Anda di halaman 1dari 9

Kujang adalah salah satu senjata khas dari daerah Jawa Barat, tepatnya di

Pasundan (tatar Sunda). bentuk senjata ini cukup unik, dari segi desainnya
tak ada yang menyamai senjata ini di daerah manapun, senjata ini di Jawa
Barat. Tidak adanya kata yang tepat untuk menyebutkan nama senjata ini
ke dalam bahasa International, sehingga Kujang dianggap sama
pengertiannya dengan sickle (= arit/sabit), tentu ini sangat
menyimpang jauh karena dari segi wujudnyapun berbeda dengan
arit/sabit. Tidak sama juga dengan scimitar yang bentuknya cembung.
Dan di Indonesia sendiri arit/sabit sebetulnya disebut chelurit (celurit).
Mungkin untuk merespon kendala bahasa tersebut, tugas dan kewajiban
budayawan sunda, dan media cetak lokal di tatarsunda yang harus lebih
intensif mempublikasikannya senjata Kujang ini ke dunia International.
Asal muasal istilah Kujang berasal dari kata "Kudihyang" dengan akar kata
"Kudi" dan "Hyang". "Kudi" diambil dari bahasa Sunda Kuno yang memilii
pengertian senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat,
sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau
menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan benda pusaka,
yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan
meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam
rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 :
405-406) Sedangkan "Hyang" dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa
dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang
mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam
ajaran Dasa Prebakti yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa
Kanda Ng Karesian disebutkan Dewa bakti di Hyang. Secara umum,
Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan
tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah
senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang
sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai
lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di
dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa
lambang organisasi serta pemerintahan.
BAGIAN BAGIAN KUJANG
1. Papatuk (Congo); bagian ujung kujang yang runcing, gunanya untuk
menoreh atau mencungkil.
2. Eluk (Siih); lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang
sebelah atas, gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh.
3. Waruga; nama bilahan (badan) kujang.
4. Mata; lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang
pada awalnya lubang- lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau
perak) atau juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya
sisasnya berupa lubang lubang kecil. Gunanya sebagai lambang tahap
status si pemakainya, paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata,
malah ada pula kujang tak bermata, disebut Kujang Buta.
5. Pamor; garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang disebut

Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, gunanya selain untuk


memperindah bilah kujangnya juga untukmematikan musuh secara cepat.
6. Tonggong; sisi yg tajam di bagian punggung kujang, bisa untuk
mengerat juga mengiris.
7. Beuteung; sisi yang tajam di bagian perut kujang, gunanya sama
dengan bagian punggungnya.
8. Tadah; lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk
menangkis dan melintir senjata musuh agar terpental dari genggaman.
9. Paksi; bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan ke dalam
gagang kujang.
10. Combong; lubang pada gagang kujang, untuk mewadahi paksi (ekor
kujang).
11. Selut; ring pada ujung atas gagang kujang, gunanya untuk
memperkokoh cengkeraman gagang kujang pada ekor (paksi).
12. Ganja (landan); nama khas gagang (tangkai) kujang.
13. Kowak (Kopak); nama khas sarung kujang.
Di antara bagian-bagian kujang tadi, ada satu bagian yang memiliki
lambang ke-Mandalaan, yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini
disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran
yang juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari bawah): Mandala
Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala
Sba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung.
Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika
hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat
Pancaka,yaitu Neraka.
SEJARAH PERKEMBANGAN KUJANG
Kujang sangat identik dengan Sunda Pajajaran masa silam. Sebab, alat ini
berupa salah sastu aspek identitas eksistensi budaya Sunda kala itu.
Namun, dari telusuran kisah keberadaannya tadi, sampai sekarang belum
ditemukan sumber sejarah yang mampu memberitakan secara jelas dan
rinci. Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan
(sementara) yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun
itulah kujang banyak disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang
terhitung masih lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor
sumber Gunung Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor
ini sampai akhir abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor
marginal (pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh
kalangan intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda
yang besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan buku
berjudul Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya hasil
mendengar langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor sebelah
Barat dan sekitarnya. Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir
dalam setiap lakon dan setiap episode kisah serial Pantun Bogor, baik
fungsi, jenis, dan bentuk, para figur pemakainya sampai kepada
bagaimana cara menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif
yang memakai kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua
orang berwajah kembar; Badis pinang nu munggaran, rua kujang

sapaneupaan atau melukiskan seorang wanita; Mayang lenjang badis


kujang, tembong pamor tembong eluk tembong combong di ganjana dsb.
Demikian pula bendera Pajajaran yang berwarna hitam putih juga
diberitakan bersulamkan gambar kujang Umbul-umbul Pajajaran hideung
sawarh bodas sawarh disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini
tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M)
maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di
daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa
kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga
saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di
Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi
masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan
pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian,
kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter
tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan
sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini
diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.
Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak
dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda
obsolete tergolong benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan
kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di
samping yang tersimpan di museum-museum.
Pengabadian kujang lainnya, banyak yang menggunakan gambar bentuk
kujang pada lambang-lambang daerah, pada badge badge organisasi
kemasyarakatan atau ada pula kujang-kujang tempaan baru (tiruan),
sebagai benda aksesori atau cenderamata.
Selain keberadaan kujang seperti itu, di kawasan Jawa Barat dan Banten
masih ada komunitas yang masih akrab dengan kujang dalam pranata
hidupnya sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda Pancer Pangawinan
(tersebar di wilayah Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak Provinsi
Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok
Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat). Dan masyarakat Sunda
Wiwitan Urang Kanks (Baduy) di Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Dalam lingkungan budaya hidup mereka, tiap setahun sekali kujang selalu
digunakan pada upacara Nyacar (menebangi pepohonan untuk lahan
ladang). Patokan pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan Unggah
Kidang Turun Kujang, artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk
Timur di kala subuh, pertanda musim Nyacar sudah tiba, kujang (Kujang
Pamangkas) masanya digunakan sebagai pembuka kegiatan Ngahuma
(berladang).

BENTUK DAN JENIS KUJANG SERTA FUNGSINYA


Pada zaman masih jayanya kerajaan Pajajaran, kujang terdiri dari
beberapa bentuk, di antaranya:
1. Kujang Ciung; yaitu kujang yang bentuknya dianggap menyerupai
burung Ciung.
2. Kujang Jago; kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago.
3. Kujang Kuntul; kujang yang menyerupai burung Kuntul.
4. Kujang Bangkong; kujang yang menyerupai bangkong (kodok).
5. Kujang Naga; kujang yang bentuknya menyerupai naga.
6. Kujang Badak; kujang berbadan lebar dianggap seperti badak.
7. Kudi; perkakas sejenis kujang.
Berdasarkan jenisnya, kujang memiliki fungsi sebagai:
1. Kujang Pusaka; yaitu kujang sebagai lambang keagungan seorang raja
atau pejabat kerajaan lainnya dengan kadar kesakralannya sangat tingi
seraya memiliki tuah dan daya gaib tinggi.
2. Kujang Pakarang; yaitu kujang untuk digunakan sebagai alat berperang
dikala diserang musuh.
3. Kujang Pangarak; yaitu kujang bertangkai panjang seperti tombak
sebagai alat upacara.
4. Kujang Pamangkas; kujang sebagai alat pertanian (perladangan).
ELOMPOK PEMAKAI KUJANG
Meskipun perkakas kujang identik dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran
pada masa silam, namun berita Pantun Bogor tidak menjelaskan bahwa
alat itu dipakai oleh seluruh warga masyarakat secara umum. Perkakas ini
hanya digunakan oleh kelompok tertentu, yaitu para raja, prabu anom
(putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan
agama, para puteri serta kaum wanita tertentu, para kokolot. Sedangkan
rakyat biasa hanya menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok,
congkrang, sunduk, dsb. Kalaupun di antaranya ada yang menggunakan
kujang, hanya sebatas kujang pamangkas dalam kaitan keperluan
berladang.
Setiap menak (bangsawan), para pangagung (pejabat negara) sampai
para kokolot, dalam pemilikan kujang, tidak sembarangan memilih bentuk.
Namun, hal itu ditentukan oleh status sosialnya masing-masing. Bentuk
kujang untuk para raja tidak boleh sama dengan milik balapati. Demikian
pula, kujang milik balapati mesti berbeda dengan kujang miliknya barisan
pratulup, dan seterusnya.
1. Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja;
2. Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom;
3. Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan
para Bupati Pakuan;
4. Kujang Jago: dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan;
5. Kujang Kuntul: dipakai oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih
Tangtu Patih Jaba, dan
Patih Palaju), juga digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri

Pasban, Mantri Layar,


Mantri Karang, dan Mantri Jero);
6. Kujang Bangkong: dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas,
Guru Cucuk;
7. Kujang Naga: dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu,
Jaro Gambangan;
8. Kujang Badak: dipakai oleh para Pangwereg, para Pamatang, para
Palongok, para Palayang, para Pangwelah, para Bareusan, parajurit,
Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot.
Selain diperuntukkan bagi para pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh
kelompok agama, tetapi kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang
Ciung, yang perbedaan tahapannya ditentukan oleh banyaknya mata.
Kujang Ciung bagi peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu
yang bermata-9, sama dengan peruntukan raja. Kujang Ciung bagi para
Pandita bermata-7, para Geurang Puun, Kujang Ciung bermata-5, para
Puun Kujang Ciung bermata-3, para Guru Tangtu Agama dan para
Pangwereg Agama Kujang Ciung bermata-1.
Di samping masing-masing memiliki kujang tadi, golongan agama
menyimpan pula Kujang Pangarak, yaitu kujang yang bertangkai panjang
yang gunanya khusus untuk upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti
Arakana, Upacara Kuwera Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan
darurat, bisa saja dipakai untuk menusuk atau melempar musuh dari jarak
jauh. Tapi fungsi utama seluruh kujang yang dimiliki oleh golongan agama,
sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh isi negara.
Kelompok lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu
para wanita Menak (Bangsawan) Pakuan dan golongan kaum wanita yang
memiliki fungsi tertentu, seperti para Puteri Raja, para Puteri Kabupatian,
para Ambu Sukla, Guru Sukla, para Ambu Geurang, para Guru As, dan
para Sukla Mayang (Dayang Kaputrn). Kujang bagi kaum wanita ini,
biasanya hanya terdiri dari Kujang Ciung dan Kujang Kuntul. Hal ini karena
bentuknya yang langsing, tidak terlalu galabag (berbadan lebar, dan
ukurannya biasanya lebih kecil dari ukuran kujang kaum pria.
Untuk membedakan status pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun
sama dengan untuk kaum pria, yaitu ditentukan oleh banyaknya mata,
pamor, dan bahan yang dibuatnya. Kujang untuk para puteri kalangan
menak Pakuan biasanya kujang bermata-5, Pamor Sulangkar, dan
bahannya dari besi kuning pilihan. Sedangkan (kujang) wanita fungsi
lainnya kujang bermata-3 ke bawah malah sampai Kujang Buta, Pamor
Tutul, bahannya besi baja pilihan.
Kaum wanita Pajajaran yang bukan menak tadi, di samping menggunakan
kujang ada pula yang memakai perkakas khas wanita lainnya, yaitu
yang disebut Kudi, alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak
ada bagian perut dan punggung, juga kedua sisinya bergerigi seperti pada
kujang, ukurannya rata-rata sama dengan ukuran Kujang Bikang (kujang
pegangan kaum wanita), langsing, panjang kira-kira 1 jengkal termasuk
tangkainya, bahannya semua besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang

memamai mata.
PROSES PEMBUATAN KUJANG
Pada zamannya Kerajaan Pajajaran Sunda masih jaya, setiap proses
pembuatan benda-benda tajam dari logam termasuk pembuatan senjata
kujang, ada patokan-patokan tertentu yang harus dipatuhi, di antaranya:
1. Patokan Waktu
Mulainya mengerjakan penempaan kujang dan benda-benda tajam
lainnya, ditandai oleh munculnya Bintang Kerti, hal ini terpatri dalam
ungkapan Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun beusi,
artinya Bintang Kidang mulai naik di ufuk Timur waktu subuh, pertanda
masanya kujang digunakan untuk nyacar (mulai berladang). Demikian
pula jika Bintang Kerti ada pada posisi sejajar di atas kepala menyamping
agak ke Utara waktu subuh, pertanda mulainya mengerjakan penempaan
benda-benda tajam dari logam (besi-baja). Patokan waktu seperti ini, kini
masih berlaku di lingkungan masyarakat Urang Kanks (Baduy).
2. Kesucian Guru Teupa (Pembuat Kujang)
Seorang Guru Teupa (Penempa Kujang), waktu mengerjakan pembuatan
kujang mesti dalam keadaan suci, melalui yang disebut olah tapa
(berpuasa). Tanpa syarat demikian, tak mungkin bisa menghasilkan
kujang yang bermutu. Terutama sekali dalam pembuatan Kujang Pusaka
atau kujang bertuah. Di samping Guru Teupa mesti memiliki daya estetika
dan artistika tinggi, ia mesti pula memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana
keterampilan dalam membentuk bilah kujang yang sempurna seraya
mampu menentukan Gaib Sakti sebagai tuahnya.
3. Bahan Pembuatan Kujang
Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan
bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti:
a. Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat
waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang).
b. Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau
landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu.
c. Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau
kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus.
d. Emas, perak untuk pembuatan mata atau pamor kujang pusaka
ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu,
khusus untuk mata banyak pula yang dibuat dari batu permata yang
indah-indah.
e. Peurah (bisa binatang) biasanya bisa Ular Tiru, bisa Ular Tanah,
Bisa Ular Gibug, bisa Kelabang atau bisa Kalajengking. Selain itu
digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti getah akar Leteng
getah Caruluk (buah Enau) atau serbuk daun Rarawea, dsb. Gunanya
untuk ramuan pelengkap pembuatan Pamor. Kujang yang berpamor dari
ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores.
f. Gaib Sakti sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu. Gaib ini
terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri dari gaib
Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti ini
diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan

racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib


sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para Guriyang
yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.
4. Tempat (Khusus) Pembuatan Kujang
Tempat untuk membuat benda-benda tajam dari bahan logam besi-baja,
baik kudi, golok, sunduk, pisau, dsb. Dikenal dengan sebutan Gosali,
Kawesen, atau Panday. Tempat khusus untuk membuat (menempa)
perkakas kujang disebut Paneupaan.

Struktur Kujang
Sebilah kujang yang tergolong lengkap umumnya terdiri dari beberapa
bagian, yaitu: (1) papatuk atau congo, yaitu bagian ujung yang runcing
yang digunakan untuk menoreh atau mencungkil; (2) eluk atau siih, yaitu
lekukan-lekukan pada badan kujang yang gunanya untuk mencabik-cabik
tubuh lawan; (3) waruga yaitu badan atau wilahan kujang; (4) mata, yaitu
lubang-lubang kecil yang terdapat pada waruga yang jumlahnya
bervariasi, antara 5 hingga 9 lubang. Sebagai catatan, ada juga kujang
yang tidak mempunyai mata yang biasa disebut sebagai kujang buta; (5)
tonggong, yaitu sisi tajam yang terdapat pada bagian punggung kujang;
(6) tadah, yaitu lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang; (7) paksi,
yaitu bagian ekor kujang yang berbentuk lancip; (8) selut, yaitu ring yang
dipasang pada ujung gagang kujang; (9) combong, yaitu lubang yang
terdapat pada gagang kujang; (10) ganja atau landaian yaitu sudut
runcing yang mengarah ke arah ujung kujang; (11) kowak atau sarung
kujang yang terbuat dari kayu samida yang memiliki aroma khas dan
dapat menambah daya magis sebuah kujang; dan (12) pamor berbentuk
garis-garis (sulangkar) atau bintik-bintik (tutul) yang tergambar di atas
waruga kujang. Sulangkar atau tutul pada waruga kunjang, disamping
sebagai penambah nilai artistik juga berfungsi untuk menyimpan racun

Pemilik Kujang
pada zaman Kerajaan Pajajaran masih berdiri, senjata kujang hanya boleh
dimiliki oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu berdasarkan
status sosialnya dalam masyarakat, seperti: raja, prabu anom (putera
mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para
puteri serta kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Sedangkan bagi
rakyat kebanyakan, hanya boleh mempergunakan senjata tradisional atau
pakakas, seperti golok, congkrang, sunduk, dan kujang yang fungsinya
hanya digunakan untuk bertani dan berladang.
Setiap orang atau golongan tersebut memiliki kujang yang jenis, bentuk
dan bahannya tidak boleh sama. Misalnya, kujang ciung yang bermata
sembilan buah hanya dimiliki oleh Raja, kujang ciung bermata tujuh buah
hanya dimiliki oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom, dan kujang ciung
yang bermata lima buah hanya boleh dimiliki oleh Girang Seurat, Bupati
Pamingkis dan Bupati Pakuan. Selain oleh ketiga golongan tersebut,

kujang ciung juga dimiliki oleh para tokoh agama. Misalnya, kujang ciung
bermata tujuh buah hanya dimiliki oleh para pandita atau ahli agama,
kujang ciung bermata lima buah dimiliki oleh para Geurang Puun, kujang
ciung bermata tiga buah dimiliki oleh para Guru Tangtu Agama, dan
kujang ciung bermata satu buah dimiliki oleh Pangwereg Agama. Sebagai
catatan, para Pandita ini sebenarnya memiliki jenis kujang khusus yang
bertangkai panjang dan disebut kujang pangarak. Kujang pangarak
umumnya digunakan dalam upacara-upacara keagamaan, seperti upacara
bakti arakan dan upacara kuwera bakti sebagai pusaka pengayom
kesentosaan seluruh negeri.
Begitu pula dengan jenis-jenis kujang yang lainnya, seperti misalnya
kujang jago, hanya boleh dimiliki oleh orang yang mempunyai status
setingkat Bupati, Lugulu, dan Sambilan. Jenis kujang kuntul hanya
dipergunakan oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu, Patih
Jaba, dan Patih Palaju) dan Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paseban, Mantri
Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero). Jenis kujang bangkong
dipergunakan atau dibawa oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, dan
Guru Cucuk. Jenis kujang naga dipergunakan oleh para Kanduru, Para Jaro
(Jaro Awara, Jaro Tangtu, dan Jaro Gambangan). Dan, kujang badak
dipergunakan oleh para Pangwereg, Pamatang, Panglongok, Palayang,
Pangwelah, Baresan, Parajurit, Paratutup, Sarawarsa, dan Kokolot.
Sedangkan, kepemilikan kujang bagi kelompok wanita menak
(bangsawan) dan golongan wanita yang mempunyai tugas dan fungsi
tertentu, misalnya Putri Raja, Putri Kabupatian, Ambu Sukla, Guru Sukla,
Ambu Geurang, Guru Aes, dan para Sukla Mayang (Dayang Kabupatian),
kujang yang dipergunakan adalah kujang ciung dan kujang kuntul.
Sementara untuk kaum perempuan yang bukan termasuk golongan
bangsawan, biasanya mereka mempergunakan senjata yang disebut kudi.
Senjata kudi ini berbahan besi baja, bentuk kedua sisinya sama, bergerigi
dan ukurannya sama dengan kujang bikang (kujang yang dipergunakan
wanita) yang langsing dengan ukuran panjang kira-kira satu jengkal
(termasuk tangkainya).

Jenis kujang dan pemegangnya


KUJANG CIUNG Mata 9
- Pegangan Raja-raja Sunda
- Brahmesta(Pandita Agung)
KUJANG CIUNG mata 7
- Prabu Anom
- Mantri Dangka
- Pandita
KUJANG CIUNG mata 5
- Geurang Serat
- Bupati

- Geurang Puun
KUJANG CIUNG mata 5 Wesi Kuning
- Para Putri Menak Pakuan
KUJANG CIUNG mata 3
- Para Puun
KUJANG CIUNG mata 1
- Guru Tangtu Agama
- Pangwereg Agama
KUJANG JAGO mata 4
- Para Balapati
- Para Lulugu
- Para Sambilan
KUJANG KUNTUL mata 4
- Para Patih
KUJANG BANGKONG
- Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Teupa, Guru Cucuk, Guru Alas, jsb
KUJANG NAGA
- Para Kanduru
- Para Jaro
KUJANG BADAK
-Pangwereg, Pamatang, Palongok, Palayang, Bareusan, Parajurit,
Pangwelah, Paratulup, Pangawin, Kokolot, Sarawarsa.
segitu dulu gan update infonya,,pictnya susah bgt niy soalnya gak
sembarang . .
sumber :
Nandang. 2004. Senjata Tradisional Jawa Barat. Bandung: Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
wahyukujang.wordpress.com
budi "DALTON" art.

Anda mungkin juga menyukai