Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PADA BAYI DENGAN IKTERUS NEONATORUM
(HIPERBILIRUBINEMIA) DI RUANG KAMAR BERSALIN
RSUD KANJURUHAN KABUPATEN MALANG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu


Praktek Klinik Maternitas
Di RSUD KANJURUHAN KABUPATEN MALANG

Oleh:
Nama : ALFINA NUR ALIFAH
NIM : P17211191009

PRODI D 4 KEPERAWATAN MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
TAHUN AJARAN 2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan keperawatan pada Bayi dengan Ikterus


Neonatorum (Hiperbilirubinemia) Di Ruang Kamar Bersalin RSUD Kanjuruhan
Kabupaten Malang. Periode 6 September 2021 s/d 10 September 2021 Tahun
Ajaran 2021/2022

Telah disetujui dan disahkan pada tanggal …… Bulan………………


Tahun…………

Malang, 2021
Preceptor Akademik

Sri Mudayatiningsih, S.Kp., M.Kes


NIP. 196508281989031003
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian
Hiperbilirubinemia merupakan berlebihnya kadar bilirubin dalam
darah lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang mengakibatkan
jaundice, warna kuning yang terlihat jelas pada kulit, mukosa, sklera, dan
urine, serta organ lain. Sedangkan pada bayi normal kadar bilirubin serum
totalnya adalah 5 mg% (Sembiring, 2019). Hiperbilirubinemia merupakan
salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru
lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam
minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Bayi dengan
hiperbilirubinemia tampak kuning akibat akumulasi pigmen bilirubin yang
berwarna kuning pada sklera dan kulit (Mathindas dkk, 2013). Ikterus
neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai dengan
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis mulai tampak pada bayi
baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL (Nurarif dan Kusuma,
2015).
B. Etiologi
Etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapa berdiri sendiri ataupun
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi itu dapat
dibagi sebagai berikut:
1. Produksi yang berlebihan: hal ini melebihi daripada kemampuan bayi
untuk mengeluarkannya, misalnya hemolisi yang meningkat pada
inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim
C6PD, pyruvate kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar: gangguan ini
dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat asidosis,
hipoksia,dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil
transferase (criggler najjar syndrome). Penyebab lain ialah defisiensi
protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin
ke sel-sel heapar.
3. Gangguan dalam transportasi: bilirubin dalam darah terikat oleh
albumin kemudian diangkut ke hepar, ikatan bilirubin dengan albumin
ini dapat dipengaruhi oleh obat-obatan misalnya salisilat,
sulfatfurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam sekresi: gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
dalam hepar atau diluar hepar, biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain.
5. Obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau struktural) dapat
mengakibatkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi akibat
penambahan dari bilirubin yang berasal dari sirkulais enterahepatik.
6. Ikterus akibat air susu ibu (ASI) merupakan hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi yang mencapai puncaknya terlambat (biasanya menjelang
hari ke 6-14). Bayi yang mendapat ASI bila dibandingkan dengan bayi
yang mendapat susu formula, mempunyai kadar bilirubin yang lebih
tinggi berkaitan dengan penurunan asupan pada beberapa hari pertama
kehidupan.
Menurut Mathindas dkk (2013), faktor resiko yang dapat
memengaruhi terjadinya hiperbilirubinemia antara lain:
1) Peningkatan jumlah sel darah merah
Peningkatan jumlah sel darah merah beresiko untuk terjadinya
hiperbilirubinemia. Misalnya: bayi yang lahir memiliki jenis golongan
darah yang berbeda dengan ibunya, lahir anemia akibat abnormalitas
eritrosit (eliptositosis) atau mendapat transfusi darah beresiko tinggi
akan mengalami hiperbilirubinemia.
2) Infeksi/inkompabilitasABO-Rh
Berbagai infeksi pada bayi atau yang ditularkan ibu ke janinnya di
dalam rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. Seperti
infeksi
kongenital virus herpes, sifilis kongenital, rubela, dan sepsis. 
C. Klasifikasi
Menurut (Nanny Lia Dewi, 2013) klasifikasi ikterus dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan
ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati
kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi
“kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Tanda-tanda icterus fisiologik sebagai berikut:
a. Timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonates
cukup bulan dan 12,5 mg% untuk neonates lebih bulan
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg%
perhari
d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama
e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik
2. Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau
kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia. Ikterus patologis memiliki tanda dan gejala sebagai
berikut:
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonates cukup bulan atau
melebihi 12,5 mg% pada neonates kurang bulan
c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik Rumus Kramer
Derajat Ikterus Daerah Ikterus Perkiraan Kadar Bilirubin
I Daerah kepala dan leher 5.0 mg%
II Daerah pusat sampai leher 9.0 mg%
III Daerah pusat sampai paha 11.4 mg%
IV Daerah lengan sampai 12.4 mg%
tungkai
V Sampai daerah telapak 16.0 mg%
tangan dan telapak kaki
Selain itu, terdapat juga beberapa jenis icterus lainnya seperti:
1) Kern ikterus adalah sindrom neurologik akibat dari akumulasi bilirubin
indirek di ganglia basalis dan nuklei di batang otak. Faktor yang terkait
dengan terjadinya sindrom ini adalah kompleks yaitu termasuk adanya
interaksi antara besaran kadar bilirubin indirek, pengikatan albumin,
kadar bilirubin bebas, pasase melewati sawar darah-otak, dna
suseptibilitas neuron terhadap injuri.
2) Ikterus hemolitik atau ikterus prahepatik adalah kelainan yang terjadi
sebelum hepar yakni disebbakan oleh berbagai hal disertai
meningkatnya proses hemolisis (pecahnya sel darah merah) yaitu
terdapat pada inkontabilitas golongan darah ibubayi, talasemia,
sferositosis, malaria, sindrom hemolitikuremik, sindrom Gilbert, dan
sindrom Crigler-Najjar.
3) Ikterus hepatik atau ikterus hepatoseluler disebabkan karena adanya
kelainan pada sel hepar (nekrosis) maka terjadi penurunan kemampuan
metabolisme dan sekresi bilirubin sehingga kadar bilirubin tidak
terkonjugasi dalam darah menjadi meningkat.
D. Tanda dan Gejala
Menurut Mathindas dkk (2013) menyatakan bahwa gejala yang
tampak pada bayi dengan hiperbilirubinemia ialah rasa kantuk, tidak kuat
menghisap ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata terputar-putar ke
atas, kejang, dan yang paling parah adalah kematian. Sebagian besar
hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi hiperbilirubin yang sangat
tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (kern icterus). Jangka panjang
kern icterus adalah retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli dan mata
tidak dapat digerakkan ke atas. Gejala utama pada bayi dengan ikterus
neonatorum adalah nampak warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan
mukosa. Gejala lainnya yang mungkin terjadi yaitu:
1. Dehidrasi
2. Pucat: sering berkaitan dengan anemia hemolitik (misal
ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau
kehilangan darah ekstravaskular.
3. Trauma lahir
4. Pletorik (penumpukan darah): polisitemia, yang dapat disebabkan oleh
keterlambatan memotong talipusat, bayi KMK
5. Letargi dan gejala sepsis lainnya
6. Petekiae (bintik merah di kulit): sering dikaitkan dengan infeksi
congenital, sepsis atau eritroblastosis
7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal): sering berkaitan
dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
8. Hepato splenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9. Omfalitis (peradangan umbilikus)
10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12. Feses dempul disertai urin warna coklat: pikirkan ke arah icterus
obstruktif, selanjutnya konsul ke bagian hepatologi.
E. Pathway (Pohon Masalah)
F. Penatalaksanaan
Tatalaksana medis Menurut (Nuarif, A. H & Hardhi K 2015)
penatalaksanaan medis pada hiperbilirubinemia antara lain:
a. Terapi sinar (fototerapi)
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar
bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal
b. Terapi transfusi
Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar bilirubin
terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu
dilakukan terapi transfusi darah. Dikhawatirkan kelebihan bilirubin
dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus).
c. Terapi obat-obatan
Misalnya, obat Phenobartial atau Luminal untuk meningkatkan
pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya
indirect berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan
yang mengandung plasma atau albumin berguna untuk mengurangi
timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati.
Biasanya terapi ini dilakukan dengan terapi seperti fototerapi.
d. Menyusui bayi dengan ASI
Seperti diketahui, ASI memilki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat
memperlancar buang air besar dan kecilnya. Sehingga salah satu
penata-laksanaannya adalah dengan meningkatkan intake ASI yang
adekuat. Hal ini sangat disarankan karena bilirubin direk dapat larut
dalam air dan akan dikeluarkan melalui sistem pencernaan.
e. Terapi sinar matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan.
Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Waktu
yang disarankan untuk menjermur bayi di bawah sinar matahari yaitu
antara pukul 07.00-09.00 pagi. Hal ini dikarenakan bilirubin fisiologis
jenis ini tidak dapat larut dalam air.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standard adalah
pemeriksaan bilirubin. Kadar bilirubin indirek (larut dalam lemak/tak
terkonjugasi) tidak melewati 12 mg/dl pada neonatus cukup bulan dan 10
mg/dl pada neonatus kurang bulan, dan kecepatan peningkatan kadar
bilirubin tidak melebihi 5 mg/dl per hari. Kadar bilirubin direk (larut
dalam air/terkonjugasi) kurang dari 1 mg/dl. Pemeriksaan laboratorium
lainnya direkomendasikan untuk mengidentifikasi penyakit hemolitik
sebagai penyebab hiperbilirubinemia tak terkonjugasi, misalnya golongan
darah neonatus, tes Coombs, complete blood cell (CBC), hitung
retikulosit, apus darah, dan G6PD. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia
terkonjugasi, serum aminotransferase harus dilakukan untuk bukti cedera
hepatoseluler, kadar gamma-glutamyl transferase (GGTP) untuk bukti
penyakit hepatobilier dan waktu protrombin serta albumin serum untuk
mengevaluasi fungsi sintesis hati. Studi pencitraan seperti ultrasonografi
dan tes tambahan seperti titer Toksoplasmosis,
Rubella, Cytomegalovirus, Herpes simplex virus, dan Sifilis (TORCH),
kultur urin, kultur virus, titer serologis, asam amino, dan fenotipe a-
antitripsin dapat ditambahkan tergantung pada dugaan
diagnosis hiperbilirubinemia terkonjugasi. Pada bayi dengan riwayat
icterus yang lama, perlu dilakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, dan uji
urine terhadap galatosemia. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan
pemeriksaan kultur darah, urine, IT, rasio, dan pemeriksaan C reaktif
protein (CRP) (Nuratif dan Kusuma, 2015).
H. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas: meliputi identitas pasien dan identitas penanggung
jawab, yaitu: nama, usia, jenis kelamin, alamat, agama, nomer RM,
tanggal masuk RS, dan diagnose medis
b. Keluhan utama: bayi terlihat kuning pada kulit dan sklera, letargi,
malas menyusu, tampak lemah, dan BAB berwarna pucat
c. Riwayat penyakit sekarang: keadaan umum bayi lemah, sklera
tampak kuning, letargi, refleks hisap berkurang, pada kondisi
bilirubin indirek yang sudah 30 mg/dL dan sudah sampai ke
jaringan serebral, maka bayi akan mengalami kejang dan
peningkatan tekanan intracranial yang ditandai dengan tangisan
melengking.
d. Riwayat penyakit dahulu: biasanya ibu bermasalah dengan
hemolisis. Terdapat hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh
atau golongan darah A, B, O). Infeksi, hematoma, gangguan
metabolisme hepar, obstruksi saluran pencernaan, atau ibu
menderita DM.
e. Riwayat penyakit keluarga: apakah terdapat riwayat penyakit
menurun pada keluarga seperti hipertensi, DM, dan lain-lai
f. Riwayat kelahiran
1) Ketuban pecah dini, kesukaran kelahiran dengan manipulasi
berlebihan merupakn predisposisi terjadinya infeksi.
2) Pemberian obat anestesi, analgesik yang berlebihan akan
mengakibatkan gangguan nafas (hipoksia), asidosis yang akan
menghambat konjugasi bilirubn.
3) Bayi dengan apgar score renddah memungkinkan terjadinya
(hipoksia), asidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubn.
4) Kelahiran prematur: berhubungan juga dengan prematuritas
organ tubuh (hepar).
g. Pemeriksaan fisik
1) Kepala sampai leher: dapat dijumpai ikterus pada mata (sclera)
dan selaput / mukosa pada mulut. Dapat juga diidentifikasi
ikterus dengan melakukan tekanan langsung pada daerah
menonjol untuk bayi dengan kulit bersih (kuning). Dapat juga
dijumpai sianosis pada bayi yang hipoksia.
2) Dada: selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat
ditemukan tanda peningkatan frekuensi nafas. Status kardiologi
menunjukkan adanya tachicardia, kususnya ikterus yang
disebabkan oleh adanya infeksi.
3) Perut: peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltik perlu
dicermati. Hal ini berhubungan dengan indikasi
penatalaksanaan phototerapi. Gangguan peristaltik tidak
diindikasikan photo terapi. Perut terkadang nampak
membuncit, muntah, mencret merupakan akibat gangguan
metabolisme bilirubin enterohepatic. Splenomegali dan
hepatomegali dapat dihubungkan dengan sepsis bacterial,
tixoplasmosis, rubella.
4) Ekstremitas: nampak kelemahan pada otot
5) Kulit: tingkat keparahan ikterik dapat ditentukan menggunakan
rumus kremer. Tanda dehidrasi titunjukkan dengan turgor yang
jelek, elastisitas menurun. Perdarahan bawah kulit ditunjukkan
dengan ptechia, echimosis.
6) Urogenital: urine kuning dan pekat, adanya feces yang pucat /
acholis, seperti dempul atau kapur merupakan akibat dari
gangguan atau atresia saluran empedu.
7) Neurologis: adanya kejang, epistotonus, lethargi, kejang-
kejang, penurunan kesadaran, dan lain-lain menunjukkan
adanya tanda- tanda kernikterus
h. Pola fungsi kesehatan: meliputi pola persepsi, pola nutrisi dan
metabolik, pola tidur, pola toleransi dan koping stress, serta pola
kepercayaan.
i. Pemeriksaan penunjang: berbagai pemeriksaan laboratorium untuk
mendukung tindakan medis, seperti pemeriksaan kadar bilirubin.
2. Diagnosa Keperawatan
Setelah mengkaji semua data pasien, maka ditemukan beberapa
diagnosa keperawatan menurut Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia yaitu sebagai berikut:
1. Ikterik neonatus berhubungan dengan penurunan berat badan
abnormal >7-8% pada bayi baru lahir yang menyusu ASI, >15%
pada bayi cukup bulan dibuktikan dengan profil darah abnormal,
membrane mukosa kuning, kulit kuning, dan sklera kuning.
2. Hipovolemia berhubungan dengan evaporasi dibuktikan dengan
frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah
menurun, turgor kulit menurun, volume urine menurun, suhu tubuh
meningkat, dan konsentrasi urine meningkat.
3. Resiko gangguan integritas kulit dibuktikan perubahan pigmentasi
4. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan suhu lingkungan
ekstrem dan efek agen farmakologis dibuktikan dengan kulit
dingin/ hangat, suhu tubuh fluktuatif, frekuensi napas meningkat,
takikardi, dan kejang
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan atau Luaran Intervensi
Keperawatan (SLKI) (SIKI)
(SDKI)
(D.0024) Adaptasi Neonatus (L.10095) Fototerapi Neonatus (1.03091)
Ikterik neonatus Setelah dilakukan intervensi keperawatan, Observasi:
berhubungan dengan maka adaptasi neonatus membaik, dengan - Monitor ikterik pada sklera dan kulit bayi
penurunan berat badan kriteria hasil: - Identifikasi kebutuhan cairan sesuai dengan usia gestasi dan
abnormal >7-8% pada a. Berat badan meningkat berat badan
bayi baru lahir yang b. Membran mukosa kuning menurun - Monitor suhu dan tanda vital setiap 4 jam sekali
menyusu ASI, >15% c. Kulit kuning menurun - Monitor efek samping fototerapi (misal: hipertermi, diare, rush
pada bayi cukup bulan d. Sklera kuning menurun pada kulit, penurunan berat badan lebih dari 8-10%)
dibuktikan dengan e. Prematuritas menurun Terapeutik:
profil darah abnormal, f. Keterlambatan pengeluaran feses - Siapkan lampu fototerapi dan incubator atau kotak bayi
membrane mukosa menurun - Lepaskan pakaian bayi kecuali popok
kuning, kulit kuning, g. Aktivitas ekstremitas membaik - Berikan penutup mata (eye protector/biliband) pada bayi
dan sklera kuning. h. Respon terhadap stimulus sensorik - Ukur jarak antara lampu dan permukaan kulit bayi (30 cm atau
membaik tergantung spesifikasi lampu fototerapi)
- Biarkan tubuh bayi terpapar sinar fototerapi secara
berkelanjutan
- Ganti segera atasan dan popok bayi jika BAB/BAK
- Gunakan linen berwarna putih agar memantulkan cahaya
sebanyak mungkin
Edukasi:
- Anjurkan ibu menyusui sekitar 20-30 menit
- Anjurkan ibu menyusui sesering mungkin
Kolaborasi:
Kolaborasi pemeriksaan darah vena bilirubin direk dan indirek
(D.0023) Keseimbangan Cairan (L.03020) Manajemen Hipovolemia (1.03116)
Hipovolemia Setelah dilakukan intervensi keperawatan, Observasi:
berhubungan dengan maka keseimbangan cairan meningkat, - Periksa tanda gejala hipovolemia (misal: frekuensi nadi
evaporasi dibuktikan dengan kriteria hasil: meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan
dengan frekuensi nadi a. Asupan cairan meningkat nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa
meningkat, nadi teraba b. Haluaran urine meningkat kering, volume urine menurun, hematokrit meningkat, haus,
lemah, tekanan darah c. Kelembaban membran mukosa lemah)
menurun, turgor kulit meningkat - Monitor intake dan output cairan
menurun, volume d. Asupan makanan meningkat Terapeutik:
urine menurun, suhu e. Edema menurun - Hitung kebutuhan cairan
tubuh meningkat, dan f. Dehidrasi menurun - Berikan posisi modified Trendelenburg
konsentrasi urine g. Asites menurun - Berikan asupan cairan oral
meningkat. h. Konfusi menurun Edukasi:
i. Tekanan darah membaik - Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
j. Denyut nadi radial membaik - Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
k. Tekanan arteri rata-rata membaik Kolaborasi:
l. Membrane mukosa membaik - Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (misal: NaCl, RL)
m. Mata cekung membaik - Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (misal: glukosa
n. Turgor kulit membaik 2,5%, NaCl 0,4%)
o. Berat badan membaik - Kolaborasi pemberian cairan koloid (misal: albumin,
Plasmanate)
Kolaborasi pemberian produk darah
(D.0139) Integritas Kulit dan Jaringan (L.14125) Perawatan Integritas Kulit (1.11353)
Resiko gangguan Setelah dilakukan intervensi keperawatan, Observasi:
integritas kulit maka integritas kulit dan jaringan Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (misal: perubahan
dibuktikan perubahan meningkat, dengan kriteria hasil: sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan kelembaban, suhu
pigmentasi a. Elastisitas meningkat lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas)
b. Hidrasi meningkat Terapeutik:
c. Perfusi jaringan meningkat - Ubah posisi setiap 2 jam, jika tirah baring
d. Kerusakan jaringan menurun - Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika perlu
e. Kerusakan lapisan kulit menurun - Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama periode
f. Nyeri menurun diare
g. Perdarahan menurun - Gunakan produk berbahan petroleum atau minyak pada kulit
h. Hematoma menurun kering
i. Pigmentasi abnormal menurun - Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada
j. Jaringan parut menurun kulit sensitif
k. Nekrosis menurun - Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering
l. Abrasi kornea menurun Edukasi:
m. Suhu kulit membaik - Anjurkan menggunakan pelembap (misal: lotion, serum)
n. Sensasi membaik - Anjurkan minum air yang cukup
o. Tekstur membaik - Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
p. Pertumbuhan rambut membaik - Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
- Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
- Anjurkan menggunakan tabir surya dengan SPF minimal 30
saat berada di luar rumah
- Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya
(D.0149) Termoregulasi Neonatus (L.14135) Regulasi Temperatur (1.14578)
Termoregulasi tidak Setelah dilakukan intervensi keperawatan, Observasi:
efektif berhubungan maka termoregulasi neonatus membaik, - Monitor suhu tubuh bayi sampai stabil (36,5oC-37,5oC)
dengan suhu dengan kriteria hasil: - Monitor suhu tubuh anak tiap 2 jam, jika perlu
lingkungan ekstrem a. Menggigil menurun - Monitor tekanan darah, frekuensi pernapasan, dan nadi
dan efek agen b. Akrosianosis menurun - Monitor warna dan suhu kulit
farmakologis c. Piloereksi menurun - Monitor dan catat tanda dan gejala hipotermia atau hipertermia
dibuktikan dengan d. Konsumsi oksigen menurun Terapeutik:
kulit dingin/ hangat, e. Kutis memorata menurun - Pasang alat pemantau suhu kontinu, jika perlu
suhu tubuh fluktuatif, f. Dasar kuku sianotik menurun - Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat
frekuensi napas g. Suhu tubuh membaik - Bedong bayi segera setelah lahir untuk mencegah kehilangan
meningkat, takikardi, h. Suhu kulit membaik panas
dan kejang i. Frekuensi nadi membaik - Masukkan bayi BBLR ke dalam plastic segera setelah lahir
j. Kadar glukosa darah membaik (misal: berbahan polyethylene, polyurethane)
k. Pengisian kapiler membaik - Gunakan topi bayi untuk mencegah kehilangan panas pada bayi
l. Piloereksi membaik baru lahir
m. Ventilasi membaik - Tempatkan bayi baru lahir di bawah radiant warmer
- Pertahankan kelembaban inkubator 50% atau lebih untuk
mengurangi kehilangan panas karena proses evaporasi
- Atur suhu incubator sesuai kebutuhan
- Hangatkan terlebih dahulu bahan-bahan yang akan kontak
dengan bayi (misal: selimut, kain bedongan, stetoskop)
- Hindari meletakkan bayi di dekat jendela terbuka atau di area
aliran pendingin ruangan atau kipas angin
- Gunakan matras penghangat, selimut hangat, dan penghangat
ruangan untuk menaikkan suhu tubuh, jika perlu
- Gunakan kasur pendingin, water circulating blankets, ice pack
atau gel pad, dan intravascular cooling cathetedzation untuk
menurunkan suhu tubuh
- Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien
Edukasi:
- Jelaskan cara pencegahan heat exhaustion dan heat stroke
- Jelaskan cara pencegahan hipotermi karena terpapar udara
dingin
- Demonstrasikanlah teknik perawatan metode kanguru (PMK)
untuk bayi BBLR
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian antipiretik, jika perlu
I. Referensi
Atika, Vidia dan Pongki Jaya. 2016. Asuhan kebidanan pada Neonatus,
Bayi, Balita dan Anak Pra Sekolah. Jakarta: Trans Info Media.
Br Sembiring, J. (2017). Buku Ajar Neonatus, Bayi, Balita, Prasekolah
(Pertama). Sleman: CV Budi Utama.
Daniel L. Preud’Homme. Neonatal Jaundice. 2012.
https://gi.org/topics/neonatal-jaundice/
Dewi, Vivian Nanny Lia. 2013. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak
Balita.Jakarta: Salemba Medika.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/240/2019
Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana
Hiperbilirubinemia. 2019
Kevin C. Dysart. Neonatal Hyperbilirubinemia. 2018.
https://www.msdmanuals.com/professional/pediatrics/metabolic-
electrolyte-and-toxic-disorders-in-neonates/neonatal-hyperbilirubinemia
Mathindas, S., Wilar, R., & Wahani, A. (2013). Hiperbilirubinemia pada
Neonatus. Jurnal biomedik, 5(1).
Mitra, S and Rennie, J. Neonatal jaundice: aetiology, diagnosis and
treatment. British Journal of Hospital Medicine, December 2017, Vol 78,
No 12. 2017. https://sci-hub.se/10.12968/hmed.2017.78.12.699
Nurarif, A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta:
MediAction
Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016) Standar Dokumentasi Keperawatan
Indonesia Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2019) Standar Luaran Keperawatan
Indonesia Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018) Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai