SKRIPSI
FAKULTAS PSIKOLOGI
Universitas Padjadjaran
Sumedang
2021
LEMBAR PENGESAHAN
NPM : 190110170048
Mengetahui:
Pembimbing
i
LEMBAR PERNYATAAN
adalah benar hasil karya peneliti dan bebas dari plagiat. Apabila pernyataan ini
terbukti tidak benar, maka saya bersedia bertanggung jawab dan menerima sanksi
mestinya.
ii
Abstrak
iii
Abstract
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya,
Achievement pada Siswa SMP Kota Tasikmalaya” ini dapat terselesaikan dengan
belajar dari pengalaman ini. Peneliti juga ingin menyampaikan rasa syukur dan
terimakasih karena Allah SWT pula yang telah mengirimkan orang-orang berikut
1. Ibu dan Papap, yang selalu mendukung dan menemani setiap langkah
kepercayaan penuh kepada peneliti, hingga akhirnya bisa ada pada titik ini.
2. Kakak dan Adik, yang selalu ada untuk memberikan hiburan dan bantuan
3. Ibu Dra. Erna Susiati, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang telah dengan
v
5. Ibu Puspita Adhi Kusuma Wijayanti, M.Psi., Psikolog, selaku dosen
penguji yang telah bersedia untuk menguji sidang skripsi peneliti sekaligus
memberikan masukan dan arahan agar hasil penelitian ini dapat lebih baik.
6. Ibu Dr. Poeti Joefiani, M.Si., Psikolog dan Mba Vidya Anindhita, S.Psi.,
7. Syifa, Ratih, Riko, Novita dan Pietra yang telah hadir dan membuat
8. Rahmah, Yunia, Nadiah, Shaula, Nisrina, Anindhita, dan Suci, yang selalu
9. Pietra Shafira, Safarin Fitri Akmal, Fadila Lastriany dan Neysa Azzahra
draft peneliti dan memberikan saran yang berharga untuk penelitian ini.
10. Aureliza, Rijaludin, dan Nia yang sudah menjadi teman yang baik untuk
12. Seluruh Ibu, Bapak, Ceu, Kang, Mba, Mas, dan Tenaga Pendidikan
mahasiswa
vi
13. Keluarga besar Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran 2017 atas
14. Pihak Dinas Pendidikan dan Seluruh SMP di Kota Tasikmalaya yang
15. Dan pihak-pihak lainnya yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu
Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih sangat jauh dari kata
Peneliti,
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK iii
ABSTRACT iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
i
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Penelitian 1
1.2 Identifikasi Masalah 15
1.3 Tujuan Penelitian 17
1.3 Kegunaan Penelitian 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 20
2.1 School Well-being 20
2.1.1 Definisi School Well-being 20
2.1.2.1 Kondisi Sekolah (Having) 22
2.1.2.2 Relasi Sosial (Loving) 23
2.1.2.3 Pemenuhan Diri (Being) 24
2.1.2.4 Status Kesehatan (Health Status) 25
2.2 Academic Achievement 26
2.2.1 Definisi Academic Achievement 26
2.2.2 Faktor-faktor Academic Achievement 27
2.3 Remaja 30
2.4 Sekolah Menengah Pertama Negeri 32
2.5 Kerangka Pemikiran 37
2.6 Hipotesis Penelitian 44
BAB III METODE PENELITIAN 45
3.1 Pendekatan Penelitian 45
3.2 Rancangan Penelitian 45
viii
3.3. Variabel Penelitian 46
3.3.1 School Well-being 46
3.3.1.1 Definisi Konseptual 46
3.3.1.2 Definisi Operasional 47
3.3.2 Academic Achievement 47
3.3.2.1 Definisi Konseptual 47
3.3.2.2 Definisi Operasional 48
3.4 Alat Ukur 48
3.4.1 Alat Ukur School Well-being 49
3.4.1.1 Kisi – Kisi Alat Ukur School Wellbeing Scale (SWBS) 49
3.4.1.1 Validitas Alat Ukur School Well-being (SWBS) 52
3.4.1.2 Reliabilitas Alat Ukur School Well-being (SWBS) 52
3.4.1.3 Skoring Alat Ukur School Well-being Scale (SWBS) 53
3.4.2 Alat Ukur Academic Achievement 55
3.5 Partisipan Penelitian 56
3.5.1 Populasi Penelitian 56
3.5.2 Karakteristik Partisipan 58
3.5.3 Teknik Sampling 58
3.5.4 Jumlah Sampel 59
3.6 Prosedur Penelitian 61
3.7 Analisis Data 62
3.7. 1 Hipotesis Statistika 63
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 69
4.1 Hasil Penelitian 69
4.1.1 Data Demografis dan Data Penunjang 69
4.1.3 Gambaran Deskriptif Rata-rata School Well-being dan Academic
Achievement 76
4.1.3 Hasil Uji Normalitas 76
4.1.4 Hasil Uji Statistik 77
4.1.4.1 Uji Korelasi School Well-being dengan Academic Achievement77
ix
4.1.4.2 Uji Korelasi Dimensi-dimensi School Well-being dengan
Academic Achievement 78
4.1.4.2 Uji Beda data Demografi 80
4.2 Pembahasan 84
4.3 Limitasi Penelitian 96
BAB V KESIMPULAN & SARAN 97
5.1 Simpulan 97
5.2 Saran 98
5.2.1 Saran Teoritis 98
5.2.2 Saran Praktis 99
LAMPIRAN 110
x
DAFTAR TABEL
7
Tabel 1.1 Jumlah Jawaban Siswa terhadap Kondisi Fisik dan Sarana
Prasarana Sekolah
51
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Alat Ukur School Well-being Scale (SWBS)
56
Tabel 3.3 Kategorisasi rentang skor alat ukur School Well-being Scale
(SWBS)
57
Tabel 3.4 Kategorisasi Rentang Skor Nilai Raport
58
Tabel 3.5 Jumlah Populasi Penelitian
66
Tabel 3.6 Kriteria Koefisien Korelasi
69
Tabel 4.1 Data Demografis
72
Tabel 4.2 Kondisi Kesehatan Siswa Sebelum dan Saat Proses
Pembelajaran Daring
74
Tabel 4.3 Respon Siswa Terhadap Perbedaan Proses Pembelajaran
76
Tabel 4.4 Skor Rata-rata School Well-being dan Academic Achievement
77
Tabel 4.5 Hasil Uji Asumsi
xi
77
Tabel 4.6 Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment
78
Tabel 4.6 Hasil Uji Korelasi Dimensi-dimensi School Well-being dengan
Academic Achievement
xii
DAFTAR GAMBAR
Achievement
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
bidang akademik. Menurut studi, proses dan hasil belajar siswa dipengaruhi
positif oleh kesejahteraan siswa itu sendiri di sekolahnya (Hidayah, Pali, Ramli, &
Hanurawan, 2016).
Wirthwein, & McElvany, 2015). Hal ini didukung dengan sebuah studi yang
menyatakan bahwa siswa yang memiliki subjective well-being yang baik selama
1
lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Suldo, 2012). Hal ini cukup
prestasi akademik yang mereka peroleh. Semakin banyak juga penelitian yang
Wigfield, & Scheifele, 1998; H. Patrick, Ryan, & Kaplan, 2007; AM Ryan &
siswa yang memiliki kepuasan yang rendah terhadap sekolah justru akan
menjadi lingkungan positif demi tercapainya aktualisasi para siswa, yaitu school
well-being model (Imam & Kartika, 2015). Konu dan Rimpela (2002),
kemukakan sebagai hasil dari penerapan teori well-being yang dikemukakan oleh
Allardt membaginya ke dalam tiga kategori, yaitu having yang mengacu pada
kondisi lingkungan, being mengacu pada pemenuhan kebutuhan diri dan loving
yang berkaitan dengan hubungan relasi sosial antar individu. Kemudian, Konu
2
dan Rimpela (2002) mencoba untuk mengembangkan konsep tersebut ke dalam
siswa, yang di dalamnya meliputi empat dimensi, yaitu kondisi sekolah (having),
hubungan sosial (loving), pemenuhan diri siswa (being) dan status kesehatan
achievement ini adalah perwujudan dari potensi apa yang sudah dipelajari atau
kemampuan yang terinternalisasi pada diri siswa terkait dengan penguasaan bahan
ukur keberhasilan siswa sehingga perlu dikaji tentang aspek-aspek yang dapat
2011, menunjukkan bahwa kemampuan bidang IPA dan Matematika, pelajar SMP
Indonesia berada pada urutan 38 dari 39 peserta (Yuzarion, 2017). Selain itu,
3
menurut studi yang dilakukan oleh United Nation Educational, Scientitif and
bidang pendidikan, pada tahun 2015, Indonesia menempati peringkat ke-10 dari
dinyatakan oleh studi yang dilakukan oleh PISA (2015), bahwa peringkat
Sains, Membaca dan Matematika masih berada pada lapisan bawah, yakni pada
yaitu sekolah negeri dan sekolah swasta. Pada dasarnya, sekolah swasta dan
negeri memiliki tujuan yang sama seperti dengan apa yang tertuang pada
Pembukaan UUD 1945, yakni mencerdasrkan kehidupan bangsa. Oleh karena itu,
berusaha untuk mencapai tujuan nasional tersebut. Terlepas dari usaha tersebut,
keberhasilan yang diperoleh dari proses belajar mengajar di sekolah, tetap tidak
bisa dilepaskan dari beberapa faktor seperti, faktor guru yang mengajar, siswa
4
Pendidikan formal di Indonesia sebagian besar disediakan oleh
pelayananan pada masyarakat tidak dengan standar yang maksimal, salah satunya
yaitu pelayanan pendidikan di sekolah negeri. Oleh karena itu, untuk melihat
bagaimana kondisi sekolah negeri secara menyeluruh adalah hal yang menarik
pembelajaran di sekolah masih cukup sering dijumpai. Hal ini terbukti dengan
munculnya berbagai macam kasus, seperti bullying, atau perilaku tidak terpuji
lainnya yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa, guru terhadap siswa ataupun
sebaliknya. Pernyataan ini didukung dengan hasil studi yang dilakukan oleh
Anak Indonesia (KPAI), dari tahun 2011-2014, tercatat sebanyak 369 pengaduan
terkait masalah bullying, dimana jumlah itu sekitar 25% dari total pengaduan di
bidang pendidikan yang sebanyak 1.480 kasus. Selain itu, tidak jarang juga
ditemukan fasilitas sekolah negeri yang belum memadai untuk menunjang proses
pembelajaran. Dikutip dari hasil studi Novita (2017), berdasarkan data statistik
mengenai kondisi ruang kelas untuk seluruh jenjang SMP negeri di Indonesia
yakni, sebanyak 14.1% tergolong dalam kondisi baik, 64.80% rusak ringan,
5
15.17% rusak sedang dan 5.90% rusak berat. Hal ini cukup menunjukkan belum
Permasalahan tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu, daerah yang terpencil
dan jauh dari perkotaan dalam mengakses layanan pendidikan yang masih belum
2014). Di sisi lain, sekolah yang ideal merupakan sekolah yang diharapkan
well-being siswanya. Hal ini biasanya terjadi di sekolah yang berada di kota kecil
yang masih berkembang, salah satunya kota Tasikmalaya. Hal paling mencolok
yang terlihat ialah fasilitas sekolah yang terlihat belum maksimal untuk
sehingga terkesan kotor. Kemudian, kursi dan meja beberapa ada yang sudah
terlihat sudah tidak nyaman, seperti berdecit ketika digunakan. Selain itu,
mayoritas toilet yang berada di setiap sekolah beraroma tidak sedap, air yang
tidak terlalu jernih seperti terdapat jentik nyamuk di dalam bak/ember, ataupun
banyak coretan di tembok sehingga memberikan kesan kotor dan tidak rapi.
Fenomena ini pun akhirnya diperkuat dengan pengambilan data awal yang
6
seperti, tanggapan mereka mengenai fasilitas yang ada, kenyamanan
selama di sekolah dan seperti apa pengaruhnya terhadap proses belajar mereka.
Pengambilan data awal ini dilakukan terhadap 26 siswa dari empat SMP Negeri.
Berikut hasil pengolahan data awal yang sudah dikelompokkan oleh peneliti
Tabel 1. 1 Jumlah Jawaban Siswa terhadap Kondisi Fisik dan Sarana Prasarana
Sekolah
satu kelas. Tujuh orang siswa yang menjawab ini berasal dari tiga sekolah yang
berbeda. Kemudian peneliti mencoba mencari tahu mengenai dampak apa yang
mereka rasakan akibat hal ini. Setelah dilakukan pengkodingan, tiga siswa
7
menganggap banyaknya orang dalam satu ruangan membuatnya mudah merasa
gerah, sedangkan empat orang lainnya merasa sesak maupun sumpek. Ketujuh
siswa yang menjawab setuju, merasa hal ini pada akhirnya berdampak terhadap
mengatakan setuju ini berasal dari keempat sekolah yang berbeda. Kemudian
peneliti mencoba untuk menanyakan terkait dampak apa yang mereka rasakan
akibat kondisi ini, setelah dikoding, hasilnya ialah, tujuh orang siswa merasa
konsentrasi mereka belajar di dalam kelas terganggu dan hal ini berdampak juga
lain, dua siswa lainnya merasa hal ini tidak terlalu mengganggu aktivitas belajar
menggunakan meja dan bangku, terutama dalam jangka waktu yang cukup
panjang. Kemudian dampak yang mereka rasakan dari situasi ini, 10 orang siswa
pembelajaran mereka. Kemudian, tiga orang lainnya merasa bahwa kursi atau
meja yang sudah tidak kokoh dan berdecit terkadang membuat mereka tidak
8
10 dari 26 siswa (38,5%) menganggap bahwa fasilitas sekolah seperti
toilet, mushola, ruang UKS, laboratorium dan perpustakaan yang ada di sekolah
masih belum layak. Dari keempat SMP yang siswanya menjawab setuju, mereka
memadai, seperti fasilitas toilet yang dirasa masih kurang memadai, siswa yang
berasal dua dari empat sekolah menganggap keadaan toilet yang tidak nyaman
terkadang membuat siswa menjadi malas untuk melakukan aktivitas di toilet dan
beberapa siswa ada yang lebih memilih untuk menahannya hingga mereka pulang
ke rumah. Dampaknya ialah siswa merasa lebih mudah gelisah ketika harus
melanjutkan kegiatan selama di sekolah. Sama halnya dengan ruang UKS, siswa
yang berasal dari salah satu dari empat sekolah yang ada, merasa ruangan UKS
siswa yang memang belum pernah menggunakan ruang UKS. Kemudian, untuk
ruang laboratorium, seluruh siswa yang menjawab setuju dari keempat sekolah
merasa ruangan tersebut sudah baik-baik saja, namun terkadang terdapat peralatan
yang rusak atau tidak dapat digunakan. Lalu, untuk perpustakaan, tiga dari empat
sekolah, siswa mengatakan bahwa perpustakaan mereka sudah cukup baik, namun
meminjam buku paket. Kemudian, siswa-siswa yang berasal dari satu sekolah
9
Di sisi lain, lingkungan fisik sekolah mempunyai pengaruh penting
terhadap prestasi belajar siswa. Lingkungan sekolah secara fisik meliputi keadaan
fisik sekolah, sarana dan prasarana di dalam kelas, keadaan gedung sekolah,
kurang memadai, terutama pada ruang kelas atau ruangan tempat belajar dapat
mempengaruhi prestasi belajar siswa. Selain gedung sekolah, jika sarana dan
(Majid, 2013). Sedangkan, dengan lingkungan sekolah yang baik dapat membuat
siswa merasa nyaman saat melakukan aktivitas dalam lingkungan sekolah seperti
melakukan tugasnya dengan baik (Konu & Rimpela, 2002). Selain itu, menurut
Muhibbin Syah (2010), keadaan gedung sekolah dan letaknya, serta alat-alat
perilaku tidak disiplin dari para siswanya, dan meningkatkan tingkat kelulusan
(Irawan, 2017).
Tabel 1.2 Jumlah Jawaban Siswa terhadap Kondisi Relasi Sosial Siswa di Sekolah
.
1. Tidak memiliki grup pertemanan, baik itu
bermain
2. Kesulitan mencari teman ketika guru 2 siswa (7%)
10
meminta membuat kelompok untuk
sekolah.
pertemanan, baik itu untuk mengerjakan tugas ataupun bermain. Ketujuh orang
siswa menganggap hal ini berpengaruh pada sulitnya mencari teman untuk
ketika akan menghadapi ujian, ataupun sekedar mendapatkan teman untuk pergi
ke kantin saat jam istirahat. Sehingga dampak yang mereka rasakan adalah, empat
orang menyatakan mereka merasa kesepian, tiga orang merasa terkadang merasa
malas ke sekolah. Hal ini akhirnya membuat mereka tidak merasa terlalu engage
mencari teman ketika guru meminta membuat kelompok untuk mengerjakan tugas
kelompok. Jumlah ini terbilang kecil, karena biasanya guru sudah membuatkan
kelompok untuk para siswanya, sehingga siswa tidak diminta untuk membentuk
kelompok sendiri.
gurunya. Adapun alasan yang dilontarkan oleh siswa mengapa pada akhirnya
mereka merasa tidak nyaman, seperti guru kurang jelas dalam memberikan materi,
11
guru yang kurang melakukan interaksi dengan muridnya sehingga seringkali
ditemukan murid yang tertidur ataupun mengobrol, guru yang hanya memberikan
tugas tetapi jarang menjelaskan materi, guru yang pilih kasih terhadap muridnya,
dan volume suara yang digunakan guru terlalu kecil. Kemudian, sembilan siswa
menganggap, hal ini pun akhirnya berdampak pada sulitnya untuk menyerap
materi belajar dengan maksimal, enam siswa berpendapat mereka tidak merasa
terlibat dengan proses pembelajaran di kelas, dan lima siswa menjadi merasa
kakak dengan adik kelas, ataupun teman satu angkatan, yang biasanya berbentuk
verbal. 14 orang siswa yang menjawab “Ya”, mengatakan bahwa hal ini membuat
sekolah.
rasa akan kepercayaan, merasa diapresasi dan lebih peduli terhadap anggota
sekolah lainnya (Wang, et al., 2012). Selain itu, menurut Santrock (2020),
memenuhi tugas perkembangan sosial dengan memiliki clique yang bisa mereka
dapatkan di sekolah.
12
Selanjutnya, untuk pertanyaan tambahan mengenai kurikulum, jadwal,
dan jadwal pelajaran tidak ada siswa yang mengeluhkan hal tersebut. Keterlibatan
siswa dengan sekolah pun cukup baik, seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
sendiri. Dari segi kesehatan pun, tidak ada siswa yang mengeluhkan adanya sakit
Kemudian, peneliti juga mencoba untuk mencari data awal untuk melihat
perspektif guru. Seperti yang kita tahu, bahwa guru sebagai tenaga pendidik tentu
Peneliti mewawancarai empat orang guru dari empat sekolah yang berbeda. Dari
memang ada yang sulit untuk diatur, beberapa ada yang sering tidak masuk
sekolah tanpa memberikan alasan/izin terlebih dahulu dan terkadang ada juga
siswa yang melarikan diri saat pelajaran belum selesai. Selain itu, kondisi di
dalam kelas pun, guru sering menjumpai siswa yang tidak memperhatikan materi
dan malah asyik dengan aktivitasnya sendiri, seperti mengobrol atau bermain
handphone. Guru-guru melihat bahwa siswa kurang terlibat secara serius untuk
dari kurang adanya motivasi dari dalam diri mereka. Di sisi lain, motivasi sendiri
13
pembelajaran. Menurut keempat guru yang diwawancara, kurangnya motivasi
yang muncul dari siswa yang menunjukkan perilaku diatas bisa saja disebabkan
oleh beberapa hal, yakni merasa tidak nyaman ataupun tidak betah selama berada
di ruangan kelas, entah itu karena ruangan kelas yang panas, lingkungan sekolah
permasalahan pribadi baik itu dengan teman maupun keluarga, sedang sakit
sehingga tidak fokus, ataupun tidak memiliki minat terhadap mata pelajaran
tertentu.
dan prasarana sekolah. Selain itu, siswa juga tidak memiliki keluhan terhadap
kurikulum, jadwal, ekstrakurikuler dan status kesehatan, Hal ini cukup menarik,
karena berarti sebagian siswa merasa tidak ada permasalahan mengenai kondisi
fasilitas sekolah. Namun di sisi lain, adapula ternyata beberapa siswa yang
memberikan keluhannya dan bahkan merasa terganggu dengan hal tersebut, hal
inilah yang perlu kita perhatikan agar pengalaman siswa selama melakukan proses
pembelajaran siswa dapat merata. Hal menarik lainnya yang menonjol pada
jawaban para siswa yaitu mengenai relasi sosial. Mayoritas siswa mengeluhkan
kondisi hubungan antara siswa dengan siswa, maupun siswa dengan guru, yang
Berdasarkan hal ini, kita dapat melihat bahwa masih terdapat beberapa siswa yang
14
Dengan kata lain, nampaknya usaha untuk meningkatkan kesejahteraan siswa
inilah yang pada akhirnya akan mempengaruhi hampir seluruh aspek bagi
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan school well-
antara bagaimana kondisi sekolah yang ideal dan kondisi aktual yang ditemukan
SMP di Indonesia berada pada urutan yang rendah. Selain itu, belum ditemukan
aspek lingkungan sekolah, yang sudah dikemas dalam konsep school well-being,
achievement siswa, khususnya pada remaja SMP. Dalam hal ini, berarti konsep
terkait school well-being dapat menjadi pertimbangan sekolah agar dapat lebih
memahami hal-hal apa saja yang mampu membuat siswa merasa senang, nyaman
prestasi akademik yang tinggi. Hal ini yang akhirnya semakin membuat peneliti
15
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan data awal yang diperoleh, beberapa siswa ada yang merasa
bahwa hubungan relasi sosial mereka masih belum terlalu baik, dengan teman
maupun guru. Kemudian, kondisi fisik serta fasilitas sekolah pun mendapatkan
keluhan dari sebagian besar siswa, karena kurang menunjang proses pembelajaran
Permasalahan pada aspek relasi sosial dan kondisi sekolah cukup menonjol dalam
terpisah dari tujuan pembelajaran yang menyeluruh. Mereka tidak melihat sekolah
achievement) menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal ini tergambarkan
dari hasil kajian peneliti berdasarkan literature review yang menyatakan bahwa
siswa yang sukses tidak hanya berkinerja baik secara akademis tetapi juga puas di
sekolah (OECD, 2017). Pada dasarnya, sekolah merupakan tempat di mana orang
konsep dunia yang lebih luas. Kesejahteraan subjektif dan prestasi akademik
keduanya merupakan indikator utama dari fungsi psikologis positif (Suldo, 2016)
16
dan keduanya merupakan variabel yang menarik dalam mengidentifikasi
karakteristik sistem pendidikan berkinerja tinggi (OECD, 2017). Oleh karena itu,
Pendidikan.
17
3. Agar hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukkan bagi pihak
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ilmu psikologi positif (Faturchamn, et al., 2012). Menurut Myers (1993), well-
manusia. Menurut Wang et al., (2019), seorang individu merasa dirinya sejahtera
ketika segala kebutuhannya sudah terpenuhi. Apabila kita melihat pada Self-
(Decy, 1975), relatedness (Baumesiter & Leary, 1995) dan competence (White,
1965), yang mana apabila kebutuhan akan ketiga hal ini terpenuhi, maka hal ini
akan menjadi fondasi yang tidak hanya berfungsi pada perkembangan pribadi
individu, melainkan juga well-being individu itu sendiri (Ryan & Deci, 2000).
20
dasarnya, yakni kebutuhan material dan non-material (Konu et al., 2002).
Kebutuhan material dan non-material itu dikemas menjadi tiga dimensi yaitu,
having, loving, dan being. Having mengacu pada kondisi material dan kebutuhan
orang lain dan membentuk identitas sosial. Being dihubungkan dengan kebutuhan
konsep well-being secara umum. Tetapi, akhir-akhir ini berbagai penelitian telah
belajar menjadi nyaman juga harmonis (Anggreni & Immanuel, 2019). Kondisi
seperti ini secara alami akan memunculkan semangat belajar yang tinggi bagi para
siswa dan memotivasi mereka untuk terlibat secara aktif dalam setiap kegiatan di
sekolah. Hal ini didukung dengan berkembangnya konsep mengenai school well-
being yang dikembangkan oleh Konu dan Rimpela (2002. Mereka mencoba untuk
Allardt. Kemudian, Konu dan Rimpela mencoba untuk melakukan kajian dari
school well-being yang di dalamnya sekarang terdapat aspek health, yang mana
21
aspek health ini pemekaran dari dimensi having, sehingga akhirnya ia berdiri
sendiri menjadi satu dimensi lainnya. Konu dan Rimpela (2002) melihat school
yang meliputi berbagai aspek, yaitu having, loving, being dan health status (Konu
dan Rimpela, 2002). Konsep school well-being ini pun dapat membangun
sekolah secara keseluruhan. Pada dasarnya, setiap sekolah memiliki school well-
sama lain, seperti perbedaan visi misi setiap maupun kebijakan di setiap sekolah
(Dariyo, 2015). Namun, secara prinsip, school well-being tetap mengacu pada
untuk siswa melakukan proses pembelajaran. Contoh kondisi fisik sekolah yang
22
baik adalah lingkungan aman dan nyaman, seperti terdapat ventilasi udara, bebas
dari kegaduhan, temperatur yang pas, dan lain-lain. Kemudian, untuk kondisi di
tidaknya kantin yang dirasa nyaman oleh siswa, perpustakaan yang dapat
menunjang proess belajar, pelayanan kesehatan dan konseling di sekolah (Konu &
Rimpela, 2002)
antar siswa, dan hubungan antara siswa dengan gurunya di sekolah. Hubunga
yang baik dan suasana yang baik merupakan modal yang tepat untuk
melihat afiliasi guru sebagai bagian dari ikim sekolah. Artinya, apabila guru
merasa memiliki suasana yang baik di sekolah, baik itu dengan pekerjan maupun
selama berada di sekolah (Hoy & Hannum, 1997). Dalam relasi sosial ini pun,
negatif. Bullying dapat dilihat sebagai bentuk fenomena yang didasari pada
23
hubungan sosial dan peran dalam suatu kelompok (Salmivalli et al, 1996; Konu
dan Rimpela, 2002). Banyak hal yang terjadi ketika anak-anak beranjak remaja,
selama masa remaja, peers ini dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku dan
perkembangan anak muda. Selain itu, peers pun dapat mendorong maupun
sebagai bagian yang bernilai dalam masyarakat (Allardt, 1989). Apabila aspek
sarana bagi para siswanya untuk pemenuhan diri (Imam & Kartika, 2015). Studi
akan sangat penting untuk mengambil aspek keterlibatan dengan serius ketika
Rimpela, 2002). Hal ini akan memungkinkan para siswa untuk ikut serta dalam
siswa selama di sekolah dapat terihat dari partisipasinya dalam mengikuti kegiatan
sekolah, kehadiran, kepatuhan pada aturan, dan sejauh mana usaha yang ia
Kebutuhan lainnya yang siswa dapatkan selama di sekolah bisa melalui mengikuti
24
kegiatan organisasi maupun ekstrakurikuler. Menurut Rakhmanti (2014), kegiatan
bakat.
Menurt Allardt, health meruapakan sumber daya dan bagian yang penting
menemukan bahwa health adalah bagian faktor yang berbeda dari kategori having
(Allardt, 1976). Oleh karena itu, Konu & Rimpela menempatkan kesehatan
sebagai kondisi personal yang bisa saja dipengaruhi oleh kondisi eksternal
lainnya. Kesehatan juga merupakan suatu tools yang penting, karena dengan
status kesehatan yang baik, maka kesejahteraan pun akan lebih mudah dicapai.
psikosomatis, penyakit kronis serta penyakit ringan seperti demam dan flu. Dalam
tersebut yang dialami oleh siswa (Konu & Rimpela, 2002). Sekolah perlu
meningkatkan derajat kesehatan dari siswa, sehingga siswa dapat belajar dengan
25
2.2 Academic Achievement
keterampilan dan sikap sebagai hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai.
menggunakan tes buatan guru atau tes yang telah terstandarisasi (Kpolovie, 2014).
Selain itu, academic achievement biasanya diukur dengan ujian atau penilaian
bahwa prestasi akademik biasanya dinyatakan dalam bentuk angka yang khusus
dipersiapkan untuk proses evaluasi, misalnya nilai pelajaran, nilai ujian dan lain
sebagainya.
suatu tujuan, disebabkan adanya usaha belajar yang dilakukan oleh seseorang
26
academic achievement dan mutu pendidikan di Indonesia (Rohwati, 2012;
dan karir masa depan pada anak-anak dan remaja (Flashman, 2011). Selain itu,
achievement menjadi salah satu hal yang cukup menarik untuk diselidiki di
kalangan remaja, karena adanya implikasi yang cukup penting terkait dengan
seorang siswa, antara lain yang bersifat internal dan eksternal (Winkel, 1991;
Hamilton, 2011). Faktor internal merupakan faktor yang sudah ada pada diri
individu tersebut, seperti intelegesni, minat, bakat, sikap, konsep diri, motivasi,
kepribadian, taraf kemampuan bahasa dan kondisi fisik juga psikis. Intelegensi
sebagai unsur kognitif dianggap memliki peranan yang cukup penting dalam
positif dari intelegensi siswa terhadap hasil akademik mereka (Dweck, 2006;
27
lebih tinggi (Martin et al., 2013), lebih memiliki perspektif terhadap tujuan
strategi penguasaan (Burnette et al., 2013), mampu mengatasi defisit spesifik pada
domain tertentu (Alesi et al., 2016), dan prestasi akademik (Burnette et al., 2013).
Selain itu, konsep diri juga dapat menjadi faktor pencapaian akademis
yang diraih oleh seseorang. Hal ini didukung dengan hasil studi yang menyatakan
achievement yang ditemukan pada siswa SMP di India, begitupun pada remaja di
Canada (Guay et. al., 2003), German (Marsh, et al., 2005), dan Asia seperti China
(Yeung & Lee, 1999) dan Hongkong (Marsh, Hau & Kong, 2002). Studi ini
akademik merupakan hal yang penting untuk menunjang prestasi yang diraih
(Jaiswal & Choudhuri, 2017). Menurut studi yang dilakukan Subaryana (2015),
siswa yang memiliki konsep diri positif cenderung belajar lebih optimal
dibandingkan dengan siswa yang memiliki konsep diri negatif. Dengan konsep
diri yang positif, individu cenderung untuk melakukan sesuatu secara optimal
demi tercapainya tujuan mereka. Namun, ketika individu memiliki konsep diri
yang negatif, mereka cenderung kurang optimal dalam melakukan sesuatu dan
diliputi atas rasa keraguan, sehingga hasil yang mereka peroleh pun kurang
maksimal.
Tidak hanya itu, motivasi pun memiliki peranan penting terhadap prestasi
akademik. Studi yang dilakukan oleh Artino dkk (2010), bahwa self efficacy
28
motivation berkorelasi positif dengan student enjoyment dan nilai ujian,
sedangkan anxiety berkorelasi negatif dengan nilai ujian. Hal yang serupa juga
ditemukan oleh Park et al., (2012) bahwa terdapat hubungan antara stress,
bagaimana gambaran penilaian siswa terhadap sekolahnya itu sendiri. Dalam studi
tersebut, siswa dengan skor stres yang lebih tinggi mendapatkan skor motivasi
yang lebih tinggi dan nilai rata-rata nilai yang lebih rendah, daripada siswa
dengan skor stres yang lebih rendah. Selain itu, studi sebelumnya yang dilakukan
di Eropa dengan sampel mahasiswa, menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara tingkat stress terhadap sekolah dengan gender, hal ini bisa saja
disebakan karena adanya faktor personal lainnya seperti coping strategies atau
Di sisi lain, yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah faktor yang
berasal dari luar diri peserta didik itu sendiri, yang pada akhirnya bisa
lingkungan sekolah dan pada lingkungan sosial yang lebih luas lain nya. Sifat-
sifat orang tua, praktek pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga dan demografi
kegiatan belajar dan prestasi yang dicapai siswa (Simanullang, Wahjoedi & Sapto,
2017). Selain itu, lingkungan sekolah yang meliputi para guru yang harus
menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik serta menjadi teladan dalam hal
29
dapat mempengaruhi semangat belajar siswa. Tidak hanya itu, lingkungan
karena siswa pun berada dalam suatu kelompok masyarakat dan teman-teman
2.3 Remaja
Siswa SMP tergolong kedalam kategori remaja awal, yaitu berusia 13-15
tahun. Remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa
(Santrock, 2018). Dalam tahap perkembangannya, siswa SMP berada pada tahap
periode perkembangan yang sangat pesat apabila dilihat dari segala aspek, seperti
dikemukakan oleh Piaget, remaja usia 11-15 tahun berada pada tahapan formal
dilanjutkan dengan masa dewasa. Pada tahapan ini, individu mulai berpikir secara
lingkungan yang ideal itu seperti apa. Mereka mungkin akan mulai
membandingkan satu hal dengan hal lainnya yang menjadi acuan standar, seperti
teman yang baik itu seperti apa atau orangtua atau guru yang baik itu seperti apa.
30
Dalam menyelesaikan permasalahan pun, remaja sudah cenderung menjadi lebih
suatu hal dapat terjadi. Pada tahapan ini pun mereka mulai tertarik mengenai
dewasa. Namun, saat ini semakin banyak juga peneliti yang fokus pada anak-anak
dan remaja. Penelitian telah menunjukkan bahwa well-being yang lebih tinggi di
masa muda berkorelasi positif dengan kesehatan fisik dan mental, hubungan
interpersonal yang sangat baik, dan bahkan kesuksesan karir masa depan (Lv et
al., 2016). Siswa dengan well-being yang tinggi akan lebih kooperatif, percaya
diri, kreatif, toleran dan altruisti (Chone & Pressman, 2006; Lyubomrisky, King &
Diener, 2005). Kararkteristik inilah yang nantinya akan membuat mereka menjadi
lebih positif dan percaya diri ketika menghadapi lingkungan serta mendukung
kegiatan akademik (Mashford-Scott, Church, & Tayler, 2012). Selain itu, studi
lain juga menunjukkan adanya iklim sekolah yang baik dapat membantu siswa
untuk mencapai kebahagiaan (Grabel, 2017). Adanya perasaan positif dari seorang
siswa selama berada di sekolah memiliki hubungan dengan kinerja sekolah seperti
prestasi akademik, khususnya dalam hal nilai (Boerfijn & Bergsma, 2011).
perilaku berisiko yang lebih tinggi, seperti penyalahgunaan narkoba dan alkohol
dan perilaku kekerasan (Frase, Fozdar, Ala’i, Earnest, & Afari, 2015) Penelitian
interpersonal, keterampilan sosial dan emosional, dan harga diri dikaitkan dengan
31
penyesuaian yang lebih baik dan prestasi belajar (Eisenberg et al., 2009; Stamp et
al., 2015).
Permintaan akan layanan dan fasilitas pendidikan yang lebih baik, umumya
disediakan oleh lembaga sosial non pemerintah, atau biasa disebut dengan
pendidikan di Indonesia yang terdiri atas sekolah negeri dan sekolah swasta.
lebih mahal dibandingkan negeri. Karena sumber dana sekolah swasta lebih
mengandalkan partisipasi siswa atau wali murid, sedangkan sekolah negeri lebih
bergantung pada pemerintah. Apabila melihat aspek sarana dan fasilitas, sekolah
swasta relatif lebih baik. Hal ini didukung dengan studi Imam Ghozali (2011)
yang menyatakan fasilitas sekolah yang baik adalah konsekuensi logis dari biaya
pendidikan yang lebih mahal di sekolah swasta. Di sisi lain, sekolah negeri
32
mengajar. Selain itu, dalam sistem pengajaran pun, sekolah negeri biasanya
memakai metode pengajaran yang lebih statis, tidak sepeti swasta yang lebih
dinamis. Materi yang diberikan oleh sekolah negeri biasanya disampaikan secara
satu arah, artinya guru berceramah kepada murid dan jarang ada timbal balik
antara murid dan guru. Hal ini sangat berbeda denga sekolah swasta yang mana
argumentasi, dan kegiatan aktif lainnya. Berdasarkan hal tersebut, siswa sekolah
negeri biasanya lebih cenderung pasif dalam belajar (Sanggedi & Gozali, 2011)
daya tampung sekolah negeri yang lebih banyak dibandingkan dengan sekolah
konsentrasi murid terganggu, sehingga perhatian guru menjadi sulit untuk dibagi,
yang lainnya.
Organisasi dan Tata Kerja Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Pasal 5 Ayat 1
33
pelaksana pendidikan, pelaksana hubungan kerja dengan orang tua peserta didik,
komite sekolah dan/atau masyarakat serta pelaksana administrasi. Terdiri dari tiga
tingkatan kelas, yaitu kelas 7 (tujuh), kelas 8 (delapan) dan kelas 9 (sembilan).
Kota Tasikmalaya mengacu pada Kurikulum 2013, dimana rumusan produk untuk
a. Sikap
b. Keterampilan
yang produktif dan kreatif dalam ranah yang bersifat konkrit juga abstrak.
c. Pengetahuan
34
diharapkan dapat menjadi pribadi yang mampu menguasai ilmu
Tidak hanya berfokus pada akademik saja, SMP Negeri di Kota Tasikmalaya
yang dapat diikuti sesuai dengan minat bakat dari siswanya itu sendiri. Contoh
kegiatan organisasi yang pasti ada di setiap sekolah yaitu Organisasi Siswa Intera
dalam bidang olahraga (voli, basket, futsal, taekwondo, karate dan silat), bidang
kesenian (musik, paduan suara dan teater) ataupun bidang pengetahuan (English
Club).
e. Lemari 1 buah/ruang
35
f. Papan tulis 1 buah/ruang
2. Ruang Perpustakaan
a. Lemari 1 buah/ruang
c. Globe 1 buah/sekolah
4. Ruang Pimpinan
5. Ruang Guru
6. Tempat Beribadah
7. Ruang UKS
8. Toilet
9. Gudang
36
2.5 Kerangka Pemikiran
37
Academic
Achievement
Motivation
(menjadi lebih
meningkat) Faktor Eksternal
(Winkel, 1991):
- Lingkungan Keluarga
- Lingkungan Sosial
- Lingkungan Sekolah
= Diukur
= Tidak Diukur
Gambar 2.5.1
Kerangka Pemikiran School Well-being dengan Academic Achievement
38
School well-being adalah konsep yang menjelaskan mengenai pengukuran
Alapen, & Rimpela, 2002). Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa hal
yang digarisbawahi pada konsep ini terdapat pada aspek apa saja dalam sekolah
Aspek ini terkemas dalam empat dimensi, yaitu having, loving, being dan health.
Dimensi having merujuk pada kondisi fisik lingkungan dan kondisi sistem
regulasi di dalam sekolah tersebut. Dimensi loving merujuk pada kebutuhan untuk
Terakhir, dimensi health ini merujuk pada status kesehatan seseorang, apakah ia
pertama yang dilontarkan oleh beberapa siswa yang muncul dari data awal yaitu,
Lingkungan sekolah secara fisik meliputi keadaan fisik sekolah, sarana dan
belajar dan segalanya. Sarana dan prasarana yang tidak lengkap akan membuat
39
proses pembelajaran menjadi terhambat. Menurut studi yang dilakukan oleh Idola,
Sano & Khairani (2016), faktor lingkungan yang ada di sekolah sangat
mempengaruhi siswa dalam belajar. Siswa secara tidak langsung akan termotivasi
dalam belajar apabila lingkungannya bisa membuat tenang, sehingga hal ini dapat
adanya hubungan interpersonal antara para siswa maupun guru yang kurang baik.
Padahal, berdasarkan penelitian, ditemukan bahwa relasi yang positif antara siswa
dan guru diperlukan, karena guru dapat membantu mengubah keyakinan siswa
siswa (Schunck, 2012). Selain itu, hubungan dengan peers merupakan kebutuhan
utama bagi anak yang sedang melewati masa transisi dari masa anak-anak menuju
fondasi untuk pembentukan identitas (Santrock, 2012). Pada gilirannya, anak yang
menikmati hubungan yang positif dengan peers akan merasakan emotional well-
being yang lebih baik, percaya dengan kemampuan dirinya sendiri dan memaknai
bentuk perilaku prososial dan interaksi sosial lebih adaptif dibandingkan dengan
anak yang tidak (Marbu & Setiawan, 2019). Studi tambahan menunjukkan bahwa
anak yang menikmati hubungan positif dengan temannya akan merasa lebih
engage dan bahkan unggul dalam tugas akademik dibandingkan dengan anak
40
lingkungan pertemanan secara konsisten berhubungan positif dengan pencapaian
Remaja yang menikmati dukungan yang positif, baik itu dari teman
maupun guru, akan lebih termotivasi dan secara aktif lebih terlibat dengan
dirinya selama di sekolah (Roorda, Koomen, Spilt, & Oort, 2011), menunjukkan
feedback yang jelas, terstruktur dan positif (Skinner, Kindermann, Connell &
kelas yang saling peduli satu sama lain (Juvonen, 2006), dan memiliki ekspektasi
positif terhadap perilaku di dalam kelas (Hamm, Schmid, Farmer & Locke, 2011;
Juvonen & Cadigan, 2002), berhubungan dengan hasil akademik yang positif di
sekolah. Di sisi lain, A. M. Ryan (2001) menemukan bahwa siswa SMP yang
siswa melalui proses yang sering terjadi dalam interaksi sosial dalam kelompok
dalam sekolah pun diperlukan. Setiap manusia, termasuk siswa di ruangan kelas,
41
competency dan autonomy (R. M. Ryan & Deci, 2009). Ketika semua kebutuhan
akan lebih konstruktif, seperti siswa akan terlibat penuh ketika belajar di ruang
kelas dan lebih bersedia untuk bekerja sama dengan peraturan sekolah yang ada
(Wang, et.al., 2019). Selain itu, peserta didik yang merasa mendapatkan manfaat
samping itu, siswa yang berpartisipasi juga menunjukkan prestasi akademik yang
lebih tingi (Durlak et al., 2011), sedangkan rendahnya partisipasi siswa selama
selama berada di sekolah. Siswa yang sehat dapat melakukan berbagai aktivitas
tugas-tugas yang diberikan guru, selalu hadir di sekolah, berdisuksi dengan teman,
membaca buku pelajaran, mencatat pelajaran (Rahmat, Smith & Rahim, 2015).
Bagaimanapun juga, studi yang dilakukan oleh Faidiban & Sombuk (2018),
penglihatan maupun kesehatan mulut, asma, kehamilan masa remaja, gizi buruk,
menunjukkan resiko lebih rentan terhadap agresi dan kekerasan, aktivitas seksual
yang tidak aman, makan yang tidak sehat, kurangnya aktivitas fisik dan
42
penggunaan obat-obatan yang berbahaya itu berkaitan dengan kinerja skolastik
yang rendah.
peran yang krusial dalam memberikan dampak untuk pilihan para siswa,
keterlibatan dan prestasi di sekolah (e.g., Schunk, Printrich, & Meece, 2008). Hal
ini didukung dengan studi yang dilakukan oleh Fatwati dan Fakharuddiana
(2014), bahwa pencapaian akademis yang baik dapat tercapai apabila siswa
yang dapat membantunya memenuhi suatu tugas. Terdapat dua jenis motivasi,
yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik muncul ketika
adanya dorongan dari luar, seperti rewards, insentif, pujian, hukuman, maupun
kritikan. Di sisi lain, motivasi intrinsik muncul karena adanya dorongan dari
dalam diri sendiri. Motivasi intrinsik akan mendorong seseorang untuk melakukan
suatu pekerjaan secara mandiri dan antusias (Elton, 1988). Oleh karena itu,
motivasi intrinsik menjadi hal yang penting untuk menuntut siswa agar lebih
terlibat dengan kegiatan selama berada di sekolah. Menurut Inayah, Martono &
untuk mendengarkan dan memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru. Di sisi
lain, siswa dengan motivasi tinggi cenderung rajin dan lebih memperhatikan apa
43
yang disampaikan oleh guru selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini
berkorelasi secara positif terhadap usaha untuk belajar (Fan, 2011) dan menguasai
materi pembelajaran (Kennedy & Tuckman, 2013; Luo et al., 2014; Shih, 2008).
sekolah secara langsung, seperti suasana sekolah yang positif (Marks, 2000),
tetapi juga tampaknya mengarah pada peningkatan prestasi akademik siswa yang
nilainya buruk, dan menurunkan tingkat ketidakpuasan siswa dan angka putus
bangga dan lekat dengan sekolah mereka, dan secara kognitif mereka lebih terlibat
dengan hasil akademik seperti peringkat dan nilai ujian yang tinggi (Fredricks et
al., 2016). Siswa yang berkonsentrasi saat belajar, mematuhi peraturan sekolah,
belajar, akan mendapatkan academic achievement (nilai dan performa) yang lebih
baik dalam ujian yang sudah terstandarisasi (Bandura, Barbranelli, Caprar, &
Pastrorelli 1996; Caraway, Tucker, Reimke, & Hall, 2003; Finn & Rock, 1997
dalam Wang & Holocomber, 2010). Kebalikannya, siswa yang tidak terlibat
dengan sekolah saat remaja, lebih beresiko untuk melakukan perilaku yang
44
Berbagai penelitian telah menunjukkan apabila kebutuhan akan
pemenuhan diri siswa tercapai karena lingkungan sekolah yang baik, maka siswa
akan terpacu untuk lebih terlibat dalam kegiatan belajar dan tugas-tugas
sekolahnya serta memiliki kebiasaan belajar yang baik dan berkaitan pada prestasi
akademik yang baik (Ainley; Epsteuin & McPartland; Fine, dalam Widiyati &
Supriatna, 2009). Tidak hanya itu, ternyata pengaruh interaksi sosial keluarga,
belajar siswa (Umboh, 2017). Hingga saat ini, kesejahteraan di sekolah tidak
sebagai subjek yang terpisah dari tujuan pembelajaran yang menyeluruh. Menurut
Konu dan Rimpela (2002), mereka tidak melihat sekolah sebagai sebuah kesatuan,
menciptakan lingkungan sekolah yang positif juga nyaman bagi siswa yang ada di
yang sudah terinternalisasi dalam diri siswa, karena adanya perasaan nyaman,
45
BAB III
METODE PENELITIAN
penelitian kuantitatif adalah data yang dikumpulkan dan disajikan berupa angka-
angka. Pada penelitian ini, data yang diperoleh berupa data primer menggunakan
alat ukur School Well-Being Scale (SWBS) dan data sekunder melalui nilai raport
siswa.
variabel dan menentukan hubungan yang ada diantara kedua variabel tersebut
(Christensen, 2011). Pada penelitian ini akan melihat hubungan antara school
46
well-being dengan academic achievement pada siswa SMP Negeri Kota
Tasikmalaya.
nilai tinggi berhubungan dengan variabel lainnya yang memiliki nilai tinggi juga,
berhubungan dengan variabel lainnya yang memiliki nilai rendah. Dengan metode
Variabel adalah kondisi atau karakteristik yang dapat berbeda nilai atau
profile both for groups of pupils and for school as a whole and highlight
47
the areas in which schools could make improvements in order to promote
terhadap kondisi sekolah yang dilihat/tercermin dari total skor yang diukur
48
3.3.2 Academic Achievement
apa yang sudah dipelajari atau kemampuan yang terinternalisasi pada diri
Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah alat ukur
Budhi AJi Joko Purnomo pada tahun 2018, yang mengacu pada konstruk
teori school well-being yang dikemukakan oleh Konu dan Rimpela (2002),
49
dan untuk mengukur Academic Achievement peneliti mengacu pada teori
melalui nilai raport yang merupakan hasil dari ujian yang yang
pemenuhan diri (being), relasi sosial (loving) dan status kesehatan (health
terdiri atas 4 pilihan Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan
Tabel 3.1 Pemberian Nilai Skor Pada School Wellbeing Scale (SWBS)
Favorable 4 3 2 1
Unfavorable 1 2 3 4
50
3.4.1.1 Kisi – Kisi Alat Ukur School Wellbeing Scale (SWBS)
diri atau
kemampuan yang
dimiliki oleh
51
setiap siswa
antara siswa
Saya merasa guru
Loving (Relasi dengan orangtua 1, 4, 12, 16,
bersikap tidak adil
Sosial) serta warga 17, 19
dalam memberikan
sekolah (guru,
kesempatan menjawab
antar teman,
terhadap beberapa siswa
pegawai di
di kelas.
sekolah)
hidup sehat.
52
3.4.1.1 Validitas Alat Ukur School Well-being (SWBS)
Alat ukur SWBS dikembangkan oleh Konu dan Rimpela (2002). Alat
ukur ini awalnya terdiri dari 40 item pernyataan, yang kemudian diadaptasi dan
dilakukan uji validitas oleh peneliti sebelumnya yaitu Agustinus Budhi Aji Joko
expert judgment yang digunakan sebagai bukti validitas konten (content validity)
untuk menunjukkan bahwa setiap item pertanyaan pada alat ukur ini dapat
mengukur sikap yang ingin diukur. Uji konten validitas ini dilakukan oleh Dr. T.
terdapat alat ukur School Well-being ini dilakukan uji coba pada tanggal 24
sebanyak 52 orang.
dengan melalui Cronbach’s Alpha yang merupakan hasil korelasi jumlah total per
item dengan jumlah total nilai yang diperoleh subjek penelitian dan dianalisis
menggunakan bantuan program SPSS 22. Adapun nilai reliabilitas yang diperoleh
dari alat ukur School Well-being Scale (SWBS) yang dilakukan pada tahun 2018
memiliki nilai Cronbach Alpha yang tinggi yaitu, sebesar 0,842. Apabila ditinjau
53
berdasarkan pedoman kriteria Kaplan & Saccuzon (2018), a ≥ 0,70 menunjukkan
berdasarkan kriteria Kaplan & Saccuzon (2018), yaitu nilai koefisien a ≤ 0,70
menandakan alat ukur tidak dapat andalakan dan a ≥ 0,70 menandakan alat ukur
didapatkan koefisien realibilitas sebesar 0.747 yang menandakan bahwa alat ukur
dapat diandalkan.
school well-being dari sekolah yang dituju. Semakin tinggi skor responden, maka
semakin tinggi pula penilaian siswa tersebut terhadap keadaan school well-being
dengan individu lain (Freidenberg, 1995), namun tetap merupakan kerangka untuk
54
membedakan antar individu. Kriteria yang digunakan untuk penelitian ini terbagi
menjadi 3, yaitu:
partisipan, perlu ditentukan panjang kelas. Skor maksimum yang dapat diperoleh
partisipan adalah 108 sedangkan skor minimumnya adalah 27. Sehingga panjang
55
Tabel 3.3 Kategorisasi rentang skor alat ukur School Well-being Scale
(SWBS)
82 - 108 Tinggi
55 - 81 Sedang
27 - 54 Rendah
yang tercantum dalam buku raport. Buku raport biasanya akan diberikan setiap
satu kali per semester atau 6 bulan sekali. Academic achievement diberikan oleh
guru atau pihak sekolah kepada setiap peserta didik melalui nilai raport.
56
Rentang Skor Kategori
79 - 89 B (Baik)
70 - 78 C (Cukup)
< 69 D (Rendah)
Sumber: Staff Akademik Kesiswaan Bidang SMP Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya
2010). Populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas 8 dan 9 dari SMP Negeri di
Kota Tasikmalaya, karena siswa kelas 7 belum merasakan fasilitas sekolah yang
(PJJ). Lebih lengkapnya, populasi dalam penelitian ini terdiri dari 21 Sekolah
No
Kecamatan Jumlah Sekolah
.
1. Tawang 6 sekolah
2. Indihiang 3 sekolah
57
3. Kawalu 2 sekolah
4. Cipedes 2 sekolah
5. Cihideung 2 sekolah
6. Tamansari 2 sekolah
7. Mangkubumi 1 sekolah
8. Bungursari 1 sekolah
9 Purbaratu 1 sekolah
10. Cibeureum 1 sekolah
didapatkan jumlah populasi siswa kelas 8 dan 9 pada tahun ajaran 2019/2020 yaitu
sebanyak 12.286 siswa (jumlah populasi setiap sekolah dapat dilihat pada
Lampiran 3).
karakteristik yang sudah ditentukan oleh peneliti guna mencapai tujuan dari
penelitian, yaitu:
2. Berusia 13 – 15 tahun
Teknik sampling ini digunakan untuk menentukan sampel bila objek yang akan
58
diteliti atau sumber data sangat luas, misal penduduk dari suatu negara atau
berdasarkan kecamatan yang ada. Kemudian, peneliti akan memilih secara acak
satu sekolah dari setiap klaster (kecamatan), sehingga sampel akan berasal dari 10
sekolah dari tiap-tiap kecamatan. Selanjutnya, peneliti akan memilih siswa yang
akan menjadi partisipan secara acak. Dalam pengambilan sampel acak ini, peneliti
parametrik, jumlah sampel minimal yang dapat diolah yaitu 30. Hal ini dipilih
agar frekuensi data dapat membentuk kurva normal (Guilford & Fruchther, 1987).
UNPAD SAS, dengan total populasi sejumlah 12.286 orang, bound of error
sebesar 0.5 dan alpha 0.01, maka didapatkan jumlah sampel minimal dalam
penelitian ini yaitu sebanyak 200 orang. Penggunaan teknik dalam menentukan
59
sama rata jumlah minimal sampel dari setiap sekolah, yaitu sebesar 20 orang.
tidak bersedia, sehingga jumlah sampel yang terlibat dalam penelitian ini
60
SMPN 18 Kota Tasikmalaya 20 13
(Kec. Indihiang)
SMPN 21 Kota Tasikmalaya 20 15
(Kec.Tamansari)
Total 200
dilakukan selama satu bulan yaitu, pada bulan Mei 2021 di Kota Tasikmalaya.
situasi pandemik, maka per-Maret 2020, siswa sudah mulai sekolah daring dari
al. (2015), penelitian restrospektif ini memiliki kritik adanya bias yang mungkin
terjadi, salah satunya adalah information bias atau recall bias, yaitu bias yang
terjadi ketika partisipan tidak dapat mengingat secara akurat pengalaman ataupun
kejadian sebelumnya secara mendetail, dengan kata lain akurasi dari ingatan
mereka bisa saja sudah dipengaruhi oleh adanya pengalaman ataupun kejadian
61
3.6 Prosedur Penelitian
pengambilan data. Setelah mendapatkan surat izin dari Dinas Pendidikan Kota
sekolah, dalam penelitian ini yaitu Wakil Kurikulum setiap sekolah, untuk
beberapa siswa yang mengisi kuesioner tersebut, sehingga peneliti meminta izin
secara online melalui WhatsApp. Pengambilan data dilakukan selama satu bulan,
penelitian secara online ini dibagi menjadi 4 bagian, yaitu: pengantar penelitian
awal, pengisian data berupa kondisi kesehatan serta proses pembelajaran yang
dirasakan oleh siswa sebelum dan saat sistem daring diberlakukan, dan alat ukur
62
membagikan hadiah penelitian dan melakukan pengolahan serta interpretasi data
independen dalam penelitian ini adalah school well-being dan variabel dependen
(SPSS) versi 25. Dalam penelitian ini terdapat data demografis yang diperoleh
dari siswa berupa jenis kelamin, usia, dan asal sekolah. Selain itu terdapat juga
data penunjang lainnya dalam penelitian ini yaitu mengenai, kondisi kesehatan,
proses pembelajaran dan hasil pembelajaran siswa sebelum dan saat sistem daring
sekolahnya ketika mengisi kuesioner bisa saja dipengaruhi oleh situasi pandemik
yang terjadi saat ini. Sehingga peneliti dapat melihat gambaran secara umum
siswa sebelum dan saat sistem daring dilakukan, karena kuesioner dalam
penelitian ini sendiri hendaknya dilakukan saat siswa dapat datang secara
langsung ke sekolah.
63
3.7. 1 Hipotesis Statistika
64
H 0=¿ Tidak terdapat hubungan antara dimensi health dengan academic
data. Uji normalitas bertujuan untuk melihat distribusi data dalam satu variabel
yang akan digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak untuk
normalitas yang digunakan adalah uji Kolmogorov Smirnov. Kelebihan dari uji
ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi di antara satu
65
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menguji hubungan antara
dua variabel dengan melakukan uji statistik analisis korelasional melalui bantuan
Skala pengukuran untuk alat ukur School Well-being Scale dan nilai raport
untuk Academic Achievement adalah skala interval. Meskipun pada alat ukur
skala ordinal, namun pengolahan yang dilakukan ketika seluruh skor dijumlah dan
korelasi dari 0 hingga 1. Kriteria koefisien korelasi dapat dilihat dari tabel oleh
analisis statistik yang digunakan terhadap kedua variabel dengan skala interval
66
parametrik, dan akan menghasilkan koefisien korelasi yang berfungsi untuk
mengukur kekuatan hubungan linier antara dua variabel (Jonathan, 2006). Rumus
n ∑ x i y i−( ∑ x i)( ∑ y i)
r xy =
√¿¿ ¿
Keterangan:
x i = nilai x ke-i
y i = nilai y ke-i
n = banyaknya nilai
Di sisi lain, apabila data ditemukan tidak berdistribusi normal maka uji
statistik yang digunakan adalah Uji Korelasi Spearman’s rho, yang merupakan
pengukuran non parametric. Uji ini digunakan untuk menilai seberapa baik suatu
N
6 ∑ di2
i−1
rs=1− 3
N −N
67
Keterangan:
demografi dan data penunjang lainnya yang didapatkan, untuk melihat ada atau
kategori yang berbeda. Pada kategori jenis kelamin, pengujian statistik dilakukan
kelompok tidak berdistribusi normal dan jumlah kategori pada kelompok jenis
kelamin terdiri atas 2 kelompok data. Sementara itu, pada kategori usia dan
pada beberapa kelompok tidak berdistribusi normal dan jumlah kelompok usianya
terdiri atas lebih dari 2 kelompok data. Kriteria uji yang digunakan dalam uji
68
beda, baik itu untuk statistik parametrik maupun non parametrik adalah, apabila
p-value < 0.05, maka terdapat perbedaan penilaian diantara kelompok responden,
dan apabila p-value>0.05, maka tidak terdapat perbedaan penilaian diantara kedua
kelompok responden.
69
BAB IV
Pada penelitian ini, terdapat 201 responden yang mengisi kuisioner, dan
terdapat 1 responden yang tidak bersedia, sehingga data yang diolah sebanyak 200
responden, yang merupakan siswa kelas 8 dan 9 dari sepuluh SMP yang berasal
dari setiap kecamatan yang ada di Kota Tasikmalaya. Berikut adalah hasil
berada di Kota Tasikmalaya, hasil uji korelasi school well-being dan academic
academic achievement, serta hasil uji beda antara school well-being dengan
70
Data Demografis N %
Jenis Kelamin
Laki-Laki 79 39.5
Usia
13 27 27,1
14 62 40,7
15 111 55.5
Asal Sekolah
71
SMPN 12 Kota Tasikmalaya 22 11
(Kec. Kawalu)
Ada 17 8.5
Perbedaan Proses
Pembelajaran saat belajar
online dan offline
Ada 196 98
72
Tidak 4 2
Ada 58 29
Tidak 142 71
penelitian ini, dengan didominasi oleh perempuan sebanyak 60.5% dan laki-laki
banyak 39.5%. Sebanyak 55.5% responden yang mengisi kuesioner ini berusia 15
tahun. Responden dalam penelitian ini paling banyak berasal dari SMPN 1 Kota
dilakukannya sistem daring dan saat daring. Terakhir, sebanyak 71% responden
dilakukan.
73
Adapun beberapa alasan yang dilontarkan responden mengenai perbedaan
kondisi kesehatan sebelum dan saat pembelajaran daring dilakukan yang sudah
Tabel 4.2.1 Kondisi Kesehatan Siswa Sebelum dan Saat Proses Pembelajaran
Daring
Pembelajaran Pembelajaran
Mata minus yang menyebabkan sulit Mata masih minus, namun karena
melihat materi di papan tulis dengan materi langsung berada di layar gawai,
cukup lama.
sering terlewat sarapan sebelum sehingga siswa tidak lagi merasa lemas
74
merasa tidak fokus saat belajar di pembelajaran sekolah secara daring
kelas.
sebelum dan saat daring dilakukan, sebanyak 4 responden (2%) mengatakan tidak,
karena mereka merasa sistem pembelajaran masih sama saja, yaitu guru
lainnya (98%) menganggap justru proses pembelajaran sebelum dan saat daring
dilakukan sangat berbeda. Hal yang paling mencolok ialah dari tempat belajar,
situasi lingkungan di rumah dan sekolah yang sangat berbeda. Lantas, dengan
atau tidak, ternyata sebanyak 142 dari 200 responden (71%) mengatakan tidak,
75
dan 58 siswa (29%) lainnya mengatakan iya mempengaruhi hasil pembelajaran
pembelajaran ini berpengaruh terhadap hasil akhir (nilai), baik itu menjadi lebih
baik (nilai akhir mereka meningkat) dan buruk (nilai akhir mereka menurun),
Jawaban Siswa dengan Nilai Akhir Jawaban Siswa dengan Nilai Akhir
Meningkat Menurun
Mereka merasa jadi memiliki lebih Mereka mudah merasa jenuh karena
orang tua ataupun anggota keluarga seperti disuruh oleh orang tua untuk
pada pembelajaran.
76
Mereka merasa lebih mudah Mereka merasa tidak betah berada di
secara ketat.
bacaaan saja.
77
4.1.3 Gambaran Deskriptif Rata-rata School Well-being dan Academic
Achievement
Mean Kategori
Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor school well-being
kategorisasi yang dibuat oleh peneliti, maka skor tersebut masuk ke dalam
rata-rata skor yang diperoleh siswa SMP di Kota Tasikmalaya sebesar 88.48.
terlebih dahulu. Adapun uji yang dilakukan oleh peneliti berupa uji Normalitas
78
Tabel 4.5 Hasil Uji Asumsi
value > α = 0.05, maka H0 ditolak, sehingga data berdistribusi normal. Sehingga,
Moment.
79
4.1.4 Hasil Uji Statistik
Tasikmalaya.
School Well-being
Hubungan
0,426 0,000 H0 ditolak
Academic sedang
Achievement
dan variabel academic achievement sebesar 0.000, dengan p-value < α =0.05,
80
positif antara school well-being dengan academic achievement, dengan kekuatan
Product Moment terhadap setiap dimensi School Well-being, dengan tujuan untuk
menelaah lebih lanjut mengenai hubungan antara setiap dimensi pada School
Tasikmalaya.
Dimensi Having
Dimensi Loving
81
Academic
Achievement
Dimensi Health
Berdasarkan tabel 4.5 diatas dapat dilihat hasil analisis Pearson Product
seluruh dimensi school well-being yaitu dimensi having, being, loving dan health
berarti semakin tinggi skor setiap dimensi school well-being maka semakin tinggi
Sementara itu, dimensi yang memiliki kekuatan korelasi yang kuat dengan
(0,739), dan dimensi being (0,571). Dimensi lain yang memiliki kekuatan korelasi
sedang yaitu dimensi hubungan health (0,464), namun dari koefisien korelasi
yang hampir mencapai 0,50 dapat dikatakan kekuatan korelasi dimensi health
82
4.1.4.2 Uji Beda data Demografi
Untuk melihat peran data demografi terhadap perbedaan yang terjadi pada
83
Purbaratu)
SMPN 18 Kota 0.197 Data berdistribusi normal
Tasikmalaya (Kec.
Indihiang)
SMPN 21 Kota 0.132 Data berdistribusi normal
Tasikmalaya
(Kec.Tamansari)
Pada tabel 4.8, dapat terlihat hasil uji normalitas untuk setiap kategori data
demografi. Di setiap kategori, dapat dilihat bahwa terdapat satu atau dua
kelompok yang datanya tidak berdistribusi tidak normal. Oleh karena itu,
pengujian homogenitas tidak dilakukan dan langsung dilakukan uji beda non-
parametrik. Untuk data demografi Jenis Kelamin, dengan jumlah kategori dua
kelompok, uji beda yang digunakan adalah Uji Mann Whitney, sedangkan untuk
data demografi usia dan asal sekolah, dengan jumlah kategori lebih dari dua
kelompok, maka uji beda yang digunakan adalah Uji Kruskal Wallis.
95.82
L 0.352 Mann
Jenis
Whitney
Kelamin
P 103.56
84
14 tahun 105.43 Wallis
15 tahun 100.96
85
SMPN 16 Kota 67.18
Tasikmalaya (Kec.
Bungursari)
kategori. Detail uji yang digunakan dapat dilihat pada tabel. Hasilnya, pada uji
beda yang dilakukan terhadap usia dan jenis kelamin menunjukkan p-value>0.05,
artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dan usia
bahwa penilaian siswa terhadap sekolahnya yang terjadi dalam penelitian ini
bukan disebabkan oleh jenis kelamin maupun usia. Kemudian, pada uji beda yang
dilakukan terhadap asal sekolah menunjukkan p-value < 0.05, artinya terdapat
86
perbedaan yang signifikan antara asal sekolah dengan penilaian subjektif siswa
sekolahnya dalam penelitian ini bisa disebabkan oleh asal sekolah masing-masing
responden.
4.2 Pembahasan
being dengan academic achievement pada siswa SMP di Kota Tasikmalaya, pada
taraf sedang (r= 0,426) dan sifat hubungannya positif. Kekuatan hubungan yang
sedang ini menunjukkan bahwa hubungan diantara kedua variabel itu tidak terlalu
kuat, ada pada taraf yang cukup. Selanjutnya, hubungan yang positif menandakan
maka akan semakin baik prestasi akademik yang diperoleh siswa. Siswa dengan
well-being yang tinggi akan lebih kooperatif, percaya diri, kreatif, toleran dan
altruisti (Chone & Pressman, 2006; Lyubomrisky, King & Diener, 2005).
Kararkteristik inilah yang nantinya akan membuat mereka menjadi lebih positif
87
School well-being yang dikemukakan oleh Konu dan Rimpela (2002)
relasi sosial, pemenuhan diri dan status kesehatan para siswa di dalamnya. Hal ini
academic achievement (Eccles, Wigfield, & Scheifele, 1998; H. Patrick, Ryan, &
Kaplan, 2007; AM Ryan & Patrick, 2001). Proses pembelajaran yang dilakukan di
sekolah, diharapkan dapat memberikan suasana belajar yang nyaman dan mampu
bidang akademik. Menurut studi, proses dan hasil belajar siswa dipengaruhi
positif oleh kesejahteraan siswa itu sendiri di sekolahnya (Hidayah, Pali, Ramli, &
ada faktor lain yang berkontribusi. Pencapaian prestasi belajar seorang siswa
sebagainya (Slavin, 2012; Santrock, 2011; Dariyo, 2013). Jika seorang siswa
pun mungkin cenderung tidak dapat mencapai prestasi belajar yang baik (Dariyo,
2013).
88
Di sisi lain, apabila kita melihat hasil uji beda pada data demografi, jenis
penilaian subjektif siswa selama di sekolah. Temuan pada penelitian ini rupanya
sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Konu dan Rimpela (2002), bahwa pada
perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin pada struktur school well-being.
Penelitian mengenai tingkat stress terhadap sekolah merupakan studi yang paling
sekolahnya itu sendiri (Park, et al., 2012). Studi sebelumnya yang dilakukan di
Eropa dengan sampel mahasiswa, menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara tingkat stress terhadap sekolah dengan gender, hal ini bisa saja
disebakan karena adanya faktor personal lainnya seperti coping strategies atau
Temuan baru lainnya dalam penelitian ini adalah tidak adanya perbedaan
yang signifikan pada penilaian siswa terhadap sekolahnya apabila dilihat dari
faktor kelasnya. Responden penelitian yang berada pada kelas 8 dan 9, berkisar
usia 13-15 tahun, dimana mereka berada pada jenjang pendidikan yang sama dan
memiliki kemampuan kognitif yang mirip karena berada pada fase kognitif yang
sama, yaitu formal operational stage (Santrock, 2018), sehingga pada fase ini
kedua kelompok sangat mungkin untuk melakukan penilaian dari sudut pandang
penilainnya terhadap sekolah. Namun di sisi lain, hasil uji beda antara skor school
well-being dengan asal sekolah justru menunjukkan adanya perbedaan nilai yang
89
signifikan. Hasil ini menunjukkan bawah penilaian siswa terhadap sekolahnya
dalam penelitian ini bisa disebabkan oleh asal sekolah masing-masing responden.
Temuan menarik ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dariyo
masing-masing karena adanya kebijaksanaan yang berbeda antara satu sama lain,
Lebih lanjut, dengan situasi pandemik yang terjadi saat ini, peneliti ingin
melihat juga bagaimana perbedaan yang mereka rasakan dalam hal proses
adanya perbedaan kondisi, memungkinkan pula membuat penilaian dari siswa pun
dapat berbeda, terlebih pengisian kuesioner ini bersifat retrospektif, dimana siswa
sistem daring dilakukan. Perbedaan yang paling mencolok tentu saja dari tempat
fasilitas yang awalnya menggunakan media papan tulis dan buku catatan di
90
pembelajaran ini berpengaruh terhadap hasil akhir pembelajaran mereka di
oleh berbagai faktor, mulai dari faktor internal sampai dengan faktor eksternal.
Faktor internal merupakan faktor yang sudah ada pada diri individu tersebut,
seperti intelegensi, minat, bakat, sikap, konsep diri, motivasi, kepribadian, taraf
kemampuan bahasa dan kondisi fisik juga psikis. Intelegensi sebagai unsur
lebih tinggi (Martin et al., 2013), lebih memiliki perspektif terhadap tujuan
strategi penguasaan (Burnette et al., 2013), mampu mengatasi defisit spesifik pada
domain tertentu (Alesi et al., 2016), dan prestasi akademik (Burnette et al., 2013).
Selain itu, konsep diri juga dapat menjadi faktor pencapaian akademis
yang diraih oleh seseorang. Hal ini didukung dengan hasil studi yang
akademik merupakan hal yang penting untuk menunjang prestasi yang diraih
(Jaiswal & Choudhuri, 2017). Selain itu, menurut studi yang dilakukan
Subaryana (2015), siswa yang memiliki konsep diri positif cenderung belajar
lebih optimal dibandingkan dengan siswa yang memiliki konsep diri negatif.
Dengan konsep diri yang positif, individu cenderung untuk melakukan sesuatu
secara optimal demi tercapainya tujuan mereka. Namun, ketika individu memiliki
91
konsep diri yang negatif, mereka cenderung kurang optimal dalam melakukan
sesuatu dan diliputi atas rasa keraguan, sehingga hasil yang mereka peroleh pun
kurang maksimal.
Di sisi lain, yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah faktor yang
berasal dari luar diri peserta didik itu sendiri, yang pada akhirnya bisa
lingkungan sekolah dan pada lingkungan sosial yang lebih luas lainnya. Sifat-sifat
kegiatan belajar dan prestasi yang dicapai siswa (Simanullang, Wahjoedi & Sapto,
2017). Selain itu, lingkungan masyarakat pun memiliki peranan penting dalam
mempengaruhi prestasi belajar, karena siswa pun berada dalam suatu kelompok
Tasikmalaya kelas 8 dan 9 berada pada kategori sedang, yaitu sebanyak 152
siswa, kemudian 43 siswa memiliki skor school well-being yang tinggi, dan 5
siswa memiliki skor school well-being yang rendah. Rata-rata skor school well-
being yang didapatkan dalam penelitian ini yaitu sebesar 81.19, yang termasuk ke
kebutuhan dirinya serta status kesehatan selama berada di sekolah. Secara teoritis,
92
hal ini sejalan dengan tahapan kognitif individu yang berada pada fase formal
operational stage, dimana mereka sudah mulai bepikir secara abstrak dan logis
melalui pengalaman yang konkrit. Sebagai bentuk berpikir secara abstrak, remaja
apa. Mereka mungkin akan mulai membandingkan satu hal denngan hal lainnya
yang menjadi acuan standar, seperti lingkungan sekolah yang baik itu seperti apa,
teman yang baik itu seperti apa, pemenuhan kebutuhan diri di sekolah itu seperti
apa serta status kesehatan mereka, dsb. Kemudian, gambaran untuk variabel
kategori baik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara umum siswa SMP di
having dengan prestasi akademik. Koefisien korelasi yang didapatkan dari analisa
hubungan ini adalah 0,850 sehingga menunjukkan hubungan yang kuat antara
kondisi lingkungan fisik sekolah dengan prestasi akademik dan berbanding lurus .
lingkungan fisik sekolah, maka akan semakin tinggi juga prestasi akademik yang
mereka peroleh. Hal ini sejalan dengan data yang didapatkan dari Dinas
Pendidikan Kota Tasikmalaya mengenai sarana dan prasarana yang harus ada di
itu, temuan ini juga sesuai dengan data awal yang diambil oleh peneliti terhadap
93
kondisi lingkungan fisik sekolah dan bahkan tidak merasa terganggu dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Majid (2013), dimana lingkungan fisik
sekolah secara fisik meliputi keadaan fisik sekolah, sarana dan prasarana di dalam
segalanya. Sarana dan prasarana yang tidak lengkap akan membuat proses
pembelajaran menjadi terhambat. Di sisi lain, lingkungan sekolah yang baik dapat
sekolah, seperti melakukan tugasnya dengan baik (Konu & Rimpela, 2002).
Menurut Muhibbin Syah (2010), keadaan gedung sekolah dan letaknya, serta alat-
alat belajar yang juga ikut menentukan keberhasilan belajar siswa. Penelitian
perilaku tidak disiplin dari para siswanya, dan meningkatkan tingkat kelulusan
(Irawan, 2017).
hubungan yang kuat antara pemenuhan diri siswa di sekolah dengan prestasi
kebutuhan siswa selama berada di sekolah, maka akan semakin tinggi juga
94
dapat terlihat dari partisipasinya dalam mengikuti kegiatan sekolah, kehadiran,
kepatuhan pada aturan, dan sejauh mana usaha yang ia keluarkan selama
dengan kesuksesan akademis dan well-being (Choi, 2013). Apabila kita melihat
pada teori Self Determination, yang mengatakan bahwa setiap manusia memiliki
autonomy (R. M. Ryan & Deci, 2009), maka hal ini dapat membantu menjelaskan
bahwa, ketika semua kebutuhan tersebut sudah terpenuhi, maka keikutsertaan para
individu di sekolah tersebut akan lebih konstruktif, seperti siswa akan terlibat
penuh ketika belajar di ruang kelas dan lebih bersedia untuk bekerja sama dengan
peraturan sekolah yang ada (Wang, et. Al., 2019). Kemudian, kebutuhan lainnya
yang siswa dapatkan selama di sekolah bisa melalui mengikuti kegiatan organisasi
maupun ekstrakurikuler. Temuan ini didukung dengan data yang didapatkan dari
Selain itu, dengan mengembangkan potensi dan bakat yang dimiliki siswa, mereka
95
akan menjadi lebih siap untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan bertanggung
antara dimensi loving dengan academic achievement pada siswa SMP di Kota
hubungan 0.739 yang berarti bahwa hubungan antara dimensi loving dengan
siswa semakin merasa terlibat dengan warga lingkungan sekolah, baik itu teman,
guru maupun pegawai sekolah lainnya, maka akan semakin tinggi pula prestasi
akademik yang diperoleh siswa. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Shunck (2012), yang menemukan bahwa relasi yang positif
antara siswa dan guru diperlukan, karena guru dapat membantu mengubah
positif, baik itu dari teman maupun guru, akan lebih termotivasi dan secara aktif
gurunya peduli dengan dirinya selama di sekolah (Roorda, Koomen, Spilt, &
Oort, 2011), menunjukkan feedback yang jelas, terstruktur dan positif (Skinner,
Kindermann, Connell & Wellborn, 2009), dan bersedia untuk menolong dengan
akademik dan keterlibatan siswa di sekolah. Sama halnya dengan persepsi siswa
terhadap teman-teman di kelas yang saling peduli satu sama lain (Juvonen, 2006),
dan memiliki ekspektasi positif terhadap perilaku di dalam kelas (Hamm, Schmid,
96
Farmer & Locke, 2011; Juvonen & Cadigan, 2002), berhubungan dengan hasil
hubungan yang sedang antara kondisi kesehatan siswa dengan prestasi akademik
kesehatan siswa selama berada di sekolah, maka akan semakin tinggi juga prestasi
akademik yang mereka peroleh. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Konold (2018) yang mengemukakan bahwa kesehatan juga
signifikan antara academic achievement dengan status kesehatan siswa. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Konald (2018) yang menyebutkan
kehamilan masa remaja, gizi buruk, obesitas, stress kronis dan gangguan
agresi dan kekerasan, aktivitas seksual yang tidak aman, makan yang tidak sehat,
berkaitan dengan kinerja skolastik yang rendah. Kemudian, apabila kita merujuk
pada data penunjang, hubungan yang sedang antara dimensi health dan academic
achievement ini sendiri bisa saja disebabkan karena pada umumnya, siswa merasa
tidak ada kondisi kesehatan yang terlalu mengganggu dalam proses pembelajaran,
97
baik itu sebelum dan saat sistem daring dilakukan. Kalaupun ada, selama di
beristirahat, walaupun terkadang ada saja sekolah yang tidak selalu memeriksa
persediaan obat-obatan.
ditujukan untuk siswa SMP di Kota Tasikmalaya, yang terdiri dari kelas 7, 8 dan
9. Namun dalam penelitian ini, data yang diperoleh hanya berdasarkan siswa kelas
kondisi fisik sekolah dan fasilitas yang terdapat di dalamnya seperti apa,
sedangkan variabel School Well-being serta alat ukurnya meminta siswa untuk
memberikan penilaiannya terhadap kondisi fisik serta lingkungan sekolah nya itu
sendiri.
kondisi fisik dan lingkungan sekolahnya, sedangkan para siswa sudah tidak lagi
belajar di sekolah selama setahun akibat pandemik ini, mereka akhirnya harus
terakhir kali mereka ke sekolah alias, pengisian kuesioner ini bersifat retrsopektif,
dan salah satu keterbatasan dari retrospektif secara teoritis yakni adanya recall
98
bias, yaitu bias yang terjadi ketika partisipan tidak dapat mengingat secara akurat
akurasi dari ingatan mereka bisa saja sudah dipengaruhi oleh adanya pengalaman
Ketiga, sampel memiliki margin of error 10% yang masih dapat diterima
namun akan lebih baik jika margin of error semakin mendekati 1% agar hasil
penelitian lebih dapat digeneralisir. Selain itu, jumlah responden dari beberapa
99
BAB V
5.1 Simpulan
Hubungan korelasi kedua variabel ini bersifat positif dan berada pada taraf yang
sedang. Kekuatan hubungan yang sedang ini menunjukkan bahwa adanya faktor
maupun prestasi akademik yang mereka peroleh. Hal ini didukung dengan
temuan penelitian berdasarkan hasil uji beda data demografi, bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan pada asal sekolah terhadap penilaian siswa terhadap
akademik siswa dalam penelitian ini tidak hanya dipengaruhi oleh school well-
being saja, melainkan ada faktor lainnya yang ikut berperan seperti, kecerdasan,
loving dan being, sedangkan dimensi health memiliki hubungan korelasi yang
100
school well-being pada kategori sedang, yang artinya penialain mereka terhadap
sekolah tidak begitu memuaskan tetapi juga tidak begitu buruk. Selain itu, rata-
siswa memiliki prestasi belajar yang baik selama bersekolah berdasarkan nilai
5.2 Saran
- Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini mengharuskan responden untuk
menilai kondisi fisik dan lingkungan sekolah secara langsung, oleh karena
itu, diharapkan untuk penelitian selanjutnya, alat ukur ini digunakan ketika
para siswa sudah bisa bersekolah secara offline seperti biasanya, supaya
penilaian yang mereka berikan dapat lebih objektif dan menghindari bias.
101
yang sudah baik dan apa saja yang perlu ditingkatkan dari setiap sekolah
achievement, karena bisa saja penilaian mereka berbeda dan hal ini akan
bidang pendidikan, berupa artikel atau jurnal ilmiah mengenai salah satu
- Bagi para guru atau pihak sekolah, dapat menjadikan penelitian ini sebagai
ada di SMP Kota Tasikmalaya, agar siswa tetap merasa aman dan juga
102
103
DAFTAR PUSTAKA
Adiputra, Sofwan., & Mujiyati. (2017). Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa di
https://doi.org/10.24036/02017648171-0-00
Alexander, et. al. (2015). Sources of Systematic Error or Bias: Information Bias.
Anne Kathryn Soutter, Billy O'Steen & Alison Gilmore (2014) The student well-
Youth, 19:4, 496-520, DOI: 10.1080/02673843.2012.754362
104
Artino AR, La Rochelle JS, Durning SJ. Second-year medical students’
https://doi.org/10.1016/j.jrp.2018.02.007
Burnette, J. L., O'Boyle, E. H., VanEpps, E. M., Pollack, J. M., and Finkel, E. J.
Crede, J., Wirthwein, L., McElvany, N., & Steinmayr, R. (2015). Adolescents’
Christensen, L.B., Johnson, R.B., Tuner, L.A (2011). Research Methods, Design,
105
Dariyo, Agoes. (2015). Peran School Wellbeing dan Keterlibatan Akademik
Diener, E., & Chan, M. Y. (2011). Happy People Live Longer: Subjective Well-
0854.2010.01045.x
Finn, J. D., & Rock, D. A. (1997). Academic Success Among Students at Risk for
https://doi,org/10.1037/0021-9010.82.2.221
https://doi.org/10.1177/0038040711417014
Frase, J. M. A. B. J., Fozdar, F., Ala’i, K., Earnest, J., & Afari, E. (2015).
https://doi.org/10.1177/1365480215612616
106
Gräbel, F., Bianca. (2017). The relationship between wellbeing and academic
Halimah, A., Khumas, A., Zainuddin K., (2015). Persepsi pada By stander
terhadap Intensitas Bullying pada Siswa SMP. Vol 42 (5). Jurnal Psikologi
Hidayah, N., Pali, M., Ramli, M., & Hanurawan, F. (2016). Student’s Well-Being
107
Psychology, 5(1). Retrieved from
https://media.neliti.com/media/publications/70960-EN-students-well-being-
assessment-at-school.pdf
https://doi.org/https://doi.org/10.14710/jpu.14.1.9-20
Konu, A., Alapen, E., & Rimpela, M. (2002). Well-being in schools: A conceptual
https://doi.org/doi.org/10.1093/heapro/17.1.79
Konold, T., Cornell, D., Jia, Y., & Malone, M. (2018). School Climate, Student
108
Multi-Informant Examination. AERA Open, 4(4), 233285841881566.
doi:10.1177/2332858418815661
Kpolovie, P.J., A.I & Okto, T. (2014). Academi Achievement Prediction: Role of
Lv, B., Zhou, H., Guo, X., Liu, C., Liu, Z., & Luo, L. (2016). The Relationship
https://doi.org/https://doi.org/10.3389/fpsyg.2016.00948
https://doi.org/10.1007/s10964-012-9833-0
Lyubomirsky, S., King, L., & Diener, E. (2005). The Benefits of Frequent Positive
https://doi.org/10.1037/0033-2909.131.6.803
Marsh, W. H., Trautwein, U., Ludtke, O., Koller, O., Baumert, J. (2005).
397- 416.
109
McKnight, C. G., Huebner, E. S., & Suldo, S. (2002). Relationships among
OECD. (2017). PISA 2015 Results (Volume III): Students’ Well-Being, PISA.
en.pdf?
expires=1584408898&id=id&accname=guest&checksum=93CE36409303A
B53F44151F1D0D098AB
Purnomo, Agustinus Budhi Aji Joko Purnomo. (2018). Hubungan antara School
Menengah Atas
110
Rachmah, Eva Nur. (2016). Pengaruh School Wellbeing Terhadap Motivasi
Ryan, A. M., & Patrick, H. (2001). The Classroom Social Environment and
10.3102/00028312038002437
Ryan M, Richrad & Deci L., Edward. (2000). Self-Determination Theory and the
York: McGraw-Hil.
111
Sholeh, Muhammad & Yhunanda. (2020). Peran Kegiatan Ekstrakurikuler Dalam
8. https://doi.org/10.1016/b978-0-12-375000-6.00001-x
Stamp, E., Crust, L., Swann, C., Perry, J., Clough, P., & Marchant, D. (2015).
174. https://doi.org/10.1016/j.paid.2014.11.038
Stiglbauer, B., Gnambs, T., Gamsjäger, M., & Batinic, B. (2013). The upward
Afabeta
112
Suldo, S. (2016). Promoting Student Happiness: Positive Psychology
hl=id&lr=&id=uHSFDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&ots=bWleE4gOJE&s
ig=C3VBffMr4dY6Lq3EYfs-
uAOfUkw&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false
Wang, John & Liu, Woon & Kee, Ying Hwa & Chian, Lit. (2019). Competence,
e01983. 10.1016/j.heliyon.2019.e01983.
Yeung, A. S., & Lee, F. L. (1999). Self-concept of high school students in China:
Psychological Measurement, 59, 431-450. [42] Marsh, H. W., Hau, K. T., &
113
Yuzarion. (2017). Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Peserta idik.
Retrieved from
http://journal2.um.ac.id/index.php/jktpk/article/download/2210/1304
LAMPIRAN
114
115
116
117
118
119
120
121
122
Lampiran 2 Alat Ukur School Well-Being Scale
2 = TS (Tidak Setuju)
3 = S (Setuju)
4 = SS (Sangat Setuju)
123
terganggu
124
mengenai kegiatan saya selama di sekolah
125
22. Sekolah kurang memiliki sarana agar
murid dapat menyampaikan pendapatnya
126
SMPN 4 Tasikmalaya Tawang 318 318 636
127
SMPN 18 Tasikmalaya Indihiang 186 195 381
Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
128
Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
129
Perbedaan Kondisi Kesehatan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
130
Lampiran 5 Uji Normalitas
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Descriptive Statistics
Correlations
131
N 200 200
N 200 200
132
Lampiran 7 Uji Beda
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
133
Uji Normalitas Jenis Kelamin – Total Skor
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
134
a. Lilliefors Significance Correction
Ranks
SMP 5 25 132.64
SMP 6 23 67.63
SMP 11 20 72.45
SMP 12 22 92.48
SMP 15 18 107.00
SMP 16 17 67.18
SMP 17 19 114.50
SMP 18 13 82.12
SMP 21 15 124.67
Total 200
135
Test Statisticsa,b
TotalSkor
Kruskal-Wallis H 37.231
df 9
Ranks
14 tahun 61 105.43
Total 200
136
Test Statisticsa,b
TotalSkor
Kruskal-Wallis H 2.004
df 2
Ranks
Total 200
137
Test Statisticsa
Jenis Kelamin
Mann-Whitney U 4409.500
Wilcoxon W 7569.500
Z -.930
N %
Excludeda 0 .0
Reliability Statistics
138
Alpha Based on
Standardized
Alpha Items
.747 .757 27
Maximum /
Mean Minimum Maximum Range Minimum Variance N of Items
Item-Total Statistics
Squared Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance Corrected Item- Multiple Alpha if Item
Item Deleted if Item Deleted Total Correlation Correlation Deleted
139
Item17 72.11 50.959 .502 . .729
140
141