Anda di halaman 1dari 6

Konsep Dasar Pengelolaan Keuangan Negara

Pelimpahan Kewenangan Pengelolaan Keuangan Negara

Sebagaimana ternyatakan dalam UU Nomor 17 tahun 2003 mengenai keuangan Negara


Pasal 6 (enam) menyatakan bahwa Presiden merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan Negara. Keuangan Negara yang dimaksud adalah meliputi keuangan pemerintah
pusat dan keuangan pemerintah daerah. Dalam implementasinya, Presiden tidaklah
mungkin untuk dapat mengurusi semua yang berkaitan dengan keuangan negara. Oleh
sebab itu, Presiden melimpahkan/mendelegasikan kekuasaannya kepada pemerintah pusat
(Kemenkeu) dan pemerintah daerah.

Presiden mendelegasikan kekuasaan pengelolaan keuangan negara kepada pusat dan


daerah terbagi kedalam 2 (dua) fungsi utama yaitu fungsi sebagai CFO (Chief Financial
Officer) yang dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil
pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan fungsi yang
lain adalah sebagai COO (Chief Operational Officer) yang dikuasakan kepada
menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang K/L yang
dipimpinnya. Setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational
Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan.

Dalam pembagian/pelimpahan wewenang pengelolaan keuangan negara, Presiden


menguasakan kepada Menteri Keuangan sebagai CFO (Bendahara Umum Negara) dan K/L
sebagai COO. Dikuasakan dalam hal ini berarti bahwa tanggungjawab berkaitan dengan
keuangan negara adalah masih ditangan Presiden dengan demikian hanya sebatas
dikuasakan saja kepada Menteri keuangan dan K/L.

Berbeda dengan kewenangan pengelolaan keuangan Negara oleh pemerintah pusat,


pelimpahan kewenangan pengelolaan keuangan Negara untuk pemerintah daerah disebut
dengan frasa “Diserahkan”. Hal ini sesuai dengan prinsip desentralisasi yang memberikan
hak kepada pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih besar termasuk dalam hal
ini kewenangan pengelolaan keuangan. Frasa “Diserahkan” berarti bahwa tanggungjawab
pengelolaan keuangan negara yang dikelola pemerintah daerah adalah merupakan
tanggungjawab pemimpin daerah (Gubernur, Walikota, Bupati).

Dampak atas Pelimpahan Kewenangan Pengelolaan Keuangan Negara

Pelimpahan kekuasaan pengelolaan keuangan Negara dalam frasa “dikuasakan” berarti


bahwa tanggungjawab pengelolaan keuangan Negara masih berada ditangan Presiden.
Tanggungjawab dalam hal ini merupakan tanggungjawab terbatas. Artinya tanggungjawab
Presiden tidak mencakup apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan kerugian negara yang
dilakukan oleh oknum-oknum di K/L secara pidana. Presiden bertanggungjawab apabila
tujuan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat terwujud dengan kebijakan fiskal
APBN ternyata tidak dapat dicapai. Misalkan saja penyerapan anggaran tidak mencapai
target, atau anggaran terlalu banyak untuk belanja konsumsi sehingga realisasi yang
diharapkan memacu pertumbuhan ekonomi yang produktif tidak dapat maksimal, dan lain-
lain. Untuk fakta-fakta seperti ini adalah merupakan tanggungjawab Presiden.

Dalam hal pelimpahan kekuasaan keuangan negara yang diserahkan kepada


pemerintah daerah, maka pimpinan/kepala daerah yang bersangkutan bertanggungjawab
penuh terhadap pengelolaan keungan di daerahnya masing-masing. Namun tanggungjawab
tersebut juga terbatas dalam hal tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian negara
yang dilakukan oleh oknum-oknum di satuan kerja pemerintah daerah secara pidana.

Pelimpahan kekuasaan dalam frasa “dikuasakan’ memiliki pengertian bahwa dalam


penyusunan perencanaan dan penganggaran pemerintah pusat (K/L), meskipun setiap K/L
memiliki rencana strategis sendiri-sendiri, pada hakekatnya adalah perwujudan dari visi dan
misi Presiden sebagai kepala pemerintahan. Setiap penyusunan program atau kegiatan yang
menumbulkan beban bagi APBN harus diselaraskan dengan Rencana Kerja Pemerintah dan
program prioritas pemerintah.

Desentralisasi merupakan wujud pemerintahan demokratis yang memberikan


kesempatan atau keleluasaan pada daerah dalam hal kebebasan berotonomi dan
menjalankan inisiatif strategik untuk mencapai tujuan-tujuan daerahnya. Dengan
penyerahan kekuasaan pengelolaan keuangan negara oleh Presiden kepada pemerintah
daerah, maka dalam menyusun perencanaan dan penganggaran pemerintah daerah, pada
hakekatnya adalah implementasi visi dan misi kepala daerah yang diejawantahkan sebagai
misi dan visi pemerintah daerah.

Namun demikian penyusunan rencana dan anggaran pemerintah daerah harus tetap
selaras dengan visi dan misi pemerintah pusat (dalam hal ini visi dan misi Presiden).
Pendelegasian kewenangan tersebut tidak melepaskan campur tangan pemerintah pusat
dalam mengawasi perkembangan pelaksanaan pemerintahan di daerah, karena hal tersebut
merupakan kewajiban pemerintah pusat dalam lingkup negara kesatuan.

Berdasarkan UU Nomor 33 tahun 2004, pemerintah pusat berkewajiban memberikan


penghargaan dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Dalam menjaga hubungan
dan kesinambungan antara pemerintahan pusat dan daerah, maka aspek pengawasan
merupakan hal yang sangat penting dalam menciptakan sistem check and balances
pelaksanaan pemerintahan pusat dan daerah. Pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui APIP (Aparat Pengawas
Intern Pemerintah).

Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara


nasional dikoordinasikan oleh Mendagri. Pembinaan dan pengawasan kabupaten/kota
dikoordinasikan oleh gubernur, sedangkan pembinaan dan pengawasan pemerintahan desa
dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota. Pedoman pembinaan dan pengawasan tersebut
meliputi standar, norma, prosedur, penghargaan dan pemberian sanksi.

Untuk mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah dapat


menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya
penyimpangan dan pelanggaran. Hasil pembinaan dan pengawasan digunakan sebagai
bahan pembinaan selanjutnya oleh pemerintah dan dapat digunakan sebagai bahan
pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Pelimpahan kekuasaan kewenangan pengelolaan keuangan negara yang diserahkan


kepada pemerintah daerah menimbulkan dampak terhadap pengaturan pendanaan/anggaran.
Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa perimbangan keuangan
antara pemerintah dan pemerintahan daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh
dalam rangka pendanaan atas penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan.

Sesuai prinsip Desentralisasi, semua urusan pemerintahan yang sudah diserahkan


menjadi kewenangan pemerintah daerah harus didanai dari APBD, sedangkan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah pusat harus didanai dari APBN
melalui bagian anggaran Kementerian/Lembaga. Pengaturan pendanaan dengan mekanisme
APBN, meliputi sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur
berdasarkan asas Dekonsentrasi, dan sebagian urusan pemerintahan yang ditugaskan
kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan.
Perimbangan keuangan dilaksanakan selaras dengan pembagian urusan pemerintahan
antara pusat dan daerah, dimana dalam implementasinya juga mencakup aspek pengelolaan
dan pertanggungjawaban.

Problematika Pengelolaan Keuangan Negara

Dinamika perpolitikan Indonesia yang multipartai juga memberikan sumbangsih


permasalahan terhadap APBN. Dimana selama filosofi pemerintahan adalah untuk menjaga
keseimbangan dengan membagi-bagi “kue” antara partai politik (parpol) dalam koalisi dan
DPR. Presiden telah tersandera oleh komposisi parpol dalam koalisi, sehingga tarik ulur
negosiasi politik dalam proses pengesahan/penetapan RAPBN juga merupakan negosiasi
politik.

Di sisi lain, pendelegasian kewenangan CFO dan COO menyebabkan tanggungjawab


pengelolaan keuangan negara sepenuhnya berada dalam wewenang pimpinan K/L sebagai
Pengguna Anggaran/Pengguna Barang. CFO (BUN) hanya bertanggungjawab dalam
memberikan otorisasi terkait pencairan dana, sedangkan semua tanggungjawab pelaksanaan
APBN secara formal dan material merupakan tanggungjawab COO (K/L).

Dalam beberapa kasus banyak terjadi penyalahgunaan dokumen untuk mencairkan


dana APBN oleh oknum/pegawai K/L. Selain itu dalam proses penganggaran masih banyak
terjadi “copy paste” anggaran tahun lalu. Hal ini mengindikasikan Perfomance Based
Budgeting masih jauh dari realita. Jika perencanaan dan penganggaran masih dilakukan
secara asal-asalan, maka mengindikasikan bahwa dalam postur APBN juga terjadi
penggelembungan atau bahkan pembelanjaan yang tidak efisien dan efektif.

Asas desentralisasi menimbulkan dampak signifikan untuk pemerintah daerah.


Pimpinan eksekutif dan legislatif seolah-olah menjadi “raja kecil” dengan kewenangan
besar yang dilimpahkan dari pusat ke daerah, termasuk kewenangan pengelolaan keuangan
negara. Seringkali terjadi, dikarenakan Kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat,
maka mereka merasa tidak harus mematuhi arahan dari pemerintah pusat. Frasa
“Diserahkan” disalah artikan bahwa segala kewenangan di daerah adalah hak Kepala
Daerah dan legislatif. Pemahaman yang salah ini mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian
antara visi misi daerah dengan visi misi pusat. Sebagai contoh, terdapat beberapa Peraturan
Daerah yang dibatalkan oleh kemendagri dikarenakan tidak sesuai/melanggar
program/prioritas/kebijakan pemerintah pusat.

Daftar Referensi:
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah.
Fachturahman Nur, Turiman. 2011. 13 Masalah Pengelolaan Keuangan Negara dan
Daerah. Diambil dari: http://rajawaligarudapancasila.blogspot.co.id. Diakses Pada: 29
Maret 2018.
Pitono, Andi. 2011. Asas Dekonsenterasi dan Asas Tugas Pembantuan Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan. Diambil dari: https://pitono.staff.ipdn.ac.id. Diakses
pada: 29 Maret 2018.
Sudjanto, Siswo. 2009. Pembagian Kewenangan Diantara Para Pejabat Dalam Pengelola
Keuangan Negara. Diambil dari: www.keuanganpublik.com. Diakses pada: 29 Maret
2018.
Warsidi. 2010. Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Negara Menurut UU No. 17 Tahun
2003. Diambil dari: www.warsidi.com. Diakses pada: 29 Maret 2018.
Yohana, Corry. 2010. Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Menurut UU No. 32 Tahun
2004. Diambil dari: https://corryyohana.wordpress.com. Diakses pada: 29 Maret 2018.

Anda mungkin juga menyukai