Anda di halaman 1dari 78

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DIABETES MELITUS

Disusun Oleh :

1. Nita Rokasih Eka S. /P1337420519023


2. Putri Dwi Setya Wati / P1337420519024
3. Laynofa Melisa E.P. /P1337420519025
4. Fiona Nurazizah /P1337420519026
5. Rayyan imam U.P. /P1337420519027
6. Adila Amalita H / P1337420519028
7. Syafira Nugraheni M / P1337420519029
8. Nurul ‘Aisyah /P1337420519030
9. Ryanda Fikri H. /P1337420519031
10. Danik Rakhmawati /P1337420519032
11. Riska Bedtiningrum / P1337420519033

WISANGGENI 1

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

PRODI DIII KEPERAWATAN MAGELANG

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat serta hidayahnya terutama
nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah Keperawatan Gerontik yang berjudul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan
Keperawatan pada pasien Diabetes Melitus” tanpa halangan yang berarti. Sholawat serta
salam tetap kita junjungkan kehadirat nabi besar muhammad saw yang telah memberikan
pedoman hidup yaitu Al - Qur’an sunnah untuk keselamatan umat di dunia.

Makalah ini salah satu tugas dari mata kuliah keperawatan komunitas keluarga di
program studi DIII Keperawatan Magelang selanjutnya penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada ibu Tulus Puji Hastuti, S.Kep., Ns., M.Kes . Yang telah memberikan
bimbingan sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa banyak
terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik
dan saran serta konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................................2
Daftar Isi.....................................................................................................................................3
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................5
C. Tujuan.............................................................................................................................5
Bab II. Pembahasan
A. Pengertian dari Diabetes Melitus....................................................................................6
B. Penyebab dari penyakit Diabetes Melitus.......................................................................6
C. Tanda gejala dari Diabetes Melitus.................................................................................7
D. Anatomi Diabetes Melitus..............................................................................................8
E. Fisiologi Diabetes Melitus..............................................................................................9
F. Patofisiologi .................................................................................................................11
G. WOC dari Diabetes Melitus..........................................................................................14
H. Konsep lansia ...............................................................................................................15
I. Pengobatan Diabetes Melitus untuk lansia...................................................................20
BAB III. Konsep Asuhan Keperawatan Teoritis
A. Pengkajian.....................................................................................................................28
B. Diagnosa .......................................................................................................................37
C. Intervensi.......................................................................................................................39
D. Implementasi.................................................................................................................47
E. Evaluasi.........................................................................................................................47
BAB IV. Aplikasi Asuhan Keperawatan pada lansia dengan sistem endokrin diabetes
mellitus
A. Pengkajian.....................................................................................................................48
B. Diagnosa........................................................................................................................64
C. Intervensi.......................................................................................................................65
D. Implementasi.................................................................................................................69
E. Evaluasi.........................................................................................................................75
Bab V. Penutup
A. Kesimpulan...................................................................................................................76
B. Saran..............................................................................................................................76
Daftar Pustaka...........................................................................................................................77

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang semakin banyak
jumlah penderitanya. Penyakit ini adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula darah karena produksi insulin yang terganggu sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan produksi insulin dalam tubuh (Tarwoto, 2012).
Penderita diabetes sering kali tidak menyadari kalau dirinya mengidap diabetes dan
ketika mereka sadar, sudah terjadi komplikasi. Hal inilah yang menyebabkan penyakit
diabetes sering disebut dengan silent killer. Saat ini penderita DM jumlahnya semakin
banyak dan terus bertambah.
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah(hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya (smelzel dan Bare,2015). Diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit atau gangguan metabolik dengan karakteristik hipeglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi urin, kerja insulin, atau kedua – duanya ( ADA,2017)
Jumlah penderita DM di dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. World
Health Organization/ WHO (2016), memperkirakan sebanyak 422 juta orang dewasa
hidup dengan DM. International Diabetic Foundation (IDF), menyatakan bahwa terdapat
382 juta orang di dunia yang hidup dengan DM, dari 382 juta orang tersebut,
diperkirakan 175 juta diantaranya belum terdiagnosis, sehingga dimungkinkan
berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa disadari dan tanpa pencegahan. Pada
tahun 2035 jumlah tersebut diperkirakan akan naik menjadi 592 juta orang. Sedangkan
IDF Atlas (2015), memaparkan bahwa 415 juta orang dewasa menderita DM dan
diperkirakan pada tahun 2040 penderita DM akan naik menjadi 642 juta orang.
Diabetes merupakan penyakit yang jumlah penderitanya mengalami peningkatan di
Indonesia. Menurut data WHO, Indonesia menempati peringkat ke-4 dengan penderita
DM terbanyak di dunia. Sedangkan hasil wawancara yang dilakukan Riset Kesehatan
Dasar / RISKESDAS (2013), menyatakan bahwa pada tahun 2013 terjadi peningkatan
penderita DM dua kali lipat dibandingkan pada tahun 2007. Diperkirakan penderita DM
akan meningkat pada tahun 2030 sebesar 21,3 juta orang.

4
Diabetes merupakan salah satu penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan. Selain
itu komplikasi yang dialami dan penanganan yang kompleks dapat mempengaruhi
kondisi psikologis pasien. Salah satu gangguan psikologis yang dapat mucul adalah
depresi. Depresi merupakan gangguan mental umum yang ditandai dengan perasaan
tertekan, kehilangan kesenangann atau minat, perasaan bersalah atau harga diri rendah,
gangguan makan dan tidur, menurunnya konsentrasi, dan kurang energi (WHO, 2010).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari Diabetes Melitus?
2. Apa penyebab dari penyakit Diabetes Melitus?
3. Apa saja tanda gejala dari Diabetes Melitus?
4. Bagaimana anatomi Diabetes Melitus?
5. Bagaimana fisiologi Diabetes Melitus?
6. Bagaimana patofisiologi dari Diabetes Melitus?
7. Bagaimana WOC dari Diabetes Melitus?
8. Bagaimanakah konsep lansia ?
9. Bagaimana pengobatan Diabetes Melitus untuk lansia?
10. Bagaimanakah Konsep Asuhan Keperawatan pada lansia dengan gangguan sistem
endokrin Diabetes Melitus ?
11. Bagaimanakah aplikasi Asuhan Keperawatan pada lansia dengan sistem endokrin
diabetes melitus ?
C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian dari Diabetes Melitus?
2. Mengetahui bagaimana anatomi fisiologi Diabetes Melitus?
3. Mengetahui penyebab dari penyakit Diabetes Melitus?
4. Mengetahui tanda gejala dari Diabetes Melitus?
5. Mengetahui bagaimana patofisiologi dan WOC dari Diabetes Melitus?
6. Mengetahui bagaimana konsep lansia ?
7. Mengetahui bagaimana pengobatan Diabetes Melitus untuk lansia?
8. Mengetahui bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan pada lansia dengan gangguan
sistem endokrin Diabetes Melitus ?
9. Mengetahui bagaimana aplikasi Asuhan Keperawatan pada lansia dengan sistem
endokrin diabetes melitus ?

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah(hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya (smelzel dan Bare,2015). Diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit atau gangguan metabolik dengan karakteristik hipeglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi urin, kerja insulin, atau kedua – duanya (ADA,2017)
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak
cukup dalam memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak efisien menggunakan insulin
itu sendiri. Insulin adalah hormon yang mengatur kadar gula darah. Hiperglikemia atau
kenaikan kadar gula darah, adalah efek yang tidak terkontrol dari diabetes dan dalam
waktu panjang dapat terjadi kerusakan yang serius pada beberapa sistem tubuh,
khususnya pada pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner), mata (dapat terjadi
kebutaan), ginjal (dapat terjadi gagal ginjal) (WHO, 2011)
Diabetes Mellitus (kencing manis) adalah suatu penyakit dengan peningkatan glukosa
darah diatas normal. Dimana kadar diatur tingkatannya oleh hormon insulin yang
diproduksi oleh pankreas (Shadine, 2010)
B. PENYEBAB
Menurut Smeltzer 2015 Diabetes Melitus dapat diklasifikasikan kedalam 2 kategori
klinis yaitu:
1. Diabetes Melitus tergantung insulin (DM TIPE 1)
a. Genetik
Umunya penderita diabetes tidak mewarisi diabetes type 1 namun mewarisi
sebuah predisposisis atau sebuah kecendurungan genetik kearah terjadinya
diabetes type 1. Kecendurungan genetik ini ditentukan pada individu yang
memiliki type antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA ialah
kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi & proses
imunnya. (Smeltzer 2015 dan bare,2015)
b. Imunologi
Pada diabetes type 1 terdapat fakta adanya sebuah respon autoimum. Ini adalah
respon abdomal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh secara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya sebagai jaringan asing.
(Smeltzer 2015 dan bare,2015)

6
c. Lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan
destruksi selbeta. (Smeltzer 2015 dan bare,2015)
2. Diabetes melitus tidak tergantung insulin (DM TIPE II)
Menurut Smeltzel 2015 Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin
dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor
genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Faktor-faktor
resiko :
o Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
o Obesitas
o Riwayat keluarga
C. TANDA DAN GEJALA
Menurut PERKENI gejala dan tanda tanda DM dapat digolongkan menjadi 2 yaitu:
1) Gejala akut penyakit DM
Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap, bahkan mungkin tidak menunjukan
gejala apapun sampai saat tertentu. Pemulaan gejala yang ditunjukan meliputi:
a) Lapar yang berlebihan atau makan banyak(poliphagi)
Pada diabetes,karena insulin bermasalah pemaasukan gula kedalam sel sel
tubuh kurang sehingga energi yang dibentuk pun kurang itun sebabnya orang
menjadi lemas. Oleh karena itu, tubuh berusaha meningkatkan asupan
makanan dengan menimbulkan rasa lapar sehingga timbulah perasaan selalu
ingin makan.
b) Sering merasa haus(polidipsi)
Dengan banyaknya urin keluar, tubuh akan kekurangan air atau
dehidrasi.untu mengatasi hal tersebut timbulah rasa haus sehingga orang
ingin selalu minum dan ingin minum manis, minuman manis akan sangat
merugikan karena membuat kadar gula semakin tinggi.
c) Jumlah urin yang dikeluarkan banyak(poliuri)
Jika kadar gula melebihi nilai normal , maka gula darah akan keluar bersama
urin,untu menjaga agar urin yang keluar, yang mengandung gula,tak terlalu
pekat, tubuh akan menarik air sebanyak mungkin ke dalam urin sehingga
volume urin yang keluar banyak dan kencing pun sering.Jika tidak diobati
maka akan timbul gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai

7
berkurang atau berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu
2-4 minggu), mudah lelah dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual
(PERKENI, 2015) .
2) Gejala kronik penyekit
DM Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM (PERKENI, 2015) adalah:
a) Kesemutan
b) Kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum
c) Rasa tebal dikulit
d) Kram
e) Mudah mengantuk
f) Mata kabur
g) Biasanya sering ganti kaca mata
h) Gatal disekitar kemaluan terutama pada wanita
i) Gigi mudah goyah dan mudah lepas
j) Kemampuan seksual menurun
k) Dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.
D. ANATOMI

8
Menurut Gonzaga Prankreas terdiri dari 2 jaringan utama yaitu:
a. Asinus yang menyekresi getah pencernaan ke duodenum.
b. Pulau langerhans yang tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi
insulin d24eddan glukagon langsung ke darah.Pulau langerhans manusia
mengandung tiga jenis sel utama yaitu sel alfa, beta dan delta yang satu sama lain
dibedakan dengan struktur dan sifat pewarnaannya. Sel beta mengekresi insulin,
sel alfa mengekresi glukagon, dan sel-sel delta mengekresi somatostatin.
E. FISIOLOGI
Menurut Gongzaga 2010, Prankreas disebut sebagai organ rangkap, mempunyai 2
fungsi yaitu sebagai kelenjer eksokrin dan kelenjer endokrin. Fungsi eksokrin
menghasilkan sekret yang mengandung enzim yang dapat menghidrolisis protein, lemak,
dan karbohidrat, sedangkan endokrin menghasilkan hormon insulin dan glukagon yang
memegang peranan penting pada metabolisme karbohidrat. Kelenjer prankreas dalam
mengatur metabolisme glukosa dalam tubuh berupa hormon hormon yang disekresikan
oleh sel-sel di pulau langerhans. Hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai hormon yang
merendahkan kadar glukosa darah yaitu insulin dan hormon yang dapat meningkatkan
glukosa darah yaitu glukagon.

Menururt Gonzaga (2010) ,Prankreas dibagi menurut bentuk nya :

9
a) Kepala (kaput) merupakan bahagian paling besar terletak di sebelah kanan
umbilical dalam lekukan duodenum.
b) Badan (korpus) merupakan bagian utama organ itu letaknya sebelah lambung
dan depan vertebra lumbalis pertama.
c) Ekor(kauda) adalah bagian runcing sebelah kiri, dan yang sebenarnya
menyentuh lympa
 Pulau Langerhans
Gambar 2.3 Pulau Langerhans

Pulau langerhans mengandung 3 jenis sel utama yakni sel-alfa, sel beta dan sel delta.
Sel beta mencakup kira kira 60% dari semua sel terletak terutama ditengah setiap pulau
dan mensekresikan insulin.granula sel Bmerupakan bungkusan insulin dalam sitoplasma
sel. Tiap bungkusan bervariasi antara spesies 1 sengan yang lain. Dalam sel B, muloekus
insulin membentuk polimer komplek dengan seng. Perbedaan dalam bentuk bungkusan
ini mungkin karena perbedaan ukuran polimer atau akregat sel dari isulin. Insulin
disintesis dalam retikulum endoplasma sel B, kemudian diangkut ke aparatus kolgi,
tempat ini dibungkus didalam granula yang diikat membran. Kranula ini bergerak ke
dinding sel oleh suatu proses yang sel mengeluarkan insulin kedaerah luar gengang
exsosotosis. Kemudian insulin melintasi membran basalis sel B serta kapiler berdekatan
dan endotel fenestra kapiler untuk mencapai aliran darah. Sel alfa yang mencakup kira
kira 25% dari seluruh sel mensekresikan glukagon. Sel delta yang merupakan 10% dari
seluruh sel yang mensekresikan somatostatin.

10
 Hormon Insulin
Insulin terdiri dari dua rantai asam amino satu sama lain dihubungkan oleh ikatan
disulfide. Sekresi insulin diatur oleh glukosa darah dan asam amino yang memegang
peran penting. Perangsang adalah glukosa darah. Kadar glukosa darah 80-90 mg/ml.
(Gongzaga 2010)
Efek utama insulin terhadap metabolisme karbohidrat :
 Manambah kecepatan metabolisme glukosa
 Mengurangi kosentrasi gula darah
 Menambah penyimpanan glukosa ke jaringan
 Glukagon
Glukagon adalah suatu hormon yang disekresikan oleh sel sel alfa pulau langerhans
mempunyai beberapa fungsi berlawanan dengan insulin fungsi terpenting adalah
meningkatkan kosentrasi glukosa dalam darah. (Biologi Gongzaga 2010)
Dua efek glukagon pada metabolisme glukosa darah:
 Pemecahan glikagon (glikogenolisis)
 Peningkatan glikogen (glikogenesis)
Menurut Smelzer 2015, Diabetes melitus disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil
dari sel sel beta dari pulau pulau langerhans pada prankreas yang berfungsi menghasilkan
insulin, akibatnya kekurangan insulin.
F. PATOFISIOLOGI
Menurut Smeltzer,Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan
untuk menghasilkan insulin karena sel sel beta prankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh
hati. Disamping glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dihati
meskipun tetap berada dalam darah menimbulkan hiperglikemia prospandial.jika
kosentrasi glukosa daram darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali
glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam
urine(glikosuria). Ketika glukosa yang berlebihan dieksresikan kedalam urine,ekresi ini
akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan
diuresis ostomik,sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan
mengalami peningkatan dal berkemih(poliurea),dan rasa haus (polidipsi). (Smeltzer 2015
dan Bare,2015).Difisiensi insulin juga akan menganggu metabilisme protein dalam
lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan

11
selera makan (polifagia), akibat menurunan simpanan kalori. Gejala lainya kelelahan dan
kelemahan . dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis(pemecahan
glikosa yang tersimpan) dan glukoneogenesis(pembentukan glukosa baru dari asam asam
amino dan subtansi lain). Namun pada penderita difisiensi insulin,proses ini akan terjadi
tampa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hipergikemia. Disamping itu
akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton
yang merupakan produk smping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
menganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebih. Ketoasidosis
yang disebabkan dapat menyebabkan tanda tanda gejala seperti nyeri abdomen mual,
muntah, hiperventilasi ,mafas berbaun aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
penurunan kesadaran,koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan
elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut
dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai
pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting.
(Smeltzer 2015 dan Bare,2015)
DM tipe II merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik utama adalah
terjadinya hiperglikemia kronik. Meskipun pula pewarisannya belum jelas, faktor genetik
dikatakan memiliki peranan yang sangat penting dalam munculnya DM tipe II. Faktor
genetik ini akan berinterksi dengan faktor faktor lingkungan seperti gaya hidup,
obesitas,rendah aktivitas fisik,diet, dan tingginya kadar asam lemak bebas(Smeltzer 2015
dan Bare,2015). Mekanisme terjadinya DM tipe II umunya disebabkan karena resistensi
insulin dan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terkait dengan reseptor khusus pada
permukaan sel.sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut,terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin DM tipe II
disertai dengan penurunan reaksi intra sel. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif
untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi
insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah,harus terjadi peningkatan
jumlah insulin yang disekresikan. (Smeltzer 2015 dan Bare,2015).Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan
dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat.
Namun demikian, jika sel sel B tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan
insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadinya DM tipe II. Meskipun terjadi
gangguan sekresi insulin yang berupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat
insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi

12
badan keton yang menyertainya, karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM
tipe II, meskipun demikian, DM tipe II yang tidak terkontrol akan menimbulkan masalah
akut lainya seperti sindrom Hiperglikemik Hiporosmolar Non-Ketotik(HHNK).
(Smeltzer 2015 dan Bare,2015)
Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat(selama bertahun tahun) dan
progesif, maka DM tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalannya dialami
pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti: kelelahan, iritabilitas,
poliuria,polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan
kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi.). (Smeltzer 2015 dan Bare,2015).

13
G. WOC

14
H. KONSEP LANSIA
1. Definisi
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas, menurut
UU RI No.13 Tahun 1998 Bab 1 Pasal 1. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu : usia pertengahan (Middle age) adalah 45 – 59
tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60 – 74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75 – 90
tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2008).
Lansia merupakan seseorang yang berusia 60 tahun keatas baik pria maupun
wanita, yang masih aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang tak berdaya
untuk mencari nafkah sendiri sehingga bergantung kepada orang lain dalam
menghidupi dirinya (Tamher, 2009)
2. Batasan Lansia
1) Menurut WHO, lansia dibagi dalam beberapa kelompok yaitu:
a. Usia pertengahan (Middle Age) = Usia 45 – 59 Tahun
b. Usia Lanjut (Elderly) = Usia 60 – 74 Tahun
c. Usia Lanjut Tua (Old) = Usia 75 – 90 Tahun
d. Usia Sangat Tua (Very Old) = Usia > 90 Tahun
2) Menurut Siti Maryam (2009), lansia dikategorikan sebagai berikut:
a. Pralansia (Prasenilis)
Seseorang yang berusia di antara 45 – 59 Tahun
b. Lansia
Seseorang yang berusia 60 atau lebih
c. Lansia Resiko Tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
d. Lansia Potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat
menghasilkan barang atau jasa
e. Lansia Tidak Potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, hinggs bergantung pada orang lain.
3) Menurut Undang – Undang No.13 Tahun 1998
Seseorang dikatakan sebagai lanjut usia setelah sampai umur 60 tahun keatas
4) Menurut Departemen Kesehatan tahun 1994

15
a. Kelompok lanjut usia dini (55 – 64 tahun), yakni kelompok baru memasuki
lanjut usia
b. Kelompok lanjut usia (65 tahun keatas)
c. Kelompok lanjut usia resiko tinggi, yakni lanjut usia yang berusia lebih dari
70 tahun.
3. Tipe Lansia
Lansia yang ada pada lansia tergantung oleh karakter, pengalaman hidup, lingkungan,
kondisi fisik, mental, sosial dan ekonominya (Siti Maryam, 2009) :
1) Tipe Arif Bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman,
mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan,
memenuhi undangan dan menjadi panutan.
2) Tipe Mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan yang baru, selektif dalam
mencari pekerjaan, bergaul dengan teman dan memenuhi undangan.
3) Tipe Tidak Puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak
sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut.
4) Tipe Pasrah
Menerima dan menunggu nasip baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan
pekerjaan apa saja.
5) Tipe Bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif dan
acuh tak acuh.
4. Tugas Perkembangan Lansia
Menurut Siti Maryam (2009), tugas perkembangan pada lansia yaitu :
a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun
b. Mempersiapkan diri untuk pasien
c. Membentuk hubungan yang baik dengan orang seusiannya
d. Mempersiapkan kehidupan baru
e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial atau masyarakat secara santai
f. Mempersiapkan diri untuk kematian dan kematian pasangan
Tugas perkembangan pada usia lanjut menurut Tamher (2009) yaitu :
a. Penyesuaian terhadap penurunan kekuatan dan kesehatan fisik

16
b. Penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan penghasilan
c. Penyesuaian terhadap kematian pasangan atau orang terdekat, membangun suatu
perkumpulan dengan sekelompok seusia, mengambil prakarsa dan beradaptasi
terhadap peran sosial dengan cara yang fleksibel, serta membuat pengaturan hidup
atau kegiatan fisik yang menyayangkan.
5. Teori Proses Menua
a. Teori Biologi
Teori biologi tentang proses penuaan terdiri dari :
1) Teori Radikal Bebas
Radikal bebas mempu merusak membran sel, lisosom, mitokondria, dan inti
membran melalui reaksi kimia yang disebut peroksidasi lemak. Teori radikal
bebas pada penuaan ditujukkan oleh hormon yang ditandai dengan munculnya
efek patologis. Radikal bebas dapat menyebabkan terjadinya pigmen dan
kolagen pada proses penuaan. Meningkatnya radikal bebas dapat dihambat
dengan pengaturan diet (jumlah kalori) serta konsumsi obat atau makanan
yang mengandung banyak anti oksidan seperti makanan yang mengandung
Vitamin E, Vitamin C, selenium, glutation peroksidae dan superokside
dismutase.
2) Teori Autoimun
Menurut teori autoimun, penuaan diakibatkan oleh antibodi yang bereaksi
terhadap sel normal dan merusakknya. Reaksi tersebut terjadi karena tubuh
gagal mengenal sel normal dan memproduksi antibodi yang salah.
Akibatnnya, antibodi tersebut akan bereaksi terhadap sel normal, disamping
sel abnormal yang menstimulasi pembentukannya. Teori ini didukung dengan
kenyataan bahwa jumlah antibodi meningkat pada lansia dan terdapat
persamaan antara penyakit inum (seperti artritis reumatoid, diabetes, tiroidtis
dan amiloidosis) dengan fenomena menua di masyarakat.
3) Teori Telomer
Dalam pembelahan sel, DNA membelah dengan proses mekanisme satu arah.
Setiap pembelahan akan menyebabkan panjang ujung telomer (ujung lengan
pendek kromosom) berkurang panjangnnya (65 rantai dasar asam amino) saat
terjadi pemutusan duplikat kromosom. Semakin sering sel membelah, semakin
cepat ujung telomer memendek dan akhirnya tidak mampu untuk membelah
lagi

17
4) Teori Hormonal
Pusat terjadinya proses penuaan terletak pada otak. Hal ini didasarkan pada
studi tentang hipotiroidisme yang dapat menjadi fatal apabila tidak diobati
dengan tiriksin. Manifestasi dari penuaan akan tampak jika penyakit tersebut
tidak segera ditangani seperti penurunan sistem kekebalan, kulit yang mulai
keriput, munculnya uban dan penuruanan proses metabolisme secara perlahan.
5) Teori Mutasi Somatik (error catastrophe)
Menurut teori ini terjadi penuaan karen adanya mutasi somatik yang
diakibatakan oleh pengaruh lingkungan yang buruk. Mutasi somatik bisa
terjadi karena adanya kesalahan dalam proses transkripsi DNA-aRNA dan
proses translasi RNA-a protein atau enzim, dan belangsung terus-menerus,
hingga terjadi penurunan fungsi organ atau sel -sel menjadi kanker atau
penyakit.
6) Teori Stres
Teori ini didasarkan pada fakta bahwa menua sebai akibat dari hilangnnya sel
– sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan stress
yang menyebabkan sel – sel lelkah terpakai kembali.
b. Teori Sosiopsikologis
1) Teori Aktivitas atau Kegiatan
Teori ini menyatakan bahwa lansia harus tetap aktif mengikuti kegiatan di
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan pada usiannya. Aktivitas sosial
dibutuhkan oleh lansia untuk mempertahankan kepuasan hiup dan konsep diri
yang positif. Lansia yang masih aktif diharapkan tetap bersemangat dan tidak
merasa terasingkan oleh masyarakat karena faktor usia. Teori ini didasarkan
pada tiga asumsi bahwa lebih baik aktif daripada pasif, lebih baik bahagia
daripada murung dan lansia sejahtera adalah lansia yang bisa selalu aktif dan
bahagia
2) Teori Pembebasan
Dalam teori ini dijelaskan bahwa bertambahnnya usia, seseorang perlahan –
lahan mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnnya atau menarik diri dari
pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial pada lansia
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjadi

18
kehilangan ganda yaitu kehilangan peran, hambatan kontak sosial dan
berkurangnya komitmen.
3) Teori Kepribadian Lanjut
Teori kepribadian lanjut menyangkal teori aktivitas dan teori pembebasan.
Perubahan yang terjadi pada seseorang yang usiannya telah lanjut sangat
dipengaruhi oleh tipe personaliti yang dimilikinnya.
4) Teori Lingkungan
a) Exposure Theory
Teori ini menyatakan bahwa paparan sinar matahari dapat mengakibatkan
percepatan proses penuaan
b) Radiation Theory
Adanya paparan radiasi sinar gamma, sinar X dan ultraviolet dari alat –
alat medis memudahkan sel mengalami denaturasi protein dan mutasi
DNA
c) Polution Theory
Polusi udara, air, dan tanah mengandung substansi kimia yang
mempengaruhi kondisi epigenetik dan menimbulkan penuaan dini
d) Stress Theory
Stres fisik maupun psikis yang terjadi dapat meningkatkan kadar kortisol
dalam darah. Jika kondisi stres berlangsung terus – menerus, maka proses
penuaan akan terjadi lebih cepat.
6. Perubahan yang terjadi pada Lansia
Perubahan – perubahan yang terjadi pada lansia yaitu :
1) Perubahan Fisiologis
a. Sel : jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, dan cairan
intraseluler menurun
b. Sistem Pernafasan : saraf panca indra mengecil, sehingga fungsinnya
menurunkan serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang
berhubungan dengan stres.
c. Sistem pendengaran : gangguan pendengaran karena membran timpani
menjadi atrofi. Tulang – tulang pendengaran mengalami kekakuan
d. Sistem penglihatan : respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelar
menurun, akomodasi menurun dan katarak.

19
e. Sistem kardiovaskuler : katup jaringan menebal dan kaku, kemampuan
memompa darah menurun, elastisitas pembuluh darah menurun, serta
meningkatnya resistensi pembuluh darah parifer sehingga tekanan darah
meningkat.
f. Sistem pengaturan suhu : hipotalamus dianggap sebagai suatu termostat yaitu
menetapkan suhu tertentu, kemunduran terjadi berbagai faktor yang sering
ditemui antara lain temperatur tuhuh menurun secara fisiologik akibat
metabolisme menurun, keterbatasan refleks mengigil dan tidak dapst
memproduksi panas.
g. Sistem respirasi : otot – otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi
kaku, menuruannya aktivitas dari silia paru – paru kehilangan elastisitas.
h. Sistem gastrointestinal : esofaugs melebar, asam lambung menurun, lapar
menurun, dan peristaltik menurun. Kuran lambung mengecil serta fungsi
organ aksesori menurun, sehingga menyebabakan berkurangnnya produksi
hormon dan enzim pencernaan
i. Sistem genitourinaria : ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun,
penyaringan diglomerulus menurun dan fungsi tubulus menurun.
j. Sistem kulit : keriput serta kulit kepala dan rambut menipis, rambut dalam
hidung dan telinga menebal. Elastisitas menurun, vaskularisasi menurun,
rambut memutih, kelenjar keringat menurun.
k. Sistem muskuloskeletal : cairan tulang menurun hingga mudah rapuh,
bungkuk, persendiran membesar dan menjadi kaku, tremor.
2) Perubahan Mental
Didalam perubahan mental pada usia lanjut, perubahan dapat berupa sikap
yang semakin egosentris, mudah curiga, bertambah pelit atau tamak akan sesuatu.
Faktor yang mempengaruhi perubahan mental antara lain perubahan fisik,
kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan dan lingkungan
3) Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial meliputi pensiun yang merupakan produktivitas dan
identitas yang dikatikan dengan peranan dalam pekerjaan, merasakan atau sadar
akan kematian, perubahan dalam cara hidup, ekonomi akibat dari pemberhentian
dari jabatan dan penyakit kronis.
I. PENGOBATAN DIABETES MELITUS UNTUK LANSIA
Agens Oral

20
Lansia dengan NIDDM tetap memiliki kemampuan untuk memproduksi insulin,
sehingga penatalaksanaan diet dapat mengendalikan diabetes dengan sukses. Namun,
jika klien belum atau tidak dapat mengikuti rencana makanan atau jika penyakit tidak
terdeteksi sejak awal, agens oral dapat diberikan untuk menstimulasi sekresi insulin oleh
pangkreas. Sulfonilurea adalah kelompok obat yang paling sering di resepkan dan efektif
hanya untuk penanganan NIDDM. Beberapa agens yang berbeda juga tersedia dalam
kelas obat ini. Namun klopropamid merupakan kontra indikasi bagi lansia kerena
meningkatkan resko hipoglikemia yang berhubungan dengan obat ini. Pada umumnya
sulfonilurea yang di eksresikan oleh hati (mis, glucotrol) disarankan untuk digunakan
pada lansia yang pada orang yang lebih muda dapat menerima suatu agends yang
dikeluarkan oleh ginjal. Masalah gastrointestinal dan reaksi yang tidak diinginkan
terhadap alkohol adalah efek samping utama dari sulfomilurea.
Generasi kedua sulfomilurea sekarang telah tersedia. Glyburide (Micronase dan
DiaBeta) dan glipizin (Glucotrol) 100 – 200 x lebih poten dari pada generasi pertama
sehingga kelompok obat ini dapat dikonsumsi dalam dosis yang lebih kecil dan hanya
satu hari sekali dari pada beberapa kali dalam sehari. Orang yang menerima agens oral
untuk menegendalikan NIDDM harus di peringatkan bahwa mereka masih dapat
mengalami efek samping hipoglikemia, terutama bila asupan nutrisi mereka tidak di
pantau dan dikendalikan secraa seksama. Konfusi, berkeringat, gugup koma, pucat, dan
napas dangkal adalah indikasi dari reaksi hipoglikemi pada orang orang ini. Glucophage
(metformin hidroklorid) adalah obat anti hiperglikemia yang baru baru ini dikeluarkan
oleh food and Drug Administration/FDA. Obat ini tidak menurunkan kadar glukosa
darah, tetapi meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan parifer dan usus.
Glucophage harus dimakan bersama makanan dan dikontra indikasikan untuk pasien
dengan gangguan ginjal.
Insulin
Bila intervensi sebelumnya tidak berhasil dalam memodifikasi kadar gula darah dan
gejala gejala, terapi insulin akan di perlukan untuk menambah suplai dari tubuh. Tujuan
terapi insulin adalah untuk memepertahankan kadar glukosa darah dalam parameter yang
telah di tentukan untuk membatasi komplikasi penyakit yang membahayakan.
Penyesuaian yang lebih banyak seting di perlukan untuk mencapai keseimbangan antara
kadar glukosa darah yang optimal dan hipoglikemia. Banyak klinisi yang memilih untuk
pengendalian longgar terhadapt kadar glukosa darah yang kadang – kadang di
perbolehkan untuk meningkat sedikit di atas normal untuk menunjukkan bahwa klien

21
tidak beresiko mengalami hipoglikemia. Waktu dan frekuensi pemberian insulin
disuaikan untuk menstabilkan kadar glukosa darah. Insulin kadnag – kadang di berikan
bersama – sama dengan obat oral, walaupun nilai dari praktik ini belum dapat di
buktikan secraa klinis. Walaupun tersedia bebrapa bentuk insulin yang berbeda, rute
pemberian insulin yang paling umum adalah melalui suntikan subkutan.
Pengajaran tentang insulin harus melibatkan penyimpanan insulin dan spuit di rumah,
jenis insulin yang akan di gunakan (manusia vs hewan) konsntrasi (U-100), model aksi
yang diharpkan (aksi cepat, menengah, lama, atau campuran), dosis yang di respekan dan
kondisi penyesuaian yang di perlukan untiuk dosis ini (latihan, penyakit), dan
kemungkinan efek samping dan penangannnya. Lansia khususnya perlu mengetahui
tentang tanda dan gejala hipoglikemia karena hilangnnya sinyal – sinyal adrenergik,
perubahan normal yang berhubungan dengan penuaan, yang membuat mereka kurang
sensitif terhadap kondisi tersebut. Pengajaran tentang teknik penyuntikan memfokuskan
pada gambaran dosis gambaran yang tepat, memilih dan memutar lokasi suntikan,
memberikan obat itu sendiri, dan menggunakan kembali atau membuang spuit yang telah
di gunakan. Untuk klien yang memerlukan kombinasi dari insulin dengan masa kerja
pendek (regular insulin) dan masa kerja menengah (Neutral Protamine Hagedorn),
insulin campuran atau insulin 70 – 30% sekarang telah tersedia.
Pompa insulin, penginfus, dan alat lain yang di maksudkan untuk meningkatkan
keakurata pemberian dosis insulin yang sesuai mungkin di resepkan untuk klien lansia.
Lengan baju yang di perbesar dan peralatan adaptif lain untuk klien dengan atritis juga
dapat memudahkan pemberian insuin. Dalam setiap kasus, perawat harus memastikan
bahwa klien mampu untuk melihat dan membaca bagian tertulis dari peralatan –
peralatan ini. Dan dapat mengerti langkah-langkah penggunaannya.
1) Pencegahan komplikasi: Hipoglikemia
Hipoglikemia pada lansia dengan NIDDM mungkin disebabkan oleh makanan
yang tidak cukup, terlalu banyak latihan, atau terlalu banyak pengobatan. Lansia dan
anggota keluarga harus diajarkan tentang pentingnya mencegah hipoglikrmia, atau
menyuruh klien untuk menggunakan tanda identitas yang menyatakan bahwa ia
menderita diabetes, dan setiap waktu penyimpanan gula dengan masa kerja cepat.
Gejala klasik hipoglikemia (seperti takikardia, berkeringat, dan ansietas) mungkin
sama sekali tidakada pada lansia. Alih-alih, gejala pada lansia biasanya terdiri dari
gangguan perilaku, kejang, konfusi, disorientasi, pola tidur yang buruk, sakit kepala
pada malam hari, bicara kacau, atau tidak sadarkan diri.

22
Perawatan dari reaksi hipoglikemia harus dilakukan sedini mungkin. Jika klien
sadar, perawatan harus termasuk pemberian gula dengan reaksi cepat seperti 120 mL
jus jeruk atau soda ukuran sedang (nondiet), diikuti dengan kedupan karbohidrat
serta protein seperti keju dan biskuit atau roti dengan mentega kacang. Gula dengan
reaksi cepat pada awalnya meningkatkan kadar glukosa darah, dan karbohidrat serta
protein mencegah terjadinya kembali hipoglikemia secara mendadak.
Jika klien ditemukan tidak sadar, ia harus diberikan glikagon 0,5-1,0mg secara
intramuskular atau subkutan. Anggota keluarga harus diajarkan tentang
teknikmsuntikan ini sebagai bagian dari pengajaran dasar diabetees mereka. Jika
glukagon tidak tersedia, glukosa gel atau icing kue (lapisan putih terbuat dari gula
dan mentega yang biasa untuk melapisi kue) dapat dimasasekan ke bagian dalam
pipi orang tersebut. Setelah orang yang tidak sadar menjadi sepenuhnya terbangun,
ia harus makan kedupan dari karbohidrat dan protein. Pemberian glukosa pada orang
yang tidak sadarkan diri dapat mencegah takikardia, distrimia, infark miokardium,
atau stroke dan tidak akan menyebabkan bahaya jika orang tersebut tidak sadar
karena hiperglikemia.
Lansia yang menderita diabetes harus mencegah berbagi komplikasi yang lain
juga. Langkah pertama dalam proses ini adalah dengan penggunaan glukosameter
darah, yang secara langsung mengukur kadar glukosa dalam darah. Metode ini
menawarkan banyak keuntungan dari test urine tetapi memerlukan klien yang
memiliki penglihatan normal dan kekuatan fisik dan koordinasi untuk melakukan
prosedurnya. Usia klien tidak boleh menjadi faktor penghambat ketika
mempertimbangkan siapa yang dapat melaksanakan tanggung jawab untuk
memantau kadar glukosa darah sehari-hari karena lansia berdasarkan suatu studi
yang mengambil tanggung jawab dalam pemantauan sendiri dilaporkan tidak
mengalami perubahan dalam kualitas kehidupan mereka. Waktu untuk memantau
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara rotasi diantara puasa, sebelum makan,
dan 1-2 jam setelah makan untuk memberikan petunjuk tentang rentang kadar
glukosa darah pada klien dan anggota tim perawatan kesehatan untuk rencana
perawatan. Klien lansia memerlukan lebih banyak latihan untuk menggunakan
glukosameter darah karena banyak dari alat – alat ini tampak asing bagi mereka.
Hemoglobin A1c adalah suati tes laboratorium yang mengukur kadar glukosa rata –
rata selama 3 bulan. Klien harus dianjurkan untuk melakukan tes ini secara teratur.

23
Langkah lain yang penting untuk mencegah komplikasi NIDDM yang tidak
diingikan termasuk pemeriksaan mata setiap tahun oleh seorang ahli oftalmologi
(yang akan mendilatasi pupil klien untuk melihat bagian belakang mata, tempat
retinopati terjadi), program perawatan kaki yang mengkombinasikan perawatan kulit
dan pemeliharaan kuku kaki, dsan kunjungan secara teratur pada pemberian layanan
kesehatan primer untuk melakukan penapisan dan pemantauan, termasuk urinalisasi
24 jam untuk melihat adanya protein untuk mendeteksi perubahan ginjal setiap
tahun.
Peran Perawat
Perawat memainkan peran sebagai fasilitator terhadap lansia yang mengalami NIDDM.
Walupun pada tahap awal diagnosis dan stabilisasi memerlukan perawat untuk
memainkan peran yang lebih aktif, tujuan keperawatan utama adalah untuk mengajarkan
keterampilan perawatan diri yang di perlukan. Proses ini dimulai pada fasilitas pelayanan
akut, dengan tindak lanjut sampai ke rumah klien. Mendorong klien untuk mengambil
tanggung jawab dalam merencanakan makanannnya, pemberian obat, latihan,
pemantauan secara mandiri dan perawatan preventif adalah tujuan dari setiap aktivitas
keperawatan.
Penatalaksanaan Keperawatan
Lansia dengan NIDDM memiliki banyak kebutuhan keamanan. Kecelakaan yang terjadi
akibat penglihatan yang menurun dapat di cegah dengan pengkajian secara seksama
terhadap lingkungan rumah dan meniadakan potensial bahaya. Lansia yang dapat
memperbaiki penglihatan dengan alat alat adaptif diperlukan untuk mengompensasi
defisit penglihatan, juga prosedur pembrdahan untuk beberapa kondisi.
Menghindari luka bakar atau cedera yang tidak disengaja juga merupakan pertimbangan
bagi klien lansia yang mengalami diabetes karena berkurangnya sirkulasi dan sensai pada
ekstremitas membuat lansia cenderung untuk mengalami kecelakaan – kecelakaan seperti
itu. Klien dapat diajarkan untuk memeriksa temperatur air mendi, menggunakan pakaian
yang sesuai udara dingin, dan menggunakan sepatu dan kaus kaki yang sesuai.
Kebutuhan nutrisi mungkin dipersulit oleh perubahan yang berkaitan frngan penuaan.
Penurunan kompensasi dengan cara menggunakan bumbu bumbu tambahan (mis,
garam). Hilangnnya gigi juga dapat menimbulkan masalah khusus bagi lansia yang harus
membatasi pilihan makanan untuk memenuhi petunjukn rencana makan. Perawat dapat
mengejarkan klien tentang penggunaan tindakan alternatif untuk membumbui dan

24
menyiapkan makanan dalam meningkatkan rasanya. Rujukan para ahli nutrisi juga dapat
menambah upaya perawat, khusunya untuk klien dengan kebutuhan yang kompleks.
Klien harus menyimpan catatan tertulis tentang pengobatan mereka dan kadar gula darah
harian dan harus bertanggung jawab untuk membawa dokumen dokumen ini pada
pertemuan yang telah dijanjikan dengan pemberi perawatan primer. Catatan – catatan ini
dapat di tinjau ulang oleh perawat untuk stabilitas dan sering digunakan sebagai alat
pengajaran yang snagat berguna.
Sirkulasi darah pada ekstremitas orang dengan diabetes terganggu sehingga klien harus
mempelajari metode yang diperlukan untuk meningkatkan kesehatan kaki. Merawat kuku
kaki, mencegah infeksi, mengggunakan kaus kaki katun dan sepatu dengan ukuran yang
tepat, dan menghindari benda – benda tajam dan dapat membakaar kulit harus
ditekankan pada klien. Pengerasan kulit pada daerah kecil dikaki harus di rawat oleh
seorang ahli podiatri. Pengobatan sehari – hari (khususnya injeksi), gangguan diet yang
disadari dan kemungkinan konsekuensi yang tidak diinginkan dapat menjadi sumber
ansetas, rasa takut dan depresi. Masalah kesehatan mental dapat mengarah pada
lingkaran masalah yang berat bagi orang dengan diabetes. Pertama, klien perlu patuh
pada rencana perawatan sepanjang hidup yang memicu ansietas, keputusan dan depresi
atau kombinasi dari hal – hal ini. Klien kemudian dapat mengabaikan kesehatannya dan
bahkan dapat mengembangkan kebiasaan hidup yang tidak sehat yang dapat
memperparah diabetes (mis., makan terlalu banyak atau menolak menggunakan obat –
obatan). Kegagalan untuk mematuhi rencana perawatan dapat menyebabkan
sserangkaian respon fisik yang tidak diharapkan yang justru akan membuat klien merasa
lebih buruk secara emosional.
Banyak lansia mengalamai diabetes setelah pasangan, teman, atau tetangga mengidap
penyakit ini. Pengalaman ini dapat mendorong ke arah kesalahan konsepsi dan ketakutan
yang lebih lanjut dapat menganggu koping klien. Intervensi keperawatan untuk
meningkatkan penggunaan keterampilan koping seumur hidup dan untuk mengajarkan
metode koping yang baru dapat membantu klien lansia menyadari bahwa ia masih dapat
menikmati gaya hidup sehat. Dukungan dari keluarga, teman, dan orang lain yang juga
mengidap diabetes dapat menjadi suatu alat tambahan yang sangat berguna bagi tindakan
keperawatan. jika depresi berat atau depresi yang jelas telah terjadi, klien harus dirujuk
untuk melakukan konseling professional
2) Pencegahan Tersier

25
Untuk meningkatkan rehabilitas yang tepat dan kembali lagi pada gaya hidup
normal, seseorang yang didiagnosa diabetes harus menerima perawatan
berkelanjutan untuk memfasilitasi tujuan ini. Stimulasi sensoris selama perawatan
akut terus meningkatkan defisit normal dan defisit terkait penyakit yang dapat
terjadu, untk klien lansia, stimulasi sensoris dalam bentuk rangsangan verbal,
auditori, dan takstil yang sesuai tidak hanya membantu interaksi dengan orang lain,
tetapi juga meningkatkan penampilan aktivitas kehidupan sehari – hari.
Beri dorongan kepada lansia untuk mempertahankan atau memiliki tanggung
jawab terhadap aspek peratan sebanyak mungkin yang berarti mungkin di capai,
bahkan ketika menghadapi penyakit kronis. Perawat yang melibatkan klien dalam
pengambilan keputusan juga tugas – tugas fisik menyampaikan pesan bahwa klien
tersebut masih berguna sebagai manusia yang mampu untuk turut berperan dalam
perawatan dirinya sendiri. Perawatan kaki, mata, dan kulit yang merupakan
komponen penting dari rencana perawatan yang berkelanjutan, mungkin
didelegasikan kepada klien setelah sesuai bagai klien. Perawat harus mendorong
klien untuk mengambil inisiatif dalam tindakan promosi kesehatan yang lain seperti
mendapatkan vaksinasi influenza dan pneumonia sesuai kebutuhan, bekerja untuk
kebugaran kardiovaskular dan memodivikasi lingkungan rumah untuk meningkatkan
keamananan.
Pengendalian glikemia, yang melibatkan pemeliharaan kadar gula darah dalam
batas aman biasanya dilakukan oleh pemberi perawatan primer, khususnyasangat
penting bagi lien lansia, suatu studi menemukan bahwa menjaga kadar gula darah
tetap dalam batas normal dapat mencegah defisit neurologis pada beberapa kasus
dan regresi dari defsit yang telah ada pada sebagaian orang lain.
Pendekatan 4 fase dapat di gunakan untuk menangani kebutuhan rehabilitatif
klien lansia dengan diabetes yang menjalani amputasi ekstremitas bawah.
a. Pertama klien harus menerima nutrisi yang adekuat dan beristirahat dengan aman,
lingkungan yang tenang untuk sembuh kembali dari trauma pembedahan dengan baik.
Klien juga dapat terbebas dari rasa nyeri dan tidak nyaman, khususnya nyeri “phantom”
pada tungkai yang hilang, yang hal ini terutama sangat menimbulkan distres.
b. Kedua ekstremitas yang tersisa harus di pantau untuk mengetahui tada – tanda infeksi
atau komplikasi lain selama proses penyembuhan.
c. Ketiga, program latihan yang terstruktur untuk menyiapkan klien berjalan dengan
prostesis harus di lakukan, tingkatkan sesuai peningkatan mobilisasi yang di alami klien.

26
Akhirnya, klien harus mendapatkan dukungan dan bantuan ketika ia sedang berbuka
tidak hanya untuk tungkainya yang hilang, tetpi juga untuk diri klien sebelum ia di
amputasi. Pertemuan dengan orang – orang yang telah berhasil menghadapi pengalaman
seperti ini akan dapat membantu dan memberikan dorongan kepada klien. Anggota
keluarga harus di ajarkan untuk mendukung klien dan memahami perasaan marah dan
kehilangan harapan. Klien dan orang lain yang penting baginya harus ditawarkan
harapan bahwa gaya hidup yang berkualitas tinggi masih mungkin ddicapai walaupun
dengan disabilitas fisik klien.

27
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES MELITUS PADA LANSIA
A. Pengkajian Fokus
1) Anamnesis
a) Identitas
DM pada pasien usia lanjut umumnya terjadi pada usia ≥ 60 tahun dan
umunya adalah DM tipe II (non insulin dependen) atau tipe DMTTI
b) Keluhan utama
DM pada usia lanjut mungkin cukup sukar karena sering tidak khas dan
asimtomatik (contohnya: kelemahan, kelelahan, BB menurun, terjadi infeksi
minor, kebingunan akut atau depresi).
c) Riwayat penyakit dahulu
Terjadi pada penderita dengan DM yang lama
d) Riwayat penyakit sekarang
Pada umumnya pasien datang ke RS dengan keluhan gangguan penglihatan
karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati
perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
e) Riwayat penyakit keluarga
Dalam anggota keluarga tersebut salah satu anggota keluarga ada yang
menderita DM
f) Data psikologis
Klien mengatakan ia merasa tidak nyaman dengan lingkungan sekitar
rumah, ia merasa anak anaknya kurang perhatian dengannya karena anaknya
semua memliki kerja masing-masing. Hal ini membuat lansia suka curiga
atau menuduh orang-orang jika orang tersebut dekat dengannya
g) Riwayat sosial/ekonomi
Pekerjaan, kebiasaan, kehidupan sehari-hari
2) Pengkajian Fungsional Gordon
a. Pola persepsi
Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan persepsi dan tatalaksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gangren pada
kaki diabetik, sehingga menimbulkan persepsi negatif terhadap diri dan
kecendurangan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan
yang lama,lebih dari 6 juta dari penderita DM tidak menyadari akan

28
terjadinya resiko kaki diabetik bahkan mereka takut akan terjadinya amputasi
(Debra Clair,Jounal Februari 201)
b. Pola nutrisi metabolik
Akibat produksi insulin yang tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin
maka kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan
keluhan sering kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan menurun
dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengarui status kesehatan
penderita. Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek , mual
muntah.
c. Pola eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang
menyebabkan pasien sering kencing(poliuri) dan pengeluaran glukosa pada
urine(glukosuria). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan.
d. Pola ativitas dan latihan
Kelemahan, susah berjalan dan bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan
tidur,tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan bahkan
sampai terjadi koma. Adanya luka gangren dan kelemahanotot otot pada
tungkai bawah menyebabkan penderita tidak mampu melakukan aktivitas
sehari hari secara maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan.
e. Pola tidur dan istirahat
Istirahat tidak efektif adanya poliuri,nyeri pada kaki yang luka,sehingga klien
mengalami kesulitan tidur
f. Kongnitif persepsi
Pasien dengan gangren cendrung mengalami neuropati/ mati rasa pada luka
sehingga tidak peka terhadap adanya nyeri. Pengecapan mengalami
penurunan, gangguan penglihatan.
g. Persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka yang sukar sembuh ,
lamanya perawatan, banyaknya baiaya perawatan dan pengobatan
menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada
keluarga (self esteem)
h. Peran hubungan

29
Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan penderita malu
dan menarik diri dari pergaulan.
i. Seksualitas
Angiopati dapat terjadi pada pebuluh darah diorgan reproduksi sehingga
menyebabkan gangguan potensi sek,gangguan kualitas maupun ereksi seta
memberi dampak dalam proses ejakulasi serta orgasme. Adanya perdangan
58 pada vagina, serta orgasme menurun dan terjadi impoten pada pria. Risiko
lebih tinggi terkena kanker prostat berhubungan dengan nefropatai.
j. Koping toleransi
Lamanya waktu perawatan,perjalannya penyakit kronik, persaan tidak
berdaya karena ketergantungan menyebabkan reasi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung, dapat menyebabkan penderita
tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang kontruktif/adaptif.
k. Nilai kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta luka
pada kaki tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi
mempengarui pola ibadah penderita.
3) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara komperhensif (head to toe / persistem) wajib dilakukan
meski tidak ada keluhan berarti yang dirasakan lansia guna mengantisipasi
penyakit degeneratif.
a) Sel (Perubahan sel)
Sel menjadi lebih sedikit,jumlah dan ukurannya menjadi lebih besar,
berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangbya cairan intrasel.
b) Sistem integumen
Kulit keriput akibat kehilangan lemak, kulit kering dan pucat dan terdapat
bintik-bintik hitam akibat menurunnya aliran darah kekulit dan menurunnya
sel-sel yang memproduksi pigmen, kuku pada jari tengah dan kaki menjadi
tebal dan rapuh. Pada orang berusia 60 tahun rambut wajah meningkat,
rambut menipis/botak dan warna rambut kelabu, kelenjar keringat berkurang
jumlah dan fungsinya.
c) Sistem muskuler
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang pengecilan otot
karena menurunnya serabut otot. Pada otot polos tidak begitu berpengaruh.

30
d) Sistem pendengaran
Presbiakusis (menurunnya pendengaran pada lansia) membran timpani
menjadi altrofi menyebabkan austosklerosis, penumpukkan serumen
sehingga mengeras karena meningkatnya keratin
e) Sistem penglihatan
1. Karena berbentuk speris, sfingther pupil timbul sklerosis dan hilangnya
respon terhadap sinar, lensa menjadi keruh, meningkatnya ambang
penglihatan (daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah
melihat gelap).
2. Hilangnya akomodasi menurunnya lapang pandang karena berkurangnya
luas pandangan.
3. Menurunnya daya membedakan warna hijau atau biru pada skala.
f) Sistem pernafasan
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,menurunnya
aktivitas silia, paru kurang elastis, alveoli kurang melebar biasanya dan
jumlah berkurang. Oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg. Karbon
oksida pada arteri tidak berganti kemampuan batuk berkurang.
g) Sistem Kardiovaskuler
Katub jantung menebal dan menjadi kaku. Kemampuan jantung memompa
darah menurun 1% pertahun. Kehilangan obstisitas pembuluh darah, tekanan
darah meningkat akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.
h) Sistem Gastrointestinal
Kehilangan gigi, indra pengecap menurun, esofagus melebar, rasa lapar
menurun, asam lambung menurun waktu pengosongan lambung, peristaltik
lemah sehingga sering terjadi konstipasi, hati makin mengecil.
i) Sistem Perkemihan
Ginjal mengecil, nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun
sampai 50%, laju filtrasi glumerulus menurun sampai 50%, fungsi tubulus
berkurang sehingga kurang mampu memekatkan urine, proteinuria
bertambah, ambang ginjal terhadap glukosa meningkat, kapasitas kandung
kemih menurun karena otot yang lemah, frekuensi berkemih meningkat,
kandung kemih sulit dikosongkan, pada orang terjadi peningkatan retensi
urin dan pembesaran prostat (75% usia diatas 60 tahun).
j) Sistem Reproduksi

31
Selaput lendir vagina menurun/kering, menciutnya ovarium dan uterus, atrofi
payudara testis masih dapat memproduksi meskipun adanya penurunan
secara berangsur-angsur, dorongan seks menetap sampai usia 70 tahun asal
kondisi kesehatan baik
k) Sistem Endokrin
Produksi semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya tidak
berubah, berkurangnya ACTH, TSH, FSH dan LH. Menurunnya aktivitas
tiroid sehingga laju metabolisme tubuh (BMR) menurun. Menurunnya
produk aldusteran, a. menurunnya sekresi, hormon godad, progesteron,
estrogen dan testosteron.
l) Sistem Sensori
Reaksi menjadi lambat kurang sensitif terhadap sentuhan (berat otak
menurun sekitar 10-20%)

4) Status Fungsional
Pengkajian status fungsional ini meliputi pengukuran kemampuan seseorang
dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, penentuan kemandirian,
mengidentifikasi kemampuan dan keterbatasan klien, serta menciptakan
pemilihan intervensi yang tepat. Pengkajian status fungsional ini melakukan
pemeriksaan dengan instrument tertentu untuk penilaian secara objektif.
Instrument yang biasa digunakan dalam pengkajian status fungsional adalah
indeks Kats, Bathel Indeks, dan Sullian Indeks Katz. Alat ini digunakan untuk
menentukan hasil tindakan dan prognosis pada lansia dan penyakit kronis.
Lingkup pengkajian meliputi keadekuatan enam fungsi, yaitu mandi, berpakaian,
toileting, berpindah, kontinen dan makan, yang hasilnya untuk mendeteksi tingkat
fungsional klien (mandiri/dilakukan sendiri atau tergantung).
a) Indeks Katz
Mengukur kemampuan pasien dalam melakukan 6 kemampuan fungsi:
bathing, dressing, toileting, transfering, feeding, maintenance continence.
Biasa digunakan untuk lansia, pasien dengan penyakit kronik (stroke, fraktur
hip).
Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan atau bantuan
pribadi aktif, kecuali seperti secara spesifik diperlihatkan dibawah ini. Ini
didasarkan pada status actual dan bukan pada kemampuan. Seorang klien

32
yang menolak untuk melakukan suatu fungsi dianggap sebagai tindak
melakukan fungsi meskipun ia dianggap mampu.
Kriteria Hasil :
A : Kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke kamar kecil,
berpakaian, dan mandi.
B : Kemandirian dalam semua hal, kecuali satu dari fungsi tersebut.
C : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi dan satu fungsi
tambahan.
D : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian, dan satu
fungsi tambahan.
E : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian, kekamar
kecil, dan satu fungsi tambahan.
F : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian, kekamar
kecil, berpindah dan satu fungsi tambahan.
G : Ketergantungan pada keenam fungsi tersebut.
b) Barthel Indeks
Merupakan alat ukur yang di gunakan untuk mengetahui kemampuan
fungsional pada pasien yang mengalami gangguan system syaraf.
Prosedur Tes:
Pasien dinilai dengan menggunakan Barthel Indeks pada awal treatment,
selama rehabilitasi dan pada akhir masa rehabilitasi.  Hal ini digunakan untuk
menilai peningkatan treatment yang dilakukan terhadap pasien.
Kriteria Hasil:
0 – 100
0 – 20 Ketergantungan Penuh
21 – 61 Ketergantungan Berat (Sangat Tergantung)
62 – 90         Ketergantungan Moderat
91 – 99          Ketergantungan Ringan
100 Mandiri
c) Sullivan Indeks Katz
Pengkajian Posisi dan keseimbangan dengan tes Koordinasi pada lansia
dengan keterangan :
4 : Mampu melakukan aktivitas dengan Lengkap
3 : mampu melakukan aktivitas dengan bantuan

33
2 : mampu melakukan aktivitas bantuan maksimal
1 : tidak mampu melakukan aktivitas
Nilai :
42 – 54 : mampu melakukan aktivitas
28 – 41 : mampu melakukan sedikit bantuan
14 – 27 : mampu melakukan bantuan maksimal
14 : tidak mampu melakukan
1) Status Kognitif / Afektif
Pengkajian status kognitif/afektif merupakan pemeriksaan status mental
sehingga dapat memberikan gambaran perilaku dan kemampuan mental dan
fungsi intelektual. Pengkajian status mental ditekankan pada pengkajian tingkat
kesadaran, perhatian, keterampilan berbahasa, ingatan interpretasi bahasa,
keterampilan menghitung dan menulis, serta kemampuan konstruksional.
Pengkajian status mental bisa digunakan untuk klien yang berisiko delirium.
Pengkajian ini meliputi Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ),
Mini-Mental State Exam (MMSE), Inventaris Depresi Beck (IDB), Skala Depresi
Geriatrik Yesavage. Berikut akan diuraikan secara singkat aspek pengkajian
tersebut.
a. Short Portable Mental Status Questionnire (SPMSQ)
Pengkajian ini digunakan untuk mendeteksi adanya tingkat kerusakan
intelektual. Instrument SPMSQ terdiri dari 10 pertanyaan tentang orientasi,
riwayat pribadi, memori dalam hubungannya dengan kemampuan perawatan
diri, memori jauh dan kemampuan matematis. Penilaian dalam pengkajian
SPMSQ adalah nilai 1 jika rusak/salah dan nilai 0 tidak rusak/benar.
Interpretasi
Salah 0 – 3 : fungsi intelektual utuh
Salah 4 – 5 : fungsi intelektual kerusakan ringan
Salah 6 – 8 : fungsi intelektual kerusakan sedang
Salah 9 – 10 : fungsi intelektual kerusakan berat
b. Mini-Mental State Exam (MMSE)
Mini-Mental State Exam (MMSE) digunakan untuk menguji aspek kognitif
dari fungsi mental: orientasi, registrasi, perhatian, kalkulasi, mengingat
kembali, dan bahasa. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melengkapi dan

34
menilai, tetapi tidak dapat digunakan untuk tujuan diagnostic, namun
berguna untuk mengkaji kemajuan klien.
Skor :
24 – 30 : Normal
17 – 33 : Probable gangguan kognitif
0 – 16 : definitive gangguan kognitif
c. Inventaris Depresi Beck (IBD)
Inventaris Depresi Beck (IBD) merupakan alat pengukur status afektif
yang digunakan untuk membedakan jenis depresi yang mempengaruhi
suasana hati. Instrument ini berisikan 21 karakteristik: alam perasaan,
pesimisme, rasa kegagalan, kepuasan, rasa bersalah, rasa terhukum,
kekecewaan terhadap seseorang, kekerasan terhadap diri sendiri, keinginan
untuk menghukum diri sendiri, keinginan untuk menangis, mudah
tersinggung, menarik diri, ketidakmampuan membuat keputusan, gambaran
tubuh, gangguan tidur, kelelahan, gangguan selera makan, kehilangan berat
badan. Selain itu, juga berisikan 13 hal tentang gejala dan sikap yang
berhubungan dengan depresi.
d. Skala Depresi Geriatrik Yesavage
Skala Depresi Yesavage atau biasa disebut dengan Geriatric
Depression Scale (GDS) merupakan instrument yang disusun secara khusus
untuk memeriksa depresi. Instrument ini terdiri atas 30 atau 15 pertanyaan
dengan jawaban YA atau TIDAK. GDS ini telah diuji kesahihan dan
keandalannya. Beberapa nomor jawaban YA dicetak tebal, dan beberapa
nomor yang lain jawaban TIDAK dicetak tebal. Jawaban yang dicetak tebal
mempunyai nilai 1 apabila dipilih. Instrument GDS dengan 30 item
pertanyaan ini dikatakan juga dengan GDS Long Version, sedangkan yang
menggunakan 15 item pertanyaan biasa disebut GDS Short Version.
2) Aspek Spiritual
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang Maha
Kuasa dan Maha Pencipta, sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah
sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Spiritualitas mengandung pengertian
hubungan manusia dengan tuhannya dengan menggunakan instrument salat,
puasa, zakat, haji, doa, dan sebagainnya.

35
Pada tahap perkembangan lansia, walaupun mereka membayangkan
kematian, tetapi mereka banyak menggeluti spiritual sebagai isu yang menarik,
karena mereka melihat agama sebagai faktor yang mempengaruhi kebahagiaan
dan rasa berguna bagi orang lain. Riset membuktikan orang yang agamanya baik,
mempunyai kemungkinan melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi lansia yang
kehidupan beragamanya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa
tidak berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan, dan rasa takut mati. Sedangkan
pada lansia yang spiritualnya baik ia tidak takut mati dan dapat lebih mampu
menerima kehidupan. Jika merasa cemas terhadap kematian oun kecemasan
tersebut disebabkan pada proses, bukan pada kematian itu sendiri (Hamid, 2000).
Ketepatan waktu pengkajian merupakan hal yang penting, yaitu dilakukan
setelah pengkajian aspek psikososial pasien. Pengkajian aspek spiritual
memerlukan hubungan interpersonal yang baik bagi pasien. Oleh karena itu,
pengkajian sebaiknya dilakukan setelah perawat dapat membentuk hubungan
yang baik dengan pasien atau dengan orang terdekat pasien, atau perawat telah
merasa nyaman untuk membicarakannya. Pengkajian yang perlu dilakukan
meliputi :
a) Pengkajian data subjektif. Pedoman pengkajian inidisusun oleh stoll (dalam
kozier, 2005), yang mencakup konsep ketuhanan, sumber kekuatan dan
harapan, praktik agama dan ritual, dan hubungan antara keyakinan spiritual
dan kondisi kesehatan.
b) Pengkajian data objektif. Pengkajian data objektif dilakukan melalui
pengkajian klinik yang meliputi pengkajian afek dan sikap, perilaku,
verbalisasi, hubungan interpersonal dan lingkungan. Pengkajian data objektif
terutama dilakukan melalui observasi. Pengkajian tersebut meliputi:
a. Afek dan sikap. Apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah, cemas,
agitasi, apatis, atau preokupasi?
b. Perilaku. Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca kitab
suci atau buku keagamaan? Apakah pasien seringkali mengeluh, tidak
dapat tidru, bermimpi buruk, dan berbagai bentuk gangguan tidur
lainnya, serta bercanda yang tidak sesuai atau mengekspresikan
kemarahannya terhadap agaman?
c. Verbalisasi. Apakah pasien menyebut tuhan, doa, rumah ibadah, atau
topic keagamaan lainnya? Apakah pasien pernah minta dikunjungi oleh

36
pemuka agama? Apakah pasien mengekspresikan rasa takutnya terhadap
kematiannya?
d. Hungan interpersonal. Siapa pengunjung pasien? Bagaimana pasien
berespons terhadap pengunjung? Apakah pemuka agama datang
mengunjungi pasien? Bagaimana pasien berhubungan dengan pasien lain
dan juga dengan perawat?
e. Lingkungan. Apakah pasien membawa kitab suci atau perlengkapan
ibadah lainnya? Apakah pasien menerima kiriman tanda simpati dari
unsur keagamaan dan apakah pasien memakai tanda keagamaan
(misalnya memakai jilbab)?.
3) Fungsi Sosial
Pengkajian fungsi social ini lebih ditekankan pada hubungan lansia dengan
keluarga sebagai peran sentralnya dan informasi tentang jaringan pendukung. Hal
ini penting dilakukan karena keperawatan jangka panjang membutuhkan
dukungan fisik dan emosional dari keluarga. Pengkajian aspek fungsi social dapat
dilakukan dengan menggunakan alat skrining singkat untuk mengkaji fungsi
social lanjut usia, yaitu APGAR Keluarga (Adaptation, Partnership, Growth,
Affection, Resolve). Instrument APGAR adalah :
a. Saya puas bisa kembali pada keluarga saya yang ada untuk membantu pada
waktu sesuatu menyusahkan saya (adaptasi)
b. Saya puas dengan cara keluarga saya membicrakan sesuatu dan
mengungkapkan masalah dengan saya (hubungan).
c. Saya pusa bahwa keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya
untuk melakukan aktivitas (pertumbuhan).
d. Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan efek dan berespons
terhadap emosi saya, seperti marah, sedih, atau mencintai (afek).
e. Saya puas dengan cara teman saya dan saya menyediakan waktu-waktu
bersama.
Penilaian : Pertanyaan yang dijawab : selalu (poin 2), kadanag-kadang (poin 1),
hamper tidak pernah (poin 0).
B. Diagnosa
Diagnose keperawatan gerontik adalah keputusan klinis yang berfokus pada
respon lansia terhadap kondisi kesehatan atau kerentanan tubuhnya baik lansia
sebagai individu, lansia di keluarga maupun lansia dalam kelompik. Diagnose

37
keperawatan merupakan kesimpulan yang ditarik dari data yang dikumpulkan tentang
lansia, yang berfungsi sebagai alat untuk menggambarkan masalah lansia, dan
penarikan kesimpula ini dapat dibantu oleh perawat.
Perawat menggunakan hasil pengkajian untuk menentukan diagnosis
keperawatan. Diagnosis keperawatan individu, diagnosis keperawatan keluarga
dengan lansia, ataupun diagnosis keperawtan pada kelompok lansia. Masalah
keperawatan yang dijumpai antara lain ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari
kebutuhan tubuh; kerusakan sensori persepsi; penglihatan, pendengaran; intoleransi
aktivitas; risiko cedera; cemas; kerusakan mobilitas fisik; defisit perawatan diri;
inkontinensia urin; gangguan pola tidur; isolasi sosial; perasaan berduka; harga diri
rendah; penguasaan individu tidak efektif.
Diagnose keperawatan pada lanjut usia dengan Diabetes Melitus dapat ditinjau
dari beberapa aspek, antara lain aspek fisik atau biologi, aspek psikososial, dan aspek
spiritual. Sesuai dengan SDKI (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, 2018)
1) Defisit Nutrisi berhubungan dengan stroke di tandai dengan berat badan
menurun minimal 10% dibawah rentang ideal, nafsu makan menurun. (SDKI,
Kode Diagnosis D.0019, hal. 56)
2) Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan diabetes
melitus dengan faktor resiko kurang terpapar informasi tentang manajemen
diabetes, ketidaktepatan pemantauan glukosa darah. (SDKI, Kode Diagnosis
D.0038, hal.90 )
3) Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan diabetes melitus
ditandai dengan gangguan koordinasi, kadar glukosa dalam darah / urin rendah
(hipoglikemia) dan kadar glukosa dalam darah / urine tinggin (Hiperglikemi)
(SDKI, Kode Diagnosis D.0027, hal 71)
4) Keletihan berhubungan dengan menopause ditandai dengan tampak lesu,
sering mengeluh lelah (SDKI, Kode Diagnosis D.0057, hal. 130)
5) Gangguan pola tidur berhubungan dengan kecemasan ditandai dengan
mengeluh tidak puas tidur, mengeluh istirahat tidak cukup (SDKI, Kode
Diagnosis D.0055, hal. 126)
6) Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan Diabetes Melitus
(SDKI, Kode Diagnosis D.0139, hal. 300)

38
7) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan distres psikologis ditandai
dengan mengeluh tidak nyaman dan gelisah. (SDKI, Kode Diagnosis D.0074,
hal. 166)
8) Ansietas berhubungan dengan penyakit akut ditandai dengan merasa bingung,
merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, tampak gelisah,
tampak tegang dan sulit tidur (SDKI, Kode Diagnosis D.0080, hal. 180)
C. Intervensi
Perencanaan Keperawatan Gerontik merupakan langkah ketiga dalam proses
keperawatan. Perawat memerlukan berbagai pengetahuan dan ketrampilan
diantaranya pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan klien, nilai dan
kepercayaan klien batasan praktek keperawatan, peran dari tenaga kesehatan lainnya.
Pengetahuan dan ketrampilan lain yang harus dimiliki perawat adalah kemampuan
memecahkan masalah, kemampuan mengambil keputusan, kemampuan menulis
tujuan serta memilih dan membuat strategi keperawatan yang aman dalam memenuhi
tujuan, menulis instruksi keperawatan serta kemampuan dalam melaksanakan kerja
sama dengan perangkat kesehatan lain.
Hal – hal yang harus diperhatikan dalam menyusun rencana keperawatan.
a. Sesuaikan dengan tujuan yang spesifik dimana diarahkan pada pemenuhan
kebutuhan dasar.
b. Libatkan klien dan keluarga dalam perencanaan
c. Kolaborasi dengan profesi kesehatan yang terkait.
d. Tentukan prioritas. Klien mungkin sudah puas dengan kondisinya, bangkitkan
perubahan tetapi jangan dipaksakan, rasa aman dan nyaman adalah yang utama.
e. Sediakan waktu yang cukup untuk klien
f. Dokumentasikan rencana keperawatan yang telah dibuat.
Berikut ini beberapa rencana intervensi pada diagnose keperawatan pada lansia
dengan diabetes melitus, sesuai dengan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia)

39
No Diagnosa SLKI SIKI
1. Defisit Nutrisi Setelah dilakukan Intervensi (SIKI) : Manajemen Nutrisi
berhubungan dengan intervensi keperawatan Observasi
stroke dibuktikan selama ..... x 24 jam 1. Identifikasi status nutrisi
dengan berat badan maka Status nutrisi 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
menurun 10% dibawah membaik dengan 3. Identifikasi makanan disukai
rentang ideal, nafsu Kriteria hasil : 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
makan menurun. 1. Pengetahuan tentang 5. Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
(SDKI, Kode Diagnosis pilihan makanan 6. Monitor asupan asupan makanan
D.0019, hal. 56) yang sehat 7. Monitor berat badan
meningkat 8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
2. Pengetahuan tentang Terapeutik
standar asupan 1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
nutrisi yang tepat 2. Fasilitasi menentukan pedoman diet
meningkat. 3. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
3. Berat badan 4. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
meningkat 5. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
4. Indeks Masa Tubuh 6. Berikan suplemen makanan, jika perlu
Normal 7. Hentikan pemberian makanan melalui selang nasogatrik jika asupan
(SLKI, Kode L.03030, oral dapat ditoleransi
hal. 121) Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhakn, jika perlu
(SIKI, Kode I.03119, hal. 200)
2. Resiko ketidakstabilan Setelah dilakukan SIKI : Manajemen Hipoglikemi
kadar glukosa darah intervensi keperawatan Obervasi
dibuktikan dengan selama ..... x 24 jam 1. Identifikasi tanda dan gejala hipoglikemia
diabetes melitus dengan maka kestabilan kadar 2. Identifikasi kemungkinan penyebab hipoglikemia

40
faktor resiko kurang glukosa darah Terapeutik
terpapar informasi meningkat dengan 1. Berikan kabohidrat sederhana, jika perlu
tentang manajemen Kriteria hasil : 2. Berikan glukagon, jika perlu
diabetes, 1. Kondisi membaik 3. Berikan kabohidrat kompleks dan protein sesuai diet
ketidaktepatan 2. Kadar glukosa darah 4. Pertahankan kepatenan jalan nafas
pemantauan glukosa membaik 5. Pertahankan akses IV jika perlu
darah. (SDKI, Kode 3. Kadar glukosa 6. Hubungan layanan medis darurat jika perlu
Diagnosis D.0038, dalam urine Edukasi
hal.90 ) membaik 1. Anjurkan membawa kabohidrat sederhana setiap saat
4. Keluhan pusing 2. Anjurkan memakai identitas darurat yang tapat
menurun 3. Anjurkan monitor kadar glukosa darah
5. Keluhan lelah 4. Anjurkan berdiskusi dengan tim perawatan diabetes tatang
menurun penyesuaian program, pengobatan
(SLKI, Kode L.03022, 5. Jelaskan interaksi anara diet, insulin/agen oral dan olah raga
hal.43) 6. Ajarkan pengelolaan hipoglikemia
7. Ajarkan peraw3atan mandiri untuk mencegah hipoglikemia
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian deksrose, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian glukagon jika perlu
(SIKI, Kode Diagnosis I.03115, hal. 182)
3. Ketidakstabilan kadar Setelah dilakukan SIKI : Manajemen Hiperglikemi
glukosa darah intervensi keperawatan Observasi
dibuktikan dengan selama ..... x 24 jam 1. Identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemia
diabetes melitus maka kestabilan kadar 2. Identifikasi situasi yang menyebabkan kebutuhan insulin meningkat
dibuktikan dengan glukosa darah (penyakit kambuhan)
gangguan koordinasi, meningkat dengan 3. Monitor kadar glukosa darah
kadar glukosa dalam Kriteria hasil : 4. Monitor tanda gejala hiperglikemia
darah / urin rendah 1. Kondisi membaik 5. Monitor intake dan output cairan
(hipoglikemia) dan 2. Kadar glukosa darah 6. Monitor keton urin, kadar analisa gas darah, elektrolit, Tekanan darah
kadar glukosa dalam membaik ortostatik dan frekuensi nadi
darah / urine tinggin 3. Kadar glukosa Terapeutik
(Hiperglikemi) (SDKI, dalam urine 1. Berikan asupan cairan oral

41
Kode Diagnosis D.0027, membaik 2. Konsultasi dengan medis jika tanda gejala tetap ada atau memburuk
hal 71) 4. Keluhan pusing 3. Fasilitas ambulasi jika ada hipotensi ortostatis
menurun Edukasi
5. Keluhan lelah 1. Anjurkan hindari olahraga saat kadar glukosa darah lebih dari 250
menurun mg/dl
(SLKI, Kode L.03022, 2. Anjurkan monitor kadar glukosa darah secara mandiri
hal.43) 3. Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan olah raga
4. Anjurkan indikasi dan peningnya pengujian keton urin
5. Ajarkan pengelolaan diabetes
Kolaborasi
1. Kolaborasi Pemberian insulin
2. Kolaborasi pemberian cairan IV
3. Kolaborasi pemberian kalium
(SIKI, Kode I.03115, hal. 180)
4. Keletihan dibuktikan Setelah dilakukan SIKI : Manajemen Energi
dengan menopouse intervensi keperawatan Obervasi
ditandai dengan selama 2 x 24 jam maka 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
tampak lesu, sering tingkat keletihan 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
mengeluh lelah. (SDKI, menurun dengan 3. Monitor pola dan jam tidur
Kode Diagnosis D.0057, Kriteria hasil : 4. Monitor lokasi dan kenyamanan selama melakukan aktivitas
hal. 130) 1. Verbalisasi lelah Terapeutik
menurun 1. Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah stimulus
2. Lesu menurun 2. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan atau aktif
3. Tenaga meningkat 3. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
4. Verbalisasi Edukasi
kepulihan energi 1. Anjurkan tirah baring
meningkat 2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
(SLKI, Kode L.05046, 3. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak
hal. 141) berkurang
4. Anjurkan strategi koping untuk mengurangi keleleahan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan

42
makanan
(SIKI, Kode I.05178, hal. 176)
5. Gangguan pola tidur Setelah dilakukan SIKI : Dukungan Tidur
dibuktikan dengan intervensi keperawatan Obervasi
kecemasan ditandai selama 1 x 24 jam maka 1. Identifikasi pola aktivitas dan tidur
dengan mengeluh tidak pola tidur membaik 2. Identifikasi faktor penganggu tidur
puas tidur, mengeluh dengan 3. Identifikasi makanan atau minuman yang menganggu tidur
istirahat tidak cukup Kriteria hasil : 4. Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
(SDKI, Kode Diagnosis 1. Keluhan tidak pulas Terapeutik
D.0055, hal. 126) tidur menurun 1. Modifikasi lingkungan
2. Keluhan pola tidur 2. Fasilitasi penghilang stres sebelum tidur siang
berubah menurun 3. Tetapkan jadwal tidur rutin
3. Keluhan istirahat 4. Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan
tidak cukup 5. Sesuaikan jadwal pemberian obat dan atau tindakan untuk menunjang
menurun siklus tidur terjaga
(SLKI, Kode L.05045, Edukasi
hal. 96) 1. Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
2. Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
3. Anjurkan menghindari makanan dan minuman yang menganggu wkatu
tidur
4. Ajarkan faktor – faktor yang berkontribusi terhadap gangguan pola
tidur
5. Ajarkan relaksasi otot autogenik atau cara nonfarmalogi lainnya.
(SIKI, Kode I.05174, hal. 48)
6. Resiko gangguan Setelah dilakukan SIKI : Edukasi Perawatan Kaki
integritas kulit intervensi keperawatan Observasi
dibuktikan dengan selama 2 x 24 jam maka 1. Identifikasi tingkat pengetahuan dan keterampilan perawatan kaki
Diabetes melitus kontrol resiko Terapeutik
dengan faktor resiko meningkat dengan 1. Berikan brosur informasi tingkat resiko cedera dan perawatan kaki
kurang terpapar Kriteria hasil : 2. Fasilitasi pembuatan rencana penilaian dan perawatan kaki harian
informasi tentang 1. Kemampuan 3. Berikan kesempatan untuk bertanya
upaya melindungi merubah perilaku Edukasi

43
integritas kulit dan meningkat 1. Jelaskan faktor resiko luka pada kaki
proses penuaan (SDKI, 2. Kemampuan 2. Jelaskan hubungan antara neuropati, cidera dan penyakit vaskuler dan
Kode Diagnosis D.0139, mengidentifikasi resiko ulserasi den ampututasi ekstremitas bawah
hal. 300) faktor resiko 3. Ajarkan pemeriksaan seluruh bagian kaki setiap hari
meningkat 4. Ajarkan memotong dan mengikir kuku secara lurus
3. Kemampuan 5. Anjurkan mencuci kaki setiap hari dengan menggunakan air hangat
melakukan strategi dan sabun ringan
kontrol resiko 6. Anjurkan mengeringkan secara menyeluruh setelah mencuci kaki,
meningkat terutama di antara jari kaki
(SLKI, Kode L.14125, 7. Anjurkan hubungi tenaga profesional kesehatan jika ada luka infeksi
hal. 33) atau jamur
8. Anjurkan memakai sepatu bertumit rendah dan sesuai bentuk kaki
9. Anjurkan memakai kaus kaki yang berbahan menyerap keringat
10. Anjurkan memeriksa sepatu bagian dalam sebelum dikenakan
(SIKI, Kode I.12423, hal. 92)
7. Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan SIKI : Manajemen Nyeri
dibuktikan dengan intervensi keperawatan Observasi
distres psikologis selama ..... x 24 jam 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
ditandai dengan maka status nyeri
mengeluh tidak kenyamanan meningkat 2. Identifikasi skala nyeri
nyaman dan gelisah. dengan 3. Identifikasi respon nyeri non ferbal
(SDKI, Kode Diagnosis Kriteria hasil : 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan yang memperringan hyeri
D.0074, hal. 166) 1. Rileks meningkat 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
2. Keluhan tidak 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
nyaman menurun 7. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap pengaruh hidup
3. Gelisah menurun 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
4. Keluhan sulit tidur 9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
menurun Terapeutik
5. Merintih menurun 1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
6. Menangis menurun 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
7. Lelah menurun 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
(SLKI, Kode L.08064, 4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan straegi

44
hal 110) meredahkan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan straegi meredahkan nyeri
3. Anjuurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Pemberian analgetik, jika perlu
(SIKI, Kode I.08238, hal. 201)
8. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan SIKI : Terapi Relaksasi
dengan penyakit akut intervensi keperawatan Observasi
dibuktikan dengan selama ..... x 24 jam 1. Identifikasi penurunan tinggi energi, ketidakmampuan berkonsentrasi
merasa bingung, maka tingkat ansietas atau gejala lain yang menggunakan kemampuan kognitif
merasa khawatir menurun dengan 2. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan
dengan akibat dari Kriteria hasil : 3. Identifikasi kesediaan, kemampuan dan penggunaan teknik sebelumnya
kondisi yang dihadapi, 1. Verbalisasi khawatir 4. Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah dan suhu
tampak gelisah, tampak akibat kondisi yang sebelum dan sesudah latihan
tegang dan sulit tidur dihadapi menurun 5. Monitor respons terhadap terapi relaksasi
(SDKI, Kode Diagnosis 2. Perilaku gelisah Terapeutik
D.0080, hal. 180) menurun 1. Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan dengan pencahayaan
3. Frekuensi dan suhu ruang nyaman, jika memungkinkan
pernafasan menurun 2. Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan produser teknik
4. Tekanan darah relaksasi
menurun 3. Gunakan pakaian longgar
(SLKI, Kode L.09093, 4. Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama
hal. 132) 5. Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan analgetik atau
tindakan medis lain, jika sesuai
Edukasi
1. Jelaskan tujuan, manfaat, batasan dan jenis relaksasi yang tersedia
2. Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih
3. Anjurkan mengambil posisi nyaman

45
4. Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
5. Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik yang dipilih
6. Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi
(SIKI, Kode I.09326, hal. 435)

46
47
D. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu
pasien dalam proses penyembuhan dan perawatan serta masalah
kesehatan yang dihadapi pasien yang sebelumnya disusun dalam
rencana keperawatan (Nursallam, 2011).
E. Evaluasi
Menurut Nursalam, 2011 , evaluasi keperawatan terdiri dari dua
jenis yaitu :
a. Evaluasi formatif.
Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi
dilakukan sampai dengan tujuan tercapai
b. Evaluasi somatif , merupakan evaluasi akhir dimana dalam
metode evaluasi ini menggunakan SOAP.

48
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN DM PADA LANSIA

KASUS
Tahun lalu Ny.P dibawa periksa ke puskesmas karena Ny. P sering
mengeluh haus, banyak minum, sering kencing serta banyak makan tapi
merasa lemas. Ny. P juga sering mengeluh kesemutan di bagian kaki,
setelah dilakukan pengecekan gula darah didapatkan hasil 234 mg/dl dan
didiagnosa DM. Ny. P tidak bisa kontrol teratur ke puskesmas karena yang
mengantarkan tidak ada dan keterbatasan biaya. Tn K bekerja sebagai guru
honorer sedangkan isterinya bekerja sebagai buruh sawah. Pada tanggal 5
November 2019 Ny.P dibawa kembali ke Rumah Sakit, dirumah sakit
dilakukan pengkajian Ny. P terlihat tidak memakan sandal, lemas, badan
gemuk BB 70 kg, TB 150 cm, TD 110/80 mmHg, Nadi 87 x/menit, RR 24
x/menit dan GDS 240 mg/dl.
A. Pengkajian
1. Identitas  Umum
Identitas  Klien
Nama : Ny. P
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin           : Perempuan  
Status                    : Single Parent
Agama                  : Islam                                
Suku                    : Jawa
Pendidikan                     : Tidak Sekolah
Alamat                                       : Ambarawa
Pekerjaan/Riwayat pekerjaan     : Tidak bekerja              
Diagnosa Medis / Masalah KDM: Diabetes Militus
Identitas   Penanggungjawab
Nama : Tn. K
Umur                            : 49 Tahun
Jenis kelamin             : Laki-laki

49
Alamat                         : Ambarawa
Hub dengan klien        : Anak
Keluhan  Utama
Ny. P mengatakan lemas.
Riwayat  Kesehatan  Sekarang
Keluarga mengatakan sekitar 1 tahun yang lalu, Ny.P dibawa periksa ke
Puskesmas karena Ny. P sering mengeluh haus, banyak minum, sering
kencing serta banyak makan tapi merasa lemas. Ny. P juga sering
mengeluh kesemutan di bagian kaki, setelah dilakukan pengecekan gula
darah didapatkan hasil 234 mg/dl dan didiagnosa DM. Ny. P tidak bisa
kontrol teratur ke puskesmas karena yang mengantarkan tidak ada dan
keterbatasan biaya. Tn K bekerja sebagai guru honorer sedangkan
isterinya bekerja sebagai buruh sawah. Pada tanggal 3 Juni 2021
dilakukan pengkajian Ny. P terlihat lemas, badan gemuk BB 70 kg, TB
150 cm, TD 110/80 mmHg, Nadi 87 x/menit, RR 24 x/menit dan GDS
240 mg/dl.
Riwayat  Kesehatan Dahulu
Keluarga mengatakan Ny. P pernah sakit gula.(DM).
Riwayat  Kesehatan  Keluarga
Keluarga Ny. P megatakan tidak tahu.
Riwayat/Keadaan Psikososial
Bahasa yang digunakan :Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa
Persepsi klien tentang penyakitnya:klien mengatakan sering kesemutan
Keadaan emosi :emosi klien labil
Daya adaptasi :klien mengalami kenaikan kadar gula darah
Mekanisme pertahanan diri:klien memiliki pertahanan diri yang tidak
efektif
Pola Pengkajian Fungsional Gordon
1. Pola manajemen Kesehatan dan persepsi Kesehatan Klien
mengatakan status Kesehatan dirinya sangat penting dan kesadaran
untuk pergi ke pelayanan Kesehatan kurang baik.
2. Pola nutrisi metabolic

50
Sebelum sakit : klien mampu menghabiskan satu porsi makanan,
minum 9-10 gelas perhari
Selama sakit : klien mampu menghabiskan satu porsi makanan,
minum 9-10 gelas perhari
3. Pola eliminasi
Sebelum sakit : BAB 1x sehari, BAK 6-7 kali sehari
Selama sakit : BAB 1x sehari, BAK 8-9 kali sehari
4. Pola aktivitas Latihan
Sebelum sakit : klien bisa menjalankan aktivitas sehari hari secara
mandiri
Selama sakit : klien dibantu keluarganya Ketika melakukan
aktivitas

Kemampuan Perawatan 0 1 2 3 4
Diri
Makanan / minuman v
Berbapakain v
Toileting v
Mobilisasi v
Mandi v

Kesimpulan : klien tidak dapat melakukan aktivitasnya sendiri dan


memerlukan bantuan orang lain.

5. Pola istirahat tidur


Sebelum sakit : klien tidur 6-8 jam perhari
Selama sakit : klien tidur 4-6 jam perhari
6. Pola persepsi kognitif
a. Berbicara : klien berbicara dengan normal
b. Pendengaran : pendengaran klien mulai berkurang
c. Penglihatan : penglihatan klien mulai berkurang (blur)
7. Pola konsep diri dan persepsi diri
Klien tampak sedikit gelisah dengan penyakit yang di alaminya
8. Pola hubungan peran

51
Klien tinggal Bersama anaknya. Klien memiliki hubungan yang
baik dengan keluarganya dan tetangganya
9. Pola seksualitas
Klien berjenis kelamin perempuan dan sudah menikah
10. Pola toleransi terhadap stress koping
Klien memiliki mekanisme koping yang baik. Adanya dukungan
keluarga untuk kesembuhan klien dan klien yakin bisa sembuh.
11. Pola system keyakinan
Klien beragama islam dan tetap menjalankan ibadah saat sakit.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
1) Tingkat kesadaran : Compos Mentis
2) GCS : Eye : 4, Verbal : 5, Motorik : 6
3) TTV : TD : 110/80 mmHg,
HR : 87x/menit,
RR : 24x/menit,
Suhu : 36,8C
4) BB dan TB : 70 Kg dan 150 cm
5) Bagaimana postur tulang belakang lansia :
(1) Tegap (2) Kifosis (3) Skoliosis (4) Lordosis
6) Keluhan : merasa kesemutan dikaki
b. Indeks Massa Tubuh
1) Berat Badan (kg) : 70 Kg
2) BMI :
BB 70 70
2 = 2 = = 31.11
TB 1,50 2,25
c. Head To Toe
1) Kulit dan kuku
Inspeksi
a. Warna kulit : Sawo matang, kuku tidak sianosis
b. Lesi : Tidak ada
c. Pikmentasi berlebih : Tidak

52
d. Jaringan parut : Ada keriput
e. Distribusi rambut : Bagus, sudah beruban
f. Kebersihan kuku : Bersih
g. Kelainan pada kuku : Tidak ada
h. Bulla (lepuh) : Tidak ada
i. Ulkus : Tidak ada
Palpasi
a. Tekstur : Masih bagus
b. Turgor : Elastis berkurang
c. Pitting edema : Tidak ada
d. Capilarry refill time : < 2 detik
e. Suhu perifer : 36,8°C, teraba hangat
2) Kepala
Inspeksi
a. Bentuk kepala : Mesochepal
b. Kebersihan : Bersih
c. Warna rambut : Sudah beruban
d. Kulit kepala : Bersih
e. Distribusi rambut : Bagus dan merata
f. Kerontokan rambut : Ada Sedikit
g. Benjolan dikepala : Tidak
h. Temuan /keluhan lain : Tidak ada
Palpasi
a. Nyeri kepala : Tidak
b. Temuan /keluhan lain : Tidak ada
3) Mata
Inspeksi
a. Ptosis : Tidak
b. Iris : kecoklatan
c. Konjungtiva : Merah muda, Tidak anemis
d. Sklera : Putih, tidak ikterik
e. Kornea : Jernih

53
f. Pupil : Isokor
g. Peradangan : Tidak
h. Katarak : Tidak
i. Ketajaman Penglihatan : Berkurang
j. Gerak bola mata : Normal
k. Medan penglihatan : Bagus
l. Alat bantu penglihatan : tidak memakai
m. Buta warna : Tidak
n. Temuan /keluhan lain : Tidak ada
Palpasi
a. Kelopak mata : Tidak nyeri
b. Temuan/keluhan lain : Tidak ada
4) Telinga
Inspeksi
a. Bentuk telinga : Simetris
b. Lesi : Tidak
c. Peradangan : Tidak
d. Kebersihan telinga luar : Bersih
e. Kebersihan lubang telinga : Ada sedikit serumen telinga
f. Membran timpani : Masih utuh, normal
5) Hidung Dan Sinus
Inspeksi
a. Bentuk : Simetris
b. Warna kulit : Sawo matang
c. Lubang : Normal, bersih
d. Temuan/keluhan lainnya : Tidak ada
e. Peradangan : Tidak
f. Penciuman : Tidak terganggu
Palpasi
a. Mobilitas septum hidung : Tidak
b. Sinusitis : Tidak ada
c. Temuan/keluhan lainnya : Tidak ada

54
6) Mulut Dan Tenggorokan
Inspeksi
a. Warna bibir : Normal, merah kehitaman
b. Mukosa : Kering
c. Bibir pecah-pecah : Tidak ada
d. Kebersihan gigi : Bersih
e. Gigi berlubang : Tidak ada
f. Gusi berdarah : Tidak ada
g. Kebersihan lidah : Bersih
h. Pembesaran tonsil : Tidak ada
i. Temuan yang lain : Ada 2 gigi geraham yang
tanggal
7) Leher
Inspeksi
a. Kesimetrisan leher :Simetris, tidak ada
pembesaran kelenjar tyroid
Palpasi
a. Kaku kuduk : Tidak ada
b. Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran
c. Pembesaran kelenjar tyroid : Tidak
d. Temuan/keluhan lainnya : Tidak ada
8) Payudara (pada laki-laki dan perempuan)
a. Bentuk : Simetris, mengecil
b. Kesimetrisan : Sama
c. Benjolan : Tidak ada
d. Temuan /keluhan lainnya : Tidak ada
9) Dada Dan Tulang Belakang
Inspeksi
a. Bentuk dada : Normal, simetris
b. Kelainan bentuk dada : Tidak ada
c. Kelainan tulang belakang : Kifosis
d. Temuan /keluhan lainnya : Tidak ada

55
10) Pernafasan
Inspeksi
a. Pengembangan dada : Simetris
b. Pernafasan : RR : 24x/menit
c. Retraksi interkosta : Tidak
d. Nafas cuping hidung : Tidak
Palpasi
a. Taktil fremitus : getaran sama antara kiri dan
kanan
b. Pengembangan dada : Ada
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Terdengar Vesikuler
a. Suara tambahan : Tidak ada
b. Temuan/keluhan lainnya : Tidak ada
11) Kardiovaskuler
Inspeksi : Ictus cordis terlihat didada kiri ICS 5
lateral mediastinum
Palpasi
a. Iktus kordis : Teraba
b. Nadi perifer (sebut) : nadi teraba 87x/menit
Perkusi
a. Batas jantung : Terdengar redup pada dada kiri
Auskultasi
a. Bunyi jantung :Normal, suara Lup-Dup terdengar
jelas dan teratur
b. Temuan/keluhan lain : Tidak ada
12) Gastrointestinal
Inspeksi bentuk abdomen : Datar, tidak buncit dan tidak
distendsi
Auskultasi peristaltik usus : terdengar normal 15x/menit
Perkusi Abdomen : Tidak nyeri tekan, tidak teraba massa

56
Palpasi Temuan/Keluhan Lain : Tidak ada
Perkemihan
a. Waran urin : Kuning kecoklatan
b. Jumlah urin : Sekitar 900 cc/hari
c. Nyeri saat BAK : Tidak
d. Hematuria : Tidak
e. Rasa terbakar saat BAK : Tidak
f. Perasaan tidak lampias ( anyang-anyangan) : Tidak
g. Menompol : Tidak
h. Tidak bisa BAK : Tidak
i. Temuan/keluhan lain : Tidak ada
13) Muskuloskeletal
Inspeksi
a. Lesi kulit : Tidak ada
b. Tremor : Tidak
Palpasi
a. Tonus otot ekstremitas atas :Normal, berkurang
b. Tonus otot ekstremitas bawah :Normal, berkurang
c. Kekuatan ekstremitas atas :4
d. Kekuatan ekstremitas bawah :4
e. Rentang gerak :terbatas dan pelan-
pelan
f. Edema kaki : Tidak ada
g. Refleks Bisep : Kanan : + kiri : +
h. Refleks Trisep : Kanan : + kiri : +
i. Refleks Patella : Kanan : + kiri : +
j. Refleks Achilles : Kanan : + kiri : +
k. Deformitas sendi : Tidak
l. Nyeri ekstremitas : Tidak ada
m. Temuan/keluhan lain : Tidak ada
15) Sistem Endokrin
a. Pembesaran tiroid : Tidak ada

57
b. Riwayat penyakit metabolik : Ada DM
c. Temuan/keluhan lain : GDS 240 mg/dl, lemas, dan
gemuk.
16) Genetalia Dan Anal
a. Kebersihan :-
b. Haemoroid : Tidak ada
c. Hernia : Tidak ada
d. Kesan (bau) : Tidak ada
e. Temuan/keluhan lain : Tidak ada
3. Pengkajian Status Fungsional
Indeks Kemandirian Katz
No Aktivitas Mandiri Tergantung

1. Mandi V
Mandiri :
Bantuan hanya pada satu
bagian mandi (seperti
punggung atau ekstremitas
yang tidak mampu) atau mandi
sendiri sepenuhnya
Tergantung :
Bantuan mandi lebih dari satu
bagian tubuh, bantuan masuk
dan keluar dari bak mandi, serta
tidak mandi sendiri.

2. Berpakaian V
Mandiri :
Mengambil baju dari lemari,
memakai pakaian, melepaskan
pakaian, mengancingi/
mengikat pakaian.
Tergantung :
Tidak dapat memakai baju
sendiri atau hanya sebagaian.

3. Kekamar kecil V
Mandiri :
Masuk dan keluar dari kamar
kecil kemudian membersihkan
genetalia sendiri
Tergantung :

58
Menerima bantuan untuk
masuk kekamar kecil dan
menggunakan pispot.

4. Berpindah V
Mandiri :
Berpindah ke dan dari tempat
tidur untukduduk, bangkit dan
kursi sendiri
Bergantung :
Bantuan dalam naik atau turun
dari tempat tidur atau kursi,
tidak melakukan satu atau lebih
perpindahan

5. Kontinen V
Mandiri :
BAK dan BAB seluruhnya
dikontrol sendiri.
Tergantung :
Inkontinensia parsial atau total;
penggunaan kateter, pispot,
enema dan pembalut (pempres)

6. Makan V
Mandiri :
Mengambil makanaan dari
piring dan menyuapinnya
sendiri
Bergantung :
Bantuan dalam hal mengambil
makanana dari piring dan
menyuapinya, tidak makan
sama sekali, dan makan
parenteral (NGT)

Keterangan :
Beri tanda ( v ) pada point yang sesuai kondisi klien
Analisis Hasil :
Nilai G : Ketergantungan pada keenam fungsi tersebut.

4. Pengkajian Status Mental Klien


1) Identifikasi tingkat intelektual dengan SPMSQ (Short
Portable Mental Status Quesioner)
Instruksi :

59
Catat Jumlah Kesalahan Total.
No Pertanyaan Benar Salah
.
1. Tanggal berapa hari ini ? v
2. Hari apa sekarang ? v
3. Apa nama tempat ini ? v
4. Dimana alamat anda ? v
5. Berapa umur anda ? v
6. Kapan anda lahir (minimal tahun v
lahir) ?
7. Siapa presiden Indonesia sekarang ? v
8. Siapa presiden Indonesia sebelumnnya ? v
9. Siapa nama ibu anda ? v
10. Berapa 20-3 ? tetapi pengurangan 3 dari V
setiap angka baru, semua secara
menurun berurutan.
Jumlah 7 3
Interpretasi / kesimpulan : dari hasil pengkajian didapatkan
score salah 3, termasuk dalam kategori gangguan ringan.
2) Identifikasi Aspek Kognitif dari Fungsi Mental dengan
Menggunakan MMSE (Mini Mental Status Exam)
Aspek Nilai Nilai
No Kriteria
Kognitif Maks klien
1. Orientasi 5 3 Menyebutkan dg
benar
√ Tahun
 Musim
 Tanggal
√ Hari
√ Bulan
Orientasi 5 3 Dimana kita
sekarang
√ Negara Indonesia
√ Provinsi Jawa
Tengah
√ KabDemak
 Panti
Werdha...
 Wisma
2. Registrasi 3 3 Sebutkan 3 objek
(oleh pemeriksaan)
1 detik untuk
mengatakan
masing – masing
objek. Kemudian

60
tanyakan kepada
klien ketiga objek
tadi (untuk
disebutkan)
√ Obyek 1 : Rumah
Sakit
√ Obyek 2 : Apotik
√ Obyek 3 : Pasar
3. Perhatian 5 1 Minta klien untuk
dan memulai dari angka
kalkulasi 100 kemudian
dikurangi 7 sampai
5 kali
 93
 86
 79
 72
 65
4. Mengingat 3 3 Minta klien untuk
mengulangi ketiga
obyek pada no 2
tadi, bila benar 1
point untuk masing
– masing obyek.
√ Obyek 1: Rumah
Sakit
√ Obyek 2: Apotik
√ Obyek 3: Pasar
5. Bahasa 9 5 Tunjukkan pada
klien suatu benda
dan tanyakan
namanya pada
klien (misal jam
tangan atau pensil)
√ mengetahui nama

Minta pada klien


untuk mengulang
kata berikut “tak
ada jika dan atau
tetapi”. Bila benar,
nilai 1 poin.
 Tak ada jika
√ dan
√ atau
 Tetapi

Minta klien untuk

61
mengikuti perintah
berikut yang terdiri
dari 3 langkah : “
ambil kerta di
tangan anda. Lipat
dua dan taruh di
lantai”
√ ambil kertas
 Lipat dua
 Taruh di
lantai

Perintahkan pada
klien untuk hal
berikut tutup mata
anda
√ aktifitas sesuai
perintah tutup mata
anda
Nilai Total : 18
Interpretasi hasil : didapatkan skor 18, artinnya ada kerusakan
aspek fungsi mental ringan

3) Skala Depresi
Sesuaikan jadwal klien dengan jawaban yang sesuai pada
instrumental
No Pertanyaan Jawaban Skor
1. Apakah anda sebenarnya puas Ya/Tida 0
dengan kehidupan anda k
2. Apakah anda telah meninggalkan Ya/Tidak 1
banyak kegiatan dan
minat/kesenangan anda?
3. Apakah anda merasa kehidupan Ya/Tidak 0
anda kosong?
4. Apakah anda merasa sering bosan ? Ya/Tidak 1
5. Apakah anda mempunyai semangat Ya/Tida 0
yang baik setiap saat? k
6. Apakah anda mempunyai semangat Ya/Tidak 1
yang baik setiap saat ?
7. Apakah anda merasa bahagia untuk Ya/Tida 0
sebagian besar hidup anda? k
8. Apakah anda merasa sering tidak Ya/Tidak 1
berdaya?
9. Apakah anda lebih sering di rumah Ya/Tidak 0
daripada pergi keluar dan

62
mengerjakan sesuatu hal yang
baru ?
10. Apakah anda merasa mempunyai Ya/Tidak 0
banyak masalah dengan daya ingat
anda dibandingkan kebanyakan
orang ?
11. Apakah anda pikir bahwa hidup Ya/Tida 0
anda sekarang menyenangkan ? k
12. Apakah anda merasa tidak berharga Ya/Tidak 0
seperti perasaan anda saat ini ?
13. Apakah anda merasa penuh Ya/Tida 0
semangat ? k
14. Apakah anda merasa bahwa Ya/Tidak 0
keadaan anda tidak ada harapan ?
15. Apakah anda pikir bahwa orang Ya/Tidak 0
lain lebih baik keadaannya dari
pada mereka?
Total Score 4
Interpretasi/ kesimpulan : dari hasil pengkajian didapatkan
skor yang sesuai 4 artinya kemungkinan ada depresi ringan.

5. Pengkajian Perilaku Terhadap Kesehatan


Kebiasaan merokok : Tidak ada
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan GDS : 240 mg/dl
7. Program terapi
No Nama Obat Dosis Kegunaan
.
1. Glibenclamide 5 mg 1x1 Untuk mengendalikan kadar
gula darah tinggi
2. Metformin 500 mg Untuk menurunkan kadar gula
2x1 darah yang meningkat
3. Piroxicam 20 mg Untuk mengatasi peradangan
1x1 sendi

63
B. Analisa Data
Data Fokus Masalah Etiologi
DS : Ketidakstabilan Diabetes Melitus
Ny. P mengatakan Kadar Glukosa
banyak minum namun Darah
masih merasa haus, (SDKI, Kode
banyak makan, banyak Diagnosis D.0027,
kencing, serta hal 71)
kesemutan.
DO :
TD : 110/80 mmHg
N : 87 x/menit
Minum 8 gelas, BAB 7
kali sehari.
GDS : 240 mg/dl.
DS : Keletihan Menopouse
Ny. P mengatakan lemas (SDKI, Kode
padahal banyak makan Diagnosis D.0057,
dan kesemutan. hal. 130)
DO :
Ny. P terlihat lemas,
badan gemuk
BB : 70 kg.
GDS : 240 mg/dl.
TD : 110/80 mmHg.
DS : Gangguan pola Kecemasan
Ny. P mengatakan sulit tidur
tidur.  (SDKI, Kode
DO : Diagnosis D.0055,
TD : 110/80 mmHg hal. 126)
Pada pengkajian
emosional didapatkan :
Sulit tidur dan cemas.
Tidur 5 jam dimalam hari
dan sering terbangun,
tidur siang jarang.
DS : Keluarga Resiko gangguan Diabetes Melitus
mengatakan Ny. P punya integritas kulit
penyakit gula. (SDKI, Kode
DO : Diagnosis D.0139,
GDS : 240 mg/dl. hal. 300)
Terlihat tidak pakai
sandal.

64
C. Diagnosa
1. Ketidakstabilan kadar glukosa darah dibuktikan Diabetes Melitus
ditandai dengan dengan kadar glukosa dalam darah / urin tinggi,
pasien mengatakan lemas dan sering haus (SDKI, Kode
Diagnosis D.0027, hal 71)
2. Keletihan dibuktikan dengan menopouse ditandai dengan tampak
lesu, sering mengeluh lelah. (SDKI, Kode Diagnosis D.0057,
hal. 130)
3. Gangguan pola tidur dibuktikan dengan kecemasan ditandai
dengan mengeluh tidak puas tidur, mengeluh istirahat tidak
cukup (SDKI, Kode Diagnosis D.0055, hal. 126)
4. Resiko gangguan integritas kulit dibuktikan dengan Diabetes
melitus dengan faktor resiko kurang terpapar informasi tentang
upaya melindungi integritas kulit dan proses penuaan. (SDKI,
Kode Diagnosis D.0139, hal. 300)

65
D. Intervensi
No Diagnosa SLKI SIKI
1. Ketidakstabilan kadar Setelah dilakukan SIKI : Manajemen
glukosa darah intervensi keperawatan Hiperglikemi
dibuktikan Diabetes selama 3 x 24 jam maka Observasi
Melitus ditandai kestabilan kadar 1. Identifikasi kemungkinan
dengan dengan kadar glukosa darah penyebab hiperglikemia
glukosa dalam darah / meningkat dengan 2. Identifikasi situasi yang
urin tinggi, pasien Kriteria hasil : menyebabkan kebutuhan
mengatakan lemas 1. Kondisi membaik insulin meningkat (penyakit
dan sering haus 2. Kadar glukosa kambuhan)
(SDKI, Kode darah membaik 3. Monitor kadar glukosa darah
Diagnosis D.0027, hal 3. Kadar glukosa 4. Monitor tanda gejala
71) dalam urine hiperglikemia
membaik 5. Monitor intake dan output
4. Keluhan lelah cairan
menurun 6. Monitor keton urin, kadar
5. Keluhan haus analisa gas darah, elektrolit,
menurun Tekanan darah ortostatik
(SLKI, Kode L.03022, dan frekuensi nadi
hal.43) Terapeutik
1. Berikan asupan cairan oral
2. Konsultasi dengan medis
jika tanda gejala tetap ada
atau memburuk
3. Fasilitas ambulasi jika ada
hipotensi ortostatis
Edukasi
1. Anjurkan hindari olahraga
saat kadar glukosa darah
lebih dari 250 mg/dl
2. Anjurkan monitor kadar
glukosa darah secara
mandiri
3. Anjurkan kepatuhan
terhadap diet dan olah raga
4. Anjurkan indikasi dan
peningnya pengujian keton
urin
5. Ajarkan pengelolaan
diabetes
Kolaborasi
1. Kolaborasi Pemberian
insulin
2. Kolaborasi pemberian cairan
IV
3. Kolaborasi pemberian
kalium

66
(SIKI, Kode I.03115, hal. 180)
2. Keletihan dibuktikan Setelah dilakukan SIKI : Manajemen Energi
dengan menopouse intervensi keperawatan Obervasi
ditandai dengan selama 2 x 24 jam maka 1. Identifikasi gangguan fungsi
tampak lesu, sering tingkat keletihan tubuh yang mengakibatkan
mengeluh lelah. menurun dengan kelelahan
(SDKI, Kode Kriteria hasil : 2. Monitor kelelahan fisik dan
Diagnosis D.0057, hal. 1. Verbalisasi lelah emosional
130) menurun 3. Monitor pola dan jam tidur
2. Lesu menurun 4. Monitor lokasi dan
3. Tenaga meningkat kenyamanan selama
4. Verbalisasi melakukan aktivitas
kepulihan energi Terapeutik
meningkat 1. Sediakan lingkungan yang
(SLKI, Kode L.05046, nyaman dan rendah stimulus
hal. 141) 2. Lakukan latihan rentang
gerak pasif dan atau aktif
3. Berikan aktivitas distraksi
yang menenangkan
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak
berkurang
4. Anjurkan strategi koping
untuk mengurangi
keleleahan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan
(SIKI, Kode I.05178, hal. 176)
3. Gangguan pola tidur Setelah dilakukan SIKI : Dukungan Tidur
dibuktikan dengan intervensi keperawatan Obervasi
kecemasan ditandai selama 1 x 24 jam maka 1. Identifikasi pola aktivitas
dengan mengeluh pola tidur membaik dan tidur
tidak puas tidur, dengan 2. Identifikasi faktor
mengeluh istirahat Kriteria hasil : penganggu tidur
tidak cukup 1. Keluhan tidak 3. Identifikasi makanan atau
(SDKI, Kode pulas tidur minuman yang menganggu
Diagnosis D.0055, hal. menurun tidur
126) 2. Keluhan pola tidur 4. Identifikasi obat tidur yang
berubah menurun dikonsumsi
3. Keluhan istirahat Terapeutik
tidak cukup 1. Modifikasi lingkungan

67
menurun 2. Fasilitasi penghilang stres
(SLKI, Kode L.05045, sebelum tidur siang
hal. 96) 3. Tetapkan jadwal tidur rutin
4. Lakukan prosedur untuk
meningkatkan kenyamanan
5. Sesuaikan jadwal pemberian
obat dan atau tindakan untuk
menunjang siklus tidur
terjaga
Edukasi
1. Jelaskan pentingnya tidur
cukup selama sakit
2. Anjurkan menepati
kebiasaan waktu tidur
3. Anjurkan menghindari
makanan dan minuman yang
menganggu wkatu tidur
4. Ajarkan faktor – faktor yang
berkontribusi terhadap
gangguan pola tidur
5. Ajarkan relaksasi otot
autogenik atau cara
nonfarmalogi lainnya.
(SIKI, Kode I.05174, hal. 48)
4. Resiko gangguan Setelah dilakukan SIKI : Edukasi Perawatan
integritas kulit intervensi keperawatan Kaki
dibuktikan dengan selama 2 x 24 jam maka Observasi
Diabetes melitus kontrol resiko 1. Identifikasi tingkat
dengan faktor resiko meningkat dengan pengetahuan dan
kurang terpapar Kriteria hasil : keterampilan perawatan kaki
informasi tentang 1. Kemampuan Terapeutik
upaya melindungi merubah perilaku 1. Berikan brosur informasi
integritas kulit dan meningkat tingkat resiko cedera dan
proses penuaan. 2. Kemampuan perawatan kaki
(SDKI, Kode mengidentifikasi 2. Fasilitasi pembuatan
Diagnosis D.0139, hal. faktor resiko rencana penilaian dan
300) meningkat perawatan kaki harian
3. Kemampuan 3. Berikan kesempatan untuk
melakukan strategi bertanya
kontrol resiko Edukasi
meningkat 1. Jelaskan faktor resiko luka
(SLKI, Kode L.14125, pada kaki
hal. 33) 2. Jelaskan hubungan antara
neuropati, cidera dan
penyakit vaskuler dan resiko
ulserasi den ampututasi
ekstremitas bawah
3. Ajarkan pemeriksaan

68
seluruh bagian kaki setiap
hari
4. Ajarkan memotong dan
mengikir kuku secara lurus
5. Anjurkan mencuci kaki
setiap hari dengan
menggunakan air hangat dan
sabun ringan
6. Anjurkan mengeringkan
secara menyeluruh setelah
mencuci kaki, terutama di
antara jari kaki
7. Anjurkan hubungi tenaga
profesional kesehatan jika
ada luka infeksi atau jamur
8. Anjurkan memakai sepatu
bertumit rendah dan sesuai
bentuk kaki
9. Anjurkan memakai kaus
kaki yang berbahan
menyerap keringat
10. Anjurkan memeriksa sepatu
bagian dalam sebelum
dikenakan
(SIKI, Kode I.12423, hal. 92)

69
E. Implementasi
No Diagnosa Hari/Tanggal Implementasi Paraf
Jam
1. Ketidakstabilan kadar Manajemen Hiperglikemi
glukosa darah Kamis,3 Observasi R
dibuktikan Diabetes Juni 2021 1. Mengidentifikasi
Melitus ditandai Jam 09.00 WIB kemungkinan penyebab
dengan dengan kadar hiperglikemia
glukosa dalam darah / R/ pasien kooperatif dalam
urin tinggi, pasien menjawab pertanyaan
mengatakan lemas dan perawat
sering haus 2. Melakuakan pemeriksaan
(SDKI, Kode Diagnosis kadar glukosa darah
D.0027, hal 71) R/ hasil GDA : 240 mg/dl
3. Mengidentifikasi tanda
gejala hiperglikemia
R/ pasien merasa haus dan
lemas
4. Melakukan penilaian intake
dan output cairan
R/ pasien mengatakan
sering BAK 7x dalam
sehari
5. Melakukan tindakan
pemeriksaan keton urin,
kadar analisa gas darah,
elektrolit, Tekanan darah
ortostatik dan frekuensi
nadi
R/ GDA : 240 mg/dl, Nadi :
87x/menit.
Kamis,3 Terapeutik R
Juni 2021 1. Memberikan asupan cairan
Pukul 10.20 WIB oral
R/ pasien meminum obat
resep dokter
2. Memfasilitasi konsultasi
dengan medis terkait tanda
gejala
R/ banyak bertanya terkait
ksemutan yang dirasakan
3. memfasilitas ambulasi jika
ada hipotensi ortostatis
R/ pasien kooperatif
Sabtu, 5 Juni Edukasi R
2021 1. menganjurkan menghindari
Jam 09.00 WIB olahraga saat kadar glukosa
darah lebih dari 250 mg/dl

70
R/ pasien mendengarkan
dan bersedia
2. menganjurkan monitor
kadar glukosa darah secara
mandiri
R/ pasien kooperatif dan
bersedia
3. mengedukasi kepatuhan
terhadap diet dan olah raga
R/ pasien sudah membatasi
makan yang manis manis
4. menganjurkan indikasi dan
peningnya pengujian keton
urin
R/ pasien kooperatif
5. mengajarkan pengelolaan
diabetes
R/ pasien memahmi diet
rendah gula agar
diabetesnya tidak semakin
parah
Kamis, Kolaborasi R
3 Juni 2021 1. melakukan kolaborasi
Jam 11.00 WIB Pemberian insulin
R/ pasien kooperatif
2. melakukan kolaborasi
pemberian cairan IV
R/ Pasien kooperatif saat di
berikan cairan
3. melakukan kolaborasi
pemberian kalium
R/ pasien kooperatif
2. Keletihan dibuktikan Manajemen Energi
dengan menopouse Kamis,3 Obervasi R
ditandai dengan Juni 2021 1. mengidentifikasi gangguan
tampak lesu, sering Jam 09.10 WIB fungsi tubuh yang
mengeluh lelah. mengakibatkan kelelahan
(SDKI, Kode Diagnosis R/ pasien tampak lemas
D.0057, hal. 130) 2. memonitor penyebab
kelelahan fisik dan
emosional
R/ pasien mengatakan tidak
tahu penyebab kelelahannya
3. memonitor pola dan jam
tidur
R/ pasien tidak pernah tidur
siang, hanya tidur malam 5
jam namun sering

71
terbangun
4. Menitor lokasi dan
kenyamanan selama
melakukan aktivitas
R/ pasien merasa selalu
kelelahan dan kesemutan
Kamis,3 Terapeutik R
Juni 2021 1. menyediakan lingkungan
Jam 10.00 WIB yang nyaman dan rendah
stimulus
R/ pasien menginginkan
tidur udara sejuk dan tenang
2. melakukan latihan rentang
gerak pasif dan atau aktif
R/ pasien kooperatif
3. Memberikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
R/ pasien mengatakan
nyaman
Sabtu, 5 Juni Edukasi R
2021 1. menganjurkan tirah baring
Jam 09.30 WIB R/ pasien kooperatif
2. Menganjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
R/ Pasien melakukan sesuai
anjuran
3. menganjurkan
menghubungi perawat jika
tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang
R/ pasien menerima saran
4. menganjurkan strategi
koping untuk mengurangi
keleleahan
R/ pasien kooperatif
Kamis,3 Juni Kolaborasi R
2021 1. Kolaborasi dengan ahli gizi
Jam 10.20.00 tentang cara meningkatkan
WIB asupan makanan
R/ pasien menghabiskan
menu makanan dari ahli
gizi
3. Gangguan pola tidur Dukungan Tidur
dibuktikan dengan Jumat ,4 Juni Obervasi R
kecemasan ditandai Jam 09.00 WIB 1. mengidentifikasi pola
dengan mengeluh tidak aktivitas dan tidur
puas tidur, mengeluh R/ pasien tidak pernah tidur

72
istirahat tidak cukup siang dan tidur malam
(SDKI, Kode Diagnosis hanya 5 jam itupun sering
D.0055, hal. 126) terbangun
2. mengidentifikasi faktor
penganggu tidur
R/ Pasien terlihat lemas
3. mengidentifikasi makanan
atau minuman yang
menganggu tidur
R/ tidak ada makanan yang
menganggu tidur
4. mengidentifikasi obat tidur
yang dikonsumsi
R/ tidak mengonsumsi obat
tidur apapun sebelumnya
Jumat Terapeutik R
,4 Juni 2021 1. Memodifikasi lingkungan
Jam 09.15 WIB R/ pasien tampak tidur
nyenyak dan mulai tidur
siang
2. memfasilitasi penghilang
stres sebelum tidur siang
R/ pasien menikmati dan
tertidur
3. membuatkan jadwal tidur
rutin
R/ pasien kooperatif
4. melakukan prosedur untuk
meningkatkan kenyamanan
R/ pasien kooperatif dan
bersedia
5. melakukan penyesuaian
jadwal pemberian obat dan
atau tindakan untuk
menunjang siklus tidur
terjaga
R/ pasien menjalankan
sesuai aturan yang di
tentukan
Sabtu, 5 Juni Edukasi R
2021 1. menjelaskan pentingnya
Jam 10.00 WIB tidur cukup selama sakit
R/ pasien memahami dan
kooperatif
2. menganjurkan menepati
kebiasaan waktu tidur
R/ pasien menjalsankan
sesuai aturan

73
3. menganjurkan menghindari
makanan dan minuman
yang menganggu wkatu
tidur
R/ pasien berhenti makan
makanan tinggi gula
4. mengajarkan faktor – faktor
yang berkontribusi terhadap
gangguan pola tidur
R/ pasien menjalankan
sesuai perintah
5. mengajarkan relaksasi otot
autogenik atau cara
nonfarmalogi lainnya.
R/ pasien kooperatif
4. Resiko gangguan Edukasi Perawatan Kaki
integritas kulit Sabtu, 5 Juni Observasi R
dibuktikan dengan 2021 1. mengidentifikasi tingkat
Diabetes melitus Pukul 11.10 pengetahuan dan
dengan faktor resiko keterampilan perawatan
kurang terpapar kaki
informasi tentang R/ pasien jarang memakai
upaya melindungi sandal.
integritas kulit dan Sabtu, 5 Juni Terapeutik R
proses penuaan. 2021 1. memberikan brosur
(SDKI, Kode Diagnosis Pukul 11.20 informasi tingkat resiko
D.0139, hal. 300) cedera dan perawatan kaki
R/ pasien memahami
2. memfasilitasi pembuatan
rencana penilaian dan
perawatan kaki harian
R/ pasien menajalankan dan
kooperatif
3. memberikan kesempatan
untuk bertanya
R/ pasien kooperatif engan
sering bertanya
Sabtu, 5 Juni Edukasi R
2021 1. menjelaskan faktor resiko
Pukul 11.00 luka pada kaki
R/ pasien mengatakan
memahami
2. menjelaskan hubungan
antara neuropati, cidera dan
penyakit vaskuler dan
resiko ulserasi den
ampututasi ekstremitas
bawah

74
R/ kooperatif
3. mengajarkan pemeriksaan
seluruh bagian kaki setiap
hari
R/ pasien menjalankan
pemeriksaan sendiri
4. mengajarkan memotong
dan mengikir kuku secara
lurus
R/ Pasien memahami dan
menjalani
5. menganjurkan mencuci kaki
setiap hari dengan
menggunakan air hangat
dan sabun ringan
R/ pasien menjalankan
6. menganjurkan
mengeringkan secara
menyeluruh setelah
mencuci kaki, terutama di
antara jari kaki
R/ pasien kooperatif dan
menjalankan
7. menganjurkan hubungi
tenaga profesional
kesehatan jika ada luka
infeksi atau jamur
R/ pasien mengatakan
memahaminya
8. menganjurkan memakai
sepatu bertumit rendah dan
sesuai bentuk kaki
R/ pasien menerima anjuran
perawat
9. menganjurkan memakai
kaus kaki yang berbahan
menyerap keringat
R/ pasien menerima anjuran
perawat
10. menganjurkan memeriksa
sepatu bagian dalam
sebelum dikenakan
R/ pasien menerima anjuran
perawat

75
F. Evaluasi
Diagnosa Keperawatan Tanggal/Jam Catatan Perkembangan Paraf
Ketidakstabilan kadar glukosa Sabtu, 5 Juni S: pasien mengatakan tidak makan banyak R
darah dibuktikan Diabetes 2021 hanya 3 kali sehari dan tidak makan yang
Melitus ditandai dengan dengan Jam 12.00 manis manis.
kadar glukosa dalam darah / urin WIB O: -
tinggi, pasien mengatakan lemas A: masalah teratasi
dan sering haus P: motivasi Ny.P untuk patuh diet
(SDKI, Kode Diagnosis
D.0027, hal 71)
Keletihan dibuktikan dengan Jumat S: Ny.P mengatakan tadi pagi sudah jalan R
menopouse ditandai dengan ,4 Juni 2021 ringan selama 30 menit.
tampak lesu, sering mengeluh Jam 13.20 O: -
lelah. WIB A: masalah keperawatan belum teratasi
(SDKI, Kode Diagnosis P: Motivasi Ny.P untuk rutin Olahraga
D.0057, hal. 130)
Gangguan pola tidur dibuktikan Sabtu, 5 Juni S: Ny.P mengatakn tidur sudah nyenyak R
dengan kecemasan ditandai 2021 selama 8 jam
dengan mengeluh tidak puas Jam 10.00 O: Ny.P terlihat segar dan tidak gelisah
tidur, mengeluh istirahat tidak WIB A: masalah teratasi
cukup P: motivasi keluarga untuk memberikan
(SDKI, Kode Diagnosis suasana yang nyaman bagi Ny.P
D.0055, hal. 126)
Resiko gangguan integritas kulit Jumat ,4 Juni S : Ny.P mengatakan akan memakai sandal R
dibuktikan dengan Diabetes 2021 dan melakukan senam kaki diabetek selama
melitus dengan faktor resiko Jam 14.10 3 kali seminggu
kurang terpapar informasi WIB O : pasien tampak menggunakan alas kaki
tentang upaya melindungi ketika berjalan jalan
integritas kulit dan proses A : masalah teratasi
penuaan. P : motivasi Ny.P untuk menjaga kebersihan
(SDKI, Kode Diagnosis dan melakukan senam kaki diabetik
D.0139, hal. 300) berseling hari dengan olahraga jalan ringan

76
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah di lakukan tahap tahap pembuatan asuhan keperawatan pada lansia, penulis
mampu :
1. Melakukan pengkajian terhadap gerontik khusunya pada Ny.P dengan gangguan
diabetes melitus
2. Menegakkan diagnosa keperawatan pada gerontik khususnya pada Ny.P dengan
gangguan diabetes melitus menggunakan SDKI
3. Menyusun rencana keperawatan pada gerontik khusunya pada Ny.P dengan
gangguan diabetes melitus menggunakan SIKI dan SLKI
4. Mengimplementasikan rencana keperawatan nyang sudah disusun pada gerontik
khususnya pada Ny.P dengan diabetes melitus
5. Mengevaluasi tindakan keprawatan pada gerontik khususnya pada Ny.P dengan
gangguan diabetes melitus
B. Saran
Diharapkan mahasiswa mampu mengerti dan memahami definisi lansia dan
penyakit diabetes melitus serta mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan
penyakit diabetes melitus pada pasien lansia sehingga mampu memberikan asuhan
keperawatan yang baik.

77
DAFTAR PUSTAKA

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Ratnawati, E. 2017. Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Sya’diyah, Hidayatus. 2018. Keperawatan Lanjut Usia Teori dan Aplikasi. Sidoarjo:
Indomedia Pustaka.
http://repo.stikesperintis.ac.id/836/1/13%20MUTHIA%20VARENA.pdf
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2145/1/KTI%20PAK%20MUJI.pdf

78

Anda mungkin juga menyukai