BLOK NBSS
“MENINGOENSEFALITIS”
D4
Nama Tutor : dr. Wahyunia
Nama Anggota Kelompok :
Hana Fathia Ardi (1010211077)
Hasyati Dwi Kinasih (1010211023)
Reza Angga Pratama (1010211050)
Anna Andany Lestari (1010211056)
Maulana Wasis Waskito (1010211069)
Niken F. K Utami (1010211074)
Restu Kaharseno (1010211098)
Afria Beny Safitri (1010211160)
Rahma Cita Halida (1010211180)
Sanni Rizky Putri (1010211183)
Mengetahui,
Tutor Tutorial D-4
dr. Wahyunia
Ketua
(1010211077)
Sekretaris I Sekretaris II
(1010211074) (1010211069)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, tiada Tuhan selain Allah SWT
dan tiada sekutu bagi-Nya. Begitu banyak dan berlimpah nikmat yang telah Ia berikan
terutama nikmat Iman, Islam, dan Ihsan. Puji syukur kami panjatkan yang dengan
izinNya maka makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini merupakan makalah
mengenai kasus “Kejang Demam” yang didiskusikan sejak tanggal 19 Maret 2012
sampai 23 Maret 2012
Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan,
maka dari itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca agar kami dapat lebih baik lagi untuk ke depannya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pihak yang membutuhkan, khususnya bagi tim penulis sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai. Amin
LEMBAR PENGESAHAN............................................................... i
KATA PENGANTAR…………………………………………………. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………....... iii
CASE............................................................................................. 5
Learning Progress......................................................................... 8
Fisiologi Kesadaran....................................................................... 9
Fisiologi Tidur................................................................................ 10
Koma............................................................................................. 13
Infeksi SSP.................................................................................... 15
Virus........................................................................................
Bakteri.....................................................................................
Spirochaeta.............................................................................
Fungus......................................................................................
Protozoa.....................................................................................
Metazoa......................................................................................
Meningitis..........................................................................................
Ensefalitis..........................................................................................
Meningoensefalitis............................................................................
Abses Serebri....................................................................................
INTERPRETASI KASUS....................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................
CASE
PAGE 1
Tn. Parto berusia 30 tahun, datang diantar ibunya ke unit gawat darurat RSPAD Gatot
Subroto dengan keluhan mengalami kejang. Kejang terjadi di seluruh tubuh. Kejang yang
dialami hanya berlangsung selama 3 menit. Dan saat kejang ia dalam keadaan tidak sadar.
PAGE 2
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : delirium
Vital sign
- HR : 100x/menit
- RR : 20 x/menit
- Suhu : 37,50 C
- TD : 120/80 mmHg
Tatto : (+) hampir di seluru tubuh
Needle track : (+)
Mata : RCL/RCTL = ++/++, papil edema (-)
Mulut : leukoplakia (+), oral thrush (+)
Kelenjar getah bening : tidak teraba membesar
Pemeriksaan Neurologis
GCS : E4V2M6
Motorik : hemiparesis tidak ada, normotonus, normotrofi
Reflex Fisiologis
- Refleks biceps/triceps: (+) normal
- Refleks patella/achiles: (+) normal
Reflex Patologis
- Refleks babinski : (-)
Meningeal sign
- Kaku kuduk : (+)
- Brudzinsky I : (+)
- Brudzinsky II : (+)
- Kernig : (+)
Pemeriksaan Laboratorium
- Hb : 12,4 g/dl
- Ht : 42%
- MCV : 60%
- Leukosit : 4500/mm3
- Trombosit : 240.000/mm3
- Diff count : 0/0/0/63/24/13
- GDS : 98 mg/dl
- Pemeriksaan dengan tinta india : kriptokokus (+)
- CT scan : edema difus cerebri
PAGE 3
Dari hasil pemeriksaan western blot, didapatkan pasien HIV (+) dan didiagnosis
mengalami meningoensefalitis akibat kriptokokus. Saat ini pasien masih dirawat di ICU.
Penatalaksanaan :
Manitol IV 4x125 cc
Ranitidin 2x1 ampul
Fluconazole 200 mg/hari IV
Pada perawatan hari ke 6, pasien masih mengalami pusing kepala, disertai muntah dan
mulai terjadi penurunan kesadaran, dan akhirnya pasienmeninggal pada perawatan hari ke7.
FISIOLOGI KESADARAN
Kesadaran adalah keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls eferen dan aferen.
Substrat kualitas dan derajat kesadaran ditentukan oleh jumlah (kuantitas) input susunan saraf
pusat . Input susunan saraf terdiri dari input spesifik dan input non spesifik.
Input SSP spesifik
- Perjalanan impuls aferen yang khas dan kesadaran yang diteruskan oleh impuls aferen
khas juga
- Lintasan spesifik menghantarkan impuls dari satu titik pada alat reseptor ke satu titik pada
korteks perseptif primer
- Setibanya impuls aferen spesifik di tingkat korteks terwujudlah suatu kesadaran akan
suatu modalitas perasaan yang spesifik, yaitu perasaan nyeri di kaki atau di wajah atau
suatu penglihatan, penghiduan, pendengaran.
Input SSP non spesifik
- Sebagian dari impuls aferen spesifik yang disalurkan melalui lintasan aferen non-spesifik
- Lintasan aferen non spesifik menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh
ke titik pada seluruh korteks serebri kedua sisi
- Lintasan ini terdiri dari serangkaian neuron neuron di substansia retikularis medulla
spinalis dan batang otak yang menyalurkan impuls aferen ke thalamus yaitu inti
intralaminar
- Setibanya di inti intralaminar akan menggalakan inti tersebut untuk memancarkan impuls
yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan bilateral
- Lintasan aferen non spesifik lebih dikenal dengan “difuse ascending reticular system
Gangguan Kesadaran
Gangguan kesadaran terjadi karena ada gangguan pada neuron pengemban kewaspadaan
yang tidak berfungsi atau pada neuron penggalak kewaspadaan yang tidak berdaya untuk
mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan.
FISIOLOGI TIDUR
Definisi
Suatu kondisi tidak sadar di mana individu dapat dibangunkan oleh stimulus atau sensori
yang sesuai.
Status perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan
menurun.
Suatu proses aktif yang terdiri dari periode-periode tidur gelombang-lambat dan paradoksikal
yang berseling-seling.
Pengaturan tidur
Reticular Activating System (RAS)
- RAS di bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat
mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran; memberi stimulus visual, pendengaran,
nyeri, dan sensori raba; serta emosi dan proses berfikir. Pada saat sadar, RAS melepaskan
katekolamin.
Bulbar Synchronizing Region (BSR)
- pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari BSR.
Macam-macam tidur
1. Tidur NREM (Non Rapid Eye Movement)
- jenis tidur yang disebabkan menurunnya kegiatan di dalam sistem pengaktivasi retikularis
atau disebut dengan tidur gelombang lambat.
- Perpindahan tahap 1-4 berkisar 30 sampai 45 menit.
Tahap 1
- Tahap ini berlangsung selama 5 menit. Tahap transisi antara bangun dan tidur dengan
ciri sebagai berikut:
rileks
masih sadar dengan lingkungan
merasa mengantuk
bola mata bergerak dari samping ke samping
frekuensi nadi dan napas sedikit menurun
dapat bangun segera
Tahap 2
- Tahap ini berlangsung pendek dan berakhir 10-15 menit. Merupakan tahap tidur ringan
dan proses tubuh terus menurun dengan ciri sebagai berikut:
mata pada umumnya menetap
denyut jantung dan frekuensi napas menurun
temperatur tubuh menurun
metabolisme menurun
Tahap 3
- Merupakan tahap tidur dengan ciri denyut nadi dan frekuensi napas dan proses tubuh
lainnya lambat, disebabkan adanya dominasi sistem saraf parasimpatis sulit untuk bangun
Tahap 4
- Merupakan tahap tidur dalam dengan ciri:
kecepatan jantung dan pernapasan turun
jarang bergerak
sulit dibangunkan
gerak bola mata cepat
sekresi lambung menurun
tonus otot menurun
Koma merupakan suatu keadan dimana kesadaran menurun pada derajat yang terendah,
atau korteks serebri kedua sisi tidak lagi menerima impuls aferen aspesifik.
Gangguan yang dapat menimbulkan koma dapat tercakup dalam gangguan :
- Di substansia retikularis bagian batang otak yang paling rostral
o Infratentorial
o Supratentorial
- Gangguan difus pada kedua hemisferium
Hemisferium kedua sisi dapat terganggu secara menyeluruh jika sel-sel yang menyusun
korteks serebri kedua sisi mengalami gangguan metabolic akibat racun endogenik maupun
eksogenik.
INFEKSI SSP
I. INEKSI VIRUS
Kuman masuk ke dalam permukaan sel kemudian ditangkap oleh lisosom kemudian
datang fagosit yang emmakan kuman sehingga kuman dihancurkan. Reruntuhan kuman
itu merupakan racun (toksin) yang nantinya akan diserap oleh aliran darah sehingga
timbul gejala toksemia (demam, perasaan tidak enak badan, anoreksia, selesma, batuk,
dll). Nah, misalkan tubuh kita kalah oleh invasi bakteri tersebut maka kuman akan terus
berkembang biak dan masuk ke dalam aliran darah kemudia masuk ke dalam otak
dikarenakan otak tidak memiliki system seperti tubuh kita sehingga dia mudah dimasuki
oleh mikroorganisme dan menimbulkan kerusakan (radang) sehingga timbul gejala.
Gejala toksemianya meliputi sakit kepala, nyeri retroorbital , nyeri pinnggang bagian
bawah, nyeri otot, pusing, parastesia, fotofobia, latergia, delirium.
b. Sifilis
Sifilis adalah penyakit menular seksual
Disebabkan oleh Treponema pallidum
Bakteri ini masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir atau melalui kulit.
Dalam beberapa jam, bakteri akan sampai ke kelenjar getah bening
terdekat,kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah.
Infeksi oleh Treponema pallidum berkembang melalui 4 tahap
1. Fase Primer
- Terbentuk luka atau ulkus (cangker) yang tidak nyeri pada tempat yang
terinfeksi. Cangker berawal sebagai suatu daerah penonjolan kecil yang
dengan segera akan berubah menjadi suatu ulkus (luka terbuka), tanpa
disertai nyeri.
- Luka tersebut hanya menyebabkan sedikit gejala, biasanya membaik dalam
waktu 3-12 minggu dan sesudahnya penderita tampak sehat secara
keseluruhan.
2. Fase Sekunder
- Fase sekunder biasanya dimulai dengan suatu ruam kulit, yang muncul
dalam waktu 6-12 minggu setelah terinfeksi. Ruam ini bisa berlangsung
hanya sebentar, meskipun tidak diobati ruam ini akan menghilang.
- Pada fase sekunder sering ditemukan luka di mulut. Sekitar 50% penderita
memiliki pembesaran kelenjar getah bening di seluruh tubuhnya dan sekitar
10% menderita peradangan mata.
- Peradangan mata biasanya tidak menimbulkan gejala, tetapi kadang terjadi
pembengkakan saraf mata sehingga penglihatan menjadi kabur. Sekitar 10%
penderita mengalami peradangan padatulang dan sendi yang disertai nyeri.
Peradangan ginjal bisa menyebabkan bocornya protein kedalam air kemih.
Peradangan hati bisa menyebabkan sakit kuning.
- Sejumlah kecil penderita mengalami peradangan pada selaput otak
(meningitis sifilitik akut ), yang menyebabkan sakit kepala, kaku kuduk dan
ketulian. Di daerah perbatasan kulit dan selaput lendir serta di daerah kulit
yang lembab, bisa terbentuk daerah yang menonjol (kondilomalata).
- Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu
makan, mual, lelah,demam, rambut rontok dan anemia
3. Fase Laten.
- Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun. Pada awal fase laten luka yang
infeksius kembali muncul dan apabila penyebab manifestasi sifilis tahap
kedua itu tidak dikenal maka infeksi treponema palidum akan terus berjalan
tanpa halangan, sehingga susunansaraf pusat juga akan mengalami invasi
kuman tersebut.
- Gambaran Prodromnya bersifat umum seperti sakit kepala,insomnia, cepat
lupa, daya konsentrasi mengurang dan letih badan. Selanjutnya timbul
demensia dengan perubahan watak bahkan psikosis
4. Fase Tersier.
- Pada fase tersier penderita tidak lagi menularkan penyakitnya. Gejala
bervariasi mulairingan sampai sangat parah, terbagi menjadi 3 kelompok
utama :
1) Sifilis tersier jinak
o Benjolan yang disebut gumma muncul di berbagai organ; tumbuhnya
perlahan, menyembuh secara bertahap dan meninggalkan jaringan
parut. Tulang juga bisa terkena, menyebabkan nyeri menusuk yang
sangat dalam yang biasanya semakin memburuk di malam hari
2) Sifilis kardiovaskuler
3) Neurosifilis
o Sifilis pada sistem saraf terjadi pada sekitar 5% penderita yang
tidakdiobati. 3 jenis utama dari neurosifilis adalah
neurosifilis meningovaskuler
neurosifilis paretik
neurosifilis tabetik
Fungi adalah organisme yang terdapat dimana-mana dengan virulensi rendah yang
menjadi patogenik pada lingkungan tertentu seperti depresi immunitas bermedia
sel,neutropenia, dan terapi antibiotika sistemik jangka lama. Tidak jarang menginvasi
otak.
Terkenanya SSP mungkin disseminate, menyebabkan meningitis atau
meningoensefalitis atau fokal, menyebabkan abses granulomatosa.
Berbeda dengan infeksi bakterial, meningitis fungal cenderung dimulai ringan dengan
perburukan bertahap. Nyeri kepala, kaku kuduk, demam, letargi, status mental
depresi,dan palsi saraf kranial mungkin tampak.
CT -scan tidak selalu membantu pada meningitis fungal, tapi mungkin memperlihatkan
hidrosefalus, komplikasidari meningitis kronik.
MRI dapat efektif memperlihatkan penguatan basiler dan inflamasi
Abses otak tunggal atau multipel mungkin tampil dengan kejang, nyeri kepala,
statusmental depresi, atau defisit neurologis fokal, sering bersamaan dengan
pneumonia.
Patogen yang umum adalah Cryptococcus, Aspergillus, Nocardia,
Blastomyces, Actinomyces, dan Histoplasma.
V. INFEKSI PROTOZOAL
a. Tripanosomiasis
Etiologinya adalah Tripanosoma gambiense , di Afrika dikenal dengan penyakit tidur
yang vector penularannya lalat glosina/tsetse sedangkan di Ameriks dikenal dengan
penyakit Chaga yang vector penularannya kutu busuk. Mikroorganisme ini akan
berkembangbiak dalam traktus digetivus vector lalu pindah ke kelenjar liur. Ketika
hospes menggigit manusia atau hewan lainnya, pada port d’entrée akan timbul lesi
setempat berupa ulkus atau nodula. Setelah itu akan terjadi penjalaran secara limfogen
dimana manifestasinya berupa demam dan limfadenopati, lalu akan menyebar secara
hematogen dan nantinya akan invasi ke susunan saraf. Dimana pada invasi susunan saraf
akan timbul gejala neurologic berupa tremor, ataksia, konvulsi, delirium, demensia dan
somnolensia. Selain itu umumnya meningen juga terkena dan CSS akan banyak
mengandung limfosit dan protozoa.
b. Malaria
Infeksinya oleh Plasmodium falsiparum, kasnya adalah multiplikasinya tidak dapat
dihambat karena kebanyakan berada dieritrosit dan eritrosit cenderung melekat pada
intima pembuluh kapilar sehingga menimbulkan penyumatan aliran kapilar, dengan
vector nyamuk Anopheles. Karena sifat eritrosit menjadi berubah seperti tadi maka lesi
vascular mudah timbul dalam bentuk ptekie hemoragi dan nekrosis fokal. Penyebaran
pada otak dan meningens akan timbul manifestasi neurologic seperti sindroma
meningitis, deficit serebral fokal, gejala serebral dan bulbar, gejala iritatif, organic brain
syndrome dan stupor sampai koma. Jika lesi meluas secara progresif, dapat menyebabkan
kematian.
c. Toksoplasmosis
Mikroorganisme bertahan dalam bentuk kista di otot dan jaringan saraf yang
ukurannya lebih kecil dari eritrosit maka sangat mudah tersebar secara hematogen. Pada
yang asimtomatik (kebanyakan pada yang akuisita) timbul gejala lokalisatorik seperti
pneumonia, eksantema, hepatitis, polimiositis, meningitis, ensefalitis dll. Pada yang
asimtomatik congenital manifestasi ke berbagai organ karena penularan terjadi pada
tahap dini dari pertumbuhan mudigah sampai fetus, lalu pada saat partus bisa terjadi
mikrosefalus, mikroftalmia dan endoftalmia. Pada saat masa perkembangan bisa terjadi
hidrosefalus, konvulsi, tremor, opistotonus, hemiplegia, paraplegia dan nistagmus.
d. Amebiasis
Infeksi Entameba histolitika pada pengotoran makanan oleh lalat, berkembang begitu
cepat, yang nantinya mulai timbul sakit kepala, gangguan fungsi mental dll. Lalu timbul
gejala prodromal seperti demam dan gejala serebral fokal. Kematian dapat terjadi dalam
waktu 7-10 hari.
MENINGITIS
MENINGITIS VIRAL
Meningitis viral disebut juga meningitis aseptic karena jika dilakkan biakan kultur akan
negative. Gejalanya biasanya sangat ringan sehingga sering luput dari diagnose, seperti nyeri
kepala, demam , menggigil, nyeri otot dan sendi.
Epidemiologi
Etiologi
Paling sering Enterovirus yaitu poliomyelitis, Coxsackie dan ECHO (entric cytopathic
human orphan)
Diagnose
1. Pemeriksaan CSS terdapat gambaran inflamasi lebih ringan ; diff count dominan MN ; kadar
glukosa normal ; protein seringkali normal ; kultur virus dan PCR dapat menentukan jenis
virus
2. Untuk menentukan etiologi virus dilakukan kultur dari darah, tinja, apus osofaring, rectum
dan lesi kulit
Terapi
Simtomatik seperti analgesic dan antipiretik, karena sering sembuh dengan sendirinya
Kenakan tekanan intracranial dapat diterapi dengan LP
Terapi suportif, cairan IV dan analgetik pada bayi dan anak
Prognosis
Diagnose
1. Keluhan gejala klinis sejak 1-2 minggu sebelum dating ke RS berupa demam yang tidak
terlalu tinggi, nyeri kepala, malaise
2. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kaku kuduk dan penurunan kesadaran
3. Biasanya hanya mengeluhkan nyeri kepala hebat
4. CT Scan / MRI hasilnya pada pasien HIV ada hidrosefalus
5. Pemeriksaan Lab lebih dari 90% CD4 kurang dari 100 jika CDA > 200 berarti bukan
kriptokokus dan tes antigen kriptokokus sebelum LP
6. Pemeriksaan CSS ditemukan tekanan pembukaan tinggi ; jumlah sel < 500 predominan MN ;
kadar protein 50-100 mg/dl ; kadar glukosa <40 ; pewarnaan dengan tinta india akan
ditemukan jamur bersel tunggal dengan kapsul yang besar, adanya tunas pada badan jamur
merupakan tanda yang khas ; kultur jamur dengan media Saburaud
Terapi
1. Antijamur
Fase induksi : amfoterisin B deoksikolat IV dosis 0,7-1 mg/kgbb/hr ditambah flusitosin
100 mg/kgbb/hr dibagi 4 dosis peroral selama 14 hari
Fase maintenance : flukonazol 400 mg/hr minimal 8 minggu
2. Pemberian ARV diberikan setelah 2-10 minggu pemberian terap[I antijamu, karena jika tidak
dalam waktu tersebut akan menimbulkan IRIS
Prognosa
- Dapat bertahan hidup denganpemberian obat yang sesuai
- Buruk karena penurunan kesadaran saat masuk RS, jumlah leukosit yang rendah, dan titer
antigen yang tinggi
Ensefalitis
Inflamasi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme, virus, bakteri, jamur, protozoa
atau parasit.
Etiologi
• Virus: Herpes Simpleks (tipe 1 dan 2),Virus varicela-zoster, Virus CMV kongenital, Virus
Epstein Barr, Kelompok virus poks: Vaksinia dan Virus arbo, Rabies.
• Riketsia
• Mycoplasma pneumonia
• Bakteri
Klasifikasi
A. Berdasarkan waktu:
- Kronis: dapat terjadi mulai dari beberapa minggu hingga beberapa bulan.
B. Berdasarkan patogenesis:
- Infeksi primer: terjadi akibatnya masuyk virus secara langsung ke dalam SSP sehingga
menghasilkan gejala klinis disfungsi kortikal atau batang otak.
- Post-infeksi: terjadi akibat respon imun host terhadap invasi virus ke dalam SSP
Patofisiologi
ENSEFALITIS PRIMER
Virus herpes simpleks tidak berbeda secara morfologik dengan virus varisela, dan
sitomegalovirus. Secara serologik, memang dapat dibedakan dengan tegas. Menyebabkan infeksi
laten; bertahan secara tak terbatas dalam inang yang terinfeksi. Sering diaktifkan kembali dalam
inang yang fungsi imunitasnya tertekan Neonatus masih mempunyai imunitas maternal. Tetapi
setelah umur 6 bulan, imunitas itu lenyap dan bayi dapat mengidap gingivo-stomatitis virus
herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan berlokalisasi pada perbatasan mukokutaneus
antara mulut dan hidung. Infeksi – infeksi tersebut jinak sekali. Tetapi apabila neonatus tidak
memperoleh imunitas maternal terhadap virus herpes simpleks dari ibunya yang mengidap
herpes genitalis, maka infeksi dapat berkembang menjadi viremia. Ensefalitis merupakan
sebagian dari manifestasi viremia yang juga menimbulkan peradangan dan nekrosis di
hepar dan glandula adrenalis.
Pada anak – anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks merupakan manifestasi re-
aktivasi dari infeksi yang laten. Dalam hal ini, virus herpes herpes simpleks berdiam di dalam
jaringan otak secara endosimbiotik, mungkin di ganglion Gasseri dan hanya ensefalitis saja yang
bangkit. Reaktivitas virus herpes simpleks dapat disebabkan oleh faktor – faktor yang pernah
disebut diatas, yaitu penyinaran ultraviolet, dan gangguan hormonal. Penyinaran ultraviolet dapat
terjadi secara iatrogenic atau sewaktu berpergian ke tempat – tempat yang tinggi letaknya.
Kerusakan pada jaringan otak berupa nekrosis di substansia alba dan grisea serta infark iskemik
dengan infiltrasi limpositer sekitar pembuluh darah intraserebral. Di dalam nucleus sel saraf
terdapat “inclusion body” yang khas bagi virus herpes simpleks. Gambaran penyakit ensefalitis
virus herpes simpleks tidak banyak berbeda dengan ensefalitis primer lainnya lainnya. Tetapi
yang menjadi ciri khas bagi ensefalitis virus herpes simpleks ialah progresivitas perjalanan
penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam dan muntah – muntah. Kemudian timbul ”acute
organic brain syndrome” yang cepat memburuk sampai koma. Sebelum koma dapat ditemukan
hemiparesis atau afasia. Dan kejang epileptik dapat timbul sejak permulaan penyakit. Pada
pungsi lumbal ditemukan pleiositosis limpositer dengan eritrosit
ENSEFALITIS ARBOVIRUS
Gambaran Klinis
• Masa inkubasi ensefalitis antara 4 dan 21 hari.
• Penyakit timbul tiba – tiba diserai nyeri kepala yang hebat, menggigil dan demam, mual
dan muntah, nyeri di seluruh tubuh dan malaise.
• Dalam 24 – 48 jam, timbul rasa sangat mengantuk dan penderita dapat mengalami stupor.
Sering terjadi kaku kuduk. Kekacauan mental, disartria, tremor, kejang dan koma timbul
pada kasus – kasus yang berat.
ENSEFALITIS PARA-INFEKSIOSA
Rabies
Rabies disebabkan oleh virus neurotrop yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan anjing
atau binatang apapun yang mengandung virus rabies. Setelah virus melakukan penetrasi kedalam
sel tuan rumah, ia dapat menjalar melalui serabut saraf perifer ke susunan saraf pusat. Sel-sel
saraf (neuron) sangat peka terhadap virus tersebut. Dan sekali neuron terkena infeksi virus rabies
proses infeksi itu tidak dapat dicegah lagi. Dan tahap viremia tidak perlu dilewati untuk
memperluas infeksi dan memperburuk keadaan, neuron-neuron diseluruh susunan saraf pusat
dari medulla spinalis sampai di korteks tidak bakal luput dari daya destruksi virus rabies. Masa
inkubasi rabies ialah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Jika dalam masa itu dapat
diselenggarakan pencegahan supaya virus rabies tidak di neuron-neuron maka kematian dapat
dihindarkan. Jika gejala-gejala prodromal sudah bangkit tidak ada cara pengobatan yang dapat
mengelakkan progresivitas perjalanan penyakit yang fatal dan menyedihkan ini.
Gejala-gejala prodromalnya terdiri dari lesu dan letih badan, anoreksia, demam, cepat marah-
marah dan nyeri pada tempat yang telah digigit anjing. Suara berisik dan sinar terang sangat
mengganggu penderita. Dalam 48 jam dapat bangkit gejala-gejala hipereksitasi. Penderita
menjadi gelisah, mengacau, berhalusinasi meronta-ronta, kejang opistotonus dan hidrofobia.
Tiap kali ia melihat air, otot-otot pernafasan dan laring kejang, sehingga ia menjadi sianotik dan
apnoe. Air liur tertimbun didalam mulut oleh karena penderita tidak dapat menelan. Pada
umumnya penderita meninggal karena status epileptikus. Masa penyakit dari mula-timbulnya
prodromal sampai mati adalah 3 sampai 4 hari saja.
Manifestasi Klinis
Bentuk khas ensefalitis : bentuk ini mulai secara bertahap, gejala awal nyeri kepala ringan,
demam, gejala ISPA atau gastrointestinal selama beberapa hari. muncul tanda radang SSP (kaku
kuduk, tanda Kernig positif, gelisah, lemah dan sukar tidur). Defisit neurologik yang timbul
bergantung pada tempat kerusakan. Penurunan kesadaran menyebabkan koma, dapat terjadi
kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi, kelainan kepribadian, disorientasi,
gangguan bicara, dan gangguan mental.
Gejala trias ensefalitis: demam, kejang dan kesadaran menurun. Gejala klinis: bersifat akut/sub
akut, yaitu demam, nyeri kepala, gejala psikiatrik, kejang, muntah, kelemahan otot fokal,
hilangnya memori,gangguan status mental, fotofobia, kelainan gerakan. Pada neonatus: gejala
tampak usia 4-11 hari, yaitu letargik, malas minum, iritabel, dan kejang. Tanda klinik: gangguan
kesadaran, demam, disfasia, ataxia, kejang fokal-general, hemiparesis, gangguan saraf otak,
hilangnya lapangan pandang dan papil edema.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
a. Pungsi lumbal : CSS jernih, jumlah sel 20-500 / ml, kadang-kadang bisa mencapai 2000/lebih.
Kadar protein meningkat sampai 80-100 mg%, sementara kadar glukosa dan klorida normal.
b. Darah
Pemeriksaan pelengkap
a. Isolasi virus : identifikasi mikroorganisme penyebabnya (terutama virus).
b. Serologi : dalam membuat diagnosis perlu untuk menentukan kenaikan titer antibodi spesifik
selama infeksi
c. EEG : Perubahan tidak spesifik menyeluruh. Gambaran melambatnya aktivitas otak.
d. CT scan kepala dan MRI : CT scan : perubahan parenkimal, odem otak dan daerah lesi yang
densitasnya berbeda dengan parenkim otak. CT scan berguna untuk menunjukkkan adanya
komplikasi (perdarahan, hidrocephalus, atau herniasi). MRI lebih sensitive daripada CT scan
dalam mengidentifikasi ensefalitis virus.
Kriteria Diagnosis
Penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, laboratorium dan
penunjang yang dilakukan.
a. Panas tinggi, nyeri kepala hebat, kaku kuduk, stupor, koma, kejang dan gejalagejala kerusakan
SSP
b. Pada pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS) terdapat pleocytosis dan sedikit peningkatan
protein
c. Isolasi virus dari darah, CSS atau spesimen post mortem (otak dan darah) Identifikasi serum
antibodi dilakukan dengan 2 spesimen yang diperoleh dalam 3- 4 minggu secara terpisah
Diagnosis Banding
a. Meningitis bakterial
b. Stroke
c. Tumor otak
d. Abses ekstradural
e. Abses subdural
Infiltrasi neoplasma
g. Trauma kepala pada daerah epidemi
h. Ensefalopati
i. Sindrom Reye
Penatalaksanaan
Farmakologis
1. Mengatasi kejang → Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu
diberikanDiazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3 menit.
2. Memperbaiki homeostatis : infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung umur) dan
pemberian oksigen.
3. Mengurangi edema serebri dan akibat yang ditimbulkan oleh anoksia serebrim :
Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
4. Menurunkan tekanan intracranial : Manitol diberikan intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB
selama 30-60 menit, diulang setiap 8-12 jam.Gliser ol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb
diencerkan dengan dua bagian sari jeruk, dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama
5. Pengobatan kausatif. Sebelum berhasil menyingkirkan etiologi bakteri diberikan antibiotik
parenteral. Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes simplek Acyclovir intravena,
10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10 hari.
Non farmakologis
1. Fisioterapi dan upaya rehabilitative
2. Makanan tinggi kalori protein
Komplikasi
a. Susunan saraf pusat : kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan pendengaran
b. Sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat secara menetap
c. Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid), hidrosefalus
maupun gangguan mental sering terjadi.
d. Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental karena
kerusakan SSP berat
Prognosis
Prognosis sukar diramalkan tergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan dan penyulit
yang muncul.
1. Sembuh tanpa gejala sisa
2. Sembuh dengan gangguan tingkah laku/gangguan mental
3. Kematian bergantung pada etiologi penyakit dan usia penderita
Meningoensefalitis
Definisi
Etiologi
• Infeksi bakteri
• Infeksi virus
• Infeksi jamur
• Definisi
– Peradangan pada meningen dan otak yangg disebabkan oleh mikobakterium
tuberculosis.
• Etiologi
– Organisme ini membutuhkan waktu 15-20 jam untuk berkembang biak dan menyebar.
• Faktor Resiko
– Sinusitis
– Otitis
– Mastoiditis
– Tuberkulosis
– HIV
• Diagnosis
– Demam tinggi
- Penatalaksanaan
o Nonfarmako :
-mencegah komplikasi/trauma
• Penyebabnya :
– Mumps
– Rubella
– HSV
– CMV
• Manifestasi klinis
• Diagnosis :
– Px. fisik
– Px. Neurologi
– Px. CSS
• Talaksana
• Prognosis
– Tergantung dari :
• umur penderita
Definisi
Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang terlokalisir diantara
jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus dan protozoa.
Epidemiologi
Abses otak dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling sering terjadi pada
anak berusia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses otak yaitu, embolisasi oleh penyakit jantung
kongenital dengan pintas atrioventrikuler (terutama tetralogi fallot), meningitis, otitis media
kronis dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak pada wajah ataupun scalp, status
imunodefisiensi dan infeksi pada pintas ventrikuloperitonial (VP-Shunt). Patogenesis abses otak
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika saat ini telah
mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses otak masih tetap tinggi, yaitu sekitar
10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini sudah jarang dijumpai terutama di negara-negara maju,
namun karena resiko kematiannya sangat tinggi, abses otak termasuk golongan penyakit infeksi
Menurut Britt, Richard et al., penderita abses otak lebih banyak dijumpai pada laki-laki
daripada perempuan dengan perbandingan 3:1 yang umumnya masih usia produktif yaitu sekitar
20-50 tahun.
Yang SY menyatakan bahwa kondisi pasien sewaktu masuk rumah sakit merupakan
faktor yang sangat mempengaruhi rate kematian. Jika kondisi pasien buruk, rate kematian akan
tinggi.
Hasil penelitian Xiang Y Han (The University of Texas MD. Anderson Cancer Center
Houston Texas) terhadap 9 penderita abses otak yang diperolehnya selama 14 tahun (1989-
2002), menunjukkan bahwa jumlah penderita laki-laki > perempuan dengan perbandingan 7:2,
Demikian juga dengan hasil penelitian Hakim AA. Terhadap 20 pasien abses otak yang
terkumpul selama 2 tahun (1984-1986) dari RSUD Dr Soetomo Surabaya, menunjukkan hasil
yang tidak jauh berbeda, dimana jumlah penderita abses otak pada laki-laki > perempuan dengan
perbandingan 11:9, berusia sekitar 5 bulan-50 tahun dengan angka kematian 355 (dari 20
penderita, 7 meninggal).
Etiologi dan Faktor Predisposisi
Berdasaran bakteri penyebab, maka etiologi dari abses otak dapat dibagi menjadi:
1. Organisme aerobik:
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga tengah,
Abses otak dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru sistemik
(empyema, abses paru, bronkiektase, pneumonia), endokarditis bakterial akut dan subakut dan
pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada substansi putih dan
abu dari jaringan otak). Abses otak yang penyebarannya secara hematogen, letak absesnya sesuai
dengan peredaran darah yang didistribusi oleh arteri cerebri media terutama lobus parietalis, atau
cerebellum dan batang otak. Dapat juga timbul akibat trauma tembus pada kepala atau trauma
pasca operasi.
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti AIDS, penderita
penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang dapat menurunkan sistem kekebalan
tubuh. 20-37% penyebab abses otak tidak diketahui. Penyebab abses yang jarang dijumpai,
osteomyelitis tengkorak, sellulitis, erysipelas wajah, abses tonsil, pustule kulit, luka tembus pada
tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septikemia. Berdasarkan sumber infeksi
Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde thrombophlebitis melalui klep
vena diploika menuju lobus frontalis atau temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal, terletak
superficial di otak, dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga menyebabkan
abses di bagian anterior atau inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis dapat menyebakan
abses pada lobus frontalis atau temporalis. Sinusitis maxillaris dapat menyebabkan abses pada
lobus temporalis. Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis. Infeksi
pada telinga tengah dapat pula menyebar ke lobus temporalis. Infeksi pada mastoid dan
kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti kerusakan tegmentum timpani atau
Faktor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau faktor lingkungan :
kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan efektif, aliran
darah ke otak yang adekuat, sistem imunologik humoral dan selular yang berfungsi
sempurna.
2. Faktor kuman
bacterial akut, memiliki beberapa faktor virulensi yang tidak bersangkut paut dengan
faktor pertahanan host. Kuman yang memiliki virulensi yang rendah dapat menyebabkan
infeksi di susunan saraf pusat jika terdapat ganggguan pada sistem limfoid atau
retikuloendotelial.
3. Faktor lingkungan
Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat masuk ke dalam
tubuh melalui kontak antar individu, vektor, melaui air, atau udara.
Histopatologi
Jaringan otak rentan terhadap infeksi dan tidak mempunyai mekanisme pertahanan yang
baik, pembentukan kapsul kolagen merupakan respons yang terpenting dalam membatasi
penyebaran abses. Untuk terjadinya abses otak harus ada daerah yang nekrosis terlebih dahulu
Pada penderita meningitis bakteri tidak selalu terjadi abses otak, hal ini dipengaruhi oleh
faktor-faktor:
1. Virulensi bakteri
peranan yang penting untuk timbulnya radang di selaput otak dan memperluas daerah yang
Bakteri pneumokokus mempunyai dua polimer dinding sel (peptidoglikan dan asam
menimbulkan eksudasi albumin yang mempercepat timbulnya edema otak, dengan kerusakan sel
3. Imunopatologis
Satu sampai 3 jam setelah inokulasi lipopolisakarida terjadi pelepasan secara cepat dari
TNF (Tumor Necrotic Factor), Interleukin-1, dan Interleukin-2 ke dalam CSS, menyebabkan
neutrofil melekat pada epitel serta merangsang sel-sel di susunan saraf pusat (astroglia, endotel,
dan makrofag selaput otak) untuk melepaskan sitokin. Sitokin diekskresikan dan merusak sawar
darah otak. Kondisi imunologis penderita yang kurang baik akan mempercepat terjadinya proses
Abses yang disebabkan jamur umumnya merupakan abses metastatik. Awalnya akan
tampak invasi vaskular oleh jamur, disusul thrombosis sekunder dan infark otak. Hal ini
menyerupai abses piogenik, dimana di dalam bagian nekrotik terdapat sel radang, makofag,
fibroblast, dan sel besar berinti banyak terisi jamur yang telah difagosit.
Amoeba menyebabkan terjadinya pusat nekrotik yang berisi debris dan terutama sel
mononuclear, dikelilingi kongesti vaskular, nekrosis jaringan saraf dan sel limfotik, sel plasma
dan mononuklear lain, disini pembentukan kapsul tidak ada atau hanya sedikit serta dapat
ditemukannya kista dan trofozoit. Toksoplasma dapat menyebabkan ensefalitis, abses, dan
Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar
otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma
kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap
bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang
perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu.
Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi
lekosit disertai edema, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik
perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada
pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag
mengelilingi jaringan yang nekrotik. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan
dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul
antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan
dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari
pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika
Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekita
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis
karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati
kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi
sangat besar
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan fibroblast
cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul,
Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.
Daerah tepi pusat nekrosis terdiri dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
Kapsul kolagen yang tebal.
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah ventrikel
nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis
media, mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan serebelum, sedang abses
Setelah kuman telah menerobos permukaan tubuh, kemudian sampai ke susunan saraf
pusat melalui lintasan-lintasan berikut. Kuman yang bersarang di mastoid dapat menjalar ke otak
secara langsung.
Ada penjagaan otak khusus terhadap bahaya yang datang melalui lintasan hematogen,
yang dikenal sebagai sawar darah otak atau blood brain barrier. Pada toksemia dan septicemia,
sawar darah otak terusak dan tidak lagi bertindak sebagai sawar khusus. Infeksi jaringan otak
jarang dikarenakan hanya bakterimia saja, oleh karena jaringan otak yang sehat cukup resisten
terhadap infeksi. Kuman yang dimasukkan ke dalam otak secara langsung pada binatang
percobaan ternyata tidak membangkitkan abses sereebri/ abses otak, kecuali apabila jumlah
kumannya sangat besar atau sebelum inokulasi intraserebral telah diadakan nekrosis terlebih
dahulu. Walaupun dalam banyak hal sawar darah otak sangat protektif, namun ia menghambat
penetrasi fagosit, antibodi dan antibiotik. Jaringan otak tidak memiliki fagosit yang efektif dan
juga tidak memiliki lintasan pembuangan limfatik untuk pemberantasan infeksi bila hal itu
terjadi. Maka berbeda dengan proses infeksi di luar otak, infeksi di otak cenderung menjadi
Unsur seluler lain dari sistem imunologik, yaitu makrofag membuat prostaglandin,
leukotrin, dan sitokin yang dapat berkomunikasi dengan neuron dan sel glia. Salah satu jenis
sitokin adalah Interleukin-1 yang memiliki kemampuan untuk mengubah fungsi T-sel. Zat aktif
itu homolog dengan pirogen, yang menjalankan peranan penting dalam regulasi suhu oleh
hipotalamus. Kini diperoleh banyak data yang menyatakan bahwa astrosit bersama mikroglia
dapat berfungsi seperti makrofag. Dalam artikel yang ditulis oleh Bryan Rock, dkk telah
dikemukakan mengenai peranan mikroglia dalam infeksi susunan saraf pusat. Mikroglia sendiri
merupakan jaringan saraf yang terdiri atas sel-sel interstisial kecil dan mungkin berasal dari
mesoderm.
Mikroglia yang telah teraktivasi akan merilis sejumlah sitokin dan dan kemokin melalui
proses parakrin dan autokrin, yang selanjutnya akan bekerjasama melawan infeksi pada susunan
saraf pusat. Produk yang telah disekresi oleh microglia juga berkontribusi dalam proses
imunologik dan peradangan. Dalam hal ini, diketahui bahwa matrix metalloproteinases (MMPs)
berpotensial merusak sawar darah otak, masuknya leukosit ke dalam sistem saraf pusat, dan
kerusakan jaringan. MMP sendiri adalah suatu enzim zinc-dependent yang mampu merusak
Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis dari abses otak tergantung kepada banyak faktor, antara lain
lokasi, ukuran, stadium dan jumlah lesi, keganasan kuman, derajat edema otak, respons pasien
terhadap infeksi, dan juga umur pasien. Bagian otak yang terkena dipengaruhi oleh infeksi
primernya.
Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejala-gejala infeksi seperti
demam, malaise, anoreksi dan gejala-gejala peninggian tekanan intrakranial berupa muntah, sakit
kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya abses otak gejala menjadi khas berupa trias abses
otak yang terdiri dari gejala infeksi, peninggian tekanan intrakranial dan gejala neurologik fokal.
papiledema.
2. Manifestasi supurasi intrakranial berupa iritabel, drowsiness, atau stupor, dan tanda
rangsang meningeal.
4. Tanda local jaringan otak yang terkena berupa kejang, gangguan saraf kranial, afasia,
ataksia, paresis.
Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala neurologik seperti
menunjukkan prognosis yang kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke
didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan hemianopsi komplit.
Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses ke
dalam lobus frontalis relatif asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala
fokal adalah gejala sensorimotorik. Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan
menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan nistagmus. Abses batang
otak jarang sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan berakibat fatal.
Diagnosis
laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga untuk melibatkan
mengenai riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran,
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status mental, derajat
kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks patologis, dan juga tanda rangsang
dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota gerak, ataupun kelumpuhan yang
lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju endap darah. 2,7. Pemeriksaan
cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan gambaran yang normal. Bisa didapatkan
kadar protein yang sedikit meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau
menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat
diidentifikasi adanya abses. Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi
abses dalam hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta
dengan frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses. Pnemoensefalografi penting terutama untuk
diagnostik abses serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi abses di hemisfer. Saat
ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan setelah digunakan pemeriksaan yang relatif
noninvasif seperti CT scan. Dan scanning otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat
diketahui lokasi abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah
otak yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain mengetahui
lokasi abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan abses. Magnetic Resonance
Imaging saat ini banyak digunakan, selain memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih
akurat.
(Sumber: http://emedicine.medscape.com)
inflamasi.
Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis, hipervaskularisasi pada
batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada stadium ini dapat terlihat gambaran ring
enhancement.
Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang hipodens (sentral abses) yang
dikarenakan sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk mendiagnosis abses serebri. Yang perlu
dipertimbangkan adalah walaupun gambaran CT tipikal untuk suatu abses, tetapi tidak menutup
Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma, metastasis) dari CT
scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk membedakan keduanya antara lain :
umur penderita, ketebalan ring (cicin tipis hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform, diameter ring,
rasio lesi dan ring. Pada ½ kasus, kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul subkortikal. Hal
ini menunjukkan sedikitnya vaskularisasi dari massa putih dan menjelaskan mengapa abses
Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi (yang tersering dari
paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi oleh arteri serebri media di daerah perbatasan massa
Sedangkan gambaran glioblastoma pada CT scan adalah adanya mixed density tumor,
Penatalaksanaan
Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek massa dan menghilangkan kuman
1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat mengancam jiwa
5. Pencegahan kejang
6. Neurorehabilitasi
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan pemilihan
antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang memungkinkan terjadinya abses.
Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga
dan metronidazole.
Jika terdapat riwayat cedera kepala dan komplikasi pembedahan kepala, maka dapat
digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine dengan sephalosforin generasi ketiga dan
juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas
telah tersedia.
Etiologi Antibiotik
dan streptokokkus
Penyakit jantung sianotik Penissilin dan metronidazole.
mastoiditis
Infeksi meningitis citrobacter Sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum
diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin, cefotaxime atau cetriaxone dan
juga metronidazole. Monoterapi dengan meropenem terbukti baik melawan bakteri gram negatif,
Pada abses yang terjadi akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin
dan metronidazole. Abses yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan
vancomycin dan ceptazidine. Jika otitis media, sinusitis, atau mastoidits yang menjadi penyebab
dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus pneumonia telah resisten terhadap penissilin.
Jika meningitis citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada abses local, dapat digunakan
sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida.
Pada pasien dengan immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas dan
Tabel 2.2 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak
100 mg/KgBBt/Hari IV
Ceftriaxone (Rocephin) 2-3 kali per hari,
50-100 mg/KgBBt/Hari IV
Metronidazole (Flagyl) 3 kali per hari,
35-50 mg/KgBB/Hari IV
Nafcillin (Unipen, Nafcil) setiap 4 jam,
2 grams IV
Vancomycin setiap 12 jam,
15 mg/KgBB/Hari IV
Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat mempengaruhi
penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan kapsul abses. Tetapi
penggunaannya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana terdapat risiko potensial dalam
intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran edema yang luas serta midline shift pada
CT scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-off, dan terlihat bahwa
berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak
didapatkan papil edema. Penatalaksanaan secara bedah pada abses otak dipertimbangkan dengan
menggunakan CT-Scan, yang diperiksa secara dini, untuk mengetahui tingkatan peradangan,
Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara antimikrobial dan
tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan drainase abses melalui kraniotomi
merupakan prosedur pilihan. Tetapi pada center-center tertentu lebih dipilih penggunaan
stereotaktik aspirasi atau MR-guided aspiration and biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan
pada abses multipel, abses batang otak dan pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi.
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan, seperti: small deep
Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna diantara penderita
yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi eksisi dalam mengurangi risiko
kejang.
Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi mengingat proses
desak ruang yang cukup besar guna mengurangi efek massa baik oleh edema maupun abses itu
sendiri, disamping itu pertimbangan ukuran abses yang cukup besar, tebalnya kapsul dan
lokasinya di temporal.
Antibiotik mungkin dapat digunakan tersendiri, seperti pada keadaan abses berkapsul dan
secara umum jika luas lesi yang menyebabkan sebuah massa yang berefek terjadinya
Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan, karena prosedur ini
dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika dibandingkan dengan teknik aspirasi.
Indikasi pembedahan adalah ketika abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di dalam
abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa posterior, atau jamur yang berhubungan
dengan proses infeksi, seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula dilakukan
pembedahan drainase. Terapi kombinasi antibiotik bergantung pada organisme dan respon
terhadap penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu.
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan posisinya terhadap
korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari kasus per kasus
(ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan neurologis,
Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah mengalami kejang
dengan frekuensi yang cukup sering. Penghentian antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan
Sebagai suatu lesi desak ruang (space-occupying lesion), abses otak dapat bermanifestasi
klinis hampir sama dengan suatu neoplasma maupun hematoma subdural. Oleh karena itu,
diperlukan teknik diagnosa yang menyeluruh agar terapi yang diberikan menjadi tepat.
ABSCESS TUMOUR
T1 Hyperintense rim.
T2 Hypointense rim.
Komplikasi
Prognosis
Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak secara signifikan berkurang,
dengan perkiraan 5-10% didahului CT-Scan atau MRI dan antibiotik yang tepat, serta
manajemen pembedahan merupakan faktor yang berhubungan dengan tingginya angka kematian,
dan waktu yang mempengaruhi lesi, abses mutipel, kesadaran koma dan minimnya fasilitas CT-
Scan. Angka harapan yang terjadi paling tidak 50% dari penderita, termasuk hemiparesis, kejang,
Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada stadium dini dapat lebih cepat didiagnosis
sehingga prognosis lebih baik. Prognosis AO soliter lebih baik dan mu1tipel. Defisit fokal dapat
Hipotesis
Infeksi SSP
o Meningoensefalitis
o Meningitis
o Ensefalitis
HIV wasting sindrom ,
Infeksi Oportunistik
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan Lab
Ada gangguan muatan listrik berlebih, generalisataà ggn mengaktivasi kedua hemisfer secara
bersamaan.
• Sakit kepala hebat seperti ditusuk & terus menerus di seluruh kepala
Curiga ada massa atau gangguan (infeksi) di otak à menekan jar. sekitar à nyeri
Massa di suatu bagian otak menekan meningen shg timbul kaku leher / kaku kuduk.
BB turun drastic
Wasting syndrome HIV/AIDS, dimana pd penderita AIDS, nutrisi tubuh berkurang karena
diambil oleh mikroorganisme baik untuk replikasi virus maupun organisme lain terutama
pada infeksi oportunistik
Riwayat Pengobatan
• Bisa jadi obat yang dibeli pasien bersifat simptomatik saja (analgesic), sehingga hanya
mengobati gejala bukan penyebabnya.
• Mengarah ke HIV/AIDS karena terdapat faktor predisposisi, dan berdasarkan onsetà bisa
jadi keluhan pasien disebabkan komplikasi AIDS à infeksi oportunistik khususnya yg
menyerang SSP.
Hipotesis
• Infeksi SSP:
Meningitis : peradangan pada selapu otak. Dari hasil anamnesa didapatkan gejala nyeri
kepala, kaku pada leher belakang yang merupakan gejala khas meningitis
Ensefalitis : peradangan pada sel parenkim otak. Dari hasil anamnesa didapat kejang,
nyeri kepala yang merupakan gejala khas pada ensefalitis.
Meningoensefalitis: terdapat kejang, nyeri kepala, kaku pada leher belakang. Biasanya
infeksi dari meningen dapat berlanjut mengenai jaringa otak
Pemeriksaan Fisik
• Kesadaran: Delirium
Gangguan kesadaran disertai gangguan atensi, disorientasi, memori, persepsi, dll karena
adanya gangguan difus bersifat metabolik pada kedua hemisfer berikut mekanisme
kompensasi seluruh korteks cerebri.
T: 37,5° C (N:36,7-37,8° C)
Pada vital sign seluruhnya normal, pada suhu yang tidak terlalu tinggi mengarah ke dugaan
infeksi SSP yang kronik karena pada infeksi kronik tidak didapatkan demam.
Leukoplakia dan oral thrush biasanya disebabkan jamur candida albicans, keduanya
merupakan gbrn infeksi oportunistik CD4 < 200/mm3 (HIV/AIDS stadium 2).
Hal ini menandakan infeksi mikroorganisme tidak sampai menyebabkan infeksi sistemik dan
merupakan tanda infeksi kronis.
Pemeriksaan Neurologis
V2àmengerang
Tidak ada gangguan yang mengenai korteks motorik primer, baik pada UMN maupun LMN
sehingga tidak ada keabnormalan dari sisi motorik & refleks.
• Meningeal sign
Brudzinsky 1 (+)
kernig (+)
Brudzinsky 2 (+)
Pemeriksaan Lab
Pasien mengalami anemia dimana penyebabnya bisa karena, infeksi kronik yang disebabkan
suatu mikroorganisme, keganasan, dll.
Hematokrit merupakan persentase konsentrasi eritrosit dalam plasma darah, pada pasien
nilainya dalam batas normal
Menggambarkan ukuran besar rata-rata sel darah merah. MCV yang kecil berarti ukuran sel
darah merahnya lebih kecil dari ukuran normal. Biasanya hal ini disebabkan oleh penyakit
kronis atau kekurangan zat besi.
Leukosit pasien DBN. Diduga infeksinya bukan karena bakteri, karena pada bakteri leukosit
meningkat
Trombosit pasien dalam batas normal, tidak ada gangguan pembekuan darah. Pada trombosit
<50.000/ mm3 kontraindikasi dilakukan lumbal pungsi
Basofil : 0 (0-1%)
o Sel ini terlibat dalam reaksi alergi, tetapi mekanismenya blm jelas dipahami.
o berfungsi melawan infeksi bakteri. Penyakit HIV lanjut, obat HIV seperti
gansiklovir dapat menyebabkan neutropenia).
Limfosit: 24 (20-30%)
Monosit: 13 (3-8%)
o Monosit beredar dalam darah. Bila monosit ada di jaringan tubuh, mereka disebut
makrofag. Jumlah monosit yang tinggi menunjukkan adanya infeksi kronik.
Peningkatan jumlah netrofil (baik batang maupun segmen) relatif dibanding limfosit dan
monosit dikenal juga dengan sebutan shift to the leftà infeksi akut. Kondisi noninfeksi
yang dapat menyebabkan shift to the left antara lain asma dan penyakit-penyakit alergi
lainnya, luka bakar, anemia perniciosa, keracunan merkuri (raksa), dan polisitemia vera.
Diagnosis
Penatalaksanaan
• Manitol IV 4 x 125 cc
– Obat diuretik osmotik
– Indikasi :
• Profilaksis gagal jantung
• Menurunkan tekanan & volume cairan intraokuler/CSS à menaikkan
tekanan osmotik plasma à air akan berdifusi kembali ke ruang plasma &
CES
– Kontraindikasi :
• Penyakit ginjal dengan anuria.
• Dalam kasus ini diberikan manitol karena dari hasil CT-scan di dapatkan edema serebri.
• Ranitidin 2 x 1 ampul
– Antihistamin H2
– Menghambat sekresi asam lambung,
– Digunakan dalam pengobatan penyakit ulkus peptikum (PUD), dispepsia,
profilaksis stres ulkus, dan gastroesophageal reflux disease (GERD).
– Efek samping : pusing, malaise, diare, mialgia & anti androgenik
– Sediaan
• Tablet 200, 300, 400 mg
– Indikasi
Digunakan untuk mengobati tukak lambung dan tukak duodenum. Akan tetapi
manfaat terapi pemeliharaan dalam pencegahan tukak lambung belum diketahui
secara jelas.
– Dalam kasus ini, karena terdapatnya rangsangan dari nervus vagus yang
menyebabkan muntah, makan diberikan obat ini untuk mengurangi gejala
tersebut.
• Flukonazol 200 mg
– Diserap sempurna tanpa dipengaruhi makanan
– Tersebar rata ke dalam ciran tubuh, juga saliva & sputum, CSS 50-90%
– Kadar puncak 4-8 mg setelah beberapa kali pemberian 100 mg.
– Dosis disarankan 100-400 mg
– Efek samping : reksi alergi kulit, eosinofilia, sindrom Steven Jhonson, gangguan
faal hati, trombositopenia pada AIDS
– Mencegah relaps meningitis e.c kriptokokus.
– Pada penderita meningitis karena infeksi oportunistik kriptokokkus pengobatan
diawali amfoterisin B 0,7 - 1 mg/ kg BB disertai flusitosin 100 mg selama 2
minggu dan flukonazol 400 mg paling sedikit 10 minggu, jika tidak tersedia
flusitosin maka diberikan amfoterisin B saja 0,7 – 1 mg/ kg BB selama 6-10 mg.
terapi pemeliharaan flukonazol 200-400 mg/ hari seumur hidup. Dengan
digunakan HAART, terapi pemeliharaan mungkin di hentikan, tapi kalau CD4 >
100 μl, karena CD4 < 100 rentan terhadap infeksi jamur dan perlu dilakukan
penurunan TIK
– Efektif untuk kandidiasisi mulut dan tenggorokan pada AIDS.
DAFAR PUSTAKA
• Neurologi klinis dasar – dian rakyat
• DUUS
• Chernecky CC & Berger BJ. Laboratory Tests and Diagnostic Procedures 5th edition.
Saunders-Elsevier, 2008.
• Farmakologi katzung
• Farmakologi UI
• Sistem saraf pusat dan saraf tepi. Patologi umum dan sistematik.