Anda di halaman 1dari 154

HUBUNGAN SCHOOL WELL-BEING DENGAN ACADEMIC

ACHIEVEMENT PADA SISWA SMP NEGERI KOTA TASIKMALAYA

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana

pada Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran

NURUL ROCHMAH AZIZAH


NPM. 190110170048

FAKULTAS PSIKOLOGI
Universitas Padjadjaran
Sumedang
2021
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : HUBUNGAN SCHOOL WELL-BEING DENGAN

ACADEMIC ACHIEVEMENT PADA SISWA SMP

NEGERI KOTA TASIKMALAYA

PENYUSUN : NURUL ROCHMAH AZIZAH

NPM : 190110170048

Jatinangor, Juli 2021

Mengetahui:
Pembimbing

Dra. Erna Susiati, M.Pd., Psikolog


NIP. 195612241986092001

i
LEMBAR PERNYATAAN

Saya bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nurul Rochmah Azizah


NPM : 190110170048
Fakultas, Universitas : Psikologi, Universitas Padjadjaran

Dengan ini menyatakan bahwa judul skripsi “Hubungan School Well-being

dengan Academic Achievement pada Siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya”

adalah benar hasil karya peneliti dan bebas dari plagiat. Apabila pernyataan ini

terbukti tidak benar, maka saya bersedia bertanggung jawab dan menerima sanksi

sesuai ketentuan yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana

mestinya.

Tasikmalaya, 06 Juli 2021

Nurul Rochmah Azizah


NPM. 190110170048

ii
Abstrak

Sekolah merupakan lingkungan sosial yang berpotensi sebagai sarana atau


tempat perkembangan bagi siswanya. Proses pembelajaran yang dilakukan di
sekolah, diharapkan dapat memberikan suasana belajar yang nyaman dan mampu
mendorong kemauan siswa untuk belajar secara aktif (Rachmah, 2016).
Kenyamanan siswa belajar di sekolah sangat penting untuk memaksimalkan
proses penyerapan materi yang berpengaruh terhadap keberhasilan belajar dalam
bidang akademik. Menurut studi, proses dan hasil belajar siswa dipengaruhi
positif oleh kesejahteraan siswa itu sendiri di sekolahnya (Hidayah, Pali, Ramli, &
Hanurawan, 2016). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara school well-being dengan academic achievement pada siswa SMP Negeri
di Kota Tasikmalaya. Rancangan penelitian ini adalah non-eksperimental
kuantitatif, dengan metode korelasi. Penelitian ini dilakukan pada 200 siswa SMP
Negeri di Kota Tasikmalaya dengan teknik pengambilan data clustered sampling.
Pengambilan data menggunakan kuesioner yang dibagikan melalui google form
secara online. Data penelitian diperoleh melalui alat ukur School Well-Being
Model Scale (Konu & Rimpela, 2002) dan nilai raport sebagai data sekunder
untuk melihat Academic Achievement para siswa. Data diolah menggunakan uji
Pearson Product Moment. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara school well-being dan academic achievement pada siswa SMP
Negeri di Kota Tasikmalaya, dengan kekuatan sedang dan arah hubungannya
positif (r=0.426; p= 0.000). Dilihat dari setiap dimensi school well-being, terdapat
hubungan yang signifikan dengan academic achievement, dengan korelasi tinggi
dan satu dimensi (health) sedang. Penelitian ini menyatakan bahwa school well-
being memiliki peranan penting terhadap academic achievement siswa.

Kata kunci: School well-being, Academic Achievement, Siswa SMP, Kota


Tasikmalaya

iii
Abstract

School is a social environment that has the potential as a place for


student’s development. Efforts to improve student well-being have not yet become
the main agenda in every school. In fact, the well-being itself will ultimately affect
almost all aspects of optimizing student functions in schools (Smith, 2010).
According to studies, student learning processes and outcomes are positively
influenced by the well-being of students themselves in their schools (Hidayah,
Pali, Ramli, & Hanurawan, 2016). The purpose of this study was to determine the
relationship between school well-being and academic achievement in junior high
school students in Tasikmalaya. This research design is non-experimental
quantitative, with correlation method. This research was conducted on 200 junior
high school students in Tasikmalaya with clustered sampling technique. Data
retrieval using questionnaires distributed via online. The research data was
obtained by measuring the School Well-Being Model Scale (Konu & Rimpela,
2002) and the report cards as secondary data to see the Academic Achievement of
students. The data is processed using the Pearson Product Moment test. The
results of this study indicate that there is a relationship between school well-being
and academic achievement in junior high school students in Tasikmalaya, with
moderate strength and the direction of the relationship is positive (r= 0.426; p=
0.000). Seen from each dimension of school well-being, there is a significant
relationship with academic achievement, with a high correlation on three
dimension and one dimension (health) is on average correlation. This study states
that school well-being plays an important role for student’s academic
achievement.

Keywod: School Well-being, Academic Achievement, Junior High School


Student, Kota Tasikmalaya

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya,

Skripsi yang berjudul “Hubungan School Well-being dengan Academic

Achievement pada Siswa SMP Kota Tasikmalaya” ini dapat terselesaikan dengan

melalui proses yang sangat berdinamika, sehingga membuat peneliti banyak

belajar dari pengalaman ini. Peneliti juga ingin menyampaikan rasa syukur dan

terimakasih karena Allah SWT pula yang telah mengirimkan orang-orang berikut

dalam kehidupan peneliti untuk membantu peneliti, tidak hanya selama

pengerjaan skripsi melainkan dalam proses kuliah dan kehidupan:

1. Ibu dan Papap, yang selalu mendukung dan menemani setiap langkah

kehidupan. Terimakasih Bu, Pap, karena sudah selalu memberikan

kepercayaan penuh kepada peneliti, hingga akhirnya bisa ada pada titik ini.

2. Kakak dan Adik, yang selalu ada untuk memberikan hiburan dan bantuan

kepada peneliti selama ini.

3. Ibu Dra. Erna Susiati, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang telah dengan

sangat sabar dan telaten dalam memberikan arahan, feedback dan

dukungan dalam proses pengerjaan skripsi ini

4. Ibu Rasni Adha Yuanita, M.Si., Psikolog, sebagai dosen pembahas yang

banyak sekali memberikan masukan dan saran kepada peneliti demi

terciptanya penelitian ini menjadi lebih baik

v
5. Ibu Puspita Adhi Kusuma Wijayanti, M.Psi., Psikolog, selaku dosen

penguji yang telah bersedia untuk menguji sidang skripsi peneliti sekaligus

memberikan masukan dan arahan agar hasil penelitian ini dapat lebih baik.

6. Ibu Dr. Poeti Joefiani, M.Si., Psikolog dan Mba Vidya Anindhita, S.Psi.,

M.Psi., Psikolog selaku dosen wali yang telah membimbing dan

memberikan arahan kepada peneliti selama di Fakultas Psikologi

Universitas Padjadjaran tercinta ini

7. Syifa, Ratih, Riko, Novita dan Pietra yang telah hadir dan membuat

kehidupan kuliah peneliti menjadi lebih menyenangkan dan berkesan.

8. Rahmah, Yunia, Nadiah, Shaula, Nisrina, Anindhita, dan Suci, yang selalu

siap sedia untuk memberikan hiburan dan menghilangkan rasa jenuh

selama peneliti melewati proses yang panjang ini.

9. Pietra Shafira, Safarin Fitri Akmal, Fadila Lastriany dan Neysa Azzahra

yang sudah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membahas

draft peneliti dan memberikan saran yang berharga untuk penelitian ini.

10. Aureliza, Rijaludin, dan Nia yang sudah menjadi teman yang baik untuk

bercerita dan berdiskusi banyak hal selama masa-masa terakhir ini.

11. Untuk rekan-rekan yang membantu peneliti terus berkembang di

kehidupan perkuliahan ini, Trisula Magazine, Psymphonia, Psyferia,

Student Career Centre, Hibo, dan Unpad Awards.

12. Seluruh Ibu, Bapak, Ceu, Kang, Mba, Mas, dan Tenaga Pendidikan

Fakultas Psikologi Unpad, atas ilmu dan pelayanannya untuk seluruh

mahasiswa

vi
13. Keluarga besar Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran 2017 atas

segala kebaikan dan kebersamaannya melalui berbagai dinamika di

kehidupan kuliah ini

14. Pihak Dinas Pendidikan dan Seluruh SMP di Kota Tasikmalaya yang

terlibat dan sangat membantu peneliti menyelesaikan penelitian ini.

15. Dan pihak-pihak lainnya yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih sangat jauh dari kata

sempurna, sehingga kritik dan saran sangat diharapkan untuk kebermanfaatan

yang lebih baik dan luas lagi.

Tasikmalaya, 24 Juni 2021

Peneliti,

Nurul Rochmah Azizah

vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK iii
ABSTRACT iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
i
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Penelitian 1
1.2 Identifikasi Masalah 15
1.3 Tujuan Penelitian 17
1.3 Kegunaan Penelitian 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 20
2.1 School Well-being 20
2.1.1 Definisi School Well-being 20
2.1.2.1 Kondisi Sekolah (Having) 22
2.1.2.2 Relasi Sosial (Loving) 23
2.1.2.3 Pemenuhan Diri (Being) 24
2.1.2.4 Status Kesehatan (Health Status) 25
2.2 Academic Achievement 26
2.2.1 Definisi Academic Achievement 26
2.2.2 Faktor-faktor Academic Achievement 27
2.3 Remaja 30
2.4 Sekolah Menengah Pertama Negeri 32
2.5 Kerangka Pemikiran 37
2.6 Hipotesis Penelitian 44
BAB III METODE PENELITIAN 45
3.1 Pendekatan Penelitian 45
3.2 Rancangan Penelitian 45

viii
3.3. Variabel Penelitian 46
3.3.1 School Well-being 46
3.3.1.1 Definisi Konseptual 46
3.3.1.2 Definisi Operasional 47
3.3.2 Academic Achievement 47
3.3.2.1 Definisi Konseptual 47
3.3.2.2 Definisi Operasional 48
3.4 Alat Ukur 48
3.4.1 Alat Ukur School Well-being 49
3.4.1.1 Kisi – Kisi Alat Ukur School Wellbeing Scale (SWBS) 49
3.4.1.1 Validitas Alat Ukur School Well-being (SWBS) 52
3.4.1.2 Reliabilitas Alat Ukur School Well-being (SWBS) 52
3.4.1.3 Skoring Alat Ukur School Well-being Scale (SWBS) 53
3.4.2 Alat Ukur Academic Achievement 55
3.5 Partisipan Penelitian 56
3.5.1 Populasi Penelitian 56
3.5.2 Karakteristik Partisipan 58
3.5.3 Teknik Sampling 58
3.5.4 Jumlah Sampel 59
3.6 Prosedur Penelitian 61
3.7 Analisis Data 62
3.7. 1 Hipotesis Statistika 63
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 69
4.1 Hasil Penelitian 69
4.1.1 Data Demografis dan Data Penunjang 69
4.1.3 Gambaran Deskriptif Rata-rata School Well-being dan Academic
Achievement 76
4.1.3 Hasil Uji Normalitas 76
4.1.4 Hasil Uji Statistik 77
4.1.4.1 Uji Korelasi School Well-being dengan Academic Achievement77

ix
4.1.4.2 Uji Korelasi Dimensi-dimensi School Well-being dengan
Academic Achievement 78
4.1.4.2 Uji Beda data Demografi 80
4.2 Pembahasan 84
4.3 Limitasi Penelitian 96
BAB V KESIMPULAN & SARAN 97
5.1 Simpulan 97
5.2 Saran 98
5.2.1 Saran Teoritis 98
5.2.2 Saran Praktis 99
LAMPIRAN 110

x
DAFTAR TABEL

7
Tabel 1.1 Jumlah Jawaban Siswa terhadap Kondisi Fisik dan Sarana

Prasarana Sekolah

Jumlah Jawaban Siswa terhadap Kondisi Relasi Sosial Siswa 10


Tabel 1.2
di Sekolah
51
Tabel 3.1 Pemberian Nilai Skor Pada School Well-being Scale (SWBS)

51
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Alat Ukur School Well-being Scale (SWBS)

56
Tabel 3.3 Kategorisasi rentang skor alat ukur School Well-being Scale

(SWBS)

57
Tabel 3.4 Kategorisasi Rentang Skor Nilai Raport

58
Tabel 3.5 Jumlah Populasi Penelitian

66
Tabel 3.6 Kriteria Koefisien Korelasi

69
Tabel 4.1 Data Demografis

72
Tabel 4.2 Kondisi Kesehatan Siswa Sebelum dan Saat Proses

Pembelajaran Daring

74
Tabel 4.3 Respon Siswa Terhadap Perbedaan Proses Pembelajaran

76
Tabel 4.4 Skor Rata-rata School Well-being dan Academic Achievement

77
Tabel 4.5 Hasil Uji Asumsi

xi
77
Tabel 4.6 Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment

78
Tabel 4.6 Hasil Uji Korelasi Dimensi-dimensi School Well-being dengan

Academic Achievement

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran School Well-being dengan Academic 27

Achievement

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Sekolah merupakan lingkungan sosial yang berpotensi sebagai sarana atau

tempat perkembangan bagi siswanya. Lingkungan sekolah tidak dapat dipisahkan

dengan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah,

diharapkan dapat memberikan suasana belajar yang nyaman dan mampu

mendorong kemauan siswa untuk belajar secara aktif (Rachmah, 2016).

Kenyamanan siswa belajar di sekolah sangat penting untuk memaksimalkan

proses penyerapan materi yang berpengaruh terhadap keberhasilan belajar dalam

bidang akademik. Menurut studi, proses dan hasil belajar siswa dipengaruhi

positif oleh kesejahteraan siswa itu sendiri di sekolahnya (Hidayah, Pali, Ramli, &

Hanurawan, 2016).

Baru-baru ini, kesejahteraan remaja merupakan variabel yang semakin

dieksplorasi dalam menyelidiki academic achievement (OECD, 2017). Ada

beberapa studi cross-sectional yang menyarankan untuk meneliti lebih lanjut

mengenai hubungan antara well being dan academic achievement (Crede,

Wirthwein, & McElvany, 2015). Hal ini didukung dengan sebuah studi yang

menyatakan bahwa siswa yang memiliki subjective well-being yang baik selama

di sekolah, lebih memungkinkan untuk mendapatkan nilai indeks kumulatif yang

1
lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Suldo, 2012). Hal ini cukup

menggambarkan bahwa terciptanya iklim sekolah yang nyaman tentu akan

mempengaruhi performa siswa selama berada di sekolah, salah satunya terhadap

prestasi akademik yang mereka peroleh. Semakin banyak juga penelitian yang

menunjukkan bahwa iklim lingkungan sosial, sistem pengajaran, dan organisasi

sekolah mempengaruhi keterlibatan siswa dan academic achievement (Eccles,

Wigfield, & Scheifele, 1998; H. Patrick, Ryan, & Kaplan, 2007; AM Ryan &

Patrick, 2001). Di sisi lain, hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

siswa yang memiliki kepuasan yang rendah terhadap sekolah justru akan

menurunkan academic achievement dan meningkatkan perilaku bermasalah

remaja (Suldo, 2016).

Konsep yang sesuai dalam menggambarkan keberhasilan suatu sekolah

menjadi lingkungan positif demi tercapainya aktualisasi para siswa, yaitu school

well-being model (Imam & Kartika, 2015). Konu dan Rimpela (2002),

mengemukakan bahwa school well-being merupakan pengukuran penilaian

subyektif siswa terhadap terpenuhinya kebutuhan sekolah. Konsep ini mereka

kemukakan sebagai hasil dari penerapan teori well-being yang dikemukakan oleh

Allardt. Allardt (1989) mendefinisikan well-being sebagai keadaan yang

memungkinkan individu untuk memuaskan berbagai kebutuhan dasarnya, yakni

kebutuhan material dan non-material. Berdasarkan kebutuhan ini, kemudian

Allardt membaginya ke dalam tiga kategori, yaitu having yang mengacu pada

kondisi lingkungan, being mengacu pada pemenuhan kebutuhan diri dan loving

yang berkaitan dengan hubungan relasi sosial antar individu. Kemudian, Konu

2
dan Rimpela (2002) mencoba untuk mengembangkan konsep tersebut ke dalam

konteks pendidikan dan mengemukakan konsep mengenai school well-being pada

siswa, yang di dalamnya meliputi empat dimensi, yaitu kondisi sekolah (having),

hubungan sosial (loving), pemenuhan diri siswa (being) dan status kesehatan

(health) yang berperan dalam proses pembelajaran di sekolah.

Sebagai organisasi pendidikan formal, sekolah berperan dalam

meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Mutu pendidikan dapat meningkat

seiring dengan meningkatnya pula prestasi akademik yang merupakan indikator

keberhasilan belajar di sekolah. Siswa dengan prestasi akademik yang tinggi

dianggap memiliki kemampuan intelektual yang tinggi pula dan mempunyai

peluang keberhasilan dalam proses belajar maupun pekerjaannya di kemudian hari

(Pambayun, 2010). Menurut Winkel (1991), prestasi akademik atau academic

achievement ini adalah perwujudan dari potensi apa yang sudah dipelajari atau

kemampuan yang terinternalisasi pada diri siswa terkait dengan penguasaan bahan

pelajaran yang disajikan pada mereka. Academic achievement merupakan tolak

ukur keberhasilan siswa sehingga perlu dikaji tentang aspek-aspek yang dapat

menunjang meningkatnya prestasi belajar dan mutu pendidikan di Indonesia

(Rohwati, 2012; Siagian, 2012; Wibawa, 2003).

Beberapa laporan mengungkapkan bahwa prestasi belajar peserta didik di

Indonesia kurang optimal. Studi yang dilakukan oleh The International

Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) padah tahun

2011, menunjukkan bahwa kemampuan bidang IPA dan Matematika, pelajar SMP

Indonesia berada pada urutan 38 dari 39 peserta (Yuzarion, 2017). Selain itu,

3
menurut studi yang dilakukan oleh United Nation Educational, Scientitif and

Cultural Organization (UNESCO) – Badan Perserikatan Bangsa yang mengurus

bidang pendidikan, pada tahun 2015, Indonesia menempati peringkat ke-10 dari

14 negara berkembang. Keterpurukan Indonesia dalam bidang akademik juga

dinyatakan oleh studi yang dilakukan oleh PISA (2015), bahwa peringkat

penguasaan remaja berusia 15 tahun di Indonesia terhadap keupayaan pemahaman

Sains, Membaca dan Matematika masih berada pada lapisan bawah, yakni pada

peringkat 69 dari 76 negara. Berdasarkan beberapa hasil studi mengenai mutu

pendidikan, dapat dikatakan bahwa keberhasilan siswa dalam bidang pendidikan

di Indonesia masih terbilang rendah. Di sisi lain, ketercapaian tujuan pendidikan

sangat ditentukan oleh proses yang berlangsung di dalamnya. Proses dalam

pendidikan sangat dipengaruhi oleh tingkat kelayakan unsur-unsur dalam sekolah

yang diperlukan untuk berlangsungnya pembelajaran.

Berdasarkan status, lembaga pendidikan/sekolah terbagi menjadi dua,

yaitu sekolah negeri dan sekolah swasta. Pada dasarnya, sekolah swasta dan

negeri memiliki tujuan yang sama seperti dengan apa yang tertuang pada

Pembukaan UUD 1945, yakni mencerdasrkan kehidupan bangsa. Oleh karena itu,

dengan karakteristiknya masing-masing, sekolah negeri dan swasta tentunya telah

berusaha untuk mencapai tujuan nasional tersebut. Terlepas dari usaha tersebut,

keberhasilan yang diperoleh dari proses belajar mengajar di sekolah, tetap tidak

bisa dilepaskan dari beberapa faktor seperti, faktor guru yang mengajar, siswa

yang berpartisipasi, metode serta materi pembelajaran, juga sarana penunjang

kegiatan belajar mengajar.

4
Pendidikan formal di Indonesia sebagian besar disediakan oleh

pemerintah. Namun, dengan keterbatasan dana, umumnya pemerintah memberi

pelayananan pada masyarakat tidak dengan standar yang maksimal, salah satunya

yaitu pelayanan pendidikan di sekolah negeri. Oleh karena itu, untuk melihat

bagaimana kondisi sekolah negeri secara menyeluruh adalah hal yang menarik

untuk ditelaah lebih lanjut. Di Indonesia, permasalahan mengenai proses

pembelajaran di sekolah masih cukup sering dijumpai. Hal ini terbukti dengan

munculnya berbagai macam kasus, seperti bullying, atau perilaku tidak terpuji

lainnya yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa, guru terhadap siswa ataupun

sebaliknya. Pernyataan ini didukung dengan hasil studi yang dilakukan oleh

Halimah, Khumas & Zainuddin (2015), berdasarkan data Komisi Perlindungan

Anak Indonesia (KPAI), dari tahun 2011-2014, tercatat sebanyak 369 pengaduan

terkait masalah bullying, dimana jumlah itu sekitar 25% dari total pengaduan di

bidang pendidikan yang sebanyak 1.480 kasus. Selain itu, tidak jarang juga

ditemukan fasilitas sekolah negeri yang belum memadai untuk menunjang proses

pembelajaran. Dikutip dari hasil studi Novita (2017), berdasarkan data statistik

Kemdikbud terbaru per-2016, sebanyak 88.8% sekolah di Indonesia, mulai dari

jenjang SD - SMA/SMK belum melewati mutu standar pelayanan sekolah

minimal. Layanan pendidikan mulai dari guru, bangunan sekolah, fasilitas

perpustakaan dan laboraturium, buku-buku pelajaran serta referensi lainnya masih

terbilang minim. Pada tahun 2019, Kemdikbud mengeluarkan data terbaru

mengenai kondisi ruang kelas untuk seluruh jenjang SMP negeri di Indonesia

yakni, sebanyak 14.1% tergolong dalam kondisi baik, 64.80% rusak ringan,

5
15.17% rusak sedang dan 5.90% rusak berat. Hal ini cukup menunjukkan belum

meratanya fasilitas sarana dan prasrana yang memadai di seluruh sekolah.

Permasalahan tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu, daerah yang terpencil

dan jauh dari perkotaan dalam mengakses layanan pendidikan yang masih belum

terdistribusi secara merata, seperti belum meratanya distribusi guru yang

berkualitas dan belum optimalnya pelayanan pendidikan sebagai akses akibat

terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan (Badan Pembangunan Nasional,

2014). Di sisi lain, sekolah yang ideal merupakan sekolah yang diharapkan

mampu memberikan pengalaman terbaik bagi siswa, sehingga membuat siswa-

siswanya merasa nyaman dan sejahtera di dalamnya (Karyani, et al., 2016).

Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa masih terdapat sekolah yang

belum terlalu memperhatikan kenyamanan, yang ujungnya akan berdampak pula

well-being siswanya. Hal ini biasanya terjadi di sekolah yang berada di kota kecil

yang masih berkembang, salah satunya kota Tasikmalaya. Hal paling mencolok

yang terlihat ialah fasilitas sekolah yang terlihat belum maksimal untuk

mendukung proses pembelajaran, seperti bangku sekolah yang banyak coretan,

sehingga terkesan kotor. Kemudian, kursi dan meja beberapa ada yang sudah

terlihat sudah tidak nyaman, seperti berdecit ketika digunakan. Selain itu,

mayoritas toilet yang berada di setiap sekolah beraroma tidak sedap, air yang

tidak terlalu jernih seperti terdapat jentik nyamuk di dalam bak/ember, ataupun

banyak coretan di tembok sehingga memberikan kesan kotor dan tidak rapi.

Fenomena ini pun akhirnya diperkuat dengan pengambilan data awal yang

dilakukan oleh peneliti melalui pengisian kuesioner mengenai keadaan sekolah

6
seperti, tanggapan mereka mengenai fasilitas yang ada, kenyamanan

menggunakan fasilitas tersebut, hubungan antarsiswa maupun dengan gurunya

selama di sekolah dan seperti apa pengaruhnya terhadap proses belajar mereka.

Pengambilan data awal ini dilakukan terhadap 26 siswa dari empat SMP Negeri.

Berikut hasil pengolahan data awal yang sudah dikelompokkan oleh peneliti

mengenai fasilitas dan kondisi sekolah.

Tabel 1. 1 Jumlah Jawaban Siswa terhadap Kondisi Fisik dan Sarana Prasarana

Sekolah

No Kondisi Fisik dan Sarana Prasarana


Jumlah Siswa yang Setuju
. di Sekolah
1. Terlalu banyak murid dalam satu kelas 7 siswa (26,9%)
2. Lingkungan sekolah berisik 9 siswa (34,6%)
3. Tidak betah untuk menggunakan meja

dan bangku, terutama dalam jangka 9 siswa (34,61%)

waktu yang cukup panjang.


4, Fasilitas sekolah seperti toilet, mushola,

ruang UKS, laboratorium dan


10 siswa (38,5%)
perpustakaan yang ada di sekolah

masih belum layak.

7 dari 26 orang siswa (26,9%) menganggap terlalu banyak murid dalam

satu kelas. Tujuh orang siswa yang menjawab ini berasal dari tiga sekolah yang

berbeda. Kemudian peneliti mencoba mencari tahu mengenai dampak apa yang

mereka rasakan akibat hal ini. Setelah dilakukan pengkodingan, tiga siswa

7
menganggap banyaknya orang dalam satu ruangan membuatnya mudah merasa

gerah, sedangkan empat orang lainnya merasa sesak maupun sumpek. Ketujuh

siswa yang menjawab setuju, merasa hal ini pada akhirnya berdampak terhadap

ketidaknyamanan dalam belajar, sehingga membuat siswa menjadi tidak

memahami materi yang dipelajari di kelas dengan maksimal.

9 dari 26 siswa (34,6%) merasa lingkungan sekolah mereka berisik, seperti

banyaknya suara kendaraan bermotor yang berlalu-lalang. Sembilan orang yang

mengatakan setuju ini berasal dari keempat sekolah yang berbeda. Kemudian

peneliti mencoba untuk menanyakan terkait dampak apa yang mereka rasakan

akibat kondisi ini, setelah dikoding, hasilnya ialah, tujuh orang siswa merasa

konsentrasi mereka belajar di dalam kelas terganggu dan hal ini berdampak juga

pada kesulitan untuk menangkap materi pembelajaran dengan maksimal. Di sisi

lain, dua siswa lainnya merasa hal ini tidak terlalu mengganggu aktivitas belajar

mereka di sekolah, karena merasa sudah terbiasa.

9 dari 26 siswa (34,6%) merasa bahwa mereka tidak betah untuk

menggunakan meja dan bangku, terutama dalam jangka waktu yang cukup

panjang. Kemudian dampak yang mereka rasakan dari situasi ini, 10 orang siswa

menganggap sebenarnya hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap proses

pembelajaran mereka. Kemudian, tiga orang lainnya merasa bahwa kursi atau

meja yang sudah tidak kokoh dan berdecit terkadang membuat mereka tidak

nyaman ketika melakukan proses pembelajaran di kelas.

8
10 dari 26 siswa (38,5%) menganggap bahwa fasilitas sekolah seperti

toilet, mushola, ruang UKS, laboratorium dan perpustakaan yang ada di sekolah

masih belum layak. Dari keempat SMP yang siswanya menjawab setuju, mereka

menganggap bahwa beberapa fasilitas yang ada di sekolahnya memang belum

memadai, seperti fasilitas toilet yang dirasa masih kurang memadai, siswa yang

berasal dua dari empat sekolah menganggap keadaan toilet yang tidak nyaman

terkadang membuat siswa menjadi malas untuk melakukan aktivitas di toilet dan

beberapa siswa ada yang lebih memilih untuk menahannya hingga mereka pulang

ke rumah. Dampaknya ialah siswa merasa lebih mudah gelisah ketika harus

melanjutkan kegiatan selama di sekolah. Sama halnya dengan ruang UKS, siswa

yang berasal dari salah satu dari empat sekolah yang ada, merasa ruangan UKS

mereka berada di pojokan, sehingga terkesan gelap dan sedikit menakutkan,

sehingga mereka jarang menggunakan ruangan UKS. Selanjutnya, ada beberapa

siswa yang memang belum pernah menggunakan ruang UKS. Kemudian, untuk

ruang laboratorium, seluruh siswa yang menjawab setuju dari keempat sekolah

merasa ruangan tersebut sudah baik-baik saja, namun terkadang terdapat peralatan

yang rusak atau tidak dapat digunakan. Lalu, untuk perpustakaan, tiga dari empat

sekolah, siswa mengatakan bahwa perpustakaan mereka sudah cukup baik, namun

memang mereka jarang menggunakan fasilitas perpustakaan tersebut, selain untuk

meminjam buku paket. Kemudian, siswa-siswa yang berasal dari satu sekolah

lainnya merasa bahwa mereka dapat menggunakan perpustakan sebagaimana

mestinya, seperti meminjam buku, membaca buku, ataupun terkadang

mengerjakan tugas disana.

9
Di sisi lain, lingkungan fisik sekolah mempunyai pengaruh penting

terhadap prestasi belajar siswa. Lingkungan sekolah secara fisik meliputi keadaan

fisik sekolah, sarana dan prasarana di dalam kelas, keadaan gedung sekolah,

sumber-sumber belajar, media belajar dan sebagainya. Gedung sekolah yang

kurang memadai, terutama pada ruang kelas atau ruangan tempat belajar dapat

mempengaruhi prestasi belajar siswa. Selain gedung sekolah, jika sarana dan

prasarana tidak lengkap akan membuat proses pembelajaran menjadi terhambat

(Majid, 2013). Sedangkan, dengan lingkungan sekolah yang baik dapat membuat

siswa merasa nyaman saat melakukan aktivitas dalam lingkungan sekolah seperti

melakukan tugasnya dengan baik (Konu & Rimpela, 2002). Selain itu, menurut

Muhibbin Syah (2010), keadaan gedung sekolah dan letaknya, serta alat-alat

belajar yang juga ikut menentukan keberhasilan belajar siswa. Penelitian

sebelumnya menunjukkan bahwa sekolah yang memperhatikan fasilitas

kesehatannya dapat mengurangi permasalahan terkait absensi, keterlambatan, dan

perilaku tidak disiplin dari para siswanya, dan meningkatkan tingkat kelulusan

(Irawan, 2017).

Tabel 1.2 Jumlah Jawaban Siswa terhadap Kondisi Relasi Sosial Siswa di Sekolah

No Kondisi Relasi Sosial Siswa di Sekolah Jumlah Siswa yang Setuju

.
1. Tidak memiliki grup pertemanan, baik itu

untuk mengerjakan tugas ataupun 7 siswa (23,1%)

bermain
2. Kesulitan mencari teman ketika guru 2 siswa (7%)

10
meminta membuat kelompok untuk

mengerjakan tugas kelompok.


3. Tidak nyaman dengan gurunya. 21 siswa (81,4%)
4. Pernah terjadi kasus

kekerasan/kecelakaan dalam lingkungan 14 siswa (55,4%)

sekolah.

7 dari 26 siswa (23,1%) menyatakan, mereka tidak memiliki grup

pertemanan, baik itu untuk mengerjakan tugas ataupun bermain. Ketujuh orang

siswa menganggap hal ini berpengaruh pada sulitnya mencari teman untuk

berdiskusi, seperti untuk mengerjakan pekerjaan rumah bersama, belajar bersama

ketika akan menghadapi ujian, ataupun sekedar mendapatkan teman untuk pergi

ke kantin saat jam istirahat. Sehingga dampak yang mereka rasakan adalah, empat

orang menyatakan mereka merasa kesepian, tiga orang merasa terkadang merasa

malas ke sekolah. Hal ini akhirnya membuat mereka tidak merasa terlalu engage

dengan kegiatan di sekolah, termasuk kegiatan belajar di kelas.

2 dari 26 siswa (7%) mengatakan setuju bahwa mereka merasa kesulitan

mencari teman ketika guru meminta membuat kelompok untuk mengerjakan tugas

kelompok. Jumlah ini terbilang kecil, karena biasanya guru sudah membuatkan

kelompok untuk para siswanya, sehingga siswa tidak diminta untuk membentuk

kelompok sendiri.

Sebanyak 21 dari 26 siswa (81,4%) pernah merasa tidak nyaman dengan

gurunya. Adapun alasan yang dilontarkan oleh siswa mengapa pada akhirnya

mereka merasa tidak nyaman, seperti guru kurang jelas dalam memberikan materi,

11
guru yang kurang melakukan interaksi dengan muridnya sehingga seringkali

ditemukan murid yang tertidur ataupun mengobrol, guru yang hanya memberikan

tugas tetapi jarang menjelaskan materi, guru yang pilih kasih terhadap muridnya,

dan volume suara yang digunakan guru terlalu kecil. Kemudian, sembilan siswa

menganggap, hal ini pun akhirnya berdampak pada sulitnya untuk menyerap

materi belajar dengan maksimal, enam siswa berpendapat mereka tidak merasa

terlibat dengan proses pembelajaran di kelas, dan lima siswa menjadi merasa

malas mendengarkan materi.

14 dari 26 siswa (55,4%) siswa menjawab bahwa pernah terjadi kasus

kekerasan/kecelakaan dalam lingkungan sekolah. Bentuk kekerasan yang terjadi

di ketiga sekolah yang fenomenanya muncul ini, seperti perundungan antara

kakak dengan adik kelas, ataupun teman satu angkatan, yang biasanya berbentuk

verbal. 14 orang siswa yang menjawab “Ya”, mengatakan bahwa hal ini membuat

mereka tidak betah bahkan kadang merasa ketakutan berada di lingkungan

sekolah.

Padahal, hubungan interpersonal murid yang positif dapat menumbuhkan

rasa akan kepercayaan, merasa diapresasi dan lebih peduli terhadap anggota

sekolah lainnya (Wang, et al., 2012). Selain itu, menurut Santrock (2020),

kelompok pertemanan penting dalam kehidupan remaja, karena mereka harus

memenuhi tugas perkembangan sosial dengan memiliki clique yang bisa mereka

dapatkan di sekolah.

12
Selanjutnya, untuk pertanyaan tambahan mengenai kurikulum, jadwal,

ekstrakurikuler dan status kesehatan, didapatkan bahwa kurikulum pembelajaran

dan jadwal pelajaran tidak ada siswa yang mengeluhkan hal tersebut. Keterlibatan

siswa dengan sekolah pun cukup baik, seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler

untuk menunjang keseimbangan non-akademik, terlibat organisasi seperti

Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Perwakilan Kelas (PK) ataupun

ekstrakurikuler lainnya, dan mendapatkan dukungan dari pihak sekolahnya itu

sendiri. Dari segi kesehatan pun, tidak ada siswa yang mengeluhkan adanya sakit

yang terlalu mengganggu aktivitas mereka selama di sekolah.

Kemudian, peneliti juga mencoba untuk mencari data awal untuk melihat

perspektif guru. Seperti yang kita tahu, bahwa guru sebagai tenaga pendidik tentu

memiliki peran yang penting dalam mempengaruhi kenyamanan siswa di sekolah.

Peneliti mewawancarai empat orang guru dari empat sekolah yang berbeda. Dari

empat guru yang diwawancara, mereka mengeluh karena beberapa muridnya

memang ada yang sulit untuk diatur, beberapa ada yang sering tidak masuk

sekolah tanpa memberikan alasan/izin terlebih dahulu dan terkadang ada juga

siswa yang melarikan diri saat pelajaran belum selesai. Selain itu, kondisi di

dalam kelas pun, guru sering menjumpai siswa yang tidak memperhatikan materi

dan malah asyik dengan aktivitasnya sendiri, seperti mengobrol atau bermain

handphone. Guru-guru melihat bahwa siswa kurang terlibat secara serius untuk

mengikuti proses pembelajaran di dalam kelas, yang mungkin saja diakibatkan

dari kurang adanya motivasi dari dalam diri mereka. Di sisi lain, motivasi sendiri

diperlukan sebagai dorongan siswa untuk lebih terlibat dengan proses

13
pembelajaran. Menurut keempat guru yang diwawancara, kurangnya motivasi

yang muncul dari siswa yang menunjukkan perilaku diatas bisa saja disebabkan

oleh beberapa hal, yakni merasa tidak nyaman ataupun tidak betah selama berada

di ruangan kelas, entah itu karena ruangan kelas yang panas, lingkungan sekolah

yang berisik karena banyaknya kendaraan yang berlalu-lalang, adanya

permasalahan pribadi baik itu dengan teman maupun keluarga, sedang sakit

sehingga tidak fokus, ataupun tidak memiliki minat terhadap mata pelajaran

tertentu.

Berdasarkan pemaparan data awal diatas, terlihat bahwa ternyata

mayoritas siswa tidak mengeluhkan permasalahan kondisi fisik maupun sarana

dan prasarana sekolah. Selain itu, siswa juga tidak memiliki keluhan terhadap

kurikulum, jadwal, ekstrakurikuler dan status kesehatan, Hal ini cukup menarik,

karena berarti sebagian siswa merasa tidak ada permasalahan mengenai kondisi

fasilitas sekolah. Namun di sisi lain, adapula ternyata beberapa siswa yang

memberikan keluhannya dan bahkan merasa terganggu dengan hal tersebut, hal

inilah yang perlu kita perhatikan agar pengalaman siswa selama melakukan proses

pembelajaran siswa dapat merata. Hal menarik lainnya yang menonjol pada

jawaban para siswa yaitu mengenai relasi sosial. Mayoritas siswa mengeluhkan

kondisi hubungan antara siswa dengan siswa, maupun siswa dengan guru, yang

mana hal tersebut ternyata cukup memberikan dampak juga terhadap

keberlangsungan mereka selama melakukan proses pembelajaran di sekolah.

Berdasarkan hal ini, kita dapat melihat bahwa masih terdapat beberapa siswa yang

menghadapi permasalahan atau mengalami keluhan selama berada di sekolah.

14
Dengan kata lain, nampaknya usaha untuk meningkatkan kesejahteraan siswa

ternyata belum menjadi agenda utama di setiap sekolah. Padahal, kesejahteraan

inilah yang pada akhirnya akan mempengaruhi hampir seluruh aspek bagi

optimalisasi fungsi siswa di sekolah (Smith, 2010).

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan school well-

being dengan academic achievement. Selain karena masih ditemukannya gap

antara bagaimana kondisi sekolah yang ideal dan kondisi aktual yang ditemukan

di lapangan, hasil studi juga menunjukkan bahwa academic achievement siswa

SMP di Indonesia berada pada urutan yang rendah. Selain itu, belum ditemukan

penelitian yang dapat menggambarkan lebih jelas mengenai bagaimana berbagai

aspek lingkungan sekolah, yang sudah dikemas dalam konsep school well-being,

secara bersamaan yang membuktikan adanya hubungan dengan academic

achievement siswa, khususnya pada remaja SMP. Dalam hal ini, berarti konsep

terkait school well-being dapat menjadi pertimbangan sekolah agar dapat lebih

memahami hal-hal apa saja yang mampu membuat siswa merasa senang, nyaman

dan sejahtera untuk menunjang keberhasilan proses pembelajaran siswa selama

berada di sekolah. Berdasarkan informasi di atas, peneliti berpendapat bahwa

sangat penting untuk menciptakan lingkungan sekolah yang sejahtera bagi

siswanya, sehingga dapat memaksimalkan kemampuan mereka untuk meraih

prestasi akademik yang tinggi. Hal ini yang akhirnya semakin membuat peneliti

menjadi lebih tertarik untuk melihat hubungan keduanya.

15
1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan data awal yang diperoleh, beberapa siswa ada yang merasa

bahwa hubungan relasi sosial mereka masih belum terlalu baik, dengan teman

maupun guru. Kemudian, kondisi fisik serta fasilitas sekolah pun mendapatkan

keluhan dari sebagian besar siswa, karena kurang menunjang proses pembelajaran

yang nyaman di sekolah. Ditambah, beberapa guru pun menyatakan bahwa

beberapa siswa menunjukkan rendahnya motivasi ketika mengikuti pembelajaran.

Permasalahan pada aspek relasi sosial dan kondisi sekolah cukup menonjol dalam

menggambarkan adanya indikator school well-being yang kurang diperhatikan.

Hal ini menunjukkan bahwa, kesejahteraan di sekolah tidak memperoleh peran

penting dalam program-program yang dikembangkan, tetapi sebagai subjek yang

terpisah dari tujuan pembelajaran yang menyeluruh. Mereka tidak melihat sekolah

sebagai sebuah kesatuan, tetapi hanya terkonsentrasi pada pencapaian siswa di

sekolah saja (Konu & Rimpela, 2002).

Di sisi lain, school well-being dan pencapaian akademik (academic

achievement) menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal ini tergambarkan

dari hasil kajian peneliti berdasarkan literature review yang menyatakan bahwa

siswa yang sukses tidak hanya berkinerja baik secara akademis tetapi juga puas di

sekolah (OECD, 2017). Pada dasarnya, sekolah merupakan tempat di mana orang

terhubung dengan orang lain, mengembangkan kepribadian mereka, dan melihat

konsep dunia yang lebih luas. Kesejahteraan subjektif dan prestasi akademik

keduanya merupakan indikator utama dari fungsi psikologis positif (Suldo, 2016)

16
dan keduanya merupakan variabel yang menarik dalam mengidentifikasi

karakteristik sistem pendidikan berkinerja tinggi (OECD, 2017). Oleh karena itu,

peneliti semakin tertarik ingin melihat keterhubungan antara school well-being

dengan academic achievement pada peserta didik.

Oleh karena itu, pertanyaan yang ditemukan oleh peneliti adalah:

“Apakah terdapat hubungan antara school well-being dengan academic

achievement pada siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya?”

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan school well-being dengan academic

achievement pada siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya.

1.3 Kegunaan Penelitian

1. Untuk memperkaya pengetahuan, khususnya dalam bidang Psikologi

Pendidikan.

2. Agar hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan penelitian

selanjutnya mengenai School Well-Being serta hubungannya dengan

academic achievement yang mana masih sangat jarang ditemukan,

terutama untuk kota-kota kecil.

17
3. Agar hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukkan bagi pihak

sekolah mengenai gambaran school well-being sekolah tersebut supaya

siswa dapat memaksimalkan proses pembelajaran di kelas demi

tercapainya prestasi akademik yang baik.

18
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 School Well-being

2.1.1 Definisi School Well-being

Well-being pertama kali dikenalkan sebagai bentuk perkembangan dari

ilmu psikologi positif (Faturchamn, et al., 2012). Menurut Myers (1993), well-

being merupakan kondisi dimana kehidupan seseorang merasa nyaman, bermakna

dan menyenangkan. Dengan kata lain, well-being merujuk kepada konsep

kebahagiaan, dimana kebahagiaan adalah tujuan dari aktivitas yang dilakukan

manusia. Menurut Wang et al., (2019), seorang individu merasa dirinya sejahtera

ketika segala kebutuhannya sudah terpenuhi. Apabila kita melihat pada Self-

Determination Theory (Deci & Ryan, 1985), manusia pada dasarnya

membutuhkan tiga komponen kebutuhan utama, yaitu kebutuhan akan autonomy

(Decy, 1975), relatedness (Baumesiter & Leary, 1995) dan competence (White,

1965), yang mana apabila kebutuhan akan ketiga hal ini terpenuhi, maka hal ini

akan menjadi fondasi yang tidak hanya berfungsi pada perkembangan pribadi

individu, melainkan juga well-being individu itu sendiri (Ryan & Deci, 2000).

Teori mengenai well-being yang didasarkan pada kebutuhan manusia pernah

dikemukakan oleh Erik Allardt. Allardt (1989) mendefinisikan well-being sebagai

keadaan yang memungkinkan individu untuk memuaskan berbagai kebutuhan

20
dasarnya, yakni kebutuhan material dan non-material (Konu et al., 2002).

Kebutuhan material dan non-material itu dikemas menjadi tiga dimensi yaitu,

having, loving, dan being. Having mengacu pada kondisi material dan kebutuhan

personal. Kemudian, loving merujuk pada kebutuhan untuk berhubungan dengan

orang lain dan membentuk identitas sosial. Being dihubungkan dengan kebutuhan

diri untuk dapat berkembang.

Well-being merupakan konsep yang sudah banyak berkembang dan diteliti

Namun, penggunaan terminologi well-being ini pada awalnya digunakan untuk

konsep well-being secara umum. Tetapi, akhir-akhir ini berbagai penelitian telah

mencoba untuk mengembangkan topik well-being kedalam konteks yang lebih

mengerucut, salah satunya di dunia pendidikan, khususnya sekolah. Secara

psikologis, proses pembelajaran yang menyenangkan akan mengarahkan situasi

belajar menjadi nyaman juga harmonis (Anggreni & Immanuel, 2019). Kondisi

seperti ini secara alami akan memunculkan semangat belajar yang tinggi bagi para

siswa dan memotivasi mereka untuk terlibat secara aktif dalam setiap kegiatan di

sekolah. Hal ini didukung dengan berkembangnya konsep mengenai school well-

being yang dikembangkan oleh Konu dan Rimpela (2002. Mereka mencoba untuk

mengembangkan konsep school well-being yang merujuk pada konsep well-being

Allardt. Kemudian, Konu dan Rimpela mencoba untuk melakukan kajian dari

berbagai literatur psikologi, sosiologi, pendidikan dan peningkatan kesehatan

termasuk WHO, guna merumuskan konsep school well-being yang lebih

menyeluruh. Hingga akhirnya, perumusan konsep ini pun menghasilkan model

school well-being yang di dalamnya sekarang terdapat aspek health, yang mana

21
aspek health ini pemekaran dari dimensi having, sehingga akhirnya ia berdiri

sendiri menjadi satu dimensi lainnya. Konu dan Rimpela (2002) melihat school

well-being sebagai keadaan dimana siswa dapat memenuhi segala kebutuhan

dasarnya selama berada di sekolah. Mereka mendefinisikan school well-being

sebagai penilaian subjektif siswa terhadap bagaimana keadaan sekolah tersebut,

yang meliputi berbagai aspek, yaitu having, loving, being dan health status (Konu

dan Rimpela, 2002). Konsep school well-being ini pun dapat membangun

bagaimana profil kesejahteraan sekolah, baik untuk kelompok siswa maupun

sekolah secara keseluruhan. Pada dasarnya, setiap sekolah memiliki school well-

being-nya masing-masing karena adanya kebijaksanaan yang berbeda antara satu

sama lain, seperti perbedaan visi misi setiap maupun kebijakan di setiap sekolah

(Dariyo, 2015). Namun, secara prinsip, school well-being tetap mengacu pada

bagaimana suasana psikososial dalam sekolah yang menimbulkan perasaan

menyenangkan bagi individu yang terlibat dalam kegiatan pendidikan tersebut.

Lingkungan sekolah ini dapat memberikan pengaruh terhadap kondisi psikologis

peserta didik itu sendiri (Priatni, Latifah, & Guhardja, 2008).

2.1.2 Dimensi School Wellbeing

2.1.2.1 Kondisi Sekolah (Having)

Dalam aspek kondisi sekolah, di dalamnya meliputi kondisi fisik

lingkungan dan kondisi sistem regulasi ataupun peraturan di dalam sekolah

tersebut. Kondisi di sekitar sekolah diharapakan merupakan tempat yang nyaman

untuk siswa melakukan proses pembelajaran. Contoh kondisi fisik sekolah yang

22
baik adalah lingkungan aman dan nyaman, seperti terdapat ventilasi udara, bebas

dari kegaduhan, temperatur yang pas, dan lain-lain. Kemudian, untuk kondisi di

dalam sekolah ini berkaitan dengan bagaimana lingkungan pembelajarannya,

seperti kurikulum yang disusun, jadwal pelajaran, kegiatan/aktivitas kelompok,

ataupun hukuman. Aspek berikutnya meliputi pelayanan siswa, seperti ada

tidaknya kantin yang dirasa nyaman oleh siswa, perpustakaan yang dapat

menunjang proess belajar, pelayanan kesehatan dan konseling di sekolah (Konu &

Rimpela, 2002)

2.1.2.2 Relasi Sosial (Loving)

Relasi sosial dalam konsep school well-being merujuk pada hubungan

antar siswa, dan hubungan antara siswa dengan gurunya di sekolah. Hubunga

yang baik dan suasana yang baik merupakan modal yang tepat untuk

mempromosikan sumber manusia daya manusia dalam masyarakat dan untuk

meningkatkan prestasi di sekolah. Hubugan antara siswa dengan guru memiliki

perananan penting dalam kesejahteraan di sekolah. Hoy dan Hannum (1997),

melihat afiliasi guru sebagai bagian dari ikim sekolah. Artinya, apabila guru

merasa memiliki suasana yang baik di sekolah, baik itu dengan pekerjan maupun

siswanya, mereka akan merasa lebih berkomitmen terhadap kesejahteraan siswa

selama berada di sekolah (Hoy & Hannum, 1997). Dalam relasi sosial ini pun,

bullying mendapatkan perhatian meskipun termasuk ke dalam relasi sosial yang

negatif. Bullying dapat dilihat sebagai bentuk fenomena yang didasari pada

23
hubungan sosial dan peran dalam suatu kelompok (Salmivalli et al, 1996; Konu

dan Rimpela, 2002). Banyak hal yang terjadi ketika anak-anak beranjak remaja,

salah satunya ialah pergeseran pemanfaatan peers, dibandingkan orang tua

maupun keluarga sebagai sumber utama interaksi sosial. Dengan demikian,

selama masa remaja, peers ini dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku dan

perkembangan anak muda. Selain itu, peers pun dapat mendorong maupun

mencegah sikap dan perilaku akademik yang berkontribusi terhadap keberhasilan

sekolah (Lynch, Lerner, & Leventhal, 2012).

2.1.2.3 Pemenuhan Diri (Being)

Menurut Allardt, being mengacu pada setiap individu merasa dihargai

sebagai bagian yang bernilai dalam masyarakat (Allardt, 1989). Apabila aspek

being diterapkan dalam lingkungan sekolah, maka sekolah harus memberikan

sarana bagi para siswanya untuk pemenuhan diri (Imam & Kartika, 2015). Studi

sebelumnya mengenai kesejahteraan subjektif secara umum, menyarankan bahwa

akan sangat penting untuk mengambil aspek keterlibatan dengan serius ketika

akan mencoba untuk meningkatkan kesejahteraan anak di sekolah (Konu dan

Rimpela, 2002). Hal ini akan memungkinkan para siswa untuk ikut serta dalam

melakukan pengembangan diri maupun menerapkan kreativitas. Keterlibatan

siswa selama di sekolah dapat terihat dari partisipasinya dalam mengikuti kegiatan

sekolah, kehadiran, kepatuhan pada aturan, dan sejauh mana usaha yang ia

keluarkan selama melakukan proses pembelajaran (Soutter et al., 2014).

Kebutuhan lainnya yang siswa dapatkan selama di sekolah bisa melalui mengikuti

24
kegiatan organisasi maupun ekstrakurikuler. Menurut Rakhmanti (2014), kegiatan

ekstrakurikuler merupakan salah satu kegiatan yang ditujukkan untuk

mengembangkan potensi siswa. Kegiatan organisasi maupun ekstrakurikuler dapat

menjembatani kebutuhan siswa yang bervariasi, seperti minat, kemampuan dan

bakat.

2.1.2.4 Status Kesehatan (Health Status)

Menurt Allardt, health meruapakan sumber daya dan bagian yang penting

dari well-being seseorang. Ia menempatkan health pada kategori “having”.

Namun, dalam perhitungan analisis statistika yang pernah dilakukan, ia

menemukan bahwa health adalah bagian faktor yang berbeda dari kategori having

(Allardt, 1976). Oleh karena itu, Konu & Rimpela menempatkan kesehatan

sebagai kondisi personal yang bisa saja dipengaruhi oleh kondisi eksternal

lainnya. Kesehatan juga merupakan suatu tools yang penting, karena dengan

status kesehatan yang baik, maka kesejahteraan pun akan lebih mudah dicapai.

Kesehatan dalam konsep well-being meliputi aspek fisik berupa symptom

psikosomatis, penyakit kronis serta penyakit ringan seperti demam dan flu. Dalam

konteks sekolah, status kesehatan ini mengacu pada ketiadaan penyakit-penyakit

tersebut yang dialami oleh siswa (Konu & Rimpela, 2002). Sekolah perlu

mengefektifkan dan mendukung program kesehatan yang berfokus untuk

meningkatkan derajat kesehatan dari siswa, sehingga siswa dapat belajar dengan

kondisi yang sehat.

25
2.2 Academic Achievement

2.2.1 Definisi Academic Achievement

Dalam penelitian ini akan menggunakan definisi dari Winkel (dalam

Kurniawati et al., 2013) dimana ia mendefinisikan prestasi akademik, atau yang

selanjutnya akan disebut academic achievement, sebagai penampakan hasil

belajar seseorang yang merupakan hasil penilaian di bidang pengetahuan,

keterampilan dan sikap sebagai hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa prestasi akademik adalah tingkat keberhasilan

seseorang yang diukur dalam bentuk angka.

Academic achievement siswa biasanya diukur oleh guru dengan

menggunakan tes buatan guru atau tes yang telah terstandarisasi (Kpolovie, 2014).

Selain itu, academic achievement biasanya diukur dengan ujian atau penilaian

berkelanjutan (Kpolovie, Joe, & Okoto, 2014). Suryabrata (2001) menyatakan

bahwa prestasi akademik biasanya dinyatakan dalam bentuk angka yang khusus

dipersiapkan untuk proses evaluasi, misalnya nilai pelajaran, nilai ujian dan lain

sebagainya.

Dapat dikatakan bahwa, academic achievement ini istilah yang digunakan

untuk menunjukkan adanya suatu pencapaian tingkatan keberhasilan mengenai

suatu tujuan, disebabkan adanya usaha belajar yang dilakukan oleh seseorang

secara optimal. Academic achievement merupakan tolak ukur keberhasilan siswa

sehingga perlu dikaji tentang aspek-aspek yang dapat menunjang meningkatnya

26
academic achievement dan mutu pendidikan di Indonesia (Rohwati, 2012;

Siagian, 2012; Wibawa, 2003; Mujiyati & Adiputra, 2017).

Academic achievement merupakan hal yang penting bagi para siswa

selama menuntut ilmu di sekolah. Menurut Flashman (2011), academic

achievement pada dasarnya dapat mempengaruhi pilihan pendidikan selanjutnya

dan karir masa depan pada anak-anak dan remaja (Flashman, 2011). Selain itu,

studi yang dilakukan oleh Jeynes (2017) menyebutkan bahwa, academic

achievement menjadi salah satu hal yang cukup menarik untuk diselidiki di

kalangan remaja, karena adanya implikasi yang cukup penting terkait dengan

achievement yang tinggi selama periode perkembangan.

2.2.2 Faktor-faktor Academic Achievement

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi academic achievement

seorang siswa, antara lain yang bersifat internal dan eksternal (Winkel, 1991;

Hamilton, 2011). Faktor internal merupakan faktor yang sudah ada pada diri

individu tersebut, seperti intelegesni, minat, bakat, sikap, konsep diri, motivasi,

kepribadian, taraf kemampuan bahasa dan kondisi fisik juga psikis. Intelegensi

sebagai unsur kognitif dianggap memliki peranan yang cukup penting dalam

keberhasilan akademik seseorang. Hasil studi menunjukkan terdapat pengaruh

positif dari intelegensi siswa terhadap hasil akademik mereka (Dweck, 2006;

Burnette et al., 2013). Penelitian lain mengeksplorasi lebih lanjut, bahwa

intelegensi seseorang ini berkaitan dengan tingkat keterlibatan akademik yang

27
lebih tinggi (Martin et al., 2013), lebih memiliki perspektif terhadap tujuan

pembelajaran yang berkembang (Dweck, 1999), lebih berorientasi terhadap

strategi penguasaan (Burnette et al., 2013), mampu mengatasi defisit spesifik pada

domain tertentu (Alesi et al., 2016), dan prestasi akademik (Burnette et al., 2013).

Selain itu, konsep diri juga dapat menjadi faktor pencapaian akademis

yang diraih oleh seseorang. Hal ini didukung dengan hasil studi yang menyatakan

adanya hubungan yang signifikan antara academic self-concept dengan academic

achievement yang ditemukan pada siswa SMP di India, begitupun pada remaja di

Canada (Guay et. al., 2003), German (Marsh, et al., 2005), dan Asia seperti China

(Yeung & Lee, 1999) dan Hongkong (Marsh, Hau & Kong, 2002). Studi ini

menunjukkan bahwa kepercayaan siswa terhadap kemampuannya dalam bidang

akademik merupakan hal yang penting untuk menunjang prestasi yang diraih

(Jaiswal & Choudhuri, 2017). Menurut studi yang dilakukan Subaryana (2015),

siswa yang memiliki konsep diri positif cenderung belajar lebih optimal

dibandingkan dengan siswa yang memiliki konsep diri negatif. Dengan konsep

diri yang positif, individu cenderung untuk melakukan sesuatu secara optimal

demi tercapainya tujuan mereka. Namun, ketika individu memiliki konsep diri

yang negatif, mereka cenderung kurang optimal dalam melakukan sesuatu dan

diliputi atas rasa keraguan, sehingga hasil yang mereka peroleh pun kurang

maksimal.

Tidak hanya itu, motivasi pun memiliki peranan penting terhadap prestasi

akademik. Studi yang dilakukan oleh Artino dkk (2010), bahwa self efficacy

28
motivation berkorelasi positif dengan student enjoyment dan nilai ujian,

sedangkan anxiety berkorelasi negatif dengan nilai ujian. Hal yang serupa juga

ditemukan oleh Park et al., (2012) bahwa terdapat hubungan antara stress,

motivasi akademik dan prestasi akademik. Penelitian mengenai tingkat stress

terhadap sekolah merupakan studi yang paling mendekati untuk menjelaskan

bagaimana gambaran penilaian siswa terhadap sekolahnya itu sendiri. Dalam studi

tersebut, siswa dengan skor stres yang lebih tinggi mendapatkan skor motivasi

yang lebih tinggi dan nilai rata-rata nilai yang lebih rendah, daripada siswa

dengan skor stres yang lebih rendah. Selain itu, studi sebelumnya yang dilakukan

di Eropa dengan sampel mahasiswa, menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang

signifikan antara tingkat stress terhadap sekolah dengan gender, hal ini bisa saja

disebakan karena adanya faktor personal lainnya seperti coping strategies atau

faktor lingkungan (Yusoff, 2010).

Di sisi lain, yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah faktor yang

berasal dari luar diri peserta didik itu sendiri, yang pada akhirnya bisa

mempengaruhi prestasi akademik, seperti faktor lingkungan keluarga, faktor

lingkungan sekolah dan pada lingkungan sosial yang lebih luas lain nya. Sifat-

sifat orang tua, praktek pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga dan demografi

keluarga, semuanya dapat memberikan dampak baik maupun buruk terhadap

kegiatan belajar dan prestasi yang dicapai siswa (Simanullang, Wahjoedi & Sapto,

2017). Selain itu, lingkungan sekolah yang meliputi para guru yang harus

menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik serta menjadi teladan dalam hal

belajar, staf administrasi di lingkungan sekolah dan teman-teman di sekolah pun

29
dapat mempengaruhi semangat belajar siswa. Tidak hanya itu, lingkungan

masyarakat pun memiliki peranan penting dalam mempengaruhi prestasi belajar,

karena siswa pun berada dalam suatu kelompok masyarakat dan teman-teman

sepermainan (Simanullag, et.al., 2017)

2.3 Remaja

Siswa SMP tergolong kedalam kategori remaja awal, yaitu berusia 13-15

tahun. Remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa

(Santrock, 2018). Dalam tahap perkembangannya, siswa SMP berada pada tahap

periode perkembangan yang sangat pesat apabila dilihat dari segala aspek, seperti

kognitif, psikomotor dan afektif.

Dalam Santrock (2018), menurut Teori Perkembangan Kognitif yang

dikemukakan oleh Piaget, remaja usia 11-15 tahun berada pada tahapan formal

operational, yang merupakan tahap perkembangan terakhir sebelum akhirnya

dilanjutkan dengan masa dewasa. Pada tahapan ini, individu mulai berpikir secara

abstrak dan logis melalui pengalaman-pengalaman yang konkrit. Sebagai bentuk

berpikir secara abstrak, remaja mulai mengembangkan pemikirannya mengenai

lingkungan yang ideal itu seperti apa. Mereka mungkin akan mulai

membandingkan satu hal dengan hal lainnya yang menjadi acuan standar, seperti

teman yang baik itu seperti apa atau orangtua atau guru yang baik itu seperti apa.

30
Dalam menyelesaikan permasalahan pun, remaja sudah cenderung menjadi lebih

sistematis dalam merumuskan kemungkinan-kemungkinan mengenai mengapa

suatu hal dapat terjadi. Pada tahapan ini pun mereka mulai tertarik mengenai

kehidupan di masa depan, seperti akan seperti apa ia kelak.

Studi sebelumnya mengenai well-being, lebih berfokus pada orang

dewasa. Namun, saat ini semakin banyak juga peneliti yang fokus pada anak-anak

dan remaja. Penelitian telah menunjukkan bahwa well-being yang lebih tinggi di

masa muda berkorelasi positif dengan kesehatan fisik dan mental, hubungan

interpersonal yang sangat baik, dan bahkan kesuksesan karir masa depan (Lv et

al., 2016). Siswa dengan well-being yang tinggi akan lebih kooperatif, percaya

diri, kreatif, toleran dan altruisti (Chone & Pressman, 2006; Lyubomrisky, King &

Diener, 2005). Kararkteristik inilah yang nantinya akan membuat mereka menjadi

lebih positif dan percaya diri ketika menghadapi lingkungan serta mendukung

kegiatan akademik (Mashford-Scott, Church, & Tayler, 2012). Selain itu, studi

lain juga menunjukkan adanya iklim sekolah yang baik dapat membantu siswa

untuk mencapai kebahagiaan (Grabel, 2017). Adanya perasaan positif dari seorang

siswa selama berada di sekolah memiliki hubungan dengan kinerja sekolah seperti

prestasi akademik, khususnya dalam hal nilai (Boerfijn & Bergsma, 2011).

Sebaliknya, kesejahteraan yang lebih rendah biasanya menunjukkan kemungkinan

perilaku berisiko yang lebih tinggi, seperti penyalahgunaan narkoba dan alkohol

dan perilaku kekerasan (Frase, Fozdar, Ala’i, Earnest, & Afari, 2015) Penelitian

sebelumnya menunjukkan bahwa kesejahteraan pribadi seperti kepercayaan

interpersonal, keterampilan sosial dan emosional, dan harga diri dikaitkan dengan

31
penyesuaian yang lebih baik dan prestasi belajar (Eisenberg et al., 2009; Stamp et

al., 2015).

2.4 Sekolah Menengah Pertama Negeri

Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang

berkewajiban mengembangkan potensi siswa semaksimal mungkin agar menjadi

manusia yang berguna ditengah masyarakat. Pendidikan formal di Indonesia

sebagian besar disediakan oleh pemerintah. Pendidikan termasuk ke dalam bidang

layanan sosial. Namun, dengan keterbatasan dana, umumnya pemerintah hanya

memberi pelayananan pada masyarakat tidak dengan standar yang maksimal.

Permintaan akan layanan dan fasilitas pendidikan yang lebih baik, umumya

disediakan oleh lembaga sosial non pemerintah, atau biasa disebut dengan

lembaga/yayasan swata. Hal inilah yang akhirnya membentuk status kelembagaan

pendidikan di Indonesia yang terdiri atas sekolah negeri dan sekolah swasta.

Secara umum, biaya yang dikeluarkan untuk bersekolah di swasta relatif

lebih mahal dibandingkan negeri. Karena sumber dana sekolah swasta lebih

mengandalkan partisipasi siswa atau wali murid, sedangkan sekolah negeri lebih

bergantung pada pemerintah. Apabila melihat aspek sarana dan fasilitas, sekolah

swasta relatif lebih baik. Hal ini didukung dengan studi Imam Ghozali (2011)

yang menyatakan fasilitas sekolah yang baik adalah konsekuensi logis dari biaya

pendidikan yang lebih mahal di sekolah swasta. Di sisi lain, sekolah negeri

biasanya memiliki fasilitas yang standar untuk keberlangsungan kegiatan belajar

32
mengajar. Selain itu, dalam sistem pengajaran pun, sekolah negeri biasanya

memakai metode pengajaran yang lebih statis, tidak sepeti swasta yang lebih

dinamis. Materi yang diberikan oleh sekolah negeri biasanya disampaikan secara

satu arah, artinya guru berceramah kepada murid dan jarang ada timbal balik

antara murid dan guru. Hal ini sangat berbeda denga sekolah swasta yang mana

penyampaian materi pelajaran biasanya disampaikan dalam bentuk diskusi, beradu

argumentasi, dan kegiatan aktif lainnya. Berdasarkan hal tersebut, siswa sekolah

negeri biasanya lebih cenderung pasif dalam belajar (Sanggedi & Gozali, 2011)

dibandingkan dengan sekolah swasta yang cenderung lebih pandai dalam

mengungkapkan pendapatnya (Sanggedi, 2010). Dari segi perhatian pun, karena

daya tampung sekolah negeri yang lebih banyak dibandingkan dengan sekolah

swasta, menyebabakan sering terjadi kegaduhan di dalam kelas yang membuat

konsentrasi murid terganggu, sehingga perhatian guru menjadi sulit untuk dibagi,

hal inilah yang menyebabkan guru merasa kesulitan untuk mengetahui

kemampuan dan pemahaman masing-masing siswa. Pada dasarnya, sekolah negeri

maupun sekolah swasta memiliki karakteristik mereka sendiri, sehingga dengan

karakterstik masing-masing mampu menunjukkan perbedaan antara satu dengan

yang lainnya.

2.5 SMP Negeri di Kota Tasikmalaya

Mengacu pada Permendikbud No.6 Tahun 2019 mengenai Pedoman

Organisasi dan Tata Kerja Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Pasal 5 Ayat 1

dan Ayat 2, SMP di Kota Tasikmalaya menyelenggarakan fungsinya sebagai

33
pelaksana pendidikan, pelaksana hubungan kerja dengan orang tua peserta didik,

komite sekolah dan/atau masyarakat serta pelaksana administrasi. Terdiri dari tiga

tingkatan kelas, yaitu kelas 7 (tujuh), kelas 8 (delapan) dan kelas 9 (sembilan).

Kurikulum yang digunakan oleh sekolah menengah pertama yang berada di

Kota Tasikmalaya mengacu pada Kurikulum 2013, dimana rumusan produk untuk

memberikan penilaian terhadap peserta didik melalui pertimbangan beberapa

domain, yaitu sikap, keterampilan dan pengetahuan.

a. Sikap

Domain sikap disini merupakan kombinasi dari menerima,

menjalankan, menghargai, menghayati dan mengamalkan. Dimana siswa

diharapkan dapat menjadi pribadi yang beriman, berakhlak mulia, percaya

diri, dan bertanggung jawab dalam berinterakasi secara efektif dengan

lingkungan sosial, alam sekitar, serta dunia.

b. Keterampilan

Domain keterampilan merupakan kombinasi dari mengamati,

menanya, mencoba, menalar, menyaji dan mencipta. Siswa diharapkan

dapat menjadi pribadi yang memiliki kemampuan berpikir dan bertindak

yang produktif dan kreatif dalam ranah yang bersifat konkrit juga abstrak.

c. Pengetahuan

Domain pengetahuan merupakan kombinasi dari mengetahui,

memahami, menerapkan, menganalisa, mengevaluasi dan mencipta. Siswa

34
diharapkan dapat menjadi pribadi yang mampu menguasai ilmu

pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan berwawasan kemanusiaan,

kebangsaan, kenegaraan dan peradaban.

Tidak hanya berfokus pada akademik saja, SMP Negeri di Kota Tasikmalaya

pun menyediakan berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler maupun organisasi

yang dapat diikuti sesuai dengan minat bakat dari siswanya itu sendiri. Contoh

kegiatan organisasi yang pasti ada di setiap sekolah yaitu Organisasi Siswa Intera

Sekolah (OSIS), Majelis Perwakilan Kelas (MPK), Ikatan Remaja Masjid

(IREMA) dan Praja Muda Karana (Pramuka). Selanjutnya, kegiatan

esktrakurikuler yang diadakan setiap sekolah bisa bermacam-macam, baik itu

dalam bidang olahraga (voli, basket, futsal, taekwondo, karate dan silat), bidang

kesenian (musik, paduan suara dan teater) ataupun bidang pengetahuan (English

Club).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya,

adapun fasilitas yang terdapat di Sekolah Menengah Pertama di Kota Tasikmalaya

pada umumnya terdiri atas:

1. Ruang Kelas, yang dilengkapi dengan sarana:

a. Kursi 1 buah/peserta didik

b. Meja 1 buah/peserta didik

c. Kursi guru 1 buah/guru

d. Meja guru 1 buah/guru

e. Lemari 1 buah/ruang

35
f. Papan tulis 1 buah/ruang

g. Tempat sampah 1 buah/ruang

h. Jam Dinding 1 buah/ruang

i. Soket listrik 1 buah/ruang

2. Ruang Perpustakaan

3. Laboratorium IPA, yang dilengkapi dengan sarana:

a. Lemari 1 buah/ruang

b. Model kerangka manusia 1 buah/sekolah

c. Globe 1 buah/sekolah

d. Model tata surya 1 buah/sekolah

e. Kaca pembesar min 6 buah/sekolah

f. Cermin dan lensa datar, cekung dan cembung min 6 buah/sekolah

g. Magnet batang min 6 buah/sekolah

4. Ruang Pimpinan

5. Ruang Guru

6. Tempat Beribadah

7. Ruang UKS

8. Toilet

9. Gudang

10. Tempat bermain atau berolahraga

36
2.5 Kerangka Pemikiran

Faktor Internal (Winkel,


1991):
- Minat dan Bakat
- Konsep diri
- Kondisi fisik juga
psikis.
Engagement
(menjadi lebih
meningkat)
School Well-being
(Having, Loving,
Being dan Health)

37
Academic
Achievement

Motivation
(menjadi lebih
meningkat) Faktor Eksternal
(Winkel, 1991):
- Lingkungan Keluarga
- Lingkungan Sosial
- Lingkungan Sekolah

= Diukur

= Tidak Diukur

Gambar 2.5.1
Kerangka Pemikiran School Well-being dengan Academic Achievement

38
School well-being adalah konsep yang menjelaskan mengenai pengukuran

penilaian subyektif siswa terhadap terpenuhinya kebutuhan sekolah (Konu,

Alapen, & Rimpela, 2002). Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa hal

yang digarisbawahi pada konsep ini terdapat pada aspek apa saja dalam sekolah

yang dapat dilakukan perbaikan demi menciptakan kesejahteraan para siswa.

Aspek ini terkemas dalam empat dimensi, yaitu having, loving, being dan health.

Dimensi having merujuk pada kondisi fisik lingkungan dan kondisi sistem

regulasi di dalam sekolah tersebut. Dimensi loving merujuk pada kebutuhan untuk

berhubungan dengan orang lain juga membentuk social identity. Kemudian

dimensi being, merujuk pada pemenuhan kebutuhan dasar diri, seperti

kemungkinan untuk berkreativitas, penghargaan serta bimbingan juga dorongan.

Terakhir, dimensi health ini merujuk pada status kesehatan seseorang, apakah ia

terbebas dari suatu symptom ataupun penyakit.

Berdasarkan data awal, ditemukan siswa yang bersekolah di SMP Negeri

Kota Tasikmalaya mengeluhkan beberapa hal terkait sekolahnya. Keluhan

pertama yang dilontarkan oleh beberapa siswa yang muncul dari data awal yaitu,

lingkungan sekolah yang dirasa belum memadai untuk mendukung proses

pembelajarannya selama di sekolah. Padahal, lingkungan fisik sekolah

mempunyai pengaruh penting terhadap prestasi belajar siswa (Majid, 2013).

Lingkungan sekolah secara fisik meliputi keadaan fisik sekolah, sarana dan

prasarana di dalam kelas, keadaan gedung sekolah, sumber-sumber belajar, media

belajar dan segalanya. Sarana dan prasarana yang tidak lengkap akan membuat

39
proses pembelajaran menjadi terhambat. Menurut studi yang dilakukan oleh Idola,

Sano & Khairani (2016), faktor lingkungan yang ada di sekolah sangat

mempengaruhi siswa dalam belajar. Siswa secara tidak langsung akan termotivasi

dalam belajar apabila lingkungannya bisa membuat tenang, sehingga hal ini dapat

mendukung siswa mendapatkan nilai yang bagus.

Selain masalah kondisi lingkungan sekolah, data awal pun menunjukkan

adanya hubungan interpersonal antara para siswa maupun guru yang kurang baik.

Padahal, berdasarkan penelitian, ditemukan bahwa relasi yang positif antara siswa

dan guru diperlukan, karena guru dapat membantu mengubah keyakinan siswa

mengenai kemampuannya yang dapat bermanfaat untuk meningkatkan motivasi

siswa (Schunck, 2012). Selain itu, hubungan dengan peers merupakan kebutuhan

utama bagi anak yang sedang melewati masa transisi dari masa anak-anak menuju

remaja. Peers menyediakan sumber persahabatan dan hiburan, membantu dalam

memecahkan permasalahan, validasi diri dan dukungan emosional, sebagai

fondasi untuk pembentukan identitas (Santrock, 2012). Pada gilirannya, anak yang

menikmati hubungan yang positif dengan peers akan merasakan emotional well-

being yang lebih baik, percaya dengan kemampuan dirinya sendiri dan memaknai

bentuk perilaku prososial dan interaksi sosial lebih adaptif dibandingkan dengan

anak yang tidak (Marbu & Setiawan, 2019). Studi tambahan menunjukkan bahwa

anak yang menikmati hubungan positif dengan temannya akan merasa lebih

engage dan bahkan unggul dalam tugas akademik dibandingkan dengan anak

yang hubungan pertemanannya bermasalah. Kompetensi sosial anak dengan

40
lingkungan pertemanan secara konsisten berhubungan positif dengan pencapaian

akademiknya selama di sekolah (Hamm, Schmid, Farmer & Locke, 2011).

Remaja yang menikmati dukungan yang positif, baik itu dari teman

maupun guru, akan lebih termotivasi dan secara aktif lebih terlibat dengan

kegiatan di sekolah. Misalnya, persepsi remaja bahwa gurunya peduli dengan

dirinya selama di sekolah (Roorda, Koomen, Spilt, & Oort, 2011), menunjukkan

feedback yang jelas, terstruktur dan positif (Skinner, Kindermann, Connell &

Wellborn, 2009), dan bersedia untuk menolong dengan permasalahan akademik

(Newman, 2000), berhubungan positif dengan motivasi akademik dan keterlibatan

siswa di sekolah. Sama halnya dengan persepsi siswa terhadap teman-teman di

kelas yang saling peduli satu sama lain (Juvonen, 2006), dan memiliki ekspektasi

positif terhadap perilaku di dalam kelas (Hamm, Schmid, Farmer & Locke, 2011;

Juvonen & Cadigan, 2002), berhubungan dengan hasil akademik yang positif di

sekolah. Di sisi lain, A. M. Ryan (2001) menemukan bahwa siswa SMP yang

berafiliasi dengan peers yang tidak menyukai sekolahnya menunjukkan adanya

penurunan ketertarikan mereka dengan sekolah. Hal ini membuktikan bahwa

salah kelompok pertemanan mempengaruhi keterlibatan, motivasi, dan prestasi

siswa melalui proses yang sering terjadi dalam interaksi sosial dalam kelompok

teman yang dipilih sendiri (Kindermann, 2007; A. M. Ryan, 2000, 2001).

Kemudian, adanya pemenuhan akan diri siswa dalam keterlibatannya

dalam sekolah pun diperlukan. Setiap manusia, termasuk siswa di ruangan kelas,

memiliki kebutuhan fundamental psikologis nya terhadap relatedness,

41
competency dan autonomy (R. M. Ryan & Deci, 2009). Ketika semua kebutuhan

tersebut sudah terpenuhi, maka keikutsertaan para individu di sekolah tersebut

akan lebih konstruktif, seperti siswa akan terlibat penuh ketika belajar di ruang

kelas dan lebih bersedia untuk bekerja sama dengan peraturan sekolah yang ada

(Wang, et.al., 2019). Selain itu, peserta didik yang merasa mendapatkan manfaat

dari intervensi di sekolah, maka keterampilan prososialnya meningkat. Di

samping itu, siswa yang berpartisipasi juga menunjukkan prestasi akademik yang

lebih tingi (Durlak et al., 2011), sedangkan rendahnya partisipasi siswa selama

berada di kelas dapat menyebabkan siswa memiliki pandangan yang buruk

terhadap proses pembelajaran selama di sekolah (Konold, et al., 2018).

Tidak hanya itu, kesehatan juga dapat mempengaruhi performa seseorang

selama berada di sekolah. Siswa yang sehat dapat melakukan berbagai aktivitas

pembelajaran secara baik, seperti dapat berkonsentrasi dengan baik, mengerjakan

tugas-tugas yang diberikan guru, selalu hadir di sekolah, berdisuksi dengan teman,

membaca buku pelajaran, mencatat pelajaran (Rahmat, Smith & Rahim, 2015).

Bagaimanapun juga, studi yang dilakukan oleh Faidiban & Sombuk (2018),

membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara academic

achievement dengan status kesehatan siswa. Masalah kesehatan seperti

penglihatan maupun kesehatan mulut, asma, kehamilan masa remaja, gizi buruk,

obesitas, stress kronis dan gangguan kurangnya perhatian dan hiperaktif,

menunjukkan resiko lebih rentan terhadap agresi dan kekerasan, aktivitas seksual

yang tidak aman, makan yang tidak sehat, kurangnya aktivitas fisik dan

42
penggunaan obat-obatan yang berbahaya itu berkaitan dengan kinerja skolastik

yang rendah.

Diantara berbagai anteseden perilaku akademik, motivasi memainkan

peran yang krusial dalam memberikan dampak untuk pilihan para siswa,

keterlibatan dan prestasi di sekolah (e.g., Schunk, Printrich, & Meece, 2008). Hal

ini didukung dengan studi yang dilakukan oleh Fatwati dan Fakharuddiana

(2014), bahwa pencapaian akademis yang baik dapat tercapai apabila siswa

memiliki motivasi untuk berprestasi (Fatwati & Fakhruddiana, 2014). Motivasi

sendiri merupakan dorongan internal untuk mempertemukan antara keinginan dan

kebutuhan (Ugah, 2008). Motivasi dipertimbangkan menjadi salah satu faktor

yang paling signifikan untuk mencapai suatu ekspektasi maupun tujuan.

Seseorang yang termotivasi mereka akan bersemangat untuk melakukan sesuatu

yang dapat membantunya memenuhi suatu tugas. Terdapat dua jenis motivasi,

yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik muncul ketika

adanya dorongan dari luar, seperti rewards, insentif, pujian, hukuman, maupun

kritikan. Di sisi lain, motivasi intrinsik muncul karena adanya dorongan dari

dalam diri sendiri. Motivasi intrinsik akan mendorong seseorang untuk melakukan

suatu pekerjaan secara mandiri dan antusias (Elton, 1988). Oleh karena itu,

motivasi intrinsik menjadi hal yang penting untuk menuntut siswa agar lebih

terlibat dengan kegiatan selama berada di sekolah. Menurut Inayah, Martono &

Sawiji (2013), siswa yang memiliki motivasi rendah cenderung bermalas-malasan

untuk mendengarkan dan memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru. Di sisi

lain, siswa dengan motivasi tinggi cenderung rajin dan lebih memperhatikan apa

43
yang disampaikan oleh guru selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini

didukung dengan penelitian DeBacker & Nelson (1999) motivasi intrinsik

berkorelasi secara positif terhadap usaha untuk belajar (Fan, 2011) dan menguasai

materi pembelajaran (Kennedy & Tuckman, 2013; Luo et al., 2014; Shih, 2008).

Selain itu, motivasi pun dapat menumbuhkan engagement siswa tersebut

dengan sekolahnya. Keterlibatan ini tidak hanya mempengaruhi perubahan

sekolah secara langsung, seperti suasana sekolah yang positif (Marks, 2000),

tetapi juga tampaknya mengarah pada peningkatan prestasi akademik siswa yang

nilainya buruk, dan menurunkan tingkat ketidakpuasan siswa dan angka putus

sekolah. Siswa yang terlibat dengan sekolahnya menunjukkan perilaku seperti

hadir ke sekolah, ikut berpartisipasi dengan kegiatan-kegiatan sekolah, merasa

bangga dan lekat dengan sekolah mereka, dan secara kognitif mereka lebih terlibat

dalam aktivitas pembelajaran. Engagement yang tinggi secara konstan berkorelasi

dengan hasil akademik seperti peringkat dan nilai ujian yang tinggi (Fredricks et

al., 2016). Siswa yang berkonsentrasi saat belajar, mematuhi peraturan sekolah,

menghindari perilaku-perilaku disruptive, memiliki dorongan yang kuat saat

belajar, akan mendapatkan academic achievement (nilai dan performa) yang lebih

baik dalam ujian yang sudah terstandarisasi (Bandura, Barbranelli, Caprar, &

Pastrorelli 1996; Caraway, Tucker, Reimke, & Hall, 2003; Finn & Rock, 1997

dalam Wang & Holocomber, 2010). Kebalikannya, siswa yang tidak terlibat

dengan sekolah saat remaja, lebih beresiko untuk melakukan perilaku yang

merugikan, seperti penggunaan obat-obatan, kekerasan di sekolah dan bahkan

dikeluarkan dari sekolah (Wang & Fredricks, 2014).

44
Berbagai penelitian telah menunjukkan apabila kebutuhan akan

pemenuhan diri siswa tercapai karena lingkungan sekolah yang baik, maka siswa

akan terpacu untuk lebih terlibat dalam kegiatan belajar dan tugas-tugas

sekolahnya serta memiliki kebiasaan belajar yang baik dan berkaitan pada prestasi

akademik yang baik (Ainley; Epsteuin & McPartland; Fine, dalam Widiyati &

Supriatna, 2009). Tidak hanya itu, ternyata pengaruh interaksi sosial keluarga,

motivasi belajar dan kemandirian belajar pun berpengaruh terhadap prestasi

belajar siswa (Umboh, 2017). Hingga saat ini, kesejahteraan di sekolah tidak

memperoleh peran penting dalam program-program yang dikembangkan, tetapi

sebagai subjek yang terpisah dari tujuan pembelajaran yang menyeluruh. Menurut

Konu dan Rimpela (2002), mereka tidak melihat sekolah sebagai sebuah kesatuan,

tetapi hanya terkonsentrasi pada pencapaian siswa di sekolah. Penting untuk

menciptakan lingkungan sekolah yang positif juga nyaman bagi siswa yang ada di

dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa perwujudan potensi maupun kemampuan

yang sudah terinternalisasi dalam diri siswa, karena adanya perasaan nyaman,

aman dan menyenangkan selama mengikuti pembelajaran di sekolah, mengacu

pada meningkatnya prestasi akademis yang tercapai.

2.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara school

well-being dengan academic achievement siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya.

45
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian mengenai hubungan school well-being dengan academic

achievement pada siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya menggunakan

pendekatan penelitian yang bersifat kuantitatif. Menurut Goodwin (2010),

penelitian kuantitatif adalah data yang dikumpulkan dan disajikan berupa angka-

angka. Pada penelitian ini, data yang diperoleh berupa data primer menggunakan

alat ukur School Well-Being Scale (SWBS) dan data sekunder melalui nilai raport

siswa.

3.2 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

rancangan non-eksperimental, yaitu jenis penelitian deskriptif yang

mengumpulkan data kuantitatif untuk menggambarkan variabel yang diteliti

(Christensen, 2011). Jenis non-experimental quantitative research yang

digunakan adalah correlational study. Studi korelasional terdiri dari pengukuran 2

variabel dan menentukan hubungan yang ada diantara kedua variabel tersebut

(Christensen, 2011). Pada penelitian ini akan melihat hubungan antara school

46
well-being dengan academic achievement pada siswa SMP Negeri Kota

Tasikmalaya.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari perhitungan statistik, Goodwin

(2010) mengatakan bahwa korelasi positif menunjukkan variabel yang memiliki

nilai tinggi berhubungan dengan variabel lainnya yang memiliki nilai tinggi juga,

sedangkan dikatakan berkorelasi negatif apabila variabel dengan nilai tinggi

berhubungan dengan variabel lainnya yang memiliki nilai rendah. Dengan metode

ini, peneliti ingin mengetahui hubungan antara school well-being dengan

academic achievement pada siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya.

3.3. Variabel Penelitian

Variabel adalah kondisi atau karakteristik yang dapat berbeda nilai atau

kategorinya (Christensen, 2011). Dalam penelitian ini terdapat 2 variabel yang

diukur, yaitu school well-being dan academic achievement.

3.3.1 School Well-being

3.3.1.1 Definisi Konseptual

The concept of school well-being model describes about pupils’

subjective assessment of the fulfillment of basic need in their school. The

school well-being model can be utilized to construct school wellbeing

profile both for groups of pupils and for school as a whole and highlight

47
the areas in which schools could make improvements in order to promote

the wellbeing for pupils. (Konu and Rimpela, 2002)

School well-being merupakan penilaian subyektif siswa terhadap

terpenuhinya kebutuhan sekolah. Konsep ini dibentuk untuk

menggambarkan profil kesejahteraan sekolah baik untuk siswa maupun

sekolah secara menyeluruh, sekaligus menyoroti area mana yang dapat

ditindaklanjuti oleh sekolah untuk mempromosikan kesejahteraan siswa

(Konu dan Rimpela, 2002)

3.3.1.2 Definisi Operasional

School well-being dalam penelitian ini mengacu pada tinggi

rendahnya penilaian subyektif siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya

terhadap kondisi sekolah yang dilihat/tercermin dari total skor yang diukur

melalui alat ukur School Well-being Scale dengan item-item pertanyaan

mengenai keempat dimensi, yaitu keadan fisik maupun program sekolah

(having), hubungan dengan sivitas akademika (loving), pemenuhan

kebutuhan diri siswa di sekolah (being) dan status kesehatan (health

status) siswa selama berada di sekolah tersebut.

48
3.3.2 Academic Achievement

3.3.2.1 Definisi Konseptual

Academic achievement is the realization of the potential and what

has been learned or the ability internalized in students related to the

mastery of the subject matter presented to them (Winkel, 1991).

Academic achievement merupakan perwujudan dari potensi dan

apa yang sudah dipelajari atau kemampuan yang terinternalisasi pada diri

siswa terkait dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan pada

mereka (Winkel, 1991).

3.3.2.2 Definisi Operasional

Academic achievement pada penelitian ini mengacu pencapaian

prestasi yang diperoleh dari rata-rata nilai raport terakhir masing-masing

siswa SMP di Kota Tasikmalaya pada keseluruhan materi mata pelajaran

yang sudah dipelajari.

3.4 Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah alat ukur

mengenai school well-being yang diadaptasi dari penelitian Agustinus

Budhi AJi Joko Purnomo pada tahun 2018, yang mengacu pada konstruk

teori school well-being yang dikemukakan oleh Konu dan Rimpela (2002),

49
dan untuk mengukur Academic Achievement peneliti mengacu pada teori

yang dikemukakan oleh Winkel (1991), dimana pengukurannya dilakukan

melalui nilai raport yang merupakan hasil dari ujian yang yang

berkelanjutan dan terstandarisasi.

3.4.1 Alat Ukur School Well-being

Alat ukur school well-being disusun berdasarkan empat dimensi

dari school well-being yang meliputi, kondisi sekolah (having),

pemenuhan diri (being), relasi sosial (loving) dan status kesehatan (health

status). Skala school well-being ini terdiri atas 27 pernyataan yang

meliputi item favorable dan item unfavorable. Adapun alternative respon

terdiri atas 4 pilihan Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan

Sangat Tidak Setuju (STS).

Tabel 3.1 Pemberian Nilai Skor Pada School Wellbeing Scale (SWBS)

Sangat Tidak Setuju Sangat Tidak


Item Setuju (S)
Setuju (SS) (TS) Setuju (STS)

Favorable 4 3 2 1

Unfavorable 1 2 3 4

50
3.4.1.1 Kisi – Kisi Alat Ukur School Wellbeing Scale (SWBS)

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Alat Ukur School Wellbeing Scale (SWBS)

Dimensi Indikator Contoh Item No. Item

Kondisi Saya jarang

lingkungan menggunakan UKS jika

Having internal dan berada di sekolah.

(Kondisi eksternal sekolah 3, 6, 9, 15, 20


Ukuran kelas membuat
Sekolah) dapat membuat
saya cukup nyaman
siswa nyaman
belajar.
dalam belajar

Being Sekolah dapat Sekolah memberikan 5, 7, 8, 10, 13


kesempatan untuk
(Pemenuhan memfasilitasi dan
mengembangkan bakat
diri di sekolah) memberikan
yang saya miliki
kesempatan yang

sama bagi murid Tidak ada

untuk ekstrakurikuler yang

mengembangkan saya sukai

diri atau

kemampuan yang

dimiliki oleh

51
setiap siswa

Adanya relasi Teman-teman di

interpersonal sekolah sering membuat

yang positif saya kesal

antara siswa
Saya merasa guru
Loving (Relasi dengan orangtua 1, 4, 12, 16,
bersikap tidak adil
Sosial) serta warga 17, 19
dalam memberikan
sekolah (guru,
kesempatan menjawab
antar teman,
terhadap beberapa siswa
pegawai di
di kelas.
sekolah)

Saya sering merasa

sakit beberapa minggu


Tidak adanya
ini.
Health Status gejala atau

(Status penyakit yang 2, 11, 14, 18


Penyakit yang saya
Kesehatan) dialami oleh para
alami disebabkan
siswa
kurang menjaga pola

hidup sehat.

52
3.4.1.1 Validitas Alat Ukur School Well-being (SWBS)

Alat ukur SWBS dikembangkan oleh Konu dan Rimpela (2002). Alat

ukur ini awalnya terdiri dari 40 item pernyataan, yang kemudian diadaptasi dan

dilakukan uji validitas oleh peneliti sebelumnya yaitu Agustinus Budhi Aji Joko

Purnomo pada tahun 2018, dengan melakukan penerjemahan melalui proses

forward translation, backward translation, kemudian proses selanjutnya yakni

expert judgment yang digunakan sebagai bukti validitas konten (content validity)

untuk menunjukkan bahwa setiap item pertanyaan pada alat ukur ini dapat

mengukur sikap yang ingin diukur. Uji konten validitas ini dilakukan oleh Dr. T.

Priyo Widiyanto, M. Psi. Setelah melewati serangkaian proses adaptasi, akhirnya

terdapat alat ukur School Well-being ini dilakukan uji coba pada tanggal 24

November dan 30 Januari 2018 dengan mendatangi subjek secara langsung

sebanyak 52 orang.

3.4.1.2 Reliabilitas Alat Ukur School Well-being (SWBS)

Pada penelitian sebelumnya, Purnomo (2018) menentukan reliabilitas

dengan melalui Cronbach’s Alpha yang merupakan hasil korelasi jumlah total per

item dengan jumlah total nilai yang diperoleh subjek penelitian dan dianalisis

menggunakan bantuan program SPSS 22. Adapun nilai reliabilitas yang diperoleh

dari alat ukur School Well-being Scale (SWBS) yang dilakukan pada tahun 2018

memiliki nilai Cronbach Alpha yang tinggi yaitu, sebesar 0,842. Apabila ditinjau

53
berdasarkan pedoman kriteria Kaplan & Saccuzon (2018), a ≥ 0,70 menunjukkan

alat ukur dapat diandalkan.

Kemudian peneliti kembali melakukan uji realibilitas menggunakan

Cronbach’s alpha kepada kelompok sampel, yaitu seluruh responden ketika

dilakukan pengambilan data yang berjumlah 200 responden. Data dianalisis

menggunakan bantuan SPSS 25. Hasil analisis akan dilihat kredibilitasnya

berdasarkan kriteria Kaplan & Saccuzon (2018), yaitu nilai koefisien a ≤ 0,70

menandakan alat ukur tidak dapat andalakan dan a ≥ 0,70 menandakan alat ukur

dapat diandalkan. Hasil perhitungan SPSS yang dilakukan oleh peneliti

didapatkan koefisien realibilitas sebesar 0.747 yang menandakan bahwa alat ukur

dapat diandalkan.

3.4.1.3 Skoring Alat Ukur School Well-being Scale (SWBS)

Hasil dari total skor yang diperoleh masing-masing partisipan akan

menyatakan seberapa tinggi atau rendahnya penilaian siswa mengenai keadaan

school well-being dari sekolah yang dituju. Semakin tinggi skor responden, maka

semakin tinggi pula penilaian siswa tersebut terhadap keadaan school well-being

yang ada di sekolahnya.

Penormaan alat ukur ini menggunakan criterion referenced scores, yang

mencerminkan performa seseorang secara independen dan tidak membandingkan

dengan individu lain (Freidenberg, 1995), namun tetap merupakan kerangka untuk

54
membedakan antar individu. Kriteria yang digunakan untuk penelitian ini terbagi

menjadi 3, yaitu:

a. Tinggi, berarti siswa memiliki penilaian subjektif yang memuaskan akan

terpenuhinya kebutuhan mereka terhadap kondisi lingkungan fisik

sekolah, hubungan dengan teman dan guru, pemenuhan kebutuhan dirinya

serta status kesehatan selama berada di sekolah.

b. Sedang, berarti siswa memiliki penilaian subjektif yang rata-rata akan

terpenuhinya kebutuhan mereka terhadap kondisi lingkungan fisik

sekolah, hubungan dengan teman dan guru, pemenuhan kebutuhan dirinya

serta status kesehatan selama berada di sekolah.

c. Rendah, berarti siswa memiliki penilaian subjektif yang tidak memuaskan

akan terpenuhinya kebutuhan mereka terhadap kondisi lingkungan fisik

sekolah, hubungan dengan teman dan guru, pemenuhan kebutuhan dirinya

serta status kesehatan selama berada di sekolah.

Dalam menentukan kriteria agar dapat mengkategorikan penilaian

partisipan, perlu ditentukan panjang kelas. Skor maksimum yang dapat diperoleh

partisipan adalah 108 sedangkan skor minimumnya adalah 27. Sehingga panjang

kelas diukur melalui rumus dibawah ini:

(Skor maksimum−Skor minimum)


PK =
Jumlah Kategori

55
Tabel 3.3 Kategorisasi rentang skor alat ukur School Well-being Scale

(SWBS)

Rentang Skor Kategori

82 - 108 Tinggi

55 - 81 Sedang

27 - 54 Rendah

3.4.2 Alat Ukur Academic Achievement

Dalam mengukur academic achievement, peneliti akan menggunakan

data sekunder. Academic achievement diwujudkan melalui penilaian skor angka

yang tercantum dalam buku raport. Buku raport biasanya akan diberikan setiap

satu kali per semester atau 6 bulan sekali. Academic achievement diberikan oleh

guru atau pihak sekolah kepada setiap peserta didik melalui nilai raport.

Academic achievement diperoleh melalui serangkaian kegiatan pembelajaran

maupun berbagai ulangan, atau ujian yang bertujuan untuk mengetahui

kemampuan seorang siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Oleh

karena itu, untuk melihat skor academic achievement, peneliti akan

menggunakan nilai akhir rata-rata raport dari siswa.

Tabel 3.4 Kategorisasi Rentang Skor Nilai Raport

56
Rentang Skor Kategori

90 - 100 A (Sangat Baik)

79 - 89 B (Baik)

70 - 78 C (Cukup)

< 69 D (Rendah)

Sumber: Staff Akademik Kesiswaan Bidang SMP Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya

3.5 Partisipan Penelitian

3.5.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah semua anggota grup yang dapat diidentifikasi (Goodwin,

2010). Populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas 8 dan 9 dari SMP Negeri di

Kota Tasikmalaya, karena siswa kelas 7 belum merasakan fasilitas sekolah yang

ada akibat kondisi yang mengharuskan dilaksanakannya Pembelajaran Jarak Jauh

(PJJ). Lebih lengkapnya, populasi dalam penelitian ini terdiri dari 21 Sekolah

Menengah Pertama yang tersebar di 10 Kecamatan Kota Tasikmalaya, seperti

yang tertera pada tabel dibawah ini:

Tabel 3.5 Jumlah Sekolah di Setiap Kecamatan

No
Kecamatan Jumlah Sekolah
.
1. Tawang 6 sekolah
2. Indihiang 3 sekolah

57
3. Kawalu 2 sekolah
4. Cipedes 2 sekolah
5. Cihideung 2 sekolah
6. Tamansari 2 sekolah
7. Mangkubumi 1 sekolah
8. Bungursari 1 sekolah
9 Purbaratu 1 sekolah
10. Cibeureum 1 sekolah

Berdasarkan data dari pihak Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya,

didapatkan jumlah populasi siswa kelas 8 dan 9 pada tahun ajaran 2019/2020 yaitu

sebanyak 12.286 siswa (jumlah populasi setiap sekolah dapat dilihat pada

Lampiran 3).

3.5.2 Karakteristik Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini yaitu mereka yang memenuhi kriteria

karakteristik yang sudah ditentukan oleh peneliti guna mencapai tujuan dari

penelitian, yaitu:

1. Siswa aktif kelas 8 dan 9 SMP Negeri di Kota Tasikmalaya

2. Berusia 13 – 15 tahun

3.5.3 Teknik Sampling

Teknik sampling yang akan digunakan adalah clustered random sampling.

Teknik sampling ini digunakan untuk menentukan sampel bila objek yang akan

58
diteliti atau sumber data sangat luas, misal penduduk dari suatu negara atau

provinsi (Christensen, Johnson & Turner, 2011).

Peneliti akan membagi populasi penelitian ke dalam 10 klaster

berdasarkan kecamatan yang ada. Kemudian, peneliti akan memilih secara acak

satu sekolah dari setiap klaster (kecamatan), sehingga sampel akan berasal dari 10

sekolah dari tiap-tiap kecamatan. Selanjutnya, peneliti akan memilih siswa yang

akan menjadi partisipan secara acak. Dalam pengambilan sampel acak ini, peneliti

akan menggunakan situs randomize.org untuk melakukan randomisasi sampel.

3.5.4 Jumlah Sampel

Penentuan sampel berdasarkan pedoman dalam perhitungan statistik

parametrik, jumlah sampel minimal yang dapat diolah yaitu 30. Hal ini dipilih

agar frekuensi data dapat membentuk kurva normal (Guilford & Fruchther, 1987).

Dari hasil perhitungan menggunakan rumus estimasi mean dan aplikasi

UNPAD SAS, dengan total populasi sejumlah 12.286 orang, bound of error

sebesar 0.5 dan alpha 0.01, maka didapatkan jumlah sampel minimal dalam

penelitian ini yaitu sebanyak 200 orang. Penggunaan teknik dalam menentukan

jumlah sampel tersebut melalui pertimbangan beberapa hal seperti keterbatasan

waktu dan biaya yang dibutuhkan.

Setelah mendapatkan jumlah sampel minimal sebanyak 200 orang dari

kesepuluh sekolah dari masing-masing kecamatan, kemudian peneliti membagi

59
sama rata jumlah minimal sampel dari setiap sekolah, yaitu sebesar 20 orang.

Selanjutnya, setelah dilakukan pengambilan data, jumlah sampel yang didapatkan

dalam penelitian ini sebanyak 201 responden, dimana 1 responden menyatakan

tidak bersedia, sehingga jumlah sampel yang terlibat dalam penelitian ini

sebanyak 200 responden, dengan rincian jumlah sampel dari masing-masing

sekolah sebagai berikut:

Tabel 3.6 Jumlah Sampel yang Didapatkan dari Setiap Sekolah

Sekolah Minimal Sampel Jumlah Sampel yang


didapatkan
SMPN 1 Kota Tasikmalaya 20 28
(Kec. Tawang)
SMPN 5 Kota Tasikmalaya 20 25
(Kec. Cipedes)
SMPN 6 Kota Tasikmalaya 20 23
(Kec. Cihideung)
SMPN 11 Kota Tasikmalaya 20 20
(Kec. Cibeureum)
SMPN 12 Kota Tasikmalaya 20 22
(Kec. Kawalu)
SMPN 15 Kota Tasikmalaya 20 18
(Kec. Tamansari)
SMPN 16 Kota Tasikmalaya 20 17
(Kec. Bungursari)
SMPN 17 Kota Tasikmalaya 20 19
(Kec. Purbaratu)

60
SMPN 18 Kota Tasikmalaya 20 13
(Kec. Indihiang)
SMPN 21 Kota Tasikmalaya 20 15
(Kec.Tamansari)
Total 200

3.5.5 Waktu dan Lokasi Penelitian

Data dikumpulkan dari siswa kelas 8 dan 9 SMP Negeri di Kota

Tasikmalaya. Pengambilan data penelitian pada masing-masing variabel

dilakukan selama satu bulan yaitu, pada bulan Mei 2021 di Kota Tasikmalaya.

Penelitian ini mengharuskan responden untuk memberikan penilaian terhadap

sekolahnya selama mereka belajar offline seperti biasa, sedangkan dikarenakan

situasi pandemik, maka per-Maret 2020, siswa sudah mulai sekolah daring dari

rumah masing-masing. Sehingga terhitung sudah 1 tahun 4 bulan responden

terakhir datang ke sekolah, sehingga pengisian kuesioner dalam penelitian ini

bersifat retrospektif, dimana responden harus mengingat kembali keadaan ataupun

situasi untuk memberikan penilaian terhadap sekolahnya. Menurut Alexander et

al. (2015), penelitian restrospektif ini memiliki kritik adanya bias yang mungkin

terjadi, salah satunya adalah information bias atau recall bias, yaitu bias yang

terjadi ketika partisipan tidak dapat mengingat secara akurat pengalaman ataupun

kejadian sebelumnya secara mendetail, dengan kata lain akurasi dari ingatan

mereka bisa saja sudah dipengaruhi oleh adanya pengalaman ataupun kejadian

lainnya yang terjadi selama rentang waktu tersebut.

61
3.6 Prosedur Penelitian

Penelitian ini diawali dengan pencarian responden yaitu mendata jumlah

siswa kelas 8 dan 9 di SMP Negeri Kota Tasikmalaya, kemudian melakukan

perhitungan sampel yang dibutuhkan. Selanjutnya, peneliti mendatangi Dinas

Pendidikan Kota Tasikmalaya untuk melakukan pengurusan mengenai perizinan

pengambilan data. Setelah mendapatkan surat izin dari Dinas Pendidikan Kota

Tasikmalaya, selanjutnya peneliti menghubungi pihak dari masing-masing

sekolah, dalam penelitian ini yaitu Wakil Kurikulum setiap sekolah, untuk

membantu dalam penyebaran kuesioner. Namun, dalam pelaksanaannya, hanya

beberapa siswa yang mengisi kuesioner tersebut, sehingga peneliti meminta izin

untuk menghubungi siswa secara personal untuk meminta kesediaannya mengisi

kuesioner. Kuesioner yang digunakan berbentuk google form karena disebarkan

secara online melalui WhatsApp. Pengambilan data dilakukan selama satu bulan,

yaitu di bulan Mei. Penggunaan Google Form untuk pengisian kuesioner

penelitian secara online ini dibagi menjadi 4 bagian, yaitu: pengantar penelitian

untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian, informed consent untuk

pernyataan kesediaan responden dalam mengikuti penelitian, pengisian identitas

awal, pengisian data berupa kondisi kesehatan serta proses pembelajaran yang

dirasakan oleh siswa sebelum dan saat sistem daring diberlakukan, dan alat ukur

School Well-being Scale. Setelah pengambilan data penelitian dilakukan, peneliti

62
membagikan hadiah penelitian dan melakukan pengolahan serta interpretasi data

untuk selanjutnya akan dijelaskan sebagai temuan penelitian.

3.7 Analisis Data

Peneltian ini menggunakan teknik analisis korelasi. Menurut Kaplan &

Saccuzzo (2018), analisis korelasi ini digunakan untuk mengetahui hubungan

yang dihasilkan oleh variabel independen terhadap variabel dependen. Variabel

independen dalam penelitian ini adalah school well-being dan variabel dependen

dalam penelitian ini adalah academic achivement.

Data penelitian ini diolah dengan menggunakan teknik pengolahan data

statistik deskriptif menggunakan software Statistical Packages for Social Sciene

(SPSS) versi 25. Dalam penelitian ini terdapat data demografis yang diperoleh

dari siswa berupa jenis kelamin, usia, dan asal sekolah. Selain itu terdapat juga

data penunjang lainnya dalam penelitian ini yaitu mengenai, kondisi kesehatan,

proses pembelajaran dan hasil pembelajaran siswa sebelum dan saat sistem daring

dilakukan. Hal ini peneliti lakukan, dikarenakan penilaian siswa terhadap

sekolahnya ketika mengisi kuesioner bisa saja dipengaruhi oleh situasi pandemik

yang terjadi saat ini. Sehingga peneliti dapat melihat gambaran secara umum

mengenai perbedaan kondisi kesehatan, proses pembelajaran, dan hasil belajar

siswa sebelum dan saat sistem daring dilakukan, karena kuesioner dalam

penelitian ini sendiri hendaknya dilakukan saat siswa dapat datang secara

langsung ke sekolah.

63
3.7. 1 Hipotesis Statistika

H 0=¿ Tidak terdapat hubungan antara school well-being dengan academic

achievement pada siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya.

H 1=¿ Terdapat hubungan antara school well-being dengan academic

achievement pada siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya

Untuk memperkaya informasi penelitian, terdapat hipotesis tambahan dari

penelitian ini, yaitu:

H 0=¿ Tidak terdapat hubungan antara dimensi having dengan academic

achievement pada siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya.

H 1=¿ Terdapat hubungan antara dimensi having dengan academic

achievement pada siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya

H 0=¿ Tidak terdapat hubungan antara dimensi loving dengan academic

achievement pada siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya.

H 1=¿ Terdapat hubungan antara dimensi loving dengan academic

achievement pada siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya

H 0=¿ Tidak terdapat hubungan antara dimensi being dengan academic

achievement pada siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya.

H 1=¿ Terdapat hubungan antara dimensi being dengan academic

achievement pada siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya

64
H 0=¿ Tidak terdapat hubungan antara dimensi health dengan academic

achievement pada siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya.

H 1=¿ Terdapat hubungan antara dimensi health dengan academic

achievement pada siswa SMP Negeri Kota Tasikmalaya

3.7.2 Uji Normalitas


Uji normalitas dilakukan sebagai prasyarat untuk melakukan uji analitis

data. Uji normalitas bertujuan untuk melihat distribusi data dalam satu variabel

yang akan digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak untuk

membuktikan hipotesis penelitian data data berdistribusi normal. Uji

normalitas yang digunakan adalah uji Kolmogorov Smirnov. Kelebihan dari uji

ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi di antara satu

pengamat dengan pengamat yang lain (Syafitri, 2016).

Hipotesis uji normalitas yang digunakan adalah:

H 0=¿ data berdistribusi normal

H 1=¿ data tidak berdistribusi normal

Dengan kriteria uji:

Tolak H0 jika p-value > 0.05

3.7.2 Uji Statistik

65
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menguji hubungan antara

dua variabel dengan melakukan uji statistik analisis korelasional melalui bantuan

aplikasi SPSS 25.

Skala pengukuran untuk alat ukur School Well-being Scale dan nilai raport

untuk Academic Achievement adalah skala interval. Meskipun pada alat ukur

School Well-being Scale (SWBS) menggunakan skala likert yang menunjukkan

skala ordinal, namun pengolahan yang dilakukan ketika seluruh skor dijumlah dan

didapatkan nilai total, kemudian dikategorikan, menjadi skala interval.

Keeratan korelasi antar variabel dapat dilihat berdasarkan besar koefisien

korelasi dari 0 hingga 1. Kriteria koefisien korelasi dapat dilihat dari tabel oleh

Cohen (2013) sebagai berikut:

Tabel 3.7 Kriteria Koefisien Korelasi

Koefisien Korelasi (r) Interpretasi

0.00 – 0.09 Diabaikan


0.10 – 0.29 Hubungan lemah
0.30 – 0.49 Hubungan sedang
0.50 – 1.00 Hubungan kuat

Kemudian untuk menguji hubungan antara school well-being dengan

academic achievement, apabila ditemukan data berdistribusi normal, maka teknik

analisis statistik yang digunakan terhadap kedua variabel dengan skala interval

adalah Uji Korelasi Pearson Product Moment, yang merupakan pengukuran

66
parametrik, dan akan menghasilkan koefisien korelasi yang berfungsi untuk

mengukur kekuatan hubungan linier antara dua variabel (Jonathan, 2006). Rumus

yang digunakan adalah (Sugiyono, 2011):

n ∑ x i y i−( ∑ x i)( ∑ y i)
r xy =
√¿¿ ¿

Keterangan:

r xy = korelasi antara x dengan y

x i = nilai x ke-i

y i = nilai y ke-i

n = banyaknya nilai

Dengan kriteria uji, tolak H0 jika p-value < α.

Di sisi lain, apabila data ditemukan tidak berdistribusi normal maka uji

statistik yang digunakan adalah Uji Korelasi Spearman’s rho, yang merupakan

pengukuran non parametric. Uji ini digunakan untuk menilai seberapa baik suatu

fungsi yang digunakan untuk menggambarkan hubungan dua variabel dengan

tanpa membuat asumsi distribusi frekuensi dari variabel-variabel yang dipilih

(Jonathan, 2006) dengan rumus:

N
6 ∑ di2
i−1
rs=1− 3
N −N

67
Keterangan:

rs = Spearman rank correlation

d i = perbedaan antara kedua ranking

N = jumlah yang diobservasi

Dengan kriteria uji, tolak H0 jika p-value < α.

3.7.2 Uji Beda


Analisis data terakhir bertujuan untuk melihat peran setiap kategori

demografi dan data penunjang lainnya yang didapatkan, untuk melihat ada atau

tidaknya perbedaan penilaian subjektif siswa terhadap sekolahnya di kelompok

kategori yang berbeda. Pada kategori jenis kelamin, pengujian statistik dilakukan

dengan menggunakan uji non-parametrik Mann Whitney karena hasil uji

normalitas yang diperoleh menggunakan Kolmogorov Smirnnov pada kedua

kelompok tidak berdistribusi normal dan jumlah kategori pada kelompok jenis

kelamin terdiri atas 2 kelompok data. Sementara itu, pada kategori usia dan

sekolah, pengujian statitsik yang dilakukan menggunakan uji non-parametrik

Kruskal Wallis, karena hasil uji normalitas mengguanan Kolmogorov Smirnov

pada beberapa kelompok tidak berdistribusi normal dan jumlah kelompok usianya

terdiri atas lebih dari 2 kelompok data. Kriteria uji yang digunakan dalam uji

68
beda, baik itu untuk statistik parametrik maupun non parametrik adalah, apabila

p-value < 0.05, maka terdapat perbedaan penilaian diantara kelompok responden,

dan apabila p-value>0.05, maka tidak terdapat perbedaan penilaian diantara kedua

kelompok responden.

69
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Pada penelitian ini, terdapat 201 responden yang mengisi kuisioner, dan

terdapat 1 responden yang tidak bersedia, sehingga data yang diolah sebanyak 200

responden, yang merupakan siswa kelas 8 dan 9 dari sepuluh SMP yang berasal

dari setiap kecamatan yang ada di Kota Tasikmalaya. Berikut adalah hasil

penelitian yang mencakup data deskriptif demografis dan data penunjang

responden, hasil uji normalitas, gambaran school well-being di sekolah yang

berada di Kota Tasikmalaya, gambaran academic achievement di sekolah yang

berada di Kota Tasikmalaya, hasil uji korelasi school well-being dan academic

achievement, gambaran korelasi setiap dimensi school well-being dengan

academic achievement, serta hasil uji beda antara school well-being dengan

gambaran data demografis (jenis kelamin, usia dan asal sekolah).

4.1.1 Data Demografis dan Data Penunjang

Berikut adala data demografi responden dalam tabel 4.1:

Tabel 4.1 Data Demografis

70
Data Demografis N %

Jenis Kelamin

Laki-Laki 79 39.5

Perempuan 121 60.5

Usia

13 27 27,1

14 62 40,7

15 111 55.5

Asal Sekolah

SMPN 1 Kota Tasikmalaya 28 14


(Kec. Tawang)

SMPN 5 Kota Tasikmalaya 25 12.5


(Kec. Cipedes)

SMPN 6 Kota Tasikmalaya 23 11.5


(Kec. Cihideung)

SMPN 11 Kota Tasikmalaya 20 10


(Kec. Cibeureum)

71
SMPN 12 Kota Tasikmalaya 22 11
(Kec. Kawalu)

SMPN 15 Kota Tasikmalaya 18 9


(Kec. Tamansari)

SMPN 16 Kota Tasikmalaya 17 8.5


(Kec. Bungursari)

SMPN 17 Kota Tasikmalaya 19 9.5


(Kec. Purbaratu)

SMPN 18 Kota Tasikmalaya 13 6.5


(Kec. Indihiang)

SMPN 21 Kota Tasikmalaya 15 7.5


(Kec.Tamansari)

Perbedaan Kondisi Kesehatan


saat belajar online dan offline

Ada 17 8.5

Tidak 183 91.5

Perbedaan Proses
Pembelajaran saat belajar
online dan offline

Ada 196 98

72
Tidak 4 2

Pengaruh Terhadap Hasil


Belajar

Ada 58 29

Tidak 142 71

Total 200 100

Berdasarkan tabel 4.1 terlihat total responden yang terlibat dalam

penelitian ini, dengan didominasi oleh perempuan sebanyak 60.5% dan laki-laki

banyak 39.5%. Sebanyak 55.5% responden yang mengisi kuesioner ini berusia 15

tahun. Responden dalam penelitian ini paling banyak berasal dari SMPN 1 Kota

Tasikmalaya (Kec. Tawang) sebanyak 14%.

Berdasarkan data penunjang, ditemukan sebanyak 91.5% responden

menganggap tidak terdapat perbedaan kondisi kesehatan sebelum dan saat

dilakukannya pembelajaran secara daring. Selanjutnya, sebanyak 98% responden

menganggap terdapat perbedaan dalam proses pembelajaran sebelum

dilakukannya sistem daring dan saat daring. Terakhir, sebanyak 71% responden

menganggap terdapat perbedaan hasil pembelajaran sebelum dan saat daring

dilakukan.

73
Adapun beberapa alasan yang dilontarkan responden mengenai perbedaan

kondisi kesehatan sebelum dan saat pembelajaran daring dilakukan yang sudah

peneliti olah, yaitu:

Tabel 4.2.1 Kondisi Kesehatan Siswa Sebelum dan Saat Proses Pembelajaran

Daring

Kondisi Kesehatan Sebelum Daring Kondisi Kesehatan Saat Daring dan

dan Pengaruhnya Terhadap Proses Pengaruhnya Terhadap Proses

Pembelajaran Pembelajaran

Mata minus yang menyebabkan sulit Mata masih minus, namun karena

melihat materi di papan tulis dengan materi langsung berada di layar gawai,

jelas mereka tidak merasa kesulitan dalam

hal penglihatan, hanya saja menjadi

lebih mudah merasa pusing karena

terpapar sinar gawai dalam waktu yang

cukup lama.

Mudah merasa lemas ataupun Sarapan menjadi lebih teratur karena

kambuhnya penyakit maag, karena orang tua selalu mengingatkan,

sering terlewat sarapan sebelum sehingga siswa tidak lagi merasa lemas

berangkat sekolah, sehingga terkadang ataupun kambuh maag selama proses

74
merasa tidak fokus saat belajar di pembelajaran sekolah secara daring

kelas.

Beberapa siswa ada yang terpapar

virus Covid-19, yang tentunya

memiliki berbagai efek samping baik

itu bagi fisik maupun mental, sehingga

mereka harus istirahat lebih banyak

dan melewati beberapa kelas.

Kemudian ketika ditanya apakah terdapat perbedaan proses pembelajaran

sebelum dan saat daring dilakukan, sebanyak 4 responden (2%) mengatakan tidak,

karena mereka merasa sistem pembelajaran masih sama saja, yaitu guru

memberikan materi/tugas, dan siswa mengerjakannya. Kemudian, 196 responden

lainnya (98%) menganggap justru proses pembelajaran sebelum dan saat daring

dilakukan sangat berbeda. Hal yang paling mencolok ialah dari tempat belajar,

yang awalnya di sekolah menjadi di rumah, kehadiran teman-teman yang tidak

ditemukan selama pembelajaran daring, media belajar yang digunakan, serta

situasi lingkungan di rumah dan sekolah yang sangat berbeda. Lantas, dengan

adanya perbedaan tersebut, apakah hal tersebut mempengaruhi hasil pembelajaran

atau tidak, ternyata sebanyak 142 dari 200 responden (71%) mengatakan tidak,

75
dan 58 siswa (29%) lainnya mengatakan iya mempengaruhi hasil pembelajaran

mereka. Responden yang menyatakan bahwa dengan adanya perbedaan proses

pembelajaran ini berpengaruh terhadap hasil akhir (nilai), baik itu menjadi lebih

baik (nilai akhir mereka meningkat) dan buruk (nilai akhir mereka menurun),

yang disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

Tabel 4.2.2 Respon Siswa Terhadap Perbedaan Proses Pembelajaran

Jawaban Siswa dengan Nilai Akhir Jawaban Siswa dengan Nilai Akhir

Meningkat Menurun

Mereka merasa jadi memiliki lebih Mereka mudah merasa jenuh karena

banyak waktu untuk memahami harus melakukan seluruh aktivitasnya

materi, karena hanya di rumah saja. di rumah.

Mereka merasa terbantu karena adanya Mereka merasa banyak distraksi,

orang tua ataupun anggota keluarga seperti disuruh oleh orang tua untuk

lain yang ikut membantu memahami mengerjakan pekerjaan rumah,

materi pembelajaran. sehingga tidak bisa benar-benar fokus

pada pembelajaran.

76
Mereka merasa lebih mudah Mereka merasa tidak betah berada di

berdiskusi dengan teman ketika rumah, karena memiliki masalah atau

mengerjakan soal, seperti ulangan kurang dekat dengan orang tua

harian, yang mana ketika berada di maupun anggota keluarga lainnya.

sekolah mereka diawasi oleh guru

secara ketat.

Mereka merasa lebih sulit untuk

memahami materi yang diberikan oleh

guru, karena terkadang guru hanya

memberikan modul atau bahan

bacaaan saja.

Terlalu banyak tugas sehingga

membuat mereka menjadi lebih mudah

stress atau tertekan, di sisi lain, mereka

pun kehilangan support system

(teman-teman) ataupun lingkungan

yang mendukung untuk belajar.

77
4.1.3 Gambaran Deskriptif Rata-rata School Well-being dan Academic

Achievement

Tabel 4.4 Skor Rata-rata School Well-being dan Academic Achievement

Mean Kategori

Scholl Well-Being Scale 81.19 Sedang

Academic Achievement 88.48 Baik

Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor school well-being

pada siswa SMP di Kota Tasikmalaya yaitu sebesar 81.19. Berdasarkan

kategorisasi yang dibuat oleh peneliti, maka skor tersebut masuk ke dalam

kategori sedang. Kemudian, untuk academic achievement, didapatkan hasil bahwa

rata-rata skor yang diperoleh siswa SMP di Kota Tasikmalaya sebesar 88.48.

Berdasarkan kategorisasi yang telah ditentukan oleh Dinas Pendidikan Kota

Tasikmalaya, skor tersebut berada pada kategori baik.

4.1.3 Hasil Uji Normalitas

Sebelum melakukan uji korelasi, peneliti harus memenuhi uji asumsi

terlebih dahulu. Adapun uji yang dilakukan oleh peneliti berupa uji Normalitas

dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov. Berikut merupakan tabel hasil Uji

Normalitas yang dilakukan oleh peneliti

78
Tabel 4.5 Hasil Uji Asumsi

Variabel Kriteria Sig. Makna Keterangan

School Well- Sig. > 0.05 Sig = 0.200 Data Terpenuhi


being berdistribusi
normal

Academic Sig. > 0.05 Sig = 0.180 Data Terpenuhi


Achievement berdistribusi
normal

Berdasarkan tabel 4.3, terlihat hasil uji normalitas Kolmogorov Smirnov

untuk variabel School Well-being memiliki nilai p = 0.200, dan variabel

Academic Achievement memiliki nilai p = 0.180, karena keduanya memiliki p –

value > α = 0.05, maka H0 ditolak, sehingga data berdistribusi normal. Sehingga,

peneliti melanjutkan uji analisis menggunakan uji korelasi Pearson Product

Moment.

79
4.1.4 Hasil Uji Statistik

4.1.4.1 Uji Korelasi School Well-being dengan Academic Achievement

Peneliti melakukan analisis statistik menggunakan uji korelasi Pearson

Product Moment, dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan hubungan linier

antara School Well-being dengan Academic Achievement Siswa SMP Kota

Tasikmalaya.

Tabel 4.6 Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment

Variabel r p-value Keputusan Kekuatan


Korelasi

School Well-being
Hubungan
0,426 0,000 H0 ditolak
Academic sedang
Achievement

Tabel 4.4 menunjukan nilai signifikansi antara variabel school well-being

dan variabel academic achievement sebesar 0.000, dengan p-value < α =0.05,

sehingga H0 ditolak. Dengan kata lain, hipotesis “Terdapat hubungan antara

school well-being dengan academic achievement pada siswa SMP Kota

Tasikmalaya” diterima. Hasil analisis Pearson Product Moment juga

menunjukkan koefisien korelasi antara School Well-being dan Academic

Achievement sebesar 0.426. Angka tersebut menandakan bahwa ada hubungan

80
positif antara school well-being dengan academic achievement, dengan kekuatan

hubungan keduanya berada pada taraf sedang.

4.1.4.2 Uji Korelasi Dimensi-dimensi School Well-being dengan Academic


Achievement

Peneliti melakukan analisis statistik menggunakan uji korelasi Pearson

Product Moment terhadap setiap dimensi School Well-being, dengan tujuan untuk

menelaah lebih lanjut mengenai hubungan antara setiap dimensi pada School

Well-being dengan Academic Achievement Siswa SMP Negeri di Kota

Tasikmalaya.

Tabel 4.7 Hasil Uji Korelasi Dimensi-dimensi School Well-being dengan


Academic Achievement

Variabel r p-value Keputusan Kekuatan


Korelasi

Dimensi Having

0,850 0,000 H0 ditolak Hubungan kuat


Academic
Achievement

Dimensi Loving

0,739 0,000 H0 ditolak Hubungan kuat


Academic
Achievement

Dimensi Being 0,571 0,000 H0 ditolak Hubungan kuat

81
Academic
Achievement

Dimensi Health

0,464 0,000 H0 ditolak Hubungan sedang


Academic
Achievement

Berdasarkan tabel 4.5 diatas dapat dilihat hasil analisis Pearson Product

Moment, dengan derajat kepercayaan 95% terdapat korelasi signifikan antara

seluruh dimensi school well-being yaitu dimensi having, being, loving dan health

terhadap academic achievement pada partisipan dengan nilai masing-masing

dimensi adalah p = 0,000 (p ≤ 0,05). Seluruh hubungan berarah positif yang

berarti semakin tinggi skor setiap dimensi school well-being maka semakin tinggi

juga prestasi akademik yang diperoleh siswa di sekolah.

Sementara itu, dimensi yang memiliki kekuatan korelasi yang kuat dengan

academic achievement di sekolah adalah dimensi having (0,850), dimensi loving

(0,739), dan dimensi being (0,571). Dimensi lain yang memiliki kekuatan korelasi

sedang yaitu dimensi hubungan health (0,464), namun dari koefisien korelasi

yang hampir mencapai 0,50 dapat dikatakan kekuatan korelasi dimensi health

sedang menuju kuat terhadap academic achievement siswa di sekolah.

82
4.1.4.2 Uji Beda data Demografi

Untuk melihat peran data demografi terhadap perbedaan yang terjadi pada

responden, dilakukan kembali pengujian statistika terhadap ketiga data demografi

(Jenis Kelamin, Usia, Kelas).

Tabel 4. 8 Hasil Uji Normalitas Berdasarkan Data Demografi

Kategori Sig. Makna


Jenis L 0.016 Data tidak berdistribusi normal
Kelami
n
P 0.008 Data tidak berdistribusi normal
Usia 13 tahun 0.200 Data berdistribusi normal
14 tahun 0.072 Data tidak berdistribusi normal
15 tahun 0.000 Data tidak berdistribusi normal
Asal SMPN 1 Kota Tasikmalaya 0.008 Data tidak berdistribusi normal
Sekolah (Kec. Tawang)
SMPN 5 Kota Tasikmalaya 0.004 Data tidak berdistribusi normal
(Kec. Cipedes)
SMPN 6 Kota Tasikmalaya 0.200 Data berdistribusi normal
(Kec. Cihideung)
SMPN 11 Kota 0.200 Data berdistribusi normal
Tasikmalaya (Kec.
Cibeureum)
SMPN 12 Kota 0.111 Data berdistribusi normal
Tasikmalaya (Kec.
Kawalu)
SMPN 15 Kota 0.200 Data berdistribusi normal
Tasikmalaya (Kec.
Tamansari)
SMPN 16 Kota 0.200 Data berdistribusi normal
Tasikmalaya (Kec.
Bungursari)
SMPN 17 Kota 0.200 Data berdistribusi normal
Tasikmalaya (Kec.

83
Purbaratu)
SMPN 18 Kota 0.197 Data berdistribusi normal
Tasikmalaya (Kec.
Indihiang)
SMPN 21 Kota 0.132 Data berdistribusi normal
Tasikmalaya
(Kec.Tamansari)

Pada tabel 4.8, dapat terlihat hasil uji normalitas untuk setiap kategori data

demografi. Di setiap kategori, dapat dilihat bahwa terdapat satu atau dua

kelompok yang datanya tidak berdistribusi tidak normal. Oleh karena itu,

pengujian homogenitas tidak dilakukan dan langsung dilakukan uji beda non-

parametrik. Untuk data demografi Jenis Kelamin, dengan jumlah kategori dua

kelompok, uji beda yang digunakan adalah Uji Mann Whitney, sedangkan untuk

data demografi usia dan asal sekolah, dengan jumlah kategori lebih dari dua

kelompok, maka uji beda yang digunakan adalah Uji Kruskal Wallis.

Tabel 4.9 Hasil Uji Beda

Kategori Mean Rank Sig. Uji Beda

95.82
L 0.352 Mann
Jenis
Whitney
Kelamin
P 103.56

Usia 13 tahun 85.79 0.367 Kruskal

84
14 tahun 105.43 Wallis

15 tahun 100.96

Asal SMPN 1 Kota 127.29 0.000 Kruskal


Sekolah Tasikmalaya (Kec. Wallis
Tawang)

SMPN 5 Kota 132.64


Tasikmalaya (Kec.
Cipedes)

SMPN 6 Kota 67.63


Tasikmalaya (Kec.
Cihideung)

SMPN 11 Kota 72.45


Tasikmalaya (Kec.
Cibeureum)

SMPN 12 Kota 92.48


Tasikmalaya (Kec.
Kawalu)

SMPN 15 Kota 107.00


Tasikmalaya (Kec.
Tamansari)

85
SMPN 16 Kota 67.18
Tasikmalaya (Kec.
Bungursari)

SMPN 17 Kota 114.50


Tasikmalaya (Kec.
Purbaratu)

SMPN 18 Kota 82.12


Tasikmalaya (Kec.
Indihiang)

SMPN 21 Kota 124.67


Tasikmalaya
(Kec.Tamansari)

Pada tabel 4.9, ditampilkan hasil uji beda berdasarkan keseluruhan

kategori. Detail uji yang digunakan dapat dilihat pada tabel. Hasilnya, pada uji

beda yang dilakukan terhadap usia dan jenis kelamin menunjukkan p-value>0.05,

artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dan usia

terhadap penilaian subjektif siswa terhadap sekolahnya. Hasil ini menunjukkan

bahwa penilaian siswa terhadap sekolahnya yang terjadi dalam penelitian ini

bukan disebabkan oleh jenis kelamin maupun usia. Kemudian, pada uji beda yang

dilakukan terhadap asal sekolah menunjukkan p-value < 0.05, artinya terdapat

86
perbedaan yang signifikan antara asal sekolah dengan penilaian subjektif siswa

terhadap sekolahnya. Hasil ini menunjukkan bawah penilaian siswa terhadap

sekolahnya dalam penelitian ini bisa disebabkan oleh asal sekolah masing-masing

responden.

4.2 Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara school well-

being dengan academic achievement pada siswa SMP Negeri di Kota

Tasikmalaya. Hasil interpretasi uji Korelasi Pearson Product Moment

mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara school well-

being dengan academic achievement pada siswa SMP di Kota Tasikmalaya, pada

taraf sedang (r= 0,426) dan sifat hubungannya positif. Kekuatan hubungan yang

sedang ini menunjukkan bahwa hubungan diantara kedua variabel itu tidak terlalu

kuat, ada pada taraf yang cukup. Selanjutnya, hubungan yang positif menandakan

bahwa hubungan school well-being dan academic achievement berbanding lurus.

Artinya, semakin tinggi penilaian seorang siswa terhadap kepuasan sekolahnya

maka akan semakin baik prestasi akademik yang diperoleh siswa. Siswa dengan

well-being yang tinggi akan lebih kooperatif, percaya diri, kreatif, toleran dan

altruisti (Chone & Pressman, 2006; Lyubomrisky, King & Diener, 2005).

Kararkteristik inilah yang nantinya akan membuat mereka menjadi lebih positif

dan percaya diri ketika menghadapi lingkungan serta mendukung kegiatan

akademik (Mashford-Scott, Church, & Tayler, 2012).

87
School well-being yang dikemukakan oleh Konu dan Rimpela (2002)

sendiri merupakan model yang menggabungkan dimensi lingkungan fisik sekolah,

relasi sosial, pemenuhan diri dan status kesehatan para siswa di dalamnya. Hal ini

didukung dengan penelitian yang menunjukkan bahwa iklim lingkungan sosial,

sistem pengajaran, dan organisasi sekolah mempengaruhi keterlibatan siswa dan

academic achievement (Eccles, Wigfield, & Scheifele, 1998; H. Patrick, Ryan, &

Kaplan, 2007; AM Ryan & Patrick, 2001). Proses pembelajaran yang dilakukan di

sekolah, diharapkan dapat memberikan suasana belajar yang nyaman dan mampu

mendorong kemauan siswa untuk belajar secara aktif (Rachmah, 2016).

Kenyamanan yang siswa peroleh selama berada di sekolah dapat memaksimalkan

proses penyerapan materi yang berpengaruh terhadap keberhasilan belajar dalam

bidang akademik. Menurut studi, proses dan hasil belajar siswa dipengaruhi

positif oleh kesejahteraan siswa itu sendiri di sekolahnya (Hidayah, Pali, Ramli, &

Hanurawan, 2016). Namun dengan adanya hubungan yang termasuk ke dalam

kategori sedang, menunjukkan bahwa prestasi akademis seseorang memang tidak

hanya dipengaruhi dengan kondisi school well-being sekolahnya saja, melainkan

ada faktor lain yang berkontribusi. Pencapaian prestasi belajar seorang siswa

dipengaruhi oleh faktor lainnya, seperti kecerdasan, minat-bakat, motivasi dan

sebagainya (Slavin, 2012; Santrock, 2011; Dariyo, 2013). Jika seorang siswa

hanya mengandalkan perasaan bahagia (sejahtera), namun tanpa disertai dengan

kemampuan kognitif seperti kecerdasan, minat-bakat atau aspek afektif, maka ia

pun mungkin cenderung tidak dapat mencapai prestasi belajar yang baik (Dariyo,

2013).

88
Di sisi lain, apabila kita melihat hasil uji beda pada data demografi, jenis

kelamin maupun usia tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap

penilaian subjektif siswa selama di sekolah. Temuan pada penelitian ini rupanya

sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Konu dan Rimpela (2002), bahwa pada

gender spesific confirmatory factor analysis, hasilnya menunjukkan tidak ada

perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin pada struktur school well-being.

Penelitian mengenai tingkat stress terhadap sekolah merupakan studi yang paling

mendekati untuk menjelaskan bagaimana gambaran penilaian siswa terhadap

sekolahnya itu sendiri (Park, et al., 2012). Studi sebelumnya yang dilakukan di

Eropa dengan sampel mahasiswa, menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang

signifikan antara tingkat stress terhadap sekolah dengan gender, hal ini bisa saja

disebakan karena adanya faktor personal lainnya seperti coping strategies atau

faktor lingkungan (Yusoff, 2010).

Temuan baru lainnya dalam penelitian ini adalah tidak adanya perbedaan

yang signifikan pada penilaian siswa terhadap sekolahnya apabila dilihat dari

faktor kelasnya. Responden penelitian yang berada pada kelas 8 dan 9, berkisar

usia 13-15 tahun, dimana mereka berada pada jenjang pendidikan yang sama dan

memiliki kemampuan kognitif yang mirip karena berada pada fase kognitif yang

sama, yaitu formal operational stage (Santrock, 2018), sehingga pada fase ini

kedua kelompok sangat mungkin untuk melakukan penilaian dari sudut pandang

yang sama sehingga tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan pada

penilainnya terhadap sekolah. Namun di sisi lain, hasil uji beda antara skor school

well-being dengan asal sekolah justru menunjukkan adanya perbedaan nilai yang

89
signifikan. Hasil ini menunjukkan bawah penilaian siswa terhadap sekolahnya

dalam penelitian ini bisa disebabkan oleh asal sekolah masing-masing responden.

Temuan menarik ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dariyo

(2015), bahwa pada dasarnya, setiap sekolah memiliki school well-being-nya

masing-masing karena adanya kebijaksanaan yang berbeda antara satu sama lain,

seperti perbedaan visi misi maupun kebijakan di setiap sekolah.

Lebih lanjut, dengan situasi pandemik yang terjadi saat ini, peneliti ingin

melihat juga bagaimana perbedaan yang mereka rasakan dalam hal proses

pembelajaran sebelum dan saat pembelajaran daring dilakukan, karena dengan

adanya perbedaan kondisi, memungkinkan pula membuat penilaian dari siswa pun

dapat berbeda, terlebih pengisian kuesioner ini bersifat retrospektif, dimana siswa

harus mencoba mengingat kembali kejadian ataupun situasi untuk memberikan

penilaiannya terhadap sekolah. Dari data demografi, ditemukan bahwa mayoritas

responden mengatakan terdapat perbedaan proses pembelajaran sebelum dan saat

sistem daring dilakukan. Perbedaan yang paling mencolok tentu saja dari tempat

belajar, yang awalnya di sekolah menjadi di rumah masing-masing. Kemudian,

fasilitas yang awalnya menggunakan media papan tulis dan buku catatan di

sekolah, berubah menjadi harus menggunakan gawai untuk melangsungkan proses

pembelajaran, mulai dari pemberian materi, pengumpulan tugas, hingga

pelaksanaan ujian. Kemudian ketika ditanya apakah dengan adanya perbedaan

tersebut, lantas mempengaruhi hasil pembelajaran atau tidak, mayoritas menjawab

tidak, dan sebagian lagi mengatakan iya mempengaruhi hasil pembelajaran

mereka. Responden yang menyatakan bahwa dengan adanya perbedaan proses

90
pembelajaran ini berpengaruh terhadap hasil akhir pembelajaran mereka di

sekolah, disebabkan oleh beberapa hal. Hal tersebut kembali cukup

menggambarkan mengenai bagaimana prestasi akademik itu sendiri dipengaruhi

oleh berbagai faktor, mulai dari faktor internal sampai dengan faktor eksternal.

Faktor internal merupakan faktor yang sudah ada pada diri individu tersebut,

seperti intelegensi, minat, bakat, sikap, konsep diri, motivasi, kepribadian, taraf

kemampuan bahasa dan kondisi fisik juga psikis. Intelegensi sebagai unsur

kognitif dianggap memliki peranan yang cukup penting dalam keberhasilan

akademik seseorang. Penelitian lain mengeksplorasi lebih lanjut, bahwa

intelegensi seseorang ini berkaitan dengan tingkat keterlibatan akademik yang

lebih tinggi (Martin et al., 2013), lebih memiliki perspektif terhadap tujuan

pembelajaran yang berkembang (Dweck, 1999), lebih berorientasi terhadap

strategi penguasaan (Burnette et al., 2013), mampu mengatasi defisit spesifik pada

domain tertentu (Alesi et al., 2016), dan prestasi akademik (Burnette et al., 2013).

Selain itu, konsep diri juga dapat menjadi faktor pencapaian akademis

yang diraih oleh seseorang. Hal ini didukung dengan hasil studi yang

menunjukkan bahwa kepercayaan siswa terhadap kemampuannya dalam bidang

akademik merupakan hal yang penting untuk menunjang prestasi yang diraih

(Jaiswal & Choudhuri, 2017). Selain itu, menurut studi yang dilakukan

Subaryana (2015), siswa yang memiliki konsep diri positif cenderung belajar

lebih optimal dibandingkan dengan siswa yang memiliki konsep diri negatif.

Dengan konsep diri yang positif, individu cenderung untuk melakukan sesuatu

secara optimal demi tercapainya tujuan mereka. Namun, ketika individu memiliki

91
konsep diri yang negatif, mereka cenderung kurang optimal dalam melakukan

sesuatu dan diliputi atas rasa keraguan, sehingga hasil yang mereka peroleh pun

kurang maksimal.

Di sisi lain, yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah faktor yang

berasal dari luar diri peserta didik itu sendiri, yang pada akhirnya bisa

mempengaruhi prestasi akademik, seperti faktor lingkungan keluarga, faktor

lingkungan sekolah dan pada lingkungan sosial yang lebih luas lainnya. Sifat-sifat

orang tua, praktek pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga dan demografi

keluarga, semuanya dapat memberikan dampak baik maupun buruk terhadap

kegiatan belajar dan prestasi yang dicapai siswa (Simanullang, Wahjoedi & Sapto,

2017). Selain itu, lingkungan masyarakat pun memiliki peranan penting dalam

mempengaruhi prestasi belajar, karena siswa pun berada dalam suatu kelompok

masyarakat dan teman-teman sepermainan (Simanullag, et.al., 2017)

Gambaran untuk variabel school well-being, mayoritas siswa SMP Kota

Tasikmalaya kelas 8 dan 9 berada pada kategori sedang, yaitu sebanyak 152

siswa, kemudian 43 siswa memiliki skor school well-being yang tinggi, dan 5

siswa memiliki skor school well-being yang rendah. Rata-rata skor school well-

being yang didapatkan dalam penelitian ini yaitu sebesar 81.19, yang termasuk ke

dalam kategori sedang. Hasil tersebut menunjukkan siswa memiliki penilaian

subjektif yang rata-rata akan terpenuhinya kebutuhan mereka terhadap kondisi

lingkungan fisik sekolah, hubungan dengan teman dan guru, pemenuhan

kebutuhan dirinya serta status kesehatan selama berada di sekolah. Secara teoritis,

92
hal ini sejalan dengan tahapan kognitif individu yang berada pada fase formal

operational stage, dimana mereka sudah mulai bepikir secara abstrak dan logis

melalui pengalaman yang konkrit. Sebagai bentuk berpikir secara abstrak, remaja

mulai mengembangkan pemikirannya mengenai lingkungan yang ideal itu seperti

apa. Mereka mungkin akan mulai membandingkan satu hal denngan hal lainnya

yang menjadi acuan standar, seperti lingkungan sekolah yang baik itu seperti apa,

teman yang baik itu seperti apa, pemenuhan kebutuhan diri di sekolah itu seperti

apa serta status kesehatan mereka, dsb. Kemudian, gambaran untuk variabel

academic achievement, mayoritas siswa SMP di Kota Tasikmalaya berada pada

kategori baik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara umum siswa SMP di

Kota Tasikmalaya memiliki prestasi akademik yang baik berdasarkan perolehan

nilai raport yang mereka terima.

Lebih spesifiknya lagi, terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi

having dengan prestasi akademik. Koefisien korelasi yang didapatkan dari analisa

hubungan ini adalah 0,850 sehingga menunjukkan hubungan yang kuat antara

kondisi lingkungan fisik sekolah dengan prestasi akademik dan berbanding lurus .

Hubungan ini menunjukkan semakin siswa merasa nyaman dengan kondisi

lingkungan fisik sekolah, maka akan semakin tinggi juga prestasi akademik yang

mereka peroleh. Hal ini sejalan dengan data yang didapatkan dari Dinas

Pendidikan Kota Tasikmalaya mengenai sarana dan prasarana yang harus ada di

setiap sekolah, sehingga nampaknya kebutuhan mereka cukup terpenuhi. Selain

itu, temuan ini juga sesuai dengan data awal yang diambil oleh peneliti terhadap

26 siswa yang menunjukkan bahwa sebagian besar siswa tidak mengeluhkan

93
kondisi lingkungan fisik sekolah dan bahkan tidak merasa terganggu dengan

proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah. Temuan ini didukung dengan

hasil penelitian yang dilakukan oleh Majid (2013), dimana lingkungan fisik

sekolah mempunyai pengaruh penting terhadap prestasi belajar siswa. Lingkungan

sekolah secara fisik meliputi keadaan fisik sekolah, sarana dan prasarana di dalam

kelas, keadaan gedung sekolah, sumber-sumber belajar, media belajar dan

segalanya. Sarana dan prasarana yang tidak lengkap akan membuat proses

pembelajaran menjadi terhambat. Di sisi lain, lingkungan sekolah yang baik dapat

membuat siswa merasa nyaman saat melakukan aktivitas di dalam lingkungan

sekolah, seperti melakukan tugasnya dengan baik (Konu & Rimpela, 2002).

Menurut Muhibbin Syah (2010), keadaan gedung sekolah dan letaknya, serta alat-

alat belajar yang juga ikut menentukan keberhasilan belajar siswa. Penelitian

sebelumnya menunjukkan bahwa sekolah yang memperhatikan fasilitas

kesehatannya dapat mengurangi permasalahan terkait absensi, keterlambatan, dan

perilaku tidak disiplin dari para siswanya, dan meningkatkan tingkat kelulusan

(Irawan, 2017).

Kemudian, ditemukan pula bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara dimensi being dengan academic achievement. Koefisien korelasi yang

didapatkan dari analisa hubungan ini adalah 0,571 sehingga menunjukkan

hubungan yang kuat antara pemenuhan diri siswa di sekolah dengan prestasi

akademik dan berbanding lurus. Hubungan ini menunjukkan semakin terpenuhi

kebutuhan siswa selama berada di sekolah, maka akan semakin tinggi juga

prestasi akademik yang mereka peroleh. Keterlibatan siswa selama di sekolah

94
dapat terlihat dari partisipasinya dalam mengikuti kegiatan sekolah, kehadiran,

kepatuhan pada aturan, dan sejauh mana usaha yang ia keluarkan selama

melakukan proses pembelajaran (Soutter et al., 2014). Studi yang dilakukan di

Eropa menemukan adanya hubungan yang signifikan antara keterlibatan siswa

dengan kesuksesan akademis dan well-being (Choi, 2013). Apabila kita melihat

pada teori Self Determination, yang mengatakan bahwa setiap manusia memiliki

kebutuhan fundamental psikologisnya terhadap relatedness, competency, dan

autonomy (R. M. Ryan & Deci, 2009), maka hal ini dapat membantu menjelaskan

bahwa, ketika semua kebutuhan tersebut sudah terpenuhi, maka keikutsertaan para

individu di sekolah tersebut akan lebih konstruktif, seperti siswa akan terlibat

penuh ketika belajar di ruang kelas dan lebih bersedia untuk bekerja sama dengan

peraturan sekolah yang ada (Wang, et. Al., 2019). Kemudian, kebutuhan lainnya

yang siswa dapatkan selama di sekolah bisa melalui mengikuti kegiatan organisasi

maupun ekstrakurikuler. Temuan ini didukung dengan data yang didapatkan dari

Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya, bahwa setiap SMP di Kota Tasikmalaya

menyediakan kegiatan organisasi maupun esktrakurikuler yang bergerak di

berbagai bidang. Menurut Rakhmanti (2014), kegiatan ekstrakurikuler merupakan

salah satu kegiatan yang ditujukkan untuk mengembangkan potensi siswa.

Kegiatan organisasi maupun ekstrakurikuler dapat menjembatani kebutuhan siswa

yang bervariasi, seperti minat, kemampuan dan bakat. Dengan kegiatan

ekstrakurikuler, siswa akan terlatih untuk membangun kemampuan sosialnya.

Selain itu, dengan mengembangkan potensi dan bakat yang dimiliki siswa, mereka

95
akan menjadi lebih siap untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan bertanggung

jawab, termasuk dalam studinya (Yhunanda & Soleh, 2020).

Selanjutnya, ditemukan pula bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara dimensi loving dengan academic achievement pada siswa SMP di Kota

Tasikmalaya. Koefisien korelasi yang diperoleh dari hubungan ini adalah

hubungan 0.739 yang berarti bahwa hubungan antara dimensi loving dengan

prestasi akademik berbanding lurus. Hubungan ini menunjukkan ketika seorang

siswa semakin merasa terlibat dengan warga lingkungan sekolah, baik itu teman,

guru maupun pegawai sekolah lainnya, maka akan semakin tinggi pula prestasi

akademik yang diperoleh siswa. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Shunck (2012), yang menemukan bahwa relasi yang positif

antara siswa dan guru diperlukan, karena guru dapat membantu mengubah

keyakinan siswa mengenai kemampuannya yang dapat bermanfaat untuk

meningkatkan motivasi belajar siswa. Remaja yang menikmati dukungan yang

positif, baik itu dari teman maupun guru, akan lebih termotivasi dan secara aktif

lebih terlibat dengan kegiatan di sekolah. Misalnya, persepsi remaja bahwa

gurunya peduli dengan dirinya selama di sekolah (Roorda, Koomen, Spilt, &

Oort, 2011), menunjukkan feedback yang jelas, terstruktur dan positif (Skinner,

Kindermann, Connell & Wellborn, 2009), dan bersedia untuk menolong dengan

permasalahan akademik (Newman, 2000), berhubungan positif dengan motivasi

akademik dan keterlibatan siswa di sekolah. Sama halnya dengan persepsi siswa

terhadap teman-teman di kelas yang saling peduli satu sama lain (Juvonen, 2006),

dan memiliki ekspektasi positif terhadap perilaku di dalam kelas (Hamm, Schmid,

96
Farmer & Locke, 2011; Juvonen & Cadigan, 2002), berhubungan dengan hasil

akademik yang positif di sekolah.

Selain itu, ditemukan pula bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara dimensi health dengan prestasi akademik. Koefisien korelasi yang

didapatkan dari analisa hubungan ini adalah 0,464 sehingga menunjukkan

hubungan yang sedang antara kondisi kesehatan siswa dengan prestasi akademik

dan berbanding lurus. Hubungan ini menunjukkan semakin terjaga kondisi

kesehatan siswa selama berada di sekolah, maka akan semakin tinggi juga prestasi

akademik yang mereka peroleh. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Konold (2018) yang mengemukakan bahwa kesehatan juga

dapat mempengaruhi performa seseorang selama berada di sekolah.

Bagaimanapun juga, penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara academic achievement dengan status kesehatan siswa. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Konald (2018) yang menyebutkan

bahwa masalah kesehatan seperti penglihatan maupun kesehatan mulut, asma,

kehamilan masa remaja, gizi buruk, obesitas, stress kronis dan gangguan

kurangnya perhatian dan hiperaktif, menunjukkan resiko lebih rentan terhadap

agresi dan kekerasan, aktivitas seksual yang tidak aman, makan yang tidak sehat,

kurangnya aktivitas fisik dan penggunaan obat-obatan yang berbahaya itu

berkaitan dengan kinerja skolastik yang rendah. Kemudian, apabila kita merujuk

pada data penunjang, hubungan yang sedang antara dimensi health dan academic

achievement ini sendiri bisa saja disebabkan karena pada umumnya, siswa merasa

tidak ada kondisi kesehatan yang terlalu mengganggu dalam proses pembelajaran,

97
baik itu sebelum dan saat sistem daring dilakukan. Kalaupun ada, selama di

sekolah, mereka dapat menggunakan fasilitas UKS sebagai tempat untuk

beristirahat, walaupun terkadang ada saja sekolah yang tidak selalu memeriksa

persediaan obat-obatan.

4.3 Limitasi Penelitian

Penelitian ini memiliki sejumlah keterbatasan yang dapat diperhatikan dan

dijadikan bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya. Pertama, penelitian ini

ditujukan untuk siswa SMP di Kota Tasikmalaya, yang terdiri dari kelas 7, 8 dan

9. Namun dalam penelitian ini, data yang diperoleh hanya berdasarkan siswa kelas

8 dan 9 saja, dikarenakan situasi pandemik, siswa kelas 7 belum mengetahui

kondisi fisik sekolah dan fasilitas yang terdapat di dalamnya seperti apa,

sedangkan variabel School Well-being serta alat ukurnya meminta siswa untuk

memberikan penilaiannya terhadap kondisi fisik serta lingkungan sekolah nya itu

sendiri.

Kedua, karena penelitian ini membutuhkan penilaian siswa terhadap

kondisi fisik dan lingkungan sekolahnya, sedangkan para siswa sudah tidak lagi

belajar di sekolah selama setahun akibat pandemik ini, mereka akhirnya harus

mencoba mengingat kembali bagaimana kondisi fisik dan lingkungannya saat

terakhir kali mereka ke sekolah alias, pengisian kuesioner ini bersifat retrsopektif,

dan salah satu keterbatasan dari retrospektif secara teoritis yakni adanya recall

98
bias, yaitu bias yang terjadi ketika partisipan tidak dapat mengingat secara akurat

pengalaman ataupun kejadian sebelumnya secara mendetail, dengan kata lain

akurasi dari ingatan mereka bisa saja sudah dipengaruhi oleh adanya pengalaman

ataupun kejadian lainnya yang terjadi selama rentang waktu tersebut.

Ketiga, sampel memiliki margin of error 10% yang masih dapat diterima

namun akan lebih baik jika margin of error semakin mendekati 1% agar hasil

penelitian lebih dapat digeneralisir. Selain itu, jumlah responden dari beberapa

sekolah belum memenuhi jumlah minimal sampel karena pengambilan data

dilakukan dengan jarak jauh akibat kondisi pandemik.

Keempat, peneliti tidak dapat mengontrol kondisi responden saat mengisi

kuesioner sehingga tidak diketahui faktor lingkungan responden yang dapat

mempengaruhi hasil penelitian dan kebenaran dalam pelaporannya tergantung

pada kejujuran responden penelitian.

99
BAB V

KESIMPULAN & SARAN

5.1 Simpulan

Hasil dalam penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara school well-being dengan academic achievement pada siswa

SMP Negeri di Kota Tasikmalaya, sehingga hipotesis penelitian diterima.

Hubungan korelasi kedua variabel ini bersifat positif dan berada pada taraf yang

sedang. Kekuatan hubungan yang sedang ini menunjukkan bahwa adanya faktor

lain yang mungkin saja mempengaruhi penilaian siswa terhadap sekolahnya

maupun prestasi akademik yang mereka peroleh. Hal ini didukung dengan

temuan penelitian berdasarkan hasil uji beda data demografi, bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan pada asal sekolah terhadap penilaian siswa terhadap

sekolahnya. Selain itu, data penunjang pun menunjukkan bahwa prestasi

akademik siswa dalam penelitian ini tidak hanya dipengaruhi oleh school well-

being saja, melainkan ada faktor lainnya yang ikut berperan seperti, kecerdasan,

minat-bakat, motivasi serta lingkungan keluarga.

Dimensi-dimensi school well-being secara berurut dari yang paling

memiliki hubungan yang kuat dengan academic achievement adalah having,

loving dan being, sedangkan dimensi health memiliki hubungan korelasi yang

sedang dengan academic achievement. Sebagian besar responden memiliki skor

100
school well-being pada kategori sedang, yang artinya penialain mereka terhadap

sekolah tidak begitu memuaskan tetapi juga tidak begitu buruk. Selain itu, rata-

rata responden memperoleh academic achivement pada kategori tinggi, artinya

siswa memiliki prestasi belajar yang baik selama bersekolah berdasarkan nilai

raport yang mereka peroleh.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

- Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini mengharuskan responden untuk

menilai kondisi fisik dan lingkungan sekolah secara langsung, oleh karena

itu, diharapkan untuk penelitian selanjutnya, alat ukur ini digunakan ketika

para siswa sudah bisa bersekolah secara offline seperti biasanya, supaya

penilaian yang mereka berikan dapat lebih objektif dan menghindari bias.

- Hubungan yang sedang antara kedua variabel menunjukkan adanya faktor

lain yang dapat berperan dalam pencapaian akademis seseorang.

Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, ternyata asal sekolah

memiliki perbedaan nilai yang signifikan terhadap penilaian subjektif

siswa terhadap sekolahnya. Penelitian selanjutnya dapat menelaah

bagaiamana gambaran school well-being dari satu sekolah secara

menyeluruh, agar peneliti mendapatkan informasi mengenai aspek apa saja

101
yang sudah baik dan apa saja yang perlu ditingkatkan dari setiap sekolah

secara lebih mendetail sehingga siswa dapat memperoleh prestasi

akademik yang lebih baik lagi.

- Peneliti selanjutnya dapat menelaah lebih lanjut mengenai studi komparasi

school well-being yang dirasakan oleh siswa sebelum dan saat

pembelajaran daring dilakukan, serta hubungannya dengan academic

achievement, karena bisa saja penilaian mereka berbeda dan hal ini akan

menarik untuk diteliti.

5.2.2 Saran Praktis

- Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi tambahan bagi praktisi di

bidang pendidikan, berupa artikel atau jurnal ilmiah mengenai salah satu

faktor yang berhubungan dengan academic achievement, khusus nya bagi

para siswa SMP.

- Bagi para guru atau pihak sekolah, dapat menjadikan penelitian ini sebagai

bahan pertimbangan untuk mengevaluasi ataupun merancang program

dalam rangka menjaga ataupun memelihara school well-being yang sudah

ada di SMP Kota Tasikmalaya, agar siswa tetap merasa aman dan juga

nyaman selama proses pembelajaran, yang dapat mendukung terhadap

hasil prestasi akademik yang lebih baik lagi.

102
103
DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Majid. (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Adiputra, Sofwan., & Mujiyati. (2017). Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa di

Indonesia: Kajian Meta Analisi. Konselor. Vol. 6 (4), 150-157. doi:

https://doi.org/10.24036/02017648171-0-00

Ailiyazzahroh, Lu’lu. (2016). Pengaruh Motivasi Belajar Terhadap Prestasi

Akademik Musyrif-Musyrifah Pusat Ma’Had Al-Jami’ah. Fakultas

Psikologi: Universitas Islam Neheri Maulana Malik Ibrahim Malang

Alexander, et. al. (2015). Sources of Systematic Error or Bias: Information Bias.

UNC CH Department of Epidemiology, 2nd ed.

Allardt, E. (1989). An Updated Indicator System: Having,Loving,Being. Working

Paper. In Department of Sociology,University of Helsinki, Helsink.

Anggreni, N. M. S., & Immanuel, A. S. (2019). School Well Being adalah

Sekolah Impianku. Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara, 5(12).

Anne Kathryn Soutter, Billy O'Steen & Alison Gilmore (2014) The student well-

being model: a conceptual framework for the development of student well-

being indicators, International Journal of Adolescence and

Youth, 19:4, 496-520, DOI: 10.1080/02673843.2012.754362

104
Artino AR, La Rochelle JS, Durning SJ. Second-year medical students’

motivational beliefs, emotions, and achievement. Med Educ. 2010;44:1203–

1212. doi: 10.1111/j.1365-2923.2010.03712.x

Buecker, S., Nuraydin, S., Simonsmeier, B. A., & Schneider, M. (2018).

Subjective Well-Being and Academic Achievement: A Meta-Analysis.

Journal of Research in Personality.

https://doi.org/10.1016/j.jrp.2018.02.007

Burnette, J. L., O'Boyle, E. H., VanEpps, E. M., Pollack, J. M., and Finkel, E. J.

(2013). Mind-sets matter: a meta-analytic review of implicit theories and

self-regulation. Psychol. Bull. 139, 655–701. doi: 10.1037/a0029531

Boerfijn J. & Bergsma A. (2011). Geluksles verbetert schoolprestaties.

Tijdschrijft voor Orthopedagogiek, 50, 110-121.

Crede, J., Wirthwein, L., & McElvany, N. (2015). Adolescents’ Academic

Achievement and Life Satisfaction: The Role of Parents’ Education.

Frontiers in Psychology, 6(52). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2015.00052

Crede, J., Wirthwein, L., McElvany, N., & Steinmayr, R. (2015). Adolescents’

academic achievment and life satisfaction: The role of Parents’ Education.

Front. Psychology, 6(52). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2015.00052

Christensen, L.B., Johnson, R.B., Tuner, L.A (2011). Research Methods, Design,

and Analysis. Boston: Pearson

105
Dariyo, Agoes. (2015). Peran School Wellbeing dan Keterlibatan Akademik

dengan Prestasi Belajar pada Siswa Sekolah Dasar.

Diener, E., & Chan, M. Y. (2011). Happy People Live Longer: Subjective Well-

Being Contributes to Health and Longevityaphw. Applied Psychology:

Health and Well-Being, 3(1), 1–43. https://doi.org/doi:10.1111/j.1758-

0854.2010.01045.x

Dweck, C. S. (2006). Mindset. New York, NY: Random House.

Finn, J. D., & Rock, D. A. (1997). Academic Success Among Students at Risk for

School Failure. Journal of Applied Psychology, 82(2), 221-234.

https://doi,org/10.1037/0021-9010.82.2.221

Flashman, J. (2011). Academic Achievement and Its Impact on Friend Dynamics.

Sociology of Education, 85(1), 61–80.

https://doi.org/10.1177/0038040711417014

Frase, J. M. A. B. J., Fozdar, F., Ala’i, K., Earnest, J., & Afari, E. (2015).

Students’ perceptions of school climate as determinants of wellbeing,

resilience and identity. Improving School, 19(1), 5–26.

https://doi.org/10.1177/1365480215612616

Friedenberg, L. (1995). Psychological Testing: Designs, Analysis, and Use. USA:

Allyn & Bacon.

106
Gräbel, F., Bianca. (2017). The relationship between wellbeing and academic

achievement : A Systematic Review. University of Twente: Netherland.

Guay, F., Marsh, H. W., &Boivin, M. (2003). Academic self-concept and

academic achievement: Developmental perspectives on their causal

ordering. Journal of Educational Psychology, 95, 124-136.

Guilford, J.P, & Fruchter, B. (1987). Fundamental Statistic in Psychology and

Education, 5th Edition. McGraw-Hill, Kogukasha, Ltd.

Goodwin, C. J. (2010). Research in Psychology: Methods and Design. In John

Wiley & Sons, Inc.

Halimah, A., Khumas, A., Zainuddin K., (2015). Persepsi pada By stander

terhadap Intensitas Bullying pada Siswa SMP. Vol 42 (5). Jurnal Psikologi

UGM. doi: 10.22146/jpsi.7168

Hamilton, N. V. (2011). A QUANTITATIVE STUDY OF THE TIMING OF

PARENTAL DIVORCE ON THE ACADEMIC ACHIEVEMENT FOR

TRADITIONAL-AGED COLLEGE STUDENTS.

Heffiner, A. ., & Antaramian, S. . (2016). The Role of Life Satisfaction in

Predicting Student Engagement and Achievement. Journal of Happiness

Studies, 17(4), 1681–1701. https://doi.org/10.1007/s10902-015-9665-1

Hidayah, N., Pali, M., Ramli, M., & Hanurawan, F. (2016). Student’s Well-Being

Assesment at School. Journal of Educational, Health and Community

107
Psychology, 5(1). Retrieved from

https://media.neliti.com/media/publications/70960-EN-students-well-being-

assessment-at-school.pdf

Imam, S., & Kartika, S. D. (2015). KESEJAHTERAAN SEKOLAH DITINJAU

DARI ORIENTASI BELAJAR MENCARI MAKNA DAN

KEMAMPUAN EMPATI SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS.

Jurnal Psikologi, 14(1), 9–20.

https://doi.org/https://doi.org/10.14710/jpu.14.1.9-20

Jeynes, W. H. (2007). The Relationship Between Parental Involvement and Urban

Secondary School Student Academic Achievement: A Meta-Analysis.

SAGE Journals. https://doi.org/doi.org/10.1177/0042085906293818

Jonathan, Sarwono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.

Yogyakarta: Graha Ilmu

Karyani, Usmi., Prihartanti, Nanik., P, Wiwien Dinar., Lestari, Rini., Hertinjung,

Ws., Prasetyaningrum, Juliani., Yuwono, Susatyo., & Partini. (2015). The

Dimensions of Student Well-being.

Konu, A., Alapen, E., & Rimpela, M. (2002). Well-being in schools: A conceptual

model. Health Promotion International. 17(1), 79–87.

https://doi.org/doi.org/10.1093/heapro/17.1.79

Konold, T., Cornell, D., Jia, Y., & Malone, M. (2018). School Climate, Student

Engagement, and Academic Achievement: A Latent Variable, Multilevel

108
Multi-Informant Examination. AERA Open, 4(4), 233285841881566.

doi:10.1177/2332858418815661 

Kpolovie, P.J., A.I & Okto, T. (2014). Academi Achievement Prediction: Role of

Interest in Learning and Attitude Towards School. International Journal of

Humanities, Social Sciene and Education; 1(11), 73-100.

Lv, B., Zhou, H., Guo, X., Liu, C., Liu, Z., & Luo, L. (2016). The Relationship

between Academic Achievement and the Emotional Well-Being of

Elementary School Children in China: The Moderating Role of Parent-

School Communication. Front. Psychology.

https://doi.org/https://doi.org/10.3389/fpsyg.2016.00948

Lynch, A. D., Lerner, R. M., & Leventhal, T. (2012). Adolescent Academic

Achievement and School Engagement: An Examination of the Role of

School-WIde Peer Culture. Journal of Youth and Adolescene, 42(1), 6–19.

https://doi.org/10.1007/s10964-012-9833-0

Lyubomirsky, S., King, L., & Diener, E. (2005). The Benefits of Frequent Positive

Affect : Does Happiness Lead to Success ? 131(6), 803–855.

https://doi.org/10.1037/0033-2909.131.6.803

Marsh, W. H., Trautwein, U., Ludtke, O., Koller, O., Baumert, J. (2005).

Academic self-concept, interest, grades, and standardized test scores:

Reciprocal effects models of causal ordering. Child Development, 76(2),

397- 416.

109
McKnight, C. G., Huebner, E. S., & Suldo, S. (2002). Relationships among

stressful life events, temperament, problem behavior, and global life

satisfaction in adolescents. 39(6), 677–687.

Novita, Mona. (2017). SARANA DAN PRASARANA YANG BAIK MENJADI

BAGIAN UJUNG TOMBAK KEBERHASILAN LEMBAGA

PENDIDIKAN ISLAM. Vol 4(2)

OECD. (2017). PISA 2015 Results (Volume III): Students’ Well-Being, PISA.

Retrieved from https://www.oecd-ilibrary.org/docserver/9789264273856-

en.pdf?

expires=1584408898&id=id&accname=guest&checksum=93CE36409303A

B53F44151F1D0D098AB

Park J, Chung S, An H, et al. A structural model of stress, motivation, and

academic performance in medical students. Psychiatry

Investig. 2012;9:143–149. doi: 10.4306/pi.2012.9.2.143.

Priatini, Woro., Latifah, Melly., Gurhardja, Suprihatin. (2008). Pengaruh Tipe

Pengasuhan, Lingkungan Sekolah, dan Peran Teman Sebaya Terhadap

Kecerdasan Emosional Remaja. Vo. 1(1), 43.

Purnomo, Agustinus Budhi Aji Joko Purnomo. (2018). Hubungan antara School

Wellbeing dengan Motivasi Berprestasi pada Siswa Kelas XI di Sekolah

Menengah Atas

110
Rachmah, Eva Nur. (2016). Pengaruh School Wellbeing Terhadap Motivasi

Belajar Siswa. PSIKOSAINS. Vol. 11 (2), 99-108.

Rakhmanti, Maulydia Nina. 2014. Pengaruh Keaktifan Siswa dalam Kegiatan

Ekstrakurikuler dan Kebiasaan Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajar

Siswa Program Keahlian Teknik Bangunan SMK NEGERI 2 Pengasih.

Skripsi FT. UNY: Yogyakarta.

Ryan, A. M., & Patrick, H. (2001). The Classroom Social Environment and

Changes in Adolescent’s Motivation and Engagement during Middle

School. American Educational Research Journal, 38, 437-460. Doi:

10.3102/00028312038002437

Ryan M, Richrad & Deci L., Edward. (2000). Self-Determination Theory and the

Facilitation of Intrinsic Motivation, Social Development, and Well-Being.

Vol. 55 (1), 68-78 DOI: 10.1037110003-066X.55.1.68

Santrock, J. W. (2014). Life Span Development: Australia. McGraw-Hill

Education (Australia) Pty Ltd.

Santrock, J. W. (2018). Essentsials of Life-Span Development (5th Ed.). New

York: McGraw-Hil.

Simanullang, Halasan., Wahjoedi., & Sapto, Ari. (2017). Peran Lingkungan

Keluarga dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa. Program Studi

Pendidikan Dasar: Universitas Negeri Malang.

111
Sholeh, Muhammad & Yhunanda. (2020). Peran Kegiatan Ekstrakurikuler Dalam

Upaya Meningkatkan Prestasi Siswa. Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu

Pendidikan: Universitas Negeri Surabaya.

Smith, R. et. a. (2010). The Effectiveness of Student Wellbeing Programs and

Services. In Victorian Auditor General’s Office (VAGO).

Spinath, B. (2012). Academic Achievement. Encylopedia of Human Behavior, 1–

8. https://doi.org/10.1016/b978-0-12-375000-6.00001-x

Stamp, E., Crust, L., Swann, C., Perry, J., Clough, P., & Marchant, D. (2015).

Relationships between mental toughness and psychological wellbeing in

undergraduate students. Personality and Individual Differences, 75, 170–

174. https://doi.org/10.1016/j.paid.2014.11.038

Stiglbauer, B., Gnambs, T., Gamsjäger, M., & Batinic, B. (2013). The upward

spiral of adolescents’ positive school experiences and happiness:

Investigating reciprocal effects over time. Journal of School Psychology,

51(2), 231–242. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jsp.2012.12.002

Subaryana. (2015). Konsep Diri dan Prestasi Belajar. Jurnal Dinamika

Pendidikan Dasar. Vol 7(2), 21-30.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

Afabeta

112
Suldo, S. (2016). Promoting Student Happiness: Positive Psychology

Interventions in Schools. Retrieved from https://books.google.co.id/books?

hl=id&lr=&id=uHSFDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&ots=bWleE4gOJE&s

ig=C3VBffMr4dY6Lq3EYfs-

uAOfUkw&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false

Wang, M., & Holcombe, R. (2010). Adolescents Perception of School

Environment, Engagement, and Academic Achievement in Middle School.

American Educational Research Journal, 47, 633-662.

Wang, John & Liu, Woon & Kee, Ying Hwa & Chian, Lit. (2019). Competence,

autonomy, and relatedness in the classroom: understanding students’

motivational processes using the self-determination theory. Heliyon. 5.

e01983. 10.1016/j.heliyon.2019.e01983.

Widiyati, R., & Supriatna, U. Y. (2009). Hubungan antara School Well-Being

dengan Penyesuaian Akademik pada Siswa Kelas 3 Elektronika Industri di

SMK Negeri 1 Cimahi. 863–869.

Yeung, A. S., & Lee, F. L. (1999). Self-concept of high school students in China:

Confirmatory factor analysis of longitudinal data. Educational and

Psychological Measurement, 59, 431-450. [42] Marsh, H. W., Hau, K. T., &

Kong, C. T. (2002). Multilevel causal ordering of academic self-concept an

achievement: Influence of language of instruction (English vs. Chinese) for

Hong Kong students. American Educational Research Journal, 39, 727-763.

113
Yuzarion. (2017). Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Peserta idik.

Retrieved from

http://journal2.um.ac.id/index.php/jktpk/article/download/2210/1304

LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Kueisioner

114
115
116
117
118
119
120
121
122
Lampiran 2 Alat Ukur School Well-Being Scale

Kuesioner ini terdiri atas 27 pernyataan mengenai penilaian Anda terhadap


sekolah dengan pilihan jawaban yang sudah ditentukan. Bacalah setiap pernyataan
tersebut dengan seksama. Selanjutnya, pilihlah di antara rentang angka yang
berada di bawah setiap pernyataan, yang paling sesuai dengan diri Anda. Jawablah
sesuai dengan keadaan diri Anda, bukan sesuai dengan apa yang Anda inginkan.
Berikan tanda/klik pada skala atau pilihan yang Anda pilih. Tidak ada jawaban
yang benar ataupun salah pada setiap pernyatannya.

Berikut adalah arti dari setiap rentang angka:

1 = STS (Sangat Tidak Setuju)

2 = TS (Tidak Setuju)

3 = S (Setuju)

4 = SS (Sangat Setuju)

Jawablah pernyataan-pernyataan berikut yang paling sesuai dengan diri Anda.


Jawablah sejujur-jujurnya dan jangan sampai ada yang terlewat.

No. Pernyataan STS TS S SS

1. Teman-teman akan membantu ketika saya


mendapatkan masalah atau musibah

2. Adanya penyakit yang sering muncul


membuat aktivitas saya di sekolah menjadi

123
terganggu

3. Guru sering memberikan tugas yang


banyak setiap minggu

4. Saya merasa beberapa guru bersikap tidak


adil dalam memberikan kesempatan
menjawab terhadap beberapa siswa di
kelas

5. Tugas-tugas yang diberikan oleh sekolah


sesuai dengan kemampuan saya

6. Saya sering tiba-tiba merasa cemas

7. Tidak ada ekstrakurikuler yang sesuai


dengan minat saya

8. Sekolah selalu mendorong saya untuk


mencoba berbagai hal yang saya sukai

9. Lingkungan sekolah dapat membuat saya


fokus dalam belajar

10. Semua siswa ikut serta dalam membuat


kebijakan-kebijakan sekolah

11. Saya tetap masuk sekolah ketika sakit

12. Saya sering bercerita kepada orangtua

124
mengenai kegiatan saya selama di sekolah

13. Sekolah memberikan kesempatan untuk


mengembangkan bakat yang saya miliki

14. Ketika berada di sekolah saya sering


merasa lesu

15. Pencahayaan di sekolah cukup terang


sehingga saya tidak kesulitan dalam
menulis ataupun membaca

16. Saya merasa canggung untuk bercanda


dengan guru di sekolah

17. Saya akan membantu teman ketika sedang


mengalami kesulitan

18. Saya sering merasa sakit beberapa minggu


ini

19. Saya memilik hubungan yang akrab


dengan teman sekelas

20. Ukuran kelas menurut saya cukup nyaman


untuk belajar

21. Tanggapan atau respon yang diberikan


oleh guru ketika saya melakukan
kesalahan, membuat saya ingin
memperbaikinya menjadi lebih baik lagi

125
22. Sekolah kurang memiliki sarana agar
murid dapat menyampaikan pendapatnya

23. Saya merasa takut ketika guru memberikan


respon terhadap hasil kerja saya

24. Saya jarang menggunakan UKS jika


berada di sekolah

25. Saya kesulitan tidur di malam hari

26. Saya sering menghabiskan waktu ketika


istirahat dengan bercerita kepada guru atau
pegawai di sekolah

27. Orangtua saya jarang meluangkan waktu


dengan saya

Lampiran 3 Jumlah Populasi Siswa Kelas 8 dan 9 di Setiap Sekolah

Nama Sekolah Kecamatan Kelas 8 Kelas 9 Jumlah Siswa

SMPN 1 Tasikmalaya Tawang 350 323 673

SMPN 2 Tasikmalaya Tawang 351 351 702

SMPN 3 Tasikmalaya Tawang 347 347 694

126
SMPN 4 Tasikmalaya Tawang 318 318 636

SMPN 5 Tasikmalaya Cipedes 345 343 688

SMPN 6 Tasikmalaya Cihideung 352 347 699

SMPN 7 Tasikmalaya Cipedes 228 182 410

SMPN 8 Tasikmalaya Cihideung 347 316 663

SMPN 9 Tasikmalaya Tawang 347 268 615

SMPN 10 Tasikmalaya Tawang 351 353 704

SMPN 11 Tasikmalaya Cibeureum 297 334 631

SMPN 12 Tasikmalaya Kawalu 351 350 701

SMPN 13 Tasikmalaya Indihiang 350 341 691

SMPN 14 Tasikmalaya Mangkubumi 348 348 696

SMPN 15 Tasikmalaya Tamansari 204 162 366

SMPN 16 Tasikmalaya Bungursari 274 198 472

SMPN 17 Tasikmalaya Purbaratu 294 298 592

127
SMPN 18 Tasikmalaya Indihiang 186 195 381

SMPN 19 Tasikmalaya Indihiang 184 207 391

SMPN 20 Tasikmalaya Kawalu 316 281 597

SMPN 21 Tasikmalaya Tamansari 147 136 283

Total Populasi Siswa 12.286

Lampiran 4 Data Demografi

Usia

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 13thn 27 13.5 13.5 13.5

14thn 62 31.0 31.0 44.5

15thn 111 55.5 55.5 100.0

Total 200 100.0 100.0

128
Jenis Kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Laki-laki 79 39.5 39.5 39.5

Perempuan 121 60.5 60.5 100.0

Total 200 100.0 100.0

Kondisi Kesehatan Sebelum Daring

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Baik 200 100.0 100.0 100.0

Kondisi Kesehatan yang Mengganggu

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Ada 24 12.0 12.0 12.0

Tidak 176 88.0 88.0 100.0

Total 200 100.0 100.0

129
Perbedaan Kondisi Kesehatan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 183 91.5 91.5 91.5

Ada 17 8.5 8.5 100.0

Total 200 100.0 100.0

Perbedaan Proses Pembelajaran

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 4 2.0 2.0 2.0

Ada 196 98.0 98.0 100.0

Total 200 100.0 100.0

Pengaruh Terhadap Hasil Belajar

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak 58 29.0 29.0 29.0

Ada 142 71.0 71.0 100.0

Total 200 100.0 100.0

130
Lampiran 5 Uji Normalitas

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

SWBS .109 199 .200* .958 199 .215

AA .161 199 .180 .877 199 .001

*. This is a lower bound of the true significance.

a. Lilliefors Significance Correction

Lampiran 6 Uji Korelasi Pearson

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

Scholl Well Being Scale 84.19 5.535 200

Academic Achievement 88.48 3.341 200

Correlations

Scholl Well Academic


Being Scale Achievement

Scholl Well Being Scale Pearson Correlation 1 .426**

Sig. (2-tailed) .000

131
N 200 200

Academic Achievement Pearson Correlation .426** 1

Sig. (2-tailed) .000

N 200 200

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

132
Lampiran 7 Uji Beda

Uji Normalitas Asal Sekolah – Total Skor

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Asal Sekolah Statistic df Sig. Statistic df Sig.

TotalSkor SMP 1 .195 28 .008 .884 28 .005

SMP 5 .215 25 .004 .787 25 .000

SMP 6 .094 23 .200* .976 23 .835

SMP 11 .135 20 .200* .963 20 .608

SMP 12 .167 22 .111 .941 22 .212

SMP 15 .132 18 .200* .956 18 .528

SMP 16 .160 17 .200* .919 17 .143

SMP 17 .124 19 .200* .933 19 .194

SMP 18 .193 13 .197 .907 13 .166

SMP 21 .194 15 .132 .873 15 .038

*. This is a lower bound of the true significance.

a. Lilliefors Significance Correction

133
Uji Normalitas Jenis Kelamin – Total Skor

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Jenis Kelamin Statistic df Sig. Statistic df Sig.

TotalSkor Laki-laki .112 79 .016 .967 79 .038

Perempuan .096 121 .008 .960 121 .001

a. Lilliefors Significance Correction

Uji Normalitas Usia – Total Skor

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Usia Statistic df Sig. Statistic df Sig.

TotalSkor 1 .120 24 .200* .978 24 .851

2 .108 61 .072 .956 61 .028

3 .130 115 .000 .951 115 .000

*. This is a lower bound of the true significance.

134
a. Lilliefors Significance Correction

Uji Beda Asal Sekolah – Total Skor

Ranks

Asal Sekolah N Mean Rank

TotalSkor SMP 1 28 127.29

SMP 5 25 132.64

SMP 6 23 67.63

SMP 11 20 72.45

SMP 12 22 92.48

SMP 15 18 107.00

SMP 16 17 67.18

SMP 17 19 114.50

SMP 18 13 82.12

SMP 21 15 124.67

Total 200

135
Test Statisticsa,b

TotalSkor

Kruskal-Wallis H 37.231

df 9

Asymp. Sig. .000

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Asal


Sekolah

Uji Beda Usia – Total Skor

Ranks

Usia N Mean Rank

TotalSkor 13 tahun 24 85.79

14 tahun 61 105.43

15 tahun 115 100.96

Total 200

136
Test Statisticsa,b

TotalSkor

Kruskal-Wallis H 2.004

df 2

Asymp. Sig. .367

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Usia

Uji Beda Jenis Kelamin – Total Skor

Ranks

Jenis Kelamin N Mean Rank Sum of Ranks

Asal Sekolah Laki-laki 79 95.82 7569.50

Perempuan 121 103.56 12530.50

Total 200

137
Test Statisticsa

Jenis Kelamin

Mann-Whitney U 4409.500

Wilcoxon W 7569.500

Z -.930

Asymp. Sig. (2-tailed) .352

a. Grouping Variable: Jenis Kelamin

Lampiran 8 Uji Realibilitas

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 200 100.0

Excludeda 0 .0

Total 200 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the


procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Cronbach's N of Items

138
Alpha Based on
Standardized
Alpha Items

.747 .757 27

Summary Item Statistics

Maximum /
Mean Minimum Maximum Range Minimum Variance N of Items

Item Means 2.787 1.915 3.400 1.485 1.775 .156 27

Item-Total Statistics

Squared Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance Corrected Item- Multiple Alpha if Item
Item Deleted if Item Deleted Total Correlation Correlation Deleted

Item1 72.17 51.244 .369 . .734

Item2 72.49 50.060 .372 . .733

Item4 71.91 52.384 .356 . .737

Item5 71.93 50.829 .508 . .729

Item6 73.12 56.896 -.170 . .765

Item10 73.00 60.844 -.497 . .784

Item13 72.14 55.337 -.034 . .759

Item16 72.36 53.618 .201 . .744

139
Item17 72.11 50.959 .502 . .729

Item18 72.05 53.666 .142 . .747

Item19 71.86 52.346 .358 . .737

Item22 72.46 49.897 .442 . .729

Item23 72.91 50.478 .338 . .735

Item24 72.37 49.298 .547 . .723

Item25 72.06 49.182 .614 . .721

Item3R 72.66 53.383 .142 . .748

Item7R 72.30 47.116 .623 . .714

Item8R 72.60 53.849 .081 . .753

Item9R 72.82 50.584 .348 . .735

Item11R 72.33 52.070 .274 . .740

Item12R 72.18 49.241 .516 . .724

Item14R 72.84 55.254 -.040 . .763

Item15R 73.34 53.200 .168 . .746

Item20R 72.54 50.381 .393 . .732

Item21R 72.47 49.999 .382 . .732

Item26R 72.82 51.006 .377 . .734

Item27R 72.87 51.142 .325 . .737

140
141

Anda mungkin juga menyukai