Agar penyaluran dana BOS berjalan sesuai peraturan yang berlaku, Pemerintah juga
meluncurkan program SIPLah (Sistem Informasi Pengadaan Sekolah). Melalui bantuan dana
BOS, sekolah diharuskan untuk melakukan pemesanan barang dan jasa di marketplace yang
sudah bekerjasama dengan SIPLah Kemendikbud.
1. SD/SDLB/SMP/SMPLB
2. SMA
Penerimaan siswa/i didik baru
Pengembangan perpustakaan
Kegiatan belajar mengajar dan ekstrakurikuler
Kegiatan evaluasi pembelajaran
Pengembangan profesi guru
Pengelolaan sekolah
Perawatan sekolah
Pembayaran honor
Langganan daya dan jasa
Pembelian dan perawatan alat multimedia belajar mengajar
3. SMK
Besaran dana BOS yang diberikan Pemerintah untuk sekolah dihitung berdasarkan peserta
didik yang terdaftar di sekolah tersebut. Peraturan itu tertuang dalam Permendikbud No 8 Pasal
6 Tahun 2020 tentang petunjuk teknis Bantuan Operasional Sekolah.
Sekolah Dasar (SD): Rp 900 ribu per satu orang peserta didik setiap tahun.
Sekolah Menengah Pertama (SMP): RP 1,1 juta per satu orang peserta didik setiap
tahun.
Sekolah Menengah Atas (SMA): Rp 1,5 juta per satu orang peserta didik setiap tahun.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK): Rp 1,6 juta per satu orang peserta didik setiap
tahun.
Sekolah Terintegrasi (SDLB, SMPLB, SMALB, SLB): Rp 2 juta per satu orang peserta
didik setiap tahun.
Jumlah peserta didik berdasarkan dari data NISN pada Dapodik. Dengan begitu, Pemerintah
akan mengirimkan bantuan dana BOS sesuai dengan jumlah peserta didik yang sudah
terdaftar. Selain itu, khusus untuk Sekolah Terintegrasi yang memiliki jumlah peserta didik
kurang dari 60 orang, maka akan tetap dihitung sebesar 60 orang.
Jadi kalau Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dalam satu tahun pajak (Januari sd Desember) jumlahnya
melebihi 4,8 M (empat milyar delapan ratus juta rupiah) Wajib mendaftarkan diri untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Petunjuk mengenai Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPN dan/atau PPnBM terdapat dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003.
Namun dalam PMK tersebut secara khusus mengatur transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP)
sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (2), bahwa:
Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Bendaharawan Pemerintah atau Kantor Perbendaharaan
dan Kas Negara.
Apabila merujuk pada aturan mengenai Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, meskipun tidak secara tegas
menyatakan harus bertransaksi dengan PKP tetapi secara implisit disebutkan bahwa setiap pembayaran oleh
Bendahara wajib melakukan pemotongan/pemungutan pajak sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku.
Demikian juga dengan aturan berkaitan dengan Penyusunan Anggaran setiap item pengadaan barang/jasa
Objek PPN maka di dalamnya sudah termasuk PPN. Dengan demikian bagaimana pun kondisinya, selama
yang dibayar adalah BKP/JKP maka pungut PPN adalah suatu kewajiban, adapun PKP atau bukan PKP hanya
mekanisme saja.
Kondisi di lapangan terkadang tidak mendukung, adakalanya barang dan jasa yang dibutuhkan hanya tersedia
oleh Non-PKP juga ada kalanya terdapat Pemerintah Daerah, untuk memajukan ekonomi setempat
menghimbau bendahara bertransaksi dengan UMKM sementara UMKM bila dilihat dari segi Omset belum
tentu merupakan PKP.
Pada prinsipnya Bendahara harus secara tegas memilih rekanan supplier dengan status PKP, agar semua
mekanisme Pemungutan PPN dapat dilaksanakan secara paripurna. Maksudnya mulai dari proses pemotongan,
penyetoran sampai dengan pelaporan dapat dilakukan sesuai tata cara dalam aturan yang berlaku, yaitu:
1. Jumlah PPN adalah jumlah yang tertera dalam Faktur Pajak yg diterbitkan oleh PKP (supplier barang/jasa);
2. Pajak disetor atas nama PKP supplier/rekanan;
3. Dilaporkan melelui SPT PPN PUT dengan menyebutkan Identitas PKP dan Faktur Pajak dengan jelas.
Lalu bagaimana jika dalam kondisi tidak memungkinkan bertransaksi dengan PKP? Penulis tidak berposisi
menyarankan praktik ini karena tidak ada aturan tegas yang mendasarinya. Namun memperhatikan beberapa
Bendahara melakukan praktik berikut:
1. PPN tetep dipungut, dengan dasar PPN sudah dianggarkan dan apabila tidak dipungut khawatir jadi temuan
karena setiap objek PPN wajib pungut PPN;
2. Dalam menghitung nilai PPN, sebuah transaksi terlebih dahulu menghitung nilai gross-up (nilai transaksi
dikali 110/100) sehingg menjadi transaksi "plus PPN" dicatat sebagai pengeluaran negara senilai
Transaksi+PPN
2. Pajak disetor a.n. Bendahara. Apabila Tanpa Faktur tetap disetor a.n. Supplier maka bagi Supplier
sebenarnya tidak ada PPN terutang dan berpotensi Supplier tersebut dikukuhkan secara jabatan;
3. Dalam pelaporan PPN PUT, transaksi tersebut didukung dengan bukti yang dipersamakan dengan faktur,
biasanya Commercial Invoice;
Demikian sedikit share mengenai transaksi dengan Non-PKP. Pada prinsipnya di lapangan PPK dan PBJ dapat
membantu memininalisir adanya transaksi dengan Non-PKP melalui lebih selektif memilih Supplier dan
proses pengadaan barang dan jasa secara lebih terrencana.