Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

SISTEM IMUNITAS PADA TUBUH MANUSIA

Dosen Pengajar:

Ibu Idawati Manurung, SKp., M.Kes.

Disusun Oleh:

Kelompok 1

1. Lataniya Auliya Rizky 1914301051


2. Yeni Nur Jamil Azizah 1914301052
3. Shintia Lega Utami 1914301053

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG
JURUSAN KEPERAWATAN TANJUNGKARANG
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan seluruh alam semesta, atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami sebagai penyusun makalah yang berjudul “SISTEM IMUNITAS PADA
TUBUH MANUSIA” dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Di dalam pembuatan makalah ini selain berkat bantuan dan tuntunan Allah Swt, tetapi juga
bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah
ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat dengan mudah dimengerti,
dapat menjadi sarana memperoleh ilmu serta mampu memberikan manfaat bagi para
pembacanya. Kami juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam makalah ini
terdapat banyak kesalahan serta perkataan yang tidak berkenan di hati.

Bandar Lampung, 4 Februari 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata pengantar.......................................................................................................ii
Daftar isi ..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................1
1.3 Tujuan.........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Darah.....................................................................................2
2.2 Pengertian Imunologi..............................................................................9
2.3 Jenis-jenis kekebalan tubuh.....................................................................9
2.4 Antigen dan antibody.............................................................................12
2.5 Mengenal CD4 dan perannya dalam system imun................................15
2.6 CD4 dan kaitannya dengan HIV/AIDS.................................................15
2.7 Proses Terjadinya Imunodefisiensi pada HIV.......................................16
2.8 Kontrol sistem imun pada replikasi virus..............................................17
2.9 Hilangnya Kontrol Sistem Imun Pada Infeksi HIV...............................18

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan..........................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari respon imun terhadap benda asing dan
bagaimana respon yang digunakan untuk melawan infeksi, termasuk perbedaan self
dan nonself dan semua aspek biologi, kimia, dan fisik sistem imun (Prescott, 2002).
Sistem kekebalan atau sistem imun terdiri atas sel, jaringan, dan organ, yang
mengenal benda asing dan mikroorganisme serta bekerja menetralisir atau
menghancurkannya. Imunitas (latin immunis) merujuk kemampuan umum host
untuk bertahan terhadap infeksi atau penyakit tertentu.
HIV (Human immunodeficiency virus) adalah virus RNA yang tergolong dalam
famili Retroviridae, sub famili Lentivirinae. Virus ini merupakan penyebab AIDS
(Acquired immunodeficiency syndrome), yang dapat menimbulkan penurunan
sistem imunitas tubuh secara menyeluruh (Connor & Ho, 1992; Barker & Barnett,
1995).
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan imunilogi?
2. Apa saja jenis-jenis kekebalan tubuh?
3. Apa yang dimaksud dengan antigen dan antibody?
4. Apa yang dimaksud CD4 dan apa perannya dalam system imun?
5. Apa kaitannya CD4 dengan HIV/AIDS?
6. Bagaimana proses terjadinya imunodefisiensi pada HIV?
7. Bagaimana mengontrol system imun pada replikasi virus?
8. Bagaimana hilangnya kontrol sistem imun pada infeksi HIV?
1.3. Tujuan
1. Mahasiswa memahami materi sistem imunitas pada manusia
2. Mahasiswa memahami jenis-jenis kekebalan tubuh
3. Mahasiswa memahami apa itu antigen dan antibody
4. Mahasiswa memahami apa itu CD4 dan perannya dalam system imun
5. Mahasiswa memahami kaitannya CD4 dengan HIV/AIDS
6. Mahasiswa memahami proses terjadinya imunodefisiensi pada HIV
7. Mahasiswa memahami cara kontrol system imun pada replikasi virus
8. Mahasiswa memahami bagaimana hilangnya kontrol system imun pada infeksi
HIV?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Darah


Darah adalah jaringan cair yang terdsiri darai dua bagian, yakni bahan interseluler dan
sejumlah bahan organik. Volume dari darah secara keseluruhan sekitar satu perdua
belas dari berat badan atu lima liter, 55 persennya adalah cairan, sedangkan sisanya
adalah sel darah. Plasma darah terdiri dari :
a. Air : 91 %
b. Protein : 8 % (albumin, globulin, protrombin, dan fibrinogen)
c. Mineral : 0,9 % (natrium khlorida, natrium bikarbonat, garam dari kalsium,
fosfor, magnesium dan besi)
d. Gas (Oksigen dan Karbondioksida)
e. Hormon-hormon
f. Enzim dan Antigen
g. Sejumlah bahan organic (glucose, lemak, urea, asam urat, kreatinin,
cholesterol dan asam amino).

Volume darah konstan jika tubuh dakam keadaan sehat da diatur oleh tekanan osmotic
dalam pembuluh darah dan dalam jaringan sampai batas tertentu.
Sel darah terdiri dari tiga jenis yakni sel darah merah, sel darah putih dan butir
pembeku. Jumlah normal darah atau jumlah sel setiap milimeter kubikdarah adalah
kira-kira :
Sel Darah Merah 4.500.000 sampai 5.500.000 Rata-rata 5.000.000
Sel Darah Putuh 6.000 sampai 10.000 Rata-rata 8.000

2.1.1 Fungsi Darah


Darah dalam tubuh mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :
1. Bekerja sebagai sistem transport dari tubuh, mengantarkan semua bahan
kimia, oksigen da nzat makanan yang diperlukan untuk tubuh supaya fingsi
normalnya dapat dijalankan, dan menyingkirkan karbon dioksida dan hasil
buangan yang lain.

2
2. Sel darah merah mengantarkan oksigen ke jaringan dan menyingkirkan
sebagian dari karbod dioksida.
3. Sel darah putih menyediakan banyak bahan pelindung dan karena berakan
fagisitosis dari bebrapa sel maka melndungi tubuh terhadap serangan bakteri.
4. Plasma membagi protein yang diperlukan untuk pembentukan jaringan :
menyegarkan cairan jaringan karena melalui cairan ini semua sel
tubuhmenerima makanannya. Merupakan kendaraan untuk mengangkut bahan
buangan ke berbagai organ exkretorik untuk dibuang.
5. Hormon dan enzim diantarkan dari organ ke organ dengan perantaraan darah.
Semua jaringan memerlukan persediaan darah yang memadai, yang
tergantung pada tekanan darah arteri normal yang dipertahankan. Dalam
keadaan duduk atau berdiri, darah yang menuju ke otak harus dipompa ke atas,
namun dalam keadaan keadaan rebahan tekanan darah adalah normal. Bila
otak tidak menerima darah selama lebih dari 3 sampai 4 menit, maka akan
terjadi perubahan-perubahan yang tidak dapat pulih kembali dan beberapa sel
otak akan mati.

2.1.2 Susunan Sel Darah


Sel darah terdiri atas tiga jenis yakni sebagai berikut :
a. Sel Darah Merah atau Eritrosit

Berupa cakram kecil bikonkaf, cekung pada kedua sisinya, nampak seperti dua
buah bulan sabit yang saling bertolak belakang jika dilihat dari samping.
Berwarna kuning tua pucat jika dilihat satu per satu, namun berwarna merah
jika dilihat dalam jumlah besar dan inilah yang memberi warna merah pada
darah strukturnya terdiri atas pembungkus luar atau stroma, berisi massa
hemoglobin. Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Jmlah
hemoglobin dalam sel darah merah adalah kira-kira 15 gram setisp 100 ml
darah.
Sel darah merah dibentuk alam sum-sum tulang terutama dai tulang pendek,
pipih dan tak beraturan dari jaringan konselus pada ujung pipa dan sumsum
dalam batang iga-iga dan dari sternum. Perkembangan sel darah merah dalam
sumsum tulang melalui berbagai tahap yakni :
1. Mula-mula besar dan berisi nucleus tetapi tidak ada hemoglobin.

3
2. Mulai diiisi oleh hemoglobin.
3. Kehilangan nukleusnya dan baru diedarkan ke dalam sirkulasi darah.
Rata-rata panjang hidup darah merah kira-kira 115 hari. Sel menjadi usang
dan dihancurkan dalam sistema retikulo-endotelial, terutama dalam limpa
dan hati bila terjadi pendarahan maka sel darah merah dan hemoglobinnya
sebagai pembawa oksigen akan hilang.
b. Sel Darah Putih atau Lekosit

Bentuknya lebih besar daripada sel darah merah, nam,un jumlahnya lebih
sedikit daripada sel darah merah. Rupanya bening dan tidak berwarna.
Terdapat 6.000 sampai 10.000 (rata-rata 8.000) sel darah putih dalam setiap
millimeter.hampir 70 persen dari jumlah sel darah pitih merupakan granulosit
atau sel polimorfonuklear. Terbentuk dalam sumsum merah tulang. Sel ini
berisi sebuah nucleus yang berbelah banyak dan protoplasmanya berbulur,
karena inilah disebut sel berbulir atau granulosit. Sel darah putih dikenal
menurut sifatnya dalam pewarnaan yakni :
1. Sel netrofil
Paling banyak dijumpai. Sel golongan inimewarnai dirinya dengan
pewarna netral, atau campuran pewarna asam dan basa, dan tampak
berwarna ungu.
2. Sel eonisofil
Hanya sedikit dijumpai. Sel ini menyerap pewarna yang bersifat asam
(eosin) dan kelihatan merah.
3. Sel basofil
Menyerap pewarna basa dan menjadi biru.
4. Limfosit
Membentuk 25 persen dari seluruh jumlah sel darah putih sel ini tidak
memiliki gerak seperti amuba. Sel ini dibagi lagi dalam bentuk sel besar
dan kecil.
Dengan kekuatan amubodinya sel darah putih dapat bergerak bebas di dalam dan
dapat keluar pembuluh darah dan berjalan mengitari seluruh tubuh, sehingga
dengan cara ini sel darah putih dapat :
1. Menge
pung daerah yang terkena infeksi atau cidera.

4
2. Menan
gkap organisme hidup dan menghancurkannya.
3. Menyi
ngkirkan bahan lain seperti kotoran-kotoran, serpihan kayu, benang jahitan
(catgut) dsb dengan cara yang sama.
4. Sebaga
i tambahan granulosit memiliki enzim yang dapat memecah protein yang
memungkinkan merusak jaringan hidup, menghancurkan dan membuangnya.
5. Denga
n cara ini jaringan yang sakit atau terluka dapat dibuang dan penyembuhan
dimungkinkan.

Jenis-jenis Lekosit
Lekosit memiliki beberapa macam jenis sel yang dapat di identifikasi secara
mikroskopik berdasarkan urutan, bentuk inti (nucleus), dan granula dalam
sitoplasma. Berdasarkan terdapatnya butiran atau granula dalam
sitoplasmanya, lekosit terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Granulosit
Granulosit, yaitu lekosit yang di tandai dengan kehadiran butiran dalam
sitoplasma bila di lihat dengan mikroskop cahaya. Ada tiga jenis
granulosit, yaitu eosinofil, basofil, dan netrofil, yang di namai sesuai
dengan sifat pewarnaan.

a. Eosinofil
Eosinofil adalah sel darah putih dari kategori granulosit yang berperan
dalam sistem kekebalan dengan melawan parasit multiselular dan
beberap infeksi pada makhluk vertebrata. Bersama-sama dengan sel
biang, eosinofil juga ikut mengendalikan mekanisme alergi. Eosinofil
terbentuk pada proses haematopoiesis yang terjadi pada sumsum tulang
sebelum bermigrasi ke dalam sirkulasi darah.
Eosinofil mengandung sejumlah zat kimiawi antara lain histamin,
eosinofil peroksidase, ribonuklease, deoksiribonuklease, lipase,
[[plasminogen] dan beberapa asam amino yang dirilis melalui proses
degranulasi setelah eosinofil teraktivasi. Zat-zat ini bersifat toksin

5
terhadap parasit dan jaringan tubuh. Eosinofil merupakan sel substrat
peradangan dalam reaksi alergi. Aktivasi dan pelepasan racun oleh
eosinofil diatur dengan ketat untuk mencegah penghancuran jaringan
yang tidak diperlukan. Individu normal mempunyai rasio eosinofil
sekitar 1 hingga 6% terhadap sel darah putih dengan ukuran sekitar 12
– 17 mikrometer.
Eosinofil dapat ditemukan pada medulla oblongata dan sambungan
antara korteks otak besar dan timus, dan di dalam saluran pencernaan,
ovarium, uterus, limpa dan lymph nodes. Tetapi tidak dijumpai di paru,
kulit, esofagus dan organ dalam lainnya, pada kondisi normal,
keberadaan eosinofil pada area ini sering merupakan pertanda adanya
suatu penyakit. Eosinofil dapat bertahan dalam sirkulasi darah selama
8-12 jam, dan bertahan lebih lama sekitar 8-12 hari di dalam jaringan
apabila tidak terdapat stimulasi.

b. Basofil
Basofil adalah granulosit dengan populasi paling minim, yaitu sekitar
0,01 – 0,3% dari sirkulasi sel darah putih. Basofil mengandung banyak
granula sitoplasmik dengan dua lobus. Seperti granulosit lain, basofil
dapat tertarik keluar menuju jaringan tubuh dalam kondisi tertentu.
Saat teraktivasi, basofil mengeluarkan antara lain histamin, heparin,
kondroitin, elastase dan lisofosfolipase, leukotriena dan beberapa
macam sitokina. Basofil memainkan peran dalam reaksi alergi (seperti
asma).

c. Neutrofil
Neutrofil adalah bagian sel darah putih dari kelompok granulosit.
Bersama dengan dua sel granulosit lain: eosinofil dan basofil yang
mempunyai granula pada sitoplasma, disebut juga polymorphonuclear
karena bentuk inti sel mereka yang aneh. Granula neutrofil berwarna
merah kebiruan dengan 3 inti sel.
Neutrofil berhubungan dengan pertahanan tubuh terhadap infeksi
bakteri dan proses peradangan kecil lainnya, serta menjadi sel yang
pertama hadir ketika terjadi infeksi di suatu tempat. Dengan sifat

6
fagositik yang mirip dengan makrofaga, neutrofil menyerang patogen
dengan serangan respiratori menggunakan berbagai macam substansi
beracun yang mengandung bahan pengoksidasi kuat, termasuk
hidrogen peroksida, oksigen radikal bebas, dan hipoklorit.

Rasio sel darah putih dari neutrofil umumnya mencapai 50-60%.


Sumsum tulang normal orang dewasa memproduksi setidaknya 100
miliar neutrofil sehari, dan meningkat menjadi sepuluh kali lipatnya
juga terjadi inflamasi akut.

Setelah lepas dari sumsum tulang, neutrofil akan mengalami 6 tahap


morfologis: mielocit, metamielocit, neutrofil non segmen (band),
neutrofil segmen. Neutrofil segmen merupakan sel aktif dengan
kapasitas penuh, yang mengandung granula sitoplasmik (primer atau
azurofil, sekunder, atau spesifik) dan inti sel berongga yang kaya
kromatin. Sel neutrofil yang rusak terlihat sebagai nanah.

2. Agranulosit
Agranulosit ditandai dengan ketiadaan jelas butiran dalam sitoplasmanya.
Agranulosit terbagi atas dua, yaitu limfosit dan monosit.

a. Limfosit
Limfosit adalah sejenis sel darah putih pada sistem kekebalan makhluk
vertebrata. Ada dua kategori besar limfosit, limfosit berbutiran besar
(large granular lymphocytes) dan limfosit kecil. Limfosit memiliki
peranan penting dan terpadu dalam sistem pertahanan tubuh.
Limfosit dibuat di sumsum tulang hati (pada fetus) dengan bentuk awal
yang sama tetapi kemudian berdiferensiasi. Limfosit dapat menghasilkan
antibodi pada anak-anak dan akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia.

b. Monosit

7
Monosit (bahasa Inggris: monocyte, mononuclear) adalah kelompok
darah putih yang menjadi bagian dari sistem kekebalan. Monosit dapat
dikenali dari warna inti selnya.
Pada saat terjadi peradangan, monosit :
1)     Bermigrasi menuju lokasi infeksi;
2)     Mengganti sel makrofaga dan DC yang rusak atau bermigrasi,
dengan membelah diri atau berubah menjadi salah satu sel tersebut.

Monosit diproduksi di dalam sumsum tulang dari sel punca


haematopoetik yang disebut monoblas. Setengah jumlah produksi
tersimpan di dalam limpa pada bagian pulpa. Monosit tersirkulasi dalam
peredaran darah dengan rasio plasma 3-5% selama satu hingga tiga hari,
kemudian bermigrasi ke seluruh jaringan tubuh. Sesampai di jaringan,
monosit akan menjadi matang dan terdiferensiasi menjadi beberapa jenis
makrofaga, sel dendritik dan osteoklas.

Umumnya terdapat dua pengelompokan makrofaga berdasarkan aktivasi


monosit, yaitu makrofaga hasil aktivasi hormon M-CSF dan hormon GM-
CSF. Makrofaga M-CSF mempunyai sitoplasma yang lebih besar,
kapasitas fagositosis yang lebih tinggi dan lebih tahan terhadap infeksi
virus stomatitis vesikular. Kebalikannya, makrofaga GM-CSF lebih
bersifat sitotoksik terhadap sel yang tahan terhadap sitokina jenis TNF,
mempunyai ekspresi MHC kelas II lebih banyak, dan sekresi PGE yang
lebih banyak dan teratur. Setelah itu, turunan jenis makrofaga akan
ditentukan lebih lanjut oleh stimulan lain seperti jenis hormon dari kelas
interferon dan kelas TNF. Stimulasi hormon sitokina jenis GM-CSF dan
IL-4 akan mengaktivasi monosit dan makrofaga untuk menjadi sel
dendritik.

c. Butir Pembeku atau Trombosit

Sel kecil kira-kira sepertiga ukuran sel darah merah. Terdapat 300.000
trombosit dalam setiap millimeter kubik darah. Peranannya penting dalam
penggumpalan darah. Penggumpalan (koagulasi) darah dipercepat oleh :

8
1. Panas yang sedikit lebih tinggi dari suhu badan.
2. Kontak dengan bahan kasar seperti pinggiran yang kasar dari
pembuluh darah yang rusak.
Penggumpalan (koagulasi) darah dipercepat oleh :
1. Dingin.
2. Kalau disimpan dalam tabung berlapis lilin di sebelah dalamnya,
sebab darah memerlukan kontak dengan permukaan yang dapat
menjadi basah oleh air sebelum dapat bergumpal, sedangkan paraffin
tidak memiliki permukaanyang dapat basah oleh air.
3. Dengan ditambah kalium sitrat atau natrium sitrat yang
menyingkirkan garam kalsium yang dalam keadaan normal ada.

2.2 Pengertian Imunologi


Sistem kekebalan atau sistem imun terdiri atas sel, jaringan, dan organ, yang mengenal
benda asing dan mikroorganisme serta bekerja menetralisir atau menghancurkannya.
Imunitas (latin immunis) merujuk kemampuan umum host untuk bertahan terhadap
infeksi atau penyakit tertentu. Imunologi adalah ilmu yang mempelajari respon imun
terhadap benda asing dan bagaimana respon yang digunakan untuk melawan infeksi,
termasuk perbedaan self dan nonself dan semua aspek biologi, kimia, dan fisik sistem
imun (Prescott, 2002). Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perlindungan
dari makromolekul asing atau organisme penyerang dan respons terhadapnya (Gene
Mayer, 2010). Selain itu, kita mengembangkan respon kekebalan terhadap protein kita
sendiri (dan molekul lainnya) pada autoimunitas dan melawan sel-sel kita sendiri yang
menyimpang pada imunitas tumor.

2.3 Jenis-jenis Kekebalan Tubuh


Sistem kekebalan tubuh terdiri atas dua subdivisi utama, yaitu:
1. Sistem pertahanan tubuh alamiah atau nonspesifik (innat immunity system)
Sistem kekebalan tubuh alamiah ini dibawa sejak lahir merupakan garis pertahanan
pertama terhadap invasi mikroorganisme dan mempunyai kemampuan untuk segera
mengenal mikroorganisme tertentu dan menghancurkannya. Selain itu, sistem
kekebalan tubuh bawaan juga memiliki fitur anatomis yang berfungsi sebagai
penghalang terhadap infeksi.
2. Sistem pertahanan tubuh yang adaptif/didapat (adaptive immune system)

9
spesific immunity Sistem kekebalan adaptif bertindak sebagai garis pertahanan kedua
melawan benda asing, seperti bakteri, virus, toksin, dan juga memberi perlindungan
terhadap paparan kembali patogen yang sama. Bahan yang dikenal sebagai benda
asing dan memprovokasi respon imun disebut antigen. Antigen menyebabkan sel
spesifik untuk memproduksi protein yang disebut antibodi. Pada sistem pertahanan
tubuh ini antibodi memegang peranan utama.
Setiap subdivisi utama sistem kekebalan tubuh memiliki komponen seluler maupun
humoral di mana mereka melaksanakan fungsi pelindung. Meskipun kedua jenis dari
sistem kekebalan tubuh memiliki fungsi yang berbeda, ada interaksi antara sistem ini
(yaitu komponen bawaan pengaruhi sistem kekebalan sistem imun adaptif, dan
sebaliknya).
3. Kekebalan tubuh alamiah (Innate/Non-SpecificImmunity)
Sistem pertahanan tubuh alamiah ini melawan masuknya agen yang tidak dikehendai
untuk semua agen. Ada 4 katagori imununitas bawaan (non-spesifik), yaitu: barier
fisik/anatomis, barier kimia, barier seluler, dan diferensiasi spesifik.
a. Barier anatomi terhadap infeksi
1) Barier fisik/mekanik
Struktur epitel permukaan kulit dan lapisan epitel internal, membentuk barier
fisik yang sangat kedap terhadap agen yang infeksius. Dengan demikian, kulit
bertindak sebagai garis pertama pertahanan terhadap invasi organisme.
Deskuamasi epitel kulit juga membantu menghilangkan bakteri dan agen
infeksi lainnya yang menempel pada permukaan epitel. Di samping itu, ketika
mikroorganisme patogenik masuk ke jaringan bawah kulit, akan dikonter
seperangkat sel khusus yang disebut skin-associated lymphoid tissue (SALT).
Fungsi utama SALT adalah membatasi mikroba penginvasi dan mencegah
masuk ke pembuluh darah.
2). Barrier kimia
Barier atau hambatan kimia meliputi: asam lemak dalam keringat menghambat
pertumbuhan bakteri. Lisozim dan fosfolipase ditemukan pada air mata, air
liur, dan sekresi hidung dapat merusak dinding sel bakteri dan mengacaukan
membran bakteri. pH rendah dari keringat dan sekresi lambung mencegah
pertumbuhan bakteri. Defensin (protein berat molekul rendah) ditemukan di
paru-paru dan saluran pencernaan memiliki aktivitas antimikroba. Surfaktan

10
dalam paru-paru bertindak sebagai opsonins (zat yang meningkatkan
fagositosis partikel oleh sel fagosit).
3). Barrier seluler terhadap infeksi
Sel-sel ini yang merusak dan menelan beberapa benda asing yang tidak
dikehendaki yang masuk ke dalam tubuh. Sel-sel fagosit masuk dalam
katagori ini. Bagian dari respon inflamasi adalah perekrutan eosinophiles
PMN dan makrofag ke area infeksi. Sel-sel ini merupakan garis pertahanan
utama dalam sistem kekebalan tubuh nonspesifik.

b. Barier humoral terhadap infeksi


Barier anatomi sangat efektif dalam mencegah kolonisasi jaringan oleh
mikroorganisme. Namun, ketika ada kerusakan jaringan barier anatomi rusak dan
infeksi dapat terjadi. Setelah agen infeksi menembus jaringan, mekanisme
pertahanan bawaan lain ikut bermain, yaitu peradangan akut.
4. Sistem kekebalan spesifik
Vertebrata memiliki tiga fungsi utama, yakni mengenal sesuatu yang asing bagi
tubuh (nonself), merespon benda asing, dan mengingat penginvasi asing. Respons
pengenalan sangat spesifik, mampu membedakan satu patogen dengan lainnya,
mengidentifikasi sel kanker, dan mengenal protein serta sel tubuh sendiri juga
perbedaan protein nonself, sel, jaringan dan organ.
Sistem pertahanan spesifik (specific immunity) melibatkan beberapa sel plasma
darah dan system limfatic yang disebut limfosit (satu jenis leukosit atau sel darah
putih) yang secara genetik dipicu untuk merespon antigen khusus.
A. Sel B dan Antibodi
Sel limfosit B diaktifkan dengan kontak dengan antigen yang mana mereka
mempunyai kekhususan. Biasanya satu sel B diaktifkan dengan cara ini, dan
akan didapatkan pembelahan sel sampai ribuan, semua aktif melawan satu
antigen spesifik yang sama. Aktivasi pada sel limfosit B mengakibatkan sel B
dikonversi menjadi sel-sel plasma, yang selanjutnya memulai melepaskan
protein yang disebut antibodi. Antibodi-antibodi ini membawa spesifikasi yang
sama seperti sel B induk dan diaktifkan sel plasma. Jenis reaksi imun ini disebut
humoral immunity. Dengan mengikat antigen, antibodi memberikan fungsi luas
yang berharga, yang penting dalam melawan antigen.
Antibodi melakukan beberapa fungsi melawan antigen berikut:

11
a. Mereka yang mengirim beberapa antigen berbahaya, khususnya virus dan
beberapa protozoa.
b. Menetralisir beberapa toksin, contohnya, toksin tetanus yang dilepaskan oleh
bakteri clostridium.
c. Mencegah adesi beberapa organisme, dan selanjutnya mencegah invasi
jaringan
d. Mampu mengimobilisasi antigen tertentu, khususnya bakteri yang
meggunakan flagela untuk bergerak
e. Mengaktifkan sistem komplemen
f. Membentuk kompleks dengan antigen, dan komplek ini menjadi target untuk
fagositosis.
B. Sel T
Ada dua turunan utama sel T yang dikembangkan dalam kelenjar thymus, sel T
helper (Th), dan sel T cytotoxic (Tc).
a. Sel Th (T helper cell)
ada dua bentuk utama yaitu Th1 yang menghasilkan sitokin (cytokine) yang
penting untuk membunuh organisme intraseluler dan untuk menggerakkan Tc
cell, dan Th2 yang juga menghasilkan sitokin yang penting untuk multiplikasi
sel B (Blow, 2005).
b. Sel T sitotoksik (Tc)
adalah sel yang secara aktual membunuh antigen, dengan mengembangkan
kontak khusus dengan antigen yang diikuti dengan perusakan mematikan
membran antigen.

Sel T menghasilkan protein yang disebut perforin yang disimpan pada granule
dalam sitoplasma. Sekali kontak dengan antigen, proforin yang dilepaskan dari
granular, proforin tergabung pada membran antigen, membentuk lubang,
merusak membrane, dan kematian antigen. Sel B dan sel T limfosit
menghasilkan sel memori ketika diaktifkan terpapar dengan antigen. Sel
memori dihasilkan setelah kontak pertama kali dengan antigen menetap dalam
sirkulasi dan sistem limfatik dan memberikan pertahanan yang cepat dan lebih
kuat beberapa antigen yang sama pada paparan yang kedua. Sel-sel T memori
dengan cepat mengkonversi ke sel plasma dengan cepat dan mensekresi

12
antibodi ketika dihadapkan pada paparan kedua atau berantai pada antigen
spesifik.

2.4 Antigen dan Antibodi


Antigen merupakan zat yang merangsang respons imunitas, terutama dalam
menghasilkan antibodi. Antibodi yang dihasilkan berupa zat molekul besar seperti
protein dan polisakarida, contohnya permukaan bakteri. Antigen dapat berupa bakteri,
virus, protein, karbohidrat, sel-sel kanker, atau racun. Bagian-bagian antigen
Antigen memiliki 2 bagian yang harus kamu ketahui. Kedua bagian tersebut adalah
epitop dan hapten.
1. Determinan antigen (epitop)
Epitop merupakan bagian antigen yang dapat membangkitkan respons imunitas,
atau dengan kata lain, dapat menginduksi pembentukan antibodi. Satu antigen
tersusun dari 2 atau lebih molekul epitop.
2. Hapten
Hapten adalah molekul kecil yang hanya bisa menginduksi produksi antibodi jika
bergabung dengan carrier yang bermolekul besar. Oleh karena itu, hapten
memiliki sifat imunogenik. Hapten dapat berupa obat, antibiotik, dan kosmetik.
Antibodi atau imunoglobulin adalah protein larut yang dihasilkan oleh sistem
imunitas sebagai respons terhadap keberadaan suatu antigen dan akan bereaksi dengan
antigen tersebut. Ada lima kelas imunoglobulin
1. IgG
IgG berjumlah paling banyak (80%) dan akan lebih besar pada kontak ke 2, 3, dan
seterusnya. IgG dapat menembus plasenta dan memberikan imunitas pada bayi.
Selain itu, IgG juga merupakan pelindung terhadap mikroorganisme dan toksin,
dapat mengaktivasi komplemen, dan dapat meningkatkan efektivitas sel fagositik.
2. IgA
Berjumlah 15%, IgA dapat ditemukan pada zat sekresi seperti keringat, ludah, air
mata, ASI, dan sekresi usus. IgA berfungsi untuk melawan mikroorganisme yang
masuk ke dalam tubuh.
3. IgM
IgM adalah antibodi yang pertama kali tiba di lokasi infeksi, menetap di pembuluh
darah dan tidak masuk ke jaringan. IgM berumur pendek dan berfungsi untuk
mengaktivitasi komplemen dan memperbanyak fagositosis.

13
4. IgD
IgD memiliki fungsi memicu respons imunitas dan banyak ditemukan di limfosit
B. Meskipun demikian, IgD berjumlah sedikit pada limpa dan serum darah.
5. IgE
Antibodi ini terikat pada reseptor sel mast dan basofil. IgE menyebabkan
pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya. Selain itu, IgE banyak ditemukan
dalam darah dengan konsentrasi rendah dan kadarnya meningkat ketika bereaksi
terhadap alergi.

14
2.5 Mengenal CD4 dan perannya dalam sistem imun
CD4 adalah salah satu jenis sel darah putih yang berperan penting dalam sistem imun.
CD4 sering juga disebut dengan sel T pembantu dan masuk ke dalam jenis sel limfosit T
atau sel T. Sel ini disebut dengan “CD4” karena memiliki penanda pada permukaannya
yang disebut klaster diferensiasi (CD), yang berguna untuk mengidentifikasi jenis sel
spesifik.
Sel CD4 membantu mengidentifikasi dan menghancurkan patogen penyebab infeksi,
termasuk bakteri, jamur, dan virus. Selain itu, CD4 juga akan memberi sinyal pada sel-
sel imun lain terkait adanya bahaya dari patogen yang masuk ke tubuh.
Sel-sel CD4 dibuat di dalam kelenjar timus. Kemudian, sel ini akan beredar di dalam
darah dan sistem limfatik di sekujur tubuh.
Karena menjadi bagian penting dari sistem imun, jumlah sel CD4 menunjukkan
ketahanan sistem kekebalan tubuh. Sistem imun yang sehat biasanya memiliki jumlah
CD4 mulai dari 500 hingga 1.600 sel per milimeter kubik darah (sel / mm3).

2.6 CD4 dan kaitannya dengan HIV / AIDS


CD4 memiliki kaitan yang erat dengan infeksi HIV atau Human Immunodeficiency
Virus. HIV masuk ke tubuh dan mengejar CD4, dengan berikatan pada permukaan sel-sel
CD4 dan memasuki sel imun ini. Setelahnya, HIV dapat membunuh sel CD4 dan
bereplikasi.
Apabila infeksi HIV tidak ditangani dengan segera, virus penyebab AIDS tersebut akan
terus bereplikasi di dalam tubuh. Replikasi virus akan meningkatkan jumlah virus (viral
load) sembari juga terjadinya penurunan sel-sel CD4.
Proses peningkatan jumlah virus dan penurunan CD4 dapat berlangsung beberapa tahun.
Selanjutnya, jika pasien tidak kunjung mendapatkan penanganan medis, jumlah CD4
akan semakin sedikit dan membuat pasien HIV memasuki fase AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome).
Pasien dengan HIV biasanya akan didiagnosis AIDS apabila hasil pemeriksaan
memberikan hasil CD4 di bawah 200 sel/mm3. Di fase ini, sistem imun pasien sangat
lemah yang ditunjukkan dengan serangkaian gejala.
Pentingnya tes CD4 bagi pasien HIV

15
Sesuai namanya, tes CD4 adalah pemeriksaan medis yang memonitor jumlah CD4 di
dalam tubuh. Tes ini dilakukan pada pasien HIV secara berkala, seperti sekali dalam tiga
bulan atau sekali dalam enam bulan.
Penting untuk diingat bahwa tes CD4 memberikan hasil yang spesifik, sesuai dengan
kondisi imun pasien saat dilakukan pemeriksaan. Artinya, pasien tidak bisa melihat hasil
dari satu tes CD4 saja. Tes harus dilakukan secara berkala untuk melihat kecenderungan
pasien yang terinfeksi HIV.
Hasil tes CD4 juga dapat dipengaruhi oleh beragam faktor, termasuk pelaksanaan jam
tes, penyakit lain, hingga vaksinasi. Pasien mungkin akan melihat fluktuasi dalam hasil
tes CD4 mereka. Apabila jumlahnya tak rendah, fluktuasi tersebut cenderung tidak perlu
dikhawatirkan oleh pasien.
Tes CD4 biasanya dijalankan bersamaan dengan tes viral load. Seperti yang disinggung
di atas, tes viral load akan menghitung kadar virus di dalam tubuh orang yang terinfeksi
HIV. Secara spesifik, tes ini akan menghitung partikel virus untuk setiap mililiter darah.
Tes viral load berguna untuk mengetahui seberapa laju pertumbuhan virus di tubuh
pasien serta mengontrol efektivitas pengobatan antiretroviral.

2.7 Proses Terjadinya Imunodefisiensi pada HIV


Infeksi oleh HIV terjadi melalui 3 cara, yaitu infeksi langsung ke dalam pembuluh
darah, melalui permukaan mukosa yang rusak atau dari ibu kepada anaknya secara in
utero, selama pesalinan atau melalui air susu. Molekul CD4 diperlukan untuk perlekatan
HIV dan masuk ke dalam beberapa sel.
Sesaat setelah infeksi HIV dalam bentuk partikel virus bebas atau di dalam sel-sel T
CD4+ yang terinfeksi akan mencapai limfonodus regional dan merangsang rerspons
imun selular dan humoral yang penting untuk melawan infeksi virus. Namun banyaknya
sel-sel limfosit pada limfonodus akan menyebabkan sel-sel CD4 semakin banyak
terinfeksi.

Setelah beberapa hari akan terjadi limfopenia dengan menurunnya secara cepat
jumlah sel-sel T CD4+ dalam sirkulasi. Selama periode awal ini virus-virus bebas dan
protein virus p24 dapat dideteksi dalam kadar yang tinggi di dalam darah dan jumlah
sel-sel CD4 yang terinfeksi HIV meningkat. Pada fase ini virus mengadakan replikasi
secara cepat dengan sedikit kontrol dari respons imun. Kemudian setelah 2 – 4 minggu
akan terjadi peningkatan yang sangat mencolok dari jumlah sel-sel limfosit total karena

16
peningkatan jumlah sel-sel T CD8 sebagai bagian dari respons imun terhadap virus.
CD4 kembali dalam kadar hampir sama dengan sebelum infeksi. Antibodi akan
terbentuk setelah minggu kedua atau ketiga, namun pada beberapa kasus respons ini
berlangsung lebih lambat sampai beberapa bulan.
Selama fase akut kebanyakan kasus menunjukkan gejala infeksi virus akut pada
umumnya yaitu berupa demam, letargi, mialgia, dan sakit kepala serta gejala lain berupa
faringitis, limfadenopati dan “rash”.

2.8 Kontrol sistem imun pada replikasi virus.


Setelah fase akut, akan terjadi penurunan mendadak jumlah HIV bebas di dalam
darah maupun di dalam sel sebesar 100.000 kali lipat. Mekanisme yang pasti tentang hal
ini belum diketahui namun analogi dari hal ini dapat digambarkan seperti resolusi pada
fase akut infeksi virus secara umum dan dapat berlanjut menjadi persisten. Pada gambar
3 di bawah ini dapat dilihat sel-sel imun yang terlibat dalam infeksi virus dengan
peranan sel-sel T CD4+ sebagai pengatur respons imun.

Pada infeksi virus secara umum tampak bahwa sel limfosit T sitotoksik adalah
populasi sel efektor kritis dalam mengontrol infeksi akut karena sel ini mampu
mengenal dan menghancurkan sel-sel yang terinfeksi oleh virus (kadang- kadang hal ini
menyebabkan kerusakan sel inang), sehingga dapat menghambat replikasi virus dan
menghambat pembentukan virion baru.
Pada infeksi HIV telah dikenal sejak awal bahwa jumlah sel-sel T sitotoksik
spesifik HIV sangat tinggi dan dapat dideteksi pada sel-sel yang baru diisolasi tanpa
adanya ekspansi prekursor sel-sel T sitotoksik yang telah aktif secara in vitro. Beberapa
penelitian membuktikan tingginya aktivitas sel-sel T sitotoksik spesifik terhadap protein
HIV pada pasien selama atau sebelum serokonversi. Koup dkk membuktikan bahwa ada
kaitan sementara antara adanya jumlah prekursor sel T sitotoksik spesifik HIV yang
tinggi dengan penurunan cepat dari jumlah HIV bebas. Adanya sel-sel T sitotoksik
merangsang pembentukan antibodi netralisasi dalam waktu beberapa bulan. Hal ini
menunjukkan bahwa penurunan jumlah virus bebas dan virus yang ada di dalam sel
disebabkan oleh lisis sel-sel terinfeksi HIV oleh sel- sel T sitotoksik CD8+. Dibuktikan
pula secara in vitro bahwa sel-sel CD8+ yang aktif menghasilkan sitokin yang mampu
menghambat replikasi virus pada sel-sel CD4+ tanpa menyebabkan lisis sel. Respons ini
juga terjadi pada infeksi akut sebelum serokonversi dan kemungkinan berperan di dalam

17
mengontrol pembentukan virus.
Hubungan antara aktivitas sel T sitotoksik, antibodi dan penurunan jumlah virus
selama infeksi akut dan fase resolusi dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Jumlah
CD8+ akan meningkat secara cepat dan sel-sel T sitotoksik ini akan mengontrol
produksi virus dengan membunuh atau menekan sel-sel yang terinfeksi sedangkan sel
CD8+ tetap dalam kadar yang lebih tinggi dari normal.

2.9 Hilangnya Kontrol Sistem Imun Pada Infeksi HIV


Mekanisme yang pasti dari kerusakan sistem imun pada infeksi HIV fase yang lebih
lanjut serta munculnya kembali HIV bebas belum diketahui secara jelas. Yang pasti
adalah penurunan populasi sel CD4 secara bertahap dan hilangnya fungsi sel-sel ini
sangat penting. Munculnya strain HIV yang lebih patogenik dan lebih cepat bereplikasi
pada inang merupakan faktor utama dalam mengontrol kemampuan sistem imun.
Diketahui pula bahwa jumlah dan fungsi sel T sitotoksik akan menurun bila jumlah sel
CD4 mencapai kurang dari 200/L atau mungkin lebih cepat. Karena sel-sel ini
berfungsi mengontrol sel-sel yang terinfeksi virus (yang dapat menghambat penglepasan
lebih lanjut virus) dan juga berperan penting dalam pembersihan pada tahap awal
infeksi akut, maka dapat dikemukakan bahwa hilangnya aktivitas anti-HIV sel CD8
mempunyai efek penting dalam penambahan jumlah virus. Kemungkian lain adalah
terjadinya mutasi virus sehingga tidak dikenal oleh sel T sitotoksik. Walaupun sel CD8
berada dalam jumlah yang cukup, namun hal ini menjadi masalah dalam mengontrol
HIV karena menurunnya bantuan dari sel- sel CD4 yang menghasilkan sitokin lebih
sedikit seperti IL-2 (Ffrench dkk, 1997).

Defek sel B.
Selain penurunan jumlah sel T CD4+, individu yang terinfeksi HIV menunjukkan
abnormalitas pada sistem imun yang lain. Walaupun beberapa dari abnormalitas ini
disebabkan oleh sel T CD4+ yang menurun, fungsi imun yang tidak tergantung sel T
juga akan terganggu. Pada infeksi HIV fungsi sel B juga sangat terganggu. Sel-sel B
pada individu yang terinfeksi HIV berada pada tahap aktivasi khronik. Kebanyakan
penderita AIDS menunjukkan proliferasi sel B spontan, terjadi peningkatan sel-sel
pembentuk plak hemolitik, dan hipergamaglobulinemia. Selain itu terjadi defek intrinsik
dalam respon-respon yang dirangsang sel B seperti antigen dan mitogen, sehingga
merangsang pembentukan imunoglobulin pada semua tahap infeksi.

18
Defek makrofag/ monosit.
Kebalikan dari sel-sel T dan sel-sel B, fungsi sel-sel makrofag-monosit relatif
normal pada infeksi HIV. Dalam hal ini penglepasan anion superoksid, aktivitas
tumorisidal, “antibody-dependent cellular cytotoxicity” (ADCC), respons teerhadap
interferon-, dan produksi “tumor necrotic factor” (TNF) masih berlangsung normal.
Sebagai tambahan, peranan makrofag-monosit sebagai sel penyaji antigen masih dalam
kadar normal. Namun pada pengamatan terjadi suatu defek tertentu dalam fungsi
monosit-makrofag seperti gangguan pada khemotaksis, fungsi reseptor Fc, clearence
melalui reseptor C3, dan proliferasi sel T yang tergantung pada monosit. Dengan
demikian pada penderita pada stadium khronik yang sering menunjukkan kerusakan
fungsi monosit-makrofag belum diketahui secara jelas defek yang mana yang spesifik
pada infeksi HIV. Belum diketahui pula apakah monosit-makrofag spesifik jaringan
seperti makrofag paru dan otak menunjukkan adanya kelainan fungsi (Rosenberg &
Fauci, 1992).
Defek imunologik yang lain.
Pada individu terinfeksi HIV terjadi pula defek fungsi sel-sel “natural killer” (NK).
Secara spesifik sel-sel NK dari individu terinfeksi HIV menunjukkan penurunan di
dalam kemampuan sitotoksik yang akan kembali normal bila diberikan IL-2, mitogen
tertentu atau ion kalsium. Dengan demikian maka sel-sel NK ini tidak dapat diaktifkan
bila kontak dengan target. Akan tetapi, sekali sel-sel NK yang defek diaktifkan maka
akan siap mengalami sitolisis. Hal yang lebih baru diketahui adalah polpulasi sel NK
CD16+/CD8+ secara selektif ditekan pada infeksi HIV sejak awl perjalanan penyakit.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari respon imun terhadap benda asing dan
bagaimana respon yang digunakan untuk melawan infeksi, termasuk perbedaan self dan
nonself dan semua aspek biologi, kimia, dan fisik sistem imun (Prescott, 2002).
Sistem kekebalan atau sistem imun terdiri atas sel, jaringan, dan organ, yang mengenal
benda asing dan mikroorganisme serta bekerja menetralisir atau menghancurkannya.
Imunitas (latin immunis) merujuk kemampuan umum host untuk bertahan terhadap
infeksi atau penyakit tertentu.
HIV (Human immunodeficiency virus) adalah virus RNA yang tergolong dalam famili
Retroviridae, sub famili Lentivirinae. Virus ini merupakan penyebab AIDS (Acquired
immunodeficiency syndrome), yang dapat menimbulkan penurunan sistem imunitas
tubuh secara menyeluruh (Connor & Ho, 1992; Barker & Barnett, 1995).
Setelah mempelajari struktur, sifat-sifat, dan cara replikasi HIV dapat dilihat bahwa
virus ini dapat menginfeksi berbagai jenis sel di dalam tubuh terutama sel-sel yang
mempunyai reseptor CD4+ pada permukaan selnya.
Pada tahap awal infeksi akan ditemukan partikel virus bebas atau di dalam sel-sel T
CD4+ sehingga akan didapatkan jumlah virus yang tinggi di dalam darah dan di dalam
sel-sel CD4+. Sebagai mekanisme dari respons imun terhadap virus akan terjadi
penurunan jumlah sel-sel CD4+ serta peningkatan sel-sel CD8+. Banyak mekanisme
yang terlibat di dalam penurunan sel-sel CD4 di mana hal ini akan mempengaruhi
beberapa reaksi imunologik yang diperankan oleh sel CD4+ serta mengganggu ekspresi
reseptor pembentukan sitokin atau interleukin. Selain terjadinya defel pada sel CD4+
juga terjadi defek pada berbagai sel imunokompeten lain seperti defek pada sel B,
makrofag, dan monosit. Sebagai akibat lebih lanjut akan terjadi hilangnya kontrol
sistem imun yang dapat menyebabkan berbagai manifestasi atau sindroma klinik

20
DAFTAR PUSTAKA

Barker E dan Barnett SW. 1995


Human Immunodeficiency Viruses. Dalam : Murray PR, Baron EJ, Pfaller MA,
Tenover FC, dan Yolken RH (Eds.), Manual of Clinical Microbiology, 6th Ed.,
American Society for Microbiology, hal. 1098 – 1114

Champoux JJ dan Drew WL. 1994


Retroviruses, Human Immunodeficiency Virus, and Acquired
Immunodeficiency Syndrome. Dalam : Ryan KJ (Ed.), Sherris Medical
Microbiology, 3rd Ed., Appleton and Lange, hal. 541 – 555

Collier L dan Oxford J. 1996


Human Virology, Oxford University Press, hal.281 - 295

Connor RJ dan Ho DD. 1992


Etiology of AIDS : Biology of Human Retroviruses. Dalam : Devita VT Jr.,
Hellman S, dan Rosenberg SA (Eds.), AIDS Etiology, Diagnosis, Treatment and
Prevention, 3rd Ed., JB Lippincot Co., hal. 13 – 20

21

Anda mungkin juga menyukai