Para ulama berselisih pendapat mengenai batasan jarak sehingga disebut safar sehingga
boleh mengqashar shalat. Ada tiga pendapat dalam hal ini:
Inilah pendapat dari mayoritas ulama dari kalangan Syafi’i, Hambali dan Maliki. Dalil
mereka adalah hadits,
Sanggahan: Hadits di atas bukan menunjukkan batasan jarak disebut bersafar sehingga
boleh mengqashar shalat.
الَ تُ َسافِ ِر ْال َمرْ أَةُ ثَالَثَةَ أَي ٍَّام إِالَّ َم َع ِذى َمحْ َر ٍم
“Janganlah seseorang itu bersafar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (HR.
Bukhari no. 1086 dan Muslim no. 1338).
ثَالَثَةَ أَي ٍَّام َولَيَالِيَه َُّن لِ ْل ُم َسافِ ِر َويَ ْو ًما َولَ ْيلَةً لِ ْل ُمقِ ِيم-صلى هللا عليه وسلم- ِ َج َع َل َرسُو ُل هَّللا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka
waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR.
Muslim no. 276)
Sanggahan: Dua hadits di atas juga tidak menunjukkan batasan jarak safar.
“Dari Yahya bin Yazid Al Huna-i, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Anas bin Malik
mengenai qashar shalat. Anas menyebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh –Syu’bah ragu akan penyebutan hal
ini-, lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at (qashar shalat).” (HR. Muslim no. 691).
Dalil lain yang mendukung pendapat ketiga ini adalah hadits dari Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
– صلَّى النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم َ س ب ِْن َمالِ ٍك – رضى هللا عنه – قَا َل ِ ََع ْن أَن
َوبِ ِذى ْال ُحلَ ْيفَ ِة َر ْك َعتَي ِْن، بِ ْال َم ِدينَ ِة أَرْ بَعًا
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah shalat di Madinah empat raka’at, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut
dengan: Bir Ali) shalat sebanyak dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 1089 dan Muslim no.
690). Padahal jarak antara Madinah dan Bir Ali hanya sekitar tiga mil.
Untuk menentukan batasan disebut safar amatlah sulit karena bumi sendiri sulit untuk
diukur dengan ukuran jarak tertentu dalam mayoritas safar. Pergerakan musafir pun
berbeda-beda. Hendaklah kita tetap membawa makna mutlak sebagaimana disebutkan
oleh syari’at. Begitu pula jika syari’at mengaitkan dengan sesuatu, kita juga harus
menetapkan demikian pula.
Initnya, setiap musafir boleh mengqashar shalat di setiap keadaan yang disebut safar.
Begitu pula tetap berlaku berbagai hukum safar seperti mengqashar shalat, shalat di
atas kendaraan dan mengusap khuf.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 12-13).
Kesimpulan:
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat ketiga. Selama suatu
perjalanan disebut safar baik menempuh jarak dekat maupun jauh, maka boleh
mengqashar shalat. Kalau mau disebut safar, maka ia akan berkata, “saya akan safar”,
bukan sekedar berkata, “saya akan pergi”. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 481).