Anda di halaman 1dari 63

TUTORIAL CASE

BLOK NBSS

“MENINGOENSEFALITIS”

D4
Nama Tutor : dr. Wahyunia
Nama Anggota Kelompok :
 Hana Fathia Ardi (1010211077)
 Hasyati Dwi Kinasih (1010211023)
 Reza Angga Pratama (1010211050)
 Anna Andany Lestari (1010211056)
 Maulana Wasis Waskito (1010211069)
 Niken F. K Utami (1010211074)
 Restu Kaharseno (1010211098)
 Afria Beny Safitri (1010211160)
 Rahma Cita Halida (1010211180)
 Sanni Rizky Putri (1010211183)

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “ VETERAN” JAKARTA


2010/2011
Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta
Tahun Ajaran 2010/2011
Lembar Pengesahan

Mengetahui,
Tutor Tutorial D-4

dr. Wahyunia

Ketua

Hana Fathia Ardi

(1010211077)

Sekretaris I Sekretaris II

Niken F. K Utami Maulana Wasis Waskito

(1010211074) (1010211069)
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, tiada Tuhan selain Allah SWT
dan tiada sekutu bagi-Nya. Begitu banyak dan berlimpah nikmat yang telah Ia berikan
terutama nikmat Iman, Islam, dan Ihsan. Puji syukur kami panjatkan yang dengan
izinNya maka makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini merupakan makalah
mengenai kasus “Kejang Demam” yang didiskusikan sejak tanggal 19 Maret 2012
sampai 23 Maret 2012

Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Wahyunia atas segala


pengarahan, bimbingan, dan kasih sayang yang telah dicurahkan selama proses
tutorial. Terima kasih juga kepada kelompok tutorial D-4 atas kerjasamanya mulai dari
proses pembahasan hingga pembuatan makalah ini. Tujuan dari pembuatan makalah
ini adalah sebagai laporan dan kesimpulan dari diskusi yang telah kami lakukan dalam
pembahasan kasus pertama di blok NBSS ini serta untuk menambah pengetahuan
penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan,
maka dari itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca agar kami dapat lebih baik lagi untuk ke depannya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pihak yang membutuhkan, khususnya bagi tim penulis sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai. Amin

Jakarta , 23 April 2012


DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................... i
KATA PENGANTAR…………………………………………………. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………....... iii
CASE............................................................................................. 5
Learning Progress......................................................................... 8
Fisiologi Kesadaran....................................................................... 9
Fisiologi Tidur................................................................................ 10
Koma............................................................................................. 13
Infeksi SSP.................................................................................... 15
Virus........................................................................................
Bakteri.....................................................................................
Spirochaeta.............................................................................
Fungus......................................................................................
Protozoa.....................................................................................
Metazoa......................................................................................
Meningitis..........................................................................................
Ensefalitis..........................................................................................
Meningoensefalitis............................................................................
Abses Serebri....................................................................................
INTERPRETASI KASUS....................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................
CASE

PAGE 1
Tn. Parto berusia 30 tahun, datang diantar ibunya ke unit gawat darurat RSPAD Gatot
Subroto dengan keluhan mengalami kejang. Kejang terjadi di seluruh tubuh. Kejang yang
dialami hanya berlangsung selama 3 menit. Dan saat kejang ia dalam keadaan tidak sadar.

Riwat Penyakit Sekarang


Sudah sejak dua minggu terakhir, pasien mengalami sakit kepala hebat seperti ditusuk,
terus menerus diseluruh kepala dan kaku di leher bagian belakang. Ia sering mengkonsumsi obat
sakit kepala yang dibeli di warung, namun sakitnya tak kunjung sembuh. Berat badan pasien
mengalami penurunan drastis.

Riwayat Penyakit Dahulu


Parto adalah seorang pecandu narkoba, ia sering menggunakan jarum suntik bergantian
dengan teman-temannya sesama pecandu narkoba. Ia menjadi seorang pecandu narkoba sejak 10
tahun terakhir.

PAGE 2
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : delirium
Vital sign
- HR : 100x/menit
- RR : 20 x/menit
- Suhu : 37,50 C
- TD : 120/80 mmHg
Tatto : (+) hampir di seluru tubuh
Needle track : (+)
Mata : RCL/RCTL = ++/++, papil edema (-)
Mulut : leukoplakia (+), oral thrush (+)
Kelenjar getah bening : tidak teraba membesar

Pemeriksaan Neurologis
GCS : E4V2M6
Motorik : hemiparesis tidak ada, normotonus, normotrofi
Reflex Fisiologis
- Refleks biceps/triceps: (+) normal
- Refleks patella/achiles: (+) normal
Reflex Patologis
- Refleks babinski : (-)
Meningeal sign
- Kaku kuduk : (+)
- Brudzinsky I : (+)
- Brudzinsky II : (+)
- Kernig : (+)

Pemeriksaan Laboratorium
- Hb : 12,4 g/dl
- Ht : 42%
- MCV : 60%
- Leukosit : 4500/mm3
- Trombosit : 240.000/mm3
- Diff count : 0/0/0/63/24/13
- GDS : 98 mg/dl
- Pemeriksaan dengan tinta india : kriptokokus (+)
- CT scan : edema difus cerebri
PAGE 3
Dari hasil pemeriksaan western blot, didapatkan pasien HIV (+) dan didiagnosis
mengalami meningoensefalitis akibat kriptokokus. Saat ini pasien masih dirawat di ICU.
Penatalaksanaan :
Manitol IV 4x125 cc
Ranitidin 2x1 ampul
Fluconazole 200 mg/hari IV

Pada perawatan hari ke 6, pasien masih mengalami pusing kepala, disertai muntah dan
mulai terjadi penurunan kesadaran, dan akhirnya pasienmeninggal pada perawatan hari ke7.
FISIOLOGI KESADARAN

Kesadaran adalah keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls eferen dan aferen.
Substrat kualitas dan derajat kesadaran ditentukan oleh jumlah (kuantitas) input susunan saraf
pusat . Input susunan saraf terdiri dari input spesifik dan input non spesifik.
 Input SSP spesifik
- Perjalanan impuls aferen yang khas dan kesadaran yang diteruskan oleh impuls aferen
khas juga
- Lintasan spesifik menghantarkan impuls dari satu titik pada alat reseptor ke satu titik pada
korteks perseptif primer
- Setibanya impuls aferen spesifik di tingkat korteks terwujudlah suatu kesadaran akan
suatu modalitas perasaan yang spesifik, yaitu perasaan nyeri di kaki atau di wajah atau
suatu penglihatan, penghiduan, pendengaran.
 Input SSP non spesifik
- Sebagian dari impuls aferen spesifik yang disalurkan melalui lintasan aferen non-spesifik
- Lintasan aferen non spesifik menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh
ke titik pada seluruh korteks serebri kedua sisi
- Lintasan ini terdiri dari serangkaian neuron neuron di substansia retikularis medulla
spinalis dan batang otak yang menyalurkan impuls aferen ke thalamus yaitu inti
intralaminar
- Setibanya di inti intralaminar akan menggalakan inti tersebut untuk memancarkan impuls
yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan bilateral
- Lintasan aferen non spesifik lebih dikenal dengan “difuse ascending reticular system

Neuron Penggemban Kewaspadaan Dan Neuron Penggalak Kewaspadaan


 Neuron Pengemban Kewaspadaan
Neuron-neuron di seluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls aferen non
spesifik (derajat kesadaran bias tinggi atau rendah bergantung pada jumlah neuron-
neuron tersebut yang aktif)
 Neuron Penggalak Kewaspadaan
Aktivitas neuron-neuron tersebut digalakkan oleh neuron-neuron yang menyusun
inti talamik yang dinamakan nuclei intralaminar

Gangguan Kesadaran
Gangguan kesadaran terjadi karena ada gangguan pada neuron pengemban kewaspadaan
yang tidak berfungsi atau pada neuron penggalak kewaspadaan yang tidak berdaya untuk
mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan.
FISIOLOGI TIDUR

Definisi
 Suatu kondisi tidak sadar di mana individu dapat dibangunkan oleh stimulus atau sensori
yang sesuai.
 Status perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan
menurun.
 Suatu proses aktif yang terdiri dari periode-periode tidur gelombang-lambat dan paradoksikal
yang berseling-seling.

Pengaturan tidur
 Reticular Activating System (RAS)
- RAS di bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat
mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran; memberi stimulus visual, pendengaran,
nyeri, dan sensori raba; serta emosi dan proses berfikir. Pada saat sadar, RAS melepaskan
katekolamin.
 Bulbar Synchronizing Region (BSR)
- pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari BSR.

Macam-macam tidur
1. Tidur NREM (Non Rapid Eye Movement)
- jenis tidur yang disebabkan menurunnya kegiatan di dalam sistem pengaktivasi retikularis
atau disebut dengan tidur gelombang lambat.
- Perpindahan tahap 1-4 berkisar 30 sampai 45 menit.
 Tahap 1
- Tahap ini berlangsung selama 5 menit. Tahap transisi antara bangun dan tidur dengan
ciri sebagai berikut:
 rileks
 masih sadar dengan lingkungan
 merasa mengantuk
 bola mata bergerak dari samping ke samping
 frekuensi nadi dan napas sedikit menurun
 dapat bangun segera

 Tahap 2
- Tahap ini berlangsung pendek dan berakhir 10-15 menit. Merupakan tahap tidur ringan
dan proses tubuh terus menurun dengan ciri sebagai berikut:
 mata pada umumnya menetap
 denyut jantung dan frekuensi napas menurun
 temperatur tubuh menurun
 metabolisme menurun
 Tahap 3
- Merupakan tahap tidur dengan ciri denyut nadi dan frekuensi napas dan proses tubuh
lainnya lambat, disebabkan adanya dominasi sistem saraf parasimpatis sulit untuk bangun
 Tahap 4
- Merupakan tahap tidur dalam dengan ciri:
 kecepatan jantung dan pernapasan turun
 jarang bergerak
 sulit dibangunkan
 gerak bola mata cepat
 sekresi lambung menurun
 tonus otot menurun

2. Tidur REM (Rapid Eye Movement)


- jenis tidur yang disebabkan oleh penyaluran isyarat-isyarat abnormal dari dalam otak
meskipun kegiatan otak mungkin tidak tertekan.
- Terdapat pada akhir siklus gelombang lambat.
- Berlangsung 10-15 menit.
- Otak cenderung aktif dan metabolismenya meningkat hingga 20%.
- Ciri tidur REM adalah sebagai berikut:
 Biasanya disertai dengan mimpi aktif.
 Lebih sulit dibangunkan.
 Tonus otot selama tidur nyenyak sangat tertekan, menunjukkan inhibisi kuat proyeksi
spinal atas sistem pengaktivasi retikularis.
 Frekuensi jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur.
 Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur.
 Mata cepat tertutup dan terbuka, nadi cepat dan tidak teratur, tekanan darah
meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat, dan metabolisme meningkat.
 Tidur ini penting untuk keseimbangan mental, emosi, juga berperan dalam belajar,
memori, dan adaptasi.
KOMA

Koma merupakan suatu keadan dimana kesadaran menurun pada derajat yang terendah,
atau korteks serebri kedua sisi tidak lagi menerima impuls aferen aspesifik.
Gangguan yang dapat menimbulkan koma dapat tercakup dalam gangguan :
- Di substansia retikularis bagian batang otak yang paling rostral
o Infratentorial
o Supratentorial
- Gangguan difus pada kedua hemisferium
Hemisferium kedua sisi dapat terganggu secara menyeluruh jika sel-sel yang menyusun
korteks serebri kedua sisi mengalami gangguan metabolic akibat racun endogenik maupun
eksogenik.

 Koma Infratentorial Diensefalik


Ada dua macam proses patologik di dalam ruang infratentorial yang dapat menimbulkan
koma
1. Proses patologik di dalam batang otak yang dapat merusak substansia retikularis
- Lesi vascular yang merusak substansia reticularis akibat penyumbatan arteria
serebri superior.
- Lesi vascular di pons meliputi penyumbatan arteri-arteri perfontares yang
berinduk pada arteria basilaris
- Perdarahan trauma kapitis bias merusak tegmentum batang otak berikut
substansia retikularis
2. Proses diluar batang otak yang mendesak dan mengganggu fungsi substansia
retikularis
- Neoplasma, abses, perdarahan di serebrum yang mendesak batang otak dari luar

 Koma Supratentorial Diensefalik


Semua proses supratentorial yang dapat mengakibatkan destruksi dan kompresi
pada substansia retikularis diensefalik (nuclei intralaminares) akan menimbulkan koma.
Destruksi bias terjadi karena perdarahan, metastasis tumor, atau bisa juga karena infeksi
misalnya meningitis. Kompresi yang tersebut diatas disebabkan oleh proses desak ruang ,
dimana terbagi menjadi 3 golongan : (1) Proses desak ruang yang meninggikan tekanan
di dalam ruang intracranial supratentorial secara akut ; (2) lesi yang menimbulkan
syndrome unkus ; (3) lesi supratentorial yang menimbilkan syndrome kompresi
rostokaudal terhadap batang otak
o Tekanan intracranial supratentorial yang mendesak menjadi tinggi
 Keadaan ini bisa dijumpai jika terdapat hemorargia serebri yang massif atau
perdarahan epidural
 Mendesak bangunan yang terletak infratentorial
 Manifestasi klinis : Tekanan darah meningkat, nadi lambat, kesadaran
menurun secara progresif
o Sindrom Unkus
 Dikenal juga sindrom kompresi diensefalon ke lateral
 Proses desak ruang di bagian lateral dari fosa crania media . desakannya
mengakibatkan gangguan pada nervus okulomotorius
 Manifestasi klinis : dilatasi pupil kontralateral, kelumpuhan nervus
okulomotorius totalis
o Sindrom Kompresi Rostokaudal terhadap batang otak

 Koma Bihemisferik Difus


o Koma bihemisferik difus terjadi karena metabolism neuronal kedua belah
hemisferium terganggu secara difus.
o Proses Metabolisme ini meliputi penyediaan dan pengaturan keseimbangan natrium
dan kalium di dalam dan diluar sel, membuat zat-zat yang diperlukan untuk
memungkinkan serah terima potensial aksi antar neuron (neurotransmitter), mengolah
katabolit-katabolit yang akan dimanfaatkan untuk resistensi enzim dan unsure-unsur
sel
o Bila terjadi kekurangan bahan-bahan yang diperlukan dalam proses metabolism,
maka proses metabolism akan terganggu dan neuron di kedua hemisferium menjadi
tidak berfungsi dengan baik hingga dapat menyebabkan penurunan kesadaran

INFEKSI SSP

I. INEKSI VIRUS

 Cara masuk virus ke dalam sel pejamunya :


 Melekat
 Penetrasi
 Pelepasan kapsid
 Proses replikasi
 Pelepasan virus
 Ada 2 macam virus yang menimbulkan manifestasi neurologik : ada virus yang tergolong
dengan virus neurotropik dan virus viserotropik
 Tetapi virus viserotropik mempunyai kecenderungan tertangkap oleh sel mukosa traktus
digestivus hanya pada kondisi2 tertentu untuk tiba di sel sel saraf.
 Kondisinya :
o Jumlah virus yang melakukan invasi besar sekali
o Daya ketahanan tubuh yang rendah
o Karena bantuan biokimiawi kepada susunan saraf berkurang, akibat kerusakan
diginjal, diparu, hepar, jantung, susunan eritropoietik
 Setelah melakukan serangkaian cara masuk dan penyebarannya, baru timbul manifestasi2
toksemia dan disusul oleh manifestasi2 lokalisatorik
 Gejala toksemia : sakit kepala, febrile convulsion, vertigo, parestesia, lemas letih seluruh
tubuh, nyeri retrobulbar, tidak jarang “organic brain syndrome”
 Manifestasi lokalisatorik : sindrom meningitis, ensefalitis,meningoensefalitis
 Enterovirus merupakan penyebab utama dari meningitis viral
 Sebagian dari enterovirus dan neurotropik virus lainnya membangkitkan ensefalitis
 Pembauran keduanya bisa menyebabkan meningoensefalitis
II. INFEKSI BAKTERIAL

Kuman masuk ke dalam permukaan sel kemudian ditangkap oleh lisosom kemudian
datang fagosit yang emmakan kuman sehingga kuman dihancurkan. Reruntuhan kuman
itu merupakan racun (toksin) yang nantinya akan diserap oleh aliran darah sehingga
timbul gejala toksemia (demam, perasaan tidak enak badan, anoreksia, selesma, batuk,
dll). Nah, misalkan tubuh kita kalah oleh invasi bakteri tersebut maka kuman akan terus
berkembang biak dan masuk ke dalam aliran darah kemudia masuk ke dalam otak
dikarenakan otak tidak memiliki system seperti tubuh kita sehingga dia mudah dimasuki
oleh mikroorganisme dan menimbulkan kerusakan (radang) sehingga timbul gejala.

Gejala toksemianya meliputi sakit kepala, nyeri retroorbital , nyeri pinnggang bagian
bawah, nyeri otot, pusing, parastesia, fotofobia, latergia, delirium.

Gejala lokalisatoriknya meliputi enteritis, nefritis, ensefalitis, abses serebri.

III. INFEKSI SPIROCHAETA


a. Leptospirosis
 Leptospirosis adalah penyakit manusia dan hewan dari kuman.
 Disebabkan kuman Leptospira yang ditemukan dalam air seni dan sel-sel hewan
yang terkena
 Penularan leptospirosis melalui air minum yang terkontaminasi dengan kencing host
leptospira seperti tikus, kelinci, marmot.
 Kuman masuk kedalam traktus digestivus menyebar melalui pembuluh darah ke
organ-organ tubuh terutama ke hati dan ginjal kemudian menimbulkan reaksi
peradangan, oedema akhirnya terjadi hepatic failure dengan ikterus obstruktif, renal
failure.
 Gejala dini Leptospirosis umumnya : demam, sakit kepala parah, nyeri otot,
merah,muntah dan mata merah.
 Gejala lain yang menyertainya : myalgia, konjunctivitis perikorneal, uveitis,
hemorhagi,meningitis leptospirosis (paling sering ± 50%), hemorhagi serebri.

b. Sifilis
 Sifilis adalah penyakit menular seksual
 Disebabkan oleh Treponema pallidum
 Bakteri ini masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir atau melalui kulit.
Dalam beberapa jam, bakteri akan sampai ke kelenjar getah bening
terdekat,kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah.
 Infeksi oleh Treponema pallidum berkembang melalui 4 tahap
1. Fase Primer
- Terbentuk luka atau ulkus (cangker) yang tidak nyeri pada tempat yang
terinfeksi. Cangker berawal sebagai suatu daerah penonjolan kecil yang
dengan segera akan berubah menjadi suatu ulkus (luka terbuka), tanpa
disertai nyeri.
- Luka tersebut hanya menyebabkan sedikit gejala, biasanya membaik dalam
waktu 3-12 minggu dan sesudahnya penderita tampak sehat secara
keseluruhan.
2. Fase Sekunder
- Fase sekunder biasanya dimulai dengan suatu ruam kulit, yang muncul
dalam waktu 6-12 minggu setelah terinfeksi. Ruam ini bisa berlangsung
hanya sebentar, meskipun tidak diobati ruam ini akan menghilang.
- Pada fase sekunder sering ditemukan luka di mulut. Sekitar 50% penderita
memiliki pembesaran kelenjar getah bening di seluruh tubuhnya dan sekitar
10% menderita peradangan mata.
- Peradangan mata biasanya tidak menimbulkan gejala, tetapi kadang terjadi
pembengkakan saraf mata sehingga penglihatan menjadi kabur. Sekitar 10%
penderita mengalami peradangan padatulang dan sendi yang disertai nyeri.
Peradangan ginjal bisa menyebabkan bocornya protein kedalam air kemih.
Peradangan hati bisa menyebabkan sakit kuning.
- Sejumlah kecil penderita mengalami peradangan pada selaput otak
(meningitis sifilitik akut ), yang menyebabkan sakit kepala, kaku kuduk dan
ketulian. Di daerah perbatasan kulit dan selaput lendir serta di daerah kulit
yang lembab, bisa terbentuk daerah yang menonjol (kondilomalata).
- Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu
makan, mual, lelah,demam, rambut rontok dan anemia
3. Fase Laten.
- Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun. Pada awal fase laten luka yang
infeksius kembali muncul dan apabila penyebab manifestasi sifilis tahap
kedua itu tidak dikenal maka infeksi treponema palidum akan terus berjalan
tanpa halangan, sehingga susunansaraf pusat juga akan mengalami invasi
kuman tersebut.
- Gambaran Prodromnya bersifat umum seperti sakit kepala,insomnia, cepat
lupa, daya konsentrasi mengurang dan letih badan. Selanjutnya timbul
demensia dengan perubahan watak bahkan psikosis
4. Fase Tersier.
- Pada fase tersier penderita tidak lagi menularkan penyakitnya. Gejala
bervariasi mulairingan sampai sangat parah, terbagi menjadi 3 kelompok
utama :
1) Sifilis tersier jinak
o Benjolan yang disebut gumma muncul di berbagai organ; tumbuhnya
perlahan, menyembuh secara bertahap dan meninggalkan jaringan
parut. Tulang juga bisa terkena, menyebabkan nyeri menusuk yang
sangat dalam yang biasanya semakin memburuk di malam hari
2) Sifilis kardiovaskuler 

o Biasanya muncul 10-25 tahun setelah infeksi awal. Bisa terjadi


aneurisma aorta atau kebocoran

o katup aorta. Hal ini biasa menyebabkan nyeri dada, gagal


jantung  atau kematian.

3) Neurosifilis
o Sifilis pada sistem saraf terjadi pada sekitar 5% penderita yang
tidakdiobati. 3 jenis utama dari neurosifilis adalah
 neurosifilis meningovaskuler 
 neurosifilis paretik 
 neurosifilis tabetik 

IV. INFEKSI FUNGUS

 Fungi adalah organisme yang terdapat dimana-mana dengan virulensi rendah yang
menjadi patogenik pada lingkungan tertentu seperti depresi immunitas bermedia
sel,neutropenia, dan terapi antibiotika sistemik jangka lama. Tidak jarang menginvasi
otak.
 Terkenanya SSP mungkin disseminate, menyebabkan meningitis atau
meningoensefalitis atau fokal, menyebabkan abses granulomatosa.
 Berbeda dengan infeksi bakterial, meningitis fungal cenderung dimulai ringan dengan
perburukan bertahap. Nyeri kepala, kaku kuduk, demam, letargi, status mental
depresi,dan palsi saraf kranial mungkin tampak.
 CT -scan tidak selalu membantu pada meningitis fungal, tapi mungkin memperlihatkan
hidrosefalus, komplikasidari meningitis kronik.
 MRI dapat efektif memperlihatkan penguatan basiler dan inflamasi
 Abses otak tunggal atau multipel mungkin tampil dengan kejang, nyeri kepala,
statusmental depresi, atau defisit neurologis fokal, sering bersamaan dengan
pneumonia.
 Patogen yang umum adalah Cryptococcus, Aspergillus, Nocardia,
Blastomyces, Actinomyces, dan Histoplasma.

V. INFEKSI PROTOZOAL
a. Tripanosomiasis
Etiologinya adalah Tripanosoma gambiense , di Afrika dikenal dengan penyakit tidur
yang vector penularannya lalat glosina/tsetse sedangkan di Ameriks dikenal dengan
penyakit Chaga yang vector penularannya kutu busuk. Mikroorganisme ini akan
berkembangbiak dalam traktus digetivus vector lalu pindah ke kelenjar liur. Ketika
hospes menggigit manusia atau hewan lainnya, pada port d’entrée akan timbul lesi
setempat berupa ulkus atau nodula. Setelah itu akan terjadi penjalaran secara limfogen
dimana manifestasinya berupa demam dan limfadenopati, lalu akan menyebar secara
hematogen dan nantinya akan invasi ke susunan saraf. Dimana pada invasi susunan saraf
akan timbul gejala neurologic berupa tremor, ataksia, konvulsi, delirium, demensia dan
somnolensia. Selain itu umumnya meningen juga terkena dan CSS akan banyak
mengandung limfosit dan protozoa.

b. Malaria
Infeksinya oleh Plasmodium falsiparum, kasnya adalah multiplikasinya tidak dapat
dihambat karena kebanyakan berada dieritrosit dan eritrosit cenderung melekat pada
intima pembuluh kapilar sehingga menimbulkan penyumatan aliran kapilar, dengan
vector nyamuk Anopheles. Karena sifat eritrosit menjadi berubah seperti tadi maka lesi
vascular mudah timbul dalam bentuk ptekie hemoragi dan nekrosis fokal. Penyebaran
pada otak dan meningens akan timbul manifestasi neurologic seperti sindroma
meningitis, deficit serebral fokal, gejala serebral dan bulbar, gejala iritatif, organic brain
syndrome dan stupor sampai koma. Jika lesi meluas secara progresif, dapat menyebabkan
kematian.

c. Toksoplasmosis

Mikroorganisme bertahan dalam bentuk kista di otot dan jaringan saraf yang
ukurannya lebih kecil dari eritrosit maka sangat mudah tersebar secara hematogen. Pada
yang asimtomatik (kebanyakan pada yang akuisita) timbul gejala lokalisatorik seperti
pneumonia, eksantema, hepatitis, polimiositis, meningitis, ensefalitis dll. Pada yang
asimtomatik congenital manifestasi ke berbagai organ karena penularan terjadi pada
tahap dini dari pertumbuhan mudigah sampai fetus, lalu pada saat partus bisa terjadi
mikrosefalus, mikroftalmia dan endoftalmia. Pada saat masa perkembangan bisa terjadi
hidrosefalus, konvulsi, tremor, opistotonus, hemiplegia, paraplegia dan nistagmus.

d. Amebiasis
Infeksi Entameba histolitika pada pengotoran makanan oleh lalat, berkembang begitu
cepat, yang nantinya mulai timbul sakit kepala, gangguan fungsi mental dll. Lalu timbul
gejala prodromal seperti demam dan gejala serebral fokal. Kematian dapat terjadi dalam
waktu 7-10 hari.
MENINGITIS

MENINGITIS VIRAL

Meningitis viral disebut juga meningitis aseptic karena jika dilakkan biakan kultur akan
negative. Gejalanya biasanya sangat ringan sehingga sering luput dari diagnose, seperti nyeri
kepala, demam , menggigil, nyeri otot dan sendi.

Epidemiologi

 Sering terjadi pada anak dan bayi

Etiologi

 Paling sering Enterovirus yaitu poliomyelitis, Coxsackie dan ECHO (entric cytopathic
human orphan)

Diagnose

1. Pemeriksaan CSS terdapat gambaran inflamasi lebih ringan ; diff count dominan MN ; kadar
glukosa normal ; protein seringkali normal ; kultur virus dan PCR dapat menentukan jenis
virus
2. Untuk menentukan etiologi virus dilakukan kultur dari darah, tinja, apus osofaring, rectum
dan lesi kulit

Terapi

 Simtomatik seperti analgesic dan antipiretik, karena sering sembuh dengan sendirinya
 Kenakan tekanan intracranial dapat diterapi dengan LP
 Terapi suportif, cairan IV dan analgetik pada bayi dan anak

Prognosis

Sebagian besar sembuh dalam 3-5 hari


MENINGITIS KRIPTOKOKUS

Merupakan penyakit baru , seiring meningkatnya kejadian HIV/AIDS. Dimana lebih


banyak pada orang dewasa dibandingkan anak. Dengan penyebab mikiroorganismenya yaitu
Cryptococcus neoformans. Gejalanya biasanya tidak ada yang berbeda dengan M.akut tapi
perjalanan penyakitnya lebih lambat dan intensitas keluhan kepala atau panas badan yang ada
biasanya tidak sehebat M.akut.

Diagnose

1. Keluhan gejala klinis sejak 1-2 minggu sebelum dating ke RS berupa demam yang tidak
terlalu tinggi, nyeri kepala, malaise
2. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kaku kuduk dan penurunan kesadaran
3. Biasanya hanya mengeluhkan nyeri kepala hebat
4. CT Scan / MRI hasilnya pada pasien HIV ada hidrosefalus
5. Pemeriksaan Lab lebih dari 90% CD4 kurang dari 100 jika CDA > 200 berarti bukan
kriptokokus dan tes antigen kriptokokus sebelum LP
6. Pemeriksaan CSS ditemukan tekanan pembukaan tinggi ; jumlah sel < 500 predominan MN ;
kadar protein 50-100 mg/dl ; kadar glukosa <40 ; pewarnaan dengan tinta india akan
ditemukan jamur bersel tunggal dengan kapsul yang besar, adanya tunas pada badan jamur
merupakan tanda yang khas ; kultur jamur dengan media Saburaud

Terapi

1. Antijamur
 Fase induksi : amfoterisin B deoksikolat IV dosis 0,7-1 mg/kgbb/hr ditambah flusitosin
100 mg/kgbb/hr dibagi 4 dosis peroral selama 14 hari
 Fase maintenance : flukonazol 400 mg/hr minimal 8 minggu
2. Pemberian ARV diberikan setelah 2-10 minggu pemberian terap[I antijamu, karena jika tidak
dalam waktu tersebut akan menimbulkan IRIS

Prognosa
- Dapat bertahan hidup denganpemberian obat yang sesuai
- Buruk karena penurunan kesadaran saat masuk RS, jumlah leukosit yang rendah, dan titer
antigen yang tinggi

Ensefalitis
Inflamasi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme, virus, bakteri, jamur, protozoa
atau parasit.

Etiologi

• Virus: Herpes Simpleks (tipe 1 dan 2),Virus varicela-zoster, Virus CMV kongenital, Virus
Epstein Barr, Kelompok virus poks: Vaksinia dan Virus arbo, Rabies.

• Riketsia

• Mycoplasma pneumonia

• Bakteri

• Spirochaeta: Sifilis, kongenital atau akuisita, leptospirosis

• Jamur: Candida albicans, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, Aspergillus


fumagatus, Mucor mycosis

• Protozoa: Plasmaodium Sp., Trypanosoma Sp., Naegleria Sp., Acanthamoeba, Toxoplasma


gondii

• Metazoa: Trikinosis, Ekinokokosis, Sistiserkosis, Skistosomiasis

Klasifikasi

A. Berdasarkan waktu:

- Akut: terjadi relatif singkat hanya beberapa hari saja

- Kronis: dapat terjadi mulai dari beberapa minggu hingga beberapa bulan.

B. Berdasarkan patogenesis:
- Infeksi primer: terjadi akibatnya masuyk virus secara langsung ke dalam SSP sehingga
menghasilkan gejala klinis disfungsi kortikal atau batang otak.

- Post-infeksi: terjadi akibat respon imun host terhadap invasi virus ke dalam SSP

Patofisiologi

terjadi perkembangbiakan dan virus memperbanyak diri secara


penyebaran kedalam aliran darah local, kemudian menjadi
virus ensefalitis masuk melalui dan
hematogen atau neuronal viremia yang menyerang susunan
mengakibatkan infeksi pada saraf pusat melalui kapilaris di
beberapa organ. pleksus koroideus

Atau saraf perifer (gerakan


sentripetal) atau secara Pertumbuhan virus mulai di
retrograde axoplasmic jaringan ektraneural seperti usus
spread misalnya oleh virus-virus atau kelenjar getah
herpes simpleks, rabies, dan Bening dan jaringan lemak
herpes zoster.
Didalam system saraf pusat, virus Didalam medulla spinalis, virus
menyebar secara langsung atau menyebar melalui endoneurium
melalui ruang dalam ruang Kerusakan neurologis
ekstraseluler. intersisial pada saraf-saraf

Neuron-neuron yang rusak


Infeksi virus dalam otak dimakan oleh makrofag atau Disebabkan Invasi langsung dan
menyebabkan meningitis aseptik mikroglia, disebut sebagai destruksi jaringan saraf oleh virus
dan ensefalitis neuronofagia yaitu sesuatu yang yang berproliferasi aktif
khas bagi ensefalitis primer.

ensefalitis terdapat kerusakan


peradangan pada pembuluh-
neuron dan glia dimana terjadi pambuluh Reaksi jaringan saraf terhadap
intraceluler inclusion bodies,
darah kecil, thrombosis dan antigen-antigen virus
peradangan otak dan
proliferasi astrosit dan microglia.
medulla spinalis serta edema otak.

ENSEFALITIS PRIMER

ENSEFALITIS VIRUS HERPES SIMPLEKS

Virus herpes simpleks tidak berbeda secara morfologik dengan virus varisela, dan
sitomegalovirus. Secara serologik, memang dapat dibedakan dengan tegas. Menyebabkan infeksi
laten; bertahan secara tak terbatas dalam inang yang terinfeksi. Sering diaktifkan kembali dalam
inang yang fungsi imunitasnya tertekan Neonatus masih mempunyai imunitas maternal. Tetapi
setelah umur 6 bulan, imunitas itu lenyap dan bayi dapat mengidap gingivo-stomatitis virus
herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan berlokalisasi pada perbatasan mukokutaneus
antara mulut dan hidung. Infeksi – infeksi tersebut jinak sekali. Tetapi apabila neonatus tidak
memperoleh imunitas maternal terhadap virus herpes simpleks dari ibunya yang mengidap
herpes genitalis, maka infeksi dapat berkembang menjadi viremia. Ensefalitis merupakan
sebagian dari manifestasi viremia yang juga menimbulkan peradangan dan nekrosis di
hepar dan glandula adrenalis.

Pada anak – anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks merupakan manifestasi re-
aktivasi dari infeksi yang laten. Dalam hal ini, virus herpes herpes simpleks berdiam di dalam
jaringan otak secara endosimbiotik, mungkin di ganglion Gasseri dan hanya ensefalitis saja yang
bangkit. Reaktivitas virus herpes simpleks dapat disebabkan oleh faktor – faktor yang pernah
disebut diatas, yaitu penyinaran ultraviolet, dan gangguan hormonal. Penyinaran ultraviolet dapat
terjadi secara iatrogenic atau sewaktu berpergian ke tempat – tempat yang tinggi letaknya.

Kerusakan pada jaringan otak berupa nekrosis di substansia alba dan grisea serta infark iskemik
dengan infiltrasi limpositer sekitar pembuluh darah intraserebral. Di dalam nucleus sel saraf
terdapat “inclusion body” yang khas bagi virus herpes simpleks. Gambaran penyakit ensefalitis
virus herpes simpleks tidak banyak berbeda dengan ensefalitis primer lainnya lainnya. Tetapi
yang menjadi ciri khas bagi ensefalitis virus herpes simpleks ialah progresivitas perjalanan
penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam dan muntah – muntah. Kemudian timbul ”acute
organic brain syndrome” yang cepat memburuk sampai koma. Sebelum koma dapat ditemukan
hemiparesis atau afasia. Dan kejang epileptik dapat timbul sejak permulaan penyakit. Pada
pungsi lumbal ditemukan pleiositosis limpositer dengan eritrosit

ENSEFALITIS ARBOVIRUS

Virus arbovirus terdiri dari Togaviridae, Flaviviridae dan Bunyiviridae.

Gambaran Klinis
• Masa inkubasi ensefalitis antara 4 dan 21 hari.
• Penyakit timbul tiba – tiba diserai nyeri kepala yang hebat, menggigil dan demam, mual
dan muntah, nyeri di seluruh tubuh dan malaise.
• Dalam 24 – 48 jam, timbul rasa sangat mengantuk dan penderita dapat mengalami stupor.
Sering terjadi kaku kuduk. Kekacauan mental, disartria, tremor, kejang dan koma timbul
pada kasus – kasus yang berat.

ENSEFALITIS PARA-INFEKSIOSA

Ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit virus parotitis epidemika,mononukleosis


infeksiosa, varisela dan herpes zooster dinamakan ensefalitis parainfeksiosa. Tetapi ensefalitis ini
sebenarnya tidak murni. Gejala-gejala meningitis, mielitis, neuritis kranialis, radikulitis dan
neuritis perifer dapat bergandeng dengan gambaran penyakit ensefalitis. Bahkan tidak jarang
komplikasi utamanya berupa radikulitis jenis Guillain Barre atau meilitis transversa sedangkan
manifestasi ensefalitisnya sangat ringan dan tidak berarti. Maka untuk beberapa jenis ensefalitis
parainfeksiosa, diagnosis mielo- ensefalitis lebih tepat daripada ensefalitis. Salah satu
jenisensefalitis viral yang fatal perlu disinggung dibawah ini, yaitu rabies.

Rabies

Rabies disebabkan oleh virus neurotrop yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan anjing
atau binatang apapun yang mengandung virus rabies. Setelah virus melakukan penetrasi kedalam
sel tuan rumah, ia dapat menjalar melalui serabut saraf perifer ke susunan saraf pusat. Sel-sel
saraf (neuron) sangat peka terhadap virus tersebut. Dan sekali neuron terkena infeksi virus rabies
proses infeksi itu tidak dapat dicegah lagi. Dan tahap viremia tidak perlu dilewati untuk
memperluas infeksi dan memperburuk keadaan, neuron-neuron diseluruh susunan saraf pusat
dari medulla spinalis sampai di korteks tidak bakal luput dari daya destruksi virus rabies. Masa
inkubasi rabies ialah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Jika dalam masa itu dapat
diselenggarakan pencegahan supaya virus rabies tidak di neuron-neuron maka kematian dapat
dihindarkan. Jika gejala-gejala prodromal sudah bangkit tidak ada cara pengobatan yang dapat
mengelakkan progresivitas perjalanan penyakit yang fatal dan menyedihkan ini.

Gejala-gejala prodromalnya terdiri dari lesu dan letih badan, anoreksia, demam, cepat marah-
marah dan nyeri pada tempat yang telah digigit anjing. Suara berisik dan sinar terang sangat
mengganggu penderita. Dalam 48 jam dapat bangkit gejala-gejala hipereksitasi. Penderita
menjadi gelisah, mengacau, berhalusinasi meronta-ronta, kejang opistotonus dan hidrofobia.
Tiap kali ia melihat air, otot-otot pernafasan dan laring kejang, sehingga ia menjadi sianotik dan
apnoe. Air liur tertimbun didalam mulut oleh karena penderita tidak dapat menelan. Pada
umumnya penderita meninggal karena status epileptikus. Masa penyakit dari mula-timbulnya
prodromal sampai mati adalah 3 sampai 4 hari saja.

Manifestasi Klinis

Bentuk khas ensefalitis : bentuk ini mulai secara bertahap, gejala awal nyeri kepala ringan,
demam, gejala ISPA atau gastrointestinal selama beberapa hari. muncul tanda radang SSP (kaku
kuduk, tanda Kernig positif, gelisah, lemah dan sukar tidur). Defisit neurologik yang timbul
bergantung pada tempat kerusakan. Penurunan kesadaran menyebabkan koma, dapat terjadi
kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi, kelainan kepribadian, disorientasi,
gangguan bicara, dan gangguan mental.

Gejala trias ensefalitis: demam, kejang dan kesadaran menurun. Gejala klinis: bersifat akut/sub
akut, yaitu demam, nyeri kepala, gejala psikiatrik, kejang, muntah, kelemahan otot fokal,
hilangnya memori,gangguan status mental, fotofobia, kelainan gerakan. Pada neonatus: gejala
tampak usia 4-11 hari, yaitu letargik, malas minum, iritabel, dan kejang. Tanda klinik: gangguan
kesadaran, demam, disfasia, ataxia, kejang fokal-general, hemiparesis, gangguan saraf otak,
hilangnya lapangan pandang dan papil edema.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium :
a. Pungsi lumbal : CSS jernih, jumlah sel 20-500 / ml, kadang-kadang bisa mencapai 2000/lebih.
Kadar protein meningkat sampai 80-100 mg%, sementara kadar glukosa dan klorida normal.
b. Darah
Pemeriksaan pelengkap
a. Isolasi virus : identifikasi mikroorganisme penyebabnya (terutama virus).
b. Serologi : dalam membuat diagnosis perlu untuk menentukan kenaikan titer antibodi spesifik
selama infeksi
c. EEG : Perubahan tidak spesifik menyeluruh. Gambaran melambatnya aktivitas otak.
d. CT scan kepala dan MRI : CT scan : perubahan parenkimal, odem otak dan daerah lesi yang
densitasnya berbeda dengan parenkim otak. CT scan berguna untuk menunjukkkan adanya
komplikasi (perdarahan, hidrocephalus, atau herniasi). MRI lebih sensitive daripada CT scan
dalam mengidentifikasi ensefalitis virus.
Kriteria Diagnosis

Penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, laboratorium dan
penunjang yang dilakukan.
a. Panas tinggi, nyeri kepala hebat, kaku kuduk, stupor, koma, kejang dan gejalagejala kerusakan
SSP
b. Pada pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS) terdapat pleocytosis dan sedikit peningkatan
protein
c. Isolasi virus dari darah, CSS atau spesimen post mortem (otak dan darah) Identifikasi serum
antibodi dilakukan dengan 2 spesimen yang diperoleh dalam 3- 4 minggu secara terpisah

Diagnosis Banding

a. Meningitis bakterial
b. Stroke
c. Tumor otak
d. Abses ekstradural
e. Abses subdural
Infiltrasi neoplasma
g. Trauma kepala pada daerah epidemi
h. Ensefalopati
i. Sindrom Reye

Penatalaksanaan

Farmakologis

1. Mengatasi kejang → Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu
diberikanDiazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3 menit.
2. Memperbaiki homeostatis : infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung umur) dan
pemberian oksigen.
3. Mengurangi edema serebri dan akibat yang ditimbulkan oleh anoksia serebrim :
Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
4. Menurunkan tekanan intracranial : Manitol diberikan intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB
selama 30-60 menit, diulang setiap 8-12 jam.Gliser ol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb
diencerkan dengan dua bagian sari jeruk, dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama
5. Pengobatan kausatif. Sebelum berhasil menyingkirkan etiologi bakteri diberikan antibiotik
parenteral. Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes simplek Acyclovir intravena,
10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10 hari.

Non farmakologis
1. Fisioterapi dan upaya rehabilitative
2. Makanan tinggi kalori protein

Komplikasi

a. Susunan saraf pusat : kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan pendengaran
b. Sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat secara menetap
c. Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid), hidrosefalus
maupun gangguan mental sering terjadi.
d. Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental karena
kerusakan SSP berat

Prognosis

Prognosis sukar diramalkan tergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan dan penyulit
yang muncul.
1. Sembuh tanpa gejala sisa
2. Sembuh dengan gangguan tingkah laku/gangguan mental
3. Kematian  bergantung pada etiologi penyakit dan usia penderita

Meningoensefalitis
Definisi

Merupakan gabungan dari meningitis dan ensefalitis

Etiologi

• Infeksi bakteri

• Infeksi virus

• Infeksi jamur

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, Meningoensefalitis Tuberculosis

• Definisi
– Peradangan pada meningen dan otak yangg disebabkan oleh mikobakterium
tuberculosis.

• Etiologi

– Organisme ini membutuhkan waktu 15-20 jam untuk berkembang biak dan menyebar.

• Faktor Resiko

– Fraktur kepala terbuka

– Sinusitis

– Otitis

– Mastoiditis

– Tuberkulosis

– HIV

• Diagnosis

– Demam tinggi

– Sakit kepala yg hebat

– Mual & muntah

– Gejala ensefalitisnya, demam, sakit kepala, muntah, penglihatan sensitif terhadap


cahaya, kaku kuduk, pusing

- CT scan : pada meningitis kronik, hiperdensitas ruang subaraknoid.

- Penatalaksanaan

o TIK à kepala di tinggikan, manitol 0,25 – 1 gr/kg IV

o Kejang à diazepam 0,25 – 0,5 mg/ IV

o Nonfarmako :

-mencegah komplikasi/trauma

-memberi dukungan emosional pd pasien & keluarga

-memberi informasi ttgt penyakit, prognosis, dan pengobatan


Meningoensefalitis yang disebabkan oleh infeksi virus, Meningoensefalitis Virus

• Penyebabnya :

– Mumps

– Rubella

– HSV

– CMV

• Manifestasi klinis

– Gejala umum : demam, mual-muntah, malaise

– Gejala ensofalopati : gangg.kesadaran, kejang, defisit neurologis, nistagmus, anisokor,


papiledam

• Diagnosis :

– Px. fisik

– Px. Neurologi

– Px. CSS

• Talaksana

– Demam à asetaminofen/paracetamol 10–15 mg/kgBB/x 4-5/hari, ibuprofen 5-


10mg/kg/x 3-4x/hr

• Prognosis

– Tergantung dari :

• umur penderita

• berat ringannya infeksi

• lama sakit sebelum pengobatan

• adanya penyulit penanganan atau tidak


ABSES CEREBRI

Definisi

Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang terlokalisir diantara

jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus dan protozoa.

Epidemiologi

Abses otak dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling sering terjadi pada

anak berusia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses otak yaitu, embolisasi oleh penyakit jantung

kongenital dengan pintas atrioventrikuler (terutama tetralogi fallot), meningitis, otitis media

kronis dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak pada wajah ataupun scalp, status
imunodefisiensi dan infeksi pada pintas ventrikuloperitonial (VP-Shunt). Patogenesis abses otak

tidak begitu dimengerti pada 10-15% kasus.

Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika saat ini telah

mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses otak masih tetap tinggi, yaitu sekitar

10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini sudah jarang dijumpai terutama di negara-negara maju,

namun karena resiko kematiannya sangat tinggi, abses otak termasuk golongan penyakit infeksi

yang mengancam kehidupan masyarakat (life threatening infection).

Menurut Britt, Richard et al., penderita abses otak lebih banyak dijumpai pada laki-laki

daripada perempuan dengan perbandingan 3:1 yang umumnya masih usia produktif yaitu sekitar

20-50 tahun.

Yang SY menyatakan bahwa kondisi pasien sewaktu masuk rumah sakit merupakan

faktor yang sangat mempengaruhi rate kematian. Jika kondisi pasien buruk, rate kematian akan

tinggi.

Hasil penelitian Xiang Y Han (The University of Texas MD. Anderson Cancer Center

Houston Texas) terhadap 9 penderita abses otak yang diperolehnya selama 14 tahun (1989-

2002), menunjukkan bahwa jumlah penderita laki-laki > perempuan dengan perbandingan 7:2,

berusia sekitar 38-78 tahun dengan rate kematian 55%.

Demikian juga dengan hasil penelitian Hakim AA. Terhadap 20 pasien abses otak yang

terkumpul selama 2 tahun (1984-1986) dari RSUD Dr Soetomo Surabaya, menunjukkan hasil

yang tidak jauh berbeda, dimana jumlah penderita abses otak pada laki-laki > perempuan dengan

perbandingan 11:9, berusia sekitar 5 bulan-50 tahun dengan angka kematian 355 (dari 20

penderita, 7 meninggal).
Etiologi dan Faktor Predisposisi

Berdasaran bakteri penyebab, maka etiologi dari abses otak dapat dibagi menjadi:

1. Organisme aerobik:

 Gram positif : Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus

 Gram negatif : E. coli, Hemophilus influenza, Proteus, Pseudomonas

2. Organisme anaerobik: B. fragilis, Bacteroides sp, Fusobacterium sp, Prevotella sp,

Actinomyces sp, dan Clostridium sp.

3. Fungi : Kandida, Aspergilus, Nokardia

4. Parasit : E. histolytica, Schistosomiasis, Amoeba

Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga tengah,

sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries).

Abses otak dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru sistemik

(empyema, abses paru, bronkiektase, pneumonia), endokarditis bakterial akut dan subakut dan

pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada substansi putih dan

abu dari jaringan otak). Abses otak yang penyebarannya secara hematogen, letak absesnya sesuai

dengan peredaran darah yang didistribusi oleh arteri cerebri media terutama lobus parietalis, atau

cerebellum dan batang otak. Dapat juga timbul akibat trauma tembus pada kepala atau trauma

pasca operasi.

Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti AIDS, penderita

penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang dapat menurunkan sistem kekebalan

tubuh. 20-37% penyebab abses otak tidak diketahui. Penyebab abses yang jarang dijumpai,
osteomyelitis tengkorak, sellulitis, erysipelas wajah, abses tonsil, pustule kulit, luka tembus pada

tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septikemia. Berdasarkan sumber infeksi

dapat ditentukan lokasi timbulnya abses di lobus otak.

Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde thrombophlebitis melalui klep

vena diploika menuju lobus frontalis atau temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal, terletak

superficial di otak, dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga menyebabkan

abses di bagian anterior atau inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis dapat menyebakan

abses pada lobus frontalis atau temporalis. Sinusitis maxillaris dapat menyebabkan abses pada

lobus temporalis. Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis. Infeksi

pada telinga tengah dapat pula menyebar ke lobus temporalis. Infeksi pada mastoid dan

kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti kerusakan tegmentum timpani atau

kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma dapat menyebar ke dalam serebelum.

Faktor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau faktor lingkungan :

1. Faktor tuan rumah (host)

Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi mencakup

kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan efektif, aliran

darah ke otak yang adekuat, sistem imunologik humoral dan selular yang berfungsi

sempurna.

2. Faktor kuman

Kuman tertentu cendeerung neurotropik seperti yang membangkitkan meningitis

bacterial akut, memiliki beberapa faktor virulensi yang tidak bersangkut paut dengan

faktor pertahanan host. Kuman yang memiliki virulensi yang rendah dapat menyebabkan
infeksi di susunan saraf pusat jika terdapat ganggguan pada sistem limfoid atau

retikuloendotelial.

3. Faktor lingkungan

Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat masuk ke dalam

tubuh melalui kontak antar individu, vektor, melaui air, atau udara.

Histopatologi

Abses Piogenis disebabkan bakteri.

Jaringan otak rentan terhadap infeksi dan tidak mempunyai mekanisme pertahanan yang

baik, pembentukan kapsul kolagen merupakan respons yang terpenting dalam membatasi

penyebaran abses. Untuk terjadinya abses otak harus ada daerah yang nekrosis terlebih dahulu

dalam jaringan otak.

Pada penderita meningitis bakteri tidak selalu terjadi abses otak, hal ini dipengaruhi oleh

faktor-faktor:

1. Virulensi bakteri

Komponen permukaan subkapsular bakteri (dinding sel dan lipopolisakarida) memegang

peranan yang penting untuk timbulnya radang di selaput otak dan memperluas daerah yang

nekrosis ke dalam jaringan otak.

Bakteri pneumokokus mempunyai dua polimer dinding sel (peptidoglikan dan asam

trikoik fosfat ribitol) menyebabkan timbulnya keradangan. H. influenza mempunyai kapsul

lipopolisakarida, bila terjadi inokulasi ke dalam iintrasisternal memnyebabkan radang dan

merusak sawar darah otak.

2. Rusaknya sawar darah otak


Hanya bakteri tertentu yang bias merusak sawar darah otak. Kerusakan sawar darah otak

menimbulkan eksudasi albumin yang mempercepat timbulnya edema otak, dengan kerusakan sel

endotel dan mikrovaskuler otak.

3. Imunopatologis

Satu sampai 3 jam setelah inokulasi lipopolisakarida terjadi pelepasan secara cepat dari

TNF (Tumor Necrotic Factor), Interleukin-1, dan Interleukin-2 ke dalam CSS, menyebabkan

neutrofil melekat pada epitel serta merangsang sel-sel di susunan saraf pusat (astroglia, endotel,

dan makrofag selaput otak) untuk melepaskan sitokin. Sitokin diekskresikan dan merusak sawar

darah otak. Kondisi imunologis penderita yang kurang baik akan mempercepat terjadinya proses

peradangan di jaringan otak.

Abses disebabkan jamur

Abses yang disebabkan jamur umumnya merupakan abses metastatik. Awalnya akan

tampak invasi vaskular oleh jamur, disusul thrombosis sekunder dan infark otak. Hal ini

menyerupai abses piogenik, dimana di dalam bagian nekrotik terdapat sel radang, makofag,

fibroblast, dan sel besar berinti banyak terisi jamur yang telah difagosit.

Abses disebabkan parasit

Amoeba menyebabkan terjadinya pusat nekrotik yang berisi debris dan terutama sel

mononuclear, dikelilingi kongesti vaskular, nekrosis jaringan saraf dan sel limfotik, sel plasma

dan mononuklear lain, disini pembentukan kapsul tidak ada atau hanya sedikit serta dapat
ditemukannya kista dan trofozoit. Toksoplasma dapat menyebabkan ensefalitis, abses, dan

granuloma dengan atau tanpa pusat nekrotik.

Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar

otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma

kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap

bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang

perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu.

Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi

lekosit disertai edema, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik

perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada

pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag

mengelilingi jaringan yang nekrotik. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan

dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul

antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan

patologi AO dalam 4 stadium yaitu :

1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)

Terjadi reaksi radang lokal dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit, limfosit

dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari

pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika

adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi.

Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekita

otak dan peningkatan efek massa karena pembesaran abses.


2) Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)

Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis

membesar oleh karena peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah

karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati

daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblas yang

terpencar. Fibroblas mulai menjadi retikulum yang akan membentuk kapsul

kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi

sangat besar

3) Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)

Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan fibroblast

meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast membentuk anyaman

reticulum mengelilingi pusat nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding

sangat lambat oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi putih

dibandingkan substansi abu. Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan

tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansi putih. Bila abses

cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul,

terlihat daerah anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen,

reaksi astrosit di sekitar otak mulai meningkat.

4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)

Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran

histologis sebagai berikut:

 Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.

 Daerah tepi pusat nekrosis terdiri dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
 Kapsul kolagen yang tebal.

 Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang berlanjut.

 Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.

Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah ventrikel

sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis.

Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi meningoensefalokel

nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis

media, mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan serebelum, sedang abses

lobus parietalis biasanya terjadi secara hematogen.

Respon Imunologik pada Abses Otak.

Setelah kuman telah menerobos permukaan tubuh, kemudian sampai ke susunan saraf

pusat melalui lintasan-lintasan berikut. Kuman yang bersarang di mastoid dapat menjalar ke otak

perkuntinuitatum. Invasi hematogenik melalui arteri intraserebral merupakan penyebaran ke otak

secara langsung.

Ada penjagaan otak khusus terhadap bahaya yang datang melalui lintasan hematogen,

yang dikenal sebagai sawar darah otak atau blood brain barrier. Pada toksemia dan septicemia,

sawar darah otak terusak dan tidak lagi bertindak sebagai sawar khusus. Infeksi jaringan otak

jarang dikarenakan hanya bakterimia saja, oleh karena jaringan otak yang sehat cukup resisten

terhadap infeksi. Kuman yang dimasukkan ke dalam otak secara langsung pada binatang

percobaan ternyata tidak membangkitkan abses sereebri/ abses otak, kecuali apabila jumlah

kumannya sangat besar atau sebelum inokulasi intraserebral telah diadakan nekrosis terlebih
dahulu. Walaupun dalam banyak hal sawar darah otak sangat protektif, namun ia menghambat

penetrasi fagosit, antibodi dan antibiotik. Jaringan otak tidak memiliki fagosit yang efektif dan

juga tidak memiliki lintasan pembuangan limfatik untuk pemberantasan infeksi bila hal itu

terjadi. Maka berbeda dengan proses infeksi di luar otak, infeksi di otak cenderung menjadi

sangat virulen dan destruktif.

Unsur seluler lain dari sistem imunologik, yaitu makrofag membuat prostaglandin,

leukotrin, dan sitokin yang dapat berkomunikasi dengan neuron dan sel glia. Salah satu jenis

sitokin adalah Interleukin-1 yang memiliki kemampuan untuk mengubah fungsi T-sel. Zat aktif

itu homolog dengan pirogen, yang menjalankan peranan penting dalam regulasi suhu oleh

hipotalamus. Kini diperoleh banyak data yang menyatakan bahwa astrosit bersama mikroglia

dapat berfungsi seperti makrofag. Dalam artikel yang ditulis oleh Bryan Rock, dkk telah

dikemukakan mengenai peranan mikroglia dalam infeksi susunan saraf pusat. Mikroglia sendiri

merupakan jaringan saraf yang terdiri atas sel-sel interstisial kecil dan mungkin berasal dari

mesoderm.

Mikroglia yang telah teraktivasi akan merilis sejumlah sitokin dan dan kemokin melalui

proses parakrin dan autokrin, yang selanjutnya akan bekerjasama melawan infeksi pada susunan

saraf pusat. Produk yang telah disekresi oleh microglia juga berkontribusi dalam proses

imunologik dan peradangan. Dalam hal ini, diketahui bahwa matrix metalloproteinases (MMPs)

berpotensial merusak sawar darah otak, masuknya leukosit ke dalam sistem saraf pusat, dan

kerusakan jaringan. MMP sendiri adalah suatu enzim zinc-dependent yang mampu merusak

protein, dan sering dijumpai di matriks ekstraseluler.

Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis dari abses otak tergantung kepada banyak faktor, antara lain

lokasi, ukuran, stadium dan jumlah lesi, keganasan kuman, derajat edema otak, respons pasien

terhadap infeksi, dan juga umur pasien. Bagian otak yang terkena dipengaruhi oleh infeksi

primernya.

Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejala-gejala infeksi seperti

demam, malaise, anoreksi dan gejala-gejala peninggian tekanan intrakranial berupa muntah, sakit

kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya abses otak gejala menjadi khas berupa trias abses

otak yang terdiri dari gejala infeksi, peninggian tekanan intrakranial dan gejala neurologik fokal.

Manifestasi abses otak sebenarnya didasarkan dengan adanya.

1. Manifestasi peningkatan tekanan intrakranial, berupa sakit kepala, muntah, dan

papiledema.

2. Manifestasi supurasi intrakranial berupa iritabel, drowsiness, atau stupor, dan tanda

rangsang meningeal.

3. Tanda infeksi berupa demam, menggigil, leukositosis.

4. Tanda local jaringan otak yang terkena berupa kejang, gangguan saraf kranial, afasia,

ataksia, paresis.

Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala neurologik seperti

hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai kesadaran yang menurun

menunjukkan prognosis yang kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke

dalam kavum ventrikel.

Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan mengecap

didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan hemianopsi komplit.
Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses ke

dalam lobus frontalis relatif asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala

fokal adalah gejala sensorimotorik. Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan

menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan nistagmus. Abses batang

otak jarang sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan berakibat fatal.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik, pemeriksaan

laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga untuk melibatkan

evaluasi neurologis secara menyeluruh, mengingat keterlibatan infeksinya. Perlu ditanyakan

mengenai riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran,

imunisasi, penyakit yang pernah diderita, sehingga dapat dipastikan diagnosisnya.

Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status mental, derajat

kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks patologis, dan juga tanda rangsang

meningeal untuk memastikan keterlibatan meningen.

Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem musculoskeletal

dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota gerak, ataupun kelumpuhan yang

sifatnya bilateral atau tunggal.

Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu pemeriksaan

lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju endap darah. 2,7. Pemeriksaan

cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan gambaran yang normal. Bisa didapatkan

kadar protein yang sedikit meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau

sedikit berkurang. kecuali bila terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel.


Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial, dapat pula

menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat

diidentifikasi adanya abses. Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi

abses dalam hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta

dengan frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses. Pnemoensefalografi penting terutama untuk

diagnostik abses serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi abses di hemisfer. Saat

ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan setelah digunakan pemeriksaan yang relatif

noninvasif seperti CT scan. Dan scanning otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat

diketahui lokasi abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah

otak yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain mengetahui

lokasi abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan abses. Magnetic Resonance

Imaging saat ini banyak digunakan, selain memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih

akurat.

Gambar 2.2. Early cerebritis pada CT-Scan

(Sumber: http://emedicine.medscape.com)

Gambaran CT-scan pada abses :

 Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.


 Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat nekrosis dari zona central

inflamasi.

 Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis, hipervaskularisasi pada

batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada stadium ini dapat terlihat gambaran ring

enhancement.

 Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang hipodens (sentral abses) yang

dikelilingi dengan kontras - ring enhancement (kapsul abses)

Gambar 2. Gambaran CT-Scan Abses Serebi


Sumber: Kepustakaan 13
Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur diagnostik,

dikarenakan sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk mendiagnosis abses serebri. Yang perlu

dipertimbangkan adalah walaupun gambaran CT tipikal untuk suatu abses, tetapi tidak menutup

kemungkinan untuk didiagnosis banding dengan tumor (glioblastoma), infark, metastasis,

hematom yang diserap dan granuloma.

Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma, metastasis) dari CT

scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk membedakan keduanya antara lain :

umur penderita, ketebalan ring (cicin tipis hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform, diameter ring,

rasio lesi dan ring. Pada ½ kasus, kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul subkortikal. Hal

ini menunjukkan sedikitnya vaskularisasi dari massa putih dan menjelaskan mengapa abses

biasanya berkembang di medial.

Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi (yang tersering dari

paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi oleh arteri serebri media di daerah perbatasan massa

putih dan abu-abu dengan tingkat mortalitas yang tinggi.

Sedangkan gambaran glioblastoma pada CT scan adalah adanya mixed density tumor,

ring enhancement yang berlekuk-lekuk disertai perifokal edema yang luas.

Penatalaksanaan

Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek massa dan menghilangkan kuman

penyebab. Terapi definitif untuk abses melibatkan :

1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat mengancam jiwa

2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses

3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)


4. Pengobatan terhadap infeksi primer

5. Pencegahan kejang

6. Neurorehabilitasi

Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan pemilihan

antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang memungkinkan terjadinya abses.

Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga

dan metronidazole.

Jika terdapat riwayat cedera kepala dan komplikasi pembedahan kepala, maka dapat

digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine dengan sephalosforin generasi ketiga dan

juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas

telah tersedia.

Tabel 2.1 Prinsip Pemilihan Antibiotik pada Abses Otak

Etiologi Antibiotik

Infeksi bakteri gram negatif, Meropenem

bakteri anaerob, stafilokokkus

dan streptokokkus
Penyakit jantung sianotik Penissilin dan metronidazole.

Post VP-Shunt Vancomycin dan ceptazidine

Otitis media, sinusitis, atau Vancomycin

mastoiditis
Infeksi meningitis citrobacter Sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum

dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida


Pada abses yang terjadi akibat trauma penetrasi, cedera kepala, atau sinusitis dapat

diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin, cefotaxime atau cetriaxone dan

juga metronidazole. Monoterapi dengan meropenem terbukti baik melawan bakteri gram negatif,

bakteri anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus dan menjadi pilihana alternatif.

Pada abses yang terjadi akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin

dan metronidazole. Abses yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan

vancomycin dan ceptazidine. Jika otitis media, sinusitis, atau mastoidits yang menjadi penyebab

dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus pneumonia telah resisten terhadap penissilin.

Jika meningitis citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada abses local, dapat digunakan

sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida.

Pada pasien dengan immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas dan

dipertimbangkan pula terapi amphoterids.

Tabel 2.2 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak

Drug Dose Frekwensi dan rute


Cefotaxime (Claforan) 50- 2-3 kali per hari,

100 mg/KgBBt/Hari IV
Ceftriaxone (Rocephin) 2-3 kali per hari,

50-100 mg/KgBBt/Hari IV
Metronidazole (Flagyl) 3 kali per hari,

35-50 mg/KgBB/Hari IV
Nafcillin (Unipen, Nafcil) setiap 4 jam,

2 grams IV
Vancomycin setiap 12 jam,

15 mg/KgBB/Hari IV
Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat mempengaruhi

penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan kapsul abses. Tetapi

penggunaannya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana terdapat risiko potensial dalam

peningkatan tekanan intrakranial. Dosis yang dipakai 10 mg dexamethasone setiap 6 jam

intravenous, dan ditapering dalam 3-7 hari.

Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan adanya tekanan

intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran edema yang luas serta midline shift pada

CT scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-off, dan terlihat bahwa

berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak

didapatkan papil edema. Penatalaksanaan secara bedah pada abses otak dipertimbangkan dengan

menggunakan CT-Scan, yang diperiksa secara dini, untuk mengetahui tingkatan peradangan,

seperti cerebritis atau dengan abses yang multipel.

Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara antimikrobial dan

tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan drainase abses melalui kraniotomi

merupakan prosedur pilihan. Tetapi pada center-center tertentu lebih dipilih penggunaan

stereotaktik aspirasi atau MR-guided aspiration and biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan

pada abses multipel, abses batang otak dan pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi.

Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan, seperti: small deep

abscess, multiple abscess dan early cerebritic stage.

Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna diantara penderita

yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi eksisi dalam mengurangi risiko

kejang.
Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi mengingat proses

desak ruang yang cukup besar guna mengurangi efek massa baik oleh edema maupun abses itu

sendiri, disamping itu pertimbangan ukuran abses yang cukup besar, tebalnya kapsul dan

lokasinya di temporal.

Antibiotik mungkin dapat digunakan tersendiri, seperti pada keadaan abses berkapsul dan

secara umum jika luas lesi yang menyebabkan sebuah massa yang berefek terjadinya

peningkatan tekanan intrakranial. Namun, harus ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik

dan aspirasi abses.

Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan, karena prosedur ini

dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika dibandingkan dengan teknik aspirasi.

Indikasi pembedahan adalah ketika abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di dalam

abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa posterior, atau jamur yang berhubungan

dengan proses infeksi, seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula dilakukan

pembedahan drainase. Terapi kombinasi antibiotik bergantung pada organisme dan respon

terhadap penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu.

Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan posisinya terhadap

korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari kasus per kasus

(ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan neurologis,

EEG dan neuroimaging).

Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah mengalami kejang

dengan frekuensi yang cukup sering. Penghentian antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan

perkembangan klinis penderita selanjutnya.


Diagnosa Banding

Sebagai suatu lesi desak ruang (space-occupying lesion), abses otak dapat bermanifestasi

klinis hampir sama dengan suatu neoplasma maupun hematoma subdural. Oleh karena itu,

diperlukan teknik diagnosa yang menyeluruh agar terapi yang diberikan menjadi tepat.

Tabel 2.3 Perbedaan Abses dan Tumor berdasarkan Neuroimaging

ABSCESS TUMOUR

Wall Smooth, thin, regular Thick , irregular

  Thinner on inner aspect Thinner on outer aspect

Nodularity If present, on inner border outer border

T1 Hyperintense rim.  

T2 Hypointense rim.  

Meningeal enhancement Favours not seen.

Diffusion imaging High signal low signal

normal signal due to


Perfusion Low signal due high capillary
collagen and fibrosis in
imaging.dynamic density in tumour.
wall
Sumber: Kepustakaan no. 16

Komplikasi

Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya adalah:

1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid

2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus


3. Edema otak

4. Herniasi oleh massa Abses otak

Prognosis

Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak secara signifikan berkurang,

dengan perkiraan 5-10% didahului CT-Scan atau MRI dan antibiotik yang tepat, serta

manajemen pembedahan merupakan faktor yang berhubungan dengan tingginya angka kematian,

dan waktu yang mempengaruhi lesi, abses mutipel, kesadaran koma dan minimnya fasilitas CT-

Scan. Angka harapan yang terjadi paling tidak 50% dari penderita, termasuk hemiparesis, kejang,

hidrosefalus, abnormalitas nervus kranialis dan masalah-masalah pembelajaran lainnya.

Prognosis dari abses otak ini tergantung dari:

1) Cepatnya diagnosis ditegakkan

2) Derajat perubahan patologis

3) Soliter atau multipel

4) Penanganan yang adekuat.

Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada stadium dini dapat lebih cepat didiagnosis

sehingga prognosis lebih baik. Prognosis AO soliter lebih baik dan mu1tipel. Defisit fokal dapat

membaik, tetapi keajng dapat menetap pada 50% penderita.


Interpretasi Kasus 4

Tn. Parto, 30 tahun

KU RPS RPO RPD

Kejang • Sakit kepala Obat sakit kepala Pecandu narkoba


hebat seperti yang dibeli di suntik
Terjadi di seluruh ditusuk & terus warung  (-)
tubuh, berlangsung menerus di sembuh Memakai jarum
selama 3 menit, suntik secara
seluruh kepala .
saat kejang tidak bergantian dengan
sadar • Kaku di teman
leher belakang
Memakai narkoba
• BB turun sejak 10 tahun
drastis terakhir

Hipotesis

 Infeksi SSP
o Meningoensefalitis
o Meningitis
o Ensefalitis
 HIV  wasting sindrom ,
Infeksi Oportunistik
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan Lab

 Kesadaran : Dellirium • GCS: E4V2M6 = 12 = • Hb: 12,4 g/dL (L:13-


 Vital sign: TD: 120/80 somnolen 16 // P:12-14)
mmHg (N) • Motorik: • Ht: 42% (L:40-
 HR: 100 bpm (N: 60-100 hemiparesis (-),
48% // P:37-43%)
bpm) normotonus, normotrofi
 RR: 20 bpm (N: 16-24 • MCV: 60% (80-95 fL)
• Refleks fisio:
bpm)
biceps/triceps (+)
 T: 37,5° C (N:36,7- • Leukosit: 4500/mm3
normal &
37,8°C) patella/achilles (+) (n: 4500-10000/mm3)
 Tatto (+) hampir seluruh normal
• Trombosit:
tubuh
• Refleks patologis 240.000/mm3
 Needle track (+) babinski (-) (n:150.000-
 Mata: RCL/RCTL ++/++,
450.000/mm3)
papil edema (-) • Meningeal sign
 Mulut: Leukoplakia (+), kaku kuduk (+) • Diff count:
oral thrush (+) Brudzinsky 1 (+) 0/0/0/63/24/13
 KGB: tidak teraba
membesar kernig (+) • GDS: 98 mg/dL (70-
110 mg/dL)
Brudzinsky 2 (+)
• GDS pasien DBN.

• Px. Tinta india:


kriptokokus (+)

Diagnosis • CT scan: edema


difus serebri
Meningoensefalitis e.c
kriptokokkus • Western blot: HIV
(+)

Penatalaksanaan Pada perawatan hari ke 6, Prognosis


pasien masih mual muntah
• Manitol IV 4 x Dubia et malam
125 cc Perawatan hari ke 7, pasien
meninggal
• Ranitidin 2 x 1
ampul
Keluhan Utama

• Kejang di seluruh tubuh

Ada gangguan muatan listrik berlebih, generalisataà ggn mengaktivasi kedua hemisfer secara
bersamaan.

• Kejang berlangsung 3 menit, saat kejang ia tidak sadar.

Gangguan impuls di hemisfer otak mengganggu neuron pengemban kewaspadaan di korteks


cerebri shg mengganggu jalannya impuls untuk kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang

• Sakit kepala hebat seperti ditusuk & terus menerus di seluruh kepala

Curiga ada massa atau gangguan (infeksi) di otak à menekan jar. sekitar à nyeri

Salah satu gejala dari TTIK.

• Kaku di leher belakang

Massa di suatu bagian otak menekan meningen shg timbul kaku leher / kaku kuduk.

Curiga ada infeksi meningen, mengiritasi meningen sehingga timbul gejala.

 BB turun drastic

Wasting syndrome HIV/AIDS, dimana pd penderita AIDS, nutrisi tubuh berkurang karena
diambil oleh mikroorganisme baik untuk replikasi virus maupun organisme lain terutama
pada infeksi oportunistik

Riwayat Pengobatan

• Konsumsi obat sakit kepala beli di warung tp tidak kunjung sembuh

• Bisa jadi obat yang dibeli pasien bersifat simptomatik saja (analgesic), sehingga hanya
mengobati gejala bukan penyebabnya.

Riwayat Penyakit Dahulu

• Pecandu narkoba suntik secara bergantian sejak 10 tahun terakhir

• Mengarah ke HIV/AIDS karena terdapat faktor predisposisi, dan berdasarkan onsetà bisa
jadi keluhan pasien disebabkan komplikasi AIDS à infeksi oportunistik khususnya yg
menyerang SSP.
Hipotesis

• Infeksi SSP:

 Meningitis : peradangan pada selapu otak. Dari hasil anamnesa didapatkan gejala nyeri
kepala, kaku pada leher belakang yang merupakan gejala khas meningitis

 Ensefalitis : peradangan pada sel parenkim otak. Dari hasil anamnesa didapat kejang,
nyeri kepala yang merupakan gejala khas pada ensefalitis.

 Meningoensefalitis: terdapat kejang, nyeri kepala, kaku pada leher belakang. Biasanya
infeksi dari meningen dapat berlanjut mengenai jaringa otak

• HIV/AIDS dengan wasting syndrome dan infeksi oportunistik : didapatkan dari


riwayat penyakit dahulu, yaitu riwayat pemakaian narkoba suntik secara bergantian. Hal ini
merupakan port d’entrée dari infeksi mikroorganisme tertentu, dan dari riwayat penyakit
sekarang didapatkan penurunan berat badan drastis yang merupakan gejala pada penyakit
HIV stadium 4, hal ini diperkuat dengan dari riwayat pemakaian narkoba selama 10 tahun
terakhir. Biasanya pertama kali terinfeksi HIV sampai AIDS dalam rentang waktu 10-15
tahun.

Pemeriksaan Fisik

• Kesadaran: Delirium

Gangguan kesadaran disertai gangguan atensi, disorientasi, memori, persepsi, dll karena
adanya gangguan difus bersifat metabolik pada kedua hemisfer berikut mekanisme
kompensasi seluruh korteks cerebri.

• Vital sign: TD: 120/80 mmHg (N)

HR: 100 bpm (N: 60-100 bpm)

HR: 100 bpm (N: 60-100 bpm)

RR: 20 bpm (N: 16-24 bpm)

T: 37,5° C (N:36,7-37,8° C)

Pada vital sign seluruhnya normal, pada suhu yang tidak terlalu tinggi mengarah ke dugaan
infeksi SSP yang kronik karena pada infeksi kronik tidak didapatkan demam.

• Tatto (+) hampir seluruh tubuh

• Needle track (+)


Port d’entrée dari virus HIV dimana HIV masuk melalui mikrolesi dan menuju ke sel
langerhans mukosa.

• Mata: RCL/RCTL ++/++, papil edema (-)

Pada meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis biasanya di dapatkan TTIK. Kemungkinan


dalam pemeriksaan ini TTIK tidak sampai menyebabkan ada gangguan pada n.
okulomotorius yang mengatur pergerakan otot-otot bola mata. Dan TTIK tidak menyebabkan
oklusi diskus sentralis pada retina yang dapat menyebabkan papil edema.

• Mulut: Leukoplakia (+), oral thrush (+)

Leukoplakia dan oral thrush biasanya disebabkan jamur candida albicans, keduanya
merupakan gbrn infeksi oportunistik CD4 < 200/mm3 (HIV/AIDS stadium 2).

• KGB: tidak teraba membesar

Hal ini menandakan infeksi mikroorganisme tidak sampai menyebabkan infeksi sistemik dan
merupakan tanda infeksi kronis.

Pemeriksaan Neurologis

• GCS: E4V2M6 = 12 = somnolen

 E4à spontan membuka mata

 V2àmengerang

 M6à dapat mengikuti perintah

Hal ini menunjukkan penurunan kesadaran, normalnya 15 = compos mentis.

• Motorik: hemiparesis (-), normotonus, normotrofi

• Refleks fisio: biceps/triceps (+) normal & patella/achilles (+) normal

• Refleks patologis babinski (-)

Tidak ada gangguan yang mengenai korteks motorik primer, baik pada UMN maupun LMN
sehingga tidak ada keabnormalan dari sisi motorik & refleks.

• Meningeal sign

 kaku kuduk (+)

 Brudzinsky 1 (+)
 kernig (+)

 Brudzinsky 2 (+)

Menandakan pasien (+) meningitis àadanya infeksi pada selaput otaknya.

Pemeriksaan Lab

• Hb: 12,4 g/dL (L:13-16 // P:12-14)

Pasien mengalami anemia dimana penyebabnya bisa karena, infeksi kronik yang disebabkan
suatu mikroorganisme, keganasan, dll.

• Ht: 42% (L:40-48% // P:37-43%)

Hematokrit merupakan persentase konsentrasi eritrosit dalam plasma darah, pada pasien
nilainya dalam batas normal

• MCV: 60% (80-95 fL)

Menggambarkan ukuran besar rata-rata sel darah merah. MCV yang kecil berarti ukuran sel
darah merahnya lebih kecil dari ukuran normal. Biasanya hal ini disebabkan oleh penyakit
kronis atau kekurangan zat besi.

• Leukosit: 4500/mm3 (n: 4500-10000/mm3)

Leukosit pasien DBN. Diduga infeksinya bukan karena bakteri, karena pada bakteri leukosit
meningkat

• Trombosit: 240.000/mm3 (n:150.000-450.000/mm3)

Trombosit pasien dalam batas normal, tidak ada gangguan pembekuan darah. Pada trombosit
<50.000/ mm3 kontraindikasi dilakukan lumbal pungsi

 Diff count: 0/0/0/63/24/13

 Basofil : 0 (0-1%)

o Sel ini terlibat dalam reaksi alergi, tetapi mekanismenya blm jelas dipahami.

 Eosinofil : 0 (1-3 %) 

o Sel ini terlibat dengan alergi terutama terhadap parasit.

 Neutrofil: batang: 0 (3-5%); segmen: 63 (50-70%)

o berfungsi melawan infeksi bakteri. Penyakit HIV lanjut, obat HIV seperti
gansiklovir dapat menyebabkan neutropenia).
 Limfosit: 24 (20-30%)

o Limfosit berperan pada imunitas selular spesifik.

 Monosit: 13 (3-8%)

o Monosit beredar dalam darah. Bila monosit ada di jaringan tubuh, mereka disebut
makrofag. Jumlah monosit yang tinggi menunjukkan adanya infeksi kronik.

 Peningkatan jumlah netrofil (baik batang maupun segmen) relatif dibanding limfosit dan
monosit dikenal juga dengan sebutan shift to the leftà infeksi akut. Kondisi noninfeksi
yang dapat menyebabkan shift to the left antara lain asma dan penyakit-penyakit alergi
lainnya, luka bakar, anemia perniciosa, keracunan merkuri (raksa), dan polisitemia vera.

 Sedangkan peningkatan jumlah limfosit dan monosit relatif dibanding netrofil


disebut shift to the rightà infeksi kronis. Kondisi noninfeksi yang dapat
menyebabkan shift to the right antara lain keracunan timbal, fenitoin, dan aspirin.

 GDS: 98 mg/dL (70-110 mg/dL)

GDS pasien DBN.

 Px. Tinta india: kriptokokus (+)

Pewarnaan negatif untuk melihat adanya kapsul di sekeliling mikroorganismeà kapsul


nampak jernih disekitar latar belakang yg gelap.
• CT scan: edema difus serebri

Menandakan encephalitis, karena pd gambaran CT scan encephalitis terdapat gambaran


kerusakan parenkim otak, edema serebri, dan hipodens.

• Western blot: HIV (+)

Menandakan pasien terkena HIV (+).

Diagnosis

Meningoensefalitis e.c kriptokokus

Penatalaksanaan

• Manitol IV 4 x 125 cc
– Obat diuretik osmotik
– Indikasi :
• Profilaksis gagal jantung
• Menurunkan tekanan & volume cairan intraokuler/CSS à menaikkan
tekanan osmotik plasma à air akan berdifusi kembali ke ruang plasma &
CES
– Kontraindikasi :
• Penyakit ginjal dengan anuria.
• Dalam kasus ini diberikan manitol karena dari hasil CT-scan di dapatkan edema serebri.
• Ranitidin 2 x 1 ampul
– Antihistamin H2
– Menghambat sekresi asam lambung,
– Digunakan dalam pengobatan penyakit ulkus peptikum (PUD), dispepsia,
profilaksis stres ulkus, dan gastroesophageal reflux disease (GERD).
– Efek samping : pusing, malaise, diare, mialgia & anti androgenik
– Sediaan
• Tablet 200, 300, 400 mg
– Indikasi
Digunakan untuk mengobati tukak lambung dan tukak duodenum. Akan tetapi
manfaat terapi pemeliharaan dalam pencegahan tukak lambung belum diketahui
secara jelas.
– Dalam kasus ini, karena terdapatnya rangsangan dari nervus vagus yang
menyebabkan muntah, makan diberikan obat ini untuk mengurangi gejala
tersebut.
• Flukonazol 200 mg
– Diserap sempurna tanpa dipengaruhi makanan
– Tersebar rata ke dalam ciran tubuh, juga saliva & sputum, CSS 50-90%
– Kadar puncak 4-8 mg setelah beberapa kali pemberian 100 mg.
– Dosis disarankan 100-400 mg
– Efek samping : reksi alergi kulit, eosinofilia, sindrom Steven Jhonson, gangguan
faal hati, trombositopenia pada AIDS
– Mencegah relaps meningitis e.c kriptokokus.
– Pada penderita meningitis karena infeksi oportunistik kriptokokkus pengobatan
diawali amfoterisin B 0,7 - 1 mg/ kg BB disertai flusitosin 100 mg selama 2
minggu dan flukonazol 400 mg paling sedikit 10 minggu, jika tidak tersedia
flusitosin maka diberikan amfoterisin B saja 0,7 – 1 mg/ kg BB selama 6-10 mg.
terapi pemeliharaan flukonazol 200-400 mg/ hari seumur hidup. Dengan
digunakan HAART, terapi pemeliharaan mungkin di hentikan, tapi kalau CD4 >
100 μl, karena CD4 < 100 rentan terhadap infeksi jamur dan perlu dilakukan
penurunan TIK
– Efektif untuk kandidiasisi mulut dan tenggorokan pada AIDS.
DAFAR PUSTAKA
• Neurologi klinis dasar – dian rakyat

• Parasitologi kedokteran – FKUI

• DUUS

• Chernecky CC & Berger BJ. Laboratory Tests and Diagnostic Procedures 5th edition.
Saunders-Elsevier, 2008.

• Journal of clinical microbiology, July 2005, p. 3548-3550, vol. 43.

• Farmakologi katzung

• Farmakologi UI

• Sistem saraf pusat dan saraf tepi. Patologi umum dan sistematik.

• Mekanisme infeksi susunan syaraf. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat

• Gangguan sistem neurologik. Patofisiologi Silvia volume 2.

• Kapita selekta Kedokteran

• Ensefalitis dan ADEM. Neurologi in daily practice. UNPAD

Anda mungkin juga menyukai