Anda di halaman 1dari 5

Program 

Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan bantuan pendanaan yang diberikan


oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kepada sekolah yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai biaya operasional sekolah. Program BOS sendiri sudah
dijalankan sejak tahun 2005.
Dana BOS adalah program yang diusung oleh Pemerintah untuk membantu sekolah-sekolah di
seluruh Indonesia. Bantuan pendidikan berbentuk dana tersebut diberikan berdasarkan jumlah
siswa yang terdaftar.

Agar penyaluran dana BOS berjalan sesuai peraturan yang berlaku, Pemerintah juga
meluncurkan program SIPLah (Sistem Informasi Pengadaan Sekolah). Melalui bantuan dana
BOS, sekolah diharuskan untuk melakukan pemesanan barang dan jasa di marketplace yang
sudah bekerjasama dengan SIPLah Kemendikbud.

Berdasarkan Permendikbud No 8 Tahun 2020 tentang petunjuk teknis Bantuan Operasional


Sekolah, Dana BOS dibagi menjadi tiga jenis yaitu BOS Reguler, BOS Kinerja dan BOS
Afirmasi.
Dana BOS Reguler ditujukan untuk keperluan operasional yang dibutuhkan oleh satuan
pendidikan seperti membeli alat multimedia untuk kegiatan belajar mengajar, penerimaan
siswa/i baru dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah.
Sesuai dengan namanya, dana BOS Kinerja diberikan kepada sekolah yang memiliki kinerja
baik dalam meningkatkan mutu pendidikan sehingga dapat mencapai standar nasional
pendidikan.
Sementara itu, dana BOS Afirmasi diberikan untuk sekolah-sekolah yang ada di daerah 3T yaitu
Tertinggal, Terluar dan Transmigrasi. Tujuan disalurkannya dana tersebut yakni untuk
mendukung operasional sekolah di daerah tersebut.
Untuk mengetahuinya, berikut komponen penggunaan dana BOS dari SD hingga SMK seperti
yang dilansir dari laman BOS Kemdikbud:

1. SD/SDLB/SMP/SMPLB

 Penerimaan siswa/i didik baru


 Kegiatan belajar mengajar
 Kegiatan ekstrakurikuler
 Evaluasi pembelajaran
 Pengembangan perpustakaan
 Pembelian dan perawatan alat multimedia belajar mengajar
 Pengelolaan sekolah
 Perawatan sekolah
 Pembayaran honor tenaga kerja
 Pengembangan profesi guru
 Langganan daya dan jasa

2. SMA
 Penerimaan siswa/i didik baru
 Pengembangan perpustakaan
 Kegiatan belajar mengajar dan ekstrakurikuler
 Kegiatan evaluasi pembelajaran
 Pengembangan profesi guru
 Pengelolaan sekolah
 Perawatan sekolah
 Pembayaran honor
 Langganan daya dan jasa
 Pembelian dan perawatan alat multimedia belajar mengajar

3. SMK

 Penerimaan siswa/i didik baru


 Pengembangan perpustakaan
 Kegiatan belajar mengajar dan ekstrakurikuler
 Kegiatan evaluasi pembelajaran
 Pengembangan profesi guru
 Kegiatan praktek kerja lapangan (PKL)
 Kegiatan uji kompetensi
 Kegiatan sertifikasi kejuruan
 Pengelolaan sekolah
 Pembelian dan perawatan alat multimedia belajar mengajar
 Pembayaran honor
 Langganan daya dan jasa
 Perawatan sekolah

Besaran dana BOS yang diberikan Pemerintah untuk sekolah dihitung berdasarkan peserta
didik yang terdaftar di sekolah tersebut. Peraturan itu tertuang dalam Permendikbud No 8 Pasal
6 Tahun 2020 tentang petunjuk teknis Bantuan Operasional Sekolah.

Lalu, berapa besaran alokasi dananya? Berikut di antaranya:

 Sekolah Dasar (SD): Rp 900 ribu per satu orang peserta didik setiap tahun.
 Sekolah Menengah Pertama (SMP): RP 1,1 juta per satu orang peserta didik setiap
tahun.
 Sekolah Menengah Atas (SMA): Rp 1,5 juta per satu orang peserta didik setiap tahun.
 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK): Rp 1,6 juta per satu orang peserta didik setiap
tahun.
 Sekolah Terintegrasi (SDLB, SMPLB, SMALB, SLB): Rp 2 juta per satu orang peserta
didik setiap tahun.

Jumlah peserta didik berdasarkan dari data NISN pada Dapodik. Dengan begitu, Pemerintah
akan mengirimkan bantuan dana BOS sesuai dengan jumlah peserta didik yang sudah
terdaftar. Selain itu, khusus untuk Sekolah Terintegrasi yang memiliki jumlah peserta didik
kurang dari 60 orang, maka akan tetap dihitung sebesar 60 orang.

Bendahara BOS (Bantuan Operasional Sekolah) 


Bendahara BOS (Bantuan Operasional Sekolah) adalah bendahara yang ditunjuk oleh
pemerintah yang berada di lingkungan Sekolah dan memiliki kewajiban untuk memungut dan
memotong pajak, menyetor dan melaporkan atas belanja barang modal, belanja pegawai dan
belanja lainnya yang dananya bersumber dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).

Mulai 1 April 2020


Kewajiban perpajakan untuk BOS (Bantuan Operasional Sekolah) digantikan oleh Instansi
Pemerintah, sehingga NPWP BOS (Bantuan Operasional Sekolah) harus dicabut dan diganti
dengan NPWP Instansi Pemerintah. 

Kewajiban Perpajakan bagi Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah


Kewajiban Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah dalam bidang perpajakan adalah sebagai
berikut :

1. Kewajiban NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)


Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

2. Kewajiban NPPKP (Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak)


Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak kecuali pengusaha kecil sesuai ketentuan Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai batasan pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai PKP.

Jadi kalau Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dalam satu tahun pajak (Januari sd Desember) jumlahnya
melebihi 4,8 M (empat milyar delapan ratus juta rupiah) Wajib mendaftarkan diri untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Petunjuk mengenai Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPN dan/atau PPnBM terdapat dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003.
Namun dalam PMK tersebut secara khusus mengatur transaksi  dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP)
sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (2), bahwa:

Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Bendaharawan Pemerintah atau Kantor Perbendaharaan
dan Kas Negara.

Lalu bagaimana apabila Bendahara bertransaksi dengan Non-PKP?


Secara tegas apabila merujuk pada PMK-563/KMK.03/2003 jelas tidak sesuai, atau paling tidak kita dapat
mengatakan bahwa Transaksi dengan Non-PKP tidak ada aturannya.

Apabila merujuk pada aturan mengenai Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, meskipun tidak secara tegas
menyatakan harus bertransaksi dengan PKP tetapi secara implisit disebutkan bahwa setiap pembayaran oleh
Bendahara wajib melakukan pemotongan/pemungutan pajak sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku.
Demikian juga dengan aturan berkaitan dengan Penyusunan Anggaran setiap item pengadaan barang/jasa
Objek PPN maka di dalamnya sudah termasuk PPN. Dengan demikian bagaimana pun kondisinya, selama
yang dibayar adalah BKP/JKP maka pungut PPN adalah suatu kewajiban, adapun PKP atau bukan PKP hanya
mekanisme saja.

Kondisi di lapangan terkadang tidak mendukung, adakalanya barang dan jasa yang dibutuhkan hanya tersedia
oleh Non-PKP juga ada kalanya terdapat Pemerintah Daerah, untuk memajukan ekonomi setempat
menghimbau bendahara bertransaksi dengan UMKM sementara UMKM bila dilihat dari segi Omset belum
tentu merupakan PKP.

Pada prinsipnya Bendahara harus secara tegas memilih rekanan supplier dengan status PKP,  agar semua
mekanisme Pemungutan PPN dapat dilaksanakan secara paripurna. Maksudnya mulai dari proses pemotongan,
penyetoran sampai dengan pelaporan dapat dilakukan sesuai tata cara dalam aturan yang berlaku, yaitu:

1. Jumlah PPN adalah jumlah yang tertera dalam Faktur Pajak yg diterbitkan oleh PKP (supplier barang/jasa);
2. Pajak disetor atas nama PKP supplier/rekanan;
3. Dilaporkan melelui SPT PPN PUT dengan menyebutkan Identitas PKP dan Faktur Pajak dengan jelas.

Lalu bagaimana jika dalam kondisi tidak memungkinkan bertransaksi dengan PKP? Penulis tidak berposisi
menyarankan praktik ini karena tidak ada aturan tegas yang mendasarinya. Namun memperhatikan beberapa
Bendahara melakukan praktik berikut:
1. PPN tetep dipungut, dengan dasar PPN sudah dianggarkan dan apabila tidak dipungut khawatir jadi temuan
karena setiap objek PPN wajib pungut PPN;
2. Dalam menghitung nilai PPN,  sebuah transaksi terlebih dahulu menghitung nilai gross-up (nilai transaksi
dikali 110/100) sehingg menjadi  transaksi "plus PPN" dicatat sebagai pengeluaran negara senilai
Transaksi+PPN
2. Pajak disetor a.n. Bendahara. Apabila Tanpa Faktur tetap disetor a.n. Supplier maka bagi Supplier
sebenarnya tidak ada PPN terutang dan berpotensi Supplier tersebut dikukuhkan secara jabatan;
3. Dalam pelaporan PPN PUT, transaksi tersebut didukung dengan bukti yang dipersamakan dengan faktur,
biasanya Commercial Invoice;

Demikian sedikit share mengenai transaksi dengan Non-PKP. Pada prinsipnya di lapangan PPK dan PBJ dapat
membantu memininalisir adanya transaksi dengan Non-PKP melalui lebih selektif memilih Supplier dan
proses pengadaan barang dan jasa secara lebih terrencana.

Anda mungkin juga menyukai