Bidadari Sungai Es
Bidadari Sungai Es
com
Bidadari dari Sungai Es
(Peng Tjoan Thian Lie)
*) Thianho, Bima Sakti atau Milky Way adalah sehelai sinar terang
di waktu malam yang membentang di langit, terdiri dari rangkaian bintang-
bintang. Sungai es yang mengalir dari atas puncak gunung ke bawah
diibaratkan Thianho yang membentang nyungsang.
***
Cawan penuh, tapi toh kosong. Nyanyian merdu, toh kosong juga,
Tetabuhan khim indah, pun kosong.
Rembulan terang, akhirnya kosong juga.
Semua orang sudah bubaran dari taman bunga anggrek dan ketinggalan
debu yang berhamburan.
Musim dingin meliputi daerah Kanglam,
Dalam liati mengutuk salju dan angin yang meresap ke tulang-tulang.
Orang yang dicinta berada di ujung langit.
Siapa lagi yang dapat hiburi hatinya anak yang terlantar?
Sebagai peringatan dari marhum ayah dan ibu,
Hoan Lian.
Tan Thian Oe sekarang tahu, bahwa lelaki dan wanita itu adalah
kakek dan neneknya Pengtjoan Thianlie, yaitu Koei Tiong Beng dan
isterinya Moh Hoan Lian, sedang sajak itu adalah buah kalam ayahnya Moh
Hoan Lian, yaitu Moh Pie Kiang.
Hatinya Thian Oe diliputi dengan perasaan heran yang sangat besar.
Bahwa Pengtjoan Thianlie adalah cucu perempuannya Koei Tiong Beng, sudah
merupakan satu hal yang mengherankan. Akan tetapi, keraton di puncak
gunung dengan dayang-dayangnya yang terdiri dari wanita-wanita asing,
merupakan keheranan yang lebih besar lagi. Walaupun asal-usulnya
Pengtjoan Thianlie sudah terbentet sekali, akan tetapi, dalam
keseluruhannya, ia masih merupakan satu teka-teki.
Malam itu, sesudah bersantap dengan hidangan yang diantar oleh sang
dayang, Thian Oe gulak-gulik di atas pembaringan dan tidak dapat tidur
pulas. Ia ingat Chena, itu gadis Tsang yang aneh, ia ingat Pengtjoan
Thianlie yang diliputi rahasia, ia ingat suami isteri Thiekoay sian, ia
ingat macam-macam hal yang datang saling-susul dalam otaknya.
Ia melongok keluar jendela dan saksikan satu dunia yang diselimuti
dengan sinar perak. Dengan sinar salju yang datang dari atas puncak
gunung, ditambah sama bunga-bunga yang memenuhi seluruh taman, Thian Oe
merasa seperti juga berada di tengah-tengah dunia kaca dengan warna-
warninya yang indah luar biasa.
Seperti dibetot besi berani, Thian Oe pakai jubah luarnya dan
dengan tindakan perlahan, ia keluar dari gedung itu buat menikmati
pemandangan alam yang seindah itu.
Mendadak kupingnya dengar orang bicara yang datang dari kejauhan.
Thian Oe lalu mengumpat di belakangnya satu gunung-gunungan dan lihat dua
bayangan orang sedang mendatangi ke arah ia. Yang jalan duluan adalah
Pengtjoan Thianlie, sedang yang belakangan bukan lain daripada Thiekoay
sian. Thian Oe merasa heran. Ada urusan apa, mereka jalan-jalan dalam
taman, di tengah malam buta itu?
Dalam jarak belasan tombak dari tempat sembunyinya Thian Oe, mereka
mendadak berhenti. "Terima kasih banyak buat berita yang kau sampaikan,"
demikian kedengaran Pengtjoan Thianlie berkata. "Dan terima kasih juga
kepada paman-paman sekalian yang sudah begitu memperhatikan diriku. Tapi
aku sudah bersumpah, bahwa selama hidup, aku tidak nanti turun dari
gunung ini."
"Tapi... Tapi guci emas itu ada luar biasa pentingnya," kata
Thiekoay sian. "Dahulu, pada jaman tujuh ahli pedang turun dari gunung
Thiansan, kakek dan nenekmu, bersama-sama Leng Bwee Hong Tayhiap, dengan
bersatu padu sudah melawan kerajaan Tjeng. Kau sendiri adalah cucunya
Koei Tayhiap. Apakah kau tega melihat Tibet menjadi jajahannya bangsa
Boan? Begitu lekas guci emas itu tiba, tamatlah riwayatnya Tibet."
"Aku tidak urus urusan begitu," kata Pengtjoan Thianlie dengan
suara tawar.
Thiekoay sian menghela napas. Baru ia mau buka mulut, Pengtjoan
Thianlie sudah mendahului:
"Kecuali Puncak Es roboh, putusanku tak dapat dirobah lagi.
Sebenarnya terhadap kalian suami isteri yang jauh-jauh sudah datang
disini, aku harus penuhkan kewajiban sebagai tuan-rumah buat melayani
beberapa hari Cuma menyesal, lantaran dahulu aku pernah bersumpah, bahwa
siapa saja yang berani membujuk aku turun gunung, biarpun ia adalah
seorang dari tingkatan yang lebih tua, aku tak dapat menahan lagi
padanya. Thiekoay sian! Terima kasih buat kebaikan hatimu, tapi besok aku
akan perintah dayang antar kalian turun gunung dan di kemudian hari tak
usah datang lagi disini."
Thian Oe tak dapat lihat mukanya Pengtjoan Thianlie yang berdiri
membelakangi ia. Suaranya halus, tapi tegas, seperti satu ratu yang
sedang keluarkan firman.
Thiekoay sian berdiri diam tanpa menjawab sepatah kata. Thian Oe
juga merasa heran, kenapa seorang wanita yang begitu cantik bisa bersikap
sedemikian keras dan mengeluarkan kata-kata yang terang-terangan mengusir
tetamunya. Ia merasa berat buat tinggalkan tempat itu yang sepera surga,
terutama itu gadis Tsang yang aneh. Hatinya merasa sedih, sebab ingat
besok ia harus berlalu bersama-sama gurunya dan tak akan bisa datang lagi
ke tempat itu.
Sesudah lewat sekian lama, barulah kedengaran Thiekoay sian
berkata: "Sesudah berbuat kesalahan terhadap nona, aku tak berani meminta
maaf. Aku akan turut apa yang diinginkan oleh nona." Sesudah itu lantas
kedengaran suara tindakan kaki yang semakin lama jadi semakin jauh, dan
waktu Thian Oe melongok dari gunung-gunungan, kedua orang itu sudah tidak
kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Sembari tarik napas panjang, Thian Oe keluar dari tempat
mengumpatnya. Tiba-tiba, dari antara pohon-pohon kembang muncul satu
orang. Baru saja ia niat menyingkir, orang itu sudah menanya dengan suara
nyaring: "Kau belum tidur?"
Thian Oe mengawasi dan ia itu adalah Chena, yang kepalanya
dibungkus dengan sutera putih, sedang kedua matanya yang jeli bersinar
terang dalam malam yang remang-remang itu dan pada mulutnya tersungging
meseman yang sukar dijajaki.
"Terima kasih buat budimu yang beberapa kali sudah menolong
jiwaku," katanya sembari mesem. "Cuma sayang besok kau sudah harus
berlalu dari sini."
"Hm," kata Thian Oe. "Apa kau juga dengar pembicaraan yang
barusan?"
Chena manggutkan kepalanya dan berkata: " Menurut Thianlie
tjietjie, jiwanya gurumu berada dalam bahaya, jika ia teruskan niatannya
buat merampas guci emas itu. Ia bilang, kau haruslah berlaku hati-hati."
Thian Oe terkejut. "Aku sungguh tidak mengerti persoalan ini," kata
ia. "Barang apakah adanya guci emas itu yang mau direbut?"
"Apa kau belum pernah dengar halnya guci emas itu?" menegasi Chena.
"Belum," jawab Thian Oe. Chena kerutkan alisnya dan paras mukanya
berobah jadi sungguh-sungguh sekali.
"Apakah kau tahu, bahwa Dalai Lama, Panchen Lama, Hutuketu dan
lain-lain Budha hidup semuanya menjalankan lahir mengulang (reinkarnasi)
"?" tanya Chena dengan suara perlahan.
Sebagai orang yang menjadi besar di Tibet, Thian Oe tentu saja
mengetahui kepercayaan itu. Ia menggutkan kepalanya dan Chena berkata
pula: "Oleh karena dalam soal reinkarnasi ini sering-sering timbul
percekcokan, maka kaizar Tjeng mengirimkan sebuah guci emas buat
mengakhiri segala pertentangan. Manakala timbul percekcokan, maka
Naichung yang berhak harus menulis nama-namanya semua calon di atas
sepotong kertas yang sesudah digulung, dikasih masuk ke dalam guci emas
itu. Kemudian, di hadapan orang banyak diambillah salah satu gulungan
kertas dan calon yang namanya kena diambil dianggap sebagai Budha hidup
yang tulen. Aku dapat dengar, guci emas itu sudah dikirim dari Pakkhia
dan setibanya di Lhasa akan disambut secara besar-besaran oleh Dalai Lama
dan lain-lain pembesar, akan kemudian ditaruh dalam Gereja Pusat di
Lhasa. Dengan demikian, guci tersebut akan menjadi semacam benda suci
yang sifatnya abadi. Kau tentu mengerti, bahwa pengiriman barang yang
begitu penting tentu saja bakal dilindungi oleh pengawal-pengawal yang
berkepandaian tinggi. Maka itu, bukankah gurumu seperti mau antarkan
jiwa, jika ia coba merampasnya?"
Thian Oe tadinya niat menanya, cara bagaimana Chena bisa mengetahui
persoalan itu. Akan tetapi mengingat gadis tersebut adalah puterinya Raja
muda Chinpu, Thian Oe jadi urungkan niatannya.
Ayahnya Thian Oe adalah seorang pembesar yang dikirim oleh Kaizar
Kianliong ke Tibet sebagai Amban. Walaupun hatinya merasa tidak puas
terhadap bangsa Boan, akan tetapi ia merasa, tindakannya kaisar Boan di
ini kali tidaklah boleh terlalu disalahkan, sebab sedikitnya dapat
menyingkirkan segala pertentangan di Tibet. Maka itu, ia tidak mengerti
sebab apa gurunya niat rampas guci emas tersebut.
"Kita orang Tibet paling memuja Budha hidup," kata lagi Chena
sesudah menghela napas panjang. "Jika orang Han bikin rusak guci emas itu
atau merampas benda suci kita, maka permusuhan antara bangsa Tibet dan
Han akan jadi semakin dalam. Aku dengar, di antara kau orang Han terdapat
sejumlah pendekar yang merasa kuatir, bahwa sesudah menerima guci emas
itu, pemerintahan yang berdasarkan keagamaan di Tibet akan jatuh di bawah
perintahnya kerajaan Tjeng dan Tibet akan jadi semacam jajahannya bangsa
Boan. Dari sebab begitu, mereka mati-matian mau merampas guci emas itu.
Cuma aku kuatir, maksud yang baik itu akan dianggap sebagai maksud jahat
oleh orang Tibet. Maka itu, aku rasa lebih baik kau bujuk supaya gurumu
batalkan niatannya."
"Adatnya guruku sangat luar biasa dan sebagai murid baru, cara
bagaimana aku berani membuka mulut?" kata Thian Oe.
Kedua orang muda berdiam buat beberapa lama. "Chena," kata Thian
Oe. "Cara bagaimana kau jadi bermusuhan dengan Touwsoe di Sakya?" Baru
saja ucapkan perkataan itu, Thian Oe lantas merasa menyesal sebab kuatir
ia sudah melewati batas kesopanan.
Tapi Chena kelihatannya tidak merasa tersinggung. "Kau sudah
menolong jiwaku dalam rumahnya Touwsoe, maka biarpun kau tidak menanya,
aku seharusnya memberitahukan padamu," katanya dengan suara perlahan.
"Biarlah sekarang aku tuturkan satu cerita, yang selainnya Thianlie
tjietjie, kau adalah orang kedua yang pernah mendengar ini.
"Dahulu, yaitu pada jaman kerajaan Tong, suku Tukuhun (daerah Koko
Nor) telah menyerang Tibet. Satu panglima Tibet yang gagah perkasa sudah
berhasil pukul mundur musuh yang menyerang itu. Tak lama kemudian, raja
Tibet mengadakan pesta pernikahan besar dan permaisurinya adalah Puteri
Boenseng dari Kaisar Tong. Dengan menggunakan kesempatan itu sang raja
memberi hadiah kepada mereka yang berjasa. Panglima yang sudah pukul
mundur serangan Tukuhun adalah orang yang paling berjasa, maka Raja Tibet
menghadiahkan ia sebidang tanah yang luasnya ditentukan dengan larinya
seekor kuda dalam tempo seharian. Panglima tersebut tersohor mahir dalam
ilmu menunggang kuda dan sepanjang cerita, dalam tempo seharian kudanya
dapat melalui satu lingkaran dari 5000 li lebih. Tanah yang seluas itu
segera dihadiahkan kepadanya dan ia diberi pangkat Hoan-ong (raja muda).
Panglima tersebut adalah leluhurku.
"Tanah dan pangkat itu dipegang turun menurun. Ayahku adalah
turunan yang ke 50. Ia berkuasa atas empat Touwsoe, antaranya Touwsoe di
Sakya yang mempunyai pengaruh paling besar. Isterinya Touwsoe Sakya itu
adalah puterinya paman misananku. Lantaran adanya hubungan pangkat dan
hubungan keluarga, maka kedua keluarga bergaul dengan sangat rapat.
"Ayahku suka sekali berburu. Siapa nyana, pada satu hari ketika
sedang mengubar seekor rase bulu emas, kepalanya kebentur cabang pohon
dan ia terguling dari kudanya akan terus meninggal dunia.
"Aku tak mempunyai saudara lelaki, maka setelah diadakan
perundingan, telah disetujui bahwa kedudukan ayahku harus diwarisi kepada
pamanku, dan jika sang paman meninggal dunia, kepada saudara-saudara
misananku.
"Tapi siapa kira beberapa kejadian ajaib terjadi dengan beruntun.
Pertama, sehabis minum semangkok susu kuda, badan pamanku mendadak pada
matang biru dan bengkak-bengkak dan meninggal dunia tidak lama kemudian.
Sesudah itu, beberapa saudara misananku dengan beruntun meninggal secara
luar biasa sekali. Badan mereka pada matang biru, sedang darah keluar
dari lubang mulut, kuping, hidung dan sebagainya. Orang-orang tua bilang,
kejadian ini adalah akibat gangguan setan memedi, maka sekeluarga kita
pada mengumpat dalam sebuah gereja yang terletak di dalam pekarangan
gedung. Sebuah kunci besar dipasang diluar gereja dan di seputar tembok
disebarkan kapur. Katanya, penjagaan itu dapat menahan masuknya kawanan
setan. Ah, sungguh menakutkan hari-hari yang seram itu!"
Thian Oe bergidik. Keindahan alam yang terbentang di depannya
segera juga berobah jadi pemandangan yang menyeramkan.
"Demikianlah saudara-saudara misananku satu persatu binasa secara
mengerikan itu," Chena lanjutkan penuturannya. "Aku ingat, itu hari,
saudara misananku yang terakhir, yang baru saja berusia tiga tahun, juga
tidak terluput dari kebinasaan. Bukan main rasa takutku. Aku merasa,
bahwa aku sendiri pun tidak akan hidup lama lagi di dalam dunia. "Hari
itu adalah hari
Hoeihoentjee 81 ayah. Sebenarnya satu sembahyangan harus dibikin
dalam gedung raja muda, akan tetapi, berhubung dengan terjadinya
kejadian-kejadian hebat, kami tidak berani mengisar dari dalam gereja,
sedang orang luar pun tak berani datang di rumah kita.
"Tapi masih ada satu orang yang tidak takut. Orang itu adalah
koekoe-ku (paman, saudara lelaki dari ibu) yang bernama Lochu. Apa kau
pernah dengar namanya?"
"Ya," menyahut Thian Oe. "Ayah kata, ia adalah orang gagah nomor
satu di bawah perintahnya Chinpu. Menurut katanya soehoe, ia adalah
seorang kenamaan dari Thianliong pay."
"Ilmu kepandaian koekoe sangat tinggi," kata Chena sambil
manggutkan kepalanya, "Ia juga tidak takuti segala setan memedi. Hari itu
ia kebetulan datang dan turut bersembahyang pada malam itu.
"Hatiku selalu ketakutan. Biasanya setiap malam aku tidur bersama
ibu di satu kamar. Tapi malam itu, koekoe yang temani aku, sedang ibu mau
menjaga meja sembahyang sampai jam lima pagi bersama dua dayang.
"Malam itu aku tak dapat pulas. Saban kesiuran angin atau
bergoyangnya rumput membuat aku kaget dan menduga kedatangannya roh ayah.
Aku ingat, bahwa semasa hidupnya ayah sangat mencintai aku, dan sekarang,
sesudah menjadi roh halus, ia haruslah menjaga aku, menjaga juga ibuku,
supaya kita jangan diganggu oleh segala setan keliaran.
"Jam tiga sudah lewat dan jam empat menyusul. Semua bujang sudah
pada tidur, sehingga keadaan jadi sunyi senyap, sedang di luar cuma
kedengaran suara ketak-ketiknya sang lonceng. Dalam kamar terdapat dua
pembaringan kayu. Aku tidur di pembaringan sebelah dalam, sedang koekoe
di pembaringan sebelah luar. Aku mengintip dari sela-sela pintu dan lihat
api lilin bergoyang-goyang. Mengingat seramnya keadaan diluar, aku mau
teriaki ibu supaya masuk saja ke dalam buat temani aku. Tapi sebelum
dapat buka suara, api lilin mendadak padam semuanya!
"Berbareng dengan itu, aku dengar teriakan ibu yang membikin bulu
badanku jadi berdiri. Tiba-tiba koekoe membentak sembari menjotos,
sehingga tiang ranjang sempal. Sekarang aku dapat lihat, satu bayangan
hitam sudah bertempur seru dengan koekoe.
"Sesudah bertempur beberapa lama, koekoe desak dia keluar kamar dan
mereka terus berkelahi dengan hebatnya. Setiap pukulan mengeluarkan
deruan angin dan mataku tak dapat membedakan, yang mana koekoe, yang mana
musuh. Perabot rumah tangga banyak yang hancur lantaran kepukul atau
ketendang. Tiba-tiba aku dengar teriakan koekoe yang menyeramkan.
Semangatku terbang, hampir-hampir aku pingsan, sebab duga koekoe kena
dirobohkan. Tapi, sesudah teriakan itu, keadaan jadi sunyi kembali. Aku
buka kedua mataku dan merasa satu orang usap-usap kepalaku."
"Apa koekoe?" Thian Oe menanya tanpa merasa.
Chena tarik napas panjang dan menyahut: "Benar, ia adalah koekoe.
Napasnya sengal-sengal dan suaranya gemetar waktu ia berkata: "Chena,
aku... Lekas ikut padaku." Ketika itu, aku sudah jadi begitu ketakutan,
sehingga kedua kakiku menjadi lemas. Koekoe pondong aku dan berjalan
keluar. "Mana ibu? Ajaklah ibu bersama-sama," kata aku. Koekoe tidak
menjawab. Ia buka pintu gereja dan lantas loncat ke atas punggung kuda,
yang lantas dikaburkan secepat bisa. Belakangan aku baru tahu, bahwa ibu
dan dua dayang semuanya binasa dalam tangannya pembunuh. Si
pembunuh sebenarnya maui juga jiwaku, dan kalau tidak ada koekoe,
sekarang aku tentu sudah tidak hidup lagi. Koekoe terus kaburkan kudanya
dan dalam tempo semalaman sudah melalui lebih dari dua ratus li. Disitu
barulah ia memberitahukan aku, bahwa paman dan saudara-saudara misanan
semua binasa dalam tangannya pembunuh itu, yang mempunyai semacam ilmu
pukulan sangat beracun yang dinamakan Tjit-im tjiang. Siapa yang kena
pukulan itu, sekujur badannya lantas matang biru dan dari lubang-lubang
tubuhnya mengeluarkan darah! Tak usah dibilang lagi, si korban tidak akan
dapat ditolong jiwanya. Dengan taruhkan jiwanya, koekoe lawan pembunuh
itu, yang dapat juga dipukul mundur, tapi koekoe sendiri sudah kena satu
pukulannya.
"Semangatku rasanya terbang dan buru-buru tanya bagaimana baiknya.
Koekoe menerangkan, bahwa lantaran mempunyai tenaga dalam yang cukup
kuat, maka ia masih bisa tahan tujuh hari lamanya. Koekoe dengar, di
pegunungan Nyenchin Dangla terdapat satu telaga Thian-ouw dan di pinggir
telaga tersebut hidup seorang dewi. Sepanjang cerita, air suci dari
telaga tersebut dan bunga Mantolo yang tumbuh di atas gunung dapat
mengobati macam-macam penyakit. Lantaran tidak terdapat lain jalan lagi,
dengan tidak perdulikan benar atau tidaknya cerita itu, sambil mendukung
diriku, koekoe panjat gunung
Nyenchin Dangla. Waktu matanya melihat air telaga, mendadak koekoe
keluarkan teriakan dan jatuh pingsan, mungkin lantaran lukanya dan
kecapaian, tercampur dengan perasaan girang sudah bisa sampai di telaga
tersebut. Sembari menangis, aku coba bikin sadar padanya. Lantaran lapar
dan lelah, sesudah menangis beberapa lama, aku pun jatuh pingsan.
"Tak tahu sudah selang berapa lama, perlahan-lahan aku jadi sadar.
Koekoe sudah tidak berada disitu, tapi di hadapanku berdiri seorang
wanita yang parasnya cantik sekali. Aku menduga, ia itu tentu sang dewi
yang bertempat tinggal di pinggir telaga. 'Sianlie tjietjie, mana koekoe-
ku?' aku menanya. Ia mesem dan menyahut: 'Apa ia koekoe-mu? Aku bukannya
dewi. Aku she Koei bernama Peng Go. Orang luar namakan aku sebagai
Pengtjoan Thianlie.' Mendengar begitu, aku segera berkata kembali: 'Kalau
begitu, Thianlie tjietjie, dimanakah adanya koekoe?' 'Aku belum pernah
permisikan orang luar naik disini, maka itu aku sudah usir koekoe-mu ke
bawah gunung,' jawab Pengtjoan Thianlie. Kembali aku menangis keras.
'Jangan nangis,' ia membujuk. 'Aku sudah obati lukanya koekoe-mu dan
sekarang jiwanya sudah ketolongan. Kalau bukannya begitu, cara bagaimana
ia bisa turun dari gunung ini?' Aku merasa heran mendengar cara-caranya
Thianlie tjietjie, yang sesudah menolong, lalu mengusir koekoe. 'Thianlie
tjietjie apakah kau akan usir juga diriku?' aku menanya. Waktu itu, aku
tidak mengerti barang sedikit ilmu silat, sehingga kalau benar diusir,
aku tentu mesti binasa, kalau tidak lantaran terpleset jatuh, tentu juga
lantaran kelaparan.
"Pengtjoan Thianlie kembali mesem dan berkata dengan suara halus:
'Aku dan kau ada berjodoh, maka aku bersedia buat menahan dirimu untuk
sementara waktu.' Belakangan aku baru mendapat tahu, bahwa Thianlie
tjietjie belum pernah bergaul dengan orang luar dan ia ingin sekali
mengetahui keadaan dalam dunia. Selainnya itu, ia juga merasa senang
terhadapku sebab mataku mirip sekali dengan matanya. Itulah sebabnya,
maka ia sudi menahan aku."
Mendengar begitu, Thian Oe segera awasi kedua matanya Chena yang
bundar dan besar, dengan kedua biji mata yang warnanya sedikit blau.
Kalau biji mata itu sedang memain, orang seperti juga melihat dua
gumpalan air perak putih yang memeluk dua titik hitam, sedang bergulikan
ke kiri-kanan. Sungguh indah kedua mata itu dan benar mirip dengan
matanya Pengtjoan Thianlie.
Diimplang dengan mata tajam oleh Thian Oe, paras mukanya Chena jadi
bersemu merah. "Lantaran lihat ia bersikap ramah tamah, aku segera
berdiam padanya dan ceritakan segala asal-usulku," kata lagi Chena
sembari tundukkan kepala.
"Belakangan bagaimana?" tanya Thian Oe.
"Biarpun ia belum mengasih lihat kepandaian luar biasa, aku sudah
merasa, Pengtjoan Thianlie bukannya sembarang orang," kata lagi Chena.
"Aku segera memohon buat menjadi muridnya, tapi ia mengatakan ia
selamanya tidak suka campur urusan dunia dan tidak ingin menjadi guru.
Sesudah aku memohon berulang-ulang, ia berkata: 'Baiklah, lantaran aku
merasa kasihan akan nasibmu, sebagai seorang saudara, aku akan turunkan
pelajaran ilmu silat secara lisan kepadamu, buat tiga hari lamanya.
Berapa banyak pelajaran kau bisa dapat selama tiga hari itu, tergantung
atas untungmu.' Demikianlah ia lalu turunkan pelajaran ilmu silat secara
lisan kepadaku. Sebulan lamanya aku berdiam dalam keraton Thianlie
tjietjie, dimana diam-diam aku berlatih di bawah petunjuk para dayangnya.
Dalam tempo yang sangat pendek itu, benar saja aku sudah mendapat
kemajuan yang sangat besar. Sebetulnya Thianlie tjietjie masih mau
menahan padaku, tapi lantaran hatiku sangat ingin membalas sakit hati
secepat mungkin, maka, tanpa mendengar nasihatnya, aku lalu turun gunung.
Dan tak dinyana, benar saja ilmu silatku masih terlalu rendah, sehingga
bukan saja aku sudah gagal dalam percobaan membalas sakit hati, tapi juga
hampir-hampir jiwaku sendiri turut melayang."
Harus diketahui, bahwa ilmu silatnya Chena pada ketika itu, sudah
terhitung tinggi. Ilmu entengi badannya sudah berada di sebelah atasan
Thian Oe. Mendengar penuturan itu, hatinya Thian Oejadi kagum sekali. "Ia
cuma belajar tiga hari, tapi ilmunya sudah begitu tinggi," kata Thian Oe
dalam hatinya. "Dari sini bisa dilihat, bahwa kepandaiannya Pengtjoan
Thianlie sungguh-sungguh sukar diukur bagaimana dalamnya. Dan
kecerdasannya Chena mungkin sukar dicari keduanya dalam dunia ini."
"Sesudah turun gunung barulah aku mendapat tahu, bahwa segala
kebencanaan dalam keluargaku adalah perbuatannya Touwsoe di Sakya,"
demikian Chena teruskan penuturannya. "Sesudah peristiwa hebat pada malam
itu, kapan ibuku binasa dan aku sendiri hilang, sedang sang paman dan
saudara-saudara misanan sudah binasa terlebih dahulu, maka di antara
keluarga dekat, sudah tidak ada orang lagi yang berhak mewarisi kedudukan
Raja muda Chinpu. Pada besokan harinya, dengan membawa satu pasukan
tentara, Touwsoe Sakya angkat paman misananku (yang bukan lain dari
mertua sang Touwsoe) menjadi raja muda. Orang-orang sekaumku tidak ada
yang berani membantah lantaran takuti pengaruh dan kekuasaannya yang
besar. Paman misananku sudah berusia 60 tahun lebih dan adalah ibarat api
lilin di tengah-tengah angin. Touwsoe Sakya segera perintah anak
lelakinya yang sulung menjadi Chiepa (semacam kuasa). Secara merdu
dikatakan, bahwa sang cucu membantu kakek, akan tetapi sebenar-benarnya
si cuculah yang menjadi raja muda dan sudah rampas banyak sekali tanahnya
Raja muda Chinpu. Mendengar itu, aku tak dapat menahan sabar lagi.
Bagaimana buntutnya sudah diketahui olehmu, sehingga aku tak perlu
menuturkan lagi."
"Apa Pengtjoan Thianlie meluluskan buat turunkan lagi ilmu silatnya
kepadamu?" tanya Thian Oe.
"Ia sudah meluluskan buat mengajar lagi tiga hari lamanya," jawab
Chena "Sesudah itu, apa aku mampu membalas sakit hati atau tidak, adalah
urusanku sendiri."
"Biarlah aku saja yang balaskan sakit hatimu," kata Thian Oe dengan
suara terharu.
Chena mesem dan berkata: "Apa? Terima kasih banyak buat kebaikanmu.
Cuma saja, buat balas sakit hatinya orang tua, kalau bukan terlalu
terpaksa, aku tidak mau pinjam tangannya orang lain. Selainnya itu,
Touwsoe di Sakya mempunyai banyak sekali orang pandai, antaranya itu
pembunuh yang mempunyai ilmu Tjit-im tjiang. Dengan ilmu silat yang
dipunyai oleh kau dan aku, biarpun kita belajar lagi tiga sampai lima
tahun, aku rasa belum tentu dapat menandingi dia."
Mengingat kepandaiannya yang masih sangat rendah dan sudah
keluarkan omongan besar, Thian Oe jadi merasa jengah sekali.
Di bawah sinarnya sang rembulan, Thian Oe dapat lihat sorot sangat
berterima kasih dalam kedua matanya Chena yang jeli. "Bukankah besok kau
akan ikut gurumu berlalu dari sini?" ia tanya dengan suara perlahan.
Hatinya Thian Oe bergoncang. "Benar, besok aku sudah mesti
berlalu," katanya dengan suara serak. Tapi baru ia habis ucapkan
perkataannya, di sebelah kejauhan mendadak terdengar bentakannya Thiekoay
sian.
Keraton kristal dari Pengtjoan Thianlie adalah keraton yang
transparan dan terang benderang.
Jauh di tengah-tengah taman terlihat dua bayangan orang yang sedang
bertempur hebat. Satu antaranya yang bersenjata tongkat besi, yang
diputar seperti titiran cepatnya, adalah Thiekoay sian. Yang satunya lagi
berbadan tinggi besar, seperti juga bukan badannya orang Han, dan memakai
jubah pertapaan yang berwarna merah. Di antara sinar rembulan yang
seperti perak, warna merah itu kelihatan menyolok sekali, seakan-akan
segumpal awan merah yang memain di antara awan-awan putih.
"Dengan dapat panjat sungai es dan bisa masuk ke dalam keraton ini,
kepandaiannya orang itu mestinya tinggi sekali," kata Thian Oe dalam
hatinya dengan perasaan kaget.
"Peraturan Thianlie tjietjie ada sangat keras, tapi kenapa ia belum
juga keluar dan biarkan orang itu bikin ribut dalam keratonnya?" kata
Chena dengan suara heran.
Chena kenal baik jalanan dalam keraton. Sesudah bulak-belok
bersama-sama Thian Oe mereka tiba dalam taman di depannya keraton dengan
ukiran kuda emas. Orang yang sedang berkelahi sama Thiekoay sian adalah
satu Hoantjeng (pendeta asing), yang hidungnya berpatok, mulutnya lebar
dan romannya jelek sekali. Ia bersenjata sianthung (tongkat pertapaan)
yang banyak lebih kecil dari tongkatnya Thiekoay sian, tapi yang dengan
mudah dapat punahkan sesuatu serangan.
Tidak jauh dari situ, di kaki satu gunung-gunungan, berdiri dua
orang lain yang mulutnya menggerendeng sembari rangkap kedua tangannya.
Mereka itu adalah kedua boesoe Nepal yang kita sudah kenal.
Thian Oe merasa heran sekali, kenapa kedua boesoe itu, yang
kelihatannya sangat memuja Pengtjoan Thianlie, berani ikut si pendeta
masuk ke dalam keraton tanpa permisi. "Dua boesoe itu memanggil Koksoe
(Guru negara) kepada si pendeta," berbisik Chena.
"Mereka kata apa?" tanya Thian Oe.
"Aku pun tak dengar terang. Rupa-rupanya mereka sedang membujuk
supaya si Koksoe jangan berkelahi terus." jawab Chena.
Semakin berkelahi, Thiekoay sian jadi semakin bersemangat.
Tongkatnya terputar bagaikan titiran yang kurung badannya si pendeta, dan
pada saat-saat beradunya kedua tongkat, sang kuping menjadi pengeng
lantaran kerasnya suara.
Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih 50 jurus.
Makin lama Thian Oe jadi makin heran. Suara beradunya tongkat ada cukup
keras buat bikin sadar orang yang tidur bagaimana nyenyak pun. Tapi,
bukan saja Pengtjoan Thianlie, malahan sang dayang pun tidak kelihatan
mata hidungnya.
"Chena," kata Thian Oe yang sudah tidak dapat menahan sabar lagi.
"Perlukah panggil kau punya Thianlie tjietjie?"
"Gerak-geriknya Thianlie tjietjie sangat luar biasa," jawab Chena.
"Sekarang ia belum keluar, tentulah juga ada sebab lain."
Tiba-tiba kedua tongkat beradu luar biasa kerasnya, sehingga
membikin pengeng kupingnya Thian Oe dan Chena. Di lain saat, si pendeta
sudah bersila di atas tanah, sedang sianthung-nya digoyang-goyang dengan
perlahan. Dengan kumis yang berdiri, Thiekoay sian menubruk dan
menghantam dengan sepenuh tenaga.
Melihat begitu, Thian Oe jadi girang dan berkata dalam hatinya:
"Sekarang tak perlu lagi bantuannya Pengtjoan Thianlie. Manusia itu sudah
bukan tandingannya guruku lagi."
Tapi ia tidak tahu, justru pada saat itu gurunya berada dalam
keadaan kejepit. Sebagai murid kepala dari Kam Hong Tie, tenaga dalamnya
Thiekoay sian tidak ada tandingannya, baik di sebelah selatan, "maupun di
sebelah utara Sungai Besar. Tapi tak nyana, berhadapan dengan pendeta
asing itu, ia tidak bisa mendapat angin. Ia menyerang sehebat-hebatnya
dengan menggunakan tenaga Kimkong Toalek, akan tetapi semua serangannya
dengan gampang dapat dipunahkan oleh si pendeta
Dua puluh tahun lebih Thiekoay sian malang melintang dalam dunia
Kangouw, dan inilah buat pertama kali ia bertemu musuh yang tangguh,
sehingga dengan terpaksa, ia mesti gunakan juga Hokmo Tianghoat (Ilmu
silat tongkat takluki iblis).
Hokmo Tianghoat adalah gubahan Tokpie Sinnie (Malaikat Wanita
Lengan Satu, gurunya Delapan Pendekar Kanglam) dan kemudian dipelajari
dan ditambah lagi oleh Liauw In Hweeshio. Ilmu tongkat tersebut mempunyai
108 jalan dan setiap pukulan mempunyai tenaga yang seribu kati beratnya.
Selainnya itu, kepala dan ujung tongkat juga dapat digunakan buat menotok
jalanan darahnya musuh. Ilmu silat tersebut luar biasa liehaynya, tapi
juga sangat memakan tenaga dalam. Sesudah bersilat habis 108 jalan, orang
mesti mengasoh sedikitnya tiga hari buat dapat pulang lagi tenaganya.
Itulah sebabnya kenapa Thiekoay sian jarang sekali menggunakan Hokmo
Tianghoat itu.
Sekarang dengan terpaksa ia gunakan juga! Mendadakan saja, sang
tongkat menyambar-nyambar bagaikan hujan dan angin dan benar saja si
pendeta menjadi ripuh. Thiekoay sian segera kerahkan tenaga dalam yang
lebih besar buat hantam jatuh padanya. Tiba-tiba si pendeta terputar dan
lantas bersila di atas tanah sambil meremkan mata dan tundukkan
kepalanya, seperti juga orang lagi bersemedhi, sedang tongkatnya
digoyang-goyang dengan perlahan.
Thiekoay sian adalah seorang yang berpengalaman, tapi melihat
begitu, hatinya jadi terkejut. "Apa maunya dia?" ia tanya dalam hatinya.
Di lain saat, ia rasakan serangan-serangannya kena ditutup dan satu
tenaga yang sangat besar terasa menolak dirinya. Semakin hebat ia
menghantam, semakin besar lagi tenaga yang menolak itu. Tongkatnya si
pendeta yang digoyang-goyang dengan perlahan merupakan satu tembok
tembaga yang tak dapat ditembuskan dengan serangan apapun juga.
Thiekoay sian terkesiap dan menyerang semakin gencar. Dalam sekejap
ia sudah gunakan habis 36 jalan yang pertama. 108 jalan Hokmo Tianghoat
dipecah jadi tiga bagian. Bagian pertama, yang terdiri dari 36 jalan,
adalah serangan-serangan hebat yang menggunakan tenaga Kimkong.
Kalau ini tidak berhasil, lantas menyusul bagian kedua, yang juga
terdiri dari 36 jalan. Pukulan-pukulan dari bagian kedua ini semuanya
dikeluarkan dengan menggunakan tenaga lweekeh (tenaga dalam) yang sejati,
dan hebatnya bukan kepalang, sehingga satu batu besar bisa hancur lebur
kalau kena pukulan itu. Pukulan-pukulan dari bagian pertama semuanya
mengeluarkan suara angin yang keras, tapi pukulan-pukulan bagian kedua
sama sekali tidak menerbitkan suara, sehingga jadi lebih sukar dijaganya.
Tapi sungguh heran, biarpun ia meremkan mata dan tundukkan kepala,
bebokongnya si pendeta seperti juga ada matanya, sehingga tidak perduli
pukulan Thiekoay sian datang dari mana, ia selalu dapat mengebas dengan
tongkatnya. Selainnya begitu, tenaga yang menolak juga jadi bertambah
besar dan beberapa kali hampir-hampir tongkatnya Thiekoay sian terlepas
dari tangannya!
Ilmu yang digunakan oleh si pendeta adalah ilmu Yoga dari India,
yang dicampur dengan ilmu silat Djioekang (ilmu silat lembek) dari cabang
silat Bittjong di Tibet. Djioekang ini juga adalah satu ilmu silat
lweekeh yang sangat tinggi, tapi berbeda dengan lweekeh dari Tiongkok
asli. Orang yang mempelajari Djioekang, paling terutama harus melatih
isi perutnya Kalau ilmunya sudah tinggi, ia bisa dimasukkan di dalam peti
yang kemudian direndam dalam laut, dan sesudah tiga hari diangkat lagi,
ia masih hidup seperti biasa. Yang paling sukar dipelajari adalah
menghentikan jalannya
pernapasan. Orang yang sudah berlatih sampai di puncak itu,
badannya seperti juga badan dewa yang tidak bisa rusak.
Ilmunya si pendeta belum sampai pada puncaknya, akan tetapi,
dibanding dengan tenaga Thiekoay sian, ia sudah menang seurat. Ilmu yang
dikeluarkan oleh si pendeta memerlukan kedudukan sila buat mengerahkan
napas, yang semakin lama mengeluarkan tenaga semakin besar. Itulah
sebabnya, walaupun Hokmo Tianghoat makin lama jadi makin hebat, tapi
masih terus dapat dipukul mundur oleh tenaga dalamnya si pendeta.
Dengan cepat, 36 jalan yang kedua juga sudah digunakan hampir
habis. Di atas kepalanya Thiekoay sian sudah kelihatan keluar uap putih,
tapi Pengtjoan Thianlie belum juga muncul. Melihat begitu, hatinya
Thiekoay sian jadi berdongkol. "Kalau begitu, buat apa aku campur
urusannya?" kata ia dalam hatinya. Memikir begitu, ia ambil putusan buat
tidak keluarkan bagian ketiga dari Hokmo Tianghoat dan sembari sabetkan
tongkatnya, ia niat loncat keluar dari gelanggang.
Tapi siapa nyana usaha itu tidak berhasil! Sianthung si pendeta
jubah merah seperti juga mempunyai tenaga menghisap dan ia tidak dapat
loloskan diri!
Kaget dan gusarnya Thiekoay sian teraduk menjadi satu. Buru-buru ia
kerahkan tenaga dalam dan kebas tongkatnya, yang bisa bergoyang tapi
tidak bisa copot sebab tenaga yang menghisap jadi semakin kuat. Maka itu,
Thiekoay sian tak dapat berbuat lain daripada tambah tenaganya buat
layani lawanan itu dan kemudian keluarkan bagian ketiga dari Hokmo
Tianghoat.
Bagian ketiga inilah yang paling memakan tenaga dalam. Thian Oe
lihat pukulan-pukulan kedua lawanan itu jadi semakin perlahan. Si pendeta
masih terus meremkan mata dan tundukkan kepala, tapi sekarang uap putih
juga sudah muncul di atas kepalanya, sedang napasnya mulai sengal-sengal.
Tapi keadaan gurunya ada terlebih menyedihkan. Pakaiannya Thiekoay sian
sudah cipruk dengan keringat yang terus mengetel-ngetel sebesar kacang.
Saban kali gerakkan tongkatnya, buku-buku tulangnya kedengaran peratak-
perotok.
Biarpun Thian Oe belum mengerti ilmu silat tinggi, tapi ia tahu
keadaan gurunya sudah kepayahan.
Lewat beberapa saat lagi, si pendeta mendadak buka kedua matanya
dan membentak: "Roboh kau!"
Thiekoay sian sempoyongan dan badannya bergoyang-goyang. Ia kertek
giginya, tongkatnya membuat setengah lingkaran dan terus menindih ke
jurusan bawah. "Belum tentu aku roboh!" kata ia. Waktu itu Thiekoay sian
menyerang dengan pukulan yang ke 96, yaitu Hangliong Hokhouw (Pukulan
takluki naga dan macan), dan Seantero tenaga dalamnya dipusatkan kepada
kepala tongkat.
Si pendeta mesem tawar dan berkata: "Apa kau mau cari mampus?" Ia
lantas angkat sianthung-nya ke atas dan bentur tongkatnya Thiekoay sian.
Sungguh aneh, tongkatnya Thiekoay sian yang sebesar mangkok lantas
melengkung dengan perlahan!
Mukanya Thiekoay sian jadi pias. Mendadak, dengan satu suara
"trang!", tongkatnya Thiekoay sian terpisah dari tempelan tongkat
lawannya, sedang si pendeta loncat mundur beberapa tindak, tongkatnya
diturunkan ke bawah dan ia berdiri dengan sikap hormat. Thian Oe heran
sungguh melihat perubahan yang begitu mendadak.
Waktu menoleh, ia segera tahu sebabnya. Dengan memakai jubah sutera
putih, Pengtjoan Thianlie kelihatan muncul dari antara pohon-pohon
kembang dengan tindakan perlahan, sedang di dampingnya kelihatan
isterinya Thiekoay sian, Gobie Liehiap Tjia In Tjin. Sembari keluarkan
teriakan perlahan, Tjia In Tjin loncat dan pegang tangan suaminya. Dengan
berpegangan tangan, mereka berdua lalu bersila di atas tanah sambil
jalankan napasnya.
Pengtjoan Thianlie tertawa dingin. Setindak demi setindak, ia
menghampiri. Kedua boesoe Nepal itu ketakutan sekali. Sembari rangkap
kedua tangannya, mereka berlutut dan meratap seperti juga sedang memohon
ampun.
Sambil cekal tongkatnya, si pendeta juga memberi hormat dan
keluarkan sehelai firman warna kuning dari kantongnya dan ucapkan
beberapa perkataan.
Chena keluarkan suara kaget dan berbisik di kupingnya Thian Oe:
"Ini Hoantjeng menggunakan panggilan puteri terhadap Thianlie tjietjie
dan minta ia menerima firman. Sungguh mengherankan."
Pengtjoan Thianlie terima firman itu, yang sesudah dibaca selewatan
lantas dipulangkan lagi. Mukanya si pendeta jadi merah dan ia ketruk
tongkatnya di atas tanah. "Kita orang tidak bisa biarkan guci emasnya
Kaizar Tjeng tiba di Lhasa," kata ia dalam bahasa Nepal. "Raja telah
memerintahkan supaya kau turun gunung buat memberi bantuan. Apakah kau
tidak sudi meluluskan?" Dengan adanya Chena sebagai juru bahasa, Thian Oe
juga mengerti apa yang dikatakan oleh pendeta itu.
Paras mukanya Pengtjoan Thianlie berobah sedikit, tapi pada
bibirnya masih terus tersungging senyuman. Si pendeta jubah merah
kelihatannya mau buka mulut lagi, tapi Pengtjoan Thianlie sudah menuding
dengan jerijinya dan berkata dengan suara tawar: "Semua orang
menggelinding turun dari gunung ini!"
Di bawah sinar rembulan yang putih dingin, mukanya si pendeta yang
barusan merah sekarang berubah menjadi hijau, sehingga kelihatannya
menakuti sekali! "Lihatlah, lantaran malu ia jadi gusar," berbisik Chena
di kupingnya Thian Oe.
Sebagai Koksoe (Guru negara) dari negara Nepal, manalah si pendeta
dapat menelan hinaan itu? Amarahnya meluap luber, sehingga jerijinya jadi
gemetar. Mendadak ia dongak dan tertawa terbahak-bahak akan kemudian
menuding sambil membentak: "Kau, kau suruh aku menggelinding turun? Raja
sendiri tak berani berlaku begitu kurang ajar terhadapku!"
"Tak salah," kata Pengtjoan Thianlie. "Aku perintah kau
menggelinding turun dari sini. Habis kau mau apa? Aku sebenarnya sudah
beri muka yang sangat besar kepadamu dengan membiarkan kau masuk ke dalam
keraton ini dan menemui aku. Apa kau tidak kenal puas? Aku sudah
bersumpah, bahwa siapapun berani membujuk aku turun gunung, ia itu mesti
berlalu dari sini. Kau pun tak terkecuali."
Si pendeta kembali tertawa berkakakan seperti orang kalap. Ia
ketruk lagi tongkatnya, sehingga mengeluarkan suara yang sangat nyaring.
Sesudah itu ia manggutkan .kepala dan berkata dengan suara nyaring: "Dari
tempat yang jauhnya laksaan li, aku datang disini buat menemui Paduka
Puteri. Memang juga hatiku tidak mengenal kepuasan. Aku dengar ilmu
silatnya Paduka Puteri terhitung nomor satu di daerah Tiongkok dan
wilayah Barat. Maka itu, aku sekarang ingin sekali dapat menambah
pengalaman."
"Apa?" menegasi Pengtjoan Thianlie. Ia tertawa dingin dan tepuk
kedua tangannya sambil berseru: "Kemari!"
Di lain saat, sembilan dayang sudah kelihatan muncul. Pengtjoan
Thianlie dongakkan kepalanya dan kebaskan tangannya dengan sikap agung.
"Usir ini pendeta liar!" ia memerintah.
"Ah, kalau begitu kau tidak sudi turun tangan sendiri?" kata si
pendeta. "Dengan demikian, undanganku yang barusan agaknya terlalu
melanggar pri kesopanan. Maka itu, dengan tidak mengimbangi kebodohan
sendiri, aku mohon belas kasihannya Paduka Puteri."
Kedua boesoe Nepal itu ketakutan setengah mati dan membujuk-bujuk
supaya Koksoe nya menyingkir saja, tapi si pendeta tidak meladeni.
Pengtjoan Thianlie ambil sikap acuh tak acuh. Begitu ia kebaskan
tangannya, sembilan dayang itu lantas kurung si pendeta. Kedua matanya
yang angker dan tajam laksana pedang, kemudian mengawasi si pendeta yang
tanpa merasa lantas mundur beberapa tindak. Sembilan dayang itu lalu
gerakkan tangannya seperti orang menggebah ayam, sehingga si pendeta
menjadi kalap lantaran gusarnya. "Baiklah!" ia membentak. "Biarlah lebih
dahulu aku minta pengajaran dari dayang-dayangmu dan kemudian barulah
minta pengajarannya Paduka Puteri sendiri."
Sebaliknya dari meladeni omongan si pendeta, Pengtjoan Thianlie
hampiri Chena yang lantas dipegang tangannya.
"Perhatikanlah, kiamhoat yang mereka gunakan, semuanya diajarkan
olehku," kata ia dengan suara menyayang. Thian Oe merasa bahwa sikapnya
Pengtjoan Thianlie terhadap Chena benar-benar seperti sikap seorang kakak
terhadap adiknya sendiri dan berbeda seperti langit dan bumi dengan
keangkerannya yang barusan. "Sifatnya Pengtjoan Thianlie benar-benar tak
dapat ditebak," demikian Thian Oe pikir dalam hatinya.
Si pendeta kebaskan tongkatnya dan pasang kuda-kuda, tapi tidak
lantas menyerang, mungkin sebab mau pertahankan kedudukannya sebagai
seorang yang lebih tua.
Apa yang mengherankan adalah pedangnya sembilan dayang yang
semuanya seperti kristal, dan begitu digerakkan, sinar serta hawa dingin
menyambar-nyambar sehingga Thian Oe jadi bergidik. Di lain saat, ia
rasakan dirinya seperti juga masuk ke dalam jurang es dan giginya
bercakrukan. Ia lirik Chena dan gadis itu juga ternyata gemetaran sekujur
badannya lantaran kedinginan.
Pengtjoan Thianlie berkata sembari tertawa; "Aku lupa kalian belum
dapat lawan hawa ini. Biarlah kalian menahan buat sementara waktu."
Mendadak, bagaikan kilat jerijinya menotok batang lehernya Thian
Oe.
Thian Oe terperanjat, sebab begitu kena, ia rasakan seperti juga
kena listrik dan sekujur badan jadi kesemutan. Tapi di lain saat, semacam
hawa panas naik dari tantian (bagian pusar) dan mengalir di seluruh
badannya. Ia rasakan jantung mengetok keras dan darahnya mengalir lebih
deras, seperti orang habis lari keras. Di luar hawa sangat dingin, tapi
badan berasa panas. Chena juga sudah mendapat totokan begitu. Ia sudah
tidak gemetaran dan kedua pipinya bersemu merah.
Thian Oe pernah dengar penuturan gurunya, bahwa orang yang
mempunyai lweekang (ilmu dalam) sangat tinggi, bukan saja dapat
membinasakan manusia dengan totokannya, tapi juga bisa mengobati penyakit
dengan totokan itu. Waktu mendengar itu, ia anggap penuturan tersebut
seperti cerita dongeng. Tapi sekarang, sesudah mengalami sendiri, barulah
ia percaya, bahwa dalam dunia benar-benar ada kepandaian yang sedemikian
tinggi.
"Thianlie tjietjie, apakah mereka menggunakan pedang es?" tanya
Chena. Ia menanya begitu sebab sudah pernah lihat Pengtjoan Thianlie
robohkan Loei Tjin Tjoe dengan sebatang pedang es. Thian Oe juga
sebenarnya ingin majukan pertanyaan begitu, maka itu, ia sangat
perhatikan jawabannya Pengtjoan Thianlie.
"Ah, manalah mereka mempunyai kepandaian begitu tinggi?" jawab
Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. "Pedang mereka adalah buatanku
sendiri yang diberi nama Pengpok Hankong kiam (Pedang Roh Es Sinar
Dingin). Pedang tersebut dibuat dari Oen-giok (Batu kemala hangat) yang
sudah ribuan tahun tuanya dan merupakan keluaran istimewa dari gunung
ini. Batu kemala tersebut, yang ribuan tahun teruruk es, harus diolah
tiga tahun lamanya barulah menjadi pedang yang demikian. Ituiah sebabnya
kenapa kalau digerakkan, pedang tersebut lantas keluarkan hawa dingin
yang sangat hebat. Orang yang belum mempelajari Iweekang yang tinggi
tidak bisa tahan hawa itu."
Melihat sinar dan merasa hawanya sembilan batang pedang itu, si
pendeta jubah merah juga kelihatannya sangat terkejut. Tapi berkat
lweekangnya, ia tidak takuti hawa itu. Sembilan batang pedang yang bagian
kepalanya bersambung dengan bagian buntut, segera merupakan satu jala
yang bersinar terang dan yang dengan perlahan menjadi semakin ciut.
Pendeta jubah merah tak dapat menahan sabar lagi. Dengan pukulan
Lekhoa hongkouw (Dengan tenaga menggurat perbatasan), sianthung-nya
mendorong keluar. Dengan beberapa suara kerontangan, empat batang pedang
beradu dengan tongkat itu. Melihat tongkatnya yang mempunyai tenaga
ribuan kati, kena ditahan oleh empat dayang itu, hatinya si pendeta
merasa heran. Berbareng dengan itu, empat pedang dari garisan belakang,
menikam bagaikan kilat cepatnya. Sembari berkelit, si pendeta sampok
pedang yang datang dari belakang dan pentil miring pedang yang datang
dari sebelah depan. Tapi dua pedang dari kiri dan kanan sudah menyambar
ke badannya!
"Bagus!" berseru Thian Oe.
"Anak-anak, awas!" Pengtjoan Thianlie berteriak hampir berbareng.
Pada detik itu, ke empat dayang kelihatan loncat dengan berbareng,
sedang si pendeta, sembari membentak keras, menyerang seperti hujan angin
dengan tangan dan sianthung-nya.
Ternyata, dengan mahir dalam ilmu Yoga, ototnya si pendeta dapat
berobah-robah menurut sukanya. Pada waktu pedangnya nempel pada jubahnya
si pendeta, kedua dayang yang menyerang dari kiri dan kanan mendadak
rasakan ujung pedang mereka terpeleset, sebab otot pundaknya si pendeta
mendadak berubah bentuknya dan jadi lebih besar beberapa dim.
Berbareng dengan itu, si pendeta lalu menyerang dengan tongkat dan
tangannya sembari kerahkan tenaga dalamnya.
Si pendeta sama sekali tidak duga, dayang-dayang itu mempunyai ilmu
entengi badan begitu tinggi. Begitu tongkatnya menyambar, mereka sudah
menghilang ke empat penjuru seperti cecapung menotol air atau kupu-kupu
berterbangan di antara bunga-bunga, sebentar ke kiri sebentar ke kanan,
sebentar berkumpul sebentar berpencaran. Beberapa kali ia kirim pukulan-
pukulan hebat, tapi semuanya jatuh di tempat kosong, dan tanpa merasa, ia
sendirilah yang berbalik kena dikepung di sama tengah.
Dengan perasaan sangat berdongkol, ia lalu bersila di atas tanah
dengan niatan menggunakan ilmu yang tadi ia gunakan terhadap Thiekoay
sian. Akan tetapi, melayani sembilan orang sangat berbeda dengan melawan
satu orang. Sembilan dayang itu bergerak tak hentinya dan tikaman-tikaman
pedang mereka selalu ditujukan ke arah jalanan darah yang berbahaya. Oleh
karena ilmu Yoga si pendeta belum sampai pada puncaknya, maka adalah
sangat sukar buat ia menutup semua jalanan darahnya dan berbareng
meladeni sembilan lawanan itu. Demikianlah, menghadapi serangan yang
bertubi-tubi, sesudah bersila sementara waktu, ia terpaksa loncat bangun
lagi sembari putar tongkatnya. Sesudah bertempur beberapa gebrakan, ia
bersila lagi, akan kemudian loncat bangun kembali. Kejadian itu terulang
sampai beberapa kali, sehingga kelihatannya lucu sekali sampai Thian Oe
yang tak tahan buat tidak tertawa berkakakan.
Bukan main gusarnya si pendeta mendengar hinaan itu. "Biar aku
lukakan dua orang lebih dahulu," kata ia dalam hatinya sembari loncat
bangun dan putar tongkatnya. Ia mengamuk seperti kerbau gila, seakan-akan
sudah tidak pcrdulikan lagi keselamatannya sendiri dan turunkan tangannya
tanpa sungkan-sungkan lagi. Disurung dengan hawa amarah, bukan main hebat
pukulan-pukulan tongkatnya, sehingga sembilan dayang itu tidak berani
menyambut lagi dan cuma berkelit ke sana-sini. Melihat begitu, Thian Oe
jadi terkejut. "Kalau terus begini, satu dua orang tentu akan kena
terpukul," kata ia dalam hatinya.
Tapi Pengtjoan Thianlie tetap tenang dan pada bibirnya terus
tersungging meseman yang manis.
Mendadakan, satu perobahan terlihat dalam barisannya sembilan
dayang itu. Sekarang mereka berlari-lari di empat penjuru, sebentar
berkumpul sebentar berpencaran, dan gunakan batu-batu hiasan taman
sebagai tameng mereka. Barisan itu berobah-robah bentuknya tak henti-
hentinya, sehingga matanya orang yang menyaksikan jadi kekunangan. Dengan
gerak-gerakannya yang seperti kilat, itu sembilan dayang berobah seperti
ratusan orang, dengan selendang suteranya yang berkibar-kibar dan
pakaiannya berkelebat-kelebat, sehingga dalam taman itu seperti juga
sedang dipertunjukan tarian "Bidadari Menyebar Bunga."
Thickoay sian sebenarnya sedang bersila sembari meramkan mata dan
jalankan pernapasannya. Dengan adanya perobahan itu, ia buka kedua
matanya dan hatinya merasa sangat heran. Ia heran oleh karena barisannya
sembilan dayang itu ada mirip-mirip dengan barisan Pattintouw dari
Tjoekat Boehouw (Tjoekat Boehouw adalah Tjoekat Liang atau Khong Beng,
koensoe Lauw Pie dari jaman Samkok). Cuma mirip dan tidak seluruhnya
bersamaan dengan Pattintouw. Kedudukannya delapan dayang adalah sesuai
dengan kedudukan delapan pintu, yaitu Hioe, Seng, Siang, Touw, Sie, Keng,
Kheng dan Kay. Delapan pintu ini saling bantu satu sama lainnya.
Perbedaan dengan Pattintouw adalah kelebihan satu orang dalam barisan
itu. Dayang yang ke sembilan tidak ikut bergerak. Ia menjaga di sama
tengah dan seperti juga otaknya barisan itu.
Si pendeta juga rupanya mendapat lihat kedudukannya barisan itu,
maka ia terus cecar dayang yang berdiri di tengah buat coba
menjatuhkannya. Tapi barisan itu berobah luar biasa cepatnya. Begitu ia
bergerak ke timur, musuh yang di sebelah barat lantas meluruk. Begitu ia
ke barat, pedang dari sebelah timur dan selatan lantas menyambar.
Biar bagaimanapun juga, ilmu silatnya si pendeta memang ada sangat
tinggi. Tanpa mengenal barisan itu, ia terus mengamuk dan tongkatnya sapu
segala apa yang menghadang di tengah jalan, sehingga banyak gunung-
gunungan dan batu-batu hiasan taman jadi hancur lebur. Pengtjoan Thianlie
kerutkan kedua alisnya dan paras mukanya jadi berobah. Di lain saat,
dayang yang menjadi kepala kedengaran membentak: "Kau benar keterlaluan!
Keindahan taman ini sampai menjadi rusak." Sehabis membentak, ia mementil
dengan dua jerijinya dan beberapa sinar terang menyambar ke arah pendeta
itu.
"Senjata rahasia mana bisa celakakan aku?" kata si pendeta sembari
tertawa dan lalu putar tongkatnya seperti titiran. Senjata rahasia itu,
yang masing-masing sebesar mutiara, terus menyambar-nyambar dan jadi
hancur lantaran sampokannya tongkat. Dan dalam kehancurannya itu, sinar
dan hawa yang sangat dingin menyambar-nyambar, sehingga si pendeta
sendiri sampai bergidik.
Di atas puncak gunung dari Telaga Thian-ouw terdapat semacam es
yang ribuan tahun tak pernah lumer. "Jantung"-nya es itulah yang diambil
oleh Pengtjoan Thianlie dan diolah menjadi serupa senjata rahasia yang
tidak ada keduanya dalam dunia dan diberi nama Pengpok Sintan (Peluru
malaikat roh-nya es). Dalam pembuatan lain-lain senjata rahasia di muka
bumi, tak perduli senjata rahasia buat lukakan musuh atau buat memukul
jalanan darah, yang diperhatikan adalah kejituannya dan ketajamannya
senjata rahasia tersebut. Cuma Pengpok Sintan yang lain dari yang lain.
Yang diandalkan adalah hawa dinginnya yang sangat luar biasa. Begitu
lekas senjata rahasia itu tersampok, keluarlah hawa dingin yang menusuk
ke tulang-tulang dan hebatnya bukan buatan.
Dengan tenaga dalam yang dipunyai olehnya, si pendeta sebenarnya
masih dapat melawan hawa dingin itu. Cuma saja, lantaran mesti layani
serangannya sembilan musuh, ia tak dapat pusatkan perhatiannya buat
kerahkan tenaga dalamnya. Di sebelahnya itu, lantaran Pengpok Hankong
kiam juga adalah senjata yang mengeluarkan hawa dingin, maka hawa dingin
itu makin lama jadi makin hebat, sehingga badannya si pendeta jadi
gemetaran dan giginya bercakrukan. Bagaikan orang edan, ia terus
mengamuk. Dari jidatnya keringat turun berketel-ketel, tapi badannya
tetap gemetaran.
Pengtjoan Thianlie mesem dan berkata pada Chena: "Dia anggap dengan
gunakan tenaga Iweekeh, dia bisa keluarkan hawa panas buat melawan hawa
dingin itu. Tapi dia tak tahu, dengan demikian, dingin dan panas jadi
berkelahi dan bisa mencelakakan. Ini kali, biarpun tidak menjadi mati,
rasanya dia bakal sakit keras beberapa hari."
Thian Oe yang hatinya sangat mulia lantas saja berkata: "Kalau
begitu, ampuni sajalah ia."
"Kau mintakan ampun?" kata Chena sembari melirik. Pengtjoan
Thianlie tidak berkata apa-apa dan cuma mesem.
Semakin lama pendeta itu kelihatan semakin lelah. Sesudah bertempur
lagi beberapa lama, dayang yang menjadi pemimpin membentak: "Robohlah!"
Ia ayun tangannya dan sebutir peluru kembali menyambar. Jantungnya si
pendeta gemetar, kedua kakinya lemas, kepalanya terputar dan badannya
bergoyang-goyang seperti mau jatuh.
"Berhenti!" Pengtjoan Thianlie membentak.
Di lain saat, sembilan dayang itu sudah tarik pulang pedangnya dan
berdiri berbaris di kedua pinggirnya Pengtjoan Thianlie.
Mukanya si pendeta jadi seperti kepiting direbus. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia tarik napas panjang beberapa kali, memberi
hormat kepada Pengtjoan Thianlie dan lantas lari keluar dari keraton es.
Kedua boesoe Nepal juga lalu memberi hormat dan dengan paras muka
ketakutan lalu mengikut di belakangnya si pendeta. Dalam sekejap, keadaan
kembali menjadi sunyi.
"Dengan dapat menerobos masuk kedalam keraton, kepandaiannya orang
itu tidaklah rendah," berkata Chena sembari tertawa.
"Tak bakal ada orang kedua yang bisa masuk secara begitu," kata
Pengtjoan Thianlie. "Sebenarnya akulah yang sengaja membiarkan dia masuk.
Kalau bukannya begitu, walaupun dia bisa menyebrangi sungai es, tak nanti
dia dapat tembus barisan Kioethian Hianlie (Dewi sembilan lapisan
langit)."
Mendengar omongan temberang itu, Thiekoay sian tertawa dalam
hatinya. "Kalau begitu, ia merobah sedikit Pattintouw Tjoekat Boehouw dan
ganti namanya," kata Thiekoay sian dalam hatinya. "Liehay memang cukup
liehay, tapi kalau mau dibilang barisan itu dapat menahan semua orang
pandai dalam dunia, rasanya terlalu terkebur."
Thiekoay sian adalah murid kepala Kam Hong Tie dan pengalamannya
luas sekali. Ia yakin, bahwa kepandaian manusia tak ada batasnya dan di
luar langit masih terdapat langit. Maka itu, ia tidak sependapat dengan
temberangnya Pengtjoan Thianlie.
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie berpaling kepada Thiekoay sian
dan bibirnya bergerak seperti orang mau bicara. Tapi lantaran lihat
mukanya Thiekoay sian yang sangat pucat, ia urungkan niatannya dan lantas
jalan menghampiri.
"Dia menghaturkan banyak terima kasih buat budimu," berkata Tjia In
Tjin. "Tapi sekarang dia belum bisa jalan, maka aku mohon kau suka kirim
dua dayang buat antar dia turun gunung."
Pengtjoan Thianlie awasi mukanya Thiekoay sian dan kemudian
berkata: "Masih untung kau cuma jalankan 96 jurus Hokmo Tianghoat. Kalau
kau jalankan habis 108 jurus, biarpun diberi obat dewa, tidak nanti kau
dapat pulang tenagamu yang sediakala. Sekarang benar-benar kau tidak
boleh berangkat."
"Apa?" Tjia In Tjin menegasi dengan suara kaget.
"Tak apa-apa," sahut yang ditanya dengan suara tawar. "Cuma
lantaran gunakan tenaga melewati batas, jalanan darahnya jadi kalang
kabut dan isi perutnya bergerak. Kalau ia turun gunung juga, begitu kena
goncangan di sungai es, walaupun tidak sampai menjadi mati, rasanya ia
akan bercacat seumur hidup dan tidak akan bisa jalan lagi, meskipun
memakai tongkat. Berkat tenaga dalamnya yang sangat kuat, dengan mengasoh
lima hari dan ditambah sama obat, aku rasa ia akan jadi sembuh kembali.
Baiklah aku beri tempo lima hari lagi." Ia lantas gapekan satu dayang dan
memberi perintah: "Bereskan satu kamar supaya ia bisa atur pernapasannya
--- siapapun tak boleh ganggu padanya. Dan juga pinjamkan Oen-giok
padanya."
Sesudah memesan begitu, ia berpaling pada Tjia In Tjin dan berkata
sembari tertawa: "Kali ini "menyimpang dari kebiasaan, aku permisikan
kalian berdiam lima hari lagi. Sesudah lewat lima hari, kalian boleh
turun gunung dengan tak usah pamitan!"
Mendengar perkataannya Pengtjoan Thianlie, Tjia In Tjin merasa
sangat terkejut, sebab ia tidak duga, suaminya mendapat luka di dalam
yang begitu berat. Di satu pihak sikapnya Pengtjoan Thianlie seperti juga
kurang mempunyai perasaan kemanusiaan, akan tetapi di lain pihak, ia rela
meminjamkan mustika Oen-giok buat mengobati suaminya, satu pertolongan
yang penuh pri kemanusiaan.
Maka itulah, perkataan-perkataannya Pengtjoan Thianlie membikin
Thiekoay sian suami isteri tak tahu mesti menangis atau tertawa. Perasaan
berdongkol dan berterima kasih tercampur menjadi satu.
"Kau boleh rawat ia, dan kalau tidak ada urusan penting jangan cari
padaku," kata lagi Pengtjoan Thianlie yang lantas saja berlalu dengan
dayang-dayangnya.
Dahulu, sifatnya Tjia In Tjin juga sombong dan dingin. Sesudah
mendapat banyak pengalaman pahit getir, ia berobah banyak, akan tetapi
toh ia masih tak dapat menelan kesombongan orang yang ditujukan
kepadanya. Tidak dinyana, kali ini sesudah melalui perjalanan laksaan li,
ia sudah mendapat perlakuan sedemikian, cuma lantaran membujuk supaya
Pengtjoan Thianlie suka turun gunung. Semakin diingat, ia jadi semakin
mendeluh dan hampir-hampir saja ia keluarkan perkataan perkataan keras
buat menimpali. Cuma saja, walaupun Pengtjoan Thianlie sepuluh kali lipat
lebih angkuh dari ianya, keangkuhan itu keluar dengan sewajarnya.
Sikapnya yang agung tanpa dibuat-buat membikin orang jadi tidak berani
banyak rewel terhadapnya. Tjia In Tjin coba tahan perasaan mendeluhnya
yang malang di tengah uluhatinya, dan beberapa saat kemudian dengan satu
suara "wah!", ia muntahkan cairan pahit yang naik dari kantong nasinya.
"Soenio (isteri dari guru), kau kenapa?" tanya Thian Oe dengan
perasaan kaget. Mukanya Tjia In Tjin pucat, disusul dengan semu merah.
"Anak kecil jangan campur urusan lain orang," kata ia sembari kebaskan
tangannya dan lalu ajak sang dayang tuntun Thiekoay sian pergi ke kamar
buat mengasoh.
Dengan rasa masgul Thian Oe berdiri bengong.
"Sesudah repot setengah malaman, kau pun harus mengasoh," kata
Chena. "Besok aku akan ajak kau jalan-jalan buat saksikan pemandangan-
pemandangan luar biasa dalam keraton." Sehabis berkata begitu, ia lantas
berlalu.
Thian Oe awasi belakangnya si nona, yang semakin lama jadi semakin
jauh dan akhirnya menghilang di antara pohon-pohon kembang. Ia ingat,
lima hari lagi ia toh bakal turun gunung juga, dan berhubung dengan
kekeliruan gurunya terhadap Pengtjoan Thianlie, mulai waktu itu ia tidak
akan dapat bertemu lagi. Mengingat begitu, hatinya jadi semakin masgul.
Pada besokan paginya, begitu mcndusin ia melongok keluar jendela
dan kedua matanya kembali saksikan pemandangan luar biasa. Di bawah
sorotnya matahari, keraton es yang terang benderang mengeluarkan cahaya
aneka warna, sehingga Thian Oe merasa seakan-akan berada dalam dunia
dongengan. Tidak lama kemudian, sang dayang antarkan makanan pagi yang
terdiri dari dua buah merah yang sangat besar. Dua buah itu bukan saja
rasanya manis, tapi baunya pun harum sekali.
Sebagaimana telah dijanjikan, Chena menyamper dan ajak ia keluar
jalan-jalan. Sesudah berdiam di keraton es, walaupun pada sinar matanya
masih terdapat sorot kesedihan, Chena sudah banyak lebih gembira. Ia
jalan perlahan-lahan sembari omong-omong dan tertawa-tawa, seperti juga
pohon yang sudah dapat hawanya musim semi yang menyegarkan.
Adalah sukar buat melukiskan pemandangan-pemandangan indah permai
di sekitar keraton itu. Pendopo-pendopo yang mungil, jalanan-jalanan
bulat-belit yang terawat baik, jendela-jendela dengan macam-macam ukiran,
gunung-gunungan dan batu-batu perhiasan yang hampir semuanya terbuat dari
kristal, beberapa air mancur yang tersebar di seluruh taman, solokan-
solokan dan empang-empang yang airnya jernih bagaikan kaca.
"Air pengempang dan solokan semuanya ditarik naik dari Thian-ouw,
makanya jernih luar biasa," kata Chena. "Aku paling suka minum air itu."
Buat memperlengkap keindahan disitu, di seluruh taman penuh dengan
pohon-pohon bebuahan dan pohon-pohon kembang yang menyiarkan bebauan
sangat harum. "Tempat ini seperti juga tempat dewa-dewa, maka tidaklah
heran kalau Pengtjoan Thianlie sungkan turun gunung," kata Thian Oe
sembari tertawa.
Demikianlah mereka pesiar ke sana-sini dan kalau merasa lapar
mereka petik buah-buah matang buat tangsel perut. Oleh karena luasnya,
sesudah jalan setengah harian mereka belum juga dapat putari habis
seluruh wilayah keraton itu.
Selagi enak jalan, hidungnya Thian Oe mendadak dapat endus bebauan
yang sangat luar biasa, harumnya melebihi bunga yang paling harum, tapi
bagaimana harumnya, tak mungkin dapat dilukiskan. Thian Oe segera
cepatkan tindakannya dan menuju ke arah keluarnya wewangian itu. Beberapa
saat kemudian, matanya dapat lihat sebuah bangunan yang sangat berbedaan
dengan semua gedung yang berada disitu. Bangunan tersebut berbentuk
gereja yang atapnya lancip, dan kalau lain-lain bangunan semuanya terbuat
dari kristal, marmer atau es yang keras, adalah bangunan itu berwarna
hitam, sehingga kelihatan menyolok sekali. Wewangian yang luar biasa itu
ternyata keluar dari rumah tersebut.
Dengan perasaan heran Thian Oe coba menolak pintunya. Parasnya
Chena berobah dengan mendadak dan buru-buru mencegah. "Waktu aku berdiam
disini pertama kali, Thianlie tjietjie pernah memesan, bahwa aku boleh
pergi kemana juga, cuma ke dalam rumah itu aku tidak boleh masuk," kata
Chena dengan suara berbisik.
"Kenapa?" tanya Thian Oe.
"Siapa tahu?" kata Chena.
"Menurut katanya para dayang, saban malam Tje-it (Tanggal 1
penanggalan Imlek, bulan gelap), ia pergi sendirian ke dalam rumah itu,
dimana ia berdiam kira-kira satu jam lamanya. Apa yang ia lakukan, tak
ada yang berani menanya. Dari dayang-dayang itu aku mendapat tahu, bahwa
rumah itu terbuat dari semacam kayu garu, yang kalau dibakar, baunya yang
harum bisa diendus dari tempat belasan li jauhnya."
Mendengar penuturan itu, hatinya Thian Oe jadi lebih-lebih heran
lagi.
Malam itu, Thian Oe tidak dapat tidur lantaran tidak dapat
melupakan rumah yang penuh teka-teki itu. Dalam layap-layap ia masuk ke
dalam dunia impian, la mengimpi lihat Pengtjoan Thianlie pasang hio dan
bersembahyang dalam rumah itu, dengan di dampingi oleh Chena. Setahu
bagaimana, ia sendiri juga berada dalam rumah tersebut. Mendadak
Pengtjoan Thianlie cabut sebatang pedang yang sinarnya bergemilapan dan
tikam uluhatinya. Rambutnya Pengtjoan Thianlie mendadak berobah jadi ular
terbang yang tak dapat dihitung berapa banyaknya dan terbang menyambar ke
arah dirinya. Chena keluarkan teriakan kaget dan rumah itu mendadak
roboh, dengan sebatang balok wuwungan menindih dirinya sendiri. Dalam
mengimpinya Thian Oe berteriak-teriak dan berontak-rontak.
"Jangan ngigo! Bangun, hayo bangun!" mendadak ia dengar suaranya
satu wanita di kupingnya. Thian Oe sadar. Ia buka kedua matanya dan
ternyata Chena berdiri di hadapannya.
"Hayo, bangun!" kata si nona sembari goyang-goyang badannya.
"Seorang aneh kembali masuk ke dalam keraton es tanpa permisi!"
Begitu mendengar, Thian Oe hilang ngantuknya. Ada orang lagi! "Apa
dia sudah bisa seberangi sungai es dan terobos barisan Kioethian Hianlie
yang dipasang di sebelah luar?" tanya Thian Oe.
"Kalau bukan sudah menerobos barisan itu, cara bagaimana ia bisa
sampai di keraton es?" jawab Chena. "Sekarang lonceng pertandaan bahaya
sudah dipukul dan Thianlie tjiitjie segera juga akan keluar!"
Thian Oe buru-buru pakai baju luarnya dan ikut Chena berlari-lari
keluar. Sembilan dayang yang kemarin sudah mengambil masing-masing
kedudukannya dan seorang pemuda yang memakai baju putih berada di tengah-
tengah mereka. Waktu itu mereka belum bergebrak. Begitu lihat, Thian Oe
keluarkan teriakan tertahan.
"Kenapa?" tanya Chena.
"Aku kenal orang itu!" jawabnya.
Si pemuda baju putih juga rupanya sudah lihat Thian Oe, sebab ia
lantas menengok sembari mesem. Orang itu bukan lain daripada si anak
sekolah yang pernah tolong jiwanya Siauw Tjeng Hong dengan jarum emas dan
yang pernah bikin repot Bek Tayhiap dan yang lain-lain di kota Shigatse.
"Siapa ia?" tanya lagi Chena.
"Aku tak tahu namanya," jawab Thian Oe. "Tapi ia pernah tolong
jiwanya guruku. Aku rasa ia adalah seorang baik."
"Wah, celaka!" kata Chena. "Menurut dayang-dayang, Thianlie
tjietjie merasa sangat gusar dan mengatakan, bahwa orang itu harus diajar
adat sekeras-kerasnya. Tanpa memberi hajaran keras, keraton es bisa-bisa
tidak aman lagi. Garisan pertahanan keraton es, semakin ke belakang,
semakin kuat. Ini dayang-dayang keraton sangat tinggi ilmu silatnya. Aku
kuatir, kalau toh tidak sampai mati, orang itu akan luka berat!"
Sembilan dayang itu lantas cabut pedangnya, tapi mendadak hentikan
gerakannya. Keadaan jadi sunyi senyap, sehingga kalau sebatang jarum
jatuh di atas tanah, suaranya akan bisa terdengar nyata. Thian Oe menoleh
dan lihat Pengtjoan Thianlie sudah berjalan keluar dengan paras muka yang
penuh kegusaran.
Begitu lihat si pemuda, ia keluarkan satu seruan perlahan. Sikapnya
lantas berobah, seperti orang yang sedang merasa heran. Pengtjoan
Thianlie tadinya kira, bahwa orang yang datang adalah sebangsa pendeta
jubah merah. Tapi tidak terduga, yang ia ketemukan adalah seorang pemuda
Han yang parasnya cakap sekali.
"Tanpa latihan puluhan tahun, tak gampang-gampang orang bisa lewati
sungai es dan terobos barisan depan," pikir ia dalam hatinya. "Apakah
pemuda ini yang usianya sepantaran denganku mempunyai kepandaian yang
lebih tinggi dari si pendeta jubah merah?"
Dua pasang mata lantas kebentrok. Pemuda baju putih itu tertawa dan
menanya: "Apa kau ini majikan dari keraton es? Kenapa kau begitu lambat
menyambut tetamu?"
"Siapa kau?" Pengtjoan Thianlie balas tanya. "Ada urusan apa kau
datang disini?"
"Jika aku menyebutkan namaku, kau tentu akan terlebih tidak
sungkan-sungkan lagi terhadapku," kata pemuda itu. "Biar bagaimana juga,
lambat laun aku harus memberitahukan, asal saja kau suka luluskan satu
permintaanku."
"Permintaan apa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Apa kau tahu halnya guci emas?" si pemuda balas tanya.
Pengtjoan Thianlie kerutkan kedua alisnya. "Ah, lagi-lagi guci
emas!" katanya. "Benar menyebalkan. Apakah kau mau minta aku turun gunung
buat rampas guci emas itu? Kalian bermusuhan sama bangsa Boan, sama aku
tak ada sangkut pautnya."
"Kau menebak salah," kata si pemuda sembari mesem. "Aku mau minta
kau turun gunung, justru buat melindungi guci emas itu! Orang Nepal mau
rampas guci itu. Beberapa hiapkek tolol, seperti sebangsa Thiekoay sian,
juga ingin merampas. Dengan sendirian saja, aku repot. Maka itu, kau
mestilah turun gunung buat membantu!"
Caranya si pemuda seperti juga sedang minta bantuan dengan satu
sahabat karib, yang seolah-olah tidak boleh tidak meluluskan. Pengtjoan
Thianlie merasa gusar sekali, sehingga kedua alisnya berdiri. "Dengan
memiliki ilmu silat seperti sekarang, boleh dibilang kepandaianmu sudah
lumayan. Lekas berlalu, supaya kau tidak, menyesal," kata Pengtjoan
Thianlie sembari kebaskan tangannya. Bahwa ia tidak lantas memberi
perintah kepada sembilan dayangnya buat mengusir dengan kekerasan,
Pengtjoan Thianlie sebenarnya sudah berlaku sungkan sekali.
Tapi, sebaliknya dari mundur, pemuda itu malahan maju setindak dan
pada kedua bibirnya terus tersungging senyuman. "Apa? Apakah kau tak sudi
memberi muka padaku?" tanya ia.
Pengtjoan Thianlie berobah parasnya. Dayang yang jadi pemimpin
lantas saja membentak: "Kau benar tak mengenal kesopanan? Apa benar-benar
kau mau kami mengusir dengan kekerasan?"
Si pemuda berbangkes dan berkata sembari tertawa: "Naik gampang,
turun sukar. Hari ini aku sudah capai sekali dan ingin tidur sebentaran!"
Sang dayang tepuk kedua tangannya dan barisan itu segera mulai
bergerak. Delapan batang pedang yang hawanya dingin lantas saja menyambar
bagaikan kilat.
"Dingin! Dingin! Ah, hilanglah perasaan ngantukku!" berseru si
pemuda yang badannya lantas saja berkelebat-kelebat di antara sinarnya
pedang-pedang itu. Sebagaimana diketahui, serangan-serangannya barisan
itu hebat sekali dan delapan pedang menyambar-nyambar saling susul
bagaikan gelombang. Sang pedang cepat, tapi si pemuda lebih cepat lagi.
Ujung pedang kelihatannya sudah menempel pada badannya, en toh pada detik
yang terakhir, ia selalu dapat mengegos dengan tepat sekali. Melihat
begitu, mau tak mau, Pengtjoan Thianlie jadi merasa kagum. Semakin lama
serangan delapan pedang jadi semakin seru dan badannya si pemuda seperti
juga sudah dikurung sinar pedang yang seperti jala.
Thian Oe amat berkuatir. "Chena tjietjie," berbisik ia. "Dapatkah
kau menolong padaku buat minta Pengtjoan Thianlie hentikan pertempuran?"
Chena tidak menyahut. Ia cuma geleng-gelengkan kepalanya.
Tiba-tiba si pemuda tertawa terbahak-bahak. "Ilmu pedang bagus!
Sungguh bagus sekali!" ia berseru. "Sekarang maafkan padaku."
Setahu bagaimana, selagi ia kelit delapan batang Pengpok Hankong
kiam, tahu-tahu tangannya sudah mencekal sebatang pedang panjang, yang
mengeluarkan sinar berkeredepan dan mengaung kapan dikebaskan. "Pedang
bagus!" Pengtjoan Thianlie berkata tanpa merasa.
Sesudah mengebas sekali, si pemuda membuat satu lingkaran bundar
dengan pedangnya dan di lain saat, dengan suara berkrontangan, pedangnya
dua dayang sudah terbabat putus! Semua dayang terkesiap dan lantas pada
loncat mundur. Dengan kecepatan yang tak dapat dilukiskan dan pengetahuan
akan Pattintouw dari Tjoekat Boehouw, ia menindak di pintu Hioe, biluk di
pintu Kay, putari pintu Sie, injak pintu Seng dan lantas balas menyerang.
Di lain saat, pedangnya dayang yang menjaga pintu Keng dan pintu Siang
sudah terbabat putus.
Dayang yang menjaga di tengah-tengah lantas saja timpukkan Pengpok
Sintan dengan gerakan Thianli Sanhoa (Bidadari sebar kembang). Di tengah
udara lantas saja penuh dengan peluru yang seperti mutiara dan bersinar
terang.
Si pemuda juga lantas ayun tangannya dan lepaskan senjata
rahasianya. Pengpok Sintan sudah luar biasa, tapi senjata rahasianya si
pemuda lebih luar biasa lagi. Senjata rahasia itu ada sedemikian halus,
sehingga tak dapat dikenali dengan sang mata, dan yang terlihat cuma
sinar emas yang berkredep. Dalam tempo sekejapan, Pengpok Sintan sudah
tidak kelihatan lagi.
Pengtjoan Thianlie terkesiap sebab lihat tenaga dalam si pemuda
yang luar biasa besarnya. Senjata rahasia itu macamnya seperti rumput
bong (rumput buat bikin kasut). Begitu nempel, Pengpok Sintan lantas
mental beberapa tombak dan jatuh di atas tanah! Hatinya si nona jadi
tergoncang, sebab ia mendadak ingat penuturan mendiang ayahnya mengenai
Thiansan Sinbong (Bong malaikat dari gunung Thiansan), semacam senjata
rahasia ahli-ahli pedang Thiansan, yang kalau dilepaskan mengeluarkan
sinar merah yang mengkredep. Mengingat begitu, pandangannya terhadap
pemuda itu lantas jadi lain.
Di lain saat, badannya si pemuda mendadak terputar-putar seperti
kilat. Para dayang cuma merasa bayangannya berkelebat dan empat batang
Pengpok Hankong kiam sudah pindah ke dalam tangannya si pemuda!
Bukan main kagetnya Pengtjoan Thianlie. "Berhenti!" ia berseru.
Dengan satu kelebatan, si pemuda sudah berdiri tegak di luar barisan dan
sembari tertawa ia mengawasi Pengtjoan Thianlie. "Kenapa?" ia tanya.
"Tak apa-apa," jawabnya dengan tawar. "Perkataanku tak dapat
dirobah lagi."
"Kalau begitu kau mau turun tangan sendiri buat mengusir aku?"
tanya si pemuda.
"Benar," jawabnya. "Kau masuk dengan kekerasan, maka tuan rumah
juga harus mengusir dengan kekerasan."
"Tak ada yang lebih baik daripada itu," kata si pemuda sembari
tertawa. "Aku jadi dapat kesempatan buat tambah pengalaman dan saksikan
Tatmo Kiamhoat yang sudah hilang dari wilayah Tiongkok."
Ia sama sekali tidak keder menghadapi sorot matanya Pengtjoan
Thianlie yang dingin. Pada kedua bibirnya terus tersungging senyuman dan
balas mengawasi dengan mata tajam.
Thian Oe dan Chena duga Pengtjoan Thianlie akan segera turun
tangan. Tapi tak dinyana, sembari menyapu dengan matanya yang bagus,
Pengtjoan Thianlie berkata: "Sesudah menyebrangi sungai es dan bertempur
lama, kau tentu lelah sekali. Maka itu biarlah besok tengah hari kau
datang lagi!"
Si pemuda memberi hormat dan berkata sembari tertawa: "Baiklah.
Kalau kau perintah aku datang lagi, aku tentu datang." Sesudah kasih
masuk pedangnya ke dalam sarung, ia putar badannya, tapi sebelum berjalan
pergi, ia berkata pula sembari mesem: "Masih boleh jugalah perlakuan itu
terhadap seorang sahabat."
"Apa kau bilang?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Tak apa-apa," sahutnya. "Dalam dunia ini, memang ada manusia yang
tidak tergerak perasaannya biarpun ia bertemu dengan sahabat yang saling
mengenal isi sang hati. Kau hidup tanpa sahabat dalam keraton yang begini
indah. Itulah yang dinamakan kekurangan dalam serba kecukupan."
Mukanya Pengtjoan Thianlie bersemu merah. Perkataan itu kena betul
pada uluhatinya. Memang juga, sedari ayah dan ibunya meninggal dunia, tak
ada seorangpun terhadap siapa ia dapat tumpleki isi hatinya. Saban-saban
bertemu dengan malam terang bulan, mau tak mau ia merasakan juga satu
kesepian.
"Kau terlalu rewel," kata Pengtjoan Thianlie. "Siapa suruh kau
campur urusan lain orang?" Sehabis berkata begitu, tanpa merasa ia
melangkah beberapa tindak, mengikuti si pemuda yang sedang naik ke atas
jembatan yang terbentang di atas satu pengempang teratai. Di sebelahnya
pohon-pohon teratai yang sedang berbunga, atas empang itu terdapat
beberapa macam pohon air yang bunganya luar biasa dan menyiarkan bau
harum sekali. Di atas jembatan itu terdapat satu pendopo yang di kedua
sampingnya tergantung sepasang lian (toeilian) yang bunyinya seperti
berikut:
Sinar rembulan, harumnya bunga
semua masuk impian. Keraton dewi,
ranggon indah sama-sama datangkan kedinginan.
"Perkataannya cukup bagus, cuma kurang cocok sama keadaannya," kata
si pemuda sembari tertawa. Ia tak tahu bahwa toeilian itu adalah buah
kalamnya Pengtjoan Thianlie sendiri. Moh Hoan Lian, neneknya Pengtjoan
Thianlie, adalah satu tjaylie (wanita pintar) yang tersohor namanya.
Sebagai satu cucu yang mewarisi pelajaran keluarganya, sedari kecil Koei
Peng Go (Pengtjoan Thianlie) sudah belajar membuat syair, menabuh khim
dan main tiokie. Semua toeilian yang terdapat dalam keraton itu adalah
buah kalamnya sendiri. Lantaran begitu, tidaklah heran kalau ia jadi
merasa berdongkol waktu dengar celaannya si pemuda.
Ia maju lebih dekat dan menanya dengan suara menantang: "Kenapa tak
cocok sama keadaannya? Coba kau bilang?"
"Sinar rembulan dan harumnya bunga bisa diketemukan dimana juga,"
menerangkan pemuda itu. "Keraton dewi dan ranggon indah juga cuma kata-
kata yang melukiskan keindahannya suatu gedung dan dapat digunakan di
segala tempat. Maka itulah, perkataan-perkataan tersebut tidak cukup
melukisi pemandangan istimewa yang terdapat disini. Apalagi, toeilian
tersebut cuma melukis pemandangan dan tidak melukis manusia. Itulah yang
aku namakan satu cacat dalam keindahan."
Walaupun bersifat sangat angkuh, tapi Pengtjoan Thianlie adalah
seorang gadis yang suci bersih. Mendengar penjelasannya si pemuda yang
beralasan, ia jadi mesem dan berkata: "Kalau begitu, cobalah kau tolong
bikinkan gantinya."
Baru saja si pemuda mau buka mulurnya, satu dayang menyeletuk:
"Apakah kau tahu, bahwa toeilian itu digubah berdasarkan namanya orang?
Tak gampang mengubah itu."
"Jangan banyak bacot," membentak Pengtjoan Thianlie sembari lirik
dayangnya. Sesudah itu, ia berpaling kepada si pemuda dan berkata:
"Cobalah kau sebutkan syairmu buat gantikan sepasang lian itu, supaya aku
dapat menimbang apa cocok dengan pemandangan disini."
"Kalau begitu, baiklah aku mempersembahkan kebodohanku," kata si
pemuda sembari mesem dan lalu bersyair:
"Sinar bulan atas sungai es, dewi rembulan turun,
Bidadari menyebar bunga. Sang penyair datang."
Sehabis bersyair, ia tertawa dan berkata pula: "Walaupun kata-
katanya tidak begitu bagus, tapi sang manusia yang disebutkan dalam lian
itu betul-betul cantik luar biasa, sehingga aku rasa, toeilian ini
bolehlah juga."
Hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang dan mukanya jadi bersemu
dadu. Syair yang disebutkan barusan bukan saja terdapat kata-kata
"Pengtjoan Thianlie," tapi juga menggenggam namanya sendiri, yaitu Peng
Go. (Sungai es = Pengtjoan, Bidadari = Thianlie, Es = Peng, yang kalau
digabung dengan Go-Dewi rembulan -- menjadi Peng Go).
Syair tersebut terang-terangan digubah untuk dirinya sendiri dan di
dalamnya menggenggam arti, bahwa si penyair mengagumi ia. Sinar rembulan
di atas sungai es adalah seperti sang dewi rembulan sudah turun ke muka
bumi. Belakangan disebutkan, bidadari sebarkan bunga, sehingga
menyebabkan datangnya si penyair. Dengan berkata begitu, si pemuda mau
bilang, bahwa ia datang kesitu lantaran kagumi Pengtjoan Thianlie. Akan
tetapi, orang tidak dapat katakan ia memberi umpakan murah, sebab syair
itu memang sesuai dengan keadaannya. Maka itulah, diam-diam Koei Peng Go
kagumi kepintarannya pemuda itu.
"Nah, sekarang aku sudah persembahkan syairku," kata si pemuda
sembari berpaling kepada sang dayang. "Barusan kau bilang, lian ini
dibuat berdasarkan nama orang. Nama siapa? Apa boleh kau memberitahukan?"
Dayang itu tidak menjawab, tapi tekap mulutnya sambil tertawa.
"Biarlah aku saja yang memberitahukan," Pengtjoan Thianlie
menyelak. "Kata-kata dalam toeilian itu aku gubah berdasarkan namanya.
Dalam taman ini ada dua belas pemandangan istimewa. Di saban tempat ada
toeilian dan setiap toeilian digubah berdasarkan namanya dayang-
dayangku."
"Sinar rembulan, harumnya bunga semua masuk impian,
keraton dewi, ranggon indah sama-sama datangkan kedinginan,"
demikian si pemuda ulangi bunyinya toeilian itu dan kemudian
berkata sambil menunjuk si dayang: "Kalau begitu, namamu Goat Sian."
(Rembulan = Goat, Dewi = Sian, kalau digabung jadi satu ialah Goat Sian).
"Benar," sahut sang dayang sembari manggutkan kepala.
"Bagus," kata si pemuda, "Sekarang izinkan aku mempersembahkan lagi
kebodohanku dan mengubah sepasang lian untukmu." Ia mesem-mesem dan
sambung omongannya: "Aku ingat syairnya seorang dahulu kala. Biarlah aku
pinjam syair itu untuk mengubahnya. Dengarlah:
"Sinar bulan tiada cacatnya, jendela jodoh, pintu merah, setiap
tahun dikitari.
Sang dewi patah hatinya, lautan blau, langit biru, saban malam
dipikiri.
Demikian ia mengubah toeilian tersebut. Kalau perkataan "bulan"
(goat) digabung sama perkataan "dewi" (sian), jadilah Goat Sian, namanya
dayang itu.
"Lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri" adalah sebagian
dari syairnya Lie Gie San yang berbunyi seperti berikut:
"Sang bidadari menyesal sudah curi obat mustajab,
lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri."
Dengan mengubah syair tersebut si pemuda ejek Pengtjoan Thianlie
seperti satu bidadari, yang dengan penuh kesunyian berdiam dalam keraton
es seorang diri. Pengtjoan Thianlie kerutkan kedua alisnya. Tanpa merasa,
ia sudah mengikuti si pemuda menyeberangi jembatan itu! Dengan main
bersyair secara begitu, dimanalah adanya sifat permusuhan antara mereka
berdua?
Sesudah menyebrang jembatan, si pemuda lalu angkat kedua tangannya
dan berkata sembari tertawa: "Tak usah mengantar terlebih jauh dan tak
usah kalian mengusir. Aku sekarang mau pergi, besok tengah hari aku akan
balik buat penuhi janji."
Mukanya Pengtjoan Thianlie kembali bersemu dadu. Si pemuda baju
putih lalu pentang kedua kakinya dan dalam sekejap sudah hilang dari
pemandangan.
Sesudah sang tetamu berlalu, semua orang dalam keraton ramai
bicarakan ia, antaranya juga Tan Thian Oe. Ilmu silatnya si pemuda baju
putih dan Pengtjoan Thianlie tak dapat diukur bagaimana tingginya, maka
besok tentulah juga bakal terjadi pertempuran yang sangat hebat.
Pada esokan harinya, sebelum tengah hari, Chena sudah samper Thian
Oe buat diajak saksikan keramaian. Baru saja menginjak taman, kuping
mereka sudah dengar suara tetabuhan khim yang merdu sekali.
"Apakah khim itu dipentil oleh Thianlie tjietjie? Main khim pagi-
pagi adalah diluar kebiasaannya," kata Chena.
Mereka pasang kuping dan ternyata yang sedang diperdengarkan adalah
lagu "Tjioelam" dari Siekeng (Kitab Syair). Nyanyian dari lagu tersebut
berbunyi kira-kira seperti berikut:
Di Selatan ada pohon tinggi, tapi
tak ada tempat meneduh.
Di Hankiang si cantik berenang,
tak mungkin dapat diubar.
Ibarat luasnya Sungai Hansoei,
jangan harap dapat
menyeberang.
Ibarat panjangnya Sungai Tiangkang,
jangan harap dapat diputari.
Syair itu melukiskan seorang gadis angkuh, yang hatinya tak dapat
dicuri oleh lelaki mana juga. Kata-kata yang digunakan dalam syair itu
semuanya petunjuk yang samar-samar. "Kenapa Pengtjoan Thianlie mainkan
lagu itu?" tanya Thian Oe dalam hatinya. "Apakah ia ibaratkan dirinya
seperti itu gadis Hankiang? Memang juga, jika dibandingkan, Pengtjoan
(Sungai es) adalah lebih sukar diseberangi daripada Hankiang."
Ketika itu, matahari sudah berada di tengah-tengah langit dan suara
khim mendadak berhenti. Seluruh taman diliputi kesunyian dan semua orang
berdebar hatinya, sebab saat pertemuan antara Pengtjoan Thianlie dan si
pemuda baju putih sudah tiba.
Mendadak dari kejauhan terdengar suara suling yang merdu sekali.
Lagu itupun adalah petikan dari Kitab Siekeng dan syairnya berbunyi kira-
kira sebagai berikut:
Kembang putih putih, embun menjadi es.
Jiwa hatiku, berada di seberang. Melawan arus air, aku mencari ia,
terputar-putar jauh sekali.
Mengikuti arus air, aku mencari ia, terombang-ambing di tengah air
yang tiada tepiannya.
Syair itu adalah syair percintaan yang melukiskan seorang lelaki
sedang cari kecintaannya, yang boleh dipandang, tapi tidak boleh
dipegang, penuh dengan perasaan cinta dan sedih dengan berbareng.
Begitu suara suling berhenti dalam taman sudah tambah satu orang
lagi, yaitu si pemuda baju putih, yang satu tangannya memegang suling
batu kemala, sedang di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang,
sehingga ia kelihatannya jadi lebih cakap dan angker.
"Nona pandai benar mementil khim, sehingga hampir-hampir aku lupa
soal adu pedang," kata ia sembari pegang gagang pedangnya.
"Kau juga pandai meniup suling," sahut Pengtjoan Thianlie dengan
suara tawar. "Ilmu pedangmu tentulah juga lebih tinggi lagi, maka itu,
lebih-lebih aku harus minta pengajaranmu."
Diam-diam Thian Oe tertawa dalam hatinya. Yang satu pentil khim,
yang lain tiup suling, manalah seperti dua musuh yang mau bertempur?
"Kalau turut kemauanmu, bukankah itu terlalu gila?" kata si pemuda.
"Kau mau aku turun gunung, bukankah itu pun terlalu gila?" kata
Pengtjoan Thianlie. "Jika kau sungkan adu pedang, aku pun tidak
memaksa. Pergilah, disini bukan tempatmu."
Si pemuda baju putih geleng-gelengkan kepalanya dan berkata sembari
tertawa: "Kecuali adu pedang, apakah tidak ada lain jalan buat undang kau
turun gunung? Baiklah, kita janji saja begini: Jika aku kalah, aku tidak
akan mengganggu lagi. Kalau kau kalah, kau harus bantu aku melindungi
guci emas itu."
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya dan berkata: "Memang juga dalam
dunia ini tak hentinya manusia main rebut-rebutan, sehingga aku merasa
mendeluh sekali. Baiklah, cabut pedangmu." Didengar dari lagu omongannya,
Pengtjoan Thianlie seolah-olah merasa, bahwa dalam pertempuran sebentar,
ia pasti menjadi pihak yang menang.
Sehabis berkata begitu, ia lantas cabut pedangnya yang lantas
mengeluarkan sinar berkilau-kilauan dan hawa dingin yang sangat hebat.
Pedangnya Pengtjoan Thianlie juga adalah Pengpok Hankong kiam, tapi tidak
sama dengan pedang yang digunakan oleh para dayangnya. Pedang itu terbuat
dari sarinya lima macam logam dan diolah di dalam gua es dan umbul
dingin. Thian Oe dan Chena sebenarnya sudah telan pel Liokyang wan yang
dapat menahan segala rupa hawa dingin, tapi toh mereka masih bergidik
begitu lekas pedang itu dicabut dari sarungnya.
Si pemuda bersikap tenang sekali, sembari mesem-mesem ia tarik
keluar pedangnya sendiri. Ia berdiri di sebelah bawah, ia berkata:
"Silahkan!"
Pengtjoan Thianlie menuding dengan pedangnya yang bagaikan kilat,
lantas saja menyambar. Sebelum Thian Oc dapat melihat tegas, badannya si
pemuda sudah ngapung ke atas beberapa kaki tingginya, sedang Pengpok
Hankong kiam lewat di bawah kakinya. Tanpa merasa, Pengtjoan •Thianlie
keluarkan satu seruan heran, sebab barusan ia sudah menyerang dengan
serangan Tatmo Kiamhoat yang sangat liehay. Satu serangan itu menuju ke
arah tiga jalanan darah musuh yang membinasakan, tapi tidak dinyana,
serangan sehebat itu dapat disingkirkan secara begitu gampang oleh si
pemuda baju putih.
Hampir berbareng, dengan satu siulan panjang, si pemuda balas
menyerang. Ia kirim dua tikaman ke sebelah kiri, dua tikaman ke sebelah
kanan dan satu tikaman di tengah-tengah, setiap serangan di kirim dengan
gerakan yang berbeda-beda. Dengan satu teriakan "Bagus!", Pengpok
Hankong kiam berkelebat-kelebat ke kiri kanan dengan gerakan yang
berobah-robah luar biasa cepat, dan di lain saat, pedang itu kembali
kelihatan menyambar lehernya si pemuda. "Sungguh indah Tatmo Kiamhoat!"
berseru si pemuda sembari tertawa dan dengan gampang ia sudah loloskan
diri dari serangan Pengtjoan Thianlie.
Pengtjoan Thianlie heran bukan main. Pemuda itu mengetahui
kiamhoat-nya, akan tetapi, ia sendiri tidak tahu, ilmu pedang apa yang
sedang digunakan oleh pemuda tersebut. Dengan demikian, kesombongannya
lantas hilang beberapa bagian.
Si pemuda kembali keluarkan siulan panjang dan mulai menyerang
secara hebat. Pedangnya menyambar-nyambar seperti hujan angin, sehingga
matanya orang yang melihat menjadi kabur. Pengtjoan Thianlie jadi sengit.
Cara bersilatnya mendadak berobah dan di lain saat, bayangannya dan sinar
pedang berkelebat-kelebat seperti titiran, seolah-olah dalam taman itu
muncul bayangannya puluhan Pengtjoan Thianlie.
"Dengan sesungguhnya Pengtjoan Thianlie bukan cuma mempunyai nama
kosong," kata si pemuda dalam hatinya dengan perasaan heran. "Ia ternyata
sudah tambahkan banyak pukulan-pukulan luar biasa ke dalam Tatmo
Kiamhoat." Memang juga, kedua orang tuanya Pengtjoan Thianlie sudah
tambahkan banyak pukulan heran-heran ke dalam Tatmo Kiamhoat. Dengan
gunakan ilmu pedang Tatmo sebagai dasar, kedua orang tua itu sudah
menambah dengan sarinya ilmu pedang di Tibet yang agak berlainan dengan
ilmu pedang dari Tiongkok asli.
Demikianlah kedua ahli pedang bertempur dengan luar biasa
sengitnya. Masing-masing keluarkan segala rupa ilmu simpanannya tanpa
mendapat hasil. Menit lepas menit, jam lepas jam, dari tengah hari mereka
sudah berkelahi sampai hampir magrib, tapi kedua-duanya masih tetap segar
dan belum ada yang keteter.
Mendadak satu suara sangat nyaring akibat bentrokan kedua pedang,
terdengar. Dengan berbareng, mereka loncat mundur beberapa tindak dan
masing-masing periksa pedangnya yang ternyata sama kuatnya dan masih
tetap utuh seperti biasa.
"Apakah hari ini kita boleh berhenti dahulu?" tanya si pemuda baju
putih sembari tertawa.
"Hari ini belum dapat keputusan siapa menang, siapa kalah. Besok
kau datang lagi," sahut Pengtjoan Thianlie.
"Hatiku merasa tidak tega," kata lagi si pemuda. "Dengan bertempur
disini kita bikin rusak pemandangan indah dari keratonmu."
Mendengar perkataan itu, para dayang baru memperhatikan itu gunung-
gunungan dan batu-batu hiasan yang ternyata benar sudah banyak somplak
lantaran tertabas pedang.
"Kita enak-enakan, adu pedang, batu-batu indah yang jadi korban.
Sungguh sayang!" kata si pemuda.
"Kalau begitu, sudahlah, jangan bertempur lagi," kata Pengtjoan
Thianlie.
"Kau belum menangkan aku dan kau juga sungkan turun gunung. Habis
bagaimanakah baiknya?" kata si pemuda sembari mesem-mesem.
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya. "Apa kau tidak bisa turun
gunung sendiri?" kata ia dengan suara tidak sabaran.
"Sebenarnya aku ingin sekali ikat tali persahabatan dengan kau,"
kata si pemuda. "Sesudah turun gunung, cara bagaimana aku dapat menemui
kau lagi? Di sebelahnya itu, ketemu tandingan setimpal adalah salah satu
kejadian paling menggembirakan dalam
penghidupan manusia. Sesudah turun gunung, cara bagaimana aku bisa
cari lagi satu tandingan seperti kau?"
"Habis bagaimana pendapatmu?" Pengtjoan Thianlie menanya tanpa
merasa.
"Selama dua hari ini, kau jadi tuan rumah, sedang aku sebagai
tetamu," sahut si pemuda. "Walaupun perlakuanmu terhadap tetamu ada
kurang sopan, akan tetapi aku merasa berwajib undang kau satu kali. Maka
pada besok tengah hari, aku undang kau datang ke lembah es buat mendapat
suatu keputusan. Disitu, biarpun andaikata kau tabas rata Puncak Es,
masih tidak ada halangannya. Dengan begitu, kita tak usah bertempur di
tempat ini dan merusak keindahan keratonmu."
Dengan berkata begitu, ia seperti mau bilang, bahwa hari itu,
lantaran kuatir bikin rusak -keindahan keraton, ia belum keluarkan semua
kepandaiannya.
Pengtjoan Thianlie mengerti maksud tersembunyi dari omongan si si
pemuda. "Baiklah, aku iringi Keinginanmu!" jawab ia dengan suara
bcrdongkol. Begitu habis bicara, ia lantas ingat, bahwa ia sekarang toh
sudah kena juga dipancing keluar dari keratonnya!
Dengan sikap tenang, kedua matanya si pemuda mengawasi gunung-
gunungan dan batu-batu hiasan yang ada pada rusak akibat pertempuran.
Mendadak ia tertawa dan berkata: "Hiasan sebuah taman adalah ibarat
pakaiannya seorang gadis, yang saban-saban harus ditukar coraknya.
Kerusakan ini ada juga baiknya supaya dapat dihias baru." Tanpa
perdulikan didengar atau tidak oleh Pengtjoan Thianlie, ia lantas saja
bicara panjang lebar mengenai cara-cara menghias taman.
Memang juga rencana menghias keraton disusun sendiri oleh Pengtjoan
Thianlie yang kemudian perintah dayang-dayangnya buat mengerjakannya.
Mendengar perundingannya si pemuda yang sangat menarik, dayang-dayang itu
lantas pada mendekati dan berkumpul di seputar ia. Pengtjoan Thianlie
berdongkol bukan main, tapi ia merasa kurang enak buat semprot dayang-
dayangnya di hadapan orang luar.
Sesudah bicara beberapa lama, si pemuda mendadak membungkuk dan
berkata: "Sayang sekali kau tidak sudi menerima tetamu. Malam ini baiklah
aku tidur lagi di bawahnya Puncak Es!"
"Yah, pergilah!" kata Pengtjoan Thianlie dengan suara gusar.
"Terhadap sahabat, kau benar tak sungkan-sungkan lagi," kata si
pemuda sembari mesem. "Baiklah, aku pun merasa sangat capai dan ingin
tidur. Sedang tuan rumah sungkan menerima tetamu, aku pun paling baik
jalan. Tapi besok, janganlah lupa janjimu!"
Sehabis berkata begitu, ia berlalu dengan jalan perlahan-lahan,
sedang mulutnya tak hentinya bicarakan bunga-bunga dan pohon-pohon dalam
taman itu. Sebentar ia ceritakan cara menggunting daun-daun kembang ini,
sebentar ia bentangkan cara merawat pohon itu. Bicaranya bukan saja
sangat menarik, tapi juga memperlihatkan satu pengetahuan yang mendalam
mengenai ilmu tumbuh-tumbuhan, sehingga para dayang yang mendengari jadi
bengong, dan tanpa merasa mereka ikuti pemuda itu, seperti juga sedang
mewakili sang majikan buat mengantar tetamu.
Pengtjoan Thianlie jadi sangat gusar. Ia menghampiri dengan niat
panggil pulang dayang-dayangnya.
Mendadak si pemuda hentikan tindakannya di depan satu gerbang. Di
belakangnya gerbang itu terdapat beberapa puluh pohon anggrek hitam yang
menyiarkan bau harum sekali. "Pemandangan disini luar biasa bagusnya.
Kenapa tidak dibuat toeilian?" kata si pemuda sembari tertawa.
Pengtjoan Thianlie lirik padanya, tapi tidak berkata apa-apa.
"Dalam dua hari memang juga mau ditulis dan kemudian dicukil," sahut satu
dayang. "Paduka Puteri bilang..."
"Jangan banyak bacot!" membentak sang majikan.
"Ah, kalau begitu belum ditulis beres," kata si pemuda. "Nama
dayang mana yang kau ingin gunakan buat toeilian itu?"
Kembali Pengtjoan Thianlie lirik padanya. "Aku lihat kau sudah
kepengen sekali," ia mendadak berkata. "Nah, coba kau tolong karangkan."
Si pemuda tertawa nyaring. "Baiklah," kata ia. "Lagi-lagi kau mau
uji aku. Aku ini memang tak tahu diri. Nah, biarlah aku coba persembahkan
kebodohanku."
Satu dayang lantas menunjuk dan berkata: "Toeilian yang mau dibuat
menggunakan namanya. Ia bernama Hoei Kheng."
Si pemuda berpikir. Dua huruf itu, yang satu huruf "kosong", yang
lain huruf "berisi", benar-benar sukar di-toei (dipasangkan). Hoei Kheng
adalah dayang yang biasanya membantu Pengtjoan Thianlie mengambil kertas
dan menggosok bak dalam kamar tulis, sehingga sedikit banyak ia mengerti
juga syair. "Tak bisa dapat?" ia tanya sembari tertawa.
"Kalau dipaksa-paksa bisa juga," jawab si pemuda. "Gerbang ini
sangat tinggi, maka perlu dibikin toeilian yang agak panjang. Begini
sajalah:
"Bakat kepintaran lebih berharga dari bunga anggrek. Yang bergoyang
tertiup angin di pegunungan kosong.
Rembulan benar terang, tapi sang hati berada dalam kesedihan.
Awan yang indah menyinari lautan perak.
Melayang-layang di selebar langit.
Pergi ke Yauwtie tiada jalanannya,
mundar-mandir (seperti awan) tiada juntrungannya."
Demikianlah huruf pertama "Kepintaran" (Hoei) dari syair yang
kesatu ditimpali dengan huruf pertama "Indah" (Kheng) dari syair yang
kedua, sehingga dapatlah "Hoei Kheng" atau namanya dayang itu.
Arti toeilian tersebut kembali mengenakan Pcngtjoan Thianlie. Si
pemuda umpamakan ia seperti lembah kosong dan anggrek yang sunyi dengan
cuma sang rembulan yang menjadi kawannya, sehingga menambahkan kesedihan.
Pengtjoan Thianlie tidak berkata apa-apa. Ia berdiri bengong
seperti orang yang sedang ngelamun.
Sembari menuding ke satu tempat, si dayang kembali berkata:" Eh,
coba karang lagi buat tempat itu. Kau harus gunakan namanya saudariku,
Yoe Pcng." Tempat itu adalah satu pendopo delapan pasegi yang berdiri di
atas satu empang teratai, yang penuh dengan pohon-pohon teratai dan
rumput air yang dinamakan "peng".
"Huruf Yoe Peng juga satu kosong dan satu berisi, sehingga lebih-
lebih sukar dipasangkan," kata si pemuda sembari tertawa. "Baik juga
pemandangan disitu dapat dipinjam buat menggubahnya. Kau dengarlah:
"Lembah sunyi, gunung belukar. Sinar rembulan menindih lain-lain
warna.
Batang peng (rumput), daun teratai.
Suara hujan menutup suara teratai."
Dengan begitu huruf Yoe (Sunyi) dipasangi dengan huruf Peng
(namanya semacam rumput).
Lembah sunyi, gunung belukar,
batang rumput (peng), daun teratai,
masing-masing sudah merupakan toei (pasangan). Perkataan yang di
sebelah bawah, si pemuda pinjam karangannya seorang penyair jaman dahulu
yang berbunyi:
Yang ketinggalan hanya bunga teratai yang sudah rontok,
sambil mendengari jatuhnya sang hujan.
Dengan demikian, syair itu bukan saja cocok dengan pemandangannya,
tapi juga mengenakan dirinya Pengtjoan Thianlie. Si pemuda seolah-olah
mau menyatakan simpatinya kepada ia, yang dengan penuh kesunyian,
bertempat tinggal dalam keraton es. Hatinya si nona jadi tergoncang. Ia
tidak kira, pemuda itu mempunyai kepandaian sedemikian tinggi, baik dalam
ilmu surat, maupun dalam ilmu silat.
"Sudahlah, jangan mengantar terus," kata si pemuda sembari angkat
kedua tangannya. "Terima kasih, terima kasih."
Pengtjoan Thianlie jadi tersadar. Tanpa merasa, -ia ternyata sudah
ikut menyeberangi jembatan batu giok putih. Mendadakan saja mukanya jadi
bersemu dadu dan berkata dengan suara tawar: "Piara semangatmu, besok
kita adu pedang lagi."
"Baiklah," kata ia sembari berjalan pergi dan di lain saat, ia
sudah menghilang di antara pepohonan.
Seperti orang yang kehilangan apa-apa, si nona berdiri di atas
jembatan. Ia dongak ke atas dan memandang itu lembaran-lembaran awan yang
mengambang, dengan paras muka sedih.
Sesudah si pemuda baju putih berlalu, Thian Oe jadi masgul lantaran
ingat, bahwa besok ia sudah mesti meninggalkan tempat itu. Ia lantas
balik ke kamarnya buat mengasoh. Selagi rebah-rebahan, mendadak seorang
dayang datang dan memberitahukan, bahwa Pengtjoan Thianlie undang ia
bersantap malam.
Dalam beberapa hari itu, barang santapan selamanya diantar oleh
seorang dayang dan ia selalu makan seorang diri dalam kamarnya. Maka itu,
ia merasa agak heran mendengar undangannya Pengtjoan Thianlie.
Tanpa berkata suatu apa, ia buru-buru salin pakaian dan ikut sang
dayang pergi ke keratonnya Pengtjoan Thianlie. Sesudah jalan bulak-belok,
mereka tiba pada satu telaga es. Di kakinya puncak gunung Nyenchin Dangla
terdapat satu gunung api, sehingga pemandangan dalam keraton adalah lain
dari yang lain. Dengan hawanya yang hangat, disitu terdapat bunga-bunga
yang mekar sepanjang tahun dan rumput-rumput yang tetap hijau sepanjang
masa. Di tengah telaga terdapat teratai putih, teratai merah, bunga
Mantolo yang harum luar biasa, dan lain-lain bunga yang aneh-aneh. Di
sebelahnya itu, kepingan-kepingan es kelihatan kelap-kelip di tengah
telaga, dan jika sang angin meniup dengan perlahan, bebauan yang harum
menyambar-nyambar ke dalam hidung. Sungguh orang tak tahu, musim apa
adanya itu? Apa musim semi, apa musim rontok, apa musim dingin atau musim
panas!
Di dekat telaga terdapat satu pendopo yang terbuat dari batu giok
putih mulus. Disorot dengan sinar matahari magrib, pendopo itu
mengeluarkan warna-warni yang luar biasa indahnya.
Di tengah pendopo dipasang satu meja makan, dimana terlihat, di
sebelahnya Pengtjoan Thianlie, Thiekoay sian suami isteri. Thian Oe
lantas memberi hormat dan mengambil tempat duduk di samping gurunya.
Selain masih sedikit layu, paras mukanya Thiekoay sian sudah pulih
seperti biasa.
"Keadaan gurumu sekarang sudah tidak berbahaya lagi," kata
Pengtjoan Thianlie.
"Terima kasih dan itu semua adalah berkat bantuannya Oen-giok yang
usianya laksaan tahun," kata Thiekoay sian. "Kalau tidak ada mustika itu,
aku masih harus mengasoh beberapa hari lagi." Suaranya tawar sekali yang
mana menandakan perasaan
berdongkolnya, sebab Pengtjoan Thianlie sudah bataskan tempo
berdiamnya dalam keraton es.
Pengtjoan Thianlie lirik padanya dan berkata lagi: "Masih ada
sedikit hawa dingin yang belum habis. Kau masih harus minum air godokan
rumput Sinlongtjo. Rumput itu bisa didapat di sebelah selatan Puncak Es
dan besok aku akan titahkan dayang antar In Tjin tjietjie pergi
memetiknya."
"Terima kasih," sahut In Tjin dengan pendek.
"Besok aku sudah janjikan orang buat mengadu pedang di bawah Puncak
Es dan mungkin pulangnya laat sekali," kata Pengtjoan Thianlie. "Lusa
pagi kalian harus berangkat, maka itu, aku siapkan meja perjamuan ini
buat memberi selamat jalan."
Thiekoay sian suami isteri lantas saja bangun berdiri dan
membungkuk sebagai pernyataan terima kasih. Sikap mereka kaku sekali,
tapi Pengtjoan Thianlie kelihatannya tidak memperdulikan.
Setelah undang tetamunya minum segelas arak, ia berkata: "Thiekoay
sian, kau sudah berkelana di seluruh negeri dan kenal baik segala ilmu
pedang dari macam-macam partai. Sekarang aku menemui semacam ilmu pedang,
yang aku tak kenal. Apa kau tahu ilmu pedang apa adanya itu?" Sehabis
berkata begitu, ia lalu petakan beberapa macam pukulan yang luar biasa.
"Ilmu pedang itu adalah ilmu pedangnya si pemuda yang sudah janjikan aku
buat mengadu pedang," ia sambung keterangannya. "Selain itu, ia mempunyai
senjata rahasia yang juga luar biasa. Senjata itu mengeluarkan sinar emas
hitam!"
"Aku tahu. In Tjin sudah dengar penuturannya dayangmu," sahut
Thiekoay sian.
"Jika kau kenal, coba beritahukan padaku namanya ilmu pedang itu,"
kata Pengtjoan Thianlie. "Dan lagi, apa namanya senjata rahasia itu? Apa
di dalamnya tidak terdapat cacat yang bisa diserang?"
"Oh, kalau begitu kau mau minta pengajaranku?" kata Thiekoay sian
dalam hatinya. "Biarlah aku gertak padanya!" Memikir begitu, ia lantas
saja berkata: "Ilmu pedang itu adalah ilmu pedang Thiansan yang kesohor
di kolong langit. Kiamhoat tersebut adalah gubahan tjianpwee Hoei Beng
Siansu, yang telah petik sarinya berbagai macam ilmu pedang dan tambah
sama gubahannya sendiri. Di kolong langit ini, tidak ada satu manusia
yang dapat pecahkan ilmu pedang itu!"
Pengtjoan Thianlie keluarkan suara di hidung dan berkata: "Oh,
kalau begitu Thiansan Kiamhoat!" Harus diketahui bahwa ayahnya Pengtjoan
Thianlie dahulu pernah dikalahkan oleh Tong Siauw Lan dan Phang Eng dari
Thiansan pay. Itulah sebabnya ia sudah kabur ke Tibet dengan niatan
memetik ilmu pedang daerah Barat buat dicampur sama Tatmo Kiamhoat, akan
kemudian digubah menjadi semacam ilmu pedang baru guna diadu lagi sama
Thiansan Kiamhoat. Sedari kecil Pengtjoan Thianlie sudah dengar namanya
Thiansan pay dan tak diduga, pemuda itu adalah orang dari partai
tersebut. 91
"Senjata rahasia itu mempunyai asal-usul yang lebih besar lagi,"
Thiekoay sian sambung keterangannya. "Namanya Thiansan Sinbong dan
bahannya cuma bisa didapat di Thiansan. Bukan emas dan juga bukan besi,
tapi sifatnya lebih keras dan emas dan besi. Bentuknya juga macam-macam,
ada yang panjang seperti anak panah, ada yang bundar seperti mutiara.
Dahulu Leng Bwee Hong Tayhiap mendapat nama besarnya lantaran Thiansan
Sinbong dan dari sini bisa dilihat liehaynya senjata rahasia itu."
Mendengar pujiannya Thiekoay sian, Pengtjoan Thianlie mendeluh dan
berkata dengan suara tawar: "Ah, belum tentu tak ada tandingannya di
kolong langit!"
"Dengan ilmu silatmu yang merangkap dua macam ilmu silat, mungkin
sekali masih setanding," kata Thiekoay sian. "Cuma saja dalam dunia
persilatan, jika kita menemui lawanan tangguh, pada sebelum ingat
kemenangan, lebih dahulu kita harus berjaga-jaga akan kekalahan, maka
itu, terlebih baik kau berlaku sedikit hati-hati." Dengan berkata begitu,
Thiekoay sian seperti juga mau bilang, ia bukan tandingannya pemuda
tersebut.
Pengtjoan Thianlie merasa tak senang dan kembali ia keluarkan suara
di hidung. Sebenarnya ia mau tanyakan dua rupa hal. Pertama, asal-usul
ilmu pedangnya pemuda itu, dan kedua, cacatnya ilmu pedang tersebut.
Sekarang, soal pertama ia sudah mengetahui, tapi dalam soal kedua,
menurut Thiekoay sian ilmu pedang itu sudah mencapai puncak
kesempurnaan dan sama sekali tidak ada cacatnya. Maka tidaklah heran ia
jadi merasa sangat berdongkol dan berkata dengan suara kaku: "Dalam
dunia tidak ada ilmu pedang yang tidak dapat dipecahkan. Setiap ilmu
silat mesti ada lawannya yang dapat menaklukinya. Tapi biar
bagaimanapun juga, aku harus menyatakan terima kasih buat segala
pengunjukanmu. Sekarang marilah aku undang kalian suami isteri minum
kering tiga cangkir arak. Pertama buat membilang terima kasih, dan kedua,
buat memberi selamat jalan." Seorang dayang lantas menuang arak dan
mereka lalu minum kering tiga gelas.
Mendadak terjadi perubahan pada dirinya Tjia In Tjin, yang seperti
juga tidak kuat tahan pengaruhnya alkohol. Ia bangun dan menuju ke
pinggir telaga, tapi sebelum sampai disitu, ia sudah muntahkan arak dan
makanan dari dalam perutnya.
"Arak itu dibuat olehku sendiri dengan mengambil sarinya ratusan
bunga," kata Pengtjoan Thianlie. "Sifatnya halus sekali dan bukannya arak
yang keras. Kenapa In Tjin tjietjie jadi tak tahan?"
Dengan badan bergoyang-goyang dan satu tangannya memegang uluhati,
Tjia In Tjin balik ke meja perjamuan dengan muka pucat.
"Kenapa?" tanya Thiekoay sian. Mukanya si isteri menjadi merah,
tapi tidak menyahut. Dilihat macamnya, ia sama sekali bukan mabok arak.
Pengtjoan Thianlie lantas perintah satu dayang ambil es dan selampe, tapi
In Tjin goyang tangannya dan berkata: "Tak usah! Tak usah!"
"Bukankah kau mabok arak? Dikompres sama es, maboknya bisa lantas
hilang," kata Pengtjoan Thianlie.
Mukanya In Tjin jadi semakin merah. Ia cuma geleng-gelengkan
kepalanya. Melihat begitu, sang suami agak mendusin dan lantas berkata:
"Ah, aku tahu. Coba aku tebak penyakitmu."
Kuatir suaminya bicara terus terang, buru-buru In Tjin berbisik:
"Jangan ribut! Aku... Aku ada..."
"Ada apa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
In Tjin jadi semakin kemalu-maluan. Hal yang sebenarnya, ia sedang
ngidam dan baru saja hamil. Mereka sudah menikah banyak tahun dan usianya
Thiekoay sian sudah mendekati setengah abad, tanpa mempunyai anak. Maka
itu, tentu saja ia jadi girang sekali, dan dalam kegembiraannya, ia keja
jatuh cangkir arak, untung tidak sampai pecah. Melihat begitu, Thian Oe
dan Pengtjoan Thianlie jadi sangat heran.
"Ada soal apa kau bergirang sampai begitu?" tanya si nona sembari
melirik. "Kesehatanmu belum pulih betul, tidak boleh terlalu girang atau
terlalu gusar. Baiklah, sekarang sudah laat, aku harus lantas balik ke
keraton. Lusa pagi kalian boleh lantas turun gunung dan tak usah menemui
aku lagi."
Perjamuan lantas dibubarkan dengan kurang kegembiraan. Malam itu,
Pengtjoan Thianlie tak dapat tidur pulas, begitu juga Thian Oe. Hatinya
sedih lantaran ingat, lusa pagi ia sudah mesti berlalu dari tempat itu.
Ia ingat besok Pengtjoan Thianlie dan pemuda baju putih itu akan
bertempur kembali. Hatinya ingin sekali menyaksikan keramaian itu, tapi
ia tak tahu, apa
Pengtjoan Thianlie kasih permisi atau tidak. Ia ingat juga Chena,
itu gadis Tsang yang luar biasa dan sangat menarik hatinya. Rupa-rupa
pikiran mengaduk dalam otaknya. Ia meramkan kedua matanya, tapi
sebaliknya dari pulas, ia jadi semakin segar.
Dengan perasaan kewalahan, ia lalu bangun, pakai baju luarnya dan
keluar jalan-jalan di dalam taman. Tanpa merasa, kakinya menuju ke arah
gedung yang aneh itu. Rembulan yang sangat terang menyelimuti bumi dengan
sinarnya yang seperti perak. Mendadak ia dengar suara tindakan dan buru-
buru ia mengumpat di belakangnya satu gunung-gunungan. Di lain saat,
pintunya gedung itu mendadak terbuka dan seorang wanita yang memakai baju
putih kelihatan keluar. Wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie sendiri.
Dari Chena, Thian Oe sudah mengetahui bahwa saban malam Tje-it,
Pengtjoan Thianlie masuk ke gedung itu seorang diri dan berdiam kurang
lebih satu jam lamanya. Apa yang dilakukan olehnya, tidak diketahui oleh
siapa juga.
"Ah, kalau ia tahu aku mengumpat disini, ia tentu akan menuduh aku
mau curi rahasianya," kata Thian Oe dalam hatinya. "Adatnya sangat luar
biasa. Ia tentu akan memberi hukuman berat!" Thian Oe jadi ketakutan. Ia
tak berani bergerak dan tahan napasnya.
Dengan paras muka sedih, Pengtjoan Thianlie jalan mendekati tempat
mengumpatnya Thian Oe. Jantungnya Thian Oe mengetok lebih keras.
Mendadak, dalam jarak kurang lebih setombak dari Thian Oe, ia berhenti
dan keluarkan satu seruan perlahan. Thian Oe terbang semangatnya dan
keringat dingin mengucur keluar dari dahinya, la duga, Pengtjoan Thianlie
sudah mengetahui tempat
mengumpatnya. Dengan hati berdebar, ia mengintip dari sela-sela
batu. Matanya mendadak lihat bayangannya seorang wanita lain, yang sedang
menuju ke arah utara barat, yaitu ke jurusan gedung tempat mengasohnya.
Thian Oe terkejut.
"Chena! Kenapa tengah malam buta kau masih jalan-jalan?" demikian
kedengaran Pengtjoan Thianlie menanya.
Thian Oe lega. "Chena tentulah mau cari aku," kata ia dalam
hatinya. "Tak tahu, ia mau omong apa. Ah, tinggal besok sehari. Lusa
sudah tak dapat bertemu lagi dengan ia."
"Thianlie tjietjie," demikian kedengaran Chena menyahut. "Aku cari
kau terputar-putar, tak tahunya kau berada disini."
Thian Oe mesem. Gadis itu ternyata pandai juga berdusta.
"Ada apa kau cari aku?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Apa tjietjie sudah mempunyai pegangan buat kalahkan musuh?" Chena
balas menanya.
"Oh, kalau begitu kau pikirkan soal itu?" kata Pengtjoan Thianlie.
"Legakan hatimu. Walaupun andaikata aku tidak bisa menang, tapi aku pun
tidak akan sampai kena dijatuhkan oleh pemuda itu."
"Maka itulah..." Kata Chena seraya tertawa, tapi tidak teruskan
omongannya.
"Maka apa?"
"Maka itulah, pertempuran besok tentu luar biasa menariknya," kata
Chena. "Aku ingin sekali... Aku kepengen..."
"Ingin nonton?"
"Benar, tjietjie," kata Chena. "Aku anggap, kalau tidak saksikan
pertempuran itu, mungkin selama hidupku, aku tak akan dapat saksikan
pertempuran yang sedemikian hebatnya."
Hatinya Pengtjoan Thianlie sebenarnya lagi pepat sekali. Tapi
melihat Chena begitu pandang tinggi pertempuran antara ia dan si pemuda
dan begitu kagumi ilmu pedangnya, tanpa terasa ia jadi tertawa. "Aku
sebenarnya tidak permisikan siapa juga pergi melihat, tapi sekarang aku
bikin kecualian," kata ia. "Baiklah, besok kau dan seorang dayangku boleh
nonton dari puncak gunung di sebelah barat."
"Bukankah puncak gunung itu jaraknya jauh sekali dari tempat adu
pedang?" tanya Chena dengan suara agak tidak puas.
"Puncak itu memang tinggi dan dari situ kau dapat saksikan jalannya
pertempuran," kata Pengtjoan Thianlie. "Terhadap kau, aku sudah bikin
kecualian itu. Apa kau masih belum merasa puas? Mari, ikut aku pulang.
Aku akan ajarkan lagi serupa ilmu pedang. Aku sudah janji akan ajar kau
tiga hari lagi. Sesudah pelajaran ini, aku sudah penuhi janji itu."
Mereka berdua lantas berjalan pergi. Keadaan kembali sunyi senyap.
Sesudah mengumpat beberapa lama lagi, barulah Thian Oe berani keluar.
Wewangian yang keluar dari rumah aneh itu jadi semakin keras dan seakan-
akan mempunyai serupa tenaga membetot. Tanpa merasa Thian Oe menghampiri
pintunya dan tangannya meraba-raba gelang-gelangan pintu. Gelang-gelangan
pintu ternyata bisa terputar. Iseng-iseng ia putar-putar dan sesudah
memutar dua kali, sang pintu mendadak bergerak dan terbuka sendirinya!
Thian Oe kaget dan mau lantas lari, tapi setahu bagaimana, kakinya
seperti juga dibetot. Ditambah dengan keinginan mengetahui rahasia gedung
itu, tanpa merasa ia sudah bertindak masuk.
Keadaan dalam gedung itu seperti juga sebuah gereja. Di tengah-
tengah terdapat patungnya seorang wanita yang mukanya bundar seperti
rembulan, sedang rambutnya yang berwarna emas terurai di kedua pundaknya.
Dari mukanya ternyata wanita itu adalah seorang wanita asing.
Selagi Thian Oe memandang dengan penuh keheranan, mendadak ia
dengar suara orang batuk di belakangnya.
Ia menengok dan Pengtjoan Thianlie berdiri disitu dengan paras muka
sangat gusar!
Semangatnya Thian Oe terbang. "Nyalimu benar besar," Pengtjoan
Thianlie berkata dengan suara tawar. "Mau apa kau masuk kesini?"
Thian Oe gugup dan menyahut dengan suara terputus-putus: "Aku...
aku... tidak tahu tidak boleh masuk kesini."
Pengtjoan Thianlie keluarkan suara di hidung. "Tak tahu?" ia
menegasi. "Chena belum pernah beritahukan kau? Aku tak percaya! Kalau dia
tidak memberitahukan, dialah yang bersalah. Aku nanti tanyakan dia. Aku
tak percaya Chena begitu ceroboh. Hayo, bicara saja terus terang, jangan
salahkan orang yang tidak berdosa."
Thian Oe memang tidak biasa berdusta dan di sebelahnya itu, ia juga
kuatir Pengtjoan Thianlie nanti salahkan Chena. Maka itu, lantas saja ia
berkata: "Benar, barusan aku berdusta. Pada hari pertama, Chena sudah
memberitahukan."
Pengtjoan Thianlie jadi semakin gusar. "Tapi kenapa kau toh sudah
mencuri masuk?" ia membentak. "Hm! Kau orang, guru dan murid, memang
bukannya orang baik. Apa gurumu yang ajar kau masuk kesini?"
"Bukan," jawab Thian Oe. "Aku sendiri yang mau masuk disini.
Disurung dengan hati yang kepengen tahu, tanpa merasa aku sudah masuk
kesini."
Sesudah bicara begitu, keberanian Thian Oe pulang kembali. Sekarang
ia dapat memandang keadaan disitu dengan hati yang lebih tenang. Di empat
pojokan gedung itu dipasang lampu-lampu, sedang pada temboknya terdapat
mutiara-mutiara yang mengeluarkan sinar terang. Sesudah berdiam beberapa
hari di keraton es, baru ini kali Thian Oe lihat Pengtjoan Thianlie
gusar. Kedua sinar matanya yang tajam dan dingin seperti es seperti juga
menembus sampai pada uluhatinya.
Mendadak ia rasakan lehernya ditepuk dan sekujur badannya jadi
kesemutan dan lemas. Ternyata badannya sudah diangkat naik oleh Pengtjoan
Thianlie. Di bawah pimpinan Siauw Tjeng Hong, ia sudah belajar silat
tujuh atau delapan tahun lamanya. Dalam kalangan Kangouw yang biasa, ilmu
silatnya sudah boleh dibilang lumayan. Tapi sekarang, menghadapi
Pengtjoan Thianlie, ia sama sekali tidak berdaya dan badannya diangkat
begitu rupa, seperti juga anak ayam disambar ulung-ulung.
"Kalau toh kau suka datang kesini, biarlah kau jangan keluar lagi!"
kata Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar. Sehabis berkata begitu, ia
putar badannya Thian Oe dua kali di tengah udara. Thian Oe rasakan
kepalanya puyeng dan sebelum dapat berbuat suatu apa, ia rasakan badannya
ambruk, sebab Pengtjoan Thianlie sudah banting ia ke atas lantai. Thian
Oe keluarkan teriakan ngeri, semangatnya terbang dan ia duga jiwanya akan
segera melayang. Tapi, begitu lekas badannya mengenakan lantai, disitu
mendadak terbuka satu lubang dan badannya lantas masuk ke dalam lubang
itu. Waktu jatuh di dasar lubang, ia rasakan sakit, tapi belakangan
ternyata tidak mendapat luka yang berarti.
Ia bangun dengan perlahan. Gua itu gelap petang. Ia tak dapat lihat
tangannya sendiri. Lubang di atas sudah tertutup kembali. Beberapa saat
kemudian, sayup-sayup ia dengar suara tindakan. Rupanya Pengtjoan
Thianlie sudah berlalu dari situ.
Belum berapa lama, hawa dingin dan hawa basah menyerang hebat
sekali. Buru-buru ia bersila dan jalankan pernapasannya. Baik juga ia
sudah mempunyai dasar ilmu dalam (lweekang), sehingga beberapa saat
kemudian ia rasakan badannya jadi cnakan dan tidak begitu menderita lagi
dari hawa dingin dan basah itu.
Perasaan takut dan menyesal mengaduk dalam pikirannya Thian Oe.
Mengingat perkataan "kau jangan keluar lagi," ia jadi bergidik. Apa benar
ia bakal dipenjarakan disitu seumur hidup? Ia lantas saja ingat ayahnya,
gurunya, soenio-nya (Tjia In Tjin) dan Chena. Dengan mereka itu, ia tak
akan dapat bertemu kembali! Thian Oe sebenarnya masih bersifat satu
bocah. Mengingat begitu, ia lantas saja kucurkan air mata dan menangis
segak-seguk.
Tak tahu sudah lewat beberapa lama, kupingnya mendadak dengar suara
tindakan orang di atas. Ia susut air matanya dan berkata dalam hatinya:
"Ah, kalau Pengtjoan Thianlie lihat aku menangis, ia tentu akan
tertawakan aku." Ia tidak merasa sakit hati, tapi ia pun sungkan
perlihatkan kelemahannya di hadapan Pengtjoan Thianlie. Berpikir begitu,
ia segera bersila dan meramkan kedua matanya.
Suara kaki yang barusan kedengaran mendekati, sekarang jadi semakin
jauh dan akhirnya tidak kedengaran lagi. Thian Oe tentu saja tidak
mengetahui, bahwa suara kaki itu adalah tindakannya Chena dan satu
dayangnya Pengtjoan Thianlie. Ilmu silat mereka belum seberapa tinggi dan
tindakannya masih berat, sehingga Thian Oe dapat mendengarnya. Mereka
berdua bangun sebelum fajar dan buru-buru pergi ke puncak gunung yang
terletak di sampingnya Puncak Es, buat saksikan adu pedang antara
Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih yang akan dilangsungkan pada
waktu tengah hari.
Dengan perasaan kecewa, Thian Oe terus bersemedhi. Tidak lama
kemudian, kupingnya dapat dengar suara nyanyiannya burung-burung yang
baru sadar dari tidurnya.
Mendengar nyanyian itu, hatinya Thian Oe kembali jadi sedih dan ia
berkata dalam hatinya: "Satu penyair ahala Tong ada bilang:
‘Tidur di musim semi, tak tahu datangnya sang fajar, di segala
tempat terdengar suara nyanyian burung-burung, semalam turun hujan dan
angin, tahukah kau berapa banyak bunga jatuh berhamburan?’
Keadaan diluar tentulah indah sekali, akan tetapi keadaanku
sekarang justru sebaliknya dari keindahan itu. Dengan mendengar suaranya
burung-burung itu, langit tentunya sudah menjadi terang. Semalam Chena
mencari aku, tapi manalah ia tahu, sekarang aku sedang terkurung disini
dan seluruh malam belum dapat pulas barang sekejap! Semalam sama sekali
tidak ada hujan maupun angin. Tapi pengalamanku semalam adalah ibarat
topan yang sangat hebat!"
Demikianlah Thian Oe ngelamun seorang diri. Matanya pedas dan
badannya lelah, tapi ia tidak rasakan ngantuk. Ia duduk terpekur seorang
diri dalam gua yang gelap itu dan rasakan sang tempo jalan luar biasa
perlahan.
Sesudah lewat lagi tak tahu berapa lama, ia mendadak ingat pula itu
adu pedang antara Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih. "Ah,
sekarang tentunya mereka sudah bertempur di kakinya Puncak Es," kata ia
dalam hatinya. "Sayang sungguh kedua mataku tidak mempunyai rejeki buat
menyaksikan."
Mendadak, mendadakan saja di dalam tanah terdengar suara luar
biasa, yang semakin lama jadi semakin keras. Di lain saat, dinding gua
bergoyang-goyang. Thian Oe terkesiap dan hatinya penuh tanda tanya. Tiba-
tiba dari dalam tanah muncul keluar hawa yang panas. Ia jadi semakin
heran. Suara gemuruh jadi semakin keras. Sekarang, bukan saja dinding,
tapi lantainya gua pun turut bergoyang-goyang. Sekonyong-konyong, dengan
satu suara gedubrakan, beberapa batu dinding mental keluar dan sinar
matahari masuk dari lubang itu! Badannya Thian Oe pun terpelanting di
atas lantai lantaran goncangan yang sangat keras.
"Ah, inilah gempa bumi!" Thian Oe berteriak dengan suara di
tenggorokan.
Di bawah tanah dari wilayah Tibet memang banyak terdapat gunung-
gunung api yang masih bekerja. Itulah sebabnya, maka di Tibet sering
terjadi gempa bumi besar dan kecil. Thian Oe juga mengetahui kenyataan
itu, akan tetapi ia sendiri belum pernah mengalami kejadian tersebut.
Mengingat gempa bumi, semangatnya Thian Oe kembali terbang. Badannya jadi
gemetar. Rasa takutnya malahan melebihi itu rasa takut, ketika ia baru
dipergoki oleh Pengtjoan Thianlie dalam rumah terlarang itu.
Di lain saat, satu suara menggeleger yang luar biasa hebatnya
terdengar. Suara itu ada terlebih hebat dari apa yang satu manusia pernah
bayangkan. Bumi bergoyang-goyang dan seakan-akan segera terbalik. Seperti
orang kalap, Thian Oe tutup kedua kupingnya. Kepalanya puyeng, matanya
berkunang-kunang dan ia roboh dalam keadaan pingsan!
Perlahan-perlahan ia sadar. Dengan hati kebat-kebit, ia merayap
keluar dari dinding yang melekah. Ia lihat udara ditutup dengan semacam
debu warna kuning, sehingga sinarnya matahari turut berwarna kuning.
Dilihat dari duduknya matahari, itu tempo sudah magrib. Thian Oe lantas
kerahkan tenaganya buat kasih jalan darahnya. Ia bangun berdiri dan jalan
beberapa tindak sambil memandang keadaan di seputarnya.
Itu gedung aneh yang atapnya lancip sudah miring dindingnya, tapi
tidak sampai roboh. Thian Oe tidak mempunyai kegembiraan lagi buat masuk
ke dalamnya, tapi lantas pergi ke taman sambil berlari-lari. Disitu
banyak sekali gunung-gunungan dan batu-batu hiasan yang pada terguling
dan rusak. Beberapa keraton juga sudah berobah jadi tumpukan puing, tapi
ada juga yang masih utuh. Thian Oe memanggil-manggil sekeras suara, tapi
tidak mendapat jawaban. Seluruh keraton es jadi sunyi senyap. Bukan main
takutnya
Thian Oe. Ia berlari-lari ke sana-sini seperti orang gila, mulutnya
memanggil-manggil Chena dan gurunya, tapi tak satu manusia ia dapat
ketemukan, malahan burung-burung dan binatang-binatang lainnya juga
rupanya sudah pada kabur.
Dan ketika Thian Oe dongak, kedua matanya lihat satu pemandangan
yang lebih mengejutkan lagi. Itu Puncak Es yang putih dan menjulang ke
awan, yang tadinya berhadapan dengan keraton es, sekarang sudah tidak
kelihatan bayang-bayangannya lagi! Puncak Es itu, yang siang malam
pancarkan sinar dingin, merupakan salah satu pemandangan luar biasa dari
pegunungan Nyenchin Dangla. Thian Oe ketakutan, tapi sekarang
ketakutannya itu dicampur dengan perasaan sayang.
Ia lalu naik ke tempat yang lebih tinggi dan memandang ke arah yang
lebih jauh. Secara menakjubkan, di selebar gunung, balokan-balokan es
raksasa masih terus menggelinding ke bawah. Ia juga lihat bahwa di
seputar keraton bertambah banyak sekali batu besar. Ia mengetahui, bahwa
batu-batu itu terbang melayang waktu Puncak Es sedang roboh. Masih untung
ada beberapa keraton yang tidak ketimpa batu dan keraton-keraton itulah
yang masih tinggal utuh.
Melihat perobahan yang hebat itu, Thian Oe jadi kcsima dan bengong
sekian lama. Ia ingat, waktu Puncak Es yang tingginya ribuan tombak
ambruk, Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih tentunya juga sedang
bertempur di kakinya puncak tersebut. Ketimpa secara begitu, bukankah
badan mereka dengan segera jadi perkedel? Walaupun ia baru saja kena
disemprot dan dihukum oleh si jelita, akan tetapi mengingat
kecantikannya, usianya yang masih begitu muda dan kepandaiannya yang
sedemikian tinggi, tanpa merasa Thian Oe dongak ke atas dan berkata
dengan suara gemetar "Oh, Thian, kenapa begitu tega?" la juga ingat Chena
yang menonton pertempuran dari puncak gunung yang terletak di sebelahnya
Puncak Es. Apakah ia bisa terlolos dari mala petaka itu? Depan matanya
lantas saja terbayang senyuman aneh dari gadis Tsang itu, yang ia pertama
bertemu di atas padang rumput. Dan di sebelahnya Chena, berbayang
pula Pengtjoan Thianlie yang cantik dan agung laksana ratu. Thian Oe
bergidik dan tak berani ngelamun terlebih jauh.
Lantaran perutnya lapar, Thian Oe lalu petik dua buah, yang
sesudahnya dimakan, memberikan ia tenaga baru. Ia kembali jalan terputar-
putar seraya memanggilmanggil, dengan harapan kalau-kalau bisa bertemu
manusia yang masih hidup. Tapi jangan kata manusia, binatang pun ia tidak
ketemu. Cuma pohon-pohon dan bunga-bunga masih tetap seperti kemarin,
masih terus siarkan keharumannya yang luar biasa. Yang paling
mengherankan Thian Oe adalah: Sesudah berputaran di seluruh keraton, ia
tidak ketemukan barang satu mayat! Apakah semua dayang dari seluruh
keraton dapat menghilang dengan begitu saja? Taruh kata mereka semua
binasa ketimpa reruntuk rumah atau batu-batu besar, mayatnya mesti dapat
diketemukan juga. Walaupun tidak banyak, satu dua toh mestinya dapat
diketemukan. Tapi kenyataannya: Thian Oe tak ketemukan barang satu mayat!
Andaikata mereka bisa kabur, sekarang toh mestinya sudah ada yang pulang
buat lihat-lihat keadaan. Waktu itu, rembulan sudah naik tinggi dan belum
ada barang satu manusia yang kelihatan balik. Itulah benar-benar membikin
Thian Oe jadi pusing sekali. Ia tidak mengerti apa artinya semua kejadian
itu.
"Apa kau sedang mengimpi?" ia tanya dirinya. Ia gigit jerijinya dan
segera berteriak kesakitan. Nyatalah ia bukannya lagi mengimpi!
Puteri Malam naik semakin tinggi dan debu kuning yang muncrat
keluar dari peledakan gunung dengan perlahan disapu bersih oleh sang
angin malam. Di bawah sinar rembulan yang laksana perak, keraton es masih
tetap indah, biarpun keindahan sekarang adalah kenangan yang menyedihkan.
Thian Oe kembali jadi seperti orang kalap. Ia berlari-lari lagi sembari
memanggil-manggil. Ia agaknya tidak mengenal capai.
Tiba-tiba di antara kesunyian malam yang menyeramkan, satu suara
perlahan kedengaran: "Oe-djie, apakah kau?"
Hatinya Thian Oe terkesiap. Suara itu adalah seperti barang yang
paling berharga dalam dunia ini. Ia memburu ke tempat dari mana suara itu
datang, yaitu dari bawah reruntuknya satu kamar yang roboh.
Thian Oe buru-buru gali puing itu dan didalamnya ia ketemukan
Thiekoay sian yang rebah dengan pakaian ternoda darah.
"Soehoe! Kau?" tanya Thian Oe dengan suara terharu.
"Benar. Aku," jawab sang guru. "Coba minta sedikit makanan. Oh,
ambil air lebih dahulu."
Thian Oe lantas petik dua buah dan gunakan selembar daun buat ambil
air telaga yang lantas diberikan kepada gurunya. Sesudah mengasoh
beberapa saat, Thiekoay sian berkata: "Kita berdua guru dan murid,
sekarang sudah lolos dari mala petaka. Tapi apakah masih ada lain orang
yang hidup?"
Thian Oe lantas saja tuturkan segala pengalamannya. Thiekoay sian
menghela napas dan berkata pula: "Pengtjoan Thianlie telah bilang, bahwa
ia tidak akan turun gunung, kecuali jika Puncak Es roboh. Sekarang puncak
itu sudah ambruk, cuma barangkali ia sudah terpendam buat selamanya dan
tidak dapat lagi turun gunung." Sehabis berkata begitu, ia ingat
isterinya yang sedang cari obat, ketika terjadinya gempa bumi. Mengingat
begitu, hatinya jadi sangat kuatirkan keselamatannya sang isteri.
"Soehoe, apa kau terluka?" tanya Thian Oe.
"Masih bagus cuma luka sedikit kena ketimpa batu," sahut sang guru.
Tapi sebenarnya, lukanya Thiekoay sian tidaklah enteng. Sedang
kesehatannya belum pulih, ia kembali mesti terima goncangan hebat di
dalam tubuhnya lantaran gempa bumi itu. Walaupun berkat lweekang-nya yang
sangat dalam, ia masih dapat selamatkan jiwanya, akan tetapi tenaga
latihan sepuluh tahun jadi musnah karenanya. Dan kalau Thiekoay sian
masih dapat berjalan, itu hanya terjadi berkat pertolongan sang tongkat.
Dengan perlahan guru dan murid berjalan didalam keraton dengan
mulut terus memanggil-manggil, tapi hasilnya nihil.
"Aku mendadak rasakan tanah goyang pada waktu sedang melatih diri
di dalam kamar buat mengobati lukaku," demikian Thiekoay sian tuturkan
pengalamannya. "Sesudah itu, aku dengar suara berlari-larinya dan
teriakan para dayang, dan di antara teriakan itu, aku dengar suara orang
memanggil-manggil namaku. Ketika itu, latihanku sedang mencapai puncak
yang sangat penting, dan jika aku menyahut, akibatnya bisa hebat sekali.
Maka itu aku teruskan latihan itu. Selagi aku mau akhiri latihan menurut
peraturan dan kemudian mau pergi keluar.buat menanyakan, kejadian hebat
sudah keburu terjadi. Kamarku sendiri turut ambruk."
Mendengar keterangannya sang guru, Thian Oe jadi menarik
kesimpulan, bahwa pada waktu terjadinya gempa bumi, di dalam keraton
masih terdapat banyak dayang. Tapi kemana perginya mereka?
Sesudah mengasoh semalaman, pada hari kedua, mereka keluar buat
membikin pemeriksaan terlebih lanjut. Kecuali beberapa keraton yang
roboh, kerugian harta benda agaknya tidak terlalu besar. Kawanan burung
juga sudah mulai balik kesitu. Persediaan bahan makanan didalam keraton
adalah lebih dari cukup, sehingga mereka boleh tidak usah kuatir.
"Soehoe, apa yang kita harus perbuat?" tanya Thian Oe sesudah
selesai dengan pemeriksaannya.
Thiekoay sian tertawa getir dan berkata: "Menurut perintahnya
Pengtjoan Thianlie, hari ini aku mesti turun gunung. Akan tetapi, dengan
kepandaianku seperti sekarang ini, aku tak akan bisa turun gunung pada
sebelumnya berlatih sepuluh tahun lamanya."
Thian Oe lantas ingat bahayanya sungai es yang tidak akan dapat
dilewati oleh orang yang tidak mempunyai ilmu silat sangat tinggi atau
oleh orang yang tidak mengetahui sifatnya sang air.
"Oleh karena terjadinya perobahan yang tidak terduga, maka kita
tidak dapat berbuat lain daripada langgar perintahnya Pengtjoan
Thianlie," kata lagi Thiekoay sian sembari tertawa getir. "Kita tidak
dapat berbuat lain daripada terus berdiam disini. Aku cuma berharap
Pengtjoan Thianlie masih hidup, supaya ia dapat menolong kita keluar dari
tempat ini." Tapi harapan itu hanya tinggal harapan belaka. Sesudah lewat
tujuh hari, jangan sentara Pengtjoan Thianlie, dayangnya saja tak seorang
yang muncul. Selama hari-hari itu, Thiekoay sian terus menerus berlatih
dan akhirnya ia dapat usir keluar sisa hawa dingin yang masih mengeram
dalam tubuhnya.
Tak usah dibilang lagi, Thian Oe bukan main merasa kesepian. Hari
itu, ia kembali berada di depannya itu gedung yang penuh rahasia.
Sebagaimana diketahui gedung itu belum roboh, cuma dindingnya saja yang
sudah miring. Mengingat pengalamannya, sebenarnya Thian Oe tidak
mempunyai perasaan senang terhadap gedung itu, akan tetapi ia merasa
tidak tahan buat tidak tolak pintunya dan masuk ke dalam.
Keadaan dalam gedung masih tetap seperti sediakala. Patungnya
wanita itu masih berdiri seperti biasa. Sekarang, tanpa kuatirkan suatu
apa, ia dapat meneliti keadaan disitu. Ia lihat pada dinding yang miring
penuh dengan macam-macam ukiran manusia yang sedang bersilat dengan
gunakan pedang. Diteliti dari gambar-gambar itu, gerakan-gerakan ilmu
pedang tersebut sangat berbeda dengan ilmu pedang yang dikenal di
Tiongkok.
"Inilah tentu ilmu pedang yang digubah oleh kedua orang tuanya
Pengtjoan Thianlie," kata Thian Oe seorang diri. "Tidak heran kalau ia
larang orang masuk kesini. Ia sering datang buat bersembahyang. Patung
itu tentulah patung ibunya."
Memikir begitu, asal-usulnya Pengtjoan Thianlie kelihatannya jadi
lebih sulit lagi buat diketahui. Sebab tidak niat belajarkan ilmu
pedangnya lain orang, sesudah mengawasi beberapa lama, Thian Oe segera
keluar dari gedung itu buat pergi cari gurunya.
Sesudah berlatih tujuh hari, Thiekoay sian sudah dapat usir sisa
hawa dingin dalam tubuhnya. Biarpun tenaga dalamnya berkurang banyak,
tapi sekarang ia dapat bergerak pula dengan leluasa dan tidak usah lagi
dapat pertolongannya tongkat.
Begitu bertemu dengan gurunya, Thian Oe segera ceritakan apa yang
dilihat dalam gedung aneh itu.
Buat beberapa saat Thiekoay sian tidak berkata apa-apa. Mendadak ia
berkata: "Aku rasa kau harus angkat satu guru lagi."
"Apa? Apa soehoe sudah tidak mau akui aku sebagai murid lagi?"
tanya Thian Oe dengan suara kaget.
"Bukan," kata Thiekoay sian. "Dengarlah perkataanku dahulu. Ilmu
silat tidak ada batasnya. Andaikata kau sudah dapatkan semua pelajaranku
dan sudah mempunyai kepandaian yang bersamaan dengan aku, toh
kepandaianmu itu masih belum cukup buat bertanding dengan ahli silat
kelas utama. Jangan sentara Pengtjoan Thianlie dan itu pemuda baju putih
yang ilmu silatnya luar biasa tinggi, sedang kepandaiannya itu Ihama
jubah merah saja masih berada di sebelah atasanku."
Thian Oe tidak berkata apa-apa. la tahu gurunya bicara dengan
sejujurnya.
"Kau tahu, tenaga dalamku belum pulih kembali," sang guru berkata
pula. "Aku harus berlatih lagi kira-kira sepuluh tahun, barulah ada
harapan bisa turun dari gunung ini. Dalam tempo sepuluh tahun, kalau ada
musuh datang mengganggu, cara bagaimana kita dapat melawannya. Itulah
sebabnya kenapa aku ingin kau belajarkan lain macam ilmu silat yang
tinggi dan angkat lagi seorang guru lain."
"Dalam keraton es ini cuma terdapat kita berdua. Siapakah adanya
guru baru itu?" tanya Thian Oe dengan perasaan heran.
"Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
Thian Oe terkejut, tapi lekas juga ia mengerti maksudnya Thiekoay
sian.
"Mati hidupnya Pengtjoan Thianlie belum ketahuan. Cara bagaimana
kita boleh pelajari ilmu pedangnya?" kata Thian Oe sembari gelengkan
kepalanya.
"Justru lantaran begitu, kau mesti pelajari ilmu pedangnya," jawab
Thiekoay sian. "Cobalah kau pikir: Kalau Pengtjoan Thianlie benar sudah
mati dan semua dayangnya pun ikut binasa, bukankah ilmu pedang itu akan
jadi hilang dari muka bumi? Buat menggubah ilmu pedang yang luar biasa
itu, ayah ibunya Pengtjoan Thianlie sudah gunakan banyak tenaga, pikiran
dan tempo. Kalau ilmu pedangnya sampai hilang dari muka bumi, di alam
baka rohnya kedua orang tua itu tentu tidak akan merasa senang. Selain
itu, kehilangan tersebut juga merupakan satu kerugian yang sangat besar
bagi dunia persilatan."
Mendengar keterangan yang beralasan itu, Thian Oe merasa takluk
terhadap gurunya yang berpemandangan jauh. Maka itu, mereka berdua lalu
pergi ke gedung itu buat meneliti gambar-gambar di dinding.
Dapat dimengerti, bahwa ilmu pedang yang diukir itu ada sangat
sulit dan tak mungkin dapat dipelajari oleh orang yang belum mempunyai
dasar-dasar yang kuat. Tapi Thiekoay sian adalah murid utama yang
mewarisi kepandaiannya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie. Apa yang dipelajari
oleh Thiekoay sian adalah ilmu silat yang tulen. Dalam dunia persilatan,
walaupun berbagai cabang mempunyai macam-macam cara yang istimewa, akan
tetapi dasar-dasarnya tidak berbeda banyak. Demikianlah, sesudah
mempelajari tiga hari lamanya, Thiekoay sian sudah dapat menyelami
artinya gambar-gambar itu.
Lebih dahulu ia ajarkan Thian Oe ilmu melatih napas dari lweekeh
(ilmu silat dalam). Sesudah belajar tujuh delapan tahun di bawah pimpinan
Siauw Tjeng Hong, Thian Oe sudah mempunyai dasar-dasar lweekang. Ditambah
dengan petunjuk-petunjuk Thiekoay sian, ia dapat kemajuan sangat pesat
dan dalam tempo sebulan, ia sudah siap sedia buat mulai belajarkan ilmu
pedangnya Pengtjoan Thianlie.
Mulai waktu itu, setiap hari Thian Oe belajar dua rupa ilmu silat.
Di waktu pagi, ia belajar ilmu silatnya Thiekoay sian, sedang pada
sorenya, ia belajar ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. Dengan kerepotan
sedemikian, tanpa terasa tiga bulan sudah berlalu.
Pada suatu malam, sedang Thiekoay sian berlatih sendirian, Thian Oe
jalan-jalan di dalam taman. Sinar rembulan terang sekali dan bunga-bunga
siarkan bebauan yang sangat harum. Sesudah selang beberapa bulan, keadaan
dalam taman sudah mulai pulih seperti dahulu, sedang burung-burung juga
sudah pada balik kesitu.
Melihat pemandangan itu, hatinya Thian Oe jadi sedih sekali. Pada
tiga bulan berselang, adalah Chena yang ajak ia jalan-jalan dalam taman
tersebut, tapi sekarang, ia berada seorang diri, sedang nasibnya gadis
itu belum ketahuan bagaimana jadinya. Ia ingat juga itu dayang-dayang
yang seperti lenyap dari muka bumi.
Thian Oe jalan tanpa tujuan, sedang hatinya ngelamun ke sana-sini.
Mendadak hidungnya dapat endus semacam wewangian yang datang dari satu
pojok taman. Sesudah berdiam tiga bulan lamanya, ia sudah kenal baik
segala tumbuh-tumbuhan yang terdapat di situ. Ia sudah dapat membedakan
wanginya macam-macam bunga. Tapi wewangian yang baru ia endus adalah
wewangian yang ia belum kenal. Dengan perasaan heran, ia segera menuju ke
pojok taman, dari mana harum-haruman itu datang.
Setibanya disitu ia lihat satu pohon besar yang berdiri mencil. Apa
yang luar biasa adalah pada pohon itu terdapat satu buah tunggal,
besarnya seperti mangkok dan warnanya merah terang. Buah itulah yang
menyiarkan bau harum. Thian Oe segera panjat pohon itu dan petik buah
tersebut, yang harumnya seakan-akan menembus sampai ke uluhatinya. Ia
masukkan ke dalam mulutnya dan terus digigit. Buah itu ternyata bukan
saja harum dan manis luar biasa, tapi juga mempunyai semacam hawa
menyegarkan yang seakan-akan menembus sampai di pusarnya. Sesudah makan
habis Thian Oe lalu turun dan coba mencari-cari lagi. Tapi seluruh taman
cuma terdapat satu pohon begitu yang berbuah tunggal.
Lewat beberapa saat, mendadak ia rasakan perutnya sakit. "Apa aku
kena makan buah beracun?" tanya ia dalam hatinya dan lalu buru-buru pergi
cari gurunya. Tapi baru saja lari puluhan tindak, perutnya jadi semakin
mules dan bersuara tak henti-hentinya. Ia tak tahan lagi dan lalu buang-
buang air besar.
Sesudah buang air besar, ia bangun dan berjalan pergi. Mendadak ia
rasakan satu perobahan yang benar-benar menakjubkan. Badannya dirasakan
enteng luar biasa! Ia coba-coba enjot badannya dan tubuhnya lantas
melesat ke atas dan hinggap di atasnya satu pohon besar. Tingginya pohon
itu ada lebih dari dua tombak. Biasanya, paling tinggi ia cuma dapat
melompat kurang lebih satu tombak, tapi sekarang, sesudah makan buah itu,
dengan gampang ia dapat melompat dua tombak lebih.
Ia jadi kaget tercampur girang dan buru-buru cari gurunya, kepada
siapa ia segera tuturkan pengalamannya yang luar biasa.
Mendengar penuturan itu, Thiekoay sian segera jajal muridnya dan
ternyata omongannya tidak dusta. Sang guru juga turut bergirang dan
berkata: "Keunggulan ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie berdasarkan
kegesitannya. Aku sebenarnya sedang pikiri kau punya ilmu entengi badan
yang belum mempunyai dasar yang kuat. Tak dinyana kau sudah mendapat
berkah yang begitu luar biasa! Sekarang, sebegitu jauh mengenai ilmu
entengi badan, walaupun kau belum bisa dapat menandingi Pengtjoan
Thianlie dan itu pemuda baju putih, sedikitnya kau sudah berada di
sebelah atasanku!"
Pada esokan paginya, waktu berlatih lagi ilmu pedangnya Pengtjoan
Thianlie, benar saja ia rasakan latihannya berjalan banyak lebih licin
berkat kegesitannya yang berlipat ganda. Hari itu, sesudah makan malam,
seorang diri ia pergi -lagi ke taman buat berlatih pula dengan pedangnya.
Semakin ia bersilat, semakin cepat gerak-gerakannya, dan semua pukulan-
pukulan yang sukar dapat ia jalankan secara otomatis.
"Sungguh indah ilmu pedang itu!" mendadak terdengar suaranya satu
orang. Thian Oe menoleh dan orang itu ternyata adalah Thiekoay sian.
"Kau sudah mendapat kemajuan pesat sekali," kata Thiekoay sian.
"Kalau dilihat begini, tidak usah sepuluh tahun, kita sudah bisa turun
dari gunung ini. Cuma saja, biarpun ilmu entengi badanmu sudah maju jauh,
kuping dan mata belum terlatih cukup. Barusan, sesudah aku berada dekat
sekali denganmu, barulah kau mengetahui."
Sehabis berkata begitu, Thiekoay sian segera turunkan serupa ilmu
buat melatih kuping kepada muridnya itu. Dengan ilmu tersebut, orang
dapat membedakan macam-macam senjata seperti senjata rahasia, dengan cuma
dengar suara anginnya senjata itu. Sesudah memberi semua petunjuk secara
terang, Thian Oe segera berlatih dengan ilmu baru itu.
"Sekarang aku mau coba padamu," kata Thiekoay sian. "Coba kau balik
badan dan aku akan datang dari sebelah belakang. Begitu dengar suaranya
angin, kau mesti lantas menimpuk dengan batu. Aku mau lihat, apa kau
dapat menimpuk jitu atau tidak." Thiekoay sian lantas pergi ke tempat
yang agak jauh, sedang sang murid berdiri menunggu.
Lewat beberapa saat, Thian Oe mendadak dengar suara tindakan yang
sangat enteng mendatangi dari samping, la kaget dan kata dalam hatinya:
"Kenapa terdengar tindakannya dua orang? Apa soehoe sengaja keluarkan
ilmu luar biasa, atau kupingku belum terlatih baik?"
Sementara itu, suara tindakan jadi semakin dekat. Thian Oe tak
sempat memikir panjang-panjang lagi. Ia ayun tangannya dan menimpuk.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa aneh dan batu itu terpukul balik.
Didengar dari anginnya, batu itu menyambar ke arah Thian Oe luar biasa
cepatnya. Ia terkesiap dan tidak mengerti kenapa gurunya menghantam
begitu hebat.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar bentakannya Thiekoay
sian: "Pendeta jahat! Jangan lukakan muridku!" Berbareng dengan itu satu
senjata rahasia menyambar dan kebentrok dengan batu itu. Kedua-duanya
kemudian jatuh kedalam telaga es.
Thian Oe berbalik. Segera juga ia jadi ternganga bahna kagetnya.
Orang yang muncui dari samping bukan gurunya, tapi itu pendeta jubah
merah yang pernah datang ke keraton es dan belakangan kena diusir oleh
Pengtjoan Thianlie! Di belakangnya pendeta itu mengikuti satu boesoe yang
berusia muda. Kedua orang itu mengawasi ia sembari menyeringai, sedang
gurunya memburu dari sebelah belakang dengan paras muka kaget dan heran.
Sembari tertawa tawar, pendeta itu ucapkan beberapa perkataan pada
Thiekoay sian yang tidak mengetahui apa yang dikatakan olehnya sehingga
ia cuma geleng-gelengkan kepalanya. Thian Oe yang mengerti juga sedikit
bahasa Nepal lantas berkata: "Soehoe, ia datang buat cari tahu dimana
adanya Pengtjoan Thianlie."
Thiekoay sian segera menuding ke arah bekas Puncak Es dengan
tongkatnya dan gerak-gerakkan tangannya buat memberitahu, bahwa Puncak Es
itu ambruk dan mungkin Pengtjoan Thianlie sudah mati tertindih gunung
yang ambruk itu.
Paras mukanya si pendeta lantas berobah gusar, sedang si boesoe
ucapkan beberapa perkataan sembari tunjuk-tunjuk Thiekoay sian. Pendeta
itu kelihatan jadi lebih gusar lagi. Mendadak dalam bahasa Tibet, ia
ucapkan perkataan "guci emas" dan tangannya membuat satu gerakan
merampas.
Perkataan "guci emas" dan gerakan itu membikin Thiekoay sian
mengerti apa yang dimaksudkan oleh si pendeta yang seperti juga mau
menanya: "Apa kau niat merampas guci emas?"
Thiekoay sian adalah seorang pendekar yang telah mewarisi
kepandaiannya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie. Ia tahu dirinya berada dalam
bahaya, tapi ia pantang berdusta. Maka itu, dengan suara angkuh ia segera
berkata:
"Tidak salah! Aku memang mau rampas guci emas itu!"
Pendeta jubah merah itu menggereng dan lantas menyapu dengan
sianthung-nya. Dalam hal ini telah terbit salah mengerti. Dari gerakan
tangannya Thiekoay sian, si pendeta anggap Pengtjoan
Thianlie sudah kena dibinasakan olehnya. Di sebelahnya itu, kisikan
sang boesoe muda, bahwa Thiekoay sian niat merampas guci emas, ternyata
benar. Demikianlah, dengan adanya dua macam kegusaran yang menjadi satu,
tanpa menyelidiki lebih lanjut, si pendeta lalu membuka serangan. Di lain
pihak, Thiekoay sian yang mempunyai ganjelan, juga jadi sangat gusar
melihat caranya si pendeta yang datang-datang sudah menyerang membabi
buta. Ia kerahkan tenaganya dan menyampok sama tongkat besinya. Dengan
satu suara keras, kedua senjata kebentrok dan Thiekoay sian terhuyung
beberapa tindak.
Bukan main kagetnya Thian Oe. Ia tahu tenaga gurunya belum pulih
dan bukan tandingannya si pendeta. Di antara suara beradunya senjata, ia
dengar sang guru berseru: "Oe-djie! Lari! Kalau tidak dengar perkataanku,
aku tidak akui lagi kau sebagai murid!"
Tan Thian Oe tahu, bahwa dengan berseru begitu sang guru ingin
selamatkan jiwanya. Sebagai seorang yang sangat tebal pribudinya, manalah
ia tega tinggalkan gurunya dalam' keadaan yang berbahaya itu. Sebaliknya
dari angkat kaki, ia berdiri dengan mulut ternganga. Sementara itu, kedua
orang sudah bertempur belasan jurus.
Si boesoe muda menyender di satu pohon, matanya menyapu ke arah
Thian Oe. Dengan menyaksikan cara bagaimana batu yang ditimpukkan oleh
Thian Oe, kena dibikin terpental oleh si pendeta, ia mengetahui ilmunya
Thian Oe masih cetek. Ia jadi tidak memandang mata dan perhatiannya lalu
dipusatkan kepada gelanggang pertempuran." .
Dalam tempo sekejap, Thiekoay sian dan si pendeta' sudah bertempur
kurang lebih dua puluh jurus. Walaupun mesti saban-saban mundur, tapi
gerakan-gerakannya Thiekoay sian sama sekali tidak jadi kalut dan masih
dapat menyambut serta membalas sesuatu serangan.
Mendadak dalam gelanggang pertempuran terjadi perobahan yang
membikin Thian Oe jadi terkesiap. Muka gurunya kelihatan menyeramkan
sekali, kedua kakinya bertindak menurut kedudukan Ngoheng Patkwa, sedang
tongkatnya diputar keras sehingga menerbitkan angin yang menderu-deru. Ia
tahu sang guru sedang bersilat dengan ilmu Hokmo Tianghoat yang paling
banyak meminta tenaga lweekeh. Ia ingat, sesudah gurunya pertama kali
bertempur melawan si pendeta, Pengtjoan Thianlie pernah mengatakan, bahwa
masih untung Thiekoay sian baru keluarkan sembilan puluh enam jurus Hokmo
Tianghoat, sebab kalau sampai di jalankan seluruhnya, yaitu sampai
seratus delapan jurus, Thiekoay sian tentu akan menderita sakit berat.
Dan sekarang, dengan kesehatan yang belum pulih, sang guru kembali
menggunakan ilmu silat tersebut. Ia mengetahui hebatnya bahaya yang
mengancam dan niat segera membantu, akan tetapi, sebelum ia bergerak,
gurunya sudah deliki padanya. Ia mengerti, delikan mata itu merupakan
satu tegoran lantaran ia tidak buru-buru angkat kaki. Saat itu, satu
bentrokan senjata yang sangat keras terdengar dan kedua lawan sama-sama
mundur beberapa tindak dengan badan sempoyongan, tapi lekas juga mereka
maju kembali dan bertempur semakin sengit.
Bahwa dengan pertaruhkan jiwanya Thiekoay sian sudah keluarkan
Hokmo Tianghoat adalah buat membikin muridnya dapat tempo untuk melarikan
diri. Tapi tidak dinyana, lantaran perasaan cinta terhadap sang guru, si
murid jadi tidak dengar kata dan rela binasa bersama-sama. Thiekoay sian
mengeluh dalam hatinya. Di satu pihak ia terharu sangat melihat
pribudinya sang murid, di lain pihak ia berdongkol lantaran kebandelannya
Thian Oe. Dan sungguh kasihan, biarpun hatinya mau, Thiekoay sian tidak
179
dapat bicara lagi dengan muridnya, sebab seluruh perhatiannya harus
dipusatkan kepada sang lawan.
Sebagaimana diketahui, Hokmo Tianghoat terbagi jadi tiga bagian.
Bagian pertama yang terdiri dari tiga puluh enam jurus dengan lekas sudah
dijalankan habis, dan bagian kedua yang juga terdiri dari tiga puluh enam
jurus, segera menyusul. Sambil kertek gigi Thiekoay sian kerahkan tenaga
lweekeh yang diperlukan buat jalankan bagian kedua dari Hokmo Tianghoat.
Oleh karena hatinya sudah mengambil putusan buat berkelahi sampai mati,
tak tahu dari mana datangnya, tenaganya jadi bertambah berlipat ganda,
sehingga buat sementara dapat juga ia mempertahankan dirinya.
Tiba-tiba si pendeta jubah merah keluarkan tertawa aneh dan
sianthung-nya menyambar ke atas buat totok tongkatnya Thiekoay sian.
Ketika itu bajunya Thiekoay sian sudah basah dengan keringat yang terus
turun berketel-ketel dari badannya. Melihat sambaran senjata lawan,
sambil membentak keras, ia menyampok dengan tongkatnya. Sianthung-nya si
pendeta dapat dibikin terpental, tapi tongkat itu yang sebesar mangkok
sudah jadi sedikit bengkok! Melihat begitu, jantungnya Thian Oe memukul
semakin keras.
Tidak lama kemudian, bagian kedua Hokmo Tianghoat juga sudah habis
dijalankan. Sekarang pertempuran berobah sifatnya. Tongkatnya Thiekoay
sian bergerak perlahan-lahan seperti juga beratnya ribuan kati. Saban
kali badannya bergerak, tulangnya kedengaran berkrotokan, sedang urat-
urat pada timbul di kepalanya, dan itu semua menandakan, bahwa ia sedang
menggunakan seluruh tenaga yang masih ketinggalan dalam badannya. Si
pendeta jubah merah juga hilang segala sikapnya yang memandang enteng dan
tumplek semua perhatiannya kepada gerakan sang lawan. Seperti dalam
pertempuran yang dahulu, ia kembali keluarkan ilmu Yoga dengan duduk
bersila dan goyang-goyang senjatanya. Seperti kena dibetot, semakin lama
Thiekoay sian semakin mendekati si pendeta. Hatinya terkesiap, la sudah
kerahkan semua tenaga dalamnya, tapi lantaran memangnya kalah tenaga,
sekarang ia tidak dapat melawan lagi betotan itu. Sedapat mungkin, ia
berusaha buat loloskan diri, tapi tongkatnya terus kena ditempel senjata
musuh dan tak dapat lolos. Ia tahu, begitu lekas badannya kena dibetot
cukup dekat, si pendeta akan segera turunkan pukulan yang membinasakan.
Ketika itu dari 108 jurus Hokmo Tianghoat, ia sudah jalankan jurus yang
ke-106.
Dengan Seantero semangatnya dipusatkan kepada senjatanya, si
pendeta mendadak membetot keras sembari membentak: "Robohlah!"
Thian Oe lihat badan gurunya bergoyang-goyang, sedang kepalanya
tunduk ke depan seperti juga akan segera terguling di hadapannya si
pendeta. Semangatnya Thian Oe terbang. Segala rupa perhitungan lenyap
dari otaknya. Dengan sekali jejak kakinya, badannya melesat seperti anak
panah dan pedangnya tikam jalanan darah Liongtjong hiat yang terletak di
bawah dadanya si pendeta. Dalam serangan itu Thian Oe cuma ingat menolong
gurunya. Ia tidak perhitungkan lagi jiwanya. Ia malahan tidak
perhitungkan apakah serangan itu bisa berhasil atau tidak.
Tapi, di luar semua dugaan, begitu pedangnya Thian Oe menyambar,
begitu juga terdengar teriakan si pendeta yang badannya terpental tiga
tombak jauhnya.
Oleh karena jarak dimana Thian Oe berdiri ada beberapa tombak dan
juga sebab mengetahui ilmu silatnya pemuda itu masih sangat cetek, si
pendeta jubah merah sama sekali tidak memandang mata padanya. Selainnya
itu, kawannya, yaitu si boesoe muda, juga berada disitu, sehingga lebih-
lebih ia tidak menjaga-jaga serangannya Thian Oe. Ia tentu saja tidak
mengetahui, bahwa sesudah makan buah mujijat, walaupun ilmu silatnya
tidak seberapa, ilmu entengi badannya Thian Oe sudah boleh berendeng sama
ahli silat kelas utama. Dengan sekali loncat saja, ia sudah lalui jarak
tiga tombak itu dan kirim tikamannya dengan sepenuh tenaga. Si boesoe
muda sudah tidak keburu menolong, sedang si pendeta, yang lagi pusatkan
Seantero perhatiannya kepada Thiekoay sian guna robohkan lawanan itu,
sudah tidak dapat menangkis lagi dan jalanan darahnya kena ditikam secara
telak sekali!
Sebenarnya dengan tenaga dalam yang dipunyai oleh si pendeta,
tikaman Thian Oe belum cukup buat robohkan padanya. Akan tetapi, pada
ketika badannya bergoyang akibat tikaman itu, Thiekoay sian tidak mau
kasih lewat kesempatan yang baik itu dan lantas kirim satu sabetan ke
arah dadanya dengan gunakan jurus ke-107 dari Hokmo Tianghoat. Dengan dua
serangan hebat yang datang hampir berbareng, andaikata si pendeta
mempunyai badan tembaga, ia toh tidak akan dapat pertahankan dirinya
lagi. Masih untung, berkat ilmu silatnya yang sangat tinggi, ia tidak
lantas jadi binasa. Tapi biarpun begitu, ia muntahkan darah hidup dan
tenaga dalamnya menjadi buyar, sehingga ilmu silatnya tidak akan dapat
pulang kembali, jika ia tidak berlatih lagi dari tiga sampai lima tahun.
Thian Oe kaget berbareng girang. Baru saja ia niat menghampiri
gurunya, mendadakan Thiekoay sian berteriak: "Minggir!"
Thian Oe menoleh dan satu bayangan hitam sedang menubruk ke arah
ia. Pada saat itu, Thiekoay sian menimpuk dan tongkat besinya
melesat bagaikan kilat. Itulah jurus Sinmo kwiwie (Siluman balik ke
kedudukannya), yaitu jurus penghabisan dari Hokmo Tianghoat. Sebegitu
jauh, belum pernah Hokmo Tianghoat, digunakan sampai pada jurus
penghabisan. Kalau toh jurus ke-108 sampai digunakan juga, itu berarti
yang menggunakannya bersedia buat binasa bersama-sama sang lawan.
Thiekoay sian menimpuk dengan pakai semua sisa tenaga yang ia dapat
kumpulkan dalam dirinya. Dapat dimengerti, kalau si boesoe muda tak dapat
loloskan diri dari serangan yang sedemikian hebat. Tongkatnya Thiekoay
sian mengenakan dadanya dan dari depan terus tembus sampai ke belakang.
Dengan satu teriakan ngeri, ia roboh binasa.
Selama hidupnya, belum pernah Thian Oe lihat pemandangan yang
begitu mengerikan. Kaki tangannya lemas dan ia tidak berani menengok
lagi. Di lain saat, ia dengar suara berkereseknya daun-daun. Rupanya si
pendeta jubah merah sudah melarikan diri.
Keadaan kembali jadi sunyi-senyap. Thiekoay sian menghela napas dan
memanggil: "Oe-djie, mari!"
Thian Oe lihat gurunya sedang menyender di satu pohon dengan muka
yang pias seperti kertas. Ia seperti juga seorang yang sedang menderita
sakit keras dan keadaannya banyak lebih hebat daripada waktu bertempur
dengan si pendeta jubah merah pertama kali.
Thian Oe menghampiri dan menanya dengan suara terharu: "Soehoe,
bagaimana keadaanmu?"
"Muridku," jawab sang guru. "Malam ini adalah malam perpisahan
kita!"
Sang murid lantas saja menangis dan air matanya mengucur deras.
Thiekoay sian terharu, tapi ia lantas tertawa dan berkata dengan suara
lemah: "Dalam dunia ini, tidak ada perjamuan yang tidak ada akhirnya.
Kejadian begini tidak berharga buat ditangisi."
"Tenaga dalam soehoe ada sangat kuat dan di dalam keraton terdapat
banyak sekali obat-obatan. Biarlah aku bawa kemari seraup obat-obatan
supaya soehoe bisa lihat yang mana dapat digunakan," kata Thian Oe dengan
suara sedih.
Thiekoay sian geleng-gelengkan kepalanya dan berkata: "Dalam
keadaan badan yang belum pulih kembali, barusan aku sudah jalankan habis
seratus delapan jurus Hokmo Tianghoat. Biarpun aku makan semua obat
mujijat dalam dunia ini, aku tidak dapat ditolong lagi. Aku tidak
mempunyai banyak tempo lagi. Lebih baik kau dengar apa yang aku mau pesan
kepadamu."
Sembari tahan air matanya, Thian Oe manggutkan kepalanya.
“Biarpun kita baru menjadi guru murid tiga bulan lamanya, aku sudah
mengetahui bahwa kau mempunyai pribudi yang sangat tinggi," kata sang
guru. "Aku berani pastikan, bahwa di belakang hari kau akan berhasil
dalam penghidupanmu. Sekarang aku mau minta satu pertolonganmu."
"Soehoe bilang saja," kata Thian Oe.
"Jika Tuhan menaruh belas kasihan, sehingga isteriku tidak sampai
turut binasa, dan kalau di kemudian hari kau bertemu dengan soenio-mu,
bilang padanya, bahwa aku pesan supaya dia rawat anak kita baik-baik.
Sesudah berusia sepuluh tahun, suruh anak itu angkat kau sebagai guru,"
demikian Thiekoay sian memberi pesanannya.
Thian Oe kaget sebab sebegitu jauh, gurunya belum pernah bilang
mempunyai anak. Akan tetapi, dalam keadaan begitu, ia tentu saja tidak
mau menanya melit-melit. Ia cuma manggut-manggutkan kepalanya, sebagai
tanda bersedia buat turut pesanan itu.
"Semua pelajaran ilmu silatku, aku sudah turunkan kepada kau," kata
lagi sang guru. "Ilmu tongkatku juga kau sudah mengerti semua. Biarlah
kau turunkan ilmu silat itu kepada anakku. Tongkat ini kau simpan baik-
baik. Nanti, kalau anak itu sudah besar, serahkanlah kepadanya dan
bentahukan, bahwa itulah ada warisan dari soetjouw-nya. Mengenai si
pendeta itu, meskipun malam ini dia bisa loloskan diri, tapi dia pasti
akan jadi orang yang bercacat. Maka itu, siapa juga tidak usah membikin
pembalasan apa-apa. Apa kau bersedia buat jadi gurunya anakku itu?"
"Jika murid bisa turun dari gunung ini dengan masih bernyawa,
pesanan soehoe murid akan jalankan satu persatu," jawab Thian Oe dengan
suara sedih sekali.
Thiekoay sian tertawa dan paras mukanya kelihatan terang. Ia
kumpulkan tenaganya dan kemudian berkata pula: "Dahulu aku pernah terima
pesanannya soetjouw-mu dan Moh Tjoan Seng lootjianpwee buat coba cari
turunannya Koei Hoa Seng tjianpwee. Sekarang kita sudah mengetahui, bahwa
Pengtjoan Thianlie adalah puterinya Koei tjianpwee. Maka itu andaikata
Pengtjoan Thianlie masih hidup, kau mesti cari padanya dan sampaikan
penuturanku ini. Sekarang Puncak Es sudah roboh dan ia merdeka buat cari
pamannya."
Thian Oe kembali manggutkan kepalanya. Mulutnya seperti terkancing
lantaran perasaannya yang sangat terharu. Thiekoay sian meramkan matanya
dan napasnya jadi semakin perlahan. Dengan hati-hati, Thian Oe dukung
gurunya itu.
Sesudah lewat beberapa saat, dengan suara terputus-putus Thiekoay
sian berkata: "Itu... itu guci emas. Aku sendiri tidak tahu harus
membantu pihak yang mana. Tapi, biar bagaimanapun juga tidak boleh
dibiarkan jatuh ke dalam tangan orang luar. Itu... itu pemuda baju
putih... omongannya ada juga benarnya. Kau... kau pergilah cari
padanya..." Semakin lama suaranya semakin perlahan dan belum habis ia
bicara, kedua kakinya berkelejet dan Thiekoay sian tinggalkan dunia ini
buat selama-lamanya.
Thian Oe menangis menggerung-gerung dan kemudian kubur jenazah
gurunya dalam taman itu. Ia juga galikan lubang buat kubur jenazahnya itu
boesoe muda. Sesudah beres mengubur, ia bersihkan semua bekas-bekas darah
dan ambil tongkat gurunya. Ia dongak dan lihat sang rembulan sudah doyong
ke barat, bintang-bintang sudah mulai menghilang dan sang malam sudah
mulai terganti sama fajar. Tanpa juntrungan, ia jalan ke sana-sini. Dalam
keraton es yang sedemikian luas, sekarang cuma ketinggalan ia seorang
diri. Hatinya sedih berbareng takut. Keraton dan tamannya yang begitu
indah sekarang hilang keindahannya dan ia segera mengambil keputusan buat
segera menyingkir dari tempat itu.
Baru saja matahari mengintip di sebelah timur, Thian Oe lantas
bebenah. Ia bekal makanan kering, bereskan barang-barangnya dan keluar
dari keraton es. Tapi baru saja jalan puluhan tindak, ia sudah mandek
lagi. "Dengan kepandaianku ini, cara bagaimana aku bisa seberangi sungai
es?" tanya ia dalam hatinya. Tapi, buat berdiam seorang diri dalam
keraton itu dengan peringatan-peringatannya yang hebat, benar-benar ia
tidak mau.
Selagi hatinya bersangsi, mendadak di bawah tanah timbul suara yang
aneh. Suara itu, yang Thian Oe tak dapat tebak suara apa, sebentar muncul
dan sebentar hilang. "Apa mau gempa bumi lagi? Tapi kenapa suaranya tidak
jadi lebih keras?" tanya ia dalam hatinya. Dengan hati berdebar-debar, ia
lari. Mendadak suara itu muncul lagi, tapi di lain saat, sudah menghilang
pula.
Thian Oe tetapkan hatinya. Sekarang ia tahu pasti, bahwa suara itu
bukannya gempa bumi. la jadi semakin heran. Dalam keraton tersimpan
banyak sekali mustika. Apakah datang orang jahat yang niat mencuri
barang-barang berharga itu? Walaupun ia sudah mengambil putusan buat
tidak berdiam lebih lama lagi, akan tetapi, sesudah tinggal tiga bulan
lamanya dalam keraton itu, setahu bagaimana, dalam hatinya timbul semacam
perasaan menyayang yang luar biasa. Ia tahu, bahwa sesudah ia pergi,
keraton yang seperti surga itu mungkin akan menjadi sarangnya kawanan
tikus, akan tetapi, sebegitu lama ia masih berada disitu, ia tidak mau
orang merusak atau menduduki keraton tersebut. Maka itulah, ia lalu
berjalan balik ke keraton es.
Begitu masuk ke dalam taman, suara di dalam tanah kedengaran lagi.
"Apa manusia? Kalau manusia, pasti tidak bisa berada di dalam tanah,"
pikir Thian Oe. Sesudah ketelanjur balik, ia segera ambil putusan buat
memeriksa di dalam keraton. Baru saja tiba di dekat telaga es,
kupingnya mendadak dengar suara tindakan manusia. Ia terkesiap dan dengan
indap-indap menghampiri suara itu. Oleh karena ia apal betul dengan
jalanan-jalanan disitu dan juga sebab ilmu entengi badannya sudah
sempurna, maka gerakannya tidak dapat diketahui oleh tetamu-tetamu yang
baru datang itu.
Di depannya itu gedung aneh yang atapnya lancip, Thian Oe lihat
berdiri tiga orang. Yang di tengah berbadan gemuk dan bukan lain daripada
Nyepa Omateng. Dua orang yang berdiri di kedua sampingnya Omateng adalah
itu dua boesoe Nepal yang kita sudah kenal.
"Suara apa itu?" tanya Omateng. "Apa bukan gempa bumi lagi?"
"Rasanya bukannya gempa bumi," sahut boesoe yang berusia lebih tua.
Mereka berbicara dalam bahasa Tibet yang dapat dimengerti juga oleh Thian
Oe.
"Barusan kita ketemukan darah yang masih baru di atas tanah, rupa-
rupanya disini masih ada manusianya," kata lagi Omateng. "Tapi heran,
tidak ada bayangannya barang satu manusia."
Kedua boesoe itu rangkap tangannya dan berteriak: "Pengtjoan
Thianlie!" Tapi kecuali kumandang suaranya tidak terdengar suatu apa
lagi. Mereka lantas saja perlihatkan paras muka ketakutan. "Jika Paduka
Puteri masih berada disini, ia tentu akan keluar," kata yang satu. "Apa
mungkin ia sudah jadi korban bencana alam?" sahut yang lain. "Ah, kalau
sampai kejadian begitu, bagaimana kita mesti bicara dengan Paduka Raja!"
Thian Oe segera mengetahui, bahwa kedua boesoe itu mendapat
perintah rajanya buat mencari Pengtjoan Thianlic. Tapi, apa yang ia tidak
mengerti, kenapa juga Omateng mesti ikut-ikutan. Biarpun Nyepa itu pernah
menolong Chena, setahu bagaimana, Thian Oe sangat membenci dia. Dalam
hatinya ia merasa, orang itu licik sekali. Mukanya manis, hatinya busuk.
"Tak perduli Paduka Puteri ada atau tidak, marilah kita bikin
pemeriksaan," kata Omateng.
"Tidak bisa," kata boesoe yang lebih tua. "Tempat ini adalah tempat
suci dari agama negara kita. Tanpa permisinya Paduka Puteri, siapa juga
tidak boleh masuk kesitu."
"Tempat ini sudah tidak ada majikannya. Halangan apa kalau kita
masuk buat lihat-lihat?" kata Omateng.
Sebagaimana diketahui, pintu gedung sudah rusak lantaran gempa
bumi. Sembari nyengir kepada dua boesoe itu, Omateng segera pentang
langkahnya buat masuk ke dalam.
Mengingat akan larangannya
Pengtjoan Thianlie dan juga sebab kuatir Omateng curi kiamhoat yang
terdapat disitu, Thian Oe lantas saja loncat keluar seraya membentak:
"Omateng! Besar sungguh nyalimu!"
Omateng berpaling dengan paras muka terkejut. Tapi begitu lihat
siapa yang datang, ia lantas tertawa. "Tan kongtjoe, kau?" kata ia. "Mana
Chena?"
"Jangan bicara yang tidak perlu," kata Thian Oe. "Kau orang keluar
dari sini!"
"Ah, itulah heran!" kata Omateng. "Apa kau sudah jadi majikan dari
keraton ini?"
"Tak usah perduli! Kau orang mau pergi atau tidak?" kata lagi Thian
Oe dengan suara gusar.
"Dan atas alasan apa kau mau campur-campur urusanku?" kata Omateng
sembari tertawa. Mulutnya tertawa, tapi tangannya lantas mencabut golok.
Thian Oe naik darahnya. "Pergi!" ia membentak sembari menikam
dengan pedangnya.
"Waduh, Tan kongtjoe!" kata Omateng sembari tertawa besar. "Kau mau
main-main senjata?" Omateng yang pernah saksikan ilmu silatnya Thian Oe
sedikitpun tidak pandang mata pemuda itu. Ia merasa pasti akan dapat
robohkan Thian Oe dengan sekali jurus. Tapi Thian Oe sekarang bukannya
Thian Oe dahulu. Serangannya adalah satu jurus aneh dari Tatmo Kiamhoat.
Ujung pedang berkelebat seperti juga mau menabas ke kiri, tapi berbalik
membabat ke kanan dan tanpa tercegah lagi, pundaknya Omateng kena
digores. Bagus juga ilmunya Thian Oe belum cukup tinggi, sedang Omateng
pun bukannya lawanan lemah. Kalau bukannya begitu, tabasan yang barusan
tentu sudah kutungkan pundaknya.
Mukanya Omateng segera berobah pucat. Buru-buru ia pusatkan
Seantero perhatian buat lawan pemuda itu yang tadinya dipandang rendah
dan dengan beruntun kirim tiga bacokan. Tapi biar bagaimanapun juga,
kiamhoat-nya Thian Oe ada lebih tinggi dan ia terus kena didesak mundur.
Kedua boesoe Nepal yang menonton dari pinggiran jadi heran tidak
habisnya.
"Anak ini adalah anaknya pembesar Boantjeng," berseru Omateng. "Dia
sudah mencuri masuk disini dan sudah belajarkan juga ilmu pedangnya
Pengtjoan Thianlie. Tidak bisa salah lagi dialah yang membunuh Pengtjoan
Thianlie yang sedang terluka akibat gempa bumi. Dia rupanya ingin
merampas keraton ini dan pandang dirinya sebagai majikan!"
Oboran itu, yang sebenarnya sama sekali tidak beralasan, benar-
benar sudah membikin panas hatinya kedua boesoe itu. Mereka cabut
goloknya yang berbentuk bulan sisir dan menyerang dengan berbareng.
"Dengar dahulu keteranganku!" berseru Thian Oe.
"Mau bicara apa lagi?" membentak Omateng yang terus mencecer
sehebat bisa supaya pemuda itu tidak sempat bicara. Thian Oe bukannya
seorang yang pandai omong dan juga memang sebenarnya ia sudah curi
belajar kiamhoat-nya Pengtjoan Thianlie. Lantaran begitu, ia tidak dapat
memberi keterangan yang memuaskan, sedang ketiga musuhnya terus menyerang
dengan sengit dan tidak memberi kesempatan buat ia bicara panjang-
panjang. Demikianlah dengan pedang di tangan kiri dan tongkat gurunya di
tangan kanan, Thian Oe melawan dengan keluarkan dua macam ilmu silat
dengan berbareng, yaitu ilmu pedang Tatmo dan ilmu tongkatnya Thiekoay
sian. Dalam sekejap saja, tiga puluh jurus sudah lewat.
Akan tetapi, meskipun sudah mengetahui jalan-jalannya kedua ilmu
silat yang sangat tinggi itu, Thian Oe belum matang betul dan tenaga
dalamnya juga belum cukup kuat. Maka itulah, semakin lama ia berkelahi,
semakin ia rasakan tidak tahan dikerubuti oleh ketiga lawan itu. Kedua
boesoe Nepal agaknya masih sungkan-sungkan dan cuma tangkis-tangkis saja
serangan-serangannya Thian Oe. Tapi tidak begitu dengan Omateng yang
sungguh-sungguh maui jiwanya pemuda itu. Setiap serangannya adalah
serangan yang membinasakan, yang ditujukan kepada bagian-bagian badan
yang lemah. Melihat Thian Oe mulai keteter, pada bibirnya tersungging
senyuman yang licik sekali.
Tiba-tiba itu suara di dalam tanah kedengaran lagi, sekali ini
lebih keras dan nyata. Keempat orang yang sedang bertempur kaget dan pada
loncat keluar dari gelanggang, sehingga Thian Oe bisa buang napasnya.
Selagi Thian Oe mau buka mulutnya guna memberi keterangan, mendadak suara
itu berhenti dan Omateng segera membentak: "Lebih baik bekuk dahulu
manusia ini, baru bikin penyelidikan." Sehabis membentak, ia lantas
menyerang, diturut oleh kedua boesoe Nepal. Napasnya Thian Oe sengal-
sengal dan keadaannya jadi semakin berbahaya.
"Lekas lepas senjatamu, supaya tak usah menderita lebih lanjut!"
berseru Omateng. Bukan main berdongkolnya Thian Oe. Pedangnya berkelebat
laksana kilat, Omateng coba kelit tapi pundaknya kembali tergores ujung
pedang! Sembari berteriak-teriak kesakitan ia membentak: "Binatang!
Kalau belum dihajar, memang kau belum kenal takut. Lihat, aku putuskan
kedua lenganmu!"
Dengan dilindungi oleh kedua boesoe Nepal, kakinya menginjak
kedudukan Tiongkiong dan lantas menyabet dengan senjatanya. Melihat dua
kali Thian Oe melukakan Omateng, kedua boesoe Nepal juga jadi berdongkol
dan segera menyerang tanpa sungkan-sungkan lagi.
Thian Oe jadi lelah dan jatuh di bawah angin. Ia menghela napas dan
duga bakal binasa di tempat itu. Girang sekali hatinya Omateng. Sembari
menyeringai, ia sabetkan goloknya ke arah pundaknya Thian Oe. Lantaran
kena didesak dengan dua goloknya si boesoe Nepal, sekali ini Thian Oe
tidak mampu menangkis lagi. Pada saat yang sangat berbahaya, mendadakan
saja Omateng dan kedua boesoe itu keluarkan teriakan kaget dan hentikan
serangannya.
"Mau apa kamu orang datang kesini? Apa mau cari mampus?" demikian
Thian Oe dengar bentakan yang halus nyaring. Ia menengok dan lihat
dayang-dayang keraton es pada meluber keluar dari antara pohon-pohon
kembang, sedang orang yang barusan membentak adalah Goat Sian, yaitu
dayang dari kamar tulisnya Pengtjoan Thianlie!
Thian Oe kaget berbareng girang. Munculnya para dayang itu membikin
ia merasa seperti juga berada dalam impian.
Pada waktu kedua orang tuanya Pengtjoan Thianlie masih hidup,
mereka sudah bersiap-siap buat menghadapi gempa bumi yang hebat. Di bawah
keraton terdapat satu gua es yang ribuan tahun tidak pernah mengenal
sinarnya matahari. Ayah ibunya Pengtjoan Thianlie mengetahui, bahwa
sebuah gunung berapi yang masih bekerja terletak di dekatnya Puncak Es
dan terpisah kira-kira lima puluh li dari keraton. Kalau sampai gunung
berapi itu meledak dan terjadi gempa bumi, keraton es bakal turut
tergetar, akan tetapi kerusakannya tidak bakal seberapa besar. Sebagai
penjagaan terhadap batu-batu yang terlempar akibat robohnya Puncak Es,
siang-siang mereka sudah siapkan tempat mengumpat di gua itu. Mereka
membuka satu jalanan di bawah tanah yang di tembok dengan batu gunung
yang sangat keras. Dalam gua itu selalu sedia bahan makanan buat beberapa
bulan lamanya, sedang sebagai air minum, orang dapat menggunakan es yang
dilumerkan. Demikianlah, sedari puluhan tahun berselang persiapan buat
menghadapi gempa bumi sudah dibikin dengan seksama.
Maka itulah, pada waktu terjadinya gempa bumi, kecuali Thiekoay
sian yang sedang berlatih seorang diri dalam kamarnya dan Tan Thian Oe
yang berada di dalam guanya gedung terlarang, semua dayang menyelamatkan
dirinya dengan masuk ke dalam gua es itu. Tapi biar bagaimanapun juga,
perhitungan manusia tak dapat melampaui maunya takdir. Sebagai akibat
gempa bumi yang sangat hebat, sebagian tanah melesak ke bawah dan tutup
jalanan di bawah tanah itu. Masih untung jumlahnya dayang cukup banyak
dan dengan bekerja sama-sama, tiga bulan lamanya mereka gali tanah yang
menutupi jalanan. Suara luar biasa yang didengar Thian Oe dan yang lain-
lain adalah suara menggali tanah.
Begitu muncul di muka bumi, para dayang itu jadi sangat kaget
lantaran lihat kedatangannya itu beberapa tetamu yang tidak diundang.
Dengan dikepalai oleh Goat Sian, sembilan dayang segera cabut Pengpok
Hankong kiam dan mengambil tempatnya masing-masing dalam barisan
Kioethian Hianlie. Hawa yang luar biasa dinginnya lantas saja menyambar-
nyambar sehingga Omateng dan kedua boesoe itu pada menggetget. Thian Oe
yang sudah belajarkan ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie dan telan beberapa
pel mustajab, dapat melawan hawa yang dingin itu.
Dayang yang menjadi kepala membentak dan mengebas dengan Hankong
kiam buat segera turun tangan. Omateng bercakrukan giginya dan tak dapat
mengeluarkan sepatah kata. Kedua boesoe Nepal itu buru-buru meratap
meminta ampun dan memberitahu maksud kedatangannya.
Di antara dayang-dayang ada seorang yang pernah dengar penuturan
Pengtjoan Thianlie mengenai asal-usulnya kedua boesoe itu dan lalu
memberitahukan kepada dayang kepala. Dayang kepala itu segera teriaki
satu tanda perintah dan barisan Kioethian Hianlie lantas terpencar.
"Kalau bukannya mengetahui bahwa kau orang tidak bermaksud jahat, sudah
pasti kau tidak bisa pulang kembali," membentak ia. "Baiklah! Sekarang
kau orang boleh pergi. Tapi kalau berani datang lagi, kami tentu tidak
akan berlaku sungkan lagi."
Boesoe Nepal yang berusia lebih tua mau coba buka mulutnya lagi,
tapi sudah didahului oleh salah seorang dayang. "Kongtjoe (Puteri) kami
tak perlu diurus oleh kau orang," kata ia, sembari kebaskan Pengpok
Hankong kiam. Omateng tak tahan lagi dinginnya hawa. Sembari berteriak
keras, ia kabur secepat bisa. Kedua boesoe menghela napas panjang. Mereka
rangkap kedua tangannya buat memberi hormat ke arah gedung terlarang dan
lalu berjalan pergi. Sekarang cuma ketinggalan Tan Thian Oe seorang yang
berdiri bengong di hadapannya para dayang itu.
Goat Sian mengawasi padanya dan berkata: "Kau masih berada disini?"
"Sungguh beruntung aku lolos dari bencana alam dan buat sementara
terpaksa berdiam disini lantaran tidak bisa keluar," sahut Thian Oe.
"Buat kelancangan itu, aku mohon dimaafkan."
"Kenapa kau curi belajarkan ilmu pedang kita?" tanya lagi Goat
Sian.
"Aku duga kalian tidak akan kembali lagi," sahut Thian Oe. "Dan
lantaran kuatir ilmu pedang itu menjadi lenyap dari muka bumi..."
Thian Oe yang tidak pandai bicara tidak dapat teruskan
perkataannya, lantaran sejumlah dayang sudah naik amarahnya dan pada
mencaci dirinya. "Hm!" kata yang satu. "Kau masih begitu kecil, tapi
hatimu sudah begitu tidak baik. Kau harap-harapkan supaya kami mati
semuanya!"
"Kami perlakukan kau sebagai tetamu terhormat, tapi kau sudah
mencuri masuk ke dalam tempat pemujaan yang suci dan malahan mempunyai
niatan buat menduduki keraton es ini!" kata yang lain. Beberapa dayang
yang pemandangannya sempit lantas saja mau cabut pedangnya buat mengusir
Thian Oe.
Dikerubuti secara begitu, Thian Oe tak dapat buka suara. Baik juga
dayang kepala masih mempunyai rasa kasihan. Sembari kebas tangan bajunya,
ia berkata dengan suara angker: "Sesudah kau mencuri masuk ke dalam
tempat pemujaan, Puteri kami sebenarnya niat kurung kau seumur hidup.
Sekarang, sesudah kau curi ilmu pedangnya, kami tak dapat berlaku sungkan
lagi. Cuma saja, lantaran mengingat kau adalah tetamu Puteri kami, maka
tanpa diminta kami suka ampuni jiwamu. Tapi kau tak dapat berdiam lebih
lama di tempat ini!"
Harus diketahui, bahwa peraturannya Pengtjoan Thianlie biasa
dipegang keras sekali, sehingga meskipun ia sendiri tidak berada dalam
keraton itu, para dayangnya tidak berani langgar segala peraturannya.
Satu dua dayang yang sifatnya agak sombong sudah bantu menggebah Thian Oe
dengan sikap keren sekali.
Diperlakukan secara begitu, Thian Oe naik darahnya. "Akupun mau
berlalu," ia berkata dengan suara angkuh. "Cuma saja lantaran kalian
belum balik, aku kuatir sembarang orang masuk disini, sehingga aku jadi
berdiam sampai di ini hari."
"Kalau begitu kau adalah seorang yang berpahala." kata satu dayang
dengan suara menyindir.
"Pujian itu tak dapat aku menerima," jawabnya dengan suara kaku.
"Cuma saja lantaran ingin melindungi keraton ini, guruku sudah korbankan
jiwanya di tempat ini. Sesudah aku berlalu, harap kalian tolong lihat-
lihat kuburannya." Sesudah berkata begitu, air matanya menetes turun dari
kedua pipinya.
"Ha! Thiekoay sian meninggal dunia?" tanya Goat Sian dengan suara
kaget. "Ia binasa cara bagaimana?"
Dengan ringkas Thian Oe segera tuturkan apa yang sudah terjadi.
Mendengar begitu hatinya Goat Sian jadi menyesal sudah perlakukan pemuda
itu secara sedemikian kasar, akan tetapi, dayang itu yang coba tiru-tiru
majikannya, sungkan tarik pulang perkataannya. Di sebelahnya itu,
mengingat semua penghuni keraton semuanya wanita, sedang Thian Oe adalah
lelaki satu-satunya, maka ia juga merasa tidak enak buat menahan pemuda
itu.
"Baiklah," kata ia. "Aku berjanji akan rawat baik-baik kuburannya
Thiekoay sian. Kau berangkatlah!
Apa perlu aku perintah orang antar padamu?"
"Tak usah," sahut Thian Oe yang masih berdongkol.
"Apa Paduka Puteri pernah pulang kesini?" tanya lagi Goat Sian.
"Tidak," jawabnya dengan pendek.
Goat Sian terkesiap dan berkata dengan suara sedih: "Paduka Puteri
pernah mengeluarkan perintah, bahwa tak perduli ia ada atau tidak, kami
tidak dapat turun dari gunung ini. Perintahnya itu kami tidak berani
langgar. Sesudah kau turun gunung, manakala Puteri kami masih berada
dalam dunia, tolong kau coba menyelidiki."
Mendengar begitu, depan matanya Thian Oe lantas terbayang parasnya
Pengtjoan Thianlie. Walaupun hatinya dingin, paras itu sangat
mengesankan. Ia angkuh dan tinggi hati, tapi keangkuhannya keluar secara
wajar dan bukannya •kesombongan dibuat-buat dari beberapa orang
dayangnya. Mengingat begitu, hatinya menjadi lemas dan ia menjawab dengan
suara terharu: "Aku mengerti. Aku akan perhatikan pesanan itu."
Sehabis berkata begitu, dengan menggendol bungkusannya dan tengteng
tongkat gurunya, tanpa menengok lagi Thian Oe lantas berjalan keluar dari
keraton es. Selagi berjalan, ia dengar helahan napas dari beberapa
dayang. "Ah, di antara dayang-dayang itu terdapat juga orang-orang yang
baik hatinya," ia menggerendeng dan hatinya jadi terhibur.
Dengan hati sedih, ia jalan perlahan-lahan. Mengingat bahayanya
sungai es, ia jadi berkuatir. Dengan kepandaiannya yang begitu cetek,
dapatkah ia lewati sungai tersebut? Cuma saja lantaran tadi sudah
menampik dengan penuh keangkuhan, ia jadi merasa tidak enak buat balik
lagi guna minta pengantar.
Thian Oe naik gunung pada permulaan musim panas, dan sekarang,
sesudah lewat tiga bulan, sudah masuk musim rontok. Di atas gunung, salju
putih bertumpuk-tumpuk, di lereng gunung daun-daun berwarna kemerah-
merahan. Dengan perasaan masgul, Thian Oe berjalan terus. Mendadak
matanya dapat lihat asap hitam mengebul ke tengah udara. Ternyata sesudah
robohnya Puncak Es, disitu muncul sebuah kawah yang semburkan api dan
asap, yang sehingga sekarang masih belum padam.
Thian Oe ternganga dan menghela napas berulang-ulang. Ia ingat
Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih yang hari itu mengadu pedang
di bawahnya Puncak Es tersebut. "Mereka lebih banyak mati daripada
hidup," kata Thian Oe dalam hatinya. Ia pun ingat sang soenio (Tjia In
Tjin) dan Chena dan hatinya jadi merasa lebih tidak enak.
"Harap saja Tuhan melindungi mereka," kata ia dalam hatinya. "Kalau
mereka masih hidup, walaupun mesti pergi ke ujung langit, aku tentu akan
mencarinya."
Tapi bagaimana ia dapat lewati sungai es yang sangat berbahaya itu.
Dengan pikiran kusut dan bimbang, ia tujukan tindakannya ke bawah gunung.
Sesudah jalan beberapa lama, ia merasa kedudukan bumi sudah berobah dan
tidak bersamaan lagi dengan keadaan pada waktu ia naik ke keraton es.
Itu sungai es yang berbahaya sebenarnya terletak tidak terlalu jauh
dari keraton. Ia ingat, dekat sungai tersebut terdapat satu hutan pohon
yanglioe, sedang di pinggir sungai berdiri satu pohon lioe yang sangat
besar, dimana tertambat sebuah perahu kecil. Tapi sekarang, dimanakah
adanya sungai es tersebut?
Bukan main herannya Thian Oe, tapi ia berjalan terus. Sesudah jalan
lagi kira-kira setengah jam, mendadakan saja di depan matanya terbentang
satu telaga yang luar biasa luasnya, sehingga air telaga seperti juga
menempel dengan tepian langit dan tepian langit menempel dengan telaga.
Kepingan-kepingan es yang warnanya gilang gemilang lantaran disorot
sinarnya matahari, kelihatan ngambang di atas telaga itu. Dan telaga itu
bukan lain daripada Thian-ouw, Telaga Langit atau Tengri Nor!
Sesudah memandang beberapa lama seperti orang mengimpi, Thian Oe
mengetahui apa sebabnya. Robohnya puncak telah merobah kedudukan bumi
banyak sekali. Sungai es itu, yang turun dari atas gunung terus sampai di
Thian-ouw, ternyata sudah diuruk dengan Puncak Es yang roboh itu!
Demikianlah, dengan urukan tanah Puncak Es, satu jalanan telah terbuka
antara keraton es dan telaga Thian-ouw!
Bukan main girangnya Thian Oe: "Tak heran kalau itu dua boesoe dan
Omateng bisa datang ke keraton es," kata ia dalam hatinya.
Keadaan Thian-ouw masih tetap seperti sediakala, dengan airnya yang
bening dan pohon-pohon dan rumputnya yang berwarna hijau. Thian Oe duduk
mengasoh di pinggir telaga dan isikan kantong kulitnya dengan air yang
bening. Lama sekali ia duduk termenung disitu dan sampai lewat lohor
barulah berjalan lagi.
Selang tiga hari, tibalah Thian Oe di kaki gunung. Oleh karena mati
hidupnya Pengtjoan Thianlie belum diketahui dan sukar mencarinya kalau
bukan bertemu secara kebetulan, maka ia lalu ambil putusan buat langsung
pergi ke Lhasa. Lhasa adalah ibukota Tibet dimana berdiam jenderal Hok
Kong An bersama pasukannya. Pada harian kantor Amban dirusak oleh Tjoei
In Tjoe dan Ong Lioe Tjoe, ayahnya Thian Oe (Tan Teng Kie) segera
meninggalkan Sakya buat pergi ke Lhasa guna melaporkan kejadian itu
kepada Hok Kong An. Sebagaimana diketahui, hal itu telah diberitahukan
kepada Thian Oe oleh si kacung Kang Lam. Itulah sebabnya kenapa sekarang
ia ambil putusan buat langsung pergi ke Lhasa dengan maksud menemui
ayahnya.
Sesudah berjalan lagi tujuh delapan hari, ia tiba di satu kota
Chaklun yang terletak antara Shigatse dan Lhasa. Tibet adalah satu tempat
yang tidak banyak penduduknya. Sebuah kota yang dinamakan kota besar
kebanyakan hanya mempunyai beberapa ratus rumah penduduk. Chaklun juga
terhitung kota besar, akan tetapi, di situ cuma terdapat satu rumah
penginapan. Thian Oe minta satu kamar dalam rumah penginapan itu dan
sesudah makan malam, ia lalu rebahkan dirinya di atas pembaringan
lantaran merasa capai sesudah lakukan perjalanan seharian suntuk.
Tapi baru saja rebahkan diri, ia dengar suara rintihan di kamar
sebelah. Dengan heran, ia panggil Tiam Siauwdjie (pelayan hotel) dan lalu
menanyakan siapa yang sakit.
"Mereka adalah dua pembesar ketentaraan dan sudah sakit tiga hari,"
sahut Tiam Siauw Djie.
"Mendapat sakit di tengah perjalanan adalah kejadian yang
menyedihkan," kata Thian Oe. "Apa disini tidak ada tabib?"
"Ada satu dua, tapi tak ada yang tahu penyakit apa," sahut si
pelayan. "Sesudah bongmeh (periksa nadi), ia tidak berani tulis surat
obat."
"Penyakit apa?" kata Thian Oe. "Kalau diceritakan sangat luar
biasa," Tiam Siauw Djie berkata dengan suara perlahan. "Hari itu, kedua
perwira tersebut yang menginap disini minum arak di ruangan luar. Kau
tahu, hotel ini juga menjual arak dan makanan buat melayani orang-orang
yang kebetulan mampir disini. Tiba-tiba datang seorang wanita muda yang
rupanya mampir buat makan dan minum. Ia kelihatannya seperti orang asing,
hidungnya mancung dan matanya rada-rada berwarna blau. Sembari nyengir,
kedua perwira itu keluarkan beberapa perkataan mengejek. Wanita itu tidak
jadi gusar, ia cuma tertawa dingin dan berkata: "Kalian suka main-main
disini. Biarlah kalian mengasoh beberapa hari." Sehabis berkata begitu,
tak tahu ia gunakan ilmu apa, mendadakan saja di depannya kedua perwira
itu berkelebat sinar yang sangat dingin. Aku yang menonton dari sebelah
kejauhan juga rasakan hawa yang sangat dingin. Wanita itu lalu lemparkan
sepotong perak di atas meja dan berlalu dengan cepat. Sembari berteriak-
teriak kedinginan kedua perwira itu lari masuk ke dalam kamar dan gulung
dirinya dengan selimut, tapi itu semua ternyata tidak menolong. Selama
tiga hari, mereka berada dalam keadaan ngelindur, badannya sebentar
panas, sebentar dingin. Coba pikir, apa bukannya luar biasa?"
Thian Oe kaget berbareng girang. Yang dilepaskan oleh wanita itu
tentulah juga Pengpok Sintan. Apa ia bukannya Pengtjoan Thianlie?
"Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan. Coba aku periksa
penyakitnya," kata ia kepada sang pelayan.
Tiam Siauw Djie antar Thian Oe ke kamar sebelah dan berkata: "Tuan,
ada satu tuan mau periksa penyakitmu."
Kedua perwira itu buka kedua matanya. Tiba-tiba mereka keluarkan
suara teriakan tertahan. "Siapa kau?" tanya satu antaranya.
Thian Oe mengawasi dan kenali, bahwa mereka itu adalah dua perwira
yang mengantar guci emas, yang tempo hari ia bertemu dalam penginapan di
Shigatse.
"Ayahku Tan Teng Kie adalah Soanwiesoe (Amban) pada suku Sakya,"
sahut Thian Oe. "Namaku Thian Oe. Kita sudah pernah bertemu di Shigatse."
Pada malam itu, ketika Siauw Tjeng Hong turut bertempur, Thian Oe
tidak munculkan muka, sehingga kedua perwira itu tidak menaruh curiga
apa-apa. Sesudah Thian Oe perkenalkan dirinya, salah seorang lantas
berkata: "Oh, kalau begitu Tan Kongtjoe?" Ia lalu minta Tiam Siauwdjie
berlalu dari kamar itu dan kemudian menanya pula: "Ada urusan apa Tan-
heng datang kesini?"
Selagi bicara, mereka diserang lagi dengan kedinginan, sehinggga
giginya pada bercakrukan. Thian Oe tidak tega dan segera berkata:
"Penyakit begini siauwtee mengerti juga sedikit."
la lalu keluarkan dua butir pel yang berwarna biru dan berikan
kepada mereka. Beberapa saat sesudah menelan pel itu, dalam badan mereka
muncul semacam hawa panas yang menembus sampai di pusar. Kedua perwira
itu mempunyai lweekang yang cukup tinggi. Buru-buru mereka kerahkan
pernapasannya buat bikin hawa panas itu mengalir terus sampai ke tangan
dan kaki. Semakin lama mereka rasakan semakin segar.
"Besok, sesudah semua hawa dingin keluar, kesehatan djiewie taydjin
(kedua tuan pembesar) akan pulih kembali," kata Thian Oe.
Kedua perwira itu – yang satu bernama Mauwyan dan yang satunya lagi
bernama Lunpo -- adalah ahli silat di bawah perintahnya jenderal Hok Kong
An. Jika hari itu mereka waspada dan kerahkan tenaga dalamnya buat
melindungi badannya, meskipun kena serangan Pengpok Sintan, mereka tidak
akan menderita begitu hebat. Waktu itu, lantaran sedang gembira minum
arak dan juga sebab tidak menduga wanita itu berkepandaian tinggi, mereka
jadi tidak berjaga-jaga. Sesudah hawa dingin menyerang masuk ke dalam
sumsum, barulah mereka kerahkan tenaganya buat melawan, tapi sudah kasep.
Sekarang, begitu telan pelnya Thian Oe, mereka rasakan banyak
entengan dan mereka tentu saja jadi merasa sangat heran. Mereka lantas
ingat, bahwa si orang tua yang turut bertempur di Shigatse adalah
kawannya Thian Oe. Tanpa merasa, mereka terkesiap dan salah seorang
menanya lagi: "Sebenarnya kau siapa?"
"Bukankah aku sudah beritahukan?" kata Thian Oe.
"Apa benar kau Tan Kongtjoe?" Mauwyan menegasi.
"Jika kalian tidak percaya, nanti setibanya di Lhasa kita boleh
sama-sama pergi ke kantornya Hok Tayswee buat cari ayahku," kata Thian
Oe.
"Tapi cara bagaimana kau bisa mempunyai yowan (pel) yang dapat
punahkan ilmunya wanita siluman itu?" tanya Lunpo.
Sebelumnya para dayang Pengtjoan Thianlie keluar dari gua es, Thian
Oe telah ketemukan banyak sekali yowan dalam keraton es. Ia ambil seraup
dan simpan dalam bungkusannya. Ia kenali, bahwa di antara yowan itu
terdapat Yanghowan, yaitu pel buat lawan hawa dingin. Pel itulah yang ia
berikan kepada Mauwyan dan Lunpo.
Didedas secara begitu, Thian Oe gelagapan dan tidak tahu mesti
menyahut bagaimana. Kedua perwira jadi semakin curiga dan Mauwyan
membentak: "Apa kau di kirim oleh wanita siluman itu?"
Baru saja Mauwyan habis ucapkan perkataannya, di luar jendela
mendadakan terdengar suara tertawanya seorang wanita yang lantas
membentak: "Inilah yang dinamakan sang anjing gigit Lu Tong Pin. Kau
tidak mengenal kebaikannya orang. Aku kirim obat, kau berbalik mencaci
aku. Apa kau mau sakit lagi beberapa hari?"
Kedua perwira itu yang badannya masih sangat lemas, jadi kaget
sekali dan tidak berani buka suara lagi.
"Orang yang curi lengtan (pel mustajab), lekas keluar ketemui aku,"
demikian terdengar lagi suaranya wanita itu, yang lagu suaranya mirip-
mirip dengan suaranya Pengtjoan Thianlie.
Dengan hati berdebar-debar, Thian Oe loncat keluar kamar, tapi
wanita itu sudah loncat naik ke atas genteng. Buru-buru ia balik ke
kamarnya buat ambil buntalannya, dan sesudah lemparkan uang penginapan,
ia lantas memburu. Wanita itu lari sangat keras, tapi untung ilmu entengi
badannya Thian Oe sudah maju jauh, sehingga begitu keluar dari pintu
kota, ia dapat menyandak.
Wanita itu menengok dan berkata sembari tertawa: "Ilmu silatmu
sudah banyak maju. Apa Puteri kami yang memberi pelajaran? Apa ia sudah
balik ke keraton?"
Di bawahnya sinar rembulan, Thian Oe kenali bahwa wanita itu adalah
Yoe Peng, dayangnya Pengtjoan Thianlie yang sangat disayang. Sedari kecil
ia ikuti majikannya dan di antara para dayang, ilmu surat dan ilmu
silatnya terhitung salah seorang dari kelas satu. Pada harian gempa bumi,
ia diperintah Pengtjoan Thianlie buat menemani Tjia In Tjin pergi petik
daun obat.
Thian Oe tentu saja merasa sangat girang dapat bertemu dengan
ianya. Tapi mendengar pertanyaannya, ia jadi jengah dan berkata: "Aku
curi belajar. Apakah kau mau jalankan perintah majikanmu buat menghukum
aku?"
Yoe Peng tertawa-tawa dan menyahut: "Puteri kami sebenarnya sangat
sayang kau. Sebetul-betulnya, ia sudah perintah aku ajarkan kau beberapa
macam ilmu silat, sebelumnya kau meninggalkan keraton. Cuma menyesal
malam itu kau mencuri masuk ke dalam tempat pemujaan, sehingga Kongtjoe
jadi gusar sekali. Menurut dugaanku, ia cuma mau gertak kau, dan sehabis
mengadu pedang, rasanya ia akan segera lepaskan kau dari kurungan.
Sesudah mengalami bencana alam yang hebat, tak dinyana kau dan aku masih
bisa hidup terus. Cobalah tuturkan pengalaman dalam keraton selama tiga
bulan yang lalu."
Thian Oe segera tuturkan segala kejadian secara ringkas. "Aku sudah
duga semua saudara-saudara tidak akan sampai binasa," kata Yoe Peng
setelah dengar penuturan Thian Oe. "Sebetul-betulnya, waktu itu aku cuma
kuatirkan keselamatanmu yang sedang dikurung dalam gua. Jika kau sampai
kenapa-kenapa, Kongtjoe tentu akan merasa tidak enak hati."
"Dan bagaimana dengan Pengtjoan Thianlie?" tanya Thian Oe.
Yoe Peng geleng-gelengkan kepalanya dan menyahut: "Selagi menemani
soenio-mu memetik daun obat, aku lihat tanda-tanda bakal terjadinya gempa
bumi. Maka itu, buru-buru kita naik perahu dan turun ke telaga Thian-ouw.
Aku sama sekali tidak mengetahui keadaannya Kongtjoe."
Thian Oe merasa putus harapan. "Soenio-ku?" ia tanya lagi.
"Ia sudah pulang ke Soetjoan buat tunggu lahirnya anak yang sedang
dikandung," sahut Yoe Peng.
Mendengar begitu, Thian Oe jadi sadar. Ia sekarang mengetahui,
bahwa soenio-nya sedang hamil, sehingga tidaklah heran gurunya sudah
tinggalkan pesanan begitu kepadanya.
"Tak lama lagi kau akan mempunyai soetee atau soemoay. Apa kau
tidak girang?" kata Yoe Peng sembari tertawa.
Mengingat kebinasaan yang menyedihkan dari gurunya, hatinya Thian
Oe kembali merasa sedih. "Tapi kenapa kau tidak buru-buru balik ke
keraton?" tanya ia dengan suara menegor.
"Kau tahu, hari itu gunung berapi meledak dan gempa bumi yang
hebat telah terjadi," menerangkan Yoe Peng. "Sesudah gempa bumi itu, di
selebar gunung penuh dengan batu-batu dan lahar yang sangat panas.
Selainnya itu, jalanan juga sudah tertutup semuanya. Melihat begitu, kita
tahu tidak akan bisa naik ke gunung pada sebelumnya lahar itu menjadi
dingin. Soenio-mu sedang hamil, mana bisa ia berdiam lama-lama di daerah
pegunungan yang tidak mempunyai tempat meneduh. Aku tahu dalam keraton
sudah siap sedia tempat berlindung, sehingga, kecuali pikirkan
keselamatanmu, aku anggap keselamatan para saudara dan Thiekoay sian
sudah terjamin. Aku segera bujuk soenio-mu supaya pulang lebih dahulu ke
Soetjoan buat melahirkan dan begitu ada kemungkinan, aku percaya Thiekoay
sian juga akan segera menyusul."
"Tapi guruku tak akan bisa pulang lagi," kata Thian Oe dengan suara
serak.
Mendengar kebinasaannya Thiekoay sian, Yoe Peng juga merasa sangat
terharu. Ia berdiri bengong beberapa saat dan kemudian menanya: "Kemana
kau mau pergi?"
"Ke Lhasa. Dan kau?" Thian Oe balas tanya.
"Aku tak tahu mau pergi kemana," jawab Yoe Peng sembari tertawa.
"Sebetulnya, aku cuma niat berdiam di daerah ini buat sementara waktu dan
lantas pulang begitu lekas lahar menjadi dingin dan keras."
"Sekarang, selainnya satu kawah yang masih semburkan api dan asap,
di atas gunung sudah tidak terdapat lahar panas lagi," menerangkan Thian
Oe.
"Itulah aku tidak tahu," kata Yoe Peng. "Aku sebetulnya niat
menunggu sampai musim semi baru pulang buat lihat-lihat keadaan."
Ia berdiam beberapa saat dan kemudian berkata lagi sembari mesem: "Apa
kau masih ingat itu toeilian yang digubah oleh si pemuda baju putih
dengan mengambil namaku? Ia persamakan diriku seperti seorang
wanita suci yang berdiam dalam lembah gunung yang sunyi. Tapi sebenar-
benarnya, sebagai manusia biasa, aku pun ingin sekali melihat-lihat
keadaan di dunia luar. Selama berdiam begitu banyak tahun dalam keraton,
sering-sering aku merasa sangat kesepian."
Dengan senyumannya yang manis, di bawah sinarnya sang bulan, Yoe
Peng seakan-akan satu bocah yang nakal. Hatinya Thian Oe juga masih
bebocahan. Ia tertawa dan berkata: "Hm! Kau rupanya ingin menggunakan
kesempatan ini buat jalan-jalan. Di seluruh Tibet, Lhasa-lah yang paling
ramai. Disitu terdapat gereja
Lhama yang luar biasa indahnya. Paling baik kau ikut aku pergi ke
Lhasa."
"Bagus! Kita juga bisa sekalian dengar-dengar halnya Kongtjoe,"
sahut Yoe Peng dengan suara girang.
Mendengar namanya Pengtjoan Thianlie, hatinya Thian Oe jadi
berdebar. Ia berdiam beberapa saat dan kemudian berkata sambil menghela
napas: "Tu hari mereka sedang adu pedang di kakinya Puncak Es. Apa mereka
bisa selamatkan diri?"
"Puteri kami bergelar Pengtjoan Thianlie (Bidadari dari Sungai
Es)," kata Yoe Peng. "Meskipun ia tidak dapat disamakan seperti sebangsa
dewi, akan tetapi kepandaiannya sesungguhnya tak dapat diukur bagaimana
dalamnya. Aku sama sekali tidak percaya ia sampai hilang jiwa lantaran
bencana alam itu." Dari perkataan dan sikapnya, Yoe Peng kelihatan
pandang majikannya betul-betul seperti seorang dewi, sehingga Thian Oe
jadi terpengaruh dan tidak percaya lagi Pengtjoan Thianlie binasa dalam
gempa bumi. Dengan demikian, hatinya jadi legaan.
"Kau lihat Puteri kami bertempur seru dengan si pemuda baju putih,
tapi janganlah kau anggap mereka berkelahi seperti musuh," kata Yoe Peng
sembari tertawa. "Aku sudah dapat lihat, Kongtjoe sebenarnya suka pemuda
itu!"
Thian Oe tertawa besar seraya berkata: "Kau ini benar-benar setan
yang cerdik!"
"Kau juga setan pintar yang berlagak bodoh," membalas Yoe Peng.
"Kau mencintai siapa, aku juga sudah tahu."
Paras mukanya Thian Oe lantas berubah guram. "Ilmu kepandaiannya
Chena masih sangat cetek. Belum tentu ia dapat loloskan diri," katanya
dengan suara perlahan.
"Orang baik tentu akan dilindungi Tuhan. Kalau belum takdirnya
mati, ia tentu tidak akan mati," kata Yoe Peng dengan suara menghibur.
Kata-kata itu sebenarnya cuma merupakan hiburan belaka, akan tetapi,
sesudah mendengar, hatinya Thian Oe jadi terhibur juga.
Sesudah berjalan beberapa lama, Thian Oe menanya: "Kau selalu
memanggil Pengtjoan Thianlie sebagai Paduka Puteri. Bolehkah aku mendapat
tahu, ia sebenarnya puteri dari negara mana? Kenapa ia mempunyai
kedudukan Kongtjoe, sedang ayahnya hanya seorang pendekar dalam Rimba
Persilatan?"
"Baiklah," sahut Yoe Peng. "Buat hilangkan kesepian, aku akan
ceritakan asal-usulnya Kongtjoe."
Demikianlah, dengan diterangi sinar bulan yang bagaikan perak, Yoe
Peng segera jalan lebih dekat dengan Thian Oe dan mulai dengan
penuturannya:
"Pada tiga puluh tahun yang lalu, di negara Nepal hidup seorang
puteri raja yang bernama Hoa Giok. Ia diberi nama Hoa Giok oleh karena
raja sangat mengagumi sifat ke Tionghoa-an dan juga oleh karena sang
puteri berparas sangat cantik, ibarat batu giok dari bangsa Han. Sesudah
besar, Hoa Giok Kongtjoe menjadi seorang gadis yang boenboe songtjoan
(mahir dalam ilmu surat dan ilmu silat). Ia belajar ilmu surat dari guru-
guru yang sengaja diundang dari Tiongkok, sehingga ia bukan saja apal
macam-macam kitab, tapi juga pandai menggubah syair-syair Tionghoa. Buat
menjadi guru silatnya, Raja Nepal undang ahli silat dari negara
Arab. Di sebelahnya itu, ia tentu saja mahir dalam ilmu menunggang kuda
dan ilmu memanah yang menjadi kesukaannya.
"Sang tempo berjalan cepat sekali. Dalam tempo sekejap, sang puteri
sudah berusia delapan belas tahun. Para pemuda di Nepal tentu saja sangat
ingin dapatkan Hoa Giok sebagai isterinya, akan tetapi, tak ada barang
satu yang dipenuju oleh sang puteri. Tahun lepas tahun dan Hoa Giok sudah
berusia dua puluh dua tahun. Raja Nepal yang cuma mempunyai seorang
puteri jadi merasa bingung juga. Supaya puterinya tidak sia-siakan usia
muda, ia niat pilih satu Hoema (menantu raja) dan kemudian paksa supaya
puterinya mau menikah dengan pemuda pilihannya itu. Akan tetapi, Hoa Giok
menolak dengan keras dan ajukan satu usul balasan.
"Sesuai dengan apa yang ia sering baca dalam buku-buku Tionghoa, ia
ingin memilih sendiri suaminya dengan berdirikan loeitay. Ia usulkan
kepada ayahnya, supaya dibcrdirikan dua loeitay, yaitu loeitay buat adu
ilmu surat dan loeitay buat adu ilmu silat. Setiap calon harus lebih
dahulu dijajal ilmu silatnya, dan jika lulus, baru dicoba ilmu suratnya.
Dalam ilmu silat, sesudah lulus beberapa ujian sulit, seorang calon harus
adu pedang dengan ia sendiri, dan kalau menang, barulah diuji ilmu
suratnya. Dalam ilmu surat, satu calon bukan saja harus mahir dalam
kesusasteraan Nepal, tapi juga mesti mengenal kitab-kitab dan syair
Tionghoa. Di antara orang Nepal memang banyak yang mengenal bahasa
Tionghoa, tapi pengetahuan mereka kebanyakan sangat cetek dan manalah
bisa gampang-gampang lulus dari ujiannya sang pulen. Selama dua tahun,
jumlah pemuda yang majukan lamaran semuanya ada seratus dua puluh empat
orang, tapi yang berhak adu pedang dengan sang puteri cuma ada tujuh
orang, sedang yang bisa menangkan Hoa Giok cuma tiga orang saja. Akhirnya
ketiga orang itu jatuh semuanya dalam ujian kesusasteraan Tionghoa.
"Raja jadi bingung sekali dan belakangan malahan permisikan
masuknya calon-calon bangsa Han. Tapi semua calon Tionghoa pun siang-
siang sudah pada roboh dalam ujian ilmu silat.
"Tanpa merasa, usianya Kongtjoe sudah menanjak jadi dua puluh empat
tahun. Pada suatu hari, dengan suara sungguh-sungguh Raja Nepal berkata
kepada puterinya: 'Sekarang kau sudah gagal dalam usaha memilih Hoema,
maka sepantasnya kau serahkan urusan itu ke dalam tanganku. Aku tak dapat
permisikan kau membuka loeitay terus-menerus dalam tempo yang tidak
terbatas.' Hoa Giok lalu minta tempo seratus hari lagi, dan kalau sudah
lewat seratus hari lagi ia belum juga berhasil, barulah ayah dan anak
berunding lagi. Akan tetapi, diam-diam Kongtjoe yang beradat tinggi dan
agung itu sudah mengambil putusan pasti buat tidak menikah dengan lelaki
sembarangan, dan jika sesudah seratus hari ia beium juga berhasil, ia
rela menjadi pendeta dan tidak menikah seumur hidupnya.
"Sesudah lewat sembilan puluh sembilan hari belum juga ada calon
yang berhasil, sehingga Kongtjoe sendiri juga merasa putus harapan. Pada
hari yang ke seratus mendadak datang satu calon bangsa Han yang mukanya
penuh debu dan mengatakan, bahwa ia baru saja tiba dari tempat jauh dan
ingin ajukan diri sebagai seorang calon. Dalam ujian ilmu silat, pemuda
itu ternyata pandai menunggang kuda dan memanah, sedang kedua tangannya
sanggup angkat batu yang beratnya ribuan kati. Sesudah lulus berbagai
ujian berat, ia akhirnya berhadapan dengan puteri Hoa Giok sendiri. Ia
layani sang puteri dari tengah hari sampai magrib dan akhirnya secara
indah sekali, ia sontek tutupan mukanya Puteri dengan ujung pedangnya.
"Ketika dijajal ilmu suratnya, Puteri Hoa Giok sendiri sampai
merasa sangat kagum. Ia ternyata mengenal baik kesusasteraan Nepal dan
tentu saja sangat mahir dalam kesusasteraan Tionghoa dan malahan banyak
penjelasan-penjelasan yang belum dikenal oleh sang puteri sendiri.
"Sekarang tinggal dua ujian terakhir buat coba kecepatan otakmu" kata
Puteri Hoa Giok. "Jika kau lulus, kau..." Kongtjoe tidak dapat teruskan
perkataannya dan mukanya jadi bersemu merah. Pemuda itu lantas saja minta
ia keluarkan dua ujian terakhir itu..."
"Pemuda itu tentulah juga ayahnya Pengtjoan Thianlie, Koei Hoa Seng
Tayhiap," Thian Oe potong penuturan orang. "Koei Tayhiap sedari kecil
mendapat didikan langsung dari ibunya sendiri, maka tidaklah heran kalau
ia mempunyai pengetahuan tinggi sekali dalam ilmu surat dan ilmu silat.
Apakah adanya itu dua ujian terakhir?"
"Ujian yang pertama ialah Kongtjoe rninta Koei Tayhiap menggubah
sepasang toeilian," Yoe Peng lanjutkan penuturannya. "Toeilian tersebut
harus digubah dengan menggunakan namanya, yaitu Hoa Giok. Buat itu Koei
Tayhiap diberi tempo sepasangan hio, dan kalau sampai hio terbakar habis,
toeilian belum selesai, Koei Tayhiap jatuh dari ujian itu. Sesudah
mendengar penjelasan Kongtjoe, Koei Tayhiap segera berkata: "Toeilian itu
sudah ada, cuma mungkin kata-katanya sedikit menyinggung, sehingga aku
mohon Paduka Puteri sudi maafkan." Sehabis berkata begitu, Koei Tayhiap
segera menulis toeilian yang bunyinya seperti berikut:
"Gunung indah, pemandangan permai,
siapakah yang mau diajak pesiar?
Melihat pohon Buhdi berkembang, Sa Kya bermesem simpul.
Suling giok (batu kemala), suaranya merdu,
mengundang tetamu turut bersuka ria.
Mendengar Siang Djie mementil khim, Tjoe Tjin meniup suling."
"Pada baris pertama dari toeilian itu, Koei Tayhiap telah mengambil
petikan dari kitab Budha, sedang pada baris kedua, ia menggunakan
hikayatnya Soema Siang Djie yang meminang Tjo Boen Koen dengan mementil
khim dan hikayatnya Tjoe Tjin yang dengan meniup suling, telah mengundang
burung Hong buat melamar puterinya Raja muda Tjin Bok Kong, yang bernama
Long Giok. Demikianlah, pada baris kedua itu, Koei Tayhiap telah kutib
cara melamar isteri dari dua orang dahulu kala itu. Ketika ia menulis
habis, hio baru saja terbakar sepertiga. Begitu membaca toeilian
tersebut, Hoa Giok Kongtjoe tertawa dengan paras muka girang dan lalu
maju dengan ujian yang kedua, yaitu ujian yang paling akhir." (Perkataan
"indah" –- hoa -- dari baris pertama, jika dirangkap dengan perkataan
"giok" dari baris kedua, jadilah Hoa Giok, yaitu namanya sang puteri).
Thian Oe tertawa seraya berkata: "Kalau begitu tidak heran
Pengtjoan Thianlie begitu suka menggubah toeilian dari namanya orang. Tak
tahunya ia mewarisi kesukaan itu dari ayah ibunya."
"Kedatangan si pemuda baju putih ke keraton es adalah seperti
kedatangan Koei Tayhiap ke Nepal buat meminang dirinya Kongtjoe," kata
Yoe Peng.
"Tapi bagaimana dengan ujian kedua?" tanya Thian Oe dengan suara
tidak sabaran. "Hayolah jangan omongi segala hal yang tidak ada
perlunya."
"Cerita ini adalah cerita didalam cerita," demikian Yoe Peng
lanjutkan penuturannya.
"Pendahuluan dari ujian kedua ialah satu cerita dahulu kala. Cerita
itu belum berakhir dan dapat di akhiri menurut sukanya orang. Dengan lain
perkataan, cerita itu bisa berakhir girang dan juga bisa berakhir sedih.
Buat uji kecerdasan otaknya, Kongtjoe minta Koei Tayhiap menulis akhirnya
cerita itu."
"Cerita itu adalah begini: Dahulu kala, seorang puteri diam-diam
jatuh cinta kepada seorang boesoe (pahlawan). Tidak terduga, boesoe itu
bercintaan dengan satu dayang. Apa mau rahasia ini terbuka. Dalam
kegusarannya, sang puteri beritahukan ayahnya. Kedosaan itu adalah
kedosaan besar dan si boesoe harus mendapat hukuman berat.
"Akan tetapi, negeri itu mempunyai cara menghukum yang sangat luar
biasa. Mereka percaya, bahwa di langit terdapat dewa yang memegang
nasibnya manusia. Apakah terdakwa berdosa atau tidak juga diputuskan oleh
sang dewa itu. Caranya adalah begini: Si terdakwa dilepaskan di atas satu
lapangan terbuka yang sangat luas. Di sebelah kiri dan kanannya lapangan
tersebut terdapat satu pintu. Dalam pintu yang satu ditaruh seekor singa
kelaparan, sehingga kalau si terdakwa masuk kesitu, ia tentu akan dibeset
dan dimakan oleh singa tersebut. Dalam pintu yang satunya lagi terdapat
satu jalanan yang menerus keluar lapangan. Jika si terdakwa masuk di
pintu itu, ia segera dapat pulang kemerdekaannya dan segala tuduhan
dibikin habis. Menurut kepercayaan, orang itu mendapat berkahnya dewa dan
siapa yang mendapat berkahnya dewa, bukannya seorang jahat."
"Oleh karena tidak mengetahui bahwa puterinya mencintai si boesoe
dan juga oleh karena sangat sayang pahlawan itu, maka raja sengaja
menaruh belas kasihan yang istimewa. Seperti biasa, dalam pintu yang satu
ditaruh seekor singa kelaparan. Akan tetapi, dalam pintu yang satunya
lagi, raja perintah taruh si dayang kecintaannya boesoe itu. Jika boesoe
itu masuk ke dalam pintu yang terisi singa, memang sudah nasibnya ia
mesti binasa dan dewa anggap ia berdosa. Akan tetapi, manakala ia masuk
ke dalam pintu yang berisi dayang, maka bukan saja ia akan memperoleh
kemerdekaannya, tapi juga diperbolehkan menikah dengan kecintaannya itu."
"Pada harian penentuan nasibnya boesoe tersebut, sang puteri juga
turut menonton. Panggungnya keluarga raja berdiri di tengah-tengah antara
kedua pintu nasib. Waktu lewat di depan panggung, boesoe tersebut
mengawasi sang puteri dengan sorot mata mohon dikasihani. Kongtjoe itu
tahu pintu mana yang berisi singa dan pintu mana yang berisi dayang."
"Saat itu, nasibnya si boesoe terletak dalam tangannya Kongtjoe.
Dengan sekali tunjuk, ia dapat memutuskan, apa boesoe itu mati atau
hidup. Pintu manakah yang akan ditunjuk oleh sang puteri? Di satu pihak,
hatinya gusar dan sakit hati lantaran perbuatannya boesoe itu, ditambah
pula dengan perasaan mengiri terhadap sang dayang yang sudah merebut
kecintaannya. Akan tetapi di lain pihak, dengan cintanya yang sangat
besar, dimana ia tega kalau boesoe itu sampai dibeset singa?"
"Pada saat itu, dua rupa pemandangan berkelebat di depan matanya
Kongtjoe. Di ini detik, ia lihat boesoe itu menikah dengan sang dayang
dengan penuh kecintaan dan kemanisan. Di lain detik, ia lihat tubuh yang
berlumuran darah dari boesoe tersebut, akibat dibeset singa. Ketika ia
dongakkan kepalanya, ia lihat sorot mata yang memohon kasihan dari
kecintaannya itu. Pintu manakah yang sang puteri harus tunjuk?"
Thian Oe sudah dibikin begitu ketarik dengan cerita itu, sehingga
ia mendengari dengan mata mendelong dan mulut ternganga, dan tanpa
merasa, hatinya berdebar-debar dan turut memikiri, pintu mana yang harus
ditunjuk oleh Kongtjoe.
Yoe Peng tertawa dan berkata pula: "Waktu itu, pertanyaannya Hoa
Giok Kongtjoe juga adalah sedemikian. 'Andaikata kau jadi puteri itu,'
kata Puteri Hoa Giok kepada Koei Tayhiap, 'pintu manakah yang kau akan
tunjuk?' Jawabannya Koei Tayhiap haruslah cocok dengan pendapatnya sang
puteri yang menurut sukanya dapat memutuskan sendiri, apa jawaban Koei
Tayhiap benar atau salah.
"Pertanyaan itu bukan main sukarnya. Tidak perduli pintu mana juga
yang ditunjuk oleh Koei Tayhiap, Hoa Giok Kongtjoe bisa bilang ia tidak
mengerti soal cinta. Soal cinta dapat ditafsirkan secara berbeda-beda,
menurut pendapat pribadi dari sesuatu orang. Sebagai contoh, jika sang
puteri dalam cerita itu menunjuk pintu yang ada singanya, maka dapat
ditafsirkan, bahwa ia menunjuk pintu itu lantaran mencinta, sebab cinta
menimbulkan cemburu dan cinta yang sangat dapat menimbulkan kebencian
yang sangat. Jika sang puteri tunjuk pintu yang berisi dayang, itu juga
bisa ditafsirkan bahwa ia menunjuk pintu itu lantaran mencinta, sebab
orang yang betul-betul mencinta selamanya bersedia buat mengampuni
orang yang dicinta, dan di sebelahnya itu, cinta berarti juga
pengorbanan guna keberuntungannya orang yang dicinta. Tapi
bagaimanakah pendapat Hoa Giok Kongtjoe mengenai soal itu? Itulah ada
soal sulit yang mesti ditebak dengan jitu oleh Koei Tayhiap!"
"Koei Tayhiap memikir beberapa saat dan kemudian tanya Hoa Giok
Kongtjoe: 'Puteri dalam cerita itu, apakah puteri dari negara Timur atau
puteri dari negara Barat?' Cerita itu sebenarnya adalah cerita dari Eropa
yang belakangan masuk ke Timur dan menjadi bahan dari berbagai penulis.
Koei Tayhiap mengetahui sumbernya cerita itu, akan tetapi ia sengaja
menanya begitu."
"Hoa Giok Kongtjoe yang tidak mengerti maksudnya segera balas
menanya: 'Kalau puteri Timur bagaimana? Kalau puteri Barat bagaimana?'
Koei Tayhiap tertawa dan menyahut: 'Kalau sang puteri adalah puteri dari
negara Timur, ia tentu akan tunjuk pintu yang berisi dayang. Tapi jika ia
adalah puteri dari Barat, ia tentu akan tunjuk pintu yang ada singanya.
Orang Timur biasanya lebih bersedia saling mengampuni, sedang kaum
wanitanya kebanyakan berhati welas asih, sehingga sepuluh sembilan ia
tidak akan tega melihat kecintaannya dibeset singa. Di lain pihak,
cintanya wanita negara Barat bersifat monopoli, yaitu tidak sudi membagi
kepada lain orang. Orang Barat suka mengatakan bahwa cinta adalah seperti
biji mata dan disitu tidak boleh menyelip barang sebutir pasir. Maka
itulah, jika sang puteri adalah puteri negara Barat, sepuluh sembilan ia
akan tunjuk pintu yang berisi singa, sebab ia kebanyakan lebih suka
kecintaannya binasa daripada direbut oleh lain perempuan. Akan tetapi,
jika boesoe itu adalah seorang Tionghoa, siang-siang ia tentu dapat
mengetahui kecintaannya sang puteri, sehingga kejadian itu sebenarnya
tidak usah terjadi!"
"Bukan main licinnya jawaban itu. Tapi Koei Tayhiap sebenarnya
boleh tidak usah susah-susah. Kita bisa duga, tak perduli Koei Tayhiap
menjawab bagaimana juga, Hoa Giok Kongtjoe tentu akan merasa puas."
"Begitulah Hoa Giok Kongtjoe segera menetapkan Koei Tayhiap sebagai
Hoema. Bukan main girangnya raja. Waktu dilangsungkan pesta pernikahan,
tiga hari libur diberikan di seluruh negeri dan semua orang pada bersuka
ria. Pada lain tahunnya, Hoa Giok Kongtjoe melahirkan seorang puteri yang
diberi nama Peng Go oleh Koei Tayhiap. Ia itulah yang belakangan dikenal
sebagai Pengtjoan Thianlie. Raja tidak mempunyai anak lelaki. Hoa Giok
Kongtjoe adalah anaknya yang tunggal. Dari sebab begitu, sang cucu Peng
Go juga diberi gelaran Kongtjoe."
"Kedua mempelai hidup beruntung sekali dan tidak terasa lima tahun
sudah lewat. Usianya raja sudah lanjut dan ia merasa jengkel memikiri
soal ahli waris yang harus gantikan ia menjadi raja."
"Dalam banyak negara, seorang puteri dapat naik ke atas tahta. Akan
tetapi, menurut kebiasaan di Tiongkok, cuma orang lelaki yang boleh
menjadi kaizar. Sudah lama Nepal kena pengaruhnya kebudayaan Tionghoa,
sehingga soal itu menjadi pertentangan antara dua partai. Satu partai
menghendaki supaya Hoa Giok Kongtjoe gantikan ayahnya, sedang lain pihak
ingin Raja Nepal angkat keponakan lelakinya sebagai ahli waris. Keponakan
itu sudah lama sekali incar-incar tahta kerajaan. Dia sudah mempunyai
banyak sekali konco-konco dan tukang pukul. Tak usah dibilang lagi, dia
sangat membenci Hoa Giok Kongtjoe. Pertentangan antara kedua partai
semakin lama jadi semakin hebat, sehingga dalam kerajaan Nepal yang
tenteram jadi timbul hujan angin."
"Hoa Giok Kongtjoe yang tidak tega melihat negaranya terancam
bahaya, segera berdamai dengan Hoema. Koei Tayhiap anjurkan isterinya
melepaskan haknya dan sama-sama menyingkirkan diri ke Tibet. Kedua suami
isteri itu, yang mempunyai ilmu silat sangat tinggi, telah melebur ilmu
pedang Tionghoa dan ilmu pedang daerah Barat menjadi satu dan menggubah
satu ilmu pedang baru. Hoa Giok menyetujui pikiran suaminya. Ia pun
merasa, bahwa hidup tenteram bersama-sama suaminya yang tercinta, ada
lebih beruntung daripada menjadi ratu. Maka itulah, ia tinggalkan sepucuk
surat buat ayahandanya dan diam-diam tinggalkan keraton bersama suami,
puterinya dan sejumlah dayang. Selama hidup dalam keraton, sang puteri
sangat dicintai orang. Waktu mau berangkat, beberapa puluh dayangnya
berkeras mau mengikut juga, sehingga ia terpaksa mesti mengajak."
"Sesudah keraton es berdiri, sejumlah dayang yang usianya lebih tua
telah pulang ke Nepal buat sementara waktu, guna memilih sejumlah anak
perempuan dari kalangan keluarga mereka buat diajak datang ke keraton
supaya dapat mengawani Puteri Peng Go. Anak-anak perempuan itu menjadi
besar bersama-sama Pengtjoan Thianlie dan mereka semuanya mempunyai ilmu
silat yang cukup tinggi."
"Sesudah Hoa Giok Kongtjoe meninggalkan keraton tiga tahun lamanya,
Raja Nepal wafat dan keponakan lelakinya naik ke atas tahta sebagai
gantinya."
"Menurut katanya orang, begitu naik tahta, raja baru coba
menyelidiki dimana adanya Koei Tayhiap suami isteri, akan tetapi mana dia
bisa mencarinya. Sesudah berdiam di atas Thian-ouw, hatinya Kongtjoe
menjadi lebih tawar terhadap segala urusan ke negaraan. Ia lebih-lebih
tidak sudi balik ke negaranya, ketika dapat dengar bahwa saudara
misanannya adalah satu raja yang kejam dan sombong. Hoa Giok Kongtjoe
meninggal dunia terlebih dahulu dari Koei Hoema. Waktu mau menutup mata,
ia tinggalkan pesanan, bahwa, kecuali kalau Puncak Es roboh, semua
penghuni dari keraton es tidak boleh turun gunung. Sesudah isterinya
meninggal dunia, Koei Tayhiap berdirikan sebuah kuil yang berbentuk kuil
Nepal dalam taman keraton. Selainnya membuat sebuah patung isterinya guna
pemujaan, ia ukir ilmu pedang gubahannya pada dinding kuil tersebut.
Kecuali Pengtjoan Thianlie, tak ada lain orang yang boleh masuk kedalam
kuil tersebut yang jadi semacam tempat terlarang.
"Lewat setahun sesudah meninggalnya sang puteri, Koei Tayhiap susul
isterinya ke alam baka dan Pengtjoan Thianlie menjadi majikan tunggal
dari keraton es. Seperti kedua orang tuanya, ia juga sangat suka dengan
kesusasteraan Tionghoa dan semua dayang-dayangnya diberikan nama Han."
Demikian penuturan mengenai riwayatnya Pengtjoan Thianlie yang
diberikan oleh Yoe Peng.
"Apa cerita itu cukup menarik?" tanya Yoe Peng dengan tertawa
sedih, setelah selesai dengan ceritanya.
Sesudah berdiam beberapa saat, Thian Oe berkata: "Cerita ini juga
belum berakhir. Seperti juga cerita si boesoe, cerita Pengtjoan Thianlie
juga bisa berakhir sedih atau berakhir girang."
"Bagaimana?" tanya Yoe Peng.
"Perangkapan jodoh antara dua orang yang berlainan bangsa dan
kemudian hidup seperti di dalam surga, ceritamu luar biasa indahnya,"
menerangkan Thian Oe. "Sepasang merpati itu kemudian dapat satu puteri –
yaitu Pengtjoan Thianlie – yang benar-benar seperti satu bidadari dari
kahyangan. Jika Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih bisa
terangkap jodoh dan dapat hidup seperti Koei Tayhiap dan Hoa Giok
Kongtjoe, maka cerita ini berakhir girang. Akan tetapi, jika Pengtjoan
Thianlie tak dapat loloskan diri dari bencana gempa bumi dan binasa
secara kecewa sekali, maka cerita ini berakhir sedih."
"Tentu bisa lolos! Tentu bisa lolos!" Yoe Peng berkata dengan suara
tetap.
"Harap saja begitu," berkata Thian Oe sembari dongakkan kepalanya.
Dengan hati sedih ia mengawasi itu rembulan yang sinarnya dingin.
Mendadakan saja ia ingat cerita tentang ia sendiri dan Chena. Ia juga tak
tahu, apa cerita itu akan berakhir sedih atau akan berakhir girang.
Thian Oe bengong terlongong-longong. Lama, lama sekali ia tak dapat
keluarkan sepatah kata.
"Anak tolol!" kata Yoe Peng sembari towel pipinya. "Apa yang kau
lagi pikirkan."
Mendadak ia lihat paras mukanya Thian Oe berobah, seperti juga
sedang mendengari apa-apa. Yoe Peng juga pasang kupingnya dan sudah
dengar suara itu. "Ih! Ada orang!" ia berbisik di kupingnya Thian Oe.
Mereka berdua lantas saja loncat dan sembunyikan dirinya di belakang satu
batu besar.
Di lain saat, beberapa bayangan orang kelihatan berkelebat
mendatangi. Di sebelah timur terdengar dua tepukan tangan, sedang di
sebelah barat juga terdengar dua tepukan tangan.
"Mari kita ke tempat yang lebih tinggi, supaya tak dapat dilihat
oleh mereka," kata Thian Oe. Dengan menggunakan ilmu entengi badan yang
sangat tinggi, seperti monyet mereka naik ke lereng gunung dan mengumpat
di belakangnya satu batu besar, dari mana, dengan bantuan sinar rembulan,
mereka dapat lihat keadaan di sebelah bawah dengan nyata sekali.
Dengan beruntun, bayangan-bayangan hitam itu berhenti di tempat
dimana barusan Thian Oe dan Yoe Peng berdiri. Mereka lalu bersila di atas
tanah dalam bentuk satu lingkaran bundar.
"Dilihat begini, mereka rupanya mau berunding," berbisik Thian
Oe, yang mempunyai lebih banyak pengetahuan daripada Yoe Peng
tentang kebiasaan orang-orang Kangouw, berkat pengunjukannya Thiekoay
sian.
Mendadak Yoe Peng tertawa dan berkata: "Pedagang-pedagang dari
Eropa yang sangat tahayul, sangat tidak menyukai hari Jumat dan angka
tiga belas. Mereka anggap, hari Jumat dan angka tiga belas membawa
kesialan. Coba lihat! Mereka itu berjumlah tiga belas orang dan kalau
tidak salah, hari ini adalah hari Jumat."
"Mana boleh!" kata Thian Oe. "Kalau toh benar-benar sial, aku
anggap cuma kebetulan saja." Mendengar Yoe Peng menyebutkan hari, tiba-
tiba Thian Oe ingat apa-apa. "Eh," katanya. "Tanggal berapa ini? Tanggal
penanggalan Tionghoa (Imlek)."
"Tak ingat," jawab Yoe Peng. "Penanggalan Tionghoa rewel sekali,
ada bulan besar, bulan kecil. Cuma semalam dan pagi tadi di dalam kota
aku lihat banyak orang Han membeli kue, katanya mau digunakan buat
sembahyang Tiongtjhioe (Pertengahan Musim Rontok)."
"Dengan Puteri Kecil (Pengtjoan Thianlie) kau pernah baca banyak
bukunya orang Han, apa kau tidak tahu bahwa perayaan Tiongtjhioe adalah
salah satu perayaan bangsa Han yang sangat penting?" kata Thian Oe. "Apa
kau tak tahu, perayaan itu jatuh pada Pegwee Tjapgo (bulan delapan
tanggal lima belas)?"
"Aku tahu," jawab Yoe Peng. "Tapi ada urusan apa dengan Pegwee
Tjapgo? Perlu apa kau begitu perhatikan penanggalan?"
"Aku jadi ingat perkataannya Pengtjoan Thianlie," jawab Thian Oe.
"Ah, aku kuatir benar-benar ada alamat jelek!"
Yoe Peng jadi merasa heran sekali. "Apa?", tanya ia. "Pengtjoan
Thianlie pernah bilang apa?"
"Apa kau tidak ingat kejadian pada harian aku tiba di keraton es?"
tanya Thian Oe. "Hari itu guruku yang pertama (Siauw Tjeng Hong) telah
bertemu musuhnya, yang belakangan diusir oleh Pengtjoan Thianlie."
"Aku tidak turut menyaksikan," kata Yoe Peng. "Baru belakangan aku
dengar penuturannya Kongtjoe. Ia bilang musuhnya Siauw Soehoe bernama
Loei Tjin Tjoe. Nama itu kedengarannya luar biasa sekali."
"Benar", kata Thian Oe. "Musuhnya Siauw Soehoe semuanya ada tiga
orang. Satu bernama Loei Tjin Tjoe, satu bernama Tjoei In Tjoe dan
satunya lagi bernama Ong Lioe Tjoe, yang sudah kena dibinasakan oleh
guruku. Yang hari itu kita bertemu di Thian-ouw adalah Loei Tjin Tjoe dan
Tjoei In Tjoe. Orang yang turun tangan cuma Loei Tjin Tjoe seorang.
Dengan gunakan pedang es, Pengtjoan Thianlie telah robohkan Loei Tjin
Tjoe yang mungkin lantaran malu, mau coba bunuh diri. Pengtjoan Thianlie
menolong dan mengatakan, bahwa ia sebenarnya sudah kena dipermainkan oleh
Ong Lioe Tjoe dan kalau mau tahu terang duduk persoalan, ia boleh datang
di Chaklun pada tanggal Pegwee Tjapgo tahun ini. Nah, tempat ini adalah
Chaklun dan justru Pegwee Tjapgo!"
Yoe Peng merasa heran sekali dan berkata: "Puteri Kecil selamanya
belum pernah turun gunung, cara bagaimana ia bisa mengetahui kejadian
yang bakal terjadi pada malam ini?" Tapi lantaran percaya Thian Oe tidak
berdusta, ia menanya pula: "Coba kau lihat, apa di antara tiga belas
orang itu terdapat Loei Tjin Tjoe?"
Thian Oe mengawasi dan lalu geleng-gelengkan kepalanya. "Tak ada,"
katanya. "Heran betul! Apa ia tidak datang? Sst! Diam! Mereka sudah mulai
bicara."
Ketiga belas orang itu pasang hio, rupanya sedang jalankan semacam
upacara. "Kenapa Ong Lioe Tjoe sampai sekarang belum datang?" demikian
terdengar suaranya satu orang. Thian Oe terkejut. Rupanya mereka belum
mengetahui, bahwa Ong Lioe Tjoe sudah binasa.
"Mana boleh tidak datang?" kata seorang lain. "Ia sendiri yang
janjikan supaya malam ini kita berkumpul disini."
"Tak usah tunggu padanya," kata orang yang pertama. "Mari kita
mulai. Bermula Hok Tayswee (Jenderal Hok, yaitu Hok Kong An) mau perintah
kita melindungi itu guci emas, tapi sekarang tidak perlu lagi. Ia
perintah kita memberitahukan kawan-kawan, supaya pada sebelum buntut
tahun, semua kawan pada pergi ke Sinkiang."
"Kenapa tenaga kita tidak dipakai lagi?" tanya seorang.
"Aku dengar suku Hapsatkek di Sinkiang memberontak," jawab orang
yang pertama. "Dalam pemberontakan itu ada turut sejumlah murid-murid
Boetong pay. Buat menghadapi mereka itu, Hok Tayswee memerlukan sekali
tenaga kita. Maka itu, Hok Tayswee bukannya pandang kita rendah. Saudara
tak usah banyak pikiran."
Mendengar perkataan itu, hatinya Thian Oe jadi berdebar. Ia ingat
penuturannya Siauw Tjeng Hong dan Thiekoay sian tentang riwayatnya
berbagai partai Rimba Persilatan. Partai Boetong dahulu sebenarnya
mempunyai peraturan keras yang melarang murid-muridnya mencampuri urusan
negara dan politik. Belakangan, pada buntutnya ahala Beng dan permulaan
dinasti Tjeng, muncul seorang pendekar Boetong yang bernama Toh It Hang.
Oleh karena mencintai Liehiap Giok Lo Sat, yang belakangan dikenal
sebagai Pekhoat Molie (Siluman Perempuan Rambut Putih), ia tinggalkan
Boetongsan dan pergi ke Sinkiang, dimana ia berdirikan satu partai baru
yang membantu Yo In Tjong (muridnya Hoei Beng Siansu) melawan tentara
Boantjeng. Demikianlah peraturan Boetong pay yang lama telah jadi
berobah. Hal itu terjadi pada kira-kira seratus tahun berselang.
Belakangan Koei Tiong Beng menjadi Tjiangboen (pemimpin) Boetong pay dan
mempunyai banyak sekali murid di wilayah Sinkiang. Sebagian besar murid-
murid itu adalah pencinta-pencinta negeri yang tentangkan pemerintahan
Boantjeng. Itulah sebabnya kenapa cabang Boetong di Sinkiang lebih
dihargai rakyat daripada Partai Boetong di Tionggoan (wilayah
Tiongkok asli).
"Kalau begitu orang-orang itu maui tentang murid-murid Boetong,"
kata Thian Oe dalam hatinya. "Tapi ada hubungan apa sama Ong Lioe Tjoe?
Ong Lioe Tjoe adalah saudara angkatnya Loei Tjin Tjoe dari Boetong pay,
sehingga sebenar-benarnya ia pun ada musuhnya orang-orang yang sedang
berunding itu."
Selagi hatinya bimbang, kupingnya sudah dengar lagi perkataannya
satu orang: "Kita tak dapat menghadapi Boetong pay, tanpa Ong Lioe Tjoe.
Kenapa sih ia belum juga datang? Apa ia sudah kena ditarik ke pihak
Boetong?"
Orang yang macamnya seperti toako (saudara tua) berkata sembari
tertawa: "Saudara janganlah terlalu bercuriga. Ong Lioe Tjoe adalah tokoh
dari partai Khongtong pay kita. Dengan banyak susah, sudah hampir dua
puluh tahun ia mendekati orang-orang Boetong pay, dengan tujuan
mempelajari rahasia ilmu pedang Boetong. Jika kita dapat melayani
pukulan-pukulan aneh dari ilmu pedang Boetong, kita jadi mempunyai
pegangan dalam usaha menindas pemberontakan di Sinkiang. Ong Lioe Tjoe
sudah janjikan supaya kita berkumpul disini, aku rasa ia tidak akan
hilang kepercayaan."
"Pada musim semi tahun ini, ada orang lihat ia datang bersama-sama
dua saudara angkatnya," berkata lagi seorang lain. "Tapi dalam beberapa
bulan, lantas tidak ada wartanya lagi. Apakah sudah terjadi kejadian di
luar dugaan?"
"Kejadian apa?" tanya seorang. "Mungkin ia kena ditahan oleh Loei
Tjin Tjoe dan tak dapat loloskan diri," kata orang itu. "Dalam soal ini
ada satu hal yang hiantee (adik) tidak mengetahui," menerangkan sang
toako. "Tujuannya Loei Tjin Tjoe adalah membalas sakit hati dan ia tak
nanti mau campur-campur urusan negeri. Kedatangannya bersama-sama Ong
Lioe Tjoe adalah buat membalas sakit hati terhadap Siauw Tjeng Hong.
Mereka sudah datang disini beberapa bulan lamanya, sehingga aku duga ia
sudah balas sakit hatinya dan sudah pulang ke kampungnya. Pada musim semi
yang baru lalu, Ong Lioe Tjoe telah memberi warta begitu kepadaku dan
mengatakan juga, bahwa ia akan berdiam terus disini dan tidak akan ikut
Loei Tjin Tjoe pulang ke Soetjoan."
Mendengar pembicaraan itu, bulu badannya Thian Oe jadi pada
berdiri. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa dalam kalangan Kangouw
terdapat orang-orang yang begitu macam. Ia bayangkan bagaimana gusarnya
Loei Tjin Tjoe andaikata ia dapat mendengar perundingan tersebut.
Meskipun Tan Thian Oe adalah puteranya seorang pembesar Boantjeng, akan
tetapi oleh karena sedari kecil ia telah mendapat didikannya Siauw Tjeng
Hong, diam-diam hatinya membenci pemerintahan yang menjajah bangsa Han
itu.
Sang rembulan dengan perlahan doyong ke barat. Ketiga belas orang
itu jadi semakin gelisah dan masing-masing lalu utarakan pikirannya
tentang tidak munculnya Ong Lioe Tjoe. Yang satu kata begini, yang lain
kata begitu, sedang yang satunya lagi berkata dengan suara keras: "Aku
tak percaya ilmu pedang Boetong begitu liehay. Jika Ong Lioe Tjoe tidak
datang, apakah kita tidak berani pergi ke Sinkiang?"
Di antara ramainya suara orang bicara, mendadak terdengar suara
tertawa dingin dan dari belakangnya batu-batu loncat keluar dua orang!
Pada mukanya orang yang jalan duluan terdapat tanda tapak golok, sehingga
mukanya jadi menyeramkan sekali. Orang itu bukan lain daripada Loei Tjin
Tjoe, jagoan nomor satu dari turunan kedua partai Boetong pay dan saudara
angkatnya Ong Lioe Tjoe! Orang yang jalan belakangan dengan satu tangan
mencekal gendewa, adalah Tjoei In Tjoe, ahli silat Gobie pay.
Ketiga belas orang Khongtong pay itu hampir berbareng loncat bangun
dengan perasaan kaget sekali. Yang menjadi kepala, yaitu Tjiangboen
(pemimpin) Khongtong pay yang bernama Tio Leng Koen, segera berseru
sembari rangkap tangannya: "Ah, kalau begitu orang sendiri! Loei Toako,
Tjoei Toako, lagi kapan kalian datang?"
"Kami sudah datang lama sekali," jawab Loei Tjin Tjoe dengan suara
tawar.
"Kenapa tidak lantas datang duduk-duduk disini?" tanya Tio Leng
Koen.
"Lantaran aku tidak berani menjadi orang sendirimu," jawab Loei
Tjin Tjoe dengan menyindir.
Paras mukanya Tio Leng Koen berobah mendadak. Ia tahu, pembicaraan
tadi tentu sudah dapat didengar oleh Loei Tjin Tjoe dan satu pertempuran
hebat tidak akan dapat disingkirkan lagi. Ia segera kasih tanda dengan
lirikan mata kepada kawan-kawannya dan berkata dengan suara nyaring:
"Oleh karena Loei Toako pernahkan diri sebagai orang luar, maka dapatkah
aku menanya, dengan maksud apa Toako datang pada malam ini?"
"Aku sengaja datang buat memberitahukan kau orang, bahwa Ong Lioe
Tjoe tidak bisa datang pada malam ini," jawab Loei Tjin Tjoe dengan suara
tawar. "Nanti juga dia tidak akan bisa datang!"
"Apa?" Tio Leng Koen menegasi.
"Kalau mau cari dia, kau orang boleh pergi menghadap Giam Loo Ong
(Raja Akhirat) di neraka!" jawabnya.
"Binatang!" membentak Tio Leng Koen. "Besar benar nyalimu! Sesudah
membunuh, kau masih berani datang kemari." Dengan sekali kebas tangannya,
saudara-saudaranya lantas bergerak mengurung Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In
Tjoe.
Loei Tjin Tjoe dongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Sungguh sayang bukannya tanganku sendiri yang membinasakan padanya!"
katanya dengan suara menyesal. Perasaan kecewanya sukar dilukiskan
bagaimana besarnya. Mengimpi pun ia tak pernah mengimpi, bahwa orang yang
sudah jadi saudara angkatnya hampir dua puluh tahun, sebenar-benarnya
adalah mata-mata dari Khongtong pay. Hatinya sedih dan suara tertawanya
kedengaran menyayatkan hati.
"Ong Lioe Tjoe bukan dibunuh olehmu?" tanya Tio Leng Koen dengan
terkejut. Pertanyaan itu disusul dengan bentakannya lain-lain jago
Khongtong pay yang memaki dan menanya siapa yang sudah membunuh Ong Lioe
Tjoe.
Loei Tjin Tjoe adalah seorang yang beradat angkuh dan dalam
kegusarannya, ia sungkan banyak bicara lagi. "Biarpun dimampuskan, Ong
Lioe Tjoe belum habis bayar dosanya," kata ia dengan suara tawar. "Siapa
juga boleh bunuh padanya. Kalau kau orang mau balas sakit hati, terjang
saja diriku!"
Dengan gusar Tio Leng Koen angkat tangannya dan lantas menerjang.
Loei Tjin Tjoe lantas tempel pundak dengan Tjoei In Tjoe dan segera putar
pedangnya.
Tio Leng Koen adalah Tjiangboen (Pemimpin) Khongtong pay, sehingga
dapat dimengerti kalau ilmu silat dan tenaga dalamnya sudah sampai di
puncak yang tinggi. Melihat serangan musuh yang hebat, tangan kirinya
menyambar sembari tekuk dua jerijinya dan coba cangkol lengannya Loei
Tjin Tjoe dengan ilmu Siauwkinna Tjhioehoat (Ilmu Menangkap dengan
tangan). Berbareng dengan itu, pedangnya yang dipegang dengan tangan
kanan, menuding dengan gerakan Wankiong siapeng (Pentang gendewa memanah
garuda). Maksudnya gerakan itu ialah, begitu lekas Loei Tjin Tjoe
bergerak menyerang, pedang tersebut akan mendahului. Tapi tidak dinyana,
Tatmo Kiamhoat yang digunakan oleh Loei Tjin Tjoe tidak bergerak menurut
jalannya ilmu pedang biasa. Mendadakan saja, pedangnya Loei Tjin
Tjoe berbalik dan papas pundak satu soetee-nya Tio Leng Koen yang sedang
menyerang dari sebelah kanan. Dengan suara "brt", baju dengan dagingnya
sudah sempoak!
Tio Leng Koen loncat sembari berteriak: "Serang dari empat
penjuru!" Dua belas murid Khongtong pay segera terbagi jadi tiga
rombongan dengan empat orang setiap rombongan dan mereka lalu menyerang
bagaikan gelombang, Tio Leng Koen sendiri berdiri di sama tengah buat
amat-amati serangan-serangannya Loei Tjin Tjoe yang luar biasa. Sambil
tempel pundak, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe tancap kakinya di atas
tanah dan melawan secara nekat.
Sesudah menonton beberapa lama Yoe Peng berbisik di kupingnya Thian
Oe: "Walaupun kiamhoat-nya Loei Tjin Tjoe cukup mahir, ia kelihatannya
belum mendapat sumsumnya Tatmo Kiamhoat yang tulen." Thian Oe manggut-
manggutkan kepalanya dan berkata: "Aku rasa Loei Tjin Tjoe masih bisa
bertahan setengah jam lagi, tapi Tjoei In Tjoe sudah sangat kepayahan."
Tali gendewanya Tjoei In Tjoe terbuat dari urat binatang Kauw dan benang
emas hitam, sehingga sebenarnya adalah semacam senjata mustika yang
dapat membetot serta memutuskan senjata musuh. Dalam pertempuran di
Sakya, tali gendewa itu telah diputuskan dengan hudtim-nya Siauw Tjeng
Hong. Belakangan ia perbaiki dan sambung tali itu, akan tetapi,
kekuatannya sudah banyak berkurang. Kalau bertemu sama lawanan
setanding, dengan menggunakan gendewa tersebut, memang Tjoei In Tjoe bisa
menang seurat Akan tetapi, dengan dikerubuti begitu banyak orang, gendewa
tersebut tentu saja tidak dapat menolong banyak dan semakin lama ia jadi
semakin kepayahan. Keadaannya Loei Tjin Tjoe cuma mendingan sedikit. Tiga
belas orang itu semuanya adalah jago-jago dari Khongtong pay. Kalau satu
lawan satu, memang mereka semua bukannya tandingan Loei Tjin Tjoe. Akan
tetapi, dengan mengerubuti dan menyerang saling ganti seperti gelombang,
mereka segera berada di atas angin.
Selagi pertempuran berlangsung sedang serunya, badannya Tio Leng
Koen mendadak "terbang" ke atas dan selagi tubuhnya melayang ke bawah,
pedangnya menyambar ke arah tengah-tengah antara Loei Tjin Tjoe dan Tjoei
In Tjoe, dengan pukulan Hoenkang toanlioe (Membendung sungai
memutuskan aliran). Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe yang repot melayani
serangan bergelombang, tidak keburu menangkis lagi dan terpaksa masing-
masing mengegos ke depan buat singkirkan sambaran pedang. Dengan
demikian, mereka jadi terpisah satu sama lainnya. Hampir berbareng, kedua
belas musuhnya meluruk, sehingga mereka tidak dapat tempel pundak
kembali.
Tio Leng Koen tertawa terbahak-bahak sembari pimpin kawan-kawannya
mengepung secara rapat sekali. Dengan andalkan pukulan-pukulan aneh dari
Tatmo Kiamhoat, buat sementara Loei Tjin Tjoe masih dapat pertahankan
diri. Tapi keadaannya Tjoei ln Tjoe tidak sedemikian, la kelihatannya
sudah kewalahan dan tali gendewanya tak hentinya berbunyi "ting-tang,
ting-tang." Beberapa saat kemudian, dengan satu teriakan kesakitan,
pundak kirinya kena dipapas pedang, sedang gendewanya pecah tersabet
golok.
"Tjoei Loojie!" membentak Tio Leng Koen. "Kau bukannya penjahat
utama. Lepaskan gendewamu! Aku akan ampuni jiwamu!"
"Kau mau aku menakluk terhadap kawanan tikus?" jawabnya sembari
tertawa getir. "Hm! Tjoei In Tjoe boleh mati, tapi tak sudi dihinakan
oleh manusia sebangsa kau!"
"Bagus! Itulah baru saudaraku!" berseru Loei Tjin Tjoe sembari
menerjang secara nekat buat menggabungkan dirinya sama saudaranya itu.
Akan tetapi, ia tidak berhasil lantaran sudah keburu dicegat oleh Tio
Leng Koen.
Terhadap Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe, Thian Oe tidak mempunyai
rasa simpati. Akan tetapi, sesudah menyaksikan pertempuran tersebut,
ia kagumkan juga keangkuhannya kedua orang itu, yang ternyata masih
mempunyai tulang punggung.
Lewat lagi beberapa saat, keadaan kedua orang itu, lebih-lebih
Tjoei In Tjoe, jadi semakin berbahaya. Suara tali gendewanya Tjoei In
Tjoe sudah kedengaran dengkek dan sumbang.
"Orang itu bisa hilang jiwa sembarang waktu," kata Yoe Peng. "Eh,
kau tak mau membantu?"
"Apa?" Thian Oe menegasi.
"Asalnya ilmu pedang Pengtjoan Thianlie adalah dari Boetong," kata
Yoe Peng. "Kau sudah belajarkan ilmu pedang tersebut, sehingga sama Loei
Tjin Tjoe kau masih terhitung saudara seperguruan."
"Baik, kita menyerbu bersama-sama!" kata Thian Oe yang lantas
munculkan dirinya di atas batu. "Loei Tjin Tjoe!" ia berseru. "Jangan
takut! Aku menolong!"
Orang-orang Khongtong pay, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe
terkejut semuanya. Mereka dongak dan lihat sepasang orang muda, satu
lelaki dan satu perempuan, sedang berlari-lari ke arah mereka. Di
bawahnya sinar bulan, muka mereka dapat dilihat nyata sekali.
Hatinya Loei Tjin Tjoe tergetar. "Aku kira siapa, tak tahunya murid
Siauw Tjeng Hong," kata ia dalam hatinya. Harus diketahui, bahwa Loei
Tjin Tjoe adalah seorang beradat tinggi yang anggap ilmu silatnya sudah
sempurna sekali. Sedang sang guru ia tak pandang sebelah mata, cara
bagaimana ia dapat hargakan muridnya Siauw Tjcng Hong?
Di lain pihak, melihat yang datang adalah orang-orang yang baru
berusia belasan tahun, Tio Leng Koen jadi tertawa besar. "Apa kamu tahu
berapa tingginya langit dan berapa tebalnya bumi?" katanya sembari
tertawa bergelak-gelak. "Bau susumu belum hilang, sudah berani datang
kesini buat cari mampus!"
"Tan kongtjoe! Lekas menyingkir!" Loei Tjin Tjoe juga berseru.
"Tolong beritahukan gurumu, aku sudah tidak membenci ia!"
"Lantaran kau sudah tidak membenci soehoe, maka aku mau menolong,"
jawab Thian Oe yang bagaikan kilat sudah menikam Tio Leng Koen dengan
pedangnya. Sembari kebas tangannya, Tio Leng Koen menyampok dengan
pedangnya buat bikin terpental senjatanya Thian Oe. Tapi siapa nyana
gerakan pedangnya Thian Oe malahan lebih aneh daripada pedangnya Loei
Tjin Tjoe. Tiba-tiba saja, ujung pedangnya tukar haluan dan sambar
dadanya Tio Leng Koen, yang jadi terbang semangatnya sebab sama sekali
tak menduga bakal diserang secara begitu. Sebagai orang yang
berpengalaman dan tinggi ilmunya, dalam bahaya ia tak jadi gugup. Dengan
gerakan Tiatpankio (Jembatan papan besi), badannya melenggak ke belakang
sampai hampir nempel ke tanah. Jantungnya tergetar, sebab meskipun
bagaimana cepat juga gerakannya, toh rambutnya masih kena terpapas juga!
Begitu lekas pedangnya Thian Oe lewat, Tio Leng Koen segera berdiri pula
sembari menyapu dengan tangannya. Ujung pedangnya Thian Oe, yang baru
disabetkan lagi, jadi mencong sebab kena getaran pukulan musuh. Hal ini
sudah terjadi lantaran tenaga dalamnya Thian Oe belum cukup kuat,
meskipun ilmu pedangnya sangat luar biasa. Melihat pemimpinnya hampir-
hampir binasa dalam tangannya satu bocah, semua murid Khongtong pay jadi
kaget bukan main.
"Hati-hati terhadap bocah ini!" Tio Leng Koen kasih peringatan
sembari loncat tinggi.
Yoe Peng sudah lantas loncat menyerbu dan berkata sembari tertawa:
"Masih ada aku! Aku mau menyerang dengan senjata rahasia. Kau orang juga
harus berlaku hati-hati!"
Senjata rahasia adalah senjata yang digunakan buat membokong musuh.
Dimana ada orang mau lepas senjata rahasia lebih dahulu memberitahukan
kepada
musuhnya? Tio Leng Koen jadi merasa geli dan tertawa terbahak-
bahak. "Bocah!" katanya. "Kau punya senjata apa? Coba kasih 'ku lihat."
Yoe Peng mementil dengan jerijinya dan di tengah udara lantas
terdengar suara "srr, srr". Menduga serangan jarum, Tio Leng Koen putar
pedangnya buat melindungi badan. Dengan suara "peletak!", senjata rahasia
itu yang berbentuk bundar seperti mutiara, hancur kena terpukul pedang.
Berbareng dengan itu, semacam hawa yang luar biasa dinginnya menyambar-
nyambar, sehingga Tio Leng Koen jadi bergidik. Itulah bukan lain dari
Pengpok Sintan yang tiada keduanya dalam dunia!
Tio Leng Koen terkesiap. "Ilmu iblis!" ia berteriak. "Kepung!
Jangan kasih dia menimpuk lagi!"
Yoe Peng mementil kembali dan lepaskan empat butir Pengpok Sintan.
Tiga antaranya mengenakan tiga orang, sedang yang keempat kena dipukul
jatuh dengan Kimtjhie piauw-nya Tio Leng Koen. Tiga orang itu yang tenaga
dalamnya belum seberapa, lantas saja gemetar sekujur badannya, tapi dari
janggutnya mengeluarkan keringat yang turun berketel-ketel.
"Kalau setiap orang aku persen dua peluru, mereka tak akan dapat
tahan lagi," katanya Yoe Peng dalam hatinya. "Cuma sayang, persediaanku
tak mencukupi."
Pengpok Sintan dibuat dari "rohnya es" yang diambil oleh Pengtjoan
Thianlie dalam gua es yang dalamnya ribuan tombak. Di seluruh dunia,
bahan tersebut cuma bisa didapatkan di daerah Nyenchin Dangla. Dalam
sakunya, Yoe Peng cuma membawa belasan peluru. Berbeda dengan senjata
rahasia lainnya yang bisa diambil pulang, begitu dilepaskan Pengpok
Sintan lantas meledak dan musnah. Sekali lepas berarti hilangnya satu
peluru. Maka itu, mau tidak mau Yoe Peng harus irit, dan selagi ia
bersangsi, gelombang musuh yang kedua sudah meluruk dan kepung padanya.
Sembari membentak, Yoe Peng cabut Pengpok Hankong kiam yang lantas
saja mengeluarkan sinar gemerlapan yang sangat dingin, sehingga empat
musuhnya kembali bergidik. Pedang tersebut dibuat dari Oen-giok (Batu
kemala hangat), yaitu keluaran istimewa dari Puncak Es. Sesudah direndam
di dalam Hantjoan (Umbul dingin) dan diolah tiga tahun lamanya, barulah
pembuatannya selesai. Dari sebab begitu, Pengpok Hankong kiam
mengeluarkan semacam hawa dingin, yang, meskipun tidak sehebat Pengpok
Sintan, dapat mencelakakan orang-orang yang tenaga dalamnya belum kuat
betul.
Ketiga belas jago Khongtong pay rata-rata sudah mempunyai lweekang
yang kuat, sehingga, biarpun merasa sangat tidak enak diserang sinar dan
hawa dingin, mereka masih dapat mempertahankan diri. Di bawah pimpinan
Tio Leng Koen, mereka dipecah jadi empat rombongan dan kepung empat
musuhnya itu.
Thian Oe dan Yoe Pcng segera keluarkan Tokboen Kiamhoat (Ilmu
pedang tunggal) dari Pengtjoan Thianlie dengan pukulan-pukulannya yang
aneh-aneh. Sesudah bertempur kurang lebih lima puluh jurus, murid-murid
Khongtong pay masih belum dapat mengetahui, ilmu pedang apa adanya itu!
Tio Leng Koen sendiri juga merasa bingung. "Ilmu siluman! Ilmu siluman!"
ia berkata sembari geleng-gelengkan kepala.
"Ilmu siluman apa!" membentak Yoe Peng sembari mementil lagi dengan
dua jerijinya. Dua butir Pengpok Sintan menyambar. Buru-buru Leng Koen
lepaskan dua Kimtjhie piauw. Sebutir peluru kena terpukul jatuh, tapi
sebutir lagi keburu meledak sendiri dan mengenakan tepat mukanya Tio Leng
Koen. Seperti kena arus listrik, hawa dingin yang sangat hebat masuk ke
dalam dua biji matanya, dan ia lantas tak dapat membuka matanya lagi.
Saat itu, dengan gerakan Pengho kiattang (Sungai es membeku), Yoe
Peng putar pedangnya dan menyerang dari tiga jurusan, yaitu dari atas,
tengah dan bawah. Pukulan ini adalah salah satu pukulan paling luar biasa
dari ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. Diserang dari tiga jurusan hampir
berbareng, pihak musuh jadi kabur penglihatannya, dan dalam usaha
sambutannya, ia bisa membikin kesalahan yang dapat mencelakakan dirinya
sendiri. Yoe Peng keluarkan pukulan itu dengan maksud buat lebih dahulu
merobohkan Tio Leng Koen, yang jadi pemimpin dari ketiga belas musuh itu.
Akan tetapi, tidak dinyana, baru saja pedangnya bergerak, badannya
Tio Leng Koen berkelebat dan tangannya sudah menyambar dari sebelah
kanan. Thian Oe coba menolong, tapi sudah tidak keburu. Dengan suara
"plak!", pundaknya Yoe Peng kena terpukul, sehingga terhuyung dan Pengpok
Hankong kiam hampir-hampir jatuh dari tangannya.
Keliehayannya pukulan Pengho kiattang ialah dapat membikin kabur
penglihatan musuh. Dalam serangan itu, Yoe Peng tidak ingat, bahwa
lantaran kedua matanya musuh tertutup rapat akibat serangan Pengpok
Sintan, Tio Leng Koen jadi tidak kena dibikin bingung. Sementara itu,
dalam kedudukannya yang sangat berbahaya, ia sudah keluarkan pukulan
Bittjiong tjiang dari Khongtong pay. Masih untung, lantaran matanya
rapat, arah tangannya jadi kurang tepat dan cuma mengenakan pundak. Kalau
lebih ke bawah beberapa dim saja, tangannya bisa menghantam dada dan Yoe
Peng bisa dapat luka berat.
Sesudah berhasil, Leng Koen loncat mundur beberapa tindak dan
kucek-kucek matanya yang penglihatannya jadi samar-samar dan seperti juga
melihat uap putih, la kaget berbareng gusar dan membentak dengan suara
keras: "Perempuan kejam! Kalau tak korek biji matamu, aku tak puas!" la
segera teriaki kawan-kawannya buat kepung Yoe Peng secara lebih keras,
sedang ia sendiri, dengan andalkan ilmu "Membedakan datangnya senjata
dengan mendengari sambaran angin," sudah turut menerjang.
Walaupun Yoe Peng merupakan salah satu dayang terkemuka dalam
keraton es, akan tetapi ilmu silatnya masih kacek jauh jika dibandingkan
dengan musuh-musuhnya. Maka itu, begitu dikepung sungguh-sungguh, ia
lantas berada di bawah angin. Buat sementara waktu, ia masih bisa
pertahankan diri dengan andalkan kegesitannya, akan tetapi, ia sudah
tidak mempunyai tempo buat menimpuk lagi dengan Pengpok Sintan.
Thian Oe terkejut dan menyerang dengan mati-matian dengan gunakan
segala rupa pukulannya Pcngtjoan Thianlie yang luar biasa. Di antara
dayang-dayang, meskipun mendapat didikan langsung dari Pengtjoan
Thianlie, akan tetapi tidak ada barang seorang yang belajarkan seluruh
Tokboen Kiamhoat. Di lain pihak, Thian Oe mencuri belajar dari gambar-
gambar di dinding gedung terlarang. Maka itu dibandingkan dengan
para dayang, ia dapat lebih banyak sumsumnya ilmu pedang tersebut. Dalam
terjangannya yang mati-matian, ia sudah berhasil membuka satu jalanan dan
dapat mempersatukan dirinya sama Yoe Peng. Oleh karena mesti meladeni
Thian Oe dan Yoe Peng yang mengamuk seperti kerbau edan, barisannya
Khongtong pay jadi kalut, sehingga Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe juga
dapat menerjang keluar dan gabungkan diri sama Thian Oe dan Yoe Peng.
Dengan demikian, ke empat orang itu menjadi dua pasangan, yang, dengan
saling tempel pundak, melawan serangan-serangannya ketiga belas jago
Khongtong pay.
Loei Tjin Tjoe sama sekali tidak pernah mengimpi, bahwa dalam tempo
beberapa bulan saja, ilmu silatnya Thian Oe sudah maju begitu jauh dan
kelihatannya sudah berada di sebelah atasan gurunya sendiri. Semangatnya
jadi terbangun dan ia dapat menyerang dan membela diri secara rapi. Tjoei
In Tjoe pun dapat pulang ketenangannya dan tali gendewanya kembali
bersuara nyaring.
Dengan perlahan sinar bulan condong ke sebelah barat dan mereka
sudah bertempur lebih dari satu jam. Perlahan tapi tentu, keadaan di
gelanggang kembali berobah.
Sesudah berkelahi begitu lama, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe
jadi lelah. Oleh karena tenaga dalamnya belum begitu kuat, Thian Oe dan
Yoe Peng juga sekarang cuma dapat membela diri.
Tio Leng Koen dan kawan-kawannya jadi girang dan mereka menyerang
semakin hebat. "Perempuan siluman! Sekarang baru kau tahu keliehayan
kami! Lekas keluarkan obat pemunah!" berseru Tio Leng Koen. Dengan
andalkan Iweekang-nya yang sangat tinggi, buat sementara ia masih dapat
menahan hawa dinginnya Pengpok Sintan. Tapi belakangan, ia rasakan kedua
biji matanya seperti juga ditusuk-tusuk jarum sehingga ia kuatir menjadi
buta, jika terlambat pengobatannya. Maka itu, ia mendesak hebat dan mau
paksa Yoe Peng keluarkan obatnya.
Yoe Peng ambil sikap acuh tak acuh. "Obat apa?" tanya ia sembari
tertawa.
"Kau tak mau keluarkan?" kata Tio Leng Koen. "Kalau kau tidak
keluarkan, biarpun buta, aku masih dapat membunuh engkau!" Sembari tekap
matanya dengan tangan kiri, pedangnya kembali menyerang hebat dengan
pukulan-pukulan yang membinasakan. Ketika itu, matanya sudah jadi bengkak
seperti buah engtoh dan hatinya takut bukan main.
Yoe Peng benar nakal. Dalam keadaan yang berbahaya, ia masih bisa
tertawa. "Ha! Tadi aku sudah suruh kau hati-hati!" katanya. "Kau sendiri
yang tak hati-hati, sekarang berbalik salahkan orang!" sembari tempel
pundak dengan Thian Oe, ia kembali singkirkan beberapa serangan. "Hai,
aku dengar lelaki Han lebih suka keluarkan darah daripada keluarkan air
mata. Tapi kau lebih suka menangis! Apa tak malu?" Yoe Peng mengejek
pula.
Tio Leng Koen jadi seperti orang kalap. Bersama empat saudaranya,
ia menyerang seperti macan edan, sehingga Thian Oe dan Yoe Peng jadi
benar-benar kedesak.
"Aku lihat kau, benar-benar kasihan! Biarlah aku berikan obat
pemunah!" kata Yoe Peng.
"Mari!" Leng Koen membentak.
"Galak benar, kau!" kata Yoe Peng. Kalau kau minta baik-baik,
mungkin aku mau juga kasihkan."
"Yah, hayo kasihkan!" kata Tio Leng Koen dengan suara lebih lunak.
"Mana bisa begitu gampang!" kata Yoe Peng sembari nyengir. "Kau
lebih dahulu harus minta maaf pada Loei-ya dan bersumpah tak akan pergi
ke Sinkiang buat satrukan orang-orang Boetong. Kau pun harus minta maaf
kepada kami. Sesudah itu, barulah aku mau kasihkan obatku."
Tio Leng Koen sangat bersangsi. Ia tak tahu mesti ambil jalanan
yang mana. Ia paksakan membuka kedua matanya dan samar-samar lihat cara
bersilatnya Loei Tjin Tjoe sudah menjadi kalut.
"Lebih dahulu mampuskan siluman perempuan ini!" mendadak ia berseru
sesudah mengambil putusan. "Saudara Thio, Oey dan Yo, kau bertiga pergi
layani itu dua manusia. Cukup kalau kau bikin mereka tak bisa membantu
kedua bocah ini!"
Sehabis memerintah begitu, di bawah pimpinannya sendiri, sepuluh
jagoan Khongtong pay segera meluruk mengepung Thian Oe dan Yoe Peng.
Maksudnya Tio Leng Koen adalah coba membinasakan Yoe Peng selekas mungkin
supaya bisa ambil obat pemunah dari badannya.
Akan tetapi, ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie ada sangat luar biasa
dan tak gampang-gampang dapat dipecahkan dalam tempo yang pendek. Tio
Leng Koen jadi bingung sekali dan dengan sepenuh tenaga, ia cecer kedua
orang muda itu dengan pukulan-pukulan yang paling hebat. Belasan jurus
kembali lewat. Thian Oe dan Yoe Peng sengal-sengal dan mereka tahu, tak
akan dapat pertahankan diri lebih lama lagi. Di lain pihak, kedua biji
matanya Tio Leng Koen juga dirasakan semakin sakit, sehingga kedua belah
pihak jadi sama-sama bingungnya.
Dalam keadaan yang sangat genting, mendadak terdengar suara
nyanyian:
"Pada malam Tiongtjhioe sama-sama memandang bidan, tapi kenapa hawa
pedang melonjak ke tengah awan?"
Suara itu kedengarannya datang dari tempat yang sangat jauh, dengan
kecepatan luar biasa. Begitu nyanyian berhenti, seorang pemuda baju putih
dengan mulut tersungging senyuman, sudah berada disitu.
Kecepatan bergeraknya pemuda itu, membikin semua orang jadi
terkejut. Tio Leng Koen loncat mundur tiga tindak dan berkata sembari
lintangkan pedangnya: "Sahabat dari mana adanya tuan? Pengajaran apakah
yang tuan hendak berikan kepada kami?"
Pemuda itu tertawa dingin seraya menyahut dengan suara nyaring:
"Kedatanganku adalah buat memberi sedikit pengajaran kepada kau orang.
Khongtong pay adalah salah satu partai besar dalam Rimba Persilatan dan
dengan banyak susah payah partai itu telah diberdirikan. Pada jaman yang
lampau, Tjiangboen Khongtong pay, Ouw Bong Tootiang, adalah seorang
pendeta beribadat yang menjaga keras peraturan partai. Akan tetapi,
begitu pimpinan jatuh ke dalam tanganmu, orang-orang Khongtong pay lantas
saja lakukan segala perbuatan yang tidak pantas. Apa kamu orang tidak
merasa malu kepada leluhurmu yang sudah berada di alam baka?"
Pemuda baju putih itu baru saja berusia kurang lebih dua puluh
tahun, akan tetapi ia bawa sikap seperti caranya seorang tingkatan tua
bicara terhadap orang dari tingkatan muda. Maka tidaklah heran jika Tio
Leng Koen lantas naik darahnya dan ia dongak sembari tertawa besar.
"Dengan berkata begitu, tuan rupanya ingin membersihkan rumah tangga
Khongtong pay!" katanya dengan suara dingin.
"Benar," jawab si pemuda dengan suara sungguh-sungguh. "Lantaran
tidak tega melihat seluruh Khongtong pay dikorbankan dalam tanganmu, maka
tanpa perdulikan kecapaian, aku sengaja datang kesini buat mengurus kamu
orang!"
Harus diketahui, bahwa menurut peraturan Rimba Persilatan,
pekerjaan "membersihkan rumah tangga" hanya dapat dilakukan oleh tetua
dari partai itu sendiri. Manakala seorang luar hendak "membersihkan rumah
tangga" partai lain, maka orang itu haruslah seorang yang tingkatannya
sangat tinggi dengan mempunyai ilmu silat yang dapat menindih semua
anggauta dari partai yang mau dibersihkan. Maka itu, dapat dimengerti
jika perkataannya si pemuda bukan saja sudah membikin gusarnya Tio Leng
Koen, tapi juga sudah keja dua belas orang Khongtong pay yang berada
disitu, jadi mata merah.
Sembari paksa buka kedua matanya, Tio Leng Koen tertawa terbahak-
bahak dan menuding dengan pedangnya.
"Sungguh malu, sebagai Tjiangboen dari Khongtong pay, aku mesti
membikin Lootjianpwee jadi berabe buat membersihkan rumah tangga kita!"
ia berseru sekeras suara. "Cuma saja aku orang she Tio sangat kepala batu
dan sukar menerima pengajaranmu! Maaf, maaf, aku yang rendah terpaksa
menolak segala kemauanmu!" Mendengar perkataan pemimpinnya, semua murid
Khongtong pay jadi tertawa keras. Mereka ejek si pemuda yang dianggap
sangat tidak tahu diri.
Tapi si pemuda tetap berlaku tenang. Ia menyapu dengan matanya dan
berkata pula: "Apa kau orang benar-benar mau aku turun tangan?"
"Binatang!" membentak Tio Leng Koen. "Kau betul-betul sudah bosan
hidup! Cabut pedangmu! Lihat, apa kau ajar aku, atau aku mengajar kamu!"
Si pemuda tertawa besar. "Buat menghadapi orang-orang seperti kau,
perlu apa aku mencabut pedang?" katanya. "Thian Oe! Kau semua menyingkir,
supaya tak menghalangkan gerakanku. Tio Leng Koen! Panggil semua kawanmu,
supaya aku tak usah turun tangan dua kali!"
Thian Oe manggutkan kepalanya dan sembari tarik tangannya Yoe Peng,
ia segera loncat keluar dari gelanggang. Bukan main herannya Loei Tjin
Tjoe. "Apa pemuda itu berotak miring?" tanya ia dalam hatinya. Selagi
terheran-heran, mendadakan kupingnya dengar teriakan Thian Oe: "Loei
Toako! Lekas mundur!" Mau tidak mau, ia lantas turut loncat keluar dari
kalangan.
Pada saat itu, ketiga belas jago Khongtong pay sudah meluruk ke
arah si pemuda itu. Dengan mata berkilat, pemuda itu ayun satu tangannya
dan di tengah udara lantas terdengar suara "srr, srr, srr!" Buat
keheranannya semua penonton, hampir pada detik yang bersamaan, tiga belas
orang itu, terhitung juga Tio Leng Koen, keluarkan teriakan kesakitan dan
roboh menggoser di atas tanah!
Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe ternganga bahna herannya.
"Tio Leng Koen! Apa kau menyerah?" tanya si pemuda sembari tertawa.
Sebagai orang yang mempunyai tenaga dalam yang lebih kuat daripada
saudara-saudaranya, dengan paksakan diri, Tio Leng Koen bisa juga bangun
duduk. "Terima kasih buat pengajaranmu," kata ia. "Jika kami tidak
binasa, kejadian ini tentulah tak dapat dilupakan. Dapatkah aku mendapat
tahu nama tuan yang mulia?"
Sebagai Tjiangboen dari satu partai, dalam kekalahannya, ia masih
tidak lupa buat keluarkan kata-kata yang sesuai dengan kebiasaan Rimba
Persilatan. Dengan berkata begitu, ia rnemberitahu, bahwa sebegitu lama
masih hidup, ia tentu akan membalas sakit hati.
"Kamu orang mau balas sakit hati? Jangan ngimpi!" kata si pemuda
dengan suara tawar. "Semua tulang pundakmu sudah kena ditobloskan! Yah,
mati sih tidak, tapi buat bisa bersilat lagi, jangan kau harap! Pulanglah
dan hidup tenteram!"
Baru perkataan itu habis diucapkan, semua orang kembali terkejut.
Bahwa dengan sekali gerakkan tangan, si pemuda sudah dapat robohkan tiga
belas ahli silat Khongtong pay, sudah sangat luar biasa. Tapi, bahwa
semua senjata rahasianya dengan tepat mengenakan tulang pundak orang,
adalah satu kepandaian yang sungguh tak dapat dibayangkan bagaimana
tingginya!
Tanpa merasa Tio Leng Koen meraba tulang pundaknya, dan benar saja,
tulang itu sudah hancur dan sakitnya sampai membikin ia keluarkan air
mata. Ia mengetahui, sekarang ia sudah jadi orang bercacat seumur hidup,
ilmu silatnya musnah dan ia cuma bisa hidup seperti orang biasa.
Si pemuda baju putih mesem dan berkata: "Aku sudah ampuni jiwamu,
apa kau masih tidak merasa puas? Pulanglah dan hidup secara tenteram."
Bukan main sedihnya Tio Leng Koen. "Apakah tuan dapat menaruh belas
kasihan buat perlihatkan senjata rahasia itu, supaya kita dapat membuka
mata kita?", katanya dengan suara perlahan.
Pemuda itu kembali mesem. Mendadak ia cabut pedangnya yang lantas
pancarkan sinar terang ke empat penjuru. "Barusan aku tak gunakan ia.
Sekarang perlu digunakan," katanya.
Hatinya Leng Koen berdebar-debar dan sebelum ia tahu si pemuda mau
berbuat apa, ujung pedang sudah sontek pundaknya dan ia merasa seperti
juga serupa benda panjang loncat keluar dari daging pundak. Pemuda itu
pegang benda tersebut dengan kedua jerijinya dan goyang-goyang di depan
matanya Tio Leng Koen. "Sudah lihat?" tanya ia.
Senjata rahasia itu bukannya emas dan juga bukannya besi. Warnanya
hitam dan bentuknya kecil panjang seperti anak panah tanpa bulu. Dengan
senjata itu, si pemuda ketok pedangnya yang lantas saja keluarkan suara
mengaung yang sangat jernih dan bersih.
Tio Leng Koen pucat bagaikan mayat. "Ah", ia berseru dengan suara
di tenggorokan. "Thiansan Sinbong dan Yoeliong kiam!"
"Benar," kata si pemuda. "Apa sekarang kau sudah tahu asal-usulku?"
Pedang Yoeliong kiam adalah senjata mustika yang dipandang suci
dalam kalangan partai Thiansan pay. Siapa yang membawa senjata itu, ia
tak bisa lain daripada ahli waris tulen dari Thiansan pay. Tjiangboen
Thiansan pay di waktu itu adalah Tong Siauw Lan yang tingkatannya dua
kali lebih tinggi dari Tio Leng Koen. Maka itu, jika si pemuda adalah
muridnya Tong Siauw Lan, tingkatannya berada lebih atas daripada Tio Leng
Koen.
Dengan cepat si pemuda keluarkan dua belas Thiansan Sinbong lainnya
dari pundaknya lain-lain jago Khongtong pay.
"Dia sudah tidak mempunyai ilmu silat lagi dan tak dapat jadi bibit
penyakit. Tak usah bikin matanya menjadi buta," kata si pemuda sembari
berpaling pada Yoe Peng.
"Baik," sahut Yoe Peng sembari keluarkan sebutir Yangho wan yang
lantas diberikan kepada Tio Leng Koen. "Telan ini dan mengasoh tiga
hari," katanya.
Tio Leng Koen kucek-kucek matanya, sikapnya seperti seekor ayam
jantan yang baru dipecundangkan. Sesudah memberi hormat kepada si pemuda
baju putih, dengan dipepayang oleh kawan-kawannya, ia segera berlalu dari
situ. Si pemuda tertawa bergelak-gelak dan berkata kepada Thian Oe:
"Pertempuran yang barusan sungguh menyenangkan! Eh, bocah, nasibmu benar-
benar baik. Baru berdiam di keraton es tiga bulan, ilmu silatmu sudah
maju begitu jauh."
"Bukankah kau berada sama-sama Pengtjoan Thianlie?" tanya Thian Oe.
"Dialah yang tak sudi berada sama-sama aku," sahut si pemuda
sembari tertawa. "Aku justru mau tanya keterangan mengenai dirinya dari
kalian."
Yoe Peng terkejut dan buru-buru menanya: "Bukankah pada hari itu
kau sedang adu pedang dengan Kongtjoe kami?"
"Janji adu pedang harus ditangguhkan sampai di lain hari," sahut si
pemuda.
"Meskipun adu pedang tidak dapat dilangsungkan, tapi kau toh mesti
bertemu muka dengan ianya!" kata Yoe Peng lagi.
"Sebelum tiba di kakinya Puncak Es, aku sudah rasakan alamat bakal
adanya gempa bumi," menerangkan si pemuda. "Apa kau kira aku masih berani
maju terus buat cari mati?"
"Kalau begitu, jadi kau tak pernah lihat padanya?" Thian Oe
menegasi.
"Ah, buat apa kau begitu berkuatir?" katanya dengan suara jengkel.
"Sedang aku dapat loloskan diri, apa kau kira ia tak mampu selamatkan
jiwanya? Hari itu, selagi aku kabur ke arah utara, aku lihat bayangannya
kabur ke jurusan selatan. Belakangan, sesudah gunung berapi meledak,
biarpun mau, aku pun tak akan dapat mencarinya. Barulah sekarang aku
mendapat tahu, ia belum balik ke keraton es."
Mendengar keterangan si pemuda, bahwa Pengtjoan Thianlie sudah
terlolos dari bencana alam, hatinya Thian Oe dan Yoe Peng menjadi lega.
"Apakah kalian mau pergi ke Lhasa?" tanya si pemuda.
Thian Oe manggutkan kepalanya, sedang si pemuda berdiam beberapa
saat seperti orang lagi berpikir. Mendadak ia keluarkan satu kotak sulam
dari sakunya dan berkata: "Ayahmu berada di tempatnya Hok Kong An.
Sekarang aku mau minta pertolonganmu buat serahkan kotak ini kepada Hok
Kong An, supaya aku tak usah berabe mundar-mandir."
Thian Oe sambuti kotak itu, dan selagi mau menanya, si pemuda sudah
mendahului sembari tertawa: "Kasihkan saja padanya. Percayalah, barang
ini mempunyai banyak kebaikan bagi ayahmu. Di belakang hari kita bakal
bertemu pula. Kau tak usah banyak menanya." Ia berpaling kepada Loei Tjin
Tjoe dan lanjutkan perkataannya: "Kau juga harus segera pulang ke
Soetjoan. Jika bertemu dengan Moh Tayhiap, tolong sampaikan salamku
kepadanya." Sehabis berkata begitu, ia angkat kedua tangannya dan dalam
sekejap, ia sudah lenyap dari pemandangan.
Sesudah dapat banyak pengalaman pahit getir, habislah segala
kesombongannya Loei Tjin Tjoe. Dengan mulut ternganga dan hati yang kagum
tak habisnya, ia awasi bayangannya si pemuda baju putih yang melesat
seperti anak panah. Sesudah mengasoh beberapa lama, keempat orang lantas
berpisahan. Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe menuju ke Soetjoan, sedang
Thian Oe dan Yoe Peng teruskan perjalanan ke Lhasa.
Tanpa mendapat rintangan suatu apa, pada satu magrib Thian Oe dan
Yoe Peng tiba di ibukota Tibet itu. Begitu masuk ke dalam kota, selagi
Thian Oe mau tanya orang dimana letaknya markas besar Hok Kong An, Yoe
Peng mendadak berkata: "Kenapa begitu terburu-buru? Marilah kita pesiar
barang semalaman, buat lihat-lihat pemandangan Lhasa di waktu malam.
Biarlah besok saja cari ayahmu."
Thian Oe mesem. Ia jadi ingat janjinya buat ajak Yoe Peng pesiar di
kota Lhasa dan ia juga merasa, bahwa begitu lekas sudah masuk ke markas
besarnya Hok Kong An, mereka tidak dapat keluar masuk lagi sesuka hati.
Maka itu, tanpa membantah, ia lantas tuntun tangannya Yoe Peng dan
keliling di seputar kota.
Sebagai ibukota Tibet, Lhasa dikurung oleh bukit-bukit yang
tingginya dari empat sampai lima ribu kaki. Rumah-rumah yang papak dan
tenda-tenda di sana-sini memperlihatkan pemandangan yang lain daripada
apa yang terlihat di Tiongkok Asli. Di waktu malam, sinar lilin yang
muncul dari beribu-ribu tenda memberi satu pemandangan yang sangat luar
biasa. Keraton Potala yang berdiri di atas bukit dan atapnya mengeluarkan
sinar emas berkredepan, kelihatannya angker dan indah sekali.
"Mari kita pergi kesana," mengajak Yoe Peng.
"Itulah keratonnya Budha Hidup, mana boleh orang sembarangan
masuk," menerangkan Thian Oe. "Mari kita pergi ke lapangan yang terletak
di sebelah bawahnya."
Lapangan yang terletak di bawahnya Keraton Potala adalah pusatnya
keramaian dari kota Lhasa. Di seputar lapangan berdiri tenda-tenda yang
berjejer-jejer, sedang di tengah-tengah terdapat macam-macam pedagang
yang gelar barang-barangnya di atas tanah. Di sebelahnya itu, terdapat
juga rombongan-rombongan penyanyi, wayang, dangsu dan sebagainya. Yoe
Peng yang biasa berdiam dalam keraton yang sepi, tentu saja belum pernah
saksikan keramaian yang sedemikian rupa. Ia merasa, keindahan bilang ribu
lilin dan lampu yang gilang-gemilang adalah lebih mengagumkan dari apa
yang dapat dilihat di keraton es. Sesudah nonton orang India bermain
ular, mereka pergi saksikan pertunjukan yang diberikan oleh rombongan
orang-orang Hapsatkek dari Sinkiang. Yang satu kasih lihat kepandaian
menelan pedang, sedang yang lain semburkan api menyala dari mulutnya.
Orang itu kasih masuk sebatang pedang yang panjangnya tiga kaki ke dalam
mulutnya. Pedang itu amblas dan yang ketinggalan di luar mulut cuma
gagangnya saja yang pendek.
"Ah!" kata Yoe Peng dengan suara kagum. "Ilmu silatnya orang itu
kelihatannya melebihi si pemuda baju putih!"
"Bukan ilmu sejati, semacam sulap," menerangkan Thian Oe sembari
tertawa. Baru saja Thian Oe berkata begitu, orang itu cabut pedangnya
yang lantas ditekuk-tekuk. Ternyata pedang itu terbuat dari timah tipis
yang sangat lemas. Yoe Peng tertawa terbahak-bahak dan hatinya girang
sekali. Mendadak ia rasakan badannya disenggol orang dan ketika ia meraba
dengan tangannya,
Pengpok Hankong kiam sudah lenyap!
Bukan main kagetnya Yoe Peng. Ia menengok dan lihat Thian Oe sedang
cekal satu orang sembari membentak: "Dia!" Tak salah lagi orang itu
adalah si pencopet, sebab sarung pedang kelihatan nongol di bawah
jubahnya yang panjang. Yoe Peng enjot badannya buat rebut pulang
pedangnya. Tiba-tiba orang itu tertawa nyaring dan dengan sekali goyang
badannya, ia sudah terlepas dari cekalannya Thian Oe, akan kemudian kabur
dengan menyelesap di antara orang banyak. Thian Oe ternganga sambil
pegangi jubahnya si copet, yang tenyata sudah akali ia dengan tipu
"Tonggeret lepaskan kulit." Selagi Thian Oe pegang tangan jubahnya dan
hendak membekuk dengan cekalan Kinna hoat, si copet loloskan tangannya
dari tangan jubah dan kabur dengan tinggalkan jubahnya.
Sembari berteriak "tangkap!", Thian Oe loncat memburu. Meskipun
ilmu entengi badannya sudah cukup tinggi, tapi si copet terlebih gesit
lagi dan dalam tempo sekejap, ia sudah kabur keluar dari antara orang
banyak. Thian Oe mengubar terus tanpa perdulikan beberapa orang yang jadi
terpelanting lantaran ditubruk olehnya. Di lain saat, ia lihat si copet
sudah loncat ke atas sebuah tenda. Pencopetan adalah kejadian lumrah di
tempat tersebut dan orang banyak mengambil sikap acuh tak acuh, malahan
beberapa antaranya yang kena dibikin terpelanting jadi berbalik maki
Thian Oe yang dikatakan ceroboh.
Dengan berdiri di atas tenda, si copet buat main Pengpok Hankong
kiam dan mulutnya memuji tak hentinya: "Pedang bagus! Sungguh bagus!"
Dengan gusar, Yoe Peng dan Thian Oe loncat ke atas tenda itu, tapi si
copet yang luar biasa gesitnya, sudah pindah ke lain tenda dan dengan
beberapa lompatan, ia sudah turun ke atas lapangan yang terletak di
belakangnya tenda-tenda.
Thian Oe terkejut. Ilmu entengi badannya si copet ternyata tidak
berada di sebelah bawahnya! Lapangan tersebut terletak di bawahnya suatu
bukit, di atas mana berdiri keraton Potala. Si copet lari dengan mendaki
tanjakan gunung, tapi ia menuju ke arah selatan barat dan bukannya ke
jurusan Potala.
Thian Oe dan Yoe Peng mengubar terus sekeras-kerasnya, tapi mereka
tetap ketinggalan di belakang dalam jarak beberapa tombak. "Orang ini
mungkin bukan copet sewajar," kata Thian Oe. "Tak perduli," kata Yoe
Peng. "Dia sudah curi pedangku, aku mesti merebut pulang."
Mereka terus ubar-ubaran, dari depan sampai di belakang bukit dan
akhirnya masuk ke satu daerah pegunungan yang sangat sepi.
"Sahabat!" Thian Oe berteriak. "Sudahlah, jangan main-main!"
Orang itu tidak meladeni dan lari terus, sambil mencekal Pengpok
Hankong kiam yang sinarnya menerangi jalanan. Sesudah kabur lagi beberapa
lama, si copet mendadak berhenti di depannya satu rumah, yang
mengeluarkan sinar lilin. Bentuknya rumah itu agak luar biasa, bukan
pasegi tapi bundar seperti tenda, sedang seputarnya dikurung tembok. Si
copet mendadak lompati tembok dan masuk ke dalam.
"Ha! Inilah sarangnya!" berseru Yoe Peng sembari enjot badannya.
Thian Oe mau mencegah, tapi sudah tidak keburu, sehingga ia pun lantas
turut loncat.
Begitu masuk, mereka menghadapi penerangan yang menyilaukan mata.
Di ruangan tengah terpasang dua baris lilin sebesar lengan, sehingga
ruangan itu jadi terang seperti siang. Di tengah ruangan duduk seorang
pembesar militer Boan dan si copet menyerahkan Pengpok Hankong kiam
kepadanya. Orang itu meneliti pedang tersebut dan berkata: "Benar! Benar
pedang ini! Apa wanita itu datang bersama-sama?" Sebagaimana diketahui,
Pengpok Hankong kiam mengeluarkan sinar dingin yang luar biasa dan dapat
membikin pingsan orang yang belum mempunyai cukup tenaga dalam. Tapi
pembesar itu, yang lantas cabut pedang tersebut dari sarungnya dan
bulang-balingkan beberapa lama, seperti juga tidak merasakan suatu apa.
Yoe Peng memburu bagaikan terbang seraya membentak: "Pulangkan
pedangku!"
Pembesar itu mengawasi dengan mata tajam dan berkata: "Apa pedang
ini milikmu? Ah, tak benar!"
"Kenapa tak benar?" tanya Yoe Peng.
Si pembesar mengawasi pula dan lalu berkata: "Coba kau jalan dua
tindak."
Bukan main gusarnya Yoe Peng yang segera enjot badannya sembari
ayun tangannya buat melepaskan dua butir Pengpok S intan, yang satu
menyambar ke arah si pembesar dan yang satunya lagi ke jurusan si copet.
Sungguh sebet gerakannya pembesar tersebut! Dengan satu gerakan
kilat, tangannya sudah menyambar ke depannya si copet, dan dengan gerakan
Tjianpie Djie Lay (Djie Lay Hud dengan seribu tangan), ia sudah sambuti
kedua senjata rahasianya Yoe Peng! Ia pencet dan kedua Pengpok Sintan
lantas meledak dalam telapakan tangannya! Gelombang demi gelombang, hawa
yang sangat dingin keluar dari sela-sela jarinya.
"Sekarang kau tahu keliehayanku!" kata Yoe Peng sembari tertawa.
"Hayo, pulangkan pedangku!" Dari jarak beberapa kaki, hawa dinginnya
Pengpok Sintan sudah menusuk sampai ke tulang-tulang, apa lagi jika
peluru itu meledak didalam tangan. Yoe Peng merasa pasti, pembesar itu
tak akan dapat mempertahankan dirinya lagi dan bakal segera memohon
ampun. Tapi tak dinyana, sedikitpun ia tidak kelihatan kedinginan, dan
seperti juga tidak terjadi apa-apa, ia susut kedua tangannya yang penuh
air es di bajunya. "Ah!" kata ia. "Baik juga ketemu aku. Kalau lain
orang, biar tak mati, sedikitnya mesti sakit keras."
Thian Oe terkesiap. Dengan meledakkan Pengpok Sintan secara
demikian, kepandaiannya orang itu kelihatannya tidak berada di sebelah
bawahnya si pemuda baju putih.
Baru saja ia niat memberi hormat, Yoe Peng sudah kebaskan tangan
kirinya dan membuat setengah lingkaran dengan tangan kanannya, akan
kemudian loncat menerjang. Itulah satu pukulan yang sangat liehay dari
Tatmo Tjianghoat. "Ah! Ini jadi semakin tak benar!" kata si pembesar
sembari lonjorkan tangannya buat tangkap lengannya Yoe Peng.
Thian Oe terkejut melihat gerakan orang yang sangat hebat. Dalam
kebingungannya tanpa memikir lagi, ia enjot badannya sembari mencabut
pedang. "Sungguh indah!" berseru pembesar itu. "Di antara tingkatan muda,
kepandaian seperti ini sungguh jarang terdapat!" Selagi mulutnya bicara,
tangan kirinya bekerja terus. Mendadakan saja, Thian Oe rasakan jari-
jarinya terbuka dan pedangnya sudah pindah ke tangannya orang itu, sedang
lengannya pun kena tercekal!
Demikianlah dengan satu gerakan saja, orang itu sudah dapat cekal
lengannya Yoe Peng dan Thian Oe yang lalu dilemparkan. Belum sempat
berteriak, mereka sudah jatuh duduk di atas kursi, tanpa mendapat luka
sedikit pun!
Thian Oe dan Yoe Peng mengawasi dengan mata mendelong dan mulut
ternganga. Mereka hampir tak percaya, bahwa dalam dunia masih ada orang
yang mempunyai kepandaian begitu tinggi.
Pembesar itu mesem dan berkata: "Tak susah buat dapat pulang kedua
pedang ini. Aku cuma mau minta kalian bicara sebenarnya. Siapakah adanya
kalian?"
"Ayahku adalah Tan Teng Kie, Soanwiesoe dari Sakya," sahut Thian
Oe. Orang itu keluarkan satu seruan kaget dan berkata: "Ah, kalau begitu
kau adalah Tan Kongtjoe. Maaf buat perbuatanku yang barusan." Ia lalu
berpaling kepada Yoe Peng dan menanya: "Dan kau?"
Lantaran masih berdongkol, Yoe Peng tutup mulutnya. "Kekeliruanku
yang tadi sudah terjadi lantaran adanya salah mengerti," kata si pembesar
dengan suara halus. "Aku menduga, kau adalah seorang wanita lain, tapi
siapa nyana, biarpun pedangmu mirip dengan pedangnya, ilmu silatmu masih
kacek terlalu jauh dengan ilmu silatnya! Itu sebabnya kenapa barusan aku
bilang, tak benar."
Begitu mendengar perkataannya si pembesar, Thian Oe dan Yoe Peng
loncat bangun dengan berbareng. "Wanita siapa yang kau ketemu?" tanya Yoe
Peng.
"Bagaimana sebenarnya hubungan antara kau dan wanita itu?" ia balas
menanya.
"Aku adalah dayangnya," jawab Yoe Peng.
Pembesar itu manggut-manggutkan kepalanya seraya berkata: "Nah,
kalau begitu barulah benar. Siapakah adanya majikanmu?"
Oleh karena tidak kenal siapa adanya orang itu, hatinya Yoe Peng
jadi sangsi. "Aku she Liong, namaku Leng Kiauw," ia perkenalkan dirinya
sembari mesem. "Banyak sahabat bilang namaku sukar diingat, dan oleh
karena aku adalah anak yang ketiga, mereka pada panggil aku Liong Sam.
Bukankah Tan Kongtjoe sudah pernah dengar namaku yang rendah?"
Thian Oe jadi berdebar hatinya. Ia sama sekali tak duga, bahwa
pembesar yang kelihatannya begitu sederhana adalah orang luar biasa nomor
satu di bawah perintahnya Hok Kong An -- Liong Sam Sianseng yang kesohor
namanya!
Dari ayahnya, Thian Oe pernah dengar, bahwa di bawah perintahnya
panglima besar tersebut terdapat seorang pandai yang tak mau munculkan
mukanya. Orang itu dikenal sebagai Liong Sam Sianseng. Pangkatnya kecil
saja, yaitu pangkat Tjamtjan (semacam penulis), tapi pengaruhnya sangat
besar dan semua nasehatnya selalu diturut oleh Hok Tayswee. Banyak sekali
usaha yang berfaedah di daerah perbatasan keluar dari otaknya.
Menurut katanya orang, kepandaian Liong Sam tak dapat diukur
bagaimana tingginya. Tugas Hok Kong An di Lhasa adalah tugas yang bukan
main beratnya, akan tetapi, selama beberapa tahun, ia selalu dapat
lakukan pekerjaannya secara licin, dan ini, menurut katanya orang,
sebagian besar adalah berkat bantuannya Liong Sam Sianseng. Namanya Liong
Sam tidak banyak dikenal orang dan cuma diketahui oleh beberapa pembesar
penting di bawahnya Hok Kong An. Dahulu, setiap kali Siauw Tjeng Hong dan
Tan Thian Oe bicara mengenai dirinya Liong Sam, mereka selalu merasa
sangsi, apakah benar orang itu mempunyai kepandaian yang tinggi. Mereka
anggap, manakala benar ia mempunyai kepandaian seperti yang diagulkan
orang, Liong Sam tentu tak akan sudi bekerja sebagai satu Tjamtjan di
bawahnya Hok Tayswee.
Tapi belakangan, ketika berada di keraton es, Thiekoay sian pernah
utarakan perasaan kagumnya terhadap Liong Sam. Dikatakan olehnya, bahwa
Liong Sam adalah seperti satu naga malaikat, yang kelihatan kepalanya,
tapi tak kelihatan buntutnya. Ketika itu, Thian Oe pernah tanyakan asal-
usulnya Liong Sam, akan tetapi sang guru sungkan banyak bicara dan cuma
geleng-gelengkan kepalanya. Ia cuma bilang, kalau nanti sudah turun
gunung, ia mau bawa Thian Oe pergi ketemukan orang pandai itu. Cuma
sungguh menyesal, sebelum niatan itu terwujut, Thiekoay sian sudah
tinggalkan dunia ini buat selamalamanya. Dan sekarang, secara kebetulan
sekali, dengan matanya sendiri, Thian Oe dapat saksikan kepandaiannya
Liong Leng Kiauw.
"Sesudah aku perkenalkan diri, apakah kau dapat memberitahukan
namanya majikanmu?" tanya Liong Sam sembari tertawa. Yoe Peng masih juga
belum menyahut. Ia hanya mengawasi dengan perasaan bimbang.
"Lagi kapan kau bertemu ia?" tanya Thian Oe.
"Apa kau kenal majikannya?" Liong Sam balas menanya.
"Majikannya adalah Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
Liong Sam kelihatan terkejut. "Hm!" ia menggerendeng. "Aku kira
Pengtjoan Thianlie cuma cerita burung. Tak tahunya, benar ada orangnya!"
"Lagi kapan kau bertemu Kongtjoe kami?" tanya Yoe Peng.
"Tiga hari yang lalu, di waktu malam," sahutnya.
"Bagaimana bertemunya?" tanya lagi Yoe Peng.
"Ia datang disini dan ambil serupa barang," menerangkan Liong Sam.
"Ia ambil barangmu?" tanya Yoe Peng sembari tertawa dingin,
lantaran ia sama sekali tak percaya. Puterinya mau mengambil barang lain
orang.
"Barang apa?" tanya Thian Oe.
"Bukan barang terlalu penting, cuma aku tak mau ia mengambilnya,"
sahut Liong Sam secara menyimpang. "Cuma sayang, aku tak dapat tahan
padanya."
Pada tiga malam yang lalu, seorang wanita telah satroni rumahnya
Liong Sam dan curi satu rencana cara bagaimana Hok Tayswee akan menyambut
guci emas yang di kirim dari Pakkhia. Rencana itu telah disusun oleh
Liong Sam sendiri. Wanita tersebut mempunyai ilmu entengi badan yang luar
biasa tingginya dan menggunakan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar
terang serta hawa dingin. Liong Sam mengubar dan sesudah beberapa
gebrakan, ia masih belum dapat jatuhkan wanita itu. Dalam kegelapan
malam, ia tak dapat lihat tegas mukanya wanita tersebut yang mendadak
tertawa bergelak-gelak dan berkata: "Cuma sebegini ilmunya Naga
Malaikat!" Sehabis berkata begitu, ia menyerang dengan serangan aneh,
sehingga Liong Sam terpaksa loncat mundur, dan dengan gunakan kesempatan
itu, ia enjot badannya dan menghilang di tempat gelap.
Kejadian itu sudah membikin Liong Sam yang pandai dan banyak
pengalamannya jadi garuk-garuk kepalanya. Itu sebabnya kenapa sudah
terjadi salah mengerti dan Yoe Peng, yang diduga adalah wanita itu sebab
mempunyai pedang yang mirip dengan pedangnya wanita tersebut, sudah
dipancing datang kesitu.
Sesudah Liong Leng Kiauw tuturkan duduknya persoalan, semua orang
jadi bengong dengan masing-masing mempunyai pendapat sendiri-sendiri.
Thian Oe sendiri sudah merasa pasti, bahwa wanita itu adalah Pengtjoan
Thianlie. Di lain pihak, Yoe Peng tidak percaya omongannya tuan rumah,
bahwa Pengtjoan Thianlie datang menyatroni buat mencuri barangnya.
"Bukankah di keraton es bertumpuk-tumpuk macam-macam mustika? Mana bisa
dipercaya, Kongtjoe mau curi barangnya!" kata Yoe Peng dalam hatinya.
Tapi Yoe Peng tidak tahu, bahwa rencana yang dicuri oleh Pengtjoan
Thianlie ada lebih berharga dari mustika apapun juga. Sementara itu,
Liong Leng Kiauw tak habis mengerti, kenapa Pengtjoan Thianlie sudah curi
rencananya. Apakah ia mau campur tangan? Mengingat ilmu silatnya
Pengtjoan Thianlie yang sangat tinggi, mau tak mau hatinya jadi keder
juga.
Matanya Liong Sam yang sangat tajam dapat lihat kesangsiannya Yoe
Peng, tapi ia tidak kata apa-apa dan lantas pulangkan Pengpok Hankong
kiam. Selagi Thian Oe mau pamitan, Liong Sam sudah mendahului dengan
berkata: "Tan Kongtjoe, jika kalian tak mencela tempatku yang buruk, aku
undang kalian mengasoh semalaman disini. Besok aku akan antar kau pergi
ke gedungnya Hok Tayswee. Mungkin sekali ayahmu juga berada disitu."
"Apa ayah tinggal disitu?" tanya Thian Oe.
"Bukan," sahut Liong Sam. "Ia menyewa rumah lain. Besok Hok Tayswee
mau berunding dengan ia, dan aku dengar, tak lama lagi ia sudah boleh
balik ke Sakya.
Besok paginya, bersama Liong Sam, Thian Oe pergi ke gedungnya Hok
Kong An, sedang Yoe Peng menunggu di rumah. Gedungnya Hok Tayswee
terletak di tengah-tengah kota dan berdekatan dengan Gereja Besar
(Thaytjiauw Sie). Di tengah jalan Liong Leng Kiauw tanyakan mengenai
Pengtjoan Thianlie dan dijawab dengan sejujurnya oleh Thian Oe.
Setibanya di gedung Hok Kong An, Liong Sam minta Thian Oe menunggu
di kamar peranti tetamu menulis nama. Tak lama kemudian, seorang pelayan
muncul dan undang Thian Oe masuk ke dalam. Baru saja kakinya menginjak
undakan batu, ia dengar suaranya Liong Sam yang berkata sembari tertawa:
"Tan Taydjin, aku bilang hari ini kau bakal dapat kegirangan besar, tapi
kau tidak mau percaya.
Coba lihat, siapa yang datang!” Begitu masuk, ia lihat di tengah-
tengah ruangan berduduk seorang pembesar Boantjiu yang berusia kurang
lebih 40 tahun. Ia berwajah angker sekali, tapi pada keangkeran itu
terselip sinar kejengkelan. Orang yang duduk di sebelahnya pembesar Boan
tersebut bukan lain daripada ayahnya sendiri, Tan li-ny Kie.
Melihat puteranya, Teng kie girang tak terhingga. "Oe-djie!" ia
berseru. "Lekas memberi hormat kepada Hok Tayswee!" Thian Oesegera
jalankan peradatan sesuai dengan adat istiadat, dan sesudah itu, ia lalu
berdiri di samping ayahnya.
Hok Tayswee lirik Thian Oe dan berkata: "Dengan lihat romannya Tan
Sieheng, dengan sesungguhnya burung Hong muda boleh berendeng dengan Hong
tua. Aku berani bilang, di belakang hari nama dan keberuntungannya Tan
Sieheng akan berada di sebelah atasannya Taydjin sendiri. Sungguh aku
harus memberi selamat kepada Taydjin."
"Buat itu semua kami ayah dan anak tentu saja harus mengandal
kepada bantuannya Tayswee," sahut Teng Kie.
Thian Oe sebal mendengar kata-kata yang manis-manis dari kalangan
pembesar negeri, maka itu, tanpa menunggu sampai Hok Kong An membuka
mulut lagi, ia sudah mendahului. "Hok Tayswee," katanya. "Ada orang minta
aku sampaikan serupa barang kepadamu."
"Ada orang minta kau sampaikan barang kepadaku?" menegasi panglima
itu dengan suara heran. "Barang apa?"
Thian Oe rogoh sakunya dan keluarkan kotak sulam yang ia terima
dari si pemuda baju putih dan serahkan itu kepada Hok Kong An, yang
lantas buka tutupnya. Kotak itu ternyata berisi sejilid buku. Begitu
membaca, paras mukanya Hok Kong An jadi berobah, dan sembari pegang buku
itu dengan satu tangannya, ia menanya dengan suara tidak sabaran: "Siapa
yang berikan buku ini?" Pada mukanya panglima itu, yang tadi kelihatan
begitu tenang, sekarang terlukis perasaan kaget dan girang. Teng Kie
gelisah dan awasi puteranya.
"Yang memberikan adalah seorang muda yang kelihatannya seperti anak
sekolah, yang aku ketemu di tengah jalan," menerangkan Thian Oe.
Tan Teng Kie yang tidak mengetahui apa isinya buku itu, jadi merasa
bingung dan tidak mengerti, cara bagaimana puteranya boleh sembarangan
terima saja barangnya orang yang tak dikenal, buat disampaikan kepada
panglima besar itu. Tapi Hok Kong An tidak jadi gusar dan tangannya
menggape kepada Liong Leng Kiauw, yang, begitu lihat isinya buku
tersebut, segera berkata dengan suara girang: "Hok Tayswee, sekarang kau
sudah boleh legakan hati. Tan Kongtjoe, sahabatmu sudah banyak membantu
kami."
"Urusan ini, benar-benar mengherankan," kata lagi Hok Kong An. "Tan
Sieheng, aku minta kau bicara terus terang. Siapakah adanya sahabatmu
itu?"
"Aku bertemu padanya secara kebetulan saja dan tak mengetahui asal-
usulnya," sahut Thian Oe.
"Aku rasa orang itu adalah seorang pendekar yang berkepandaian
sangat tinggi," berkata Liong Sam. "Menurut pendapatku, buku ini bukannya
dicuri olehnya."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Hok Kong An.
"Jika ia yang curi, tentu ia tak akan kirim pulang dengan begitu
saja," jawab Liong Sam.
Hok Kong An diam, ia rupanya sedang berpikir keras.
"Orang luar biasa dalam kalangan Kangouw, sering lakukan perbuatan
yang luar biasa pula," kata lagi Liong Leng Kiauw. "Aku rasa Tan Sieheng
sudah bicara sejujurnya, sehingga Tayswee tak usah sangsikan lagi.
Menurut anggapanku, kita memerlukan juga bantuannya Tan Sieheng."
"Benar," sahut Hok Kong An. "Sekarang lebih baik kita rundingkan
soal cara bagaimana harus menyambut guci emas itu. Tan Sieheng duduklah."
"Aku mohon tanya, buku apakah itu sebenarnya?" tanya Tan Teng Kie
yang sudah tak dapat menahan sabar lagi.
"Ini adalah firman yang dikirim oleh Hongsiang (kaizar)," sahut Hok
Kong An.
Teng Kie keluarkan teriakan kaget dan mukanya jadi pucat. Cara
bagaimana firman yang begitu penting bisa jatuh di tangan orang
sembarangan, dan malahan, nyasar juga ke dalam tangannya puteranya
sendiri?
Hatinya jadi berdebar-debar, ia tak tahu apa sedang menghadapi
kecelakaan atau kegirangan.
"Dalam firman ini ditulis dengan terang seluruh perjalanannya guci
emas itu," Hok Kong An lanjutkan keterangannya. "Segala jalanan yang
diambil dan tempat mengasoh pada setiap hari semuanya ditentukan secara
jelas sekali. Menurut rencana ini, tanggal satu lain tahun, guci emas
tersebut sudah mesti tiba di Lhasa dan kita ditugaskan buat menyambut
dari tempat lima ratus li jauhnya dari sini. Setibanya disini, guci itu
harus ditaruh di Gereja Besar dan segala upacaranya juga sudah ditentukan
dalam firman ini. Sedari mendapat laporan yang duluan, aku sudah tahu,
bahwa guci itu sudah berangkat dari kota raja. Tadi aku justru sedang
buat pikiran, kenapa firman ini belum juga datang, tapi sekarang hatiku
sudah menjadi lega."
Tan Teng Kie gemetaran dan keringat dingin keluar dari dahinya. Ia
lirik kotak itu dan kemudian lirik puteranya sendiri. Sementara itu Hok
Kong An sudah berkata lagi: "Cuma saja, sekarang kita tahu terang, bahwa
firman ini sudah kena dirampas orang di tengah jalan. Dimana adanya
pengawal yang melindungi firman, kita tidak mengetahui, dan jika
Hongsiang menyelidiki, kedosaan ini tidaklah enteng."
"Tayswee tak usah kuatir," kata Liong Leng Kiauw. "Biar bagaimana
pun juga, firman itu sekarang sudah berada dalam tangan kita. Di kemudian
hari, kalau pengawalnya datang, kita anggap saja dialah yang sudah antar
sampai kesini. Aku rasa, dia juga takut memikul kedosaan buat ketidak
becusannya. Maka itu, soal hilangnya firman di tengah jalan tentu tidak
akan sampai diketahui oleh Hongsiang."
"Bagaimana kau dapat pastikan, pengawal yang mengantar firman masih
hidup atau sudah mati?" tanya Hok Kong An.
"Menurut peraturan dalam kalangan Kangouw, kalau pengawal itu kena
dibinasakan, dalam kotak tentu mesti ditaruh pisau atau lain benda buat
memberitahukannya," menerangkan Liong Leng Kiauw.
Hok Kong An cuma menggerendeng dan tidak berkata apa-apa lagi. Ia
tidak begitu percaya dipegangnya peraturan begitu dalam kalangan Kangouw,
cuma saja, oleh karena keadaannya ada sedemikian, ia juga tidak dapat
berbuat lain daripada tunggu perkembangan selanjutnya.
"Apa yang aku kuatirkan adalah kemungkinan hilangnya guci emas di
tengah jalan," kata Liong Sam.
"Tak boleh terjadi!" kata Hok Kong An. "Kalau sampai dirampok di
tengah jalan, kita pembesar-pembesar yang bertugas di Seetjong (Tibet)
bisa kehilangan kepala! Liong Tjamtjan, apakah kita tetap akan menyambut
guci itu menurut rencana yang sudah ditetapkan?" Hok Kong An tak tahu,
bahwa rencana itu sudah kena dicuri oleh Pengtjoan Thianlie. Kalau tahu,
ia tentu akan jadi lebih kaget lagi.
Liong Leng Kiauw diam beberapa saat dan matanya lirik Thian Oe.
"Yah, kita turut rencana semula, dengan sedikit perobahan," sahutnya.
"Perobahan apa?" tanya Hok Kong An.
"Menurut rencana semula, aku menetap di Lhasa buat bantu Tayswee
pimpin upacara penyambutan," sahut Liong Leng Kiauw. "Sekarang dirobah,
biarlah aku yang pergi menyambut guci emas itu."
Matanya Hok Kong An memain dan hatinya bimbang. Liong Leng Kiauw
adalah pengawal pribadinya, dan tanpa kawalannya, ia kuatir
keselamatannya terancam.
Melihat panglima itu bersangsi, Liong Leng Kiauw segera berkata:
"Kalau toh ada orang maui guci itu, percobaan merampas tentu dilakukan...
di tengah jalan. Penjagaan disini ada cukup kuat, sehingga aku rasa
Tayswee tak usah berkuatir. Di sebelahnya itu, aku akan minta soetee-ku
bantu mengawal Tayswee. Andaikata sampai ada penjahat, aku anggap ia
masih dapat menghadapinya,"
Soetee-nya Liong Leng Kiauw bernama Gan Lok, yaitu orang yang telah
copet pedangnya Yoe Peng. Biarpun ilmu silatnya masih kacek jauh dengan
sang soeheng, ia mempunyai ilmu entengi badan yang istimewa. Walaupun
mengetahui kepandaiannya Gan Lok masih kalah dengan soeheng-nya, tapi
mengingat pentingnya guci itu, yang memang juga harus dilindungi oleh
orang semacam Liong Leng Kiauw, Hok Kong An segera manggutkan kepalanya
buat menyatakan persetujuannya.
"Aku pun ingin minta bantuannya Tan Kongtjoe," kata Liong Sam.
Tan Tang Kie kaget dan buru-buru berkata: "Anakku bisa apa?"
"Orang bilang, mengetahui anak tidak melebihi ayahnya," kata Liong
Sam sembari tertawa. "Tan Kongtjoe mempunyai kepandaian sangat tinggi,
maka buat apalah Taydjin berlaku begitu sungkan!"
"Pujian Liong Sianseng tentu tak salah," Hok Kong An sambungi.
"Baiklah, kita atur begitu saja."
Liong Leng Kiauw mesem dan berkata pula: "Di sebelahnya itu, kita
pun perlu minta bantuannya Tan Taydjin."
"Sebagai pembesar sipil, aku bisa membantu apa?" kata Teng Kie.
"Kalau sudah tiba temponya, aku bersama Tan Kongtjoe dan beberapa
pengikut akan berangkat lebih dahulu buat membuka jalan," kata Liong Leng
Kiauw. "Tan Taydjin sendiri boleh pimpin seribu serdadu pilihan buat
menyambut di tempat lima ratus li jauhnya. Berhubung dengan itu, aku
minta Hok Tayswee suka angkat Tan Taydjin sebagai utusan istimewa buat
menyambut guci emas itu."
"Liong Sianseng, kau... kau jangan main-main," kata Teng Kie dengan
suara gugup. "Bagaimana aku bisa pimpin pasukan tentara?"
"Tan Taydjin, aku bukan minta kau pergi perang atau atur barisan,"
jawabnya sembari mesem. "Bawa serdadu ada apa sukarnya? Tan Taydjin
adalah seorang keluaran Hanlim yang hafal dalam segala rupa adat istiadat
dan upacara. Menurut pendapatku, kau adalah calon satu-satunya yang
paling cocok buat menjadi utusan istimewa guna menyambut guci emas itu."
Tan Tang Kie cuma berpangkat Soanwiesoe (Amban) pada sekte Sakya,
yaitu pangkat sipil kelas empat. Menurut kepantasan, pangkatnya memang
tidak cukup tinggi buat menjadi utusan guna menyambut kiriman yang begitu
penting dari sang kaizar. Akan tetapi, sebagaimana diketahui, Hok Kong An
biasanya selalu turut nasehatnya Liong Sam, maka kali ini pun ia segera
menyetujui. Ia merasa, bahwa dengan terlebih dahulu minta bantuannya sang
putera dan kemudian memberi tugas kepada sang ayah, Liong Leng Kiauw
tentu mempunyai perhitungan yang sudah dipikir masak-masak, dan di
sebelahnya itu, firman kaizar telah didapat pulang dari tangannya Thian
Oe, yang menerimanya dari seorang lain, sehingga biar bagaimanapun juga,
Thian Oe tentu masih mempunyai hubungan apa-apa dengan orang tersebut.
Dengan diangkatnya Teng Kie sebagai utusan, sang putera tentulah juga
akan mengeluarkan segala tenaganya buat bantu melindungi keselamatannya
guci emas itu. Demikianlah jalan pikirannya Hok Kong An ketika ia memberi
persetujuannya. Saat itu juga, ia perintah seorang pegawai menulis satu
surat pengangkatan.
"Banyak tahun Tan Taydjin menderita dalam menjalankan tugas di
daerah perbatasan," kata Hok Kong An sembari tertawa. "Ini kali Taydjin
menjalankan tugas yang sangat berat dan penting dan pahala Taydjin tentu
akan sangat dihargakan oleh Hongsiang. Sesudah selesai, terdapat
kemungkinan besar Taydjin akan dapat pulang pangkat yang dahulu atau
malahan akan diberi pangkat yang terlebih tinggi. Inilah benar-benar satu
kesempatan sangat baik bagi Taydjin."
Teng Kie anggap omongannya panglima itu ada benarnya, maka,
walaupun mengetahui beratnya tugas, ia lantas menerima tanpa rewel lagi.
"Jika Tan Kongtjoe mempunyai sahabat, aku pun ingin minta
bantuannya," kata Liong Leng Kiauw, Thian Oe tahu, bahwa sahabat yang
dimaksudkan adalah Yoe Peng. Ingat Yoe Peng, ia jadi ingat Pengtjoan
Thianlie dan hatinya lantas jadi bergoncang. Ia ingat, bahwa Thiekoay
sian telah membujuk supaya Pengtjoan Thianlie bantu merampas guci itu,
sedang si pemuda baju putih minta ia melindunginya, tapi kedua usul itu
sudah ditolak secara mentah-mentah. Apa yang mengherankan, kenapa
sekarang ia curi rencananya Liong Sam? Apa ia niat merampas guci emas
itu? Kalau benar, bagaimanakah baiknya? Dan sikap apa yang akan diambil
oleh Yoe Peng? Itulah ada pertanyaan-pertanyaan yang mengaduk dalam
otaknya Thian Oe. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat lain, oleh karena
ayahnya sudah terima perbaik tugas tersebut.
Sesudah beres berunding dan minum teh, Teng Kie lantas pamitan dan
pulang bersama-sama puteranya. "Urusan ini benar-benar di luar dugaan,"
katanya kepada sang putera. "Sedari tiba di Lhasa, berulang kali aku
telah ajukan permohonan kepada Hok Tayswee supaya ia bikin betul kantor
Soanwiesoe yang rusak dan tambah penjagaan. Kalau tak diluluskan, aku
minta ia bebaskan saja tugasku dan kirim aku pulang ke kampung kita. Tapi
ia tidak mau pecat padaku dan juga sungkan luluskan permohonan yang
pertama. Dengan begitu, bulan lewat bulan, aku tetap luntang-lantung dan
makan gaji buta. Aku sungguh merasa tidak betah, tapi siapa nyana hari
ini aku mendapat tugas yang begitu berat."
"Yah, sesudah kita menerima, jalan satu-satunya adalah coba
menunaikan tugas itu sebaik bisa," kata sang putera. "Dan bagaimana
dengan keadaan di Sakya?"
"Aku dengar, sesudah aku meninggalkan Sakya, Touwsoe semakin
pentang pengaruhnya, sebab sudah tidak ada orang yang menjadi rintangan,"
jawab Teng Kie. "Cuma saja, ia kelihatannya tak dapat melupakan kau.
Bulan yang lalu, ia malahan kirim orang buat menanyakan keadaanmu." Thian
Oe jadi ingat cara bagaimana ia mau dipaksa menikah dengan puterinya
Touwsoe itu, sehingga tanpa merasa, ia jadi tertawa getir.
Rumah yang disewa oleh Tan Teng Kie cuma terpisah dua jalanan
dengan gedung Hok Tayswee. Rumah itu adalah rumah penduduk biasa yang
sangat sederhana, dan oleh karena Teng Kie kempes kantongnya, ia cuma
ambil seorang pelayan buat bantu mengurus rumahnya. Perabotan rumah juga
sangat sederhana dan berbeda jauh dengan kemewahan kantor Soanwiesoe.
Baru saja mereka masuk ke dalam mereka lihat seorang wanita muda yang
berdiri di tengah ruangan sembari tertawa. Wanita itu adalah Yoe Peng!
Tan Teng Kie terkesiap, sedang puteranya lantas buru-buru berkata:
"Nona ini adalah kawanku yang datang bersama-sama ke Lhasa. Eh, bagaimana
kau bisa datang kesini?"
"Lantaran tak sabaran menunggu di rumahnya keluarga Liong, aku
tanyakan dimana letaknya rumahmu dan lantas pergi cari sendiri,"
menerangkan Yoe Peng. "Apa orang tua ini ayahmu?"
Sesudah berkata begitu, ia segera memberi hormat menurut adat
istiadat bangsa Han. Teng Kie lihat gadis itu berparas cantik dan
sikapnya gagah, sehingga jika dibandingkan dengan puterinya Touwsoe, ia
menang beberapa kali lipat. "Kalau dipasangi dengan Thian Oe memang
pantas sekali, cuma gerak-geriknya terlalu luar biasa," kata Teng Kie
dalam hatinya.
Melihat ayahnya mengawasi dengan mata mendelong, Thian Oe jadi
tertawa dan berkata: "Ayah, dia adalah satu bidadari!"
"Foei! Jangan omong kosong!" membentak Yoe Peng sembari monyongkan
mulutnya. Melihat lagak orang yang masih kekanak-kanakan, Teng Kie jadi
tertawa lebar. "Memang juga seperti bidadari!" katanya.
"Ah, Looyatjoe (panggilan menghormat terhadap orang tua) juga suka
guyon-guyon!" kata Yoe Peng.
"Ayah, memang benar ia adalah satu bidadari, kalau tak percaya,
dengarlah ceritaku," kata sang putera yang lantas saja tuturkan segala
pengalamannya dalam keraton es selama beberapa bulan. Teng Kie mendengari
dengan mulut ternganga dan hampir-hampir tidak mau percaya cerita itu
yang seperti cerita dongeng.
Mulai waktu itu, Yoe Peng berdiam di rumahnya Teng Kie dan bersama
Thian Oe, diam-diam ia coba cari keterangan tentang halnya Pengtjoan
Thianlie, tapi sebegitu jauh, uasaha itu tidak berhasil. Tanpa terasa
musim dingin sudah hampir lewat dan tempo yang ditetapkan buat menyambut
guci emas sudah hampir tiba.
Menurut rencana, Liong Leng Kiauw, Thian Oe dan Yoe Peng berangkat
satu hari lebih dahulu buat membuka jalan. Sebelum berangkat, pemuda itu
beritahukan kekuatirannya kalau-kalau Pengtjoan Thianlie benar niat
merampas guci itu, kepada Yoe Peng. "Kalau benar Kongtjoe datang, aku
pasti berdiri di pihaknya," kata Yoe Peng. "Jika ia mau merampas guci
itu, aku tentu akan membantu. Manakala sampai kejadian begitu, kau buru-
buru kabur dan aku berjanji tidak akan menyerang dirimu." Mendengar
jawaban orang, hatinya Thian Oe jadi lebih kesal.
Liong Leng Kiauw pilih tiga ekor kuda Tibet yang paling baik buat
dijadikan tunggangan dan mereka berangkat pada Capdjiegwee Tjapgo (bulan
dua belas tanggal lima belas), supaya dapat bertemu dengan rombongan yang
mengantar guci itu di mulutnya gunung Tantat san pada tangal dua puluh
tiga. Jalanan gunung luar biasa sukarnya dengan jurang-jurang yang
berbahaya dan pegunungan itu dikenal sebagai tempat keluar masuknya
kawanan kecu.
Dalam perjalanan, Liong Leng Kiauw dan Thian Oe merasa cocok
sekali, tapi Yoe Peng selalu mengambil sikap tawar. Berhubung dengan
musim dingin, jalanan tertutup salju, dan perjalanan jadi terlebih sukar
lagi. Masih untung, ilmu silatnya Thian Oe sudah maju banyak, sehingga ia
dapat menahan segala penderitaan dengan tidak banyak susah.
Di sepanjang jalan Liong Sam berlaku sangat hati-hati, dan ditambah
sama sukarnya jalanan gunung, mereka maju lambat sekali. Sesudah berjalan
tujuh hari, barulah mereka dapat lalui kurang lebih empat ratus li. Hari
itu, mereka masuklah di dalam daerah pegunungan Tantat san. "Sesudah
lewati jalanan ini, besok pagi kita akan tiba di mulut gunung dan dapat
persatukan diri dengan mereka," kata Liong Sam.
"Siapakah yang dikirim buat antar guci itu dari kota raja?" tanya
Thian Oe.
"Aku dengar, pimpinan rombongan berada dalam tangannya Raja muda Ho
Sek Tjin-ong dan delapan pengawal utama dari keraton juga datang
semuanya," sahut Liong Leng Kiauw.
"Bagaimana kepandaiannya delapan pengawal itu?" tanya Thian Oe.
Liong Leng Kiauw tertawa dan menjawab: "Sudah lama mereka dapat
nama besar dan rasanya kepandaian mereka tidak berada di sebelah bawah
kita." Didengar dari lagu suaranya, Thian Oe merasa Liong Sam tidak
terlalu pandang mata kepada delapan orang itu.
Jalanan di sebelah depan diapit dua puncak gunung dan jalanan
gunung lugat-legot seperti ular. Sesudah lewati satu lembah, mereka lihat
tiga penunggang kuda yang jalan berbaris, semua berpakaian hitam, sedang
tudungnya pun berwarna hitam, sehingga kelihatannya menyolok sekali di
atas jalanan yang tertutup salju putih. Mendadak, orang yang jalan paling
dahulu menengok ke belakang dan begitu lihat mukanya, Thian Oe keluarkan
satu seruan tertahan, sebab ia kenali, orang itu bukan lain daripada
Siamkam Tayhiap Bek eng Beng, yang tempo hari ia ketemu di shigatse.
Untung juga, malam ini Thjian Oe tidak munculkan muka, sehingga sesudah
menengok sekali, Bek Eng Beng tidak perhatikan mereka lagi dan terus
teriaki dua kawannya supaya berjalan terlebih cepat.
"Yang di sebelah depan adalah Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng," kata
Thian Oe dengan suara perlahan.
"Kau kenal tidak sedikit orang," kata Liong Sam sembari tertawa.
"Walaupun mendapat julukan Siamkam Tayhiap, Bek Eng Beng tidak seberapa
liehay. Dua kawannya yang jalan belakangan banyak lebih tinggi
kepandaiannya."
"Siapa mereka?" tanya Thian Oe.
"Dilihat dari bebokongnya, mereka agaknya seperti dua jagoan dari
Tjionglam pay, yaitu Boe-sie Hengtee (dua saudara she Boe)," sahut Liong
Sam. Boe-sie Hengtee adalah turunannya Tayhiap Boe Goan Eng yang hidup
pada jamannya Kaizar Soentie dan keluarga Boe biasanya hidup mengumpat
dalam pegunungan Tjionglam san, tapi tak dinyana, sekarang kedua jagonya
berada di Tibet.
Di sebelah depan adalah jalanan sempit yang bulak-biluk seperti
usus kambing dan diapit oleh dua puncak gunung. Mendadak terdengar
suara kelenengan kuda dan seekor kuda Arab yang tinggi besar kelihatan
mendatangi, dengan seorang penunggangnya yang memakai jubah pertapaan
warna merah. Hampir berbareng Thian Oe dan Yoe Peng keluarkan teriakan
tertahan. "Ah, dia!" berseru mereka. Orang itu bukan lain daripada
Hoantjeng jubah merah yang pernah dua kali menyatroni keraton es dan
binasakan Thiekoay sian! Thian Oe merasa heran sekali, sebab, ketika mau
lepaskan napasnya yang penghabisan, Thiekoay sian bilang, bahwa paderi
itu telah mendapat luka berat dan harus berlatih lagi dari tiga sampai
lima tahun buat dapat pulang tenaganya. Tapi baru saja berselang empat
bulan, ia kelihatannya sudah sama gagahnya seperti sebelum mendapat luka.
Sembari membentak keras, paderi itu kaburkan kudanya. Bek Eng Beng
tidak keburu menyingkir dan hampir-hampir saja ia jatuh terguling. Dengan
sangat gusar, Siamkam Tayhiap angkat tangannya dan hantam kepalanya kuda
itu. Bagaikan kilat, si paderi gerakkan tangannya, sedang badannya Bek
Eng Beng kelihatan ngapung ke tengah udara. Hampir pada detik yang
bersamaan, kedua saudara Boe loncat dari tunggangannya dan dua pasang
tangan menyambar dengan berbareng. Paderi itu keluarkan teriakan keras
dan jatuh terguling dari kudanya.
"Binatang tak kenal aturan!" kedua saudara Boe membentak. Mereka
bergerak dengan berbareng, yang satu menendang dengan kaki kirinya,
sedang yang lain menyepak sama kaki kanannya. Si paderi buru-buru putar
badannya buat sambut kedua serangan yang hebat itu.
Mendadak kuda Arab itu berbenger keras. Ternyata lantaran kaget,
bintang itu terpeleset dan jatuh menggelinding ke bawah tanjakan. Di
sebelah bawah tanjakan terdapat jurang yang dalamnya ratusan tombak,
sehingga kalau dia sampai jatuh kesitu, badannya tentu akan hancur lebur.
Si paderi terkesiap dan terlalu gugup buat bisa menolong tunggangannya.
Tiba-tiba badannya kedua saudara Boe melesat ke bawah seperti anak panah.
Yang satu tangkap kaki belakang kanan, sedang yang lain cekal kaki
belakang kirinya sang kuda, dan kemudian, sembari kerahkan tenaga
dalamnya, dengan berbareng mereka lemparkan kuda itu ke atas! Tenaga yang
dikeluarkan tidak kebanyakan atau kesedikitan dan kuda itu hinggap di
atas tanah tanpa mendapat luka! Sesudah lihat kepandaian orang yang
istimewa itu, si paderi tidak berani banyak tingkah lagi. Tanpa keluarkan
sepatah kata, ia hampiri kudanya. Ketika itu, Bek Eng Beng juga sudah
duduk di atas sela, dan selagi ia mau menghalangi si paderi, Boe-sie
Hengtee mencegah dengan berkata: "Bek Toako, biarkan manusia itu
berlalu." Bek Eng Beng tundukkan kepalanya dan berbareng dengan
berkesiurnya angin, badannya si paderi sudah melesat di atasan kepalanya
dan hinggap di atas punggung kuda.
Liong Leng Kiauw tertawa dan berkata: "Hoantjeng itu cukup liehay.
Kalau satu lawan satu, Boe-sie Hengtee tentu tidak bisa gampang-gampang
dapat kemenangan." Melihat musuh besar yang sudah binasakan gurunya,
Thian Oe jadi merah matanya. Si paderi pun kelihatannya kaget ketika
dapat lihat Thian Oe bersama Yoe Peng dan lantas keprak kudanya. Thian Oe
cabut pedangnya yang lantas diputar buat sambut kedatangan musuh.
Mendadak kedengaran bentakan Liong Leng Kiauw dalam bahasa Nepal:
"Bangsat gundul minggir!" Thian Oe cepat, tapi tangannya Liong Sam
terlebih cepat lagi. Dengan gerakan menuntun kambing, ia angkat si paderi
dari atas kuda dan terus dilemparkan ke belakang, sedang sang kuda lari
terus. Ilmunya paderi itu sesungguhnya tinggi sekali. Selagi badannya
berada di tengah udara, dengan gerakan Leehie hoansin (Ikan Leehie balik
badan), ia hinggap dengan selamat di atas punggung kudanya yang sedang
lari keras! Cuma saja, lantaran sudah beruntun dua kali kena tubruk
tembok, semangatnya jadi merosot dan ia cuma menengok ke belakang dan
awasi Liong Leng Kiauw dengan sorot mata gusar.
Liong Sam tak ladeni dia dan perintah Thian Oe berjalan terus.
"Permusuhan apakah terdapat antara kau dan Hoantjeng itu?" tanya Liong
Sam.
"Ia binasakan guruku," jawab Thian Oe.
Liong Sam heran mendengar pengakuan itu. Benar si pendeta ada
terlebih liehay daripada Thian Oe, tapi keunggulan itu cuma terletak
kepada tenaga dalam yang hanya bisa didapat dengan latihan lama. Jika
dilihat ilmu silatnya Thian Oe yang mempunyai pukulan-pukulan sangat
aneh, gurunya tentu adalah seorang ahli silat kelas satu dalam Rimba
Persilatan. Tapi kenapa ia kena dibinasakan oleh paderi tersebut? Ia
heran, tapi tidak mau menanya pula, sebab bukan temponya buat bicara
panjang-panjang. "Sekarang bukan waktunya membalas sakit hati," kata ia.
"Hayolah kita jalan terus."
Thian Oe tidak membantah dan mereka lalu teruskan perjalanan.
Ketika itu, Bek Eng Beng bertiga sudah lewati lembah gunung. Kedua
saudara Boe menoleh ke belakang dan dari sikapnya, ternyata mereka juga
sedang dihinggapi perasaan heran.
"Ikuti tiga penunggang kuda itu, cuma jangan terlalu dekat," kata
Liong Leng Kiauw.
"Liong Sianseng, ilmu apa yang barusan kau gunakan?" tanya Thian
Oe.
Liong Sam tertawa dan menyahut: "Pukulan Soentjhioe kianyo (pukulan
menuntun kambing) yang sanggat sederhana. Kesalahan paderi itu ialah dia
terlalu tidak pandang mata kepada kita dan menerjang tanpa bikin
persediaan. Maka itulah, dengan meminjam tenaganya sendiri, sekali gentak
saja aku sudah berhasil keja dia jungkir balik." Liong Sam bicara secara
merendah sekali, akan tetapi, Thian Oe mengetahui, bahwa ia mempunyai
kepandaian yang sukar diukur bagaimana tingginya, lantaran dengan pukulan
yang begitu sederhana, ia sudah bisa robohkan satu musuh yang begitu
liehay. Dengan demikian, Thian Oe jadi lebih-lebih kagumi orang pandai
itu.
Sesudah berjalan beberapa lama, tiba-tiba terdengar pula suara
kelenengan kuda. Mereka menengok dan lihat si paderi jubah merah balik
lagi dan sedang mengikuti dari sebelah kejauhan.
"Paderi itu adalah Guru Negara dari Nepal dan dia bermaksud buat
merampas guci emas itu," kata Thian Oe.
"Jangan perdulikan padanya," kata Liong Sam. "Kepandaiannya belum
cukup buat bikin kita berkuatir. Di sebelah depan mungkin sekali bakal
muncul lain-lain orang yang lebih liehay dan kita harus sangat berhati-
hati."
Sesudah lewati lagi beberapa lembah, tiga penunggang kuda yang
jalan di depan mendadak tahan tunggangannya. Liong Sam lantas beri tanda
supaya Thian Oe dan Yoe Peng pun tahan kuda mereka dan mengawasi gerak-
gerik ketiga orang itu dari jarak belasan tombak jauhnya.
Mereka lihat, di mulutnya lembah, bersender pada satu batu besar
terdapat seorang paderi kurus kering yang mukanya hitam dan berpakaian
seperti paderi berkelana dari India. Di atas tanah terdapat satu paso
pecah dan sebatang tongkat bambu, sedang si paderi sendiri lagi angsurkan
kedua tangannya seperti juga lagi minta sedekah.
Bek Eng Beng dan Boe-sie Hengtee saling awasi. "Kasihlah," kata Boe
Lootoa (saudara she Boe yang lebih tua). Bek Tayhiap keluarkan sepotong
perak yang lantas dilemparkan ke dalam paso. Paderi itu menggerendeng dan
mendadak lonjorkan tangannya buat usap kepalanya Bek Eng Beng. Bek
Tayhiap yang tidak kenal kebiasaan "memberi berkah" dari paderi India,
buru-buru mengkeretkan lehernya dan tangannya si paderi jadi kena usap
pundaknya. Bek Eng Beng terkesiap lantaran rasakan pundaknya seperti kena
arus listrik dan ia loncat setombak lebih tingginya sembari berteriak:
"Ilmu iblis! Ilmu iblis!"
"Kami juga mau memberi sedekah," kata kedua saudara Boe sembari
keluarkan seraup perak hancur yang lantas dilemparkan ke arah paderi itu.
Dengan sikap tenang, si paderi kebas kedua tangan bajunya dan semua perak
itu masuk ke dalamnya, dan kemudian, dengan miringkan tangan bajunya, ia
tuang semua perak kedalam paso.
Kedua saudara Boe barusan menimpuk dengan ilmu Thianlie Sanhoa
(bidadari menyebar kembang), yaitu serupa ilmu menimpuk senjata rahasia
yang sangat tinggi. Dengan disertai tenaga dalam, perak hancur itu ada
lebih liehay daripada puluhan piauw. Tapi si paderi dapat menyambut
dengan begitu gampang, sehingga kedua saudara Boe jadi kaget sekali.
Paderi itu lalu menghampiri dengan perlahan sembari angsurkan kedua
tangannya buat "memberi berkah". "Tak usah banyak peradatan," berkata
Boe-sie Hengtee sembari menangkis dengan gerakan tangan Toalek Kimkong.
Begitu kebentrok, kedua saudara Boe rasakan tangannya seperti
memukul kapas sehingga mereka jadi terkejut. Mendadak semacam tenaga yang
sangat besar mendorong mereka. Buru-buru mereka tarik pulang tenaga yang
sudah dikeluarkan dan-berbareng loncat mundur setombak lebih. Mereka
jalankan pernapasannya dan mengetahui tidak sampai mendapat luka. Mereka
lantas saja cemplak kudanya dan berlalu tanpa menengok lagi.
Sembari menuntun kuda, Liong Leng Kiauw menghampiri. Paderi itu
kembali keluarkan beberapa patah perkataan yang tak dapat dimengerti dan
angsurkan kedua tangannya. Liong Sam segera keluarkan seraup perak
hancur, dan seperti caranya Boe-sie Hengtee, ia lemparkan ke arah sang
paderi. Thian Oe dan Yoe Peng merasa heran, lantaran, sesudah ada
contohnya Boe-sie Hengtee, Liong Sam masih juga mau menggunakan gerakan
Thianlie Sanhoa waktu melemparkan peraknya. Si paderi lalu kebas tangan
bajunya, dan seperti tadi, semua perak lantas masuk ke dalamnya. Mendadak
terdengar suara "bret" dan baju paderinya robek sedikit, sedang sebagian
perak moncor keluar.
Si paderi tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Sungguh bagus!" Ia
berseru sembari acungkan jempol tangannya. Ia pentang telapakan tangannya
yang lantas turun perlahan-lahan buat "memberi berkah".
Barusan Liong Leng Kiauw telah gunakan ilmu melepaskan senjata
rahasia yang istimewa sekali. Ia timpukkan seraup perak hancur itu dengan
sekali timpuk, akan tetapi, setiap keping menyambar dengan tenaga yang
berlainan beratnya. Selainnya itu, pada sebelum menimpuk, lebih dahulu ia
pencet sekeping perak dengan dua jarinya, sehingga kepingan perak itu
menjadi gepeng seperti Kimtjhie piauw (piauw uang tembaga) dan sangat
tajam. Itulah sebabnya, kenapa kepingan itu dapat merobek bajunya si
paderi. Tentu saja Thian Oe tak dapat lihat itu semua, sedang si paderi
sendiri jadi sangat terkejut.
Melihat tangan orang yang turun perlahan-lahan, Liong Leng Kiauw
segera angkat tangannya buat menangkis sembari berkata dengan tertawa:
"Jangan! Aku tak berani terima!" Begitu kebentrok, mereka sama-sama
rasakan seperti dilanggar arus listrik dan kedua-duanya mundur beberapa
tindak. Liong Sam balas memberi hormat dan lantas teriaki supaya Thian Oe
dan Yoe Peng buru-buru berangkat. Si paderi lalu punguti perak yang
berantakan dan kembali menyender di batu besar sembari meramkan kedua
matanya, buat tunggu kedatangannya lain orang.
"Orang macam apa adanya paderi itu?" tanya Thian Oe sesudah mereka
jalan beberapa jauh.
"Aku cuma harap
kedatangannya disini tidak mempunyai hubungan dengan guci emas,"
sahut Liong Sam. "Kepandaian yang barusan diperlihatkan olehnya adalah
ilmu Yoga yang tidak kalah dengan Hianboen lweekang dari Tiongkok. Jika
kedatangannya adalah buat mencampuri urusan guci emas, kita sunguh bakal
ketemu lawanan berat." Sesudah mereka lalui dua lembah gunung, tiba-tiba
mereka dengar teriakannya si paderi jubah merah. Waktu Liong Sam bertiga
menoleh ke belakang, mereka lihat paderi itu menggemblok di punggung kuda
tanpa bisa angkat kepalanya lagi!
"Hoantjeng itu tentulah juga unjuk kegalakannya, sehingga ia
dipersen sedikit berkah," kata Liong Sam sembari tertawa.
Thian Oe juga turut tertawa dan berkata: "Paderi itu memberi berkah
seperti juga pembesar ujian menguji calonnya. Setiap orang yang lewat
tentu mesti diujinya. Ah, caranya benar aneh sekali."
"Kalau Pengtjoan Thianlie yang lewat disitu, aku rasa dia bakal
telan tulang," Yoe Peng beri pendapatnya. Liong Sam tidak turut bicara,
ia seperti sedang berpikir keras.
Malam itu mereka menginap dalam gunung Tantat san dengan memasang
tenda. Pada esok paginya, ternyata si paderi jubah merah, Bek Eng Beng
dan kedua saudara Boe sudah tidak kelihatan mata hidungnya. Liong Sam
menghela napas dan sembari mengawasi keadaan di seputarnya, ia berkata:
"Marilah kita berangkat pada sebelumnya matahari keluar, supaya bisa tiba
terlebih siang di mulut gunung guna menanti kedatangannya guci emas!"
Baru saja matahari munculkan diri, mereka sudah tiba di mulutnya
selat Tantat san. "Kalian tunggu disini sebentaran, aku mau lihat-lihat
di sebelah depan," kata Liong Sam. Belum habis perkataannya, dalam selat
gunung tiba-tiba terdengar suaranya kaki kuda yang sangat ramai. "Heran
benar!" kata Liong Leng Kiauw dengan suara kaget. "Menurut rencana,
rombongan pengantar guci akan tiba pada waktu tengah hari. Kenapa mereka
sudah sampai begini pagi?" Sementara itu debu tebal sudah mengebul ke
tengah udara dan ribuan kuda dengan penunggangnya lapat-lapat sudah bisa
terlihat. Hatinya Thian Oe berdebar-debar, ia kuatir timbul kesulitan
yang bisa rembet diri ayahnya dan berbareng harapkan munculnya Pengtjoan
Thianlie.
Selat gunung itu berbentuk seperti terompet, di dalamnya sempit, di
luarnya lebar. Barisan Gielimkoen yang mengawal guci emas itu, terbagi
jadi dua pasukan yang keluar dari mulut selat secara angker sekali,
seperti dua ekor naga. Ribuan bendera seakan-akan menutupi sinarnya
matahari, sedang ribuan kuda dengan para penunggangnya yang berpakaian
indah dan beroman keren, tak hentinya berbenger-benger. Di antara barisan
itu terdapat sehelai bendera kuning yang berkibar-kibar menurut tiupannya
angin dan di belakangnya bendera, tertampak empat payung sulam warna
kuning, yang mendahului empat ekor kuda bulu putih. Sekali lihat saja,
orang akan mengetahui, bahwa salah satu dari empat kuda itu menggendol
guci emas di bebokongnya.
"Utusan istimewa belum datang, apakah kita boleh menyambut lebih
dahulu?" tanya Thian Oe.
"Tunggu dahulu," jawab Liong Sam.
Baru saja pasukan Gielimkoen berbaris di mulut selat, tiba-tiba
terdengar suara riuh dan serombongan orang menerjang keluar dari lereng
gunung, dengan dikepalai oleh si pendeta jubah merah. Sambil putar
sianthung-nya, ia menerjang masuk ke dalam pasukan Boan, dengan
dilindungi oleh enam boesoe Nepal yang bersenjata golok bulan sebelah.
Bagian depan Gielimkoen segera menjadi kacau. Dua perwira, yang satu
bersenjata tongkat besi dan yang lain cekal golok, loncat keluar dan
tahan majunya si pendeta. Dengan sepenuh tenaga, si pendeta jubah merah
sampok dua senjata musuhnya yang lantas terpental, tapi untung tidak
sampai terlepas. "Bangsat Hoan! Besar benar nyalimu berani coba-
coba merampas guci emas!" membentak satu perwira sembari kebaskan
tangannya dan Gielimkoen lantas bergerak. Pasukan anak panah segera maju
ke depan, sehingga enam boesoe Nepal itu jadi tertahan di luar sebab
dihujani anak panah, sedang si pendeta jubah merah dikepung oleh kedua
perwira di tengah-tengah.
Sembari mengumpat di belakang batu, Liong Sam bertiga tonton
pertempuran itu.
"Apa kita perlu membantu?" tanya Thian Oe.
"Coba kita tonton dahulu kepandaiannya delapan pengawal istana,"
sahut Liong Sam.
Pertempuran berlangsung dengan sangat seru, tapi lekas juga kedua
perwira itu berada di bawah angin.
"Dua perwira itu adalah Tiatkoay Thio Hoa (Thio Hoa si Tongkat
Besi) dan Tanto Tjioe Ngo (Tjioe Ngo si Golok Tunggal), yaitu dua antara
delapan pengawal istana yang utama," menerangkan Liong Sam. "Kalau sedang
berkelahi, mereka biasanya tak suka orang membantu, tapi sekarang rupanya
kebiasaan itu tak akan dapat dipertahankan lagi."
Semakin lama, serangan si pendeta jubah merah jadi semakin hebat.
Tongkatnya seperti juga berobah jadi puluhan batang dan menyambar-nyambar
dengan disertai sama deruan angin yang santer, sehingga kedua perwira itu
seakan-akan terkurung dalam bayangan tongkat. Selagi ia mau turunkan
tangan yang membinasakan, tiba-tiba dari belakang barisan Boan muncul
seekor kuda, yang dikaburkan keras sekali. Sebelum sang kuda tiba di
gelanggang pertempuran, badannya si penunggang sudah melesat ke tengah
udara. "Sungguh indah gerakan Tian-ek mo-in itu (Pentang sayap mengusap
awan)!" memuji Thian Oe.
Bagaikan sehelai bianglala putih, pedangnya orang itu menyambar. Si
pendeta angkat sianthung-nya dalam gerakan Kiehwee liauwthian (Angkat
obor menerangi langit) buat sambut serangan musuh. Tiba-tiba dengan satu
suara "srt", satu benda hitam ngapung ke udara, mengikuti berkelebatnya
sinar bianglala putih. Ternyata, topinya si pendeta yang pesegi delapan
sudah kena disontek dan dibabat putus dengan pedangnya orang itu.
"Orang itu adalah jagoan kedua, Ginhong kiam (Pedang Bianglala
Putih) Yoe It Gok," kata Liong Sam. "Sekarang si Hoantjeng ketemu
tandingan berat." Benar saja dalam tempo sekejap keadaan jadi berobah. Si
pendeta terus main mundur dan sekarang cuma dapat membela dirinya saja,
tanpa mampu balas menyerang. Yoe It Gok adalah jagoan kelas satu dari
Siauwlim pay dengan mempunyai ilmu pedang Lianhoan Kiamhoat (Ilmu pedang
berantai) yang liehay bukan main.
Selagi si pendeta terdesak hebat, tiba-tiba kembali terdengar suara
riuh dan dari sebelah selatan dan utara muncul keluar sejumlah orang.
Rombongan sebelah selatan dipimpin oleh Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng,
sedang yang datang dari sebelah utara berada di bawah pimpinannya Boe-sie
Hengtee. Liong Leng Kiauw mengawasi dan berkata sembari tertawa: "Si tua
she Bek benar-benar banyak kawannya. Jago-jago dari Lima Propinsi Utara
agaknya semua turun kesini." Sementara itu, kedua rombongan itu sudah
menyerbu sehingga barisan Gielimkoen kembali menjadi kalut.
Dengan satu tanda kebutan dari bendera pasukan tengah, delapan
jagoan istana lantas dipecah buat sambut kedua serangan itu. Rombongannya
Bek Eng Beng ditahan oleh satu pasukan di bawah pimpinannya satu perwira
yang bersenjata bandringan dan mereka lantas saja bertempur hebat. Boe-
sie Hengtee yang gagah luar biasa dapat menyerbu terus sampai di tengah-
tengahnya pasukan Boan. Dengan bekerja sama, kedua pedangnya menyambar ke
kanan kiri bagaikan hujan dan angin. Selagi mereka mengamuk hebat, dari
belakang barisan muncul dua perwira yang lantas tahan majunya kedua
saudara itu. Mereka itu adalah dua anggauta dari delapan jagoan istana,
yang satu bersenjata golok bergigi seperti gergaji, sedang yang lain
mencekal pedang.
"Yang merintangkan aku, mampus, yang menyingkir, selamat!"
membentak kedua saudara Boe sambil menyabet dengan pedangnya. Dengan satu
suara krontrangan, giginya golok kena tersabet putus, sedang pedangnya
perwira yang satunya lagi kena dibikin terpental ke tengah udara. Buru-
buru mereka bilukkan kudanya, tapi gerakannya Boe-sie Hengtee luar biasa
cepat, dan berbareng sama berkelebatnya sinar pedang, kedua perwira itu
kena bacokan dan roboh dari atas kudanya.
Sesudah robohkan kedua musuhnya, Boe-sie Hengtee segera menerjang
ke pasukan tengah, ke arah empat kuda putih itu.
Dengan hati terkejut, Yoe It Gok tinggalkan si pendeta j ubah merah
dan balik badannya buat cegat kedua saudara Boe itu. Tapi Boe-sie Hengtee
bergerak luar biasa cepat, mereka menubruk ke kiri dan ke kanan dan
segera sudah mendekati bendera kuning yang berkibar-kibar di pasukan
tengah.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan dan seorang perwira yang
berpakaian kebesaran kelas tiga, loncat keluar dari tengah-tengah pasukan
Boan. Ia itu berkumis merah dan tangannya mencekal senjata yang rupanya
aneh sekali. "Kau orang adalah bangsa Han, tapi kenapa sudi membantu
orang asing buat merebut guci emas!" ia membentak sembari cegat majunya
Boe-sie Hengtee. Suaranya orang itu luar biasa nyaring dan terdengar
jelas di antara gemuruhnya pertempuran.
Kedua saudara Boe balas membentak: "Hei, kau juga bangsa Han, tapi
kenapa kesudian menjadi budaknya bangsa Boan? Kami pasti tak akan
permisikan guci emas itu diantar ke Lhasa. Majikanmu sudah duduki
Tionggoan, apa dia belum puas? Dia sekarang masih mau telan juga
Sinkiang, Mongolia dan Tibet! Merampas guci itu adalah kemauannya kami
sendiri, sama sekali tidak ada hubungannya sama pendeta asing itu. Kau
jangan omong besar, sambutlah senjataku!"
Perwira kumis merah itu tertawa terbahak-bahak. "Kamu orang sudah
sekongkol sama bangsa asing dan memberontak, dan sekarang coba goyang
lidah di hadapanku," kata ia. "Kalau benar kau punya kepandaian, ambillah
guci emas itu dari tanganku!"
Boe-sie Hengtee tahu mereka sedang berhadapan sama lawanan berat,
dengan berbareng kedua pedang mereka menyambar, yang satu membabat, yang
lain menikam, sehingga gerakannya kedua pedang itu merupakan setengah
lingkaran yang bekerja sama, menyambar ke arah pingangnya perwira itu. Si
perwira dengan cepat sodok masuk senjatanya ke dalam setengah lingkaran
itu dan kedua pedangnya Boe-sie Hengtee lantas saja terpencar dan suara
mengaungnya logam akibat bentrokan senjata kedengaran lama sekali.
Liong Leng Kiauw mengawasi sembari manggut-manggutkan kepalanya,
sedang Thian Oe berkata sembari tertawa: " Orang itu tak usah malu
menjadi kepala dari delapan pengawal istana, benar-benar ilmu silatnya
liehay."
Ilmu silatnya Boe-sie Hengtee adalah warisan dari leluhurnya dan
liehaynya bukan main. Dalam sekejap, mereka berdua sudah kirim beberapa
serangan berbahaya dengan beruntun. Senjata aneh dari perwira itu ada
lebih pendek dari toya biasa, tapi lebih panjang dari Poankoan pit
(senjata yang macamnya seperti pit, pena Tionghoa yang terbuat dari
bulu). Di atasnya tongkat itu penuh dengan gaetan-gaetan mengkilap yang
biasa digunakan buat cangkol senjata musuh. Maka itu, walaupun ilmu
silatnya sangat tinggi, mau tidak mau Boe-sie Hengtee harus berlaku
sangat hati-hati.
"Apa namanya senjata perwira itu? Kenapa begitu liehay?" tanya
Thian Oe.
"Perwira itu bernama Tjiauw Tjoen Loei, kepala dari delapan
pengawal keraton," sahut Liong Leng Kiauw sembari tertawa. "Tenaga
dalamnya tidak kalah dari Boe-sie Hengtee, sehingga biarpun ia
menggunakan senjata biasa, dua saudara Boe tidak nanti bisa mendapat
kemenangan. Dengan gunakan Longgee pang (Tongkat gigi anjing hutan) yang
terutama digunakan buat menindih senjata sebangsa golok, dalam lima puluh
jurus, Boe-sie hengtee bakal menjadi kalah."
Sementara itu, barisan Tjeng sudah menjadi teguh kembali. Bek Eng
Beng dan kawan-kawannya terkepung di tengah-tengah, sedang si pendeta
jubah merah bersama enam boesoe Nepal kena ditahan di luar barisan.
"Dilihat begini, kita boleh tak usah keluar membantu," kata Thian
Oe.
"Mana bisa begitu mudah," sahut Liong Leng Kiauw dengan paras muka
guram. Baru saja ia habis ucapkan perkataannya, di mulut gunung sebelah
timur sudah terlihat munculnya tiga orang yang pakai pakaian seperti
Lhama Tibet, cuma warnanya putih.
Kaum Lhama di Tibet terbagi jadi dua sekte, yaitu Sekte Topi Merah
dan Sekte Topi Kuning. Warna jubahnya, kalau bukan merah, tentulah
kuning. Lhama yang pakai jubah putih, Thian Oe belum pernah lihat dan
jadi merasa sangat heran.
"Ah, Hoat-ong (raja) dari Tjenghay (Kokonor) juga kirim orang buat
ngaduk di air keruh," kata Liong Leng Kiauw. "Kalau begini, kita toh
mesti turun tangan juga!"
Thian Oe terkejut dan segera ingat sejarah agama Lhama yang pernah
dituturkan kepadanya oleh ayahnya.
Ketika itu, Dalai Lhama dan Panchen Lhama merupakan kepala dari
Sekte Topi Kuning di Tibet. Sekte Topi Merah telah mendapat kekuasaan
pada jaman kerajaan Goan. Akan tetapi, di sebelahnya kedua sekte itu
masih ada satu sekte lain, yaitu Sekte Topi Putih, yang pentang pengaruh
sesudah jaman Sekte Topi Merah dan sebelum Sekte Topi Kuning. Di jaman
Kerajaan Beng, Sekte Topi Putihlah yang berkuasa di Tibet. Pada jaman
Kaizar Beng yang terakhir, yaitu pada tahun ke-16 dari Kaizar Tjongtjeng,
Dalai Lhama ke lima telah minta bantuannya Kushi Khan, seorang pangeran
Mongol dari Kokonor, buat tergulingkan kekuasaannya Hoat-ong (Raja Tsang-
Pa). Mulai waktu itulah, Sekte Topi Kuning (atau Gelupa) berkuasa di
Tibet. Sesudah diusir dari Tibet, orang-orang Sekte Topi Putih lari ke
Tjenghay dan tancap kaki disitu dengan pemimpinnya yang dikenal dengan
nama Hoat-ong.
Mengingat sejarah itu, Thian Oe jadi tidak merasa heran lagi
melihat datangnya ketiga Lhama yang berjubah putih. "Kalau sampai guci
emas kena dirampas oleh mereka, Tibet bakal jadi kalut sekali," pikir
Thian Oe.
Ketiga Lhama itu bukan main garangnya. Mereka semua menggunakan
Kiuhoan Sekthung (tongkat timah) yang mengeluarkan suara keras waktu
diputar.
"Kita harus pasang mata," berbisik Leng Kiauw sembari cekal gagang
pedangnya.
Dalam tempo sekejap, mereka bertiga sudah menerjang masuk ke dalam
barisan Tjeng. Dengan ajak sejumlah boesoe, Yoe It Gok coba tahan mereka,
akan tetapi, baru saja beberapa gebrakan, ia dan kawan-kawannya sudah
terdesak mundur.
Selagi kegentingan memuncak, di atas gunung mendadak berkelebat
satu bayangan hitam.
"Celaka!" berseru Liong Leng Kiauw sembari cabut pedangnya dan
lantas pentang kedua kakinya. Thian Oe dan Yoe Peng lantas saja mengikuti
dari belakang. Thian Oe merasa heran sekali, kenapa Liong Leng Kiauw yang
begitu tenang, jadi begitu kaget setelah lihat berkelebatnya bayangan
hitam tersebut. Siapakah musuh itu?
Kecepatan bayangan hitam itu sungguh sukar dilukiskan. Barusan saja
ia terlihat di atas gunung Tantat san yang terpisah ribuan kaki dari
selat. Mula-mula cuma terlihat satu titik hitam. Dalam sekejap, seluruh
badannya sudah dapat dilihat, dan di lain saat, ia sudah berada di lereng
gunung. Begitu lihat romannya. Thian Oe terkesiap. Ia itu bukan lain
daripada si pendeta India berkelana, yang kemarin mereka bertemu di
tengah jalan. Di belakangnya pendeta itu kelihatan mengikuti beberapa
bayangan hitam lain.
"Dia satu saja sudah sukar dilawan, bagaimana dengan kawan-
kawannya," kata Thian Oe dalam hatinya. "Kalau begini, guci emas sukar
dilindungi lagi."
Gerakan Liong Leng Kiauw cepat bagaikan angin. Sembari acungkan
pedangnya, ia menerjang masuk ke dalam barisan. "Atas titahnya Hok
Tayswee, aku datang disini buat menyambut guci emas!" ia berseru. Dengan
serentak, Gielimkoen terpecah dua buat memberi jalan kepadanya.
Mendengar bentakan Liong Leng Kiauw, tiga Lhama jubah putih yang
sudah berada di dalam barisan, segera menengok dan tiga batang sekthung
menghantam dengan berbareng. Liong Leng Kiauw, yang tidak ingin bertempur
sama tiga Lhama itu, lantas tekan ujung pedangnya pada salah satu
sekthung dan badannya segera melesat ke tengah udara. Dengan satu gerakan
Koetjoe hoansin (Anak ayam putar badan) yang sangat indah, badannya sudah
"terbang" melewati kepalanya tiga Lhama tersebut, akan kemudian
langsung memburu ke pasukan tengah.
Thian Oe dan Yoe Peng yang datang belakangan sudah bertemu dengan
enam boesoe Nepal di luar barisan. Mereka berdiri berjajar sambil cekal
goloknya yang berbentuk bulan sebelah.
"Siauw Kongtjoe akan segera datang. Kenapa kau orang tidak mau
lantas melarikan diri?" berkata Yoe Peng dalam bahasa Nepal.
Enam boesoe itu terkejut. "Jangan percaya omongannya!" membentak si
pendeta jubah merah. "Pengtjoan Thianlie siang-siang sudah ditelan gunung
berapi!"
Tanpa berkata satu apa lagi, Yoe Peng lantas lepaskan dua butir
Pengpok Sintan. Enam boesoe itu jadi bergidik dan dua antaranya, yang
pernah turut si pendeta jubah merah naik ke keraton es dan mengenali Yoe
Peng, sudah jadi begitu ketakutan, sehingga badannya bergoyang-goyang.
Dengan menggunakan kesempatan itu, Thian Oe dan Yoe Peng segera menerjang
masuk ke dalam barisan.
Dalam barisan sedang terjadi pertempuran campur aduk. Oleh karena
tidak ingin kebentrok dengan jago-jago Lima Propinsi Utara, Thian Oe
segera teriaki Yoe Peng: "Mari kita gempur itu Hoantjeng!"
Oleh karena dibukakan jalan oleh tentara Tjeng, Thian Oe dan Yoe
Peng bisa masuk secara gampang. Selagi mereka mau menerobos lebih jauh,
tiga Lhama jubah putih mendadak menengok. "Bocah, lekas pergi!" kata satu
antaranya yang menjadi pemimpin dan yang lantas menghantam dengan
tongkatnya. Thian Oe dan Yoe Peng rasakan satu tenaga yang luar biasa
besar menyapu pedang mereka, yang lantas terbang ke tengah udara.
Ternyata, lantaran lihat usia mereka yang masih begitu muda, si Lhama
tidak tega turunkan tangan jahat dan cuma bikin terpental saja pedang
mereka.
Selagi Lhama itu tertawa girang, dengan berbareng Yoe Peng lepaskan
tiga Pengpok Sintan. Tiga Lhama tersebut mana tahu dalam dunia ada
senjata rahasia yang begitu liehay. Diserang selagi tidak bersedia, tiga
peluru itu dengan tepat mengenakan dada mereka yang terbuka lebar.
Mendadakan saja, mereka rasakan menyambarnya hawa yang luar biasa dingin,
sehingga badan mereka jadi gemetaran. Dengan gunakan kesempatan itu,
Thian Oe dan Yoe Peng sambut pedang mereka yang sedang jatuh ke bawah dan
lalu menerjang ke sebelah depan.
Begitu menerobos ke dalam barisan, pendeta berkelana itu segera
kasih lihat kepandaian yang menakjubkan. Dengan tongkat bambunya, ia
menotol ke kanan dan ke kiri, dan serdadu-serdadu Gielimkoen yang berada
dalam jarak tujuh tindak dari ianya, begitu kena ditotol, begitu roboh.
Mukanya Tjiauw Tjoen Loei jadi pucat bagaikan kertas. Sembari menyampok
dengan Longgee pang-nya, ia tinggalkan kedua saudara Boe dan coba cegat
si pendeta.
Pada saat tersebut, Liong Leng Kiauw juga sudah tiba disitu dan
lantas papaki kedua saudara Boe yang baru saja ditinggalkan oleh Tjiauw
Tjoen Loei. Kedua pedangnya saudara Boe lantas bekerja sama. Pedang kiri
menikam dengan gerakan Lioeseng kangoat (Bintang sapu ubar bulan), sedang
pedang kanan menyambar dengan gerakan Tjietian hoei-in (Kilat terbang di
awan). Pedangnya Liong Leng Kiauw terputar dan dengan satu sinar dingin,
kedua pedang yang barusan bersatu jadi berpencar. Begitu berpencar, kedua
pedang terus menikam jalanan darahnya Liong Leng Kiauw. Dalam ilmu
pedang, serangan pada jalanan darah dari jarak yang begitu dekat adalah
serangan yang luar biasa sukar ditangkisnya. Tapi ilmu pedangnya Liong
Leng Kiauw sangat luar biasa. Dengan sedikit gerakan, ujung pedangnya
sudah bentur ujung pedangnya Boe Lootoa, sehingga mengeluarkan suara
"trang" yang sangat nyaring. Berbareng dengan itu, dengan gunakan tenaga
berbaliknya sang pedang, gagang pedangnya Liong Leng Kiauw bentur ujung
pedangnya Boe Loodjie, yang lantas menjadi miring! Gerakan itu dilakukan
dalam waktu yang luar biasa tepatnya, sehingga Boe-sie Hengtee merasa
sangat terkejut.
"Minggir!" berseru Liong Leng Kiauw sembari mendesak dengan tiga
serangan kilat. Di antara ahli-ahli silat kelas utama, satu dua gebrakan
saja sudah cukup buat mengetahui isinya pihak lawan. Demikianlah Boe-sie
Hengtee segera mengetahui, bahwa ilmu silatnya sang lawan ada banyak
lebih tinggi dari mereka dan bahwa sang lawan itu masih berlaku sungkan
dan tidak mau turunkan tangan jahat. Dengan berbareng, mereka loncat ke
samping buat membuka jalan. "Terima kasih," berkata Liong Leng Kiauw
sembari loncat.
Sekarang marilah kita tengok Tjiauw Tjoen Loei, yang sesudah
tinggalkan Boe-sie Hengtee, lantas cegat majunya si pendeta berkelana.
Saat itu, si pendeta sudah totok roboh dua pengawal yang melindungi guci
emas. Melihat sambarannya Tjiauw Tjoen Loei, dengan sikap acuh tak acuh,
ia angkat tongkat bambunya yang lantas menyambar ke arah jalanan darah
Honghoe hiat. Buat ahli-ahli silat, ilmu menotok jalanan darah adalah
ilmu yang biasa saja. Akan tetapi, bahwa dalam perkelahian campur aduk di
antara ribuan orang, si pendeta masih dapat kirim totokan yang begitu
tepat, adalah satu kejadian yang langka dalam Rimba Persilatan.
Tjiauw Tjoen Loei tak berani berayal lagi. Ia segera kerahkan
tenaga dalamnya terus sampai di ujung Longgee pang, yang lantas digunakan
buat tempel tongkat bambunya si pendeta. Dengan seluruh tenaga, ia
menekuk buat mematahkan tongkat musuh. Tapi siapa nyana, Longgee pang itu
seperti juga kena dihisap dan nempel keras pada sang tongkat. Tjiauw
Tjoen Loei rasakan bukan saja tenaganya hilang tapi juga tekanan tenaga
musuh yang luar biasa besarnya. Ia betot Longgee pang-nya tapi tak dapat
terlepas lagi! Ia tahu, lweekang si pendeta ada banyak lebih tinggi dan
jika bertahan sedikit lama lagi. Ia akan mendapat luka di dalam badan.
Selagi ia kebingungan, mendadak berkelebat satu sinar hijau dan
dengan suara "srt", pedangnya Liong Leng Kiauw menyambar di tengah-tengah
dan pencarkan Longgee pang dari tempelannya tongkat bambu. "Tjiauw
Taydjin, pergilah lindungi guci emas," berkata Liong Leng Kiauw sembari
tertawa
Melihat pada tongkatnya terdapat tanda goresan pedang, pendeta itu
merasa agak terkejut tapi begitu lekas mendapat tahu siapa lawannya, ia
lantas tertawa terbahak-bahak. "Ah, kau pun datang!" katanya.
"Kemarin kau jajal aku, hari ini akulah yang mau jajal padamu,"
kata Liong Leng Kiauw sembari menyabet dengan pedangnya, yang lantas
ditangkis sama tongkatnya si pendeta. Menurut pantas, begitu kebentrok
sama pedang, tongkat bambu mestinya lantas putus. Akan tetapi,
sampokannya si pendeta disertai dengan tenaga dalam yang luar biasa
hebatnya, sehingga begitu lekas kedua senjata kebentrok, badannya Liong
Leng Kiauw jadi sempoyongan tiga tindak.
Di lain saat, tongkatnya si pendeta kembali menyambar. Dengan
tangan kiri mencekal pedang, Leng Kiauw mementil sama dua jerijinya dan
tongkat musuh segera terpentil miring. "Bagus!" berseru si pendeta dengan
perasaan kagum sebab barusan ia menyabet dengan gunakan tenaga dalam yang
cukup besar dan tidak nyana lawannya dapat punahkan serangan itu sama
satu pentilan jeriji. Bagaikan kilat, Leng Kiauw kirim tiga serangan,
dengan setiap serangan berisi tiga sambaran yang menuju ke arah sembilan
jalanan darah. Si pendeta berkelana juga benar-benar ahli silat kelas
utama. Dengan sekali putar tongkatnya, ia kirim empat serangan membalas
dan punahkan semua totokan lawannya. Kedua lawan itu merupakan tandingan
setimpal sehingga buat sementara waktu sukar dilihat siapa yang lebih
unggul.
Sekarang marilah kita tengok Thian Oe dan Yoe Peng, yang sesudah
lewatkan tiga Lhama jubah putih, lantas saja terjang si pendeta jubah
merah. "Waktu kau menyatroni keraton es, jiwamu sudah diberi ampun. Apa
kau lupa pesanan Kongtjoe kami?" membentak Yoe Peng. Pesanan Pengtjoan
Thianlie pada waktu itu adalah supaya ia buru-buru pulang ke Nepal dan
jangan campur-campur urusan guci emas. Sebagaimana diketahui, Hoantjeng
itu adalah Koksoe (Guru Negara) dari Nepal dan selama hidupnya, baru dua
kali ia mengalami kekalahan di keraton es. Maka itu, lantas ia menjadi
gusar, ketika Yoe Peng sebut-sebut kejadian tersebut.
"Perempuan tak kenal mampus!" ia membentak. "Biar aku kirim kau
pulang ke akherat, supaya bisa bertemu dengan Kongtjoe-mu!" Ia berkata
begitu lantaran menduga pasti, Pengtjoan Thianlie mesti binasa waktu
terjadi gempa bumi.
Melihat musuh besar yang sudah binasakan gurunya, Thian Oe jadi
seperti orang kalap. Sebelum si pendeta jubah merah bergerak, ia sudah
dahului dengan serangan yang membinasakan. Sama gerakan Totjoan pengpo
(Bikin terbalik sungai es), sinar pedangnya berkelebat-kelebat menyambar
dari empat penjuru. Si pendeta jubah merah terkesiap dan berkata dalam
hatinya: "Baru saja berdiam beberapa bulan di keraton es, ilmu silatnya
ini bocah sudah maju begitu jauh!" Buru-buru ia menyampok dengan
sianthung-nya. Pada saat itu, serupa hawa yang luar biasa dinginnya
mendadak menyambar, sehingga ia jadi bergidik dan gerakan tongkatnya jadi
agak terlambat. Tapi meskipun begitu, pedangnya Thian Oe kena tersampok
juga dan ia rasakan tangannya sakit sekali.
Tenaga dalamnya si pendeta jubah merah sebenarnya ada beberapa kali
lipat lebih tinggi dari Thian Oe. Akan tetapi, lantaran pertama ia sudah
capai sekali, kedua lantaran ilmu silatnya Thian Oe memang sudah maju
jauh dan ketiga lantaran Thian Oe mendapat bantuannya Yoe Peng, maka
dalam pertempuran itu, si pendeta jubah merah sama sekali tidak bisa
berada di atas angin. Harus diketahui, bahwa di antara dayang-dayangnya
Pengtjoan Thianlie, Yoe Peng mempunyai ilmu silat yang paling tinggi,
sedang Pengpok Hankong kiam juga merupakan senjata luar biasa yang
meminta banyak tenaganya musuh guna melawan hawa dinginnya yang sangat
hebat.
Waktu itu, pertempuran campur aduk di selat gunung sedang
berlangsung dengan serunya. Thian Oe dan Yoe Peng yang sedang pusatkan
seluruh perhatiannya guna melayani musuh, tidak mempunyai tempo buat
memperhatikan lain bagian. Tiba-tiba terdengar suara teriakan riuh di
antara tentara Tjeng dan ribuan orang bergerak seperti gelombang. Thian
Oe dan Yoe Peng melirik. Ternyata itu tiga Lhama jubah putih sudah
berhasil menerjang masuk ke pasukan tengah dan sudah rampas itu tiga kuda
putih, satu antaranya menggendol bungkusan besar yang ditutup sama sutera
sulam warna kuning. Tjiauw Tjoen Loei, kepala delapan pengwal istana,
kelihatan sedang ubar kuda putih itu, sembari keluarkan satu teriakan
geledek. Thian Oe terkejut dan menduga bahwa bungkusan itu tentulah juga
berisi guci emas. Di lain saat, ketiga Lhama jubah putih itu sudah duduk
di punggung kuda, yang sembari berbenger keras, sudah lantas menerjang
keluar.
Dengan sekuat tenaga Tjiauw Tjoen Loei coba menyandak, tapi
ketinggalan jauh dan tiga kuda putih tersebut kelihatannya akan segera
dapat menerjang keluar dari barisan Tjeng.
Sembari berteriak keras, Liong Leng Kiauw keluarkan ilmu pedang
Tjiauwhoen Sippat tjiauw (Ilmu pedang tarik nyawa yang mempunyai delapan
belas macam pukulan). Delapan belas pukulan itu, yang satu lebih cepat
dari yang lain, terutama digunakan buat menikam jalanan darah musuh.
Liehay memang luar biasa liehay, tapi sangat meminta tenaga dalam. Baru
saja ia keluarkan pukulan yang ke tujuh, yaitu Toeihoen tokpok (Memburu
roh menarik sukma), napasnya si pendeta berkelana sudah sengal-sengal dan
sembari kebas tongkatnya, ia loncat minggir buat kasih Liong Leng Kiauw
lewat.
Liong Leng Kiauw jadi heran bukan main. Ia mengetahui, bahwa tenaga
dalamnya si pendeta berkelana kira-kira setanding dengan tenaganya
sendiri. Menurut taksirannya, sesudah jalankan habis itu delapan belas
pukulan, barulah ada kemungkinan si pendeta dapat dipukul mundur. Maka
itu, ia merasa sangat tidak mengerti, kenapa sebelum ilmu pedangnya di
jalankan separoh, si pendeta sudah keteter. Liong Leng Kiauw adalah ahli
silat kelas berat dan tak gampang orang dapat kelabui padanya. Panca
inderanya yang sangat tajam sudah dapat tangkap, bahwa sengal-sengalnya
si pendeta adalah sengal-sengal yang dibuat-buat. Tapi kenapa toh ia
berlagak kalah? Tapi ketika itu, ia tidak sempat buat berpikir banyak-
banyak. Dengan gunakan ilmu entengi badan, bagaikan kilat ia molos dari
antara badan-badan manusia dan kejar tiga Lhama jubah putih itu.
Dalam tempo sekejap, ia sudah menyandak dan kemudian lewati Tjiauw
Tjoen Loei. Selagi lewat, lapat-lapat ia dengar Tjiauw Tjoen Loei
berkata: "Biarkan mereka pergi." Leng Kiauw yang sedang bergerak luar
biasa cepat, tidak dapat lantas hentikan tindakannya, akan tetapi, ketika
menengok, ia lihat Tjiauw Tjoen Loei masih terus mengubar sembari
acungkan tongkatnya.
Hatinya Liong Leng Kiauw jadi merasa sangat heran. "Apa aku dengar
salah?" tanya ia dalam hatinya. "Tjiauw Tjoen Loei adalah pemimpin dari
para pengawal istana dan tugas terutama dalam melindungi guci emas itu
jatuh di atas pundaknya. Tapi kenapa ia kata 'Biarkan mereka pergi'? Dan
kalau toh sudah berkata begitu, kenapa ia masih mengubar terus?"
Biarpun hatinya heran, ia mengejar terus dan dalam tempo sekejap
sudah dapat candak tiga kuda putih itu. Ketiga Lhama bilukkan kudanya dan
tiga batang Kioehoan Sekthung menyambar dengan berbareng. Dengan gerakan
Tianghong kengthian (Bianglala membentang di langit), Liong Leng Kiauw
menggurat dengan pedangnya dan tiga batang toya timah itu lantas
tersampok miring. Meskipun berhasil menangkis serangannya musuh, tapi
Leng Kiauw rasakan tangannya tergetar lantaran tiga musuh itu bukan ahli
silat sembarangan dan lebih pula, sang musuh duduk di atas kuda, sedang
ia sendiri berjalan kaki. Mendadak ia dengar teriakannya Tjiauw Tjoen
Loei. Ketika menengok, ia lihat pengawal istana itu menggape dengan paras
muka kebingungan.
Leng Kiauw heran bukan main, sehingga gerakan pedangnya jadi agak
lambat. Dengan menggunakan kesempatan itu, ketiga Lhama jubah putih putar
kudanya yang lalu dikaburkan seperti terbang. Dalam tempo sekejap mereka
sudah lewati mulut selat gunung yang seperti terompet. Pertahanan tentara
disitu agak tipis, sehingga dengan tidak banyak sukar mereka dapat
menerjang keluar.
Liong Leng Kiauw mendadakan saja ingat apa-apa. "Ah, apakah mereka
bukan gunakan siasat pancing macan keluar gunung?" tanya ia dalam
hatinya. "Apakah bungkusan yang digendol kuda putih bukannya berisi guci
emas?" Akan tetapi, walaupun hatinya berpikir begitu, ia masih sangat
bersangsi lantaran urusan ini adalah urusan yang sangat besar dan jika
guci emas sampai kena dirampas, semua pembesar Tjeng yang berada di Tibet
harus turut pikul kedosaannya.
Sedang Liong Leng Kiauw berada dalam kesangsian, tiga Lhama itu
yang sudah menerjang keluar dari kepungan, sedang mendaki satu tanjakan.
Melihat guci emas kena dirampas, beberapa ribu serdadu Gielimkoen lantas
saja menjadi kalut. Seluruh barisan lantas saja dirobah, pasukan belakang
jadi pasukan depan, sedang yang di depan mengambil kedudukan di sebelah
belakang. Laksaan anak panah menyambar dengan berbareng dan ribuan kuda
coba mengubar ketiga Lhama itu. Akan tetapi, tiga kuda putih yang
ditunggangi oleh mereka adalah kuda-kuda pilihan dari istal keraton
kaizar. Bagaikan kilat, tiga binatang itu sudah naik di atas tanjakan dan
tentara Gielimkoen ketinggalan jauh sekali.
Pada saat yang sangat genting, di atas tanjakan mendadak terdengar
siulan yang nyaring dan panjang dan di tengah jalan tiba-tiba muncul
seorang pemuda yang pakai baju putih. Dengan sekali ayun tangannya, tiga
kuda putih itu berjingkrak dan berbenger keras.
Dengan gusar, tiga Lhama jubah putih menyapu dengan tongkatnya.
Mendadak si pemuda ayun kedua tangannya dengan berbareng dan tiga sinar
hitam merah menyambar, masing-masing mengenakan tepat tiga tongkat itu.
Tiga Lhama rasakan tangannya sakit dan tongkat mereka hampir-hampir saja
terlepas dari tangannya.
Di bawah selat tiba-tiba terdengar suara teriakan orang: "Thiansan
Sinbong! Thiansan Sinbong!"
Sedang ketiga Lhama itu terkejut, si pemuda sudah berkata sembari
tertawa: "Serahkan guci emas itu dan lantas berlalu dari sini!"
Tiga Lhama itu yang merasa sudah kantongi hasil, mana mau gampang-
gampang menyerah. Mereka keprak kudanya yang lantas saja pentang kakinya
dan menerjang.
Si pemuda baju putih tertawa tawar dan berkata: "Kau orang benar-
benar kepengen dihajar, baru mau mengerti?" Ia ayun tangan kanannya dan
tiga sinar hitam merah kembali menyambar. Tiga Lhama itu coba menyampok
dengan tongkatnya, tapi luput, dan hampir pada saat itu juga, tiga
tunggangannya berjingkrak sambil berbenger keras diikuti dengan robohnya
ketiga Lhama itu.
Liong Leng Kiauw kaget berbareng girang dan mengetahui, bahwa si
pemuda itu adalah murid dari Thiansan pay. Ia pun mengetahui, bahwa
kepandaiannya pemuda tersebut ada lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri
dan sudah cukup buat melayani tiga Lhama tersebut, sehingga hatinya jadi
merasa lega. Tapi, baru saja ia mau maju menghampiri, dari lereng gunung
mendadakan muncul lima pendeta India dan semuanya memakai jubah pertapaan
warna hitam dan bersenjata tongkat bambu. Mereka itu ternyata adalah
murid-muridnya si pendeta berkelana.
Biarpun Liong Leng Kiauw berkepandaian tinggi, akan tetapi dengan
dikerubuti oleh lima ahli silat kelas satu yang bekerja sama secara erat
sekali, tak gampang ia bisa buru-buru loloskan diri. Dilihat dari cara
berkelahinya, lima pendeta India itu kelihatannya mau "ikat" Liong Leng
Kiauw di luar barisan, supaya ia tak dapat masuk lagi ke pasukan tengah.
Dengan begitu, hatinya Liong Leng Kiauw jadi sangsi dan curiga. Sesudah
bertempur beberapa gebrakan, ia dengar bentakannya si pemuda baju putih
dan tiga ekor kuda putih itu sudah balik ke barisan Tjeng. Sejumlah
serdadu lantas menyambut dan bungkusan yang digendol oleh salah satu
kuda, masih tetap berada di atas punggungnya kuda itu.
Tiga Lhama jubah putih kelihatan masih sangat penasaran dan ubar si
pemuda dengan tindakan sempoyongan. Si pemuda balik badannya dan berkata
sembari tertawa: "Lekas pulang ke Tjenghay. Kau orang semua sudah kena
Sinbong. Dengan mengasoh empat puluh sembilan hari, mungkin kau orang
akan sembuh kembali. Yang paling penting adalah jiwamu sendiri, buat apa
kau orang terus ubar-ubar aku."
Tiga Lhama itu tahu, mereka sudah kena senjata rahasia. Cuma saja,
dengan andalkan ilmu Kimtjiongto (semacam ilmu weduk), mereka percaya
senjata rahasia itu tidak akan dapat celakakan dirinya dan sesudah
pekerjaannya selesai, mereka masih dapat mencabutnya. Itulah sebabnya,
mereka tidak begitu percaya perkataannya si pemuda baju putih. Mereka
cuma kuatir, kalau-kalau senjata rahasia itu mengandung racun. Dengan
adanya kekuatiran tersebut, mereka jadi lebih ingin bertempur pula buat
paksa si pemuda keluarkan obat pemunah.
Gerakannya si pemuda baju putih cepat luar biasa dan dalam tempo
sekejap, ia sudah masuk ke pasukan tengah. Lima pendeta India yang lagi
kepung Liong Leng Kiauw dengan lantas berpencaran. Selagi Liong Leng
Kiauw mau menghaturkan terima kasih, mendadak ia dengar teriakannya Boe-
sie Hengtee: "Keng Thian-heng, sungguh kebetulan kau juga datang disini!
Bungkusan yang digendong oleh kuda putih itu berisi guci emas. Lekas
rampas guci itu!"
Liong Leng Kiauw terkesiap seperti orang disambar geledek. Ilmu
silatnya si pemuda itu lebih hebat daripada si pendeta berkelana. Jika ia
sampai turun tangan, siapakah yang dapat mencegahnya?
"Saudara-saudara Boe, Bek Lootjianpwee," kata si pemuda itu sembari
tertawa. "Aku sekarang ingin ajukan satu permohonan pada kalian. Aku
mohon kalian bubar saja dan biarkan guci emas itu tiba di Lhasa!"
Perkataan itu sudah membikin semua orang gagah dari Lima Propinsi
Utara jadi terkesiap.
"Apa?" berteriak Bek Eng Beng. "Kau mau bantu kerajaan Tjeng
melindungi guci emas itu?"
"Benar!" jawabnya dengan tenang. "Aku datang buat melindungi guci
emas itu."
"Tong Sieheng!" berseru Boe sie Hengtee. "Dengan membantu kerajaan
Tjeng, apakah kau masih ada muka buat menemui ayahmu?"
"Inilah justru kemauan ayahku sendiri," jawab si pemuda sembari
tertawa. "Boe Lootoa, sekarang lebih baik kalian bubaran saja dahulu.
Sebentar kita bertemu, di gunung depan, supaya aku dapat memberi
penjelasan terlebih lanjut."
"Aku tak percaya!" membentak Boe-sie Hengtee dengan suara keras.
Semua orang gagah kawan-kawannya Bek Eng Beng jadi heran bukan main
dan mereka mulai saling menyatakan pikirannya. "Oh, kalau begitu ia
adalah puteranya Tayhiap Tong Siauw Lan?" kata yang satu.
"Cara bagaimana Tong Tayhiap bisa permisikan puteranya menjadi kuku
garuda kerajaan Tjeng? Apakah ia bukan satu penipu yang menggunakan
namanya Tong Tayhiap?" tanya seorang lain.
"Ah," kata orang ketiga. "Dilihat dari ilmu silatnya dan didengar
panggilannya Boe-sie Hengtee, pasti tulen puteranya Tong Tayhiap. Hm!
Anak poethauw (tidak berbakti)!"
Demikianlah mereka berunding dan pertempuran terhenti buat
sementara waktu.
Pemuda itu memang benar adalah putera tunggal dari Tong Siauw Lan,
tjiangboen (pemimpin) dari Thiansan pay. Namanya pemuda itu adalah Tong
Keng Thian. Dengan keluarga Boe, Tong Siauw Lan mempunyai hubungan yang
sangat rapat, dan ketika masih kecil Boe-sie Hengtee pernah naik ke
Thiansan buat menemui Tong Siauw Lan dan oleh karena itu, mereka jadi
kenal Keng Thian. Oleh karena Keng Thian baru pertama kali terjun ke
dalam kalangan Kangouw, maka banyak tjianpwee dan orang gagah masih belum
tahu asal-usulnya. Mereka ingat, dahulu Tong Siauw Lan bersama-sama Kam
Hong Tie, Lu Soe Nio dan lain-lain pendekar sudah musuhi kerajaan Tjeng
secara hebat dan pernah lakukan pekerjaan yang menggemparkan seluruh
negeri. Salah satu antara tiga pendekar wanita yang menyatroni
keraton kaizar dan kemudian bunuh mati kaizar Yongtjeng, adalah isteri
Tong Siauw Lan sendiri. Sedang kepalanya kaizar, ayah ibunya masih berani
kutungkan, mana bisa jadi mereka sekarang permisikan sang putera
melindungi guci emas dari kerajaan Tjeng? Dengan adanya pendapat begitu,
semua orang gagah sukar percaya keterangannya Keng Thian dan mereka
mengawasi pemuda itu dengan sorot mata gusar. Keadaan yang sunyi senyap
menakuti sekali, seperti juga mendung tebal yang tinggal tunggu turunnya
hujan lebat.
Keng Thian mesem, tapi selagi ia mau buka suara, mendadakan saja
terdengar teriakan kaget dari Tjiauw Tjoen Loei dan para perwira yang
berkumpul di bawah bendera kuning jadi kalang kabut. Seluruh pasukan
tengah lantas saja menjadi kalut.
Ternyata dengan gunakan kesempatan selagi semua orang perhatikan
puteranya Tong Siauw Lan, si pendeta berkelana loncat ke atas satu kereta
keledai. Dari dalam kereta lantas menyambar dua martil besi, yang dengan
gampang dibikin terpental sama satu sampokan tongkat. Dengan sekali kasih
masuk tangannya ke dalam kereta, si pendeta tarik keluar dan terus
lemparkan dua perwira yang menjaga dalam kereta itu!
Dua perwira itu juga bukannya sembarang orang. Begitu jatuh, dengan
gerakan Leehie tahteng (Ikan leehie meletik), ia sudah loncat bangun dan
terus menubruk ke dalam kereta, tapi si pendeta sudah keburu loncat
keluar dan kabur ke jurusan barat.
Semua itu terjadi dengan luar biasa cepatnya. Baru saja Tjiauw
Tjoen Loei dan lain-lain perwira mengetahui kejadian itu, si pendeta
sudah kabur puluhan tombak jauhnya. Ia putar tongkat bambunya dan semua
serdadu
Gielimkoen, yang berada dalam jarak delapan kaki dari dirinya,
begitu kebentur tongkat, begitu rebah. Oleh karena di sekitar itu tidak
terdapat lawanan yang mempunyai ilmu silat berarti, maka ia kelihatannya
akan segera dapat menoblos keluar dari barisan Tjeng.
Sembari keluarkan teriakan kaget, Tong Keng Thian cabut pedangnya
dan terus mengubar. Kereta yang tadi diserbu oleh si pendeta berkelana
sebenarnya adalah kereta yang paling jelek kelihatannya, seperti juga
kereta rumput. Bukan saja tendanya tua dan pada robek, tapi keledainya
pun kurus kering. Akan tetapi, guci emas yang tulen justru terdapat dalam
kereta tersebut. Bungkusan indah yang digendong kuda putih hanya satu
siasat buat kelabui orang. Itu sebabnya, biarpun diluar Tjiauw Tjoen Loei
kelihatan bingung dan ubar tiga Lhama jubah putih yang merampas tiga kuda
putih itu, dalam hatinya ia merasa girang dan ingin supaya mereka buru-
buru pergi supaya lawanan berat jadi berkurang. Menyerbunya lima pendeta
India jubah hitam, yaitu murid-muridnya si pendeta berkelana, bertujuan
memecah perhatian orang, supaya sang guru dapat menyerbu kereta itu dan
rampas guci emas yang lagi diincar. Pendeta berkelana itu bukannya
pendeta biasa. Ia adalah ahli Yoga yang sengaja di kirim oleh raja
Kalimpong, India. Raja tersebut mempunyai angan-angan berkuasa di Tibet
dan dari sebab begitu, ia mengirim orang-orangnya buat coba rampas guci
emas kiriman kaizar Tjeng.
Tong Keng Thian yang sudah kuntit lama barisan Tjeng itu,
mengetahui rahasia tersebut. Maka itulah, begitu lihat si pendeta serbu
kereta keledai, ia jadi terkejut dan cabut pedangnya buat mengubar. Di
lain saat, Liong Leng Kiauw juga sudah turut memburu bagaikan terbang.
Seperti sudah direncanakan lebih dahulu, begitu lihat gurunya
berhasil, lima murid itu lantas saja cegat Keng Thian dan Leng Kiauw.
Walaupun ilmu silat mereka masih kalah jauh sekali jika dibanding dengan
Keng Thian dan Leng Kiauw, akan tetapi oleh karena adanya kerja sama
dalam menggunakan Ilmu Tongkat Tiantiok (Ilmu tongkat India) yang seperti
berantai dengan kepala dan buntut berhubungan satu sama lainnya, maka
buat sementara waktu, Leng Kiauw dan Keng Thian kena juga "diikat" oleh
mereka. Selagi Keng Thian mau turunkan tangan membinasakan, tiga Lhama
jubah putih tiba-tiba datang menyerbu, sehingga mereka berdua jadi
dikerubuti delapan orang. Dengan demikian, mereka jadi lebih sukar
menoblos dan pada ketika itu, si pendeta berkelana sudah berada di luar
barisan pasukan Tjeng.
"Apa kau orang sudah bosan hidup!" membentak Keng Thian. "Kau
bertiga sudah kena Thiansan Sinbong yang sekarang sudah masuk di jalanan
darah. Jika kau orang pulang dan mengasoh sambil kerahkan pernapasan,
mungkin masih bisa ditolong. Tapi kalau kau orang masih mau bertempur
terus dan Sinbong sampai menusuk ke jantung, biar ada obat apapun juga,
jiwamu tidak akan dapat ditolong lagi!" Tapi tiga Lhama itu, yang sangat
andalkan lweekang-nya yang tinggi, sudah tidak ladeni peringatannya Keng
Thian dan terus menyerang dengan sengit.
Ketika itu, si pendeta berkelana sudah keluar dari mulut selat dan
sedang mendaki tanjakan dengan cepat sekali. Ia bakal segera tiba di
lereng gunung dan kalau ia sudah berada disitu, biarpun bisa terlepas
dari "ikatannya" itu delapan musuh, Keng Thian dan Leng Kiauw tidak bakal
dapat menyandak lagi.
Hampir berbareng dengan siulan panjang yang dikeluarkan oleh si
pendeta berkelana, dari lereng gunung kembali muncul lima orang pendeta
India. Ternyata dalam rencana merebut guci emas, ia sudah bikin persiapan
yang sangat rapi dengan membawa sepuluh orang muridnya, yang dibagi jadi
dua rombongan. Lima orang ikut masuk ke dalam barisan Tjeng, sedang lima
murid lainnya menunggu di lereng gunung buat menyambut. Sepuluh murid itu
sebenarnya disiapkan buat cegat delapan pengawal istana atau cegat musuh-
musuh yang menjaga di bagian belakang. Akan tetapi, sebagaimana
diketahui, delapan pengawal istana telah dibikin repot oleh rombongannya
Bek Eng Beng, sehingga pertahanan di bagian belakang jadi kosong sama
sekali.
Begitu lekas si pendeta berkelana dan lima muridnya tiba di lereng
gunung, lima pendeta India yang kepung Keng Thian dan Leng Kiauw, lantas
mulai mundur, tapi tiga Lhama jubah putih masih saja menyerang secara
hebat.
"Hei!" berseru Keng Thian. "Coba kau bertiga rasakan, ada apa di
jalanan darah Thiansoan hiat, di bawah tulang dada."
Tiga Lhama itu kaget dan benar saja di dekat jalanan darah itu,
mereka merasa baal dan gatal, seperti juga ada binatang semut sedang
berjalan, dan semakin lama perasaan itu jadi semakin hebat. Tiga orang
itu adalah ahli silat kelas satu dan mereka segera mengetahui, bahwa
senjata rahasia musuh sedang berjalan dalam badan mereka dengan mengikuti
jalanan darah. Bukan main kagetnya mereka dan gerakannya lantas menjadi
lambat. Pada saat itu, lima pendeta India sedang berusaha buat kabur,
tapi belum dapat kesempatannya. Mendadak dengan satu bentakan keras, Tong
Keng Thian menyabet dengan Yoeliong kiam yang mengeluarkan sinar panjang
bagai bianglala "Rasakan tiamhoat-ku. Roboh!" Keng Thian berseru. Dengan
satu getaran tangan, pedangnya totok jalanan darah lima pendeta itu yang
hampir berbareng roboh di atas tanah! Tiga Lhama jubah putih terkesiap
dan buru-buru loncat minggir, sedang Liong Leng Kiauw dan Tong Keng Thian
lantas loncat melewati dirinya.
Ketika itu, si pendeta berkelana sudah tiba di lereng gunung.
Tingginya gunung Tantat san ada ribuan kaki dan buat mendaki setengah
gunung, orang biasa harus gunakan tempo setengah hari. Leng Kiauw dan
Keng Thian belum berada di kaki gunung, sehingga biarpun mereka mempunyai
ilmu entengi badan yang lebih tinggi lagi, mereka tidak akan dapat
menyandak pendeta itu. Selainnya berteriak-teriak, tentara Tjeng tidak
dapat berbuat suatu apa, sedang orang-orang gagah dari Utara barat pun
hanya dapat mengawasi dengan perasaan gusar. Berhubung dengan terampasnya
guci emas, pertempuran lantas berhenti dengan sendirinya.
Selagi semua orang menahan napas, mendadak di antara suasana gunung
yang sunyi senyap terdengar suara khim yang merdu sekali. Tiga ribu
serdadu Tjeng dan seratus lebih orang gagah jadi terkejut dan menduga-
duga siapa yang menabuh tabuh-tabuhan itu. Tapi orang yang paling kaget
adalah Tong Keng Thian, sebab ia kenali, bahwa lagu itu adalah lagu yang
ia pernah dengar ketika bertemu Pengtjoan Thianlie buat pertama kali.
Tanpa merasa, ia hentikan tindakannya dan dongak mengawasi ke atas.
Tiba-tiba di atas puncak gunung yang ditutup awan putih muncul
bayangannya seorang wanita, yang memakai jubah biru laut dengan ikatan
pinggang sutera merah. Dengan sekelebatan saja ia sudah kenali, bahwa
wanita itu adalah wanita yang siang malam ia tak dapat lupakan –
Pengtjoan Thianlie! Semua orang dongak memandang ke atas dan biarpun
disitu terdapat ribuan manusia dan kuda, keadaan ada sedemikian sunyinya,
sehingga andaikata jatuh sebatang jarum, suaranya akan dapat didengar.
Kecepatan bergeraknya Pengtjoan Thianlie sukar dapat dilukiskan.
Orang-orang yang berada di bawah cuma dapat lihat pakaiannya yang
berkibar-kibar, seolah-olah ia sedang terbang turun dengan mengikuti
alirannya sang angin. Dalam tempo sekejap, ia sudah tiba di lereng gunung
dan berhadapan sama si pendeta berkelana dan lima muridnya.
Si pendeta India juga kelihatannya terkejut. "Serahkan guci emas
itu dan pergi dari sini!" berkata Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar.
Suaranya lemah lembut, tapi tak mengenal kompromi, sedang sikapnya
seakan-akan seorang ratu yang sedang mengeluarkan perintah.
Si pendeta berkelana terkesiap dan sembari kebas tangannya, enam
batang tongkat bambu lantas menyambar dengan berbareng. Sesudah lihat
ilmu entengi badannya Pengtjoan Thianlie, ia mengetahui sedang berhadapan
sama musuh yang luar biasa tangguhnya. Maka itu, dengan mengebas tangan,
ia beri tanda supaya lima muridnya turun tangan dengan berbareng. Mereka
menyerang dengan Barisan Tongkat Thaythianlo (Jaring langit besar), yaitu
suatu ilmu yang paling -istimewa dari Ilmu Tongkat Tiantiok. Dengan
sambaran enam tongkat itu, biarpun seorang mempunyai tiga kepala enam
tangan juga masih sukar menjaganya.
Bukan main kagetnya Leng Kiauw dan Keng Thian. Mereka tak nyana,
begitu berhadapan, enam pendeta India itu sudah turunkan tangan yang
sedemikian kejam. Mendadak, badannya Pengtjoan Thianlie kelihatan
berkelebat dan jerijinya mementil. Hampir berbareng terdengar jeritan
kesakitan dan lima badan manusia tergelincir ke bawah gunung seperti
layangan putus!
Ternyata, melihat serangan musuh yang telengas, Pengtjoan Thianlie
jadi sangat gusar dan melepaskan Pengpok Sintan, senjata rahasia yang
tiada keduanya dalam dunia. Tenaga dalamnya Pengtjoan Thianlie berlipat-
lipat lebih kuat daripada Yoe Peng. Maka itu, biarpun sama-sama Pengpok
Sintan, bekerjanya lain sekali. Jika senjata itu dilepaskan oleh Yoe
Peng, paling banyak muridnya si pendeta berkelana gemetar badannya dan
masih dapat pertahankan diri. Tapi dengan dilepaskan oleh Pengtjoan
Thianlie, Sintan itu masuk ke dalam jalanan darah dan sang darah lantas
membeku, sehingga tidaklah heran jika lima pendeta itu lantas roboh
terguling ke dalam jurang.
Si pendeta berkelana juga kena satu Sintan dan rasakan hawa dingin
luar biasa yang meresap ke tulang-tulang. Akan tetapi, lantaran mempunyai
ilmu Yoga yang sangat tinggi, ia masih dapat pertahankan diri dan
menyerang terus. Sembari tertawa tawar, Pengtjoan Thianlie buka ikatan
pinggangnya yang lantas menyambar-nyambar seperti naga sedang memain di
tengah udara. Di lain saat, tongkatnya si pendeta sudah kena digulung dan
biarpun ia gunakan Seantero tenaga dalam, ia tidak berhasil lepaskan
tongkatnya dari gulungan itu.
Pengtjoan Thianlie juga merasa heran sebab ia pun tidak berhasil
betot terlepas tongkatnya si pendeta. Sembari keluarkan seruan "ih!" ia
lepaskan lagi dua butir Pengpok Sintan. Si pendeta yang tongkatnya masih
tergulung, tidak dapat berkelit dan dua peluru itu mengenai tepat pada
jalanan darah Soankhie hiat di dada dan Thiantjoe hiat, di belakang otak.
Seketika itu juga, ia bergidik beberapa kali. Buru-buru, ia kerahkan
khiekang (tenaga napas), tapi tidak dapat segera pulihkan kekuatannya.
"Masih belum mau menyerah?" membentak Pengtjoan Thianlie sembari
cabut pedangnya. Dengan sekali kebas, bagaikan halimun, sinar dan hawa
dingin seperti juga tutup seluruh badannya si pendeta. Ketika itu, dari
dalam jurang sayup-sayup terdengar suara jeritan lima muridnya si pendeta
yang sedang melarikan diri dengan dapat luka-luka berat.
Sambil menghela napas panjang, si pendeta masukkan tangan kirinya
ke dalam kantong. Di lain saat, ia sudah keluarkan sebuah guci emas
bertahta batu-batu permata yang pancarkan sinar gilang gemilang ke empat
penjuru. Pengtjoan Thianlie sambuti guci emas itu dan kemudian gentak
ikatan pinggangnya buat lepaskan tongkatnya si pendeta. Ia miringkan
sedikit badannya buat memberi jalan kepada si pendeta yang segera kabur
secepat mungkin.
Sesudah kasih masuk Pengpok Hankong kiam ke dalam sarung dan dengan
sebelah tangan memegang guci emas, Pengtjoan Thianlie melayang turun ke
bawah. Hosek Tjin-ong, raja muda yang pimpin barisan Tjeng segera memberi
perintah supaya pasukan belakang jadi pasukan depan, yang kemudian
dipecah jadi dua sayap buat kurung Pengtjoan Thianlie guna ditanya maksud
kedatangannya dan buat rampas pulang guci emas itu.
Sekarang marilah kita tengok Thian Oe dan Yoe Peng yang kerubuti si
pendeta jubah merah. Mengingat sakit hati gurunya. Thian Oe menyerang
sehebat mungkin dengan pusatkan seluruh perhatiannya kepada musuh.
Meskipun di lain gelanggang dengan dengan beruntun sudah terjadi banyak
perobahan luar biasa, ia sama sekali tidak mau perdulikan dan terus cecar
si pendeta jubah merah dengan setaker tenaganya. Pendeta itu adalah orang
yang pertama menyerbu dan sesudah bertempur lama, baru ia bertemu Thian
Oe dan Yoe Peng yang serang padanya dengan mata merah.
Selagi berkelahi mati hidup, pertempuran di seluruh garisan
mendadak berhenti dan keadaan jadi sunyi senyap. Hal itu sudah terjadi
oleh karena munculnya Pengtjoan Thianlie. Yoe Peng melirik dan
kegirangannya meluap-luap. "Thian Oe! Lihat siapa yang datang!" ia
berteriak seperti orang kalap. Mau tak mau, si pendeta jubah merah juga
turut menengok dan begitu lihat siapa yang muncul, semangatnya terbang.
"Pengtjoan Thianlie!" berseru Thian Oe sembari menikam dengan gerakan
Pengho kiattang (Sungai es membeku). Oleh karena hatinya sedang gemetar
dan tidak nyana bakal diserang secara begitu, si pendeta jubah merah
tidak keburu berkelit atau menangkis dan tak ampun lagi, pedangnya Thian
Oe bersarang di dadanya! "Suruh kau nyingkir, kau tak mau nyingkir,
sekarang sudah terlambat," berkata Yoe Peng sembari menikam dengan
pedangnya yang juga mengenai tepat pada dadanya. Dengan satu teriakan
keras, ia roboh dan badannya yang besar ditendang Thian Oe yang sudah
balaskan sakit hati gurunya. Sesudah itu, sembari tuntun tangannya Yoe
Peng, Thian Oe berlari-lari menghampiri Pengtjoan Thianlie.
Sembari cekal pedangnya, Liong Leng Kiauw mau bergerak. Tong Keng
Thian mendekati dan berbisik: "Lekas tahan tentara negeri. Biar aku yang
sambut padanya. Aku rasa ia tidak mempunyai niatan kurang baik."
Leng Kiauw merasa sangsi. Ia sekarang kenali bahwa Pengtjoan
Thianlie adalah itu wanita yang sudah curi rencana menyambut guci emas.
Di satu pihak, ia tidak percaya kalau Pengtjoan Thianlie mau membantu
pihaknya, akan tetapi, di lain pihak, ia merasa heran, kenapa sesudah
dapat rampas guci emas itu, sebaliknya dari kabur, Pengtjoan Thianlie
malahan datang menghampiri. Ketika itu, delapan pengawal istana sudah
loncat keluar dari barisan dan maju mengurung dari kiri dan kanan.
Mendadak, Boe-sie Hengtee juga loncat keluar dari dalam barisan dan
seperti angin puyuh mereka mendahului delapan pengawal istana. Di
belakang mereka ikut belasan orang gagah dari Utara barat.
Dengan anggapan bahwa Pengtjoan Thianlie adalah orang kalangan
sendiri, sembari pegang gagang pedangnya, Boe-sie Hengtee memberi hormat
dan berkata: "Terima kasih banyak buat bantuan Liehiap (pendekar wanita).
Harap serahkan guci emas itu kepadaku. Sekarang pekerjaan kita sudah
selesai dan Liehiap boleh mundur bersama-sama rombongan kita." Dengan
berkata begitu, kedua saudara Boe mempunyai maksud yang baik sekali.
Melihat delapan pengawal istana sudah bersiap buat mengepung, mereka
berkuatir Pengtjoan Thianlie tidak gampang dapat loloskan diri, lantaran
tangannya memegang guci emas yang menjadi bulan-bulanan perebutan. Maka
itu, mereka minta si jelita serahkan guci tersebut kepadanya, supaya
kawan-kawannya dapat melindungi ia mengundurkan diri.
Tapi tak dinyana, Pengtjoan Thianlie hanya kerutkan kedua alisnya
dan menanya: "Siapa kau?"
Sementara itu tentara Tjeng sudah mulai maju mengurung. Boe-sie
Hengtee jadi bingung sekali dan menyahut dengan pendek: "Kami adalah
kawan-kawan yang mau rebut guci itu. Segala omongan yang tidak perlu bisa
ditunda sampai sebentar." Sehabis berkata begitu, mereka angsurkan tangan
buat sambuti guci emas itu.
"Kau orang mau minggir atau tidak?" kata Pengtjoan Thianlie sembari
mementil dengan jerijinya dan lepaskan dua butir Pengpok Sintan. Kedua
saudara Boe lantas saja rasakan hawa dingin yang meresap sampai ke tulang
dan roboh seketika itu juga. Kawan-kawannya jadi terkejut dan memburu.
Pengtjoan Thianlie mementil lagi beberapa kali dan lima enam orang lantas
turut terjungkal. Kawan-kawannya yang lain jadi keder dan pada loncat
minggir, sedang Pengtjoan Thianlie terus bertindak maju.
Bek Eng Beng kaget tercampur gusar, sedang pemimpin tentara Tjeng
jadi bukan main girangnya. Mereka sama sekali tidak mengimpi, bahwa
Pengtjoan Thianlie berdiri di pihaknya. Tjiauw Tjoen Loei keprak kudanya
dan memberi hormat sembari peluk senjatanya. "Liehiap benar-benar
mengerti kesetiaan kepada negara dan sudah membantu kerajaan dalam
merebut pulang guci emas itu," katanya dengan sikap hormat. "Pahala itu
bukannya kecil dan dengan jalan ini, aku Tjiauw Tjoen Loei memberi
hormat. Aku adalah tongleng (pemimpin) dari pengawal-pengawal istana dan
mohon Liehiap serahkan guci itu kepadaku." Ia lantas angsurkan tangannya
buat ambil guci tersebut.
Tapi seperti tadi, di luar dugaan, Pengtjoan Thianlie cuma kerutkan
alisnya dan berkata dengan suara tawar: "Aku tak perduli tongleng atau
bukan tongleng. Aku tidak mempunyai tempo buat saling menghormat
denganmu!" Dengan sekali mementil, Tjiauw Tjoen Loei bergidik dan lantas
jatuh terguling dari kudanya. Semua pengawal istana terkesiap, beberapa
antaranya buru-buru menolong pemimpinnya, sedang yang lain serang
Pengtjoan Thianlie. Sembari mesem tawar, Pengtjoan Thianlie mementil
beberapa kali dan beberapa pengawal istana lantas roboh kejengkang.
Melihat itu semua, tentara Tjeng jadi seperti orang kesima. Mereka
tidak menduga, bahwa wanita yang begitu cantik bisa mempunyai kepandaian
yang begitu tinggi. Mereka berdiri bengong dan tidak berani bergerak buat
melepaskan anak panah atau angkat senjata.
Bek Eng Beng jadi kaget berbareng girang. Tiba-tiba Tong Keng Thian
menghampiri dan berkata sembari rangkap kedua tangannya: "Bek Tayhiap,
hari ini biar bagaimanapun juga kita tidak boleh rampas guci emas itu.
Mohon Bek Tayhiap keluarkan perintah supaya semua saudara-saudara lantas
undurkan diri."
"Hm!" menggerendeng Bek Eng Beng dengan berdongkol sekali. "Aku tak
nyana kau sekarang jadi kaki tangan kerajaan Tjeng." Ia angkat tangannya
buat menghantam Keng Thian, yang buru-buru gunakan tiga jerijinya buat
tekan kepalannya Bek Eng Beng dan berkata dengan suara perlahan: "Antara
dua mara bahaya, kita harus pilih yang lebih enteng. Lebih baik kerajaan
Tjeng yang menguasai Tibet daripada satu negara asing. Guci emas itu
benar-benar tidak boleh diganggu."
Bek Eng Beng terkesiap, sehingga keringat dingin mengucur di
seluruh badannya. "Tapi, Boe-sie Hengtee sudah kena senjata rahasianya
perempuan itu. Sakit hati ini bagaimana boleh tidak dibalas?" kata ia.
"Serahkan padaku, aku akan sembuhkan mereka," kata Tong Keng Thian.
"Lekas mundur! Lekas mundur!"
Bek Eng Beng berdiam beberapa saat dan memikir bulak-balik. Dalam
usaha merampas guci emas, tujuan mereka adalah buat tentangkan keinginan
bangsa Boan untuk berkuasa di Tibet. Tapi tidak dinyana, urusan itu
mempunyai latar belakang yang sedemikian ruwet. Nepal dan Kalimpong juga
ingin pentang pengaruh di Tibet dan coba merampas guci tersebut. Dilihat
dari sudut itu, sikapnya Keng Thian yang lebih suka Tibet dikuasai oleh
bangsa Boan daripada bangsa lain, agaknya cukup beralasan. Sesudah
menimbang-nimbang beberapa saat, ia lantas saja berkata: "Baiklah, aku
setujui pendapatmu. Kami tunggu kau di gunung depan." Dengan sekali
memberi tanda, orang-orang gagah dari Lima Propinsi Utara lantas pada
mundur ke gunung depan sambil mendukung Boe-sie Hengtee.
Pada waktu Keng Thian sedang membujuk Bek Eng Beng, Liong Leng
Kiauw juga lagi bujuk Hosek Tjin-ong supaya ia tahan majunya Gielimkoen
dan biarkan Pengtjoan Thianlie masuk ke dalam barisan. Melihat liehaynya
wanita itu dan juga sebab sekarang guci emas berada dalam tangannya,
sehingga andaikata ia dapat dibekuk atau dibinasakan, tapi kalau guci itu
sampai menjadi rusak, semua pengantarnya akan turut berdosa, maka,
sesudah memikir beberapa saat, ia segera menyetujui perkataannya Liong
Leng Kiauw dan memberi perintah supaya semua serdadu jangan bergerak.
Thian Oe dan Yoe Peng yang berdiri di dalam barisan tiba-tiba lihat
sayap depannya pasukan Tjeng mendadak terpencar dan membuka satu jalanan
buat Pengtjoan Thianlie.
"Dilihat begini, barisan Tjeng seperti benar-benar sedang menyambut
seorang Paduka Puteri," kata Thian Oe sembari tertawa.
"Ia toh memang seorang puteri," sahut Yoe Peng. "Ah, ia
kelihatannya sedang cari orang."
Dengan satu tangan memegang guci emas, perlahan-lahan Pengtjoan
Thianlie masuk ke dalam barisan Tjeng dengan sikap agung sekali. Dengan
kedua matanya yang angker, ia menyapu segala orang yang berada disitu.
Mendadak ia hentikan tindakannya dan mengawasi satu orang yang berdiri
disitu. Thian Oe kegirangan dan berbisik di kupingnya Yoe Peng: "Ah,
kalau begitu ia sedang cari dia!"
"Siapa?" tanya Yoe Peng.
"Pemuda baju putih," sahut Thian Oe.
Benar saja Yoe Peng lihat majikannya sedang mengawasi si pemuda
baju putih. Ia sebenarnya mau teriaki majikannya itu, tapi sudah ditahan
oleh suasana yang tegang dan sunyi senyap.
"Hm! Kau juga berada disini?" kata Peijgtjoan Thianlie sembari
mesem.
"Jah, kau pun sudah turun gunung," jawab Keng Thian. Dua pasang
mata kebentrok dan paras mukanya Pengtjoan Thianlie segera bersemu dadu.
"Aku tak mempunyai perkataan yang tepat buat menyatakan rasa terima
kasih," kata Keng Thian sambil tertawa. "Sungguh beruntung, guci emas
sudah dapat direbut pulang. Buat bantuanmu di ini hari, bukan saja aku,
tapi semua pembesar di Tibet juga ingin haturkan banyak terima kasih."
Pengtjoan Thianlie juga tertawa dan kemudian berkata dengan sikap
acuh tak acuh: "Ada hubungan apa guci emas ini dengan diriku? Aku juga
merampas ini bukan untuk mereka. Siapa mau mereka haturkan terima kasih.
Berapa harganya guci ini, sehingga dijadikan barang rebutan oleh semua
orang? Aku sendiri tak kesudian. Pada beberapa bulan berselang, kau
pernah bantu menyusun beberapa toeilian untuk keraton es. Mengetahui
bahwa kau juga sangat inginkan guci emas ini, maka aku mau serahkan
kepadamu sebagai tanda terima kasih. Mulai dari sekarang, kedua belah
pihak tidak berhutang budi lagi. Kau juga tidak perlu banyak rewel-rewel
lagi."
Sembari tertawa Keng Thian sambuti guci emas itu yang diangsurkan
kepadanya. "Eh," ia kata. "Kau lupakan satu urusan. Janji kita buat adu
pedang di kakinya Puncak Es, belum dipenuhi!"
Pengtjoan Thianlie kerutkan alis. "Kau masih mau bertanding?" tanya
ia. "Baiklah, malam ini jam tiga kau boleh datang ke atas gunung ini."
Ia kembali menyapu dengan matanya dan kali ini ia lihat Thian Oe
dan Yoe Peng yang berdiri di antara orang banyak. Pertemuan yang tidak
diduga-duga membikin ia agak kaget dan lalu gapekan tangannya buat
memanggil mereka.
"Kenapa kau berada disini?" ia tanya Yoe Peng.
"Hari itu, ketika aku antar Tjia Kouwkouw memetik daun obat, Puncak
Es mendadak roboh dan gunung berapi meledak," menerangkan Yoe Peng.
"Terhalang dengan lahar panas, aku jadi tidak bisa pulang dan belakangan
datang kesini."
"Dan kau?" tanya Pengtjoan Thianlie sembari mengawasi Thian Oe.
Thian Oe yang tidak tahu mesti mulai dari mana, lantas menyahut
dengan suara gugup: "Aku sebenarnya belum dilepaskan olehmu. Cuma saja
lantaran terjadinya gempa bumi, aku terpaksa lari keluar juga. Kalau kau
mau menghukum, boleh hukum sekarang. Kejadian yang lain-lainnya semuanya
diketahui oleh dayangmu."
"Baiklah," kata Pengtjoan Thianlie. "Buat bicara sebenar-benarnya,
aku kuatir kau tidak dapat loloskan diri. Kau sudah langgar peraturanku,
sebenarnya harus dipenjarakan seumur hidup. Akan tetapi, sesudah lewati
bencana itu, kau seperti juga sudah mati satu kali. Semua kedosaanmu yang
sudah-sudah aku sudah coret dan sekarang kau merdeka buat pergi kemana
juga." Ia berpaling pada Yoe Peng dan berkata pula: "Kau sekarang boleh
ikut aku pulang ke gunung."
Mendengar perkataan majikannya, hatinya Yoe Peng mencelos. Sedari
turun gunung, ia telah dapat banyak kegembiraan, terutama sesudah bertemu
Thian Oe yang merupakan sahabat baik sekali. Hatinya merasa sangat berat
buat segera berpisahan, akan tetapi, ia tentu saja tidak berani membantah
perintah majikannya, sehingga ia lantas saja menyanggupi sembari
tundukkan kepalanya.
Pengtjoan Thianlie lihat itu semua, tapi ia tidak berkata apa-apa
dan lantas tuntun tangannya Yoe Peng buat diajak pergi.
"Tahan!" kata Tong Keng Thian.
"Apa?" menegasi Pengtjoan Thianlie. "Kau terlalu tidak sabar dan
mau bertempur disini?"
"Bukan," sahut Keng Thian sembari tertawa. "Pengpok Sintan-mu
terlalu hebat!"
Pengtjoan Thianlie merasa bangga sekali dan lalu berkata: "Kalau
kau takut, aku berjanji tidak akan gunakan Sintan."
"Kau salah tangkap maksudku," kata Keng Thian. "Pengpok Sintan
telah lukakan banyak sahabatku. Aku mau minta obat buat mengobati
mereka."
"Oh begitu? Baiklah, ambil obat ini," kata si jelita sembari
angsurkan sebungkus obat, yang diterima oleh Keng Thian sambil
menghaturkan banyak terima kasih.
"Manusia dalam dunia memang banyak rewel," menggerendeng Pengtjoan
Thianlie seorang diri.
"Aku mau rewel lagi sekali. Jangan lupa janjian malam ini," kata
Keng Thian sembari tertawa.
Pengtjoan Thianlie juga jadi turut tertawa dan kemudian, dengan
sikap kemalu-maluan ia berlalu sembari menuntun Yoe Peng.
Tiba-tiba, dari dalam barisan loncat keluar enam boesoe Nepal yang
lantas berlutut di hadapan Pengtjoan Thianlie sembari acungkan kedua
tangannya di atasan kepala dan mulutnya keluarkan suara ratapan. Hosek
Tjin-ong heran dan tanya Liong Leng Kiauw: "Apa perlu kita bekuk itu
beberapa penjahat?"
"Urusan hari ini kita harus serahkan kepada putusannya Pengtjoan
Thianlie," berbisik Leng Kiauw. "Kalau bertindak salah, bisa terjadi
perobahan yang kurang enak."
Hosek Tjin-ong merasa jengah, tapi lantaran sudah dapat pulang guci
emas itu, hatinya sudah merasa sangat puas dan tidak membantah nasehat
itu. "Apa wanita itu dipanggil Pengtjoan Thianlie? Namanya luar biasa
betul," ia akhirnya kata sembari tertawa.
Pembicaraan antara Pengtjoan Thianlie dan enam boesoe Nepal cuma
dapat dimengerti oleh Liong Leng Kiauw, Tong Keng Thian dan Yoe Peng.
Mereka itu memohon supaya sang puteri suka pulang ke negerinya.
"Apa yang aku sudah bilang, aku tak akan robah," sahut sang puteri
dengan suara tawar. "Pergi pulang dan beritahukan rajamu, supaya ia baik-
baik saja mengurus negara."
Enam boesoe itu tidak berani buka suara lagi.
"Mana Koksoe-mu?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Ia sudah binasa," jawab satu boesoe sembari mengawasi Thian Oe.
"Aku yang bunuh ia," Yoe Peng menyelak.
"Dia memang suka cari urusan," kata Pengtjoan Thianlie. "Buat apa
rebut-rebut guci emas? Pergi beritahukan rajamu, mengurus negeri sendiri
saja sudah cukup meminta tenaga dan pikiran, buat apa mengaduk di Tibet?
Koksoe-nya binasa memang ada baiknya, supaya ia dapat sedikit pelajaran."
Mendengar perkataan itu, Liong Leng Kiauw terkejut, sedang Tong
Keng Thian bergirang. Leng Kiauw terkejut lantaran Pengtjoan Thianlie
yang ilmu silatnya begitu tinggi, adalah seorang puteri dari negara
Nepal, sedang Keng Thian bergirang, sebab, biarpun si jelita sudah
mengatakan tidak mau campur urusan dunia, sekarang ia toh telah membantu
usahanya.
Sesudah berkata begitu, Pengtjoan Thianlie kebas tangannya dan enam
boesoe Nepal itu, seperti orang baru dibebaskan dari hukuman, lantas
buru-buru undurkan diri dengan sikap hormat sekali, akan kemudian kabur
secepat mungkin. Atas perintah panglimanya, pasukan Tjeng membuka satu
jalan untuk mereka.
"Hayolah kita berangkat!" kata Pengtjoan Thianlie sembari menengok
kepada dayangnya dan mereka berlalu dengan tindakan perlahan. Ribuan
tentara Gielimkoen tahan napasnya, mata mereka mengawasi bayangannya
kedua wanita cantik itu dengan perasaan agak menyesal, bahwa mereka
berdua sudah berlalu sedemikian cepat.
Hatinya Thian Oe berdebar-debar dan perasaannya sukar dilukiskan.
Seperti kehilangan semangat, dengan mata mendelong ia mengawasi sang
puteri bersama dayangnya yang sedang berjalan keluar dari selat gunung.
Mendadak Yoe Peng menengok sembari tertawa dan kedua matanya yang bagus
kebentrok dengan matanya Thian Oe. Si anak muda goncang hatinya, tapi
saat itu juga ia ingat Chena, itu gadis Tsang yang aneh dan yang sudah
tarik seluruh perhatiannya. Chena yang pendiam adalah ibarat lembah
gunung yang sunyi senyap, sedang Yoe Peng yang nakal dan lincah adalah
seakan-akan bunga mawar di musim panas. Hatinya Thian Oe jadi merasa
sangat terharu, ia meramkan kedua matanya dan berdoa kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, agar Chena masih hidup dalam dunia ini.
Beberapa saat kemudian, Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng sudah
berada di lereng gunung dan kemudian mereka menghilang di antara pohon-
pohon yang rindang.
Hosek Tjin-ong tarik napas lega dan lantas bereskan pasukannya yang
telah jadi sedikit kacau akibat pertempuran. Sesudah itu, ia hampiri Tong
Keng Thian dengan niat mengambil pulang guci emas itu dari tangannya si
pemuda. Tapi ia jadi sangat kecele, lantaran Keng Thian cuma manggutkan
sedikit kepalanya secara tawar dan berbalik serahkan guci emas itu kepada
Liong Leng Kiauw. "Jagalah hati-hati, jangan hilang lagi," katanya
sembari tertawa. Leng Kiauw sambuti barang berharga itu, yang kemudian
lalu dipasrahkan kepada Hosek Tjin-ong.
"Bolehkah aku mendapat tahu Hiapsoe (pendekar) empunya she dan nama
yang mulia?" tanya Hosek Tjin-ong dengan sikap menghormat. "Kali ini
Hiapsoe sudah membuat pahala yang sangat besar dan Siauw-ong (raja muda,
bahasakan dirinya sendiri) akan melaporkan kepada Hongsiang (kaizar) yang
tentu akan memberi hadiah sepantasnya."
"Aku adalah rakyat kecil dari pegunungan yang sudah biasa dengan
hidup merdeka dan tidak inginkan nama maupun harta," jawab Keng Thian
dengan suara tawar. "Jika ada hadiah apa-apa, tolong bagikan saja hadiah
itu kepada para serdadu yang bantu mengawal guci emas itu." Ia keluarkan
beberapa butir yowan (pel) yang lalu diserahkan kepada Liong Leng Kiauw
seraya berkata; "Inilah obat buat orang-orang yang kena Pengpok Sintan.
Telan saja dengan air matang dan orang itu akan segera sembuh. Liong-
heng, aku mau berangkat lebih dahulu, biarlah kita bertemu pula di lain
kali."
Melihat sikapnya pemuda itu yang sangat tawar terhadap dirinya,
tapi sedemikian hangat terhadap Liong Leng Kiauw, hatinya Hosek Tjin-ong
jadi merasa sangat tidak senang.
Baru saja Keng Thian berjalan beberapa tindak, Leng Kiauw mendadak
berseru: "Tong-heng, tunggu dahulu!"
"Ada apa?" tanya Keng Thian sembari berbalik.
Liong Leng Kiauw keluarkan satu kotak batu pualam yang besarnya
lima tjoen pesegi dan angsurkan itu kepada Keng Thian sembari berkata:
"Harap Tong-heng suka ambil barang ini."
Parasnya Keng Thian lantas saja berobah kurang senang dan ia
berkata dengan suara kaku: "Apakah aku membayar pulang guci emas dengan
mengharap hadiah?"
"Ini bukanlah hadiah dari aku sendiri," sahut Leng Kiauw sembari
tertawa. "Ini adalah barang lama milik keluargamu, yang secara kebetulan
sudah jatuh ke dalam tanganku. Puluhan tahun aku tolong simpan dan
sekarang mau dibayar pulang. Jika kau merasa sangsi, tanyalah ayahmu."
Keng Thian jadi merasa sangat bimbang. "Didengar dari omongannya,
barang ini bukanlah barang biasa," kata ia dalam hatinya. "Ilmu silatnya
ayahku, dalam jaman ini sukar dicari tandingannya. Apakah mungkin,
barangnya sendiri jatuh ke dalam tangan lain orang? Ilmu silatnya Liong
Leng Kiauw tidak berada di sebelah bawahku, sedang gerak-geriknya aneh
sekali. Apa mungkin orang yang berkepandaian seperti ia, sudi bekerja di
bawah perintahnya Hok Kong An dengan satu pangkat yang tidak besar dan
tidak kecil? Apakah tidak bisa jadi ia ada seorang yang mempunyai asal-
usul besar?" Dengan hati yang penuh pertanyaan, akhirnya Keng Thian
mengambil putusan buat terima kotak batu pualam itu.
Saat itu, di sebelah belakang mendadak terdengar tiga dentuman
meriam, dan ketika Keng Thian menengok, ia lihat satu pasukan tentara
yang kelihatannya angker sekali, sedang masuk ke dalam selat gunung.
"Utusan istimewa buat menyambut guci emas sudah tiba," kata Liong
Leng Kiauw.
"Siapa utusan itu?" tanya Keng Thian.
Leng Kiauw menggape dan Thian Oe lantas keluar dari dalam barisan.
"Utusan itu adalah ayahnya," kata Leng Kiauw.
Thian Oe segera maju menghampiri dan menghaturkan terima kasih buat
pertolongan Keng Thian yang tempo hari sudah tolong jiwanya.
"Ilmu silatmu sudah maju jauh sekali," kata Keng Thian sembari
tertawa. "Dengan adanya kau dan Liong Loosam, guci emas itu pasti akan
dapat diantar sampai di Lhasa dengan selamat. Aku jadi tak usah buat
pikiran dan sekarang aku mau berlalu saja." Ia manggutkan kepalanya
kepada Liong Leng Kiauw dan lalu berjalan pergi. Hosek Tjin-ong jadi
merasa lebih tidak senang, tapi sebab harus buruburu menyambut utusan, ia
jadi tidak mempunyai tempo buat perhatikan Tong Keng Thian lagi.
Setibanya di gunung depan, Keng Thian segera bertemu dengan Bek Eng
Beng dan lain-lain orang gagah dari Utara barat. Semua orang merasa
sangat mendongkol dan mereka ramai-ramai sesalkan pemuda itu. Keng Thian
lalu memberi penjelasan berulang-ulang kenapa mereka sekarang tidak boleh
rampas guci emas itu dan kemudian lalu keluarkan yowan pemberiannya
Pengtjoan Thainli buat mengobati orang-orang yang kena Pengpok Sintan.
Boe-sie Hengtee adalah orang-orang yang sangat terbuka dan sesudah
mendengar penjelasannya Keng Thian yang dianggap beralasan, lantas saja
mereka berkata sembari tertawa: "Tong Sieheng benar berpemandangan sangat
jauh yang tidak dipunyai oleh orang-orang seperti kami. Dalam urusan di
ini hari, kamilah yang bertindak salah."
Keng Thian merasa senang dalam hatinya dan lalu berkata sembari
membungkuk: "Buat luka yang sudah diderita oleh saudara, dengan jalan ini
aku menghaturkan maaf."
"Cara bagaimana kami dapat sesalkan Ioohcng?" kata Boe-sie Hengtee
sembari tertawa. "Pernah apakah wanita itu dengan Tong heng? Sehingga
Tong-heng sudah haturkan maaf guna ianya?"
Mukanya Reng Thian lantas jadi berobah merah.
"Biarpun dalam bantuannya kepada Tong-heng, maksudnya wanita itu
adalah sangat baik, tapi tangannya terlalu kejam," kata Boe-sie Hengtee.
"Jika ada kesempatan, kami ingin minta pengajaran lagi dari ianya. Kita
semua adalah turunannya Thiansan Tjitkiam (Tujuh Pendekar Pedang dari
Thiansan), maka itu kalau temponya tiba, Tong-heng tak boleh membantu
orang luar!"
"Ah, janganlah kau main-main, saudaraku," berkata Keng Thian, yang
merasa geli dan berkata dalam hatinya: "Inilah yang dinamakan sang air
mau rendam kelenteng Raja Naga. Kau tidak tahu, semuanya orang sendiri.
Ia adalah cucu perempuannya Koei Tiong Beng dan kalau dihitung-hitung
tingkatannya masih lebih atas dari kau berdua."
Sesudah berpisahan dengan kawanan orang gagah dari Utara barat,
seorang diri Keng Thian mendaki gunung. Sembari jalan, ia ingat halnya
Liong Leng Kiauw yang membikin hatinya jadi penuh dengan kesangsian. Ia
buka kotak batu pualam itu yang didalamnya ternyata terisi sepotong batu
giok (batu pualam) yang luar biasa indah dan berwarna biru hijau. Di
tengahtengah giok itu terdapat sebuah cap merah dengan ukiran huruf-huruf
kuno yang berbunyi: "Sioe Beng Ie Thian, Kok Oen Kioe Tiang (Terima
firman dari Langit, rejeki negara kekal abadi). Membaca itu, Keng Thian
jadi seperti orang terkesima. Harganya giok itu yang sukar ditaksir
berapa besarnya tidaklah cukup buat membikin ia menjadi heran, akan
tetapi, huruf-huruf itulah yang keja Keng Thian jadi bukan main
terkejutnya, sebab tak bisa salah lagi, barang itu adalah miliknya
kaizar.
"Kenapa Liong Loosam bilang, barang ini adalah barang keluargaku?"
tanya ia dalam hatinya. Mendadakan saja, ia ingat cerita ibunya (Phang
Eng) yang sering tuturkan sepak terjang ayahnya waktu masih muda. Ibunya
pernah ceritakan, bahwa dahulu sang ayah pernah dihadiahkan sepotong batu
giok oleh Kaizar Konghie. Apakah giok itu adalah giok hadiah Konghie?
Tong Siauw Lan (ayahnya Keng Thian) sebenarnya adalah putera (tidak
resmi) Kaizar Konghie. Pada ketika Tong Siauw Lan masuk ke dalam keraton
buat menemui ibunya, Konghie pernah hadiahkan giok itu kepadanya. Oleh
karena tidak ingin sang putera mengetahui urusan itu yang cuma dapat
menambahkan kejengkelan, maka saban-saban ceritakan halnya giok tersebut,
Tong Siauw Lan dan Phang Eng cuma mengatakan, bahwa lantaran secara
kebetulan sudah menolong Konghie dalam peristiwa perebutan tahta antara
putera-putera kaizar, maka kaizar tersebut telah hadiahkan giok itu
kepadanya. Latar belakang yang sebenarnya sama sekali tidak pernah
disebut-sebut. Sebab-sebab hilangnya giok tersebut, Keng Thian juga belum
pernah dengar dari kedua orang tuanya. Maka itulah, ia jadi merasa sangat
heran dan terutama merasa sangat tidak mengerti, kenapa barang itu bisa
jatuh kedalam tangannya Liong Leng Kiauw.
Keng Thian putar otaknya sampai ia jadi uring-uringan, tapi lekas
juga ia menjadi sadar dan berkata seorang diri sembari tertawa: "Ah,
kenapa juga aku jadi begitu tolol? Dengan menanyakan ayah dan ibu, segala
apa tentu akan menjadi terang. Buat apa aku capaikan pikiran?" Ia lantas
masukkan kotak itu ke dalam sakunya dan terus mendaki gunung.
Sesudah lewat magrib, sang rembulan mulai naik dan mengintip dari
antara sela-sela puncak gunung. Di gunung itu juga terdapat satu sungai
es, yang meskipun tidak seindah sungai es pegunungan Nyenchin Dangla, toh
sudah memberi suatu pemandangan yang menggetarkan jiwanya
Keng Thian. Bagaikan seekor naga perak, sungai es itu putari lereng
gunung dan dengan sinar es dan sinar rembulan yang saling menyoroti,
keindahan pemandangan alam itu benar-benar mempengaruhi orang yang sedang
menanggung rindu.
Mengingat Pengtjoan Thianlie, Keng Thian mendapat suatu perasaan
yang sukar dilukiskan dan tanpa merasa mulutnya ucapkan suatu syair:
"Sinar rembulan atas sungai es, dewi rembulan turun, bidadari
menyebar bunga, sang penyair datang.
Ah, walaupun bagaimana juga, aku akan undang dewi rembulan turun ke
atas bumi."
Tiba-tiba, dari puncak gunung, sayup-sayup terdengar suara khim
yang dibawa angin masuk ke dalam kupingnya Keng Thian. Di antara suara
tabuh-tabuhan yang merdu itu, lapat-lapat terdengar suara nyanyian Yoe
Peng:
Lilin pendek di belakang sekosol akan padam dalam sekejap. Bintang
pagi kelak-kelik akan segera mengundurkan diri, Sang bidadari menyesal
sudah curi obat mustajab, Lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri.
Nyanyian itu adalah berdasarkan Syair Dewi Rembulan, buah kalamnya
Lie Sian Djin, satu penyair dari ahala Tong. Ketika naik di keraton es,
Keng Thian pernah petik baris terakhir dari syair tersebut buat menggubah
toeilian untuk namanya Yoe Peng. Mendengar sang majikan mementil khim,
sedang sang dayang nyanyikan syair tersebut, Keng Thian jadi tertawa dan
berkata dalam hatinya: "Ah, Konghan Siantjoe sekarang sudah ingin turun
ke dunia." Ia pentang langkahnya dan berlari-lari menuju ke arah suara
khim itu.
Selagi enak lari, tiba-tiba saja ia dengar suara kresekan di
sebelah depannya, pada jarak belasan tombak, dan berbareng dengan itu,
dua bayangan manusia yang pakai pakaian hijau kelihatan berkelebat dengan
gunakan ilmu entengi badan yang paling tinggi, yaitu Tengpeng touwsoei
(Menyeberangi sungai dengan menginjak rumput). Dengan ilmu tersebut,
mereka dapat berlari-lari di atas rumput-rumput yang tinggi. Di lain
saat, kedua orang itu sudah menghilang di antara pepohonan. Keng Thian
terkejut, sebab ia dapat kenyataan, bahwa ilmu entengi badannya kedua
orang itu sedikitnya tidak berada di sebelah bawah ia. Kenapa malam-malam
mereka berada di gunung belukar itu?
Dengan cepat dan hati-hati Keng Thian menguntit dari belakang.
Jauh-jauh ia lihat kedua orang itu sedang mengumpat di antara alang-alang
dan saling berbisik. Keng Thian menghampiri lebih dekat dan tahan
napasnya buat mendengari apa yang dibicarakan oleh mereka.
"Aku dengar hari ini semua orang dari Utara barat pada turun tangan
buat rampas guci emas," demikian dengar suaranya seorang lelaki tua.
"Tjiauw Tjoen Loei dan kawan-kawannya hampir-hampir dapat malu besar,
kalau tidak ditolong oleh Liong Loosam yang keluarkan kepandaiannya,
sehingga guci yang hilang dapat dirampas kembali. Dilihat begitu, Liong
Loosam benar-benar tidak boleh dipandang rendah."
Keng Thian tertawa dalam hatinya. Hal yang menarik perhatiannya,
adalah disebut-sebutnya nama Liong Leng Kiauw.
"Yah, memang juga mencurigakan," kata seorang perempuan. "Kenapa
Liong Loosam yang begitu tinggi kepandaiannya rela bekerja sebagai
Tjamtjan di bawah perintahnya Hok Kong An? Memang mencurigakan. Tak heran
jika Hoei Tjongkoan minta kita keluar buat selidiki asal-usulnya. Kiranya
Hongsiang pun sudah merasa curiga."
Keng Thian sekarang mengerti, bahwa kedua orang itu adalah kaki
tangannya keraton Tjeng yang ilmu silatnya lebih tinggi dari delapan
pengawal istana.
Beberapa saat kemudian, di atas gunung kembali terdengar suara khim
dan kali ini, lagu yang dimainkan berdasarkan sajak Souw Tong Po yang
berbunyi seperti berikut:
Antara dahan pohon Tong mengintip sang rembulan.
Larut malam, keadaaan penuh dengan kesunyian.
Kadang-kadang terlihat orang pertapaan mundar-mandir sendirian.
Atau sang burung Hong yang melayang-layang tanpa juntrungan.
Dalam kagetnya, sang burung menengok ke belakang.
Hatinya sedih, tiada manusia mengetahui perasaannya.
Mencari-cari, belum juga dapat sang cabang.
Lebih baik menclok di pulau mencil dengan air di seputarnya.
Arti sajak yang mengharukan membikin suara khim penuh dengan
kesedihan, sehingga Keng Thian jadi terpesona.
"Besok malam kita sudah mesti tiba di Lhasa, tapi kau mau juga
dengari orang main khim," kata si wanita. "Apakah maksudmu yang
sebenarnya?"
"Aku dengar hari ini ada seorang wanita yang bantu turun tangan,"
sahut yang lelaki. "Mungkin sekali, yang dimaksudkan adalah orang yang
sedang mementil khim. Sudah ketelanjur lewat disini, kita tidak boleh
tidak menyelidiki."
"Hm!" kata si wanita dengan suara di hidung. "Kalau yang pentil
khim segala lelaki bau, kau tentu tidak kesudian naik kesini!"
Cara bicaranya kedua orang itu yang mengunjuk, bahwa mereka adalah
suami isteri, sudah membikin Keng Thian jadi terkejut. "Di daerah
perbatasan sebelah barat, suami isteri kenamaan yang berusia seperti
mereka, kecuali lethio dan Iebo (Lie Tie dan Phang Lin) dan ayah ibuku,
cuma ada pasangan In Leng Tjoe dari Lengsan pay di Tjenghay," kata ia
dalam hatinya. "Apakah mereka itu benar-benar suami isteri In Leng Tjoe
yang sudah kena ditarik oleh bangsa Boan?"
"Ah, kau orang apa!" si lelaki membentak. "Wanita yang sedang
pentil khim itu, kalau bukannya Pengtjoan Thianlie, tentulah juga seorang
yang mempunyai asal-usul besar. Sesudah menerima firmannya Hongsiang,
kita harus bertindak secara hati-hati sekali. Kebetulan lewat disini,
tidak dapat tidak kita mesti menyelidiki sampai terang betul."
"Hongsiang perintah kau selidiki asal-usulnya Liong Loosam dan
bukannya wanita itu," sahut si wanita dengan suara berdongkol.
"Liong Loosam sekarang sedang repot melindungi guci emas dan tentu
tak duga diam-diam ada orang yang incar padanya," kata yang lelaki dengan
suara membujuk. "Begitu tiba di Lhasa, kita tentu akan berhasil. Apalagi
Lootoa sudah mendahului kita. Sudahlah, kau tak usah kuatir. Aku rasa
perlu kita tengok wanita itu, mungkin sekali kita dapat beberapa
keterangan penting tentang Liong Loosam dari mulutnya." Sehabis berkata
begitu, ia lantas loncat keluar dari tempat sembunyinya, diikuti oleh si
wanita.
Pengtjoan Thianlie yang sudah mulai berdongkol lantaran sehabis
mainkan dua lagu, Keng Thian belum juga kelihatan muncul, merasa terkejut
melihat munculnya sepasang lelaki dan perempuan yang beroman jelek
sekali. Yang lelaki nyengir-nyengir sembari perlihatkan giginya yang
tonggos, sehingga si nona jadi gusar sekali.
Melihat kecantikannya Pengtjoan Thianlie dan lagak suaminya, si
wanita naik darahnya dan lantas menanya dengan suara kaku: "Hei! Apakah
kau yang hari ini membantu Liong Loosam melindungi guci emas?"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan membentak: "Anjing! Berani
betul kau orang curi dengar aku mementil khim! Hayo, menggelinding turun
dari sini!" Berbareng dengan bentakan itu, ia ayun tangannya dan dua
butir Pengpok Sintan lantas menyambar.
Sesuai dengan dugaannya Keng Thian, mereka itu memang juga adalah
suami isteri In Leng Tjoe. Sebagai pemimpin dari suatu partai, mereka
tentu tidak dapat menerima hinaan. Tapi belum sempat turun tangan, mereka
sudah rasakan menyambarnya hawa yang sangat dingin, sehingga mereka jadi
terkejut dan buru-buru tutup semua jalanan darahnya, tapi meskipun
begitu, mereka toh masih bergidik juga.
Melihat dua pelurunya tak dapat robohkan mereka, Pengtjoan Thianlie
merasa agak kaget dan segera lepaskan lagi dua butir Pengpok Sintan
dengan gunakan tenaga dalam yang lebih besar. In Leng Tjoe kelit dan
Sintan meledak di pinggir badannya. Isterinya, yang lebih sebet, sudah
buka ikatan pinggangnya yang digunakan buat gulung Sintan yang satunya
lagi. Dengan sekali kedut Pengpok Sintan meledak di dalam ikatan
pinggang, yang segera digunakan sebagai pian lemas (djoanpian) buat
menghantam Pengtjoan Thianlie.
Pengtjoan Thianlie juga lantas buka ikatan pinggangnya, yang,
bagaikan seekor naga, papaki ikatan pinggangnya musuh. Di lain saat,
kedua ikatan pinggang sudah menyambar-nyambar di tengah udara dengan
kecepatan kilat, sehingga memberi pemandangan yang indah sekali.
"Apakah kau bukan Pengtjoan Thianlie?" membentak In Leng Tjoe.
"Kau sudah tahu aku siapa, kenapa tak mau buru-buru menggelinding
dari sini," sahut si nona.
"Biarpun kau benar-benar bidadari dari atas langit, aku toh mau
jajal-jajal dahulu kepandaianmu," kata In Leng Tjoe sembari tertawa
tawar. Ia lantas cabut sepasang Poankoan pit (senjata yang merupakan pit)
dari pinggangnya dan coba totok dua jalanan darah di bebokongnya
Pengtjoan Thianlie.
Sambaran Poankoan pit yang disertai dengan tenaga dalam yang hebat,
sudah membikin Pengtjoan Thianlie jadi terkesiap. Ia tak duga, si lelaki
yang mukanya jelek itu adalah ahli menotok jalanan darah. Lantaran
begitu, ia tidak berani memandang enteng lagi lawannya dan sembari putar
badan, ia cabut Pengpok Hankong kiam. In Leng Tjoe rangkap kedua senjata
yang lantas diacungkan buat papaki
Hankong kiam dengan gerakan Hoenka kimliang (Menunjang penglari
emas). Dengan latihan puluhan tahun, sambaran Poankoan pit itu mempunyai
tenaga ribuan kati dan In Leng Tjoe menduga, bahwa dengan sekali bentur
saja, ia akan dapat patahkan pedangnya Pengtjoan Thianlie. Tapi si jelita
yang gerakannya luar biasa gesit sudah egos pedangnya dan berbareng
dengan berkelebatnya sang pedang, In Leng Tjoe kembali bergidik lantaran
sambaran hawa dingin. Di lain saat, dengan beruntun Pengtjoan Thianlie
kirim tiga serangan, sehingga dari menyerang, In Leng Tjoe berbalik harus
membela diri. Dengan kedua kaki menginjak kedudukan Patkwa, ia terpaksa
mundur, tapi Poankoan pit-nya sudah tutup rapat seluruh badannya dan
ujung senjata itu terus bayangi jalanan darah musuhnya yang dapat ditotok
begitu lekas ada kesempatan.
Ilmu silat isterinya In Leng Tjoe, yang bernama San Tjeng Nio,
tidak berada di sebelah bawah suaminya. Melihat liehaynya sang lawan,
buru-buru ia kedut ikatan pinggangnya yang lantas jadi lempang bagaikan
pit dan mulai bersilat dengan ilmu Hoeiliong Pianhoat (Ilmu silat pian
naga terbang). San Tjeng Nio adalah ahli Djioekang (Ilmu silat lembek)
dari Bittjong pay di Tibet. Dengan "kelemasan," ia dapat tindih
"kekerasan" dan dengan ilmu itu yang mempunyai delapan rupa jalan, ikatan
pinggangnya bukan saja dapat mainkan peranan beberapa macam senjata, tapi
juga dapat digunakan buat merebut senjata musuh. Dibanding dengan
djoanpian biasa, ikatan pinggang tersebut lebih liehay ratusan kali
lipat.
Oleh karena harus layani dua lawanan berat, pembelaan ikatan
pinggangnya Pengtjoan Thianlie jadi kurang rapat. Melihat kesempatan itu,
San Tjeng Nio segera kedut senjatanya, yang seperti seekor ular terbang,
lantas menyambar ke arah matanya musuh. Dalam keadaan terdesak, Pengtjoan
Thianlie terpaksa gunakan Pengpok Hankong kiam buat menyabet dua kali –
ke kanan dengan gerakan Soathoa lioktjoet (Kembang salju berhamburan ke
enam penjuru), ke kiri dengan gerakan Kisoei lengpeng (Air membeku jadi
es) —— dan dua serangan itu berubah jadi delapan rupa serangan yang
menyambar-nyambar secara berantai. San Tjeng Nio tidak berani terlalu
mendesak, buru-buru ia tarik pulang ikatan pinggangnya buat lindungi
diri.
Baru saja singkirkan gencatan si isteri, sang suami sudah mendesak
dengan kedua senjatanya yang makin lama jadi makin hebat menyerangnya,
sehingga Pengtjoan Thianlie jadi tidak mempunyai kesempatan lagi buat
lakukan serangan membalas.
Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih lima puluh
jurus. Kedua belah pihak sama-sama merasa kaget dan heran. In Leng Tjoe
suami isteri adalah jagoan kelas berat yang sudah dapat nama lama sekali
di daerah perbatasan barat, maka dapat dimengerti, jika mereka merasa
kaget melihat tangguhnya Pengtjoan Thianlie yang tidak dapat dijatuhkan
biarpun dikerubuti berdua. Di lain pihak, si nona juga tidak kurang
kagetnya sebab ilmu pedangnya yang begitu liehay masih juga belum dapat
robohkan dua lawanan itu.
Keng Thian yang mengintip dari belakang batu, terus mengawasi
jalannya pertempuran dengan mata tidak berkesip. Ia lihat, makin lama
serangan In Leng Tjoe suami isteri jadi makin hebat. Sesuatu sambaran
Poankoan pit ditujukan kepada jalanan darah, sedang ikatan pinggangnya
San Tjeng Nio selalu siap sedia buat masuk ke tempat kosong. Demikianlah,
perlahan-lahan Pengtjoan Thianlie jadi berada di bawah angin. Tapi,
berkat ilmu silatnya yang luar biasa, setiap kali keteter, muncullah
pukulan-pukulannya yang aneh, yang tak dikenal oleh In Leng Tjoe suami
isteri, sehingga, walaupun sudah berada di atas angin, mereka selalu
mesti berlaku sangat hati-hati buat menjaga serangan-serangan yang tidak
diduga-duga.
Keng Thian tumplek seluruh perhatiannya dan diam-diam coba meraba-
raba ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. "Ah," ia menghela napas. "Tadinya
aku kira Thiansan Kiamhoat adalah ilmu pedang yang tiada keduanya dalam
dunia. Tapi sekarang aku dapat kenyataan, banyak pukulannya Pengtjoan
Thianlie yang lebih unggul daripada ilmu pedang Thiansan. Benar-benar
pelajaran tidak ada batasnya."
Jika mau dirundingkan soal ilmu pedang, ilmu pedangnya Pengtjoan
Thianlie memang sedikit lebih unggul dalam hal keanehannya dan perobahan-
perobahannya yang luar biasa. Akan tetapi, mengenai luasnya, dalamnya dan
teguhnya, kiamhoat-nya si jelita masih belum dapat menyusul Thiansan
Kiamhoat. Jika bertemu dengan lawan yang ilmu silatnya lebih tinggi,
seorang ahli Thiansan Kiamhoat masih dapat membela diri dengan
penjagaannya yang sangat rapat. Di lain pihak, kiamhoat-nya Pengtjoan
Thianlie ada lebih liehay dalam penyerangan, tapi masih kurang sempurna
dalam pembelaan diri, jika bertemu dengan lawanan yang lebih kuat.
Ilmunya suami isteri In Leng Tjoe adalah kira-kira sctanding dengan
si pendeta berkelana dan Liong Leng Kiauw. Jika satu lawan satu, dalam
seratus jurus, ia tentu roboh dalam tangannya Pengtjoan Thianlie. Akan
tetapi dengan mengerubuti, kedudukannya suami isteri itu jadi terlebih
unggul. Cuma saja, berkat kiamhoat-nya si nona yang luar biasa dan
ditambah lagi sama Pengpok Hankong kiam yang istimewa, maka buat
sementara mereka masih belum dapat menarik keuntungan dari keunggulan
itu.
Dengan perlahan, sang rembulan sudah mulai doyong ke barat. Sesudah
bertempur kurang lebih seratus jurus, Pengtjoan Thianlie mulai merasa
lelah dan napasnya jadi sedikit sengal-sengal. "Kenapa si pemuda baju
putih belum juga datang?" ia tanya dalam hatinya yang mulai jadi jengkel,
sehingga tidak dapat pusatkan lagi Seantero perhatiannya kepada
pertempuran yang sedang berlangsung dengan hebatnya.
In Leng Tjoe suami isteri adalah orang-orang yang sudah kawakan
dalam pertempuran. Begitu lihat kesempatan, mereka lalu mendesak semakin
hebat. Sepasang Poankoan pit In Leng Tjoe terus tindih pedangnya si nona
buat cegah ia keluarkan pukulan-pukulannya yang aneh, sedang ikatan
pinggangnya San Tjeng Nio terus menyambar-nyambar ke bagian-bagian yang
agak lowong. Yoe Peng yang sedari tadi menonton, dengan sikap acuh tak
acuh, sekarang mulai kuatirkan keselamatan majikannya.
Sekonyong-konyong dengan gerakan Lioeseng poengoat (Bintang sapu
mengubar bulan), kedua Poankoan pit menyambar ke arah kepalanya Pengtjoan
Thianlie, dan hampir berbareng, ikatan pinggangnya San Tjeng Nio melesat
ke garisan dalam dari pembelaan si nona. Saat itu, pedangnya Pengtjoan
Thianlie yang sedang digunakan di garisan luar buat tangkis Poankoan pit,
sudah tidak keburu ditarik pulang guna singkirkan sambarannya ikatan
pinggang. Yoe Peng terkesiap dan keluarkan satu teriakan: "Celaka!"
Pada detik itulah, Pengtjoan Thianlie keluarkan pukulan yang benar-
benar istimewa. Dengan sekali getarkan gagang pedangnya, begitu bentur
Poankoan pit musuh, dari Pengpok Hankong kiam seperti juga terbang keluar
ratusan "kembang pedang" yang sinarnya bergemilapan dan menyilaukan mata.
Satu batang pedang itu seakan-akan berobah jadi ratusan batang pedang.
Inilah pukulan Pengho kaytang (Sungai es melumer), yaitu pukulan
istimewa dari Pengtjoan Kiamhoat yang digunakan buat menolong diri dalam
bahaya. Ketika itu, jika In Leng Tjoe teruskan juga serangannya, batok
kepalanya si jelita memang bisa menjadi toblos, tapi mereka pun pasti
bakal jadi korbannya Pengpok Hankong kiam. Mereka berdua tidak berani
berlaku mati-matian lantaran, pertama, mereka tidak kenal ilmu pukulannya
Pengtjoan Thianlie, ditambah sama silaunya sang mata lantaran sinar
Hankong kiam sehingga mereka tidak dapat lihat tegas badannya musuh, dan
kedua, sebagai ahli-ahli kawakan dalam Rimba Persilatan, mereka selalu
taat pada nasehat yang berbunyi: Sebelum menghitung kemenangan, hitunglah
kekalahan.
Demikianlah buru-buru mereka tarik pulang senjatanya dan tutup
rapat dirinya. Pada saat itulah, dari belakang batu besar keluar satu
teriakan: "Bagus!" yang keluar dari mulutnya Tong Keng Thian. In Leng
Tjoe dan isterinya terkesiap. Sembari pentang senjatanya, In Leng Tjoe
membentak dengan suara keras: "Lengsan pay In Leng Tjoe ada disini.
Sahabat, keluarlah buat menemui aku."
In Leng Tjoe adalah seorang yang sudah dapat nama besar lama sekali
di daerah perbatasan sebelah barat dan dengan perkenalkan dirinya, ia
berharap, orang yang sembunyi akan merasa jeri. Tapi tak dinyana, baru ia
tutup mulutnya, dua sinar terang menyambar dan kedua senjatanya kena
terpukul miring, sehingga garisan pembelaannya jadi terbuka, dan
berbareng dengan itu, Pengpok Hankong kiam sudah menerobos masuk bagaikan
kilat.
In Leng Tjoe terbang semangatnya. Matanya silau dan hawa dingin
menyambar ke uluhatinya, sehingga .ia tak dapat membela dirinya lagi.
"Binasalah aku!" ia mengeluh.
Mendadakan terdengar suara terbesetnya kain dan sinar pedang
berkelebat di atasan kepalanya. Sebagai seorang yang tinggi ilmu
silatnya, pada saat itulah, dengan gerakan Yauwtjoe hoansin (Elang balik
badannya), In Leng Tjoe jejak kedua kakinya dan badannya melesat beberapa
tombak, akan kemudian jatuh menggelinding ke bawah tanjakan.
Suara terbesetnya kain yang didengar oleh In Leng Tjoe muncul
ketika ikatan pinggangnya San Tjeng Nio dibabat putus dengan Hankong
kiam. Barusan, melihat suaminya berada dalam bahaya, San Tjeng Nio
kerahkan tenaga dalamnya dan bagaikan sebatang pedang, ikatan pinggangnya
sambar kedua matanya Pengtjoan Thianlie, yang lantas papaki dengan
Hankong kiam. Oleh karena adanya pertolongan sang isteri, In Leng Tjoe
jadi dapat loloskan dirinya.
Sambil lempar ikatan pinggangnya yang sudah tinggal sepotong, San
Tjeng Nio turut loncat turun ke bawah tanjakan. Mereka menengok ke atas
dan lihat Pengtjoan Thianlie mau mengubar, tapi dicegah oleh seorang
pemuda baju putih.
In Leng Tjoe cabut senjata rahasia yang menancap pada kedua
senjatanya dan begitu lihat, ia terkesiap. "Hei!" ia berseru. "Thiansan
Tong Siauw Lan masih pernah apa dengan kau?"
"Aku wakili ayah buat menanyakan keselamatannya kedua
Lootjianpwee," sahut Keng Thian. "Harap kedua Lootjianpwee sudi maafkan
kekurang ajaranku."
In Leng Tjoe suami isteri saling mengawasi. Biar bagaimanapun juga,
mereka belum mempunyai nyali buat coba-coba bentur Tayhiap Tong Siauw
Lan, apalagi ilmu silatnya si pemuda sendiri sudah cukup tinggi dan dapat
pukul miring kedua Poankoan pit dengan Thiansan Sinbong. Di sebelahnya
itu, mereka juga harus perhitungkan Pengtjoan Thianlie yang terus
mengawasi dengan mata beringas. Keringat dingin keluar dari dahinya In
Leng Tjoe. Tapi buat tutup perasaan malunya, ia membentak dengan suara
keras: "Baiklah! Aku sungkan berurusan sama segala bocah. Aku akan bikin
perhitungan dengan ayahmu sendiri!"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan berkata: "Penjahat gundul! Kau
masih berani banyak bacot? Apa kau mau rasakan lagi pedangku?"
Mendengar perkataan "penjahat gundul," In Leng Tjoe terkejut dan
lantas raba kepalanya. Hatinya mencelos sebab ia dapat kenyataan,
rambutnya sudah kelimis dan tanpa berani mengeluarkan sepatah kata lagi,
ia tarik tangan isterinya dan menyingkir secepat bisa.
"Dua bangsat itu sudah berani curi dengar suara khim-ku, biarpun
senjatanya sudah diputuskan dan rambutnya dipapas, hatiku rasanya belum
merasa puas," berkata Pengtjoan Thianlie dengan suara mendongkol.
"Dalam dunia ini masih banyak orang-orang yang terlebih jahat
daripada mereka," kata Keng Thian sembari tertawa. "Mana boleh kau selalu
turuti napsu amarahmu."
Lewat beberapa saat, Keng Thian berkata pula sembari tertawa:
"Apakah kau mementil khim hanya untuk didengar olehku? Sungguh sayang aku
bukannya Pek Gee (Djie Pek Gee, seorang ahli khim dari jaman Liatkok),
sehingga tidak mengetahui dimana adanya hati tetabuhan tersebut."
Mukanya si jelita lantas saja bersemu dadu. "Cis" katanya. "Siapa
yang pentil khim untuk kau? Eh, apa kau mau adu pedang lagi?"
"Tak usah," sahut Keng Thian. "Barusan aku sudah saksikan
kepandaianmu yang sejati dan benar-benar tinggi sekali. Aku sekarang
mengaku kalah."
"Aku paling benci orang yang bicara lain, hatinya lain," kata lagi
si nona. "Dalam hati, kau tentu kata: "Kepandaiannya Pengtjoan Thianlie
cuma sebegitu saja? Mana bisa menangkan Thiansan Kiamhoat?"
Keng Thian jadi tertawa keras. "Ah!" katanya. "Kalau begitu kau
mempunyai ilmu membaca hati orang! Tapi, kali ini kau membaca salah.
Barusan hatiku kata: "Kiamhoat-nya Pengtjoan Thianlie benar-benar liehay.
Dalam tiga sampai lima tahun, aku belum dapat menangkan dia."
Pengtjoan Thianlie menghela napas, sebab dalam hatinya, ia justru
sedang pikir apa yang dikatakan oleh Keng Thian. Sesudah meneliti ilmunya
si pemuda, ia merasa, bahwa meskipun tak usah kalah, akan tetapi buat
bisa dapat jatuhkan Keng Thian, paling sedikitnya ia harus berlatih
antara tiga sampai lima tahun lagi. Dan ia merasa tercengang, sebab apa
yang lagi dipikir sudah dikatakan oleh Keng Thian.
"Kenapa tarik napas?" tanya Keng Thian.
Si nona tak menyahut. Lewat beberapa saat mendadak ia berkata:
"Kalau begitu, kau adalah puteranya Thiansan Tong Tayhiap."
"Sekarang kita sama-sama sudah mengetahui asal-usul masing-masing
dan kita sebenarnya bukan orang luar," kata Keng Thian. "Ayahku mempunyai
matan buat satu tempo kumpulkan semua turunan dan murid-muridnya Thiansan
Tjitkiam. Jika niatan itu terwujud, aku akan ajak kau, supaya dapat
berkenalan dengan sahabat-sahabatnya mendiang ayahmu."
Mendengar itu, parasnya Pengtjoan Thianlie segera jadi berobah.
"Ayahku sudah singkirkan diri ke daerah perbatasan dan sedari dahulu ia
sudah tidak anggap dirinya sebagai orang Thiansan pay," katanya. "Cara
bagaimana aku dapat hadiri pertemuan itu?"
Keng Thian terkejut, ia tak mengerti, kenapa si nona boleh
keluarkan perkataan begitu. Tapi ia lihat Pengtjoan Thianlie bicara
dengan sungguh-sungguh, sehingga ia tak menanya apa-apa lagi.
Keng Thian tidak mengetahui, bahwa ayahnya si nona, yaitu Koei Hoa
Seng, dahulu justru pernah dijatuhkan oleh ayah ibunya sendiri. Dengan
perasaan mendongkol, Koei Tayhiap pergi ke lain negara dengan tujuan
mempelajari ilmu pedang daerah sebelah barat guna digabung dengan ilmu
pedangnya sendiri, supaya bisa menggubah serupa ilmu pedang yang lebih
unggul dari Thiansan Kiamhoat.
Kedua matanya Pengtjoan Thianlie mengawasi ke arah jauh, seakan-
akan ia sedang berpikir keras. Beberapa saat kemudian, ia berkata dengan
suara agak terharu: "Berjodoh, manusia berkumpul. Jodoh habis, berpisah
kembali. Satu kali kau pernah naik ke atas Puncak Es dan aku telah
membalas budi dengan ambil pulang guci emas. Dengan demikian, kita sudah
rampungkan sekelumit lelakon hidup ini. Kita tak usah adu pedang lagi dan
biarlah kita berpisahan sebagai sahabat."
Nepal adalah satu negara yang banyak kena pengaruhnya agama Budha,
sehingga sebagai seorang Puteri Nepal, Pengtjoan Thianlie pun kena
pengaruh agama tersebut. Keng Thian tercengang mendengar kata-kata itu
dan buat beberapa saat, ia tak dapat membuka suara.
"Puncak Es sudah roboh dan kau sendiri sudah masuk lagi ke dalam
dunia pergaulan," berkata Keng Thian sembari mesem. "Apakah jodoh dalam
dunia dapat berakhir dengan begitu saja? Meskipun keraton es ada cukup
indah, akan tetapi dingin dan sunyi. Andaikata benar-benar di belakang
hari kau bisa jadi seorang bidadari, paling banyak kau jadi seperti
bidadari dari rembulan. Dan sebagaimana kau mengetahui, bidadari rembulan
saja masih kadang-kadang merasa kesepian, masih saban malam pikiri lautan
blau dan langit biru! Apakah, selainnya keraton es, dalam dunia sudah
tidak ada lain tempat yang cocok bagi dirimu?"
Hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang keras, sehingga dadanya turun
naik terlebih cepat. Ia angkat kepalanya dan mengawasi si pemuda, yang
dengan pakaiannya yang serba putih dan parasnya yang cakap sekali,
kelihatan angker dan agung di bawahnya sinar rembulan yang laksana perak.
Ketika itu, Keng Thian pun sedang mengawasi ia dengan sorot matanya yang
bening, sehingga dua pasang mata segera kebentrok. Paras mukanya
Pengtjoan Thianlie kembali bersemu dadu dan pikirannya jadi semakin
kusut. Hatinya merasa berat, akan tetapi, ia sendiri tidak mengetahui,
apa yang dibuat berat. Apakah keindahan dunia? Apakah pemuda itu dengan
kata-katanya dan cara-caranya yang sangat menarik hati? Tapi, bukankah
pemuda itu adalah seorang, dengan siapa ia harus ukur tenaga supaya tidak
sia-siakan capai lelah ayahnya sendiri? Mengingat begitu, si nona rasakan
kepalanya pusing.
"Apakah kau tidak mau pergi ketemui kedua pamanmu?" tanya Keng
Thian mendadakan. "Yang satu berada di Soetjoan, sedang , yang lain di
Ouwpak. Puluhan tahun mereka pikiri ayahmu dan pesan banyak sahabatnya
buat bantu mencari. Gurunya Thian Oe, yaitu Thiekoay sian, yang juga
pernah terima pesanan begitu, sudah naik ke atas Puncak Es tanpa
perdulikan bahaya, sehingga akhirnya ia mesti membuang jiwa di dalam
keraton es. Apakah sesudah mengetahui itu, hatimu sedikitpun tidak jadi
tergerak?"
"Apa? Thiekoay sian mati di keraton es?" tanya si nona dengan suara
terkejut.
"Benar," menyeletuk Yoe Peng. "Guna melindungi keraton es, Thiekoay
sian telah binasa dalam tangannya si pendeta jubah merah." Si dayang lalu
tuturkan segala apa yang ia dapat dengar dari Thian Oe, mengenai
kebinasaannya Thiekoay sian.
Mendengar penuturan itu, Pengtjoan Thianlie jadi merasa jengah. Ia
ingat budinya Thiekoay sian suami isteri yang sudah begitu sudi gawe buat
mendaki Puncak Es, guna kepentingan lain orang, sehingga akhirnya sang
suami harus membuang jiwa secara kecewa sekali.
"Jika kedua pamanmu mengetahui, mereka mempunyai satu keponakan
yang begitu pintar, mereka tentulah juga akan merasa girang sekali," Keng
Thian teruskan bujukannya. "Apa benar-benar kau tidak kepengen menemui
pamili di Tiongkok?"
"Aku tak tahu dimana mereka tinggal, bagaimana bisa mencarinya?"
kata Pengtjoan Thianlie akhir-akhir.
Melihat si nona sudah tergerak hatinya, Keng Thian jadi girang
sekali. "Itulah, jodoh kita memang belum habis dan kita tidak dapat
lantas berpisahan," katanya. "Biarlah aku antar kau pergi cari kedua
pamanmu itu. Lebih dahulu kita pergi cari ke Soetjoan barat buat cari Moh
Tjoan Seng Tayhiap dan sesudah itu, baru kita mendaki Boetong san buat
menemui Tjio Kong Seng Tayhiap."
Mukanya si nona jadi merah lantaran kemalu-maluan. Ia berdiri
bengong buat beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara perlahan:
"Baiklah. Kapan kita berangkat?"
"Pada sebelum aku antar kau cari kedua pamanmu, lebih dahulu kau
harus kawani aku pergi cari seorang lain," sahut Keng Thian.
"Siapa? Apa jauh?" tanya si nona.
"Orang yang aku mau cari adalah Liong Leng Kiauw," menerangkan Keng
Thian "Sekarang kita pergi dahulu ke Lhasa. Perjalanan itu tidak meminta
tempo terlalu lama."
"Guci emas toh sudah dipulangkan, buat apa cari ia lagi?" tanya
Pengtjoan Thianlie.
"Asal-usulnya Liong Leng Kiauw sangat mencurigakan," kata Keng
Thian. "Apa kau tahu, maksud kedatangan suami isteri In Leng Tjoe adalah
buat menyusahkan padanya?" Sesudah itu, ia lalu tuturkan segala apa yang
ia dengar dari mulutnya kedua suami isteri tersebut. "Ilmu silatnya suami
isteri In Leng Tjoe adalah lebih tinggi dari delapan pengawal istana,"
Keng Thian sambung penuturannya. "Tapi sebaliknya dari perintah mereka
lindungi guci emas, kaizar Boan suruh mereka pergi menyelidiki asal-
usulnya Liong Loosam. Dari sini dapat dilihat, bahwa di matanya kaizar,
pentingnya penyelidikan itu tidak kalah dari pentingnya guci emas. Itulah
sebabnya kenapa aku merasa perlu buat coba pecahkan teka-teki itu."
"Ah, kau memang sangat usilan!" kata si nona sembari kerutkan
alisnya.
"Biarpun kau tak sudi, tapi kali ini toh kau harus antarkan aku,"
kata Keng Thian sembari tertawa.
"Kenapa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Supaya kita sama-sama tak usah menanggung budi," sahut Keng Thian.
"Jika dikemudian hari, kau kebetulan ingin adu pedang lagi denganku, kau
jadi bisa buka mulut tanpa sungkan-sungkan lagi!"
"Cis" membentak si nona sembari tertawa. "Kau benar jail. Baiklah,
aku luluskan permintaanmu."
Demikianlah mereka bertiga lantas berangkat dan tiba di Lhasa pada
malaman Tahun Baru. Ketika itu, ibukota Tibet, sedang berada dalam
suasana pesta. Jalanan-jalanan penuh dengan rakyat yang keluar buat
saksikan keramaian, rumah-rumah pasang lampu terang-terang dan di segala
tempat terlihat menguleknya asap hio yang dibakar tak henti-hentinya.
Pusatnya keramaian terletak di sekitar Kelenteng Thaytjiauw sie yang
dipajang indah sekali dengan lampu-lampu yang beraneka warna. Gelombang
manusia semuanya mengalir ke kelenteng tersebut yang sudah jadi penuh
sesak dengan rakyat yang bersuka ria -- ada yang sembahyang, ada yang
menari-nari di tengah jalan atau menyanyi sekeras suara.
"Sekali ini kaizar Boan telah bertindak secara tepat sekali," kata
Keng Thian dalam hatinya. "Dengan mengirim guci emas, pemerintahan
keagamaan di Tibet jadi berada di bawah pimpinan langsung dari pemerintah
pusat di Pakkhia, sehingga Tiongkok dan Tibet tak dapat dipisahkan lagi.
Tak heran kalau rakyat jadi begitu girang." Dalam kepuasannya, si pemuda
merasa sedikit menyesal, bahwa mereka datang terlambat sedikit sehingga
tidak dapat saksikan upacara penyambutan guci emas yang tiba di Lhasa
pada siang harinya.
Sesudah lihat-lihat keramaian buat sementara waktu, mereka bertiga
lalu menuju ke lapangan yang terletak di bawahnya Keraton Potala. Sesudah
lewati lapangan tersebut, mereka tiba pada satu daerah pegunungan di
sebelah utara Gunung Anggur. Mereka terus mendaki satu tanjakan, di atas
mana berdiri sebuah rumah yang berbentuk bundar dan terkurung tembok,
yaitu rumahnya Liong Leng Kiauw. Sesudah pesan supaya Yoe Peng tunggu di
lapangan di kaki gunung, bersama Pengtjoan Thianlie, dengan gunakan ilmu
entengi badan, Keng Thian segera masuk ke dalam pekarangan dengan loncati
tembok.
Keadaan disitu sangat sunyi, mungkin para penghuninya pada pergi
nonton keramaian. Waktu tiba di dekat kamar tulisnya Liong Sam, kuping
mereka mendadak dengar suara tindakan orang yang jalan mundar-mandir di
dalam kamar tersebut. Mereka segera loncat ke atas payon rumah dan
sembari cantelkan kaki kepada payon, mereka mengintip ke dalam. Ilmu
entengi badannya Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian boleh dibilang
sudah mencapai puncak kesempurnaan, sehingga walaupun Liong Leng Kiauw
berilmu tinggi, ia masih belum mengetahui kedatangannya kedua tetamu
tersebut.
Di dalam kamar, tuan rumah kelihatan jalan mundar-mandir tak
hentinya, dengan paras muka yang sangat guram. Keng Thian merasa sangat
heran kenapa, sesudah guci emas berada dalam Gereja Besar, Leng Kiauw
masih kelihatan begitu bersusah hati.
Sekonyong-konyong dari sebelah luar kedengaran suara tindakan orang
Buru-buru Pengtjoan Thianlie dan Keng Thian naik ke atas dan mengumpat di
pancoran air. Tirai disingkap dan seorang yang tinggi kurus kelihatan
masuk ke dalam. Ia itu adalah Gan Lok, soetee-nya Liong Sam, yang pernah
curi pedangnya Yoe Peng.
"Soetee belum tidur!" tanya Leng Kiauw sembari menghela napas.
"Selama setengah bulan, aku sangat kuatirkan keselamatan soeheng,
tapi sekarang aku dapat bernapas lega," sahutnya.
Leng Kiauw meringis dan berkata: "Sesudah tibanya guci emas, urusan
kita justru baru mulai main!"
"Menurut pendapatku, lebih baik kita singkirkan diri dahulu buat
sementara waktu," kata Gan Lok.
"Apa kau takut?" tanya sang soeheng.
"Bukannya takut," jawabnya. "Cuma dalam beberapa hari, aku seperti
dapat firasat, bahwa rahasia kita sudah diketahui orang."
"Hok Tayswee sama sekali tidak merasa curiga," menghibur Leng
Kiauw. "Kau tak usah pikir yang tidak-tidak."
Gan Lok diam, mulutnya bergerak, tapi ia tidak jadi bicara.
"Belasan tahun lamanya kita mengumpat di gedungnya pembesar
negeri," kata pula Liong Leng Kiauw. "Buat apa? Sekarang kita sudah
mempunyai dasar yang kuat, dan di sebelahnya itu, sesuai sama rencanaku,
kita sudah dapat menyambut guci emas dengan selamat. Mulai dari sekarang,
Hok Tayswee akan lebih perlu sama tenaga kita. Andaikata sampai timbul
badai, aku rasa kita masih dapat lewati dengan selamat. Kau takut apa?"
"Aku harap saja begitu," kata sang soetee dengan paras lesu.
"Aku perintah kau adakan hubungan dengan berbagai Touwsoe, apa
jalannya urusan cukup licin?" tanya Leng Kiauw.
"Boleh juga," sahutnya.
"Dalam gedung Tayswee ada aku. Kali ini kita harus bertindak," kata
lagi Leng Kiauw.
"Dalam gedung Tayswee besok bakal diadakan pertemuan Tahun Baru,
sembari memberi hadiah kepada perwira dan serdadu yang berjasa," kata Gan
Lok. "Soeheng, baik kau pergi tidur."
"Dan kau?" tanya Leng Kiauw.
"Dalam pertemuan besok, soeheng pegang peranan terutama, sedang aku
cuma ambil peranan pembantu, sehingga datang terlambat masih tidak apa,"
kata sang soetee. "Aku masih mau pergi meronda."
Leng Kiauw tertawa dan berkata: "Kau memang terlalu hati-hati. Apa
sekiranya masih ada orang yang berani datang disini?"
"Apa soeheng lupa kejadian bulan yang lalu?" Gan Lok balas menanya.
"Dalam dunia ada berapa Pengtjoan Thianlie?" kata Leng Kiauw.
"Selainnya itu, Pengtjoan Thianlie pun tidak mengandung maksud jahat."
"Biarpun begitu, aku rasa lebih hati-hati ada lebih baik," kata Gan
Lok yang lantas berlalu sesudah ucapkan selamat tidur.
Sesudah mendengar pembicaraan antara kedua saudara seperguruan itu,
hatinya Tong Keng Thian jadi semakin bimbang. Pekerjaan apakah yang mau
dilakukan oleh Liong Leng Kiauw? Siapa sebenarnya dia? Selagi hatinya
bersangsi, mendadak tuan rumah menggerendeng seorang diri: "Balik bumi,
gulung langit adalah pekerjaanku. Ha, ha! Dengan sampainya guci emas,
tibalah temponya buat memperlihatkan kesaktianku!"
Keng Thian terkesiap. "Liong Loosam benar temberang!" katanya di
dalam hati. "Apa ia mau berontak? Tapi, di tempat ini dan dalam tempo
begini, manalah bisa berontak?"
Keng Thian sangsi sekali, ia tak dapat ambil putusan, apakah baik
loncat turun buat menemui orang yang luar biasa itu. Mendadak, di sebelah
kejauhan terdengar suara teriakannya Gan Lok, yang seperti juga kena
dipukul orang. Liong Leng Kiauw loncat dan selagi mau singkap tirai,
sedang suara teriakan masih berkumandang di dalam telinga, tiba-tiba
kedengaran suara tertawa menyeramkan. Tertawa itu, yang mula-mula
terdengar di tempat agak jauh, tahu-tahu sudah berada di depan rumah, dan
dari sini dapat dilihat, bahwa gerakannya orang yang tertawa sungguh luar
biasa cepat, sehingga Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian sendiri
merasa sangat terkejut.
Walaupun ilmu silatnya Gan Lok masih kalah setingkat dari Liong
Leng Kiauw, akan tetapi ia sudah terhitung seorang ahli kelas satu. Bahwa
dalam sekejap saja, ia sudah dapat dirobohkan, merupakan suatu petunjuk,
bahwa ia sudah bertemu dengan musuh yang bukan main liehaynya.
Saat itu, dalam tangannya, Keng Thian cekal dua batang Thiansan
Sinbong, sedang Pengtjoan Thianlie genggam dua butir Pengpok Sintan, siap
sedia buat menimpuk sembarang waktu. Keng Thian kedipi matanya, supaya si
nona suka bersabar buat sementara waktu.
Begitu tiba, orang itu lantas menerobos masuk dan berhadapan dengan
Leng Kiauw yang sedang mau singkap tirai. Beberapa sinar perak kelihatan
menyambar dan orang itu berseru: "Sungguh indah gerakan Patpie Lo Tjia
Tjopo (Lo Tjia yang mempunyai delapan tangan menangkap mustika). Apakah
gurumu Tong Loodjie dari Soetjoan?"
Di bawahnya sinar rembulan yang remang-remang, orang itu kelihatan
berbadan tinggi kurus, mukanya dekok, kedua matanya berkilat seperti api,
sedang rambutnya awut-awutan, sehingga rupanya jadi menakuti sekali.
Tong Keng Thian heran. Senjata rahasia yang dilepaskan oleh tetamu
malam itu, adalah paku Samleng Touwkoet teng yang selalu digunakan buat
timpuk jalanan darah musuh. Tapi hal ini tidak mengherankan. Apa yang
mengherankan adalah cara menyambut senjata rahasia yang diperlihatkan
oleh Liong Leng Kiauw, yang dengan sekali bergerak, sudah dapat tangkap
enam batang paku tersebut. Itulah ada gerakan istimewa dari keluarga Tong
di Soetjoan, yang terkenal sebagai ahli senjata rahasia yang kenamaan.
Keng Thian pernah dengar penuturan ayahnya, bahwa dalam keluarga Tong
terdapat seorang tertua bernama Tong Kim Hong, yang, sebagai putera
kedua, jadi dikenal sebagai Longsin Tong Loodjie. Dahulu, dengan gendewa
dan peluru, nama Tong Loodjie pernah menggetarkan seluruh dunia Kangouw.
"Tong Loodjie" yang disebutkan oleh tetamu malam itu, sudah tentu Tong
Kim Hong adanya. Akan tetapi, jika masih hidup, waktu ini Tong Kim Hong
sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun. Apakah bisa jadi, Leng
Kiauw muridnya orang tua itu?
Liong Leng Kiauw rangkap kedua tangannya dan membungkuk, seraya
menyahut secara hormat sekali: "Benar. Ia adalah guruku. Apakah aku boleh
tanya, ada urusan apa Lootjianpwee datang kesini dan siapa adanya
Lootjianpwee?"
Orang itu tertawa seram dan berkata: "Sepuluh tahun kau berada di
luar Tiongkok. Apakah masih belum tahu, siapa adanya aku?" Ia angkat
kedua tangannya yang digoyang beberapa kali di depan matanya Liong Sam.
Kedua telapak tangan itu berwarna merah bagaikan darah, seperti juga
tidak berkulit lagi, dan di bawah sinar bulan, tangan itu kelihatan
terang sekali.
Bukan main terkejutnya Keng Thian.
"Ah, kalau begitu Hiatsintjoe Tjianpwee yang datang!" demikian
terdengar suaranya Leng Kiauw. "Harap sudi maafkan ketololan boanpwee
(orang dari tingkatan lebih rendah) yang sudah tidak menyambut dari
tempat jauh."
Hiatsintjoe adalah satu memedi besar yang lama hidup mengumpat di
daerah perbatasan Tibet. Ilmu yang dipelajari olehnya ada sangat aneh. Ia
keset kulit kedua kaki tangannya yang kemudian direndam didalam cair dari
macam-macam rumput beracun, sampai akhirnya kaki tangannya berwarna merah
darah. Siapa saja yang kena dilanggar kaki tangan beracun itu, jangan
harap bisa hidup terus. Jago-jago Kangouw pada umumnya sangat segani ia
dan kasih julukan Hiatsintjoe (Si Malaikat Darah) kepadanya. Namanya yang
sebenarnya tidak ada orang yang mengetahui.
Pada ketika Tong Siauw Lan (ayahnya Tong Keng Thian) mulai
munculkan diri dalam kalangan Kangouw, Hiatsintjoe sudah malang melintang
di daerah Tiongkok Utara barat, tapi kemudian, dengan mendadak, orang tak
pernah dengar apa-apa lagi tentang dirinya. Sepanjang warta, ia sembunyi
sesudah kena dihajar oleh Bu Kheng Yao, salah seorang pendekar wanita
dari Thiansan Tjitkiam, akan tetapi, cara bagaimana dia dihajar, tak ada
seorang yang mengetahui terang. Sesudah Tong Siauw Lan undurkan diri dari
pergaulan umum dan hidup sembunyi di Thiansan, selama beberapa belas
tahun beberapa antara tujuh pendekar pedang itu meninggal dunia dengan
beruntun, antaranya Liehiap Ie Lan Tjoe dan Bu Kheng Yao sendiri. Sesudah
itu, Hiatsintjoe barulah kelihatan muncul kembali di dunia Kangouw. Satu
waktu, ia pernah tantang Tong Siauw Lan buat adu silat, akan tetapi Tong
Tayhiap sungkan ladeni padanya, sehingga ia pun tak dapat berbuat suatu
apa. Siapa nyana, malam itu puteranya Tong Tayhiap dapat ketemui ia di
rumahnya Liong Leng Kiauw.
Hiatsintjoe tertawa terbahak-bahak dan berkata dengan suara angkuh:
"Sesudah mengetahui siapa adanya aku, kau sekarang harus turut segala
perintahku. Pekerjaan apa yang kau lakukan selama belasan tahun di Tibet,
kau mesti tuturkan secara terus terang."
"Bilang belas tahun aku bekerja di bawah perintahnya Hok Tayswee,"
sahut Leng Kiauw dengan suara sabar. "Segala pekerjaan yang dilakukan
olehku, semuanya diketahui oleh Hok Tayswee. Jika Lootjianpwee tidak
percaya, pergilah tanyakan sendiri kepada Hok Tayswee."
Hiatsintjoe tertawa dingin seraya berkata: "Apa kau mau takut-
takuti aku dengan namanya Hok Kong An? Kau bisa kelabui Hok Kong An, tapi
tak dapat abui Thiantjoe (Anak Langit, yaitu kaizar). Apakah kau rasa aku
tak tahu, bahwa kau sembunyi disini dengan gunakan nama samaran?"
Leng Kiauw terkejut, akan tetapi ia masih dapat pertahankan
ketenangannya dan menyahut dengan suara tetap: "Aku sungguh tak mengerti
maksudnya Lootjianpwee. Aku sama sekali tidak melanggar undang-undang
negeri. Apa perlunya menggunakan nama samaran?"
Dalam penyelidikannya, Hiatsintjoe mengetahui, bahwa Tong Kim Hong
sudah meninggal dunia pada beberapa belas tahun berselang dan bahwa Liong
Leng Kiauw adalah muridnya jago silat itu. Akan tetapi, ia masih belum
dapat menyelidiki asal usulnya Liong Leng Kiauw yang sebenarnya.
Mendengar perkataan Liong Sam yang membikin ia jadi tidak berdaya, hawa
amarahnya mendadak naik dan ia tidak ingat lagi pesan Tjongkoan istana
buat bertindak secara hati-hati dalam penyelidikannya.
"Hm!" katanya dengan suara di hidung. "Pandai benar kau goyang
lidah buat cuci bersih dirimu! Baiklah, sekarang kau ikut saja padaku.
Apa kau berdosa atau tidak, nanti ada orang yang memutuskannya."
"Kalau begitu, Lootjianpwee harus minta permisi dahulu dari Hok
Tayswee," kata Leng Kiauw.
Hiatsintjoe lantas saja jadi gusar sekali. "Kau mau gunakan Hok
Kong An sebagai tameng pelindung?" ia membentak. "Belum tentu Hok Kong An
bisa lindungi dirimu! Sekarang pendek saja: Kau mau ikut atau tidak?"
"Boanpwee bukannya mau melawan perintah Lootjianpwee," sahut Leng
Kiauw. "Cuma saja berhubung dengan tugasku, aku tidak berani sembarangan
berlalu dari sini."
"Segala pangkat yang tak ada artinya! Sembarang waktu bisa
dicopot!" membentak Hiatsintjoe.
"Walaupun dicopot, tapi toh harus ada surat pemecatan resmi atau
atas perintahnya Tayswee," kata Leng Kiauw lagi. "Menurut undang-undang
kerajaan Tjeng, segala pembesar negeri, tak perduli pangkat tinggi atau
rendah, dilarang sembarangan meninggalkan tugasnya, jika tidak ada
perintah dari pihak atasannya. Dan justru oleh karena pangkatku kecil,
maka aku terlebih tidak berani sembarangan berlalu menurut suka sendiri."
Darahnya Hiatsintjoe jadi naik tinggi. "Hm!" ia membentak. "Kau
rupanya andali betul Hok Tayswee-mu! Ini Hok Tayswee, itu Hok Tayswee!
Aku tak perduli Hok Tayswee-mu atau undang-undangmu. Aku kasih tahu
terang-terangan: Jika malam ini kau tidak ikut aku, kau sendirilah yang
sengaja mencari susah!"
"Aku lebih suka terima hukuman Lootjianpwee daripada melanggar
peraturan Kaizar," sahut Leng Kiauw dengan suara tetap.
"Peraturan Kaizar!" Hiatsintjoe berkata dengan suara tawar. "Akulah
peraturan Kaizar!" Tiba-tiba ia lonjorkan tangannya yang sebesar kipas
dan coba cengkeram kepalanya Leng Kiauw.
Leng Kiauw yang sudah siap sedia lantas kebaskan tangan bajunya
yang gulung dan sampok tangannya Hiatsintjoe.
"Bagus!" berkata Hiatsintjoe sembari tertawa dingin. "Sekarang kau
berani lawan padaku dengan segala ilmu silat kucing pincang dari Tong
Loodjie!" Leng Kiauw sudah cepat, tapi tangannya Hiatsintjoe lebih cepat
lagi dan di lain saat, tangannya sudah menyambar ke arah dadanya Leng
Kiauw. Dengan sebet Liong Sam loncat ke pinggir lantaran ia tidak berani
bentur tangan yang sangat beracun itu. Dengan cepat enam tujuh jurus
sudah lewat dan buat keheranannya Pengtjoan Thianlie serta Tong Keng
Thian, mereka sudah dengar suara napas sengal-sengal dari Liong Leng
Kiauw.
Menurut taksirannya Pengtjoan Thianlie, meskipun Leng Kiauw kalah
dari musuhnya, akan tetapi ia sedikitnya bisa melayani sampai kira-kira
lima puluh jurus. Maka itu, ia jadi sangat heran ketika dengar suara
napasnya Liong Sam, sedang pertempuran baru saja berjalan beberapa jurus.
Dalam keheranannya itu, tanpa merasa si nona keluarkan suara "ih" yang
sangat perlahan.
"Hm!" berkata Hiatsintjoe sembari tertawa seram. "Kalau begitu kau
masih mempunyai kawan? Bagus! Suruh dia turun sekalian!" Sedang mulutnya
bicara, tangannya dikasih kerja lebih keras dan dengan satu suara
"breet!", tangan bajunya Liong Sam terbeset! Leng Kiauw terkesiap dan
terus mundur dengan didesak oleh lawannya.
Pada saat itulah, dengan diiringi tertawa nyaring, badannya
Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian melayang turun ke bawah. Melihat
datangnya penolong yang tidak diduga-duga itu, Liong Sam jadi bengong
seperti orang terkesima.
Hiatsintjoe juga tidak kurang kagetnya. Ia terutama merasa kaget
melihat kecantikannya si nona yang seakan-akan bidadari dari kahyangan.
Hampir ia tak percaya, bahwa dalam dunia terdapat wanita yang sedemikian
cantik. Ia kucek-kucek kedua matanya dan kemudian mengawasi Pengtjoan
Thianlie dengan tidak berkesip.
"Lihat apa? Biar aku hantam dahulu mata anjingmu!" membentak
Pengtjoan Thianlie sembari mementil dengan dua jerijinya.
Hiatsintjoe benar liehay. Meskipun diserang secara mendadak selagi
bengong, ia masih dapat selamatkan dirinya. Dengan gerakan Honghong
tiamtauw (Burung hong manggut), ia kasih lewat kedua Pengpok Sintan yang
kemudian ditangkap dengan tangan kirinya. Ia cuma keluarkan suara "ih"
ketika kedua peluru meledak dalam telapakan tangannya dan air es mengetel
keluar dari sela-sela jerijinya. Di lain saat, tangan kanannya sudah
memukul. Ia memukul dari jarak yang jauhnya kira-kira satu tombak, tapi
toh tenaganya menyambar hebat ke arah dadanya si nona.
Bukan main kagetnya Pengtjoan Thianlie. Pengpok Sintan yang barusan
dilepaskan olehnya, tidak akan dapat disambut oleh orang-orang yang
mempunyai kepandaian seperti Liong Leng Kiauw atau Tong Keng Thian. Tapi
Hiatsintjoe sudah dapat sambuti itu secara tenang sekali. Di sebelahnya
itu, apa yang membikin si nona menjadi kaget adalah hawa sangat panas
yang menyertai angin pukulannya Hiatsintjoe, sehingga ia merasa napasnya
agak sesak. Buru-buru ia kerahkan tenaganya dan kelit pukulan musuh
dengan gunakan ilmu entengi badan.
"Pendeta siluman!" ia membentak sesudah kelit tiga pukulan.
"Sekarang coba rasakan pedangku!"
Hiatsintjoe juga kagum melihat kegesitan si nona yang dengan mudah
sudah dapat loloskan diri dari tiga pukulannya yang sangat hebat. Di lain
saat, berbareng dengan berkredepnya satu sinar terang, Pengpok Hankong
kiam sudah menyambar ke arah mukanya!
Hiatsintjoe menyampok dengan kedua tangannya Angin panas dan hawa
dingin lantas saja kebentrok! Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur
kurang lebih dua puluh jurus tanpa ada yang keteter.
Sedari jatuh dalam tangannya Bu Kheng Yao pada tiga puluh tahun
berselang, barulah sekarang Hiatsintjoe bertemu dengan lawan berat. Oleh
karena begitu, semangatnya jadi terbangun dan ia tertawa terbahak-bahak.
"Bagus! Bagus!" ia berseru. "Aku justru sedang kepanasan, terima kasih
kau tolong kipasi!"
Pengtjoan Thianlie jadi meluap dan dengan mata mendelik, ia putar
Hankong kiam bagaikan titiran dan menyerang dengan Tokboen Kiamhoat yang
merangkap ilmu pedang Tatmo, ilmu pedang Eropa Barat serta ilmu pedang
Arab menjadi satu. Diserang secara begitu, Hiatsintjoe tidak berani main-
main lagi dan lantas pusatkan perhatiannya buat sambut serangannya si
nona yang menyambar-nyambar seperti hujan dan angin.
Sesudah bertempur lagi beberapa saat, Hiatsintjoe berkata dengan
suara kagum: "Bagus! Kau bisa lawan aku lebih dari lima puluh jurus, di
antara tingkatan orang-orang muda, boleh dibilang kaulah yang nomor satu.
Siapa kau? Siapa gurumu?"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan berkata: "Bukan gampang kau
mempunyai ilmu silat seperti ini. Maka itu, lebih baik kau berlalu dan
jangan rewel disini." Mulutnya bicara, pedangnya terus mencecer secara
hebat.
"Bocah tak kenal mampus!" membentak Hiatsintjoe. "Kau jadi banyak
tingkah dan tak tahu Tjouwsoeya sengaja ampuni jiwamu!" Sehabis membentak
begitu, ia empos semangatnya, sehingga pukulannya jadi bertambah berat
dan anginnya jadi semakin panas. Buat sementara Pengtjoan Thianlie masih
dapat melayani, tapi keringat sudah mulai mengucur dari badannya
Selagi Pengtjoan Thianlie bertempur hebat melawan Hiatsintjoe, Keng
Thian tarik tangannya Leng Kiauw dan berkata dengan suara perlahan:
"Liong Sam Sianseng. Siapa sebenarnya kau?"
"Apakah kau juga tidak percaya padaku?" tanya Leng Kiauw sembari
mesem. "Kasihkan batu giok itu kepada ayahmu dan ia tentu akan segera
mengetahui asal-usulku."
"Bukan, bukan tidak percaya padamu," jawab Keng Thian. "Aku
bukannya mau selidiki asal-usulmu. Aku hanya mau memberitahu, bahwa
kerajaan Tjeng sangat perhatikan gerak-gerikmu dan kaki tangannya yang
dikirim bukan cuma Hiatsintjoe seorang. Jika benar kau mempunyai niatan
apa-apa yang dianggap 'berdosa besar' oleh kaizar, sekarang kau masih
mempunyai kesempatan buat melarikan diri. Kami berdua akan tahan
Hiatsintjoe dan kawan-kawannya."
Liong Sam tidak menyahut, kedua biji matanya memain seperti orang
yang sedang berpikir keras. Mendadak ia cekal tangannya Keng Thian keras-
keras dan berkata dengan suara terharu: "Saudara Tong, terima kasih
banyak-banyak. Aku tak dapat melarikan diri. Kalian boleh tak usah
perdulikan aku."
Mendengar jawaban itu, hatinya Keng Thian jadi semakin bimbang dan
benar-benar tidak dapat meraba siapa adanya Liong Sam. Jika mau anggap ia
sebagai salah seorang pendekar dari kalangan Rimba Persilatan, jago-jago
dari Utara barat tak ada barang satu yang kenal padanya Jika mau
dikatakan ia sebagai seorang yang membela Hok Kong An secara mati-matian,
secara diam-diam ia perintah soetee-nya mengadakan hubungan dengan
berbagai Touwsoe. Jika mau mencap ia sebagai kaki tangannya negara asing
buat membikin kacau Tibet, ia toh sudah melindungi guci emas secara
begitu sungguh-sungguh. Jika mau dibilang ia sebagai seorang yang
mempunyai angan-angan besar dan hendak gunakan Tibet sebagai pangkalan
buat melawan kerajaan Tjeng, temponya justru tidak sesuai untuk melakukan
pekerjaan yang besar itu. Demikianlah semakin memikir Keng Thian jadi
semakin tidak mengerti dan tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap
orang yang gerak-geriknya luar biasa itu.
Selagi Keng Thian pikiri perkataan yang cocok buat coba menanyakan
lebih jauh, satu perobahan terjadi dalam gelanggang pertempuran.
Sekarang, cepat bagaikan kilat, mereka berkelahi secara renggang
dan main udak-udakan, sehingga, dengan berkelebat-kelebatnya bayangan
mereka, dalam gelanggang seperti juga sedang bertempur puluhan orang.
Meskipun ilmu pedangnya si nona luar biasa tinggi, akan tetapi, dengan
mengandalkan latihan puluhan tahun dan kedua tangannya yang beracun,
dalam suatu pertempuran yang lama, perlahan-lahan Hiatsintjoe dapat
mendesak lawannya
"Jika kelanggar tangannya memedi itu, orang bisa lantas binasa,"
kata Liong Sam. "Kalian lebih baik menyingkir dan tak usah menempuh
bahaya guna kepentinganku. Aku sendiri mempunyai daya buat menghadapi
ia."
Keng Thian tak menyahut sebab seluruh perhatiannya sedang
dipusatkan ke arah gelanggang pertempuran. Ia lihat kedua matanya si nona
yang mengandung sinar menegur, sedang awasi ia. Ia tahu adatnya Pengtjoan
Thianlie yang selamanya sungkan menyingkir walaupun keadaannya terdesak,
maka itu, sembari berpaling kepada Liong Sam, ia berkata sembari mesem:
"Aku akan segera berlalu, sesudah mengusir Hiatsintjoe!"
Sehabis berkata begitu, ia enjot badannya dan menerjang ke dalam
gelanggang, sembari ayun satu tangannya.
Selagi enak desak lawannya buat coba rebut Pengpok Hankong kiam,
Hiatsintjoe mendadak lihat menyambarnya satu sinar terang, yang disertai
dengan sambaran angin yang sangat hebat. Ia sudah angkat tangannya buat
menyambut, tapi buru-buru urungkan niatannya sebab merasa telapakan
tangannya bakal ditembuskan oleh senjata rahasia itu yang menyambar
sedemikian hebat!
Tapi dalam bahaya, Hiatsintjoe tak jadi bingung. Ia pentil
pedangnya Pengtjoan Thianlie yang lantas jadi miring, dan Thiansan
Sinbong lewat di tempat kosong antara mereka dan amblas di satu tiang
batu!
Pentilan Hiatsintjoe merupakan satu gerakan yang sangat sempurna
dan indah luar biasa. Gerakan pedangnya Pengtjoan Thianlie cepat seperti
angin, tetapi ia masih dapat mementil secara tepat sekali. Jika kurang
tepat sedikit saja, jerijinya bisa terpapas kutung. Apa yang lebih luar
biasa adalah: Ujung Pengpok Hankong kiam yang miring tepat sekali
mengenakan Thiansan Sinbong yang sedang menyambar!
Keng Thian terkesiap dan berkata dalam hatinya: "Ilmunya memedi ini
sungguh tinggi!"
Tapi Hiatsintjoe juga tidak kurang kagetnya. Baru saja ia anggap si
nona adalah jago nomor satu di antara orang-orang tingkatan muda. Tidak
dinyana, tenaga dalamnya si pemuda malahan ada lebih tinggi daripada
Pengtjoan Thianlie.
Begitu lihat Sinbong tidak mengenai sasarannya, Keng Thian segera
cabut Yoeliong kiam, pedang mustika dari gunung Thiansan, yang dibuat
oleh Hoei Beng Siansu dengan mengambil sarinya lima macam logam utama.
Pedang itu keluar dari sarungnya disertai dengan sinar yang menyilaukan
mata dan terus menyambar bagaikan seekor naga yang memain di tengah
udara. Tangannya Hiatsintjoe yang sedang memukul hampir-hampir saja kena
digores ujung Yoeliong kiam. Buru-buru ia putar badannya buat sampok
Pengpok Hankong kiam, akan kemudian menggunakan kedua tangannya buat
dorong pedangnya Keng Thian yang sudah menyambar lagi. Kesiuran angin
yang sangat panas menyambar keras, sehingga Keng Thian terpaksa mundur
beberapa tindak.
"Sungguh berbahaya!"
menggercndeng Hiatsintjoe sembari menyerang pula dan kedua kakinya
menginjak kedudukan Ngoheng Patkwa.
Sekarang Tong Keng Thian mendapat tahu, kenapa belum sepuluh jurus,
Liong Leng Kiauvv sudah sengal-sengal napasnya. Ia tentu merasa tidak
tahan dengan hawa yang sangat panas itu.
Lweekang Thiansan pay adalah ilmu tulen dari satu cabang persilatan
yang sejati. Walaupun latihannya Keng Thian masih belum sempurna betul,
akan tetapi berkat ajaran yang teliti dari kedua orang tuanya, begitu
lekas ia pusatkan seluruh semangatnya, segera juga ia dapat melawan hawa
panas yang luar biasa itu. Dengan kerja sama antara Hankong kiam dan
Yoeliong kiam, serangan-serangan kedua orang muda itu jadi semakin berat
bagi Hiatsintjoe. Jika satu lawan satu, memang juga Hiatsintjoe menang
setingkat. Tapi dengan dikerubuti dua orang, ia tidak gampang-gampang
bisa berada di atas angin lagi.
Semakin lama, pertempuran jadi semakin seru. Pengtjoan Thianhc yang
tidak takuti hawa panas, terus mendesak dengan pedangnya yang menyambar-
nyambar bagaikan rantai, sehingga mau tidak mau, Hiatsintjoe mesti
berkelahi sembari mundur. Sesudah lewat beberapa jurus, Hiatsintjoe sudah
mundur sampai di pinggir tembok dan tak dapat mundur lebih jauh lagi.
Dalam keadaan yang semakin berbahaya, mendadak di luar terdengar
satu suara aneh, disusul dengan munculnya dua orang dalam gelanggang
pertempuran. Mereka itu bukan lain dari In Leng Tjoe bersama isterinya!
Semangatnya Hiatsintjoe terbangun dan tertawa terbahak-bahak. Akan
tetapi, In Leng Tjoe suami isteri tidak lantas menyerbu, mereka berhenti
di luar gelanggang dan berdiri nonton.
"Kalau kalian takut dapat urusan, lebih baik jangan datang disini,"
kata Hiatsintjoe dengan perasaan mendongkol.
"Toako," kata In Leng Tjoe. "Orang yang sedang berkelahi dengan kau
adalah puteranya Tong Siauw Lan Tayhiap."
Hiatsintjoe berobah parasnya. Mendadak ia tertawa besar dan
berkata: "Kalian takut padanya, tapi aku tak takut. Sungguh percuma kau
jadi pemimpin dari satu partai, belum apa-apa sudah kena dibikin
ketakutan oleh namanya Tong Siauw Lan. Baiklah! Jika kau tak berani
langgar orang Thiansan pay, biarlah aku yang layani." Dengan berkata
begitu, Hiatsintjoe bermaksud supaya In Leng Tjoe berdua pergi layani
Pengtjoan Thianlie.
In Leng Tjoe jengah kena disikat begitu, tapi itulah justru ada
keinginannya. Ia tertawa tengal dan berkata buat tutup malu: "Kami bukan
takut, cuma sungkan berpandangan seperti orang dari tingkatan muda."
"Segala orang muda yang kurang ajar, kita pantas mengajar adat,"
kata Hiatsintjoe. "Baiklah, hari ini lebih dahulu aku bekuk anaknya Tong
Siauw Lan dan kirim dia pulang ke Thiansan, dengan kasih tegoran kepada
ayahnya yang tak mampu mengajar anak."
In Leng Tjoe suami isteri tidak berkata apa-apa lagi dan lantas
terjang Pengtjoan Thianlie sesudah hunus senjatanya. Pertempuran lantas
berobah. Kalau tadi Hiatsintjoe cuma bisa membela diri, sekarang ia
lantas saja buka serangan-serangan hebat terhadap Keng Thian.
Sembari tertawa dingin, Keng Thian lantas robah cara bersilatnya.
Yoeliong kiam diputar seperti titiran dan badannya seperti juga dikurung
dengan sinar pedang yang putih. Itulah ilmu pedang Thaysiebie yang paling
liehay dalam Thiansan Kiamhoat, yang istimewa digunakan jika bertemu
dengan lawan yang lebih tinggi ilmunya. Pembelaan Thaysiebie yang sangat
rapat bagaikan tembok tembaga, sukar dapat ditembuskan oleh orang yang
punya kepandaian bagaimana tinggi pun. Tapi ilmu Thaysiebie bukan cuma
buat membela diri. Dalam gerakannya yang laksana kilat, begitu ada tempat
kosong, ilmu itu juga dapat digunakan buat menyerang musuh.
Serangannya Hiatsintjoe semakin lama jadi semakin berat, tapi
sesudah lewat kurang lebih tiga puluh jurus, Keng Thian masih tetap tidak
bergeming. Cuma saja, walaupun tangannya Hiatsintjoe tidak dapat masuk ke
dalam tembok pedang, akan tetapi hawanya yang panas terus menyambar-
nyambar, sehingga, meskipun Keng Thian kerahkan seantero tenaga dalamnya,
perlahan-lahan ia mulai merasa tak tahan. Kalau tadi ia dapat pertahankan
diri selama ratusan jurus adalah berkat hawa dingin yang keluar dari
Pengpok Hankong kiam.
Di lain pihak, Pengtjoan Thianlie pun sudah mulai jatuh di bawah
angin, cuma keadaannya masih mendingan sedikit daripada Tong Keng Thian.
San Tjeng Nio yang sangat mendongkol lantaran lihat kecantikannya si
nona, terus menerus kirim serangan membinasakan dengan ikatan
pinggangnya. Kedua Poankoan pilnya In Leng Tjoe yang terutama digunakan
buat totok tiga puluh enam jalanan darah, juga terus menyambar-nyambar
seperti rantai, sehingga si nona jadi sangat repot.
Dengan gunakan seantero tenaga dan kepandaian, Keng Thian kembali
sudah layani musuhnya lebih dari lima puluh jurus. Matanya sudah merah
dan keringat ngucur dari badannya. Ia melirik dan lihat Liong Leng Kiauw
sedang nyender enak-enakan di tembok kamar tulisnya. Keng Thian
mendongkol berbareng heran, sebab ia tidak melarikan diri, tapi juga
tidak mau membantu. Keng Thian juga lihat Pengtjoan Thianlie sudah kena
didesak oleh dua musuhnya, sehingga hatinya menjadi bingung. Dalam
pertempuran antara ahli-ahli silat kelas satu, pantangan paling besar
adalah perasaan bingung atau gusar. Demikianlah, begitu lekas hatinya
bingung, gerakan pedangnya Keng Thian menjadi kalut dan pada garisan
pembelaannya segera terbuka beberapa kekosongan.
Hiatsintjoe tentu saja sungkan sia-siakan kesempatan yang baik.
Sambil membentak keras, ia kirim satu pukulan hebat di antara kekosongan
itu. Akan tetapi, mendadak saja sinar pedang kelihatan tergetar dan
bagaikan kembang api, dari atas menyambar ke bawah. Hiatsintjoe jadi
kekunangan, di delapan penjuru ia seperti lihat bayangan orang dan tak
tahu musuhnya berada dimana. la terkesiap, tak berani teruskan pukulannya
dan tarik pulang tangannya buat menjaga diri.
Pada saat itulah, dengan suara "srr, srr," dua Thiansan Sinbong
menyambar ke arah suami isteri In Leng Tjoe. Mereka itu, yang tahu
liehaynya senjata rahasia tersebut, buru-buru loncat minggir, dan dengan
gunakan kesempatan tersebut, Keng Thian segera loncat dan persatukan
dirinya dengan Pengtjoan Thianlie.
Pukulan yang barusan dikeluarkan oleh Keng Thian cuma digunakan
jika sangat terpaksa, lantaran banyak juga bahayanya. Namanya pukulan itu
adalah Tiansia sengtjie (Kilat menyambar, bintang mengubar), yaitu satu
pukulan dari ilmu pedang Toeihong (Memburu angin) dari Thiansan Kiamhoat.
Pukulan tersebut terdiri dari beberapa puluh gerakan gertakan, dalam
artian, ujung pedang kelihatan bergerak, tapi bukannya benar-benar
menyerang masuk. Oleh karena bergeraknya luar biasa cepat, maka di
matanya musuh, seolah-olah puluhan pedang menyambar dirinya dari berbagai
jurusan. Pukulan ini cuma dapat menyilaukan mata musuh dan bukan benar-
benar dapat melukakan orang. Jika sang lawan mengetahui siasat tersebut
dan terus mengirim serangan, pihak yang menggunakannya bisa jadi celaka.
Sebab keliwat terpaksa, Keng Thian mendadak tukar ilmu pedang Thaysiebie
dengan ilmu pedang Toeihong, dan benar-benar saja, lantaran tak mengenal
Thiansan Kiamhoat, Hiatsintjoe sudah kena dikelabui. Waktu ia sadar, Keng
Thian sudah berdampingan dengan Pengtjoan Thianlie dan mengawasi padanya
sembari mesem-mesem.
Hiatsintjoe jadi seperti orang kalap. Sembari berteriak-teriak, ia
menerjang pula, diikuti oleh suami isteri In Leng Tjoe yang kembali mau
coba kepung Pengtjoan Thianlie, tapi sudah keburu dicegat oleh Tong Keng
Thian. Di lain pihak, baru saja badannya Hiatsintjoe bergerak, sembari
mesem tawar Pengtjoan Thianlie lepaskan enam butir Pengpok Sintan dengan
berbareng. Hiatsintjoe menyampok dengan kedua tangannya dan enam Sintan
itu meledak di atas kepalanya dengan berbareng. Hawa dingin lantas
menyambar ke empat penjuru dan badannya Hiatsintjoe seperti juga tertutup
uap warna abu-abu yang luar biasa dinginnya. Biar bagaimana liehay,
Hiatsintjoe ternyata masih tidak cukup kuat buat tahan perledakan enam
butir Sintan itu dan mau tidak mau badannya jadi bergidik. Biarpun tidak
sampai mendapat luka di dalam, tapi ia toh rasakan napasnya agak sesak.
Satu perobahan kembali terjadi dalam pertempuran. Biarpun tidak
berada di atas angin, sekarang Tong Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie
tidak sampai jadi keteter. Hal ini disebabkan lantaran adanya Pengpok
Hankong kiam yang dapat melawan hawa panas dari pukulannya Hiatsintjoe
dan juga lantaran tenaga dalamnya Hiatsintjoe sudah mendapat sedikit
pukulan, akibat serangan enam butir Pengpok Sintan.
CATATAN
***
Gunung yang tertutup awan, bayangan dalam impian, semuanya samar-
samar, Anak walet mencari sarang. Tapi takut rintangan sang tirai,
Walaupun dalam kantong sudah penuh dengan tulisan indah, Tapi siapakah
yang dapat menyampaikan kepada si dia? Demikianlah sambil memeluk khim,
menggubah lagu. Dengan mata mengawasi sang langit yang tiada tepinya!
Sogo dan Tjenglie, Sampai kapankah kita dapat bertemu?
Dulu, sajak itu sebenarnya ditulis oleh Tong Siauw Lan lantaran ia
tak dapat melupakan Lu Soe Nio. Tapi Yo Lioe Tjeng sudah salah sangka, ia
menduga, bahwa Siauw Lan menulis untuk dirinya sendiri, dan itulah
sebabnya, mengapa ia lalu menyimpan sajak tersebut sebagai peringatan
yang indah.
Sehabis Keng Thian membaca, sambil tertawa Tjiang Hee berkata:
"Ibumu sungguh beruntung. Ayahmu membandingkan ia seperti seorang dewi
(Sogo dan Tjenglie)!"
Dengan begitu, Tjiang Hee juga sudah salah menafsirkan. Ia
menganggap, dengan "Sogo dan Tjenglie" dimaksudkan ibu Keng Thian.
Tapi Keng Thian sendiri merasa sangat heran dalam hatinya. Membaca
sajak itu, Keng Thian yang cerdas mengetahui, bahwa si penulis sedang
memikirkan seorang wanita yang berada jauh, yang bagaikan sekuntum bunga,
hanya dapat dipandang, tapi tak dapat dipetik. "Ketika itu ayah berada
dalam rumah keluarga Yo, maka tak bisa jadi sajak tersebut ditulis untuk
Yo Pehbo," katanya di dalam hati. Sebagai seorang yang tak mengetahui
asal-usul sajak tersebut, Keng Thian segera menarik kesimpulan, bahwa
ayahnya sudah menulis untuk ibunya sendiri.
"Begitu ayahnya, begitu juga anaknya," kata Tjiang Hee, tertawa.
"Kau pun tentu seorang muda yang romantis. Hanya sayang, piauwmoay-mu tak
berada disini." Mendengar perkataan si nona, Keng Thian jadi merasa geli
dan berkata dalam hatinya: "Hm! Mana kau tahu? Piauwmoay-ku dan kau
sendiri sama saja seperti ibumu dahulu, sedang aku sendiri tak berbeda
seperti ayahku. Mana kau tahu, bahwa di dalam hati aku sedang memikirkan
seorang lain!"
Melihat si pemuda sebentar merengut dan sebentar mesem, Tjiang Hee
jadi merasa heran sekali.
Tiba-tiba Keng Thian mendehem dan dari antara pohon-pohon bunga,
berjalan keluar ibu Tjiang Hee.
"Ibu, kenapa kau mencuri dengar pembicaraan kami?" tanya si nakal.
"Kalian bicara apa, sedikitpun aku tak dengar," jawabnya sembari
tertawa.
Ibu dan anak itu, yang perhubungannya, seperti juga kakak dan adik,
gemar sekali berguyon-guyon, akan tetapi Keng Thian yang mendengar kata-
kata mereka itu sudah jadi jengah sekali. "Malam sudah larut, untuk apa
Pehbo keluar seorang diri?" ia menanya.
"Yah memang sudah larut malam," jawab sang bibi sembari lirik
mereka.
Muka Keng Thian jadi berubah merah. Sesaat kemudian, Yo Lioe Tjeng
berkata dengan suara perlahan: "Keng Thian, sekarang ini kesehatanmu
belum pulih kembali. Hee-djie, tak boleh kau mengajak Tong Koko pergi
terlalu jauh dari rumah ini."
Mendengar ibunya bicara sungguh-sungguh, si nona segera menanya:
"Kenapa?"
"Keng Thian," berkata pula Yo Lioe Tjeng tanpa menjawab pertanyaan
puterinya. "Apakah kau masih ingat si pengemis kusta?"
Tjiang Hee bergidik dan mendului menjawab: "Manusia jelek yang
seperti beburonan itu? Sampai badanku menjadi debu, tak dapat aku
melupakannya!"
"Sebenar-benarnya, mukanya tidak begitu," kata Keng Thian sembari
mesem. "Jika tidak sengaja menakut-nakuti orang, ia sebenarnya adalah
seorang pemuda yang berparas cakap."
Baru saja berkata begitu, hati Keng Thian tergoncang, oleh karena
ia ingat serupa hal. Ia ingat penuturan kedua orang tuanya cara bagaimana
dulu mereka bertempur melawan Tokliong Tjoentjia di suatu pulau kecil.
Semula Tokliong Tjoentjia adalah seorang penderita kusta dan kemudian
melarikan diri ke pulau itu dan dapat menyembuhkan sendiri
penyakitnya. Oleh karena itu, di kemudian hari, ia jadi sangat
membenci manusia seumumnya.
Sebagai seorang jang pernah membaca buku-buku pengobatan, Keng
Thian sungguh tidak mengerti halnya si pengemis kusta. "Dengan bisul-
bisul yang memenuhi sekujur badannya, penyakitnya tentu sudah sangat
berat," pikir Keng Thian. "Tapi kenapa bulu alisnya tidak rontok? Apakah
ia bukan seperti Tokliong Tjoentjia? Jika benar begitu, penyakitnya tentu
sudah sembuh lama sekali. Dulu, sesudah berlatih puluhan tahun, baru
Tokliong Tjoentjia memperoleh ilmu silat yang tinggi. Di lain pihak, si
pengemis masih berusia sangat muda dan sebagai orang jang menderita
penyakit kusta, siapakah yang sudi menjadi gurunya? Tapi, kenapa ia
mempunyai kepandaian yang begitu tinggi?"
Demikianlah, macam-macam pertanyaan datang ke alam pikiran Keng
Thian. Apakah si pengemis adalah murid Tokliong Tjoentjia? Ini juga tak
mungkin, oleh karena, sepanjang penuturan ibunya, sesudah ditakluki oleh
Loe Soe Nio, Tokliong Tjoentjia telah kembali ke Tionggoan dan tiga tahun
kemudian, ia sudah meninggal dunia. Waktu itu, usia si pengemis kusta
paling banyak baru dua atau tiga tahun.
Keng Thian adalah seorang yang sangat cerdas, semakin ia memikir,
semakin besar rasa sangsinya terhadap pengemis itu. "Pehbo," katanya.
"Kau menyebut-nyebutkan pengemis kusta itu, apakah dia sedang berada di
dekat-dekat sini?"
"Benar," jawab Yo Lioe Tjeng. "Seorang guru silat dari Lengkoan
datang berkunjung dan mengatakan, bahwa di tempatnya telah muncul seorang
pengemis kusta yang menyeterukan orang-orang gagah dari Rimba Persilatan.
Menurut katanya, Tong Lootaypo juga telah dirobohkan. Kedatangannya
adalah untuk minta bantuan dari ayah Hee-djie, tanpa mengetahui bahwa
kita juga sudah bergebrak dengan pengemis itu."
Mendengar kisah itu, Keng Thian terkejut. Kesehatannya belum pulih
dan jika benar-benar si pengemis kusta datang, sungguh tak ada orang yang
akan melawannya.
"Apakah Tong Lootaypo yang pernah mengajarkan aku menimpuk senjata
rahasia?" tanya Tjiang Hee.
"Benar," jawab ibunya, yang kemudian sembari tertawa berkata kepada
Keng Thian: "Pada dua puluh tahun lebih berselang, suaminya telah dibunuh
oleh Ie-ie-mu. Ketika itu, beberapa kali ia telah mencari kami untuk
membalas dendam. Belakangan urusan itu dapat didamaikan oleh seorang
sahabat dan sekarang kita sudah menjadi sahabat."
"Tong Lootaypo" atau Nyonya Tua Tong yang disebutkkan oleh Yo Lioe
Tjeng, adalah Tong Say Hoa, yaitu soetjie (kakak seperguruan) Liong Leng
Kiauw. Hati Keng Thian berdebar sebab ia memang mau mencari keluarga Tong
yang secara kebetulan ternyata bertempat tinggal di Lengkoan.
"Pengemis kusta itu sungguh harus dimampuskan?" berkata Tjiang Hee
dengan suara gusar. "Tak bedanya seperti anjing gila yang menyerobot
segala orang."
"Apakah Pehbo tahu asal-usulnya?" tanya Keng Thian.
"Menurut kata Pehpeh-mu (pamanmu Tjee Sek Kioe), pengemis kusta itu
baru muncul sedari kira-kira dua tahun berselang," jawab sang bibi. "Dari
Tionggoan ia datang di Utara barat, dimana ia mencari orang-orang ternama
dari Rimba Persilatan untuk dibikin malu. Siapa juga tidak mengetahui
asal-usulnya."
Keng Thian menundukkan kepalanya, ia sungguh tak dapat memecahkan
teka-teki di sekitar si pengemis kusta.
"Soal si pengemis sudah cukup aneh, tapi ada lagi lain hal yang
terlebih aneh," berkata Yo Lioe Tjeng.
"Ada apa lagi?" menanya Keng Thian.
"Menurut kata orang, dua wanita yang cantik bagaikan dewi berjalan
bersama-sama pengemis itu," menerangkan sang bibi.
Keng Thian terkesiap. "Apa?" ia menegaskan.
"Ada orang melihat mereka bertiga jalan bersama-sama, sembari
bercakap-cakap dengan tertawa-tawa," menerangkan Yo Lioe Tjeng. "Kata
orang, kedua wanita itu juga pernah berkunjung ke rumah keluarga Tong,
tapi bagaimana kejadian yang sesungguhnya, orang itu tak mengetahui
jelas."
Tak kepalang herannya Keng Thian. Apakah tak bisa jadi, kedua
wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng? Tapi Koei Peng Go
adalah seorang angkuh dan sama sekali tak ada kemungkinan, bahwa ia sudi
berjalan bersama-sama dengan seorang penderita kusta. Tapi, selain mereka
berdua, siapa lagi yang "cantik bagaikan dewi?"
***
***
Di sekitar gunung Tjiakdjie san terdapat banyak sekali puncak-
puncak yang menjulang ke atas bagaikan gigi anjing. Selama berada di
bagian tertinggi dari gunung itu, dunia dirasakan sempit dan berjalan di
antara pohon-pohon besar, orang akan mendapat perasaan menyeramkan.
Sesudah melewati puncak tertinggi itu, baru orang akan tiba di
tempat terbuka, darimana ia dapat memandang puncak-puncak yang lebih
rendah dan kelihatan seolah-olah kambing-kambing berbulu putih.
Melihat pemandangan yang indah itu, semangat Yoe Peng jadi
terbangun. "Untung juga kita sudah melepaskan diri dari si kusta yang
menyebalkan," katanya sembari tertawa dan bertepuk tangan. "Jika ia masih
berada disini, pemandangan yang begini indah seperti juga dikotorkan
olehnya."
"Dia toh sebenarnya tidak mendapat penyakit itu," kata sang majikan
sembari tertawa. "Dia sama sekali tidak mengganggu kita, kenapa kau
begitu jengkel terhadapnya?"
"Aku sebal melihat tingkah lakunya yang aneh," kata pula Yoe Peng.
"Mana bisa dia dibandingkan dengan Tong Siangkong."
Mendengar sang dayang menyebutkan Tong Keng Thian, tanpa sadar si
nona menghela napas panjang.
Sesudah berjalan lagi kira-kira dua jam, mereka sudah melewati
selat gunung di sebelah selatan dan rumah-rumah penduduk sudah terlihat
di depan mata. Yoe Peng jadi semakin gembira. "Ah! Berjalan di jalan
gunung selama beberapa hari ini, sungguh-sungguh menyesakkan dadaku,"
katanya. "Sungguh menyebalkan terus menerus makan daging kambing bakar."
Pengtjoan Thianlie mesem mendengar perkataan dayangnya. Tiba-tiba
ia menuding ke sebelah depan seraya berkata: "Coba lihat, siapa itu?" Yoe
Peng mengawasi ke arah yang ditunjuk majikannya. Di lereng gunung tiba-
tiba muncul seorang yang mengenakan pakaian berwarna hijau, sedang
kepalanya dibungkus dengan ikat kepala pasegi. Beberapa saat kemudian,
mereka kenali, bahwa orang itu bukan lain daripada Kim Sie Ie!
Yoe Peng mendeluh, ia melengoskan mukanya.
"Kenapa kau kembali lagi?" tanya si nona sembari mesem, sesudah Kim
Sie Ie datang dekat.
"Sang Budha harus mengenakan pakaian bersalut emas, manusia harus
berpakaian rapi," jawabnya. "Karena kau mencela aku, tak ada jalan lain
daripada mencuri pakaian supaya aku dapat berjalan bersama-sama kau."
"Hm! Tak nyana, kau juga bisa menjadi pencuri," kata Peng Go
sembari tertawa.
"Benar," kata Kim Sie Ie. "Aku juga sudah mencuri lain macam
barang. Apa kau mau?" Sehabis berkata begitu, dari kantong yang
menggemblok di punggungnya, ia mengeluarkan rantang makanan yang terisi
empat macam sayur dan nasi putih.
Si nona menyambuti rantang itu dan berkata: "Terima kasih." Ia
membagi separoh makanan itu kepada Yoe Peng, tapi si dayang menggeleng-
gelengkan kepalanya dan berkata: "Tidak, aku tak mau." Meskipun
mengetahui, bahwa Kim Sie Ie tidak berpenyakit kusta, Yoe Peng tak dapat
menyingkirkan perasaan jijiknya. Selagi majikannya makan, ia sendiri lalu
memetik beberapa buah dari pohon yang tumbuh di pinggir jalan.
Melihat si nona makan santapan yang disuguhkan olehnya dengan enak
sekali, sorot mata Kim Sie Ie memperlihatkan sinar berterima kasih dan
dua butir air mata turun di kedua pipinya.
Selama dua hari mengikuti Pengtjoan Thianlie, Kim Sie Ie tidak
memperlihatkan lagak gila-gila lagi. Di sepanjang jalan, ia bercakap-
cakap sembari tertawa-tawa, tempo-tempo menceritakan kejadian aneh dalam
kalangan Kangouw.
Tapi, begitu lekas si nona coba menyelidiki asal-usulnya, ia
bungkam dalam seribu bahasa, sehingga Peng Go merasa tidak enak untuk
mendesak.
Hari itu, mereka tiba di sebuah kota kecil, di sebelah selatan
Tjiakdjie san. Di sepanjang jalan, orang-orang yang berpapasan dengan
mereka, selalu mengawaskan dengan sorot mata heran, sehingga Yoe Peng
merasa sangat tidak enak dan diam-diam menyesalkan majikannya yang sudah
mau berjalan bersama-sama pengemis itu.
Selagi enak berjalan, tiba-tiba Kim Sie Ie berkata: "Disini aku
mempunyai seorang sahabat. Mari kita mengunjungi ia."
"Kami tidak mengenal sahabatmu itu," kata Yoe Peng. "Kau pergilah
sendiri." Tapi Pengtjoan Thianlie berpikir lain, ia ingin mengetahui,
siapa sahabat orang aneh itu. "Sudah ketelanjur kita berjalan bersama-
sama, rasanya baik juga aku berkenalan dengan sahabatmu itu," katanya
sembari tertawa.
Yoe Peng mendongkol bukan main, tapi ia tak dapat membantah kemauan
nonanya.
Sesudah berjalan mengikuti Kim Sie Ie beberapa lama, mereka tiba di
depan sebuah gedung yang pintunya dicat merah. Kim Sie Ie memanggil-
manggil beberapa kali, tapi tak ada yang menyahut. Entah dengan
menggunakan ilmu apa, dalam sekejap saja ia dapat membuka pintu itu dan
di lain saat, dari dalam keluar seorang pemuda.
Paras muka pemuda itu, yang mengenakan baju makwa, tenang dan
agung, sehingga Peng Go merasa heran melihat si pengemis punya sahabat
serupa pemuda itu.
Begitu keluar, pemuda itu menyapu mereka bertiga dengan sorot mata
heran. Sesaat kemudian, ia merangkap kedua tangannya dan berkata sembari
tertawa: "Maaf, aku tidak mengenali Hengtay (saudara). Apakah sudah lama
Hengtay datang disini?"
Mendengar pertanyaan itu, Pengtjoan Thianlie terkejut. Lagi-lagi
Kim Sie Ie mengeluarkan lagak-lagaknya yang gila-gila!
"Aku datang untuk menemui Tong Djiesianseng," kata Kim Sie Ie.
"Siapa mau bertemu dengan kau?"
Sekali lagi Peng Go terkejut. Tong Djiesianseng? Nama itu agak tak
asing baginya.
"Mendiang kakekku sudah meninggal dunia lama sekali," jawab si
pemuda.
"Apa? Tong Djiesianseng sudah meninggal dunia?" Kim Sie Ie
menegasi. "Sayang! Sungguh sayang! Apakah kau masih mempunyai anggauta
keluarga yang tingkatannya tua?"
"Kakek dan pamanku sudah pada meninggal," jawabnya. "Tak ada orang
lagi yang dapat melayani kau."
"Mana bisa? Apakah semua orang, laki-laki dan perempuan, dari
tingkatan lebih tua sudah pada mati seanteronya?" tanya si pengemis
secara kurang ajar sekali.
Meskipun terdidik baik, mau tak mau, pemuda itu menjadi gusar.
"Yang tingkatannya lebih tua dalam keluarga kami hanya ketinggalan
Kouwkouw (bibi)," sahutnya dengan suara mendongkol. "Ia sudah tua
dan berpenyakitan, sudah beberapa tahun, ia tidak pernah keluar pintu/'
"Bagus!" kata Kim Sie Ie. "Coba panggil Kouwkouw-mu."
Pemuda itu tercengang. Sedikitpun ia tidak nyana, tetamu itu bisa
mengeluarkan kata-kata yang sedemikian kurang ajar. "Dua tahun berselang,
ketika Moh Tjoan Seng Loopeh datang berkunjung, Kouwkouw-ku juga tidak
keluar menyambut," katanya dengan suara dingin. "Dengan sebenar-benarnya
ia sakit dan bukan tidak sudi menemui tamu. Jika mungkin, beritahukan
saja kepadaku she dan nama tuan, supaya aku dapat menyampaikan kepada
Kouwkouw. Maafkanlah, siauwtee (adik) tak dapat mengantar kalian."
Ia menyoja, sebagai suatu tanda, bahwa ia tak dapat melayani lagi
terlebih lama.
Pengtjoan Thianlie terkejut. Moh Tjoan Seng yang disebutkan oleh
pemuda itu adalah paman yang ia sedang cari. Harus diketahui, bahwa pada
jaman itu, Moh Tjoan Seng adalah pemimpin Rimba Persilatan di wilayah
Tionggoan. Cobalah pikir: Jika seorang sebagai Moh Tjoan Seng masih belum
mendapat kehormatan untuk disambut oleh Kouwkouw pemuda itu, bukankah
permintaan Kim Sie Ie berarti, bahwa ia sungguh tak tahu diri?
Sementara itu, paras muka Kim Sie Ie sudah berubah. "Apakah kau mau
mengusir tamu?" tanyanya dengan suara aseran.
"Mana aku berani? Mana berani? Maaf, harap dimaafkan," jawab si
pemuda, tapi kedua tangannya tetap membuat gerakan seperti sedang
mengantar tamu keluar.
Kim Sie Ie tertawa berkakakan. Tiba-tiba ia mengusap mukanya. Di
lain saat, parasnya bersinar merah, mukanya penuh dengan daging yang
menonjol keluar seperti bisul dan di kedua lengannya pun muncul bisul-
bisul yang menjijikkan.
Pemuda itu mencelos hatinya. "Kau! Kau!" ia berteriak.
"Fui!" Kim Sie Ie menyemburkan ludah ke muka pemuda itu dan
tangannya bergerak, sehingga pemuda tersebut jatuh terpelanting. Ia
tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Kau mau mengusir aku, aku justru
tak mau pergi! Tong Lootaypo! Aku mau melihat, apakah kau mau keluar atau
tidak!'
"Sungguh jempol! Sungguh tinggi ilmu itu!" demikian terdengar suara
seorang tua. Beberapa saat kemudian, seorang nenek yang rambutnya sudah
putih semua, muncul dengan dipepayang seorang pelayan wanita.
Pemuda yang barusan dirobohkan Kim Sie Ie meloncat bangun dan
berseru sambil menuding pengemis itu: "Kouwkouw! Pengemis jahat itu mau
juga menemui kau."
"Bagaimana kau harus berbuat jika menghadapi anjing gila?" kata si
nenek. "Apa kau tak tahu? Ambil busurku!"
Begitu berbicara, sikap nenek itu berubah. Kalau barusan ia
kelihatan lemah dan tidak berdaya, sekarang ia berubah angker dan garang.
Ia menyambuti sebuah busur yang disodorkan pelayannya dan berbareng
dengan suara menjepret, belasan peluru menyambar susul menyusul.
Kim Sie Ie tertawa besar. "Sungguh beruntung hari ini aku dapat
menyaksikan senjata rahasia dari keluarga Tong!" ia berseru sambil loncat
dan memutarkan tongkatnya bagaikan titiran.
Pengtjoan Thianlie jadi seperti orang kesima. Dua belas peluru itu
menyambar dengan macam-macam cara-ada yang lurus menyambarnya, ada yang
miring, ada yang lebih dulu berbentrok satu dengan yang lain, kemudian
baru menyambar sasarannya, seperti bola bilyar -- dan anehnya, setiap
peluru itu menyambar ke arah jalan darah Kim Sie Ie yang besar! Cara
melepaskan senjata rahasia itu sungguh tiada keduanya dalam Rimba
Persilatan!
Tapi Kim Sie Ie agaknya juga sudah mempunyai persiapan. Dengan
disertai suara "tring-tring!" dan meletiknya api, tongkatnya yang diputar
luar biasa cepatnya, sudah berhasil mementalkan dua belas peluru itu.
Tapi walaupun berhasil, tak urung Kim Sie Ie mengeluarkan juga keringat
dingin. Tongkat besinya penuh titik-titik akibat hantaman peluru-peluru
itu. Ia sekarang mendapat bukti, bahwa meskipun tua, tenaga dalam nenek
itu tidak berada di sebelah bawahnya.
"Bagus!" seru si nenek. "Muda-muda tak sayang diri. Sungguh
sayang!"
Busur menjepret lagi, tapi kali ini berbeda dengan yang pertama.
Jika tadi peluru-peluru itu menyambar dengan bunyi nyaring, kali ini
menyambarnya tidak bersuara. Peluru-peluru itu melayang dalam empat
kelompok, setiap kelompok terdiri dari tiga butir peluru. Mereka
menyambar dari empat penjuru dengan kecepatan yang berbeda-beda. Begitu
mendekati sasaran, kelompok yang di belakang tiba-tiba seakan-akan
menambah kecepatannya dan melombai kelompok yang di sebelah depan. Di
lain saat, bagaikan hujan peluru-peluru itu menyambar tubuh Kim Sie Ie
dengan serentak!
"Senjata rahasia keluarga Tong benar-benar hebat!" teriak Kim Sie
Ie yang lantas saja jungkir balik beberapa kali di atas tanah.
"Kau pun boleh coba merasakan senjata rahasiaku!" ia berseru
sembari meloncat dan menyemburkan ludahnya.
Pengtjoan Thianlie terkesiap. Melihat senjata rahasia si nenek, ia
segera mengetahui, bahwa ia tentu bukan lain daripada Tong Say Hoa yang
namanya pernah disebut-sebut Tong Keng Thian. Beberapa puluh tahun
berselang, nama nenek itu telah menggetarkan seluruh dunia Kangouw dan ia
adalah puteri tunggal Tong Kim Hong, seorang ahli senjata rahasia nomor
satu di jamannya. Tong Kim Hong adalah putera kedua dalam keluarganya dan
oleh karena itu, belakangan ia dikenal sebagai Tong Djiesianseng. Dulu,
Tong Kim Hong dan puterinya pernah berbentrok dengan kedua orang tua Tong
Keng Thian dan dengan bantuan Lu Soe Nio, baru sengketa itu dapat
diselesaikan. Liong Leng Kiauw adalah murid penutup dari Tong Kim Hong
dan menjadi Soetee Tong Say Hoa. Dalam perjalanan ke Soetjoan untuk
sekalian menyelidiki soalnya Liong Leng Kiauw, orang yang ingin dicari
oleh Keng Thian adalah nenek itu.
Maka, demi mengetahui asal-usul si nenek, Pengtjoan Thianlie
terkejut ketika melihat Kim Sie Ie menggunakan senjata rahasianya yang
mengandung racun. Tanpa berpikir lagi, ia menghunus pedangnya dan sembari
meloncat, menikam jalan darah Hiankie hiat, di dada Kim Sie Ie, dengan
tujuan supaya pengemis itu batal melepaskan senjata rahasianya.
Di lain detik, berbareng dengan suara mengaung yang sangat keras,
busur Tong Say Hoa berbentrok dengan tongkat si pengemis dan sebagai
akibatnya, lima helai tali busur itu putus, sedang tongkat besi si
pengemis terpental ke tengah udara. Hampir berbareng dengan itu, baju Kim
Sie Ie, di bagian dada, dirobek ujung pedang Pengtjoan Thianlie.
"Bagus!" seru Kim Sie Ie sembari loncat menyambut tongkatnya yang
sedang melayang turun, dan sesudah itu, ia kabur bagaikan terbang.
"Kau benar manusia kejam!" seru Peng Go dengan gusar sekali. "Lain
kali jangan kau menemui aku lagi." Si pengemis tidak menyahut, ia kabur
terus sesudah melompati tembok.
Untuk sesaat, Koei Peng Go berdiri terpaku. Dengan mata mendelong,
ia mengawasi punggung si pengemis yang sedang kabur. Ia tak tahu, apakah
ia harus gusar, apakah ia merasa sayang melihat perbuatan pemuda yang
berkepandaian tinggi itu atau bersimpati kepadanya.
Dengan paras muka gusar, Tong Say Hoa melemparkan busurnya yang
rusak. "Nona yang cantik, apakah kau datang bersama-sama ia?" tanyanya.
"Moh Tjoan Seng adalah Pehpeh-ku," jawabnya dengan menyimpang.
Si nenek kelihatan heran. "Hm!" Ia menggerendeng. "Kau keponakan
Moh Tjoan Seng? Bagaimana kau bisa berada bersama-sama seorang pengemis
penderita kusta?"
Di waktu mengucapkan kata-kata "pengemis penderita kusta," suaranya
mengandung kegusaran dan penghinaan hebat. Pengtjoan Thianlie sebenarnya
belum menganggap Kim Sie Ie sebagai sahabatnya, akan tetapi, entah
kenapa, begitu mendengar nada suara dan melihat sikap si nenek, hatinya
lantas saja menjadi kurang senang.
Maka itu, ia hanya memberi jawaban pendek dengan suara tawar: "Aku
menjumpainya di tengah jalan."
Tiba-tiba ia melihat sinar hitam pada muka Tong Say Hoa. "Tong
Pehbo!" ia berseru dengan suara kaget. "Kau terkena senjata rahasianya!"
Mengingat hebatnya racun senjata si pengemis, ia bergidik dan segala rasa
simpatinya lantas saja hilang seperti ditiup angin. "Aku tak nyana, ia
seperti juga anjing gila yang menggigit setiap orang yang dijumpainya!"
katanya dengan suara gusar.
"Apakah tadinya menganggap dia manusia baik-baik?" tanya si nenek
sembari tertawa dingin.
Si nona mengerutkan alisnya. "Pehbo," katanya "Apakah kau sudi
menggunakan obatku untuk memunahkan racun?"
Pemuda keponakan Tong Say Hoa, yang kelihatannya merasa suka
terhadap Peng Go dan yang sedari tadi berdiri di dekat bibinya, lantas
saja berkata: "Nona, terima kasih untuk kebaikanmu. Untung ada kau yang
sudah bantu mengusir dia. Kau mempunyai obat mustajab?"
"Obat itu dibuat olehku sendiri," jawab Peng Go. "Meskipun tidak
dapat dipersamakan dengan Thiansan Soatlian, tapi boleh juga untuk
memunahkan racun. Tapi aku tak tahu, apakah obat itu berguna terhadap
racun senjata rahasia pengemis itu."
Oleh karena sedari kecil sehingga besar dipelihara dalam keraton es
yang terasing dari dunia luar, Peng Go tidak mengetahui, bahwa ia harus
menjalankan peradatan terhadap Tong Say Hoa sebagai seorang yang
tingkatannya lebih rendah terhadap orang yang tingkatannya tinggi. Selain
itu, iapun tidak menjawab dengan kata-kata yang tepat terhadap pernyataan
terima kasih pemuda itu, ditambah pula dengan sikapnya yang angkuh, ia
sudah membikin Tong Say Hoa jadi lebih mendongkol.
Tanpa sadar, bahwa sikapnya sudah menerbitkan salah mengerti,
Pengtjoan Thianlie merogoh sakunya untuk mengeluarkan obat.
Tiba-tiba si nenek mendongak "Tidak!"
"Kouwkouw, tak ada halangannya untuk dicoba-coba," bujuk si
keponakan.
Mendadak Tong Say Hoa mendelik. "Toan-djie!" ia membentak. "Senjata
rahasia keluarga Tong belum pernah dilepaskan dengan percuma. Orang luar
yang cupat pandangannya, mungkin tak tahu. Apa kau sendiri tidak tahu?
Dalam tempo tiga hari, kutanggung pengemis kusta itu akan datang untuk
menukar obatnya dengan obatku. Walaupun Kouwkouw-mu sudah tua, rasanya ia
masih dapat mempertahankan diri untuk tiga hari."
"Kouwkouw, apakah memedi itu terkena senjata rahasiamu?" tanya
pemuda itu.
"Pehbie tjiam (jarum alis putih)!" jawabnya. "Dalam tiga hari
racunnya akan mengamuk, dalam tujuh hari ia akan mampus, jika tidak
mendapat obat pemunahnya!"
Dulu Phang Lin, bibi Tong Keng Thian, pernah dilukakan dengan
Pehbie tjiam oleh suami Tong Say Hoa. Ketika itu, biarpun diobati oleh
Lie Tie menurut cara pengobatan yang liehay, tak urung ia masih harus
menderita agak lama juga. Kejadian itu diketahui Peng Go dari mulut Keng
Thian.
"Dua tahun berselang Moh Tjoan Seng pernah datang kesini dan
sekarang ia hidup menyendiri di Tjengshia san," kata Tong Say Hoa. "Dia
adalah tetua Rimba Persilatan jaman ini dan tidak mengherankan, jika kau
mempunyai kepandaian yang begitu tinggi. Aku sudah tua, maaf, aku tak
dapat mengantar kau mencari pamanmu itu."
Peng Go mengetahui, bahwa dengan berkata begitu, si nenek seperti
juga mau mengusir ia. "Aku bisa pergi sendiri, tak berani aku membikin
capai Pehbo," katanya. "Tapi ada suatu kejadian yang aku ingin
memberitahukan Pehbo. Liong Leng Kiauw telah di penjarakan di Lhasa.
Apakah Pehbo sudah tahu?"
"Apa?" teriak si nenek dengan suara kaget. "Liong Leng Kiauw
ditangkap di Lhasa?"
Harus diketahui, bahwa Tong Say Hoa tidak mempunyai anak. Sedari
berusia tujuh tahun, Liong Leng Kiauw sudah berguru kepada keluarga Tong.
Maka itu, meskipun secara resmi ia adalah Soetee (adik seperguruan) Say
Hoa, akan tetapi, si nenek menganggap ia seperti putera sendiri.
Pengtjoan Thianlie lantas saja menuturkan segala kejadian yang
diketahuinya.
"Hm!" si nenek menggerendeng sehabis Peng Go menutur. "Besar benar
nyali Hok Kong An dan Hiatsintjoe. Hm! Dilihat begini, benar-benar mereka
tidak mau membiarkan aku, si tua, hidup senang di rumah."
"Kouwkouw," kata keponakannya. "Lebih baik kau jangan terlalu
gusar. Sesudah kau sembuh, barulah kita berdamai bagaimana baiknya."
Tong Say Hoa memanggut-manggutkan kepalanya. "Benar!" katanya.
"Toan-djie! Antar aku masuk." Tanpa memperdulikan Pengtjoan Thianlie, ia
segera masuk ke dalam.
Dapat dibayangkan berapa besar rasa mendongkolnya Peng Go.
"Siauwkongtjoe, mari kita berangkat," kata Yoe Peng.
Pemuda itu merasa sangat tidak enak, buru-buru ia menghampiri dan
menyoja. "Kouwkouw-ku yang tua memang rada linglung dan aku mohon kalian
jangan menjadi kecil hati," katanya. "Siapakah ayahmu? Tjio Tayhiap atau
Koei Tayhiap?”
"Ayahku Koei Hoa Seng," jawab si nona.
Pemuda itu terkejut dan segera berkata: "Ah! Kalau begitu Koei
Tjietjie! Namaku Tong Toan. Aku mohon, dengan mengingat Kouwkouw tidak
mempunyai pelindung, supaya Tjietjie sudi berdiam disini beberapa hari,"
"Bukankah Kouwkouw-mu sudah melukakan pengemis kusta itu dengan
Pehbie tjiam dan sekarang hanya menunggu penukaran obat?" kata si nona.
"Kepandaianku sangat cetek. Mana bisa aku melindungi Kouwkouw-mu?"
Tong Toan tertawa dan berkata pula: "Kouwkouw mengandalkan
kepandaiannya secara berlebih-lebihan. Siapa dapat memastikan, bahwa
pengemis kusta itu tidak akan menyatroni lagi dalam tiga hari ini? Jika
ia, tanpa mengetahui liehaynya Pehbie tjiam menyatroni pula dalam tiga
hari, siapa yang akan dapat melawan ia?"
Peng Go berpikir sejenak. Ia merasa, perkataan pemuda itu memang
ada benarnya. "Walaupun nenek itu agak kurang ajar, tapi ia adalah
seorang Tjianpwee," katanya di dalam hati. "Jika aku lantas berlalu dan
sampai terjadi apa-apa, aku akan turut merasa berdosa." Mengingat begitu,
lantas saja ia menyanggupi untuk berdiam beberapa hari dalam rumah
keluarga Tong.
Dengan cepat tiga hari sudah lewat. Selama tiga hari itu, Tong Say
Hoa terus menyekap diri di dalam kamar, duduk bersemedhi untuk
mengeluarkan racun dari badannya. Dengan memperhatikan paras muka Tong
Toan yang semakin lama jadi semakin guram, Pengtjoan Thianlie mengetahui,
bahwa racun si pengemis sudah bekerja keras dan oleh karena itu, hatinya
merasa sangat tidak enak.
Berdasarkan sakit hatinya terhadap masyarakat, Kim Sie Ie memusuhi
semua orang-orang gagah dari Rimba Persilatan. Akan tetapi, melukakan
seorang tua dengan senjata beracun secara serampangan, adalah perbuatan
yang menurut Peng Go, tidak bisa dimaafkan. Berpikir sampai disini, tanpa
merasa si nona teringat Tong Keng Thian. Kedua-duanya adalah pemuda yang
berkepandaian tinggi, akan tetapi mengenai pendidikan, Kim Sie Ie tak
dapat direndengkan dengan Tong Keng Thian. Sesaat itu, mau tak mau, ia
ingat juga bagaimana Tong Keng Thian sudah mempermainkan dirinya dan
berbareng, ia ingat pula cara-cara Kim Sie Ie yang aneh, tapi yang
mengandung kejujuran dalam keanehannya itu.
Si nona sendiri tidak mengetahui, bahwa terhadap Tong Keng Thian,
ia sudah jatuh cinta.
Maka itu, ia selalu gusar dan ingin menghukum pemuda itu untuk
segala cacat dan kesalahannya. Tapi terhadap Kim Sie Ie, ia hanya
mempunyai perasaan kepengen tahu, paling banyak perasaan kasihan. Itulah
sebabnya, kenapa ia masih dapat melihat "sifat baik" dalam keanehan
pemuda itu.
Waktu itu sudah magrib dan si pengemis kusta belum juga muncul.
Dengan hati cemas, Peng Go keluar dari kamarnya untuk menanyakan keadaan
Tong Loothaypo. Keluarga Tong mempunyai rumah yang sangat besar, tapi
hanya sedikit bujang mereka. Begitu si nona berada di luar kamar Tong Say
Hoa, ia mendengar suara si nenek.
"Malam ini pengemis kusta itu pasti akan datang," kata si nenek
dengan suara keras. "Jika ia tidak berlutut memohon ampun, jangan kau
berikan obat pemunah itu!"
"Kouwkouw," kata Tong Toan. "Kita pun membutuhkan obatnya."
"Semenjak dulu, tak ada manusia yang berani memandang rendah
keluarga Tong," bentak Tong Say Hoa. "Bahwa seorang pengemis sudah berani
keluar masuk disini, adalah suatu kejadian yang sangat menghilangkan muka
kita. Kalau ia tidak berlutut minta ampun, tak boleh kau memberikan obat
itu. Mengerti?"
"Tapi, Kouwkouw, kau..." kata Tong Toan, terputus-putus.
"Jika ia tidak minta ampun, biarpun sampai mati aku akan tetap
menolak obatnya," kata si nenek yang kepala batu. "Lebih baik biar dia
mampus bersama-sama aku, supaya seluruh dunia mendapat tahu, siapa juga
yang berani melanggar keluarga Tong, dia mesti membayar dengan jiwanya."
"Kouwkouw," kata Tong Toan, tergugu. "Inilah... inilah..." Suaranya
gemetar, hatinya sangat berkuatir.
Tiba-tiba terdengar Tong Say Hoa menggebrak ranjang. "Manusia tak
punya semangat!" ia membentak dengan gusar. "Benar-benar kau tak berhak
menjadi anggauta keluarga Tong!"
Pengtjoan Thianlie bergidik. Menukar obat sebetulnya bukan kejadian
yang memalukan. Ia tidak nyana, Tong Say Hoa begitu keras kepala dan
kejam hati. Ia merasa gusar terhadap Kim Sie Ie, tapi sesudah mendengar
pembicaraan itu, perasaannya terhadap Tong Say Hoa menjadi lain.
Sementara itu terdengar suara Tong Toan yang sangat perlahan.
Mungkin sekali pemuda itu sedang membujuk bibinya. Tiba-tiba terdengar
pula ranjang digebrak.
"Benar bandel kau!" membentak si nenek. "Sebelum mati, lebih dulu
aku akan mengambil jiwanya!"
Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka dan Tong Toan berjalan
keluar. Buru-buru Pengtjoan Thianlie menyingkir. Gerakannya ini luar
biasa cepatnya, sekali berkelebat, ia sudah berada di belakang sebuah
gunung-gunungan batu. Meskipun kepandaian pemuda itu masih kacek jauh
jika dibandingkan si nona, tapi karena sedari kecil sudah berlatih
menggunakan senjata rahasia, perasaan dan kupingnya tajam luar biasa.
Dengan cepat ia memburu ke arah berkelebatnya bayangan orang. Sesaat itu,
dengan tindakan perlahan, Peng Go keluar dari tempat sembunyinya. Tong
Toan sudah membuka mulut untuk berteriak, tapi ia keburu mengenali nona
itu.
"Ah! Kiranya Koei Tjietjie!" katanya dengan suara halus. "Apakah
kau mencari aku?"
"Benar," jawabnya, tapi karena tidak biasa berdusta, mukanya lantas
saja bersemu dadu.
"Ada urusan apa?" tanya Tong Toan dengan suara girang.
"Aku mencari kau... mencari kau... untuk menanyakan hal ihwal
seseorang," jawabnya dengan suara tergugu.
"Siapa?" tanya pula Tong Toan.
"Tong Keng Thian, putera Tong Tayhiap, yang kemarin dulu disebutkan
olehmu," jawab si nona. "Menurut dugaanku, ia sudah lewat disini. Kau
adalah penduduk disini, lebih gampang untuk menyelidikinya."
Pengtjoan Thianlie sebenarnya tidak ingin menimbulkan halnya Tong
Keng Thian, tapi dalam keadaan kedesak, tanpa merasa ia sudah menyebutkan
nama pemuda itu.
Hati Tong Toan mencelos, tapi sebagai pemuda yang terdidik baik, ia
tidak mengentarakan perasaan itu pada paras mukanya. "Karena dalam
beberapa hari ini aku repot melayani Kouwkouw, tak sempat aku keluar
rumah," katanya. "Sesudah lewat malam ini, aku tentu akan menyelidiki.
Sst! Tjietjie! Lekas sembunyi!"
Peng Go yang kupingnya cukup tajam, juga sudah dapat menangkap
suara seperti jatuhnya daun kering di tempat yang jauhnya kira-kira
setengah li.
"Ini adalah urusan keluargaku sendiri," kata Tong Toan. "Hanya
dalam keadaan yang sangat berbahaya, baru aku mohon bantuan Tjietjie."
Pengtjoan Thianlie tahu, bahwa yang datang tak bisa lain daripada
Kim Sie Ie. Ia mengangguk dan lantas loncat ke belakang gunung-gunungan
batu. Diam-diam ia merasa heran oleh karena, sedang tiga hari berselang
Tong Toan berusaha menahan ia untuk bantu menghadapi Kim Sie Ie, kenapa
sekarang ia menolak bantuan, kecuali jika sangat perlu. Di lain saat ia
sadar. Perubahan sikap Tong Toan tentu juga disebabkan oleh kepala batu
si nenek yang berkeras ingin menyelesaikan urusan itu dengan tenaga
keluarga Tong sendiri.
Baru saja si nona berada di belakang gunung-gunungan, Kim Sie Ie
sudah berada di dalam pekarangan rumah sambil mengeluarkan suara tertawa
yang menyeramkan. Sebelum Tong Toan sempat membuka mulut, pengemis itu
sudah berseru: "Pehbie tjiam sungguh-sungguh liehay! Biar bagaimana pun
juga, aku sudah berkenalan dengan senjata rahasia keluarga Tong. Aku
sungguh kagum, begitu bertemu lawan, kamu tak sungkan-sungkan lagi
menggunakan senjata yang beracun. Apakah itu memang kebiasaan
keluargamu?"
Tong Toan gusar bukan main. Ia mendelik dan membentak: "Apakah
senjatamu tidak beracun? Tanpa sebab, tanpa lantaran melukakan seorang
tua. Apakah itu perbuatan seorang ksatria?"
Peng Go memuji Tong Toan yang sudah menyemprot secara tepat sekali.
Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak. "Aku memang bukan ksatria,"
katanya. "Perkataanmu tak perlu dikeluarkan!'
Dalam kalangan Kangouw, banyak sekali manusia keparat yang mengaku
ksatria dan tak pernah ada yang mengatakan, seperti yang dikatakan Kim
Sie Ie. Mendengar itu Tong Toan menjadi kaget.
Lagi-lagi Kim Sie Ie tertawa berkakakan. "Aku memang biasa meminta
pelajaran dari kaum ksatria yang berkepandaian tinggi," katanya. "Jika
Kouwkouw-mu seorang biasa, aku tentu tak akan perlu mencarinya. Tapi ia
sendiri yang mengaku dirinya ahli senjata rahasia nomor satu dalam dunia
dan di samping itu, sudah beberapa turunan keluarga Tong menempel merek
ksatria. Ha-ha! Dan sekarang aku sudah mendapat pelajaran bagus sekali."
"Apa katamu?" bentak Tong Toan. "Kami dari keluarga Tong tak akan
membokong orang seperti kau!'
Kim Sie Ie mendongakkan kepalanya dan kembali tertawa besar.
"Sekarang aku tanya," katanya. "Bukankah menurut peraturan Rimba
Persilatan, menjajal ilmu dianggap sebagai kejadian lumrah?"
"Benar," jawab Tong Toan.
"Nah," kata pula Kim Sie Ie. "Aku sebetulnya hanya ingin berkenalan
dengan senjata rahasia keluarga Tong. Adalah Kouwkouw-mu yang lebih dulu
menggunakan jarum beracun Pehbie tjiam, untuk membinasakan aku. Coba kau
katakan: Apakah yang aku harus lakukan? Dalam dunia, senjata beracun
bukan hanya dimiliki keluargamu. Ha-ha! Tak bisa lain, aku pun harus
melayani! Pehbie tjiam memerlukan tempo tujuh hari untuk mengambil jiwa
manusia. Tokliongteng-ku (Paku naga beracun) paling lama tiga hari. Kau
mau aku mati? Gampang! Tapi, sebelum mampus, lebih dulu aku mau
menyaksikan kau menangis di depan jenazah Kouwkouw-mu!"
Bukan main kagetnya Tong Toan. Sekarang ia baru mengetahui, bahwa
si pengemis kusta sudah menggunakan pakunya karena diserang lebih dulu
dengan jarum beracun.
Perkataan Kim Sie Ie ada benarnya juga. Jika Tong Say Hoa
mengetahui, bahwa ia hanya ingin menjajal ilmu, walaupun ia dapat
menggunakan senjata rahasia, tak pantas ia menggunakan senjata beracun.
Akan tetapi, dari Shoatang Kim Sie Ie telah menyatroni sampai di Soetjoan
utara dan sudah menghina banyak sekali orang-orang ternama dalam Rimba
Persilatan, sehingga namanya menjadi buruk, maka begitu bertemu, Tong Say
Hoa segera turun tangan untuk membinasakan pengemis itu. Dalam hal ini,
Tong
Say Hoa pun mempunyai alasan sendiri, yang dapat juga dimengerti
jika dipandang dari sudutnya.
Mendengar pertanyaan Kim Sie Ie, Tong Toan jadi kemekmek. Beberapa
saat kemudian, baru ia dapat menjawab dengan suara gusar: "Siapa mau
bicara hal peraturan Kangouw dengan manusia yang sepak'terjangnya seperti
anjing gila! Kouwkouw-ku mana kesudian menjajal ilmu dengan manusia
semacam kau!"
Paras muka Kim Sie Ie lantas saja berubah menyeramkan. "Jika kau
banyak rewel lagi, aku tak akan memperdulikan peraturan
Kangouw lagi!" ia membentak "Lebih dulu aku akan mengambil jiwamu!'
Selagi membentak kedua matanya mengeluarkan sinar yang sangat ganas,
sehingga Tong Toan menjadi terkejut. Beberapa saat kemudian, si pengemis
tertawa dingin seraya berkata:
"Kouwkouw-mu tak sudi melayani aku menjajal kepandaian, tapi
sekarang, bukankah kau ingin memohon obat?'
"Dan kau?" Tong Toan berteriak. "Bukankah kau juga datang untuk
memohon obat pemunah dari keluarga Tong?"
"Benar," jawabnya. "Tapi jangan kau lupa, Kouwkouw-mu tidak akan
dapat melalui malam ini, sedang aku masih mempunyai tempo empat hari. Aku
merasa, bahwa dia pantas berlutut tiga kali di hadapanku untuk perbedaan
empat hari itu?"
"Apa?" bentak Tong Toan dengan suara gusar. "Dalam saling menukar
obat, kau mau orang lain berlutut di hadapanmu?"
"Menurut dugaanku,
Kouwkouw-mu sudah tidak dapat bergerak lagi," kata Kim Sie le.
"Nah! Kau saja, yang mewakili ia berlutut di depanku."
"Bagus mukamu!" berteriak Tong Toan. "Kaulah yang harus memohon
ampun. Kalau kau tak mau berlutut, jangan harap bisa mendapat obat."
Kim Sie Ie mesem tawar dan berkata dengan suara tawar pula: "Kalau
begitu, tiada jalan lain daripada membuka mata lebar-lebar untuk
menyaksikan tangisanmu di hadapan peti jenazah!'
Tong Toan menjadi gusar berbareng kuatir. Tiba-tiba ia ingat, bahwa
sesudah tiga hari terkena jarum Pehbie tjiam, racun jarum tentu sudah
mengamuk hebat di dalam tubuh Kim Sie Ie, sehingga belum tentu ia tidak
dapat melawan pengemis itu. Selagi ia ingin turun tangan, si pengemis,
yang agaknya sudah dapat mengerti apa yang dipikirnya, sekonyong-konyong
memotes sebatang cabang pohon dan berkata sembari tertawa: "Aha! Kau
mau menggunakan kekerasan? Baiklah!"
Tapi, belum habis perkataan itu diucapkan, ketika mendadak sesosok
bayangan manusia berkelebat cepat bagaikan angin.
Tong Toan terkesiap, ia menduga, bahwa serangan itu datangnya dari
si pengemis. Cepat seperti kilat, tangan kirinya menghantam dengan
pukulan Wankiong siatiauw (Mementang busur memanah burung rayawali),
sedang tangan kanannya menabas dengan gerakan Pihong hoentjam (Mengebas
angin menabas miring).
Selain mengandalkan senjata rahasia yang dikenal di seluruh
Tiongkok, keluarga Tong juga mempunyai ilmu pukulan yang disegani orang.
Dua pukulan tersebut, yang menyerang berbareng membela diri, adalah
pukulan-pukulan rahasia yang hanya digunakan untuk menolong jiwa dalam
saat berbahaya. Tapi dengan sekali mengegos, bayangan itu sudah dapat
mengelit pukulan Tong Toan dan di lain saat, Pengtjoan Thianlie sudah
berdiri di tengah-tengah antara kedua lawan.
"Tak berani aku menerima bantuanmu," kata Tong Toan dengan suara
dingin. "Urusan keluarga Tong harus dipikul olehku sendiri."
Peng Go tidak menyahut. Dengan muka dingin bagaikan es, ia
berpaling ke arah Kim Sie Ie dan berkata: "Ambil ini dan keluarkan
obatmu!'
Bukan main kagetnya Tong Toan. Ia meraba sakunya dan mendapat
kenyataan, bahwa obat pemunah, yang tadi berada di dalam kantongnya,
sudah pindah ke tangan si nona. Ia terpaku dan setelah berselang beberapa
saat, baru ia dapat mengeluarkan suara terputus-putus: "Kau... Kau..."
Kim Sie Ie, yang tidak kurang terkejutnya, loncat mundur dan hampir
berbareng dengan Tong Toan iapun berseru dengan suara tertahan: "Kau!..."
"Keluarkan obat pemunah!” perintah si nona dengan nada suara
sebagai seorang ratu.
"Bagus!" Kim Sie Ie berseru.
Sambil menuding dengan pedangnya, Peng Go berkata pula: "Dengan
saling menukar obat, tak ada yang kehilangan muka. Lekas keluarkan obatmu
dan mulai dari sekarang, jangan kau menemui aku lagi!" "
Kim Sie Ie melirik. Tiba-tiba ia mengayun tangan dan berseru:
"Ambil!'
Baru saja si nona menyambuti obat itu, si pengemis kembali mengayun
tangan. "Ini juga!" ia berteriak.
Pengtjoan Thianlie mengebas lengan jubahnya dan menggulung benda
yang dilemparkan itu. Si nona heran, sebab benda itu adalah sebutir batu
yang dibungkus dengan kertas kulit kambing.
"Orang yang sedang dicari olehmu, berada di dalamnya," kata Kim Sie
Ie dengan suara mendongkol. "Pandanglah sepuas hatimu." Ia memutarkan
badan, melompati tembok dan melenyapkan diri dengan kecepatan luar biasa.
Tanpa merasa, Tong Toan bangun bulu romanya. "Sesudah terkena
Pehbie tjiam, tak nyana ia masih begitu liehay," katanya di dalam hati.
"Untung juga aku tadi tidak lantas turun tangan."
Pengtjoan Thianlie membuka kertas yang membungkus batu itu dan
mendadak saja, ia menjadi bengong. Di atas kertas itu terdapat gambar dua
orang, yang satu adalah Tong Keng Thian, yang lain seorang wanita muda
cantik dan kedua matanya mengawasi Keng Thian dengan meseman manis. Di
kertas itu terdapat pula peta bumi yang mengunjukkan jalan untuk mencari
tempat Keng Thian.
"Kalau begitu, Keng Thian berada di Lengkoan," kata si nona di
dalam hatinya. "Dari sini hanya memerlukan perjalanan dua hari. Siapa
nona itu? Dengan maksud apa Kim Sie Ie memberikan gambar ini kepadaku?"
Selagi ia berdiri bengong bagaikan orang linglung, kupingnya
mendadak mendengar suara Tong Toan: "Koei Tjietjie!” Buru-buru ia
memasukkan gambar itu ke dalam sakunya dan menengok. "Koei Tjietjie,"
kata pemuda itu. "Bagaimana baiknya? Kouwkouw tentu menggusari aku."
Si nona yang sedang kusut pikirannya, jadi merasa sebal. Ia
menyesapkan obat Kim Sie Ie ke dalam tangan Tong Toan dan berkata dengan
suara dingin: "Bagaimana kalau aku saja yang mewakili ia memohon maaf
kepadamu?'
Tong Toan terkejut, buru-buru ia loncat minggir.
"Kouwkouw-mu telah memesan, bahwa jika ia tidak berlutut memohon
ampun, obat keluarga Tong tak boleh diberikan," kata pula Peng Go.
"Bukankah begitu?"
"Benar!" jawabnya.
"Nah!" kata lagi si nona. "Obat keluarga Tong diberikan olehku
kepadanya dan tidak ada sangkut pautnya dengan kau. Jika Kouwkouw-mu
menghukum, ia tidak boleh menghukum kau. Obat ini lekas-lekas kau berikan
kepada Kouwkouw-mu dan tolong kau menyampaikan hormatku
kepadanya." Sehabis berkata begitu, ia lantas berseru: "Yoe Peng!
Yoe Peng!"
"Koei Tjietjie! Apa maksudmu?" tanya Tong Toan dengan suara
bingung.
Sementara itu, Yoe Peng sudah menghampiri. "Terima kasih untuk
pelayananmu selama tiga hari," kata Peng Go. "Sampai ketemu lagi!"
"Koei Tjietjie," kata Tong Toan. "Apakah kau merasa tidak senang
terhadap kami?"
"Kenapa tidak senang?" kata si nona. "Sesudah jiwa Kouwkouw-mu
selamat, sekarang aku boleh berlalu dengan hati lega."
Sehabis berkata begitu, bersama Yoe Peng, ia melompati tembok. Tong
Toan mengubar. Setibanya di luar, yang dapat dilihatnya hanya sang
rembulan yang memancarkan sinar gilang gemilang, tapi kedua gadis itu
sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Tong Toan menghela napas, ia ingat akan bantuan Pengtjoan Thianlie.
Tanpa bantuan itu, jika ia dan si pengemis kusta sampai bergebrak,
Kouwkouw-nya dan Kim Sie Ie tentu juga akan binasa bersama-sama Ia merasa
menyesal, bahwa si nona pergi begitu terburu-buru dan dengan perasaan
berat, ia segera menuju ke kamar Tong Say Hoa dengan membawa obat.
Tong Toan tidak mengetahui, bahwa pikiran Peng Go terlebih kusut
daripada pikirannya. Semenjak berpi sahan dengan Tong Keng Thian, entah
kenapa, si nona selalu merasa tidak gembira. Tadi, sesudah melihat gambar
itu, hatinya jadi berdebar-debar. Sesaat, ia ingin segera menemui Keng
Thian, di lain saat, ia kepengen mabur jauh, jauh sekali, supaya tidak
bertemu muka pula dengan pemuda itu untuk selama-lamanya. Ia sendiri
tidak mengetahui, apakah ia mencinta atau membenci pemuda tersebut, ia
juga tidak mengerti, apa yang sedang dipikirkannya.
Dan Pengtjoan Thianlie tentu saja tidak mengetahui, bahwa pada
malam itu, pada detik-detik yang sama, Tong Keng Thian pun sedang
memikiri dirinya.
***
Pada malam itu, selagi Keng Thian dan Tjee Tjiang Hee berjalan-
jalan di luar rumah, di bawah sinar rembulan, ibu si nona mendadak datang
untuk memberitahukan hal dilukakannya Tong Say Hoa oleh si pengemis kusta
yang berkawan dua wanita cantik bagaikan bidadari.
Mendengar itu, Keng Thian terkejut. Ia menduga, bahwa "dua wanita
cantik bagaikan bidadari itu" tentu bukan lain daripada Peng Go dan
dayangnya. Sebenarnya ia tak mau percaya cerita itu, akan tetapi, sesudah
mendengar lukisan roman dan cara-cara kedua wanita tersebut, mau tidak
mau, ia harus percaya juga.
Melihat paras pemuda itu yang sangat guram, Yo Lioe Tjeng menduga,
bahwa Keng Thian merasa jengkel karena mendengar munculnya pengemis itu.
"Dalam satu dua hari ini, lebih baik kita menyingkir dulu," katanya.
"Sesudah kau sembuh baru kita melawan pengemis itu."
Mendengar sang ibu tidak setuju mereka berjalan-jalan di luar,
sembari monyongkan mulut, Tjiang Hee berkata: "Tong Koko baru saja
sembuh, ia perlu banyak berjalan-jalan untuk menghibur hatinya. Mana ia
tahan disekap di dalam rumah?"
Melihat lagak si nona, Keng Thian jadi tertawa. Mengingat dengan
cara apa selama belasan hari nona itu sudah merawatnya, Keng Thian merasa
sangat berterima kasih dan lantas saja ia berkata: "Sebenarnya, kita
memang tidak perlu begitu berkuatir. Meskipun aku belum sembuh betul,
tapi jika bertemu dengan pengemis kusta itu, belum tentu ia dapat
melukakan diriku lagi."
Tjiang Hee girang. "Tong Koko," katanya. "Apakah kau sudah
mempunyai akal untuk merobohkan padanya?"
"Senjata pengemis kusta itu yang paling liehay adalah senjata
rahasianya yang disemburkan dari mulutnya," Keng Thian menerangkan. "Tapi
senjata itu hanya dapat menyerang dari jarak dekat. Thiansan Sinbong-ku
dapat merobohkan musuh yang berada dalam jarak lebih dari enam tombak
jauhnya. Jika sekarang aku harus menghadapi ia, aku dapat menggunakan
Sinbong untuk menahan majunya."
Yo Lioe Tjeng mesem dan segera berkata: "Jika kau sudah mempunyai
pegangan, boleh kau berjalan-jalan terus bersama Tjiang Hee. Aku tidak
menghalang-halangi lagi."
Melihat tingkah laku kedua orang muda itu yang kelihatannya rapat
sekali, Yo Lioe Tjeng, yang di dalam hatinya mempunyai maksud tertentu,
jadi merasa girang sekali.
Rumah keluarga Tjee berdiri membelakangi gunung, sedang di
pekarangan depan yang cukup luas, ditanami pohon-pohon bunga yang waktu
itu sedang mekarnya. Jalan-jalan di bawah sinar sang Puteri Malam, dengan
segala pemandangannya yang sangat indah dan bau-bauan bunga yang harum
semerbak, benar-benar seperti juga berada didalam surga.
Lama, lama sekali, tanpa berkata-kata, mereka keluar masuk di
antara pohon-pohon kembang.
"Tong Koko, kau lagi memikirkan apa?" tanya si nona.
"Tidak apa-apa," jawabnya.
Tjiang Hee tertawa geli. "Aku tahu," katanya "Kau tentu ingin
bertemu dengan kedua wanita itu yang katanya cantik seperti bidadari.
Benarkah?"
Tjiang Hee sebenarnya hanya berbicara guyon-guyon, tapi di luar
dugaan, Keng Thian menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang.
"Benar," sahutnya. "Aku sedang memikirkan mereka!"
Si nona terkejut. "Tong Koko, apakah kau benar-benar kenal dengan
mereka?" tanyanya.
"Kenal," jawab Keng Thian. "Mereka adalah sahabat-sahabatku."
"Tapi, kenapa mereka tidak berjalan bersama-sama kau, sebaliknya
justru berkawan pengemis kusta itu yang dibenci orang?" tanya Tjiang Hee
pula.
"Aku justru ingin mencari mereka untuk menanyakan sebab-sebabnya,"
jawab Keng Thian.
Paras muka Tjiang Hee lantas saja berubah guram. "Aku tak ingin
menemui pengemis kusta itu," katanya.
"Siapa menyuruh kau menemui ia?" kata Keng Thian.
"Tapi aku ingin sekali bertemu dengan kedua Tjietjie itu yang
cantik bagaikan bidadari," kata si nona.
"Kenapa?" tanya Keng Thian.
"Orang yang kau sukai, tentu juga kusukai," jawabnya. "Bolehkah aku
turut kau menemui kedua Tjietjie itu?”
"Aku sendiri tak tahu, apakah mereka sudi menemui diriku," kata
Keng Thian.
"Kenapa begitu?" tanya Tjiang Hee dengan suara heran. "Bukankah
mereka itu sahabat-sahabatmu?"
Keng Thian menghela napas panjang dan kemudian berkata dengan suara
perlahan: "Hee-moay, usiamu masih terlalu muda, sehingga biar pun aku
memberi penjelasan, kau tidak akan mengerti."
"Tapi usiamu tidak berbeda banyak dengan usiaku," kata si nona yang
merasa agak kurang senang dikatakan belum mengerti urusan. Ia berdiam
beberapa saat, kemudian berkata pula: "Dulu, waktu'aku baru saja mengerti
urusan, aku sudah ingin bertemu denganmu. Apakah kau tahu?"
Keng Thian tertawa. "Waktu itu bagaimana kau tahu, bahwa di dalam
dunia ini ada seorang yang bernama Tong Keng Thian?" tanyanya.
"Sedari aku mulai mengerti urusan, ibu sudah membicarakan hal
dirimu," jawab Tjiang Hee.
"Aku tak percaya," kata Keng Thian. "Ibumu sendiri baru mengenal
aku kira-kira setengah bulan lamanya."
"Ibuku sering-sering
membicarakan hal ayahmu dengan aku," si nona menerangkan. "Ia
sering menceritakan rupa-rupa kejadian-kejadian menarik di waktu mereka
masih belajar silat bersama-sama. Dalam beberapa tahun ini, ibu sering
mengutarakan keinginannya untuk pergi ke Thiansan guna menyambangi
kalian. Kata ibu, ayahmu pendiam, kadang-kadang suka marah-marah
terhadapnya. Hm! Dalam hal ini, kau agaknya berbeda dengan ayahmu.
Sering-sering Ibu berkata begini: 'Hee-djie, kau sangat mirip dengan aku.
Tong Pehpeh juga tentu sudah mempunyai anak. Tak tahu, apakah anaknya
juga seperti ia atau tidak.' Itulah sebabnya, mengapa sedari kecil aku
sering menanya diriku sendiri: Macam apakah, Tong Koko ini? Biarpun aku
belum pernah bertemu dengan kau, malah tidak mengetahui, apakah di dunia
ada seorang yang seperti kau, tapi sering sekali aku membayang-bayangkan
bagaimana kira-kira rupamu, sebagai putera Tong Pehpeh. Dan sesudah
benar-benar bertemu, ternyata rupa dan cara-caramu sungguh tiada beda
dengan apa yang telah kulihat dalam bayangan khayalku sekian lama."
Hati Keng Thian jadi bergoncang. "Didengar dari perkataan Tjiang
Hee, ternyata ibunya menganggap ayah seolah-olah seorang anggauta
keluarganya sendiri," katanya di dalam hati.
"Tapi kenapa ayah jarang sekali menyebutkan namanya?"
"Tong Koko, apa lagi yang kau pikirkan?" tanya pula si nona demi
melihat Keng Thian termenung.
"Aku terharu, kau benar-benar seperti adikku sendiri," jawabnya.
"Apakah benar? Kau suka padaku?" menegas si nona dengan suara
girang dan dengan sikap sebagai bocah yang baru mendapat kembang gula.
"Tentu saja," sahut Keng Thian sembari tertawa. "Aku melihat kau
seperti seekor burung Pekleng niauw. Saban-saban hatiku pepat, suara dan
lagak-lagakmu selalu dapat menghilangkan kejengkelanku itu."
"Ya, aku pun merasa senang bergaul denganmu," kata si nona.
Demikianlah, kedua orang muda itu, yang dalam pergaulannya bebas
dari segala pikiran menyeleweng, bercakap-cakap dengan gembira dan tanpa
merasa mereka berjalan sembari bergandengan tangan.
Sekonyong-konyong selagi berjalan di bawah pohon-pohon bunga yang
diterangi sinar sang rembulan, Keng Thian teringat, bahwa Pengtjoan
Thianlie pun sangat gemar akan kembang-kembang. Ia membayangkan,
bagaimana beruntungnya, jika ia dapat berjalan-jalan bersama Peng Go di
waktu itu dan dalam suasana yang begitu pula. Ia mengangkat kepalanya
dan... tiba-tiba di sebelah jauh, di antara cabang-cabang yang penuh
bunga, ia melihat wajah seorang wanita muda!
Kedua mata wanita itu, yang tajam luar biasa dan dingin bagaikan
es, sedang mengawasi ia. Sesaat itu, seluruh tubuh Keng Thian seolah-olah
terkena arus listrik. Ia gemetar, sembari mengeluarkan teriakan, ia
meloncat ke depan.
"Tong Koko! Ada apa?" seru Tjiang Hee. "Apakah manusia menyebalkan
itu?" Ia berteriak begitu karena menduga, bahwa si pengemis kusta
menyatroni pula. Tapi, setelah memperhatikan, ia melihat seorang wanita
yang parasnya cantik luar biasa. Ia jadi kesima dan terpaku!
"Peng Go!" Keng Thian berteriak.
Wanita itu, yang memang bukan lain daripada Koei Peng Go, menatap
wajah Keng Thian dengan sorot mata dingin, sedih dan gusar bercampur
menjadi satu! Tanpa merasa, Tjiang Hee bergidik. Di lain saat, Peng Go
memutarkan badannya dan dengan sekali berkelebat, ia menghilang dari
pemandangan.
"Peng Go! Koei Tjietjie! Koei Tjietjie!" berteriak Keng Thian
dengan suara menyayatkan hati, sembari mengubar. Kasihan, ia mengubar
dengan mengerahkan seantero tenaganya yang belum pulih kembali. Baru tiba
di suatu tanjakan, ia kesandung dan roboh terguling.
Beberapa saat kemudian, Tjiang Hee tiba dengan napas tersengal-
sengal. Dengan terkejut, ia membangunkan pemuda itu. "Apakah kau
terluka?" tanyanya.
Keng Thian tidak menjawab, la menggelendot pada tubuh Tjiang Hee,
kedua matanya mencilak, mukanya pucat bagaikan mayat. Seolah-olah
kehilangan semangat.
"Tong Koko! Tong Koko, kenapa kau?' tanya Tjiang Hee dengan suara
bingung.
Sesudah lewat beberapa saat, baru Keng Thian dapat membuka mulut:
"Dia! Dia sudah pergi!" "Siapa dia?" tanya Tjiang Hee. "Pengtjoan
Thianlie, yang barusan kita bicarakan," sahutnya. "Ah! Kenapa ia tak mau
bicara denganku?"
Tjiang Hee yang otaknya masih sederhana, merasa tidak mengerti, la
tidak mengerti, kenapa, jika toh Pengtjoan Thianlie sahabat Keng Thian,
ia sudah bersikap begitu? Keng Thian menghela napas berulang-ulang,
seperti juga melupakan, bahwa di sampingnya masih ada seorang wanita
lain, sehingga Tjiang Hee, mengeluh, ia merasa kasihan, berbareng
mendongkol.
Lama mereka tidak mengucapkan sepatah kata. "Tong Koko," kata
Tjiang Hee akhirnya. "Mari kita pulang. Ah! Aku tak nyana, di dalam dunia
ada wanita yang begitu cantik!"
***
***
***
Dalam gunung itu terdapat seorang lain yang diliputi kedukaan dan
kekecewaan yang lebih hebat daripada Keng Thian. Orang itu adalah Kim Sie
Ie.
Semenjak bertemu dengan Pengtjoan Thianlie di gunung Tjiakdjie san,
ia terus mengintil di belakang si nona, tempo-tempo muncul, kadang-kadang
menghilang, terus sampai di gunung Gobie san.
Hari itu, ketika baru memasuki Gobie san, oleh karena kuatir
diketahui si nona, Kim Sie Ie hanya berani mengikuti dari jarak kira-kira
setengah li jauhnya. Gobie san adalah sebuah gunung yang angker dan
berbahaya, penuh dengan pohon-pohon besar, cadas-cadas tajam dan jalan
yang berliku-liku. Mendadak ia kehilangan Pengtjoan Thianlie dan
dayangnya. Ia mempercepat tindakannya dan mencari ubek-ubekan. Baru ia
masuk ke suatu lembah, cuaca sudah mulai gelap. Di sebelah jauh, ia
melihat air terjun yang turun dari atas gunung. Ia mendekati dan disitu
ia mendapatkan suatu kobakan yang airnya jernih dan yang dikitari pohon-
pohon bunga hutan, yang seakan-akan merupakan sebuah sekosol sulam.
Sekonyong-konyong di antara pohon-pohon bunga terdengar suara
tertawa seorang wanita. "Siauwkongtjoe (Puteri kecil)," demikian wanita
itu berkata. " 'Ku sudah kata, Tong Siangkong pasti datang lebih dulu
disini untuk menunggu kau." Suara itu bukan lain daripada suara Yoe Peng,
sedang orang yang dipanggil "Puteri kecil" tentu Pengtjoan Thianlie
sendiri.
Jantung Kim Sie Ie memukul keras. Pengtjoan Thianlie tidak
mengeluarkan sepatah kata.
Berselang beberapa saat, Yoe Peng berkata pula sembari tertawa:
"Sebenar-benarnya walaupun kau membenci dia, kau toh seharusnya menanya
dulu biar terang."
Kim Sie Ie yang bersembunyi di belakang batu, menahan napas supaya
persembunyiannya tidak diketahui si nona.
Sesaat kemudian terdengar helaan napas panjang, disusul suara Peng
Go yang sangat perlahan: "Tak usah kau campur tahu."
Lagi-lagi Yoe Peng tertawa geli. "Siauwkongtjoe," katanya "Kenapa
kau jadi begitu? Terang-terang, aku mengetahui kau menyukai dia!"
"Jangan rewel!” bentak si nona.
"Andaikata kau tidak menyukai dia, aku tahu, kau tidak membenci
dia," kata si dayang.
Mendengar itu, jantung Kim Sie Ie kembali memukul keras. Ia merasa,
perkataan Yoe Peng adalah beralasan.
Pengtjoan Thianlie tetap menutup mulut.
"Ah, Siauwkongtjoe!" kata Yoe Peng dengan suara penasaran.
"Sekarang biarlah aku berterus terang: Jika kau tetap mengumbar napsu
terhadap Tong Siangkong, ada seorang siauwdjin (orang rendah) yang akan
merasa girang."
"Apa?" si nona menegas.
"Benarkah Siauwkongtjoe tak tahu?" jawabnya. "Ada seorang, seekor
anjing pemburu yang terus menguntit kita... tidak! Bukan, bukan anjing
pemburu, tapi kodok buduk, seekor kodok buduk yang mengimpi ingin gegares
daging angsa langit!”
Mendadak saja, Kim Sie Ie tak dapat menguasai diri lagi. Dengan
sekali mengenjot badan, ia sudah meloncat keluar dari tempat sembunyinya
dan membentak sekuat-kuatnya: "Apa? Aku kodok buduk?"
Daun-daun terdengar berkresekan dan Peng Go bersama dayangnya
keluar dari antara pohon-pohon bunga.
Yoe Peng tertawa dingin dan berkata: "Siauwkongtjoe, lihatlah!
Bukankah benar, apa yang kukatakan tadi? Tak bedanya seperti anjing
pemburu yang hidungnya tajam. Kemana juga kita pergi, dia selalu dapat
mengendusnya. Anjing pemburu sebenarnya lebih tinggi setingkat daripada
kodok buduk."
Kim Sie Ie tertawa dingin. Dengan paras muka berubah pucat, ia
mengangkat tongkatnya. Melihat begitu, buru-buru Peng Go loncat menyelak
di depan Yoe Peng. "Mau apa kau?" tanyanya.
"Kau adalah angsa langit, tak berani aku, si kodok buduk, melihat
wajahmu," kata Kim Sie Ie. "Tapi dayangmu adalah seekor bebek. Aku si
kodok buduk, ingin menelan dia!"
"Kim Sie Ie!" kata si nona dengan suara tawar. "Apakah kau masih
memandang aku atau tidak?"
Selama hidupnya, Kim Sie Ie selalu bertindak dengan menuruti
kemauannya sendiri saja. Dengan memiliki ilmu silat seperti yang
dimilikinya, dengan mudah ia akan dapat melukakan Yoe Peng. Tapi
mendengar teguran Peng Go, entah kenapa, ia menjadi keder. Ia merasa,
bahwa Pengtjoan Thianlie mempunyai keagungan dan keangkeran yang wajar,
yang tak dapat dilanggar oleh siapapun juga. Hatinya ingin menyindir,
tapi sindiran itu tak bisa keluar dari mulutnya. Maka itu, ia hanya
berkata: "Dayangmu telah mencaci aku. Aku..."
"Kau ingin mengajar adat?" si nona memotong. "Dayangku tak perlu
diajar oleh orang lain."
Kim Sie Ie kembali naik darah, tapi ia tak berani mengumbar
kegusarannya. Sambil menahan amarah, ia menanya dengan mengutib perkataan
Peng Go sendiri: "Pengtjoan Thianlie! Apakah kau masih memandang aku atau
tidak?"
Peng Go melirik dan kemudian dengan tawar: "Kita bertemu hanya
secara kebetulan saja. Soal pandang memandang sebenarnya bukannya soal di
antara kita."
Kim Sie Ie bungkam sejenak. Rasa jelus, membenci dan gusar
berkumpul di dalam dadanya. Sekonyong-konyong, bagaikan halilintar, ia
berteriak: "Dalam matamu, memang hanya terdapat si bocah she Tong!"
"Tak ada sangkut pautnya dengan kau!" jawab si nona sembari tertawa
tawar. Sehabis berkata begitu, Peng Go menghela napas panjang, kedua
matanya mengawasi Kim Sie Ie dengan sorot kasihan.
Meskipun berusia lebih muda dari Kim Sie Ie, dengan suara seperti
seorang kakak yang sedang menasehati adiknya, ia berkata: "Ah! dengan
kepandaianmu, sebenarnya kau bisa menjadi seorang pendekar di jaman ini,
jika kau berjalan dijalan lurus. Dan jika kau terus mempelajari ilmu, kau
bisa menjadi seorang guru besar dari suatu cabang persilatan. Tapi
kenapa, kenapa kau mengeluarkan lagak buaya?"
Kim Sie Ie terkesiap. Itulah kata-kata yang ia baru pernah
mendengar. Dalam mengeluarkan kata-kata itu, nada suara Pengtjoan
Thianlie penuh dengan rasa sayang. Tapi pada saat itu, mana Kim Sie Ie
dapat menerimanya dengan otak dingin? Mendadak saja, ia merasakan
darahnya mengalir deras dan dadanya seperti mau meledak.
"Kenapa lagak buaya?" tanyanya, dengan mata merah.
Seingatnya, ia selalu membenci dunia dengan segala umat manusia
yang hidup di dalamnya. Belum pernah ia menanya diri sendiri, apakah
sepak terjangnya benar atau tidak. Maka itu, baginya, kata-kata Peng Go
adalah bagaikan halilintar di tengah hari bolong.
Di lain pihak, ditanya begitu, Peng Go jadi kemekmek. Tak dapat ia
menjawab pertanyaan Kim Sie Ie. Harus diingat, bahwa pendidikan yang Peng
Go dapat adalah berlainan dengan pendidikan Kim Sie le. Bahwa ia sudah
menggunakan kata-kata yang kasar itu, sebenarnya sudah melampaui garis
kebiasaannya. Maka itu, tak mungkin si nona memberi penjelasan lebih
lanjut mengenai lagak buaya Kim Sie Ie.
Dengan sorot mata gila, Kim Sie Ie mengawasi Pengtjoan Thianlie,
sehingga Yoe Peng menjadi takut. "Kau terus mengintil di belakang kami,"
katanya. "Apakah itu bukan lagak buaya?"
"Jalan bukan milikmu," sahutnya. "Kau jalan sejalanmu, aku jalan
sejalanku. Kenapa lagak buaya?"
Koei Peng Go jadi merasa kurang senang. "Sie le-heng," katanya.
"Jalan ada banyak sekali. Sebaiknya, kita masing-masing mengambil jalan
sendiri-sendiri."
Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara teriakan nyaring dan
bagaikan seekor kera, tanpa menengok lagi, ia terus memanjat puncak
gunung yang berdekatan.
Seperti manusia edan, ia memanjat dan memanjat terus. Ia berteriak,
ia tertawa, menandak dan bergulingan, sehingga pakaiannya yang indah jadi
rubat-rabit, muka dan sekujur badannya ketusuk duri sehingga mengeluarkan
darah, tapi semua itu, sedikitpun tidak diperdulikannya. Ia merasa rohnya
seakan-akan mau berontak keluar dari raganya. Ia ingin sekali agar, pada
detik itu juga, seluruh badannya hancur lebur menjadi debu untuk
disebarkan ke seluruh bumi.
Seperti orang berotak miring, ia merobek-robek bajunya dan kemudian
berdiri di pinggir kobakan, bercermin di air yang bening bagaikan kaca.
"Tiada beda dengan manusia lain, tubuhku telah dilahirkan oleh ayah
bundaku," ia berteriak. "Tapi kenapa manusia begitu menghina diriku?"
***
***
***
***
***
***
Kim Sie Ie menyatroni Kimkong sie dengan hati mendongkol dan dengan
niatan untuk mengacau. Sebelum masuk, dengan batu kolar ia menimpuk jalan
darah belasan murid Boetong yang menjaga di luar pekarangan kuil. Yang
ditimpuk olehnya adalah Siauwyauw hiat (jalan darah untuk membikin orang
tertawa) dan Mayang hiat (jalan darah yang mendatangkan perasaan baal dan
gatal). Sesudah itu, dengan gembira, ia menggiring para korbannya. Tapi
sungguh di luar dugaannya, dengan sekali menimpuk, Moh Tjoan Seng sudah
berhasil menolong para murid Boetong itu. Tiamhiat hoat (ilmu menotok
jalan darah) ciptaan Tokliong Tjoentjia adalah ilmu tunggal yang tidak
dikenal oleh orang luar. Dengan ilmu itu, Kim Sie Ie sudah merobohkan
banyak sekali jago dalam Rimba Persilatan dan ia semula menduga, bahwa
Tiamhiat hoat tersebut tak akan dapat dipecahkan oleh siapapun juga.
Oleh sebab itu, ia menjadi kaget sekali, ketika mendapat kenyataan,
bahwa Keng Thian dapat menolong Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya. Ketika
dengan sekali menggerakkan tangannya, Moh Tjoan Seng sudah bisa
membebaskan belasan orang yang telah ditotoknya, tentu saja ia jadi makin
terperanjat. Berdasarkan
bunyi biji-biji tasbih itu -- ketika datang menyambar —— ia tahu,
jika ia ditimpuk, tak dapat ia menahannya. Masih untung, bahwa Moh
Tayhiap hanya menolong murid-murid Boetong tersebut, dan tidak turun
tangan untuk mencelakakannya. Setelah menyaksikan semua itu, kesombongan
Kim Sie Ie lantas saja berkurang banyak.
Sementara itu, hatinya mencelos ketika mendapat kenyataan, bahwa
dengan berendeng pundak, Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian sedang
mengerubuti Hongsek Toodjin. Selagi ia mau mengundurkan diri dari ruangan
itu, tiba-tiba muncul Tongbengtjoe, yang lantas dicegat oleh si nona.
Di saat itu, ketika Tongbengtjoe menubruk Peng Go, pikiran Kim Sie
Ie berubah sama sekali. Biar bagaimana besar rasa bencinya terhadap Tong
Keng Thian, tak dapat tidak ia mesti menolong.
Bagaikan kilat, tangan Tongbengtjoe menyambar kepala si nona.
Dengan tak kalah cepatnya, Peng Go menunduk dengan gerakan Honghong
tiamtauw (Burung hong manggutkan kepala) dan menyabet dengan Hankong
kiam-nya. Begitu serangannya yang pertama meleset, Tongbengtjoe segera
menyusulkan terkamannya yang kedua.
Pada detik itulah, sambil membentak keras, Kim Sie Ie melompat dan
menghantam kepala Tongbengtjoe dengan tongkatnya. Tangan Tongbengtjoe
menyambar dan berhasil menangkap ujung tongkat itu. Dalam gebrakan itu,
kedua belah pihak telah mengerahkan lweekang masing-masing yang sangat
tinggi. Begitu tongkatnya ketangkap musuh, badan Kim Sie Ie terhuyung dan
ia terseret dua tindak.
Sekarang, masing-masing memegang sebelah ujung tongkat itu.
Tongbengtjoe tertawa terbahak-bahak dan mendadak, ia memutarkan tongkat
itu dan membuat satu lingkaran. Semakin lama, ia memutarkannya semakin
cepat, sehingga meskipun niat menolong, Pengtjoan Thianlie tidak berani
turun tangan, karena kuatir melukakan Kim Sie Ie sendiri. Tiba-tiba Kim
Sie Ie tertawa nyaring dan badannya kelihatan membubung ke atas, sehingga
Pengtjoan Thianlie terkejut bukan main. Di lain saat, ia mendapat
kenyataan, bahwa, sedang Tongbengtjoe masih terus memegang ujungnya,
pemuda itu sendiri sudah menunggangi batang tongkat itu. Mendadak
terdengar suara "fui!" dan Kim Sie Ie menyemburkan ludah! Di antara
semburan itu, sayup-sayup terdengar sambaran jarum-jarum halus.
Tadi, Kim Sie Ie sebenarnya sudah berada di bawah kekuasaan
musuhnya, sehingga apa yang dilakukannya benar-benar di luar dugaan
Tongbengtjoe.
Hampir berbareng dengan semburan ludah Kim Sie Ie, Pengtjoan
Thianlie melompat dan mengirimkan suatu tingkaman ke punggung musuh,
Tongbengtjoe yang mengandalkan ilmu Pithiat kanghu (ilmu menutup semua
jalanan darah), tidak menghiraukan serangan senjata rahasia Kim Sie Ie
dan buru-buru mengebaskan lengan jubahnya untuk menangkis pedang si nona
yang menyambar laksana kilat. Pengpok Hankong kiam itu terpental,
sehingga Peng Go terpaksa meloncat mundur. Sebelum Tongbengtjoe sempat
berbalik, ludah Kim Sie Ie sudah mengenai lehernya.
Amarah Tongbengtjoe jadi meluap. Sambil mengertak gigi, ia
melontarkan tongkat itu – yang sedang ditunggangi Kim Sie Ie —— ke tengah
udara. Dengan kedua-dua tangannya tetap memegang tongkat itu erat-erat,
Kim Sie Ie berjungkir balik dan selagi badannya melayang turun, mulutnya
berteriak: "Tikam Honghoe hiat, Hiankie hiat dan Tjiantjeng hiat-nya. Dia
sudah terkena senjata rahasiaku yang beracun!"
Lweekang Tongbengtjoe sudah dilatih sampai di tingkatan paling
tinggi, sehingga meskipun ia belum mempunyai badan dewa yang tak bisa
rusak, akan tetapi ia percaya, bahwa tubuhnya bisa menahan segala rupa
senjata rahasia dan ditambah dengan Pithiat kanghu, ia yakin, bahwa
badannya cukup kuat untuk melawan segala macam racun. Oleh sebab itu, ia
semula tidak menggubris perkataan Kim Sie le. Di luar dugaannya, sesudah
menangkis beberapa serangan Pengtjoan Thianlie, mendadak ia merasakan
jalan darah Honghoe hiat, Hiankie hiat dan Tjiantjeng hiat-nya baal. Di
lain saat, ia merasakan hawa racun menyelusup dari jalan darah ke
dadanya! la terkesiap berbareng gusar.
***
***
***
***
Sekarang marilah kita balik kepada Tan Thian Oe yang mendapat tugas
untuk membawa surat ayahnya kepada Hok Kong An. Karena harus berlomba
dengan sang waktu, malam-malam Thian Oe berangkat juga.
Sesudah melewati serdadu-serdadu Touwsoe yang menjaga di luar
gedung Soanwiesoe, dengan menggunakan ilmu entengkan badan, ia meneruskan
perjalanan ke Lhasa. Dalam perjalanan itu, ia harus melewati bentengan
(gedung) Touwsoe yang berdiri di atas gunung dan jalanan yang harus
diambilnya, terletak melintang di satu lembah. Sesudah melewati lembah
itu, di tengah gunung ia melihat tentara dan bendera yang besar
jumlahnya, sedang di bentengan pun terlihat bayangan-bayangan hitam dan
bendera yang berlapis-lapis. Ia mengetahui, bahwa tentara yang berkumpul
di tengah gunung adalah tentara Lochu yang sedang mengepung bentengan
Touwsoe. Dengan cepat ia sudah tiba di bagian utara gunung tersebut.
Hatinya lega dan sambil mengempos semangat, ia mendaki bukit yang
menghadang di depannya. Tapi baru saja berlari-lari beberapa puluh
tombak, sekonyong-konyong berkelebat satu bayangan manusia yang lantas
berdiri di tengah jalan. Thian Oe mengawaskan dengan kaget dan ternyata,
orang itu bukan lain daripada si pendeta berkelana.
Di bawah sinar rembulan, pendeta itu juga segera mengenali, bahwa
yang dicegatnya adalah Tan Thian Oe. "Aha! Kalau begitu kau?" katanya
sambil tertawa terbahak-bahak dan menghantam dengan tongkat bambunya.
Thian Oe melompat seraya membabat dengan pedangnya dalam pukulan Tokoa
ginho (Bima Sakti yang tergantung nyungsang), yaitu salah satu pukulan
terliehay dari Pengtjoan Kiamhoat. Ia menduga bahwa dengan sekali
menyabet, tongkat itu akan menjadi putus. Tapi, di luar dugaan, begitu
kedua senjata kebentrok, tongkat si pendeta "menempel" di pedang dan
bergerak menurut gerakan pedang. Thian Oe terkejut, buru-buru ia mengebas
senjatanya untuk melepaskan "tempelan" itu. Baru saja ia mengangkat kaki
untuk kabur, mendadak si pendeta berteriak: "Ih! Omateng, kemari! Coba
lihat, apa bocah ini benar Tan Thian Oe?"
Kenapa si pendeta bersangsi?
Pada waktu ia bertemu Thian Oe untuk pertama kali, yaitu waktu ia
coba merebut guci emas, kepandaian pemuda itu paling banyak hanya bisa
menandingi muridnya. Tapi sekarang, ia bukan saja bisa mempertahankan
diri dari serangan tongkat, tapi juga sudah berhasil melepaskan
senjatanya dari "tempelan" tongkat. Si pendeta merasa, bahwa lweekang
pemuda itu sudah tidak berjauhan dengan lwee4cang-nya sendiri. Itulah
sebabnya ia bersangsi dan memanggil Omateng untuk mendapat kepastian.
Sehabis berteriak begitu, si pendeta lalu mengirim dua serangan
berantai, yang satu menggunakan tenaga "lembek", yang lain tenaga
"keras". Thian Oe menjejak kedua kakinya dan bagaikan seekor garuda,
tubuhnya terbang lewat di samping si pendeta dan dalam sekejap, ia sudah
lari belasan tombak.
Tiba-tiba, dari pinggir jalanan muncul seorang yang tertawa
bergelak-gelak. "Bocah! Mau lari kemana kau?" bentaknya.
Begitu mengenali orang yang mencegatnya, Thian Oe lantas saja
menjadi kalap. Orang itu adalah Omateng yang menjadi gara-gara dari
kebinasaan Chena dan yang sudah merampas jenazah kecintaannya itu.
Matanya merah, darahnya mendidih dan ia melupakan segala pesanan ayahnya
dan Keng Thian. Ia mengangkat pedang dan mengirim satu tikaman kilat.
"Bret!", pedang Thian Oe menembus Djoanka (pakaian perang yang lemas) dan
ujung pedang membuat satu goresan panjang di pundak Omateng.
Ia berhasil melukakan musuh, tapi karena itu, si pendeta berkelana
sudah menyandak. Sesaat itu, ia sebenarnya masih bisa melarikan diri.
Tapi dalam kalapnya, sebaliknya dari kabur, ia lalu mengirim serangan-
serangan nekat. Kepandaian Omateng tidak terlalu rendah. Biarpun ia kalah
setingkat dari Tan Thian Oe, tapi untuk sementara, sedikitnya ia masih
bisa membela diri. Dalam sekejap tiga serangan Thian Oe sudah ditangkis
olehnya dan waktu Thian Oe mengirim serangan keempat, si pendeta sudah
meloncat masuk ke dalam gelanggang pertempuran dan menyampok pedangnya.
Sekali ini, pendeta itu tidak berani berlaku ceroboh lagi. Dengan
hati-hati ia melayani dan mengunakan taktik gerilya. Jika Thian Oe
mundur, ia merangsak, kalau Thian Oe merangsak, ia mundur. Dilihat
sekelebatan, mereka seperti juga dua bocah yang lagi main petak, tapi
sebenarnya kedua lawan itu sedang mengadu ilmu dengan menggunakan
lweekang yang sangat tinggi. Dilayani secara begitu, Thian Oe yang
lweekang-nya masih kalah kuat, perlahan-lahan jatuh di bawah angin.
Selang kira-kira setengah jam, keadaannya sudah berbahaya sekali, hampir-
hampir ia tak dapat mempertahankan diri lagi.
Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak Thian Oe bergidik karena
menyambarnya hawa dingin yang sangat hebat dan berbareng dengan itu,
tekanan si pendeta lenyap. Dengan cepat ia melompat ke-belakang dan
sesudah menegakkan badannya yang bergoyang-goyang, ia menoleh ke
belakang. Di antara uap dingin yang berwarna abu-abu, ia melihat seorang
wanita. Hatinya meluap dengan kegirangan, karena wanita itu bukan lain
daripada Yoe Peng. Tak usah dikatakan lagi, hawa dingin yang barusan
adalah akibat dari Pengpok Sintan yang dilepaskan oleh si nona. Tapi
karena lweekang Yoe Peng masih belum cukup, ia tidak berhasil melukakan
pendeta itu. Meskipun begitu, serangan tersebut sudah membantu Thian Oe
meloloskan diri.
Si pendeta gusar tak kepalang. Sambil menggereng, ia menerjang si
nona. Dengan gerak-gerakannya yang sangat lincah, Yoe Peng mengegos tiga
serangan berantai. Selagi Thian Oe mau membantu, mendadak Yoe Peng
tertawa nyaring seraya berteriak: "Manusia tak tahu diri! Dulu majikanku
telah mengampuni jiwamu. Apa sekarang kau masih berani melawannya?"
Si pendeta terkesiap karena ia lantas saja ingat, bahwa wanita itu
adalah kawannya Pengtjoan Thianlie.
Selagi ia bersangsi, Yoe Peng bersiul nyaring, disusul dengan suara
tertawa yang merdu. "Yoe Peng! Dengan siapa kau bertempur? Aku segera
datang!" kata satu suara yang merayu. Suara itu datang dari bukit di
seberang, tapi setiap perkataannya terdengar nyata sekali.
Bagi si pendeta, suara yang merdu itu seakan-akan menggeledeknya
halilintar. Ia mengenali, bahwa itulah suara Pengtjoan Thianlie yang
disegani olehnya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia memutar badan dan
lantas kabur.
Gerakan Pengtjoan Thianlie cepat luar biasa. Sedang suaranya masih
berkumandang di lembah, orangnya sudah berdiri di tanjakan gunung- Dengan
pakaiannya yang serba putih dan yang berkibar-kibar karena ditiup angin,
ia seolah-olah seorang dewi. Si pendeta jadi semakin ketakutan dan ia
kabur bagaikan orang gila.
Omateng yang bertubuh gemuk tak bisa lari cepat. "Manusia itu jahat
sekali!" berteriak Thian Oe sambil melompat untuk mengejar.
"Tak usah begitu berabe!" kata Yoe Peng sambil mementil sebutir
Pengpok Sintan. Omateng yang tengah merat mendadak merasakan hawa yang
luar biasa dingin di jalanan darah Thiantjoe hiat, di belakang lehernya,
dan hawa itu menembus sampai di uluhatinya. Di lain saat, badannya
kesemutan, tenaganya musna dan tanpa bersuara, ia roboh di tanah.
"Thian Oe," kata Yoe Peng. "Perlu apa di tengah malam buta kau
bergelandangan disini?"
Air mata pemuda itu lantas saja mengucur deras. "Chena... dia...
dia..." katanya terputus-putus. Tak dapat ia meneruskan perkataannya.
Yoe Peng menghela napas seraya berkata dengan suara duka: "Hal
meninggalnya Chena Tjietjie sudah diketahui oleh kami."
Pengtjoan Thianlie pun kelihatan sedih sekali. "Sayang sekali,
karena waktu tidak mengijinkan, waktu itu aku hanya menurunkan ilmu
melepaskan golok terbang," katanya dengan suara perlahan. "Aku tak keburu
memberi pelajaran untuk melindungi diri. Tapi, ia sekarang sudah berhasil
membalas sakit hati kedua orang tuanya. Aku percaya, ia mati dengan mata
meram."
Pengtjoan Thianlie adalah seorang yang tidak gampang memperlihatkan
perasaannya. Tapi meninggalnya Chena sudah mendukakan sangat hatinya,
sehingga parasnya jadi guram sekali. Ia menghela napas seraya berkata:
"Pada sebelum kau berguru dengan Thiekoay sian, Chena telah memohon
pertolonganku untuk memberi petunjuk-petunjuk kepadamu. Ia mengatakan,
bahwa sayang sungguh jika kau yang mempunyai bakat sangat baik, tidak
mendapat guru yang berkepandaian tinggi. Waktu itu aku telah menolak
permintaannya. Siapa nyana, karena robohnya Puncak Es, secara kebetulan
kau telah makan Tjoeko (buah merah) dalam istanaku, sehingga, tanpa
belajar lagi, kau sudah memperoleh ilmu entengkan badan dari partai kami.
Belakangan, kau juga telah mencuri ilmu pedangku. Ini semua adalah maunya
Tuhan dan aku tidak menyalahkan kau. Tapi, biarpun kau sudah memiliki
Kiamhoat-ku (ilmu pedang), kau belum mengenal Kiamkoat (pelajaran
praktek untuk menggunakan ilmu pedang itu). Sekarang, sesudah Chena
meninggal dunia, aku ingin sekali meluluskan permohonannya, agar di alam
baka, arwahnya jadi terhibur..." Bicara sampai disitu, si nona berhenti
karena terharunya. Sesaat kemudian, barulah ia berkata pula: "Aku
bersedia untuk menurunkan Kiamkoat kepadamu. Akan tetapi, oleh karena
usia kita kira-kira bersamaan, maka tak dapat aku menjadi gurumu. Baik
juga Yoe Peng yang sudah mengikuti aku dalam banyak tahun, sudah mendapat
intisari dari Kiamhoat dan Kiamkoat dari partai kami. Maka itulah, aku
sekarang mempermisikan Yoe Peng untuk menurunkan pelajaran itu kepadamu."
Bukan main girangnya Thian Oe dan ia buru-buru berlutut untuk
menghaturkan terima kasih.
Dengan memperoleh ilmu silat Pengtjoan Thianlie, ditambah dengan
Iweekang Thiansan pay dan ilmu silat Thiekoay sian serta Siauw Tjeng
Hong, di belakang hari Tan Thian Oe menjadi seorang Tayhiap (pendekar)
yang ternama. Sesudah Tong Keng Thian dan Koei Peng Go kembali ke keraton
es untuk menuntut penghidupan yang terpisah dari pergaulan umum, ia
mengikuti ayahnya pulang ke Kanglam, dimana ia dikenal sebagai ahli waris
Kam Hong Tie dan dikenal juga sebagai Kanglam Tayhiap (Pendekar besar
dari daerah Kanglam)
Pengtjoan Thianlie mengegos tubuhnya dan hanya menerima separuh
kehormatan Thian Oe. "Apa Tong Keng Thian berada di rumahmu?" tanyanya.
"Benar," jawabnya. "Aku justru menerima perintah Tong Tayhiap untuk
pergi ke Lhasa guna meminta bala bantuan tentara."
Si nona tersenyum seraya berkata: "Kau tak usah pergi ke tempat Hok
Kong An." Thian Oe kaget. Selagi ia mau menanya, Peng Go sudah berkata
lagi: "Bagaimana dengan Kim Sie Ie? Kau sendiri belum pernah bertemu
dengan orang itu, tapi aku merasa, Keng Thian sudah pernah
menceritakannya."
"Kim Sie Ie telah datang ke rumahku," menerangkan Thian Oe.
"Biarpun belum pernah bertemu muka, tapi ia sudah menolong jiwaku."
Peng Go heran. "Kau belum mengenalnya, bagaimana ia bisa menolong
jiwamu?" tanyanya.
Thian Oe segera menuturkan apa yang telah terjadi.
Si nona terkejut dan segera menanya: "Kapan ia berangkat untuk
menemui Hoat-ong?"
"Kira-kira tengah hari, mengikuti dua Lhama itu, jawabnya. "Ia
berangkat dari rumahku dan jika Hoat-ong tidak lantas menyerahkannya
kepada Omateng, sekarang mungkin ia masih berada di kuil."
Sesudah berpikir sejenak, si nona segera berkata: "Yoe Peng,
lihatlah! Aku sudah mengatakan bahwa Kim Sie Ie bukan manusia jahat.
Hatinya cukup mulia. Ia rela menolong orang dengan mengorbankan diri
sendiri. Tak bisa aku memeluk tangan. Kau dan Thian Oe berangkat lebih
dulu untuk menemui Keng Thian, sedang aku sendiri ingin mengunjungi Hoat-
ong." Sehabis berkata begitu, dengan menggunakan ilmu entengkan badan, ia
segera berlalu dan dalam sekejap, ia sudah tidak kelihatan bayang-
bayangannya lagi.
Thian Oe dan Yoe Peng saling mengawaskan tanpa mengeluarkan sepatah
kata. Mengingat perkataan Chena, pemuda itu merasa agak jengah dan ia
hanya mengawasi dayangnya Peng Go dengan mata mendelong.
Yoe Peng menghela napas dan kemudian berkata dengan suara perlahan:
"Chena dan aku adalah seperti saudara sendiri dan aku pun merasa duka
akan kebinasaannya. Akan tetapi, orang yang sudah mati tentu tak bisa
hidup kembali. Sekarang, karena kebinasaannya, di Tibet timbul gelombang
hebat. Jika kita tidak berusaha untuk meredakan gelombang itu, arwahnya
tentu merasa tidak senang."
Thian Oe manggut-manggutkan kepalanya. "Ya, pergiku ke Lhasa juga
adalah untuk meredakan gelombang itu," katanya. "Eh, barusan Pengtjoan
Thianlie mengatakan, bahwa aku tak usah pergi menemui Hok Kong An.
Bagaimana duduknya persoalan?"
Yoe Peng tersenyum. "Pada harian pembukaan kuil baru, kami berdua
sebenarnya sudah berada di Sakya," ia menerangkan. "Segala kejadian sudah
disaksikan oleh kami. Kongtjoe yang sangat pintar, lantas saja bisa
menduga bakal munculnya badai. Maka itu, tanpa menemui kalian, buru-buru
kami pergi ke Lhasa. Mengingat bantuan kami pada waktu terjadi perebutan
guci emas, Hok Kong An bersikap sangat ramah tamah dan percaya segala
keterangan kami."
Selagi bicara, mendadak mereka mendengar suara merintihnya Omateng.
"Segala kejadian ini semuanya adalah gara-gara bangsat itu!" kata Thian
Oe dengan suara gergetan.
"Bagus! Sekarang kita boleh berurusan dengannya," kata Yoe Peng.
Omateng yang baru sadar dari pingsannya, menggigil karena hawa
dingin yang sangat hebat. Yoe Peng segera meminta Thian Oe mengurut dua
jalanan darah di punggung si gemuk, untuk mengurangkan hawa dingin.
"Tan Kongtjoe," kata si gemuk dengan suara gemetaran. "Dengan
memandang muka Sang Budha dan muka Chena, aku memohon kau sudi mengampuni
jiwaku."
"Jika kau tidak menyebut nama Chena, masih tidak apa," kata Thian
Oe dengan gusar. "Dengan menyebutkan Chena, lebih-lebih aku harus
mengambil jiwa anjingmu."
"Terhadap Chena, aku selalu membuang budi," kata Omateng. "Dulu,
waktu ia ditangkap Touwsoe, aku pernah meminta perantaraan ayahmu untuk
menolongnya. Dalam usahanya untuk membunuh Touwsoe, aku pun sudah memberi
bantuan secara diam-diam. Hal ini adalah satu kenyataan. Kongtjoe,
masakah kau tak tahu?"
Yoe Peng tertawa dingin dan mengeluarkan suara di hidung. "Eh, apa
kau kira kami tak tahu rahasiamu?" katanya dengan suara mengejek. "Kau
adalah mata-mata Raja Kalimpong. Tujuanmu yang satu-satunya adalah
menimbulkan kekacauan di Tibet, supaya, dengan bantuan tentara asing, kau
bisa memancing ikan di air keruh. Kau ingin mengangkat diri sendiri
sebagai raja. Tipu muslihatmu bisa mengelabui Touwsoe, tapi tak bisa
mempedayai Kongtjoe-ku. Bantuanmu kepada Chena Tjietjie hanyalah untuk
meminjam tangannya guna mewujutkan maksudmu sendiri."
Perkataan Yoe Peng benar-benar mengejutkan Omateng, sehingga
tubuhnya menggigil semakin hebat.
Thian Oe pun terperanjat, tapi sebelum ia sempat menanya lebih
jauh, di tanjakan gunung mendadak terlihat bayangan-bayangan manusia yang
mendatangi dengan cepat sekali dan di antara beberapa orang yang jalan di
depan, terdapat si pendeta berkelana.
"Si pendeta datang kembali dengan membawa bantuan," kata rhian Oe.
Yoe Peng mengangguk seraya berkata: "Sekarang paling baik kita
buru-buru kembali di rumahmu untuk menunggu Kongtjoe."
"Tapi aku mempunyai lain pikiran," kata Thian Oe. "Dengan
kedatangan si pendeta bersama kawan-kawannya yang
berkepandaian tinggi, di bentengan Touwsoe tentu tidak terdapat
lagi orang pandai. Dengan menggunakan kesempatan itu, aku ingin
menyatroni sarangnya."
"Guna apa kita menempuh bahaya yang begitu besar?" kata Yoe Peng
yang tidak menyetujui pendapat Thian Oe.
"Bagaimana aku tega melihat jenazah Chena terus berada di tangan
musuh?" kata Thian Oe dengan suara duka. Sehabis berkata begitu, ia
mengangkat pedang untuk membinasakan Omateng.
"Tahan!" mencegah si nona. "Biarkan dia hidup terus untuk sementara
waktu. Mungkin masih ada kegunaannya." Berbareng dengan perkataannya, ia
menekan badan Omateng dengan jerijinya, sehingga mulut si gemuk terbuka
lebar. Hampir berbareng, ia mementil dua butir Pengpok Sintan ke dalam
mulut si gemuk yang lalu menelannya. Mata si gemuk terbalik dan ia
pingsan seketika itu juga.
Yoe Peng tersenyum. "Kecuali Kongtjoe dan aku sendiri, di dalam
dunia tiada orang yang bisa menyadarkannya," katanya.
"Sekarang kita boleh pergi dengan hati tenang."
Dengan menggunakan ilmu entengkan badan, mereka mendaki gunung dan
menuju ke bentengan Touwsoe. Mereka mengambil jalanan mutar dan naik dari
bagian belakang gunung yang dijaga oleh sejumlah kecil serdadu. Berkat
kegesitan mereka, dengan tidak banyak susah, mereka bisa masuk ke dalam
bentengan.
Sesudah menyelidiki beberapa lama, mereka menghampiri sebuah kamar
yang terang dan dari kain jendela, mereka melihat bayangan dua wanita.
"Mari kita lihat," berbisik Yoe Peng.
"Guna apa?" Thian Oe bersangsi.
"Siapa dia?" Yoe Peng menanya.
"Puteri Touwsoe, Sanpiie," jawabnya.
Si nona tertawa. "Kau takut?" ia menggoda. "Jangan takut. Ada aku
yang melindungi." Sambil berkata begitu, ia menarik tangan Thian Oe dan
mereka lalu bersembunyi di bawah jendela.
Yang berada dalam kamar itu adalah Sanpiie bersama ibunya.
Sesaat kemudian, terdengar helaan napas nyonya Touwsoe. "Hai!"
katanya. "Tak nyana, urusan jadi begini. Aku kuatir peninggalan ayahmu
semua akan jatuh kedalam tangan Omateng!"
"Semenjak dulu aku tak senang dengan orang itu," kata Sanpiie.
"Ibulah yang selalu mendengar segala omongannya."
"Bagaimana aku bisa membaca hatinya yang jahat?" sang ibu sungkan
menerima salah. "Dia selalu mengatakan, bahwa dia ingin membalas sakit
hati ayahmu. Bagaimana aku bisa mencegahnya?"
"Masih untung Thian Oe tak jatuh ke dalam tangannya," kata
puterinya.
"Anak," kata nyonya Touwsoe dengan suara menyesal. "Apa kau tak
bisa melupakan Thian Oe?"
Jantung Thian Oe memukul keras.
Sanpiie tak menjawab pertanyaan ibunya, ia hanya tertawa.
Nyonya Touwsoe kembali menghela napas seraya berkata: "Sesudah
keadaan menjadi begini, apa kita masih ada muka untuk membicarakan soal
pernikahanmu dengan keluarga Tan?"
"Ada jalan," Sanpiie mendadak berkata. "Kita membekuk Omateng dan
menyerahkannya kepada Soanwiesoe untuk diadili."
Nyonya Touwsoe terkejut, buru-buru ia menekap mulut puterinya.
"Anak, apa kau gila!" ia berbisik "Tak boleh kau mengeluarkan perkataan
itu lagi. Kekuasaan tentara sekarang berada dalam tangannya dan jika mau,
ia bisa mengambil jiwa kita dengan mudah sekali!"
"Hm!" menggerendeng Sanpiie. "Menurut penglihatanku, ia bukan hanya
ingin merampas kekuasaan Touwsoe. Ia malahan kepingin menjadi raja di
Tibet."
"Benar," kata sang ibu. "Sekarang aku baru tahu. Sebelum ayahmu
meninggal dunia, ia sudah memerintahkan orang pergi ke Kalimpong untuk
meminta bantuan tentara."
"Ibu," kata Sanpiie. "Kita tak boleh main takut saja. Kita harus
berusaha untuk menghadapinya. Kenapa ibu tak mau coba berunding dengan
utusan Budha Hidup Dalai dan Panchen?"
Nyonya Touwsoe menggelengkan kepala. "Aku tak berani mendekati
mereka," ia berbisik. "Jiwa mereka sendiri mungkin sukar dilindungi
lagi!"
Sanpiie terperanjat. "Apa?" ia menegasi. "Apa Omateng bernyali
begitu besar?"
Sang ibu tak menjawab, ia mengawasi tembok kamar dengan mata
mendelong.
"Ibu, apa yang sedang dipikir olehmu?" tanya puterinya.
Mendadak nyonya Touwsoe bangun berdiri dan menghampiri jendela yang
lalu dipentang. Untung juga Thian Oe dan Yoe
Peng yang buru-buru berjongkok di bawah jendela tak dilihat
olehnya. "Anak," katanya dengan suara perlahan. "Aku justru ingin
berdamai dengan kau."
Sanpiie mendekati. "Bicaralah," katanya.
"Memang benar Omateng ingin membunuh utusan Budha hidup Panchen,"
ia berbisik.
Paras muka Sanpiie berubah pucat. "Bagaimana ibu tahu?" tanyanya.
"Sebagaimana kau tahu, utusan Budha Hidup terluka dengan golok
terbang, tapi luka itu tidak membahayakan jiwanya," menerangkan sang ibu.
"Urusan ini adalah urusan besar dan Omateng ingin menggunakannya untuk
kepentingannya sendiri. Dia ingin menggunakan utusan kedua Budha Hidup
supaya mereka mengirim laporan yang menumplek semua kesalahan atas pundak
Hoat-ong Sekte Topi Putih dan yang meminta agar agama Topi Putih diusir
lagi dari wilayah Tibet."
"Hal ini memang sudah didengar olehku," kata Sanpiie.
"Untung juga, kedua wakil itu tidak kena dijebak dengan begitu
saja," kata pula sang ibu. "Mereka hanya melaporkan kejadian yang
sebenarnya, tidak menambah dan tidak mengurangkan apapun juga. Mereka
tidak menyarankan supaya Budha Hidup Dalai dan Panchen bertindak untuk
mengusir Hoat-ong. Tapi Omateng tak mau mengerti, setiap hari dia terus
mendesak. Utusan Budha Hidup Panchen ingin sekali menemui Hoat-ong untuk
menyelidiki keadaan yang sebenar-benarnya, tapi Omateng tentu saja
sungkan mempermisikannya. Diam-diam dia memerintahkan tabib untuk memberi
obat beracun kepada utusan Budha Hidup Panchen sehingga, sebaliknya
daripada sembuh, lukanya jadi semakin berat. Dengan memberi alasan tak
boleh menemui tamu, dia memutuskan perhubungan kedua utusan itu dengan
dunia luar. Sementara itu, saban hari dia terus mendesak utusan Budha
Hidup Panchen untuk menulis surat yang diinginkan olehnya, sehingga
utusan tersebut jadi semakin bercuriga dan menolak dengan getas. Dia jadi
nekat dan memerintahkan supaya tabib memberi racun yang membinasakan dan
memberi batas tempo, bahwa tengah malam ini, jiwa utusan itu sudah mesti
melayang. Semua orang mengetahui, bahwa utusan Budha Hidup telah mendapat
luka karena golok si pembunuh. Maka itu, dengan mudah dia bisa
mengatakan, bahwa utusan itu binasa karena lukanya. Dia sudah menghitung
pasti, bahwa tiada orang yang akan mencurigainya. Sesudah utusan itu
binasa, dia akan coba 'membakar' Budha Hidup Panchen untuk mencapai
maksudnya yang keji."
Mendengar penuturan itu, Sanpiie terbang semangatnya. Untuk
beberapa saat, ia mengawasi ibunya dengan mulut ternganga. Walaupun
mengetahui, bahwa si gemuk sangat jahat, ia tidak menduga Omateng bisa
mengambil tindakan yang begitu kejam. "Ibu," katanya beberapa saat
kemudian. "Jika utusan itu binasa di Sakya, mungkin semua orang dalam
kota ini tidak akan terluput dari hukuman."
"Benar, dan itulah sebabnya, tabib tersebut tidak berani segera
menuruti kemauan Omateng," kata sang ibu. "Tapi ia juga jeri, jika
membangkang. Lantaran begitu, diam-diam ia memberitahukan hal ini
kepadaku dan memohon pertolongan. Tapi, apakah yang bisa dilakukan
olehku? Jiwa kita sendiri berada dalam tangan Omateng."
"Jalan satu-satunya melawan mati-matian," kata sang puteri.
"Dengan apa melawannya?" tanya nyonya Touwsoe dengan suara getir.
"Keadaan kita adalah seperti telur diadu dengan batu!"
"Ibu! Apa kita mau menyerahkan jiwa dengan mentah-mentah saja!"
kata Sanpiie dengan kegusaran meluap-luap.
Sang ibu tidak menjawab, ia menatap wajah puterinya dengan paras
sangat berduka.
Sekonyong-konyong dari jendela melompat masuk dua bayangan hitam.
Sanpiie meloncat sambil menghunus golok.
"Aku!" kata suara yang sudah tak asing lagi.
Si nona mengawasi dengan mata membelalak, la hampir tak percaya
matanya sendiri, karena yang berdiri di hadapannya bukan lain daripada
Tan Thian Oe. Ia ingin melompat untuk memeluk orang yang dicintainya itu,
tapi lantas saja ia mundur setindak dengan hati berdebar-debar, karena
orang yang berdiri di belakang Thian Oe adalah seorang wanita cantik.
"Sanpiie, katakanlah: Kau percaya aku atau tidak?" tanya Thian Oe
dengan suara halus.
Sedari berkenalan, belum pernah Thian Oe menggunakan kata-kata yang
begitu halus terhadapnya. Sanpiie girang bukan main dan ia manggut-
manggutkan kepalanya. "Omateng sudah dirobohkan olehku," kata Thian Oe.
"Kalian tak usah takut."
Perkataan itu seakan-akan sebuah perahu untuk orang yang hampir
kelelap. Kegirangan nyonya Touwsoe dan puterinya meluap-luap.
"Ingatlah pesananku," kata pula Thian Oe. "Kalian jangan
menghalang-halangi si tabib. Biarkan dia memberi racun kepada utusan
Budha Hidup."
"Apa arti perkataanmu?" tanya Sanpiie dengan suara kaget.
"Waktu sangat mendesak, sebentar saja aku memberitahukan sebabnya,"
jawabnya. "Dimana tempatnya wakil Budha Hidup Panchen?"
Sebagai seorang tua yang banyak pengalaman, nyonya Touwsoe lantas
saja mengerti maksud Thian Oe. "Benar, kau harus bertindak cepat,"
katanya. "Ia berada di atas pagoda, di sebelah barat bentengan ini, di
tingkatan kedua."
Tanpa menunggu lagi, Thian Oe menarik tangan Yoe Peng dan mereka
lantas saja melompat dengan menggunakan ilmu entengkan badan. Jantung
Sanpiie memukul keras, tanpa merasa ia turut melompat, tapi begitu tiba
di depan jendela, ia menghentikan tindakannya. "Ibu, apa yang mau
dilakukan mereka?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Mereka ingin membuka rahasia Omateng kepada utusan Budha Hidup,"
jawabnya. "Tabib akan segera datang kembali. Lebih baik kau balik ke
kamarmu"
***
Sementara itu, sesudah mendapat petunjuk, dengan tak banyak sukar
Thian Oe dan Yoe Peng sudah mendapatkan pagoda itu, yang ternyata
bertingkat tiga. Dengan sekali mengenjot badan, kaki Thian Oe hinggap di
tingkatan kedua, tapi Yoe Peng yang ilmunya belum setinggi kawannya,
harus melompat dua kali sebelum mencapai tingkatan itu. Sesaat itu,
beberapa serdadu penjaga melongok keluar, tapi sebelum bersuara, mereka
sudah roboh karena ditimpuk dengan Pengpok Sintan.
Dengan cepat mereka masuk ke dalam kamar yang diterangi lampu
minyak. Ternyata, utusan Panchen Lama sedang meringkuk di atas dipan,
sambil mengeluarkan rintihan perlahan. Melihat masuknya dua tetamu yang
tidak diundang, bukan main kagetnya utusan itu sehingga sambil menahan
sakit, ia bangun duduk.
"Atas titah Budha Hidup kami sengaja datang kemari untuk
menyambangi kau," kata Yoe Peng, yang lalu mendekati sambil
memperlihatkan Lenghoe (Jimat) yang tergantung di dadanya.
Waktu Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng ke Lhasa, Peng Go telah
menemui Dalai Lama sebagai seorang Liehoehoat (Pelindung agama wanita).
Lenghoe yang berada di dada Yoe Peng adalah hadiah Budha Hidup itu.
Walaupun sudah melihat Lenghoe itu, utusan Panchen masih bersangsi.
"Bagaimana Budha Hidup Dalai bisa mengetahui bahwa aku sedang menghadapi
bencana?" tanyanya di dalam hati.
Yoe Peng lalu mendekati lampu dan membesarkan sumbu. Ia memeriksa
luka utusan itu yang ternyata sudah bernanah dan bengkak merah. "Sungguh
jahat hati Omateng," pikirnya sambil mengeluarkan sebutir pil yang lalu
dihancurkan di dalam air teh. Sesudah melaburkan obat itu di atas luka,
ia merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Dengan berkah Sang Budha,
lukamu akan segera sembuh." Obat dari istana es tak bisa dibandingkan
dengan obat-obatan biasa. Begitu kena, rasa sakit mendadak menghilang dan
luka yang barusan dirasakan panas berubah adem.
Sekarang utusan Panchen tidak bersangsi lagi. Sambil merangkap
kedua tangan, ia menanya: "Siapa kalian? Apakah kedatangan kalian tidak
diketahui orang?"
"Kami sengaja datang untuk menolong kau," jawab Yoe Peng. "Omateng
sudah dirobohkan dan orang-orangnya belum tahu kejadian itu. Sebentar,
jika ada orang membawa obat kau jangan minum obat itu." Sehabis berkata
begitu, ia menarik tangan Thian Oe dan lalu menyembunyikan diri di
belakang patung Budha.
Utusan Panchen jadi bingung, karena ia tak mengerti apa maksud
perkataan itu. Ia lalu merangkap kedua tangan, meramkan mata dan membaca
doa dengan suara perlahan.
Beberapa saat kemudian, satu orang masuk ke dalam.
"Kenapa tabib tidak datang sendiri?" tanya utusan Panchen.
Orang yang datang adalah pembantu sang tabib. Ternyata, karena
ketakutan, tabib itu tidak berani datang sendiri dan telah memerintahkan
seorang pembantunya untuk membawa obat.
Pembantu itu yang tak menduga, bahwa obat yang dibawanya adalah
racun, segera menjawab dengan sikap hormat: "Tabib kebetulan mempunyai
urusan penting dan sudah memerintahkan aku untuk membawa obat..."
Belum habis perkataannya, Yoe Peng sudah melompat keluar dan
mencengkeram tangannya. "Aduh!" teriaknya dan mangkok obat direbut si
nona. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Yoe Peng lalu menuang racun itu ke
dalam mulutnya. Hampir berbareng, mukanya berubah pucat dan dari pucat
menjadi hitam dan jiwanya melayang.
Utusan Panchen kaget bukan main. "Omateng benar-benar jahat!"
katanya dengan suara bergemetar. Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata
kepada Yoe Peng. "Sekarang aku mengerti. Tapi, dengan adanya kejadian
ini, kedoknya terlocot dan dia tentu akan menjadi gusar. Bagaimana kita
bisa meloloskan diri dari bentengan ini yang terjaga kuat?"
"Jangan kuatir," menghibur Thian Oe. "Kami akan melindungi kau."
Baru saja ia mengeluarkan perkataan itu, di luar sudah terdengar suara
orang.
Sambil menghunus pedang Thian Oe membuka pintu dan melongok keluar.
Ia melihat lima enam orang sedang mendatangi, yang paling dulu adalah si
pendeta berkelana dan Teruchi sedang yang paling belakang adalah dua
boesoe yang menggotong Omateng. Di antara mereka terdapat dua orang
kepercayaan Nyepa itu. Mereka sebenarnya ingin mencari Pengtjoan
Thianlie, tapi yang diketemukan adalah tubuh Omateng yang dingin seperti
es. Si pendeta yang berpengalaman lantas saja menduga, bahwa di bentengan
mesti terjadi kejadian luar biasa, maka buru-buru ia mengajak kawan-
kawannya pulang.
Melihat Pengtjoan Thianlie tidak berada disitu, hati si pendeta
menjadi lega. "Bocah!" bentaknya. "Kau orang berani datang untuk merampas
utusan Budha Hidup? Nyalimu sungguh tak kecil!"
Thian Oe mengeluarkan suara di hidung. "Jangan banyak bacot!' ia
lantas membentak. "Lekas serahkan Omateng untuk dihukum!"
Orang kepercayaan Omateng jadi sangat gusar. "Binatang!" satu
antaranya berteriak. "Ilmu siluman apakah yang digunakan olehmu untuk
mencelakakan Nyepa? Jika kau tak mengembalikan kesehatannya, aku akan
cabut jiwa anjingmu!" Sambil mencaci, mereka menerjang, yang satu
menggunakan golok, sedang yang lain menggunakan kampak.
"Peng-moay, kau lindungi utusan Budha Hidup," kata Thian Oe sambil
menangkis serangan musuh. Dalam sekejap mereka sudah bertempur seru.
Sementara itu, si pendeta tertawa dingin dan menjaga di luar sambil
mencekal kedua senjatanya. Thian Oe tak takut kedua musuhnya itu, tapi ia
merasa jeri terhadap si pendeta. Ia yakin, bahwa meskipun ia mengerubuti
bersama Yoe Peng, mereka berdua masih belum tentu bisa melawannya.
Semakin lama ia jadi semakin bingung, karena tiada jalan untuk meloloskan
diri. Melihat pemuda itu tak berani menerjang keluar, si pendeta jadi
lebih girang dan sambil tertawa nyaring, ia merangsek.
***
Sementara itu, Hoat-ong dan Kim Sie Ie yang sedang mengadu tenaga
mati-matian, sudah mencapai pada detik yang memutuskan. Mendadak, Hoat-
ong menghantam sekeras-kerasnya dan berbareng Kim Sie le menyemburkan
jarum beracun! Pada detik yang sangat genting itu, sekonyong-konyong
terdengar bentakan nyaring dan merdu! Kim Sie Ie terkejut sehingga
jarumnya mencong dan dikebut terpental dengan tangan baju Hoat-ong. Di
lain pihak, karena kagetnya sebab bentakan itu, tenaga pukulan Hoat-ong
pun berkurang banyak, sehingga, biarpun terpukul jatuh, Kim Sie Ie tak
sampai mendapat luka di dalam badan. Sesudah bergulingan, ia melompat
bangun kembali.
Semenjak meninggalkan pulau Tjoato, inilah untuk pertama kali Kim
Sie Ie bertempur dengan menggunakan seantero tenaganya. Tadi, karena
sedang memusatkan seluruh semangat dan perhatian kepada pertempuran itu,
ia tak tahu kedatangan Pengtjoan Thianlie. Sekarang begitu melompat
bangun, ia melihat Peng Go yang berdiri sambil tersenyum. Dalam kagetnya,
ia mengeluarkan teriakan "Aya!" dan mengawaskan dengan mulut ternganga.
Tiba-tiba ia merasakan hawa sangat dingin menyambar masuk ke dalam
tubuhnya Ternyata, selagi ia ternganga, si nona telah mementil dua butir
Pengpok Sintan ke dalam mulutnya!
Barusan, karena ditindih tenaga Hoat-ong, Kim Sie Ie merasa panas
dan haus luar biasa. Maka itu, Pengpok Sintan seolah-olah air sejuk bagi
seorang pelancong di tengah padang pasir dan mendadak saja, badannya
menjadi adem dan rasa hausnya hilang. Sebagai seorang yang memiliki
kepandaian tinggi, ia segera mengerti, bahwa si nona sudah menolong
dirinya dengan menggunakan "racun untuk melawan racun". Tanpa pertolongan
itu, meskipun tak sampai menjadi binasa, sedikitnya ia bakal mendapat
sakit berat.
Untuk sejenak, ia berdiri dengan kepala pusing dan pikiran kalut.
Kedatangannya kepada Hoat-ong adalah untuk melampiaskan rasa
mendongkolnya terhadap Tong Keng Thian. Diluar dugaan, hampir-hampir ia
binasa dan kekalahannya yang menyedihkan telah disaksikan oleh Pengtjoan
Thianlie. Bukan saja disaksikan, malahan ditolong oleh si nona. Baginya,
soal mati atau hidup adalah soal remeh. Yang dipandang penting adalah
soal kehormatan, menurut tafsirannya sendiri. Maka itu, pada detik itu,
ia merasa sangat jengah dan penasaran.
Koei Peng Go tentu saja tak dapat menebak jalan pikiran pemuda yang
aneh itu. Perlahan-lahan ia mendekati dan menanya sambil bersenyum: "Apa
kau tidak mendapat luka? Hm! Apa kau telah bertemu dengan Tong Keng
Thian? Mari kita berangkat dan jika bertemu, kita boleh minta beberapa
butir Pekleng tan. Menurut katanya Lu Soe Nio, latihan lweekang-mu kurang
tepat dan hanya Pekleng tan yang dapat menolong kesehatanmu." Si nona
bicara dengan suara lemah-lembut, tapi bagi Kim Sie Ie, setiap perkataan
seperti juga jarum yang menusuk perasaannya. Sekonyong-konyong, sambil
berteriak keras, ia kabur. Pengtjoan Thianlie mengubar, tapi ia sudah
berada di atas genteng dan sebelum mabur lebih jauh, ia melirik si nona
dengan sorot mata dingin dan mendongkol.
Dengan hati berat, Peng Go kembali kepada Hoat-ong dan berkata
seraya menggelengkan kepala: "Ah! Benar-benar sukar diurus!"
"Benar-benar sukar diurus!" mengulangi Hoat-ong yang kemudian,
sambil merangkap kedua tangannya, menanya: "Apakah pemuda itu dikenal
oleh Liehoehoat?"
"Dia adalah seorang sahabat yang aku pernah bertemu beberapa kali,"
jawabnya. "Bahwa dia telah berlaku kurang ajar terhadap Budha Hidup,
hatiku sungguh merasa tidak enak."
Hoat-ong tersenyum. "Sedang usianya masih begitu muda,
kepandaiannya sudah begitu tinggi," katanya. "Dapat dikatakan, bahwa
dalam dunia ini tidak berapa orang yang dapat direndengkan dengannya.
Jika Liehoehoat tidak keburu datang, mungkin sekali aku dan dia akan
binasa bersama-sama."
Pengtjoan Thianlie melirik ke jurusan yang diawaskan Hoat-ong.
Ternyata, Budha Hidup itu tengah mengawaskan jarum Kim Sie le yang
menancap di batu marmer dan yang di seputarnya berwarna hitam!
Waktu masih berada di Tjenghay (Kokonor), Peng Go pernah menjadi
tamu Hoat-ong. Maka itu, pertemuan yang kedua kali ini sangat
menggirangkan kedua belah pihak. Hoat-ong segera mengundang tamunya duduk
minum teh. Sambil minum dan omong-omong, mata si nona terus mengincar
sebuah lukisan di tembok.
"Liehoehoat, apa kau merasa ketarik dengan lukisan itu?" tanya
Hoat-ong.
Si nona mengangguk dan lalu bangun berdiri, akan kemudian perlahan-
lahan mendekati lukisan tersebut. Mendadak, pada paras mukanya terlihat
perasaan heran.
"Lukisan itu adalah lukisan 'Phaspa mengunjungi Kublai di
Mongolia'," menerangkan Hoat-ong. "Baik lukisan wanitanya, maupun
binatang-binatangnya, semua kelihatan hidup sekali. Pemandangan di gurun
utara juga dilukiskan secara indah sekali." Selagi memberi penjelasan,
sambil menunjuk-nunjuk lukisan itu, tiba-tiba Hoat-ong mengeluarkan
seruan tertahan dan matanya mengincar muka gambar wanita itu yang
ternyata sangat mirip dengan muka si nona.
"Apakah pelukisnya masih berada disini?" tanya Peng Go.
"Para pelukis datang dari Lhasa dan mereka datang kemari atas
undangan Touwsoe almarhum," jawabnya. "Dalam kuil ini masih ada beberapa
gambar yang belum selesai dan pelukis-pelukis masih belum dibubarkan. Aku
akan memerintahkan orang untuk menyelidiki." Ia memanggil seorang
muridnya yang lalu diperintah memanggil pelukis yang melukis gambar di
tembok itu.
Dalam omong-omong, si nona menceritakan apa yang sudah dilakukannya
di Lhasa. Ia menuturkan, bahwa dalam pertemuannya dengan Dalai Lama,
Budha Hidup itu sudah mengerti akan kejahatan Omateng dan menyetujui,
bahwa Hoat-ong Agama Topi Putih memegang kekuasaan tertinggi yang tak
boleh diganggu-gugat di seluruh wilayah Sakya. Ia juga memberitahukan,
bahwa Hok Kong An telah berjanji untuk mengirim tentara guna mencegat
pasukan dari Kalimpong.
Hoat-ong jadi girang sekali dan berkata dengan suara berterima
kasih: "Aku merasa sangat berhutang budi kepada Liehoehoat yang sudah
membebaskan Tibet dari bencana yang sangat besar."
"Itu semua bukan karena pahalaku," si nona merendahkan diri. "Hal
itu sudah terjadi karena beberapa Budha Hidup mempunyai pandangan yang
jauh dan hati yang welas asih, serta tidak menghendaki pecahnya
peperangan yang merupakan bencana bagi umat manusia. Sekarang ini,
tentara Omateng sedang berhadapan dengan tentara Lochu. Aku berpendapat,
secepat mungkin kita harus membereskan soal ini."
Hoat-ong manggutkan kepala dan berkata: "Siang-siang aku sudah
tahu, bahwa Omateng bukan manusia baik. Jika sebegitu jauh aku belum
bertindak, adalah karena memandang Agama Topi Kuning. Sebagai tamu, tak
pantas aku menentang tuan rumah. Tapi sekarang, sesudah Budha Hidup,
Dalai menyerahkan semua kekuasaan kepadaku, biarpun Omateng mempunyai
kepandaian yang lebih tinggi lagi, dia tak akan terlolos dari tanganku."
Sehabis berkata begitu, ia segera memerintahkan muridnya untuk bersiap,
karena malam itu juga ia ingin pergi ke bentengan Touwsoe untuk
membereskan kekacauan.
Sebelum berangkat, seorang murid melaporkan, bahwa pelukis yang
dicari sudah diketemukan dan bahwa ia itu adalah orang dari Nepal.
"Siapa namanya?" tanya Peng Go.
"Dia baru mau memberitahukan, sesudah bertemu Liehoehoat,"
jawabnya.
"Bagaimana dia tahu, aku berada disini?" tanya pula Peng Go dengan
saura heran. "Apa kau yang memberitahukannya?"
"Tidak," jawab murid itu. "Begitu bertemu, ia mengatakan, bahwa
yang mencari padanya tak bisa lain daripada Peng Go Siauwkongtjoe."
"Undanglah ia masuk," kata si nona dengan tak sabaran.
Sesaat kemudian, seorang tua yang rambutnya putih dan yang matanya
terus mengincar Pengtjoan Thianlie, berjalan masuk. Begitu berhadapan, ia
segera berkata dalam bahasa Nepal: "Aha! Sungguh mirip dengan Hoa Giok
Kongtjoe!"
"Siapa kau?" tanya si nona. "Kenapa kau tahu nama ibuku?"
"Budakmu bernama Ngotu," ia memperkenalkan diri. "Pada tiga puluh
tahun berselang, aku pernah bekerja di bawah Hoema dan Kongtjoe."
Peng Go mengeluarkan seruan tertahan sambil bangun berdiri. "Kalau
begitu, kau adalah Ngotu Kongkong," katanya. "Sungguh tak nyana, kita
masih bisa bertemu di tempat ini." Sambil berkata begitu, ia membungkuk
dan memberi hormat kepada orang tua itu.
Murid-murid Hoat-ong kaget. Mereka tak nyana, pelukis miskin itu
bisa mendapat kehormatan yang begitu tinggi dari seorang tamu Budha Hidup
dan seorang Liehoehoat, seorang Pelindung Agama, yang mempunyai Pweeyap
Lenghoe.
Buru-buru Hoat-ong memerintahkan muridnya mengambil kursi untuk
Ngotu. "Aku tak duga, kalian adalah sahabat lama," katanya.
"Bukan, bukan begitu," menerangkan si nona. "dengan Ngotu Kongkong
aku baru pernah bertemu muka. Tapi aku mengetahui, bahwa ia adalah guru
melukis dari mendiang ibuku. Dulu, ibuku sering mengatakan, bahwa Ngotu
Kongkong adalah pelukis nomor satu di seluruh Nepal dan di dalam istana
es aku masih menyimpan beberapa rupa buah tangannya."
Hoat-ong merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Pertemuan luar
biasa di negara asing sungguh merupakan merupakan jodoh yang luar biasa
pula."
"Kongkong," kata si nona. "Dalam usia yang sudah begitu lanjut,
kenapa kau tak mau berdiam saja di dalam istana? Perlu apa Kongkong
merantau ke negeri orang?"
Si tua mengurut-urut jenggotnya dan berkata dengan suara perlahan:
"Aku berdiam disini justru untuk menunggu kau. Semula, aku tak tahu,
berapa lama aku harus menunggu. Tapi atas belas kasihan Sang Budha, hari
ini kita bisa bertemu dan aku percaya Nepal masih dapat ditolong."
"Ada apa? Kenapa Kongkong mengatakan begitu?" tanya Peng Go.
"Raja Nepal yang dulu adalah saudara misan ibumu," kata Ngotu. "Dia
seorang kejam dan serakah, sehingga di dalam negeri ia tidak disuka
rakyat,di luar negeri ia bermusuhan dengan negara-negara tetangga. Apakah
kau tahu hal itu?"
"Aku pernah mendengarnya dari ibu," jawab si nona. "Ibu pernah
meminta pertolongan orang untuk membujuknya. Dan jika tak salah, karena
kejamnya paman, maka ibu telah bersumpah untuk tidak kembali lagi ke
Nepal. Tapi kenapa Kongkong mengatakan raja yang dulu?"
Ngotu mengirup teh dan kemudian, sesudah menghela napas panjang, ia
berkata: "Dua tahun berselang, yaitu dalam tahun terjadinya perebutan
guci emas, ia mendapat luka waktu bertempur dengan sebuah negara
tetangga. Luka itu, luka kena anak panah, ternyata tak bisa disembuhkan,
sehingga tak lama kemudian ia meninggal dunia. Putera mahkota yang
menggantikan kedudukannya sebagai raja, lebih kejam daripada ayahnya.
Penderitaan rakyat menghebat dan secara wajar, orang-orang yang lebih tua
mengingat Hoa Giok Kongtjoe, Mereka mengatakan, bahwa tahta kerajaan
sebenarnya harus diduduki oleh ibumu dan jika dulu ibumu menggantikan
kedudukan ayahnya, keadaan di Nepal tentu tidak jadi begitu kacau. Semua
orang mengharap, supaya Hoema dan Kongtjoe bisa kembali ke negeri sendiri
untuk menolong Nepal dari kemusnahan."
"Ibuku sudah meninggal belasan tahun lamanya," kata si nona dengan
suara duka.
"Hal ini sudah didengar olehku, tapi belum diketahui rakyat," kata
Ngotu.
"Bagaimana kau tahu, ibuku sudah meninggal dunia?" tanya Peng Go.
"Raja yang dulu pernah memerintahkan Koksoe (Guru negara) pergi ke
Tibet untuk menyelidiki Hoa Giok Kongtjoe," jawabnya. "Menurut
pendengaranku, dia pernah bertemu muka dengan kau."
Pengtjoan Thianlie mengangguk. "Benar," katanya. "Pendeta jubah
merah itu dua kali menyateroni istana es, tapi dipukul mundur olehku.
Belakangan, ia binasa waktu terjadi perebutan guci emas."
"Biarpun dia sudah mati, tapi dalam laporannya kepada raja, dia
sudah menanam bibit bencana," kata Ngotu.
"Apa yang dikatakannya kepada raja?" tanya si nona dengan perasaan
heran.
"Dia mengatakan telah bertemu dengan seorang dewi yang
kecantikannya tiada bandingan dalam dunia ini," jawabnya. "Dewi itu
adalah kau sendiri. Dia juga melaporkan, bahwa kau memiliki ilmu silat
yang sangat tinggi, malahan setiap dayangmu pun mempunyai kepandaian
lumayan. Jika kau suka membantu raja, Nepal tentu bisa menjagoi, tapi
menurut pendapatnya, kau tak akan sudi kembali ke negara sendiri.
Selanjutnya dia berpendapat, bahwa karena tidak setia kepada raja,
kau bisa merupakan bibit penyakit jika dibiarkan hidup terus. Maka itu,
dia mengusulkan, supaya raja mengumpulkan orang-orang pandai untuk
mengambil jiwamu."
Si nona tertawa dingin. "Aku tak takut," katanya.
"Tapi Raja yang dulu tidak mengambil tindakan apa-apa, karena ia
tengah menghadapi banyak urusan di dalam negeri dan bermusuhan dengan
beberapa negara tetangga," kata Ngotu.
"Tapi bahaya apa yang barusan disebutkan olehmu?" tanya si nona.
"Pada waktu Koksoe memberi laporan, Thaytjoe (putera mahkota) juga
berada disitu," menerangkan si tua. "Sebagai pelukis istana, aku pun
kebetulan berada dalam ruangan itu. Sesudah Thaytjoe menjadi raja dua
tahun lamanya, sampai sekarang ia belum mengambil permaisuri dan sebabnya
adalah karena ia ingin menunggu kau."
"Binatang!" menggerendeng si nona dengan suara gusar. "Dia jangan
mimpi."
"Dia membuat persiapan dengan sungguh hati," si tua melanjutkan
keterangannya. "Selama dua tahun, dia telah mengumpulkan banyak sekali
jago-jago dari negara-negara Arab dan Eropa dan telah melatih satu
pasukan untuk mendaki gunung. Sesudah persiapannya selesai, dia akan
segera datang ke Tibet untuk menyambut kau."
"Biarpun dia mengirim puluhan laksa tentara, aku tak akan
menunduk," kata si nona dengan suara mendongkol.
"Tapi dia mempunyai perhitungan lain," kata Ngotu. "Dia menganggap,
bahwa dengan ancaman perang, dia akan bisa menekan Hok Kong An dan Raja
Tibet yang tentu tak sudi berperang karena kau seorang. Maka itu,
andaikata kau tak suka mengikut, kau tentu tak akan bisa berdiam lebih
lama lagi di wilayah Tibet."
Paras muka si nona jadi merah padam karena gusar dan jengkel, la
tak menduga, bahwa karena gara-garanya, di Tibet bakal muncul satu
kejadian hebat.
Sesudah berdiam sejenak, Ngotu berkata pula: "Karena pernah
menerima budi ibumu yang sangat besar dan juga sebab mengingat
penderitaan rakyat, maka aku sudah meninggalkan penghidupan mewah dalam
istana dan merantau ke Tibet untuk mencari kau. Sebab sudah berusia
lanjut, aku merasa tak sanggup untuk pergi ke istana es dan hanya
menunggu untuk melihat lain kesempatan. Kebetulan sekali, orang mencari
pelukis untuk kuil Lhama yang baru didirikan dan aku segera melamar
pekerjaan itu.
Aku ingat, bahwa ibumu adalah seorang yang memuja Budha, sehingga
mungkin sekali kau pun akan datang berkunjung kesini. Memikir begitu, aku
lalu melukis gambar itu dan benar saja, atas berkah Sang Budha, sekarang
kita bisa bertemu muka."
"Terima kasih untuk segala capai lelahmu," kata si nona sambil
membungkuk.
"Aku datang kemari dengan membawa pengharapan rakyat dan
pengharapanku sendiri," kata pula Ngotu. "Aku memohon supaya kau suka
mempertimbangkannya. Pengharapan itu adalah, jika kau menganggap bahwa
kau mampu membinasakan raja kejam itu, pulanglah dan merebut kekuasaan
dari tangannya. Tapi, andaikata kau tak bisa membunuh dia dengan tangan
sendiri, begitu kau pulang dan memanggil rakyat, rakyat pasti akan
bangkit untuk membunuh raja kejam itu dan mengangkat kau sebagai raja.
Tahta kerajaan memang adalah hak ibumu, sehingga kalau kau menduduki
tahta, hal itu tidak lebih daripada pantas."
Si nona bersenyum seraya berkata: "Aku sedikitpun tak mempunyai
minat untuk menjadi raja. Jika Puncak Es tidak roboh, aku tentu tidak
berada disini. Sebenarnya aku sudah berkeputusan pasti untuk hidup
mengasingkan diri di istana es selama-lamanya."
"Jika kau tidak ingin menjadi raja, lebih baik kau segera
menyingkir secepat mungkin," kata Ngotu. "Aku kuatir, dalam waktu cepat
dia akan datang kemari dengan tentaranya."
"Bagaimana Kongkong tahu?" tanya Peng Go.
"Omateng telah mengundangnya untuk mengirim tentara dan dia pasti
tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu," jawabnya.
Pengtjoan Thianlie merasa duka sekali. Ia duduk bengong dan tidak
mengeluarkan sepatah kata. Dalam hatinya penuh dengan kesangsian, ia tak
tahu tindakan apa yang harus diambilnya.
Sementara itu, seorang murid Hoat-ong melaporkan, bahwa segala apa
sudah siap sedia untuk keberangkatan raja agama itu ke bentengan Touwsoe.
"Ngotu Kongkong, terima kasih banyak untuk segala kebaikanmu," kata
si nona. "Untuk sementara, kau berdiam saja disini dan sesudah keadaan di
Nepal menjadi beres, barulah kau kembali ke negara sendiri." Si nona
tidak memberitahukan apa yang akan dilakukannya, tapi bagi Ngotu,
perkataan itu sudah merupakan jaminan, bahwa sang puteri tak akan
berpeluk tangan. Maka itu, dengan perasaan syukur, ia lantas mengundurkan
diri. Sesudah itu, Pengtjoan Thianlie segera mengikut rombongan Hoat-ong
berangkat ke bentengan Touwsoe.
***
Sementara itu, keadaan Tan Thian Oe dan Yoe Peng yang terkepung di
dalam pagoda sudah diliputi bahaya. Si pendeta berkelana menyerang
hebat dengan tongkat dan mangkok emasnya, sehingga Thian Oe terpaksa
berkelahi sembari mundur. Yoe Peng yang melindungi utusan Panchen, juga
sudah mulai bertempur dengan Teruchi. Dua boesoe kepercayaan Omateng
lantas saja menerjang si nona dengan tujuan merebut utusan Panchen.
Dikerubuti tiga orang, dalam sekejap Yoe Peng terdesak dan dalam keadaan
berbahaya, buru-buru ia melepaskan dua butir Pengpok Sintan, yang
mengenakan tepat pada jalanan darah kedua boesoe itu. Sambil berteriak-
teriak, mereka melompat keluar dari gelanggang pertempuran dan terus
kabur. Si nona girang dan lalu melepaskan pula sebutir Pengpok Sintan.
Teruuchi yang berkepandaian lebih tinggi cepat-cepat memutar Djoanpian
bagaikan titiran, sehingga, biarpun ia menggigil kedinginan, senjata
rahasia itu kena terpukul jatuh. Dengan beruntun Yoe Peng melepaskan lagi
beberapa Sintan, tapi semuanya dikebas terpental dengan tangan baju si
pendeta.
Sekarang, sedang Yoe Peng bisa bernapas lebih lega, Thian Oe jadi
semakin repot. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, dengan bentakan
"kena!", mangkok si pendeta menyambar ujung pedang Thian Oe. Sebisa-bisa
pemuda itu coba menarik pulang senjatanya, tapi sudah tidak keburu lagi,
sehingga ujung pedang kena ditungkrup mangkok yang lalu diputar dan
pedang Thian Oe pun mengikuti terputar. Dengan mengerahkan seluruh
lweekang, ia coba membetot senjatanya, tapi tak bisa terlepas dari
"isapan" mangkok.
Si pendeta girang bukan main, tapi mendadak ia merasakan ada apa-
apa yang luar biasa di luar pintu. Ia menoleh dan tiba-tiba saja dua
butir benda kecil yang sangat dingin menyambar masuk ke dalam lubang
hidungnya. Hatinya mencelos karena Pengtjoan Thianlie kelihatan berdiri
di ambang pintu sambil mengawaskannya dengan sorot mata dingin.
Si pendeta terbang semangatnya dan sambil mengerahkan lweekang
untuk melawan hawa dingin, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia melompat
ke jendela dan terus kabur terbirit-birit. Si nona tidak mengubar dan
membiarkan pendeta itu mabur. Teruchi juga kaget bukan main, sehingga
gerakan senjatanya agak lambat dan Thian Oe yang sungkan menyia-nyiakan
kesempatan baik, segera melompat dan menangkap ujung Djoanpian. Baru saja
ia mengangkat pedang untuk menabas, Peng Go membentak: "Tahan! Ampuni
padanya, jika ia mau bersumpah untuk tidak mengacau lagi di Tibet."
Teruchi yang masih sayang jiwanya, lantas saja mengucapkan sumpah yang
berat dan kemudian berlalu tanpa diganggu.
Sementara itu, Hoat-ong sudah naik ke atas dan berjumpa dengan
utusan Panchen, yang sudah bisa bergerak leluasa karena ditolong dengan
obat istana es. Dengan perkataan-perkataan halus ia pun menghaturkan
banyak terima kasih untuk semua pertolongan.
Kaki tangan Omateng yang sudah mati kutunya, berdiri di sudut
ruangan tanpa berani bergerak. Mereka ketakutan setengah mati, lebih-
lebih dua boesoe yang menggotong tubuh Nyepa itu.
"Apakah kau orang ingin menebus dosa?" tanya Hoat-ong dengan suara
angker.
Melihat dibukanya jalanan hidup, semua boesoe itu segera manggut-
manggutkan kepala.
"Sebagai orang kepercayaan, kau orang tentu mengetahui, bahwa
Omateng telah bersekutu dengan orang luar untuk menimbulkan kekacauan di
Tibet," kata pula Hoat-ong. "Sekarang aku ingin mendapat bukti dari
persekutuan itu untuk diumumkan kepada dunia, terutama kepada pembesar-
pembesar dan rakyat di Sakya." Sehabis berkata begitu, ia segera
memerintahkan dua orang muridnya untuk menggeledah kamar Omateng dengan
orang-orang kepercayaan itu.
Benar saja dalam kamar itu telah didapatkan sejumlah surat-surat
rahasia, antaranya surat balasan Raja Kalimpong dan Raja Nepal yang
menjanjikan pengiriman tentara. Hoat-ong segera meminta Pengtjoan
Thianlie untuk menyadarkan Nyepa itu, yang meskipun licik, sekarang tidak
bisa menyangkal lagi segala kedosaannya. Sesudah
menegurnya dengan perkataan-perkataan keras, Hoat-ong menotok
beberapa bagian tubuhnya untuk memusnahkan ilmu silatnya. Sesudah itu, ia
menyerahkan Omateng kepada utusan Panchen untuk dibawa ke Lhasa dan
diadili.
Sesudah membereskan keadaan di dalam bentengan, Hoat-ong
memerintahkan beberapa muridnya, dengan membawa tanda kekuasaan Budha
Hidup, pergi mendamaikan kedua pasukan yang sedang berhadapan di luar
bentengan, yaitu pasukan Touwsoe dan pasukan Lochu, pamannya Chena.
Sementara itu, utusan Panchen telah memberi pengampunan kepada si
tabib, yang telah dipaksa Omateng untuk meracuninya. Tak usah dikatakan
lagi, ia jadi kegirangan dan lalu berlutut sambil manggutkan kepala
berulang-ulang. Atas pertanyaan Thian Oe, tabib itu memberitahukan, bahwa
jenazah Chena ditaruh di belakang bentengan bersama peti mati Touwsoe.
Tanpa menunggu lagi, dengan diantar oleh si tabib, bersama Yoe Peng,
Thian Oe segera menuju ke tempat yang ditunjuk.
Ternyata jenazah Chena ditaruh dalam sebuah peti mati kaca, di
samping peti mati Touwsoe. Dengan berbuat begitu, Omateng mempunyai
maksud tertentu, la ingin, supaya semua penghuni dalam bentengan Touwsoe
bisa mengenali, bahwa pembunuh itu adalah "si pencuri kuda" yang pernah
ditolong oleh Tan Teng Kie dan puteranya. Dengan berbuat begitu, ia
bertujuan untuk mengobarkan perasaan gusar terhadap orang Han seumumnya
dan Soanwiesoe khususnya. Tapi, di luar dugaan, tindakan Omateng telah
memungkinkan Thian Oe melihat pula wajah kecintaannya. Karena hawa yang
dingin, maka biarpun sudah lewat sekian lama, jenazah itu masih belum
rusak dan di bawah kaca, paras muka Chena tiada bedanya seperti waktu
masih hidup.
Melihat kecintaannya, untuk sejenak Thian Oe berdiri terpaku.
Kepalanya terputar, ia merasakan seolah-olah langit ambruk. Di lain saat,
dengan satu teriakan menyayatkan hati, ia melompat dan memeluk peti mati
itu!
Semua orang -- Yoe Peng, si tabib, nyonya Touwsoe dan Sanpiie --
mengawaskan dengan mata membelalak. Sesaat itu, segala apa sudah menjadi
terang bagi Sanpiie. Ia sekarang tahu sebab-sebab penolakan pemuda itu
untuk menikah dengannya.
Sesudah hilang kagetnya, nyonya Touwsoe jadi gusar. "Tan Kongtjoe,"
katanya dengan suara mendongkol. "Untuk apa kau masuk ke ruangan ini?
Untuk bersembahyang kepada suamiku atau kepada penjahat perempuan itu?"
"Dia... bukan... penjahat," jawabnya terputus-putus. "Dia adalah
puteri Raja muda Chinpu. Jika kalian tidak senang, biarlah sekarang juga
aku memindahkan peti matinya."
"Aku tak perduli dia siapa!" berteriak nyonya Touwsoe. "Dia adalah
pembunuh suamiku dan biarpun dia sudah mati, dia masih harus membayar
hutangnya!” Mendadak nyonya itu menangis menggerung-gerung dan sesambat:
"Ongya! Ongya! Sungguh buruk nasibmu! Sesudah mati, masih ada orang yang
menghina kau!" Selagi ia mau mencaci, sekonyong-konyong ia ingat
pertolongan Thian Oe yang sudah bantu menyingkirkan Omateng.
Mengingat begitu, ia jadi lebih sabar dan tangisannya mereda
Sekonyong-konyong terdengar tangisan Yoe Peng. "Chena Tjietjie!"
teriaknya. "Jiwamu dijual terlalu murah! Orang lain membunuh sekeluargamu
dan merampas harta bendamu. Tapi, kau dengan hanya membunuh satu musuh,
sudah mesti membayar dengan jiwamu sendiri. Chena Tjietjie! Kematianmu
sungguh tidak berharga!"
Nyonya Touwsoe dan Sanpiie terkejut. Bahwa Touwsoe telah membunuh
Raja muda Chinpu serumah tangga dan kemudian merampas tanah, adalah
kejadian yang diketahui mereka. Maka itu, perkataan Yoe Peng yang tajam
sudah mengejutkan mereka. Sedang Yoe Peng masih mengucurkan air mata,
dengan diantar Hoat-ong dari luar tiba-tiba masuk seorang yang bertubuh
tinggi besar. Orang itu adalah Lochu.
Melihat jenazah keponakannya yang ditaruh berendeng dengan peti
mati Touwsoe, Lochu gusar bukan main. "Binatang!" bentaknya. "Kau berani
berendeng dengan keponakanku?" Ia mengangkat tangan untuk menghantam peti
mati Touwsoe.
Hoat-ong merangkap kedua tangannya seraya berkata dengan suara
sabar: "Sesudah hutang dibayar, permusuhan habis dengan sendirinya. Mulai
dari sekarang, kedua belah pihak harus menyingkirkan segala permusuhan."
Mendengar itu, Lochu mengurungkan niatnya dan dengan sorot mata
gusar ia mengawasi nyonya Touwsoe yang duduk di atas lantai tanpa
mengeluarkan sepatah kata. Melihat kedatangan Lochu, Thian Oe merasa tak
perlu berdiam lebih lama lagi, maka sambil menarik tangan Yoe Peng, ia
segera berjalan keluar dari ruangan sembahyang itu.
***
***
Mendengar kembalinya Kang Lam, Tan Teng Kie yang memang sedang
mengharap-harap dengan tidak sabaran, jadi merasa sangat girang dan
memerintahkan supaya si kacung segera datang menghadap. Ia heran melihat
Kang Lam masuk bersama dua orang wanita. "Taydjin, inilah TjeeTaytay,
sahabat Tong Tayhiap," kata si kacung. "Tak gampang aku mengundang mereka
datang kemari."
Alis Teng Kie berkerut. "Kacungku sangat tidak mengenal adat, aku
harap Djiewie tidak menjadi gusar," katanya sambil memerintahkan seorang
pelayan memanggil Siauw Tjeng Hong dan Thian Oe.
Mendengar tamu yang berkunjung adalah puterinya Tiattjiang Sintan
Yo Tiong Eng, Tjeng Hong dan Thian Oe jadi girang dan mereka lalu
menemani kedua tamu itu, sedang Teng Kie sendiri bicara dengan Kang Lam
mengenai kepergiannya ke kota raja. Yo Lioe Tjeng dan puterinya sekarang
mendapat kepastian, bahwa memang benar Tong Keng Thian telah datang
berkunjung ke rumah Soanwiesoe, hanya sayang ia sudah berangkat ke Lhasa
bersama-sama Pengtjoan Thianlie.
Selagi beromong-omong dengan tamunya, Thian Oe mendadak mendengar
teriakan ayahnya: "Oe-djie, mari sini!"
Ia mendekati dan ternyata sang ayah sedang mencekal sepucuk surat
dengan tangan bergemetaran. Begitu membaca, ia berteriak kegirangan.
Surat itu, yang dikirim oleh Tjioe Giesoe, mengatakan, bahwa ia
sudah mengajukan permohonan kepada kaizar yang sudah meluluskannya.
Dikatakan, bahwa tak lama lagi, bakal datang firman yang memanggil Teng
Kie pulang ke kota raja guna memangku jabatan yang lama.
Sebagai orang yang sudah belasan tahun berada dalam pengasingan,
berita itu menimbulkan rasa girang tercampur terharu dalam hatinya Teng
Kie dan tanpa merasa, air matanya mengucur. Thian Oe pun tidak kurang
girangnya. "Kang Lam," katanya dengan suara berterima kasih. "Ayah dan
aku merasa sangat menanggung budi."
"Kang Lam," menyambung Tan Teng Kie sambil tertawa. "Semula aku tak
menaruh kepercayaan atas dirimu, tapi sekarang ternyata kau bukan seorang
tolol."
"Terima kasih atas pujian Looya dan Kongtjoe," jawab si kacung
kemalu-maluan.
Sesudah melipat dan memasukkan surat itu ke dalam sakunya Tan Teng
Kie berkata pula: "Kang Lam, mulai dari sekarang, kau menggunakan saja
perbasaan kakak dan adik dengan Thian Oe. Aku sekarang membebaskan kau
dari tugas kacung. Jika kau masih suka bekerja dan berdiam disini, aku
dan Thian Oe tentu akan merasa sangat girang. Tapi kau bebas untuk
berhenti dan mendirikan rumah tangga sekali, jika kau menghendakinya.
Kalau kau ingin menikah, aku akan menghadiahkan tiga ratus tail perak."
Kang Lam merasa berterima kasih dan terharu mendengar kebaikan sang
majikan. "Looya dan Kongtjoe, terima kasih banyak-banyak untuk
kebaikanmu," katanya dengan air mata berlinang. "Tapi Kang Lam sungkan
cari berabe. Aku hanya sudah berjanji kepada nyonya itu untuk bantu
mencari Tong Tayhiap. Seorang Koentjoe tak akan melanggar janji. Maka
itu, jika dipermisikan Looya dan Kongtjoe, aku ingin mengantarkan mereka
pergi ke Lhasa. Sesudah menunaikan janji, aku akan kembali untuk melayani
lagi Kongtjoe."
"Oh, begitu?" kata Tan Teng Kie seraya tertawa. "Baiklah, kau boleh
pergi. Jika bertemu dengan Tong Tayhiap, tolong kau
menyampaikan hormatku."
Demikianlah, Kang Lam lalu mengantar Yo Lioe Tjeng dan puterinya
pergi ke Lhasa. Sesudah berdiam di kota itu beberapa hari, mereka masih
belum juga bisa menemui Keng Thian dan tak tahu kemana harus mencarinya.
***
Tong Keng Thian dan Koei Peng Go sudah tiba di Lhasa beberapa hari
lebih dulu dan pada waktu itu, mereka sudah menemui kejadian yang sangat
luar biasa.
Inilah untuk ketiga kalinya mereka mengunjungi Lhasa bersama-sama.
Pada dua kunjungan yang lebih dulu dari itu, biarpun di dalam hati mereka
sudah saling mencinta, tapi di luar, mereka masih bersikap seperti
sahabat biasa. Kali ini adalah lain. Mereka tidak malu-malu lagi dan
berlaku seperti dua tunangan yang saling mencinta.
Tapi, biarpun mereka melewati hari dengan penuh kebahagian, dalam
hati mereka selalu terdapat satu ganjelan, yaitu soalnya Liong Leng
Kiauw, yang sudah di penjarakan setahun lebih dan yang belum diketahui
bagaimana keselamatannya.
Mereka tak mau bertindak sembarangan untuk memberi pertolongan
karena Liong Leng Kiauw adalah ahli waris keluarga Tong. Tong Say Hoa
adalah seorang nenek yang beradat aneh dan sangat tak suka orang luar
campur-campur urusan
keluarganya. Maka itulah, Tong Siauw Lan telah memesan puteranya
supaya jangan bertindak sembarangan dan yang paling perlu adalah pergi ke
Soetjoan barat untuk memberitahukan kejadian itu kepada si nenek. Begitu
menerima warta, Tong Say Hoa gusar bukan main dan jika mungkin, sesaat
itu juga ia hendak menyateroni penjara. Tapi sebagaimana diketahui,
mendadak Kim Sie Ie mengacau di rumah keluarga Tong, sehingga si nenek
dan pemuda itu sama-sama kena senjata rahasia. Biarpun belakangan mereka
saling menukar obat, Keng Thian tak bisa menaksir apa Tong Say Hoa bisa
datang di Lhasa, karena badannya tentu akan menjadi lemah akibat jarum
Kim Sie Ie.
Maka itu, sesudah berdamai, mereka mengambil keputusan untuk
menemui Hok Kong An. Mengingat jasa mereka yang sudah bantu melindungi
guci emas dan mengingat bantuan Pengtjoan Thianlie dalam peristiwa Sakya,
mereka merasa pasti pembesar Boan itu akan menerima kunjungannya.
Demikianlah, pada hari ketiga, mereka segera pergi ke gedung Hok
Kong An yang ternyata dijaga sangat keras. Mereka lantas saja
mempersembahkan barang antaran dan meminta supaya petugas yang menjaga
pintu melaporkan kedatangan mereka. Beberapa saat kemudian, mereka
diundang ke kamar tamu dan disuguhkan teh. Duduk belum berapa lama, tirai
pintu tersingkap dan seorang Soeya (semacam sekretaris jaman sekarang)
bertindak masuk. Melihat yang masuk bukan Hok Kong An sendiri, Keng Thian
dan Peng Go merasa sangat kecewa.
"Kesehatan Hok Tayswee terganggu dan beliau tak bisa menerima
tamu," kata si Soeya sambil memberi hormat. "Mendengar kedatangan
Djiewie, beliau memerintahkan aku untuk menyambut. Apakah aku bisa
mendapat tahu maksud kedatangan kalian?"
"Aku mempunyai seorang sahabat yang katanya bekerja di bawah
perintah Hok Tayswee," kata Keng Thian dengan pura-pura tak tahu, bahwa
Liong Leng Kiauvv sudah dipenjarakan. "Sekalian datang kesini, aku ingin
menyambanginya."
"Siapa namanya sahabat tuan?" tanya si Soeya.
"She Liong, bernama Leng Kiauw," jawabnya.
Paras muka Soeya itu lantas saja berubah. "Aku tak pernah dengar
nama orang itu," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Melihat perubahan pada paras orang itu, hati Keng Thian jadi
semakin tak enak. Apa terjadi kejadian yang tak diingini atas diri Liong
Leng Kiauw?
Sesudah masing-masing mengambil tempat duduk, si Soeya mengangkat
cawan teh dan sambil bangun berdiri, ia mengundang tamunya minum. Keng
Thian pura-pura tidak mengenal adat dan tetap duduk di kursi, ia
mengajukan pertanyaan beruntun-runtun. Hok Tayswee sakit apa ? Apa sudah
mengundang tabib? Makan obat apa? Si Soeya jadi semakin gugup dan Keng
Thian segera dapat memastikan, bahwa alasan sakitnya Hok Kong An adalah
alasan yang dibuat-buat.
Tiba-tiba diluar terdengar teriakan orang: "Orang lain boleh tak
usah ditemui oleh Hok Tayswee. Tapi kedatanganku harus disambut olehnya
sendiri!"
Keng Thian terkejut. Ia mengenali, bahwa suara itu adalah suara In
Leng Tjoe.
In Leng Tjoe adalah Konghong dari istana kaizar Boan, semacam
pangkat yang lebih tinggi daripada Siewie (pengawal kaizar). Dulu ia
pernah datang di Lhasa dengan mendapat tugas untuk menangkap Liong Leng
Kiauw, tapi ia tak bisa menjalankan tugas itu, karena Hok Kong An telah
menahan Liong Sam dalam kantor Tayswee. Maka itu, dengan perasaan
mendongkol, ia kembali ke kota raja untuk memberi laporan kepada kaizar
dan memohon tugas yang lebih tegas.
Hok Kong An adalah seorang menteri yang mendapat kepercayaan paling
besar dari Kaisar Kian Liong dan mempunyai kekuasaan mutlak di Lhasa.
Maka itu, melihat cara-caranya In Leng Tjoe yang begitu kasar, orang-
orang sebawahannya jadi merasa mendongkol. "Biarpun raja muda atau
pweelek (keluarga kaizar) yang datang kemari, ia harus menunggu sebelum
mendapat undangan dari Hok Taydjin," kata salah seorang. "Mana boleh
bicara begitu kurang ajar di kantor Tayswee?"
In Leng Tjoe mengeluarkan suara di hidung dan kemudian tertawa
terbahak-bahak. "Benar, memang benar Hok Taydjin-mu bisa menolak untuk
menemui raja muda atau pweelek," katanya dengan suara mengejek. "Tapi
sekarang aku mau tanya: Jika Hongsiang (kaizar) datang sendiri, apakah
Hok Taydjin juga akan menolak?"
Para pengawal gedung Tayswee jadi kaget bukan main. "Apa kau
membawa firman?" tanya seorang.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ln Leng Tjoe merogoh saku dan
mengeluarkan sebuah Kimpay (papan emas) dengan ukiran empat huruf yang
berbunyi: Djie Tim Tjin Leng (Seperti juga kami datang sendiri). Dengan
mengangkat Kimpay itu tinggi-tinggi, ia membentak dengan suara angker:
"Apa matamu buta? Lekas panggil Hok Kong An untuk menyambut firman
Kaisar!"
Dalam kamar tamu, Tong Keng Thian bertiga berhenti bicara dan
memperhatikan kejadian di luar itu. Si Soeya, yang sebenarnya adalah
sahabat Liong Leng Kiauw, mengetahui, bahwa kedatangan In Leng Tjoe
adalah untuk mengurus urusan Liong Sam yang, jika dilihat gelagatnya,
bakal menghadapi bencana besar.
Sementara itu, para pengawal pintu jadi ketakutan. Buru-buru mereka
mengundang In Leng Tjoe ke sebuah kamar tamu yang lain dan lalu memberi
laporan kepada Hok Kong An.
Mendadak Keng Thian bangun berdiri seraya berkata: "Karena,
kesehatan Tayswee sedang terganggu, maka kami mohon berlalu saja. Kami
minta kau suka menyampaikan hormat kami kepada Hok Tayswee." Si Soeya
yang memang ingin mereka buru-buru pergi, lantas saja bangun dan
mengantar kedua tetamu itu sampai di luar pintu.
Sambil menarik tangan Peng Go, Keng Thian berjalan ke arah kamar
tamu dimana In Leng Tjoe sedang menunggu kedatangan Hok Kong An.
Si Soeya mengudak dan berteriak: "Salah! Kalian jalan salah!" Tapi
kedua orang muda itu tidak meladeni dan baru menghentikan tindakan di
depan kamar tamu itu.
"Hei! Kau benar banyak lagak!" berteriak Keng Thian dengan mengubah
suaranya.
In Leng Tjoe marah besar dan seraya melompat ke pintu, ia
membentak: "Binatang!..." Tapi perkataannya berhenti di tengah jalan,
karena begitu lekas melihat Keng Thian dan Peng Go, mulutnya ternganga
dan matanya membelalak.
"Aku ingin pinjam lihat firman yang dibawa olehmu," kata Keng Thian
dengan suara tawar. Pengtjoan Thianlie sendiri lalu mengeluarkan sebutir
Pengpok Sintan, yang dicekal dengan dua jerijinya dan kamar itu lantas
diliputi dengan hawa yang dingin luar biasa.
In Leng Tjoe ketakutan setengah mati dan tidak berani berkutik
lagi. la tahu, bahwa jiwanya akan segera melayang, jika ia coba-coba
melawan dua orang muda yang sangat liehay itu. Mau tak mau, ia membiarkan
Keng Thian menggeledah badannya dan mengeluarkan firman kaisar dari dalam
bajunya. Bunyi firman itu adalah seperti berikut:
"Liati Sioe, anak laki-laki penghianat Lian Keng Giauw, dengan
menggunakan nama samaran Liong Leng Kiauw, telah menyelesap masuk ke
Tibet untuk menimbulkan huru-hara. Sekarang dia sudah ditangkap. Dia
harus dihukum mati di tempat itu juga dan tidak usah dibawa ke kota raja.
Sekianlah perintah Kami untuk Hok Kong An, Menteri Besar yang
memegang kekuasaan di Tibet."
Dengan menggunakan istilah "menyelesap masuk di Tibet", Kaisar Kian
Liong sebenarnya sudah memberi "muka" kepada menterinya yang disayang
itu.
Keng Thian sekarang tahu, bahwa jiwa Liong Leng Kiauw digantung di
atas selembar rambut. Untuk sejenak, ia mencekal firman itu tanpa
bersuara.
Sekonyong-konyong terdengar bentakan-bentakan para pengawal, suatu
tanda, bahwa Hok Kong An akan segera keluar dari gedungnya. Keng Thian
terkesiap. Ia memasukkan firman itu ke dalam saku In Leng Tjoe seraya
berkata dengan suara getir: "Terima kasih." Ia memutar badan dan bersama
Peng Go, segera meninggalkan gedung Tayswee.
Sesudah mendapat pelajaran pahit, In Leng Tjoe tidak berani
mengunjuk kesombongannya lagi dan tentu saja ia tidak menceritakan apa
yang sudah terjadi kepada Hok Tayswee.
Setibanya di rumah penginapan, Keng Thian lalu berdamai dengan
Pengtjoan Thianlie mengenai tindakan yang harus diambil. Dalam
perundingan, tiba-tiba si nona ingat Soetee-nya Liong Leng Kiauw, yang
bernama Gan Lok dan yang bertempat tinggal di kaki Gunung Anggur. Ia
mengajukan usul, bahwa berita jelek itu harus segera diberitahukan kepada
Gan Lok.
Tanpa membuang tempo, mereka segera mengunjungi Gan Lok yang lantas
saja mengajak mereka masuk ke kamar rahasia.
"Kapan Tong Tayhiap datang di Lhasa ?" tanya Gan Lok sesudah
mengunci pintu. "Apa Tayhiap mendengar warta apa-apa mengenai Soeheng-
ku?"
"In Leng Tjoe sudah kembali," menerangkan Keng Thian. "Aku kuatir
kembalinya itu mempunyai akibat tidak baik bagi dirinya Liong Sam
Sianseng." Keng Thian bicara dengan hati-hati dan ia tak mau segera
memberitahukan hal firman kaisar.
Sekonyong-konyong Gan Lok bangun dan berlutut di hadapan kedua
tetamunya. Keng Thian ingin mencegah, tapi sudah tidak keburu lagi. "Tong
Tayhiap," katanya dengan suara memohon. "Siauwtee mempunyai suatu
permintaan yang sebenarnya tidak pantas diajukan. Aku merasa sangsi, apa
boleh bicara terus terang?"
"Bicaralah," kata Keng Thian.
"Sesudah siauwtee memikir bulak-balik, rasanya tiada jalan lain
daripada membongkar penjara!" katanya.
Keng Thian terperanjat. Ia tidak lantas memberi jawaban dan duduk
bengong dengan perasaan sangsi. "Dengan Liong Leng Kiauw, aku belum
bergaul lama dan belum tahu isi hatinya," katanya di dalam hatinya,
"jika aku bantu membongkar penjara, aku menimbulkan
gelombang besar di Tibet. Untuk membalas sakit hati ayahnya, mungkin
sekali, sesudah keluar dari penjara, ia akan menerbitkan kekacauan
hebat." Di lain saat, ia mendapat lain pikiran: "Biarpun dia putera Lian
Keng Giauw, tapi dilihat gerak-geriknya, dia adalah seorang laki-laki
sejati. Bukankah sayang sekali, jika ia mesti membuang jiwa dengan cuma-
cuma? Di samping itu, sesudah aku menolongnya, ia pasti akan mendengar
nasihatku untuk tidak menimbulkan huru-hara. Ayah sendiri telah
memerintahkan supaya aku memberitahukan hal ini kepada nyonya Tong dan
dengan begitu, ayah tentu tak akan menggusari aku, jika aku memberi
pertolongan."
Seperti ayahnya, Keng Thian adalah seorang yang sangat berhati-
hati. Dalam menghadapi segala urusan, ia selalu memikir dulu sebelum
bertindak. Melihat kesangsian tamunya, hati Gan Lok berdebar-debar.
Sesaat kemudian, Keng Thian berkata: "Baiklah,
malam ini, lewat tengah malam."
Gan Lok girang tak kepaiang. Tapi, sebelum ia sempat menghaturkan
terima kasih, di luar mendadak terdengar suara ribut-ribut.
"Apa itu? Djiewie berdiam saja disini untuk sementara waktu, aku
mau keluar untuk menyelidiki," kata Gan Lok sambil bertindak keluar dari
kamar rahasia itu.
Begitu tiba di pintu, ia terkesiap karena yang datang adalah Lo
Tiauw, pemimpin pasukan pengawal Hok Kong An, yang diikuti oleh enam
orang, empat antaranya adalah ahli-ahli silat kelas satu di bawah
perintah Hok Tayswee, sedang dua yang lain adalah seorang pria dan
seorang wanita yang mukanya luar biasa. Mereka berdua adalah In Leng Tjoe
dan isterinya, San Tjeng Nio, yang tidak dikenal Gan Lok.
"Ada urusan apa Lo Taydjin datang kesini?" tanyanya sambil
merangkap kedua tangannya.
Lo Tiauw mengeluarkan suara di hidung. "Gan Lok!" bentaknya. "Besar
sungguh nyalimu!"
"Aku adalah seorang rakyat kecil yang belum pernah melanggar
undang-undang negara," kata Gan Lok. "Apa artinya perkataan Taydjin?"
"Jangan berlagak gila!" berteriak Lo Tiauw. "Kau sudah membawa lari
Liong Loosam.
Dimana dia sekarang?"
Gan Lok kemekmek. Perkataan Lo Tiauw bagaikan halilintar di tengah
hari bolong. "Apa?" ia menegasi. "Soeheng-ku dibawa lari orang?"
"Apa kau masih mau main gila terus?" kata Lo Tiauw dengan gusar.
"Apa kau mau aku turun tangan?"
Kagetnya Gan Lok sekarang tercampur dengan perasaan girang. "Lo
Taydjin!" katanya dengan suara nyaring. "Aku sungguh-sungguh tidak
mengerti perkataanmu."
"Jika bukan kau, siapa lagi yang membongkar penjara?" tanya Lo
Tiauw dengan mata melotot.
"Sudah setengah bulan, siauwtee tak pernah keluar dari rumah ini,"
jawabnya. "Mana bisa siauwtee membongkar penjara?"
Lo Tiauw sangsi. "Dilihat dari parasnya, mungkin ia tidak
berdusta," katanya di dalam hati. "Di samping itu, begitu aku datang, ia
lantas keluar menyambut. Tapi, kalau bukan dia, siapa lagi?"
"Bolehkah aku mendapat tahu, bagaimana penjara dibongkarnya?" tanya
Gan Lok. "Dengan adanya penjagaan yang begitu kuat, apa masih ada orang
yang berani berbuat begitu?"
Lo Tiauw jadi semakin sangsi. "Hm!" ia menggereng. "Aku tanya kau,
sekarang berbalik kau tanya aku. Gan Lok! Jangan main gila kau!"
"Jika benar aku yang membongkar penjara, waktu ini aku tentu sudah
kabur jauh," kata Gan Lok. "Tak bisa jadi, aku terus berdiam di rumahku
dan menyambut kedatangan kalian. Jika tidak percaya, kalian boleh
menggeledah."
Lo Tiauw tertawa dingin. "Tak mudah kau menipu aku dengan segala
akal bulus," katanya. "Sudah pasti, kaulah yang melepaskan Liong Loosam
dan menyuruh dia kabur di tempat lain, sedang kau sendiri pura-pura
bersih. Gan Lok! Beritahukan saja tempat bersembunyinya Liong Loosam.
Dengan mengingat, bahwa kita pernah bekerja sama-sama, aku tentu tak akan
menyusahkan kau."
"Biarpun dibunuh mati, aku tak bisa memberitahukan dimana adanya
Soeheng, karena aku memang tak tahu," jawabnya dengan suara tetap.
Sementara itu, In Leng Tjoe sudah hilang sabarnya. "Sudahlah!"
bentaknya. "Sebagai soetee Liong Leng Kiauw, dia harus bertanggung jawab
sepenuhnya. Perlu apa kita bicara panjang-panjang?" Berbareng dengan
perkataannya, ia maju setindak dan coba mencengkeram Gan Lok dengan
tangannya yang seperti kipas.
Dengan cepat Gan Lok berkelit dan melompat mundur. Mendadak, dengan
disertai sambaran angin dahsyat, bagaikan bianglala, sehelai ikatan
pinggang sutera yang beraneka warnanya, menyambar. Gan Lok terkesiap dan
untuk menolong diri, ia berguling di atas lantai. Sementara itu, In Leng
Tjoe sudah merangsek maju untuk membekuk lawannya. Selagi melompat, tiba-
tiba saja, ia merasa kakinya menginjak serupa benda yang dingin luar
biasa. Hatinya mencelos dan ia meloncat mundur beberapa tindak.
Di lain saat, dengan jalan berendeng, Tong Keng Thian dan Koei Peng
Go masuk ke dalam ruangan itu. Melihat sambaran ikatan pinggang San Tjeng
Nio, dengan tenang Keng Thian mengangkat tangan kanannya dan dengan dua
jeriji menjepit ikatan pinggang itu, yang lantas saja putus seperti
tergunting!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya In Leng Tjoe dan San Tjeng Nio.
Untuk membekuk Gan Lok, yang katanya memiliki ilmu silat tinggi, In Leng
Tjoe telah mengajak iserinya datang bersama-sama, la tak pernah mimpi
bahwa kedua orang muda yang ditakuti itu, bisa berada di rumah Gan Lok.
Sebagaimana diketahui, mereka berdua pernah mengerubuti Pengtjoan
Thianlie tanpa bisa menarik keuntungan apapun juga dan kemudian dalam
pertarungan itu, mereka pernah berkenalan dengan liehaynya Thiansan
Sinbong. Mereka juga mengetahui, bahwa Keng Thian adalah putera Tong
Siauw Lan yang benar-benar tidak boleh dibuat gegabah. Maka itu, biarpun
merasa sangat malu, buru-buru mereka lompat menyingkir sebagai jago
pecundang.
Lo Tiauw dan kawan-kawan segera mengenali, bahwa kedua orang muda
itu adalah orang-orang yang pernah bantu melindungi guci emas. Sambil
bersenyum. Keng Thian mendekati dan memberi hormat. "Taydjin, kapan
pembongkaran penjara itu terjadi? Apa malam ini?" tanyanya.
"Benar, baru kira-kira satu jam berselang," jawabnya. Hatinya
bersangsi dan menduga-duga, bahwa pembongkaran penjara dilakukan oleh
kedua orang muda itu, tapi ia tak berani menanya terang-terangan.
"Kami datang disini sudah dua jam lamanya," kata pula Keng Thian.
"Selama dua jam itu, Gan Sianseng terus menemani kami. Kecuali ia
mempunyai kepandaian memecah badan, tak mungkin ia pergi membongkar
penjara."
Mendengar keterangan Keng Thian, di dalam hati In Leng Tjoe
menduga, bahwa orang yang membawa lari Liong Leng Kiauw adalah pemuda itu
sendiri. Akan tetapi, karena takut, ia tidak berani membuka mulut.
Sementara itu, melihat gelagat kurang baik, sambil tersenyum Lo Tiauw
segera berkata: "Jika Djiewie Giesoe mengatakan begitu, perbuatan itu
sudah tentu bukan dilakukan oleh Gan-heng. Kami minta maaf untuk
kecerobohan tadi, dan oleh karena ingin buru-buru berusaha untuk membekuk
orang yang berdosa, sekarang kami minta perkenan untuk berlalu."
Sesudah para tamu berangkat, mereka duduk di ruangan tengah.
Melihat paras Keng Thian yang sangat guram, Gan Lok tertawa seraya
berkata: "Sesudah ada orang yang mewakili pekerjaan kita, kita boleh tak
usah berabe lagi."
Alis pemuda itu berkerut. "Siapakah orang itu?" tanyanya. "Biarpun
orang-orang Hok Kong An bukannya ahli-ahli silat kelas utama, aku bisa
membayangkan, bahwa malam ini penjagaan di penjara sangat diperkuat.
Mungkin sekali suami isteri In Leng Tjoe turut menjaga disitu. Tapi orang
itu telah berhasil membawa lari Liong Leng Kiauw. Siapa dia? Tak bisa
tidak, dialah seorang yang berkepandaian luar biasa."
"Apa tak mungkin nenek Tong?" tanya Peng Go.
Keng Thian menggelengkan kepala seraya berkata: "Jika benar Tong
Lootaypo, apakah mungkin, bahwa pengawal-pengawal penjara tak dapat
membedakan lelaki atau perempuan? Kenapa mereka menuduh Gan-heng?"
"Apakah Kim Sie Ie?" tanya pula si nona.
"Kurasa tak mungkin," jawab Keng Thian. "Meskipun dia seorang aneh,
tapi mengingat, bahwa dia sama sekali belum mengenal Liong Leng Kiauw,
tak bisa jadi ia sudi menempuh bahaya untuk menolong Liong Sam."
Keng Thian tahu, bahwa bertahun-tahun Liong Leng Kiauw telah
mementang pengaruhnya di daerah Tibet. Maka itu, ia girang tercampur
jengkel karena Liong Sam jatuh ke dalam tangan orang yang belum diketahui
siapa adanya. Mereka coba menebak-nebak, tapi tak bisa menarik kesimpulan
yang memuaskan.
Malam itu Keng Thian tak bisa pulas. Ia menggulak-gulik di atas
pembaringan sambil mengasah otak. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk
mengunjungi pula Hok Kong An guna menyelidiki hal itu sedalam-dalamnya.
Tapi di luar dugaan, sebelum ia berangkat, utusan Hok Tayswee, sudah
datang di rumah Gan Lok.
Orang yang diutus Hok Kong An adalah Tjiauw Tjoen Loei dan
Yoe It Gok yang pernah turut melindungi guci emas. Kedudukan mereka
adalah pemimpin dan wakil pemimpin dari delapan pengawal utama di istana
kaisar dan kedudukan mereka masih jauh lebih tinggi daripada Lo Tiauw.
Sesudah selesai menjalankan tugas mengawal guci emas ke Lhasa, Hok
Tayswee telah mengajukan permohonan kepada kaizar, supaya mereka berdua
tetap berdiam di Lhasa guna memberi bantuan dalam soal-soal ketentaraan
dan permohonan itu sudah diluluskan oleh Kian Liong.
Begitu fajar menyingsing, mereka sudah tiba di rumah Gan Lok.
Melihat Keng Thian dan Peng Go, Tjiauw Tjoen Loei segera berkata dengan
sikap hormat: "Waktu Djiewie Giesoe datang berkunjung kemarin, Tayswee
tidak keluar menemui karena kesehatannya agak terganggu. Untuk kelalaian
itu, beliau telah mengutus kami guna minta maaf."
Keng Thian yang sangat cerdas, lantas saja menduga, bahwa
kedatangan mereka mengandung maksud untuk meminta pertolongan. Ia
bersenyum seraya berkata: "Orang-orang dusun yang seperti kami,
sebenarnya tak boleh mengganggu Tayswee. Kami insyaf, bahwa Tayswee tentu
diuruk pekerjaan-pekerjaan penting dan kami tak berani mengganggu lagi.
Di hadapan Tayswee, mohon Djiewie menyampaikan permintaan maaf kami."
"Apakah Tong Tayhiap tak gusar terhadap kami?" tanya Tjiauw Tjoen
Loei.
"Kenapa gusar?" Keng Thian balas menanya.
"Jika benar Tong Tayhiap tidak marah terhadap kami, kami memohon
supaya Tayhiap suka menolong mangkok nasi kami," katanya.
"Ah! Tjiauw Taydjin tak boleh bicara begitu!" kata Keng Thian.
"Bukankah Tong Tayhiap sudah tahu, bahwa semalam terjadi
pembongkaran penjara?" tanya Tjoen Loei pula.
"Ya," jawabnya. "In Leng Tjoe dan beberapa orang lain semalam telah
datang untuk urusan itu."
"Dalam hal ini, kami semua telah mendapat malu besar," kata Tjiauw
Tjoen Loei. "Karena tidak punya kemampuan, penjahat sudah berhasil
membawa lari seorang pesakitan penting dan lebih gila lagi, kami malah
tak bisa melihat tegas muka penjahat itu. Barangkali Tong Tayhiap juga
tahu, bahwa pesakitan itu adalah pesakitan sangat penting yang
diperhatikan oleh Hongsiang sendiri. Jika dia tak bisa dibekuk kembali,
semua orang disini, dari atas sampai di bawah, sudah pasti tak akan
terluput dari hukuman. Maka, kami memohon belas kasihan Tong Tayhiap
untuk memberi pertolongan."
Mendengar pernyataan Tjiauw Tjoen Loei, Keng Thian segera menduga,
bahwa Hok Kong An sudah tahu tentang perampasan firman yang dilakukan
olehnya. Mungkin, In Leng Tjoe sendiri merasa malu untuk memberitahukan
kejadian itu, tapi di samping In Leng Tjoe, masih ada si Soeya yang
menyaksikan kejadian tersebut. Oleh sebab itu ia menduga, bahwa Soeya
itulah yang sudah melaporkan kepada Hok Tayswee. Dari perkataan Tjiauw
Tjoen Loei, ia mendapat kesan, bahwa orang masih menyangkanya sebagai
orang yang sudah membawa lari Liong Leng Kiauw.
Maka itu, sambil tertawa ia segera berkata: "Dilihat gelagatnya,
jika aku tak bisa membantu kalian, aku sendiri pun tak akan terlolos dari
kecurigaan."
Paras muka Tjiauw Tjoen Loei lantas saja menjadi merah. "Biarpun
mempunyai seratus kepala, kami tentu tak berani mencurigakan Tong
Tayhiap," katanya. "Hanya karena yakin, bahwa Tayhiap mempunyai pandangan
dan pergaulan yang sangat luas, maka kami mohon, supaya Tayhiap sudi
memberi petunjuk-petunjuk."
Keng Thian tak lantas menjawab, ia duduk bengong sambil menimbang-
nimbang tindakan yang harus diambilnya.
Sementara itu, Tjiauw Tjoen Loei jadi semakin bingung dan dari
merah, parasnya berubah menjadi pucat bagaikan kertas. Ia tak bisa
menebak apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda itu.
"Tong Tayhiap," katanya dengan suara gemetar. "Dengan Liong Loosam,
kami sedikitpun tak mempunyai ganjelan atau permusuhan. Aku sendiri juga
merasa sangat tidak tega jika ia mesti mendapat hukuman mati. Kami hanya
mengharap, supaya ia bisa kembali dan aku bisa menyerahkannya kepada I n
Leng Tjoe. Sesudah menyelesaikan tugas itu, aku akan segera mengajukan
permintaan berhenti dan pulang ke kampung sendiri. Huh-huh! Sesudah Liong
Loosam berada dalam tangan In Leng Tjoe, kami bebas dari segala beban.
Jika sampai terjadi apa-apa lagi, aku boleh tak usah campur-campur lagi!"
Keng Thian merasa geli dalam hatinya. "Apakah Taydjin berada
disitu, di waktu terjadi pembongkaran penjara?" tanyanya.
Muka Tjiauw Tjoen Loei yang pucat mendadak berubah menjadi merah.
"Justeru aku dan Yoe-heng yang sedang bertugas," jawabnya dengan suara
kemalu-maluan.
"Heran benar!" kata Keng Thian. "Meskipun penjahat itu
berkepandaian tinggi, tetapi, mengingat tebalnya tembok penjara dan
kuatnya kunci, tak mungkin ia bisa terbang tanpa mengeluarkan suara."
"Bukan hanya suara, tapi suara yang sangat dahsyat," jawabnya.
"Penjahat itu telah menghancurkan tembok penjara!"
Keng Thian jadi semakin heran. "Kalau begitu, mana bisa jadi kalian
tidak melihat tegas muka penjahat itu?" tanyanya.
"Kira-kira tengah malam, di dalam penjara mendadak terdengar suara
gedubrakan yang sangat hebat," kata Tjiauw Tjoen Loei. "Kami segera
memburu dan melihat berkelebatnya satu bayangan hitam yang menggendong
Liong Leng Kiauw. Mendadak, kami merasa seperti kehilangan semangat, mata
berkunang-kunang dan lutut lemas. Di lain saat, penjahat itu sudah tak
kelihatan bayang-bayangannya lagi."
"Apa penjahat itu menggunakan biehio (hio untuk memabukkan orang)?"
tanya Keng Thian.
Tjiauw Tjoen Loei menggelengkan kepala.
"Sedikitpun aku tidak mengendus bebauan luar biasa," katanya.
"Untuk itu, kami sudah berjaga-jaga. Semua orang yang bertugas membekal
obat pemunah. Biehio yang paling hebat tak akan bisa merobohkan kami."
Sesudah berpikir sejenak, Reng Thian berkata: "Apa boleh kalian
mengantar kami untuk menyelidiki di penjara itu?"
"Bagus! Kami sebenarnya tak berani meminta begitu," jawabnya
girang.
Setibanya di penjara, Keng Thian dan Peng Go segera menyelidiki
dengan teliti. Ternyata, tembok penjara tebal dan kokoh, sedang setiap
pintu terbuat dari besi dengan kuncinya yang besar. Waktu tiba di kamar
(sel) Liong Leng Kiauw, mereka terkejut sebab dinding berlubang besar,
cukup untuk muat badannya satu manusia. Ditinjau bekas-bekasnya, tembok
itu rupanya digempur dengan menggunakan pundak. Keng Thian dan Peng Go
merasa kagum bukan main, karena tenaga yang begitu besar sungguh jarang
terdapat dalam dunia. Tapi apa yang paling mengherankan adalah pengaruh
luar biasa yang dirasakan oleb para penjaga bui pada waktu si penjahat
sedang bekerja. Mereka semua merasa seperti orang linglung. Penglihatan
mereka mengenai tubuh si penjahat berlainan satu sama lain. Ada yang
kata, penjahat itu berbadan gemuk, ada yang kata kurus, ada yang kata
tinggi dan ada pula yang kata kate.
Keng Thian menengok ke arah
Peng Go dan tiba-tiba ia terkejut, karena paras si nona kelihatan
luar biasa, seakan-akan orang kehilangan semangat. "Peng Go Tjietjie!
Kenapa kau?" tanyanya.
Sedari tiba di penjara, Pengtjoan Thianlie tidak mengeluarkan
sepatah kata dan teguran itu mengejutkannya. "Lekas sediakan dua ekor
kuda yang baik!" katanya dengan suara nyaring. "Kita harus mengubar ke
jurusan barat!"
"Ada apa?" tanya Keng Thian dengan penuh keheranan.
"Coba kau bersemedhi dan mengheningkan cipta," kata si nona.
Baru saja bersemedhi beberapa saat, hidung Keng Thian sudah
mengendus semacam bebauan wangi yang sangat halus dan luar biasa. Seumur
hidup, belum pernah ia mencium bebauan yang serupa itu.
Sementara itu, atas perintah Tjiauw Tjoen Loei, dua ekor kuda sudah
tersedia di luar pintu penjara.
Keng Thian melompat bangun seraya menanya: "Peng Go Tjietjie, bau
apa itu?"
"Jangan tanya, mari kita berangkat," jawabnya sambil bertindak
keluar. Tanpa bicara lagi, mereka melompat ke atas punggung kuda yang
lalu dikaburkan ke jurusan barat. Kedua tunggangan itu adalah kuda-kuda
pilihan yang larinya sangat cepat dan dalam sekejap, mereka sudah berada
di luar kota.
Tibet adalah daerah yang luas dengan sedikit penduduknya. Sebagian
besar penduduk itu berkumpul di sebelah timur Lhasa, sedang di wilayah
sebelah barat Lhasa hanya terdapat tanah belukar dan gurun pasir. Di
daerah itu, orang bisa berjalan puluhan li tanpa menemui rumah penduduk.
Waktu itu, di Tiongkok Selatan sudah masuk permulaan musim semi, tapi
Tibet masih tertutup salju.
Sesudah mengaburkan tunggangan beberapa lama di tanah yang tandus
itu, tiba-tiba Peng Go menahan les dan berkata: "Diculiknya Liong Leng
Kiauw mungkin akan menimbulkan kejadian-kejadian luar biasa."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Keng Thian sambil merendengkan kudanya
dengan tunggangan si nona.
"Bukankah tadi kau mengendus bebauan wangi?" Peng Go balas menanya.
"Benar," jawabnya. "Bau itu halus luar biasa, sehingga sesudah
bersemedhi, barulah aku dapat mengendusnya. Aku sebenarnya merasa heran,
bagaimana kau bisa mengendusnya dengan begitu saja."
Si nona tertawa manis. "Kau tak usah heran," katanya. "Di Puncak Es
terdapat pohon bunga itu."
"Bunga?" menegas Keng Thian. "Bunga itu Asioelo namanya,"
menerangkan Peng Go. "Asioelo berarti setan atau memedi. Walaupun sangat
halus, bau kembang itu tak gampang buyar. Pada waktu bunganya sedang
mekar, orang yang mengendus wanginya bunga itu, akan berada dalam keadaan
seperti mabuk arak, semangatnya seolah-olah terbetot keluar, matanya
berkunang-kunang dan lututnya lemas. Maka itulah, namanya Bunga Setan.
Pohon bunga itu hanya bisa hidup di tempat yang sangat tinggi. Sepanjang
keterangan, di samping daerah pegunungan Nyenchin Dangla, Bunga Setan
hanya terdapat di pegunungan Himalaya. Di gunung Nyenchin Dangla tidak
terdapat lain orang pandai, kecuali keluargaku sendiri. Maka itu, aku
menaksir, bahwa orang yang menculik Liong Leng Kiauw datang dari daerah
Himalaya."
"Aha!" kata Keng Thian dengan kaget. "Apa dia orang asing? Benar.
Jika dilihat dari kepandaiannya dalam menggempur tembok penjara, memang
kepandaian itu bukan kepandaian orang Han."
"Aku pun menduga begitu," kata Peng Go sambil menghela napas. "Jika
dia datang dari Nepal, aku kuatir perbuatannya itu mempunyai sangkut paut
dengan diriku. Maka itulah, andaikata orang yang diculik bukan Liong Leng
Kiauw, aku tetap harus menyelidiki sampai di dasarnya,"
Di sepanjang jalan, dengan rasa heran mereka melihat tapak-tapak di
atas salju, tapi semua tapak itu bukan tapak manusia, maupun kuda. Apa
tapak-tapak binatang yang belum dikenal mereka?
Sesudah berjalan beberapa jauh lagi, di atas salju terlihat tetesan
darah, yang semakin lama jadi semakin banyak. Apa yang mengherankan ialah
di jalanan itu sama-sekali tidak kelihatan tapak-tapak kaki. "Aneh," kata
Peng Go. “Jika darah itu adalah darah manusia, orang yang mengeluarkan
darah pasti mempunyai ilmu berjalan tanpa meninggalkan tapak. Tapi, jika
ia memiliki ilmu yang begitu tinggi bagaimana ia bisa terluka?"
Dengan hati berdebar-debar, mereka terus mengikuti tetesan darah
itu. Tak lama kemudian, Keng Thian mengeluarkan seruan kaget, karena di
tengah jalan menggeletak dua bangkai kuda. Mereka lalu mendekati dan
ternyata, ke empat kaki kuda-kuda itu telah dibacok putus. Mereka coba
mencari kaki-kaki itu, tapi tidak bisa didapatkannya, mungkin sebab sudah
keuruk salju.
Keheranan mereka semakin memuncak. Jika tetesan darah yang terlihat
di sepanjang jalan adalah kuda, kenapa tidak terlihat tapak-tapak
kakinya? Mereka melompat turun dari tunggangan dan lalu menyelidiki
terlebih teliti. Ternyata, di seputar bangkai kuda terdapat tapak-tapak
kaki manusia yang samar-samar, antaranya tapak yang pendek dan kecil.
Setelah diakuri, tapak itu ternyata tidak berjauhan besarnya dengan tapak
kaki Peng Go. "Tapak wanita!" kata Keng Thian, yang, sesudah mengawaskan
kedua bangkai kuda itu beberapa lama, mendadak berteriak: "Aha! Inilah
tapak Tong Lootaypo!"
“Bagaimana kau tahu?” tanya si nona.
"Lihatlah kedua kuda itu," jawabnya. "Banyak lebih kecil daripada
tunggangan kita, tapi kelihatannya kuat dan gagah. Kuda itu bukan
sembarang kuda, mereka adalah kuda-kuda yang terkenal dari Soetjoan
barat!"
"Benar," kata si nona. "Tong Lootaypo memang penduduk daerah itu.
Tapi disini terdapat dua ekor kuda. Siapa yang satunya lagi? Apakah nenek
itu yang menolong Liong Leng Kiauw? Mana bisa jadi?"
Keng Thian pun merasa, bahwa hal itu adalah tak mungkin. Walaupun
memiliki ilmu silat yang tinggi, si nenek pasti tak akan bisa menggempur
tembok penjara dengan kekuatan badannya.
"Pengalaman kita di hari ini benar-benar luar biasa," kata Keng
Thian. "Jalan satu-satunya, kita harus menyelidiki terlebih jauh."
Mereka lalu melompat naik ke punggung kuda dan berjalan mengikuti
tapak-tapak kaki di atas salju. Selagi turun di satu tanjakan, sekonyong-
konyong terlihat pula tanda-tanda darah.
"Disitu ada orang!" seru Keng Thian.
Tubuh orang itu tertutup salju dan hanya sebagian mukanya yang
terlihat dari luar. Buru-buru mereka meloncat turun dari tunggangan dan
menyingkirkan salju yang menutup badan orang itu.
Di lain saat, mereka berdiri terpaku, bahna kagetnya, baju orang
itu, yang ternyata adalah Tong Toan, keponakan Tong Say Hoa, robek di
sana-sini, sedang di pundaknya terdapat tapak tangan yang berwarna merah.
"Dadanya masih hangat," kata Keng Thian. "Lekas berikan Yangho wan
(pel untuk menolak hawa dingin)."
Peng Go segera menyerahkan dua butir Yangho wan kepada Keng Thian
yang lalu memasukkannya ke dalam mulut Tong Toan dan menuang juga sedikit
arak, yang selalu dibawa dalam sakunya, supaya pel itu bisa turun ke
dalam perut. Kemudian, dengan mengerahkan lweekang, Keng
Thian lalu mengurut sekujur badan Tong Toan untuk menjalankan
darahnya yang sudah hampir membeku.
Selagi tunangannya bekerja, si nona mengawasi ke seputarnya.
Tiba-tiba ia berteriak: "Keng Thian! Lihat!"
Keng Thian menengok ke arah yang ditunjuk Peng Go. Ternyata, tak
jauh dari situ, terdapat sebuah batu gunung yang somplak atasnya dan
kepingan-kepingan batu berhamburan di bawahnya. Sebagai seorang ahli, ia
segera mengetahui, bahwa somplakan itu adalah akibat pukulan senjata.
Sesudah memperhatikan beberapa saat, mendadak ia berseru: "Aha! Tongkat
Kim Sie Ie!"
Si nona menghela napas. "Ya," katanya dengan suara duka.
"Sebaliknya dari pergi ke Thiansan, dia datang kemari. Bukankah dia
seperti mencari mati sendiri? Andaikata kita sekarang dapat mencarinya,
mungkin sudah tidak keburu untuk menolongnya." Peng Go berkata begitu,
karena tahu, bahwa Kim Sie Ie tak bisa hidup sebulan lagi.
Keng Thian tidak menyahut. Ia terus mengurut Tong Toan. Selang
beberapa lama, barulah terdengar suara merintih dari tenggorokan pemuda
yang terluka itu.
"Ketolongan!" katanya sambil bangun berdiri dan mengambil kantong
kulit yang berisi arak susu kuda dari selanya. Ia menuang arak itu ke
mulut Tong Toan yang perlahan-lahan lalu membuka kedua matanya. "Ih!"
katanya dengan suara lemah. "Kau? Apa aku sedang mimpi?"
Pengtjoan Thianlie bersenyum. "Jangan kuatir, kau hanya mendapat
luka di luar," katanya. "Inilah Tong Keng Thian, putera paman Tong Siauw
Lan, Tjiangboendjin Thiansan pay."
Dengan sorot mata duka, Tong Toan mengawasi si nona. "Terima
kasih," katanya dengan suara lemah. "Koei Kouwnio, inilah untuk kedua
kali kau menolong aku." Harus diketahui, bahwa waktu Peng Go berdiam
beberapa hari dalam gedung keluarga Tong untuk melindungi Tong Lootaypo,
dalam hati pemuda itu telah timbul rasa cinta terhadapnya. Hanya karena
mengetahui, bahwa kepandaiannya tidak berbanding dengan Pengtjoan
Thianlie, ia merasa malu untuk memperlihatkan rasa hatinya. Sekarang,
melihat Peng Go bersama-sama putera Tong Siauw Lan, ia jadi merasa duka,
akan tetapi, sebagai seorang baik-baik, dalam kedukaan itu, ia merasa
girang sebab Pengtjoan Thianlie sudah mendapat seorang kawan yang
kelihatannya setimpal.
"Mana Kouwkouw-mu (bibi)?" tanya si nona.
"Apa kalian tidak bertemu dengannya?" tanyanya dengan kaget.
Pengtjoan Thianlie terkesiap. "Apa Kim Sie Ie cari-cari urusan lagi
dengan kalian?" tanyanya. Ia menunjuk batu yang somplak itu dan berkata
pula: "Lihatlah, bukankah batu itu terpukul dengan tongkatnya?"
"Aduh, begitu hebat!" kata Tong Toan. "Dia sebenarnya telah
membantu Kouwkouw dalam pertempuran melawan Ouwtjeng (pendeta asing)."
"Apa?" menegas si nona. "Siapa pendeta asing itu? Kim Sie Ie
membantu Kouwkouw-mu?"
"Benar," jawabnya. "Jika tidak ditolong Kim Sie Ie, jiwaku tentu
sudah melayang. Yang menculik Soesiok (paman guru, Liong Leng Kiauw)
adalah Ouwtjeng itu.
Waktu kecil, Liong Leng Kiauw telah dipelihara oleh Tong Say Hoa
yang mencintainya bagaikan anak sendiri. Tapi guru Liong Sam adalah Tong
Djiesianseng, ayah Tong Say Hoa, sehingga Tong Toan memanggil Soesiok
kepadanya.
Si nona kaget bukan main. "Oh, begitu?" katanya. "Kenapa di
sepanjang jalan sama sekali tidak terlihat tapak kaki manusia atau kuda?"
Sesudah minum arak susu kuda, sebagian tenaga pemuda itu pulih
kembali. Ia menghela napas dan mulai menutur dengan suara perlahan:
"Tempo hari, ketika kau datang di Soetjoan barat, kau telah
memberitahukan tentang di penjarakannya Soesiok.
Sebenarnya Kouwkouw ingin segera pergi ke Lhasa untuk memberi
pertolongan, tapi sungguh celaka, ia telah dilukakan Kim Sie Ie, sehingga
sesudah berobat kurang lebih setengah tahun, barulah kesehatannya pulih
kembali. Kami berangkat sesudah Tiongtjhioe tahun yang lalu dan sudah
belasan hari tiba di Lhasa."
"Aku semula menduga, orang yang membongkar penjara adalah Kouwkouw-
mu," kata si nona,
"Memang, memang Kouwkouw mempunyai niatan begitu," kata Tong Toan.
"Ia membuat persiapan untuk beberapa hari lamanya. Ia sudah menyelidiki
keadaan di penjara dan menyediakan dua ekor kuda di luar pintu kota,
supaya, begitu lekas Soesiok tertolong, kami bisa kabur dengan menunggang
kuda. Kami sudah membuat rencana untuk membongkar penjara pada tengah
malam, kemarin malam."
"Pendeta asing itu juga datang pada waku itu, bukan?" tanya Keng
Thian.
"Tak salah," jawabnya. "Kemarin malam, baru saja kami tiba di luar
tembok penjara, mendadak terdengar suara gedubrakan, disusul dengan
suara tindakan yang ramai. Kami mengetahui, bahwa di dalam telah terjadi
perkembangan luar biasa dan lalu bersembunyi di kaki tembok. Tak lama
kemudian, dari dalam melompat keluar seorang pendeta asing yang
menggendong seorang lain. Kouwkouw yang bermata jeli lantas saja
mengenali, bahwa orang yang digendong itu adalah Soesiok. Ia berteriak-
teriak dan memanggil-manggil nama Soesiok, tapi baik si pendeta, maupun
Soesiok tidak menjawab. Menurut peraturan Kangouw, kedua belah pihak
harus saling memperkenalkan diri. Si pendeta yang mempunyai ilmu
entengkan badan sangat tinggi, kabur terus dengan diubar oleh kami.
"Begitu keluar dari tembok kota, Ouwtjeng itu lantas saja melompat
ke punggung kuda yang lalu dikaburkan sekeras-kerasnya. Untung juga, kami
pun sudah menyediakan kuda. Kedua kuda kami sangat cepat larinya dan si
pendeta telah kecandak di tempat ini."
"Kenapa di sepanjang jalan tidak tertampak tapak kaki kuda?" tanya
Peng Go.
"Karena kuatir dikuntit orang, kami membungkusnya dengan kain wol
yang tebal," jawabnya. "Mungkin si pendeta asing pun berbuat begitu."
Pengtjoan Thianlie manggut-manggutkan kepalanya.
Sesudah mengasoh sebentaran, Tong Toan melanjutkan penuturannya:
"Dalam jarak kira-kira belasan tindak, Ouwtjeng mendadak berbalik dan
melepaskan beberapa golok terbang dengan berbareng. Kouwkouw adalah ahli
senjata rahasia yang pandai melepaskan dan menyambut macam-macam senjata.
Ia segera bergerak untuk menangkap golok-golok dengan menggunakan ilmu
Tjiantjhioe Kwan Im Sioebanpo (Dewi Kwan Im yang mempunyai ribuan tangan
menangkap laksaan mustika). Tapi di luar dugaan, ilmu melepaskan golok
dari si pendeta juga sangat luar biasa. Waktu baru dilepaskan, golok-
golok itu menyambar ke atas tapi begitu berdekatan, arahnya berubah dan
menyambar kaki kuda. Demikianlah, delapan kaki kuda Soetjoan itu jadi
korban golok terbang. Jika Kouwkouw masih muda atau serangan itu terjadi
di siang hari, mungkin sekali si pendeta tidak akan berhasil."
Mendengar penuturan itu, Keng Thian merasa geli. "Keluarga Tong
dikenal sebagai ahli nomor satu di dunia dalam ilmu melepaskan senjata
rahasia," katanya di dalam hati. "Kekalahan ini pasti mendukakan sangat
hati si nenek."
"Kouwkouw jadi gusar bukan main," kata pula Tong Toan. "Ia segera
menghujani senjata rahasia kepada Ouwtjeng. Thielian tjie, Tokkilee,
Ngoloei tjoe, Kimtjhie piauw dan sebagainya menyambar-nyambar bagaikan
gerimis, sehingga si pendeta jadi repot bukan main. Dia melompat turun
dari tunggangannya dan lalu menggunakan jubah pertapaannya sebagai
tameng. Sementara itu, Liong Soesiok masih tetap duduk di punggung kuda.
Semula, kami menduga, ia kena obat tidur. Tapi dengan pertolongan sinar
bulan, kami melihat matanya terbuka lebar dan mengawasi kami terlongong-
longong. Kami yakin, bahwa jika Soesiok membantu, tidak terlalu sukar
untuk mengambil jiwa pendeta itu. 'Leng Kiauw!' teriak Kouwkouw.
'Tikamlah Honghoe hiat-nya!' Tapi Soesiok tidak bergerak, kedua matanya
tetap mendelong seperti orang lupa ingatan, sedang kaki tangannya
bergemetaran. Kami jadi jengkel tercampur kuatir.
"Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang
sangat nyaring, disusul dengan berkelebatnya satu bayangan manusia!"
"Kim Sie Ie, bukan?" tanya Peng Go.
"Benar," jawabnya. "Kim Sie Ie. Sesaat itu, kami belum tahu, bahwa
kedatangannya adalah untuk memberi pertolongan. Kami kaget bukan main.
Kouwkouw melayani Ouwtjeng dengan hanya menggunakan senjata rahasia. Kami
yakin, bahwa begitu lekas senjata rahasia habis, si pendeta akan segera
menyerang dan kami berdua belum tentu bisa menandinginya. Mana bisa kami
melayani lagi seorang musuh alot seperti Kim Sie Ie? Kouwkouw berteriak
berulang-ulang untuk menyadarkan Liong Soesiok, tapi tetap tidak
berhasil. Waktu itu, aku sudah tidak memikir hidup. Aku bertekad untuk
lebih dulu membinasakan si pendeta dan jika berhasil, barulah menghadapi
Kim Sie Ie. Aku segera maju mendekati dan menunggu kesempatan untuk
menerjang.
"Di lain detik, Kim Sie Ie sudah tiba di gelanggang pertempuran,
sedang aku sendiri hanya terpisah tujuh delapan kaki dari si pendeta.
"Mendadak, Ouwtjeng menyabat dengan jubahnya dan beberapa senjata
rahasia terpukul balik dan menyambar ke punggung Kouwkouw. Sesaat itu,
Kouwkouw sedang memutar tubuh untuk menghadapi Kim Sie Ie dan ia sama
sekali tak menduga, bahwa si pendeta bisa menyerang dirinya dengan
senjata rahasianya sendiri.
"Pada detik itulah, tongkat Kim Sie Ie menyambar. Jika Kouwkouw
menangkis tongkat, ia tak akan bisa menangkis senjata rahasia yang
menyambar punggung dan begitu juga sebaliknya. Melihat begitu, semangatku
terbang.
"Sekonyong-konyong terdengar suara 'tring-tring-tring!' dan semua
senjata rahasia terpental ke empat penjuru. Ternyata, di luar semua
taksiran, tongkat itu bukan menghantam Kouwkouw, tapi menyabat senjata-
senjata rahasia itu."
Keng Thian tertawa. "Cara-cara Kim Sie Ie memang aneh sekali,"
katanya.
"Waktu itu aku berdiri terpaku dan memusatkan Seantero perhatian ke
arah Kouwkouw," kata pula Tong Toan. "Tak dinyana, dengan menggunakan
kesempatan itu, si pendeta mengedut jubahnya yang lantas saja menyambar
ke kepalaku. Kim Sie Ie membentak keras dan melompat untuk menolong, tapi
sudah tidak keburu. Mataku berkunang-kunang dan tidak ingat orang lagi
sampai ditolong oleh kalian."
"Kalau begitu, siapa yang menang dan siapa yang kalah tidak
diketahui olehmu, bukan?" tanya Keng Thian.
"Tidak, aku tak tahu," jawabnya. "Kouwkouw sudah tua. Aku sungguh
berkuatir."
"Menurut pendapatku, Tong Lootjianpwee tak kurang suatu apa,"
menghibur Peng Go. "Jika dia menang, si pendeta tentu tak akan membiarkan
kau hidup terus. Di samping itu, kalau mereka terluka, di sekitar sini
mesti terdapat tanda-tanda darah. Menurut taksiranku, Tong Lootjianpwee
dan Kim Sie Ie telah mengubar pendeta itu."
"Mari kita mengejar terus." mengajak Keng Thian.
Salju mulai turun lagi, semakin lama jadi semakin lebat. Mereka
yakin, bahwa niatan untuk mengejar ketiga orang itu akan lebih sukar
tercapai karena tapak-tapak tentu keuruk dengan salju yang baru turun.
Tapi sebab tiada lain jalan yang lebih baik, mereka terpaksa meneruskan
pengejaran ke jurusan barat. Di sepanjang jalan, Peng Go diliputi
kedukaan, karena ia tak dapat menebak, kenapa Kim Sie Ie tidak pergi ke
Thiansan dan berkeliaran di daerah yang belukar itu.
***
Hari itu, Kim Sie Ie kabur dari warung arak dengan rasa kemalu-
maluan. Ia merasa jengah dan mengambil keputusan untuk tidak menemui lagi
Phang Lin dan puterinya. Ia lari selari-larinya, tanpa tujuan. Sesudah
kabur tiga hari, ia tiba di daerah padang pasir dan kesasar. Ia berada di
tempat yang tiada manusianya, sedang makanan kering yang dibawanya, sudah
habis.
Sesudah menghitung-hitung, ternyata ia hanya bisa hidup kira-kira
tiga puluh hari lagi. Ia tertawa dalam hatinya. Ia merasa, bahwa mati di
tanah belukar itu, lebih cepat beberapa hari atau lebih lambat beberapa
hari, tidak menjadi soal. Ia tak takut mati, ia memang siap sedia untuk
meninggalkan dunia yang penuh penderitaan. Tapi, di lain saat, ia
berpikir lain. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, ia merasa
penasaran jika mesti mati kelaparan di padang pasir. Ia tak rela untuk
mati cara begitu. Kim Sie Ie adalah seorang yang sungkan menyerah kalah
terhadap siapapun juga. Setelah mengetahui, bahwa ia tak akan bisa
terlolos dari kebinasaan, harapan yang satu-satunya ialah: Ia ingin mati
secara mengesankan. Ia tak rela untuk mati dengan begitu saja, dengan
sepi-sepi saja.
Akan tetapi, ia sekarang berada di padang pasir, tanpa makanan dan
tanpa air. Hari itu, dengan lapar dan haus, ia mendaki sebuah bukit
pasir. Tiba-tiba ia melihat beberapa batu besar yang berlubang-lubang.
Batu-batu di daerah padang pasir banyak lebih empuk daripada baru biasa
dan di lubang-lubang sering terdapat air, yang dinamakan "susu batu".
Dengan girang ia melihat, bahwa di beberapa lubang masih terdapat
air. Sesudah mengisap "susu batu" itu, perasaan hausnya menghilang, tapi
rasa laparnya jadi semakin hebat. Ia segera bersila di belakang batu dan
mengerahkan lweekang. Sesudah berlatih beberapa lama, semangatnya
terbangun dan rasa lapar mulai mereda.
Mendadak, di sebelah kejauhan terdengar suara kelenengan unta. Ia
girang bukan main. Dengan merampas "perahu padang pasir" itu, ia pasti
bisa menyelamatkan diri. Tapi di lain detik, ia berkata pada dirinya
sendiri: "Dengan merampok binatang itu, aku bisa hidup kurang lebih tiga
puluh hari lagi. Tapi dengan menolong diriku, si pelancong menjadi
korban."
Dulu-dulu, Kim Sie Ie belum pernah memikirkan soal orang lain.
Semenjak berkenalan dengan Pengtjoan Thianlie, Phang Lin dan puterinya,
rasa membencinya terhadap manusia perlahan-lahan berkurang. Kadang-
kadang, di tengah malam yang sunyi, ia sendiri merasa heran kenapa
perasaannya telah berubah.
Semakin lama, suara kelenengan semakin dekat. Ia bersangsi sangat.
Rampas atau tidak rampas?
Sekonyong-konyong, kesunyian gurun pasir dipecahkan dengan suara
tertawa yang nyaring dan luar biasa. Kim Sie Ie terkejut, karena suara
itu tak asing bagi kupingnya. Ia lalu mengintip dari atas batu. Unta itu
masih terpisah beberapa li, tapi sebab di padang pasir tidak terdapat
aling-aling, maka ia bisa melihat tegas. Ternyata, di punggung unta
berduduk dua orang, yang masing-masing mempunyai muka luar biasa. Dengan
sekali melihat saja, ia sudah mengenali, bahwa yang satu adalah
Hiatsintjoe, sedang yang lain si pendeta lengan besi, Tang Thay Tjeng.
Ia gembira dan berkata dalam hatinya: "Aha! Hatiku bebas dari
perasaan berdosa jika merampas tunggangan dua manusia busuk itu."
Karena berada di padang pasir, mereka bicara dengan bebas tanpa
kuatir didengar orang.
"Hiatsin Tooyoe," kata Tang Thay Tjeng. "Menurut katanya Hongsek
Tooheng kau sekarang bekerja pada kerajaan Tjeng dan mempunyai harapan
untuk diangkat menjadi Koksu (guru negara). Tapi kenapa, sebaliknya dari
mengicipi kebahagiaan di istana kaisar, kau sudah datang di padang pasir
ini. Apakah kau mempunyai tugas di tempat ini?"
Hiatsintjoe menghela napas panjang, paras mukanya berubah seram
tercampur lucu, seperti tertawa, bukan tertawa. "Hai!" katanya. "Jika mau
dituturkan,
ceritanya panjang sekali. Aku juga ingin menanya kau. Kenapa kau
juga berada di padang pasir ini? Sesudah menyembunyikan diri tiga puluh
tahun lamanya, kau muncul lagi dalam pergaulan manusia. Aku yakin, kau
sekarang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Kenapa sebaliknya dari
berkelana dalam kalangan Kangouw, kau kabur ke tempat yang sepi ini?"
Tang Thay Tjeng pun menghela napas. Mukanya berubah merah, karena
malu. Sesaat kemudian, barulah ia menjawab: "Hra! Kepandaian apa! Baru
muncul, aku sudah dirobohkan!"
Hiatsintjoe kaget dan heran. "Tang-heng," katanya. "Aku mengenal
kau sebagai seorang yang tak suka menyerah terhadap siapapun juga. Kenapa
kau sekarang mengatakan begitu? Siapa manusia itu? Bagaimana kau
dirobohkannya?"
"Aku dirobohkan oleh Phang Lin, ie-ie (ipar) Tong Siauw Lan,"
jawabnya dengan suara masgul.
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung. "Lagi-lagi orang Thiansan
pay," katanya dengan suara mendongkol.
"Sesudah menderita kekalahan beberapa kali, Hongsek Toodjin dingin
hatinya dan ia sekarang sudah kembali ke hutan batu untuk tidak muncul
lagi dalam dunia pergaulan," kata Tang Thay Tjeng.
"Tapi aku sendiri masih penasaran. Aku ingin mencari satu orang
guna mendapatkan sejilid kitab yang luar biasa."
"Kitab apa?" tanya Hiatsintjoe. "Apa ilmu dalam kitab itu bisa
menangkan ilmu silat Thiansan pay?"
"Belum bisa dipastikan," jawabnya. "Pada kurang lebih empat puluh
tahun berselang, siapakah yang memiliki ilmu silat paling tinggi?"
"Ie Lan Tjoe, Lu Soe Nio dan Tokliong Tjoentjia," jawab
Hiatsintjoe. "Ie Lan Tjoe sudah meninggal dunia. Yang masih hidup adalah
Tokliong Tjoentjia dan Lu Soe Nio."
"Yang sedang dicari olehku adalah murid Tokliong Tjoentjia," kata
Tang Thay Tjeng. "Kitab itu, yang diberi nama Tokliong Pitkip, disimpan
olehnya."
Hiatsintjoe tertawa dingin. "Apa dia sudi menyerahkannya?" tanyanya
Mendengar sampai disitu, Kim Sie Ie merasa geli dalam hatinya.
Tan Thay Tjeng tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Aku
mempunyai satu jalan untuk memaksanya."
Hiatsintjoe tak percaya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tooheng," kata pula Tang Thay Tjeng. "Jika aku tidak salah
melihat, kau sendiri mempunyai ganjelan di dalam hati. Pikiran dua orang
lebih sempurna daripada pikiran satu orang. Bolehkah kau memberitahukan
siauwtee, apa yang menjengkelkan hatimu?"
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung, sikapnya angkuh sekali,
seolah-olah ia memandang rendah kepandaian kawannya. Tapi, di lain saat,
ia rupanya berbalik pikiran dan berkata dengan suara manis: "Tang
Tooheng, jangan kau mimpi. Masakah orang mau gampang-gampang menyerahkan
kitab ilmu silat kepadamu? Lebih baik kau mengikuti aku mendaki Puncak
Mutiara 141 di Himalaya."
"Perlu apa?" tanya Tang Thay Tjeng. "Aku dengar, semenjak dulu
belum pernah ada manusia yang berhasil mendaki puncak itu, Apa kau mau
cari mati?"
Hiatsintjoe tertawa dingin. "Lebih baik mati daripada seperti
sekarang," katanya dengan suara getir. "Tak mati dan tak hidup, terus
menerus dihina orang."
Tang Thay Tjeng heran bukan main. "Apa artinya perkataanmu?"
tanyanya.
"Kau roboh dalam tangan Phang Lin dan kekalahan itu masih ada
harganya," jawabnya. "Tapi aku dijatuhkan oleh seorang houwpwee (orang
yang tingkatannya lebih rendah)."
"Siapa?" tanya pula Tang Thay Tjeng.
"Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
"Aneh benar nama itu, aku belum pernah mendengarnya," kata si
pendeta.
"Belakangan ini dalam Rimba Persilatan muncul orang-orang baru yang
berkepandaian sangat tinggi," menerangkan Hiatsintjoe. "Sesudah dihajar
dengan tujuh butir Sintan oleh Pengtjoan Thianlie, sehingga sekarang
lweekang-ku belum pulih kembali. Aku dengar, di Puncak Mutiara terdapat
banyak sekali rumput dan pohon yang mempunyai khasiat luar biasa dan di
antaranya terdapat serupa rumput dewa yang dikenal sebagai Tjiangtjoe
Siantjo (Rumput dewa mutiara merah). Sepanjang keterangan, orang yang
makan rumput itu dapat menambah lweekang-nya seperti juga ia berlatih
tiga puluh tahun. Untuk bicara terus terang, dengan suami isteri In Leng
Tjoe, aku sebenarnya mendapat tugas untuk menjalankan hukuman mati atas
diri Liong Loosam di Lhasa. Tapi sekarang, sesudah dirobohkan orang, aku
tak ada muka lagi untuk berkelana dalam kalangan Kangouw. Aku sudah tidak
memikiri lagi segala pangkat Koksoe dan tujuanku yang terutama adalah
coba mendapat rumput dewa itu. Jika kau bersedia untuk mengikut, aku akan
merasa girang sekali."
Sementara itu, unta sudah mendekati tempat bersembunyinya Kim Sie
Ie dan beberapa saat kemudian, sudah mendaki bukit pasir itu. Tiba-tiba
Kim Sie Ie melompat keluar sambil tertawa nyaring. "Tahan!" teriaknya.
"Kamu ingin mencari rumput dewa, aku hanya menghendaki untamu!" Hampir
berbareng, ia meloncat dan tangannya menyambar les, sehingga binatang itu
tak bisa bergerak lagi.
Hiatsintjoe gusar bukan main. "Kim Sie Ie! Mau apa kau?" bentaknya.
Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. "Apa kau tuli?" tanyanya.
"Bukankah aku sudah memberitahukan: Aku mau untamu!"
Hiatsintjoe dan Kim Sie Ie, yang sudah pernah bertempur beberapa
kali, sama-sama tahu kepandaian sang lawan. Dalam lweekang, Hiatsintjoe
lebih unggul, tapi kalah dalam ilmu melepaskan senjata rahasia, sehingga
kekuatan mereka 'bisa dikatakan setanding. Sekarang, sedang lweekang-nya
belum pulih seperti biasa, ia merasa agak jeri dalam menghadapi pemuda
itu. Tapi mengingat adanya Tang Thay Tjeng, ia merasa, bahwa dengan dua
melawan satu, pemuda itu akan dapat dirobohkan.
Memikir begitu, tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia mengenjot
badan dan bagaikan seekor elang, ia melayang turun dari punggung unta dan
menubruk lawannya,
"Bagus!" teriak Kim Sie Ie sambil menyodok jalanan darah Tjongtjeng
hiat, di kempungan Hiatsintjoe, dengan tongkatnya. Dengan menggoyangkan
badan di tengah udara, Hiatsintjoe berhasil mengegos sodokan itu, tapi
Kim Sie Ie sungkan memberi napas kepadanya dan terus mengirim serangan
berantai, sehingga ia terpaksa mundur beberapa tindak.
"Tahan!" seru Tang Thay Tjeng. "Air bah merendam Liong-ong bio
(Kuil Raja Naga), kita semua adalah orang-sendiri. Hei! Mari kita bicara
dulu!"
Kim Sie Ie tertawa dingin. "Siapa sudi jadi orang sendirimu?" ia
mengejek.
"Dengarlah dulu!" Tang Thay Tjeng berteriak pula. "Kau adalah murid
Tokliong Tjoentjia, sedang aku ahli waris Patpie Sinmo. Apa salah jika
aku mengatakan orang sendiri?"
Kim Sie Ie terkejut, tapi di lain saat ia kembali tertawa dingin
seraya berkata: "Sedari tiga puluh tahun berselang, guruku sudah bercerai
dengan pihakmu. Siapa kesudian bersahabat dengan kamu?"
"Eh, jangan sombong kau," kata si pendeta dengan mendongkol. "Kau
boleh menolak persahabatan, tapi apa kau juga tak sayang jiwamu?"
"Apa?" menegas Kim Sie Ie, darahnya meluap. "Manusia semacam kau
ingin mengambil jiwaku? Maju! Kau kira aku takut?" Bibirnya bergerak,
siap sedia untuk segera menyemburkan jarumnya.
"Jangan kalap, kau dengarlah dulu," kata pula Tang Thay Tjeng
dengan menahan amarah. "Bukan aku yang menghendaki jiwamu, tapi gurumu
sendiri yang sudah mencelakakan kau. Itulah yang dimaksudkan olehku."
"Apa?" menegas pula Kim Sie Ie.
"Kau sudah menggunakan cara yang salah dalam melatih lweekang,"
jawabnya. "Karena itu, satu waktu lweekang-mu akan membakar dirimu
sendiri. Apa belum ada tanda-tandanya?"
Kim Sie Ie terkesiap. Kenapa dia tahu? Di lain detik, ia kembali
tertawa nyaring. "Benar!" teriaknya. "Aku hidup tak lama lagi. Aku
justeru sedang mencari-cari kawan untuk menemani perjalanan pulang ke
alam baka!" Hampir berbareng, ia menghunus pedang dan lalu menyerang
Hiatsintjoe secara nekat-nekatan.
"Thay Tjeng Tooyoe!" teriak Hiatsintjoe. "Tak usah banyak rewel
lagi dengan manusia ini. Jika dia berhasil merampas unta, kita bisa mati
di padang pasir ini."
Dengan berkata begitu, ia mengharapkan bantuan si pendeta.
Tapi Tang Thay Tjeng sama sekali tidak bergerak. Ia berkata:
"Tokliong Pitkip adalah kitab ilmu silat dari gurumu. Tapi kau tak tahu,
bahwa sebelum menutup mata, ia telah mendapatkan serupa ilmu mujijat
untuk menolong jiwa dari akibat latihan lweekang yang salah. Karena tidak
keburu mencatatnya dalam Pitkip, ia menulis pendapatannya itu dalam buku
catatan hari-hari. Buku itu sekarang berada dalam tanganku. Apa kau mau
aku menyerahkannya?" Tak usah dikatakan lagi, keterangan si pendeta
adalah dusta belaka dan hanya mengandung maksud untuk merampas Tokliong
Pitkip.
Kim Sie Ie tergerak hatinya, sebab perkataan Tang Thay Tjeng
kedengarannya cukup beralasan. Karena perhatiannya terpecah, sesaat itu
Hiatsintjoe mendapat kesempatan untuk balas menyerang dan ia mengirim
beberapa pukulan dahsyat dengan telapakan tangannya yang berhawa panas.
Dikebas dengan angin panas, Kim Sie Ie yang sedang kehausan jadi semakin
haus. Dengan gusar buru-buru ia mengempos semangat dan segera dapat
memulihkan keunggulannya.
Sesudah berhasil menindih musuhnya, ia berkata: "Baiklah. Serahkan
dulu buku guruku.
Sesudah buku itu diserahkan aku akan mengampuni jiwa kawanmu."
"Huh!" kata si pendeta sambil tertawa. "Mana boleh begitu? Hentikan
dulu seranganmu."
Kim Sie Ie jadi curiga. Ia tertawa besar seraya membentak "Kau kira
aku anak kecil? Keluarkan dulu buku itu!" Sambil berkata begitu, ia
memperhebat serangannya, sehingga Hiatsintjoe jadi repot sekali. "Thay
Tjeng Tooyoe!" teriaknya. "Perlu apa tarik urat dengan bocah ini?"
Si pendeta sangat bersangsi. Di satu pihak ia sungkan bermusuhan
dengan pemuda yang mau diakali itu, tapi di lain pihak, ia merasa tak
tega sebab kawannya sedang berada dalam bahaya besar. Tiba-tiba tongkat
Kim Sie Ie menyambar bagaikan kilat dan Hiatsintjoe sudah tak dapat
menangkis lagi.
Tang Thay Tjeng terkesiap. Ia tak sempat memikir panjang-panjang
lagi dan lalu menggoyang "pundaknya. Hampir berbareng, lengan besinya
terbang menyambar. Dengan gerakan indah, Kim Sie Ie kelit sambaran itu
dan hampir berbareng, kakinya menendang Hiatsintjoe yang lantas saja
jatuh terjengkang. Ia tak berhenti sampai disitu. Pedangnya berkelebat
dan jubah pertapaan Tang Thay Tjeng robek di bagian saku, yang ternyata
tidak berisi apapun juga.
"Binatang!" bentak Kim Sie Ie. "Kau berani menipu aku?"
Si pendeta jadi bingung dan ketakutan. "Tidak... aku tidak
berdusta," katanya, terputus-putus. "Aku berani bersumpah, bahwa gurumu
meninggalkan sejilid buku catatan hari-hari."
"Dimana kau
menyembunyikannya? Lekas keluarkan!" bentak pemuda itu.
Tang Thay Tjeng mundur beberapa tindak dan berkata sambil tertawa:
"Aku mengaku, bahwa aku tak mempunyai kebecusan. Buku itu telah dirampas
oleh Tong Siauw Lan."
"Omong kosong!" teriak Kim Sie Ie. "Perlu apa Tong Siauw Lan
merampas buku itu?"
Si pendeta kembali tertawa dan berkata dengan suara tenang: "Dalam
hal ini, ada latar belakangnya yang tidak diketahui olehmu. Memang benar,
Tong Siauw Lan yang mempunyai kepandaian sangat tinggi, tidak memerlukan
buku rahasia itu. Akan tetapi, selama hidupnya, ia paling takuti gurumu
Jika ilmu silat gurumu tersebar di dalam dunia, selalu terdapat
kemungkinan, bahwa di belakang hari, ilmu silat itu akan lebih unggul
daripada ilmu Thiansan pay. Kau harus tahu, bahwa selama kurang lebih
seratus tahun, ilmu silat Thiansan pay dianggap sebagai ilmu silat yang
paling liehay di kolong langit. Tong Siauw Lan adalah pemimpin Thiansan
pay. Dapatlah dimengerti, jika ia tak mau membiarkan adanya ancaman
bahaya di hari kemudian.
"Maka itulah, ia mau juga mengangkangi buku gurumu itu. Dengan
demikian, biarpun kau memiliki Tokliong Pitkip, tapi sebab tidak mengenal
ilmu untuk menolong diri dari akibat latihan Iweekang yang salah, selama-
lamanya kau harus mengandal kepadanya. Bukan saja kau, tapi semua orang
yang mempelajari ilmu silat Tokliong Tioentjia, harus meminta belas
kasihan Thiansan pay. Ringkasnya, turun menurun orang-orang dari pihakmu
akan tetap menjadi semacam budak dari partai Thiansan!"
Perkataan yang beracun itu, yang kedengarannya sangat beralasan,
berhasil mempengaruhi Kim Sie Ie. Sebagaimana diketahui, ia adalah
manusia yang beradat angkuh dan ia selalu merasa tak rela untuk meminta
pertolongan siapapun juga. Untuk beberapa saat, ia mengawasi si pendeta
dengan mata mendelong, tanpa mengeluarkan sepatah kata. Melihat
pancingnya agak berhasil, Tang Thay Tjeng mesem dan berkata dengan nada
mengejek: "Jika buku itu berada di tangan orang lain, mungkin sekali
masih agak gampang direbut pulang. Tapi di tangan Tong Siauw Lan, rasanya
tiada manusia yang bisa merampasnya kembali."
Kim Sie Ie mengeluarkan suara di hidung dan darahnya mulai naik
tinggi. Tapi ia tak berani mengeluarkan suara besar, karena ia pun yakin,
bahwa apa yang dikatakan si pendeta bukan ejekan belaka. Mana ia sanggup
melawan Tjiangboendjin dari Thiansan pay?
"Tapi, kau jangan kuatir," kata pula si pendeta. "Aku mempunyai
akal yang bagus."
"Akal apa?" tanyanya.
"Tong Siauw Lan mempunyai satu anak laki-laki yang bernama Tong
Keng Thian," sahutnya. "Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, tapi aku
yakin, kau masih bisa membereskannya. Kau hanya perlu menyerang dengan
jarummu waktu ia tidak berwaspada. Kau harus memasukkan jarum itu ke
dalam jalanan darahnya, sehingga, biarpun ia mempunyai Thiansan Soatlian,
jiwanya tak akan dapat ditolong, kecuali dengan obatmu sendiri. Huh-huh!
Ia akan terpaksa memohon belas kasihanmu. Dan pada waktu itulah, kau
boleh berunding dengan Tong Siauw Lan untuk menukar obat dengan buku
gurumu itu."
Itulah racun hebat yang disebar Tang Thay Tjeng.
Kenapa pendeta itu sudah merasa tak segan untuk mengatur tipu yang
begitu busuk?
Dulu, lengan Tang Thay Tjeng telah patah karena pukulan Tiattjiang
Sintan Yo Tiong Eng. Walaupun yang memukul adalah Yo Tiong Eng, tapi
peristiwa itu sudah terjadi karena gara-gara Tong Siauw Lan. Itulah
sebabnya, setelah melihat Kim Sie Ie tak gampang ditipu, ia lalu
mengarang cerita untuk "meracuni" Tong Siauw Lan.
Alis Kim Sie Ie berkerut. "Meskipun busuk, tipu itu memang sangat
bagus," katanya di dalam hati. "Tapi apa aku bukan manusia? Waktu di
Kimkong sie, bersama-sama Pengtjoan Thianlie, Keng Thian pernah menolong
jiwaku. Mana bisa aku menurunkan tangan yang begitu jahat?"
Melihat pemuda itu tetap membungkam, Tang Thay Tjeng jadi semakin
besar hatinya, "Jika kau setuju, aku sedia serupa tipu lain untuk
memancing Tong Keng Thian," katanya.
Kim Sie Ie menjebi dan matanya berkilat. Sekonyong-konyong ia
berteriak: "Tak nanti aku menuruti perkataan manusia busuk seperti kau!"
Tangannya melayang dan tubuh Tang Thay Tjeng terpental setombak jauhnya.
Sambil tertawa besar ia melompat ke punggung unta yang lalu
dilarikan perlahan-lahan,
Tang Thay Tjeng merangkak bangun dan berteriak-teriak memanggil-
manggil, tapi tentu saja tidak diladeni. Ia bingung tak kepalang. Buru-
buru ia menolongi Hiatsintjoe yang masih menggeletak di atas pasir untuk
berdamai, bagaimana mereka harus meloloskan diri dari gurun pasir itu.
Di sela unta, Kim Sie Ie mendapatkan makanan kering dan dua kantong
kulit berisi air. Dengan hati bungah, ia lalu minum sepuas hati dan
menangsel perut. Waktu itu, daerah padang pasir sudah berada di permulaan
musim semi, kapan siang hari lebih pendek dan malam lebih panjang. Tak
lama kemudian, cuaca mulai gelap dan angin dingin mulai turun, sehingga
pasir kuning pada berterbangan ke tengah udara, Di antara angin yang
menderu-deru, dalam hati pemuda itu timbul kembali rasa dukanya.
Ia menghela napas berulang-ulang dan ingat lagi kejadian-kejadian
di masa yang sudah selam. Tiba-tiba dalam otaknya berkelebat serupa
pikiran. "Menurut katanya Hiatsintjoe, di Puncak Mutiara terdapat rumput
dewa yang bisa memperkuat lweekang," pikirnya. "Siapa tahu kalau rumput
itu juga mempunyai khasiat untuk menolong jiwaku? Hanya sayang, puncak
itu katanya sukar dipanjat dan belum pernah ada manusia yang berhasil
memanjatnya." Sesudah berjalan beberapa jauh lagi, ia mendapat lain
pikiran, Ia merasa, bahwa biarpun tak berhasil mendapatkan rumput dewa,
gagal dalam usahanya untuk mencapai puncak yang tinggi itu dan harus
binasa di tengah jalan, kebinasaan itu masih ada harganya. Ia memang
mengharap, jika mesti mati, biarlah ia mati secara menggemparkan dan tak
cuma-cuma. Mengingat begitu, lantas saja ia mengambil putusan untuk
mendaki Puncak Mutiara.
Sesudah mempunyai ketetapan, hatinya jadi gembira dan ia lalu
menyanyi sekeras suara, bagaikan seorang edan. Unta yang ditunggangnya
rupanya kaget mendengar nyanyiannya dan lalu kabur sekeras-kerasnya. Kim
Sie Ie tidak menggubris dan membiarkan binatang itu lari semau-maunya.
Dengan hati tenang, ia meneruskan perjalanan. Jika merasa capai, ia
merebahkan diri di atas punggung unta dan kalau haus atau lapar, air dan
makanan selalu tersedia. Lewat beberapa hari ia sudah keluar dari padang
pasir itu.
Sesudah tak memerlukan lagi tenaga unta, Kim Sie Ie menyerahkan
tunggangannya kepada seorang saudagar Mongol yang ia kebetulan bertemu di
tengah jalan. Orang itu terheran-heran, tapi Kim Sie Ie memaksa supaya ia
suka menerimanya dan kemudian menanya jalanan yang menerus ke pegunungan
Himalaya.
Si saudagar menduga pemuda itu seorang gila, tapi dengan rasa
berterima kasih, ia lalu memberi keterangan jelas. Untuk pergi ke
Himalaya, orang harus melewati satu padang rumput yang luas, di sebelah
barat Lhasa. Karena daerah itu banyak penduduknya dan tidak kekurangan
air, maka seorang pelancong tak perlu membawa makanan kering atau air
minum. Di sampingnya memberi keterangan, ia juga membekali Kim Sie Ie
sekantong daging, sebagai balasan terima kasih.
Waktu itu, di daerah Tibet baru saja masuk di permulaan musim semi
dan salju masih belum melumer. Dengan berjalan sendirian di padang rumput
yang sangat luas itu, hati Kim Sie Ie kembali diliputi dengan kedukaan.
Pengtjoan Thianlie, Tong Keng Thian, Phang Lin dan puterinya sering-
sering terbayang di depan matanya. Dengan menimbang-nimbang secara
tenang, ia merasa, bahwa mereka itu adalah manusia-manusia yang mempunyai
sifat-sifat mengagumkan.
Kim Sie Ie berjalan tanpa mengenal waktu, tak perduli siang atau
malam. Ia hanya mengasoh jika merasa capai. Hari itu, ia berjalan terus
menerus sampai jauh malam. Tiba-tiba turun angin yang sangat dingin,
disusul dengan turunnya salju. Ia merasa sangat lelah dan segera
merebahkan diri di atas satu batu besar. Tapi ia tak bisa pulas sebab
rupa-rupa pikiran masuk ke dalam otaknya. Ia ingat, bahwa selama kurang
lebih dua puluh tahun, ia selalu membenci manusia, yang dianggapnya kejam
dan selalu menghina dirinya. Tapi sebenar-benarnya, kecuali waktu ia
masih kecil, orang lain lebih banyak membuang budi kepadanya dan malahan,
ia sendirilah yang sangat sering menghina sesama manusia. Mengingat
begitu, dalam hatinya timbul serupa perasaan menyesal dan rasa ngantuknya
lantas saja menghilang.
Ia mengawasi bintang-bintang di langit dan mengetahui, bahwa tak
lama lagi fajar akan menyingsing. Sekonyong-konyong di sebelah kejauhan
terdengar suara kuda yang lari keras dan beberapa saat kemudian berbareng
dengan berhentinya suara kaki kuda, terdengar suara perkelahian.
Dengan heran, Kim Sie Ie bangun dan memandang ke arah suara itu.
Dengan bantuan sepasang matanya yang sangat awas, ia melihat seorang
wanita tua sedang bertempur dengan seorang pendeta asing, sedang seorang
pemuda berdiri di pinggir jalan. Begitu melihat ilmu menimpuk senjata
rahasia dari si nenek, ia segera mengenali, bahwa ia adalah Tong Say Hoa.
Sebab sangat jauh, ia tidak bisa melihat tegas siapa adanya pemuda itu,
tapi ia menaksir, si pemuda tentunya Tong Toan. Sesudah menyaksikan
beberapa saat, ia yakin, bahwa si pendeta asing mempunyai kepandaian
lebih tinggi daripada Tong Say Hoa.
Di dekat gelanggang pertempuran terdapat seorang lain yang
mengenakan seragam perwira tentara Tjeng dan duduk di atas punggung kuda.
Mendengar si pemuda menggunakan panggilan "Liong Soesiok" dan Tong Say
Hoa memanggil "Leng Kiauw," hati Kim Sie Ie mendadak berdebar-debar.
Ia lantas saja ingat perkataan Hiatsintjoe, bahwa kaizar Tjeng
telah menitahkan tiga jago datang di Lhasa untuk mengawasi di jalankannya
hukuman mati atas diri Liong Loosam. "Apa orang itu yang dipanggil Liong
Loosam?" tanyanya di dalam hati. "Kenapa ia mengenakan seragam perwira
tentara Tjeng dan bukan pakaian perantaian?"
Harus diketahui, bahwa sebagai orang kepercayaan Hok Kong An, Liong
Leng Kiauw telah mendapat perlakuan istimewa. Sebelum datangnya firman
kaisar, biarpun sudah dipenjarakan, ia masih tetap mengenakan seragam
itu.
Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, Kim Sie Ie segera dapat
mengendus, bahwa Tong Say Hoa terancam bahaya. Ia yakin, bahwa begitu
lekas senjata rahasianya habis, si pendeta asing akan segera menyerang.
"Walaupun nenek itu sangat menyebalkan, ia adalah salah seorang ternama
dalam kalangan Rimba Persilatan," pikirnya. "Jika ia roboh dalam tangan
si pendeta asing, bukankah seluruh Rimba Persilatan Tionggoan akan turut
mendapat malu?" Berbareng dengan itu, ia merasa agak jengah karena
perbuatannya terhadap keluarga Tong. Diam-diam ia mengakui, bahwa
perbuatan itu memang tak pantas.
Beberapa saat kemudian, si nenek benar-benar terancam maut. Tanpa
memikir panjang-panjang lagi, Kim Sie Ie lalu melompat dan memberi
pertolongan pada detik yang sangat penting.
Begitu bergebrak, baik Kim Sie Ie maupun si pendeta asing merasa
sangat kaget. Setiap pukulan pemuda itu disertai dengan Iweekang yang
dahsyat. Di lain pihak, jubah pertapaan si pendeta seolah-olah tameng
besi setiap kali terbentur tongkat, mengeluarkan suara seperti benda yang
keras.
Sementara itu, bantuan Kim Sie Ie sungguh-sungguh di luar dugaan
Tong Say Hoa yang jadi girang tercampur heran, Karena tidak dapat
menggunakan lagi senjata rahasia sebab bisa menyasar ke kawan sendiri, si
nenek lalu menyerang dengan gendewa, dengan menggunakan ilmu Kimkiong
Sippattah (ilmu silat gendewa yang mempunyai delapan belas jalan).
Dikerubuti oleh dua musuh yang berkepandaian tinggi, dalam sekejap
Ouwtjeng jatuh di bawah angin.
Tapi si pendeta pun bukan tolol cepat-cepat ia menukar taktik.
Terhadap Kim Sie Ie, ia hanya membela diri dan terus mencecer si nenek
dengan pukulan-pukulan hebat. Diserang cara begitu, belum cukup setengah
jam, napas Tong Say Hoa yang sudah berusia lanjut, mulai tersengal-
sengal.
Kim Sie Ie jadi jengkel. Ia yakin, bahwa tanpa perubahan, dalam
tempo setengah jam lagi, si nenek bisa roboh karena kecapaian. Biarpun ia
tak takut untuk bertempur satu melawan satu, tapi kalau Tong Say Hoa
roboh ia harus memberi pertolongan. Ia ingin sekali menggunakan jarum
beracun, tapi lantaran belum tahu siapa adanya si pendeta, ia sungkan
mencelakakan jiwa orang secara sembarangan.
Selang beberapa saat, si nenek berteriak: "Leng Kiauw! Leng Kiauw!"
Tapi Liong Leng Kiauw tetap tidak bergerak.
"Tong Lootaypo, siapa orang itu?" tanya Kim Sie le.
"Murid ayahku," jawabnya.
"Kenapa dia tidak meladeni?" tanyanya pula. "Apa dia kena ilmu
siluman ?"
Tong Say Hoa segera memanggil-manggil lagi beberapa kali. Tiba-tiba
badan Liong Leng Kiauw bergoyang-goyang dan dari tenggorokannya terdengar
suara "kerokok-kerokok". Si nenek jadi girang dan coba mendekati, tapi ia
segera dihalangi oleh musuhnya.
"Baiklah," kata Kim Sie Ie. "Biar aku yang hajar manusia tak punya
pribudi itu."
"Jangan! Jangan!" berteriak si nenek.
"Kenapa jangan?" kata pula pemuda itu. "Tong Lootaypo, kau hanya
perlu membela diri untuk beberapa jurus. Aku akan segera kembali."
Berbareng dengan perkataannya, ia menghantam jubah si pendeta dengan
pukulan Tjianliong sengthian (Naga terbang ke langit), disusul dengan
totokan ke jalanan darah Inboen hiat, di bawah dada si pendeta. Untuk
melindungi diri, Ouwtjeng memutar jubahnya bagaikan titiran. Tapi kedua
serangan itu hanya serangan gertakan dan pada saat musuhnya membela diri,
Kim Sie Ie menjungkir balik dan badannya hinggap di atas punggung kuda,
di belakang Liong Leng Kiauw.
Diluar dugaan, baru saja ia mau membuka mulut, tiba-tiba terdengar
teriakan Tong Say Hoa. Dengan terkejut, ia menengok. Ternyata, lengan si
nenek sudah dicengkeram oleh pendeta asing itu yang tengah mengangkat
jubahnya tinggi-tinggi, siap sedia untuk menurunkan pukulan yang
membinasakan.
"Turun!" bentaknya. "Jika tidak, aku cabut jiwa nenek tua ini!"
Sesudah bertempur begitu lama, baru sekarang si pendeta bicara dan ia
menggunakan dialek Pakkhia yang sangat lancar dan bagus.
Sebenarnya dengan lweekang-nya yang sudah cukup tinggi dan ilmu
Kimkiong Sippattah, Tong Say Hoa sedikitnya masih bisa mempertahankan
diri dalam sepuluh jurus. Tapi, mendengar pernyataan, "si gila" yang mau
menghajar Soetee-nya, ia jadi bingung dan segera bergerak untuk coba
mencegahnya. Tapi baru ia bertindak, si pendeta sudah menerjang dan
mengebas gendewanya dengan menggunakan jubah pertapaan. Hampir berbareng
dengan terpentalnya gendewa, ia merangsek dan mencengkeram lengan si
nenek.
Kim Sie Ie terkesiap, ia kuatir Ouwtjeng membuktikan
ancamannya. Di lain saat, ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata:
"Baiklah. Lepaskan Tong Lootaypo. Aku akan permisikan kau kabur." Ia
melompat turun dan si pendeta segera melepaskan cekalannya.
Tapi, sebelum ia melompat naik ke punggung tunggangannya, Kim Sie
Ie menyembur. Dia sungguh liehay. Begitu mendengar suara "srr" yang
sangat halus, ia menyabat dan ludah Kim Sie Ie menempel di jubahnya.
Sekonyong-konyong terdengar suara menggeledek, dibarengi dengan
muncratnya kepingan-kepingan batu. Si pendeta menengok dan ia terkejut
tercampur heran, karena tongkat pemuda itu menghantam satu batu besar.
Mendadak, satu benda hitam berkelebat bagaikan kilat dan dengan suara
"bret," jubah pertapaannya berlubang besar! Sebagaimana diketahui, dalam
pertempuran antara jago dan jago, walaupun sedetik, masing-masing pihak
tidak boleh memecah perhatian. Melihat tangguhnya musuh, Kim Sie Ie yang
sangat pintar, sudah sengaja memukul batu untuk membelokkan perhatian si
pendeta dan hampir berbareng, ia menghunus pedang yang lalu ditikamkan ke
dada musuh. Masih untung, berkat kecepatan si pendeta, tikaman itu hanya
mengenakan jubah. Tapi, biarpun terlolos dari kebinasaan, jubah yang
sudah berlubang itu tak dapat digunakan lagi sebagai tameng.
Kim Sie fe sungkan memberi napas pada musuhnya. Ia mengirim
serangan berantai, menikam jalanan darah Thiantjoe hiat, Hiankie hiat dan
Yangpek hiat, disusul dengan satu tikaman membinasakan ke arah lutut si
pendeta. Kim Sie Ie cepat, tapi Ouwtjeng lebih cepat lagi. Sesudah
mengegos tiga tikaman, tiba-tiba dia berteriak: "Bagus! Tikamlah!"
Jubahnya berkelebat dan menggentak pinggang Tong Say Hoa untuk memapaki
tikaman Kim Sie Ie yang terakhir. Untung juga, pada detik yang sangat
penting, pemuda itu masih keburu menarik pulang pedangnya. Jika tidak,
tubuh si nenek tentu sudah berlubang!
Ternyata, sesudah cengkeram;»! pada lengannya dilepaskan, Tong Say
Hoa yang sudah tua tidak bisa segera bergerak. Selagi ia mengerahkan
Iweekang untuk menjalankan aliran darahnya, tiba-tiba Ouwtjeng menyapu
dengan jubahnya, sehingga badannya terhuyung dan memapaki pedang Kim Sie
Ie.
Semua kejadian itu yang harus dituturkan agak panjang lebar, sudah
terjadi cepat sekali. Jika dihitung-hitung, meskipun jubahnya berlubang,
pihak si pendeta yang memperoleh kemenangan. Sambil tertawa berkakakan,
ia melompat ke punggung kuda yang lalu dikaburkan sekeras-kerasnya.
Dengan demikian, usaha Tong Say Hoa untuk merebut adik seperguruannya
mengalami kegagalan.
Bukan main mendongkolnya Kim Sie Ie. Sebelum ia keburu membuka
mulut untuk menanya si nenek, mendadak jeriji Tong Say Hoa menyambar dan
menotok jalanan darah Djiekie hiat-nya. Ia terkesiap, tapi sebelum sempat
menegur, sekonyong-konyong hidungnya mengendus serupa bau yang halus dan
wangi. Walaupun masih berusia muda, ia adalah seorang yang berpengalaman.
Lantas saja ia sadar, bahwa pendeta itu telah melepaskan semacam racun
dan si nenek menotok jalanan darahnya, supaya racun tak masuk ke dalam
dada. "Sungguh tepat jika keluarga Tong dijuluki sebagai ahli senjata
rahasia nomor satu di dalam dunia," katanya di dalam hati. "Hidung nenek
tua itu ternyata banyak lebih tajam daripada hidungku." Hatinya heran
bukan main, karena ia tak tahu bau apa adanya itu.
Di lain saat, Tong Lootaypo mendadak mengusap hidung Kim Sie Ie
yang lantas saja merasa dadanya lega dan jalanan darahnya yang tertotok
segera terbuka. Waktu itu, sambil memeluk Liong Leng Kiauw, si pendeta
sudah kabur puluhan tombak jauhnya.
"Ubar!" teriak si nenek. "Leng Kiauw kena obat lupa. Dia bukan
sengaja tak suka mengenal aku."
Barusan walaupun tak tahu racun apa yang dilepaskan oleh si
pendeta, ia mengusap hidung Kim Sie Ie sambil mencekal Liongyanko,
semacam obat yang bisa memunahkan segala macam racun dan ternyata obat
tersebut cukup manjur untuk melawan Asioelo.
Sehabis berteriak, Tong Say Hoa lantas saja mengubar sekencang-
kencangnya. Si pendeta sudah kabur jauh sekali dan biar bagaimana jugapun
tak akan dapat dicandak. Tapi si nenek tetap mengudak, bagaikan orang
edan. Melihat begitu Kim Sie Ie merasa terharu. "Tak dinyana, nenek yang
menyebalkan ini mempunyai rasa cinta yang begitu besar terhadap Liong
Loosam," katanya di dalam hati. Ia merasa tidak tega dan lalu membuntuti
dari belakang.
Sesudah mengejar belasan li, dari sebelah kejauhan Kim Sie Ie
mendadak melihat Tong Say Hoa terpeleset dan jatuh terguling di atas
tanah. Dengan kaget ia menghampiri dan ternyata, nenek itu telah
memuntahkan darah hidup, sedang paras mukanya pucat seperti mayat.
Melihat pemuda itu, ia membuka kedua matanya dan berkata dengan napas
tersengal-sengal: "Aku bakal segera mati, Aku hanya memohon, supaya kau
suka melihat-lihat keponakan lelakiku."
Kim Sie Ie memegang nadi orang dan beberapa saat kemudian, ia
berkata sambil bersenyum: "Tak apa-apa, kau tidak akan mati. Kau hanya
menggunakan tenaga melampaui batas. Sesudah beristirahat beberapa hari,
kau akan sembuh kembali."
Tong Say Hoa menghela napas panjang. Ia juga tahu sebab-sebab dari
robohnya itu. Akan tetapi, siapakah yang akan merawatinya selama beberapa
hari?
Pemuda itu rupanya dapat membaca apa yang dipikir si nenek. Ia
kembali mesem dan berkata pula: "Keponakanmu masih berusia muda dan
badannya kuat, sehingga, meskipun mendapat luka, ia tentu tak akan mati.
Yang paling penting adalah kau sendiri yang harus beristirahat dan
memelihara diri beberapa hari. Aku harap, kau jangan menganggap aku
sebagai manusia yang hanya bisa mengacau. Di samping mengacau, akupun
pandai merawat orang. Di waktu kecil aku pernah menjadi pengemis dan
sudah biasa melayani orang. Belakangan, waktu berada di pulau Tjoato, aku
pun merawat soehoe, yang sering memuji kepandaianku."
Dengan berkata begitu, Kim Sie Ie memberitahukan penderitaannya di
jaman lampau, tapi perkataannya dikeluarkan dengan nada riang gembira.
Mendengar itu, si nenek jadi merasa terharu. Sebagai manusia biasa, ia
juga sayang jiwanya. Tapi karena pernah mempunyai ganjelan dengan pemuda
itu, ia merasa berat untuk meminta pertolongan. Di luar dugaan, pemuda
itu sudah mengangsurkan dengan suka rela. Maka itu, dalam rasa terima
kasihnya, ia juga merasa jengah. "Ah, semua orang mengejek dia sebagai
Toktjhioe Hongkay, sebagai pengemis gila yang tangannya sangat beracun,"
pikirnya. "Tapi tak dinyana, ia mempunyai hati kasihan. Benar juga orang
kata, hati manusia tak bisa dilihat dari romannya. Tapi kenapa sepak
terjangnya begitu aneh?"
Dengan telaten, Kim Sie Ie merawat si nenek dan benar saja, selang
beberapa hari, kesehatannya telah pulih kembali. Mereka lalu kembali ke
tempat pertempuran untuk coba mencari jejak Tong Toan. Sesudah ditolong
Keng Thian dan Peng Go, waktu itu Tong Toan sudah pergi ke Lhasa. Tong
Say Hoa yang kuatir keponakannya mati keuruk di dalam salju, telah
membongkar salju di beberapa tempat, di sekitar gelanggang pertempuran.
Sesudah terbukti, bahwa Tong Toan tidak menemui ajalnya disitu, hatinya
merasa agak lega dan mereka lalu meneruskan perjalanan ke jurusan barat
untuk mencari si pendeta asing.
***
Dalam keadaan lupa ingat, untuk beberapa lamanya, Liong Leng Kiauw
duduk di punggung kuda, dalam pelukan Ouwtjeng. Sesudah melewati padang
rumput, hari itu mereka tiba di kaki sebuah gunung yang sangat besar.
Bukit-bukit yang besar dan yang kecil berdiri berentet-rentet, sedang
puncak-puncak yang tertutup salju menjulang ke atas langit. Si pendeta
menahan les kuda dan memberikan obat pemunah kepada Liong Leng Kiauw.
Angin dingin yang meniup tak hentinya dan kembang salju yang melayang
turun bagaikan kapas, sangat menyegarkan dan Liong Leng Kiauw segera
tersadar. Ia pernah mendaki banyak gunung yang tersohor, tapi gunung yang
menghadang di depan adalah lain daripada yang lain dan ia memandang
dengan rasa kagum.
Si pendeta tersenyum seraya berkata: "Sesudah banyak capai beberapa
hari, sekarang kita boleh mengasoh." Ia melompat turun dari kuda, diturut
oleh Liong Leng Kiauw.
Sebelum Leng Kiauw keburu menanya, si pendeta sudah mendului:
"Liong Sam Sianseng... salah, Kongtjoe dari Lian Thaysoe, di tempat ini
kau boleh tak usah kuatir lagi. Andaikata kaisar Tjeng mengirim sepuluh
laksa tentara, ia juga tak akan dapat menangkap kau."
Leng Kiauw terkejut. "Bagaimana kau tahu asal-usulku?" tanyanya.
Si pendeta tertawa berkakakan. "Jika aku tak tahu asal-usulmu,
perlu apa aku membuang tenaga untuk menculikmu?" katanya.
"Apa artinya perkataanmu?" tanya pula Leng Kiauw.
Ouwtjeng menuding dengan cambuknya seraya berkata: "Lihatlah!"
Liong Sam mengawasi ke arah yang ditunjuk. Jauh-jauh, di satu selat
gunung, ia melihat gerak-geriknya tentara yang berjumlah besar, sedang di
bawah pohon-pohon, lapat-lapat terlihat tenda-tenda yang berderet-deret.
Leng Kiauw kaget bukan main. "Siapa kau?" tanyanya.
"Aku bernama Taichiti, Koksoe (guru negara) dari negara Nepal,"
jawabnya sambil tertawa. "Atas titah Raja, aku mengundang Sianseng (tuan)
datang kemari untuk merundingkan suatu usaha besar."
"Apa?" menegas Leng Kiauw. Si pendeta mengawaskan, muka Liong Sam
dan berkata dengan suara perlahan: "Selama hidupnya, mendiang ayahmu,
Lian Keng Giauw Taytjiangkoen, telah mengabdi kepada kaisar Tjeng dan
telah berjasa besar sekali. Tapi pada akhirnya, tak urung ia mesti binasa
secara menyedihkan sekali. Maka itu, tidaklah heran jika Sianseng
bertekad untuk membalas sakit hati dan bertahun-tahun menderita di bawah
perintah orang untuk mencapai maksudmu itu. Rajaku merasa sangat
bersimpati atas meninggalnya Lian Taytjiangkoen dan merasa kagum akan
segala usahamu!"
"Soal membalas sakit hati adalah soal pribadiku sendiri, yang tiada
sangkut pautnya dengan negara Koksoe," kata Leng Kiauw.
Si pendeta bersenyum dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Biarpun Sianseng telah berserikat dengan sejumlah Touwsoe tapi, Sianseng
harus ingat, bahwa Hok Kong An mempunyai tentara yang berjumlah besar,
sehingga walaupun Sianseng berhasil melarikan diri dari penjara, belum
tentu bisa berhasil dalam seluruh usaha."
Mendengar itu, Leng Kiauw lantas saja mengerti maksud si pendeta.
"Apa Koksoe ingin membujuk supaya aku meminjam tentara dari negerimu?"
tanyanya. "Hai! Jika aku menggunakan cara itu, biarpun berhasil, aku
tentu akan ditertawai orang."
"Sianseng salah," membantah si pendeta. "Dalam sejarah Tiongkok,
meminjam tentara dari luar negeri bukan hal yang belum pernah terjadi.
Untuk membalas sakit hati ayahnya, Ngo Tjoe Sie telah meminjam tentara
negeri Gouw guna menghukum rajanya sendiri. Sebagaimana kutahu, orang-
orang di jaman belakangan tak pernah mentertawainya.
Bahwa pendeta asing itu mengenal baik sejarah Tiongkok, adalah di
luar dugaan Leng Kiauw. Mendengar bujukannya, tanpa merasa ia bergidik
dan bulu romanya bangun semua. "Walaupun benar Ngo Tjoe Sie pernah
meminjam tentara Gouw, tapi negeri Gouw adalah negeri yang terletak di
Tiongkok juga dan tentara Gouw terdiri dari sesama bangsa," katanya di
dalam hati. "Mana bisa peminjaman tentara oleh Ngo Tjoe Sie dibandingkan
dengan peminjaman tentara dari negara Nepal. Di samping itu, pada
akhirnya putera Raja Gouw -- yang mewarisi kedudukan Raja Gouw tua –
telah menghadiahkan hukuman bunuh diri sendiri kepada Ngo Tjoe Sie.
Dengan menyebut-nyebut Ngo Tjoe Sie, apakah si pendeta ingin aku mendapat
nasib seperti orang itu? Jika aku meminjam tentara asing, aku bukan satu
Ngo Tjoe Sie, tapi seorang yang boleh dipersamakan dengan Gouw Sam Kwie!"
Melihat Leng Kiauw membungkam, si pendeta berkata pula: "Seorang
luar biasa harus melakukan pekerjaan yang luar biasa pula. Negeriku
adalah negeri kecil yang penduduknya sedikit dan sama sekali tak punya
niatan untuk menggeragoti wilayah Tiongkok. Untuk sementara, Lian
Sianseng boleh menancap kaki dan memperkuat kedudukan di daerah Tibet
untuk menjagoi di wilayah sebelah utara padang pasir. Sesudah mengumpul
tenaga, Sianseng boleh maju terus ke daerah Tionggoan dengan kemungkinan-
kemungkinan yang tiada batasnya. Jika di hari nanti Sianseng bisa
menjadi tuan, dari sebuah negara besar, maka negeriku yang kecil juga
akan mendapat banyak manfaatnya!"
Seperti ayahnya, Liong Leng Kiauw pun mempunyai angan-angan besar.
Mendengar perkataan si pendeta, hatinya lantas saja tergerak. Selagi ia
bersangsi, pendeta itu sudah berkata pula: "Rajaku sudah membawa tentara
sampai disini dan untuk sementara waktu berkemah di selat gunung itu.
Sesudah hawa udara menjadi lebih hangat dan salju melumer,
Aku sekarang mengundang Sianseng untuk menemui Rajaku, supaya bisa
diadakan perundingan yang lebih mendalam. Apakah Sianseng setuju dengan
usulku itu?"
Leng Kiauw tidak menyahut. Ia memandang ke tempat jauh dengan mata
mendelong.
Si pendeta tertawa pula seraya berkata: "Seorang laki-laki harus
bisa mengambil keputusan cepat dan tidak boleh terlalu bersangsi. Jika
Sianseng maju ke barat, hari kemudianmu tak bisa ditaksir bagaimana
besarnya. Tapi jika Sianseng tetap menolak, aku pun tidak bisa
memaksanya. Hanya sepanjang pengetahuanku, kaizar Tjeng yang mempunyai
banyak sekali kaki tangan yang berkepandaian tinggi, telah bertekad untuk
membinasakan Sianseng. Maka itu, manakala Sianseng balik ke jurusan
timur, andaikata bisa melewati padang rumput dengan selamat, mungkin
sekali Sianseng sudah menemui bencana sebelum tiba di Lhasa. Sebelum
mengambil keputusan pasti, aku memohon Sianseng suka menimbang dengan
seksama."
Mendengar perkataan si pendeta yang cukup beralasan, Leng Kiauw
segera berkata dalam hatinya: "Sesudah tiba disini, biarlah aku menemui
rajanya. Apa aku suka belakangan."
Sebagai gunung yang tinggi dan besar luar biasa, Himalaya mempunyai
hawa yang berbeda-beda. Di bagian atas, puncak-puncaknya ditutup es yang
tak pernah melumer sepanjang tahun. Di bagian tengah, di lereng gunung,
hawanya seperti di musim dingin, dengan kembang-kembang salju
berterbangan kian kemari. Tapi di kakinya, ratusan bunga mekar serentak
dan memberi pemandangan seperti di musim semi.
Selat gunung dimana tentara Nepal sedang berkemah, dikurung dengan
bukit-bukit tinggi yang merupakan aling-aling bagi angin dingin,
sehingga, oleh karenanya, hawa disitu nyaman dan hangat.
Begitu masuk di selat, Leng Kiauw melihat tenda-tenda yang dipasang
berderet-deret. Di tengah-tengah perkemahan terdapat bendera raja dan di
seputarnya dipasang dua belas bendera panglima. Leng Kiauw yang mengenal
tata tertib dalam ketentaraan Nepal, tahu bahwa setiap sepuluh tangsi
tentara dipimpin oleh seorang panglima dan setiap tangsi terdiri dari
lima ratus serdadu. Maka itu, menurut perhitungan kasar, di selat
tersebut berkumpul kurang lebih enam puluh ribu tentara. Nepal adalah
sebuah negri kecil dan dengan tentara yang sebesar itu, dapat dikatakan
sang raja sudah mengirim seluruh kekuatannya ke tempat tersebut. Tapi
walaupun berjumlah tidak sedikit, tentara itu belum memenuhi sebuah selat
dari Himalaya.
Sambil berjalan, hati Leng Kiauw berdebar-debar. Ia ingat
keangkeran di jaman lampau dari mendiang ayahnya yang berkuasa atas
ratusan laksa tentara. Semenjak kecil, ia telah berangan-angan untuk
mengikuti jejak ayahnya yang ia sangat kagumi. Sekarang, jika mau, mimpi
itu bisa terwujut. Ia bisa mengepalai sepasukan tentara dan menerjang ke
jurusan Lhasa. Hanya sayang, kesempatan yang datang itu mengandung hinaan
bagi kehormatan dirinya. Demikianlah, sambil berjalan, dua macam pikiran
pro dan kontra, berkelahi dalam otaknya.
Mendadak di selat gunung terdengar suara ramai.
***
Sekarang mari kita menengok Tong Keng Thian dan Koei Peng Go yang
meneruskan perjalanan ke arah barat untuk mencari Tong Say Hoa dan Kim
Sie Ie.
Satu hari kembali lewat dengan hasil nihil. Pengtjoan Thianlie jadi
semakin berkuatir, karena lewatnya satu hari berarti semakin
mendekatnya ajal Kim Sie Ie dan kekuatiran itu terlihat tegas pada paras
mukanya.
Keng Thian sendiri sebenarnya tidak menaruh simpati kepada pemuda
edan-edanan itu. Tapi sesudah Kim Sie Ie menolong Tan Thian Oe dan Tong
Say Hoa, pandangannya jadi berubah. Hanya setiap kali ingat pengacauan
Kim Sie Ie terhadap percintaannya, ia selalu merasa mendongkol.
Sekarang, dengan nyata ia melihat kekuatiran Peng Go akan
keselamatan pemuda itu. Jika hal ini terjadi di waktu dulu, sedikit
banyak ia akan merasa jelus. Tapi sesudah mengenal si nona yang welas
asih dan suci bersih, kejelusan tak timbul dalam hatinya. Sebaliknya dari
itu, ia malahan lebih-lebih merasa kagum akan jiwa sang kecintaan yang
mulia dan agung, la yakin, bahwa setiap perasaan jelus hanyalah berarti
kecilnya jiwa sendiri.
Sesudah membedal kuda beberapa hari, mereka melewati padang rumput
dan pegunungan Himalaya sudah berada di depan mata. Mereka lalu masuk ke
daerah pegunungan itu dan berada di tengah bukit-bukit dan batu-batu
karang yang angker dan penuh bahaya. Sambil berjalan, mereka menikmati
pemandangan alam yang indah luar biasa.
Keng Thian menghela napas.
"Benar juga orang kata, bahwa dalam dunia ini tak ada apa-apa yang
tiada lawannya, yang satu lebih tinggi daripada yang lain," katanya
dengan suara perlahan. "Tadinya aku menganggap, gunung Thiansan tiada
tandingannya lagi. Panjangnya gunung itu tak kurang dari tiga ribu li,
sedang kedua puncaknya, yang satu di selatan dan yang lain di utara,
seolah-olah menembus langit. Tapi tak dinyana, Himalaya lebih hebat
daripada Thiansan."
Belum jalan berapa jauh, di depan mereka tiba-tiba menghadang
sebuah puncak batu yang bentuknya luar biasa. Puncak itu yang berdiri
terpencil tak jauh dari padang rumput, menjulang ke atas seperti satu
kaca muka yang terbuat dari batu giok putih, Keng Thian dan Peng Go
memandangnya dengan rasa kagum dan mereka lalu maju mendekati. Mendadak
Keng Thian mengeluarkan seruan tertahan dan dengan paras yang mengunjuk
keheranan, ia melompat turun dari tunggangannya.
Hampir berbareng, Peng Go pun mengeluarkan teriakan kaget, karena
ia melihat tetesan darah di kaki puncak. "Ih! Apa Kim Sie Ie dan pendeta
asing itu bertempur lagi di tempat ini?" tanyanya. "Darah siapa ini ?"
"Darah?" menegas Keng Thian.
"Apa kau tak lihat?" si nona balas menanya, sambil melirik
tunangannya, Ternyata mata pemuda itu tengah mengawaskan ke atas puncak.
Ia dongak dan lapat-lapat, melihat beberapa baris huruf di atas puncak
itu. Harus diingat, bahwa puncak batu itu yang berdiri lurus, sangat
licin permukaannya, sehingga tak mungkin dipanjat manusia. Maka itulah,
terlihatnya huruf-huruf tersebut merupakan kejadian yang lebih aneh
daripada tetesan darah.
Mereka lalu maju terlebih dekat dan mengawasi tulisan itu yang
berbunyi seperti berikut:
"Beberapa kali mendaki Thiansan lulus dari ujian, sepasang pedang
kini naik ke Puncak Mutiara, gunung termashyur seolah-olah tempat
tinggalnya dewa, tak tega melihat tentara asing mengucurkan darah di
selebar bumi!"
Setiap huruf, yang besarnya kurang lebih satu kaki pesegi, seperti
juga terpahat di batu karang. Sesudah mengawasi beberapa lama, Pengtjoan
Thianlie kembali mengeluarkan seruan kaget. "Apa dalam dunia ini ada
manusia yang berkepandaian begitu tinggi?" tanyanya dengan suara heran
dan kagum. "Dilihat dari tulisannya, huruf-huruf itu pasti ditulis dengan
jeriji tangan!"
Keng Thian tak menyahut, kedua matanya terus mengincar huruf-huruf
itu. Mendadak saja ia berseru: "Inilah buah tangannya ayahku!"
"Ayahmu?" menegas si nona. "Apa beliau tidak berada di Thiansan?"
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Benar, aku rasa kau tak
salah. Dilihat dari syair itu, bukan saja ayahmu, tapi ibumu pun turut
datang kesini. Tapi untuk apa mereka mendaki Himalaya?"
"Sudah dua puluh tahun, ayahku tak pernah memegang senjata," kata
Keng Thian dengan suara perlahan. "Kenapa ia melukakan orang di tempat
ini?" Pada jaman itu, kepandaian Tong Siauw Lan dan Phang Eng tiada
tandingannya di kolong langit, sehingga dapatlah dimengerti, jika Keng
Thian segera menarik kesimpulan, bahwa darah itu adalah darah orang lain.
Dengan menggunakan ilmu Pekhouw yoetjiang (Cecak merayap di
tembok), Keng Thian segera memanjat puncak batu itu.
"Hati-hati!" teriak si nona. "Batu itu kelihatannya bergoyang-
goyang.
"Tak apa," sahut Keng Thian. "Jika benar berbahaya, ayahku tentu
tak akan memanjatnya."
Selagi berkata begitu, matanya melihat sebuah batu yang separuh
menonjol keluar, sedang separuhnya lagi menempel di tembok batu itu.
Biarpun memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, tapi karena
dari bawah ia harus merayap ke atas tanpa pegangan, maka waktu itu Keng
Thian sudah merasa capai bukan main. Ia girang melihat batu yang menonjol
itu, sebab dengan memegangnya, ia bisa mengasoh sebentaran. Satu
tangannya segera menjambret batu itu.
"Awas!" teriak Peng Go.
Sedang mulut si nona belum tertutup rapat, sudah terdengar suara
gcdubfakan, disusul dengan jatuhnya batu yang baru saja dipegang Keng
Thian. Hati Peng Go mencelos dan mengawasi dengan mata membelalak.
Bagaikan kilat, Keng Thian menendang dan badannya lantas meluncur ke
bawah. Batu itu melayang turun dengan kecepatan luar biasa, tapi masih
untung, jatuhnya Keng Thian lebih cepat lagi dan untuk beberapa detik,
punggungnya dibayangi dengan batu tersebut dalam jarak beberapa kaki. Ia
kaget bukan main, tapi sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, dalam
kagetnya ia tak jadi bingung. Pada saat yang sangat berbahaya, sambil
mengerahkan Iweekang, ia menggoyang badannya yang lantas saja membelok
sedikit dan hampir berbareng, batu itu lewat di dekat kepalanya!
Tiba-tiba terdengar lagi suara gedubrakan hebat, disusul dengan
jeritan kuda. Ternyata kedua tunggangan mereka tertimpa batu dan lantas
tewas jiwanya. Dengan jantung memukul keras, Peng Go lompat menghampiri
Keng Thian yang paras mukanya pucat dan kedua lututnya berlumuran darah.
Dengan melupakan rasa malu, si nona memeluk tangannya dan air
matanya mengucur deras.
"Puteri edan, kenapa kau menangis?" tanya Keng Thian sambil
tertawa. “Tulangku tidak patah. Andaikata patah, kau menangis pun tak ada
gunanya."
Dengan muka bersemu merah, si nona memeriksa lutut Keng Thian dan
benar saja, biarpun lukanya tak terlalu enteng, urat dan tulangnya tidak
terganggu. Diam-diam ia merasa kagum akan liehaynya sang tunangan. Begitu
batu itu jatuh, Keng Thian menendang dengan kedua kakinya, untuk
memperlambat gerakan jatuh batu itu dan mempercepat gerakan jatuh
tubuhnya sendiri. Jika ia tidak berbuat begitu, mungkin sekali batu
tersebut sudah menghantam tubuhnya dan membinasakannya. "Tak heran jika
orang menganggap Iweekang Thiansan pay sebagai Iweekang yang paling
unggul dalam Rimba Persilatan," kata si nona dalam hatinya. "Usia Keng
Thian tidak kacek jauh dengan usiaku, tapi lweekang-nya banyak lebih
tinggi. Ia sanggup membentur batu yang beratnya ribuan kati dan hanya
mendapat luka di luar."
Dengan hati-hati si nona melabur obat dan membalut luka Keng Thian
dan kemudian memberikannya sebutir Liokyang wan. "Entah kenapa, aku mudah
mengucurkan air mata," katanya seraya tersenyum. "Dulu, waktu burung
betetku patah sayapnya, aku pun sudah menangis. Di Nepal terdapat suatu
dongengan rakyat. Menurut dongengan itu, di jaman purba seorang puteri
raja, yang tunangannya telah dibinasakan oleh seorang dukun. Pada waktu
pangeran itu -- ia adalah seorang putera raja – hendak dimakamkan, sang
puteri datang dan sambil memeluk jenazahnya, ia menangis sedu sedan. Air
mata, itu telah membasahi dada sang tunangan yang mendadak hidup
kembali."
Keng Thian tertawa terbahak-bahak. "Aha! Sungguh mustajab air mata
sang puteri!" katanya. "Bukan saja bisa menyambung tulang, tapi juga bisa
menghidupkan mayat. Dengan adanya kau di dampingku, aku boleh tak usah
takuti apapun juga."
Si nona tertawa manis. "Dari mana kau belajar bicara begitu,"
katanya sambil menabok pipi sang tunangan. Demikianlah kedua orang muda
itu bersenda gurau dengan rasa beruntung,
"Heran betul!" tiba-tiba Keng Thian berkata.
"Heran kenapa?" tanya Peng Go.
"Batu itu!" jawabnya.
Pengtjoan Thianlie tersadar dan ia berkata: "Benar. Kenapa batu itu
jatuh? Coba aku menyelidiki." Ia berjalan sampai di kaki puncak dan
mendongak. Segera juga ia melihat, bahwa di tempat bersambungnya batu
menonjol itu -- yang sudah ambruk ke bawah – dengan tembok batu, terdapat
bekas-bekas bacokan golok atau kampak. Dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan, ia merayap ke atas dan tangannya meraba-raba di
sekitar tempat sambungan itu. Ternyata, tanah dan lumut yang melekat
disitu juga memperlihatkan bekas-bekas diganggu orang. Tapi karena
"pengolahannya" dilakukan secara halus, maka sebelum jatuh, orang masih
menganggap, bahwa batu yang menonjol itu merupakan bagian yang tersatu
dari puncak batu tersebut.
Bukan main rasa herannya Pengtjoan Thianlie. Orang yang menaruh
"racun" itu tentulah bekerja sesudah Tong Siauw Lan meninggalkan tempat
tersebut. Tapi siapa dia? Kenapa dia berbuat begitu. Apakah dia sudah
menduga, bahwa seorang lain akan memanjat puncak itu untuk membaca syair
Tong Siauw Lan?
Keng Thian pun tidak kurang herannya, tapi, seperti si nona, ia
juga tidak bisa menduga-duga, tangan siapa yang sudah melakukan itu.
Dengan Peng Go menuntun Keng Thian, perlahan-lahan mereka
melanjutkan perjalanan. Untung juga, belum jalan berapa jauh, mereka
bertemu dengan sebuah Honghotay, peninggalan di jaman dulu. (Honghotay
adalah sebuah bangunan tinggi yang di jaman dulu digunakan sebagai
pertandaan untuk meminta bantuan tentara, dengan membakar kayu. Dengan
melihat api dan asap, kawan yang berada di tempat jauh dapat segera
memberi pertolongan).
Sambil menuntun tunangannya, Peng Go masuk ke dalam bangunan itu.
seraya berkata: "Untung juga kita bertemu dengan tempat meneduh untuk
beristirahat beberapa hari sampai lukamu sembuh."
Honghotay adalah bangunan yang bertingkat dua, atasnya lancip,
bawahnya lebar. Bagian atasnya, atau loteng, biasa digunakan sebagai
mercu untuk meninjau ke tempat jauh, sedang bawahnya digunakan sebagai
tangsi untuk serdadu. Pengtjoan Thianlie segera membersihkan lantai dan
sesudah mempersilahkan Keng Thian merebahkan diri, ia lalu keluar untuk
mencari makanan. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa dua ekor
ayam alas yang lalu dijadikan barang santapan. Dengan dirawat oleh si
nona dan saban-saban menelan pel mustajab dari Istana Es, pada esokan
harinya, luka Keng Thian sudah rapat dan satu dua hari lagi, ia akan
sembuh seperti sediakala.
Malam itu, Peng Go kembali memburu dan mendapat seekor kambing
kecil yang lalu dibakarnya. Sebagai seorang puteri yang sedari kecil
biasa dirawat, Peng Go sama sekali tidak mengenal ilmu masak. Malahan
membakar daging saja, ia tak mampu, sebagian hangus dan sebagian mentah.
Tapi bagi Keng Thian, daging yang mentah matang itu, merupakan santapan
yang terlezat dalam dunia!
Malam itu, rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang.
Kedua orang muda itu tentu saja sungkan menyia-nyiakan kesempatan yang
baik dan sambil menggandeng tangan, mereka naik ke loteng untuk menikmati
pemandangan malam terang bulan yang indah itu. Sungguh permai! Himalaya
seolah-olah mandi dalam lautan perak dan sinar es yang menyorot dari
puncak-puncak yang tinggi memperlihatkan suatu pemandangan yang benar-
benar luar biasa.
Sesudah memandang beberapa lama, si nona menghela napas seraya
berkata dengan suara perlahan: "Di sebelah sana adalah
negeri ibuku. Sungguh lucu-
meskipun aku berkedudukan sebagai puteri Nepal, belum pemah aku
menginjak negeri itu."
"Tak satu manusia pun yang menghalangi kau pergi kesitu," kata Keng
Thian sambil tertawa.
"Ibuku pernah bersumpah untuk tidak kembali ke negeri sendiri."
kata si nona.
"Keng Thian tersenyum. "Dalam dunia ini tiada yang kekal," katanya.
"Coba kau pikir, siapa bisa duga, Puncak Es bisa roboh dengan begitu
saja?"
Peng Go tidak menyahut, parasnya kelihatan berduka sekali.
"Jika piauwko-mu (saudara sepupu) ingin menikah dengan kau, kau tak
bisa tidak pulang ke Nepal," kata Keng Thian.
"Piauwko-ku?" menegas si nona.
"Bukankah raja Nepal piauwko-mu?" kata pula pemuda itu, "Hm...
menurut taksiranku, pendeta asing itu tentu kabur ke Himalaya. Aku
kuatir, dugaanmu tidak meleset, dia datang di Lhasa atas perintah raja
Nepal."
Peng Go membungkam. Beberapa saat kemudian, barulah ia berbisik:
"Kecuali kau, dalam hatiku tak ada tempat lagi untuk lain lelaki..."
Sehabis berkata begitu, parasnya berubah merah. Biarpun sudah tahu sama
tahu, inilah untuk pertama kali si nona membuka rahasia hatinya terang-
terangan.
Kegirangan Keng Thian meluap-luap dan matanya berlinang-linang
karena kegirangan yang melampaui batas. Sambil memegang pundak si nona,
ia berbisik: "Apa benar?..."
Dengan perlahan Peng Go mendorong kecintaannya. "Kau tidak
permisikan aku menangis, tapi kau sendiri yang mudah mengucurkan air
mata," katanya dengan suara terharu.
Tiba-tiba kesunyian sang malam diganggu dengan suara tindakan kaki
manusia di bawah loteng. "Siapakah yang menggerayang kesini di tengah
malam buta?" bisik Keng Thian.
Peng Go menghunus Pengpok Hankong kiam dan membuat lubang kecil di
papan loteng.
"Aha!" demikian terdengar seruan seorang. "Daging kambing bakar?
Mana yang punya?" Suara itu adalah suara Hiatsintjoe yang menyeramkan.
"Jangan perdulikan yang punya," kata seorang lain. "Makan saja."
Keng Thian mengintip di lubang. Ia melihat seorang hweeshio,
jangkung kurus tengah berjalan mendekati perapian dan waktu lengannya
menyentuh meja batu, terdengar suara beradunya logam. Orang itu adalah
Tang Thay Tjeng yang tidak dikenal Keng Thian. "Siapa dia?" tanyanya di
dalam hati. "Hiatsintjoe saja sudah merupakan lawan berat. Hweeshio itu
kelihatannya bukan sembarang orang. Bagaimana baiknya? Lukaku belum
sembuh, apa Peng Go bisa melawan mereka berdua?" Sambil mengeluarkan
beberapa batang Thiansan Sinbong, ia berbisik di kuping Peng Go: "Jangan
ladeni mereka."
Peng Go mengangguk. Selagi hatinya penuh dengan rasa cinta, si nona
memang tak punya kegembiraan untuk bertempur.
Alis Hiatsintjoe berkerut dan sambil mengunyah daging, ia berkata
dengan suara mendongkol: "Sungguh tolol orang yang membakar daging ini.
Separuh hangus, separuh mentah."
Mendengar kecintaannya dimaki, Keng Thian gusar, tapi Peng Go
sendiri hanya bersenyum.
Tang Thay Tjeng tertawa besar. "Kau sungguh rewel," katanya. "Jika
tak doyan, jangan makan! Berikan semua, kepadaku, perutku lapar sangat.
Di atas gunung mungkin lebih sukar mendapat makanan."
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung, mulutnya terus mengunyah
daging. "Semakin aku ingat, semakin perutku panas," mendadak dia berkata
lagi. "Sungguh kurang ajar binatang Kim Sie Ie! Jika aku berhasil
mendapatkan, Tjiangtjoe Siantjo, huh-huh!... Aku akan keset kulitnya!"
Tang Thay Tjeng tertawa besar. "Dari dulu sampai sekarang, belum
pernah ada manusia yang berhasil mendaki Puncak Chomo Lungma," katanya.
"Jangan kau mengharap-harap embun tengah hari. Jika kau bisa berhasil,
Tuhan benar-benar memberkahi kau."
"Kalau kau takut mati, tak usah kau ikut," bentak Hiatsintjoe.
"Ikut tentu aku mesti ikut," kata si pendeta. "Seperti kau, aku pun
sangat dihina orang. Daripada dihina orang, lebih baik mati, daripada
mati konyol, lebih baik coba-coba nasibku."
Mendengar pembicaraan yang tiada ujung pangkalnya itu, Peng Go tak
mengerti apa yang sedang dibicarakan. Ia hanya merasa heran, kenapa
Hiatsintjoe gusar terhadap Kim Sie Ie, sedang orang yang bersalah
sebenarnya adalah dirinya sendiri. Ia tentu saja tak tahu terjadinya
pertempuran di padang pasir, dimana Hiatsintjoe dipukul pincang oleh Kim
Sie Ie yang sudah merampas juga unta mereka. Hanyalah sesudah mengalami
banyak penderitaan, barulah mereka bisa keluar dari padang pasir itu.
Selagi Hiatsintjoe mencaci Kim Sie Ie, tiba-tiba diluar terdengar
suara kaki kuda.
"Celaka! Pemilik daging datang!" kata Tang Thay Tjeng sambil
tertawa.
"Kalau dia rewel, aku hantam mampus padanya," kata kawannya.
"Jangan galak-galak," si pendeta tertawa haha-hihi. "Orang baik-
baik tak boleh sembarangan membunuh manusia."
Sementara itu, suara kaki kuda kedengaran berhenti di depan
Honghotay. "Apa aku kata?" demikian terdengar suara seorang anak tanggung
yang sangat nyaring. "Aku sudah kata, kalian tak usah bingung. Bukankah
disini ada tempat meneduh? Ha-ha-ha! Bau daging kambing! Wangi sungguh!
Aku berani bertaruh, pemilik daging adalah seorang pelancong yang murah
hati."
Keng Thian dan Peng Go saling memandang sambil mesem. Mereka
mengenali, bahwa suara itu adalah suara Kang Lam, si bawel.
"Ibu, rumah apa ini?" tanya seorang gadis.
"Tak tahu, tapi tak halangan jika kita numpang disini," jawab
seorang wanita.
Keng Thian merasa heran. "Kenapa Yo Lioe Tjeng dan puterinya datang
kemari?" tanyanya di dalam hati. "Didengar dari suara tindakan, yang
datang ada empat orang. Siapa yang satunya lagi?"
Sesaat kemudian, empat orang masuk dengan beruntun-runtun. Dari
lubang papan, Keng Thian mendapat kenyataan, bahwa orang yang satunya
lagi adalah Tong Toan.
***
***
***
***
Sekarang marilah kita menengok Tong Keng Thian dan Koei Peng Go
yang, sesesudah meminta diri dari raja Nepal, segera mendaki gunung untuk
mencari Kim Sie Ie. Bahwa raja Nepal sudah berjanji akan menarik pulang
tentaranya, sehingga satu peperangan dapat disingkirkan, telah
menggirangkan sangat hati mereka. Tapi mengingat keselamatan Kim Sie Ie,
kegirangan itu tercampur dengan kedukaan.
Dalam perjalanan itu, mereka tidak lewat di rumah Phoei Keng Beng,
sehingga tak tahu perkembangan yang terakhir.
Sesudah memanjat tiga hari, Pengtjoan Thianlie yang sudah biasa
berdiam di istana es masih tidak merasakan apa-apa, tapi Keng Thian sudah
mulai merasa sesak dalam pernapasannya. Tapi berkat pemandangan gunung
yang sangat indah dan juga karena si nona yang dicintai selalu
berdampingan, maka ia seolah-olah tidak merasakan kesukaran itu.
Sesudah berjalan dua hari lagi, jauh-jauh mereka melihat kumpulan
pagoda-pagoda es dimana Lie Kim Bwee pernah ditolong oleh Kim Sie Ie.
Melihat pemandangan yang luar biasa itu, mereka bersorak dengan rasa
kagum. Peng Go pun sudah sukar bernapas, tapi lantaran tertarik dengan
indahnya pagoda-pagoda es itu, tanpa merasa ia mengerahkan lweekang dan
mempercepat tindakannya. Kasihan, Keng Thian yang sudah hampir kehabisan
tenaga, tak dapat mengikuti kecintaannya itu.
Selagi berlari-lari, tiba-tiba Peng Go menghentikan tindakannya,
karena di depannya menghadang sungai es yang di atasnya mengambang satu
balokan es yang sangat besar. Baru saja ia ingin mengambil jalanan mutar,
di belakang balokan es itu mendadak terdengar suara tangisan, Si nona
terkejut dan menggapai Keng Thian. Mereka berdua lalu memutari sungai es
itu untuk melihat siapa yang sedang menangis. Ternyata, di tepi sungai
berduduk seorang pria.
"Hongsek Toodjin!" teriak Keng Thian.
Si imam berduduk disitu dengan muka berlepotan darah yang sudah
membeku menjadi es, sehingga kelihatannya menakuti sekali.
Begitu melihat Peng Go, ia berteriak: "Kau yang sudah mencelakakan
dia! Kau yang sudah mencelakakan dia!"
"Aku mencelakakan siapa?" tanya si nona dengan gusar. Ia mencabut
Pengpok Hankong kiam dan menyabet satu kali sehingga jubah pertapaan si
imam menjadi robek.
Hongsek Toodjin mendelik. "Aku! Aku yang membinasakan dia! Aku yang
membinasakan dia!" serunya bagaikan orang gila.
Peng Go mundur setindak dengan hati berdebar-debar.
Mendadak, sambil berteriak Hongsek Toodjin roboh dengan
mengeluarkan darah yang lantas saja membeku.
Peng Go merasa heran sebab sabetan pedang yang barusan sama sekali
tidak menyentuh badan si imam. Ia tak tahu, bahwa karena dinginnya hawa
dan sukarnya bernapas, lweekang Hongsek sudah banyak berkurang dan waktu
diserang dengan Hankong kiam, tubuhnya tak kuat bertahan lagi dan ia
muntahkan darah. Jika mereka berada di atas tanah datar. Pengtjoan
Thianlie masih belum bisa menandingi si imam.
Buru-buru si nona memasukkan beberapa butir Yangho wan ke dalam
mulut Hongsek untuk menghangatkan badannya. Selang beberapa saat, ia
membuka kedua matanya dan Keng Thian lantas saja mengurut tubuhnya sambil
mengerahkan lweekang. Ia membiarkan dirinya diolah sambil mengawasi kedua
orang muda itu dengan sorot mata berterima kasih.
Sekonyong-konyong ia kembali berkata dengan suara perlahan: "Aku,
akulah yang sudah mencelakakan mereka!"
"Siapa?" tanya si nona.
"Tak ada Tjiangtjoe Siantjo!" kata si imam tanpa menjawab
pertanyaan Peng Go. "Turunlah! Lekas kalian turun dari gunung yang
berbahaya ini."
"Apa itu Tjiangtjoe Siantjo?" tanya pula Peng Go dengan suara
heran.
"Bukankah kalian ingin mencari Tjiangtjoe Siantjo di puncak Chomo
Lungma?" Hongsek balas menanya.
Pengtjoan Thianlie menggelengkan kepala. "Namanya saja aku belum
pernah mendengar," katanya.
Hongsek membuang napas. "Ah! Kalau begitu aku hanya mencelakakan
Hiatsintjoe dan Tang Thay Tjeng," katanya.
"Apa? Aku sungguh tak mengerti apa yang dikatakan olehmu," kata
Peng Go.
Hongsek menghela napas berulang-ulang dan kemudian berkata dengan
suara duka: "Hiatsintjoe dan Tang Thay Tjeng telah binasa di sungai es.
Aku hanya melihat mayat mereka."
"Tapi mengapa kau mengatakan, bahwa kaulah yang sudah mencelakakan
mereka?" tanya Peng Go.
"Sesudah diserang dengan tujuh butir Pengpok Sintan-mu, lweekang
Hiatsintjoe telah banyak berkurang," menerangkan Hongsek. "Keinginan
untuk memulihkan tenaganya adalah sedemikian besar, sehingga aku merasa
kasihan padanya. Selama hidupnya, ia hanya mempunyai satu sahabat, ialah
aku sendiri. Aku merasa tak tega, jika ia sampai mati lantaran jengkel.
Untuk menolongnya, aku sudah berdusta. Aku mengatakan, bahwa di puncak
Tjoe-hong terdapat semacam rumput dewa janq dikenal sebagai Tjiangtjoe
Siantjo. Siapa yang makan rumput itu akan bertambah Iweekang-nya, yang
sama nilainya dengan latihan selama tiga puluh tahun. Dengan berkata
begitu, aku hanya ingin memberi satu harapan di dalam hatinya. Menurut
perhitunganku, andaikata ia benar-benar mendaki gunung ini, pada akhirnya
ia akan turun lagi karena tak bisa naik terus dan sesudah kembali,
hatinya akan jadi lebih tenang. Tapi di luar dugaan, bersama Tang Thay
Tjeng, ia memanjat terus sampai disini dan terbinasa. Dengan begitu,
bukankah aku yang sudah mencelakakan mereka?"
Mendengar keterangan itu, dalam hati Keng Thian dan Peng Go lantas
saja timbul rasa persahabatan terhadap imam tua itu. Sekarang mereka
tahu, bahwa Hongsek terganggu pikirannya sebab menyesal dan duka.
"Hiatsintjoe adalah seorang jahat dan kebinasaannya tak harus dibuat
sayang," kata Peng Go dalam hatinya. "Tapi Hongsek Toodjin, biarpun ia
tak bisa membedakan jahat dan baik, masih berharga untuk dipandang
sebagai sahabat."
Peng Go berdiam beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara
halus: "Kalau begitu, kau turun gununglah. Sesudah menelan Yangho wan,
kau tak akan takuti lagi hawa dingin dan kurasa kau akan bisa sampai di
kaki gunung dengan selamat."
"Dan kau?" tanya Hongsek.
"Kami ingin mencari sesuatu yang lebih berharga daripada Tjiangtjoe
Siantjo," jawabnya. Hongsek menggeleng-gelengkan kepala, tapi ia tak
berani mencegah karena niatan Peng Go kelihatannya sudah tak bisa diubah
lagi Sesudah menghaturkan terima kasih kepada Keng Thian dan si nona, ia
lalu turun gunung seorang diri.
Sesudah si imam berlalu, dengan saling menggandeng tangan. Dua
sejoli itu lalu memasuki kumpulan pagoda-pagoda es. Selagi enak berjalan
sambil menikmati pemandangan yang luar biasa, sekonyong-konyong mereka
mendengar suara tangisan yang perlahan.
Mereka kaget tak kepalang. "E-eh! Seperti suara orang yang sudah
dikenal," kata Keng Thian yang lalu memburu ke arah suara itu. Tiba-tiba
ia berteriak: "Kim Bwee Piauwmoay!" Orang yang sedang menangis di pinggir
telaga memang juga Kim Bwee adanya.
Sesudah datang dekat, Keng Thian menanya sambil bersenyum: "A Bwee,
apa kau kesasar?" Sebagai kawan bermain semenjak kecil, ia tahu, bahwa
saudari sepupunya menangis bukan karena kesasar jalan, tapi ia sengaja
menanya begitu.
Si nona mengangkat kepala dan menjawab dengan suara serak: "Dia
sudah pergi!"
Mendengar perkataan Kim Bwee, Peng Go yang sudah menghampiri lantas
saja berkata: "Mengapa kau tidak menahan dia?"
Senyuman Keng Thian lantas saja menghilang dari bibirnya. Ia
sekarang tahu, bahwa Kim Sie Ie sudah kabur lagi tanpa dapat ditahan oleh
si nona.
"Dia memberikan semua Pekleng tan kepadaku," kata si nona sambil
menunjuk peles perak. "Hatinya terlalu mulia dan terlalu kejam."
"Apa artinya?" tanya Keng Thian.
"Seperti di dalam mimpi... dalam sekejap dia menghilang," jawabnya
sambil mengucurkan air mata. Sesudah itu, dengan suara terputus-putus ia
menuturkan segala pengalamannya.
Keng Thian dan Peng Go berduka sangat. Mereka tak tahu, bagaimana
harus menghibur Kim Bwee.
Sesudah memikir beberapa saat, Peng Go berkata: "Bwee-moay,
sudahlah, kau jangan menangis. Kami akan menemani kau mendaki Tjoe-hong."
Si nona mengawasi dengan sorot mata bersangsi.
"Menurut taksiranku, ia pasti memanjat Chomo Lungma," kata pula
Peng Go.
Kedua mata Kim Bwee bersinar terang. "Peng Go Tjietjie, kau sungguh
mulia," katanya dengan suara berterima kasih.
"Ih! Mengapa kau tak makan daging itu?" tanya Keng Thian yang
melihat sepotong daging ayam di atas salju.
"Daging itu ditinggalkan olehnya, aku tak tega untuk memakannya,"
jawab Kim Bwee.
"Anak tolol!" kata Peng Go seraya tertawa. "Tanpa makan, mana kau
punya tenaga?" Ia meraba kantong makanan Kim Bwee yang ternyata sudah
kosong sama sekali.
Ternyata, sudah sehari suntuk Kim Bwee tak makan apapun jua. Untung
sekali Keng Thian membekal banyak makanan kering dan sebatang jinsom. Si
nona lalu makan sedikit ransum kering dan separuh jinsom, tapi ia masih
tak tega untuk makan daging ayam pemberian Kim Sie Ie.
Sesudah keluar dari kumpulan pagoda-pagoda es, mereka lalu mendaki
tanjakan dengan mengikuti tapak-tapak kaki Kim Sie Ie. Pada hari kedua,
mereka tiba di lembah yang sering diserang taufan dan tapak-tapak itu
menghilang tertutup salju yang ditiup angin. Pada besokan harinya, Chomo
Lungma sudah berada di depan mata.
Setibanya disitu, mereka lelah bukan main dan sukar bernapas.
Walaupun tak takut hawa dingin, Peng Go merasa dadanya sakit dan sesak.
Keadaan Keng Thian masih mendingan, karena ia memiliki lweekang yang
lebih tinggi. Orang yang paling menderita adalah Kim Bwee, yang hanya
bisa maju setindak demi setindak dengan dipayang Keng Thian.
Mereka tiba sesudah terjadinya "salju roboh". Dari bawah mereka
memandang ke atas dan apa yang dilihatnya hanya puncak-puncak yang
menjulang ke langit, tertutup awan dan salju.
Peng Go dan Kim Bwee mengawasi puncak itu dengan hati berdebar-
debar. Walaupun berkepandaian tinggi, mereka yakin Kim Sie Ie tak akan
mampu mendaki puncak yang setinggi itu. Dalam hati kecil, mereka menduga,
bahwa pemuda itu telah mengalami kecelakaan, tapi tak satupun yang berani
mengutarakan dugaan itu.
Tiba-tiba Kim Bwee berbisik: "Hari keberapa ini?" Karena pingsan
lama di kumpulan pagoda-pagoda es, ia tak dapat menghitung hari lagi.
Sekonyong-konyong paras Peng Go berubah pucat, la ingat bahwa bersama
Keng Thian ia sudah berada di Himalaya tujuh hari tujuh malam, atau
dengan lain perkataan, sudah melampaui batas umur Kim Sie Ie dengan satu
hari dan satu malam!
Waktu itu matahari sudah menyilam ke barat dan sang rembulan sudah
memancarkan sinarnya yang remang-remang di atas langit. Lama sekali
mereka mengasoh untuk memulihkan tenaga.
Selang satu dua jam, Keng Thian menghela napas seraya berkata:
"Marilah kita turun saja."
"Tidak! Aku tak pulang!" teriak Kim Bwee dengan suara pasti
Peng Go mencekal tangan si nona dan mengawasi mukanya dengan penuh
rasa kasihan. Tapi sebelum ia sempat membujuk, di tanjakan tiba-tiba
terdengar teriakan seorang wanita: "A Bwee!
Kau juga sudah tiba disini?"
"Ibu!" seru Kim Bwee sambil melompat bangun.
Phang Lin tertawa haha-hihi dan menggapai-gapai.
"Ie-ie!" teriak Keng Thian "Apa kau sudah bertemu dia?"
"Bertemu!" jawabnya.
Badan Kim Bwee bergemetaran, tapi larinya terlebih cepat daripada
Pengtjoan Thianlie. "Dimana dia?" tanyanya sambil memeluk sang ibu.
"Lihatlah sendiri," kata Phang Lin seraya menuding ke satu jurusan.
Semua orang menengok ke tembokan es yang ditunjuknya. Ternyata di
tembok es itu terdapat empat baris huruf yang berbunyi seperti berikut:
Kubukan manusia yang tak mengenal budi,
Memandang Tjoe-hong dengan hati bersedih,
Kuhanya cocok untuk hidup menyendiri,
Malu menerima kecintaan dari seorang dewi.
Di bawah syair yang ditulis dengan pedang itu terdapat juga tapak-
tapak tongkat.
Pengtjoan Thianlie kelihatan berduka sekali. Hanya ia seorang yang
mengenal isi hati Kim Sie Ie. Syair itu keluar dari jiwa yang angkuh. Ia
haus akan kecintaan manusia yang hangat, tapi pada akhirnya, ia mabur
seorang diri dari dunia pergaulan.
Untuk beberapa lama, mereka tak mengeluarkan sepatah kata. Mereka
bengong dan memandang dunia perak yang sangat indah, yang gilang-gemilang
di bawah sorotan sinar rembulan.
Akhirnya, kesunyian itu dipecahkan oleh Phang Lin yang berkata
dengan mendadak: "Kurang ajar sungguh bocah itu!" Comelan disusul dengan
tertawa. "Jangan jengkel-jengkel," katanya pula sambil melirik puterinya.
"Asal dia masih bidup, aku pasti akan dapat membekuknya, supaya kau bisa
melampiaskan rasa kedongkolanmu." Kata-kata itu hanya untuk menghibur Kim
Bwee. Dalam hatinya, Phang Lin pun yakin, bahwa mencari pemuda itu bukan
hal yang mudah.
"E-eh, apa itu?" mendadak Kim Bwee berkata sambil menuding ke atas.
"Tiga bola salju... menggelinding ke bawah..T eh sungguh cepat!"
"Anak tolol!" bentak sang ibu seraya tertawa. "Bukan bola salju.
Itulah lethio-mu, Ie-ie dan... siapa orang yang ketiga. Ah! Lu Soe Nio!"
Beberapa saat kemudian, Siauw Lan bertiga sudah tiba disitu. Tak
usah dikatakan lagi, pertemuan itu menggirangkan sangat hatinya semua
orang.
Sambil mencekal tangan Peng Go, Phang Eng tertawa seraya menanya:
"Apa sekarang kau masih jengkel terhadapku?"
Phang Lin tertawa geli. "Aku berjanji akan carikan kau seorang
menantu yang memuaskan," katanya dengan suara menggoda. "Bukankah
sekarang aku sudah memenuhi janji itu?"
Peng Go tak menjawab, hanya mukanya berubah merah karena kemalu-
maluan. Ia melirik kedua saudara perempuan itu dan baru sekarang, sesuai
dengan petunjuk Keng Thian, ia dapat membedakannya. Bagi orang luar,
mereka hanya dapat dibedakan waktu sedang tertawa. Yang satu bersujen di
pipi kiri, yang lain di pipi kanan.
"Aku sudah menepati janji, tapi bagaimana dengan janjimu?" tanya
Phang Lin.
"Apa kalian belum bertemu dengan Kim Sie le?" tanya Siauw Lan
dengan heran. "Aku minta ia menunggu disini atau di rumah Phoei Keng
Beng."
"Dia tak akan kembali," jawab Phang Lin. "Bacalah syair itu."
Sesudah membaca Siauw Lan menghela napas. "Begitu gurunya, begitu
juga muridnya," katanya dengan suara duka. "Adat Kim Sie Ie lebih aneh
daripada Tokliong Tjoentjia." Lantas saja ia menceritakan, bagaimana
pada saat yang sangat berbahaya, ia sudah berhasil menolong jiwa pemuda
itu.
Kim Bwee jadi girang tercampur sedih. Ia girang sebab kecintaannya
sudah terbebas dari kebinasaan dan di kemudian hari, ia bakal menjadi
seorang pandai dalam dunia persilatan. Tapi ia juga merasa sedih, karena
pemuda itu sudah mabur untuk tidak kembali lagi.
Phang Lin yang beradat "berandalan", kali ini pun merasa duka.
Secara kebetulan ia telah bertemu dengan seorang pemuda yang cocok untuk
menjadi suami puterinya. Tapi pemuda itu telah kabur dengan begitu saja
dengan menolak segala kecintaan orang. Mendengar Siauw Lan menyebut-
nyebut nama Tokliong Tjoentjia, ia ingat buku catatan harian yang
diberikannya kepada Siauw Lan. "Siauw Lan, apa buku catatan harian itu
sudah diserahkan kepada Kim Sie Ie?" tanyanya.
Siauw Lan terkejut. "Ya," jawabnya. "Apa? Buku catatan sehari-hari?
Aku tadinya menduga, buku ilmu silat."
"Kau tidak membacanya?" tanya pula Phang Lin.
"Bagaimana kuboleh baca buku orang lain?" Siauw Lan balas tanya.
Lu Soe Nio yang sedari tadi terus menutup mulut, mendadak bertanya:
"Apa dalam buku itu terdapat catatan penting?"
"Sangat penting, mengenai jiwa umat manusia di sepanjang pantai,"
jawab Phang Lin.
Siauw Lan terperanjat. "Apa?" ia menegas.
"Menurut catatan itu, di bawah pulau Tjoa-to terdapat sebuah gunung
berapi yang menurut taksiran Tokliong Tjoentjia, akan meledak kurang
lebih sepuluh tahun lagi," menerangkan Phang Lin. "Jika sampai terjadi
kejadian itu, bukan saja seluruh pulau akan menjadi hancur, tapi semua
makhluk berjiwa di dalam laut dan umat manusia yang hidup di sepanjang
pantai Lautan Kuning, akan celaka. Menurut Tokliong Tjoentjia, masih ada
jalan untuk mengelakkan bencana tersebut. Beberapa bulan sebelum terjadi
peledakan, seseorang harus masuk ke dalam lubang gunung dan membuka
sebuah terowongan untuk memasukkan air laut, supaya api dan lahar beracun
bisa mengalir keluar perlahan-lahan. Hanyalah dengan jalan itu saja,
barulah bencana bisa dielakkan."
Paras muka Soe Nio lantas saja berubah terang. "Kalau begitu, kita
tak usah mencari Kim Sie Ie lagi," katanya sambil bersenyum.
"Mengapa?" tanya Phang Lin.
"Sesudah membaca buku gurunya, apakah ia tak mengerti, bahwa ia
adalah orang satu-satunya yang bisa mengelakkan bencana itu?" Soe Nio
balas tanya.
Siauw Lan mengangguk beberapa kali dan berkata dengan suara
perlahan: "Menolong sesama manusia adalah tugas orang-orang sebangsa
kita. Apalagi mengelakkan bencana yang sedemikian besar! Mengenai tugas
itu, aku merasa Tokliong Tjoentjia sudah menghitung masak-masak,
sehingga, biarpun ia masuk ke dalam gua api, ia pasti akan bisa keluar
lagi dengan selamat."
Paras muka Phang Lin berubah lebih terang. "Ya," katanya. "Biarlah
ia melakukan satu perbuatan yang mulia itu."
Kim Bwee mengawasi ibunya dan kemudian berkata dengan suara
perlahan: "Tapi... andaikata ia selamat... apakah ia akan kembali?"
"Ia mabur karena merasa malu terhadap manusia," kata Lu Soe Nio.
"Sesudah berhasil melakukan perbuatan yang mulia itu, aku merasa pasti ia
akan kembali ke dunia pergaulan."
Si nona tak mengatakan apa-apa lagi, tapi mendengar suara Lu Soe
Nio yang begitu pasti, hatinya jadi terhibur juga.
Demikianlah, dengan hati tertindih, mereka lalu mulai turun gunung.
Tiga hari kemudian, mereka tiba kembali di rumah Phoei Keng Beng, dimana
sudah menunggu Liong Leng Kiauw,
Tong Lootaypo dan yang lain-lain yang terpaksa kembali karena tak
bisa maju terus.
Sesudah mengasoh beberapa hari mereka lalu membereskan perjalanan.
Atas anjuran Tong Siauw Lan dan yang lain-lain, Phoei Keng Beng bersama
puterinya pun turut turun gunung. Sebenarnya ia merasa berat untuk
meninggalkan rumah yang sudah di tempati puluhan tahun, tapi mengingat
hari kemudian puterinya sudah mendapat ketentuan, hatinya jadi agak
terhibur.
Waktu itu adalah musim semi. Di kaki gunung, salju sudah melumer
dan pemandangan alam, dengan pohon-pobon yang berdaun hijau, bunga-bunga
yang menyiarkan bebauan wangi dan burung-burung yang bermain-main di
dahan kayu, indah luar biasa. Peng Go memetik beberapa kuntum bunga hutan
dan kemudian menyebarnya di tengah udara dengan mata mengawasi puncak
Tjoe-hong. Antara begitu banyak orang, hanya Keng Thian yang bisa
merasakan apa yang dirasakan oleh si nona.
Sesudah berjalan dua hari lagi, tibalah mereka di lembah itu,
dimana tentara Nepal dan tentara Tjeng pernah berkemah dan berhadapan
satu sama lain. Sekarang mereka hanya mendapatkan lembah yang sunyi
senyap dan bertemu dengan sejumlah kambing hutan yang begitu melihat
datangnya manusia, lantas saja lari serabutan. Kedua tentara itu ternyata
sudah ditarik mundur.
Tapi baru mau keluar dari mulut lembah, mereka melihat sebuah tenda
yang masih berdiri disitu. Ternyata, Thian Oe dan Yoe Peng yang sangat
memikiri keselamatan Kim Sie le, tidak turut pulang bersama tentara
Tjeng, tapi sudah menunggu disitu. Mereka girang melihat kembalinya Tong
Siauw Lan dan yang lain-lain. Mereka juga bersyukur, bahwa jiwa Kim Sie
Ie sudah dapat ditolong. Tapi di antara kegirangan itu, mereka juga
merasa duka, sebab Kim Sie Ie sudah melenyapkan diri.
Sesudah keluar lembah, mereka masuk ke daerah padang rumput. Belum
jalan berapa jauh, mereka bertemu dengan serombongan pedagang kuda yang
datang ke .daerah perbatasan untuk berdagang. Sambil jalan perlahan-
lahan, mereka menyanyikan lagu si Pengembara:
Sungai es di puncak gunung laksana Thianho yang nyungsang.
Dengarlah 'tu kepingan es mengalir dengan bersuara perlahan sekali,
Ibarat suara tetabuhan yang dipentil dengan jeriji si gadis jelita.
T A M A T
CATATAN