“Dan bukanlah harta atau anak-anakmu yang mendekatkan kamu kepada Kami; melainkan
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itulah yang memperoleh
balasan yang berlipat ganda atas apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa
di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).” (QS. Saba' Ayat 37)
Asbabun Nuzul
Ayat ini turun sebagai penegas kepada pemuka kafir Mekah bahwa bukan harta benda dan
keturunan yang dapat mendekatkan diri manusia kepada Allah dan memperoleh kasih
sayang-Nya, tetapi iman dan amal saleh. Harta benda dan keturunan itu hanya bermanfaat
bila menambah kuat iman dan memperbanyak amal.
Allah membantah keyakinan orang kafir tersebut. Kedudukan seseorang di sisi Allah tidak
ditentukan oleh harta dan keturunannya, melainkan iman dan takwanya. (Hidayatul Insan bil
Tafsiril Our'an)
Kandungan Ayat
1. Iman dan amal saleh yang dapat mendekatkan kita kepada Allah Subhana wa ta’ala
2. Orang yang beriman dan beramal saleh yang akan mendapatkan surga dan terbebas dari
siksa neraka
3. Yang dapat melestarikan iman dan amal saleh adalah harta yang digunakan secara benar
dan keturunan yang dididik dengan baik.
Penjelasan Surga Menurut Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Farwah ibnu Abul Migra AlKindi, telah menceritakan kepada kami Al-Gasim
dan Ali ibnu Misar, dari Abdur Rahman ibnu Ishag, dari An-Nu’man ibnu Sa’ad, dari Ali r.a.
yang mengatakan bahwa Rasulullah Sallahualaihiwassalam. Pernah bersabda:
Sesungguhnya di dalam surga benar-benar terdapat tempat-tempat yang tinggi, bagian
luarnya terlihat dari bagian dalamnya dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.
Ketika ada seorang Badui bertanya, “Untuk siapakah tempat-tempat itu?“ Rasulullah Saw.
Menjawab: Bagi orang yang bertutur kata baik, memberi makan (orang-orang fakir miskin),
rajin berpuasa, dan gemar salat di malam hari ketika manusia sedang tidur.
Penjelasan Ayat
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, ketika menafsirkan dalam surat as-Syu’ara 88-89,
khususnya tentang Qalbun Salift” beliau menulis demikian: Oalbun Salim adalah mengilmui
bahwa Allah itu benar (hag), dan bahwa As-Saaah (hari kiamat) pasti akanlah datang, dan
bahwa Allah akan membangkitkan siapa saja yang ada di dalam kubur.
Imam Ibnu Katsir juga mengutip penafsiran Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu tentang Oalbun
Salim, yaitu: Hati yang hidup, yang bersaksi bahwa tiada Illah (sesembahan yang hak untuk
disembah) selain Allah. Bekau juga mengutip perkataan Imam Mujahid tentang Oalbun
Salim, yaitu hati yang bersih atau selamat dari syirik.
Lalu beliau mengutip perkataan Said bin Al-Musayyib: Oalbun Salim adalah hati yang sahih,
sehat, yaitu hatinya orang beriman, karena hati orang kafir dan munafik itu hati yang sakit.
(Tafsir Ibnu Katsir)
Makna Aman
Definisi Iman berdasarkan pendapat jumhur ulama, menurut bahasa iman berarti pembenaran
hati. Sedangkan menuru istilah, iman adalah:
» Membenarkan dengan hati, » Mengikrarkan dengan lisan dan « Mengamalkan dengan
anggota badan.
Imam Muhammad bin Isma’il bin Muhammad bin al Fadhl at Taimi al Asbahani
menyampaikan makna Iman menurut pandangan syariat adalah pembenaran hati, dan amalan
anggota badan. Iman bisa bertambah dan berkurang seiring dengan bertambah dan
berkurangnya amal saleh.
Kisah Teladan
Dikisahkan di dalam kitab Mukasyafatul Qulub dalam kitab Ghazali, dahulu ada seorang
yang taat beribadah bernama Abu bin Hasyim. Hasyim dikenal sebagai seseorang yang tidak
pernah meninggalkan tahajud (giyamullail) selama puluhan tahun.
Suatu ketika, pada saat Hasyim akan mengambil wudhu untuk melaksanakan salat tahajud,
tiba-tiba Hasyim dikagetkan dengan keberadaan sesosok makhluk yang berdiri di dekat tepat
wudhu.
Hasyim pun bertanya kepadanya: “Wahai hamba Allah, siapakah engkau?” Sambil
tersenyum, sosok itu menjawab: “Aku adalah Malaikat utusan Allah SWT. Hasyim terkejut,
sekaligus bangga karena dikunjungi tamu yang tidak biasa, yaitu Malaikat mulia. Kemudian
Hasyim bertanya kepada Malaikat tersebut: “Apa yang sedang kamu lakukan disini?”
Malaikat tersebut menjawab: “Aku disuruh untuk mencari hamba pecinta Allah SWT”.
Mendengar jawaban tersebut, Hasyim berharap dalam hatinya yang namanya terdapat dalam
buku catatan amal saleh yang diterima tersebut. Atu – bertanyalah Hasyim kepada sang
Malaikat: “Wahai Malaikat, adakah namaku tercantum di situ?”
Kemudian sang Malaikat memeriksa nama Abu bin Hasyim di dalam buku tersebut. Namun
sang Malaikat tidak menemukan namanya. Kemudian Hasyim meyakinkan kembali agar sang
Malaikat memeriksa sekali lagi, barangkali namanya terlewatkan. Namun sang Malaikat tetap
tidak menemukan namanya. Sang Malaikat kemudian berkata kepada Abu bin Hasyim:
“Betul, namamu tidak ada di dalam buku ini”.
Mendegar hal tersebut, Hasyim tubuhnya gemetar dan jatuh tergungkur di depan sang
Malaikat. Dia menangis sesenggukkan sambil berkata: “Betapa ruginya diriku yang selalu
tegak berdiri di setiap malam dalam tahajud dan bermunajat, tetapi namaku ternyata tidak
masuk dalam golongan para hamba pecinta Allah Subhanahu wataa'la.
Mendengar Malaikat berkata tersebut, sambil berlinang 2 di mata Hasyim bertanya kepada
Malaikat: “Apa gerangan yang menjadi penyebabnya, hingga Allah SWT melarang untuk
menuliskan namaku di dalamnya?”
Sang Malaikat menjawab: “Engkau memang ahli beribadah kepada Allah Subhanahu
wataa’la, namun sayangnya engkau pamerkan kemana-mana ibadahmu dengan penuh rasa
bangga dan engkau juga asyik beribadah memikirkan diri sendiri. Padahal di kanan-kirimu
ada orang sakit dan lapar, tidak engkau jenguk dan tidak engkau beri makan. Bagaimana
mungkin engkau dapat menjadi hamba pecinta Allah Subhanahu wataa’la dan dicintai oleh-
Nya, kalau Engkau sendiri tidak pernah mencintai hamba-hamba yang diciptakan Allah
Subhanahu wataa’la?
Hikmah lainnya disebutkan dalam hadis dari Usamah berkata: “Wahai Rasulullah Saw,
kenapa aku tidak pernah melihat Anda berpuasa sunah dalam satu bulan tertentu yang lebih
banyak dari bulan Sya’ban? Beliau Sallahualaihiwassalam menjawab:
Ia adalah bulan di saat manusia banyak yang lalai dari beamal Shaleh
Antara Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan di saat amal-amal dibawa naik kepada Allah
Rab semesta alam, maka aku senang apabila amalamalku diangkat kepada Allah saat aku
mengerjakan puasa sunah.” (HR. Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Khuzaimah. Ibnu Khuzaimah
menshahihkan hadis ini)
Di bulan Ramadhan kita dianjurkan untuk memperbanyak . sunah seperti membaca Al-
Our’an, berdzikir, beristighfar, salat tahajud dan witir, shalat dhuha, dan sedekah,
Untuk mampu melakukan hal itu semua dengan ringan dan istiyamah, kita perlu banyak
berlatih. Di sinilah bulan Sya’ban menempati posisi yang sangat urgen sebagai waktu yang
tepat untuk berlatih membiasakan diri beramal sunah secara tertib dan kontinu.