Anda di halaman 1dari 9

Makalah

(AKSES TERHADAP PUSKESMAS)

DISUSUN OLEH :
Kelompok 1
Annisa Iskaputri K052211007
Faradila Kilkoda K052211017
Ary Fauzan Henaulu K052211005
Anna Andreani Akse K052211011
Apia Unmebopa K052211015

S2 ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN


UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021/2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridhoNya makalah yang berjudul “Akses

terhadap Puskesmas” ini dapat diselesaikan.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi Tugas dalam mata kuliah Analisis Kebijakan

dan Manajemen Kesehatan.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari terdapat banyak

kekeliruan dan kesalahan dalam makalah ini, untuk itu saran dan kritikan yang membangun sangat

kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan banyak manfaat

kepada para pembacanya.

Makassar, September 2021

Penulis

DAFTAR ISI
Sampul i
Kata pengantar ii
Daftar isi iii
BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar belakang 1

B. Rumusan masalah 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Aksesibilitas

B. Akomodasi

C. Keterjangkauan

D. Akseptabilitas

BAB III PENUTUP

Penutup

Saran

DAFAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelayanan kesehatan merupakan salah satu komponen dalam sistem kesehatan


nasional yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Baik promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau
masyarakat. UU 36/2009 juga memberikan gambaran bahwa pelayanan kesehatan yang
bersifat promotif dan preventif bertujuan untuk menginformasikan kepada masyarakat
tentang pola hidup sehat dan mencegah terjadinya permasalahan kesehatan masyarakat
atau penyakit. Sedangkan pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif
berorientasi pada penyembuhan dan pengobatan suatu penyakit serta mengembalikan
bekas penderita ke dalam masyarakat.
Di Indonesia Peran Puskesmas sangat penting untuk memajukan sistem kesehatan
Nasional, sebab Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan bagi masyarakat
dari perkotaan hingga desa-desa terpencil sekalipun. Keadaan demografi Indonesia yang
majemuk terdiri dari berbagai Provinsi, Kota dan ribuan pulau yang tersebar
mengakibatkan adanya permasalahan dalam akses pelayanan kesehatan baik di
Puskesmas maupun Rumah Sakit. Contoh dari fenomena ini adalah pada program
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), dimana Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB) di beberapa wilayah masih cukup tinggi. Banyak penelitian yang
menyatakan bahwa angka kejadian AKI dan AKB tinggi dikarenakan salah satu faktornya
adalah akses yang sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Laksono & Hidayati,
2008) (Zahtamal et al., 2011) (Laksono & Pranata, 2013) (Astuti & Laksono, 2014)
(Suraya et al., 2016).

B. Rumusan Masalah
Adapun ruusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana aksesibilitas Puskesmas ?
2. Bagaimana akomodasi Puskesmas ?
3. Bagaimana keterjangkauan Puskesmas ?
4. Bagaimana akseptabilitas Puskesmas ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aksesibiltas Puskesmas

Akses menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam Jaringan


merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, yaitu access yang mempunyai arti jalan
masuk. Sehingga secara umum akses pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai
suatu bentuk pelayanan kesehatan dengan berbagai macam jenis pelayanannya yang
dapat dijangkau oleh masyarakat (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
2016). Secara umum akses dapat dibagi menjadi beberapa aspek, antara lain : akses
geografis, ekonomi dan sosial. Akses geografis dapat dideskripsikan sebagai
kemudahan menjangkau pelayanan kesehatan yang diukur dengan jarak, lama
perjalanan, jenis transportasi, infrastruktur jalan. Akses ekonomi lebih menekankan
kepada kemampuan masyarakat untuk mengalokasikan kemampuan finansialnya
dalam menjangkau pelayanan kesehatan. Sedang akses sosial lebih pada masalah
komunikasi, budaya, keramahan, dan kepuasan pelayanan (Laksono, 2016).

Dalam pelayanan kesehatan, akses biasanya didefinisikan sebagai akses ke


pelayanan, provider dan institusi. Menurut beberapa ahli akses lebih daripada
pelengkap dari pelayanan kesehatan karena pelayanan dapat dijangkau apabila
tersedia akses pelayanan yang baik. Sementara umumnya para ahli menyadari bahwa
karakteristik pengguna mempengaruhi karakteristik provider dalam memberikan
pelayanan. Atau dengan kata lain, akses ke pelayanan terbentuk dari hubungan antara
pengguna dan sumber daya pelayanan kesehatan.

Akses bisa dilihat dari sumber daya dan karakteristik pengguna. Namun,
dalam rangka meningkatkan pelayanan jangka pendek, sumber daya yang memegang
peranan penting. Pada umumnya, permasalahan harga, waktu transportasi dan waktu
tunggu lebih direspon secara spesifik daripada permasalahan karakteristik sosial
ekonomi masyarakat seperti pendapatan, sarana transportasi dan waktu luang. Akses
merupakan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang tepat sesuai
dengan kebutuhan. Akses bisa digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan, mencari
dan mendapatkan sumber daya dan menawarkan pelayanan yang tepat sesuai dengan
kebutuhan pengguna.

Dari sisi provider, terdapat lima dimensi dari akses yaitu :

1. Kedekatan, pengguna mendapatkan pelayanan kesehatan yang bisa diidentifikasi


dalam bentuk keberadaan pelayanan, bisa dijangkau dan berdampak pada
kesehatan pengguna.
2. Kemampuan menerima, berhubungan dengan faktor sosial budaya yang
memungkinkan masyarakat menerima pelayanan yang ditawarkan.
3. Ketersediaan, mengacu pada pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau kapanpun
dan dimanapun. Ketersediaan tidak hanya secara fisik, namun secara sumber daya
mampu memberikan pelayanan sesuai kemampuan.
4. Kesangguapan pengguna, mengacu pada kemampuan dari pengguna untuk
menggunakan fasilitas kesehatan secara ekonomi maupun sosial,
5. Kesesuaian, mengacu pada kesesuaian antara pelayanan yang diberikan dan
kebutuhan dari pengguna.

Selain itu, akses ke pelayanan kesehatan juga dipengaruhi oleh kemampuan pengguna
diantaranya:

1. Kemampuan menerima (kepercayaan dan harapan)


2. Kemampuan mencari (nilai sosial, budaya dan gender)
3. Kemampuan menjangkau (lingkungan tempat tinggal, transportasi dan
dukungan sosial)
4. Kemampuan membayar (pendapatan, asset dan asuransi)
5. Kemampuan ikut serta (ketaatan, support)

Seluruh kemampuan itu saling berhubungan baik dari provider dalam hal ini
Puskesmas maupun pengguna, sehingga bisa dikatakan akses merupakan keterkaitan
dari faktor-faktor tersebut. Provider/ Puskesmas sebagai penyedia layanan harus
mempertimbangkan karakteristik dari calon pengguna misalnya pendapatan,
kemampuan membayar, lokasi tempat tinggal dan lain-lain. Karakteristik pengguna
dipengaruhi oleh hal yang lebih luas misalnya nilai-nilai dalam keluarga, nilai-nilai
dalam organisasi, nilai-nilai budaya dan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.
Meskipun pengguna memiliki pengetahuan yang benar tentang pelayanan kesehatan,
tidak dipungkiri nilai-nilai tersebut juga memberikan sedikit dampak kepada
pengguna dalam mengambil keputusan menggunakan pelayanan kesehatan. Nilai-nilai
tersebut bisa berasal dari rumah tangga dan lingkungan tempat tinggal.

Pelayanan kesehatan yang dinikmati oleh masyarakat sebenarnya merupakan


cerminan karakteristik demografi, sosial dan ekonomi maupun karakteristik sistem
kesehatan dan lingkungan dimana mereka tinggal.

Bagaimana di Indonesia? Indonesia merupakan negara kepulauan dengan


masyarakat yang heterogen, sehingga layanan kesehatan yang disediakan oleh
provider seharusnya mempertimbangkan keadaan ini. Dengan kondisi geografis yang
beragam dan penyebaran fasilitas kesehatan yang tidak merata tentunya masalah akses
merupakan hal yang penting untuk diselesaikan demi memberikan pelayanan yang
bermutu bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan masalah
akses, perlu kombinasi dari karakteristik pelayanan, provider dan sistem yang sejalan
dengan karakteristik pengguna, rumah tangga dan kemampuan dari masyarakat.

Aksesibilitas pelayanan kesehatan di Indonesia masih merupakan sebuah


masalah. Masalah tersebut merupakan sebuah konsekuensi dari kondisi geografis
Indonesia sebagai negeri ke pulauan serta kondisi topografis yang bisa sangat ekstrim
antar wilayah. Disparitas aksesibilitas pelayanan kesehatan disinyalir berbanding
lurus dengan ketimpangan pembangunan yang digambarkan sebagai dikotomi Jawa-
Bali dengan Non Jawa-Bali, atau Kawasan Barat Indonesia dibanding Kawasan Timur
Indonesia. Ketimpangan tidak hanya terjadi pada ketersediaan fasilitas pelayanan
kese-hatan, alat, dan teknologi, tetapi juga pada ketersediaan tenaga kesehatan pada
masing-masing wilayah. Keberadaan fasilitas kesehatan dasar Puskesmas, menurut
hasil survei, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan di sparitas sekitar
20,9%. Jumlah rumah tangga yang mengetahui keberadaan Puskesmas paling tinggi di
Provinsi Bali (sebesar 95,5%), sedangkan posisi terendah adalah Provinsi Bengkulu
(sebesar 74,6%).1 Disparitas lebih besar terjadi pada fasilitas kesehatan lanjutan. Hasil
survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa jumlah rumah
tangga yang mengetahui keberadaan Rumah Sakit Pemerintah di Provinsi Bali sebesar
88,6%, sedangkan posisi terendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar
39,6%. Berdasarkan informasi fakta ilmiah dan fakta empiris tersebut, diperlukan
sebuah pemetaan tingkat aksesibilitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Pemetaan ini
penting dilakukan untuk melihat upaya pemerataan yang sudah dilakukan, sekaligus
sebagai penentuan prioritas pembangunan untuk peningkatan aksesibilitas pelayanan
kesehatan di Indonesia. Pemetaan tingkat aksesibilitas akan dilakukan melalui sebuah
indeks aksesibilitas yang dikembangkan melalui 3 (tiga) sub indeks, yaitu: supply
(ketersediaan), barrier (hambatan), dan demand (pemanfaatan). Secara normatif,
strategi peningkatan aksesibilitas pelayanan kesehatan dilakukan dengan menaikkan
dan/atau me- nurunkan variabel pembangunnya, yaitu meningkatkan supply
(ketersediaan), mengurangi barrier (hambatan), dan meningkatkan demand
(pemanfaatan). Salah satu strategi peningkatan akses dilontarkan oleh Busse, dkk. 21
dengan strategi cross-border (lintas batas). Pengaturan cross-border adalah salah satu
mekanisme yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan
dengan akses ke pelayanan kesehatan. Dalam beberapa kasus, solusi ini akan menjadi
mekanisme yang paling tepat; di samping itu, juga lebih cost efective untuk
mengurangi rintangan akses. Pengaturan lintas batas tidak harus dilihat sebagai satu-
satunya solusi untuk masalah aksesibilitas, meski strategi ini bisa memainkan
peranan penting dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan, khususnya rintangan akses muncul karena masalah geografis.

B. Akomodasi

Setelah pemberlakukan Jaminan Kesehatan Nasional, Puskesmas dianggap


semakin berat menjalankan fungsi kuratif daripada preventif. Implementasi fungsi
Puskesmas sudah seharusnya dapat dikendalikan melalui sebuah instrumen Penilaian
Kinerja Puskesmas (PKP) yang mampu mengakomodasi fungsi puskesmas secara
seimbang. Hal ini apat dlakukan untuk menganalisis kemampuan instrumen Penilaian
Kinerja Puskesmas dalam mengakomodasi implementasi fungsi puskesmas.
Implementasi fungsi puskesmas dianalisis melalui studi dokumen kebijakan yang
mengatur fungsi puskesmas. Nominal Group Technique (NGT) dengan kepala
Puskesmas dapat dilakukan untuk menyimpulkan akomodasi setiap fungsi puskesmas
pada setiap komponen penilaian yang digunakan dalam instrumen PKP.
Ada tiga aspek yang dinilai dalam PKP, yakni :
1. aspek pelayanan kesehatan (wajib dan pengembangan),
2. pelaksanaan manajemen puskesmas,
3. mutu pelayanan kesehatan.

PKP untuk program wajib dan pengembangan puskesmas lebih menilai fungsi
puskesmas sebagai pelayanan kesehatan masyarakat. Komponen penilaian untuk mutu
pelayanan kesehatan dan kegiatan manajemen puskesmas justru lebih banyak menilai
mutu fungsi pelayanan kesehatan perorangan. Fungsi puskesmas sebagai pusat
penggerak pembangunan berwawasan kesehatan merupakan fungsi yang paling jarang
dinilai sebagai kinerja puskesmas. ini menunjukkan bahwa instrumen PKP yang
selama ini digunakan belum mampu mengakomodasi implementasi fungsi puskesmas
secara seimbang.

C. Keterjangkauan
Puskesmas sebagai pemberi pelayanan primer yang menjadi andalan utama
pelayanan bagi masyarakat, belum mampu memberikan pelayanan bagi daerah
terpencil perbatasan dan kepulauan. Wilayah kerja puskesmas cukup luas, secara
geografi sebagian sulit dijangkau, jumlah penduduk sedikit, tersebar dalam kelompok-
kelompok kecil yang saling berjauhan. Sarana transportasi sangat terbatas dengan
biaya mahal baik darat, sungai, laut maupun udara. Status kesehatan masyarakat dan
cakupan pelayanan kesehatan di daerah terpencil perbatasan masih rendah.
Masyarakat secara umum belum mempunyai pengetahuan dan perilaku hidup sehat
dan kondisi lingkungan yang kurang baik.
Penggunaan Puskesmas di daerah terpencil antara lain dipengaruhi oleh akses
pelayanan yang tidak hanya disebabkan masalah jarak, tetapi terdapat dua faktor
penentu (determinan) yaitu :
1. Determinan penyediaan yang merupakan faktor-faktor pelayanan, dan
determinan permintaan yang merupakan faktor-faktor pengguna (Timyan
Judith, et al, 1997). Determinan penyediaan terdiri atas organisasi
pelayanan dan infrastruktur fisik, tempat pelayanan, ketersediaan,
pemanfaatan dan distribusi petugas, biaya pelayanan serta mutu pelayanan.
2. Determinan permintaan yang merupakan faktor pengguna meliputi
rendahnya pendidikan dan kondisi sosial budaya masyarakat serta tingkat
pendapatan masyarakat yang rendah atau miskin. Kebutuhan primer agar
memperoleh akses pelayanan yang efektif: adalah tersedianya fasilitas dan
petugas, jarak dan finansiil terjangkau serta masalah sosial budaya yang
dapat diterima oleh pengguna. Kendala yang ada adalah jarak tempat
tinggal pengguna dari tempat pelayanan, kekurangan alat-alat dan
persediaan di tempat pelayanan, kekurangan dana untuk biaya transportasi,
dan kekurangan dana untuk biaya pengobatan. Selain faktor sarana dan
prasarana transportasi, masih banyak faktor-faktor lain yang belum
terungkap dengan jelas terkait dengan keterjangkauan pelayanan yang
dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut.
D. Akseptabilitas
Akseptabilitas merupakan kemampuan untuk menerima atau merespon
intervensi atau perlakuan tertentu. Kemampuan yang dimaksud adalah segala sesuatu
yang dimiliki baik secara faktual maupun potensial yang mampu menggerakkan
individu untuk menerima suatu tindakan atau perlakuan. Lebih lanjut akseptabilitas
sangat dipengaruhi oleh persepektif terhadap konteks, konten dan kualitas yang ada.
Dalam bidang kesehatan, akseptabilitas erat kaitannya dengan bagaiamana provider,
pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan memiliki sikap menghormati hak-hak
pasien dan budaya yang berlaku dalam tatanan masyarakat dan sosial. Selain dari sisi
provider, perspektif akseptabilitas juga perlu diperhatikan bagaimana respon pasien
terhadap layanan yang diterima.

Anda mungkin juga menyukai