Dvarapala,
( Patung Penjaga Dewa/ Candi )
Nuansa kehidupan zaman kerajaan, masih terasa di Kecamatan Singosari.
Telebih lagi, ketika memasuki perkampungan di Desa Candirenggo, tepatnya di
Jl Kertanegara Barat I. Saat memasuki kawasan yang juga dikenal dengan
kawasan santri itu, mata akan langsung tertuju pada dua arca yang berada di di
sisi kiri dan kanan jalan.
Arca Dwarapala
Satu arca menghadap ke arah utara, dan satu patung menghadap ke timur.
Kedua benda peninggalan sejarah yang berusia ratusan tahun itu, seolah-olah
memantau setiap orang yang melintasi jalan itu. Tidak hanya pada tatapan
matanya, tapi juga dengan senjata yang dipegang, gada (pentungan). Satu gada
dihadapkan ke bawah oleh patung yang berada di sisi kiri jalan. Sedangkan, satu
gada lainnya yang dipegang patung di sebelah kanan jalan dihadapkan ke atas.
Ya, itulah Arca Dwarapala. Dwara berarti penjaga, sedangkan Pala berarti pintu.
Menurut catatan sejarah, kedua arca dwarapala itulah sebagai pintu masuk
kerajaan Singhasari. Sebenarnya, di lokasi itu tidak hanya terdapat arca, akan
tetapi lengkap dengan gapuranya. Hanya saja, saat ini kedua arca itu sudah
tidak lagi berdiri di atas gapura. Karena, gapura sudah rusak. Bahkan, dari dua
gapura, saat ini hanya tersisa satu. Hanya ada beberapa lempengan batu gapura
di sekitar arca.
Masih dalam catatan sejarah, Kedua arca itu diketahui diketemukan oleh
Gubernur Jawa kelahiran Belanda Nicolas Enderhard pada 1803. Arca itu
terpisah dengan gapura. Bahkan, salah satu arca itu sebagian tubuhnya
tertimbun tanah. Suasana kehidupan kerajaan tidak hanya terlihat pada
keberadaan arca dwarapala. Tidak jauh dari arca, juga terdapat
Dvarapala, tampang sangar menyeramkannya, ditopang tubuh tinggi besar,
bukan tanpa tujuan. Dulu ia memang penjaga candi dan bangunan suci.
Bagaimana nasibnya sekarang?
Penjaga bangunan suci
Di manapun juga, Dvarapala adalah sosok menyeramkan dan tampak ganas.
Dua matanya melotot tajam menatap penuh curiga pada setiap orang yang
memasuki candi, bangunan suci. Taring-taringnya yang runcing, khas milik
raksasa, mencuat keluar, membuat orang bergidik. Apalagi badannya tinggi
besar, bahkan ada yang setinggi 3,70 m, seperti Dvarapala yang di Singosari,
Malang. Padahal ia dalam posisi jongkok.
Arca Dwarapala
Arca pemegang gada itu dikenal juga dengan nama Yaksha. Sebelum dewadewa Hindu dan Buddha muncul dalam sistem kepercayaan di India, Dvarapala
yang merupakan mahluk gaib, dipuja orang India sebagai sumber kehidupan
karena melindungi pertanian. Kemudian setelah pantheon dewa muncul dalam
sistem kepercayaan di India, Yaksha dimasukkan ke dalam golongan setingkat di
bawah dewa.
Pada perkembangan berikut, Yaksha menjadi pendamping Sang Buddha. Ia
menghiasi stupa bersama mahluk lain, seperti terdapat di Stupa Bharhut, India,
pada abad I Masehi. Sedangkan di Sanchi, Yaksha seakan-akan "melindungi"
dan "menjaga" bangunan suci di puncak Torana. Tugas Yaksha sebagai
pelindung itulah yang kemudian berkembang sehingga menjadi Dvarapala.
Dvarapala merupakan mahluk yang ditempatkan di depan pintu atau gerbang
menuju bangunan suci candi. Ia memiliki kekuasaan untuk melindungi dari
berbagai serangan kekuatan jahat. Sesuai tugasnya itu, Dvarapala sang penjaga
candi tidak saja digambarkan sebagai mahluk yang menyeramkan wujud
fisiknya, tetapi masih dilengkapi dengan berbagai senjata dan atribut lain.
Senjata-senjata yang disandangnya memang sengaja untuk menciptakan kesan
menakutkan.
Sebagian besar Dvarapala memang memegang gada. Alat pemukul itu dianggap
lambang penghancur, sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan. Juga
dipercaya, senjata maut itu berfungsi sebagai tongkat kematian atau hukuman.
Atribut lain umumnya adalah ular atau naga. Dua satwa itu perlambang
kehidupan air (water spirit) yang dapat mendatangkan hujan. Tetapi jangan bikin
Dvarapala murka, watak aslinya sebagai penghancur akan muncul.
Lihat saja atribut ular naga yang disandang Dvarapala penjaga Candi Plaosan di
daerah Prambanan, Jawa Tengah. Penjaga itu menggunakan tali jerat (pasa)
berbentuk ular sebagai senjata untuk menjerat dan menangkap musuh,
khususnya makhluk-makhluk jahat. Tali jerat berupa ular naga itu, dalam ilmu
ikonografi, disebut nagapasa.
Senjata andalan lainnya adalah golok atau pisau belati. Senjata itu lambang
kemenangan atas makhluk-makhluk jahat. Untuk menambah kesan gagah dan
garang penampilannya, sang penjaga candi itu masih merasa perlu
memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur, subang, kalung, gelang
kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk mengikat rambut ikalnya.
Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif
sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi
peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia. Itu karena apa yang
dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaranajaran yang melawan agama. Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak
perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga mahluk gaib menyeramkan ini.
Dvarapala dari Jawa Timur memang lebih bervariasi baik ekspresi maupun
penampilannya. Arca-arca Dvarapala Candi Panataran di Blitar tampil berbeda.
Selain dvarapala jongkok, ada pula yang berdiri. Ada pula dvarapala perempuan,
bahkan ada yang sambil menggandeng anaknya. Tentu, meski bayi,
penampilannya tetap saja garang.
Penampilan dvarapala yang secara fisik kelihatan sangar tetapi ekspresinya
tenang ternyata dilandasi oleh suatu filosofi. Menurut Supratikno, dvarapala juga
berperan serupa dengan Dharmapala atau "pelindung dharma" seperti dikenal
dalam Buddhisme di Tibet. Sebagaimana Dharmapala, meski Dvarapala
berwujud menyeramkan, namun perannya tidak jahat. Pemahaman itu ruparupanya mengilhami para seniman Jawa untuk menggambarkan mahluk ini
secara tidak terlalu menakutkan. Perhatikan mulutnya, seringkali digambarkan
ekspresi mulut yang "tersenyum".
Sebelum dewa-dewa muncul di dalam sistim kepercayaan agama Hindu dan
Budha, Dwarapala diangap sebagai makhluk gaib dan dipuja orang di India
sebagai pelindung pertanian. Setelah munculnya prinsip dewa-dewa, Yaksha
dimasukkan dalam golongan setingkat dibawah dewa. Perkembangan
selanjutnya Yaksha menjadi pendamping sang Budha dan menghiasi stupa
bersama-sama makhluk lain. Akhirnya Yaksha seakan-akan melindungi dan
menjaga bangunan suci. Tugasnya sebagai pelindung bangunan suci itulah
kemudian berkembang menjadi Dwarapala.
Arca Dwarapala Peninggalan Kerajaan Singhasari
Dwarapala selalu diletakkan didepan pintu gerbang atau pintu bangunan suci. Ia
memiliki kekuasaan untuk melindunginya dari berbagai kekuatan jahat. Sesuai
tugasnya sebagai penjaga, diapun dilengkapi dengan senjata, umumnya gada
sebagai simbol penghancur sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan.
Atributnya adalah ular atau naga perlambang kehidupan air yang dapat
mendatangkan hujan. Matanya melotot dan mulut menyerengai menimbulkan
kesan menakutkan sekaligus wibawa. Hal ini sama seperti Dwarapala Singosari.
Untuk menambah kesan gagah dan garang penampilannya, sang penjaga candi
itu masih merasa perlu memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur,
subang, kalung, gelang kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk
mengikat rambut ikalnya dan semuanya berhiasan kepala tengkorak.
Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif
sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi
peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia. Itu karena apa yang
dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaranajaran yang melawan agama. Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak
perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga mahluk gaib menyeramkan ini.
Patung Dwarapala ini terletak sekitar 200 meter sebelah candi Singosari dan
merupakan patung tunggal terbesar di Indonesia karena beratnya sekitar 23 ton
dan tingginya 3,7 meter (padahal ia dalam posisi jongkok !). Jumlahnya ada 2
buah di sebelah selatan dan utara.
Dahulu Dwarapala sebelah selatan pernah ambles ke bumi hingga separuh
perutnya. Tim yang mengerjakan pemugaran candi Borobudur dipercaya untuk
memperbaiki letak posisinya. Namun tidak ada peralatan modern yang mampu
mengangkatnya kembali, bahkan perlatan berat lainnya juga gagal seolah-olah
tenggelam kekuatannya dihisap oleh patung tersebut. Setelah melakukan
upacara selamatan dan berkat petunjuk gaib penduduk setempat yang
memberitahukan bahwa letak kekuatan Dwarapala adalah pada kedua matanya,
maka proses pengangkatan kembali tersebut berhasil setelah juga dengan
menutup kedua matanya dari sinar matahari. Sekarang Dwarapala sebelah
selatan tersebut berada diatas sebuah lapik semen dan utuh hingga kelihatan
mata kakinya.
Arca Dwarapala Peninggalan Kerajaan Singhasari
Menurut Bernet Kempers Dwarapala Singosari adalah penjaga alun-alun
kerajaan Singosari (1222-1292) yang sekarang berubah menjadi taman
didepannya. Sehingga diperkirakan keraton kerajaan Singosari terletak tidak jauh
darinya. Kitab Pararaton menyebutkan adanya bangunan suci Purwapatapan
tempat Kertanegara biasanya melakukan upacara tantri dan Dr. Oey Blom yakin
bahwa bangunan tersebut terletak disebelah selatan candi Singosari yang
sekarang sudah hilang jejaknya. Tentunya letak keraton tidak akan begitu jauh
dengan tempat pemujaan.
Arca Durga
aksasa mampu mengalahkan tentara para dewa dan mereka memproklamirkan
diri sebagai penguasa kahyangan. Brahma yang memimpin para dewa yang
kalah meminta bantuan kepada dewa Wisnu dan Siwa. Keduanya akhirnya
menyanggupi. Dari perpaduan kekuatan maha dahsyat kedua dewea utama ini
maka lahirlah dewi Durga. Kemudian para dewa menyumbang kekuatan dan
senjata andalannya kepada dewi Durga dengan harapan akan mmapu
menandingi kesaktian Mahisa dan merebut kembali kahyangan. Setelah berhasil
membunuh para tentara raksasa, Durga sendiri akhirnya menghadapi Asura
yang berbentuk seekor kerbau. Dengan bediri diatas tubuh kerbau, Durga
selanjutnya berhasil membunuhnya. Namun kemudian muncullah seorang
raksasa kecil dari tubuh kerbau yang mati tersebut, yang sesungguhnya
merupakan inti kekuatan dari kerbau sakti itu. Dan sekali lagi Durga berhasil
menaklukkannya.
Demikian gambaran sekilas tentang patung Durga yang banyak ditemukan di
Jawa dan sekaligus juga sebagai salah satu patung utama dari keberadaan
sebuah candi. Dewi paling popular di Jawa ini, Durga Mahesasuramardini
umumnya diletakkan di ruang sebelah utara sebuah candi Hindu atau Siwa.
Patung Durga umumnya memiliki tangan mulai dari 2 sampai 10, namun yang
paling umum bertangan 8 buah. Karena menurut ceritanya bahwa semua dewa
menyerahkan senjata andalannya untuk diprgunakan melawan Mahisa, maka
dalam literature Purana jumlah senjata tersebut melebihi jumlah tangannya yang
ada. Akibatnya patung Durga kadang-kadang memiliki jenis senjata berbeda
dengan patung Durga yang lain. Bahkan di Bali, salah satu tangan Durga
digambarkan memegang keris Bali yang khas. Namun itu hanya minoritas saja
karena pada umumnya Durga memiliki atribut senjata yang sama satu dengan
lainnya.
Dalam dunia arkeologi Jawa, patung Durga digambarkan seolah-olah dalam
keadaan sedikit rileks setelah berhasil mengalahkan Mahisa dan Asura. Berbeda
dengan patung Durga di India yang menggambarkan sebuah pertarungan
dahsyat melawan Mahisa. Hal itu terlihat dari sikap atau posisinya yang sedikit
condong kekiri dengan kedua kaki agak ditekuk. Keadaan Mahsia sendiri
nampak pasrah dan seolah-olah merupakan binatang kendaraan Durga dan
bukannya musuh para dewa yang berbentuk raksasa dan menakutkan seperti
dalam konsep di India.
Dari berpuluh-puluh patung Durga yang pernah ditemukan di Indonesia, patung
Durga dari candi Singosari dianggap yang paling indah dan megah. Patung yang
masih tersimpan rapi di museum Leiden Belanda ini berhiaskan ukiran indah
serta tinggi sekitar 1,5 meter. Hiasan pada tubuh Durga masih terlihat dengan
baik demikian juga nandi (lembu) yang mejadi kendaraannya dan patung
raksasa kecil disebelah kiri bawahnya.
Walau sebagian bagian atasnya sudah hilang, namun bagian yang menampilkan
tubuh dan kepalanya masih utuh. Mahkotanya juga terlihat indah. Hiasan atribut
keningratannya seperti gelang kaki atau binggel, sabuk, gelang tangan, dan
anting-antingnya juga masih terlihat jelas.
Ada hal sangat menarik dari patung Durga ini adalah bahwa dia memakai
penutup dada atau semacam kemben. Bahkan kemben tersebut terlihat ketat
karena menampilkan lekuk-lekuk tubuhnya. Sedangkan tubuhnya bagian bawah
tertutup oleh kain panjang semacam sarung dihiasi beberapa atribut keningratan.
Yang tak kalah menarik, dibanding patung-patung lain yang pernah ada di
Indonesia, adalah bahwa kain kemben dan sarung tersebut bermotf batik.
Apakah memang batik sudah dikenal sejak jaman kerajaan Singosari ? Mungkin
saja
Patung Durga indah lainnya dari kerajaan Singosari adalah yang dari candi jawi.
Patung ini sekarang disimpan di museum Mpu tantular Surabaya. Walau tidak
seindah patung Durga dari candi Singosari dan berukuran lebih kecil (1 m),
patung ini masih nampak utuh.
GANESHAMenurut Mitologi India Ganesha digambarkan dengan berbadan
manusia dan memiliki kepala binatang gajah. Gadingnya patah dan memiliki 4
buha tangan, 2 didepan dan 2 dibelakang. Mitologi itu jug amenyebutkan bahwa
Ganesha mengendarai tikus karena itu ia digelari Vighnesvara yang artinya
pengelak marabahaya atau penghalang segala keuskaran. Oleh karena itu
setiap kali akan memulai suatu usaha, masyarakat India dulu tidak lupa memuja
Vighnesvara agar usahanya kelak bebas dari segala bencana atau kesukaran
dan ujung-ujungnya bisa berhasil.
Seperti patung-patung lain yang ditemukan Engelhard tahun 1827 dari candi
Singosari, patung Ganesha ini yang masih tersimpan di museum Leiden Belanda
ini dalam keadaan baik dan terawat. Patung yang juga terbuat dari batu gunung,
andesit, ini berasal dari bilik sebelah timur candi Singosari. Dengan tinggi sekitar
1,3 meter Ganesha nampak indah dan gagah. Sama seperti Ganesha yang lain,
dia bertangan 4 masing-masing memegang kapak, gantungan, dan kepala
tengkorakyang terbalik. Dia duduk diatas alas berhiaskan 10 kepala tengkorak.
Ganesha Singosari ini juga merupakan perwujudan dari Kertanegara itu sendiri.
Jumlah 10 tengkorak pada batur alasnya merupakan simbol dari keutamaan
Kertanegara dalam pemahaman 10 laku utama agama Budha atau disebut
Paramita, yakni dhana (derma), sila (tata susila), ksanti (sabar), virya (perwira),
dyana (samadi), prajna (kebijaksanaan), upaya kausalya (upaya sarana),
pradinata (teguh), bala (kekuasaan), dan jnyana (pengetahuan). Seperti
diketahui dari berbagai sumber bahwa Kertanegara terkenal sebagai raja yang
sangat paham tentang prinsip-prinsip keagamaan.
Yang tidak lazim dari Ganesha ini adalah posisi duduknya yakni jigang atau sikap
2 kaki membentuk sudut siku-siku.. Hal ini melukiskan Kertenegara adalah orang
yang memegang teguh norma-norma tata susila. Kepalanya memiliki mahkota
bersusun tiga dan dibagain paling atas berbentuk stupa yang merupakan symbol
penghormatan Kertenegara terhadap agama Budha yang dianutnya selain Siwa.
Tangan berjumlah empat buah. Kanan depan memegang batok yang
digambarkan berisi perhiasan melimpah ruah, dan tangan kiri depannya
memegang batok yang berisi darah yang dihisap melalui belalainya. Simbolis ini
adalah bahwa kerjaan Singosari mengalami kemakmuran melimpah ruah
sementara dia sendiri adalah orang yang terus menerus belajar tentang
keutamaan dalam agama. Sementara tangan kanan belakang mmegang kunci
pintu gerbang dan tagan kiri belakang memegang kapak. Ini merupakan
perlambang Kertanegara yang teguh menjaga kedaulatan kerajaan besar
Singosari dan menghancurkan musuh-musuh nya. Semua ini sesuai sekali
dengan apa yang digambarkan oleh Prapanca dalam kakawin Negarkertagama
Diantara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau Faham akan nam
guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama Adil, teguh dalam Jinabrata dan
tawakal kepada laku utama Itulah sebabnya beliau turun temurun menjadi raja
pelindung (pupuh 43 : 4)
Dengan prinsip upacara cradha atau upacara yang berlangsung setiap tahun
hingga berakhir pada tahun ke-12, maka logis bila candi Singosari didirikan
setelah wafatnya Kertanegara atau tepatnya pada waktu periode Majapahit. Jadi
bukan pada periode Singosari. Hal ini juga dibuktikan pada patung Ganesha ini
dan terletak dibagian sandarannya. Disebelah kiri dan kanan mahkota Ganseha
terdapat hiasan bulat dan dilapisi lingkaran lancip dibagian luarnya. Dalam dunia
arkeologi pola seperti ini disebut matahari terbit atau wilwatikta. Hiasan ini
dipakai sebagai simbol resmi kerajaan Majapahit dan juga sering sebagai produk
periode Majapahit
Para ahli sejarah seperti Prof. Dr. Woyowasito, R. Soekmono, Drs. Pitono H.,
berpendapat bahwa Ganesha adalah dewa symbol kebijaksanaan atau lambang
ilmu pengetahuan. Bahkan WR Situterheim mengatakan sebagai dewa
kebahagiaan. Oleh karena itu wajar bila ITB Bandung menggunakan Ganesha
sebagai symbol perguruan tingginya. Hal ini terkait dengan sikap belalai
Ganesha yang menghisap isi batok sebagai symbol terus-menerus menghisap
ilmu pengetahuan tanpa henti.
CANDI JAWAROMBO
Candi Jawarombo, yang masuk wilayah Desa Mulyoasri, Kecamatan Ampel
Gading, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Bangunan peninggalan masa HinduBuddha itu ditemukan penduduk + tahun 1983 dalam keadaan terpendam tanah.
Lokasi situs berada pada posisi 8 08' 50,9" Lintang Selatan dan 112 53' 21,05"
Bujur Timur dengan ketinggian di atas 1.400 m dpl.
Dvarapala cebol nan lucu
Candi ini tinggal bagian batur (alas) berdenah bujur sangkar dengan ukuran 6 X
6 meter dan tinggi 60 cm. Pada lantai batur terdapat empat umpak batu yang
berlubang bagian tengahnya untuk menegakkan tiang. Mungkin bangunan suci
ini memakai tiang kayu dengan atap rumbia atau ijuk, karena tidak dijumpai
pecahan-pecahan genteng di bawahnya.
Profil kaki candi berupa pelipit setengah lingkaran dan segi empat. Keempat sisi
batur dihiasi relief-relief yang menggambarkan teratai (lotus), pilaster, dan salib.
Pada sisi bangunan dihiasi oleh lima teratai, empat salib dan 10 pilaster yang
ditempatkan berselang-seling. Pahatan sosok manusia pada relief digambarkan
seperti wayang, gaya pahatan seperti relief-relief bangunan candi masa akhir