Anda di halaman 1dari 14

Hubungan School Well-being dengan Academic Achievement pada Siswa

SMP di Kota Tasikmalaya


Nurul Rochmah Azizah
Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat
Email: nurul17013@mail.unpad.ac.id

ABSTRAK
Sekolah merupakan lingkungan sosial yang berpotensi sebagai sarana atau tempat perkembangan bagi
siswanya. Proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah, diharapkan dapat memberikan suasana belajar yang
nyaman dan mampu mendorong kemauan siswa untuk belajar secara aktif (Rachmah, 2016). Kenyamanan siswa
belajar di sekolah sangat penting untuk memaksimalkan proses penyerapan materi yang berpengaruh terhadap
keberhasilan belajar dalam bidang akademik. Menurut studi, proses dan hasil belajar siswa dipengaruhi positif
oleh kesejahteraan siswa itu sendiri di sekolahnya (Hidayah, Pali, Ramli, & Hanurawan, 2016). Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara school well-being dengan academic achievement pada
siswa SMP di Kota Tasikmalaya. Rancangan penelitian ini adalah non-eksperimental kuantitatif, dengan metode
korelasi. Penelitian ini dilakukan pada 200 siswa SMP di Kota Tasikmalaya dengan teknik pengambilan data
clustered sampling. Pengambilan data menggunakan kuesioner yang dibagikan melalui google form secara
online. Data penelitian diperoleh melalui alat ukur School Well-Being Model Scale (Konu & Rimpela, 2002) dan
nilai raport sebagai data sekunder untuk melihat Academic Achievement para siswa. Data diolah menggunakan
uji Pearson Product Moment. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara school well-
being dan academic achievement pada siswa SMP di Kota Tasikmalaya, dengan kekuatan sedang dan arah
hubungannya positif (r=0.426; p= 0.000). Dilihat dari setiap dimensi school well-being, terdapat hubungan yang
signifikan dengan academic achievement, dengan korelasi tinggi dan satu dimensi (health) sedang. Penelitian ini
menyatakan bahwa school well-being memiliki peranan penting terhadap academic achievement siswa.

Kata kunci: School well-being, Academic Achievement, Siswa SMP, Kota Tasikmalaya

Correlation between School Well-being and Academic Achievement in


Junior High School Student in Kota Tasikmalaya
ABSTRACT
School is a social environment that has the potential as a place for student’s development. Efforts to
improve student well-being have not yet become the main agenda in every school. In fact, the well-being itself
will ultimately affect almost all aspects of optimizing student functions in schools (Smith, 2010). According to
studies, student learning processes and outcomes are positively influenced by the well-being of students
themselves in their schools (Hidayah, Pali, Ramli, & Hanurawan, 2016). The purpose of this study was to
determine the relationship between school well-being and academic achievement in junior high school students
in Tasikmalaya. This research design is non-experimental quantitative, with correlation method. This research
was conducted on 200 junior high school students in Tasikmalaya with clustered sampling technique. Data
retrieval using questionnaires distributed via online. The research data was obtained by measuring the School
Well-Being Model Scale (Konu & Rimpela, 2002) and the report cards as secondary data to see the Academic
Achievement of students. The data is processed using the Pearson Product Moment test. The results of this study
indicate that there is a relationship between school well-being and academic achievement in junior high school
students in Tasikmalaya, with moderate strength and the direction of the relationship is positive (r= 0.426; p=
0.000). Seen from each dimension of school well-being, there is a significant relationship with academic
achievement, with a high correlation on three dimension and one dimension (health) is on average correlation.
This study states that school well-being plays an important role for student’s academic achievement.

Keywords: School Well-being,Academic Achievement, Junior High School Student, Kota Tasikmalaya
PENDAHULUAN

Sekolah merupakan lingkungan sosial yang berpotensi sebagai sarana atau tempat perkembangan bagi
siswanya. Lingkungan sekolah tidak dapat dipisahkan dengan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang
dilakukan di sekolah, diharapkan dapat memberikan suasana belajar yang nyaman dan mampu mendorong
kemauan siswa untuk belajar secara aktif (Rachmah, 2016). Kenyamanan siswa belajar di sekolah sangat
penting untuk memaksimalkan proses penyerapan materi yang berpengaruh terhadap keberhasilan belajar dalam
bidang akademik. Menurut studi, proses dan hasil belajar siswa dipengaruhi positif oleh kesejahteraan siswa itu
sendiri di sekolahnya (Hidayah, Pali, Ramli, & Hanurawan, 2016).
Konsep yang sesuai dalam menggambarkan keberhasilan suatu sekolah menjadi lingkungan positif demi
tercapainya aktualisasi para siswa, yaitu school well-being model (Imam & Kartika, 2015). Konu dan Rimpela
(2002), mengemukakan bahwa school well-being merupakan pengukuran penilaian subyektif siswa terhadap
terpenuhinya kebutuhan sekolah. Konsep ini mereka kemukakan sebagai hasil dari penerapan teori well-being
yang dikemukakan oleh Allardt. Allardt (1989) mendefinisikan well-being sebagai keadaan yang memungkinkan
individu untuk memuaskan berbagai kebutuhan dasarnya, yakni kebutuhan material dan non-material.
Berdasarkan kebutuhan ini, kemudian Allardt membaginya ke dalam tiga kategori, yaitu having yang mengacu
pada kondisi lingkungan, being mengacu pada pemenuhan kebutuhan diri dan loving yang berkaitan dengan
hubungan relasi sosial antar individu. Kemudian, Konu dan Rimpela (2002) mencoba untuk mengembangkan
konsep tersebut ke dalam konteks pendidikan dan mengemukakan konsep mengenai school well-being pada
siswa, yang di dalamnya meliputi empat dimensi, yaitu kondisi sekolah (having), hubungan sosial (loving),
pemenuhan diri siswa (being) dan status kesehatan (health) yang berperan dalam proses pembelajaran di
sekolah.
Sebagai organisasi pendidikan formal, sekolah berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia. Mutu pendidikan dapat meningkat seiring dengan meningkatnya pula prestasi akademik yang
merupakan indikator keberhasilan belajar di sekolah. Siswa dengan prestasi akademik yang tinggi dianggap
memiliki kemampuan intelektual yang tinggi pula dan mempunyai peluang keberhasilan dalam proses belajar
maupun pekerjaannya di kemudian hari (Pambayun, 2010). Menurut Winkel (1991), prestasi akademik atau
academic achievement ini adalah perwujudan dari potensi apa yang sudah dipelajari atau kemampuan yang
terinternalisasi pada diri siswa terkait dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan pada mereka.
Academic achievement merupakan tolak ukur keberhasilan siswa sehingga perlu dikaji tentang aspek-aspek yang
dapat menunjang meningkatnya prestasi belajar dan mutu pendidikan di Indonesia (Rohwati, 2012; Siagian,
2012; Wibawa, 2003).
Baru-baru ini, kesejahteraan remaja merupakan variabel yang semakin dieksplorasi dalam menyelidiki
academic achievement (OECD, 2017). Ada beberapa studi cross-sectional yang menyarankan untuk meneliti
lebih lanjut mengenai hubungan antara well being dan academic achievement (Crede, Wirthwein, & McElvany,
2015). Hal ini didukung dengan sebuah studi yang menyatakan bahwa siswa yang memiliki subjective well-
being yang baik selama di sekolah, lebih memungkinkan untuk mendapatkan nilai indeks kumulatif yang lebih
baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Suldo, 2012). Hal ini cukup menggambarkan bahwa terciptanya
iklim sekolah yang nyaman tentu akan mempengaruhi performa siswa selama berada di sekolah, salah satunya
terhadap prestasi akademik yang mereka peroleh. Semakin banyak juga penelitian yang menunjukkan bahwa
iklim lingkungan sosial, sistem pengajaran, dan organisasi sekolah mempengaruhi keterlibatan siswa dan
academic achievement (Eccles, Wigfield, & Scheifele, 1998; H. Patrick, Ryan, & Kaplan, 2007; AM Ryan &
Patrick, 2001). Di sisi lain, hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa siswa yang memiliki kepuasan
yang rendah terhadap sekolah justru akan menurunkan academic achievement dan meningkatkan perilaku
bermasalah remaja (Suldo, 2016).
Beberapa laporan mengungkapkan bahwa prestasi belajar peserta didik di Indonesia kurang optimal.
Studi yang dilakukan oleh The International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA)
padah tahun 2011, menunjukkan bahwa kemampuan bidang IPA dan Matematika, pelajar SMP Indonesia berada
pada urutan 38 dari 39 peserta (Yuzarion, 2017). Selain itu, menurut studi yang dilakukan oleh United Nation
Educational, Scientitif and Cultural Organization (UNESCO) – Badan Perserikatan Bangsa yang mengurus
bidang pendidikan, pada tahun 2015, Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang.
Keterpurukan Indonesia dalam bidang akademik juga dinyatakan oleh studi yang dilakukan oleh PISA (2015),
bahwa peringkat penguasaan remaja berusia 15 tahun di Indonesia terhadap keupayaan Sains, Membaca dan
Matematika masih berada pada lapisan bawah, yakni berada pada peringkat 69 dari 76 negara. Berdasarkan
beberapa hasil studi mengenai mutu pendidikan, dapat dikatakan bahwa keberhasilan siswa dalam bidang
pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah. Ketercapaian tujuan pendidikan sangat ditentukan oleh proses
yang berlangsung di dalamnya. Proses dalam pendidikan sangat dipengaruhi oleh tingkat kelayakan unsur-unsur
yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan.
Di Indonesia, permasalahan mengenai proses pembelajaran di sekolah masih cukup sering dijumpai.
Hal ini terbukti dengan munculnya berbagai macam kasus, seperti bullying, atau perilaku tidak terpuji lainnya
yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa, guru terhadap siswa ataupun sebaliknya. Pernyataan ini didukung
dengan hasil studi yang dilakukan oleh Halimah, Khumas & Kurniati (2015), berdasarkan data Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari tahun 2011-2014, tercatat sebanyak 369 pengaduan terkait masalah
bullying, dimana jumlah itu sekitar 25% dari total pengaduan di bidang pendidikan yang sebanyak 1.480 kasus.
Selain itu, tidak jarang juga ditemukan fasilitas sekolah yang belum memadai untuk menunjang proses
pembelajaran. Dikutip dari hasil studi Novita (2017), berdasarkan data statistik Kemdikbud terbaru per-2016,
sebanyak 88.8% sekolah di Indonesia, mulai dari jenjang SD - SMA/SMK belum melewati mutu standar
pelayanan sekolah minimal. Layanan pendidikan mulai dari guru, bangunan sekolah, fasilitas perpustakaan dan
laboraturium, buku-buku pelajaran serta referensi lainnya masih terbilang minim. Pada tahun 2019, Kemdikbud
mengeluarkan data terbaru mengenai kondisi ruang kelas untuk seluruh jenjang SMP negeri di Indonesia yakni,
sebanyak 14.1% tergolong dalam kondisi baik, 64.80% rusak ringan, 15.17% rusak sedang dan 5.90% rusak
berat. Hal ini cukup menunjukkan belum meratanya fasilitas sarana dan prasrana yang memadai di seluruh
sekolah. Permasalahan tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu, daerah yang terpencil dan jauh dari
perkotaan dalam mengakses layanan pendidikan yang masih belum terdistribusi secara merata, seperti belum
meratanya distribusi guru yang berkualitas dan belum optimalnya pelayanan pendidikan sebagai akses akibat
terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan (Badan Pembangunan Nasional, 2014). Di sisi lain, sekolah yang
ideal merupakan sekolah yang diharapkan mampu memberikan pengalaman terbaik bagi siswa, sehingga
membuat siswa-siswanya merasa nyaman dan sejahtera di dalamnya (Karyani, et al., 2016).
Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa masih terdapat sekolah yang belum terlalu memperhatikan
kenyamanan dan well-being siswanya, yang mana hal ini biasanya terjadi di sekolah yang berada di kota kecil
dan masih berkembang, salah satunya kota Tasikmalaya. Hal paling mencolok dari sekolah-sekolah yang berada
di Kota Tasikmalaya yang terlihat ialah fasilitas sekolah yang terlihat belum maksimal untuk mendukung proses
pembelajaran, seperti bangku sekolah yang banyak coretan, sehingga terkesan kotor. Kemudian, kursi dan meja
beberapa ada yang sudah terlihat sudah tidak nyaman, seperti berdecit ketika digunakan. Selain itu, mayoritas
toilet yang berada di setiap sekolah beraroma tidak sedap, air yang tidak terlalu jernih seperti terdapat jentik
nyamuk di dalam bak/ember, ataupun banyak coretan di tembok sehingga memberikan kesan kotor dan tidak
rapi. Fenomena ini pun akhirnya diperkuat dengan pengambilan data awal yang dilakukan oleh peneliti melalui
pengisian kuesioner mengenai keadaan sekolah seperti, tanggapan mereka mengenai fasilitas yang ada,
kenyamanan menggunakan fasilitas tersebut, hubungan antarsiswa maupun dengan gurunya selama di sekolah
dan seperti apa pengaruhnya terhadap proses belajar mereka. Pengambilan data awal ini dilakukan terhadap 26
siswa SMP dari empat sekolah. Dari hasil data awal didapatkan bahwa:

- 7 dari 26 orang siswa (26,9%) menganggap terlalu banyak murid dalam satu kelas. Mereka merasa hal
ini pada akhirnya berdampak terhadap ketidaknyamanan dalam belajar, sehingga membuat siswa
menjadi tidak memahami materi yang dipelajari di kelas dengan maksimal.
- 9 dari 26 siswa (34,6%) merasa lingkungan sekolah mereka berisik, seperti banyaknya suara kendaraan
bermotor yang berlalu-lalang. Mereka merasa konsentrasi mereka belajar di dalam kelas terganggu dan
hal ini berdampak juga pada kesulitan untuk menangkap materi pembelajaran dengan maksimal.
- 9 dari 26 siswa (34,61%) merasa bahwa mereka tidak betah untuk menggunakan meja dan bangku,
terutama dalam jangka waktu yang cukup panjang. Sebagian dari mereka merasa bahwa kursi atau meja
yang sudah tidak kokoh dan berdecit terkadang membuat mereka tidak nyaman ketika melakukan
proses pembelajaran di kelas.
- 10 dari 26 siswa (38,5%) menganggap bahwa fasilitas sekolah seperti toilet, mushola, ruang UKS,
laboratorium dan perpustakaan yang ada di sekolah masih belum layak.
- 7 orang (23,1% orang) siswa menyatakan, mereka tidak memiliki grup pertemanan, baik itu untuk
mengerjakan tugas ataupun bermain. Dampak yang mereka rasakan adalah, merasa kesepian atau
bahkan menjadi malas ke sekolah. Hal ini akhirnya membuat mereka tidak merasa terlalu engage
dengan kegiatan di sekolah, termasuk kegiatan belajar di kelas.
- 2 dari 26 orang (7%) mengatakan bahwa mereka merasa kesulitan mencari teman ketika guru meminta
membuat kelompok untuk mengerjakan tugas kelompok. Jumlah ini terbilang kecil, karena biasanya
guru sudah membuatkan kelompok untuk para siswanya, sehingga siswa tidak diminta untuk
membentuk kelompok sendiri.
- 21 dari 26 orang (81,4%) pernah merasa tidak nyaman dengan gurunya. Sebagian siswa menganggap
hal ini pun akhirnya berdampak pada sulitnya untuk menyerap materi belajar dengan maksimal, seperti
mereka tidak merasa terlibat dengan proses pembelajaran di kelas, ataupun menjadi merasa malas
mendengarkan materi.
- 14 dari 26 orang (55,4%) siswa menjawab bahwa pernah terjadi kasus kekerasan/kecelakaan dalam
lingkungan sekolah. Bentuk kekerasan yang terjadi, seperti perundungan antara kakak dengan adik
kelas, ataupun teman satu angkatan, yang biasanya berbentuk verbal.
Kemudian, untuk pertanyaan tambahan mengenai kurikulum, jadwal, ekstrakurikuler dan status kesehatan,
didapatkan bahwa kurikulum pembelajaran dan jadwal pelajaran tidak ada siswa yang mengeluhkan hal tersebut.
Keterlibatan siswa dengan sekolah pun cukup baik, seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler untuk menunjang
keseimbangan non-akademik, terlibat organisasi seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Perwakilan
Kelas (PK) ataupun ekstrakurikuler lainnya, dan mendapatkan dukungan dari pihak sekolahnya itu sendiri. Dari
segi kesehatan pun, tidak ada siswa yang mengeluhkan adanya sakit yang terlalu mengganggu aktivitas mereka
selama di sekolah.
Selanjutnya, peneliti juga mencoba untuk mencari data awal untuk melihat perspektif guru. Seperti yang
kita tahu, bahwa guru sebagai tenaga pendidik tentu memiliki peran yang penting dalam mempengaruhi
kenyamanan siswa di sekolah. Peneliti mewawancarai empat orang guru dari empat sekolah yang berbeda. Dari
empat guru yang diwawancara, mereka mengeluh karena beberapa muridnya memang ada yang sulit untuk
diatur, beberapa ada yang sering tidak masuk sekolah tanpa memberikan alasan/izin terlebih dahulu dan
terkadang ada juga siswa yang melarikan diri saat pelajaran belum selesai. Selain itu, kondisi di dalam kelas pun,
guru sering menjumpai siswa yang tidak memperhatikan materi dan malah asyik dengan aktivitasnya sendiri,
seperti mengobrol atau bermain handphone. Guru-guru melihat bahwa siswa kurang terlibat secara serius untuk
mengikuti proses pembelajaran di dalam kelas, yang mungkin saja diakibatkan dari kurang adanya motivasi dari
dalam diri mereka. Sedangkan, motivasi sendiri diperlukan sebagai dorongan siswa untuk lebih terlibat dengan
proses pembelajaran. Menurut keempat guru yang diwawancara, kurangnya motivasi yang muncul dari siswa
yang menunjukkan perilaku diatas bisa saja disebabkan oleh beberapa hal, yakni merasa tidak nyaman ataupun
tidak betah selama berada di ruangan kelas, entah itu karena ruangan kelas yang panas, lingkungan sekolah yang
berisik karena banyaknya kendaraan yang berlalu-lalang, adanya permasalahan pribadi baik itu dengan teman
maupun keluarga, sedang sakit sehingga tidak fokus, ataupun tidak memiliki minat terhadap mata pelajaran
tertentu.
Berdasarkan pemaparan data awal diatas, terlihat bahwa ternyata mayoritas siswa tidak mengeluhkan
permasalahan kondisi fisik maupun sarana dan prasarana sekolah. Selain itu, siswa juga tidak memiliki keluhan
terhadap kurikulum, jadwal, ekstrakurikuler dan status kesehatan, Hal ini cukup menarik, karena berarti sebagian
siswa merasa tidak ada permasalahan mengenai kondisi fasilitas sekolah. Namun di sisi lain, adapula ternyata
beberapa siswa yang memberikan keluhannya dan bahkan merasa terganggu dengan hal tersebut, hal inilah yang
perlu kita perhatikan agar pengalaman siswa selama melakukan proses pembelajaran siswa dapat merata. Hal
menarik lainnya yang menonjol pada jawaban para siswa yaitu mengenai relasi sosial. Mayoritas siswa
mengeluhkan kondisi hubungan antara siswa dengan siswa, maupun siswa dengan guru, yang mana hal tersebut
ternyata cukup memberikan dampak juga terhadap keberlangsungan mereka selama melakukan proses
pembelajaran di sekolah. Berdasarkan hal ini, kita dapat melihat bahwa masih terdapat beberapa siswa yang
menghadapi permasalahan atau mengalami keluhan selama berada di sekolah. Dengan kata lain, nampaknya
usaha untuk meningkatkan kesejahteraan siswa ternyata belum menjadi agenda utama di setiap sekolah. Padahal,
kesejahteraan inilah yang pada akhirnya akan mempengaruhi hampir seluruh aspek bagi optimalisasi fungsi
siswa di sekolah (Smith, 2010).
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan school well-being dengan academic achievement.
Selain karena masih ditemukannya gap antara bagaimana kondisi sekolah yang ideal dan kondisi aktual yang
ditemukan di lapangan, hasil studi juga menunjukkan bahwa academic achievement siswa SMP di Indonesia
berada pada urutan yang rendah. Selain itu, belum ditemukan penelitian yang dapat menggambarkan lebih jelas
mengenai bagaimana berbagai aspek lingkungan sekolah, yang sudah dikemas dalam konsep school well-being,
secara bersamaan yang membuktikan adanya hubungan dengan academic achievement siswa, khususnya pada
remaja SMP. Dalam hal ini, berarti konsep terkait school well-being dapat menjadi pertimbangan sekolah agar
dapat lebih memahami hal-hal apa saja yang mampu membuat siswa merasa senang, nyaman dan sejahtera untuk
menunjang keberhasilan proses pembelajaran siswa selama berada di sekolah. Berdasarkan informasi di atas,
peneliti berpendapat bahwa sangat penting untuk menciptakan lingkungan sekolah yang sejahtera bagi siswanya,
sehingga dapat memaksimalkan kemampuan mereka untuk meraih prestasi akademik yang tinggi. Hal ini yang
akhirnya semakin membuat peneliti menjadi lebih tertarik untuk melihat hubungan keduanya.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pemilihan responden menggunakan teknik clustered
random sampling. Dari sebanyak 21 SMP Negeri yang berada di Kota Tasikmalaya, didapatkan 10 sekolah
sebagai perwakilan dari setiap kecamatan. Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah siswa kelas 8 dan
9 SMP di Kota Tasikmalaya, berusia 13-15 tahun. Siswa kelas 7 tidak dilibatkan dalam penelitian ini, karena
terdapat satu dimensi dalam alat ukur yang mengharuskan responden memberikan penilaian terhadap kondisi
fisik lingkungan sekolah, sedangkan akibat adanya pandemik ini, siswa kelas 7 belum memiliki pengalaman
belajar secara langsung di sekolah. Adapun jumlah responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah sebanyak
200 orang (laki-laki= 79 orang; perempuan= 121 orang). Kuesioner dalam bentuk google form dibagikan secara
online melalui WhatsApp Grup yang disebarkan oleh Wakil Kurikulum setiap sekolah. Responden diminta untuk
mengisi informed consent terlebih dahulu, yang kemudian diikuti dengan pengisisan data diri (inisial nama, jenis
kelamin, usia, asal sekolah), data penunjang (kondisi kesehatan serta proses pembelajaran selama sebelum dan
saat sistem daring dilakukan, nilai rata-rata raport terakhir) dan kuesioner School Well-being Scale.
Kuesioner School Well-being Scale (Konu & Rimpela, 2002) terdiri dari 40 item yang dikategorikan ke
dalam enam dimensi, yaitu having, loving, being dan health. Setiap item harus dijawab dengan memilih satu dari
4 jawaban yang memiliki skor masing-masing, yaitu: 1 (Sangat Tidak Setuju), 2 (Tidak Setuju), 3 (Setuju) dan 4
(Sangat Setuju). Alat ukur ini sudah dilakukan uji validitas oleh peneliti sebelumnya, yaitu Purnomo (2018)
menggunakan teknik expert review melalui proses forward translation, backward translation. Selanjutnya
dilakukan uji coba pada tahun 2018, dan setelah dilakukan uji realibilitas menggunakan teknik Cornbach Alpha,
didapatkan 27 item yang dapat diandalkan, dengan nilai koefisien yang didaptkan sebesar 0,842. Kemudian
peneliti juga melakukan uji realibilitas terhadap kelompok sampel penelitian, dan didapatkan Cornbach Alpha
sebesar 0,747.
Seluruh jawaban responden kemudian akan diolah dengan menggunakan pengujian statistik korelasi. Uji
korelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pearson Product Moment dengan bantuan software SPSS
versi 25, untuk melihat korelasi school well-being dengan academic achievement. Selain itu, peneliti juga
melakukan uji beda antara data demografi (jenis kelamin, usia dan asal sekolah) dengan skor school well-being
untuk melihat ada tidaknya perbedaan yang signifikan diantara kelompok-kelompok tersebut. Uji beda dilakukan
dengan perhitungan Uji Mann Whitney U Test (untuk kelompok dengan dua kategori) dan Uji Kruskall Wallis
(untuk kelompok dengan jumlah kategori lebih dari dua).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Tabel Demografi Data Partisipan
Data Demografis N % Data Demografis N %

Jenis Kelamin Asal Sekolah

Laki-Laki 79 39.5 SMPN 1 Kota Tasikmalaya (Kec. Tawang) 28 14

Perempuan 121 60.5 SMPN 5 Kota Tasikmalaya (Kec. Cipedes) 25 12.5

Usia SMPN 6 Kota Tasikmalaya (Kec. Cihideung) 23 11.5

13 27 27,1 SMPN 11 Kota Tasikmalaya (Kec. Cibeureum) 20 10

14 62 40,7 SMPN 12 Kota Tasikmalaya (Kec. Kawalu) 22 11

15 111 55.5 SMPN 15 Kota Tasikmalaya (Kec. Tamansari) 18 9

SMPN 16 Kota Tasikmalaya (Kec. Bungursari) 17 8.5

SMPN 17 Kota Tasikmalaya (Kec. Purbaratu) 19 9.5


SMPN 18 Kota Tasikmalaya (Kec. Indihiang) 13 6.5

SMPN 21 Kota Tasikmalaya (Kec.Tamansari) 15 7.5

Dari proses pengambilan data, didapatkan jumlah responden yang terlibat dalam penelitian sebanyak 200 orang
yang berusia 13-15 tahun, dengan asal sekolah SMPN 1, SMPN 5, SMPN 6, SMPN 11, SMPN 12, SMPN 15,
SMPN 16, SMPN 17, SMPN 18 dan SMPN 21 Kota Tasikmalaya. Tabel 1 menggambarkan gambaran
demografi responden penelitian.

Tabel 2. Data Penunjang Penelitian


Perbedaan Kondisi Kesehatan saat belajar online dan offline N %

Ada 17 8.5

Tidak 183 91.5

Perbedaan Proses Pembelajaran saat belajar online dan N %


offline

Ada 196 98

Tidak 4 2

Pengaruh Terhadap Hasil Belajar N %

Ada 58 29

Tidak 142 71

Total 200 100

Berdasarkan data penunjang yang terlihat pada Tabel 2, ditemukan sebanyak 91.5% responden
menganggap tidak terdapat perbedaan kondisi kesehatan sebelum dan saat dilakukannya pembelajaran secara
daring. Selanjutnya, sebanyak 98% responden menganggap terdapat perbedaan dalam proses pembelajaran
sebelum dilakukannya sistem daring dan saat daring. Terakhir, sebanyak 71% responden menganggap terdapat
perbedaan hasil pembelajaran sebelum dan saat daring dilakukan. Adapun beberapa alasan yang dilontarkan
responden mengenai perbedaan kondisi kesehatan sebelum dan saat pembelajaran daring dilakukan yang sudah
peneliti olah, yaitu:

Tabel 3. Kondisi Kesehatan Siswa Sebelum dan Saat Proses Pembelajaran Daring
Kondisi Kesehatan Sebelum Daring dan Kondisi Kesehatan Saat Daring dan
Pengaruhnya Terhadap Proses Pengaruhnya Terhadap Proses
Pembelajaran Pembelajaran

Mata minus yang menyebabkan sulit melihat Mata masih minus, namun karena materi
materi di papan tulis dengan jelas langsung berada di layar gawai, mereka tidak
merasa kesulitan dalam hal penglihatan, hanya
saja menjadi lebih mudah merasa pusing
karena terpapar sinar gawai dalam waktu yang
cukup lama.

Mudah merasa lemas ataupun kambuhnya Sarapan menjadi lebih teratur karena orang tua
penyakit maag, karena sering terlewat sarapan selalu mengingatkan, sehingga siswa tidak lagi
sebelum berangkat sekolah, sehingga merasa lemas ataupun kambuh maag selama
terkadang merasa tidak fokus saat belajar di proses pembelajaran sekolah secara daring
kelas.
Beberapa siswa ada yang terpapar virus
Covid-19, yang tentunya memiliki berbagai
efek samping baik itu bagi fisik maupun
mental, sehingga mereka harus istirahat lebih
banyak dan melewati beberapa kelas.

Kemudian ketika ditanya apakah terdapat perbedaan proses pembelajaran sebelum dan saat daring
dilakukan, sebanyak 4 responden (2%) mengatakan tidak, karena mereka merasa sistem pembelajaran masih
sama saja, yaitu guru memberikan materi/tugas, dan siswa mengerjakannya. Sedangkan 196 responden lainnya
(98%) menganggap justru proses pembelajaran sebelum dan saat daring dilakukan sangat berbeda. Hal yang
paling mencolok ialah dari tempat belajar, yang awalnya di sekolah menjadi di rumah, kehadiran teman-teman
yang tidak ditemukan selama pembelajaran daring, media belajar yang digunakan, serta situasi lingkungan di
rumah dan sekolah yang sangat berbeda. Lantas, dengan adanya perbedaan tersebut, apakah hal tersebut
mempengaruhi hasil pembelajaran atau tidak, ternyata sebanyak 142 dari 200 responden (71%) mengatakan
tidak, dan 58 siswa (29%) lainnya mengatakan iya mempengaruhi hasil pembelajaran mereka. Responden yang
menyatakan bahwa dengan adanya perbedaan proses pembelajaran ini berpengaruh terhadap hasil akhir (nilai),
baik itu menjadi lebih baik (nilai akhir mereka meningkat) dan buruk (nilai akhir mereka menurun), yang
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

Tabel 4. Respon Siswa Terhadap Perbedaan Proses Pembelajaran

Jawaban Siswa dengan Nilai Akhir Jawaban Siswa dengan Nilai Akhir
Meningkat Menurun

Mereka merasa jadi memiliki lebih banyak Mereka mudah merasa jenuh karena harus
waktu untuk memahami materi, karena hanya melakukan seluruh aktivitasnya di rumah.
di rumah saja.

Mereka merasa terbantu karena adanya orang Mereka merasa banyak distraksi, seperti
tua ataupun anggota keluarga lain yang ikut disuruh oleh orang tua untuk mengerjakan
membantu memahami materi pembelajaran. pekerjaan rumah, sehingga tidak bisa benar-
benar fokus pada pembelajaran.

Mereka merasa lebih mudah berdiskusi Mereka merasa tidak betah berada di rumah,
dengan teman ketika mengerjakan soal, seperti karena memiliki masalah atau kurang dekat
ulangan harian, yang mana ketika berada di dengan orang tua maupun anggota keluarga
sekolah mereka diawasi oleh guru secara ketat. lainnya.

Mereka merasa lebih sulit untuk memahami


materi yang diberikan oleh guru, karena
terkadang guru hanya memberikan modul atau
bahan bacaaan saja.

Tabel 5. Skor rata-rata School Well-being dan Academic Achievement


Mean Std. Deviation N
School Well Being Scale 84.19 5.535 200
Academic Achievement 88.48 3.341 200

Tabel 5 menunjukkan skor rata-rata school well-being yang diperoleh responden yaitu 84.19 (SD= 5.535) yang
artinya termasuk ke dalam kategori sedang. Sedangkan, nilai prestasi akademik yang diperoleh responden
memiliki skor rata-rata sebesar 88.48 (SD= 3.341) yang artinya termasuk ke dalam kategori baik.
Tabel 6. Uji Normalitas
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
SWBS .109 199 .200* .958 199 .215
AA .161 199 .180 .877 199 .001
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction

Dalam penelitian ini, dilakukan uji normalitas, yaitu uji yang digunakan untuk meilai apakah dara berdistribusi
normal atau tidak (Jarque & Bera, 1987). Hasil uji normalitas menggunakan program SPSS dengan uji
Kolmogorov Smirnov. Berdasarkan hasil pengujian dengan taraf signifikansi 0.05, didapatkan nilai signifikansi
yang diperoleh dari hasil pengolahan lebih besar dari nilai taraf signifikansinya, yaitu untuk School Well-being
Scale nilai 0.109, dan academic achivement sebesar 0.180. maka data sampel kedua variabel berdistribusi
normal. Maka dalam analisis data, akan digunakan uji korelasi Pearson Product Moment.

Tabel 7. Uji Korelasi Pearson Product Moment


School Well Academic
Being Scale Achievement
School Well Being Scale Pearson Correlation 1 .426**
Sig. (2-tailed) .000
N 200 200
Academic Achievement Pearson Correlation .426** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 200 200
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Tabel 7 menunjukkan bahwa school well-being dan academic achievement berkorelasi positif satu sama lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa penilaian subjektif siswa berhubungan dengan prestasi akademik yang mereka
peroleh. Ditemukan bahwa school well-being memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan academic
achievement (r= 0.426, p < 0.01). Hal ini menunjukkan apabila siswa memiliki penilaian subjektif yang
memuaskan terhadap sekolahnya, maka ia akan memperoleh nilai prestasi akademik yang baik pula.

Tabel 8. Uji Beda Jenis Kelamin, Usia dan Asal Sekolah dengan School Well-being Scale
Kategori Mean Rank Sig. Uji Beda
L 95.82 0.352 Mann Whitney
Jenis Kelamin
P 103.56
13 tahun 85.79 0.367 Kruskal Wallis
Usia 14 tahun 105.43
15 tahun 100.96
Asal Sekolah SMPN 1 Kota Tasikmalaya (Kec. Tawang) 127.29 0.000 Kruskal Wallis
SMPN 5 Kota Tasikmalaya (Kec. Cipedes) 132.64
SMPN 6 Kota Tasikmalaya (Kec. Cihideung) 67.63
SMPN 11 Kota Tasikmalaya (Kec. Cibeureum) 72.45
SMPN 12 Kota Tasikmalaya (Kec. Kawalu) 92.48
SMPN 15 Kota Tasikmalaya (Kec. Tamansari) 107.00
SMPN 16 Kota Tasikmalaya (Kec. Bungursari) 67.18
SMPN 17 Kota Tasikmalaya (Kec. Purbaratu) 114.50
SMPN 18 Kota Tasikmalaya (Kec. Indihiang) 82.12
SMPN 21 Kota Tasikmalaya (Kec.Tamansari) 124.67

Setelah dilakukan uji normalitas terhadap ketiga kelompok data demografis (jenis kelamin, usia, dan asal
sekolah) didapatkan bahwa untuk kelompok data demografi tidak berdistrusi normal. Oleh karena itu, uji beda
yang digunakan untuk jenis kelamin ialah Mann Whitney U Test dan untuk usia dan asal sekolah menggunakan
uji Kruskall Wallis. Pada tabel 5 terlihat, bahwa pada uji beda yang dilakukan terhadap usia dan jenis kelamin,
menunjukkan p-value > 0.05, artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dan usia
terhadap penilaian subjektif siswa terhadap sekolahnya. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian siswa terhadap
sekolahnya yang terjadi dalam penelitian ini bukan disebabkan oleh jenis kelamin maupun usia. Sedangkan, pada
uji beda yang dilakukan terhadap asal sekolah menunjukkan p-value < 0.05, artinya terdapat perbedaan yang
signifikan antara asal sekolah dengan penilaian subjektif siswa di sekolah. Hasil ini menunjukkan bahwa penilain
siswa terhadap sekolahnya dalam penelitian ini bisa saja disebabkan oleh asal sekolah masing-masing responden.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara school well-being dengan academic
achievement pada siswa SMP di Kota Tasikmalaya. Hasil interpretasi uji Korelasi Pearson Product Moment
mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara school well-being dengan academic
achievement pada siswa SMP di Kota Tasikmalaya, pada taraf sedang (r= 0,426) dan sifat hubungannya positif.
Kekuatan hubungan yang sedang ini menunjukkan bahwa hubungan diantara kedua variabel itu tidak terlalu
kuat, ada pada taraf yang cukup. Sedangkan hubungan yang positif menandakan bahwa hubungan school well-
being dan academic achievement berbanding lurus. Artinya, semakin tinggi penilaian seorang siswa terhadap
kepuasan sekolahnya maka akan semakin baik prestasi akademik yang diperoleh siswa. Siswa dengan well-being
yang tinggi akan lebih kooperatif, percaya diri, kreatif, toleran dan altruisti (Chone & Pressman, 2006;
Lyubomrisky, King & Diener, 2005). Kararkteristik inilah yang nantinya akan membuat mereka menjadi lebih
positif dan percaya diri ketika menghadapi lingkungan serta mendukung kegiatan akademik (Mashford-Scott,
Church, & Tayler, 2012). Korn et al. (2015) menyatakan bahwa achivement digambarkan sebagai kemampuan
siswa untuk menyelesaian tugasnya sehari-hari dan merasa dirinya berbakat dan kompeten. Dalam konteks
sekolah, well-being ini berkaitan dengan bagaimana siswa dapat meningkatkan kapabilitas dan berfungsi secara
maksimal dalam proses pembelajaran.
School well-being yang dikemukakan oleh Konu dan Rimpela (2002) sendiri merupakan model yang
menggabungkan dimensi lingkungan fisik sekolah, relasi sosial, keterlibatan dan status kesehatan para siswa di
dalamnya. Hal ini didukung dengan penelitian yang menunjukkan bahwa iklim lingkungan sosial, sistem
pengajaran, dan organisasi sekolah mempengaruhi keterlibatan siswa dan academic achievement (Eccles,
Wigfield, & Scheifele, 1998; H. Patrick, Ryan, & Kaplan, 2007; AM Ryan & Patrick, 2001). Proses
pembelajaran yang dilakukan di sekolah, diharapkan dapat memberikan suasana belajar yang nyaman dan
mampu mendorong kemauan siswa untuk belajar secara aktif (Rachmah, 2016). Kenyamanan yang siswa peroleh
selama berada di sekolah dapat memaksimalkan proses penyerapan materi yang berpengaruh terhadap
keberhasilan belajar dalam bidang akademik. Menurut studi, proses dan hasil belajar siswa dipengaruhi positif
oleh kesejahteraan siswa itu sendiri di sekolahnya (Hidayah, Pali, Ramli, & Hanurawan, 2016). Namun dengan
adanya hubungan yang termasuk ke dalam kategori sedang, menunjukkan bahwa prestasi akademis seseorang
memang tidak hanya dipengaruhi dengan kondisi school well-being sekolahnya saja, melainkan ada faktor lain
yang berkontribusi. Pencapaian prestasi belajar seorang siswa dipengaruhi oleh faktor lainnya, seperti
kecerdasan, minat-bakat, motivasi dan sebagainya (Slavin, 2012; Santrock, 2011; Dariyo, 2013). Jika seorang
siswa hanya mengandalkan perasaan bahagia (sejahtera), namun tanpa disertai dengan kemampuan kognitif
seperti kecerdasan, minat-bakat atau aspek afektif, maka ia pun mungkin cenderung tidak dapat mencapai
prestasi belajar yang baik.
Di sisi lain, apabila kita melihat hasil uji beda pada data demografi, jenis kelamin maupun usia tidak
memiliki perbedaan yang signifikan terhadap penilaian subjektif siswa selama di sekolah. Penelitian mengenai
tingkat stress terhadap sekolah merupakan studi yang paling mendekati untuk menjelaskan bagaimana gambaran
penilaian siswa terhadap sekolahnya itu sendiri. Temuan pada penelitian ini rupanya sejalan dengan studi
sebelumnya yang dilakukan di Eropa dengan sampel mahasiswa, bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
antara tingkat stress terhadap sekolah dengan gender, hal ini bisa saja disebakan karena adanya faktor personal
lainnya seperti coping strategies atau faktor lingkungan, seperti tuntutan terhadap sistem pendidikan (Yusoff,
2010).
Temuan baru lainnya dalam penelitian ini adalah tidak adanya perbedaan penilaian siswa terhadap
sekolahnya apabila dilihat dari faktor kelasnya. Responden penelitian yang berada pada kelas 8 dan 9, berkisar
usia 13-15 tahun, dimana mereka berada pada jenjang pendidikan yang sama dan memiliki kemampuan kognitif
yang mirip karena berada pada fase kognitif yang sama, yaitu formal operational stage (Santrock, 2018),
sehingga pada fase ini kedua kelompok sangat mungkin untuk melakukan penilaian dari sudut pandang yang
sama sehingga tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan pada penilainnya terhadap sekolah. Di sisi lain,
hasil uji beda antara skor school well-being dengan asal sekolah menunjukkan adanya perbedaan nilai yang
signifikan. Hasil ini menunjukkan bawah penilaian siswa terhadap sekolahnya dalam penelitian ini bisa
disebabkan oleh asal sekolah masing-masing responden. Hal ini didukung dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Dariyo (2015), bahwa pada dasarnya, setiap sekolah memiliki school well-being nya masing-
masing karena adanya kebijaksanaan yang berbeda antara satu sama lain, seperti perbedaan visi misi setiap
sekolah Namun, secara prinsip school well-being tetap mengacu pada bagaimana suasana psikososial dalam
sekolah yang menimbulkan perasaan menyenangkan bagi individu yang terlibat dalam kegiatan pendidikan
tersebut.
Lebih lanjut, dengan situasi pandemik yang terjadi saat ini, peneliti ingin melihat juga bagaimana
perbedaan yang mereka rasakan dalam hal proses pembelajaran sebelum dan saat pembelajaran daring
dilakukan, karena dengan adanya perbedaan kondisi, memungkinkan pula membuat penilaian dari siswa pun
dapat berbeda. Dari data demografi, ditemukan bahwa mayoritas responden mengatakan bahwa terdapat
perbedaan proses pembelajaran sebelum dan saat sistem daring dilakukan. Perbedaan yang paling mencolok
tentu saja dari tempat belajar, yang awalnya di sekolah menjadi di rumah masing-masing. Kemudian, fasilitas
yang awalnya menggunakan media papan tulis dan buku catatan di sekolah, berubah menjadi harus
menggunakan gawai untuk melangsungkan proses pembelajaran, mulai dari pemberian materi, pengumpulan
tugas, hingga pelaksanaan ujian. Kemudian ketika ditanya apakah dengan adanya perbedaan tersebut, lantas
mempengaruhi hasil pembelajaran atau tidak, mayoritas menjawab tidak, dan sebagian lagi mengatakan iya
mempengaruhi hasil pembelajaran mereka. Responden yang menyatakan bahwa dengan adanya perbedaan
proses pembelajaran ini berpengaruh terhadap hasil akhir pembelajaran mereka di sekolah, yang disebabkan oleh
beberapa hal. Hal ini kembali cukup menggambarkan mengenai bagaimana prestasi akademik itu sendiri
dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari faktor internal sampai dengan faktor eksternal. Menurut studi yang
dilakukan Subaryana (2015), siswa yang memiliki konsep diri positif cenderung belajar lebih optimal
dibandingkan dengan siswa yang memiliki konsep diri negatif. Dengan konsep diri yang positif, individu
cenderung untuk melakukan sesuatu secara optimal demi tercapainya tujuan mereka. Namun, ketika individu
memiliki konsep diri yang negatif, mereka cenderung kurang optimal dalam melakukan sesuatu dan diliputi atas
rasa keraguan, sehingga hasil yang mereka peroleh pun kurang maksimal.
Sedangkan, yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri peserta didik
itu sendiri, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi prestasi akademik, seperti faktor lingkungan keluarga, faktor
lingkungan sekolah dan pada lingkungan sosial yang lebih luas lainnya. Sifat-sifat orang tua, praktek
pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga dan demografi keluarga, semuanya dapat memberikan dampak baik
maupun buruk terhadap kegiatan belajar dan prestasi yang dicapai siswa (Simanullang, Wahjoedi & Sapto,
2017). Selain itu, lingkungan masyarakat pun memiliki peranan penting dalam mempengaruhi prestasi belajar,
karena siswa pun berada dalam suatu kelompok masyarakat dan teman-teman sepermainan (Simanullag, et.al.,
2017).
Untuk memperkaya informasi penelitian, peneliti juga melihat bagaimana hubungan antara setiap dimensi
dari school well-being, yaitu having, loving being dan health ini dengan academic achievement. Lebih
spesifiknya lagi, terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi having dengan prestasi akademik. Koefisien
korelasi yang didapatkan dari analisa hubungan ini adalah 0,850 sehingga menunjukkan hubungan yang kuat
antara kondisi lingkungan fisik sekolah dengan prestasi akademik dan berbanding lurus. Hubungan ini
menunjukkan semakin siswa merasa nyaman dengan kondisi lingkungan fisik sekolah, maka akan semakin
tinggi juga prestasi akademik yang mereka peroleh. Hal ini sejalan dengan data yang didapatkan dari Dinas
Pendidikan Kota Tasikmalaya mengenai sarana dan prasarana yang harus ada di setiap sekolah, sehingga
nampaknya kebutuhan mereka cukup terpenuhi. Selain itu, temuan ini juga sesuai dengan data awal yang diambil
oleh peneliti terhadap 26 siswa yang menunjukkan bahwa sebagian besar siswa tidak mengeluhkan kondisi
lingkungan fisik sekolah dan bahkan tidak merasa terganggu dengan proses pembelajaran yang dilakukan di
sekolah. Temuan ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Majid (2013), dimana lingkungan
fisik sekolah mempunyai pengaruh penting terhadap prestasi belajar siswa. Lingkungan sekolah secara fisik
meliputi keadaan fisik sekolah, sarana dan prasarana di dalam kelas, keadaan gedung sekolah, sumber-sumber
belajar, media belajar dan segalanya. Sarana dan prasarana yang tidak lengkap akan membuat proses
pembelajaran menjadi terhambat. Di sisi lain, lingkungan sekolah yang baik dapat membuat siswa merasa
nyaman saat melakukan aktivitas di dalam lingkungan sekolah, seperti melakukan tugasnya dengan baik.
Menurut Muhibbin Syah (2010), keadaan gedung sekolah dan letaknya, serta alat-alat belajar yang juga ikut
menentukan keberhasilan belajar siswa. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sekolah yang
memperhatikan fasilitas kesehatannya dapat mengurangi permasalahan terkait absensi, keterlambatan, dan
perilaku tidak disiplin dari para siswa nya, dan meningkatkan tingkat kelulusan (Irawan, 2017).
Kemudian, ditemukan pula bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi being dengan
academic achievement. Koefisien korelasi yang didapatkan dari analisa hubungan ini adalah 0,571 sehingga
menunjukkan hubungan yang kuat antara pemenuhan diri siswa di sekolah dengan prestasi akademik dan
berbanding lurus. Hubungan ini menunjukkan semakin terpenuhi kebutuhan siswa selama berada di sekolah,
maka akan semakin tinggi juga prestasi akademik yang mereka peroleh. Keterlibatan siswa selama di sekolah
dapat terihat dari partisipasinya dalam mengikuti kegiatan sekolah, kehadiran, kepatuhan pada aturan, dan sejauh
mana usaha yang ia keluarkan selama melakukan proses pembelajaran (Soutter et al., 2014). Studi yang
dilakukan di Eropa menemukan adanya hubungan yang signifikan antara keterlibatan siswa dengan kesuksesan
akademis dan well-being (Choi, 2013). Apabila kita melihat pada teori Self Determination, yang mengatakan
bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan fundamental psikologisnya terhadap relatedness, competency, dan
autonomy (Wang, et. Al., 2019), maka hal ini dapat membantu menjelaskan bahwa, ketika semua kebutuhan
tersebut sudah terpenuhi, maka keikutsertaan para individu di sekolah tersebut akan lebih konstruktif, seperti
siswa akan terlibat penuh ketika belajar di ruang kelas dan lebih bersedia untuk bekerja sama dengan peraturan
sekolah yang ada (R. M. Ryan & Deci, 2009). Kemudian, kebutuhan lainnya yang siswa dapatkan selama di
sekolah bisa melalui mengikuti kegiatan organisasi maupun ekstrakurikuler. Menurut Rakhmanti (2014),
kegiatan ekstrakurikuler merupakan salah satu kegiatan yang ditujukkan untuk mengembangkan potensi siswa.
Kegiatan organisasi maupun ekstrakurikuler dapat menjembatani kebutuhan siswa yang bervariasi, seperti minat,
kemampuan dan bakat. Dengan kegiatan ekstrakurikuler, siswa akan terlatih untuk membangun kemampuan
sosialnya. Selain itu, dengan mengembangkan potensi dan bakat yang dimiliki siswa, mereka akan menjadi lebih
siap untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan bertanggung jawab, termasuk dalam studinya (Yhunanda &
Soleh, 2020).
Selanjutnya, ditemukan pula bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi loving dengan
academic achievement pada siswa SMP di Kota Tasikmalaya. Koefisien korelasi yang diperoleh dari hubungan
ini adalah hubungan 0.739 yang berarti bahwa hubungan antara dimensi loving dengan prestasi akademik
berbanding lurus. Hubungan ini menunjukkan ketika seorang siswa semakin merasa terlibat dengan warga
lingkungan sekolah, baik itu teman, guru maupun pegawai sekolah lainnya, maka akan semakin tinggi pula
prestasi akademik yang diperoleh siswa. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Shunck (2012), yang menemukan bahwa relasi yang positif antara siswa dan guru diperlukan, karena guru dapat
membantu mengubah keyakinan siswa mengenai kemampuannya yang dapat bermanfaat untuk meningkatkan
motivasi belajar siswa. Remaja yang menikmati dukungan yang positif, baik itu dari teman maupun guru, akan
lebih termotivasi dan secara aktif lebih terlibat dengan kegiatan di sekolah. Misalnya, persepsi remaja bahwa
gurunya peduli dengan dirinya selama di sekolah (Roorda, Koomen, Spilt, & Oort, 2011), menunjukkan
feedback yang jelas, terstruktur dan positif (Skinner, Kindermann, Connell & Wellborn, 2009), dan bersedia
untuk menolong dengan permasalahan akademik (Newman, 2000), berhubungan positif dengan motivasi
akademik dan keterlibatan siswa di sekolah. Studi tambahan menunjukkan bahwa anak yang menikmati
hubungan positif dengan temannya akan merasa lebih terlibat dan bahkan unggul dalam tugas akademik
dibandingkan dengan anak yang hubungan pertemanannya bermasalah. Kompetensi sosial anak dengan
lingkungan pertemanan secara konsisten berhubungan positif dengan pencapaian akademiknya selama di
sekolah.
Selain itu, ditemukan pula bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi health dengan prestasi
akademik. Koefisien korelasi yang didapatkan dari analisa hubungan ini adalah 0,464 sehingga menunjukkan
hubungan yang sedang antara kondisi kesehatan siswa dengan prestasi akademik dan berbanding lurus.
Hubungan ini menunjukkan semakin terjaga kondisi kesehatan siswa selama berada di sekolah, maka akan
semakin tinggi juga prestasi akademik yang mereka peroleh. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Konold (2018) yang mengemukakan bahwa kesehatan juga dapat mempengaruhi performa
seseorang selama berada di sekolah. Bagaimanapun juga, penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara academic achievement dengan status kesehatan siswa. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Konald (2018) yang menyebutkan bahwa masalah kesehatan seperti penglihatan maupun
kesehatan mulut, asma, kehamilan masa remaja, gizi buruk, obesitas, stress kronis dan gangguan kurangnya
perhatian dan hiperaktif, menunjukkan resiko lebih rentan terhadap agresi dan kekerasan, aktivitas seksual yang
tidak aman, makan yang tidak sehat, kurangnya aktivitas fisik dan penggunaan obat-obatan yang berbahaya itu
berkaitan dengan kinerja skolastik yang rendah. Kemudian, apabila kita merujuk pada data penunjang, hubungan
yang sedang antara dimensi health dan academic achievement ini sendiri bisa saja disebabkan karena pada
umumnya, siswa merasa tidak ada kondisi kesehatan yang terlalu mengganggu dalam proses pembelajaran, baik
itu sebelum dan saat sistem daring dilakukan. Kalaupun ada, selama di sekolah, mereka dapat menggunakan
fasilitas UKS sebagai tempat untuk beristirahat, walaupun terkadang ada saja sekolah yang tidak selalu
memeriksa persediaan obat-obatan.

SIMPULAN
Hasil dalam penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara school well-being
dengan academic achievement pada siswa SMP di Kota Tasikmalaya, sehingga hipotesis penelitian diterima.
Hubungan korelasi kedua variabel ini bersifat positif dan berada pada taraf yang sedang. Kekuatan hubungan
yang sedang ini menunjukkan bahwa adanya faktor lain yang mungkin saja mempengaruhi penilaian siswa
terhadap sekolahnya maupun prestasi akademik yang mereka peroleh. Hal ini didukung dengan temuan
penelitian berdasarkan hasil uji beda data demografi, bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada asal
sekolah terhadap penilaian siswa terhadap sekolahnya. Selain itu, data penunjang pun menunjukkan bahwa
prestasi akademik siswa dalam penelitian ini tidak hanya dipengaruhi oleh school well-being saja, melainkan ada
faktor lainnya yang ikut berperan seperti, kecerdasan, minat-bakat, motivasi serta lingkungan keluarga.
Dimensi-dimensi school well-being secara berurut dari yang paling memiliki hubungan yang kuat dengan
academic achievement adalah having, loving dan being, sedangkan dimensi health memiliki hubungan korelasi
yang sedang dengan academic achievement. Sebagian besar responden memiliki skor school well-being pada
kategori sedang, yang artinya penialain mereka terhadap sekolah tidak begitu memuaskan tetapi juga tidak begitu
buruk. Selain itu, rata-rata responden memperoleh academic achivement pada kategori tinggi, artinya siswa
memiliki prestasi belajar yang baik selama bersekolah berdasarkan nilai raport yang mereka peroleh.

UCAPAN TERIMAKASIH

Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dra. Erna Susiati, M.Pd., Psikolog, selaku dosen pembimbing dan
Ibu Dra. Rasni Adha Yuanita, M.Si. Psikolog, selaku dosen pembahas, yang sudah mendampingi dan
memberikan masukan juga saran agar penelitian ini menjadi lebih baik. Serta, seluruh pihak yang terlibat,
terutama Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya dan siswa-siswa SMP Negeri di Kota Tasikmalaya yang sudah
berpartisipasi dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Majid. (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya


Adiputra, Sofwan., & Mujiyati. (2017). Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa di Indonesia: Kajian Meta Analisi.
Konselor. Vol. 6 (4), 150-157. doi: https://doi.org/10.24036/02017648171-0-00
Ailiyazzahroh, Lu’lu. (2016). Pengaruh Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Akademik Musyrif-Musyrifah Pusat
Ma’Had Al-Jami’ah. Fakultas Psikologi: Universitas Islam Neheri Maulana Malik Ibrahim Malang
Allardt, E. (1989). An Updated Indicator System: Having,Loving,Being. Working Paper. In Department of
Sociology,University of Helsinki, Helsink.
Anggreni, N. M. S., & Immanuel, A. S. (2019). School Well Being adalah Sekolah Impianku. Konsorsium
Psikologi Ilmiah Nusantara, 5(12).
Buecker, S., Nuraydin, S., Simonsmeier, B. A., & Schneider, M. (2018). Subjective Well-Being and Academic
Achievement: A Meta-Analysis. Journal of Research in Personality.
https://doi.org/10.1016/j.jrp.2018.02.007
Crede, J., Wirthwein, L., & McElvany, N. (2015). Adolescents’ Academic Achievement and Life Satisfaction:
The Role of Parents’ Education. Frontiers in Psychology, 6(52).
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2015.00052
Crede, J., Wirthwein, L., McElvany, N., & Steinmayr, R. (2015). Adolescents’ academic achievment and life
satisfaction: The role of Parents’ Education. Front. Psychology, 6(52).
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2015.00052
Christensen, L.B., Johnson, R.B., Tuner, L.A (2011). Research Methods, Design, and Analysis. Boston: Pearson
Dariyo, Agoes. (2015). Peran School Wellbeing dan Keterlibatan Akademik dengan Prestasi Belajar pada Siswa
Sekolah Dasar.
Diener, E., & Chan, M. Y. (2011). Happy People Live Longer: Subjective Well-Being Contributes to Health and
Longevityaphw. Applied Psychology: Health and Well-Being, 3(1), 1–43.
https://doi.org/doi:10.1111/j.1758-0854.2010.01045.x
Finn, J. D., & Rock, D. A. (1997). Academic Success Among Students at Risk for School Failure. Journal of
Applied Psychology, 82(2), 221-234. https://doi,org/10.1037/0021-9010.82.2.221
Flashman, J. (2011). Academic Achievement and Its Impact on Friend Dynamics. Sociology of Education, 85(1),
61–80. https://doi.org/10.1177/0038040711417014
Frase, J. M. A. B. J., Fozdar, F., Ala’i, K., Earnest, J., & Afari, E. (2015). Students’ perceptions of school
climate as determinants of wellbeing, resilience and identity. Improving School, 19(1), 5–26.
https://doi.org/10.1177/1365480215612616
Friedenberg, L. (1995). Psychological Testing: Designs, Analysis, and Use. USA: Allyn & Bacon.
Guilford, J.P, & Fruchter, B. (1987). Fundamental Statistic in Psychology and Education, 5 th Edition. McGraw-
Hill, Kogukasha, Ltd.
Goodwin, C. J. (2010). Research in Psychology: Methods and Design. In John Wiley & Sons, Inc.
Hamilton, N. V. (2011). A QUANTITATIVE STUDY OF THE TIMING OF PARENTAL DIVORCE ON THE
ACADEMIC ACHIEVEMENT FOR TRADITIONAL-AGED COLLEGE STUDENTS.
Heffiner, A. ., & Antaramian, S. . (2016). The Role of Life Satisfaction in Predicting Student Engagement and
Achievement. Journal of Happiness Studies, 17(4), 1681–1701. https://doi.org/10.1007/s10902-015-
9665-1
Hidayah, N., Pali, M., Ramli, M., & Hanurawan, F. (2016). Student’s Well-Being Assesment at School. Journal
of Educational, Health and Community Psychology, 5(1). Retrieved from
https://media.neliti.com/media/publications/70960-EN-students-well-being-assessment-at-school.pdf
Imam, S., & Kartika, S. D. (2015). KESEJAHTERAAN SEKOLAH DITINJAU DARI ORIENTASI BELAJAR
MENCARI MAKNA DAN KEMAMPUAN EMPATI SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS. Jurnal
Psikologi, 14(1), 9–20. https://doi.org/https://doi.org/10.14710/jpu.14.1.9-20
Jeynes, W. H. (2007). The Relationship Between Parental Involvement and Urban Secondary School Student
Academic Achievement: A Meta-Analysis. SAGE Journals.
https://doi.org/doi.org/10.1177/0042085906293818
Jonathan, Sarwono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu
Karyani, Usmi., Prihartanti, Nanik., P, Wiwien Dinar., Lestari, Rini., Hertinjung, Ws., Prasetyaningrum, Juliani.,
Yuwono, Susatyo., & Partini. (2015). The Dimensions of Student Well-being.
Konu, A., Alapen, E., & Rimpela, M. (2002). Well-being in schools: A conceptual model. Health Promotion
International. 17(1), 79–87. https://doi.org/doi.org/10.1093/heapro/17.1.79
Konold, T., Cornell, D., Jia, Y., & Malone, M. (2018). School Climate, Student Engagement, and Academic
Achievement: A Latent Variable, Multilevel Multi-Informant Examination. AERA Open, 4(4),
233285841881566. doi:10.1177/2332858418815661 
Kpolovie, P.J., A.I & Okto, T. (2014). Academi Achievement Prediction: Role of Interest in Learning and
Attitude Towards School. International Journal of Humanities, Social Sciene and Education; 1(11), 73-
100.
Lv, B., Zhou, H., Guo, X., Liu, C., Liu, Z., & Luo, L. (2016). The Relationship between Academic Achievement
and the Emotional Well-Being of Elementary School Children in China: The Moderating Role of Parent-
School Communication. Front. Psychology. https://doi.org/https://doi.org/10.3389/fpsyg.2016.00948
Lynch, A. D., Lerner, R. M., & Leventhal, T. (2012). Adolescent Academic Achievement and School
Engagement: An Examination of the Role of School-WIde Peer Culture. Journal of Youth and
Adolescene, 42(1), 6–19. https://doi.org/10.1007/s10964-012-9833-0
Lyubomirsky, S., King, L., & Diener, E. (2005). The Benefits of Frequent Positive Affect : Does Happiness Lead
to Success ? 131(6), 803–855. https://doi.org/10.1037/0033-2909.131.6.803
McKnight, C. G., Huebner, E. S., & Suldo, S. (2002). Relationships among stressful life events, temperament,
problem behavior, and global life satisfaction in adolescents. 39(6), 677–687.
OECD. (2017). PISA 2015 Results (Volume III): Students’ Well-Being, PISA. Retrieved from https://www.oecd-
ilibrary.org/docserver/9789264273856-en.pdf?
expires=1584408898&id=id&accname=guest&checksum=93CE36409303AB53F44151F1D0D098AB
Priatini, Woro., Latifah, Melly., Gurhardja, Suprihatin. (2008). Pengaruh Tipe Pengasuhan, Lingkungan Sekolah,
dan Peran Teman Sebaya Terhadap Kecerdasan Emosional Remaja. Vo. 1(1), 43.
Purnomo, Agustinus Budhi Aji Joko Purnomo. (2018). Hubungan antara School Wellbeing dengan Motivasi
Berprestasi pada Siswa Kelas XI di Sekolah Menengah Atas
Rachmah, Eva Nur. (2016). Pengaruh School Wellbeing Terhadap Motivasi Belajar Siswa. PSIKOSAINS. Vol.
11 (2), 99-108.
Ryan, A. M., & Patrick, H. (2001). The Classroom Social Environment and Changes in Adolescent’s Motivation
and Engagement during Middle School. American Educational Research Journal, 38, 437-460. Doi:
10.3102/00028312038002437
Santrock, J. W. (2014). Life Span Development: Australia. McGraw-Hill Education (Australia) Pty Ltd.
Santrock, J. W. (2018). Essentsials of Life-Span Development (5th Ed.). New York: McGraw-Hil.
Simanullang, Halasan., Wahjoedi., & Sapto, Ari. (2017). Peran Lingkungan Keluarga dalam Meningkatkan
Prestasi Belajar Siswa. Program Studi Pendidikan Dasar: Universitas Negeri Malang.
Sholeh, Muhammad & Yhunanda. (2020). Peran Kegiatan Ekstrakurikuler Dalam Upaya Meningkatkan Prestasi
Siswa. Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan: Universitas Negeri Surabaya.
Smith, R. et. a. (2010). The Effectiveness of Student Wellbeing Programs and Services. In Victorian Auditor
General’s Office (VAGO).
Spinath, B. (2012). Academic Achievement. Encylopedia of Human Behavior, 1–8.
https://doi.org/10.1016/b978-0-12-375000-6.00001-x
Stamp, E., Crust, L., Swann, C., Perry, J., Clough, P., & Marchant, D. (2015). Relationships between mental
toughness and psychological wellbeing in undergraduate students. Personality and Individual
Differences, 75, 170–174. https://doi.org/10.1016/j.paid.2014.11.038
Stiglbauer, B., Gnambs, T., Gamsjäger, M., & Batinic, B. (2013). The upward spiral of adolescents’ positive
school experiences and happiness: Investigating reciprocal effects over time. Journal of School
Psychology, 51(2), 231–242. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jsp.2012.12.002
Subaryana. (2015). Konsep Diri dan Prestasi Belajar. Jurnal Dinamika Pendidikan Dasar. Vol 7(2), 21-30.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Afabeta
Suldo, S. (2016). Promoting Student Happiness: Positive Psychology Interventions in Schools. Retrieved from
https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=uHSFDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&ots=bWleE4gOJE&sig=C3VBffMr4dY6Lq3EYfs-
uAOfUkw&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false
Wang, M., & Holcombe, R. (2010). Adolescents Perception of School Environment, Engagement, and Academic
Achievement in Middle School. American Educational Research Journal, 47, 633-662.
Wang, John & Liu, Woon & Kee, Ying Hwa & Chian, Lit. (2019). Competence, autonomy, and relatedness in
the classroom: understanding students’ motivational processes using the self-determination theory.
Heliyon. 5. e01983. 10.1016/j.heliyon.2019.e01983.
Widiyati, R., & Supriatna, U. Y. (2009). Hubungan antara School Well-Being dengan Penyesuaian Akademik
pada Siswa Kelas 3 Elektronika Industri di SMK Negeri 1 Cimahi. 863–869.
Yuzarion. (2017). Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Peserta idik. Retrieved from
http://journal2.um.ac.id/index.php/jktpk/article/download/2210/1304

Anda mungkin juga menyukai