Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Lansia
1. Definisi Lansia
Menurut World Health Organizaton (WHO), lansia adalah seseorang
yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.. lansia merupakan sekelompok
umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase
kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu
proses yang disebut aging process atau proses penuaan.
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan
kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang
telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho,
2006).

2. Batasan Lansia
a. WHO (1999) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut :
1) Usia lanjut (elderly) yaitu antara usia 60-74 tahun,
2) Usia tua (old) yaitu 75-90 tahun, dan
3) Usia sangat tua (very old) yaitu usia > 90 tahun.
b. Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi menjadi tiga
katagori, yaitu:
1) Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,
2) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas,
3) Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke
atas dengan masalah kesehatan.
3. Perkembangan Lansia
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan
manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan.
Lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan
mengalami proses menjadi tua (tahap penuaan). Masa tua merupakan masa
hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang mengalami
kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat
melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan). Penuaan merupakan
perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel,
yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan
dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung,
pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya. Dengan
kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai
penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa lain.

4. Permasalahan Lansia
a. Masalah fisik
Masalah yang dihadapi oleh lansia adalah fisik yang mulai melemah,
sering terjadi radang persendian ketika melakukan aktivitas yang cukup
berat, indra pengelihatan yang mulai kabur, indra pendengaran yang mulai
berkurang serta daya tahan tubuh yang menurun, sehingga sering sakit.
b. Masalah kognitif (intelektual)
Masalah yang dihadapi lansia terkait dengan perkembangan kognitif,
adalah melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal (pikun), dan sulit
untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar.
c. Masalah emosional
Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan emosional,
adalah rasa ingin berkumpul dengan keluarga sangat kuat, sehingga tingkat
perhatian lansia kepada keluarga menjadi sangat besar. Selain itu, lansia
sering marah apabila ada sesuatu yang kurang sesuai dengan kehendak
pribadi dan sering stres akibat masalah ekonomi yang kurang terpenuhi.
d. Masalah spiritual
Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan spiritual, adalah
kesulitan untuk menghafal kitab suci karena daya ingat yang mulai
menurun, merasa kurang tenang ketika mengetahui anggota keluarganya
belum mengerjakan ibadah, dan merasa gelisah ketika menemui
permasalahan hidup yang cukup serius.

5. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Ketuaan


a. Hereditas atau ketuaan genetic
b. Nutrisi atau makanan
c. Status kesehatan
d. Pengalaman hidup
e. Lingkungan
f. Stres

6. Perubahan – perubahan yang terjadi pada lansia


a. Perubahan Fisik
1) Sistem Indra
Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh
karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam,
terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang
tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60
tahun.
2) Sistem Intergumen
Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering dan
berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan
glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal
dengan liver spot.
3) Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia: Jaringan penghubung
(kolagen dan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi.. Kolagen
sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan
pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.
Kartilago: jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan
mengalami granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi rata.
Kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang
terjadi cenderung ke arah progresif, konsekuensinya kartilago pada
persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan. Tulang: berkurangnya
kepadatan tulang setelah diamati adalah bagian dari penuaan fisiologi,
sehingga akan mengakibatkan osteoporosis dan lebih lanjut akan
mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur. Otot: perubahan struktur
otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan jumlah dan ukuran
serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak
pada otot mengakibatkan efek negatif. Sendi; pada lansia, jaringan ikat
sekitar sendi seperti tendon, ligamen dan fasia mengalami penuaan
elastisitas.
4) Sistem kardiovaskuler
Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah massa
jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi sehingga
peregangan jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena perubahan
jaringan ikat. Perubahan ini disebabkan oleh penumpukan lipofusin,
klasifikasi SA Node dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan
ikat.
5) Sistem respirasi
Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas
total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk
mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke paru
berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak
mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan
peregangan toraks berkurang.
6) Pencernaan dan Metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan
produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata karena kehilangan
gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar menurun (kepekaan rasa lapar
menurun), liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat
penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah.
7) Sistem perkemihan
Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan. Banyak
fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi,
dan reabsorpsi oleh ginjal.
8) Sistem saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi yang
progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan
koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
9) Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovari
dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis masih dapat
memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur
b. Perubahan Kognitif
1) Memory (Daya ingat, Ingatan)
2) IQ (Intellegent Quotient)
3) Kemampuan Belajar (Learning)
4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)
6) Pengambilan Keputusan (Decision Making)
7) Kebijaksanaan (Wisdom)
8) Kinerja (Performance)
9) Motivasi
c. Perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :
1) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
2) Kesehatan umum
3) Tingkat pendidikan
4) Keturunan (hereditas)
5) Lingkungan
6) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.
8) Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan teman
dan keluarga.
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran
diri, perubahan konsep diri.
d. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.
Lansia semakin matang (mature) dalam kehidupan keagamaan, hal ini
terlihat dalam berfikir dan bertindak sehari-hari.
e. Perubahan Psikososial
1) Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal terutama
jika lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita penyakit
fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama
pendengaran.
2) Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan
kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh pada
lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan
kesehatan.
3) Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu
diikuti dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu
episode depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres
lingkungan dan menurunnya kemampuan adaptasi.
4) Gangguan cemas
Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas
umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif
kompulsif, gangguan- gangguan tersebut merupakan kelanjutan dari
dewasa muda dan berhubungan dengan sekunder akibat penyakit
medis, depresi, efek samping obat, atau gejala penghentian mendadak
dari suatu obat.
5) Parafrenia
Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham (curiga),
lansia sering merasa tetangganya mencuri barang-barangnya atau
berniat membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia yang
terisolasi/diisolasi atau menarik diri dari kegiatan sosial.
6) Sindroma Diogenes
Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku
sangat mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia
bermain-main dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang
dengan tidak teratur. Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut
dapat terulang kembali.

B. Teori Tekanan Darah


1. Definisi tekanan darah
Tekanan darah adalah tekanan saat darah melalui arteri. Dinyatakan
dalam satuan milimeter air raksa (mmHg). Tekanan darah sistolik angka atas
seperti dalam angka 120/80 mmHg mengidentifikasikan tekanan arteri ketika
jantung berdetak, saat jantung dalam kondisi istirahat (Kowaslki, 2010).
Tekanan darah merupakan salah satu tanda vital tubuh yang
menggambarkan dua variabel organ penting. yaitu jantung dan pembuluh
darah. Jantung yang berfungsi sebagai pompa yang menyuplai makanan dan
mengantarkan oksigen yang berada di dalam sel darah merah yang benkatan
dengan hemoglobin. Pembuluh darah berfüngsi sebagai saluran untuk
mengantarkan cairan darah yang terdiri dari sel darah (Muhammadun, 2010).
2. Faktor yang mempengaruhi nilai tekanan darah
Kozier dan Erb (2010), menyebutkan beberapa hal yang dapat
mempengaruhi tekanan darah, yaitu:
a. Usia
Tekanan sistolik dan diastolik meningkat secara bertahap sesuai usia
hingga dewasa. Pada orang lanjut usia, arterinya lebih keras dan kurang
fleksibel terhadap tekanan darah. Hal ini mengakibatkan peningkatan
tekanan sistolik. Tekanan diastolik juga meningkat karena dinding
pembuluh darah tidak lagi retraksi secara fleksibel pada penurunan
tekanan darah.
b. Olahraga
Aktivitas fisik mengakibatkan meningkatnya tekanan darah. Untuk
mendapatkan pengkajian yang dapat dipercaya dari tekanan darah saat
istirahat, tunggu 20-30 menit setelah olahraga.
c. Stres
Stimulasi sistem saraf simpatis meningkatnya curah jantung dan
vasokonstriksi arteriol sehingga meningkatkan nilai tekanan darah.
d. Ras
Pria Amerika Afrika berusia di atas 35 tabun memiliki tekanan darah
yang lebih tinggi dari pada pria Amerika Eropa dengan usia yang sama.
e. Obesitas
Obesitas pada masa anak-anak dan dewasa keduanya dapat
mempredisposisi hipertensi.
f. Variasi Diural
Tekanan darah biasanya berada pada titik terendah pada pagi hari. yakni
ketika laju metabolisme berada pada titik paling rendah, kemudian
meningkat sepanjang hari dan mencapai titik puncak pada sore hari atau
menjelang malam,
3. Pengukuran tekanan darah
Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara langsung ataupun
tidak menurut Kozier dan Erb (2010).
a. Pengukuran Langsung (Pengawasan Invasif)
Meliputi tindakan pemasangan kateter ke dałam arteri brakialis,
radialis, atau femoralis. Tekanan arteri digambarkan menyerupai bentuk
gelombang yang terlihat dałam oskilosko. Dengan penempatan yang
benar, hasil pengukuran dengan metode ini sangat akurat.
b. Pengukuran tidak langsung (Pengawasan Non-Invasif)
Pengukuran tekanan darah tidak langsung atau non-invasif adalah
metode ausultasi dan palpasi. Metode auskultasi paling sering digunakan
di rumah sakit, klinik dan di rumah. Peralatan yang dibutuhkan adalah
spigmomanometer, manset. dan stetoskop. Apabila dilakukan dengan
benar, metode auskultasi relatif akurat.
Ketika mengukur tekanan darah dengan menggunakan stetoskop,
perawat mengidentifikasi lima fase dałam rangkaian bunyi yang disebut
bunyi korotkoff. Pertama perawat memompa manset hingga 30 mmHg
di atas titik tempat denyut nadi tidak teraba lagi, yaitu titik ketika aliran
darah dałam arteri berhenti. Kemudian perawat melepaskan tekanan
secara perlahan (2-3 mmHg setiap bunyi) sambil mengamati ukuran
yang tampak pada manometer dan mengaitkannya dengan bunyi yang
terdengar melalui stetoskop. Terdapat lima fase. namun tidak semuanya
terdengar.
Melode palpasi terkadang digunakan ketika bunyi korotkoff tidak
terdengar dan peralatan elektronik untuk menjelaskan bunyi tidak
tersedia atau untuk mencegah kesalahan akibat adanya jeda auskultasi.
Jeda auskultasi (ausculatory gap), yang umumnya terjadi pada klien
hipertensi. adalah kondisi absesnya bunyi yang besifat sementara yang
umumnya terdegar pada arteri brankialis saat tekanan pada manset
tinggi, diikuti dengan kemunculan kembali bunyi ini biasanya terjadi
pada akir fase I dan fase 2 dan memiliki rentang 40 mmHg. Apabila
perkiraan tekanan sistolik dengan metode palpasi tidak dilakukan
sebelum auskultasi, perawat tidak menggunakan tekanan ringan hingga
sedang setelah tekanan pada manset dilepaskan. Tekanan akan terbaca
pada spigmomanometer ketika denyut yang pertama teraba.
4. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pengukuran tekanan darah
Kozier dan Erb (2010) menyebutkan bahwa beberapa rincian penting
harus diperhatikan agar pengkajian tekanan darah dapat benar-benar akurat.
a. Ukuran manset harus sesuai untuk pasien
b. Manset dipasang dengan benar pada lengan dan balon manset harus
berada di tengah di atas arteri brakialis
c. Lengan pasien harus setinggi jantung
d. Pencatatan awal harus dilakukan pada kedua lengan, pengukuran
selanjutnya dilakukan pada lengan yang tekanannya lebih tinggi
e. Posisi pasien dan letak pengukuran tekanan darah harus dicatat,
misalnya RA (Right Arm) untuk lengan kanan
f. Palpasi tekanan sistolik sebelum auskultasi dapat membantu mengetahui
dengan segera adanya gap auskulatori (penghilang bunyi sementara pada
saat auskultasi)
g. Pasien diminta tidak berbicara selama pengukuran tekanan darah karena
dapat meningkatkan frekuensi jantung.

C. Teori Hipertensi
1. Definisi Hipertensi
Menurut American Society of Hypertension (ASH) hipertensi adalah
sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif sebagai akibat
dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan. WHO menyatakan
hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama
dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg,
(JNC VII) berpendapat hipertensi adalah peningkatan tekanan darah diatas
140/90 mmHg, sedangkan menurut Brunner dan Suddarth hipertensi juga
diartikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan darahnya di atas
140/90 mmHg. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hipertensi
merupakan peningkatan tekanan darah sistolik yang persisten di atas 140
mmHg sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling
berhubungan.
Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang munculnya oleh
karena interaksi berbagai faktor. Dengan bertambahnya umur, maka tekanan
darah juga akan meningkat. Setelah umur 45 tahun, dinding arteri akan
mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada
lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan
menjadi kaku. Tekanan darah sistolik meningkat karena kelenturan pembuluh
darah besar yang berkurang pada penambahan umur sampai dekade ketujuh
sedangkan tekanan darah diastolik meningkat sampai dekade kelima dan
keenam kemudian menetap atau cenderung menurun. Peningkatan umur akan
menyebabkan beberapa perubahan fisiologis, pada usia lanjut terjadi
peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Pengaturan tekanan darah
yaitu reflex baroreseptor pada usia lanjut sensitivitasnya sudah berkurang,
sedangkan peran ginjal juga sudah berkurang dimana aliran darah ginjal dan
laju filtrasi glomerulus menurun.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi
Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik.
Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau peningkatan
tekanan perifer. Namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
hipertensi antara lain:
a. Genetik
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan
keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan
dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara
potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada
orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi.
b. Obesitas
Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada
kebanyakan kelompok etnik disemua umur. Menurut National Institutes for
Health USA (NIH,1998), prevalensi tekanan darah tinggi pada orang
dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah 38% untuk pria
dan 32% untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria
dan 17% untuk wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal
menurut standar internasional).
Menurut Hall (1994) perubahan fisiologis dapat menjelaskan hubungan
antara kelebihan berat badan dengan tekanan darah, yaitu terjadinya
resistensi insulin dan hiperinsulinemia, aktivasi saraf simpatis dan sistem
renin-angiotensin, dan perubahan fisik pada ginjal.
c. Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun
wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause salah
satunya adalah penyakit jantung koroner. Wanita yang belum mengalami
menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam
meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol
HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya
proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai
penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada
premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon
estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan.
Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah
kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya
mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.
d. Stres
Stres dapat meningkatkan tekanah darah sewaktu. Hormon adrenalin
akan meningkat sewaktu kita stres, dan itu bisa mengakibatkan jantung
memompa darah lebih cepat sehingga tekanan darah pun meningkat.
e. Kurang olahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak
menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan
perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih
otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan
pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu. Kurangnya
aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya
risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung
mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus
bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung
harus memompa semakin besar pula kekuatan yang mendesak arteri.
f. Pola asupan garam dalam diet
Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko
terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak
lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari.
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di
dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan
intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat.
Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan
meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya
hipertensi.

3. Patofisiologi Hipertensi
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total peripheral
resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang
tidak terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh
memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara
akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas
tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah
sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti reflex
kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia,
susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos.
Sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan
antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon
angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem poten dan
berlangsung dalam jangka panjang yang dipertahankan oleh sistem pengaturan
jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ.
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE).
ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah.
Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh
hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I.
Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi
angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam
menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH)
dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja
pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat
yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada
ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan
mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus
ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.
Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat hipertensi menurut
Elizabeth J. Corwin ialah bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah
mengalami hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat
berupa nyeri kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah
akibat peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur akibat
kerusakan retina, ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan
saraf, nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) karena peningkatan
aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen akibat peningkatan
tekanan kapiler. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke
atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis
sementara pada satu sisi atau hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan.
Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga
berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang- kunang.
4. Komplikasi Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit
jantung, gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit
ginjal. Tekanan darah yang tinggi umumnya meningkatkan resiko terjadinya
komplikasi tersebut. Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua
sistem organ dan akhirnya memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun.
Mortalitas pada pasien hipertensi lebih cepat apabila penyakitnya tidak
terkontrol dan telah menimbulkan komplikasi ke beberapa organ vital. Sebab
kematian yang sering terjadi adalah penyakit jantung dengan atau tanpa
disertai stroke dan gagal ginjal.
Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai
mata, ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan
penglihatan sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang
sering ditemukan pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard.
Pada otak sering terjadi stroke dimana terjadi perdarahan yang disebabkan
oleh pecahnya mikroaneurisma yang dapat mengakibakan kematian. Kelainan
lain yang dapat terjadi adalah proses tromboemboli dan serangan iskemia otak
sementara (Transient Ischemic Attack/TIA). Gagal ginjal sering dijumpai
sebagai komplikasi hipertensi yang lama dan pada proses akut seperti pada
hipertensi maligna.
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa
penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari
kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara
lain adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif.
Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas
terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target,
misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi
transforming growth factor-β (TGF-β).
a. Otak
Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan
oleh hipertensi. Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intra kranial yang
meninggi, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang
terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila
arteri-arteri yang mendarahi otakmengalami hipertropi atau penebalan,
sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya akan
berkurang. Arteri-arteri di otak yang mengalami arterosklerosis melemah
sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma.
Ensefalopati juga dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna atau
hipertensi dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan tersebut
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler, sehingga mendorong cairan
masuk ke dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Hal
tersebut menyebabkan neuron-neuron di sekitarnya kolap dan terjadi koma
bahkan kematian.
b. Kardiovaskular
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner mengalami
arterosklerosis atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran
darah yang melalui pembuluh darah tersebut, sehingga miokardium tidak
mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Kebutuhan oksigen miokardium
yang tidak terpenuhi menyebabkan terjadinya iskemia jantung, yang pada
akhirnya dapat menjadi infark.
c. Ginjal
Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan
glomerulus akan mengakibatkan darah mengalir ke unit-unit fungsional
ginjal, sehingga nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan
kematian ginjal. Kerusakan membran glomerulus juga akan menyebabkan
protein keluar melalui urin sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat
dari tekanan osmotik koloid plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama
terjadi pada hipertensi kronik.
d. Retinopati
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh
darah pada retina. Makin tinggi tekanan darah dan makin lama hipertensi
tersebut berlangsung, maka makin berat pula kerusakan yang dapat
ditimbulkan. Kelainan lain pada retina yang terjadi akibat tekanan darah
yang tinggi adalah iskemik optik neuropati atau kerusakan pada saraf mata
akibat aliran darah yang buruk, oklusi arteri dan vena retina akibat
penyumbatan aliran darah pada arteri dan vena retina. Penderita retinopati
hipertensif pada awalnya tidak menunjukkan gejala, yang pada akhirnya
dapat menjadi kebutaan pada stadium akhir.
Kerusakan yang lebih parah pada mata terjadi pada kondisi hipertensi
maligna, dimana tekanan darah meningkat secara tiba-tiba. Manifestasi
klinis akibat hipertensi maligna juga terjadi secara mendadak, antara lain
nyeri kepala, double vision, dim vision, dan sudden vision loss.

5. Penatalaksanaan Hipertensi
Penanganan hipertensi menurut JNC VII bertujuan untuk mengurangi
angka morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovakuler dan ginjal. Fokus
utama dalam penatalaksanaan hipertensi adalah pencapaian tekanan sistolik
target <140/90 mmHg. Pada pasien dengan hipertensi dan diabetes atau
panyakit ginjal, target tekanan darahnya adalah <130/80 mmHg. Pencapaian
tekanan darah target secara umum dapat dilakukan dengan dua cara sebagai
berikut:
a. Non Farmakologis
Terapi non farmakologis terdiri dari menghentikan kebiasaan
merokok, menurunkan berat badan berlebih, konsumsi alkohol berlebih,
asupan garam dan asupan lemak, latihan fisik serta meningkatkan konsumsi
buah dan sayur.
1) Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih
Peningkatan berat badan di usia dewasa sangat berpengaruh
terhadap tekanan darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat badan
sangat penting dalam prevensi dan kontrol hipertensi.
2) Meningkatkan aktifitas fisik
Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-
50% daripada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30-45
menit sebanyak >3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari
hipertensi.
3) Mengurangi asupan natrium
4) Menurunkan konsumsi kafein dan alcohol
Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga
mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara
konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko
hipertensi.
b. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC
VII yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron
antagonis, beta blocker, calcium chanel blocker atau calcium antagonist,
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor
Blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker (ARB) diuretik tiazid
(misalnya bendroflumetiazid). Adapun contoh-contoh obat anti hipertensi
antaralain yaitu:
1) Beta‐blocker, (misalnya propanolol, atenolol)
2) Penghambat angiotensin converting enzymes (misalnya captopril,
enalapril)
3) Antagonis angiotensin II (misalnya candesartan, losartan)
4) Calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan
5) Alpha‐blocker (misalnya doksasozin).
Yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan antihipertensi kerja
sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin, yang diindikasikan untuk
keadaan krisis hipertensi.
Penanganan menurunkan tekanan darah dapat memberikan penurunan
insidensi stroke dengan persentase sebesar 35-40%; infark mioakrd, 20-
25%; gagal jantung, lebih dari 50%. Diperkirakan bahwa pada pasien
dengan hipertensi stage 1 (Tekanan darah sistolik 140-159 mmHg dan
tekanan darah diastolik 90-99 mmHg) yang disertai dengan faktor resiko
penyakit kardiovaskuler, jika dapat menurunkan tekanan darahnya sebesar
12 mmHg selama 10 tahun akan mencegah 1 kematian dari setiap 11 pasien
yang diobati. Pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler atau kerusakan
organ, hanya 9 pasien yang diketahui melakukan pengontrolan tekanan
darah dalam mencegah kematian.
Target terapi pengontrolan tekanan darah ialah tekanan darah sistolik
(TDS) <140 mmHg, dan tekanan darah diastolik (TDD) <90 mmHg. Pada
pasien umunya, pengontrolan tekanan darah sistolik (TDS) merupakan hal
yang lebih penting hubungannya dengan faktor resiko kardiovaskuler
dibandingkan tekanan darah diastolik (TDD) kecuali pada pasien lebih
muda dari umur 50 tahun. Hal ini disebabkan oleh karena kesulitan
pengontrolan TDS umumnya terjadi pada pasien yang berumur lebih tua.
Percobaan klinik terbaru, memperlihatkan pengontrolan tekanan darah
efektif dapat ditemukan pada hampir semua pasien hipertensi, namun
kebanyakan mereka menggunakan dua atau lebih obat kombinasi. Namun
ketika dokter gagal dengan modifikasi gaya hidup, dengan dosis obat-obat
antihipertensi yang adekuat, atau dengan kombinasi obat yang sesuai, maka
akan menghasilkan pengontrolan tekanan darah yang tidak adekuat.

6. Pencegahan hipertensi
Pengobatan hipertensi memang penting tetapi tidak lengkap jika tanpa
dilakukan tindakan pencegahan untuk menurunkan faktor resiko penyakit
kardiovaskuler akibat hipertensi. Menurut Bustan MN (1995) dan Budistio
(2001), upaya pencegahan dan penanggulangan hipertensi didasarkan pada
perubahan pola makan dan gaya hidup. Upaya pencegahan yang dapat
dilakukan meliputi:
a. Perubahan pola makan
b. Pembatasan penggunaan garam hingga 4-6gr per hari, makanan yang
mengandung soda kue, bumbu penyedap dan pengawet makanan.
c. Mengurangi makanan yang mengandung kolesterol tinggi (jeroan, kuning
telur, cumi-cumi, kerang, kepiting, coklat, mentega, dan margarin).
d. Menghentikan kebiasaan merokok, minum alcohol
e. Olah raga teratur
f. Hindari stress

D. Teori Terapi Musik Klasik


1. Definisi terapi musik klasik
Terapi musik terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan “musik”.
Kata“terapi” berkaitan dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk
membantu atau menolong orang lain. Kata “musik” dalam terapi musik
digunakan untuk menjelaskan media yang digunakan secara khusus dalam
rangkaian terapi. Musik adalah terapi yang bersifat nonverbal. Dengan bantuan
musik pikiran klien dibiarkan mengembara, baik untuk mengenang hal-hal
yang membahagiakan, membayangkan ketakutan-ketakutan yang dirasakan,
mengangankan hal-hal yang diimpikan dan dicita-citakan, atau langsung
mencoba menguraikan permasalahan yang dihadapi (Djohan, 2006).
Jenis musik yang digunakan untuk terapi adalah musik klasik (Aditia,
2012, dalam Pratiwi, Desi Ratnasari, 2014). Musik klasik bermanfaat
membuat seseorang menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera,
melepas rasa gembira dan sedih, menurunkan tingkat stres, melepaskan rasa
sakit.

2. Unsur musik
Memahami pengaruh musik terhadap manusia dan untuk kemudian
melihat peranan musik dalam kehidupan manusia dapat diperoleh dari
pemahaman mengenai unsur-Unsur dari musik itu sendiri (Rahmawati, 2005).
a. Suara
Suara merupakan perubahan getaran udara (Djohan, 2006). Dalam
musik gelombang suara biasanya dibahas tidak dalam panjang
gelombangnya maupun periodenya, melainkan dalam frekuensinya.
Aspek-aspek dasar suara dalam musik dijelaskan dalam tala (tinggi nada),
durasi (beberapa lama suara ada), intensitas dan timbre (warna bunyi).

b. Nada
Pembagian suara ke dalam frekuensi tertentu disebut dengan nada.
Suara dapat dibagi-bagi ke dalam nada yang memilik tinggi nada tertentu
menurut frekuensinya ataupun jarak relatif tinggi nada tersebut.
c. Ritme atau Irama
Ritme adalah pengaturan bunyi dalam waktu. Irama merupakan
pembagian kelompok ketukan dalam waktu. Tanda irama menunjukkan
jumlah ketukan dalam birama dan not mana yang dihitung dan dianggap
sebagai ketukan.Irama adalah suatu ketertiban terhadap gerakan melodi
dan harmonis atausuatu ketertiban terhadap tinggi rendahnya nada – nada
(Rahmawati, 2005).
d. Melodi
Melodi adalah serangkaian nada dalam waktu. Rangkaian tersebut
dapat dibunyikan sendiri yaitu tanpa iringan atau dapat merupakan bagian
dari rangkaian akord dalam waktu.

3. Tujuan diberikan terapi musik


Terapi musik akan memberi makna yang berbeda bagi setiap orang namun
semua terapi mempunyai tujuan yang sama yaitu:
a. Membantu mengekspresikan perasaan
b. Membantu rehabilitasi fisik
c. Memberikan pengaruh positif terhadap kondisi suasana hati dan emosi
d. Meningkatkan memori
e. Menyediakan kesempatan unik untuk berinteraksi dan membangun
kedekatan emosional.
f. Membantu mengurangi stres, mencegah penyakit dan meringankan rasa
sakit.

4. Manfaat terapi musik


a. Musik menutupi bunyi atau perasaan yang tidak menyenangkan.
b. Musik dapat memperlambat atau menyeimbangkan gelombang otak.
c. Musik mempengaruhi pernafasan.
d. Musik mempengaruhi denyut jantung, denyut nadi, dan tekanan darah.
e. Musik mengurangi ketegangan otot dan memperbaiki gerak dan koordinasi
tubuh.
f. Musik mempengaruhi suhu badan.
g. Musik dapat menaikan tingkat endofrin (zat candu otak yang dapat
mengurangi rasa sakit dan menimbulkan fly alamiah).
h. Musik dapat mengatur hormonal.

5. Pengaruh musik klasik pada otak


Musik memiliki kekuatan untuk mengobati penyakit dan meningkatkan
kemampuan pikiran seseorang. Musik dapat meningkatkan, memulihkan, dan
memelihara kesehatan fisik, mental, emosional, social, dan spiritual. Musik
memiliki pengaruh besar terhadap pikiran. Hal ini tersebut terbukti dari efek
yang tercipta dari musik tersebut, ada musik membuat gembira, sedih, terharu,
terasa sunyi, mengingat masa lalu, meningkatkan konsentrasi, dan lain-lain.
Musik memiliki 3 bagian yang penting, yaitu bit (beat), ritme, dan harmonis.
Bit dapat mempengaruhi roh. Setiap musik yang kita dengarkan walaupun hal
tersebut tidak sengaja didengarkan, akan berpengaruh pada otak. Terdapat 3
sistem syaraf yaitu sebagian berikut (Yanuarita, 2012) :
a. Sistem otak yang memproses perasaan
Musik adalah bahasa jiwa yang mampu membawaa perasaan kearah
mana saja. Musik yang didengarkan akan merangsang system syaraf,
sehingga menghasilkan perasaan.
b. Sistem otak kognitif
Aktivasi system ini bisa terjadi walaupun seseorang tidak
mendengarkan atau memperhatikan musik yang sedang diputar. Musik
akan merangsang system ini secara otomatis walau tanpa disimak atau
memperhatikan. Jika system ini dirangsang maka seseorang dapat
meningkatkan memori, daya ingat, konsentrasi, kemampuan belajar,
kemampuan matematika, analisis, logika, intelegensi, kemampuan
memilah disamping itu juga adanya perasaan bahagia dan timbulnya
keseimbangan social.
c. Sistem otak yang mengontrol kerja otak
Secara langsung dalam mempengaruhi otak detak jantung dan
pernafasan bisa melambat tergantung alunan musik didengarkan. Berbagai
penelitian yang dilakukan para ahli telah membuktikan bahwa musik
dapat mempengaruhi dalalm mengembangkan imajinasi dan pikiran
kreatif.

Anda mungkin juga menyukai