DUGONG
BUKAN PUTRI DUYUNG
Anugerah Nontji
ii
SEKAPUR SIRIH
Dugong (Dugong dugon) adalah hewan mamalia laut yang makanannya adalah lamun
(seagrass). Hewan ini sangat sering diasosiasikan dengan dongeng atau legenda tentang putri
duyung, yang biasanya ditampilkan sebagai sosok manusia setengah ikan dengan kepala gadis
cantik berambut panjang sampai pada bagian pinggang dan bagian bawahnya berupa ikan sampai
ke ekor. Dongeng putri duyung (Inggeris: mermaid) terdapat di berbagai penjuru dunia dengan
berbagai variasinya. Demikian lekatnya cerita tentang keduanya hingga orang sering salah
pengertian. Setiap ada berita tentang hewan dugong tertangkap orang lalu mengharapkan dapat
melihat wujud wanita setengah ikan. Padahal keduanya sangat berbeda. Dugong ada di dunia
nyata, sedangkan putri duyung ada dalam dunia dongeng atau legenda.
Pada mulanya dugong tersebar luas di perairan tropis dan subtropis di kawasan Indo-Pasifik.
Tetapi kini persebarannya semakin menciut saja. Oleh IUCN (International Union for the
Conservation of Nature) dugong telah dinyatakan “vulnerable to extinction” atau “rentan
punah”. Di Indonesia, banyak perairan pantai yang dulu dikenal dihuni oleh dugong, sekarang
sudah tak terdengar beritanya lagi.
Di satu pihak, dugong telah dilindungi oleh Undang-Undang No. 7 (1999) tentang Konservasi
Flora dan Fauna, tetapi di lain pihak tidak terdengar adanya upaya nyata untuk menyelamatkan
hewan langka ini di Indonesia secara komprehensif. Lembaga pemerintah yang terkait dengan
urusan konservasi meskipun telah menetapkan kebijakan dan rencana aksi penyelamatan
dugong, namun implementasinya tampaknya belum tampak nyata.
Sejumlah ilmuwan Indonesia bersama rekan-rekan mereka dari Belanda, yang mempunyai
perhatian dalam masalah dugong, telah memprakarsai serangkain seminar tentang dugong
Indonesia, dan berakhir dengan disusunnya naskah konsep “National Conservation Strategy
and Action Plan for Dugong in Indonesia” di tahun 2009 dalam dua volume (de Iongh dkk., 2009
a, 2009 b). Naskah ini kemudian dimutakhirkan dan disusun dalam Bahasa Indonesia dalam satu
volume (Hutomo dkk., 2012). Tetapi naskah itu lebih merupakan naskah akademis. Belum ada
langkah-langkah yang konkret untuk menindak-lanjuti konsep itu.
Penulis mengamati bahwa informasi tentang dugong ini dalam Bahasa Indonesia masih sangat
langka. Padahal informasi itu sangat penting untuk mendukung upaya penyelamatan hewan
langka itu. Oleh sebab itu, penulis dengan segala keterbatasannya, mencoba mengumpulkan
berbagai informasi tentang dugong, dan mencoba menuliskannya dalam gaya populer agar dapat
lebih komunikatif dengan masyaratakat luas. Pada mulanya penulis membuat artikel-artikel
pendek dan lepas-lepas tentang berbagai aspek tentang dugong dan berbagi (sharing) dengan
rekan-rekan penulis. Ternyata kemudian banyak rekan-rekan yang menyarankan agar artikel-
iii
artikel itu dihimpun dan dibukukan. Terdorong atas saran rekan-rekan itu, penulis pun mencoba
menyusun buku ini. Penulis menyadari bahwa buku ini hanya memuat hal-hal umum tentang
dugong yang mungkin menarik bagi masyarakat umum. Oleh sebab itu bagi mereka, yang ingin
mengkaji masalah dugong dengan lebih mendalam, penulis menyertakan Daftar Pustaka yang
mungkin dapat membantu sebagai arahan untuk rujukannya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan, terutama dari Kelompok “Sahabat
Dugong” dan Yayasan Lamina yang telah memberikan masukan dan dorongan dalam proses
penulisan buku ini.
Seperti kata pepatah, Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa buku ini
bukanlah tanpa kekurangan. Untuk itu segala saran perbaikan dan penyempurnaan akan disambut
dengan gembira.
Anugerah Nontji
iv
DAFTAR ISI
Halaman
SEKAPUR SIRIH …………………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… iii
A. DUGONG ……………………………………………………………………… 1
1. Dugong: Ciri umum ……………………………………………………... 2
2. Kerabat dugong ………………………………………………………….. 7
3. Evolusi Sirenia ………………………………………………………........ 11
4. Sebaran …………………………………………………………………... 14
5. Sensus …………………………………………………………………… 20
6. Melacak sang pengembara ………………………………………………. 25
7. Herbivor spesialis lamun ………………………………………………… 29
8. Perilaku makan ………………………………………………………….. 33
9. Ritual perkawinan ……………………………………………………….. 36
10. Kegiatan harian ………………………………………………………….. 39
11. Pemanfaatan ……………………………………………………………... 44
12. Wisata renang bersama dugong: Mungkinkah? …………………………... 48
13. Ancaman ……………………………………………………………....... 51
14. Penyakit ………………………………………………………………….. 57
15. Sayang anak …...………………………………………………………… 59
16. Suara dugong …………………………………………………………...... 63
17. Hidup dalam kolam …………………………………………………....... 67
18. Padang lamun habitat dugong ................……………………………....... 72
19. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Dugong di Indonesia …………... 79
20. Dugong menjadi ikon Kabupaten Bintan .……………………………….. 85
21. Jelmaan leluhur Orang Bajo ……………………………………………... 89
22. Kisah pemburu dugong dari Bintan …………………………………….. 94
v
23 “Mayangsari” si dugong dari Fakfak ……………………………….......... 99
vi
A. DUGONG
1
1. DUGONG: CIRI UMUM
I
stilah “dugong” sering dikacaukan dengan istilah lain seperti “ikan duyung” dan “putri
duyung”. Dalam khasanah ilmiah, istilah “dugong” adalah satwa mamalia yang hidup di
perairan laut dangkal yang makanannya boleh dikatakan eksklusif lamun (seagrass). Nama
ilmiahnya adalah “Dugong dugon”.
Istilah “dugong” itu diambil dari bahasa Tagalog, “dugong”, yang bersumber dari bahasa
Melayu, “duyung” atau “duyong” yang berarti “perempuan laut”. Istilah ini mungkin didasarkan
pada banyaknya cerita atau dongeng lama tentang mahluk laut yang bentuknya setengah manusia
(biasanya putri cantik) dan setengah ikan. Kisah tentang “putri duyung” sudah sangat populer di
masyarakat kita. Banyak dongeng yang menceritakan bahwa satwa dugong itu leluhurnya adalah
manusia.
Karena banyaknya kekacauan istilah ini, maka penulis menyarankan agar istilah “dugong”
digunakan hanya dalam pengertian satwa mamalia laut. Sedangkan istilah “ikan duyung” dan
“putri duyung” digunakan untuk merujuk pada tokoh dalam kisah dongeng atau legenda yang
dalam istilah Inggris dikenal dengan “mermaid”.
2
Di Indonesia dugong diberi nama beragam di berbagai daerah. Di masyarakat Melayu disebut
“duyung” atau “duyong”. Di tempat lain di Sumatra disebut juga “babi laut”. Di Sulawesi
Selatan disebut “ruyung”, sedangkan di masyarakat Suku Bajo di Torosiaje (Gorontalo) disebut
“dio”.
Kulit dugong tebal dan halus dengan warna pucat ketika masih bayi, dan berubah menjadi warna
abu-abu gelap kecoklatan di bagian punggungnya menjelang dewasa dan bagian perut dengan
warna yang lebih terang. Warna dugong dapat berubah dengan pertumbuhan alga di kulitnya.
3
Kadang-kadang teritip (Balanus) ikut pula menempel di permukaan kulitnya. Sekujur tubuhnya
diliputi dengan rambut-rambut halus dan pendek.
Moncongnya yang tebal berbentuk bagai tapal kuda, menghadap ke bawah dengan bibir tebal
yang ditumbuhi bulu-bulu kasar bagai sikat (bristles). Bulu-bulu kasar ini merupakan organ
yang sangat sensitif yang digunakannya untuk mencari makan.
Gambar 1.4 . Kiri: Moncong dugong dengan bibir atas yang tebal
dipenuhi bulu sikat (bristles) yang sensitif. Kanan: Detail bulu sikat pada
moncong dugong. (www.arkive.org)
Dugong mempunyai sepasang sirip yang tebal dan bertulang bagai lengan dan jari-jari, yang
dapar berfungsi sebagai dayung penyeimbang bila berenang. Bila dugong mencari makan di
dasar laut, sirip tebalnya dapat menopang tubuhnya untuk merayap ketika mencari makan. Di
ketiak kedua siripnya terdapat puting susu, yang sangat penting untuk menyusui anaknya.
4
Telinga dugong tidak mempunyai cuping dan berukuran kecil yang terletak di bagian kiri dan
kanan kepalanya. Dugong dapat mendengar suara dengan baik di dalam air.
6
2. KERABAT DUGONG
D
alam klasifikasi hewan, dugong termasuk Class Mammalia yang mempunyai
karakterisktik menyusui anaknya. Di bawah Class Mammalia dugong tergolong dalam
Ordo Sirenia. Seluruh anggota Ordo Sirenia mempunyai ciri yang khas sebagai berikut:
Hydrodamalis gigas atau yang juga dikenal dengan Steller’s sea cow atau Sapi Laut
Steller adalah kerabat dekat Dugong dugon, satu-satunya spesies selain dugong yang
bernaung di bawah suku Dugongidae. Hewan ini merupakan raksasa laut yang bisa
tumbuh sampai berukuran panjang 10 meter dengan bobot 6.000 kg. Jenis ini telah
punah karena perburuan berlebihan (over-hunting) yang dilakukan oleh para pemburu
anjing laut (sealers) dari Eropa di tahun 1768, kurang dari 30 tahun setelah hewan ini
pertama kali ditemukan oleh para pemburu Rusia. Populasi hewan ini dulunya pernah
terdapat di pesisir Pasifik, yang terbentang dari Meksiko sampai ke Jepang, tetapi
berangsur-angsur semakin terdesak dan akhirnya hanya terdapat di perairan dingin Laut
Bering, antara daratan semenanjung Kamchatka dan Kanada. Sapi laut ini hidup dari
makanannya yang berupa kelp atau ganggang laut yang bisa tumbuh sangat lebat di laut
yang dingin dan dangkal di perairan itu. Hewan raksasa ini sudah beradaptasi
sepenuhnya di lingkungan dangkal sedemikian rupa hingga ia sudah kehilangan
kemampuan untuk menyelam. Oleh karena itu, raksasa ini menjadi sasaran empuk
untuk diburu dan dibantai oleh para pemburu untuk menjadi sumber pangan. Punahnya
sapi laut ini merupakan rekaman pertama punahnya species mamalia laut di abad-abad
terakhir ini.
8
Spesies lainnya di bawah Ordo Sirenia yang masih hidup sekarang berada di bawah suku
(Familia) Trichechidae, yang dikenal dengan nama umum manatee atau sea cow (sapi laut).
Tidak seperti ekor dugong, ekor manatee tidak bercabang, tetapi berbentuk bundar pipih
bagaikan dayung.
Gambar 2.4. West African Manatee Suatu hal yang menarik bahwa paus dan lumba-lumba
(Trichechus senegalensis) adalah mamalia laut, seperti juga pada dugong. Tetapi
ternyata kekerabatan mereka jauh dari dugong.
Dugong dan Sirenia pada umumnya, dari segi
evolusinya, ternyata lebih dekat kekerabatannya dengan gajah. Dalam sejarah evolusinyanya,
memang nenek moyang dugong bermula dari hewan daratan pemakan tumbuhan, seperti halnya
9
gajah, yang kemudian perlahan-lahan beralih ke pantai dan beradaptasi hidup sebagai hewan
akuatik pemakan tumbuhan di perairan dangkal. Sistem pencernaan dugong lebih mirip dengan
sistem pencernaan gajah, seperti pada Gajah Afrika, Loxodonta africana.
10
3. EVOLUSI SIRENIA
D
ari segi evolusi, Ordo Sirenia yang paling primitif adalah Prorastomus yang
diperkirakan hidup mulai di awal kala Eosin, sekitar 50 juta tahun lalu. Kajian fossil
menunjukkan bahwa hewan purba ini adalah herbivor berkaki empat, berukuran kurang
lebih sebesar babi, yang bisa hidup di darat maupun di dalam air. Hewan ini dipercaya sebagai
awal perkembangan evolusi Sirenia selanjutnya.
Pada akhir kala Oligosin (25 juta tahun lalu) perjalanan evolusi Sirenia menuju
keanekaragaman hayati yang makin beragam namun kemudian menyusut kembali terutama
karena pengaruh perubahan global iklim dan laut. Pada akhir kala ini juga mulai berkembang
Familia Dugongidae yang telah sepenuhnya berciri akuatik (hidup dalam air) yang mempunyai
bentuk stream-line, dengan dilengkapi sirip (flipper) yang kuat, dan tanpa kaki belakang. Kaki
11
belakangnya sudah sangat tereduksi dalam bentuk tulang yang sangat kecil dan internal, dan tak
lagi berfungsi (vestigial). Sementara itu ekornya telah berkembang menjadi pipih horizontal
yang bila diayunkan akan menjadi sumber tenaga penggerak utamanya. Fossil tertua Dugong
ditemukan dari era sekitar 25 juta tahun lalu.
Sementara itu di awal kala Miosin, sekitar 16 juta tahun lalu, berkembang pula Metaxytherium
yang kaki belakangnya juga telah mengalami reduksi menjadi vestigial, yang evolusinya
mengarah ke terbentuknya sapi laut Hydrodamalis gigas (Steller’s sea cow). Hydrodamalis
gigas ini merupakan spesies kerabat terdekat dugong (Dugong dugon) yang telah punah sejak
pertengahan abad 18.
Gambar 3.2. Fossil Metaxytherium, sekitar 16 juta tahun lalu, yang merupakan
pendahulu Hydrodamalis gigas (Steller’s sea cow), yang sudah tak mempunyai
kaki dan hidup sepenuhnya sebagai hewan akuatik.
(www.edwardtbabinski.us/manatee)
13
4. SEBARAN
D
ugong (Dugong dugon) hanya terdapat di daerah tropis dan subtropis di kawasan Indo-
Pasifik, kurang lebih antara 30o Lintang Utara sampai 30o Lintang Selatan. Sebarannya
cukup luas, meliputi 48 negara dari pesisir timur Afrika sampai Vanuatu di sebelah
tenggara Papua New Guinea (Marsh dkk, 2002). Diperkirakan sebanyak 85.000 ekor dugong
dunia berada di perairan pesisir Australia. Ini mungkin mencakup sekitar 75 % dari seluruh
populasi dugong yang ada dunia, bahkan mungkin lebih. Populasi terbesar kedua terdapat di
Teluk Arabia dengan perkiraan populasi di tahun 1987 sekitar 7,310 ekor dugong. Di daerah
lainnya populasinya sedikit dan terpisah-pisah.
Penetapan sebaran dugong di tiap negara sukar dilaksanakan. Banyak informasi mengenai
sebaran dugong didasarkan pada kisah (anecdotal) yang diceriterakan oleh penduduk setempat.
Meskipun demikian tampaknya terdapat kecenderungan umum bahwa di banyak tempat populasi
dugong semakin berkurang dibandingkan beberapa dekade lalu. Di beberapa daerah seperti di
14
Mauritius, Maladewa (Maladives), Cambodia dan sebagian Filipina bahkan diperkirakan
mungkin dugong telah punah (Marsh dkk, 2002).
Belakangan ini telah dikembangkan teknik yang dapat diterapkan untuk penelitian struktur
populasi genetik dugong yang didasarkan pada DNA mitokondria. Teknik ini menghasilkan
indeks yang baik untuk penentuan struktur populasi dugong. DNA mitokondria dapat diturunkan
hanya lewat betina dan dapat digunakan untuk memperkirakan aliran gen yang dimediasi oleh
betina. Penelitian dengan teknik ini menunjukkan bahwa haplotype dugong dari Asia Tenggara
(Indonesia, Thailand dan Filipina) umumnya berbeda dengan yang ada di Australia, dengan
daerah tumpang tindih di Ashmore Reef, antara Australia Barat dan Timor. Kenyataan ini
menggambarkan terjadinya (atau pernah pada masa lalu) pertukaran genetik terbatas antara
populasi dugong Australia dan Asia (Marsh dkk, 2002).
Lalu dimana sajakah dugong dapat dijumpai di Indonesia? Pertanyaan ini tak selalu mudah untuk
dijawab. Ini disebabkan karena belum ada survei yang menyeluruh tentang sebaran populasi
dugong di Indonesia. Kalau pun akan diadakan tentu bukanlah hal yang mudah untuk mencakup
perairan Indonesia yang demikian luasnya. Ada sebagian informasi yang jelas tentang
keberadaan dugong, tetapi banyak pula informasi yang didasarkan pada cerita atau kisah yang
diriwayatkan oleh penduduk setempat, atau bersifat anecdotal. Mungkin benar bahwa dulu di
situ pernah ada atau banyak dugong, tetapi kini sudah sangat jarang ditemui, atau mungkin malah
telah punah di lokasi setempat. Marsh (2002) misalnya menyebutkan bahwa pada tahun 1970-an
diperkirakan jumlah populasi dugong di Indonesia adalah sekitar 10.000 ekor, sedangkan pada
tahun 1994 diperkirakan sekitar 1.000 ekor. Namun ini tak bisa ditafsirkan sebagai bukti yang
kongkrit berkurangnya populasi dugong, karena banyak didasarkan pada asumsi-asumsi dan
15
informasi anecdotal. Dari berbagai informasi yang ada tampaknya terdapat kecenderungan
umum bahwa jumlah populasi dugong di banyak daerah di Indonesia memang semakin
mengalami penyusutan drastis meskipun sulit untuk dikuantifikasikan .
16
Mereka dapat merekam perjumpaan dengan dugong disana, dan sejumlah jalur bekas makan
(feeding trail) dugong di teluk itu (De Iongh dkk, 2006). Mereka juga menemukan dugong di
Pulau Derawan. Selain itu Marsh dkk (2002) juga menyebutkan keberadaan dugong di
Kotawaringin dan Teluk Kumai di pesisir selatan Kalimantan. Tahun 2008 ditemukan 16 ekor
dugong di Teluk Kumai, menurut Kepala Bidang Perikanan Budidaya setempat (Kompas.com)
Di Sulawesi Utara dugong dapat dijumpai di sekitar padang lamun Wawontulap, di dekat Taman
Nasional Laut Bunaken, LSM “Kelola” yang mengkaji dugong di sekitar perairan Sulawesi
Utara menyatakan bahwa diperkirakan masih ada sekitar 1.000 dugong di sekitar perairan itu
(Marsh dkk, 2002). Di pantai utara Sulawesi, di Blongko, juga telah dilaporkan keberadaan
dugong, demikian pula di Pulau Mantehage .
Pada tahun 1997 satu perusahan perikanan
Taiwan dilaporkan menangkap dugong
sebanyak sembilan ekor dari Selat Lembeh. Di
desa binaan COREMAP di Kabupaten Buton
juga ditemukan dugong terperangkap dalam sero
tahun 2008 (www.maruf.wordpress.com).
Di Maluku, Marsh dkk (2002) dan de Iongh (1997) menyebutkan bahwa dugong dilaporkan
keberadaanya antara lain di Kepulauan Aru, Kepulauan Lease (Ambon, Haruku, Saparua, Nusa
Laut), Seram, dan di Halmahera. Informasi anecdotal menyiratkan bahwa populasi dugong di
Kepulauan Aru pernah sangat tinggi di masa
lalu. Compost (1980) pernah melaporkan
bahwa tangkapan dugong per tahun di Aru
mencapai 545 sampai 1.020 ekor pada akhir
tahun 1970-an, dan pada masa itu dugong
dinyatakan masih cukup banyak. Tetapi
Brasseur & de Iongh (1991) melaporkan
bahwa hanya 59 – 90 dugong yang tertangkap
di timur Kepulauan Aru di tahun 1989, dan
jumlah tangkapan ini terus berkurang
menjadi 29 – 36 dugong di tahun 1990.
Gambar 4.7. Anak-anak nelayan akrab
Kejadian yang sama juga terjadi di Kepulauan bermain dan bercanda dengan dugong di
Lease. Survei udara yang dilaksanakan di Tobelo, Halmahera Utara. (Dok. P2O – LIPI)
tahun 1990 dan 1992 di Kepulauan Lease
mengindikasikan bahwa populasi dugong di perairan ini diperkirakan antara 22 hingga 37 ekor
(de Iongh dkk, 1995). Tetapi Moss & van der Wal (1998) meperkirakan bahwa tak lebih dari 10
ekor dugong lagi yang hidup di Kepuluan Lease. Perkiraan ini didasarkan pada observasi feeding
trail dugong dan wawancara dengan
warga setempat.
19
5. SENSUS
U
ntuk pengelolaan sumberdaya di suatu perairan tentulah sangat penting informasi
tentang jumlah populasi sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dalam
kaitannya dengan dugong, pertanyaannya adalah dapatkah kita memperkirakan seberapa
besar populasi dugong yang ada di suatu perairan? Bisakah dilakukan semacam sensus untuk
populasi dugong? Tentu saja pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Apalagi dugong adalah hewan
yang hidup dalam laut yang tidak selalu menetap, dan tak selalu mudah pula dijumpai.
Para ahli mencoba mencari berbagai jalan keluar untuk itu. Salah satunya adalah dengan
melakukan survei udara, yakni dengan menggunakan pesawat terbang yang menyisir luasan
pantai tertentu dengan mencoba mencacah jumlah dugong yang dapat diamati dari udara. Teknik
survei udara ini kini dipandang sebagai yang terbaik untuk mendapatkan data populasi dugong di
suatu daerah.
21
Gambar 5.4. Hasil survei udara untuk dugong di Kepualuan Lease
tahun 1990 dan 1992. Angka Rumawi menunjukkan lokasi observasi.
Angka pembilang (atas) menujukkan jumlah dugong dewasa dan
anakan yang dijumpai dalam survei tahun 1990, sedangkan penyebut
(bawah) untuk survei tahun 1992. (de Iong dkk, 1995)
22
Australia telah lebih maju dalam pengembangan teknik survei udara untuk merekam populasi
dugong. Disana telah dikembangkan berbagai model matematik dengan memasukkan berbagai
faktor yang dapat mempengaruhi ketepatan observasi dugong, misalnya faktor kekeruhan air,
kedalaman, peluang luput dari pengamatan, dan lain-lain (Pollock dkk, 2004). Kini survei udara
sudah dijadikan standar dalam sensus dugong di banyak negara.
Perkembangan survei dugong selain dilakukan dengan pesawat terbang ─ baik pesawat dengan
sayap tetap (fixed wing) maupun dengan helikopter ─ juga telah dilakukan dengan pesawat
“microlight” yang sangt kecil. Survei udara semacam ini tentulah mempunyai risiko atas
keamanan penerbang dan petugas survei. Dalam kenyataannya memang telah terjadi beberapa
kecelakaan di manca negara dalam upaya survei udara untuk mengkaji dugong dan satwa laut
lainnya. Oleh sebab itu University of Queensland, Australia, sejak tahun 2008 telah
memprakarsai pengembangan pesawat udara tanpa awak yang disebut UAV (Unmanned Aerial
Vehicle) atau drone yang dilengkapi
dengan kamera untuk tujuan khusus
survei sumberdaya hayati laut, seperti
paus, dugong dan penyu. Diharapkan
dengan pengembangan UAV ini akan
dapat dihindari risiko keamanan dan
lebih menjamin keselamatan bagi para
peneliti, dan selain itu juga dapat lebih
menekan biaya survei.
Di samping itu para ilmuwan Jepang juga telah mengembangkan alat AUSOMS-D (Automatic
Underwater Sound Monitoring System for Dugong) yang dapat mendeteksi karakteristik suara
dugong dalam air dan arahnya, dengan harapan alat ini dapat digunakan untuk memperkirakan
besarnya populasi dugong dan perilakunya di suatu daerah dengan tidak mengintervensi atau
mengganggu kehidupan dugong.
24
6. MELACAK SANG PENGEMBARA
B
agaimana perilaku satwa dalam alam, dimana dan kemana saja satwa itu mengembara,
dan apa yang mendorong gerakan pengembaraan itu, selalu menjadi perhatian bagi
periset dan pemerhati lingkungan. Informasi mengenai gerakan pengembaraan satwa ini
penting untuk mendasari kebijakan pengelolaan dan konservasinya. Untuk satwa laut seperti
dugong, tentu saja melacak (tracking) pergerakannya lebih sulit dilaksanakan. Di daratan,
pelacakan gerakan pengembaraan satwa telah banyak dilaksanakan dengan menggunakan teknik
pelacakan dengan satelit (satellite tracking). Hal ini
telah menginspirasi para periset laut untuk juga
mencobanya di lingkungan laut untuk melacak
pergerakan dugong. Pelacakan satelit untuk dugong
telah dimulai dikembangkan sekitar awal tahun
1990an.
25
akurat dengan GPS (Global Positioning System). Data-data ini dikirimkan ke satelit yang
selanjutnya diteruskan ke stasiun bumi untuk diolah lebih lanjut di pusat studi tertentu.
Satelit NOAA 11 dan 12 yang dimanfaatkan dalam pelacakan ini mengorbit pada ketinggian 820
km di atas bumi dengan kecepatan 28.000 km/jam. Satelit-satelit ini melintas dengan rata-rata
tujuh kali tiap hari di atas daerah pengamatan. Dengan demikian dugong dapat dilacak
keberadaannya dari waktu ke waktu.
Dalam eksperimen di Kepulauan Lease (Maluku) itu, empat ekor dugong yang dilacak dengan
satelit dapat diikuti lintasannya sampai selama 41 sampai 285 hari (de Iongh dkk, 1998). Dari
hasil pelacakan itu ternyata bahwa dugong-dugong itu pada malam hari tampaknya lebih suka
mendekat dan beraktivitas didaerah dangkal dekat pantai. Mungkin untuk mencari makan.
Ternyata pula bahwa tiap dugong mempunyai pola pengembaraan yang sangat individualistik.
Tak ada pola yang berlaku umum. Salah satunya yang masih remaja, terdeteksi tiba-tiba melesat
ke utara menuju ke Pulau Seram sampai sejauh 65 km dalam empat hari. Ada pula yang sering
bolak-balik dari satu pulau ke pulau lainnya. Selain itu ada yang sempat mengelilingi Pulau
Haruku dan Saparua dengan beberapa kali singgah sampai beberapa waktu lamanya di suatu
daerah untuk kemudian melanjutkan lagi pengembaraannya. Jarak yang ditempuhnya, berkisar
sekitar 17 sampai 65 km dari tempat asal semula dilepaskan sampai ditemukan kembali.
Kecepatan renangnya dalam pengembaraan itu rendah, hanya sekitar 0,2 hingga 0,7 km/jam.
26
Gambar 6.4. Posisi dan arah gerak pengembaraan salah seekor dugong yang
terlacak dengan satelit di Kepulauan Lease, Maluku. (de Iongh dkk., 1998)
Dalam pengembaraannya itu, dugong dapat tinggal sampai beberapa waktu lamanya di suatu
daerah inti yang merupakan “home range” tempatnya mencari makan, yang umumnya banyak
mengandung jenis-jenis lamun kesukaannya seperti Halophila, Cymodocea, Syringodium dan
Thalassia. Luasan “home range” itu berkisar 4 hingga 43 km2. Setelah itu ia dapat melanjutkan
lagi pengembaraannya ke lokasi lainnya.
Adalah menarik membandingkan hasil pelacakan ini dengan apa yang telah dilaksanakan di
Australia. Pelacakan dugong dengan satelit di negeri ini sudah lebih banyak dilakukan, misalnya
di kawasan Great Barrier Reef. Kajian-kajian pelacakan dengan satelit disana mengindikasikan
bahwa dugong mempunyai daya ingat yang sangat kuat, yang dapat membimbingnya kembali ke
tempat khusus yang sama setelah mengembara sampai ratusan kilometer jauhnya. Tampaknya
dugong dalam pengembaraannya bisa megetahui dengan pasti dimana sumber makanan banyak
tersedia di tempat yang jauh dan jalan tercepat menuju ke sana. Dalam pengembaraan jarak
jauhnya, dugong dapat berenang dengan kecepatan 1,1 sampai 3,6 km/jam. Dalam beberapa
kasus dapat dijumpai dugong yang mengembara sampai sejauh 900 km.
27
Namun kadang kala dijumpai pula dugong mengembara dalam jarak yang sangat jauh dengan
alasan yang tak jelas. Pernah seekor dugong misalnya, dijumpai tiba di pulau kecil terpencil
Cocos (Keeling) di Samudra Hindia di tahun 2002, padahal padang lamun terdekat dari sini
adalah di Indonesia yang jaraknya sekitar 1.000 km. Ini merupakan rekor terpanjang yang pernah
tercatat untuk dugong. Tentu ini juga merupakan hal yang luar biasa karena dalam perjalanan
panjangnya itu ia menempuh perairan samudra yang dalamnya lebih 4.000 m hingga tak
mungkin mendapatkan makanan lamun. Selain itu, perjalanan panjang itu tentu juga rawan
dengan serangan predator.
Gambar 6.5. Seekor dugong jantan tiba di perairan dekat Cocos (Keeling), pulau kecil
dan terpencil di Samudra Hindia di tahun 2002. Padang lamun terdekat berada di
Indonesia sejauh sekitar 1000 km dari sini. (Sheppard, 2006)
Di Indonesia yang berciri tropis tak terdapat perubahan suhu permukaan laut yang signifikan
dalam seluruh tahun. Tetapi di pantai Queensland, Australia, yang terpengaruh oleh perubahan
suhu musiman, pola pengembaraan dugong akan menyesuaikan dengan pola sebaran suhu
permukaan laut. Dugong cenderung akan mengikuti suhu permukaan laut yang lebih nyaman
untuknya.
Mengingat dugong mampu untuk melakukan perjalanan jarak jauh, yang bisa saja melintasi
batas-batas yurisdiksi antar negara, maka untuk konservasi dugong yang telah terancam punah
ini, perlu diupayakan kerjasama lintas negara yang bertetangga.
28
7. HERBIVOR SPESIALIS LAMUN
D
alam dunia hewan, pemakan tumbuhan lazim disebut herbivor. Dugong (Dugong
dugon) dikenal sebagai mamalia laut satu-satunya yang hidupnya herbivor, dan sangat
bergantung pada tumbuhan lamun (seagrass). Kerabat dekat dugong, manatee
(Trichechus), yang masih sama-sama dibawah keluarga (familia) Dugongidae, lingkup hidupnya
lebih luas, tidak saja di laut tetapi juga sampai ke perairan payau dan perairan tawar. Manatee
termasuk herbivor pula, tetapi jenis makanannya jauh lebih beragam dari dugong.
Dugong lebih menyukai jenis-jenis lamun pioneer seperti genus Halophila dan Halodule, yang
bagian atasnya (bagian daun) mempunyai kandungan N (nitrogen) yang tinggi dan rendah serat,
dan bagian bawah tanahnya (berupa rhizoma atau rimpang dan akar) yang banyak mengandung
karbohidrat dan berenergi tinggi. Strategi dugong dalam urusan makan ini memang lebih
memaksimalkan nilai gizi dari pada kuantitas bahan yang dimakan.
Padang lamun (seagrass bed) yang lebih disukainya untuk mencari makan biasanya bukanlah
padang lamun yang lebat dan sangat rimbun, seperti padang Enhalus (setu pita) yang dirajai
29
oleh satu jenis saja dengan daun-daun yang panjang bagai pita. Meskipun demikian Enhalus tak
ditolaknya. Jenis-jenis lamun pioneer berdaun kecil seperti Halophila dan Halodule yang lebih
disukai dugong biasanya tumbuh baik di perairan dangkal yang terlindung dengan dasar pasir
atau lumpur, di zone pasang surut (intertidal) atau bawah pasang surut (sub-tidal).
Gambar 7.2. Lamun dengan vegetasi tunggal Halophila ovalis (kiri) dan Halodule
uninervis (kanan), yang merupakan makanan favorit dugong.
Kajian oleh de Iongh (1997) di Kepulauan Lease (Maluku) menunjukkan kesukaan atau
preferensi dugong atas lamun adalah dalam urutan sebagai berikut: Halophila ovalis > Halodule
uninervis > Cymodocea rotundata >Cymodocea serrulata > Thalassia hemprichii.
Anak dugong yang baru lahir segera menetek pada ibunya. Tetapi dalam usia dini, beberapa
minggu setelah lahir, anak dugong sudah mulai belajar memakan lamun. Susu ibu yang bergizi
dan berenergi tinggi memang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan sang anak. Anak dugong
menyusui pada ibunya sampai usia sekitar 18 bulan, tetapi selanjutnya hidupnya bergantung
pada lamun.
Dugong yang dipelihara dalam kolam, sampai batas-batas tertentu, dapat menyesuaikan diri
dengan jenis makanan yang disajikan. Dugong yang dipelihara di SeaWorld Indonesia Ancol
misalnya, secara rutin diberi makanan berupa lamun Syringonium isoetifolium yang dipanen dari
Teluk Banten.
Penelitian di perairan subtropis di Moreton Bay, Australia, menunjukkan bahwa dugong disana
dapat juga aktif mencari makanan berupa hewan invertebrata, manakala pilihan makanan
utamanya berupa lamun berkurang. Namun diduga hal ini tak terjadi pada dugong di perairan
tropis, karena di perairan tropis keanekaragaman jenis lamun lebih bervariasi untuk menjadi
pilihan makanannya.
Berbeda dengan hewan herbivor lainnya, sistem percernaan dugong tergolong sebagai hind gut
fermenter yang berarti bahwa pencernaan anaerobik oleh mikroba terjadi di caecum atau di
bagian terakhir dari usus besar. Ini membuat masa retensi (retention time) yakni lamanya
makanan menempuh perjalanan dari mulut hingga ke dubur (anus) menjadi sangat lama, bisa
sampai 144 – 166 jam (Lanyon & Marsh, 1995). Jauh lebih lama dibandingkan dengan hewan
herbivor lainnya. Dari kajian anatomi atas jasad dugong yang mati di Jaya Ancol Oceanarium
31
(sekarang Gelanggang Samudra Ancol) tahun 1975, Allen dkk (1976) menunjukkan bahwa
seekor dugong betina dengan panjang 2,6 m, berat 250 kg, mempunyai panjang usus kecil 6,9 m
dan usus besar 14 m, atau total panjang usus sekitar 20 m, berarti sekitar 8 kali panjang
badannya.
32
8. PERILAKU MAKAN
D
ugong sebagai mamalia laut yang herbivor mancari makanan kesukaannya berupa
lamun di dasar laut. Untuk melaksanakan tugas utamanya ini, dugong dilengkapi
dengan struktur mulut yang yang sangat khas sesuai untuk keperluan itu. Mulut dugong
pada dasarnya berupa moncong (muzzle) menghadap ke bawah yang sangat sesuai baginya
untuk mencari makanan di dasar laut. Moncong dugong mempunyai bibir atas dan bawah yang
amat tebal, dipenuhi dengan bulu sikat (bristles) yang kasar dan pendek yang merupakan organ
pengindera yang sangat peka untuk dapat mengetahui dan menentukan makanannya yang berupa
lamun. Ketika merangkak di dasar laut mencari makan, dugong lebih banyak diarahkan oleh
penginderaan lewat bulu sikatnya itu. Selain bibir tebal dan lentur itu mulut dugong dilengkapi
pula dengan susunan perangkat gigi-geligi yang sesuai untuk mendapatkan makanan di dasar laut
dengan menggali, mencongkel dan mencabut seluruh tumbuhan lamun untuk disantap.
Gambar 8.1. Kiri: Moncong (muzzle) dugong yang terdiri dari bibir atas dan
bawah yang tebal dan dipenuhi bulu sikat (bristles), dan rongga mulut disertai
horny pad (de Iongh, 2009). Kanan: Posisi moncong dugong dilihat dari bawah
(Marsh, 1989)
Susunan gigi-geligi dugong mempunyai rumus (2.0.3.3)/ (3.1.3.3) yang bermakna bahwa separuh
rahang atas mempunyai dua gigi seri (incisor), tiga geraham depan (premolar) dan tiga geraham
(molar), sedangkan separuh rahang bawah mempunyai tiga gigi seri, satu taring (canine), tiga
geraham depan dan tiga geraham. Pada dugong jantan, gigi serinya dapat tumbuh mencuat keluar
(bisa sampai sekitar 15 cm) bagaikan gading, yang diperkirakan berperan untuk menggali
makanannya. Pada yang betina, gading ini tidak tumbuh, atau hanya terdapat kecil pada betina
33
yang sudah tua. Gigi geraham depan dan gerahamnya tidak tumbuh dan praktis tidak berfungsi
karena lamun makanannya tidak dikunyah tetapi langsung ditelan. Di rahang atasnya terdapat
struktur horny pad yang tebal, yang akan mendorong lamun masuk ke dalam rongga mulutnya.
Lamun yang telah diperoleh biasanya diguncang-guncang dulu untuk melepaskan sedimen yang
melekat sebelum ditelan.
Ketika merumput di dasar laut mencari makan, dugong bagaikan merangkak dengan ditopang
oleh siripnya yang kuat dan tebal. Perilaku makan merangkak dan mencabut seluruh tumbuhan
lamun sampai ke akar-akarnya akan meninggalkan jejak atau jalur memanjang di dasar laut yang
dikenal sebagai feeding trail. Mencongkel lamun sampai ke akar-akarnya ini menimbulkan
kepulan sedimen saat dugong merumput. Jalur feeding trail yang diakibatkannya bisa merupakan
jalur sederhana atau pun membentuk jalur-jalur yang rumit yang merefleksikan kegiatan
merumput dugong dan kawanannya. Pada saat surut rendah jalur feeding trail ini dapat lebih
mudah terlihat.
Dugong umumnya mencari makan di perairan dangkal, kadangkala tak lebih dalam dari dua kali
panjang tubuhnya, atau pada kedalaman tak lebih dari 10 m. Ini disebabkan karena dugong tak
dapat menyelam lama, tidak seperti kebanyakan mamalia laut lainnya. Tiap 3 – 5 menit ia sudah
harus naik ke permukaan untuk menarik napas. Namun acapkali dijumpai pula adanya
kekecualian dimana dugong dilaporkan bisa mencari makan di dasar laut sampai pada kedalaman
sekitar 30 m.
34
Dugong biasanya mencari makan baik di siang hari maupun di malam hari. Kajian-kajian dengan
metode akustik telah menegaskan hal ini. Kajian di Teluk Moreton, Australia, menunjukkan
bahwa dugong menghabiskan 41 % dari seluruh waktu kegiatannya untuk mencari makan atau
merumput (Hodgson, 2004)
Suatu hal yang menakjubkan bahwa dugong dapat berkelana hingga jarak yang jauh dan dalam
waktu lama, namun ia bisa kembali lagi ke tempat asal semula. Di duga bahwa dugong
mempunyai kemampuan daya ingat atau memori spasial yang sangat kuat yang membimbingnya
dalam pengembaraannya. Hobbs dkk (2007) menyatakan bahwa dugong dalam pengembaraan
jarak jauhnya tampaknya telah mengetahui dimana lokasi sumber makanan lamun yang jauh itu
berada dan bagaimana jalan tercepat menuju ke situ.
Gambar 8.3. Kiri: Jejak jalur makan (feeding trail) dugong yang memanjang di antara
vegetasi lamun Halophila sp. Kanan: Feeding trail dugong yang kompleks.
Kajian yang dilakukan oleh Preen (1995) di Australia menunjukkan bahwa kawanan besar
dugong dapat memanipulasi suatu padang lamun untuk merangsang pertumbuhan lamun muda
yang menjadi kesukaaan mereka, kegiatan yang disebut sebagai cultivation grazing. Kawanan
besar dugong itu mendatangi dan merumput di area padang lamun yang sama secara reguler,
dan ini akan menjamin pertunasan dan pertumbuhan kembali jenis-jenis lamun pioneer
kesukaannya yang berkalori tinggi dan rendah kandungan seratnya. Di Indonesia tidak dijumpai
kawanan dugong dalam julah besar dan cultivation grazing, tetapi de Iongh dkk (2007)
menemukan di Kepulauan Lease (Maluku) dugong dapat kembali merumput ke area yang sama.
35
9. RITUAL PERKAWINAN
K
awin dan melahirkan anak merupakan syarat mutlak untuk kelangsungan hidup suatu
spesies. Demikian pula bagi dugong (Dugong dugon). Panjang usia seekor dugong
diperkirakan dapat sampai lebih 70 tahun. Dugong mulai memasuki usia dewasa pada
usia sekitar delapan hingga sepuluh tahun, yang tergolong lebih tua dibandingkan dengan banyak
hewan-hewan lainnya. Namun, kapan persisnya dugong pertama kali dapat melahirkan masih
sering diperdebatkan. Ada yang menyebutkan dugong pertama kali dapat melahirkan pada usia
10 – 17 tahun, yang lain menyebutkan dapat sedini enam tahun.
Terdapat sejumlah bukti bahwa dugong pada usia lanjutnya semakin berkurang fertilitas atau
kesuburannya. Meskipun dugong dapat berusia panjang, namun selama masa hidupnya dugong
dapat melahirkan hanya beberapa kali saja. Itu pun setiap melahirkan hanya menghasilkan satu
anak saja. Dugong menghabiskan usia yang sangat lama untuk mengasuh anaknya sampai
anaknya bisa hidup mandiri menjelang dewasa. Diperkirakan dugong baru dapat melahirkan lagi
setelah tiga sampai tujuh tahun kemudian setelah melahirkan. Itulah sebabnya kelahiran seekor
anak dugong mempunyai arti yang sangat menentukan untuk melanjutkan kehidupan generasi
berikutnya, dan sangat bermakna penting dalam upaya konservasi dugong.
Perkawinan dugong dilaksanakan oleh jantan dan betina dewasa. Namun dari tampak luarnya,
sangat sukar membedakan yang mana yang jantan atau betina karena morfologi luar keduanya
sangat mirip (monomorphic). Dugong jantan mempunyai organ kelamin yang abdominal atau
dalam perut, hingga tak terlihat. Bila ia sedang bergairah seksual, baru penisnya akan ditonjolkan
keluar lewat celah penis.
Kapan musim kawin bagi dugong masih sering diperdebatkan, mungkin akan berbeda untuk
lokasi yang berlainan. Menurut Marsh (1989), pengamatan di Australia menunjukkan dugong
jantan yang reproduktif bisa terdapat sepanjang tahun, namun kegiatan reproduktif yang aktif
akan lebih banyak terjadi antara bulan Juni dan Januari.
Bagaimana perilaku kawin (mating behavior) pada dugong masih menyisakan sejumlah
perdebatan. Soalnya mengamati perilaku dugong yang sedang menjalani ritual perkawinan tidak
mudah diamati dalam alam. Diperkirakan ritual perkawinan dugong akan bervariasi menurut
lokasi.
36
Gambar 9.1. Tahap-tahap ritual perkawinan dugong. a (1) Membuntuti: pejantan
mengikuti betina dari belakang; b (2) Mendekati dan merangsang: pejantan
mendekati betina dan mencium perutnya; c (3) Berpasangan: pejantan dan betina
berenang paralel; d (4) Kopulasi: air tersibak karena kopulasi; e. Pejantan
mendekati kembali sang betina dan mencium bagian perutnya; f. Pejantan
berkopulasi dengan betina dengan posisi perut ketemu perut, dan menggunakan
siripnya untuk memeluk betina; g. Betina berenang pergi dan dikejar oleh
pejantan; h. Pejantan mendekati lagi sang betina dan mencium perutnya; i. (5)
Berpisah: pejantan dan betina berpisah setelah menarik napas di permukaan.
Gambar ini dibuat berdasarkan hasil fotografi (Ilustrasi oleh Mr. Cheevin
Montriwat, dari Adulyanukosol dkk 2007)
Pengamatan yang dilaksanakan oleh Adulyanukosol dkk (2007) di perairan dangkal Pulau
Talibong, Thailand, mungkin dapat memberikan gambaran bagaimana ritual perkawinan
dugong di peraiaran tropis Asia Tenggara. Pengamatannya dilakukan dengan survei udara
dengan merekam gambar gerakan dugong dalam suatu ritual perkawinan. Kajiannya
menunjukkan pola ritual perkawinan dugong dapat dibagi dalam lima tahap. Tahap 1
membuntuti: pejantan berenang membuntuti terus sang betina dari belakang. Tahap 2 mendekati
37
dan merangsang: pejantan mendekati dan mencium bagian perut dan vagina sang betina untuk
merangsang. Tahap 3 berpasangan: pejantan dan betina berenang paralel satu dengan lainnya,
perut ketemu perut, atau punggung ketemu punggung. Tahap 4 kopulasi: pejantan menyetubuhi
(kopulasi) sang betina. Tahap 5 berpisah: pejantan dan betina berenang saling menjauhi dengan
arah yang bebeda. Kelima tahap ritual perkawinan itu diilustrasikan dalam Gambar 9.1.
Apa yang digambarkan oleh Adulyanusokol dkk (2007) di Thailand tampaknya berbeda dengan
dekripsi mengenai perilaku kawin dugong di Australia. Di Moreton Bay, Queensland, (Australia)
misalnya, Preen (1989) mengemukakan beberapa dugong jantan saling bersaing keras untuk
dapat mengawini betina yang sedang
berahi (in oestrus). Persaingan ini dapat
disertai pertarungan atau laga yang
sengit di antara para pejantan. Setiap
pejantan mencoba untuk berkopulasi
dengan betina.
Menanggapi adanya informasi yang sangat berbeda tentang ritual perkawinan dugong ini,
beberapa ilmuwan berpendapat bahwa hal ini mungkin akibat masih sangat kurangnya penelitian
dalam alam dengan teknik yang lebih akurat hingga tampaknya masih sulit untuk memberikan
kesimpulan tentang kecenderungan umum aktivitas ritual perkawinan dugong.
38
10. KEGIATAN HARIAN
A
pa saja kegiatan dugong sehari-hari merupakan pertanyaan yang menarik. Untuk
menjawab pertanyaan itu tentulah tidak mudah. Penelitian mengenai hal itu pun masih
sangat terbatas. Pengamatan langsung di lapangan terkendala karena kondisi alam
tempat kehidupan dugong umumnya kurang mendukung. Dugong umumnya hidup di perairan
dangkal yang biasanya keruh, hingga menyulitkan pengamatan langsung di alam.
Salah satu penelitian mengenai kegiatan atau perilaku harian dugong telah dilakukan oleh
Hodgson (2004) di periaran Moreton Bay, Australia. Teluk ini diketahui masih banyak
mempunyai dugong. Tetapi lokasi geografinya sudah agak ke selatan, masuk daerah subtropis.
Oleh karena itu hasil penelitiannya dapat dikatakan lebih mewakili perairan setempat.
Bagaimana sifat perilaku harian dugong di perairan tropis seperti Indonesia, belum tentu sama
persis. Untuk menegaskannya tentu masih diperlukan penelitian. Meskipun demikian hasil
penelitian Hodgson (2004) itu sedikitnya telah menguak sejumlah informasi menarik tentang
kegiatan harian dugong dalam alam.
Untuk penelitian itu, Hodgson memasang peralatan TDR (Timed Depth Recorder) pada dugong
yang dapat mencerminkan kegiatan dugong pada berbagai kedalaman seiring dengan perjalanan
waktu. Penelitiannya juga dilengkapi dengan pengamatan dari udara dengan menggunakan balon
helium yang dipasangi kamera (Blimp-cam) yang dapat dikontrol dari jauh. Beberapa cuplikan
hasilnya disampaikan di bawah ini.
39
Gambar 10.2. Pola kegiatan ke permukaan (surfacing), merumput (feeding),
dan menjelajah (travelling) pada dugong (Hodgson, 2004)
lamun tidak saja bagian daun dan batangnya, tetapi juga bagian akar dan rimpangnya yang
banyak mengandung nutrisi yang berenergi tinggi. Untuk itu dugong mendongkel, menggali dan
mencabut tumbuhan lamun sampai ke akar-akarnya, dan menyebabkan dasar substrat berkepul.
Kegiatan merumput dengan perilaku seperti itu dapat meninggalkan jejak atau jalur-jalur bekas
40
galian di dasar laut yang memanjang yang dikenal sebagai feeding trail. Dalam keadaan tertentu
dugong juga dapat memakan bagian daun dan batang saja hingga dasar substrat dasar tak
teraduk. Dugong merumput baik pada siang hari maupun pada malam hari.
Penelitian di Moreton Bay menunjukkan bahwa merumput atau mencari makan di dasar laut
menghabiskan waktu yang terpanjang dalam kegiatan harian dugong. Sekitar 41 % waktu
hariannya dihabiskan untuk merumput atau makan di dasar laut. Ini berarti sekitar 10 jam tiap
hari dihabiskan untuk merumput. Tampaknya ini kurang lebih seimbang dengan herbivor besar
di darat. Hewan ternak seperti sapi dan domba misalnya, menghabiskan waktu sekitar 8 sampai
10 jam tiap hari untuk merumput.
Yang menarik bahwa dugong yang mempunyai anak, biasanya keduanya naik ke permukaan
secara bersamaan (sinkron) untuk bernapas. Untuk itu biasanya sang anak dugong digendong
menempel di punggung ibunya dan naik bersamaan ke permukaan.
43
11. PEMANFAATAN
D
ugong dimanfaatkan orang untuk berbagai keperluan, yang bisa berbeda-beda dari satu
daerah ke daerah lainnya. Hampir semua bagian dugong dapat dimanfaatkan, mulai dari
kulitnya, daging dan lemaknya, tulangnya, giginya yang berupa gading, hingga semua
isi perutnya. Namun umumnya dugong dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi, obat-obatan,
pernak-pernik hiasan, dan untuk berbagai keperluan budaya dan religi masyarakat setempat.
Pemanfaatan dugong untuk konsumsi (daging dan lemaknya) merupakan pemanfaatan yang
terbesar, baik dugong hasil perburuan, maupun dari yang tak sengaja tertangkap dalam jaring
atau alat tangkap perikanan lainnya. Di beberapa daerah seperti di Kepulauan Aru (Maluku
Tenggara), dugong dulu banyak diburu tetapi belakangan ini kegiatan itu telah sangat berkurang
atau berhenti.
Ada berbagai persepsi orang tentang rasa daging dugong. Banyak yang menyatakan bahwa rasa
daging dugong itu lezat bagaikan daging sapi, dan menyehatkan karena dugong hanya memakan
tumbuhan. Ada pula anggapan bahwa menyantap daging dugong dapat menambah daya tahan
tubuh dan kegairahan seksual. Tetapi di pihak lain, ada pula kelompok masyarakat tertentu yang
menolak memakan daging dugong karena alasan kepercayaan.
Di daerah dengan adat yang masih kuat, dugong tidak dipotong sembarangan, karena ada
ketentuan adat tentang cara-cara memotongnya dan membagikan dagingnya ke masyarakat.
Namun di beberapa tempat, seperti di Aru (Maluku) dan di Torosiaje (Gorontalo) ketentuan adat
44
semacam itu sudah mulai terkikis dan tidak lagi digubris , terimbas oleh pengaruh kehidupan
modern. Di Aru, daging dugong juga dibuat dendeng untuk cadangan keperluan masa depan.
Di Laut Merah (Saudi Arabia dan sekitarnya) yang juga banyak dihuni oleh dugong, daging
dugong dimanfaatkan antara lain untuk mengobati penyakit ginjal dan perut kembung,
sedangkan lemaknya bisa untuk memasak, untuk minyak urut (massage) dan untuk lampu
penerang. Di China minyak
dugong digunakan untuk obat
melancarkan peredaran darah.
45
Tulang dan gading dugong dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain untuk pipa rokok
yang mungkin masih dapat ditemui dijual di beberapa toko cenderamata. Pipa rokok yang terbuat
dari gading dugong berwarna kekuning-kuningan dihargai sangat mahal. Gading dugong dijual
di Tual (Kepulauan Kei) dan Ambon sampai seharga Rp 350.000
per batang di tahun 1998 (Moss dan van der Wal, 1998). Gading
dugong yang bagus memang bisa merupakan barang mewah yang
membanggakan. Para sheikh dan emir di Bahrain (Teluk Arab)
menggunakan gading dugong untuk gagang belati (Marsh dkk,
2002).
Di Kenya (pantai timur Afrika) tulang dugong dihancurkan Gambar 11.4. Patung
berupa tepung dan dipanaskan. Menghirup uap dari tulang leluhur dari Tanimbar
dugong yang dipanaskan itu dipercaya dapat menyembuhkan (Maluku Tenggara) terbuat
berbagai penyakit, dari sakit gigi hingga sakit saat melahirkan. dari gading dugong. (de
Di sana gading dugong dijadikan berbagai bentuk pernik Iongh)
perhiasan atau dikalungkan pada anak kecil untuk melindunginya
dari ruh jahat yang mungkin mengganggu.
Di Jepang, dugong hanya terdapat di Okinawa, di Samudra
Pasifik. Disini tulang iga dugong menjadi bahan untuk
kesenian ukir-ukiran. Bentuk ukiran yang paling populer
adalah ukiran berbentuk kupu-kupu yang dipercaya dapat
membawa ruh orang yang meninggal menuju ke alam
lainnya. Sementara itu penduduk di Tanimbar (Maluku
Tenggara) membuat ukiran artisktik dari gading dugong
yang melambangkan leluhur mereka.
Suatu survei yang baru-baru ini dilaksanakan di Bali tentang perdagangan barang-barang yang
berasal dari satwa yang dilindungi (Nijman & Nekaris, 2014) mengemukakan data yang sangat
mencengangkan. Bagian-bagian dugong ternyata masih banyak yang di perdagangkan di toko-
toko herbal dan kerajinan mencakup tulang iga, tulang punggung, gading dugong (untuk
berbagai produk seperti ukiran-ukiran), air mata dugong, dan lemak dugong. Harga yang
termahal adalah ukiran gading dugong untuk gagang keris yang dijual dengan harga sampai 150
USD, sedangkan pipa rokok dari gading dugong dihargai 10 – 30 USD di tahun 2013.
47
12. WISATA RENANG BERSAMA DUGONG:
MUNGKINKAH?
B
oleh dikatakan dugong (Dugong dugon) telah dilindungi di semua negera yang
mempunyai dugong. Meskipun demikian populasi dugong masih saja menghadapi
berbagai ancaman dari kegiatan manusia seperti peruburuan, tertangkap tak sengaja
(incidental) dalam jaring nelayan, pencemaran lingkungan atau karena habitatnya berupa padang
lamun telah makin rusak. Belakangan ini timbul gagasan: apakah dugong dapat dimanfaatkan
dengan tidak perlu menangkap hewan yang sudah sangat langka itu. Misalnya, dapatkah
dikembangkan wisata renang bersama dugong? Apakah ini langkah yang bijak dalam
pemanfaatan dugong secara berkelanjutan?
Belakangan ini beberapa negeri seperti Vanuatu, Sabah (Malaysia), Filipina telah
mengembangkan kegiatan wisata “Swim with dugong”. Kegiatan ini umumnya dikemas dalam
paket ekowisata yang seyogyanya berorientasi pada prinsip kelestarian alam. Pertanyaannya:
benarkah kegiatan itu dapat menjamin kelestarian dan eksistensi dugong dalam jangka panjang?
Di Pulau Mantanani (Sabah, Malaysia), juga telah dikembangkan acara ekowisata dugong. Ada
seekor dugong jantan yang hidup soliter, dinamai “Nicky”, yang sudah akrab dengan manusia,
bahkan sering diajak “bermain” bersama wisatawan. Dugong itu pun menjadi bintang fotogenik
yang digandrungi wisatawan. Tetapi acapkali dugong jantan itu menunjukkan perilaku yang tak
48
lazim, yakni mencoba mencumbu (mating) wisatawan wanita, sebagaimana diungkapkan oleh
Rajamani (2008). Perilaku yang tak lazim ini dapat juga dilihat di Youtube: “Dugong loves
Lidy”.
Di samping itu, perilaku dugong juga belum sepenuhnya dipahami. Rajamani (2009) misalnya
menyebutkan dapat juga terjadi dugong merasa terganggu, yang kemudian berbalik menyerang
manusia seperti yang pernah terjadi di Vanuatu.
Di Australia, program “Swim with dugong” ditanggapi dengan hati-hati. Marsh dkk (2002) masih
mempertanyakan dampak dari kegiatan semacam ini bagi keselamatan dugong dalam jangka
panjang. Tampaknya untuk ini masih diperlukan kajian yang lebih mendalam.
50
13. ANCAMAN
D
ugong hidup di perairan dangkal dekat pantai yang merupakan bagian laut yang paling
dinamis dan sangat dipengaruhi oleh berbagai kegiatan manusia. Oleh karenanya
dugong akan banyak menerima tekanan atau dampak dari kegiatan manusia, baik
secara langsng maupun tak langsung. Ancaman antropogenik (dari kegiatan manusia) ini
ditambah lagi dengan karakteristik dugong yang berumur panjang, usia tinggi baru dapat hamil,
tiap kelahiran hanya menghasilkan satu anak, dan masa mengasuh anak yang sangat lama
membuat dugong menghadapi kondisi yang sulit untuk mempertahankan keberlanjutan hidupnya
menghadapi tekanan antropogenik. Suatu studi simulasi populasi dugong mengindikasikan
bahwa kalaupun pertumbuhan dugong sangat ideal dan alami, tanpa gangguan manusia,
pertumbuhan populasi dugong tidak akan lebih dari 5 % (Marsh dkk, 2002). Jadi bila sedikit saja
populasi dugong dewasa berkurang akibat penangkapan, atau karena hilangnya habitat, atau
menurunnya kualitas lingkungannya akan dapat mengacam kelestariannya.
Selain dampak antropogenik, ada pula dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh faktor alami,
seperti badai atau siklon yang menghantam dan memporak-porandakan suatu perairan pantai.
Tetapi umumnya faktor alami ini jauh lebih sedikit frekuensi kejadiannya dibandingkan dengan
faktor antropogenik.
Ancaman antropogenik terhadap dugong bisa bersifat langsung misalnya karena sengaja diburu,
tertangkap secara tak sengaja dalam kegiatan perikanan, atau karena akibat penggunaan teknik
perikanan yang destruktif seperti penggunaan bahan peledak dan racun. Ancaman tak langsung
misalnya karena makin menyusutnya luas padang lamun atau makin terdegradasinya kondisi
lingkungan padang lamun yang menjadi habitat dugong akibat meningkatnya kekeruhan air dan
pencemaran.
Perburuan dugong telah dilakukan sejak awal sejarah interaksi manusia dengan dugong. Sejak
dulukala dugong dianggap dapat menjadi sumber makanan, obat-obatan, dan berbagai keperluan
ritual budaya. Hingga kini tak ada data yang terpercaya yang dapat digunakan untuk
menyebutkan secara kuantitatif seberapa jauh populasi dugong di Indonesia telah berkurang
dalam beberapa dekade terakhir ini. Di tahun 1970-an misalnya, diperkirakan populasi dugong
di Indonesia ada sebanyak 10.000 ekor, sedangkan di tahun 1994, diperkirakan sebanyak 1.000
ekor saja (Marsh dkk 2002). Namun angka-angka ini hanyalah perkiraan kasar saja yang tentu
masih perlu diklarifikasi. Di lain pihak, kisah-kisah anekdotal (yang dikisahkan oleh masyarakat
pesisir) dari berbagai penjuru tanah air menunjukkan kecenderugnan umum yang konsisten,
bahwa populasi dugong ini sudah sangat menyusut dimana-mana. Di beberapa daerah,
51
masyarakat setempat sudah semakin jarang melihat bahkan ada yang sudah tak pernah lagi
menemui dugong di perairan mereka dalam dekade terakhir ini.
Salah satu contoh bentuk ancaman dari perburuan ini terhadap populasi dugong setempat adalah
di perairan Kepulauan Aru (Maluku Tenggara) dimana masyarakat disana dulunya mempunyai
tradisi berburu dugong dengan menggunakan harpun (harpoon) yang dihunjamkan ke tubuh
dugong yang sedang berenang di permukaan. Mata harpun yang telah menancap ke tubuh
dugong berujung dengan tali panjang yang dimainkan oleh nelayan hingga dugong mati lemas.
Gambar 13.1. Perburuan dugong secara tradisional. Kiri atas: mata harpun
yang dapat dilepas. Kiri bawah: Dugong yang telah tertikam harpun
dimainkan dengan tali oleh nelayan hingga dugong mati lemas. Kanan:
dugong diangkat naik ke perahu. Kasus di Selat Torres. (www.arkive.org)
Dugong diburu terutama untuk mendapatkan dagingnya untuk konsumsi dan gadingnya yang
mahal untuk diperdagangkan atau untuk pipa rokok. Compost (1980) memperkirakan bahwa
pada akhir tahun 1970 dugong di perairan Aru (Maluku) ada sebanyak 545 hingga 1.020 ekor,
dan pada saat itu dugong disebutkan “masih cukup banyak” di perairan Aru. Kemudian Brasseur
52
dan de Iongh (1991) melaporkan bahwa dugong di perairan Aru tertangkap hanya sebanyak 59-
90 ekor di tahun 1989, dan angka ini turun lagi menjadi 29-36 di tahun 1990. Estimasi ini
berdasarkan hasil dari survei wawancara yang dilakukan di 14 desa di pantai timur Aru (Moss &
van der Wal, 1998).
Di perairan Kepulauan Lease yang terdiri dari empat pulau utama (Ambon, Haruku, Saparua,
Nusa Laut) telah dilakukan survei udara untuk memperkirakan populasi dugong di tahun 1990
dan 1992 (de Iongh dkk, 1995) yang menunjukkan bahwa populasi dugong di perairan ini
diperkirakan minimum sekitar 22-37 ekor. Kemudian Moss & van der Wal (1998) menyebutkan
bahwa jumlahnya disana tinggal 10 ekor yang didasarkan dari survei feeding trail dugong di
padang lamun dan wawancara dengan penduduk.
Gading dugong dijual dengan harga yang sangat tinggi di Tual (Pulau Kei, Maluku Tenggara)
dan di Ambon, sampai seharga Rp 350.000 sebatang (Moss & vander Wal, 1998) yang nilainya
lebih tinggi dari pendapatan bulanan rata-rata seorang nelayan. Harga pasar yang tinggi ini
merangsang nelayan untuk masih terus memburu dugong, meskipun sekarang kegiatan ini sudah
jauh berkurang bahkan sebenarnya telah dilarang sesuai dengan Undang-Undang No. 7 tahun
1999 tentang Konservasi Flora dan Fauna.
Gambar 13.2. Dugong muda terjerat dalam jaring Yang lebih sulit dikontrol adalah
nelayan. (www.arkive.org) dugong yang terperangkap dalam
jaring insang (gill net) dan jaring hiu
(shark net) yang biasanya
dioperasikan oleh perusahan industri perikanan. Jaring hiu memang tidak dimaksudkan untuk
menangkap dugong, tetapi acapkali dugong terperangkap di dalamnya. Kajian di Kepulauan Aru
menunjukkan meningkatnya penggunaan jaring hiu sejalan dengan makin berkurangnya
tangkapan dugong. Dalam tahun 1979 misalnya, di perairan timur Kepulauan Aru dilaporkan 80
hingga 200 dugong tertangkap dalam jaring hiu, sedangkan dalam 1989 berkurang menjadi 20 –
53
40 ekor saja. Selain itu telah dilaporkan pula eksploitasi dugong dalam tahun 1979 dan 1980
yang menyebutkan lebih 500 dugong yang tertangkap tiap tahun di delapan daerah di Maluku
dengan menggunakan jaring hiu oleh kapal perikanan Taiwan ( de Iongh & Wenno, 1992).
Ancaman tak langsung terhadap dugong terutama disebabkan karena luas habitatnya berkurang
(loss of habitat) dan atau terdegradasinya kualitas lingkungan habitatnya. Pembangunan
konstruksi pantai, misalnya pembangunan pelabuhan, pemukiman, fasilitas wisata dapat
melenyapkan luasan padang lamun sebagai habitat utama dugong, atau menyebabkan kekeruhan
air yang pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan lamun yang menjadi tumpuan hidup
dugong. Pembangunan kawasan industri dan pelabuhan di Teluk Banten, misalnya telah
melenyapkan sekitar 30 % luas lamun dari teluk tersebut (Tomascik dkk, 1997).
Selain itu habitat dugong juga dapat terdegradasi karena terjadinya pencemaran air, baik yang
bersumber dari daratan maupun dari kegiatan di laut. Sumber pencemaran dari darat bisa dari
limbah industri, pertanian, pemukiman, pertambangan, sedangkan dari kegiatan laut misalnya
karena terjadinya tumpahan minyak di laut.
54
Di Papua Barat pembalakan (logging) dan pertambangan menimbulkan ancaman terhadap
padang lamun dan biota laut lainnya. Di Taman Nasional Teluk Cenderawasih misalnya, dugong
semakin jarang dijumpai karena habitatnya mengalami degradasi karena sedimentasi yang
diakibatkan oleh kegiatan pembabatan hutan (Marsh dkk, 2002).
Pencucian air balas kapal tanker juga dapat merupakan ancaman. Karena lemahnya pengawasan
di laut, sering terjadi kapal pengangkut minyak mentah mencuci air balasnya dengan membuang
langsung ke laut secara ilegal. Minyak mentah yang terbuang ke laut mengalami degradasi dan
sebagian akan terdampar berupa gumpalan-gumpalan minyak (tar ball) yang hitam mencemari
pantai, dan dapat merusak ekosistem padang lamun. Pencemaran pantai oleh gumpalan minyak
ini sering terjadi di pantai Pulau Bintan dan Pulau Batam.
Ancaman dari fenomena alami terhadap dugong dapat terjadi misalnya karena badai siklon tropis
yang dahsyat yang dapat memporak-porandakan lingkungan pantai. Dampaknya bisa bersifat
langsung karena mematikan dugong, ataupun tak langsung karena menghancurkan padang lamun
yang menjadi tumpuan hidup dugong. Siklon tropis ini tidak terjadi di jalur khatulistiwa seperti
Indonesia, tetapi umumnya pada jalur antara lintang 10 o sampai 30o baik Lintang Utara maupun
55
Lintang Selatan (Nontji, 2007). Pantai utara Australia, Filipina dan Bangladesh merupakan
daerah langganan dilanda bencana siklon tropis.
Siklon “Kathy” misalnya, dengan kekuatan angin 185 km/jam menghantam pantai Teluk
Carpentaria (Northern Territory, Australia) di tahun 1984, mengakibatkan lebih 27 ekor dugong
terdampar ke arah darat sampai ke atas zona pasang surut (Marsh, 1989).
Kasus lainnya di tahun 1992, Teluk Hervey (Australia) dilanda banjir besar diikuti siklon dahsyat
selama tiga minggu, menyebabkan hancurnya lebih dari 1.000 km2 padang lamun karena
sedimentasi yang berat, yang mengakibatkan banyak dugong mati kelaparan (ditemukan
sebanyak 99 bangkai dugong). Banyak pula dugong yang hijrah ke tempat lain sampai sejauh
900 km. Diperkirakan akan diperlukan waktu sekitar 25 tahun untuk pulih kembalinya dugong
di teluk ini seperti sedia kala (Preen & Marsh, 1995).
56
14. PENYAKIT
P
ada bulan Juli 1975 satu tim survei dari Oceanarium Jaya Ancol (sekarang Gelanggang
Samudra Jaya Ancol) dipimpin oleh Dr. R. Singgih melakukan penangkapan dugong di
Desa Potondo, di bagian selatan Sulawesi Selatan (Allen dkk, 1976). Dalam kurun 22 Juli
sampai 28 September dapat tertangkap lima ekor dugong hidup-hidup dengan menggunakan
jaring nilon yang panjangnya 350 m, dan bermata jaring 15 cm. Dugong-dugong ini kemudian
di bawa ke Oceanarium Jaya Ancol, Jakarta, untuk dipelihara dalam kolam akuarium. Di
“rumah”nya yang baru ini para dugong diberi makan lamun Zostera, sawi, pek cay, kacang
panjang, kangkung, dan eceng gondok. Tetapi yang mau dimakan oleh dugong hanyalah lamun
dan sedikit sawi. Ternyata kemudian tak ada dugong yang bisa bertahan dalam usia panjang
dalam kolam. Satu persatu mati. Tetapi dengan otopsi, berbagai pengetahuan baru bisa juga
diperoleh, terutama mengenai anatomi bagian dalam dugong. Salah satu hasil yang menarik
yakni kesimpulan bahwa kematian dugong itu terutama karena malnutrisi (salah gizi) yang
parah, karena makanan yang tak cocok dan stress berkepanjangan di lingkungan baru.
Gambar 14.1. Dugong mati terdampar di pantai timur Australia, yang diduga
karena terserang penyakit. (www.fraser coast chronicle.com.au)
57
Tetapi dari pemeriksaan itu ditemukan pula bahwa dugong dihinggapi oleh berbagai parasit yang
dapat mengganggu kesehatan dugong. Ternyata berbagai parasit seperti cacing pipih (trematoda)
dijumpai bersarang di saluran hidungnya. Dalam dua kasus, cacing-cacing itu menyebabkan
tererosinya lapisan mukosa sekitar hidung sampai ke sekitar larynx (tenggorokan). Cacing
trematoda lainnya, Opisthotrema dujonis, menyerang saluran eustachia (eustachian tube) yang
terhubung ke indera pendengar. Dalam ususnya juga dijumpai parasit cacing trematoda
Indosolenorchis hirudinaceus. Rupanya dugong dari alam ini rentan dengan serangan parasit
cacing trematoda.
Ternyata dugong memang dapat terinfeksi oleh berbagai jenis parasit, tidak saja oleh cacing
tetapi juga oleh protozoa dan bakteri. Sejenis protozoa Cryptosporidium misalnya, ditemukan
menyerang saluran pernapasan dan saluran pencernaan pada dugong dari Teluk Hervey,
Australia (Marsh dkk, 2002). Tetapi belum diketahui apakah protozoa Cryptosporidium itu
menjalani seluruh siklus hidupnya dalam tubuh dugong ataukah terinfeksi dari sumber luar
lainnya.
Pemeriksaan atas enam jasad dugong yang ditemukan mati di Townsville, Australia, tahun 1999
menunjukkan adanya infeksi bakteri dan cacing. Banyak parasit yang diidentifikasi sebagai
Cochleotrema indicum dapat dikeluarkan dari dalam organ hati dugong itu, sedangkan cacing
Paradujardina halicoris ditemukan di lambungnya. Dua dugong lainnya diduga mati karena
peritonitis akut dengan abses pada usus kecilnya.
Laporan lain berdasarkan hasil necropsy dugong yang sakit dan yang mati menunjukkan bahwa
30 % dari 80 dugong yang mati dalam kurun 1996 hingga 2000 disebabkan karena penyakit.
Suatu hipotesis menyebutkan bahwa mortalitas dugong berkaitan dengan dampak negatif dari
perubahan abnormal curah hujan terhadap kualitas lamun yang pada gilirannya akan
menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan dugong.
Belum lama berselang, 25 September 2011, terbetik berita dari Australia, bahwa dugong
ditemukan mati terdampar di pantai Teluk Hervey. Pemeriksaan sementara menunjukkan bahwa
lambung dugong itu penuh dengan lamun, jadi kematiannya dapat dipastikan bukan karena
kelaparan. Tetapi apa penyebabnya belum dapat dipastikan, meskipun kuat dugaan kemungkinan
disebabkan oleh penyakit.
Dugong yang mati dan terdampar di pantai di kawasan tropis mengalami proses pembusukan
atau dekomposisi yang sangat cepat. Oleh karenanya, biasanya sulit menetapkan apa yang
menyebabkan kematian dugong itu. Pemeriksaan pasca kematian (postmortem) pada seekor
dugong yang mati terdampar di pantai Johor (Malaysia) pada bulan Mart 1999, didiagnose
sebagai akibat suppurative bronchopneumnia yakni penyakit yang menyerang saluran
pernapasan. Kasus lain menunjukkan kematian yang disebabkan karena septicaemia, akibat
kehadiran bakteri patogen dalam darah (UNEP/CMS, 2011).
58
15. SAYANG ANAK
S
etelah ritual perkawinan dugong usai, maka dimulailah tahap kehamilan yang akan
memakan waktu yang cukup panjang, sekitar 13 – 14 bulan. Janin dalam kandungan sang
ibu akan berkembang dengan cepat. Dugong biasanya mencari tempat yang dangkal untuk
proses melahirkan anaknya. Ada beberapa keuntungan dengan pemilihan tempat dangkal ini,
karena dengan demikian anak yang dilahirkan nanti akan dapat dengan mudah dan segera
menghirup udara di permukaan yang merupakan tarikan napasnya yang pertama dalam
kehidupannya. Selain itu, di perairan dangkal akan lebih aman dari ancaman predator alami,
seperti hiu. Pengamatan oleh Marsh (1989) dalam dua kasus yang diamatinya menunjukkan
dugong pada saat melahirkan boleh dikatakan dalam keadaan terdampar atau kandas di pantai.
Bayi dugong yang baru lahir umumnya sudah berukuran besar dengan panjang sekitar 1,1 - 1,2
m dengan berat sekitar 27 – 35 kg. Dapat dibayangkan betapa kritisnya kondisi ibu dugong saat
Memilih tempat melahirkan di pantai yang dangkal mungkin lebih aman terhadap predator alami,
namun belum tentu aman dari ancaman manusia. Satu kasus di Desa Wailukum, Halmahera
Timur, di bulan Juli 2011, seekor dugong yang merapat ke pantai yang diduga untuk
melahirkan, dijumpai oleh penduduk setempat, dan tanpa ampun dugong yang malang itupun
ditangkap dan dibantai. Dari perutnya dapat dikeluarkan seekor bayi dugong yang sebenarnya
sebentar lagi akan lahir. Pada bayi dugong itu masih melekat sebagian ari-ari (umbilical cord)
yang semula terhubung ke plasenta dalam rahim sang ibu (Gambar 15.1.).
Setiap bayi dugong yang baru lahir secepatnya diangkat oleh ibunya ke permukaan untuk segera
menghirup udara untuk bernapas, yang merupakan tahap awal terpenting dalam kehidupan sang
bayi. Sejak itu terjalin hubungan yang sangat akrab antara ibu dan anak sampai jangka waktu
yang sangat panjang. Begitu lahir, anak dugong mulai belajar menetek pada ibunya. Puting susu
ibunya terletak di ketiak sirip kiri dan kanan. Si anak juga telah mulai diajarkan memakan lamun
dalam usia sedini mungkin, sebagai makanan suplemen. Tetapi nutrisi dari susu ibunya
merupakan sumber gizi yang berenergi tinggi yang sangat penting untuk mempercepat
pertumbuhan sang anak. Pada usia remaja (pubertal) panjang dugong sudah bisa mencapai 2,4 m
dengan berat 248 kg (Marsh, 1989)
Gambar 15.2. Anak dugong menetek pada ibunya saat ibunya sedang makan
(a) dan saat ibunya berenang ke permukaan untuk bernapas (b). (Hodgson
2004)
Bagaimana perilaku menetek anak dugong dalam alam tentulah bukan hal mudah untuk diamati.
Hodgson (2004, 2007) menggunakan teknologi “Blimp-cam” untuk memantau perilaku dugong
dan anaknya. “Blimp-cam” adalah balon helium yang dipasangi kamera video, yang
dihubungkan ke perahu riset, dan di perahu terdapat monitor yang dapat mengamati apa yang
60
terekam oleh video pada saat yang sama (real time). “Blimp-cam” mengudara pada ketinggian
sekitar 50 m di atas muka laut, dan arah lensa dapat dikendalikan jarak jauh (remote control) dari
perahu. Dengan teknologi ini Hodgson (2004) dapat merekam berbagai perilaku induk dugong
beserta anaknya. Ketika anak dugong menetek pada ibunya, posisi si anak menyudut kurang
lebih horizontal dengan punggung ke atas (bukan dengan perut ke atas atau terlentang, seperti
banyak diperkirakan sebelumnya), dan moncongnya menempel ke ketiak sirip dada ibunya,
tempat adanya puting susu. Si anak dugong bisa menetek baik dari puting di ketiak sebelah kiri
ataupun sebelah kanan. Apabila sang ibu mencari makan di dasar laut, atau naik ke permukaan
untuk bernapas atau melakukan penjelajahan sang anak terus saja menempel seolah-olah
“menggantung” pada ketiak ibunya. Yang menarik bahwa untuk bernapas ke permukaan selalu
dilakukan secara bersamaan (sinkron) oleh sang ibu dan anaknya. Kadang kala si anak
digendong dengan menempel langsung di punggung sang ibu untuk bersama-sama naik ke
permukaan untuk bernapas.
Di Thailand, Adulyanukosol dkk (2007) mengamati perilaku dugong lewat survei udara dengan
pesawat “microlight” dan berhasil merekam dengan kamera berbagai perilaku hubungan induk
dugong dan anaknya. Suatu kenyataan yang menarik dari kajian itu bahwa ibu dugong dijumpai
dapat berenang terlentang sambil memeluk anaknya yang baru lahir dengan kedua siripnya.
Posisi ini mengingatkan kita pada cerita-cerita dongeng yang mengisahkan “putri duyung” yang
dengan penuh kasih sayang memeluk dan meneteki anaknya. Setelah si anak dugong bernapas ke
61
permukaaan, ia kembali dipeluk oleh ibunya. Tampaknya sang ibu senang bercanda dengan
anaknya sambil melatihnya dengan berbagai kemampuan.
Anak dugong akan menetek pada ibunya sampai usia 14 – 18 bulan, suatu jangka waktu yang
cukup panjang dibandingkan dengan hewan menyusui lainnya. Setelah itu ia masih terus hidup
tak jauh dari ibunya sampai menjelang usia dewasa. Dugong mulai hidup independen setelah
diasuh oleh ibunya selama rata-rata tujuh tahun.
Keeratan hubungan antara ibu dan anak ini, di lain pihak dapat juga berpotensi menuai petaka.
Seekor anak dugong yang terjerat dalam jaring nelayan misalnya, ibunya yang setia dan sayang
anak tetap tidak akan meninggalkannya. Si ibu akan
terus berenang mondar-mandir di sekitarnya
menunggu anaknya dapat terlepas. Apabila ini
dijumpai oleh seorang nelayan, maka akan sangat
mudah baginya untuk menangkap dan membunuh
sang ibu dugong yang malang. Sebaliknya bila sang
ibu yang terperangkap, maka si anak yang masih
kecil dan sangat bergantung pada susu ibunya akan
terancam kelangsungan hidupnya.
62
16. SUARA DUGONG
J
aques-Yves Costeau, oseanografer kenamaan Perancis, menerbitkan bukunya yang tersohor
berjudul “The Silent World: A Story of Undersea Discovery and Adventure” tahun 1953.
Tahun 1956 ia kemudian meluncurkan film dokumenter yang juga tak kalah populernya
berjudul: “The Silent World” (“Le Monde du Silence”) yang merupakan film pertama yang
menggunakan sinematografi bawah air. Dunia bawah air di laut digambarkan sebagai dunia yang
penuh hiruk-pikuk tetapi senyap tanpa bunyi atau suara.
Namun kini gambaran seperti itu telah berubah. Ternyata dunia bawah laut bukanlah dunia yang
sunyi senyap. Tak semua suara atau bunyi dalam laut dapat tertangkap oleh indra pendengaran
manusia. Manusia hanya dapat mendengar suara atau bunyi dalam frekuensi antara 20 Hz
(Herz) sampai 20 kHz (kilo Herz). Bunyi dengan frekuensi lebih rendah dari 20 Hz disebut
infrasound, sedangkan yang lebih tinggi dari 20 kHz sebagai ultrasound. Banyak hewan yang
menghasilkan bunyi dan berkomunikasi dengan frekuensi yang tak terdengar oleh manusia. Di
darat pun kita menjumpai hal yang sama. Kelelawar misalnya dapat mendengar bunyi dengan
frekuensi 3000 Hz sampai 120 kHz, tikus antara 1000 Hz sampai 100 kHz, anjing hingga lebih
40 kHz.
Peralatan modern kini seperti hydrophone dapat menangkap bunyi atau suara yang dihasilkan
oleh hewan-hewan dalam laut. Perambatan bunyi di dalam media air laut jauh lebih baik dari di
udara. Kecepatan rambat bunyi dalam media air laut adalah sekitar 1500 m/detik bergantung
sebaran suhu dan salinitas (kadar garam) dalam laut, sedangkan dalam udara kecepatan rambat
bunyi adalah sekitar 330 m/detik. Bunyi dalam laut dapat merambat hingga jarak yang sangat
jauh. Itu pula sebabnya dalam komunikasi bawah laut, bunyi atau suara lebih berperan dalam
komunikasi antar hewan dari pada lewat penglihatan atau visual. Paus sudah terkenal
menghasilkan bunyi yang beragam karakteristiknya untuk berkomunikasi.
Bagaimana dengan dugong? Ternyata dugong pun dapat menghasilkan beragam suara yang
diyakini sebagai cara untuk berkomunikasi yang efektif. Hal ini penting misalnya untuk menjaga
hubungannya dengan anaknya atau individu lain dalam kelompoknya, memberi peringatan
waspada bila ada ancaman, mempertahankan wilayah dan sebagainya.
Suara dugong umumnya dihasilkan dari getaran pada pangkal tenggoroknya (larynx). Suara
dugong dipancarkan dan disalurkan lewat media air laut yang kemudian dapat ditangkap oleh
dugong lainnya dengan indra pendengarannya berupa telinga. Telinga dugong tidak bercuping,
terdapat kecil di bagian kepala, sedikit dibelakang matanya.
63
Penelitian oleh Anderson dan Barclay (1995) di Shark Bay, Ausralia Barat, menunjukkan bahwa
dugong menghasilkan berbagai jenis suara misalnya suara mencicit (chirp-squeak) seperti bunyi
tikus atau anak ayam yang baru lahir, suara menggongong (bark), atau suara yang memanjang
bagai resonansi suatu benda (trill). Suara mencicit dipancarkan pada frekuensi 3 – 18 kHz
dengan durasi sekitar 60 ms (millisecond). Suara menggonggong dengan frekuensi 500 – 2200
Hz dengna durasi 30 – 120 ms, dan trill pada 740 Hz dalam pita (band) 3 – 18 kHz dengan
durasi 30 – 120 ms.
Suara mencicit lebih berfungsi untuk penentuan jarak (ranging) atau pengenalan objek, suara
menggonggong menunjukkan perilaku agresif atau untuk mempertahankan wilayah, sedangkan
suara panjang trill untuk fungsi afiliatif atau perkawanan yang berkaitan dengan pergerakan
yang sedang diperagakan.
Gambar 16.1. Kiri: Bagian larynx (pangkal tenggorok) pada Ordo Sirenia yang
menghasilkan gelombang suara. (Reidenberg & Laitman, 2010). Kanan:
Lubang telinga dugong di belakang mata yang menerima gelombang suara
(Dok. TRISMADES)
Di Sea World Indonesia, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, telah diadakan penelitian oleh
Khalifa (2011) yang merekam suara dugong dalam kolam akuarium dengan menggunakan
omnidirectional hydrophone. Ia menunjukkan bahwa dugong dalam kolam disini menghasilkan
lima kelompok jenis suara yakni mencicit (chirp) pada frekuensi 3000 – 7500 Hz, mengonggong
kecil (1000 – 1200 Hz), menggongong keras (350 – 750 Hz), trill yang memanjang (250 – 700
Hz), dan mendengkur (snore) dalam frekuensi berkisar 50 – 1400 Hz. Dapat ditunjukkan
bahwa suara yang dikeluarkan oleh dugong dipicu oleh stimulus dari luar, misalnya dengan
adanya seseorang atau benda asing yang belum dikenal sebelumnya.
64
Pembersihan kolam akuarium oleh petugas yang tidak biasa melakukan tugas disitu misalnya,
menyebabkan dugong segera mengeluarkan suara mencicit (chirp). Kejadian ini menunjukkan
reaksi dugong untuk melindungi wilayahnya dari benda asing yang belum dikenal oleh dugong
(yakni si petugas yang tidak biasa membersihkan kolam akuarium).
Suara gonggongan disuarakan oleh dugong ketika pertama kali melihat alat hydrophone yang di
pasang di dalam kolam, benda yang asing baginya. Beberapa kali suara gonggongan itu
disalakkan untuk mengawasi benda asing itu.
65
Penelitian tentang suara dugong di Thailand oleh peneliti Jepang (Ichikawa dkk 2005)
menunjukkan bahwa suara mesin kapal atau perahu motor menimbulkan suara latar dengan
frekuensi di bawah 5 kHz yang bisa mengganggu komunikasi akustik dugong. Tetapi penelitian
itu menunjukkan bahwa dalam keadaan demikian dugong dapat mengubah frekuensi suaranya ke
frekuensi yang lebih tinggi untuk menghindari interferensi akustik pada bunyi atau suara yang
saling tumpang tindih itu.
Dalam penelitian itu juga dikembangkan alat AUSOMS-D (Automatic Underwater Sound
Monitoring Symtem for Dugong) yang dapat merekam bukan saja karakteristik suara dugong
tetapi juga arah datangnya suara. Alat ini terdiri atas dua set hydrophone yang terpisah satu sama
lain sekitar 2 m, dan tabung kedap tekanan yang berisi berbagai alat pendukung. Dengan
perkembangan perangkat ini, maka lebih terbuka kemungkinan menduga besarnya populasi
dugong di suatu perairan dan pola pergerakannya dengan sama sekali tidak mengintervensi atau
mengganggu kehidupan dugong itu.
66
17. HIDUP DALAM KOLAM
M
emelihara dugong dalam kolam atau akuarium, bukanlah hal yang mudah dan tentu
saja sangat mahal. Dewasa ini hanya ada sekitar lima ekor dugong yang dipelihara di
seluruh dunia. Salah satunya adalah di Sea World Indonesia, Ancol, Jakarta. Selain
itu ada juga di Underwater World Singapur, di Toba Aquarium, Jepang, dan di Sydney
Aquarium, Australia. Sampai sekarang belum pernah ada usaha yang berhasil menangkarkan
atau membiakkan dugong dalam kolam pemeliharaan. Seekor dugong memang baru dewasa
untuk kawin setelah berusia belasan tahun, sedangkan mendapatkan pasangan yang sesuai pun
sangat langka. Itu pun tak menjamin dugong dapat kawin dan berbiak dalam kolam. Oleh sebab
itu ada kalangan yang tak setuju bila dugong yang sudah terancam punah itu dipelihara dalam
kolam. Tempatnya yang terbaik adalah di alam liar, tempat lingkungan hidupnya yang asli.
Namun ada satu kasus di pantai Singapur, ditemukan seekor dugong yang masih bayi di tahun
1998. Ibunya telah mati terjerat jaring. Ternyata sang anak itu masih menyusu dan sangat
bergantung pada ibunya. Bila
dilepaskan kembali ke laut lepas, ia
pasti akan mati tak dapat bertahan
hidup. Oleh sebab itu tak ada jalan
lebih baik, kecuali mencoba
menyelamatkannya di kolam
akuarium. Dalam kolam, ia diberi
susu artifisial dengan formula
tertentu, dan perlahan mulai
diperkenalkan pula dengan makanan
berupa lamun. Hingga kini dugong itu
masih hidup dalam kolam selama
lebih sepuluh tahun.
Gambar 17.1 . Kolam dugong selalu menjadi daya
tarik bagi pengunjung. (Sea World Indonesia) Dugong yang dipelihara di Sydney
Aquarium juga berasal dari bayi
dugong yang piatu, yang dapat diselamatkan dari pantai Queensland. Kini dugong itu telah
mencapai usia remaja dalam kondisi sehat.
Demikian pula dalam satu kasus di Indonesia. Seekor dugong muda jantan tertangkap di
Bojonegara, Banten, tahun 1999. Kondisi kesehatan menjadi pertimbangan utama pada waktu
itu, apakah dugong itu harus dilepas, dikembalikan lagi ke laut atau sebaiknya dipelihara.
67
Keputusan tentang ini di keluarkan oleh BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam). Upaya
penyelamatan kemudian segera diupayakan, dengan segera membawa dugong itu dalam kotak
yang disiapkan khusus, kemudian dikirim untuk dipelihara di SeaWorld Indnesia, Ancol, Jakarta.
Dugong itu, diberi nama “Si Dul”.
Kehadiran dugong dalam kolam pertunjukan selalu merupakan daya tarik yang besar bagi
pengunjung akuarium. Banyak pengunjung terdorong oleh rasa ingin tahu, seperti apa itu
tampang “putri duyung”, apakah secantik seperti yang sering didongengkan? Kenyataannya yang
mereka saksikan adalah satwa ini wajahnya jauh dari bayangan kecantikan seorang putri.
Meskipun demikian, kenyataan itu bisa menimbulkan pula kekaguman atas adanya satwa yang
Bagaimanakah seekor dugong menjalani kehidupan hariannya dalam kolam peliharaan di Sea
World Indonesia? Tentulah persyaratan penting dan paling utama adalah menjaga lingkungannya
agar tetap sehat. Kolam atau akuarium dengan kapasitas volume 28 m 3 yang menampung
dugong ini harus memenuhi standar internasional. Air yang mengisi kolam berasal dari Teluk
Jakarta yang telah diproses. Diperlukan sirkulasi air yang terus-menerus selama 24 jam,
dilengkapi saringan pasir (sand filter) untuk menjamin kejernihan air, serta ozone.
Kualitas air kolam harus selalu dipantau secara berkala mencakup parameter fisika, kimia dan
biologi seperti kondisi bakteriologi. Pembersihan kolam harus dijaga setiap hari. Selain itu
dugong juga diberi makanan berupa lamun Syringonium isoetifolium, dan tak lupa pula makanan
tambahan/ suplemen untuk menjaga daya tahan tubuhnya.
Tiap hari seekor dugong di Sea World Indonesia dapat menghabiskan lebih 20 kg lamun.
Makanan dugong adalah lamun segar Syringonium isoetifolium yang dipanen dan dipasok secara
rutin dari pantai Bojonegara, Banten. Pertumbuhannya terus dipantau. Misalnya pada pada saat
baru dipelihara tahun 1999, panjang si “Dul” baru 160 cm dengan berat 72 kg, kemudian pada
bulan November 2005 panjang tubuhnya sudah mencapai 197 cm dengan berat 83,5 kg.
Pemeriksaan kesehatan juga dijalani secara rutin termasuk kesehatan jantung, pernapasan dan
aspek medis lainnya dengan peralatan kedokteran modern seperti ECG, USG, radiologi, dan
lainnya. Kini kita mengetahui bahwa laju denyut jantung dugong adalah sekitar 45 denyut/menit,
sedangkan suhu normalnya sekitar 31,4 oC.
69
Lalu apa saja kegiatan dugong sehari-hari dalam kolam? Sebuah kajian oleh Khalifa (2011) di
Sea World Indonesia menunjukkan bahwa dugong melakukan kegiatan yang dapat
dikelompokkan dalam tujuh jenis
kegiatan yakni: makan, bernapas,
istirahat, jelajah, menggaruk, flatus
(mengeluarkan gas dari anus), dan
defekasi (mengeluarkan kotoran/
tinja). Pada malam hari dugong lebih
aktif melakukan kegiatan makan
(disuapi petugas, makan di dasar, atau
makan di permukaan). Kegiatan
makan pada malam hari ini sesuai
dengan kebiasaannya di alam.
Dalam kajian di Sea World Indonesia (Khalifa, 2011) juga tercatat bahwa dugong menghasilkan
bunyi atau suara yang beragam, misalnya bunyi mencicit (seperti bunyi tikus atau ciap-ciap anak
ayam yang baru lahir), menggonggong, atau mendengkur panjang. Ternyata bahwa suara yang
dihasilkan oleh dugong itu merupakan respon terhadap rangsangan yang diterimanya, seperti
adanya benda asing di sekitarnya*.
Sebenarnya pengetahuan kita untuk memelihara dugong dalam kolam akuarium sudah banyak
kemajuan dibandingkan saat-saat awal percobaan memelihara dugong dalam kolam. Tahun 1975,
misalnya Jaya Ancol Oceanarium (kini Gelanggang Samudra Ancol), mencoba memelihara
dugong dalam kolam, dengan mula-mula menangkap lima ekor dugong dari pantai selatan
__________
*Catatan: Sea World Indonesia di Ancol telah ditutup sejak 27 September 2014 oleh PT Pembangunan Jaya Ancol.
Penutupan ini terkait masalah sengketa kontrak perjanjian antara kedua belah pihak
70
Sulawesi Selatan. Dugong-dugong itu dibawa ke Jakarta dan dicoba dipelihara dalam kolam
akuarium yang berdiameter 7,5 m, dengan memberi berbagai jenis makanan. Dengan
pertimbangan bahwa dugong itu herbivor maka selain makanan berupa lamun Zostera sp., diberi
pula makanan berupa sawi, pek cay, kacang panjang, kangkung, eceng gondok. Malang bahwa
dugong itu akhirnya satu per satu mati dalam waktu yang tidak lama dan pemeriksaan autopsi
menunjukkan bahwa kematiannya terutama karena malnutrisi alias salah gizi (Allen dkk, 1976).
Di Australia, di Sydney Aquarium telah dibangun kolam khusus yang luas, Mermaid Pool, untuk
pemeliharaan dan sekaligus untuk pertunjukan dugong bagi publik. Sesekali dipertunjukkan
seorang wanita berdandan bagaikan “putri duyung” menyelam ke dalam kolam, dan bercanda
dengan dugong. Suatu upaya untuk menjembatani putri duyung dari dunia dongeng dengan
satwa dugong dari dunia nyata, untuk tujuan pendidikan dan pariwisata.
71
18. PADANG LAMUN HABITAT DUGONG
D
ugong adalah satu-satunya mamalia laut yang hidupnya sepenuhnya tergantung pada
keberadaan lamun dan padang lamun. Lamun merupakan makanan eksklusif bagi
dugong. Namun apa yang dimaksud sebagai lamun sering belum dipahami secara benar
oleh sebagian masyarakat kita. Lamun (seagrass) sering dikacaukan dengan rumput laut
(seaweed). Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi yang berbunga (Angiospermae) yang telah
beradapatasi sepenuhnya untuk hidup terbenam dalam laut sedangkan rumput laut yang lazim
pula disebut sebagai ganggang atau alga adalah tumbuhan yang tak berbunga, tak mempunyai
akar dan daun yang nyata,
perbiakannya secara pertunasan
(vegetatif) atau dengan spora.
Gambar 18.2 . Berbagai variasi tipe komunitas lamun di padang lamun pantai
timur Pulau Bintan, Kepulauan Riau. (Dok. TRISMADES)
Lamun umumnya tumbuh di perairan dangkal yang relatif tenang dengan dasar pasir, pasir
berlumpur, lumpur, atau kerikil, yang selalu tergenang saat air surut. Tumbuhan ini dapat
dijumpai sampai kedalaman sekitar 40 m. Lebih
dalam dari itu kondisi cahaya sudah redup dan tak
memadai untuk memungkinkan tumbuhan itu
melaksanakan proses fotosintesis.
Adapun yang disebut “padang lamun” adalah hamparan dasar laut yang didominasi oleh vegetasi
lamun. Padang lamun merupakan ekosistem yang kompleks, karena di dalamnya terdapat banyak
ragam biota yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Padang lamun bisa berada di dekat
ekosistem mangrove sedang sebelah luarnya bertumpang tindih sebagian dengan ekosistem
terumbu karang. Pada hakikatnya antara ketiga ekosistem ini (mangrove, padang lamun, terumbu
karang) terdapat interkoneksi dalam pertukaran energi, materi dan hara.
Gambar 18.4. Jaringan pakan (food web) yang disederhanakan untuk suatu
ekosistem padang lamun. (Fortes, 1990)
Komunitas lamun di suatu padang lamun dapat terdiri dari vegetasi tunggal yakni hanya terdiri
dari hanya satu jenis saja, atau bisa juga berupa vegetasi campuran yang terdiri dari beberapa
jenis . Pada saat surut rendah purnama sebagian padang lamun bisa terpapar (exposed), tersembul
ke permukaan laut, dan terlihat bagaikan padang rumput yang amat luas.
Padang lamun ini merupakan ekosistem yang sangat tinggi produktivtas organiknya. Di situ
hidup bermacam-macam biota laut seperti krustasea, moluska, cacing, dan juga ikan. Ada yang
hidup menetap di padang lamun ini, ada pula sebagai pengunjung yang setia. Beberapa jenis ikan
74
misalnya, berkunjung ke padang lamun untuk mencari makan atau unuk memijah. Berbagai biota
laut yang mempunyai nilai ekonomi menggunakan daerah padang lamun ini sebagai tempat
asuhan (nursery ground), antara lain ikan beronang (Siganus sp.).
Serasah daun lamun menjadi sumber makanan bagi beragam hewan yang hidup di dasar laut
seperti teripang, kepiting, bulu babi, ataupun bagi hewan-hewan kecil lainnya yang hidup
diantara partikel-partikel sedimen (meiofauna). Lamun juga merupakan makanan penting bagi
penyu, terutama bagi penyu hijau (Chelonia mydas) yang menyukai lamun marga Cymodocea,
Thalassia dan Halophila.
Dugong memakan lamun tidak saja bagian yang di atas permukaan sedimen tetapi juga sampai
ke akar-akarnya yang banyak mengandung nutrisi. Oleh sebab itu bekasnya mencari makan akan
meninggalkan jejak di dasar laut berupa jalur-jalur memanjang yang disebut feeding trail.
Struktur mulutnya sesuai untuk menggali dan mencabut lamun yang menjadi kesukaannya. Tidak
semua jenis lamun sama disukai oleh dugong. Penelitian yang dilakukan di Pulau-Pulau Lease
(Ambon, Haruku, Saparua, Nusa Laut) menunjukkan bahwa dugong menyukai makanan lamun
dengan urutan favorit sebagai berikut: Halophila ovalis > Halodule uninervis > Cymodocdea
rotundata > Cymodocea serrulata > Thalassia hemprichii (de Iongh, 1997). Dalam kolam
pertunjukan di Sea World Indonesia, Ancol (Jakarta), dugong diberi makan lamun Syringodium
isoetifolium.
Luas padang lamun di Indonesia diperkirakan sekitar 30.000 km 2, tetapi kini telah berkurang
sekitar 30 – 40 % karena terjadinya berbagai tekanan dan gangguan terhadap lingkungan padang
lamun terutama karena ulah manusia (tekanan antropogenik). Kegiatan pembangunan berbagai
konstruksi pantai misalnya menyebabkan hilangnya luasan padang lamun atau kondisi
lingkungannya terdegradasi karena sedimentasi. Pembangunan kawasan dan industri dan
pelabuhan di Teluk Banten misalnya telah melenyapkan sekitar 30 % luas padang lamun di teluk
75
tersebut (Tomascik dkk, 1997). Contoh tekanan lainnya adalah penambangan bauksit dan pasir di
Bintan yang telah memberikan dampak sedimentasi terhadap padang lamun. Di Gugus Pulau
Pari (DKI Jakarta) luas padang lamun berkurang sebanyak 678.300 m2 dari tahun 1999 sampai
tahun 2004 (Mujizat Kawaroe).
Gambar 18.6. Luas padang lamun di Pulau Pari berkurang sebesar 678.300 m 2
dari tahun 1999 sampai 2004. (sumber: Mujizat Kawaroe)
76
Perkembangan pemukiman di kawasan pesisir dapat menimbulkan masalah eutrofikasi atau
pengayaan hara berlebihan di perairan pantai hingga dapat merangsang pertumbuhan alga yang
melimpah yang dapat menggangu lingkungan. Pengembangan pariwisata bahari yang tak
terkendali dapat pula menjadi sumber lain tekanan pada padang lamun. Di Pulau Bintan
misalnya, untuk kepentingan pariwisata dibangun hotel dan restoran terapung di laut, tepat di
atas hamparan padang lamun.
Gambar 18.8. Peta sebaran lamun di pantai timur Pulau Bintan. Kiri: Persentase
tutupan lamun. Kanan: Jumlah jenis lamun. (Dok. TRISMADES)
77
Dalam dekade terakhir ini penelitian lamun telah mulai berkembang di Indonesia, baik di
lembaga penelitian maupun di perguruan tinggi. Penelitian tidak saja mengenai aspek biologi dan
ekologi lamun tetapi juga aspek terapannya. Pemetaan dengan memanfaatkan teknologi
pengideraan jauh (remote sensing) dan Sistem Informasi Geografi (SIG) telah membuka
cakrawala baru dalam memahami lingkungan pesisir, dan telah digunakan untuk berbagai
keperluan antara lain untuk mendukung penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah sebagaimana
telah diterapkan di Kabupaten Kepulauan Riau.
78
19. STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI
DUGONG DI INDONESIA
D
ugong (Dugong dugon) semula tersebar mulai dari pesisir timur Afrika, Teluk Arabia,
India, Asia Tenggara, Australia, Vanuatu hingga Jepang, yang meliputi 48 negara.
Tetapi boleh dikatakan di semua negara, populasi dugong mendapat tekanan terutama
dari kegiatan manusia, baik secara langsung maupun tak langsung. Akibatnya di seluruh tempat
sebaran dugong, populasinya telah menyusut drastis. Di banyak negara, populasi dugong yang
tersisa tinggal populasi kecil-kecil yang saling terpisah atau bahkan telah punah setempat seperti
yang terjadi di Mauritius, Maladewsa (Maladives), Cambodia, dan sebagian Filipina. Kondisi
demikian menimbulkan keprihatinan di berbagai kalangan internasional, hingga IUCN
(International Union for the Conservation of Nature) menyatakan dugong dalam kondisi
“Vulnerable to Extinction” atau “Rentan Punah” (IUCN, 2006). Demikian pula oleh CITES
(Convention on International Trade of Wild Fauna and Flora) dugong dimasukkan dalam
Appendix I yang berarti tidak boleh diperdagangkan secara internasional (CITES, 2007).
Indonesia sendiri telah memberikan perhatian, dengan telah diterbitkannya Undang-Undang No.
7 (1999) tentang Konservasi Flora dan Fauna, yang menyatakan secara langsung bahwa dugong
di dilindungi di Indonesia. Ada beberapa peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan
itu, diantaranya Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya hayati dan
ekosistemnya; Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang perencanaan tata ruang; Undang-
Undang No. 5 tahun 1994 tentang ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity); Undang-Undang No. 23 tahun
1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup; dan Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Bentuk lain dari peraturan selain Undang-
Undang adalah berbagai Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri.
79
Network for Indigenous Peoples in South East Asia (RNIP), sebagai suatu kerjasama Indonesia-
Belanda. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di Jakarta
bertindak sebagai sebagai mitra di Indonesia, sedangkan Institute of Environmental Science,
Leiden, Belanda, sebagai koordinator di pihak Belanda.
Konsep NCSAPDI ini terdiri dari dua volume yakni Scientific Report dan Strategy Report, yang
kemudian direvisi dalam Bahasa Indonesia dengan volume tunggal berjudul Strategi dan
Rencana Aksi Konservasi Dugong di Indonesia (Hutomo dkk., 2012), disingkat SRAKDI.
Adapun “visi” SRAKDI dapat didefinisikan sebagai berikut: “Terwujudnya sistem pengelolaan
populasi dugong yang optimal dan lestari di Indonesia, untuk kesejahteraan masyarakat secara
luas, terutama masyarakat pesisir”.
Pendekatan menuju sasaran idealistik ini dilakukan melalui satu rangkaian tindakan yang
disebut sebagai “misi”. Secara singkat “misi” dari pelestarian dan pengelolaan dugong adalah
sebagai berikut:
a) Melindungi, mengelola dan memanfaatkan populasi dugong secara rasional dan
berkelanjutan dengan menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian;
b) Mengembangkan sistem pengelolaan dan pelestarian dengan kerja sama antar institusi
yang terkait dan pemangku kepentingan, dengan prioritas ekonomi nasional, masyarakat
lokal dan pembangunan berkelanjutan.
c) Meningkatkan kesadaran dan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan
populasi dugong dan ekosistem lamun, dan pembangunan rencana pengelolan berbasis
masyarakat;
d) Mengembangkan mekanisme dan prinsip-prinsip pengelolaan dan pelestarian, yang
didasarkan pada “pendekatan ekosistem” yang mencakup data ilmiah dan pengetahuan
lokal, yang menghasilkan pelestarian dan bentuk pemanfaatan berkelanjutan yang sesuai
dengan daya dukung ekosistem.
Kebijakan umum untuk konservasi dan pengelolaan populasi dugong di Indonesia dapat
didefinisikan sebagai berikut : “Mengelola dan memanfaatkan secara berkelanjutan populasi
dugong dan habitatnya, berdasarkan asas keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian
yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat, swasta, perguruan tinggi dan organisasi non-pemerintah”.
Rencana Aksi
1. Tingkatkan upaya perlindungan dugong di Kawasan Konservasi Laut yang telah ada
seperti di Taman Nasional dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dimana
dugong ditemukan, dengan meningkatkan pengelolaan bersama (co-management) dan
kepemilikan bersama (co-ownership) sumberdaya laut dan pesisir, oleh semua kalangan
pemangku kepentingan.
2. Tetapkan situs suaka dugong atau daerah perlindungan panduan (pilot) dugong yang
dikelola masyarakat, di daerah yang saat ini belum dilindungi dan dikelola.
3. Tetapkan larangan penggunaan jaring insang (gill net) dan pukat (trawl). Kedua alat
tangkap ini merupakan ancaman utama terhadap dugong yang tidak bisa diabaikan, Oleh
karena itu, penting dilakukan langkah-langkah yang tegas untuk mengurangi ancaman
dari alat perikanan tersebut, baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi laut yang
di dalamnya terdapat dugong.
4. Berikan insentif dan alat tangkap alternatif kepada nelayan jaring insang. Apabila
jaring insang dilarang maka perlu diberikan insentif bagi nelayan yang meninggalkan
penggunaan alat tangkap yang destruktif itu, dan dibantu mencarikan alat tangkap
alternatif. Biaya yang terkait (insentif, alat tangkap alternatif) harus dimasukkan dalam
manajemen nasional dan daerah.
5. Kembangkan kerjasama konservasi dugong dengan negara tetangga. Distribusi dugong
tidak dibatasi oleh batas administrasi negara. Dugong secara alami dapat berpindah dari
perairan suatu negara ke negara lainnya. Karenanya perlu didorong kerjasama konservasi
dugong dengan negara tetangga seperti dengan Filipina, Malaysia dan Australia.
6. Integrasikan aktivitas dan tindakan konservasi dugong dengan pengelolaan pesisir
yang sudah ada. Contohnya, peluang untuk memasukkan konservasi dugong ke dalam
Strategi Nasional Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir yang diterapkan di beberapa
propinsi. Kegiatan konservasi juga dapat diterapkan dengan kerjasama antara LSM
nasional dan internasional yang bergiat di kawasan pantai, (seperti WWF, TNC, WCS,
Yayasan Terangi). Terdapat kesempatan lebih besar untuk mempromosikan kegiatan
konservasi dan pemantauan dalam area yang lebih luas melalui kolaborasi dengan sektor
pariwisata, misalnya di Bali, Lombok, Sulawesi Utara (Bunaken), Maluku (Banda) dan
Papua (Teluk Cendrawasih).
7. Dorong pendirian Kelompok Kerja Daerah untuk konservasi dugong di tiap propinsi
panduan untuk memfasilitasi pengembangan dan pelaksanaan konservasi dugong.
8. Kembangkan program kemitraan (twinning) antara Indonesia dan Australia dalam
pengendalian jaring yang terbuang.
81
Gambar 19.1. Beberapa kasus tertangkanya dugong dengan tak sengaja (accidental
catch) pada alat tangkap perikanan di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.
Rencana Aksi
1. Prakarsai kampanye kesadaraan masyarakat lewat berbagai kegiatan. Terdapat
kebutuhan untuk memprakarsai pendidikan lokal dan kampanye kesadaran yang
menargetkan semua pemangku kepentingan dalam suatu daerah. Informasi dapat
disebarkan melalui berbagai media nasional atau daerah dan lewat promosi pendidikan
kebudayaan seperti wayang, poster, video, dan perlombaan. Informasi seharusnya
disebarkan melalui instansi pemerintahan yang terkait dan jejaring kerja yang ada.
Dampak dari kampanye pendidikan kelautan/ dugong terhadap persepsi dan perilaku
82
masyarakat setempat harus dimonitor dan dievaluasi. Pengembangan berbagai materi
pendidikan antar daerah juga direkomendasikan.
2. Tetapkan dugong sebagai ikon atau “flagship species” . Sehubungan dengan kondisi
dugong di Indonesia yang semakin langka dan terancam punah, propinsi dan daerah harus
didorong untuk mengadopsi dugong sebagai ikon atau “flagship species”. Pengangkatan
status dugong juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan memperoleh
dana penting untuk tindakan konservasi.
Rencana Aksi
1. Berikan pelatihan teknis dan sarana (kapal/mesin, kendaraan, radio, bahan bakar dan
pemeliharan) kepada instansi pemerintah daerah yang terkait dalam penegakan hukum,
memonitor aktivitas ilegal dan meningkatkan kesadaran di daerah kunci di daerah.
2. Maksimalkan efektifitas pengawasan dan pemantauan kegiatan illegal di sepanjang
pantai, dengan melibatkan operator pariwisata, jasa penerbangan komersial dan pribadi,
LSM dan komunitas lokal.
Rencana Aksi
1. Lakukan survei udara secara kuantitatif di daerah, dengan menggunakan metode yang
telah dikembangkan untuk tujuan ini.
2. Laksanakan survei udara tahunan di daerah yang diprioritaskan untuk menentukan
jumlah dan kecenderungan populasi. Survei ini dapat dikombinasikan dengan survei
spesies laut lainnya (contoh : penyu, paus) untuk memaksimalkan efesiensi dan berbagi
sumberdaya dan biaya.
3. Prakarsai program pemantauan hasil tangkap, dengan penekanan pada hasil tangkap
dengan jaring insang (gillnet), kapal pukat dan jebakan pagar/ sero . Kegiatan ini dapat
83
dilaksanakan dengan kerjasama instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga
penelitian, dan komunitas lokal. Partisipasi nelayan lokal untuk menjadi “masyarakat
pemantau” dapat didorong pengembangannya.
4. Prakarsai program pelacakan dugong dengan satelit. Pergerakan atau perpindahan
dugong dapat dilacak dengan teknologi satelit. Jalur pergerakannya dapat dideteksi dalam
skala halus untuk pergerakan jarak jauh. Terkait dengan tujuan ini dapat bekerjasama
dengan para ahli dari Australia untuk metode tangkap dan tangkap- kembali (capture and
recapture) serta perlengkapan penanda yang paling tepat. Hal ini sebaiknya
dikordinasikan secara regional.
5. Petakan habitat lamun dan monitor kesehatan dan daya dukungnya di daerah kunci
dugong (key dugong areas). Padang lamun merupakadan habitat utama dugong, dan
beberapa jenis lamun merupakan makanan utamanya. Oleh karena itu perlu dipetakan
habitat lamun dan memantau kesehatannya serta daya dukungnya.
6. Dirikan dan kembangkan Database Dugong Nasional. Untuk tujuan pengelolaan
populasi dugong, sangat diperlukan informasi dugong yang dapat diandalkan. Database
dugong nasional dimaksudkan untuk dapat menyimpan dan menyebarkan berbagai
informasi dugong yang dapat dipercaya.
7. Kembangkan sistem pemantauan kelimpahan dugong di daerah panduan (pilot).
Data pemantauan dapat digunakan di masa depan untuk penaksiran Red List (species
yang terancam punah).
Rencana Aksi
1. Manfaatkan situs Sirenian International yang telah menyediakan server
sirenian@listserv.tamu.edu yang dapat menjadi forum bermanfaat bagi para ilmuwan,
praktisi konservasi dan pihak lain yang berminat untuk saling bertukar pendapat dan
pengalaman serta dalam penyebaran berbagai informasi tentang dugong.
2. Kembangkan jejaring dengan organisasi yang terlibat dalam implementasi konservasi
dugong. Organisasi pemerintah yang memiliki jangkauan luas dan LSM dapat dilibatkan
dalam pelaksanaan strategi dan proyek panduan. Contohnya adalah Pemerintahan Daerah,
LSM internasional (WWF, CI, WCS, IUCN), LSM lokal (Yayasan Terangi,) dan
Lembaga Sosial Masyarakat lainnya.
84
20. DUGONG MENJADI IKON KABUPATEN BINTAN
M
asalah konservasi dugong dan habitatnya masih belum banyak mendapat perhatian
dan pemahaman, baik di kalangan instansi pemerintah, perguruan tinggi, swasta
ataupun masyarakat umum. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk meningkatkan
kesadaran dan kepedulian masyarakat secara luas agar upaya konservasi dugong bisa mendapat
dukungan.
Salah satu kegiatan penyadaran masyarakat untuk konservasi dugong telah diupayakan di
Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Kegiatan ini bernaung di bawah Proyek TRISMADES
(Trikora Seagrass Management Demonstration Site) yang mendapat dukungan pendanaan dari
UNEP – GEF South China Sea Project, dengan lembaga penyelenggara LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) dan unit pelaksana di daerah adalah BAPPEDA (Badan Perencana
Pembangunan Daerah) Kabupaten Bintan. Proyek ini berlangsung dari tahun 2007 hingga 2010.
Meskipun Proyek ini dititik beratkan pada pengelolaan padang lamun, namun karena lamun
merupakan habitat dugong, maka upaya penyelamatan dugong juga mendapat perhatian penting
dalam kegiatan ini. Penyadaran masyarakat (Public Awareness) merupakan salah satu komponen
kegiatan Proyek ini.
85
langsung apa yang telah didiskusikan. Informasi yang
cukup dan yang dapat dipahami memberi motivasi pada
anggota masyarakat untuk mendukung, bahkan juga ikut
berpartisipasi.
Kampanye penyadaran masyarakat ini juga membuahkan hasil lainnya. Kepala Desa dari empat
desa di pantai timur Bintan, masing-masing menetapkan Perdes (Peraturan Desa) yang
87
menyangkut Daerah Perlindungan Padang Lamun (DPPL) atau “seagrass sanctuary” yang
dikelola sendiri oleh masyarakat.
88
21. JELMAAN LELUHUR ORANG BAJO
D i pantai Propinsi Gorontalo terdapat perkampungan suku Orang Bajo, masyarakat yang
dulu terkenal sebagai pengelana laut (sea nomad). Lebih tepatnya, kampung Orang Bajo
itu bernama Torosiaje, di Kabupaten Pahuwato, Kecamatan Popayato, yang menghadap
ke Teluk Tomini. Dulu Orang Bajo hidup berumah di atas perahu, dan sering berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat lainnya. Kini mereka sudah mulai banyak yang hidup menetap di
pantai, tetapi tetap mempertahankan berumah panggung di atas air. Perubahan ini tak ayal
menimbulkan pula perubahan dalam budaya mereka.
Adalah Francois-Robert Zacot, antropolog Perancis yang pernah hidup bersama Orang Bajo
Torosiaje selama bertahun-tahun, yang berhasil mengungkapkan berbagai aspek kehidupan
Orang Bajo dalam bukunya: Orang Bajo (2008). Ungkapannya mengenai persepsi Orang Bajo
terhadap dugong sangat menarik. Disana orang menyebut dugong dengan nama dio.
89
Suatu hari seluruh kampung Torosiaje heboh. Seekor dio (dugong) tertangkap masuk dalam
jaring nelayan, peristiwa yang sudah bertahun-tahun tidak lagi terjadi di kampung mereka.
Semua orang ingin tahu apa yang terjadi, dan akan diapakan dio yang baru tertangkap itu.
Sebagian orang lanjut usia masih mengingat kepercayaan lama tentang dio dan bagaimana
seharusnya memperlakukan dio itu sesuai adat. Sementara itu banyak pula generasi baru yang
sudah tak mengerti lagi soal adat itu.
Gambar 21.2. Dio (dugong ) itu, yang buntutnya telah dipotong, digotong ke
atas panggung untuk diupacarakan. (Francois-Robert Zacot, 2008)
Dalam budaya lama, dio dan Orang Bajo itu dianggap bersaudara. Sebuah kisah menceriterakan
bagaimana ibu dari tiga anak, yang dicederai oleh suaminya pergi ke sebuah pantai dan
kemudian berubah menjadi dio. Beberapa saat sebelum menjelma menjadi dio, ia memohon
kepada ketiga anaknya untuk pergi ke tempat dimana nanti ada seekor dio yang tertangkap.
Ketiga anak itu harus meminta sebagian isi perut dio itu pada saat dipotong-potong.
Demikianlah, ketika mereka melihat ada dio tertangkap, mereka meminta usus dio itu. Pada saat
mereka menerima potongan isi perut tersebut, mereka menemukan semua permata milik ibunya
dan tahulah mereka bahwa dio itu sesungguhnya adalah jelmaan dari ibu mereka.
Orang Bajo melihat tanda-tanda “manusia” pada dio. Bagi mereka, dio merupakan jelmaan
manusia dan masih memiliki ciri-ciri manusia: berkaki, bertangan, berjari dan mempunyai puting
susu. Dio betina menyusui anaknya dan mendekapnya seperti seorang ibu menyusui anaknya.
Selain wujud tubuh itu, dio juga mempunyai tingkah laku seperti manusia. Anak dio selalu dijaga
90
ketat oleh induknya hingga menjelang dewasa. Kemanapun anak dio berada, disitu selalu ada ibu
yang menjaganya. Itu adalah saat-saat ketika anak dio mendapatkan pendidikan, meniru dan
belajar dari ibunya bagaimana berperilaku agar selamat dalam menempuh kehidupan dalam alam
yang selalu penuh tantangan.
Ketika seekor anak dio tertangkap oleh manusia, ibunya tak akan pergi jauh tetapi selalu
berenang berputar-putar dekat sekitarnya seolah-olah cemas dengan nasib anaknya, menunggu
anaknya terlepas. Tetapi justru karena perilaku itu pula, setelah anak dio ditangkap akan jauh
lebih mudah kemudian orang menangkap atau menombak induknya.
Ada teknik tertentu untuk menangkap dio di kalangan Orang Bajo Torosiaje yaitu dengan
memperhatikan ketajaman pendengaran hewan ini. Orang boleh bercakap-cakap, tetapi tak boleh
menggaruk-garuk badan, atau menyerempetkan kayu dayung atau membenturkannya ke tepi
perahu. Dio dipercaya dapat mendengar dengan sangat baik dalam air, tetapi tidak di udara.
Konon ada orang-orang yang tahu bagaimana memburunya yang dapat merasakan kehadirannya
dari jauh. Ketika dio itu muncul ke permukaan untuk menarik napas, itulah kesempatan terbaik
untuk menombak sang dio dengan serampang atau harpun (harpoon). Kini Orang Bajo Torosiaje
91
sudah lama meninggalkan kebiasaan berburu dio itu. Namun sekali-sekali ada juga dio yang
tersesat masuk terperangkap dalam jaring ikan yang dipasang oleh nelayan.
Bagi orang Bajo, daging dio itu bersih dan enak karena hewan ini makan rerumputan laut atau
lamun, dan tidak makan kotoran seperti ikan.
Meskipun dio telah mati tertangkap, namun tidaklah sembarangan hewan itu boleh dipotong-
potong. Ada ketentuan adat yang harus diikuti. Biasanya ada orang tua yang dianggap lebih
faham yang memberikan arahan bagaimana memotongnya, dan bagaimana membagi-bagi daging
yang telah dipotong itu kepada pihak yang berhak menurut adat dan juga kepada penduduk.
Usus dio yang panjang dan berukuran besar (bisa berdiameter sekitar 10 cm) akan dibuang ke
laut. Tetapi seorang nenek tua memintanya. Ia lalu membersihkan usus itu dengan mengurutnya
hingga seluruh isi usus itu keluar. Rupanya ia masih mengharapkan hal seperti yang sering
didengarnya dalam dongeng zaman dahulu, bahwa ada permata yang mungkin masih tersisa
dalam usus mahluk jelmaan leluhur itu.
Agar tetap mematuhi adat, anggota-anggota dewan adat setempat semestinya mengenakan
kemeja panjang. Dahulu, rombongan yang dikelilingi oleh gadis-gadis yang membawa payung
terbuka akan mengantarkan potongan daging dio itu kepada Kepala Adat. Sekarang aturan
pemotongan dio itu masih tetap ditaati, tetapi tak ada lagi rombongan yang datang, dan tak ada
lagi kemeja panjang yang dikenakan disertai gadis pembawa payung. Masyarakat Orang Bajo
Torosiaje kini berangsur-angsur berubah dalam kehidupan dan budaya mereka, terimbas oleh
kehidupan budaya modern.
Kepala Adat kini sudah tidak lagi berperan penting dalam kehidupan masyarakat yang makin
meninggalkan budaya tradisionalnya. Kini masyarakat diharuskan mempunyai Kepala Desa
sesuai ketentuan yang diarahkan oleh Pemerintah. Kepala Adat yang dulu sangat dihormati dan
berwibawa dalam setiap langkah ritual budaya, kini tersisihkan dengan adanya Kepala Desa yang
ditentukan dalam sistem pemerintahan sekarang ini. Upacara adat masih diteruskan tetapi lebih
bersifat basa-basi dan superfisial, tidak lagi menyentuh roh tradisi adat yang dulu pernah melekat
erat pada masyarakat Bajo.
Sebenarnya mitos tentang dugong sebagai jelmaan atau reinkarnasi manusia juga terdapat di
berbagai daerah lain di Indonesia, seperti di Pulau Lembata (Nusa Tenggara Timur), Arakan
Wawontulap (Sulawesi Utara) dan banyak daerah lainnya lagi. Di daerah dimana kepercayaan
ini masih sangat kuat, biasanya masyarakatnya tidak melakukan perburuan dugong, malah ikut
melindungi dugong. Di Pantai Meko, Flores, misalnya pada tahun 1998 seekor dugong
terdampar ke pantai tetapi dapat diselamatkan berkat kepercayaan itu. Setelah tiga hari, dugong
itu dapat diselamatkan dan dikembalikan ke laut dengan bantuan masyarakat setempat.
92
Mitos dan kepercayaan tentang dugong sebagai jelmaan manusia juga terdapat di negara lain.
Salah satu contoh, kisah di negeri jiran Sabah, Malaysia. Di Pulau Banggi dan Mantanani
(bagian utara Sabah) masyarakat menceritakan secara konsisten mitos tentang asal usul dugong.
Dikisahkan bahwa mitos ini bermula dari suatu pulau kecil (Tawi-Tawi, bagian selatan Filipina)
yang dikenal sebagai “Tempat Keramat Putri Duyung”. Mitos itu menceritakan tentang seorang
putri bernama “Si Duyung” yang sedang hamil dan mengidam berat untuk menyantap lamun.
Sang Putri kemudian pergi ke pantai dan tak henti-hentinya menyantap lamun hingga akhirnya
tungkainya terbelit oleh lamun dan tak bisa terlepas lagi. Tungkainya pun akhirnya menyatu dan
berubah bentuk menjadi seperti ekor ikan. Demikianlah sang putri kemudian berubah menjadi
dugong dan tak pernah kembali lagi ke darat (Rajamani, 2009).
93
22. KISAH PEMBURU DUGONG DARI BINTAN
S
uku Orang Laut dikenal sebagai masyarakat yang kehidupan dan budayanya sangat lekat
dengan laut. Mereka dulunya hidup di pantai-pantai sekitar Riau, Lingga hingga ke Johor.
Dulu Orang Laut berumah di atas perahu dalam kelompok-kelompok yang sering
berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Dari sejak lahir hingga akhir hayatnya mereka selalu
di perahu. Hingga sekarang ini kehidupan manusia perahu Orang Laut ini masih bisa dijumpai di
pesisir utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Pengelana laut semacam ini di daerah lain dikenal
sebagai Orang Bajo.
Gambar 22.1. Kampung suku Orang Laut di Desa Berakit (Pulau Bintan) yang terdiri
dari rumah panggung di atas air. Di sebelah kanan tampak sebuah gereja. (Dok.
TRISMADES)
94
Namun belakangan ini sebagaian masyarakat Orang Laut telah menjalani perubahan. Sebagian
mereka sudah ada yang hidup menetap di pantai, tetapi masih terus melanjutkan cara hidup
mereka dengan membuat rumah-rumah panggung di atas air. Salah satunya dapat kita jumpai di
Desa Berakit, bagian timur laut Pulau Bintan. Masyarakat Orang Laut ini hidupnya terutama dari
perikanan. Berbeda dengan nelayan umumnya di Kepulauan Riau yang beragama Islam, Orang
Laut di desa ini umumnya beragama Katolik.
Gambar 22.2. Pak Boncet, Kepala Suku Orang Laut di Desa Berakit
(Pulau Bintan) menunjukkan harpun (harpoon) yang dulu biasa
digunakannya untuk berburu dugong. Mata harpun itu bisa dilepas. (Dok.
TRISMADES)
Pak Boncet (nama baptisnya adalah Bonifacius), adalah kepala suku Orang Laut, Ia telah
kenyang menjalani hidup di laut sekitar perairan Bintan, dan kini usianya telah senja. Ia dulu
masih mengalami saat-saat dimana kaumnya hidup sepenuhnya di atas perahu, dari sejak lahir
hingga lanjut usia, berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Baru di saat belakangan
ini ia menetap di pantai Desa Berakit disertai masyarakat pengikutnya. Berangsur kehidupan
masyarakat Orang Laut ini beralih ke kehidupan menetap yang tentu akan mengubah budaya
mereka. Anak-anak mereka kini telah mengenal sekolah.
Dari Pak Boncet, banyak kisah menarik yang dapat dikorek tentang bagaimana pandangan Orang
Laut terhadap dugong. Dari aspek ilmiah, dugong hanya dikenal ada satu spesies saja, yakni
Dugong dugon. Tetapi Pak Boncet bisa mengungkapkan bahwa di sekitar perairan Berakit
95
(Bintan utara) ditemukan dua kelompok dugong, yang disebutnya sebagai “duyung beremban”
dan “duyung buntal”. “Duyung beremban ukurannya lebih besar dari duyung buntal”, katanya.
“Duyung beremban hidupnya agak jauh dari pantai sedangkan duyung buntal lebih ke dekat
pantai. Duyung buntal sering dijumpai di perairan Berakit sedangkan duyung beremban di
perairan sebelah luar di sekitar Laut Lobam, Pulau Tunjuk”, tuturnya lebih lanjut.
Dulu Pak Boncet sering juga berburu dugong, tetapi kebiasaan itu sudah lama ia tinggalkan. Ia
masih menyimpan sarampang atau harpun (harpoon) yang dulu biasa digunakannya untuk
menombak dugong. “Kini tidak mudah lagi menjumpai duyung di laut”, katanya. Dugong
bernafas dengan paru-paru, oleh karenanya setiap 3- 5 menit ia harus naik ke permukaan untuk
menghirup nafas dari udara. Saat itulah dugong mungkin dapat terlihat menyembul di
permukaan. Tetapi penciumannya sangat tajam, yang dapat menghidu bau manusia dari jarak
yang sangat jauh. Bila ia mencium bau manusia, ia segera menghindar, menjauh. Oleh sebab itu,
untuk bisa mendekat ke dugong kita harus berada di bawah angin agar bau kita, manusia, tidak
tercium olehnya. Demikian kisah Pak Boncet.
Dulu, dugong memang sesekali diburu oleh nelayan untuk berbagai keperluan. Dagingnya tak
berserat, dan konon rasanya pun enak (bagi yang suka tentu). Lemaknya dapat digunakan untuk
mendapatkan minyak. Gigi dugong jantan yang dewasa bisa membentuk gading yang bisa dibuat
pipa rokok yang teramat mahal. Air mata dugong dikumpulkan dan dipercaya dapat digunakan
sebagai pengasih untuk memikat lawan jenis. Dagingnya juga konon berkhasiat sebagai obat
kuat (aphrodisiac).
96
Tetapi kini, dengan munculnya generasi baru, dengan pendidikan yang tidak lagi seperti generasi
pendahulunya, pandangan terhadap dugong juga mulai berubah. Dalam empat tahun terakhir ini,
empat ekor dugong terperangkap dalam alat tangkap perikanan mereka. Seekor kemudian mati,
tak terselamatkan. Tetapi yang lainnya masih tertolong, dapat diselamatkan dan dikembalikan
lagi ke laut lepas, tidak lagi dibunuh untuk konsumsi.
Di lain tempat, di Desa Air Klubi, Kecamatan Bintan Timur, ada pula seorang bernama Pak
Musa (61) yang dikenal sebagai pemburu dugong. Lokasi perburuan dugong Pak Musa berada di
sekitar Pulau Pangkil, salah satu pulau paling selatan di Kecamatan Bintan Timur.
Seperti halnya Pak Boncet dari Desa Berakit, Pak Musa ini juga termasuk suku Orang Laut yang
dulunya hidup sebagai pengembara laut (nomaden). Ia dikenal sangat ahli dalam menombak
dugong. Setiap lontaran tombaknya tak pernah meleset, pasti mengenai dugong sasarannya. Ia
menyatakan dalam setahun ia dapat menombak dugong antara empat sampai lima ekor. Bila
induk dugong telah mati ditombak, maka anaknya yang masih menyusui, akan sangat mudah
ditangkap.
97
Bulan Mei 2013 lalu, Pak Musa menombak seekor
induk dugong dan menangkap anaknya. Anak
dugong yang masih hidup itu dibeli oleh seeorang
seharga Rp 4.500.000 sedangkan daging dugong
yang berasal dari induk yang ditombak dijual ke
pasar seharga Rp 30.000/kg. Ada informasi bahwa
anak dugong yang masih hidup itu dibeli oleh
seseorang dari Batam, yang tak jelas untuk keperluan
apa. Kalau semua ini benar maka maka akan makin
terancamlah kehidupan dan kelestarian dugong di
perairan ini. Kasus ini telah menjadi perhatian
Gambar 22.5. Pak Musa, pemburu
Dinas Kelautan dan Perikanan setempat dan
dugong dari Desa Air Klubi, Bintan,
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan,
Kepulauan Riau.
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
(didisadili.blogspot.com)
98
23. “MAYANGSARI”, SI DUGONG DARI FAKFAK
A
lain Compost adalah seorang fotografer kenamaan asal Perancis yang lama bermukim di
Bogor, yang menitik-beratkan karyanya pada fotografi alam sekitar, terutama flora dan
fauna serta lingkungannya. Karya-karya fotografinya yang mengagumkan telah banyak
menghiasi berbagai media baik di Indonesia maupun di manca negara. Suatu waktu di
pertengahan tahun 1960-an, dalam perjalanannya untuk membuat foto-foto hutan di Indonesia
bagian timur ia sempat singgah di Fakfak di jazirah Kepala Burung, Papua. Seperti biasa, dalam
setiap tiba di suatu daerah yang “baru”, ia menyempatkan diri untuk putar-putar kota sambil
tanya sana-sini jika ada hal yang menarik untuk menjadi objek fotografinya. Dari ekplorasinya
itu, ia kemudian menemukan di desa Kiat dekat Fakfak ada hal yang sangat menarik yakni
adanya keluarga yang hidup di pantai, yang mengadopsi seekor dugong sebagai anggota
keluarganya, yang kisahnya kemudian diangkat dalam majalah Femina.
Adalah keluarga Sirajudin, asal dari Goa Makassar, yang hidup di pantai itu yang menjadi
sorotan kisahnya kali ini. Keluarga Sirajudin ketika itu telah tiga tahun menjalin “ikatan
keluarga” dengan seekor dugong yang semula tertangkap di pantai desanya. Dugong itu masih
anakan, ibunya telah mati. Demikianlah dugong piatu itu pun kemudian dipelihara dan
diperlalukan sebagai “anak angkat” yang sangat dikasihi dan mendapatkan perlakuan istimewa
dalam keluarga Sirajudin.
Perlakuan istimewa yang diberikan terhadap dugong itu didasarkan pada kenyataan bahwa
dugong itu mempunyai banyak kemiripan dengan manusia. Meskipun orang menyebutnya ikan
duyung, namun pada hakekatnya ia bukanlah ikan, tetapi hewan yang menyusui anaknya dan
bernapas dengan menghirup udara dengan paru-parunya. Siripnya bagaikan jari-jari manusia
yang telah diliputi selaput kulit. Pada induk dugong terdapat juga puting susu atau tetek di ketiak
siripnya untuk menyusui anaknya. Karena dugong bernapas dengan menghirup udara, maka
dugong dapat berada di luar air dalam waktu yang lama.
Dengan dasar pemahaman itu, dugong piatu yang malang itu diasuh oleh keluarga Sirajudin.
Tiap menjelang malam dugong yang masih anakan itu digotong masuk ke dalam rumah dengan
menggunakan tandu. Di dalam rumah, sang dugong mendapat perlakuan dan perhatian dengan
penuh kasih oleh seluruh anggota keluarga, termasuk dua orang anak asli Sirajudin. Sehelai tikar
dihamparkan untuk sang dugong berbaring. Selimut juga disediakan untuk menutupi tubuhnya
bila diperlukan. Ketika seluruh keluarga Sirajudin makan malam dengan bersila di atas tikar,
sang dugong si “anak angkat” itu hadir juga, disuapi susu botol oleh Zaenah, istri Sirajudin.
99
Tampaknya semua penghuni rumah itu menikmati suasana kekeluargaan yanga akrab ini. Pada
pagi keesokan harinya, sang dugong dikembalikan lagi ke dalam laut di habitat aslinya.
Demikianlah kehidupan rutin yang dialami oleh sang dugong yang telah menjadi “anak angkat”
keluarga Sirajudin.
100
Gambar 23.3. Zaenah, istri Sirajudin, memberi susu botol
pada dugong “anak angkat”nya sejak masih kecil.
(Femina/ Alain Compost)
Keluarga Sirajudin juga memahami bahwa dugong dalam kehidupan aslinya di laut, makanan
utamanya adalah tumbuhan lamun (seagrass). Oleh sebab itu Sirajudin sering membawa “anak
angkat”nya itu ke padang lamun yang baik dengan menggunakan perahu sampai jarak yang
cukup jauh dari rumahnya.
Kini “Mayangsari” menjadi objek observasi bagi wisatawan yang berkunjung ke daerah ini.
Karena biasanya wisatawan tidak memiliki waktu terlalu lama maka “Mayangsari” dijaga dalam
lingkungan khusus agar mudah dipanggil. Untuk memanggilnya, Sirajuddin akan memukul-
mukul permukaan air di pantai depan rumahnya dan berteriak memanggil “Mayangsari”. Dalam
beberapa waktu hingga kurang lebih satu jam, dugong ini akan muncul dan menghampirinya di
tepi pantai. Karena “Mayangsari” masih biasa bermain dengan kawanannya, dugong ini sering
pula dijemput dengan sampan untuk dibawa ke tepi pantai.
“Mayangsari” senang bermain di air dengan memeluk manusia, tetapi karena bobot dan
ukurannya yang begitu besar, dipeluk seekor duyung bukan berarti sebuah kemesraan melainkan
bisa membahayakan karena siapapun yang dipeluknya mungkin akan dibawa bermain di bawah
permukaan air.
Untuk dapat melihat dugong “Mayangsari”, pengunjung harus membayar donasi sebesar Rp1
juta bila tidak perlu mengangkatnya ke pantai. Bila ingin melihat dugong ini meneteskan air
102
mata di tepi pantai, donasi meningkat menjadi Rp2 juta, karena harus melibatkan masyarakat
sekitar untuk menggotongnya keluar dari air. Karena bobotnya yang sangat berat diperlukan
sekitar 20 orang untuk menggotongnya. Dugong yang keluar dari air akan mengeluarkan air mata
yang dipecaya dapat memberi khasiat sebagai obat pengasih (pemelet).
Karena keterlibatan dan perhatiannya yang luar biasa pada dugong, Pak Sirajudin kini dikenal
luas dengan nama julukan “Papa duyung” dan istrinya sebagai “Mama duyung”.
103
24. DUGONG DALAM SENI LUKIS
unung kapur (karst) itu terletak dekat Ipoh City, negeri Perak, Malaysia, menghadap ke
G Selat Malaka. Sepasukan tentara Inggeris di bawah pimpinan Letnan R.L. Rawlings dari
Batallion Kedua 6th QEO Gurkha Rifles sedang melakukan patroli rutin di wilayah itu di
tahun 1959. Saat berpatroli itu mereka memasuki sebuah gua yang sekarang lebih dikenal dengan
nama Gua Tambun.
Gambar 24.1. Lukisan gua (cave painting) di Gua Tambun, Perak , Malaysia,
menampilkan gambar dugong yang diperkirakan dibuat sekitar 5000 tahun
lalu. (www.malaysia-traveller.com)
Mereka sangat terkejut bahwa di dalam gua ini ternyata terdapat lukisan gua (cave painting). Di
dinding gua itu terdapat banyak lukisan yang kemudian dikenali sebagai hasil karya dari
masyarakat lokal yang hidup disitu pada masa Neolithic (zaman batu baru) sekitar 5000 tahun
lalu. Lukisan gua itu dibuat dengan menggunakan bahan haematite (oksida besi) semacam bahan
pewarna yang banyak terdapat di sekitar lokasi ini. Lukisan-lukisan itu umumnya berwarna
keunguan hingga merah bata gelap. Ada sekitar 30 jenis objek yang terlukis di dinding gua itu
104
dalam berbagai ukuran, seperti manusia, babi hutan, rusa, tapir, dugong dan berbagai bentuk
abstrak. Apa tujuan dan makna dari lukisan itu belum jelas benar.
Yang sangat menarik bahwa di gua ini terdapat lukisan dugong (Gambar 24.1) yang ternyata
merupakan lukisan dugong yang tertua yang pernah diketahui di dunia selama ini. Tak jauh di
kaki gua ini ditemukan sejumlah kerang-kerangan, yang menunjukkan bahwa dulu kala sekitar
tempat ini pernah merupakan laut. Hal ini juga menunjukkan bahwa telah ada interaksi antara
manusia dan dugong di kawasan ini sejak ribuan tahun lalu.
Lain lagi yang ditemukan di Indonesia. Seorang benama Samuel Fallours, kelahiran Inggeris,
berdinas sebagai serdadu kompeni Belanda (VOC) yang bertugas di Ambon. Di samping tugas
sebagai serdadu, ia juga sebagai pelukis resmi untuk kompeni. Ia membuat banyak lukisan cat air
tentang berbagai satwa lokal dari Ambon, termasuk hewan-hewan laut yang ternyata sangat
berbeda dengan fauna yang umum di Eropa. Beberapa lukisannya yang eksotik itu menjadi
koleksi para hartawan di Belanda.
Gambar 24.2. Lukisan Samuel Fallours berjudul “Sirenne”, yang pertama kali
diterbitkan tahun 1719. (www.siratus.com)
Tahun 1719 ia menerbitkan buku karyanya berjudul “Poissons, Ecrevisses et Crabes de Diverses
Couleurs et Figures Extraordinaires” (Ikan, Udang dan Ketam dengan Aneka Warna dan Bentuk
yang Luar Biasa). Ia mengklaim lukisan-lukisannya didasarkan pada kenyataan sebenarnya yang
ada di alam sekitar Ambon. Salah satunya berjudul “Sirenne” (Gambar 24.2).
Fallours menyatakan bahwa ia telah mengamati satu mahluk aneh yang disebutnya sebagai
“Sirenne”, yang dicoba pelihara dalam suatu bak sampai akhirnya mati setelah empat hari
105
kemudian. Disebutkan bahwa mahluk aneh ini tertangkap di Pulau Buru yang masih termasuk
Propinsi Ambon ketika itu. Panjangnya adalah 59 inci (sekitar 1,5 m) dan bentuknya
memanjang. Kadang kala mahluk itu mengeluarkan suara mencicit seperti suara tikus. Telah
dicoba untuk memberinya makan berupa ikan kecil, kerang, ketam, dan lain-lain, tetapi
ditolaknya. Setelah kematiannya, ditemukan tinja seperti kotoran kucing di dasar bak.
Kini kita bisa saja mempertanyakan keakuratan lukisan mahluk “Sirenne” karya Fallours itu.
Tetapi bagaimanapun, itu adalah lukisan tertua yang diketahui di Indonesia yang dikaitkan
dengan dugong.
Di Selat Torres, antara Papua New Guinea dan Australia, terdapat populasi dugong yang terbesar
di dunia. Penduduk asli setempat mempunyai budaya yang kuat terkait dengan dugong. Bahkan
dugong diakui sebagai identitas etnik mereka oleh Pemerintah Australia. Oleh sebab itu
penangkapan dugong oleh penduduk Selat Torres masih diizinkan dengan catatan khusus untuk
keperluan budaya mereka. Penangkapan dugong dibolehkan hanya dengan teknik tradisional,
dan sama sekali tidak untuk kepentingan ekonomi. Meskipun demikian, belakangan ini terdapat
indikasi bahwa populasi dugong disana semakin menyusut. Kondisi ini menjadi keprihatinan
seniman tradisional mereka yang dituangkan dalam seni grafis (Gambar 24.3).
D
ugong tidak terdapat hidup dalam laut Korea. Negeri ginseng ini berada di luar wilayah
sebaran dugong dunia. Namun dalam Yeosu International Expo 2012, Korea Selatan,
yang diselenggarakan dari bulan Mei hingga Agustus, ditampilkan “Dugong” dalam
bentuk gabungan karya seni dan teknologi audio-visual dan panggung yang sangat spektakuler
dan kolosal.
Yeosu Intenational Expo 2012 diikuti oleh lebih seratus negara peserta, dengan mengusung tema
“The Living Ocean and Coast”. Indonesia juga ikut serta dengan menggelar Anjungan
Indonesia. Dalam ajang Yeosu International Expo 2012 ini, Korea dengan penuh kebanggaan
dan percaya diri memamerkan capaian-capaian teknologinya yang canggih yang terkait dengan
masalah kelautan. Tema yang diusung mencerminkan keprihatinan akan kehidupan di samudra
dan pantai, yang sekarang kelestariannya semakin terancam dalam lingkup global. Dalam kaitan
ini dugong diangkat sebagai simbol, karena dugong merupakan mamalia laut yang telah berada
dalam ancaman kepunahan.
Pusat atraksi dalam expo ini adalah di “Theme Pavillion” yang merupakan anjungan raksasan
dan indah yang dibangun lepas pantai. Di anjungan inilah ditampilkan “dugong” dalam bentuk
capaian hasil gabungan teknologi dan seni, yang menjadi salah satu atraksi yang paling
menarik dalam expo ini. Pengunjung yang datang akan disuguhi tayangan tentang kehidupan
dugong dalam teknik animasi digital 3D di layar kolosal. “Dugong” yang ditampilkan dalam
pertunjukan ini dapat melakukan hubungan interaktif dengan penonton. Ketika penonton telah
duduk di tempat masing-masing, sang “dugong” mulai menyapa penonton dan berkomunikasi
secara interaktif dalam bahasa Korea. Ungkapan bahasa yang digunakan sang “dugong” penuh
jenaka yang menghibur. Sang “dugong” menceritakan pula bahwa dugong merupakan mamalia
laut yang hidup dari lamun (seagrass). Bahwa dugong sekarang distribusinya di dunia semakin
menciut, dan kehidupannya semakin terancam. Tanpa kepedulian kita semua, dugong semakin
cepat terdorong ke jurang kepunahan.
Pertunjukan dengan teknologi canggih ini juga menceritakan hubungan akrab antara seorang
bocah dengan seekor dugong. Pada sekuens terakhir, pemeran bocah itu tampil dalam wujud
nyata di atas pentas, dengan tampilan persis seperti dalam tampilan digital. Ia pun menyapa
dugong artifisial yang sontak muncul mengapung dan melayang di atas panggung. Dengan
demikian pertunjukan digital yang baru saja usai itu seolah hidup dan berkelanjutan dalam
kenyataan yang sebenarnya.
Sungguh suatu pesan konservasi yang apik, dikemas dalam teknologi canggih.
108
Gambar 25.1. “Dugong” yang dipentaskan di “Theme Pavillion”, di
Yeosu International Expo 2012, Korea. (Foto: Augy Syahailatua)
109
26. KASUS HUKUM DUGONG vs RUMSFELD
D
ugong (Dugong dugon) telah dinyatakan rentan punah (vulnerable) oleh IUCN
(International Union for the Conservation of Nature). Usaha konservasinya menjadi
perhatian dan sekaligus juga tantangan di seluruh dunia. Perjuangan untuk membela
dan melestarikan dugong di Okinawa (Jepang) merupakan contoh kasus yang sangat menarik,
sampai menyeret Menteri Pertahanan (Secretary of Defense) Donald Rumsfeld dan Departemen
Pertahanan (Department of Defense) Amerika Serikat, sebagai pihak tergugat di pengadilan
federal Amerika Serikat. Adapun pihak yang bertindak sebagai penggugat dalam legal action ini
adalah dugong Okinawa (Dugong dugon) dan kawan-kawan (sejumlah organisasi seperti federasi
pengacara, organisasi lingkungan, dan berbagai institusi yang bergiat dalam konservasi hayati).
Dugong mempunyai nilai kultural yang sangat dijunjung tinggi oleh penduduk Okinawa. Sejak
zaman kekaisaran Ryuku dahulu kala, dugong mendapat tempat yang istimewa. Daging dugong
dimakan, tetapi terutama untuk dipersembahkan sebagai makanan istana bagi para bangsawan.
Berbagai bagian tubuh dugong seperti kulit, daging, lemak dan tulangnya dapat dimanfaatkan
untuk berbagai keperluan. Dugong dipandang dapat memberi isyarat apabila tsunami akan
tiba.Terdapat kepercayaan bahwa manusia dan dugong mempunyai leluhur yang sama. Selain itu
dugong juga digunakan dalam ritual religi di kuil-kuil kuno.
110
Di lain pihak Pulau Okinawa merupakan lokasi pangkalan militer Amerika Serikat yang terbesar
di Pasifik. Untuk menunjang politik global Amerika Serikat, Pulau Okinawa menjadi pangkalan
militer strategis yang dapat dengan mudah menjangkau negara-negara Pasifik Barat. Setelah
Perang Dunia II berakhir, AS tidak serta merta meninggalkan seluruh daratan Jepang. Telah
disepakati Traktat Keamanan (Security Treaty) antara Jepang dan Amerika Serikat yang
memberikan konsesi pada Amerika Serikat untuk dapat menggunakan sebagian dari Pulau
Okinawa ini untuk kepentingan militer. Tetapi Traktat itu meninggalkan sejumlah isu yang
belum terpecahkan misalnya bagaimana penanganan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh
kegiatan militer. Sementara itu, dalam kenyatannya pagelaran militer AS telah menimbulkan
sejumlah masalah pencemaran dan berbagai bencana lainnya termasuk juga meningkatnya kasus
kriminal oleh anggota militer AS. Dengan telah berakhirnya Perang Dingin maka banyak warga
Jepang mulai bersikap kritis terhadap keberadaan pangkalan militer AS di Okinawa. Unjuk rasa
dan protes atas keberadaan pangkalan AS gencar dilakukan oleh warga Okinawa yang
memuncak di tahun 1995.
111
Untuk meredam krisis ini maka dibentuklah Special Action Committee on Okinawa (SACO).
Setelah mengadakan studi yang intensif, SACO membuat laporan akhir di tahun 1996, dengan
rekomendasi mengurangi kekuatan militer, yakni melepas 21 % luas lahan yang digunakan
militer AS di Okinawa untuk dikembalikan ke Pemerintah Jepang, termasuk pangkalan udara
Futenma, yang selama ini dioperasikan sebagai pangkalan udara marinir. Warga Okinawa tentu
saja menyambut gembira keputusan ini
Gambar 26.3. Kapal Coast Guard Jepang menghadapi aksi demonstrasi kapal-kapal
pemrotes yang menentang rencana pembangunan pangkalan udara marinir yang
berpotensi menumpas dugong di Teluk Henoko (Okinawa), Mei 2007. (Tanji, 2008)
Tetapi ternyata kegembiraan itu hanya sekejap, karena ternyata kemudian pada bulan September
1997, SACO mengajukan kompensasi, dengan merelokasi pangkalan udara marinirnya ke pantai
Henoko, dekat pangkalan marinir Camp Schwab. Lokasi untuk pembangunan pangkalan udara
marinir ini direncanakan dibangun di lepas pantai Henoko dengan luas mimimum 1500 m x 800
m. Disinilah timbul masalah, karena ternyata perairan Henoko ini merupakan hamparan terumbu
karang dan padang lamun yang juga merupakan rumah bagi dugong. Kegiatan pembangunan
fasilitas pangkalan udara marinir di perairan ini diprediksi akan merusak ekosistem terumbu
karang dan padang lamun, dan akan mengancam kehidupan dugong. Dugong yang sudah sangat
112
terancam di perairan ini diyakini akan punah, hilang lenyap untuk selamanya bila pembangunan
pangkalan udara marinir itu direalisasikan. Dari kondisi inilah kemudian timbul reaksi keras dari
berbagai pihak, untuk berjuang bahu-membahu menyelamatkan kehidupan dugong, dan
menentang rencana pembangunan relokasi pangkalan udara marinir AS di daerah ini. Sementara
perlawanan penduduk Okinawa terus makin kencang, Pemerintah Pusat di Jepang sendiri lebih
cenderung untuk mendahulukan kepentingan militer dari pada melestarikan dugong. Ketika
diadakan referendum di Okinawa pada bulan Desember 1997 untuk menentukan apakah
penduduk lebih pro-dugong atau pro-pangkalan, ternyata 53 % penduduk Okinawa pro-dugong.
Unjuk rasa memprotes rencana pembangunan relokasi pangkalan pun marak dimana-mana.
Solidaritas yang mendukung konservasi dugong Okinawa meluas dengan unjuk rasa besar-
besaran baik di Jepang maupun di AS.
Tahun 2003 timbul gagasan untuk meneruskan perjuangan membela dugong ini lewat legal
action dengan menggugat Menteri Pertahanan AS (Secretary of Defense), ketika itu Donald
Rumsfeld, dan Department of Defense (DoD) di Pengadilan Federal di California. Bahwasanya
DoD telah melanggar Undang-Undang Konservasi Historis Nasional Amerika Serikat (US
National Historic Preservation Act/ NHPA). Pihak penggugat utama dalam legal action ini
adalah dugong Okinawa (Dugong dugon) bersama sejumlah organisasi pengacara serta berbagai
organsiasi lingkungan. Karena itu, kasus ini dikenal sebagai kasus Dugong vs Rumsfeld.
Pihak penggugat berargumen bahwa rencana pembangunan fasilitas pangkalan udara marinir di
lepas pantai itu tidak mempertimbangkan dampak lingkungan yang dapat diakibatkan oleh
pembangunan itu. Selain itu Undang-Undang NHPA melarang setiap proyek AS, termasuk yang
di luar negeri, melakukan tindakan yang dapat merusak “properti” yang bernilai sejarah dan
budaya. Pihak tergugat menafsirkan bahwa “dugong” tidaklah termasuk dalam pengertian
“properti” sebagai yang dimaksud dalam NHPA. Padahal sementara itu dugong terdaftar dalam
undang-undang di Jepang sebagai “natural monument” , karena mempunyai nilai kultural yang
tinggi bagi masyrakat Okinawa, dan karenanya pula melarang setiap kegiatan yang mengganggu
kehidupan dugong serta lingkungannya. Pada akhirnya Pengadilan Federal AS menetapkan
memenangkan gugatan dugong Okinawa dan kawan-kawan. Perjuangan lewat legal action
disertai dengan tekanan massa lewat unjuk rasa yang masif akhirnya membuat rencana
pembangunan pangkalan udara maritim di Henoko dibekukan tahun 2005.
Tetapi masalah ini belum berakhir. Tahun 2006, Pemerintah Jepang dan AS bersepakat untuk
kembali mengajukan “Roadmap for Realignment Implementation” yang memasukkan
pertimbangan lingkungan dalam pembangunan pangkalan udara marinir. Namun dalam
implementasinya terdapat penyimpangan hingga kembali meletupkan gelombang protes besar-
besaran. Penduduk Okinawa sebagai pemrotes melaksanakan aksi blokade pantai sekitar
pangkalan marinir AS, bertahan dengan tenda-tenda tanpa lelah hingga waktu yang
berkepanjangan. Demikian pula aksi protes dilaksanakan di laut dengan kapal-kapal dengan
penuh risiko. Greenpeace, organisasi pembela lingkungan yang terkenal galak, ikut serta dan
113
meneriakkan motto: “Marine conservation. Not conservation of the Marines”. Kemelut ini pun
akhirnya diajukan lagi ke pengadilan federal AS tahun 2008 dengan pihak tergugat Robert Gates,
sebagai Menteri Pertahanan (Secretary of Defense) AS ketika itu dan US Department of Defense
(DoD), sedangkan pihak penggugat adalah dugong Okinawa dan kawan-kawan. Kasus ini
dikenal dengan kasus Dugong vs Gates, dan ditutup dengan keputusan Pengadilan yang
memenangkan pihak penggugat (dugong dan kawan-kawan).
Kasus ini merupakan hal luar biasa yang bisa menjadi pembelajaran penting, bagaimana masalah
konservasi dugong yang pada mulanya sebenarnya bersifat lokal dapat terangkat menjadi
masalah yang menjadi perhatian besar sampai melibatkan dua negara adidaya dunia, Amerika
Serikat dan Jepang. Bahwa upaya penyelamatan dugong tidak saja menyangkut konservasi fisik
satwa semata, tetapi dapat menjangkau aspek-aspek yang jauh lebih luas sampai ke ranah sosial,
budaya, hukum, pertahanan-keamanan, lingkungan dan politik.
114
B. PUTRI DUYUNG
115
27. RAGAM PUTRI DUYUNG
D
alam bahasa Indonesia, istilah duyung dapat mempunyai dua makna. Pertama, sebagai
hewan mamalia herbivor yang hidup dalam laut yang makanan utamanya adalah
lamun (seagrass). Hewan ini dalam literatur ilmiah dikenal sebagai Dugong dugon,
dan dalam istilah populernya sebagai dugong. Kedua, sebagai sosok dalam mitologi atau
legenda yang biasanya digambarkan sebagai mahluk setengah manusia dan setengah ikan yang
hidup di laut. Separuh bagian atas biasanya digambarkan berupa perempuan cantik dengan
rambut tergerai, sedangkan separuh bagian bawahnya berupa ikan yang berujung dengan ekor.
Oleh sebab itu, sosok dalam dongeng itu biasa pula disebut sebagai putri duyung, yang dalam
bahasa Inggeris disebut mermaid.
Dongeng tentang putri duyung (mermaid) telah ada sejak ribuan tahun lalu, dan terdapat di
berbagai penjuru dunia dengan berbagai variasinya. Kisah pertama mengenai putri duyung ini
bisa dilacak dari sekitar 1.000 tahun SM dalam mitologi Assyria. Dewi Atargatis, ibu dari Ratu
Semiramis, disebut jatuh cinta kepada seorang gembala dari kalangan manusia yang fana. Suatu
hari, tanpa sengaja, sang dewi membunuh gembala itu. Karena malu, Atargatis mencoba bunuh
diri dengan terjun ke laut untuk mengubah diri menjadi seekor ikan. Tetapi, laut tak dapat
mengubah dirinya sepenuhnya karena ia masih memiliki kekuatan sebagai dewi. Akhirnya,
hanya separuh tubuhnya yang berubah menjadi ikan. Bagian atas sampai ke pinggang tetap
menampilkan wujudnya yang cantik, sedangkan bagian ke bawah berubah menjadi ikan. Kisah
dari Assyria ini mungkin menjadi dasar munculnya legenda mengenai putri duyung (mermaid) di
berbagai penjuru dunia.
Suatu legenda yang populer di Yunani menceritakan tentang saudara perempuan Iskandar Agung
(Alexander the Great) yang bernama Thessalonike, yang berubah menjadi putri duyung setelah
meninggal. Sebagai putri duyung ia hidup di perairan Aegea, dan bila ada kapal yang mendekat
ia akan menanyakan pada para pelaut: “Apakah Iskandar Agung masih hidup?”. Jawaban yang
benar untuk pertanyaan itu haruslah: “Ya, Baginda masih hidup dan memerintah, dan telah
menaklukkan dunia”. Jawaban seperti itu akan membuatnya terhibur, jadi laut akan dibuatnya
teduh dan kepada pelaut disampaikannya ucapan selamat jalan. Tetapi jika jawabannya salah,
maka ia akan marah dan laut dibuatnya dilanda badai dahsyat yang akan menyengsarakan setiap
awak di atas kapal.
Dalam mitologi Yunani lainnya, disebutkan adanya putri-putri duyung cantik yang dikenal
sebagai Siren, yang menghuni suatu pantai. Suara dan nyanyian mereka sangat merdu dan
memukau, hingga para pelaut yang mendengarnya tergoda untuk mendekat dan akhirnya
116
kapalnya akan kandas dan karam di
pantai para Siren itu. Tetapi
pahlawan Yunani, Ulysses, dapat
berlayar lewat perairan itu dengan
selamat karena ia menyumbat telinga
semua rekannya dengan lilin dan ia
sendiri mengikatkan dirinya di
puncak tiang kapal, hingga dengan
demikian ia dapat mendengar
nyanyian merdu para Siren tetapi ia
sendiri tidak terpengaruh untuk
mendekat. Menurut legenda yang
lain, diceritakan para Argonaut dapat Gambar 27.1. Nyanyian merdu para putri duyung
pula selamat dari para Siren karena Siren memukau para pelaut untuk mendekat dan
Orpheus - yang ada di kapal itu - akhirnya karam di pantai.
dapat pula menyanyi bahkan
melebihi kemerduan nyanyian para Siren. Merasa dikalahkan oleh Orpheus, akhirnya para Siren
itu menceburkan diri ke laut dan lenyap.
Di beberapa daerah, manusia setengah ikan tidak selalu digambarkan berupa putri duyung
(mermaid) dengan paras yang cantik, tetapi ada juga sebagai pangeran duyung (merman). Salah
satu kisah dari Russia menggambarkan kehidupan putri duyung (mermaid) dan pangeran duyung
(merman) dalam kehidupan dalam air (Gambar 26.2).
Salah satu karya sastra yang sangat terkenal tentang putri duyung adalah karya sastrawan
Denmark, Hans Christian Andersen, berjudul “The Little Mermaid” yang diciptakannya pada
tahun 1836. Karyanya ini sangat menarik dan telah mengilhami seniman lain untuk menciptakan
Gambar 27.4 . Kiri: Patung perunggu “The Little Mermaid” di depan pelabuhan
Copenhagen, Denmark. Kanan: Cuplikan film animasi “The Little Mermaid”
produksi Walt Disney. Keduanya diilhami dongeng tentang putri duyung karya
sastrawan Denmark, Hans Christian Andersen. 118
karya seni dalam bentuk berbeda. Di depan pelabuhan Copenhagen (Denmark) misalnya,
terpajang patung putri duyung dari perunggu, yang duduk di atas batu. Patung “The Little
Mermaid” ini karya pemahat Edward Eriksen diresmikan tahun 1913, dan kini menjadi ikon
Copenhagen.
Mirip dengan patung di Copenhagen itu, di pantai Shamila, Songkhla (Thailand) juga terdapat
patung perunggu putri duyung yang duduk di atas batu, sedang menyisir rambutnya. Di
Indonesia pun, ada patung putri duyung di halaman Resor Putri Duyung di pantai Ancol, Jakarta
Utara.
Kisah putri duyung pun merambah ke media film dan televisi. Salah satu yang belakangan ini
sangat populer adalah film animasi berjudul “The Little Mermaid” yang diproduksi oleh Walt
Disney. Film ini pernah meraih dua Academy Award tahun 1990.
Di Indonesia juga pernah diproduksi film berjudul “Putri Duyung” di tahun 1985, yang
dibintangi Eva Arnaz dan Barry Prima. Film ini mengisahkan kisah cinta seorang pelaut dengan
seorang gadis, tetapi ternyata kemudian bahwa gadis itu bukanlah manusia normal, tetapi adalah
putri duyung. Dalam sinetron pun tema putri duyung pernah diangkat di Indonesia, misalnya
sinetron “Putri Duyung” yang dibintangi Ayu Azhari yang ditayangkan SCTV tahun 1999, dan
lainnya “Putri Duyung Marina” yang dibintangi Dhini Aminati dan Dimas Seto yang
ditayangkan Indosiar tahun 2010.
Gambar 27.5 . Kiri: Patung putri duyung di pantai Shamila, Songkhla (Thailand).
(tripcolor.com). Kanan: Patung putri duyung di Resor Putri Duyung, Ancol,
Jakarta. (prontohotel.com)
119
28. HEBOH PUTRI DUYUNG
D
ongeng tentang putri duyung (mermaid) sebagai mahluk setengah manusia (biasanya
digambarkan sebagai putri cantik) dan setengah ikan telah dikisahkan sejak ribuan
tahun lalu di berbagai penjuru dunia dengan berbagai variasinya. Tak ayal, hal ini
sering menimbulkan tanda tanya, apakah putri duyung itu memang benar ada wujudnyanya, atau
pernah ada, atau hanya sekedar mitos belaka. Pertanyaan semacam ini sering menimbulkan rasa
penasaran bagi banyak orang hingga berkembanglah banyak cerita atau berita simpang siur yang
kontroversial tentang hal ini.
Di masa maraknya perkembangan Darwinisme di dunia Barat di abad 19, banyak kalangan yang
menduga kemungkinan adanya temuan-temuan hewan baru atau mungkin monster yang belum
pernah dikenal sebelumnya. Rasa penasaran untuk mencari dan menghadirkan putri duyung
(mermaid) dalam wujud yang nyata menjadi dambaan banyak orang. Tetapi sejalan dengan itu
berkembanglah pula berbagai tipuan dan kepalsuan yang membohongi masyarakat seolah-olah
mermaid itu memang nyata, ada wudjud fisiknya.
Berita paling heboh tentang keberadaan wujud nyata putri duyung berkembang di pertengahan
tahun 1840-an lalu yang populer dikenal sebagai skandal “Feejee Mermaid”. Adalah P.T.
Barnum yang mengangkat dan mempopulerkan ditemukannya “Feejee Mermaid” ini. Adapun
yang dimaksud dengan “Feejee Mermaid” adalah hewan yang telah dikeringkan yang
menampilkan wujud separuh manusia dan separuh ikan. Wajah mermaid yang mirip manusia itu
bukannya cantik malah lebih memberikan kesan menyeramkan dan menakutkan. Barnum
mendapatkan mermaid itu dari pelaut yang konon asalnya dari Feejee (Fiji). Ia melakukan
promosi yang gencar dan menyelenggarakan pameran keliling di bebebara kota di Amerika
untuk meyakinkan masyarakat bahwa mermaid itu mempunyai wujud yang nyata. Dari kegiatan
itu tentu saja ia dapat meraup keuntungan finansial yang besar. Sempat para ilmuwan
menantangnya untuk membuktikan keaslian mermaidnya itu. Tetapi Barnum tak kehabisan akal.
Ia pun mencari dukungan dari ilmuwan lainnya yang dikenal sebagai Dr. J. Griffin yang disebut
sebagai penemunya (ternyata kemudian bahwa Griffin adalah doktor gadungan). Pertunjukan dan
120
pameran “Feejee Mermaid” itu berakhir dengan terbongkarnya tipuan besar itu. Ternyata bahwa
“Feejee Mermaid” itu sebenarnya terdiri dari tengkorak dan badan monyet (ada yang
menyebutkan dari orang utan) yang dipadukan dengan bagian bawahnya dari ikan salmon besar,
tetapi teknik penggabungannya begitu cermat hingga sangat sulit melihat sambungannya. Di
kemudian hari, museum Barnum itu terbakar dan ikut melenyapkan “Feejee Mermaid” yang
pernah tercatat sebagai salah satu hoax (tipuan besar) yang paling heboh yang pernah dikenal di
dunia. Sampai lebih seratus tahun sesudahnya orang masih memperbincangkan hoax konyol itu.
Di belakang hari, muncul banyak lagi tiruan-tiruan “Feejee Mermaid” dengan berbagai versinya.
termasuk yang dipamerkan dalam museum “Ripleys’s Believe It Or Not”.
Mengapa hoax semacam itu masih terus saja terjadi? Bella Galil dari National Institute of
Oceanography, Israel, yang banyak menulis tentang mahluk laut yang sering dimitoskan,
merujuk pada adanya perasaan yang terpendam jauh dalam diri kita yang kadang
mengimajinasikan ditemukannya temuan-temuan mahluk baru yang menghebohkan dari alam
sekitar. Ketika daratan sudah habis dijelajahi maka orang berharap hanya dari laut peluang itu
masih terbuka, karena masih banyak bagian laut yang belum tereksplorasi dan masih diliputi
misteri.
121
Dalam kenyataannya memang kadang kala dari laut terungkap temuan-temuan spektakuler yang
menghebohkan dunia, seperti kasus ditemukannya ikan Coelacanth. Pada tahun 1938 dunia tiba-
tiba digemparkan dengan ditemukannya seekor ikan Coelacanth yang hidup di perairan bagian
timur Afrika Selatan. Mulanya ikan Coelacanth dipercaya sebagai ikan purba yang hidup sekitar
400 juta tahun lalu. Diperkirakan ikan ini telah punah sekitar 80 juta tahun lalu yang diketahui
dari jejak hidupnya yang terekam berupa fossil. Tetapi tiba-tiba seekor Coelacanth hidup
ditemukan di abad modern ini, yang tentu saja menghebohkan dunia ilmu pengetahuan. Setelah
itu ditemukan lagi beberapa ekor fossil hidup ikan sejenis di sekitar tempat temuan awalnya.
Tahun 1998 dunia ilmu pengetahuan sekali lagi digemparkan dengan ditemukannya ikan
Coelacanth lainnya di perairan Sulawesi Utara yang terpisah sekitar 10.000 km dari Afrika timur.
Jadi banyak yang percaya bahwa laut masih menyimpan misteri yang sewaktu-waktu dapat
menghadirkan mahluk atau monster yang di luar dugaan.
Tanggal 26 Desember 2004 terjadi tsunami besar di Samudra Hindia yang meluluh-lantakkan
pantai Aceh. Gelombang dahsyat tusnami itu juga merambat dan melanda pantai beberapa
negara lainnya seperti Thailand, India, Srilanka. Beberapa saat setelah itu, terbetik berita heboh
yang segera mendunia bahwa ada putri duyung alias mermaid yang terdampar oleh hempasan
gelombang dahsyat tsunami di pantai Marina Beach, Chennai, pantai timur India. Berita itu
menyebutkan bahwa mermaid itu, yang dalam bahasa Tamil setempat disebut “Kadal Kanni”,
telah dipreservasi di Egmore Museum di bawah pengamanan ketat. Di era digital sekarang ini
berita heboh yang disertai foto mermaid yang terdampar itu segera tersebar mendunia lewat
jaringan internet. Tak kurang koran The Sunday Times di Singapura mengangkat berita itu
dengan judul: “Mermaid or Man-Made?”. Berita itu segera mengharuskan Professor Peter Ng,
122
Direktur Raffles Museum of Biodiversity Research, Singapura, angkat bicara. Penelitian Peter Ng
atas foto yang tersebar luas itu menyimpulkan bahwa “tsunami mermaid” itu tak lain dari tipuan
belaka. Beberapa alasan yang dikemukakannya antara lain bahwa foto itu menunjukkan sampel
yang telah mengering yang mengindikasikan telah ada perlakuan taxidermi (taxidermi adalah
teknik pengeringan dan pengawetan hewan dalam bentuk yang menyerupai bentuk aslinya
seperti yang lazim ditemui di museum zoologi). Kalau memang benda itu baru terdampar
seharusnya wujudnya tidak kering tetapi agak basah dan mulai menunjukkan gejala membusuk.
Tulang lengannya tak cocok dengan rongga tempat kedudukannya di bagian dada, hingga dengan
konstruksi seperti itu, mahluk itu pasti tak dapat bergerak dan tak dapat hidup dalam air.
Kesimpulannya, spesimen dalam foto itu adalah hasil rekayasa menyambungkan tengkorak
kepala monyet dan ikan pada bagian bawahnya. Setelah dikonfirmasi ke Chennai, ternyata
Museum Egmore itu memang ada disana, tetapi lebih dikenal sebagai Government Museum, dan
pejabat museum setempat membantah adanya “tusnami mermaid” yang disimpan di bawah
pengawasan ketat di museum itu.
Dr Terence Sim dari School of Computing NUS (National University of Singapore) juga
menganalisis foto heboh itu. Ternyata bahwa foto itu menunjukkan arah bayangan yang
ditimbulkan dari ekor tak sama dengan arah bayangan dari anggota lainnya, hingga dapat
disimpulkan bahwa ini adalah hasil rekayasa foto semata. Lalu dari mana sumber tipuan besar
lewat email ini? Penelusuran lewat Internet Service Provider (ISP) juga tak berhasil mengungkap
dari mana asal mula tipuan besar yang konyol ini.
Tetapi heboh putri duyung (mermaid) tak kunjung berakhir. Yang paling hangat belum lama ini
adalah tayangan televisi dengan judul “Mermaid: the Body Found” yang disiarkan melalui
Gambar 28.3 . Cuplikan tayangan televisi berjudul “Mermaid: the Body Found”
dari Discovery Channel. (www.press.discovery.com)
123
saluran televisi Animal Planet (27 Mei 2012) dan Discovery Channel (17 Juni 2012) dengan
durasi kurang lebih dua jam. Tayangan ini dikemas dengan memadu fakta dan teori ilmiah dan
fiksi (science fiction) menjadi suatu rangkaian liputan bergaya dokumenter yang
menggambarkan adanya wujud mermaid yang setengah manusia – setengah ikan yang hidup
dalam laut, dengan judulnya yang sangat provokatif. Dengan merujuk berbagai temuan sejarah di
berbagai penjuru dunia dan fakta serta teori ilmiah, film ini berspekulasi tentang adanya mahluk
mermaid yang hidup di bagian laut-dalam yang sukar dicapai oleh manusia. Pada awal evolusi
hayati manusia bukankah bisa terjadi sempalan evolusi menuju ke terbentuknya mahluk mirip
manusia yang kemudian hidup dan beradaptasi sepenuhnya dalam lingkungan perairan laut?
Tayangan “Mermaid: the Body Found” tentu saja menghebohkan. Masyarakat luas
mempertanyakan apakah tayangan itu dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya. Pihak
Discovery Channel sendiri menyatakan bahwa film itu adalah “science fiction” tetapi didasarkan
pada berbagai bukti yang nyata serta teori-teori ilmiah. Masyarakat dunia banyak yang bingung
dengan keterangan ini. Sebagian menyatakan bahwa film itu adalah tayangan yang
menyesatkan, tetapi sebagian lainnya masih mempertanyakan, betulkah mermaid ada wujudnya?
Ribuan pertanyaan semacam itu dialamatkan ke NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Adminstration) sebagai lembaga yang paling berwibawa dalam hal kelautan di Amerika Serikat.
Pada akhirnya NOAA pada tanggal 1 Juli 2012 mengeluarkan pernyataan dan klarifikasi bahwa;
“... no evidence of aquatic humanoids have ever been found” (tak ada bukti bahwa mahluk air
menyerupai manusia yang pernah ditermukan).
Putri duyung alias mermaid rupanya dari zaman dulukala hingga abad digital sekarang ini masih
saja bisa menghebohkan.
124
DAFTAR PUSTAKA
Adam, S. 1998. Vanuatu. Dugong-human interaction in Vanuatu. Sirenews, No. 30, October
1998.
Adulyanukosol, K., S. Thongsukdae, T. Hara, N. Arai and M. Tsuchiya. 2007. Observations of
dugong reproductive behavior in Trang Province, Thailand, further evidence of
intraspecific variation in dugong behavior. Marine Biology, 15 (5): 1887 – 1891.
Allen, J.F., M.M., Lepes, I.T., Budiarso, Sumitro, and D. Hammond. 1976. Some observations
on the biology of the dugong (Dugong dugon) from the waters of South Sulawesi.
Aquatic Mammals, 4 (2): 33-48.
Anderson, P. K. 1997. Shark Bay dugongs in summer. I. Lek mating. Behavior, 134 (5/6): 493 –
462.
Anderson, P. K. and R. M. R. Barclay. 1995. Acoustic signals of solitary dugongs: Physical
characteristics and behavioral correlates. Journal of Mammalogy, 76 (4): 1226 – 1237.
Anderson, P.K. 1981. The behaviour of the Dugong (Dugong dugon) in relation to conservation
and management. Bulletin of Marine Science, 3 (3): 640-647.
Anderson, P.K. 1986. Dugongs of Shark Bay, Australia - Seasonal Migration, Water
Temperature and Forage. National Geographic Research, 2 (4): 473-490.
Anderson, P.K. 1998. Shark Bay dugongs (Dugong dugon) in summer II: Foragers in a Halodule
dominated community. Mammalia, 62 (3): 409-425.
Azkab, M. H. 1998. Duyung Sebagai Pemakan Lamun. Oseana, 23 (3 dan 4) : 35 – 39.
Bertram, G.C.L. and C.K.R. Bertram. 1973. The modern Sirenia: Their distribution and Status.
Bio. J. Linn. Soc. 5: 297-338.
Bleakley, C. and S.Wells. 1995. Marine region 13, East Asian Seas. Chris Bleakley and Sue
Wells. Australian Government, Department of the Environment and Water Resources:
107-140.
Brasseur, S. and H. H. de Iongh. 1972. Survey of the dugong in Moluccas and the recolonization
of their feeding tracks. Amsterdam, AIDEnvironment: 65 pp.
Brownell, R.L. Jr., P.K. Anderson, R.P. Owen, and K.Ralls. 1981. The status of dugongs at
Palau, an isolated island group. In : Marsh (ed.) The Dugong, p. 11-23. Proceedings of a
Seminar/Workshop held at James Cook University of North Queensland, Australia.
CITES. 2007. The CITES Appendices I, II and III. The Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Coral Reef Rehabilitation and
Management Project (COREMAP). Internet: www.coremap.or.id
Compost, A. 1980. Pilot survey of exploitation of dugong and sea turtle in the Aru Islands.
Jakarta, Yayasan Indonesia Hijau: 63 pp.
125
de Bruijn P. 2002. An ecological study of a recently discovered population of dugongs (Dugong
dugon Müller, 1776) and its interactions with seagrassbeds in Balikpapan Bay, East
Kalimantan, Indonesia. Final report at Institute of Environmental Sciences, Student
Report. Leiden University.
de Iongh, H. H. 1996a. Plant-Herbivore Interactions Between Seagrasses and Dugongs in a
Tropical Small Island Ecosystem. PhD. Diss., University Nijmegen: 205 pp.
de Iongh, H. H. 1996b. Current status of dugongs in Aru, East Indonesia. In: The Aru
Archipelago: Plants, Animals, People and Conservation. Publication No. 30 of the
Netherlands Commission for International Nature Protection, H.P. Nooteboom (ed.): 75-
86.
de Iongh, H. H. 1997. Current status of dugongs in Indonesia. In: T. Tomascik, A. J. Mah, A.
Nontji & M. K. Moosa (eds.) The Ecology of the Indonesian Seas, Part II, Dalhousie
University, Periplus Edition: 1158 – 1166.
de Iongh, H. H., B. Bierhuizen, and B. van Orden. 1997. Observations on the behaviour of the
dugong (Dugong dugon Müller, 1776) from waters of the Lease Islands, eastern
Indonesia. Contributions to Zoology, 67 (1): 71-77.
de Iongh, H. H., W. Kiswara, and W. Kustiawan. 2006. Dugong grazing patterns and interaction
with traditional conservation (Sasi Laout) Indonesia: A review. Journal of Natural and
Life Sciences, 1 (1): 1-10.
de Iongh, H. H., W. Kiswara, W. Kustiawan and P.E. Loth. 2007. A review of research on the
interaction between Dugongs (Dugong dugon, Müller 1776) and intertidal seagrass beds
in Indonesia. Hydrobiologia, 591 (1) : 73-83.
de Iongh, H. H., P. Langeveld, and M. van der Wal. 1998. Movement and home ranges of
dugongs around the Lease Islands, East Indonesia. Marine Ecology, 19 (3): 179-193.
de Iongh, H. H., M. Hutomo, M. Moraal and W. Kiswara. 2009 a. National conservation strategy
and action plan for the dugong in Indonesia. Part I. Scientific Report, Institute of
Environmental Sciences Leiden and Research Centre for Oceanography, Jakarta: 38 pp.
de Iongh, H. H., M. Hutomo, M. Moraal and W. Kiswara. 2009 b. National conservation strategy
and action plan for the dugong in Indonesia. Part II. Strategy Report, Institute of
Environmental Sciences Leiden and Research Centre for Oceanography, Jakarta: 31 pp.
de Iongh, H. H., M. Moraal, and C. Souffreau. 2006. Dugong Survey of Derawan Island and
Adang Bay, East Kalimantan, Indonesia. Sirenews, no 46.
de Iongh, H. H., and G. Persoon. 1991. Dugong management and conservation project.
Environmental Study Center of the Pattimura University (PPLH), Ambon and AID
Environment, Amsterdam: 2-56.
de Iongh, H. H., B. Wenno, B. Bierhuizen, and B. van Orden. 1995. Aerial survey of the
Dugong (Dugong dugon Műller 1776) in coastal waters of the Lease Islands, East
Indonesia. Australian Journal of Freshwater and Marine Research, 46: 759–761.
de Iongh, H. H., B. Wenno and E. Meelis. 1995. Seagrass distribution and seasonal changes in
relation to dugong grazing in the Moluccas, East Indonesia. Aquatic Botany 50:1-19.
126
Dermawan, A. (Editor). 2003. Pedoman Pengelolaan dan Konsevasi Biota Laut Duyung dan
Habitatnya. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan: 43 pp.
Duarte, C.M. 2002. The future of seagrass meadows. Environ. Conserv. 29: 192–206.
Engel, L. 1970. The Sea. Time-Life Books, New York.
Erftemeijer, P.L., A. Djunarli, and W. Moka. 1993. Stomach content analysis of a Dugong
(Dugong dugon) from South Sulawesi, Indonesia. Aust. J. Mar. Freshw. Res., 44: 229–
233.
Erftemeijer, P.L., and P.M.J. Herman. 1994. Seasonal changes in environmental variables,
biomass, production and nutrient contents in two contrasting tropical intertidal seagrass
beds in South Sulawesi (Indonesia). Oecologia 99: 45–59.
Forth, G. 1988. Apes and Dugongs: Common mythological themes in diverse Southeast Asian
Communities. Contributions to Southeast Asian Ethnography. Further studies of religions
and world views: 189-229.
Green, E.P., and F.T. Short. 2003. The Seagrasses of Indonesia. World Atlas of Seagrasses. In:
Green, E.P. and F.T. Short, ( eds). Berkeley, USA: UNEP World Conservation
Monitoring Centre, Cambridge: 171-183.
Hendrokusumo, S., Sumitro and Tas’an. 1976. The distribution of the Dugong dugon in
Indonesian waters and report regarding the care of these animals in the Jaya Ancol
Oceanarium Jakarta, Indonesia, Jaya Ancol Oceanarium: 24 pp.
Hishimoto, Y., K. Ichikawa, T. Akamatsu, and N. Arai. 2005. The acoustical characteristics of
dugong calls and behavioral correlates observed in Toba Aquarium. The 6th SEASTA
2000 Workshop: 25 – 28.
Hobbs, J.P.P.A., A.J. Frisch, J. Hender, and J.J. Gilligan. 2007. Long-distance oceanic
movement of a solitary Dugong (Dugong dugon) to the Cocos (Keeling) islands. Aquatic
Mammals 33 (12): 175-178.
Hodgson, A. 2007. Technical note. “Blimp-Cam”: Aerial video observations of marine animals.
Marine Technology Society Journal 41 (2): 39 – 43.
Hodgson, A. J. 2004. Dugong behaviour and responses to human influences. PhD thesis, James
Cook University,Townsville, Ausralia.
Hutomo, M., H. H. de Iongh, W. Kiswara and M. Moraal. 2012. Strategi dan Rencana Aksi
Konservasi Dugong di Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI dan Direktorat
Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Ditjen KP3K – KKP: 95 hlm.
Ichikawa, K., C. Tsutsumi, T. Akamatsu, T. Shinke, N. Arai, and T. Hara. 2005. Acoustic
detection of dugong using automatic underwater sound monitoring system (AUSOMS-
D). Proceedng of the 5th SEASTAR 2000 Workshop: 83-86.
ISC. 2003. Policy, Strategy and Action Plan for Management of Seagrass Ecosystems in
Indonesia. Indonesian Seagrass Committee, UNEP-GEF Project: Revising
Environmental Degradation in South China Sea and Gulf of Thailand, Jakarta: 13 pp.
IUCN. 2006. IUCN Red List of Threatened Species. Gland, Switzerland, IUCN.
127
Kataoka, T., T. Mori, Y. Wakai, J.A.M. Palma, A.A.S.P. Yaptinchay, R.R.,DeVeyra, R.B.
Trono. 1995. Dugong of the Philippines. A report of the Joint Dugong Research
Conservation Program. 1-167. Philippines Japan, Pawikan Conservation Project-
Protected Areas and Wildlife Bureau Department of Environment and Natural Resources.
Toba Aquarium.
Khalifa, M. A. 2011. Tingkah laku dan karakteristik suara Dugong dugon di SeaWorld
Indonesia, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Skripsi, Institut Pertanian Bogor,
Departemen Ilmu dan Teknik Kelautan, Fakultas Perikanandan Kelautan.
Kreb, D., and Budiono. 2005. Cetacean diversity and habitat preference in tropical waters of east
Kalimantan, Indonesia. The Raffles Bulletin of Zoology 53 (1): 149-155.
Kuriandewa, T.E., W. Kiswara, M. Hutomo, and S. Soemodihardjo. 2003. The seagrasses of
Indonesia. In: Green, E.P., Short, F.T. (eds.), World Atlas of Seagrasses, University of
California Press, Berkeley USA : 171-182
Lanyon, J.M. 1991. The nutritional ecology of the dugong (Dugong dugon) in tropical North
Queensland. Department of Ecology and Evolutionary Biology, Monash University,
Australia. Dissertation: 325 pp.
Lanyon, J.M., and H. Marsh. 1995. Digesta passage times in the Dugong. Australian Journal of
Zoology 43 (2): 119-127.
Lapian, A. B. 2009. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut. Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad
XIX. Komunitas Bambu, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Jakarta: 282 pp.
Lawler, I., H. Marsh, B. McDonald and T. Stokes. 2002. Dugongs in the Great Barrier Reef.
Current State of Knowledge. CRC, Reef Research Centre.
Lomolino, M.V. and K.C. Ewel. 1984. Digestive efficiencies of the West Indian manatee
(Trichechus manatus). Florida Scientist 47: 176–179.
Macdonald, N. 2011. Dugong dugon. (On Line). Animal diversity web. Acccessed Dec. 30,
2011. http://animaldiversity.ummz.umrich-
edu/site/accounts/information/Dugong.dugon.html .
Marsh, H. 1989a. Chapter 57 – Dugongidae: 1 – 18. In: Walton, D. W. & B. J. Richardson (eds.).
Fauna of Australia vol 1 B Mammalia. CSIRO Pubisihing/ Australian Biological
Resources Study (ABRS): 827 pp.
Marsh, H. 1989b. Mass stranding of dugongs by a tropical cyclone in Nothern Australia. Marine
Mammal Science 5 (1): 78-84.
Marsh, H., G.E. Heinsohn, and L.M. Marsh. 1984. Breeding cycle, life history and population
dynamics of the dugong, Dugong dugon (Sirenia: Dugongidae). Australian Journal of
Zoology, 32 (6): 767-788.
Marsh, H., T.J. O’Shea, and J. E. Reynolds III. 2011. Ecology and conservation of the Sirenia:
dugongs and manatees. Cambridge University Press: xvi + 521 pp.
Marsh, H., H. Penrose, C. Eros, and J. Hugues. 2002. Dugong Status Report and Action Plan
for Countries and Territories. UNEP. Early Warning and Assessment Report Series: 162
pp.
128
Marsh, H. and G.B. Rathburn. 1990. Development and application of conventional and satellite
tracking techniques for studying dugong movements and habitat use. Aust. Wildl. Res. 17:
83-100.
McKenzie, L.J., R.L. Yoshida, J.E. Mellors, and R.G. Coles. 2006. Seagrass-watch Monitoring
Report Indonesia, p. 228. Internet: www.seagrasswatch.org
Moss, S. M. and M. van der Wal. 1998. Rape and run in Maluku: Exploitation of living marine
resources in Eastern Indonesia. Cakalele 9 (2): 85 – 97.
Mustika, P.L.K. 2005. Linking the two seas: Lessons learned from Savu Sea (Indonesia) for
marine mammal conservation in Timor Sea. Contribution to Pacem in Maribus XXXI
Conference 31 October – 3 November 2005,
Internet: www.ioinst.org/templates/ioinst/Docs/PIM31/TOP5/mustika.pdf
Nijman, V, and K.A.I. Nekaris. 2014. Trade in Wildlife in Bali, Indonesia, for Medical and
Decorative Purposes. TRAFFIC Bulletin Vol. 26. No. 1: 31 – 36.
Nishiwaki, M., and H. Marsh. 1985. Dugong Dugon (Müller, 1776). Handbook of Marine
Mammals. London, p. 23.
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Cetakan kelima. Penerbit Djambatan: 372 pp.
Novaczek, I. and I. Harkes. 1998. An institutional analysis of Sasi Laut in Maluku, Indonesia.
WP No. 39, ICLARM, Manila, Philippines.
Novaczek, I., J. Sopacua, and I. Harkes. 2001. Fisheries management in Central Maluku,
Indonesia, 1997-1998. Marine Policy 25: 239-249.
Persoon, G., H. de Iongh, and B. Wenno. 1996. Exploitation, management and conservation of
marine resources: the context of the Aru Tenggara Marine Reserve (Moluccas,
Indonesia). Ocean & Coastal Management 32: 97-122.
Petocz, R.G. 1989. Conservation and development in Irian Jaya. A Strategy for Rational
Resource Utilization. E. J. Brill, Leiden, xxii + 218 pp.
Pietsch, T.W. 1991. Samuel Fallours and his “Sirene” from the Province of Ambon. Archives of
Natural History 18 (1): 1-25.
Pollock, K.H., H. Marsh, I. R. Lawler, and M. W. Aldridge. 2004. Improving the accuracy of
aerial surveys for dugongs. Final Report, AFMA/JCU, Canberra, Australia.
Preen, A. 1989. Technical Report Dugongs, Volume 1: The Status and Conservation of Dugongs
in the Arabian Region. Meteorological and Environmental Protection Administration
(MEPA), Ministry of Defence & Aviation Kingdom of Saudi Arabia. MEPA Coastal and
Marine Management Series: 200 pp. Preen, A. 1993. Interactions between dugongs and
seagrasses in a subtropical environment. PhD Thesis, Department of Zoology, James
Cook University of N. Queensland, Australia: 392 pp.
Preen, A. 1995a. Impacts of dugong foraging on seagrass habitats: Observational and ex-
perimental evidence for cultivational grazing. Marine Ecology Progress Series, 124: 201-
213.
Preen, A. 1995b. Satellite tracking of dugongs in northern Australia. Sirenews 22: 3–4.
129
Preen, A. 1995c. Diet of dugongs: are they omnivores? Journal of Mammalogy, 76 (1): 163-
171.
Preen, A. And H. Marsh. 1995. Response of dugongs to large-scale loss of seagrass from
Hervey Bay, Queensland, Australia. Wildl. Res., 22: 507 – 519.
Preen, A. R., W. J. Lee Long, and R. G. Coles. 1995. Flood and cyclone related loss and
potential recovery of more than 1000 km2 of seagrass in Hervey Bay (Queensland,
Australia). Aquatic Botany, 52: 3 -12.
Preen, A., H. Marsh, and G.E. Heinsohn. 1989. Technical Report Dugongs, Volume 2:
Recommendations for the conservation of dugongs in the Arabian Region.
Meteorological & Environmental Protection Administration (MEPA), Ministry of
Defence & Aviation, Kingdom of Saudi Arabia. MEPA Coastal and Marine Management
series, p. 43.
Rajamani, L. 2008. Using community information to assist in dugong conservation efforts in
Sabah, Malaysia. Paper submitted at the Workshop on Dugong Conservation Strategy and
Action Plan for Indonesia, 3-4 December 2008, Manado.
Rathburn, G.B., R.L. Brownell, K. Ralls, and J. Engbring. 1988. Status of dugongs in waters
around Palau. Mar. Mammal Sci. 4: 265–270.
Reidenberg, J. S. and J. T. Laitman. 2010. Generation of sound in marine mammals. In : S. W.
Brudzynski (ed.), Handbook of Mammalian Vocalization. Elsevier Inc. Oxford: 451-465.
Salm, R. 1984. Marine Conservation Atlas of Indonesia. WWF publication.
Salm, R.V., and J.R. Clark 1984. Marine and Coastal Protected Areas: A guide for Planners and
Managers. IUCN Wortkshop, World Congress on National Parks, Bali, Indonesia, 301
pp.
Salm, R.V., and M. Halim. 1984. Conservation Data Atlas. Planning for the Survival of
Indonesia’s Seas and Coasts: 41 pp.
Sheppard, J. 2006. Dugongs are both loons & homebodies. Australian Science: 23 – 25.
Singleton, J., and R. Sulaiman. 2002. Environmental Assessment Study - Komodo National Park
Indonesia. Indonesia, The Nature Conservancy SE Asia Centre for Marine Protected
Areas Staff : 29.
Stapel, J., T.L. Aarts, B.H.M. van Duynhoven, J.D. de Groot, P.H.W. van den Hoogen, and M.A.
Hemminga. 1996. Nutrient uptake by leaves and roots of the seagrass Thalassia
hemprichii in the Spermonde Archipelago Indonesia. Mar. Ecol. Prog. Ser. 134: 195–
206.
Tanji, M. 2008. US Court rules in the “Okinawa Dugong” case. Implications for US basis
overseas. Critical Asian Studies, 40: 475 - 487.
Tas’an, Sumitro, and S. Hendrokusumo. 1979. Some biological notes of two male dugongs in
captivity at the Jaya Ancol Oceanarium, Jakarta. Jakarta, Jaya Ancol Oceanarium: 29 pp.
Tjhin, I. 2001. News update on captive dugong in Indonesia. Sirenews 36: 13 – 19.
Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas.
The Ecology of Indonesia Series, Volume VIII, Part Two. Periplus Edition: 643-1388.
130
Trono, R.B. 1995. Results of a dugong (Dugong dugon) survey in the Phillipines. Proceedings
Mermaid Symposium, 15-17 November, Toba, Japan, p. 36.
UNEP/CMS. 2011. Report on UNEP/CMS Southeast Asia Regional Meeting on Dugongs and
Workshop on Developing Strandardised Analysis Protocols for Dugong Questionaire
Survey Project Data for South East Asia Region. Lawas, Sarawak, Malaysia, 26-29 July
2011.
WWF. 1981. Conservation Indonesia, Newsletter of the World Wildlife Fund Indonesia
Program. WWF Indonesia, p. 24.
WWF. 2004. Eastern African Marine Ecoregion. Towards a Western Indian Ocean Dugong
Conservation Strategy: The Status of Dugongs in the Western Indian Ocean Region and
Priority Conservation Actions. Muir, C.Ngusaru, A. Mwakanema, L. Dar es Salam,
Tanzania, WWF, 68 p.
Zacot, F. R. 2008. Orang Bajo: Suku Pengembara Laut – Pengalaman Seorang Antropolog.
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Forum Jakarta-Paris, Ecole francaise d’Extreme-
Orient: 482 pp.
131
Anugerah Nontji lahir di Makassar, 16 Oktober 1940. Pendidikan terakhir
ditempuhnya di IPB (Institut Pertanian Bogor) dengan meraih gelar Doktor
dalam bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (1985).
Kariernya dimulai sebagai peneliti di Lembaga Penelitian Laut tahun 1964
sampai akhirnya pensiun di tahun 2005. Pernah menjabat sebagai Kepala
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI (1993-1996), Deputi
Ilmu Pengetahuan Alam LIPI (1996-2001), ketua ISOI (Ikatan Sarjana
Oseanologi Indonesia) (1984-1987). Penghargaan yang pernah diterimanya
antara lain Sarwono Prawirohardjo Award dari LIPI atas kontribusinya dalam pengembangan
ilmu pengetahuan alam (2003), dan Lifetime Achievement Award for Better Understanding of
Indonesian Seas dari ISOI (2013). Email: anugerah_nontji@yahoo.com.
132