Anda di halaman 1dari 3

Linda

Kami mendefinisikan bahwa pneumonia bakterial pada anak-anak yang mengalami


pneumonia sangat parah dengan CXR positif dan mengalami demam atau jumlah neutrofil
yang tinggi. Di sini kami juga menemukan bahwa 25% pasti terinfeksi bakteri. Dan Secara
keseluruhan, NTHi adalah bakteri tersering yang terlibat diikuti oleh Streptococus aureus,
sedangkan untuk Streptococus pneumoniae adalah bakteri dengan urutan tersering ketiga.
Prevalensi rendah Streptoccous pneumoniae dalam penelitian kami merupakan temuan yang
menarik karena vaksinasi pneumokokus bukan bagian dari program imunisasi nasional
karena hanya 8% pasien dalam penelitian ini yang telah menerima setidaknya satu dosis
vaksin pneumokokus, vaksinasi saja tidak dapat menjelaskan prevalensi yang rendah ini. Dan
Ini mungkin mencerminkan etiologi pneumonia di negara berkembang.
Dan Dalam kebanyakan penelitian, infeksi pneumokokus adalah etiologi bakterial
yang paling umum. Namun H. influenzae semakin dikenal sebagai penyebab penting infeksi
saluran pernapasan pada anak-anak termasuk pneumonia. Dalam Studi Kesehatan Anak
Drakenstein di Afrika,berpendapat yang di mana vaksinasi pneumokokus dimasukkan dalam
program imunisasi nasional mereka, karena mereka menemukan hubungan yang kuat antara
RSV, B. pertussis dan H. influenzae dengan pneumonia,dan H. Influenzae paling sering
terjadi.
Dalam sebuah artikel review oleh Zar et al, yang dimana penulis menyoroti perubahan
spektrum penyakit pneumonia di masa kanak-kanak, khususnya terjadi penurunan prevalensi
Streptococus pneumoniae dan Hib (Haemophilus Influenzae Type B  (Hib)) bakteri yang
dapat menyebabkan infeksi di berbagai bagian organ tubuh, seperti otak, saluran pernapasan,
paru-paru, tulang, hingga jantung.di tengah meluasnya penggunaan vaksinasi. Kemudian
Dalam sebuah penelitian prospektif besar di India, S. aureus terdeteksi pada sekitar 7% anak
yang dirawat dengan LRTI. Demikian pula, dalam penelitian kami, S. aureus diisolasi pada
9% dari semua anak. Tak satu pun dari isolat dalam penelitian kami adalah S. aureus yang
tahan dengan Methicillin.
Kami juga menentukan prediktor infeksi bakteri dan menemukan bahwa jenis kelamin
laki-laki dengan adanya krepitasi adalah prediktor independen, dengan tanda krepitasi
sebagai prediktor terkuat. Krepitasi telah terbukti berhubungan dengan pneumonia . selain itu
juga Anak-anak laki-laki terbukti memiliki peningkatan risiko infeksi saluran pernapasan,
yang juga termasuk infeksi bakteri.
Dalam penelitian ini, virus diisolasi pada 37% dari semua pasien dengan yang paling
umum adalah rhinovirus, RSV dan hMPV. Tingkat deteksi ini lebih rendah dibandingkan
dengan orang lain yang telah mendeteksi virus pada 60% hingga 98% kasus LRTI(lower
respiratory tract infections). Hal ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa PCR kami tidak
mendeteksi enterovirus seperti yang dilakukan penelitian lain serta pengecualian wheezer
berulang yang biasanya terinfeksi oleh virus.
Meskipun Syncytial Virus (RSV) dan rhinovirus umumnya terlihat di seluruh dunia
ini menarik bahwa Hmpv (Human metapneumovirus (hMPV) adalah virus tersering ke-3
dalam penelitian kami. Yang dimana hMPV adalah penyebab infeksi saluran pernapasan
yang parah dan gejalanya biasanya tidak dapat dibedakan dari RSV. Dan hMPV dilaporkan
terdeteksi pada 4–16% pasien dengan infeksi saluran pernapasan, yang menjadikannya virus
yang signifikan. Dalam penelitian ini, terdeteksi pada 7% dari semua pasien yang dirawat
dengan LRTI. Namun, baik RSV maupun hMPV tidak dikaitkan dengan infeksi serius jika
melihat durasi rawat inap dan kebutuhan untuk peningkatan dukungan pernapasan.

Dalam penelitian ini, koinfeksi terlihat pada 13% pasien. Dan untuk Virus yang paling
banyak terdeteksi adalah rhinovirus dan virus respirasi syncytial sedangkan bakteri tersering
adalah H. influenzae dan S. aureus. Temuan kami sesuai dengan yang dari Kenya dan Inggris
di mana koinfeksi ditemukan pada 15% dan 12,5% kasus masing-masing 3,32 tetapi yang
lain telah menemukan prevalensi infeksi campuran setinggi 82%.
Selain itu juga Koinfeksi telah dikaitkan dengan penyakit klinis yang parah dalam
beberapa penelitian, tetapi tidak semua, dengan metanalisis baru-baru ini tidak menemukan
hubungan yang signifikan dengan penanda penyakit parah . Dalam penelitian ini juga,
koinfeksi dikaitkan dengan CRP yang lebih tinggi dan detak jantung yang muncul tetapi tidak
dengan penanda penyakit parah lainnya yang signifikan, yaitu. durasi rawat inap yang lebih
lama, kebutuhan NIV, perawatan PICU, terapi oksigen dan pemberian selang nasogastrik.
CRP yang lebih tinggi pada koinfeksi telah ditunjukkan sebelumnya.
Bakteri atipikal seperti Mycoplasma pneumoniae dan Bordatella. pertusis sangat
jarang ditemukan dalam populasi kami dan Cylamdia pneumoniae tidak terdeteksi dalam
penelitian ini. Seperti yang kita ketahui M. pneumoniae dan C. pneumoniae biasanya terlihat
pada anak-anak yang lebih tua dari 5 tahun sedangkan populasi penelitian kami memiliki usia
rata-rata 14 bulan. Kemudian untuk B. pertusis jarang terdeteksi mungkin karena sebagian
besar pasien kami (90%) telah mendapatkan vaksinasi terjadwal.
Temuan kami hanya 3% dari anak-anak dari penelitian kami yang positif untuk
organisme atipikal serupa dengan penelitian Asia sebelumnya menggunakan serologi pada
anak di atas 2 tahun untuk M. pneumoniae, C. pneumoniae dan Legionella pneumophila.
Keterbatasan dalam penelitian ini diakui. Kami tidak menentukan prevalensi
organisme yang terdeteksi melalui PCR pada kelompok kontrol dari anak-anak yang sehat
karena penelitian telah menunjukkan jumlah organisme yang tinggi pada anak-anak ini,
mungkin hasil dari pelepasan virus yang tumpang tindih dan kolonisasi bakteri.
Dimasukkannya anak kontrol akan mengurangi deteksi berlebih pada organisme
nonpatogenik terutama virus. Namun, studi kasus-kontrol telah menunjukkan bahwa RSV
adalah patogen utama dan dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa RSV dan hMPV
umumnya terisolasi, dan ini tidak mungkin hanya pengamat yang tidak bersalah. Kami
melakukan PCR multipleks pada darah dan sputum yang diinduksi, kultur virus dan bakteri
sputum yang diinduksi dan IF untuk virus dan kultur darah untuk mendeteksi virus dan
bakteri. Namun, uji antigen urin untuk infeksi pneumokokus dan uji serologi penyembuhan
untuk mendeteksi bakteri dan virus atipikal tidak dilakukan. Hal ini dapat mengakibatkan
akan meremehkan beban bakteri dan virus di LRTI. Namun, tes antigen urin kurang spesifik
pada anak-anak karena tingginya pembawa Streptococus pneumoniae di hidung dan tes
serologi juga rumit, bahkan dalam skenario klinis, dan karenanya tidak digunakan dalam
penelitian ini. Akhirnya, penelitian ini dilakukan pada populasi perkotaan dikarenakan
etiologinya mungkin tidak digeneralisasikan untuk keseluruhan populasi.
Pada Saat ini belum ada tes standar emas yang cukup sensitif dan spesifik untuk
menentukan etiologi pneumonia dengan pasti. Selain itu juga Tes di tempat perawatan juga
sangat dibutuhkan untuk menentukan etiologi infeksi saluran pernapasan bagian bawah.
Meskipun virus umumnya terdeteksi, dan biasanya memulai infeksi saluran pernapasan,
infeksi bakteri sekunder dapat terjadi, oleh karenanya menahan antibiotik saat virus terdeteksi
mungkin tidak bijaksana.

Anda mungkin juga menyukai