Anda di halaman 1dari 173

STUDI TENTANG IDENTITAS MAHASISWA DI YOGYAKARTA

MELALUI CARA BERPAKAIAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Program Studi Psikologi

Oleh:
Eka Isabella
NIM: 049114060

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
STUDI TENTANG IDENTITAS MAHASISWA DI YOGYAKARTA
MELALUI CARA BERPAKAIAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Program Studi Psikologi

Oleh:
Eka Isabella
NIM: 049114060

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010

i
ii
iii
PEGANGAN DALAM MENYELESAIKAN SKRIPSI INI

 
      
 
   
      
     
      
  
   
           
 
                 
       
     
        
    
  
     


 
 


  
 
  

 

iv


 
   
 
   

     !  " # $% & 
   

       
  

v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta,15 Februari 2010

Penulis,

Eka Isabella

vi
Studi tentang Identitas Mahasiswa di Yogyakarta
Melalui Cara Berpakaian

Eka Isabella

ABSTRAK

Penelitian kualitatif deskriptif dengan paradigma representasi ini menggambarkan identitas diri dan
sosial mahasiswa Yogyakarta melalui cara berpakaian mereka. Penelitian ini mengungkap bagaimana
mahasiswa mengartikan pakaian dan apa sumber informasi yang membentuk pengetahuan mereka
mengenai pakaian. Data diperoleh dengan memanfaatkan Jurnal Aktivitas Harian, wawancara semi
terstruktur, dan observasi terhadap 28 orang mahasiswa yang menempuh kuliah di 10 universitas di
Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arti pakaian adalah kesopanan, kenyamanan, dan
keunikan. Mahasiswa mempertimbangkan kesopanan pada saat di ruang publik, rasa nyaman pada saat
di ruang pribadi, serta keunikan pada kedua ruang tersebut. Mereka mengakses informasi mengenai tren
pakaian melalui media tetapi menirukan gaya pakaian dari orang di sekitarnya.

Kata kunci: Representasi Sosial, Identitas, Pakaian, Mahasiswa

vii
A Study of Student Identity in Yogyakarta
from Their Cloth

Eka Isabella

ABSTRACT

This research aims to describe the self and social identity of Yogyakarta students by discovering the
meaning of clothes and the source of information about clothes for them. This research uses qualitative-
descriptive approach and social-representation paradigm. Data were collected by employing Daily
Activity Journal, semi-structured interview, and observation on twenty eight students of ten universities
in Yogyakarta. The result shows that the meaning of cloth for student is courtesy, comfort, and
uniqueness. Students consider dressing for courtesy in public space, for comfort in private space, and
for uniqueness in both private and public spaces. Furthermore, they get information of the fashion trend
from the media but imitate the fashion style of people around them.

Keywords: Social Representation, Identity, Clothes, University Student

viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Santa Dharma:

Nama : Eka Isabella

Nomor Mahasiswa : 049114060

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

STUDI TENTANG IDENTITAS MAHASISWA DI YOGYAKARTA


MELALUI CARA BERPAKAIAN

berserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolahnya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain
untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan
royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Yogyakarta, 15 Februari 2010


Yang menyatakan,

Eka Isabella

ix
KATA PENGANTAR

Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga peneliti dapat

menyelesaikan penelitian yang berjudul Studi tentang Identitas Mahasiswa di

Yogyakarta Melalui Cara Berpakaian.

Dalam menyelesaikan penelitian ini, peneliti banyak mendapat dukungan dari

berbagai pihak. Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kasih secara tulus kepada

orang-orang yang telah menginspirasi peneliti selama kuliah dan melakukan penelitian

ini :

1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dekan dan dosen pembimbing skripsi

yang telah dengan tulus merelakan energi, waktu, dan fasilitas secara total dalam

membimbing dan membagikan ilmu kepada peneliti.

2. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik

peneliti. Terima kasih atas bimbingan dan kepercayaan Ibu.

3. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. dan Romo Dr. A. Priyono Marwan,

S.J. selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu dan

memberikan masukan yang berharga untuk penelitian ini.

4. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi sebagai pendidik dan panutan

bagi peneliti.

5. Segenap karyawan Fakultas Psikologi: Mas Muji, Mas Gandung, Mbak Nanik,

Mas Doni, Pak Gi yang telah banyak membantu peneliti selama studi, Matur

Nuwun nggih atas pelayanannya.

x
6. Teman-teman yang telah bersedia dengan tulus menjadi responden penelitian.

7. Papa Tjok Fen Djiou/Moses Taufan, yang selalu mengajarkan peneliti untuk

bertanggungjawab atas pilihan hidup dan selalu menekankan identitas pada peneliti

sebagai anak bangsa ini. Dad, You are my hero.

8. Mama Tjen Fuk Tjhin/Ignata Noni, sumber energi hidupku, karya nyata kasih

Allah di dunia yang telah meletakkan sebuah hati dalam diriku. Semangat,

ketekunan, keterbukaan, dan keyakinan pada Allah yang dikobarkan pada peneliti

inilah yang selalu membuat peneliti bertahan hingga hari ini.

9. Kakak-kakak peneliti -Ce Yin, Ko Paulus, Kocem, Kocit, Ce Yun, Ce Nia, Ko

Agus- teladan hidupku yang selalu mengajarkan peneliti kerja keras, pilihan hidup,

dan ketulusan dalam mencintai. Being your little sister is a bless for me.

10. Sr. Francesco, CB, sosok pembimbing yang selalu mengajarkan kesetiaan dan

kedisiplinan dalam melayani.

11. Suster-suster FCJ, Rm. John, SJ, yang telah membimbing peneliti untuk

menemukan tujuan, azas dan dasar dari hidup ini.

12. Keluarga besar Magis 08 & 09 Jogja, saudara seperjuangan peneliti dalam

menemukan arti dari hidup. Perziarahan hidup kita masih panjang kawan.

AMDG!!!

13. Linda Santoso dan Martinus Budi Gunawan, saudara-saudara yang telah membuat

peneliti paham maksud dari unconditional positive regard.

xi
14. Emerita Setyowati dan Agung Priaji… teman-teman peneliti dalam menikmati

petualangan hidup. Let’s get our future!!!

15. Keluarga besar TAMAN CEMARA, -Urut dari yang paling kecil sampai yang

paling bohai- Loli kecil, Alma Merah Marun, Tiw-tiw Witiw, Arya, Lucky, Dik

Shinta, Widyawati Ari Oke serta teman-teman Empat Pejuang, Mba Nana, Wira,

Githa, dan Iin. Kawan. Akhir-akhir ini hidup kita emang jadi berbeda, tapi saya

bahagia karena hidup ini menjadi bersemangat bersama teman-teman. Ada lagi,

Oom Troy dan Mba Chigie… terima kasih karena telah memberi warna dalam

kehidupan keluarga TAMAN CEMARA.

16. Semua pihak yang tak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah membantu

peneliti.

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini

masih jauh dari sempurna. Peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun untuk kesempurnaan skripsi ini dari pembaca semua. Semoga skripsi ini

memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

xii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... iii
HALAMAN MOTTO .................................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................................. vii
ABSTRACT ............................................................................................................... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI............................................................... ix
KATA PENGANTAR .................................................................................................. x
DAFTAR ISI.............................................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xvii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xviii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
I.A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
I.B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 7
I.C. Tujuan Penelitian................................................................................................ 8
I.D. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 8
BAB II. TINJAUAN TEORI ...................................................................................... 10
II.A. Identitas dan Pakaian ...................................................................................... 10
II.A.1. Teori Identitas .................................................................................... 10
II.A.1.a. Landasan Teori Identitas ......................................................... 10
II.A.1.b. Pengertian Identitas ................................................................. 13
II.A.1.c. Pembentukan Identitas ............................................................. 15

xiii
II.A.2. Pengertian Pakaian dan Sejarah Perkembangannya di Indonesia ...... 17
II.A.3. Pakaian sebagai Ekspresi Identitas .................................................... 21
II.A.4. Definisi dan Pembetukan Identitas Mahasiswa ................................. 23
II.A.5. Representasi Sosial ............................................................................ 24
II.B. Konteks Penelitian .......................................................................................... 29
II.B.1. Yogyakarta sebagai Lokasi Penelitian ............................................... 29
II.B.2. Pakaian Mahasiswa di Yogyakarta .................................................... 33
II.B.3. Representasi Sosial Pakaian pada Mahasiswa di Yogyakarta ........... 37
II.C. Kerangka Penelitian ........................................................................................ 39
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................. 40
III.A. Jenis Penelitian .............................................................................................. 40
III.B. Subjek Penelitian ........................................................................................... 42
III.C. Batasan Istilah ................................................................................................ 44
III.D. Alat Pengumpulan Data................................................................................. 45
III.D.1. Penelitian Pendahuluan .................................................................... 45
III.D.2. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 46
III.D.3. Format Jurnal Aktivitas Harian ........................................................ 48
III.E. Analisis Data .................................................................................................. 48
III.F. Pertanggungjawaban Keabsahan Data ........................................................... 51
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................................... 52
IV.A. Pelaksaan Penelitian ...................................................................................... 52
IV.A.1. Tahap Survei Pra-Penelitian ............................................................. 52
IV.A.2. Tahap Penentuan Responden Penelitian .......................................... 53
IV.A.3. Tahap Pengambilan Data ................................................................. 54
IV.B. Hasil Penelitian.............................................................................................. 56
IV.B.1. Data Demografi Responden ............................................................. 56
IV.B.2. Analisa Data ..................................................................................... 58
IV.B.2.a. Arti Pakaian pada Mahasiswa ................................................ 58

xiv
IV.B.2.a.i. Arti pakaian pada mahasiswa berdasarkan hasil
wawancara........................................................................................... 58
IV.B.2.a.ii. Arti dan alasan mahasiswa mengenakan pakaian ... 59
IV.B.2.a.iii. Konteks mahasiswa mengenakan pakaian berdasarkan
ruang dan alasannya ............................................................................ 77
IV.B.2.b. Sumber informasi yang membentuk pengetahuan mahasiswa
mengenai berpakaian .......................................................................... 79
IV.B.2.c. Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam berpakaian ......... 81
IV.B.2.c.i. Arti dan alasan mahasiswa mengenakan pakaian .... 81
IV.B.2.c.ii. Konteks mengenakan pakaian ................................ 83
IV.B.2.c.iii. Jenis pakaian.......................................................... 84
IV.B.2.c.iv. Merk pakaian ......................................................... 85
IV.C. Skema Hasil Penelitian .................................................................................. 88
IV.C.1. Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaiannya... 88
IV.C.2. Penjelasan Skema Penelitian ............................................................ 89
IV.D. Pembahasan ................................................................................................... 94
IV.D.1. Identitas Orang Muda Berdasarkan Gaya Berpakaiannya ............... 94
IV.D.1.a. Kepantasan dan Kesopanan di Tempat Ibadah ..................... 95
IV.D.1.b. Kepantasan dan Kesopanan di Kampus ............................... 96
IV.D.1.c. Kepantasan dan Kesopanan di Tempat Kondangan ............. 97
IV.D.2. Identitas Diri Merupakan Suatu Kesatuan dengan Identitas Sosial 100
IV.D.3. Ekspresi Berpakaian Berdasarkan Jenis Kelamin .......................... 102
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 105
V.A. Kesimpulan ................................................................................................... 105
V.B. Saran ............................................................................................................ 107
V.C. Keterbatasan Penelitian ................................................................................ 107
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 108
LAMPIRAN .............................................................................................................. 113

xv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sejarah Perkembangan Pakaian di Indonesia ............................................... 13


Tabel 2. Contoh Salah Satu Halaman Jurnal Aktivitas Harian ................................... 48
Tabel 3. Identitas Responden Penelitian ..................................................................... 56
Tabel 4. Arti Pakaian pada Mahasiswa Berdasarkan Hasil Wawancara .................... 58
Tabel 5. Arti dan Alasan Mengenakan Pakaian dari Data Jurnal Aktivitas Harian .... 59
Tabel 6. Arti Pakaian Berdasarkan Hasil Wawancara ................................................ 60
Tabel 7. Arti Nyaman Berdasarkan Hasil Wawancara ............................................... 62
Tabel 8. Arti Norma Berdasarkan Hasil Wawancara.................................................. 65
Tabel 9. Arti Mengekspresikan Diri Berdasarkan Hasil Wawancara ......................... 67
Tabel 10. Tempat yang Penting bagi Mahasiswa dalam Mengenakan Pakaian ......... 69
Tabel 11. Alasan Berpakaian Berdasarkan Ruang dan Waktu ................................... 73
Tabel 12. Jenis Pakaian dan Artinya ........................................................................... 75
Tabel 13. Arti Pakaian Berdasarkan Jenis Pakaian ..................................................... 76
Tabel 14. Sumber Informasi Mahasiswa Mengenai Cara Berpakaian ........................ 79
Tabel 15. Orang yang Dibayangkan ........................................................................... 79
Tabel 16. Arti Pakaian pada Mahasiswa Berdasarkan Hasil Wawancara .................. 81
Tabel 17. Arti Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin dari Data Jurnal Aktivitas
Harian ......................................................................................................... 82
Tabel 18. Ruang dan Makna Mengenakan Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin ....... 83
Tabel 19. Jenis Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin .................................................. 84
Tabel 20. Merek Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin................................................ 85
Tabel 21. Perbandingan antara Perempuan dan Laki-laki dalam Berpakaian ............ 86

xvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Penelitian .................................................................................. 39


Gambar 2. Konteks Mahasiswa Mengenakan Pakaian
Berdasarkan Jurnal Aktivitas Harian ........................................................ 78
Gambar 3. Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaian ................. 88

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ringkasan Proses Pengambilan Data ................................................... 115


Lampiran 2. Ringkasan Aktivitas dan Barang yang Mengekspresikan Responden . 118
Lampiran 3. Respon Alasan Berpakaian dari Data Jurnal Aktivitas Harian............. 121
Lampiran 4. Tempat yang Penting dalam Mengenakan Pakaian .............................. 126
Lampiran 5. Alasan Berpakaian Berdasarkan Ruang dan Waktu ............................. 129
Lampiran 6. Jenis Pakaian Atasan dan Alasan Mengenakannya .............................. 134
Lampiran 7. Jenis Pakaian Bawahan dan Alasan Mengenakannya .......................... 140
Lampiran 8. Sumber Informasi Mengenai Pakaian .................................................. 144
Lampiran 9. Orang yang Dibayangkan Memiliki Gaya Pakaian yang Sama ........... 145
Lampiran 10. Merk Pakaian yang Dikenakan Responden ........................................ 156


xviii


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini identitas orang muda sebagai orang Timur semakin meluntur

karena meniru gaya hidup yang ditawarkan oleh media (Rakhmat, 2005). Giddens

(1991) mengartikan gaya hidup sebagai praktek rutinitas yang dapat terekspresi

dalam kebiasaan berpakaian, makan, cara bertindak dan pergaulan yang disenangi

untuk mengalami perjumpaan dengan orang lain. Dalam gaya hidup, penampilan

luar adalah segalanya (Ibrahim, 2007). Lebih lanjut Ibrahim mengatakan bahwa

penampilan lebih penting daripada hal-hal substansial, seperti nilai-nilai atau

norma yang ada di masyarakat. Oleh karena itu pakaian menjadi aspek penting

dalam gaya hidup. Tren mode pakaian yang ditawarkan media sering dipandang

kurang pantas untuk budaya Timur. Celana hipster yang memperlihatkan celana

dalam, baju you can see yang memperlihatkan kulit lengan, serta rok atau celana

pendek yang memperlihatkan paha, dll. Hal ini seringkali meresahkan masyarakat

karena dipandang melenceng dari nilai-nilai lokal budaya Timur.

Penyebarluasan gaya hidup, khususnya dalam berpakaian, pada masyarakat

tidak lepas dari peran media massa seperti televisi, koran, iklan, film, dan majalah

(Chaney 2004; Ibrahim, 2007). Media menjadi penentu kecenderungan tren,

mode, dan pembentuk kesadaran orang saat ini (Ibrahim, 2005). Iklan

menampilkan perkembangan mode pakaian yang mempengaruhi struktur kognitif

dan afektif masyarakat dalam berpakaiannya (Ibrahim, 2005). Tawaran dalam

iklan secara halus tapi pasti mempengaruhi pilihan cita rasa masyarakat, dan





bahkan dianggap sebagai pembentuk kesadaran manusia modern (Ibrahim, 2005).

Media massa memegang peranan yang besar dalam mentransfer informasi, pesan-

pesan, sistem nilai, norma-norma sosial, budaya, pemikiran dan sebagainya secara

cepat ke dalam ruangan dan pikiran masyarakat Indonesia saat ini. Dalam buku

Lubang Hitam Kebudayaan, Budiman (2002) mengemukakan bahwa muatan

nilai-nilai, norma, pola kultural, moral dan etika yang ditransferkan dalam

komunikasi melalui media massa bukanlah berasal dari budaya lokal Indonesia,

melainkan budaya global, budaya masyarakat lain dari seluruh dunia.

Hasil laporan mengenai Preferensi Televisi Lokal dan Impor yang dikutip

Budiman dari naskah presentasi M.S. Ralie Siregar, pada tahun 1994,

mengungkapkan bahwa 42% masyarakat Indonesia lebih memilih program

televisi impor. Hasil ini lebih tinggi daripada preferensi program televisi lokal

yang besarnya hanya 37%. Lebih lanjut, Budiman mengatakan bahwa sebagian

besar acara televisi yang diberi label ’produksi lokal’ merupakan tiruan atau duplikasi

acara-acara televisi di luar negeri seperti sinetron, telequis, atau sajian musik-musik.

Pengertian lokal dalam konteks ini didasarkan pada tempat, pelaku, penyandang dana

produksi, dan para pemeran karakternya, tapi bukan sama sekali muatan ’ideologi’

materi siaran tersebut. Budiman (2002) mengatakan bahwa notabene semangat

global tersebut didominasi oleh semangat Barat. Hal ini juga dikemukan oleh

Ibrahim (2005) bahwa realitas yang ditayangkan oleh media merupakan realitas

yang mengarah pada budaya Barat. Oleh karena itu, nilai-nilai Barat yang

dikomunikasikan oleh media ini dipandang dapat menghancurkan nilai-nilai

tradisional karena memasukkan nilai-nilai modern (Ibrahim, 2005). Nilai-nilai




yang ditanamkan media dipandang menjadi penyebab merosotnya martabat

masyarakat dan merusak nilai-nilai budaya yang tinggi (Budiman, 2002).

Fenomena gaya hidup dengan mengutamakan penampilan luar dan budaya

material seperti yang ditawarkan oleh media, daripada aturan atau norma-norma

yang ada dalam masyarakat juga tidak lepas dari kehidupan mahasiswa di

Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian berikut ini:

pertama, hasil penelitian Liestyasari (2005), seorang peneliti antropologi, tentang

Kaum Muda dan Konsumsi Identitas pada 8 orang muda di Yogyakarta yang

berumur 19-22 tahun, berstatus mahasiswa dan karyawan menemukan bahwa

identitas diri merupakan hal yang penting bagi orang muda di Yogyakarta. Salah

satu cara mereka menampilkan identitasnya sebagai orang muda adalah dengan

melakukan praktek konsumsi gaya hidup. Penampilan dan citra diri juga menjadi

sangat penting bagi orang muda di Yogyakarta. Citra diri menjadi penting bagi

orang muda agar diterima oleh orang lain. Bagi mereka, penampilan dan citra diri

secara implisit mengandung arti sebagai usaha pencapaian identitas diri yang

kemudian diwujudkan melalui konsumsi pakaian, kosmetika, sampai perawatan

tubuh. Hasil penelitian ini mengatakan bahwa mereka mengadopsi atau meniru

gaya hidup, dandanan, dan pakaian artis muda yang ada di televisi maupun iklan

dalam membetuk identitas diri mereka.

Kedua, hasil penelitian Redatin Parwadi pada tahun 2001 dalam karya

disertasinya di bidang sosiologi UGM, dengan sampel sejumlah 750 orang yang

berpendidikan minimal SD, berumur 15-30 tahun dan tinggal di Yogyakarta

minimal dua tahun memperlihatkan adanya relasi positif antara jenis tontonan


televisi dengan penyimpangan nilai dan perilaku seseorang. Salah satu kesimpulan

dari hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa selera dan gaya hidup masyarakat

semakin dipengaruhi oleh tontotan televisi terutama iklan. Barang-barang

kebutuhan sehari-hari yang dulu cukup dibeli di peken (sebutan untuk pasar

tradisional), kini demi mode, tren, harus dicari di supermal, swalayan atau

minimal supermarket. Jumlah waktu yang dihabiskan masyarakat Yogyakarta

untuk menonton acara televisi tergolong tinggi yakni sehari rata-rata 3,5 jam

(Perilaku Dipengaruhi Keseringan Nonton Televisi, 2002).

Ketiga, hasil penelitian Handayani (2005) yang mengungkap tentang

Gambaran Identitas Diri dalam Budaya Konsumsi terhadap 625 mahasiswi di

Yogyakarta memperlihatkan bahwa 49,3% orang muda di Yogyakarta memiliki

pola peralihan, 32,5% memiliki pola emansipatif, dan 18,3% memiliki pola

konsumtif. Adapun yang dimaksud dengan pola peralihan di sini adalah

responden dalam kebingungan menentukan pilihan akan mengikuti tren (budaya

material) atau norma-norma dalam budaya masyarakat. Sementara pola yang

konsumtif adalah ketika responden semata-mata mengikuti tren tanpa

memperhatikan norma dan aturan yang berlaku di masyarakat Yogyakarta. Pola

emansipatif adalah responden mengikuti tren, tapi juga berusaha menyesuaikan

dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Studi ini menegaskan tentang

bagaimana budaya material itu semakin kuat di kalangan anak muda di

Yogyakarta karena sama sekali tidak ditemukan pola konservatif, yaitu pola yang

sama sekali menyangkal perubahan tren dalam penampilan.




Ketiga hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa anak muda di

Yogyakarta mengikuti tawaran yang ada di media dalam membentuk identitas

mereka. Mahasiswa merupakan bagian dari orang muda, oleh karena itu mereka

juga mengikuti tawaran yang ada di media dalam membentuk identitas mereka.

Mereka mengikuti gaya hidup yang mementingkan penampilan luar daripada

nilai-nilai atau norma-norma yang ada di dalam masyarakat Timur. Konsumsi

pakaian yang mereka lakukan dalam rangka mengekspresikan identitasnya,

didasarkan pada tren yang ditawarkan media. Hal ini mengkhawatirkan

masyarakat di Yogyakarta karena mahasiswa dipandang semakin meninggalkan

budaya Timur dengan mengikuti budaya yang ditawarkan di media.

Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya yang memiliki ikatan tradisi yang

masih sangat kuat (Subanar, 2007). Di mana masyarakat masih sangat berpegang

teguh pada nilai-nilai dan norma-norma kehidupan Jawa, sehingga terkadang

terkesan mengabaikan perubahan-perubahan yang ditawarkan oleh media.

Sementara itu, Yogyakarta juga merupakan kota pelajar yang didominiasi oleh

kelompok usia dewasa muda yaitu berumur 20-29 tahun sebesar 20,2% (BPS,

Provinsi DIY, 2008). Keberadaan mahasiswa di Yogyakarta yang datang dari

berbagai daerah di Indonesia dipandang sebagai penanggap perubahan-perubahan

perkembangan zaman yang ditawarkan melalui media (Subanar, 2007). Keadaan

mahasiswa yang mengadopsi gaya hidup baru dalam rangka menanggapi

perubahan yang ditawarkan oleh media ini menyebabkan kekuatiran sejumlah

warga di Yogyakarta. Hal tergambar dari penuturan seorang mahasiswi yang

kos di tengah permukiman masyarakat, salah satu desa di Yogyakarta. Mahasiswi




tersebut ditegur oleh tetangga, seorang bapak berusia 40-an tahun, ketika

mengenakan kemeja yang letak kancingnya agak rendah bagian sehingga sehingga

bagian lehernya terbuka agak lebar.

“Mbak itu nggak ada benik-nya ya? Mbok dikasih kancing tambahan.
Nanti malah bikin laki-laki penasaran. Kalau laki-laki tu lebih suka ngeliat
yang pakaiannya tertutup”

Contoh di atas ini menunjukkan bahwa ada kekuatiran dalam masyarakat

bahwa mahasiswa meninggalkan nilai dan norma yang ada. Gaya berpakaian

yang mini dan memperlihatkan bagian tubuh tertentu seperti perut, bahu, belahan

dada, celana dalam, pusat, dan belahan di bokong bukanlah hal yang lazim dan

dapat diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat melakukan kontrol

terhadap perilaku mahasiswa, khususnya dalam konteks mahasiswa dipandang

berpakaian tidak sesuai dengan norma dan nilai masyarakat. Kekuatiran

masyarakat terhadap gaya berpakaian mahasiswa di Yogyakarta ini memang

beralasan. Oleh karena itu, sebuah kajian tentang identitas mahasiswa di

Yogyakarta penting untuk dilakukan.

Penelitian ini hendak memberi kontribusi untuk permasalahan di atas dengan

mengkaji bagaimana identitas mahasiswa dilihat dari cara berpakaian mereka

menurut perspektif mahasiswa itu sendiri. Sebuah kajian tentang identitas

mahasiswa dari sudut pandang mahasiswa ini penting dilakukan untuk

mendapatkan pemahaman yang lebih kontekstual mengenai mahasiswa. Konsep

identitas dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai identitas diri dan identitas

sosial. Identitas diri merupakan kesadaran diri individu bahwa dirinya berbeda

dari orang lain (Hogg & Abrams, 2001; Worchel, Morales, Paez & Deschamps,


1998). Sementara identitas sosial adalah kesadaran individu bahwa dirinya

merupakan anggota dari suatu kelompok tertentu, yang meliputi kesadaran akan

perasaan-perasaan dan nilai-nilai yang penting bagi dirinya sebagai anggota dari

kelompok tersebut (Hogg & Abram, 2001). Paradigma representasi sosial

dipandang tepat untuk kerangka teoretis dalam penelitian karena penelitian

representasi sosial meletakkan mahasiswa dalam ruang sosialnya sehingga

memungkinkan peneliti mengungkapkan identitas mahasiswa sesuai dengan

norma dan nilai masyarakat di mana mahasiswa tersebut berada.

Penelitian ini penting dilakukan karena hasil penelitian ini diharapkan dapat

menghasilkan pemahaman yang lebih tepat dan kontekstual tentang identitas

mahasiswa. Dengan demikian masyarakat dapat memberikan pendekatan yang

lebih tepat dalam memberi penilaian dan mendampingi orang muda pada

umumnya, khususnya mahasiswa.

B. Rumusan Masalah

Rumusan permasalahan penelitian ini adalah bagaimana identitas mahasiswa

di Yogyakarta melalui cara berpakainnya. Permasalahan penelitian ini akan

dijawab melalui pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

1. Bagaimana mahasiswa mengartikan pakaian dalam rangka membentuk

identitasnya?

2. Apa saja sumber-sumber informasi yang membentuk pengetahuan

mahasiswa mengenai berpakaian?




Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian kualitatif ini adalah mengungkap identitas mahasiswa di

Yogyakarta melalui cara berpakaiannya dengan menjawab pertanyaan bagaimana

mahasiswa mengartikan pakaian dalam rangka membentuk identitasnya serta apa

sumber informasi yang membentuk pengetahuan mahasiswa mengenai

berpakaian.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini memberi wacana tambahan bagi ilmu-ilmu sosial secara umum,

dan ilmu psikologi secara khusus, terutama Psikologi Sosial, Psikologi

Budaya, dan Psikologi Pekembangan

a. Bagi Psikologi Sosial dan Budaya

Hasil penelitian ini memberikan informasi mengenai gaya hidup

mahasiswa saat ini dari cara berpakaiannya

b. Bagi Psikologi Perkembangan

Hasil penelitian ini memberikan masukan pengetahuan mengenai

gambaran identitas orang muda atau mahasiswa dari cara berpakaiannya

sesuai dengan tugas perkembangannya.





2. Manfaat Praktis

a. Bagi Masyarakat pada Umumnya

Penelitian ini memberikan pemahaman yang kontekstual dan proposional

mengenai identitas orang muda, khususnya mahasiswa dari gaya

berpakaiannya sehingga masyarakat dapat memberikan pendampingan

yang tepat bagi mereka.

b. Bagi Psikologi Industri

Hasil penelitian ini memberikan masukan bagi manager SDM tentang

gambaran identitas orang muda melalui cara berpakaiannya sehingga dapat

merancang kondisi atau situasi kerja yang sesuai untuk meningkatkan

produktifitas kerja karyawan, khususnya orang muda.


BAB II

TINJAUAN TEORI

Berikut ini merupakan landasan teori yang mendasari penelitian ‘Studi

tentang Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaian’. Dalam

landasan teori ini akan dibahas mengenai teori identitas yang lihat dari hasil

konstruksi sosial, definisi pakaian dan sejarah perkembangannya di Indonesia,

mahasiswa dan tugas perkembangannya, teori representasi sosial, serta konteks

mahasiswa di Yogyakarta dalam mengenakan pakaian.

A. Identitas dan Pakaian

A.1. Teori Identitas

A.1.a. Landasan Teori Identitas

Dalam penelitian ini, teori identitas yang digunakan berakar pada teori self

William James. James (1890) memisahkan self menjadi dua aspek, yaitu I dan

Me. I menunjukkan aspek self yang secara aktif memahami, berpikir, atau

melihat. I merupakan kesadaran individu bahwa dirinya sedang berpikir atau

memahami dari suatu proses fisik atau psikis itu sendiri. Konsep I ini banyak

digunakan oleh filsuf, sedangkan para ahli psikologi lebih banyak memberikan

perhatian dari pemahaman sifat dasar dari Me. Istilah Me menunjukkan aspek self

sebagai obyek. Me menunjukkan segala macam cara orang berpikir tentang

dirinya sendiri, ide-ide orang tentang siapa diri mereka dan seperti apa mereka

(Brown, 1998). William James (1890) menggunakan istilah the empirical self

untuk menunjukkan segala macam cara orang berpikir tentang dirinya sendiri.






Adapun the empirical self ini memiliki tiga komponen, yaitu (1) material self, (2)

social self, (3) spiritual self.

(1) Material Self

Material self berkaitan dengan obyek, orang, dan tempat yang menandakan

kepemilikan (my atau mine) (James, 1890). Hubungan antara kepemilikan dengan

self adalah orang selalu secara spontan menyebut kepemilikannya ketika diminta

menggambarkan diri mereka. Hal ini dikarenakan: a) kepemilikan memberikan

fungsi simbolik, orang cenderung mendefinisikan dirinya dengan barang; b)

kepemilikan memperluas diri, sebagian orang mewariskan barang-barang yang

dimilikinya kepada orang lain ketika ia meninggal. Bentuk material self yang

paling nyata adalah tubuh (tanganku, kakiku, dll.). Namun, material self tidak

hanya dibatasi pada tubuh, tetapi meluas pada barang-barang (pakaian), orang

(keluarga), tempat (rumah), dan segala sesuatu yang secara psikologis menjadi

bagian dari siapa diri kita (Brown, 1998). Dengan demikian, material self ini

dapat menggambarkan identitas diri (misalnya tubuh menggambarkan diri

seseorang) dan identitas sosial (misalnya keluarga menggambarkan hubungan

personal dengan orang lain) seseorang. Namun diantara semua jenis kepemilikan

yang ada, barang yang paling nyata menggambarkan perpanjangan dari tubuh

adalah pakaian (Green, 1999). Oleh karena itu, individu selalu menyesuaikan

pakaiannya untuk mengidentifisikasikan siapa dirinya kepada orang lain (Green,

1999).




(2) Social Self

Social self menunjukkan bagaimana individu dianggap dan dikenal oleh lain

(James, 1890). Pada dasarnya, social self mencakup berbagai posisi sosial yang

individu emban dan peran sosial yang ia mainkan. Brown (1998) menyebutkan

istilah social self ini sebagai identitas sosial. Setiap orang memiliki berbagai

macam identitas sosial. Deaux, Reid, Mizrahi, dan Ethier (dalam Brown, 1998)

membedakan lima tipe identitas sosial, yaitu hubungan personal (seperti suami,

istri); etnik/religi (orang Afrika-Amerika, muslim dll); afiliasi politis (demokrat,

republik), stigmatisasi kelompok (kriminal, alkoholik); dan pekerjaan (artis,

professor dll). Beberapa identitas tersebut merupakan identitas yang terberi

(misalnya lahir sebagai laki-laki dll) dan beberapa identitas diperoleh (misalnya

profesor, mahasiswa dll).

Masing-masing identitas tersebut akan disertai dengan serangkaian harapan

dan perilaku spesifik. Oleh karena itu, James menekankan bahwa dalam hal ini

bagaimana Individu berpikir tentang dirinya tergantung pada peran sosial yang

kita mainkan. Individu akan memperlihatkan self yang berbeda ketika dalam

situasi sosial yang berbeda.

(3) Spiritual Self

Spritual self merupakan inner self. Kategori ini mencakup semua yang

menjadi kepemilikan (my atau mine) tetapi bukan dalam bentuk obyek nyata

ataupun peran sosial tetapi lebih menyangkut kemampuan, sikap, emosi, minat,

motif, pendapat, sifat, dan kehendak (James, 1890). Istilah spiritual self ini

mengacu pada identitas personal seseorang (Brown, 1998).




Konsep empirical self William James ini yang kemudian melandasi konsep

identitas yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh psikologi lainya. Spiritual Self

dikembangkan menjadi identitas diri, dan social self dikembangkan menjadi

identitas sosial. Sementara material self menjelaskan identitas diri dan sosial

seseorang. Teori William James ini membahas mengenai identitas diri sekaligus

identitas sosial. Hal ini mengindikasikan bahwa William James meletakkan

individu dalam konteks sosialnya dalam mengemukakan teori identitasnya. Oleh

karena itu teori ini cocok digunakan sebagai landasan dalam penelitian

representasi sosial. Hal ini dikarenakan paradigma representasi sosial meletakkan

individu dalam konteks sosialnya, karena paradigma ini memandang bahwa

keadaan psikologis individu merupakan hasil konstruksi dari masyarakat, apa

yang kita representasikan tersebut menentukan bagaimana cara kita bereaksi

(Walmsley, 2004). Berikut ini akan dijelaskan pengertian tentang identitas.

A.1.b. Pengertian Identitas

Worchel, dkk (1998) mengatakan bahwa sejauh ini tidak ada definisi yang

jelas mengenai identitas diri. Akan tetapi secara umum, identitas diri diartikan

sebagai kesadaran individu bahwa dirinya berbeda dengan orang lain dalam

lingkungan sosialnya (Hogg & Abrams, 2001; Worchel, dkk., 1998). Kesadaran

ini hanya dapat dirasakan dalam relasi dengan orang lain, di mana individu

mempersepsikan dirinya identik dengan dirinya, dan berbeda dengan orang lain

(Worchel, dkk., 1998). Identitas pribadi menyangkut kemampuan, sikap, emosi,

minat, motif, pendapat, sifat, dan kehendak (Brown, 1998).




Identitas sosial adalah kesadaran individu memiliki perasaan sama dengan

anggota kelompok lainnya (kita) (Hogg & Abrams, 2001; Worchel, dkk., 1998).

Namun, identitas sosial juga mengacu pada suatu perbedaan, perbedaan

kelompok kita dengan kelompok lainnya (mereka) (Worchel, dkk., 1998).

Identitas sosial mencakup berbagai posisi sosial yang individu emban dan peran

sosial yang ia mainkan (Brown, 1998). Setiap peran sosial tersebut memiliki

harapan perilaku spesifik, sehingga individu memperlihatkan diri yang berbeda

pada situasi sosial yang berbeda. Individu menyadari perasaan-perasaan dan nilai-

nilai yang penting bagi dirinya sebagai anggota dari kelompok tersebut (Abrams

& Hogg, 1990). Identitas sosial bersifat inklusif karena individu melepaskan

kediriannya (I) dan mengkategorikan dirinya dalam suatu unit sosial (we/kita)

(Hogg & Abrams, 2001). 

Intinya adalah identitas sosial mengacu pada perasaan sama terhadap orang

lain, sedangkan identitas personal mengacu pada perasaan berbeda dalam relasi

dengan orang yang sama (Worchel, dkk., 1998). Identitas diri dalam penelitian ini

didefinisikan sebagai kesadaran diri individu bahwa dirinya unik yang memiliki

kemampuan, sikap, emosi, minat, motif, pendapat, sifat, & kehendaknya berbeda

dengan orang lain (Hogg & Abrams, 2001; James, 1890; Worchell, dkk., 1998).

Sementara itu, identitas sosial didefinisikan sebagai kesadaran diri individu

bahwa dirinya tergabung dalam kelompok sosial tertentu, sehingga cara berpikir

tergantung pada peran sosial yang sedang dilakukannya (Hogg & Abrams, 2001;

James, 1890; Worchell, dkk., 1998)




A.1.c. Pembentukan Identitas

Konsep identitas yang digunakan adalah identitas diri dan identitas sosial

yang merupakan hasil konstruksi dari masyarakat. Identitas terbentuk dari

konstruksi di dalam, bukan di luar diskursus (Hall & du Gay, 1996). Hal ini

berarti bahwa pendekatan konstruksi sosial melihat bahwa identitas merupakan

hasil konstruksi melalui interaksi individu dengan lingkungan sosial, dan bukan

merupakan suatu hal yang terberi (Berger & Luckman, 1967; Burr, 2002).

Identitas bukan merupakan sesuatu yang stabil, melainkan dinamis dan terus

berkembang hingga sepanjang hidup individu (Brym & Lie, 2007; Kashima,

Foddy, & Platow, 2002). Setiap kali individu mengkristalisasi identitasnya, ia

akan mempertahankannya dalam waktu tertentu, kemudian memodifikasinya, dan

bahkan membentuk kembali melalui interaksi sosial (Berger & Luckman, 1967).

Pada pendekatan ini, diri individu dipandang bukan sebagai suatu kesatuan yang

pasif ditentukan oleh pengaruh luar dalam membentuk identitasnya (Giddens,

2003), melainkan secara aktif membentuk identitasnya melalui diskursus sosial.

Burr (2003) menjelaskan bahwa identitas terkonstruksi melalui diskursus apa

yang tersedia dalam budaya dan tergambarkan melalui komunikasi dengan orang

lain. Burr menganologikan pembentukan identitas diri seperti menenun kain.

Identitas diri seseorang diperoleh melalui jalinan berbagai macam benang.

Benang-benang tersebut dapat berupa umur, kelas sosial mencakup tingkat

pendidikan dan pendapatan, etnik, jenis kelamin, agama, dsb. Benang-benang ini

dan benang lainnya akan ditenun secara bersamaan kemudian menghasilkan kain

yang dinamakan dengan identitas seseorang. Dengan demikian, identitas bukan


 

berasal dari diri seseorang, melainkan hasil dari dialektika antara individu dengan

dunia sosialnya yang terdiri dari bahasa dan simbol-simbol yang kasat mata

(Burr, 2003).

Pembentukan identitas melalui proses identifikasi dimana individu

memasukkan dan menggabungkan atribut orang lain, dan mentransformasikan ke

dalam dirinya secara tidak sadar (Woodward, 2002). Pada hal ini, identitas dapat

saja dibentuk oleh institusi yang dominan, akan tetapi bila individu tidak

menginternalisasi pengalamannya dan memaknai hal yang diinternalisasikan,

maka identitas tidak akan terbentuk (Castells, 2000). Oleh karena itu, dalam

penelitian ini konsep identitas bukan merupakan hasil persepsi individu terhadap

dunia kenyataan semata, melainkan sebagai hasil kerja sistem internalisasi yang

mengutamakan interaksi antara diri individu dan lingkungan sosialnya.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka cara berpakaiannya individu juga

merupakan hasil dialektika individu dengan lingkungan sosialnya. Bagaimana

individu membangun identitas dari cara berpakaian selalu berubah dan

berkembang mengikut perkembangan budaya, media, perjumpaan dengan orang

lain, dan praktek pengalaman berpakaian sehari-hari. Bagaimana individu

mengenakan dan memaknai pakaian tergantung bagaimana individu menyadari

dirinya sebagai individu yang berbeda dengan orang lain, dan sekaligus individu

yang sama dengan kolompok sosial di mana ia tergabung. Dengan demikian,

pakaian merupakan representasi identitas individu dan lingkungan sosialnya.





A.2. Pengertian Pakaian dan Sejarah Perkembangannya di Indonesia

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2001), pakaian diartikan

sebagai barang apa yang dipakai seperti baju, celana, dan sebagainya (KBBI,

2001). Pada semua budaya, pakaian tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh,

melainkan merupakan kode-kode yang memiliki makna. Berdasarkan hasil studi

literaturnya terhadap pakaian di Indonesia, van Dijk (2005) mengatakan bahwa

pakaian adalah suatu penanda yang paling jelas diantara sekian banyak penanda

penampilan luar, dengan apa orang membedakan diri mereka dari orang lain, dan

pada gilirannya diidentifikasi sebagai sebuah kelompok tertentu. Pakaian

mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan

sosial, politik, dan religius. Di Indonesia, sejarah mencatat bahwa pakaian

menggambarkan perubahan sosial dan politik dalam bangsa ini.

Awalnya, orang Indonesia tidak menggunakan pakaian sebagai penutup

tubuh, tapi lebih pada simbol penghormatan. Pakaian mulai digunakan sebagai

alat penutup tubuh karena pengaruh dari kebudayaan Islam dan Eropa (Lombard,

1996; Nordholt, 2005). Perkembangan pakaian di Indonesia tidak lepas dari peran

penguasa. Pakaian menjadi sarana untuk mendiskriminasi dan mengontrol

masyarakat bagi penguasa. Van Dijk (2005) mencatat bahwa Belanda melarang

orang pribumi mengenakan pakaian orang ala Barat, dan rakyat jelata dilarang

menggunakan pakaian golongan ningrat. Hal ini bertujuan untuk membedakan

antara kulit putih dan pribumi serta antara pribumi satu dengan pribumi yang

lainnya. Setiap suku wajib mengenakan pakaian sukunya masing-masing dan


 

tinggal di daerah tertentu. Pakaian menjadi penanda latar belakang kedaerahan

seseorang dan status seseorang dalam masyarakatnya. Dengan demikian, akan

lebih mudah mengontrol masing-masing suku dan meminimalisir terjadi

pengintegrasian.

Peran negara juga tidak lepas dalam mengatur berpakaian orang muda. Taylor

(2005) mencatat bahwa pada awal kemerdekaan, pakaian Barat atau “modern”

menjadi pakaian umum bagi pria elit politik nasional di Indonesia. Sementara

Soekarno menetapkan sarung dan kebaya sebagai pakaian tradisional dan

nasional perempuan. Hal ini menggambarkan laki-laki bergerak pada kemajuan

dan modernitas, sedangkan perempuan dengan mengenakan pakaian tradisional

menyimbolkan sifat otentik, sejalan bagi kebudayaan mereka sendiri, pasif dan

subordinat (Lombard, 1996; Nordholt, 2005). Pada era orde baru, era

pembangunan, Soeharto menetapkan pakaian wajib laki-laki adalah celana

panjang, kemeja tanpa dasi, jas, dan peci. Sementara pakaian wajib perempuan

adalah kain dan kebaya. Pada era ini, kebaya adalah simbol keibuan dan

nasionalisme Indonesia meskipun kain panjang batik berwiru menyulitkan cara

berjalan. Sementara di pedesaan, kain panjang mencitrakan perempuan desa

tradisional yang beranjak tua. Hal ini menggambarkan adanya pembedaan

perlakuan oleh penguasa pada perempuan dan laki-laki dan berpakaian. Pada era

yang sama, Danandjaja (2005) mencatat bahwa pakaian digunakan sebagai

pengontrol masyarakat. Pemerintah menentukan pakaian wajib yang harus

dikenakan pegawai negeri dan siswa sekolah. Batik dan safari untuk pegawai dan

seragam untuk pada siswa. Warna dan bentuk seragam menandakan status dan


 

senioritas pemakai. Sandal, yang pada era Soekarno sangat popular di kalangan

dosen dan guru-guru, dilarang untuk digunakan karena diidentikkan dengan

pengikut ‘PKI’.

Pada tahun 2008, UU Pornografi disahkan (Akhirnya RUU Pornografi

Disahkan, 2008). RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral

serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan

bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. UU ini

dipandang mengancam keberagaman dan keunikan suku di Indonesia serta

mendeskriditkan perempuan (UU Pornografi Perlu Uji Materi, 2008). Isi UU ini

menunjukkan bahwa kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum

perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat-rapat seluruh

tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Pemahaman ini menempatkan

perempuan sebagai pihak yang bersalah dengan demikian perlu ditetapkan UU

untuk mengatur cara berpakaian, khususnya pada perempuan.

Pada era ini juga, presiden menetapkan bahwa batik menjadi ikon nasional

(Mada, Susilo, & Pandia, 2008). Hal ini mengakibatkan evolusi pada batik yang

awalnya mencerminkan orang tua, menjadi tren bagi semua usia dan menandakan

adanya pergeseran dari tradisi menjadi mode. Pada tahun 2009 ini, pakaian

menjadi simbol perlawanan terhadap arus. Para kreator muda menciptakan model

pakaian mereka sendiri-sendiri tanpa mengikuti tren yang ada, dan akibatnya

mode pakaian berubah setiap bulan sehingga tahun ini menjadi tahun tanpa tren

(Kustiasih, 2009). Hal ini mengakibatkan siklus perkembangan model pakaian

berubah dengan cepat.




Pakaian di Indonesia telah mengalami proses yang panjang. Berikut ini

merupakan tabel ringkasan sejarah perkembangan pakaian di Indonesia:

Tabel 1
Sejarah Perkembangan Pakaian di Indonesia
Periode Perkembangan Pakaian Makna
Pra Kolonialisasi Pria bertelanjang dada Simbol penghormatan dan
Perempuan bahunya terbuka kepatuhan
Kolonialisasi Belanda melarang orang Indonesia Simbol dari kontrol,
mengenakan pakaian Barat diskriminasi, dan hierarki

Awal Kemerdekaan • Pria mengenakan pakaian Barat • Simbol modernitas dan


Soekarno • Wanita mengenakan pakaian kekuasaan
tradisional (Kebaya) • Simbol autentisitas dan
kesesuasaian dengan
budaya

1945-1949 • Pemuda terpelajar mengenakan • Simbol kekuasaan,


(Revolusi Fisik) pakaian militer potensi, hierarki, dan
• Para gerilyawan menirukan gaya strata sosial
pakaian rakyat dengan • Tujuannya supaya
mengenakan kaos atau kemeja diterima
longgar dan menggulungkan
celana panjangnya sampai lutut
Orde Baru - Soeharto Setiap pria harus mengenakan Menunjukkan profesionalitas
(Era Pembangunan pakaian yang rapi (Celana panjang,
Ekonomi) jas, kemeja, dan peci)
1980 Jilbab menjadi trend di kalangan Simbol identitas agama dan
wanita keberpihakan politik

2004 – Sekarang Evolusi batik. Batik awalnya Ikon nasional


(SBY)* mencerminkan orang tua, menjadi Pergeseran dari tradisi
trend bagi semua usia menjadi mode

2008** UU Pornografi di sahkan • Mengancam keunikan


bangsa
• Mendiskreditkan
perempuan

2009 (Sekarang)*** Tahun tanpa tren. Tren berubah Menciptakan tren sendiri,
setiap bulan melawan arus trend yang ada
Sumber:
Nordholt, 2005
* Mada, Susilo, & Pandia, 2008
** Akhirnya RUU Pornografi Disahkan, 2008
*** Kustiasih, 2009




Pemaparan perkembangan sejarah berpakaian di Indonesia ini

menggambarkan bahwa pakaian di Indonesia telah mengalami proses kesejarahan

yang panjang. Proses ini menunjukkan bahwa sejak semula pakaian tidak hanya

berfungsi sebagai penutup tubuh, tapi menunjukkan identitas diri bangsa ini.

Dalam semua budaya, pakaian tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh,

tetapi memiliki makna simbolik sebagai ekspresi dan deskripsi diri secara

eksternal dalam membangun identitas diri (Giddens, 1991). Dalam penelitian ini,

definisi pakaian sebagai barang apa yang dipakai untuk menutup tubuh seperti

baju, celana, jaket, rok, baju terusan, sarung, tank-top, dll.

A.3. Pakaian sebagai Ekspresi Identitas

Pakaian merupakan ekspresi identitas seseorang karena saat seseorang

memilih pakaian baik di rumah maupun di toko berarti ia mendefinisikan dan

mendeskripsikan dirinya sendiri (Nordholt, 2005). Bagaimana hubungan pakaian

dengan identitas diri? Davis, dalam bukunya Fashion, Culture, and Indentity

(Nordholt, 1992), menjelaskan bahwa individu secara aktif mengartikulasikan dan

mengkonstruksi identitas dirinya dengan apa yang terjadi di masyarakat. Individu

bukan makhluk yang pasif dan menerima pergerakkan yang ada di masyarakat

untuk membentuk identitas dirinya. Seiring perkembangan kedewasaannya,

individu berpikir bahwa dirinya adalah bagian dalam suatu kelompok kategori

sosial seperti masyarakat, keluarga, pekerjaan, kelas, agama, etnik, dsb. Individu

mengembangkan pola perilaku dan keyakinan yang berkaitan dengan masing-

masing kategori sosial tersebut. Tapi bagaimanapun, kategori sosial tersebut terus

berubah seiring waktu, dan dengan demikian individu terus bergerak sama seperti




usianya. Hasilnya, identitas individu selalu fluktuatif dan hal ini sering kali

menyebabkan kecemasan atau perasaan tidak aman. Oleh karena itu, individu

membutuhkan pakaian untuk membantunya mengekpresikan perubahan identitas

tersebut. Pakaian membantu individu mengkomunikasikan dirinya kepada orang

lain, bagaimana dirinya ingin dilihat, dan dengan siapa dirinya ingin berelasi

(Davis, 1992).

Di samping mengekspresikan diri, pakaian juga mengekspresikan identitas

sosial seseorang. Pakaian menunjukkan latar belakang keadaan sosial seseorang

seperti budaya, agama, kelas sosial, etnik atau ras, dsb. Jenis dan gaya pakaian

sangat tergantung pada konteks pemakaiannya, di mana, bersama siapa, pada

kesempatan apa individu tersebut memakainya (Davis, 1992) karena pakaian

merupakan kulit sosial seseorang (Nordholt, 2005). Dalam berpakaian, orang

tidak sepenuhnya bebas mengenakan pakaian karena akan selalu ada kaedah-

kaedah tertentu yang mengatur individu dalam berpakaian. Oleh karena itu,

pakaian bukan semata-mata pilihan individu, melainkan merupakan hasil

negosiasi individu dengan masyarakat sosialnya.

Penelitian ini menggunakan perspektif representasi sosial sebagai kerangka

teoretisnya karena representasi sosial memungkinkan peneliti melihat makna

individu berpakaian secara holistik. Penelitian ini memungkinkan peneliti

mengorganisasikan dan menganalisa pikiran individu dari praktek berpakaiannya

secara integratif. Selain itu, penelitian ini juga sangat dimungkinkan untuk

menganalisa konteks sosial berpakaian, dan menangkap bentuk pikiran simbolik

dari berpakaian.




A.4. Definisi dan Pembetukan Identitas Mahasiswa

Sarlito Sarwono mendefinisikan mahasiswa adalah orang yang menjalankan

studi di Perguruan Tinggi. Direktorat Kemahasiswaan Ditjen Perguruan Tinggi

dan Departemen P dan K (Sarlito Wirawan Sarwono dan kawan-kawan, 1979),

mendefinisikan mahasiswa sebagai golongan pemuda, umumnya berumur 18-30

tahun, yang secara resmi terdaftar pada salah satu perguruan tinggi dan aktif pada

perguruan tinggi yang bersangkutan. Pada penelitian ini mahasiswa didefinisikan

sebagai orang muda yang berusia 18 sampai 23 tahun yang sedang menjalankan

pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.

Orang muda adalah golongan yang baru saja meninggalkan masa remaja dan

mulai menapaki masa dewasa awal. Pada tahap dewasa awal, pembentukan

identitas menjadi penting karena pada masa ini perkembangan fisik, kognitif, dan

sosial individu cukup matang sehingga mampu memilih dan mensintesiskan

identitasnya pada masa kanak-kanak untuk membangun suatu jalan untuk menuju

kematangan orang dewasa (Santrock, 2005). Pada masa ini, menurut Erikson

(Larsen & Buss, 2005), orang muda berjuang untuk melepaskan dirinya dari

orang tuanya, berhenti bersandar pada orang tuanya, dan memutuskan nilai-nilai

apa yang akan dipegangnya dan apa tujuan yang ingin dicapainya di masa depan.

Oleh karena itu pada masa ini kebutuhan mahasiswa untuk membentuk identitas

menjadi lebih besar.

Di samping itu saat memasuki masa dewasa awal, orang muda juga memiliki

tugas perkembangan untuk berelasi dalam masyarakat sosial. Mereka memandang

diri mereka termasuk dalam satu atau lebih kelompok dalam masyarakat,




keluarga, pekerjaan, pendidikan, etnik atau ras, dan komunitas lainnya (Brym &

Lie, 2007). Mereka mengembangkan identitas yang sesuai dengan kategori sosial

di mana mereka tergabung, karena itu perilaku dan keyakinannya pun sesuai

dengan aturan yang berlaku dalam kategori sosial ini (Brym & Lie, 2007).

Ketegori sosial ini terus berubah seiring perkembangan waktu, jadi orang muda

pun terus berusaha mengikuti perkembangan tersebut. Dengan demikian, identitas

orang muda pun fluktuatif, belum stabil, terus berkembang hingga sepanjang

hidupnya (Brym & Lie, 2007; Kashima, Foddy & Platow, 2002; Santrock, 2005).

Orang muda terus membangun identitas dirinya melalui diskursus sosial dan

budaya di mana ia berada. Dengan demikian, identitas mahasiswa merupakan

hasil konstruksi sosial dirinya dengan masyarakat di mana ia berada, khusus di

wilayah Yogyakarta.

Pendekatan ini dipandang relevan dengan penelitian ini karena masyarakat

selalu berubah dan pakaian pun terus berkembang seiring dengan perkembangan

teknologi dan informasi. Dengan demikian mahasiswa terus-menerus melakukan

negosiasi apa yang ada di masyarakat dan keadaan dirinya dalam rangka

membentuk identitasnya.




A.5. Representasi Sosial

Representasi sosial merupakan pikiran dan perasaan individu terhadap suatu

objek dalam masyarakat yang diekspresikan dalam melalui kata-kata dan perilaku

(Wagner, dkk., 1999). Teori representasi sosial ini merupakan kerangka konsep-

konsep dan ide-ide psikologis secara sosial untuk mempelajari fenomena

psikososial dalam masyarakat modern (Wagner, dkk., 1999). Representasi sosial

merupakan perspektif yang terdiri dari sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang

membangun sebuah kesepakatan di antara fenomena, dan terjadi karena adanya

komunikasi antar anggota kelompok (Moscovici, 2001; Walmsley, 2004). Inti

dari paradigma ini adalah keyakinan bahwa keadaan psikologis terbentuk secara

sosial dan apa yang kita representasikan tersebut menentukan bagaimana cara kita

bereaksi (Walmsley, 2004).

Representasi sosial menekankan tentang bagaimana seseorang

menginterpretasikan dan membuat dunianya berarti dan fokus pada proses

komunikasi interpersonal (Wagner, dkk., 1999). Arti merupakan pemaknaan

terhadap suatu pengalaman atau ingatan tentang representasi mental, objek dan

kejadian dalam dunia sosialnya. Arti terhadap dalam representasi sosial

merupakan suatu produksi sosial yang muncul dalam proses interaksi antar

manusia. Hal ini memperlihatkan bahwa arti tidak hanya berada pada level

individu saja tetapi arti yang berada pada level masyarakat (Wagner, dkk., 1999).

Moscovici (Walmsley, 2004) mengatakan bahwa representasi sosial

dirumuskan melalui tindakan dan komunikasi di masyarakat dan merupakan

sebuah cara spesifik untuk memahami serta mengkomunikasikan apa yang sudah


 

kita pahami dengan cara tertentu. Dengan demikian, representasi sosial dilihat

sebagai ciptaan sosial, bukan sesuatu yang dihasilkan oleh individu melalui

proses imitasi dari hasil persepsinya.

Paradigma ini meletakkan individu dalam ruang sosialnya sehingga identitas

sosial individu tersebut dapat diketahui sesuai dengan nilai dan norma yang

berlaku dalam masyarakatnya (Walmsley, 2004). Dalam konsep ini, identitas diri

merupakan representasi sosial yang dibentuk melalui pengalaman dan diartikan

dalam ingatan tentang representasi mental, objek dan kejadian dalam dunia

sosialnya. Dalam hal ini perspektif representasi sosial akan banyak berbicara

tentang bagaimana narasi tentang identitas diri saat ini terbentuk melalui

distribusi pengetahuan sosial tentang identitas diri yang disebarluaskan melalui

media massa. Paradigma ini menyediakan instrumen konseptual untuk analisis

representasi sosial pada hasil yang terbentuk dari ide, imajinasi, dan simbol dalam

masyarakat dikenali dalam berbagai produk seperti diskursus atau ikon, peralatan materi,

dan praktik secara individual atau kolektif yang beredar dalam masyarakat, melalui

berbagai saluran komunikasi seperti percakapan, media, dan institusi formal.

Perspektif representasi sosial mengenal manusia sebagai makhluk berpikir

yang mampu bertanya, mencari jawaban, dan pada umumnya berpikir mengenai

hidup. Representasi sosial merupakan bagian ingatan kolektif masyarakat

(Moscovici, 2001). Dengan demikian representasi sosial merefleksikan

pemahaman pikiran awam (commonsense).

 Moscovici (2001) berpendapat bahwa tujuan representasi sosial adalah untuk

membuat yang tidak familiar menjadi familiar. Dengan demikian, representasi





sosial memiliki empat fungsi (Walmsley, 2004), yaitu: (a) fungsi pengetahuan,

(b) fungsi identitas, (c) fungsi pedoman, dan (d) fungsi pembenaran. Fungsi

pengetahuan memungkinkan suatu realita untuk dipahami dan dijelaskan. Fungsi

identitas meletakkan individu dan kelompok dalam suatu areal sosialnya dan

memungkinkan perkembangan sebuah identitas sosial selaras dengan norma dan

nilai-nilai dalam masyarakat. Fungsi orientasi mengarahkan sikap dan praktek,

dan fungsi pembenaran mengizinkan sesudah fakta pembenaran posisi dan

perilaku. Representasi juga menyediakan pembenaran atas perbedaan sosial antar

kelompok, khususnya saat stereotip dan permusuhan terbukti.

Secara umum, menurut Moscovici (2001) penelitian representasi sosial

melalui dua proses yaitu, objectivication (objektivikasi) dan anchoring

(penjangkaran). Objektivikasi merupakan usaha untuk mengubah sebuah ide

abstrak menjadi sesuatu yang hampir konkret dan dengan demikian mengubah

sesuatu yang ada di dalam bayangan semata menjadi sesuatu yang ada di dunia

fisikal. Objektivikasi merupakan proses mengarahkan isi mental ke dalam realita,

di mana objektivikasi ini yang membentuk sesuatu yang tidak familiar menjadi

familiar. Proses ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma,

nilai, dan kode-kode yang merupakan bagian dari proses kognitif.

Anchoring merupakan usaha mengurangi ide-ide asing menjadi citra dan

kategori biasa dan menjangkarkannya pada konteks yang dikenal (Moscovici,

2001; Walmsley, 2004). Adapun tujuan anchoring adalah membuat yang tidak

bermakna menjadi bermakna. Hal yang penting dari penjangkaran adalah proses

pengklasifikasian dan penamaan. Kita dapat membayangkan, menghadirkan, dan


 

menyatakan teori masyarakat dengan mengklasifikasikan apa yang belum

terklasifikasi dan menamakan apa yang belum memiliki nama. Adapun yang

dimaksud kategorisasi adalah proses memilih sebuah paradigma dari semua yang

tersimpan dalam memori kita dan membangun sebuah hubungan positif ataupun

negatif terhadapnya.

Objektivikasi yang menjelaskan intervensi kelompok-kelompok sosial

(norma, nilai, kode, dll yang ikut campur sebagai meta-sistem yang mengatur

proses kognitif) serta kendala-kendala komunikasi dalam penyeleksian dan

pengaturan unsur-unsur representasi di satu pihak. Sementara itu, penjangkaran

(anchoring) yang menjelaskan pengintegrasian informasi-informasi baru ke

dalam sistem pengetahuan dan pemaknaan yang sudah ada. Objektivikasi dan

penjangkaran merupakan jalinan proses yang berkelanjutan secara simultan,

bukan proses yang berurutan (Yutyunyong, 2009).


 

B. Konteks Penelitian

B.1. Yogyakarta sebagai Lokasi Penelitian

Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya yang memiliki ikatan tradisi yang

masih sangat kuat (Subanar, 2007). Namun saat ini Yogyakarta tidak lepas dari

arus perubahan perkembangan zaman (Subanar, 2007). Sebagian masyarakat

memandang bahwa Yogyakarta telah berubah. Perubahan ini dapat dirasakan dari

berbagai gejala-gajala yang muncul seperti perubahan nilai dan gaya hidup serta

pola konsumsi (Subanar, 2007). Nilai utama budaya Jawa, yaitu nilai komunal

yang menekankan kebersamaan masyarakat, saat ini mulai luntur akibat

meningkatnya kedudukan nilai ekonomi dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat

dari hasil survei menunjukkan sebagian besar migran, termasuk para TKW asal

Kulon Progo, Yogyakarta sebanyak 76,7 persen, cenderung memilih tinggal di

luar negeri. Hal ini merupakan indikasi adanya pergeseran nilai yang dipakai

sebagai pedoman hidup yakni dari nilai komunal menjadi nilai ekonomi (TKW

Kulonprogo Lebih Suka Tinggal di Luar Negeri, 2001). Masyarakat Yogyakarta,

cenderung mengejar kesempatan untuk mencari uang sehingga bisa mengikuti

gaya hidup yang baru.

Tawaran gaya hidup modern yang ditawarkan adalah gaya hidup konsumsi.

Hal ini dapat terlihat dari perubahan wajah kota Yogyakarta, jalan kota

Yogyakarta dipenuhi billboard, spanduk-spanduk yang mengiklankan barang-

barang konsumsi. Penampilan luar menjadi penting sebagai cara ekspresi yang

baru (Miles, 1998), demikian pula bagi masyarakat masyarakat Yogyakarta. Hal ini




terlihat dari menjamurnya toko-toko yang menjual barang-barang yang

mencerminkan gaya hidup materialis seperti pakaian serta alat-alat komunikasi.

Kita dapat dengan muda menyaksikan para mahasiswa asyik mengerjakan tugas

ataupun browsing internet di tempat-tempat nongkrong seperti kafe ataupun mall

tanpa mempedulikan orang di sekitarnya. 

Salah satu gejalanya perubahan wajah kota Yogyakarta adalah dengan

hadirnya Ambarukmo Plaza. Kehadiran mal terbesar di Yogyakarta, bahkan di

Jawa Tengah, ini telah mengubah gaya hidup masyarakat di Yogyakarta. Tempat

ini telah menjadi ruang publik tempat berkumpulnya berbagai kalangan orang,

menggantikan tempat-tempat rekreasi yang ada. Mal ini bahkan bukan sekedar

tempat berbelanja atau nongkrong menghabiskan waktu senggang, tidak jarang

mal juga sebagai tempat belajar individu atau kelompok mahasiswa. Mal

Ambarukmo Plaza yang terletak di jalan utama di kota ini memiliki slogan secara

tegas menyatakan diri sebagai simbol perubahan Yogyakarta dari kota budaya

yang berpegang teguh pada tradisi menjadi kota yang modern dengan slogannya

“Amplaz Dunia Modernnya Yogya’ atau ‘Nikmati Sensasi Belanja di Dunia

Barunya Yogya’.

Di samping itu, masyarakat Jogja dikenal masih sangat berpegang teguh pada

nilai-nilai dan norma-norma kehidupan Jawa. Adapun Magnis-Suseno (2001),

dalam bukunya yang berjudul Etika Jawa, mengatakan bahwa dalam budaya Jawa

terdapat dua prinsip hidup yang menentukan kelakukan orang Jawa, yaitu prinsip

kerukunan dan prinsip hormat. Prinsip kerukunan bertujuan untuk menjaga

keharmonisan dalam masyarakat. Kerukunan berarti “berada dalam keadaan




selaras”, “tenang dan tenteram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, dan

“bersatu dalam maksud untuk membantu”. Rukun adalah keadaan ideal yang

harus dipertahankan dalam suatu hubungan sosial. Dengan demikian, berlaku

rukun berarti berusaha untuk bersikap tenang satu sama lain dan menyingkirkan

hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan dan keresahan. Di sisi lain, prinsip

ini bukanlah berarti untuk menciptakan kerukunan, melainkan lebih untuk tidak

mengganggu keselarasan yang dipandang sudah ada. Intinya, masyarakat Jawa

menuntut seseorang selalu dapat mengontrol diri, membawa diri dengan sopan,

tenang, dan rukun (Handayani & Novianto, 2004).

Prinsip kedua, prinsip hormat, berperan besar dalam mengatur pola interaksi

dalam masyarakat Jawa. Munurut prinsip ini, setiap orang dalam cara bicara dan

membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai

dengan derajat dan kedudukannya. Prinsip ini didasarkan pada pendapat bahwa

semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Keteraturan hierarkis

ini berasal dari diri sendiri, oleh karena itu setiap orang wajib

mempertahankannya dan membawa dirinya sesuai dengan kedudukan sosialnya

dalam masyarakat.

Kedua prinsip ini bertujuan untuk menciptakan keselarasan dalam

masyarakat. Kedua prinsip ini menuntut bahwa dalam segala bentuk interaksi

konflik-konflik terbuka harus dicegah. Masyarakat Jawa menuntut agar

kepentingan-kepentingan atau hak-hak pribadi jangan sampai mengganggu

keselarasan sosial. Prinsip rukun mengatur tindakan individu dengan orang yang

kedudukannya sama, sedangkan prinsip hormat menentukan hubungan yang




hierarkis. Dua prinsip ini berkaitan erat untuk mengatur tindakan masyarakat agar

tetap menjaga keselarasan. Oleh karena itu, individu dituntut untuk memiliki

kemampuan menyadari kenyataan dalam masyarakat dan keadaan dirinya sendiri

yang sesungguhnya sehingga dapat bertindak dengan tepat. Untuk sampai ke situ,

individu harus memiliki kemampuan kognitif untuk mengenali aspek-aspek

intuitif dalam kenyataan yang di dalam budaya Jawa dikenal sebagai ‘rasa’.

Rasa merupakan kemampuan kognitif yang digunakan untuk mengetahui

realitas yang bersifat intuitif (Stange, 2009). Rasa dipandang sebagai alat atau

unsur psikologi untuk memahami atau menangkap kebenaran-kebenaran dalam

batiniah. Pada masyarakat Jawa, kemampuan logika ’rasa’ merupakan hal yang

mendasari orang berelasi dengan orang lain. Rasa merupakan kata kunci untuk

memahami bagaimana hubungan individu dengan orang lain. Ketika berpakaian

ini, logika ’rasa’ sangat dibutuhkan supaya individu dapat menempatkan diri

secara tepat dalam berpakaian.

Pada masyarakat Jawa, kepekaan untuk mengenakan pakaian secara tepat

sangat dibutuhkan untuk menghargai orang lain. Hal ini tergambar dari ungkapan

ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana yang artinya bahwa antara jiwa

dan raga perlu perhatian khusus, agar dirinya mendapat perhormatan dari orang

lain. Ungkapan ini menggambarkan bahwa penampilan itu penting. Dalam

kehidupan di Yogyakarta, yang didominasi oleh suka Jawa, pakaian dan

kecantikan menjadi sangat penting (Purwadi, 2007). Pakaian selalu memiliki arti

khusus selain penutup aurat dan penahan diri dari lingkungan luar. Dalam

pergaulan sehari-hari, penampilan seseorang sebagian besar ditentukan oleh cara




berpakaiannya. Terutama dalam acara resmi, perhatian orang pertama kali tertuju

pada apa yang dapat langsung kelihatan oleh mata (Purwadi, 2007). Oleh karena

itu, ‘rasa’ sangat dibutuhkan dalam berpakaian untuk mengenali keadaan realitas

yang sesungguhnya sehingga mahasiswa dapat berpakaian secara tepat, sesuai

dengan situasi dan kondisi masyarakat di Yogyakarta saat ini.

B.2. Pakaian Mahasiswa di Yogyakarta

Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar di mana mayoritas penduduknya

adalah orang muda. Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik Provinsi

Daerah Istimewah Yogyakarta (2008), penduduk Yogyakarta didominiasi oleh

kelompok usia dewasa muda yaitu berumur 20-29 tahun sebesar 20,2% (BPS,

Provinsi DIY, 2008). Adapun mahasiswa merupakan bagian dari orang muda

yang ada di Yogyakarta. Mahasiswa di Yogyakarta tidak semuanya merupakan

penduduk asli Yogyakarta, melainkan sebagian besar merupakan pendatang yang

berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mahasiswa-mahasiswa inilah yang

dipandang sebagai aktor yang merespon perubahan yang ada di masyarakat

Yogyakarta (Subanar, 2007).

Oleh karena itu, dalam berpakaian mahasiswa cenderung mendapat kontrol

dari orang tua mengenai gaya berpakaiannya. Pakaian pada umumnya merupakan

ekspresi identitas seseorang. Akan tetapi seseorang tidak memiliki kebebasan

untuk memilih pakaiannya sendiri. Pada masyarakat, kebebasan memilih pakaian

tertanam dalam berbagai kebiasaan sosial yang mengharuskan dan menyarankan

cara berpakaian tertentu pada kesempatan-kesempatan tertentu, dan bahkan




menjadi pilihan-pilihan lain menjadi tidak penting, dan bahkan mengandung

resiko (Nordholt, 2002).

Pada era sebelum kemerdekaan, pakaian di Indonesia diatur oleh penjajah

untuk mengontrol dan mendiskriminasi rakyat. Pada awal kemerdekaan, era

pemerintahan Soekarno dan Soeharto, pakaian diatur oleh pemerintah untuk

kepentingan ekonomi politik (Nordholt, 2005). Pada saat ini, institusi formal

seperti agama dan pendidikan yang lebih besar perannya dalam mengatur cara

berpakaian orang muda, dibandingkan pemerintah.

Pakaian di Indonesia saat ini, secara umum merupakan hasil interaksi dari

pakaian Indonesia, Islam, dan Barat, yang identik dengan agama Kristen (van

Dijk, 2005). Kebiasaan orang Indonesia untuk menutup tubuhnya merupakan

pengaruh dari budaya Arab yang identik dengan Islam dan Eropa yang

diidentikkan dengan Kristen (Nordholt, 2005). Kedua agama ini memandang

bahwa ketelanjangan merupakan manifestasi luar dari kemunduran dan kekafiran.

Oleh karena itu, mereka saling bersaing untuk membudayakan orang Indonesia

mengenakan pakaian yang tertutup. Islam masuk ke Indonesia dan menyakinkan

masyarakat untuk mengganti pakaian mereka, sementara ekspansi Barat (Kristen)

memaksa masyarakat dalam derajat tertentu untuk menutup tubuh mereka. Kedua

proses ini telah mengubah penampilan masyarakat Indonesia menjadi

sebagaimana yang kita lihat saat ini (Nordholt, 2005). Peran kedua agama ini

dalam menentukan cara berpakaian orang Indonesia masih terasa hingga saat ini.

Islam masuk ke Indonesia sejak awal abad ke-7, melalui jalur niaga, dengan

jalan damai mempengaruhi jalan damai mempengaruhi kalangan bawah.




Pengaruhnya Islam pada di Indonesia, tidak hanya dalam bidang politik saja,

namun juga pada kebudayaan, khususnya pada busana. Pada agama Islam,

pakaian tidak saja berfungsi melindungi tubuh dari cuaca, tetapi juga terkait

dengan etika, sopan santun, dan hukum (Ismail, 1993). Di dalam Al Qur’an

terdapat ajaran berbusana, yang intinya adalah pakaian sebagai simbol takwa

kepada Allah, sarana untuk mendekatkan diri pada Allah saat masuk ke masjid,

dan memiliki ukuran yang dapat menutupi keburukan atau kekurangan fisik serta

tidak mengekspos perhiasan fisik (Ismail, 1993). Adapun ukuran dari

kelengkapan pakaian dalam mendekatkan diri pada Allah, mengandung tiga unsur

utama, yaitu, bersih yang memancarkan keindahan, berukuran panjang dan tidak

jarang (menutup aurat), bertudung kepala. Ketiga hal ini berlaku baik kepada

perempuan maupun laki-laki. Dengan demikian, Islam menganjurkan umatnya

untuk berhias diri, terutama saat ‘mendekatkan diri kapada Allah’ (Ismail, 1993)

dan hal ini masih berlaku hingga saat ini.

Pakaian di Indonesia juga tidak lepas dari pengaruh agama Kristen (Protestan

dan Katolik) yang dibawa oleh orang Eropa. Pakaian Barat pertama oleh kaum

laki-laki di kota, baru semakin lama semakin banyak laki-laki pedesaan yang

mengenakan pakaian celana panjang dan kemeja dalam kehidupan sehari-hari

(Lombard, 1996). Pada ajaran Katolik, saat akan merayakan Misa, umat

diharapkan untuk mempersiapkan dirinya selayaknya untuk orang mau pergi ke

pesta atau undangan seseorang yang dihormati, yaitu Tuhan sendiri. Saat Misa,

setiap orang diwajibkan untuk berperilaku pantas, termasuk dalam berpakaian.

Hendaknya setiap orang berpakaian sopan, rapi, dan bersih (Saunders, 1999).


 

Jenis pakaian seperti celana pendek, kaos oblong, celana ketat, dan baju tanpa

lengan dipandang tidak pantas untuk dikenakan di gereja. Dalam memutuskan

pakaian apa yang akan dikenakan, hendaknya umat memikirkan bahwa “Aku

berdandan untuk bertemu dengan Tuhan-ku dan untuk ambil bagian dalam misteri

keselamatanku” (Saunders, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa Gereja berperan

dalam mengatur cara berpakaian umatnya. Dengan demikian, cara berpakaian

masyarakat di Indonesia di atur oleh institusi agama yang dianutnya.

Di Yogyakarta, pakaian orang muda tidak hanya dipengaruhi dari institusi

agama, tetapi juga dipengaruhi oleh institusi pendidikan. Hal ini tergambarkan

dari berbagai universitas yang menerapkan aturan berpakaian untuk

mahasiswanya. Misalnya, di depan pintu masuk kampus UPN tertera tulisan

‘Kaos oblong dan sandal jepit dilarang masuk kampus’. Senada dengan kampus

UPN, di depan parkiran kampus USD ada tulisan “Kami sangat menghargai anda

yang berpakaian rapi. Tidak berkaos oblong dan bersandal jepit di lingkungan

kampus Universitas Sanata Dharma”. Selain itu, di kampus UII terdapat tulisan

“area wajib mengenakan jilbab”. Kampus UGM menetapkan busana rapi dan

sopan adalah memakai pakaian yang rapi, bersepatu atau sepatu sandal; tidak

memakai baju atau kaos tanpa lengan atau tanpa kerah; tidak berpakaian ketat dan

rok mini bagi mahasiswa perempuan; tidak berpakaian dengan menggunkaan

bahan yang tembus pandang/transparan; dan tidak menutupi sebagian besar

muka/wajah. Ketentuan ini tercantum pada peraturan kampus yang di tempel

pada gedung salah fakultas di sana.





Penjelasan di atas menunjukkan bahwa dalam berpakaian, orang muda tidak

bisa dengan bebas memilih pakaiannya sendiri. Melainkan ada ketentuan tertentu

yang mengatur cara berpakaian mereka. Bagaimana jenis pakaian yang mereka

kenakan tergantung pada ruang dan waktu di mana mereka berada.

B.3. Representasi Sosial Pakaian pada Mahasiswa di Yogyakarta

Menurut ahli Sosiologi, Kenneth Kenniston, salah satu ciri orang muda adalah

mampu mengambil keputusan dalam berbagai aspek hidupnya, termasuk dalam

menentukan gaya hidupnya (Santrock, 2005). Gaya berpakaian yang digunakan

orang muda adalah pilihan mereka dalam mengekspresikan identitas dirinya

(Brym & Lie, 2007). Namun dalam berpakaian, mahasiswa tidak hanya

mengekspresikan identitas pribadinya melainkan juga identitas sosialnya. Oleh

karena itu, mereka tidak sepenuhnya bebas menentukan pilihan pakaiannya,

namun juga melibatkan orang lain dalam menentukan pilihan pakaiannya.

Seseorang tidak bisa sepenuhnya bebas memilih pakaian yang ingin

dikenakannya karena pasti setiap orang dibatasi oleh macam-macam kaedah

sosial yang mengatur atau menyarankan cara berpakaian tertentu dalam konteks

tertentu (Nordholt, 2005). Oleh karena itu, pakaian bukan semata-mata pilihan

individu, melainkan merupakan hasil negosiasi individu dengan masyarakat

sosialnya.

Pada penelitian representasi sosial ini sebagaimana ditampilakan pada

halaman 38, ruang sosial yang mempengaruhi representasi sosial mahasiswa

adalah media, budaya, dan masyarakat. Adapun ruang sosial mahasiswa yang

lebih spesifik dalam penelitian ini adalah media, budaya mencakup nilai dan


 

norma masyarakat, sementara masyarakat mencakup negara, agama, teman, dan

kampus. Dengan demikian, identitas orang muda dalam berpakaian cenderung

merupakan hasil konstruksi kebijakan negara, budaya, agama, institusi

pendidikan, praktek pengalaman mereka sehari-hari bersama teman sebayanya,

serta pengetahuan yang mereka dapatkan dari media massa. Mahasiswa

merupakan bagian dari masyarakat dengan demikian gaya berpakaian dilihat

sebagai hasil dari produk sosial. Bagaimana pikiran dan perasaan mahasiswa

yang terekspresikan dalam kata-kata dan perilakunya dalam berpakaian

merepresentasikan objek yang ada dalam kelompok sosialnya. Menurut Wagner

dkk (1999), identitas merupakan konsekuensi langsung atas representasi yang

dibagikan dalam sebuah kelompok sosial. Dengan demikian, identitas mahasiswa

yang diekspresikan melalui pengalaman berpakaiannya merupakan

representasikan sistem nilai-nilai, ide-ide, dan praktek-praktek yang berlaku

dalam masyarakat di mana mahasiswa tersebut berada. Pengalaman berpakaian

tersebut dapat dilihat dari bagaimana cara mahasiswa mengartikan pakaian dan

apa sumber informasi yang membentuk pengetahuan mahasiswa mengenai

pakaian.


 

B.4. Kerangka Penelitian

Bahasa & Budaya Masyarakat


Komunikasi

 
Media • Nilai & norma • Pemerintah
masyarakat • Agama
 • Teman
• Kampus
 Tren Pakaian

 


Identitas Diri Identitas Mahasiswa Identitas Sosial
 Mahasiswa dalam Berpakaian Mahasiswa



Arti Pakaian Sumber Informasi
 Mengenai Pakaian


Gambar 1. Kerangka Penelitian


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma representasi sosial dengan pendekatan

kualitatif deskriptif. Paradigma representasi merupakan konsep-konsep dan ide-ide

kerangka berpikir psikologi sosial dalam rangka mempelajari fenomena psikososial

dalam masyarakat modern (Wagner, dkk., 1999). Paradigma ini meletakkan individu

dalam ruang sosialnya sehingga identitas sosial individu tersebut dapat diketahui

sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya (Walmsley, 2004).

Penelitian representasi sosial bertujuan untuk mengungkap informasi mengenai

pengetahuan awam yang sudah ada supaya membuat yang tidak familiar menjadi

familiar (Walmsley, 2004). Oleh karena itu, hasil penelitian representasi sosial

diharapkan dapat berupa pengetahuan lokal, bukan penyesuaian teori. Teori

digunakan sebatas kerangka berpikir dalam melakukan penelitian, bukan sebuah

acuan untuk hasil akhir. Penggunaan paradigma representasi sosial dalam penelitian

ini bertujuan untuk mengkaji indentitas diri individu dari pengalaman kesehariannya

sesuai dengan konteks norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakatnya saat ini. 

Definisi penelitian kualitatif menurut Creswell (2007) adalah proses pencarian

data untuk memahami masalah sosial yang diperoleh dari situasi yang alamiahnya.

Penelitian kualitatif bertujuan untuk menggali dan memahami inti sebuah masalah





sosial atau fenomena yang dialami individu secara alamiah dalam suatu konteks

khusus dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Creswell, 2007; Moleong,

2005). Dalam penelitian ini, peneliti memberikan pertanyaan yang luas dan umum

kepada responden, mengumpulkan pandangan secara detail berdasarkan kata-kata dan

kesan partisipan, kemudian menganalisis informasi tersebut untuk menentukan tema

utamanya dan mendeskripsikannya. Berdasarkan data tersebut, peneliti

menginterpretasikan makna informasi yang menggambarkan refleksi personal.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena peneliti dimungkinkan

untuk memperoleh pemahaman makna dan interpretasi pengalaman berpakaian orang

muda sehari-hari secara alamiah.

Penelitian bersifat deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat

deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat

populasi atau daerah tertentu (Suryabrata, 2008). Penelitian bersifat deskriptif dapat

mengungkap situasi, setting, proses, hubungan, sistem, dan orang-orang secara alami

(Leedy & Ormrod, 2005). Dengan pendekatan ini, berbagai dimensi gejala-gejala

psikologi dapat digali dan diuraikan secara intensif (Suwignyo, 2002). Kekuatan dari

penelitian ini adalah pada kekayaan interpretasi data. Pendekatan ini menekankan

pada analisa data melalui pemetaan data ke dalam kategori-kategori yang dasar

pembentukannya jelas, sistematis, dan logis (Suwignyo, 2002). Bobot data pertama

ditentukan oleh kedalaman interpretasi dan pemaknaan data oleh peneliti, bukan mutu

objektif (mutu empiris) data tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti


harus memiliki kepekaan untuk mencatat, merekam, dan menangkap detil-detil fakta

diamati selama obeservasi dan kemampuan merefleksikan detil-detil fakta tersebut.

B. Subjek Penelitian

Penentuan responden penelitian dalam penelitian kualitatif memiliki karakteristik

sebagai berikut (Poerwandari 2005) :

1. Tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar, tetapi pada kasus-kasus tipikal

sesuai kekhususan masalah penelitian

2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal

jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual

yang berkembang dalam penelitian

3. Tidak diarahkan pada keterwakilan jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada

kecocokan konteks

Berdasarkan pertimbangan di atas, peneliti menentukan responden penelitian

dengan menggunakan teknik purposive sampling dan teknik snowball sampling

1. Teknik purposive sampling

Penentuan sampel berdasarkan kriteria tertentu yang ditentukan peneliti. Kriteria

tersebut antara lain:

a. Mahasiswa S1 yang kuliah di Yogyakarta

b. Berusia antara 18 – 25 tahun

c. Belum menikah


2. Teknik Snowball Sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan cara peneliti meminta

informasi kepada calon responden atau salah satu orang yang dikenal untuk

dihubungi dengan mahasiswa dari berbagai universitas yang bisa diminta untuk

menjadi responden penelitian. Setelah itu, peneliti meminta bantuan responden

penelitian untuk diperkenalkan kepada temannya untuk dijadikan responden

penelitian selanjutnya.

Penelitian ini melibatkan 28 orang mahasiswa yang kuliah di 10 universitas di

Yogyakarta berusia 18-23 tahun. Pertimbangan dalam penentuan sampel penelitian

orang muda adalah:

1. Ada keresahan pada kalangan orang tua di masyarakat bahwa orang muda

kehilangan identitas sebagai orang Timur dalam konteks berpakaiann

2. Mahasiswa adalah bagian dari orang muda yang berada pada tahap perkembangan

transisi dari masa remaja menuju masa dewasa awal. Pada tahap ini, mahasiswa

memiliki tugas perkembangan untuk membentuk identitas dirinya dan mulai

menyiapkan dirinya untuk masuk dalam masyarakat. Pakaian menjadi perhatian

khusus bagi orang muda karena pakaian menjadi sarana bagi orang muda untuk

mengekspresikan dirinya sekaligus menghubungkan dirinya dengan lingkungan

sosialnya.


C. Batasan Istilah

Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaian

Identitas mahasiswa di Yogyakarta melalui cara berpakaian adalah gambaran

identitas diri dan identitas sosial mahasiswa di Yogyakarta melalui cara berpakaian.

Adapun identitas diri mahasiswa dilihat dari cara mahasiswa mengekspresikan

keunikan dirinya yang berbeda dengan orang lain melalui cara berpakaian. Sedangkan

identitas sosial mahasiswa dilihat dari cara mahasiswa mengekspresikan persamaan

dirinya dengan orang lain yang menunjukkan bahwa dirinya tergabung dalam

kelompok sosial tertentu, sehingga cara berpikir dan bertindaknya khususnya dalam

berpakaian tergantung pada di mana ia berada dan peran sosial apa yang sedang

dilakukannya.

Adapun mahasiswa dalam penelitian ini adalah individu yang berusia 18 sampai

23 tahun yang sedang menjalankan pendidikan di salah satu perguruan tinggi di

Yogyakarta. Gaya hidup mahasiswa di Yogyakarta, termasuk cara berpakaiannya,

dipengaruhi oleh informasi yang ada media, nilai-nilai budaya, serta aturan-aturan

yang ada di masyarakat mencakup institusi pendidikan, agama, penerintah, serta

teman-teman sebayanya. Oleh karena itu, bagaimana individu membangun identitas

dari cara berpakaian selalu berubah dan berkembang mengikut perkembangan

informasi yang ada media, nilai-nilai budaya, serta aturan-aturan yang ada di

masyarakat, dan praktek pengalaman berpakaian sehari-hari. Dengan demikian,

identitas mahasiswa dari cara berpakaiannya merupakan hasil konstruksi sosial di

mana ia berada, bukan merupakan hal terberi sejak lahir.




D. Alat Pengumpulan Data

D.1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk memperoleh data sementara yang

digunakan sebagai objek kajian penelitian dan menentukan alat yang tepat dalam

pengambilan data. Penelitian pendahuluan dilakukan pada 10 orang muda, mencakup

mahasiswa dan karyawan, yang rentang usianya 19 – 29 tahun. Metode yang

digunakan adalah jurnal aktivitas harian selama satu minggu dan pertanyaan “Apa arti

pakaian bagimu?”. Adapun jurnal ini berupa kolom-kolom yang instruksinya

meminta responden menuliskan aktivitas hariannya berdasarkan waktu, dimana,

bersama siapa, deskripsi pakaiannya, merk pakaian, tempat membeli, dan alasan

memakai pakaian. Dari hasil survei ini, peneliti mendapat gambaran bahwa

responden memaknai pakaian secara berbeda antara praktek dengan ide berpakaian.

Saat praktek, responden cenderung mencari yang nyaman dan mengikuti aturan yang

berlaku di sekitarnya, namun ketika ditanya arti pakaian, responden cenderung

mengungkapkan bahwa pakaian adalah cerminan identitas dirinya. Hasil penelitian

ini yang kemudian menjadi acuan bagi peneliti untuk menentukan alat penelitian,

yaitu penelitian ini tidak cukup hanya menggunakan Jurnal Aktivitas Harian, namun

juga perlu dilakukan wawancara untuk menggali informasi yang lebih mendalam dari

hasil Jurnal Aktivitas Harian.




D.2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

jurnal aktivitas harian, dilanjutkan dengan metode wawancara untuk melakukan

penggalian informasi yang lebih mendalam dari isi jurnal, dan observasi selama

proses pengambilan data.

D.2.a. Jurnal Aktivitas Harian

 Ekplorasi kualitatif dilakukan dengan menggunakan Jurnal Aktivitas Harian.

Partisipan diminta untuk menuliskan aktivitasnya, tempat aktivitasnya, bersama

siapa, jenis pakaian yang dikenakan, merk pakaiannya, di mana ia membelinya, serta

alasan menggunakan pakain tersebut. Jurnal ini untuk melihat ekspresi berpakaian

orang muda berdasarkan pengalaman sehari-harinya dalam seminggu. Alat penelitian

ini memiliki tiga keuntungan, yaitu: pertama, dapat melihat ekpresi berpakaian

mahasiswa sesuai dengan konteks aktivitasnya, tempatnya, serta kelompok sosial

yang bersamanya sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang lebih

komprehensif. Kedua, dapat melihat alasan psikologis yang melandasi mahasiswa

mengenakan pakaian secara alami. Ketiga, dari isi jurnal dapat melihat perbandingan

antara kenyataannya dalam praktek berpakaian dengan pikiran individu mengenai

pakaian, dengan cara dikonfirmasi dengan metode kedua.


 

D.2.b. Wawancara

Wawancara dalam penelitian diartikan sebagai sejenis percakapan yang khusus

karena telah direncanakan, disiapkan, dan dirancang dengan tujuan untuk

memperoleh pengetahuan (Wengraf, 2001). Dalam wawancara, ada pengetahuan-

pengetahuan khusus yang perlu dipahami oleh pewawancara yang tidak dapat digali

dari metode pengambilan data lainnya. Percakapan dalam wawancara dilakukan oleh

dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan

terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut

(Moleong, 2005). Dalam penelitian ini, wawancara semi terstruktur dilakukan dengan

menggunakan panduan Jurnal Aktivitas Harian dari masing-masing responden.

Wawancara ini bertujuan untuk mengkonfirmasi apa yang telah partisipan tulis dalam

Jurnal Aktivitas Harian dan untuk menggali pengalaman-pengalaman unik responden

yang tertulis di jurnal.

D.2.c. Observasi

Tujuan dilakukan observasi untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari,

aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna

yang ada berdasarkan perspektif orang yang diamati tersebut (Poerwandari, 2005).

Observasi pada penelitian ini dilakukan untuk memahami pakaian yang sedang

dikenakan responden saat pengambilan data berlangsung berdasarkan konteks di

mana ia berada dan aktivitas yang sedang dilakukannya.





D.3. Format Jurnal Penelitian

Berikut ini contoh satu halaman Jurnal Aktivitas Harian, tepatnya pada hari

Minggu. Pada Jurnal Aktivitas Harian terdapat 14 tabel yang sama selama satu

minggu. Di mana masing-masing hari disediakan dua halaman tabel, guna

mengantisipasi tulisan yang banyak.

Tabel 2.
Contoh salah satu halaman Jurnal Aktivitas Harian

Minggu Tgl : 

Deskripsi Alasan
Bersama Di Merk Di mana
Jam Aktivitas pakaian yang menggunakan
siapa mana pakaian membelinya
digunakan pakaian
       

E. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan antara

analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif yang digunakan adalah

analisis tematik. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat

menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator yang kompleks, kualifikasi

yang biasanya terkait dengan tema itu, atau hal-hal di antara atau gabungan dari yang

telah disebutkan (Poerwandari, 2005). Penggunaan analisis tematik memungkinkan

peneliti menemukan ‘pola’ yang muncul dari data penelitian. Data kualitatif ini
 

kemudian dikuantitatifkan dengan menghitung frekuensi respon dan responden dari

pola-pola yang muncul tersebut. Penghitungan frekuensi ini bertujuan untuk

membantu peneliti melihat representasi orang muda terhadap topik penelitian.

Langkah-langkah analisis data adalah sebagai berikut.

E.1. Pengorganisasian Data

Data yang sudah diperoleh akan diorganisasi secara rapi dan sistematis.

Pengorganisasian data dengan mengumpulkan data yang ada (jurnal dan wawancara)

dan catatan-catatan tersebut dikelompokkan berdasarkan jenis datanya masing-

masing. Data pada Jurnal Aktivitas Harian diorganisasikan dengan meringkas kolom-

kolom yang ada pada jurnal. Tulisan yang berulang dan memberikan informasi yang

sama, diringkas menjadi satu. Kemudian peneliti mensistematiskannya dengan

mengelompokkannya masing-masing kolom tersebut sesuai dengan temannya

masing-masing. Pada data wawancara, pengorganisasian dilakukan dengan

menuliskannya dalam bentuk transkrip verbatim. Data observasi dicatat bersamaan

dengan transkrip wawancara.

E.2. Pengkodean Data

Pengkodean dilakukan untuk mengorganisasi dan mensistematisasi data secara

lengkap dan mendetail sehingga dapat memunculkan gambaran tentang arti pakaian

pada mahasiswa.


Pada Jurnal Aktivitas Harian, dari hasil ringkasan jurnal deskripsi pakaian

dikelompokkan dengan konteks pemakaiannya, dimana dan bersama siapa, serta

alasan pemakaiannya.

Pada data wawancara, transkrip diberi kode-kode atau catatan guna menemukan

tema-tema yang serupa dari hasil wawancara. Tema-tema yang serupa

dikelompokkan menjadi satu

E.3. Rekapitulasi Data

Data yang dikategorisasi diolah dengan cara mengelompokkannya berdasarkan

kategori yang sama, sehingga pola yang muncul pada data dapat terlihat. Kategori

yang muncul berupa arti pakaian, deskripsi pakaian dan konteks tempat

pemakaiannya, alasan memakai, sumber informasi mengenai pakaian.

Pada tahap ini, peneliti mengtabulasi jumlah frekuensi respon dan responden pada

setiap kategori yang muncul. Dengan demikian, peneliti dapat melihat intensitas dan

penyebaran responden dalam merepresentasikan pakaian.

E.4. Interpretasi Data

Interpretasi data dilakukan dengan melihat pola yang muncul dalam tema-tema

kemudian dibandingkan dengan teori-teori yang sudah ada.




F. Pertanggungjawaban Keabsahan

F.1. Credibility

Credibility (kredibilitas) merupakan istilah yang paling banyak dipilih untuk

menggantikan konsep validitas dalam penelitian kualitatif. Kredibilitas dimaksudkan

untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Validitas

dicapai dengan menggunakan metode yang paling cocok untuk pengambilan dan

analisa data.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi untuk menjaga validitas

penelitian. Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain (Moleong, 2005). Moleong (2005) menyebutkan empat macam

triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber,

metode, penyidik, dan teori. Dalam penelitian ini peneliti melakukan triangulasi

dengan metode, yaitu dengan melakukan beberapa teknik pengumpulan data yang

berbeda, yaitu pengisian Jurnal Aktivitas Harian, wawancara, dan observasi pada

pasrtisipan yang sama.

F.2. Confirmability

Confirmability menggantikan konsep objektivitas. Hal ini mengandung arti bahwa

temuan penelitian dapat dikonfirmasikan (Poerwandari, 2005). Objektivitas dicapai

dengan transparansi, yaitu peneliti bersedia mengungkapkan secara terbuka proses

dan elemen-elemen penelitiannya, sehingga memungkinkan pihak lain untuk

melakukan penilaian.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan ditampilkan hasil penelitian dan pembahasannya. Namun

sebelumnya akan ditampilkan proses pelaksanaan penelitian, baru dilanjutkan hasil

penelitian, skema hasil penelitian, serta pembahasan. Hasil penelitian akan

dipaparkan data demografi responden dan analisa data yang terdiri dari arti pakaian

pada mahasiswa, sumber informasi yang membentuk pengetahuan mahasiswa

mengenai pakaian, serta perbedaan laki-laki dan perempuan dalam berpakaian.

A. Pelaksanaan Penelitian

A.1. Tahap Survei Pra-Penelitian

Tahap survei pra penelitian merupakan survei awal yang dilakukan peneliti

terhadap gaya berpakaian orang muda dalam rangka menentukan variabel penelitian

dan instrumen penelitian. Pada tahap ini peneliti melakukan dua kali survei. Pertama,

peneliti melakukan survei dengan meminta 8 orang teman peneliti baik mahasiswa

maupun karyawan untuk mengisi angket terbuka. Instruksi dalam angket tersebut

adalah responden diminta untuk mendeskripsikan sedetail mungkin aktivitas

responden sejak bangun tidur sampai tidur lagi di 5 kolom terbuka yang isinya jam,

aktivitas, di mana, bersama siapa dan deskripsi pakaian yang dikenakan. Angket

tersebut terdiri dari 2 halaman, halaman pertama untuk hari libur dan halaman kedua

untuk hari aktif.






Kedua, partisipan diminta untuk mengisi kolom yang hampir sama, namun

jangka waktu satu minggu berdasarkan pengalamannya sehari-hari dan jumlah kolom

ditambah dengan satu kolom yaitu alasan menggunakan pakaian. Angket tersebut

kemudian dinamakan Jurnal Aktivitas Harian. Selain itu, responden juga diminta

untuk menjawab pertanyaan ”Apa arti pakaian bagimu?”. Dari hasil survei ini,

peneliti mendapat gambaran bahwa responden mengartikan pakaian secara berbeda

antara praktek dengan ide berpakaian. Saat praktek, responden cenderung mencari

yang nyaman dan mengikuti aturan yang berlaku di sekitarnya, namun ketika ditanya

arti pakaian, responden cenderung mengungkapkan bahwa pakaian adalah cerminan

identitas dirinya. Hasil penelitian ini yang kemudian menjadi acuan bagi peneliti

untuk menentukan alat penelitian, yaitu penelitian ini tidak cukup hanya

menggunakan Jurnal Aktivitas Harian, namun juga perlu dilakukan wawancara untuk

menggali informasi yang lebih mendalam dari hasil Jurnal Aktivitas Harian.

A.2. Tahap Penentuan Responden Penelitian

Peneliti memutuskan untuk memilih mahasiswa sebagai responden penelitian

karena mahasiswa berada pada masa transisi dari remaja dan masa dewasa awal. Pada

masa ini mahasiswa memiliki tugas perkembangan untuk membentuk identitasnya

dan menjadi bagian dengan masyarakat sosialnya. Oleh karena itu, peneliti ingin

melihat bagaimana mahasiswa mengekspresikan identitasnya dengan pakaian, di sisi

lain mereka memiliki kewajiban untuk mengikuti aturan dan norma yang berlaku

dalam kelompok sosialnya.




Proses penentuan responden penelitian dengan cara peneliti menghubungi teman

peneliti yang kuliah di berbagai universitas untuk menanyakan kesediaannya menjadi

responden penelitian. Selain itu, peneliti juga meminta bantuan responden dan teman-

teman peneliti untuk dikenalkan dengan teman-temannya yang kuliah di berbagai

universitas. Ada dua cara yang peneliti lakukan dalam berkenalan dengan responden

yang belum peneliti kenal sebelumnya. Yang pertama, peneliti diperkenalkan oleh

teman peneliti secara langsung kepada calon responden. Yang kedua, peneliti diberi

nomor telepon seluler (HP) calon responden, kemudian peneliti menghubungi calon

partisipan via sms atau telepon untuk menanyakan kesediaanya menjadi responden

penelitian dan membuat janji bertemu.

A.3. Tahap Pengambilan Data

Tahap pengambilan data dilakukan dengan teknik-teknik yang telah dipaparkan

pada bab III. Teknik yang digunakan dalam memperoleh data atas bahan kajian

penelitian meliputi Jurnal Aktivitas Harian, wawancara (formal dan informal), dan

observasi (selama proses wawancara). Peneliti menyebarkan 33 Jurnal Aktivitas

Harian kepada responden penelitian, diantaranya ada 29 responden yang

mengembalikan jurnal, namun yang bersedia diwawancara 28 responden. Peneliti

menyebarkan angket penelitian secara bertahap sambil melakukan analisa data

penelitian yang telah diperoleh (informasi lengkap mengenai proses pengambilan data

ini dapat dibaca dilampiran penelitian). Peneliti berhenti melakukan pengambilan

data setelah mewawancarai 28 orang responden penelitian karena jawaban yang

dikemukakan responden penelitian relatif tidak bervariasi lagi.




Proses pengambilan data dimulai dengan memberikan Jurnal Aktivitas Harian

kepada calon responden. Di awal pertemuan, peneliti menjelaskan gambaran umum

proses penelitian dan apa yang harus calon responden lakukan. Setelah itu, peneliti

menanyakan kesedian calon responden untuk menjadi responden penelitian. Setelah

itu responden bersedia, peneliti memberikan Jurnal Aktivitas Hariannya kepada

responden dan menjelaskan detail cara pengisian jurnal, setelah itu peneliti membuat

janji kepada responden untuk bertemu kembali satu minggu kemudian untuk

mengambil jurnal dan melakukan wawancara.

Proses wawancara dilakukan saat responden mengembalikan jurnal penelitian.

Wawancara dilakukan untuk menggalih lebih jauh isi jurnal penelitian yang

responden tulis. Oleh karena itu, jenis pertanyaannya dan lamanya proses wawancara

tergantung pada isi dari jurnal tersebut dan keterbukaan responden. Secara umum

wawancara dilakukan selama 12 sampai 45 menit untuk masing-masing responden.

Setelah proses wawancara, data penelitian tidak dapat dikonfirmasi ulang karena

dikhawatirkan responden tidak menjawab secara spontan dan apa adanya, melainkan

menjawab sesuai dengan hal yang dipandang ideal. Hasil pengambilan data dapat

dilihat pada lampiran.




B. Hasil Penelitian

B.1. Data Demografi Responden

Tabel 3
Identitas Responden Penelitian
R JK Usia Asal Suku Bangsa Agama Uang Saku

1 P 22 Jambi Melayu Islam 1 juta


2 P 21 DIY Jawa Islam ± 300ribu
3 P 22 DIY Jawa Islam 500 ± min
200ribu-1,5
juta
4 P 22 Sidoarjo (Saat ini Jawa Islam 100ribu
tinggal di Jogja
bersama orang
tuanya)
5 P 22 Klaten Jawa Islam 2 juta
6 P 18 Sibolga, Sumut Tionghua Buddha 1,2 juta
7 P 22 Jambi Batak Kristen 1 juta
8 P 21 DIY Bali Hindu 500 ribu
9 P 20 Muntilan Tionghua Katolik 800 ribu
10 P 19 Jakarta Jawa Katolik 1 Juta
11 P 23 Purwokerto Tionghua Katolik 950 ribu
12 P 23 Cilacap Jawa Katolik 850 ribu
13 P 20 Tulung Agung, Jawa Katolik 650 ribu
Jatim
14 P 22 Flores, NTT Flores Katolik 500 ribu
15 L 22 Magelang Jawa Islam 950 ribu
16 L 19 Bangka Melayu Islam 1 juta
17 L 19 Semarang Jawa Islam 1 juta
18 L 22 Pacitan Jawa Islam 2 juta
19 L 22 Pontianak Jawa Islam 1,3 juta
20 L 20 Purbalingga Jawa Islam 500 ribu
21 L 22 Bangka Tionghua Buddha 750 ribu
22 L 21 Klaten Jawa Kristen 600 ribu
23 L 20 Tabanan, Bali Bali Hindu 850 ribu
24 L 21 Singaraja, Bali Bali Hindu 700 ribu
25 L 21 Purwokerto Jawa Katolik 750 ribu
26 L 20 Timor, NTT Timor Katolik 700 ribu
27 L 23 Tangerang Jawa Katolik 750 ribu
28 L 20 Kendal Jawa Katolik 600 ribu




B.2. Analisis Data

Hasil analisis data dari Jurnal Aktivitas Harian dan data wawancara ini dapat

dikategorikan ke dalam 2 tema utama, yaitu Arti Pakaian pada Mahasiswa dan Suber

Informasi yang Membentuk Pengentahuan Mahasiswa dalam Berpakain. Pada tema

Arti Pakaian pada Mahasiswa akan sajikan data arti pakaian pada mahasiswa, alasan

mahasiswa mengenakan pakaian, konteks mahasiswa mengenakan pakaian, serta

tempat-tempat yang penting diperhatikan mahasiswa dalam berpakaian. Pada tema

Sumber Informasi yang Membentuk Pengetahuan Mahasiswa dalam Berpakaian akan

disajikan data orang yang dibayangkan memiliki gaya pakaian yang sama dengan

responden dan sumber informasi gaya berpakai pada mahasiswa. Selain dua tema

besar tersebut, peneliti juga akan menyajikan hasil temuan lain dari penelitian ini,

yaitu Perbedaan Laki-laki dan Perempuan dalam Mengenakan Pakaian. Data

penelitian ini akan peneliti sajikan secara kuantitatif untuk melihat representasi sosial

pada penelitian ini. Namun sebelumnya peneliti menganalisa data dengan

menggunakan metode kualititatif, yaitu analisa tematik, untuk melihat pola-pola yang

muncul dari hasil penelitian. Untuk selanjutnya, data ini akan diuraikan satu per satu.




B.2.a. Arti Pakaian pada Mahasiswa

B.2.a.i. Arti pakaian pada mahasiswa berdasarkan hasil wawancara

Tabel 4
Arti Pakaian Berdasarkan Hasil Wawancara
Respon Responden
Arti Pakaian
F % N %
Nyaman dan santai
1. Nyaman 4 8,89 4 14,29
Nggak ribet, tinggal pakai, santai

Menutup aurat
Kesopanan 2. Norma 11 24,44 11 39,28
Pantas

Menunjukkan siapa diri kita


Cerminan diri / kepribadian
Ekspresi diri
Kulit ke dua
Baju menunjukkan karakater
orang lain
Membuat percaya diri
Membuat diri lebih cantik
Pilihan pakaian sesuai ruang
dan waktu
Dipakai dapat menambah citra 3. Ekspresi Diri 30 66,67 18 64,29
diri, bila tidak sesuai dapat
menurunkan nilai diri
Orang melihat kita dari cara
berpakaian
Pakaian penting untuk
performance, orang pertama kali
melihat dari performance
Penarik perhatian
Menunjukkan apa yang sedang
dilakukan
Ket:
F: Frekuensi Respon


 

Pada tabel 4 tampak bahwa berdasarkan hasil wawancara, mahasiswa


mengartikan pakaian menjadi tiga kategori, yaitu nyaman, norma, dan ekspresi
diri. Dari tiga hal tersebut, ekspresi diri (66,67%) merupakan arti yang paling
banyak diungkapkan oleh responden, selanjutnya norma (24,44%) dan nyaman
(8,89%).

B.2.a.ii. Arti dan alasan mahasiswa mengenakan pakaian

Tabel 5
Arti dan Alasan Mengenakan Pakaian dari Data Jurnal Aktivitas Harian
Respon Response
Arti Pakaian Alasan
F % N %
A. Nyaman 564 70,67 28 100
1. Fungsi Fisik 480 60,15 28 100
2. Fungsi Sosial 42 5,26 13 46,42
3. Fungsi Visual 42 5,26 20 71,42

B. Norma 142 17,79 26 92,86


1. Kepantasan Kesopanan 53 6,64 19 67,86
2. Aturan Kewajiban 54 6,77 14 50

C. Ekspresi Diri 92 11,53 19 67,86


1. Gaya pakaian yang ingin
57 7,14 13 46.42
ditunjukkan kepada orang lain
2. Kesan diri yang ingin
35 4,39 9 32,14
ditampilkan kepada orang lain

Berdasarkan data tabel 5, dalam berpakaian ada tiga hal yang menjadi

pertimbangan mahasiswa dalam menentukan pilihan pakaiannya, yaitu bagaimana

dia mengekspresikan dirinya, kenyamananya, dan memperhatikan norma di mana

ia mengenakan pakaian. Dari ketiga hal ini, perasaan nyaman (70,67%) menjadi

prioritas utama orang muda dalam menentukan pilihan pakaiannya, dilanjutkan

pertimbangan terhadap norma (17,79%), dan terakhir baru mengekspresikan





identitas (11,53%). Namun dari jumlah persebaran respondennya, dapat diketahui

bahwa hampir semua responden memandang bahwa nyaman (100%) dan norma

(92,86%) merupakan alasan yang penting dalam berpakaian. Data ini juga

menunjukkan bahwa hanya ada 19 (67,86%) orang responden yang menggunakan

pakaian karena alasan untuk mengekspresikan diri.

Tabel 6
Arti dan Alasan Mengenakan Pakaian Berdasarkan Hasil Wawancara
Respon Responden
Arti Pakaian Alasan
F % N %
A. Nyaman 197 41,82 28 100
1. Fungsi Fisik 75 15,92 27 96,43
2. Fungsi Sosial 74 15,71 19 67,86
3. Fungsi Visual 48 10,19 13 46,43

B. Norma 161 35,03 24 85,71

1. Kepantasan/Kesopanan 100 21,41 23 82,14


2. Aturan/Kewajiban 61 13,06 22 78,57

C. Ekspresi
109 23,14 19 75
Diri
1. Gaya pakaian yang ingin
53 11,25 16 57,14
ditunjukkan kepada orang lain
2. Kesan diri yang ingin
56 11,89 18 64,29
ditampilkan kepada orang lain

Data pada tabel 6 menunjukkan ada persamaan antara hasil wawancara

dengan data dari Jurnal Aktivitas Harian bahwa alasan mahasiswa mengenakan

pakaian terkait dalam tiga hal, yaitu rasa nyaman dalam berpakaian, norma atau

ketentuan sosial yang berlaku dalam masyarakat, serta ekspresi diri. Data

wawancara ini juga konsisten dengan data Jurnal Aktivitas Harian, bahwa rasa


 

nyaman (41,82%) selalu menjadi prioritas utama dalam berpakaian, setelah itu

dilanjutkan dengan pertimbangan norma (35,03%), dan yang terakhir

pertimbangan ekspresi diri (23,14%). Semua responden memandang bahwa arti

pakaian adalah kenyamanan, dan 27 (96,43%) orang diantaranya memandang

kenyaman berpakaian dari fungsi fisiknya.

Data tabel 6 ini juga menunjukkan bahwa pada tataran ide, kepantasan dan

kesopanan merupakan faktor yang paling penting bagi responden dalam

mengenakan pakaian. Ada 23 (82,14%) orang responden yang memandang bahwa

kesopanan/kepantasan merupakan faktor yang penting dalam berpakaian. Jumlah

respon yang berikan oleh 23 responden ini melebih kategori arti lainnya, yaitu

sebesar 100 (21,41%). Di samping itu, ada 22 (78,57%) responden yang

mengartikan pakaian sebagai aturan dan kewajiban, dan 19 (67,86%) responden

yang mengartikan pakaian berdasarkan kenyaman fungsi sosial. Data-data ini

menunjukkan bahwa norma dan lingkungan sosial berperan penting dalam

menentukan pakaian orang muda.

Data penelitian pada tabel 13, 14, dan 15 ini secara umum menunjukkan

bahwa bagaimana mahasiswa mengartikan pakaian sama dengan alasan mereka

mengenakan pakaian. Mereka mengartikan pakaian sebagai rasa nyaman, norma,

ekspresi diri. Sementara itu alasan mereka mengenakan pakaian untuk

membangun identitas dirinya tanpa melepaskan diri dari pertimbangan norma

sosial masyarakat dan kenyamanan dirinya sendiri. Untuk lebih jelasnya, berikut




ini akan ditampilkan data arti pakaian menurut responden berdasarkan hasil

wawancara.

1). Nyaman

Tabel 7
Arti Nyaman Berdasarkan Hasil Wawancara
A. Arti Nyaman Respon Responden
F % N %
1. Fungsi Fisik
1. Di rumah mengenakan kaos oblong karena nyaman 13 17,33 13 46,43
2. Nyaman berarti santai 11 14,67 10 35,71
3. Nyaman karena menyerap keringat 9 12 7 25
4. Nyaman itu tidak panas, tidak gerah, silir 8 10,67 8 28,57
5. Arti pakaian itu nyaman/enak dikenakan 8 10,67 6 21,43
6. Lebih suka kaos karena nyaman, nggak terbatas, enak untuk 7 9,33 6 21,43
bergerak, tidak ribet

7. Di rumah mengenakan celana pendek karena nyaman 5 6,67 5 17,86


8. Nyaman pas di badan, nggak kegedean dan nggak kekecilan 5 6,67 5 17,86
9. Nyaman itu yang bahannya enak dipakai (lembut, halus) 4 5,33 4 17,86
10. Arti pakaian untuk melindungi tubuh 2 2,67 2 7,14
11. Di rumah pakai sarung karena nyaman 1 1,33 1 3,57
12. Nyaman itu simple 1 1,33 1 3,57
13. Senang mengenakan celana jeans 1 1,33 1 3,57

2. Fungsi Sosial
1. Nyaman berpakaian karena enak atau bagus ketika dilihat 13 17,57 7 25
orang lain
2. Nyaman mengenakan kemeja atau baju berkerah 13 17,57 9 32,14
3. Tidak ngejreng, tidak mencolok, tidak menor, dan tidak 9 12,16 7 25
norak, diliatin orang lain
4. Nyaman itu tampil formal dan rapi 9 12,16 7 25
5. Nyaman karena dapat diterima dan masuk dalam masyarakat 7 9,46 6 21,43
6. Nyaman itu pantas, sesuai dengan dress code, tidak salah 5 6,76 5 17,86
kostum
7. Bisa menempatkan diri di mana kita berada 3 4,05 3 10,71
8. Nyaman karena sopan 3 4,05 2 7,14
9. Tidak nyaman bila pakaiannya ada yang menyamai 3 4,05 2 7,14
10. Tidak suka kemeja yang banyak tulisannya dan gambarnya 2 2,70 2 7,14
Lanjut ke halaman berikut




11. Nyaman mengenakan kaos 2 2,70 2 7,14


12. Nyaman bila pakaian dapat membuat percaya diri 2 2,70 2 7,14
13. Pakaian itu menunjukkan mau ngapaian, sama siapa, sampai 1 1,35 1 3,57
jam berapa
14. Kemeja menandakan kematangan, siap bersosialisasi, siap 1 1,35 1 3,57
masuk ke dalam masyarakat
15. Suka mengenakan celana kain, belt, dan sepatu pantofel 1 1,35 1 3,57

3. Fungsi Visual
1. Pas di badan, tidak kebesaran, tidak kekecilan (seksi) 10 20,83 2 7,14
2. Nyaman itu juga seni, biar orang tidak boring 7 14,58 3 10,71
3. Nyaman, kalau dari segi warna cerah/soft 7 14,58 2 7,14
4. Tidak norak, ngejreng 5 10,41 2 7,14
5. Nyaman mengenakan celana pensil 3 6,25 2 7,14
6. Suka baju yang rapi dan pantas dipakai untukku 3 6,26 2 7,14
7. Menentukan pakaian berdasarkan warna kulit 2 4,17 2 7,14
8. Kemeja yang digulung membuat terlihat bagus, tidak 2 4,17 2 7,14
kelihatan buruk
9. Suka yang tidak stylish tapi enak dipandang 2 4,17 1 3,57
10. Pelayanan harus rapi karena tampil di atas mimbar 1 2,08 1 3,57
11. Modis 1 2,08 1 3,57
12. Nyaman itu bila matching warna pakaiannya 1 2,08 1 3,57
13. Nyaman itu keunikan 1 2,08 1 3,57
14. Kalau untuk keluar, modelnya harus bagus, kalaupun 1 2,08 1 3,57
nyaman tapi modelnya jelek tidak mau
15. Senengnya simpel, lucu, nggak terlalu ngikutin trend, 1 2,08 1 3,57
standar, nggak terlalu trend, modelnya nggak terlalu tua,
nggak terlalu ketinggalan gitu loh
16. Keluar mengenakan celana panjang supaya lebih match, 1 2,08 1 3,57
modis

Berdasarkan data pada tabel 7, dapat diketehai bahwa rasa nyaman dalam

berpakaian terkait dengan pada tiga hal, yaitu fungsi fisik, fungi sosial, serta

fungsi visual. Pakaian nyaman yang berdasarkan fungsi fisik terkait dengan

perasaan nyaman atau enak di tubuh ketika dikenakan dan biasa dikenakan dalam

keadaan santai (35,71%), bukan dalam situasi formal. Nyaman secara fungsi fisik

ini terepresentasi dalam kata-kata seperti tidak ribet, tidak panas, adem, tidak




ribet, simpel, silir, menyerap keringat, bebas bergerak, dan pas di badan. Ada 8

(28,57%) orang responden mengatakan nyaman berarti menyerap keringat dan 7

(25%) orang responden mengatakan bahwa nyaman berarti tidak panas, tidak

gerah, dan silir. Hal ini mengindikasikan bahwa pakaian yang nyaman secara

fungsi fisik berkaitan dengan kondisi cuaca atau suhu udara. Jenis pakaian yang

nyaman berdasarkan fungsi fisik ini adalah kaos oblong menurut 13 (46,43%)

orang responden, dan celana pendek menurut 5 (17,86%) orang responden, serta

kedua pakaian ini biasanya dikenakan di rumah.

Pakaian yang nyaman berdasarkan fungsi sosial terkait dengan perasaan

nyaman dalam diri responden ketika pakaiannya sesuai dengan lingkungan

sosialnya. Responden merasa pakaiannya bagus ketika ia terlihat bagus oleh orang

lain (17,57%), tidak mencolok/ngejreng/menor/norak ketika dilihat oleh orang

lain (12,16%), serta ketika tampil formal dan rapi (12,16%). Oleh karena itu,

kemeja dan baju berkerah (17,57%) menjadi jenis pakaian yang paling

merepresentasikan kenyaman berdasarkan fungsi sosial in menurut 9 (32,14%)

orang responden. Orang muda merasa nyaman secara sosial ketika ia merasa

dapat menempatkan dirinya secara tepat dalam berpakaian sesuai dengan ruang

dan waktu di mana ia berada sehingga dirinya dapat diterima oleh masyarakat

atau orang sekitarnya. Perasaan nyaman ini muncul ketika responden merasa ia

telah mengenakan pakaian yang tepat, tidak salah kostum, dan berpakaian yang

sopan. Ketika responden merasa nyaman secara sosial, ia akan merasa lebih

percaya diri dalam bersosialisasi dengan orang lain.




Nyaman berdasarkan fungsi visual berkaitan dengan seni atau keindahan

dalam berpakaian. Responden merasa nyaman berpakain berdasarkan fungsi

visual ketika ia merasa cara berpakaiannya enak dilihat dan tidak terlihat buruk

oleh orang lain. Untuk itu, responden cenderung mengenakan pakaian matching,

modis, modelnya bagus, warnanya bagus, cerah, sesuai dengan warna kulit, tidak

ngejreng atau norak, ukurannya pas dibadan, dan unik.

2). Norma

Tabel 8
Arti Norma Berdasarkan Hasil Wawancara
Respon Responden
B. Norma
F % N %
1. Kepantasan Kesopanan
1. Ke gereja/jumatan lebih rapi, untuk bertemu Tuhan, 14 15,21 7 25
menghormati
2. Pakaian yang penting rapi 11 11,96 4 14,29
3. Arti pakaian sebagai penutup aurat/badan 8 8,69 8 28,57
4. Ke gereja mengenakan pakaian yang sopan untuk 9 9,78 6 21,42
menghormati Tuhan
5. Baju itu kepantesan 7 7,61 5 17,85
6. Memakai kemeja karena rapi 6 6,52 6 21,42
7. Berpakaian rapi saat kondangan/nikahan 5 5,43 5 17,85
8. Baju itu kesopanan /yang penting kesopanan 5 5,43 4 14,29
9. Berpakaian rapi untuk menghormati 4 4,34 4 14,29
10. Kemeja dan celana panjang itu sopan 4 4,34 4 14,29
11. Pakai baju tergantung pada situasi, kegiatannya 4 4,34 4 14,29
12. Ke gereja bertemu Tuhan harus resmi 4 4,34 3 10,71
13. Ke gereja berpakaian sopan karena ada kumpulan orang 3 3,26 3 10,71
14. Di gereja mengenakan pakaian yang formal (Celana kain, 2 2,17 2 7,14
Batik/kemeja, Sepatu)
15. Kalau pakai yang pendek dan ketat itu tidak sopan 2 2,17 2 7,14
16. Pakaiannya panjang dan tidak ketat karena memakai jilbab 1 1,08 1 3,57
17. Jilbab membuat jadi tidak urakan, ketawa keras, dan 1 1,08 1 3,57
menjaga sikap dari laki-laki
Lanjut ke halaman berikut




18. Berjilbab yang pas, tapi agak longgar sedikit supaya lekuk 1 1,08 1 3,57
tubuh tidak kelihatan sehingga bisa masuk ke kalangan
Islam ekstrim, maupun kalangan Islam non-ekstrim, dan
kolongan non Islam
19. Mengenakan longdress Kaos you can see yang dipadukan 1 1,08 1 3,57
dengan cardigan
20. Pakai baju warna-warni, colourful, bunga-bunga supaya 1 1,08 1 3,57
tidak terlihat serius, tapi bisa digunakan pada acara yang
serius
21. Kalau keluar nggak pernah pakai baju yang nggak 1 1,08 1 3,57
berlengan
22. Kuliah pakaian yang sopan, nggak ketat, pakai celana 1 1,08 1 3,57
panjang, dan kemeja
23. Jumatan rapi, pakai batik dan sarung karena pengen 1 1,08 1 3,57
ngadepin yang bikin hidup
24. Kondangan mengenakan pakaian yang resmi 1 1,08 1 3,57
25. Di gereja bareng-bareng sama orang yang mengenakan 1 1,08 1 3,57
pakaian yang resmi, jadi aku ikut aja
2. Aturan Kewajiban
1. Di kampus mengenakan kaos berkerah atau kemeja karena 23 44,23 14 50
diharuskan
2. Kemeja untuk waktu kuliah karena waktunya resmi 5 9,61 4 14,29
3. Ke kampus harus berpakaian rapi 5 9,61 5 17,86
4. Sholat mengenakan pakaian yang bersih dan baru 4 7,69 2 7,14
5. Kuliah celana panjang kain 3 5,77 2 7,14
6. Jumatan menggunakan parfum, untuk Tuhan harus wangi 3 5,77 1 3,57
7. Pakai jilbab pas ke kampus 2 3,85 2 7,14
8. Pakai jilbab karena agamaku Islam 2 3,85 2 7,14
9. Melindungi dari mata lelaki 2 3,85 2 7,14
10. Ibadah (Ke Vihara/gereja) saat kebaktian harus pakai 2 3,85 2 7,14
celana panjang dan baju berkerah
11. Masuk ke forum publik itu harus formal karena ada 2 3,85 2 7,14
kumpulan orang
12. Kerja harus rapi 2 3,85 1 3,57
13. Kerja terpaksa mengenakan kemeja 1 1,92 1 3,57
14. Punya pengalaman ditegur suster karena salah kostum, 1 1,92 1 3,57
saat tugas misa mengenakan jeans
15. Ke kampus mengenakan pakaian yang formal seperti 1 1,92 1 3,57
kemeja dan sepatu, pakaian lengan panjang, bahkan
rambut tidak boleh gondrong, tidak boleh pakai sepatu
sendal, apalagi sandal
16. Ke Vihara tidak boleh pakai baju yang tidak berlengan 1 1,92 1 3,57
dan celana yang di atas lutut




Data pada tabel 8 menunjukkan bahwa mahasiswa menggunakan

pertimbangan norma dalam mengartikan dan menentukan pilihan pakaiannya.

Dalam hal ini, ada dua hal yang menjadi pertimbangan bagi mahasiswa, yaitu

kenyamanan/kesopanan dalam berpakaian dan aturan atau kewajiban berpakaian.

Responden memperhatikan norma dalam berpakaian ketika responden berada

pada ruang publik yang formal/resmi seperti di kampus, tempat ibadah, dan

tempat kerja karena pada tempat-tempat tersebut terdapat aturan berpakaian baik

itu tertulis, maupun tidak.

Dalam pertimbangan kesopanan dan kepantasan, 8 (28,57%) orang responden

memandang bahwa pakaian berarti sebagai penutup aurat/badan. Hal berarti

mereka mengartikan pakaian sebagai kesopanan dan kepantasan dalam

bermasyarakat. Bagi mahasiswa, mengenakan pakaian yang sopan berarti

menghormati orang lain, serta sosok yang dimuliakan, yaitu Tuhan. Oleh karena

itu, tidaklah heran bila 7 (25%) orang responden mengenakan pakaian yang rapi

saat beribadah baik itu di rumah maupun di tempat ibadah. Mereka mengatakan

bahwa mereka mengenakan pakaian yang rapi dalam rangka bertemu dan

menghormati Tuhan. Dalam berpakaian, mereka rela menomorduakan bahkan

melepaskan kepentingan pribadinya untuk demi kesopanan dan kepantasan. Hal

ini tergambar dari tuturan seorang mahasiswa berusia 19 tahun yang kuliah di

Jurusan Teknik Pertambangan, UPN berikut ini:




”Baju tu kaya kesopanan menurutku. Kalau keluar gitu nggak pernah saya pake
baju yang nggak berlengan gitu walaupun sebenarnya saya nyaman gitu. Kalau di
kamar saya sering cuman pake sarung aja gitu loh”

Responden selalu mengikuti aturan-aturan berpakaian sesuai ruang dan waktu

aktivitasnya dan dengan siapa mereka berhadapan. Mereka cenderung memilih

pakaian yang rapi, sopan, dan ’pantas’ sesuai dengan norma dan aturan di

lingkungan sosial di mana ia berada. Pada saat di kampus, yang merupakan ruang

sosial utama mereka, 14 (50%) orang responden mengatakan bahwa mereka

mengenakan kaos berkerah atau kemeja karena diharuskan. Mereka melakukan

ini karena keharusan, meskipun ada di antara mereka yang tidak akan

mengenakan kemeja bila tidak diharuskan.

Mahasiswa dalam berpakaian selalu menegosiasikan kenyamanan dan

identitas pribadinya dengan keadaan sosial di mana ia berada. Mereka

menempatkan orang lain dalam menentukan pilihan pakaiannya. Seseorang

dipandang dewasa bila ia semakin bisa melebur dalam masyarakat. Hal ini

tergambarkan melalui cuplikan hasil wawancara dengan R18, mahasiswa Teknik

Geologi UGM yang saat diwawancara masih semester 10:

“Aku mulai suka formal itu ya mulai semester-semester akhir, jadi suka pakai
kemeja... Kalau kita sudah semester akhirkan sudah mature. … kalau kita pake
kemeja, memberi kesan kita tu dewasa. Ya kita sudah waktunya untuk
bermasyarakat. Ya sudah waktunya kita untuk bersosialisasi dengan masyarakat.”

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam berpakaian mahasiswa berusaha

untuk menjaga keharmonisan dan kerukunan dalam masyarakat. Mereka berusaha

untuk menjadi bagian dari masyarakat dengan mengikuti aturan dan norma yang ada


 

di masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa identitas mahasiswa terkait dengan

ruang sosialnya.

3). Ekspresi Diri

Tabel 9
Arti Mengekspresikan Diri Berdasarkan Hasil Wawancara
Respon Responden
C. Ekspresi Diri
F % N %
1. Gaya pakaian yang ingin ditunjukkan kepada orang lain
1. Unik/tampil beda dengan yang lain 21 39,62 8 28,57
2. Casual 7 13,21 3 10,71
3. Suka pakaian yang lucu 6 11,32 4 14,29
4. Mengikuti trend 5 9,43 5 17,86
5. Suka pakaian yang simpel, gak ngikutin tren, tapi juga gak 4 7,55 2 7,14
ketinggalan jaman
6. Modis 3 5,66 3 10,71
7. Pakaian itu fashion, fashionable 2 3,77 2 7,14
8. Pakai kemeja supaya terlihat keren 2 3,77 2 7,14
9. Sporty tapi suka pakai gaun 2 3,77 1 3,57
10. Kelihatan sexy 1 1,89 1 3,57

2.Kesan yang ingin ditampilkan kepada orang lain


1. Arti pakaian adalah mencerminkan, menggambarkan, 24 42,86 16 57,14
menunjukkan diri/kepribadian, serta kulit ke dua
2. Pakaian membuat percaya diri 7 12,5 6 21,43
3. Suka pakaian yang santai, mencerminkan diri yang santai dan 6 10,71 3 10,71
cuek
4. Pakaian itu yang penting santai (mencerminkan easy going) 5 8,92 1 3,57
5. Arti pakaian untuk menambah citra diri / membentuk image, 4 7,14 4 14,29
penarik perhatian
6. Tidak boleh terlihat serius 3 3,57 1 3,57
7. Aku memakai pakaian aku ingin dilihat seperti apa 2 3,57 2 7,14
8. I love kaos oblong karena tipikal anak cuek 1 1,79 1 3,57
9. Memakai pakaian yang colouful supaya menarik, ceria 1 1,79 1 3,57
10. Pacaran mengenakan celana jeans dan polo shirt karena aku 1 1,79 1 3,57
ingin dilihat sebagai anak muda
11. Pakai baju warna-warni, colourful, bunga-bunga supaya tidak 1 1,79 1 3,57
terlihat serius
12. Keliahatan matcho 1 1,79 1 3,57





Data pada tabel 9 menunjukkan bahwa pakaian merupakan sarana mahasiswa

mengekspresi dirinya. Dari data diketahui bahwa mahasiswa menggunakan

pakaian untuk menunjukkan dua kesan kepada orang lain. Yang pertama, kesan

mengenai gaya pakaian yang dikenakannya itu sendiri, dan yang kedua kesan

mengenai kepribadian atau dirinya yang ingin ditunjukkan kepada orang lain.

Dalam berpakaian, responden ingin sekali menunjukkan keunikannya (39,62%)

responden kepada orang lain. Mereka senang mengenakan pakaian yang dapat

membedakan diri mereka dengan orang lain. Selain itu, gaya pakaian yang ingin

mereka tonjolkan kepada orang lain adalah kasual, mengikuti trend, tidak

mengikuti trend, sporty, sexy, modis, fashionable, keren, lucu, serta simple.

Beradasarkan penuturan 16 (57,14%) responden, pakaian juga merupakan

kulit kedua untuk menunjukkan, mencerminkan, atau menggambarkan dirinya

kepada orang lain. Selain itu, bagi 6 (21,43%) responden, pakaian dapat

meningkatkan kepercayaan diri. Hal ini dijelaskan oleh 4 (14,29%) orang

responden bahwa pakaian merupakan penarik perhatian karena dapat

meningkatkan atau membentuk citra diri seseorang. Responden mengenakan

pakaian sebagai mana mereka ingin dilihat atau dinilai oleh orang lain. Seperti

mengenakan pakaian bunga-bunga, colourful, supaya tampak manarik dan ceria;

mengenakan kaos oblong supaya terkesan simpel, easy going, serta cuek; dan

mengenakan jeans supaya tampak seperti orang muda.

Responden memandang bahwa menjadi tolak ukur bagi orang lain untuk

menilai responden. Responden memandang bahwa pakaian merupakan hal


 

pertama yang dilihat orang lain untuk menilai penampilannya dan karakternya,

seperti yang diungkapkan oleh R6, Mahasiswi Teknik Kimia UGM yang berusia

18 tahun:

”Eh.... sesuatu-sesuatu yang dibilang penting ya penting juga si sebenarnya


soalnya dari awal tu orang pasti ngeliatnya ke performance dulu. Gituloh. Jadi ya
pakaiannya harus disesuaiin. Jadi pakaian tu penting sebenarnya untuk mendukung
performance.”

Dari hasil penelitian ini, secara umum mahasiswa mengartikan pakaian ke dalam

tiga hal yaitu untuk untuk kenyamanan, tuntutan norma atau aturan dalam masyarakat

yang harus dipatuhinya, dan mengekspresikan dirinya. Data ini juga menunjukkan

bahwa arti pakaian yang nyaman fungsi sosial berkaitan dengan rasa nyaman yang

muncul ketika responden mengartikan pakaian yang sesuai dengan norma dalam

masyarakat. Sementara itu, pakaian yang nyaman secara fungsi visual merupakan

kenyaman yang muncul ketika responden dapat mengekspresikan dirinya. Artinya

kenyaman responden dalam berpakaian juga terkait dengan keadaan responden

menegosiasikan model pakaian untuk mengekspresikan dirinya dengan lingkungan

sosialnya. Pakaian bagi mahasiswa merupakan sarana untuk mengekspresikan

dirinya, namun juga sekaligus sarana bagi mereka untuk masuk menjadi bagian dari

masyarakat. Oleh kerena itu, dengan berpakaian dengan gaya tertentu, mahasiswa

membangun identitas diri sekaligus identitas sosial.




B.2.a.iii. Konteks mahasiswa mengenakan pakaian berdasarkan ruang dan

alasannya

Berikut ini akan disajikan konteks mahasiswa mengenakan pakaian, yang

akan dibahas dari 2 hal, yaitu alasan mengenakan pakaian dari ruang dan waktu

dan alasan menengenakan jenis pakaian tertentu. Kedua hal ini penting karena

ternyata data penelitian berdasarkan analisis Jurnal Aktivitas Harian menunjukkan

bahwa mahasiswa mengenakan pakaian tergantung pada konteks ruang dan waktu

tertentu.

1). Tempat atau saat yang penting bagi mahasiswa dalam mengenakan pakaian

Tabel 10
Tempat yang Penting Bagi Mahasiswa Dalam Mengenakan Pakaian
Tempat yang Respon Responden
Penting F % N %
1. Kondangan 12 11,43 7 25
2. Ibadah 53 50,48 18 64,29

3. Kampus 34 32,38 15 53,57

4. Keluar 6 5,71 5 17,85

Data dari tabel 10 ini menunjukkan bahwa responden sangat memperhatikan

gaya berpakaiannya ketika berada di ruang publik seperti saat ibadah baik itu di

tempat ibadah maupun di rumah sendiri, saat kuliah di kampus, saat ada

kondangan atau pernikahan, dan saat keluar. Data ini juga menunjukkan bahwa

ibadah (50,48%) merupakan saat yang paling sering bagi orang muda untuk




memperhatikan cara berpakaiannya. Hal ini mengindikasikan bahwa agama

berperan sangat penting dalam mempengaruhi cara berpakaian orang muda.

2). Arti mengenakan pakaian berdasarkan ruang dan waktunya

Tabel 11
Arti Berpakaian Berdasarkan Ruang dan Waktunya
Respon Responden
Ruang dan Makna
F % N %
1. Rumah
a. Nyaman Fungsi Fisik 404 44,64 27 97,43
b. Ekspresi Diri 14 1,55 7 25
c. Norma 12 1,32 3 10,71
2. Keluar / jalan / pergi
a. Nyaman Fungsi Fisik 153 16,90 22 78,57
b. Norma 24 2,65 11 39,29
c. Ekspresi Diri 17 1,88 12 42,86
3. Kampus
a. Norma 89 9,83 21 75
b. Nyaman Fungsi Fisik 69 7,62 14 50
c. Ekspresi Diri 29 3,20 10 35,71
4. Tempat Kerja
a. Norma 28 3,09 6 21,42
b. Nyaman Fungsi Fisik 8 0,88 4 14,29
a. Ekspresi Diri 6 0,66 3 10,71
5. Tempat Ibadah
a. Norma 23 2,54 10 35,71
b. Nyaman Fungsi Fisik 24 2,65 9 32,14
c. Ekspresi Diri 5 0,55 3 10,71

Data dari tabel 11 menunjukkan bahwa saat di rumah responden lebih

mempertimbangkan kenyamanan dalam mengenakan pakaian. Pada saat keluar

jalan-jalan atau pergi pada situasi yang santai, responden juga cenderung

mempertimbangkan kenyamanannya dalam memilih pakaian. Pada saat berada di




ruang publik yang formal, seperti di kampus, tempat kerja, dan tempat ibadah,

orang muda cenderung mempertimbangkan norma dalam menentukan pilihan

pakaiannya. Dalam ruang publik, ekspresi diri selalu menjadi pertimbangan

terkecil dalam berpakaian.

Data ini menunjukkan bahwa dalam berpakaian mahasiswa tidak hanya

mengekspresikan dirinya semata-mata, melainkan juga memperhatikan keadaan

dirinya agar diterima oleh masyarakat. Mereka selalu menegosiasikan gaya

pakaiannya dengan keadaan sosial masyarakat di mana ia berada, seperti yang

sebutkan oleh R28, seorang mahasiswa Kedokteran Hewan UGM yang berusia 22

tahun berikut ini:

”Kalau baju sehari-hari, misalnya jalan-jalan aku banyakan pakai kaos. Kalo
kuliah ya pakai yang berkerah, hem, atau apa itu. Kalau ke gereja ya pakai hem,
lengan panjang. Kalau ke gereja kadang sama dengan ke kampus kadang dilebihkan.
Lebih resmi karena di gereja kan bareng-bareng sama orang. Kebanyakan orang di
gereja itu suka yang lebih gitu ya aku ngikutin aja. Ke gereja kalo ada pakaian yang
terbaik ya pakailah yang terbaik. Nggak asal pakai gitu. Misalnya kalo kaosan doank,
ke gereja kok kaosan doank, kayaknya tu nggak niat. Itu sebenarnya nggak
mempengaruhi keadaan hatiku. Aku ke gereja ya hatiku ke gereja. Nggak aku ke
gereja karena pakaianku kayak gini terus ke gerejanya nggak sepenuh hati. Itu bukan
masalah hati, tapi masalah kesopanan dengan orang luar”

R28 menempatkan dirinya dalam berpakaian sesuai dengan situasi dan

kondisi di mana ia berada dan dengan siapa ia bertemu. Ia mengenakan kaos saat

jalan-jalan, mengenakan kemeja rapi saat kuliah dan bertemu dosen karena aturan

kampus, dan mengenakan kemeja yang lebih resmi di gereja karena

menyesuaikan orang-orang yang ada di gereja. Hal ini menunjukkan bahwa orang




muda sangat toleransi dalam berpakaian. Mereka fleksibel menyesuaikan gaya

pakaianya dengan aturan atau norma yang berlaku di mana ia berada. Jadi sebesar

apapun keinginan orang muda untuk mengikuti tren, mereka tetap menyesuaikan

dengan aturan dan norma yang berlaku.

3). Jenis pakaiannya

Tabel 12
Jenis Pakaian dan Alasannya
Jenis Pakaian dan Alasannya Respon Responden
F % N %
A. Atasan
1. Kaos 198 52,52 28 100
a. Nyaman Fungsi Fisik 208 55,17 28 100
b. Ekspresi Diri 19 5,04% 11 39,29
2. Kemeja Berkerah 68 18,04 27 96,43
a. Norma 66 17,51 24 85,71
b. Nyaman 29 7,69 13 46,43
3. Kaos berkerah 36 9,55 15 53,37
a. Nyaman Fungsi Fisik 16 4,24 8 28,57
b. Norma 14 3,71 9 32,14
4. Jaket, cardigan, sweater 35 9,28 16 57,14
a. Nyaman Fungsi Fisik 14 3,71 9 32,14
5. Pakaian Tidur (piyama, 27 7,16 8 28,57
daster)
a. Nyaman Fungsi Fisik 38 10,08 8 28,57
6. Tanktop / kaos tanpa lengan 14 3,71 7 25
a. Nyaman Fungsi Fisik 22 5,84 6 21,43

B. Bawahan
1. Celana Pendek Kain 77 46,11 23 82,14
a. Nyaman Fungsi Fisik 77 46,11 18 64,29
2. Jeans 65 38,91 27 96,43
a. Nyaman Fungsi Fisik 20 11,98 7 25
Lanjut ke halaman berikut




b. Ekspresi Diri 15 8,98 9 32,14


c. Norma 4 2,39 7 25
3. Celana Jeans 7/8 & 3/4 14 8,38 9 32,14
a. Norma 4 2,39 4 14,29
4. Celana Panjang Kain 6 3,59 5 17,86
a. Norma 6 3,59 5 17,86
5. Sarung 5 2,99 4 14,29
a. Nyaman Fungsi Fisik 5 2,99 4 14,29
b. Norma 2 1,19 2 17,86

Tabel 13
Arti Pakaian Berdasarkan Jenis Pakaian
Ekspresi
No. Nyaman Fungsi Fisik Norma
Diri
1 Kaos Kemeja Berkerah Jeans
2 Kaos berkerah Kaos berkerah Kaos
3 Jaket /cardigan/sweater Jeans
4 Pakaian tidur (piyama, daster) Celana jeans 7/8 atau 3/4
5 Tanktop/kaos tanpa lengan Celana panjang kain
6 Celana pendek kain Sarung
7 Jeans
8 Sarung

Data dari tabel 12 dan 13 menunjukkan bahwa kaos, jaket/cardigan/sweater,

pakaian tidur, tanktop/kaos tanpa lengan, dan celana pendek kain

merepresentasikan nyaman fungsi fisik. Kemeja berkerah, celana jeans 7/8 atau

¾, serta celana panjang kain merepresentasikan norma. Kaos berkerah dan sarung

merepresentasikan norma dan kenyamanan dilihat dari fungsi fisik. Celana

merupakan satu-satunya jenis pakaian yang merepresentasikan ketiga kategori arti

pakaian tersebut, antara lain nyaman fungsi fisik, norma dan ekspresi diri.




Data ini menunjukkan bahwa jenis pakaian responden cenderung lebih banyak

merepresentasikan norma dan kenyamanan dirinya secara fisik. Artintya dalam

berpakaian, respoden justru kurang memperhatikan ekspresi dirinya, identitas

mereka disesuaikan dengan kenyaman secara fisik dan mempertimbangkan

padangan sosial.

Kedua data di atas menunjukkan bahwa responden dalam praktek berpakaian

cenderung mengikuti norma yang ada pada saat ia sedang berada di ruang publik.

Mereka mengenakan pakaian yang merepresentasikan norma seperti kemeja

berkerah, kaos berkerah, jeans, celana kain, celana 3/4 atau celana 7/8. Sedangkan

pada saat sedang berada di ruang pribadi, di rumah atau di kos, dan di ruang

publik yang tidak formal seperti saat jalan-jalan, mereka cenderung

mempertimbangkan kenyamanan secara fisik dalam berpakaian. Mereka

cenderung mengenakan pakaian yang nyaman seperti bahwa kaos,

jaket/cardigan/sweater, pakaian tidur (piyama/daster), tanktop/kaos tanpa lengan,

dan celana pendek kain. Data ini mengindikasikan bahwa mahasiswa cenderung

menyesuaikan identitas dirinya dengan norma yang berlaku pada masyarakat atau

kelompok sosial di mana ia berada.




Konteks Mahasiswa Mengenakan Pakaian Berdasarkan Jurnal Aktivitas Harian

Celana Pendek

Piyama/Daster

  Jaket/Sweater/
Ruang Pribadi jumper

Ekspresi Diri Tank top / kaos
 Jalan-jalan/ & Nyaman tanpa lengan
Keluar/Pergi Fungsi Visual
Kaos Oblong
Ruang &
Kampus Nyaman
Waktu Fungsi Fisik Jeans

Norma & sarung


Tempat Ibadah
Nyaman
Fungsi Sosial Kaos Berkerah

Tempat Kerja Kemeja

Celana ¾ & 7/8

Celana Panjang

Gambar 2. Konteks Mahasiswa Mengenakan Pakaian Berdasarkan Jurnal Aktivitas

Harian


 

B.2.b. Sumber informasi yang membentuk pengetahuan mahasiswa mengenai

berpakaian

Tabel 14
Sumber Informasi Mahasiswa Mengenai Cara Berpakaian
Respon Responden
Sumber Informasi
F % N %
Media 14 42,42 11 39,29
Teman 10 30,3 10 35,71
Keluarga 4 12,12 4 14,29
Observasi orang sekitar
3 9,09 3 10,71
yang tidak dikenal
Tidak ada 2 6,06 2 7,14

Dari 4 sumber informasi yang ada, media menjadi sumber informasi yang paling

banyak memberikan pengetahuan tentang gaya dan model pakaian pada mahasiswa.

Ada 11 (36,7%) responden yang mengakui bahwa mereka mendapatkan informasi

dari 14 (42,4) media, 10 (33,3) responden mendapatkan informasi dari teman, 4

(13,3%) orang responden dari keluarga, dan 3 (10%) orang responden mendapatkan

informasi mengenai gaya berpakaian dari hasil observasi terhadap orang-orang di

sekitarnya.

Tabel 15
Orang yang Dibayangkan
Responden %
Orang yang dibayangkan
P L N P L N
Teman 4 4 8 33,33 28,57 28,57
Orang yang lebih tua /
panutan 2 5 7 16,67 35,71 25
Tidak ada/style sendiri 5 1 6 41,67 7,14 21,42
Media 0 4 4 0 28,57 14,29
Orang se-etnis 1 0 1 8,33 0 3,57





Keterangan:
P: Perempuan
L: Laki-laki

Dari 15 orang responden yang menyebutkan orang yang dibayangkan memiliki

gaya pakaian yang sama dengan dirinya, 15 (57,7%) responden menyebutkan orang-

orang yang ada di sekitarnya. Dari 15 orang tersebut, 8 (28,57%) responden

menyebutkan teman-teman sebagai sosok yang dibayangkan, dan 7 (25%) responden

menyebutkan orang yang lebih tua dan menjadi panutan (orang tua, kakak,

rohaniwan, dosen, serta eksekutif muda) sebagai sosok yang dibayangkan.

Mahasiswa menjadikan orang di sekitarnya sebagai referensi gaya berpakaiannya.

Selebihnya, sebanyak 4 (15,29%) orang responden menyebutkan tokoh yang ada di

media sebagai sosok yang dibayangkan memiliki gaya yang mirip dengan dirinya

seperti artis, atlit, dan tokoh petualang di TV. Sisanya, ada 6 (21,42%) orang

responden yang menyebutkan bahwa tidak ada orang yang mereka bayangkan

memiliki gaya pakaian yang sama dengan mereka, artinya mereka memiliki style

sendiri yang berbeda dengan orang lain. Data ini menunjukkan bahwa mahasiswa

menjadikan orang terdekatnya sebagai sumber referensi gaya berpakaiannya.

Data dari tabel 14 dan tabel 15 menunjukkan bahwa sumber informasi bagi

mahasiswa tentang cara berpakaian berasal dari media, akan tetapi orang yang

mereka bayangkan pada saat memilih pakaian bukanlah tokoh-tokoh yang ada di

media, melainkan orang-orang di sekitarnya. Artinya, dalam menentukan pilihan

pakaian, mereka menegosiasikan informasi dari media dengan ruang sosial di mana ia

berada. Hasil negosiasi tersebut adalah pilihan gaya berpakaian disesuaikan dengan


 

ruang dan waktu tertentu, tetapi mereka tetap mengikuti tren dan mode yang di

tawarkan media. Hal ini mengindikasikan bahwa identitas diri mahasiswa yang

tercermin dari gaya berpakaiannya berkaitan dengan identitas sosialnya sebagai

bagian dari masyarakat.

B.2.c. Perbedaan Laki-laki dan Perempuan dalam Mengenakan Pakaian

Berikut ini akan disajikan hasil analisa perbedaan laki-laki dan perempuan dalam

mengenakan pakaian. Data ini penting dilakukan karena hasil analisa dari kedua

sumber data, Jurnal Aktivitas Harian dan wawancara, menunjukkan bahwa ada

perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengartikan pakaian. Laki-laki

lebih mempertimbangkan norma serta kenyamanan secara sosial dan visual, dan

perempuan lebih mempertimbangkan kenyamanan fisik dan ekspresi identitasnya.

Untuk lebih jelasnya akan disajikan pada tabel-tabel berikut ini:

B.2.c.i. Arti dan alasan mahasiswa mengenakan pakaian

Tabel 16
Arti Pakaian pada Mahasiswa Berdasarkan Hasil Wawancara
Respon Responden
Arti Pakaian F % N %
P L P L P L P L
1. Nyaman 2 2 7,69 10,53 2 2 14,29 14,29
2. Norma 5 6 19,23 31,58 5 6 35,71 42,86
3. Ekspresi Diri 19 11 73,08 57,9 10 8 71,43 57,14

Data hasil wawancara pada tabel 16 menunjukkan bahwa responden perempuan

lebih banyak mengartikan pakaian sebagai ekspresi diri dengan respon sebanyak




73,08% dibadingkan responden laki-laki yang responnya sebanyak 57,9%. Di sisi

lain, responden laki-laki lebih banyak mengartikan pakaian sebagai norma dengan

jumlah respon sebanyak 31,58%, dibandingkan dengan responden perempuan yang

jumlah responnya sebanyak 19,23%.

Tabel 17
Arti dan Alasan Berpakaian Berdasarkan Jenis Kelamin dari Data Jurnal Aktivitas
Harian
Respon (F) Responden (N)
Arti
Alasan Mengenakan F % N %
Pakaian
P L P L P L P L
A. Nyaman 76 121 35,19 47,45 14 14 100 100
1. Fungsi Fisik 41 34 18,98 13,33 13 14 92,86 100
2. Fungsi Sosial 26 48 12,04 18,82 8 11 57,14 78,57
3. Fungsi Visual 9 39 4,17 15,29 5 8 35,71 57,14

B. Norma 74 91 34,26 35,89 12 12 85,71 85,71


1. Kepantasan/Kesopanan 45 55 20,83 21,57 12 11 85,71 71,43
2. Aturan Kewajiban 29 36 13,43 14,12 12 10 85,71 71,43

C. Ekspresi
66 43 30,56 16,83 10 11 71,43 78,57
Diri
1. Gaya pakaian yang ingin
ditunjukkan kepada 27 26 12,5 10,19 8 10 57,14 71,43
orang lain
2. Kesan diri yang ingin
ditampilkan kepada 39 17 18,06 6,67 11 7 78,57 50
orang lain

Data hasil wawancara di tabel 17 menunjukkan bahwa jumlah responden

perempuan mengartikan pakaian lebih pada sebagai kenyamanan fisik (18,98%) dan

ekspresi diri (30,56%). Sementara itu, responden laki-laki lebih mengartikan pakaian

sebagai kenyaman secara sosial (18,82%) dan visual (15,29), serta tuntutan norma

(35,89%), yaitu kesopanan/kepantasan (21,57%) dan aturan/kewajiban (14,12%).




B.2.c.ii. Konteks mengenakan pakaian

Tabel 18
Ruang dan Arti Mengenakan Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin
Respon Responden
Ruang dan Arti F % N %
P L P L P L P L
1. Rumah
a. Nyaman 239 152 47,99 38,58 13 14 92,86 100
b. Ekspresi Diri 5 9 1 2,28 3 4 21,43 28,57
c. Norma 8 4 1,61 1,01 1 2 7,14 14,29
2. Keluar / jalan / pergi
a. Nyaman 113 40 22,69 10,15 11 11 78,57 78,57
b. Norma 8 16 1,61 4,06 2 9 14,29 64,29
c. Ekspresi Diri 10 7 2,01 1,78 7 5 50 35,71
3. Kampus 0
a. Norma 36 53 7,23 13,45 9 12 64,29 85,71
b. Nyaman 31 38 6,22 9,64 8 14 57,14 100
c. Ekspresi Diri 12 17 2,41 4,31 3 7 21,42 50
4. Tempat Kerja
a. Norma 12 16 2,41 4,06 4 2 28,57 14,29
b. Nyaman 6 2 1,20 0,51 2 1 14,29 7,14
a. Ekspresi Diri 3 3 0,60 0,76 1 2 7,14 14,29
5. Tempat Ibadah
a. Norma 3 20 0,60 5,10 2 8 14,29 57,14
b. Nyaman 9 15 1,81 3,81 3 6 21,43 42,86
c. Ekspresi Diri 3 2 0,60 0,51 2 1 14,29 7,14

Data dari tabel 18, berdasarkan alasan berpakaian ketika di ruang pribadi dan

tempat santai, responden perempuan lebih banyak memberikan respon

dibandingkan responden laki-laki. Sedangkan ketika di ruang yang formal seperti

kampus, tempat ibadah dan tempat kerja, responden laki-laki yang lebih banyak

memberikan respon dibandingkan responden perempuan.




B.2.c.iii. Jenis pakaian

Tabel 19
Jenis Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin
Respon Responden
Jenis Pakaian F % N %
P L P L P L P L
1. Pakaian Tidur (piyama, daster) 27 0 12,44 0 8 0 57,14 0
2. Tanktop/kaos tanpa lengan 11 3 5,07 1,88 4 3 28,57 21,43
3. Jeans 39 26 41,94 35,13 14 13 100 92,86
4. Celana Pendek Kain 45 32 48,39 43,24 10 13 71,43 92,86
5. Kaos 109 89 50,23 55,63 14 14 100 100
6. Jaket, cardigan, sweater 16 12 9,22 9,38 8 8 57,14 57,14
7. Celana Jeans 7/8 & 3/4 7 7 7,53 9,45 4 5 28,57 35,71
8. Kemeja Berkerah 33 35 15,21 21,88 13 14 92,86 100
9. Kaos berkerah 17 19 7,83 11,88 7 8 50 57,14
10. Celana Panjang Kain 2 4 2,15 5,41 2 3 14,29 21,43
11. Sarung 0 5 0 6,76 0 4 0 28,57

Dari jenis pakaiannya, responden perempuan lebih cenderung mengenakan

pakaian yang merepresentasikan kenyamanan seperti pakaian tidur (12,44%), tank

top/kaos tanpa lengan (5,07%), celana pendek kain (48,39%). Sedangkan

responden laki-laki lebih banyak mengenakan pakaian yang merepresentasikan

norma seperti kemeja berkerah (21,88%), kaos berkerah (11,88%), dan celana

panjang kain (5,41%).




B.2.c.iv. Merk pakaian

Tabel 20
Merk Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin
Respon Responden
Kategori Merk F % N %
P L %P L P L P L
1. Merk Indonesia Tekenal 48 52 25,81 35,14 13 10 92,86 71,43
2. Merk yang Tidak Terkenal 58 40 31,18 27,03 13 11 92,86 78,57

3. Merk Lokal Produksi Terbatas 55 20 29,57 13,51 11 9 78,57 64,29


(Distro, butik, conter di mall)
a. Counter di Mall / Toko 20 10 10,75 6,76 8 5 57,14 35,71
b. Distro 8 9 4,3 6,01 5 6 35,71 42,86
c. Butik 27 1 14,52 0,68 7 1 50 7,14
4. Merk Internasional Terkenal 16 34 8,6 22,97 8 11 57,14 78,57

5. Merk Lokal Pesanan / produk 9 2 4,84 1,35 4 1 28,57 7,14


sendiri

Data pada tabel 20 menunjukkan bahwa intensitas responden laki-laki

mengenakan pakaian merk Indonesia yang terkenal (35,14%) lebih tinggi

dibadingkan responden perempuan (25,81%). Demikian pula pada pakaian merk

Internasional yang terkenal, intensitas respoden laki-laki (22,97%) lebih banyak

daripada intensitas responden perempuan (8,6%). Pada responden perempuan,

mereka lebih sering mengenakan pakaian yang merknya tidak terkenal (31,18%),

dibandingkan responden laki-laki (27053%).

Data dari tabel 16, 17, 18, 19, dan 20 menunjukkan bahwa ada perbedaan antara

mahasiswa laki-laki dan mahasiswa perempuan dalam mengenakan pakaian.

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam memaknai pakaian dapat dilihat

lebih jelas lagi dalam tabel berikut ini:




Tabel 21
Perbandingan antara Perempuan dan Laki-laki dalam Berpakaian
Jenis Perbedaan Perempuan Laki-laki
1. Arti Pakaian dan Nyaman fungsi fisik dan Nyaman fungsi sosial
alasan ekspresi diri dan visual, serta norma

2. Ruang dan alasan Ruang yang banyak Ruang yang banyak


mengenakan mengenakan pakaian yang mengenakan pakaian
pakaian nyaman yang formal
a. Rumah a. Kampus
b.Pergi/keluar/jalan-jalan b. Tempat Kerja
c. Tempat Ibadah

3. Jenis Pakaian Pakaian yang Pakaian yang


merepresentasikan merepresentasikan
kenyamanan : norma :
a. Pakaian tidur a. Kemeja berkerah
(piyama/daster) b. Kaos berkerah
b. Tank top/ kaos tanpa c. Celana panjang kain
lengan d. Sarung
c. Celana pendek kain
d. Kaos
e. Jaket/cardigan/sweater

4. Merk Pakaian Merk yang tidak terkenal Merk Indonesia dan


Internasional yang
terkenal

Pada perbedaan ini menunjukkan bahwa dalam berpakaian laki-laki

mengutamakan norma, serta kenyamanan fungsi sosial dan visual. Mereka lebih suka

mengenakan jenis pakaian yang merepresentasikan norma seperti kemeja dan celana

panjang kain. Di sisi lain, perempuan mengartikan pakaian lebih pada kenyaman

fungsi fisik dan ekspresi diri sehingga cenderung lebih suka mengenakan jenis

pakaian yang nyaman seperti baju tidur, tanktop, celana pendek kain, dan kaos. Selain

itu, responden laki-laki lebih banyak mengenakan pakaian merk terkenal baik itu

merk dalam atau luar negeri sedangkan responden perempuan lebih banyak




mengenakan pakaian yang merknya tidak terkenal dibandingkan responden laki-laki.

Fakta ini menunjukkan bahwa bagi responden laki-laki memiliki kebutuhan untuk

diterima dan menjadi bagian dari masyarakat lebih besar dibandingkan perempuan.

Mereka menganggap pendapat orang lain itu penting sehingga cenderung

mengenakan pakaian bermerk dan yang sesuai dengan norma. Sementara itu,

responden perempuan lebih memprioritaskan kenyaman tubuhnya sehingga mereka

cenderung kurang mempertimbangkan merk pakaian yang mereka kenakan.




C. Skema Hasil Penelitian

C. 1. Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaiannya

Bahasa & Komunikasi Budaya Masyarakat


ƒ Media ƒ Agama
ƒ Institusi Pendidikan
ƒ Masyarakat
ƒ Gender ƒ Nilai Agama- (keluarga, orang
sekitar)
kesopanan/kepantasan
Trend Pakaian ƒ Nilai Masyarakat-
keselarasan/harmoni

Perempuan Laki-laki

Identitas Diri
Identitas Sosial

ƒ Nyaman Fungsi Fisik


ƒ Nyaman Fungsi ƒ Norma
Visual ƒ Nyaman Fungsi
ƒ Ekspresi Diri Sosial

Identitas
Mahasiswa

Gambar 3. Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaiannya


 

C.2. Penjelasan Skema Hasil Penelitian

Skema kerangka penelitian (gambar 1) dan skema hasil penelitian (gambar 3)

menunjukkan 3 faktor yang menentukan bagaimana gambaran identitas mahasiswa di

Yogyakarta dari cara berpakaiannya. Ketiga faktor tersebut adalah media, budaya,

dan masyarakat. Pada faktor media, landasan teori dan data hasil penelitian

menunjukkan hal yang sama bahwa cara berpakaian mahasiswa dipengaruhi oleh tren

yang ditawarkan dalam media. Faktor budaya yang menentukan secara eksplisit

muncul dari data penelitian adalah nilai dan norma yang berlaku dalam pada agama

berupa kesopanan dan kepantasan, serta norma dan nilai masyarakat berupa

keselarasan atau harmoni, dan perbedaan gender. Sementara dalam landasan teori

nilai-nilai dan norma yang ada hanya nilai dan norma masyarakat secara umum yaitu

keharmonisan dan keselarasan sosial. Pada faktor masyarakat, ada sedikit perbedaan

sebagaimana diasumsikan dalam landasan teori dengan data hasil penelitian. Pada

landasan teori pemerintah berpengaruh dalam menentukan pakaian masyarakatnya,

namun hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada data responden yang

mengungkapkan bahwa pemerintah berpengaruh terhadap cara berpakaian

mahasiswa. Adapun faktor masyarakat yang mempengaruhi cara berpakaian institusi

agama, institusi pendidikan, masyarakat sekitarnya, serta teman sebayanya. Berikut

ini akan dijelaskan lebih detail mengenai skema hasil penelitian ini:

1. Media

Berdasarkan landasan teori maupun data yang diperoleh dari hasil penelitian

menunjukkan bahwa cara berpakaian mahasiswa salah satunya dipengaruhi oleh





Media. Media memberikan informasi misi mengenai model berpakaian yang terbaru

atau tren kepada mahasiswa. Mahasiswa mengakses informasi dari televisi, majalah,

dan internet mengenai tren pakaian yang berkembang saat ini. Mereka menirukan

tips-tips berpakaian yang ditawarkan media untuk mengekspresikan identitasnya

melalui berpakaian.

2. Budaya

Budaya dalam penelitian representasi sosial ini dimaksudkan sebagai nilai-nilai

dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Nilai dan norma budaya yang muncul

dari data adalah nilai dan norma agama yaitu kesopanan dan kepantasan, nilai

masyarakat yaitu harmoni, serta gender. Faktor budaya yang pertama, cara berpakaian

mahasiswa di Yogyakarta dipengaruhi oleh nilai dan norma yang berlaku dalam

agama, yaitu kesopanan dan kepantasan. Mereka menghayati nilai dan norma ini

dalam cara berpakaian mereka terutama saat sedang menjalankan ibadah dengan

mengenakan pakaian yang sopan dan pantas dihadapan Tuhan saat beribadah. Hal ini

terekspresi dari cara mereka mengenakan pakaian yang bersih dan wangi saat sholat,

mengenakan pakaian yang bagus atau terbaik saat berada di gereja dan vihara, atau

mengenakan pakaian adat saat ke pure. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa masih

sangat memperhatikan nilai dan norma agama yang mereka hayati.

Faktor budaya yang kedua, nilai dan norma masyarakat. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa mahasiswa di Yogyakarta masih berpegang teguh pada nilai

yang dihidupi masyarakat yaitu keselarasan sosial atau harmoni. Hal ini tampak dari

cara berpakai yang masih mencerminkan prinsip hidup yang menentukan perilaku




masyarakat, khususnya masyarakat Jawa, yaitu prinsip rukun dan hormat (Magnis-

Suseno 2001). Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk menciptakan keharmonisan dan

keselaran dalam masyarakatnya. Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa

mahasiswa di Yogyakarta masih mempertimbangkan prinsip rukun dan hormat ini

dalam mengekspresikan identitasnya dalam berpakaian. Mereka menjaga

keharmonisan dan keselarasan dalam masyarakat dengan berpakaian yang sopan,

pantas, rapi, dan resmi pada acara-acara tertentu dalam masyarakat, seperti saat

kondangan. Hal ini mengindikasikan bahwa mahasiswa, responden penelitian, selalu

berusaha untuk menjadi keselarasan yang sudah ada dalam masyarakat.

Faktor budaya yang ketiga, perbedaan gender. Data hasil penelitian menunjukkan

bahwa ternyata nilai-nilai perbedaan gender antara perempuan dan laki-laki yang ada

di masyarakat juga mempengaruhi cara berpakaian mahasiswa. Perbedaan gender

dikarena konstruksi budaya patriarki (Kasiyan, 2008) yang ada di masyarakat

Indonesia pada umumnya, dan khususnya masyarakat Jawa. Salah satu implikasinya

adalah adanya pembagian kerja secara seksual, yaitu laki-laki berperan dalam sektor

publik dan perempuan berperan dalam sektor domestik (Kasiyan, 2008). Dengan

demikian, kebutuhan laki-laki untuk diterima secara publik di dalam masyarakat lebih

besar dibandingkan perempuan. Oleh karena itu, mereka menyesuaikan pakaiannya

dengan norma, aturan, dan kepantasan atau kesopanan yang berlaku dalam

masyarakat, sementara perempuan lebih memilih pakaian yang nyaman secara fungsi

fisik dan visual, serta dapat mengekspresikan diri mereka.




3. Masyarakat

Masyarakat dalam penelitian ini adalah ruang sosial di mana mahasiswa tersebut

tergabung. Pada faktor masyarakat, ada sedikit perbedaan antara apa yang

diasumsikan dalam landasan teori dengan data hasil penelitian bahwa berdasarkan

landasan teori diasumsikan bahwa pemerintah berperan dalam menentukan cara

berpakaian masyarakat. Namun pada hasil penelitian, ternyata tidak ada data yang

menyebutkan bahwa pemerintah berperan dalam menentukan pakaian mahasiswa.

Hal ini menunjukkan pemerintah mengatur cara berpakaian pada masyarakat yang

termuat dalam berbagai kebijakan seperti pengesahan UU Pornografi pada tahun

2008 (Akhirnya RUU Pornografi Disahkan, 2008) dan ketetapan presiden bahwa

batik menjadi ikon nasional (Mada, Susilo, & Pandia, 2008). Akan tetapi, hal ini tidak

berpengaruh langsung terhadap gaya hidup mahasiswa saat ini, khususnya dalam

mengekspresikan identitas diri dan sosialnya dari berpakaian. Ekspresi berpakaian

mahasiswa lebih dipengaruhi oleh ruang sosial di sekitarnya, yang sering ia temui

sehari-hari seperti media, institusi agama, institusi pendidikan, masyarakat, dan teman

sebaya.

Hal yang menonjol dalam masyarakat yang mempengaruhi gaya berpakaian

mahasiswa adalah institusi agama. Di mana agama-agama, khususnya agama Islam

dan Kristen di Indonesia memang mengatur cara berpakaian umatnya. Kebiasaan

orang Indonesia untuk menutup tubuhnya merupakan pengaruh dari budaya Arab

yang identik dengan Islam dan Eropa yang diidentikkan dengan Kristen (Nordholt,

2005). Kedua agama ini memandang bahwa ketelanjangan merupakan manifestasi




luar dari kemunduran dan kekafiran (van Dijk, 2005). Pengaruh dari kedua agama

masih sangat kuat dan terbawa hingga saat ini. Mahasiswa-mahasiswa yang menjadi

responden penelitian ini memperhitungkan nilai-nilai kepantasan sesuai dengan nilai

agama. Hal ini tampak dari kecenderungan mereka memperhatikan pakaiannya

didominasi ketika mereka beribadah dengan mempertimbangkan ketertutupan,

kerapian, dan kebersihan.

Ruang sosial lain yang mempengaruhi adalah institusi pendidikan. Hal ini

dikarenakan institusi pendidikan memang menerapkan aturan berpakaian untuk

mahasiswanya. Contohnya dengan adanya tulisan ‘Kaos oblong dan sandal jepit

dilarang masuk kampus’ di wilayah kampus atau aturan mengenakan pakaian yang

sesuai ajaran agama yang berlaku dalam kampus yang bernuansa keagamaan seperti

mengenakan jilbab pada kampus yang bernuanasi Islami. Selain itu, kampus juga

menetapkan jenis busana rapi dan sopan, yaitu pakaian yang rapi, bersepatu atau

sepatu sandal; tidak memakai baju atau kaos tanpa lengan atau tanpa kerah; tidak

berpakaian ketat dan rok mini bagi mahasiswa perempuan; dan tidak berpakaian

dengan menggunkaan bahan yang tembus pandang/transparan. dan tidak menutupi

sebagian besar muka/wajah.

Ruang sosial lain yang mempengaruhi cara berpakaian mahasiswa adalah ruang

sosial dalam masyarakat yang non-formal seperti keluarga, orang-orang di sekitar,

dan teman sebaya. Dalam sehari-hari, mahasiswa selalu bersinggungan dengan orang-

orang yang ada dalam ruang sosial ini. Oleh karena itu, mereka menirukan apa yang

dilihat dan diajarkan oleh orang-orang yang ada dalam ruang sosial ini.




D. Pembahasan

D.1. Identitas Mahasiswa Berdasarkan Gaya Berpakaiannya

Hasil penelitian pada mahasiswa yang berusia 18-23 tahun dan sedang kuliah di

Yogyakarta ini menunjukkan bahwa mereka mengartikan pakaian ke dalam tiga hal,

yaitu norma, kenyamanan, dan ekspresi diri. Dalam menentukan pilihan pakaiannya,

mereka mengadopsi perkembangan mode dan tren yang ditawarkan media, tetapi

dalam praktek sehari-hari mereka cenderung menyesuaikannya dengan norma yang

ada di masyarakat. Mereka cenderung memperhatikan pakaiannya pada saat berada di

ruang publik seperti tempat ibadah, kampus, tempat kondangan, tempat main, serta

tempat kerja. Mereka cenderung mengikuti norma yang berlaku di masing-masing

ruang sosial seperti tempat ibadah, kampus, dan tempat kondangan. Akan tetapi,

mereka akan mengenakan pakaian yang nyaman dan mengekspresikan identitas saat

mereka berada di ruang pribadi. Data bahwa mahasiswa selalu mempertimbangkan

lingkungan sosial dalam memilih pakaiannya menunjukkan bahwa bagi mahasiswa

keselarasan dengan lingkungan itu penting.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil objektivikasi pakaian pada

mahasiswa adalah kesopanan dan kepantasan, kenyamanan, dan keunikan. Adapun

yang dimaksud dengan objektivikasi adalah usaha untuk mengubah sebuah ide

abstrak mengenai arti berpakaian menjadi sesuatu yang hampir konkret yang ada di

dunia fisikal. Melalui proses objektivikasi inilah, ide-ide yang asing mengenai arti

pakaian tersebut menjadi lebih konkret dan dikenal. Sedangkan yang dimaksud




dengan Anchoring adalah proses pengenalan informasi baru mengenai pakaian yang

dimiliki mahasiswa dikaitkan dengan suatu objek tertentu yang ada dalam pikiran

mahasiswa. Anchoring dalam penelitian ini adalah berupa tindakan mahasiswa dalam

mengenakan pakaian, yaitu berusaha tetap menonjolkan keunikan pribadinya, namun

tetap menyesuaikan dengan ruang dan waktu. Mahasiswa mengekspresikan dirinya

sesuai dengan tempat di mana dirinya ia berada.

Fakta bahwa mahasiswa selalu memperhatikan norma yang berlaku dalam

masyarakat dalam menentukan pakaiannya menunjukkan bahwa mereka masih

berpegang teguh pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat saat ini, khususnya nilai

agama dan nilai budaya. Mereka mempertimbangkan nilai-nilai hidup orang pada

budaya Timur dalam menentukan pakaiannya, yaitu kepantasan dan kesopanan dalam

rangka menghargai orang lain. Untuk saat ini, norma kesantunan dalam masyarakat

adalah pakaian yang tertutup. Sementara pakaian yang terbuka diidentikkan dengan

budaya Barat.

D.1.a. Kepantasan dan Kesopanan di Tempat Ibadah

Jika dilihat dari sejarah berpakaian dalam kultur kita, pada awalnya masyarakat

Indonesia mengenakan pakaian yang terbuka (Nordholt, 2005). Masyarakat mulai

menggunakan pakaian sebagai penutup tubuh dan mengenakan pakaian yang tertutup

sejak mengenal agama, khususnya agama Islam dan Kristen (Lombard, 1996;

Nordholt, 2005). Menurut van Dijk (2005), kedua agama ini memandang

ketelanjangan adalah manifestasi luar dari kekafiran dan kemunduran. Masyarakat

dipaksa supaya menutup tubuh mereka (Nordholt, 2005). Dalam Islam, pakaian




merupakan sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Oleh karena itu, umat Islam

dianjurkan untuk mengartikan pakaian yang bersih yang memancarkan keindahan,

berukuran panjang dan tidak jarang (menutup aurat), bertudung kepala (Ismail, 1993).

Sementara dalam agama Kristen, khususnya katolik, saat akan merayakan Misa, umat

diharapkan untuk mempersiapkan dirinya selayaknya untuk orang mau pergi ke pesta

atau undangan seseorang yang dihormati, yaitu Tuhan sendiri. Saat Misa, setiap orang

diwajibkan untuk berperilaku pantas, termasuk berpakaian sopan, rapi, dan bersih

(Saunders, 1999). Jenis pakaian seperti celana pendek, kaos oblong, celana ketat, dan

baju tanpa lengan dipandang tidak pantas untuk dikenakan di gereja. Pengaruh dari

kedua agama masih sangat kuat dan terbawa hingga saat ini. Mahasiswa-mahasiswa

yang menjadi responden penelitian ini memperhitungkan nilai-nilai kepantasan sesuai

dengan nilai agama. Hal ini tampak dari kecenderungan mereka memperhatikan

pakaiannya didominasi ketika mereka beribadah dengan mempertimbangkan

ketertutupan, kerapian, dan kebersihan.

D.1.b. Kepantasan dan Kesopanan di Tempat Kampus

Pertimbangan kedua setelah tempat ibadah adalah kampus. Nilai kepantasan di

kampus terekspresi dalam pakaian yang rapi dan formal, di mana mahasiswa dituntut

untuk mengartikan pakaian tertutup yang berkerah, celana panjang yang tidak sobek,

serta tidak mengenakan sandal jepit. Aturan kampus ini bertujuan untuk

membiasakan mahasiswa supaya terbiasa mengenakan pakaian yang rapi dan formal

seperti halnya dalam dunia kerja. Hal ini tampak lebih jelas dalam aturan berpakaian

di prodi profesi. Mereka di tuntut untuk berpenampilan rapi, formal dan profesional,




seperti yang dilakukan oleh salah satu responden mahasiswa profesi Apoteker, ia

wajib mengenakan dasi, kemeja lengan panjang, celana kain hitam, dan sepatu

pantofel setiap kali kuliah. Artinya universitas itu mempersiapkan anak didiknya

untuk diterima oleh dunia kerja. Hal ini berlaku hampir di semua universitas, kecuali

universitas yang bernafaskan Islam, seperti UII dan UIN. Mahasiswa di kedua

untiversitas tidak hanya diwajibkan untuk mengenakan pakaian pantas, tapi juga

diwajibkan mengenakan busana muslimah, khususnya pada mahasiswi. Mahasiswi

wajib mengenakan baju panjang, menutup pantat, tidak memperlihatkan aurat, tidak

ketat, dan jilbab (Keputusan Rektor UIN…, 2005; Hanifah, 2009). Artinya,

universitas ini tidak hanya menyiapkan mahasiswa terjun ke dunia kerja, melainkan

juga menyiapkan mahasiswanya untuk masuk ke masyarakat yang sesuai dengan

ketentuan ajaran Islam.

D.1.c. Kepantasan dan Kesopanan di Tempat Kondangan

Kemudian, pertimbangan ketiga adalah tempat kondangan (pernikahan, acara

keluarga). Di mana nilai kepantasannya adalah pakaian yang formal, tertutup, dan

rapi. Ruang sosial yang ketiga ini mengekspresikan nilai-nilai masyarakat yang

sangat mementingkan keselarasan dengan sosial. Artinya, bagaimana mahasiswa

berpakaian mencerminkan cara dia menghargai orang lain. Hal ini tergambar dari

ungkapan ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana yang artinya bahwa

antara jiwa dan raga perlu perhatian khusus, agar dirinya mendapat perhormatan dari

orang lain (Purwadi, 2007). Jika ia mengenakan pakaian yang tidak pantas, ia

dipandang tidak menghargai orang yang mengundang. Hal ini menunjukkan bahwa




mahasiswa yang menjadi responden penelitian ini menghayati nilai-nilai yang ada di

masyarakat Timur, khususnya nilai hormat, nilai rukun, dan nilai toleransi yang

dihidupi masyarakat Jawa di mana lokasi penelitian ini dilakukan.

Hal ini bila dilihat dari konteks penelitian di mana Yogyakarta yang menjadi

lokus penelitian ini memiliki budaya yang dominan yaitu budaya Jawa serta

sebagaian besar responden penelitian ini adalah etnis Jawa. Dalam buku Etika Jawa,

Magnis-Suseno (2001) menyebutkan bahwa masyarakat Jawa memiliki dua prinsip

hidup, yaitu hormat dan rukun. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk menciptakan

keharmonisan dan keselaran dalam masyarakatnya. Menurut Magnis-Suseno (2001),

segala perilaku sosial seseorang beretnis Jawa ditentukan oleh prinsip-prinsip ini.

Pada konteks penelitian ini, fakta bahwa mahasiswa selalu mempertimbangkan norma

yang berlaku dalam masyarakat di samping kenyamanan dan ekspresi dari

identitasnya dalam mengenakan pakaian, merupakan representasi dari upaya

mahasiswa untuk menghidupi prinsip-prinsip hidup orang Jawa tersebut. Mereka

menjaga keharmonisan dan keselarasan dalam masyarakat dengan berpakaian yang

sopan, pantas, rapi, dan resmi. Hal ini mengindikasikan bahwa mahasiswa, responden

penelitian, masih menghidupi nilai rukun, hormat, dan toleransi.

Hal ini senada dengan hasil penelitian Susetyo (2006), pada studi deskriptif pada

78 orang mahasiswa Jawa yang berusia 18-24 tahun dan berdomisili di Semarang.

Susetyo meneliti tentang Identitas Sosial Orang Jawa dengan menggunakan angket

identitas sosial orang Jawa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar

mahasiswa responden penelitiannya masih mempertimbangkan nilai rukun dan




hormat sebagai pertimbangan perilakunya. Hal ini tergambarkan dari perilaku yang

senang menjaga harmoni, ramah, mudah bergaul, peduli pada lingkungan,

menjunjung tinggi sopan santun, setia kawan, tenggang rasa, senang suasana tentram

dan tenang, mudah bekerja sama dan menjaga perasaan orang lain agar tidak

tersinggung.

Usaha mahasiswa untuk menjaga keharmonisan dan keselarasan dalam

masyarakat dalam caranya berpakaian merupakan cerminan kecerdasan mahasiswa

dalam mengolah ’rasa’nya. Rasa merupakan kemampuan kognitif yang digunakan

untuk mengenali realitas yang bersifat intuitif (Stange, 2009). Dalam masyarakat

Jawa, kemampuan logika ’rasa’ merupakan hal yang mendasari orang berelasi dengan

orang lain. Dalam penelitian ini, kepekaan mahasiswa untuk menyesuaikan gaya

pakaiannya dalam masyarakat mengindikasikan bahwa mahasiswa masih tetap

menggunakan logika ’rasa’nya. Di tengah tawaran mode dari media massa yang kuat,

orang muda tetap berpegang pada kultur masyarakatnya.

Hasil penelitian ini menarik karena ternyata mahasiswa membentuk

pengetahuan tentang berpakaiannya tidak semata-mata dari media seperti yang

perkirakan orang dewasa ini. Sebaliknya, mahasiswa membentuk pengetahuan

mengenai berpakaiannya melalui gagasan-gagasan budaya yang ada di

masyarakatnya. Mereka menjadikan orang-orang di sekitarnya sebagai model dan

sosok yang ditiru dalam menentukan gaya berpakaiannya, meskipun mereka

mengakses media untuk memdapatkan informasi mengenai pakaian. Hal ini berarti

bahwa dalam berpakaian mereka mengambil jarak dari apa yang mereka lihat di

media, dan mendekat perilakunya pada kenyataan hidupnya sehari-hari di

masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa identitas mahasiswa yang terekspresi

dari cara berpakaiannya merupakan hasil konstruksi dari media dan orang-orang yang

dijumpai dari pengalaman sehari-harinya. Namun, orang-orang di sekitarnya

memiliki pengaruh yang lebih besar dalam membentuk identitas mahasiswa. Oleh

karena itu, identitas diri mahasiswa merupakan hal yang tidak terpisahkan dari

identitas sosial.

D.2. Identitas Diri Merupakan Suatu Kesatuan dengan Identitas Sosial

Identitas mahasiswa dari gaya berpakaiannya merupakan hasil konstruksi dari

masyarakat. Oleh karena itu mereka selalu menyesuaikan gaya pakaianya dengan

aturan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam ruang publik, mereka selalu berusaha

mengenakan pakaian-pakaian yang sesuai dengan norma dan aturan yang ada.

Mereka mengenakan jenis pakaian yang sopan dan pantas, seperti kemeja, celana

panjang, kaos berkerah, dan celana 3/4 atau 7/8, supaya mereka dapat diterima oleh

masyarakat. Mereka bebas memilih pakaian dan mengekspresikan identitas mereka

hanya pada saat mereka berada ruang pribadinya dan ruang sosial di mana mereka

tidak dikenal. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa belum tercerabut dari

budayanya dalam berpakaian, justru gaya berpakaianya berakar dari budaya

masyarakat di mana ia tinggal. Oleh karena itu, identitas diri mahasiswa merupakan

hal yang tak terpisahkan dengan identitas sosialnya.

Pada masyarakat Timur, khususnya Jawa dalam konteks penelitian ini, identitas

diri merupakan suatu kesatuan dengan identitas sosialnya. Seseorang dipandang





dewasa bila ia mampu melebur dalam masyarakat dengan mengikuti aturan atau

norma dalam budaya di masyarakat. Hal ini berbeda dengan konsep identitas yang

ada di masyarakat Barat. Masyarakat di Barat lebih mengutamakan otonomi dan

pemenuhan diri. Artinya, semakin dewasa seseorang, semakin otonomi dalam

menentukan tindakannya, termasuk dalam berpakaian. Oleh karena itu, mereka bebas

mengenakan pakaian yang minim dan terbuka, seperti hot pants dan baju you can see

di tempat umum selama itu tidak mengganggu ketenangan orang lain. Setiap orang

ingin menegaskan bahwa “aku adalah seseorang”. ke-diri-an seseorang sangat diakui,

dan keunikannya sangat ditonjolkan (Erikson, 1989).

Ada perbedaan antara perspektif Barat pada umumnya dengan perspektif di Timur

dalam memandang kedewasaan, yaitu di mana seseorang dipandang dewasa bila ia

semakin otonom, identitasnya semakin unik, dan tidak terikat pada orang lain.

Sementara itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seseorang dipandang semakin

dewasa bila ia mampu menjaga keharmonian dalam masyarakat dan meninggalkan

ke-ego-annya.

Seseorang dipandang dewasa ketika ia bisa melebur dalam masyarakat dengan

mengikuti aturan atau norma dalam budaya di masyarakat. Hal ini tercermin dari

penuturan seorang responden yang mengatakan bahwa dirinya suka mengenakan

kemeja karena dengan demikian ia terlihat dewasa dan siap bersosialisasi dengan

masyarakat. Hal lain juga tampak dari responden yang selalu berusaha untuk

menyesuaikan gaya pakaiannya dengan ruang dan waktu di mana mereka berada.

Pada saat di ruang publik, mereka berusaha untuk bisa menempatkan diri dengan





mengenakan pakaian yang sopan, pantas, dan rapi meskipun terkadang harus

mengorbankan kenyamanan mereka. Bahkan rasa nyaman orang mudapun terkait

dengan dunia sosialnya. Mereka merasa nyaman ketika ia tidak salah kostum,

pakaian yang dikenakannya terlihat baik dan bisa diterima dalam masyarakat. Hal ini

menegaskan bahwa bahwa mahasiswa di Yogyakarta yang menjadi responden

penelitian dalam mengekspresikan identitas pribadinya, selalu terkait dengan identitas

sosialnya sebagai bagian dari anggota suatu kelompok sosial.

Hal ini senada dengan yang hasil penelitian yang dilakukan oleh Ogilvy & Mather

Asian Pasific pada generasi baru yang berusia 20-30 di 9 negara Asia Selatan, Timur,

dan Tenggara (Kompas, Rabu, 25 Juni 1997). Hasil dari wawancara pada 7.000 orang

muda tersebut mengatakan bahwa mahasiswa di Asia tidak tertarik dengan kebebasan

gaya negara-negara Barat. Mereka generasi yang tidak menelan mentah-mentah

segala nilai-nilai Barat seperti yang selama ini digambarkan banyak orang. Hasil riset

ini menunjukkan bahwa mahasiswa merupakan hasil perpaduan antara dua kekuatan,

yaitu pencarian ekspresi diri serta kesadaran untuk menerima norma-norma sosial.

Dengan demikian, jiwanya terikat dengan masyarakat, mematuhi peraturan, sambil

berupaya mencapai suatu kebebasan berpikir dan mengekspresikan diri yang

terkendali. Oleh karena itu, mereka sangat mengutamakan nilai-nilai Timur,

menghargai orang yang lebih tua dan mengehargai kewenangan mereka.

C.3. Ekspresi Berpakaian Berdasarkan Jenis Kelamin

Hasil lain dari penelitian ini yang menarik adalah ternyata ada perbedaan secara

deskriptif antara laki-laki dan perempuan dalam berpakaian. Mahasiswa laki-laki





mengartikan pakaian sebagai tuntutan norma kepantasan/kesopanan dan

aturan/kewajiban yang harus di penuhi, sedangkan perempuan mengartikan pakaian

lebih pada kenyaman fisik dan ekspresi diri. Selain itu, responden laki-laki lebih

banyak mengenakan pakaian merk terkenal, baik itu merk dalam atau luar negeri,

sementara responden perempuan lebih banyak mengenakan pakaian yang merknya

tidak terkenal. Fakta ini menunjukkan bahwa bagi mahasiswa laki-laki penampilan

dalam berpakaian itu penting. Hal ini dikarenakan posisi laki-laki dalam masyarakat

memiliki peran di wilayah publik.

Hal ini juga terekspresi dalam sejarah berpakaian di Indonesia, di mana pada awal

kemerdekaan, Soekarno menetapkan bahwa pakaian formal untuk laki-laki adalah

pakaian bergaya barat (kemeja, celana panjang kain, jas) untuk menandakan

kemajuan, modernitas, dan ditambahkan penutup kepala berupa pecih untuk

menyimbolkan nasionalisme. Sementara itu, pakaian formal untuk perempuan adalah

pakaian tradisional (kebaya) yang menyimbolkan keotentikan dan keaslian yang

sejalan dengan kebudayaan (Taylor, 2005). Hal serupa juga terjadi pada era dan Orde

Baru, pada masa pembangunan ekonomi, laki-laki diharuskan untuk mengenakan

pakaian yang rapi (kemeja batik lengan panjang atau pakaian safari dengan celana

panjang) untuk menunjukkan profesionalitas bekerja di sektor publik (van Dijk,

2005), sementara itu perempuan mengenakan kebaya yang melambangkan sifat pasif

dan subordinasi (Nordholt, 2005).

Perbedaan perilaku berpakaian antara laki-laki dan perempuan tentunya tidak

lepas dari pengaruh pembedaan gender di masyarakat kita. Adapun penyebab





perbedaan gender ini adalah konstruksi dari ‘ideologi patriarki’ yang ada,

berkembang, diyakini, dan diinternalisasi dari generasi ke generasi dalam kurun

waktu yang cukup panjang (Kasiyan, 2008). Masyarakat Indonesia pada umumnya,

dan Jawa khususnya adalah masyarakat yang berbudaya patriarki. Salah satu

implikasi dalam dari perbedaan gender dalam masyarakat patriarki adalah adanya

pembagian kerja secara seksual antar manusia berbeda jenis kelamin, yaitu laki-laki

berperan dalam sektor publik dan perempuan berperan dalam sektor domestik

(Kasiyan, 2008). Laki-laki menyandang stereotip maskulinitas yang selalu

berkonotasi aktif yang selalu bergerak ke arah kemajuan, sehingga laki-laki

menempati posisi wilayah publik yang produktif. Sementara itu, perempuan

menyandang stereotip feminim yang berkonotasi lemah, pasif sehingga berperan di

sektor domestik. Dengan demikian, kebutuhan laki-laki untuk diterima secara publik

di dalam masyarakat lebih besar dibandingkan perempuan. Oleh karena itu, mereka

menjadi hati-hati dalam berpakaian, menyesuaikan dengan norma, aturan, dan

kepantasan atau kesopanan yang berlaku dalam masyarakat.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini, secara umum pakaian merepresentasikan identitas diri

dan identitas sosial mahasiswa. Berikut ini akan dipaparkan kesimpulan dari hasil

penelitian ini.

1. Identitas Diri Mahasiswa dalam Berpakaian Terkait dengan Identitas Sosialnya

Mahasiswa mengartikan pakaian terkait ke dalam tiga hal, yaitu kesopanan

dan kepantasan, kenyamanan, dan keunikan. Mereka cenderung mengikuti norma

kesopanan dan kepantasan yang berlaku saat mereka berada di ruang publik,

seperti di tempat ibadah, di kampus, kondangan, dan tempat kerja. Sementara itu,

mereka juga cenderung mempertimbangkan rasa nyaman dan keunikan dalam

berpakaian saat mereka berada di ruang pribadi, seperti di rumah atau di kos.

Peneliti menyimpulkan dari kecenderungan mahasiswa mengikuti norma

kesopanan dan kepantasan saat di ruang publik dan rasa nyaman saat berada di

ruang pribadi bahwa mahasiswa dalam berpakaian menunjukkan identitas diri dan

identitas sosialnya.






2. Arti berpakaian menurut laki-laki dan perempuan berbeda

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata jenis kelamin menentukan

perbedaan dalam mengartikan pakaian. Mahasiswa laki-laki cenderung

mempertimbangkan kesopanan dan kepantasan, sedangkan mahasiswa perempuan

cenderung mempertimbangkan kenyaman secara fisik saat berpakaian.

3. Hasil Objektivikasi dan Anchoring Ekspresi Berpakaian Mahasiswa

Pada penelitian representasi sosial, objektivikasi merupakan pengkonkretan

ide-ide yang asing mengenai sesuatu ke dalam konsep-konsep yang dikenal.

Adapun hasil objektivikasi pakaian pada penelitian ini adalah konsep-konsep

kesopanan dan kepantasan, kenyamanan, dan keunikan. Hasil anchoring dalam

penelitian ini adalah berupa tindakan mahasiswa dalam berpakaian, yaitu berusaha

tetap menonjolkan keunikan pribadinya, namun tetap menyesuaikan dengan

lingkungan sosial. Hal ini terekspresikan dalam tindakkan seperti mahasiswa kalau

keluar rumah mengenakan pakaian yang berlengan, kalau mengikuti kuliah

mahasiswa menggunakan baju yang sopan, kalau menjalankan sholat Jumat

mahasiswa mengenakan pakaian yang rapi.




B. Keterbatasan Penelitian

Kelemahan penelitian ini adalah keterbatasan peneliti untuk mengeksplorasi

pertanyaan dan kepekaan peneliti terhadap jawaban yang diberikan responden.

C. Saran

Para peneliti yang ingin melakukan penelitian representasi sosial disarankan

untuk menguasai wilayah penelitian dan memiliki keterampilan menggali

pertanyaan dengan baik. Penguasaan wilayah penelitian dapat membuat peneliti

mampu memperkirankan kemungkinan jawaban-jawaban responden yang akan

muncul. Sementara itu, keterampilan menggali pertanyaan dapat membuat

peneliti memiliki kepekaan terhadap jawaban responden.


DAFTAR PUSTAKA

Abrams, D. & Hogg, M. A. (1990). Social Identity Theory: Construction and Critical
Advances. Hertfordshire: Hervester Wheatsheaf.

Akhirnya RUU Pornografi Disahkan. (30 Oktober, 2008). Kompas Online. Diambil
10 Agustus, 2009, dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/30/
13264812/akhirnya.ruu.pornografi.disahkan.

Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa


Yogyakarta dalam Angka 2008. Yogyakarta.

Berger, P.L. & Luckman, T. (1967). The Social Construction of Reality: A Treatise in
the Sociology of Knowledge. New York: Doubleday & Company.

Brown, J.D. (1998). The Self. Washington: McGraw Hill Book.

Brym, R. & Lie, J (2007). Applying the Four Theoretical Perspectives: The Problem
of Fashion. Timbangan buku Sociology: Your Compass for a New World, 3rd].
Diambil 15 Oktober, 2009, dari http://www.chass.utoronto.ca/soc101y/brym/
fashion.pdf

Budiman, H. (2002). Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Burr, V. (2002). The Person in Social Psychology. New York: Taylor & Francis.

Burr, V. (2003). Social Construction. New York: Routledge.

Castells, M. (2000). The Power of Identity. Massachusetts: Blackwell Publishers.

Chaney, D. (2004). Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta:


Jalasutra.

Creswell, J.W. (2007). Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among
Five Approach, 2nd Ed. Thousand Oaks: SAGE Publications.

Danandjaja, J. (2005). Dari Celana Monyet ke Setelan Safari: Catatan Seorang Saksi
Mata. Dalam H.S. Nordholt (ed), Outward Appearances: Trend, Identitas,
Kepentingan (hal. 121-168). Yogyakarta: LKiS.






Davis, F. (1992). Fashion, Culture, and Identity. Chicago: The University of Chicago
Press.

Dittmar, H. (2005). A New Look at “Compulsive Buying”: Self-Discrepancies and


Materialistic Values as Predictors of Compulsive Buying Tendency. Journal
of Social and Clinical Psychology, Vol. 24, No. 6, 2005. Hal 832-859.

Erikson, E. H. (1989). Identitas dan Siklus Hidup Manusia: Bunga Rampai I.


Diterjemahkan oleh Agus Cremer. Jakarta: PT Gramedia.

Fitrianto, D., Sartono, F., Indriasari, L. (2006, 19 Februari). Pernyataan Remaja


dalam “Fashion”. Kompas, h. 17.

Giddens, A. (1991). Modernity and Indentity: Self Society in the Late Modern Age.
Cambridge: Polity Press & Blackwell Publisher.

Giddens, A. (2003), Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Yogyakarta: Penerbit


Pedati.

Green, C.D. (1999). Classics in the History of Psychology. Diambil tanggal 14


Oktober 2009, dari http://psychclassics.yorku.ca/James/Principles/prin10.htm.

Hall, S. & du Gay, P. (1996). Questions of Cultural Identity. London: Sage


Publication.

Handayani, C.S. (2005). Gambaran Identitas Diri dalam Budaya Konsumsi. Disertasi
doktor yang tidak diterbitkan, Universitas Indonesia, Jakarta.

Handayani, C.S. & Novianto, A. (2004). Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS.

Hanifah, S. (2009). Peraturan Universitas No: 460/Sk-Rek/Rek/X/2001 Tentang


Disiplin Mahasiswa Universitas Islam Indonesia pasal 3. Diambil tanggal 25
Oktober 2009, dari http://pharmacy.uii.ac.id/index.php? option=
com_content&task =blogsection&id=36&Itemid=102.

Hogg, M.A. & Abrams, D. (2001). Intergroup Relations: Key Readings in Social
Psychology. Philadelphia: Psychology Press.

Ibrahim, I. S. (2005). Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat


Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.



Ibrahim, I. S. (2007). Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape &


Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yoygakarta: Jalasutra.

Ismail, S.Z. (1993). Nilai-nilai Islam dalam Pakaian Cara Melayu. Islam dan
Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta: Yayasan Festival
Istiqlal.

Iswari, M. (2009, Januari-Februari). Tahu Fasyen, Mari Bergaya. Basis, Tahun Ke-
58, No. 01-02.

James, W. (1890). Principles of Psychology. New York: Holt, Rinehart & Winston.

Kashima, Y., Foddy, M., & Platow, M. ( 2002). Self and Identity: Personal, Social,
and Symbolic. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher.

Kasiyan. (2008). Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan.


Yogyakarta: Ombak.

Keputusan Rektor UIN Sunan Kalijaga, No: 133 tahun 2005, tentang Tata Tertib
Student Center Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. (2005).
Diambil 25 Oktober, 2009, dari http://uin-suka.info/sukapressonline/
index.php?option=com_content&task=view&id=30.

Kustiasih, R. (2009, 10 Januari). Saatnya Kuatkan Karakter Mode Pakaian. Harian


Kompas, h. A (Edisi Jawa Barat).

Larsen, R.J. & Buss, D.M. (2005). Personality Psychology: Domains of Knowledge
about Human Nature, 2nd Ed. New York: McGraw-Hill.

Leedy, P.D. & Ormrod, J.E. (2005). Practical Research Planning & Design 8th
Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Liestyasari, S. I., (2005). Kaum Muda dan Konsumsi Identitas Yogya. Dalam
Penghiburan: Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius.

Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 1: Batas-batas Pembaratan.


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mada, R. K., Susilo, N., & Pandia, A. S. (2008, 6 September). Batik, dari Tradisi ke
Mode. Harian Kompas, h. 14. (Edisi Jawa Timur).



Magnis-Suseno, F. (2001). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang


Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Miles, S. (1998). Consumerism As a Way of Life. London: Sage Publications.

Moleong, L. J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Moscovici, S. (2001). Social Representation: Explorations in Social Psychology, ed.


Gerard Duveen. New York: New York University Press.

Nordholt, H.S. (2002). Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas dalam Sejarah


Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nordholt, H.S. (2005). Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan.


Yogyakarta: LKiS.

Orang Muda Asia Tak Tertarik Kebebasan Gaya Negara Barat. (1997, 25 Juni).
Kompas, h. 15.

Perilaku Dipengaruhi Keseringan Nonton Televisi. (2002, 26 Juli). Kompas, h. 26.

Poerwandari, K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.


Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Purwadi. (2007). Busana Jawa: Jenis-jenis Pakaian Adat, Sejarah, Nilai Filosofis
dan Penerapannya. Yogyakarta: Pura Pustaka.

Rahkmat, J. (2005). Generasi Muda di Tengah Arus Perkembangan Informasi. Dalam


I.S. Ibrahim, Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat
Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.

Santrock, J.W. (2005). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, ed. 5,


Jilid II. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sarwono, S.W. (1979). Perbedaan antara Aktivis dan Pemimpin dalam Gerakan
Protes Mahasiswa. Karya disertasi doktoral. Jakarta: Bulan Bintang.

Saunders, W.P. (1999). Straight Answers: Appropriate Behavior in Church.


Diterjemahkan oleh Yesaya. Arlington: Arlington Catholic Herald. Diambil
tanggal 24 Oktober, 2009, dari www.indocell.net/yesaya atas ijin The
Arlington Catholic Herald.



Stange, P. (2009). Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta:


LKiS.

Subanar, G.B. (2007). Bayang-bayang Sejarah Kota Pendidikan Yogyakarta:


Komunitas Learning Society. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata
Dharma.

Suryabrata, S. (2008). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Susetyo, D.P.B. (2006). Identitas Sosial Orang Jawa: Studi Deskriptif pada
Mahasiswa Jawa. Psikodimensia. Vol. 5 No. 1, Januari-Juni 2006. Hal 1-16.

Suwignyo, A. (2002). Psikologi dan Pendekatan Kualitatif Deskriptif: Meretas Tabu-


tabu Metodik dalam Kajian Perilaku. Jurnal Psikologi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta ‘Suksma’. Vol 1. No.1, Nov 2002. Hal 29-38.

Taylor, J.K. (2005). Kostum dan Gender di Jawa Kolonial Tahun 1800-1940. Dalam
H.S. Nordholt (ed), Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan
(hal. 121-168). Yogyakarta: LKiS.

TKW Kulonprogo Lebih Suka Tinggal di Luar Negeri. (Jum’at, 13 Juli 2001).
Kompas, h. 1 dan 13.

UU Pornografi Perlu Uji Materi. (2008). Antaranews. Diambil 10 Agustus, 2009, dari
http://www.antara.co.id/view/?i=1225470289&c=NAS&s.

van Dijk, K. (2005). Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana
Pembedaan dan Diskriminasi. Dalam Outward Appearences: Tren, Identitas,
Kepentingan (57-120). Yogyakarta: LKiS.

Wagner, W., Duveen, G., Farr, R., Jovchelovitch, S., Lorenzi-cioldi, F., Markova, I.,
dkk. (1999). Theory and Method of Social Representation. Asian Journal of
Social Psychology. No. 2. Hal. 95-125 diambil tanggal 30 Agustus 2009, dari
http://eprints.lse.ac.uk/2640/1/Theoryandmethod.pdf.

Walmsley, C.J. (2004). Social Representation and the Study of Professional Practice.
International Journal of Qualitative Methods, 3(4), Artikel 4.

Wengraf, T. (2001). Qualitatif Research Interviewing. London: SAGE Publications.

Woodward, I. (2002). Identity & Difference. London: SAGE Publications.





Worchel, S., Morales, J.F., Paez, D., & Deschamps, J.C. (1998). Social Identity;
International Perspectives. London: Sage Publications.

Yutyunyong, T. (2009). The Integration of Social Exchange Theory and Social


Representations Theory: A New Perspective on Residents’ Perception Research.
Diambil 30 Agustus, 2009, dari http://utcc2.utcc.ac.th/localuser/amsar/
PDF/Integration_of_Social_Exchange_Theory.pdf





LAMPIRAN






Lampiran 1: Ringkasan Proses Pengambilan Data

No. Tanggal Pengambilan Data Lokasi Keterangan


1 Senin, 9/3/09 Penyerahan jurnal Kamar kos R-1 di jl. Peneliti sebelumnya
pada R-1 Tasura 6, Pugeran sudah sering bertemu R-
1, hanya belum
mengenalnya secara
mendalam
2 Selasa, 10/3/09 Penyerahan jurnal Teras depan kos peneliti R-16 datang bersama
pada R-16 teman kampusnya
3 Kamis, 12/3/09 Penyerahan jurnal Beringin Soekarno, R-10 dan R-25 adalah
pada R-10 dan R-25 Kampus 2 USD, Mrican pasangan
Penyerahan jurnal Depan kos R-14, Gang
pada R-14 Narada, Mrican
4 Jumat, 13/3/09 Penyerahan jurnal Teras kos seluruh Peneliti sebelumnya
pada R-17, 18, 19, da responden di Jl. Monjali hanya mengenal R-28.
20 Peneliti meminta
bantuan R-28 untuk
memperkenalkan kepada
teman-teman kosnya
untuk di jadikan
responden penelitian
5 Senin, 16/3/09 Penyerahan jurnal Kos responden di Peneliti di
pada R-11 dan R-12 Babarsari rekomendasikan oleh
teman Peneliti yang
kuliah di UAJY untuk
menghubungi R-11.
Kebetulan Peneliti sudah
mengenal R-11, peneliti
meminta bantuannya
untuk mencarikan teman
kosnya yang bersedia
menjadi responden
penelitian. R-11
mengenalkan Peneliti
kepada R-12
Pengambilan jurnal R- Kamar kos R-1 di jl.
1 Tasura 6, Pugeran
6 Selasa, 17/3/09 Rapport dan Pusat Bahasa UAJY, Peneliti direkomen oleh
penyerahan jurnal Kampus Mrican teman yang sda untuk
pada R-27 menghubungi R-27
7 Rabu, 18/3/09 Rapport dan Pusat Bahasa UAJY,
penyerahan jurnal Kampus Mrican
pada R-13






8 Kamis, 19/3/09 Rapport dan STBA LIA, Jl. Monjali R-4 dan R-5 merupakan
penyerahan jurnal rekomendasi dari teman
pada R-4 dan R-5 kos peneliti yang adalah
teman les R-4 & 5
Lanjut ke halaman berikut
9 Wawancara R-1 Kamar kos R-1 di jl. 19.30-19.41
Tasura 6, Pugeran
10 Penyerahan jurnal Kampus 3 USD, Paingan
pada R-9
11 Jumat, 20/3/09 Penyerahan jurnal Kamar kos R-28 di Jl.
pada R-28 Kaliurang
Pengambilan jurnal R-
17, 18, 19, 20, dan 26
Wawancara pada R-26 19.45 – 20.33 (48 menit)
12 Senin, 23/3/09 Pengambilan jurnal R- Kos Peneliti, di jl. Kedua responden
16 dan R-9 Tasura 8 B, Pugeran mengantarkan jurnal ke
Maguwoharjo kos peneliti
13 Selasa, 24/3/09 Penyerahan jurnal Kos Peneliti, di jl.
pada R-22 Tasura 8 B, Pugeran
Maguwoharjo

Pengambilan jurnal R- Pusat Bahasa UAJY,


10, 11, dan 27 Kampus Mrican
14 Kamis, 26/3/09 Pengambilan jurnal Kamar kos R-14, Gang 11.11 – 12.55 (44 menit)
dan wawancara R-14 Narada, Mrican
15 Jumat, 27/3/09 Penyerahan jurnal Kampus 3 USD, Paingan
pada R-8, R-23, R-24
Wawancara R-27 Pusat Bahasa UAJY, 12.10-12.31 WIB (21
Kampus Mrican menit)

16 Sabtu, 28/3/09 Pengambilan jurnal R- Kampus 3 USD, Paingan


9
Pengambilan jurnal R- Kos Peneliti, di jl. Di antar oleh R-28 ke kos
17 Tasura 8 B, Pugeran peneliti
Maguwoharjo
Wawancara R-13 Pusat Bahasa UAJY, 14.00- 14.13 (13 menit)
Kampus Mrican
17 Minggu, Rapport dan Mall Galleria Peneliti dan R-7 sepakat
29/3/09 penyerahan jurnal untuk ketemu di Mall
pada R-7 supaya mudah
bertemunya
18 Kamis, 2/4/09 Wawancara R-5 Kampus STBA LIA, Jl. 14.35-14.55 (20 menit)
Monjali
Wawancara R-4 Kampus STBA LIA, Jl. 16.15-16.35 (12 menit)
Monjali
Wawancara R-17 Kamar kos R-17 di Jl. 19.30-19.50 (20 menit)
Monjali
Wawancara R-18 Kamar kos R-28 di Jl. 21.00-21.25 (25 menit)






Monjali
19 Jumat, 3/4/09 Wawancara R-16 Kamar kontrakan R-16, 19.30 wib – 19.50 (20
jl. Selokan Mataram, menit)
Pringwulung
Lanjut ke halaman berikut

20 Senin, 4/4/09 Wawancara R-12 Kos R-12 di Babarsasi 10.15 – 10.28 (13 menit)
21 Rabu, 15/4/09 Pengambilan Jurnal Perpustakaan Kampus 3 10.00-10.20 (20 menit)
dan wawancara R-24 USD, Paingan
22 Senin, 20/4/09 Wawancara R-9 Ruang baca Fak. 13.00-13.20 (20 menit)
Psikologi, Kampus 3
USD, Paingan
Wawancara R-20 Kos R-20 di jalan 16.00-16.10 (10 menit)
Monjali
Pengembalian jurnal Teras kos peneliti, jl. 21.10-21.24 (14 menit)
dan wawancara R-22 Tasura 8 B, Pugeran,
Maguwoharjo
23 Selasa, 21/4/09 Wawancara R-11 Pusat Bahasa UAJY, 10.15-10.30 (15 menit)
Kampus Mrican
24 Rabu, 22/4/09 Pengembalian jurnal Ruang Tamu Kos R-7 di 13.00-13.18 (18 menit)
dan wawancara R-7 Lempuyangan
Pengembalian jurnal Kamar kos peneliti, jl. 18.00 – 18.17 WIB (17
dan wawancara R-28 Tasura 8 B, Pugeran, Menit)
Maguwoharjo
25 Kamis, 23/4/09 Pengembalian jurnal Warnet Miva, Jl. Tasura, 14.00-14.20 (20 menit)
dan wawancara R-2 Pugeran, Maguwoharjo
(Tempat kerja R-2)
26 Jumat, 24/4/09 Pengambilan jurnal Rental VCD/DVD 12.45-13.10 (25 menit)
dan wawancara R-15 Victoria, Paingan
(Tempat kerja R-15)
27 Senin, 27/4/09 Wawancara R-10 Perpustakaan Pusat 13.20-13.45 (25 menit)
USD, Mrican
28 Rabu, 29/4/09 Wawancara R-19 Kos Responden di Jl. 17.30 – 18.05 (35 menit)
Monjali, Yogyakarta
29 Kamis, 30/4/09 Pengembalian jurnal Lembaga Bahasa USD, 14.00-14.40 (40 menit)
dan wawancara R-25 Mrican
30 Senin, 1/5/09 Pengembalian jurnal Perpustakaan Kampus 3 12.00-12.25 (25 menit)
dan wawancara R-23 USD, Paingan
31 Minggu, 3/5/09 Pengembalian jurnal Rumah sepupu R-3, 10.30-11.06 (36 menit)
dan wawancara R-3 Perum Taman Cemara,
Maguwoharjo
32 Selasa, 12/5/09 Pengambilan jurnal Depan sekretariat Fak. 10.30-11.00 (30 menit)
dan wawancara R-8 Psikologi USD
Pengambilan jurnal KPTU Fak Tekhnik, 13.20 wib – 13.29 wib
dan wawancara R-6 UGM, Yogyakarta
33 Senin, 18/5/09 Pengembalian jurnal Teras kos peneliti, jl. 16.00-16.45 (45 menit)
dan wawancara R-21 Tasura 8 B, Pugeran,
Maguwoharjo











Lampiran 2. Ringkasan Aktivitas dan Barang yang Mengekspresi Responden

Komunitas / kegiatan yang Aktivitas yg menunjukkan Barang yang


R Hobby
diikuti diri mengekspresikan diri
1 - Denger musik, baca, OL Denger musik, baca buku Buku, MP3, jeans, kaos sandal
jepit/sepatu teplek, tas
selempang

2 BEM, REMAIS, FORSEI Menulis Presentasi Karya Ilmiah di Barang untuk menuangkan ide
depan banyak orang dari otakku ’Pulpen’

3 BEMF, Health Study Club Jalan-jalan Ngenet, jalan-jalan Baju, buku notes, fb/fs
(HSC), Otaku-otaku SOS

4 Les Inggris (LIA) Traveling ke luar kota, Jalan-jalan Sepatu Flats dan Tas
Berenang

5 LB LIA Jalan-jalan, browsing Jalan-jalan, ngenet di kos Cardigan & Baju Ketat
internet

6 KSTM (Kelompok Studi Wisata Kuliner, denger Makan, ngemil Walkman & setipenya
Teknologi Mahasiswa) musik, nonton film

7 Maen Games di Komputer Maen Games di Komputer Kebaktian (sampai temen2 Kaos oblong, sandal jepit
kosan tau jadwal kebaktianku)

8 KMHD (Keluarga Mahasiswa Membaca, menggambar, Membaca Gelang


Hindu Dharma) berkebun, dan jalan-jalan

9 Asisten dosen, Devisi Training Mambaca, nonton, denger Kuliah Pakaian


lagu, belanja, koleksi
sandal
Lanjut ke halaman berikut


 


10 EEPro (English Education Nonton Film Jalan-jalan (Pasar Bringharjo, Jam Tangan
Production) Mall)

11 Magis 09 (Komunitas orang Baca komik, Motret Saat membaca dan memotret Komik & Kamera
muda di gereja)

12 - Membaca buku, browsing Sibuk depan komputer, buat Semua barang yang berwarna
internet program, design foto/gambar orange

13 - Baca Baca Komik dan Novel

14 Passy (Persaudaraan Alumni Baca Novel (Harlequin Masak Pakaian, Bacaan harlequin
SMP-SMA St. Clause) & Ramance)
IKAMAYA (Ikatan Mahasiswa
Manggarai Yogyakarta)

IKAMAYA (Ikatan Mahasiswa


Manggarai Yogyakarta)

15 Partimer di rental VCD/DVD Maen Sepak bola Bem Fakultas Komputer

16 KMS-MIC (Komunitas Sepakbola & catur Organisasi Bola


Mahasiswa – Mangrove Instiper
Club)

17 Main bola dengan teman Olah raga Bola Bola


pertambangan

18 Proyek, Komunitas ngopi Baca, Renang, Futsal Field work Jam Tangan G-Shock

19 Part-timer di Dagadu, gardep Nonton TV, Nongkrong di Kerja Sambilan, nge-MC Pesawat
34, forum Bandara / Airport
www.skyscrapercity.com,
www.indonesianpageants.com/f
orum

Lanjut ke halaman berikut







20 Gasdapala (Ganesa Muda Naik gunung, memelihara, Berinteraksi dengan alam, jail Rokok
Pencinta Alam) & masuk hutan rimba, main
Kasmatungga (Komunitas mhs games, hang out
Purbalingga di Yogayakarta)

Kasmatungga (Komunitas mhs


Purbalingga di Yogayakart

21 Kamadhis (Keluarga Olah raga (Bulu tangkis & Olahraga Bulu tangkis Bantal & guling
Mahasiswa Buddhis) Satya Voli)
Dharma USD &

Vidyasena Vihara Vidyaloka


Yogyakarta

22 Pelayanan musik di gereja Main musik, olahraga Bermain alat musik Drum

23 KMHD (Keluarga Mahasiswa Baca, Maen game Tidur & baca Air
Hindu Dharma) USD

24 BEM Farmasi, KMHD Baca buku, Gym, Basket Gym Barbels


Swastika Taruna

25 Staff LB-USD & Magis 08 Tidur Mengajar Kacamata

26 Bem, English Club, & French Menonton Kegiatan Organisasi, Seminar- Jam tangan & pakaian
Club seminar

27 Student staff di LB-UAJY Olah raga Taekwondo Baju Taekwondo

28 - Jalan-jalan, nonkrong di Bergadang, jalan-jalan Motor


Alun-alun Utara Kraton
Yogyakarta






Lampiran 3. Respon Alasan Berpakaian dari Data Jurnal Aktivitas Harian

A. Nyaman R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N

1. Fungsi Fisik 43 9 1 29 33 26 8 11 35 43 15 18 17 14 20 2 12 6 9 12 30 9 5 10 20 9 20 14 480 28

Nyaman 14 3 16 14 6 3 18 21 11 9 15 10 3 8 2 6 18 2 3 13 195 20

Tidak panas 3 5 6 11 1 4 3 11 2 2 48 10

Santai 8 7 10 8 1 1 2 1 38 8

Enak di pakai 4 1 1 1 3 2 1 1 6 2 3 2 3 2 32 14

Dingin, adem 1 1 2 6 2 4 9 25 7
Belum ganti / sekalian 5 1 6 1 1 3 3 20 7
kotor
Leluasa bergerak 6 7 2 1 16 4

Panas 7 1 1 5 14 4

Pakaian kos / rumah 7 1 5 13 3

Mudah menyerap keringat 1 1 1 2 2 2 2 11 7

Enak untuk tidur 2 3 1 5 11 4

Gak kedinginan 1 2 1 2 2 8 5

Pakaian buat tidur 3 1 1 1 1 7 5

Melindungi kulit 5 1 6 2

Gak ribet 5 1 6 3

Bahannya enak 1 4 5 2

Aman 1 2 1 4 3

Gerah 3 1 4 2

Longgar 1 2 1 4 3

Tidak lengket 1 1 1
Pakai motor nyaman pakai 1 1 1
celana
Jalan kaki, jadi pakai rok 1 1 1

Tipis 1 1 2 2

Cocok untuk fitness 1 1 1





Ringan 1 1 1

Takut alergi muncul 1 1 1

Khusus OR 1 1 1
Pakai celana pendek karena
1 1 1
habis hujan
Masih bersih baru dipakai 1 1 1
sebentar
Praktis 1 1 1
Pakaian sebelumnya sudah 1 1 1
kotor

2. Fungsi Sosial 0 4 5 0 1 0 0 3 2 0 1 9 0 0 8 0 0 1 0 0 1 2 4 0 0 0 1 0 42 13
Pakaian buat pergi- 3 1 9 1 14 4
pergi/jalan
Terkesan rapi 1 6 1 8 3
Nyaman dipakai karena 2 1 1 4 3
sopan
Terkesan santai 2 1 3 2

Kata teman bagus 3 3 1


Yang sudah siap dan 1 1 2 2
digosok bersih
Up to date kerena bertemu 1 1 2 2
banyak orang
Pakai jam tangan jadi pakai
1 1 1
lengan 3/4
Terkesan serius 1 1 1

Pakaian renang 1 1 1
Warnanya matching dengan 1 1 1
pakaian pasangan
Pakai kaos dalam kerena 1 1 1
pakai kemeja
Diminta pacar 1 1 1



 


3. Fungsi Visual 1 7 0 0 0 3 0 0 3 6 1 0 3 0 2 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 9 1 2 42 20

Matching 1 5 2 2 2 12 5
Model/ gambar bajunya 1 3 3 3 1 11 5
lucu
Cerah 3 1 1 5 3

Kelihatan fresh 4 4 1

Cocok dengan celananya 1 2 3 2

Lebih soft dipandang 2 2 1

Eye catching 1 1 1

Kerahnya bagus 1 1 1

Enak dipandang 1 1 1

Warnanya pas 1 1 1

Warnanya enak dipandang 1 1 1









B. Norma R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N

1. Kepantasan/Kesopanan 1 1 1 0 1 4 0 0 1 1 0 0 0 8 0 1 7 2 2 0 1 4 3 0 9 4 1 52 18

Sopan 1 1 1 2 1 1 3 1 7 1 1 20 11

Biar rapi 1 4 4 9 3
Pas dengan tempat dan 1 5 1 1 8 4
aktivitas
Ada presentasi 1 3 4 2
Memperingati masa paskah
memakai pakaian yang 4 4 1
soft/tidak mecolok
Agak rapi 2 2 1

Wajar 2 2 1

Pakaian adat sembayang 1 1 1

Baik untuk ke gereja 1 1 1

Lebih pantas 1 1 1

2. Aturan/Kewajiban 3 2 5 0 0 3 2 6 5 3 2 10 2 5 0 0 8 7 6 2 12 0 1 0 5 0 2 0 91 20

Wajib berpenampilan rapi 1 1 2 6 12 22 5

Resmi 1 1 3 4 3 4 2 18 7
Pakaian formal/resmi di 1 6 4 3 2 1 17 6
kampus/ untuk kuliah
Aturan kampus 1 1 3 3 8 4

Wajib 3 2 2 7 3

Harus berkerah 3 2 5 2

Seragam kerja 4 1 5 2

Wajib sopan 4 4 1

Wajib digunakan 1 1 1

Sesuai dengan ajaran 1 1 1






agama
Tidak harus menggunakan 1 1 1
kaos berkerah
Wajib pakai untuk acara 1 1 1

Pakaian sholat 1 1 1

C. Ekspresi Diri R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
1. Gaya Pakaian yang ingin
ditampilkan kepada orang 0 2 0 3 2 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 2 2 0 13 0 2 0 6 1 2 0 7 11 57 13
lain
Fashionable 2 2 1

Sexy 1 1 1

Army look 1 1 1

Casual 1 1 2

Simple 1 1 2 10 2 1 2 9 28 9

Kelihatan matcho 2 2 1

Keren/cool 2 4 4 1 11 4

Stylish 3 3 1

Unik 1 1 2 2

Trendy 3 3 1

Sporty 2 2 1
Ada tulisan merk mobil, 1 1 1
jadi terkesan profesional

2. Kesen kepribadian yang


ingin ditampilkan kepada 2 0 10 1 0 0 8 0 0 0 6 0 0 0 0 0 0 3 0 0 2 1 0 0 0 0 0 2 35 9
orang lain
Santai 10 8 4 3 2 1 2 30 7

Menunjukkan diri 2 2 4 2

Kelihatan feminim 1 1 1






Lampiran 4. Tempat yang Dipandang Penting dalam Berpakaian

Tempat yang penting R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
A. Tempat Ibadah
(Jumatan/Sholat/gereja/ 3 1 2 4 1 6 1 3 5 2 2 4 3 2 3 4 2 3 52 18
Vihara/Pure)
Mengenakan kemeja 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 9
Ke gereja lebih rapi untuk bertemu
1 1 1 2 1 1 1 1 9 8
Tuhan, menghormati
Jumatan/ke gereja pakai pakaian
maksimal/terbaik untuk Tuhan yang 1 1 1 1 1 1 1 6 6
terbaik
Gereja lebih sopan 1 1 1 1 1 1 6 6
Ke gereja lebih feminim 1 1 1 1 4 4

Kalau ke gereja lebih sopan sikitlah,


Tuhan harus dihormati, dan juga 1 1 1 3 3
karena ada kumpulan orang
Gereja mengenakan pakaian
1 1 1 3 3
formal/resmi
Di gereja pakai celana kain 1 1 2 2
Sholat mengenakan pakaian yang
1 1 2 2
bersih dan baru
Pakai celana panjang 1 1 1
Kalau baju di gereja adalah baju
yang mahal, jadi harus bermerk, 1 1 1
kerah berkancing (kemeja)
Kalau ke rumah Tuhan harus sadar
1 1 1
diri
Jumatan pakai parfum untuk Tuhan 1 1 1
Ke Vihara tidak boleh pakai baju
yang tidak berlengan dan celana 1 1 1
yang di atas lutut




Sembayang pakai pakaian adat,
pakai pakaian adat harus khusuk, 1 1 1
cari ketenangan
Ke Mendut mengenakan kemeja
1 1 1
batik
Ke Pure pakai pakaian adat 1 1 1

B. Kampus 2 1 3 1 2 2 2 1 2 1 2 2 4 2 2 2 2 1 34 15
Di kampus mengenakan kaos
berkerah atau kemeja karena 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 10
diharuskan
Ke kampus pakai kemeja dan yang
1 1 1 1 1 2 7 3
rapi
Kuliah celana panjang kain 1 1 1 3 3
Kemeja untuk waktu kuliah karena
1 1 1 3 3
waktunya resmi
Kuliah mengenakan pakaian yang
1 1 2 2
formal
Pakai jilbab pas ke kampus 1 1 2 2
Hanya memperhatikan ketika di
1 1 1
kampus
Di kampus pakai celana jeans 1 1 1
Kuliah pakaian yang sopan, nggak
ketat, pakai celana panjang, dan 1 1 1
kemeja
Pakai jilbab pas ke kampus 1 1 1
Ke kampus mengenakan pakaian
yang formal seperti kemeja dan
sepatu, pakaian lengan panjang,
1 1 1
bahkan rambut tidak boleh
gondondrong, tidak boleh pakai
sepatu sendal, apalagi sandal
Ke kampus ketemu dosen harus rapi 1 1 1






C. Kondang/Nikahan 2 1 1 2 3 2 1 12 7
Berpakaian rapi saat
1 1 1 1 4 4
kondangan/nikahan
Kondangan mengenakan kemeja
1 1 2 2
yang rapi
Menghadiri hajatan mengenakan
1 1 2 2
pakaian yang formal
Pakai pakaian khusus bila ada acara
1 1 1
khusus (Nikahan, kumpul keluarga)
Kondangan pakai yang rapi untuk
1 1 1
menghormati yang mengundang
Kondangan mengenakan batik 1 1 1 1

D. Keluar 1 1 1 2 1 6 5
Kalau keluar nggak pernah pakai
1 1 1
baju yang nggak berlengan
Keluar mengenakan rompi 1 1 1

Kalau untuk keluar, modelnya harus


bagus, kalaupun nyaman tapi 1 1 1
modelnya jelek tidak mau

Jaket digunakan untuk jalan-jalan


1 1 1
dengan teman-teman supaya keren
Keluar mengenakan celana panjang
1 1 1
supaya lebih match
Koas pergi-pergi lebih bagus
1 1 1
daripada kaos di rumah



 


Lampiran 5. Alasan Berpakaian Berdasarkan Ruang dan Waktu

1. Rumah R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
a. Nyaman Fungsi Fisik 31 23 13 14 21 17 17 21 27 15 12 9 19 2 14 9 3 10 6 18 2 15 9 12 9 20 23 404 27
Nyaman 10 10 8 4 2 9 15 7 8 7 19 5 4 7 1 4 9 6 13 174 19
Santai 22 5 4 11 18 7 1 1 3 1 1 1 1 76 12
Adem, tidak panas, sejuk 10 1 2 2 1 6 3 1 1 8 2 4 2 9 11 3 4 11 2 69 19
Enak 4 1 2 4 2 4 4 2 1 1 6 2 2 1 1 1 38 16
Gerah / panas 6 1 3 2 2 3 17 6
Bebas bergerak/ longgar 7 5 1 2 2 17 5
Simpel 1 1 1 1 5 9 5
Menyerap Keringat 1 2 1 4 3

b. Ekspresi Diri 2 1 2 4 1 2 2 14 7
Lucu 1 2 1 4 3
Cerminan diri 1 1 2 2
Bagus 1 1 2 2
Cerah 1 1 1
Unik 1 1 1
sexy 1 1 1
Army look 1 1 1
Suka motifnya 1 1 1
Keren 1 1 1

c. Norma 8 3 1 12 3
Pakaian rumah 8 3 11 11
Rapi 1 1 1








2. Keluar / Jalan / Pergi R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
a. Nyaman Fungsi Fisik 19 1 7 24 23 7 8 5 8 7 4 2 2 3 4 4 1 2 4 5 1 12 153 22
Nyaman 5 1 2 10 10 2 2 1 5 5 3 1 2 1 4 2 10 66 19
Santai 4 4 4 5 3 2 2 3 2 28 9
Simpel 8 2 1 1 2 14 5
Tidak panas 3 3 1 1 8 4
Tidak terkena panas matahari 8 1 1 10 3
Enak 1 1 1 1 1 1 6 6
Longgar / bebas bergerak 2 2 1 5 3
Asal ambil 1 1 2 2
Panas 3 1 1 4 3
Menyerap keringat 1 1 1
Gak kedinginan 1 1 1 2 3
Suka 2 2 1
Gak panas 2 2 1

b. Norma 2 6 3 1 2 2 1 1 1 2 3 24 11
Pakaian pergi 6 3 2 1 12 4
Formal 2 2 4 2
Sopan 1 1 1 3 3
Rapi 1 1 2 2
Pantas 1 1 2 2
Penutup aurat 1 1 1

c. Ekspresi Diri 2 2 2 1 1 1 1 2 1 1 1 2 17 12
Warnanya matching 1 1 1 1 4 4
Cerah 1 1 2 4 3
Matcho 2 2 1
Up to date 1 1 1
Modelnya bagus 1 1 1



 


Pakaian anak muda 1 1 1


Keren 1 1 1
Ngeliatin kalau ini memang
1 1 1
aku
Fashionable 1 1 1
Feminim 1 1 1

3. Kampus R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
a. Norma 2 5 6 5 5 3 3 3 4 1 5 4 10 2 2 9 3 5 5 5 2 89 21
Aturan dari Kampus 1 5 2 2 3 2 2 4 1 2 1 2 8 35 13
Rapi 1 1 1 4 1 1 1 1 2 5 1 19 11
Sopan 2 3 1 1 1 7 2 17 7
Resmi / formal 1 2 1 1 1 1 5 1 13 8
Pantas 1 1 1
Jaga-jaga/aman 1 3 4 2

b. Nyaman Fungsi Fisik 1 3 3 7 14 1 1 1 9 2 5 1 3 18 69 14


Nyaman 1 2 5 6 1 1 1 1 4 1 9 32 11
Simpel 9 1 8 16 3
Enak 1 1 1 1 4 4
Tidak panas 4 1 5 2
Bebas bergerak 1 3 4 2
Menyerap keringat 1 1 1 3 3
Santai 1 1 1 3 3

c. Ekspresi Diri 1 8 3 2 3 1 5 1 2 3 29 10
Matching warnanya 1 1 2 1 2 1 8 6

Fashionable (Stylish, Trendi, 5 3 4 2


Up to date)
Keren 3 1 4 2



 


Suka merknya 1 1 2 2
Modelnya bagus 1 1 2 2
Cerah 1 1 1 2 2
Kasual 1 1 1
Unik 1 1 1

4. Tempat Kerja R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
a. Norma 2 1 2 7 3 13 28 6
Wajib 1 1 3 2 13 20 15
Rapi 1 1 3 1 6 4
Sopan 1 1 2 2

b. Nyaman Fungsi Fisik 2 1 3 2 8 4


Enak dipakai 2 2 1
Nyaman 1 1 3 5 3
Mudah menyerap keringat 1 1 1

c. Ekspresi Diri 3 1 2 6 3
Matching 1 1 2 2
Kelihatan profesional 1 1 1
Bagus 1 1 1
Mood 1 1 1
Eye catching 1 1 1

5. Tempat Ibadah R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
a. Nyaman Fungsi Fisik 5 2 2 4 3 4 1 1 2 24 9
Nyaman 2 1 2 1 1 1 1 9 7
Santai 3 1 4 2
Tidak panas 1 1 2 2
Enak 1 1 2 2



 


Kesukaan 1 1 1
Simpel 1 1 1
Leluasa bergerak 1 1 1

b. Norma 2 1 1 2 5 4 3 1 3 1 23 10
Sopan 1 1 1 2 1 1 1 1 1 10 9
Rapi 1 2 2 2 7 4
Aturan 1 2 3 2
Tradisi 3 3 1

b. Ekspresi Diri 2 1 2 5 3
Bersemangat 1 1 1
Cerah 1 1 1
Rapi 1 1 1
Baju kesukaan 1 1 1
Matching sama atasannya 1 1 1

6. Tempat Olah Raga


(Gym, Lapangan, Kolam R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
Renang)
a. Nyaman Fungsi Fisik 3 1 2 6 3
Cepat menyerap keringat 3 3 1
Tipis 1 1 2 2
Adem 1 1 1

b. Ekspresi Diri 3 3 1
Sporty 2 2 1
Bagus 1 1 1



 


Lampiran 6. Jenis Pakaian Atasan dan Alasan Mengenakannya

1. Kaos R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
a. Nyaman Fungsi 14 3 5 12 19 6 11 10 6 13 12 5 9 9 5 7 1 2 8 6 6 6 4 5 10 1 5 8 208 28
Fisik
Nyaman 6 2 6 10 2 2 2 9 9 4 8 7 1 2 1 3 8 6 88 18
Santai 4 5 3 7 10 2 2 2 1 1 1 38 11
Enak 3 1 2 1 2 3 1 1 2 1 17 10
Adem 2 2 3 3 1 2 4 1 2 3 1 1 4 40 13
Simpel 1 1 3 1 1 1 1 9 7
Panas 1 1 3 5 4
Menyerap keringat 1 1 1 1 4 4
Longgar / bebas
1 1 3 1 6 4
bergerak
Cocok untuk
5 5 1
kegiatannya
Tidak lengket 1 1 1
Gak ribet 2 1 3 2
Bahannya enak 2 2 1
Bersemangat 1 1 1

b. Ekspresi Diri 1 2 1 1 2 1 2 1 2 3 3 19 11
Cerah 2 1 1 4 3
Gambarnya lucu 2 1 3 2
Unik 1 2 3 2
Matching dengan warna
1 1 2 2
celananya
Keren 2 2 1
Up to date 1 1 1
Modelnya lucu 1 1 1
Sexy 1 1 1



 

Enak dipandang 1 1 1
Sporty 1 1 1

c. Norma 1 1 2 1 6 1 1 1 1 15 10
Pakaian untuk pergi 1 2 1 4 3
Rapi 1 1 2 2
Sopan 1 1 2 2
Pakaian sehari-hari 4 4 1
Kebiasaan 1 1 1
Seragam 1 1 1
Pantas 1 1 1

2. Kemeja R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
a. Norma 2 1 3 5 2 2 4 1 3 3 2 2 2 5 4 1 8 1 4 1 4 2 3 1 66 24
Aturan / wajib 1 1 3 2 2 2 1 3 1 2 1 5 1 1 1 2 29 16
Rapi 1 1 2 2 1 3 1 3 1 15 9
Formal 1 1 1 3 2 8 5
Sopan 2 1 1 3 7 4
Pantas 2 1 3 2
Pas dengan kegiatannya 2 2 1
Baik untuk ke gereja 2 2 1

b. Nyaman Fungsi 4 1 2 2 1 6 1 1 3 1 1 2 4 29 13
Fisik
Nyaman 1 2 3 1 1 1 2 2 13 8
Simple 1 1 1 3 3
Santai 1 1 2 2
Tidak panas 3 3 1
Enak dipakai 2 2 1



 

Menyerap keringat 1 1 1
Udara panas 1 1 1
Bersemangat 1 1 1
Pingin 1 1 1
Bahannya enak 1 1 1
Pengen aja 1 1 1

c. Ekspresi Diri 3 1 1 1 1 3 1 11 7
Modelnya unik 1 1 2 2
Matching dengan warna
2 1 3 2
jilbab dan celana
Cerah 1 1 2 2
Kata teman keren 2 2 1
Tren corak kotak-kotak 1 1 1
Warnanya enak dilihat 1 1 1

3. Kaos berkerah R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
a. Nyaman Fungsi
1 2 2 3 2 2 2 2 16 8
Fisik
Nyaman 1 2 3 2 2 1 17 6
Simpel 2 1 3 2
Tidak panas 1 2 1
Enak dipakai 1 2 1

b. Norma 2 1 1 3 2 1 2 1 1 14 9
Aturan 1 2 1 1 1 10 5
Sopan 2 1 1 7 3
Rapi 2 1 5 2
Seragam 2 2 1
Menyerap keringat 1 2 1



 

c. Ekspresi Diri 1 1 2 1 5 4
Cocok dengan warna
1 1 1
celananya
Stylish 1 1 1
Keliatan profesional 1 1 1
Bagus 1 1 1
Cool 1 1 1

4. Jaket/ R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
cardigan/sweater
a. Nyaman Fungsi 3 2 3 1 1 1 1 1 1 14 9
Fisik
Nyaman 1 1 1 1 1 8 5
Simpel 1 2 3 2
Kedinginan 1 2 1
Enak dipakai 1 2 1
Santai 1 1 1
Bad mood 1 1 1 1
Melindungi kulit dari
3 1 8 2
panas matahari
Keamanan 2 2 1
Takut elergi muncul 1 1 1

b. Ekspresi Diri 1 1 2 1 5 4
Keren 1 1 1
Stylish 1 1 1
Keliatan rapi 1 1 1
Cerah 1 1 1
Eye catching 1 1 1



 


c. Norma 1 1 1
Sopan 1 1 1

5. Pakaian tidur
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
(Piyama/daster)
a. Nyaman Fungsi 5 6 3 5 12 2 4 1 38 8
Fisik
Nyaman 3 2 1 2 6 1 4 1 20 8
Gak panas 2 1 4 7 3
Santai 3 1 1 5 3
Dingin 1 1 1 3 3
Enak 2 2 1
Bebas bergerak 1 1 1

b. Ekspresi Diri 1 1 2 2
Suka motifnya 1 2 1
Gambarnya lucu 1 2 1

6. Tanktop / kaos R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
tanpa lengan
a. Nyaman Fungsi 9 3 4 2 2 2 22 6
Fisik
Nyaman 2 1 2 1 1 7 5
Tidak bikin panas 1 1 1 3 3
Gerah 3 1 4 2
Santai 3 2 5 2
Enak 3 3 1
Panas 1 1 1



 


7. Gaun / Dress R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
Ekspresi Diri 1 2 3 2
Pakaian buat jalan-jalan 2 2 1
Matching dengan warna
1 1 1
baju pasangan

8. Jilbab R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
Aturan kampus 1 1 1
Sesuai dengan ajaran
1 1 1
agama
Matching dengan baju 2 2 1

9. Baby Doll R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
Model baju lucu 1 1 1
Enak dipakai 1 1 1
Bisa dipakai untuk jalan 1 1 1

10. Jas Lab R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
Wajib 1 1 1
Keamanan 1 1 1 1

11. Baju koko R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
Sopan 1 1 1







Lampiran 7. Jenis Pakaian Bawahan dan Alasan Mengenakannya

1. Celana pendek kain R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
a. Nyaman Fungsi Fisik 7 11 6 3 2 3 1 5 1 1 4 3 9 1 2 5 5 8 77 18
Nyaman 3 4 1 3 1 1 3 1 1 1 4 23 11
Santai 11 2 1 1 1 2 1 19 7
Adem 2 1 1 3 7 4
Nggak panas 2 3 2 7 3
Enak dipakai 2 2 1 5 3
Simpel 1 1 3 5 3
Menyerap keringat 1 1 1 3 3
Bebas bergerak 3 1 4 2
Panas 2 1 3 2
Ringan 1 1 1
Pakaian sehari-hari 1 1 1

b. Ekspresi Diri 1 1 3 1 6 4
Matcho 1 1 1
Kebiasaan 1 1 1
Keren 1 1 1
Bagus 1 1 1
Army look 1 1 1
SPORTY 1 1 1

2. Jeans panjang R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
a. Nyaman Fungsi Fisik 3 1 3 3 7 2 1 20 7
Nyaman 1 1 1 2 4 2 20 6
Gak ribet 1 1 3 10 3
Simpel 1 2 3 2





Melindungi kaki dari
2 4 1
matahari
Bosen pakai warna lain 1 1 1
Gak panas 1 2 1
Enak dipakai 1 1 1

b. Norma 4 2 5 2 1 3 2 19 7
Rapi 2 2 1 1 1 9 5
Pakaian kampus 2 2 2 6 3
Sopan 2 1 5 2
Resmi 1 1 2 2
Pakaian main 1 1 1

c. Ekspresi diri 2 1 5 1 1 1 1 1 2 15 9
Matching sama atasannya 1 1 1 5 3
Terlihat santai 1 1 3 2
Trendi 2 4 1
Menunjukkan diri sendiri 1 2 1
Up to date 1 2 1
Kasual 1 2 1
Suka merknya 1 2 1
Matcho 1 1 1
Stylish 1 1 1
Celana panjang favorit 1 1 1
Cerah 1 1 1






3. Celana Jeans 7/8 &


R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
3/4
a. Norma 1 1 1 1 4 4
Pantas untuk keluar 1 1 2 2
Sopan 1 1 1
Wajar 1 1 1

b. Nyaman Fungsi Fisik 1 1 1 3 3


Nyaman 1 1 2 2
Simpel 1 1 1

4. Celana panjang kain R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
a. Norma 1 2 1 1 1 6 5
Formal 1 1 1 3 3
Wajib mengenakan celana
kain panjang 1 1 2 2

Sopan 1 1 1
Rapi 1 1 1

5. sarung R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
a. Nyaman Fungsi Fisik 1 4 5 2
Enak 1 1 2 2
Nyaman 1 1 1
Biar dingin / sejuk 1 1 1
Nggak gerah 1 1 1



 

b. Norma 1 1 2 2
Pakaian tidur 1 1 2 2
Pakaian sholat 1 1 1
Kebiasaan 1 1 1

6. Rok R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
Nyaman 2 2 1
Tidak panas 1 1 1
Matching sama atasan 1 1 1







Lampiran 8. Sumber Informasi

Sumber Informasi Responden F N


Media R1 R2 R5 R9 R15 R16 R19 R24 R26 R27 R28 14 11
Buku R1 1
Internet R2 R5 R15 R19 4
Majalah R5 R9 R24 3
Tv R15 R16 R24 R26 R27 R28 6

Keluarga R6 R17 R21 R25 4 4


Mama R6 R25 2
Bapak R17 1
Kakak R21 1

Teman R7 R10 R14 R16 R18 R19 R20 R22 R23 R25 10 10

Obeservasi orang di sekitar


yang tidak dikenal R8 R9 R19 3 3
Window shopping R8 1
Liat orang di jakarta R9 1
Orang sekitar R19 1

Tidak ada R12 R13 2 2






Lampiran 9. Orang yang Dibayangkan Memiliki Gaya Pakaian yang Sama

Orang yang dibayangkan Responden N


1. Teman R7 R8 R10 R11 R20 R19 R22 R23 8
Teman kampus R7 R8 R10 R11 R20 5
Teman kerja R19 1
Teman gereja R22 1
Orang-orang muda di mall R23 1

2. Orang yang lebih tua / panutan R6 R13 R17 R18 R19 R21 R25 7
Orang tua R6 R17 2
Kakak R13 R21 2
Dosen R18 1
Eksmud R19 1
Biarawan R25 1

3. Tidak ada/ style sendiri R2 R3 R4 R5 R12 R24 6

4. Media R15 R16 R27 R28 4


Penyanyi di vidio klip musik R15 1
Artis : Indra Bekti R16 1
Atlet-atlet R27 1
Petualang R28 1

5. Orang yang se-etnis R9 1






Lampiran 10. Merk Pakaian yang Dikenakan Responden

Kategori Merk R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11R12R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 F N
1. Merk Indonesia 3 3 3 11 5 5 3 1 2 4 3 3 2 5 9 7 6 1 8 3 1 6 6 100 23
Tekenal
Nevada 1 3 2 1 1 1 1 3 3 3 1 1 2 23 13

Super T 1 2 3 1 2 1 1 2 1 14 9

Emba 1 1 2 1 1 1 7 6

Ie Be 1 3 1 1 6 4

Gabrielle 1 1 2 4 3

Cole 1 1 1 3 3

Aero 1 1 2 2

Graphis 1 1 1 3 3

Dust 1 1 1 3 3

Poshboy 1 1 2 2

Outclass 2 1 3 2

Metalizer 1 1 1

Authority 1 1 1

Darbost 1 1 1

Cab 1 1 1

Esprise 1 1 2 2

Alissan 1 3 4 2

The Executive 1 1 1

Ninety degrees 1 1 1

Family Nine 1 1 2 2

Winnie The Pooh 2 2 1

H&R 1 1 2 2

Logo 1 1 1






Lea 1 1 1

Wood 1 1 1

Larusso 1 1 1

Carvil 1 1 1

Rider 1 1 1

Gajah 1 1 1

Next 1 1 1

Ben Hill 1 1 1

Bali Suci Office 1 1 1

Seven Star 1 1 2 2

2. Merk yang Tidak 1 5 7 2 3 10 7 2 1 2 10 4 4 4 5 3 10 1 7 1 2 1 1 5 98 24


Terkenal
ABS 1 1 1

Mode Pink 1 1 1

Scoop 1 1 1

Lada 1 1 1

Jack Nobel 1 1 1

Cablines 1 1 1

Distro 1 1 1

Tigasco 1 1 1

Abundance 1 1 1

SX 1 1 1

O-yu 1 1 1

Time Out 1 1 1

Oslow 1 1 1

Cute Bear 1 1 1

Strawberry 1 1 1

ESSE 1 1 1

Tex Pia 1 1 1






Medwan 1 1 1

Vokal 1 1 1

V4 Classic 1 1 1

Scanner 1 1 1

Great 1 1 1

Bed Time 1 1 1

Rapilyana 1 1 1

Ikama 1 1 1

Jenie Martin 1 1 1

Caroline 1 1 1

Black Red 2 2 1

Bali Speparasi 1 1 1

Miau Tan Collection 1 1 1

Hand Design 1 1 1

Admire 1 1 1

No 1 1 1

N&J 1 1 1

Tom & Momy 1 1 1

Bali Face 1 1 1

Suryo 1 1 1

And I 1 1 1

Sport 'Gao Ji Fu Shi' 1 1 1

Sweet Dance 1 1 1

Aremania 1 1 1

Sport 1 1 1

Pescana 1 1 1

Et Vous 1 1 1

Salsa 1 1 1

Po. Box 1 1 1

Pasadewa 1 1 1



 


Prive 1 1 1

J.S. 2 2 1

N'Baverly Collection 1 1 1

Y53 1 1 1

Sydney 1 1 1

Opulent 1 1 1

Arya Putra 1 1 1

Mekar Merah 1 1 1

Keko United 1 1 1

Roxygen 1 1 1

Martell 1 1 1

Batik 1 1 1

Girls 1 1 1

Oviedo 1 1 1

Exclusive 1 1 1

Favo 1 1 1

T&M Jeans 1 1 1

SPM Jeans 1 1 1

73 1 1 1

T2000 1 1 1

O.Y.L 1 1 1

Chery Jeans 1 1 1

Edgy 1 1 1

AS 2000 1 1 1

Leener 1 1 1

Line 1 1 1

SVL 1 1 1

Tusuli 1 1 1

Hoki & Sheilia 1 1 1

Afterwork 1 1 1







Baby Dolls 2 2 1

Espe 1 1 1

M 1 1 1

Natay 1 1 1

Platni 1 1 1

Blank Side 1 1 1

Puspasari 1 1 1

Everyday 1 1 1

Clothe 1 1 1

Borneo Collection 1 1 1

iMixplus 1 1 1

Yege 1 1 1

Singapore Lion City 1 1 1

Lr2 1 1 1

Excell 2 2 1

K-Girls 1 1 1

No Face 1 1 1

3. Merk Lokal Produksi


Terbatas (Distro, butik, 4 5 1 5 20 3 4 3 2 5 3 3 1 8 1 1 1 1 3 1 75 20
conter di mall)
a. Counter di Mall / 1 3 5 1 3 3 2 2 6 1 1 1 1 30 13
Toko
Contempo 2 2 1

61 1 1 1 1 1 5 5

It's A 1 2 3 3

Osmose 2 2 1

Orange 1 1 1

Blanik 1 1 1

Magnolia 1 1 1

Valen 1 1 1






Dagadu 1 1 6 1 9 4

Djoger 1 1 1 1 4 4

IFA 1 1 1

b. Distro 2 1 1 2 2 2 1 2 1 1 2 17 11

Ouval Research 1 1 1

Plush 1 1 1

Bee Co. Po 1 1 1

Maugust 1 1 1

T&C 1 1 1

Mangrove 1 1 1

4V 1 1 1

Verophobia 1 1 1

Baby Milo 1 1 1

Exist 1 1 2 2

Luolunbao 1 1 1

Real one-co 1 1 1

Jenie Martin 1 1 1

Stoner 1 1 1

Play Boy 1 1 1

Oxigen 1 1 1

c. Butik 1 1 17 1 1 3 3 1 28 8

De'Mode 6 6 1

Omah Mode 1 1 1

Green Light 1 1 1

Musik T 1 1 1

Lafira 1 1 1

Thumbella 1 1 1

Bear Cutiest 1 1 1






Beary 1 1 1

Cute Bear 1 1 1

Albani 1 1 1

Amalia 1 1 1

Optime 1 1 1

Girl Talk 1 1 1

Marcella 1 1 1

Amaris 1 1 1

Animo 1 1 1

Bebe 1 1 1

Joy Friend 1 1 1

Saint Lee 1 1 1

Niken 1 1 1

Baby Dolls 2 2 1

Ikama 1 1 1

4. Merk Lokal Pesanan / 2 1 5 1 2 11 5


produk sendiri
In Tee Shirt 1 1 1 3 3

Pino 2 2 1

Campus 1 1 1

Forest 1 1 1

Dunia & co. 1 1 1

Fiat TV 1 1 1

Tawon 1 1 1

TPI 1 1 1

5. Merk Internasional 1 4 1 4 3 1 1 1 2 4 1 1 3 1 4 3 3 8 4 50 19
Terkenal
Polo 2 1 2 1 6 4



 


Nike 1 3 4 2

Adidas 1 1 1 3 3

Spiderbilt 1 2 3 2

Billabong 1 1 2 2

Crocodille 1 1 2 2

Giordano 1 1 2 2

Cardinal 1 1 2 2

Lee Cooper 1 1 2 2

Esprit 1 1 2 2

Old Navy 2 2 1

Fila 2 2 1

Armani Exchange 1 1 1

Diesel 1 1 1

Replay 1 1 1

Energy 1 1 1

Lois 1 1 1

Zara 1 1 1

Used 1 1 1

Disney 1 1 1

Mickey 1 1 1

The Northface 1 1 1

Volcom 1 1 1

Rip Curl 1 1 1

Rusty 1 1 1

Hang Ten 1 1 1

Spalding 1 1 1

Diadora 1 1 1

Padilla 1 1 1

Wilson 1 1 1




Anda mungkin juga menyukai