NIM : R011191125
Anafilaksis merupakan salah satu bentuk reaksi alergi yang fatal dan memerlukan
penanganan gawat darurat. Reaksi anafilaksis adalah respon imunologi yang berlebihan
terhadap suatu bahan dimana seorang individu pernah tersensitasi oleh bahan tersebut.
Etologi : antibiotic, obat-obatan, makanan dan lain-lain
Manifestasi klinis
o Rasa takut
o Kelemahan
o Keringat dingin
o Bersin
o Rinorhea
o Asma
o Rasa tercekik
o Disfagia
o Mual dan muntah
o Nyeri abdomen
o Inkontinensia
o Kehilangan kesadaran
o Urtikaria
o Angiodema
o Obstruksi respirasi
o Kolaps pembuluh darah
Diagnosis keperawatan :
o Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan bronkospasme
o Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi jantung
o Risiko syok berhubungan dengan reaksi anafilaksis
o Diare berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal
o Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal
o Hipertermi berhubungan dengan sepsis
o Risiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan sepsis
o Risiko reaksi alergi berhubungan dengan pajanan pada alergen
“Dermatitis Medikamentosa atau erupsi obat” adalah semua erupsi kulit yang disebabkan
oleh bermacam-macam bahan kimia yang digunakan untuk mendiagnosis, mencegah atau
mengobati penyakit dengan masuknya obat secara sistemik baik peroral, parenteral
maupun per-inhalasi.
Dermatitis medikamentosa memiliki ciri :
o Bentuk lesi eritem dengan atau tanpa vesikula
o Berbatas tegas
o Dapat soliter atau multipel.
Terutama pada bibir, glans penis, telapak tangan atau kaki. Penyebabnya dari obat-
obatan yang masuk kedalam tubuh melalui mulut, suntikan atau anal. Untuk
lokalisasinya bisa mengenai seluruh tubuh.
Etiologi : alergi sejati, reaksi yang dapaty diprediksi dan dapat dijelaskan oleh
farmakologi, intoleransi obat, dan pseudoalergi
Manifestasi klinis : Stadium tersebut tidak selalu berurutan, bisa saja sejak awal suatu
dermatitis memberi gambaran klinis berupa kelainan kulit stadium kronis. Mata gatal,
bersin-bersin, mengeluarkan ingus, batuk, gejala nafas sesak sampai terjadi serangan
asma. Sering pula muncul keluhan mual, muntah dan diare.
Patofisiologi : Untuk sebuah ikatan obat dan makromolekul jaringan kompleks menjadi
imunogenik harzus diproses oleh antigen dan sel yang bersangkutan (seperti sel
Langerhans dari kulit). Bersama-sama dengan antigen histokompatibiliti ke sebuah
limfosit T sebagai hasil dari presentasi terjadi aktivasi dari populasi sel T . Kemudian sel
intraepidermal CD8+(citotoxic) T cell aktif, sel intraepidermal CD8+T didalam lesi
memiliki peran utama dalam pembangunan kerusakan jaringan. Sel mast berkontribusi
pada aktivitas sel intraepidermal CD8+T melalui induksi molekul adhesi sel pada
keratinosit. Lesi berkembang, kerasinoit dibunuh langsung oleh sel intraepidermal
CD8+T. Sel intraepidermal CD8+T membunuh keratinosit dan melepaskan sejumlah
besar sitokin seperti IFN-γ(interferon gamma). Kemudian IFN-γ mengakibatkan
kerusakan jaringan meningkat sehingga memberikan kontribusi untuk tahap akhir
perkembangan lesi.
Diagnosis keperawatan :
o Resiko kerusakan integritas kulit b.d terpapar alergen d.d adanya fisura, krusta,
pustule, ada pengelupasan kulit, ada edema, kemerahan, rasa terbakar.
o Hambatan rasa nyaman b.d pruritus ditandai dengan pasien melaporkan gatal,
pasien terlihat menggaruk-garuk area alergi.
o Kerusakan integritas kulit b.d kekeringan pada kulit ditandai dengan kulit terlihat
kusam dan kering.
Lateks adalah bahan yang sering digunakan pada beberapa produk peralatan medis dan
salah satunya adalah sarung tangan. Penyebabnya adalah karena sarung tangan lateks
sangat baik sebagai barier perlindungan dalam praktek perawatan kesehatan.
The Center for disease Control (CDC) pada tahun 1987 memperkenalkan penggunaan
sarung tangan lateks untuk mencegah penularan penyakit yang berkaitan dengan
ditemukannya penyakit AIDS dan penyakit infeksi lainnya, sehingga menyebabkan
penggunaan sarung tangan lateks berkembang pesat.
Lateks karet alam banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan produk-produk
kesehatan, seperti sarung tangan, alat kontrasepsi, silikon gigi pembuka mulut, kateter,
selang infus, dan tabung sengstaken-blakemore.
Epidemiologi :
o Alergi lateks terjadi pada sekitar 1-5% dari populasi umum, dengan prevalensi
meningkat pada individu atopik.
o Prevalensi tertinggi alergi lateks (20-68%) ditemukan pada pasien dengan spina
bifida atau kelainan urogenital bawaan.
o Pasien lain dengan sejarah beberapa pembedahan juga berisiko meningkat relatif
terhadap populasi umum.
o Prevalensi alergi lateks meningkat pada orang dengan alergi terhadap alpukat,
pisang, coklat, kiwi, pepaya, peach, nectarine.
Manifestasi klinis :
o Tipe I alergi telah terlibat jelas dalam intraoperatif dan intraprocedure anafilaksis,
dan dapat berakibat fatal tanpa pengobatan muncul.
o Gejala hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV ) biasanya berkembang dalam waktu
1-2 hari setelah terpapar. Hipersensitivitas segera (tipe I) menyebabkan gejala
dalam beberapa menit setelah paparan.
o Gejala dermatitis kontak iritan dapat terlihat dalam waktu beberapa menit atau
beberapa jam setelah paparan (tergantung pada perorangan).
Diagnosis keperawatan :
o Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif b.d: Banyaknya mukus, dan adanya alergi di
jalan nafas ditandai dengan adanya mengi/wheezing, dispneu, dll.
o Risiko Infeksi b.d: Adanya peradangan (lesi) ditandai dengan adanya luka
terbuka.
o Kerusakan Integritas Kulit b.d: Adanya substansi kimia (alergen) yang ditandai
dengan adanya reaksi ingin menggaruk secara berlebihan.
o Gangguan Citra Tubuh b.d: Kognitif/persepsi yang ditandai dengan adanya
luka/lesi pada kulit.
Evidenced based : Pada proses pembuatan sarung tangan karet ditambahkan powder yang
berfungsi sebagai pelican sehingga protein yang terdapat pada lateks karet alam akan
berikatan dengan powder tersebut. Powder tersebut bertindak sebagai protein carrier
lateks akret alam dan merupakan suatu airbone allergens (Tarlo dkk, 1994). Dengan
demikian, proses sensitisais terhadap lateks dapat terjadi melalui kontak dengan kulit atau
mukosa, kontak peritoneal selama pembedahan dan inhalasi airbone allergens.
Penggunaan lateks karet alam sebagai bahan baku sarung tangan menghadapi masalah
karena diketahui mengandung protein allergen (hypo allergenic protein) yang berpotensi
menyebabkan penyakit kanker (Marlina, 2008) saat direaksikan dengan senyawa
karbamat yang menimbulkan nitrosamine (Utamaet al, 1999), dan menyebabkan alergi
pada kulit (Prihatin et al, 2014).