Anda di halaman 1dari 6

Ikatan Akuntan Indonesia atau IAI (2015), dalam SAK No.

1, menyatakan bahwa pelaporan


keuangan memuat informasi penting mengenai pelaporan keuangan entitas. Kasmir (2016) juga
menjelaskan bahwa tujuan pembuatan keuangan adalah untuk pelaporan kepada pemangku
kepentingan dan manajemen. Sudana (2019) secara lebih spesifik menyatakan bahwa informasi
dalam laporan keuangan dapat digunakan oleh kedua pemangku kepentingan sebagai dasar
pengambilan keputusan.

Manajer memiliki kepentingan dalam menyajikan laporan keuangan yang baik meskipun
mereka juga dapat memanipulasinya (Perols & Lougee, 2011; Ratmono, 2017; Skousen, Smith,
& Wright, 2009). Mereka memanipulasi beberapa informasi dalam laporan keuangan agar
laporan tersebut menunjukkan kinerja keuangan yang sangat baik; pada kenyataannya,
perusahaan tidak dalam kondisi baik. Dalam hal ini, manajer melakukan kecurangan.

Association of Certified Fraud Examiners, dalam laporannya kepada bangsa (ACFE, 2016),
menyatakan bahwa ada tiga jenis kecurangan: korupsi, penyelewengan aset, dan penipuan
laporan keuangan. Selain itu, terungkap pula grafik fraud yang menimbulkan kerugian paling
signifikan seperti yang disajikan pada Gambar 1. Data pada Gambar 1 menunjukkan bahwa
financial statement fraud merupakan jenis fraud dengan tingkat kerugian yang paling tinggi
dibandingkan dengan penyelewengan aset dan korupsi. Untuk itu, penelitian ini berfokus pada
kecurangan laporan keuangan.

Gambar 1

Kategori Penipuan Pekerjaan – Kerugian Median

Association of Certified Fraud Examiners (ACFE, 2016) juga menjelaskan bahwa pada tahun
2016 merupakan periode paling kritis terjadinya kecurangan laporan keuangan dibandingkan
dengan tahun 2012 dan 2014. Gambar 2 menunjukkan grafik frekuensi kecurangan laporan
keuangan. Gambar 1 menunjukkan bahwa frekuensi keuangan

statement fraud tahun 2016 lebih tinggi dibandingkan tahun 2012 dan 2014. Oleh karena itu,
penelitian ini menggunakan periode tahun 2016, 2015, dan 2017 sebagai tahun sebelum dan
sesudah laporan tersebut. Pasalnya, peningkatan frekuensi fraud dapat dikaitkan dengan tahun
sebelumnya, dan hal ini dapat berdampak pada tahun berikutnya.

Di Indonesia, kasus kecurangan pelaporan keuangan juga terjadi di sektor perbankan.


Contohnya adalah kasus fraud audit di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kecamatan Tapung Raya,
Kabupaten Kampar, Riau, dan kasus tersebut merupakan transfer fiktif yang dilakukan oleh
kepala unit sebesar Rp 1,6 miliar. Kronologis ditemukannya transfer fiktif itu terungkap pada 23
Februari 2015, saat tim pemeriksa internal BRI Cabang Bangkinang melakukan pemeriksaan
terhadap unit BRI Tapung untuk menemukan kejanggalan transaksi. Hasil pemeriksaan
menunjukkan bahwa terdapat ketidaksesuaian neraca dengan kas yang tidak seimbang; hal ini
disebabkan adanya catatan pengiriman uang tetapi tidak disertai dengan uang tersebut. Setelah
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, pembukaan setoran tunai sebesar Rp. 1,6 miliar. Uang
tersebut ditransfer dari BRI unit Pasir Pangaraian II ke BRI unit Tapung Raya. Sehingga kasus
penggelapan tersebut dilaporkan ke polisi. Dalam kasus ini, pelaku dijerat dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, pelaku diancam dengan hukuman 10 tahun
penjara plus denda (Ningtyas, 2015). Dari kasus tersebut dapat diketahui bahwa kecurangan
perbankan terjadi pada unit BRI Tapung Raya karena adanya penggelapan uang dan pencatatan
pengiriman uang tanpa uang (Ningtyas, 2015).

Fraud Pentagon menjelaskan faktor-faktor pendorong terjadinya kecurangan perusahaan baik


dalam korupsi, penyalahgunaan aset, maupun manipulasi laporan keuangan perusahaan
(Crowe, 2011). Namun, Ratmono dkk. (2018) mengungkapkan bahwa teori pentagon fraud di
Indonesia belum digeneralisasikan dengan baik karena perbedaan kondisi sosial, politik,
budaya, dan ekonomi. Namun jika diterapkan, masyarakat dapat menggunakan teori pentagon
fraud ini sebagai media untuk mendeteksi bahkan mencegah terjadinya fraud dalam
manajemen perusahaan.

Ada tiga elemen pendorong bagi orang untuk melakukan penipuan, yang disebut teori segitiga
penipuan: tekanan, peluang, dan rasionalisasi (Crowe, 2011). Teori segitiga penipuan
dikembangkan menjadi penipuan berlian dengan adanya elemen keempat, yaitu kapabilitas.
Crowe (2011) kemudian mengembangkan teori fraud pentagon, yang merupakan
pengembangan dari teori diamond fraud, dengan menambahkan unsur kelima yaitu arogansi.
Hal ini karena teori-teori sebelumnya dianggap tidak dapat digunakan dalam segala situasi.

Elemen pertama adalah tekanan. Ini menekankan dorongan tekanan manajemen untuk
melakukan penipuan (Singleton, 2010; Zahra, Priem, & Rasheed, 2005). Tekanan bagi
manajemen dapat mempengaruhi kecurangan dalam laporan keuangan, karena adanya
tekanan dari target keuangan. Manajemen dalam hal ini cenderung ditekan untuk memenuhi
ekspektasi investor untuk menyajikan laporan keuangan yang baik. Tekanan terhadap
manajemen juga dapat berupa tekanan melalui stabilitas kinerja keuangan perusahaan. Dalam
posisi seperti itu, manajemen ingin menyelamatkan perusahaan dengan menyajikan laporan
keuangan yang menunjukkan pertumbuhan pesat dan profitabilitas tinggi.

Unsur peluang dapat menjadi motivator untuk melakukan kecurangan. Tentu saja tidak
menutup kemungkinan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan (Singleton, 2010; Wilks &
Zimbelman, 2004; Zahra et al., 2005).
Sistem pengawasan yang tidak efektif dapat memicu terjadinya tindakan penipuan terhadap
laporan keuangan karena menganggap undang-undang yang ada tidak begitu ketat. Sifat
industri juga dapat memberikan manajemen kesempatan untuk melakukan penipuan. Misalnya,
manajemen dapat lebih leluasa memanipulasi akun-akun yang penilaiannya menggunakan
penilaian atau estimasi subjektif.

Adanya rasionalisasi dapat memberikan dorongan untuk melakukan fraud dan menganggap
fraud sebagai tindakan yang benar atau rasional (Singleton, 2010; Skousen et al., 2009).
Pergantian Auditor dapat mempengaruhi rasionalisasi fraud karena ketika terjadi pergantian
auditor atau kantor akuntan publik maka akan terjadi masa transisi dalam perusahaan. Oleh
karena itu, manajemen dapat merasionalisasi tindakan fraud.

Unsur kapabilitas atau kompetensi juga dapat mendorong terjadinya fraud karena adanya
sumber daya manusia yang kompeten yang memahami dengan baik kondisi perusahaan.
Manajer yang berpengalaman ini dapat memanfaatkan kondisi tersebut sebagai peluang untuk
melakukan kecurangan (Kurnia & Anis, 2017; Zahra et al., 2005). Pergantian direksi juga dapat
mendorong untuk melakukan kecurangan. Ketika tidak ada pergantian direksi dalam waktu
yang lama, direksi di kantor harus memahami semua kondisi dan masalah yang dialami
perusahaan. Direksi ini tentu memahami kondisi perusahaan. Dengan kemampuannya, mudah
bagi mereka untuk melakukan penipuan. Oleh karena itu, ketika direksi ini sudah lama tidak
diganti, tentu direksi ini memahami kondisi perusahaan. Kemudian, dengan kemampuannya,
mereka dapat dengan mudah melakukan penipuan.

Unsur terakhir adalah arogansi, dimana manajer bersikap arogan atau merasa superior. Mereka
merasa bahwa kebijakan dan pengendalian internal perusahaan tidak berlaku bagi manajemen.
Mereka merasa bebas dari kebijakan dan pengendalian internal perusahaan (Kurnia & Anis,
2017; Zahra et al., 2005). Frekuensi foto CEO yang ditampilkan pada laporan keuangan dapat
mewakili kesombongan atau keunggulan mereka karena posisinya dalam manajemen (Bastomi,
2018; Habib & Hossain, 2013; Schrand & Zechman, 2012). Hubungan politik dengan CEO dapat
menjadi faktor terjadinya kecurangan karena memiliki hubungan dekat dengan pemerintah
atau pihak yang berkuasa dapat menjaga posisi dan reputasinya. Misalnya, dalam keadaan sulit,
CEO dengan hubungan politik dapat menggunakan hubungan ini untuk menjaga nilai
perusahaan (Nurbaiti & Hanafi, 2017; Wang, Chen, Chin, & Zheng, 2017). Eksistensi perusahaan
merupakan pendorong terjadinya fraud karena kepentingan manajemen untuk
mempertahankan eksistensi perusahaan di mata publik. Mereka melakukannya dengan
mengembangkan kinerja perusahaan melalui laporan keuangan yang dipublikasikan. Oleh
karena itu—dalam kondisi apapun—perusahaan akan bergantung pada keberadaannya
(Handayani, 2008).
Penelitian ini untuk menguji teori pentagon fraud sebagai pendeteksian kecurangan dalam
laporan keuangan dengan menggunakan target keuangan, stabilitas keuangan, dan tekanan
eksternal sebagai elemen tekanan. Studi ini menggunakan pemantauan dan sifat industri yang
efektif untuk elemen peluang. Juga digunakan pergantian auditor untuk unsur rasionalisasi,
pergantian direksi untuk unsur kapabilitas, dan frekuensi foto CEO, koneksi politik, serta
keberadaan perusahaan untuk unsur arogansi.

Penelitian ini mencoba memberikan manfaat bagi pendidikan tentang faktor-faktor penyebab
terjadinya kecurangan baik dalam bidang akademik maupun praktik. Hal ini juga dapat
digunakan untuk saran penerapan pengendalian internal bagi entitas dalam pengambilan
keputusan bagi para pemangku kepentingan. Indeks saham terdiri dari 45 emiten dengan
tingkat likuiditas tinggi setelah memenuhi kriteria seleksi (Sahamok, 2009). Dalam memilih
emiten yang akan masuk dalam indeks LQ45, peneliti menggunakan likuiditas dan kapitalisasi
pasar, dan perubahan saham LQ45 dilakukan setiap enam bulan sekali.
Teori agensi

Anthony & Govindarajan (2007) mendefinisikan teori keagenan sebagai hubungan formal
antara agen atau pihak yang berkepentingan dalam proses penganggaran, misalnya direktur
perusahaan dan manajer divisi. Teori ini menekankan pada desain pengukuran kinerja dan
penghargaan sehingga manajer berperilaku positif atau menguntungkan terhadap perusahaan
secara keseluruhan. Analisis dalam teori keagenan membutuhkan spesifikasi formal dari
pembuat anggaran mengenai preferensi dan sikapnya terhadap risiko dan keyakinan serta
pernyataan tentang situasi, tindakan, dan fungsi hasil.

Fraud Triangle
The concept of the fraud triangle originated from research conducted by Cressey (1953), arguing that
fraud can be triggered by three factors such as trust violators, namely those who deny or violate the trust
or trust entrusted to them. Cressey, specifically, discussed it caused violators to lose temptation at work.
The three factors are pressure, opportunity, and rationalization (Figure 2).

Berlian Penipuan
Konsep teori diamond fraud merupakan pengembangan dari teori fraud triangle dimana dalam teori ini
telah dikembangkan unsur keempat yang menjadi faktor pendorong terjadinya fraud yaitu kemampuan
(capability). Wolfe dan Hermanson (2004) berpendapat bahwa dalam tindakan penipuan bahkan
mendorong pintu ada peluang dengan tekanan dan rasionalisasi, tetapi para pemain harus memiliki
kemampuan untuk mengenali peluang yang tepat sebagai peluang dan memanfaatkannya seperti orang
yang tidak memilikinya. kemampuan menjadi benar, dan kemudian, kemungkinan penipuan dapat
terjadi lebih kecil. Sebagai ilustrasi, fraud diamond dapat digambarkan pada Gambar 3.

Penipuan Pentagon
Crowe, (2011) menyatakan bahwa fraud pentagon merupakan penyempurnaan dari fraud triangle,
dimana terdapat unsur kelima yaitu arogansi. Crowe (2011) menyatakan bahwa ada unsur kelima dalam
pentagon penipuan karena unsur dalam segitiga penipuan dan berlian penipuan tidak dapat digunakan
di semua situasi. Dengan unsur kelima yaitu arogansi, fraud pentagon dapat digunakan dalam segala
situasi untuk mendeteksi fraud dalam laporan keuangan. Secara umum, Crowe, (2011) menggambarkan
pentagon penipuan seperti pada Gambar 4.

Penipuan Laporan Keuangan


Kecurangan atas laporan keuangan yang dikenal dengan istilah kecurangan pelaporan keuangan
didefinisikan sebagai kamus hukum hitam (Priantara, 2013). Adalah suatu laporan atau pernyataan yang
tidak benar atau dibuat sembarangan tanpa disadari atau dipedulikan apakah laporan tersebut benar
atau salah dan dimaksudkan untuk mempengaruhi orang yang menggunakan laporan tersebut sehingga
menderita kerugian. Priantara (2013) juga mendefinisikan fraud menurut ACFE, yaitu penggambaran
atau penyajian keuangan suatu organisasi yang secara sengaja salah. Hal ini dapat dicapai melalui salah
saji yang disengaja atau penghilangan suatu nilai atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang
bertujuan untuk mengelabui para pemakai laporan keuangan model penelitian ulang berdasarkan uraian
sebelumnya, model penelitian dapat digambarkan seperti pada Gambar 5.

Target Keuangan
Dengan adanya target keuangan, manajemen harus berusaha untuk membuat kinerja perusahaan
menjadi baik dengan memenuhi target atau harapan perusahaan terhadap kinerja keuangan yang telah
ditentukan. Dalam hal ini, kecurangan dalam laporan keuangan dapat terjadi jika perusahaan tidak dapat
memenuhi target keuangan. Dalam hal itu, manajer memanipulasi laporan keuangan mereka sehingga
mereka merasa telah mencapai target (Bawekes, Simanjuntak, & Daat, 2018; Dechow, Ge, Larson, &
Sloan, 2011; Kurnia & Anis, 2017; Nurbaiti & Hanafi, 2017; Wahyuni & Budiwitjaksono, 2017).
Penelitian Bawekes et al., (2018) dan Kurnia & Anis, (2017) membuktikan bahwa target keuangan yang
diproksikan dengan return on assets (ROA) dapat mempengaruhi terjadinya kecurangan dalam laporan
keuangan. Kirkos, Spathis, dan Manolopoulos (2007) dan Summers dan Sweeney (1998) mengungkapkan
bahwa ROA yang lebih tinggi mendorong penipuan keuangan. Berdasarkan argumen di atas, hipotesis
dinyatakan sebagai berikut.

Anda mungkin juga menyukai