Anda di halaman 1dari 4

EKALAWYA SANG PEMBELAJAR SEJATI

Dalam kisah Mahabarata dikisahkan ada seorang pangeran yang berasal dari kaum
Nisada. Dia adalaah Ekalawya. Kaum Nisada adalah kaum yang paling rendah yaitu kaum
pemburu, yang tinggal di hutan wilayah kekuasaan Magada. Akan tetapi salah seorang dari
kaun Nisada yaitu Ekalawya memiliki kemampuan yang sangat mumpuni setara dengan
Arjuna dalam ilmu memanah. Bertekad ingin menjadi pemanah terbaik di tanah India, lalu ia
pergi ke Hastina Pura ingin berguru kepada Rsi Drona. Ekalawya melangkahkan kaki ke
Astina Pura. Tujuannya menemui Rsi Drona.
Ketika kakinya menapak tanah Astina Pura hatinya berbunga-bunga. Sebab dalam
angannya tebersit bayangan, ia akan diterima menjadi siswa Rsi Drona. Dalam Bahasa
Sanskerta, kata Ekalavya secara harfiah berarti "Ia yang memusatkan pikirannya kepada
suatu ilmu/mata pelajaran". Sesuai dengan arti namanya, Ekalawya adalah seorang ksatria
yang memusatkan perhatiannya kepada ilmu memanah. Dalam seni pedalangan Jawa,
Ekalawya disebut Bambang Ekalawya atau dengan sebutan Bambang Palgunadi.
Keinginannya yang kuat untuk menimba ilmu panah lebih jauh, menuntun dirinya untuk
datang ke Hastina dan berguru langsung pada Drona. Namun niatnya ditolak mentah-mentah,
dikarenakan kemampuannya yang bisa menandingi Arjuna dan janji Drona untuk menjadikan
Arjuna sebagai satu-satunya ksatria pemanah paling unggul di jagat raya, yang mendapat
pengajaran langsung dari sang guru. Ini menggambarkan sisi negatif dari Drona, serta
menunjukkan sikap pilih kasih Drona kepada murid-muridnya, dimana Drona sangat
menyayangi Arjuna melebihi murid-muridnya yang lain.
Saat melihat Drona tengah mengajar ksatria Pandawa dan Kurawa, hati Ekalawya makin
berbunga–bunga. Lebih saat menyaksikan dari dekat betapa hebat Drona sebagai guru. Sadar
dirinya sebagai tamu, Ekalawya menunggu sampai jam mengajar Drona tuntas. Ketika Drona
menyatakan pelajaran usai, ketika para satria Pandawa dan Kurawa membubarkan diri,
Ekalawya pun serta merta menghadap Drona. Kemudian. terjadilah dialog sebagai berikut:
”Siapakah engkau wahai satria?” Drona bertanya mendahului Ekalawya yang hendak
meperkenalkan dirinya. ”Saya Ekalawya ”, dengan suara pelan ia menyebut namanya setelah
menghormat dengan menundukkan badan. ”Apa tujuan kedatanganmu wahai Ekalawya ?”
tanya Drona. ’Hamba ingin menjadi siswa paduka, jawab Ekalawya . Suaranya pelan tapi
mantap terdengar. ”Ekalawya, dengan berat hati aku tak bisa menerimamu.’ ’Boleh hamba
tahu mengapa hamba tidak diterima?” ”Karena aku terlanjur menyanggupi untuk mengajar
hanya para Ksatria Kurawa dan Pandawa sampai mereka betul-betul mampu menyerap semua
ilmu yang kumiliki, sampai mereka mampu menerapkan dalam segala keadaan. ”Apakah itu
berarti kedatangan hamba terlambat guru?” ”T Oh tidak!” ”Lalu? Mohon guru memberi
penjelasan.” ”Sebagai guru aku ingin memberi contoh.” “Contoh apa guru?” “Contoh tidak
mengingkari janji yang pernah kuutarakan. Dan contoh tidak mendua hati.” “Mendua hati
bagaimana guru? Sudikah guru menjelaskan?” “Apabila aku menerima engkau sebagai
muridku, berarti bukan satu pihak yang aku ajar. Tetapi dua pihak. Para Pandawa, Kurawa
dan engkau sendiri. Tidakkah ini berarti aku sudah mendua hati? Bagaimana mungkin aku
bisa memusatkan hati dan pikiran dalam mengajar jika yang aku pikirkan dua?” Diam
sejenak. Sesudah menghela nafas panjang Drona berkata lagi, ”sebagai guru aku khawatir,
dengan mendua hati ke dua–duanya tak bisa kujadikan siswa cerdas dan mampuni.
Sebenarnya Ekalawya ingin mendebat ucapan Drona dengan, ”Bukankah guru bisa membagi
waktu?” tapi tak jadi dilakukan. Ekalawya tahu, dari berita yang didengarnya tentang Drona.
Sekali berkata tidak, tawar – menawar tak berlaku baginya. Maka, selain mohon diri, tak ada
lagi yang Ekalawya lakukan. Sedihkah Ekalawya? Kecewakah? Ternyata tidak! Berguru pada
Drona tetap akan ia lakukan walaupun tidak berguru langsung, tapi berguru secara imajinasi
yaitu berguru pada patung Drona. ” Bukankah patung Guru Drona wujud Beliau dalam
bentuk lain?” begitu Ekalawya berkata dalam hati seraya menguatkan tekadnya. Penolakan
sang guru tidak menghalangi niatnya untuk memperdalam ilmu keprajuritan, ia kemudian
kembali masuk ke hutan dan mulai belajar sendiri dan membuat patung Drona serta
memujanya setiap hari dan menghormati sebagai seorang murid yang sedang menimba ilmu
pada sang guru. Sejak itu, dengan suntuk Ekalawya belajar. Tanpa lelah tanpa kenal waktu ia
terus mengasah kemampuannya. Juga melakukan perbaikan pada kesalahan yang ia lakukan
dalam belajar itu. Dalam imajinasinya sang guru Drona dengan sabar terus membimbing dan
mengajarinya ilmu memanah. Hasilnya? Luar biasa. Berkat kegigihannya dalam berlatih,
Ekalawya menjadi seorang prajurit yang gagah dengan kecakapan yang luar biasa dalam ilmu
memanah, yang sejajar bahkan lebih pandai daripada Arjuna, murid kesayangan Drona. Suatu
hari, di tengah hutan saat ia sedang berlatih sendiri, ia mendengar suara anjing
menggonggong, tanpa melihat Ekalawya melepaskan anak panah yang tepat mengenai mulut
anjing tersebut. Saat anjing tersebut ditemukan oleh para Pandawa, mereka kaget dan
bertanya-tanya siapa orang yang mampu melakukan ini semua selain Arjuna. Kemudian
mereka melihat Ekalawya, yang memperkenalkan dirinya sebagai murid dari Guru sejati
yaitu Guru Drona. Mendengar pengakuan Ekalawya, timbul kegundahan dalam hati Arjuna,
bahwa ia tidak lagi menjadi seorang murid terbaik, Ksatria utama. Ia merasa jauh kurang
dibandingkan dengan Ekalawya. Perasaan gundah mulai merasuki jiwa Arjuna dan
kegundahan itu bisa dibaca oleh Drona. Rsi Drona juga pernah mengatakan pada Arjuna
bahwa hanya Arjunalah murid yang terbaik di antara semua muridnya. Singkat cerita,
kemudian Drona bersama Arjuna mengunjungi Ekalawya. Ekalawya dengan sigap
menyembah pada sang guru. Namun ia malahan mendapat amarah atas sikap Ekalawya yang
dianggap sudah lancang mengaku sebagai murid Drona meskipun dahulu sudah pernah
ditolak untuk diangkat sebagai murid. Akan tetapi Drona yang licik itu dengan cepat
menguasai amarahnya dan kembali mununjukkan kesabarannya. Dengan suara pelan nan ber
wibawa Drona meminta Ekalawya untuk melakukan Dakshina (permintaan guru kepada
muridnya sebagai tanda terima kasih seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan).
“Karena kau menganggapku sebagai gurumu, maukah kau memberikan sumbangan untuk
gurumu?’ “ tentu saja Guru akan aku berikan apapun yang Guru u mau “Tapi kau harus
berikan sekarang juga”. “Baiklah Guru”. “ Tapi kau harus berikan sekarang juga “. “ Sebagai
pemberian khusus yang kau berikan padaku, berikan ibu jari tangan kananmu, Nak!” “Bisa?’
Drona meminta supaya ia memotong ibu jari tangan kanannya. Ekalawya terhenyak sejenak
ia tidak menyangka Guru Drona akan meminta ibu jarinya. Ekalawya setelah terdian sejenak
akhirnya menganggukan kepala akan memotong ibu jari tangannya sebagai sujud baktinya
kepada sang Guru. Dengan ketegarannya, Ekalawya memotong jari tangannya. Dengan sekali
sabetan pisau tajam, jari tangan Ekalawya putus, kemudia Ekalawya menyerahkan jari yang
masih berlumuran darah itu kepada Guru Drona. Dia tahu akan akibat dari pengorbanannya
tersebut, ia akan kehilangan kemampuan dalam ilmu memanah. Ekalawya menghormati sang
guru dan menunjukkan "Guru-bhakti". Namun tidak setimpal dengan apa yang didapatkannya
yang akhirnya kehilangan kemampuan yang dipelajari dari "Sang Guru". “Dedikasimu telah
membuatku senang, Nak”. ”Mulai sekarang kau adalah muridku dan sekarang kau harus
tinggalkan tanah Hastina Pura dan kembalilah ke Magada, sekarang juga!” ini perintah
gurumu!” Ekalawya kembali terdiam dia tidak menyangka guru Drona akan mengusinya dari
Hastina Pura . Dia merasa pengorbanannya tidak dihargai samasekali. Akan tetapi Ekalawya
tidak bisa berbuat apa dan akhirnya diapun pamit kepad Guru Drona dan pergi menuju hutan
di Magada. Ketika Ekalawya hilang dari pandangannya, Drona dengan penuh amarah
menghancurkan patung dirinya sendiri. Drona tidak mau Ekalawya datang dan kembali
memuja patung dirinya dan menganggapnya sebagai guru. Drona lebih mementingkan
dirinya dan rasa ego untuk menjadikan Arjuna sebagai prajurit utama dan tetap yang terbaik.
Apa yang bisa dipetik dari cerita sederhana di atas? Sikap Ekalya menyiratkan, guru tetap
utama. Tetapi, menuntut ilmu. tidak harus didampingi guru. Tidak harus dan tidak mutlak
melalui interaksi atau tatap muka. Belajar sendiri pun tak kalah hasilnya. Otodidak pun bisa
memberi hasil luar biasa. Fakta membuktikan, tidak sedikit yang otodidak berhasil melebihi
mereka yang duduk di bangku sekolah atau kuliah. Keberhasilan yang diraih oleh para
otodidak ini, jelas bukan melalui jalan pintas. Pesan lain dari sikap Ekalawya: Jalan awal
meraih keberhasilan adalah semangat dan tekad membaja. Semangat dan tekad yang tak
pernah patah oleh kegagalan. Tekad yang terus bergelora bagai ombak samudera yang tak
pernah surut menggempur pantai sepanjang masa. Tetapi Drona, sebagai seorang guru yang
tak memiliki spirit sebagai seorang pendidik sejati. Dia tampil sebagai sosok yang egois dan
angkuh. Oleh karena itu, jadilah guru yang bijak dan bisa diteladani. Sedangkan Ekalawya
adalah murid sejati , pembelajar sejati yang tetap mampu mengamalkan nilai-nilai luhur
pendidikan
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan IDK Raka Kusuma, Senin, 14 Januari 2013, dalam
http://www.karangasemkab.go.id/index.php?

Anda mungkin juga menyukai