebagai orang yang beradat angkuh, ia segera mengambil putusan
untuk mempelajari lagi Tokliong Pitkip dan sesudah kepandaiannya
meningkat sampai setara dengan gurunya, barulah ia akan pergi ke Thiansan
untuk menantang bertanding.
Demikianlah, diam-diam ia menguntit Pengtjoan Thianlie dan sengaja
merenggangkan perhubungan kedua orang muda itu. Tentu saja tindakan itu
bukan tindakan seorang ksatria. Tapi di dalam otak Kim Sie Ie memang tak
ada soal ksatria. Jiwanya masih seperti jiwa anak kecil. Jika ia suka
akan suatu barang, ia tak mau anak lain datang merebutnya. Masih untung,
bahwa hatinya bebas dari niat jahat. Jika bukan begitu, di waktu Keng
Thian masih sakit di rumah keluarga Tjee, dengan mudah ia bisa
membinasakan pemuda itu.
Kim Sie Ie menguntit terus sampai di Gobie san. Di luar dugaannya,
disitu ia membentur tembok. Cacian Yoe Peng sedikitpun tak dihiraukannya.
Tapi semprotan si nona yang menggunakan kata-kata "lagak buaya" seolah-
olah halilintar yang menghantam batok kepalanya...

***

Bagaikan bayang-bayang kacau, kejadian-kejadian yang lampau itu


berkelebat-kelebat di depan matanya, Semakin lama, ia jadi semakin
berduka, sehingga akhirnya ia menjadi kalap. Ia bergulingan di atas
tanah, tanpa memperdulikan duri-duri yang melukakan kulitnya. Seperti
orang gila, ia berteriak-teriak, menangis keras dan tertawa terbahak-
bahak, sesudah kenyang menangis dan tertawa, ia merobek-robek pakaiannya
dan kemudian menyeburkan diri ke dalam sebuah sungai kecil. Lama sekali
ia mandi disitu dan perlahan-lahan, otaknya yang panas menjadi agak
dingin. Sambil memandang bayangannya sendiri, ia berkata seorang diri:
"Orang ini bukannya aku. Apakah mukaku yang asli seperti muka ini?"
Mendadak ia meloncat ke atas dan membuka bungkusannya yang
ditinggalkan di bawah pohon. Ia mengambil dan memakai lagi pakaian
rombeng yang biasa dipakainya dalam penyamaran sebagai penderita kusta.
Sesudah itu, ia memoles mukanya dengan bubuk obat dan mengerahkan
lweekang-nya. Dalam sekejap, mukanya berubah bersinar merah dan di
sekujur badannya muncul "bisul-bisul". Sekali lagi ia sudah menjadi
penderita kusta yang menakutkan. Ia lari ke pinggir solokan dan berkaca
di permukaan air itu. "Nah! Inilah baru wajahku yang asli!" katanya
sembari tertawa terbahak-bahak.
Sebagaimana diketahui, sesudah bergaul dengan Koei Peng Go, watak
Kim Sie Ie yang aneh telah banyak berkurang. Oleh karena mengetahui,
bahwa Pengtjoan Thianlie tak menyukai penyamarannya, ia pernah bersumpah
untuk menghentikan penyamaran itu untuk selama-lamanya. Ia malah sudah
mencuri pakaian bagus guna
menyenangkan Peng Go. Tapi tak dinyana malam itu Pengtjoan Thianlie
telah mengeluarkan kata-kata menusuk, sehingga kebenciannya kepada dunia
yang sudah ditindasnya, kembali muncul dalam hatinya, malah lebih dahsyat
dari semula. Apa yang dirasakannya bukanlah kekecewaan akibat kegagalan
dalam percintaan. Pada hakekatnya, ia belum mengenal cinta. Yang
dipikirkannya pada saat itu, adalah kegetiran pengasingan dan penghinaan,
yang seratus kali lebih hebat daripada kekecewaan karena gagal dalam
percintaan.
Sesudah memandang romannya di air bening, sekonyong-konyong, sambil
memperdengarkan tertawanya sebagai orang gila, ia mengambil lumpur yang
lalu dipoleskan ke sekujur badan dan mukanya. "Manusia membenci aku,"
katanya di dalam hati. "Baiklah! Biarlah mereka lebih membenci diriku
lagi!"
Mendadak di belakangnya terdengar suara "he-he", suara tertawa yang
sedap dan nakal kedengarannya. "Aha! Kodok buduk ini benar-benar lucu!"
demikian terdengar suara seorang wanita.
Kim Sie Ie lantas saja naik darah. Ia memutarkan badannya dan
menimpuk dengan tanah. "Benar-benar tolol!" wanita itu berkata pula. "Kau
merusak badanmu sendiri, siapa yang akan mengasihani dirimu?"
Gerakan Kim Sie Ie itu cepat bagaikan kilat. Ia menimpuk sembari
melompat ke jurusan suara itu. Dengan timpukan yang disertai Iweekang,
segenggam tanah itu tak kalah hebatnya dari sebuah batu. Dengan berbunyi
"tak!", sebatang dahan pohon sudah menjadi patah. Tapi ia menubruk tempat
kosong, disitu tak terdapat bayangan manusia.
Bukan main kagetnya Kim Sie Ie. Semenjak berkelana di dunia
Kangouw, ia sudah merobohkan banyak jago-jago ternama dan orang-orang
yang bisa menandingi ia hanyalah Tong Keng Thian, Pengtjoan Thianlie dan
Hiatsintjoe tiga orang. Maka, seketika itu, ia terperanjat ketika
mendapat kenyataan, bahwa ia sekarang sedang menghadapi lawan berat,
lebih-lebih karena lawan itu adalah seorang wanita.
Dengan penasaran ia mengejar ke dalam hutan. Sekonyong-konyong di
belakangnya kembali terdengar suara tertawa. "Budi harus dibalas dengan
budi," kata wanita itu. "Sambutlah senjata rahasiaku!"
Sambil membentak keras, Kim Sie Ie memutarkan badannya dan
menubruk, sembari menutup semua jalan darahnya guna menjaga serangan
senjata rahasia. Ia percaya, bahwa sekali ini tubrukannya akan berhasil.
Tapi dugaannya meleset jauh. Sebelum tangannya bisa mencengkeram
tubuh wanita itu, yang ternyata mengenakan pakaian putih, sudah melesat
ke atas setinggi beberapa tombak dan melayang lewat di atas kepalanya.
Hampir berbareng dengan itu, matanya berkunang-kunang dan sejumlah
"senjata rahasia" menyambar ke seluruh badannya. "Senjata-senjata
rahasia" itu, tiada satu yang meleset, beberapa antaranya, yang rasanya
dingin-dingin, mengenai mukanya. Kim Sie Ie mengusap mukanya dan ia
menjadi kaget bukan main. Ternyata, "senjata rahasia" itu adalah daun-
daun bunga yang belum kering, sehingga terasa dingin di kulit!
Ia mendongkol tercampur geli. Sebagai orang yang biasa
mempermainkan manusia, ia sekarang dipermainkan orang, Ia mencari ubek-
ubekan di hutan itu, tapi si wanita sudah tak kelihatan bayang-bayangnya
lagi. Karena lelah, ia lalu tidur di dalam hutan itu dan baru mendusin
keesokan harinya.
Hari itu, ia kembali mencari wanita itu, yang telah mempermainkan
dirinya, tapi hasilnya tetap nihil. Ia menduga, bahwa Pengtjoan Thianlie
tentu sudah masuk ke Kimkong sie dan sebenarnya ia ingin turut masuk ke
kuil itu untuk mengacau. Tapi, setelah melihat munculnya Tong Keng Thian
dan mengingat kata-kata si nona yang menusuk, ia mengurungkan niatan
tersebut. Malam itu ia berkeliaran di sekitar kuil itu untuk mengganggu
para tamu. Ia menggoda Loei Tjin Tjoe, menggebah Hiatsintjoe dan kemudian
mempermainkan Tjia In Tjin. Di luar dugaannya, sekonyong-konyong wanita
yang sedang dicarinya itu menampakkan diri. Dengan menggunakan jarum,
wanita itu memukul jatuh semua batu yang dilontarkannya untuk menimpuk
jalan darah Tjia In Tjin.
Kejadian itu telah dituturkan oleh Tjia In Tjin kepada Tong Keng
Thian yang menjadi terheran-heran. Ia menduga, bahwa wanita itu adalah
Pengtjoan Thianlie. Tapi Kim Sie Ie yang tersangkut secara langsung,
bahkan lebih heran lagi.
Dengan rasa penasaran, ia segera meninggalkan Tjia In Tjin dan
mengejar wanita itu ke dalam hutan. Kali ini wanita itu tak lari secepat
kemarin malamnya, seperti juga mau memancing Kim Sie Ie. Bagaikan seekor
burung, ia meloncat dari dahan ke dahan dan di tengah malam yang hanya
diterangi sinar bulan yang remang-remang, Kim Sie Ie hanya dapat melihat
bayangannya yang sebentar lenyap untuk sesaat kemudian muncul kembali di
antara daun-daun pohon. "Apa dalam dunia ini benar-benar terdapat wanita
yang ilmu mengentengkan badannya sedemikian tinggi?" tanya Kim Sie Ie
kepada dirinya sendiri. "Apakah dia bukan dewi hutan?"
Dari Kimteng -- yaitu puncak Gobie san yang tertinggi – Kim Sie Ie
mengejar terus sampai di Houwtjoepo (Tanjakan Kera). Tiba-tiba, wanita
itu lenyap dari pemandangan. "Aku tak percaya, bahwa di dunia ada dewi,"
katanya di dalam hati. "Aku yang menganggap diriku sendiri paling pandai
dalam dunia, sekarang baru mengerti, bahwa di luar langit masih terdapat
langit. Tong Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie kira-kira berusia sama
dengan aku dan kepandaian mereka pun tidak berada di bawahku. Tapi wanita
itu, yang mestinya masih berusia sangat muda, mempunyai kepandaian yang
beberapa kali lebih tinggi daripada aku."
Selagi ia melamun, mendadak terdengar jeritan kera. Ia mengangkat
kepalanya dan melihat beberapa ekor kera sedang turun dari lamping
gunung. Tiba-tiba timbul kegembiraannya. Ia memburu mereka dan menangkap
seekor yang lantas menjerit-jerit, sedang kawan-kawannya segera melarikan
diri.
"Betapa gesitpun, tak dapat kau terlolos dari tanganku," katanya
sembari tertawa. Sesaat kemudian, ia melepaskan kera yang pertama itu dan
mengejar serta menangkap
seekor kera lain. Selagi ia keenakan mengganggu kawanan kera itu,
sekonyong-konyong dari atas sebuah batu besar terdengar suara tertawa
yang tak asing lagi baginya.
Kim Sie Ie mendongak. Kali ini, ia dapat melihat wanita itu secara
tegas. Disinari cahaya bulan, si nona kelihatan duduk di atas batu. Ia
mengenakan baju berwarna ungu, rambutnya terikat oleh dua cincin emas,
parasnya cantik dan segar, sedang usianya paling banyak baru delapan
belas tahun. Dengan sikap jenaka selaku anak nakal, ia menuding Kim Sie
Ie sembari tertawa geli.
Kim Sie Ie memandangnya dengan mulut ternganga, ia benar-benar
kesima Sediktpun ia tak menyangka, bahwa si nona berusia semuda itu.
Walaupun sudah berpengalaman sangat luas, ketika itu Kim Sie Ie tak dapat
menyembunyikan tercengangnya.
"Kera tak pandai bersilat," kata nona itu. "Guna apa kau menangkap
mereka?"
Kim Sie Ie terkejut. Inilah wanita kedua yang tak jijik kepada
penderita kusta, malah sikapnya lebih bebas dan ramah daripada Pengtjoan
Thianlie. Kim Sie Ie tetap mengawaskannya, tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
"Eh, apakah kau tuli?" teriak si nona sembari tertawa terkekeh-
kekeh. "Dengan kekerasan, kau menangkap mereka. Mereka jadi membenci kau.
Lihatlah aku!"
"Baik," jawab Sie Ie.
Si nona kembali tertawa geli dan kemudian menyanyi:
"Sang kera! Sang kera! Kera nakal tak punya otak. Mari, mari, mari!
Aku membawa buah untukmu, mari kita bersahabat!"
Beberapa saat kemudian, benar saja beberapa ekor kera muncul dan
mendekatinya, semakin lama jumlah mereka jadi semakin besar. Dengan
gembira, si nona menari-nari dan menyanyi. Dari sakunya ia mengeluarkan
seraup buah Leetjie yang segera dibagikannya kepada kawanan kera itu yang
segera berebut mengambilnya.
Pertunjukan itu bisa terjadi, bukannya karena si nona mempunyai
ilmu luar biasa, tapi sebab kawanan kera di Houwtjoepo memang tak takut
kepada manusia. Mereka biasa berjumpa dengan para hweeshio dan sering
sekali, beramai-ramai mereka datang untuk meminta makanan dari orang-
orang beribadat yang berdiam di kuil itu.
Kim Sie Ie mengawaskan pertunjukan itu dengan sorot mata heran.
"Jika kau berlaku baik terhadap mereka, mereka pun bersikap manis
terhadapmu," kata si nona sembari tertawa. "Jika kau menghina mereka,
mana mereka mau bersahabat dengan kau?"
Jantung Kim Sie Ie berdebar keras. Kata-kata itu seolah-olah
sengaja diucapkan untuk memberi nasehat kepadanya, yang biasa mengganggu
sesama manusia. Oleh karena merasa ketarik, ia segera mendaki batu besar
itu untuk turut bermain-main. Tapi, sebelum ia bisa mendekati kawanan
kera itu, mereka lari serabutan dengan ketakutan. "Kurang ajar!" bentak
si nona. "Kenapa kau menakut-nakuti keraku?"
Melihat wanita muda itu gusar, Kim Sie Ie mengangkat tongkat
besinya dan menjejek kakinya di atas batu, sehingga tubuhnya lantas saja
meluncur ke atas, setinggi tiga tombak dengan gerakan Itho tjiongthian
(Burung Ho menembus langit). Selagi tubuhnya masih berada di tengah
udara, ia memukul dengan tongkatnya untuk menjajal ilmu si nona.
"Bagus!" seru nona itu. "Pandai benar kau menghina orang!" Mendadak
badannya melayang ke atas, ujung kakinya menotol tongkat Kim Sie Ie dan,
dengan meminjam tenaga totolan itu, tubuhnya kembali melesat beberapa
tombak tingginya, akan kemudian, sembari memutarkan badan, bagaikan
seekor burung, ia hingggap di tanjakan gunung. Itulah suatu gerakan yang
indah luar biasa! Di lain saat, nona itu sudah tak kelihatan lagi bayang-
bayangnya.
Kim Sie Ie jadi terpaku. Lapat-lapat ia ingat, bahwa ia pernah
melihat gerakan seperti yang barusan diperlihatkan wanita itu. Sesudah
berpikir beberapa saat, ia baru mendusin. Gerakan itu menyerupai
gerakan Niauw-eng (semacam elang). Di dekat Pulau Ular terdapat sebuah
pulau lain yang diberi nama Niauw-eng to (Pulau Niauw-eng), dimana hidup
semacam burung buas yang macamnya seperti kucing. Burung itu, yang
merupakan musuh ular, dengan berkawan sering menyatroni Pulau Ular
dan bertempur dengan kawanan ular. Selama sepuluh tahun berdiam di pulau
tersebut, Kim Sie Ie pernah beberapa kali menyaksikan pertempuran yang
luar biasa itu. Menurut penuturan gurunya, di Niauw-eng to pernah hidup
dua saudara kembar, yaitu Sat Thian Tjek dan Sat Thian Touw, yang
mempelajari cara-cara burung-burung buas itu bergerak dalam pertempuran.
Tapi sekarang mereka sudah meninggal dunia dan menurut kata gurunya,
mereka tak mempunyai murid yang mewarisi kepandaian mereka. Dari manakah
wanita itu mendapat ilmunya? Kim Sie Ie merasa heran, tapi di detik
selanjutnya, ia ingat akan hal lain yang lebih, mengherankan lagi.
"Bahwa wanita itu memiliki kepandaian untuk berkelahi seperti
Niauw-eng, adalah kejadian yang luar biasa," pikirnya. "Tapi, ketika
barusan dia menotol tongkatku, tenaga dan kepandaiannya tidak terlalu
hebat dan sudah pasti tidak lebih tinggi daripada kepandaianku. Kenapa
bisa begitu?"
Harus diketahui, bahwa bagi seorang ahli silat, bergerak sekali
saja sudah cukup untuk mengetahui cetek dalamnya lweekang musuh. Selama
dua malam, tiga kali wanita itu sudah menampakkan diri. Pertama, ia
menimpuk Kim Sie Ie dengan daun bunga. Kedua, dengan jarum ia menjatuhkan
batu yang ditimpukkan oleh Kim Sie Ie. Dalam dua kejadian itu teranglah
sudah, bahwa lweekang-nya tak terkira lagi tingginya. Tapi, sungguh
heran, dalam pertemuan ketiga, kepandaian yang diperlihatkan nona itu,
jauh lebih rendah daripada dalam dua pertemuan yang lebih dulu.
"Mungkinkah ia hanya berpura-pura?" tanya Kim Sie Ie di dalam
hatinya. "Apakah bisa jadi, kepandaiannya sudah begitu tinggi, sehingga
ia bisa menambah dan mengurangkan tenaganya sesuka hatinya? Akan tetapi,
dengan kepandaian yang sekarang kumiliki, aku tentu bisa melihat, jika ia
berpura-pura. Apakah wanita yang muncul lebih dulu itu bukannya dia?" Ia
mengasah otak dan kemudian berkata pula di dalam hatinya: "Tidak, tak
mungkin! Walaupun dunia ini cukup lebar, akan tetapi, untuk mendapatkan
seorang wanita saja yang berkepandaian sedemikian tingginya, sudah tidak
gampang. Mana bisa ada seorang lain lagi? Di samping itu, meskipun dalam
dua pertemuan yang terdahulu, aku tak bisa melihat wajahnya dengan tegas,
tapi baik potongan badan, maupun ilmu mengentengkan badannya, semuanya
tiada berbeda. Tak mungkin aku salah mata." Semakin memikirkannya, ia
jadi semakin heran dan semalam suntuk, ia ubak-ubakan di hutan itu untuk
coba mencari wanita yang aneh itu.
Demikianlah, biarpun berotak cerdas, Kim Sie Ie sama-sekali tidak
menyadari, bahwa dalam tiga pertemuan itu, yang muncul adalah dua orang,
seorang ibu dan puterinya. Yang menimpukkan daun bunga dan jarum adalah
Phang Lin, sedang yang memancing ia ke dalam hutan adalah Lie Kim Bwee
puterinya.
Waktu itu, Phang Lin sudah berusia empat puluh tahun lebih. Tapi
jika dipandang dari jauh, wajahnya tiada bedanya dengan seorang wanita
muda. Yang lebih luar biasa lagi, adat dan tingkah lakunya masih tetap
seperti seorang anak nakal.
Sebagaimana diketahui, sebagai akibat dari guyon-guyon Phang Lin di
atas gunung Mostako, Pengtjoan Thianlie telah kabur dengan perasaan
mendongkol. Setelah disesalkan oleh kakaknya, yaitu Phang Eng, dan
mengetahui adanya percintaan antara Keng Thian dan Peng Go, ia telah
berjanji akan berusaha untuk merangkap jodoh kedua orang muda itu. Phang
Eng yang mengenal adat adiknya, tidak menganggap, bahwa janji itu dibuat
dengan sungguh-sungguh. Tapi di luar dugaannya, si adik benar-benar
melaksanakan kata-katanya dan menguntit Keng Thian sampai di Gobie san.
Semula ia tak mau mengajak Kim Bwee, tapi puterinya yang berandalan itu
tak mau mengerti, sehingga akhirnya ia menyerah juga.
Apa yang terjadi antara Tong Keng Thian, Koei Peng Go dan 'Kim Sie
Ie, telah diketahui semua olehnya. Di samping itu, dengan penuh rasa
simpati, ia juga menyaksikan segala penderitaan dan kedukaan Kim Sie [e.
Walaupun nasib mereka tidak sama, di waktu kecil, Phang Lin juga pernah
merasakan pahit getirnya penghidupan. Dalam usia satu tahun, ia telah
ditinggal mati oleh ayahnya. Belakangan ia diculik oleh sepasang memedi,
yaitu Sat Thian Tjek dan Sat Thian Touw, yang menyembunyikannya di dalam
istana Soehongtjoe (putera kaizar yang ke empat) In Tjeng (belakangan
kaizar Yong Tjeng). Selama berdiam dalam istana itu, ia telah memperoleh
banyak macam ilmu, antaranya ilmu untuk berkelahi seperti Niauw-eng yang
diajarkan oleh sepasang memedi itu. Meskipun begitu, dalam lingkungan
mewah itu juga, ia telah merasakan banyak penderitaan. Karena ia sendiri
pernah mengalami banyak kegetiran, ia jadi bersimpati kepada setiap orang
yang sedang menderita.
Sesudah menyingkir dari Kim Sie Ie. Kim Bwee lalu pergi menemui
ibunya di dalam hutan. "Sebelum turun dari Thiansan, aku sudah mendengar,
bahwa di Tionggoan telah muncul seorang Toktjhioe Hongkay yang sangat
jahat," kata Phang Lin sembari tertawa. "Tak tahunya, si jahat adalah
dia! Eh, apakah tidak lebih baik, jika sesudah puas mempermainkan dia,
kita bunuh saja pengemis itu?"
"Kenapa?" tanya puterinya. "Aku merasa kasihan."
"Bagaimana jika dibandingkan dengan Piauwko-mu (Tong Keng Thian)?"
tanya pula sang ibu.
"Ilmu silat dan usia mereka kira-kira berimbang," sahut Kim Bwee.
"Tapi sikap Piauwko terlalu mirip dengan orang dewasa, tidak begitu
menarik seperti dia."
Phang Lin menghela napas dan kemudian berkata sembari tertawa:
"Baiklah! Kalau begitu, tak jadi kubunuh dia. Biarlah dia hidup terus
untuk mengawani kau."
Si nona yang masih belum mengenal percintaan, mengetahui, bahwa
ibunya sedang berkelakar. Ia tertawa cekikikan dan menubruk sang ibu.
"Ilmu mengentengkan badanmu lebih tinggi daripada dia," kata pula
sang ibu. "Tapi dalam hal-hal lain, kau masih kalah. Sekarang aku ingin
mengajarkan semacam ilmu kepadamu untuk mengalahkan dia, supaya kau bisa
mempermainkannya tanpa dia sendiri bisa mengganggu kau."
"Apakah kau masih menganggap aku seperti anak kecil?" tanya Kim
Bwee dengan nada tak percaya. "Mana bisa ilmu silat dipelajari begitu
cepat?"
"Ilmu yang akan kuajarkan, hanya bisa digunakan untuk merobohkan
dia," Phang Lin menerangkan. "Terhadap orang lain, ilmu itu tak berguna.
Kau percaya atau tidak?"
Melihat paras ibunya yang sungguh-sungguh, Kim Bwee jadi setengah
percaya setengah tidak dan ia mengikuti Phang Lin masuk ke hutan untuk
berlatih. Ibu dan anak itu mempunyai watak yang sama. Jika sudah mulai -
mengerjakan sesuatu, mereka tak akan berhenti di tengah jalan. Semula
mereka ingin mengunjungi Moh Tjoan Seng pada hari Kiatyan. Akan tetapi,
karena adanya kegembiraan lain, mereka jadi melupakan segala apa.
Malam itu, baik Tong Keng Thian maupun Kim Sie Ie tak tidur semalam
suntuk. Keesokan paginya tibalah hari Kiatyan.

***

Begitu sang matahari terbit di kuil Kimkong sie terdengar seratus


delapan kali suara lonceng. Tayhong Potian (ruang sembahyang yang paling
besar) disapu bersih untuk menerima kehadiran para ahli silat dari
segenap Rimba Persilatan.
Kali ini, tamu yang datang berkunjung luar biasa banyaknya. Murid-
murid Boetong pay bertindak sebagai tuan rumah untuk menyambut para tamu
dan sebagian besar berkumpul di sekitar tempat memberikan ceramah. Tong
Keng Thian duduk di antara para tamu. Dengan matanya yang sangat tajam,
ia menyapu semua orang sambil menghela napas. Ia merasa sayang, karena
keadaan Boetong pay cabang Selatan sangat merosot dan di antara murid-
murid turunan kedua, tak seorang jua dapat mendekati kepandaian pemuka
mereka, yang sudah tua itu.
Seluruh ruang besar itu sunyi-senyap, semua orang menantikan Moh
Tjoan Seng. Tiba-tiba, di luar terdengan suara tertawa "haha-hihi" yang
sangat ramai. Loei Tjin Tjoe terkejut, buru-buru ia lari keluar untuk
menyelidiki. Ternyata, suara tertawa itu keluar dari mulut belasan murid
Boetong yang terus menari-nari dan melompat-lompat seperti orang edan.
Tak usah diragukan lagi, bahwa semua itu adalah perbuatan si penderita
kusta!
Bukan main malunya orang-orang Boetong pay. Mereka tak tahu harus
berbuat bagaimana, dan berdiri termangu-mangu laksana patung.
Di saat itu, tiba-tiba Tong Keng Thian melompat keluar dan tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia menepuk dan menggampar belasan orang yang
sedang menari-nari itu.
Segenap murid Boetong lantas menjadi gusar dan empat murid yang
mengikuti Loei Tjin Tjoe, segera bergerak untuk mengepung Keng Thian.
Muka Loei Tjin Tjoe kelihatan menyeramkan. "Goblok!" ia membentak
dengan suara perlahan. "Apakah kamu buta? Dia sedang memberikan
pertolongan!" Benar saja, dalam sekejap belasan murid Boetong itu sudah
tenang kembali.
Ternyata, oleh karena harus menggunakan terlalu banyak tempo jika
mesti membuka jalan darah mereka satu persatu, maka Keng Thian telah
menggunakan ilmu Sintjiang kayhiat (Membuka jalan darah dengan pukulan).
Melihat kepandaian pemuda itu, semua ahli silat disitu jadi merasa kagum.
Tiba-tiba lonceng kuil berdentang berulang-ulang, sebagai tanda,
bahwa Moh Tjoan Seng akan segera keluar.
Sebagaimana diketahui, Moh Tjoan Seng telah diakui sebagai ahli
silat nomor satu di wilayah Tionggoan. Sepuluh tahun sekali, ia
mengadakan Kiatyan, yaitu mengadakan perhimpunan besar untuk memberi
ceramah tentang ilmu silat dan memberi petunjuk-petunjuk kepada mereka
yang memintanya. Sekarang ia sudah berusia lanjut dan mungkin sekali,
Kiatyan sekali ini, adalah yang terakhir.
Begitu mendengar gema lonceng, para hadirin, yang terdiri dari
ahli-ahli berbagai cabang persilatan, lantas saja berhenti bicara dan
mengambil tempat duduk. Dengan demikian, Keng Thian terbebas dari banyak
pertanyaan dan ia pun segera duduk di antara orang banyak. Di lain saat,
ruang yang barusan ramai dengan suara orang, berubah sunyi.
Dengan matanya Keng Thian menyapu semua orang. Segera juga ia
mendapat kenyataan, bahwa sejumlah orang yang duduk di barisan kursi
terdepan, bersikap agak mencurigakan, sinar wajah mereka mencerminkan
maksud kurang baik. Ia menghela napas dan berkata di dalam hatinya:
"Benar juga, jika dikatakan, bahwa pohon yang tinggi mengundang angin,
nama yang besar menimbulkan perasaan mengiri."
Sesudah lonceng berbunyi delapan belas kali, hweeshio kepala dari
Kimkong sie mengantar Moh Tjoan Seng keluar dari ruang dalam. Keng Thian
mengawasi orang terkemuka dalam Rimba Persilatan itu yang ternyata
berparas agung, penuh welas asih, sedang rambut dan alisnya sudah putih
semua. Dengan sinar mata yang tajam luar biasa, Moh Tjoan Seng menyapu
seluruh ruangan.
"Ilmu silat dapat diumpamakan dengan laut," demikian Moh Tayhiap
mulai dengan suara perlahan. "Seperti juga laut, ilmupun tak bisa diukur
bagaimana tingginya. Walaupun sudah hidup agak lama dalam dunia ini, aku
si tua sebenarnya hanya mengenal kulit luar ilmu itu dan belum pantas
dinamakan ahli. Dalam Kiatyan ini, sama sekali bukan maksudku untuk
berlagak menjadi guru. Kita berkumpul disini, hanya untuk merundingkan
hal-hal ilmu silat secara sahabat." Demikianlah kata-kata pembukaan Moh
Tayhiap yang sangat merendahkan diri.
Harus diketahui, bahwa asal mula Kiatyan sebagai itu, adalah karena
permintaan murid-murid Boetong, supaya Moh Tjoan Seng menetapkan suatu
hari untuk memberikan kepada mereka petunjuk-petunjuk mengenai ilmu
silat. Belakangan, pertemuan itu dihadiri juga oleh ahli-ahli silat
berbagai partai yang semakin lama jadi semakin besar jumlahnya, sehingga
akhirnya Moh Tjoan Seng mengambil putusan untuk sekali dalam sepuluh
tahun mengadakan Kiatyan. Dengan demikian, ia telah diakui sebagai
seorang guru dalam Rimba Persilatan.
Kata-kata pembukaannya yang merendahkan diri disambut dengan rasa
kagum oleh para hadirin, malah juga oleh mereka yang ketika itu
mengandung maksud kurang baik. Tayhiong Potian adalah sebuah ruang yang
sangat luas, panjangnya belasan tombak dan lebarnya pun belasan tombak.
Moh Tjoan Seng berbicara perlahan, tapi setiap orang dapat mendengarnya
sama tegasnya, tak ada yang mendengar lebih terang atau kurang jelas.
"Nama besar Moh Lootjianpwee sungguh bukan nama kosong," kata Keng
Thian di dalam hatinya.
"Dalam usia begitu lanjut, lvveekang-nya masih begitu teguh,
sehingga sedkitnya ia tak kalah dengan ayahku."
Seorang yang lweekang-nya tinggi memang bisa mengirimkan suaranya
ke tempat jauh. Andaikata ia berbicara dalam suatu ruang yang luasnya
seperti Tayhiong Potian, mereka yang berada di barisan depan akan
mendengarnya sebagai mendengar geledek, sedang mereka yang berada di
sebelah belakang akan merasa telinganya seperti "ditusuk" gelombang suara
itu. Akan tetapi, suara Moh Tjoan Seng itu, lain dari yang lain. Semua
orang, yang di depan maupun yang di belakang, mendengar suara itu seakan-
akan Moh Tayhiap berbicara di hadapannya, tak keras dan tak perlahan
serta telinganya tak usah mengalami segala perasaan kurang enak. Itulah
suatu bukti, bahwa Iweekang Moh Tayhiap sudah mencapai puncak
kesempurnaan.
Sesudah itu, Moh Tjoan Seng segera memberi ceramah tentang
Yakinkeng. Orang-orang yang lweekang-nya sudah tinggi, mendapat banyak
petunjuk baru, sedang mereka yang baru belajar silat juga telah
memperoleh banyak penerangan berharga.
Sesudah ceramah itu selesai, menurut kebiasaan, orang-orang yang
ingin memohon petunjuk boleh segera mempertunjukkan ilmu silat masing-
masing yang paling tinggi. Menurut tradisi, orang yang mendapat hak untuk
paling dulu tampil ke muka adalah murid pertama dari turunan kedua partai
Boetong pay dan kali ini, orang itu adalah Loei Tjin Tjoe.
Sesudah memberi hormat pada pemuka partainya dan para hadirin, Loei
Tjin Tjoe segera bersilat dengan ilmu Kioekiong Patkwa tjiang. Ia
bersilat dengan bersemangat, gerak-geriknya gesit bagaikan kera,
pukulannya dan serangan-serangannya dahsyat laksana serangan harimau.
Akan tetapi, ahli-ahli kelas satu yang berada disitu merasa heran,
karena mereka sudah segera lihat kekurangan Loei Tjin Tjoe, yaitu
kelemahan dalam hal tenaga. Harus diketahui, bahwa dalam Rimba Persilatan
di wilayah Tionggoan, Loei Tjin Tjoe sudah diakui sebagai salah seorang
ahli kelas utama. Orang-orang yang mengenal ilmunya atau pernah melihat
ia mempertunjukkan kepandaiannya, rata-rata merasa, bahwa selama sepuluh
tahun, sebaliknya dari semakin maju, kepandaiannya bahkan mundur banyak.
Menurut kebiasaan, seorang ahli silat harus berlatih terus, supaya,
meskipun tak maju, scdikitpun jangan sampai merosot.
Antara mereka, hanya Tong Keng Thian yang mengetahui sebab
musababnya. Ia menghela napas dan berkata di dalam hatinya: "Sesudah
dipukul oleh Hiatsintjoe dan ditotok oleh Kim Sie Ie, meskipun sudah
dapat kutolong, tenaganya tentu sangat berkurang."
Sehabis bersilat, Loei Tjin Tjoe segera berdiri tegak menunggu
petunjuk-petunjuk Moh Tayhiap.
Moh Tjoan Seng membuka sepasang matanya lebar-lebar dan sinarnya
yang seperti kilat menyapu murid Boetong itu. Ia tersenyum seraya
berkata: "Tjianghoat-mu (pukulan-pukulan) sudah cukup lancar. Akan
tetapi, dalam Tjianghoat ini mengandung Tiamhiat hoat (ilmu menotok
jalanan darah), sehingga telapak tangan dan jeriji harus digunakan
berbareng. Tiamhiat hoat-mu masih jauh dari sempurna."
Begitu mendengar perkataan Moh Tjoan Seng, para hadirin-terkejut
tercampur heran, sedang Loei Tjin Tjoe sendiri merasa penasaran, karena
ia yakin, bahwa Tiamhiat hoat yang
dipertunjukkannya, sudah cukup sempurna. Para ahli silat sama
berpendapat, bahwa kekurangan Loei Tjin Tjoe bukan terletak pada Tiamhiat
hoat, tapi pada tenaga dalamnya. Apakah, karena sudah terlalu tua. Moh
Tjoan Seng sudah menjadi linglung?
Biarpun penasaran, Loei Tjin Tjoe tak berani membantah "Mohon
Tjouwsoe sudi mEMBERI petunjuk," katanya dengan sikap menghormat.
"Coba kau Jemari!" Moh Tjoan Seng memanggil.
Dengan tetap duduk di tempatnya, tangannya menyambar dan
jerijinya menotok jalan darah Samtjiauw hiat, di pergelangan tangan Loei
Tjin Tjoe. Si murid melompat dan sembari membalikkan tangan, Moh Tayhiap
menotok pula jalan darah Thiantjoe hiat, di punggungnya. Dengan tak
bergerak, bagaikan kilat, jeriji pemuka Boe Tong itu menotok susul
menyusul dan setiap kali, terpaksa Loei Tjin Tjoe harus berjingkrak.
Semua totokan itu di kirimkan dengan tenaga yang sudah diperhitungkan,
sehingga Loei Tjin Tjoe tidak terluka sedikit jua. Para ahli silat yang
hadir, rata-rata merasa kagum bukan main melihat Tiamhiat hoat yang luar
biasa itu dan tak akan dapat ditiru oleh Loei Tjin Tjoe. Memang dalam
ilmu silat, suatu perbandingan hanya dapat dibuat di antara orang-orang
yang berkepandaian setara. Sebagai juga dalam ilmu sastera, karangan
seorang anak kecil tentu saja tak dapat dibandingkan dengan buah karya
seorang Tjonggoan. Tapi, walaupun kagum akan kepandaian Moh Tjoan Seng,
para ahli itu masih tetap menyangsikan kebenaran pernyataannya, bahwa
kelemahan Loei Tjin Tjoe terletak pada Tiamhiat hoat-nya.
Di antara begitu banyak orang, hanya Keng Thian seorang yang
mempunyai pendapat lain. Dengan jantung berdebar keras, ia mempelajari
totokan-totokan Moh Tjoan Seng. Sebagai orang yang berkepandaian tinggi
dan berotak cerdas, segera juga ia mendapat kenyataan, bahwa ilmu totokan
itu justru sangat sesuai untuk memecahkan Tokliong Tiamhiat hoat Kim Sie
Ie. "Apakah Moh Lootjianpwee memang sengaja ingin menurunkan ilmu totokan
ini kepadaku?" tanyanya kepada dirinya sendiri.
Tong Keng Thian dan Kim Sie Ie, masing-masing mempunyai keunggulan
sendiri. Yang ditakuti Keng Thian adalah senjata rahasia beracun dan
Tokliong Tiamhiat hoat Kim Sie Ie, sebaliknya Kim Sie Ie agak gentar
kepada Thiansan Sinbong dan Thaysiebie Kiamhoat. Sekarang, sesudah
memiliki ilmu yang dapat memecahkan Tokliong Tiamhiat hoat,
kemungkinannya untuk dapat merobohkan Toktjhioe Hongkay jadi lebih besar.
Oleh sebab itu, dengan penuh kegirangan ia terus memperhatikan totokan-
totokan Moh Tayhiap.
Sesudah tiga puluh enam jalan darahnya selesai ditotok semua, Loei
Tjin Tjoe merasakan timbulnya semacam hawa panas dari jalan-jalan
darahnya yang terus masuk ke bagian Tantian (pusar). Hampir seketika itu
juga, ia merasakan sekujur badannya nyaman luar biasa dan tenaga dalamnya
bukan saja kembali seperti sediakala, tapi juga jadi semakin besar.
Sebagaimana diketahui, ia telah dihajar oleh Hiatsintjoe dan kemudian
ditolong oleh Tong Keng Thian. Akan tetapi, walaupun sudah mendapat
pertolongan pemuda itu, badannya masih merasa kurang enak. Sekarang,
sesudah ditotok oleh Tjouwsoe-nya, rasa sesak yang masih ketinggalan itu
lantas saja lenyap. Sebagai orang yang berkepandaian tinggi, ia sendiri
segera mengerti, bahwa totokan itu telah memperkuat Iweekang-nya dan
keuntungan yang didapatkannya bernilai sama dengan hasil latihan tiga
tahun. Orang-orang lain tidak mengetahui, bahwa dengan totokan tersebut,
Moh Tjoan Seng telah mengusir sisa racun yang mengeram dalam tubuh Loei
Tjin Tjoe, sebagai akibat dari pukulan Hiatsintjoe.
Sesudah selesai, sembari tertawa Moh Tjoan Seng menanya: "Apakah
kau sudah mengerti maksud totokan tadi?"
"Mengerti!" jawab Loei Tjin Tjoe sembari membungkuk.
"Belum tentu," kata Moh Tjoan Seng perlahan. "Tapi cukuplah jika
kau bisa mengerti beberapa bagian."
Keng Thian yang sedang mengingat-ingat pelajaran yang barusan
didapatnya, merasa terkejut ketika mendengar perkataan itu dan ia
mengangkat kepalanya. Tiba-tiba matanya kebentrok dengan mata Moh
Tayhiap. "Ah!" pikirnya. "Perkataan Moh Lootjianpwee tentu ditujukan
kepadaku. Mana Loei Tjin Tjoe bisa mengerti?" Memang benar, baik Loei
Tjin Tjoe maupun ia sendiri, hanya mengerti sebagian. Totokan-totokan Moh
Tayhiap barusan pada hakekatnya mempunyai tiga tujuan. Pertama: untuk
memperlihatkan
kepandaiannya kepada orang-orang yang mengandung maksud kurang
baik. Kedua, untuk menurunkan Tiamhiat hoat yang bisa memecahkan ilmu Kim
Sie Ie, kepada Keng Thian. Ketiga: untuk mengusir racun yang masih
mengeram dalam tubuh Loei Tjin Tjoe. Tak seorang pun di antara yang hadir
mengerti semua maksud Moh Tayhiap.
Selagi Loei Tjin Tjoe ingin kembali ke tempat duduknya, sekonyong-
konyong salah seorang yang duduk di barisan kedua, melompat keluar dan
berkata dengan suara nyaring: "Tjek Tiong Ho, houwpwee (orang yang
tingkatannya rendah) dari pulau Liehwee to (Pulau Menyingkir Dari Api)
Lamhay, memohon petunjuk dari Thaytjongsoe (guru besar)!"
"Ah! Kalau begitu, kau adalah murid Tjekshia totjoe (Majikan Pulau
Kota Merah)," kata Moh Tjoan Seng. "Bagus! Aku si tua sangat mengagumi
ilmu silat Liehwee kansoei tjianghoat dari partaimu."
"Jika Moh Lootjianpwee berkata begitu, apakah houwpwee harus pulang
dengan tangan kosong?" Tjek Tiong Ho mendesak.
Oleh karena menurut kebiasaan Kiatyan, Moh Tjoan Seng tak boleh
menolak permintaan untuk memberikan petunjuk kepada seorang houwpwee,
maka ia lantas saja berkata: "Setiap partai atau cabang perguruan
mempunyai kebagusannya sendiri-sendiri. Mengenai Tjianghoat (Ilmu
pukulan), adalah gurumu yang seharusnya memberi petunjuk. Cobalah kau
bersilat, supaya aku bisa melihat, kalau-kalau ada bagian-bagian yang
dapat kita rundingkan lebih jauh."
Tjek Tiong Ho memberi hormat seraya berkata: "Houwpwee memberanikan
diri unuk mengajukan satu permohonan. Houwpwee memohon supaya Loei
Soeheng sudi membantu dengan dalam toeitjiang (adu pukulan) dan jika
dalam toeitjiang itu terdapat bagian-bagian yang keliru, harap supaya
Lootjianpwee sudi memberi petunjuk. Dengan demikian, keuntungan yang
kudapat akan menjadi lebih besar."
Mendengar tantangan itu, semua orang jadi terkejut.
Menurut peraturan Kiatyan, setiap houwpwee dapat memohon pengajaran
dengan dua rupa jalan. Pertama adalah bersilat sendiri dan kedua, adalah
bersilat berdua. Oleh karena, pada setiap Kiatyan, jumlah yang meminta
petunjuk selalu sangat besar, maka cara yang kedua, yang sekaligus bisa
memberi kesempatan kepada dua orang, sering juga digunakan. Akan tetapi,
menurut kebiasaan, toeitjiang selalu dilakukan antara dua saudara
seperguruan atau antara sahabat-sahabat karib, sehingga menang atau
kalah, tak akan merenggangkan keakuran. Tapi sekarang Tjek Tiong Ho
meminta Loei Tjin Tjoe yang maju sebagai kawan ber-toeitjiang. Mereka
berdua bukan saudara seperguruan dan juga bukan sahabat. Maka, permohonan
Tjek Tiong Ho itu tidak berbeda dengan tantangan.
Hati para hadirin jadi berdebar-debar, terutama Tong Keng Thian
yang sangat kuatir akan keselamatan Loei Tjin Tjoe. "Ilmu silat Tjekshia
totjoe merupakan salah satu ilmu luar biasa dalam
Rimba Persilatan," katanya di dalam hati. "Andaikata Loei Tjin Tjoe
belum mendapat luka, belum tentu ia bisa menandingi Tjek Tiong Ho. Dalam
keadaannya sekarang, bagaimana ia bisa melawan orang she Tjek itu?"
Moh Tjoan Seng tetap bersikap tenang. Ia mengangguk dan berkata
sembari tertawa: "Begitu juga baik. Loei Tjin Tjoe! Gunakanlah Kioekiong
Lianhoan Tjianghoat untuk meminta pengajaran dari Tjek Soeheng."
Loei Tjin Tjoe mengiakan dan ia lantas berjalan masuk ke tengah-
tengah ruang. Ia memasang kuda-kuda dan mengundang: "Tjek Soeheng,
silahkan."
Tjek Tiong Ho tak berlaku sungkan. Hampir berbareng dengan undangan
itu, ia segera memukul dengan tangan kanannya. Lihwee kansoei tjianghoat
gubahan Tjekshia totjoe adalah ilmu silat yang sangat liehay. Ilmu itu
merangkap Yang dan Im (positip dan negatip), yaitu tangan kanan
mengeluarkan pukulan "keras" yang sifatnya seperti api, sedang tangan
kiri mengeluarkan pukulan "lembek" yang bersifat bagaikan air. Sebagai
murid kepala dari Tjekshia totjoe, Tjek Tiong Ho telah paham akan
sebagian besar kepandaian gurunya.
Tjekshia totjoe selalu hidup di pulau Liehwee to, dan ia tak pernah
berkelana di dunia Kangouw, tapi muridnya sering mundar-mandir di wilayah
Tionggoan. Dalam Kiatyan sekali ini, orang-orang yang mengandung maksud
kurang baik, telah mengundang Tjekshia totjoe untuk memberi bantuan. Akan
tetapi, Totjoe itu telah menolak, karena ia sungkan mencari urusan dengan
Moh Tayhiap yang kesohor sekali. Sedang gurunya tak bergeming, sebaliknya
Tjek Tiong Ho justru kena dibujuk. Dalam perundingan di antara orang-
orang itu, mereka berpendapat, bahwa, asal kena dipancing untuk turun
tangan sendiri, mereka sudah boleh dikatakan berhasil, karena dengan
begitu, Moh Tjoan Seng merosot derajatnya sebagai seorang guru besar.
Dalam perundingan itu, telah diambil putusan untuk minta Tjek Tong Ho
maju sebagai jago pertama guna merobohkan Loei Tjin Tjoe.
Sebagai seorang ahli, Tjek Tiong Ho tadi sudah segera mengetahui
kelemahan lawannya. Maka itu, begitu bergebrak, ia segera mengirimkan
pukulan "keras" dengan tangan kanannya, Loei Tjin Tjoe segera mengangkat
kedua tangannya untuk menyambut pukulan itu. Dengan terdengarnya bunyi
"Tak!", di belakang tangan Tjek Tiong Ho timbul lima garis merah dan ia
terhuyung ke belakang beberapa tindak. Di lain pihak, telapak tangan Loei
Tjin Tjoe juga terluka dan berdarah, sedang badannya bergoyang-goyang,
tapi ia tak sampai kena dipukul mundur. Dalam gebrakan itu, meskipun
kedua belah pihak sama-sama mendapat luka, Loei Tjin Tjoe-Iah yang lebih
unggul. Kejadian itu bukan saja mengejutkan bagi Tjek Tiong Ho, tapi
semua hadirin, termasuk Keng Thian juga, benar-benar terperanjat. Mereka
tak mengerti, mengapa lweekang Loei Tjin Tjoe mendadak bisa menjadi
begitu besar.
Lweekang Loei Tjin Tjoe sebenarnya kira-kira berimbang dengan Tjek
Tiong Ho. Akan tetapi, sesudah mendapat bantuan Moh Tjoan Seng, tenaga
dalamnya jadi bertambah besar dan ia jadi lebih unggul tiga bagian dari
lawannya. Sesudah berada di atas angin, ia segera mengirimkan tiga
serangan berturut-turut, sehingga Tjek Tiong Ho terpaksa berkelahi
sembari mundur.
Sesudah lewat beberapa jurus, Tjek Tiong Ho tiba-tiba menyambut
pukulan Loei Tjin Tjoe dengan tangan kirinya. Mendadak, Loei Tjin Tjoe
merasakan tangannya seperti memukul kapas, yang tidak bertenaga, dan
belakang tangannya lantas saja seolah-olah melekat di tangan kiri
musuhnya. Seketika itu, Tjek Tiong Ho menabas pergelangan tangan lawannya
dengan tangan kanan. Murid-murid Boetong dengan serentak mengeluarkan
teriakan tertahan, karena pergelangan tangan Loei Tjin Tjoe pasti akan
terpukul patah!
Pada detik yang sangat berbahaya itu, sekonyong-konyong Loei Tjin
Tjoe menggerakkan jerijinya dan menuding jalan darah di telapak tangan
musuhnya yang sedang menyambar. Dengan hati mencelos, buru-buru Tjek
Tiong Ho melepaskan tangan kirinya dan melompat mundur untuk menyingkir
dari serangan Loei Tjin Tjoe.
Ternyata, dalam gebrakan-gebrakan pertama itu Loei Tjin Tjoe masih
belum mengenal liehaynya Liehwee kansoei tjianghoat yang menguasai dua
macam tenaga, yaitu tenaga "keras" dan tenaga "lembek". Pada saat
tangannya kena "ditempel" tangan musuh yang bertenaga "lembek", ia baru
ingat kepada perkataan sang Tjouwsoe, bahwa Tiamhiat hoat-nya masih jauh
dari sempurna. Ia "mendusin, bahwa Kioekiong Patkwa tjiang harus
digunakannya bersama-sama dengan ilmu menotok jalan darah. Oleh karena
itu, ia segera menggunakan Tiamhiat hoat untuk memunahkan serangan musuh.
Tjek Tiong Ho tentu saja tak ingin sama-sama menjadi korban, lantas saja
menarik kembali tabasannya yang dahsyat.
Moh Tjoan Seng bersenyum seraya berkata: "Pukulan Tjek Tiong Ho
yang terakhir, seharusnya digunakan untuk menyerang sikut, sedang tangan
kirinya harus mencengkeram nadi Loei Tjin Tjoe. Jika ia berbuat begitu,
Loei Tjin Tjoe tentu tak bisa mengunakan ilmu menotok jalan darah!"
Para ahli lantas saja mengangguk-angguk dengan perasaan kagum
terhadap petunjuk itu yang sangat tepat. Tapi, Tjek Tiong Ho justru jadi
mendongkol. "Kenapa kau tidak memberitahukan lebih siang?" katanya di
dalam hati.
Sementara itu, Loei Tjin Tjoe sudah menyerang dengan kedua
tangannya. Dengan tangan kanan Tjek Tiong Ho menyambut kekerasan dengan
kekerasan dalam gerakan Lekpek samsan (Memukul tiga gunung), sedang
tangan kirinya menyerang dengan tenaga Imdjioe (tenaga "lemas") dalam
gerakan Soensoei toeitjouw (Dengan mengikuti air menolak perahu).
"Salah! Salah!" kata Moh Tjoan Seng tiba-tiba. "Kau harus lebih
dulu menggunakan Tiamhoat untuk memperkecil daya serangan lawan." Tanpa
berpikir lagi, Tjek Tiong Ho segera bergerak menurut petunjuk itu dan
benar saja, serangan Loei Tjin Tjoe dapat dipecahkan secara mudah.
"Untung juga ia memberi peringatan," kata Tjek Tiong Ho di dalam hatinya.
"Jika aku melawan kekerasan dengan kekerasan, pergelangan tanganku bisa
menjadi patah, karena dalam hal lweekang, Loei Tjin Tjoe lebih kuat
daripada aku." Sesudah berpencar, kedua orang itu lantas melanjutkan
pertempuran mereka.
Sesuai dengan peraturan Kiatyan, Moh Tjoan Seng memberi petunjuk
pada kedua belah pihak, malah kepada Tjek Tiong Ho ia memberikan lebih
banyak daripada yang diberikannya kepada Loei Tjin Tjoe. Melihat begitu,
bukan saja hadirin lain, malah Tjek Tiong Ho sendiri juga merasa sangat
takluk akan kebesaran jiwa Moh Tjoan Seng.
Akan tetapi, semua orang tidak tahu, bahwa Moh Tjoan Seng sudah
berbuat begitu oleh karena ia yakin, bahwa ilmu Kioekiong Patkwa tjiang
lebih unggul daripada ilmu yang digunakan Tjek Tiong Ho dan ia yakin
pula, bahwa lweekang Loei Tjin Tjoe lebih kuat daripada lweekang
lawannya, sehingga Loei Tjin Tjoe pasti akan mendapat kemenangan. Apa
yang dikuatirkannya, hanyalah, jika dalam gebrakan-gebrakan pertama, Loei
Tjin Tjoe, yang belum mengetahui betapa liehaynya Imyang Tjianghoat, akan
menjadi bingung. Karena begitu, ia sengaja memberi petunjuk kepada Tjek
Tiong Ho, supaya dengan mendengarkan petunjuk itu, Loei Tjin Tjoe
menjadi sadar dan mengerti keliehayan ilmu pukulan sang lawan. Di lain
pihak, petunjuk yang diberikannya kepada Loei Tjin Tjoe, adalah petunjuk
yang sangat penting. Sebagai seorang yang sudah mahir betul dalam
Kioekiong Lianhoan Tjiang-hoat, dengan sedikit petunjuk itu, Loei Tjin
Tjoe sendiri bisa membuat perubahan-perubahan yang seperlunya. Oleh sebab
itu, maka sesudah bertanding ratusan jurus, Loei Tjin Tjoe masih tetap
berada di pihak yang lebih unggul.
Sesudah bertempur lagi beberapa puluh jurus, sambil menghela napas,
Tjek Tiong Ho meloncat keluar dari gelanggang. "Tjianghoat Loei Soeheng
benar-benar lebih tinggi daripada kepandaianku," katanya sembari menyoja.
"Terima kasih banyak atas petunjuk Thaytjongsoe. Secepatnya, aku akan
kembali ke pulau dan berlatih pula menurut petunjuk-petunjuk yang telah
diberikan oleh Thaytjongsoe." Memang kemudian Tjek Tiong Ho benar-benar
pulang ke pulau Liehwee to dan sejak itu ia tidak berani memusuhi lagi
partai Boetong pay. Petunjuk Moh Tjoan Seng telah memberi banyak bantuan
kepadanya dalam mencapai kemajuan di kemudian hari.
Baru saja kedua orang itu kembali ke tempat duduk masing-masing,
ketika sejumlah orang yang duduk di barisan ketiga masuk ke dalam
gelanggang dengan beruntun. Mereka itu, yang berjumlah sembilan orang,
semua mengenakan pakaian hitam, masing-masing bersenjata pedang dan pada
pinggang mereka tergantung kantong senjata rahasia.
Seorang yang menjadi kepala memberi hormat dan berkata dengan suara
nyaring: "Sudah lama kami mendengar betapa liehaynya Kioekiong Patkwa
tjiang dari Boetong pay. Tin (barisan) kami yang kecil ini juga diatur
menurut kedudukan Kioekiong Patkwa dan cocok sekali untuk dijajal dengan
Kioekiong Patkwa tjiang. Kami mengharap, supaya Thaytjongsoe suka memberi
petunjuk-petunjuk." Selagi dia berkata begitu, kawan-kawannya sudah
mengurung sekelompok murid Boetong yang berdiri di depan dan tanpa
menunggu perkenan Moh Tjoan Seng, mereka serentak menghunus pedang. Murid
Boetong yang terkurung berjumlah belasan orang, antaranya Loei Tjin Tjoe
juga. Begitu selesai berbicara, orang itu lantas saja membacok Loei Tjin
Tjoe dengan senjatanya!
Melihat kekurang ajaran sembilan orang itu, para hadirin terkejut
sekali, sedang murid-murid Boetong menjadi gusar bukan main. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, mereka lantas saja bertempur seru.
Meskipun berjumlah lebih besar, tapi karena tin itu saling
bersambung kepala buntutnya dan bisa berubah dengan cepat sekali, maka
murid-murid Boetong lantas saja terkurung rapat-rapat dan tak bisa
menoblos keluar.
Tong Keng Thian terkejut. "Celaka!" katanya di dalam hati. "Kali
ini, murid Boetong mungkin akan menderita kekalahan." Baru saja ia
memikirkan untuk memberi bantuan, mendadak terdengar suara tertawa Moh
Tjoan Seng. "Tin yang diwariskan oleh Han Tiong San dan Yap Hoen Po
benar-benar liehay," katanya dengan tenang. "Akan tetapi, untuk menarik
keuntungan sebesar-besarnya, tin itu harus digunakan bersama-sama dengan
senjata rahasia. Kenapa kamu hanya menggunakan separuh tenaga?"
Mendengar perkataan itu, Keng Thian jadi sangat terperanjat.
Harus diketahui, bahwa tiga puluh tahun berselang, sebelum Yong
Tjeng naik ke tahta, Han Tiong San dan Yap Hoen Po termasuk dalam "Enam
Jago" yang mengabdi kepada putera kaizar itu (pada waktu itu, Yong Tjeng
masih dikenal sebagai Soehongtjoe, atau putera kaizar yang ke empat).
Empat jago lainnya adalah Liauw In Hweeshio, Haputo, Thian Yap Sandjin
dan Tong Kie Tjoan. Han Tiong San dan Yap Hoen Po adalah suami isteri
yang bukan saja berkepandaian tinggi, tapi senjata rahasia mereka pun
liehay bukan main dan kebesaran nama mereka sejajar dengan keluarga Tong
di Soetjoan. Mereka berdua suami isteri adalah pemimpin Lengsan pay dan
dalam tingkatan, mereka masih lebih tinggi daripada Tong Siauw Lan.
Belakangan, tiga pendekar wanita, yaitu Lu Soe Nio, Phang Eng dan Phang
Lin telah menyatroni istana kaizar dan berhasil membunuh Yong Tjeng.
Dalam pertempuran itu, Han Tiong San telah membuang jiwa, sedang
isterinya Yap Hoen Po, bersama Soetee-nya Thian Yap Sandjin, telah kabur
pulang ke Lengsan dimana mereka menutup pintu dan hidup tenang sambil
mempelajari ilmu menimpuk dengan senjata rahasia yang diwariskan oleh Han
Tiong San. Sesudah lewat tiga puluh tahun, orang Lengsan pay belum pernah
mengunjukkan muka dalam kalangan Kangouw. Selama itu, Yap Hoen Po dan
Thian Yap Sandjin telah meninggal dunia dan Rimba Persilatan perlahan-
lahan sudah melupakan mereka. Tapi tak dinyana, tinhoat (barisan) yang
diwariskan Han Tiong San masih tetap dipelajari oleh murid-murid Lengsan
pay dan hari ini muncul dengan tiba-tiba di gunung Gobie san.
Begitu Moh Tjoan Seng mengucapkan perkataannya, sembilan murid
Lengsan pay dan Tong Keng Thian diam-diam terkejut bukan main. Para murid
Lengsan pay terkejut karena tin ciptaan Tjouwsoe mereka, yang belum
pernah dipertunjukkan di muka umum selama tiga puluh tahun, ternyata
dikenal baik oleh Moh Tayhiap. Tong Keng Thian terkejut, karena, tanpa
menggunakan senjata rahasia, barisan itu sudah begitu liehay, sehingga,
jika ditambah lagi dengan senjata rahasia, para murid Boetong tentu sukar
terlolos dari bencana!
Sementara itu, Kioekiong Patkwa tin orang-orang itu sudah mengurung
semakin rapat, sehingga murid-murid Boetong tak bisa membalas menyerang
lagi. Pemimpin barisan itu adalah Tjiangboendjin Lengsan pay yang bernama
Yap Thian Djim. Mendengar perkataan Moh Tjoan Seng, ia lantas saja
berpikir di dalam hatinya: "Kedatangan kami sekali ini adalah untuk
membikin malu Boetong pay dan menaikkan derajat Lengsan pay. Dilihat dari
perkembangan pertempuran, dalam tempo sejam lagi, kita akan memperoleh
kemenangan yang diharapkan. Jika kita menggunakan senjata rahasia dan
membinasakan murid-murid Boetong, Moh Tjoan Seng tentu akan turun tangan
sendiri. Biarpun turun tangannya itu akan berarti kemerosotan derajatnya
sebagai Thaytjongsoe, tapi pihak Lengsan pay pun tak akan terluput dari
kerugian yang tidak kecil." Berpikir begitu, ia segera berkata:
"Perkataan Thaytjongsoe memang benar sekali. Tetapi menurut kebiasaan,
barisan ini baru menggunakan senjata rahasia jika berhadapan dengan lawan
yang berkepandaian tinggi. Musuh yang berkepandaian sedang-sedang saja,
tak akan bisa meloloskan diri, biarpun kami tidak menggunakan senjata
rahasia." Perkataan itu yang sangat sombong dan memandang rendah kepada
murid-murid Boetong pay, sudah membangkitkan kegusaran segenap anggauta
partai tersebut. Dengan mata merah dan dengan seluruh tenaganya. Bagaikan
kilat Loei Tjin Tjoe menikam orang temberang itu. Yap Thiam Djim meloncat
mundur dan serangan Loei Tjin Tjoe disambut oleh kedua Soetee-nya. Di
lain saat, Loei Tjin Tjoe sudah dikepung oleh dua musuh itu. "Apakah
Kioekiong Patkwa tin masih mempunyai kelemahan lain?" tanya Yap Thian
Djim dengan sikap angkuh. "Harap Moh Lootjianpwee suka memberi petunjuk."
Moh Tayhiap tertawa dan berkata: "Barisanmu hanya menggunakan
separuh tenaga, tentu saja masih mempunyai banyak kelemahan. Hm! Loei
Tjin Tjoe, kau pergi ke jurusan Kianhong dan lari ke kedudukan Soenwie.
Leng It Piauw, kau pergi ke jurusan Liehong dan lari ke kedudukan Kanwie.
Kamu menyingkir dari musuh yang dekat dan menyerang musuh yang jauh.
Dengan demikian, kamu akan segera bisa keluar dari barisan itu." Loei
Tjin Tjoe dan yang lain-lain lantas saja bergerak menurut petunjuk itu.
Mereka tidak memperdulikan musuh yang dekat dan masing-masing merebut
kedudukan yang disebutkan oleh Moh Tayhiap. Benar saja, tidak lama
kemudian, belasan murid Boetong pay itu sudah dapat menoblos keluar dari
kepungan.
Yap Thian Djim menjadi malu tercampur gusar. Akan tetapi, karena ia
sendiri yang meminta petunjuk Moh Tjoan Seng dan ia sendiri yang berjanji
untuk tidak menggunakan senjata rahasia, maka ia tak berani
memperlihatkan kegusarannya.
Moh Tayhiap bersenyum seraya berkata: "Biarpun kau menggunakan
senjata rahasia, belum tentu barisanmu bisa mengepung musuh. Di dalam tin
itu masih terdapat banyak sekali kelemahan."
Sembilan murid Lengsan pay menjadi pucat, dan darah mereka semua
mendidih. Yap Thian Djim mengeluarkan suara di hidung dan berkata dengan
tawar. "Kalau begitu, biarlah Loei Soeheng dan saudara-saudara lain masuk
kembali ke dalam barisan kami, untuk memberi pengajaran, dan aku juga
memohon supaya Moh Lootjianpwee suka memberi penjelasan tentang
kelemahan-kelemahan barisan ini!"
Pelajaran getir yang diberikan oleh Moh Tayhiap kepada sembilan
murid Lengsan pay yang temberang itu, sudah menggirangkan banyak orang.
Akan tetapi, mereka merasa, bahwa Moh Tjoan Seng sudah bertindak keliru
dengan mengeluarkan kata-katanya yang paling belakang, karena Loei Tjin
Tjoe dan kawan-kawannya bisa celaka, jika mereka masuk kembali ke dalam
barisan itu. Tong Keng Thian juga berpendapat demikian. "Sebenarnya Moh
Lootjianpwee harus mengakhiri pertandingan itu," katanya didalam hati.
"Meskipun benar Kioekiong Patkwa tin mereka masih mempunyai banyak
kelemahan, tapi senjata rahasia Lengsan pay bukan main hebatnya. Walaupun
mendapat petunjuk, Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya mungkin tak akan
terlolos dari bencana."
Dengan tetap duduk bersila di atas pentas, Moh Tayhiap menatap
wajah Yap Thian Djim dan berkata dengan suara dingin: "Untuk memecahkan
barisanmu, tak perlu dikerahkan begitu banyak orang. Satu orang saja
sudah lebih dari cukup!'
Muka Yap Thian Djim jadi berwarna hijau kekuning-kuningan, karena
menahan amarahnya yang meluap-luap. Ia menyoja sembari membungkuk dalam-
dalam dan berkata: "Aku sungguh merasa beruntung, jika Moh Lootjianpwee
sudi turun tangan sendiri untuk memberi pelajaran. Aku sungguh merasa
berterima kasih!" Bukan saja Yap Thian Djim, tapi semua orang pun
menduga, bahwa Moh Tayhiap ingin turun sendiri ke dalam gelanggang.
Siapakah, kecuali ia, yang mampu memecahkan Kioekiong Patkwa tin seorang
diri?
Tapi di luar semua taksiran, Moh Tayhiap bersenyum dan berkata:
"Aku, si tua, mana mempunyai kegembiraan lagi untuk turun ke dalam
gelanggang. Biarlah aku memerintahkan seorang houwpvvee dari Boetong pay
untuk menjajal-jajal, untuk mendapat kepastian, apakah kata-kataku benar
atau tidak!"
Semua orang terkesiap dan terheran-heran. Mereka tahu, bahwa di
antara murid-murid Boetong turunan kedua, Loei Tjin Tjoe-lah yang
berkepandaian paling tinggi. Dengan kepandaiannya itu, bertempur satu
lawan satu saja belum tentu Loei Tjin Tjoe bisa memperoleh kemenangan.
Mana bisa ia memecahkan Kioekiong Patkwa tin seorang diri!
Keheranan itu juga dirasakan oleh Tong Keng Thian. "Andaikata aku
sendiri yang masuk ke dalam barisan tersebut, aku masih ungkulan untuk
memecahkannya jika mereka tidak menggunakan senjata rahasia," katanya di
dalam hati. "Jika mereka menggunakan senjata rahasia, rasanya aku hanya
bisa menolong diriku sendiri. Siapakah di antara houwpwee Boetong pay
yang mempunyai kepandaian begitu tinggi?"
Selagi semua orang bersangsi, mendadak Moh Tayhiap bertepuk tangan
dengan perlahan. Hampir •berbareng dengan itu, di belakang ruang itu
terdengar tindakan kaki. Sebelum orangnya muncul, semacam wangi-wangian
yang sedap sudah memenuhi seluruh ruang.
Semua mata ditujukan ke arah itu dengan tidak berkesip. Di lain
saat, dari belakang sekosol keluarlah seorang wanita yang cantik luar
biasa, mukanya bundar laksana bulan, kedua alisnya yang hitam, lentik
melengkung, mulutnya kecil bagaikan buah tho, matanya yang jeli berwarna
kebiru-biruan, sedang pakaiannya yang indah berwarna biru laut. Semua
orang terkejut, tapi orang yang paling kaget tercampur girang adalah Tong
Keng Thian, karena wanita itu bukan lain daripada Pengtjoan Thianlie!
Bahwa Peng Go yang akan datang ke Gobie san memang sudah diduganya
lebih dulu. Tapi ia sama sekali tidak mengira, bahwa si nona bisa muncul
secara begitu mendadak.
Begitu keluar, Pengtjoan Thianlie memberi hormat dan berkata dengan
suara halus: "Apakah kau ingin aku memecahkan Kioekiong Patkwa tin? Tapi
aku tak ingin melukakan orang."
"Jangan kuatir," kata sang paman. "Jika mereka terluka, aku bisa
mengobatinya."
"Tapi aku kuatir, bahwa mereka tetap akan menderita sakit selama
kira-kira sebulan," kata si nona.
Tadi, ketika melihat kecantikan Pengtjoan Thianlie, sembilan murid
Lengsan pay itu jadi seperti mabuk dan lupa kepada pertempuran yang akan
terjadi. Tapi begitu mendengar tanya jawab antara Moh Tjoan Seng dan si
nona, seolah-olah kemenangan mereka sudah merupakan suatu kepastian
mutlak, dalam hati mereka lantas saja timbul perasaan mendongkol. Sesudah
mengebaskan pedangnya untuk mengatur Kioekiong Patkwa tin, Yap Thian Djim
berkata: "Walaupun badan kami menjadi hancur lebur, tak nanti kami
menyalahkan orang lain, karena yang harus disalahkan adalah kami sendiri
yang tak mempunyai kebecusan. Akan tetapi, senjata tiada matanya. Nona,
kau sendiri pun harus berhati-hati. Jika kesalahan tangan dan pedang kami
menggores mukamu, kami sungguh tak akan sanggup memikul kedosaan yang
begitu besar."
Perkataan Yap Thian Djim itu diam-diam dibenarkan para hadirin.
Mereka bersimpati terhadap nona itu yang sangat cantik dan memang benar-
benar sayang, jika ia sampai terluka. Akan tetapi, tak seorangpun berani
mencegahnya di hadapan Moh Tjoan Seng.
Pengtjoan Thianlie tertawa angkuh dan menyapu semua lawannya dengan
sinar matanya yang tajam dan agung. Tanpa menjawab perkataan Yap Thian
Djim, dengan tindakan enteng ia masuk ke dalam tin musuh. Menurut
keharusan, begitu lekas sang lawan masuk, Yap Thian Djim harus segera
memapakinya dengan senjata. Akan tetapi, karena melihat si nona bertangan
kosong, ia bersangsi dan sesudah mengangkat pedangnya, pedang itu tidak
terus ditikamkan ke arah si nona.
"Apakah kau takut?" tanya Peng Go dengan suara tawar. "Aku menunggu
supaya kamu bisa mengerahkan tenaga dalammu untuk melindungi diri. Jika
tidak berbuat begitu, kamu pasti akan sakit selama kira-kira sebulan."
Sembilan murid Lengsan pay itu menjadi gusar sekali. Dua Soetee Yap
Thian Djim dengan berbareng maju dan berkata: "Soeheng, guna apa kau
berlaku sungkan terhadap perempuan itu?" Hampir berbareng dengan
perkataan itu, mereka menyerang. Yang di sebelah kiri membabatkan
pedangnya dengan gerakan Ganlok pengsee (Belibis jatuh di dataran pasir),
sedang yang di sebelah kanan menikam dengan serangan Hianniauw hoasee
(burung sakti menggores pasir). Kedua serangan itu hebat luar biasa dan
menutup jalan mundur Pengtjoan Thianlie dari kiri dan kanan. Kecuali Loei
Tjin Tjoe, yang pernah menyaksikan
keliehayannya, semua murid Boetong menahan napas. Mereka sangat
berkuatir, jika si nona akan terluka.
Pengtjoan Thianlie tertawa nyaring, badannya bergoyang dan sebelum
orang bisa melihat tegas, bagaimana gerakannya, kedua senjata musuh sudah
jatuh di tempat kosong. Hampir seketika itu juga, dengan berbunyi "srt",
Pengpok Hankong kiam si nona sudah terhunus. Dengan serentak, sinar dan
hawa yang sangat dingin menyambar-nyambar ke seluruh ruangan. Yap Thian
Djim menggigil beberapa kali, sedang kedua Soetee-nya yang barusan
menyerang Peng Go dan masing-masing lweekang-nya lebih lemah, bergemetar
seolah-olah berada di tengah lembah es.
"Mundur!" teriak Yap Thian Djim. "Serang perempuan siluman itu
dengan senjata rahasia!"
Kioekiong Patkwa tin lantas saja terbuka lebar dan orang-orang yang
berada di luar gelanggang pun serentak mundur supaya berada di luar jarak
serangan senjata rahasia. Di lain saat, berbareng dengan komando Yap
Thian Djim. bagaikan hujan gerimis aneka senjata rahasia menyambar ke
arah Peng Go.
"Bagus!" seru si nona sembari menyentilkan jeriji tangannya
berulang-ulang. Sesaat itu juga, Pengpok Sintan berterbangan di tengah
udara. Senjata-senjata rahasia yang lebih kecil, seperti jarum,
Thieliantjoe, panah tangan, paku dan sebagainya, jatuh bagaikan bunga
rontok beradu dengan peluru-peluru es itu. Begitu lekas peluru-peluru itu
pecah, hawa yang lebih dingin daripada Pengpok Hankong kiam, meliputi
seluruh ruangan. Sebagaimana diketahui, Pengpok Sintan dibuat daripada
kristal es dari lapisan yang sudah berlaksa tahun usianya di pegunungan
Nyenchin Dangla. Hawanya yang luar biasa meresap ke tulang-tulang,
sehingga para tamu yang lweekang-nya agak lemah, lantas saja mundur lebih
jauh atau keluar dari ruangan itu. Tak usah dikatakan lagi, yang
menderita paling hebat adalah murid-murid Lengsan pay itu, yang berada di
dalam gelanggang dan beberapa antaranya lantas saja roboh terguling
dengan badan lemas.
Senjata-senjata rahasia yang lebih besar, yang tidak terpukul jatuh
dengan Pengpok Sintan, ditangkis oleh si nona dengan pedangnya. Di antara
senjata-senjata itu terdapat semacam senjata rahasia yang berbentuk
melengkung dan selagi menyambar, mengeluarkan suara "ung, ung". Dengan
perasaan heran, si nona menyabet dengan Hankong kiamnya. Mendadak,
senjata itu "melompat", berputar sekali di tengah udara dan menyambar
pula dada Koei Peng Go. Menghadapi serangan yang begitu luar biasa, si
nona terkejut bukan main. Sekonyong-konyong, di antara orang banyak
terdengar teriakan: "Kimkong tjie!"
Pengtjoan Thianlie yang sudah mahir dalam ilmu itu, buru-buru
mementang dua jerijinya dan menjepit senjata tersebut, yang, biarpun
sudah terjepit, masih terus meronta-ronta.
Peng Go menengok dan sinar matanya menyapu seluruh ruangan. Ia
melihat Tong Keng Thian berdiri di antara orang banyak sembari bersenyum,
sedang Yap Thian Djim sendiri, dengan wajah gusar, memegang dua buah lagi
senjata aneh itu di kedua tangannya, siap sedia untuk menyerang pula.
Senjata rahasia itu adalah Hoeihoan kauw, yaitu senjata rahasia Han
Tiong San yang paling kesohor. Selagi terbang, senjata itu bisa membiluk
ke sana-sini dan jika tersentuh, dia bisa berbalik. Di samping itu,
Hoeihoan kauw itu adalah senjata yang sangat beracun. Untung juga
lweekang Yap Thian Djim masih kalah jauh dari tenaga dalam si nona. Jika
bukan begitu, Hoeihoan kauw (semacam boomerang) itu tentu tak akan dapat
dijepit dengan jari tangannya.
Sementara itu, Yap Thian Djim mengayunkan kedua tangannya dan dua
buah Hoeihoan kauw itu terbang dengan kecepatan luar biasa. Di saat itu,
karena tangan kanannya memegang pedang, Pengtjoan Thianlie tentu tak akan
dapat menjepit kedua-dua senjata itu, yang menyambar dari kiri kanan
hanya dengan jeriji tangan kirinya. Semua hadirin terperanjat dan
mengawasi gerakan senjata itu sambil menahan napas. Pada detik yang
sangat berbahaya itu, mendadak terlihat berkelebatnya sesosok bayangan
biru dan... Koei Peng Go menghilang dari ruangan itu!
Selagi kekagetan para hadirin belum hilang, kedua senjata itu, yang
tidak menemukan sasaran mereka, terus terbang ke arah para tamu sambil
mengeluarkan suara "ung, ung, ung". Suasana menjadi kalang kabut, ada
yang melompat menyingkir, ada juga yang mengangkat tangan untuk
menyambutinya. Sekonyong-konyong di tengah udara terlihat menyambarnya
dua sinar emas dan berbareng dengan terdengarnya bunyi: "trang, trang!",
kedua Hoeihoan kauw itu terbang kembali, dengan kecepatan yang lebih
besar daripada tadi.
Para hadirin sekali lagi terkesiap, karena orang yang melepaskan
dua sinar emas itu mempunyai lweekang yang sepuluh kali lebih tinggi
daripada Yap Thian Djim. Sebenarnya, mereka ingin sekali mencari tahu,
siapa yang melepaskan dua sinar emas itu, tapi mereka tak sempat
berpaling, sebab kedua Hoeihoan kauw tersebut sekarang menyambar ke arah
Moh Tjoan Seng.
Moh Tayhiap tersenyum dan mengebaskan lengan jubahnya. Untuk kedua
kalinya, dua Hoeihoan kauw itu terpental kembali, kali ini lebih tinggi,
terbangnya, dan dalam sekejap sudah terbang keluar dari ruang itu, lewat
di atas kepala para tamu.
Tiba-tiba Yap Thian Djim mengeluarkan teriakan menyayatkan hati dan
tubuhnya terguling di atas lantai sambil menggigil hebat sekali. Hampir
berbareng dengan itu, Pengtjoan Thianlie sudah berada lagi di tengah
gelanggang. Ternyata, ketika kedua Hoeihoan kauw itu menyambar, si nona
telah meloncat ke atas penglari, tapi karena mendongkol kepada Yap Thian
Djim yang tanpa segan-segan telah menggunakan senjata beracun, maka,
sebelum meloncat turun, ia lebih dulu menimpuk jalan darah Tayyang hiat
orang she Yap itu, dengan Pengpok Sintan-nya.
"Siantjay! Siantjay!" kata Moh Tjoan Seng sembari merangkapkan
kedua tangannya. "Murid-muridku, lekaslah kamu menolong mereka!' Loei
Tjin Tjoe dan sekalian saudara-saudara seperguruannya lantas saja masuk
ke dalam gelanggang dan menggotong sembilan murid Lengsan pay itu ke
ruang belakang untuk diobati. Baru saja keadaan tenang kembali, dari luar
tiba-tiba terdengar suara tertawa yang menyeramkan.
Dengan penuh keheranan, semua orang menengok ke belakang.
Sekonyong-konyong kelihatan segulung sinar merah melayang di atas kepala
mereka dan di lain detik, di tengah-tengah ruang itu terdapat seorang
laki-laki yang bertubuh jangkung kurus dan mengenakan jubah merah. Kedua
mata orang itu bersinar merah seperti api, rambutnya awut-awutan dan
rupanya sangat menyeramkan. Beberapa orang dari tingkatan lebih tua
serentak berseru dengan kaget: "Hiatsintjoe!'
Sementara itu Hiatsintjoe kembali tertawa nyaring dan kemudian,
dengan sikap sombong, ia manggutkan kepalanya kepada Moh Tjoan Seng.
"Hm!" ia mengeluarkan suara di hidung. "Kamu mengadakan pertandingan
silat disini, sedikitpun tak ada sangkut pautnya denganku. Tapi kenapa
senjata rahasia terbang di atas kepalaku?" Sembari berkata begitu, ia
melemparkan kedua Hoeihoan kauw itu di atas lantai dan semua orang
terkejut, karena senjata rahasia itu sudah patah menjadi delapan potong.
"Hiatsin Tooyoe," kata Moh Tjoan Seng. "Senjata rahasia houwpwee
(orang yang tingkatannya lebih rendah), mana bisa melukakan kau? Guna apa
kau menjadi gusar?"
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung. "Coba panggil orang yang
melepaskan senjata rahasia itu," katanya dengan sikap memerintah.
"Sekarang mereka sedang menderita demam," kata Moh Tjoan Seng
sembari tertawa. "Nanti sesudah mereka sembuh, kau boleh mencari suami
isteri In di Lenglouw san."
In Leng Tjoe suami isteri adalah Tiangloo (orang terkemuka) dari
Lengsan pay dan sebagaimana diketahui, mereka adalah sahabat Hiatsintjoe.
Alis Hiatsintjoe berkerut dan matanya memandang kepingan-kepingan
Hoeihoan kauw di atas lantai itu. Lantas saja ia mengenali, bahwa senjata
itu memang benar adalah senjata rahasia Lengsan pay.
Kedatangan Hiatsintjoe di Gobie san memang sebenarnya untuk coba-
coba mengadu tenaga dan ia perlu mencari alasan untuk menantang. Sesudah
usahanya yang pertama gagal, ia tertawa dingin dan mengangkat tangannya
yang menggengam dua batang Thiansan Sinbong.
"Apakah ini juga senjata rahasia Lengsan pay?" tanyanya, mengejek.
"Itulah Thiansan Sinbong, senjataku," kata Keng Thian sembari
meloncat leluar. "Habis mau apa kau?"
Ternyata, dua Thiansan Sinbong yang digunakan oleh Keng Thian,
telah menancap di Hoeihoan kauw Yap Thian Djim dan sekarang berada dalam
tangan Hiatsintjoe.
Hiatsintjoe melirik Keng Thian. Matanya mencerminkan
kebenciannya, sesaat kemudian ia berkata kepada Moh Tjoan Seng:
"Kiatyan ini merupakan kejadian yang agak langka. Setelah berada disini,
aku pun ingin meminta petunjuk-petunjukmu."
Sebenarnya Hiatsintjoe ingin segera menantang Tong Keng Thian, tapi
karena merasa segan akan keangkeran Moh Tayhiap, ia tak berani bertindak
secara melampaui batas. Oleh sebab itu, sebelum menantang, lebih dulu ia
meminjam peraturan Kiatyan.
Moh Tjoan Seng tersenyum dan jawabannya adalah di luar dugaan
Hiatsintjoe. "Aku merasa girang, bahwa Tooyoe sudi berkunjung kesini,"
katanya dengan sabar. "Memberi petunjuk kepada Tooyoe, sekali-kali aku
tak berani. Biarlah aku memerintahkan kemenakanku meminta pelajaran dari
kau. Peng Go! Coba kau melayani Tjianpwee itu dengan Tatmo Kiamhoat."
Tingkatan Hiatsintjoe sebenarnya sama dengan Moh Tjoan Seng. Tapi
dengan kata-katanya itu, Moh Tayhiap seolah olah memandangnya sebagai
seorang houwpwee saja. Tak usah dikatakan lagi, betapa gusar Hiatsintjoe
di saat itu, tapi sebelum ia keburu mengumbar napsunya, Pengtjoan
Thianlie sudah berkata sembari tertawa: "Sudah beberapa kali aku menerima
pelajaran dari Tjianpwee itu. Menurut pendapatku, sebaiknya ia berlatih
pula selama sepuluh tahun, kemudian baru datang kesini untuk meramaikan
Kiatyan." Dengan berkata begitu, si nona seolah-olah ingin mengatakan,
bahwa jangankan Moh Tjoan Seng, sedang ia sendiri pun masih belum bisa
dikalahkan oleh Hiatsintjoe.
Moh Tayhiap menggelengkan kepalanya dan berkata, seakan-akan
menegur: "Ibarat seorang yang baru keluar dari rumah gubuk, kau tak
mengetahui betapa dalamnya laut pada hakekatnya."
Hiatsintjoe merasakan dadanya seperti mau meledak dan tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia menghantam Peng Go dengan tangannya yang
seperti kipas. "Siluman kecil!" ia mencaci. "Coba lihat, siapa yang harus
berlatih lagi selama sepuluh tahun!”
Dengan penuh kesangsian, Keng Thian tetap berdiri di dalam
gelanggang dengan tangan kanan tetap pada gagang Yoeliong kiam-nya.
Moh Tjoan Seng mengulapkan tangannya sembari tertawa: "Kau juga
ingin Kiatyan? Sekarang belum tiba giliranmu. Mundurlah dulu."
Keng Thian lantas saja kembali ke tempat duduknya, sedang
Hiatsintjoe sudah mulai bertempur dengan Pengtjoan Thianlie. Dengan
tangannya yang lebar, ia coba mencengkeram. Dengan mudahnya Peng Go
menghindari serangan itu. Begitu lekas serangannya yang pertama gagal,
Hiatsintjoe membuat sebuah lingkaran dengan kedua tangannya dan kemudian
mendorong ke depan dengan perlahan.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan "aya!" dan seorang tamu roboh
dari kursinya dalam keadaan pingsan. Beberapa ahli silat yang duduk
berdekatan menjadi kaget dan lantas saja menolong orang itu.
Harus diketahui, bahwa Hiatsintjoe memiliki ilmu yang sangat aneh.
Kedua tangannya, yang sudah dikeset kulitnya, berwarna merah bagaikan
darah dan tulang-tulangnya bisa dilihat nyata. Tapi itu belum seberapa.
Yang lebih hebat lagi adalah setiap pukulannya, yang disertai sambaran
angin yang sangat panas. Karena itu, para tamu dibarisan depan, terutama
yang lweekang-nya masih agak lemah, tak kuat menghadapi hawa panas itu.
Salah seorang antaranya menjadi pingsan. Di lain saat, sejumlah orang
lantas saja mundur ke bagian belakang.
"Jangan berlagak disini!" kata Pengtjoan Thianlie sembari
mengebaskan pedangnya. Suatu gelombang hawa dingin menjalar ke empat
penjuru dan hawa panas lantas saja sirap. Para tamu menjadi girang sekali
dan berapa antaranya segera maju pula ke depan, supaya bisa menyaksikan
pertempuran itu dari jarak dekat.
Hiatsintjoe lantas saja menyerang bagaikan singa gila. Ia menubruk
ke kiri-kanan, ke depan dan ke belakang, melancarkan pukulan-pukulan
kilat yang disertai dengan hawa panas. Peng Go melayaninya dengan
kegesitan luar biasa. Sesudah bertempur beberapa lama, gerak-gerik mereka
sudah tak dapat diikuti pula oleh mata para penonton; hanya sesosok
bayangan biru kelihatan berkelebat-kelebat ke sana-sini, sedang hawa
panas itu saban-saban menjadi buyar karena hawa Pengpok Hankong kiam yang
sangat dingin. Dengan cepat mereka sudah bertempur seratus jurus lebih,
tanpa ada yang keteter.
Moh Tayhiap menonton dengan penuh perhatian. Saban-saban ia
manggutkan kepalanya. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata: "Kalian boleh
dikatakan setanding, baik dalam serangan maupun pembelaan diri, tak ada
pukulan yang salah.
Mengenai Hiatsin Tooyoe, hanya tenaganya belum dapat dikeluarkan
semua. Peng Go, kegesitanmu sudah bisa dikatakan cukup baik, juga dalam
membela diri kau sudah cukup tangguh. Tapi kau harus mengerti juga, bahwa
ilmu silat, pada dasarnya sama dengan ilmu perang. Untuk memperoleh
kemenangan, kita harus bisa melakukan serangan tiba-tiba yang tak
terduga. Dalam hal ini, kau belum dapat menyelami seluruh intisari Tatmo
Kiamhoat." Sesudah berkata begitu, ia mulai memberikan petunjuk-petunjuk,
baik kepada Hiatsintjoe, maupun kepada kemenakannya sendiri. Semua
petunjuk itu termasuk dalam bidang ilmu silat yang sangat tinggi, dan
hanya dimengerti oleh Tong Keng Thian serta beberapa orang lain.
Hiatsintjoe tercengang berbareng gusar. Meskipun tingkatnya
sebenarnya sama dengan Moh Tjoan Seng. Akan tetapi, ia mendapat
kenyataan, bahwa Moh Tayhiap mengenal segala rupa ilmu silatnya dari awal
sampai akhir, dan setiap petunjuknya juga diberikan secara jujur. Oleh
sebab itu, meskipun merasa dirinya dihinakan sebagai seorang houwpwee,
Hiatsintjoe, terpaksa membungkam saja Di lain pihak, sesudah mendapat
petunjuk pamannya, serangan-serangan Pengtjoan Thianlie semakin lama jadi
semakin hebat.
Hiatsintjoe tahu, bahwa lweekang-nya setingkat lebih tinggi
daripada tenaga dalam si nona. Oleh sebab itu itu, ia menjadi gemas.
Penasarannya memuncak sesudah bertanding hampir dua ratus jurus dan
lawannya masih belum keteter. Mendadak, sambil tertawa menyeramkan dan
dengan tulang-tulang di seluruh tubuhnya berbunyi kratak-krotok, ia
menabas dengan kedua tangannya. Bukan main hebatnya pukulan itu yang di
kirimkan dengan seantero tenaganya. Suatu lingkaran yang bergaris tengah
kurang lebih setombak tertutup oleh tenaga pukulannya yang berhawa panas.
Semua orang terkesiap, Keng Thian sendiri hampir-hampir
mengeluarkan teriakan.
Sekonyong-konyong pinggang Koei Peng Go kelihatan bergerak dan
hampir di saat itu juga, pedangnya diputarkan bagaikan titiran. Di saat
itu juga, seluruh ruangan seakan-akan dikelilingi es dan tubuh si nona
sendiri terkurung di tengah sinar pedangnya. Kecuali Tong Keng Thian yang
masih bisa melihat tegas gerakan si nona, mata semua tamu menjadi kabur
dan yang masih bisa dilihat mereka, hanyalah segulung sinar putih.
Melihat pembelaan diri yang begitu rapat, kedua tangan Hiatsintjoe
terhenti di tengah udara dan untuk sedetik, ia ragu-ragu untuk menubruk
terus. Tiba-tiba si nona mundur setindak dan dari suatu kedudukan yang
tidak lazim, secara tak terduga, ia menikam dengan pedangnya. Dengan hati
mencelos Hiatsintjoe mengangkat kedua tangannya untuk melindungi dadanya.
"Srt!", bagaikan kilat kilat, pedang si nona menyambar dan sebagian
rambut Hiatsintjoe terpapas putus!
Bukan main girangnya Tong Keng Thian. Ia tahu, bahwa tenaga dalam
si nona masih kalah setingkat dari lawannya dan sedari tadi ia terus
berkuatir. Sungguh di luar taksirannya, bahwa dalam menghadapi bahaya,
Peng Go bisa melakukan dua serangan berantai luar biasa yang ternyata
telah berhasil baik. Kedua serangan itu adalah pukulan-pukulan rahasia
dari Tatmo Kiamhoat, yang satu Haysiang benghee (Awan terang di atas
laut), yang lain adalah Itwie touwkiang (Selembar rumput menyebrangi
sungai).
Keng Thian tidak tahu, bahwa sesudah tiba di kuil Kimkong sie,
Pengtjoan Thianlie telah mendapat petunjuk-petunjuk penting mengenai
Tatmo Kiamhoat dari pamannya. Karena kepandaiannya sendiri memang sudah
tinggi, beberapa petunjuk itu saja sudah cukup untuk memungkinkan ia
menyelami intisari Tatmo Kiamhoat. Ditambah dengan keistimewaan
pedangnya, yang bisa menindih hawa panas dari pukulan Hiatsintjoe,
Pengtjoan Thianlie telah memperoleh hasil, meskipun lweekang-nya masih
kalah dari lawannya
Darah Hiatsintjoe mendidih. Dapat dimengerti, bahwa ia merasa
penasaran sekali, karena pamornya telah diturunkan seorang houwpwee.
Sambil menggeram bagaikan harimau terluka, ia mengumpulkan semangatnya
dan menyerang lagi secara mati-matian. Berturut-turut, ia mengirimkan
delapan belas serangan yang paling diandalkannya, akan tetapi, biarpun
Peng Go terdesak mundur, ia masih belum bisa menarik keuntungan yang
berarti. Semakin lama ia jadi semakin bingung.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, mendadak, dengan mata menyala-
nyala, ia menyalurkan seluruh tenaganya ke sepasang tangannya. Kemudian,
dengan gerakan Paysan oentjiang (Mengatur gunung menggerakkan tangan), ia
menghantam sekuat-kuatnya. Sungguh dahsyat pukulan itu! Sinar pedang si
nona bergoyang-goyang, garis pembelaannya terpukul pecah dan, dengan
jantung berdebar keras, semua orang menduga, bahwa Pengtjoan Thianlie
tentu akan roboh di bawah pukulan itu!
Tiba-tiba, sebelum orang mengetahui apa yang terjadi, Hiatsintjoe
mengeluarkan teriakan keras dan menubruk lantai, disusul dengan suara
gemuruh, debu dan kepingan-kepingan batu muncrat ke atas serta tiang-
tiang di ruang itu bergoyang-goyang. Ternyata, Hiatsintjoe sudah jatuh
terguling dengan kedua tangannya menghantam lantai yang jadi berlubang
besar!
Moh Tjoan Seng bersenyum seraya berkata: "Peng Go, lekas minta maaf
kepada Tjianpwee."
Hiatsintjoe melompat bangun dengan muka pucat bagaikan kertas.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia lari keluar dan sebelum Pengtjoan
Thianlie bisa membuka mulut, ia sudah tak kelihatan bayang-bayangnya
lagi. Kenapa bisa terjadi begitu?
Sebagaimana diketahui, Iweekang Koei Peng Go masih kalah dari
lawannya dan ia sebenarnya tak akan bisa menangkis pukulan Paysan
oentjiang yang di kirimkan oleh Hiatsintjoe dengan seantero tenaganya.
Akan tetapi, sesudah mendapat petunjuk pamannya, ia mengerti, bagaimana
harus melayaninya. Ketika Hiatsintjoe menubruk, sedang kedudukannya
sangat berbahaya, dengan kecepatan yang tak bisa dilukiskan, ia melompat
ke belakang Hiatsintjoe sembari menimpuk dengan tujuh butir Pengpok
Sintan yang semuanya jitu sekali mengenai jalan darah musuh. Pada ketika
itu, Hiatsintjoe tengah mengerahkan Seantero tenaganya di kedua
tangannya, sehingga tubuhnya tak mempunyai pembelaan lagi. Dalam keadaaan
begitu, jangankan sampai tujuh butir, sedangkan sebutir Pengpok Sintan
saja sudah akan cukup untuk merobohkannya.
Pertempuran yang luar biasa itu sudah menggetarkan hati semua
penonton. Sejumlah tamu yang semula mengandung niatan kurang baik,
menjadi gentar dan ramai-ramai mundur ke bagian belakang.
Baru saja keadaan menjadi tenang kembali, mendadak terlihat
berkelebatnya sesosok bayangan manusia. Di lain detik, tahu-tahu orang
itu -- satu toosoe (imam) yang mengenakan jubah kuning —— sudah berdiri
di depan pentas ceramah. Moh Tjoan Seng yang sedari tadi terus bersila,
sekarang berdiri, suatu tanda bahwa orang yang baru datang itu bukan
seorang houwpwee.
Dengan heran, semua mata mengawaskan imam itu yang ternyata
berparas agung dan sebelah tangannya memegang hudtim (kebutan debu).
Antara begitu banyak tamu tak satu pun yang mengenal imam tersebut dan
mereka sangat kepingin tahu, siapa sebenarnya orang itu yang agak
disegani oleh Moh Tayhiap.
Sambil menggoyangkan hudtim-nya, si toosoe tertawa bergelak-gelak
seraya berkata: "Moh Lootauwtjoe (orang tua she Moh) aku juga ingin
Kiatyan!" Sehabis berkata begitu, ia mengebaskan hudtim-nya dan ribuan
bulu hudtim itu lantas saja menjadi tegak, seolah-olah kawat baja.
Pengtjoan Thianlie, yang masih menggengam pedang terhunus, segera
menangkis hudtim itu yang dihantamkan ke arahnya.
"Peng Go, mundur!" perintah Moh Tjoan Seng.
Dengan berbunyi "tring...", Pengpok Hankong kiam itu terpental.
"Sungguh sayang jika sampai terluka," kata si imam sembari tertawa
dingin. "Kau bukan tandinganku. Moh Lootauwtjoe, kenapa kau masih belum
mau turun?"
Sekonyong-konyong, dengan suatu gerakan yang sangat indah, tubuh
Tong Keng Thian meluncur ke depan dan hinggap di antara Pengtjoan
Thianlie dan imam itu.
"Dulu aku sudah mengampuni jiwamu," kata si imam. "Sekarang kau
berani datang lagi?"
"Hongsek Toodjin!" bentak Keng Thian. "Jangan kurang ajar! Moh
Lootjianpwee mana mau melayani manusia semacam dirimu. Mari, mari! Aku
bersedia melayani kau." Sehabis membentak, ia menghunus Yoeliong kiam-nya
dan menyerang dengan sekali bergerak.
Hongsek Toodjin yang sudah mengenal keliehayan pedang itu, tidak
berani berlaku ayal dan segera menangkis dengan hudtim-nya. Dengan suatu
gerakan yang luar biasa, tanpa berkisar, ia membalikkan hudtim-nya dan
menghantam pedang Keng Thian dengan gagang kebutan. "Trang!", Yoeliong
kiam si pemuda terpental! Hongsek mengangsek dan seperti ribuan kawat
baja, hudtim itu menyambar kepala Keng Thian.
Melihat serangan yang hebat itu, buru-buru Keng Thian mengeluarkan
Thaysiebie Kiamhoat untuk melindungi dirinya. Di lain pihak, dengan
sekali melompat, Hongsek sudah melewati Keng Thian dan tiba kembali di
depan pentas untuk segera menyerang Moh Tjoan Seng, guru besar dari Rimba
Persilatan di seluruh wilayah Tionggoan.
Dengan kepandaiannya yang sudah cukup tinggi, biarpun bukan
tandingan Hongsek, Keng Thian masih bisa mempertahankan diri dalam lima
puluh jurus. Akan tetapi, imam itu yang bermaksud untuk mengangkat
derajat partai Khongtong pay, sungkan berurusan lama-lama dengan pemuda
itu. Itulah sebabnya, mengapa begitu bergebrak, ia segera menyerang hebat
sekali supaya Keng Thian tak bisa merintangi gerak-geriknya.
Keng Thian terkejut bukan main. Ia ingin menyusul, tapi sudah tidak
keburu lagi, karena Hongsek sudah berhadapan dengan Moh Tjoan Seng.
Walaupun ia yakin, bahwa imam itu tak akan bisa mencelakakan Moh Tayhiap,
akan tetapi, jika guru besar itu sampai terpaksa turun tangan sendiri dan
tak bisa menjatuhkan lawannya dalam sepuluh jurus, Rimba Persilatan di
wilayah Tionggoan akan mendapat malu besar dan pertemuan Kiatyan tak akan
bisa dilakukan lagi.
Pada detik yang memutuskan, sekonyong-konyong, tubuh Pengtjoan
Thianlie melayang ke depan pentas dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, si
nona lalu membacok dengan pukulan Hoeipo lioetjoan (Air tumpah solokan
mengalir), yaitu salah satu pukulan terliehay dari Pengtjoan Kiamhoat
yang diciptakan oleh ayah dan ibunya.
Hongsek memanggil dan ia terpaksa menangkis dengan hudtim-nya.
"Bocah!" ia membentak. "Apakah kau juga mencari mampus?"
Sehabis mencaci, ia menarik pulang hudtim-nya Peng Go yang sudah
tak keburu menarik pulang pedangnya, lalu mendorongnya untuk menikam dada
Hongsek. Tiba-tiba ia merasakan senjatanya terjepit dan tertarik oleh
suatu tenaga yang besar luar biasa. Harus diketahui, bahwa senjata
Hongsek bisa menjadi "keras" dan juga bisa "lemas". Tadi, ia sengaja
"melemaskan" bulu-bulu hudtim-nya untuk memancing masuknya Pengpok
Hankong kiam. Begitu pedang itu menerobos masuk, dengan menggunakan
Djioekin (tenaga "lemas"), ia menggubatnya dan kemudian, dengan tenaga
Yangkong (tenaga "keras"), ia menggencet dan menarik pedang itu. Peng Go
merasakan lengannya kesemutan, hampir-hampir Pengpok Hankong kiam-nya
terlepas dari genggamannya.
Ketika si nona sudah hampir tak dapat bertahan lagi, tenaga Hongsek
yang tengah menarik dengan hebatnya, tiba-tiba hilang. Ternyata, penolong
itu adalah Keng Thian yang telah menikam punggung musuh dengan pedangnya.
Walaupun memiliki lweekang yang sangat tinggi, Hongsek tak berani
memandang enteng kepada Yoeliong kiam. Mau tak mau, ia menarik hudtim-nya
untuk menangkis pedang Keng Thian. Peng Go tentu saja sungkan menyia-
nyiakan kesempatan bagus itu. Dengan beruntun ia mengirimkan tiga tikaman
ke arah tiga jalan darah musuh. Tapi Hongsek benar-benar liehay. Dengan
mengebaskan lengan jubahnya, ia memunahkan tiga serangan itu dan hampir
berbareng dengan itu, sembari memutarkan badannya, lengan jubahnya
menyampok Keng Thian yang jadi sempoyongan dan harus mundur beberapa
tindak.
Orang-orang dari cabang-cabang persilatan yang menyeleweng lantas
saja bersorak-sorai, sedang mereka dari cabang-cabang persilatan yang
tulen jadi terkejut dan merasa kuatir untuk keselamatan kedua orang muda
itu. Mereka tidak tahu, bahwa barusan Hongsek Toodjin telah "lolos dari
lubang jarum." Di luar, imam itu tampaknya telah memukul mundur Keng
Thian dan Peng Go dengan mudah sekali. Akan tetapi, sebenarnya, ia telah
berada dalam kedudukan yang sangat berbahaya. Hanya karena Pengtjoan
Thianlie dan Tong Keng Thian belum mendapat kesempatan untuk berlatih
bersama-sama (sehingga di antara mereka belum terdapat kecocokan yang
sempurna), maka Hongsek Toodjin sudah bisa meloloskan diri dari serangan
itu. Jika bukannya begitu, andaikata ia terlolos dari Pengpok Hankong
kiam si nona, jangan harap ia bisa terlolos dari Yoeliong kiam si pemuda.
Dengan cepat mereka sudah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus.
Semakin lama kerja sama antara Peng Go dan Keng Thian jadi semakin baik.
Menyerang maupun membela diri dapat dilakukan secara saling bantu
membantu yang semakin lancar. Keunggulan ilmu pedang Pengtjoan Thianlie
terletak pada kegesitan dan keanehan pukulan-pukulannya, sedang
keunggulan Kiamhoat Tong Keng Thian terletak pada kemahirannya. Dengan
masing-masing memiliki
keunggulan-keunggulan itu, mereka berdua bisa saling menambal
bagian masing-masing yang agak lemah. Demikianlah, meskipun Hongsek
berkepandaian lebih tinggi, sesudah bertempur agak lama, sebaliknya dari
bisa mendesak, ia sendiri akhirnya yang terdesak.
Sesudah berhasil menindih keganasan sang lawan, diam-diam Keng
Thian melirik Peng Go. Tapi ia jadi kecewa, karena dari paras si nona,
tak dapat ditaksir bagaimana perasaannya. Wajah Peng Go kelihatan seperti
girang, jengkel dan gusar bercampur menjadi satu. "Biarlah, sesudah
pertempuran ini berakhir, aku akan coba memberi keterangan kepadanya,"
kata Keng Thian di dalam hatinya.
Dalam pertempuran antara jago dan jago, setiap pihak tak boleh
memecah perhatiannya. Maka begitu lekas pikiran Keng Thian ketarik ke
jurusan lain, garis pembelaannya lantas saja menjadi tak sekokoh tadinya.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik itu, Hongsek segera mengirimkan
serangan berantai. Pengtjoan Thianlie terkejut, buru-buru ia memberikan
pertolongan.
Sesudah mendapat pelajaran itu, Keng Thian tak berani memikirkan
soal-soal lain lagi. Sembari mengumpulkan semangatnya dan memusatkan
seluruh perhatiannya, ia terus bersilat dengan Thaysiebie Kiamhoat-nya.
Segera juga, Yoeliong kiam-nya sudah merupakan tirai sinar putih yang
melindungi dirinya sendiri dan Peng Go dengan berbareng. Thaysiebie
Kiamhoat adalah ilmu yang paling liehay dari Thiansan pay. Jika ilmu itu
digunakan hanya untuk membela diri, pengaruhnya akan lebih besar lagi dan
pertahanannya jadi sedemikian rapat, sehingga agaknya, seakan-akan tak
dapat ditembusi angin maupun hujan. Dengan mendapat perlindungan Keng
Thian, Pengtjoan Thianlie menjadi bebas untuk menyerang musuh itu dengan
pukulan-pukulan Tatmo Kiamhoat yang sangat dahsyat.
Bagi banyak orang, pertempuran itu adalah pertempuran terhebat yang
mereka pernah melihat. Sambil menahan napas, semua tamu menantikan
kesudahannya dengan mata tidak berkesip.
Selagi pertempuran itu berlangsung dengan serunya, sekonyong-
konyong di luar ruangan terdengar suara tertawa yang ramai aneh. Keng
Thian terkesiap. Ia tahu, bahwa Kim Sie Ie lagi-lagi datang mengacau.
Tapi selagi menghadapi lawan berat, ia tak berani memecah perhatiannya.
Semua orang lantas saja ramai-ramai menengok keluar. Mereka
mendapat kenyataan, bahwa belasan toosoe Boetong pay sedang memasuki
ruang itu, sembari melompat-lompat dan tertawa aneh tiada habisnya.
Bukan main gusarnya Loei Tjin Tjoe. Sembari membungkuk, ia berkata
kepada Moh Tjoan Seng: "Pengemis gila yang kemarin lagi-lagi datang
mengacau. Mohon Tjouwsoe memberi hukuman kepadanya." Dalam kegusarannya
terhadap Kim Sie le, ia lupa, bahwa seorang yang berkedudukan tinggi
seperti Tjouwsoe-nya, tak boleh sembarang turun tangan terhadap seorang
houwpwee seperti Toktjhioe Hong-kay.
Dalam sekejap, belasan toosoe itu sudah masuk ke ruang sembahyang
dan mereka diikuti seorang pemuda tampan. Pemuda itu mengenakan pakaian
indah yang robek di beberapa bagian, sedang kedua tangannya —- yang
memegang tongkat – tiada hentinya diangkat untuk menggiring rombongan
toosoe itu selaku gembala mengendalikan rombongan bebeknya.
Begitu mendengar nama "Toktjhioe Hongkay," semua orang terperanjat.
Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak. "Ramai benar! Sungguh ramai!" ia
berteriak. Belum sempat ia meneruskan perkataannya, muka Moh Tayhiap
berubah dan sebelah tangannya melontarkan sejumlah biji tasbih. Bagaikan
kilat, biji-biji itu terbang di tengah udara dan hampir di saat itu juga,
suara tertawa itu serentak berhenti!
Pada saat itu, seluruh ruangan menjadi sunyi, suatu kesunyian yang
menyeramkan...
Mendadak, mendadak saja, di luar terdengar seruan: "Sungguh ramai!
Aku pun ingin turut meramaikan Kiatyan!"
Hampir berbareng dengan habisnya suara itu, sesosok bayangan
manusia melesat ke depan pentas dan orang itu lantas saja menerjang Moh
Tjoan Seng. Pada detik itu juga, Koei Peng Go yang gesit luar biasa,
sudah meninggalkan Hongsek Toodjin dan menghadang di depan pentas.
"Trang!" Peng Go terhuyung, lengannya kesemutan, hampir-hampir
Pengpok Hankong kiam-nya terlepas!
Penyerang itu ternyata adalah seorang laki-laki yang badannya kurus
tinggi, rambutnya terurai di kedua pundaknya dan mukanya lebih menakutkan
daripada muka Toktjhioe Hongkay Kim Sie Ie. Peng Go kaget tak kepalang,
karena lweekang orang itu bahkan lebih kuat daripada Hongsek Toodjin.
Tentu saja, para hadirin juga terkejut, tapi yang paling
terperanjat adalah Tjia In Tjin, karena ia mengenal penyerang itu sebagai
si manusia aneh yang sudah mengutungkan lidah sejumlah murid Boetong.
"Tongbeng Tooyoe," kata Moh Tjoan Seng dengan tenang. "Apakah kau
masih belum bisa melupakan peristiwa yang terjadi empat puluh tahun
berselang itu?"
Ketika mendengar perkataan itu, para ahli silat yang sudah berusia
lima puluh tahun lebih lantas saja, mengetahui siapa orang aneh itu.
Kurang lebih empat puluh tahun sebelum hari itu, gua Kouwtiok tong di
gunung Koenloen san, didiami seorang pertapaan yang dikenal dengan nama
Tongbengtjoe. Entah dari mana, ia memiliki ilmu yang aneh. Sering sekali
ia mengganggu orang-orang gagah dari Rimba Persilatan di wilayah
Tionggoan. Ketika itu,
Moh Tjoan Seng masih muda dan semangatnya sedang bergelora.
Mendengar kejadian tersebut, ia segera mendaki Koenloen san dan menantang
Tongbengtjoe. Sesudah bertempur selama setengah hari, ia berhasil
merobohkan lawannya dan memaksa Tongbengtjoe bersumpah untuk tidak
berkelana lagi di kalangan Kangouw. Selama empat puluh tahun,
Tongbengtjoe melenyapkan diri dan semua orang menduga, bahwa ia sudah
meninggal dunia. Tak dinyana, pada Kiatyan ketiga ini, ia muncul dengan
tiba-tiba.
Teranglah sudah, bahwa kedatangannya sekali ini adalah untuk
menantang Moh Tjoan Seng. Mengenai usia, Tongbengtjoe sepantar dengan Moh
Tayhiap. Akan tetapi, jika dilihat dari wajahnya, ia masih seperti
seorang yang baru berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dalam Rimba
Persilatan memang terdapat semacam ilmu yang dapat memepertahankan
keremajaan seseorang. Sesudah empat puluh tahun bersembunyi, Tongbengtjoe
muncul kembali dengan niatan mengukur kepandaian lagi dengan Moh Tjoan
Seng. Semua orang menganggap, bahwa tanpa mempunyai pegangan, ia tentu
tak berani datang. Agaknya empat puluh tahun itu telah dilewatkannya
dengan memeras keringat untuk mencari kemajuan dan pada saat itu,
tentunya ia yakin, bahwa kepandaiannya sudah lebih tinggi daripada Moh
Tayhiap.
Tongbengtjoe tertawa lagi. "Moh Tjoan Seng!" katanya. "Kau sekarang
sudah menjadi guru besar, sedang aku masih tetap seorang perantaian.
Bukankah ini terlalu tak adil? Aku datang kesini untuk menanyakan apakah
kau mau mengijinkan aku berkelana lagi di dunia Kangouw atau tidak?"
"Selama empat puluh tahun, banyak sekali perubahan telah terjadi,"
jawab Moh Tjoan Seng. "Sedang laut juga sudah bisa berubah menjadi kebun,
apalagi manusia? Apakah kau masih mau mentaati sumpahmu atau akan
menghapuskannya, terserah kepada kau sendiri." Dengan berkata begitu Moh
Tjoan Seng ingin mengatakan, bahwa, jika Tongbengtjoe sekarang bisa
mengambil jalan lurus, ia boleh tak usah menunaikan sumpahnya lagi.
Tongbengtjoe tak bisa menangkap maksud Moh Tayhiap, sambil tertawa
dingin ia berkata: "Dulu, dengan kekerasan kau memaksa aku memenjarakan
diriku sendiri. Sekarang, untuk kedua kalinya aku muncul kembali. Aku
sendiri tak tahu, apakah aku masih berhak untuk berkelana lagi di dunia
Kangouw. Maka, tak dapat tidak aku mesti meminta pengajaranmu pula."
Moh Tjoan Seng tersenyum. "Apakah di dunia Kangouw orang hanya
mengandalkan ilmu silat?" tanyanya.
Tongbengtjoe tertawa terbahak-bahak. "Dulu aku telah roboh karena
tanganmu!" ia berkata dengan lantang. "Sekarang, juga dari tanganmu, aku
hendak merebut kembali kemerdekaanku!" Ia melompat dan coba menyerang
pula.
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie sudah menyiapkan tujuh butir
Pengpok Sintan dalam kedua tangannya. Begitu Tongbengtjoe melompat, ia
segera menimpuk dengan kedua tangannya.
"Segala mutiara sebesar beras juga berani memperlihatkan sinarnya?"
ia membentak sembari menyentil, tujuh butir Pengpok Sintan itu lantas
saja terpental dan lumer menjadi air es. Hampir berbareng dengan itu, ia
melompat sambil mementang sepuluh jerijinya untuk menerkam batok kepala
si nona.

***

Kim Sie Ie menyatroni Kimkong sie dengan hati mendongkol dan dengan
niatan untuk mengacau. Sebelum masuk, dengan batu kolar ia menimpuk jalan
darah belasan murid Boetong yang menjaga di luar pekarangan kuil. Yang
ditimpuk olehnya adalah Siauwyauw hiat (jalan darah untuk membikin orang
tertawa) dan Mayang hiat (jalan darah yang mendatangkan perasaan baal dan
gatal). Sesudah itu, dengan gembira, ia menggiring para korbannya. Tapi
sungguh di luar dugaannya, dengan sekali menimpuk, Moh Tjoan Seng sudah
berhasil menolong para murid Boetong itu. Tiamhiat hoat (ilmu menotok
jalan darah) ciptaan Tokliong Tjoentjia adalah ilmu tunggal yang tidak
dikenal oleh orang luar. Dengan ilmu itu, Kim Sie Ie sudah merobohkan
banyak sekali jago dalam Rimba Persilatan dan ia semula menduga, bahwa
Tiamhiat hoat tersebut tak akan dapat dipecahkan oleh siapapun juga.
Oleh sebab itu, ia menjadi kaget sekali, ketika mendapat kenyataan,
bahwa Keng Thian dapat menolong Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya. Ketika
dengan sekali menggerakkan tangannya, Moh Tjoan Seng sudah bisa
membebaskan belasan orang yang telah ditotoknya, tentu saja ia jadi makin
terperanjat. Berdasarkan
bunyi biji-biji tasbih itu -- ketika datang menyambar —— ia tahu,
jika ia ditimpuk, tak dapat ia menahannya. Masih untung, bahwa Moh
Tayhiap hanya menolong murid-murid Boetong tersebut, dan tidak turun
tangan untuk mencelakakannya. Setelah menyaksikan semua itu, kesombongan
Kim Sie Ie lantas saja berkurang banyak.
Sementara itu, hatinya mencelos ketika mendapat kenyataan, bahwa
dengan berendeng pundak, Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian sedang
mengerubuti Hongsek Toodjin. Selagi ia mau mengundurkan diri dari ruangan
itu, tiba-tiba muncul Tongbengtjoe, yang lantas dicegat oleh si nona.
Di saat itu, ketika Tongbengtjoe menubruk Peng Go, pikiran Kim Sie
Ie berubah sama sekali. Biar bagaimana besar rasa bencinya terhadap Tong
Keng Thian, tak dapat tidak ia mesti menolong.
Bagaikan kilat, tangan Tongbengtjoe menyambar kepala si nona.
Dengan tak kalah cepatnya, Peng Go menunduk dengan gerakan Honghong
tiamtauw (Burung hong manggutkan kepala) dan menyabet dengan Hankong
kiam-nya. Begitu serangannya yang pertama meleset, Tongbengtjoe segera
menyusulkan terkamannya yang kedua.
Pada detik itulah, sambil membentak keras, Kim Sie Ie melompat dan
menghantam kepala Tongbengtjoe dengan tongkatnya. Tangan Tongbengtjoe
menyambar dan berhasil menangkap ujung tongkat itu. Dalam gebrakan itu,
kedua belah pihak telah mengerahkan lweekang masing-masing yang sangat
tinggi. Begitu tongkatnya ketangkap musuh, badan Kim Sie Ie terhuyung dan
ia terseret dua tindak.
Sekarang, masing-masing memegang sebelah ujung tongkat itu.
Tongbengtjoe tertawa terbahak-bahak dan mendadak, ia memutarkan tongkat
itu dan membuat satu lingkaran. Semakin lama, ia memutarkannya semakin
cepat, sehingga meskipun niat menolong, Pengtjoan Thianlie tidak berani
turun tangan, karena kuatir melukakan Kim Sie Ie sendiri. Tiba-tiba Kim
Sie Ie tertawa nyaring dan badannya kelihatan membubung ke atas, sehingga
Pengtjoan Thianlie terkejut bukan main. Di lain saat, ia mendapat
kenyataan, bahwa, sedang Tongbengtjoe masih terus memegang ujungnya,
pemuda itu sendiri sudah menunggangi batang tongkat itu. Mendadak
terdengar suara "fui!" dan Kim Sie Ie menyemburkan ludah! Di antara
semburan itu, sayup-sayup terdengar sambaran jarum-jarum halus.
Tadi, Kim Sie Ie sebenarnya sudah berada di bawah kekuasaan
musuhnya, sehingga apa yang dilakukannya benar-benar di luar dugaan
Tongbengtjoe.
Hampir berbareng dengan semburan ludah Kim Sie Ie, Pengtjoan
Thianlie melompat dan mengirimkan suatu tingkaman ke punggung musuh,
Tongbengtjoe yang mengandalkan ilmu Pithiat kanghu (ilmu menutup semua
jalanan darah), tidak menghiraukan serangan senjata rahasia Kim Sie Ie
dan buru-buru mengebaskan lengan jubahnya untuk menangkis pedang si nona
yang menyambar laksana kilat. Pengpok Hankong kiam itu terpental,
sehingga Peng Go terpaksa meloncat mundur. Sebelum Tongbengtjoe sempat
berbalik, ludah Kim Sie Ie sudah mengenai lehernya.
Amarah Tongbengtjoe jadi meluap. Sambil mengertak gigi, ia
melontarkan tongkat itu – yang sedang ditunggangi Kim Sie Ie —— ke tengah
udara. Dengan kedua-dua tangannya tetap memegang tongkat itu erat-erat,
Kim Sie Ie berjungkir balik dan selagi badannya melayang turun, mulutnya
berteriak: "Tikam Honghoe hiat, Hiankie hiat dan Tjiantjeng hiat-nya. Dia
sudah terkena senjata rahasiaku yang beracun!"
Lweekang Tongbengtjoe sudah dilatih sampai di tingkatan paling
tinggi, sehingga meskipun ia belum mempunyai badan dewa yang tak bisa
rusak, akan tetapi ia percaya, bahwa tubuhnya bisa menahan segala rupa
senjata rahasia dan ditambah dengan Pithiat kanghu, ia yakin, bahwa
badannya cukup kuat untuk melawan segala macam racun. Oleh sebab itu, ia
semula tidak menggubris perkataan Kim Sie le. Di luar dugaannya, sesudah
menangkis beberapa serangan Pengtjoan Thianlie, mendadak ia merasakan
jalan darah Honghoe hiat, Hiankie hiat dan Tjiantjeng hiat-nya baal. Di
lain saat, ia merasakan hawa racun menyelusup dari jalan darah ke
dadanya! la terkesiap berbareng gusar.

***

Harus diketahui, bahwa senjata rahasia yang digunakan Kim Sie Ie


adalah senjata paling beracun di kolong langit. Di Pulau Ular terdapat
semacam ular yang dinamakan Kimkak Sintjoa (Ular malaikat yang bertanduk
emas), Di kepala ular itu terdapat tulang yang munjul ke atas seperti
tanduk dan bisa ular tersebut hebat luar biasa. Dulu, di waktu Tokliong
Tjoentjia menggunakan ular itu, untuk mencelakakan Phang Eng, hampir-
hampir jiwa Phang Eng tidak ketolongan lagi jika Hie Kok tidak memberikan
rumput Lengtjie yang sudah berusia ribuan tahun kepadanya.
Senjata rahasia Kim Sie Ie, yaitu Hoeitjiam atau jarum yang sangat
halus, telah diolah dengan bisa Kimkak Sintjoa. Sebelum berlatih
melepaskan jarum itu bersama-sama dengan semburan ludah, lebih dulu ia
minum obat pemunahnya dan sengaja melukakan tubuhnya sendiri dengan
gigitan ular tersebut, supaya badannya menjadi kebal. Itulah sebabnya,
mengapa jarum tersebut bisa dimasukkan dalam mulutnya tanpa menimbulkan
bahaya.
Tapi, jika orang lain terkena serangan jarum-jarum itu, kecuali
bila ia berbadan seperti dewa, begitu darahnya kemasukan racun itu, hawa
racun lantas saja menyerang ke jantung dan menutup semua jalan darahnya,
sehingga korban itu tak akan dapat ditolong lagi.
Kim Sie Ie mempunyai beberapa macam jarum beracun. Yang digunakan
untuk melukakan Tong Keng Thian dan Tong Say Hoa, racunnya jauh lebih
enteng dan bekerjanya lebih perlahan. Tapi jarum yang digunakannya
terhadap Tongbengtjoe adalah yang terhebat dan bekerjanyapun sangat cepat
lagi ganas sekali.

***

Sementara itu, Kim Sie Ie sudah hinggap di atas lantai. Ia tertawa


bergelak-gelak seraya berkata: "Segala mutiara sebesar beras juga berani
memperlihatkan sinarnya?"
Kata-kata itu justru adalah ejekan yang digunakan Tongbengtjoe
terhadap Pengtjoan Thianlie. Kim Sie Ie mengembalikan ejekan itu untuk
menyenangkan dan membalaskan sakit hati si nona, sekalian untuk
membangkitkan kegusaran musuh, supaya hawa racun itu bekerja semakin
cepat.
Tentu saja Tongbengtjoe mengetahui maksud pemuda itu. Sambil
menutup mulut, ia mengerahkan lweekang-nya dan menangkis serangan-
serangan Koei Peng Go.
"Dalam dunia tak ada yang bisa memunahkan racun senjata rahasiaku,"
kata Kim Sie Ie pula sembari tertawa dingin. "Jika kau suka berlutut tiga
kali di hadapanku dan memanggil kakek kepadaku, dengan memandang muka si
cucu, mungkin sekali aku akan mengampuni jiwamu."
Tongbengtjoe mendelik. "Bocah tak kenal mampus!" ia membentak.
"Rasakanlah keliehayanku!" Ia mengebaskan lengan jubahnya untuk memukul
mundur Pengtjoan Thianlie dan kemudian mengirimkan dua pukulan geledek ke
arah Kim Sie Ie.
"Semakin banyak kau mengeluarkan tenaga, semakin cepat kau mampus!”
Kim Sie Ie mengejek sambil menangkis dengan tongkatnya yang ujungnya
sekali lagi kena ditangkap oleh Tongbengtjoe.
Tadi, dengan mempertaruhkan jiwanya dengan pukulan yang sangat
berbahaya, baru ia bisa terlolos dari bencana. Sekarang, ia tak mau
membiarkan dirinya diseret dan diputar-putarkan sekali lagi oleh
musuhnya. Begitu lekas tongkatnya ketangkap, ia mengerahkan tenaganya dan
ilmu Tjiankin toei (ilmu menambah berat badan), untuk memperkuat kuda-
kudanya, ia membetot sekuat-kuatnya.
Di saat itu, Pengtjoan Thianlie sudah menerjang kembali mengirimkan
tiga tikaman kepada tiga jalan darah musuh yang sudah menjadi baal itu.
Hampir berbareng dengan serangan si nona, terdengar bunyi: "srt"
dan tangan Kim Sie Ie sudah memegang sebatang pedang besi, sedang
Tongbengtjoe masih tetap menggenggam tongkat itu yang sebenarnya sebuah
sarung pedang.
Bersama dengan Koei Peng Go, lincah sekali Kim Sie Ie bergerak,
menyerang musuh itu. Pedangnya adalah pedang mustika yang, bila
digunakan, mengeluarkan bau amis. Sesudah bertempur lagi beberapa jurus,
sekonyong-konyong Tongbengtjoe melontarkan tongkat Kim Sie Ie dan lantas
saja bersila di atas lantai, sedang kedua tangannya menyambar kian kemari
untuk menangkis setiap serangan. Buru-buru Kim Sie Ie memungut tongkatnya
dan kemudian dengan tangan kiri memegang tongkat dan tangan kanan
membekal pedang, ia menyerang pula dengan hebatnya.
Tongbengtjoe tetap bersila sembari mengerahkan lweekang-nya untuk
menahan naiknya hawa racun, sedang kedua tangannya digerakkan kian
kemari, menangkis tiga senjata musuhnya yang pergi datang menghujani ia
dengan pukulan-pukulan membinasakan. Dalam sekejap, keadaannya sudah
sangat berbahaya dan ia hanya bisa membela diri, tanpa mampu membalas
menyerang.
Sembari mengejek terus untuk membangkitkan amarah musuhnya, Kim Sie
Ie memperhebat serangan-serangannya. Melihat keadaan lawan, Peng Go ——
yang berhati murah -- lantas saja merasa kasihan. "Sudahlah! Lepaskanlah
supaya ia bisa menyingkir dari sini," katanya.
Tongbengtjoe mendelik dan membentak: "Siapa sudi dikasihani olehmu!
Jika sekarang kau niat lari, kau tak akan bisa lari!"
"Lihatlah!" kata Kim Sie Ie. "Ia sendiri yang ingin melaporkan diri
kepada Giam Loo-ong. Siapakah yang bisa merintanginya?" Sembari berkata
begitu, ia menghantam kalang kabut.
Peng Go melirik ke bagian lain dan mendapat kenyataan, bahwa
Hongsek Toodjin yang dilayani oleh Keng Thian seorang sedang membalas
menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat.
Si nona menjadi kuatir. "Tongbengtjoe sudah mendapat luka berat dan
Kim Sie Ie seorang diri rasanya sudah cukup untuk melayaninya," katanya
di dalam hati. Ia segera menarik Hankong kiam-nya dan mengenjot badannya
untuk melompat keluar dari gelanggang. Sekonyong-konyong, berbareng
dengan suatu gerakan tangan Tongbengtjoe, ia merasakan dirinya ditarik
oleh suatu tenaga yang tidak kelihatan, sehingga ia tak bisa meloloskan
diri. Justru pada detik itu, Kim Sie Ie memukul dengan tongkatnya dan
musuh terpaksa membagi tenaganya untuk menangkis. Pada saat itulah Peng
Go mengempos semangatnya dan badannya lantas saja melesat keluar
gelanggang. Jantung si nona berdebar keras dan untuk sejenak ia
bersangsi. Apa mau, di saat itu Keng Thian didesak oleh Hongsek dengan
serangan bertubi-tubi. Tanpa berpikir panjang-panjang lagi, ia segera
melompat dan menikam punggung imam itu,
untuk menolong Keng Thian.
Dengan bekerja sama, baru saja bertempur kurang lebih tiga puluh
jurus, Keng Thian dan Peng Go kembali berada di atas angin. Selagi mereka
mendesak musuh itu, alis si pemuda mendadak berkerut dan ia berkata
dengan perlahan: "Peng Go Tjietjie, pergi kau membantu Hongkay itu. Tak
usah memperdulikan aku."
Ketika itu Kim Sie Ie sedang dalam bahaya besar. Tadi, ketika ia
dan si nona mengerubuti Tongbengtjoe, ia tidak merasakan tekanan yang
luar biasa. Tapi, begitu lekas Peng Go meninggalkannya seorang diri,
tekanan musuh semakin lama jadi semakin berat. Perlahan-lahan ia merasa
seakan-akan suatu tenaga tidak kelihatan menekan seluruh tubuhnya dan
sesudah lewat kira-kira tiga puluh jurus lagi, ia sudah tak dapat
bergerak dengan leluasa. Tongkat dan pedangnya dirasakan sangat berat dan
ia harus menggunakan banyak tenaga untuk mengangkatnya.
Kim Sie Ie kaget berbareng bingung. Sekonyong-konyong, Tongbengtjoe
mengubah siasatnya. Jika barusan ia hanya membela diri, sekarang ia
membalas menyerang. Meskipun ia terus bersila, tenaganya telah "mengunci"
suatu lingkaran yang garis tengahnya setombak lebih. Kedua senjata Kim
Sie Ie seakan-akan ditempel dengan lem dan badannya terasa dibetot
tenaga yang tidak kelihatan itu. Beberapa kali ia menyemburkan jarumnya,
tapi karena musuh itu sudah waspada, semua jarum beracun itu telah
dihalaukan dengan kebasan lengan jubah saja.
Semakin lama, Kim Sie Ie semakin mendekati musuhnya, terseret
tenaga luar biasa itu. Ia mengetahui, bahwa Tongbengtjoe sedang berusaha
untuk memusnahkan tenaga lweekang-nya dan dalam tiga puluh jurus lagi, ia
akan kehabisan tenaga seperti lampu yang kehabisan minyak. Meskipun tak
mati, ia akan bercacat seumur hidupnya.
Selagi terengah-engah Kim Sie Ie coba bertahan terus, sekonyong-
konyong Tongbengtjoe membentak: "Bocah! Sekarang baru kau tahu
keliehayanku!" Ia membuat sebuah lingkaran dengan kedua tangannya dan
pada saat itu juga, tongkat dan pedang Kim Sie Ie, dua-dua sudah
tertangkap tangannya.
Pada detik itu, kupingnya tiba-tiba mendengar suara Pengtjoan
Thianlie. "Tidak," kata si nona. "Lebih dulu kita membereskan siluman
ini, belakangan baru menolong dia." Ternyata Pengtjoan Thianlie belum
tahu bencana apa yang dihadapi Kim Sie Ie, ia ingin merobohkan Hongsek
lebih dulu sebelum membantu pemuda itu. Bagi Kim Sie Ie, kata-kata itu
bagaikan pisau yang menikam jantungnya. Hatinya sakit bukan main. "Dengan
suka rela aku membantu kau, tapi kau hanya memperhatikan bocah itu,"
katanya dengan perasaan duka. Dengan munculnya kekecewaan itu,
semangatnya musnah dan badannya terbetot keras-keras...
Pada detik yang sangat berbahaya itu, mendadak terdengar teriakan
Keng Thian: "Tidak! Tolong dia lebih dulu!" Hampir berbareng dua Thiansan
Sinbong menyambar Tongbengtjoe yang harus menangkis dengan tangan
jubahnya. Karena adanya serangan itu, tenaga yang menekan Kim Sie Ie
menjadi kendur, sehingga pemuda itu keburu memperbaiki kedudukannya dan
coba mempertahankan diri dengan seantero tenaganya. Dengan kedua
senjatanya ditangkap musuh, Kim Sie Ie jadi serba salah, menyerang ia tak
bisa, mundur pun tak dapat.
Di lain pihak, sekonyong-konyong Tong Keng Thian mengubah cara
bersilatnya. Kalau tadi ia hanya membela diri dengan Thaysiebie Kiamhoat,
adalah sekarang ia juga menyerang dengan Toeihong Kiamhoat. Diserang
dengan pukulan-pukulan hebat yang menyambar-nyambar bagaikan hujan
dan angin,
Hongsek terpaksa berkelahi sembari mundur.
Mendadak, Tong Keng Thian melonjak ke tengah udara dan selagi
tubuhnya melayang turun, bagaikan seekor elang, ia menikam leher
Tongbengtjoe dengan Yoeliong kiam-nya. Gerakan itu, indah dan cepat luar
biasa, mengejutkan semua penonton. Hampir pada saat yang sama, suatu
sinar putih berkelebat dan menyambar punggung
Tongbengtjoe. Itulah serangan Pengtjoan Thianlie yang sudah melihat
bahaya apa yang mengancam Kim Sie Ie.
Biarpun berkepandaian lebih tinggi lagi, Tongbengtjoe tak akan bisa
melawan serangan-serangan tiga orang muda itu. Ia melompat bangun sembari
mendorong dan tongkat serta pedang besi Kim Sie Ie, yang terpental akibat
dorongan itu, secara tepat menangkis Pengpok Hankong kiam si nona.
Tapi gerak-gerik Toeihong Kiamhoat cepat luar biasa. Selagi musuh
melompat dan membetot, Keng Thian sudah mengubah gerakan pedangnya dan
memapas musuh dari samping. Kedua tangan Tongbengtjoe yang baru saja
digunakan, tak keburu menangkis lagi dan Yoeliong kiam si pemuda lantas
saja mampir dipundaknya!
Tapi Tongbengtjoe benar-benar liehay luar biasa. Berbareng dengan
tikaman Keng Thian, tangannya sudah menghantam, sehingga Keng Thian
terhuyung beberapa tindak karena kesambar anginnya. Demikianlah, sebab
harus meloloskan diri, dari pukulan musuh, tenaga tikaman Keng Thian jadi
berkurang. Jika bukan begitu, tulang kipas Tongbengtjoe tentu sudah
ditobloskan pedang Keng Thian.
Sesudah terkena senjata beracun dan kemudian tertikam pedang, buru-
buru Tongbengtjoe
mengerahkan tenaga dalamnya untuk menutup semua jalan darahnya,
sehingga bukan saja hawa racun dapat ditahan, tapi mengalirnya terlalu
banyak darah pun dapat dicegah.
Lweekang Tongbengtjoe tak sama dengan lweekang cabang persilatan
yang tulen, ia mempunyai suatu keistimewaan. Jika seorang dari cabang
persilatan tulen mendapat luka, ia akan segera mengerahkan lweekang-nya
untuk melindungi diri dan ia tidak boleh menggunakan tenaga lagi. Di lain
pihak, begitu terluka, Tongbengtjoe segera mengumpulkan lweekang-nya di
luka itu, laksana gili-gili membendung air pasang. Jika air pasang itu
tak begitu besar, gili-gili itu tentu kuat menahannya, dan air bah itu
tak dapat membahayakan sekitarnya. Demikian juga makna pergerakan
lweekang tersebut.
Tapi, sesudah sembuh dari lukanya, seorang dari cabang persilatan
yang tulen akan mendapat pulang semua tenaga dalamnya, tanpa menderita
kerugian apa-apa. Di lain pihak, lweekang Tongbengtjoe hanya merupakan
semacam "tambalan," suatu sumbat sementara saja. Lama-lama, sumbatan itu
akan pecah dan bahaya akan mengancam sekitarnya. Sebagai akibatnya,
walaupun tak mati, orang itu akan bercacat, atau sedikitnya, lweekang-nya
akan berkurang banyak.
Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie yang tak mengerti keistimewaan
itu, merasa terkejut karena musuh masih bisa bertempur terus dengan tak
berkurang tenaganya.
Tongbengtjoe sangat membenci Kim Sie Ie, dan ia tahu, bahwa di
antara tiga musuhnya, pemuda itulah yang paling lemah. Sembari membentak
keras, ia melompat tinggi-tinggi dan selagi Tong Keng Thian belum keburu
memperbaiki kedudukannya, ia menghantam kepala Kim Sie Ie dengan pukulan
yang membinasakan.
Kim Sie Ie mengerti, bahwa ia tak akan kuat menahan pukulan itu,
tapi ia mengangkat juga tongkatnya untuk menangkis dan pedangnya
digunakan untuk melindungi dada, agar ia tidak sampai terpukul mati.
Pada detik itulah, pada saat yang sangat berbahaya, sesosok
bayangan berkelebat dan Pengtjoan Thianlie sudah menghadang di depan
pemuda itu. Dengan pukulan Soatyong Nakoan (Salju meliputi Nakoan), ia
membuat setengah lingkaran dari kiri ke kanan. Pukulan itu, pukulan untuk
untuk membela diri dan menyerang dengan berbareng, adalah salah satu
pukulan paling liehay dari Tatmo Kiamhoat. Tapi Tongbengtjoe telah
mengerahkan seantero tenaganya dalam pukulan itu. Dengan disertai
sambaran angin dahsyat, tangannya menyambar si nona. Hampir seketika itu
juga, badan Pengtjoan Thianlie meluncur ke tengah udara dan jungkir balik
dua kali, sebelum hinggap lagi di atas lantai. Hanya dengan kegesitannya
yang luar biasa dan ilmu mengentengkan badan yang sudah mencapai
kesempurnaan, si nona dapat menolong diri dari pukulan itu. Jika kena
terpukul, ia pasti binasa di bawah pukulan geledek itu. Di lain pihak,
bukan saja maksud Tongbengtjoe gagal, bahkan lengan bajunya pun dirobek
sebagian oleh ujung Hankong kiam.
Begitu terlolos dari bencana, Kim Sie Ie segera menyabet pinggang
musuh dengan tongkatnya. Tongbengtjoe buru-buru menangkis dengan tangan
kirinya dan seketika terdengar "tak!", tongkat Kim Sie Ic terbang ke
tengah udara dan bentuknya sudah berubah melengkung. Tapi Tongbengtjoe
pun harus sama-sama menderita, karena dua tulang pergelangan tangan
kirinya menjadi patah dan tangan itu tak dapat digunakan lagi. Darah
Tongbengtjoe seolah-olah mendidih. Dengan nekat ia mengangsek dan sesudah
mementalkan tongkat pemuda itu, tangan kanannya menyambar ke dada orang.
Tapi, sebelum pukulan itu mengenai dada Kim Sie Ie, mendadak
Tongbengtjoe merasakan sambaran angin tajam di belakangnya, itulah pedang
Keng Thian yang menikam punggungnya. Mau tak mau, ia terpaksa memutarkan
badan untuk menangkis serangan Tong Keng Thian. Tapi, dalam kegusarannya,
ia tak mau melepaskan Kim Sie Ie mentah-mentah. Selagi memutarkan badan,
ia mementang jerijinya yang berkuku panjang dan menggores dada Kim Sie
Ie!
Pada saat itu, dalam gelanggang terjadi lakon belalang diterkam
tonggeret dan tonggeret dicengkeram burung. Tong Keng Thian, yang sedang
menyerang Tongbengtjoe, dibayangi oleh Hongsek Toodjin yang menerjang
dari belakang. Ketika itu, Pengtjoan Thianlie baru saja hinggap di atas
lantai. "Awas di belakang!" ia berteriak sembari mengenjot badannya dan
menikam punggung Hongsek Toodjin.
Semua kejadian itu, yang harus dilukiskan panjang lebar, terjadi
dalam sekejap mata saja. Bagaikan kilat Hongsek mengebut punggung Keng
Thian dengan hudtim-nya, sehingga pemuda itu buru-buru melompat ke
samping. Tapi Tongbengtjoe sudah siap sedia. Dengan pukulan Tjioehoei
ngohian (Tangan memetik lima tali tabuh-tabuhan), lima jeriji tangan
kanannya menggores punggung Keng Thian. "Brt!", baju pemuda itu terrobek
di beberapa tempat.
"Srt!", Keng Thian sudah menikam sebelum ia memperbaiki
kedudukannya sendiri.
Tongbengtjoe terkesiap. Ia tak nyana, bahwa pemuda itu masih bisa
meloloskan diri dari gencatan dua serangan hebat itu, serangan Hongsek
dan serangannya sendiri. Di samping itu, ia juga tidak mengerti, kenapa
keadaan pemuda itu tidak berubah sesudah terkena pukulan Tjhioehoei
ngohian. Harus diketahui, bahwa goresan lima jeriji itu adalah pukulan
yang sangat beracun yang diberi nama Sin-eng Djiauwhoat (Ilmu cengkeraman
garuda sakti). Terang-terang, sebagian bajunya robek dan paling sedikit,
kulitnya di bagian punggung tentu mendapat luka. Tapi kenapa
sedikitpun tak kelihatan darah?
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie sudah bertempur seru dengan
Hongsek Toodjin. Biarpun ilmu pedangnya dahsyat luar biasa, tetapi tenaga
si nona kalah jauh dari musuhnya dan baru saja bertanding belasan jurus,
keringat sudah mulai mengucur dari dahinya. Keng Thian yang sedang
melayani Tongbengtjoe seorang diri, juga berada dalam keadaan terjepit.
Sembari bertempur, Keng Thian melirik. Ketika itu, hudtim Hongsek
terbuka lebar seperti jala ikan dan sedang menyambar sinar pedang si
nona. Keng Thian mengetahui, bahwa si nona bertahan dengan hanya
mengandalkan sinar pedang itu. Jika satu saja di antara ribuan lembar
bulu hudtim itu, dapat menerobos masuk, Peng Go bisa celaka. Semakin
lama, sinar pedang itu semakin tertindih dan semakin ciut pula, sehingga
Pengtjoan Thianlie hanya bisa melindungi kepala, muka, dada dan beberapa
bagian badan lain yang sangat penting.
Keng Thian terkejut dan berteriak: "Mari kita berkumpul!" Sekali
memecah perhatian, garis pembelaannya agak terbuka, sehingga hampir-
hampir ia kena dihantam oleh Tongbengtjoe. Sengit sekali ia berbalik
menyerang dengan Toeihong Kiamhoat, tapi gerakannya sudah kena "ditempel"
oleh tenaga Tongbengtjoe dan saban kali ia coba maju, segera juga ia
terpukul mundur kembali. Di lain pihak, seluruh tubuh Koei Peng Go, juga
sudah berada di bawah pengaruh hudtim lawannya dan si nona tak dapat
meloloskan diri lagi.
Sementara itu, sesudah dapat menenteramkan hatinya, Kim Sie Ie
segera memungut tongkatnya yang sudah terpukul bengkok dan sudah berubah
menjadi semacam gendewa. Sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia menekuk
dan berhasil melempangkan pula tongkat yang melengkung itu. Sesudah itu
ia menerjang pula ke dalam gelanggang dan menyodok punggung Hongsek
dengan tongkatnya. Si imam memutarkan badannya sembari mengebut dengan
hudtim-nya. Tapi serangan Kim Sie Ie itu hanya gertakan belaka dan begitu
lekas hudtim sang lawan lewat di sisi badannya, Kim Sie Ie menotok lantai
dengan tongkatnya dan badannya lantas saja melonjak ke atas. Selagi
melayang turun, sekonyong-konyong mulutnya menyemburkan ludah.
Tongbengtjoe gusar bukan main. Dengan gesit, ia mengebaskan tangan
jubahnya dan ludah itu terpukul kembali.
Dalam pertempuran antara jago, menang kalah selalu diputuskan dalam
perebutan tempo sedetik. Serangan-serangan Kim Sie Ic yang aneh lagi
tiba-tiba itu, sudah memaksa Hongsek dan Tongbengtjoe memecahkan
perhatian mereka dan saat-saat yang pendek itu sudah digunakan oleh
Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian sebaik-baiknya untuk meloloskan
diri dari tindihan musuh.
Di lain saat, mereka bertiga sudah berdiri berendeng pundak —— Peng
Go di tengah dengan Keng Thian dan Kim Sie Ie di kiri kanan -- untuk
melawan dua jago tua itu bersama-sama.
Sambil menangkis serangan-serangan Hongsek, Kim Sie Ie mencuri
lihat wajah Koei Peng Go. Ia mendapat kenyataan, bahwa —— dengan wajah
berwarna dadu —— si nona justru sedang melirik Keng Thian. Ketika melihat
baju Keng Thian yang robek akibat cengkeraman Tongbengtjoe, sinar mata
Peng Go mengesankan kekuatirannya di samping berterima kasih dan
mencinta. "Apakah kau tak terluka?" ia berbisik.
"Jangan kuatir," jawabnya. "Aku tak apa-apa." Sembari menjawab
begitu, pedangnya menangkis tiga serangan Tongbengtjoe.
Hati Kim Sie Ie sangat berduka. "Ah! Setiap orang mempunyai untung
sendiri," pikirnya. Di lain saat, ia berkata didalam hatinya: "Tong Keng
Thian telah dicengkeram Tongbengtjoe, tapi sedikitpun ia tidak terluka.
Ah! Apakah yang kupunya untuk menandingi ia?" Pada detik itu, ia merasa
dirinya kecil. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa Keng Thian telah
tertolong baju mustikanya, hadiah Po Tjeng Tjoe -- yang tak ternilai
harganya —- kepada ibunya. Karena hatinya berduka dan semangatnya runtuh,
Kim Sie Ie lantas saja merasakan betapa sakit lukanya. "Celaka!" ia
mengeluh sembari mengumpulkan semangatnya untuk bertahan terus.
Tongbengtjoe sudah segera melihat kelemahan itu, ia segera menghantam
dada Kim Sie Ie.
Pada saat itu, pedang Kim Sie Ie baru saja terpental disampok
hudtim Hongsek Toodjin, sehingga dadanya terbuka lebar. Hatinya mencelos,
karena pukulan Tongbengtjoe sudah tak dapat dielakkannya lagi.
Kim Sie Ie sudah memejamkan matanya, ketika tiba-tiba Keng Thian
melompat dan memukul pinggangnya. Tubuh Kim Sie Ie lantas saja terpental
ke tengah udara. Semua orang terkejut, sedang Kim Sie Ie sendiri, mula-
mula juga menduga, bahwa pemuda itu sengaja mau mengambil jiwanya dengan
kesempatan tersebut. Tapi, sebelum sempat mencaci, ia merasakan badannya
seakan-akan didorong semacam tenaga luar biasa dan dorongan itu sesuai
sekali dengan ilmu mengentengkan badannya sendiri. Ia lantas saja
mendusin. Tahulah ia sekarang, bahwa Tong Keng Thian telah menggunakan
ilmu "meminjam tenaga, mengirim tenaga" untuk menolong jiwanya!
Pukulan Keng Thian itu menggunakan tenaga yang tepat luar biasa.
Kelihatannya, ia menghantam Kim Sie Ie dengan pukulan sungguh-sungguh,
tapi sebenarnya, ia hanya mendorong tubuh pemuda itu dengan tenaga yang
telah diperhitungkan cermat sekali. Sebetulnya Keng Thian belum pernah
menggunakan ilmu itu, ilmu istimewa dari Thiansan pay. Sesudah beberapa
kali bertempur melawan Kim Sie Ie, ia mengenal ilmu mengentengkan badan
pemuda itu dan dalam keadaan berbahaya itu, secara untung-untungan ia
mencoba ilmu tersebut. Sungguh mujur, percobaannya yang pertama itu sudah
berhasil baik.
Sesudah usahanya berulang-ulang digagalkan oleh ketiga orang muda
itu, Tongbengtjoe menjadi kalap. Dengan gigi dikertak-kertakan nyaring,
ia mengebaskan tangan kanannya dan... loh! lima kukunya yang panjang
terlepas dari jerijinya dan menyambar ke arah sepasang mata Tong Keng
Thian! Semua orang terkesiap, tapi Pengtjoan Thianlie yang gerakannya
gesit luar biasa masih keburu menangkis lima kuku itu dengan Pengpok
Hankong kiam-nya.
Sementara itu, sambil mengeluarkan teriakan menyeramkan, badan
Tongbengtjoe melesat ke tengah udara, mengejar Kim Sie Ie yang
barusan dilontarkan oleh Keng Thian. Peng Go dan Keng Thian ingin
menyusul, tapi sudah tidak keburu lagi, karena Tongbengtjoe sudah tiba di
belakang Kim Sie Ie.
Melewati kepala para tamu, dari tengah ruangan itu Kim Sie Ie
"terbang" keluar dan jatuh di tangga ruang sembahyang. Tongbengtjoe juga
sangat liehay. Bagaikan anak panah yang baru terlepas dari busurnya, ia
menyusul sampai di atas kepala Kim Sie Ie. Sedang badannya masih berada
di tengah udara, bagaikan elang raksasa, ia menyerang batok kepala pemuda
itu dengan kedua tangannya. Dengan kebencian yang meluap-luap -- karena
Kim Sie Ie sudah melukakannya dengan racun ular, yang akan menyebabkan ia
bercacat – ia mengumpulkan Seantero tenaganya di telapakan tangan dan
menghantam sekuat-kuatnya. Oleh karena ia memukul dari atas ke bawah,
pukulan itu jadi lebih hebat lagi. Di antara begitu banyak orang mungkin
hanya Moh Tjoan Seng seorang saja yang dapat menyambut serangan itu.
Pada detik itu sedang jiwa Kim Sie Ie tergantung pada sehelai
rambut, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang sangat nyaring, disusul
suara seorang wanita: "Tooyoe, kenapa kau jadi begitu gusar?" Badan
Tongbengtjoe kelihatan menggigil, pukulannya miring dan entah dari mana,
di depannya sudah berdiri seorang wanita setengah tua berparas sangat
cantik. Wanita itu mengebaskan lengan bajunya dan hampir sedetik itu,
sembari mengeluarkan teriakan keras, Tongbengtjoe terjungkal. Di lain
saat, ia sudah bangun kembali dan kemudian duduk bersila di atas lantai.
Sementara itu Kim Sie Ie sendiri sudah kabur dari Kimkong sie. Wanita itu
mengeluarkan suara "ih!" dan bergerak seperti mau mengejar, tapi setelah
melihat Tongbengtjoe yang sedang bersila, ia mengurungkan niatannya.
Suatu peristiwa yang sangat luar biasa telah terjadi pada ketika
itu. Rambut Tongbengtjoe yang tadi masih berwarna hitam berkilau, dengan
mendadak berubah menjadi putih layu, sedang mukanya, yang semula licin
dan berisi, tiba-tiba menjadi kisut, berkeriput sebagai wajah seorang
kakek. Dalam sekejap mata, dari seorang yang tampaknya baru berusia
kurang lebih empat puluh tahun, ia sudah berubah menjadi seorang tua yang
berbadan lemah.
Sekali lagi wanita itu mengeluarkan suara "ih!". Perlahan-lahan ia
menghampiri Tongbengtjoe dan sembari merangkap kedua tangannya, ia
berkata dengn perlahan: "Maaf, maaf! Tooyoe, jalanlah baik, baik!"
Mulut Tongbengtjoe bergerak dan memperlihatkan senyumnya yang
menyeramkan. Ia membuka kedua matanya dan dengan napas tersengal-sengal,
ia berkata: "Jatuh dalam tanganmu, dapat dikatakan cukup berharga."
Sehabis berkata begitu, matanya dipejamkan dan rohnya pulang ke alam
baka!
Kejadian itu hampir tak dapat dipercaya oleh semua tamu yang berada
di ruangan itu. Andaikata Moh Tjoan Seng turun tangan sendiri, menurut
taksiran, paling banyak ia hanya dapat menangkis serangan Tongbengtjoe.
Tapi wanita itu, dengan kebasan lengan baju sekali saja, sudah dapat
mengambil jiwa Tongbengtjoe.
Keng Thian sudah memburu untuk menolong Kim Sie Ie. Di luar dugaan,
dalam jangka waktu sependek itu, sudah terjadi beberapa peristiwa luar
biasa itu. Kaburnya Kim Sie Ie, munculnya seorang wanita yang tak dikenal
dan kebinasaan Tongbengtjoe! Dengan mata yang penuh pertanyaan, ia
mengawaskan wanita itu yang berparas cantik, angker, agung dan penuh
welas asih. Jantung Keng Thian berdebar keras. "Apakah ia bukannya
Tjianpwee yang sangat dihormati oleh kedua orang tuaku?" tanyanya kepada
dirinya sendiri.
Sementara itu, sembari merangkap kedua tangannya, Moh Tayhiap
sendiri sudah turun dari pentas dan menghampiri dengan sikap menghormat.
"Siantjay! Siantjay!" katanya. "Tongbengtjoe sekarang sudah berpulang ke
alam bahagia. Secara kebetulan Liehiap sudah menjalankan tugas ini."
Wanita itu membalas penghormatannya seraya berkata: "Semenjak
pertemuan di Tangpeng, sampai sekarang sudah lewat tiga puluh tahun. Moh
Loosoe, kau telah mendapat kemajuan jauh sekali dalam pertapaanmu dan
sekarang akhir yang penuh bahagia sudah menunggu di depan pintu. Begitu
lekas menerima surat, buru-buru aku datang kesini untuk turut mengantar.
Hanya secara tak disengaja, aku sudah membuka larangan membunuh. Meskipun
kebinasaan Tongbengtjoe bukan seluruhnya disebabkan olehku, tapi hatiku
juga merasa sangat menyesal." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata
pula: "Selama tiga puluh tahun, banyak sekali perubahan telah terjadi.
Tak dinyana, di antara houwpwee banyak muncul orang pandai, seperti juga
gelombang yang di sebelah belakang mendorong gelombang yang di sebelah
depan. Kejadian ini benar-benar menggirangkan." Ia berpaling kepada Keng
Thian dan menanya: "Pernah apakah kau dengan Siauw Lan?"
Keng Thian terkesiap karena ternyata, dengan melihat ilmu
mengentengkan badannya saja, wanita itu sudah bisa menebak asal-usulnya.
Ia sudah yakin, bahwa Tjianpwee itu mestinya adalah Liehiap yang sangat
dikagumi kedua orang tuanya. Dengan sikap sangat menghormat, ia segera
berlutut. "Ialah ayahku," jawabnya. "Apakah Lootjianpwee bukan Lu Soe Nio
dari Binsan?"
Wanita itu mengangkat tangannya dan Keng Thian merasakan semacam
tenaga yang tak kelihatan, mengangkat tubuhnya, sehingga Lu Soe Nio hanya
menerima separuh pemberian hormatnya. "Dengan mempunyai putera sebagai
dirimu, Siauw Lan dan Phang Eng sungguh harus diberi selamat," katanya
sembari tertawa. "Ah. Saudara Tjoan Seng! Sang tempo jalannya cepat luar
biasa. Dalam sekejap mata, kawan-kawan lama kita hanya ketinggalan
beberapa orang saja!"
Setelah mendengar, bahwa wanita cantik itu adalah Lu Soe Nio yang
namanya kesohor di seluruh negeri, para hadirin terkejut berbareng kagum.
Serentak mereka berdiri untuk memberi hormat kepada pendekar wanita itu.
Lu Soe Nio adalah salah seorang dari Kanglam Tjithiap (Tujuh
Pendekar Daerah Kanglam). Sesudah membinasakan Liauw In, kakak
seperguruannya yang menjadi penghianat, kemudian membunuh Yong Tjeng,
puluhan tahun lamanya ia hidup bersembunyi, tak pernah ia muncul dalam
Rimba Persilatan, sehingga banyak orang menduga, bahwa ia sudah meninggal
dunia. Tapi ternyata, bukan saja ia masih hidup dan gagah, tapi wajahnya
pun masih begitu muda. Dalam tingkatan, kedudukannya setara dengan Moh
Tjoan Seng dan Tong Siauw Lan. Menurut usia, ia lebih muda dari Moh
Tayhiap, tapi lebih tua daripada Tong Siauw Lan. Dinilai dari kemashyuran
nama, ia lebih kesohor daripada Tong Siauw Lan maupun Moh Tjoan Seng.
Pada hakekatnya, di seluruh Rimba Persilatan, tak ada yang dapat
direndengkan dengan Lu Liehiap. Orang-orang yang menghadiri Kiatyan
biasanya sudah merasa puas jika bisa bertemu dengan Moh Tjoan Seng. Tapi
sekarang, di samping Moh Tayhiap, mereka juga bisa melihat wajah Lu
Liehiap. Kejadian itu benar-benar sangat menggirangkan.
"Saudara-saudara janganlah berlaku begitu sungkan," kata Lu
Liehiap. "Duduklah." Ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan sambil jalan
berendeng dengan Moh Tjoan Seng, ia memasuki ruang sembahyang.
Ketika itu, Hongsek Toodjin yang bertempur dengan Pengtjoan
Thianlie, justru sedang berada di atas angin. Mendengar kedatangan Lu Soe
Nio, jantung Hongsek berdebar keras. Begitu lekas Lu Liehiap mendekati,
ia segera meloncat keluar dari gelanggang dan mengawasi pendekar wanita
itu dengan perasaan sangsi.
"Dengan banyak capai lelah, Tooyoe sekarang sudah mendapatkan
kembali ilmu silat Khongtong pay yang sudah lama lenyap," kata Lu Liehiap
sembari bersenyum. "Untuk itu, Tooyoe pantas diberi selamat." Berbareng
dengan perkataan itu, bulu-bulu hudtim si toosoe mendadak bergoyang
seperti ditiup angin, sedang Hongsek sendiri merasakan tangannya
kesemutan. Tanpa tercegah lagi, hudtim itu jatuh di atas lantai!
Muka Hongsek lantas saja menjadi pucat bagaikan kertas. Sudah lama
ia mendengar, bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat semacam ilmu yang
dinamakan Tjoan-im tjoktek (Dengan gelombang suara merobohkan musuh),
tapi ia sendiri belum mendapat buktinya dan ia pun tak percaya, bahwa
dalam dunia terdapat ilmu yang begitu luar biasa. Baru sekarang ia yakin,
bahwa cerita itu bukan cerita kosong.
Dengan hati bercekat, buru-buru ia memberi hormat seraya berkata:
"Pintoo Hongsek Toodjin menghadap kepada Lu Liehiap."
"Perguruanmu dan perguruanku tak mempunyai sangkut paut sama
sekali," kata Lu Soe Nio. "Maka kita harus bergaul seperti orang
sepantaran. Kata-kata 'menghadap' adalah kehormatan yang tak dapat
kuterima." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Setiap cabang
persilatan mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Sebenarnya orang tak
perlu mempunyai niatan untuk menang sendiri dan sebentar-sebentar ingin
mengadu ilmunya."
Mendengar kata-kata yang tajam itu, selebar muka Hongsek menjadi
merah. "Petunjuk Liehiap pasti akan kuperhatikan," katanya dengan
menunduk.
"Lihat saja Tongbengtjoe Tooyoe," Lu Liehiap melanjutkan
nasehatnya. "Dari ilmu Gwakee (ilmu silat luar) yang paling tinggi, ia
terus menanyak sampai ke kalangan Lweekeeh (ilmu silat dalam). Hasil itu
sesungguhnya harus dihargakan tinggi-tinggi. Tapi karena salah bertindak,
latihannya selama berpuluh tahun telah terbuang-buang dengan percuma,
malah Sampai ia harus tewas tanpa mempunyai murid yang dapat mewarisi
pelajarannya. Bukankah kejadian itu harus disesalkan?"
Hongsek tak berani menjawab, ia hanya mengangguk berulang-ulang.
Beberapa saat kemudian, Lu Liehiap berkata pula: "Tongbengtjoe
adalah Tiangloo (orang terkemuka) dari Koenloen. Sudah selayaknya, jika
jenazahnya dibawa pulang untuk dikuburkan di gunung itu. Tooyoe, kau dan
ia bersahabat baik. Bolehkah urusan ini diserahkan kepadamu? Di samping
itu, aku berharap, supaya kau suka memberikan penjelasan sebaik-baiknya
kepada murid-murid Koenloen."
"Terima kasih atas belas kasihan Lihiap," kata Hongsek. "Bahwa
liehiap sudah mengijinkan dibawa pulangnya jenazah Tongbeng Tooyoe,
murid-murid Koenloen tentu sudah merasa berterima kasih tiada habisnya."
Menurut peraturan Kangouw, Tongbengtjoe yang sudah menyatroni
tempat orang dan menantang bertempur, kebinasaannya harus dianggap
sebagai bencana yang dicarinya sendiri. Maka, ijin dari pihak yang
disatroni supaya jenazahnya bisa dibawa pulang ke tempat asalnya, sudah
dianggap sebagai budi besar.
Hongsek segera mendekati jenazah Tongbengtjoe yang masih tetap
bersila di atas lantai. Begitu tersentuh, tubuh Tongbengtjoe lantas
terguling, rambutnya rontok semua dan badannya menjadi jauh lebih kecil,
sehingga jubah pertapaannya menjadi sangat longgar. Semua orang terkejut
ketika mendapat kenyataan, bahwa dalam tempo sependek itu, tubuh
Tongbengtjoe sudah bisa menjadi begitu kecil lagi kurus kering.
Memang seseorang yang memiliki lweekang tinggi, bisa mempertahankan
keremajaan wajahnya yang tidak berubah menjadi tua. Tapi orang-orang yang
benar-benar beribadat, seperti misalnya Moh Tjoan Seng, tak mau
menggunakan ilmu tersebut. Mengenai paras Lu Soe Nio, soalnya lain. Di
waktu muda, Lu Liehiap telah memperoleh ilmu Tjiantjeng lweesit (ilmu
memperdalam dan memperkuat jiwa) dari le Lan Tjoe, maka kemudian, sesudah
lweekang-nya mencapai kesempurnaan mutlak, secara wajar wajahnya tetap
muda dan tak akan berubah sampai di akhir penghidupannya. Di lain pihak,
Tongbengtjoe telah masuk ke jalan tersesat dan mempelajari ilmu yang
menyeleweng, sehingga ia bisa juga mencegah proses yang menjadikan
wajahnya berubah sesuai dengan usianya. Tapi begitu lekas tenaga dalamnya
musnah, selekas itu pula proses terhambat itu menyusul kelambatannya,
dari seorang gagah yang bertubuh kekar dalam sekejap mata ia diubah
menjadi seorang kakek kurus kering. Dalam Rimba Persilatan, kejadian itu
bukannya sesuatu yang mengherankan. Soal yang mengherankan bagi Lu
Liehiap adalah, kenapa ia binasa begitu mendadak, terkena kebutannya
sekali saja.
Hongsek Toodjin segera membuka jubah pertapaannya yang lalu
digunakan untuk membungkus jenazah
Tongbengtjoe. Sesudah itu, sembari membungkuk kepada kepala biara
Kimkong sie, ia berkata: "Apakah aku boleh meminjam tempat pembakaran
jenazah dalam kuil ini?"
"Tentu saja," jawab hweeshio kepala itu sembari merangkap kedua
tangannya. "Loolap pun berkewajiban mengantar keberangkatan Tongbeng
Tooyoe."
Ternyata, karena terlalu sukar untuk membawa jenazah dalam
perjalanan sejauh itu, Hongsek Toodjin telah mengambil keputusan untuk
memperabukannya dan kemudian membawa abu itu untuk dikuburkan di gunung
Koenloen. Ketua Kimkong sie itu, Moh Tjoan Seng, Lu Soe Nio, Keng Thian,
Peng Go, Loei Tjin Tjoe dan yang lain-lain lantas saja pergi ke tempat
pembakaran yang terletak tak jauh dari ruangan sembahyang itu.
Selagi api membakar jenazah Tongbengtjoe, Moh Tjoan Seng berkata
kepada Lu Soe Nio: "Soe Nio, aku sedianya ingin berangkat beberapa hari
lagi. Tapi karena kau sudah datang, kurasa lebih baik aku berangkat lebih
siang."
"Lebih lambat beberapa hari atau lebih cepat beberapa hari tiada
bedanya," kata Lu Lihiap. "Tapi, apakah kau sudah mempunyai ahli waris?"
Maksud Lu Soe Nio adalah ada tidaknya orang yang mewarisi semua
kepandaian Moh Tjoan Seng.
Pengrjoan Thianlie terkejut, ia tak mengerti maksud pembicaraan
kedua orang itu. Mendadak sang paman berpaling ke arahnya dan tersenyum,
sedang Lu Soe Nio kelihatan seperti baru mendusin. "Tatmo Kiamhoat yang
diperlihatkan nona ini adalah kiamhoat Boetong pay asli." Kata Lu
Liehiap. "Sejak kapan kau menerima dia sebagai murid? Kenapa kau tidak
memberitahukan kepadaku?"
"Peng Go," Moh Tayhiap memanggil. "Mari sini! Inilah Lu Liehiap. Di
kemudian hari kau harus meminta banyak petunjuknya." Ia berpaling kepada
Soe Nio dan menyambung perkataannya: "Anak ini adalah kemenakanku, Hoa
Seng telah berkelana ke negara asing, tapi dengan mempunyai anak ini, ia
boleh pulang ke alam baka dengan mata meram."
Buru-buru Pengtjoan Thianlie memberi hormat kepada Lu Liehiap.
Sembari menepuk-nepuk pundak si nona, Soe Nio berkata dengan
gembira: "Dengan mempunyai kemenakan ini, kau pun boleh berangkat dengan
hati senang."
Mendengar perkataan itu, Loei Tjin Tjoe tercengang. "Di kuil ini
Soetjouw dapat menuntut penghidupan tenteram untuk melewatkan sisa
penghidupannya," katanya didalam hati. "Dalam usia yang sudah lanjut,
kemana lagi Soetjouw hendak pergi?"
Saat itu, jenazah Tongbengtjoe sudah terbakar habis. Tiba-tiba di
antara api yang berkobar-kobar, kelihatan asap hitam berkepul ke atas
dengan menyiarkan bau yang agak amis.
Muka Lu Liehiap lantas saja berubah. "Ah! Sekarang aku baru tahu,"
katanya perlahan. "Kejadian ini sungguh diluar dugaanku."
"Soe Nio, apakah yang kau lihat?" tanya Moh Tayhiap.
Lu Liehiap tak menyahut, sebaliknya ia menengok kepada Keng Thian
seraya menanya: "Siapakah bocah itu yang bertempur melawan Tongbengtjoe?"
"Namanya Kim Sie Ie," jawab Keng Thian. "Dalam kalangan Kangouw, ia
dikenal sebagai Toktjhioe Hongkay. Cara-caranya sangat aneh dan agak
menyeleweng."
"Menyeleweng atau tidak, sekarang belum dapat dipastikan," kata Lu
Soe Nio. "Gurunya adalah sahabatku. Dulu, dari jalan tersesat sahabatku
itu telah beralih ke jalan lurus."
Keng Thian yang sampai saat itu masih belum mengetahui asal-usul
Kim Sie Ie, buru-buru menanya: "Siapakah gurunya?"
"Begitu melihat gerakannya, aku sudah bercuriga," jawabnya.
"Sesudah menyaksikan munculnya asap hitam dari racun yang mengeram dalam
tubuh Tongbengtjoe, aku bisa memastikan, bahwa gurunya adalah Tokliong
Tjoentjia."
Dengan serentak, Keng Thian dan Loei Tjin Tjoe mengeluarkan seruan
tertahan. Sebagai orang-orang yang mengenal selak beluk Rimba Persilatan,
mereka tahu, bahwa Tokliong Tjoentjia adalah orang aneh nomor satu di
antara jago-jago dari tingkatan lebih tua.
"Sedari tadi aku agak heran, kenapa Tongbengtjoe lantas binasa
begitu terkena kebutanku," kata Soe Nio perlahan. "Tak tahunya ia lebih
dulu sudah terkena racun hebat dan harus memusatkan seluruh tenaganya
untuk membendung menjalarnya. Begitu lekas tenaganya buyar hawa racun
lantas naik ke uluhatinya dan ia lantas binasa."
Mendengar penjelasan itu Loei Tjin Tjoe dan yang lain-lain menjadi
kagum bukan main. Racun Kim Sie Ie yang begitu dahsyat sudah cukup
mengherankan. Tapi yang lebih mengherankan lagi, adalah pukulan Lu
Liehiap. Dengan sekali mengebas saja, ia sudah bisa menangkis pukulan
yang begitu hebat, malah juga membuyarkan Seantero tenaga dalam
Tongbengtjoe. Itulah kejadian yang --sependengaran mereka -- belum pernah
terjadi dalam Rimba Persilatan.
Sekonyong-konyong alis Lu Soe Nio berkerut dan sambil menghela
napas, ia berkata: "Sayang! Sungguh sayang!" Ia menengok ke arah Keng
Thian seraya berkata: "Di antara houwpwee, Kim Sie Ie adalah orang yang
sukar dicari tandingannya. Bagaimana perhubunganmu dengan ia?"
Sebagaimana diketahui, terhadap pemuda itu, Keng Thian tak
mempunyai rasa simpati. "Aku merasa kasihan padanya, tapi aku tak bisa
menghargakan cara-caranya," jawabnya, berterus terang.
"Bagus," kata Soe Nio. "Dulu, semua orang mengatakan gurunya pantas
mati, hanya aku yang merasa kasihan. Apapula, Kim Sie Ie belum pantas
dihukum mati. Dulu, ketika aku menolong Tokliong Tjoentjia, Soeheng-ku
sendiri, Kam Hong Tie, merasa tidak setuju. Tapi, kemudian semua orang
yakin, bahwa tindakanku itu yang benar."
Hati Keng Thian berdebar-debar. "Apakah Kim Sie Ie tengah
menghadapi bencana?" tanyanya. "Apakah teetjoe (murid) bisa menolongnya?"
Lu Liehiap bersenyum dan berkata: "Sesudah mengurus urusan Moh
Loosoe, aku akan memberi keterangan lebih jelas kepadamu."
Mendengar jawaban itu, Keng Thian tak berani mendesak lagi, hanya
di dalam hati, ia merasa bimbang. "Meskipun Kim Sie Ie telah dilukakan
Tongbengtjoe, tapi dengan lweekang-nya yang tinggi ia masih dapat
menyembuhkan sendiri lukanya itu," pikirnya. "Mengapa Lu Liehiap
mengeluarkan kata-kata begitu?"
Sementara itu, Hongsek Toodjin sudah mengumpulkan abu dan tulang-
tulang Tongbengtjoe yang lalu dimasukkan ke dalam sebuah guci. Sesudah
beres, ia segera berpamit dan berangkat ke Koenloen san. Moh Tjoan Seng
dan yang lain-lain mengantar sampai di pintu kuil dan kemudian kembali ke
ruangan sembahyang.
Semua orang segera mengambil pula tempat duduk masing-masing untuk
menunggu dilanjutkannya Kiatyan yang terputus karena pertempuran tadi.
Moh Tayhiap juga kembali ke pentas dan meneruskan ceramahnya mengenai
Iekinkeng.
Sesudah selesai memberi ceramah, Moh Tayhiap segera berkata dengan
suara perlahan: "Pengetahuanku sebenarnya masih cetek, hanya atas budi
kawan-kawan dari berbagai cabang persilatan, aku telah diangkat menjadi
pemimpin pertemuan ini. Selama tiga kali Kiatyan, di dalam hati aku
selalu merasa malu. Selama tiga kali Kiatyan itu, aku juga mendapat
kenyataan, bahwa di antara houwpwee sudah muncul banyak orang pandai.
Memang dalam ilmu silat, yang belakang selalu akan lebih unggul dari yang
dulu. Maka, di antara perasaan malu, di dalam hatiku terdapat juga
kegirangan. Kiatyan sekali ini, kuakhiri sampai disini."
Menurut kebiasaan, paling sedikit Kiatyan berlangsung untuk
setengah bulan lamanya. Oleh sebab itu, pernyataan Moh Tjoan Seng, bahwa
pertemuan itu -- yang baru saja berjalan satu hari —— akan segera
ditutup, telah membangkitkan keheranan semua orang.
Sebelum ada yang mengajukan pertanyaan, Moh Tjoan Seng sudah
berkata pula: "Sebagaimana kukatakan tadi, dalam ilmu silat, setiap
cabang mempunyai keunggulan sendiri-sendiri dan sekalian saudara adalah
tokoh-tokoh dari berbagai cabang persilatan. Iekinkeng, yang barusan
diperbincangkan, adalah pokok dasar latihan lweekang. Jika masih ada
bagian-bagian yang kurang terang, saudara-saudara bisa memohon penjelasan
dari para tokoh terkemuka dan tak perlu kuterangkan lagi secara bertele-
tele. Untuk kunjungan saudara-saudara, aku hanya bisa menghaturkan
banyak-banyak terima kasih. Sekarang ini aku akan mengurus sedikit urusan
pribadi dan aku memohon supaya saudara-saudara suka turut
menyaksikannya." Ia berdiam sejenak dan kemudian menyambung perkataannya:
"Peng Go, mari sini!”
Pengtjoan Thianlie segera maju ke depan pentas. "Sesudah ditunjuk
sebagai Tiangloo (pemimpin, penasihat) Boetong pay, selama beberapa puluh
tahun aku sudah menyia-nyiakan kepercayaan orang dan jarang sekali
memberi petunjuk kepada murid-murid Boetong, sehingga partai kita semakin
lama jadi semakin merana. Untuk kelalaian itu, aku merasa sangat malu
terhadap leluhur kita. Aku mendapat kenyataan, bahwa kau berhati bersih
dan juga sudah paham akan intisari ilmu silat Boetong pay. Maka itu,
dengan menanggung risiko dicela orang, memilih kasih kepada pamili
sendiri, aku sekarang mengangkat kau sebagai ahli warisku. Mulai dari
hari ini, tanggung-jawab untuk memimpin saudara-saudara separtai jatuh di
atas pundakmu."
Peng Go terkesiap mendengar perkataan pamannya. Ia tak pernah
tertarik, bahkan merasa sangat sebal terhadap keruwetan-keruwetan
keduniawian dan siang-siang ia sudah mengambil keputusan untuk kembali ke
istana es guna menuntut penghidupan bebas, tenteram dan suci bersih. Mana
mau ia menjadi Tjiangboen (pemimpin, ketua) cabang persilatan yang begitu
besar seperti Boetong pay?
Sang paman, yang agaknya dapat membaca jalan pikirannya, lantas
saja berkata pula: "Kau jangan bingung. Aku akan memberi penjelasan lebih
lanjut." Ia berpaling ke arah Loei Tjin Tjoe dan memanggil: "Loei Tjin
Tjoe, mari sini!"
Loei Tjin Tjoe segera maju dan memberi hormat.
"Ilmu silat adalah seperti laut yang sangat dalam," kata Moh
Tayhiap. "Apakah kau sekarang sudah mengerti akan kekuranganmu?"
"Teetjoe mengerti," jawabnya dan mukanya menjadi merah.
"Bagus," kata Moh Tjoan Seng sembari tersenyum. "Beberapa hari yang
lalu, Tjiangboen Soeheng-mu telah menulis surat kepadaku untuk
memberitahukan, bahwa, karena sudah tua dan berpenyakitan, ia tak dapat
menunaikan kewajibannya terhadap partai dan minta aku mengangkat
Tjiangboendjin baru. Aku mendapat kenyataan, bahwa selama setahun ini,
kau telah memperoleh banyak kemajuan, maka sekarang aku mengangkat kau
sebagai Tjiangboendjin dari Boetong pay."
Loei Tjin Tjoe girang berbareng kaget. Ia belum pernah bermimpi,
bahwa ia akan mendapat kehormatan untuk menjadi pemimpin partainya.
Dengan wajahnya menjadi merah, ia menjawab kemalu-maluan:
"Tanggung jawab yang begitu berat mungkin sekali tak akan terpikul
oleh teetjoe." Sehabis berkata begitu, ia melirik ke arah Pengtjoan
Thianlie.
"Jika kau bisa mengenal kelemahanmu sendiri, kau pasti akan dapat
memikul tanggungan itu," kata Moh Tayhiap. "Yang paling penting bagi
seorang Tjiangboen adalah perbuatannya yang adil dalam memberi ganjaran
atau hukuman serta kepandaiannya untuk menjaga supaya saudara-saudara
separtainya selalu berjalan lurus. Kepandaian bersilat adalah soal kedua.
Peng Go adalah ahli warisku. Di hari kemudian jika muncul urusan-urusan
yang tidak dapat kau putuskan sendiri, kau harus memberitahukan soal itu
kepadanya dan minta pendapatnya."
Menurut peraturan Rimba Persilatan, dalam setiap partai, di atas
Tjiangboen masih terdapat Tiangloo (pemimpin, penasihat) partai itu.
Dalam urusan-urusan penting, Tjiangboen harus mendengar pendapat
Tiangloo. Kedudukan Tiangloo hampir sama dengan Thaysiang Tjiangboen
(ketua kehormatan), hanya ia tidak mencampuri segala urusan kecil. Pada
jaman itu, Moh Tjoan Seng bertiga saudara adalah para Tiangloo dari
partai tersebut. Sesudah Tjio Kong Seng dan Koei
Hoa Seng meninggal dunia Tiangloo satu-satunya adalah Moh Tjoan
Seng yang sekalian menjabat Thaysiang Tjiangboen. Tjiangboen bisa
diganti-ganti, tapi seorang Tiangloo menduduki kursi kehormatan itu
sehingga ia meninggal dunia.
Seorang Tiangloo bisa diangkat oleh rapat anggauta partai atau
ditunjuk oleh Tiangloo yang ingin mengundurkan diri. Tapi, karena
kedudukan Tiangloo hanya boleh di tempati oleh seorang yang berkepandaian
sangat tinggi dan dihormati oleh seluruh Rimba Persilatan, maka sering
kejadian, bahwa sesudah Tiangloo lama meninggal dunia, tidak diangkat
lagi Tiangloo yang baru. Dalam suatu partai yang tidak mempunyai
Tiangloo, maka orang yang paling tinggi kedudukannya adalah Tjiangboen.
Sekarang, sesudah menunjuk Pengtjoan Thianlie sebagai ahli warisnya
dan memesan supaya Loei Tjin Tjoe berunding dengan nona itu jika menemui
urusan-urusan besar, maka secara resmi Peng Go sudah diangkat menjadi
Tiangloo atau Thaysiang Tjiangboen (ketua kehormatan) Boetong pay.
Tapi menurut peraturan Rimba Persilatan, Thaysiang Tjiangboen yang
baru belum boleh diangkat secara resmi, sebelum yang lama meninggal
dunia. Hal inilah yang tidak dapat dimengerti oleh para hadirin, karena
Moh Tjoan Seng tampak masih segar bugar.
Sesudah mendapat kenyataan, bahwa ia bukan disuruh menjadi
Tjiangboen dan hanya diperintah "menilik" Loei Tjin Tjoe, Peng Go yang
tidak mengerti seluk-beluk peraturan itu, lantas saja berkata di dalam
hatinya: "Pehpeh tidak tahu, bahwa siang-siang aku sudah menilik Loei
Tjin Tjoe. Kurasa, pangkat ini boleh juga diterima." Berpikir begitu,
lantas saja ia berkata: "Aku akan memperhatikan segala perintah Pehpeh.
Akan tetapi, titlie (keponakan perempuan) tak ingin berdiam lama-lama di
Boetong san dan ingin kembali untuk menetap di Puncak Es."
"Sekarang kau sudah menjadi pemimpin penasihat partai kita," kata
sang paman sembari bersenyum. "Kemana juga kau mau pergi, tak akan ada
yang berani melarang!"
Si nona terkejut. "Bagaimana aku bisa jadi pemimpin penasihat
partai kita?' tanyanya kepada dirinya sendiri.
Sementara itu, Moh Tjoan Seng sudah memejamkan kedua matanya, pada
mukanya terdapat sifat welas asih dan pada kedua bibirnya tersungging
senyum puas. Beberapa ratus orang yang hadir itu, melihatkan dengan hati
berdebar-debar, kemudian, dengan serentak mereka berbangkit sembari
menundukkan kepala. Seluruh ruangan besar itu menjadi sunyi senyap.
Soe Nio merangkap kedua tangannya dan mengucapkan pujian dengan
suara perlahan: "Puluhan tahun kau bertapa dan sudah bisa mendapat
kesadaran yang diidam-idamkan. Lebih menggirangkan lagi, kau sekarang
sudah mempunyai ahli waris yang cakap dan tepat."
Kepala biara Kimkong sie pun turut merangkap kedua tangannya dan
memberi pujian: "Dengan bebas dari segala sangkutan dunia, Kiesoe
berpulang ke Barat. Caramu berpulang adalah cara seorang Pousat (dewa)!"
Sementara itu, dengan di kepalai oleh Loei Tjin Tjoe, semua murid
Boetong segera berlutut.
Pengtjoan Thianlie terkejut tak kepalang. "Apakah Pehpeh meninggal
dunia?" ia bertanya dengan mata terbelalak.
"Dengan segala kejayaan dan dalam usia yang sudah begitu lanjut,
Pehpeh-mu berpulang ke alam baka," kata Soe Nio dengan khidmat.
"Berpulang secara demikian adalah kejadian yang langka dalam dunia dan
harus dianggap menggirangkan."
Pengtjoan Thianlie pernah mempelajari agama Budha, ia juga
mengetahui, bahwa meninggal dunia sebagai pamannya barusan, adalah
kejadian yang paling dikagumi oleh segenap penganut agama Budha. Akan
tetapi, karena mengingat, bahwa mulai dari saat itu, ia tak mempunyai
sanak dekat lagi, tak urung hatinya merasa sedih juga dan air matanya
membasahi kedua pipinya. Buru-buru ia berlutut untuk memberi penghormatan
terakhir kepada pamannya itu.
"Lu Liehiap," kata Loei Tjin Tjoe kepada Soe Nio. "Mohon supaya
Liehiap sudi menilik pengurusan jenazah Tjouwsoe."
"Kedatanganku justru untuk mengantar Tjouwsoe-mu berpulang ke
Barat," jawab Soe Nio. "Maka, aku tentu tak akan menolak permintaanmu.
Tapi lebih dulu aku ingin berbicara dengan Keng Thian."
Bersama dengan pemuda itu, Lu Liehiap lantas saja keluar dari ruang
sembahyang.
"Keng Thian," katanya. "Kau tak usah turut serta dalam upacara
pemakaman."
"Moh Lootjianpwee adalah sahabat ayahku," kata Keng Thian. "Aku
merasa tak enak hati, jika tidak turut serta."
"Orang-orang sebangsa kita selamanya tidak mengukuhi segala
peradatan," kata Lu Soe Nio.
"Menolong jiwa manusia lebih berharga daripada mendirikan gedung
bertingkat tujuh. Roh Moh Lootjianpwee tentu mengetahui, bahwa kau tidak
dapat hadir karena tenagamu dibutuhkan untuk menolong sesama manusia.
Pasti sekali ia tidak akan mencela dirimu."
"Menolong siapa?" tanya Keng Thian dengan kaget.
"Kim Sie Ie."
"Apakah pukulan Tongbengtjoe begitu berat, sehingga jiwa Kim Sie Ie
berada dalam bahaya?" tanya pula pemuda itu dengan ragu-ragu.
"Bukan, bukan karena pukulan Tongbengtjoe," Soe Nio menerangkan.
"Ia menghadapi bencana karena ilmunya sendiri!"
"Teetjoe sungguh tak mengerti," kata Keng Thian sembari memandang
pendekar wanita itu.
"Ilmu silat Tokliong Tjoentjia telah diciptakannya sendiri di
sebuah pulau terpencil. Kecuali ular, di pulau itu tak ada makhluk lain.
Ditambah dengan kebenciannya terhadap dunia, jika sedang berlatih
lweekang, hatinya penuh dengan perasaan duka dan penasaran. Oleh sebab
itu, meskipun akhirnya ia memiliki semacam lweekang yang sangat tinggi
dan yang tak kalah liehaynya daripada lweekang cabang-cabang persilatan
lain tapi jalan yang telah diambilnya bukanlah jalan lurus.
Semakin tinggi lweekang-nya, bencana yang tersembunyi di dalam
badannya jadi semakin besar. Menurut taksiranku, Tokliong Tjoentjia telah
tewas karena 'dimakan' ilmunya sendiri. Kenyataan itu, kenyataan, bahwa
lweekang-nya sendiri yang akan mencelakakannya, mungkin baru disadarinya
ketika ia hampir menutup mata. Kim Sie Ie yang masih cetek ilmunya, tentu
tak menyadari bencana itu."
Soal ilmu "makan" peyakinnya sendiri, seperti senjata makan tuan,
adalah kejadian yang kadang-kadang memang terjadi dalam dunia persilatan.
Hal demikian itu adalah akibat dari latihan yang tidak benar. Sebagai
perumpamaan, lihatlah orang yang menghisap candu. Candu sebenarnya bisa
mengobati penyakit. Tapi jika digunakan secara keliru, candu bahkan
berbalik mencelakakan. Lweekang yang "menyeleweng" hampir serupa dengan
candu. Semakin lama seseorang berlatih dengan lweekang itu, semakin besar
bencana yang mengancamnya.
"Lweekang Kim Sie Ie masih belum mencapai tingkat gurunya," kata
Soe Nio pula. "Maka sementara ini, ia belum tercelakakan Lwekangnya.
Tapi... jika tidak ditolong sekarang juga, nasibnya tentu akan serupa
dengan gurunya."
"Tapi kenapa begitu terburu-buru?" tanya Keng Thian.
"Sebenarnya, memang tak usah begitu kesusu. Akan tetapi, sesudah
mendapat pukulan Tongbengtjoe yang beracun, keadaannya kini sudah sangat
berbahaya. Racun di dalam tubuhnya itu, pada suatu saat akan 'meledak'.
Celakalah ia, jika tak cepat-cepat diberi pertolongan. Ketika ia
bertempur melawan Tongbengtjoe, aku sudah memperhatikan lweekang-nya.
Menurut taksiranku, dengan memiliki lweekang sedalam itu, ia kan dapat
bertahan sampai tiga puluh enam hari. Lekas-Iekaslah kau mencarinya!
Berikanlah tiga butir Pekleng tan-mu kepadanya. Dengan pertolongan pil
itu, jiwanya akan dapat diperpanjang sampai tujuh puluh dua hari."
Bukan main kagetnya Keng Thian. "Apakah pil Thiansan Soatlian itu
hanya dapat memperpanjang usianya dengan tiga puluh enam hari?" tanyanya.
"Penyakit itu sebenarnya tak akan dapat disembuhkan dengan obat
apapun juga," jawab Lu Liehiap sembari bersenyum. "Bahwa Thiansan
Soatlian dapat menyambung jiwanya dengan tiga puluh enam hari lagi, sudah
merupakan kejadian yang luar biasa."
Hati Keng Thian mencelos, ia merasa kecewa sekali. "Kalau begitu,
kita hanya bisa menambal, tapi tak bisa mengobati akar penyakitnya,"
katanya. "Apa gunanya, memperpanjang usianya dengan beberapa hari itu
saja dan akhirnya ia mesti binasa juga?"
"Tidak, tidak begitu!" kata Soe Nio tanpa ragu-ragu. "Obat tak
dapat menolong, tetapi masih ada yang bisa menolong dia, golonganmu,
orang-orang Thiansan pay!"
Keng Thian tercengang. "Kenapa begitu?" ia menegasi.
"Lweekang Thiansan pay adalah warisan Hoeibeng Siansoe," Soe Nio
menjelaskan. "Ketika menciptakan pelajaran lweekang tersebut, beliau
telah memilih dan memetik bagian-bagian yang paling berharga dan paling
bersih dari ilmu berbagai cabang persilatan. Dengan demikian, lweekang
Thiansan pay bukan saja bersih dan dalam sifatnya, tapi juga dapat
menyingkirkan segala macam racun dari dalam tubuh orang, racun yang
disebabkan latihan lweekang 'menyeleweng'. Maka, hanya kaum Thiansan pay
yang akan dapat menolong jiwa Kim Sie Ie."
"Teetjoe masih belum mengerti," kata Keng Thian.
"Karena kepandaianmu belum mencapai kesempurnaan mutlak, tentu saja
kau masih belum mengerti," kata Soe Nio. "Tugasmu yang terutama adalah
mencari Kim Sie Ie dan sesudah bertemu, bawalah dia ke Thiansan supaya
bisa ditolong kedua orang tuamu. Dengan mendapat pertolongan ayah dan
ibumu, bukan saja jiwanya akan tertolong, tapi sesudah ia kembali ke
jalan lurus, di kemudian hari, Kim Sie le akan bisa memperoleh kemajuan,
sehingga tidak kalah dari kau sendiri."
Keng Thian tak mengucapkan sepatah kata, ia berdiri bengong seperti
sedang berpikir.
"Apa yang kau harus perhatikan adalah: dalam tiga puluh enam hari
kau harus sudah menemukannya dan dalam tujuh puluh dua hari, dia harus
sudah tiba di Thiansan," pesan Soe Nio.
Keng Thian berkelahi dengan hatinya sendiri, tapi sesaat kemudian,
sifatnya yang mulia telah mengalahkan segala pikiran lain. "Baiklah,
teetjoe akan berangkat sekarang juga," kalanya tanpa sangsi-sangsi.
Sesudah mengalami banyak penderitaan baru saja ia bisa berkumpul
kembali dengan Koei Peng Go, dan segera juga mereka sudah mesti berpisah
lagi. Sebagai manusia biasa, biar bagaimana juga, ia merasa berat untuk
segera meninggalkan kecintaannya. Ia menoleh dan justru pada saat itu,
Peng Go sedang memandang ke arahnya. Mata mereka beradu dan wajah Peng Go
lantas saja berwarna kemerah-merahan. Buru-buru ia melengos dan berlagak
bicara dengan Yoe Peng, dayangnya.
Lu Liehiap bermata sangat tajam, ia lantas saja mengerti apa yang
tersembunyi di hati mereka. Ia menghampiri si nona dan berkata: "Peng Go,
antarkanlah Keng Thian sampai beberapa jauh."
Mendengar perintah itu, dengan perlahan Peng Go menghampiri Keng
Thian. Walaupun parasnya tenang, di dalam hati ia berduka, tapi ia tak
berani menanyakan, mengapa begitu cepat pemuda itu sudah harus berangkat
pula.
"Menurut penglihatanku Kim Sie Ie agaknya beradat angkuh," kata Lu
Liehiap kepada pemuda itu. "Jika ia tahu, bahwa kau hendak menolongnya,
belum tentu ia suka menerimanya. Dari sebab itu, kau harus bertindak
dengan mengimbangi keadaan dan jika perlu, kau boleh menggunakan tipu
untuk mempedayakannya, supaya dia suka turut naik ke Thiansan."
"Teetjoe mengerti," jawab pemuda itu.
Dari pembicaraan itu barulah Pengtjoan Thianlie mendusin, bahwa
keberangkatan Keng Thian adalah untuk menolong Kim Sie Ie. Ia menjadi
kagum dan terharu, mau tak mau ia harus mengakui kebesaran jiwa pemuda
itu.
Lu Liehiap segera meninggalkan kedua orang muda itu dan pergi
kepada Loei Tjin Tjoe untuk merundingkan pengurusan jenazah Moh Tjoan
Seng.
Bagaikan dua orang gagu, Keng Thian dan Peng Go meninggalkan
Kimkong sie. Sesudah berjalan jauh juga, setiba mereka di jalan yang
menuju ke kaki gunung, Keng Thian menghela napas dan berkata: "Peng Go
Tjietjie, apakah kau masih membenci aku?'
"Ada hubungan apakah antara kau dan aku?" si nona berbalik menanya
dengan kasar. "Mengapa aku harus membenci kau?"
"Dengan berkata begitu, agaknya kau memang masih membenci diriku,"
kata Keng Thian dengan sedih. "Tapi, tak perduli kau membenci atau tidak,
aku sendiri tetap tak akan melupakan kau."
"Tapi..." kata si nona setengah berbisik. "Aku kuatir, bahwa --
begitu lekas bertemu dengan Moaymoay (adik perempuan) -- kau akan segera
melupakan Tjietjie (kakak perempuan)."
Baru sekarang Keng Thian mengerti, bahwa Peng Go telah jadi
mendongkol karena persahabatannya dengan Tjee Tjiang Hee. Ia tertawa dan
berkata: "Ah! Kau tak tahu, bahwa orang yang kau maksudkan masih bersifat
kekanak-kanakan, sedang waktu itu aku harus berobat di rumahnya..."
Dengan jelas Keng Thian lalu menceritakan segala pengalamannya dan
berbareng dengan itu, dengan kata-kata lemah lembut, ia membuka rahasia
hatinya kepada si nona.
"Hm! Kalau begitu, semua itu adalah gara-gara Kim Sie Ie main
gila," kata si nona.
"Mengapa?" tanya Keng Thian.
Pengtjoan Thianlie segera menceritakan, bagaimana Kim Sie Ie telah
memberikan gambar itu kepadanya dan apa yang telah terjadi karena itu.
Keng Thian jadi mendongkol berbareng geli. "Benar-benar gila!" katanya
sembari tertawa.
"Dan kau masih tetap akan menolongnya?" si nona menegasi.
"Kenapa tidak?" jawab Keng Thian tegas-tegas.
Peng Go tertawa manis dan berkata: "Aku merasa senang..."
"Senang apa?" Keng Thian mendesak.
Peng Go sebenarnya ingin menyahut: "Aku merasa senang, karena kau
berjiwa begitu besar." Tetapi kata-kata itu tidak terselesaikan. Ia hanya
tertawa sembari menatap wajah pemuda itu dan cintanya yang tak terbatas,
terpancar dari sepasang matanya. Tertawa itu, bagaikan angin sejuk, sudah
menyapu bersih segala awan gelap, sudah menghilangkan semua salah
paham...
Keng Thian telah gagal dalam usahanya mencari Kim Sie Ie. Ia telah
pergi ke segala peloksok Gobie san, tapi yang dicarinya tak kelihatan
bayang-bayangnya. Ia hanya berhasil menemukan beberapa potong kain, yaitu
sobekan baju yang dikenakan Kim Sie Ie hari itu. Beberapa tetes darah
disobekan baju itu dan beberapa tapak kaki saja telah ditinggalkan Kim
Sie Ie. Lebih dari itu, tak dapat ditemukannya.
Kemana Kim Sie Ie pergi?
Dengan pikiran kalut, ia kabur sekeras-kerasnya dari Kimkong sie.
Baginya, sinar mata Pengtjoan Thianlie yang memandang Keng Thian dengan
penuh kecintaan, seakan-akan sebilah pisau yang menikam jantungnya. "Jika
ada seorang wanita memandang aku seperti ia memandang Keng Thian,
walaupun mesti lantas mati, aku tentu akan rela," ia berteriak bagaikan
sudah menjadi gila.
Dalam saat-saat itu, kejadian-kejadian yang lampau silih berganti
berkelebat dalam otaknya. Caci Yoe Peng, yang mengumpamakan ia seekor
"kodok buduk yang ingin makan daging angsa kahyangan", teguran Peng Go
yang menasehatkan supaya ia jangan membawa "lagak buaya", segala
penderitaannya di masa kecilnya...
kembali terbayang di depan matanya. Pukulan Tongbengtjoe yang
mengandung racun ditambah dengan kedukaan dan penasaran yang sangat besar
sudah membikin otaknya tidak bisa bekerja secara normal lagi. Apapula
sesudah membandingkan dirinya dengan Keng Thian, ia merasa dirinya kecil
sekali dan agaknya di dunia yang lebar ini, sudah tak ada tempat lagi
untuk ia menyembunyikan diri.
Bagaikan seorang gila, ia lari dan lari terus. Tanpa merasa, ia
telah tiba di tempat ia bertemu dengan Lie Kim Bwee. Agaknya ia masih
bisa mengenali tempat itu dan ia menghentikan tindakannya dengan hati
terkejut. Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring yang bernada riang
gembira, disusul dengan munculnya seorang wanita muda. Di saat itu, Kim
Sie Ie masih berada dalam keadaan setengah linglung. Lapat-lapat ia
merasa, bahwa ia pernah bertemu dengan nona itu, tapi ia tak ingat, bahwa
gadis tersebut adalah Lie Kim Bwee yang pernah mempermainkan dirinya.
Kim Bwee muncul dengan diikuti beberapa ekor kera, yang begitu
melihat Kim Sie Ie, lantas kabur semua.
"Lihatlah!" kata si nona sembari tertawa. "Karena kau suka menghina
orang, binatang pun tak sudi bersahabat dengan dirimu."
Mendadak Kim Sie Ie ingat, bahwa ia pernah bergebrak dengan wanita
itu di tempat tersebut dan ditambah mendengar kata-kata yang menusuk itu,
Kim Sie Ie... yang sedang was-was... lantas saja naik darah. "Bagus!" ia
berteriak. "Kamu lebih suka bergaul dengan binatang daripada bergaul
denganku. Jika aku mau menghina kau, mau apa kau?" Hampir berbareng
dengan perkataannya, ia mengangkat tongkatnya dan menyabet pinggang Lie
Kim Bwee.
"Belum tentu kau mampu menghina aku!" kata si nona sembari tertawa.
Kim Sie Ie terkejut ketika sabetannya jatuh di tempat kosong. Ia
jadi semakin gusar dan menghantam kalang-kabut. Dalam sekejap Kim Bwee
sudah terkurung, antara lingkungan tongkatnya dan semua jalanan mundur si
nona sudah tertutup seanteronya. Ternyata, dalam keadaan was-was, Kim Sie
Ie berubah buas.
Bukan main herannya Lie Kim Bwee. Pemuda itu disebut orang
Toktjhioe Hongkay (Pengemis gila yang tangannya beracun), tapi menurut
ibunya, ia bukan gila benar-benar. Dalam pertempurannya yang pertama
dengan pemuda itu, walaupun serangan-serangannya hebat, tapi semua
serangan itu hanyalah gertakan belaka. Tapi sekarang, setiap serangan Kim
Sie Ie bersifat sungguh-sungguh dan jika ia terkena, akibatnya tentu
hebat. "Baik juga ibu sudah mengajarkan ilmu baru kepadaku untuk melayani
kau," katanya di dalam hati.
Sesudah belasan kali memukul angin, Kim Sie Ie berteriak-teriak
seakan-akan orang gila sembari menyerang kalang-kabut. "Awas!" kata Lie
Kim Bwee disertai tertawanya. "Aku akan menotok Siauwyauw hiat-mu!"
Dengan suatu gerakan aneh, ia mendesak dan kedua jerijinya menyambar ke
arah Siauwyauw hiat Kim Sie Ie. Ilmu silat Kim Sie Ie sebenarnya lebih
tinggi daripada Lie Kim Bwee, tapi karena gerakan si nona sangat luar
biasa, pukulan tongkatnya tak dapat merintangi Kim Bwee. Dalam keadaan
berbahaya, seorang yang berkepandaian tinggi sering mengeluarkan pukulan
aneh untuk menolong diri. Demikian juga dengan Kim Sie Ie. Ia mendadak
memukul tanah dengan tongkatnya dan badannya lantas saja berjungkir
balik, sehingga totokan Kim Bwee jatuh di tempat kosong.
"Lari ke kedudukan Sunwie! Totok Honghoe hiat-nya!" demikian
terdengar suara ibunya.
Begitu Kim Sie Ie menyerang lagi, Kim Bwee sudah melompat ke
sampingnya sembari menotok dengan jerijinya. Tapi totokan itu lagi-lagi
meleset karena Kim Sie Ie sudah berhasil meloloskan diri dengan
berjungkir balik.
"Aku dan ibu sudah berlatih tiga hari, tapi masih tetap aku hampir
tak dapat melayani dia," pikir Kim Bwee dengan heran.
Tapi di lain pihak, keheranan Kim Sie Ie bahkan lebih besar.
"Kenapa Tiamhiat hoat wanita ini begitu liehay?" tanyanya kepada dirinya
sendiri. "Siapakah wanita yang barusan bicara? Dimana dia bersembunyi?"
Sesudah berjungkir balik beberapa kali untuk meloloskan diri dari
totokan si nona, napas Kim Sie Ie jadi tersengal-sengal. "Aku sudah
mengatakan, bahwa kau tak akan dapat menghina diriku," kata Kim Bwee
sembari tertawa. "Apakah kau masih belum percaya? Sekarang kau sudah
lelah. Mengasohlah dulu."
Diejek begitu, bukan main gusarnya pemuda itu. "Fui!" mendadak ia
menyemburkan ludahnya.
"Bwee-djie!" teriak Phang Lin yang bersembunyi di dalam hutan.
"Lekas mundur!"
Kim Bwee berkelit secepat mungkin. Mendadak matanya berkunang-
kunang, kakinya lemas dan ia roboh di atas tanah.
Tiba-tiba saja, Kim Sie Ie sadar, pikirannya jernih kembali. Ia
ingat, bahwa dalam dunia ini, Kim Bwee adalah wanita kedua yang
memperlakukan dia sebagai sahabat (wanita pertama adalah Pengtjoan
Thianlie). Teringat itu, bukan main rasa menyesalnya. Semenjak berkelana
dalam kalangan Kangouw ia telah mengganggu banyak sekali orang-orang
gagah, tapi sebegitu jauh, belum pernah ia membunuh manusia secara
sembarang. Tak dinyana, hari ini ia telah mengambil jiwa seorang nona
muda yang telah menganggap dirinya sebagai kawan. Dalam perasaan
menyesalnya yang sangat besar, tanpa merasa ia berlutut dan merangkapkan
kedua tangannya sembari menundukkan kepala. Tak berani ia melihat si nona
yang rebah di atas tanah, karena hatinya tak kuat melihat penderitaan
gadis itu. Jangankan nona cilik itu, sedangkan Tongbengtjoe yang
berkepandaian begitu tinggi masih tak mampu menahan serangan racun
tersebut.
Selagi ia berlutut dengan pikiran linglung, mendadak terdengar
suara tertawa Kim Bwee yang sangat nyaring. "Kenapa kau?" tanya si nona.
"Aku bukan nenekmu. Kenapa kau berlutut di hadapanku?"
Kim Sie Ie terperanjat tidak kepalang. Bagaikan dipagut ular, ia
melompat bangun. Di hadapannya berdirilah Lie Kim Bwee yang sedang
tertawa terpingkal-pingkal. Hampir-hampir ia tak mempercayai kedua
matanya sendiri!
Mendadak si nona meloncat dan berkata sembari tertawa: "Sekarang
akan kuajarkan semacam Tiamhiat hoat kepadamu!" Berbareng dengan
perkataannya, jeriji Kim Bwee sudah menyambar. Cepat-cepat Kim Sie Ie
coba menangkis, tapi gerakan menotok itu aneh sekali, baru saja ia
mengangkat tangannya, tahu-tahu jalan darah di pinggangnya sudah
tertotok. Seketika itu juga, ia menari-nari dan tertawa tiada hentinya
seperti seorang gila.
Si nona nakal menjadi kegirangan, ia bertepuk tangan sembari
tertawa geli, seperti anak kecil melihat kelakar pelawak. "Hi-hi-hi!
Inilah yang dinamakan budi dibalas dengan budi," kata Kim Bwee. "Akan
kulihat, apakah kau masih berani mempermainkan orang atau tidak." Ia
menengok ke arah hutan dan berteriak: "Ibu! Lekas keluar! Ilmu yang kau
ajarkan, benar-benar liehay. Sekarang dia sudah menjadi seekor kera.
Sungguh lucu!"
Ternyata, selama tiga hari bersembunyi di dalam hutan, Phang Lin
telah mengajarkan semacam Tiamhiat hoat (Ilmu menotok jalanan darah)
kepada puterinya untuk menaklukkan Kim Sie Ie. Pada hakekatnya, ilmu
menotok itu sama dengan ilmu yang diajarkan kepada Tong Keng Thian oleh
Moh Tjoan Seng. Hanya saja, sedang Moh Tjoan Seng, sekali melihat ilmu
silat Kim Sie Ie, sudah lantas bisa menggubah semacam ilmu untuk
menaklukkan pemuda itu, Phang Lin harus mengasah otak dua hari untuk
menyusun ilmu tersebut. Terbuktilah, bahwa jalan ke arah ilmu silat yang
paling tinggi, adalah satu.
Lie Kim Bwee yang sedang bertepuk tangan dan melompat-lompat,
mendadak melihat suatu perubahan aneh pada wajah pemuda itu, perubahan
yang lain daripada semestinya, jika hanya tertotok jalan darah Siauwyauw
hiat-nya. Kim Bwee berhenti tertawa dan memandang muka Kim Sie Ie dengan
terkejut.
Sesaat itu Phang Lin keluar dari dalam hutan. Begitu melihat muka
Kim Sie Ie, ia berteriak: "Celaka! Inilah tanda-tanda dari lweekang yang
makan tuan!" Buru-buru, ia meloncat dan menarik tangan Kim Sie Ie,
sembari membuka jalan darah Siauwyauw hiat-nya yang barusan ditotok oleh
puterinya. Begitu jalan darahnya terbuka, Kim Sie Ie berontak. Tapi Phang
Lin sudah bersiap sedia, ia menekan tempat pertemuan antara Tayyang hiat
dan Siauw-im hiat Kim Sie Ie.
Seketika itu juga, Kim Sie Ie merasakan semacam hawa sejuk
perlahan-lahan mengalir ke dalam tubuhnya yang lantas saja terasa nyaman
luar biasa. Ia memejamkan kedua matanya, sedang pundaknya ditepuk-tepuk
perlahan-lahan oleh Phang Lin. Dalam keadaan begitu ia ingat kepada
kejadian di jaman yang lampau, di waktu ia masih kecil, bila ibunya
sedang menepuk-nepuknya supaya dia lekas-lekas tidur. Tak lama kemudian,
ia pulas dengan bibir menyuntingkan senyuman.
Kepandaian Phang Lin memang beraneka ragam. Pada saat itu ia
menggunakan ilmu Tjiansim modjie koeitjin (ilmu memulihkan tenaga dalam
yang mendapat gangguan) yang didapatkannya dari kaum Ihama Topi Merah di
Tibet. Sambil mengerahkan lweekang-nya, ia mengurut sekujur badan pemuda
itu. Sebentar pula, aliran darah dan hawa Kim Sie Ie yang tadinya kacau
balau sudah menjadi beres dan tenang kembali. Ketika itu, Phang Lin sudah
mengerti, bahwa latihan lweekang Kim Sie Ie menyimpang dari jalan yang
benar, tapi ia belum mengetahui apa sebabnya sehingga pemuda itu mendapat
serangan mendadak. Sesudah membuka baju Kim Sie Ie dan melihat lukanya,
akibat pukulan Tongbengtjoe, barulah nyonya itu mengerti. Tapi dengan
rasa menyesal, ia harus mengakui, bahwa ia tak dapat menolong jiwa Kim
Sie Ie.
"Lweekang pemuda ini berbeda sekali dengan lweekang dari cabang
persilatan lain," katanya pada puterinya. "Semakin besar kemajuannya,
semakin besar pula bencana yang terhimpun dalam tubuhnya. Tjiansim modjie
koeitjin hanya dapat memperpanjang usianya untuk tujuh puluh dua hari,
tapi tak dapat menolong jiwanya."
"Habis bagaimana ibu?" tanya si nona dengan hati berdebar-debar.
"Jalan satu-satunya adalah mengajaknya pergi ke Thiansan," kata
sang ibu. "Iethio dan lebo-mu (Tong Siauw Lan dan Phang Eng) adalah ahli-
ahli Lweekeeh dari cabang persilatan yang asli. Mungkin sekali mereka
akan dapat menolongnya, apapula jika diingat, bahwa kita sudah mengetahui
siapa gurunya. Di samping itu, guru pemuda ini mempunyai hubungan yang
akrab dengan Iethio dan lebo-mu."
Selagi Kim Bwee akan bertanya lebih lanjut, Kim Sie Ie sudah sadar
dari pulasnya dan perlahan-lahan membuka kedua matanya.
Ia mendapat kenyataan, bahwa di samping Kim Bwee, terdapat seorang
nyonya cantik yang sedang memandangnya secara
menyayang. Wajah nyonya itu mirip sekali dengan Kim Bwee dan cara-
caranya juga serupa dengan gadis yang nakal itu.
"Apakah artinya, semua ini?" tanyanya kepada Kim Bwee. "Kau terkena
jarum racunku. Kenapa kau masih hidup? Siapakah nyonya itu?"
Phang Lin tertawa dan menanya: "Bukankah kau murid Tokliong
Tjoentjia?"
Kim Sie Ie lantas saja bangun berduduk. "Dalam dunia ini tak ada
yang mengetahui asal-usulku," katanya dengan nada heran. "Bagaimana kau
mengenal nama guruku?"
"Tak usah bertanya melit-melit," kata Phang Lin sembari tertawa.
"Senjata rahasiamu hanya dapat digunakan oleh Tokliong Tjoentjia. Kecuali
muridnya sendiri, tak ada pula yang mampu menggunakan senjata rahasia
itu. Aku juga tahu, bahwa racun jarum itu hanya dapat dipunahkan dengan
pil yang dibuat dari ilar burung Niauw-eng. Bukankah begitu?"
"Benar," jawabnya. "Tapi pil itu harus segera diberikan, lagi pula,
meskipun sudah menelan obat itu, tak bisa ia sembuh begitu cepat. Untuk
berterus terang, di seluruh dunia sudah tidak ada yang punya obat itu
lagi, bahkan juga aku sendiri. Dari mana kau mendapatkan obat itu?"
Ketika meninggalkan Pulau Ular, Kim Sie Ie memang membekal sejumlah
pil itu. Sebagaimana diketahui, dalam pertemuan pertama dengan Pengtjoan
Thianlie di gunung Gobie san, ia sudah disemprot Yoe Peng dengan kata-
kata tajam. Dalam gusarnya, ia bergulingan di tanah, merobek bajunya dan
kemudian melompat ke sungai. Karena itu, semua obatnya hilang di dalam
air.
Ia merasa sangat menyesal tapi tak bisa mengambil kembali obat itu.
Phang Lin tertawa haha-hihi seraya berkata: "Obatku jauh lebih
liehay dari obatmu." Ia .mengeluarkan sebutir pil merah sebesar bola
kecil dan menggoyang-goyangnya di tengah udara. Seketika itu juga, Kim
Sie Ie mencium semacam bau aneh yang dikenalnya baik-baik. Ia meloncat
dan berteriak: "Bagaimana kau bisa memiliki mustika itu? Apakah kau
sahabat guruku? Apakah kau Lu Soe Nio?"
Phang Lin tertawa terpingkal-pingkal. "Hm! Kau hanya mengenal
Lu Soe Nio," katanya. Sebenarnya ia lantas hendak memperkenalkan dirinya,
tapi di lain saat ia berpikir lain. Ia tidak membenarkan dan juga tidak
membantah dugaan Kim Sie Ie.
Pil merah itu mempunyai riwayat menarik, dan telah diperolehnya
sebagai hadiah dari Phang Eng, kakak perempuannya. Kira-kira tiga puluh
tahun sebelumnya, ketika akan menghembuskan napasnya yang penghabisan,
majikan pulau Niauw-eng to, yaitu Sat Thian Tjek, telah menghadiahkan pil
tersebut kepada Phang Eng. Sebagai telah dikatakan oleh nyonya itu, obat
tersebut jauh lebih mustajab untuk memunahkan racun senjata rahasia
Tokliong Tjoentjia. Ketika sang adik mau berangkat ke wilayah Tionggoan,
Phang Eng telah memberikan pil itu kepada adiknya yang dikuatirkan akan
mampir di Pulau Ular.
"Dimana gurumu?" tanya Phang Lin.
"Sudah meninggal dunia," jawabnya.
"Ah! Sayang! Sungguh sayang!" kata Phang Lin sembari menghela napas
panjang-panjang.
Mendengar perkataan itu, di dalam hati Kim Sie Ie lantas saja
timbul perasaan suka terhadap nyonya tersebut. "Jika ia bukan Lu Soe Nio,
paling sedikitnya ia tentu sahabat Soehoe," pikirnya.
"Coba jalankanlah pernapasanmu," kata Phang Lin.
Kim Sie Ie segera bersila dan melakukan apa yang diminta oleh
nyonya itu. Mendadak kepalanya pusing dan terasalah hawa kotor naik,
menyesakkan dadanya.
Dengan perlahan Phang Lin segera mengurut punggung pemuda itu.
"Apakah kau sekarang sudah insyaf, bahwa jiwamu berada dalam bahaya?"
tanyanya.
Sesaat itu, Kim Sie le merasakan semacam hawa dingin menerobos
masuk ke dalam jantungnya dan ia kembali berada dalam keadaan setengah
sadar. Dengan perlahan Phang Lin menyentil kedua pipinya dan ia segera
sadar kembali.
Pengalaman itu -- dadanya terasa sesak begitu lekas ia mengerahkan
lweekang-nya —— adalah pengalaman yang baru bagi Kim Sie Ie. Sebagai
orang yang berkepandaian tinggi, ia juga lantas insyaf, bahwa perkataan
nyonya tersebut bukan gertakan belaka. Bukan main terperanjatnya, tetapi
sedetik kemudian ia sudah tertawa terbahak-bahak. "Kawanan semut sukar
hidup untuk sehari, kutu-kutu tak mengenal musim semi dan musim rontok,"
katanya dengan nyaring. "Aku sudah hidup dua puluh tahun dan dibandingkan
dengan mereka, aku sudah hidup cukup lama. Sedang semua orang membenci
aku, lebih cepat aku mati agaknya lebih baik, supaya mata mereka tak usah
melihat lagi romanku yang menyebalkan!"
"Bagaimana kau tahu, semua orang membenci kau?" tanya Phang Lin.
"Bagiku, hidup lebih lama malah lebih menyenangkan. Dunia ini sungguh
indah dan penghidupan selalu penuh kegembiraan!" Sembari berkata begitu,
ia menekan punggung pemuda itu dengan jerijinya. Pada saat itu juga,
hilanglah rasa sesak di dada Kim Sie Ie dan ia dapat bernapas lagi dengan
bebas. Ia mengerti, bahwa dengan lweekang-nya yang sangat sempurna, si
nyonya sudah melancarkan lagi aliran darahnya yang kalang kabut dan untuk
bantuan itu, besar sekali terima kasihnya. "Bagiku, ia bukan sanak dan
bukan saudara, tapi dengan suka rela ia sudah menolong diriku," katanya
di dalam hati. "Benar juga, tidak semua orang membenci aku."
"Bagaimana?" tanya Phang Lin. "Apakah kau masih ingin mati?"
"Ah!" kata Kim Sie Ie. "Mengapa kau begitu memaksa hendak
menolongku?"
"Aku senang, jika semua orang bisa hidup gembira," jawabnya.
"Hatiku jengkel, jika melihat kedukaan orang lain. Maka, pada hakekatnya,
pertolongan itu kuberikan kepada diriku sendiri, yaitu untuk menyenangkan
hatiku. Eh, hayolah ikut aku! Biarpun aku tak bisa menjamin kau akan
hidup seratus tahun, tapi kutanggung kau akan dapat mencapai usia tua.
Dalam dunia terdapat banyak sekali hal yang menggembirakan hati.
Kesalahanmu satu-satunya adalah, bahwa kau tak mampu mencari
kegembiraan!'
Selama berkelana dalam dunia Kangouw, setiap kali ia mempermainkan
orang, tujuannya adalah untuk mencari kegembiraan. Tentu saja ia menjadi
kaget ketika mendengar Phang Lin mengatakan, bahwa ia tak mampu mencari
kegembiraan. "Kau benar-benar sangat menarik," katanya sembari tertawa.
"Baiklah, sekarang aku tak mau mati. Aku akan mengikuti kalian mencari
kegembiraan hidup. Kemana kau mau mengajak aku!"
"Jika diberitahukan, sebagian kegembiraanmu akan menjadi hilang,"
sahut Phang Lin.
Kim Sie Ie yang wataknya sama dengan ibu dan anak itu, lantas saja
bertepuk tangan dan berkata: "Bagus! Hayolah kita berangkat."
Demikianlah mereka segera meninggalkan Gobie san. Dari Soetjoan
utara, mereka melewati gunung Thaysoat san, Lengtjeng san dan lalu masuk
ke Tibet, dari mana mereka akan terus pergi ke Sinkiang. Dengan watak
mereka yang hampir serupa, di sepanjang jalan mereka berkelakar dan
bercakap-cakap dengan gembira, sehingga mereka tidak merasa kesepian.
Tapi Phang Lin tetap tak mau memperkenalkan diri dan juga sungkan
memberitahukan kemana mereka menuju. Jika sedang mengasoh di waktu malam,
ia menurunkan ilmu Tjiansim modjie koeitjin kepada Kim Sie le, sehingga,
dengan bantuan ilmu tersebut, kecerdasan otak pemuda itu jadi kembali
seluruhnya, juga lagaknya yang gila sudah berkurang banyak dan muncullah
kegembiraan yang wajar bagi seorang pemuda. Tak usah dikatakan lagi,
bahwa ia sangat cocok dan bisa bergaul secara baik sekali dengan Lie Kim
Bwee.
Dengan masing-masing memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat
tinggi, dalam dua puluh hari saja, mereka sudah tiba di Tibet.
Pada suatu hari, sedang mereka berjalan dengan gembira, tiba-tiba
mereka melihat suatu iring-iringan manusia di lembah sebelah bawah.
Iring-iringan itu didahului delapan gajah putih dengan payung-payung
emasnya dan seluruh rombongan itu kelihatan megah sekali.
"Ibu, coba lihat!" kata Kim Bwee. "Bukankah iring-iringan Hoan-ong
(raja) itu, yang sedang meronda?"
Phang Lin memperhatikan rombongan itu dengan matanya yang tajam.
"Bukan," jawabnya. "Hoan-ong tidak biasanya begitu mewah. Mungkin sekali
iring-iringan itu adalah rombongan salah seorang kepala agama. Ah!
Sungguh menarik. Coba kuselidiki." Hampir berbareng dengan perkataannya,
badannya sudah meluncur turun belasan tombak. "Anak-anak!" ia berseru
dari tanjakan. "Ingat pesanku! Kamu jangan pergi ke tempat lain. Jika ada
apa-apa yang menarik, sudah pasti aku akan segera kembali untuk
memberitahukannya." Baru saja mengucapkan perkataan itu, dengan
sekali berkelebat, ia sudah menghilang, sehingga Kim Sie Ie sangat kagum
akan ilmu mengentengkan badan si nyonya yang begitu tinggi.
Pemuda itu tentu saja tidak tahu, bahwa Phang Lin -- selain ingin
menyelidiki iring-iringan itu -- mempunyai maksud lain. Dengan kesempatan
itu, ia ingin membiarkan Kim Sie Ie berada berdua-dua saja dengan
puterinya, agar mereka jadi lebih bebas untuk membicarakan segala urusan
pribadi. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa perginya itu sudah membawa
akibat lain.
Sambil mengawaskan iring-iringan itu, sesaat kemudian Kim
Sie Ie berkata semhari menghela napas: "Kau sungguh beruntung
mempunyai ibu yang begitu baik!"
"Ibumu?" tanya si nona.
"Sejak kecil aku sudah menjadi piatu, tak punya ayah ibu lagi,"
jawabnya dengan sedih.
"Kasihan!" kata Kim Bwee.
Mendadak, wajah pemuda itu berubah dan ia berkata dengan suara
kaku: "Aku tak perlu dikasihani orang!"
"Aku salah," kata si nakal sembari tertawa. "Janganlah gusar. Kau
memang seorang laki-laki luar biasa yang bisa berdiri di atas kedua
kakimu sendiri." Sebagaimana diketahui, Lie Kim Bwee adalah seorang gadis
berandalan yang suka sekali membawa maunya sendiri. Akan tetapi, entah
kenapa, terhadap Kim Sie Ie yang sifatnya lebih berandalan lagi, ia
menjadi jinak.
Mendengar pujian itu, kemendongkolan Kim Sie Ie lantas saja reda.
"Aku pun belum pernah bertemu dengan orang yang begitu luar biasa seperti
kau dan ibumu," katanya sembari tertawa. "Ibumu simpatik sekali,
kepandaiannya tinggi, kepribadiannya menarik."
"Apa iya?" tanya Kim Bwee sembari tertawa nyaring. "Koko (kakak)
tolol! Sebenarnya ibuku seperti juga ibumu sendiri. Kau tahu? Ia
menyayang kau lebih-lebih daripada aku." Inilah untuk pertama kali dalam
penghidupannya, bahwa seorang manusia, wanita cantik, memanggil
"Koko tolol!" kepadanya dengan nada yang penuh kecintaan. Jantungnya
berdebar keras dan ia merasakan kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan.
Untuk beberapa saat, ia memandang ke tempat jauh tanpa melihat
suatu apa. Mendadak ia melompat dan berkata: "Eh, kenapa ibumu berlaku
begitu baik terhadapku?"
"Ia mengatakan, bahwa sebatang kara kau terombang-ambing dalam
dunia ini," jawab si nona. "Nasib itu sangat mirip dengan nasibnya
sendiri di waktu ia masih kecil."
"Apakah sedari kecil ibumu sudah tidak mempunyai ayah dan ibu?"
tanya Kim Sie Ie.
"Benar," jawabnya. "Menurut ceritanya, ketika ia baru berusia kira-
kira setahun, keluarganya telah ditimpa bencana hebat. Kakek telah binasa
dalam peristiwa itu dan sesudah berselang kurang lebih dua puluh tahun,
barulah nenek bisa bertemu pula dengan ibu."
"Kalau begitu, ibumu bukan Lu Soe Nio," kata pemuda itu.
Harus diketahui, bahwa Lu Soe Nio adalah orang yang paling dikagumi
dan dihormati oleh Tokliong Tjoentjia. Ketika masih hidup, sering sekali
ia menceritakan riwayat hidup pendekar wanita itu kepada muridnya. Kakek
Lu Soe Nio, yaitu Lu Lioe Liang, adalah seorang sasterawan kenamaan pada
jamannya. Ketika ayah Lu Liehiap, Lu Po Tiong, dibinasakan oleh kerajaan
Tjeng, pendekar wanita tersebut sudah berusia dua puluh tahun lebih.
"Siapa kata ibuku Lu Soe Nio?" tanya si nona. "Kenapa kau
menganggap ia sebagai Lu Soe Nio?”.
"Dengan kepandaiannya yang begitu tinggi, siapapun akan menduga,
bahwa ia adalah Lu Liehiap," kata Kim Sie Ie.
"Kau seperti juga kodok di dalam sumur," kata si nona sembari
tertawa. "Hm! Lagi-lagi aku mengejek kau. Jangan marah."
"Ejekanmu sekali ini kuterima dengan tangan terbuka," katanya.
"Baru sekarang aku percaya, bahwa dalam dunia ini terdapat banyak sekali
orang pandai."
"Terus terang saja, ibuku mungkin belum bisa menandingi Lu Soe
Nio," kata si nona. "Tapi ibu sama tersohornya dengan Lu Liehiap, karena
ia memang salah seorang dari tiga pendekar wanita di jaman ini."
Bukan main girangnya Kim Sie Ie. "Siapakah pendekar wanita yang
satu lagi?" tanya ia.
"Iebo-ku," jawabnya.
"Kepandaian bibi masih jauh lebih tinggi daripada ibuku. Walaupun
Iethio sekarang menjadi Tjiangboendjin Thiansan pay, tapi masuknya ke
partai itu masih terlebih belakang daripada Iebo. Tahukah kau, siapa
bibiku? Ia bukan lain daripada ahli waris le Lan Tjoe, salah seorang
pendekar dari Thiansan."
Dalam kegembiraannya memuji bibinya, Kim Bwee melupakan segala apa.
Mendadak, muka Kim Sie Ie menjadi pucat dan ia menanya dengan perlahan:
"Ah! Kalau begitu, Iethio-mu adalah Tjiangboen dari Thiansan pay.
Bukankah ia bernama Tong Siauw Lan?"
Si nona yang belum melihat perubahan pada paras muka pemuda itu,
lantas saja menjawab sembari tertawa: "Benar. Kau ternyata sudah mengenal
juga nama Iethio-ku. Sekarang ini ibu akan mengajak kau naik ke Thiansan
untuk meminta pertolongan Iebo dan Iethio, supaya mereka suka mengobati
penyakit yang mengeram dalam tubuhmu!"
Kata-kata Kim Bwee itu dirasakan Kim Sie Ie sebagai sebuah palu
yang menghantam jantungnya. Mukanya lantas saja menjadi merah. Tabir
rahasia yang sudah lama ingin dibukanya, sekarang sudah terbuka lebar-
lebar. Insyaflah ia sekarang, bahwa lweekang yang telah
diyakinkannya adalah ilmu yang tidak benar, dan juga telah menewaskan
gurunya sendiri. Baru sekarang ia mengerti pesan gurunya supaya ia
mencari ahli Thiansan pay untuk memohon pertolongan. Dalam sekejap itu,
segala kesangsian yang bertahun-tahun, telah mengganggu pikirannya sudah
terjawab semua.
Kim Sie Ie mempunyai watak angkuh dan ia gampang sekali
tersinggung. Ia senantiasa menganggap, bahwa ilmu silat gurunya nomor
satu di kolong langit, sehinggga ia tak mau tunduk kepada orang lain,
apapula jika orang itu justru ayah Tong Keng Thian.
Sesaat kemudian, Kim Bwee sudah melihat perubahan pada wajah Kim
Sie Ie itu. "Koko tolol," katanya, sembari memaksakan diri untuk tertawa.
"Kau sedang memikirkan apa?"
Kim Sie Ie menahan amarahnya. "Kalau begitu, Tong Keng Thian adalah
piauwheng-mu (saudara misan)," katanya.
"Benar! Kau kenal ia?" jawabnya dengan girang.
"Bukan saja kenal, malah bersahabat baik," kata Kim Sie Ie sembari
tertawa dingin. Mulutnya mengatakan begitu, tapi hatinya berpikir lain.
Tahulah ia sekarang, bahwa Phang Lin adalah bibi Keng Thian. Ia
menganggap, bahwa nyonya itu sengaja mengatur siasat supaya ayah Tong
Keng Thian melepaskan budi kepadanya, sehingga ia tak mampu mengangkat
kepala lagi di hadapan Keng Thian. Dengan demikian, maksud Phang Lin yang
sangat mulia, sudah salah diartikan olehnya. Pada saat itu, ia kembali
merasakan, bahwa dirinya sebatang kara dan di mana-mana selalu dihina
orang. Daripada dihina orang, ia lebih suka mati lekas-lekas.
Lie Kim Bwee tak bisa menebak pikiran pemuda itu. Sembari tertawa
dan bertepuk tangan ia berkata: "Ah! Kalau kalian memang sudah
bersahabat, aku benar-benar merasa girang."
"Tak salah! Sungguh bagus!" kata Kim Sie Ie, suaranya sumbang.
"Siasatmu juga sangat bagus. Mari sini!"
Melihat muka Kim Sie Ie yang merah padam, si nona menduga, bahwa
pemuda itu diserang demam. "Kau sakit?" tanyanya sembari mendekati.
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak, tertawa yang
membangunkan bulu roma. "Terima kasih banyak-banyak kepada kalian yang
sudah mengatur siasat begitu bagus!" katanya. Mendadak, mendadak saja,
jerijinya menotok jalan darah si nona! Sedetikpun tak pernah terkilas
dalam pikiran Kim Bwee bahwa ia akan diserang secara begitu tiba-tiba.
Keruan saja, tanpa mengeluarkan suara, ia terguling dan roboh di atas
tanah.
Di detik selanjutnya, ia mendengar suara tertawa kegila-gilaan
pemuda itu, yang semakin lama sudah semakin jauh.
Kim Bwee -- yang tertotok Djoanma hiat-nya (jalan darah yang
membikin orang lemas) – tak bisa berbangkit. Untung juga, sesudah
mempelajari Tiamhiat hoat Kim Sie Ie dari ibunya, ia bisa membuka jalan
darahnya sendiri. Sesudah mengerahkan lweekang-nya selama setengah jam,
kaki tangannya mulai bisa bergerak pula dan beberapa saat kemudian, ia
sudah dapat berdiri. Termangu-mangu, seperti kehilangan apa-apa, ia
memandang gunung-gunung di kejauhan. "Kenapa, baru saja ia masih baik-
baik, mendadak kumat lagi penyakit gilanya," pikir si nona yang menduga,
bahwa pemuda itu benar-benar menderita penyakit gila. Suatu perasaan aneh
yang sukar dijelaskan datang kepadanya dan tanpa merasa, ia berlari-lari
ke bawah untuk mengejar si Koko tolol.
Begitu tiba di dasar lembah, sekonyong-konyong dari jurusan depan
datanglah iring-iringan itu dengan delapan ekor gajah putihnya yang
sangat besar.
Di punggung seekor gajah putih yang berjalan di tengah-tengah,
kelihatan berduduk seorang Lhama yang bertubuh tinggi besar dan yang
dipayungi dengan payung kuning. Barisan gajah itu diiring oleh enam belas
Lhama yang menunggang kuda, sedang di kedua sampingnya terdapat barisan
wanita muda yang mengenakan pakaian putih. Di antara mereka, terdapat
satu nona yang sangat cantik dengan paras dingin dan agung. Ia duduk di
atas kuda dengan badan tak bergerak, seolah-olah satu patung batu.
Lie Kim Bwee yang menghampiri barisan itu sembari lari keras, tiba-
tiba mendengar satu bentakan: "Siapakah yang berani mengganggu iring-
iringi Hoat-ong (Raja agama)?" Berbareng dengan bentakan itu, seorang
wanita yang memakai kudungan muka loncat turun dari kudanya dan coba
mencengkeram tangan si nona. Kim Bwee berkelit sembari mendorong dengan
kedua tangannya. Wanita itu, yang lantas saja terhuyung beberapa tindak,
mengeluarkan seman tertahan dan kemudian, sesudah memutar badan, ia
merangsek pula.
Lie Kim Bwee tentu saja tidak mengetahui, bahwa wanita tersebut
adalah Sengbo atau Ibu Suci dari Lhama sekte Topi Putih. Ia juga tidak
mendusin, bahwa secara tidak disengaja, ia sudah mengganggu iring-iringan
Hoat-ong. Kedudukan Hoat-ong atau Raja agama dari sekte Topi Putih adalah
setingkat dengan kedudukan Dalai atau Panchen. Mereka dipandang sebagai
Budha Hidup. Maka itu, di mata para Lhama, gangguan Kim Bwee adalah
pelanggaran yang sangat hebat.
Di lain saat, enam belas Lhama yang berpakaian putih sudah
mengurung Kim Bwee dalam satu lingkaran. Mereka mengawasi si nona tanpa
mengeluarkan sepatah kata dan maju mendekati setindak demi setindak.
Kim Bwee jadi bingung. "Eh, mau apa kau orang?" tanyanya.
"Perempuan siluman!" membentak satu antaranya. "Besar benar
nyalimu, berani mengganggu iring-iringan Hoat-ong! Kenapa kau tak lekas
memohon ampun kepada Budha Hidup?"
"Yang mana Budha Hidup?" tanya si nona. "Coba beritahukan
kepadaku." Ia berkata begitu seperti satu anak kecil yang sangat ingin
melihat apa-apa yang luar biasa.
Semua Lhama jadi sangat gusar dan dua antaranya segera bergerak.
Yang satu mengeluarkan tangan kiri, yang lain mengeluarkan tangan kanan
dan membuat satu lingkaran, akan kemudian, dengan serentak mereka coba
membekuk Kim Bwee.
Dalam Rimba Persilatan, ilmu silat sekte Topi Putih merupakan satu
cabang yang istimewa. Pukulan itu, yang dinamakan Kimkong Menangkap
Siluman, adalah lebih hebat daripada Kinna tjhioehoat (ilmu menangkap)
dari wilayah Tionggoan. Tapi di luar dugaan, Kim Bwee yang semenjak kecil
sudah dilatih baik oleh kedua orang tuanya, gesit luar biasa. Baru saja
tangan kedua Lhama itu bergerak, sembari tertawa nyaring, bagaikan seekor
ikan, ia melejit dari serangan itu. Kedua Lhama tersebut terkesiap dan
buru-buru balik ke kedudukannya yang semula. Masih untung, si nona belum
menoblos keluar dari kurungan.
"Eh!" berteriak Kim Bwee dengan suara nyaring. "Jalan raya bukan
dimiliki oleh kau orang. Seorang Budha Hidup mestinya mempunyai hati yang
murah. Kenapa kau orang menjajah jalan? Apakah berjalan disini merupakan
satu kedosaan?" Enam belas Lhama itu sama sekali tak menggubris teguran
si nona. Perlahan-lahan mereka memperkecil lingkaran. Dengan hati
bingung, Kim Bwee menerjang ke sana-sini, tapi kurungan itu teguh
bagaikan tembok tembaga.
"Hei!" ia berteriak pula sesudah usahanya untuk menoblos keluar
tidak berhasil. "Masakah enam belas lelaki gagah menghina seorang
perempuan? Apa kau orang tak mengenal malu?" Dalam jengkelnya, ia
menunduk dan terus menyeruduk kurungan itu.
Sekonyong-konyong dua Lhama mengeluarkan suara tertawa aneh sedang
mukanya memperlihatkan paras seperti orang yang kena digaruk di bagian
badannya yang gatal. Karena tertawanya itu, badan mereka agak miring dan
Kim Bwee sungkan menyia-nyiakan kesempatan bagus, lantas saja menerobos
keluar dari lubang itu. Sembari melompat, si nona merasa heran dalam
hatinya. "Ah! Mereka tentu merasa jengah karena dicaci olehku dan sengaja
melepaskan aku," katanya didalam hati. Ia menengok, menjebi dan terus
kabur.
Tapi, baru saja lari beberapa tindak, dua ekor gajah sudah
menghadang di depan dan dua Lhama yang bersenjata Kioehoan Sekthung (toya
timah) mencegat jalan.
"Hei! Benar-benar kau orang mau berkelahi?" membentak Kim Bwee
sembari membabat dengan pedang pendeknya. Dengan satu suara "trang!",
pedangnya terpukul balik, sedang toya si Lhma sama sekali tidak
bergeming. Kedua Lhama itu adalah murid Hoat-ong yang berkepandaian
paling tinggi dan yang dulu pernah dikirim untuk coba merampas guci emas.
Sekarang Kim Bwee yang nakal benar-benar bingung. Jalan di depan
dicegat, sedang dari belakang mendatangi enam belas Lhama. Selagi hatinya
kebat-kebit, sekonyong-konyong Lhama yang badannya tinggi besar dan paras
mukanya merah, berkata dengan suara agung: "Anak itu belum mengerti apa-
apa, biarlah dia pergi." Sembari berkata begitu, dari atas punggung
gajah, ia mengebas dengan hudtim-nya. Mendadak, Kim Bwee merasa dirinya
didorong dengan semacam tenaga yang tidak kelihatan, sehingga ia jungkir
balik. Hampir berbareng, dua Lhama yang menghadang di depan minggir ke
kiri kanan, dan enam belas Lhama yang sedang merangsek dari belakang,
juga menghentikan gerakannya. "Benar juga apa yang dikatakan oleh anak
itu," kata pula Lhama yang tinggi besar. "Seorang Budha Hidup harus
mempunyai hati yang murah." Sehabis berkata begitu, ia mengucapkan
beberapa perkataan dalam bahasa Tibet, seperti orang sedang memberi
berkah kepada si nona.
Kim Bwee menengok dan mendapat kenyataan, bahwa semua Lhama berdiri
tegak dengan sikap menghormat. "Ah! Kalau begitu dia adalah Budha Hidup
yang dimaksudkan," katanya di dalam hati. Ia tak berani mengawaskan lama-
lama dan lalu kabur secepat mungkin.
Sesudah lari dua tiga li, di tanjakan sebelah depan kelihatan
menunggu seorang wanita. "Kim-djie!" berseru wanita itu yang bukan lain
daripada ibunya sendiri. "Kau sungguh berani mati! Lekas kemari!"
Kim Bwee mempercepat tindakannya dan di lain saat, ia sudah berada
dalam pelukan ibunya.
"Aku sendiri tidak berani mengganggu mereka," kata Phang Lin
sembari tertawa. "Jika tidak ditolong olehku, kau akan merasakan lebih
banyak penderitaan!"
"Ah! Sekarang aku tahu!" kata si nona. "Dua Lhama itu tentu juga
ditimpuk Siauwyauw hiat-nya (jalan darah yang membangkitkan perasaan
geli) olehmu. Tadinya aku menduga, bahwa mereka melepaskan aku karena
merasa jengah dicaci olehku."
Ternyata, kedua Lhama itu sudah ditimpuk oleh Phang Lin dengan
menggunakan ilmu Hoeihoa tjekyap (menggunakan bunga dan daun sebagai
senjata rahasia). Dengan menggunakan bunga atau daun, ia dapat
membinasakan musuh atau menotok jalanan darah. Lie Kim Bwee yang
lweekang-nya masih sangat cetek, tentu saja belum bisa belajar ilmu yang
tinggi itu. Tapi begitu mendengar perkataan ibunya, ia segera mengetahui,
bahwa tadi ia sudah dibantu oleh sang ibu. Ia tertawa dan berkata: "Hm!
Tadinya aku kira Budha Hidup itu seorang baik. Tak tahunya, ia sudah
melepaskan aku karena takuti ibuku!"
"Jangan ngaco!” membentak Phang Lin dengan suara keras. "Hoat-ong
adalah seorang yang berhati sangat mulia. Aku sendiri sangat menghormati
padanya. Jangan kau mengaco belo! Apa kau tahu, untuk apa mereka datang
kesini?"
"Tidak," jawab puterinya.
"Barusan, sesudah menyelidiki, aku mengetahui duduknya persoalan,"
menerangkan sang ibu.
"Di sebelah depan terdapat satu kota, Sakya namanya. Sekarang ini,
Raja agama dari sekte Topi Putih sudah mengadakan perdamaian dengan Lhama
dari sekte Topi Kuning. Panchen sudah mempermisikan mereka untuk
menyebarkan pula agama mereka di Tibet dan mendirikan satu kuil Lhama
yang sangat besar di kota Sakya. Kedatangan Hoat-ong dengan murid-
muridnya ke kota Sakya, adalah untuk meresmikan pembukaan kuil tersebut."
"Apakah dalam tempo yang sependek itu ibu sudah pergi ke
Sakya?" tanya Kim Bwee.
"Pendek? Sudah setengah harian!' kata Phang Lin sembari tertawa.
"Apa belum cukup kau beromong-omong dengan dia? Eh! Mana Kim Sie Ie?"
Paras muka si nona lantas saja berubah. "Dia kumat lagi penyakit
gilanya," jawabnya dengan suara duka. "Dia kabur, entah kemana."
"Ngaco!" membentak sang ibu. "Beruntun beberapa hari, dengan ilmu
Tjiansimmo aku menekan 'api' yang bisa membakar dirinya. Menurut
perhitunganku, paling sedikit ia bisa mempertahankan diri selama tujuh
puluh dua hari. Tak mungkin ia gila mendadak. Urusan apa yang sudah
dibicarakan oleh kau orang selama aku pergi?"
"Tidak, sama sekali kita tidak bicarakan apa-apa yang penting,"
kata Kim Bwee. "Aku hanya memberitahukan kepadanya, bahwa kau ingin
membawa dia ke Thiansan untuk memohon supaya Iethio suka mengobati
padanya."
Phang Lin menghela napas panjang. "Kau benar-benar bocah tak tahu
urusan," ia berkata dengan suara menyesal. "Aku justru sangat kuatir, ia
sungkan menerima budi orang, karena wataknya yang angkuh. Maka itu, aku
sengaja sudah mempedayai ia. Tapi, kau yang membuka rahasia! Kau tentu
tak mengetahui, bahwa dia dan Tong Keng Thian mempunyai ganjelan hati."
"Ganjelan apa?" tanya Kim Bwee dengan suara heran.
Sang ibu kembali menghela napas panjang. "Hai!" katanya. "Benar-
benar kau lebih gila daripada aku, waktu aku semuda kau. Kau lebih suka
mencampuri urusan orang lain, daripada aku. Sudahlah! Tak perlu aku
memberitahukan kau. Sekarang sekali lagi aku mesti capai hati untuk
mencari dia. Hai! Anak perempuan sudah besar, benar-benar memusingkan
kepala!"
Paras muka si nona lantas saja berubah merah. "Siapa suruh kau
mencari dia?" ia tanya sembari monyongkan mulut.
"Baiklah," jawab sang ibu. "Hm! Di kolong langit memang terdapat
banyak sekali lelaki gagah. Tapi aku tahu, tak satupun yang cocok dengan
adat gilamu. Bukankah begitu?"
"Benar," jawab puterinya sembari merengut.
"Nah, kalau begitu paling baik kita cari dia," kata pula sang ibu
sambil menyengir. "Mari! Kita pergi ke Sakya untuk melihat-lihat
keramaian. Kim Sie Ie juga suka ramai-ramai. Dia tentu tidak pergi jauh."
Sambil berkata begitu, ia berjalan dengan menyeret tangan puterinya.
Sakya adalah sebuah kota pegunungan yang sangat indah di Tibet
Selatan. Biasanya kota itu sangat sepi, tapi sekarang, berhubung dengan
kedatangan Hoat-ong Sekte Topi Putih, maka tempat yang sunyi itu dengan
mendadak menjadi ramai, dikunjungi tetamu dari tempat-tempat jauh.
Touwsoe dan Soanwiesoe Tan Teng Kie jadi repot bukan main, karena mereka
harus menyediakan tempat penginapan dan makanan untuk Raja agama (Hoat-
ong) itu dan sekalian pengiringnya. Di seluruh kota Sakya hanya ada
seorang yang senggang dan nganggur dan yang duduk melamun di taman bunga
Soanwiesoe sambil menghela napas berulang-ulang. Orang itu adalah Tan
Thian Oe, putera Tan Teng Kie.
Begitu Thian Oe kembali ke Sakya bersama ayahnya, si Touwsoe lantas
saja mengajukan pula soal yang lama, yaitu soal perangkapan jodoh antara
puterinya dan pemuda itu. Thian Oe menghadapi desakan itu dengan
menggunakan siasat mengulur waktu, sedang sang ayah pun, yang tak penuju
calon menantu itu, membantu puteranya dengan mengusap-usap si Touwsoe.
Sementara itu, atas nasehat puteranya, Teng Kie telah memerintahkan Kang
Lam pergi ke kota raja dengan membawa suratnya untuk seorang berpangkat
Tjiesoe yang masih terkena sanak dengannya. Dalam surat itu ia meminta
pertolongan supaya sanak tersebut mengajukan permohonan kepada kaizar,
agar ia diperbolehkan pulang dengan mengingat jasanya waktu menyambut
guci emas. Akan tetapi, karena perjalanan yang sangat jauh, sesudah pergi
kurang lebih setengah tahun, Kang Lam belum juga memberi warta suatu apa.
Ayah dan anak itu melewati hari dengan hati mendongkol, karena si Touwsoe
sering sekali mengganggu mereka dengan undangan-undangan untuk menghadiri
perjamuan, dimana sang puteri coba memikat-mikat Thian Oe, yang jadi
serba salah, tertawa salah, menangis pun keliru.
Hari itu, Tan Teng Kie dan Touwsoe menyambut Hoan-ong, sedang semua
pegawai kantor Soanwiesoe pun pergi keluar untuk melihat keramaian. Thian
Oe sendiri yang tidak mempunyai kegembiraan untuk pelesir, dan ia
menyembunyikan diri di dalam gedung. Sampai jauh malam, ayahnya belum
pulang dan suara ramai-ramai pun belum mereda. Kira-kira tengah malam,
seorang diri ia pergi ke taman bunga. Sang rembulan memancarkan sinarnya
yang dingin dan taman itu seolah-olah mandi dalam lautan perak. Sambil
menghela napas, Thian Oe mendongak dan berkata dengan suara duka: "Ah,
malam ini tiada bedanya dengan malam dulu itu. Malam di musim semi dan
bulan yang bersinar perak. Tapi dimana sekarang adanya Chena? Malam itu
ia mendampingi aku, tapi sekarang..."
Pada saat itu, Chena yang cantik manis, dengan senyuman yang penuh
rahasia, kembali terbayang di depan matanya. Hanya beberapa kali ia
bertemu dengan gadis Tsang itu, tapi tak dapat ia melupakannya lagi. Ia
ingat peristiwa melempar golok di gedung Touwsoe, ia ingat pertemuan di
gunung belukar pada malam itu, dimana untuk pertama kalinya ia mengetahui
asal-usul si nona, ia ingat pula pertemuan di istana es yang seperti
surga, pertemuan yang tak akan dapat dilupakannya. Tak dinyana, bahwa
Puncak Es akan roboh dan akhirnya ia kembali ke Sakya tanpa mendapat
warta apapun juga tentang gadis yang dicintainya itu.
"Apakah Chena binasa dalam bencana alam itu?" ia tanya dirinya
sendiri berulang-ulang. Di lain saat, ia menghibur hatinya: "Jika Yoe
Peng selamat, Chena juga tentu bisa meloloskan diri."
Sementara itu, suara keramaian sudah mulai mereda, tapi Thian Oe
masih duduk terpekur di antara pohon-pohon bunga.
Mendadak terdengar suara berkreseknya daun-daun dan tindakan kaki
yang sangat enteng. Thian Oe agak terkejut dan menoleh ke arah suara itu.
Ia terkesiap karena apa yang dilihatnya adalah seorang wanita muda yang
mengenakan pakaian serba putih dan yang menghampirinya dengan bibir
tersungging senyuman.
Ia mengawaskan dengan mata membelalak. "Chena!" teriaknya. "Apa aku
lagi mimpi?"
"Bukan, bukan mimpi," kata wanita itu. "Tapi, memang tiada beda
dengan impian." Senyumannya belum hilang, air matanya sudah berlinang-
linang. Wanita itu memang Chena adanya!
Thian Oe menggigit jarinya kuat-kuat. Ia melompat karena kesakitan
dan berteriak sebab kegirangan. "Chena! Bukan impian! Kita benar-benar
bertemu pula. Kita tak akan berpisahan lagi!"
"Ya, kita tak akan berpisahan lagi," kata si nona.
Thian Oe memeluk erat-erat seolah-olah ia kuatir kecintaannya
menghilang dengan mendadak. Sekonyong-konyong ia melihat berlinangnya air
mata dan paras yang penuh kedukaan. Ia merasa seperti diguyur dengan air
dingin. "Chena," katanya dengan suara bingung. "Kenapa kau? Apa yang
dipikiri olehmu? Bukankah kau sudah berjanji, bahwa kita tak akan
berpisahan lagi!"
"Aku selalu berada di dampingmu," jawabnya secara menyimpang.
"Apakah dalam impian, kau tak pernah mimpi bertemu denganku?"
"Benar," kata Thian Oe. "Setiap kali bermimpi, aku selalu mimpi
bertemu denganmu... kau sedang tertawa, sedang berdiri di bawah sinar
bulan, sedang menangis... Tapi itu semua sudah lewat. Mulai dari
sekarang, kita tak akan mengenal kesedihan lagi, kita akan berada dalam -
kebahagiaan."
"Aku juga sering mimpi bertemu denganmu," kata Chena. "Dengan
demikian dapat dikatakan, bahwa kita sebenarnya belum pernah berpisahan."
"Tidak," kata Thian Oe. "Apa yang diingin olehku bukan dunia mimpi.
Aku menghendaki berkumpul secara abadi."
Mata si nona mengawasi ke tempat jauh dan ia berkata dengan suara
serak: "Apa artinya sungguh? Apa artinya mimpi? Apa yang dikatakan
sekejap mata? Dan apa yang dinamakan abadi?"
Thian Oe terperanjat. Ia menatap muka si nona tanpa bisa menjawab.
Pertanyaan-pertanyaan itu sudah terdengar semenjak dahulu, memang belum
dapat dijawab oleh ahli-ahli pemikir sehingga di jaman ini.
Di luar, sayup-sayup masih terdengar suara orang berpesta, suara
penjual silat, suara tukang sulap, suara menyanyi...
Untuk beberapa lama, kedua orang muda itu saling memandang tanpa
mengeluarkan sepatah kata. Kemudian, dengan sorot mata berduka dan dengan
suara agak gemetar. Chena menyanyi dengan perlahan:
Cinta abadi adalah sinar terang
yang sekelebatan,
Bagaikan berkeredepnya kilat di
tengah udara gelap gulita,
Tapi walaupun hanya untuk
sekejapan.
Kemuliaan sang kekasih sudah terlihat nyata.
Itulah sebuah nyanyian rakyat Nepal yang merembes masuk ke Tibet,
nyanyian yang gembira, tercampur sedih. Thian Oe berduka sangat. Ia
bengong dan kemudian berkata dengan suara perlahan: ."Apa artinya sekejap
mata? Apa arti abadi? Tidak! Yang dikehendaki olehku adalah abadi yang
bahagia!"
"Thian Oe," kata si nona sembari mesem. "Sekarang kita jangan rewel
tentang hal yang tak penting. Biarpun bagaimana juga, kita sudah bertemu
kembali dan biarpun bagaikan berkeredepnya kilat di tengah udara yang
gelap gulita, apakah dalam tempo yang sependek itu, kita tak bisa
mengicipi kebahagiaan yang sebesar-besarnya? Thian Oe, cobalah kau bicara
tentang sesuatu yang menggembirakan."
Thian Oe terperanjat, mukanya lantas saja berubah pucat. "Apa?" ia
menegas. "Apakah pertemuan kita ini hanya seperti berkelebatnya kilat?
Kenapa kau tak bisa berdiam terus disini?"
Si nona menghela napas. "Hai! Kau tak tahu," katanya. "Untuk
mengadakan pertemuan ini, aku sebenarnya sudah menempuh bahaya yang
sangat besar. Sudahlah, Thian Oe! Jangan kau menanya banyak-banyak.
Marilah, kita bicarakan saja tentang sesuatu yang menggirangkan hati. Aku
tak bisa berdiam lama-lama. Aku mesti segera berlalu!"
Kata-kata itu adalah bagaikan halilintar di tengah hari bolong.
Thian Oe ternganga. Ia hanya mengawasi muka si nona dengan sorot mata
menanya.
"Thian Oe..." kata pula Chena, sambil tertawa. "Hayolah! Mari kita
bergembira..." Suaranya
bergemetar dan meskipun ia tertawa, nada suara itu lebih
menyayatkan hati daripada tangisan.
"Chena... sesudah kau mengatakan, bahwa kau akan segera berlalu,
apakah aku masih bisa bergembira?" tanya Thian Oe.
"Satu kali, kita pernah mengalami bencana robohnya Puncak Es dan
kita sudah terlolos dari bencana itu. Apakah sekarang kita sedang
menghadapi bencana yang kedua, yang lebih hebat daripada yang pertama?"
"Sedari dilahirkan, bencana memang membayangi diriku terus
menerus," jawabnya. "Aku tak dapat mengelakkannya. Ah! Kau tak tahu..."
"Aku tahu! Aku tahu semuanya," kata Thian Oe. "Aku tahu, kau ingin
membalas sakit hati. Chena, kita sama-sama hidup dan mati pun sama-sama.
Marilah kita pergi membalas sakit hati bersama-sama. Andaikata, dengan
berkah Tuhan, kita tak mati, kita boleh lantas melarikan diri ke selatan,
ke kampung kelahiranku."
Si nona kembali tertawa, tertawa duka. "Anak tolol," katanya.
"Sakit hati yang dalam bagaikan lautan, mana bisa diwakili? Di samping
itu, aku tak bisa mempermisikan mengamuknya badai di Tibet, karena urusan
pribadiku. Soal pembalasan sakit hatiku adalah soal remeh. Tapi begitu
lekas kau campur tangan, soal itu akan menjadi besar."
Thian Oe insyaf, bahwa si nona bicara sejujurnya. Ayahnya adalah
Soanwiesoe dari Sakya. Karena kuatir terjadi pemberontakan para Touwsoe
di Tibet, maka selain mengirim Hok Kong An untuk menilik dari Lhasa,
kaizar Tjeng telah mengirim juga Soanwiesoe ke berbagai tempat dengan
tugas "menempel" dan mengawasi sepak terjangnya para Touwsoe itu. Jika ia
benar-benar membantu Chena dan membinasakan Touwsoe dari Sakya, maka
ayahnya sudah pasti akan mendapat hukuman mati. Juga terdapat kemungkinan
timbulnya sengketa yang lebih besar gara-gara itu.
Dengan air mata berlinang-linang, Chena dongak mengawasi awan yang
terombang-ambing di atas langit.
"Jika kau mati, aku pun tak bisa hidup terus," kata Thian Oe.
"Tidak, kau tak boleh mati," kata si nona. "Kau masih mempunyai
banyak sekali tugas. Di samping itu, aku pun belum tentu mati."
"Kalau begitu, biarlah aku menunggu kau," kata Thian Oe. "Tak
perduli apa kau hidup atau mati, aku akan menunggu terus."
Chena menghela napas. "Terima kasih," katanya. "Tapi, apa kau tahu,
siapa aku sekarang? Seumur hidup, aku tak boleh mencintai atau menikah
dengan seorang pria. Kedatanganku sekarang sudah melanggar peraturan.
Thian Oe, sebaiknya kau menganggap, bahwa pertemuan ini adalah pertemuan
di dalam mimpi."
Mendengar perkataan itu, bukan main kaget dan herannya Thian Oe.
"Kenapa?" ia menegaskan. "Aku mengetahui, bahwa kau adalah puteri Raja
muda Chinpu. Apakah puteri seorang raja muda di negerimu tidak boleh
menikah dengan seorang Han?'
Pada jaman itu, di Tibet memang ada kebiasaan tersebut. Akan
tetapi, Thian Oe sudah menebak salah, karena hal itu bukan sebab yang
terutama.
Si nona tak menyahut, ia terus menunduk.
"Sudahlah!" kata Thian Oe dengan suara keras. "Jika begitu, aku tak
akan menikah seumur hidup."
Chena menyeka air matanya dengan tangan baju dan mendadak ia
tertawa. "Kau adalah manusia pertama yang mengenal jiwaku," katanya.
"Kebahagiaanmu adalah keberuntunganku. Aku ingin sekali kau bisa hidup
beruntung. Apa kau tahui"
"Aku tahu," jawabnya.
"Kalau begitu, kau dengarlah perkataanku," katanya pula. "Pengtjoan
Thianlie telah membuang banyak budi kepadaku dan ia adalah orang kedua
dalam dunia ini yang dapat menyelami isi hatiku. Aku menganggapnya
sebagai kakakku sendiri."
"Aku tahu," kata Thian Oe. "Aku pun pernah mendapat banyak sekali
pertolongannya dan aku merasa sangat berterima kasih."
Chena kembali menghela napas, sedang kedua matanya mengawasi ke
tempat jauh. "Thianlie Tjietjie banyak lebih beruntung daripadaku,"
katanya dengan suara perlahan. "Tong Keng Thian mencintainya dengan
segenap hati, seperti juga kau..." Mukanya mendadak berubah merah dan ia
tak dapat meneruskan perkataannya.
"Dalam ilmu silat, aku memang tak dapat dibandingkan dengan Tong
Keng Thian," kata Thian Oe. "Tapi... mengenai rasa cintaku, aku
sedikitpun tak kalah dengannya."
Chena tersenyum, senyuman puas yang, untuk sejenak, telah menyapu
awan kedukaan dari mukanya. Sesaat kemudian, ia berkata pula: "Orang
ketiga yang mengenal jiwaku adalah Yoe Peng, dayangnya Thianlie Tjietjie.
Ia adalah seorang yang selalu bergembira, sehingga siapa juga yang
bergaul dengannya, akan turut merasa gembira."
Thian Oe terkejut. "Apa maksudnya perkataan Chena?" ia tanya
dirinya sendiri, la menatap wajah si nona dengan rasa kasihan dan
kemudian berkata: "Chena, aku hanya bisa berkumpul dengan kau seorang.
Dalam dunia ini, tiada lain manusia yang bisa dibandingkan denganmu."
Si nona dongak dan melihat sang rembulan yang sudah doyong ke
barat. Untuk sekian kalinya ia menghela napas. "Sekarang benar-benar aku
mesti lantas berlalu," katanya.
"Tidak!... Tidak!... Chena, kau tak boleh meninggalkan aku dengan
begitu saja!" kata Thian Oe dengan suara serak, sambil mencekal erat-erat
ujung baju si nona.
Tiba-tiba di sebelah kejauhan terdengar suara lonceng. Si nona
kelihatan terkejut dan lalu mulai menghitung dengan suara perlahan:
Satu... dua... tiga... dua belas... tiga belas... tujuh belas... delapan
belas..."
"Kenapa kau menghitung?" tanya Thian Oe. "Apa suara lonceng itu
dari istana sementara Hoat-ong?"
"Sudah hampir sembahyang pagi," jawabnya.
"Sembahyang pagi?" menegas Thian Oe, sambil menatap wajah si nona.
Chena melengos. Mendadak ia berkata: "Hoat-ong sudah tiba disini
dan kota Sakya ramai bukan main. Dua hari lagi akan diadakan upacara
pembukaan kuil Lhama."
"Tanpa kau, aku tak mempunyai kegembiraan untuk menyaksikan
keramaian apapun juga," kata Thian Oe. "Aku tak ingin menyaksikan
pembukaan kuil itu."
"Baiklah," kata si nona dengan tertawa sedih. "Biarlah sekarang
saja kita berpisahan." Hampir berbareng dengan perkataannya, ia menghunus
sebilah pisau dan memotong ujung bajunya yang sedang dicekal Thian Oe dan
di lain saat, ia sudah berada di atas tembok!...
Bagaikan orang lupa ingatan, Thian Oe berdiri terpaku dengan mulut
ternganga. Kejadian barusan seolah-olah suatu impian menakuti. Ia merasa
otaknya pusing dan tak dapat bekerja lagi. Kenapa Chena datang untuk
segera pergi lagi dengan begitu terburu-buru? Apa arti perkataan-
perkataannya? Kenapa ia tak boleh menikah? Peraturan apa yang
dilanggarnya? Berbagai pertanyaan masuk ke dalam otaknya, pertanyaan-
pertanyaan yang tak dapat jawabnya.
Sementara itu, fajar mulai menyingsing dan orang-orang yang bersuka
ria sudah mulai pulang. Mereka tak tahu, bahwa sang majikan muda juga tak
tidur semalam suntuk. Karena sudah ketelanjur, mereka tidak lantas pergi
tidur dan lalu beromong-omong. Thian Oe adalah majikan yang selalu
bersikap manis terhadap pegawai dan bujang, sehingga mereka tidak merasa
takut untuk bicara di hadapannya.
"Sayang sungguh Wanita-wanita Suci itu mengenakan kudungan muka,"
kata yang satu.
Thian Oe kaget dan segera mendekati sambil menanya: "Wanita Suci
apa?"
Yang baru pulang menonton ada delapan orang dan mereka lantas saja
memberi keterangan.
"Wanita Suci yang dibawa Budha Hidup. Agama Topi Putih berbeda
dengan Topi Kuning. Topi Putih boleh mempunyai Lhama wanita."
"Menurut katanya orang, Wanita Suci itu pandai menyanyi dan menari.
Pada upacara pembukaan kuil, mereka akan memperlihatkan kepandaiannya."
"Ya. Mereka kelihatannya cantik sekali, hanya sayang mengenakan
kudungan muka."
"Kau jangan mengeluarkan perkataan gila-gila! Menurut
pendengaranku, Wanita Suci itu sungguh-sungguh suci dan tak boleh
dilanggar-langgar. Jika kau tak turut menghadiri upacara, mencuri lihat
saja sudah merupakan satu kedosaan."
"Apa dia tak boleh menikah?"
"Tidak! Jangankan menikah, sedangkan bicara dengan lelaki sudah tak
boleh."
"Ah! Sungguh sayang! Setiap Wanita Suci itu pasti cantik luar
biasa. Pakaiannya saja sudah begitu indah. Baju dan koen serba putih dan
dua ikatan pinggang sutera yang berwarna putih pula. Setiap orang ramping
badannya, ceking pinggangnya dan kalau dia berjalan, aduh! Bagaikan
Puteri Kahyangan yang turun ke bumi!'
Thian Oe mendengari pembicaraan itu tanpa mengeluarkan sepatah
kata, hanya jantungnya semakin lama memukul semakin keras. "Apa Chena
sudah jadi Wanita Suci? Kenapa ia mau jadi Wanita Suci?" tanyanya di
dalam hati. Pikirannya jadi semakin kusut, kepalanya semakin pusing.
Semalam ayahnya menginap di gedung Touwsoe dan sampai tengah hari
belum juga pulang. Pagi itu, seperti orang kehilangan semangat, Thian Oe
duduk termenung dalam kamar tulis sambil mengasah otak untuk memecahkan
teka-teki sekitar kecintaannya itu.
Tiba-tiba ia terkejut karena terdengarnya suara orang memanggil:
"Kongtjoe, ada tamu."
"Siapa?" tanyanya. Alisnya berkerut dan ia berkata pula sambil
mengebas tangan: "Hari ini aku tidak menerima tamu. Minta dia datang di
lain hari saja."
"Baiklah," kata si pelayan, tapi ia terus berdiri di depan pintu.
"Ada apa?" tanya pula Thian Oe.
"Menurut katanya tamu itu, ia adalah sahabat Kongtjoe," jawabnya.
"Pengurus rumah tanga sedang menemaninya di kamar tamu."
"Siapa ia?" menegas Thian Oe dengan perasaan heran, karena si
pengurus rumah tangga sudah berani menerima tamu itu tanpa permisi.
"Dandannya seperti seorang sasterawan dan ia she Tong," menerangkan
si pelayan. "Menurut katanya pengurus rumah tangga, ia pernah membuang
budi besar kepada Looya."
"Aduh!" teriak Than Oe sambil berlari-lari keluar tanpa menukar
pakaian lagi.
Tamu itu bukan lain daripada Tong Keng Thian. Pengurus rumah tangga
keluarga Tan pernah mengikut Tan Teng Kie waktu menyambut guci emas,
sehingga ia mengenali pemuda itu.
Tak usah dikatakan lagi, pertemuan itu sangat menggirangkan kedua
belah pihak.
"Tong-heng," kata Thian Oe sambil menjabat erat-erat tangan Keng
Thian. "Angin apa yang sudah meniup kau datang kemari? Benar-benar aku
bisa pingsan karena kegirangan."
"Kebetulan lewat, aku mampir," jawabnya. "Dan lebih-lebih
kebetulan, karena kota ini sedang bersuka ria."
"Apa Tong-heng ingin menyaksikan upacara pembukaan kuil?" tanyanya.
"Boleh dikatakan ya, boleh dikatakan tidak," sahutnya.
Melihat paras tamunya seperti orang yang ingin membicarakan suatu
rahasia, Thian Oe lantas saja berkata: "Marilah masuk, supaya kita bisa
bicara dengan leluasa dan gembira." Tanpa menunggu jawaban, ia menuntun
tangan Keng Thian yang lalu diajak ke kamar buku.
Baru saja pelayan mengantarkan teh, Keng Thian sudah berbisik:
"Bagaimana dengan Chena?"
Thian Oe berjingkrak bahna kagetnya. Cangkir teh jatuh dan hancur
di lantai. "Tong-heng, kau kenal Chena?" tanyanya dengan suara gemetar.
Sebagai seorang yang sangat pintar, Keng Thian lantas saja dapat
menebak, bahwa gadis Tsang itu adalah jantung hatinya Thian Oe.
"Dimana Tong-heng bertemu dengannya?" tanya Thian Oe, tak sabaran.
"Di istana Hoat-ong Sekte Topi Putih," jawabnya. "Sungguh sayang,
waktu itu aku belum tahu, bahwa ia adalah gadis idam-idamanmu. Jika 'ku
tahu, aku tentu akan membujuk supaya ia mengurungkan niatan untuk menjadi
Wanita Suci." Sesudah itu, secara ringkas ia lalu menuturkan segala
pengalamannya di istana Hoat-ong dan di keraton Wanita Suci.
"Kalau begitu, dia sendiri yang rela menjadi Wanita Suci," kata
Thian Oe dengan suara perlahan. "Tapi kenapa? Kenapa?..."
Mereka segera coba menduga-duga, tapi tak dapat menebak apa
maksudnya Chena. Waktu magrib, Tan Teng Kie pulang dan kunjungan Keng
Thian menggirangkan sangat hatinya. Biarpun sangat lelah, ia memaksakan
diri untuk menemani pemuda itu dan menghaturkan terima kasih untuk segala
pertolongannya pada waktu penyambutan guci emas. Dalam omong-omong,
mereka tentu saja membicarakan juga soal kedatangan rombongan Hoat-ong
dengan Wanita-wanita Suci yang sangat menarik perhatian. "Sebenarnya
Touwsoe ingin membuat satu tempat istimewa dalam bentengannya untuk
tempat menginap para Wanita Suci," •menerangkan Teng Kie. "Ia juga ingin
memerintahkan budak-budak perempuannya untuk belajar menari dengan Wanita
Suci itu. Hoat-ong tidak berkeberatan, tapi Ibu Suci katanya tidak
menyetujui. Belakangan mereka membuat sebuah tempat penginapan di dalam
taman istana sementara Hoat-ong. Touwsoe merasa sangat mendongkol, tapi
ia tak bisa berbuat suatu apa."
Hati Thian Oe berdebar-debar, tapi tidak mengatakan apa-apa. Tak
lama kemudian, sebab merasa terlalu capai, Teng Kie lalu meminta maaf
kepada Keng Thian dan masuk ke dalam untuk mengasoh.
Begitu ayahnya berlalu, Thian Oe segera mengajak tamunya kembali ke
kamar tamu dan begitu mereka mengambil tempat duduk, ia segera berkata:
"Malam ini aku ingin mengunjungi Chena."
Keng Thian terkejut: "Tidak! Kau tak boleh pergi!" ia mencegah.
"Istana sementara Hoat-ong bukan tempat sembarangan. Tahun yang lalu,
waktu menyelidiki keraton Wanita Suci, hampir-hampir aku hilang jiwa."
Thian Oe mengawaskan tamunya dengan sorot mata duka. "Terima kasih
untuk nasehatmu," katanya dengan suara perlahan. "Tapi, walaupun mesti
berenang di air atau menyerbu api, biarpun badanku bisa hancur lebur,
malam ini aku mesti menemuinya. Andaikata tak dapat bicara, sedikitnya
aku harus melihat dia."
Tong Keng Thian yang cukup mengenal penderitaan cinta, menghela
napas panjang. Ia menatap wajah Thian Oe dengan perasaan kasihan.
"Baiklah," katanya. "Malam ini aku akan mengantar kau."
Bukan main girangnya Thian Oe. Ia menjabat tangan Keng Thian erat-
erat dan mencekalnya lama sekali.
"Sekarang pergilah kau mengasoh, supaya sebentar kau mempunyai
cukup tenaga dan semangat," kata Keng Thian.
"Mana aku bisa pulas?" kata Thian Oe sambil tertawa getir. "Jika
mungkin, sekarang juga aku ingin pergi kesana."
Keng Thian tersenyum, ia bisa merasakan apa yang dirasakan pemuda
itu. "Jika kau tak mau mengasoh, aku ingin menanya tentang satu orang,"
katanya.
"Siapa?" tanya Thian Oe.
"Seorang pengemis yang lagaknya gila-gilaan dan selalu cari-cari
urusan," kata Keng Thian.
"Menurut katanya beberapa pegawai, beberapa hari berselang di kota
ini berkeliaran seorang pemuda otak miring yang membagi-bagikan kembang
gula dan kue-kue kepada anak-anak di sepanjang jalan," menerangkan Thian
Oe. "Tapi dia bukan pengemis, pakaiannya bagus sekali.”
"Dimana dia sekarang?" tanya Keng Thian.
"Entah," sahutnya. "Dalam beberapa hari ini, orang tidak
memperhatikannya lagi karena repot menyambut rombongan Hoat-ong. Aku pun
hanya mendengar cerita orang."
Alis Keng Thian berkerut, tapi ia tak menyatakan suatu apa. "Kalau
begitu Kim Sie Ie tentu sudah berada dalam kota ini," katanya didalam
hati.
"Untuk apa Tong-heng menyelidiki orang itu?" tanya Thian Oe.
Keng Thian menghela napas panjang seraya berkata: "Biarpun urusanku
tidak sesedih urusanmu, tapi cukup sulit. Aku ingin menolong seorang yang
tak disuka olehku. Jika mau diceritakan, urusan ini panjang sekali. Hai!
Biarlah nanti saja aku memberitahukannya."
Malam itu, dengan menggunakan lweekang, Keng Thian membantu Thian
Oe menjalankan pernapasannya. Kira-kira tengah malam mereka lalu menukar
pakaian jalan malam dan segera berangkat ke istana sementara Hoat-ong.
Istana sementara itu adalah sebuah gedung yang berdiri membelakangi
gunung. Gedung itu sebenarnya adalah rumah tinggal seorang Nyepa (semacam
pangkat di sebelah bawah Touwsoe). Untuk menyambut kedatangan Hoat-ong,
maka pada satu bulan berselang, Touwsoe telah memerintahkan supaya Nyepa
dan keluarganya pindah dari gedung itu yang lalu diperbarui, diperindah
dan ditambah segala kekurangannya.
Sebab hatinya tidak sabaran, Thian Oe lari secepat-cepatnya dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan, sehingga kedua kakinya seolah-olah
tidak menginjak bumi. Keng Thian kaget karena ia tidak menduga, bahwa
selama beberapa tahun saja, pemuda itu sudah mendapat kemajuan yang
sedemikian jauh. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa kemajuan tersebut
adalah berkat buah luar biasa yang telah dimakan Thian Oe di istana es.
Belum cukup setengah jam, mereka sudah tiba di istana Hoat-ong dan
lalu melompat masuk ke dalam taman bunga. Sesudah berjalan beberapa
tombak, di antara ratusan pohon bunga yang menyiarkan wewangian
menyedapkan, mereka melihat sebuah loteng cat merah yang agak
tertutup dengan pohon-pohon tinggi yang rindang daunnya. Selagi Thian Oe
jalan memutari gunung-gunungan batu untuk melompat ke atas loteng itu,
sekonyong-konyong Keng Thian menarik tangan bajunya dan mereka lalu
bersembunyi di belakang gunung-gunungan itu.
Tiba-tiba terdengar kesiuran angin dan tiga bayangan manusia
berkelebat masuk ke dalam taman. Waktu mereka hinggap di muka bumi, hanya
seorang yang kakinya memperdengarkan suara, sehingga dapatlah ditarik
kesimpulan, bahwa dua orang lainnya mempunyai ilmu mengentengkan badan
yang sangat tinggi. Begitu masuk, mereka mengawasi ke empat penjuru dan
kemudian bersembunyi di belakang gunung-gunungan batu yang lain. Thian Oe
mengintip dari sela-sela batu dan lapat-lapat ia melihat bayangan badan
mereka. Sesaat kemudian, seorang antaranya yang bertubuh gemuk dan yang
tadi kakinya mengeluarkan suara waktu hinggap di atas tanah, tiba-tiba
menoleh ke belakang. Dalam sekelebatan Thian Oe melihat mukanya dan ia
terkejut. Orang itu ternyata bukan lain daripada orang kepercayaan
Touwsoe, yaitu Omateng, yang pada suatu malam dua tahun berselang, telah
mengubar-ubar Chena di sebuah gunung.
Mendadak kuping Thian Oe menangkap suara yang sangat perlahan. "Apa
kau sudah melihat tegas, bahwa wanita itu adalah puteri Raja muda
Chinpu?" tanya seorang.
"Ya, biarpun dia mengenakan kudungan, aku bisa
memastikannya," jawab Omateng.
Thian Oe heran tak kepalang. "Kenapa dia begitu memperhatikan
Chena?" ia menanya dirinya sendiri. "Kedatangannya di kali ini juga
adalah untuk menyelidiki Chena." Sesaat itu, ia lantas saja ingat segala
tindakan Omateng dalam waktu yang lalu. Dulu, ketika Chena jatuh ke dalam
tangan Touwsoe, dialah yang sudah memohon ayahnya untuk menolongnya. Tapi
belakangan, kenapa ia terus mengubar-ubar, sampai di Puncak Es? Apa
maksudnya? Maksud baik atau maksud jahat?"
"Apa kau ingin memberitahukan Touwsoe?" tanya kawannya.
"Jika Touwsoe diberitahukan, ada baiknya, ada juga tidak baiknya,"
jawabnya. "Paling bagus jika kita bisa bertemu dengan Chena. Tapi..."
Belum habis perkataannya, di atas loteng mendadak terdengar suara
apa-apa. Thian Oe mendongak dan melihat terbukanya pintu di satu sudut,
disusul dengan keluarnya seorang wanita yang tangannya memegang serupa
alat musik. Perlahan-lahan ia menghampiri langkan dan kemudian, sambil
menyender di langkan, ia mementil alat musik yang dibawanya. Sesaat
kemudian, terdengar nyanyian yang seperti berikut:
Sungai es di puncak gunung, laksana Bima Sakti (Milky Way) yang
nyungsang.
Dengarlah 'tu kepingan es mengalir dengan perlahan sekali.
Ibarat suara letabuhan yang dipentil dengan jeriji si gadis jelita.
Si nona menanya si pengembara: Berapa gunung es lagi harus kau
mendaki?
Berapa topan lagi harus kau lewati?
Itulah suatu lagu gembala di wilayah Tibet yang sangat mengharukan
hati, yang dulu pernah didengar Thian Oe, waktu pertama kali ia bertemu
dengan si nona di padang rumput. Hatinya perih seperti diiris-iris dan
matanya terus mengawasi seperti orang lupa ingatan. Tiba-tiba salah satu
jendela yang bersinar terang, terbuka dan seorang Wanita Suci memanggil
dengan suara perlahan: "Sudah malam, Chena Tjietjie. Apa kau tak mau
tidur? Jangan melamun!"
"Aku tak bisa pulas," jawabnya. "Aku ingin turun sebentaran dan
waktu kembali, aku akan membawa bunga bwee untukmu." Sehabis berkata
begitu, sambil memeluk alat musiknya ia turun dari atas loteng dan
menyanyi dengan suara perlahan:
Di langit, sang elang terbang berputaran.
Di bumi, kawanan binatang lari lintang pukang.
Ah! Sungguh 'ku ingin menjadi sang elang!
Sungguh 'ku ingin menjadi pisau pembalasan!
Untuk menerkam si raja singa yang kejam.
Untuk menikam jantungnya musuh!
Nyanyian itu adalah nyanyian pembalasan sakit hati di wilayah
padang rumput dan bahwa nyanyian itu dinyanyikan oleh seorang Wanita
Suci, adalah kejadian yang sungguh luar biasa. Setindak demi setindak
Chena berjalan ke arah tempat bersembunyinya Thian Oe yang terus
mengincarnya sambil menahan napas. Tak jauh dari situ adalah gunung-
gunungan tempat bersembunyinya Omateng dan kedua kawannya. Thian Oe
melirik dan kebetulan si gemuk sedang mengintip sambil menongolkan
sedikit kepalanya. Di bawah sinar rembulan yang remang-remang, tiba-tiba
ia melihat Omateng ' tersenyum, satu senyuman licik dan kejam yang
membangunkan bulu roma. Beberapa tahun berselang, waktu bertemu Chena dan
Omateng di bukit es pada suatu malam terang bulan, ia pun pernah melihat
senyuman begitu. Tanpa merasa ia bergidik.
Tiba-tiba si nona menghentikan tindakannya dan mendongak memandang
rembulan sambil menghela napas berulang-ulang. "Ah! Thian Oe, Thian Oe!"
ia mengeluh dengan suara perlahan. "Sungguh-sungguh aku kejam
terhadapmu!"
Mendengar itu, Thian Oe tak dapat menguasai dirinya lagi. Ia tak
ingat lagi dimana ia berada dan lalu melompat sambil berteriak: "Chena!"
Di lain saat. Dalam taman itu sudah terdengar teriakan-teriakan
orang.
Tiba-tiba Thian Oe merasa dirinya dikempit dan dibawa terbang, akan
kemudian kedua kakinya hinggap di atas tembok. Hampir berbareng ia
melihat satu sinar merah menyambar ke bawah. "Lekas! Lekas lari!" Keng
Thian berbisik. Thian Oe segera meloncat ke bawah dan terus kabur,
diikuti oleh kawannya. Sayup-sayup mereka mendengar suara ramai-ramai di
dalam taman. "Hoat-ong sudah keluar," kata Keng Thian sambil tertawa.
"Omateng bisa celaka."
Sesuai dengan dugaan Keng Thian, sebelum keburu kabur, Omateng
bertiga sudah dikepung. Orang yang menerjang paling dulu adalah si Ibu
Suci dan empat murid utama dari Hoat-ong yang meronda di taman itu.
Dua kawan Omateng, yang satu bernama Teruchi dan yang lain Kili
Singh, adalah jago-jago yang mempunyai kepandaian paling tinggi di
Kalimpong. Begitu berhadapan, si Ibu Suci yang bersenjata sepasang pantek
konde yang panjangnya satu kaki, segera menikam Teruchi. Senjata itu yang
terang-terangan mengenakan tepat di dada musuh, mendadak melejit seperti
melanggar benda licin, sehingga, waktu Teruchi melompat ke samping, si
Ibu Suci terhuyung ke depan dan menubruk salah satu Lhama. Ia malu
bercampur gusar, sehingga mukanya berubah merah padam. Ternyata jago
Kalimpong itu memiliki ilmu Yoga yang sangat liehay. Sementara itu, Kili
Singh yang tidak mempunyai ilmu Yoga, tapi yang ilmu silatnya lebih
tinggi daripada Teruchi, sudah mulai bergebrak dengan murid Hoat-ong.
Sesudah lewat beberapa jurus, murid Hoat-ong mendadak mengirim satu
pukulan geledek yang menyambar bagaikan kilat ke dada musuh. Sambil
mengerahkan tenaga dalam, Kili Singh menangkis kekerasan dengan
kekerasan. Begitu kedua tangan beradu, murid Hoat-ong sempoyongan, sedang
Kili Singh pun bergoyang-goyang badannya. Melihat kesempatan baik, Ibu
Suci menerjang dan menikam jalanan darah Tiongpeng hiat dan Kietjong
hiat, di kempungan Kili Singh. Tapi, biarpun diserang mendadak selagi
badannya tergetar akibat pukulan musuh, Kili Singh yang memiliki ilmu
silat Poloboen, bisa juga menolong diri dengan jungkir balik. Pantek
konde itu menembus celananya, tapi tak sampai mengenakan jalanan darah.
Sesudah itu, dengan gerakan Leehie tahteng (Ikan gabus meletik), ia
melompat berdiri dan terus kabur.
Ibu Suci jadi kalap karena gusarnya. Ia menganggap, bahwa dua musuh
itu sengaja mempermainkannya dengan ilmu yang aneh. Ia berteriak memberi
komando dan dalam sekejap empat murid utama dan sejumlah Lhama sudah
mengubar dan mencegat dua jago Kalimpong itu.
Melihat ketika baik, dengan hati berdebar-debar Omateng melompat ke
arah loteng merah dengan niatan menyembunyikan diri untuk sementara
waktu. Tapi apa mau, Hoat-ong yang baru keluar dari istana, telah melihat
gerak-geriknya. Ia lantas saja mematahkan cabang pohon yang lalu
dipentilnya. Bagaikan kilat cabang itu menyambar kaki Omateng yang segera
roboh terguling di atas tanah.
Muka si gemuk jadi pucat seperti kertas waktu mengetahui siapa yang
merobohkannya, sedang Hoat-ong sendiri agak terkejut ketika melihat,
bahwa si pengacau adalah Nyepa dari Touwsoe Sakya sendiri. Tangannya yang
sudah terangkat diturunkan lagi dan ia lalu memerintahkan seorang Lhama
untuk mengikat tawanan itu.
Sementara itu, Teruchi dan Kili Singh sudah kabur sampai di pinggir
tembok. Dalam keadaaan terdesak, buru-buru Kili Singh membuka Djoanso
(tali) yang mengikat pinggangnya dan lalu memutarnya bagaikan titiran.
Karena titiran tali itu disertai dengan tenaga hebat, maka semua Lhama
tidak berani maju menyerang.
Dengan gusar Hoat-ong lalu memburu kesitu dan begitu tiba, Teruchi
justru sedang naik ke atas tembok. Sekali menjejak kaki, badannya melesat
bagaikan anak panah dan tangannya menjambret tumit kaki jago Kalimpong
itu. Mendadak ia merasa tangannya seperti mencengkeram kapas, tumit itu
mengkeret dan terlepas dari cengkeramannya. Ia mendongkol bukan main dan
sambil mengerahkan lweekang, lalu menekuk jerijinya untuk mementil dengan
ilmu Tantjie Sinthong (ilmu mementil). Jika kena, tulang kaki Teruchi
pasti akan hancur. Kili Singh terkesiap. Untuk menolong kawan, buru-buru
ia menyapu dengan Djoanso-nya. Hoat-ong marah, ia membalik tangan dan
lalu membabatnya. Hebat sungguh babatan itu yang disertai lweekang!
Begitu tersentuh, Djoanso Kili
Singh putus jadi dua potong. Sementara itu, berkat pertolongan sang
kawan, Teruchi berhasil meloloskan diri dan terus mabur. Dengan gergetan
Hoat-ong menotok jalan darah Kili Singh yang terus roboh dan lalu diikat
oleh seorang Lhama.
Semua kejadian itu terjadi dalam tempo pendek. Chena sendiri
berdiri terpaku bagaikan patung sambil memeluk alat musiknya yang bertali
lima. Kedua matanya mengawasi ke tempat jauh, sedang di kupingnya masih
terus berkumandang teriakan Thian Oe. Seolah-olah tidak melihat segala
kekacauan dan tidak mendengar teriakan-teriakan dalam taman itu. Sesudah
Omateng dan Kili Singh dibekuk dan Hoat-ong memanggil namanya, barulah ia
tersadar dari lamunannya. Ia mendongak dan matanya kebentrok dengan mata
Omateng. Ia kelihatan kaget dan berkata dengan suara perlahan: "Hm!
Omateng!”
"Kau kenal dia?" tanya Hoat-ong.
"Kenal," jawabnya "Dia adalah Nyepa dari Touwsoe Sakya."
"Nona itu adalah piauwmoay-ku (adik misan)," kata Omateng.
"Chena," kata Ibu Suci dengan perasaan heran. "Kenapa kau tidak
pernah memberitahukan, bahwa kau masih punya saudara misan?"
Sebelum menjawab, si nona melirik Omateng yang parasnya kelihatan
bingung sekali. Sesaat itu juga, ia ingat beberapa kejadian pada waktu
yang lalu. Ia ingat, bahwa Omateng pernah meminta pertolongan Tan Teng
Kie untuk menyelamatkan dirinya dari cengkeraman Touwsoe. Ia ingat pula
perkataan Omateng pada malam terang bulan itu, bahwa Touwsoe adalah musuh
bersama dari mereka berdua dan bahwa dia bersedia memberi bantuan dalam
usaha membalas sakit hati.
Walaupun ia tidak melupakan perkataan Thian Oe yang memperingatkan,
bahwa Omateng bukan manusia baik-baik, tapi, baik atau jahat, ia belum
mempunyai bukti yang teguh. "Tak perduli dia baik atau jahat, dia adalah
seorang yang pernah coba menolong aku," katanya di dalam hati. Mengingat
begitu, dengan suara tawar ia menjawab: "Sesudah mengabdi kepada Budha
Hidup dan menjadi Wanita Suci secara suka rela, aku telah membebaskan
diri dari segala ikatan dunia. Jangankan piauwko (saudara misan),
sedangkan ayah dan ibu sendiri pun sudah jadi seperti orang luar."
Si Ibu Suci manggut-manggutkan kepalanya seraya memuji: "Bagus!
Dengan demikian, kau adalah seorang Wanita Suci yang benar-benar sudah
memisahkan diri dari segala keduniawian."
Hoat-ong yang sudah agak mereda kegusarannya, lantas saja berkata:
"Sebagai seorang Nyepa, kau sudah mengacau dalam istana kami. Apa kau tak
tahu, bahwa perbuatanmu itu adalah satu kedosaan?"
"Tahu," jawabnya, menunduk. "Aku memohon pengampunan Budha Hidup."
"Apa kau datang kemari hanya untuk bertemu Chena?" tanyanya pula.
"Benar," sahutnya. "Aku mengetahui, bahwa seorang Wanita Suci tidak
boleh bertemu dengan orang luar dan dengan tersesat, aku sudah masuk
kesini seorang diri. Untuk kedosaan itu, aku memohon pengampunan."
Alis Hoat-ong berkerut. "Kau datang sendirian?" ia menegas. "Apa
dua orang itu bukan kawanmu?"
"Bukan," si gemuk menyangkal. "Waktu tiba disini, dua penjahat itu
sudah berada di dalam taman. Lantaran begitu, aku segera menimpuk dengan
batu untuk memperingatkan orang-orang yang menjaga disini. Jika mereka
adalah kawanku, aku tentu tak begitu gila."
Si gemuk ternyata satu pendusta yang liehay juga otaknya. Thiansan
Sinbong yang ditimpukkan oleh Tong Keng Thian, diakui sebagai batu yang
dilontarkan olehnya. Hoat-ong merasa sangsi dan lalu menanya pula:
"Bagaimana kau tahu, bahwa mereka adalah penjahat?"
"Mereka sudah sering mengacau disini," jawabnya. "Mereka merampok
dan melakukan banyak kejahatan lain. Sebagai Nyepa, aku bertugas untuk
membekuk orang-orang jahat, tapi karena tidak mempunyai pembantu pandai,
sebegitu lama mereka belum dapat ditangkap!"
Bukan main gusarnya Kili Singh. Tapi ia tidak dapat membela diri,
sebab jalanan darahnya sudah ditotok.
Hoat-ong tertawa terbahak-bahak. "Apa benar begitu?" tanyanya.
Sekonyong-konyong Omateng melompat dan menghantam kepala Kili
Singh.
"Bikin apa kau?" membentak Hoat-ong sambil mengebas dengan
tangannya, sehingga si gemuk terjungkir balik. Tapi pertolongan itu agak
terlambat, karena kepala Kili Singh sudah terpukul hancur dan tewas
jiwanya.
Sambil merangkak bangun, Omateng berkata dengan kegusaran yang
dibuat-buat: "Berulang-ulang manusia itu menghina aku dan mengacau dalam
kota Sakya. Sekarang ia malahan berani masuk kesini dan melawan Budha
Hidup. Sewaktu hilap, aku tak bisa menahan sabar dan sudah menurunkan
tangan sebelum mendapat permisi. Untuk kesalahan itu, aku memohon Budha
Hidup sudi mengampuninya."
Hoat-ong sangat menyangsikan keterangan si gemuk, tapi ia mempunyai
lain pertimbangan. Biar bagaimanapun juga Omateng adalah orang
sebawahannya Touwsoe sehingga, jika ia sendiri menjatuhkan hukuman,
seperti juga ia tidak memandang mukanya Touwsoe. Di samping itu, dia
adalah saudara misan Chena. Karena adanya pertimbangan itu, ia lantas
saja berkata: "Baiklah. Kejadian malam ini aku akan segera memerintahkan
orang untuk melaporkan kepada Touwsoe. Apa kau benar atau salah, apa kau
harus dihukum atau tidak, biarlah Touwsoe yang memutuskannya."
Omateng girang bukan main. Buru-buru ia berlutut sambil manggutkan
kepala berulang-ulang. "Terima kasih, terima kasih untuk belas kasihan
Budha Hidup," katanya. "Tapi apakah aku bisa bicara dengan Chena?”
"Boleh, kau boleh bicara disini," sahutnya. "Apa aku boleh
mendengari pembicaraan itu?"
"Tentu saja boleh," jawabnya terburu-buru. "Hanya urusan kecil
saja. Bahwa Budha Hidup memberi ijin, sudah merupakan suatu budi yang
sangat besar. Hm! Chena, sebagaimana kau tahu, aku telah mempelajari
Gwakang (ilmu luar) dari Agama Topi Merah. Dengan memiliki ilmu itu,
tulang-tulangku keras bagaikan besi. Tapi entah kenapa, belakangan ini
kepalaku sering sakit. Bagian yang sakit ialah tiga dim di bawah belakang
kepala. Aku ingat, bahwa dalam keluargamu terdapat kayu Simhio bok
(semacam kayu garu) yang berusia ribuan tahun. Menurut katanya orang,
jika kita menggodok kayu itu dan diminum airnya, sakit kepala akibat
latihan gwakang bisa menjadi sembuh. Apa kau menyimpan kayu itu? Bolehkah
aku meminjamnya untuk sementara waktu?"
Chena bingung, ia tak mengerti apa maksudnya si gemuk. Apa itu
Simhio bok? Ia sama sekali tidak memilikinya.
Sementara itu Omateng mengacungkan jempol tangan dan meraba bagian
belakang lehernya, di tempat yang cekung. "Disini, disini yang sakit,"
katanya.
Tiba-tiba Hoat-ong mengangsurkan tangan dan menekan di bagian itu
dengan jerijinya. "Disini?" tanyanya.
"Aduh!" berteriak Omateng. "Benar disitu!"
"Baiklah, aku akan menolong," kata Hoat-ong sambil mengurut
beberapa kali. Omateng berteriakteriak kesakitan dan menghaturkan terima
kasih berulang-ulang. Sesudah itu, dengan terbirit-birit dia lari keluar
dari taman itu. Hoat-ong tersenyum dan membiarkan dia kabur.
Sesudah si gemuk berlalu, Hoat-ong berkata dengan suara dingin:
"Aku tak mengerti, kenapa Touwsoe menggunakan orang gila itu sebagai
Nyepa. Semua perkataannya dusta belaka."
Chena kaget.
"Apa dia berdusta?" tanya Ibu Suci.
"Bahwa dia pernah mempelajari Gwakang dari Agama Topi Merah, adalah
hal yang sebenarnya," menerangkan Hoat-ong. "Dan juga benar, bahwa jika
seseorang berlatih salah, ia bisa merasakan sakit di bagian kepala. Tapi
barusan, waktu aku mencobanya, ternyata dia berdusta. Jika benar ia
mendapat luka di dalam badan karena latihan salah, ia tentu akan
memuntahkan darah hitam waktu diurut olehku."
"Tapi kenapa dia mengaco belo?" tanya pula Ibu Suci.
"Entah," sahutnya. "Aku juga tak tahu. Chena, apa benar keluargamu
memiliki Simhio bok yang berusia ribuan tahun? Memang benar, air godokan
Simhio bok bisa menyembuhkan penyakit begitu."
"Semenjak kecil, Piauwko-ku memang mempunyai penyakit otak miring
yang kadang-kadang kambuh," kata si nona. "Malam ini, penyakit itu
rupanya kumat lagi. Dulu, keluargaku memang mempunyai kayu mustika itu.
Belakangan waktu ayah meninggal dunia, kayu itu dimasukkan ke dalam peti
matinya. Hal ini rupanya tidak diketahui Piauwko."
Di Tibet memang terdapat kepercayaan, bahwa Simhio bok bisa
mencegah rusaknya jenazah dalam tempo lama dan banyak hartawan menyimpan
kayu begitu. Maka itu, Hoat-ong percaya akan keterangan Chena dan tidak
mendesak lagi. Ia tak tahu, bahwa Chena pun telah berdusta kepadanya.
Malam itu, si nona tak tidur. Ia rebah di pembaringan sambil
mengasah otak untuk coba memecahkan apa maksud Omateng. Chena adalah
seorang yang berotak cerdas dan sesudah memikir beberapa lama, ia dapat
meraba-raba maksud si gemuk. "Ya! Dengan mengacungkan jempol mungkin ia
ingin mengatakan bahwa Touwsoe tak boleh dibuat gegabah, bahwa Touwsoe
juga pernah mempelajari ilmu Gwakang Agama Topi Merah," katanya di dalam
hati. "Mungkin ia ingin memberitahukan, bahwa Touwsoe memakai baju lapis
besi yang tidak dapat ditembuskan senjata tajam dan bahwa bagian
kelemahannya adalah di belakang kepala, tiga dim di bawah otak." Semakin
ia memikir, semakin ia merasa, bahwa tafsirannya adalah tafsiran yang
tepat dan diam-diam ia merasa berterima kasih untuk petunjuk itu.
Tanpa merasa fajar sudah menyingsing.
"Chena," memanggil Ibu Suci. "Lekas berdandan. Tengah hari tepat
kita harus pergi ke kuil untuk menjalankan upacara pembukaan."
Dengan perasaan duka, ia bangun dan lalu membersihkan badan. Ia
berdandan dengan hati seperti diiris-iris, karena mengingat Thian Oe.
"Apakah Thian Oe akan datang?" tanyanya di dalam hati. "Aku ingin
sekali bertemu pula dengannya untuk penghabisan kali. Tapi... ah! Lebih
baik dia jangan datang."
Di lain pihak, Thian Oe pun berada dalam kedudukan yang sama. Ia
berkeras ingin menyaksikan upacara pembukaan kuil, tapi Keng Thian
sebisa-bisa coba mencegahnya.
"Bagaimana kau sendiri? Kau pergi tidak?" tanya Thian Oe.
"Aku pergi," jawabnya. "Aku pergi sendirian, kau tunggu saja di
rumah."
"Kenapa kau boleh, aku tak boleh?" kata Thian Oe, uring-uringan.
"Pergiku ini adalah untuk menemui seorang yang sedang dicari
olehku," menerangkan Keng Thian. "Tapi kau? Guna apa kau cari-cari
urusan? Kau sendiri sudah tahu, dia menjadi Wanita Suci dengan suka
rela."
"Justru itu," kata pula Thian Oe. "Justru karena ia sudah menjadi
Wanita Suci, aku ingin melihat wajahnya sekali lagi."
"Hai! Benar-benar kau kepala batu," kata Keng Thian. "Semalam, jika
tak keburu lari, kita tentu sudah celaka. Upacara hari ini bukan upacara
kecil. Di samping rombongan Hoat-ong, hadir juga utusan Dalai dan Panchen
Lama, Touwsoe dan lain-lain pembesar negeri. Jika sampai terjadi onar,
bagaimana kita menghadapinya?"
"Mana bisa onar?" Thian Oe terus mendesak. "Aku berdiri di antara
orang banyak dan tujuanku hanyalah untuk melihat wajahnya, satu kali
saja."
"Hm!" Keng Thian mengeluarkan suara di hidung. "Siapa berani
tanggung? Semalam jika kau tidak berteriak, Hoat-ong tentu tidak sampai
keluar dari istananya."
"Aku bersumpah tak akan mengeluarkan sepatah kata!" kata Thian Oe
dengan suara keras. "Begini saja. Kau totok saja jalanan darah gagu,
supaya aku tak bisa bicara."
Keng Thian jadi kewalahan. Ia tersenyum seraya berkata: "Baiklah!
Aku merasa tak tega. Biarlah, satu kali lagi aku menjalankan tugas
sebagai pengantar."
Kuil Lhama Topi Putih yang baru itu berdiri di atas sebuah gunung
dan dibuat menurut contoh keraton Potala di Lhasa. Biarpun besarnya dan
luasnya tidak bisa dibandingkan dengan Potala yang bertingkat tiga belas,
kuil itu mempunyai tujuh tingkatan dan tingginya lebih dari dua puluh
tombak. Tak usah dikatakan lagi, pembuatannya teguh dan indah luar biasa,
dengan tiang-tiang yang diukir, dengan batu-batu marmer dan tembok tinggi
yang berwarna merah. Dari jarak puluhan li, orang sudah bisa melihat
bangunan itu yang sangat angker.
Dengan mengenakan pakaian penduduk Sakya, Keng Thian dan Thian Oe
mendaki gunung itu bersama orang-orang yang ingin memasang hio dan
menonton keramaian. Kira-kira tengah hari, tibalah mereka di depan kuil
tersebut. Dengan melalui jalanan yang ditutup dengan batu-batu marmer
hijau, mereka mulai masuk ke dalam pekarangan. Sesaat itu, dua belas
pintu besar sudah dibuka semuanya dan dari pintu-pintu itu kelihatan
mengepul ke atas asap hio dan kayu garu yang sangat sedap baunya.
Wewangian itu, keindahan seluruh kuil, suara tambur dan lonceng yang
dipukul tak henti-hentinya, menimbulkan suasana yang angker dan suci.
Tetamu yang datang berkunjung berjumlah ribuan, dan malahan mungkin
laksaan orang. Tapi, kecuali suara lonceng dan tambur, keadaan sunyi
senyap, karena tiada seorang pun yang berani bicara atau berbisik.
Dengan mengikuti iring-iringan yang panjang, Keng Thian dan Thian
Oe maju setindak demi setindak, melewati tiang-tiang jalanan yang
tertutup genteng. Dinding di sekitar itu penuh dengan lukisan, satu
antaranya adalah lukisan "Phaspa mengunjungi Kublai di Mongolia."
Lukisan itu indah luar biasa. Di sebelah kiri dilukiskan sepasukan
tentara Mongol yang sedang mengiring joli Phaspa dan di sebelah depan
terdapat sejumlah pembesar tinggi yang menyambut kedatangannya. Tak jauh
dari itu, dilukiskan tenda-tenda Mongol dan di belakang tenda, terlihat
sejumlah orang yang sedang menyalakan api sambil menunggu kedatangan tamu
agung itu. Di samping itu, terlihat juga unta-unta, keledai-keledai dan
kerbau-kerbau yang sedang makan rumput. Yang paling menyolok adalah
lukisan seorang wanita muda yang mengenakan pakaian bangsawan Nepal dan
yang sedang berdiri di atas rumput. Paling menyolok, karena wanita itu
berparas luar biasa cantik dan sungguh mengherankan, mukanya sangat mirip
dengan muka Pengtjoan Thianlie.
Melihat lukisan tersebut, jantung Keng Thian memukul keras. "Siapa
yang melukis gambar itu?" ia tanya dirinya sendiri. "Tibet adalah tempat
yang terpencil. Dari mana datangnya ahli gambar yang begitu pandai?
Kenapa muka wanita itu sangat mirip dengan muka Peng Go?"
Ia melirik Thian Oe, tapi kawan itu ternyata tidak memperhatikan
gambar atau lainnya, sebab kedua matanya tetap mengawaskan pintu, seperti
juga Chena bisa muncul di sembarang saat. Ia menghela napas, tapi lantas
saja ia ingat, bahwa ia pun tiada banyak bedanya.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan ruangan sembahyang yang
indah dan besar. Semua orang segera berdiri di undakan batu, sambil
menunggu dimulainya upacara.
Di antara segala kemewahan yang terlihat dalam ruangan itu, yang
paling menarik perhatian adalah dua pagoda suci yang terbuat dari emas
dan yang di atasnya ditata dengan giok, mutiara dan lain-lain batu
permata.
Selagi semua orang menunggu dengan hati berdebar-debar, tiba-tiba
terdengar suara lonceng dan tambur yang sangat gencar, disusul dengan
keluarnya seiringan Lhama yang mengenakan pakaian serba putih. Yang jalan
paling muka adalah Hoat-ong, yang di kiri kanannya diapit oleh empat
muridnya yang terutama. Mereka berhenti dan berdiri di tengah-tengah
kedua pagoda suci itu.
Sesudah itu, keluar utusan-utusan Dalai dan Panchen Lama yang
masing-masing diiring oleh empat pengikut. Sebagai tetamu agung, mereka
berdiri berendeng dengan Hoat-ong, di samping pagoda suci. Belakangan,
barulah keluar Touwsoe dari Sakya dengan empat Nyepa, antaranya Omateng
yang bibirnya tersungging senyuman licik. Dilihat parasnya yang agak
ketakutan dan sikapnya yang kikuk, dapat diduga, bahwa kejadian semalam
belum dilaporkan kepada Touwsoe.
Mata Thian Oe terus mengawasi ruangan sembahyang dengan tidak
berkesip, tapi rombongan Wanita Suci belum juga keluar. Keng Thian pun
memasang mata ke empat penjuru, tapi Kim Sie Ie yang dicarinya tak
kelihatan bayang-bayangannya.
Sesaat kemudian, perlahan-lahan Hoat-ong mengangkat tangan dan
berkata dengan suara nyaring:
"Semenjak agama kami meninggalkan Tibet, sampai sekarang sudah
lebih dari seratus tahun. Hari ini, berkat belas kasihannya Sang Budha
kami bisa kembali ke negeri sendiri dan atas dukungan Budha Hidup Dalai
serta Panchen, kami memperoleh Sakya sebagai pusat untuk menyiarkan agama
kami. Kami mengharap, bahwa mulai dari sekarang tidak akan terjadi
sengketa apa-pun juga dan dengan dipayungi Sang Budha, kita sama-sama
bisa mengicipi suatu perdamaian yang abadi."
Harus diketahui, bahwa sedari tahun Tjong Tjeng (kaizar Beng) ke
enam belas, Sekte Topi Putih telah didesak keluar dari Tibet oleh. Sekte
Topi Kuning, dan sedari waktu itu sampai pada pembukaan kuil tersebut,
sudah berselang lebih dari seratus tahun. Selama seabad lebih, sudah
terjadi puluhan kali benterokan senjata. Sekarang, walaupun di Sakya
sudah tidak terdapat banyak pengikut Sekte Topi Putih, akan tetapi
kejadian itu sangat menggirangkan hatinya semua orang. Maka itu, pidato
Hoat-ong disambut dengan sorak-sorai yang gemuruh. Keng Thian manggut-
manggutkan kepalanya dan di dalam hati, ia mengakui, bahwa segala tenaga
dan uang yang digunakan untuk membuat kuil itu, mempunyai harga yang
setimpal dengan maksudnya, yaitu perdamaian.
Sesudah suara sorak-sorai mereda, lonceng di ruangan sembahyang
dibunyikan tiga kali dan dua baris Lhama lalu jalan memutari ruang itu
sambil membaca doa dan menciprat-cipratkan air suci.
Mendadak, seluruh ruangan seolah-olah kena arus listrik dan para
hadirin membuka mata mereka lebar-lebar. Sererotan wanita muda, semuanya
berjumlah tiga puluh enam orang, yang mengenakan pakaian serba putih dan
kudungan muka, muncul dari pedalaman. Semua orang mengetahui, bahwa
upacara pembukaan kuil akan segera dimulai. Mereka mengawasi sambil
menahan napas, tapi orang yang hatinya berdebaran paling hebat adalah
Thian Oe.
Dengan tangan masing-masing mencekal botol kristal yang berisi air
suci, Wanita-wanita Suci itu mulai menari-nari di depan patung Sang
Budha, sambil menciprat-cipratkan air suci di seluruh ruangan. Thian Oe
mengawasi dengan mata tidak berkesip, akan tetapi, ia tak bisa membedakan
yang mana Chena. Sesudah menari-nari beberapa lama. mereka menyanyikan
lagu agama dalam bahasa Tibet, yang bunyinya kira-kira seperti berikut:
Air suci.
Membersihkan kekotoran di dunia.
Tenaga Sang Budha tidak terbatas.
Memayungi umat manusia.
Mendadak, pada bagian terakhir dari empat baris nyanyian itu,
terdengar suara yang bernada agak tinggi dan agak gemetar. Dengan cepat
Thian Oe mengawasi ke arah suara itu. Tiba-tiba ia melihat seorang Wanita
Suci yang tubuhnya bergoyang-goyang dan gerakannya agak berlainan dengan
kawan-kawannya yang lain.
Jantung Thian Oe memukul keras. "Itulah Chena! Katanya di dalam
hati dan matanya mengawasi dengan tidak berkesip. "Chena, aku sungguh tak
mengerti," ia mengeluh di dalam hati. "Apa benar kau rela menjadi Wanita
Suci seumur hidup?" Ia tentu saja tidak menduga, bahwa pada waktu itu,
kedukaan si nona adalah seratus kali lipat lebih hebat daripada
penderitaannya. Pada saat itu, Chena telah menggunakan seantero tenaganya
untuk mempertahankan diri.
Sesudah memutari ruangan sembahyang sekali lagi, para Wanita Suci
itu kembali memperdengarkan nyanyiannya:
Air suci.
Mencuci hati, debu kotoran.
Langit dan manusia menyaksikan kebenaran.
Tersadar, bahwa dunia penuh kekosongan.
Mendadak, tiga puluh enam Wanita Suci itu berhenti menari dan
menyanyi dan lalu berdiri berjejer di depan patung Budha. Perlahan-lahan
salah seorang membuka sebuah kelambu yang terbuat dari sutera kuning dan
terlihatlah delapan belas patung Budha yang sangat indah dan halus
buatannya. Di tengah-tengah adalah patung Sakyamuni (Djielayhoed) yang
tingginya dua tombak empat kaki. Para Wanita Suci segera mencipratkan air
suci kepada patung-patung itu dan kemudian lalu mundur dan berbaris di
kedua samping. Demikian berakhirlah upacara resmi pembukaan kuil baru.
Perlahan-lahan Hoat-ong maju ke depan patung dan dengan sikap
hormat mempersembahkan khata kepada patung Djielayhoed. Sesudah Hoat-ong,
utusan Dalai dan Panchen Lama mendapat giliran. Selama diadakan upacara
tersebut, semua hadirin merangkap kedua tangannya sambil menundukkan
kepala dan membaca doa di dalam hati.
Sehabis utusan Dalai dan Panchen, Touwsoe Sakya lalu maju ke
depan. Ia berlutut di hadapan patung Djielayhoed dan mempersembahkan
khata yang lalu disambuti oleh seorang Lhama dan diselendangkan di lengan
patung.
Pada detik itulah, mendadak, mendadak saja terdengar teriakan
Touwsoe! Hampir berbareng dengan berkelebatnya sinar putih, sebilah golok
terbang menancap di belakang kepala Touwsoe!
"Chena!" demikian terdengar bentakan Hoat-ong. Seluruh ruangan
sembahyang lantas kacau balau.
Untuk membalas sakit hati, bertahun-tahun puterinya Raja muda
Chinpu melatih diri dalam ilmu melepaskan golok terbang. Ia sudah
memahami ilmu tersebut sampai di dasar-dasarnya dan timpukannya tepat
luar biasa, menancap di atas leher, tiga dim di bawah otak Tapi, karena
kuatir golok itu belum cukup untuk membinasakan musuh besarnya, hampir
berbareng dengan bentakan Hoat-ong, ia melepaskan pula golok kedua dan
ketiga dengan beruntun. Hoat-ong yang berdiri beberapa tombak jauhnya
dari patung Djielayhoed, cepat-cepat melompat sambil mengebas tangan
bajunya, sehingga golok kedua terpental balik dan menancap di pundak
Chena, yang badannya lantas saja bergoyang-goyang, Thian Oe mencelos
hatinya, hampir-hampir ia berteriak, tapi untung mulutnya masih keburu
ditekap oleh Tong Keng Thian.
Golok ketiga tidak mengenakan sasarannya dan mengenakan punggung
Touwsoe. "Tring!", golok itu terpental dan menyambar utusan Panchen, yang
tidak mengenal ilmu silat. Dengan terkesiap buru-buru ia menundukkan
kepala, tapi golok itu menancap di dekat tulang punggungnya.
Pada saat itu, dengan sekali melompat, Hoat-ong sudah mencekal
tangan Chena. Tapi ia terkejut bukan main setelah melihat utusan Panchen
mendapat luka. Buru-buru ia melepaskan Chena dan menolong utusan Panchen.
Begitu terlepas dari cekalan, Chena lalu melompat naik ke atas meja
sembahyang dan membuka kudungan mukanya. "Aku adalah anak Raja muda
Chinpu!" teriaknya. "Aku membunuh Touwsoe untuk membalas sakit hati orang
tua dan kejadian ini sama sekali tiada sangkut pautnya dengan orang
lain."
Sesaat itu, empat murid Hoat-ong sudah meloncat ke arah Chena dan
seorang antaranya sudah menyentuh pakaian si nona. Hampir berbareng
dengan ucapannya, Chena mencabut golok yang menancap di pundaknya dan
lalu menikam leher sendiri! Darah muncrat dan ia roboh terguling.
Perlahan-lahan ia membuka matanya yang menyapu ke empat penjuru. Di lain
saat, ia meramkan kedua matanya dan dengan bibir tersungging senyuman, ia
berpulang ke alam baka. Ia merasa puas, bahwa pada detik penghabisan, ia
masih bisa melihat wajah Tan Thian Oe, yang juga mengawasinya dengan mata
tidak berkesip.
Dapatlah dibayangkan, betapa kagetnya semua orang melihat kejadian
yang tidak diduga-duga itu. Untuk sejenak, semua orang berdiri terpaku
dengan mulut ternganga. Di lain saat, mereka mengeluarkan teriakan dan
bagaikan gelombang, berlomba lari keluar dengan saling desak. Hanya Thian
Oe sendiri yang tetap berdiri tegak, sambil terus mengawaskan tubuh Chena
yang berlumuran darah. Pada waktu si nona roboh, darahnya bergolak dan
tanpa merasa, ia berteriak: "Chena! Chena!" Sambil berteriak, ia melompat
ke depan untuk menghampiri kecintaannya. Keng Thian buru-buru mencekal
tangannya seraya berbisik: "Thian Oe, kuatkan hatimu! Jangan menerbitkan
keonaran!" Ia menyeret pemuda itu, yang, seperti orang linglung, lalu
mengikuti.
Di dalam dan di luar ruangan sembahyang, keadaan kacau balau. Di
antara teriakan-teriakan, tiba-tiba terdengar jeritan: "Touwsoe binasa!"
Itulah jeritan dari salah seorang pengikut Touwsoe. Kekalutan menghebat
dengan ribuan orang berlari-lari bagaikan kalap. Sekonyong-konyong
terdengar teriakan Omateng yang sangat nyaring: "Tangkap kawan pembunuh!
Tangkap konco pembunuh!"
Sesaat itu, Keng Thian dan Thian Oe sedang berlari-lari keluar dari
pintu Goatgee boen. Mendadak, seorang Lhama mecegat jalanan mereka. Tanpa
menegur lagi, Keng Thian menyikut dan Lhama itu lantas saja roboh
terguling. Gelombang manusia terus merangsak dari belakang dengan
dahsyatnya, sehingga tubuh si Lhama terinjak-injak. Waktu ia merangkak
bangun, Keng Thian dan Thian Oe sudah tak kelihatan bayang-bayangannya.
Antara begitu banyak orang, hanyalah Hoat-ong yang bisa
mempertahankan ketenangannya. Sesudah kagetnya hilang, mata dan kupingnya
memperhatikan segala apa. Teriakan Thian Oe tentu saja tidak terlolos
dari perhatiannya, akan tetapi, sebab Keng Thian dan Thian Oe mengenakan
pakaian penduduk Sakya dan juga karena mereka berada di antara ribuan
orang, untuk sementara Hoat-ong tak bisa mengenali siapa yang sudah
mengeluarkan teriakan itu. Begitu melihat seorang Lhama terpukul roboh,
ia lantas memburu sambil berteriak: "Jangan lari! Semua orang berpencar
kedua pinggiran. Kawan pembunuh adalah dua bocah itu! Semua orang jangan
lari!"
Teriakan Hoat-ong yang sangat berpengaruh memberi hasil yang
diharapkan dan, meskipun ketakutan, semua orang lantas saja menghentikan
tindakannya.
Keng Thian kaget bukan main. "Hoat-ong sungguh liehay!" katanya di
dalam hati. Selagi ia berusaha untuk mencari jalan guna meloloskan diri,
tiba-tiba terdengar suara tertawa yang aneh. "Semua orang minggir! Aku
ingin berjumpa dengan Budha Hidup!" katanya. Itulah suara Kim Sie Ie!
Dengan hati berdebar-debar, Keng Thian menengok ke arah suara itu.
Sesaat itu semua orang sudah mulai lari lagi dan sambil menyeret Thian
Oe, Keng Thian lalu menggunakan kesempatan yang baik itu.
Dalam sekejap mereka sudah keluar dari pintu kuil dan terus kabur
ke belakang gunung dengan mengambil jalanan kecil. Kira-kira sepasangan
hio, mereka tiba di belakang gunung yang sepi dan sampai disitu, barulah
hati Keng Thian menjadi lega. Ia menepuk pundak Thian Oe seraya berkata:
"Tan-heng, sadarlah!"
Thian Oe mengawaskan dengan sorot mata lupa ingat. "Chena! Ah,
Chena!" ia mengeluh dengan suara hampir tak kedengaran. "Sekarang aku
tahu, kenapa kau menjadi Wanita Suci."
"Chena yang sudah mati tak bisa hidup kembali," kata Keng Thian
dengan suara membujuk. "Menurut pendapatku, kejadian ini akan menerbitkan
keonaran besar. Paling benar kita cepat-cepat pulang untuk berdamai."
"Berdamai apa? Aku toh tak bisa mengambil jenazahnya," jawab Thian
Oe.
Keng Thian insyaf, bahwa otak pemuda itu masih kacau akibat pukulan
yang hebat. Tanpa bicara lagi, ia menyeret pula tangan Thian Oe dan terus
berlari-lari ke arah gedung Soanwiesoe.
Selagi enak jalan, sekonyong-konyong terdengar suara orang dalam
bahasa Tibet: "Hm! Sesudah menerbitkan keonaran, kau orang mau mabur?"
Keng Thian menoleh dan dari arah belakang pohon muncul dua orang. Yang
satu adalah seorang pendeta India yang tangan kanannya mencekal tongkat
bambu warna hijau, sedang tangan kirinya memegang sebuah mangkok emas.
Orang itu bukan lain dari si pendeta berkelana yang pernah coba merebut
guci emas dan yang telah dirobohkan dengan Pengpok Sintan. Orang yang
satunya lagi adalah Teruchi yang semalam mengacau di taman Hoat-ong.
Tanpa menegur lagi, si pendeta lalu membabat dengan tongkatnya dan
menghantam kepala Thian Oe dengan mangkok emas.
Melihat sambaran dahsyat dari mangkok itu, pada detik yang sangat
berbahaya, Keng Thian menyikut, sehingga tubuh Thian Oe terpental dan
berbareng dengan itu, ia memapaki senjata tersebut dengan tinju kiri,
dengan menggunakan tenaga Toalek Kimkong. Di luar dugaan, begitu
tersentuh, mangkok itu terputar-putar bagaikan terbang dan Keng Thian
merasa tinjunya "diisap" dengan semacam tenaga yang sangat kuat. Ia
terkesiap, tapi tak jadi bingung. Sambil mengerahkan Iweekang dan dengan
pukulan Ngoteng kaysan yang sangat keras, ia membabat dengan telapakan
tangan kanan. Akibat babatan itu, tongkat si pendeta terpental ke atas,
akan tetapi, sebagai ahli silat jempolan, hampir berbareng ia sudah
menyodok jalanan darah Hianki hiat, di dada Keng Thian. Serangan susulan
ini memang sudah diduga Keng Thian. Cepat bagaikan kilat, pukulan Ngoteng
kaysan berubah menjadi Toakinna tjhioe (ilmu menangkap) dan ia menangkap
ujung tongkat. Si pendeta kaget bukan main dan lalu membetot dengan
menggunakan Iweekang, tapi tidak bergeming. Kedua jago itu lantas saja
mengadu tenaga dalam dan saling membetot. Tongkat si pendeta dicekal Keng
Thian, sedang tinju kiri Keng Thian "diisap" mangkok si pendeta.
Sesaat kemudian, dari atas kepala si pendeta mengepul uap putih,
suatu tanda bahwa ia sedang mengerahkan Seantero lweekang-nya. Teruchi,
yang sedari tadi menonton tanpa bergerak, jadi sangat kaget. Ia adalah
soetit (keponakan murid) si pendeta dan mengetahui, bahwa paman gurunya
biasanya sungkan dibantu orang. Tapi keadaan sekarang adalah lain dari
keadaan biasa. Sesudah memikir sejenak, tanpa menghiraukan kemungkinan
dimaki, ia membuka Kongso (tali ikatan pinggang yang terbuat dari baja)
yang lalu disabetkan ke muka Keng Thian.
Pada detik itu Keng Thian berada dalam bahaya besar. Karena sedang
mengadu tenaga dengan menggunakan dua tangannya, ia tak bisa berkelit
atau menangkis lagi, sedang Thian Oe terus berdiri terlongo-Iongo,
seperti orang yang lupa ingatan. Pada saat genting itu, dalam bingungnya
Keng Thian membentak keras, suaranya menggeledek seolah-olah halilintar
di tengah hari bolong. Teruchi terkesiap dan tangannya agak bergemetar,
sehingga Kongso itu meleset dari sasarannya, lewat tiga dim dari kulit
muka Keng Thian. Akibat bentakan itu, Thian Oe tersadar dan sambil
menghunus pedang, ia segera melompat dan menyampok Kongso yang telah
disabetkan untuk kedua kalinya ke muka Keng Thian.
Begitu senjata musuh terpental, ia mengirim serangan kedua dengan
pukulan Taypeng tiantjie (Burung garuda membuka sayap), sehingga dengan
hati mencelos, buru-buru Teruchi meloncat ke samping. Ia sungkan memberi
napas kepada musuh dan lalu mengirim serangan ketiga dengan ilmu
Pengtjoan hoeipo (Sungai es berterbangan), ialah salah satu pukulan yang
paling liehay dari Pengtjoan Kiamhoat. Sebisa-bisa Teruchi coba menolong
diri dengan melompat ke belakang, tapi ia agak terlambat, karena topinya
kena dibabat putus. Melihat liehaynya pemuda itu, Keng Thian jadi sangat
girang dan ia sama sekali tidak menduga, bahwa dengan berdiam beberapa
bulan di keraton es, ilmu silat Thian Oe sudah maju begitu jauh. Karena
mengetahui, bahwa jago Kalimpong itu bukan tandingan Thian Oe, maka
dengan hati mantap, Keng Thian segera mengerahkan Seantero lweekang-nya
dan membetot sekeras-kerasnya. Sekali ini, kaki si pendeta terangkat dari
bumi dan tubuhnya terputar.
Melihat lawannya keteter, Keng Thian segera mengerahkan tenaga di
tangan kiri untuk melepaskan "isapan" mangkok. Sesaat itu, tiba-tiba ia
mendengar suara Teruchi yang berkata dalam bahasa Tibet: "Jangan banyak
tingkah, kau! Kecintaan sendiri kau masih tak bisa melindunginya, guna
apa kau membantu kawan?" Sambil berkata begitu, ia mengawasi Thian Oe
dengan sorot mata mengejek.
Mendengar perkataan itu yang tajam seperti pisau, Thian Oe menjadi
kalap. Ia melompat keluar dari gelanggang pertempuran dan sambil
menyender di pohon dengan badan bergoyang-goyang, ia berteriak: "Benar!
Benar! Guna apa aku menjadi manusia? Kecintaan sendiri saja, aku sudah
tak mampu melindungi. Chena! Chena! Aku sungguh merasa malu terhadap
kau!"
Melihat siasatnya berhasil, sambil tertawa nyaring, Teruchi
melompat dan menyabet muka Keng Thian dengan senjatanya. Apa mau, sebelum
Kongso mengenakan sasarannya, tubuh si pendeta dan Keng Thian sudah mulai
terputar-putar dengan cepatnya, sehingga, karena kuatir melukakan paman
guru sendiri, ia terpaksa menarik pulang senjatanya. Di lain detik,
berbareng dengan teriakan Keng Thian yang sangat nyaring, mereka
berpencaran dan dengan gerakan kilat, Keng Thian sudah menghunus pedang
Yoeliong kiam.
Begitu melihat musuh terpencar dari Soesiok-nya, Teruchi segera
menghantam dengan Kongso.
"Awas!" teriak si pendeta.
Teruchi kaget dan coba menarik pulang senjatanya, tapi sudah tidak
keburu lagi. Ujung Kongso terbabat putus dan dua bola baja yang tercantel
disitu, jatuh di tanah.
Ternyata, sesudah saling membetot beberapa saat, Keng Thian
mengetahui, bahwa tenaga "mengisap" dari mangkok itu muncul dari gerakan
terputarnya, sehingga semakin ia membetot tangannya, "isapan" itu jadi
semakin keras. Buru-buru ia menukar siasat dan memutar tangannya, tapi
arah putaran tangan itu adalah sebaliknya dari arah putaran mangkok.
Benar saja, sesudah dua putaran, tangannya terlepas dari "isapan". Di
lain pihak, pada saat Keng Thian memusatkan tenaganya di tangan kiri, si
pendeta membetot tongkatnya dengan sekuat tenaga dan ia pun berhasil
melepaskan cekalan lawan. Begitu terlepas, mereka berpencaran dengan
masing-masing melompat ke samping, sedang Keng Thian sendiri menghunus
Yoeliong kiam sembari meloncat.
Melihat keponakan muridnya berada dalam bahaya, si pendeta
berkelana segera menerjang pula dan mengirim pukulan-pukulan berantai
dengan tongkat dan mangkoknya. Karena menghadapi musuh yang terlalu kuat,
ia tidak menghiraukan kebiasaannya lagi dan malahan memerintahkan supaya
Teruchi memberi bantuan. Keng Thian sedikitpun tak menjadi keder dan ia
lalu melayani dengan ilmu pedang Toeihong Kiamhoat.
Sebagaimana diketahui, si pendeta adalah pecundang Pengtjoan
Thianlie, sehingga menurut pantas, ia juga bukan tandingan Keng Thian.
Akan tetapi, keadaan sekarang sedikit berlainan dengan keadaan dulu.
Pertama, senjata rahasia Pengpok Sintan dari Koei Peng Go merupakan
senjata sangat istimewa yang disegani oleh si pendeta dan kedua, sekarang
si pendeta dibantu oleh keponakan muridnya yang memiliki ilmu Yoga dan
yang selalu menyerang dari samping dan belakang secara gerilya. Maka
itulah, sesudah bertempur seratus jurus lebih, perlahan-lahan Keng Thian
jatuh di bawah angin. Ia melirik Thian Oe dan ternyata, kawan itu masih
terus menyender di pohon dengan mata mendelong, seperti orang kehilangan
semangat, seolah-olah tidak mengetahui, bahwa sang kawan sedang bertempur
mati-matian untuknya. Keng Thian jadi bingung, karena kedudukannya jadi
semakin jelek.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, dengan gergetan Keng Thian
mengirim dua tikaman ke arah Teruchi, tapi dua serangan itu telah
ditangkis dengan mangkok emas. Berbareng dengan dua kali suara "trang!
trang!" Teruchi mengedut Kongso yang lantas saja menjadi lurus keras
seperti tombak dan yang lalu ditikamkan ke tenggorokan Keng Thian. Dengan
gerakan Honghong tiamtauw (Burung hong manggutkan kepala), Keng Thian
mengegos tikaman itu yang lewat di atas kepalanya. Tapi Teruchi pun bukan
anak kemarin dulu. Hampir berbareng ia menggentak, sehingga Kongso itu,
yang berubah menjadi pecut lemas, menyabet punggung musuh. Berbareng
dengan serangan keponakan muridnya, si pendeta menekan Yoeliong kiam
dengan mangkok emas dan menotok jalan darah Djiekie hiat, di kempungan
Keng Thian. Dua serangan itu, yang menyambar dengan berbareng, tak bisa
ditangkis atau dikelit lagi. Pada detik berbahaya, Keng Thian mengempos
semangat untuk menerima kedua pukulan musuh. Dengan mengenakan baju
mustika, ia merasa pasti akan bisa mempertahankan diri terhadap sabetan
pecut yang menyambar ke punggung. Tapi totokan si pendeta adalah totokan
membinasakan yang sangat liehay dari ilmu tongkat Thianmo Tianghoat dan
totokan itu memang untuk memecahkan lweekang dari ahli-ahli Lweekeeh.
Maka itu, Keng Thian sendiri masih belum tahu, apa ia akan berhasil
mempertahankan diri dengan menutup semua jalanan darah.
Pada detik Kongso dan tongkat hampir menyentuh tubuhnya, mendadak
saja si pendeta mengeluarkan teriakan aneh, tongkatnya terpental ke
belakang, seakan-akan didorong dengan semacam tenaga yang sangat besar.
Tubuh si pendeta kemudian terputar beberapa kali, dan sesudah roboh,
menggelinding ke bawah tanjakan. Sementara itu, begitu lekas Kongso
menghantam punggung Keng Thian, badan Teruchi pun terpental setombak
lebih karena didorong dengan tenaga dalam pemuda itu. Dia bergulingan
beberapa kali dan kemudian, seperti juga Soesiok-nya, menggelinding ke
bawah tanjakan.
Semua kejadian itu, telah terjadi dalam beberapa detik. Keng Thian
terlolos dari bencana, tapi ia tak tahu, apa sebabnya. Robohnya Teruchi
memang merupakan akibat dari serangan tenaga dalamnya. Waktu Kongso
menghantam punggungnya, yang tidak terluka karena dilindungi baju
mustika, ia mengerahkan lweekang sambil menggoyang punggung, sehingga
tubuh Teruchi terpental akibat dorongan tenaga dalam itu. Apa yang
mengherankan adalah robohnya si pendeta berkelana itu, Kenapa, sedang
tongkat belum menyentuh badannya, si pendeta mendadak menarik pulang
senjatanya, seperti didorong oleh semacam tenaga yang sangat besar? Siapa
yang sudah menolongnya? Keng Thian sungguh tak mengerti.
Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa yang sangat nyaring, suara
tertawa yang kedengarannya tak asing lagi. Tanpa memikir panjang-panjang,
ia melompat ke hutan, ke arah suara itu. Sekonyong-konyong dari dalam
hutan terbang menyambar seikat bunga yang masih basah dengan air embun.
Keng Thian menangkap ikatan bunga itu yang di dalamnya terselip
selembar kertas dengan tulisan:
Lekas berlalu dari Sakya!
Ia terkejut. Melihat gubahan dan cara menimpuknya ikatan kembang
itu, ia ingat itu ikatan bunga yang ditimpukkan pada waktu ia mencari
Pengtjoan Thianlie di atas gunung Gobie san. Ketika itu, ia menduga,
bahwa orang yang menimpuk adalah Koei Peng Go. Belakangan, ia
menyangsikan dugaan tersebut, karena si nona pasti tak mempunyai lweekang
yang sedemikian tinggi. Tapi sekarang, sebab mengetahui, bahwa Peng Go
belum tiba di Sakya, ia berani menentukan, bahwa orang yang menimpuk
bukan Pengtjoan Thianlie. Tapi siapa?
Sekonyong-konyong di dalam hutan kembali terdengar suara tertawa
nyaring, yang dalam sekejap mata, sudah terdengar jauh sekali. Jantung
Keng Thian memukul keras. Dalam dunia ini, tidak seberapa orang yang
mempunyai ilmu entengkan badan begitu tinggi, yang bisa berlari begitu
cepat. Mendadak, dalam otaknya berkelebat satu nama dan ia lantas saja
berteriak: "Ie-ie (bibi)!" Tak bisa salah lagi orang yang menimpuk adalah
Phang Lin, bibinya yang mahir dalam ilmu Tjekyap Hoeihoa (Ilmu menimpuk
dengan daun dan bunga) dan yang suka sekali berguyonan.
Untuk sejenak Keng Thian berdiri terpaku. Ia yakin, bahwa tak guna
ia mengubar bibinya yang liehay itu. "Tapi kenapa Ie-ie juga datang
kesini?" tanyanya di dalam hati. "Kenapa ia menasehatkan supaya aku
meninggalkan Sakya?" Itulah pertanyaan yang tak dapat dijawab olehnya,
tapi sesudah memikir beberapa saat, ia menarik kesimpulan, bahwa sang
bibi hanya berguyon-guyon. Tapi ia tak tahu, bahwa nasehat Phang Lin
bukan guyonan.
Ia lalu menghampiri Thian Oe yang sedang duduk di bawah pohon dan
menggurat-gurat tanah dengan sebatang kayu. Ternyata, pemuda itu tengah
menulis huruf-huruf "Chena." Keng Thian menghela napas dan sambil menarik
tangan orang, ia berkata: "Hayolah!"
"Kemana?” tanya Thian Oe. "Kemana kita cari Chena?"
"Dengarlah!" kata Keng Thian dengan suara sungguh-sungguh. "Chena
sudah meninggal dunia dan tentu bakal ada buntutnya. Jika kau tidak
mengurus urusan-urusan yang merupakan akibat dari kebinasaannya, di alam
baka ia tentu merasa penasaran."
Mendengar perkataan itu, Thian Oe agak tersadar. "Bagaimana
mengurusnya?" tanyanya.
"Paling terutama kau harus menyayang diri sendiri," jawabnya.
"Sekarang marilah kita pulang untuk berunding terlebih jauh."
Setibanya di gedung Soanwiesoe, mereka menuju langsung ke kamar
Thian Oe, dimana Keng Thian lalu memeriksa nadinya pemuda itu. Ia
mendapat kenyataan, bahwa mengalirnya darah kacau balau karena kedukaan
yang melampaui batas.
"Sekarang coba kau bersila dan mengeluarkan segala pikiran dari
otakmu," kata Keng Thian.
Thian Oe menurut, tapi beberapa saat kemudian, ia membuka mata
seraya berkata: "Tak bisa! Tak dapat aku menolak gangguan pikiran."
Keng Thian memikir sejenak dan lalu berkata: "Bersilalah dengan
tenang dan turut segala petunjukku." Sesudah itu, ia lalu menurunkan ilmu
melatih lweekang dari Thiansan pay.
Sebagai seorang penggemar ilmu silat, perhatian Thian Oe lantas
saja ditujukan kepada pelajaran itu. Dengan sepenuh hati, ia mendengari
petunjuk-petunjuk dan lalu mulai berlatih. Berselang kurang lebih
setengah jam, benar saja ia bisa membebaskan diri dari segala gangguan
pikiran dan terus berlatih dengan tenang. Perlahan-lahan Keng Thian
meninggalkan kamar itu untuk mendengar-dengar warta tentang kejadian
barusan.
Waktu itu, peristiwa di kuil Lhama sudah diketahui oleh segenap
penghuni gedung Soanwiesoe. Keng Thian memanggil pengurus rumah tangga
dan memesan supaya semua penghuni dilarang keluar sembarangan dan
supaya pintu depan dijaga baik-baik. Sesudah lewat magrib, Tan Teng Kie
barulah pulang dengan paras muka kusut.
Si pengurus rumah tangga terkejut, karena belum pernah majikannya
kelihatan begitu berduka.
Begitu pulang, Teng Kie segera memerintahkan pengurus rumah tangga
menutup pintu tengah dan memerintahkan juga dua puluh serdadu untuk
menjaga diluar pintu. Sesudah itu, ia mengundang Keng Thian masuk ke
kamar tamu untuk berunding.
Begitu lekas mereka berduduk, Teng Kie menanya: " Mana Oe-djie?"
Dengan ringkas Kang Thian menuturkan segala kejadian yang
dialaminya. "Baru sekarang aku tahu, gadis yang dipenujui Oe-djie adalah
puterinya Raja muda Chinpu," kata Tan Teng Kie. "Semula aku menduga Yoe
Peng, itu dewi dari istana es." Ia menghela napas dan kemudian berkata
pula: "Dengan demikian keadaan jadi semakin sulit."
"Kenapa?" tanya Keng Thian.
"Jika tak salah, Omateng bakal menimbulkan kekacauan besar,"
jawabnya. "Sesudah kau dan Oe-djie melarikan diri, dalam kuil terjadi
lain peristiwa."
"Kehadiran kami dilihat olehmu?" tanya Keng Thian.
Teng Kie mengangguk. "Meskipun Oe-djie mengenakan pakaian orang
Tibet, aku tentu mengenalinya," jawabnya. "Sebelum kau orang kabur dari
pintu Goatgee boen, Hoat-ong sudah mengubar. Pada saat itu, aku bingung
bukan main. Mendadak, muncul seorang pemuda aneh, badannya jangkung,
parasnya cakap, mirip-mirip Oe-djie. Ah! Pemuda itu benar-benar besar
nyalinya, entah dia pernah makan nyali singa atau jantung macan tutul.
Begitu muncul, begitu dia menerjang Budha Hidup!"
Keng Thian lantas saja mengetahui, bahwa "pemuda aneh" itu adalah
Kim Sie Ie. "Habis bagaimana?" tanyanya dengan hati berdebar-debar.
"Seperti seekor garuda, dia melayang turun dari payon rumah," Teng
Kie melanjutkan penuturannya. "Begitu kakinya menginjak bumi, begitu dia
mengirim tinju ke arah Hoat-ong. Dalam jarak yang agak jauh, sang Budha
Hidup mengebas tangannya dan sungguh heran, pemuda itu seperti kena
didorong dengan semacam tenaga yang sangat besar, sehingga dia terpental
dan melompat naik lagi ke atas genteng. Sesaat kemudian, ia turun
kembali, Hoat-ong mengebas lagi dan untuk kedua kalinya, ia ngapung ke
atas genteng. Sesudah kejadian itu berulang tiga kali, empat murid Hoat-
ong melompat ke atas dan lalu mengurungnya."-
"Dan bagaimana dengan Hoat-ong sendiri?" tanya Keng Thian.
"Hoat-ong sendiri tidak bergerak," jawabnya. "Empat murid yang
sudah berada di genteng, tidak lantas menyerang. Dengan sikap hati-hati,
seperti sedang menghadapi lawan berat, perlahan-lahan mereka mengurung.
Dengan tetap berdiri di tanah, Hoat-ong mengirim beberapa pukulan ke arah
si pemuda yang berada di genteng.
Sungguh aneh, setiap kali Hoat-ong mengirim pukulan, badan pemuda
itu bergoyang-goyang. Sementara itu, empat Lhama sudah mengurung semakin
rapat dan mereka akan segera menyerang. Mendadak, entah kenapa, tubuh
Hoat-ong bergoyang-goyang dan sebelum mengirim pukulan lagi, ia menghela
napas panjang dan berkata sambil mengebas tangannya: "Biarkan dia pergi!"
Sambil tertawa nyaring, seperti seekor walet, pemuda itu melompat ke
wuwungan dan dalam sekejap, ia sudah tak kelihatan bayang-bayangannya
lagi. Keadaan jadi semakin kalut dan orang ramai membicarakan kejadian
itu. Ada yang mengatakan bahwa pemuda itu adalah jejadian yang sengaja
datang untuk menjajal Hoat-ong.
Bahwa Hoat-ong tak berhasil menangkapnya, adalah suatu tanda, bahwa
kepandaiannya belum cukup tinggi, demikian katanya orang-orang itu yang
sebagian besar terdiri dari orang-orang Sekte Topi Kuning."
Keng Thian kaget berbareng kagum. Di dalam hati ia mengerti, bahwa
pukulan yang di kirim Hoat-ong dari bawah genteng adalah pukulan Pekpo
sinkoen (Pukulan malaikat dari jarak seratus kaki). "Dengan kepandaian
yang dimiliki Kim Sie Ie, paling banyak ia bisa mempertahankan diri dari
serangan Hoat-ong ," pikirnya. "Bagaimana, selagi diserang Hoat-ong dan
dikepung empat Lhama yang berkepandaian tinggi, ia masih bisa meloloskan
diri? Apakah ada orang pandai yang membantunya? Didengar dari penuturan
Tan Teng Kie, Hoat-ong rupanya telah mendapat peringatan dari seorang
pandai. Tapi siapakah orang itu?"
Keng Thian telah menebak jitu, hanya ia tidak menduga, bahwa orang
yang sudah menolong Kim Sie Ie, adalah bibinya sendiri.
Sesudah berdiam sejenak, Tan Teng Kie berkata pula: "Tentang puteri
Raja muda Chinpu..."
"Namanya Chena," memotong Keng Thian.
"Ya, Chena," membenarkan Teng Kie sambil mengangguk. "Hal Chena
membunuh Touwsoe dan kemudian membunuh diri sendiri, sudah dilihat oleh
kau orang. Sesudah nona itu roboh, Omateng segera menghampiri dan membuka
kudungan mukanya. 'Hei! Coba kau orang datang kemari!' ia berteriak.
'Puteri Raja muda Chinpu adalah penjahat perempuan yang dulu pernah
mencuri kuda dan membakar gedung Touwsoe!' Orang-orangnya Touwsoe segera
mendekati dan sebagian besar antaranya mengenali Chena. Mereka manggut-
manggutkan kepala dan membenarkan perkataan Nyepa gemuk itu. Di lain
saat, sambil berpaling kepadaku, Omateng berkata: 'Tan Taydjin, dia
adalah itu penjahat perempuan yang dulu pernah dilindungi olehmu dengan
mengajukan permohonan pengampunan kepada Touwsoe.' Dia tertawa, tertawa
yang membangunkan bulu romaku. Baru saja aku ingin menjawab, bahwa
tindakanku itu adalah karena desakannya sendiri, mendadak Hoat-ong dan
empat muridnya berjalan masuk ke ruangan sembahyang. Sementara itu,
Omateng dan orang-orangnya Touwsoe sudah menggotong jenazah Touwsoe dan
Chena keluar dari ruangan sembahyang. Dia juga sudah berhasil membujuk
utusan Dalai Lama untuk mengikutinya, dengan membawa utusan Panchen yang
mendapat luka. Sambil berjalan keluar, dia berteriak-teriak, mengatakan
ingin membalas sakit hati Touwsoe dan mengajak pulang semua orang-
orangnya Touwsoe. Hoat-ong kelihatan bingung, tapi tidak merintangi
perbuatan Nyepa gemuk itu. Demikianlah, dengan sikap sombong, dengan
diikuti oleh utusan Dalai dan Panchen Lama, Omateng berlalu dari kuil
tersebut. Coba kau pikir, siasat apa yang akan dijalankan olehnya? Satu
hal yang sudah boleh dipastikan, Omateng sedang bersiap untuk menerbitkan
badai di Tibet."
Keng Thian kaget tak kepalang. "Asal-usul Omateng tak diketahui
olehku," katanya. "Tapi aku sependapat, bahwa dia akan menimbulkan
keonaran besar. Tan Taydjin, menurut pendapatku, jalan yang paling baik
adalah segera melaporkan kepada Hok Kong An."
Tan Teng Kie menyetujui usul Keng Thian dan ia segera menulis
surat. Tapi belum selesai ia menulis surat itu, mendadak di luar gedung
terdengar suara ribut-ribut.
Di lain saat, pengurus rumah tangga masuk dengan tersipu-sipu.
"Dengan membawa sepasukan tentara, Omateng telah mengurung gedung ini,"
katanya dengan suara gugup.
Tan Teng Kie tertawa getir. "Sakit hati apakah yang didendam
olehnya, sehingga dia datang begitu cepat?' katanya. "Apa dia takut aku
melarikan diri?"
Sehabis berkata begitu, dengan mengajak Keng Thian, ia lalu naik ke
atas ranggon.
Mereka melihat Omateng dan isteri Touwsoe sedang mencaci di bawah
tembok. Dalam rombongan itu terdapat juga para Nyepa, si pendeta
berkelana dan Teruchi. Sambil mengebas dengan tangannya. Omateng
berteriak: "Mampuskan semua pembesar Han! Mereka semua bukan manusia
baik-baik. Mereka datang ke Tibet untuk mengacau."
Dari atas ranggon, Tan Teng Kie membungkuk kepada nyonya Touwsoe
seraya berkata dengan suara nyaring: "Kebinasaan Touwsoe memang merupakan
kejadian yang sangat menyedihkan dan kami turut berduka cita. Tapi, ada
hubungan apakah antara terbunuhnya Touwsoe dan aku pribadi? Bolehkah aku
mendapat tahu, untuk urusan apa Hoedjin datang kemari dengan sepasukan
tentara? Kenapa kalian menumplek kegusaran di atas pundak orang Han?"
Nyonya Touwsoe menangis keras dan sambil menuding Tan Teng Kie, ia
berteriak: "Tan Teng Kie! Jangan kau berpura-pura! Jika penjahat
perempuan itu bukan suruhanmu, kenapa dulu kau sudah coba melindunginya?
Kenapa anakmu sudah menolongnya dengan mempertaruhkan jiwanya sendiri?"
"Tan Teng Kie, kau dengarlah!" Omateng menyambungi dengan suara
menggeledek' "Urusan kami di Tibet bisa diurus oleh kami sendiri. Kami
tak memerlukan bantuan orang Han. Dengan menggunakan tangannya seorang
penjahat perempuan, kau sudah membunuh Touwsoe dan kau sudah
memerintahkan supaya penjahat itu mengaku sebagai puterinya Raja muda
Chinpu. Terang-terangan kau ingin menimbulkan kekacauan di Tibet, supaya
kau bisa menarik segala keuntungan dan bisa berkuasa terus di wilayah
kami. Sebelum manusia-manusia seperti kau diusir semuanya, di Tibet tak
akan bisa tercapai perdamaian kekal."
Bukan main gusarnya Tan Teng Kie. Sekarang sudah nyata, bahwa
Omateng memang berniat menimbulkan kekacauan dan sengaja menuduh dirinya
secara membabi buta. Baru saja ia ingin balas mencaci, si gemuk sudah
mementang busur dan melepaskan sebatang anak panah.
Dengan cepat Keng Thian melompat dan berdiri di depan Tan Teng Kie,
akan kemudian, dengan dua jeriji, ia menjepit anak panah yang menyambar
itu. "Manusia tak punya malu!" bentaknya.
"Sambutlah anak panah ini!" Ia mementil dengan dua jerijinya dan
anak panah itu menyambar balik dengan tenaga lebih hebat daripada waktu
dilepaskan dengan menggunakan busur. Cepat-cepat Omateng mengangkat busur
dan menangkisnya. "Tak!", busur itu patah dua!
Omateng kaget tak kepalang, buru-buru ia menggulingkan badan dan
menyelesap masuk di antara orang banyak. "Lepaskan anak panah!"
teriaknya.
Dalam sekejap, ribuan anak panah menyambar bagaikan hujan gerimis
ke arah ranggon. Sambil memutar Yoeliong kiam, Keng Thian melindungi Tan
Teng Kie turun dari ranggon itu dan begitu turun, mereka lalu mengatur
pembelaan.
Gedung Soanwiesoe hanya dijaga oleh seratus lebih serdadu, sedang
jumlah musuh kurang lebih seribu orang. Akan tetapi, sebab semua tentara
memiliki ilmu silat yang lumayan berkat pelajaran yang diberikan oleh
Thian Oe dan juga karena gedung Soanwiesoe kekar dan kuat buatannya, maka
tentara Omateng tak gampang-gampang masuk. Mereka menggunakan "tangga
awan" untuk memanjat tembok, tapi tangga-tangga itu semua kena
dirobohkan. Sehari dan semalam. Mereka menyerang terus menerus, tapi
gedung Soanwiesoe masih tidak bergeming. Di pihak Tan Teng Kie, semua
orang sudah lelah bukan main dan Keng Thian, yang belum tidur sekejap,
mengetahui, bahwa mereka tak bisa mempertahankan diri terus menerus
secara begitu.
Pada hari ketiga, waktu fajar mulai menyingsing, Keng Thian
melihat, bahwa tentara Omateng telah ditarik mundur kurang lebih separuh.
"Eh-eh!" katanya di dalam hati. "Aku justru kualir mereka menambah
kekuatan. Kenapa mereka mundur? Apa Omateng menukar siasat?" Tentara
Tibet itu hanya mengurung, sama sekali tidak memperlihatkan tanda untuk
menyerang, sedangkan Omateng dan Teruchi tidak berada dalam tentara.
Selagi Keng Thian mengawasi dengan perasaan sangsi, dari sebelah timur
sekonyong-konyong terlihat satu bayangan manusia yang mendatangi dengan
cepat sekali dan melewati bagian yang agak kosong dari tentara musuh.
Karena cuaca masih belum terang, tentara Tibet itu tak bisa segera
mengenali siapa yang datang, entah musuh atau kawan, sehingga mereka
tidak segera merintangi. Dalam sekejap, bayangan manusia itu sudah
melewati dua lapis tentara dan sekarang baru orang melihat tegas, bahwa
ia itu adalah seorang lelaki yang berusia empat puluh tahun lebih dan
mengenakan pakaian sasterawan.
Beberapa tentara yang menjaga gedung, lantas saja berteriak: "Aha!
Siauw Loosoe!" Waktu Siauw Tjeng Hong masih menjadi guru dalam gedung
Soanwiesoe, ia kelihatan tua dan loyo. Bahwa sekarang ia muncul dengan
gerakan yang begitu gesit, sudah menimbulkan perasaan heran dalam hati
segenap tentara yang mengenalnya.
Sesaat itu, tentara Tibet yang juga sudah mengetahui, bahwa Siauw
Tjeng Hong bukan seorang kawan, lantas saja merintangi dan coba
mengepungnya. Dengan cepat ia mengebut dengan hudtim dan setiap kali
mengebut, satu serdadu roboh terguling. Tentara Tibet jadi ketakutan,
mereka menduga musuh mempunyai ilmu siluman dan tidak berani mengejar
terus. Sesaat itu, orang satu-satunya yang mengubar adalah si pendeta
berkelana yang, dengan beberapa kali lompatan saja, sudah menyandak Siauw
Tjeng Hong.
Keng Thian kaget, karena ia yakin, Siauw Tjeng Hong bukan tandingan
si pendeta. Sambil mengerahkan lweekang, ia menimpuk dengan dua batang
Thiansan Sinbong. Si pendeta menangkis dengan mangkoknya dan dua kali
suara "trang!", senjata rahasia itu menancap di mangkok. Si pendeta
terkesiap, ia tak menduga, bahwa di dalam dunia terdapat senjata rahasia
yang begitu liehay dan bisa menembus emas.
Karena musuhnya tertahan Sinbong, Siauw Tjeng Hong bisa lari terus
dan melompat naik ke atas tembok.
"Siauw Loosoe, lagi kapan kau datang?" tanya Keng Thian sesudah
Tjeng Hong hilang sengal-sengalnya.
"Sesudah selesai mengubur jenazah Moh Tayhiap, aku segera menyusul
kemari," jawabnya. "Kau tiba lebih dahulu kira-kira satu setengah hari."
"Pengtjoan Thianlie?" tanya pula Keng Thian.
"Ia berangkat belakangan," sahutnya. "Sesudah aku berlalu, ia masih
harus berdiam di Gobie san dua hari lagi, untuk mengurus urusan-urusan
partai Boetong pay. Ia akan berangkat berbareng dengan Lu Liehiap."
Keng Thian berdiam sejenak. "Ilmu entengkan badan Peng Go banyak
lebih tinggi daripada Siauw Tjeng Hong, sehingga, biarpun berangkat dua
hari belakangan, sebenarnya ia sudah mesti tiba disini," katanya di dalam
hati. "Kenapa sampai sekarang ia belum kelihatan mata hidungnya? Apa
terjadi kejadian luar biasa?"
Memikir begitu, ia segera menanya pula: "Lagi kapan kau tiba di
Sakya?"
"Kemarin," sahutnya. "Aku tak bisa lantas masuk kesini, karena
penjagaan di luar sangat kuat. Baru hari ini, aku mendapat kesempatan.
Mana Thian Oe?'
"Jika mau dituturkan, ceritanya panjang sekali," jawab Keng Thian.
"Dia sekarang sedang beristirahat dalam kamarnya. Sekarang lebih dulu aku
minta kau tuturkan keadaan di luar."
"Kalut bukan main," jawabnya. "Menurut pendengaranku, Omateng telah
"membakar' utusan Dalai Lama dengan mengatakan, bahwa Hoat-ong Sekte Topi
Putih telah menghina Sekte Topi Kuning, karena ia memerintahkan Wanita
Suci untuk melukakan utusan Panchen Lama. Katanya, mereka ingin memohon
supaya Dalai dan Panchen Lama mengirim tentara untuk mengusir Sekte Topi
Putih, Aku kuatir kejadian ini akan berbuntut dengan perang agama."
Keng Thian terperanjat. Semula ia menduga Omateng hanya ingin
mengusir orang Han dari wilayah Tibet, tapi sesudah mendengar penuturan
itu, si Nyepa gemuk ternyata sudah menyulut api di beberapa tempat untuk
membakar seluruh Tibet. Apa maksudnya?
"Kuil Lhama juga sudah diawasi oleh tentara Tibet, tapi mereka
belum berani mengacau, karena rupanya masih merasa segan terhadap Hoat-
ong," kata pula Siauw Tjeng Hong. "Menurut pendengaranku Omateng ingin
minta bala bantuan dari Kalimpong dan Nepal untuk mempersatukan Tibet."
"Bagaimana baiknya?" kata Keng Thian dengan suara bingung. "Jalan
satu-satunya adalah memberi laporan kepada Hok Kong An, supaya segera di
kirim bantuan tentara."
Tapi, siapa yang harus membawa surat itu? Selagi mereka bersangsi,
pasukan Tibet mendadak berpencaran dan minggir ke kiri kanan dan di
jalanan yang terbuka itu muncul Omateng yang mengiring dua orang Lhama
Sekte Topi Putih, yang menunggang seekor gajah putih.
Keng Thian lantas saja mengenali, bahwa mereka adalah murid-murid
utama dari Hoat-ong yang pernah dikirim untuk merebut guci emas. "Sungguh
heran," katanya di dalam hati. "Menurut keterangan, Omateng mengambil
sikap bermusuh terhadap Hoat-ong. Tapi kenapa Hoat-ong mengirim dua
muridnya datang kesini!"
Sekonyong-konyong pasukan Touwsoe juga berpencaran dan membuka satu
jalanan lebar. Di lain saat, seorang gadis Tsang yang mengenakan pakaian
warna hijau dan menunggang seekor kuda, mendatangi dengan cepat sekali.
Kedatangan wanita itu disambut dengan membungkuk oleh semua perwira.
"Itulah puterinya Touwsoe!" kata Siauw Tjeng Hong.
Sementara itu, sambil mengaburkan tunggangannya, nona itu
berteriak: "Omateng! Omateng!"
Si gemuk menoleh seraya berkata: "Sanpiie Kangma Kusiu (Nona
Sanpiie), perlu apa kau datang kemari? Pulang! Lekas pulang!"
Si nona mendelik dn membentak: "Omateng! Dengan siapa kau bicara?
Bukan kau, tapi akulah yang memerintahkan kau lekas pulang!"
Omateng tertawa dingin. "Tindakanku ini adalah atas perintah Hoat-
ong dan sudah disetujui oleh ibumu," katanya. "Ayahmu binasa dibunuh
penjahat perempuan dan ia mati dengan mata melek. Aku adalah seorang yang
ingin membekuk musuh ayahmu!"
Sanpiie kelihatan jengkel sekali, tapi ia tak dapat menjawab
perkataan Nyepa itu. Sementara itu, Omateng dan dua murid Hoat-ong sudah
tiba di depan pintu dan berteriak-teriak minta bicara dengan Tan Teng
Kie. Kedua Lhama itu mengacungkan Kioehoan Sekthung (tongkat timah) yang
pada ujungnya tergantung satu Patkwa tertata mutiara, yaitu tanda
kekuasaan Hoat-ong.
"Kami, utusan Budha Hidup, minta bertemu dengan Taytjeng Ponpo
(pembesar kerajaan Tjeng)!" berteriak satu antaranya.
"Tan Taydjin bagaimana?" tanya Siauw Tjeng Hong, "Buka pintu atau
jangan?"
Tan Teng Kie bersangsi, tapi akhirnya ia menyahut: "Buka!"
Dengan segala kehormatan Tan Teng Kie menyambut empat tetamunya
(Omateng, kedua Lhama dan Sanpiie) dan mengundang mereka ke kamar tamu.
Keng Thian mengikut sebagai pengawal pribadi Soanwiesoe dan duduk di
pinggiran. Sesudah
mempersembahkan khata dan mengajak tetamunya minum teh, Tan Teng
Kie segera menanya maksud kedatangan mereka.
"Karena merasa tak tega jika sampai terjadi bentrokan senjata, maka
Budha Hidup bersedia untuk mengadakan perdamaian," kata salah seorang
murid Hoat-ong. "Orang-orang sebawahan Touwsoe semua mengatakan, bahwa
penjahat perempuan itu adalah kawan puteramu, yang sudah turut campur
tangan dalam pembunuhan itu. Maka itu, kami meminta supaya Ponpo Taydjin
suka menyerahkan puteramu kepada Hoat-ong untuk diadili."
Hati Tan Teng Kie mencelos. Ia tak menduga, bahwa Omateng sudah
bisa mempengaruhi Budha Hidup sampai begitu rupa. Tentu saja ia tak sudi
meluluskan permintaan itu. Tapi, baru saja ia mau membuka mulut, Sanpiie
sudah mendahului: "Ayahku telah dibunuh oleh puteri Raja muda Chinpu dan
sekarang si pembunuh sudah membunuh dirinya sendiri. Maka itu, menurut
pendapatku, tidak pantas kita menyeret-nyeret Thian Oe. Jika mau
dikatakan Thian Oe turut berdosa, karena ia pernah menolong pembunuh itu,
maka cukuplah kiranya jika ia diperintah menjaga peti mati ayahku selama
tujuh hari."
Si nona yang mencintai Thian Oe, mengetahui, bahwa jika pemuda itu
jatuh ke dalam tangan Omateng, hampir boleh dipastikan ia akan celaka.
Maka itu, dengan mendusta pada ibunya, cepat-cepat ia menyusul.
Teng Kie girang bukan main. "Perkataan Sanpiie Kangma Kusiu benar
sekali," katanya. "Aku menyetujui pemberesan itu. Begitu lekas kau
mundurkan tentara, aku akan segera memerintahkan Oe-djie pergi ke gedung
Touwsoe."
Omateng tertawa dingin. "Urusan di Sakya diurus olehku dan ibumu,"
katanya. "Tak perlu kau campur-campur. Aku sekarang ingin menandaskan
sekali lagi: Aku datang kemari atas perintah Hoat-ong dan ibumu. Apa kau
belum mengerti?"
Jika Touwsoe masih hidup, Omateng tentu tak berani berlaku begitu
kurang ajar. Tapi sekarang, sesudah kekuasaan jatuh ke dalam tangannya,
ia tak memandang sebelah mata lagi puterinya Touwsoe. Sementara itu, si
gemuk selalu menggunakan nama Hoat-ong dan ibunya serta saban-saban
mengatakan, bahwa segala tindakannya adalah untuk membalas sakit hatinya
ayahnya, Sanpiie pun tak bisa bertengkar lagi.
Omateng berpaling lagi kepada Teng Kie sambil memperlihatkan
tertawa licik, ia berkata pula: "Ponpo Taydjin, aku mengharap, bahwa
dengan mengingat kepentingan yang lebih besar, kau suka segera
menyerahkan puteramu."
Teng Kie bingung bukan main dan berkata dengan suara gugup: "Ini...
ini..."
"Orang Han sering mengatakan bahwa siapa yang berbuat, dialah yang
harus menanggung segala akibatnya," si gemuk memutuskan omongan tuan
rumah. "Dulu di gedung Touwsoe, puteramu sudah berani membelah buah
dengan golok terbang. Apa sekarang ia tak mempunyai nyali untuk mengikut
kami?"
Sekonyong-konyong, dari dalam terdengar tertawa nyaring dan seorang
pemuda muncul dengan tindakan perlahan. "Oe-djie!..." Teng Kie
mengeluarkan seman tertahan. Ia mau bicara lagi, tapi mulutnya seperti
terkancing, karena melihat hal yang sangat aneh.
Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. "Omateng!" katanya. "Benar
katamu: orang yang berani berbuat harus berani menanggung akibatnya. Aku
justru ingin menemui Hoat-ong untuk bicara dengannya. Hayolah! Mari kita
berangkat sekarang."
Tan Teng Kie menatap wajah pemuda tersebut dengan mata terbelalak.
Dia mengenakan pakaian Thian Oe dan romannya memang mirip dengan
puteranya itu, tapi sudah pasti, dia bukan Thian Oe.
Keng Thian pun kelihatan kaget, tapi di lain saat, ia memberi
isyarat kepada Teng Kie dengan kedipan mata. "Saudara Thian Oe," katanya.
"Kau belum sembuh, bagaimana kau bisa pergi?"
Si pemuda tertawa dingin seraya berkata: "Tak usah kau
memperdulikan aku. Andaikata aku tak sakit, Nyepa Omateng tentu tak sudi
membiarkan aku hidup tenang. Eh, Nyepa! Kenapa kau belum mau berangkat?"
Tan Teng Kie yakin, bahwa pemuda itu yang ingin menolong puteranya,
mengenal Keng Thian, tapi ia sendiri belum pernah melihatnya dan Thian Oe
belum pernah memberitahukan tentang sahabat itu.
Jika Tan Teng Kie heran, Keng Thian sebenarnya lebih heran lagi,
sebab pemuda itu bukan lain daripada Kim Sie Ie. Kenapa dia mendadak
muncul dalam peranan sebagai Thian Oe? la ingat, bahwa menurut Lu Soe
Nio, si pengemis kusta hanya bisa hidup tiga puluh enam hari lagi. Ia
menghitung-hitung dan ternyata, sedari Liehiap mengatakan begitu sampai
sekarang, sudah berselang tiga puluh tiga hari, atau dengan lain
perkataan, Kim Sie Ie hanya bisa hidup tiga hari lagi. Tapi kenapa
mukanya masih tetap seperti biasa, sedikitpun tak memperlihatkan tanda-
tanda jelek? Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa berkat bantuan
lweekang dari bibinya, umur Kim Sie Ie diperpanjang lagi tiga puluh enam
hari.
Sanpiie juga tak kurang kagetnya. Ia pun tahu, pemuda itu bukan Tan
Thian Oe.
Sementara itu, kedua Lhama lalu bangun berdiri dan berkata sambil
merangkap kedua tangannya: "Terimakasih atas bantuan Ponpo Taydjin."
Sehabis berkata begitu, ia segera bergerak untuk berlalu dengan membawa
Kim Sie Ie.
Harus diketahui, bahwa Hoat-ong dan empat muridnya sebenarnya
merasa bersimpati terhadap Tan Teng Kie dan mendongkol terhadap Omateng.
Akan tetapi, karena Nyepa gemuk itu menggunakan utusan Dalai dan Penchen
Lama untuk menekannya dan juga karena mengingat kepentingan Agama Topi
Putih, maka dengan terpaksa, ia menuruti segala permintaan Omateng. Pada
hakekatnya, ia sama sekali tak berniat menyusahkan Tan Teng Kie dan
keluarganya.
Di lain pihak, sesudah menatap wajah Kim Sie Ie beberapa saat,
Omateng maju setindak sambil membentak: "Siapa kau?"
Kim Sie Ie mendelik. "Siapa kau?" ia balas membentak.
"Aku adalah Nyepa besar dari Sakya, namaku Omateng," jawabnya.
"Siapa tidak mengenal aku?"
"Aku adalah Tan Thian Oe, menantu Touwsoe Sakya," Kim Sie Ie
menimpali. "Siapa tidak mengenal aku? Sesudah Touwsoe meninggal dunia,
aku sudah menjadi separuh majikanmu. Jangan kau berlaku kurang ajar di
hadapanku."
"Bocah! Apa kau mau cari mampus?" mencaci Omateng dengan gusar
sekali. "Jangan kau coba-coba memalsukan nama orang lain?"
"Memalsukan nama orang lain?" menegas Kim Sie Ie. "Dalam dunia ini,
mana ada manusia yang mau memalsukan diri sebagai suami orang lain."
Kedua Lhama itu melirik Sanpiie yang paras mukanya berubah merah.
"Thian Oe," kata si nona dengan suara bergemetar. "Omateng mengandung
maksud kurang baik. Kau tak boleh pergi."
Dengan berkata begitu, ia mengakui Kim Sie Ie sebagai Tan Thian Oe.
Sebenarnya, ia juga mengetahui, bahwa pemuda itu bukan kecintaannya, tapi
karena tak ingin Thian Oe mengantarkan jiwa, maka, dengan menahan malu,
ia sudah berkata begitu.
Mendengar perkataan Sanpiie, kedua Lhama itu tidak bersangsi lagi.
Mereka menganggap, tak mungkin seorang gadis mengakui orang lain sebagai
tunangannya dan di samping itu, juga tak mungkin seorang manusia sudi
mengantarkan jiwa untuk orang lain. Mengingat begitu, satu antaranya
lantas saja berkata; "Aku rasa dia adalah Thian Oe tulen, Nyepa tak usah
bersangsi lagi."
Omateng tertawa dingin. "Aku mengenal Tan Thian Oe," katanya. "Tan
Thian Oe mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi." Sambil berkata begitu,
ia mengangsurkan tangan untuk mencengkeram.
"Terima kasih," kata Kim Sie Ie seraya menggoyang pundaknya dan...
si gemuk jatuh terjengkang. Ia merasa badannya sakit dan untuk sementara
tak bisa bangun berdiri.
"Ilmu silatnya memang cukup tinggi," kata Keng Thian, tertawa. "Apa
sekarang Nyepa percaya?"
Dalam tindakannya yang barusan, Omateng ternyata sudah salah
menduga. Ia menaksir, bahwa pemuda itu adalah orang yang dibeli oleh Tan
Teng Kie. Maka itu, dalam anggapannya, seorang tenaga belian tentu tak
mempunyai kepandaian suatu apa. Tapi kali ini ia membentur tembok dan
bertemu dengan si pengemis kusta yang berkepandaian lebih tinggi daripada
Thian Oe. Masih untung, Kim Sie Ie tidak menggunakan seluruh tenaganya,
sehingga si gemuk tak sampai patah tulang.
"Siapa berani kata, aku memalsukan nama?" membentak Kim Sie Ie
sambil mendelik.
Omateng tak berani berkata apa-apa lagi.
"Nyepa tak usah bersangsi lagi," kata sang Lhama sambil tersenyum.
"Budha Hidup tengah menunggu. Marilah kita berangkat sekarang."
Keng Thian buru-buru bangun dan sesudah mendekati Kim Sie Ie, ia
berkata: "Saudara Thian Oe, dalam pergimu ini, aku mengharap kau bisa
menjaga diri. Inilah yowan-mu (pil). Bawalah."
Sembari berkata begitu, ia mengangsurkan satu botol perak kecil
yang berisi tiga biji Pekleng tan. Menurut katanya Lu Soe Nio, setiap pil
itu bisa memperpanjang umur Kim Sie Ie untuk tiga puluh enam hari. Sesaat
itu, karena merasa kagum akan pengorbanan si pengemis kusta, Keng Thian
rela menyerahkan semua pil bekalannya.
Sebagaimana diketahui, Pekleng tan dibuat dari Soatlian (Teratai
salju) yang terdapat di gunung Thiansan. Soatlian adalah bahan obat yang
tiada bandingannya dalam dunia dan yang bisa memunahkan racun serta
menyembuhkan luka. Dulu, dalam pertempuran antara Tjoei In Tjoe dan Siauw
Tjeng Hong, Tjoei In Tjoe telah mendapat luka berat sehingga separuh
badannya tidak bisa bergerak. Hanya dengan sekuntum Soatlian saja, luka
itu sudah menjadi sembuh.
Maka itulah, melihat Keng Thian menyerahkan botol obat kepada Kim
Sie Ie, Siauw Tjeng Hong jadi kagum bukan main.
Tapi di luar dugaan, pemuda itu mengebas tangan bajunya seraya
tertawa terbahak-bahak. "Tong Keng Thian!" katanya. "Aku tak sudi
menerima budimu."
Karena dikebas secara tak terduga, botol itu terbang dan Keng Thian
buru-buru menangkapnya kembali. "Bukan kau, tapi akulah yang menerima
budi," katanya. Selagi ia mau melanjutkan omongannya, Kim Sie Ie sudah
memotong: "Hm! Kau hanya ingin memperlihatkan ksatriaanmu kepada
Pengtjoan Thianlie. Tapi aku tak mau kau mewujutkan niatan itu. Mati atau
hidup adalah takdir Tuhan. Perlu apa aku menerima pertolonganmu?" Kata-
kata itu dikeluarkan dengan suara angkuh dan sebelum Keng Thian bisa
menjawab, ia sudah bertindak keluar.
Keng Thian mengantar mereka sampai di depan pintu, tapi Kim Sie Ie
terus berjalan tanpa menoleh.
"Orang itu sungguh-sungguh aneh," kata Keng Thian sesudah kembali
di kamar tamu.
"Siapa dia?" tanya Teng Kie.
"Orang itu adalah yang dikenal dalam kalangan Kangouw sebagai
Toktjhioe Hongkay," jawabnya.
"Biar bagaimanapun juga, perbuatannya di kali ini adalah perbuatan
seorang ksatria," kata Siauw Tjeng Hong. "Ia sama sekali tidak mengenal
Thian Oe dan aku sungguh tidak mengerti, kenapa ia rela berbuat begitu."
Mereka coba menebak-nebak, tapi tak dapat memecahkan teka-teki itu.
Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa tindakan Kim Sie Ie itu
bukan ditujukan untuk Thian Oe, tapi untuk Keng Thian. Ia adalah seorang
aneh yang gerak-geriknya aneh pula. la mengetahui, bahwa jiwanya hanya
dapat ditolong dengan Iweekang Thiansan pay. Tapi karena menganggap Keng
Thian sebagai lawannya, keangkuhannya tidak mempermisikan untuk ia
menerima belas kasihan. Ia jadi nekat dan tidak menghiraukan lagi soal
mati atau hidup. Diam-diam ia mengambil keputusan, bahwa sebelum mati, ia
akan membuang budi kepada Tong Keng Thian, supaya lawan itu berhutang
budi untuk selama-lamanya. Ia mengetahui, bahwa Keng Thian adalah sahabat
Thian Oe dan pemuda itu sedang kebingungan karena tidak mendapat jalan
untuk menolongnya. Mendadak ia mendapat serupa ingatan. "Dengan menolong
sahabatnya, aku mendapat jalan untuk membuang budi kepadanya," pikirnya.
Tapi jalan pikiran itu tentu saja tak dapat ditebak oleh Keng Thian, yang
merasa sangat berduka dan menyesal akan keangkuhan orang aneh itu.
Kira-kira seminuman teh, serdadu yang menjaga di luar memberi
laporan, bahwa sebagian besar tentara Touwsoe sudah ditarik pulang dan si
pendeta berkelana pun sudah berlalu. Tapi di sekitar gedung Soanwiesoe
masih ditaruh sejumlah tentara untuk mengamatamati.
Teng Kie dan yang lain-lain merasa heran dan tidak dapat meraba-
raba apa maksud Omateng. Sesudah berpikir sejenak, Keng Thian lalu minta
Siauw Tjeng Hong pergi keluar untuk menyelidiki.
Sesudah lewat magrib, barulah Siauw Tjeng Hong kembali. "Dari
keterangan yang dikumpul olehku, Omateng menarik tentaranya untuk
menghadapi lain musuh," katanya. "Apa kalian pernah mendengar nama
Lochu?"
"Dia adalah saudara lelaki dari isteri Raja muda Chinpu," jawab
Teng Kie. "Aku dengar, dia adalah orang gagah nomor satu di bawah
perintah Raja muda Chinpu."
"Begitu mendapat warta, bahwa keponakan perempuannya meninggal
dunia dan jenazahnya dirampas Omateng, Lochu segera mengerahkan sepasukan
tentara untuk membalas sakit hati Tjiehoe dan Gweesenglie-nya (Tjiehoe
berarti suami kakak perempuan, sedang Gweesenglie berarti keponakan
perempuan)," Siauw Tjeng Hong melanjutkan keterangannya. "Pada waktu
tentara Omateng mengurung gedung ini, pasukan Lochu sudah mengepung
bentengan Touwsoe. Maka itu, mau tak mau, Omateng terpaksa menarik mundur
tentaranya. Nyepa itu beranggapan, bahwa Oe-djie adalah orang yang paling
tinggi ilmu silatnya dalam gedung Soanwiesoe. Jika Oe-djie disingkirkan,
maka disini tak ada orang pandai lagi. Memikir begitu, ia lalu
menggunakan macam-macam akal licik untuk mendesak Hoat-ong, supaya Budha
Hidup itu menangkap Oe-djie. Keadaan di seluruh kota ini bukan main
kalutnya. Omateng sudah memerintahkan orang pergi ke Kalimpong dan Nepal
untuk minta bantuan tentara, katanya guna mengusir orang Han dan
mempersatukan Tibet di bawah kekuasaan orang Tibet sendiri. Warta itu
sudah tersiar luas dan semua orang Han menutup pintu rapat-rapat, tanpa
berani keluar rumah. Kekacauan sudah terjadi dan jika tentara asing
sampai masuk disini, dapatlah kita membayangkan hebatnya kekalutan yang
bakal terjadi. Menurut keterangan, tentara Lochu berjumlah kecil dan
diduga akan dipukul hancur dalam beberapa hari. Sesudah membasmi Lochu,
Omateng tentu akan menggerayang kesini lagi."
Tan Teng Kie menghela napas berulang-ulang. "Pangkat Soanwiesoe
adalah pangkat yang tidak dihiraukan olehku," katanya dengan suara duka.
"Tapi jika di Tibet sampai terjadi huru-hara, aku tak ada muka untuk
menghadapi kaizar dan rakyat."
Keng Thian mengasah otaknya, tapi ia tak bisa mendapatkan daya yang
sempurna. "Paling baik kita menjalankan tindakan yang sudah disetujui
pagi ini," katanya. "Secepat mungkin mengirim orang untuk melaporkan
kepada Hok Kong An dan meminta bantuan bala tentara."
"Suruh siapa?" tanya Teng Kie.
"Aku bersedia untuk menjalankan tugas itu," Siauw Tjeng Hong
menawarkan diri.
Keng Thian melirik tanpa berkata suatu apa. Dengan kepandaian yang
dimilikinya, Siauw Tjeng Hong belum tentu ia bisa tiba di Lhasa dengan
selamat. Sebenarnya ia sendiri yang ingin pergi, tapi mengingat
keselamatan Tan Teng Kie dan segenap penghuni gedung Soanwiesoe, ia jadi
bersangsi.
"Tong Tayhiap, bagaimana pendapatmu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
Keng Thian merasa tak enak untuk bicara terus terang. Selagi
bimbang, mendadak ia ingat satu orang. "Siauw Loosoe," katanya. "Bukankah
kau ingin menemui Oe-djie? Sekarang kau sudah boleh menemuinya."
Sesudah melatih Iweekang Thiansan pay sehari dan semalam, kesehatan
jasmani dan rohani Thian Oe sudah pulih kembali. Mendengar teriakan
ayahnya, buru-buru ia menyelesaikan latihan dan keluar dari kamarnya.
Begitu melihat gurunya, ia mengeluarkan teriakan girang dan lalu
memeluknya.
"Oe-djie," kata sang guru dengan air mata berlinang-linang. "Dua
tahun kita berpisahan dan baru hari ini kita bisa bertemu kembali. Aku
dengar, selama dua tahun ini, ilmu silatmu sudah maju jauh sekali. Aku
sungguh merasa girang."
"Hal ini sudah terjadi berkat pelajaran yang diberikan oleh Djiewie
Soehoe (kedua guru, yaitu Siauw Tjeng Hong dan Thickoay sian) dan
petunjuk Tong Tayhiap," katanya. "Sepanjang warta, soehoe sudah menikah?
Mana Socbo (isteri guru)? Apa beliau datang bersama-sama?"
Siauw Tjeng Hong merasa jengah, karena, sebagaimana diketahui, ia
baru menikah sesudah berusia lanjut. "Dia menunggu di Soetjoan," jawabnya
dengan pendek.
Bicara tentang pernikahan, pemuda itu mendadak ingat Chena dan
mukanya lantas saja berubah sedih.
"Dengan membunuh Touwsoe yang kejam, Chena telah menyingkirkan satu
kekuasaan jahat dari kota Sakya," kata Keng Thian dengan suara perlahan.
"Perbuatan itu harus mendapat pujian tinggi."
Air mata Thian Oe sebenarnya sudah hampir mengucur, tapi begitu
mendengar perkataan Keng Thian, sebisa-bisa ia menahan rasa sedihnya.
"Tapi dia tak bisa kembali kepada kita," katanya dengan suara duka.
Teng Kie turut berduka, ia merasa sangat kasihan kepada puteranya
yang malang itu. Akan tetapi, mengingat pentingnya urusan negara, ia
segera berkata dengan suara keras: "Oe-djie! Pelajaran apa yang diberikan
oleh nabi dan pujangga kita?"
Thian Oe terkejut seraya berkata: "Aku memohon petunjuk ayah."
"Di ini saat, pemberontakan sudah meledak di Tibet," katanya. "Tapi
kau sendiri, sebaliknya daripada bangkit untuk melindungi rakyat, sudah
mengambil sikap seperti seorang perempuan yang lemah. Apa kau tidak
merasa malu?"
Thian Oe menatap wajah ayahnya, tanpa bisa mengeluarkan sepatah
kata.
"Hanya sayang Chena meninggal dunia dengan mata melek," kata Keng
Thian sambil menghela napas.
"Kenapa mata melek?" menegas Thian Oe, jantungnya memukul keras.
"Selama hidupnya, Chena selalu berangan-angan supaya orang Han dan
orang Tibet bisa hidup akur bersama-sama seperti satu keluarga," kata
Keng Thian. "Kenyataan ini tentu juga diketahui olehmu."
"Sebagai puteri seorang raja muda, belum pernah ia memandang rendah
kepada orang Han," kata Thian Oe. "Hal ini tak akan bisa dilupakan
olehku."
"Hm!" kata Keng Thian. "Sekarang, dengan menggunakan alasan dari
kebinasaannya, Omateng sudah menyulut api pemberontakan supaya orang
Tibet saling membunuh dengan orang Han. Bagaimana Chena bisa mati dengan
mata meram? Omateng telah merampas jenazahnya yang sampai sekarang masih
belum dikubur. Bagaimana dia bisa mati dengan mata meram? Di samping itu,
orang yang dicintainya bukan saja tidak berusaha untuk mencegah
pemberontakan itu, tapi malahan enak-enak menonton sambil berpeluk
tangan. Coba kau pikir: Bagaimana dia tidak mati dengan mata melek?"
Perkataan Keng Thian itu bagaikan halilintar yang menyambar kuping
Thian Oe, sehingga ia berdiri terpaku seperti patung. Sesudah lewat
beberapa lama, ia mendongak dan berkata dengan suara perlahan: "Apakah
yang harus dilakukan olehku?"
"Kita berniat mengirim orang untuk membawa surat kepada Hok Kong
An," kata Keng Thian, seperti juga ia bicara pada dirinya sendiri. "Hanya
sayang, belum didapat orang untuk membawa surat itu."
"Kenapa kau tidak memberitahukan siang-siang?" kata Thian Oe dengan
cepat. "Guna ayah dan Chena, aku bersedia untuk melakukan tugas itu."
"Surat ini penting luar biasa, sehingga kau harus bersungguh hati
dan berlaku sangat hati-hati," memperingatkan Keng Thian.
"Biarpun mesti masuk ke dalam lautan api, aku pasti akan
menyampaikan surat itu kepada alamatnya," kata Thian Oe dengan suara
tetap.
Mendengar begitu, Keng Thian jadi girang bukan main.
Harus diketahui, bahwa pada waktu itu, ilmu silat Thian Oe sudah
lebih tinggi daripada gurunya. Biarpun kepandaiannya masih belum bisa
menandingi si pendeta berkelana, akan tetapi ilmu mengentengkan badannya
lebih tinggi setingkat daripada pendeta tersebut. Maka itu, andaikata ia
dikalahkan dalam pertempuran, ia masih dapat melarikan diri.
Tan Teng Kie lantas saja menyerahkan surat yang sudah ditulisnya,
kepada Thian Oe dengan memberi banyak nasehat dan pesanan. Waktu itu,
matahari sudah selam ke barat. Sesudah menangsal perut, Thian Oe segera
berdandan dan mengenakan pakaian jalan malam yang berwarna hitam, akan
kemudian berangkat dengan menggunakan ilmu entengkan badan. Berkat
gerakannya yang sangat gesit, ia bisa meloloskan diri dari belasan
serdadu musuh yang menjaga di luar, tanpa diketahui.

***

Dengan hati jengkel dan bingung, Hoat-ong jalan mundar-mandir di


dalam kuil, sambil menunggu kedua muridnya yang diperintah menangkap
putera Soanwiesoe.
Ia menghela napas berulang-ulang dan berkata dalam hatinya: "Hai!
Aku tahu, Omateng seorang jahat yang licik, sedang Tan Teng Kie seorang
pembesar jujur. Kenapa juga aku sudah menyediakan diri untuk diperalat
Omateng guna mencelakakan orang yang baik. Dengan perbuatan yang rendah
itu, apakah aku masih ada muka untuk menjadi pemimpin dari satu agama?"
Di lain saat, ia ingat kepentingan agamanya sendiri. Jika ia tidak
menunduk kepada Omateng, terdapat kemungkinan besar, agama Sekte Topi
Putih bakal diusir lagi dari wilayah Tibet. Ia bingung dan sangsi. Di
satu pihak, ia ingat kehormatan diri sendiri, di lain pihak, ia harus
memperhatikan kepentingan agamanya.
Sebelum ia mengambil keputusan, seorang Lhama melaporkan bahwa
kedua muridnya sudah kembali dengan membawa putera Tan Teng Kie.
Hoat-ong segera mengeluarkan perintah supaya "Thian Oe" dibawa ke
hadapannya, sedang Omateng boleh lantas pulang. Beberapa saat kemudian,
dua muridnya sudah masuk dengan mengiring Kim Sie Ie. Sekali melihat
pemuda itu, Hoat-ong terkesiap.
Pemimpin agama yang matanya sangat awas itu, lantas saja mengenali,
bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya, adalah si pemuda angin-anginan
yang pernah mengacau waktu diadakan upacara pembukaan kuil.
"Siapa kau?" tanyanya dengan suara dalam.
Kim Sie Ie tertawa dingin. "Kau sendiri yang mengundang aku,"
jawabnya. "Apa benar kau tak tahu siapa adanya aku?"
Kedua muridnya kaget bukan main dan buru-buru memberi keterangan:
"Puteri Touwsoe telah mengakui, bahwa dia adalah tunangannya sendiri. Tan
Teng Kie juga mengakui, bahwa dia adalah puteranya. Maka itu, kami
menganggap tak bisa salah lagi."
Mulutnya berkata begitu, hatinya ketakutan, karena mengingat
perkataan Omateng.
Hoat-ong jadi semakin bercuriga. "Jika benar dia putera Soanwiesoe,
tak bisa jadi dia cari permusuhan denganku," pikirnya. Memikir begitu, ia
mengebas tangannya supaya kedua muridnya berlalu dan kemudian mengunci
pintu.
"Bocah!" bentaknya. "Sungguh sayang, sebagai seorang yang
berkepandaian tinggi, kau sudah berani menggunakan nama orang lain."
"Hoat-ong!" Kim Sie Ie balas membentak. "Sungguh sayang, sebagai
kepala dari satu agama, kau sudah rela diperalat Omateng, guna
mencelakakan orang baik."
Hoat-ong merasa malu dan untuk sejenak, ia tak bisa mengeluarkan
sepatah kata.
Kim Sie Ie tertawa nyaring. "Ha-ha! Aku tak nyana, seorang Budha
Hidup juga bisa menjadi bingung," ia mengejek. "Tak usah kau bingung-
bingung. Tak usah kau menghiraukan, apa aku Tan Thian Oe atau bukan.
Sebegitu jauh kau bisa menghukum satu manusia, kau sudah bisa memuaskan
hatinya binatang Omateng."
Bahwa satu manusia berani bicara begitu kasar di hadapan Hoat-ong,
adalah kejadian yang baru pernah terjadi. Selama Kim Sie Ie mengejek,
beberapa pikiran keluar masuk dalam otaknya. Bagaimana ia harus berbuat?
Melepaskan pemuda itu? Menyerahkannya kepada
Omateng? Tapi, jika diserahkan kepada Omateng, pemuda yang
mempunyai kepandaian tinggi itu, mungkin akan menerbitkan keonaran yang
lebih hebat.
Kim Sie Ie terus mengawaskan sambil tertawa dingin.
Tiba-tiba paras muka Hoat-ong berubah menyeramkan. "Anak muda,"
katanya. "Apa benar kau rela pergi ke bentengan Touwsoe untuk mewakili
putera Soanwiesoe menerima hukuman?"
"Itu urusanku, tak perlu kau campur-campur," jawabnya dengan ketus.
"Baiklah," kata Hoat-ong. "Aku mengantar kau dengan memberi
berkah." Ia membalik tangannya yang lantas menyambar ke kepala Kim Sie
Ie.
Sambil tertawa, Kim Sie Ie menangkis. "Aku tak percaya malaikat,
tak menyembah Budha," katanya. "Tak perlu segala berkahmu."
Tapi, begitu lekas tangannya kebentrok tangan Hoat-ong, ia
terkejut, karena tangan itu menindih dengan tenaga yang luar biasa besar.
Buru-buru ia mengempos semangat dan menahan dengan sekuat tenaga.
"Anak muda," kata Hoat-ong. "Kesombongan dan kekurang ajaranmu
pantas mendapat hukuman. Kau adalah seorang yang sangat mengandalkan ilmu
silatmu. Biarlah sekarang aku memusnahkan ilmumu itu." Ia menambah tenaga
dan menekan semakin kuat. Kim Sie Ie sebenarnya masih mau mengejek, tapi
ia tidak dapat berbuat begitu, sebab harus mengerahkan seluruh tenaga
untuk melawan serangan musuh.
Meskipun lweekang Tokliong Tjoentjia bukan dari cabang persilatan
yang "tulen", akan tetapi, dalam Rimba Persilatan, ilmu itu mempunyai
kedudukan istimewa, sebagai lweekang yang tiada keduanya di dalam dunia.
Maka itu, biarpun Kim Sie Ie baru mempunyai latihan belasan tahun, dalam
tempo setengah jam, ia masih bisa mempertahankan diri. Hoat-ong merasa
kagum dan berkata dalam hatinya: "Sayang, sungguh sayang! Orang yang
berbakat begini baik, tidak mengambil jalanan lurus."
Sesudah bertahan kurang lebih sepasangan hio, Kim Sie Ie merasa
badannya panas dan tenaganya mulai berkurang. Ia mengerti, lama-lama ia
pasti akan roboh sebagai orang yang bercacat. Dengan nekat, ia lalu
mengempos semangat untuk mempertahankan diri sedapat mungkin.
Sesudah lewat lagi beberapa lama, Kim Sie le merasa bibir dan
lidahnya kering, sedang tubuhnya seperti dibakar. Di lain pihak, Hoat-ong
pun merasa tulang-tulangnya sakit, suatu tanda ia sudah mengeluarkan
tenaga secara melampaui batas. Tapi biar bagaimanapun juga, berkat
latihan puluhan tahun, lweekang Hoat-ong lebih unggul setingkat daripada
pemuda itu.
Tiba-tiba Hoat-ong mengempos semangat sambil menekan keras dengan
telapakan tangannya. Mendadak ia berpikir: "Dia masih berusia begitu
muda, tapi ilmunya sudah begitu tinggi. Apa tidak kasihan, jika aku
memusnahkan kepandaiannya?" Di lain detik, dalam otaknya masuk lain
pikiran: "Jika aku tidak memusnahkan ilmunya, bagaimana aku bisa
menyerahkan kepada Omateng?"
Pada detik itu, selagi Hoat-ong bersangsi, sinar mata Kim Sie Ie
tiba-tiba berubah beringas dan bibirnya bergerak. Hoat-ong adalah seorang
Lhama yang berilmu sangat tinggi. Tapi, melihat sinar mata itu, tanpa
merasa hatinya berdebar-debar. Ia tak mengetahui, bahwa pada detik itu,
dalam hati Kim Sie Ie timbul keinginan untuk membinasakan lawannya.
Sebagaimana diketahui, dalam mulutnya tersimpan senjata rahasia yang
paling beracun didalam dunia, yaitu jarum Tjitsat Tokbcng Sintjiam (Jarum
Pembetot Nyawa), yang telah direndam di dalam bisa ular dari pulau
Tjoato. Waktu Tong Keng Thian kena jarum itu, ia harus berobat sebulan
lebih, biarpun sudah menelan Pekleng tan yang terbuat dari Thiansan
Soatlian. Lweekang Keng Thian dan Hoat-ong kira-kira setanding, tapi
Hoat-ong tidak memiliki obat semacam Pekleng tan, sehingga, jika ia kena
jarum itu, hampir boleh dipastikan, ia akan binasa. Pada saat Kim Sie Ie
hendak menyemburkan senjata rahasianya, sekonyong-konyong dalam otaknya
berkelebat satu pikiran: "Aku dan dia sama sekali tidak bermusuhan.
Hatiku tentu tak enak, jika ia sampai binasa." Di lain saat, ia berkata
pada dirinya sendiri: "Jika aku tidak membinasakannya, dialah yang bakal
memusnahkan seantero kepandaianku. Tanpa ilmu silat, aku pasti diinjak-
injak manusia, sehingga tak guna aku hidup terus." Memikir begitu,
bibirnya bergerak pula dan jarum racunnya sudah tersedia di atas lidah.
Tapi, mendadak saja ia mendapat lain ingatan: "Ah! Biar bagaimanapun
juga, dia adalah pemimpin dari satu agama. Apa tak sayang, jika ia binasa
dalam tanganku? Waktu hidupku sudah tidak lama lagi. Biarlah aku mengalah
terhadapnya." Sesaat itu,
Hoat-ong kembali menambah tenaganya dan lagi-lagi ia mendapat lain
pikiran: "Sedari aku meninggalkan pulau Tjoato, banyak sekali jago-jago
sudah dirobohkan olehku. Jika aku dirobohkan, bukankah orang yang tak
tahu akan mengatakan bahwa aku kalah dalam mengadu ilmu. Mereka tentu tak
menduga, bahwa kekalahanku adalah karena aku yang mengalah."
Demikianlah, pada detik yang sangat genting itu, beberapa pikiran
keluar masuk bagaikan kilat di dalam otaknya. Kim Sie Ie adalah seorang
yang tak mau kalah dari siapapun juga. Pada detik itu, dalam alam
pikirannya ia lebih suka mati daripada dihina orang.
Yang harus dikasihani adalah empat murid Hoat-ong yang menunggu di
luar pintu. Mereka menungggu dan menunggu dengan tidak sabaran, tapi
sesudah menunggu lebih dari satu jam, pintu masih tetap tertutup. Mereka
sama sekali tidak mimpi, bahwa dalam kamar itu dua jago kelas utama
sedang mengadu jiwa dan tengah berada pada detik yang memutuskan.

***

Sekarang marilah kita balik kepada Tan Thian Oe yang mendapat tugas
untuk membawa surat ayahnya kepada Hok Kong An. Karena harus berlomba
dengan sang waktu, malam-malam Thian Oe berangkat juga.
Sesudah melewati serdadu-serdadu Touwsoe yang menjaga di luar
gedung Soanwiesoe, dengan menggunakan ilmu entengkan badan, ia meneruskan
perjalanan ke Lhasa. Dalam perjalanan itu, ia harus melewati bentengan
(gedung) Touwsoe yang berdiri di atas gunung dan jalanan yang harus
diambilnya, terletak melintang di satu lembah. Sesudah melewati lembah
itu, di tengah gunung ia melihat tentara dan bendera yang besar
jumlahnya, sedang di bentengan pun terlihat bayangan-bayangan hitam dan
bendera yang berlapis-lapis. Ia mengetahui, bahwa tentara yang berkumpul
di tengah gunung adalah tentara Lochu yang sedang mengepung bentengan
Touwsoe. Dengan cepat ia sudah tiba di bagian utara gunung tersebut.
Hatinya lega dan sambil mengempos semangat, ia mendaki bukit yang
menghadang di depannya. Tapi baru saja berlari-lari beberapa puluh
tombak, sekonyong-konyong berkelebat satu bayangan manusia yang lantas
berdiri di tengah jalan. Thian Oe mengawaskan dengan kaget dan ternyata,
orang itu bukan lain daripada si pendeta berkelana.
Di bawah sinar rembulan, pendeta itu juga segera mengenali, bahwa
yang dicegatnya adalah Tan Thian Oe. "Aha! Kalau begitu kau?" katanya
sambil tertawa terbahak-bahak dan menghantam dengan tongkat bambunya.
Thian Oe melompat seraya membabat dengan pedangnya dalam pukulan Tokoa
ginho (Bima Sakti yang tergantung nyungsang), yaitu salah satu pukulan
terliehay dari Pengtjoan Kiamhoat. Ia menduga bahwa dengan sekali
menyabet, tongkat itu akan menjadi putus. Tapi, di luar dugaan, begitu
kedua senjata kebentrok, tongkat si pendeta "menempel" di pedang dan
bergerak menurut gerakan pedang. Thian Oe terkejut, buru-buru ia mengebas
senjatanya untuk melepaskan "tempelan" itu. Baru saja ia mengangkat kaki
untuk kabur, mendadak si pendeta berteriak: "Ih! Omateng, kemari! Coba
lihat, apa bocah ini benar Tan Thian Oe?"
Kenapa si pendeta bersangsi?
Pada waktu ia bertemu Thian Oe untuk pertama kali, yaitu waktu ia
coba merebut guci emas, kepandaian pemuda itu paling banyak hanya bisa
menandingi muridnya. Tapi sekarang, ia bukan saja bisa mempertahankan
diri dari serangan tongkat, tapi juga sudah berhasil melepaskan
senjatanya dari "tempelan" tongkat. Si pendeta merasa, bahwa lweekang
pemuda itu sudah tidak berjauhan dengan lwee4cang-nya sendiri. Itulah
sebabnya ia bersangsi dan memanggil Omateng untuk mendapat kepastian.
Sehabis berteriak begitu, si pendeta lalu mengirim dua serangan
berantai, yang satu menggunakan tenaga "lembek", yang lain tenaga
"keras". Thian Oe menjejak kedua kakinya dan bagaikan seekor garuda,
tubuhnya terbang lewat di samping si pendeta dan dalam sekejap, ia sudah
lari belasan tombak.
Tiba-tiba, dari pinggir jalanan muncul seorang yang tertawa
bergelak-gelak. "Bocah! Mau lari kemana kau?" bentaknya.
Begitu mengenali orang yang mencegatnya, Thian Oe lantas saja
menjadi kalap. Orang itu adalah Omateng yang menjadi gara-gara dari
kebinasaan Chena dan yang sudah merampas jenazah kecintaannya itu.
Matanya merah, darahnya mendidih dan ia melupakan segala pesanan ayahnya
dan Keng Thian. Ia mengangkat pedang dan mengirim satu tikaman kilat.
"Bret!", pedang Thian Oe menembus Djoanka (pakaian perang yang lemas) dan
ujung pedang membuat satu goresan panjang di pundak Omateng.
Ia berhasil melukakan musuh, tapi karena itu, si pendeta berkelana
sudah menyandak. Sesaat itu, ia sebenarnya masih bisa melarikan diri.
Tapi dalam kalapnya, sebaliknya dari kabur, ia lalu mengirim serangan-
serangan nekat. Kepandaian Omateng tidak terlalu rendah. Biarpun ia kalah
setingkat dari Tan Thian Oe, tapi untuk sementara, sedikitnya ia masih
bisa membela diri. Dalam sekejap tiga serangan Thian Oe sudah ditangkis
olehnya dan waktu Thian Oe mengirim serangan keempat, si pendeta sudah
meloncat masuk ke dalam gelanggang pertempuran dan menyampok pedangnya.
Sekali ini, pendeta itu tidak berani berlaku ceroboh lagi. Dengan
hati-hati ia melayani dan mengunakan taktik gerilya. Jika Thian Oe
mundur, ia merangsak, kalau Thian Oe merangsak, ia mundur. Dilihat
sekelebatan, mereka seperti juga dua bocah yang lagi main petak, tapi
sebenarnya kedua lawan itu sedang mengadu ilmu dengan menggunakan
lweekang yang sangat tinggi. Dilayani secara begitu, Thian Oe yang
lweekang-nya masih kalah kuat, perlahan-lahan jatuh di bawah angin.
Selang kira-kira setengah jam, keadaannya sudah berbahaya sekali, hampir-
hampir ia tak dapat mempertahankan diri lagi.
Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak Thian Oe bergidik karena
menyambarnya hawa dingin yang sangat hebat dan berbareng dengan itu,
tekanan si pendeta lenyap. Dengan cepat ia melompat ke-belakang dan
sesudah menegakkan badannya yang bergoyang-goyang, ia menoleh ke
belakang. Di antara uap dingin yang berwarna abu-abu, ia melihat seorang
wanita. Hatinya meluap dengan kegirangan, karena wanita itu bukan lain
daripada Yoe Peng. Tak usah dikatakan lagi, hawa dingin yang barusan
adalah akibat dari Pengpok Sintan yang dilepaskan oleh si nona. Tapi
karena lweekang Yoe Peng masih belum cukup, ia tidak berhasil melukakan
pendeta itu. Meskipun begitu, serangan tersebut sudah membantu Thian Oe
meloloskan diri.
Si pendeta gusar tak kepalang. Sambil menggereng, ia menerjang si
nona. Dengan gerak-gerakannya yang sangat lincah, Yoe Peng mengegos tiga
serangan berantai. Selagi Thian Oe mau membantu, mendadak Yoe Peng
tertawa nyaring seraya berteriak: "Manusia tak tahu diri! Dulu majikanku
telah mengampuni jiwamu. Apa sekarang kau masih berani melawannya?"
Si pendeta terkesiap karena ia lantas saja ingat, bahwa wanita itu
adalah kawannya Pengtjoan Thianlie.
Selagi ia bersangsi, Yoe Peng bersiul nyaring, disusul dengan suara
tertawa yang merdu. "Yoe Peng! Dengan siapa kau bertempur? Aku segera
datang!" kata satu suara yang merayu. Suara itu datang dari bukit di
seberang, tapi setiap perkataannya terdengar nyata sekali.
Bagi si pendeta, suara yang merdu itu seakan-akan menggeledeknya
halilintar. Ia mengenali, bahwa itulah suara Pengtjoan Thianlie yang
disegani olehnya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia memutar badan dan
lantas kabur.
Gerakan Pengtjoan Thianlie cepat luar biasa. Sedang suaranya masih
berkumandang di lembah, orangnya sudah berdiri di tanjakan gunung- Dengan
pakaiannya yang serba putih dan yang berkibar-kibar karena ditiup angin,
ia seolah-olah seorang dewi. Si pendeta jadi semakin ketakutan dan ia
kabur bagaikan orang gila.
Omateng yang bertubuh gemuk tak bisa lari cepat. "Manusia itu jahat
sekali!" berteriak Thian Oe sambil melompat untuk mengejar.
"Tak usah begitu berabe!" kata Yoe Peng sambil mementil sebutir
Pengpok Sintan. Omateng yang tengah merat mendadak merasakan hawa yang
luar biasa dingin di jalanan darah Thiantjoe hiat, di belakang lehernya,
dan hawa itu menembus sampai di uluhatinya. Di lain saat, badannya
kesemutan, tenaganya musna dan tanpa bersuara, ia roboh di tanah.
"Thian Oe," kata Yoe Peng. "Perlu apa di tengah malam buta kau
bergelandangan disini?"
Air mata pemuda itu lantas saja mengucur deras. "Chena... dia...
dia..." katanya terputus-putus. Tak dapat ia meneruskan perkataannya.
Yoe Peng menghela napas seraya berkata dengan suara duka: "Hal
meninggalnya Chena Tjietjie sudah diketahui oleh kami."
Pengtjoan Thianlie pun kelihatan sedih sekali. "Sayang sekali,
karena waktu tidak mengijinkan, waktu itu aku hanya menurunkan ilmu
melepaskan golok terbang," katanya dengan suara perlahan. "Aku tak keburu
memberi pelajaran untuk melindungi diri. Tapi, ia sekarang sudah berhasil
membalas sakit hati kedua orang tuanya. Aku percaya, ia mati dengan mata
meram."
Pengtjoan Thianlie adalah seorang yang tidak gampang memperlihatkan
perasaannya. Tapi meninggalnya Chena sudah mendukakan sangat hatinya,
sehingga parasnya jadi guram sekali. Ia menghela napas seraya berkata:
"Pada sebelum kau berguru dengan Thiekoay sian, Chena telah memohon
pertolonganku untuk memberi petunjuk-petunjuk kepadamu. Ia mengatakan,
bahwa sayang sungguh jika kau yang mempunyai bakat sangat baik, tidak
mendapat guru yang berkepandaian tinggi. Waktu itu aku telah menolak
permintaannya. Siapa nyana, karena robohnya Puncak Es, secara kebetulan
kau telah makan Tjoeko (buah merah) dalam istanaku, sehingga, tanpa
belajar lagi, kau sudah memperoleh ilmu entengkan badan dari partai kami.
Belakangan, kau juga telah mencuri ilmu pedangku. Ini semua adalah maunya
Tuhan dan aku tidak menyalahkan kau. Tapi, biarpun kau sudah memiliki
Kiamhoat-ku (ilmu pedang), kau belum mengenal Kiamkoat (pelajaran
praktek untuk menggunakan ilmu pedang itu). Sekarang, sesudah Chena
meninggal dunia, aku ingin sekali meluluskan permohonannya, agar di alam
baka, arwahnya jadi terhibur..." Bicara sampai disitu, si nona berhenti
karena terharunya. Sesaat kemudian, barulah ia berkata pula: "Aku
bersedia untuk menurunkan Kiamkoat kepadamu. Akan tetapi, oleh karena
usia kita kira-kira bersamaan, maka tak dapat aku menjadi gurumu. Baik
juga Yoe Peng yang sudah mengikuti aku dalam banyak tahun, sudah mendapat
intisari dari Kiamhoat dan Kiamkoat dari partai kami. Maka itulah, aku
sekarang mempermisikan Yoe Peng untuk menurunkan pelajaran itu kepadamu."
Bukan main girangnya Thian Oe dan ia buru-buru berlutut untuk
menghaturkan terima kasih.
Dengan memperoleh ilmu silat Pengtjoan Thianlie, ditambah dengan
Iweekang Thiansan pay dan ilmu silat Thiekoay sian serta Siauw Tjeng
Hong, di belakang hari Tan Thian Oe menjadi seorang Tayhiap (pendekar)
yang ternama. Sesudah Tong Keng Thian dan Koei Peng Go kembali ke keraton
es untuk menuntut penghidupan yang terpisah dari pergaulan umum, ia
mengikuti ayahnya pulang ke Kanglam, dimana ia dikenal sebagai ahli waris
Kam Hong Tie dan dikenal juga sebagai Kanglam Tayhiap (Pendekar besar
dari daerah Kanglam)
Pengtjoan Thianlie mengegos tubuhnya dan hanya menerima separuh
kehormatan Thian Oe. "Apa Tong Keng Thian berada di rumahmu?" tanyanya.
"Benar," jawabnya. "Aku justru menerima perintah Tong Tayhiap untuk
pergi ke Lhasa guna meminta bala bantuan tentara."
Si nona tersenyum seraya berkata: "Kau tak usah pergi ke tempat Hok
Kong An." Thian Oe kaget. Selagi ia mau menanya, Peng Go sudah berkata
lagi: "Bagaimana dengan Kim Sie Ie? Kau sendiri belum pernah bertemu
dengan orang itu, tapi aku merasa, Keng Thian sudah pernah
menceritakannya."
"Kim Sie Ie telah datang ke rumahku," menerangkan Thian Oe.
"Biarpun belum pernah bertemu muka, tapi ia sudah menolong jiwaku."
Peng Go heran. "Kau belum mengenalnya, bagaimana ia bisa menolong
jiwamu?" tanyanya.
Thian Oe segera menuturkan apa yang telah terjadi.
Si nona terkejut dan segera menanya: "Kapan ia berangkat untuk
menemui Hoat-ong?"
"Kira-kira tengah hari, mengikuti dua Lhama itu, jawabnya. "Ia
berangkat dari rumahku dan jika Hoat-ong tidak lantas menyerahkannya
kepada Omateng, sekarang mungkin ia masih berada di kuil."
Sesudah berpikir sejenak, si nona segera berkata: "Yoe Peng,
lihatlah! Aku sudah mengatakan bahwa Kim Sie Ie bukan manusia jahat.
Hatinya cukup mulia. Ia rela menolong orang dengan mengorbankan diri
sendiri. Tak bisa aku memeluk tangan. Kau dan Thian Oe berangkat lebih
dulu untuk menemui Keng Thian, sedang aku sendiri ingin mengunjungi Hoat-
ong." Sehabis berkata begitu, dengan menggunakan ilmu entengkan badan, ia
segera berlalu dan dalam sekejap, ia sudah tidak kelihatan bayang-
bayangannya lagi.
Thian Oe dan Yoe Peng saling mengawaskan tanpa mengeluarkan sepatah
kata. Mengingat perkataan Chena, pemuda itu merasa agak jengah dan ia
hanya mengawasi dayangnya Peng Go dengan mata mendelong.
Yoe Peng menghela napas dan kemudian berkata dengan suara perlahan:
"Chena dan aku adalah seperti saudara sendiri dan aku pun merasa duka
akan kebinasaannya. Akan tetapi, orang yang sudah mati tentu tak bisa
hidup kembali. Sekarang, karena kebinasaannya, di Tibet timbul gelombang
hebat. Jika kita tidak berusaha untuk meredakan gelombang itu, arwahnya
tentu merasa tidak senang."
Thian Oe manggut-manggutkan kepalanya. "Ya, pergiku ke Lhasa juga
adalah untuk meredakan gelombang itu," katanya. "Eh, barusan Pengtjoan
Thianlie mengatakan, bahwa aku tak usah pergi menemui Hok Kong An.
Bagaimana duduknya persoalan?"
Yoe Peng tersenyum. "Pada harian pembukaan kuil baru, kami berdua
sebenarnya sudah berada di Sakya," ia menerangkan. "Segala kejadian sudah
disaksikan oleh kami. Kongtjoe yang sangat pintar, lantas saja bisa
menduga bakal munculnya badai. Maka itu, tanpa menemui kalian, buru-buru
kami pergi ke Lhasa. Mengingat bantuan kami pada waktu terjadi perebutan
guci emas, Hok Kong An bersikap sangat ramah tamah dan percaya segala
keterangan kami."
Selagi bicara, mendadak mereka mendengar suara merintihnya Omateng.
"Segala kejadian ini semuanya adalah gara-gara bangsat itu!" kata Thian
Oe dengan suara gergetan.
"Bagus! Sekarang kita boleh berurusan dengannya," kata Yoe Peng.
Omateng yang baru sadar dari pingsannya, menggigil karena hawa
dingin yang sangat hebat. Yoe Peng segera meminta Thian Oe mengurut dua
jalanan darah di punggung si gemuk, untuk mengurangkan hawa dingin.
"Tan Kongtjoe," kata si gemuk dengan suara gemetaran. "Dengan
memandang muka Sang Budha dan muka Chena, aku memohon kau sudi mengampuni
jiwaku."
"Jika kau tidak menyebut nama Chena, masih tidak apa," kata Thian
Oe dengan gusar. "Dengan menyebutkan Chena, lebih-lebih aku harus
mengambil jiwa anjingmu."
"Terhadap Chena, aku selalu membuang budi," kata Omateng. "Dulu,
waktu ia ditangkap Touwsoe, aku pernah meminta perantaraan ayahmu untuk
menolongnya. Dalam usahanya untuk membunuh Touwsoe, aku pun sudah memberi
bantuan secara diam-diam. Hal ini adalah satu kenyataan. Kongtjoe,
masakah kau tak tahu?"
Yoe Peng tertawa dingin dan mengeluarkan suara di hidung. "Eh, apa
kau kira kami tak tahu rahasiamu?" katanya dengan suara mengejek. "Kau
adalah mata-mata Raja Kalimpong. Tujuanmu yang satu-satunya adalah
menimbulkan kekacauan di Tibet, supaya, dengan bantuan tentara asing, kau
bisa memancing ikan di air keruh. Kau ingin mengangkat diri sendiri
sebagai raja. Tipu muslihatmu bisa mengelabui Touwsoe, tapi tak bisa
mempedayai Kongtjoe-ku. Bantuanmu kepada Chena Tjietjie hanyalah untuk
meminjam tangannya guna mewujutkan maksudmu sendiri."
Perkataan Yoe Peng benar-benar mengejutkan Omateng, sehingga
tubuhnya menggigil semakin hebat.
Thian Oe pun terperanjat, tapi sebelum ia sempat menanya lebih
jauh, di tanjakan gunung mendadak terlihat bayangan-bayangan manusia yang
mendatangi dengan cepat sekali dan di antara beberapa orang yang jalan di
depan, terdapat si pendeta berkelana.
"Si pendeta datang kembali dengan membawa bantuan," kata rhian Oe.
Yoe Peng mengangguk seraya berkata: "Sekarang paling baik kita
buru-buru kembali di rumahmu untuk menunggu Kongtjoe."
"Tapi aku mempunyai lain pikiran," kata Thian Oe. "Dengan
kedatangan si pendeta bersama kawan-kawannya yang
berkepandaian tinggi, di bentengan Touwsoe tentu tidak terdapat
lagi orang pandai. Dengan menggunakan kesempatan itu, aku ingin
menyatroni sarangnya."
"Guna apa kita menempuh bahaya yang begitu besar?" kata Yoe Peng
yang tidak menyetujui pendapat Thian Oe.
"Bagaimana aku tega melihat jenazah Chena terus berada di tangan
musuh?" kata Thian Oe dengan suara duka. Sehabis berkata begitu, ia
mengangkat pedang untuk membinasakan Omateng.
"Tahan!" mencegah si nona. "Biarkan dia hidup terus untuk sementara
waktu. Mungkin masih ada kegunaannya." Berbareng dengan perkataannya, ia
menekan badan Omateng dengan jerijinya, sehingga mulut si gemuk terbuka
lebar. Hampir berbareng, ia mementil dua butir Pengpok Sintan ke dalam
mulut si gemuk yang lalu menelannya. Mata si gemuk terbalik dan ia
pingsan seketika itu juga.
Yoe Peng tersenyum. "Kecuali Kongtjoe dan aku sendiri, di dalam
dunia tiada orang yang bisa menyadarkannya," katanya.
"Sekarang kita boleh pergi dengan hati tenang."
Dengan menggunakan ilmu entengkan badan, mereka mendaki gunung dan
menuju ke bentengan Touwsoe. Mereka mengambil jalanan mutar dan naik dari
bagian belakang gunung yang dijaga oleh sejumlah kecil serdadu. Berkat
kegesitan mereka, dengan tidak banyak susah, mereka bisa masuk ke dalam
bentengan.
Sesudah menyelidiki beberapa lama, mereka menghampiri sebuah kamar
yang terang dan dari kain jendela, mereka melihat bayangan dua wanita.
"Mari kita lihat," berbisik Yoe Peng.
"Guna apa?" Thian Oe bersangsi.
"Siapa dia?" Yoe Peng menanya.
"Puteri Touwsoe, Sanpiie," jawabnya.
Si nona tertawa. "Kau takut?" ia menggoda. "Jangan takut. Ada aku
yang melindungi." Sambil berkata begitu, ia menarik tangan Thian Oe dan
mereka lalu bersembunyi di bawah jendela.
Yang berada dalam kamar itu adalah Sanpiie bersama ibunya.
Sesaat kemudian, terdengar helaan napas nyonya Touwsoe. "Hai!"
katanya. "Tak nyana, urusan jadi begini. Aku kuatir peninggalan ayahmu
semua akan jatuh kedalam tangan Omateng!"
"Semenjak dulu aku tak senang dengan orang itu," kata Sanpiie.
"Ibulah yang selalu mendengar segala omongannya."
"Bagaimana aku bisa membaca hatinya yang jahat?" sang ibu sungkan
menerima salah. "Dia selalu mengatakan, bahwa dia ingin membalas sakit
hati ayahmu. Bagaimana aku bisa mencegahnya?"
"Masih untung Thian Oe tak jatuh ke dalam tangannya," kata
puterinya.
"Anak," kata nyonya Touwsoe dengan suara menyesal. "Apa kau tak
bisa melupakan Thian Oe?"
Jantung Thian Oe memukul keras.
Sanpiie tak menjawab pertanyaan ibunya, ia hanya tertawa.
Nyonya Touwsoe kembali menghela napas seraya berkata: "Sesudah
keadaan menjadi begini, apa kita masih ada muka untuk membicarakan soal
pernikahanmu dengan keluarga Tan?"
"Ada jalan," Sanpiie mendadak berkata. "Kita membekuk Omateng dan
menyerahkannya kepada Soanwiesoe untuk diadili."
Nyonya Touwsoe terkejut, buru-buru ia menekap mulut puterinya.
"Anak, apa kau gila!" ia berbisik "Tak boleh kau mengeluarkan perkataan
itu lagi. Kekuasaan tentara sekarang berada dalam tangannya dan jika mau,
ia bisa mengambil jiwa kita dengan mudah sekali!"
"Hm!" menggerendeng Sanpiie. "Menurut penglihatanku, ia bukan hanya
ingin merampas kekuasaan Touwsoe. Ia malahan kepingin menjadi raja di
Tibet."
"Benar," kata sang ibu. "Sekarang aku baru tahu. Sebelum ayahmu
meninggal dunia, ia sudah memerintahkan orang pergi ke Kalimpong untuk
meminta bantuan tentara."
"Ibu," kata Sanpiie. "Kita tak boleh main takut saja. Kita harus
berusaha untuk menghadapinya. Kenapa ibu tak mau coba berunding dengan
utusan Budha Hidup Dalai dan Panchen?"
Nyonya Touwsoe menggelengkan kepala. "Aku tak berani mendekati
mereka," ia berbisik. "Jiwa mereka sendiri mungkin sukar dilindungi
lagi!"
Sanpiie terperanjat. "Apa?" ia menegasi. "Apa Omateng bernyali
begitu besar?"
Sang ibu tak menjawab, ia mengawasi tembok kamar dengan mata
mendelong.
"Ibu, apa yang sedang dipikir olehmu?" tanya puterinya.
Mendadak nyonya Touwsoe bangun berdiri dan menghampiri jendela yang
lalu dipentang. Untung juga Thian Oe dan Yoe
Peng yang buru-buru berjongkok di bawah jendela tak dilihat
olehnya. "Anak," katanya dengan suara perlahan. "Aku justru ingin
berdamai dengan kau."
Sanpiie mendekati. "Bicaralah," katanya.
"Memang benar Omateng ingin membunuh utusan Budha hidup Panchen,"
ia berbisik.
Paras muka Sanpiie berubah pucat. "Bagaimana ibu tahu?" tanyanya.
"Sebagaimana kau tahu, utusan Budha Hidup terluka dengan golok
terbang, tapi luka itu tidak membahayakan jiwanya," menerangkan sang ibu.
"Urusan ini adalah urusan besar dan Omateng ingin menggunakannya untuk
kepentingannya sendiri. Dia ingin menggunakan utusan kedua Budha Hidup
supaya mereka mengirim laporan yang menumplek semua kesalahan atas pundak
Hoat-ong Sekte Topi Putih dan yang meminta agar agama Topi Putih diusir
lagi dari wilayah Tibet."
"Hal ini memang sudah didengar olehku," kata Sanpiie.
"Untung juga, kedua wakil itu tidak kena dijebak dengan begitu
saja," kata pula sang ibu. "Mereka hanya melaporkan kejadian yang
sebenarnya, tidak menambah dan tidak mengurangkan apapun juga. Mereka
tidak menyarankan supaya Budha Hidup Dalai dan Panchen bertindak untuk
mengusir Hoat-ong. Tapi Omateng tak mau mengerti, setiap hari dia terus
mendesak. Utusan Budha Hidup Panchen ingin sekali menemui Hoat-ong untuk
menyelidiki keadaan yang sebenar-benarnya, tapi Omateng tentu saja
sungkan mempermisikannya. Diam-diam dia memerintahkan tabib untuk memberi
obat beracun kepada utusan Budha Hidup Panchen sehingga, sebaliknya
daripada sembuh, lukanya jadi semakin berat. Dengan memberi alasan tak
boleh menemui tamu, dia memutuskan perhubungan kedua utusan itu dengan
dunia luar. Sementara itu, saban hari dia terus mendesak utusan Budha
Hidup Panchen untuk menulis surat yang diinginkan olehnya, sehingga
utusan tersebut jadi semakin bercuriga dan menolak dengan getas. Dia jadi
nekat dan memerintahkan supaya tabib memberi racun yang membinasakan dan
memberi batas tempo, bahwa tengah malam ini, jiwa utusan itu sudah mesti
melayang. Semua orang mengetahui, bahwa utusan Budha Hidup telah mendapat
luka karena golok si pembunuh. Maka itu, dengan mudah dia bisa
mengatakan, bahwa utusan itu binasa karena lukanya. Dia sudah menghitung
pasti, bahwa tiada orang yang akan mencurigainya. Sesudah utusan itu
binasa, dia akan coba 'membakar' Budha Hidup Panchen untuk mencapai
maksudnya yang keji."
Mendengar penuturan itu, Sanpiie terbang semangatnya. Untuk
beberapa saat, ia mengawasi ibunya dengan mulut ternganga. Walaupun
mengetahui, bahwa si gemuk sangat jahat, ia tidak menduga Omateng bisa
mengambil tindakan yang begitu kejam. "Ibu," katanya beberapa saat
kemudian. "Jika utusan itu binasa di Sakya, mungkin semua orang dalam
kota ini tidak akan terluput dari hukuman."
"Benar, dan itulah sebabnya, tabib tersebut tidak berani segera
menuruti kemauan Omateng," kata sang ibu. "Tapi ia juga jeri, jika
membangkang. Lantaran begitu, diam-diam ia memberitahukan hal ini
kepadaku dan memohon pertolongan. Tapi, apakah yang bisa dilakukan
olehku? Jiwa kita sendiri berada dalam tangan Omateng."
"Jalan satu-satunya melawan mati-matian," kata sang puteri.
"Dengan apa melawannya?" tanya nyonya Touwsoe dengan suara getir.
"Keadaan kita adalah seperti telur diadu dengan batu!"
"Ibu! Apa kita mau menyerahkan jiwa dengan mentah-mentah saja!"
kata Sanpiie dengan kegusaran meluap-luap.
Sang ibu tidak menjawab, ia menatap wajah puterinya dengan paras
sangat berduka.
Sekonyong-konyong dari jendela melompat masuk dua bayangan hitam.
Sanpiie meloncat sambil menghunus golok.
"Aku!" kata suara yang sudah tak asing lagi.
Si nona mengawasi dengan mata membelalak, la hampir tak percaya
matanya sendiri, karena yang berdiri di hadapannya bukan lain daripada
Tan Thian Oe. Ia ingin melompat untuk memeluk orang yang dicintainya itu,
tapi lantas saja ia mundur setindak dengan hati berdebar-debar, karena
orang yang berdiri di belakang Thian Oe adalah seorang wanita cantik.
"Sanpiie, katakanlah: Kau percaya aku atau tidak?" tanya Thian Oe
dengan suara halus.
Sedari berkenalan, belum pernah Thian Oe menggunakan kata-kata yang
begitu halus terhadapnya. Sanpiie girang bukan main dan ia manggut-
manggutkan kepalanya. "Omateng sudah dirobohkan olehku," kata Thian Oe.
"Kalian tak usah takut."
Perkataan itu seakan-akan sebuah perahu untuk orang yang hampir
kelelap. Kegirangan nyonya Touwsoe dan puterinya meluap-luap.
"Ingatlah pesananku," kata pula Thian Oe. "Kalian jangan
menghalang-halangi si tabib. Biarkan dia memberi racun kepada utusan
Budha Hidup."
"Apa arti perkataanmu?" tanya Sanpiie dengan suara kaget.
"Waktu sangat mendesak, sebentar saja aku memberitahukan sebabnya,"
jawabnya. "Dimana tempatnya wakil Budha Hidup Panchen?"
Sebagai seorang tua yang banyak pengalaman, nyonya Touwsoe lantas
saja mengerti maksud Thian Oe. "Benar, kau harus bertindak cepat,"
katanya. "Ia berada di atas pagoda, di sebelah barat bentengan ini, di
tingkatan kedua."
Tanpa menunggu lagi, Thian Oe menarik tangan Yoe Peng dan mereka
lantas saja melompat dengan menggunakan ilmu entengkan badan. Jantung
Sanpiie memukul keras, tanpa merasa ia turut melompat, tapi begitu tiba
di depan jendela, ia menghentikan tindakannya. "Ibu, apa yang mau
dilakukan mereka?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Mereka ingin membuka rahasia Omateng kepada utusan Budha Hidup,"
jawabnya. "Tabib akan segera datang kembali. Lebih baik kau balik ke
kamarmu"

***
Sementara itu, sesudah mendapat petunjuk, dengan tak banyak sukar
Thian Oe dan Yoe Peng sudah mendapatkan pagoda itu, yang ternyata
bertingkat tiga. Dengan sekali mengenjot badan, kaki Thian Oe hinggap di
tingkatan kedua, tapi Yoe Peng yang ilmunya belum setinggi kawannya,
harus melompat dua kali sebelum mencapai tingkatan itu. Sesaat itu,
beberapa serdadu penjaga melongok keluar, tapi sebelum bersuara, mereka
sudah roboh karena ditimpuk dengan Pengpok Sintan.
Dengan cepat mereka masuk ke dalam kamar yang diterangi lampu
minyak. Ternyata, utusan Panchen Lama sedang meringkuk di atas dipan,
sambil mengeluarkan rintihan perlahan. Melihat masuknya dua tetamu yang
tidak diundang, bukan main kagetnya utusan itu sehingga sambil menahan
sakit, ia bangun duduk.
"Atas titah Budha Hidup kami sengaja datang kemari untuk
menyambangi kau," kata Yoe Peng, yang lalu mendekati sambil
memperlihatkan Lenghoe (Jimat) yang tergantung di dadanya.
Waktu Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng ke Lhasa, Peng Go telah
menemui Dalai Lama sebagai seorang Liehoehoat (Pelindung agama wanita).
Lenghoe yang berada di dada Yoe Peng adalah hadiah Budha Hidup itu.
Walaupun sudah melihat Lenghoe itu, utusan Panchen masih bersangsi.
"Bagaimana Budha Hidup Dalai bisa mengetahui bahwa aku sedang menghadapi
bencana?" tanyanya di dalam hati.
Yoe Peng lalu mendekati lampu dan membesarkan sumbu. Ia memeriksa
luka utusan itu yang ternyata sudah bernanah dan bengkak merah. "Sungguh
jahat hati Omateng," pikirnya sambil mengeluarkan sebutir pil yang lalu
dihancurkan di dalam air teh. Sesudah melaburkan obat itu di atas luka,
ia merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Dengan berkah Sang Budha,
lukamu akan segera sembuh." Obat dari istana es tak bisa dibandingkan
dengan obat-obatan biasa. Begitu kena, rasa sakit mendadak menghilang dan
luka yang barusan dirasakan panas berubah adem.
Sekarang utusan Panchen tidak bersangsi lagi. Sambil merangkap
kedua tangan, ia menanya: "Siapa kalian? Apakah kedatangan kalian tidak
diketahui orang?"
"Kami sengaja datang untuk menolong kau," jawab Yoe Peng. "Omateng
sudah dirobohkan dan orang-orangnya belum tahu kejadian itu. Sebentar,
jika ada orang membawa obat kau jangan minum obat itu." Sehabis berkata
begitu, ia menarik tangan Thian Oe dan lalu menyembunyikan diri di
belakang patung Budha.
Utusan Panchen jadi bingung, karena ia tak mengerti apa maksud
perkataan itu. Ia lalu merangkap kedua tangan, meramkan mata dan membaca
doa dengan suara perlahan.
Beberapa saat kemudian, satu orang masuk ke dalam.
"Kenapa tabib tidak datang sendiri?" tanya utusan Panchen.
Orang yang datang adalah pembantu sang tabib. Ternyata, karena
ketakutan, tabib itu tidak berani datang sendiri dan telah memerintahkan
seorang pembantunya untuk membawa obat.
Pembantu itu yang tak menduga, bahwa obat yang dibawanya adalah
racun, segera menjawab dengan sikap hormat: "Tabib kebetulan mempunyai
urusan penting dan sudah memerintahkan aku untuk membawa obat..."
Belum habis perkataannya, Yoe Peng sudah melompat keluar dan
mencengkeram tangannya. "Aduh!" teriaknya dan mangkok obat direbut si
nona. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Yoe Peng lalu menuang racun itu ke
dalam mulutnya. Hampir berbareng, mukanya berubah pucat dan dari pucat
menjadi hitam dan jiwanya melayang.
Utusan Panchen kaget bukan main. "Omateng benar-benar jahat!"
katanya dengan suara bergemetar. Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata
kepada Yoe Peng. "Sekarang aku mengerti. Tapi, dengan adanya kejadian
ini, kedoknya terlocot dan dia tentu akan menjadi gusar. Bagaimana kita
bisa meloloskan diri dari bentengan ini yang terjaga kuat?"
"Jangan kuatir," menghibur Thian Oe. "Kami akan melindungi kau."
Baru saja ia mengeluarkan perkataan itu, di luar sudah terdengar suara
orang.
Sambil menghunus pedang Thian Oe membuka pintu dan melongok keluar.
Ia melihat lima enam orang sedang mendatangi, yang paling dulu adalah si
pendeta berkelana dan Teruchi sedang yang paling belakang adalah dua
boesoe yang menggotong Omateng. Di antara mereka terdapat dua orang
kepercayaan Nyepa itu. Mereka sebenarnya ingin mencari Pengtjoan
Thianlie, tapi yang diketemukan adalah tubuh Omateng yang dingin seperti
es. Si pendeta yang berpengalaman lantas saja menduga, bahwa di bentengan
mesti terjadi kejadian luar biasa, maka buru-buru ia mengajak kawan-
kawannya pulang.
Melihat Pengtjoan Thianlie tidak berada disitu, hati si pendeta
menjadi lega. "Bocah!" bentaknya. "Kau orang berani datang untuk merampas
utusan Budha Hidup? Nyalimu sungguh tak kecil!"
Thian Oe mengeluarkan suara di hidung. "Jangan banyak bacot!' ia
lantas membentak. "Lekas serahkan Omateng untuk dihukum!"
Orang kepercayaan Omateng jadi sangat gusar. "Binatang!" satu
antaranya berteriak. "Ilmu siluman apakah yang digunakan olehmu untuk
mencelakakan Nyepa? Jika kau tak mengembalikan kesehatannya, aku akan
cabut jiwa anjingmu!" Sambil mencaci, mereka menerjang, yang satu
menggunakan golok, sedang yang lain menggunakan kampak.
"Peng-moay, kau lindungi utusan Budha Hidup," kata Thian Oe sambil
menangkis serangan musuh. Dalam sekejap mereka sudah bertempur seru.
Sementara itu, si pendeta tertawa dingin dan menjaga di luar sambil
mencekal kedua senjatanya. Thian Oe tak takut kedua musuhnya itu, tapi ia
merasa jeri terhadap si pendeta. Ia yakin, bahwa meskipun ia mengerubuti
bersama Yoe Peng, mereka berdua masih belum tentu bisa melawannya.
Semakin lama ia jadi semakin bingung, karena tiada jalan untuk meloloskan
diri. Melihat pemuda itu tak berani menerjang keluar, si pendeta jadi
lebih girang dan sambil tertawa nyaring, ia merangsek.

***

Sementara itu, Hoat-ong dan Kim Sie Ie yang sedang mengadu tenaga
mati-matian, sudah mencapai pada detik yang memutuskan. Mendadak, Hoat-
ong menghantam sekeras-kerasnya dan berbareng Kim Sie le menyemburkan
jarum beracun! Pada detik yang sangat genting itu, sekonyong-konyong
terdengar bentakan nyaring dan merdu! Kim Sie Ie terkejut sehingga
jarumnya mencong dan dikebut terpental dengan tangan baju Hoat-ong. Di
lain pihak, karena kagetnya sebab bentakan itu, tenaga pukulan Hoat-ong
pun berkurang banyak, sehingga, biarpun terpukul jatuh, Kim Sie Ie tak
sampai mendapat luka di dalam badan. Sesudah bergulingan, ia melompat
bangun kembali.
Semenjak meninggalkan pulau Tjoato, inilah untuk pertama kali Kim
Sie Ie bertempur dengan menggunakan seantero tenaganya. Tadi, karena
sedang memusatkan seluruh semangat dan perhatian kepada pertempuran itu,
ia tak tahu kedatangan Pengtjoan Thianlie. Sekarang begitu melompat
bangun, ia melihat Peng Go yang berdiri sambil tersenyum. Dalam kagetnya,
ia mengeluarkan teriakan "Aya!" dan mengawaskan dengan mulut ternganga.
Tiba-tiba ia merasakan hawa sangat dingin menyambar masuk ke dalam
tubuhnya Ternyata, selagi ia ternganga, si nona telah mementil dua butir
Pengpok Sintan ke dalam mulutnya!
Barusan, karena ditindih tenaga Hoat-ong, Kim Sie Ie merasa panas
dan haus luar biasa. Maka itu, Pengpok Sintan seolah-olah air sejuk bagi
seorang pelancong di tengah padang pasir dan mendadak saja, badannya
menjadi adem dan rasa hausnya hilang. Sebagai seorang yang memiliki
kepandaian tinggi, ia segera mengerti, bahwa si nona sudah menolong
dirinya dengan menggunakan "racun untuk melawan racun". Tanpa pertolongan
itu, meskipun tak sampai menjadi binasa, sedikitnya ia bakal mendapat
sakit berat.
Untuk sejenak, ia berdiri dengan kepala pusing dan pikiran kalut.
Kedatangannya kepada Hoat-ong adalah untuk melampiaskan rasa
mendongkolnya terhadap Tong Keng Thian. Diluar dugaan, hampir-hampir ia
binasa dan kekalahannya yang menyedihkan telah disaksikan oleh Pengtjoan
Thianlie. Bukan saja disaksikan, malahan ditolong oleh si nona. Baginya,
soal mati atau hidup adalah soal remeh. Yang dipandang penting adalah
soal kehormatan, menurut tafsirannya sendiri. Maka itu, pada detik itu,
ia merasa sangat jengah dan penasaran.
Koei Peng Go tentu saja tak dapat menebak jalan pikiran pemuda yang
aneh itu. Perlahan-lahan ia mendekati dan menanya sambil bersenyum: "Apa
kau tidak mendapat luka? Hm! Apa kau telah bertemu dengan Tong Keng
Thian? Mari kita berangkat dan jika bertemu, kita boleh minta beberapa
butir Pekleng tan. Menurut katanya Lu Soe Nio, latihan lweekang-mu kurang
tepat dan hanya Pekleng tan yang dapat menolong kesehatanmu." Si nona
bicara dengan suara lemah-lembut, tapi bagi Kim Sie Ie, setiap perkataan
seperti juga jarum yang menusuk perasaannya. Sekonyong-konyong, sambil
berteriak keras, ia kabur. Pengtjoan Thianlie mengubar, tapi ia sudah
berada di atas genteng dan sebelum mabur lebih jauh, ia melirik si nona
dengan sorot mata dingin dan mendongkol.
Dengan hati berat, Peng Go kembali kepada Hoat-ong dan berkata
seraya menggelengkan kepala: "Ah! Benar-benar sukar diurus!"
"Benar-benar sukar diurus!" mengulangi Hoat-ong yang kemudian,
sambil merangkap kedua tangannya, menanya: "Apakah pemuda itu dikenal
oleh Liehoehoat?"
"Dia adalah seorang sahabat yang aku pernah bertemu beberapa kali,"
jawabnya. "Bahwa dia telah berlaku kurang ajar terhadap Budha Hidup,
hatiku sungguh merasa tidak enak."
Hoat-ong tersenyum. "Sedang usianya masih begitu muda,
kepandaiannya sudah begitu tinggi," katanya. "Dapat dikatakan, bahwa
dalam dunia ini tidak berapa orang yang dapat direndengkan dengannya.
Jika Liehoehoat tidak keburu datang, mungkin sekali aku dan dia akan
binasa bersama-sama."
Pengtjoan Thianlie melirik ke jurusan yang diawaskan Hoat-ong.
Ternyata, Budha Hidup itu tengah mengawaskan jarum Kim Sie le yang
menancap di batu marmer dan yang di seputarnya berwarna hitam!
Waktu masih berada di Tjenghay (Kokonor), Peng Go pernah menjadi
tamu Hoat-ong. Maka itu, pertemuan yang kedua kali ini sangat
menggirangkan kedua belah pihak. Hoat-ong segera mengundang tamunya duduk
minum teh. Sambil minum dan omong-omong, mata si nona terus mengincar
sebuah lukisan di tembok.
"Liehoehoat, apa kau merasa ketarik dengan lukisan itu?" tanya
Hoat-ong.
Si nona mengangguk dan lalu bangun berdiri, akan kemudian perlahan-
lahan mendekati lukisan tersebut. Mendadak, pada paras mukanya terlihat
perasaan heran.
"Lukisan itu adalah lukisan 'Phaspa mengunjungi Kublai di
Mongolia'," menerangkan Hoat-ong. "Baik lukisan wanitanya, maupun
binatang-binatangnya, semua kelihatan hidup sekali. Pemandangan di gurun
utara juga dilukiskan secara indah sekali." Selagi memberi penjelasan,
sambil menunjuk-nunjuk lukisan itu, tiba-tiba Hoat-ong mengeluarkan
seruan tertahan dan matanya mengincar muka gambar wanita itu yang
ternyata sangat mirip dengan muka si nona.
"Apakah pelukisnya masih berada disini?" tanya Peng Go.
"Para pelukis datang dari Lhasa dan mereka datang kemari atas
undangan Touwsoe almarhum," jawabnya. "Dalam kuil ini masih ada beberapa
gambar yang belum selesai dan pelukis-pelukis masih belum dibubarkan. Aku
akan memerintahkan orang untuk menyelidiki." Ia memanggil seorang
muridnya yang lalu diperintah memanggil pelukis yang melukis gambar di
tembok itu.
Dalam omong-omong, si nona menceritakan apa yang sudah dilakukannya
di Lhasa. Ia menuturkan, bahwa dalam pertemuannya dengan Dalai Lama,
Budha Hidup itu sudah mengerti akan kejahatan Omateng dan menyetujui,
bahwa Hoat-ong Agama Topi Putih memegang kekuasaan tertinggi yang tak
boleh diganggu-gugat di seluruh wilayah Sakya. Ia juga memberitahukan,
bahwa Hok Kong An telah berjanji untuk mengirim tentara guna mencegat
pasukan dari Kalimpong.
Hoat-ong jadi girang sekali dan berkata dengan suara berterima
kasih: "Aku merasa sangat berhutang budi kepada Liehoehoat yang sudah
membebaskan Tibet dari bencana yang sangat besar."
"Itu semua bukan karena pahalaku," si nona merendahkan diri. "Hal
itu sudah terjadi karena beberapa Budha Hidup mempunyai pandangan yang
jauh dan hati yang welas asih, serta tidak menghendaki pecahnya
peperangan yang merupakan bencana bagi umat manusia. Sekarang ini,
tentara Omateng sedang berhadapan dengan tentara Lochu. Aku berpendapat,
secepat mungkin kita harus membereskan soal ini."
Hoat-ong manggutkan kepala dan berkata: "Siang-siang aku sudah
tahu, bahwa Omateng bukan manusia baik. Jika sebegitu jauh aku belum
bertindak, adalah karena memandang Agama Topi Kuning. Sebagai tamu, tak
pantas aku menentang tuan rumah. Tapi sekarang, sesudah Budha Hidup,
Dalai menyerahkan semua kekuasaan kepadaku, biarpun Omateng mempunyai
kepandaian yang lebih tinggi lagi, dia tak akan terlolos dari tanganku."
Sehabis berkata begitu, ia segera memerintahkan muridnya untuk bersiap,
karena malam itu juga ia ingin pergi ke bentengan Touwsoe untuk
membereskan kekacauan.
Sebelum berangkat, seorang murid melaporkan, bahwa pelukis yang
dicari sudah diketemukan dan bahwa ia itu adalah orang dari Nepal.
"Siapa namanya?" tanya Peng Go.
"Dia baru mau memberitahukan, sesudah bertemu Liehoehoat,"
jawabnya.
"Bagaimana dia tahu, aku berada disini?" tanya pula Peng Go dengan
saura heran. "Apa kau yang memberitahukannya?"
"Tidak," jawab murid itu. "Begitu bertemu, ia mengatakan, bahwa
yang mencari padanya tak bisa lain daripada Peng Go Siauwkongtjoe."
"Undanglah ia masuk," kata si nona dengan tak sabaran.
Sesaat kemudian, seorang tua yang rambutnya putih dan yang matanya
terus mengincar Pengtjoan Thianlie, berjalan masuk. Begitu berhadapan, ia
segera berkata dalam bahasa Nepal: "Aha! Sungguh mirip dengan Hoa Giok
Kongtjoe!"
"Siapa kau?" tanya si nona. "Kenapa kau tahu nama ibuku?"
"Budakmu bernama Ngotu," ia memperkenalkan diri. "Pada tiga puluh
tahun berselang, aku pernah bekerja di bawah Hoema dan Kongtjoe."
Peng Go mengeluarkan seruan tertahan sambil bangun berdiri. "Kalau
begitu, kau adalah Ngotu Kongkong," katanya. "Sungguh tak nyana, kita
masih bisa bertemu di tempat ini." Sambil berkata begitu, ia membungkuk
dan memberi hormat kepada orang tua itu.
Murid-murid Hoat-ong kaget. Mereka tak nyana, pelukis miskin itu
bisa mendapat kehormatan yang begitu tinggi dari seorang tamu Budha Hidup
dan seorang Liehoehoat, seorang Pelindung Agama, yang mempunyai Pweeyap
Lenghoe.
Buru-buru Hoat-ong memerintahkan muridnya mengambil kursi untuk
Ngotu. "Aku tak duga, kalian adalah sahabat lama," katanya.
"Bukan, bukan begitu," menerangkan si nona. "dengan Ngotu Kongkong
aku baru pernah bertemu muka. Tapi aku mengetahui, bahwa ia adalah guru
melukis dari mendiang ibuku. Dulu, ibuku sering mengatakan, bahwa Ngotu
Kongkong adalah pelukis nomor satu di seluruh Nepal dan di dalam istana
es aku masih menyimpan beberapa rupa buah tangannya."
Hoat-ong merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Pertemuan luar
biasa di negara asing sungguh merupakan merupakan jodoh yang luar biasa
pula."
"Kongkong," kata si nona. "Dalam usia yang sudah begitu lanjut,
kenapa kau tak mau berdiam saja di dalam istana? Perlu apa Kongkong
merantau ke negeri orang?"
Si tua mengurut-urut jenggotnya dan berkata dengan suara perlahan:
"Aku berdiam disini justru untuk menunggu kau. Semula, aku tak tahu,
berapa lama aku harus menunggu. Tapi atas belas kasihan Sang Budha, hari
ini kita bisa bertemu dan aku percaya Nepal masih dapat ditolong."
"Ada apa? Kenapa Kongkong mengatakan begitu?" tanya Peng Go.
"Raja Nepal yang dulu adalah saudara misan ibumu," kata Ngotu. "Dia
seorang kejam dan serakah, sehingga di dalam negeri ia tidak disuka
rakyat,di luar negeri ia bermusuhan dengan negara-negara tetangga. Apakah
kau tahu hal itu?"
"Aku pernah mendengarnya dari ibu," jawab si nona. "Ibu pernah
meminta pertolongan orang untuk membujuknya. Dan jika tak salah, karena
kejamnya paman, maka ibu telah bersumpah untuk tidak kembali lagi ke
Nepal. Tapi kenapa Kongkong mengatakan raja yang dulu?"
Ngotu mengirup teh dan kemudian, sesudah menghela napas panjang, ia
berkata: "Dua tahun berselang, yaitu dalam tahun terjadinya perebutan
guci emas, ia mendapat luka waktu bertempur dengan sebuah negara
tetangga. Luka itu, luka kena anak panah, ternyata tak bisa disembuhkan,
sehingga tak lama kemudian ia meninggal dunia. Putera mahkota yang
menggantikan kedudukannya sebagai raja, lebih kejam daripada ayahnya.
Penderitaan rakyat menghebat dan secara wajar, orang-orang yang lebih tua
mengingat Hoa Giok Kongtjoe, Mereka mengatakan, bahwa tahta kerajaan
sebenarnya harus diduduki oleh ibumu dan jika dulu ibumu menggantikan
kedudukan ayahnya, keadaan di Nepal tentu tidak jadi begitu kacau. Semua
orang mengharap, supaya Hoema dan Kongtjoe bisa kembali ke negeri sendiri
untuk menolong Nepal dari kemusnahan."
"Ibuku sudah meninggal belasan tahun lamanya," kata si nona dengan
suara duka.
"Hal ini sudah didengar olehku, tapi belum diketahui rakyat," kata
Ngotu.
"Bagaimana kau tahu, ibuku sudah meninggal dunia?" tanya Peng Go.
"Raja yang dulu pernah memerintahkan Koksoe (Guru negara) pergi ke
Tibet untuk menyelidiki Hoa Giok Kongtjoe," jawabnya. "Menurut
pendengaranku, dia pernah bertemu muka dengan kau."
Pengtjoan Thianlie mengangguk. "Benar," katanya. "Pendeta jubah
merah itu dua kali menyateroni istana es, tapi dipukul mundur olehku.
Belakangan, ia binasa waktu terjadi perebutan guci emas."
"Biarpun dia sudah mati, tapi dalam laporannya kepada raja, dia
sudah menanam bibit bencana," kata Ngotu.
"Apa yang dikatakannya kepada raja?" tanya si nona dengan perasaan
heran.
"Dia mengatakan telah bertemu dengan seorang dewi yang
kecantikannya tiada bandingan dalam dunia ini," jawabnya. "Dewi itu
adalah kau sendiri. Dia juga melaporkan, bahwa kau memiliki ilmu silat
yang sangat tinggi, malahan setiap dayangmu pun mempunyai kepandaian
lumayan. Jika kau suka membantu raja, Nepal tentu bisa menjagoi, tapi
menurut pendapatnya, kau tak akan sudi kembali ke negara sendiri.
Selanjutnya dia berpendapat, bahwa karena tidak setia kepada raja,
kau bisa merupakan bibit penyakit jika dibiarkan hidup terus. Maka itu,
dia mengusulkan, supaya raja mengumpulkan orang-orang pandai untuk
mengambil jiwamu."
Si nona tertawa dingin. "Aku tak takut," katanya.
"Tapi Raja yang dulu tidak mengambil tindakan apa-apa, karena ia
tengah menghadapi banyak urusan di dalam negeri dan bermusuhan dengan
beberapa negara tetangga," kata Ngotu.
"Tapi bahaya apa yang barusan disebutkan olehmu?" tanya si nona.
"Pada waktu Koksoe memberi laporan, Thaytjoe (putera mahkota) juga
berada disitu," menerangkan si tua. "Sebagai pelukis istana, aku pun
kebetulan berada dalam ruangan itu. Sesudah Thaytjoe menjadi raja dua
tahun lamanya, sampai sekarang ia belum mengambil permaisuri dan sebabnya
adalah karena ia ingin menunggu kau."
"Binatang!" menggerendeng si nona dengan suara gusar. "Dia jangan
mimpi."
"Dia membuat persiapan dengan sungguh hati," si tua melanjutkan
keterangannya. "Selama dua tahun, dia telah mengumpulkan banyak sekali
jago-jago dari negara-negara Arab dan Eropa dan telah melatih satu
pasukan untuk mendaki gunung. Sesudah persiapannya selesai, dia akan
segera datang ke Tibet untuk menyambut kau."
"Biarpun dia mengirim puluhan laksa tentara, aku tak akan
menunduk," kata si nona dengan suara mendongkol.
"Tapi dia mempunyai perhitungan lain," kata Ngotu. "Dia menganggap,
bahwa dengan ancaman perang, dia akan bisa menekan Hok Kong An dan Raja
Tibet yang tentu tak sudi berperang karena kau seorang. Maka itu,
andaikata kau tak suka mengikut, kau tentu tak akan bisa berdiam lebih
lama lagi di wilayah Tibet."
Paras muka si nona jadi merah padam karena gusar dan jengkel, la
tak menduga, bahwa karena gara-garanya, di Tibet bakal muncul satu
kejadian hebat.
Sesudah berdiam sejenak, Ngotu berkata pula: "Karena pernah
menerima budi ibumu yang sangat besar dan juga sebab mengingat
penderitaan rakyat, maka aku sudah meninggalkan penghidupan mewah dalam
istana dan merantau ke Tibet untuk mencari kau. Sebab sudah berusia
lanjut, aku merasa tak sanggup untuk pergi ke istana es dan hanya
menunggu untuk melihat lain kesempatan. Kebetulan sekali, orang mencari
pelukis untuk kuil Lhama yang baru didirikan dan aku segera melamar
pekerjaan itu.
Aku ingat, bahwa ibumu adalah seorang yang memuja Budha, sehingga
mungkin sekali kau pun akan datang berkunjung kesini. Memikir begitu, aku
lalu melukis gambar itu dan benar saja, atas berkah Sang Budha, sekarang
kita bisa bertemu muka."
"Terima kasih untuk segala capai lelahmu," kata si nona sambil
membungkuk.
"Aku datang kemari dengan membawa pengharapan rakyat dan
pengharapanku sendiri," kata pula Ngotu. "Aku memohon supaya kau suka
mempertimbangkannya. Pengharapan itu adalah, jika kau menganggap bahwa
kau mampu membinasakan raja kejam itu, pulanglah dan merebut kekuasaan
dari tangannya. Tapi, andaikata kau tak bisa membunuh dia dengan tangan
sendiri, begitu kau pulang dan memanggil rakyat, rakyat pasti akan
bangkit untuk membunuh raja kejam itu dan mengangkat kau sebagai raja.
Tahta kerajaan memang adalah hak ibumu, sehingga kalau kau menduduki
tahta, hal itu tidak lebih daripada pantas."
Si nona bersenyum seraya berkata: "Aku sedikitpun tak mempunyai
minat untuk menjadi raja. Jika Puncak Es tidak roboh, aku tentu tidak
berada disini. Sebenarnya aku sudah berkeputusan pasti untuk hidup
mengasingkan diri di istana es selama-lamanya."
"Jika kau tidak ingin menjadi raja, lebih baik kau segera
menyingkir secepat mungkin," kata Ngotu. "Aku kuatir, dalam waktu cepat
dia akan datang kemari dengan tentaranya."
"Bagaimana Kongkong tahu?" tanya Peng Go.
"Omateng telah mengundangnya untuk mengirim tentara dan dia pasti
tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu," jawabnya.
Pengtjoan Thianlie merasa duka sekali. Ia duduk bengong dan tidak
mengeluarkan sepatah kata. Dalam hatinya penuh dengan kesangsian, ia tak
tahu tindakan apa yang harus diambilnya.
Sementara itu, seorang murid Hoat-ong melaporkan, bahwa segala apa
sudah siap sedia untuk keberangkatan raja agama itu ke bentengan Touwsoe.
"Ngotu Kongkong, terima kasih banyak untuk segala kebaikanmu," kata
si nona. "Untuk sementara, kau berdiam saja disini dan sesudah keadaan di
Nepal menjadi beres, barulah kau kembali ke negara sendiri." Si nona
tidak memberitahukan apa yang akan dilakukannya, tapi bagi Ngotu,
perkataan itu sudah merupakan jaminan, bahwa sang puteri tak akan
berpeluk tangan. Maka itu, dengan perasaan syukur, ia lantas mengundurkan
diri. Sesudah itu, Pengtjoan Thianlie segera mengikut rombongan Hoat-ong
berangkat ke bentengan Touwsoe.

***

Sementara itu, keadaan Tan Thian Oe dan Yoe Peng yang terkepung di
dalam pagoda sudah diliputi bahaya. Si pendeta berkelana menyerang
hebat dengan tongkat dan mangkok emasnya, sehingga Thian Oe terpaksa
berkelahi sembari mundur. Yoe Peng yang melindungi utusan Panchen, juga
sudah mulai bertempur dengan Teruchi. Dua boesoe kepercayaan Omateng
lantas saja menerjang si nona dengan tujuan merebut utusan Panchen.
Dikerubuti tiga orang, dalam sekejap Yoe Peng terdesak dan dalam keadaan
berbahaya, buru-buru ia melepaskan dua butir Pengpok Sintan, yang
mengenakan tepat pada jalanan darah kedua boesoe itu. Sambil berteriak-
teriak, mereka melompat keluar dari gelanggang pertempuran dan terus
kabur. Si nona girang dan lalu melepaskan pula sebutir Pengpok Sintan.
Teruuchi yang berkepandaian lebih tinggi cepat-cepat memutar Djoanpian
bagaikan titiran, sehingga, biarpun ia menggigil kedinginan, senjata
rahasia itu kena terpukul jatuh. Dengan beruntun Yoe Peng melepaskan lagi
beberapa Sintan, tapi semuanya dikebas terpental dengan tangan baju si
pendeta.
Sekarang, sedang Yoe Peng bisa bernapas lebih lega, Thian Oe jadi
semakin repot. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, dengan bentakan
"kena!", mangkok si pendeta menyambar ujung pedang Thian Oe. Sebisa-bisa
pemuda itu coba menarik pulang senjatanya, tapi sudah tidak keburu lagi,
sehingga ujung pedang kena ditungkrup mangkok yang lalu diputar dan
pedang Thian Oe pun mengikuti terputar. Dengan mengerahkan seluruh
lweekang, ia coba membetot senjatanya, tapi tak bisa terlepas dari
"isapan" mangkok.
Si pendeta girang bukan main, tapi mendadak ia merasakan ada apa-
apa yang luar biasa di luar pintu. Ia menoleh dan tiba-tiba saja dua
butir benda kecil yang sangat dingin menyambar masuk ke dalam lubang
hidungnya. Hatinya mencelos karena Pengtjoan Thianlie kelihatan berdiri
di ambang pintu sambil mengawaskannya dengan sorot mata dingin.
Si pendeta terbang semangatnya dan sambil mengerahkan lweekang
untuk melawan hawa dingin, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia melompat
ke jendela dan terus kabur terbirit-birit. Si nona tidak mengubar dan
membiarkan pendeta itu mabur. Teruchi juga kaget bukan main, sehingga
gerakan senjatanya agak lambat dan Thian Oe yang sungkan menyia-nyiakan
kesempatan baik, segera melompat dan menangkap ujung Djoanpian. Baru saja
ia mengangkat pedang untuk menabas, Peng Go membentak: "Tahan! Ampuni
padanya, jika ia mau bersumpah untuk tidak mengacau lagi di Tibet."
Teruchi yang masih sayang jiwanya, lantas saja mengucapkan sumpah yang
berat dan kemudian berlalu tanpa diganggu.
Sementara itu, Hoat-ong sudah naik ke atas dan berjumpa dengan
utusan Panchen, yang sudah bisa bergerak leluasa karena ditolong dengan
obat istana es. Dengan perkataan-perkataan halus ia pun menghaturkan
banyak terima kasih untuk semua pertolongan.
Kaki tangan Omateng yang sudah mati kutunya, berdiri di sudut
ruangan tanpa berani bergerak. Mereka ketakutan setengah mati, lebih-
lebih dua boesoe yang menggotong tubuh Nyepa itu.
"Apakah kau orang ingin menebus dosa?" tanya Hoat-ong dengan suara
angker.
Melihat dibukanya jalanan hidup, semua boesoe itu segera manggut-
manggutkan kepala.
"Sebagai orang kepercayaan, kau orang tentu mengetahui, bahwa
Omateng telah bersekutu dengan orang luar untuk menimbulkan kekacauan di
Tibet," kata pula Hoat-ong. "Sekarang aku ingin mendapat bukti dari
persekutuan itu untuk diumumkan kepada dunia, terutama kepada pembesar-
pembesar dan rakyat di Sakya." Sehabis berkata begitu, ia segera
memerintahkan dua orang muridnya untuk menggeledah kamar Omateng dengan
orang-orang kepercayaan itu.
Benar saja dalam kamar itu telah didapatkan sejumlah surat-surat
rahasia, antaranya surat balasan Raja Kalimpong dan Raja Nepal yang
menjanjikan pengiriman tentara. Hoat-ong segera meminta Pengtjoan
Thianlie untuk menyadarkan Nyepa itu, yang meskipun licik, sekarang tidak
bisa menyangkal lagi segala kedosaannya. Sesudah
menegurnya dengan perkataan-perkataan keras, Hoat-ong menotok
beberapa bagian tubuhnya untuk memusnahkan ilmu silatnya. Sesudah itu, ia
menyerahkan Omateng kepada utusan Panchen untuk dibawa ke Lhasa dan
diadili.
Sesudah membereskan keadaan di dalam bentengan, Hoat-ong
memerintahkan beberapa muridnya, dengan membawa tanda kekuasaan Budha
Hidup, pergi mendamaikan kedua pasukan yang sedang berhadapan di luar
bentengan, yaitu pasukan Touwsoe dan pasukan Lochu, pamannya Chena.
Sementara itu, utusan Panchen telah memberi pengampunan kepada si
tabib, yang telah dipaksa Omateng untuk meracuninya. Tak usah dikatakan
lagi, ia jadi kegirangan dan lalu berlutut sambil manggutkan kepala
berulang-ulang. Atas pertanyaan Thian Oe, tabib itu memberitahukan, bahwa
jenazah Chena ditaruh di belakang bentengan bersama peti mati Touwsoe.
Tanpa menunggu lagi, dengan diantar oleh si tabib, bersama Yoe Peng,
Thian Oe segera menuju ke tempat yang ditunjuk.
Ternyata jenazah Chena ditaruh dalam sebuah peti mati kaca, di
samping peti mati Touwsoe. Dengan berbuat begitu, Omateng mempunyai
maksud tertentu, la ingin, supaya semua penghuni dalam bentengan Touwsoe
bisa mengenali, bahwa pembunuh itu adalah "si pencuri kuda" yang pernah
ditolong oleh Tan Teng Kie dan puteranya. Dengan berbuat begitu, ia
bertujuan untuk mengobarkan perasaan gusar terhadap orang Han seumumnya
dan Soanwiesoe khususnya. Tapi, di luar dugaan, tindakan Omateng telah
memungkinkan Thian Oe melihat pula wajah kecintaannya. Karena hawa yang
dingin, maka biarpun sudah lewat sekian lama, jenazah itu masih belum
rusak dan di bawah kaca, paras muka Chena tiada bedanya seperti waktu
masih hidup.
Melihat kecintaannya, untuk sejenak Thian Oe berdiri terpaku.
Kepalanya terputar, ia merasakan seolah-olah langit ambruk. Di lain saat,
dengan satu teriakan menyayatkan hati, ia melompat dan memeluk peti mati
itu!
Semua orang -- Yoe Peng, si tabib, nyonya Touwsoe dan Sanpiie --
mengawaskan dengan mata membelalak. Sesaat itu, segala apa sudah menjadi
terang bagi Sanpiie. Ia sekarang tahu sebab-sebab penolakan pemuda itu
untuk menikah dengannya.
Sesudah hilang kagetnya, nyonya Touwsoe jadi gusar. "Tan Kongtjoe,"
katanya dengan suara mendongkol. "Untuk apa kau masuk ke ruangan ini?
Untuk bersembahyang kepada suamiku atau kepada penjahat perempuan itu?"
"Dia... bukan... penjahat," jawabnya terputus-putus. "Dia adalah
puteri Raja muda Chinpu. Jika kalian tidak senang, biarlah sekarang juga
aku memindahkan peti matinya."
"Aku tak perduli dia siapa!" berteriak nyonya Touwsoe. "Dia adalah
pembunuh suamiku dan biarpun dia sudah mati, dia masih harus membayar
hutangnya!” Mendadak nyonya itu menangis menggerung-gerung dan sesambat:
"Ongya! Ongya! Sungguh buruk nasibmu! Sesudah mati, masih ada orang yang
menghina kau!" Selagi ia mau mencaci, sekonyong-konyong ia ingat
pertolongan Thian Oe yang sudah bantu menyingkirkan Omateng.
Mengingat begitu, ia jadi lebih sabar dan tangisannya mereda
Sekonyong-konyong terdengar tangisan Yoe Peng. "Chena Tjietjie!"
teriaknya. "Jiwamu dijual terlalu murah! Orang lain membunuh sekeluargamu
dan merampas harta bendamu. Tapi, kau dengan hanya membunuh satu musuh,
sudah mesti membayar dengan jiwamu sendiri. Chena Tjietjie! Kematianmu
sungguh tidak berharga!"
Nyonya Touwsoe dan Sanpiie terkejut. Bahwa Touwsoe telah membunuh
Raja muda Chinpu serumah tangga dan kemudian merampas tanah, adalah
kejadian yang diketahui mereka. Maka itu, perkataan Yoe Peng yang tajam
sudah mengejutkan mereka. Sedang Yoe Peng masih mengucurkan air mata,
dengan diantar Hoat-ong dari luar tiba-tiba masuk seorang yang bertubuh
tinggi besar. Orang itu adalah Lochu.
Melihat jenazah keponakannya yang ditaruh berendeng dengan peti
mati Touwsoe, Lochu gusar bukan main. "Binatang!" bentaknya. "Kau berani
berendeng dengan keponakanku?" Ia mengangkat tangan untuk menghantam peti
mati Touwsoe.
Hoat-ong merangkap kedua tangannya seraya berkata dengan suara
sabar: "Sesudah hutang dibayar, permusuhan habis dengan sendirinya. Mulai
dari sekarang, kedua belah pihak harus menyingkirkan segala permusuhan."
Mendengar itu, Lochu mengurungkan niatnya dan dengan sorot mata
gusar ia mengawasi nyonya Touwsoe yang duduk di atas lantai tanpa
mengeluarkan sepatah kata. Melihat kedatangan Lochu, Thian Oe merasa tak
perlu berdiam lebih lama lagi, maka sambil menarik tangan Yoe Peng, ia
segera berjalan keluar dari ruangan sembahyang itu.

***

Di gedung Soanwiesoe, Keng Thian kaget bukan main ketika orang


melaporkan, bahwa Thian Oe telah kembali bersama dua orang wanita.
"Eh-eh! Apa dia terluka?" tanya Keng Thian.
"Tidak, Kongtjoe kelihatan lebih segar daripada waktu berangkat,"
jawab serdadu yang melaporkan.
Buru-buru Keng Thian keluar dan begitu melihat, kegirangannya
meluap-luap. Thian Oe berjalan masuk sambil tersenyum, sedang Peng Go dan
Yoe Peng mengikuti dari belakang dengan bergandengan tangan. Untuk
melayani musuh, sudah beberapa hari ia bekerja terus menerus hampir tanpa
mengasoh, sehingga ia sudah lelah dan lesu sekali. Tapi kedatangan Peng
Go seolah-olah air hujan bagi pohon yang layu dan mendadak saja
kesegarannya pulih kembali.
"Peng Go Tjietjie!" teriaknya. "Kenapa baru hari ini kau datang
kesini? Thian Oe, apakah yang sudah terjadi? Kenapa kau tidak pergi ke
Lhasa?" Sedang mulutnya menanya Thian Oe, matanya terus mengincar
Pengtjoan Thianlie.
Yoe Peng tertawa terpingkal-pingkal, dan melepaskan tangannya dari
cekalan si nona. Ia mendorong Thian Oe dan berteriak: "Tolol! Tak usah
meladeni pertanyaannya. Mari kita berlalu. Biar mereka bicara sepuas
hati."
"Tak usah pergi ke Lhasa," kata Peng Go yang lalu menceritakan apa
yang sudah terjadi.
Itulah perkembangan yang sungguh di luar dugaan Keng Thian. "Peng
Go Tjietjie, kau sungguh seperti seorang dewi," ia memuji dengan perasaan
kagum. "Dengan sekali mengebas tangan, awan membuyar dan matahari muncul
di langit cerah."
Paras muka si nona bersemu dadu. "Hm! Kegirangan, tapi aku justru
sedang kebingungan," katanya.
Keng Thian terkejut. "Ada apa lagi?" tanyanya dengan suara
berkuatir. "Bencana yang paling besar sudah dielakkan. Ada apa lagi yang
menjengkelkan?"
"Bahaya masih belum lewat," jawab si nona yang lalu menuturkan
pertemuannya dengan Ngotu, yang memberitahukan, bahwa Raja Nepal ingin
datang ke Tibet untuk memaksa ia pulang. "Tindakan apa yang harus diambil
olehku guna menghadapi bahaya itu?" tanya Peng Go akhirnya.
Paras muka Keng Thian lantas saja berubah guram, tapi sesudah
memikir sejenak, ia tertawa. "Sebagai seorang yang sudah kenyang membaca
kitab-kitab pelajaran Budha, apakah kau tak tahu, bahwa Hoedtjouw pernah
memotong daging sendiri untuk diberikan kepada seekor elang dan pernah
berkorban untuk seekor Harimau?" tanyanya.
"Apa kau rela melihat aku menikah dengan Raja Nepal?" si nona balas
menanya dengan suara menegur.
Keng Thian kembali tertawa seraya berkata: "Gila! Masakah aku rela
membiarkan kau menikah dengan raja kejam itu? Maksudku adalah supaya kau
tidak menampik capai lelah untuk pergi ke Nepal guna menemui manusia
kejam itu. Pertama, kau bisa mengakhiri niatnya yang tidak-tidak dan
kedua, kau bisa bertindak dengan mengimbangi salatan. Misalnya, jika
masih terdapat kemungkinn, kau bisa menuntun dia ke jalanan yang lurus,
atau, kau bisa juga menggulingkannya dan mengangkat seorang raja yang
lebih bijaksana. Dengan berbuat begitu, kau menyebar kebaikan kepada umat
manusia seumumnya dan kepada rakyat Nepal khususnya."
"Ibuku pernah bersumpah untuk tidak kembali lagi ke Nepal," kata si
nona. "Di samping itu, andaikata aku pergi, belum tentu aku bisa
berhasil."
"Dalam dunia ini banyak kejadian yang terjadi di luar dugaan
manusia," membujuk Keng Thian. "Dulu, kau pun pernah mengatakan, bahwa
kau tak akan turun dari istana es. Tapi bagaimana kesudahannya? Robohnya
Puncak Es sudah memaksa kau kembali ke pergaulan umum, kau-malahan sudah
terlibat dalam pertempuran, sudah tertarik ke dalam banyak peristiwa yang
memusingkan otak.
Maka itu, untuk menolong sesama manusia, sekarang kau tak boleh
takut pusing atau takut capai."
Sebenarnya, si nona pun sudah menggenggam niatan itu. Mendengar
bujukan Keng Thian, ia segera menyetujui dan berkata sambil bersenyum:
"Kalau begitu, kau harus mengikut aku pergi bersama-sama!"
"Akur!" kata Keng Thian dengan suara girang. "Aku memang sedang
menunggu undangan itu! Sesudah mengasoh dua hari, kita lebih dulu pergi
ke Lhasa untuk menemui Hok Kong An dan mendengar-dengar soalnya Liong
Leng Kiauw. Sesudah itu, barulah kita berangkat untuk berjumpa dengan
raja kejam itu."
Sambil berjalan berendeng di taman gedung Soanwiesoe, kedua orang
muda itu beromong-omong dengan suara perlahan. Dengan perasaan geli,
mereka menceritakan kembali beberapa salah mengerti di masa yang lampau
yang sebagian besar disebabkan oleh sepak terjang Kim Sie Ie.
"Orang itu sangat sukar ditaksir," kata Keng Thian. "Tadinya aku
sangat membenci dia. Tapi kali ini, di luar semua dugaan, ia telah
menolong Thian Oe. Waktu Omateng mengirim orang untuk menangkap pemuda
itu, mendadak dia muncul dan dengan suka rela menggantikan Thian Oe untuk
menemui Hoat-ong. Coba kau pikir: Heran atau tidak?"
"Kau tentu tak tahu, dia hampir-hampir mengantarkan jiwa," kata si
nona. "Barusan aku sudah lupa untuk memberitahukan hal itu kepadamu.
Waktu aku tiba di kuil Lhama, ia justru sedang bertempur dengan Hoat-
ong." Si nona lalu menuturkan kejadian itu secara jelas.
Keng Thian merasa semakin kagum akan cara-caranya orang aneh itu.
Sesaat kemudian, ia menghela napas seraya berkata: "Ia hanya bisa hidup
tiga puluh enam hari lagi, tapi ia kukuh menolak segala bantuan yang
ditawarkan olehku. Dia sungguh manusia yang paling luar biasa dalam dunia
ini. Sebelum mencarinya, hatiku tak akan merasa senang. Tapi kemana dia
sudah pergi?
***

Kemana perginya Kim Sie Ie?


Dari kuil Lhama, ia kabur bagaikan orang gila, tanpa tujuan.
Perlahan-lahan fajar menyingsing dan angin pagi yang dingin menyadarkan
otaknya yang ditutup kabut. "Kemana aku harus pergi?" tanyanya pada diri
sendiri. Tiba-tiba ia merasa haus, haus sekali. Dalam pertempuran melawan
Hoat-ong, ia telah mengeluarkan tenaga dan keringat terlalu banyak.
Untung juga, berkat pertolongan dua butir Pengpok Sintan, hawa panas itu
tertindih dan tak sampai "membakar" dirinya. Tapi peluru es bukannya
obat, maka sesudah melumer dan habis kekuatannya, ia kembali merasa haus,
karena hawa panas dalam tubuhnya belum hilang semuanya. Ia lalu berjalan
lebih cepat di jalanan raya yang menuju ke Lhasa dan tak lama kemudian,
ia bertemu dengan sebuah warung arak. Karena hawa di Tibet sangat dingin,
orang-orang yang berlalu-lintas sangat memerlukan arak untuk
menghangatkan badan. Maka itu, di sepanjang jalanan raya terdapat banyak
sekali warung-warung arak.
Ia segera mampir di warung itu dan sambil minum arak, ia memandang
alam yang indah. Di ladang dan di bukit-bukit, dan rumput sudah mulai
menghijau dan di antara warna hijau yang menutup bumi, terdapat bunga-
bunga kecil yang berwarna kuning muda. Itulah pemandangan dari permulaan
musim semi dan bunga yang mekar paling dulu adalah Potjoen hoa (Bunga
yang memberitahukan kedatangan musim semi). Waktu itu sudah masuk
Djiegwee (Bulan kedua), tapi karena datangnya musim semi selalu agak
terlambat, maka di antara rumput hijau, masih terdapat pohon-pohon gundul
atau yang daunnya berwarna kuning tua.
Kim Sie Ie jadi semakin berduka. "Ah! Nasibku tiada bedanya seperti
itu daun kuning yang sedang menunggu rontoknya," ia mengeluh. Dalam
dukanya, tanpa merasa ia menyanyi lagu Lianhoalok, yaitu lagu kaum
pengemis yang didapatnya waktu ia masih mengemis di daerah Kanglam.
Karena sedih dan penasaran, semakin lama ia menyanyi semakin keras,
sehingga pelayan yang membawa poci arak jadi terkejut. "Tuan tamu! Arak
datang!" teriaknya. Tanpa menoleh, ia mementil leher poci sehingga patah
dan dari jauh ia menyedot. Loh! Arak itu mendadak mancur keluar dari
dalam poci dan masuk ke dalam mulutnya. Si pelayan kaget tak kepalang dan
mengawaskan pertunjukan itu dengan mata membelalak. Sekonyong-konyong,
sambil berteriak keras, Kim Sie Ie melompat seperti orang dipagut ular!
Kenapa?
Ternyata, selagi ia menyedot arak, mendadak menyambar serupa benda
kecil yang berbentuk pil dan bersama arak, masuk ke dalam mulutnya.
Sambaran itu luar biasa cepat dan tidak terduga-duga, waktu ia
mengetahui, benda itu sudah masuk ke dalam perut. Sebagai orang yang
mempunyai kepandaian tinggi dalam ilmu menggunakan senjata rahasia,
bokongan tersebut tentu saja mengejutkan sangat hatinya.
Sesaat kemudian, ia merasa semacam hawa dingin menerobos masuk
sampai di tantian (pusar) dan hampir berbareng, rasa haus, puyeng dan
sakit menghilang semuanya. Ia terkesiap dan ingat perkataan Phang Lin
yang pernah menceritakan tentang khasiat Pekleng tan. Apakah yang
ditelannya pil Pekleng tan yang terbuat dari Thiansan Soatlian?
"Aku ingin sekali bertemu dengan orang yang menolong diriku!"
berseru Kim Sie Ie.
Sekonyong-konyong ia melihat muka dua wanita di jendela sebelah
barat dan mereka itu bukan lain daripada Phang Lin dan puterinya. Bahna
kagetnya, ia mengeluarkan jeritan nyaring dan berdiri terpaku. Ia sudah
menolak Pekleng tan yang diberikan Keng Thian, tapi akhirnya, ia menelan
juga pil itu. Biarpun pil yang ditelannya bukan diberikan langsung oleh
Keng Thian, tapi Pekleng tan tetap Pekleng tan. Phang Lin adalah bibi
Keng Thian. Bukankah dengan demikian, secara tak langsung, ia juga
menerima budinya pemuda itu?
Pada saat itu, rupa-rupa pikiran berkelebat-kelebat dalam otaknya,
sedang Lie Kim Bwee menggapai-gapai dengan sikap nakal. Bibirnya
bergerak, tapi ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
Mendadak, berbareng dengan berkelebatnya bayangan orang, Phang Lin
dan puterinya menghilang dari pandangan. Kim Sie Ie bengong dan tiba-tiba
saja, ia merasa sangat menyesal. Ia ingat, bahwa dalam pertemuan pertama
di atas gunung Gobie san, selagi si nona bermain-main dengan kawanan
kera, Kim Bwee pernah berkata begini: "Jika kau berlaku baik terhadap
mereka (kera-kera), mereka pun bersikap manis terhadapmu. Jika kau
menghina mereka, mana mereka mau bersahabat dengan kau?" Sekarang,
mendadak ia mendusin dan merasa, bahwa perkataan si nona tepat sekali. Ia
menganggap, bahwa dengan menolong Thian Oe, ia sudah berbuat suatu
kebaikan. Dan karena perbuatannya itu, beberapa orang memperhatikan
dirinya dan tanpa diminta, sudah mengulur tangan untuk menolongnya.
Memikir begitu, dalam hatinya muncul pertanyaan: "Apakah aku yang sudah
menarik kesimpulan salah? Apakah dunia ini sebenarnya tak begitu kejam
seperti yang diduga olehku?"
Dalam kedukaannya, ia ingat pula banyak kejadian di masa lampau. Ia
ingat kecintaan mendiang ayahnya, ia ingat kecintaan seorang pengemis
tua yang pernah mencuri ubi manis untuk menolongnya dari kelaparan, ia
ingat kebaikan Pengtjoan Thianlie dan ingat pula si nona nakal yang
sangat memperhatikan dirinya. Di samping ayahnya yang tercinta, orang-
orang itu telah berpapasan dengannya hanya untuk sementara waktu, tapi,
dalam tempo yang sependek itu, mereka telah berbuat apa-apa yang tak
dapat dilupakannya. Mengingat begitu, air matanya mengucur deras. Ia
ingin berteriak untuk memanggil Kim Bwee dan ibunya, tapi mereka sudah
tak tertampak bayang-bayangannya lagi.
Sambil menangis, ia mengawasi ladang yang luas dengan sorot mata
dan paras muka orang yang hilang ingatan. Para pelayan berwaspada dengan
hati berdebar-debar, tapi mereka tak berani menegur tamu yang aneh itu.
Sekonyong-konyong, ia mendengar suara seorang wanita yang tak
asing. "Aku minta sepoci arak susu kuda," katanya.
"Ibu, aku tak suka arak susu kuda yang asam," kata seorang wanita
muda. "Aku ingin minum anggur yang manis."
Ia menoleh dan matanya kebentrok dengan mata dua orang wanita,
seorang ibu dan puterinya. Begitu melihat Kim Sie Ie, si nona lantas
mundur beberapa tindak dengan mata membelalak.
Kedua wanita itu bukan lain daripada Yo Lioe Tjeng dan Tjee Tjiang
Hee. Oleh karena sang ibu ingin sekali bertemu dengan Tong Siauw Lan,
sedang si anak kepingin berjumpa dengan Tong Keng Thian, maka pada suatu
hari ibu dan anak itu telah berangkat ke Sinkiang dengan niatan mendaki
Thiansan guna menemui keluarga Tong. Setibanya di Sinkiang, mereka
bertemu Lie Tie dan baru mereka mengetahui, bahwa Keng Thian berada di
Tibet, sedang Siauw Lan pun sudah berangkat ke Tibet kira-kira setengah
bulan berselang, untuk menyusul puteranya Maka itulah, mereka lalu menuju
ke Tibet dan di luar dugaan, di tengah jalan bertemu dengan Toktjhioe
Hongkay. Waktu baru masuk ke warung arak, mereka tak mengenali pemuda itu
yang mengenakan pakaian Thian Oe. Sesudah melihat wajahnya, barulah
mereka tahu siapa adanya dia
Kim Sie Ie tentu saja tak tahu, bahwa kaburnya Phang Lin adalah
karena kedatangan Yo Lioe Tjeng. Sebagaimana diketahui, Phang Lin adalah
seorang wanita yang suka guyonan. Dulu, dengan menyamar sebagai Phang
Eng, kakaknya, ia pernah memapas rambut Yo Lioe Tjeng dengan golok
terbang. Itulah sebabnya, begitu melihat nyonya tersebut, ia kemalu-
maluan, tidak berani menemuinya dan lalu kabur sambil menyeret tangan
puterinya yang merasa heran melihat sikap sang ibu.
Sementara itu, melihat puterinya begitu ketakutan, Yo Lioe Tjeng
berkata dengan suara mendongkol: "Takut apa? Ingatlah, bahwa kau adalah
cucu Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng. Jangan kasih dirimu dipandang
rendah!"
Beberapa puluh tahun lamanya, Yo Tiong Eng pernah jadi pemimpin
Rimba Persilatan di lima propinsi Tiongkok Utara. Sebagai puteri keluarga
yang kesohor, Yo Lioe Tjeng tentu saja sungkan merendahkan diri. la
yakin, bahwa mereka berdua masih bukan tandingan Kim Sie Ie. Akan tetapi,
ia pun tahu, bahwa jika si penderita kusta mau menyusahkan, biarpun lari,
mereka tak akan bisa terlolos. Sebab itu, ia segera mengambil keputusan
untuk mempertahankan diri, sesuai dengan kedudukannya dalam Rimba
Persilatan.
Jika perkataan nyonya itu dikeluarkan pada beberapa tahun
berselang, ia pasti akan diganggu. Tapi sekarang, bukan saja Kim Sie Ie
tak mempunyai kegembiraan untuk mengganggu orang, tapi perkataan Yo Lioe
Tjeng malahan sudah menimbulkan rasa jengah dalam hatinya. "Ah, nona itu
cantik dan manis, seperti Kim Bwee Moaymoay," pikirnya. “Tapi begitu
melihat aku, dia lantas saja ketakutan. Ini memang salahku yang sudah
menanam bibit jelek pada dulu hari, sehingga semua manusia menganggap aku
sebagai manusia aneh."
Yo Lioe Tjeng segera mengajak puterinya duduk di satu meja dan
berteriak: "Pelayan, ambil dua poci anggur!" Sehabis berkata begitu, ia
mengeluarkan gendewa dan peluru yang lalu ditaruh di atas meja. Tapi
biarpun di mulut berani, hati si nyonya sebenarnya ketakutan, sehingga
tangan dan suaranya agak bergemetar. Kim Sie Ie tersenyum dan dengan
tenang minum terus araknya.
Selang beberapa saat, dari luar mendadak masuk seorang anak muda
yang dandanannya seperti kacung kamar buku (pelayan pribadi dari seorang
pemuda hartawan atau bangsawan) dan yang menggendong buntalan di
punggungnya. Kacung itu, yang berusia kira-kira enam belas atau tujuh
belas tahun, kelihatan lelah sekali, tapi pada bibirnya selalu
tersungging senyuman dan ia tak hentinya tertawa haha-hihi.
Sambil menaruh buntalan di atas meja, ia berkata seorang diri:
"Bagus 'dah! Besok aku sudah tiba di Sakya. Pelayan, berikan aku sepoci
anggur dingin!" Di pegunungan Tibet, hawanya dingin luar biasa dan
sepanjang tahun es tak pernah melumer. Tapi di tanah datar, di waktu
siang hawanya panas. Waktu itu belum tengah hari, tapi si kacung yang
rupanya sudah berjalan sedari pagi, sudah kepanasan dan kecapaian.
Sesaat kemudian, pelayan datang dengan membawa sepoci anggur dan
sepiring es potongan. Si kacung lalu menuang arak di cawan, mengambil
sepotong es yang lalu dicemplungkan ke dalam cawan dan kemudian menghirup
isinya sambil meram-melek. "Aduh, enak betul!" katanya dengan suara
keras. "Arak kaizar belum tentu seenak ini!' Ia menyapu seluruh ruangan
dengan matanya dan mendadak mendekati meja Yo Lioe Tjeng sambil tertawa
haha-hihi.
"Aha!" serunya. "Kalian masih belum tahu cara meminum anggur. Masa
anggur ditambah air? Dengarlah, aku memberi petunjuk. Jika kalian takut
anggur itu terlalu keras, tambahlah sepotong es. Anggurnya jadi lebih
lunak dan rasanya dingin."
Alis Yo Lioe Tjeng berkerut, tapi ia sungkan rewel, karena sedang
memperhatikan gerak-gerik Kim Sie Ie.
Tapi si kacung ternyata tak mengenal batas. Ia kembali ke mejanya,
mengambil piring es dan balik lagi seraya berkata: "Aku tak dusta.
Cobalah!" Ia menjumput sepotong es dengan jerijinya yang kotor dan lalu
menaruhnya ke dalam cangkir Tjee Tjiang Hee.
Si nona gusar bukan main. "Siapa suruh kau campur-campur urusanku?"
bentaknya sambil mementil dua biji buah tho. Itulah ilmu mementil peluru
dari keluarga Yo yang tersohor. "Tuk-tuk!", biji itu mengenakan tepat
pada jalanan darah Djoanma hiat, di bawah kedua ketiak si kacung, yang
lantas berteriak "aya!", sambil melompat tinggi, sehingga piring es
tumpah dan potongan-potongan es menimpa muka si nona.
"Jika kau tak suka, kenapa tak bilang siang-siang," teriak si
kacung. "Benar-benar kau tak mengenal kebaikan orang. Hm! Kongtjoe-ku tak
begitu sukar dilayani seperti kau!"
Mukanya Tjiang Hee bersemu dadu. "Siapa mau dilayani olehmu?" ia
balas membentak sambil mengangkat tangan untuk menggampar. Tapi sebelum
tangannya melayang, ia sudah ditarik ibunya. Yo Lioe Tjeng yang mempunyai
banyak pengalaman, mengawaskan si kacung dengan rasa heran dan sangsi.
Djoanma hiat adalah salah satu dari tiga puluh enam jalanan darah besar
dalam tubuh manusia. Jangankan seorang anak muda, sedangkan orang yang
berkepandaian tinggi mesti rebah jika Djoanma hiat-nya terpukul.
Apakah kacung itu mempunyai Pithiat Kanghoe (ilmu menutup jalanan
darah)?
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak dan bangun
berdiri. Yo Lioe Tjeng terperanjat dan tangannya lalu mengambil gendewa
dan peluru.
"Saudara kecil," kata Kim Sie Ie sambil tertawa. "Cara kau minum
arak sungguh bagus. Pelayan! Ambil sepiring es untukku."
Mendengar suara orang, si kacung memutar badan. Mendadak ia
berteriak: "Aduh! Tak nyana Inkong (tuan penolong) yang bicara! Hari itu,
aku tidak keburu menghaturkan terima kasih. Kenapa kau juga berada
disini? Inkong, aku tak mempunyai apa-apa untuk membalas budimu. Aku
hanya bisa mengundang kau minum secawan a-rak. Harap Inkong jangan
menampik. Aha! Aku sungguh gila! Inkong sudah menolong aku, tapi aku
sendiri belum menanya she dan nama Inkong yang besar!"
Kim Sie Ie tertawa seraya berkata: "Hm! Jika tak salah, kau ini
bernama Kang Lam, pelayan yang sangat bawel dari Tan Tliian Oe. Bukankah
begitu?"
"Tentulah Siauw Loosoe yang memberitahukannya kepadamu," kata Kang
Lam. "Sebenarnya aku sama sekali tidak banyak mulut. Mereka mengatakan
begitu, karena mereka membenci aku."
"Bagus!" kata Kim Sie Ie. "Kita berdua sama-sama dibenci orang.
Marilah minum!"
Yo Lioe Tjeng semakin tak enak hatinya. Sedang satu Kim Sie Ie saja
sudah sukar dilayani, apalagi ditambah dengan si kacung aneh. Tapi
sebenarnya, dalam hal ilmu silat, kepandaian Kang Lam masih belum dapat
menandingi Tjee Tjiang Hee. Hanyalah karena pernah dipaksa menjadi murid
Hongsek Toodjin, sehingga ia pernah mempelajari ilmu membalik aliran
jalanan darah dari imam itu, maka biji buah tho yang dipentil si nona
tidak berhasil merobohkannya.
Bahwa hari itu ia berhasil meloloskan diri dari cengkeraman Hongsek
Toodjin, adalah berkat pertolongan Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie.
Biarpun benar, ia terutama ditolong oleh Tong Keng Thian, tapi tanpa
bantuan kedua orang itu, Keng Thian pasti tak akan dapat memundurkan
Hongsek. Kang Lam adalah seorang yang mempunyai ingatan kuat, sehingga,
meskipun hanya melihat sekelebatan, ia tak bisa melupakan wajah Kim Sie
Ie. Maka itulah, begitu bertemu, ia segera memanggil Inkong.
Kim Sie Ie yang sedang uring-uringan dengan beruntun menghabiskan
belasan cawan dan kemudian sambil mendelik, ia menanya: "Eh, kenapa kau
memanggil Inkong? Selama hidupku, baru pertama kali orang memanggil
Inkong kepadaku."
"Tanpa pertolonganmu, sampai sekarang aku tentu masih jadi muridnya
toosoe bau itu," kata Kang Lam. "Sampai di ini detik, aku tentu masih
terkurung di dalam hutan batu. Mungkin sekali aku sudah mati lantaran
sebal."
"Toosoe itu bersedia menurunkan kepandaiannya kepadamu," kata pula
Kim Sie Ie. "Kenapa kau berbalik merasa sebal terhadapnya?"
"Dia jahat," jawabnya. "Tak keruan-keruan, ia mencaci aku. Hm!
Mukanya tak seperti muka manusia. Belum pernah aku melihat ia tertawa.
Bagaimana aku tidak merasa sebal?"
"Kau tahu aku siapa?" tanya Kim Sie Ie dengan mata melotot.
"Aku justru mau menanya," jawabnya dengan sikap hormat.
"Kau dengarlah!" membentak Kim Sie le dengan suara menggeledek.
"Aku adalah Kim Sie Ie, yang dikenal dalam kalangan Kangouw sebagai
Toktjhioe Hongkay! Kau tahu? Aku membunuh manusia tanpa memilih hari,
menggebuk orang tanpa alasan. Kau tahukah?"
Mendengar itu, jantung Yo Lioe Tjeng memukul keras, sedang Kang Lam
pun berdebar-debar hatinya. Tapi walaupun ketakutan, ia tetap bersenyum-
senyum seraya berkata: "Itu semua aku tak tahu dan aku tak mau ambil
perduli. Yang penting adalah, kau telah berbuat baik kepadaku dan budi
itu tak dapat aku melupakannya."
Kata-kata Kang Lam seolah-olah jarum yang menusuk hati Kim Sie Ie.
Ia segera ingat Lie Kim Bwee yang mengatakan, bahwa orang akan bersikap
baik terhadapnya, jika ia bersikap baik terhadap orang lain. Ia menghela
napas dan berkata sambil mendorong cawan arak: "Aku adalah manusia yang
bertindak sesenang hatiku. Aku paling benci manusia-manusia yang
memperdagangkan budi. Kata-kata Hiapsoe (pendekar) atau Inkong (tuan
penolong) tak boleh diucapkan lagi untuk alamatku. Jika kau senang dengan
istilah itu, gunakannya terhadap Tong Keng Thian."
Kang Lam terkejut dan lalu berkata: "Tong Tayhiap juga adalah tuan
penolongku. Hm! Bukankah Tong Tayhiap sahabatmu? Setiap kali Tong Tayhiap
datang di Sakya, ia tentu menginap di rumah Kongtjoeku." Kang Lam hanya
mengetahui, bahwa Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie pernah membantu Tong
Keng Thian dalam pertempuran melawan Hongsek Toodjin. Tentu saja ia sama
sekali tak tahu adanya ganjelan antara kedua pemuda itu.
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie melontarkan cawan arak dan tertawa
terbahak-bahak. "Tong Keng Thian adalah pendekar besar, sedang aku
hanyalah si pengemis gila!" teriaknya. "Bagus! Mari... mari! Mari kita
minum!" Ia mengangkat lagi cawan, tapi sebelum mencegluk isinya, ia
berkata pula: "Kang Lam! Lidahmu sangat Ioncer! Jangan sombong kau! Lagi
kapan kau minum araknya kaizar?"
"Aku tidak berdusta," katanya "Memang benar aku pernah minumnya.
Pergiku ke kota raja adalah..." Mendadak ia berhenti bicara, karena ingat
pesanan majikannya. Sebenarnya tugas Kang Lam bukan tugas rahasia. Ia
hanya diperintah membawa surat Tan Teng Kie ke kota raja. Ipar Tan Teng
Kie, yang harus menerima itu, berpangkat Giesoe dan Kang Lam tiba di kota
raja kebetulan pada hari-hari raya Tahun Baru. Sebagaimana biasa, setiap
Tahun Baru, kaizar menghadiahkan arak istana kepada pembesar-pembesar
negeri, setiap orang mendapat beberapa botol. Itulah sebabnya, Kang Lam
pun dapat mencicipi secawan arak istana.
Tapi Kim Sie Ie yang sudah sinting, salah mengerti. Ia menganggap
si kacung berhenti bicara karena dalam ruangan itu terdapat banyak orang
lain. "Baiklah!" tiba-tiba ia berteriak. "Aku akan mengusir semua yang
berada disini. Saudara kecil, kau tak usah kuatir."
Yo Lioe Tjeng jadi gusar sekali dan tangannya lantas saja mencekal
busur dan peluru.
Pada saat hampir terjadi bentrokan, mendadak dari luar berjalan
masuk dua tetamu. Begitu melihat mereka, Kang Lam bergemetar sekujur
badannya dan buru-buru bersembunyi di belakang Kim Sie Ie.
Yang masuk itu adalah seorang pendeta dan seorang imam. Si pendeta
tidak dikenal Kim Sie Ie, tapi si imam bukan lain daripada itu jago
Khongtong pay, Hongsek Toodjin, yang baru saja disebut-sebut.
Hongsek tertawa dingin dan dengan sorot mata tajam, ia menyapu Kim
Sie Ie dan Kang Lam, sehingga si kacung terbang semangatnya. "Ha! Kau
telah mendapat guru yang jempol!" katanya.
"Jangan takut," kata Kim Sie Ie. "Minum terus." Ia maju mendekati
Hongsek dan menyambung perkataannya: "Jangan campur-campur urusan orang,
mengerti?"
Sebagaimana diketahui, ketika terjadi pertempuran antara Hongsek
dan Tong Keng Thian, si imam telah berjanji, bahwa jika ia tidak dapat
merobohkan pemuda itu dalam tujuh jurus, ia tak akan mencampuri urusan
Kang Lam untuk selama-lamanya. Mengingat begitu, Kang Lam yang mengenal
kebiasaan dalam Rimba Persilatan, jadi agak tenteram hatinya. "Benar!"
teriaknya. "Sebagai ketua dari suatu partai, kau tidak boleh menarik
pulang janjimu sendiri!"
Hongsek melotot dan berkata pula dengan suara dingin: "Bocah itu
tak perlu digubris olehku. Tapi kau berhutang denganku dan hutang itu
mesti dibayar." Apa yang dimaksudkannya adalah jarum beracun yang dulu
pernah dilepaskan oleh Kim Sie Ie, sehingga hampir-hampir ia mendapat
luka.
Kim Sie Ie lantas saja tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus!"
serunya. "Sesudah minum beberapa cawan, aku memang sedang mencari-cari
manusia untuk melampiaskan rasa mendelu dalam hatiku."
Bukan main gusarnya si imam. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi,
ia mengebut dengan hudtim-nya. Dengan jungkir balik Kim Sie Ie lompat
melewati meja seraya berteriak: "Jangan ganggu Kang Lam! Bagaikan kilat,
jerijinya menotok jalanan darah Koangoan hiat, di pergelangan tangan si
imam. Buru-buru Hongsek menarik pulang senjatanya mengerahkan lweekang,
sehingga benang-benang hudtim buyar terpencar untuk menggulung tangan
musuh. Tapi di luar dugaan, totokan Kim Sie Ie hanya serangan gertakan
dan begitu lekas si imam menarik pulang senjatanya, dengan sekali
menjungkir balik, ia sudah berada di tembok seberang dan mengambil
tongkatnya yang disenderkan di dinding itu.
Hongsek jadi semakin kalap dan terus memburu.
"Eh!" kata Kim Sie Ie dengan suara mengejek. "Mari kita berkelahi
di luar!"
Si imam yang kuatir diliciki lagi, lantas saja melompat dan
menghadang di tengah pintu. Pemilik warung arak yang ketakutan setengah
mati, berteriak dengn suara gemetaran: "Tuan-tuan, modalku kecil, mohon
tuan-tuan... berkelahi... di luar!"
Hongsek mengebas tangan jubahnya dan sepotong emas terbang jatuh ke
atas meja. "Jangan rewel! Aku ganti segala kerusakan!" bentaknya.
"Bagus!" seru Kim Sie Ie. "Eh, hitung juga arak yang sudah diminum
olehku. Apa cukup?"
"Cukup, cukup!" jawab si pemilik warung arak sambil menjumput
potongan emas itu dan lalu lari bersembunyi di belakang meja.
Dua kali Kim Sie Ie mengayun tongkat dan dua meja terpukul hancur.
"Jika Toaya rela mengeluarkan uang, biarlah aku menemani kau untuk main-
main sedikit," katanya sambil tertawa terbahak-bahak. Hongsek yang
sungkan tarik urat lagi, lantas menghantam dengan hudtim-nya.
Mereka segera bertempur dengan serunya. Tongkat Kim Sie Ie adalah
senjata "keras", sedang hudtim si imam merupakan senjata "lembek" dan
karena kedua lawan itu adalah ahli-ahli silat kelas utama, maka
pertempuran itu adalah pertempuran yang jarang terlihat dalam Rimba
Persilatan. Tapi biar bagaimanapun juga, Hongsek yang mempunyai latihan
puluhan tahun lebih unggul setingkat daripada lawannya yang masih berusia
muda. Sesudah lewat tiga puluh jurus, benang-benang hudtim yang sebentar
buyar dan sebentar bersatu, berkelebat-kelebat bagaikan kilat di seputar
tongkat. Setiap kali senjata Kim Sie Ie menyentuh hudtim, tenaganya yang
dahsyat lantas saja amblas di antara ribuan benang. Tanpa memiliki
lweekang yang cukup tinggi, siang-siang ia sudah roboh.
Sementara itu, Yo Lioe Tjeng dan puterinya sudah pindah duduk ke
sudut tembok dan menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian. Biarpun
ilmu silat nyonya itu belum mencapai puncak tertinggi, akan tetapi,
sebagai turunan seorang ahli silat kenamaan, dengan sekali lihat, ia
dapat membedakan tinggi rendahnya kepandaian orang dan dapat pula
menaksir jalannya sesuatu pertempuran. Demikianlah, selagi Kim Sie Ie
terdesak, tanpa merasa ia berkata: "Jika hudtim menyapu Pekhay hiat dan
gagangnya menotok Hiankie hiat, bocah itu akan roboh." Benar saja,
Hongsek menyerang sesuai dengan apa yang dikatakan Yo Lioe Tjeng.
Pada detik yang berbahaya, sekonyong-konyong Kim Sie Ie membungkuk
sambil menekan tanah dengan tongkatnya dan sesaat itu juga, badannya
terputar. "Belum tentu roboh!" teriaknya sambil tertawa. Hampir
berbareng, tiba-tiba terdengar suara "fui!" dan ludah Kim Sie Ie
menyambar Hongsek.
Bukan main kagetnya si imam yang segera memutar senjatanya bagaikan
titiran untuk melindungi diri. Mendadak, seraya tertawa terbahak-bahak,
Kim Sie Ie melompat tinggi dan di lain detik, tangan kanannya sudah
mencekal pedang besi, sedang tangan kirinya memegang tongkat yang
sebenarnya adalah sarung pedang.
Sesudah bersenjatakan tongkat dan pedang, ia lalu menyerang dengan
beringas dan saban-saban menyemburkan jarumnya. Diserang cara begitu, mau
tak mau si imam jadi bingung, karena ia harus sangat berhati-hati
terhadap senjata rahasia si pengemis kusta yang sangat beracun. Puluhan
jurus kembali lewat, tanpa ada yang keteter.
Sesudah menonton beberapa lama, tiba-tiba Yo Lioe Tjeng mengeluh:
"Celaka! Jika si gila memperoleh kemenangan, aku dan anakku bisa celaka.
Paling baik aku menyingkir sekarang." Memikir begitu, ia lantas saja
bangun dari tempat duduknya. Tapi, segera juga ia terkejut, karena
pendeta kawannya Hongsek sedang mengawasinya dengan sorot mata dingin!
Waktu hweeshio itu, yang bertubuh jangkung, masuk dan duduk tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia tidak memperhatikannya. Tapi sekarang,
melihat sorot matanya yang tajam bagaikan pisau, ia terkesiap, karena
yakin, bahwa pendeta itu bukan orang sembarangan. Ia tertawa seraya
berkata: "Thaysoe, aku minta permisi untuk lewat."
Hweeshio itu mendelik. "Lie Kiesoe," katanya. "Apa kau masih
mengenali Tang Thay Tjeng?"
Jantung Yo Lioe Tjeng lantas memukul keras.
Tang Thay Tjeng adalah murid kepala dari Patpie Sinmo Sat Thian
Tjek (si Memedi Berlengan Delapan). Pada tiga puluh tahun lebih
berselang, waktu Yo Lioe Tjeng baru berusia enam belas tahun, ia telah
mengikut ayahnya, Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng, pergi ke gunung
Thayheng san untuk menghadiri perhimpunan besar antara jago-jago silat di
lima propinsi Tiongkok Utara. Ketika itu, Tang Thay Tjeng dan gurunya,
yang mengabdi kepada Soehongtjoe (putera kaizar yang ke empat) In Tjeng,
telah menerima perintah untuk pergi ke Thayheng san guna membasmi jago-
jago silat itu. Di tengah jalan, Yo Tiong Eng dan puterinya bertemu Tang
Thay Tjeng dan dalam pertempuran yang terjadi, mereka hampir-hampir
celaka. Untung juga keburu datang pertolongan dari Lioe Sian Kay dan Tan
Hian Pa, dua antara Kwantong Soehiap (Empat Pendekar Kwantong), sehingga
orang she Tang itu bisa dipukul mundur. Dalam pertempuran, dengan
menggunakan Tiattjiang (Pukulan besi) Yo Tiong Eng telah menghantam
lengan kanan lawannya yang menjadi patah dan tidak dapat digunakan lagi.
Sebagai jago yang pernah bertempur ratusan kali, Yo Tiong Eng segera
melupakan kejadian itu dan ia juga tak tahu, bahwa pukulannya telah
mengakibatkan bercacatnya Tang Thay Tjeng.
Walaupun hatinya kaget, paras muka Yo Lioe Tjeng tetap tenang, la
mundur dua tindak seraya berkata: "Tiga puluh tahun kita tak pernah
bertemu muka Tidak dinyana, sekarang Thaysoe sudah menjadi orang
beribadat. Untuk kejadian yang menggirangkan ini aku memberi selamat."
Tang Thay Tjeng tertawa dingin. "Bahwa aku sekarang berkeadaan
begini, adalah hadiah dari ayahmu," katanya dengan suara tawar. "Lie
Kiesoe, aku bukan pendeta suci. Aku tak dapat menerima pujianmu yang
terlalu tinggi."
Nyonya itu yakin, bahwa satu pertempuran tak dapat dielakkan lagi.
Sambil mencekal busur dan peluru erat-erat, ia berkata: "Apa benar-benar
Thaysoe tak mau minggir?"
Tan Thay Tjeng dongak dan menghela napas. "Sayang! Sungguh sayang!"
katanya.
"Sayang apa?" tanya Yo Lioe Tjeng.
"Sayang ayahmu sudah meninggal dunia," jawabnya. "Aku tak bisa
mengantarnya dan juga tak bisa menerima lagi pelajaran Tiattjiang
Sintan."
Alis Yo Lioe Tjeng berdiri bahna gusarnya. "Biarpun ayahku sudah
tak ada lagi dalam dunia, ilmu Tiattjiang Sintan tak jadi musnah,"
katanya dengan suara nyaring.
"Jika kau masih ingin meminta pelajaran, pelajaran itu bisa
diberikan sekarang juga." Berbareng dengan suara menjepretnya busur,
peluru Sintan menyambar-nyambar bagaikan hujan gerimis, sehingga tak
perduli ia berkelit ke jurusan mana, badan si pendeta tak akan terluput
dari sambaran peluru.
Tiba-tiba sambil berteriak nyaring, Tang Thay Tjeng mengebas dengan
tangan kanannya. "Biarpun mempunyai ilmu weduk, dia tak akan bisa menahan
serangan peluruku," kata Lioe Tjeng dalam hatinya. Harus diketahui, bahwa
dalam ilmu melepaskan peluru, nyonya itu telah berlatih puluhan tahun,
sehingga Sintan yang dilepaskannya bertenaga dahsyat luar biasa dan sukar
dipunahkan, biarpun oleh orang-orang yang memiliki ilmu Kimtjiongto atau
Tiatposan (ilmu weduk).
Mendadak terdengar serentetan suara yang sangat nyaring, seperti
juga peluru-peluru itu membentur logam. Bukan main terkejutnya Yo Lioe
Tjeng. Belum pernah ia mendapat pengalaman yang begitu luar biasa.
Tang Thay Tjeng tertawa terbahak-bahak. "Sungguh sayang!"
teriaknya. "Ilmu melepaskan Sintan dari keluarga Yo, semakin lama jadi
semakin merojan." Ia melompat dan tangannya menyambar.
Melihat ibunya berada dalam bahaya, Tjee Tjiang Hee menghunus golok
dan sambil meloncat, membabat lengan musuh. "Trang!", mata golok
melengkung, telapakan tangan si nona terbeset dan mengeluarkan darah!
Yo Lioe Tjeng terperanjat. Cepat bagaikan kilat, ia menyodok dengan
busur dan menghantam dengan tangan kanannya. Meskipun kepandaiannya belum
cukup tinggi untuk melayani jago silat utama pada jaman itu, Yo Lioe
Tjeng mempunyai banyak pengalaman. Ia mengetahui, bahwa di lengan kanan
Tang Thay Tjeng mesti bersembunyi apa-apa yang luar biasa, maka tangannya
menghantam jalanan darah Samtjiauw hiat di dada musuh, sedang busurnya
menyodok leher pendeta itu.Kedua serangan yang dikirim dengan berbareng,
hebat bukan main, sehingga Tang Thay Tjeng terpaksa melepaskan Tjiang Hee
dan melompat mundur.
"Hee-djie, lekas lari!" berseru si ibu. Ia yakin, bahwa ilmu
silatnya tidak dapat menandingi musuh dan guna menolong puterinya, ia
menggunakan taktik gerilya. Sesudah lewat beberapa jurus, lengan kanan si
pendeta yang bisa terputar-putar, mendadak terbalik dan menyapu dengan
kecepatan luar biasa. Pada detik itu, busur Yo Lioe Tjeng yang sedang
menyambar ke jalanan darah Pekhouw hiat di janggut musuh, kena tersampok
dan sambil mengeluarkan suara nyaring, lantas patah dua.
Tjee Tjiang Hee yang baru lari sampai di pintu, kaget tak kepalang
dan segera melompat balik untuk membantu ibunya. Muka Yo Lioe Tjeng
berubah pucat dan sambil menimpuk dengan busur buntung, ia menerjang dan
menghantam dengan tangan kanannya. Nyonya Tjee bergerak cepat, tapi
musuhnya lebih cepat lagi. Sambil menunduk untuk mengelakkan sambaran
busur buntung, lengan kanan Tang Thay Tjeng menyambar ke tulang kipas
Tjiang Hee. Serangan itu sudah tak dapat dikelit lagi dan jika tulang
kipasnya terpukul hancur, ilmu silat si nona akan menjadi musnah sama
sekali.
Pada detik yang sangat berbahaya, tiba-tiba Kim Sie le menjungkir
balik dan sebelum kedua kakinya hinggap di lantai, tongkatnya sudah
menotok dada Tang Thay Tjeng. Sambil mengeluarkan teriakan keras, pendeta
itu melompat tinggi dan Tjee Tjiang Hee tertolong.
Itulah perkembangan yang tidak diduga-duga oleh Yo Lioe Tjeng, yang
tadinya menganggap Kim Sie
Ie sebagai musuh. Di lain saat, dengan tongkat dan pedang besi,
pemuda itu sudah mengirim serangan berantai, sehingga Tang Thay Tjeng
terdesak sampai di pinggir tembok. Pada waktu itu, Yo Lioe Tjeng dan
puterinya sebenarnya mendapat kesempatan baik untuk melarikan diri, tapi
mereka sungkan berbuat begitu.
"Hei! Siapa gurumu?" teriak Tang Thay Tjeng.
"Fui!" Kim Sie Ie menyemburkan ludah seraya berkata dengan suara
dingin: "Perlu apa kau tanya-tanya guruku?"
Si pendeta yang rupanya mengetahui, bahwa ludah musuh mengandung
jarum beracun, buru-buru menangkis dengan lengan kanannya. Beberapa suara
"tring" terdengar, seperti jarum melanggar logam.
"Tahan!" teriak Tang Thay Tjeng.
Kim Sie Ie tak meladeni dan terus menyerang. Tiba-tiba, tanpa
memutar badan, pedangnya menyampok ke belakang untuk menangkis hudtim
Hongsek Toodjin yang membokong dari belakang dan berbareng, dengan
pukulan Tokliong tjoettong (Naga beracun keluar dari lubang), ia menyodok
dada Tang Thay Tjeng.
Untuk mengerti tindakan Kim Sie Ie, orang harus mengetahui, bahwa
jalan pikiran pemuda itu adalah lain daripada orang biasa. Dulu, karena
Yo Lioe Tjeng adalah puteri seorang kenamaan, maka ia sudah sengaja
mempermainkannya. Tapi sekarang, melihat nyonya itu sangat membenci
dirinya, ia berbalik memberi pertolongan, supaya nyonya itu mendapat
malu. Di samping itu, melihat rasa takut Tjee Tjiang Hee terhadap
dirinya, ia ingat perkataan Lie Kim Bwee dan dalam hatinya lantas timbul
rasa menyesal akan perbuatannya yang dulu-dulu. Itulah sebabnya, kenapa,
tanpa memperdulikan keselamatan diri sendiri, ia segera memberi
pertolongan.
Di lain pihak, sebagai orang yang berkedudukan tinggi, sebenarnya
Hongsek sendiri merasa bahwa tak pantas dua pentolan mengerubuti seorang
pemuda. Akan tetapi, karena kawannya berada dalam bahaya, terpaksa ia
menyerang dari belakang. Bokongan itu tidak bermaksud untuk mencelakakan
Kim Sie Ie dan ia hanya menggunakan separuh tenaga, untuk menolong Tang
Thay Tjeng.
Tapi, di luar dugaan, Kim Sie Ie yang sudah mengambil putusan untuk
lebih dulu membinasakan Tang Thay Tjeng, tidak kena ditahan dengan
serangan itu. Tanpa memutar badan, ia menangkis hudtim dengan pedangnya,
sedang kakinya melompat terus dan tongkatnya, yang dicekal dengan tangan
kiri, menyodok dada Tang Thay Tjeng.
Itulah sodokan yang sangat hebat dan ia menduga, bahwa musuhnya
pasti akan binasa. Tapi pada detik yang sangat berbahaya, Tang Thay Tjeng
mengebas dengan lengan kanannya dan dengan satu suara "trang!" tongkat
Kim Sie Ie terpental balik!
Kim Sie Ie kaget tak kepalang. Kejadian itu sungguh-sungguh di luar
taksiran. Menurut perhitungan biasa, tangan manusia yang terdiri dari
darah dan daging tak akan bisa menangkis tongkat itu yang terbuat dari
besi.
Sedang ia masih belum hilang kagetnya, mendadak terjadi lain
kejadian yang lebih mengejutkan. Sekonyong-konyong lengan kanan Tang Thay
Tjeng mulur kira-kira satu kaki panjangnya dan dari suatu posisi yang
mustahil, tangannya menyambar ke pundak Kim Sie Ie.
Dalam pertempuran antara jago dan jago, menang kalahnya sering-
sering diputuskan atas perbedaan seujung rambut. Demikianlah, biarpun
sangat liehay dan berhati-hati, serangan itu tak dapat dielakkan lagi
oleh Kim Sie Ie. Ketika tangan musuh menyentuh pundaknya, ia merasa
seperti dilanggar dengan benda yang dingin. Hampir berbareng, hudtim
Hongsek Toodjin juga menyambar dan ribuan benangnya yang terbuka
lebar, seolah-olah selembar jala yang sedang menungkrupnya.
Kim Sie le mencelos hatinya. "Tak dinyana jiwaku melayang di tempat
ini!"
Sekonyong-konyong, kupingnya mendengar suara tertawa yang sangat
nyaring, disusul dengan suara seorang wanita yang sangat merdu: "Jangan
takut!" Hampir berbareng, Tang Thay Tjeng dan Hongsek Toodjin melompat
menyingkir!
Bagaikan di dalam mimpi, Kim Sie Ie membuka kedua matanya lebar-
lebar dan ternyata, bahwa orang yang sudah menolong jiwanya bukan lain
daripada Phang Lin dan puterinya!
Yo Lioe Tjeng jadi seperti orang kalap, bahna girangnya. "Eng-
moay!" teriaknya. "Apa Siauw Lan datang bersama-sama kau?"
Phang Eng dan Phang Lin adalah saudara kembar yang mukanya sangat
mirip satu sama lain, sehingga, kecuali suami dan anak sendiri, orang
lain sering salah mata.
Mendengar Yo Lioe Tjeng menganggap dirinya sebagai kakaknya, Phang
Lin tersenyum seraya berkata: "Kau masih ingat Tong Siauw Lan? Hi-hi!
Tidak, ia tak turut datang." Ia menoleh kepada Tang Thay Tjeng. "Lengan
tanganmu sungguh luar biasa. Boleh aku pinjam lihat?" katanya.
Hongsek Toodjin tak tahu siapa adanya nyonya itu. la terkejut dan
hatinya ciut karena dengan satu kebasan baju saja, hudtim-nya telah
terpukul terpental. Tapi melihat sikap Phang Lin yang seakan-akan tidak
memandang sebelah mata kepadanya ia lantas saja menjadi gusar. "Kim Sie
le!" bentaknya. "Biarpun kau mempunyai senderan kuat, sedikitpun aku
tidak takut. Mari! Mari kita bertempur lagi. Kau boleh minta bantuan dari
senderanmu." Sehabis berkata begitu, ia menerjang dan menghantam dengan
senjatanya.
Melihat kedatangan Phang Lin dan puterinya, Kim Sie Ie jadi seperti
orang linglung, sehingga ia terus berdiri bagaikan patung waktu hudtim
menyambar.
"Hidung kerbau! Jaga pedangku!' berseru Lie Kim Bwee sambil
menangkis dengan pedangnya dan terus menyerang. Harus diketahui, bahwa
walaupun lweekang si nona belum seberapa tinggi, tapi ilmu pedangnya,
yaitu kiamhoat dari Pekhoat Molie, sangat luar biasa dan mempunyai
perubahan-perubahan yang diluar dugaan. Maka itu, biarpun Hongsek pernah
berlatih puluhan tahun dalam hutan batu, dalam gebrakan-gebrakan pertama,
ia telah terdesak mundur.
Sementara itu, sambil tertawa haha-hihi dan mengawasi Tang Thay
Tjeng dengan sikap seperti kucing tengah mempermainkan tikus, Phang Lin
membuka ikatan pinggangnya yang terbuat dari sutera berwarna. Ia tidak
lantas menyerang, tapi memperhatikan gerak-gerik pendeta itu.
Antara beberapa orang itu, yang paling bergirang adalah Yo Lioe
Tjeng. Ia menarik tangan puterinya dan berkata seraya tertawa: "Dengan
datangnya Tong Pehbo, kita tak usah takut lagi terhadap siapapun juga."
Dengan Phang Eng, ia sebenarnya mempunyai ganjelan di waktu muda. Tapi
sesudah masing-masing menikah, semua ganjelan itu telah tersingkirkan. Ia
tak tahu, bahwa yang dianggapnya sebagai Phang Eng, sebenarnya adalah
Phang Lin.
Di lain pihak, sesudah berdiri bengong beberapa lama, Kim Sie Ie
berkata dalam hatinya: "Sesudah ibu dan anak itu datang, perlu apa aku
berdiam lama-lama disini?" Dengan sekali menotok tongkat di lantai,
badannya melesat dan ia terus kabur.
"Eh, jangan lari!" berteriak Phang Lin. "Sesudah makan yowan-ku,
kau masih belum menghaturkan terima kasih." Ia mengenjot badan untuk
mengubar, tapi baru ia bergerak, tangan kanan Tang Thay Tjeng sudah
menyambar kepalanya.
"Bagus!" serunya. "Biar aku putuskan dulu cakarmu dan kemudian
barulah mengubar dia." Dengan sekali menggentak, ikatan pingangnya sudah
melibat lengan aneh itu.
Di lain saat, mereka sama-sama terkejut. Lengan kanan Tang Thay
Tjeng sebenarnya satu senjata yang sangat liehay dan cengkeraman itu
mempunyai tenaga ribuan kati. Maka itu, ia kaget bukan main karena,
begitu dilibat dengan ikatan pinggang, lengan itu tidak dapat bergerak
pula. Phang Lin pun tidak kurang kagetnya. Ia yakin, bahwa ilmu silat si
pendeta masih lebih rendah dari kepandaian Kim Sie Ie. Tapi, waktu ikatan
pinggangnya melibat dan membetot lengan itu, yang keras bagaikan besi, si
pendeta sama sekali tidak memperlihatkan rasa sakit. Harus diingat, bahwa
ilmu Hoeihoa Tjekyap sudah dilatih oleh Phang Lin sampai di puncak
kesempurnaan, sehingga jago seperti Hiatsintjoe masih tidak dapat
melawannya.
Sebagaimana diketahui, nyonya Lie Tie mempunyai sifat kekanak-
kanakan yang masih tetap melekat sampai ia berusia setengah umur.
Menghadapi lawan yang berat, kegembiraannya timbul dan ia segera
melupakan hal mengubar Kim Sie Ie. "Lenganmu benar-benar luar biasa,"
katanya sambil tertawa. "Tak dapat tidak, aku mesti meminjamnya." Dengan
sekali mengendorkan dan menggentak, ikatan pinggang itu naik ke atas
kurang lebih tiga dim. Ia membetot, tapi lengan si pendeta tetap tidak
bergeming. Ikatan pinggang itu sekali lagi naik ke atas, sehingga hampir
sampai di pundak.
Mendadak, Tang Thay Tjeng menggoyang pundak sambil membentak keras:
"Ambillah!" Hampir berbareng, lengan itu copot dari pundaknya dan terbang
menyambar muka Phang Lin. Nyonya Lie Tie terkejut bukan main, tapi
sebagai ahli silat jempolan, ia tak jadi gugup dan lalu menyambutnya
dengan
menggunakan ilmu Kimkongtjie. Ternyata lengan itu yang berwarna
hitam mengkilap terbuat dari besi! Phang Lin tertawa seraya berkata: "Tak
heran aku tak dapat membetotnya."
Sedari tulang lengannya dipukul patah oleh Yo Tiong Eng, Tang Thay
Tjeng tidak dapat menggunakan lengan itu sebagaimana biasa, biarpun
tulangnya sudah bersambung pula. Dalam jengkelnya, ia memutuskan lengan
itu yang lalu ditukar dengan lengan besi. Kemudian ia mencukur rambut,
menyembunyikan diri dan sesudah berlatih kurang lebih tiga puluh
tahun, ia memperoleh ilmu Tiatpie Sinkang, yaitu ilmu untuk menggunakan
lengan besi sebagai senjata. Dengan kepercayaan, bahwa ia sekarang bisa
menjagoi dalam kalangan Kangouw, sekali lagi ia muncul dalam dunia Rimba
Persilatan. Tapi di luar dugaan, dalam pertempuran pertama, lengan besi
itu sudah direbut Phang Lin.
Sambil membulak-balik lengan itu, Phang Lin berkata dengan suara
sungguh-sungguh: "Tak mudah kau melatih lengan ini sehingga tiada bedanya
seperti lengan tulen. Eh, bagaimana kau melatihnya? Paling benar kau
membacok putus lengan kirimu dan menukarnya dengan lengan besi. Bukankah
kau akan dua kali lipat lebih liehay daripada sekarang?"
Tang Thay Tjeng meringis, ia tak tahu apa mesti tertawa atau
menangis. "Pulangkanlah
lenganku," katanya. "Sekarang baru aku tahu, bahwa dalam dunia ada
ilmu yang begitu tinggi, sehingga, biarpun aku berlatih lagi tiga puluh
tahun, tak dapat aku menandingi kau."
Mendengar pujian itu, Phang Lin jadi girang. "Bagus! Kalau begitu,
kau masih mempunyai otak yang sehat," katanya sambil mengebas tangan,
sebagai isyarat bahwa pendeta itu boleh berlalu. Tapi mendadak ia
membentak: "Tahan!"
Baru saja ia ingin menanya, kenapa si pendeta bertempur dengan Kim
Sie Ie, tiba-tiba terdengar teriakan puterinya yang tengah bertanding
melawan Hongsek: "Ibu! Hidung kerbau ini liehay sekali!"
"Liehay bagaimana?" tanya sang ibu, yang sambil menuding Tang Thay
Tjeng dengan lengan besi itu, menyambung perkataannya: "Orang yang suka
berkelahi seperti kau, tentunya bukan manusia baik-baik. Sekarang aku
menjatuhkan hukuman berdiri terhadapmu. Jika kau berani bergerak atau
kabur, aku akan putuskan lengan kirimu."
Waktu itu, Tang Thay Tjeng sudah berusia hampir enam puluh tahun,
sedang usia Phang Lin baru kira-kira empat puluh tahun. Tapi ia
menggunakan perkataan dan cara seorang guru yang sedang menghukum
muridnya. Tjee Tjiang Hee tak bisa menahan rasa gelinya dan lantas saja
tertawa terpingkal-pingkal. Alis Yo Lioe Tjeng berkerut dan ia berkata
dalam hatinya: "Heran! Kenapa sifat-sifat Phang Eng jadi berubah sama
sekali?'
Sementara itu, Lie Kim Bwee sudah jadi repot sekali dan ia
berkelahi sambil mundur karena didesak keras oleh Hongsek Toodjin.
Meskipun si nona memiliki kiamhoat yang sangat liehay, tapi sebab
lweekang-nya masih kalah jauh dari lawannya, maka sesudah lewat belasan
jurus, Hongsek sudah bisa lihat kelemahannya dan terus mencecer dengan
pukulan-pukulan hebat. Lewat beberapa saat lagi, napas si nona tersengal-
sengal dan keadaannya mulai berbahaya.
"Hm! Bocah! Kau ternyata masih memerlukan juga ibumu," kata Phang
Lin seraya tertawa.
"Sudahlah! Tak perlu bantuanmu!" berteriak si nakal dengan suara
mendongkol. Selagi berteriak begitu, hudtim musuh mendadak menyambar,
sehingga hampir-hampir pedang Tjengkong kiam kena terkebut jatuh.
"Kenapa kau tidak menggunakan ilmu Tiamhoat (Ilmu menotok jalanan
darah) yang diajarkan olehku?" kata sang ibu. "Lebih dulu hajar dengan
Pengho kiattang (Sungai es melumer), kemudian susul dengan Ginhan hoeiteh
(Bima Sakti membentang di udara). Bagus! Tak salah! Balik tanganmu dan
totok Pekhay niatnya!"
Si nona yang sedang mendongkol sebenarnya sungkan menerima petunjuk
ibunya, tapi ternyata ia terpaksa menggunakan juga pukulan-pukulan itu.
Tiamhoat yang diturunkan Phang Lin kepada puterinya, telah digubah
olehnya di gunung Gobie san dengan menggunakan tempo beberapa hari dan
tujuannya adalah untuk menghadapi Kim Sie Ie. Benar saja, dengan
menggunakan Tiamhoat itu dan kiamhoat dari Pek hoat Mo lie, serangan-
serangan Hongsek segera menjadi punah.
"Lihatlah!" kata sang ibu sambil tertawa. "Bukankah kau bisa
melawan dia dengan mudah sekali? Aku ingin kau merobohkannya dengan
menggunakan tenaga sendiri. Ha! Kau mengerti? Tak bisa kau terus
mengandalkan ibu seumur hidup!"
Melihat dirinya dijadikan alat untuk berlatih, darah Hongsek
Toodjin meluap-luap dan dalam kalapnya, hampir-hampir jalanan darahnya
tertotok. Buru-buru ia mengempos semangat dan memperbaiki kedudukannya.
Sambil memberi petunjuk, Phang Lin sendiri memperhatikan ilmu silat
musuh. Lewat beberapa saat, ia mengeluh: "Celaka! Si hidung kerbau benar
liehay. Jika pertempuran berlangsung lama, Bwee-djie akan kalah." Tapi
sebab sudah mengatakan, bahwa ia ingin puterinya menjatuhkan musuh dengan
tenaganya sendiri, maka ia merasa malu hati untuk memberi bantuan.
Sesudah bertempur beberapa jurus lagi, tiba-tiba Kim Bwee
berteriak: "Ibu! Kenapa kau melepaskan Sie le-ko?"
Sang ibu kaget. "Benar! Biaraku susul padanya!" katanya. "Kimtjiam
touwsian (Benang menusuk jarum emas), Gioklie tauwso (dewi menenun),
Toamo hoyan (Asap mengepul di gurun), Tiangho lokdjit (Matahari turun di
sungai)! Sesudah itu, totok Pekyang hiat-nya!"
Sesuai dengan petunjuk ibunya, si nona segera menyerang dengan
empat pukulan yang hebat itu, sehingga Hongsek jadi ripuh sekali. Tapi
biarpun repot, garis pembelaannya masih tetap rapat dan sambil berkelit
ke kiri-kanan, hudtim melindungi bagian-bagian tubuhnya yang penting.
"Bagaimana aku dapat menotok Pekyang hiat yang terletak di bawah
teteknya?" Kim Bwee menanya dirinya sendiri. Sekonyong-konyong, entah
kenapa, benang-benang hudtim membuyar dan dada Hongsek terbuka lebar.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik itu, jeriji Kim Bwee menyambar tepat
ke jalanan darah Pekyang hiat dan si imam tak dapat bergerak lagi! Si
nona tidak mengetahui, bahwa kemenangannya sudah didapat berkat bantuan
sang ibu yang diam-diam sudah meniup hudtim musuh.
Sesudah Hongsek tidak berdaya, dengan cepat Phang Lin berlari-lari,
tapi apa yang tertampak hanyalah lapangan-lapangan rumput dan lereng
gunung, sedang Kim Sie Ie sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
"Celaka! Ini semua adalah gara-garanya si keledai gundul!" katanya di
dalam hati. Ia sama sekali tidak mau mengakui, bahwa kesalahan itu
sebagian besar terletak pada dirinya sendiri.
Selagi ia kembali dengan uring-uringan, mendadak terdengar teriakan
puterinya: "Ibu! Keledai gundul kabur!"
Dengan gusar Phang Lin mengudak. Dalam jarak belasan tombak, ia
menimpuk dengan lengan besi dan hampir berbareng, melontarkan ikatan
pinggangnya. "Bagus!" teriaknya. "Kau berani melanggar perintahku?
Tinggalkan lengan kirimu!"
Bagaikan kilat, lengan besi itu menyambar dan menurut perhitungan,
Tang Thay Tjeng tak akan bisa berkelit lagi. Mendadak, pada saat yang
sangat berbahaya, tubuh si pendeta melesat ke tengah udara dan dengan
"terbang" memutar, ia berhasil menyelamatkan dirinya.
Phang Lin kaget bukan main. Untuk sejenak, ia mengawasi dengan
mulut ternganga. "Eh, dari mana kau mendapat ilmu menubruk Niauw-eng?"
tanyanya.
"Patpie Sinmo Sat Thian Tjek adalah guruku," jawabnya.
Phang Lin mengeluarkan seman kaget, badannya mendadak melesat ke
atas dan ia juga terbang bagaikan burung Niauw-eng. Dengan sekali
mengedut, ikatan pinggangnya sudah melibat lengan kiri Tang Thay Tjeng,
tapi sebaliknya dari menggentak dengan menggunakan tenaga, ia tertawa
seraya berkata: "Sayang kau belum mahir betul. Nah! Sekarang ikutlah aku
ke warung arak." Sambil berkata begitu, ia melepaskan libatan ikat
pinggangnya dari lengan si pendeta.
Tang Thay Tjeng kaget tercampur takut. Sambil memungut lengan
besinya, ia melirik Phang Lin yang paras mukanya tenang, sehingga hatinya
jadi lebih lega. "Dari mana dia mendapat ilmu itu?" tanyanya di dalam
hati. "Apa dia mempunyai sangkut paut dengan guruku? Tapi kenapa ilmu
silatnya tidak mirip-mirip dengan ilmu silat guruku?" Ia tak berani
menanya dan dengan menundukkan kepala, ia lalu mengikuti nyonya itu
kembali ke warung arak.
"Apa dia kawanmu?" tanya Phang Lin seraya menuding Hongsek.
"Benar," jawabnya.
Sambil menotok dan membuka jalanan darah si imam, Phang Lin berkata
pula: "Bagus! Aku juga undang kau minum bersama-sama."
Hongsek merasa dadanya seperti mau meledak, tapi ia tidak berani
mengunjuk kegusaran, karena, jika membantah, ia kuatir mendapat malu yang
lebih hebat.
Dengan hati gembira, Phang Lin segera memerintahkan pelayan
mengatur dua meja dan menyediakan arak. Ia dan puterinya duduk di kepala
meja, sedang Hongsek dan Tang Thay Tjeng diundang duduk di kiri-kanannya.
Yo Lioe Tjeng, Tjee Tjiang Hee dan Kang Lam diperintah duduk di meja yang
satunya lagi. Semua orang segera mengambil tempat duduknya dengan hati
tak enak, tapi tiada satu yang berani membantahnya.
"Sekarang aku ingin mengajukan pertanyaan – aku menanya sepatah,
kau jawab sepatah," kata Phang Lin dan kemudian sambil menuding Tang Thay
Tjeng, ia berkata pula: "Kenapa kau berkelahi dengan Kim Sie Ie?"
"Siapa Kim Sie Ie?" si pendeta balas menanya.
"Jangan berlagak gila!" membentak Phang Lin dengan gusar. "Kim Sie
Ie adalah pemuda yang tadi bertempur dengan kau."
"Murid siapa dia?" Tang Thay Tjeng menanya lagi.
Nyonya Lie Tie mendelik. "Eh, apa aku yang tanya kau atau kau yang
tanya aku?" katanya. "Jika kau rewel lagi, aku akan putuskan lengan
kirimu. Lekas jawab!
Kenapa kau berkelahi dengan Kim Sie Ie?'
"Aku dan Yo Liehiap main-main sedikit dan itu sebenarnya bukan
urusannya," menerangkan si pendeta. "Aku pun tak tahu, sebab apa ia
menyerang diriku."
Phang Lin menengok ke arah Yo Lioe Tjeng. "Aku tak tahu, kau dan
Kim Sie Ie adalah sahabat baik," katanya. Diam-diam hatinya berkuatir,
kalau-kalau Yo Lioe Tjeng juga penuju pemuda itu dan ingin mengambil
sebagai menantu.
"Siapa sahabat dia?" kata Yo Lioe Tjeng. "Dia malahan pernah
menghina kami."
"Kenapa Tang Thay Tjeng berkelahi dengan kau?' Phang Lin menanya
pula.
"Pada tiga puluh tahun lebih berselang, ayahku pernah melukakan
dia," jawab Yo Lioe Tjeng. "Waktu itu kau baru berusia setahun dan Siauw
Lan telah membawa kau lari. Ayah dan aku telah bertemu Siauw Lan di rumah
penginapan itu. Kejadian pada hari itu telah disaksikan oleh Siauw Lan
sendiri dan jika kau tanyakan, dia tentu masih ingat semua kejadiannya.
Jika diteliti, Tang Thay Tjeng masih boleh dianggap sebagai salah satu
musuhmu."
Phang Lin bengong. Ia tak nyana, bahwa pendeta itu adalah salah
seorang musuhnya.
Sesaat itu, depan matanya segera terbayang kejadian-kejadian pada
tiga puluh tahun lebih yang lampau. Waktu ia dan kakaknya (Phang Eng)
baru berusia satu tahun, rumah tangganya diubrak-abrik oleh Soehongtjoe
In Tjeng dan ayahnya binasa. Ia sendiri ditolong oleh Tjiong Ban Tong,
pemimpin partai Boekek pay, sedang Phang Eng telah dibawa lari oleh Tong
Siauw Lan. Belakangan ia telah diculik dan dibawa ke pulau Niauw-cng oleh
Patpie Sinmo yang memeliharanya seperti anak sendiri. Sesudah berdiam di
pulau itu beberapa lama, barulah ia dibawa ke gedung In Tjeng. Ia baru
bertemu dengan kakaknya, sesudah berpisahan kurang lebih dua puluh tahun.
Biarpun ayahnya bukan dibinasakan oleh Patpie Sinmo atau muridnya, akan
tetapi karena jago-jago lima propinsi Tiongkok Utara yang terbinasa dalam
tangan Patpie Sinmo dan saudaranya, bukan kecil jumlahnya, maka sakit
hati itu tidak dapat dikatakan kecil.
Ia ingat, bagaimana Sat Thian Tjek telah menurunkan ilmu silat
kepadanya, bagaimana ia mendapat banyak cintanya orang di gedung
Soehongtjoe, sehingga ia bisa mempelajari macam-macam ilmu silat yang
menyeleweng, sampai akhirnya ia mendapat ilmu asli dari Boekek pay. Ia
juga ingat, bagaimana Soehongtjoe ingin memaksa untuk mengambil dirinya
sebagai selir, sehingga ia kabur dari istana kaizar. Depan matanya juga
terbayang peristiwa terbinasanya Patpie Sinmo dan saudaranya dalam tangan
Phang Eng dan bagaimana, pada waktu mau melepaskan napasnya yang
penghabisan, Sat Thian Tjek telah menyerahkan sebuah mustika kepada
kakaknya, yaitu pel yang berbentuk bola yang terbuat dari ilar Niauw-eng
untuk memunahkan racun ular. Mengingat itu semua, tanpa merasa Phang Lin
menghela napas panjang.
"Ibu!" kata sang puteri sambil tertawa. "Tak dinyana, kau pun bisa
menemui kesukaran. Paling benar minta Iethio dan Iebo (Tong Siauw Lan dan
Phang Eng) datang kemari untuk mengadili mereka. Menurut pendapatku, ibu
tak pantas menjadi hakim."
Harus diketahui, bahwa perhubungan antara Phang Lin dan puterinya
adalah lain daripada perhubungan yang biasa terdapat antara ibu dan anak.
Mereka sudah biasa bersenda-gurau dan saling mengejek, seperti antara
kawan dan kawan. Maka itulah, Phang Lin tidak menjadi gusar karena ejekan
puterinya.
Orang yang merasa heran dan tersinggung adalah Yo Lioe Tjeng. Ia
heran mendengar si nona menyebut-nyebut "Iethio" dan "Iebo" dan merasa
tersinggung mendengar perkataan "mengadili", karena dengan begitu, ia
seolah-olah seorang pesakitan yang harus diadili.
"Tjeng-tjie," kata Phang Lin seraya tertawa. "Lihatlah! Anakku jadi
sangat kurang ajar karena terlalu dimanja." Tiba-tiba parasnya berubah
sungguh-sungguh dan ia berkata dengan suara keren: "A-bwee, kau kata, aku
tak bisa mengadili orang. Nah, kau dengarlah! Tang Thay Tjeng, menurut
putusanku, kau memang pantas mendapat hajaran dari Yo Lootjianpwee. Mulai
dari sekarang, kau tidak boleh banyak rewel lagi. Orang-orang yang
tingkatannya lebih tua semua sudah meninggal dunia dan urusan yang
terjadi pada tiga puluh tahun berselang, tidak boleh diungkat-ungkat
lagi. Tjeng-tjie, kau pun tak usah ingat-ingat lagi permusuhan lama."
Yo Lioe Tjeng yang memang sungkan memperhebat
permusuhan, lantas saja mengangguk, sedang si pendeta pun merasa
girang sekali. Sambil merangkap kedua tangannya, ia berkata: "Untuk
kemurahan Lie Kiesoe, pintjeng merasa sangat berterima kasih dan sekarang
juga pintjeng minta permisi untuk berangkat."
"Tunggu dulu!" kata Phang Lin.
Si pendeta terkejut dan segera berkata: "Bukankah kau sudah
mengatakan, bahwa segala permusuhan diakhiri sampai disini?"
"Karena gara-garamu, orang yang dicari olehku dengan susah payah,
telah kabur," katanya. "Meskipun kau boleh diampuni dari hukuman berat,
tapi tidak bisa terlolos dari hukuman enteng. Aku menghukum kau berdiri
menghadapi tembok tiga hari lamanya. A-bwee, lihatlah! Ilmu menotok yang
biasa, paling lama tahan dua belas jam. Tapi jalanan darah yang ditotok
dengan ilmuku baru bisa terbuka sesudah lewat tiga hari." Sambil berkata
begitu, tangannya bergerak untuk mengirim totokan.
"Tahan!" seru Tang Thay Tjeng dengan suara bingung. "Siauwtjeng
mempunyai urusan yang sangat penting. Siauwtjeng sedang mencari orang!"
"Siapa yang dicari olehmu?" tanya Phang Lin.
"Murid Tokliong Tjoentjia," jawabnya.
Phang Lin terkesiap. "Perlu apa kau mencarinya?" tanyanya.
"Semua orang tahu, bahwa Tokliong Tjoentjia adalah sahabat mendiang
guruku," jawabnya.
Mendadak Phang Lin tertawa besar. "Orang beribadat tidak boleh
berdusta," katanya. "Kenapa kau berani menipu aku? Kim Sie Ie adalah
murid Tokliong Tjoentjia.
Jika benar kau mau mencari dia, kenapa tadi kau bertempur
dengannya?"
"Sayang! Sungguh sayang!" mengeluh si pendeta.
"Apa kau tak kenal padanya?" tanya Phang Lin.
"Jika kenal, mana bisa aku melepaskannya" jawabnya. "Tadi, melihat
tongkat besinya, aku sebenarnya sudah bercuriga, karena pada tiga puluh
tahun berselang, aku pernah melihat tongkat itu. Hanya sayang, ia terus
menyerang dengan membabi-buta."
"Fui!" membentak Kim Bwee. "Jika kau tidak menghina Tjee Pehbo, dia
tentu tak akan menyerang."
Melihat ibu dan anak itu sangat memperhatikan Kim Sie Ie, Tang Thay
Tjeng lantas saja menduga, bahwa di antara mereka tentu terdapat hubungan
yang rapat. Maka itu. ia tertawa seraya berkata: "Kalau begitu, kita
bukan orang luar. Biarlah aku membantu kalian mencari Kim Sie Ie."
Sekonyong-konyong Phang Lin menggelengkan kepala seraya berkata
pada dirinya sendiri: "Tak benar... tak benar." Ia menuding si pendeta
dan membentak: "Kau dusta! Tinggalkan lengan kirimu!"
Tang Thay Tjeng terkesiap. "Kenapa dusta?" Ia menegasi.
"Tadi kau mengatakan, bahwa sesudah dihajar oleh Yo Lootjianpwee,
kau mencukur rambut dan tidak mencampuri lagi urusan dunia," kata Phang
Lin. "Dengan lain perkataan, kalau kau tidak berdusta, mulai dari waktu
itu, kau tidak pernah bertemu lagi dengan Tokliong Tjianpwee."
"Benar," jawabnya.
"Tapi bagaimana kau tahu, bahwa Tokliong Tjianpwee mempunyai
murid?" tanya si nyonya.
Sesudah berdiam sejenak seperti orang sangsi, Tan Thay Tjeng
berkata: "Tahun yang lalu, aku pulang ke pulau Niauw-eng to dan dalam
perjalanan itu, aku sekalian mampir di pulau Tjoato untuk menyambangi
Tokliong Soepeh. Disitu aku hanya menemui kuburan Soepeh dan aku
menaksir, bahwa kuburan itu dibuat oleh muridnya. Dengan mengingat
hubungan yang rapat antara mendiang guruku dan Tokliong Tjianpwee, aku
segera mengambil keputusan untuk mencari ahli warisnya itu. Inilah
keterangan yang sejujurnya, sedikitpun aku tidak berdusta.
Phang Lin tertawa dingin. "Kau bukan manusia yang berhati begitu
mulia," katanya. "Dengan mencari murid Tokliong Tjianpwee, kau pasti
mempunyai maksud tertentu. Katakan saja: Kau mau bicara sebenarnya atau
tidak? Apa kau percaya bahwa tanpa menggunakan golok, aku bisa
mencopotkan lengan kirimu?"
Paras muka Tang Thay Tjeng sebentar pucat sebentar merah, tanpa
bisa mengeluarkan sepatah kata.
"A-bwee, geledah badannya!" memerintah sang ibu. "Aku menaksir, ia
sudah mencuri apa-apa di pulau Tjoato." Melihat lagak si pendeta yang
luar biasa, Phang Lin lantas saja bercuriga.
Tan Thay Tjeng ketakutan dan buru-buru berkata: "Waktu datang di
pulau Tjoato, aku menginap semalaman di tempat Tokliong Soepeh. Disitu
aku mendapatkan sejilid buku dengan tulisan tangan Soepeh sendiri. Aku
ingin menyerahkan buku itu kepada muridnya."
"Serahkan kepadaku," memerintah Phang Lin, yang kemudian berkata
dalam hatinya: "Kenapa Tokliong Tjianpwee tidak memberikan buku silatnya
kepada muridnya?"
Tapi buku itu ternyata bukan kitab ilmu silat dan hanya catatan
hari-hari selama beberapa puluh tahun. Phang Lin membalik-balik lembaran
dan membacanya. Bagian depan mencatat pendaratannya di pulau Tjoato,
penderitaan dan kesepiannya di pulau yang tiada manusianya itu,
kebenciannya terhadap umat manusia, caranya ia melatih ular-ular, beracun
bagaimana ia menggubah ilmu silat yang luar biasa dan sebagainya. Bagian
belakang buku itu menceritakan, bagaimana, sesudah bertemu dengan Lu Soe
Nio, pikirannya jadi berubah dan ia lalu menggunakan sisa penghidupannya
untuk menolong para penderita kusta. Dalam buku itu juga tercatat
bagaimana ia telah mengambil Kim Sie Ie sebagai muridnya. Paling belakang
ia mencatat kesadarannya, bahwa lweekang yang dipelajari olehnya tidak
menurut jalan yang benar dan jika tidak mendapat pertolongan lweekang
Thiansan pay, satu waktu lweekang itu pasti akan "makan" dirinya sendiri.
Ketika membaca lembaran yang terakhir, tiba-tiba saja paras Phang Lin
berubah pucat dan jantungnya memukul keras.
Apakah yang tertulis di halaman paling penghabisan itu?
Di halaman itu yang ditulis beberapa hari sebelum ia meninggal
dunia, Tokliong Tjoentjia menyatakan, bahwa ia sudah berdiam di pulau
Tjoato puluhan tahun lamanya. Waktu baru datang, hawa di pulau itu sangat
dingin. Tapi semakin lama, hawa itu jadi semakin panas dan beberapa tahun
sebelum ia meninggal dunia, di pulau itu muncul sejumlah umbul hangat.
Sesudah menyelidiki bertahun ia mendapat tahu rahasia perubahan itu.
Ternyata, di bawah pulau terdapat sebuah gunung berapi dan muka
bumi semakin lama semakin mumbul ke atas. Mulut gunung berapi itu
terletak di tengah-tengah pulau, di bawah sebuah lubang yang menjadi
sarang ular-ular beracun dan yang dalamnya beratus tombak. Dengan
menggunakan tambang, ia pernah turun di lubang itu untuk menyelidiki.
Tapi, belum separuhnya, ia sudah merasa tidak tahan karena hawa yang
sangat panas. Ia mengawasi ke bawah dan melihat, bahwa lapisan batu di
dasar lubang , berwarna merah terang saking panasnya. Hanya karena batu
itu sangat tebal, maka api dan lahar belum menyembur keluar. Sebagai
akibat dari hawa yang semakin lama jadi semakin panas, maka laksaan ular
yang bersembunyi di dalam lubang merayap ke atas, sebagian keluar dari
lubang dan berkeliaran di seputar pulau, sedang sebagian lagi bersembunyi
di dinding batu, dekat mulut lubang.
Di dasar lubang terdapat satu kobakan kecil yang berisi liur (ilar)
ular-ular itu, sehingga dapatlah dibayangkan, bahwa cair itu beracun
bukan main. Jika satu waktu gunung berapi itu meledak, maka bukan saja
seluruh pulau akan menjadi abu, tapi semua makhluk yang berada dalam
lautan juga akan turut musnah karena racun itu dan manusia yang bertempat
tinggal di sepanjang pantai Lautan Kuning juga akan mengalami bencana
besar.
Menurut perhitungan Tokliong Tjoentjia, gunung berapi itu akan
meledak dalam tempo beberapa belas tahun lagi dan jika orang berusaha
untuk menolongnya sebelum terlambat, bencana itu masih dapat dielakkan.
Rencana Tokliong Tjoentjia adalah sebagai berikut:
Beberapa bulan sebelum gunung berapi meledak, seorang yang tidak
takut ular harus turun di lubang itu dan membuka sebuah terowongan untuk
memasukkan air laut. Sesudah itu, ia harus membuat sebuah lubang di mulut
gunung berapi itu, supaya api yang berkumpul di dalamnya bisa muncrat
keluar. Dengan adanya air laut, maka api beracun yang menyembur itu tak
akan menerbitkan bencana besar. Akan tetapi pekerjaan itu harus dilakukan
di tempo yang tepat, yaitu beberapa bulan sebelum gunung berapi itu
meledak, sebab pada waktu itu, lapisan batu yang sangat tebal sudah mulai
retak karena terbakar hebat dan lebih mudah ditobloskan guna membuat
terowongan untuk mengalirkan air laut.
Di pulau Tjoato terdapat bahan-bahan asbes yang bisa menahan api
dan asbes itu bisa digunakan untuk membuat pakaian orang yang melakukan
pekerjaan tersebut. Di samping itu, juga diperlukan sebatang pedang
mustika untuk menobloskan lapisan batu. Sekian ringkasan rencana Tokliong
Tjoentjia.
Membaca itu, Phang Lin lantas saja merasa, bahwa orang satu-satunya
yang mampu menunaikan kewajiban tersebut adalah Kim Sie Ie sendiri. Ia
adalah seorang yang berilmu silat tinggi dan tak takut ular. Kekurangan
satu-satunya adalah pedang mustika.
Di bagian terakhir dari catatan hari-hari itu, Tokliong Tjoentjia
juga menulis, bahwa ia ingin sekali pekerjaan mulia itu dilakukan oleh
muridnya. Tapi karena rasa cintanya yang sangat besar terhadap si murid,
maka hatinya selalu bersangsi untuk menyerahkan pekerjaan yang begitu
berbahaya kepada muridnya itu.
Sesudah selesai membaca, Phang Lin menghela napas panjang. Sekarang
ia mengerti, kenapa pada sebelum menarik napasnya yang penghabisan, di
atas pasir Tokliong Tjoentjia telah menulis: Sesudah ilmu silatmu
sempurna, pergilah cari orang Thiansan pay. Dengan menulis begitu, sang
guru bukan saja mengharapkan keselamatan si murid dengan memperoleh
lweekang yang tulen, tapi juga berusaha supaya Kim Sie Ie meninggalkan
pulau Tjoato yang penuh bahaya.
Melihat ibunya bengong, Kim Bwee jadi heran dan dengan memanjangkan
leher, ia melongok buku itu. "Hm! Kau mengandung maksud tak baik!"
bentaknya sambil menuding, sehingga jerijinya hampir mengenakan hidung
Tang Thay Tjeng.
"Kenapa mengandung maksud tidak baik?" menegas si pendeta sambil
bangun berdiri.
Hongsek jadi gusar sekali. Ia pun segera bangun berdiri dengan
niatan membekuk nona yang nakal itu. Tapi sebelum ia bergerak, Phang Lin
sudah menarik tangan puterinya seraya berkata: "Bukan urusanmu. A-bwee,
kenapa kau mengoceh tak keruan?"
Phang Lin menanya begitu karena ia merasa heran, bagaimana, dengan
sekali melirik, puterinya sudah bisa membaca tulisan Tokliong Tjoentjia
yang tak keruan macam, sedang ia sendiri harus membaca dengan teliti
untuk menangkap maksudnya.
"Ibu, coba lihat itu!" kata Kim Bwee sambil menunjuk bagian atas
dari lembaran yang terbuka.
Ternyata, disitu terdapat sebaris huruf kecil dengan tulisan yang
nyata dan berbunyi seperti berikut:
"Aku sudah mengambil putusan untuk menyerahkan Pitkip (kitab ilmu
silat) kepada Ie-djie, supaya ia menjadi ahli warisku dan mengunakan
seluruh penghidupannya untuk menolong penderita kusta."
"Lihatlah!" berteriak si nona. "Aku justru tak ingin Sie Ie-ko
membaca tulisan itu. Aku tak mau ia berkawan dengan penderita kusta. Apa
enaknya menuntut penghidupan begitu?"
Sang ibu tertawa geli. "Enak atau tidak enak bukan urusanmu,"
katanya. "Itu adalah keinginan gurunya dan kau tak dapat menyalahkan
orang lain." Sambil berkata begitu, ia menutup buku itu, karena ia yakin
puterinya akan lebih kaget jika tahu persoalan gunung berapi.
"Apa yang dikatakan Liehiap memang benar," kata Tang Thay Tjeng.
"Aku belum pernah membaca isi buku itu. Aku hanya menganggap, bahwa buku
itu, sebagai peninggalan Tokliong Soepeh, harus diserahkan kepada
muridnya. Sedikitpun aku tidak mempunyai maksud yang lain."
Pendeta itu berdusta. Sebenarnya ia sudah membaca buku tersebut dan
mengetahui, bahwa Pitkip sudah diserahkan kepada si murid dan ia ingin
menggunakan catatan hari-hari itu untuk menipu Kim Sie Ie, untuk
menukarnya dengan Tokliong Pitkip.
Mata Phang Lin melirik si pendeta dan mendadak ia berkata: "Kau tak
usah berabe. Buku ini biar disimpan olehku saja. Nah! Aku ampuni kau dan
sekarang kau boleh berlalu."
Bukan main mendongkolnya Tang Thay Tjeng, tapi ia tak berani
membantah. "Apa boleh aku membantu kalian untuk mencari Kim Sie Ie?"
tanyanya.
"Sesukamu, tapi aku tak memerlukan bantuanmu," jawab Phang Lin
seraya berpaling kepada Hongsek dan berkata pula: "Eh, kenapa kau tadi
bertempur dengan Kim Sie Ie?"
Hongsek merasa dadanya seperti mau meledak, sehingga paras mukanya
berubah merah padam.
Melihat begitu, Kang Lam jadi merasa kasihan dan ia berkata: "Dalam
hal ini, sebagian besar adalah salahku."
"Aha! Kau ternyata mempunyai pribudi dari seorang Kangouw," kata si
nyonya sambil bersenyum. "Kenapa salahmu?"
"Aku sungkan menjadi murid Tootiang dan Kim Tayhiap bersama Tong
Tayhiap telah membantu aku," jawabnya. "Dari sebab itu, Tootiang
menggusari mereka."
Phang Lin tertawa geli. "Eh, seorang yang memaksa mengambil murid,
pasti akan celaka. Kau tahu?" katanya sambil berpaling ke arah Hongsek.
Ia berkata begitu karena ingat pengalaman Patpie Sinmo yang dulu juga
pernah memaksa untuk mengambil dirinya sebagai murid.
"Sudahlah!" kata Hongsek dengan suara mendongkol. "Biar aku
mengubur kepandaianku dan selama hidup aku tak akan mempunyai murid."
"Baiklah," kata Phang Lin. "Sesudah tahu kesalahanmu, kau sekarang
boleh berlalu." Tanpa berkata suatu apa, Hongsek segera bangun berdiri
dan bersama Tang Thay Tjeng, ia segera meninggalkan warung arak itu
dengan perasaan gusar.
"Apa aku juga sudah boleh berlalu?" tanya Yo Lioe Tjeng dengan
paras gusar.
Phang Lin terkejut. "Ah, kenapa Tjeng-tjie berkata begitu?"
katanya. "Apakah kau masih ingat ganjelan dulu?"
"Mana aku berani?" kata Yo Lioe Tjeng sambil menarik tangan
puterinya dan lalu bertindak keluar, dengan diikut oleh Kang Lam. "Hei!
Bukankah kalian ingin cari Tong Tayhiap?" seru si kacung.
Yo Lioe Tjeng menengok dan mendeliki Kang Lam. Tapi sebelum ia
menyemprot si bawel, Tjiang Hee sudah mendahului: "Benar, ibu. Kenapa kau
tak mau tanya Tong Pehbo?"
Phang Lin memburu. "Tong Pehbo-mu berada di Thiansan," katanya
sambil tertawa.
Tjee Tjiang Hee kaget. Ia menengok kepada ibunya seraya berkata
dengan suara uring-uringan: "Ibu, kenapa kau menyuruh aku menggunakan
perbasaan Tong Pehbo?"
"Jangan menyalahkan ibumu," kata Phang Lin seraya tertawa. "Antara
sepuluh orang yang mengenal aku, ada sembilan yang salah melihat."
Yo Lioe Tjeng pun sudah tahu, bahwa nyonya itu bukan Phang Eng dan
dengan rasa mendongkol, ia ingat pula kejadian dulu, waktu Phang Lin
memotong rambutnya dengan menggunakan golok terbang. Tapi karena sekarang
sama-sama sudah bukan berusia muda, ia merasa tidak enak untuk
memperlihatkan rasa jengkelnya.
"Tjeng-tjie," kata pula Phang Lin. "Aku juga ingin minta
pertolongan Tjietjie (kakak, Phang Eng). Sesudah dapat mencari Kim Sie
Ie, aku akan mengantar kau naik ke Thiansan."
"Tak usah, aku bisa jalan sendiri," kata Yo Lioe Tjeng dengan suara
tawar. Ia sebenarnya sudah mendengar, bahwa suami isteri Tong Siauw Lan
telah pergi ke Tibet dan hal itu sepatutnya diberitahukan kepada Phang
Lin. Tapi karena sedang mendongkol, ia menutup mulut dan sikapnya itu
hampir-hampir saja menggagalkan urusan besar.
Tanpa berkata apa-apa lagi, sambil menarik tangan puterinya, Yo
Lioe Tjeng segera meninggalkan warung arak itu. Belum berapa jauh, tiba-
tiba Kang Lam mengudak dan berteriak: "Hei! Kenapa kalian tak mau
menanyakan aku?"
"Sebal!" membentak Yo Lioe Tjeng.
Tjiang Hee mengambil cabang kering dan menyabet seraya membentak:
"Tanya apa, bawel?"
"Aduh!" berteriak si kacung sambil menjungkir balik. "Tak kena!" Ia
tertawa haha-hihi dan berkata pula: "Bukankah kalian ingin mencari Tong
Tayhiap?"
"Apakah bocah semacam kau mengenal Tong Tayhiap?" kata si nona.
"Ha! Jangan kau menghina aku," kata Kang Lam. "Aku bukan hanya
mengenal, malahan bersahabat baik. Setiap kali bertemu, ia selalu
menggandeng tanganku dan kami beromong-omong berjam-jam. Ia malahan
mengajarkan ilmu silat kepadaku!"
"Omong kosong!" membentak Tjiang Hee.
"Omong kosong!" si kacung menegas dengan suara penasaran. "Tong
Tayhiap berparas sangat cakap, berusia lebih tua dua tiga tahun daripada
Kongtjoe-ku. Ia mempunyai sebatang pedang yang dinamakan Yoeliong kiam.
Ia juga pandai menggunakan senjata rahasia yang sangat aneh, Thiansan
Sinbong namanya. Bukankah begitu?"
"Oh! Dia Tong Keng Thian," kata Tjiang Hee.
"Benar," kata Kang Lam. "Tong Keng Thian adalah Tong Tayhiap, Tong
Tayhiap adalah Tong Keng Thian. Tapi wanita itu mengatakan, bahwa Tong
Tayhiap berada di Thiansan. Dia dusta."
Si nona tertawa geli. "Yang dimaksudkan ibuku adalah ayahnya Tong
Keng Thian," katanya.
"Ayahnya Tong Tayhiap aku tak kenal," kata si kacung. "Aku belum
pernah mendusta. Kenal, aku kata kenal, tidak kenal aku mengaku tak
kenal. Jika kalian ingin mencari Tong Tayhiap, aku bisa mengantarkannya.
Kalau kalian mau mencari ayahnya Tong Tayhiap, aku tak bisa menolong."
Sehabis berkata begitu, ia berjalan pergi.
"Tunggu!" berseru Tjiang Hee. "Aku memang mau cari Tong Keng
Thian."
Kang Lam tertawa terbahak-bahak. "Ha! Apa kau kata?" katanya dengan
hati senang. "Bukan aku, tapi kau yang omong kosong. Kenapa kau tadi
memukul aku?"
Yo Lioe Tjeng sungkan meladeni kacung yang rewel itu. "Baiklah,"
katanya. Sekarang aku mau tanya: Dimana adanya Tong Keng Thian?"
"Di rumah majikanku?" jawabnya.
"Siapa majikanmu?" tanya pula Yo Lioe Tjeng.
"Majikanku adalah Soanwiesoe di Sakya, Tan Teng Kie Taydjin, sedang
putera Tan Looya adalah Tan Thian Oe Kongtjoe," menerangkan si bawel.
Yo Lioe Tjeng tertawa, sedang Tjiang Hee tersenyum seraya berkata:
"Benar. Aku pernah mendengar Keng Thian menyebutkan nama itu."

***

Mendengar kembalinya Kang Lam, Tan Teng Kie yang memang sedang
mengharap-harap dengan tidak sabaran, jadi merasa sangat girang dan
memerintahkan supaya si kacung segera datang menghadap. Ia heran melihat
Kang Lam masuk bersama dua orang wanita. "Taydjin, inilah TjeeTaytay,
sahabat Tong Tayhiap," kata si kacung. "Tak gampang aku mengundang mereka
datang kemari."
Alis Teng Kie berkerut. "Kacungku sangat tidak mengenal adat, aku
harap Djiewie tidak menjadi gusar," katanya sambil memerintahkan seorang
pelayan memanggil Siauw Tjeng Hong dan Thian Oe.
Mendengar tamu yang berkunjung adalah puterinya Tiattjiang Sintan
Yo Tiong Eng, Tjeng Hong dan Thian Oe jadi girang dan mereka lalu
menemani kedua tamu itu, sedang Teng Kie sendiri bicara dengan Kang Lam
mengenai kepergiannya ke kota raja. Yo Lioe Tjeng dan puterinya sekarang
mendapat kepastian, bahwa memang benar Tong Keng Thian telah datang
berkunjung ke rumah Soanwiesoe, hanya sayang ia sudah berangkat ke Lhasa
bersama-sama Pengtjoan Thianlie.
Selagi beromong-omong dengan tamunya, Thian Oe mendadak mendengar
teriakan ayahnya: "Oe-djie, mari sini!"
Ia mendekati dan ternyata sang ayah sedang mencekal sepucuk surat
dengan tangan bergemetaran. Begitu membaca, ia berteriak kegirangan.
Surat itu, yang dikirim oleh Tjioe Giesoe, mengatakan, bahwa ia
sudah mengajukan permohonan kepada kaizar yang sudah meluluskannya.
Dikatakan, bahwa tak lama lagi, bakal datang firman yang memanggil Teng
Kie pulang ke kota raja guna memangku jabatan yang lama.
Sebagai orang yang sudah belasan tahun berada dalam pengasingan,
berita itu menimbulkan rasa girang tercampur terharu dalam hatinya Teng
Kie dan tanpa merasa, air matanya mengucur. Thian Oe pun tidak kurang
girangnya. "Kang Lam," katanya dengan suara berterima kasih. "Ayah dan
aku merasa sangat menanggung budi."
"Kang Lam," menyambung Tan Teng Kie sambil tertawa. "Semula aku tak
menaruh kepercayaan atas dirimu, tapi sekarang ternyata kau bukan seorang
tolol."
"Terima kasih atas pujian Looya dan Kongtjoe," jawab si kacung
kemalu-maluan.
Sesudah melipat dan memasukkan surat itu ke dalam sakunya Tan Teng
Kie berkata pula: "Kang Lam, mulai dari sekarang, kau menggunakan saja
perbasaan kakak dan adik dengan Thian Oe. Aku sekarang membebaskan kau
dari tugas kacung. Jika kau masih suka bekerja dan berdiam disini, aku
dan Thian Oe tentu akan merasa sangat girang. Tapi kau bebas untuk
berhenti dan mendirikan rumah tangga sekali, jika kau menghendakinya.
Kalau kau ingin menikah, aku akan menghadiahkan tiga ratus tail perak."
Kang Lam merasa berterima kasih dan terharu mendengar kebaikan sang
majikan. "Looya dan Kongtjoe, terima kasih banyak-banyak untuk
kebaikanmu," katanya dengan air mata berlinang. "Tapi Kang Lam sungkan
cari berabe. Aku hanya sudah berjanji kepada nyonya itu untuk bantu
mencari Tong Tayhiap. Seorang Koentjoe tak akan melanggar janji. Maka
itu, jika dipermisikan Looya dan Kongtjoe, aku ingin mengantarkan mereka
pergi ke Lhasa. Sesudah menunaikan janji, aku akan kembali untuk melayani
lagi Kongtjoe."
"Oh, begitu?" kata Tan Teng Kie seraya tertawa. "Baiklah, kau boleh
pergi. Jika bertemu dengan Tong Tayhiap, tolong kau
menyampaikan hormatku."
Demikianlah, Kang Lam lalu mengantar Yo Lioe Tjeng dan puterinya
pergi ke Lhasa. Sesudah berdiam di kota itu beberapa hari, mereka masih
belum juga bisa menemui Keng Thian dan tak tahu kemana harus mencarinya.

***

Tong Keng Thian dan Koei Peng Go sudah tiba di Lhasa beberapa hari
lebih dulu dan pada waktu itu, mereka sudah menemui kejadian yang sangat
luar biasa.
Inilah untuk ketiga kalinya mereka mengunjungi Lhasa bersama-sama.
Pada dua kunjungan yang lebih dulu dari itu, biarpun di dalam hati mereka
sudah saling mencinta, tapi di luar, mereka masih bersikap seperti
sahabat biasa. Kali ini adalah lain. Mereka tidak malu-malu lagi dan
berlaku seperti dua tunangan yang saling mencinta.
Tapi, biarpun mereka melewati hari dengan penuh kebahagian, dalam
hati mereka selalu terdapat satu ganjelan, yaitu soalnya Liong Leng
Kiauw, yang sudah di penjarakan setahun lebih dan yang belum diketahui
bagaimana keselamatannya.
Mereka tak mau bertindak sembarangan untuk memberi pertolongan
karena Liong Leng Kiauw adalah ahli waris keluarga Tong. Tong Say Hoa
adalah seorang nenek yang beradat aneh dan sangat tak suka orang luar
campur-campur urusan
keluarganya. Maka itulah, Tong Siauw Lan telah memesan puteranya
supaya jangan bertindak sembarangan dan yang paling perlu adalah pergi ke
Soetjoan barat untuk memberitahukan kejadian itu kepada si nenek. Begitu
menerima warta, Tong Say Hoa gusar bukan main dan jika mungkin, sesaat
itu juga ia hendak menyateroni penjara. Tapi sebagaimana diketahui,
mendadak Kim Sie Ie mengacau di rumah keluarga Tong, sehingga si nenek
dan pemuda itu sama-sama kena senjata rahasia. Biarpun belakangan mereka
saling menukar obat, Keng Thian tak bisa menaksir apa Tong Say Hoa bisa
datang di Lhasa, karena badannya tentu akan menjadi lemah akibat jarum
Kim Sie Ie.
Maka itu, sesudah berdamai, mereka mengambil keputusan untuk
menemui Hok Kong An. Mengingat jasa mereka yang sudah bantu melindungi
guci emas dan mengingat bantuan Pengtjoan Thianlie dalam peristiwa Sakya,
mereka merasa pasti pembesar Boan itu akan menerima kunjungannya.
Demikianlah, pada hari ketiga, mereka segera pergi ke gedung Hok
Kong An yang ternyata dijaga sangat keras. Mereka lantas saja
mempersembahkan barang antaran dan meminta supaya petugas yang menjaga
pintu melaporkan kedatangan mereka. Beberapa saat kemudian, mereka
diundang ke kamar tamu dan disuguhkan teh. Duduk belum berapa lama, tirai
pintu tersingkap dan seorang Soeya (semacam sekretaris jaman sekarang)
bertindak masuk. Melihat yang masuk bukan Hok Kong An sendiri, Keng Thian
dan Peng Go merasa sangat kecewa.
"Kesehatan Hok Tayswee terganggu dan beliau tak bisa menerima
tamu," kata si Soeya sambil memberi hormat. "Mendengar kedatangan
Djiewie, beliau memerintahkan aku untuk menyambut. Apakah aku bisa
mendapat tahu maksud kedatangan kalian?"
"Aku mempunyai seorang sahabat yang katanya bekerja di bawah
perintah Hok Tayswee," kata Keng Thian dengan pura-pura tak tahu, bahwa
Liong Leng Kiauvv sudah dipenjarakan. "Sekalian datang kesini, aku ingin
menyambanginya."
"Siapa namanya sahabat tuan?" tanya si Soeya.
"She Liong, bernama Leng Kiauw," jawabnya.
Paras muka Soeya itu lantas saja berubah. "Aku tak pernah dengar
nama orang itu," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Melihat perubahan pada paras orang itu, hati Keng Thian jadi
semakin tak enak. Apa terjadi kejadian yang tak diingini atas diri Liong
Leng Kiauw?
Sesudah masing-masing mengambil tempat duduk, si Soeya mengangkat
cawan teh dan sambil bangun berdiri, ia mengundang tamunya minum. Keng
Thian pura-pura tidak mengenal adat dan tetap duduk di kursi, ia
mengajukan pertanyaan beruntun-runtun. Hok Tayswee sakit apa ? Apa sudah
mengundang tabib? Makan obat apa? Si Soeya jadi semakin gugup dan Keng
Thian segera dapat memastikan, bahwa alasan sakitnya Hok Kong An adalah
alasan yang dibuat-buat.
Tiba-tiba diluar terdengar teriakan orang: "Orang lain boleh tak
usah ditemui oleh Hok Tayswee. Tapi kedatanganku harus disambut olehnya
sendiri!"
Keng Thian terkejut. Ia mengenali, bahwa suara itu adalah suara In
Leng Tjoe.
In Leng Tjoe adalah Konghong dari istana kaizar Boan, semacam
pangkat yang lebih tinggi daripada Siewie (pengawal kaizar). Dulu ia
pernah datang di Lhasa dengan mendapat tugas untuk menangkap Liong Leng
Kiauw, tapi ia tak bisa menjalankan tugas itu, karena Hok Kong An telah
menahan Liong Sam dalam kantor Tayswee. Maka itu, dengan perasaan
mendongkol, ia kembali ke kota raja untuk memberi laporan kepada kaizar
dan memohon tugas yang lebih tegas.
Hok Kong An adalah seorang menteri yang mendapat kepercayaan paling
besar dari Kaisar Kian Liong dan mempunyai kekuasaan mutlak di Lhasa.
Maka itu, melihat cara-caranya In Leng Tjoe yang begitu kasar, orang-
orang sebawahannya jadi merasa mendongkol. "Biarpun raja muda atau
pweelek (keluarga kaizar) yang datang kemari, ia harus menunggu sebelum
mendapat undangan dari Hok Taydjin," kata salah seorang. "Mana boleh
bicara begitu kurang ajar di kantor Tayswee?"
In Leng Tjoe mengeluarkan suara di hidung dan kemudian tertawa
terbahak-bahak. "Benar, memang benar Hok Taydjin-mu bisa menolak untuk
menemui raja muda atau pweelek," katanya dengan suara mengejek. "Tapi
sekarang aku mau tanya: Jika Hongsiang (kaizar) datang sendiri, apakah
Hok Taydjin juga akan menolak?"
Para pengawal gedung Tayswee jadi kaget bukan main. "Apa kau
membawa firman?" tanya seorang.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ln Leng Tjoe merogoh saku dan
mengeluarkan sebuah Kimpay (papan emas) dengan ukiran empat huruf yang
berbunyi: Djie Tim Tjin Leng (Seperti juga kami datang sendiri). Dengan
mengangkat Kimpay itu tinggi-tinggi, ia membentak dengan suara angker:
"Apa matamu buta? Lekas panggil Hok Kong An untuk menyambut firman
Kaisar!"
Dalam kamar tamu, Tong Keng Thian bertiga berhenti bicara dan
memperhatikan kejadian di luar itu. Si Soeya, yang sebenarnya adalah
sahabat Liong Leng Kiauw, mengetahui, bahwa kedatangan In Leng Tjoe
adalah untuk mengurus urusan Liong Sam yang, jika dilihat gelagatnya,
bakal menghadapi bencana besar.
Sementara itu, para pengawal pintu jadi ketakutan. Buru-buru mereka
mengundang In Leng Tjoe ke sebuah kamar tamu yang lain dan lalu memberi
laporan kepada Hok Kong An.
Mendadak Keng Thian bangun berdiri seraya berkata: "Karena,
kesehatan Tayswee sedang terganggu, maka kami mohon berlalu saja. Kami
minta kau suka menyampaikan hormat kami kepada Hok Tayswee." Si Soeya
yang memang ingin mereka buru-buru pergi, lantas saja bangun dan
mengantar kedua tetamu itu sampai di luar pintu.
Sambil menarik tangan Peng Go, Keng Thian berjalan ke arah kamar
tamu dimana In Leng Tjoe sedang menunggu kedatangan Hok Kong An.
Si Soeya mengudak dan berteriak: "Salah! Kalian jalan salah!" Tapi
kedua orang muda itu tidak meladeni dan baru menghentikan tindakan di
depan kamar tamu itu.
"Hei! Kau benar banyak lagak!" berteriak Keng Thian dengan mengubah
suaranya.
In Leng Tjoe marah besar dan seraya melompat ke pintu, ia
membentak: "Binatang!..." Tapi perkataannya berhenti di tengah jalan,
karena begitu lekas melihat Keng Thian dan Peng Go, mulutnya ternganga
dan matanya membelalak.
"Aku ingin pinjam lihat firman yang dibawa olehmu," kata Keng Thian
dengan suara tawar. Pengtjoan Thianlie sendiri lalu mengeluarkan sebutir
Pengpok Sintan, yang dicekal dengan dua jerijinya dan kamar itu lantas
diliputi dengan hawa yang dingin luar biasa.
In Leng Tjoe ketakutan setengah mati dan tidak berani berkutik
lagi. la tahu, bahwa jiwanya akan segera melayang, jika ia coba-coba
melawan dua orang muda yang sangat liehay itu. Mau tak mau, ia membiarkan
Keng Thian menggeledah badannya dan mengeluarkan firman kaisar dari dalam
bajunya. Bunyi firman itu adalah seperti berikut:
"Liati Sioe, anak laki-laki penghianat Lian Keng Giauw, dengan
menggunakan nama samaran Liong Leng Kiauw, telah menyelesap masuk ke
Tibet untuk menimbulkan huru-hara. Sekarang dia sudah ditangkap. Dia
harus dihukum mati di tempat itu juga dan tidak usah dibawa ke kota raja.
Sekianlah perintah Kami untuk Hok Kong An, Menteri Besar yang
memegang kekuasaan di Tibet."
Dengan menggunakan istilah "menyelesap masuk di Tibet", Kaisar Kian
Liong sebenarnya sudah memberi "muka" kepada menterinya yang disayang
itu.
Keng Thian sekarang tahu, bahwa jiwa Liong Leng Kiauw digantung di
atas selembar rambut. Untuk sejenak, ia mencekal firman itu tanpa
bersuara.
Sekonyong-konyong terdengar bentakan-bentakan para pengawal, suatu
tanda, bahwa Hok Kong An akan segera keluar dari gedungnya. Keng Thian
terkesiap. Ia memasukkan firman itu ke dalam saku In Leng Tjoe seraya
berkata dengan suara getir: "Terima kasih." Ia memutar badan dan bersama
Peng Go, segera meninggalkan gedung Tayswee.
Sesudah mendapat pelajaran pahit, In Leng Tjoe tidak berani
mengunjuk kesombongannya lagi dan tentu saja ia tidak menceritakan apa
yang sudah terjadi kepada Hok Tayswee.
Setibanya di rumah penginapan, Keng Thian lalu berdamai dengan
Pengtjoan Thianlie mengenai tindakan yang harus diambil. Dalam
perundingan, tiba-tiba si nona ingat Soetee-nya Liong Leng Kiauw, yang
bernama Gan Lok dan yang bertempat tinggal di kaki Gunung Anggur. Ia
mengajukan usul, bahwa berita jelek itu harus segera diberitahukan kepada
Gan Lok.
Tanpa membuang tempo, mereka segera mengunjungi Gan Lok yang lantas
saja mengajak mereka masuk ke kamar rahasia.
"Kapan Tong Tayhiap datang di Lhasa ?" tanya Gan Lok sesudah
mengunci pintu. "Apa Tayhiap mendengar warta apa-apa mengenai Soeheng-
ku?"
"In Leng Tjoe sudah kembali," menerangkan Keng Thian. "Aku kuatir
kembalinya itu mempunyai akibat tidak baik bagi dirinya Liong Sam
Sianseng." Keng Thian bicara dengan hati-hati dan ia tak mau segera
memberitahukan hal firman kaisar.
Sekonyong-konyong Gan Lok bangun dan berlutut di hadapan kedua
tetamunya. Keng Thian ingin mencegah, tapi sudah tidak keburu lagi. "Tong
Tayhiap," katanya dengan suara memohon. "Siauwtee mempunyai suatu
permintaan yang sebenarnya tidak pantas diajukan. Aku merasa sangsi, apa
boleh bicara terus terang?"
"Bicaralah," kata Keng Thian.
"Sesudah siauwtee memikir bulak-balik, rasanya tiada jalan lain
daripada membongkar penjara!" katanya.
Keng Thian terperanjat. Ia tidak lantas memberi jawaban dan duduk
bengong dengan perasaan sangsi. "Dengan Liong Leng Kiauw, aku belum
bergaul lama dan belum tahu isi hatinya," katanya di dalam hatinya,
"jika aku bantu membongkar penjara, aku menimbulkan
gelombang besar di Tibet. Untuk membalas sakit hati ayahnya, mungkin
sekali, sesudah keluar dari penjara, ia akan menerbitkan kekacauan
hebat." Di lain saat, ia mendapat lain pikiran: "Biarpun dia putera Lian
Keng Giauw, tapi dilihat gerak-geriknya, dia adalah seorang laki-laki
sejati. Bukankah sayang sekali, jika ia mesti membuang jiwa dengan cuma-
cuma? Di samping itu, sesudah aku menolongnya, ia pasti akan mendengar
nasihatku untuk tidak menimbulkan huru-hara. Ayah sendiri telah
memerintahkan supaya aku memberitahukan hal ini kepada nyonya Tong dan
dengan begitu, ayah tentu tak akan menggusari aku, jika aku memberi
pertolongan."
Seperti ayahnya, Keng Thian adalah seorang yang sangat berhati-
hati. Dalam menghadapi segala urusan, ia selalu memikir dulu sebelum
bertindak. Melihat kesangsian tamunya, hati Gan Lok berdebar-debar.
Sesaat kemudian, Keng Thian berkata: "Baiklah,
malam ini, lewat tengah malam."
Gan Lok girang tak kepaiang. Tapi, sebelum ia sempat menghaturkan
terima kasih, di luar mendadak terdengar suara ribut-ribut.
"Apa itu? Djiewie berdiam saja disini untuk sementara waktu, aku
mau keluar untuk menyelidiki," kata Gan Lok sambil bertindak keluar dari
kamar rahasia itu.
Begitu tiba di pintu, ia terkesiap karena yang datang adalah Lo
Tiauw, pemimpin pasukan pengawal Hok Kong An, yang diikuti oleh enam
orang, empat antaranya adalah ahli-ahli silat kelas satu di bawah
perintah Hok Tayswee, sedang dua yang lain adalah seorang pria dan
seorang wanita yang mukanya luar biasa. Mereka berdua adalah In Leng Tjoe
dan isterinya, San Tjeng Nio, yang tidak dikenal Gan Lok.
"Ada urusan apa Lo Taydjin datang kesini?" tanyanya sambil
merangkap kedua tangannya.
Lo Tiauw mengeluarkan suara di hidung. "Gan Lok!" bentaknya. "Besar
sungguh nyalimu!"
"Aku adalah seorang rakyat kecil yang belum pernah melanggar
undang-undang negara," kata Gan Lok. "Apa artinya perkataan Taydjin?"
"Jangan berlagak gila!" berteriak Lo Tiauw. "Kau sudah membawa lari
Liong Loosam.
Dimana dia sekarang?"
Gan Lok kemekmek. Perkataan Lo Tiauw bagaikan halilintar di tengah
hari bolong. "Apa?" ia menegasi. "Soeheng-ku dibawa lari orang?"
"Apa kau masih mau main gila terus?" kata Lo Tiauw dengan gusar.
"Apa kau mau aku turun tangan?"
Kagetnya Gan Lok sekarang tercampur dengan perasaan girang. "Lo
Taydjin!" katanya dengan suara nyaring. "Aku sungguh-sungguh tidak
mengerti perkataanmu."
"Jika bukan kau, siapa lagi yang membongkar penjara?" tanya Lo
Tiauw dengan mata melotot.
"Sudah setengah bulan, siauwtee tak pernah keluar dari rumah ini,"
jawabnya. "Mana bisa siauwtee membongkar penjara?"
Lo Tiauw sangsi. "Dilihat dari parasnya, mungkin ia tidak
berdusta," katanya di dalam hati. "Di samping itu, begitu aku datang, ia
lantas keluar menyambut. Tapi, kalau bukan dia, siapa lagi?"
"Bolehkah aku mendapat tahu, bagaimana penjara dibongkarnya?" tanya
Gan Lok. "Dengan adanya penjagaan yang begitu kuat, apa masih ada orang
yang berani berbuat begitu?"
Lo Tiauw jadi semakin sangsi. "Hm!" ia menggereng. "Aku tanya kau,
sekarang berbalik kau tanya aku. Gan Lok! Jangan main gila kau!"
"Jika benar aku yang membongkar penjara, waktu ini aku tentu sudah
kabur jauh," kata Gan Lok. "Tak bisa jadi, aku terus berdiam di rumahku
dan menyambut kedatangan kalian. Jika tidak percaya, kalian boleh
menggeledah."
Lo Tiauw tertawa dingin. "Tak mudah kau menipu aku dengan segala
akal bulus," katanya. "Sudah pasti, kaulah yang melepaskan Liong Loosam
dan menyuruh dia kabur di tempat lain, sedang kau sendiri pura-pura
bersih. Gan Lok! Beritahukan saja tempat bersembunyinya Liong Loosam.
Dengan mengingat, bahwa kita pernah bekerja sama-sama, aku tentu tak akan
menyusahkan kau."
"Biarpun dibunuh mati, aku tak bisa memberitahukan dimana adanya
Soeheng, karena aku memang tak tahu," jawabnya dengan suara tetap.
Sementara itu, In Leng Tjoe sudah hilang sabarnya. "Sudahlah!"
bentaknya. "Sebagai soetee Liong Leng Kiauw, dia harus bertanggung jawab
sepenuhnya. Perlu apa kita bicara panjang-panjang?" Berbareng dengan
perkataannya, ia maju setindak dan coba mencengkeram Gan Lok dengan
tangannya yang seperti kipas.
Dengan cepat Gan Lok berkelit dan melompat mundur. Mendadak, dengan
disertai sambaran angin dahsyat, bagaikan bianglala, sehelai ikatan
pinggang sutera yang beraneka warnanya, menyambar. Gan Lok terkesiap dan
untuk menolong diri, ia berguling di atas lantai. Sementara itu, In Leng
Tjoe sudah merangsek maju untuk membekuk lawannya. Selagi melompat, tiba-
tiba saja, ia merasa kakinya menginjak serupa benda yang dingin luar
biasa. Hatinya mencelos dan ia meloncat mundur beberapa tindak.
Di lain saat, dengan jalan berendeng, Tong Keng Thian dan Koei Peng
Go masuk ke dalam ruangan itu. Melihat sambaran ikatan pinggang San Tjeng
Nio, dengan tenang Keng Thian mengangkat tangan kanannya dan dengan dua
jeriji menjepit ikatan pinggang itu, yang lantas saja putus seperti
tergunting!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya In Leng Tjoe dan San Tjeng Nio.
Untuk membekuk Gan Lok, yang katanya memiliki ilmu silat tinggi, In Leng
Tjoe telah mengajak iserinya datang bersama-sama, la tak pernah mimpi
bahwa kedua orang muda yang ditakuti itu, bisa berada di rumah Gan Lok.
Sebagaimana diketahui, mereka berdua pernah mengerubuti Pengtjoan
Thianlie tanpa bisa menarik keuntungan apapun juga dan kemudian dalam
pertarungan itu, mereka pernah berkenalan dengan liehaynya Thiansan
Sinbong. Mereka juga mengetahui, bahwa Keng Thian adalah putera Tong
Siauw Lan yang benar-benar tidak boleh dibuat gegabah. Maka itu, biarpun
merasa sangat malu, buru-buru mereka lompat menyingkir sebagai jago
pecundang.
Lo Tiauw dan kawan-kawan segera mengenali, bahwa kedua orang muda
itu adalah orang-orang yang pernah bantu melindungi guci emas. Sambil
bersenyum. Keng Thian mendekati dan memberi hormat. "Taydjin, kapan
pembongkaran penjara itu terjadi? Apa malam ini?" tanyanya.
"Benar, baru kira-kira satu jam berselang," jawabnya. Hatinya
bersangsi dan menduga-duga, bahwa pembongkaran penjara dilakukan oleh
kedua orang muda itu, tapi ia tak berani menanya terang-terangan.
"Kami datang disini sudah dua jam lamanya," kata pula Keng Thian.
"Selama dua jam itu, Gan Sianseng terus menemani kami. Kecuali ia
mempunyai kepandaian memecah badan, tak mungkin ia pergi membongkar
penjara."
Mendengar keterangan Keng Thian, di dalam hati In Leng Tjoe
menduga, bahwa orang yang membawa lari Liong Leng Kiauw adalah pemuda itu
sendiri. Akan tetapi, karena takut, ia tidak berani membuka mulut.
Sementara itu, melihat gelagat kurang baik, sambil tersenyum Lo Tiauw
segera berkata: "Jika Djiewie Giesoe mengatakan begitu, perbuatan itu
sudah tentu bukan dilakukan oleh Gan-heng. Kami minta maaf untuk
kecerobohan tadi, dan oleh karena ingin buru-buru berusaha untuk membekuk
orang yang berdosa, sekarang kami minta perkenan untuk berlalu."
Sesudah para tamu berangkat, mereka duduk di ruangan tengah.
Melihat paras Keng Thian yang sangat guram, Gan Lok tertawa seraya
berkata: "Sesudah ada orang yang mewakili pekerjaan kita, kita boleh tak
usah berabe lagi."
Alis pemuda itu berkerut. "Siapakah orang itu?" tanyanya. "Biarpun
orang-orang Hok Kong An bukannya ahli-ahli silat kelas utama, aku bisa
membayangkan, bahwa malam ini penjagaan di penjara sangat diperkuat.
Mungkin sekali suami isteri In Leng Tjoe turut menjaga disitu. Tapi orang
itu telah berhasil membawa lari Liong Leng Kiauw. Siapa dia? Tak bisa
tidak, dialah seorang yang berkepandaian luar biasa."
"Apa tak mungkin nenek Tong?" tanya Peng Go.
Keng Thian menggelengkan kepala seraya berkata: "Jika benar Tong
Lootaypo, apakah mungkin, bahwa pengawal-pengawal penjara tak dapat
membedakan lelaki atau perempuan? Kenapa mereka menuduh Gan-heng?"
"Apakah Kim Sie Ie?" tanya pula si nona.
"Kurasa tak mungkin," jawab Keng Thian. "Meskipun dia seorang aneh,
tapi mengingat, bahwa dia sama sekali belum mengenal Liong Leng Kiauw,
tak bisa jadi ia sudi menempuh bahaya untuk menolong Liong Sam."
Keng Thian tahu, bahwa bertahun-tahun Liong Leng Kiauw telah
mementang pengaruhnya di daerah Tibet. Maka itu, ia girang tercampur
jengkel karena Liong Sam jatuh ke dalam tangan orang yang belum diketahui
siapa adanya. Mereka coba menebak-nebak, tapi tak bisa menarik kesimpulan
yang memuaskan.
Malam itu Keng Thian tak bisa pulas. Ia menggulak-gulik di atas
pembaringan sambil mengasah otak. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk
mengunjungi pula Hok Kong An guna menyelidiki hal itu sedalam-dalamnya.
Tapi di luar dugaan, sebelum ia berangkat, utusan Hok Tayswee, sudah
datang di rumah Gan Lok.
Orang yang diutus Hok Kong An adalah Tjiauw Tjoen Loei dan
Yoe It Gok yang pernah turut melindungi guci emas. Kedudukan mereka
adalah pemimpin dan wakil pemimpin dari delapan pengawal utama di istana
kaisar dan kedudukan mereka masih jauh lebih tinggi daripada Lo Tiauw.
Sesudah selesai menjalankan tugas mengawal guci emas ke Lhasa, Hok
Tayswee telah mengajukan permohonan kepada kaizar, supaya mereka berdua
tetap berdiam di Lhasa guna memberi bantuan dalam soal-soal ketentaraan
dan permohonan itu sudah diluluskan oleh Kian Liong.
Begitu fajar menyingsing, mereka sudah tiba di rumah Gan Lok.
Melihat Keng Thian dan Peng Go, Tjiauw Tjoen Loei segera berkata dengan
sikap hormat: "Waktu Djiewie Giesoe datang berkunjung kemarin, Tayswee
tidak keluar menemui karena kesehatannya agak terganggu. Untuk kelalaian
itu, beliau telah mengutus kami guna minta maaf."
Keng Thian yang sangat cerdas, lantas saja menduga, bahwa
kedatangan mereka mengandung maksud untuk meminta pertolongan. Ia
bersenyum seraya berkata: "Orang-orang dusun yang seperti kami,
sebenarnya tak boleh mengganggu Tayswee. Kami insyaf, bahwa Tayswee tentu
diuruk pekerjaan-pekerjaan penting dan kami tak berani mengganggu lagi.
Di hadapan Tayswee, mohon Djiewie menyampaikan permintaan maaf kami."
"Apakah Tong Tayhiap tak gusar terhadap kami?" tanya Tjiauw Tjoen
Loei.
"Kenapa gusar?" Keng Thian balas menanya.
"Jika benar Tong Tayhiap tidak marah terhadap kami, kami memohon
supaya Tayhiap suka menolong mangkok nasi kami," katanya.
"Ah! Tjiauw Taydjin tak boleh bicara begitu!" kata Keng Thian.
"Bukankah Tong Tayhiap sudah tahu, bahwa semalam terjadi
pembongkaran penjara?" tanya Tjoen Loei pula.
"Ya," jawabnya. "In Leng Tjoe dan beberapa orang lain semalam telah
datang untuk urusan itu."
"Dalam hal ini, kami semua telah mendapat malu besar," kata Tjiauw
Tjoen Loei. "Karena tidak punya kemampuan, penjahat sudah berhasil
membawa lari seorang pesakitan penting dan lebih gila lagi, kami malah
tak bisa melihat tegas muka penjahat itu. Barangkali Tong Tayhiap juga
tahu, bahwa pesakitan itu adalah pesakitan sangat penting yang
diperhatikan oleh Hongsiang sendiri. Jika dia tak bisa dibekuk kembali,
semua orang disini, dari atas sampai di bawah, sudah pasti tak akan
terluput dari hukuman. Maka, kami memohon belas kasihan Tong Tayhiap
untuk memberi pertolongan."
Mendengar pernyataan Tjiauw Tjoen Loei, Keng Thian segera menduga,
bahwa Hok Kong An sudah tahu tentang perampasan firman yang dilakukan
olehnya. Mungkin, In Leng Tjoe sendiri merasa malu untuk memberitahukan
kejadian itu, tapi di samping In Leng Tjoe, masih ada si Soeya yang
menyaksikan kejadian tersebut. Oleh sebab itu ia menduga, bahwa Soeya
itulah yang sudah melaporkan kepada Hok Tayswee. Dari perkataan Tjiauw
Tjoen Loei, ia mendapat kesan, bahwa orang masih menyangkanya sebagai
orang yang sudah membawa lari Liong Leng Kiauw.
Maka itu, sambil tertawa ia segera berkata: "Dilihat gelagatnya,
jika aku tak bisa membantu kalian, aku sendiri pun tak akan terlolos dari
kecurigaan."
Paras muka Tjiauw Tjoen Loei lantas saja menjadi merah. "Biarpun
mempunyai seratus kepala, kami tentu tak berani mencurigakan Tong
Tayhiap," katanya. "Hanya karena yakin, bahwa Tayhiap mempunyai pandangan
dan pergaulan yang sangat luas, maka kami mohon, supaya Tayhiap sudi
memberi petunjuk-petunjuk."
Keng Thian tak lantas menjawab, ia duduk bengong sambil menimbang-
nimbang tindakan yang harus diambilnya.
Sementara itu, Tjiauw Tjoen Loei jadi semakin bingung dan dari
merah, parasnya berubah menjadi pucat bagaikan kertas. Ia tak bisa
menebak apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda itu.
"Tong Tayhiap," katanya dengan suara gemetar. "Dengan Liong Loosam,
kami sedikitpun tak mempunyai ganjelan atau permusuhan. Aku sendiri juga
merasa sangat tidak tega jika ia mesti mendapat hukuman mati. Kami hanya
mengharap, supaya ia bisa kembali dan aku bisa menyerahkannya kepada I n
Leng Tjoe. Sesudah menyelesaikan tugas itu, aku akan segera mengajukan
permintaan berhenti dan pulang ke kampung sendiri. Huh-huh! Sesudah Liong
Loosam berada dalam tangan In Leng Tjoe, kami bebas dari segala beban.
Jika sampai terjadi apa-apa lagi, aku boleh tak usah campur-campur lagi!"
Keng Thian merasa geli dalam hatinya. "Apakah Taydjin berada
disitu, di waktu terjadi pembongkaran penjara?" tanyanya.
Muka Tjiauw Tjoen Loei yang pucat mendadak berubah menjadi merah.
"Justeru aku dan Yoe-heng yang sedang bertugas," jawabnya dengan suara
kemalu-maluan.
"Heran benar!" kata Keng Thian. "Meskipun penjahat itu
berkepandaian tinggi, tetapi, mengingat tebalnya tembok penjara dan
kuatnya kunci, tak mungkin ia bisa terbang tanpa mengeluarkan suara."
"Bukan hanya suara, tapi suara yang sangat dahsyat," jawabnya.
"Penjahat itu telah menghancurkan tembok penjara!"
Keng Thian jadi semakin heran. "Kalau begitu, mana bisa jadi kalian
tidak melihat tegas muka penjahat itu?" tanyanya.
"Kira-kira tengah malam, di dalam penjara mendadak terdengar suara
gedubrakan yang sangat hebat," kata Tjiauw Tjoen Loei. "Kami segera
memburu dan melihat berkelebatnya satu bayangan hitam yang menggendong
Liong Leng Kiauw. Mendadak, kami merasa seperti kehilangan semangat, mata
berkunang-kunang dan lutut lemas. Di lain saat, penjahat itu sudah tak
kelihatan bayang-bayangannya lagi."
"Apa penjahat itu menggunakan biehio (hio untuk memabukkan orang)?"
tanya Keng Thian.
Tjiauw Tjoen Loei menggelengkan kepala.
"Sedikitpun aku tidak mengendus bebauan luar biasa," katanya.
"Untuk itu, kami sudah berjaga-jaga. Semua orang yang bertugas membekal
obat pemunah. Biehio yang paling hebat tak akan bisa merobohkan kami."
Sesudah berpikir sejenak, Reng Thian berkata: "Apa boleh kalian
mengantar kami untuk menyelidiki di penjara itu?"
"Bagus! Kami sebenarnya tak berani meminta begitu," jawabnya
girang.
Setibanya di penjara, Keng Thian dan Peng Go segera menyelidiki
dengan teliti. Ternyata, tembok penjara tebal dan kokoh, sedang setiap
pintu terbuat dari besi dengan kuncinya yang besar. Waktu tiba di kamar
(sel) Liong Leng Kiauw, mereka terkejut sebab dinding berlubang besar,
cukup untuk muat badannya satu manusia. Ditinjau bekas-bekasnya, tembok
itu rupanya digempur dengan menggunakan pundak. Keng Thian dan Peng Go
merasa kagum bukan main, karena tenaga yang begitu besar sungguh jarang
terdapat dalam dunia. Tapi apa yang paling mengherankan adalah pengaruh
luar biasa yang dirasakan oleb para penjaga bui pada waktu si penjahat
sedang bekerja. Mereka semua merasa seperti orang linglung. Penglihatan
mereka mengenai tubuh si penjahat berlainan satu sama lain. Ada yang
kata, penjahat itu berbadan gemuk, ada yang kata kurus, ada yang kata
tinggi dan ada pula yang kata kate.
Keng Thian menengok ke arah
Peng Go dan tiba-tiba ia terkejut, karena paras si nona kelihatan
luar biasa, seakan-akan orang kehilangan semangat. "Peng Go Tjietjie!
Kenapa kau?" tanyanya.
Sedari tiba di penjara, Pengtjoan Thianlie tidak mengeluarkan
sepatah kata dan teguran itu mengejutkannya. "Lekas sediakan dua ekor
kuda yang baik!" katanya dengan suara nyaring. "Kita harus mengubar ke
jurusan barat!"
"Ada apa?" tanya Keng Thian dengan penuh keheranan.
"Coba kau bersemedhi dan mengheningkan cipta," kata si nona.
Baru saja bersemedhi beberapa saat, hidung Keng Thian sudah
mengendus semacam bebauan wangi yang sangat halus dan luar biasa. Seumur
hidup, belum pernah ia mencium bebauan yang serupa itu.
Sementara itu, atas perintah Tjiauw Tjoen Loei, dua ekor kuda sudah
tersedia di luar pintu penjara.
Keng Thian melompat bangun seraya menanya: "Peng Go Tjietjie, bau
apa itu?"
"Jangan tanya, mari kita berangkat," jawabnya sambil bertindak
keluar. Tanpa bicara lagi, mereka melompat ke atas punggung kuda yang
lalu dikaburkan ke jurusan barat. Kedua tunggangan itu adalah kuda-kuda
pilihan yang larinya sangat cepat dan dalam sekejap, mereka sudah berada
di luar kota.
Tibet adalah daerah yang luas dengan sedikit penduduknya. Sebagian
besar penduduk itu berkumpul di sebelah timur Lhasa, sedang di wilayah
sebelah barat Lhasa hanya terdapat tanah belukar dan gurun pasir. Di
daerah itu, orang bisa berjalan puluhan li tanpa menemui rumah penduduk.
Waktu itu, di Tiongkok Selatan sudah masuk permulaan musim semi, tapi
Tibet masih tertutup salju.
Sesudah mengaburkan tunggangan beberapa lama di tanah yang tandus
itu, tiba-tiba Peng Go menahan les dan berkata: "Diculiknya Liong Leng
Kiauw mungkin akan menimbulkan kejadian-kejadian luar biasa."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Keng Thian sambil merendengkan kudanya
dengan tunggangan si nona.
"Bukankah tadi kau mengendus bebauan wangi?" Peng Go balas menanya.
"Benar," jawabnya. "Bau itu halus luar biasa, sehingga sesudah
bersemedhi, barulah aku dapat mengendusnya. Aku sebenarnya merasa heran,
bagaimana kau bisa mengendusnya dengan begitu saja."
Si nona tertawa manis. "Kau tak usah heran," katanya. "Di Puncak Es
terdapat pohon bunga itu."
"Bunga?" menegas Keng Thian. "Bunga itu Asioelo namanya,"
menerangkan Peng Go. "Asioelo berarti setan atau memedi. Walaupun sangat
halus, bau kembang itu tak gampang buyar. Pada waktu bunganya sedang
mekar, orang yang mengendus wanginya bunga itu, akan berada dalam keadaan
seperti mabuk arak, semangatnya seolah-olah terbetot keluar, matanya
berkunang-kunang dan lututnya lemas. Maka itulah, namanya Bunga Setan.
Pohon bunga itu hanya bisa hidup di tempat yang sangat tinggi. Sepanjang
keterangan, di samping daerah pegunungan Nyenchin Dangla, Bunga Setan
hanya terdapat di pegunungan Himalaya. Di gunung Nyenchin Dangla tidak
terdapat lain orang pandai, kecuali keluargaku sendiri. Maka itu, aku
menaksir, bahwa orang yang menculik Liong Leng Kiauw datang dari daerah
Himalaya."
"Aha!" kata Keng Thian dengan kaget. "Apa dia orang asing? Benar.
Jika dilihat dari kepandaiannya dalam menggempur tembok penjara, memang
kepandaian itu bukan kepandaian orang Han."
"Aku pun menduga begitu," kata Peng Go sambil menghela napas. "Jika
dia datang dari Nepal, aku kuatir perbuatannya itu mempunyai sangkut paut
dengan diriku. Maka itulah, andaikata orang yang diculik bukan Liong Leng
Kiauw, aku tetap harus menyelidiki sampai di dasarnya,"
Di sepanjang jalan, dengan rasa heran mereka melihat tapak-tapak di
atas salju, tapi semua tapak itu bukan tapak manusia, maupun kuda. Apa
tapak-tapak binatang yang belum dikenal mereka?
Sesudah berjalan beberapa jauh lagi, di atas salju terlihat tetesan
darah, yang semakin lama jadi semakin banyak. Apa yang mengherankan ialah
di jalanan itu sama-sekali tidak kelihatan tapak-tapak kaki. "Aneh," kata
Peng Go. “Jika darah itu adalah darah manusia, orang yang mengeluarkan
darah pasti mempunyai ilmu berjalan tanpa meninggalkan tapak. Tapi, jika
ia memiliki ilmu yang begitu tinggi bagaimana ia bisa terluka?"
Dengan hati berdebar-debar, mereka terus mengikuti tetesan darah
itu. Tak lama kemudian, Keng Thian mengeluarkan seruan kaget, karena di
tengah jalan menggeletak dua bangkai kuda. Mereka lalu mendekati dan
ternyata, ke empat kaki kuda-kuda itu telah dibacok putus. Mereka coba
mencari kaki-kaki itu, tapi tidak bisa didapatkannya, mungkin sebab sudah
keuruk salju.
Keheranan mereka semakin memuncak. Jika tetesan darah yang terlihat
di sepanjang jalan adalah kuda, kenapa tidak terlihat tapak-tapak
kakinya? Mereka melompat turun dari tunggangan dan lalu menyelidiki
terlebih teliti. Ternyata, di seputar bangkai kuda terdapat tapak-tapak
kaki manusia yang samar-samar, antaranya tapak yang pendek dan kecil.
Setelah diakuri, tapak itu ternyata tidak berjauhan besarnya dengan tapak
kaki Peng Go. "Tapak wanita!" kata Keng Thian, yang, sesudah mengawaskan
kedua bangkai kuda itu beberapa lama, mendadak berteriak: "Aha! Inilah
tapak Tong Lootaypo!"
“Bagaimana kau tahu?” tanya si nona.
"Lihatlah kedua kuda itu," jawabnya. "Banyak lebih kecil daripada
tunggangan kita, tapi kelihatannya kuat dan gagah. Kuda itu bukan
sembarang kuda, mereka adalah kuda-kuda yang terkenal dari Soetjoan
barat!"
"Benar," kata si nona. "Tong Lootaypo memang penduduk daerah itu.
Tapi disini terdapat dua ekor kuda. Siapa yang satunya lagi? Apakah nenek
itu yang menolong Liong Leng Kiauw? Mana bisa jadi?"
Keng Thian pun merasa, bahwa hal itu adalah tak mungkin. Walaupun
memiliki ilmu silat yang tinggi, si nenek pasti tak akan bisa menggempur
tembok penjara dengan kekuatan badannya.
"Pengalaman kita di hari ini benar-benar luar biasa," kata Keng
Thian. "Jalan satu-satunya, kita harus menyelidiki terlebih jauh."
Mereka lalu melompat naik ke punggung kuda dan berjalan mengikuti
tapak-tapak kaki di atas salju. Selagi turun di satu tanjakan, sekonyong-
konyong terlihat pula tanda-tanda darah.
"Disitu ada orang!" seru Keng Thian.
Tubuh orang itu tertutup salju dan hanya sebagian mukanya yang
terlihat dari luar. Buru-buru mereka meloncat turun dari tunggangan dan
menyingkirkan salju yang menutup badan orang itu.
Di lain saat, mereka berdiri terpaku, bahna kagetnya, baju orang
itu, yang ternyata adalah Tong Toan, keponakan Tong Say Hoa, robek di
sana-sini, sedang di pundaknya terdapat tapak tangan yang berwarna merah.
"Dadanya masih hangat," kata Keng Thian. "Lekas berikan Yangho wan
(pel untuk menolak hawa dingin)."
Peng Go segera menyerahkan dua butir Yangho wan kepada Keng Thian
yang lalu memasukkannya ke dalam mulut Tong Toan dan menuang juga sedikit
arak, yang selalu dibawa dalam sakunya, supaya pel itu bisa turun ke
dalam perut. Kemudian, dengan mengerahkan lweekang, Keng
Thian lalu mengurut sekujur badan Tong Toan untuk menjalankan
darahnya yang sudah hampir membeku.
Selagi tunangannya bekerja, si nona mengawasi ke seputarnya.
Tiba-tiba ia berteriak: "Keng Thian! Lihat!"
Keng Thian menengok ke arah yang ditunjuk Peng Go. Ternyata, tak
jauh dari situ, terdapat sebuah batu gunung yang somplak atasnya dan
kepingan-kepingan batu berhamburan di bawahnya. Sebagai seorang ahli, ia
segera mengetahui, bahwa somplakan itu adalah akibat pukulan senjata.
Sesudah memperhatikan beberapa saat, mendadak ia berseru: "Aha! Tongkat
Kim Sie Ie!"
Si nona menghela napas. "Ya," katanya dengan suara duka.
"Sebaliknya dari pergi ke Thiansan, dia datang kemari. Bukankah dia
seperti mencari mati sendiri? Andaikata kita sekarang dapat mencarinya,
mungkin sudah tidak keburu untuk menolongnya." Peng Go berkata begitu,
karena tahu, bahwa Kim Sie Ie tak bisa hidup sebulan lagi.
Keng Thian tidak menyahut. Ia terus mengurut Tong Toan. Selang
beberapa lama, barulah terdengar suara merintih dari tenggorokan pemuda
yang terluka itu.
"Ketolongan!" katanya sambil bangun berdiri dan mengambil kantong
kulit yang berisi arak susu kuda dari selanya. Ia menuang arak itu ke
mulut Tong Toan yang perlahan-lahan lalu membuka kedua matanya. "Ih!"
katanya dengan suara lemah. "Kau? Apa aku sedang mimpi?"
Pengtjoan Thianlie bersenyum. "Jangan kuatir, kau hanya mendapat
luka di luar," katanya. "Inilah Tong Keng Thian, putera paman Tong Siauw
Lan, Tjiangboendjin Thiansan pay."
Dengan sorot mata duka, Tong Toan mengawasi si nona. "Terima
kasih," katanya dengan suara lemah. "Koei Kouwnio, inilah untuk kedua
kali kau menolong aku." Harus diketahui, bahwa waktu Peng Go berdiam
beberapa hari dalam gedung keluarga Tong untuk melindungi Tong Lootaypo,
dalam hati pemuda itu telah timbul rasa cinta terhadapnya. Hanya karena
mengetahui, bahwa kepandaiannya tidak berbanding dengan Pengtjoan
Thianlie, ia merasa malu untuk memperlihatkan rasa hatinya. Sekarang,
melihat Peng Go bersama-sama putera Tong Siauw Lan, ia jadi merasa duka,
akan tetapi, sebagai seorang baik-baik, dalam kedukaan itu, ia merasa
girang sebab Pengtjoan Thianlie sudah mendapat seorang kawan yang
kelihatannya setimpal.
"Mana Kouwkouw-mu (bibi)?" tanya si nona.
"Apa kalian tidak bertemu dengannya?" tanyanya dengan kaget.
Pengtjoan Thianlie terkesiap. "Apa Kim Sie Ie cari-cari urusan lagi
dengan kalian?" tanyanya. Ia menunjuk batu yang somplak itu dan berkata
pula: "Lihatlah, bukankah batu itu terpukul dengan tongkatnya?"
"Aduh, begitu hebat!" kata Tong Toan. "Dia sebenarnya telah
membantu Kouwkouw dalam pertempuran melawan Ouwtjeng (pendeta asing)."
"Apa?" menegas si nona. "Siapa pendeta asing itu? Kim Sie Ie
membantu Kouwkouw-mu?"
"Benar," jawabnya. "Jika tidak ditolong Kim Sie Ie, jiwaku tentu
sudah melayang. Yang menculik Soesiok (paman guru, Liong Leng Kiauw)
adalah Ouwtjeng itu.
Waktu kecil, Liong Leng Kiauw telah dipelihara oleh Tong Say Hoa
yang mencintainya bagaikan anak sendiri. Tapi guru Liong Sam adalah Tong
Djiesianseng, ayah Tong Say Hoa, sehingga Tong Toan memanggil Soesiok
kepadanya.
Si nona kaget bukan main. "Oh, begitu?" katanya. "Kenapa di
sepanjang jalan sama sekali tidak terlihat tapak kaki manusia atau kuda?"
Sesudah minum arak susu kuda, sebagian tenaga pemuda itu pulih
kembali. Ia menghela napas dan mulai menutur dengan suara perlahan:
"Tempo hari, ketika kau datang di Soetjoan barat, kau telah
memberitahukan tentang di penjarakannya Soesiok.
Sebenarnya Kouwkouw ingin segera pergi ke Lhasa untuk memberi
pertolongan, tapi sungguh celaka, ia telah dilukakan Kim Sie Ie, sehingga
sesudah berobat kurang lebih setengah tahun, barulah kesehatannya pulih
kembali. Kami berangkat sesudah Tiongtjhioe tahun yang lalu dan sudah
belasan hari tiba di Lhasa."
"Aku semula menduga, orang yang membongkar penjara adalah Kouwkouw-
mu," kata si nona,
"Memang, memang Kouwkouw mempunyai niatan begitu," kata Tong Toan.
"Ia membuat persiapan untuk beberapa hari lamanya. Ia sudah menyelidiki
keadaan di penjara dan menyediakan dua ekor kuda di luar pintu kota,
supaya, begitu lekas Soesiok tertolong, kami bisa kabur dengan menunggang
kuda. Kami sudah membuat rencana untuk membongkar penjara pada tengah
malam, kemarin malam."
"Pendeta asing itu juga datang pada waku itu, bukan?" tanya Keng
Thian.
"Tak salah," jawabnya. "Kemarin malam, baru saja kami tiba di luar
tembok penjara, mendadak terdengar suara gedubrakan, disusul dengan
suara tindakan yang ramai. Kami mengetahui, bahwa di dalam telah terjadi
perkembangan luar biasa dan lalu bersembunyi di kaki tembok. Tak lama
kemudian, dari dalam melompat keluar seorang pendeta asing yang
menggendong seorang lain. Kouwkouw yang bermata jeli lantas saja
mengenali, bahwa orang yang digendong itu adalah Soesiok. Ia berteriak-
teriak dan memanggil-manggil nama Soesiok, tapi baik si pendeta, maupun
Soesiok tidak menjawab. Menurut peraturan Kangouw, kedua belah pihak
harus saling memperkenalkan diri. Si pendeta yang mempunyai ilmu
entengkan badan sangat tinggi, kabur terus dengan diubar oleh kami.
"Begitu keluar dari tembok kota, Ouwtjeng itu lantas saja melompat
ke punggung kuda yang lalu dikaburkan sekeras-kerasnya. Untung juga, kami
pun sudah menyediakan kuda. Kedua kuda kami sangat cepat larinya dan si
pendeta telah kecandak di tempat ini."
"Kenapa di sepanjang jalan tidak tertampak tapak kaki kuda?" tanya
Peng Go.
"Karena kuatir dikuntit orang, kami membungkusnya dengan kain wol
yang tebal," jawabnya. "Mungkin si pendeta asing pun berbuat begitu."
Pengtjoan Thianlie manggut-manggutkan kepalanya.
Sesudah mengasoh sebentaran, Tong Toan melanjutkan penuturannya:
"Dalam jarak kira-kira belasan tindak, Ouwtjeng mendadak berbalik dan
melepaskan beberapa golok terbang dengan berbareng. Kouwkouw adalah ahli
senjata rahasia yang pandai melepaskan dan menyambut macam-macam senjata.
Ia segera bergerak untuk menangkap golok-golok dengan menggunakan ilmu
Tjiantjhioe Kwan Im Sioebanpo (Dewi Kwan Im yang mempunyai ribuan tangan
menangkap laksaan mustika). Tapi di luar dugaan, ilmu melepaskan golok
dari si pendeta juga sangat luar biasa. Waktu baru dilepaskan, golok-
golok itu menyambar ke atas tapi begitu berdekatan, arahnya berubah dan
menyambar kaki kuda. Demikianlah, delapan kaki kuda Soetjoan itu jadi
korban golok terbang. Jika Kouwkouw masih muda atau serangan itu terjadi
di siang hari, mungkin sekali si pendeta tidak akan berhasil."
Mendengar penuturan itu, Keng Thian merasa geli. "Keluarga Tong
dikenal sebagai ahli nomor satu di dunia dalam ilmu melepaskan senjata
rahasia," katanya di dalam hati. "Kekalahan ini pasti mendukakan sangat
hati si nenek."
"Kouwkouw jadi gusar bukan main," kata pula Tong Toan. "Ia segera
menghujani senjata rahasia kepada Ouwtjeng. Thielian tjie, Tokkilee,
Ngoloei tjoe, Kimtjhie piauw dan sebagainya menyambar-nyambar bagaikan
gerimis, sehingga si pendeta jadi repot bukan main. Dia melompat turun
dari tunggangannya dan lalu menggunakan jubah pertapaannya sebagai
tameng. Sementara itu, Liong Soesiok masih tetap duduk di punggung kuda.
Semula, kami menduga, ia kena obat tidur. Tapi dengan pertolongan sinar
bulan, kami melihat matanya terbuka lebar dan mengawasi kami terlongong-
longong. Kami yakin, bahwa jika Soesiok membantu, tidak terlalu sukar
untuk mengambil jiwa pendeta itu. 'Leng Kiauw!' teriak Kouwkouw.
'Tikamlah Honghoe hiat-nya!' Tapi Soesiok tidak bergerak, kedua matanya
tetap mendelong seperti orang lupa ingatan, sedang kaki tangannya
bergemetaran. Kami jadi jengkel tercampur kuatir.
"Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang
sangat nyaring, disusul dengan berkelebatnya satu bayangan manusia!"
"Kim Sie Ie, bukan?" tanya Peng Go.
"Benar," jawabnya. "Kim Sie Ie. Sesaat itu, kami belum tahu, bahwa
kedatangannya adalah untuk memberi pertolongan. Kami kaget bukan main.
Kouwkouw melayani Ouwtjeng dengan hanya menggunakan senjata rahasia. Kami
yakin, bahwa begitu lekas senjata rahasia habis, si pendeta akan segera
menyerang dan kami berdua belum tentu bisa menandinginya. Mana bisa kami
melayani lagi seorang musuh alot seperti Kim Sie Ie? Kouwkouw berteriak
berulang-ulang untuk menyadarkan Liong Soesiok, tapi tetap tidak
berhasil. Waktu itu, aku sudah tidak memikir hidup. Aku bertekad untuk
lebih dulu membinasakan si pendeta dan jika berhasil, barulah menghadapi
Kim Sie Ie. Aku segera maju mendekati dan menunggu kesempatan untuk
menerjang.
"Di lain detik, Kim Sie Ie sudah tiba di gelanggang pertempuran,
sedang aku sendiri hanya terpisah tujuh delapan kaki dari si pendeta.
"Mendadak, Ouwtjeng menyabat dengan jubahnya dan beberapa senjata
rahasia terpukul balik dan menyambar ke punggung Kouwkouw. Sesaat itu,
Kouwkouw sedang memutar tubuh untuk menghadapi Kim Sie Ie dan ia sama
sekali tak menduga, bahwa si pendeta bisa menyerang dirinya dengan
senjata rahasianya sendiri.
"Pada detik itulah, tongkat Kim Sie Ie menyambar. Jika Kouwkouw
menangkis tongkat, ia tak akan bisa menangkis senjata rahasia yang
menyambar punggung dan begitu juga sebaliknya. Melihat begitu, semangatku
terbang.
"Sekonyong-konyong terdengar suara 'tring-tring-tring!' dan semua
senjata rahasia terpental ke empat penjuru. Ternyata, di luar semua
taksiran, tongkat itu bukan menghantam Kouwkouw, tapi menyabat senjata-
senjata rahasia itu."
Keng Thian tertawa. "Cara-cara Kim Sie Ie memang aneh sekali,"
katanya.
"Waktu itu aku berdiri terpaku dan memusatkan Seantero perhatian ke
arah Kouwkouw," kata pula Tong Toan. "Tak dinyana, dengan menggunakan
kesempatan itu, si pendeta mengedut jubahnya yang lantas saja menyambar
ke kepalaku. Kim Sie Ie membentak keras dan melompat untuk menolong, tapi
sudah tidak keburu. Mataku berkunang-kunang dan tidak ingat orang lagi
sampai ditolong oleh kalian."
"Kalau begitu, siapa yang menang dan siapa yang kalah tidak
diketahui olehmu, bukan?" tanya Keng Thian.
"Tidak, aku tak tahu," jawabnya. "Kouwkouw sudah tua. Aku sungguh
berkuatir."
"Menurut pendapatku, Tong Lootjianpwee tak kurang suatu apa,"
menghibur Peng Go. "Jika dia menang, si pendeta tentu tak akan membiarkan
kau hidup terus. Di samping itu, kalau mereka terluka, di sekitar sini
mesti terdapat tanda-tanda darah. Menurut taksiranku, Tong Lootjianpwee
dan Kim Sie Ie telah mengubar pendeta itu."
"Mari kita mengejar terus." mengajak Keng Thian.
Salju mulai turun lagi, semakin lama jadi semakin lebat. Mereka
yakin, bahwa niatan untuk mengejar ketiga orang itu akan lebih sukar
tercapai karena tapak-tapak tentu keuruk dengan salju yang baru turun.
Tapi sebab tiada lain jalan yang lebih baik, mereka terpaksa meneruskan
pengejaran ke jurusan barat. Di sepanjang jalan, Peng Go diliputi
kedukaan, karena ia tak dapat menebak, kenapa Kim Sie Ie tidak pergi ke
Thiansan dan berkeliaran di daerah yang belukar itu.

***

Hari itu, Kim Sie Ie kabur dari warung arak dengan rasa kemalu-
maluan. Ia merasa jengah dan mengambil keputusan untuk tidak menemui lagi
Phang Lin dan puterinya. Ia lari selari-larinya, tanpa tujuan. Sesudah
kabur tiga hari, ia tiba di daerah padang pasir dan kesasar. Ia berada di
tempat yang tiada manusianya, sedang makanan kering yang dibawanya, sudah
habis.
Sesudah menghitung-hitung, ternyata ia hanya bisa hidup kira-kira
tiga puluh hari lagi. Ia tertawa dalam hatinya. Ia merasa, bahwa mati di
tanah belukar itu, lebih cepat beberapa hari atau lebih lambat beberapa
hari, tidak menjadi soal. Ia tak takut mati, ia memang siap sedia untuk
meninggalkan dunia yang penuh penderitaan. Tapi, di lain saat, ia
berpikir lain. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, ia merasa
penasaran jika mesti mati kelaparan di padang pasir. Ia tak rela untuk
mati cara begitu. Kim Sie Ie adalah seorang yang sungkan menyerah kalah
terhadap siapapun juga. Setelah mengetahui, bahwa ia tak akan bisa
terlolos dari kebinasaan, harapan yang satu-satunya ialah: Ia ingin mati
secara mengesankan. Ia tak rela untuk mati dengan begitu saja, dengan
sepi-sepi saja.
Akan tetapi, ia sekarang berada di padang pasir, tanpa makanan dan
tanpa air. Hari itu, dengan lapar dan haus, ia mendaki sebuah bukit
pasir. Tiba-tiba ia melihat beberapa batu besar yang berlubang-lubang.
Batu-batu di daerah padang pasir banyak lebih empuk daripada baru biasa
dan di lubang-lubang sering terdapat air, yang dinamakan "susu batu".
Dengan girang ia melihat, bahwa di beberapa lubang masih terdapat
air. Sesudah mengisap "susu batu" itu, perasaan hausnya menghilang, tapi
rasa laparnya jadi semakin hebat. Ia segera bersila di belakang batu dan
mengerahkan lweekang. Sesudah berlatih beberapa lama, semangatnya
terbangun dan rasa lapar mulai mereda.
Mendadak, di sebelah kejauhan terdengar suara kelenengan unta. Ia
girang bukan main. Dengan merampas "perahu padang pasir" itu, ia pasti
bisa menyelamatkan diri. Tapi di lain detik, ia berkata pada dirinya
sendiri: "Dengan merampok binatang itu, aku bisa hidup kurang lebih tiga
puluh hari lagi. Tapi dengan menolong diriku, si pelancong menjadi
korban."
Dulu-dulu, Kim Sie Ie belum pernah memikirkan soal orang lain.
Semenjak berkenalan dengan Pengtjoan Thianlie, Phang Lin dan puterinya,
rasa membencinya terhadap manusia perlahan-lahan berkurang. Kadang-
kadang, di tengah malam yang sunyi, ia sendiri merasa heran kenapa
perasaannya telah berubah.
Semakin lama, suara kelenengan semakin dekat. Ia bersangsi sangat.
Rampas atau tidak rampas?
Sekonyong-konyong, kesunyian gurun pasir dipecahkan dengan suara
tertawa yang nyaring dan luar biasa. Kim Sie Ie terkejut, karena suara
itu tak asing bagi kupingnya. Ia lalu mengintip dari atas batu. Unta itu
masih terpisah beberapa li, tapi sebab di padang pasir tidak terdapat
aling-aling, maka ia bisa melihat tegas. Ternyata, di punggung unta
berduduk dua orang, yang masing-masing mempunyai muka luar biasa. Dengan
sekali melihat saja, ia sudah mengenali, bahwa yang satu adalah
Hiatsintjoe, sedang yang lain si pendeta lengan besi, Tang Thay Tjeng.
Ia gembira dan berkata dalam hatinya: "Aha! Hatiku bebas dari
perasaan berdosa jika merampas tunggangan dua manusia busuk itu."
Karena berada di padang pasir, mereka bicara dengan bebas tanpa
kuatir didengar orang.
"Hiatsin Tooyoe," kata Tang Thay Tjeng. "Menurut katanya Hongsek
Tooheng kau sekarang bekerja pada kerajaan Tjeng dan mempunyai harapan
untuk diangkat menjadi Koksu (guru negara). Tapi kenapa, sebaliknya dari
mengicipi kebahagiaan di istana kaisar, kau sudah datang di padang pasir
ini. Apakah kau mempunyai tugas di tempat ini?"
Hiatsintjoe menghela napas panjang, paras mukanya berubah seram
tercampur lucu, seperti tertawa, bukan tertawa. "Hai!" katanya. "Jika mau
dituturkan,
ceritanya panjang sekali. Aku juga ingin menanya kau. Kenapa kau
juga berada di padang pasir ini? Sesudah menyembunyikan diri tiga puluh
tahun lamanya, kau muncul lagi dalam pergaulan manusia. Aku yakin, kau
sekarang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Kenapa sebaliknya dari
berkelana dalam kalangan Kangouw, kau kabur ke tempat yang sepi ini?"
Tang Thay Tjeng pun menghela napas. Mukanya berubah merah, karena
malu. Sesaat kemudian, barulah ia menjawab: "Hra! Kepandaian apa! Baru
muncul, aku sudah dirobohkan!"
Hiatsintjoe kaget dan heran. "Tang-heng," katanya. "Aku mengenal
kau sebagai seorang yang tak suka menyerah terhadap siapapun juga. Kenapa
kau sekarang mengatakan begitu? Siapa manusia itu? Bagaimana kau
dirobohkannya?"
"Aku dirobohkan oleh Phang Lin, ie-ie (ipar) Tong Siauw Lan,"
jawabnya dengan suara masgul.
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung. "Lagi-lagi orang Thiansan
pay," katanya dengan suara mendongkol.
"Sesudah menderita kekalahan beberapa kali, Hongsek Toodjin dingin
hatinya dan ia sekarang sudah kembali ke hutan batu untuk tidak muncul
lagi dalam dunia pergaulan," kata Tang Thay Tjeng.
"Tapi aku sendiri masih penasaran. Aku ingin mencari satu orang
guna mendapatkan sejilid kitab yang luar biasa."
"Kitab apa?" tanya Hiatsintjoe. "Apa ilmu dalam kitab itu bisa
menangkan ilmu silat Thiansan pay?"
"Belum bisa dipastikan," jawabnya. "Pada kurang lebih empat puluh
tahun berselang, siapakah yang memiliki ilmu silat paling tinggi?"
"Ie Lan Tjoe, Lu Soe Nio dan Tokliong Tjoentjia," jawab
Hiatsintjoe. "Ie Lan Tjoe sudah meninggal dunia. Yang masih hidup adalah
Tokliong Tjoentjia dan Lu Soe Nio."
"Yang sedang dicari olehku adalah murid Tokliong Tjoentjia," kata
Tang Thay Tjeng. "Kitab itu, yang diberi nama Tokliong Pitkip, disimpan
olehnya."
Hiatsintjoe tertawa dingin. "Apa dia sudi menyerahkannya?" tanyanya
Mendengar sampai disitu, Kim Sie Ie merasa geli dalam hatinya.
Tan Thay Tjeng tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Aku
mempunyai satu jalan untuk memaksanya."
Hiatsintjoe tak percaya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tooheng," kata pula Tang Thay Tjeng. "Jika aku tidak salah
melihat, kau sendiri mempunyai ganjelan di dalam hati. Pikiran dua orang
lebih sempurna daripada pikiran satu orang. Bolehkah kau memberitahukan
siauwtee, apa yang menjengkelkan hatimu?"
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung, sikapnya angkuh sekali,
seolah-olah ia memandang rendah kepandaian kawannya. Tapi, di lain saat,
ia rupanya berbalik pikiran dan berkata dengan suara manis: "Tang
Tooheng, jangan kau mimpi. Masakah orang mau gampang-gampang menyerahkan
kitab ilmu silat kepadamu? Lebih baik kau mengikuti aku mendaki Puncak
Mutiara 141 di Himalaya."
"Perlu apa?" tanya Tang Thay Tjeng. "Aku dengar, semenjak dulu
belum pernah ada manusia yang berhasil mendaki puncak itu, Apa kau mau
cari mati?"
Hiatsintjoe tertawa dingin. "Lebih baik mati daripada seperti
sekarang," katanya dengan suara getir. "Tak mati dan tak hidup, terus
menerus dihina orang."
Tang Thay Tjeng heran bukan main. "Apa artinya perkataanmu?"
tanyanya.
"Kau roboh dalam tangan Phang Lin dan kekalahan itu masih ada
harganya," jawabnya. "Tapi aku dijatuhkan oleh seorang houwpwee (orang
yang tingkatannya lebih rendah)."
"Siapa?" tanya pula Tang Thay Tjeng.
"Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
"Aneh benar nama itu, aku belum pernah mendengarnya," kata si
pendeta.
"Belakangan ini dalam Rimba Persilatan muncul orang-orang baru yang
berkepandaian sangat tinggi," menerangkan Hiatsintjoe. "Sesudah dihajar
dengan tujuh butir Sintan oleh Pengtjoan Thianlie, sehingga sekarang
lweekang-ku belum pulih kembali. Aku dengar, di Puncak Mutiara terdapat
banyak sekali rumput dan pohon yang mempunyai khasiat luar biasa dan di
antaranya terdapat serupa rumput dewa yang dikenal sebagai Tjiangtjoe
Siantjo (Rumput dewa mutiara merah). Sepanjang keterangan, orang yang
makan rumput itu dapat menambah lweekang-nya seperti juga ia berlatih
tiga puluh tahun. Untuk bicara terus terang, dengan suami isteri In Leng
Tjoe, aku sebenarnya mendapat tugas untuk menjalankan hukuman mati atas
diri Liong Loosam di Lhasa. Tapi sekarang, sesudah dirobohkan orang, aku
tak ada muka lagi untuk berkelana dalam kalangan Kangouw. Aku sudah tidak
memikiri lagi segala pangkat Koksoe dan tujuanku yang terutama adalah
coba mendapat rumput dewa itu. Jika kau bersedia untuk mengikut, aku akan
merasa girang sekali."
Sementara itu, unta sudah mendekati tempat bersembunyinya Kim Sie
Ie dan beberapa saat kemudian, sudah mendaki bukit pasir itu. Tiba-tiba
Kim Sie Ie melompat keluar sambil tertawa nyaring. "Tahan!" teriaknya.
"Kamu ingin mencari rumput dewa, aku hanya menghendaki untamu!" Hampir
berbareng, ia meloncat dan tangannya menyambar les, sehingga binatang itu
tak bisa bergerak lagi.
Hiatsintjoe gusar bukan main. "Kim Sie Ie! Mau apa kau?" bentaknya.
Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. "Apa kau tuli?" tanyanya.
"Bukankah aku sudah memberitahukan: Aku mau untamu!"
Hiatsintjoe dan Kim Sie Ie, yang sudah pernah bertempur beberapa
kali, sama-sama tahu kepandaian sang lawan. Dalam lweekang, Hiatsintjoe
lebih unggul, tapi kalah dalam ilmu melepaskan senjata rahasia, sehingga
kekuatan mereka 'bisa dikatakan setanding. Sekarang, sedang lweekang-nya
belum pulih seperti biasa, ia merasa agak jeri dalam menghadapi pemuda
itu. Tapi mengingat adanya Tang Thay Tjeng, ia merasa, bahwa dengan dua
melawan satu, pemuda itu akan dapat dirobohkan.
Memikir begitu, tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia mengenjot
badan dan bagaikan seekor elang, ia melayang turun dari punggung unta dan
menubruk lawannya,
"Bagus!" teriak Kim Sie Ie sambil menyodok jalanan darah Tjongtjeng
hiat, di kempungan Hiatsintjoe, dengan tongkatnya. Dengan menggoyangkan
badan di tengah udara, Hiatsintjoe berhasil mengegos sodokan itu, tapi
Kim Sie Ie sungkan memberi napas kepadanya dan terus mengirim serangan
berantai, sehingga ia terpaksa mundur beberapa tindak.
"Tahan!" seru Tang Thay Tjeng. "Air bah merendam Liong-ong bio
(Kuil Raja Naga), kita semua adalah orang-sendiri. Hei! Mari kita bicara
dulu!"
Kim Sie Ie tertawa dingin. "Siapa sudi jadi orang sendirimu?" ia
mengejek.
"Dengarlah dulu!" Tang Thay Tjeng berteriak pula. "Kau adalah murid
Tokliong Tjoentjia, sedang aku ahli waris Patpie Sinmo. Apa salah jika
aku mengatakan orang sendiri?"
Kim Sie Ie terkejut, tapi di lain saat ia kembali tertawa dingin
seraya berkata: "Sedari tiga puluh tahun berselang, guruku sudah bercerai
dengan pihakmu. Siapa kesudian bersahabat dengan kamu?"
"Eh, jangan sombong kau," kata si pendeta dengan mendongkol. "Kau
boleh menolak persahabatan, tapi apa kau juga tak sayang jiwamu?"
"Apa?" menegas Kim Sie Ie, darahnya meluap. "Manusia semacam kau
ingin mengambil jiwaku? Maju! Kau kira aku takut?" Bibirnya bergerak,
siap sedia untuk segera menyemburkan jarumnya.
"Jangan kalap, kau dengarlah dulu," kata pula Tang Thay Tjeng
dengan menahan amarah. "Bukan aku yang menghendaki jiwamu, tapi gurumu
sendiri yang sudah mencelakakan kau. Itulah yang dimaksudkan olehku."
"Apa?" menegas pula Kim Sie Ie.
"Kau sudah menggunakan cara yang salah dalam melatih lweekang,"
jawabnya. "Karena itu, satu waktu lweekang-mu akan membakar dirimu
sendiri. Apa belum ada tanda-tandanya?"
Kim Sie Ie terkesiap. Kenapa dia tahu? Di lain detik, ia kembali
tertawa nyaring. "Benar!" teriaknya. "Aku hidup tak lama lagi. Aku
justeru sedang mencari-cari kawan untuk menemani perjalanan pulang ke
alam baka!" Hampir berbareng, ia menghunus pedang dan lalu menyerang
Hiatsintjoe secara nekat-nekatan.
"Thay Tjeng Tooyoe!" teriak Hiatsintjoe. "Tak usah banyak rewel
lagi dengan manusia ini. Jika dia berhasil merampas unta, kita bisa mati
di padang pasir ini."
Dengan berkata begitu, ia mengharapkan bantuan si pendeta.
Tapi Tang Thay Tjeng sama sekali tidak bergerak. Ia berkata:
"Tokliong Pitkip adalah kitab ilmu silat dari gurumu. Tapi kau tak tahu,
bahwa sebelum menutup mata, ia telah mendapatkan serupa ilmu mujijat
untuk menolong jiwa dari akibat latihan lweekang yang salah. Karena tidak
keburu mencatatnya dalam Pitkip, ia menulis pendapatannya itu dalam buku
catatan hari-hari. Buku itu sekarang berada dalam tanganku. Apa kau mau
aku menyerahkannya?" Tak usah dikatakan lagi, keterangan si pendeta
adalah dusta belaka dan hanya mengandung maksud untuk merampas Tokliong
Pitkip.
Kim Sie Ie tergerak hatinya, sebab perkataan Tang Thay Tjeng
kedengarannya cukup beralasan. Karena perhatiannya terpecah, sesaat itu
Hiatsintjoe mendapat kesempatan untuk balas menyerang dan ia mengirim
beberapa pukulan dahsyat dengan telapakan tangannya yang berhawa panas.
Dikebas dengan angin panas, Kim Sie Ie yang sedang kehausan jadi semakin
haus. Dengan gusar buru-buru ia mengempos semangat dan segera dapat
memulihkan keunggulannya.
Sesudah berhasil menindih musuhnya, ia berkata: "Baiklah. Serahkan
dulu buku guruku.
Sesudah buku itu diserahkan aku akan mengampuni jiwa kawanmu."
"Huh!" kata si pendeta sambil tertawa. "Mana boleh begitu? Hentikan
dulu seranganmu."
Kim Sie Ie jadi curiga. Ia tertawa besar seraya membentak "Kau kira
aku anak kecil? Keluarkan dulu buku itu!" Sambil berkata begitu, ia
memperhebat serangannya, sehingga Hiatsintjoe jadi repot sekali. "Thay
Tjeng Tooyoe!" teriaknya. "Perlu apa tarik urat dengan bocah ini?"
Si pendeta sangat bersangsi. Di satu pihak ia sungkan bermusuhan
dengan pemuda yang mau diakali itu, tapi di lain pihak, ia merasa tak
tega sebab kawannya sedang berada dalam bahaya besar. Tiba-tiba tongkat
Kim Sie Ie menyambar bagaikan kilat dan Hiatsintjoe sudah tak dapat
menangkis lagi.
Tang Thay Tjeng terkesiap. Ia tak sempat memikir panjang-panjang
lagi dan lalu menggoyang "pundaknya. Hampir berbareng, lengan besinya
terbang menyambar. Dengan gerakan indah, Kim Sie Ie kelit sambaran itu
dan hampir berbareng, kakinya menendang Hiatsintjoe yang lantas saja
jatuh terjengkang. Ia tak berhenti sampai disitu. Pedangnya berkelebat
dan jubah pertapaan Tang Thay Tjeng robek di bagian saku, yang ternyata
tidak berisi apapun juga.
"Binatang!" bentak Kim Sie Ie. "Kau berani menipu aku?"
Si pendeta jadi bingung dan ketakutan. "Tidak... aku tidak
berdusta," katanya, terputus-putus. "Aku berani bersumpah, bahwa gurumu
meninggalkan sejilid buku catatan hari-hari."
"Dimana kau
menyembunyikannya? Lekas keluarkan!" bentak pemuda itu.
Tang Thay Tjeng mundur beberapa tindak dan berkata sambil tertawa:
"Aku mengaku, bahwa aku tak mempunyai kebecusan. Buku itu telah dirampas
oleh Tong Siauw Lan."
"Omong kosong!" teriak Kim Sie Ie. "Perlu apa Tong Siauw Lan
merampas buku itu?"
Si pendeta kembali tertawa dan berkata dengan suara tenang: "Dalam
hal ini, ada latar belakangnya yang tidak diketahui olehmu. Memang benar,
Tong Siauw Lan yang mempunyai kepandaian sangat tinggi, tidak memerlukan
buku rahasia itu. Akan tetapi, selama hidupnya, ia paling takuti gurumu
Jika ilmu silat gurumu tersebar di dalam dunia, selalu terdapat
kemungkinan, bahwa di belakang hari, ilmu silat itu akan lebih unggul
daripada ilmu Thiansan pay. Kau harus tahu, bahwa selama kurang lebih
seratus tahun, ilmu silat Thiansan pay dianggap sebagai ilmu silat yang
paling liehay di kolong langit. Tong Siauw Lan adalah pemimpin Thiansan
pay. Dapatlah dimengerti, jika ia tak mau membiarkan adanya ancaman
bahaya di hari kemudian.
"Maka itulah, ia mau juga mengangkangi buku gurumu itu. Dengan
demikian, biarpun kau memiliki Tokliong Pitkip, tapi sebab tidak mengenal
ilmu untuk menolong diri dari akibat latihan Iweekang yang salah, selama-
lamanya kau harus mengandal kepadanya. Bukan saja kau, tapi semua orang
yang mempelajari ilmu silat Tokliong Tioentjia, harus meminta belas
kasihan Thiansan pay. Ringkasnya, turun menurun orang-orang dari pihakmu
akan tetap menjadi semacam budak dari partai Thiansan!"
Perkataan yang beracun itu, yang kedengarannya sangat beralasan,
berhasil mempengaruhi Kim Sie Ie. Sebagaimana diketahui, ia adalah
manusia yang beradat angkuh dan ia selalu merasa tak rela untuk meminta
pertolongan siapapun juga. Untuk beberapa saat, ia mengawasi si pendeta
dengan mata mendelong, tanpa mengeluarkan sepatah kata. Melihat
pancingnya agak berhasil, Tang Thay Tjeng mesem dan berkata dengan nada
mengejek: "Jika buku itu berada di tangan orang lain, mungkin sekali
masih agak gampang direbut pulang. Tapi di tangan Tong Siauw Lan, rasanya
tiada manusia yang bisa merampasnya kembali."
Kim Sie Ie mengeluarkan suara di hidung dan darahnya mulai naik
tinggi. Tapi ia tak berani mengeluarkan suara besar, karena ia pun yakin,
bahwa apa yang dikatakan si pendeta bukan ejekan belaka. Mana ia sanggup
melawan Tjiangboendjin dari Thiansan pay?
"Tapi, kau jangan kuatir," kata pula si pendeta. "Aku mempunyai
akal yang bagus."
"Akal apa?" tanyanya.
"Tong Siauw Lan mempunyai satu anak laki-laki yang bernama Tong
Keng Thian," sahutnya. "Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, tapi aku
yakin, kau masih bisa membereskannya. Kau hanya perlu menyerang dengan
jarummu waktu ia tidak berwaspada. Kau harus memasukkan jarum itu ke
dalam jalanan darahnya, sehingga, biarpun ia mempunyai Thiansan Soatlian,
jiwanya tak akan dapat ditolong, kecuali dengan obatmu sendiri. Huh-huh!
Ia akan terpaksa memohon belas kasihanmu. Dan pada waktu itulah, kau
boleh berunding dengan Tong Siauw Lan untuk menukar obat dengan buku
gurumu itu."
Itulah racun hebat yang disebar Tang Thay Tjeng.
Kenapa pendeta itu sudah merasa tak segan untuk mengatur tipu yang
begitu busuk?
Dulu, lengan Tang Thay Tjeng telah patah karena pukulan Tiattjiang
Sintan Yo Tiong Eng. Walaupun yang memukul adalah Yo Tiong Eng, tapi
peristiwa itu sudah terjadi karena gara-gara Tong Siauw Lan. Itulah
sebabnya, setelah melihat Kim Sie Ie tak gampang ditipu, ia lalu
mengarang cerita untuk "meracuni" Tong Siauw Lan.
Alis Kim Sie Ie berkerut. "Meskipun busuk, tipu itu memang sangat
bagus," katanya di dalam hati. "Tapi apa aku bukan manusia? Waktu di
Kimkong sie, bersama-sama Pengtjoan Thianlie, Keng Thian pernah menolong
jiwaku. Mana bisa aku menurunkan tangan yang begitu jahat?"
Melihat pemuda itu tetap membungkam, Tang Thay Tjeng jadi semakin
besar hatinya, "Jika kau setuju, aku sedia serupa tipu lain untuk
memancing Tong Keng Thian," katanya.
Kim Sie Ie menjebi dan matanya berkilat. Sekonyong-konyong ia
berteriak: "Tak nanti aku menuruti perkataan manusia busuk seperti kau!"
Tangannya melayang dan tubuh Tang Thay Tjeng terpental setombak jauhnya.
Sambil tertawa besar ia melompat ke punggung unta yang lalu
dilarikan perlahan-lahan,
Tang Thay Tjeng merangkak bangun dan berteriak-teriak memanggil-
manggil, tapi tentu saja tidak diladeni. Ia bingung tak kepalang. Buru-
buru ia menolongi Hiatsintjoe yang masih menggeletak di atas pasir untuk
berdamai, bagaimana mereka harus meloloskan diri dari gurun pasir itu.
Di sela unta, Kim Sie Ie mendapatkan makanan kering dan dua kantong
kulit berisi air. Dengan hati bungah, ia lalu minum sepuas hati dan
menangsel perut. Waktu itu, daerah padang pasir sudah berada di permulaan
musim semi, kapan siang hari lebih pendek dan malam lebih panjang. Tak
lama kemudian, cuaca mulai gelap dan angin dingin mulai turun, sehingga
pasir kuning pada berterbangan ke tengah udara, Di antara angin yang
menderu-deru, dalam hati pemuda itu timbul kembali rasa dukanya.
Ia menghela napas berulang-ulang dan ingat lagi kejadian-kejadian
di masa yang sudah selam. Tiba-tiba dalam otaknya berkelebat serupa
pikiran. "Menurut katanya Hiatsintjoe, di Puncak Mutiara terdapat rumput
dewa yang bisa memperkuat lweekang," pikirnya. "Siapa tahu kalau rumput
itu juga mempunyai khasiat untuk menolong jiwaku? Hanya sayang, puncak
itu katanya sukar dipanjat dan belum pernah ada manusia yang berhasil
memanjatnya." Sesudah berjalan beberapa jauh lagi, ia mendapat lain
pikiran, Ia merasa, bahwa biarpun tak berhasil mendapatkan rumput dewa,
gagal dalam usahanya untuk mencapai puncak yang tinggi itu dan harus
binasa di tengah jalan, kebinasaan itu masih ada harganya. Ia memang
mengharap, jika mesti mati, biarlah ia mati secara menggemparkan dan tak
cuma-cuma. Mengingat begitu, lantas saja ia mengambil putusan untuk
mendaki Puncak Mutiara.
Sesudah mempunyai ketetapan, hatinya jadi gembira dan ia lalu
menyanyi sekeras suara, bagaikan seorang edan. Unta yang ditunggangnya
rupanya kaget mendengar nyanyiannya dan lalu kabur sekeras-kerasnya. Kim
Sie Ie tidak menggubris dan membiarkan binatang itu lari semau-maunya.
Dengan hati tenang, ia meneruskan perjalanan. Jika merasa capai, ia
merebahkan diri di atas punggung unta dan kalau haus atau lapar, air dan
makanan selalu tersedia. Lewat beberapa hari ia sudah keluar dari padang
pasir itu.
Sesudah tak memerlukan lagi tenaga unta, Kim Sie Ie menyerahkan
tunggangannya kepada seorang saudagar Mongol yang ia kebetulan bertemu di
tengah jalan. Orang itu terheran-heran, tapi Kim Sie Ie memaksa supaya ia
suka menerimanya dan kemudian menanya jalanan yang menerus ke pegunungan
Himalaya.
Si saudagar menduga pemuda itu seorang gila, tapi dengan rasa
berterima kasih, ia lalu memberi keterangan jelas. Untuk pergi ke
Himalaya, orang harus melewati satu padang rumput yang luas, di sebelah
barat Lhasa. Karena daerah itu banyak penduduknya dan tidak kekurangan
air, maka seorang pelancong tak perlu membawa makanan kering atau air
minum. Di sampingnya memberi keterangan, ia juga membekali Kim Sie Ie
sekantong daging, sebagai balasan terima kasih.
Waktu itu, di daerah Tibet baru saja masuk di permulaan musim semi
dan salju masih belum melumer. Dengan berjalan sendirian di padang rumput
yang sangat luas itu, hati Kim Sie Ie kembali diliputi dengan kedukaan.
Pengtjoan Thianlie, Tong Keng Thian, Phang Lin dan puterinya sering-
sering terbayang di depan matanya. Dengan menimbang-nimbang secara
tenang, ia merasa, bahwa mereka itu adalah manusia-manusia yang mempunyai
sifat-sifat mengagumkan.
Kim Sie Ie berjalan tanpa mengenal waktu, tak perduli siang atau
malam. Ia hanya mengasoh jika merasa capai. Hari itu, ia berjalan terus
menerus sampai jauh malam. Tiba-tiba turun angin yang sangat dingin,
disusul dengan turunnya salju. Ia merasa sangat lelah dan segera
merebahkan diri di atas satu batu besar. Tapi ia tak bisa pulas sebab
rupa-rupa pikiran masuk ke dalam otaknya. Ia ingat, bahwa selama kurang
lebih dua puluh tahun, ia selalu membenci manusia, yang dianggapnya kejam
dan selalu menghina dirinya. Tapi sebenar-benarnya, kecuali waktu ia
masih kecil, orang lain lebih banyak membuang budi kepadanya dan malahan,
ia sendirilah yang sangat sering menghina sesama manusia. Mengingat
begitu, dalam hatinya timbul serupa perasaan menyesal dan rasa ngantuknya
lantas saja menghilang.
Ia mengawasi bintang-bintang di langit dan mengetahui, bahwa tak
lama lagi fajar akan menyingsing. Sekonyong-konyong di sebelah kejauhan
terdengar suara kuda yang lari keras dan beberapa saat kemudian berbareng
dengan berhentinya suara kaki kuda, terdengar suara perkelahian.
Dengan heran, Kim Sie Ie bangun dan memandang ke arah suara itu.
Dengan bantuan sepasang matanya yang sangat awas, ia melihat seorang
wanita tua sedang bertempur dengan seorang pendeta asing, sedang seorang
pemuda berdiri di pinggir jalan. Begitu melihat ilmu menimpuk senjata
rahasia dari si nenek, ia segera mengenali, bahwa ia adalah Tong Say Hoa.
Sebab sangat jauh, ia tidak bisa melihat tegas siapa adanya pemuda itu,
tapi ia menaksir, si pemuda tentunya Tong Toan. Sesudah menyaksikan
beberapa saat, ia yakin, bahwa si pendeta asing mempunyai kepandaian
lebih tinggi daripada Tong Say Hoa.
Di dekat gelanggang pertempuran terdapat seorang lain yang
mengenakan seragam perwira tentara Tjeng dan duduk di atas punggung kuda.
Mendengar si pemuda menggunakan panggilan "Liong Soesiok" dan Tong Say
Hoa memanggil "Leng Kiauw," hati Kim Sie Ie mendadak berdebar-debar.
Ia lantas saja ingat perkataan Hiatsintjoe, bahwa kaizar Tjeng
telah menitahkan tiga jago datang di Lhasa untuk mengawasi di jalankannya
hukuman mati atas diri Liong Loosam. "Apa orang itu yang dipanggil Liong
Loosam?" tanyanya di dalam hati. "Kenapa ia mengenakan seragam perwira
tentara Tjeng dan bukan pakaian perantaian?"
Harus diketahui, bahwa sebagai orang kepercayaan Hok Kong An, Liong
Leng Kiauw telah mendapat perlakuan istimewa. Sebelum datangnya firman
kaisar, biarpun sudah dipenjarakan, ia masih tetap mengenakan seragam
itu.
Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, Kim Sie Ie segera dapat
mengendus, bahwa Tong Say Hoa terancam bahaya. Ia yakin, bahwa begitu
lekas senjata rahasianya habis, si pendeta asing akan segera menyerang.
"Walaupun nenek itu sangat menyebalkan, ia adalah salah seorang ternama
dalam kalangan Rimba Persilatan," pikirnya. "Jika ia roboh dalam tangan
si pendeta asing, bukankah seluruh Rimba Persilatan Tionggoan akan turut
mendapat malu?" Berbareng dengan itu, ia merasa agak jengah karena
perbuatannya terhadap keluarga Tong. Diam-diam ia mengakui, bahwa
perbuatan itu memang tak pantas.
Beberapa saat kemudian, si nenek benar-benar terancam maut. Tanpa
memikir panjang-panjang lagi, Kim Sie Ie lalu melompat dan memberi
pertolongan pada detik yang sangat penting.
Begitu bergebrak, baik Kim Sie Ie maupun si pendeta asing merasa
sangat kaget. Setiap pukulan pemuda itu disertai dengan Iweekang yang
dahsyat. Di lain pihak, jubah pertapaan si pendeta seolah-olah tameng
besi setiap kali terbentur tongkat, mengeluarkan suara seperti benda yang
keras.
Sementara itu, bantuan Kim Sie Ie sungguh-sungguh di luar dugaan
Tong Say Hoa yang jadi girang tercampur heran, Karena tidak dapat
menggunakan lagi senjata rahasia sebab bisa menyasar ke kawan sendiri, si
nenek lalu menyerang dengan gendewa, dengan menggunakan ilmu Kimkiong
Sippattah (ilmu silat gendewa yang mempunyai delapan belas jalan).
Dikerubuti oleh dua musuh yang berkepandaian tinggi, dalam sekejap
Ouwtjeng jatuh di bawah angin.
Tapi si pendeta pun bukan tolol cepat-cepat ia menukar taktik.
Terhadap Kim Sie Ie, ia hanya membela diri dan terus mencecer si nenek
dengan pukulan-pukulan hebat. Diserang cara begitu, belum cukup setengah
jam, napas Tong Say Hoa yang sudah berusia lanjut, mulai tersengal-
sengal.
Kim Sie Ie jadi jengkel. Ia yakin, bahwa tanpa perubahan, dalam
tempo setengah jam lagi, si nenek bisa roboh karena kecapaian. Biarpun ia
tak takut untuk bertempur satu melawan satu, tapi kalau Tong Say Hoa
roboh ia harus memberi pertolongan. Ia ingin sekali menggunakan jarum
beracun, tapi lantaran belum tahu siapa adanya si pendeta, ia sungkan
mencelakakan jiwa orang secara sembarangan.
Selang beberapa saat, si nenek berteriak: "Leng Kiauw! Leng Kiauw!"
Tapi Liong Leng Kiauw tetap tidak bergerak.
"Tong Lootaypo, siapa orang itu?" tanya Kim Sie le.
"Murid ayahku," jawabnya.
"Kenapa dia tidak meladeni?" tanyanya pula. "Apa dia kena ilmu
siluman ?"
Tong Say Hoa segera memanggil-manggil lagi beberapa kali. Tiba-tiba
badan Liong Leng Kiauw bergoyang-goyang dan dari tenggorokannya terdengar
suara "kerokok-kerokok". Si nenek jadi girang dan coba mendekati, tapi ia
segera dihalangi oleh musuhnya.
"Baiklah," kata Kim Sie Ie. "Biar aku yang hajar manusia tak punya
pribudi itu."
"Jangan! Jangan!" berteriak si nenek.
"Kenapa jangan?" kata pula pemuda itu. "Tong Lootaypo, kau hanya
perlu membela diri untuk beberapa jurus. Aku akan segera kembali."
Berbareng dengan perkataannya, ia menghantam jubah si pendeta dengan
pukulan Tjianliong sengthian (Naga terbang ke langit), disusul dengan
totokan ke jalanan darah Inboen hiat, di bawah dada si pendeta. Untuk
melindungi diri, Ouwtjeng memutar jubahnya bagaikan titiran. Tapi kedua
serangan itu hanya serangan gertakan dan pada saat musuhnya membela diri,
Kim Sie Ie menjungkir balik dan badannya hinggap di atas punggung kuda,
di belakang Liong Leng Kiauw.
Diluar dugaan, baru saja ia mau membuka mulut, tiba-tiba terdengar
teriakan Tong Say Hoa. Dengan terkejut, ia menengok. Ternyata, lengan si
nenek sudah dicengkeram oleh pendeta asing itu yang tengah mengangkat
jubahnya tinggi-tinggi, siap sedia untuk menurunkan pukulan yang
membinasakan.
"Turun!" bentaknya. "Jika tidak, aku cabut jiwa nenek tua ini!"
Sesudah bertempur begitu lama, baru sekarang si pendeta bicara dan ia
menggunakan dialek Pakkhia yang sangat lancar dan bagus.
Sebenarnya dengan lweekang-nya yang sudah cukup tinggi dan ilmu
Kimkiong Sippattah, Tong Say Hoa sedikitnya masih bisa mempertahankan
diri dalam sepuluh jurus. Tapi, mendengar pernyataan, "si gila" yang mau
menghajar Soetee-nya, ia jadi bingung dan segera bergerak untuk coba
mencegahnya. Tapi baru ia bertindak, si pendeta sudah menerjang dan
mengebas gendewanya dengan menggunakan jubah pertapaan. Hampir berbareng
dengan terpentalnya gendewa, ia merangsek dan mencengkeram lengan si
nenek.
Kim Sie Ie terkesiap, ia kuatir Ouwtjeng membuktikan
ancamannya. Di lain saat, ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata:
"Baiklah. Lepaskan Tong Lootaypo. Aku akan permisikan kau kabur." Ia
melompat turun dan si pendeta segera melepaskan cekalannya.
Tapi, sebelum ia melompat naik ke punggung tunggangannya, Kim Sie
Ie menyembur. Dia sungguh liehay. Begitu mendengar suara "srr" yang
sangat halus, ia menyabat dan ludah Kim Sie Ie menempel di jubahnya.
Sekonyong-konyong terdengar suara menggeledek, dibarengi dengan
muncratnya kepingan-kepingan batu. Si pendeta menengok dan ia terkejut
tercampur heran, karena tongkat pemuda itu menghantam satu batu besar.
Mendadak, satu benda hitam berkelebat bagaikan kilat dan dengan suara
"bret," jubah pertapaannya berlubang besar! Sebagaimana diketahui, dalam
pertempuran antara jago dan jago, walaupun sedetik, masing-masing pihak
tidak boleh memecah perhatian. Melihat tangguhnya musuh, Kim Sie Ie yang
sangat pintar, sudah sengaja memukul batu untuk membelokkan perhatian si
pendeta dan hampir berbareng, ia menghunus pedang yang lalu ditikamkan ke
dada musuh. Masih untung, berkat kecepatan si pendeta, tikaman itu hanya
mengenakan jubah. Tapi, biarpun terlolos dari kebinasaan, jubah yang
sudah berlubang itu tak dapat digunakan lagi sebagai tameng.
Kim Sie fe sungkan memberi napas pada musuhnya. Ia mengirim
serangan berantai, menikam jalanan darah Thiantjoe hiat, Hiankie hiat dan
Yangpek hiat, disusul dengan satu tikaman membinasakan ke arah lutut si
pendeta. Kim Sie Ie cepat, tapi Ouwtjeng lebih cepat lagi. Sesudah
mengegos tiga tikaman, tiba-tiba dia berteriak: "Bagus! Tikamlah!"
Jubahnya berkelebat dan menggentak pinggang Tong Say Hoa untuk memapaki
tikaman Kim Sie Ie yang terakhir. Untung juga, pada detik yang sangat
penting, pemuda itu masih keburu menarik pulang pedangnya. Jika tidak,
tubuh si nenek tentu sudah berlubang!
Ternyata, sesudah cengkeram;»! pada lengannya dilepaskan, Tong Say
Hoa yang sudah tua tidak bisa segera bergerak. Selagi ia mengerahkan
Iweekang untuk menjalankan aliran darahnya, tiba-tiba Ouwtjeng menyapu
dengan jubahnya, sehingga badannya terhuyung dan memapaki pedang Kim Sie
Ie.
Semua kejadian itu yang harus dituturkan agak panjang lebar, sudah
terjadi cepat sekali. Jika dihitung-hitung, meskipun jubahnya berlubang,
pihak si pendeta yang memperoleh kemenangan. Sambil tertawa berkakakan,
ia melompat ke punggung kuda yang lalu dikaburkan sekeras-kerasnya.
Dengan demikian, usaha Tong Say Hoa untuk merebut adik seperguruannya
mengalami kegagalan.
Bukan main mendongkolnya Kim Sie Ie. Sebelum ia keburu membuka
mulut untuk menanya si nenek, mendadak jeriji Tong Say Hoa menyambar dan
menotok jalanan darah Djiekie hiat-nya. Ia terkesiap, tapi sebelum sempat
menegur, sekonyong-konyong hidungnya mengendus serupa bau yang halus dan
wangi. Walaupun masih berusia muda, ia adalah seorang yang berpengalaman.
Lantas saja ia sadar, bahwa pendeta itu telah melepaskan semacam racun
dan si nenek menotok jalanan darahnya, supaya racun tak masuk ke dalam
dada. "Sungguh tepat jika keluarga Tong dijuluki sebagai ahli senjata
rahasia nomor satu di dalam dunia," katanya di dalam hati. "Hidung nenek
tua itu ternyata banyak lebih tajam daripada hidungku." Hatinya heran
bukan main, karena ia tak tahu bau apa adanya itu.
Di lain saat, Tong Lootaypo mendadak mengusap hidung Kim Sie Ie
yang lantas saja merasa dadanya lega dan jalanan darahnya yang tertotok
segera terbuka. Waktu itu, sambil memeluk Liong Leng Kiauw, si pendeta
sudah kabur puluhan tombak jauhnya.
"Ubar!" teriak si nenek. "Leng Kiauw kena obat lupa. Dia bukan
sengaja tak suka mengenal aku."
Barusan walaupun tak tahu racun apa yang dilepaskan oleh si
pendeta, ia mengusap hidung Kim Sie Ie sambil mencekal Liongyanko,
semacam obat yang bisa memunahkan segala macam racun dan ternyata obat
tersebut cukup manjur untuk melawan Asioelo.
Sehabis berteriak, Tong Say Hoa lantas saja mengubar sekencang-
kencangnya. Si pendeta sudah kabur jauh sekali dan biar bagaimana jugapun
tak akan dapat dicandak. Tapi si nenek tetap mengudak, bagaikan orang
edan. Melihat begitu Kim Sie Ie merasa terharu. "Tak dinyana, nenek yang
menyebalkan ini mempunyai rasa cinta yang begitu besar terhadap Liong
Loosam," katanya di dalam hati. Ia merasa tidak tega dan lalu membuntuti
dari belakang.
Sesudah mengejar belasan li, dari sebelah kejauhan Kim Sie Ie
mendadak melihat Tong Say Hoa terpeleset dan jatuh terguling di atas
tanah. Dengan kaget ia menghampiri dan ternyata, nenek itu telah
memuntahkan darah hidup, sedang paras mukanya pucat seperti mayat.
Melihat pemuda itu, ia membuka kedua matanya dan berkata dengan napas
tersengal-sengal: "Aku bakal segera mati, Aku hanya memohon, supaya kau
suka melihat-lihat keponakan lelakiku."
Kim Sie Ie memegang nadi orang dan beberapa saat kemudian, ia
berkata sambil bersenyum: "Tak apa-apa, kau tidak akan mati. Kau hanya
menggunakan tenaga melampaui batas. Sesudah beristirahat beberapa hari,
kau akan sembuh kembali."
Tong Say Hoa menghela napas panjang. Ia juga tahu sebab-sebab dari
robohnya itu. Akan tetapi, siapakah yang akan merawatinya selama beberapa
hari?
Pemuda itu rupanya dapat membaca apa yang dipikir si nenek. Ia
kembali mesem dan berkata pula: "Keponakanmu masih berusia muda dan
badannya kuat, sehingga, meskipun mendapat luka, ia tentu tak akan mati.
Yang paling penting adalah kau sendiri yang harus beristirahat dan
memelihara diri beberapa hari. Aku harap, kau jangan menganggap aku
sebagai manusia yang hanya bisa mengacau. Di samping mengacau, akupun
pandai merawat orang. Di waktu kecil aku pernah menjadi pengemis dan
sudah biasa melayani orang. Belakangan, waktu berada di pulau Tjoato, aku
pun merawat soehoe, yang sering memuji kepandaianku."
Dengan berkata begitu, Kim Sie Ie memberitahukan penderitaannya di
jaman lampau, tapi perkataannya dikeluarkan dengan nada riang gembira.
Mendengar itu, si nenek jadi merasa terharu. Sebagai manusia biasa, ia
juga sayang jiwanya. Tapi karena pernah mempunyai ganjelan dengan pemuda
itu, ia merasa berat untuk meminta pertolongan. Di luar dugaan, pemuda
itu sudah mengangsurkan dengan suka rela. Maka itu, dalam rasa terima
kasihnya, ia juga merasa jengah. "Ah, semua orang mengejek dia sebagai
Toktjhioe Hongkay, sebagai pengemis gila yang tangannya sangat beracun,"
pikirnya. "Tapi tak dinyana, ia mempunyai hati kasihan. Benar juga orang
kata, hati manusia tak bisa dilihat dari romannya. Tapi kenapa sepak
terjangnya begitu aneh?"
Dengan telaten, Kim Sie Ie merawat si nenek dan benar saja, selang
beberapa hari, kesehatannya telah pulih kembali. Mereka lalu kembali ke
tempat pertempuran untuk coba mencari jejak Tong Toan. Sesudah ditolong
Keng Thian dan Peng Go, waktu itu Tong Toan sudah pergi ke Lhasa. Tong
Say Hoa yang kuatir keponakannya mati keuruk di dalam salju, telah
membongkar salju di beberapa tempat, di sekitar gelanggang pertempuran.
Sesudah terbukti, bahwa Tong Toan tidak menemui ajalnya disitu, hatinya
merasa agak lega dan mereka lalu meneruskan perjalanan ke jurusan barat
untuk mencari si pendeta asing.

***

Dalam keadaan lupa ingat, untuk beberapa lamanya, Liong Leng Kiauw
duduk di punggung kuda, dalam pelukan Ouwtjeng. Sesudah melewati padang
rumput, hari itu mereka tiba di kaki sebuah gunung yang sangat besar.
Bukit-bukit yang besar dan yang kecil berdiri berentet-rentet, sedang
puncak-puncak yang tertutup salju menjulang ke atas langit. Si pendeta
menahan les kuda dan memberikan obat pemunah kepada Liong Leng Kiauw.
Angin dingin yang meniup tak hentinya dan kembang salju yang melayang
turun bagaikan kapas, sangat menyegarkan dan Liong Leng Kiauw segera
tersadar. Ia pernah mendaki banyak gunung yang tersohor, tapi gunung yang
menghadang di depan adalah lain daripada yang lain dan ia memandang
dengan rasa kagum.
Si pendeta tersenyum seraya berkata: "Sesudah banyak capai beberapa
hari, sekarang kita boleh mengasoh." Ia melompat turun dari kuda, diturut
oleh Liong Leng Kiauw.
Sebelum Leng Kiauw keburu menanya, si pendeta sudah mendului:
"Liong Sam Sianseng... salah, Kongtjoe dari Lian Thaysoe, di tempat ini
kau boleh tak usah kuatir lagi. Andaikata kaisar Tjeng mengirim sepuluh
laksa tentara, ia juga tak akan dapat menangkap kau."
Leng Kiauw terkejut. "Bagaimana kau tahu asal-usulku?" tanyanya.
Si pendeta tertawa berkakakan. "Jika aku tak tahu asal-usulmu,
perlu apa aku membuang tenaga untuk menculikmu?" katanya.
"Apa artinya perkataanmu?" tanya pula Leng Kiauw.
Ouwtjeng menuding dengan cambuknya seraya berkata: "Lihatlah!"
Liong Sam mengawasi ke arah yang ditunjuk. Jauh-jauh, di satu selat
gunung, ia melihat gerak-geriknya tentara yang berjumlah besar, sedang di
bawah pohon-pohon, lapat-lapat terlihat tenda-tenda yang berderet-deret.
Leng Kiauw kaget bukan main. "Siapa kau?" tanyanya.
"Aku bernama Taichiti, Koksoe (guru negara) dari negara Nepal,"
jawabnya sambil tertawa. "Atas titah Raja, aku mengundang Sianseng (tuan)
datang kemari untuk merundingkan suatu usaha besar."
"Apa?" menegas Leng Kiauw. Si pendeta mengawaskan, muka Liong Sam
dan berkata dengan suara perlahan: "Selama hidupnya, mendiang ayahmu,
Lian Keng Giauw Taytjiangkoen, telah mengabdi kepada kaisar Tjeng dan
telah berjasa besar sekali. Tapi pada akhirnya, tak urung ia mesti binasa
secara menyedihkan sekali. Maka itu, tidaklah heran jika Sianseng
bertekad untuk membalas sakit hati dan bertahun-tahun menderita di bawah
perintah orang untuk mencapai maksudmu itu. Rajaku merasa sangat
bersimpati atas meninggalnya Lian Taytjiangkoen dan merasa kagum akan
segala usahamu!"
"Soal membalas sakit hati adalah soal pribadiku sendiri, yang tiada
sangkut pautnya dengan negara Koksoe," kata Leng Kiauw.
Si pendeta bersenyum dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Biarpun Sianseng telah berserikat dengan sejumlah Touwsoe tapi, Sianseng
harus ingat, bahwa Hok Kong An mempunyai tentara yang berjumlah besar,
sehingga walaupun Sianseng berhasil melarikan diri dari penjara, belum
tentu bisa berhasil dalam seluruh usaha."
Mendengar itu, Leng Kiauw lantas saja mengerti maksud si pendeta.
"Apa Koksoe ingin membujuk supaya aku meminjam tentara dari negerimu?"
tanyanya. "Hai! Jika aku menggunakan cara itu, biarpun berhasil, aku
tentu akan ditertawai orang."
"Sianseng salah," membantah si pendeta. "Dalam sejarah Tiongkok,
meminjam tentara dari luar negeri bukan hal yang belum pernah terjadi.
Untuk membalas sakit hati ayahnya, Ngo Tjoe Sie telah meminjam tentara
negeri Gouw guna menghukum rajanya sendiri. Sebagaimana kutahu, orang-
orang di jaman belakangan tak pernah mentertawainya.
Bahwa pendeta asing itu mengenal baik sejarah Tiongkok, adalah di
luar dugaan Leng Kiauw. Mendengar bujukannya, tanpa merasa ia bergidik
dan bulu romanya bangun semua. "Walaupun benar Ngo Tjoe Sie pernah
meminjam tentara Gouw, tapi negeri Gouw adalah negeri yang terletak di
Tiongkok juga dan tentara Gouw terdiri dari sesama bangsa," katanya di
dalam hati. "Mana bisa peminjaman tentara oleh Ngo Tjoe Sie dibandingkan
dengan peminjaman tentara dari negara Nepal. Di samping itu, pada
akhirnya putera Raja Gouw -- yang mewarisi kedudukan Raja Gouw tua –
telah menghadiahkan hukuman bunuh diri sendiri kepada Ngo Tjoe Sie.
Dengan menyebut-nyebut Ngo Tjoe Sie, apakah si pendeta ingin aku mendapat
nasib seperti orang itu? Jika aku meminjam tentara asing, aku bukan satu
Ngo Tjoe Sie, tapi seorang yang boleh dipersamakan dengan Gouw Sam Kwie!"
Melihat Leng Kiauw membungkam, si pendeta berkata pula: "Seorang
luar biasa harus melakukan pekerjaan yang luar biasa pula. Negeriku
adalah negeri kecil yang penduduknya sedikit dan sama sekali tak punya
niatan untuk menggeragoti wilayah Tiongkok. Untuk sementara, Lian
Sianseng boleh menancap kaki dan memperkuat kedudukan di daerah Tibet
untuk menjagoi di wilayah sebelah utara padang pasir. Sesudah mengumpul
tenaga, Sianseng boleh maju terus ke daerah Tionggoan dengan kemungkinan-
kemungkinan yang tiada batasnya. Jika di hari nanti Sianseng bisa
menjadi tuan, dari sebuah negara besar, maka negeriku yang kecil juga
akan mendapat banyak manfaatnya!"
Seperti ayahnya, Liong Leng Kiauw pun mempunyai angan-angan besar.
Mendengar perkataan si pendeta, hatinya lantas saja tergerak. Selagi ia
bersangsi, pendeta itu sudah berkata pula: "Rajaku sudah membawa tentara
sampai disini dan untuk sementara waktu berkemah di selat gunung itu.
Sesudah hawa udara menjadi lebih hangat dan salju melumer,
Aku sekarang mengundang Sianseng untuk menemui Rajaku, supaya bisa
diadakan perundingan yang lebih mendalam. Apakah Sianseng setuju dengan
usulku itu?"
Leng Kiauw tidak menyahut. Ia memandang ke tempat jauh dengan mata
mendelong.
Si pendeta tertawa pula seraya berkata: "Seorang laki-laki harus
bisa mengambil keputusan cepat dan tidak boleh terlalu bersangsi. Jika
Sianseng maju ke barat, hari kemudianmu tak bisa ditaksir bagaimana
besarnya. Tapi jika Sianseng tetap menolak, aku pun tidak bisa
memaksanya. Hanya sepanjang pengetahuanku, kaizar Tjeng yang mempunyai
banyak sekali kaki tangan yang berkepandaian tinggi, telah bertekad untuk
membinasakan Sianseng. Maka itu, manakala Sianseng balik ke jurusan
timur, andaikata bisa melewati padang rumput dengan selamat, mungkin
sekali Sianseng sudah menemui bencana sebelum tiba di Lhasa. Sebelum
mengambil keputusan pasti, aku memohon Sianseng suka menimbang dengan
seksama."
Mendengar perkataan si pendeta yang cukup beralasan, Leng Kiauw
segera berkata dalam hatinya: "Sesudah tiba disini, biarlah aku menemui
rajanya. Apa aku suka belakangan."
Sebagai gunung yang tinggi dan besar luar biasa, Himalaya mempunyai
hawa yang berbeda-beda. Di bagian atas, puncak-puncaknya ditutup es yang
tak pernah melumer sepanjang tahun. Di bagian tengah, di lereng gunung,
hawanya seperti di musim dingin, dengan kembang-kembang salju
berterbangan kian kemari. Tapi di kakinya, ratusan bunga mekar serentak
dan memberi pemandangan seperti di musim semi.
Selat gunung dimana tentara Nepal sedang berkemah, dikurung dengan
bukit-bukit tinggi yang merupakan aling-aling bagi angin dingin,
sehingga, oleh karenanya, hawa disitu nyaman dan hangat.
Begitu masuk di selat, Leng Kiauw melihat tenda-tenda yang dipasang
berderet-deret. Di tengah-tengah perkemahan terdapat bendera raja dan di
seputarnya dipasang dua belas bendera panglima. Leng Kiauw yang mengenal
tata tertib dalam ketentaraan Nepal, tahu bahwa setiap sepuluh tangsi
tentara dipimpin oleh seorang panglima dan setiap tangsi terdiri dari
lima ratus serdadu. Maka itu, menurut perhitungan kasar, di selat
tersebut berkumpul kurang lebih enam puluh ribu tentara. Nepal adalah
sebuah negri kecil dan dengan tentara yang sebesar itu, dapat dikatakan
sang raja sudah mengirim seluruh kekuatannya ke tempat tersebut. Tapi
walaupun berjumlah tidak sedikit, tentara itu belum memenuhi sebuah selat
dari Himalaya.
Sambil berjalan, hati Leng Kiauw berdebar-debar. Ia ingat
keangkeran di jaman lampau dari mendiang ayahnya yang berkuasa atas
ratusan laksa tentara. Semenjak kecil, ia telah berangan-angan untuk
mengikuti jejak ayahnya yang ia sangat kagumi. Sekarang, jika mau, mimpi
itu bisa terwujut. Ia bisa mengepalai sepasukan tentara dan menerjang ke
jurusan Lhasa. Hanya sayang, kesempatan yang datang itu mengandung hinaan
bagi kehormatan dirinya. Demikianlah, sambil berjalan, dua macam pikiran
pro dan kontra, berkelahi dalam otaknya.
Mendadak di selat gunung terdengar suara ramai.

***
Sekarang mari kita menengok Tong Keng Thian dan Koei Peng Go yang
meneruskan perjalanan ke arah barat untuk mencari Tong Say Hoa dan Kim
Sie Ie.
Satu hari kembali lewat dengan hasil nihil. Pengtjoan Thianlie jadi
semakin berkuatir, karena lewatnya satu hari berarti semakin
mendekatnya ajal Kim Sie Ie dan kekuatiran itu terlihat tegas pada paras
mukanya.
Keng Thian sendiri sebenarnya tidak menaruh simpati kepada pemuda
edan-edanan itu. Tapi sesudah Kim Sie Ie menolong Tan Thian Oe dan Tong
Say Hoa, pandangannya jadi berubah. Hanya setiap kali ingat pengacauan
Kim Sie Ie terhadap percintaannya, ia selalu merasa mendongkol.
Sekarang, dengan nyata ia melihat kekuatiran Peng Go akan
keselamatan pemuda itu. Jika hal ini terjadi di waktu dulu, sedikit
banyak ia akan merasa jelus. Tapi sesudah mengenal si nona yang welas
asih dan suci bersih, kejelusan tak timbul dalam hatinya. Sebaliknya dari
itu, ia malahan lebih-lebih merasa kagum akan jiwa sang kecintaan yang
mulia dan agung, la yakin, bahwa setiap perasaan jelus hanyalah berarti
kecilnya jiwa sendiri.
Sesudah membedal kuda beberapa hari, mereka melewati padang rumput
dan pegunungan Himalaya sudah berada di depan mata. Mereka lalu masuk ke
daerah pegunungan itu dan berada di tengah bukit-bukit dan batu-batu
karang yang angker dan penuh bahaya. Sambil berjalan, mereka menikmati
pemandangan alam yang indah luar biasa.
Keng Thian menghela napas.
"Benar juga orang kata, bahwa dalam dunia ini tak ada apa-apa yang
tiada lawannya, yang satu lebih tinggi daripada yang lain," katanya
dengan suara perlahan. "Tadinya aku menganggap, gunung Thiansan tiada
tandingannya lagi. Panjangnya gunung itu tak kurang dari tiga ribu li,
sedang kedua puncaknya, yang satu di selatan dan yang lain di utara,
seolah-olah menembus langit. Tapi tak dinyana, Himalaya lebih hebat
daripada Thiansan."
Belum jalan berapa jauh, di depan mereka tiba-tiba menghadang
sebuah puncak batu yang bentuknya luar biasa. Puncak itu yang berdiri
terpencil tak jauh dari padang rumput, menjulang ke atas seperti satu
kaca muka yang terbuat dari batu giok putih, Keng Thian dan Peng Go
memandangnya dengan rasa kagum dan mereka lalu maju mendekati. Mendadak
Keng Thian mengeluarkan seruan tertahan dan dengan paras yang mengunjuk
keheranan, ia melompat turun dari tunggangannya.
Hampir berbareng, Peng Go pun mengeluarkan teriakan kaget, karena
ia melihat tetesan darah di kaki puncak. "Ih! Apa Kim Sie Ie dan pendeta
asing itu bertempur lagi di tempat ini?" tanyanya. "Darah siapa ini ?"
"Darah?" menegas Keng Thian.
"Apa kau tak lihat?" si nona balas menanya, sambil melirik
tunangannya, Ternyata mata pemuda itu tengah mengawaskan ke atas puncak.
Ia dongak dan lapat-lapat, melihat beberapa baris huruf di atas puncak
itu. Harus diingat, bahwa puncak batu itu yang berdiri lurus, sangat
licin permukaannya, sehingga tak mungkin dipanjat manusia. Maka itulah,
terlihatnya huruf-huruf tersebut merupakan kejadian yang lebih aneh
daripada tetesan darah.
Mereka lalu maju terlebih dekat dan mengawasi tulisan itu yang
berbunyi seperti berikut:
"Beberapa kali mendaki Thiansan lulus dari ujian, sepasang pedang
kini naik ke Puncak Mutiara, gunung termashyur seolah-olah tempat
tinggalnya dewa, tak tega melihat tentara asing mengucurkan darah di
selebar bumi!"
Setiap huruf, yang besarnya kurang lebih satu kaki pesegi, seperti
juga terpahat di batu karang. Sesudah mengawasi beberapa lama, Pengtjoan
Thianlie kembali mengeluarkan seruan kaget. "Apa dalam dunia ini ada
manusia yang berkepandaian begitu tinggi?" tanyanya dengan suara heran
dan kagum. "Dilihat dari tulisannya, huruf-huruf itu pasti ditulis dengan
jeriji tangan!"
Keng Thian tak menyahut, kedua matanya terus mengincar huruf-huruf
itu. Mendadak saja ia berseru: "Inilah buah tangannya ayahku!"
"Ayahmu?" menegas si nona. "Apa beliau tidak berada di Thiansan?"
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Benar, aku rasa kau tak
salah. Dilihat dari syair itu, bukan saja ayahmu, tapi ibumu pun turut
datang kesini. Tapi untuk apa mereka mendaki Himalaya?"
"Sudah dua puluh tahun, ayahku tak pernah memegang senjata," kata
Keng Thian dengan suara perlahan. "Kenapa ia melukakan orang di tempat
ini?" Pada jaman itu, kepandaian Tong Siauw Lan dan Phang Eng tiada
tandingannya di kolong langit, sehingga dapatlah dimengerti, jika Keng
Thian segera menarik kesimpulan, bahwa darah itu adalah darah orang lain.
Dengan menggunakan ilmu Pekhouw yoetjiang (Cecak merayap di
tembok), Keng Thian segera memanjat puncak batu itu.
"Hati-hati!" teriak si nona. "Batu itu kelihatannya bergoyang-
goyang.
"Tak apa," sahut Keng Thian. "Jika benar berbahaya, ayahku tentu
tak akan memanjatnya."
Selagi berkata begitu, matanya melihat sebuah batu yang separuh
menonjol keluar, sedang separuhnya lagi menempel di tembok batu itu.
Biarpun memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, tapi karena
dari bawah ia harus merayap ke atas tanpa pegangan, maka waktu itu Keng
Thian sudah merasa capai bukan main. Ia girang melihat batu yang menonjol
itu, sebab dengan memegangnya, ia bisa mengasoh sebentaran. Satu
tangannya segera menjambret batu itu.
"Awas!" teriak Peng Go.
Sedang mulut si nona belum tertutup rapat, sudah terdengar suara
gcdubfakan, disusul dengan jatuhnya batu yang baru saja dipegang Keng
Thian. Hati Peng Go mencelos dan mengawasi dengan mata membelalak.
Bagaikan kilat, Keng Thian menendang dan badannya lantas meluncur ke
bawah. Batu itu melayang turun dengan kecepatan luar biasa, tapi masih
untung, jatuhnya Keng Thian lebih cepat lagi dan untuk beberapa detik,
punggungnya dibayangi dengan batu tersebut dalam jarak beberapa kaki. Ia
kaget bukan main, tapi sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, dalam
kagetnya ia tak jadi bingung. Pada saat yang sangat berbahaya, sambil
mengerahkan Iweekang, ia menggoyang badannya yang lantas saja membelok
sedikit dan hampir berbareng, batu itu lewat di dekat kepalanya!
Tiba-tiba terdengar lagi suara gedubrakan hebat, disusul dengan
jeritan kuda. Ternyata kedua tunggangan mereka tertimpa batu dan lantas
tewas jiwanya. Dengan jantung memukul keras, Peng Go lompat menghampiri
Keng Thian yang paras mukanya pucat dan kedua lututnya berlumuran darah.
Dengan melupakan rasa malu, si nona memeluk tangannya dan air
matanya mengucur deras.
"Puteri edan, kenapa kau menangis?" tanya Keng Thian sambil
tertawa. “Tulangku tidak patah. Andaikata patah, kau menangis pun tak ada
gunanya."
Dengan muka bersemu merah, si nona memeriksa lutut Keng Thian dan
benar saja, biarpun lukanya tak terlalu enteng, urat dan tulangnya tidak
terganggu. Diam-diam ia merasa kagum akan liehaynya sang tunangan. Begitu
batu itu jatuh, Keng Thian menendang dengan kedua kakinya, untuk
memperlambat gerakan jatuh batu itu dan mempercepat gerakan jatuh
tubuhnya sendiri. Jika ia tidak berbuat begitu, mungkin sekali batu
tersebut sudah menghantam tubuhnya dan membinasakannya. "Tak heran jika
orang menganggap Iweekang Thiansan pay sebagai Iweekang yang paling
unggul dalam Rimba Persilatan," kata si nona dalam hatinya. "Usia Keng
Thian tidak kacek jauh dengan usiaku, tapi lweekang-nya banyak lebih
tinggi. Ia sanggup membentur batu yang beratnya ribuan kati dan hanya
mendapat luka di luar."
Dengan hati-hati si nona melabur obat dan membalut luka Keng Thian
dan kemudian memberikannya sebutir Liokyang wan. "Entah kenapa, aku mudah
mengucurkan air mata," katanya seraya tersenyum. "Dulu, waktu burung
betetku patah sayapnya, aku pun sudah menangis. Di Nepal terdapat suatu
dongengan rakyat. Menurut dongengan itu, di jaman purba seorang puteri
raja, yang tunangannya telah dibinasakan oleh seorang dukun. Pada waktu
pangeran itu -- ia adalah seorang putera raja – hendak dimakamkan, sang
puteri datang dan sambil memeluk jenazahnya, ia menangis sedu sedan. Air
mata, itu telah membasahi dada sang tunangan yang mendadak hidup
kembali."
Keng Thian tertawa terbahak-bahak. "Aha! Sungguh mustajab air mata
sang puteri!" katanya. "Bukan saja bisa menyambung tulang, tapi juga bisa
menghidupkan mayat. Dengan adanya kau di dampingku, aku boleh tak usah
takuti apapun juga."
Si nona tertawa manis. "Dari mana kau belajar bicara begitu,"
katanya sambil menabok pipi sang tunangan. Demikianlah kedua orang muda
itu bersenda gurau dengan rasa beruntung,
"Heran betul!" tiba-tiba Keng Thian berkata.
"Heran kenapa?" tanya Peng Go.
"Batu itu!" jawabnya.
Pengtjoan Thianlie tersadar dan ia berkata: "Benar. Kenapa batu itu
jatuh? Coba aku menyelidiki." Ia berjalan sampai di kaki puncak dan
mendongak. Segera juga ia melihat, bahwa di tempat bersambungnya batu
menonjol itu -- yang sudah ambruk ke bawah – dengan tembok batu, terdapat
bekas-bekas bacokan golok atau kampak. Dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan, ia merayap ke atas dan tangannya meraba-raba di
sekitar tempat sambungan itu. Ternyata, tanah dan lumut yang melekat
disitu juga memperlihatkan bekas-bekas diganggu orang. Tapi karena
"pengolahannya" dilakukan secara halus, maka sebelum jatuh, orang masih
menganggap, bahwa batu yang menonjol itu merupakan bagian yang tersatu
dari puncak batu tersebut.
Bukan main rasa herannya Pengtjoan Thianlie. Orang yang menaruh
"racun" itu tentulah bekerja sesudah Tong Siauw Lan meninggalkan tempat
tersebut. Tapi siapa dia? Kenapa dia berbuat begitu. Apakah dia sudah
menduga, bahwa seorang lain akan memanjat puncak itu untuk membaca syair
Tong Siauw Lan?
Keng Thian pun tidak kurang herannya, tapi, seperti si nona, ia
juga tidak bisa menduga-duga, tangan siapa yang sudah melakukan itu.
Dengan Peng Go menuntun Keng Thian, perlahan-lahan mereka
melanjutkan perjalanan. Untung juga, belum jalan berapa jauh, mereka
bertemu dengan sebuah Honghotay, peninggalan di jaman dulu. (Honghotay
adalah sebuah bangunan tinggi yang di jaman dulu digunakan sebagai
pertandaan untuk meminta bantuan tentara, dengan membakar kayu. Dengan
melihat api dan asap, kawan yang berada di tempat jauh dapat segera
memberi pertolongan).
Sambil menuntun tunangannya, Peng Go masuk ke dalam bangunan itu.
seraya berkata: "Untung juga kita bertemu dengan tempat meneduh untuk
beristirahat beberapa hari sampai lukamu sembuh."
Honghotay adalah bangunan yang bertingkat dua, atasnya lancip,
bawahnya lebar. Bagian atasnya, atau loteng, biasa digunakan sebagai
mercu untuk meninjau ke tempat jauh, sedang bawahnya digunakan sebagai
tangsi untuk serdadu. Pengtjoan Thianlie segera membersihkan lantai dan
sesudah mempersilahkan Keng Thian merebahkan diri, ia lalu keluar untuk
mencari makanan. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa dua ekor
ayam alas yang lalu dijadikan barang santapan. Dengan dirawat oleh si
nona dan saban-saban menelan pel mustajab dari Istana Es, pada esokan
harinya, luka Keng Thian sudah rapat dan satu dua hari lagi, ia akan
sembuh seperti sediakala.
Malam itu, Peng Go kembali memburu dan mendapat seekor kambing
kecil yang lalu dibakarnya. Sebagai seorang puteri yang sedari kecil
biasa dirawat, Peng Go sama sekali tidak mengenal ilmu masak. Malahan
membakar daging saja, ia tak mampu, sebagian hangus dan sebagian mentah.
Tapi bagi Keng Thian, daging yang mentah matang itu, merupakan santapan
yang terlezat dalam dunia!
Malam itu, rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang.
Kedua orang muda itu tentu saja sungkan menyia-nyiakan kesempatan yang
baik dan sambil menggandeng tangan, mereka naik ke loteng untuk menikmati
pemandangan malam terang bulan yang indah itu. Sungguh permai! Himalaya
seolah-olah mandi dalam lautan perak dan sinar es yang menyorot dari
puncak-puncak yang tinggi memperlihatkan suatu pemandangan yang benar-
benar luar biasa.
Sesudah memandang beberapa lama, si nona menghela napas seraya
berkata dengan suara perlahan: "Di sebelah sana adalah
negeri ibuku. Sungguh lucu-
meskipun aku berkedudukan sebagai puteri Nepal, belum pemah aku
menginjak negeri itu."
"Tak satu manusia pun yang menghalangi kau pergi kesitu," kata Keng
Thian sambil tertawa.
"Ibuku pernah bersumpah untuk tidak kembali ke negeri sendiri."
kata si nona.
"Keng Thian tersenyum. "Dalam dunia ini tiada yang kekal," katanya.
"Coba kau pikir, siapa bisa duga, Puncak Es bisa roboh dengan begitu
saja?"
Peng Go tidak menyahut, parasnya kelihatan berduka sekali.
"Jika piauwko-mu (saudara sepupu) ingin menikah dengan kau, kau tak
bisa tidak pulang ke Nepal," kata Keng Thian.
"Piauwko-ku?" menegas si nona.
"Bukankah raja Nepal piauwko-mu?" kata pula pemuda itu, "Hm...
menurut taksiranku, pendeta asing itu tentu kabur ke Himalaya. Aku
kuatir, dugaanmu tidak meleset, dia datang di Lhasa atas perintah raja
Nepal."
Peng Go membungkam. Beberapa saat kemudian, barulah ia berbisik:
"Kecuali kau, dalam hatiku tak ada tempat lagi untuk lain lelaki..."
Sehabis berkata begitu, parasnya berubah merah. Biarpun sudah tahu sama
tahu, inilah untuk pertama kali si nona membuka rahasia hatinya terang-
terangan.
Kegirangan Keng Thian meluap-luap dan matanya berlinang-linang
karena kegirangan yang melampaui batas. Sambil memegang pundak si nona,
ia berbisik: "Apa benar?..."
Dengan perlahan Peng Go mendorong kecintaannya. "Kau tidak
permisikan aku menangis, tapi kau sendiri yang mudah mengucurkan air
mata," katanya dengan suara terharu.
Tiba-tiba kesunyian sang malam diganggu dengan suara tindakan kaki
manusia di bawah loteng. "Siapakah yang menggerayang kesini di tengah
malam buta?" bisik Keng Thian.
Peng Go menghunus Pengpok Hankong kiam dan membuat lubang kecil di
papan loteng.
"Aha!" demikian terdengar seruan seorang. "Daging kambing bakar?
Mana yang punya?" Suara itu adalah suara Hiatsintjoe yang menyeramkan.
"Jangan perdulikan yang punya," kata seorang lain. "Makan saja."
Keng Thian mengintip di lubang. Ia melihat seorang hweeshio,
jangkung kurus tengah berjalan mendekati perapian dan waktu lengannya
menyentuh meja batu, terdengar suara beradunya logam. Orang itu adalah
Tang Thay Tjeng yang tidak dikenal Keng Thian. "Siapa dia?" tanyanya di
dalam hati. "Hiatsintjoe saja sudah merupakan lawan berat. Hweeshio itu
kelihatannya bukan sembarang orang. Bagaimana baiknya? Lukaku belum
sembuh, apa Peng Go bisa melawan mereka berdua?" Sambil mengeluarkan
beberapa batang Thiansan Sinbong, ia berbisik di kuping Peng Go: "Jangan
ladeni mereka."
Peng Go mengangguk. Selagi hatinya penuh dengan rasa cinta, si nona
memang tak punya kegembiraan untuk bertempur.
Alis Hiatsintjoe berkerut dan sambil mengunyah daging, ia berkata
dengan suara mendongkol: "Sungguh tolol orang yang membakar daging ini.
Separuh hangus, separuh mentah."
Mendengar kecintaannya dimaki, Keng Thian gusar, tapi Peng Go
sendiri hanya bersenyum.
Tang Thay Tjeng tertawa besar. "Kau sungguh rewel," katanya. "Jika
tak doyan, jangan makan! Berikan semua, kepadaku, perutku lapar sangat.
Di atas gunung mungkin lebih sukar mendapat makanan."
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung, mulutnya terus mengunyah
daging. "Semakin aku ingat, semakin perutku panas," mendadak dia berkata
lagi. "Sungguh kurang ajar binatang Kim Sie Ie! Jika aku berhasil
mendapatkan, Tjiangtjoe Siantjo, huh-huh!... Aku akan keset kulitnya!"
Tang Thay Tjeng tertawa besar. "Dari dulu sampai sekarang, belum
pernah ada manusia yang berhasil mendaki Puncak Chomo Lungma," katanya.
"Jangan kau mengharap-harap embun tengah hari. Jika kau bisa berhasil,
Tuhan benar-benar memberkahi kau."
"Kalau kau takut mati, tak usah kau ikut," bentak Hiatsintjoe.
"Ikut tentu aku mesti ikut," kata si pendeta. "Seperti kau, aku pun
sangat dihina orang. Daripada dihina orang, lebih baik mati, daripada
mati konyol, lebih baik coba-coba nasibku."
Mendengar pembicaraan yang tiada ujung pangkalnya itu, Peng Go tak
mengerti apa yang sedang dibicarakan. Ia hanya merasa heran, kenapa
Hiatsintjoe gusar terhadap Kim Sie Ie, sedang orang yang bersalah
sebenarnya adalah dirinya sendiri. Ia tentu saja tak tahu terjadinya
pertempuran di padang pasir, dimana Hiatsintjoe dipukul pincang oleh Kim
Sie Ie yang sudah merampas juga unta mereka. Hanyalah sesudah mengalami
banyak penderitaan, barulah mereka bisa keluar dari padang pasir itu.
Selagi Hiatsintjoe mencaci Kim Sie Ie, tiba-tiba diluar terdengar
suara kaki kuda.
"Celaka! Pemilik daging datang!" kata Tang Thay Tjeng sambil
tertawa.
"Kalau dia rewel, aku hantam mampus padanya," kata kawannya.
"Jangan galak-galak," si pendeta tertawa haha-hihi. "Orang baik-
baik tak boleh sembarangan membunuh manusia."
Sementara itu, suara kaki kuda kedengaran berhenti di depan
Honghotay. "Apa aku kata?" demikian terdengar suara seorang anak tanggung
yang sangat nyaring. "Aku sudah kata, kalian tak usah bingung. Bukankah
disini ada tempat meneduh? Ha-ha-ha! Bau daging kambing! Wangi sungguh!
Aku berani bertaruh, pemilik daging adalah seorang pelancong yang murah
hati."
Keng Thian dan Peng Go saling memandang sambil mesem. Mereka
mengenali, bahwa suara itu adalah suara Kang Lam, si bawel.
"Ibu, rumah apa ini?" tanya seorang gadis.
"Tak tahu, tapi tak halangan jika kita numpang disini," jawab
seorang wanita.
Keng Thian merasa heran. "Kenapa Yo Lioe Tjeng dan puterinya datang
kemari?" tanyanya di dalam hati. "Didengar dari suara tindakan, yang
datang ada empat orang. Siapa yang satunya lagi?"
Sesaat kemudian, empat orang masuk dengan beruntun-runtun. Dari
lubang papan, Keng Thian mendapat kenyataan, bahwa orang yang satunya
lagi adalah Tong Toan.

***

Ternyata, selagi Kang Lam mengantar Yo Lioe Tjeng dan puterinya ke


Lhasa untuk mencari Keng Thian, di tengah jalan mereka bertemu dengan
Tong Toan. Keluarga Tong dan Yo adalah sahabat-sababat lama. Pada dua
puluh tahun lebih berselang, satu gelombang hebat telah terjadi karena
Phang Lin telah kesalahan membunuh suami Tong Say Hoa dan peristiwa itu
hampir-hampir menyeret juga Yo Tiong Eng dan puterinya. Sesudah gelombang
mereda, keluarga Tong insyaf bahwa kesalahan terletak di pihaknya dan
merasa sangat malu akan perbuatan mereka terhadap Yo Tiong Eng.
Maka itulah, perhubungan antara mereka dan Yo Lioe Tjeng jadi terlebih
rapat lagi. Biarpun Yo Lioe Tjeng berusia banyak lebih muda daripada Tong
Say Hoa, Tong Toan selalu menganggapnya sebagai seorang tjianpwee dan
memanggil Kouwkouw (bibi) kepadanya.
Tong Toan segera menceritakan pertemuannya yang luar biasa dengan
Keng Thian dan Peng Go. Sesudah mengetahui jejak Keng Thian, Yo Lioe
Tjeng segera mengajak Tong Toan pergi, menyusul ke jurusan barat.
Begitu masuk ke ruangan bawah Honghotay, mereka melihat Hiatsintjoe
yang sedang mempertunjuki kepandaiannya yang menyeramkan. Dia memasukkan
kedua tangannya ke dalam perapian yang sudah hampir padam dan dengan
menggunakan ilmu Inhwee siosin (Menarik api membakar badan), ia
mengeluarkan hawa yang sangat panas di telapakan tangannya, sehingga
perapian itu, kembali membara. Dengan kulit tangan yang terkeset, tulang-
tulang jeriji kelihatan tegas sekali di dalam bara. Tang Thay Tjeng
sendiri terus mengunyah daging kambing sambil menyender di meja batu,
dengan memperlihatkan sikap acuh tak acuh.
Melihat kedua memedi itu, Yo Lioe Tjeng berempat kaget tak
kepalang. Dengan badan bergemetaran, Kang Lam mundur ke belakang Tjee
Tjiang Hee.
Jantung Yo Lioe Tjeng memukul keras, tapi karena mempunyai banyak
pengalaman, parasnya sedikitpun tidak berubah. "Benar," katanya. "Tempat
ini nyaman dan hangat. Kang Lam, coba keluarkan arak dan daging ayam.
Sebelum tidur, kita makan dulu."
Si kacung segera mengeluarkan sepotong paha ayam, tapi sebab sedang
ketakutan, ia tak punya napsu makan dan lalu mengangsurkannya kepada
Tjiang Hee. "Kau makan saja sendiri," kata si nona. "Daging bekalanku
belum habis."
Sesudah menenteramkan hati sambil memegang, paha ayam itu, Kang Lam
berkata sambil tertawa haha-hihi: "Tong Tayhiap, telah berjanji untuk
bertemu disini. Sediakanlah sepotong daging untuknya. Ha-ha! Tong Tayhiap
bersahabat baik dengan Kongtjoe-ku dan ia belum pernah salah janji, la
kata, akan tiba disini tengah malam dan ia pasti datang."
Tjiang Hee kaget tapi segera juga ia mendusin, bahwa dengan
perkataannya itu, si kacung coba menakut-nakuti kedua musuhnya. Hanya
lantaran hatinya ketakutan, tertawa dan suaranya sangat tidak wajar.
Hiatsintjoe lantas saja mengeluarkan suara di hidung, sedang Tang
Thay Tjeng tertawa berkakakan. "Sayang sekali disini tak ada yang memukul
kentongan, sehingga 'ku tak tahu, apa sekarang tengah malam atau sudah
lewat tengah malam," kata si pendeta dengan suara menjengeki.
Kang Lam kaget, ia mengerti, bahwa ia sudah salah omong. Untuk
memperbaiki kesalahannya, ia kembali tertawa seraya berkata: "Tong
Tayhiap dan kita sama-sama datang dari Lhasa. Biarpun kepandaiannya
tinggi, ia tentu saja tidak bisa jalan begitu cepat seperti yang
menunggang kuda. Tapi ia pasti datang. Sepoci arak ini lebih baik
disediakan untuknya."
Dengan berkata begitu, Kang Lam lebih membuka kedok serdiri.
"Plak!", Hiatsintjoe menepuk meja batu seraya membentak: "Kang Lam!
Mari!"
Jantung si kacung melonjak, la mundur setindak dan berkata seraya
menggoyang tangan: "Jangan sungkan-sungkan, makan saja sendiri. Aku tak
doyan daging kambing."
"Jangan rewel!" bentak pula Hiatsintjoe. "Siapa undang kau makan
daging kambing? Mari! Layani tuan besarmu minum arak."
"Arak ini adalah untuk Kim Tayhiap," katanya dengan suara bingung.
Hiatsintjoe tertawa dingin. "Kim Tayhiapmu sudah mampus di padang
pasir," katanya dengan suara mengejek. "Jangan banyak bacot! Kau ingin
menakut-nakuti aku dengan menggunakan nama Toktjhioe Hongkay? Hm! Kemari!
Jika kau membandel, aku akan bakar badanmu." Sehabis berkata begitu, ia
mengebaskan tangannya dan hawa yang sangat panas lantas saja menyambar.
Tiba-tiba di luar terdengar suara tertawa yang sangat nyaring.
"Bagus!" seru seorang. "Aku paling doyan daging kambing!"
Hiatsintjoe menengok dan melihat dua orang aneh sedang berjalan
masuk dengan jungkir balik, dengan menggunakan tangan sebagai kaki.
Sesudah melihat lebih tegas, ia tahu, bahwa kedua orang itu patah tulang
kakinya. Dilihat dari mata mereka yang dalam, hidung yang mancung dan
pakaian mereka, orang bisa lantas mengenali, bahwa mereka adalah orang
Arab yang dapat menggunakan bahasa Han dengan lancar sekali.
Begitu masuk, mereka bersila dan berkata sambil menuding
Hiatsintjoe: "Wangi sungguh daging itu. Coba berikan sepotong kepadaku."
Hiatsintjoe naik darahnya dan dengan mendelik, ia mengipas dengan
kedua tangannya dan hawa panas segera menyambar pada kedua orang itu.
Tang Thay Tjeng buru-buru memberi isyarat dengan kedipan mata untuk
mencegah sang kawan berlaku semberono.
"Ha-ha-ha! Sungguh nyaman!" seru satu antaranya. "Dari gunung es
masuk kesini seperti juga masuk ke dalam surga." Dilihat dari muka dan
gerak-geriknya, kedua orang itu sudah lelah sekali. Sesudah berjalan di
atas salju dan kemudian diserang hawa panas, mereka pasti sudah roboh
jika tak punya tenaga dalam yang sangat kuat. Mereka terus bersenyum-
senyum dengan sikap acuh tak acuh, seperti juga tidak merasakan kebasan
tangan Hiatsintjoe.
Kedua orang aneh itu berbeda badannya, yang satu gemuk dan yang
lain kurus. "Aku dengar orang-orang di Tiongkok sangat ramah tamah
terhadap tamu," kata si gemuk. "Sekarang ternyata, omongan itu dusta
belaka."
"Apa kau kata ?" bentak Hiatsintjoe.
"Eh, apa kau mau cari-cari ribut?" tanya si kurus.
Hiatsintjoe tak bisa menahan sabar lagi. Ia melompat ke tengah
ruangan dan berteriak: "Mari! Mari kita coba-coba. Kami berdua dan kamu
pun berdua."
Si kurus menggelengkan kepala. "Perutku lapar," katanya sambil
tertawa. "Tak punya tenaga untuk berkelahi."
Dengan gergetan Hiatsintjoe mengambil sepotong daging yang sedang
dipegang Tang Thay Tjeng dan lalu melontarkannya sembari membentak:
"Makan! Lekas makan!" Waktu melemparkan, ia mengerahkan lweekang,
sehingga daging itu menyambar dengan tenaga yang hebat. Tapi si kurus
tetap tenang. Ia membuka mulutnya dan menggigit potongan daging yang
menyambar itu.
"Mana untukku?" tanya si gemuk.
"Kang Lam! Berikan daging ayam kepadanya!" memerintah Hiatsintjoe.
Melihat perkembangan yang luar biasa itu, si kacung jadi girang.
Dengan sikap hormat, ia mempersembahkan dua potong daging ayam kepada si
gemuk.
"Makanlah. Kalau tak cukup, masih ada lagi," katanya.
"Mari araknya," kata si gemuk.
Tanpa menunggu perintah Hiatsintjoe, cepat-cepat Kang Lam
mempersembahkan sepoci arak kepadanya. "Benar," katanya sambil tertawa.
"Sesudah makan minum, baru ada kegembiraan untuk berkelahi."
Dengan sorot mata gusar, Hiatsintjoe mengawasi kedua orang itu,
tapi Tang Thay Tjeng berulang-ulang menggelengkan kepala seraya berkata:
"Guna apa? Guna apa berkelahi?" Kawannya tidak meladeni. "Lekas! Lekasan
sedikit!" teriak Hiatsintjoe.
Mereka makan minum perlahan-lahan sampai daging dan arak tiada
sisanya lagi. Tiba-tiba si kurus tertawa terbahak-bahak. "Sekarang aku
sudah kenyang," katanya. "Mari! Siapa yang mau berkelahi boleh datang
kesini!"
"Sudahlah," membujuk Tang Thay Tjeng. "Kita sama-sama pelancong dan
juga tak punya permusuhan. Perlu apa, cari-cari urusan?" Ia berusaha
untuk membatalkan pertempuran karena dalam perhitungannya, pihaknya jatuh
di bawah angin. Dengan lweekang Hiatsintjoe yang sudah banyak berkurang,
ia menaksir, bahwa mereka berdua belum tentu bisa menandingi kedua orang
aneh itu. Di samping itu, masih terdapat empat musuh lain yang mungkin
sekali akan menyerang pihaknya. Ia tak takuti Tjee Tjiang Hee, Tong Toan
dan Kang Lam, tapi gendewa dan peluru Yo Lioe Tjeng tak boleh dipandang
ringan.
Sekonyong-konyong paras muka si gemuk berubah menyeramkan. Ia
tertawa nyaring seraya berkata: "Boleh, boleh tak usah berkelahi. Tapi
aku ingin meminjam serupa barang."
"Apa?" menegas Hiatsintjoe dengan perut panas.
"Berikan empat kakimu sebatas dengkul kepada kami," jawabnya. "Aku
perlu sekali dengan itu." Ia berkata begitu dengan sikap sembarangan,
seolah-olah yang mau dipinjamnya tak berharga sepeser buta.
Dapat dimengerti, jika Hiatsintjoe jadi kalap. Belum habis si gemuk
mengucapkan perkataannya, ia sudah mengenjot badan dan sambil melompat,
ia menghantam sekuat tenaga dengan kedua telapakan tangannya. Hebat
sungguh pukulan itu! Yo Lioe Tjeng berempat yang berdiri dalam jarak
beberapa tombak, masih merasakan hawa yang sangat panas. Kang Lam buru-
buru bersila dan, tanpa memperdulikan segala apa, lalu mengerahkan
lweekang Thiansan pay, yang didapat dari Tong Keng Thian.
Dengan tenang si gemuk mengangkat tangannya untuk menyambut
serangan itu. Di lain pihak, sedang kedua kakinya belum hinggap di bumi,
Hiatsintjoe merasa didorong serupa tenaga yang sangat besar, sehingga
tubuhnya bergoyang-goyang. Begitu kakinya menginjak lantai, ia segera
mengirim pukulan kedua, tapi hawa panasnya sudah banyak berkurang.
Bukan main kagetnya Tang Thay Tjeng. Hiatsintjoe menyerang kalang
kabut seperti harimau edan, tapi ia tak bisa mendekati kedua lawannya dan
tertahan dalam jarak kurang lebih setombak. Beberapa saat kemudian,
gerakan-gerakan Hiatsintjoe menjadi kalut dan ia menerjang terputar-putar
bagaikan seekor laler yang masuk ke dalam jebakan.
Harus diketahui, bahwa ilmu yang digunakan oleh kedua orang itu
adalah Imyang Ngoheng Tjianglek, ilmu pukulan yang terdiri dari "negatif
dan "positif", yaitu satu pukulan mendorong keluar, sedang pukulan yang
lain membetot ke dalam. Dengan demikian, musuh yang masuk ke dalam
kalangan pukulan mereka seperti terseret ke dalam "pusar air", terus
terputar-putar tanpa mampu meloloskan diri.
Tang Thay Tjeng sebenarnya sungkan bermusuhan dengan kedua orang
itu, tapi karena sahabatnya berada dalam bahaya, ia tak bisa berpeluk
tangan. Sebagai orang yang hati-hati, sebelum turun tangan lebih dulu ia
memikin siasat untuk meloloskan diri. Ia ingin menyerang dengan
menggunakan ilmu menubruk Niauw-eng dan jika serangannya gagal, ia bisa
lantas mengundurkan diri. Sedapat mungkin ia tak mau mengadu tenaga
tangan dengan musuhnya "Kaki mereka patah dan mereka tentu tak bisa
mengubar aku," pikirnya.
Tapi di luar dugaan, ilmu silat kedua orang aneh itu sungguh luar
biasa. Begitu Tang Thay Tjeng "terbang" ke udara dan sebelum tangannya
menyentuh kepala musuh, si gemuk tiba-tiba mendorong si kurus yang
tubuhnya lantas saja melesat ke atas dan tangannya membetot. Tang Thay
Tjeng terkesiap, buru-buru ia menggoyang badan yang segera membelok ke
belakang. Gerakan si pendeta cukup cepat, tapi si kurus lebih cepat lagi.
Hampir berbareng, dengan satu suara "hrr!", tubuh si kurus sudah melesat
melewati kepala Tang Thay Tjeng dan tangannya menjambret salah satu dari
empat tiang yang terdapat di ruangan itu. Di lain saat, dengan satu
tangan mencekal tiang, tangannya yang lain menghantam Tang Thay Tjeng.
Sebagaimana diketahui, ilmu menubruk Niauw-eng adalah gubahan
Patpie Sinnio Sat Thian Tjek berdasarkan cara berkelahinya burung Niauw-
eng. Dengan latihan yang lama, ia berhasil menciptakan semacam ilmu
entengkan badan yang tiada keduanya dalam Rimba Persilatan. Ilmu
mengentengkan badan dari lain cabang persilatan kebanyakan hanya
merupakan kepandaian lari cepat, tapi dengan ilmu gubahan Sat Thian Tjek,
seseorang bisa "terbang" bulak-biluk di tengah udara. Tang Thay Tjeng
adalah ahli waris satu-satunya dari Patpie Sinmo dan pada waktu itu,
kepandaiannya tidak lebih rendah daripada gurunya sendiri. Demikianlah,
pada sebelum tenaga pukulan si kurus menyambar tubuhnya, ia sudah
"terbang" membelok. Tapi apa lacur, baru saja ia meloloskan diri, badan
si kurus sudah melesat pula melewati kepalanya dan menjambret tiang di
seberang. Begitu satu tangannya mencekal tiang, badannya diputar dan
kembali menghantam dengan tangan yang lain. Kejadian serupa itu telah
berulang sampai tiga kali, dengan Tang Thay Tjeng masih tetap bisa
mempertahankan diri di tengah udara dan mengegos pukulan-pukulan musuh
dengan "terbang" bulak-balik. Tapi, walaupun luar biasa, ilmu itu tak
bisa dipertahankan dalam tempo lama. Waktu si kurus menghantam ke empat
kali, ia sudah tak kuat lagi dan roboh di lantai akibat kebasan tangan si
kurus. Secara kebetulan, ia jatuh di dekat Hiatsintjoe.
Sambil tertawa terbahak-bahak, si kurus lalu kembali ke tempatnya
yang tadi dan bersila di dekat kawannya. Sekarang, seperti Hiatsintjoe,
Tang Thay Tjeng juga sudah terbetot masuk ke dalam kalangan tenaga kedua
orang itu dan mereka tak dapat meloloskan diri lagi.
Semakin lama gerakan tangan kedua orang aneh itu jadi semakin
cepat. Tang Thay Tjeng dan Hiatsintjoe yang semula berada dalam jarak
kira-kira setombak, dengan perlahan mendekati kedua musuhnya. Dengan
keringat membasahi pakaian, mereka mengamuk bagaikan kerbau gila dan maju
sedikit demi sedikit. Seorang yang tak mengerti ilmu silat tentu menduga,
bahwa mereka sedang menyerang- Tapi Yo Lioe Tjeng mengetahui, bahwa
mereka sedang dibetot dengan tenaga tak kelihatan. Begitu lekas mereka
berada pada jarak yang bisa disampaikan dengan tangan kedua lawannya,
riwayat mereka akan segera tamat.
Diam-diam Yo Lioe Tjeng merasa girang. Biarpun permusuhannya sudah
dibereskan oleh Phang Lin, tapi masih terdapat kemungkinan, bahwa Tang
Thay Tjeng akan berusaha untuk membalas sakit hati lagi di belakang hari.
Maka itu, jika si pendeta binasa, ia akan terbebas dari segala
kekuatiran.
Dengan mata tidak berkesip ia memperhatikan jalannya
pertempuran. Hiatsintjoe yang Iweekang-nya lebih tinggi, masih
terus berusaha untuk meloloskan diri dengan Seantero tenaganya, tapi Tang
Thay Tjeng sudah tak kuat lagi. Ia mundur setindak, maju dua tindak,
semakin lama jadi semakin dekat dengan kedua musuhnya Urat-urat di
kepalanya timbul keluar, sedang kedua biji matanya yang berwarna merah
seolah-olah mau melompat. Yo Lioe Tjeng jadi merasa tak tega, sehingga ia
melengos supaya tak usah melihat pemandangan yang tak enak itu.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan nyaring: "Tinggalkan lututmu!"
Hampir berbareng terdengar suara "trang!", seperti martil memukul
lonceng. Sebelum Yo Lioe Tjeng sempat menengok, mendadak ia merasakan
lewatnya hawa panas di depan mukanya. Di lain saat, ia melihat badan Tang
Thay Tjeng "terbang" keluar dari jendela sebelah timur, sedang
Hiatsintjoe pun sudah tak kelihatan bayang-bayangnya lagi. Kedua orang
aneh itu masih tetap bersila, dengan si gemuk mencekal sebuah lengan besi
seraya berkata seorang diri: "Tak dinyana dia mempunyai ilmu yang luar
biasa."
Ternyata, pada detik yang sangat berbahaya, Tang Thay Tjeng telah
berhasil menolong diri dengan melontarkan lengan besinya. Kedua orang
aneh itu kaget bukan main dan sambil mengerahkan lweekang, mereka
menyambut senjata yang luar biasa itu. Dengan menggunakan kesempatan
tersebut, si pendeta melarikan diri bersama-sama kawannya.
Selagi Yo Lioe Tjeng bergirang karena dua musuhnya sudah mabur,
tiba-tiba ia melihat kedua orang aneh itu mengawaskan padanya dengan
sorot mata bengis. Ia terkejut dan lalu mencekal gendewa erat-erat.
Sementara itu, karena keadaan berubah sepi, Kang Lam yang lagi
bersemedi membuka matanya. Ia melompat bangun dan berkata sambil tertawa:
"Ha! Dua memedi itu sudah dihajar kabur? Ha-ha! Kalian harus menghaturkan
terima kasih kepadaku. Arak itu memang bisa membangunkan semangat dan
daging ayam dapat menambah tenaga." Selagi berkata begitu, mendadak ia
melihat Yo Lioe Tjeng dan kedua orang aneh itu tengah saling memandang
dengan sorot mata menakuti. Hati Kang Lam berdebar-debar dan ia segera
menutup mulut.
Tiba-tiba si gemuk tertawa besar. "Benar! Memang kami harus
menghaturkan terima kasih kepadamu," katanya.
"Aku ingin minta pinjam kedua lututmu," menyambung si kurus.
"Jangan kuatir. Aku tanggung kau tidak merasa sakit waktu lututmu
digergaji."
"Apa?" menegas Kang Lam. "Kau mau gergaji lututku?"
"Tak salah," jawab si kurus sambil mengangguk. "Aku mempunyai ilmu
bedah yang sangat liehay. Lebih dulu aku akan memberi obat lupa dan
begitu kau tersadar, segala apa sudah beres. Bagaimana, apa kau setuju?"
"Tak bisa! Gila kau!" teriak si kacung dengan suara ketakutan. "Aku
masih perlu dengan kedua lututku."
"Aku juga perlu dengan kedua lututmu," kata si gemuk dengan suara
dingin.
"Sesudah kau menyerahkan lututmu kepadaku, aku akan mengambil kau
sebagai murid," kata si kurus. "Kau akan punya senderan teguh, kau tak
usah kuatir kekurangan makan pakai dan tak akan ada manusia yang berani
menghina kau."
"Tak bisa!" Kang Lam berteriak pula. "Tapi... kenapa... lututmu
patah?"
Perkataan si kacung itu justeru menyentuh bagian yang lemah.
Mendadak saja, kedua orang itu jadi gusar tak kepalang. "Binatang!" geram
si kurus "Aku ingin putuskan lutut semua manusia yang pandai silat. Orang
pertama adalah kau!" Berbareng dengan perkataannya, badannya melesat dan
tangannya menyambar untuk menotok jalanan darah Kang Lam.
"Celaka!" mengeluh Kang Lam.
Sebelum tangan si kurus menyentuh Kang Lam, Yo Lioe Tjeng sudah
melepaskan pelurunya dengan beruntun-runtun. Dalam sekejap, puluhan
peluru menyambar-nyambar kedua orang aneh itu. Tapi sungguh aneh, sebelum
melanggar badan musuh, peluru-peluru itu sudah hancur semua! Kedua orang
itu tertawa terbahak-bahak. "Masih ada lagi? Hayo keluarkan semua!"
teriaknya.
Yo Lioe Tjeng terkesiap dan di lain saat, ia merasa dirinya dibetot
dengan semacam tenaga yang tak kelihatan. Dengan sekuat tenaga, ia
memberontak untuk meloloskan diri, tapi sebaliknya dari berhasil,
setindak demi setindak ia mendekati kedua musuhnya itu.
Pada detik yang berbahaya, sekonyong-konyong terdengar suara keras
dan papan loteng berlubang besar.
Kedua orang aneh itu terkejut. "Siapa yang bersembunyi di atas?
Turun!" membentak satu antaranya.
Mendadak dari atas terdengar suara "srr", disusul dengan
menyambarnya sehelai sinar merah. Kedua orang itu pucat mukanya. Buru-
buru mereka menekan lantai dengan kedua tangan dan badan mereka lantas
saja melesat keluar dari pintu. "Tong Siauw Lan!" teriak satu antaranya.
"Kau tak boleh melanggar janji!"
Yo Lioe Tjeng jadi seperti orang kalap bahna girangnya. "Siauw Lan!
Kau berada disini?" serunya.
Hampir berbareng, dari lubang papan loteng melayang turun seorang
pemuda yang parasnya cakap. "Bukan. Aku Keng Thian," katanya.
Sesaat kemudian, Pengtjoan Thianlie pun turun ke bawah. Yo Lioe
Tjeng yang baru pertama kali bertemu dengan si nona, jadi merasa sangat
kagum. "Aku tak nyana dalam dunia ada wanita yang begini cantik," katanya
di dalam hati. Ia melirik Keng Thian melirik puterinya sendiri dan
kemudian menghela napas.
Sementara itu, dengan rasa girang Tjee Tjiang Hee menghampiri dan
mencekal baju Peng Go. "Tjietjie," katanya. "Sekali ini kau tak boleh
kabur." Ia berpaling kepada ibunya dan berkata pula: "Pada malam itu,
Keng Thian Koko telah mabur tanpa bisa dicegah lagi. Tak tahunya ia kabur
untuk mengubar Tjietjie ini."
Muka Peng Go lantas saja berubah merah karena ia ingat salah
mengerti yang terjadi pada malam itu. Tanpa mengatakan suatu apa, ia
bersenyum dengan perasaan jengah tercampur girang.
"Inilah puteri tunggal dari Kui Hoa Seng Pehpeh, namanya Peng Go,"
Keng Thian memperkenalkan kecintaanya kepada Yo Lioe Tjeng. "Inilah Tjee
Pehbo. Pada tiga puluh tahun berselang, beliau adalah Kangtong Liehiap Yo
Lioe Tjeng yang namanya harum dalam Rimba Persilatan. Ayahku adalah adik
seperguruannya."
Yo Lioe Tjeng tertawa girang.
"Benar, memang benar, dan kita semua bukan orang luar," katanya
sambil tertawa. Ia menarik tangan Peng Go dan lalu mengajukan berbagai
pertanyaan secara gembira sekali.
Sesudah menjawab pertanyaan-pertanyaan nyonya Tjee, Peng Go
menengok kepada Keng Thian seraya berkata: "Keng Thian, baik juga kau
lekas-lekas melepaskan Thiansan Sinbong. Kedua orang itu liehay bukan
main. Mungkin sekali Pengpok Sintan tak akan berhasil mengusir mereka."
"Keng Thian, kau lihatlah, aku sudah tua dan sangat pelupaan," kata
Yo Lioe Tjeng sambil tertawa "Aku belum menghaturkan terima kasih untuk
pertolonganmu."
"Menurut pendapatku, Thiansan Sinbong yang dilepaskan olehku juga
belum tentu bisa melukakan mereka," kata Keng Thian. "Mereka kabur karena
ketakutan."
"Kenapa begitu?" tanya Peng Go.
"Aku rasa, lutut mereka patah karena dihajar dengan Thiansan
Sinbong oleh ayahku," jawabnya. "Maka itu, mereka lantas kabur sebab
menduga ayahku datang kembali"
"Benar," kata Yo Lioe Tjeng. "Tadi, selagi lari, mereka menyebut-
nyebut nama ayahmu. Mungkin sekali ayahmu telah meluluskan untuk
mengampuni jiwa mereka, maka barusan mereka mengatakan Siauw Lan tak
boleh melanggar janji."
"Dilihat begini, jebakan di puncak itu telah dipasang oleh mereka,"
kata Keng Thian. "Kenapa mereka kebentrok dengan ayahku?"
"Jebakan apa?" tanya Yo Lioe Tjeng.
Keng Thian lantas saja menceritakan peristiwa yang dialaminya,
sehingga ia hampir-hampir binasa tertimpa batu besar.
Nyonya Tjee jadi kaget tercampur girang. "Kalau begitu, ayahmu
benar berada disini," katanya. "Tapi gunung Himalaya begini besar. Kemana
kita mencarinya? Ah? Dua puluh tahun lebih aku tak pernah bertemu dengan
ayahmu." Sambil berkata begitu, ia melirik Keng Thian dan Peng Go dan
kemudian menghela napas. "Sesuatu manusia mempunyai jodoh sendiri-
sendiri, manusia tak dapat melawan nasib," katanya di dalam hati.
Harus diketahui, bahwa di waktu masih gadis, Yo Lioe Tjeng pernah
ditunangkan dengan Tong Siauw Lan. Belakangan, karena tak ada kecocokan,
pertunangan itu tidak terwujut dengan pernikahan. Sesudah lewat banyak
tahun, biarpun masing-masing sudah menikah, Yo Lioe Tjeng masih tidak
bisa melupakan Siauw Lan sebagai kecintaannya yang pertama. Tapi
kecintaan itu adalah bebas dari segala arti yang jelek. Lioe Tjeng
sekarang mencintai Siauw Lan sebagai saudara sendiri, atau sedikitnya
sebagai seorang sahabat karib. Maka itulah pada waktu bertemu dengan Keng
Thian, ia segera berniat untuk merangkap jodoh Tjiang Hee dengan pp~iuda
itu. Tapi tak dinyana, putera Tong Siauw Lan sudah mempunyai kecintaan
lain.
Malam itu, mereka menginap di Hongto tay. Pada besokan paginya,
luka Keng Thian sudah sembuh sama sekali dan mereka lalu meneruskan
perjalanan ke jurusan barat.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di sebelah selatan Himalaya.
Selagi enak berjalan, mendadak Peng Go terkejut karena jauh-jauh ia
melihat bendera-bendera yang sangat besar jumlahnya. "Keng Thian, apa
tentara Nepal benar sudah datang kesini?" tanyanya. "Mari kita
menyelidiki,"
"Baiklah, aku akan mengantar kau," kata pemuda itu. "Tjee Pehbo,
kalian tunggu saja disini. Sesudah menyelidiki, kami akan kembali untuk
berdamai bagaimana baiknya."'
Sebagai gunung yang besar luar biasa di Himalaya terdapat banyak
hutan-hutan yang belum pernah ditembus orang, sehingga jika orang bertemu
dengan hutan begitu, ia terpaksa mengambil jalan mutar. Demikianlah,
biarpun bendera-bendera yang dilihat Peng Go kelihatannya tidak seberapa
jauh, tapi waktu berusaha untuk mendekatinya, beberapa kali mereka
menyasar dan sesudah berjalan setengah harian, belum juga mereka sampai
di tempat yang dituju.
"Dilihat begini, kita harus cari seorang pengunjuk jalan," kata
Keng Thian.
"Jangan mimpi," kata si nona sambil tertawa. "Dari mana kau mau
cari pengunjuk jalan? Biarpun kau berani membayar seribu tail emas, tiada
manusia yang bisa mengantar kau di gunung ini."
"Kau salah!" Keng Thian mendadak berkata. "Coba lihat! Apa disana
bukan manusia?"
Peng Go mendongak dan melihat seorang yang sedang berlari-lari di
puncak gunung seberang. Orang itu yang gerakannya sangat gesit, ternyata
tengah diubar lima orang yang di kepalai oleh seorang pendeta yang
mengenakan jubah pertapaan warna merah. Dilihat dari jauh, warna merah
itu sangat menyolok mata.
"Orang yang dikejar adalah Liong Leng Kiauw!" teriak Keng Thian.
"Benar," kata si nona. "Pendeta yang mengejarnya tentulah si
pendeta yang membongkar penjara."
"Mereka pasti mengandung maksud tak baik, mari kita cegat,"
mengajak Keng Thian. Ketika itu Liong Leng Kiauw dan pengejar-pengejarnya
sudah lari jauh sekali.
Si nona mengangguk. "Baiklah, kita ambil jalan dari samping
gunung," katanya.
Karena jarak antara kedua gunung itu tidak seberapa jauh dan juga
sebab Keng Thian dan Peng Go memiliki ilmu mengentengkan badan yang lebih
tinggi daripada Leng Kiauw dan si pendeta, maka belum cukup setengah jam,
mereka sudah berada di sebelah depan si pendeta. Ketika itu, Liong Leng
Kiauw sudah mendaki puncak kedua, sedang beberapa boesoe Nepal lainnya
masih ketinggalan jauh di belakang si pendeta.
Ternyata, selama berdiam beberapa hari di perkemahan tentara Nepal,
Leng Kiauw tak hentinya mengasah otak. Biarpun mempunyai cita-cita besar,
perasaan hatinya masih tidak mengijinkan untuk menjadi pengkhianat bangsa
yang mengajak tentara asing masuk ke dalam negeri sendiri. Akhirnya ia
mengambil keputusan untuk kabur dan lebih suka dibinasakan oleh kaizar
Tjeng daripada jadi pengkhianat. Ia bertujuan pergi ke Lhasa guna
melaporkan kejadian itu kepada Hok Kong An. Di luar dugaan, kaburnya
telah diketahui oleh si pendeta asing yang lalu mengejar dengan mengajak
beberapa boesoe.
Liong Leng Kiauw tidak berani mengambil jalanan di tanah datar dan
terus mabur ke gunung-gunung. Sesudah lari sehari dan semalam, ia naik
semakin tinggi dan jalanan jadi semakin sukar. Si pendeta asing yang
bernama Taichiti dan berkedudukan sebagai Koksoe (guru negara) utama,
terus mengejar sekeras-kerasnya dan waktu Leng Kiauw mendaki puncak yang
kedua, jarak antara mereka hanya kira-kira seratus tindak.
Sesaat itu, mereka berada di tempat yang tertutup salju dan licin
luar biasa. Beberapa kali si pendeta mengempos semangat dan melompat
tinggi, tapi ia selalu menyerosot lagi ke bawah karena licinnya jalanan.
Mendadak ia membuka jubah pertapaannya yang lalu digunakan untuk
mengeredongi pundaknya, sehingga ia seolah-olah mempunyai dua sayap.
Sekali lagi ia melompat tinggi dan dengan bantuan jubah itu yang seperti
"layar perahu" kakinya bisa hinggap di atas salju tanpa menyerosot ke
bawah lagi.
Ia tertawa terbahak-bahak dan berteriak: "Lian Sianseng, rajaku
telah memperlakukan kau sebagai tamu terhormat, tapi kenapa kau mabur
tanpa pamitan lagi? Dengan menempuh bahaya, aku membawa kau datang
kesini. Perbuatanmu itu sungguh-sungguh tidak
memandang persahabatan."
Leng Kiauw tak menyahut, ia terus merayap ke atas dengan sepenuh
tenaga.
"Lian Sianseng!" berseru pula si pendeta. "Lebih baik kau lekas-
lekas turun. Jika dicandak olehku, bisa terjadi kejadian yang kurang
enak." Ia melompat lagi dan naik setombak lebih.
Selagi si pendeta tergirang-girang, tiba-tiba terdengar suara aneh,
disusul dengan menyambarnya satu sinar merah. Buru-buru ia mengebas
dengan jubahnya. "Brt!", jubah itu berlubang dan tidak bisa digunakan
lagi sebagai "layar perahu". Si pendeta yang tidak berwaspada terpeleset
dan menyerosot turun beberapa tombak, hampir-hampir ia jatuh terguling.
Jubah pertapaan itu dibuat dari benang emas dan ditambah dengan lweekang,
kekuatannya melebihi sebuah tameng. Pada belasan hari berselang, dengan
jubah itu, ia telah menyampok jatuh semua senjata rahasia yang dilepaskan
oleh Tong Say Hoa. Maka itu, ia kaget tak kepalang ketika tahu jubahnya
ditembuskan dengan senjata rahasia.
Di lain saat, dari lamping gunung mendadak muncul seorang pemuda
yang parasnya cakap sekali. Orang itu bukan lain daripada Tong Keng Thian
yang tidak dikenal oleh si pendeta. "Siapa kau?" bentaknya.
"Tak usah tahu!" jawabnya. "Yang penting adalah aku tidak
mempermisikan kau naik di gunung ini."
"Bocah! Besar benar nyalimu!" bentak si pendeta sambil mengebut
dengan jubahnya. Biarpun tahu pemuda itu mempunyai senjata rahasia yang
sangat liehay, ia tak menjadi keder karena menganggap Keng Thian yang
berusia begitu muda, pasti tidak memiliki ilmu silat berarti. Maka itu,
ia lantas saja mengebut dengan ilmu Thianlo kaytee (Jala langit menungkup
bumi), serupa ilmu yang telah dilatih olehnya selama beberapa puluh
tahun.
Melihat menyambarnya jubah itu dengan, tenaga yang dahsyat, Keng
Thian terperanjat. "Tak heran jika Tong Say Hoa dan Kim Sie Ie masih
belum dapat
menjatuhkannya," pikirnya. Tanpa berayal lagi, ia menghunus
Yoeliong kiam dan menikam dengan pukulan Houwtek siadjit (Houwtek memanah
matahari).
Sebagaimana diketahui, Yoeliong kiam adalah pedang mustika dari
Thiansan pay, sehingga jangankan jubah, sedangkan tameng baja pun dapat
ditembuskannya. Dengan satu suara "bret!", diiring dengan sinar
berkilauan, jubah itu berlubang besar.
Si pendeta kemekmek, buru-buru ia menarik pulang jubahnya dan
melompat ke belakang, akan kemudian mengawasi pemuda itu dengan mata
membelalak. Di lain pihak, biarpun berhasil merobek jubah pertapaan itu
dengan pedangnya, Keng Thian sendiri merasa lengannya sakit.
Di lain saat, pendeta itu sudah menyerang lagi dengan jubahnya.
Dengan satu dua kebutan saja, ia tahu tenaga pemuda itu sudah banyak
berkurang. Maka itu, tanpa menghiraukan kemungkinan jubahnya ditobloskan
pula dengan pedang musuh, ia segera mengirim serangan berantai sambil
memutar jubahnya bagaikan titiran. Dengan menggunakan ilmu menggulung, ia
ingin merampas pedang Keng Thian. Sambil mengempos semangat, Keng Thian
melayani dengan hati-hati sekali. Sesudah lewat kira-kira dua puluh
jurus, beberapa kali lagi jubah itu tertikam tembus, tapi si pendeta
tidak memperdulikan dan terus menerjang bagaikan kerbau gila.
Beberapa saat kemudian, barulah Pengtjoan Thianlie tiba disitu.
Meskipun memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, tapi
karena jalanan penuh rintangan dan pohon-pohon berduri dan juga karena
Pengpok Hankong kiam tidak setajam Yoeliong kiam, maka si nona agak
terlambat datangnya.
Melihat munculnya seorang wanita yang luar biasa cantik dan
mengenakan pakaian serba putih, si pendeta yang lagi menyerang sambil
berteriak-teriak jadi terkesiap dan melompat mundur beberapa tindak.
"Nepal dan Tiongkok adalah tetangga baik," kata si nona. "Kenapa
kau merusak persahabatan itu? Di samping itu, kau juga berani melintasi
perbatasan dan menculik orang. Lekas pergi!" Suara si nona nyaring
bagaikan kelenengan perak dan mengandung keangkeran yang luar biasa. Si
pendeta terkejut dan mundur lagi beberapa tindak. Sebagai Koksoe utama
dari Nepal, rajanya sendiri tak pernah bicara begitu terhadapnya.
Darahnya lantas saja naik dan sambil mengebas jubah pertapaannya, ia
menanya dengan suara dingin: "Siapa kau? Sungguh besar nyalimu, berani
mencampuri urusan negaraku... ih!..." Mendadak ia mengebut dengan
jubahnya dan tanpa merasa ia bergidik, karena Peng Go sudah melepaskan
sebutir Pengpok Sintan. Sekonyong-konyong ia ingat suatu hal. Dengan
memiliki lweekang yang tinggi, Pengpok Sintan tak cukup hebat untuk
menggetarkan badan si pendeta. Tapi begitu ingat hal itu, badannya lantas
saja bergemetaran dan parasnya berubah pucat.
Sebelum ia keburu berbuat apa-apa, tiba-tiba di belakangnya
terdengar suara: "Kongtjoe (Puteri), terimalah hormat kami!"
Ia menoleh dan melihat empat boesoe Nepal sudah berlutut di atas
salju. Jantungnya memukul keras dan ia berkata dalam hatinya: "Benar saja
dia!"
Harus diketahui, bahwa Taichiti adalah Soeheng (kakak seperguruan)
dari pendeta jubah merah yang dulu pernah naik ke istana es dan
belakangan binasa dalam tangan Tan Thian Oe. Waktu masih hidup, Soete itu
pernah menuturkan pengalamannya di istana es dan hebatnya Pengpok Sintan,
sehingga begitu ditimpuk dengan Sintan, ia segera menduga pasti, bahwa
nona itu adalah Pengtjoan Thianlie. Maka'itu, buru-buru ia memohon maaf
kepada sang Puteri.
Pengtjoan Thianlie mengebas tangannya dan menegur dua boesoe yang
berlutut paling depan:
"Aku pernah melarang kalian mengacau di Tiongkok, tapi kenapa
sekarang kalian datang kembali?"
Kedua orang itu manggut-manggutkan kepalanya. "Karena diperintah
raja, hamba berdua tak berani membantah," jawabnya dengan suara
ketakutan.
"Dimana adanya rajamu?" tanya si nona
"Dengan membawa tentara, beliau berkemah di selat sebelah selatan,"
jawab satu antaranya
"Kedatangan raja di kali ini justeru adalah untuk mencari Kongtjoe"
kata Taichiti sambil bersenyum. • "Pertemuan ini sungguh menggirangkan,
sehingga tentara kita terbebas dari kecapaian. Maka itu, kami memohon
Kongtjoe sudi berkunjung ke perkemahan."
"Baiklah," kata si nona "Aku memang mau cari dia."
Mendengar jawaban itu, bukan main girangnya si pendeta. "Hilangnya
Liong Leng Kiauw berbalik menjadi satu keberkahan," pikirnya. "Dengan
berhasil mengundang Kongtjoe, pahalaku bukan main besarnya." Ia lantas
saja memerintahkan empat boesoe jalan di muka untuk membuka jalan dalam
perjalanan pulang ke perkemahan.
Taichiti dan kawan-kawannya membawa tenda dan malam itu mereka
menginap di atas gunung. Besokan paginya mereka meneruskan perjalanan dan
sesudah berjalan setengah harian, barulah lapat-lapat mereka mendengar
suara berbengernya kuda. "Kira-kira sejam lagi kita akan tiba di
perkemahan," kata Taichiti kepada si nona "Pertemuan dengan Kongtjoe akan
menggirangkan sangat hatinya raja."
Peng Go tak menyahut, ia hanya mengangguk.
Sementara itu, hati Keng Thian terus berdebar-debar. Sebenarnya ia
sendirilah yang telah menganjurkan Peng Go pergi menemui raja Nepal, tapi
sekarang, sesudah mereka berada dekat dengan raja tersebut, hatinya jadi
berkuatir kalau-kalau pertemuan itu akan mengakibatkan kejadian yang
tidak diingin. Ia melirik kecintaannya yang bersikap tenang sekali.
Selagi Keng Thian berjalan dengan hati bimbang, tiba-tiba Peng Go
mengeluarkan seruan tertahan dan si pendeta asing melompat dengan kaget.
Ia segera mengawasi ke arah yang diawasi mereka dan melihat bekas pukulan
tongkat di atas sebuah batu besar yang licin. Dilihat dari bekasnya, tak
bisa salah lagi batu itu telah dipukul dengan tongkat Kim Sie Ie.
"Dia juga menulis beberapa baris huruf," kata si nona
Keng Thian segera mendekati dan membaca huruf-huruf itu yang
ditulis di atas batu:
"Di antara manusia hina menghina adalah lumrah. Untuk apa manusia
hidup terlalu lama?
Kuingin memetik bintang di ruang angkasa, Menenangkan lautan
Tonghay aman sentosa."
Sesudah membaca syair itu Keng Thian berdiri bengong. Ia tak
menduga, bahwa Kim Sie Ie yang gila-gilaan dapat menulis syair yang luhur
artinya dan bebas dari segala rasa dendam terhadap sesama manusia.
"Apakah sifatnya berubah karena dia sudah mendekati ajalnya?" tanya Keng
Thian di dalam hati. "Ditinjau dari syairnya, ia seolah-olah hendak
mendaki Tjoehong untuk mati di puncak gunung yang tinggi itu. Sungguh
mengherankan."
Peng Go menghela napas panjang seraya berkata: "Bagaimana kita bisa
mencarinya di gunung yang begini besar dan luas?"
"Siapa dia?" tanya Taichiti. "Seorang sahabat karib," jawab si
nona.
Mendengar jawaban itu, si pendeta terkejut karena sebagaimana
diketahui ia pernah dihajar oleh Kim Sie Ie. Tapi ia tak berani menanya
lebih jauh, sebab si nona kelihatannya sedang berpikir keras dengan paras
berduka.
Sesudah berjalan lagi beberapa lama, tibalah mereka di satu lembah
yang sangat luas dimana terdapat ribuan tenda yang berderet-deret dan
ribuan bendera yang berkibar-kibar dengan megahnya. Ditambah dengan suara
berbengernya kuda dan tentara yang menjaga dengan senjata terhunus,
lembah itu memperlihatkan suatu pemandangan yang angker luar biasa.
Taichiti segera memerintahkan dua orang boesoe untuk melaporkan
kedatangan Pengtjoan Thianlie kepada raja
Berita itu tersiar dengan cepat sekali dan dalam sekejap mata,
dengan berlomba-lomba ribuan atau laksaan serdadu Nepal menerobos keluar
dari tenda mereka untuk melihat wajah sang puteri.
Semenjak mendiang Koksoe jubah merah kembali dari Puncak Es dan
membawa warta tentang kecantikan dan kegagahan Pengtjoan Thianlie, di
seluruh Nepal telah tersiar macam-macam cerita -- yang satu lebih muluk
dari yang lain -- tentang puteri itu. Sedari waktu itu, terutama sesudah
raja memerintah secara sewenang-wenang, segenap rakyat mengharap-harap
kedatangan puterinya Hoa Giok Kongtjoe, ahli waris tulen dari tahta
kerajaan Nepal. Maka itu tidaklah heran, begitu mendengar kedatangan Peng
Go, tata tertib ketentaraan tidak dapat dipertahankan lagi dan bagaikan
gelombang laut, laksaan serdadu menerobos keluar dari perkemahan mereka.
Dengan jubah yang berkibar-kibar karena ditiup angin dan dengan
duduk tegak di atas punggung kuda, bagaikan seorang dewi yang baru turun
dari kahyangan, Pengtjoan Thianlie mengawasi laksaan tentara itu yang
menghampirinya bagaikan air bah. Mendadak mereka menghentikan tindakan
dan keadaan di lembah itu mendadak berubah sunyi senyap. Semua orang,
dari perwira sampai serdadu biasa, memandang wajah sang Puteri dengan
rasa cinta dan kagum.
Tiba-tiba terdengar seruan "Banswee" yang bergemuruh! Pengtjoan
Thianlie bersenyum sambal mengulapkan tangan, sedang air mata berlinang-
linang di kedua matanya.
Sedang seruan itu masih berkumandang di seputar lembah, sekonyong-
konyong bendera raja bergerak dan tenda besar yang berwarna kuning
terbuka, disusul dengan keluarnya raja Nepal yang menunggang gajah putih
yang diiringi oleh para menteri serta pembesar agung. Keadaan di lembah
itu dengan serentak menjadi sunyi kembali. Keng Thian dan Peng Go
mengawasi sang raja yang parasnya kelihatan pucat sekali. Mereka menduga,
bahwa raja itu telah jadi ketakutan karena teriakan "Banswee" dari
tentaranya dalam menyambut Peng Go. (Banswee yang berarti laksaan tahun
adalah panggilan untuk seorang raja atau ratu).
Dugaan mereka adalah tepat. Sesudah menggerakkan tentara, siang
malam raja membayang-bayangkan, bahwa dalam tempo cepat ia akan bisa
menikah dengan saudara sepupunya yang cantik bagaikan dewi. Tapi seruan
"Banswee" itu adalah bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Mendadak
ia ingat, bahwa Peng Go adalah ahli waris tahta kerajaan Nepal dan hal
itu dengan segala akibatnya sama sekali tidak diperhitungkan olehnya.
Waktu sudah berhadapan dengan si nona, rasa kuatir raja bercampur
dengan rasa kagum yang sangat besar. Kecantikan Peng Go ternyata melebihi
dari apa yang pernah dibayangkannya. Ia menatap wajah si nona tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
Pengtjoan Thianlie sendiri menghadapi saudara sepupunya dengan
sikap tenang dan sambil bersenyum, ia memberi hormat.
Seperti orang baru tersadar dari tidurnya, buru-buru raja melompat
turun dari atas punggung gajah dan mempersilahkan Peng Go menunggang
tunggangan
kehormatan itu. Melihat kecantikan yang angker dan dingin,
sedikitpun ia tak berani berlaku kurang ajar dan dengan segala upacara
kehormatan, Peng Go diiringi masuk ke dalam tenda raja
Begitu masuk, raja segera memerintahkan disiapkannya meja perjamuan
untuk menjamu si nona. Ia mendongkol waktu Peng Go minta Keng Thian duduk
di sampingnya, tapi ia tidak bisa berbuat lain daripada menahan sabar.
Sesudah minum beberapa cawan arak, hati sang raja mulai tenang,
tapi sebelum ia bicara, Peng Go sudah mendului: "Bolehkah kutahu, perlu
apa Ong-heng (saudara raja) menggerakkan tentara dan datang kesini?"
"Untuk menyambut Piauwmoay pulang ke negara sendiri," jawabnya.
Paras muka si nona lantas saja berubah dan ia berkata pula dengan
suara dingin: "Walaupun aku terlahir di Tiongkok dan belum pernah
menginjak negara sendiri, tapi ibuku sering memberitahukan tentang ajaran
mendiang kakek raja Sebagai orang yang mewarisi tahta, masakah Ong-heng
tak tahu ajaran kakek sendiri?" Kata-kata yang berani itu sudah
mengejutkan hatinya semua orang!
Sehabis berkata begitu, dengan matanya yang sangat tajam, si nona
mengawasi raja, yang parasnya lantas saja berubah merah. Sesudah
menetapkan hati, ia tertawa getir seraya menanya: "Ajaran apa? bolehkah
Piauwmoay memberitahukanku?"
"Negara kita adalah sebuah negara kecil yang dalam banyak hal harus
menyender kepada Tiongkok," kata si nona. "Maka itu, semenjak dulu,
negara kita selalu mengikat tali persahabatan dengan Tiongkok. Menurut
ajaran leluhur, kita tak boleh mengganggu wilayah Tionggoan. Tapi
sekarang, mengapa Ong-heng sudah menggerakkan tentara dan melintasi
daerah perbatasan?"
"Aku sama sekali bukan ingin mengganggu wilayah Tiongkok,"
jawabnya. "Karena tak ingin kau berkelana di negeri orang, maka aku sudah
datang kesini untuk menyambut kau pulang ke negeri sendiri."
"Dalam hal ini sebenarnya Ong-heng boleh tak usah mencampuri," kata
si nona. "Aku hidup dengan senang di Tibet dan jika aku ingin pulang, aku
bisa pulang sendiri. Andaikata benar Ong-heng ingin mengajakku pulang,
Ong-heng bisa berbuat begitu tanpa menggerakkan Seantero tentara."
Raja Nepal kemekmek, tak dapat ia menjawab perkataan adiknya.
Selang beberapa saat, Peng Go berkata pula dengan suara perlahan:
"Seantero tentara dari negara kita masih belum cukup untuk memenuhi
sebuah lembah gunung Himalaya. Tindakan Ong-heng dengan sesungguhnya
tindakan yang terlalu ceroboh!"
Karena malu, raja Nepal menjadi gusar, tapi terhadap Peng Go yang
cantik dan angker, ia tak berani sembarangan mengumbar napsu.
Sesudah menyapu para menteri dengan matanya yang sangat
berpengaruh, si nona berkata pula: "Dalam hal ini, kalian pun turut
bersalah. Jika raja mau bertindak keliru, adalah kewajiban para menteri
untuk mencegahnya!" Menteri-menteri dan pembesar-pembesar tinggi itu tak
berani mengangkat muka. Biarpun mendongkol, tiada satupun yang membuka
mulut.
Peng Go berdiam sejenak dan kemudian menyambung perkataannya:
"Meskipun ibuku telah meninggalkan negara sendiri, tapi ia telah
dianugerahi Tiatkoen151 oleh Sian-ong (mendiang raja) dan dengan kekuatan
Tiatkoen itu, ia masih boleh mencampuri urusan dalam negara Nepal.
Tiatkoen sekarang berada dalam tanganku.
Demi persahabatan dan kepentingan kedua negara, aku menasehati
supaya Ong-heng segera menarik pulang tentara ini. Manakala Ong-heng
tidak menyetujui, marilah kita menghimpunkan seantero barisan dan
membentangkan pendapat-pendapat kita kepada mereka supaya mereka bisa
menimbangnya dan memberi keputusan yang mengikat."
Raja Nepal terkesiap. Ia merasa seperti juga kepalanya diguyur
dengan air dingin. Ia yakin, bahwa jika tentara Nepal dikumpulkan dan
diminta pendapatnya, mereka pasti akan menunjang usul Pengtjoan Thianlie,
yang mana bisa berarti tergulingnya ia dari tahta kerajaan. Ia mengeluh
dan menyesal, bahwa ia sudah cari-cari penyakit sendiri.
Sedang raja kebingungan, Keng Thian kegirangan, sebab ia tak
menduga kecintaannya bisa bertindak begitu tegas.
Karena tiada jalan lain, sesudah menimbang-nimbang beberapa saat,
raja menyerah juga. "Baiklah," katanya sambil tertawa getir. "Akan tetapi
penarikan tentara memerlukan persiapan beberapa hari. Di samping
persiapan, kita juga harus memerintahkan orang untuk menyingkirkan salju
yang menutup jalanan gunung."
Mendengar jawaban itu, paras muka si nona lantas saja berubah sabar
dan bersinar terang, "Kalau begitu, Ong-heng harus segera bertindak,"
katanya.
Sesudah soal yang penting dapat dibereskan, mereka lalu mulai makan
minum dan bicara dengan gembira.
"Aku mendengar dulu Piauwmoay berdiam dalam istana es yang tak
pernah atau sedikitnya jarang dikunjungi manusia," kata sang raja. "Apa
kau tidak merasa kesepian?"
"Tidak, apalagi aku mempunyai banyak sekali dayang sebagai kawan,"
jawabnya.
Raja tertawa dan berkata pula: "Sebagai seorang yang hidup di
wilayah Tionggoan Piauwmoay tentu tahu ajaran orang Tionghoa. Lelaki
harus menikah, sedang wanita harus keluar pintu. Itulah satu kemestian
dari semua manusia. Jika berdiam terus di Puncak Es, bagaimana kau bisa
memilih Hoema (suami seorang puteri raja)? Maka itu aku telah mengambil
keputusan untuk menyambut kau pulang ke negeri sendiri, supaya aku bisa
mengatur soal pernikahanmu."
Alis si nona berkerut dan ia berkata dengan suara mendongkol:
"Lebih baik Ong-heng mengurus saja urusan-urusan yang penting..."
"Apa pernikahanmu bukan urusan penting?" memotong raja. "Aku adalah
anggauta keluargamu yang terdekat. Mana bisa aku tak memikiri soal itu?"
Paras muka Peng Go lantas saja berubah. "Soal pernikahanku tak
perlu dipikiri Ong-heng," katanya dengan ketus.
Hati raja melonjak. "Apa kau sudah memilih Hoema?" tanyanya.
Peng Go tak menyahut. Perlahan-lahan ia mengangkat kepala dan
melirik Keng Thian yang justeru sedang mengawasinya dengan sorot mata
penuh kecintaan. Si nona jadi kemalu-maluan dan ia menunduk dengan paras
muka bersemu dadu.
Dengan sikap itu, siapapun juga bisa menduga, bahwa Keng Thian
adalah pemuda yang sudah dipilih Pengtjoan Thianlie. Mendadak saja, darah
raja Nepal meluap, hatinya penuh dengan rasa mengiri dan cemburu. "Siapa
dia?" tanyanya dengan nada menghina.
"Ia adalah seorang Hiapkek (pendekar) ternama di wilayah
Tionggoan," jawab Peng Go dengan angkuh. "Ia adalah seorang yang
mempunyai kepandaian tinggi, baik dalam ilmu surat, maupun dalam ilmu
silat."
"Kongtjoe memuji terlalu tinggi," kata Keng Thian. "Di wilayah
Tiongkok, orang yang seperti aku tidak bisa dihitung berapa banyaknya."
Sang raja mendongkol bukan main. Ia hanya mengeluarkan suara di
hidung dan tidak berkata apa-apa lagi.
"Di kaki gunung masih terdapat beberapa orang sahabat," kata
Pengtjoan Thianlie.
"Bagus," kata raja sambil berpaling kepada seorang perwira
"Undanglah mereka semua." Sambil berkata begitu, diam-diam ia mengambil
keputusan mengenai tindakan yang akan diambil olehnya.
Malam itu, sekejappun ia tak pulas. Di depan matanya terbayang-
bayang wajah Pengtjoan Thianlie yang seolah-olah merupakan sekuntum mawar
berduri, boleh dipandang, tak boleh dipegang. Ia tahu Peng Go tak boleh
dibuat gegabah, tapi ia merasa berat untuk melepaskannya dengan begitu
saja. Di lain saat, terbayang pula sikap si nona terhadap Keng Thian dan
tiba-tiba saja hatinya jadi panas sekali. "Tak boleh tidak aku mesti
membinasakan bocah cilik itu," pikirnya dengan rasa jelus.
Pada esokan paginya, ia kembali mengadakan perjamuan untuk para
tamunya di tenda besar. Dalam perjamuan itu, di samping Peng Go dan Keng
Thian, juga turut hadir Tong Say Hoa bersama Tong Toan, Yo Lioe Tjeng
bersama puterinya dan si kacung Kang Lam yang datang atas undangan raja
Peng Go girang bukan main dan minta si nenek Tong duduk di
sampingnya. "Sungguh sukar kami mencari kau," bisiknya: "Bukankah kau
berjalan bersama-sama Kim Sie Ie. Dimana dia?"
"Begitu tiba di kaki gunung, ia lalu meninggalkanku dan naik dengan
kecepatan luar biasa," jawabnya. "Jika aku masih-muda, mungkin sekali aku
masih dapat menyusulnya. Pemuda itu sungguh-sungguh aneh. Hai! Aku
menanggung budi yang sangat besar dan mungkin sekali budi itu tak akan
dapat dibalas olehku. Apakah kau pernah bertemu dengan Leng Kiauw?"
Sebelum Peng Go sempat menjawab, dari ruangan belakang tenda
mendadak muncul sejumlah boesoe yang terdiri dari berbagai kebangsaan,
antaranya terdapat orang Eropa, Arab, India dan sebagainya. Tong Say Hoa
mengawasi dengan hati berdebar-debar, karena di antara mereka terlihat
juga Taichiti yang telah menculik Liong Sam. Ia ingin sekali segera
menanyakan si pendeta tentang Liong Leng Kiauw, tapi sebisa-bisa ia
menahan napsu.
"Sudah lama aku mendengar, bahwa di Tiongkok terdapat banyak sekali
orang pandai," kata raja Nepal sambil tertawa: "Kemarin Kongtjoe telah
memuji Tong Tayhiap sebagai seorang yang berkepandaian sangat tinggi,
sehingga aku merasa sangat kagum. Maka itu, dengan meminjam kesempatan
ini, kapan para boesoe dari berbagai negara berkumpul disini, kami ingin
meminta pengajaran dari Tong Tayhiap, supaya kami bisa membuka mata
terlebih lebar."
Mendengar tantangan itu, Peng Go tersenyum. "Dalam ilmu silat
sebenarnya tiada perbedaan antara negara ini dan negara itu," katanya.
"Dengan berkata begitu, Ong-heng seolah-olah ingin memisahkan orang-orang
yang hadir disini menjadi dua rombongan."
"Tong Tayhiap adalah tamuku yang terhormat dan juga sahabat
Piauwmoay," kata raja dengan menyimpang. "Maka itu, aku ingin sekali
melihat kepandaiannya. Mari! Aku ingin memberi hormat kepada Tong Tayhiap
dengan secawan arak ini!"
Melihat sinar mata raja yang luar biasa, Peng Go merasa curiga,
tapi sebelum ia keburu mencegah, Keng Thian sudah menyambuti cawan itu
dan mencegluk isinya.
"Siapakah yang ingin melayani Tong Tayhiap?" tanya raja.
Taichiti bangun berdiri dan berkata sembari tertawa: "Kemarin
kusudah berkenalan dengan ilmu silat Tong Tayhiap, maka hari ini kuingin
meminta pelajaran lebih jauh." Ternyata pendeta itu sudah bersiap dengan
dua macam senjata:
Tangan kiri mencekal jubah pertapaan yang berwarna merah, sedang
tangan kanannya memegang sebuah martil besar.
"Aku merasa sangat beruntung, bahwa Koksoe sudi memberi pelajaran
kepadaku," kata Keng Thian sambil menghunus Yoeliong kiam.
Raja segera menghadiahkan secawan arak kepada Koksoe-nya dan
memerintahkan orang membuka tenda, supaya pertandingan bisa berlangsung
dengan leluasa.
Tanpa berkata suatu apa lagi, Taichiti, segera mengebut dengan
jubah pertapaannya.
"Jubahmu sudah ditambal cepat sekali!" kata Keng Thian sambil
menangkis dengan pedangnya. "Trang!", si pendeta mendului menghantam
Yoeliong kiam dengan martilnya dan Keng Thian terhuyung beberapa tindak.
"Piauwmoay, pujianmu yang muluk ternyata melebihi kenyataan yang
sebenarnya," kata raja dengan suara mengejek.
Si nona heran bukan main. Biarpun Taichiti bertenaga besar, ia sama
sekali tak percaya, bahwa Keng Thian dapat dipukul sempoyongan dalam satu
gebrakan. Ia merasa pasti, bahwa di dalam itu terselip apa-apa yang luar
biasa
Sesudah memperoleh hasil dalam jurus pertama, si pendeta segera
menerjang seperti singa kelaparan. Dengan jubah dan martil, ia mengirim
serangan-serangan berantai secara ceroboh sekali, seakan-akan tak
memandang Keng Thian sebelah mata. Beberapa kali, garis pembelaannya
terbuka lebar, tapi ia tak menghiraukannya dan terus menyerang secara
membabi-buta.
Mendadak, bagaikan kilat, Keng Thian balas menyerang dengan pukulan
Hoeihong tjeklioe (Angin puyuh mematahkan pohon lioe). Yoeliong kiam
berkelebat laksana kredepan kilat dan "brett!", jubah pertapaan si
pendeta berlubang besar! Keng Thian merangsek dan mengirim dua tikaman
dengan beruntun sehingga si pendeta jadi gelagapan dan coba menangkis
dengan martilnya secara sembarangan. Apa mau pukulan martil itu meleset
dan mengenakan sebuah batu besar yang lantas saja terpukul pecah.
Keng Thian menarik pulang pedangnya dan berkata sambil bersenyum:
"Maju lagi! Aku tak bisa menyerang seekor anjing yang sudah basah kuyup!"
Pengtjoan Thianlie lega hatinya. "Ong-heng, kau lihatlah," katanya
sambil bersenyum manis. "Jika Tong Tayhiap mengirim pula satu tikaman,
bukankah Koksoe-mu yang terutama sudah melayang jiwanya?"
Paras muka raja jadi pucat, sekarang adalah gilirannya sendiri
untuk terheran-heran.
Dalam niatannya untuk membinasakan pemuda yang dianggap sebagai
saingannya, ia telah menggunakan racun. Dalam poci arak yang tadi
digunakannya terdapat dua kotak dengan alat rahasianya Arak dalam kotak
yang satu sudah dicampur dengan semacam rumput beracun yang dinamakan
Pekdjit tjoei (Mabuk seratus hari), sedang arak dalam kotak yang lain
adalah arak biasa Dengan memijit alat rahasia, raja bisa menuang arak
beracun atau arak biasa. Yang diberikan kepada Keng Thian adalah arak
beracun, sedang yang diminum Taichiti arak biasa.
Pekdjit tjoei adalah rumput yang tumbuh di pegunungan Himalaya dan
dapat memabukkan manusia secara hebat sekali. Tapi Keng Thian adalah
seorang yang berpengalaman luas dan sangat berhati-hati. Melihat paras
sang raja yang luar biasa, hatinya merasa tak enak dan diam-diam ia sudah
menelan sebutir Pekleng tan yang terbuat dari Thiansan Soatlian.
Sebagaimana diketahui, Teratai Salju dari Thiansan itu mempunyai khasiat
untuk memunahkan segala macam racun. Jangankan baru Pekdjit tjoei,
sedangkan Khongtjiok tan (Nyali burung merak) yang banyak lebih hebat pun
dapat dipunahkannya.
Sementara itu, Taichiti yang tahu, bahwa rajanya sudah turunkan
tangan jahat, dan menduga, bahwa musuhnya bakal segera roboh karena lemas
dan mabuk, sudah menyerang secara membabi-buta. Ia sama sekali tak pernah
mimpi, bahwa dirinya sendirilah yang ditipu oleh lawannya. Dalam gebrakan
pertama, Keng Thian berlagak terhuyung, sehingga dia jadi semakin besar
hatinya dan kecerobohannya sudah mengakibatkan kekalahannya.
Sesudah mendapat pelajaran getir, Taichiti segera menyerang lagi
dengan hati-hati. Kedua lawan lantas saja bertempur dengan menggunakan
Seantero
kepandaiannya. Dalam sekejap, mereka sudah bertanding seratus jurus
lebih, tanpa ada yang keteter. Jubah pertapaan berkelebat-kelebat
bagaikan awan merah, sedang Yoeliong kiam yang menyilaukan mata menari-
nari di tengah udara. Semua orang mengawasi jalan pertempuran dengan hati
berdebar-debar.
Sesudah kemarinnya mendapat pengalaman dalam pertempuran dengan
Keng Thian, Taichiti tahu, bahwa pedang pemuda itu tajam luar biasa dan
ia tak akan bisa mendapat kemenangan, jika hanya mengandalkan jubah
pertapaan. Maka itu, sekali ini ia menerjun ke dalam gelanggang dengan
membawa juga sebuah martil besar yang beratnya kurang lebih delapan puluh
kati. Walaupun pedang mustika, Yoeliong kiam tak bisa membabat putus
senjata yang begitu besar, apapula lweekang si pendeta ada lebih tinggi
daripada tenaga dalamnya Keng Thian. Dengan demikian biarpun pemuda itu
mengeluarkan Thiansan Kiamhoat yang sangat liehay, sesudah bertempur
ratusan jurus, ia belum juga bisa berada di atas angin.
Selagi pertempuran berlangsung dengan serunya, mendadak turun angin
besar. Angin di Himalaya memang terkenal hebat. Bahwa tentara Nepal
berkemah di suatu lembah, sebagian adalah untuk melindungi diri dari hawa
dingin dan sebagian pula guna menyingkir dari serangan angin.
Bagi si pendeta, turunnya angin merupakan bantuan yang sangat
besar. Didorong dengan tenaga angin, setiap kebutan jubah jadi bertambah
hebat dan dalam sekejap, badan Keng Thian seolah-olah dikurung dengan
awan merah, Keng Thian berusaha keras untuk merobek pula jubah pertapaan
si pendeta, tapi Yoeliong kiam selalu berbentur dengan martil.
Melihat jagonya berada di atas angin, raja bunga hatinya dan
melirik Peng Go sambil mesem-mesem. Tong Say Hoa yang duduk di samping si
nona jadi mendongkol dan berkata sambil menjebi: "Dengan mendapat bantuan
angin, meskipun menang orang tak boleh merasa bangga." Mendengar
perkataan si nenek yang juga menduga, bahwa Keng Thian bakal kalah, hati
Peng Go jadi semakin berkuatir.
Sementara itu, dengan gembira Taichiti menyerang semakin hebat,
sehingga beberapa kali Keng Thian terpaksa melompat mundur. Tiba-tiba
pemuda itu tertawa nyaring dan berkata: "Kau menggunakan dua macam
senjata, sedang aku hanya mempunyai sebatang pedang. Pertempuran ini agak
kurang adil."
Si pendeta tertawa dingin. "Aku tak pernah melarang kau menggunakan
dua macam senjata," katanya dengan sombong.
"Kalau begitu, baiklah," kata Keng Thian seraya mengayun tangan
kirinya. Dengan serentak sejumlah sinar merah menyambar dengan saling
susul dan jubah pertapaan Taichiti ditobloskan dengan belasan Thiansan
Sinbong. Bukan main kagetnya si pendeta. Sebelum ia dapat berbuat suatu
apa, Keng Thian sudah mengayun pula tangan kirinya dan membentak: "Lepas
jubahmu!" Beberapa
Thiansan Sinbong kembali menobloskan jubah itu dan mengenakan
tangan si pendeta yang mencekalnya. Sambil mengeluarkan teriakan
kesakitan, Taichiti melepaskan jubahnya yang lantas saja terbang ke atas
karena tiupan angin dan di lain saat sudah tak kelihatan bayang-
bayangannya lagi.
Sambil menundukkan kepala, Koksoe itu lalu menghilang di antara
tenda-tenda yang ribuan jumlahnya.
Keng Thian membungkuk kepada raja dan berkata sambil bersenyum:
"Koksoe nomor satu dari negara Nepal memang sangat tinggi ilmunya."
Mendengar sindiran itu, raja merasa gusar sekali tapi ia merasa
malu untuk mengumbar napsu. Ia bingung karena orang pandai yang diundang
olehnya belum juga datang dan untuk menutupi rasa malu, ia terpaksa
berkata sambil tersenyum getir: "Dalam negaraku, setiap serdadu dilatih
masak-masak dalam ilmu perang, baik ilmu menunggang kuda, maupun ilmu
melepaskan anak panah. Kami bukan hanya memperhatikan satu-dua boesoe
yang berilmu tinggi."
Mendengar keterangan itu, Tong Say Hoa tertawa dingin. "Apakah
betul?" ia menegas. "Kalau tidak berkeberatan, aku mohon baginda
memanggil beberapa jago melepaskan anak panah supaya aku si tua menambah
pengalaman."
Muka raja lantas saja berubah merah padam karena gusar. Dengan
sekali mengebas tangan, dari dalam beberapa tenda lantas saja keluar
empat orang boesoe yang masing-masing membawa sebuah busur besar. Mereka
itu adalah guru yang mengajar tentara Nepal dalam ilmu melepaskan anak
panah.
Sambil menunjuk ke empat jagonya itu, raja berkata kepada Keng
Thian: "Mereka itu adalah serdadu pilihan dari barisan anak panah. Apakah
Tayhiap bersedia untuk mengadu ilmu dengan mereka?" Dengan
memperkenalkan empat guru itu sebagai serdadu biasa, raja berlaku
licik sekali. Jika Keng Thian menang, kemenangan itu tiada artinya, tapi
kalau kalah, ia akan kehilangan muka, karena sudah dikalahkan oleh orang-
orang yang tidak ternama.
Keng Thian bersenyum, tapi sebelum ia sempat menjawab, Tong Say Hoa
sudah mendului: "Dalam permainan bocah cilik itu. Tong Tayhiap tak perlu
turun tangan sendiri. Hawa disini lembab dan dingin, sehingga urat-uratku
kaku. Biarlah aku saja yang turun untuk main-main sedikit guna melemaskan
urat." Sambil berkata begitu, ia segera berjalan masuk ke dalam
gelanggang.
Bukan main gusarnya raja. "Biarpun negeraku kecil, tapi setiap
orang yang berada dalam tentaraku adalah laki-laki sejati," katanya
dengan suara dingin. "Dan sebagai laki-laki sejati, mereka tentu sungkan
menghina seorang nenek tua!"
Tong Say Hoa mengeluarkan suara di hidung. "Hra!" katanya dengan
nada menyindir. "Memang, memang usiaku sudah lanjut. Kalau disuruh
menjahit, memang kutak bisa. Tapi kalau main panah... huh-huh! Jika
baginda tidak memperkenalkan mereka sebagai jago-jago pilihan, belum
tentu aku kesudian menghadapi bocah-bocah itu!"
Raja mengawasi si nenek dengan sorot mata membenci. "Jika kau mau
cari mampus, akupun tak bisa menolong," katanya di dalam hati. Ia
mengangguk seraya berkata: "Baiklah. Serdaduku menggunakan busur nomor
satu. Busur nomor berapakah yang ingin digunakan olehmu?"
Sebaliknya dari menjawab pertanyaan orang, si nenek berteriak:
"Ambil secawan arak untuk menambah semangatku!"
Sementara itu, beberapa serdadu sudah mengeluarkan sejumlah busur,
dari yang besar sampai yang paling kecil. "Lootaytay (nyonya tua),
beratnya busur yang paling besar kurang lebih seratus kati, sedang yang
paling kecil kira-kira dua puluh kati," kata raja. "Kau boleh memilih
yang manapun juga. Dalam pertandingan ini, sebaiknya Lootaytay berlaku
hati-hati."
Si nenek menyengir dan berkata dengan suara adem: "Aku tak biasa
menggunakan busur. Di negeriku, orang bisa balas menyerang lawannya
dengan tangan kosong. Apakah jago-jagomu belum pernah mempelajari ilmu
itu?"
Ilmu melepaskan anak panah tanpa menggunakan busur belum pernah
dikenal di Nepal dan oleh karenanya, raja tak percaya omongan si nenek.
Ia hanya menduga, bahwa orang tua itu sudah mengaco belo sebab tak kuat
menggunakan busurnya yang paling kecil. Ia tentu saja tak tahu, bahwa di
wilayah Tionggoan, keluarga Tong dikenal sebagai ahli melepaskan senjata
rahasia nomor satu di kolong langit.
Setindak demi setindak, dengan gerakan loyo, Tong Say Hoa masuk ke
dalam gelanggang dan lalu duduk di tengah-tengah dengan napas agak
tersengal-sengal. Melihat lagak si nenek, ke empat jago Nepal jadi merasa
bingung. Sebagai guru-guru ternama, mana mereka tega menyerang seorang
tua yang tidak bersenjata?
"Eh-eh! Mengapa kamu diam saja?" tanya si nenek. "Apa kamu tak
berani melawan aku si tua?"
Dua antara ke empat guru itu mengerti bahasa Han dan satu antaranya
tak dapat menahan sabar lagi "Baiklah," katanya. "Aku akan memanah tusuk
konde giok di atas kepalamu. Hati-hati, jangan bergerak!" Berbareng,
dengan menjepretnya busur, sebatang anak panah menyambar ke atas kepala
Tong Say Hoa.
Si nenek memperlihatkan sikap acuh tak acuh. Begitu lekas anak
panah mendekati kepalanya, bagaikan kilat tangannya bergerak dan anak
panah itu sudah kena ditangkap. Sambil tertawa dingin, ia menancapnya di
tanah seraya berkata: "Eh, mengapa yang lain tidak memanah?"
Si guru terkejut dan lalu melepaskan anak panah yang kedua. Seperti
yang pertama, anak panah itu juga ditangkap dengan mudah sekali dan lalu
ditancap di tanah.
Seorang kawannya jadi gergetan dan tanpa mengeluarkan sepatah kata,
ia memanah tenggorokan Tong Say Hoa. "Celaka!" seru si nenek sambil
membuka mulutnya dan anak panah itu lantas saja masuk ke dalam mulut.
"Ah! Mengapa kau membinasakan dia?" kata seorang guru lain dengan
suara menyesal.
Mendadak Tong Say Hoa membuka mulutnya dan menyemburkan anak panah
itu yang lantas saja menancap di tanah. "Baik juga gigiku masih cukup
kuat," katanya sambil tertawa. Ilmu menangkap senjata rahasia dengan
menggunakan gigi adalah salah satu ilmu istimewa dari keluarga Tong.
"Hei!" seru si nenek. "Mengapa kamu begitu tolol? Sudah begitu lama, baru
melepaskan tiga batang yang tiada artinya!"
Sekarang keempat guru itu benar-benar gusar. Dengan berbareng empat
busur menjepret dan bagaikan kilat empat batang anak panah menyambar.
Dengan tubuh tak bergerak, tangan Tong Say Hoa bekerja. Dalam sekejap, di
seputar tempat duduknya sudah penuh dengan anak panah yang merupakan
pagar.
Dengan kedua tangan terus menangkap anak-anak panah yang menyambar-
nyambar, si nenek berteriak berulang-ulang: "Terlalu lambat! Cepat! Cepat
sedikit!"
Hati keempat guru itu panas bukan main. Tanpa sungkan-sungkan lagi,
mereka segera memanah dengan menggunakan ilmu Liantjoetjian (Anak panah
berantai) yang terkenal liehay. Bagaikan hujan gerimis, anak-anak panah
itu lalu menyambar-nyambar dengan saling susul dan tidak henti-hentinya.
"Tong Say Hoa lantas saja mengubah gerakan tangannya. Begitu
menangkap, ia melontarkan dan anak panah yang dilontarkan membentur anak
panah yang lain, yang lantas saja mengikut terbang balik. Dengan
menggunakan Iweekang yang sangat tinggi, ia balas menyerang, tapi ia juga
sungkan melukakan orang dan anak-anak panah itu menancap di seputar ke
empat jago Nepal tersebut.
Muka keempat guru itu jadi pucat bagaikan mayat. Dalam sekejap,
semua anak panah yang tersimpan dalam kantong senjata, sudah habis
digunakan. Tiba-tiba si nenek berteriak: "Awas! Jaga busurmu baik-baik!"
Sambil mengempos semangat, ia mengayun kedua tangannya dan melemparkan
empat batang anak panah yang terakhir. Bagaikan kilat dan dengan suara
nyaring, empat batang anak panah itu menyambar dengan dahsyatnya. Keempat
orang itu terkesiap. Untuk menolong jiwa, mereka menangkis dengan busur
yang dicekalnya. Berbareng dengan terdengarnya suara "pletak!" empat
busur itu patah serentak!
Dengan kemalu-maluan, mereka melemparkan busur mereka di tanah dan
lalu mundur sambil menundukkan kepala. Perlahan-lahan Tong Say Hoa bangun
berdiri dan sambil berpaling kepada raja, ia berkata seraya bersenyum:
"Bagaimana? Bagaimana dengan kepandaian si nenek tua?" Muka raja merah
padam, bahna malu dan gusarnya. Si nenek kembali mesem dan sambil
menggapai, ia berteriak: "Lioe Tjeng! Cobalah kau memperlihatkan serupa
pertunjukan untuk menambah kegembiraan."
Ketika itu, angin sudah mereda dan kawanan burung pada terbang
masuk ke dalam lembah untuk melindungi diri dari serangan salju dan angin
di luar lembah. Lioe Tjeng segera mengeluarkan busur dan peluru sambil
menuding dua baris burung gan yang sedang terbang di angkasa, ia
berteriak: "Peluru pertama akan menghantam mata kiri burung gan di
barisan sebelah kiri, peluru kedua akan mengenakan mata kanan burung yang
terbang di barisan sebelah kanan!" Hampir berbareng, busur yang
dicekalnya menjepret dua kali dan sesaat kemudian, dua ekor burung
melayang turun ke bumi.
Dua antara guru panah yang barusan dijatuhkan oleh si nenek, segera
memungut dua bangkai burung itu dan memeriksa lukanya. Mereka kagum bukan
main karena luka kedua burung itu adalah tepat dengan yang dikatakan Lioe
Tjeng. Itulah serupa kepandaian yang benar-benar belum pernah dilihat
mereka. Mau tak mau, raja pun mengakui keliehayan lawan dan ia hanya bisa
mengawasi dengan mulut ternganga.
Sesudah memperlihatkan kepandaiannya, si nenek bersama Yo Lioe
Tjeng segera kembali ke tempat duduknya.
Raja Nepal jadi semakin bingung. "Apakah orang-orang Han ini dewa-
dewi yang turun ke dunia?" tanyanya di dalam hati. "Racun yang1 hebat tak
dapat mencelakakannya, sedang seorang nenek bangkotan mempunyai
kepandaian yang begitu luar biasa." Ia tak bisa mendapat jalan yang baik
guna menjatuhkan Keng Thian, sedang seorang berilmu yang ditunggu-tunggu
tak kunjung datang.
Selagi ia kebingungan, tiba-tiba seorang boesoe bangsa Eropa yang
berambut kuning dan bermata biru bangun berdiri dan mengucapkan kata-kata
yang tak dimengerti oleh Peng Go dan kawan-kawannya. Seorang juru bahasa
segera menyalinnya. Orang Eropa itu, yang bernama Smith mengatakan, bahwa
ia mendengar di Tiongkok terdapat ilmu menotok jalanan darah yang dapat
membinasakan manusia. Menurut katanya di Eropa pun terdapat ilmu semacam
itu yang dapat menghentikan pengaliran darah. Maka itu, ia ingin sekali
bisa menjajal ilmu dengan seorang ahli Tionghoa.
Keng Thian jadi gembira, tapi sebelum ia menyambut tantangan itu,
tiba-tiba Kang Lam bangun berdiri sambil tertawa haha-hihi. "Tong
Tayhiap, tanganku gatal sekali," katanya. "Bolehkah kuturun tangan dalam
gebrakan ini?"
"Bagus!" kata Keng Thian sambil mengangguk. "Hampir-hampir aku
lupa, bahwa di antara kita terdapat seorang ahli tiamhiat."
Kang Lam girang bukan main dan sambil tertawa-tawa, ia melompat ke
tengah gelanggang.
Melihat yang maju ke gelanggang adalah seorang bocah cilik, raja
jadi mendongkol, tapi teringat pengalamannya dengan si nenek, ia tak
berani memandang enteng lagi. Di lain pihak, boesoe Eropa itu berteriak-
teriak sambil menuding Kang Lam. Ia ternyata merasa tak senang karena
dihadapi dengan tandingan bocah cilik. Si nakal yang tak mengerti bahasa
itu, segera menuding lawannya dan mengeluarkan kata-kata seperti yang
dikatakan oleh orang itu.
Si boesoe Eropa jadi gusar bukan main dan sambil membentak keras,
ia menubruk. Karena melihat Kang Lam yang masih kekanak-kanakan, ia
merasa tak tega untuk menyerang dengan menggunakan ilmu "menutup jalanan
darah" dan hanya ingin memberi hajaran kepada si bocah yang dianggap
kurang ajar sekali. Tapi di luar dugaan, Kang Lam yang pernah mempelajari
ilmu Tjoanhoa yauwsoe (Bermain-main di antara bunga dan pohon) di hutan
batu, licin bagaikan lindung dan tak dapat ditangkap atau dihajar dengan
begitu saja. Sebagai akibatnya, apa yang tertampak dalam gelanggang
bukanlah pertempuran, tapi semacam main petak yang menggelikan hati.
Boesoe Eropa itu naik darahnya. "Jika kau terus main gila, kutak
akan sungkan-sungkan lagi!" teriaknya.
Kang Lam menyengir dan lalu berteriak dengan meniru kata-kata itu.
Si boesoe tak dapat menahan sabar lagi dan lalu mengeluarkan
semacam senjata yang luar biasa. Senjata itu yang terbuat daripada perak,
menyerupai gagang pena dan panjangnya kurang lebih tujuh dim, dengan
kedua ujungnya berbentuk lancip. Begitu mencabut senjata, begitu ia
menusuk. Kang Lam melompat ke belakang, tapi... "gagang pena" perak itu
mendadak mulur beberapa dim dan menyentuh dada. Ternyata senjata itu
diperlengkapi dengan alat rahasia, sehingga bisa pendek dan bisa panjang.
Begitu tertotok Kang Lam merasa badannya kesemutan. Pada
hakekatnya, ilrhu menutup jalanan darah dari si orang Eropa adalah
bersamaan dengan tiamhoat dari orang Tionghoa. Dengan memperhatikan jam
dan menit, ia bisa menotok dan menghentikan aliran darah di tubuh
lawannya. Tapi sebagaimana diketahui, dari Hongsek Toodjin Kang Lam telah
mendapat serupa ilmu untuk mengacaukan jalan darah sendiri, sehingga
walaupun jalanan darahnya tertotok, ia tak roboh. Ia hanya merasa
kesemutan, tapi tak sampai terluka.
Melihat si-bocah tak bergeming karena totokannya, bukan main
kagetnya si boesoe Eropa. Dengan cepat ia segera menusuk lagi, sekali ini
ke arah pergelangan tangan Kang Lam. "Setan!" bentak si bocah sambil
menyambut dengan pukulan Soentjhioe kianyo (Tangan menuntun kambing) yang
ia dapat dari Tan Thian Oe. Dengan satu tangan ia menangkap sikut si
boesoe dan tangannya yang lain coba merampas senjata lawan. Tapi si orang
Eropa mempunyai tenaga yang sangat besar. Dengan sekali menggentak, Kang
Lam terhuyung, dan hampir berbareng "gagang pena" itu mengeluarkan jarum
tajam yang lalu ditusukkan ke lutut si bocah. Kali ini pena itu bukan
digunakan untuk menutup jalanan darah, tapi dipakai sebagai jarum
injeksi.
Harus diketahui, bahwa "gagang pena" tersebut terdiri dari tiga
bagian. Bagian pertama adalah "gagang pena" itu sendiri, bagian kedua
jarum tumpul yang digunakan untuk menotok jalanan darah dan bagian ketiga
jarum tajam yang digunakan untuk menginjeksi racun ke dalam tubuh musuh.
Begitu tertusuk Kang Lam mengeluarkan teriakan kesakitan dan ia
merasa lututnya lemas baal. Ia menduga, bahwa jalanan darahnya kena
ditotok dan lalu berteriak dengan suara gusar "Bangsat! Apa kau kira,
hanya kau yang bisa tiamhiat? Jaga totokanku!" Ia melompat sambil menotok
dengan jerijinya yang mengenakan tepat pada jalanan darah Hoen-hiat, di
bawah katek lawannya. Boesoe Eropa itu mengaum seperti harimau terluka
dan roboh tanpa berkutik lagi.
Sesudah lawannya roboh, dengan terpincang-pincang ia menghampiri
Keng Thian seraya berkata: "Tong Tayhiap, ilmu mengacau aliran darah tak
manjur lagi. Coba tolong buka jalanan darahku."
Keng Thian segera memeriksa luka si bocah dan melihat lutut itu
bengkak merah. "Kau bukan kena ditotok," katanya sambil tertawa. "Minum
saja secawan arak."
Sehabis berkata begitu, diam-diam ia memasukkan sebutir Pekleng tan
ke dalam cawan yang berisi arak, yang lalu diberikan kepada Kang Lam.
Benar saja begitu mencegluk arak, rasa kesemutan dan baal pada lututnya
lantas saja hilang.
Sambil tertawa haha-hihi Kang Lam berpaling kepada raja dan
berkata: "Baginda, jagoanmu benar-benar tak tahu malu! Dia bukan
mengunakan ilmu tiamhoat, tapi jarum beracun. Lihatlah! Aku sudah
merobohkannya dengan ilmu tiamhoat tulen. Dalam pertandingan ini, akulah
yang menang, bukan?"
Selebar muka raja jadi merah karena malu dan gusar. Ia tak dapat
mengeluarkan sepatah kata, sebab jagonya memang sudah dikalahkan.
Tiba-tiba beberapa boesoe Eropa lainnya berteriak-teriak. Sesudah
gagal dalam usaha menolong kawannya yang dirobohkan Kang Lam, mereka
menduga jiwa kawan itu sudah tak bisa ditolong lagi. Maka itu, mereka
berteriak-teriak untuk minta Kang Lam mengganti jiwa.
Sesudah maksud teriakan itu diterangkan oleh juru bahasa Kang Lam
menjebi dan berkata dengan suara nyaring: "Hei! Kamu sungguh-sungguh tak
mengenal malu! Siapa suruh dia menantang? Siapa suruh dia mencari mampus?
Minta ganti jiwa? Tak malu kamu!"
Raja Nepal pun menganggap, bahwa permintaan mengganti jiwa adalah
tak pantas. Seorang yang berani maju ke dalam gelanggang pertandingan
silat, memang harus bersedia untuk dibinasakan oleh lawannya. Maka itu,
ia lalu berkata dengan suara memohon: "Benar. Memang benar kami tak
berhak untuk minta ganti jiwa. Tapi apakah Siauwhiap (pendekar kecil)
dapat menolongnya?"
Kang Lam girang setengah mati karena ini adalah untuk pertama kali
orang memanggil "Siauwhiap" kepadanya. Dengan paras muka berseri-seri, ia
berkata: "Aku... aku... Guruku hanya mengajar tiamhiat, belum pernah
mengajar kayhiat (membuka jalanan darah). Siapa suruh dia banyak lagak?
Kalau tak punya kemampuan, paling baik jangan menentang orang."
Raja merasa putus harapan. "Habis bagaimana baiknya?" tanyanya
pula.
"Ada jalan," kata Kang Lam sambil menunjuk Keng Thian. "Siauwhiap
tak mampu, tapi ada Tayhiap. Tong Tayhiap bukan saja bisa membuka jalanan
darah, tapi ia malah mampu menghidupkan manusia yang sudah mati."
Raja jadi girang dan lalu memohon pertolongan pemuda itu.
Keng Thian merasa geli dalam hatinya. "Baiklah," katanya sambil
tertawa. "Aku boleh mencoba-coba, tapi belum tentu berhasil. Mintalah
orang-orang yang berkerumun menyingkir ke pinggir."
Raja segera memerintahkan juru bahasa memberitahukan boesoe-boesoe
Eropa itu yang lantas saja membuka jalan untuk Keng Thian. Tapi pemuda
itu tidak bergerak dari tempat berdirinya. Ia hanya membungkuk dan
memungut sebutir batu kecil yang lalu dilontarkan ke arah si boesoe yang
menggeletak di tanah. Begitu lekas batu itu menyentuh alisnya, ia
mengeluarkan teriakan keras dan di lain saat, ia sudah bisa bangun
berdiri!
Melihat kepandaian yang luar biasa itu, semua orang kaget berbareng
kagum. Si boesoe yang ditolong dan beberapa kawannya segera menghampiri
dan menghaturkan terima kasih kepada Keng Thian.
Selagi Kang Lam tertawa haha-hihi dengan gembiranya, tiba-tiba
suasana berubah. Raja dan semua orang Nepal yang berada disitu kelihatan
kaget, seolah-olah terjadi suatu perubahan yang luar biasa!
Sekonyong-konyong Raja Nepal mengeluarkan teriakan girang dan
bangun berdiri. Di lain saat, dari sebelah kejauhan kelihatan muncul dua
orang aneh yang pincang kedua kakinya dan mendatangi dengan menggunakan
tongkat. Mereka itu bukan lain daripada si orang aneh yang ingin
memutuskan kedua kaki Kang Lam di Honghotay. Melihat mereka, si bocah
mengeluarkan keringat dingin dan tak berani tertawa lagi.
Di pundak salah seorang terdapat satu jubah pertapaan warna merah,
milik Taichiti yang tadi terbang ditiup angin dan yang telah diketemukan
mereka.
Begitu tiba, dengan mata yang sangat tajam, mereka menyapu semua
orang yang berada disitu. Tiba-tiba orang yang membawa jubah mencabut
sebatang Thiansan Sinbong dari jubah itu. "Siapa punya senjata ini?"
tanyanya.
Raja buru-buru bangun dari kursinya dan memperkenalkan mereka: "Ini
adalah Tong Tayhiap, seorang pendekar kenamaan di wilayah Tionggoan.
Kedua tuan itu adalah orang-orang beribadat yang sangat terkenal namanya
di negeri Arab. Yang di sebelah kiri adalah Tunhuman dan yang di sebelah
kanan Asia. Guru mereka adalah seorang yang berilmu paling tinggi di
daerah Eropa Timur dan di negara Arab."
Keng Thian membungkuk sambil merangkap kedua tangannya. "Sinbong
itu adalah milikku," katanya.
Kedua orang aneh itu menatap wajah Keng Thian dan sambil memberi
hormat, salah seorang berkata: "Kami merasa beruntung, bahwa kita bisa
bertemu pula di tempat ini. Kami ingin sekali meminta pelajaran dari Tong
Tayhiap."
Mendengar perkataan itu, raja merasa heran, karena ia tak menduga,
bahwa mereka sudah pernah bertemu muka.
Sebagaimana diketahui, pada malam itu di Honghotay, Tunhuman dan
Asia tidak, bertemu muka dengan Keng Thian dan mereka kabur karena
diserang dengan Thiansan Sinbong. Tadi, ketika memungut jubah pertapaan
Taichiti di luar lembah, mereka mendapatkan senjata rahasia itu yang
menancap di jubah tersebut dan oleh karenanya, mereka menganggap, bahwa
orang yang menjadi tamu Raja Nepal adalah Tong Siauw Lan. Sesudah
menimbang-nimbang beberapa lama, dengan memberanikan hati, mereka datang
juga ke lembah itu. (Bercacatnya kaki mereka adalah sebab diserang dengan
Thiansan Sinbong oleh Tong Siauw Lan). Sekarang, melihat Tong Siauw Lan
tidak berada disitu, hati mereka jadi lega dan segera menantang Keng
Thian.
Mendengar tantangan itu, Keng Thian segera berkata dengan suara
tenang: "Harap Djiewie sudi mengusulkan caranya kita mengadu ilmu."
Sambil berkata begitu, diam-diam ia memutar otak untuk mencari jalan guna
memunahkan pukulan Imyang Tjianglek dari kedua lawan itu.
Sesudah berdamai dengan bisik-bisik, Tunhuman berkata: "Kami berdua
mendapat pelajaran dari satu guru. Menurut kebiasaan, melawan satu orang,
kami maju berdua, melawan seribu orang, kami pun maju berdua. Maka itu,
dalam pertandingan melawan Tayhiap, kami pun harus maju dengan
berbareng,"
Keng Thian terkejut. Jika melawan satu orang, mungkin ia masih bisa
memperoleh kemenangan, tapi kalau mereka maju dengan berbareng, ia merasa
tak ungkulan untuk memecahkan Imyang Tjianglek. Sedang hatinya keder,
paras mukanya sedikitpun tidak berubah, sebab ia tahu, tak dapat ia
memperlihatkan kelemahan di hadapan Raja Nepal. Ia mengangguk seraya
menjawab: "Bagus! Bagus! Biarlah dengan sendirian aku menghadapi kalian
berdua."
"Tong Tayhiap adalah tamu terhormat dari paduka raja, sehingga jika
kita bertanding secara boe (dengan menggunakan kekerasan, berkelahi
sungguh-sungguh), aku kuatir akan merenggangkan persahabatan," kata
Tunhuman.
Keng Thian girang. "Baiklah," katanya. "Kalau begitu, kita menjajal
tenaga secara boen saja (tanpa menggunakan kekerasan, tanpa berkelahi
betul-betul). Sudikah Djiewie mengajukan usul?"
"Biarlah kita bertanding dalam ilmu mengentengkan badan," kata
Tunhuman.
Mengapa mereka mengajukan usul itu?
Sesudah dirobohkan oleh Tong Siauw Lan, hati mereka selalu merasa
keder. Mendengar Keng Thian she "Tong" dan juga pandai menggunakan
Thiansan Sinbong, mereka sudah menduga, bahwa pemuda itu adalah puteranya
Siauw Lan yang mungkin sekali memiliki kepandaian tinggi. Maka itu,
mereka tidak berani menantang untuk bertempur secara boe.
Usul itu sudah mengejutkan semua orang, terhitung juga Keng Thian.
Tulang lutut kedua orang itu dihancurkan Thiansan Sinbong dan biarpun
sudah diobati sekian lama, mereka masih memerlukan tongkat untuk
berjalan. Dengan adanya kenyataan tersebut, usul itu sungguh-sungguh tak
bisa dimengerti.
Sementara itu, sambil bersenyum Tunhuman sudah berkata pula:
"Tempat yang menjadi titik terakhir dari perlombaan kita adalah
puncak gunung yang terletak di sebelah selatan. Siapa yang tiba lebih
dulu di atas puncak, dialah yang menang."
Tong Say Hoa tertawa dingin. "Tapi di pihakmu terdapat dua orang,"
katanya. "Bagaimana jika yang satu tiba lebih dulu dan yang lain tiba
lebih belakang dari Tong Tayhiap?"
"Kalau menang, kami harus menang berdua, jika kalah, kami kalah
berdua," jawab Tunhuman. "Jika salah satu di antara kami berada di
belakang Tong Tayhiap, kamilah yang kalah."
Tong Say Hoa tidak dapat mengatakan suatu apa lagi, karena jawaban
itu justeru menguntungkan Keng Thian.
Tunhuman mencegluk secawan arak dan kemudian melemparkan cawan
kosong ke tengah udara. Ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Udara
sangat bagus, sekarang saja kita mulai. Kalau turun angin, kita sukar
bertanding."
Semua orang mendongak dan mengawasi puncak gunung di sebelah
selatan yang menjadi titik terakhir dari perlombaan itu. Puncak itu yang
tingginya ribuan tombak, tertutup salju sehingga, dipandang dari jauh,
seolah-olah satu sekosol yang terbuat dari batu giok putih. Di bawah
sorotan matahari, "sekosol" itu memancarkan sinar beraneka warna yang
gilang-gemilang dan menyilaukan mata. Semua orang memandangnya sambil
menahan napas, bagaimana seorang manusia bisa memanjat puncak yang
sedemikian licin dan tebing?
Belum sempat Keng Thian menjawab tantangan itu, tiba-tiba Pengtjoan
Thianlie bangun dari kursinya sambil bersenyum. "Tong Tayhiap baru saja
bertanding dengan Koksoe terutama dari negara kami," katanya dengan suara
merdu. "Adalah kurang pantas jika kita membuat seorang tamu terlalu
capai. Maka itu, biarlah aku saja yang melayani kedua Taysoe dalam
pertandingan ini. Dalam persilatan tak ada perbedaan negara atau bangsa.
Kalau kita terlalu mendesak Tong Tayhiap, ia mungkin merasa diperlakukan
sebagai orang luar."
Tunhuman jadi bingung. "Kongtjoe adalah seorang yang sangat mulia,
tak dapat Kongtjoe sembarangan maju dalam gelanggang pertandingan,"
katanya.
Si nona tertawa seraya berkata: "Waktu masih berdiam di Puncak Es,
kusudah biasa mundar-mandir di gunung yang tertutup salju. Jika aku
kalah, barulah Tong Tayhiap yang melayani Djiewie. Dengan demikian, kita
tak bisa dikatakan menarik keuntungan selagi lawan masih letih."
Tunhuman dan Asia adalah orang-orang yang kenamaan. Mendengar kata-
kata Peng Go yang seperti juga menuduh, bahwa mereka mau menarik
keuntungan selagi Keng Thian masih letih, mereka lantas saja jadi
mendongkol dan mengangguk dengan berbareng. "Baiklah," kata Tunhuman.
"Jika Kongtjoe mengatakan begitu, kami tak bisa berbuat lain daripada
melayaninya. Kami mengharap baginda sudi memaafkan kelancangan kami."
Raja Nepal tak menyahut. Sesudah berpikir beberapa saat, barulah ia
berkata: "Baiklah, Aku hanya minta supaya Piauwmoay menyayang diri
sendiri dan jangan berlaku ceroboh." Melihat puncak yang begitu tebing
dan berbahaya, di dalam hati ia sebenarnya merasa berkuatir. Sekali
terpeleset, si nona bisa lantas binasa. Tapi sementara itu, ia juga
ingat, bahwa kemungkinan mengambil Peng Go sebagai permaisuri, adalah
sangat tipis. Jika Pengtjoan Thianlie binasa, paling banyak dia dan Keng
Thian sama-sama tak bisa mendapatkan nona yang cantik itu. Sebegitu jauh
mengenai kepentingannya sendiri,
kebinasaan Peng Go adalah menguntungkan, karena dengan demikian,
kedudukannya di atas tahta kerajaan Nepal tidak terancam lagi. Itulah
sebabnya, sesudah menimbang-nimbang beberapa saat, ia segera memberi
permisi.
Mendengar sang puteri akan turun sendiri ke dalam gelanggang
pertandingan, segenap tentara Nepal jadi kaget, berkuatir dan girang.
Dengan serentak, laksaan manusia keluar dari ribuan tenda untuk
menyaksikan pertandingan yang luar biasa itu.
Perlahan-lahan, bersama Tunhuman dan Asia, Pengtjoan Thianlie
berjalan ke kaki puncak dan berdiri berjejer untuk menunggu pertandaan
yang akan diberikan oleh raja.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba Asia berkata.
"Ada apa?" tanya si nona.
"Pertandingan kita ini namanya satu kali, tapi sebenarnya dua kali
pertandingan," jawabnya. "Sesudah tiba di puncak, kita harus turun lagi.
Siapa yang tiba lebih dulu disini, dialah yang menang dengan menggunakan
peraturan seperti waktu naik gunung."
"Tentu saja, sesudah tiba di puncak, kita harus kembali," kata Peng
Go. "Baiklah. Mari kita mulai." Sehabis berkata begitu, ia mengulapkan
tangan, sebagai tanda, bahwa mereka sudah siap sedia.
Dalam mengajukan usul tadi, Asia ternyata lebih hati-hati daripada
Tunhuman. Sebelum menang, ia sudah memikir kalah. Dengan mengingat, bahwa
sang puteri bergelar Pengtjoan Thianlie, atau Bidadari dari Sungai es, ia
menaksir, bahwa Peng Go memang mempunyai kepandaian luar biasa dalam ilmu
memanjat gunung. Maka itu, ia segera membagi perlombaan tersebut menjadi
dua babak. Jika pihaknya menderita kekalahan dalam babak pertama, ia
percaya akan mendapat kemenangan dalam babak kedua.
Melihat ulapan tangan si nona, raja segera memerintah seorang
pengawal pribadinya melepaskan sebatang anak panah nyaring sebagai tanda
dimulainya pertandingan. Dengan sekali menekan kedua tangannya di tanah,
tubuh Tunhuman segera melesat ke atas kira-kira tiga tombak tingginya,
dengan kepala di bawah, kaki di atas. Apa yang mengherankan semua orang,
ialah begitu tiba di atas, badannya seolah-olah terpaku di tembok salju.
Hampir berbareng, tubuh Asia pun "terbang" dan satu tangannya menjambret
tangan Tunhuman. Di lain saat, sambil menekan tangan saudaranya, ia
mengenjot tubuh dan kembali melesat beberapa tombak tingginya, akan
kemudian "menempel" di tembok salju. Sekarang giliran Tunhuman untuk
mengulangi perbuatan Asia dan dalam sekejap, dengan kerja sama seperti
itu, mereka sudah naik beberapa puluh tombak tingginya. Melihat
kepandaian yang istimewa itu, dengan serentak tentara Nepal bersorak-
sorai.
Ternyata, sesudah mereka bercacat, Tunhuman dan Asia telah
menggubah berbagai cara kerja sama dalam macam-macam ilmu. Untuk
pertandingan mendaki gunung, mereka sudah mempunyai persiapan yang
sempurna. Kedua tangan mereka memakai sarung tangan yang pada ujung-ujung
jerijinya terdapat besi-besi lancip untuk menancapkan jeriji-jeriji di
salju atau es yang keras. Itulah sebabnya, mengapa mereka tak bisa turun
ke gelanggang seorang diri. Pengtjoan Thianlie mengawasi kedua lawannya
sambil bersenyum dan sesudah mengempos semangat, ia segera melompat ke
atas. Sekarang para penonton menyaksikan ilmu yang lebih luar biasa lagi.
Begitu kedua kakinya menyentuh tembok salju, tanpa bertindak lagi, badan
si nona terus meluncur ke atas, seperti cara orang bermain ski.
Nepal adalah sebuah negara yang banyak gunungnya dan banyak pula
saljunya, sehingga ilmu bermain ski adalah ilmu yang dikenal umum. Tapi
dalam permainan ski, orang harus menggunakan alat-alat dan dalam olah
raga itu, seseorang hanya bisa menyerosot ke bawah dan tak mungkin
meluncur ke atas. Maka itulah, begitu Peng Go mempertunjuki
kepandaiannya, sorak-sorai bergemuruh di seluruh lembah. Keng Thian
sendiri yang sudah mengenalnya beberapa tahun, baru sekarang mengetahui,
bahwa Peng Go memiliki ilmu yang luar biasa itu.
Bagaikan kilat, Pengtjoan Thianlie dan kedua lawannya mendaki
puncak itu dengan saling susul. Sebentar si nona yang berada di depan,
sebentar kedua lawannya yang naik lebih dulu. Biar bagaimanapun jua,
Tunhuman dan Asia agaknya masih kalah cepat, karena mereka harus meminjam
tenaga untuk melesat ke atas. Saban kali ketinggalan, pada saat-saat
itulah, si nona bisa menyusul dan melewati lawannya. Semakin lama, mereka
naik semakin tinggi, hingga para penonton berkunang-kunang matanya dan
sukar bisa melihat tegas, siapa yang unggul dan siapa yang kalah.
"Eh," kata Kang Lam sambil menyentuh lengan Keng Thian dengan
jerijinya. "Siapa yang menang?"
Pemuda itu yang sedang mengawasi ke atas tanpa berkesip tidak
meladeni. Tiba-tiba Keng Thian mengeluarkan teriakan kegirangan, sehingga
cawan yang sedang dicekalnya jatuh di tanah.
"Ada... apa?" tanya si kacung.
"Kongtjoe menang!" jawabnya.
Ternyata, pada detik hampir tiba di titik yang terakhir, dengan
menggunakan seantero tenaganya, Tunhuman melesat ke atas lima enam tombak
tingginya dan berhasil melewati Peng Go. Si nona pun segera mengempos
semangat dan menyusul dengan meninggalkan Asia di belakangnya. Dengan
demikian, Tunhuman tiba paling dulu di titik terakhir, kedua Peng Go dan
ketiga Asia. Tapi sebagaimana sudah dijanji, untuk memperoleh kemenangan,
Tunhuman dan Asia harus menang bersama-sama dan jika ada satu saja yang
kalah, pihak mereka dihitung kalah. Maka itu, Keng Thian sudah
mengatakan, bahwa kemenangan diperoleh oleh Pengtjoan Thianlie.
Untuk sementara waktu mereka mengasoh di puncak itu. Sedang kedua
lawannya sudah kehabisan napas, Peng Go masih tetap segar. Sambil
bersenyum ia berkata: "Aku menang atas Asia, tapi kalah dari Tunhuman.
Menurut perjanjian, akulah yang menang dalam perlombaan ini. Tapi
kumerasa tak enak hati. Begini saja: Kali ini kita seri, tiada yang
menang, tiada yang kalah. Bagaimana? Apa cukup adil?"
Tunhuman yang napasnya masih sengal-sengal, tak bisa lantas
menjawab. "Jika Kongtjoe mengatakan begitu, kami hanya bisa menghaturkan
terima kasih atas kebaikan itu," kata Asia. "Sekarang marilah kita
mencoba-coba dalam babak kedua."
Melihat sifat ksatria dari sang puteri, kedua orang itu jadi kagum
bukan main. Sesudah mereka mengasoh beberapa lama, Raja Nepal segera
memerintahkan seorang pengawal pribadinya melepaskan lagi anak panah
sebagai pertanda dan dengan berbareng, ketiga orang yang berada di puncak
segera menyerosot turun.
Dalam perlombaan kedua, Tunhuman dan Asia juga menggunakan cara
yang tadi. Tapi perbedaannya ialah, kalau waktu naik sekali melesat
mereka hanya bisa mencapai empat lima tombak, kali ini, sekali melompat,
mereka bisa meluncur ke bawah belasan tombak. Mereka cepat, Pengtjoan
Thianlie lebih cepat lagi. Hal ini bisa dimengerti, karena menyerosot
turun menurut cara si nona, adalah banyak lebih mudah daripada meluncur
ke atas, Dalam sekejap, ia sudah tiba di tengah-tengah puncak dan
meninggalkan kedua lawannya di sebelah belakang.
Tunhuman jadi bingung. Sesaat itu, angin Himalaya mulai meniup
dengan santer. Ia girang dan dengan menggunakan tudungnya yang
menggemblok di punggung sebagai layar, ia "terbang" ke bawah.
Selagi Tunhuman lewat di sampingnya, sambil bersenyum Peng Go
berkata: "Kau harus berhati-hati!" Tapi Tunhuman yang tengah memusatkan
seluruh tenaganya dan perhatiannya, tak menjawab nasehat itu.
Angin meniup semakin hebat.
Asia lewat di depan Tunhuman. Baru saja jeriji Asia menancap di
tembok es, Tunhuman sudah menyusul dari belakang. Karena tak keburu
menjambret tangan saudaranya, ia terpaksa menekan pundak Asia untuk
meminjam tenaga. Pada detik itulah, angin menyambar hebat luar biasa,
sehingga Asia yang jerijinya belum menancap dalam di es dan pundaknya
didorong dari belakang, lantas saja tergelincir ke bawah, berikut
saudaranya. Bagaikan bola, mereka menggelinding dengan kecepatan yang
menakuti di tebing yang tingginya ribuan tombak! "Habislah sekali ini!"
mereka mengeluh di dalam hati.
Tapi orang-orang yang menonton di bawah sebagian besar tak tahu
terjadi kecelakaan itu. Mereka malahan menganggap kedua orang itu
menggunakan ilmu luar biasa dan diam-diam mereka merasa menyesal, karena
menduga si nona bakal dikalahkan.
Tiba-tiba kembang salju muncrat berhamburan. Ternyata, tubuh
Tunhuman membentur balokan es besar yang menonjol di tembok itu, sehingga
kepalanya pecah dan pingsan seketika dengan berlumuran darah. Tapi untung
sungguh, badannya kena ditahan dengan balokan es itu. Di lain saat, Asia
pun tiba dan juga terbentur dengan balokan es tersebut, sehingga ia pun
mendapat luka-luka.
Melihat kecelakaan tersebut, dengan cepat Pengtjoan Thianlie
menyusul sambil membuka ikatan pinggangnya yang lalu dilontarkan dan
melibat pinggang Tunhuman. Berbareng dengan itu, ia memerintahkan Asia
yang hanya terluka enteng, mencekal ikatan pinggang tersebut dan
kemudian, dengan hati-hati, ia membawa mereka turun ke bawah.
Begitu mereka tiba di kaki puncak, sejumlah boesoe segera memburu
dan memberi pertolongan. Untung juga, berkat lweekang yang sangat tinggi,
kecelakaan itu tidak membahayakan jiwa Tunhuman dan Asia.
Dengan hati berdebar-debar dan paras muka pucat, raja segera
memerintahkan beberapa boesoe menggotong kedua orang itu ke dalam tenda
untuk diobati. Pada sebelum digotong masuk, dengan sorot mata berterima
kasih, mereka manggutkan kepala beberapa kali terhadap Pengtjoan
Thianlie.
Si nona lantas saja kembali ke meja perjamuan. Ia menghela napas
dan berkata: "Aku merasa menyesal, karena gara-garaku, mereka mendapat
luka."
"Hati Piauwmoay sangat mulia dan berkepandaian sangat tinggi,
sehingga di puncak yang begitu berbahaya, kau masih dapat menolong
mereka," kata raja sambil tertawa. "Untuk itu semua, aku menghaturkan
banyak terima kasih." Ia. segera menuang tiga cawan arak yang lalu
dipersembahkan kepada Peng Go sebagai pemberian selamat.
Sambil mengangsurkan cawan-cawan itu, jantung sang raja memukul
keras. Sesudah menyaksikan kepandaian saudari sepupunya, ia jadi keder
dan malahan ketakutan. Andaikata si nona bersedia untuk menjadi
permaisurinya, ia merasa tak akan bisa hidup beruntung, karena sang
puteri pasti tak akan bisa dikendalikan olehnya. Malahan terdapat
kemungkinan, bahwa ia sendirilah yang berbalik dijajah sang puteri! Ia
mengharap-harap Peng Go lekas-lekas berlalu, tapi tentu saja ia tak dapat
mengusirnya, sebab ia sendiri yang sudah mengatakan, bahwa
kedatangannya ini adalah untuk mengundang si nona pulang ke negeri
sendiri. Hatinya takut tak kepalang, karena jika Peng Go benar-benar
pulang ke Nepal, kedudukannya di atas tahta sukar dapat dipertahankan
lagi.
Sekonyong-konyong di sebelah kejauhan terdengar suara tambur yang
dipukul tiga puluh enam kali dengan beruntun. Peng Go tahu, bahwa
pemukulan tambur itu adalah penyambutan resmi untuk seorang tamu agung.
"Siapa yang datang berkunjung?" tanyanya di dalam hati.
Paras muka raja mendadak berubah berseri-seri. Sambil bangun
berdiri, ia berkata: "Tong Tayhiap, aku ingin
memperkenalkan kau dengan seorang luar biasa. Ia adalah seorang
yang berilmu paling tinggi di Eropa Timur dan di negara-negara Arab.
Namanya Timotato Thayhoatsoe."
Raja Nepal menyambut tamunya dengan upacara kerajaan. Dengan
didului oleh barisan yang membawa bendera raja dan diiring oleh sepasukan
serdadu serta murid-muridnya, Timotato memasuki lembah itu dengan
menunggang seekor gajah putih.
Keng Thian mengawasi tamu itu yang ternyata sudah berambut putih,
tapi mukanya bersemu merah, seperti muka seorang muda. Melihat Tayyang
hiat-nya yang menonjol keluar, Keng Thian tahu, bahwa orang tua itu
memiliki Iweekang yang sangat tinggi.
Terhadap raja yang keluar menyambutnya, Timotato hanya membungkuk
sedikit dan lalu melompat turun dari tunggangannya. Dengan diiring raja,
ia masuk ke ruangan perjamuan dan dipersilahkan duduk di kursi pertama,
sedang raja sendiri menemani di sebelah bawah. Keng Thian yang
memperhatikan segala gerak-geriknya, mendapat kenyataan, bahwa salju yang
diinjak oleh orang tua itu segera melumer. Ia terkejut karena hal itu
merupakan suatu bukti, bahwa si kakek memiliki Iweekang yang sudah
mencapai puncak kesempurnaan. Di seluruh daerah Tiongkok, hanya beberapa
orang saja yang dapat menandinginya.
Sesudah menyapu para hadirin dengan kedua matanya yang sangat
tajam, Timotato berkata dengan suara perlahan: "Kedatanganku ke Himalaya
di kali ini sebenarnya adalah untuk mendaki puncak tertinggi di dalam
dunia (Everest). Aku merasa sangat beruntung, bahwa di tempat ini aku
bisa bertemu dengan baginda." (Pembicaraan antara Timotato dan para
hadirin disalin oleh juru bahasa).
Mendengar perkataan itu, Keng Thian bermesem di dalam hati, karena
ia yakin, bahwa biarpun kakek itu mempunyai kepandaian sangat tinggi, tak
gampang-gampang ia bisa menakluki puncak tersebut.
"Untuk mendaki Tjoe-hong (Everest), Thayhoatsoe sebaiknya menunggu
beberapa hari lagi sampai hawa udara jadi lebih hangat," kata raja.
"Dalam perjamuan ini secara kebetulan berkumpul ahli-ahli silat dari
berbagai negara. Dalam kesempatan yang jarang terdapat ini, aku justeru
ingin meminta pengajaran-pengajaran dari Thayhoatsoe."
Dengan perasaan mendongkol, Pengtjoan Thianlie melirik orang tua
itu. Ia merasa, bahwa jika Timotato berhasil memanjat Tjoe-hong, maka
bangsa Nepal akan. kehilangan muka dan ia jengkel bukan main melihat
cara-cara raja yang menjilat-jilat, la juga mengerti, mengapa si kakek
sudah menerima baik undangan raja untuk menghadiri perjamuan itu. Pada
jaman itu, Himalaya berada di bawah kekuasaan dua negara, yaitu Tiongkok
dan Nepal. Ia tentu ingin meminta permisi dari raja Nepal untuk memanjat
Tjoe-hong. Bagian utara dari Himalaya dikuasai oleh pemerintah Tjeng dan
jika Timotato ingin mendaki puncak dari sebelah utara, maka, menurut
pantas ia harus mendapat permisi pembesar Boan yang berada di Tibet.
Hanya sayang, berhubung dengan adanya kegoncangan di wilayah Tibet pada
masa itu, maka pemerintah Boan tak sempat lagi mengurus hal-hal yang
dianggap remeh.
Selagi si nona melirik apa mau Timotato pun meliriknya dan kedua
pasang mata kebentrok. Muka si kakek lantas saja berubah dan sambil
merangkap kedua tangannya, ia berkata: "Apakah Liepousat ini Puteri dari
negara baginda?"
"Benar," jawabnya. "Semenjak kecil Kongtjoe hidup di negeri lain
dan kedatanganku kali ini adalah untuk menyambutnya pulang ke negeri
sendiri."
Begitu masuk ke dalam lembah, Timotato sudah mendengar, bahwa dua
muridnya telah dikalahkan oleh si nona dalam perlombaan memanjat puncak
dan kedua-duanya telah mendapat luka. Maka itu, ia datang dengan perasaan
gusar, tapi sesudah melihat wajah si nona dan tahu siapa adanya Peng Go,
ia tak dapat mengumbar napsu. Sekali lagi matanya menyapu para hadirin
dan kemudian mengawasi Keng Thian.
Sambil bersenyum raja menunjuk pemuda itu seraya berkata: "Tuan itu
adalah pendekar yang namanya paling kesohor di daerah Tiongkok,
Soetit (keponakan murid) Thayhoatsoe, Taichiti Koksoe, telah roboh dalam
tangannya. Dalam dunia ini, kecuali Thayhoatsoe, mungkin sekali tiada
orang lain yang bisa menandinginya." Kata-kata yang "membakar" itu benar
saja sudah lantas membangkitkan rasa gusarnya si kakek. Sesudah
mengeluarkan suara di hidung, ia berkata dengan nada memandang rendah:
"Memang sudah lama aku mendengar, bahwa di Tiongkok terdapat banyak
sekali orang-orang pandai. Hanya sayang sebegitu jauh aku belum pernah
mengunjungi daerah Tionggoan. Hari ini, secara kebetulan aku bertemu
dengan seorang pendekar dan kesempatan ini tentu saja tak boleh
dilewatkan begitu saja."
"Aku sungguh tak berani menerima julukan pendekar yang diberikan
Thayhoatsoe," jawab Keng Thian dengan sabar. "Jika Thayhoatsoe ingin
menjajal ilmu dengan ahli-ahli silat Tionggoan, keinginan itu bisa
tercapai dengan mudah sekali. Dalam tempo sebulan, aku pasti akan mencari
seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi untuk menghadapi
Thayhoatsoe." Keng Thian tahu, bahwa kedua orang tuanya, Phang Lin dan Lu
Soe Nio sudah datang di Tibet dan salah seorang antaranya sudah cukup
untuk bertanding dengan si kakek.
Timotato bersenyum tawar. Ia mendongakkan kepala dan berkata dengan
suara mengejek: "Mana kupunya tempo untuk menunggu sebulan! Kita bukan
anak-anak kecil yang jika mau berkelahi, harus menunggu kedatangan orang
tua. Kita hanya menjajal ilmu silat, siapa menang, siapa kalah, bukan
soal besar. Jika Tong Tayhiap takut kalah dengan maju sendirian, biarlah
kau dan semua kawan-kawanmu mengerubutiku dan aku sendiri akan melawan
dengan tangan kosong."
Suara temberang itu sudah membangkitkan kegusaran, Tong Say Hoa
yang lantas saja berteriak: "Keng Thian! Jika kau tak mau turun ke
gelanggang biarlah aku si tua yang meminta pengajarannya."
Keng Thian segera mencegah dan berkata sambil tertawa: "Jika
Thayhoatsoe mengatakan begitu, biarpun aku tak cukup berharga untuk
mewakili boesoe dari wilayah Tionggoan, biarlah kusaja yang melayani
Thayhoatsoe."
"Bagus!" kata Timotato sambil tertawa berkakakan dan lalu berjalan
masuk ke dalam gelanggang dengan sikap memandang rendah.
Keng Thian mendongkol bukan main, tapi sebagai seorang yang berusia
lebih muda, ia menyoja seraya berkata: "Hayolah!"
"Mengapa kau tidak menghunus pedang mustikamu?" tanya si kakek
sembari menyengir. "Hunuslah! Aku mempermisikan kau lebih dulu menyerang
tiga kali."
Keng Thian terkejut, karena mata si tua ternyata awas sekali dan
dapat mengenali pedang mustika sebelum senjata itu dicabut. "Kubelum
pernah menghinakan orang yang tidak bersenjata," jawabnya dengan suara
tawar. "Keluarkanlah senjatamu dan kau boleh lebih dulu menyerang tiga
kali kepada diriku."
Timotato menggosok-gosok kedua tangannya seraya berkata: "Sudah
banyak tahun kutak pernah menggunakan senjata, sehingga kusudah lupa
bagaimana harus menggunakannya."
"Baiklah," kata Keng Thian. "Kalau begitu kita bertempur saja
dengan tangan kosong."
"Tong Tayhiap, jangan kena ditipu!" tiba-tiba Kang Lam berteriak.
"Mengapa kau tidak mau menggunakan pedang mustika?"
Timotato tertawa terbahak-bahak. "Benar," katanya. "Mengapa kau tak
mau menggunakan pedang mustika? Tanpa bersenjata, kukuatir kau akan
merasa penasaran."
Tapi tentu saja Keng Thian sungkan menjilat kembali ludah yang
sudah dibuang. "Sudahlah, jangan rewel!" katanya dengan angkuh. "Hayolah!
Jika kukalah, aku akan mengakui kekalahanku!"
Mendengar perkataan pemuda itu yang keras kepala, si kakek merasa
kagum. "Kalau begitu, kau bersiaplah!" katanya sambil bersenyum. Sehabis
berkata begitu, tanpa memasang kuda-kuda, ia lalu mengirim satu pukulan
dari jarak tiga tombak jauhnya. Tiba-tiba Keng Thian merasakan dirinya
didorong dengan semacam tenaga yang sangat dahsyat, sehingga buru-buru ia
mengerahkan lweekang dan "menancap" kedua kakinya di tanah dengan ilmu
Tjiankin toei (ilmu memberatkan badan). Tapi biarpun begitu, badannya
masih bergoyang-goyang beberapa kali.
Timotato heran sebab pemuda itu tidak menjadi roboh dan ia lalu
menarik pulang tangannya sambil mengerahkan lweekang.
Mendadak, Keng Thian merasa dirinya diseret dengan serupa tenaga
membetot, sehingga kedua kakinya terangkat dari tanah. Dengan kaget, ia
mengenjot badannya yang lantas saja melesat ke depan, sambil mengirim
satu pukulan membinasakan dari Thiansan Tjianghoat.
Melihat gerakan yang indah, sejumlah boesoe Nepal bersorak. Mereka
tak tahu, bahwa Keng Thian sudah berbuat begitu, karena terpaksa. Di
antara tampik sorak, tiba-tiba terlihat berkelebatnya kedua tangan
Timotato dan tubuh Keng Thian menjungkir balik dua kali di tengah udara,
akan kemudian hinggap di atas tanah yang jauhnya kurang lebih tiga
tombak.
Melihat pemuda itu berhasil menyelamatkan diri dari dua serangan
hebat, si kakek merasa kagum. Sekarang ia tidak berani memandang rendah
lagi dan lalu mulai menyerang dengan bertubi-tubi.
Keng Thian lantas saja melayani dengan ilmu Toeihong Tjianghoat
yang kesohor liehay. Ia mengutamakan pembelaan diri dan hanya menyerang
jika terbuka kesempatan baik. Akan tetapi, karena si kakek memang banyak
lebih unggul, dalam sekejap mata ia sudah berada di bawah angin dan ia
seperti juga terseret masuk ke dalam "pusar air", maju tak mungkin,
keluar pun tak bisa!
Ilmu yang digunakan Timotato adalah Imyang Ngoheng Tjianglek, yaitu
pukulan yang mempunyai tenaga "positif dan "negatif, tenaga mendorong dan
tenaga membetot, sehingga seseorang yang sudah "dikurung" dengan ilmu
itu, sukar sekali bisa menyingkirkan diri.
Biarpun tidak mengenal ilmu itu, Keng Thian adalah turunan dan ahli
waris seorang ahli silat besar di wilayah Tionggoan. Begitu merasa
dirinya terseret ke dalam gelombang tenaga yang menyerupai "pusar air",
ia tahu bahwa hal itu sudah terjadi karena Iweekang-nya masih kalah dari
lweekang lawan. Maka itu, buru-buru ia memusatkan pikiran dan mengempos
semangat untuk mempersatukan tenaga jasmaniah dan rohaniah, akan kemudian
mengeluarkan ilmu silat Siebie Tjianghoat, yaitu ilmu yang terliehay
dalam seluruh Thiansan Tjianghoat, untuk coba menyelamatkan diri. Siebie
Tjianghoat adalah ilmu silat nomor satu dalam pembelaan diri dan terutama
digunakan jika bertemu dengan lawan yang lebih liehay. Dengan menggunakan
tenaga Imdjioe (tenaga lembek), Keng Thian coba memunahkan gelombang
tenaga Timotato. Tapi serangan Timotato adalah lain dari serangan biasa.
Pukulannya bukan ditujukan langsung ke tubuh Keng Thian, tapi terputar-
putar seperti "pusar air", yang satu mendorong dan yang lain membetot,
sehingga mau tak mau, Keng Thian turut terseret dan terputar-putar.
Melihat Keng Thian lari terputar-putar, sejumlah boesoe Nepal
merasa heran karena mereka tak mengerti apa sebabnya. Semakin lama pemuda
itu lari semakin cepat dan di atas kepalanya muncul uap putih. Tong Say
Hoa kaget tak kepalang dan tanpa menunggu tempo lagi, ia mengebas tangan
bajunya dan tiga batang paku Samleng Touwkoet teng menyambar ke arah tiga
jalanan darah Timotato.
Pada jaman itu, Tong Say Hoa adalah ahli nomor satu dalam ilmu
melepaskan senjata rahasia. Tiga paku itu menyambar tanpa bersuara,
sehingga orang-orang yang tengah memperhatikan jalan pertempuran,
sedikitpun tak tahu, bahwa si nenek telah membantu pemuda itu.
Tiba-tiba terdengar tiga kali suara "tring!" Si nenek terkesiap,
sebab ia tahu senjatanya telah menyentuh semacam logam. Sebagaimana
diketahui, Timotato tidak bersenjata dan juga tidak mengenakan pakaian
berlapis besi. Paku yang barusan dilepaskan, dinamakan Touwkoet teng,
atau paku menembus tulang, sehingga begitu menyentuh badan manusia, paku
yang sangat tajam itu bisa menembus tulang. Tapi mengapa terdengar suara
"tring!", seperti juga paku itu terbentur logam?
Ternyata, tanpa diketahui oleh siapapun juga, pada waktu tiga paku
itu menyambar ke arah jalanan darahnya, dengan kecepatan kilat Timotato
menyampok, sehingga senjata rahasia itu berbalik menyambar Keng Thian.
Baru saja ia ingin mengeluarkan ejekan, tiba-tiba ia melihat peletikan
api dan tiga paku itu terpental dari tubuh Keng Thian. Kecuali si kakek
sendiri, tiada manusia lain yang melihat kejadian itu. Kagetnya Timotato
tak kurang dari kagetnya Tong Say Hoa. Dibantu dengan tenaga pukulannya,
andaikata Keng Thian mengenakan baju besi, tiga paku itu belum tentu
tidak menancap.
Si kakek tentu saja tak tahu, bahwa pemuda itu mengenakan semacam
baju mustika, yaitu Kimsie Djoanka (baju yang terbuat daripada benang
emas), yang dulu dihadiahkan kepada ibunya oleh Tjiong Ban Tong.
Jangankan baru Touwkoet teng, sedangkan pedang mustika masih tak bisa
menembus baju mustika itu.
Keng Thian yang menduga, bahwa senjata rahasia itu dilepaskan oleh
lawannya, segera membentak dengan suara gusar: "Bagus! Kau menggunakan
senjata rahasia? Sambutlah senjataku!" Hampir berbareng, dua Thiansan
Sinbong menyambar. Si kakek mengebas dengan tangan jubahnya dan walaupun
Sinbong terpukul jatuh, tapi tangan jubah itu tak urung berlubang juga!
Inilah untuk pertama kali, Timotato bertemu dengan senjata rahasia
yang begitu hebat. Ia terkejut dan di lain saat, dua batang Sinbong
kembali menyambar.
Sambil mengempos semangat, ia mengebas dengan tangannya dan Sinbong
jatuh di tempat yang jaraknya kira-kira setombak.
Ketika itu, juru bahasa baru menyalin cacian Keng Thian.
Bukan main gusarnya Timotato. "Gila!" teriaknya. "Kawanmu yang
membokong aku, tapi kau berbalik menyalahkan aku!" Sebenarnya, ia ingin
mencaci lebih hebat, tapi mengingat kesombongannya yang tadi sudah
menantang semua kawan-kawan pemuda itu, ia jadi malu sendiri dan lalu
menutup mulut.
Sementara itu, Keng Thian sudah melepaskan pula dua Sinbong dari
jarak dekat. Karena sedang mendongkol, tenaga si kakek berkurang dan
Sinbong itu jatuh dalam jarak hanya tiga kaki dari tubuhnya. Ia
terperanjat dan buru-buru mengempos semangat.
Pada detik itu, mendadak, mendadak saja si kakek merasa jalanan
darah di lengannya kesemutan dan jauh-jauh terdengar suara tertawa
seorang wanita!
Semua orang menengok dan mengawasi ke arah suara tertawa itu.
Mereka melihat dua orang wanita muncul di tanjakan, yang satu setengah
tua, yang lain seorang gadis yang parasnya cantik sekali. Dandanan mereka
hampir tidak berbedaan, di rambut masing-masing terikat dua kupu-kupu
yang
terbuat dari sutera, sedang gerak-gerik dan lagak mereka menyerupai
kanak-kanak nakal.
"Ie-ie!" teriak Keng Thian dengan kegirangan yang meluap-luap.
Wanita yang setengah tua itu mengenjot badan dan tubuhnya lantas
saja melesat ke tengah udara. Sesudah memutar badan, dengan satu gerakan
yang sangat indah, ia melayang turun ke bawah. Melihat pertunjukan yang
luar biasa itu, ribuan serdadu Nepal dengan serentak bersorak-sorai.
Timotato mengawasi lengannya yang kesemutan dan melihat selembar
daun hijau yang menempel di lengan itu. Ternyata, wanita setengah tua
itu... yang bukan lain daripada Phang Lin... sudah menimpuknya dengan
ilmu Hoeihoa tjekyap yang disertai dengan lweekang yang tinggi luar
biasa, lweekang antara si kakek dan Phang Lin sebenarnya kira-kira
berimbang. Tapi tadi, karena seluruh perhatiannya sedang dipusatkan
kepada Thiansan Sinbong, maka ia merasa lengannya kesemutan waktu
tersentuh dengan daun yang dilontarkan oleh nyonya itu.
Sementara itu, sambil tertawa Phang Lin mendekati Keng Thian dan
menanya: "Keng Thian, mana Kim Sie Ie?"
"Kutak ketemu," jawabnya.
"Tapi melihat tapak-tapaknya, mungkin sekali ia pun sudah berada di
sekitar tempat ini."
Sang le-ie (bibi) mengangguk seraya berkata: "Baiklah. Kau boleh
omong-omong dengan Piauwmoay-mu (Lie Kim Bwee). Aku ingin menghadapi
pendeta asing itu." la berpaling kepada Timotato dan berkata pula seraya
tertawa: "Aku paling senang menyaksikan pertunjukan yang luar biasa.
Gerak-gerakan tangan Thayhoatsoe yang terputar-putar sungguh menarik
perhatianku. Aku ingin sekali bermain-main dengan Thayhoatsoe."
Hari ini, beberapa kali Timotato sudah diejek orang. Melihat cara
Phang Lin melontarkan daun, ia tahu, bahwa nyonya itu tidak boleh dibuat
gegabah. Dalam pertandingan antara jago dan jago, salah satu pantangan
yang paling besar adalah naik darah. Maka itu, biarpun Phang Lin
mengejeknya, sebisa-bisa ia menahan sabar.
"Bagus!" katanya. "Aku merasa beruntung sekali, bahwa sekarang aku
bisa berhadapan dengan seorang jago wanita dari wilayah Tionggoan,
hunuslah senjatamu!"
Sambil tertawa geli, si nyonya lalu mencopot satu kupu-kupu sutera
yang terikat di rambutnya dan lalu membukanya, sehingga di lain saat,
tangan kanannya mencekal sehelai pita panjang yang beraneka warna. "Aku
bukan jago wanita dan kutak biasa menggunakan pedang atau golok." katanya
seraya bersenyum. "Aku hanya membekal seutas tali untuk mengikat kera."
Belum habis kata-kata Phang Lin disalin oleh juru bahasa, Timotato
sudah membentak keras dan menghantam dengan kedua tangannya.
Bagaikan pohon yanglioe yang tertiup angin, badan si nyonya
bergoyang-goyang.
"Celaka!" seru Tong Say Hoa.
"Jangan kuatir, ibuku sedang mempermainkan dia," kata Lie Kim Bwee.
Di lain saat, tubuh Phang Lin melompat kian kemari bagaikan seorang
yang menari-nari, sedang pita sutera yang dicekalnya menyambar-nyambar di
tengah udara. Beberapa saat kemudian pita itu mendadak berubah tegak
lurus dan meluncur masuk ke dalam . hidung si kakek! Tentu saja ia
gelagapan dan berbangkis keras-keras!
"Bagus! Sungguh bagus!" teriak Kang Lam sambil menepuk-nepuk tangan
dan tertawa terbahak-bahak. Raja Nepal yang sedang jengkel juga turut
tertawa.
Phang Lin berkelahi dengan terus menerus mengunjuk kenakalannya.
Sedang mulutnya tak henti-hentinya berteriak: "Awas matamu! Awas
kupingmu!... Pita suteranya yang tegak lurus bagaikan kawat baja karena
disertai dengan Iweekang yang sangat tinggi, menyambar ke arah mata, ke
kuping dan ke lain-lain bagian badan, sesuai dengan teriakan nyonya itu.
Apa yang lebih hebat lagi ialah sambaran-sambaran itu selalu menuju ke
arah jalanan darah. Terhadap pita sutera itu, yang sebentar lemas dan
sebentar keras, Imyang Ngoheng Tjianglek tak bisa berbuat banyak. Dalam
gusarnya, si kakek menyerang dengan pukulan-pukulan Pekkong tjiang
(pukulan yang bisa merobohkan musuh dari jarak jauh), tapi siasat itu pun
tidak berhasil karena Phang Lin segera membela diri dengan mengerahkan
Iweekang untuk menolak sambaran-sambaran angin dari pukulan itu.
Selagi Keng Thian memperhatikan jalan pertempuran, Lie Kim Bwee
tiba-tiba berbisik di kupingnya: "Piauwko, apa kau membenci Kim Sie Ie?"
"Hm! Sedikit," jawabnya, tanpa memikir lagi. Ia melirik dan melihat
paras muka si nona yang bersungguh-sungguh. Ia terkejut sebab tahu, bahwa
ia sudah kesalahan bicara. "Tidak, kutak membencinya," katanya dengan
cepat. "Aha! Lihatlah! Indah betul pukulan itu!"
"Eh," kata pula Kim Bwee. "Mengapa kau ogah-ogahan menjawab
pertanyaanku. Ibu pasti menang. Tak perlu kau menonton pertandingan itu.
Jawablah pertanyaanku dengan sungguh-sungguh: "Apakah kau membenci Kim
Sie Ie?"
"Untuk bicara terus terang, dulu memang aku merasa agak mendongkol
terhadapnya, tapi sekarang sudah tidak lagi," jawab Keng Thian.
"Hm, tapi apa kau tahu, sekarang Sie Ie-ko hanya bisa hidup tujuh
hari lagi?" tanya lagi si adik.
Keng Thian kaget. Ia merasa heran, bagaimana adik sepupunya bisa
tahu begitu tepat. Mendadak ia mendusin dan lalu berkata sambil
bersenyum: "Kalau begitu kedatangan Ie-ie dan kau kesini adalah untuk
mengejar Kim Sie Ie, bukan?"
"Apakah kau bersedia menolong dia?" tanya Lie Kim Bwee tanpa
menjawab pertanyaan kakaknya. "Menurut katanya ibu, hanya Iethio dan kau
sendiri yang bisa menolongnya dengan menggunakan Iweekang dari Thiansan
pay."
Sang kakak kembali bersenyum dan menyahut: "Kedatanganku dan Peng
Go ke gunung ini memang untuk menolong dia."
"Jika kau tidak mendusta, kita harus mendaki gunung secepat mungkin
untuk mencarinya," kata si nona dengan nada memohon.
"Akur!" kata Keng Thian. "Tapi sedikitnya kita harus menunggu
sampai ibumu menyelesaikan pertandingan ini." Diam-diam ia merasa geli
dalam hatinya karena seorang otak-otakan seperti Kim Sie Ie masih
disayang oleh seorang gadis jelita. Tapi di lain saat, ia merasa berduka
sebab mengingat, bahwa harapan adiknya adalah harapan yang sukar
tercapai. Usaha mencari satu manusia di gunung Himalaya adalah seperti
usaha mencari jarum di lautan yang dalam.
"Ibu!" teriak Lie Kim Bwee. "Piauwko sudah berjanji akan menolong
dia. Ibu! Lekas-lekas robohkan pendeta itu, supaya kita bisa segera
mendaki gunung."
Tiba-tiba di gelanggang pertempuran terdengar suara gedubrakan,
sehingga semua orang jadi terkejut. Ternyata lapisan es tebal yang
diinjak Phang Lin mendadak pecah dan roboh.
Tiba-tiba tubuh Phang Lin melesat ke atas, pita suteranya
berkelebat memutari dirinya dan hampir berbareng, dengan menekuk lima
jerijinya bagaikan gaetan, dari tengah udara ia menghantam batok kepala
Timotato.
"Sungguh indah gerakan Niauw-eng itu!" memuji Keng Thian.
Baru saja Keng Thian mengucapkan pujiannya, rambut si kakek berdiri
dan kedua tangannya menghantam ke atas, sedang Phang Lin "terbang"
seputaran, akan kemudian melayang turun ke muka bumi.
Tanpa diketahui oleh para penonton, dalam gebrakan barusan, kedua
lawan telah menggunakan siasat yang sangat liehay dan lweekang yang
sangat tinggi.
Harus diketahui, bahwa Timotato sudah bisa menjagoi di Eropa Timur
dan Asia Barat, karena ia mempunyai kepandaian dan kecerdasan luar biasa.
Begitu mengetahui, bahwa nyonya itu adalah lawan yang berat, ia segera
memusatkan tenaga lweekang di kedua kaki dan dengan sekali menjejek, es
yang diinjaknya lantas saja pecah. Phang Lin kaget dan segera melompat ke
atas. Waktu badannya melayang turun ke bawah, ia menggunakan kesempatan
untuk memukul kepala si kakek.
Inilah yang ditunggukan oleh Timotato! Untuk menggunakan Imyang
Ngoheng Tjianglek, ia perlu meminjam tenaga musuh. Waktu itu, lweekang
Phang Lin dibagi jadi dua bagian, sebagian digunakan untuk melompat dan
sebagian pula untuk memukul musuh. Karena terpencarnya tenaga, hampir-
hampir ia kena dibetot dengan tenaga terputar dari Imyang Tjianglek.
Untung juga, Phang Lin memiliki ilmu mengentengkan badan yang tiada
tandingannya dalam dunia, sehingga pada saat yang sangat berbahaya, ia
masih bisa melayang turun ke bumi dengan selamat.
Begitu lekas hinggap di tanah, Phang Lin segera mengempos semangat
dan menyerang pula dengan pitanya.
Sesudah lewat beberapa jurus, sekonyong-konyong Timotato mengubah
cara bersilatnya. Ia menyerang dengan mementang lima jeriji tangan
kirinya, sedang tangan kanannya terus membuat lingkaran-lingkaran. Dalam
sekejap, satu perubahan telah terjadi, yaitu, pita si nyonya tak dapat
menembus lagi garis pembelaan si kakek.
Ternyata, sebagai seorang yang sangat cerdas, Timotato insyaf,
bahwa tenaga lweekang-nya kira-kira setanding dengan lweekang si nyonya
dan ia sukar memperoleh kemenangan dengan hanya menggunakan Imyang
Tjianglek. Maka itu, ia lantas saja mengubah taktik: Telapakan tangan
kanannya tetap menyerang dengan Imyang Tjianglek, sedang lima jeriji
tangan kiri dipentang dan melawan serangan pita dengan memusatkan
lweekang di ujung jeriji. Dapat dimengerti, bahwa karena permukaan
telapakan agak lebar, maka lweekang yang keluar dari telapakan jadi
terpancar agak lemah. Tapi lweekang dari jeriji yang kecil lancip, sangat
"tajam" sebab semua tenaga berpusat di satu titik, sehingga begitu
tersentuh, pita Phang Lin lantas saja terpental. Maka itulah, sesudah si
kakek mengubah taktik, pita tersebut tak dapat menembus lagi garis
pembelaannya. Demikianlah mereka terus bertempur dengan serunya tanpa ada
yang keteter.
Keng Thian dan yang lain-lain mengawasi jalan pertempuran dengan
hati berdebar-debar.
Tiba-tiba Kang Lam berbisik: "Tong Lootaypo, mengapa kau tak mau
menggunakan lagi senjata rahasia?" Sebab duduk di dekat si nenek, ia
tahu, bahwa Samleng Touwkoet teng telah dilepaskan oleh orang tua itu.
Tong Say Hoa tertawa getir. "Ilmu melepaskan senjata rahasia dari
Phang Lin banyak lebih liehay daripadaku," jawabnya. "Jika aku membantu,
bisa-bisa keadaan jadi semakin jelek."
Mendengar itu, Keng Thian baru tahu, bahwa Touwkoet teng benar-
benar bukan dilepaskan oleh Timotato.
Semakin lama mereka bertempur semakin sengit dan Phang Lin yang
biasanya selalu tertawa haha-hihi, tidak terdengar lagi tertawanya.
Mendadak angin dari atas gunung kembali meniup keras, sehingga
pasir, batu-batu kecil dan kembang salju terbang berhamburan. Sekonyong-
konyong, dibawa dengan kesiuran angin, dari atas gunung terdengar
teriakan yang aneh, panjang dan nyaring.
"Kim Sie Ie!" teriak Phang Lin, seraya melompat keluar dari
gelanggang dan bagaikan kilat, ia berlari-lari mendaki gunung.
Timotato kelihatan terkejut dan sesudah bicara beberapa patah, ia
pun segera berlari-lari ke atas gunung. Dalam sekejap, si nyonya dan si
kakek sudah tak kelihatan bayang-bayangan lagi.
Perubahan yang mendadak itu sudah mengejutkan semua orang sehingga
mereka saling mengawasi dengan mulut ternganga.
Beberapa saat kemudian, barulah juru bahasa menghampiri raja dan
melaporkan sambil membungkuk: "Timotato
Thayhoatsoe mengatakan, bahwa seorang muridnya telah memanggilnya
dari atas gunung dan karena ia ingin segera mendaki Tjoe-hong, maka ia
meminta diri dari baginda."
"Dusta!" teriak Keng Thian. "Itulah suaranya Kim Sie Ie.
Mengapa dia mengatakan muridnya?"
"Piauwko," kata Kim Bwee dengan suara tak sabaran sambil menyeret
tangan kakaknya. "Marilah kita menyusul."
Keadaan jadi kacau-Tong
Say Hoa, Pengtjoan Thianlie, Keng Thian dan yang lain-lain segera
bangun berdiri. Tapi, sebelum mereka berangkat, sekonyong-konyong terjadi
pula perubahan yang lebih mengejutkan. Mendadak, di sebelah kejauhan
terdengar suara terompet yang ramai dan saling susul dan beberapa saat
kemudian, boesoe Nepal yang menjaga di mulut lembah datang melaporkan:
"Tentara Tjeng sudah tiba di mulut lembah!"
Paras muka raja lantas saja berubah pucat bagaikan kertas.
"Karena tentara kita sudah melewati perbatasan orang, orang tentu
saja datang menegur," kata Peng Go. "Untung juga, mereka masih menunggu
di luar lembah. Sekarang ini daya upaya yang paling baik adalah
menyingkirkan permusuhan dan mengadakan perdamaian."
"Apa mereka mau?" tanya raja dengan perasaan kuatir.
"Karena sekarang belum di kirim surat tantangan, kurasa masih dapat
diadakan perdamaian, jika baginda bersedia untuk menghaturkan maaf," kata
Keng Thian.
Dalam keadaan terdesak dan bingung, hati sang raja jadi agak
terhibur karena perkataan Keng Thian. "Kalau begitu, aku mohon Tong
Tayhiap sudi pergi bersama-sama untuk bantu bicara," katanya.
"Menyingkirkan segala bencana adalah kewajiban dari setiap orang
dalam Rimba Persilatan," kata pemuda itu. "Segala perintah baginda,
kuakan menjalankan dengan segala senang hati."
Tanpa menyia-nyiakan tempo, raja segera mempersilahkan Keng Thian
dan Peng Go menunggang gajah putih dan dengan segala upacara kehormatan,
bersama-sama raja mereka lalu berangkat untuk menyambut tentara Tjeng.
"Piauwko," teriak Kim Bwee dengan suara bingung. "Apa kau tak sudi
menolong Kim Sie Ie?"
"Begitu lekas aku sudah menyelesaikan urusan disini, aku akan
segera mendaki gunung," jawab sang kakak.
Paras muka si nona lantas saja berubah kurang senang. "Kalau
begitu, aku berangkat lebih dulu," katanya.
Keng Thian segera mengeluarkan sebuah peles perak yang di dalamnya
berisi tiga butir Pekleng tan dan menyerahkannya kepada Lie Kim Bwee.
"Biarpun Pekleng tan tidak dapat menyembuhkan akar penyakit, tapi bisa
memperpanjang umurnya sekian hari," katanya "Di sepanjang jalan kau harus
memberi pertandaan, supaya aku dapat mengikutinya."
Si nona menyambuti peles itu sambil menghela napas. "Jika Sie Ie-ko
tak dapat ditolong, seluruh penghidupanku akan kosong melompong,"
katanya. Inilah untuk pertama kali Keng Thian menyaksikan si nakal
bersusah hati.
Begitu lekas rombongan raja Nepal keluar dari mulut lembah, mereka
melihat tentara Tjeng dalam formasi seperti kipas. Dengan senjata yang
berkilauan dan bendera-bendera yang berkibar-kibar dengan megah, tentara
itu kelihatan angker sekali.
Sesudah mereka datang dekat, tiba-tiba Peng Go mengeluarkan seruan
kaget sambil menuding ke depan: "Ih! Coba lihat! Bukankah itu Thian Oe
dan Yoe Peng?" Keng Thian mengawasi ke arah yang ditunjuk si nona. Di
bawah bendera "Swee" (bendera panglima perang yang memimpin tentara)
terlihat seorang jenderal yang paras mukanya angker dan bersenjata toya
Longgee pang diapit oleh seorang pemuda dan seorang wanita cantik. Keng
Thian segera mengenali, bahwa jenderal itu adalah Tjiauw Tjoen Loei,
sedang kedua orang muda memang bukan lain daripada Tan Thian Oe dan Yoe
Peng. Ternyata, karena melihat bakat dan kecerdasan pemuda itu, dalam
menggerakkan tentara untuk menghadapi tentara Nepal, Hok Kong An sudah
mengangkat Thian Oe sebagai Tjamkoen. Yoe Peng yang ingin sekali bertemu
dengan majikannya, sudah mendapat permisi untuk mengikut pasukan itu.
Keng Thian jadi girang bukan main, karena ia merasa pasti, bahwa
persoalan yang kini dihadapi akan segera menjadi beres. Sesudah kedua
belah pihak bertemu muka, Tjiauw Tjoen Loei yang tak begitu pandai
bicara, lantas mengangkat Thian Oe sebagai wakilnya untuk mengadakan
perundingan di tenda panglima perang.
Dalam musyawarah itu, Thian Oe menegur raja dan menanya, mengapa
tentara Nepal melanggar perbatasan. Raja memberi keterangan, bahwa dalam
latihan tentara yang biasa diadakan dalam tempo-tempo tertentu, mereka
telah diserang dengan hawa yang sangat dingin dan oleh karenanya, mereka
masuk ke dalam lembah itu untuk berlindung. Sebab Himalaya adalah sebuah
gunung yang sangat besar dan luas, secara tidak disengaja tentara Nepal
sudah melewati perbatasan. Untuk kekeliruan itu, raja meminta maaf.
Walaupun merasa, bahwa keterangan itu adalah keterangan yang
dibuat-buat, akan tetapi sebagai seorang wakil yang cerdas. Thian Oe
segera menerima baik keterangan itu. Diam-diam ia merasa girang, bahwa
pertikaian perbatasan dapat dibereskan secara begitu mudah. Akhirnya
diambil keputusan untuk melanjutkan pertemuan besok pagi guna
merundingkan penukaran nota persahabatan antara kerajaan Tjeng dan
kerajaan Nepal.
Sesudah beres, Tjiauw Tjoen Loei segera memerintahkan orang
menyediakan meja perjamuan guna menjamu raja Nepal dan rombongannya. Di
samping itu, ia juga menjanjikan hadiah selaksa pakaian musim dingin
untuk tentara Nepal dan hadiah yang tidak diduga-duga itu sudah diterima
oleh raja dengan menghaturkan terima kasih.
Sebelum perjamuan dibuka, Thian Oe mengajak Keng Thian ke satu
sudut untuk beromong-omong mengenai hal-hal yang terjadi semenjak mereka
berpisahan.
Mendengar terancamnya jiwa Kim Sie Ie yang sekarang sedang mendaki
gunung seorang diri, Thian Oe berduka dan ingin mengikut mencarinya.
"Tak usah," kata Keng Thian. "Disini kau mempunyai tugas penting
dan untuk mencari Kim Sie Ie, beberapa orang sudah naik ke atas."
Thian Oe mengangguk. Sesaat kemudian, ia berkata dengan suara
terharu: "Tak lama lagi kita akan berpisahan jauh."
"Apakah ayahmu sudah menerima firman kaisar?" tanya Keng Thian.
"Apa sudah ada berita tentang pemulangan kalian ke Selatan?"
"Dari kota raja sudah datang warta, bahwa ayah akan segera
dipanggil pulang dan diangkat pula menjadi Giesoe," jawabnya. "Menurut
niatan ayah, sesudah kembali ke kota raja, ia akan mengajukan permohonan
untuk meletakkan jabatan dan pulang ke kampung halaman."
"Apa aku diajak?" menyeletuk Kang Lam. "Namaku Kang Lam dan setiap
hari aku mendengar ceritera tentang keindahan daerah Kanglam. Tapi aku
sendiri belum pernah melihat Kanglam."
"Kanglam mirip-mirip seperti kau," kata Keng Thian sambil tertawa.
"Nakal, bersemangat dan selalu bergembira."
"Kang Lam, kedudukanmu sekarang tiada beda seperti kedudukanku,"
kata Thian Oe dengan paras sungguh-sungguh. "Kau merdeka untuk pergi
kemana pun kau suka. Jika kau suka mengikut kami ke Kanglam, kami tentu
saja akan merasa sangat bersyukur. Untuk bicara terus terang, aku memang
merasa berat berpisahan dengan kau."
Sementara itu, Yoe Peng pun sedang bicara dari hati ke hati dengan
majikannya. "Kongtjoe, apakah kau bakal pulang ke Nepal," tanya si
dayang.
"Aku kepingin sekali, hanya kukuatir raja tidak menyukai
kedatanganku," jawabnya. Sang majikan lantas saja menceritakan apa yang
sudah terjadi, sehingga Yoe Peng tertawa terpingkal-pingkal.
"Tapi apakah Kongtjoe ingin kembali ke istana es?" tanya pula Yoe
Peng.
"Mengapa kau tanya begitu?" si nona balas menanya.
Yoe Peng bersenyum dan menjawab dengan suara perlahan: "Istana es
terlalu sepi dan dingin, sekarang agaknya tak menarik lagi."
"Tapi kusendiri sangat senang berdiam di istana es," kata si nona.
Yoe Peng mengangguk, tapi pada paras mukanya terlihat perasaan
putus harapan. Peng Go bersenyum dan lalu berkata dengan suara halus:
"Yoe Peng, sikapku terhadapmu adalah bersamaan dengan sikap Thian Oe
terhadap Kang Lam. Mulai dari ini waktu, kita adalah seperti kakak dan
adik. Kau sekarang merdeka dan bebas untuk pergi kemanapun jua."
"Kongtjoe, sedikitpun aku tak punya niatan untuk berpisahan
denganmu," kata si dayang terburu-buru.
Pengtjoan Thianlie tertawa dan berkata: "Yoe Peng, setiap manusia
mempunyai peruntungan sendiri-sendiri. Kutahu, bahwa dalam hatimu, kau
tak ingin kembali ke istana es karena kau ingin mengikut Tan Kongtjoe
pulang ke Kanglam. Thian Oe adalah pemuda yang baik dan kumerasa lega
jika kau berada di bawah perlindungannya."
Mendengar perkataan sang majikan yang mengenai jitu rahasia
hatinya, Yoe Peng tak bisa bicara lagi. Ia menunduk dengan paras muka
merah, dengan kemalu-maluan dan berterima kasih akan kemuliaan dan
kebijaksanaan sang majikan.
Perjamuan berlangsung dengan gembira dan baru berakhir sesudah
magrib. Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie terus berdiam di perkemahan
tentara Tjeng, sedang raja Nepal dan menteri-menterinya pulang ke tenda
mereka, untuk berunding lagi pada esokan harinya. Sesudah mengetahui,
bahwa Liong Leng Kiauw lari ke gunung, Tong Say Hoa bersama keponakannya
segera berangkat untuk menyusul.
Pemandangan malam di pegunungan Himalaya sangat luar biasa. Ribuan
puncak berderet-deret tertutup salju putih yang terang benderang,
sehingga orang merasa seakan-akan ia berada di dunia kristal. Untuk
menolong sahabat, malam-malam Keng Thian dan Peng Go mendaki gunung.
Mereka berhenti sebentar di tempat dimana Kim Sie Ie menulis syairnya.
Keng Thian tertawa dan berkata: "Semula aku agak membenci dia, tapi
sekarang dengan hati yang suci, aku mengharap jiwanya bisa ketolongan."
"Dalam dunia ini memang terdapat banyak sekali hal yang tak bisa
diduga terlebih dulu," kata si nona.
Selagi beromong-omong, kesunyian malam tiba-tiba dipecahkan dengan
teriakan aneh yang panjang dan nyaring. Itulah teriakan Kim Sie Ie! Tapi
dimana dia? Apa yang dilihatnya hanyalah puncak-puncak yang menjulang ke
langit.

***

Jika Pengtjoan Thianlie sangat memikir keselamatan Kim Sie Ie,


adalah Kim Sie Ie selalu berdoa untuk keselamatan gadis yang hatinya
mulia itu. Kim Sie Ie telah melihat mereka, tapi mereka tak melihat Kim
Sie Ie.
Pada hari itu, pada waktu Keng Thian dan Peng Go mencegat si
pendeta jubah merah untuk menolong Liong Leng Kiauw, Kim Sie Ie
sebenarnya bersembunyi di puncak seberang dan telah menyaksikan segala
kejadian.
Ia yakin, bahwa jika ia muncul, jiwanya akan segera ketolongan.
Tapi ia adalah seorang angkuh yang sungkan memohon terhadap siapapun
juga. Sesudah Keng Thian dan Peng Go berlalu, ia mendongak dan menghela
napas panjang.
Angin gunung meniup kembang salju dan kembang salju menyentuh
badannya. Mendadak, pada hatinya yang "mati" seperti air telaga yang
tenang muncul goncangan gelombang. Tiba-tiba saja, di depan matanya
terbayang kembali kejadian-kejadian yang lampau. Ia ingat kekejaman
manusia, tapi ia ingat juga kebaikan manusia, kebaikan orang-orang
seperti Pengtjoan Thianlie dan Lie Kim Bwee.
Sekonyong-konyong, bagaikan seorang yang mendapat ilham, ia
berlutut dan berdoa akan keselamatan Peng Go. Kim Sie Ie adalah seorang
yang tak pernah bersembahyang dan tak pernah memuja apapun jua. Tapi
sekarang, dengan rendah hati, ia memohon kepada Yang Maha Kuasa agar Peng
Go dilindungi, agar dia bisa hidup beruntung dengan Tong Keng Thian. Pada
sesaat itu, bagaikan bayi yang baru terlahir, hatinya bebas dari rasa
jelus dan benci.
Ia menarik napas panjang dan dengan hati lega, dengan suatu
kerelaan untuk mati dimana pun juga, ia mulai mendaki gunung seorang
diri.
Selagi enak jalan, tiba-tiba ia melihat satu bayangan manusia yang
berlari-lari dengan kecepatan luar biasa. Orang itu adalah Liong Leng
Kiauw. Karena merasa heran, ia lalu menguntit dari belakang.
Liong Leng Kiauw kabur dengan pikiran kalut. Ia yakin, bahwa raja
Nepal akan terus berusaha untuk menangkapnya dan ia juga- tahu, bahwa
jika pulang ke Lhasa, ia bakal dibekuk oleh pemerintah Tjeng. Sesudah
menimbang-nimbang beberapa lama, akhirnya ia mengambil keputusan untuk
kembali ke Lhasa guna melaporkan segala pengalamannya. Ia merasa lebih
rela untuk binasa dalam tangan Hok Kong An daripada jadi boneka kerajaan
asing dan menuntun tentara asing masuk ke wilayah Tionggoan.
Semakin lama salju turun semakin besar, sedang matahari sudah
doyong ke barat. Leng Kiauw mempercepat tindakannya untuk mencari gua
guna melewati malam. Tiba-tiba di antara kesiuran angin dingin, ia merasa
hembusan hawa yang agak panas. Ia jalan terlebih cepat dan tak lama
kemudian, untuk kegirangannya, ia melihat sumber air panas yang mancur ke
atas dengan megahnya. Disoroti sinar matahari sore, air mancur yang
mengepul-ngepul itu indah luar biasa, seolah-olah kembang api yang
beraneka-wama. Di Tibet memang terdapat banyak sekali sumber air panas,
tapi terdapatnya sumber itu di pegunungan Himalaya adalah suatu kejadian
yang luar biasa.
Leng Kiauw jadi girang karena ia bisa melewati malam itu tanpa
kedinginan. Selagi duduk mengasoh di pinggir air mancur, tiba-tiba
hidungnya mengendus bebauan bunga yang sangat harum. Dengan perasaan
heran, ia bangun berdiri dan menuju ke arah bebauan itu. "Jalan belum
berapa jauh, ia melihat sebuah rumah kecil yang berdiri disatu tanjakan
dan di seputar rumah itu, yang dikurung tembok kate, terdapat taman bunga
dengan kembang-kembangnya yang beraneka-warna.
"Tumbuhnya pohon bunga di tempat yang hawanya hangat bukan kejadian
heran," katanya didalam hati. "Tapi terdapatnya sebuah rumah penduduk
yang terpencil di pegunungan ini, benar-benar kejadian langka." Harus
diketahui, bahwa walaupun tempat itu belum mencapai separuhnya tinggi
Himalaya, tapi karena gunung tersebut berlipat-lipat kali lebih besar dan
lebih tinggi dari gunung biasa, maka jangankan di puncaknya, sedangkan di
lerengnya pun salju tak pernah melumer di seluruh tahun. Itulah sebabnya,
seorang manusia biasa tentu tak akan bisa hidup disitu.
Leng Kiauw menghampiri dan menolak pintu taman yang tidak terkunci
dan lantas saja terbuka. Ia melihat seorang gadis muda yang justeru
sedang memanggil ayahnya: "Thia-thia! Coba lihat! Mawar yang ditanam
olehku sudah mulai mekar." Mendadak gadis itu menengok dan dua pasang
mata lantas saja kebentrok, sehingga sama-sama mengeluarkan seruan kaget.
Nona itu yang tangannya kotor dengan tanah dan memegang gunting,
segera menegur: "Siapa kau?"
"Seorang pemburu yang kesasar," jawabnya.
"Kau berani naik gunung selagi salju turun begini besar?" tanya
pula si nona.
"Aku ingin memburu kerbau liar," jawabnya.
Gadis itu mengawasi dengan rasa sangsi sebab Leng Kiauw sama sekali
tidak membekal alat memburu dan juga sebab sekali pun pemburu yang
bernyali besar tak akan berani naik sampai disitu. Tapi, biar
bagaimanapun jua, sebagai seorang yang hidup terpencil, ia merasa
girang melihat munculnya sesama manusia. "Bagus!" katanya. "Kau tunggu
dulu. Aku ingin melaporkan kepada ayah."
"Berapa banyak jumlah keluargamu?" tanya Leng Kiauw.
"Hra! Hanya ayah dan aku," jawabnya.
Leng Kiauw jadi heran dan bimbang. Sesaat kemudian, di luar
pekarangan sudah terdengar tindakan kaki yang sangat enteng. "Tak perduli
dia pemburu tulen atau bukan, kita harus menyambutnya dengan segala
senang hati dan kau tak usah menanyakan asal-usulnya," demikian terdengar
suara seorang tua yang sangat perlahan. Suara itu bukan saja sangat
perlahan, tapi malahan seperti dibisiki di kuping si nona, sehingga
menurut pantas, tak akan bisa didengar oleh orang ketiga. Tapi Leng Kiauw
adalah seorang ahli senjata rahasia yang kupingnya tajam luar biasa dan
setiap perkataan orang tua itu sudah dapat didengar tegas olehnya.
Pintu taman terbuka dan seorang tua yang rambutnya putih,
punggungnya agak bongkok, tapi mukanya bersinar merah, bertindak masuk.
Leng Kiauw terkejut. "Tak bisa salah lagi, ia adalah seorang
berilmu yang menyembunyikan diri," pikirnya. Buru-buru ia memberi hormat
dan menanyakan she dan nama orang tua itu.
"Aku she Phoei," jawabnya. "Sesudah berdiam disini tiga puluh tahun
dan tak pernah ada orang yang memanggil namaku, aku sendiri sudah
melupakannya."
Sesudah memberitahukan she dan namanya, Leng Kiauw berkata: "Aku
naik ke gunung ini untuk memburu kerbau liar, tapi tidak dinyana semakin
lama kunaik semakin tinggi dan akhirnya kesasar sampai disini. Untuk
gangguanku ini, harap Lootiang sudi memaafkan."
Si kakek mengangguk dan berkata dengan suara manis: "Jika Tjongsoe
(orang gagah) tidak buat celaan, sebaiknya kau menginap semalaman di
gubukku ini."
Dengan rasa syukur dan sambil menghaturkan terima kasih, Leng Kiauw
lalu mengikuti ayah dan anak itu masuk ke dalam. Ruangan itu diperaboti
sederhana sekali, sedang di tembok tergantung beberapa kulit binatang dan
di satu sudut ditumpuk sedikit rumput obat-obatan. Beberapa saat
kemudian, si nona membawa keluar sepiring daging dan semangkok besar susu
kerbau.
Orang tua itu tertawa seraya menanya: "Apakah kau bertemu dengan
kerbau liar waktu mendaki gunung?"
"Tidak," jawabnya.
"Kerbau itu biasanya keluar di waktu salju baru berhenti turun,"
katanya pula. "Untuk bisa membinasakannya, seorang pemburu harus berlaku
sabar dan menunggu lama. Beberapa hari yang lalu anakku sangat mujur dan
sudah membinasakan seekor kerbau, cukup untuk hidup beberapa bulan.
Minumlah susu itu, paling enak jika diminum panas-panas."
Mendengar keterangan itu, Leng Kiauw terperanjat. Harus diketahui,
bahwa kerbau liar di daerah Tibet banyak lebih ganas dan buas daripada
harimau. Dengan berkawan belasan atau puluhan orang, barulah pemburu
berani turun tangan untuk menangkap atau membunuhnya. Bahwa seorang gadis
jelita telah berhasil membunuh seekor kerbau itu, benar-benar kejadian
luar biasa. Biarpun ia sudah menduga, bahwa ayah dan anak itu bukan
sembarang orang, tapi keterangan tersebut masih tetap mengejutkan.
Walaupun heran, ia tak berani menanyakan asal-usul mereka, karena dalam
kalangan Kangouw terdapat banyak pantangan.
"Bahwa Tjongsoe berani menangkap kerbau liar seorang diri merupakan
bukti, bahwa nyalimu besar sekali," kata si kakek. "Pedang yang
tergantung di pinggangmu kelihatannya bukan sembarang pedang dan Tjongsoe
tentulah juga memiliki ilmu silat yang sangat tinggi."
Leng Kiauw merasa, bahwa tak guna ia berdusta. Maka itu, ia segera
berkata dengan merendah: "Aku hanya belajar beberapa tahun dan perkataan
Lootiang, bahwa aku memiliki kepandaian tinggi, tak dapat aku
menerimanya."
"Siapa gurumu?" menyeletuk si nona.
Si kakek melirik puterinya yang lantas saja menunduk dengan paras
kemalu-maluan.
"Guruku adalah seorang she Tong dari propinsi Soetjoan," jawab Leng
Kiauw
Orang tua itu hanya mengeluarkan suara "oh" dan tidak mendesak
terlebih jauh.
Leng Kiauw memasukkan sepotong daging kerbau ke dalam mulut, tapi
lantas ia mengeluarkan lagi sebab daging itu terlalu amis.
Si nona tertawa seraya berkata: "Apa Liong Sianseng tak doyan
daging itu? Tong Tayhiap doyan sekali!"
Sekali lagi, si kakek melirik puterinya yang sangat lancang.
Leng Kiauw kaget. "Tong Tayhiap yang mana?" tanyanya.
Orang tua itu bersenyum dan menjawab: "Seorang sahabat yang
mengerti ilmu silat pedang. Anakku jarang sekali bertemu dengan orang
luar dan siapa saja yang berkepandaian lebih tinggi daripadanya, ia
lantas memanggil Tayhiap."
Leng Kiauw turut bersenyum, tapi dalam hatinya, ia heran bukan
main. Ia tahu, dalam dunia ini, orang yang dipanggil sebagai Tong Tayhiap
hanyalah Keng Thian dan ayahnya. Tong Siauw Lan berada di Thiansan,
sedang Keng Thian sendiri masih berada di kaki gunung. Siapakah yang
dipanggil Tong Tayhiap oleh si nona?
Susu kerbau ternyata sangat cocok bagi lidah Leng Kiauw dan ia
lantas minum habis semangkok besar. Tapi karena susu itu sangat panas,
sesudah minum, ia mengeluarkan banyak keringat.
"Jika panas Tjongsoe boleh buka baju luarmu," kata orang tua itu.
Leng Kiauw manggutkan kepalanya dan lalu membuka baju luarnya yang
terbuat dari kulit rase. Tiba-tiba si kakek mengawasi pinggangnya dengan
sorot mata yang sangat luar biasa. Liong Leng Kiauw adalah seorang yang
sudah kenyang mengalami gelombang dan badai besar. Tapi melihat sorot
mata itu, jantungnya memukul keras.
Di lain saat, ia mengetahui, bahwa apa yang diawasi tuan rumah
adalah singa-singaan giok putih yang tergantung di pinggangnya. "Apa
mungkin seorang yang kelihatannya berilmu tinggi, maui barang tidak
berharga?" tanyanya di dalam hati. "Jika singa-singaan ini bukan barang
turunan dari ayahku, kutentu tak merasa halangan untuk memberikan
kepadanya."
Gadis itu juga rupanya sudah melihat sorot mata ayahnya yang sangat
aneh. "Thia-thia," katanya dengan suara perlahan. "Susu sudah dingin."
Sesudah memikir sejenak, Leng Kiauw segera merogoh saku dan
mengeluarkan serenceng mutiara. "Lootiang, untuk segala kebaikanmu, kutak
mempunyai apa-apa untuk membalasnya dan aku ingin sekali menyerahkan
serenceng mutiara ini kepada puterimu," katanya dengan sikap menghormat.
"Aku sangat mengharap, Lootiang tidak menolaknya. Mutiara ini bukan untuk
membalas budi, tapi hanya sebagai tanda dari rasa terima kasihku."
Sinar mata si kakek yang luar biasa lantas saja menghilang. Ia
tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Apa gunanya mutiara bagi seorang
wanita yang hidup di atas gunung? Apakah untuk diperlihatkan kepada
binatang-binatang liar?"
Si nona yang belum pernah melihat mutiara, lantas saja mengawasi
dengan sorot mata heran. "Apa itu?" tanyanya. "Mengapa bersinar terang?"
"Orang kata: Pedang mustika untuk dihadiahkan kepada pendekar,
sedang mutiara untuk wanita cantik," kata Leng Kiauw. "Nona, kau cocok
sekali memakai perhiasan ini."
Gadis itu tertawa nyaring dan berkata: "Aku pernah melihat wanita
cantik dalam lukisan. Dia kelihatannya begitu ayu dan lemah lembut,
seperti juga tak akan bisa berdiri tegak jika ditiup angin. Hih! Aku tak
mau menjadi wanita cantik yang seperti itu."
Sebagai seorang yang semenjak kecil hidup di gunung, si nona sama
sekali tidak mengerti adat istiadat dan kebiasaan dunia. Melihat
rencengan mutiara yang sangat indah, hatinya ketarik dan ia
memperlihatkan perasaan hatinya itu secara terang-terangan.
Alis si kakek berkerut, tapi mendadak ia berkata: "Soat-djie, jika
kau merasa suka kau boleh menghaturkan terima kasih kepada tamu kita."
Si nona tertawa dan segera memberi hormat yang lantas dibalas oleh
Liong Leng Kiauw. Tapi terhadap si nona yang suci dan polos, sedikitpun
ia tidak memandang rendah.
Sementara itu, si kakek bersenyum seraya berkata: "Untuk bisa
membeli serenceng mutiara Lamhay, seorang pemburu di Tibet harus lebih
dulu menangkap beberapa belas kerbau liar."
Leng Kiauw jadi merasa jengah sendiri, karena dengan
mempersembahkan mutiara itu, ia membuka rahasia sendiri. Tapi sebab ia
yakin, bahwa orang tua itu bukan sembarang orang, maka walaupun
rahasianya sudah terbuka, ia tidak berkuatir.
Malam itu, Leng Kiauw tidur dalam sebuah kamar yang berdempetan
dengan taman bunga. Dapat dimengerti, jika ia tak bisa pulas. Ia memikiri
cara-cara luar biasa dari tuan rumah dan puterinya, ia coba memecahkan
teka-teki sekitar sorot mata aneh dari si kakek yang mengawasi singa-
singaan di pinggangnya. Mengingat singa-singaan, lantas saja ia ingat
mendiang ayahnya, yang dulu pernah memimpin ratusan laksa tentara, tapi
yang tak urung dibinasakan juga oleh kai/ar Tjeng. Ia menghela napas dan
berkata dalam hatinya: Waktu itu ayahku sebenarnya bisa mengangkat diri
menjadi raja, hanya sayang, nyalinya kurang besar." Ia ingat pula cita-
cita dan rencananya sendiri yang sudah diatur dalam banyak tahun, tapi
yang akhirnya gagal semua. Sambil memikir pergi datang, hidungnya terus
mengendus wanginya bunga-bunga didalam taman.
Perlahan-lahan ia bangun dan memakai jubah luarnya, akan kemudian
keluar jalan-jalan di taman bunga. Sesudah melewati pohon-pohon bunga,
tiba-tiba ia melihat pagar kate yang mengurung satu sudut taman. Karena
ingin tahu, ia lalu menghampiri dan begitu melihat, ia terkesiap! Tanpa
menghiraukan kemungkinan ditegur tuan rumah, ia mendorong pagar yang
lantas saja roboh dan bertindak masuk. Begitu masuk, ia melihat dua
patung batu, yang satu merupakan seorang bangsawan bangsa Boan, sedang
yang satunya lagi adalah patung ayahnya sendiri – Lian Keng Giauw! Apa
yang lebih luar biasa, pada patung ayahnya tertancap dua batang golok.
Leng Kiauw mengeluarkan keringat dingin dan bergemetar sekujur
badannya. "Apa aku mimpi?" tanyanya di dalam hati. Di lain saat, ia gusar
tercampur takut.
Tiba-tiba ia mendengar suara berkreseknya pakaian yang tertiup
angin. Sambil menggereng bagaikan harimau terluka, ia memutar badan dan
menindju. "Bangsat tua!" bentaknya. "Mengapa kau hinakan ayahku?"
"Plak!", tinjunya seperti memukul segundukan rumput dan tubuhnya
yang didorong oleh si kakek, terhuyung beberapa tindak. Badan orang tua
itu sendiri kelihatan bergoyang-goyang dan di sudut mulutnya terdapat
sedikit darah. Di bawah sinar rembulan yang dingin, paras muka si kakek
yang pucat kelihatan menakuti sekali.
Sambil menyusut darah di mulutnya dengan lengan baju, ia berkata
dengan suara dalam: "Aku sudah menduga, bahwa yang datang berkunjung
adalah Lian Kongtjoe. Cabutlah golok itu."
Leng Kiauw bersangsi, tapi akhirnya ia mengangkat tangan untuk
mencabut kedua golok itu. Begitu tersentuh, gagang golok terlepas dan
jatuh di tanah. Ternyata, karena sudah terlalu lama, kayu gagang golok
itu sudah menjadi rusak. Sesudah tercabut, sebagian golok itu sudah
karatan, tapi sebagian lagi, yang menancap di dalam batu, masih
berkilauan sinarnya.
"Kedua golok itu telah ditancapkan pada tiga puluh tahun
berselang," kata si kakek. "Pada waktu itu, aku sangat membenci ayahmu."
"Ada permusuhan apakah antara ayahku dan kau?" tanya Leng Kiauw.
"Pada tiga puluh tahun berselang, semua pendekar di kolong langit
adalah musuh ayahmu!" jawabnya "Aku sendiri, meskipun aku membenci
ayahmu, tapi kebencian itu berbeda dengan orang lain dan sangat
memalukan, jika diceritakan."
"Siapa kau? Mengapa kau membenci ayahku?" tanya Leng Kiauw.
"Apa kau pernah mendengar nama Phoei Keng Beng?" si kakek balas
menanya.
Lapat-lapat Leng Kiauw ingat, bahwa gurunya pernah menyebutkan
nama, itu, tapi ia tak tahu siapa adanya.
Orang tua itu tertawa getir seraya berkata: "Dalam tiga puluh
tahun, dunia sudah banyak berubah dan namaku sudah tidak dikenal lagi."
Ia berdiam sejenak dan berkata pula dengan suara perlahan: "Kaizar yang
sekarang adalah Kian Liong. Pada empat lima puluh tahun yang lampau,
ayahnya Kian Liong, yaitu kaisar Yong Tjeng, masih dikenal sebagai
Soehongtjoe (putera kaizar yang ke empat) In Tjeng. Pada jaman itu,
putera-putera kaizar berebut tahta dan lawan In Tjeng yang paling berat
adalah Tjapsie Hongtjoe (putera kaizar yang ke empat belas) In Tee. Apa
kau pernah mendengar cerita perebutan tahta itu
"Ya," jawab Leng Kiauw, sambil mengangguk.
"Kakeknya Kian Liong, yaitu kaizar Kong Hie, sebenarnya sudah
menulis firman yang menetapkan, bahwa tahta kerajaan diwariskan kepada
Tjapsie Hongtjoe. Tapi, dengan bantuan ayahmu dan pamannya, In Tjeng
belakangan mengubah firman, sehingga akhirnya, dialah yang menjadi
kaizar."
"Tapi bukankah soal siapa yang menjadi kaizar tak bersangkut paut
dengan rakyat jelata?" kata Leng Kiauw.
"Persoalannya bukan begitu," kata Phoei Keng Beng. "Soal ini
sedikitnya bersangkut paut dengan diriku. Jika Yong Tjeng tidak menjadi
kaizar, ayahmu tentu tak mati begitu cepat dan aku tidak melarikan diri
ke gunung ini."
Leng Kiauw bengong dan untuk beberapa saat ia tidak mengeluarkan
sepatah kata. "Bagus juga Yong Tjeng sudah dibinasakan oleh musuhnya,"
katanya.
"Pada empat puluh tahun berselang, Tjapsie Hongtjoe mempunyai dua
boesoe yang paling terkenal," kata pula si kakek. "Yang satu bernama Kie
Pwee Sia yang belakangan berhamba kepada Yong Tjeng. Yang satu lagi terus
bersetia kepada majikan yang lama."
Tiba-tiba Leng Kiauw ingat cerita yang pernah didengarnya. "Ah!
Orang itu adalah Sinkoen (si Tinju Malaikat) Phoei Keng Beng!" teriaknya.
Si kakek bersenyum dan berkata: "Benar. Orang itu adalah aku
sendiri."
Bicara sampai disitu, si nona datang. "Ayah, mengapa sampai begini
malam kau masih terus beromong-omong dengan tamu kita?" tanyanya. "Ih!
Ada apa?"
Sambil bersenyum sang ayah menyusut ujung mulutnya yang
mengeluarkan darah. "Tak apa-apa," jawabnya. "Soat-djie, kaupun boleh
mendengar pembicaraan ini." Ia menghela napas dan kemudian melanjutkan
penuturannya: "Sesudah mengubah firman dan naik ke atas tahta, Yong Tjeng
terus berusaha untuk membasmi saudara-saudaranya. Beberapa tahun
kemudian, selagi membawa tentara untuk memadamkan pemberontakan di
Tiongkok Barat, Tjapsie Hongtjoe kena dibinasakan. Orang yang mengatur
rencana untuk membinasakan pangeran itu, adalah ayahmu sendiri. Sesudah
Tjapsie Hongtjoe binasa, ayahmu merampas kekuasaan tentara dan mulai
waktu itu, barulah ia mendapat pangkat sebagai jenderal besar."
"Lantaran itu, kau membenci ayahku dan Yong Tjeng, bukan?" tanya
Leng Kiauw.
"Benar," jawabnya. "Karena aku sungkan menghamba, Yong Tjeng jadi
gusar, sehingga aku terpaksa kabur ke Tibet. Sesudah berada di Tibet, aku
masih tetap ingin membalas sakit hati dan segera menikah dengan ibunya
Soat-djie, dengan pengharapan bisa mendapat anak lelaki, yang akan bisa
membalas sakit hatiku."
Si nona mengeluarkan seruan kaget.
Sang ayah tertawa dan berkata dengan suara halus: "Soat-djie, kau
tak usah takut. Kedua musuh itu sudah binasa tiga puluh tahun lamanya.
Waktu itu, karena sukarnya perhubungan, aku tak tahu kebinasaan mereka
dan masih terus ingin membalas dendam. Sesudah Yong Tjeng mati beberapa
tahun, Tong Tayhiap menyambangiku dan barulah kutahu kejadian itu. Tapi
biar bagaimanapun juga, oleh pemerintah Tjeng aku masih dianggap sebagai
seorang buronan dan karena hatiku sudah menjadi dingin, aku segera
menetap di Tibet dan hidup beruntung bersama ibumu. Waktu bermula pindah
kesini, hatiku mendongkol terhadap Lian Keng Giauw, sehingga aku membuat
patungnya untuk digunakan sebagai sasaran dalam latihan golok terbang.
Sebenarnya, sesudah orangnya meninggal dunia, sakit hati harus
disingkirkan dan melampiaskan hawa amarah terhadap orang yang sudah mati,
memang tak pantas. Tong Tayhiap pun sudah pernah menasehati aku. Lian
Kongtjoe, malam ini aku sengaja menuturkan segala apa secara terus terang
dan barusan aku membiarkan kau meninju mulutku, supaya sedikit banyak kau
bisa melampiaskan rasa jengkelmu."
Mendengar penuturan itu, kegusaran Leng Kiauw lantas saja mereda.
"Sekarang baru kutahu, mengapa kau membenci ayahku," katanya. "Tapi, kau
bersetia kepada Tjapsie Hongtjoe, sedang ayahku bersetia kepada
Soehongtjoe, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan, bahwa masing-masing
bersetia kepada majikannya sendiri. Mengapa sakit hatimu begitu
mendalam?"
"Benar," kata si kakek. "Bahwa aku menghamba kepada Tjapsie
Hongtjoe memang pantas dicaci orang. Tapi kedudukanku berbeda jauh dengan
kedudukan ayahmu. Aku hanya seorang kepercayaan Tjapsie Hongtjoe, sedang
ayahmu satu jenderal besar. Ia telah mempersembahkan banyak rencana busuk
kepada Yong Tjeng, ia telah membinasakan banyak sekali pendekar-pendekar
budiman dan ia sangat menindas rakyat. Ia sudah menghianati guru sendiri,
membakar kuil Siauwlim sie, membangun banyak penjara, mencelakakan dan
menganiaya banyak sekali manusia dan melakukan berbagai perbuatan
terkutuk. Apakah kenyataan-kenyataan itu diketahui olehmu?"
Semenjak kecil Leng Kiauw dipelihara oleh keluarga Tong dan karena
kuatir melukakan hatinya, keluarga tersebut belum pernah menceritakan
segala perbuatan ayahnya. Sesudah besar, ia hanya mengetahui, bahwa
ayahnya pernah memegang kekuasaan atas ratusan laksa tentara dan akhirnya
dibinasakan oleh kaizar Yong Tjeng. Kebusukan ayahnya tak pernah
diceritakan orang kepadanya.
Maka itulah, mendengar keterangan Phoei Keng Beng, hatinya sakit
seperti diiris-iris. Sedikitpun ia tak pernah mimpi, bahwa ayahnya yang
selalu dipuja-puja, sebenarnya adalah satu manusia terkutuk. Ia berduka
tercampur malu, sehingga parasnya pucat bagaikan kertas.
Si kakek mengawasi pemuda itu dengan rasa kasihan. "Kedosaan ayah
tidak menyangkut paut dengan anaknya," katanya dengan suara menghibur.
"Apapula jika diingat, bahwa pada waktu ayahmu meninggal dunia, kau baru
berusia satu tahun. Waktu Tong Tayhiap datang kesini, ia telah
memberitahukan, bahwa kau telah menukar she dan nama dan bersembunyi di
Tibet dengan cita-cita tertentu. Ia mengatakan, bahwa kau adalah seorang
baik dan ia merasa girang karena itu. Tapi niatanmu untuk bergerak di
Tibet tidak disetujui olehnya."
Dengan hati duka Leng Kiauw berdiri bengong. "Bagaimana kau tahu,
bahwa aku adalah anaknya Lian Keng Giauw?" tanyanya dengan suara parau.
"Aku pernah melihat ayahmu, memakai singa-singaan giok itu,"
jawabnya. "Hm! Jika aku ingin mencelakakan kau, gampangnya seperti juga
membalik tangan. Apa sekarang kegusaranmu sudah mereda?"
Air mata Leng Kiauw mengucur deras. "Lootiang!..." katanya. Ia
menyesal bukan main, bahwa ia sudah memukul orang tua itu.
“Sesudah mendengar penuturanku, sekarang kau harus memberitahukan,
mengapa kau sudah kabur ke gunung ini," kata Phoei Keng Beng.
"Tentara Nepal berkemah di lembah di kaki gunung," menerangkan Leng
Kiauw. "Walaupun kumembenci
pemerintah Tjeng, tapi kujuga sungkan menuntun tentara asing masuk
ke wilayah Tionggoan."
Mata si kakek bersinar terang. "Tong Tayhiap ternyata tak keliru,
waktu ia mengatakan, bahwa kau sangat berbeda dengan ayahmu," katanya.
Si nona yang merasa kasihan pada tamunya lantas saja menyeletuk:
"Thia-thia, perlu apa kau terus menyebut-nyebut ayah orang?"
"Benar," kata sang ayah sambil bersenyum. "Permusuhan yang dulu
memang tak perlu disebut-sebut lagi. Sekarang biarlah kau berdua
berjabatan tangan, supaya segala permusuhan habis sampai disini."
Gadis itu lantas saja mengangsurkan tangannya yang lalu dijabat
erat-erat oleh Liong Leng Kiauw yang sekarang baru tahu, bahwa si nona
bernama Soat Koen.
Dalam usaha menyingkirkan permusuhan dengan keluarga Lian, Phoei
Keng Beng sebenarnya mempunyai suatu maksud lain. Dengan bertempat
tinggal di gunung yang jarang disampaikan manusia, ia sangat sukar
mencari menantu untuk puterinya. Pada waktu Tong Siauw Lan
memberitahukan, bahwa putera Lian Keng Giauw adalah seorang baik, hatinya
lantas saja tergerak. Begitu bertemu muka, ia mendapat kenyataan, bahwa
pemuda itu adalah seorang yang mempunyai kepribadian mengagumkan dan
meskipun usianya belasan tahun lebih tua dari Soat Koen, ia masih boleh
dipasangi dengan puterinya itu. Tapi tentu saja ia tak bisa lantas
membuka mulut dan ia telah mengambil keputusan untuk meminta pertolongan
Tong Siauw Lan.
"Lootiang," kata Leng Kiauw sesudah dapat menenteramkan hatinya.
"Apakah Tong Tayhiap berarti Tong Siauw Lan, Tjiangboendjin Thiansan
pay?"
"Benar," jawabnya. "Dia adalah sahabatku sedari empat puluh tahun
berselang."
Baru saja Leng Kiauw ingin menanya lagi, jauh-jauh terdengar
tindakan kaki yang sangat enteng. "Ilmu mengentengkan badan dari orang
yang mendatangi belum cukup tinggi, tapi sudah tak boleh dipandang
rendah," kata si kakek.
Leng Kiauw terkejut. "Mereka tentu adalah kaki tangan raja Nepal
yang datang untuk menangkap aku," katanya.
"Liong Sianseng," kata Keng Beng. "Biarlah aku tetap memanggil kau
sebagai Liong Sianseng. Sebegitu lama kau berada dalam gubukku, kami
pasti tak akan mempermisikan kau ditangkap orang. Hanya aku menduga,
mereka itu bukan musuh-musuhmu."
Baru saja si kakek berkata begitu, pintu luar sudah terketuk.
"Aku disini!" bentak Phoei Keng Beng.
"Tua bangka!" demikian terdengar teriakan dalam bahasa Tibet.
"Keluar! Berani benar kau melawan murid-murid Timotato!"
"Oh! Mereka mencari kau!" kata Leng Kiauw dengan suara heran.
"Ya, kau tak usah mencampuri," jawabnya. "Tunggu disini, biar aku
yang menyambutnya." Sambil tertawa terbahak-bahak, ia membuka pintu taman
dan melompat keluar.
Tentu saja Leng Kiauw tak akan membiarkan orang tua itu melawan
musuh seorang diri. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, bersama Soat Koen ia
segera melompati tembok untuk memberi bantuan.
Di luar rumah kelihatan berdiri empat lima orang dan kecuali orang
yang barusan mencaci, yang lainnya adalah orang-orang asing. Begitu tuan
rumah muncul, tanpa menegur lagi, mereka menyerang.
Leng Kiauw menghunus pedang dan lalu melompat untuk menyambut
serangan itu, Mendadak ia merasa menyambarnya dua macam tenaga dari kiri
kanan sehingga pedangnya hampir-hampir jatuh. Ia terperanjat dan menanya
dalam hatinya: "Ilmu apa ini?"
Tiba-tiba dari jarak sepuluh tindak, Keng Beng mengirim satu
pukulan, sehingga badannya dua pendeta asing yang berada paling depan,
bergoyang-goyang!
"Benar-benar Tinju Malaikat!" memuji Leng Kiauw di dalam hati.
Di lain saat, dua orang lain sudah menerjang si kakek dari kedua
samping dan pertempuran segera dimulai. Leng Kiauw juga tak tinggal diam
dan bersama si nona, ia segera menerjun ke dalam gelanggang.
Biarpun belum bisa menandingi jago-jago kelas utama, Leng Kiauw
memiliki kepandaian dan lweekang yang cukup tinggi. Maka itu, sesudah
bertempur beberapa jurus, ia segera dapat meraba-raba keliehayannya
Imyang Tjianglek dan dengan mengikuti gerakan-gerakan serangan itu yang
terputar-putar, ia bisa juga mengirim serangan-serangan dengan pedangnya,
Sementara itu, Soat Koen yang bersenjata pecut yang terbuat dari benang
emas, juga merupakan bantuan yang sangat berharga. Lweekang si nona masih
rendah, tapi ia gesit dan lincah, sedang pecutnya adalah senjata panjang
yang dapat melukakan musuh dari jarak kurang lebih setombak.
Sesudah bertempur beberapa lama, mendadak terdengar suara "plak!"
dan dua musuh yang berada di sayap kiri roboh terguling dengan berbareng.
Leng Kiauw melompat seraya mengayun pedang, tapi dicegat oleh dua musuh
lain yang berada di sayap kanan. Sedang kedua kawannya menggelinding ke
bawah tanjakan, mereka menyerang dengan pukulan berantai, sehingga Leng
Kiauw terpaksa melompat mundur. Dengan menggunakan kesempatan itu, mereka
segera kabur dan menyusul kedua kawannya.
Napas Phoei Keng Beng kelihatan tersengal-sengal. "Hai! Kusudah
tua!" katanya dengan suara duka. "Sudah tak berguna lagi!" Ternyata,
meskipun ia berhasil memecahkan Imyang Tjianglek dengan tenaga lweekang,
tapi dirinya sendiri telah mendapat luka di dalam. Dengan dipayang oleh
Leng Kiauw dan Soat Koen, ia kembali ke dalam rumah dan bersila untuk
mengerahkan lweekang. Lewat seminuman teh, barulah napasnya mulai mereda.
"Siapa adanya mereka?" tanya Leng Kiauw. "Mengapa mereka musuhi
Lootiang?"
"Entahlah," jawabnya. "Pergi satu, datang yang lain, sudah tiga
kali mereka menyateroni aku. Yang pertama adalah seorang pendeta asing
yang berambut merah seorang juru bahasa Tibet. Ia mengatakan, bahwa
gurunya memerlukan gubukku ini dan yang lebih gila lagi, aku dan anakku
mau dijadikan semacam budak. Huh-huh! Aku si tua sudah hidup enam puluh
tahun lebih, tapi belum pernah bertemu dengan manusia yang begitu kurang
ajar. Akhirnya aku menghajar mereka yang lalu melarikan diri. Yang datang
kedua kali adalah tiga orang, dua antaranya mempunyai lweekang yang
sangat tinggi. Kami melawan dan sesudah bertempur setengah harian, kami
keteter. Untung sungguh datang Tong Tayhiap yang lalu menghajar kedua
orang itu dengan Thiansan Sinbong. Dan kali ini, Liong Sianseng yang
membantu aku. Tanpa bantuan, gubuk dan taman ini tentu sudah direbut
orang.
Leng Kiauw merasa sangat heran dalam hatinya. Perlu apa orang-orang
asing itu merebut sebuah rumah kecil di tengah-tengah gunung yang sepi?
Ia tentu saja tak tahu, bahwa dalam cita-citanya untuk mendaki
Tjoe-hong, Timotato sudah membuat rencana lama sekali dan telah
memerintahkan murid-muridnya menyelidiki jalanan. Melihat rumah si kakek,
murid-murid itu merasa ketarik karena rumah tersebut terletak di tempat
yang hawanya hangat dan sangat cocok untuk dijadikan pangkalan. Jika
mereka meminta secara baik dan memberi alasan-alasan yang pantas, mungkin
sekali Phoei Keng Beng akan meluluskan. Tapi sebagai murid Timotato yang
biasa berlaku sewenang-wenang kepada rakyat jelata, mereka bersikap
sangat kurang ajar dan sombong, sehingga mereka jadi bergebrak dengan
Keng Beng dan puterinya. Kedua orang asing yang telah dilukakan lututnya
oleh Tong Siauw Lan, bukan lain daripada Tunhuman dan Alsa.
Hawa jadi semakin dingin dan Soat Koen berkata kepada ayahnya:
"Thia-thia, kau mengasohlah."
Sang ayah tak menyahut, sebaliknya ia memasang kuping. "Kukuatir
musuh tak mengijinkan aku mengasoh," katanya dengan suara getir.
"Apa? Apa mereka datang lagi?" tanya si nona dengan hati berdebar-
debar.
"Benar-benar kurang ajar!" mencaci Leng Kiauw, karena ia pun sudah
mendengar tindakan orang.
Tiba-tiba terdengar suara gedubrakan dan tembok pekarangan roboh.
Di lain saat, sejumlah orang melompat masuk. Orang yang jalan di depan
adalah Koksoe Nepal Taichiti, diikut oleh empat muridnya Timotato yang
barusan kabur dan di belakang mereka kelihatan dua boesoe Nepal.
Ternyata, sesudah dirobohkan Keng Thian, Taichiti tak ada muka
untuk bertemu lagi dengan raja Nepal dan ia berhasil membujuk dua orang
boesoe Nepal untuk mengejar Leng Kiauw, dengan harapan bisa mendapat muka
lagi jika ia berhasil membekuk buronan itu. Di tengah jalan, mereka
bertemu dengan ke empat murid Timotato dan mengetahui, bahwa Liong Leng
Kiauw pun berada di rumahnya si kakek. Maka itulah, dengan merangkap
tenaga, mereka segera menyateroni lagi.
Sekarang Taichiti sudah tidak menggunakan jubah merahnya yang telah
dirusak Thiansan Sinbong. Untuk gantinya jubah, ia membawa tameng besi
sebagai timpalan dari martilnya. Tembok taman keluarga Phoei dirobohkan
olehnya dengan menggunakan martil.
Melihat kebun kembangnya rusak, si nona jadi kalap dan sambil
memutar pecut, ia menerjang.
"Soat-djie! Mundur!" teriak sang ayah.
Tapi Soat Koen tidak meladeni dan dengan sekali mengayun tangan, ia
menimpuk dengan pedang pendek. "Trang!", pedang itu patah terbentur
tameng. Hampir berbareng, ujung pecut si nona sudah melibat pergelangan
tangan Taichiti, tapi pendeta itu tidak menghiraukannya dan terus maju
sambil tertawa terbahak-bahak. "Lian Kongtjoe!" katanya. "Raja telah
memperlakukan kau dengan manis budi, mengapa kau melarikan diri?"
Setiap kali ia maju setindak, pecut Soat Koen melibat selibatan di
pergelangan tangannya, sehingga semakin lama pecut itu jadi semakin
pendek. Si nona coba membetot sekeras-kerasnya, tapi sedikitpun tidak
bergeming.
"Lepas!" bentak Leng Kiauw sambil mengangkat pedang.
Lengan Taichiti bergerak dan mendorong tubuh si nona untuk memapaki
pedang. "Tikamlah Lian Sianseng, tikamlah!" katanya, mengejek.
Tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat, bagaikan menyambar elang.
Hampir berbareng denqan suara "plak!", pecut Phoei Soat Koen putus,
sehingga dari setombak lebih panjangnya, yang ketinggalan hanya kira-kira
empat kaki. Ternyata, dengan menggunakan Sinkoen, Phoei Keng Beng sudah
menolong puterinya.
Paras Taichiti berubah pucat pias dan "uah!", ia muntahkan darah.
Badan si kakek sendiri bergoyang-goyang, seperti api lilin ditiup angin.
Kalau pukulan itu dikirim waktu Phoei Keng Beng masih berusia muda.
Taichiti pasti segera melayang jiwanya. Tapi sekarang, karena ia sudah
berusia lanjut dan mendapat luka di dalam, maka akibatnya kedua belah
pihak sama-sama mendapat luka.
"Soat-moay!" teriak Leng Kiauw. "Ajak ayahmu masuk." Sambil berkata
begitu, ia melepaskan beberapa butir kilee dan panah tangan. Tapi semua
senjata rahasia itu terbang melewati tubuh si pendeta, karena disampok
dengan pukulan Imyang Tjianglek oleh keempat murid Timotato. Leng Kiauw
jadi gusar bukan main dan tanpa memikir panjang-panjang lagi, ia segera
menerjang musuh-musuhnya.
Taichiti benar-benar kedot. Biarpun sudah terluka, dengan gagah ia
menyambut serangan Leng Kiauw yang dalam sekejap sudah dikurung oleh
tujuh musuh. Masih untung, Taichiti baru saja terluka, sedang empat murid
Timotato juga barusan saja bertempur hebat dan dua antaranya sudah
terpukul dengan pukulan Sinkoen, maka untuk sementara Leng Kiauw masih
bisa bertahan. Tapi sesudah bertempur kurang lebih dua puluh jurus, ia
sudah "digulung" dengan gelombang pukulan Imyang Tjianglek dan sukar
berkutik lagi. Melihat saatnya tiba, Taichiti lalu mengempos semangat dan
menghantam dengan martilnya sekuat tenaga.
Pada detik yang sangat berbahaya bagi jiwa Liong Leng Kiauw,
sekonyong-konyong terdengar teriakan aneh yang sangat nyaring. Di lain
saat, sebuah batu yang besar melayang turun ke gelanggang pertempuran.
Orang-orang yang lagi bertempur jadi kaget bukan main dan semua melompat
untuk menyingkirkan diri dari sambaran batu. Hampir berbareng dengan
jatuhnya batu, seorang pemuda yang pakaiannya compang-camping melompat
keluar sambil tertawa terbahak-bahak. "Aku paling benci orang main
keroyok!" teriaknya. "Ha-ha! Mari! Mari! Rasakan enaknya tongkatku!" Ia
menjungkir balik tiga kali dan tahu-tahu, ia sudah berada di depan
Taichiti dan kawan-kawannia. Gerakan yang begitu cepat sungguh-sungguh
sukar dicari tandingannya. Sebagaimana bisa diduga, pemuda itu bukan lain
daripada Kim Sie Ie!
Leng Kiauw heran sebab ia belum mengenal penolongnya, tapi ia tak
sempat menanya dan lalu membantu pemuda itu yang sudah mulai dikepung
oleh tujuh musuhnya.
Kim Sie Ie terkejut ketika badannya terbetot dengan empat tenaga
tangan. "Binatang!" bentaknya. "Ilmu siluman apa yang digunakan kamu?"
Sambil mencaci, ia menghunus pedang dan lalu menyerang seperti kerbau
edan.
"Hengtay (saudara) jangan kalap!" seru Leng Kiauw. "Ikuti gerakan
mereka, lebih dulu membela diri dan kemudian baru menyerang!"
"Fui!" Kim Sie Ie ia membentak pula. "Geram harimau justeru perlu
untuk menghadapi kawanan tikus! Laki-laki tulen harus punya amarah!"
Mendengar jawaban itu, Leng Kiauw jadi mendongkol dan tak berkata
apa-apa lagi.
Di lain pihak, melihat cara berkelahinya Kim Sie Ie, keempat murid
Timotato jadi girang dan lalu memperhebat serangan mereka supaya musuhnya
tak dapat meloloskan diri lagi.
"Awas!" mendadak Taichiti berteriak.
Hampir berbareng Kim Sie Ie sudah menyemburkan ludah. Salah seorang
murid Timotato yang sedang menerjang tiba-tiba merasa alisnya seperti
digigit semut dan ia tak dapat membuka matanya lagi. "Cui! Cui!" dan dua
boesoe Nepal terguling di atas tanah!
Tiga murid Timotato yang lain jadi bingung dan buru-buru
menggunakan Imyang Tjianglek untuk membela diri. Taichiti kelihatan
ketakutan sekali dan terus memutar tamengnya bagaikan ti tiran.
Melihat begitu, Leng Kiauw mendusin. "Toktjhioe Hongkay!" serunya
dengan suara kaget.
Kim Sie Ie tertawa berkakakan. "Benar!" katanya. "Tak salah! Aku
adalah Toktjhioe Hongkay! Semua manusia mencaciku sebagai manusia
beracun, sebagai seorang gila! Ha-ha. Apa kau juga merasa jijik?"
Muka Leng Kiauw jadi berubah merah. Ia insyaf bahwa ia sudah salah
omong. "Hengtay adalah seorang pendekar yang berhati mulia," katanya
dengan suara jengah. "Siauwtee memohon maaf."
Kim Sie Ie kembali tertawa terbahak-bahak. "Memang, memang aku
Toktjhioe Hongkay!" teriaknya. "Ha-ha, lihatlah tanganku yang beracun!"
Ia menyembur sambil menyabet dengan pedangnya yang berhasil
menggores lengan Taichiti. Dengan hati ketakutan, si pendeta memutar
tamengnya bagaikan titiran untuk melindungi diri. Sementara itu, tiga
murid Timotato sudah memperbaiki kedudukannya dan mulai menyerang lagi
dengan Imyang Tjianglek, sehingga Taichiti bisa bernapas lebih lega. Tapi
sebab takut diserang dengan jarum beracun, mereka tidak berani mendesak
terlalu keras dan sebagai akibatnya pertandingan dua melawan empat itu
jadi berimbang.
Sambil bertempur, ketiga murid Timotato tak hentinya mengeluarkan
teriakan-teriakan aneh. "Eh, perlu apa kamu berteriak-teriak?" bentak Kim
Sie Ie. "Apa kau mau dengar geram harimau?" Sehabis berkata begitu, ia
segera mementang mulut dan turut berteriak-teriak.
Sesudah bertempur lagi kira-kira setengah jam, Taichiti kembali
kena dipukul dengan tongkat Kim Sie Ie dan ia kelihatannya sudah payah
sekali.
Mendadak, secara tidak diduga-duga, pemuda itu berteriak: "Aku
lapar! Sesudah makan, aku akan melayani kau lagi."
Taichiti girang bukan main. "Baiklah," katanya. "Aku mempermisikan
kau hidup lagi satu hari!"
"Cui!", Kim Sie Ie menyemburkan ludah dan Taichiti buru-buru lompat
menyingkir, tanpa berani membuka suara lagi.
Dari sakunya, Kim Sie Ie segera mengeluarkan sepotong daging ayam
hutan yang dibakar setengah matang. Ia memasukkan daging itu di mulutnya,
tapi lantas dikeluarkan lagi. "Keras sungguh, gara-gara hawa dingin, tak
dapat dimakan lagi," katanya. "Eh, aku sudah membantu kau, mengapa kau
tidak mengundang aku untuk makan?"
Sedari tadi Leng Kiauw berdiam saja sebab ia tengah merasa sangat
menyesal, bahwa pada saat hampir memperoleh kemenangan, Kim Sie Ie sudah
menghentikan pertempuran. Mendengar teguran sang penolong, ia lantas saja
tertawa seraya berkata: "Maaf, aku sungguh lupa. Di dalam rumah sedia
arak dan daging. Marilah." Ia sama sekali tak tahu, bahwa Kim Sie Ie
menunda pertandingan sebab tenaganya sudah hampir habis. Setelah
memperhatikan pukulan-pukulan Imyang Tjianglek, pemuda itu mengerti,
bahwa dalam keadaannya yang sangat letih, ia tak akan bisa memecahkan
pukulan itu, sehingga oleh karenanya, ia ingin mengasoh untuk memelihara
tenaga.
Begitu bertindak masuk ke dalam rumah, mereka melihat paras Keng
Beng pucat bagaikan kertas. "Lootiang," menegur Leng Kiauw dengan rasa
kuatir. "Bagaimana keadaanmu?"
Si kakek tersenyum seraya menjawab: "Tak apa-apa. Malam ini kutak
akan mati."
Buru-buru Leng Kiauw memegang nadi orang dan hatinya lantas saja
mencelos, sebab ternyata orang tua itu tak bisa hidup lebih dari tujuh
hari lagi. Ia berduka bukan main, tapi sebisa-bisa menahan air matanya
sebab kuatir si nona turut berduka.
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie tertawa berkakakan. "Benar! Benar!"
serunya. "Hidup satu hari berarti satu hari. Asal malam ini tak mati, itu
bagus! Siapa tahu kalau besok aku sudah tak ada lagi dalam dunia?"
Leng Kiauw mendongkol, tapi ia merasa tak enak menegur penolongnya.
Maka itu, ia hanya berkata dengan suara tawar: "Di dalam ada arak dan
daging, kau ambil saja sendiri."
Kim Sie Ie kembali tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus!"
teriaknya. "Sesudah makan, biarpun mesti mati, aku mati sebagai setan
perut kenyang. Lootiang! Sebagai orang-orang yang punya penyakit sama,
kita saling mengasihani. Marilah kita minum tiga cawan besar!"
Leng Kiauw jadi gusar. Ia tak tahu, bahwa pemuda gila-gilaan itu
hanya bisa hidup tujuh hari lagi.
Phoei Keng Beng melirik dan mendadak ia pun tertawa berkakakan.
"Bagus! Bagus sungguh!" serunya. "Saudara kecil beradat sangat terbuka.
Baiklah! Mari kita minum tiga cawan besar! Soat-djie, ambillah arak dan
makanan untuk menjamu tamu kita ini." Walaupun tertawa, ia tertawa duka
dan pada suaranya menyayatkan hati. Jantung si nona memukul keras dan ia
menatap wajah ayahnya dengan mata membelalak.
Sebagai seorang ahli yang berkepandaian tinggi, sekali melirik
saja, Phoei Keng Beng sudah tahu, bahwa lweekang Kim Sie Ie adalah
lweekang yang sesat dan yang akan segera "membakar" dirinya sendiri. Ia
tahu, bahwa pemuda itu hanya bisa hidup tujuh hari lagi, tanpa bisa
disembuhkan dengan obat apapun jua. Ia adalah seorang yang sudah kenyang
makan asam garam dunia sedikitpun tak takut mati. Ia menganggap pemuda
itu sebagai seorang yang bernasib sama dan sama sekali tidak menghiraukan
kata-katanya yang gila-gilaan.
Sesudah memanasi arak, Soat Koen keluar dan menuang satu cawan
untuk Kim Sie Ie. "Ayah, apa kau juga mau minum?" tanyanya sambil
mencekal poci arak.
Sang ayah tertawa besar dan mengambil poci yang dicekalnya. "Hari
ini secara kebetulan aku bertemu dengan Lian Kongtjoe dan bertemu pula
dengan seorang gagah yang luar biasa," katanya. "Hatiku girang bukan main
dan kesempatan ini tak boleh dilewatkan dengan begitu saja." Ia menuang
arak ke dalam cawannya dan lalu minum bersama-sama Kim Sie Ie.
Demikianlah kedua orang itu -- yang satu tua, yang lain muda -- yang
sedang menghadapi maut, minum dengan gembira tanpa memperdulikan apa yang
akan terjadi besok.
Leng Kiauw mengawasi si kakek dengan hati penuh kedukaan. Ia ingat,
bahwa karena gara-gara ayahnya, bersama puterinya, Phoei Keng Beng
lerpaksa menyingkir ke pegunungan Himalaya yang sunyi dan dingin. Ia
ingat pula, bahwa si kakek telah terluka karena tinjunya sendiri. Dan
sekarang ia minum untuk melupakan penderitaannya!
Sesudah minum beberapa cawan, Phoei Keng Beng mendadak menaruh poci
dan berkata: "Liong Sianseng, aku merasa sangat beruntung, bahwa kita
bisa bertemu muka. Aku mempunyai serupa urusan yang belum dibereskan.
Bolehkah aku meminta bantuanmu?"
"Segala perintah Lootiang aku akan menjalankan dengan segala senang
hati," jawab Leng Kiauw.
Si kakek tersenyum dan sambil menunjuk puterinya, ia berkata dengan
suara perlahan: "Anak perempuanku tak bisa berdiam di gunung Himalaya
seumur hidup. Kalau nanti dia turun gunung, aku mengharap kau sudi
melihat-Iihatnya."
Mendengar pesanan itu yang mengandung maksud dalam, Leng Kiauw
terperanjat. Ia berdiam dan tidak dapat segera memberi jawaban.
"Bagaimana?" menegas si kakek.
"Tentu saja... tentu saja..." jawabnya dengan gugup. "Hal itu
adalah hal yang wajar, yang pasti akan dilakukanku, biarpun tidak
mendapat pesanan Lootiang."
"Thia-thia," kata si nona yang tidak mengerti maksud ayahnya. "Jika
aku turun gunung, bukankah kau pun akan turun gunung? Apakah ayah tak mau
memperhatikan lagi diriku?"
Sang ayah bersenyum duka seraya berkata: "Anak tolol! Apakah ayah
bisa memperhatikan kau terus menerus seumur hidupmu? Liong Sianseng,
telah menghadiahkan serenceng mutiara. Hayo! Haturkanlah terima kasih!"
Si nona jadi semakin bingung. "Bukankah tadi aku sudah menghaturkan
terima kasih?" tanyanya di dalam hati. "Apa ayah sudah jadi linglung?"
Tapi walaupun hatinya berkata begitu, untuk menyenangkan sang ayah, ia
kembali memberi hormat kepada Leng Kiauw.
Liong Leng Kiauw adalah seorang cerdas dan kata-kata si kakek tentu
saja dimengerti olehnya. Ia tahu, bahwa Phoei Keng Beng ingin menganggap,
bahwa serenceng mutiara itu adalah tanda mengikat tali pertunangan.
Sebagai seorang yang mempunyai cita-cita besar, sampai berusia tiga puluh
tahun, belum pernah ia memikir untuk menikah. Dan di luar dugaan, di
pegunungan .Himalaya yang sunyi secara sangat luar biasa, ia bertemu
dengan si nona. Melihat kecantikan Soat Koen yang beradat sangat polos,
hatinya lantas saja tergerak dan buru-buru ia membalas hormatnya nona
itu, akan kemudian berlutut tiga kali di.hadapan Phoei Keng Beng.
"Siauwtit pasti tidak akan menyia-nyiakan perintah Lootiang," katanya
dengan suara terharu.
Phoei Keng Beng tertawa girang dan sambil mengurut-urut jenggot, ia
minum kering secawan arak.
Sekonyong-konyong Kim Sie le pun tertawa bergelak-gelak. Ia
mengangkat poci dan minum habis isinya. "Jika kau melanggar janji, kuakan
hajar kau dengan tiga puluh gebukan tongkat!" katanya dengan suara
nyaring. "Ha-ha-ha! Tak dinyana hari ini kumenjadi saksi dari satu
perangkapan jodoh yang sangat luar biasa!"
"Hengtay mabuk," kata Leng Kiauw dengan suara jengah.
"Benar, benar aku sudah pusing," katanya. "Aku berjodoh untuk
menjadi saksi, tak berjodoh untuk minum lagi. Ha-ha-ha!" Sehabis tertawa,
ia melemparkan poci arak, merebahkan diri di atas lantai dan segera
menggeros.
Dapat dimengerti, jika malam itu Leng Kiauw tak bisa tidur pulas.
Ia duduk termenung-menung sambil memikiri permainan nasib. Tak lama lagi
fajar menyingsing.
Sekonyong-konyong, Kim Sie Ie melompat bangun. Sesudah menggosok-
gosok mata dengan tangannya, ia mengawasi langit yang sudah mulai terang.
"Satu hari lagi!" serunya sambil tertawa besar. Ia mengambil tongkat,
membuka pintu dan lalu berjalan keluar. "Mari! Mari!" teriaknya. "Pagi
ini aku akan hajar beberapa bangsat kecil."
Begitu tiba di luar, ia melihat musuh-musuhnya berkumpul di satu
tempat, dimana terdapat seorang asing tinggi besar yang belum dikenalnya.
Orang itu, yang bukan lain daripada Timotato, sedang mengurut-urut tubuh
seorang muridnya yang kena jarum racun. Tiba-tiba ia membentak keras, dan
dua jerijinya menjepit sebatang jarum! Ternyata, dengan menggunakan
lweekang yang sangat tinggi, ia berhasil mengeluarkan jarum itu dari
dalam alis muridnya.
Begitu melihat munculnya Kim Sie Ie, Taichiti yang sedang
menjalankan pernapasan untuk mengobati lukanya segera berseru: "Bocah!
Sesudah Timotato Thayhoatsoe datang, kamu semua bakal segera mampus!"
Jarum racun Kim Sie Ie adalah salah satu senjata rahasia yang
terhebat dalam Rimba Persilatan. Bahwa dengan lweekang, Timotato bisa
mengeluarkannya merupakan suatu bukti, bahwa kepandaian orang asing itu
bukan main tingginya. Tapi Kim Sie le yang sudah tidak memikir hidup,
sedikitpun tak menjadi keder. Begitu mendengar ancaman Taichiti, ia
melompat sambil menyemburkan ludah. "Fui!" bentaknya. "Thayhoatsoe apa?
Akulah yang mau mengantarkan Tayhoatsoe-mu ke alam baka."
Timotato mengebas dengan lengan jubah dan jarum racun itu tak
kelihatan bayang-bayangannya lagi. Sambil membentak keras, ia segera
menghantam Kim Sie Ie dengan tangannya.
Sambil mengempos semangat, pemuda itu menangkis dengan tongkatnya.
"Buk!", tongkat bengkok, tapi Timotato pun merasa lengannya sakit. Ia
terkejut dan tanpa berani memandang rendah lagi lawannya, ia segera
menyerang secara teratur. Tentu saja, pemuda itu bukan tandingannya.
Belum berapa lama, Kim Sie Ie sudah terkurung dalam gelombang Imyang
Tjianglek.
Dengan dipayang oleh puterinya, Phoei Keng Beng keluar dan bersila
di depan pintu untuk menyaksikan jalan pertempuran. Ia menghela napas
seraya berkata: "Ah, sayang! Benar-benar sayang!"
"Mengapa?" tanya puterinya.
"Dalam usianya yang masih begitu muda, saudara kecil itu memiliki
lweekang dan kepandaian yang sedemikian tinggi," jawabnya. "Dalam dunia
ini, mungkin sekali tidak berapa orang yang bisa menandinginya. Tapi...
begitu muda, begitu lekas berpulang ke alam baka. Sayang! Apa tak
sayang?"
Liong Leng Kiauw yang tak mengerti maksud sebenarnya dari si kakek,
hanya menduga, bahwa orang tua itu merasa sayang karena Kim Sie Ie bakal
binasa dalam tangan Timotato. Mengingat budi orang, ia segera menghunus
pedang untuk membantu. Tapi sebelum menerjang, empat murid Timotato
mengawasi padanya dengan siap sedia. "Phoei Pehpeh menderita luka berat
dan jika mereka menyerang, Soat-moay pasti tak akan dapat melawannya,"
katanya di dalam hati. Ia bimbang bukan main karena tak tahu harus
berbuat bagaimana.
Pada saat yang sangat berbahaya, mendadak, mendadak saja Phoei Keng
Beng berteriak dengan suara di tenggorokan: "Tong... Tong Tayhiap! Suami
isteri Tong Tayhiap datang!" Karena kegirangan yang meluap-luap, badan si
kakek bergoyang-goyang.
Kim Sie Ie yang sedang melayani Timotato dengan kepala pusing dan
menggunakan tenaganya yang penghabisan, tak mendengar tegas apa yang
dikatakan oleh orang tua itu. Tiba-tiba ia merasa kesiuran angin yang
bertenaga luar biasa besar. Ia terkesiap dan berusaha untuk berkelit,
tapi sudah tidak keburu lagi. Di lain saat badannya mengapung ke udara,
seperti juga dilontarkan orang. Dengan meminjam tenaga itu, ia menjungkir
balik dan secara kebetulan ia melihat Timotato terhuyung beberapa tindak.
Tong Siauw Lan datang pada saat yang berbahaya bagi jiwa Kim Sie
Ie. Pada detik yang genting itu, ia memisah kedua orang itu dengan
kebasan tangan bajunya. Jika terlambat sedikit saja, Kim Sie Ie pasti
sudah binasa karena ia sudah tidak tahan lagi.
Orang yang paling kaget adalah Timotato sendiri. Semenjak menjagoi
di Eropa dan negara-negara Arab, belasan tahun belum pernah ia bertemu
dengan tandingan. Tapi hari ini, ia terhuyung karena satu kebasan lengan
baju.
"Siapa kau?" tanya Tong Siauw Lan. "Mengapa kau berkelahi dengan
sahabatku?"
Timotato tak mengerti bahasa Tionghoa, tapi suara Tong Siauw Lan
yang tidak keras sangat menusuk telinga. Buru-buru ia mengerahkan tenaga
dalam untuk melawannya. Orang yang menjawab pertanyaan Siauw Lan adalah
Taichiti. "Ia adalah Timotato Thayhoatsoe, seorang berilmu yang ilmu
silatnya paling tinggi di dalam dunia dan yang telah menjagoi di Eropa
dan Asia," katanya.
Siauw Lan mendongakkan kepala seraya tertawa terbahak-bahak.
"Selama hidup kubelum pernah bertemu dengan seorang yang berani
menganggap diri sendiri sebagai manusia paling jempol di kolong langit,"
katanya. "Sekarang aku justeru ingin berkenalan dengan ilmunya. Baiklah,
begini saja: Biarlah ia memukul aku lebih dulu sepuluh kali." Sehabis
menantang, ia mengebas pula dengan lengan bajunya ke arah Timotato dan
Taichiti. Timotato buru-buru mengerahkan lweekang untuk mempertahankan
diri, tapi Taichiti sendiri tak ampun lagi lantas saja terguling-guling
dan untung juga, ia masih keburu ditolong oleh murid-murid Timotato,
sehingga tak sampai menggelinding ke bawah tanjakan.
"Thayhoatsoe! Jangan sungkan-sungkan lagi," serunya dengan napas
tersengal-sengal. "Dia mengatakan, bersedia dipukul lebih dulu sepuluh
kali. Asal kau bisa membereskan dia seorang, di seluruh Tiongkok tiada
orang lagi yang berani melawan kau." Sebagai seorang yang sering
berkelana di antara Nepal dan Tibet, walaupun tidak mengenal secara
pribadi, Taichiti pernah mendengar nama jago-jago silat di wilayah
Tionggoan. Maka itu, mendengar seruan Phoei Keng Beng, ia segera menduga,
bahwa orang yang datang adalah Tong Siauw Lan, Tjiangboendjin dari
Thiansan pay.
Selama hidup, Timotato belum pernah dihinakan seperti itu. Sambil
membentak keras, ia menghantam dengan kedua tangannya. Siauw Lan menancap
kedua kakinya di atas bumi dan badannya tidak bergerak. Dalam kagetnya,
si pendeta jadi semakin gusar dan lalu mengirim pukulan berantai. Pakaian
Siauw Lan berkibar-kibar karena pukulan itu, tapi kedua kakinya tetap
tidak bergeming. Timotato jadi mata merah. Sambil mengempos semangat,
dengan seluruh tenaga, ia mengirim pukulan Imyang Tjianglek dengan kedua
tangannya, tangan kiri mendorong, tangan kanan membetot. Dihantam dengan
pukulan geledek itu tubuh Siauw Lan bergoyang-goyang dan kaki kirinya
terangkat naik. Dengan cepat ia membuat sebuah lingkaran dengan kaki
kirinya itu yang lalu ditancap pula di atas tanah.
Ia tertawa berkakakan seraya berkata: "Sudah cukup sepuluh pukulan.
Bahwa kau berhasil menggoyangkan tubuhku sudah merupakan bukti, kau bukan
sembarang orang. Nah! Sekarang terimalah beberapa pukulanku!" Hampir
berbareng, ia mengirim satu pukulan dengan menggunakan ilmu Thiansan
Sintjiang (Pukulan malaikat dari Thiansan).
Timotato tentu saja tak bisa menuruti contoh lawannya yang telah
menahan serangannya dengan hanya menggunakan tenaga dalam. Ia menaruh
kedua tangannya di dada dan kemudian mendorong ke depan, tapi tak urung
ia terhuyung juga.
Sambil mengeluarkan seruan nyaring, Tong Siauw Lan maju setindak
dan mengirim pula satu pukulan. Timotato membuat sebuah lingkaran dengan
kedua tangannya seraya miringkan badan untuk mengegos pukulan itu. Tapi
tak urung, kedua kakinya terangkat, tubuhnya sempoyongan dan hampir-
hampir ia terguling di tanah! Siauw Lan sungkan memberi napas pada
lawannya. Ia maju pula setindak sambil mengangkat tangan.
Tiba-tiba si pendeta berteriak dan lalu bicara dalam bahasa yang
tidak dikenal Siauw Lan.
"Apa dia kata?" tanya Siauw Lan sambil menengok kepada Taichiti.
"Thayhoatsoe mengatakan, bahwa ia dan kau adalah orang-orang yang
berkedudukan sangat tinggi dan mengadu ilmu dengan jalan pertempuran,
tidak sesuai dengan kedudukan yang tinggi. Ia mengusulkan, supaya ditukar
dengan lain cara."
"Cara bagaimana?" tanya Siauw Lan.
"Adu... adu memanjat gunung," jawabnya. "Adu memanjat puncak
tertinggi di kolong langit."
"Baiklah," kata Siauw Lan dengan suara tenang.
"Tong Tayhiap!" seru Phoei Keng Beng. "Jangan!..." Suaranya parau
dan napasnya tersengal-sengal.
Siauw Lan kaget. "Mengapa kau, Phoei Toako?" tanyanya.
Sementara itu, Kim Sie Ie pun sudah mengetahui, bahwa orang yang
menolongnya adalah ayah Tong Keng Thian. Mengingat, bahwa orang tua itu
adalah manusia yang bisa menolong jiwanya, hampir-hampir ia maju
menghampiri. Tapi di lain saat, ia ingat ejekan Tang Thay Tjeng, yang
mengatakan, bahwa Tong Siauw Lan mau menolong dirinya dengan maksud
supaya ia tidak bisa mengangkat kepala lagi, karena Tjiangboendjin
Thiansan pay itu sebenarnya merasa mengiri dan jelus terhadap ilmu silat
Tokliong Tjoentjia. Pada sesaat itu, rupa-rupa pikiran masuk ke dalam
otak Kim Sie Ie, sehingga akhirnya ia memutar badan dan berjalan pergi.
Tapi baru jalan beberapa tindak, mendadak ia melihat seorang wanita
setengah tua yang melayang turun dari atas sebuah bukit. Ia mengawasi
dengan mata membelalak dan berkata dengan suara terputus-putus: "Kau...
kau... perlu apa kau mengubar aku terus menerus?"
Wanita itu adalah Phang Eng, isteri Tong Siauw Lan, tapi Kim Sie Ie
menganggapnya sebagai Phang Lin. Ia mengeluh seraya berkata dalam
hatinya: "Celaka! Kali ini dia tentu akan memaksa supaya aku menerima
budi Tong Siauw Lan."
Di lain pihak, perkataan pemuda itu mengherankan sangat hati Phang
Eng. "Apa kau kata?" tanyanya.
Melihat sikap yang dingin, Kim Sie le lantas saja meluap darahnya.
"Hra! Kalau begitu dia hanya berpura-pura manis terhadapku," pikirnya.
"Sekarang, melihat ajalku sudah dekat tiba, dia lantas menukar sikap."
Itulah adat aneh dari Kim Sie Ie. Di satu pihak, ia sungkan menerima budi
orang, tapi di lain pihak ia ingin dicinta orang. Ia jengkel karena Phang
Lin terus menguntit dirinya, tapi ia jadi marah melihat sikap Phang Eng
yang dingin.
Melihat perubahan pada paras muka pemuda itu, Phang Eng agak
terkejut dan berkata dalam hatinya: "Apakah adikku yang kembali
menimbulkan gara-gara?" Mengingat begitu, ia segera tersenyum dan menanya
dengan suara halus: "Siapa kau? Jika kau mempunyai urusan apa-apa,
beritahukanlah kepadaku."
Tiba-tiba Kim Sie Ie mengeluarkan teriakan aneh. "Baiklah!"
bentaknya. "Mulai dari sekarang, kau anggap saja belum pernah bertemu
denganku. Minggir! Aku mau pergi." Karena kuatir Phang Eng menahannya,
sambil melompat tinggi, ia menyapu dengan tongkatnya.
"Siapa kesudian mencegat kau?" kata Phang Eng dengan suara dingin
seraya mementil dengan jerijinya. "Cring!" tongkat terpentil dan Kim Sie
Ie merasakan dorongan tenaga yang sangat hebat, sehingga ia menjungkir
balik tiga kali dan hinggap di tanjakan gunung. Bukan main kagetnya
pemuda itu. Ia pemah menyaksikan dan merasa kagum akan kepandaian Phang
Lin, tapi ia tak nyana, nyonya itu mempunyai lweekang yang sedemikian
dahsyat. "Untung juga dia tidak mempermainkan diriku terlebih jauh,"
katanya di dalam hati. Sambil mengempos semangat, ia kabur secepat-
cepatnya tanpa berani menengok lagi. Tentu saja ia tak tahu, bahwa Phang
Eng –- yang dianggapnya sebagai Phang Lin —— memiliki kepandaian jauh
lebih tinggi daripada adiknya dan kira-kira berendeng dengan Lu Soe Nio.
Jika yang mementilnya adalah Phang Lin, paling banyak ia menjungkir balik
satu kali.
Dalam pada itu, Tong Siauw Lan sudah memeriksa luka Phoei Keng Beng
dan memberi dua butir Pekleng tan, akan kemudian mengurut tubuh orang tua
itu dengan menggunakan lweekang Thiansan pay. Phang Eng mendekati dan
lalu berdiri di belakang suaminya.
Lewat beberapa saat, Siauw Lan selesai dan berkata sesudah menyusut
keringat: "Phoei Toako, mulai besok pagi kau harus menjalankan pernapasan
dalam kamar yang sunyi untuk sepuluh hari lamanya. Lukamu sudah tidak
berbahaya lagi."
Si kakek tertawa getir. "Tong Tayhiap, perlu apa kau banyak berabe
dan memperpanjang usiaku untuk beberapa tahun?" katanya. Ia mengetahui,
bahwa karena usianya yang sudah lanjut, walaupun sembuh, ilmu silatnya
akan berkurang banyak dan ia hanya bisa hidup beberapa tahun lagi.
Ia mengangkat kepala dan kedua matanya menyapu seluruh ruangan.
"Tong Tayhiap," katanya pula dengan suara perlahan. "Aku ingin
memperkenalkan kau dengan dua orang gagah dari tingkatan muda. E-eh, mana
itu saudara kecil yang satunya lagi?" Barusan, selagi diobati sambil
meramkan mata, ia tak tahu kaburnya Kim Sie Ie.
"Siapa dia?" tanya Phang Eng. "Mengapa gerak-geriknya begitu luar
biasa?"
"Dia adalah yang dikenal dalam kalangan Kangouw sebagai Toktjhioe
Hongkay," menerangkan Leng Kiauw. "Namanya Kim Sie Ie."
"Kim Sie Ie?" menegas Siauw
Lan yang belum pernah mendengar nama pemuda itu.
"Ih! Tadi, waktu melihat ilmu silatnya, aku ingat seorang sahabat
lama."
"Tokliong Tjoentjia!" seru sang isteri.
"Benar," kata Siauw Lan. "Bukankah ilmu silatnya menyerupai ilmu
silat Tokliong Tjoentjia?"
"Bukan saja ilmu silatnya, tapi lweekang-nya pun tidak berbeda,"
jawabnya. "Celaka! Sayang sungguh aku tidak menahannya!"
"Mengapa?" tanya sang suami.
"Barusan aku telah memukulnya dengan menggunakan ilmu Ittjiesian,"
sahutnya. "Ia tak tahu maksudku yang baik dan lalu melawan dengan
menggunakan lweekang. Menurut pantas, ia mesti terluka tapi ia berhasil
memunahkan tenagaku. Dalam dunia ini, hanya Tokliong Tjoentjia yang
memiliki lweekang begitu luar biasa. Tapi lweekang yang dikirimnya dengan
perantaraan tongkat, sama sekali tidak diiring dengan tenaga yang
berikutnya. Menurut pendapatku, lweekang-nya akan segera membakar dirinya
sendiri dan ia hanya bisa hidup beberapa hari lagi."
Leng Kiauw kaget bukan main. Sekarang baru ia tahu, bahwa gerak-
gerik pemuda itu yang gila gilaan adalah untuk menutupi hatinya yang
berduka.
Phoei Keng Beng menghela napas seraya berkata: "Semalam, dengan
melihat paras mukanya, aku menduga, bahwa paling banyak ia bisa hidup
enam hari lagi. Sekarang Tong Hoedjin juga mengatakan begitu, sehingga
dugaan kita pasti tak akan salah."
"Jika kutahu, dia murid Tokliong Tjoentjia, kutentu akan
menahannya," kata Phang Eng dengan suara menyesal. "Ilmu Tokliong
Tjoentjia merupakan satu cabang persilatan yang sangat luar biasa.
Sungguh sayang, jika ilmu itu termusnah dari dunia."
Si kakek termenung-menung beberapa saat dan kemudian berkata dengan
suara perlahan: "Ya! Gelombang Tiangkang yang di sebelah belakang
mendorong gelombang yang di depan. Selama belasan tahun ini, dalam Rimba
Persilatan muncul banyak sekali orang-orang muda yang berkepandaian
tinggi. Tong Tayhiap, Tong Hoedjin, marilah aku memperkenalkan kalian
dengan seorang gagah dari tingkatan muda."
Leng Kiauw segera maju menghampiri dan memberi hormat kepada Siauw
Lan dan isterinya. Siauw Lan mengawasi pemuda itu dan ia kelihatan
terkejut, ketika melihat singa-singaan giok yang tergantung di pinggang
Leng Kiauw. Sekonyong-konyong, ia tertawa terbahak-bahak dan berkata.
"Aha! Kalau begitu puteranya seorang kenalan lama."
Paras muka Leng Kiauw lantas saja berubah merah. "Anak seorang
berdosa yang mengharap dunia suka mengampuni kedosaan ayahku," katanya
dengan suara jengah.
Siauw Lan kembali tertawa berkakakan. "Ada sangkut paut apakah
antara kedosaan Lian Keng Giauw dan kau sendiri?" tanyanya. "Ayahmu
adalah seorang yang memiliki bakat panglima perang, hanya sayang ia tak
jalan di jalanan lurus. Aku hanya berharap kau akan lebih banyak membaca
kitab-kitab dari para nabi dan menyumbangkan tenagamu untuk kepentingan
rakyat jelata."
Leng Kiauw mengangkat kedua tangannya dan menghaturkan terima kasih
untuk nasehat itu.
"Terima kasih, bahwa kau telah menyimpan Han-giok-ku," kata Siauw
Lan. "Keng Thian telah bicara banyak tentang hal ihwalmu.
Mereka segera masuk ke dalam rumah Phoei Keng Beng dan terus
beromong-omong. Mendengar puteranya bersama Peng Go juga sudah tiba di
Himalaya, Siauw Lan jadi sangat girang dan lalu berkata kepada isterinya:
"Aku sendiri ingin mengadakan perlombaan memanjat gunung dengan
Thayhoatsoe itu. Biarlah kau saja yang mencari anak-anak kita. Kunjungan
kita ke tempat Phoei Toako ternyata tidak percuma." Harus diketahui,
bahwa karena mengetahui kedatangan tentara Nepal, suami isteri Tong Siauw
Lan buru-buru datang lagi ke tempat Phoei Keng Beng, karena kuatir orang
tua dan puterinya itu mendapat gangguan.
Mengingat kejadian di Puncak Unta, dimana Peng Go telah salah
mengerti sebab gara-gara adiknya, Phang Eng berkata sambil tertawa:
"Calon menantuku mungkin masih merasa mendongkol terhadapku. Biarpun
sudah tua, Lin-moay masih belum bisa membuang adatnya yang seperti kanak-
kanak. Aku rasa, Toktjhioe Hongkay pun pernah dipermainkan olehnya. Jika
tidak begitu, mengapa begitu melihatku, dia segera lari terbirit-birit?
E-eh! Siapa yang datang?" Ia melompat keluar, diikuti oleh yang lain.
Di luar berdiri seorang wanita yang mengawasi mereka sambil tertawa
haha-hihi. "Tjietjie!" teriaknya. "Mengapa kau mencaci di belakangku?
Tanyalah Keng Thian. Aku pernah mengganggu menantumu, tapi aku juga
pernah membantu banyak padanya!" Orang itu adalah Phang Lin. Ia
sebenarnya memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi,
tapi karena tidak mengenal jalanan, ia sudah ditinggalkan oleh Timotato
dan tiba belakangan.
Baru kakaknya mau membuka mulut, Phang Lin sudah melompat dan
mendului: "Tjietjie, apa yang dibicarakan olehmu barusan? Apakah kau
sudah bertemu dengan Kim Sie Ie?"
"E-eh, mengapa begitu bernapsu?" tanya sang kakak.
"Dia baru saja pergi," kata Siauw Lan.
"Ah! Apa kau tahu, umurnya hanya tinggal enam hari lagi?" tanyanya
pula.
"Tahu," jawab Phang Eng.
"Mengapa melihat kebinasaan, kau tidak menolong?" teriak Phang Lin.
"Siapa suruh dia memukulku dengan tongkatnya?" sang kakak balas
menanya sambil tertawa.
"Sudahlah! Jangan
mengganggu lagi adikmu," kata Siauw Lan. "Bahwa kami tidak
menahannya, aku pun merasa sangat menyesal." Sehabis berkata begitu, ia
segera menerangkan segala kejadian yang barusan.
Phang Lin melompat-lompat dan sambil mencengkeram lengan kakaknya,
ia berteriak "Baiklah! Kau sudah melepaskan dia, kau juga yang harus
mencarinya!"
Phang Eng yang mengenal adat si adik, lantas saja bisa menebak.
Ia memeluk leher adiknya seraya berbisik: "Mengapa hari ini kau
begitu repot? Apa kau penuju Toktjhioe Hongkay sebagai suami A-bwee?"
Phang Lin mendelik. "Apa?" ia menegasi. "Apa dosanya Kim Sie Ie?
Kau memanggilnya sebagai Toktjhioe Hongkay, tapi aku menganggapnya
sebagai pemuda yang jujur dan baik. Kau membencinya, aku justeru
sebaliknya."
"Siapa membenci Kim Sie Ie?" kata Phang Eng seraya tertawa geli.
"Begini saja: Kau sudah bantu merangkap jodoh Keng Thian, akupun berjanji
akan mencari menantumu itu."
Sedang mereka beromong-omong, dari tikungan tanjakan mendadak
muncul seorang nenek yang, ketika diawasi, bukan lain daripada Tong Say
Hoa. Begitu melihat bekas pukulan tongkat di atas batu, nenek itu
mengeluarkan seruan kaget.
"Tjietjie," kata Phang Lin. "Sekarang aku mendapat kawan yang bisa
bicara banyak mengenai Kim Sie Ie."
"Untung juga Tong Lootaypo tidak mempunyai gadis," mengejek sang
kakak.
Melihat Leng Kiauw dan mendengar kaburnya Kim Sie Ie, hati si nenek
girang tercampur duka. "Leng Kiauw," katanya sambil menarik tangan pemuda
itu. "Tak dinyana, kita masih bisa bertemu muka. Andaikata aku mati
sekarang juga, aku akan mati dengan mata meram. Leng Kiauw, kau sudah
cukup tua. Selagi kumasih hidup, apakah kau masih tak mau menikah? Siang
malam aku mengharap bisa menyaksikan hari keberuntunganmu.
Menikahlah sekarang dan sesudah kumati, kau boleh berbuat sesukamu,
kau boleh coba merebut tahta, jika kau mau. Tapi selagi kumasih hidup,
jangan kau gila-gilaan, supaya kutak usah memikir keselamatanmu setiap
detik."
Sebagai seorang wanita yang muda-muda sudah menjadi janda Tong Say
Hoa telah kukut Leng Kiauw sedari kecil. Maka itu, biarpun sekarang Leng
Kiauw sudah berusia tiga puluh tahun lebih, ia masih memperlakukannya
sebagai kanak-kanak.
Muka Leng Kiauw lantas saja berubah merah. "Mulai dari sekarang,
aku hanya mengharap bisa mengikuti jejak Tong Tayhiap dan lain-lain
Tjianpwee untuk menolong sesama manusia," katanya. "Aku sudah mengambil
keputusan untuk menjauhkan diri dari segala perebutan kekuasaan. Ibu,
biarpun sudah berusia lanjut, kau masih gagah sekali. Mengapa kau
mengeluarkan perkataan yang tidak-tidak?"
"Jika bukan ditolong oleh Kim Sie Ie, siang-siang kusudah binasa,"
kata si nenek. "Kau harus berusaha sedapat mungkin untuk mencarinya.
Siauw Lan, di dalam dunia hanya kau seorang yang bisa menolong dia.
Dengan memandang mukaku, aku juga mengharap, kau berdua suami isteri suka
bantu mencari dia."
"Dalam perjalanan dari kaki gunung kemari, apakah kau pernah
mendengar warta tentang Keng Thian?" tanya Phang Eng.
"Keng Thian dan Peng Go juga akan segera mendaki gunung," jawabnya.
"Karena merasa sangat tidak sabaran, aku sudah berjalan terlebih dulu."
"Apa?" menegas Siauw Lan. "Apakah tentara Nepal sudah mundur?"
"Mereka akan segera mundur," jawab si nenek yang lalu menceritakan
segala
pengalamannya. Mendengar begitu, Tong Siauw Lan dan yang lain-lain
jadi merasa lega.
Sesudah diadakan perundingan, mereka mencapai persetujuan untuk
coba mencari Kim Sie Ie dengan berpencaran: Tong Siauw Lan, Phang Eng dan
Phang Lin masing-masing mengambil satu jalanan, sedang Tong Lootaypo
bersama Leng Kiauw mengambil jalanan yang lain. Tapi, walaupun mengambil
empat jalanan, usaha mereka adalah bagaikan orang mencari jarum di tengah
lautan, karena Himalaya adalah gunung yang besar luar biasa.
Selagi yang lain mengasoh atau menyediakan makanan kering untuk
mendaki gunung, Phang Eng dan Siauw Lan menarik Phang Lin ke satu sudut
dan bertanya tentang pengalamannya dalam perkenalan dengan Kim Sie Ie.
Phang Lin lantas saja menceritakan segala apa yang diketahuinya tentang
pemuda itu, sehingga sesudah mendengar, Siauw Lan dan Phang Eng menghela
napas berulang-ulang. "Ah! Kalau begitu adatnya yang aneh mempunyai
sebab-sebab yang mengharukan," kata Phang Eng dengan air mata berlinang-
linang.
Mendadak Phang Lin mendapat serupa ingatan. Ia mengeluarkan buku
catatan harian Tokliong Tjoentjia dan berkata sambil menyerahkannya
kepada Siauw Lan: "Aku harap kau suka menyimpan buku ini yang ditulis
oleh Tokliong Tjoentjia selama beberapa puluh tahun. Jika kau bertemu
dengan Kim Sie Ie, aku minta kau menyerahkan kepadanya." Ia tahu, bahwa
Kim Sie Ie dan Keng Thian tidak begitu akur dan sudah sengaja memberikan
buku tersebut kepada Siauw Lan, dengan pengharapan bisa bantu
menghilangkan ganjelan yang terdapat dalam hati Kim Sie Ie. Siauw Lan
yang tak punya banyak tempo untuk menanya melit-melit atau membacanya,
sudah menduga, bahwa buku itu adalah buku ilmu silat Tokliong Tjoentjia.
"Andaikata kutak berhasil menolong Kim Sie Ie, biarlah aku mencari
seorang lain untuk mewarisi kepandaian Tokliong Tjoentjia," katanya di
dalam hati.

***

Sekarang marilah kita menengok Kim Sie Ie yang telah membuang


kesempatan sangat baik untuk menolong jiwanya sendiri. Dengan keyakinan,
bahwa jiwanya akan melayang dalam beberapa hari lagi, ia mendaki gunung
dengan sekuat tenaga. Harapan satu-satunya adalah naik ke puncak Tjoe-
hong (Everest) sebelum menghembuskan napas yang penghabisan. Pada hari
pertama dan hari kedua, perjalanan masih dapat dilakukan dengan tak
banyak kesukaran. Tapi pada hari ketiga, ia mulai merasa sukar untuk
bernapas. Ia tak tahu, bahwa kesukaran bernapas itu adalah akibat hawa
udara yang semakin tinggi jadi semakin tipis. Ia hanya menduga, bahwa
ajalnya sudah dekat tiba dan lalu memanjat terus dengan sekuat tenaga.
Semakin ke atas, pemandangan jadi semakin indah, tapi keadaan
gunung juga jadi semakin berbahaya. Tempo-tempo ia harus memanjat lereng
yang sangat tebing bagaikan tembok, melompati jurang-jurang antara dua
tembokan es dan kadang-kadang disambar angin besar, sehingga beberapa
kali ia hampir tergelincir ke bawah. Ia merasa badannya lemas dan saban-
saban harus mengasoh dengan napas tersengal-sengal. Tiba-tiba, selagi
naik di satu tanjakan matanya melihat pemandangan yang sungguh luar
biasa. Jauh-jauh, di atas tanah yang tertutup es, terlihat sejumlah besar
balokan atau gundukan es yang menyerupai pagoda-pagoda yang memancarkan
sinar gilang-gemilang, bagaikan kristal. Ia mengawasi dengan mata
membelalak dan tiba-tiba saja, ia mengeluarkan seruan nyaring. "Biarpun
tak bisa sampai di puncak Tjoe-hong, sesudah melihat surga dalam dunia
ini, aku bisa mati dengan mata meram!" teriaknya.
Sambil mengempos semangat, ia berlari-lari ke arah kumpulan pagoda
itu. Mendadak kakinya menyentuh serupa benda dan ketika dilihat, ternyata
adalah mayatnya seorang asing. Di sekitar mayat itu terdapat alat-alat
mendaki gunung, tambang-tambang dan pakaiannya sudah bobrok dan hancur
begitu tersentuh, tapi mayat itu sendiri masih tidak berubah. Tak jauh
dari situ, ia kembali mendapatkan satu mayat lain. Ia menghela napas dan
berkata dalam hatinya: "Selama ratusan tahun, entah berapa orang binasa
dalam usaha mendaki Chomo Lungma. Dua tiga hari lagi, akupun akan menemui
mereka!"
Pagoda-pagoda es itu kelihatannya tidak seberapa jauh tapi sesudah
berjalan beberapa jam, belum juga ia tiba disitu. Makanan kering sudah
habis, tapi untung juga, di sekitar gunung masih terdapat binatang-
binatang yang boleh dijadikan santapan. Dengan menggunakan batu, ia
berhasil merobohkan beberapa burung gagak dan seekor ayam salju. Ia
mengeluarkan bahan api dan sesudah menggosok-gosok sekian lama, barulah
ia bisa mendapat api dan lalu menyalakan perapian dengan menggunakan
cabang-cabang kering. Dari mayat orang asing itu, ia mengambil satu panci
dan lalu masak air dengan menaruh es ke dalam panci itu. Sesudah membakar
kurang lebih satu jam, barulah air bergolak-golak. Dengan bernapsu ia
makan ayam rebus dan minum air panas. Setelah perutnya ditangsal,
sebagian kekuatannya pulih kembali.
Belum jalan berapa jauh, tiba-tiba ia bertemu dengan satu balokan
es besar, yang mengambang di atas satu sungai es. Selagi lewat di pinggir
balokan es itu, mendadak ia mendengar suara rintihan manusia. Ia
terkesiap dan dengan hati berdebar-debar, ia memanjat gundukan es itu
yang bergerak-gerak tak hentinya. Begitu tiba di atas, dengan mata
membelalak ia mengawasi dua orang yang menggeletak di atas es dengan muka
penuh darah dan mereka itu adalah Hiatsintjoe dan Tang Thay Tjeng!
Jika bertemu di tempat biasa, Kim Sie Ie pasti tak akan merasa
kasihan. Tapi di atas gunung yang diliputi es itu, dimana tak terdapat
manusia lain, ia memandang mereka seperti sahabat. Hiatsintjoe ternyata
sudah tidak bernapas lagi, sedang keadaan Tang Thay Tjeng pun sudah
sangat payah.
Sambil mengerahkan Iweekang, ia mengurut-urut tubuh Tang Thay Tjeng
dan selang beberapa saat, perlahan-lahan dia membuka matanya. "Kau?"
tanyanya dengan suara lemah.
"Jangan bergerak," kata Kim Sie Ie. "Aku akan bantu kau menjalankan
pernapasan."
"Tak guna lagi," katanya. "Lekas kau menyingkir dari tempat
berbahaya ini."
Kim Sie Ie memegang nadi orang yang ternyata sudah kalut
ketukannya, sedang badannya sudah kaku seperti es. Ia tahu, bahwa Tang
Thay Tjeng tak bisa ditolong lagi jiwanya, tapi ia masih tak tega untuk
meninggalkannya dengan begitu saja.
Sekonyong-konyong dengan menggunakan sisa tenaganya, Tang Thay
Tjeng berkata dengan berbisik: "Sie Ie-heng, aku telah mendustai kau!"
"Budi dan sakit hati sudah terbalas impas," kata Kim Sie Ie.
"Urusan yang sudah lewat tak usah disebut-sebut lagi. Aku tak punya
kegembiraan untuk mengetahui, apa kau berdusta atau tidak."
"Jangan begitu..." kata Tang Thay Tjeng dengan suara parau. "Jika
aku tak bicara sekarang, aku tak akan bisa bicara lagi,"
"Bicaralah," kata Kim Sie Ie. "Bicaralah, jika dengan bicara hatimu
bisa terhibur."
"Bukumu berada dalam tangan Phang Lin," katanya. "Buku itu bukan
dalam tangan Tong Siauw Lan, sebagaimana dikatakan olehku."
Kim Sie Ie tersenyum duka. "Kutak perduli berada di tangan siapa,"
katanya.
Tiba-tiba kedua kaki Tang Thay Tjeng berkelejet. "Lekas lari!"
serunya dengan menggunakan tenaganya yang penghabisan.
Hampir berbareng, angin keras yang dingin luar biasa menyambar-
nyambar dan balokan es itu bergoyang-goyang. Tanpa memikir lagi, Kim Sie
Ie buru-buru melompat turun. Di lain saat, balokan es itu pecah terbelah
dan mayat Tang Thay Tjeng dan Hiatsintjoe tercemplung ke dalam sungai es!
Kim Sie Ie berduka dan tanpa merasa, beberapa tetes air mata
mengalir di kedua pipinya. Ia menangis, entah untuk kedua orang itu,
entah untuk dirinya sendiri. Sesudah menghela napas panjang, ia lalu
meneruskan perjalanan. Tapi, baru saja jalan belasan tindak, matanya
mendadak melihat sekuntum bunga bwee yang diukir di atas segundukan es.
Mendadak saja, jantungnya memukul keras dan darahnya bergolak-
golak. Ia mengenali, bahwa bunga bwee itu, yang rupanya diukir dengan
ujung pedang, adalah pertandaan Lie Kim Bwee. Dalam perjalanan bersama-
sama si nona di gunung Gobie san, ia pernah melihat Kim Bwee membuat
tanda-tanda itu di sepanjang jalan.
Secara tiba-tiba, dalam hatinya yang dingin muncul rasa yang
hangat. Ia tak nyana, bahwa dalam dunia yang kejam ini, masih terdapat
satu manusia yang memikiri keselamatannya dan sudah menyusul tanpa
menghiraukan bahaya. Tapi, mengingat ajalnya sudah tak jauh lagi, pada
saat itu juga ia mengambil keputusan, bahwa andaikata bertemu dengan si
nona, ia tentu akan menyingkirkan diri, supaya Kim Bwee tak usah lebih
berduka.
Selagi ia termenung-menung bagaikan orang hilang ingatan,
sekonyong-konyong ia mendengar suara orang bertempur. Ia terkesiap dan
segera berlari-lari sekeras-kerasnya ke arah suara itu. Dengan cepat, ia
sudah masuk ke dalam kumpulan pagoda-pagoda es yang memang jadi
tujuannya. Dan ia kaget tak kepalang karena dari jauh ia melihat, bahwa
Lie Kim Bwee tengah dikepung oleh dua orang.
Sesudah menenteramkan hatinya, ia segera maju mendekati. Ternyata
di tengah-tengah kumpulan pagoda-pagoda es itu terdapat sebuah telaga
kecil yang sudah membeku dan Kim Bwee sedang bertempur melawan musuhnya
di pinggir telaga.
Kedua lawan itu, yang kakinya lumpuh dan yang menyerang sambil
menekan bumi dengan satu tangannya, adalah Tunhuman dan Asia. Sesudah
'sembuh dari luka mereka sebagai akibat perlombaan memanjat gunung
melawan Pengtjoan Thianlie, mereka mendengar, bahwa guru mereka,
Timotato, sudah mendaki gunung dan oleh karenanya, mereka segera
menyusul. Tak diduga, di tengah jalan mereka bertemu dengan Lie
Kim Bwee dan dalam hati mereka lantas saja timbul niatan jahat.
Mereka ingin membekuk si nona untuk dibawa pulang ke negerinya. Sesudah
bercacat karena Thiansan Sinbong, mereka belum dapat melampiaskan rasa
kedongkolan dan dengan menawan Kim Bwee, mereka bukan saja bisa membalas
sebagian sakit hati, tapi juga bisa mendapat muka terang di antara kawan-
kawan.
Waktu itu, si nona sudah lelah sekali. Akan tetapi, ilmu pedang
Pekhoat Molie yang dimilikinya, adalah ilmu pedang yang sangat luar
biasa, sehingga walaupun sudah terkurung rapat, ia masih bisa membela
diri.
Sebagaimana diketahui, bahwa udara di tempat yang tinggi adalah
sangat tipis dan bertempur disitu meminta lebih banyak tenaga daripada
bertempur di tanah datar. Bukan saja Kim Bwee, tapi kedua lawannya pun
sudah letih dan napas mereka tersengal-sengal. Melihat pedang si nona
menikam ke sana-sini secara sembarangan tanpa disertai lweekang, Kim Sie
Ie terkesiap dan sambil mengangkat tongkat, ia mempercepat tindakannya.
Sesaat itu, dari tembokan pagoda-pagoda es yang terang bagaikan kaca, si
nona sudah melihat bayangan pemuda itu. Tiba-tiba saja, bagaikan seorang
pelancong di tengah gurun pasir yang bertemu dengan sumber air, ia
mengeluarkan teriakan nyaring dan bagaikan kalap, ia melemparkan
pedangnya dan berlari-lari ke arah Kim Sie Ie dengan tindakan
sempoyongan. Tapi baru belasan tindak, ia sudah tak kuat lagi dan roboh
dalam keadaan pingsan.
Sementara itu, Tunhuman dan Asia masih terus terputar-putar di atas
bumi dalam keadaan seperti orang lupa ingatan. Tanpa menghiraukan mereka,
buru-buru Kim Sie Ie memondong si nona yang napasnya tersengal-sengal dan
kedua matanya separuh tertutup. Ia mengusap-usap rambut orang yang hitam
jengat dan mementil alisnya sambil tersenyum. "Bwee-moay," bisiknya.
"Bukalah matamu."
Pada bibir si nona lantas saja tersungging senyuman bahagia dan
perlahan-lahan ia membuka matanya. "Sie Ie-ko," katanya dengan suara
sangat perlahan. "Kutahu kau akan datang."
"Jalankanlah pernapasanmu, aku akan membantu," kata Kim Sie Ie.
Si nona tak menjawab, tapi dengan tangan bergemetaran, ia merogoh
saku dan mengeluarkan sebuah peles perak yang kecil. "Sie Ie-ko, lekas
telan pel ini," bisiknya. Hampir berbareng, kedua matanya tertutup,
mulutnya rapat bagaikan bunga yang kuncup dan badannya berubah kaku.
Bukan main kagetnya Kim Sie Ie. Dengan jantung memukul keras, ia
mengurut-urut badan si nona, tapi sesudah mengurut beberapa lama, ia
belum juga berhasil menyadarkannya. Ia mendapat kenyataan, bahwa Kim Bwee
tidak terluka dan keadaannya itu adalah akibat kelelahan yang melampaui
batas. Jika berada di tanah datar, dengan semangkok somthung dan
beristirahat, si nona bisa segera pulih kesehatannya. Tapi mereka berada
di gunung tinggi, yang hawa udaranya tipis dan sukar mencari makanan.
Hati Kim Sie Ie seperti diiris-iris dan air mata mengalir turun di
kedua pipinya. "Bwee-moay, ini semua memang juga adalah gara-garaku,"
katanya dengan suara duka. Untuk pertama kali selama hidup, rasa cinta
meluap-luap di dalam hatinya, tapi si nona sudah tak dapat mendengar dan
tak dapat melihatnya.
Ia menunduk tanpa berdaya. Tiba-tiba ia melihat sebuah peles perak
dan hatinya melonjak. Ia menjemputnya dan ternyata, dalam peles itu
terisi tiga butir Pekleng tan yang berwarna biru. Sebagaimana diketahui,
Keng Thian pernah menyerahkan peles itu kepadanya, tapi ia menolak.
Sekarang, pada waktu ia hanya bisa hidup tiga hari lagi, ia kembali
menemukan peles itu.
Jika ia menelan tiga Pekleng tan itu, hidupnya bisa diperpanjang
sedikitnya tiga puluh enam hari. Tapi ia bukan Kim Sie Ie, jika hanya
mengingat kepentingan sendiri. Dengan cepat dan dengan tangan
bergemetaran, ia membuka tutup peles dan menuang isinya di telapakan
tangan. Kemudian perlahan-lahan ia membuka gigi si nona dan memasukkan
tiga butir pel itu ke dalam mulutnya. Ia menggoyang-goyang badan Kim Bwee
beberapa kali dan lalu mengurutnya sambil mengerahkan lweekang. Selang
beberapa saat, napas si nona jadi terlebih keras, tapi belum tersadar.
Ia girang tak kepalang, tapi kegirangannya itu tercampur dengan
kedukaan. Ia hanya bisa hidup tiga hari lagi, Apakah ia mesti
berdampingan terus dengan si nona yang tiga hari lagi akan menyaksikan
keberangkatannya ke alam baka? Di lain pihak, dalam dunia yang lebar, Kim
Bwee adalah manusia satu-satunya yang mencintainya dengan segenap jiwa.
Bagaimana ia tega meninggalkannya dengan begitu saja dan membiarkan si
nona, menunggu-nunggu seorang yang tak bakal kembali lagi.
Dengan pikiran kusut, ia jalan mundar-mandir sambil menghela napas
berulang-ulang. Mendadak, ia melihat kedua orang aneh itu bersila di atas
salju bagaikan patung. Setelah di dekati, mereka ternyata sudah tidak
bernapas lagi. Walaupun kepandaiannya tinggi, tapi lweekang mereka tidak
bisa menyamai lweekang Thiansan pay dan oleh karenanya, mereka kalah ulet
dari Lie Kim Bwee.
Kim Sie Ie berdiri bengong dan berkata dalam hatinya: "Inilah mayat
ke empat yang ditemui aku di gunung Himalaya." Karena tak ingin si nona
melihat kedua mayat itu, buru-buru ia menggali salju dengan tongkat dan
lalu menguburnya. Sehabis mengubur, ia mendongak ke atas dan mengawasi
langit. "Ah! Hari ini aku mengubur mereka, tiga hari lagi siapa yang
mengubur aku?" katanya di dalam hati.
Sekonyong-konyong ia melihat tubuh Kim Bwee bergerak. Jantungnya
memukul keras dan secepat kilat ia mengambil suatu keputusan. "Tidak,"
pikirnya. "Tak dapat kumembiarkan ia menyaksikan kebinasaanku! Selama
hidup tak pernah kumencinta manusia. Di waktu mati, kujuga tak berhak
menerima kecintaan orang." Memikir begitu, biarpun hatinya merasa sangat
berat, tapi ia segera melompat dan sesudah mencium dahi si nona dan
melemparkan sisa ayam salju yang belum dimakannya, tanpa menengok lagi ia
lari kabur dari kumpulan pagoda-pagoda es itu.
Lapat-Iapat ia mendengar teriakan Kim Bwee yang menyayatkan: "Sie
Ie-ko! Sie Ie-ko!..."
Matahari menyilam ke barat... bulan sisir memencarkan sinarnya yang
remang-remang di atas Chomo Lungma yang tertutup salju. Tanpa
menghiraukan segala apa, Kim Sie Ie berjalan terus.
Sesudah berjalan sekian lama, ia bertemu dengan sebuah bukit es
yang di tengah-tengahnya melekah, seperti sebuah gua. Ia lelah bukan main
dan lalu masuk ke gua itu. Karena dingin yang luar biasa, kaki tangannya
kaku dan ia lalu bersila untuk menjalankan pernapasannya. Sesudah
mengerahkan lweekang beberapa lama, ia merasa, bahwa keadaannya sudah
tidak seperti sebagaimana biasa, sebab hawa yang dikerahkannya tak bisa
lagi mengalir kedua belas aliran darah yang terutama. Demikianlah, dalam
keadaan setengah pulas dan setengah sadar, ia melewati malam yang panjang
itu.
Pada besokan harinya, langit cerah dan matahari memancarkan
sinarnya yang gilang-gemilang. Dengan badan yang terlebih segar Kim Sie
Ie lalu meneruskan perjalanan dan sesudah berjalan beberapa lama, barulah
ia bisa melewati terowongan bukit es itu. Belum jalan berapa jauh, di
sebelah depan kembali menghadang sebuah bukit es yang tingginya kurang
lebih dua puluh tombak. Biarpun tidak terlalu tinggi, tapi karena sangat
licin dan terus-menerus diserang dengan sambaran-sambaran angin yang
tajam bagaikan pisau, ia harus menggunakan Seantero tenaga untuk
memanjatnya Beberapa kali ia terpeleset dan merosot ke bawah, sehingga
waktu tiba di atas bukit es itu, matahari sudah berada di atas kepalanya.
Sambil menyusut keringat, ia menghela napas, karena mengingat, bahwa ia
hanya bisa hidup tak cukup dua hari lagi!
Sesudah mengasoh dan makan makanan keringnya yang penghabisan, ia
lalu meneruskan perjalanan. Di tengah jalan, sesudah menimpuk jatuh
seekor gagak hitam, ia menyalakan perapian dan membakar burung itu yang
lalu dimakannya dengan bernapsu. Sesudah mendapat tenaga baru, ia
berjalan pula.
Selang beberapa lama, ia tiba di satu tempat yang keadaannya lain
daripada yang lain. Tempat itu ialah lembah yang tanahnya tinggi dan yang
selalu diserang dengan angin keras. Di lain-lain tempat, salju putih
menutupi daerah pegunungan itu. Hanya di tempat itu, sebab salju selalu
ditiup angin, orang bisa melihat batu-batu gunung yang berwarna gelap.
Perlahan-lahan, separuh merangkak, dengan melawan sambaran-sambaran
angin, Kim Sie Ie maju terus dan sesudah gelap, barulah ia melewati
tempat yang luar biasa itu. Dalam pergulatannya itu, kaki dan tangannya
banyak terluka dan mengeluarkan darah. Ia mengasoh di satu tanjakan dan
membuat perapian. Untung juga, berkat hawa api yang hangat, malam itu ia
bisa tidur dan pada besokan paginya, ia kembali meneruskan perjalanan.
Inilah hari terakhir!
Tjoe-hong atau Chomo Lungma (Everest) dengan puncaknya yang
tertutup awan, sudah berada di sebelah depan, kelihatannya seolah-olah
tak jauh lagi. Tapi andaikata ia mempunyai tenaga untuk mencapai puncak
itu, temponya sudah tidak mengijinkan lagi. Ia mengawasinya dengan rasa
putus harapan.
Hari yang terakhir! Tak ada tempo lagi!
Tapi, sebagai seorang yang berjiwa pejuang, ia bertekad untuk
bergulat sampai di detik penghabisan. Sambil mengempos semangat, ia maju
terus...
Angin meniup keras... setindak demi setindak, ia maju terus...
setindak demi setindak...
Akhir-akhir, bagaikan mimpi, tangannya menyentuh batu karang di
kaki Chomo Lungma! Sesaat itu, kaki dan tangannya sudah baal dan kaku.
Tapi batu karang yang dingin itu seolah-olah menggenggam arus
listrik yang hangat. Chomo Lungma! Ia sudah menyentuh batu dari Tjoe-
hong! Darahnya bergolak dan dengan nekat ia maju pula ke depan...
Tiba-tiba, matanya berkunang-kunang dan kepalanya puyeng. Sesaat
yang terakhir sudah tiba! Tenaganya habis semua.
Di depan matanya berkelebat-kelebat bayangan manusia. Bayangan
gurunya, Tokliong Tjoentjia... bayangan Pengtjoan Thianlie... bayangan
Lie Kim Bwee...
Mendadak, sayup-sayup, ia seperti mendengar suara bicaranya orang:
"Kasihan anak ini!"
Pada saat yang terakhir, keangkuhan Kim Sie Ie masih tak berkurang.
Dengan sekuat tenaga, ia memberontak dan berkata dengan suara hampir tak
kedengaran: "Aku tak perlu dikasihani orang!" Tenaganya habis... dan ia
roboh!
Entah sudah lewat berapa lama, bagaikan baru tersadar dari mimpi
yang menakuti, Kim Sie Ie merasa sekujur badannya sakit. Di depan
matanya, ia seolah-olah melihat gundukan-gundukan awan yang turun
menindih tubuhnya. Ia membuka mulut untuk berteriak, tapi suara tak dapat
keluar. Lapat-lapat, sekali lagi ia mendengar orang bicara: "Kasihan anak
ini!"
Suara manusia! Benar, suara manusia!
"Apa kubelum mati? Apa aku sedang mimpi?" tanyanya di dalam hati.
Tapi ia masih belum bisa membuka mata. Mendadak, mendadak saja, ia merasa
semacam hawa hangat mengalir di dalam tubuhnya, menerobos ke berbagai
jalanan darah besar dan kecil, sedang daging dan tulang-tulangnya sakit
bukan main, seolah-olah diiris pisau. Tapi dalam kesakitan yang hebat
itu, ia merasakan semacam pembebasan dalam tubuhnya yang tak mungkin
dilukiskan dengan perkataan. Selang beberapa lama, rasa sakit itu banyak
berkurang, diganti dengan mengamuknya hawa yang sangat panas, sehingga ia
merasa seakan-akan dibakar. Ia haus, haus bukan main, tapi ia tak dapat
membuka mulutnya. Dengan sekuat tenaga, ia coba membuka mata, tapi kedua
matanya seperti juga ditindih dengan benda yang beratnya ribuan kati.
Sekonyong-konyong, semacam hawa dingin menerobos sampai di pusarnya
dan walaupun tak minum setetes air, ia seperti mencegluk air penawar
dewa yang telah memadamkan api yang tengah mengamuk dalam tubuhnya.
Sesudah itu, hawa yang hangat nyaman mengalir dengan perlahan di dalam
badannya.
Perlahan-lahan Kim Sie Ie pulih kesadarannya dan ia membuka
matanya. Tiba-tiba sinar matanya kebentrok dengan dua sinar mata yang
terang tajam. Di lain saat, ia mengenali orang yang sedang berhadapan
dengannya.
Siapa yang sudah menolongnya?
Tak lain daripada Tong Siauw Lan!
Untuk mencari Kim Sie Ie dan untuk menyambut tantangan Timotato,
dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, Tong
Siauw Lan mendaki Himalaya. Biarpun memiliki lweekang yang sudah mencapai
puncaknya
kesempurnaan dan meskipun sudah biasa berdiam di gunung Thiansan,
tapi sesudah naik tinggi, ia pun merasa sukar bernapas dan kemajuannya
jadi sangat lambat. Hari ini, sesudah mulai mendaki Tjoe-hong, matanya
yang sangat jeli mendadak melihat tubuh Kim Sie Ie yang separuh teruruk
dengan salju tebal.
Tong Siauw Lan girang tercampur kaget. Buru-buru ia menyingkirkan
salju dan meraba dada pemuda itu, yang napasnya sudah lemah sekali.
Demikianlah, walaupun harus mengeluarkan banyak tenaga, ia berhasil
menolong Kim Sie Ie dari kebinasaan.
Melihat di atas kepala Tong Siauw Lan keluar uap putih dan
keringatnya terus mengucur, Kim Sie Ie mengetahui bahwa penolongnya
sedang mengerahkan lweekang Thiansan pay untuk menjalankan aliran
darahnya dan menyingkirkan segala "racun" yang mengeram dalam dirinya,
karena latihan lweekang yang sesat. Mendadak saja, dalam hatinya timbul
rasa terima kasih yang sangat besar, tercampur dengan rasa jengah. Seumur
hidup, ia paling tak suka menerima budi orang, tapi sekarang, di luar
kemauannya, ia sudah menerima budi yang sangat besar. Ia tak tahu, bahwa
untuk menolong jiwanya, di samping mengeluarkan banyak tenaga, Tong Siauw
Lan pun telah memasukkan lima butir Pekleng tan ke dalam mulutnya. Dan
lima butir Pekleng tan itu adalah perbekalan yang semengga-mengganya.
Begitu Kim Sie Ie tersadar, Siauw Lan tersenyum seraya berkata.
"Ah! Akhirnya kau tersadar juga, nak!"
Kim Sie Ie merasa lehernya terkancing, tak dapat ia mengeluarkan
sepatah kata. Di lain saat, air matanya mengucur.
"Apa masih sakit?" tanya Siauw Lan dengan perasaan kasihan. "Tak
apa-apa. Sebentar lagi, kau akan merasa enakan." Sehabis berkata begitu,
ia kembali mengerahkan lweekang dan mengurut pula sekujur tubuh pemuda
itu. Ia tak tahu bahwa Kim Sie Ie menangis bukan karena sakit di badan,
tapi sebab terharu di hati. Selang beberapa lama Kim Sie Ie merasa
badannya segar bukan main dan biarpun tenaganya belum pulih kembali, ia
tahu, bahwa mulai dari sekarang, ia boleh tak usah kuatir lagi
keselamatan jiwanya dan malahan, berkat bantuan lweekang Thiansan pay,
Iweekang-nya sendiri mendapat banyak kemajuan.
Selagi Siauw Lan bekerja keras, di atas salju tiba-tiba terdengar
suara tindakan yang enteng luar biasa.
Jika ia bukan seorang guru besar dalam Rimba Persilatan, ia pasti
tak bisa mendengar tindakan yang begitu enteng. Ia terkejut dan bertanya
dalam hatinya: "Apa Eng-moay?"
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie berteriak: "Awas, musuh!" Karena
sedang rebah celentang di salju, ialah yang lebih dulu melihat bayangan
Timotato. Hampir berbareng dengan teriakannya, Timotato sudah melompat
dan menghantam kepala Siauw Lan dengan kedua tangannya.
Cepat sungguh gerakan Tong Siauw Lan! Tanpa menengok, ia mengebas
ke belakang dengan tangan kanannya. Begitu kedua tangan kebentrok, badan
Siauw Lan terhuyung beberapa tindak hampir-hampir tergelincir ke bawah
tanjakan. Lweekang Tong Siauw Lan sebenarnya lebih tinggi daripada
Timotato. Tapi karena ia sudah banyak mengeluarkan tenaga maka dalam
gebrakan itu, ia jatuh di bawah angin.
"Tak punya malu!" membentak Siauw Lan. "Mengapa kau membokong aku?"
Timotato tertawa terhehe-hehe dan kemudian, sambil menuding-nuding
ke atas puncak, ia bicara dalam bahasa yang tidak dimengerti Siauw Lan.
Tapi dengan gerakan tangan, Siauw Lan tahu, bahwa ia kembali menantang
untuk berlomba mendaki Chomo Lungma. Rupanya, karena gagal dalam
bokongannya ia sengaja menantang pula untuk menyimpangkan perhatian
orang. Sambil berteriak-teriak dan menggapai-gapai, ia berlari-lari dan
mulai memanjat Tjoe-hong.
Melihat paras muka Kim Sie Ie yang sudah berubah merah, hati Siauw
Lan jadi sangat lega. Ia tahu, pemuda itu sudah terlepas dari bahaya. Ia
bersenyum seraya berkata: "Phang Lin dan puterinya juga sudah mendaki
gunung ini. Biarlah kau menunggu mereka disini. Kalau tenagamu sudah
pulih kembali, kau juga boleh turun gunung dan menunggu di rumah Phoei
Keng Beng."
Kim Sie Ie tidak menjawab, hanya air matanya berlinang-linang.
Siauw Lan tak jadi kecil hati. Ia menduga, pemuda itu menangis sebab
terharu dan berterima kasih. Ia tak tahu, bahwa pada saat itu, dua macam
pikiran sedang berkelahi dalam otak Kim Sie Ie. Apa lebih baik menuntut
penghidupan biasa, pergi datang seorang diri dan menjauhi pergaulan umum?
Apa lebih benar kembali di antara khalayak ramai, mengikat persahabatan
antara sesama manusia dan mendirikan rumah tangga? Ia merasa sangsi dan
tak dapat mengambil keputusan.
Sementara itu, Timotato sudah naik belasan tombak tingginya. Siauw
Lan tak punya tempo lagi untuk bicara panjang-panjang dan sesudah
melemparkan sekantong makanan kering, ia lalu mengubar. Tapi, baru jalan
beberapa tindak, ia kembali lagi karena ingat suatu hal. Ia mengeluarkan
sejilid buku yang diberikan oleh Phang Lin dan berkata sambil tertawa.
"Hampir-hampir aku lupa. Ini adalah buku peninggalan mendiang gurumu." Ia
mengangsurkannya kepada Kim Sie Ie dan kemudian mengudak Timotato dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Sesudah memanjat beberapa tombak, ia menengok dan melihat pemuda
itu duduk bersila sambil membuka-buka lembaran buku gurunya.
Semakin tinggi, hawa udara jadi semakin tipis dan orang semakin
sukar bernapas. Usaha mendaki gunung tertinggi dalam dunia, memang juga
penuh dengan bahaya. Siauw Lan mengawasi ke atas dan melihat sebuah
tanjakan es yang panjang dan tebing dan di atas tanjakan itu terdapat
puncak yang duduknya melintang, sehingga puncak itu seolah-olah
tergantung di tengah udara. Di antara awan yang putih terlihat pula
beberapa ekor elang yang melayang-layang dengan perlahan. Mendadak seekor
antaranya jatuh ke bawah. Siauw Lan tahu, bahwa karena tebalnya awan,
elang itu tak bisa melihat tegas dan sudah membentur batu tajam di puncak
yang melintang itu. Ia menghela napas dan berkata dalam hatinya: "Ah!
Sekalipun elang masih tak dapat mendaki puncak Tjoe-hong!" Tapi ia adalah
seorang jago yang pantang mundur. Biarpun yakin akan bahaya yang besar,
ia terus memanjat ke atas.
Selang tak lama, jarak antara Siauw Lan dan Timotato jadi semakin
pendek. Sambil merangkak, Siauw Lan maju setindak demi setindak. Ia
merasa heran sebab lawannya „masih terus dapat mempertahankan diri.
Sesudah datang lebih dekat, ia mendengar suara "ting-ting-ting" dan
barulah ia tahu, bahwa lawannya membekal rupa-rupa alat untuk mendaki
gunung. Dengan menggunakan cangkul kecil, Timotato membuat undakan-
undakan untuk menaruh kaki di tanjakan es itu. Dari tapak-tapak kaki ia
juga mengetahui, bahwa Timotato menggunakan sepatu berduri yang dibuat
untuk mendaki gunung.
Tapi Siauw Lan tak jadi kecil hati. Dengan menggunakan ilmu
Engdjiauwkang (Cengkeraman cakar garuda), ia memanjat terus. Kalau
bertemu dengan lereng yang tegak dan licin, ia merambat dengan ilmu
Pekhouw yoetjiang (Cicak merayap di tembok). Dengan begitu, biarpun harus
menggunakan banyak tenaga, ia masih bisa terus menyusul lawannya dan tak
lama kemudian, jarak antara mereka hanya tinggal lima enam tombak saja.
Dengan cepat kedua lawan itu mendekati puncak pertama yang
melintang di atas. Dengan menempelkan badannya di tembok es, Timotato
memanjat. Napasnya tersengal-sengal, ia sudah lelah dan kalau tak takut
ditertawai, ia tentu sudah merosot turun. Keadaan Siauw Lan pun tak lebih
baik, ia merasa kaki tangannya baal dan kaku, sedang tenaganya pun sudah
mulai habis.
Tiba-tiba awan hitam berterbangan di langit yang cerah dan sesaat
kemudian, turunlah badai. Dengan kedua tangannya, Siauw Lan mencekal
erat-erat sebuah batu yang menonjol seperti rebung. Di antara menderunya
angin, sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh yang hebat luar biasa,
sehingga gunung itu seolah-olah bergoyang-goyang. Hati Siauw Lan
mencelos. Itulah "salju roboh" yang sering terjadi di puncak Chomo
Lungma.
Di lain saat, bahaya datang! Balokan-balokan es yang sangat besar
melayang turun ke bawah bagaikan hujan. Sungguh untung, kedua lawan itu
berada di bawah puncak yang melintang, sehingga balokan-balokan itu jatuh
di atas puncak dan kemudian tercemplung ke dalam jurang yang ribuan
tombak dalamnya. Sambil mencekal batu menonjol itu sekeras-kerasnya,
Siauw Lan menempelkan badannya di tembokan es, di bawah puncak. Dengan
jantung memukul keras, ia mengawasi balokan-balokan es yang lewat di
pinggir badannya. Itulah pemandangan yang sungguh menakuti! Tapi sebenar-
benarnya, apa yang ditemui mereka adalah "salju roboh" dalam ukuran
kecil.
Dengan teraling kabut tebal, lapat-lapat Siauw Lan melihat, bahwa
lawannya juga sedang bersembunyi di bawah puncak, di tempat yang terpisah
hanya beberapa tombak dari dirinya, sambil mencekal sepotong rantai besi.
Ternyata, lawan itu telah memantik sebatang paku besar ke dalam batu dan
kemudian melibatkan rantainya di paku itu. Biarpun badannya menggelantung
di tengah udara, tapi karena teraling dengan puncak yang melintang itu,
ia berada dalam keadaan yang sentosa. Pada sebelum mendaki Tjoe-hong,
Timotato telah menyebar sejumlah muridnya untuk menyelidiki keadaan,
sehingga ia sudah tahu tentang sering terjadinya "salju roboh" di gunung
itu dan oleh karenanya, ia membekal alat-alat yang perlu.
Antara kedua lawan itu yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi,
terdapat satu perbedaan: Tong Siauw Lan yang sudah jadi nekat mencekal
batu menonjol itu dengan hati tenang, sebab ia sudah tidak memperdulikan
mati atau hidup. Di lain pihak, Timotato ketakutan setengah mati,
sehingga badannya terus bergemetaran.
Tiba-tiba terdengar suara gedubrakan yang sangat hebat. Ternyata
sebuah balokan es raksasa -- yang menyerupai bukit kecil -- jatuh menimpa
puncak itu yang lantas saja bergoyang-goyang! Hampir berbareng, badai
menyambar-nyambar, disertai dengan sambaran-sambaran potongan-potongan es
yang lebih kecil. Sambil meramkan mata dan menyerahkan segala apa kepada
sang nasib, Siauw Lan mencekal batu itu dengan menggunakan Seantero
tenaganya.
Mendadak, mendadak saja ia mendengar teriakan yang menyayatkan
hati! Ia membuka kedua matanya dan... badan Timotato yang tinggi besar
melayang ke bawah! Rupanya, ketika bukit es itu menimpa puncak, tangannya
yang mencekal rantai terlepas karena kekagetan dan ketakutan yang
melampaui batas! Siauw Lan merasa duka, karena seorang yang berilmu
tinggi mesti mengorbankan jiwa cara begitu.
Tak lama kemudian angin mereda dan "salju roboh" berhenti.
Sesudah mengasoh beberapa lama, Siauw Lan merayap ke tempat dimana
tadi Timotato menggelantung. Rantai masih berada pada tempatnya dan
bergoyang-goyang tak hentinya. Sesudah mengambil rantai itu, perlahan-
lahan ia naik ke atas puncak yang melintang dan merebahkan diri untuk
beristirahat. Hawa udara tipis bukan main dan jika Siauw Lan tidak
memiliki lweekang yang sangat tinggi, siang-siang ia sudah mati sesak.
Langit terang benderang dan ia bisa melihat puncak Chomo Lungma yang
tertutup salju dan awan. Kelihatannya tidak seberapa jauh, tapi ia tahu,
bahwa ia belum mencapai separuh gunung itu. Ia menghela napas dan
melepaskan segala niatan yang tidak-tidak untuk mencapai puncak Tjoe-
hong. Ia melongok ke bawah dan apa yang dilihatnya hanyalah satu
kekosongan, seperti juga ia berada di atas tembok yang beribu-ribu tombak
tingginya. Naiknya sukar, turunnya pun tak gampang.
Selagi memikiri cara untuk turun ke bawah, tiba-tiba kupingnya
menangkap suara manusia, suara yang seperti juga memanggil-manggil
namanya!
Ia terkesiap dan di lain saat, ia berteriak: "Eng-moay! Eng-Moay!"
Darahnya bergolak dan semangatnya terbangun. Buru-buru ia memanjat ke
atas, ke arah suara itu. Sesudah naik belasan tombak, benar saja ia
melihat isterinya yang sedang berduduk di atas dengan rambut terurai dan
pakaian bernoda darah. Tak usah dikatakan lagi, sang isteri telah terluka
pada waktu terjadinya "salju roboh".
"Siauw Lan!" seru Phang Eng dengan suara girang. "Tolonglah aku!"
Dengan menggunakan Seantero tenaganya, Siauw Lan lalu memanjat
lagi. Perlahan-lahan ia mendekati dan di lain saat, dengan tenaga yang
terakhir, ia melontarkan rantai ke arah Phang Eng yang lalu menangkapnya.
Dengan dibetot oleh isterinya, ia berhasil mencapai tempat itu dan mereka
lalu duduk berendeng untuk beristirahat.
"Siauw Lan," kata Phang Eng sambil bersenyum. "Andaikata aku mati
sekarang, aku akan mati dengan mata meram, karena berada sama-sama kau."
"Eng-moay, apa kau terluka berat?" tanya sang suami.
"Tidak, waktu terjadi salju roboh, aku bersembunyi di sela-sela
batu," jawabnya. "Hanya terluka sedikit, tapi tenagaku sudah habis semua.
Barusan, waktu mendengar teriakan hebat, aku menduga kau yang celaka.
Syukur sungguh, kau tak kurang suatu apa. Dengan badan tak bertenaga, aku
kuatir kita sukar bisa turun ke bawah."
Sang suami bersenyum dan berkata dengan suara menghibur "Jika turun
masing-masing, memang juga agak sukar. Dengan berdua dan dengan adanya
rantai ini, kurasa kita akan berhasil."
Sesudah mengasoh, mereka lalu makan makanan kering. Tiba-tiba
terdengar satu teriakan nyaring.
"Ih! Lu Soe Nio!" teriak Siauw Lan sambil melompat bangun. Ia ingin
balas berteriak, tapi karena kuatir suaranya tidak terdengar dalam hawa
udara yang tipis itu, ia segera melepaskan dua batang Thiansan Sinbong
sebagai pertandaan. Dengan hati berdebar-debar, mereka menunggu. Selang
beberapa lama, di atas sebuah tanjakan yang terjal, mereka melihat
bayangan Lu Soe Nio. "Mari! Kemari!" seru Lu Liehiap sambil menggapai-
gapai.
Siauw Lan dan Phang Eng pun menggapai-gapai dan kemudian dengan
saling tuntun, mereka memanjat ke arah Lu Soe Nio. Ternyata, dengan
bekerja sama, mereka dapat menghemat banyak tenaga.
Paras Lu Soe Nio kelihatan pucat dan napasnya tersengal-sengal.
Tapi, bahwa ia sudah bisa naik lebih tinggi seorang diri, adalah kejadian
yang sungguh mengagumkan.
Bagaimana Lu Soe Nio bisa* berada disitu?
Sesudah menyelesaikan segala urusan di Kimkong sie, ia segera pergi
ke Himalaya untuk mencari Tong Siauw Lan. Di kaki-gunung ia bertemu
dengan Thian Oe dan mengetahui, bahwa Keng Thian dan yang lain-lain sudah
naik ke atas gunung untuk mencari Kim Sie Ie. Buru-buru ia menyusul dan
menginap semalaman di rumah Phoei Keng Beng, dimana ia mendapat segala
keterangan secara lebih jelas.
Waktu ia menanyakan hasil perlombaan melawan Timotato, Siauw Lan
tertawa getir dan menjawab: "Menang, tapi juga kalah."
"Apa artinya?" menegas Soe Nio.
"Dalam perlombaan, karena Timotato mati, bisa dikatakan aku yang
menang," jawabnya. "Tapi biar bagaimanapun juga, aku gagal mencapai
puncak Tjoe-hong dan karena kegagalan itu, aku sebenarnya kalah."
Soe Nio tersenyum. "Sesudah sampai disini, kau harus merasa puas,"
katanya. "Mari! Aku ingin memperlihatkan sesuatu kepadamu."
Dengan bantu membantu mereka memanjat pula dan sesudah menggunakan
tempo beberapa jam, mereka tiba di bawah puncak kedua yang melintang di
atas tembok salju itu. Tiba-tiba Soe Nio menuding ke dinding salju. Siauw
Lan dan Phang Eng mengawasi dan ternyata di atas sebuah batu terukir
empat huruf besar: Djin Thian Tjoat Kay (Perbatasan antara manusia dan
langit). Di bawah empat huruf itu terdapat beberapa baris huruf kecil
yang berbunyi seperti berikut:
Pada musim rontok tahun Kalisin, aku tiba di Tibet dengan niatan
mendaki puncak Tjoe-hong. Aku tertahan di tempat ini, tenagaku habis, tak
dapat kumaju lagi dan hampir-hampir kuhilang jiwa. Sekarang baru aku
yakin, bahwa tenaga manusia ada batasnya. Semenjak keluar dari rumah
perguruan, dengan sebatang pedang aku berkelana ke berbagai tempat tanpa
menemui tandingan. Aku menduga, bahwa di kolong langit tiada pekerjaan
yang tidak bisa dilakukan. Tapi sekarang, aku menunduk di bawah Tjoe-
hong, dengan ditertawai oleh awan-awan putih. Manusia mudah ditakluki,
tapi langit tak dapat di atasi. Hai! Kenyataan ini adalah cukup untuk
membuat orang-orang gagah di kolong langit menghela napas sambil
mengusap-usap pedangnya!
Di bawah huruf-huruf itu terdapat tiga huruf:
Leng Bwee Hong.
Ia adalah (kakek guru) Tong Siauw Lan dan Phang Eng.
Sambil menuding tulisan itu, Soe Nio berkata: "Dulu, Leng Tayhiap
hanya bisa sampai disini. Sekarang kita pun sudah tiba di ini tempat.
Apakah kita tidak mengenal puas?"
Siauw Lan menghela napas dan kemudian mengangguk dengan perlahan.
Sesudah mengasoh beberapa lama, Phang Eng menanya: "Lu Tjietjie,
waktu naik ke atas, apakah kau pernah bertemu dengan Keng Thian?"
"Keng Thian dan bakal menantumu juga sudah naik gunung," jawabnya.
"Menurut keterangan, mereka naik ke gunung ini untuk mencari Kim Sie Ie."
"Kalau begitu, mungkin mereka sudah bertemu Kim Sie Ie di kaki
Tjoe-hong," kata Siauw Lan yang lalu menceritakan pengalamannya,
bagaimana ia sudah menolong jiwa pemuda itu.
"Aku merasa senang sekali, bahwa Tokliong Tjoentjia sudah mempunyai
ahli waris," kata Soe Nio. "Sekarang cuaca masih baik, marilah kita
menggunakan kesempatan ini untuk turun gunung."
"Syukur kami bertemu dengan Lu Tjietjie," kata Phang Eng. "Kalau
tidak, mungkin sekali kami tak akan bisa turun dari gunung ini."
Demikianlah dengan saling membantu, mereka mulai turun dari gunung
itu. Meskipun harus mengalami banyak kesukaran, tapi pada akhirnya mereka
berhasil juga.
Mereka menduga, begitu tiba di kaki Tjoe-hong, mereka akan bisa
bertemu dengan Kim Sie Ie. Tapi dugaan itu meleset, karena muncul
perkembangan yang tidak ditaksir-taksir.

***

Sekarang marilah kita menengok Tong Keng Thian dan Koei Peng Go
yang, sesesudah meminta diri dari raja Nepal, segera mendaki gunung untuk
mencari Kim Sie Ie. Bahwa raja Nepal sudah berjanji akan menarik pulang
tentaranya, sehingga satu peperangan dapat disingkirkan, telah
menggirangkan sangat hati mereka. Tapi mengingat keselamatan Kim Sie Ie,
kegirangan itu tercampur dengan kedukaan.
Dalam perjalanan itu, mereka tidak lewat di rumah Phoei Keng Beng,
sehingga tak tahu perkembangan yang terakhir.
Sesudah memanjat tiga hari, Pengtjoan Thianlie yang sudah biasa
berdiam di istana es masih tidak merasakan apa-apa, tapi Keng Thian sudah
mulai merasa sesak dalam pernapasannya. Tapi berkat pemandangan gunung
yang sangat indah dan juga karena si nona yang dicintai selalu
berdampingan, maka ia seolah-olah tidak merasakan kesukaran itu.
Sesudah berjalan dua hari lagi, jauh-jauh mereka melihat kumpulan
pagoda-pagoda es dimana Lie Kim Bwee pernah ditolong oleh Kim Sie Ie.
Melihat pemandangan yang luar biasa itu, mereka bersorak dengan rasa
kagum. Peng Go pun sudah sukar bernapas, tapi lantaran tertarik dengan
indahnya pagoda-pagoda es itu, tanpa merasa ia mengerahkan lweekang dan
mempercepat tindakannya. Kasihan, Keng Thian yang sudah hampir kehabisan
tenaga, tak dapat mengikuti kecintaannya itu.
Selagi berlari-lari, tiba-tiba Peng Go menghentikan tindakannya,
karena di depannya menghadang sungai es yang di atasnya mengambang satu
balokan es yang sangat besar. Baru saja ia ingin mengambil jalanan mutar,
di belakang balokan es itu mendadak terdengar suara tangisan, Si nona
terkejut dan menggapai Keng Thian. Mereka berdua lalu memutari sungai es
itu untuk melihat siapa yang sedang menangis. Ternyata, di tepi sungai
berduduk seorang pria.
"Hongsek Toodjin!" teriak Keng Thian.
Si imam berduduk disitu dengan muka berlepotan darah yang sudah
membeku menjadi es, sehingga kelihatannya menakuti sekali.
Begitu melihat Peng Go, ia berteriak: "Kau yang sudah mencelakakan
dia! Kau yang sudah mencelakakan dia!"
"Aku mencelakakan siapa?" tanya si nona dengan gusar. Ia mencabut
Pengpok Hankong kiam dan menyabet satu kali sehingga jubah pertapaan si
imam menjadi robek.
Hongsek Toodjin mendelik. "Aku! Aku yang membinasakan dia! Aku yang
membinasakan dia!" serunya bagaikan orang gila.
Peng Go mundur setindak dengan hati berdebar-debar.
Mendadak, sambil berteriak Hongsek Toodjin roboh dengan
mengeluarkan darah yang lantas saja membeku.
Peng Go merasa heran sebab sabetan pedang yang barusan sama sekali
tidak menyentuh badan si imam. Ia tak tahu, bahwa karena dinginnya hawa
dan sukarnya bernapas, lweekang Hongsek sudah banyak berkurang dan waktu
diserang dengan Hankong kiam, tubuhnya tak kuat bertahan lagi dan ia
muntahkan darah. Jika mereka berada di atas tanah datar. Pengtjoan
Thianlie masih belum bisa menandingi si imam.
Buru-buru si nona memasukkan beberapa butir Yangho wan ke dalam
mulut Hongsek untuk menghangatkan badannya. Selang beberapa saat, ia
membuka kedua matanya dan Keng Thian lantas saja mengurut tubuhnya sambil
mengerahkan lweekang. Ia membiarkan dirinya diolah sambil mengawasi kedua
orang muda itu dengan sorot mata berterima kasih.
Sekonyong-konyong ia kembali berkata dengan suara perlahan: "Aku,
akulah yang sudah mencelakakan mereka!"
"Siapa?" tanya si nona.
"Tak ada Tjiangtjoe Siantjo!" kata si imam tanpa menjawab
pertanyaan Peng Go. "Turunlah! Lekas kalian turun dari gunung yang
berbahaya ini."
"Apa itu Tjiangtjoe Siantjo?" tanya pula Peng Go dengan suara
heran.
"Bukankah kalian ingin mencari Tjiangtjoe Siantjo di puncak Chomo
Lungma?" Hongsek balas menanya.
Pengtjoan Thianlie menggelengkan kepala. "Namanya saja aku belum
pernah mendengar," katanya.
Hongsek membuang napas. "Ah! Kalau begitu aku hanya mencelakakan
Hiatsintjoe dan Tang Thay Tjeng," katanya.
"Apa? Aku sungguh tak mengerti apa yang dikatakan olehmu," kata
Peng Go.
Hongsek menghela napas berulang-ulang dan kemudian berkata dengan
suara duka: "Hiatsintjoe dan Tang Thay Tjeng telah binasa di sungai es.
Aku hanya melihat mayat mereka."
"Tapi mengapa kau mengatakan, bahwa kaulah yang sudah mencelakakan
mereka?" tanya Peng Go.
"Sesudah diserang dengan tujuh butir Pengpok Sintan-mu, lweekang
Hiatsintjoe telah banyak berkurang," menerangkan Hongsek. "Keinginan
untuk memulihkan tenaganya adalah sedemikian besar, sehingga aku merasa
kasihan padanya. Selama hidupnya, ia hanya mempunyai satu sahabat, ialah
aku sendiri. Aku merasa tak tega, jika ia sampai mati lantaran jengkel.
Untuk menolongnya, aku sudah berdusta. Aku mengatakan, bahwa di puncak
Tjoe-hong terdapat semacam rumput dewa janq dikenal sebagai Tjiangtjoe
Siantjo. Siapa yang makan rumput itu akan bertambah Iweekang-nya, yang
sama nilainya dengan latihan selama tiga puluh tahun. Dengan berkata
begitu, aku hanya ingin memberi satu harapan di dalam hatinya. Menurut
perhitunganku, andaikata ia benar-benar mendaki gunung ini, pada akhirnya
ia akan turun lagi karena tak bisa naik terus dan sesudah kembali,
hatinya akan jadi lebih tenang. Tapi di luar dugaan, bersama Tang Thay
Tjeng, ia memanjat terus sampai disini dan terbinasa. Dengan begitu,
bukankah aku yang sudah mencelakakan mereka?"
Mendengar keterangan itu, dalam hati Keng Thian dan Peng Go lantas
saja timbul rasa persahabatan terhadap imam tua itu. Sekarang mereka
tahu, bahwa Hongsek terganggu pikirannya sebab menyesal dan duka.
"Hiatsintjoe adalah seorang jahat dan kebinasaannya tak harus dibuat
sayang," kata Peng Go dalam hatinya. "Tapi Hongsek Toodjin, biarpun ia
tak bisa membedakan jahat dan baik, masih berharga untuk dipandang
sebagai sahabat."
Peng Go berdiam beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara
halus: "Kalau begitu, kau turun gununglah. Sesudah menelan Yangho wan,
kau tak akan takuti lagi hawa dingin dan kurasa kau akan bisa sampai di
kaki gunung dengan selamat."
"Dan kau?" tanya Hongsek.
"Kami ingin mencari sesuatu yang lebih berharga daripada Tjiangtjoe
Siantjo," jawabnya. Hongsek menggeleng-gelengkan kepala, tapi ia tak
berani mencegah karena niatan Peng Go kelihatannya sudah tak bisa diubah
lagi Sesudah menghaturkan terima kasih kepada Keng Thian dan si nona, ia
lalu turun gunung seorang diri.
Sesudah si imam berlalu, dengan saling menggandeng tangan. Dua
sejoli itu lalu memasuki kumpulan pagoda-pagoda es. Selagi enak berjalan
sambil menikmati pemandangan yang luar biasa, sekonyong-konyong mereka
mendengar suara tangisan yang perlahan.
Mereka kaget tak kepalang. "E-eh! Seperti suara orang yang sudah
dikenal," kata Keng Thian yang lalu memburu ke arah suara itu. Tiba-tiba
ia berteriak: "Kim Bwee Piauwmoay!" Orang yang sedang menangis di pinggir
telaga memang juga Kim Bwee adanya.
Sesudah datang dekat, Keng Thian menanya sambil bersenyum: "A Bwee,
apa kau kesasar?" Sebagai kawan bermain semenjak kecil, ia tahu, bahwa
saudari sepupunya menangis bukan karena kesasar jalan, tapi ia sengaja
menanya begitu.
Si nona mengangkat kepala dan menjawab dengan suara serak: "Dia
sudah pergi!"
Mendengar perkataan Kim Bwee, Peng Go yang sudah menghampiri lantas
saja berkata: "Mengapa kau tidak menahan dia?"
Senyuman Keng Thian lantas saja menghilang dari bibirnya. Ia
sekarang tahu, bahwa Kim Sie Ie sudah kabur lagi tanpa dapat ditahan oleh
si nona.
"Dia memberikan semua Pekleng tan kepadaku," kata si nona sambil
menunjuk peles perak. "Hatinya terlalu mulia dan terlalu kejam."
"Apa artinya?" tanya Keng Thian.
"Seperti di dalam mimpi... dalam sekejap dia menghilang," jawabnya
sambil mengucurkan air mata. Sesudah itu, dengan suara terputus-putus ia
menuturkan segala pengalamannya.
Keng Thian dan Peng Go berduka sangat. Mereka tak tahu, bagaimana
harus menghibur Kim Bwee.
Sesudah memikir beberapa saat, Peng Go berkata: "Bwee-moay,
sudahlah, kau jangan menangis. Kami akan menemani kau mendaki Tjoe-hong."
Si nona mengawasi dengan sorot mata bersangsi.
"Menurut taksiranku, ia pasti memanjat Chomo Lungma," kata pula
Peng Go.
Kedua mata Kim Bwee bersinar terang. "Peng Go Tjietjie, kau sungguh
mulia," katanya dengan suara berterima kasih.
"Ih! Mengapa kau tak makan daging itu?" tanya Keng Thian yang
melihat sepotong daging ayam di atas salju.
"Daging itu ditinggalkan olehnya, aku tak tega untuk memakannya,"
jawab Kim Bwee.
"Anak tolol!" kata Peng Go seraya tertawa. "Tanpa makan, mana kau
punya tenaga?" Ia meraba kantong makanan Kim Bwee yang ternyata sudah
kosong sama sekali.
Ternyata, sudah sehari suntuk Kim Bwee tak makan apapun jua. Untung
sekali Keng Thian membekal banyak makanan kering dan sebatang jinsom. Si
nona lalu makan sedikit ransum kering dan separuh jinsom, tapi ia masih
tak tega untuk makan daging ayam pemberian Kim Sie Ie.
Sesudah keluar dari kumpulan pagoda-pagoda es, mereka lalu mendaki
tanjakan dengan mengikuti tapak-tapak kaki Kim Sie Ie. Pada hari kedua,
mereka tiba di lembah yang sering diserang taufan dan tapak-tapak itu
menghilang tertutup salju yang ditiup angin. Pada besokan harinya, Chomo
Lungma sudah berada di depan mata.
Setibanya disitu, mereka lelah bukan main dan sukar bernapas.
Walaupun tak takut hawa dingin, Peng Go merasa dadanya sakit dan sesak.
Keadaan Keng Thian masih mendingan, karena ia memiliki lweekang yang
lebih tinggi. Orang yang paling menderita adalah Kim Bwee, yang hanya
bisa maju setindak demi setindak dengan dipayang Keng Thian.
Mereka tiba sesudah terjadinya "salju roboh". Dari bawah mereka
memandang ke atas dan apa yang dilihatnya hanya puncak-puncak yang
menjulang ke langit, tertutup awan dan salju.
Peng Go dan Kim Bwee mengawasi puncak itu dengan hati berdebar-
debar. Walaupun berkepandaian tinggi, mereka yakin Kim Sie Ie tak akan
mampu mendaki puncak yang setinggi itu. Dalam hati kecil, mereka menduga,
bahwa pemuda itu telah mengalami kecelakaan, tapi tak satupun yang berani
mengutarakan dugaan itu.
Tiba-tiba Kim Bwee berbisik: "Hari keberapa ini?" Karena pingsan
lama di kumpulan pagoda-pagoda es, ia tak dapat menghitung hari lagi.
Sekonyong-konyong paras Peng Go berubah pucat, la ingat bahwa bersama
Keng Thian ia sudah berada di Himalaya tujuh hari tujuh malam, atau
dengan lain perkataan, sudah melampaui batas umur Kim Sie Ie dengan satu
hari dan satu malam!
Waktu itu matahari sudah menyilam ke barat dan sang rembulan sudah
memancarkan sinarnya yang remang-remang di atas langit. Lama sekali
mereka mengasoh untuk memulihkan tenaga.
Selang satu dua jam, Keng Thian menghela napas seraya berkata:
"Marilah kita turun saja."
"Tidak! Aku tak pulang!" teriak Kim Bwee dengan suara pasti
Peng Go mencekal tangan si nona dan mengawasi mukanya dengan penuh
rasa kasihan. Tapi sebelum ia sempat membujuk, di tanjakan tiba-tiba
terdengar teriakan seorang wanita: "A Bwee!
Kau juga sudah tiba disini?"
"Ibu!" seru Kim Bwee sambil melompat bangun.
Phang Lin tertawa haha-hihi dan menggapai-gapai.
"Ie-ie!" teriak Keng Thian "Apa kau sudah bertemu dia?"
"Bertemu!" jawabnya.
Badan Kim Bwee bergemetaran, tapi larinya terlebih cepat daripada
Pengtjoan Thianlie. "Dimana dia?" tanyanya sambil memeluk sang ibu.
"Lihatlah sendiri," kata Phang Lin seraya menuding ke satu jurusan.
Semua orang menengok ke tembokan es yang ditunjuknya. Ternyata di
tembok es itu terdapat empat baris huruf yang berbunyi seperti berikut:
Kubukan manusia yang tak mengenal budi,
Memandang Tjoe-hong dengan hati bersedih,
Kuhanya cocok untuk hidup menyendiri,
Malu menerima kecintaan dari seorang dewi.
Di bawah syair yang ditulis dengan pedang itu terdapat juga tapak-
tapak tongkat.
Pengtjoan Thianlie kelihatan berduka sekali. Hanya ia seorang yang
mengenal isi hati Kim Sie Ie. Syair itu keluar dari jiwa yang angkuh. Ia
haus akan kecintaan manusia yang hangat, tapi pada akhirnya, ia mabur
seorang diri dari dunia pergaulan.
Untuk beberapa lama, mereka tak mengeluarkan sepatah kata. Mereka
bengong dan memandang dunia perak yang sangat indah, yang gilang-gemilang
di bawah sorotan sinar rembulan.
Akhirnya, kesunyian itu dipecahkan oleh Phang Lin yang berkata
dengan mendadak: "Kurang ajar sungguh bocah itu!" Comelan disusul dengan
tertawa. "Jangan jengkel-jengkel," katanya pula sambil melirik puterinya.
"Asal dia masih bidup, aku pasti akan dapat membekuknya, supaya kau bisa
melampiaskan rasa kedongkolanmu." Kata-kata itu hanya untuk menghibur Kim
Bwee. Dalam hatinya, Phang Lin pun yakin, bahwa mencari pemuda itu bukan
hal yang mudah.
"E-eh, apa itu?" mendadak Kim Bwee berkata sambil menuding ke atas.
"Tiga bola salju... menggelinding ke bawah..T eh sungguh cepat!"
"Anak tolol!" bentak sang ibu seraya tertawa. "Bukan bola salju.
Itulah lethio-mu, Ie-ie dan... siapa orang yang ketiga. Ah! Lu Soe Nio!"
Beberapa saat kemudian, Siauw Lan bertiga sudah tiba disitu. Tak
usah dikatakan lagi, pertemuan itu menggirangkan sangat hatinya semua
orang.
Sambil mencekal tangan Peng Go, Phang Eng tertawa seraya menanya:
"Apa sekarang kau masih jengkel terhadapku?"
Phang Lin tertawa geli. "Aku berjanji akan carikan kau seorang
menantu yang memuaskan," katanya dengan suara menggoda. "Bukankah
sekarang aku sudah memenuhi janji itu?"
Peng Go tak menjawab, hanya mukanya berubah merah karena kemalu-
maluan. Ia melirik kedua saudara perempuan itu dan baru sekarang, sesuai
dengan petunjuk Keng Thian, ia dapat membedakannya. Bagi orang luar,
mereka hanya dapat dibedakan waktu sedang tertawa. Yang satu bersujen di
pipi kiri, yang lain di pipi kanan.
"Aku sudah menepati janji, tapi bagaimana dengan janjimu?" tanya
Phang Lin.
"Apa kalian belum bertemu dengan Kim Sie le?" tanya Siauw Lan
dengan heran. "Aku minta ia menunggu disini atau di rumah Phoei Keng
Beng."
"Dia tak akan kembali," jawab Phang Lin. "Bacalah syair itu."
Sesudah membaca Siauw Lan menghela napas. "Begitu gurunya, begitu
juga muridnya," katanya dengan suara duka. "Adat Kim Sie Ie lebih aneh
daripada Tokliong Tjoentjia." Lantas saja ia menceritakan, bagaimana
pada saat yang sangat berbahaya, ia sudah berhasil menolong jiwa pemuda
itu.
Kim Bwee jadi girang tercampur sedih. Ia girang sebab kecintaannya
sudah terbebas dari kebinasaan dan di kemudian hari, ia bakal menjadi
seorang pandai dalam dunia persilatan. Tapi ia juga merasa sedih, karena
pemuda itu sudah mabur untuk tidak kembali lagi.
Phang Lin yang beradat "berandalan", kali ini pun merasa duka.
Secara kebetulan ia telah bertemu dengan seorang pemuda yang cocok untuk
menjadi suami puterinya. Tapi pemuda itu telah kabur dengan begitu saja
dengan menolak segala kecintaan orang. Mendengar Siauw Lan menyebut-
nyebut nama Tokliong Tjoentjia, ia ingat buku catatan harian yang
diberikannya kepada Siauw Lan. "Siauw Lan, apa buku catatan harian itu
sudah diserahkan kepada Kim Sie Ie?" tanyanya.
Siauw Lan terkejut. "Ya," jawabnya. "Apa? Buku catatan sehari-hari?
Aku tadinya menduga, buku ilmu silat."
"Kau tidak membacanya?" tanya pula Phang Lin.
"Bagaimana kuboleh baca buku orang lain?" Siauw Lan balas tanya.
Lu Soe Nio yang sedari tadi terus menutup mulut, mendadak bertanya:
"Apa dalam buku itu terdapat catatan penting?"
"Sangat penting, mengenai jiwa umat manusia di sepanjang pantai,"
jawab Phang Lin.
Siauw Lan terperanjat. "Apa?" ia menegas.
"Menurut catatan itu, di bawah pulau Tjoa-to terdapat sebuah gunung
berapi yang menurut taksiran Tokliong Tjoentjia, akan meledak kurang
lebih sepuluh tahun lagi," menerangkan Phang Lin. "Jika sampai terjadi
kejadian itu, bukan saja seluruh pulau akan menjadi hancur, tapi semua
makhluk berjiwa di dalam laut dan umat manusia yang hidup di sepanjang
pantai Lautan Kuning, akan celaka. Menurut Tokliong Tjoentjia, masih ada
jalan untuk mengelakkan bencana tersebut. Beberapa bulan sebelum terjadi
peledakan, seseorang harus masuk ke dalam lubang gunung dan membuka
sebuah terowongan untuk memasukkan air laut, supaya api dan lahar beracun
bisa mengalir keluar perlahan-lahan. Hanyalah dengan jalan itu saja,
barulah bencana bisa dielakkan."
Paras muka Soe Nio lantas saja berubah terang. "Kalau begitu, kita
tak usah mencari Kim Sie Ie lagi," katanya sambil bersenyum.
"Mengapa?" tanya Phang Lin.
"Sesudah membaca buku gurunya, apakah ia tak mengerti, bahwa ia
adalah orang satu-satunya yang bisa mengelakkan bencana itu?" Soe Nio
balas tanya.
Siauw Lan mengangguk beberapa kali dan berkata dengan suara
perlahan: "Menolong sesama manusia adalah tugas orang-orang sebangsa
kita. Apalagi mengelakkan bencana yang sedemikian besar! Mengenai tugas
itu, aku merasa Tokliong Tjoentjia sudah menghitung masak-masak,
sehingga, biarpun ia masuk ke dalam gua api, ia pasti akan bisa keluar
lagi dengan selamat."
Paras muka Phang Lin berubah lebih terang. "Ya," katanya. "Biarlah
ia melakukan satu perbuatan yang mulia itu."
Kim Bwee mengawasi ibunya dan kemudian berkata dengan suara
perlahan: "Tapi... andaikata ia selamat... apakah ia akan kembali?"
"Ia mabur karena merasa malu terhadap manusia," kata Lu Soe Nio.
"Sesudah berhasil melakukan perbuatan yang mulia itu, aku merasa pasti ia
akan kembali ke dunia pergaulan."
Si nona tak mengatakan apa-apa lagi, tapi mendengar suara Lu Soe
Nio yang begitu pasti, hatinya jadi terhibur juga.
Demikianlah, dengan hati tertindih, mereka lalu mulai turun gunung.
Tiga hari kemudian, mereka tiba kembali di rumah Phoei Keng Beng, dimana
sudah menunggu Liong Leng Kiauw,
Tong Lootaypo dan yang lain-lain yang terpaksa kembali karena tak
bisa maju terus.
Sesudah mengasoh beberapa hari mereka lalu membereskan perjalanan.
Atas anjuran Tong Siauw Lan dan yang lain-lain, Phoei Keng Beng bersama
puterinya pun turut turun gunung. Sebenarnya ia merasa berat untuk
meninggalkan rumah yang sudah di tempati puluhan tahun, tapi mengingat
hari kemudian puterinya sudah mendapat ketentuan, hatinya jadi agak
terhibur.
Waktu itu adalah musim semi. Di kaki gunung, salju sudah melumer
dan pemandangan alam, dengan pohon-pobon yang berdaun hijau, bunga-bunga
yang menyiarkan bebauan wangi dan burung-burung yang bermain-main di
dahan kayu, indah luar biasa. Peng Go memetik beberapa kuntum bunga hutan
dan kemudian menyebarnya di tengah udara dengan mata mengawasi puncak
Tjoe-hong. Antara begitu banyak orang, hanya Keng Thian yang bisa
merasakan apa yang dirasakan oleh si nona.
Sesudah berjalan dua hari lagi, tibalah mereka di lembah itu,
dimana tentara Nepal dan tentara Tjeng pernah berkemah dan berhadapan
satu sama lain. Sekarang mereka hanya mendapatkan lembah yang sunyi
senyap dan bertemu dengan sejumlah kambing hutan yang begitu melihat
datangnya manusia, lantas saja lari serabutan. Kedua tentara itu ternyata
sudah ditarik mundur.
Tapi baru mau keluar dari mulut lembah, mereka melihat sebuah tenda
yang masih berdiri disitu. Ternyata, Thian Oe dan Yoe Peng yang sangat
memikiri keselamatan Kim Sie le, tidak turut pulang bersama tentara
Tjeng, tapi sudah menunggu disitu. Mereka girang melihat kembalinya Tong
Siauw Lan dan yang lain-lain. Mereka juga bersyukur, bahwa jiwa Kim Sie
Ie sudah dapat ditolong. Tapi di antara kegirangan itu, mereka juga
merasa duka, sebab Kim Sie Ie sudah melenyapkan diri.
Sesudah keluar lembah, mereka masuk ke daerah padang rumput. Belum
jalan berapa jauh, mereka bertemu dengan serombongan pedagang kuda yang
datang ke .daerah perbatasan untuk berdagang. Sambil jalan perlahan-
lahan, mereka menyanyikan lagu si Pengembara:
Sungai es di puncak gunung laksana Thianho yang nyungsang.
Dengarlah 'tu kepingan es mengalir dengan bersuara perlahan sekali,
Ibarat suara tetabuhan yang dipentil dengan jeriji si gadis jelita.

Si nona tanya sang pengembara: Berapa gunung es lagi harus kau


mendaki? Berapa topan lagi harus kau lewati? Pengembara! Sang elang di
atas padang rumput pun tak dapat terbang terus menerus.
Tapi kau jalan, jalan terus, jalan terus...
Sampai tahun apa, bulan apa, baru kalian mau turun dari kuda?

Nona, terima kasih atas kebaikanmu,


Tapi kami tak dapat menjawab pertanyaanmu, Apakah kau pernah
melihat bunga di gurun pasir? Apakah kau pernah melihat gunung es
melumer? Kau belum pernah melihatnya? Belum pernah! Ah! Maka itu, kami si
pengembara. Juga tak akan berhenti selama-lamanya.

Itulah lagu yang pernah didengar Thian Oe pada tiga tahun


berselang, pada waktu ia pertama kali melihat wajah Chena. Segala
pengalamannya dengan gadis Tsang itu lantas saja terbayang di depan
matanya dan air mata mengalir turun di kedua pipinya. Ia melirik Yoe Peng
yang kebetulan sedang mengawasi padanya, sehingga kedua pasang mata
lantas saja kebentrok. Demikianlah, luka di hatinya telah diperingan
dengan obat yang mujarab.
Peng Go pun pernah mendengar lagu itu dan ia juga merasa sedih
karena ingat nasib Kim Sie le. Apakah pemuda itu akan bernasib seperti si
pengembara yang disebutkan dalam lagu itu? Ia menengok dan melihat Keng
Thian tengah mengawasi dengan sorot mata penuh kecintaan. Ia menghela
napas dan dalam kedukaannya, ia merasa, bahwa dirinya banyak lebih
beruntung daripada wanita yang lain.
Lie Kim Bwee sendiri baru pernah mendengar lagu yang sedih itu. Ia
harus berduka seorang diri, karena tak ada orang yang menghiburnya dengan
lirikan mata yang mengandung cinta. Ia menangis seorang diri sambil
menghadapi sebuah teka-teki yang tak dapat dijawab. Apa dia akan segera
kembali? Apa dia bernasib seperti si pengembara yang baru mau menahan les
kuda sesudah gurun berbunga dan gunung es melumer? Entahlah!
Dengan air mata berlinang-linang, tanpa berani menengok pula untuk
melihat Chomo Lungma, ia berjalan sambil menundukkan kepala seraya
mendengari lagu si Pengembara yang semakin lama jadi semakin menghilang
dari pendengaran.....

T A M A T

CATATAN

13) Phaspa (keponakan Sakya Pandit yang menakluk pada kerajaan


Mongol) adalah seorang nabi yang tersohor pintar. Dalam usia sangat muda,
ia sudah menarik perhatian Kublai Khan (yang belakangan menjadi kaizar di
Tiongkok), sehingga diminta untuk memberi pelajaran Lhama-isme kepada
Kublai dan belakangan diangkat menjadi Guru Kerajaan. Sepanjang cerita,
dengan disaksikan kaizar, ia memperoleh kemenangan dalam suatu debat
mengenai keagamaan, melawan tokoh-tokoh kenamaan. Atas perintah Kublai,
Lhama-isme dinyatakan sebagai agama kerajaan Goan (Yuan) dan Phaspa
diangkat menjadi pemimpin dari semua Budhis di kolong langit. Dalam usia
31 tahun, ia diperintah menciptakan sistim menulis untuk orang Mongol.
Dengan mengambil alphabet Tibet sebagai dasar, ia menyelesaikan tugas itu
dalam lima tahun.
14) Puncak Mutiara atau Tjoehong diambil dari perkataan "Chomo
Lungma", bahasa Tibet untuk Puncak Everest. Tinggi Everest 29.002 kaki
dan nama itu diambil dari nama Sir George Everest, seorang ahli pengukur
gunung-gunung. Sebagaimana diketahui, Puncak Everest telah ditakluki oleh
Sir Edmund Hillary, Sherpa Tenzing dan kawan-kawannya pada tanggal 29 Mei
1953.
15) Tiatkoen atau Buku Besi adalah anugerah dari seorang raja
kepada keluarga raja atau menteri yang berjasa besar. Dengan kekuatan
anugerah itu, ia dapat mencampuri segala urusan negara, malahan dapat
menegur atau menghukum raja yang belakangan bertahta.

Anda mungkin juga menyukai