(Abad ke-14—15 M)
/1/ Pengantar
Pada masa Majapahit terutama menjelang keruntuhannya, sekitar abad ke -15, banyak
dihasilkan sejumlah arca batu unikum karena tidak berciri pantheon Hindu atau Buddha.
Beberapa arca unikum tersebut telah disimpan di museum-museum dalam dan luar
negeri, dengan penjelasan sederhana saja seperti “Arca lelaki/perempuan dari Jawa Timur,
sekitar abad ke-14” atau secara jujur caption menyatakan “Arca yang belum dikenal,
berasal dari daerah X, Jawa Timur, kronologi relatif Abad ke-15 M”. Arca-arca tersebut
digambarkan tidak memiliki ciri-ciri arca dewa Hindu atau Buddha, membawa senjata
atau benda-benda yang tidak lazim dipegang oleh dewa-dewa India, berukuran tidak
terlalu besar seperti arca Hari-hara dari Candi Sumberjati, tinggi arca unik itu hanya
berkisar 125—150 cm saja.
Berdasarkan perbandingan dengan arca-arca yang berasal dari lingkungan gaya seni
Majapahit, dapat disimpulkan bahwa arca-arca sederhana dan unik itu tentunya
dihasilkan oleh masyarakat Majapahit pula. Sebab terdapat ciri seni Majapahit yang hadir
pula pada arca-arca dengan penggarapan sederhana tersebut, seperti adanya garis-garis
“Sinar Majapahit”, bentuk-bentuk perhiasan yang sama, dan yang menarik dijumpai pada
candi-candi atau kepurbakalaan yang berasal dari era Majapahit. Berhubung sukarnya
untuk diidentifikasikan dengan dewa-dewa Hindu atau Buddha dari periode sezaman,
maka dapat dinyatakan bahwa arca-arca itu menggambarkan “dewa-dewa tempatan
(lokal)”. Dalam konsep kebudayaan India, dewa-dewa lokal yang menjadi sasaran
1
pemujaan oleh penduduk kampung disebut dengan Gramadewata (Liebert 1976).
Menurut Michael Jordan seorang ahli mitologi dewa-dewa kebudayaan Barat dan Timur,
terdapat dua terminolog tentang Gramadewata, yaitu:
(a) Generic term for a local tutelary deity. India. Such deities are identified as “not being
served by Brahmanpriests.”, dan
(b) Generally they are invoked in small villages where they guard boundaries and fields
and are represented by a painted stone, but they are also to be found in larger towns
and cities. (Jordan 2004: 106)
Dewa-dewa kampung itu tentu bukan dari konsepsi agama besar seperti Hindu atau
Buddha, melainkan personifikasi dari kepercayaan rakyat terhadap adanya kekuatan gaib
yang mampu mempengaruhi suasana dan kehidupan kampung mereka. Dalam
kebudayaan Jawa Kuno kekuatan supernatural yang dipercayai oleh penduduk kampung
jika ditelusuri mungkin berasal dari, (a) kepercayaan pada makhluk-makhluk halus asli
Jawa Kuno sebelum kedatangan pengaruh budaya India, (b) leluhur desa, mereka yang
dahulu membuka dan membangun permukiman yang sekarang menjadi desa atau
kampung (dhanyang desa), dan (c) adalah tokoh-tokoh di desa atau kampung yang
dianggap berjasa, kemudian dipuja sebagai tokoh yang diperdewa dalam bentuk arca
“perwujudan sebagai Gramadewata”.
Pemujaan terhadap Gramadewata tidak dilakukan atau dipimpin oleh para brahmana
Hinduisme atau bhiksu-bhiksu Buddha, sangat mungkin dilakukan oleh penduduk
kampung-kampung dengan dipimpin dukun desa (janggan) yang tidak berkaitan dengan
kebudayaan Hindu-Buddha. Waktu pemujaannya pun belum dapat diketahui, apakah
terjadi hanya pada hari-hari tertentu, bulan tertentu atau setahun sekali.
Sampai sekarang belum ada kajian khusus yang membicarakan tentang arca-arca
Gramadewata, mungkin disebabkan karena beberapa hal. Permasalahan pertama yang
menjadi kendala bagi peneliti adalah karena tidak adanya patokan baku secara ikonografis
perihal bentuk pengarcaannya. Hal kedua adalah tersebarnya arca Gramadewata,
disimpan di berbagai museum, baik di Museum Nasional Indonesia di Jakarta, dan juga di
2
beberapa museum daerah di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Hal ketiga,
kerapkali para peneliti atau kurator museum menganggap arca-arca yang tidak sesuai
dengan ikonografi Hindu atau Buddha dianggap arca yang mutunya rendah, tidak penting
untuk dikaji. Oleh karena itu sampai sekarang arca-arca yang dianggap jelek, tidak baku,
dan pembuatannya asal-asalan belum mendapat kajian selayaknya.
/2/
Arca-arca yang tergolong Gramadewata cukup banyak bentuknya, wujudnya tidak baku,
setiap arca memiliki penggambaran tersendiri yang berbeda-beda. Walaupun arca-arca itu
dibuat dengan mengenakan kalung, gelang, kain, mahkota, dan perhiasan lainnya, tetap
saja tidak dapat diidentifikasikan sebagai arca dari panteon Hindu atau Buddha. Terdapat
beberapa ciri suatu arca dapat disebut dalam wujud Gramadewata Jawa Kuno, yaitu:
1.Ukuran tinggi arca tidak ada yang besar sampai 1.5 m atau lebih, kisaran tinggi arca
antara 0,5—1,25 m.
2.Pembuatan arca secara sederhana, dengan anatomi tubuh digambarkan tidak seimbang
(proporsional), sikap arca digambarkan kaku (statis), banyak bagian tubuh yang tidak
digarap dengan detail, penggarapan permukaan batu kasar, dengan menggunakan pahatan
yang dangkal.
3.Walaupun digambarkan mengenakan busana dan perhiasan (gelang, kalung, kelat bahu,
jamang, mahkota, hiasan telinga dan lain-lain), namun tetap tidak dapat diindentifikasikan
sebagai arca panteon dewa-dewa India. Segala busana dan perhiasan itu mungkin
bermaksud untuk menjadikan arca tersebut memang sebagai sosok yang pantas
disakralkan dan dihormati.
4.Umumnya tidak digambarkan membawa laksana (benda penanda dewa) apapun.
5.Arca-arca Gramadewata ada yang dilengkapi dengan prabhamandala dan lingkaran
sirascakra di belakang kepalanya, ada pula yang hanya memiliki salah satu saja di antara
keduanya. Ada yang digambarkan duduk atau berdiri pada lapik berbentuk padmasana
(teratai mekar) atau bentuk lainnya.
3
6.Tidak pernah digambarkan adanya arca manusia bersama hewan, maksudnya tidak ada
penggambaran arca Gramadewata dengan hewan tunggangannya (wahana) sebagaimana
arca-arca Hindu-Buddha
7.Arca-arca jarang dijumpai di situs yang masih mempunyai struktur balok batu/bata
Pada umumnya arca-arca Gramadewata tidak dijumpai di dalam suatu struktur bangunan,
atau terlindung di dalam suatu relung pada bangunan bekas candi. Arca-arca itu agaknya
diletakkan pada batur terbuka tanpa dinding, hanya dinaungi oleh atap yang terb uat dari
bahan yang mudah rusak (Munandar 2018: 196; Munandar dkk. 2018: 94—95).
Berikut beberapa contoh penggambaran arca Gramadewata yang menjadi koleksi Museum
Nasional Indonesia di Jakarta, dan beberapa museum daerah lainnya. Arca-arca yang
menjadi koleksi museum umumnya sudah tidak utuh lagi, ada saja bagian tubuhnya yang
rusak, terpenggal, atau hilang, karena itu dalam pendeskripsian akan terjadi narasi yang
tidak lengkap dan menyulitkan juga ketika akan melakukan interpretasi. Beberapa arca
Gramadewata adalah:
Arca 1 Museum Nasional Indonesia (MNI)
Arca pria berdiri dengan sikap tangan kanan-kiri saling mendekap diletakkan di depan
perutnya. Bagian bawah arca telah terpenggal, sehingga telapak kakinya tidak ada lagi,
disimpan di MNI dengan cara dibenamkan dalam cor-coran semen sehingga dapat berdiri.
Tidak dijelaskan dalam caption, asal tempat penemuannya, hanya dinyatakan dari wilayah
Jawa Timur.
Wajah arca digambarkan dengan tegas, alis dipahatkan dalam bentuk tebal, mata setengah
terpejam, dengan bibir yang tebal. Juga digambarkan berambut panjang dipahatkan
dengan guratan kasar di kanan-kiri kepalanya, menyatu dengan tanam-tanaman, mungkin
yang dimaksudkan tangkai bunga teratai. Arca digambarkan berbusana raya, mengenakan
kalung, hiasan telinga, kelat lengan atas, gelang berganda, untaian hiasan dada, ikat
pinggang yang ujungnya terjuntai sampai kaki, dan di punggung kedua telapak kaki dihias
dengan bentuk bunga mekar.
Arca ini tidak dapat diidentifikasikan sebagai dewa Hindu atau Buddha, karena tidak ada
laksana (benda-2 yang dipegang) dewa tertentu yang dapat digunakan untuk membantu
mengidentifikasikan arca. Arca sangat mungkin merupakan sebagai arca perwujudan dari
6
seseorang yang telah meninggal. Dapat diduga yang digambarkan sebagai arca dari
golongan kaum berada, karena digambarkan berbusana lengkap, dapat saja ia adalah
seorang yang masih keturunan bangsawan yang tinggal di pedesaan, sehingga setelah
meninggal dibuatkan arcanya. Penggarapan permukaan kasar, namun penggambaran
bagian tubuh cukup proporsional.
Kedua tangan diletakkan di depan perut arca seraya membawa kuncup bunga teratai,
pada tangan digambarkan memakai gelang lengan atas (keyura), gelang-gelang ganda
(kangkana) dan kalung. Bagian kaki memakai kain, namun kaki arca tidak proporsional
jika dibandingkan dengan tubuhnya, sehingga seperti penggambaran orang cebol atau
raksasa kerdil, atau memang dimaksudkan sebagai arca orang cebol. Sepasang telapak
kakinya digambarkan sangat besar dan lebar, tidak sesuai dengan tubuh dan tinggi arca.
Penggambaran orang cebol dalam bentuk arca tersendiri sangat langka dalam kebudayaan
Jawa Kuno, jika ada maka penggambarannya dalam bentuk relief. Penggambaran orang
pendek cebol dan gemuk antara lain dapat dilihat pada relief di Candi Jago dan juga Candi
Surawana, mereka merupakan para pengiring ksatrya atau lazim disebut
Panakawan/Punakawan, pada relief di kedua candi itu yang diiringi mereka adalah Arjuna
dalam kisah Arjunawiwaha, dan ketika Arjuna sebagai pertapa Mintaraga.
7
Foto 3: Arca yang menggambarkan Raksasa Kerdil, dari gaya seni masa Majapahit,
(Munandar 2014).
Arca berdiri pada lapik yang berbentuk bunga teratai mekar (padmasana), lapik tersebut
bersatu dengan batu yang membentuk bagian sandaran arca atau prabhamandala.
Prabamandala berbentuk pipih dengan puncak berbentuk kurawal. Pada permukaan
prabhamandala di samping kanan-kiri tubuh arca digambarkan garis-garis hiasan yang
lazim terdapat pada arca-arca era majapahit dinamakan dengan ragam hias “Sinar
Majapahit”. Menilik ciri tersebut, maka arca ini berasal dari era kerajaan Majapahit,
mungkin dalam abad ke-15.
Mahkota telah aus sehingga bentuknya sukar untuk diidentifikasi, wajahnya telah aus
pula, masih terlihat adanya pita-pita di belakang kepalanya. Hal yang menarik dari arca ini
adalah banyaknya gelang yang dikenakan di kedua tangannya, terdapat 3 lapis gelang
pada setiap tangan, namun tidak digambarkan adanya kelat bahu (keyura).
Tidak seperti arca-arca dewa Hindu-Buddha yang digambarkan memakai kalung lebar
(Hara), arca ini tidak memakai kalung dalam bentuk apapun, lehernya digambarkan polos
tanpa perhiasan. Hal yang menarik di bagian atas pinggang terdapat dada yang agak tu run,
bagian tengahnya dihias dengan ceplok bunga menghadap ke depan. Menilik sikapnya
yang statis dengan kedua tangan membawa kuncup padma, dapat dinyatakan bahwa arca
ini merupakan perwujudan seseorang yang telah meninggal. Akan tetapi tidak dapat
diidentifikasikan sebagai arca dewata Hindu atau Buddha, walaupun dari ciri adanya pita -
pita di belakang kepalanya dapat ditafsirkan dibuat dalam periode Majapahit.
10
Belum dapat dipastikan sebenarnya arca ini menggambarkan arca dewa Hindu atau
Buddha, menilik tangannya yang berjumlah 4 berkepala 1, dapat saja ditafsirkan bahwa
arca ini dimaksudkan menggambarkan Siwa Mahadewa atau Wisnu, namun laksana
(benda yang dipegang) sebagai penanda dewa-dewa tersebut tidak diperlihatkan. Apalagi
penggambarannya yang kasar dan kaku, jadi tidak mungkin jika dihubungkan dengan Siwa
atau Wisnu. Arca ini tidak juga menggambarkan pantheon Bauddha, karena sejauh
pengamatan yang dilakukan tidak memperlihatkan adanya ciri penggambaran dewata
Bauddha. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa arca koleksi Museum Kabupaten
Tulungagung tersebut menggambarkan dewata setempat yang tidak berasosiasi dengan
dewa-dewa dari kebudayaan India.
Sebenarnya masih banyak arca yang tergolong Gramadewata yang disimpan di berbagai
museum di Jawa, arca Gramadewata paling banyak dikoleksi oleh Museum Nasional
Indonesia. Selain yang ada dalam ruang-ruang pameran masih terdapat pula arca
Gramadewata di dalam ruang studi koleksi (penyimpanan). Misalnya arca-arca pada Foto
7 dan 8 yang menggambarkan arca perempuan dan lelaki yang sedang duduk di lapik dan
mempunyai Prabhamandala (sandaran) arca.
Kedua arca tersebut tidak menggambarkan dewa atau dewi dari pantheon Hindu atau
Buddha. Arca perempuan bersikap statis, bertangan 4, dua tangan depan diletakkan di
pangkuannya, kedua tangan belakang membawa benda seperti tongkat pendek yang
tertutup oleh pita-pita yang berkibar di belakang kepalanya. Arca dewi bertangan 4 yang
membawa tongkat pendek dalam ikonografi Hindu-Buddha belum dikenali hingga
12
sekarang. Dalam pada itu arca pria juga digambarkan bersikap statis, bertangan 2, kedua
tangan diletakkan di pangkuannya dalam sikap meditasi (dhyanamudra), mahkotanya
berupa rambutnya sendiri yang diikat dua susun ke atas, di belakang kepala terdapat
bentuk hiasan “Sinar Majapahit” yang digores-goreskan pada tepian prabamandalanya,
namun tetap tidak ada penanda bahwa arca itu dewa yang berupa sirascakra (lingkaran di
belakang kepala).
Jadi kedua arca tersebut adalah arca perwujudan dari seseor ang, mungkin dari kalangan
kaum bangsawan Majapahit yang setelah kematiannya dianggap sebagai dewa, arca diri
seseorang setelah meninggal yang lazim disebut arca potret atau arca perwujudan
(Groeneveldt 1907, Bernet Kempers 1959, Suleiman 1981). Demikianlah mengingat
cukup banyak dan beragamnya arca-arca yang digolongan dengan Gramadewata,
diperlukan adanya penjelasan yang memadai perihal kehadirannya dalam kebudayaan
Jawa Kuno, terutama dalam zaman Majapahit. Arca-arca Gramadewata dibuat tentu
memiliki maksud tertentu, ada yang memerlukannya dan ada yang memujanya, yaitu
mereka yang merupakan masyarakat Jawa Kuno pula. Secara fisik arca-arca yang tidak
13
dapat diidentifikasikan sebagai dewa Hindu-Buddha tertentu yang berasal dari era
Majapahit terbagi dua, yaitu:
1.Arca-arca yang berbusana dan perhiasan lengkap lengkap, namun tidak memperlihatkan
dewa/dewi tertentu dari panteon Hindu-Buddha.
2.Arca-arca yang tidak digambarkan berbusana dan perhiasan lengkap, perhiasan hanya
seperlunya saja.
Kedua bentuk arca itulah yang dapat diamati dan menjadi koleksi museum-museum di
Jawa. Catatan lainnya arca-arca yang tergolong Gramadewata hampir semuanya terbuat
dari batu, hingga sekarang belum ditemukan adanya arca dengan bahan logam. Suatu hal
yang juga perlu diperhatikan lebih lanjut.
/3/
Berdasarkan tinjauan terhadap berbagai sumber tertulis (prasasti dan karya sastra), serta
data arkeologis, terdapat fenomena kebudayaan penting yang berkembang di wilayah
Jawa bagian timur dalam abad ke-14—15, adalah sebagai berikut:
1.Tidak ada komunikasi baru yang intensif antara kebudayaan India dengan kebudayaan
Hindu-Buddha di Jawa Timur (Fontein, R.Soekmono & Satyawati Suleiman 1972)
2.Terbentuknya konsep keagamaan yang merupakan campuran antara berbagai konsep
Hindu, Buddha Mahayana, Rsi, Tantrayana, dan pemujaan arwah leluhur (Holt, 2000).
3.Munculnya kembali pengaruh kebudayaan lokal pra India dalam kehidupan masyarakat,
bentuk peninggalan arkeologisnya antara lain dijumpai pada kepurbakalaan di Gunung
Penanggungan (van Romondt, 1951; Quaritch Wales 1953; Munandar 2016).
4.Hubungan dengan Cina semakin meningkat, terbukti dengan kedatangan laksamana Cina
Cheng-ho ke Jawa hingga lebih dari 3 kali, yaitu pada pelayaran pertama tahun 1405--
1407, pelayaran ke-3 tahun 1409—1411, pelayaran ke-4 dalam tahun 1413—1415,
pelayaran ke-5 tahun 1416—1419 dan, pelayaran ke-7 tahun 1430—1433 (Zarkhoviche
2015: 141—142).
14
5.Munculnya pusat-pusat kekuasaan yang bercorak agama Islam di pantai utara Jawa
Timur dan pesantren-pesantren, menandakan adanya pergeseran keagamaan dari Hindu-
Buddha ke Islam (De Graaf, H.J. & Th.G.Th.Pigeaud, 1985).
Dalam kondisi seperti itu tidak tertutup kemungkinan bertahannya komunitas -komunitas
yang tinggal di daerah pedalaman yang masih meneruskan tradisinya. Komunitas tersebut
juga belum tentu menerima sepenuhnya pengaruh agama dan budaya India yang datang,
Artinya walaupun agama Hindu dan Buddha telah lama berkembang di Tanah Jawa,
terdapat sebagian masyarakat Jawa Kuno yang tidak mau memeluk agama Hindu atau
Buddha, mereka tetap melaksanakan ritual religi asli pra Hindu-Buddha. Dalam
melaksanakan ritus dan upacara pemujaan, komunitas yang melaksanakan peribadatan
“religi asli” tersebut tentu memerlukan objek pemujaannya tersendiri. Oleh karena itu
dalam masa Majapahit dikenal berbagai macam arca yang sangat mungkin pernah
digunakan dalam ritual keagamaan mereka.
Terdapat data yang menarik adalah bahwa arca-arca yang tergolong berwujud
Gramadewata tidak pernah ditemukan dari periode Klasik Tua di Jawa bagian tengah
(abad ke-8—10 M). Arca-arca tersebut semuanya berasal dari periode Klasik Muda
terutamanya zaman Majapahit (abad ke-14—15 M), selain memiliki sejumlah ciri gaya
seni Majapahit, juga ditemukan di pelosok-pelosok Jawa bagian timur, bukan di Jawa
Tengah. Telah dijelaskan bahwa arca-arca itu memang berbusana lengkap seperti arca
dewata yang mengikuti ikonografi Hindu atau Buddha, namun manakala hendak
diidentifikasikan tidak dapat diketahui jatidiri dari dewa
Segala bentuk ikon (arca) yang dihasilkan dalam masa Majapahit dapat digolongkan
menjadi:
1.Kelompok arca yang masih mengikuti secara setia aturan ikonografi dan mitologi India.
2.Kelompok arca yang tidak mengikuti kaidah seni arca India, tetapi melahirkan figur-figur
baru, namun masih dalam balutan gaya seni arca Hindu-Buddha.
15
3.Kelompok arca yang tidak mengikuti gaya seni kebudayaan India, melainkan
menggambarkan adanya pengaruh asing (Cina) yang datang dan berhubungan dengan
kebudayaan Jawa zaman Majapahit.
4.Kelompok arca yang bercorak Prasejarah, dengan menampilkan kembali ciri-ciri seni
arca lama sebelum datangnya pengaruh Hindu-Buddha.
Keempat kelompok gaya seni arca tersebut yang berkembang pada masa Majapahit hingga
periode keruntuhannya di awal abad ke-16. Kerajaan tersebut diperkirakan runtuh antara
tahun 1518--1521 (Djafar 1978: 90), atau tahun 1525 (Yamin 1962), atau juga tahun 1527
(De Graaf & Th.G.Th.Pigeaud 1985), akibat perebutan tahta di kalangan anggota keluarga
kerajaan Majapahit. Dalam era Majapahit menjelang keruntuhannya masyarakat masih
mungkin untuk melaksanakan ritual keagamaan mereka, tentunya selain agama-agama
resmi yang dikenal Hindu dan Buddha. Dalam kakawin Nagarakrtagama pupuh 75, baris
2, dinyatakan adanya pejabat tinggi keagamaan yang disebut dengan Saiwadyaksa yang
mengurus candi-candi Hndu-saiwa (antara lain parhyangan dan kalagyan), Boddadyaksa
mengurus candi-candi Buddha, termasuk kuti dan wihara, serta mantri her haji mengurus
karsyan-karsyan dan pertapaan (Pigeaud 1960, I: 58). Uraian tersebut ternyata sejalan
dengan peninggalan arkologisnya, sebab sampai sekarang masih dijumpai reruntuhan
candi-candi Hindu-saiwa, Buddha, bekas-bekas karsyan dan pertapaan, serta arca-arca
dewata Hindu-Buddha yang dahulu tentunya berfungsi dalam kegiatan keagamaan
mereka. Akan tetapi dari masa yang sama ditemukan juga arca-arca yang menjadi
pembahasan dalam kajian ini, yaitu arca-arca Gramadewata, arca-arca itu dibuat karena
ada masyarakat yang menggunakannya.
Sejatinya masyarakat Majapahit tidak hanya memeluk agama Hindu, Buddha, atau kaum
Rsi saja, di antara mereka masih banyak yang bertahan melaksanakan ritual “religi asli” di
luar agama-agama yang diurus oleh pejabat tinggi kerajaan, merekalah masyarakat
Majapahit yang memuja arwah leluhur. Dalam catatan orang-orang Cina dalam abad ke-15
dinyatakan bahwa penduduk Jawa terdiri dari (a) orang-orang Cina yang menetap untuk
sementara waktu, mereka berpakaian bersih dan bagus, serta memakan makanan yang
16
baik, (b) para pedagang dari negara lain yang tinggal di sini (Majapahit), dalam jangka
waktu yang lama mereka juga cukup berbudaya dan bersih, dan (c) penduduk setempat
yang hidup secara kotor, menyukai serangga dan ulat. Tidur dan makan bersama anjing-
anjing peliharaan mereka, mereka tidak menggunakan alas kaki, dan sangat percaya akan
hantu (Groeneveldt 2009: 56—57). Sangat mungkin apa yang disaksikan orang-orang
Cina itu tidak lengkap, karena ada satu golongan lain dari penduduk setempat yang hidup
bersih dan baik, yaitu kalangan istana raja dan para pemeluk agama Hindu-Buddha. Hanya
saja mereka tentu tidak dapat diakses lebih dekat, karena kalangan istana pastinya hidup
di balik tembok dan pagar istana yang membatasinya dengan dunia luar.
Sementara itu penduduk yang beragama Hindu-Buddha juga tidak segera dapat dikenali,
mereka baru akan mudah diamati ketika diadakan upacara-upacara di percandian yang
melibatkan banyak umat dengan beragam keramaian dan kesenian untuk diabdikan
kepada dewa. Jadi yang diamati sebagai golongan penduduk setempat yang dimaksudkan
orang Cina adalah kalangan penduduk biasa yang mudah dijumpai di lingkungan kota
Majapahit. Mereka yang disebut hidup kotor dan percaya kepada hantu-hantu.
Tafsiran yang mengemuka adalah jika para musafir Cina menyebutkan bahwa banyak
penduduk setempat Majapahit yang masih hidup sederhana dan kotor, berarti mereka
yang mempunyai cara “hidup kotor” itu masih dominan di kalangan penduduk Majapahit.
Mereka masih percaya hantu-hantu, maksudnya memuja makhluk supernatural (makhluk
astral) yang dipercaya berkeliaran di sekitar kehidupan. Agaknya hantu-hantu yang
dimaksudkan oleh orang-orang Cina adalah arwah leluhur dari penduduk setempat yang
diseru untuk dapat membantu memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-harinya.
Arwah leluhur dipuja untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik, selamat dalam
perjalanan, menguntungkan perdagangan, terhindar dari bencana, dan lain sebagainya.
Penduduk setempat yang dilihat oleh para musafir Cina itu tentunya mereka yang tinggal
di kota Majapahit atau di sekitarnya, jauh di daerah pedalaman masih banyak penduduk
setempat yang tinggal di desa-desa atau hutan, mereka tentu tidak teramati oleh orang-
orang Cina dan “memuja hantu-hantu” juga.
17
Terdapat uraian menarik dalam Kitab Tantu Panggelaran yang berurai tentang kondisi
kehidupan keagamaan mandala-mandala dan pertapaan dalam zaman Majapahit
menjelang keruntuhannya. Disebutkan adanya Kabhayan Panglayar (agamawan) yang
hendak membuat tempat pemujaan dewa-dewa di Talun di lereng Gunung Hyang (Iyang).
Para raksasa yang menghuni daerah tersebut marah dan tidak mengizinkan Kabhayan
Panglayar membuat tempat pemujaan dewa. Raksasa dilawan dengan beryoga dan
bersamadi, namun para raksasa tetap menang dan mengusir Kabhayan Panglayar. Ia
meninggalkan Talun menuju Wacana, para raksasa di Wacana juga tidak memperbolehkan
mendirikan bangunan tempat pemujaan dewa. Kabhayan Panglayar melawan mereka
dengan beryoga, kali ini para raksasa dapat dikalahkannya dan mereka menyerah pada
sang Kabhayan, banyak juga di antara mereka yang ingin menjadi wiku (brahmana),
namun tidak ditahbiskannya (Pigeaud 1924: 111; Nurhajarini 1999: 120—121).
Agaknya kisah tersebut merupakan metafora, bahwa pada masa surutnya Majapahit masih
terdapat kaum agamawan Hindu yang mencoba menyebarkan agama Hindu di pedalaman.
Para raksasa adalah perumpamaan penduduk pedalaman yang masih memuja arwah
leluhur mereka, belum negenal dewa-dewa Hindu atau Buddha. Sekali waktu pendeta
Hindu itu (Kabhayan Panglayar) tidak diterima dan diusir oleh penduduk setempat
meninggalkan daerah yang didatanginya, namun di tempat lain si pendeta diterima
setelah dapat mengalahkan atau meyakinkan penduduk pedalaman untuk beralih agama
memeluk Hindu.
Menurut uraian beberapa prasasti dalam masa Jawa Kuno terdapat masyarakat Kalang
yang membentuk komunitas tersendiri dan tidak bergaul bebas dengan penduduk pada
umumnya, karena mereka tinggal di dalam hutan-hutan (Munandar dkk.2018: 43—44).
Orang-orang Kalang menempati posisi tersendiri dalam masyarakat, mereka diperlukan
namun juga dihindari. Mereka mempunyai pemimpin yang disebut Tuha Kalang dan
menerima hadiah (pasek-pasek) ketika diadakan upacara penetapan tanah Sima. Bersama
dengan adanya jabatan Tuha Kalang atau Kalang saja, terdapat juga jabatan Tuha Alas,
Tuha Buru, dan Tuha Wereh yang sangat mungkin berkaitan dengan kehidupan orang-
18
orang Kalang di hutan-hutan. Jabatan Kalang atau Tuha Kalang dipertanyakan oleh
Boechari ahli epigrafi Indonesia mungkin berhubungan dengan orang Kalang di masa
kemudian (zaman Kesultanan Islam) yang masih tinggal di hutan-hutan (Boechari 1977:
9). Memang pada kenyataannya jabatan Tuha Kalang benar berkenaan dengan orang-
orang Kalang yang tinggal di hutan-hutan, pada deretan pejabat penerima hadiah
seringkali penyebutannya dekat dengan Tuha Alas, Tuha Buru, dan ada lagi Tuha Wereh.
Tuha Alas dapat dikenali sebagai petugas yang berurusan dengan hutan dengan segala
aktivitasnya, dalam hal ini tentu berkaitan dengan Tuha Kalang yang mengurusi kaum
Kalang yang tinggal di hutan-hutan. Tuha Buru juga berkenaan dengan hutan, karena Tuha
Buru mengkoordinir para pemburu yang menangkap hewan buruannya di hutan-hutan,
pekerjaan tersebut tentu bersinggungan dengan aktivitas orang-orang Kalang di hutan.
Masa itu dibuatlah minuman keras yang memabukkan (wereh) yang bahan bakunya dari
pohon aren yang banyak tumbuh di hutan-hutan untuk diambil airnya (air nira yang
manis) dan difermentasi menjadi tuak (sejenis minuman keras). Oleh karena pohon aren
banyak di hutan, maka koordinator para pembuat tuak dari aren itu dideretkan
penyebutannya dengan tuha-tuha lainnya yang berasosiasi dengan hutan dan “dunia
hutan”.
Masyarakat Jawa Kuno yang hidup di desa-desa (wanua) umumnya telah beragama
Hindu-saiwa atau Buddha Mahayana. Banyak sumber yang dapat digunakan untuk
menjelaskan sistem keagamaan masyarakat Jawa Kuno, seperti bangunan candi, uraian
prasasti, arca-arca, relief, dan karya sastra sezaman. Masyarakat Jawa kuno
mengembangkan kebudayaan dan penataan masyarakatnya sendiri, apa yang mereka
terima dari kebudayaan India tidak langsung diterapkan, melainkan akan diolah kembali
sesuai dengan lingkungan budaya, kreativitas, dan daya cipta mereka sendiri.
Harus diakui peninggalan arkeologis yang berhubungan dengan orang Kalang sangat
terbatas, kecuali kubur-kubur batu (liang lahat batu) disebut Kubur Kalang, antara lain
dijumpai di wilayah Bojonegoro. Mungkin saja terdapat tinggalan arkeologis lain di luar
bentuk kubur batu, terutama ketika masyarakat Jawa Kuno memasuki zaman Hindu -
Buddha.
ORANG
KALANG
pragmatis mitis
warisan
tradisi
LINGKUNGAN SISTEM
HUTAN RELIGI
Orang Kalang mempunyai keterkaitan yang bersifat pragmatis dengan lingkungan hutan,
hutan menjadi tempat tinggal mereka, tempat mereka mempertahankan kehidupan dan
mencari makan. Hutan adalah tempat mereka dilahirkan, hidup dewasa, dan mungkin
sampai kematiannya dikuburkan juga dalam hutan, jadi hutan mempunyai fungsi-fungsi
praktis dalam pandangan kehidupan orang Kalang. Dalam pada itu orang Kalang juga
sudah tentu mempunyai rasa kagum yang sangat mendalam disertai perasaan gentar
terhadap dunia lain, dunia di luar nalar mereka yang bersifat supernatural. Kekaguman
20
terhadap dunia supernatural menyebabkan mereka akan hidup serba religius, semuanya
dihubungkan dengan dunia gaib, hal itulah yang akan membentuk sistem religi mereka.
Religi orang Kalang adalah suatu bentuk sistem religi yang diwariskan secara turun-
temurun dari generasi-generasi sebelumnya. Bentuk religi atau kepercayaan itu tentunya
berkaitan dengan pengalaman kehidupan mereka di dalam hutan. Dengan demikian
terjadilah hubungan yang timbal balik dan senantiasa saling berkaitan di dalam Budaya
Kalang, yaitu kehidupan orang Kalang, lingkungan hidup di hutan, dan sistem religi yang
dihasilkan akibat kehidupan di hutan.
Apabila arca itu digambarkan membawa senjata atau benda-benda, maka yang dibawanya
adalah benda yang tidak lazim dipegang oleh dewa-dewa Hindu atau Buddha. Tinggi arca
hanya sekitar berkisar 125—150 cm saja. Berdasarkan perbandingan dengan arca-arca
lainnya, dapat disimpulkan bahwa arca-arca seperti itu dihasilkan oleh masyarakat
Majapahit, karena penggarapannya persis sama dengan arca-arca batu Hindu-Buddha dari
periode yang sama.
Telah diutarakan di bagian terdahulu bahwa di India juga terdapat arca-arca yang tidak
termasuk ke dalam arca panteon Hindu atau Buddha, dibuat dan dipuja oleh komunitas
terbatas di pedesaan yang jauh dari keramaian, namun dapat juga dipuja oleh sekelompok
masyarakat di kota-kota, arca-arca itu dinamakan Gramadewata (Jordan 2004: 106).
21
Penggambaran arca-arca tersebut seperti arca-arca dewa Hindu atau Buddha memakai
busana, mahkota, gelang, kalung, hiasan telinga dan sebagainya, namun bukanlah arca
Siwa, Parwati, Wisnu, Kuwera atau lainnya. Arca-arca tersebut mempresentasikan
kepercayaan lokal, sebagai sasaran pemujaan orang-orang yang mempercayainya.
Jenis arca penggambaran leluhur agaknya terus dibuat dalam masa Hindu-Buddha, namun
telah mendapat pengaruh gaya seni arca Hindu-Buddha, seperti digambarkan
menggunakan gelang, kalung, mahkota, kain berlipat dan sebagainya. Pada sosoknya arca-
arca tersebut tetap digarap secara kaku. Arca-arca itu dapat disebut dengan arca zaman
Hindu-Buddha yang bercorak megalitik, dan ditemukan di daerah-daerah terpencil, di
hutan-hutan lereng gunung, jauh dari pusat-pusat kegiatan masyarakat Hindu-Buddha
yang telah tinggal di desa-desa besar yang menjadi kota (nagara).
Demikianlah bahwa arca-arca Gramadewata bukan tidak mungkin dibuat juga oleh orang-
orang Kalang untuk menggambarkan nenek moyang sesembahan mereka. Sebagian besar
arca-arca Gramadewata justru ditemukan kembali di kawasan hutan-hutan di
22
pegunungan, di tempat-tempat yang dahulu tentunya sukar didatangi masyarakat Jawa
Kuno umumnya. Orang Kalang yang hidup di hutan-hutan sudah pasti sangat akrab
dengan lingkungannya, mengetahui dengan baik keadaan dan karakter hutan -hutan
dimana mereka hidup. Gramadewata yang dibuat oleh orang-orang Kalang sudah tentu
ada hubungannya dengan hutan dan seluk beluknya.
Sebagaimana diketahui bahwa komunitas Kalang juga tidak hanya hidup di wilayah hutan
di Bojonegoro, melainkan juga menetap di daerah berhutan lainnya, di Jawa Tengah jejak
orang Kalang ditemukan di daerah Bantul, Sleman, Pekalongan, Semarang, Grobogan,
Rembang, Sragen. Dalam pada itu komunitas Kalang di Jawa Timur dipercaya pernah
hidup di wilayah Pegunungan Kendeng, Walikukun, Madiun, Bojonegoro, Gresik,
Tulungagung, dan daerah pedalaman tapal kuda hingga ke Banyuwangi (Lelono 1989;
Kartakusuma 2000: 163). Setelah Sultan Agung memerintahkan agar orang-orang Kalang
hidup bermasyarakat dengan orang Jawa pada umumnya, maka banyak di antara mereka
yang tinggal di Yogyakarta, Kota Gede, Sragen, Surakarta dan beberapa kota lainnya. Arca-
arca Gramadewata itupun ternyata banyak dijumpai di wilayah-wilayah yang secara
tradisi dianggap sebagai daerah jelajah orang-orang Kalang, antara lain di wilayah
Tulungagung, Blitar, Madiun, Bondowoso, hingga Banyuwangi.
23
Di daerah pedalaman Rembang terdapat situs yang cukup menarik yang dianggap oleh
para ahli arkeologi yang dihubungkan dengan tradisi megalitik, yaitu situs Terjan.
Penelitian di bukit Terjan pernah dilakukan oleh Orsoy de Flines pada tahun 1949, dan
ditemukan struktur batu-batu besar yang telah berantakan. Dalam tahun 1968 dilakukan
penelitian lanjutan oleh arkeolog Hadiwijono di Bukit Seladiri, ditemukan sejumlah
artefak menarik, antara lain didapatkan balok batu, fragmen pelinggih, batu -batu yang
dipahati bentuk kepala hewan kuda, babi, dan ikan (mungkin juga Naga). Terdapat
pahatan geometris yang juga menghias beberapa batu. Hal yang menarik adalah
ditemukannya fragmen batu bekas alas arca-arca (padmasana) yang mungkin dahulu
terdapat sejumlah arca bercorak Hindu. Dalam hal ini menjadi bukti bahwa tradisi
megalitik dibuat bersamaan dengan corak Kehinduan di wilayah pedalaman Rembang, di
kawasan Pegunungan Kendeng (Soejono, 1984: 231—232).
Dapat kiranya dinyatakan bahwa batu-batu berhias dan dibentuk dengan relief dangkal
yang menggambarkan kepala kuda, Naga, dan fragmen padmasana di daerah
Pengunungan Kendeng kawasan Rembang tersebut berhubungan dengan orang-orang
Kalang. Mereka membuat figur-figur hewan arca-arca Gramadewata di perbukitan untuk
menjadi objek pemujaan, hanya saja arca itu yang tersisa bagian padmasananya saja.
Foto 10 & 11: Batu berhias dan batu dibentuk kepala ikan (Naga?)
di situs Bukit Selodiri, Rembang (Internet)
/4/
Arca-arca Gramadewata merupakan bukti bahwa pada masa silam dalam zaman Majapahit
terjadi pemujaan terhadap arca-arca tersebut. Arca-arca dihubungkan dengan zaman
Majapahit, karena pada zaman-zaman sebelumnya, Singhasari (abad ke-13), Kadiri (abad
ke-12), Mataram Wwatan Mas (abad ke-11), hingga zaman Mataram kuno (abad ke-8—10
25
M), arca-arca berbentuk demikian belum dikenal. Arca-arca Gramadewata baru dikenal
dalam era Majapahit, penanda gaya seni arca Majapahit seperti tubuh arca yang diapit
bunga teratai yang keluar dari vas, dan hiasan “Sinar Majapahit” (Majapahit aureole)
(Bernet Kempers 1959: 83 dan104), terdapat pada beberapa arca Gramadewata.
26
menyembah dewa-dewa yang mereka ciptakan sendiri, yaitu arca-arca para leluhur desa
atau tokoh desa yang dapat dijadikan panutan, walaupun mereka telah meninggal.
Daftar Pustaka
Bernet Kempers, A.J., 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J.van der Peet.
Boechari, 1977. “Manfaat Studi Bahasa dan Sastra Jawa Kuna Ditinjau dari Segi Sejar ah
dan Arkeologi”, dalam Majalah Arkeologi. Tahun 1 No.1, September. Jakarta: Lembaga
Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Halaman 5—30.
Fotein, Jan, R.Soekmono & Satyawati Suleiman, 1972. Kesenian Indonesia Purba: Zaman-
zaman Djawa Tengah dan Djawa Timur. New York: Asia House Gallery.
27
Groeneveldt, W.P., 1907. Hindoe Javaansche portretbeelden. Batavia: Albrecht.
Holt, Claire, 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Bandung: art.line &
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Jordan, Michael, 2004. Dictionary of Gods and Goddesses. New York: Facts on File, Inc.
Lelono, T.M.Hari, 1989. “Upacara Kalang Obong: Suatu Tinjauan Etno-arkeologi. Berkala
Arkeologi. Yogyakarta: Balai Arkeologi.
Munandar, Agus Aris, 2016. Arkeologi Pawitra. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Munandar, Agus Aris, Aditya Revianur, dan Deny Yudo Wahyudi, 2018. Tuha Kalang:
Orang Kalang dalam Kebudayaan Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Nurhajarini, Dwi Ratna, 1999. Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu
Panggelaran. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Quaritch Wales, H.G., 1953. The Mountain of God: A Study in early religion and kingship.
London: Bernard Quaritch Ltd.
Saksono, Widji, 1995. MengIslamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah
Walisongo. Bandung: Mizan.
Zarkhoviche, Baha, 2015. Laksamana Cheng-ho Panglima Islam Penakluk Dunia: Kisah
Ekspedisi Tionghoa Muslim terbesar Sepanjang Sejarah. Yogyakarta: Araska.
29