Anda di halaman 1dari 18

ARCA PENINGGALAN SINGHASARI

Dvarapala,
( Patung Penjaga Dewa/ Candi )
Nuansa kehidupan zaman kerajaan, masih terasa di Kecamatan Singosari.
Telebih lagi, ketika memasuki perkampungan di Desa Candirenggo, tepatnya di
Jl Kertanegara Barat I. Saat memasuki kawasan yang juga dikenal dengan
kawasan santri itu, mata akan langsung tertuju pada dua arca yang berada di di
sisi kiri dan kanan jalan.
Arca Dwarapala
Satu arca menghadap ke arah utara, dan satu patung menghadap ke timur.
Kedua benda peninggalan sejarah yang berusia ratusan tahun itu, seolah-olah
memantau setiap orang yang melintasi jalan itu. Tidak hanya pada tatapan
matanya, tapi juga dengan senjata yang dipegang, gada (pentungan). Satu gada
dihadapkan ke bawah oleh patung yang berada di sisi kiri jalan. Sedangkan, satu
gada lainnya yang dipegang patung di sebelah kanan jalan dihadapkan ke atas.
Ya, itulah Arca Dwarapala. Dwara berarti penjaga, sedangkan Pala berarti pintu.
Menurut catatan sejarah, kedua arca dwarapala itulah sebagai pintu masuk
kerajaan Singhasari. Sebenarnya, di lokasi itu tidak hanya terdapat arca, akan
tetapi lengkap dengan gapuranya. Hanya saja, saat ini kedua arca itu sudah
tidak lagi berdiri di atas gapura. Karena, gapura sudah rusak. Bahkan, dari dua
gapura, saat ini hanya tersisa satu. Hanya ada beberapa lempengan batu gapura
di sekitar arca.
Masih dalam catatan sejarah, Kedua arca itu diketahui diketemukan oleh
Gubernur Jawa kelahiran Belanda Nicolas Enderhard pada 1803. Arca itu
terpisah dengan gapura. Bahkan, salah satu arca itu sebagian tubuhnya
tertimbun tanah. Suasana kehidupan kerajaan tidak hanya terlihat pada
keberadaan arca dwarapala. Tidak jauh dari arca, juga terdapat
Dvarapala, tampang sangar menyeramkannya, ditopang tubuh tinggi besar,
bukan tanpa tujuan. Dulu ia memang penjaga candi dan bangunan suci.
Bagaimana nasibnya sekarang?
Penjaga bangunan suci
Di manapun juga, Dvarapala adalah sosok menyeramkan dan tampak ganas.
Dua matanya melotot tajam menatap penuh curiga pada setiap orang yang
memasuki candi, bangunan suci. Taring-taringnya yang runcing, khas milik
raksasa, mencuat keluar, membuat orang bergidik. Apalagi badannya tinggi
besar, bahkan ada yang setinggi 3,70 m, seperti Dvarapala yang di Singosari,
Malang. Padahal ia dalam posisi jongkok.
Arca Dwarapala

Arca pemegang gada itu dikenal juga dengan nama Yaksha. Sebelum dewadewa Hindu dan Buddha muncul dalam sistem kepercayaan di India, Dvarapala
yang merupakan mahluk gaib, dipuja orang India sebagai sumber kehidupan
karena melindungi pertanian. Kemudian setelah pantheon dewa muncul dalam
sistem kepercayaan di India, Yaksha dimasukkan ke dalam golongan setingkat di
bawah dewa.
Pada perkembangan berikut, Yaksha menjadi pendamping Sang Buddha. Ia
menghiasi stupa bersama mahluk lain, seperti terdapat di Stupa Bharhut, India,
pada abad I Masehi. Sedangkan di Sanchi, Yaksha seakan-akan "melindungi"
dan "menjaga" bangunan suci di puncak Torana. Tugas Yaksha sebagai
pelindung itulah yang kemudian berkembang sehingga menjadi Dvarapala.
Dvarapala merupakan mahluk yang ditempatkan di depan pintu atau gerbang
menuju bangunan suci candi. Ia memiliki kekuasaan untuk melindungi dari
berbagai serangan kekuatan jahat. Sesuai tugasnya itu, Dvarapala sang penjaga
candi tidak saja digambarkan sebagai mahluk yang menyeramkan wujud
fisiknya, tetapi masih dilengkapi dengan berbagai senjata dan atribut lain.
Senjata-senjata yang disandangnya memang sengaja untuk menciptakan kesan
menakutkan.
Sebagian besar Dvarapala memang memegang gada. Alat pemukul itu dianggap
lambang penghancur, sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan. Juga
dipercaya, senjata maut itu berfungsi sebagai tongkat kematian atau hukuman.
Atribut lain umumnya adalah ular atau naga. Dua satwa itu perlambang
kehidupan air (water spirit) yang dapat mendatangkan hujan. Tetapi jangan bikin
Dvarapala murka, watak aslinya sebagai penghancur akan muncul.
Lihat saja atribut ular naga yang disandang Dvarapala penjaga Candi Plaosan di
daerah Prambanan, Jawa Tengah. Penjaga itu menggunakan tali jerat (pasa)
berbentuk ular sebagai senjata untuk menjerat dan menangkap musuh,
khususnya makhluk-makhluk jahat. Tali jerat berupa ular naga itu, dalam ilmu
ikonografi, disebut nagapasa.
Senjata andalan lainnya adalah golok atau pisau belati. Senjata itu lambang
kemenangan atas makhluk-makhluk jahat. Untuk menambah kesan gagah dan
garang penampilannya, sang penjaga candi itu masih merasa perlu
memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur, subang, kalung, gelang
kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk mengikat rambut ikalnya.
Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif
sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi
peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia. Itu karena apa yang
dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaranajaran yang melawan agama. Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak
perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga mahluk gaib menyeramkan ini.

Yang tua tidak pegang gada


data tentang arca-arca Dvarapala Jawa Tengah dalam penelitian tahun 1983,
dan dilanjutkan lagi sekarang. Yang terbanyak ditemukan di daerah Prambanan
dan Kalasan, Yogyakarta, di antaranya berasal dari candi-candi Kalasan, Lara
Jonggrang, Lumbung, Sewu, Asu, Plaosan Lor, Sajiwan, Kalongan. Ia juga
membandingkannya dengan Dvarapala Borobudur yang kini berada di Bangkok,
Thailand.
Dalam pengamatannya terhadap arca-arca tersebut, Dvarapala Borobudur
belum dianggap sebagai hasil karya seni bermutu tinggi. Teknik pahatannya
masih kasar. Senjatanya hanya satu, yakni belati yang digenggam tangan kanan.
Ekspresi mukanya tidak menakutkan, bahkan tampak "menyedihkan" dengan
mulut yang menunjukkan ekpresi tenang. Supratikno berpendapat, Dvarapala
sederhana itu mungkin penjaga bangunan candi dekat Candi Borobudur yang
ukurannya lebih kecil, namun umurnya lebih tua dari Candi Borobudur
(diperkirakan sebelum tahun 770 M). Jadi bukan penjaga Candi Borobudur,
karena agaknya seniman Borobudur tidak memerlukan Dvarapala. Di Borobudur
fungsi penjaga sudah digantikan oleh singa-singa yang mengapit jalan masuk
menuju puncak candi.
Sedangkan Dvarapala-dvarapala dari Candi Sewu menunjukkan hasil karya seni
yang lebih tinggi ketimbang yang dari Borobudur. Kalau Dvarapala Borobudur
tidak mengenakan ikat kepala dan upawita (tali kasta), serta tidak memegang
ular dan gada, maka Dvarapala Candi Sewu memiliki seluruh atribut itu.
Garapannya pun lebih halus dan rumit. Supratikno berpendapat, Dvarapala
Candi Sewu mungkin dibuat sebelum tahun 782 M.
Bernet Kempers dalam bukunya Ancient Indonesian Art (1959) sempat
mengamati sejumlah Dvarapala dari situs-situs candi di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Empat dvarapala yang ditemukan di selatan Candi Kalasan, Yogyakarta,
berukuran tinggi 1,90 meter. Rambut gimbal terurai tanpa ikat kepala, tangan
kanan memegang nagapasa, sedangkan telapak tangan kiri bertumpu pada
sebuah gada yang diturunkan ke tanah. Tak lupa pisau besar terselip di
pinggangnya. Kempers menduga arca-arca itu merupakan penjaga pintu masuk
Candi Kalasan, namun sekarang sudah tidak ada di tempatnya lagi.
Dvarapala yang terdapat di sekitar Candi Singasari di Malang, Jawa Timur,
menurut Kempers, adalah raksasa penjaga alun-alun Kerajaan Singhasari (12221292). Raksasa ini menjaga pintu masuk Keraton Singhasari yang diperkirakan
lokasinya tidak jauh dari Candi Singasari sekarang. Dvarapala Singasari itu
memiliki karakter yang lebih damai, kata Kempers. Padahal sebenarnya ekspresi
penjaga itu dimaksudkan oleh seniman Jawa supaya tampak sangar. Alis
matanya melengkung dengan mata melotot. Dari lekuk mulutnya terlihat taringtaringnya. Tangan kiri bertelekan pada sebuah gada yang berat berhiaskan vajra.
Ular dan tengkorak yang disandangnya seharusnya membuat lawan gemetar.

Dvarapala dari Jawa Timur memang lebih bervariasi baik ekspresi maupun
penampilannya. Arca-arca Dvarapala Candi Panataran di Blitar tampil berbeda.
Selain dvarapala jongkok, ada pula yang berdiri. Ada pula dvarapala perempuan,
bahkan ada yang sambil menggandeng anaknya. Tentu, meski bayi,
penampilannya tetap saja garang.
Penampilan dvarapala yang secara fisik kelihatan sangar tetapi ekspresinya
tenang ternyata dilandasi oleh suatu filosofi. Menurut Supratikno, dvarapala juga
berperan serupa dengan Dharmapala atau "pelindung dharma" seperti dikenal
dalam Buddhisme di Tibet. Sebagaimana Dharmapala, meski Dvarapala
berwujud menyeramkan, namun perannya tidak jahat. Pemahaman itu ruparupanya mengilhami para seniman Jawa untuk menggambarkan mahluk ini
secara tidak terlalu menakutkan. Perhatikan mulutnya, seringkali digambarkan
ekspresi mulut yang "tersenyum".
Sebelum dewa-dewa muncul di dalam sistim kepercayaan agama Hindu dan
Budha, Dwarapala diangap sebagai makhluk gaib dan dipuja orang di India
sebagai pelindung pertanian. Setelah munculnya prinsip dewa-dewa, Yaksha
dimasukkan dalam golongan setingkat dibawah dewa. Perkembangan
selanjutnya Yaksha menjadi pendamping sang Budha dan menghiasi stupa
bersama-sama makhluk lain. Akhirnya Yaksha seakan-akan melindungi dan
menjaga bangunan suci. Tugasnya sebagai pelindung bangunan suci itulah
kemudian berkembang menjadi Dwarapala.
Arca Dwarapala Peninggalan Kerajaan Singhasari
Dwarapala selalu diletakkan didepan pintu gerbang atau pintu bangunan suci. Ia
memiliki kekuasaan untuk melindunginya dari berbagai kekuatan jahat. Sesuai
tugasnya sebagai penjaga, diapun dilengkapi dengan senjata, umumnya gada
sebagai simbol penghancur sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan.
Atributnya adalah ular atau naga perlambang kehidupan air yang dapat
mendatangkan hujan. Matanya melotot dan mulut menyerengai menimbulkan
kesan menakutkan sekaligus wibawa. Hal ini sama seperti Dwarapala Singosari.
Untuk menambah kesan gagah dan garang penampilannya, sang penjaga candi
itu masih merasa perlu memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur,
subang, kalung, gelang kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk
mengikat rambut ikalnya dan semuanya berhiasan kepala tengkorak.
Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif
sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi
peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia. Itu karena apa yang
dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaranajaran yang melawan agama. Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak
perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga mahluk gaib menyeramkan ini.
Patung Dwarapala ini terletak sekitar 200 meter sebelah candi Singosari dan
merupakan patung tunggal terbesar di Indonesia karena beratnya sekitar 23 ton

dan tingginya 3,7 meter (padahal ia dalam posisi jongkok !). Jumlahnya ada 2
buah di sebelah selatan dan utara.
Dahulu Dwarapala sebelah selatan pernah ambles ke bumi hingga separuh
perutnya. Tim yang mengerjakan pemugaran candi Borobudur dipercaya untuk
memperbaiki letak posisinya. Namun tidak ada peralatan modern yang mampu
mengangkatnya kembali, bahkan perlatan berat lainnya juga gagal seolah-olah
tenggelam kekuatannya dihisap oleh patung tersebut. Setelah melakukan
upacara selamatan dan berkat petunjuk gaib penduduk setempat yang
memberitahukan bahwa letak kekuatan Dwarapala adalah pada kedua matanya,
maka proses pengangkatan kembali tersebut berhasil setelah juga dengan
menutup kedua matanya dari sinar matahari. Sekarang Dwarapala sebelah
selatan tersebut berada diatas sebuah lapik semen dan utuh hingga kelihatan
mata kakinya.
Arca Dwarapala Peninggalan Kerajaan Singhasari
Menurut Bernet Kempers Dwarapala Singosari adalah penjaga alun-alun
kerajaan Singosari (1222-1292) yang sekarang berubah menjadi taman
didepannya. Sehingga diperkirakan keraton kerajaan Singosari terletak tidak jauh
darinya. Kitab Pararaton menyebutkan adanya bangunan suci Purwapatapan
tempat Kertanegara biasanya melakukan upacara tantri dan Dr. Oey Blom yakin
bahwa bangunan tersebut terletak disebelah selatan candi Singosari yang
sekarang sudah hilang jejaknya. Tentunya letak keraton tidak akan begitu jauh
dengan tempat pemujaan.

PATUNG-PATUNG CANDI SINGOSARI


Sebuah laporan Belanda ditulis oleh Nicolaus Engelhard bertanggal 28 Febuari
1827 mengatakan bahwa dia menemukan candi Singosari tahun 1803. Surat
tersebut menyebutkan adanya 6 patung dari candi ini, termasuk Durga dan
Ganesha. Dia meninggalkan patung Agastya karena kondisinya yang rusak.
Tahun 1804, patung-patung tersebut dikirim ke Belanda.
Dari laporan tersebut nampak sekali bahwa saat itu dikawasan candi Singosari

merupakan hutan lebat. Terbukti 17 tahun kemudian atau tahun 1820 D.


Monnereau menemukan 4 bangunan candi disebelah selatan candi Singosari
termasuk patung Pradnyaparamitha atau Kendedes. J.B Jukes yang
mengunjungi reruntuhan candi Singosari tahun 1844 menyebutkan bahwa salah
satu candi disebelah selatan candi Singosari disebut oleh penduduk setempat
sebagai Cungkup Putri. Selanjutnya dia berpendapat bahwa candi tersebut
tempat asli patung Pradnyaparamitha atau Kendedes.
Dari laporan-laporan tersebut jelas terbukti bahwa candi Singosari
sesungguhnya merupakan bagian dari sebuah kompleks candi. Sesuai dengan
kitab Pararaton disebutkan adanya bangunan suci purwapatapan di Singosari
dimana raja Kertanegara biasanya melakukan upacara tantri. Kompleks candi
tersebut membujur dari selatan ke utara dengan kemungkinan candi Singosari
adalah candi utamanya. Dr. Oey Blom menyebutkan bahwa kompleks candi
Singosari terdiri atas 9 candi yang tersusun sedemikian rupa sesuai dengan
konsep suci saat itu. Sayang hanya candi Singosari saja yang tersisa,
sedangkan candi-candi lainnya telah hilang sama sekali dan berganti dengan
pemukiman, jalan raya, dan persawahan sehingga sulit untuk dilacak kembali.
Dari sekian banyak patung-patung indah warisan kompleks candi Singosari
hanya patung Agastya dan juga sepasang patung raksasa Dwarapala, 200 m
sebelah barat candi, yang masih berada di asli lokasi. Sementara yang lain telah
berpindah dan tersimpan dibeberapa tempat seperti di museum Nasional Jakarta
(Patung Kendedes), Trowulan (Camundi) dan museum Leiden Belanda (Durga,
Ganesha, Bhairawa). Yang lainnya hilang entah kemana.
PRADNYAPARAMITHA Menurut kebanyakan orang, patung yang diduga berasal
dari candi Singosari, pernah disimpan lama di negeri Belanda, dan sekarang
menjadi salah satu koleksi berharga museum Nasional Jakarta, adalah patung
Kendedes, sang permaisuri agung dan ibu suri dinasti Singosari dan Majapahit
yang cantik jelita bak bidadari. Hal ini sesuai dengan cerita tutur, kitab kuno
Pararaton, serta prasasti Mula Malurung.
Patung yang sesungguhnya merupakan perwujudan dewi Kebijaksanaan dan
Ilmu Pengetahuan versi agama Budha ini disebut Pradnyaparamitha. Patung ini
adalah yang terhalus dan terindah yang pernah ditemukan dalam dunia arkeologi
Indonesia. Tingginya sekitar 1,26 m dan terbuat dari batu gunung atau andesit.
Beliau duduk diatas bunga teratai dan kedua tanggannya membentuk sikap
dharmacakramudra atau memutar roda dunia. Terdapat hiasan tangkai teratai
melingkar ditangan kiri dan bunganya sebagai alas sebuah kitab. Dia bersandar
pada sebuah kursi kencana indah dan beralaskan teratai.

Tubuhnya dipenuhi perhiasan mengagumkan mulai dari gelang kaki, bagian


perut, tangan, dada, leher, kuping, badan hingga ke mahkotanya. Sedangkan
tubuh bagian bawahnya ditutupi oleh kain sebangsa batik. Seandainya
merupakan sebuah lukisan atau potret berwarna, tentulah patung ini akan
menampilkan keagungan luar biasa dari sang putri. Mungkin juga patung ini
adalah gambaran dari potret seorang putri raja karena memiliki hiasan yang
begitu banyak dan indah.
Posisi tangannya melambangkan sikap dharmacakramudra atau memutar roda
dunia atau lebih jelasnya merupakan kunci dari penguasaan sebab dan akibat.
Sikap ini hanya dimiliki oleh kaum Budda dan juga seperti ditunjukkan pada
patung-patung Budha yang ada di candi Borobudur. Sementara sebelah kirinya
terdapat sebuah batang bunga teratai yang menjulur melingkar tangan kirinya.
Pada ujung bunga teratai terdapat sebuah kitab yang disebut Pradnyaparamitasutra atau kitab Kebijaksanaan Utama
. Sang pencipta patung ini sungguh telah begitu sempurna berhasil
menggambarkan perpaduan antara kedamaian dan keteduhan ekspresi raut
wajah serta keutamaan sikap Budhawi dengan gemerlapnya perhiasan diseluruh
badan. Bahkan tak ada patung lain di Indonesia yang mampu menghadirkan
keyakinan adanya teori patung potret diri karena pada patung ini jelas terlihat
perpaduan dari sorang dewi yang memiliki wajah manusiawi serta memiliki
perhiasan keduniawian seroang ratu. Dan sungguhnya patung ini merupakan
satu-satunya patung potret-diri seorang ratu sebelum konsep potret-diri itu mulai
muncul diantara para ahli sejarah.
Namun sayang tempat asli patung ini masih misteri. Karena jelas letak patung ini
tidak mungkin dari candi Singosari yang ada sekarang masih berdiri. Ini karena
candi Singosari adalah sebuah candi Siwa sementara patung Pradnyaparamita
adalah sebuah dewi agama Budha. Jadi jelas bahwa salah satu bangunan
agamis tersebut merupakan bagian dari sebuah kompleks besar percandian
Singosari seperti ditunjukkan oleh penemuan Engelhard tahun 1827 yang tidak
jauh dari candi Singosari. Kompleks tersebut ternyata tidak hanya berhiaskan
candi-candi Hindu namun juga Budha seperti ditunjukkan oleh patung
Pradnyaparamita. Dan ini tentunya sesuai sekali dengan prinsip raja Kertanegara
sebagai seorang pemuja Siwa-Budha dan Tantra.
Namun demikian belum sepenuhnya benar seandainya patung Pradnyaparamita
ini merupakan potret Kendedes. Kakawin Negarakertagama (67 ; 1-2 dan 69 ; 1)
menyebutkan bahwa ratu Gayatri didharmakan sebagai Pradnyaparamitha dan
candinya disebut Pradnyaparamithapuri. Gayatri adalah salah satu dari 4 putri
Kertanegara dan menjadi istri terkasih dari Kertarajasa sang pendiri kerajaan dan

dinasti Majapahit. Sementara itu, menurut kitab Pararaton, disebutkan bahwa


pendeta Lohgawe yang merupakan penasehat spiritual Ken Arok menyebut
Kendedes sebagai Ardhaneswari atau wanita utama dan mengacu pada dewi
Parvati yang cantik jelita.
BHAIRAWAMungkin karena masih tersimpan dimuseum Leiden Belanda,
sehingga patung yang indah dan nampak seram ini jarang dikenal orang. Patung
ini ditemukan oleh Engelhard tahun 1827, bersama-sama beberapa patung lain,
dari candi yang sekarang disebut Singosari.
Walaupun kitab-kitab icinografi India tidak memiliki referensi yang mampu
menjelaskan dengan sempurna patung ini, dari penampilannya serta atributatributnya jelas patung ini merupakan salah satu perwujudan dewa Siwa yang
menakutkan dan disebut Bhairawa. Berdiri diatas setumpukan kepala tengkorak
dan dengan sikap agak jongkok, dia seperti duduk dipunggung seekor serigala.
Memiliki 4 tangan yang masing-masing memegang keris, senjata tombak
pendek, gendang dan batok kepala tengkorak. Pada badannya menjuntai kalung
panjang berhiaskan kepala tengkorak, begitu juga anting-anting dan hiasan
lengan atas kiri dan kanan. Wajahnya melotot dan mulutnya agak terbuka
menampilkan gigi taringnya. Sangat pas menunjukkan wajah seramnya. Pada
sandarannya sebelah atas kanan terdapat huruf jawa kuno berbunyi cakra-cakra.
Sayang sedikit sandaran bagian atas kiri hilang dan mungkin berisi sisa tulisan
tersebut sehingga belum terungkap dengan pasti apa makna dibalik seluruh
prasasti tersebut.
Jessy Blom dan P.H. Port menduga kuat patung ini dulunya berada pada salah
satu candi disebelah selatan candi Singosari yang sekarang sudah hilang
jejaknya. Hal ini sesuai dengan pemberitaan kitab Pararaton tentang adanya
sebuah Purwapatapan dimana raja Kertanegara biasanya melakukan upacara
tantri. Menurutnya patung Bhairawa ini terletak di Purwapatan, seperti juga ditulis
dalam prasasti Gunung Buthak (1924) sebagai Sivabuddhalaya atau tempat
bersemayamnya Siwa-Budha, G.F. Brummund berpendapat bahwa bangunan ini
terbagi atas 3 ruang. Patung Parwati (Pradnyaparamita) terletak disebelah
selatan, patung Camundi disebelah utara, dan Bhirawa ditengahnya. Jadi
Bhirawa ini diapit oleh seorang dewi menakutkan dan menyejukkan.
Tidak diketahui dengan pasti patung ini diperuntukkan siapa. Namun L.C.
Damais berhasil meyakinkan bahwa terdapat 2 nama yang berkaitan erat
dengan personfikasi patung Bhairawa ini; Yakni Adityawarman yang pernah
memerintah Sumatra atau Kertawardahana yang selanjutnya dikenal sebagai
istri Tribuwanatunggadewi dan ayah raja terbesar Majapahit, Hayam Wuruk.

Nama asli Kertawardhana adalah Cakradhara atau Cakresvara.


CAMUNDITahun 1927 ada seorang petani didesa Ardimulyo, sebelah utara candi
Singosari, menemukan dan menyimpan sebuah arca agak besar. Namun
kemudian dia sering bermimpi menyeramkan dan mengalami nasib jelek.
Khawatir itu semua karena pengaruh patung yang baru ditemukannya, maka dia
menghancurkan patung itu berkeping-keping. Untunglah museum Kesenian
Boston, setelah berhasil menyelamatkannya dari seorang kolektor Belanda,
dengan kesabaran luar biasa, berhasil menyatukan kembali sebagian besar
bagian-bagian yang rusak dan hilang kecuali sedikit bagian belakang, dasaran,
sedkit bagian depan yang sudah bercampur dengan bahan material baru.
Patung tersebut pernah tergeletak di halaman candi Singosari dan sekarang
disimpan di museum Trowulan. Nama patung itu adalah Camundi. Memiliki
tangan 8 buah, diapit beberapa tokoh seperti Ganseha dan Bhairawa.
Dibelakang patung Camundi tertera sebuah prasasti berangka tahun 1214 C
atau 1292 M dan berbunyi : tatkala kaprastisthan paduka bhatari maka tewek
huwus sri maharaja digwijaya ring sakalaloka manuyuyi sakaladwipantara.
Disebutkan bahwa Batari Camundi ditasbihkan pada waktu Sri Maharaja
Kertanegara menang diseluruh wilayah dan menundukkan semua pulau-pulau
lain. (L.C. Damais)
Dalam Negarakertagama pupuh 42 dijelaskan bagaimana raja Kertanegara
mampu menjadi raja besar dengan menaklukkan daerah-daerah seperti Bali,
Pahang Malaysia, Sumatera, Gurun, Bakulapura, Sunda, dan Madura. Itulah
bibit-bibit wawasan cakrawala mandala nusantara.
Walaupun tidak terdapat bukti secara langsung atas daerah-daerah tersebut dan
mengkin saja hanya merupakan wilayah simbolis saja, namun kenyataannya
Kertanegara benar-benar menguasai Jawa dan Sumatera. Terbukti 6 tahun
sebelumnya. tahun 1286, beliau mengirimkan tentaranya ke Sumatera dan
berhasil menegakkan patung Amoghapasa disana sebagai bentuk kedaulatan
Singosari atas wilayah Sumatera. Raja di Sumatera bernama Mauliawarman
tetap diperkenakan memakai gelar maharaja, namun Kertanegara selanjutnya
bergelar maharajadiraja.DURGA MAHESASURAMARDINI
Dalam ksiah India kuno Markandeya Purana dan Matsya Purana menceritakan
pertempuran antara para raksasa Asura yang dipimpin oleh rajanya Mahisa
melawan para dewa yang dipimpin oleh dewa Indra. Pada akhirnya pasukan
para

Arca Durga
aksasa mampu mengalahkan tentara para dewa dan mereka memproklamirkan
diri sebagai penguasa kahyangan. Brahma yang memimpin para dewa yang
kalah meminta bantuan kepada dewa Wisnu dan Siwa. Keduanya akhirnya
menyanggupi. Dari perpaduan kekuatan maha dahsyat kedua dewea utama ini
maka lahirlah dewi Durga. Kemudian para dewa menyumbang kekuatan dan
senjata andalannya kepada dewi Durga dengan harapan akan mmapu
menandingi kesaktian Mahisa dan merebut kembali kahyangan. Setelah berhasil
membunuh para tentara raksasa, Durga sendiri akhirnya menghadapi Asura
yang berbentuk seekor kerbau. Dengan bediri diatas tubuh kerbau, Durga
selanjutnya berhasil membunuhnya. Namun kemudian muncullah seorang
raksasa kecil dari tubuh kerbau yang mati tersebut, yang sesungguhnya
merupakan inti kekuatan dari kerbau sakti itu. Dan sekali lagi Durga berhasil
menaklukkannya.
Demikian gambaran sekilas tentang patung Durga yang banyak ditemukan di
Jawa dan sekaligus juga sebagai salah satu patung utama dari keberadaan
sebuah candi. Dewi paling popular di Jawa ini, Durga Mahesasuramardini
umumnya diletakkan di ruang sebelah utara sebuah candi Hindu atau Siwa.
Patung Durga umumnya memiliki tangan mulai dari 2 sampai 10, namun yang
paling umum bertangan 8 buah. Karena menurut ceritanya bahwa semua dewa
menyerahkan senjata andalannya untuk diprgunakan melawan Mahisa, maka
dalam literature Purana jumlah senjata tersebut melebihi jumlah tangannya yang
ada. Akibatnya patung Durga kadang-kadang memiliki jenis senjata berbeda
dengan patung Durga yang lain. Bahkan di Bali, salah satu tangan Durga
digambarkan memegang keris Bali yang khas. Namun itu hanya minoritas saja
karena pada umumnya Durga memiliki atribut senjata yang sama satu dengan
lainnya.
Dalam dunia arkeologi Jawa, patung Durga digambarkan seolah-olah dalam
keadaan sedikit rileks setelah berhasil mengalahkan Mahisa dan Asura. Berbeda
dengan patung Durga di India yang menggambarkan sebuah pertarungan
dahsyat melawan Mahisa. Hal itu terlihat dari sikap atau posisinya yang sedikit
condong kekiri dengan kedua kaki agak ditekuk. Keadaan Mahsia sendiri
nampak pasrah dan seolah-olah merupakan binatang kendaraan Durga dan
bukannya musuh para dewa yang berbentuk raksasa dan menakutkan seperti
dalam konsep di India.
Dari berpuluh-puluh patung Durga yang pernah ditemukan di Indonesia, patung
Durga dari candi Singosari dianggap yang paling indah dan megah. Patung yang

masih tersimpan rapi di museum Leiden Belanda ini berhiaskan ukiran indah
serta tinggi sekitar 1,5 meter. Hiasan pada tubuh Durga masih terlihat dengan
baik demikian juga nandi (lembu) yang mejadi kendaraannya dan patung
raksasa kecil disebelah kiri bawahnya.
Walau sebagian bagian atasnya sudah hilang, namun bagian yang menampilkan
tubuh dan kepalanya masih utuh. Mahkotanya juga terlihat indah. Hiasan atribut
keningratannya seperti gelang kaki atau binggel, sabuk, gelang tangan, dan
anting-antingnya juga masih terlihat jelas.
Ada hal sangat menarik dari patung Durga ini adalah bahwa dia memakai
penutup dada atau semacam kemben. Bahkan kemben tersebut terlihat ketat
karena menampilkan lekuk-lekuk tubuhnya. Sedangkan tubuhnya bagian bawah
tertutup oleh kain panjang semacam sarung dihiasi beberapa atribut keningratan.
Yang tak kalah menarik, dibanding patung-patung lain yang pernah ada di
Indonesia, adalah bahwa kain kemben dan sarung tersebut bermotf batik.
Apakah memang batik sudah dikenal sejak jaman kerajaan Singosari ? Mungkin
saja
Patung Durga indah lainnya dari kerajaan Singosari adalah yang dari candi jawi.
Patung ini sekarang disimpan di museum Mpu tantular Surabaya. Walau tidak
seindah patung Durga dari candi Singosari dan berukuran lebih kecil (1 m),
patung ini masih nampak utuh.
GANESHAMenurut Mitologi India Ganesha digambarkan dengan berbadan
manusia dan memiliki kepala binatang gajah. Gadingnya patah dan memiliki 4
buha tangan, 2 didepan dan 2 dibelakang. Mitologi itu jug amenyebutkan bahwa
Ganesha mengendarai tikus karena itu ia digelari Vighnesvara yang artinya
pengelak marabahaya atau penghalang segala keuskaran. Oleh karena itu
setiap kali akan memulai suatu usaha, masyarakat India dulu tidak lupa memuja
Vighnesvara agar usahanya kelak bebas dari segala bencana atau kesukaran
dan ujung-ujungnya bisa berhasil.
Seperti patung-patung lain yang ditemukan Engelhard tahun 1827 dari candi
Singosari, patung Ganesha ini yang masih tersimpan di museum Leiden Belanda
ini dalam keadaan baik dan terawat. Patung yang juga terbuat dari batu gunung,
andesit, ini berasal dari bilik sebelah timur candi Singosari. Dengan tinggi sekitar
1,3 meter Ganesha nampak indah dan gagah. Sama seperti Ganesha yang lain,
dia bertangan 4 masing-masing memegang kapak, gantungan, dan kepala
tengkorakyang terbalik. Dia duduk diatas alas berhiaskan 10 kepala tengkorak.

Ganesha Singosari ini juga merupakan perwujudan dari Kertanegara itu sendiri.
Jumlah 10 tengkorak pada batur alasnya merupakan simbol dari keutamaan
Kertanegara dalam pemahaman 10 laku utama agama Budha atau disebut
Paramita, yakni dhana (derma), sila (tata susila), ksanti (sabar), virya (perwira),
dyana (samadi), prajna (kebijaksanaan), upaya kausalya (upaya sarana),
pradinata (teguh), bala (kekuasaan), dan jnyana (pengetahuan). Seperti
diketahui dari berbagai sumber bahwa Kertanegara terkenal sebagai raja yang
sangat paham tentang prinsip-prinsip keagamaan.
Yang tidak lazim dari Ganesha ini adalah posisi duduknya yakni jigang atau sikap
2 kaki membentuk sudut siku-siku.. Hal ini melukiskan Kertenegara adalah orang
yang memegang teguh norma-norma tata susila. Kepalanya memiliki mahkota
bersusun tiga dan dibagain paling atas berbentuk stupa yang merupakan symbol
penghormatan Kertenegara terhadap agama Budha yang dianutnya selain Siwa.
Tangan berjumlah empat buah. Kanan depan memegang batok yang
digambarkan berisi perhiasan melimpah ruah, dan tangan kiri depannya
memegang batok yang berisi darah yang dihisap melalui belalainya. Simbolis ini
adalah bahwa kerjaan Singosari mengalami kemakmuran melimpah ruah
sementara dia sendiri adalah orang yang terus menerus belajar tentang
keutamaan dalam agama. Sementara tangan kanan belakang mmegang kunci
pintu gerbang dan tagan kiri belakang memegang kapak. Ini merupakan
perlambang Kertanegara yang teguh menjaga kedaulatan kerajaan besar
Singosari dan menghancurkan musuh-musuh nya. Semua ini sesuai sekali
dengan apa yang digambarkan oleh Prapanca dalam kakawin Negarkertagama
Diantara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau Faham akan nam
guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama Adil, teguh dalam Jinabrata dan
tawakal kepada laku utama Itulah sebabnya beliau turun temurun menjadi raja
pelindung (pupuh 43 : 4)
Dengan prinsip upacara cradha atau upacara yang berlangsung setiap tahun
hingga berakhir pada tahun ke-12, maka logis bila candi Singosari didirikan
setelah wafatnya Kertanegara atau tepatnya pada waktu periode Majapahit. Jadi
bukan pada periode Singosari. Hal ini juga dibuktikan pada patung Ganesha ini
dan terletak dibagian sandarannya. Disebelah kiri dan kanan mahkota Ganseha
terdapat hiasan bulat dan dilapisi lingkaran lancip dibagian luarnya. Dalam dunia
arkeologi pola seperti ini disebut matahari terbit atau wilwatikta. Hiasan ini
dipakai sebagai simbol resmi kerajaan Majapahit dan juga sering sebagai produk
periode Majapahit

Para ahli sejarah seperti Prof. Dr. Woyowasito, R. Soekmono, Drs. Pitono H.,
berpendapat bahwa Ganesha adalah dewa symbol kebijaksanaan atau lambang
ilmu pengetahuan. Bahkan WR Situterheim mengatakan sebagai dewa
kebahagiaan. Oleh karena itu wajar bila ITB Bandung menggunakan Ganesha
sebagai symbol perguruan tingginya. Hal ini terkait dengan sikap belalai
Ganesha yang menghisap isi batok sebagai symbol terus-menerus menghisap
ilmu pengetahuan tanpa henti.

AKHSOBYA ATAU JOKO DOLOK


Arca Joko Dolok
Ditengah kota Surabaya, didepan gedung Grahadi, terdapat patung yang dikenal
dengan nama Joko Dolok. Patung yang sesungguhnya patung Budha
Mahasobya ini dulu diletakkan didepan rumah residen Belanda di Surabaya.
Raut mukanya teduh dan tangannya membentuk sikap bhumisparsamudra atau
telapak tangan kiri tertutup dan seolah ingin menyentuh bumi.
sebagaimana Prasasti tahun 1289 pada lapik arca Joko Dolok yang diketemukan
di Surabaya, Krtanagara adalah seorang pengikut setia agama Buda Tantra dan
dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Buddha) yang bergelar Jnanasiwabajra, yaitu
sebagai Aksobhya dimana Joko Dolok itu adalah arca perwujudannya sendiri.
Sedangkan dalam Pararaton dan berbagai Prasasti, setelah wafat dinamakan
Siwabuddha, dimana dalam kitab Nagarakrtagama dikatakan Siwabuddhaloka.
Pada batur alas sandarannya terdapat serangkaian tulisan Jawa kuno yang
disebut prasasti yang disebut Wurare. Prasasti berangka tahun 1211 C atau
1289 M itu memuat beberapa fakta sejarah di jaman kerajaan Singosari. Inti
prasasti tersebut adalah :
1. Dahulu kala tanah Jawa dibagi 2 oleh Arrya Bharrad dinamakan dengan
Jenggala dan Pamjalu.
2. Namun pada jaman raja Wisnuwardhana, kedua daerah terpecah itu berhasil
disatukan kembali.
3. Raja yang memerintahkan pembuatan prasasti ditasbihkan sebagai Cri
Jnanjaciwabajra dan perwujudannya sebagai Jina Mahasobya.
4. Prosesi pentasbihan tersebut di kburan Wurare. Dalam waktu singkat sang
raja berhasil menyatukan daerah-daerah yang terpecah belah.
5. Nada adalah nama pembuat prasasti tersebut.
Dari data-data tersebut terlihat jelas kaitannya dengan proses sejarah Jawa
Timur jaman dulu. Raja kerajaan Kahuripan bernama Airlangga memutuskan

membagi kerajaannya menjadi 2 bagian untuk kedua anaknya supaya tidak


terjadi perang saudara. Bagian timur disebut Jenggala dan bagian barat disebut
Pamjalu. Tugas tersebut dilakukan oleh Mpu Barada. Oleh raja Wisnuwardhana
dari kerajaan Singosari beberapa abad selanjutnya, kedua wilayah
berseberangan tersebut berhasil disatukan kembali. Dia juga melakukan
perkawinan politik dengan mengawinkan anaknya Turuk Bali dengan raja Kediri
Jayakatwang untuk menghindari perebutan kekuasaan.
Usaha perkawinan politik tersebut dilanjutkan oleh penerus raja Wisnuwardhana,
Kertanegara, dengan mengawinkan anaknya dengan anak Jayakatwang yang
bernama Ardharaja. Selain itu Kertanegara juga berusaha mengesahkan status
ke-raja-annya dengan menyebut sebagai anak dari Cri Jayawisnuwarddhana dan
Crijayawardhani. Dia juga mengkukuhkan diri sebagai Jina Mahasobhya dengan
gelar Crijnanjaciwabajra. Tujuannya adalah untuk menunjukan kekuasan dan
kebesaran dirinya.
Disamping itu gelar tersebut juga ternyata mempunyai latar belakang politik
karena dia sedang bertikai dengan raja Mongol Kubilai Khan karena menghina
utusannya tahun 1211 C / 1289 M. Raja Mongol tersebut dikukuhkan sebagai
Jina Mahamitha. Dengan gelar Jina Mahasobhya, Kertanegara ingin disejajarkan
dengan raja Mongol. Mahasobhya adalah dewa penguasa angina timur,
sedangkan mahamitha adalah Jina penguasa angina barat. Dengan demikian
Kertanegara mengkukuhkan diri sebagai penguasa wilayah timur.
Dengan data-data tersebut nampak bahwa arca Mahasobya ini merupakan
peruwujudan Kertanegara sendiri. Dan prasasti Wurare merupakan bukti
keberanian bangsa kita yang tidak ingin dijajah leh bangsa lain manapun. Atau
mungkin juga sudah semestinya letaknya di Surabaya yang penduduknya
terkenal dengan keberanian dan sifat-sifat kepahlawanannya.
Demikianlah penggalan kitab Negarakretagama, sebuah kakawin kaya informasi
tentang kerajaan Majapahit dan Singosari, berkaitan dengan raja Singosari ke-2,
Anusapati, beserta tempat pendharmaannya di candi Kidal.
RELIEF GARUDA
Pada kaki candi terdapat relief indah yang menggambarkan legenda cerita
Garuda (Garudeya). Cerita ini sangat popular dikalangan masyarakat Jawa saat
itu sebagai cerita moral tentang pembebasan atau ruwatan. Kesusastraan Jawa
kuno berbentuk kakawin tersebut, mengisahkan tentang usaha Garuda dalam
membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta.
Cerita ini juga ada pada candi Jawa Timur yang lain yakni di candi Sukuh (lereng
utara G. Lawu). Cerita Garuda ini sangat populer dikalangan masyarakat agama
Hindu aliran Wisnu terutama pada periode kerajaan Kahuripan dan Kediri.

Sampai-sampai raja besar Airlangga dari kerajaan Kahuripan menggunakan


simbol Garuda sebagai lambang dan stempel kerajaan dan setelah
meninggalnya dimuliakan sebagai dewa Wisnu pada candi Belahan dan
Jolotundo, Patung Wisnu diatas Garuda yang paling indah dan sekarang masih
tersimpan di musium Trowulan diduga berasal dari candi Belahan.
Narasi cerita Garuda pada candi Kidal tersebut dipahatkan dalam 3 relief dan
masing-masing relief terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali pintu
masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum
jam atau candi disisikan sebelah kiri) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi
sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda
berada dibawah 3 ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi diatas
kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Diantara
ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.
Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah 2 bersaudara istri resi Kasiapa.
Kadru mempunyai anak angkat 3 ekor ular dan Winata memiliki anak angkat
Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah harus mengurusi 3 anak
angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang diantara semak-semak.
Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada Winata.
Diajaklah Winata bertaruh pada warna ekor kuda Uraiswara yang sering
melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala perintah
pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang.
Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta
mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta
pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama).
Ketika Garuda tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan
ibunya harus menjaga 3 saudara angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah
diceritakan tentang kisah pertaruhan kuda Uraiswara tersebut, maka Garuda
mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada 3 ekor ular tersebut bagaimana
caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular
"bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan dan dijaga para
dewa, dan berasal dari lautan susu". Garuda menyanggupi dan segera mohon
ijin ibunya untuk berangkat ke kahyangan.
Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda sehingga terjadilah
perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa dapat dikalahkan.
Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya dapat
dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan
amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam amerta untuk
membebaskan ibunya namun juga dengan syarat bahwa Garuda harus mau
menjadi tunggangan Wisnu setelah tugasnya selesai nanti. Garuda
menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu
seperti nampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya duduk diatas

Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta. (relief kedua).


Dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan
ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga
dimana Garuda dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari
perbudakan. (relief ketiga)

CANDI JAWAROMBO
Candi Jawarombo, yang masuk wilayah Desa Mulyoasri, Kecamatan Ampel
Gading, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Bangunan peninggalan masa HinduBuddha itu ditemukan penduduk + tahun 1983 dalam keadaan terpendam tanah.
Lokasi situs berada pada posisi 8 08' 50,9" Lintang Selatan dan 112 53' 21,05"
Bujur Timur dengan ketinggian di atas 1.400 m dpl.
Dvarapala cebol nan lucu
Candi ini tinggal bagian batur (alas) berdenah bujur sangkar dengan ukuran 6 X
6 meter dan tinggi 60 cm. Pada lantai batur terdapat empat umpak batu yang
berlubang bagian tengahnya untuk menegakkan tiang. Mungkin bangunan suci
ini memakai tiang kayu dengan atap rumbia atau ijuk, karena tidak dijumpai
pecahan-pecahan genteng di bawahnya.
Profil kaki candi berupa pelipit setengah lingkaran dan segi empat. Keempat sisi
batur dihiasi relief-relief yang menggambarkan teratai (lotus), pilaster, dan salib.
Pada sisi bangunan dihiasi oleh lima teratai, empat salib dan 10 pilaster yang
ditempatkan berselang-seling. Pahatan sosok manusia pada relief digambarkan
seperti wayang, gaya pahatan seperti relief-relief bangunan candi masa akhir

Majapahit. Ini bisa dilihat pada bangunan-bangunan di lereng G. Penanggungan,


di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Situs Candi Jawarombo menghadap puncak G. Mahameru alias G. Semeru,
gunung tertinggi di Jawa Timur. Pintu masuk candi ada di selatan dengan adanya
sisa-sisa bangunan gapura dari batu. Ribut Hariyanto, juru pelihara situs
menunjukkan tempat di dekat gapura itu. "Di sini arca pemegang gada itu
ditemukan", katanya tegas.
Sebenarnya pendakian melelahkan ke lereng Mahameru hanya untuk
mengetahui lokasi penemuan arca batu yang memegang gada. Arca itu sudah
diamati sebelumnya di rumah Ribut Hariyanto di kaki gunung. Arca temuan bulan
November 1999 itu berjumlah dua buah yang merupakan pasangan. Arca
dipahat dalam posisi jongkok dengan tinggi 60 cm.
Seharusnya, citra yang timbul dari sosok dan atribut arca itu membuat orang
takut. Kepala arca memakai mahkota dengan rambut panjang sebahu dipilin ke
belakang. Mata melotot, mulut terbuka, dan telinga bersubang. Tangan kanan
memegang gada, sedangkan di pinggang terselip pisau besar yang terlihat
mencuat bagian gagangnya. Inilah ciri arca Dvarapala, yang memang dibuat
sangar menakutkan.
Namun, kesan sebaliknyalah timbul setelah melihatnya. Dua arca Dvarapala itu
lebih mirip bayi sehat lagi lucu. Disebut bayi karena ukuran tubuh bulatnya
pendek. Bandingkan dengan arca-arca Dvarapala lain yang umumnya tinggi
besar. Mulutnya yang menganga membuat penampilan sang arca tampak ramah
sekaligus jenaka. Pendek kata, bila memandang wajahnya, gada dan pisau
besar yang disandangnya pun jadi lebih mirip mainan yang tidak menakutkan.

PEMANDIAN WATU GEDE


( Pemandian Ken Dedes )
Pemandian Watu Gede merupakan salah satu peninggalan dari kerajaan
Singhasari. Pada jaman kerajaan itu, tempata ini sering dipakai sebagai tempat
pemandian oleh raja-raja Singhasari. Yang cukup menarik dari pemandian ini
yaitu sumber airnya yang tersebar disisi pemandian dengan debit air yang cukup
tinggi. Letaknya kurang lebih 10 km di Desa Watu Gede, Kecamatan Singosari,
Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur,
Berdasarkan cerita rakyat Watu Gede dipercaya sebagai tempat pemandian Ken
Dedes. Tempat ini dipilih karena tempatnya berada dilembah. Pada saat ken
Dedes mandi konon dijaga berlapis-lapis pengawal akan tetapi Ken Arok yang
kelak akan memperistrinya masih dapat mengintip. Apabila cerita ini bernar maka
diduga atau diperkirakan Petirtaan Watu Gede berasal dari Periode Singosari,
abad XI-XIII masehi Denah bangunan berbentuk persegi panjang membujur
utara selatan, pada sisi timur terdapat sembilan buah pancuranatau jaladwara

Anda mungkin juga menyukai