Anda di halaman 1dari 94

BUPATI GORONTALO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO


NOMOR 4 TAHUN 2013
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN GORONTALO
TAHUN 2012 - 2032

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GORONTALO,

Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten


Gorontalo dengan memanfaatkan ruang wilayah secara
berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan
berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan pertahanan keamanan, berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 perlu disusun rencana tata ruang
wilayah;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan
pembangunan antar sektor, daerah, dan masyarakat maka
rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi
investasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah,
masyarakat, dan/atau dunia usaha;
c. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 78
ayat (4) huruf c Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, semua peraturan daerah
kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota disusun atau disesuaikan dengan Undang-
Undang ini;
2

d. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Gorontalo Nomor 6


Tahun 1996 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Gorontalo Tahun 1996-2016 sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan pengaturan penataan ruang wilayah
kabupaten yang disebabkan oleh pemekaran beberapa
kabupaten sehingga perlu diganti sesuai ketentuan
perundang undangan dan kebutuhan penataan ruang
wilayah saat ini dan waktu yang akan datang;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Gorontalo
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gorontalo
Tahun 2012-2032;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang


Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1822);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3419);
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3469);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda
Cagar Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3470);
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3478);
3

6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4412);
7. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang
Pembentukan Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 258, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4060);
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4169);
9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumberdaya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4377);
10. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4411);
11. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
12. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4433);
13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
4

Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
14. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4438);
15. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4444);
16. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang 2005 – 2025 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4700);
17. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4722);
18. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
19. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4724);
20. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataaan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725);
5

21. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang


Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4726);
22. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4746);
23. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
24. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4956);
25. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
26. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4966);
27. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
28. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
29. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5052);
6

30. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5059);
31. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
32. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
33. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang
Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3445);
34. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3776);
35. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3816);
36. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
37. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang
Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
7

Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik


Indonesia Nomor 3934);
38. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang
Hutan Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4242);
39. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4453);
40. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang
Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4624);
41. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang
Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4655);
42. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
43. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang
Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4779);
44. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
45. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4987);
8

46. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang


Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
47. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang
Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5110);
48. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5111);
49. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5112);
50. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan
Kawasan Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 85,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5142);
51. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2010 tentang
Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5154);
52. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010, tentang
Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2010
Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5160);
53. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
9

54. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun


1990 tentang Penggunaan Tanah bagi Pembangunan
Kawasan Industri;
55. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun
1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu;
56. Peraturan Daerah Provinsi Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo Tahun
2010-2030 (Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Tahun
2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Gorontalo Nomor 2)
57. Peraturan Daerah Kabupaten Gorontalo Nomor 32 Tahun
2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah Kabupaten Gorontalo 2005-2025 (Lembaran Daerah
Kabupaten Gorontalo Tahun 2012 Nomor 32);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN GORONTALO


Dan
BUPATI GORONTALO

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG


WILAYAH KABUPATEN GORONTALO TAHUN 2012-2032.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Pemerintahan Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Daerah adalah Daerah Kabupaten Gorontalo.
10

3. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan


pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun1945.
4. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan Perangkat Daerah sebagai unsur Penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya
disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
6. Kepala daerah adalah Bupati Gorontalo.
7. Perangkat daerah adalah unsur pembantu kepala daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri
sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga
teknis daerah, kecamatan dan kelurahan.
8. Peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama
kepala daerah.
9. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut
dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup,
melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
kehidupannya.
10. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
11. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
12. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman
dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi
sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang
secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.
13. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu
wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi
lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
11

14. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata


ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang.
15. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang
meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan
pengawasan penataan ruang.
16. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian
tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
17. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan
struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata
ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta
pembiayaannya.
18. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang sesuai dengan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan.
19. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek
fungsional.
20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung
atau budidaya.
21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan
fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
22. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan
fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan
potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan
sumberdaya buatan.
23. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai
kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber
daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
12

24. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan


utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi.
25. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri
atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau
kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan
disekitarnya yang salingmemiliki keterkaitan fungsional yang
dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah
yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara
keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.
26. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan
ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat
penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi,
sosial, budaya dan/atau lingkungan.
27. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap.
28. Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatu tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah.
29. Kawasan peruntukkan pertambangan adalah wilayah yang
memiliki sumber daya bahan tambang yang berwujud padat,
cair atau gas berdasarkan `peta/data geologi dan merupakan
tempat dilakukannya seluruh tahapan kegiatan
pertambangan yang meliputi: penyelidikan umum, eksplorasi,
operasi produksi dan pasca tambang, baik diwilayah darat
maupun perairan ,serta tidak dibatasi oleh penggunaan
lahan, baik di kawasan budidaya maupun kawasan lindung.
30. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah
kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan
skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
13

31. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah


kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan
skala kabupaten atau beberapa kecamatan.
32. Pusat Kegiatan Lokal Promosi yang selanjutnya disebut PKLp
adalah kawasan perkotaan yang dipromosikan untuk menjadi
PKL.
33. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK
adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani
kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa.
34. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL
adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani
kegiatan skala antar desa.
35. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaaan
sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai
dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau
sama dengan 2.000 km2.
36. Daerah aliran sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah
suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal
dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang
batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di
laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan.
37. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka,
tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam.
38. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang
persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan
pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona
peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci
tata ruang.
39. Zonasi adalah blok tertentu yang ditetapkan penataan
ruangnya untuk fungsi tertentu.
40. Daerah Irigasi selanjutnya di sebut DI adalah kesatuan lahan
yang mendapat air dari satu jaringan irigasi.
14

41. Daerah Rawa selanjutnya di sebut DR adalah kesatuan lahan


genangan air secara alamiah yang menjadi terus menerus
atau musiman akibat drainase alamiah yan terhambat serta
mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik,kimiawi dan biologis.
42. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi
segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang
berada pada permukaan tanah dan/atau air, serta di atas
permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan
kabel.
43. Sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang
saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat
pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh
pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis.
44. Jalan Arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan
rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara
berdaya guna.
45. Jalan Kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi
melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri
perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan
jumlah jalan jalan masuk dibatasi.
46. Jalan Lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat,
kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi.
47. Jalan Lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi
melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak
dekat, dan kecepatan rata-rata dekat.
48. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
49. Masyarakat adalah orang, perseorangan, kelompok orang
termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau
pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam
penyelenggaraan penataan ruang.
50. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang..
15

51. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya


disebut BKPRD adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk
untuk mendukung pelaksanaan Undang-undang Nomor 26
Tahun 2007, tentang Penataan Ruang di Kabupaten
Gorontalo dan mempunyai fungsi membantu tugas Bupati
dalam koordinasi penataan ruang di daerah.

BAB II
TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG
Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 2
Mewujudkan Kabupaten Gorontalo sebagai kabupaten penyangga
ketahanan pangan dengan mengoptimalkan pengelolaan sumber
daya alam serta menjaga kelestarian lingkungan.

Bagian Kedua
Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten
Paragraf 1
Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 3
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Kabupaten
Gorontalo dilakukan dalam pengembangan struktur ruang, pola
ruang dan pengembangan kawasan strategis wilayah agar tujuan
penataan ruang wilayah Kabupaten Gorontalo tercapai.

Pasal 4
Kebijakan penataan ruang Kabupaten Gorontalo, terdiri atas:
a. peningkatan kegiatan ekonomi wilayah berbasis sektor
unggulan melalui intensifikasi lahan dan modernisasi pertanian
dengan pengelolaan yang ramah lingkungan;
b. peningkatan upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan
hidup dengan mempertahankan fungsi-fungsi lindung;
c. peningkataan akses perkotaan dan pusat pertumbuhan
ekonomi wilayah secara merata dan hierarkis;
16

d. peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan


prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber
daya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah
Kabupaten Gorontalo;
e. perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan
antar kegiatan budidaya;
f. pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak
melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan
g. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup;

Paragraf 2
Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 5
(1) Strategi peningkatan kegiatan ekonomi wilayah berbasis sektor
unggulan melalui intensifikasi lahan dan modernisasi pertanian
dengan pengelolaan yang ramah lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, meliputi:
a. memantapkan komoditas unggulan wilayah sesuai dengan
potensi sumber daya lahan, sosial budaya lokal dan ramah
lingkungan;
b. mengembangkan prasarana dan sarana wilayah yang
mendorong peningkatan produktivitas komoditas unggulan;
c. menguatkan sistem pelayanan wilayah sesuai peran dan fungsi
yang diemban masing-masing pusat kegiatan;
d. meningkatkan produksi hasil hutan kayu dan non kayu yang
dikelola secara amanah dan ramah lingkungan;
e. mengembangkan sektor pertanian pangan sebagai bagian dari
ketahanan pangan daerah;
f. meningkatkan dan mengembangkan sektor perkebunan yang
ramah lingkungan dengan komoditas unggulan;
g. menerapkan pendekatan pengembangan pertanian dan
perkebunan dengan pendekatan agropolitan.
(2) Strategi Peningkatan upaya perlindungan dan pelestarian
lingkungan hidup dengan mempertahankan fungsi-fungsi lindung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, meliputi:
17

a. mengendalikan kegiatan budidaya agar tidak mengganggu


kawasan fungsi lindung;
b. merehabilitasi dan merevitalisasi kawasan lindung yang
mengalami penurunan kualitas lingkungan; dan
(3) Strategi peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat
Pertumbuhan ekonomi wilayah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf c, meliputi:
a. menjaga interkoneksi antar kawasan perkotaan, antara
kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan, serta antar
kawasan perkotaan dengan wilayah sekitarnya;
b. mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang
potensi dan belum terlayani oleh pusat pertumbuhan
eksisting;
c. mengendalikan perkembangan kota-kota pantai; dan
d. mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar
lebih kompetitif dan lebih efektif dalam mendorong
pengembangan wilayah sekitarnya.
(4) Strategi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan
jaringan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
d, terdiri atas:
a. meningkatnya kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan
keterpaduan pelayanan transportasi darat dan udara;
b. mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi
terutama di kawasan yang sangat terpencil;
c. meningkatkan jaringan energi dengan lebih menumbuh-
kembangkan pemanfaatan sumber daya terbarukan yang
ramah lingkungan dalam sistem kemandirian energi area
mikro, dibanding pemanfaatan sumber daya yang tak
terbarukan, serta mewujudkan keterpaduan sistem
penyediaan tenaga listrik; dan
d. meningkatkan kualitas jaringan prasarana serta mewujudkan
keterpaduan sistem jaringan sumber daya air.
(5) Strategi perwujudan dan peningkatan serta keterkaitan antar
kegiatan budidaya sebagaimana dimaksud pada pasal 4 huruf e,
meliputi:
a. menetapkan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis
Kabupaten untuk memanfaatkan sumberdaya alam di ruang
18

darat, laut dan udara, termasuk ruang di dalam bumi secara


sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang
wilayah;
b. mengembangkan kegiatan budidaya unggulan di dalam
kawasan beserta prasarana secara sinergis dan berkelanjutan
untuk mendorong pengembangan perekonomian kawasan,
termasuk laut dan pulau-pulau kecil dengan pendekatan
gugus pulau untuk meningkatkan daya saing dan
mewujudkan pengembangan ekonomi setempat;
c. mengembangkan dan melestarikan kawasan budidaya
pertanian dan perikanan untuk mewujudkan ketahanan
pangan kabupaten, sebagai daerah pendukung lahan
pertanian pangan berkelanjutan;
d. mengembangkan dan melestarikan budidaya perkebunan
terutama yang sesuai dengan teknokultur masyarakat lokal;
e. mengembangkan kawasan pertambangan yang berwawasan
lingkungan dan mempertimbangkan kepentingan generasi
mendatang; dan
f. mengembangkan kegiatan budidaya untuk menunjang aspek
politik, pertahanan dan keamanan, sosial, budaya serta ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(6) Strategi pengendalian perkembangan dan keterpaduan kegiatan
budidaya sebagaimana dimaksud pada pasal 4 huruf f, meliputi:
a. membatasi perkembangan budidaya terbangun di kawasan
rawan bencana alam untuk meminimalkan potensi kejadian
bencana dan potensi kerugian akibat bencana;
b. memanfaatkan ruang pusat kota, dengan mengoptimalkan
pembangunan gedung secara vertikal, dengan
mempertimbangkan kerawanan terhadap gempa, agar
terwujud kota taman yang kompak, di daerah perkotaan yang
aman terhadap resiko bencana alam;
c. mengembangkan agropolitan yang memadukan agroindustri,
agrobisnis, agrowisata di Kawasan Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan yang tersebar di seluruh
Kabupaten Gorontalo; dan
(7) Strategi pencegahan dampak negatif kegiatan manusia
sebagaimana dimaksud pada pasal 4 huruf g, meliputi:
19

a. Menyelenggarakan upaya terpadu pelestarian fungsi sistem


ekologi wilayah;
b. melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan
perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh
suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menetralisir,
menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang
ke dalamnya;
d. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung
atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik
lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak
berfungsi dalam menunjang pembangunan yang
berkelanjutan;
e. mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam secara bijak
untuk menjamin kepentingan generasi masa kini maupun
generasi masa depan;
f. mengelola sumberdaya alam tak terbarukan untuk menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana, termasuk revitalisasi fungsi
sistem ekologi lokal serta pembangunan sumberdaya baru
untuk diwariskan kepada generasi penerus, dan menjaga
kelestarian lingkungan;
g. mengutamakan pengelolaan sumberdaya alam yang
terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai
serta keanekaragamannya; dan
h. mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya
antisipatif dan adaptasi bencana di kawasan rawan bencana.

BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 6
(1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Gorontalo meliputi:
a. sistem pusat kegiatan;
20

b. sistem jaringan prasarana utama; dan


c. sistem jaringan prasarana lainnya.
(2) Rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan
tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I.1, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Sistem Pusat Kegiatan

Pasal 7
(1) Sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. PKW (Pusat Kegiatan Wilayah)
b. PKL (Pusat Kegiatan Lokal)
c. PKLp (Pusat Kegiatan Lokal promosi)
d. PPK (Pusat Pelayanan Kawasan); dan
e. PPL (Pusat Pelayanan Lingkungan)
(2) PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berada di
Isimu
(3) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berada di
Limboto.
(4) PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi
Telaga dan Limboto Barat
(5) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a. Pilohayanga di Kecamatan Telaga;
b. Pulubala di Kecamatan Pulubala;
c. Mulyonegoro di Kecamatan Tibawa;
d. Payunga di Kecamatan Batudaa; dan
e. Parungi di Kecamatan Boliyohuto.
(6) PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi:
a. Huidu di Kecamatan Limboto Barat;
b. Talumelito di Kecamatan Telaga Biru;
c. Biluhu Timur di Kecamatan Batudaa Pantai;
d. Molopatodu di Kecamatan Bongomeme:
e. Biluhu Tengah di Kecamatan Biluhu;
f. Paris di Kecamatan Mootilango; dan
g. Lakeya di Kecamatan Tolangohula.
21

Bagian Ketiga
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi

Pasal 8
(1) Sistem jaringan prasarana utama yang ada di Kabupaten
Gorontalo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b,
terdiri atas:
a. sistem jaringan transportasi darat;
b. sistem jaringan transportasi laut;
c. sistem jaringan transportasi udara; dan
d. sistem jaringan perkeretaapian.
(2) Sistem jaringan transportasi dan sistem pusat kegiatan
digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.1 yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 1
Sistem Jaringan Transportasi Darat

Pasal 9
(1) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf a, meliputi:
a. jaringan jalan dan jembatan;;
b. jaringan prasarana lalu lintas; dan
c. jaringan layanan lalu lintas
(2) Jaringan jalan dan jembatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, meliputi:
a. jaringan jalan bebas hambatan
b. jaringan jalan nasional pada wilayah Kabupaten;
c. jaringan jalan provinsi pada wilayah Kabupaten;
d. jaringan jalan kabupaten; dan
e. jembatan
(3) Jaringan jalan bebas hambatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a berupa pembangunan jalan bebas hambatan, meliputi;
a. ruas jalan bebas hambatan Isimu-Gorontalo berupa Gorontalo
Outter of Ring Road;
22

b. ruas jalan bebas hambatan Sulawesi Utara-Atinggola-Isimu;


dan
c. ruas jalan bebas hambatan Isimu –Marisa.
(4) Jaringan jalan nasional pada wilayah kabupaten sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa peningkatan jalan arteri
primer, meliputi :
a. ruas jalan Gorontalo-Isimu- Paguyaman; dan
b. ruas jalan Isimu-Kwandang.
(5) Jaringan jalan provinsi pada wilayah kabupaten pada ayat (2)
huruf c meliputi:
a. peningkatan jalan kolektor primer meliputi:
1. ruas jalan Gorontalo-Batudaa-Isimu;
2. ruas jalan Gorontalo-Biluhu-Bilato-Tangkobu;
3. ruas jalan Puncak-Sidomukti-Diloniyohu-Lakeya;
4. ruas jalan Parungi-Anggrek; dan
5. ruas jalan Labanu-Anggrek.
b. pengembangan jalan kolektor primer meliputi:
1. ruas jalan Tapa-Dulamayo-Atinggola; dan
2. ruas jalan Pontolo-Limboto;
(6) Jaringan jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d meliputi;
a. pengembangan jaringan jalan kolektor primer meliputi;
1. ruas jalan Bulila-Tualango;
2. ruas jalan Jembatan Jodoh-Timuato;
3. ruas jalan Tuladenggi-Dumati;
4. ruas jalan Hulawa-Pilohayanga;
5. ruas jalan Iluta-Biluhu Timur;
6. ruas jalan Pilolalenga-Biluhu Tengah;
7. ruas jalan Pulubala-Dulamayo;
8. ruas jalan Pangadaa-Bakti;
9. ruas jalan Mulyonegoro-Lakeya;
10. ruas jalan Lakeya-Pangahu;
11. ruas jalan Bumela-Totopo;
12. ruas jalan Pongongaila-Iloponu;
13. ruas jalan Lamahu-Puncak;
14. ruas jalan Tunggulo-Ilomangga;
15. ruas jalan Yosonegoro-Limehe Barat;
23

16. ruas jalan Balahu-Kaliyoso;


17. ruas jalan Ambara-Botubulowe dan
18. ruas jalan Parungi-Monggolito;
b. pengembangan jaringan jalan lokal.
c. pengembangan jaringan jalan lingkungan.
(7) Jembatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e,
meliputi;
a. pembangunan jembatan pada ruas jalan eksisting maupun
ruas jalan baru; dan
b. peningkatan jembatan pada ruas jalan eksisting.
(8) Jaringan prasarana lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, meliputi:
a. terminal penumpang tipe A terdapat di Isimu;
b. terminal penumpang tipe B terdapat di Limboto dan Telaga;
c. terminal penumpang tipe C terdapat di Dungaliyo dan
Boliyohuto; dan
d. terminal barang terdapat di Isimu;
(9) Jaringan layanan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, terdiri atas:
a. layanan lalu lintas barang, terdiri atas:
1. terminal Isimu - Gorontalo;
2. terminal Isimu - Batudaa - Gorontalo;
3. terminal Isimu – Paguyaman; dan
4. terminal Isimu - Anggrek.
b. layanan lalu lintas penumpang, terdiri atas:
1. terminal Telaga - Paguyaman;
2. terminal Telaga - Kwandang;
3. terminal Telaga – Atinggola;
4. terminal Telaga – Sumalata;
5. terminal Telaga – Tualango – Gorontalo;
6. terminal Limboto – Timuato – Gorontalo;
7. terminal Limboto – Isimu;
8. terminal Limboto – terminal 42;
9. terminal Dungaliyo – Biluhu Tengah – Gorontalo;
10. terminal Isimu – Iluta – Biluhu Timur- Gorontalo:
11. terminal Isimu – Paguyaman (Tangkobu);
12. terminal Isimu – terminal 42;
24

13. terminal Isimu – Bongo Nol;


14. terminal Isimu – Tilamuta;
15. terminal Isimu – Bumbulan;
16. terminal Isimu – Marisa;
17. terminal Isimu – Randangan;
18. terminal Isimu – Lemito;
19. terminal Isimu – Popayato;
20. terminal Isimu – Molosifat;
21. terminal Isimu – Kwandang;
22. terminal Isimu – Atinggola;
23. terminal Isimu – Pelabuhan Anggrek;
24. Ilomata – Biluhu – terminal 42;
25. Pulubala – terminal 42;
26. Bakti – terminal 42;
27. Bumela – terminal 42;
28. Parungi – terminal 42;
29. Bilato – terminal 42;
30. Lakeya – terminal 42;
31. Bululi – terminal 42; dan
32. Mohiyolo – terminal 42.

Paragraf 2
Sistem Jaringan Transportasi Laut

Pasal 10
(1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf b, meliputi:
a. tatanan kepelabuhanan; dan
b. alur pelayaran.
(2) Tatanan kepelabuhanan di Kabupaten Gorontalo sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah pelabuhan khusus, terdiri
atas:
a. Pelabuhan Kayubulan di Kecamatan Batudaa Pantai;
b. Pelabuhan Luluo di Kecamatan Biluhu; dan
c. Pelabuhan Bilato di Kecamatan Bilato
(3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
terdiri atas alur pelayaran lokal yaitu:
25

a. Kayubulan - Gorontalo;
b. Luluo – Gorontalo; dan
c. Bilato - Gorontalo

Paragraf 3
Sistem Jaringan Transportasi Udara

Pasal 11
(1) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf c, terdiri atas:
a. tatanan kebandarudaraan; dan
b. ruang udara untuk penerbangan.
(2) Tatanan kebandarudaraan di Kabupaten sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, adalah bandar udara pengumpul skala
sekunder Djalaluddin di Kecamatan Tibawa.
(3) Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b meliputi:
a. penentuan Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan
meliputi:
1. Kecamatan Pulubala;
2. Kecamatan Tibawa;
3. Kecamatan Limboto Barat;
4. Kecamatan Limboto;
5. Kecamatan Batudaa;
6. Kecamatan Batudaa Pantai;
7. Kecamatan Tabongo;
8. Kecamatan Bongomeme;
9. Kecamatan Biluhu; dan
10. Kecamatan Dungaliyo.
b. penetapan Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan
oleh Menteri Perhubungan dan pengaturan lebih lanjut diatur
dalam Peraturan Bupati.
26

Paragraf 4
Sistem Jaringan Kereta Api

Pasal 12
(1) Sistem jaringan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) huruf d adalah jaringan kereta api lintas utama.
(2) Sistem jaringan kereta api sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri
atas :
a. jalur kereta api; dan
b. Stasiun kereta api
(3) Jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
merupakan jaringan jalur kereta api nasional terdiri atas:
a. Isimu - Marisa;
b. Isimu - Kwandang; dan
c. Isimu - Bone Bolango.
(4) Stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
adalah Isimu.

Bagian Keempat
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya

Pasal 13
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya sebagiamana dimaksud pada
pasal 6 ayat (1) huruf c, terdiri atas :
a. sistem jaringan listrik;
b. sistem jaringan telekomunikasi;
c. sistem jaringan sumber daya air; dan
d. sistem prasarana pengelolaan lingkungan.

Paragraf 1
Sistem Jaringan listrik

Pasal 14
(1) Sistem jaringan listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf a, terdiri atas:
a. pengembangan pembangkit listrik; dan
27

b. pengembangan transmisi tenaga listrik.


(2) Pengembangan pembangkit listrik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, meliputi
a. pembangunan pembangkit listrik tenaga Diesel (PLTD)
b. pembangunan pembangkit listrik tenaga surya;
c. pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro; dan
d. pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi.
(3) Pengembangan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi;
a. peningkatan kualitas gardu induk listrik; dan
b. peningkatan kualitas jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi
(SUTT) 275 dan 150 KV meliputi jaringan transmisi tenaga
listrik Isimu-Limboto-Gorontalo-Tangkobu-Kwandang.
(4) Rencana pengembangan pelayanan energi listrik meliputi:
a. peningkatan daya listrik pada daerah pusat kegiatan dan
daerah pusat pelayanan berupa pembangunan dan
penambahan gardu listrik; dan
b. fasilitasi pemasangan listrik bagi masyarakat Pra Keluarga
Sejahtera dengan lokasi meliputi setiap kecamatan.
.
Paragraf 2
Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 15
(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. sistem kabel;
b. sistem seluler; dan
c. sistem satelit.
(2) Sistem kabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa
peningkatan jaringan kabel telekomunikasi hingga pelosok
Kabupaten, termasuk optimalisasi dan pengembangan stasiun
telepon otomatis (STO) yang meliputi:
a. STO Telaga;
b. STO Limboto; dan
c. STO Isimu.
28

(3) Sistem seluler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,


berupa pengelolaan tower/Base Transceiver Station (BTS) dan
pemancar radio berada di seluruh kecamatan.
(4) Sistem satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa
peningkatan dan pengembangan layanan internet sebagai fasilitas
umum di seluruh kecamatan.
(5) Rencana penataan menara telekomunikasi serta pengembangan
prasarana telekomunikasi dan informatika untuk penyelenggaraan
pemerintahan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 3
Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 16
(1) Sistem jaringan sumberdaya air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf c, terdiri atas:
a. sistem Wilayah Sungai (WS);
b. sistem Jaringan Irigasi ;
c. sistem pengelolaan air baku; dan
d. sistem pengendalian banjir.
(2) Sistem Wilayah Sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a terdiri atas:
a. WS Paguyaman mencakup DAS Paguyaman dan DAS
Telehu;dan
b. WS Limboto–Bone-Bolango mencakup DAS Limboto, DAS
Bolango, DAS Batudaa Pantai, DAS Botulobuato, DAS
Kayubulan, DAS Lamu, DAS Luluo, dan Das Batulangea.
(3) Sistem jaringan irigasi dalam wilayah Kabupaten sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengembangan dan pengelolaan Daerah Irigasi (DI) kewenangan
Pemerintah Pusat yang meliputi:
1. DI Alo Pohu; dan
2. DI Paguyaman
b. pengembangan dan pengelolaan Daerah Irigasi kewenangan
Pemerintah Provinsi yang meliputi:
1. DI Pilohayanga;
2. DI Huludupitango;
29

3. DI Bulia;dan
4. DI Bongo;
c. pembangunan jaringan irigasi teknis berupa Daerah Irigasi
yang meliputi:
1. DI Mohiyolo I berada di Kecamatan Asparaga;
2. DI Pangahu berada di Kecamatan Asparaga;
3. DI Prima berada di Kecamatan Asparaga; dan
4. DI Toyidito berada di Kecamatan Pulubala.
d. peningkatan pengelolaan jaringan irigasi dalam DI kewenangan
Kabupaten; dan
e. rehabilitasi pada bangunan dan saluran irigasi primer,
sekunder dan tersier dalam DI sebagaimana dimaksud pada
ayat (3)
huruf d.
(4) Daerah Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d,
meliputi 48 (empat puluh delapan) daerah irigasi tercantum dalam
lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
(5) Sistem pengelolaan air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c:
a. pemanfaatan air pemukaan dan air tanah sebagai sumber air
baku
b. pengoptimalan sumber mata air meliputi;
1. Kecamatan Asparaga;
2. Kecamatan Boliyohuto;
3. Kecamatan Bilato;
4. Kecamatan Mootilango;
5. Kecamatan Pulubala;
6. Kecamatan Tibawa;
7. Kecamatan Bongomeme; dan
8. Kecamatan Batudaa.
c. peningkatan dan pemeliharaan kualitas dan kuantitas produksi
sumber air baku; dan
d. sistem penyediaan air bersih non perpipaan dari pemerintah
maupun dengan swadaya murni dari masyarakat.
(6) Sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d terdiri atas:
30

a. penyediaan embung;
b. sumur resapan;
c. bio pori;
d. pembangunan tanggul; dan
e. menerapkan prinsip zero delta q policy terhadap setiap kegiatan
budidaya terbangun yang diajukan diizinnya.

Paragraf 4
Rencana Sistem Jaringan Prasarana Persampahan, Limbah Cair dan Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) Wilayah Kabupaten

Pasal 17
(1) Sistem prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d, terdiri atas:
a. sistem pelayanan persampahan;
b. sistem pelayanan air minum;
c. sistem pelayanan drainase; dan
d. jalur evakuasi bencana;
(2) Sistem pelayanan persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, meliputi;
a. pengembangan serta kerjasama pemanfaatan Tempat
Pengolahan dan Pemrosesan Akhir (TPPAS) meliputi:
1. pengembangan TPPAS Huidu berada di Kecamatan Limboto
Barat; dan
2. kerjasama pemanfaatan TPPAS Regional Talumelito berada
di Kecamatan Telaga Biru.
b. Tempat Penampungan Sementara (TPS) ditempatkan di pusat
kegiatan masyarakat di seluruh kecamatan meliputi :
1. pasar;
2. permukiman;
3. perkantoran; dan
4. fasilitas sosial lainnya.
(3) Sistem pelayanan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. pengembangan sistem perpipaan di kawasan perkotaan;
b. pengembangan sistem perpipaan dan non perpipaan di Ibu Kota
kawasan Kecamatan (IKK);
31

c. peningkatan cakupan dan kapasitas pelayanan air minum;


d. peningkatan pengelolaan air minum berbasis masyarakat pada
kawasan perdesaan; dan
e. pengembangan alternatif sumber pembiayaan.
(4) Sistem pelayanan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, meliputi:
a. pengembangan drainase mikro meliputi;
1. pembangunan prasarana drainase permukiman perkotaan
dan perdesaan; dan
2. penataan sistem prasarana drainase secara terpadu,
meliputi primer, sekunder dan terseier.
b. pengembangan drainase makro melalui normalisasi dan
rehabilitasi sungai;
c. peningkatan pelibatan stakeholder;
d. peningkatan kapasitas pengelolaam maupun kelembagaan; dan
e. pengembangan alternatif pembiayaan pelayanan drainase.
(5) Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 15
ayat (1) huruf d adalah jalur evakuasi bencana tsunami berupa
lapangan terbuka dengan ketinggian 30 meter diatas permukaan
laut meliputi kecamatan Batudaa Pantai, Biluhu, dan Bilato.

BAB IV
RENCANA POLA RUANG WILAYAH
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 18
(1) Rencana pola ruang wilayah meliputi :
a. rencana kawasan lindung; dan
b. kawasan budidaya.
(2) Rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan
tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam
lampiran I.2 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
32

Bagian Kedua
Rencana Pengembangan Kawasan Lindung di Wilayah Kabupaten

Pasal 19
Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf a, terdiri atas:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan suaka alam dan pelestarian alam;
e. kawasan rawan bencana alam;
f. kawasan lindung geologi; dan
g. kawasan lindung lainnya.

Paragraf 1
Kawasan Hutan Lindung

Pasal 20
Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf a, terdiri atas:
a. kawasan hutan lindung Telaga;
b. kawasan hutan lindung Telaga Biru;
c. kawasan hutan lindung Limboto;
d. kawasan hutan lindung Batudaa;
e. kawasan hutan lindung Tabongo;
f. kawasan hutan lindung Batuda Pantai;
g. kawasan hutan lindung Biluhu;
h. kawasan hutan lindung Bongomeme;
i. kawasan hutan lindung Pulubala; dan
j. kawasan hutan lindung Boliyohuto.
33

Paragraf 2
Kawasan yang Memberikan Perlindungan terhadap Kawasan Bawahannya

Pasal 21
(1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b,
adalah kawasan resapan air.
(2) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terdapat di Kecamatan Telaga, Telaga Biru, Limboto, Limboto
Barat, Tibawa, Batudaa, Batudaa Pantai, Biluhu, Bilato, Tabongo,
Bongomeme, Pulabala, Bolyohuto, Mootilango, Tolangohu, dan
Asparaga.

Paragraf 3
Kawasan Perlindungan Setempat

Pasal 22
(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 huruf c, terdiri atas:
a. kawasan sempadan pantai;
b. kawasan sempadan sungai;
c. kawasan sekitar danau/waduk;
d. kawasan sekitar mata air;
e. kawasan ruang terbuka hijau (RTH);
f. kawasan lindung spiritual; dan
g. kawasan kearifan lokal lainnya.
(2) Kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdapat di Batudaa Pantai, Biluhu dan Bilato, dengan
ketentuan:
a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal 100 meter
dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau
b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik
pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap
bentuk dan kondisi fisik pantai.
(3) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdapat pada setiap wilayah kecamatan yang dilewati
sungai dengan ketentuan:
34

a. daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul diluar


kawasan permukiman dengan lebar 100 (seratus) meter dari
tepi sungai;
b. daratan sepanjang tepian sungai kecil tidak bertanggul diluar
kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima
puluh) meter dari tepi sungai; dan
c. untuk sungai dikawasan permukiman berupa sempadan sungai
yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara
10–15 meter.
(4) Kawasan sekitar danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c terdapat di Tilango, Talaga Jaya, Telaga Biru, Limboto,
Limboto Barat, Tabongo, Tabongo dan Batudaa.
(5) Kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d terdapat di Dulamayo, Biyonga, Alo, Pulubala, Mootilango,
Boliyohuto, Tolangohula dan Asparaga.
(6) Ruang terbuka hijau (RTH) kawasan perkotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa RTH sebesar 30 % (tiga
puluh persen) dari luasan kawasan perkotaan.
(7) Kawasan lindung spritual sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f terdapat di Batudaa Pantai, Biluhu dan Asparaga.
(8) Kawasan kearifan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf g terdapat di Limboto.

Paragraf 4
Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam

Pasal 23
(1) Kawasan suaka alam dan pelestarian alam sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf d, terdiri atas:
a. kawasan margasatwa;dan
b. kawasan cagar alam;
(2) Kawasan suaka alam dan peleestarian alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. kawasan cagar alam Tangale terdapat di Kecamatan Tibawa;
b. kawasan suaka margasatwa Taman Nasional Promosi (TNp)
Nantu terdapat di Kecamatan Mootilango, Kecamatan
Tolangohula, dan Kecamatan Asparaga.
35

(3) Kawasan Cagar Alam Tangale sebagaimana dimaksud pada ayat (2


) huruf a merupakan kawasan lindung Provinsi yang berada di
wilayah Kabupaten;
(4) Kawasan suaka margasatwa Taman Nasional Promosi (TNp) Nantu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan kawasan
Lindung Nasional yang berada di wilayah Kabupaten.

Paragraf 5
Kawasan Rawan Bencana Alam

Pasal 24
(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf e, terdiri atas:
a. kawasan rawan tanah longsor;
b. kawasan rawan gelombang pasang; dan
c. kawasan rawan banjir.
(2) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, terdapat di Kecamatan Tibawa, Telaga Biru, Batudaa
Pantai, Biluhu, dan Bilato.
(3) Kawasan rawan gelombang pasang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, terdapat di Kecamatan Batudaa Pantai, Biluhu,
dan Bilato.
(4) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c, terdapat di Kecamatan Limboto, Limboto Barat, Talaga Jaya,
Tilango, Tibawa, Tolangohula, Tabongo, dan Bilato.

Paragraf 6
Kawasan Lindung Geologi

Pasal 25
(1) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf f, terdiri atas:
a. kawasan cagar alam geologi;
b. kawasan rawan bencana alam geologi; dan
c. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.
(2) Kawasan cagar alam geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, terdiri atas:
36

a. kawasan keunikan batuan dan fosil, terdapat di Pone, Ombulo


dan Tibawa
b. kawasan keunikan bentang alam, terdapat di Batudaa Pantai
dan Biluhu; dan
c. kawasan keunikan proses geologi terdapat di Bongomeme dan
Tibawa.
(3) Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. kawasan rawan gempa bumi, terdapat di Tibawa, Tabongo, dan
Batudaa;
b. kawasan rawan gerakan tanah, terdapat di Limboto Barat;
c. kawasan yang terletak di zona patahan aktif, terdapat di
Tibawa, Tabongo, dan Batudaa;
d. kawasan rawan tsunami, terdapat di Batudaa Pantai, Biluhu,
dan Bilato;
e. kawasan rawan abrasi; terdapat di Batudaa Pantai, Biluhu, dan
Bilato; dan
f. kawasan rawan bahaya gas beracun, terdapat di Telaga Biru
dan Boliyohuto.
(4) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. kawasan imbuhan air tanah; dan
b. sempadan mata air.

Paragraf 7
Kawasan Lindung Lainnya

Pasal 26
Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf g, adalah kawasan lindung terumbu karang yang terdapat di
Batudaa Pantai, Biluhu, dan Bilato.
37

Bagian Ketiga
Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya Yang Memiliki Nilai Strategis

Pasal 27
Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf b, terdiri atas:
a. kawasan peruntukan hutan produksi;
b. kawasan peruntukan hutan rakyat;
c. kawasan peruntukan pertanian;
d. kawasan peruntukan perikanan;
e. kawasan peruntukan pertambangan;
f. kawasan peruntukan industri;
g. kawasan peruntukan pariwisata;
h. kawasan peruntukan permukiman; dan
i. kawasan peruntukan lainnya.

Paragraf 1
Kawasan Peruntukan Hutan Produksi

Pasal 28
(1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 huruf a, terdiri atas:
a. kawasan hutan produksi terbatas;
b. kawasan hutan produksi tetap; dan
c. kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.
(2) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a terdiri dari;
a. kawasan hutan produksi Biluhu;
b. kawasan hutan produksi Tibawa;
c. kawasan hutan produksi Bongomeme;
d. kawasan hutan produksi Pulubala;
e. kawasan hutan produksi Mootilango;
f. kawasan hutan produksi Tolangohula; dan
g. kawasan hutan produksi Asparaga.
(3) Kawasan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b terdiri dari;
a. kawasan hutan produksi tetap Telaga Biru;
38

b. kawasan hutan produksi tetap Limboto;


c. kawasan hutan produksi tetap Limboto Barat;
d. kawasan hutan produksi tetap Biluhu;
e. kawasan hutan produksi tetap Tibawa;
f. kawasan hutan produksi tetap Bongomeme;
g. kawasan hutan produksi tetap Pulubala;
h. kawasan hutan produksi tetap Boliyohuto;
i. kawasan hutan produksi tetap Mootilango; dan
j. kawasan hutan produksi tetap Asparaga.
(4) Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari;
a. kawasan hutan produksi konversi Tibawa;
b. kawasan hutan produksi konversi Pulubala;
c. kawasan hutan produksi konversi Mootilango; dan
d. kawasan hutan produksi konversi Asparaga.

Paragraf 2
Kawasan Peruntukan Hutan Rakyat

Pasal 29
Kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 huruf b terdapat di Kecamatan Telaga Biru, Limboto,
Batudaa Pantai, Bulili, Tabongo, Batudaa, Bongomeme, Tibawa,
Mootilango, dan Tolangohula.

Paragraf 3
Kawasan Peruntukan Pertanian

Pasal 30
(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 huruf c, terdiri atas:
a. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan;
b. kawasan peruntukan pertanian hortikultura;
c. kawasan peruntukan perkebunan; dan
d. kawasan peruntukan peternakan.
(2) Kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
39

a. kawasan peruntukan pertanian lahan basah; dan


b. kawasan peruntukan pertanian lahan kering.
(3) Kawasan peruntukan pertanian lahan basah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, meliputi : Kecamatan Asparaga,
Kecamatan Tolangohula, Kecamatan Boliyohuto, Kecamatan
Mootilango, Kecamatan Bilato, Kecamatan Pulubala, Kecamatan
Batudaa, Kecamatan Dungaliyo, Kecamatan Tibawa, Kecamatan
Limboto Barat, Kecamatan Limboto, Kecamatan Tabongo,
Kecamatan Telaga Biru, Kecamatan Telaga, Kecamatan Telaga
Jaya, dan Kecamatan Tilango.
(4) Kawasan peruntukan pertanian lahan kering sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi : Kecamatan Asparaga,
Kecamatan Tolangohula, Kecamatan Boliyohuto, Kecamatan
Mootilango, Kecamatan Bilato, Kecamatan Pulubala, Kecamatan
Batudaa, Kecamatan Bongomeme, Kecamatan Biluhu, Kecamatan
Batudaa Pantai, Kecamatan Dungaliyo, Kecamatan Tibawa,
Kecamatan Limboto Barat, Kecamatan Limboto, Kecamatan
Tabongo, Kecamatan Telaga Biru, Kecamatan Telaga, Kecamatan
Talaga Jaya, dan Kecamatan Tilango.
(5) Kawasan peruntukan pertanian hortikultura pada ayat (1) huruf b,
berada di seluruh kecamatan.
(6) Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, meliputi : Kecamatan Asparaga, Kecamatan
Tolangohula, Kecamatan Boliyohuto, Kecamatan Mootilango,
Kecamatan Bilato, Kecamatan Pulubala, Kecamatan Batudaa,
Kecamatan Bongomeme, Kecamatan Biluhu, Kecamatan Batudaa
Pantai, Kecamatan Dungaliyo, Kecamatan Tibawa, Kecamatan
Limboto Barat, Kecamatan Limboto, Kecamatan Tabongo,
Kecamatan Telaga Biru, dan Kecamatan Telaga.
(7) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d, Meliputi : Kecamatan Mootilango, Kecamatan
Boliyohuto, Kecamatan Tolangohula, Kecamatan Asparaga,
Kecamatan Pulubala, Kecamatan Tibawa, Kecamatan Batudaa
Pantai, Kecamatan Biluhu, Kecamatan Bilato, Kecamatan
Bongomeme, Kecamatan Dungaliyo, Kecamatan Tabongo,
Kecamatan Limboto Barat, Kecamatan Limboto, Kecamatan Telaga
Biru, dan Kecamatan Telaga.
40

Paragraf 4
Kawasan Peruntukan Perikanan

Pasal 31
(1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 huruf d, terdiri atas:
a. kawasan peruntukan perikanan tangkap;
b. kawasan peruntukan budidaya perikanan; dan
c. kawasan pengolahan perikanan.
(2) Kawasan peruntukan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a, meliputi;
a. kawasan perikanan tangkap Kecamatan Batudaa Pantai;
b. kawasan perikanan tangkap Kecamatan Biluhu; dan
c. kawasan perikanan tangkap Kecamatan Bilato.
(3) Kawasan peruntukan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b meliputi;
a. kawasan peruntukan budidaya perikanan Telaga;
b. kawasan peruntukan budidaya perikanan Telaga Biru;
c. kawasan peruntukan budidaya perikanan Limboto;
d. kawasan peruntukan budidaya perikanan Limboto Barat;
e. kawasan peruntukan budidaya perikanan Tabongo;
f. kawasan peruntukan budidaya perikanan Bongomeme;
g. kawasan peruntukan budidaya perikanan Dungaliyo;
h. kawasan peruntukan budidaya perikanan Batudaa;
i. kawasan peruntukan budidaya perikanan Pulubala;
j. kawasan peruntukan budidaya perikanan Tibawa;
k. kawasan peruntukan budidaya perikanan Mootillango;
l. kawasan peruntukan budidaya perikanan Boliyohuto;
m. kawasan peruntukqn budidaya perikanan Bilato;
n. kawasan peruntukan budidaya perikanan Batudaa Pantai;
o. kawasan peruntukan budidaya perikanan Tolangohula;dan
p. kawasan peruntukan budidaya perikanan Asparaga.
(4) Kawasan peruntukan pengolahan perikanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c meliputi:
a. kawasan peruntukan pengolahan perikanan Biluhu;
b. kawasan peruntukan pengolahan perikanan Bilato;
41

c. kawasan peruntukan pengolahan perikanan Telaga; dan


d. kawasan peruntukan pengolahan perikanan Dungaliyo.

Paragraf 5
Kawasan Peruntukan Pertambangan

Pasal 32
(1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 huruf e, meliputi:
a. Wilayah peruntukan pertambangan mineral logam; dan
b. Wilayah peruntukan pertambangan mineral bukan logam dan
batuan;
(2) Wilayah peruntukan pertambangan mineral logam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi Kecamatan Telaga,
Telaga Biru, Limboto, Limboto Barat, Batudaa, Tabongo,
Bongomeme, Dungaliyo, Batudaa Pantai, Biluhu, Tibawa,
Pulubala, Mootilango, Boliyohuto, Bilato, Tolangohula dan
Asparaga.
(3) Wilayah peruntukan pertambangan mineral bukan logam dan
batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi
Kecamatan Telaga, Telaga Biru, Tilango Limboto, Limboto Barat,
Batudaa, Tabongo, Bongomeme, Dungaliyo, Batudaa Pantai,
Biluhu, Tibawa, Pulubala, Mootilango, Boliyohuto, Bilato,
Tolangohula dan Asparaga.

Paragraf 6
Kawasan Peruntukan Industri

Pasal 33
(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 huruf f, terdiri atas :
a. kawasan peruntukan industri besar;
b. kawasan peruntukan industri sedang; dan
c. kawasan peruntukan industri rumah tangga.
(2) Kawasan peruntukan industri besar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a terdiri dari :
a. kawasan peruntukan industri besar Tibawa; dan
42

b. kawasan peruntukan industri besar Pulubala;


(3) Kawasan peruntukan industri sedang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b terdiri dari :
a. kawasan peruntukan industri sedang Boliyohuto;
b. kawasan peruntukan industri sedang Mootilango; dan
c. kawasan peruntukan industri sedang Tolangohula;
(4) Kawasan peruntukan industri rumah tangga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari :
a. kawasan peruntukan industri rumah tangga Telaga;
b. kawasan peruntukan industri rumah tangga Telaga Biru;
c. kawasan peruntukan industri rumah tangga Limboto;
d. kawasan peruntukan industri rumah tangga Limboto Barat;
e. kawasan peruntukan industri rumah tangga Bongomeme;
f. kawasan peruntukan industri rumah tangga Dungaliyo;
g. kawasan peruntukan industri rumah tangga Tabongo;
h. kawasan peruntukan industri rumah tangga Batudaa; dan
i. kawasan peruntukan industri rumah tangga Tibawa;

Paragraf 7
Kawasan Peruntukan Pariwisata

Pasal 34
(1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 huruf g, terdiri atas :
a. kawasan peruntukan pariwisata budaya;
b. kawasan peruntukan pariwisata alam; dan
c. kawasan peruntukan pariwisata buatan.
(2) Kawasan peruntukan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a terdapat di Desa Bongo Kecamatan
Batudaa Pantai.
(3) Kawasan peruntukan pariwisata alam sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b terdapat di Desa Pentadio Timur Kecamatan
Telaga Biru, Desa Barakati Kecamatan Batudaa, Desa Biluhu
Timur Kecamatan Batudaa Pantai, dan Desa Taulaa Kecamatan
Bilato.
43

(4) Kawasan peruntukan pariwisata buatan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) huruf c terdapat di Kecamatan Batudaa, Kecamatan
Boliyohuto dan Kecamatan Mootilango.

Paragraf 8
Kawasan Peruntukan Permukiman

Pasal 35
(1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 huruf h terdiri atas :
a. kawasan peruntukan permukiman perkotaan yang meliputi;
1. kawasan peruntukan permukiman perkotaan merupakan
tatanan kawasan permukiman yang terdiri atas sumber daya
buatan seperti perumahan, fasilitas sosial, fasilitas umum,
prasarana dan sarana perkotaan;
2. bangunan permukiman ditengah kota terutama di PKW,
PKL, PKLp dan PPK yang padat penduduknya diarahkan
pembangunan perumahannya vertikal (rumah susun);
3. pola permukiman perkotaan yang paling rawan terhadap
bencana alam seperti banjir, gempa dan tsunami harus
menyediakan tempat evakuasi pengungsi bencana alam baik
berupa lapangan terbuka di tempat ketinggian paling rendah
30 (tiga puluh) meter di atas permukaan laut atau berupa
bukit penyelamatan;
b. kawasan peruntukan permukiman perdesaan yang meliputi:
1. didominasi oleh kegiatan agraris dengan kondisi kepadatan
bangunan, penduduk serta prasarana dan sarana perkotaan
yang rendah, dan kurang intensif dalam pemanfaatan lahan
untuk keperluan non agraris, termasuk permukiman
transmigrasi di Kecamatan Asparaga, Kecamatan
Tolangohula, Kecamatan Boliyohuto, Kecamatan Mootilango
dan Kecamatan Pulubala.;
2. bangunan-bangunan perumahan diarahkan menggunakan
nilai kearifan budaya lokal seperti pola rumah kebun dengan
bangunan berlantai panggung;
(2) Kawasan peruntukan permukiman perkotaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a terdiri dari :
44

a. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Telaga;


b. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Telaga Biru;
c. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Talaga Jaya;
d. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Tilango;
e. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Limboto Barat;
f. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Limboto;
g. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Tibawa;
h. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Batudaa;
i. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Tabongo;
j. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Dungaliyo;dan
k. kawasan peruntukan permukiman perkotaan Boliyohuto.
(3) Kawasan peruntukan permukiman perdesaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b terdiri dari :
a. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Telaga;
b. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Telaga Biru;
c. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Limboto;
d. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Limboto Barat;
e. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Tibawa;
f. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Pulubala;
g. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Dungalio;
h. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Bongomeme;
i. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Tabongo;
j. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Batudaa;
k. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Batudaa Pantai;
l. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Biluhu;
m. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Bilato;
n. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Boliyohuto;
o. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Mootilango;
p. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Tolangohula; dan
q. kawasan peruntukan permukiman perdesaan Asparaga.
45

Paragraf 9
Kawasan Peruntukan Lainnya

Pasal 36
(1) Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 huruf i adalah kawasan peruntukan pertahanan dan
keamanan.
(2) Kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana
dimaksud dalam pada ayat (1) terdiri dari :
a. kawasan pertahanan darat Ulapato;
b. kawasan pertahanan darat Dumati;
c. kawasan pertahanan udara Tolotio;
d. kawasan keamanan Pantungo;
e. kawasan keamanan Isimu Utara; dan
f. kawasan keamanan Tri Darma.

Pasal 37
(1) Pemanfaatan kawasan untuk peruntukan lain selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 36 dapat
dilaksanakan apabila tidak mengganggu fungsi kawasan yang
bersangkutan dan tidak melanggar Ketentuan Umum Peraturan
Zonasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan setelah adanya kajian komprehensif dan setelah
mendapat rekomendasi dari badan atau pejabat yang tugasnya
mengkoordinasikan penataan ruang di Kabupaten Gorontalo.

BAB V
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS

Pasal 38
(1) Kawasan strategis yang ada di Kabupaten Gorontalo adalah
Kawasan Strategis Kabupaten.
(2) Rencana kawasan strategis digambarkan dalam peta dengan
tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam
lampiran I.3 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
46

Pasal 39
(1) Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 ayat (1), terdiri atas :
a. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan
ekonomi;
b. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan
sosial budaya;
c. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan
pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi;
dan
d. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan
fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
(2) Kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas;
a. kawasan Strategis Telaga, merupakan kawasan strategis
pengembangan permukiman, perdagangan dan jasa yang
meliputi Kecamatan Telaga, Kecamatan Telaga Biru Kecamatan
Tilango, Kecamatan Talaga Jaya, Kecamatan Batudaa; dan
b. kawasan Strategis Isimu, merupakan kawasan strategis
pengembangan agro industri, perdagangan dan jasa yang
meliputi Kecamatan Tibawa, Kecamatan Dungaliyo dan
Kecamatan Pulubala
(3) Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas :
a. kawasan Strategis Limboto, merupakan kawasan strategis
pengembangan pendidikan dan wisata belanja hasil kerajinan
tangan yang meliputi Kecamatan Limboto, Telaga dan
Kecamatan Telaga Biru; dan
b. kawasan Strategis Batudaa, merupakan kawasan strategis
pengembangan wisata budaya dan bangunan bersejarah
meliputi Kecamatan Batudaa, Batudaa Pantai, Tabongo dan
Bongomeme.
(4) Kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber
daya alam dan/atau teknologi tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c terdiri atas :
47

a. kawasan Strategis Tridharma meliputi Kecamatan Tibawa,


Pulubala dan Limboto Barat; dan
b. kawasan Strategis Lakeya meliputi Kecamatan Tolangohula,
dan Boliyohuto.
(5) Kawasan strategis dari sudut kepentingan kepentingan fungsi dan
daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d terdiri atas :
a. kawasan Strategis Danau Limboto meliputi Kecamatan Tilango,
Talaga Jaya, Telaga Biru, Limboto, Limboto Barat, Tabongo dan
Batudaa,
b. kawasan Strategis Nantu meliputi Kecamatan Mootilango,
Boliyohuto, Tolanguhula dan Asparaga.

BAB VI
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH

Pasal 40
(1) Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Gorontalo berpedoman
pada rencana struktur ruang, pola ruang dan kawasan strategis
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Gorontalo dilaksanakan
melalui penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan ruang
beserta perkiraan pendanaannya.
(3) Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang disusun sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 41
(1) Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (2) disusun berdasarkan indikasi program utama lima
tahunan yang ditetapkan dalam lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(2) Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, investasi swasta dan kerja sama pendanaan.
(3) Kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
48

BAB VII
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 42
(1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten
digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten.
(2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas :
a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan perizinan;
c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan
d. arahan sanksi.

Bagian Kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi

Pasal 43
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (2) huruf a, digunakan sebagai pedoman bagi
pemerintah daerah dalam menyusun peraturan zonasi.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi struktur ruang;
b. ketentuan umum peraturan zonasi pola ruang; dan
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi struktur ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem pusat kegiatan;
b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana
utama; dan
c. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana
lainnya.
49

(4) Ketentuan umum peraturan zonasi pola ruang sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung; dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi;
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis
provinsi;dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis
kabupaten.

Paragraf 1
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Struktur Ruang.

Pasal 44
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem pusat kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf a, terdiri
atas;
a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan; dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem perdesaan.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan dilakukan pengembangan secara terbatas pada
zona yang tidak termasuk dalam klasifikasi intensitas tinggi
dengan syarat maksimum pengembangan 25 (dua puluh lima)
persen;
b. tidak diperbolehkan dilakukan perubahan secara keseluruhan
fungsi dasarnya;
c. diperbolehkan dengan syarat kegiatan bukan perkotaan yang
dapat mengurangi fungsi sebagai kawasan perkotaan; dan
d. diperbolehkan untuk kegiatan perkotaan yang didukung
fasilitas dan prasarana sesuai skala kegiatan.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perdesaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan;
a. diperbolehkan dilakukan pengembangan secara terbatas pada
zona yang tidak termasuk dalam klasifikasi intensitas tinggi
50

dengan syarat maksimum pengembangan 25 (dua puluh lima)


persen;
b. tidak diperbolehkan dilakukan perubahan secara keseluruhan
fungsi dasarnya;
c. tidak boleh dilakukan penambahan fungsi tertentu yang
bertentangan; dan
d. diperbolehkan untuk kegiatan perkotaan yang didukung
fasilitas dan prasarana sesuai skala kegiatan.

Pasal 45
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana
utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf b
terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan transportasi darat;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan transportasi laut;
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan transportasi udara; dan
d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan kereta api.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan jalan;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
jembatan;
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
lalu lintas; dan
d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
jaringan layanan lalu lintas.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
disusun dengan ketentuan:
51

a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan dengan tingkat


intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan
pengembangan ruangnya dibatasi;
b. pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di
sepanjang sisi jalan;
c. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan yang
memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan (ruwasja);
d. dibolehkan pengembangan prasarana pelengkap jalan dengan
syarat sesuai dengan kondisi dan kelas jalan;
e. dilarang seluruh pemanfaatan pada zona inti, kecuali untuk
pergerakan orang atau barang dan kendaraan; dan
f. dilarang aktivitas pemanfaatan budidaya sampai batas ruwasja
sesuai dengan kelas dan hirarki jalan.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
jembatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disusun
dengan ketentuan:
a. diperbolehkan untuk ditanami tanaman pelindung di sekitar
ujung jembatan;
b. tidak boleh ada kegiatan budidaya di sekitar jembatan;
c. tidak boleh ada kegiatan pertambangan sirtu di sekitar
jembatan;
d. boleh adanya pagar pelindung pada kedua ujung jembatan;dan
e. tidak boleh dijadikan tempat parkir pada sisi mulut jembatan.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana lalu
lintas angkutan jalan berupa terminal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan untuk prasarana terminal bagi pergerakkan
orang, barang dan kendaraan; dan
b. pelarangan terhadap pemanfaatan ruang di dalam lingkungan
kerja terminal.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
jaringan layanan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d disusun dengan ketentuan:
a. penetapan trayek dalam kota dan luar kota;
b. diperbolehkan melalui trayek sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan;
52

c. pembatasan trayek dalam satu ruas jalan untuk mencegah


kemacetan dan pemerataan jalur;
d. tidak diperbolehkan angkutan kota antar-provinsi melalui jalan
kota; dan
e. diperbolehkan penyediaan halte untuk penurunan penumpang.
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan dengan syarat pemanfaatan ruang operasional
pelabuhan;
b. diperkenankan dengan syarat pemanfaatan ruang kerja
pelabuhan; dan
c. tidak diperbolehkan kegiatan yang mengganggu kawasan
lindung.
(8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk kebutuhan
operasional Bandar Udara;
b. diperbolehkan pemanfaatan ruang di sekitar bandar udara
untuk kebutuhan pengembangan bandar udara;
c. penetapan batas kawasan keselamatan operasi penerbangan
dan batas kebisingan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
d. tidak diperbolehkan adanya bangunan tinggi melebihi
ketentuan KKOP; dan
e. tidak diperbolehkan adanya kegiatan budidaya di kawasan
sekitar prasarana bandara.
(9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
jaringan jalur kereta api; dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
stasiun kereta api.
(10) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
huruf a disusun dengan ketentuan:
53

a. pembatasan pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur


kereta api untuk tingkat jntensitas menengah hingga tinggi;
b. pelarangan pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api
yang dapat mengganggu kepentingan operasi dan keselamatan
transportasi perkeretaapian;
c. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang yang peka terhadap
dampak lingkungan akibat lalu lintas kereta api di sepanjang
jalur kereta api;
d. pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur
kereta api dan jalan; dan
e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur
kereta api dengan memperhatikan dampak lingkungan dan
kebutuhan pengembangan jaringan jalur kereta api.
(11) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
huruf b disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan untuk peningkatan pelayanan sarana dan
prasarana stasiun kereta api; dan
b. pelarangan terhadap pemanfaatan ruang di dalam lingkungan
kerja stasiun kereta api.

Pasal 46
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf c
terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan listrik;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan telekomunikasi;
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan sumber daya air; dan
d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem prasarana pengelolaan lingkungan.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, disusun dengan ketentuan:
a. membatasi kegiatan pengembangan di sekitar lokasi SUTT;
54

b. penetapan areal konservasi di sekitar lokasi SUTT yaitu sekitar


20 (dua puluh) meter pada setiap sisi tiang listrik;
c. tidak boleh ada fungsi bangunan yang langsung digunakan
masyarakat di bawah jaringan tegangan tinggi; dan
d. dalam kondisi di bawah jaringan tegangan tinggi terdapat
bangunan maka harus disediakan jaringan pengamanan.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan jaringan melintasi tanah milik atau dikuasai
pemerintah;
b. dalam kawasan perkotaan pembangunan menara untuk
jaringan telekomunikasi dibatasi; dan
c. dilarang mendirikan bangunan di sekitar pemancar dan/atau
menara dalam radius bahaya keamanan dan keselamatan.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, disusun dengan ketentuan:
a. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai
dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup dan fungsi
lindung kawasan;
b. pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang
dimaksud untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan;
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi
taman rekreasi; dan
d. dilarang mendirikan bangunan di dalam sempadan sumber
daya air, sempadan sungai, waduk, embung, dan/ atau
jaringan irigasi.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar prasarana
sistem prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d, disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan bagi kegiatan-kegiatan tertentu yang karena
sifatnya mempunyai kekhususan yang memerlukan
penanganan operasional dan spesifikasi khusus;
b. diizinkan untuk perkantoran yang berhubungan dengan
pengawasan dan pengendalian;dan
55

c. dilarang untuk kegiatan yang berpotensi terjadinya perubahan


lingkungan fisik alamiah ruang.

Paragraf 2
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pola Ruang

Pasal 47
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perlindungan
setempat;
d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pelestarian alam;
e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana
alam;
f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung geologi;
dan
g. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung lainnya.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan
ketentuan:
a. dibolehkan untuk wisata alam dengan syarat tidak mengubah
bentang alam;
b. dibolehkan untuk kegiatan pendidikan dan penelitian dengan
syarat tidak mengubah bentang alam;
c. kegiatan budidaya kehutanan hasil hutan bukan kayu hanya
diizinkan bagi penduduk asli dengan luasan tetap, tidak
mengurangi fungsi lindung kawasan, dan dalam pengawasan
ketat;
d. dilarang untuk kegiatan yang berpotensi mengurangi luas
kawasan hutan;
e. dilarang untuk kegiatan yang berpotensi mengganggu bentang
alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi
hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian
lingkungan hidup;
56

f. dilarang kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan


perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya; dan
g. dilarang merambah kawasan hutan.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa kawasan resapan air,
disusun dengan ketentuan:
b. dibolehkan dilakukan penyedian sumur resapan atau waduk
pada lahan terbangun yang sudah ada;
c. diizinkan untuk kegiatan hutan rakyat;
d. diizinkan terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun
yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air
hujan;
e. dibolehkan untuk wisata alam dengan syarat tidak mengubah
bentang alam;
f. dibolehkan untuk kegiatan pendidikan dan penelitian dengan
syarat tidak mengubah bentang alam; dan
g. dilarang untuk seluruh jenis kegiatan yang mengganggu fungsi
resapan air.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perlindungan
setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai
dan kawasan sekitar danau/waduk;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan mata
air; dan
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka
hijau.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai dan
kawasan sekitar danau/waduk sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf a disusun dengan ketentuan:
a. dibolehkan aktivitas wisata alam petualangan dengan syarat
tidak mengganggu kualitas air sungai atau air danau;
b. dibolehkan pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
c. pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang
dimaksudkan untuk pengelolaan badan air atau pemanfaatan
air;
57

d. pendirian bangunan dibatasi hanya menunjang fungsi taman


rekreasi;
e. penetapam lebar sempadan sungai dan sempadan
danau/waduk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
f. dilarang seluruh kegiatan dan bangunan yang mengancam
kerusakan dan menurunkan kualitas sungai dan danau.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan mata air
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b disusun dengan
ketentuan:
a. tidak diperkenankan alih fungsi lindung yang menyebabkan
kerusakan kualitas sumber air;
b. diperkenankan pemanfaatan sempadan mata air untuk air
minum atau irigasi;
c. diizinkan digunakan untuk pariwisata selama tidak mengurangi
kualitas tata air yang ada;
d. tidak boleh menggunakan lahan secara langsung untuk
bangunan yang tidak berhubungan dengan konservasi mata air;
e. pengoptimalan pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
dan
f. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran
terhadap mata air.
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c disusun dengan
ketentuan:
a. diizinkan pemanfaatan ruang terbuka hijau sebagai konservasi
lingkungan, peningkatan keindahan kota, rekreasi, dan sebagai
penyeimbang bagi penggunaan lahan industri dan permukiman;
dan
b. diperbolehkan pendirian bangunan yang menunjang kegiatan
rekreasi dan fasilitas umum lainnya.
(8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pelestarian alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan
ketentuan:
a. diperbolehkan melakukan pemanfaatan ruang untuk penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, dan
wisata alam terbatas pada zona rimba, pariwisata dan rekreasi
58

alam pada zona pemanfaatan, serta zona pemanfaatan lainnya


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan zona inti Taman Nasional
Promosi (TNp) Nantu meliputi mengurangi, menghilangkan
fungsi dan luas zona inti TNp Nantu, serta menambah jenis
tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli; dan
c. dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi
zona pemanfaatan dan zona lain dari TNp Nantu.
(9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan longsor; dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan banjir.
(10) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan longsor
sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a disusun dengan
ketentuan:
a. pengoptimalan konservasi pada kawasan rawan longsor;
b. tidak diizinkan kegiatan yang mengganggu fungsi lindung
kawasan rawan bencana longsor; dan
c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan
pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum.
(11) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan banjir
sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b disusun dengan
ketentuan:
a. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman
penduduk;
b. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan
pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum;
c. penetapan batas dataran banjir;
d. diperkenankan pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka
hijau dan pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan
rendah; dan
e. pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan
fasilitas umum penting lainnya.
(12) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung geologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas:
59

a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gempa


bumi; dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gerakan
tanah.
(13) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gempa bumi
sebagaimana dimaksud pada ayat (12) huruf a disusun dengan
ketentuan:
a. diwajibkan untuk kegiatan RTH;
b. penyediaan jalur evakuasi terhadap permukiman yang sudah
ada pada kawasan dengan tingkat kerawanan gempa bumi
tinggi;
c. pengembangan kegiatan budidaya mempertimbangkan
konstruksi yang sesuai; dan
d. tidak diperkenankan untuk kegiatan strategis.
(14) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gerakan tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (12) huruf b disusun dengan
ketentuan:
a. diwajibkan untuk kegiatan RTH;
b. penyediaan jalur evakuasi terhadap permukiman yang sudah
ada pada kawasan gerakan tanah tinggi; dan
c. tidak diperkenankan untuk kegiatan strategis.
(15) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g berupa kawasan
lindung terumbu karang disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan melakukan pemanfaatan ruang untuk penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, wisata
alam terbatas pada zona inti, pariwisata dan rekreasi alam pada
zona pemanfaatan, serta zona pemanfaatan lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
kerusakan terumbu karang

Pasal 48
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf b terdiri
atas:
60

a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan hutan


produksi;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan hutan
rakyat;
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan
pertanian;
d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan
perikanan;
e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan
pertambangan;
f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan
industri;
g. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan
pariwisata;
h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan
permukiman; dan
i. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan
pertahanan dan keamanan.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan hutan
produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun
dengan ketentuan:
a. diizinkan aktivitas pengembangan hutan lestari;
b. diizinkan aktivitas reboisasi atau penghijauan dan rehabilitasi
hutan;
c. diizinkan terbatas pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga
kestabilan neraca sumber daya kehutanan;
d. diizinkan secara terbatas pendirian bangunan hanya untuk
menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan; dan
e. dilarang aktivitas pengambangan budidaya lainnya yang
mengurangi luas kawasan hutan.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan hutan
rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun
dengan ketentuan:
a. diizinkankan aktivitas pengembangan hutan lestari;
b. diizinkan aktivitas reboisasi atau penghijauan dan rehabilitasi
hutan;
61

c. diizinkan terbatas pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga


kestabilan neraca sumber daya kehutanan;
d. diizinkan secara terbatas pendirian bangunan hanya untuk
menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan; dan
e. diizinkan aktivitas pengambangan budidaya lainnya yang
mengurangi luas kawasan hutan.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertanian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c , terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan tanaman pangan;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hortikultura;
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan; dan
d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perternakan.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan tanaman pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a disusun dengan
ketentuan:
a. tidak diperbolehkan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2B), kecuali untuk kepentingan umum atau
terjadi akibat bencana alam;
b. diizinkan pemanfaatan rumah tinggal dengan syarat tidak
mengganggu fungsi pertanian dengan intensitas bangunan
kepadatan rendah;
c. diizinkan pemanfaatan ruang untuk permukiman dengan
kepadatan rendah, khususnya bagi penduduk yang bekerja di
sektor pertanian;
d. diizinkan aktivitas pendukung pertanian;
e. dilarang aktivitas budidaya yang mengurangi luas kawasan
sawah beririgasi;
f. dilarang aktivitas budidaya yang mengurangi atau merusak
fungsi lahan dan kualitas lahan untuk tanaman pangan; dan
g. dilarang mendirikan bangunan pada kawasan sawah irigasi
yang terkena saluran irigasi.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hortikultura
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b disusun dengan
ketentuan:
a. tidak diperbolehkan menggunakan lahan yang dikelola dengan
mengabaikan kelestarian lingkungan;
62

b. diizinkan pemanfaatan ruang untuk permukiman dengan


kepadatan rendah, khususnya bagi penduduk yang bekerja di
sektor pertanian;
c. boleh adanya bangunan prasarana wilayah dan bangunan yang
bersifat mendukung kegiatan pertanian; dan
d. boleh melakukan kegiatan wisata alam secara terbatas,
penelitian, dan pendidikan.
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c disusun dengan
ketentuan:
a. diwajibkan pelaksanaan konservasi lahan;
b. diizinkan mendirikan perumahan dengan syarat tidak
mengganggu fungsi perkebunan;
c. diizinkan aktivitas pendukung perkebunan, misalnya
penyelenggaraan aktivitas pembenihan; dan
d. dilarang aktivitas budidaya yang mengurangi atau merusak
fungsi lahan dan kualitas tanah untuk perkebunan.
(8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peternakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d disusun dengan
ketentuan:
a. diperkenankan adanya bangunan prasarana wilayah dan
bangunan yang mendukung kegiatan peternakan;
b. diperkenankan pengembangan sarana dan prasarana
peternakan;
c. pada kawasan peternakan yang dibebani fungsi pariwisata,
pengembangannya tidak boleh merusak fungsi pariwisata; dan
d. tidak boleh mengakibatkan pencemaran lingkungan dan
kerusakan lingkungan lainnya.
(9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan
perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun
dengan ketentuan:
a. diperkenankan adanya bangunan prasarana wilayah dan
bangunan yang bersifat mendukung kegiatan perikanan:
b. diperbolehkan pengembangan sarana dan prasarana perikanan;
c. pada kawasan perikanan yang juga dibebani fungsi wisata,
pengembangannya tidak boleh merusak fungsi pariwisata; dan
63

d. tidak boleh mengakibatkan pencemaran lingkungan dan


kerusakan lingkungan lainnya.
(10) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan
pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
disusun dengan ketentuan:
a. pelarangan kegiatan penambangan di luar kawasan
pertambangan;
b. pelarangan kegiatan penambahan yang menimbulkan
kerusakan lingkungan;
c. pelarangan kegiatan penambangan di kawasan rawan bencana
dengan tingkat kerentanan tinggi;
d. pengharusan penjaminan segi-segi keselamatan pekerja dan
keamanan lingkungan dalam penyediaan peralatan dan
pelaksanaan kegiatan penambangan;
e. pengharusan pemulihan zona bentang alam pasca
penambangan, sesuai ketentuan yang berlaku bagi kawasan
pertambangan;
f. pengembangan kawasan permukiman pendukung kegiatan
pertambangan, harus diintegrasikan dengan pengembangan
pusat-pusat kegiatan sesuai rencana pengembangan struktur
ruang wilayah kabupaten; dan
g. tidak diperkenankan membangun kawasan permukiman
eksklusif dalam kawasan pertambangan yang tidak
diintegrasikan dengan rencana struktur ruang wilayah
kabupaten.
(11) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan industri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f disusun dengan
ketentuan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan baik yang sesuai dengan
kemampuan penggunaan teknologi maupun potensi sumber
daya alam dan sumber daya manusia di sekitarnya;
b. kegiatan industri yang diizinkan tidak mengakibatkan
kerusakan atau alih fungsi kawasan lindung;
c. pelarangan bentuk kegiatan yang dapat memberikan dampak
merusak dan menurunkan kualitas lingkungan;
64

d. dalam kegiatan pengelolaan industri, diwajibkan memiliki


sistem pengolahan limbah yang tidak mengganggu kelestarian
lingkungan;
e. diwajibkan pengaturan pengelolaan limbah B3 bagi industri
yang berindikasi menimbulkan B3 atau juga mengelola limbah
B3 sebagaimana peraturan pengelolaan limbah B3;dan
f. pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang
jalan arteri atau kolektor harus dilengkapi dengan frontage road
untuk kelancaran aksesibilitas.
(12) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan
pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g disusun
dengan ketentuan:
a. kegiatan wisata, sarana dan prasarana tidak mengganggu
fungsi kawasan lindung, bentuk bangunan arsitektur setempat,
bentang alam dan pandangan visual dan mengikuti prinsip-
prinsip pemugaran;
b. pemanfaatan kawasan lindung untuk kegiatan wisata
dilaksanakan sesuai azas konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya, perlindungan terhadap situs peninggalan
kebudayaan masa lampau;
c. diwajibkan penyediaan fasilitas parkir; dan
d. diperbolehkan dilakukan penelitian dan pendidikan.
(13) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan
permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h
disusun dengan ketentuan:
a. diwajibkan penyediaan kelengkapan, keselamatan bangunan
dan lingkungan;
b. diwajibkan penetapan jenis dan penerapan syarat-syarat
penggunaan bangunan;
c. diwajibkan penyediaan drainase yang memadai dan pembuatan
sumur resapan yang memadai;
d. diwajibkan penyediaan fasilitas parkir bagi bangunan untuk
kegiatan usaha;
e. kepadatan penghunian satu unit hunian untuk satu rumah
tangga dalam kawasan permukiman setinggi-tingginya sama
dengan stándar kepadatan layak huni, tidak termasuk
65

bangunan hunian yang terletak di dalam kawasan permukiman


tradisional;
f. peruntukan kawasan permukiman diperbolehkan untuk
dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
g. diperbolehkan dibangun prasarana wilayah sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku;
h. boleh adanya kegiatan industri skala rumah tangga dan
fasilitas sosial ekonomi lainnya dengan skala pelayanan
lingkungan;dan
i. dalam kawasan permukiman tidak diperbolehkan
dikembangkan kegiatan yang mengganggu fungsi permukiman
dan kelangsungan kehidupan sosial masyarakat.
(14) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan
pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf h disusun dengan ketentuan:
a. penetapan untuk kawasan pertahanan dan keamanan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pembatasan kegiatan budidaya di sekitar kawasan pertahanan
dan keamanan; dan
c. diperkenankan penyediaan infrastruktur pendukung kawasan
pertahanan dan keamanan ditetapkan sesuai peraturan
perundang-undangan.

Paragraf 3
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Strategis Kabupaten

Pasal 49
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (5) huruf a disusun
dengan ketentuan:
a. diperbolehkan dilakukan pengembangan untuk mendukung
kegiatan kawasan;
b. tidak diperbolehkan dilakukan perubahan secara keseluruhan
fungsi dasarnya; dan
c. diperbolehkan untuk penyediaan fasilitas dan prasarana.
66

(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis provinsi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (5) huruf a disusun
dengan ketentuan:
a. penetapan kawasan strategis kabupaten;
b. diperbolehkan dilakukan pengembangan untuk mendukung
kegiatan kawasan;
c. tidak diperbolehkan dilakukan perubahan secara keseluruhan
fungsi dasarnya; dan
d. diperbolehkan untuk penyediaan fasilitas dan prasarana.

Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan

Pasal 50
(1) Ketentuan perizinan merupakan acuan bagi pejabat yang
berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang berdasarkan
rencana tata ruang yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Ketentuan perizinan merupakan perizinan yang terkait dengan izin
pemanfaatan ruang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan harus dimiliki sebelum pelaksanaan
pemanfaatan ruang.
(3) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang
sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Setiap pejabat pemerintah yang berwewenang menerbitkan izin
pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang.
(6) Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh
dengan tidak melalui prosedur yang benar batal demi hukum.

Pasal 51
(1) Jenis perizinan terkait pemanfaatan ruang yang ada di Kabupaten
Gorontalo, terdiri atas:
a. izin lingkungan; dan
b. izin perencanaan dan pembangunan.
67

(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a


terdiri atas:
a. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
b. Upaya Pengelolaan Lingkungan/Upaya Pemantauan
Lingkungan (UKL/UPL); dan
c. Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL).
(3) Izin perencanaan dan pembangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. Izin gangguan atau Hinder Ordonansi (HO);
b. Izin peruntukan penggunaan lahan;
c. Izin lokasi;dan
d. Izin mendirikan bangunan (IMB).
(4) Izin peruntukan penggunaan lahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b merupakan pemberian izin pemanfaatan ruang
dengan ketentuan lokasi yang diajukan kurang dari 1 (satu) Ha.
(5) Izin lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
merupakan pemberian izin pemanfaatan ruang dengan ketentuan
lokasi yang diajukan sama atau lebih dari 1 (satu) Ha.
(6) Pemberian perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diberikan kepada perseorangan, dan/atau badan hukum sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
(7) Ketentuan mengenai mekanisme dan persyaratan ditetapkan
dengan Peraturan Bupati.

Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif

Pasal 52
(1) Ketentuan insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (2) huruf c merupakan acuan bagi pemerintah
daerah dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif.
(2) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan
rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan ketentuan
umum peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(3) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu
dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan
ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
68

Pasal 53
(1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan
ruang wilayah kabupaten dilakukan oleh pemerintah daerah
kepada masyarakat.
(2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh
instansi berwenang sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 54
(1) Insentif yang diberikan kepada masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), terdiri atas :
a. insentif yang diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang
yang mendukung pengembangan kawasan strategis ekonomi,
yaitu dalam bentuk :
1. kemudahan pengurusan perijinan;
2. urun saham
3. pembangunan serta pengadaan infrastuktur dan;
4. pemberian penghargaan
b. insentif yang diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang
yang mendukung pengembangan kawasan strategis lingkungan
hidup, yaitu dalam bentuk :
1. penyediaan sarana
2. penghargaan dan
3. keringanan pajak
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif
diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 55
(1) Disinsentif yang dikenakan kepada masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3), yaitu disinsentif yang
dikenakan terhadap kegiatan pemanfaatan ruang yang
menghambat pengembangan kawasan strategis ekonomi, yaitu
dalam bentuk :
a. pembatasan penyediaan infrastruktur;
b. pengenaan kompensasi; dan
c. penalti
69

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan disinsentif


diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Kelima
Arahan Sanksi

Pasal 56
(1) Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2)
huruf d merupakan acuan bagi pemerintah daerah dalam
pengenaan sanksi administratif kepada pelanggar pemanfaatan
ruang.
(2) Pengenaan sanksi dilakukan terhadap :
a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur
ruang dan pola ruang;
b. pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi;
c. pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang
diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten Gorontalo;
d. pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan
ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten
Gorontalo;
e. pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW
Kabupaten Gorontalo;
f. pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan
yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai
milik umum; dan/atau
g. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan
prosedur yang tidak benar.

Pasal 57
(1) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat
(2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g
dikenakan sanksi administratif berupa :
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
70

d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. denda administratif.
(2) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat
(1) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa :
a. peringatan tertulis
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pembongkaran bangunan;
f. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
g. denda administratif.

BAB VIII
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT
SERTA KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Hak Masyarakat

Pasal 58
Dalam kegiatan mewujudkan penataan ruang wilayah, masyarakat
berhak :
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan
ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul
akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di
wilayahnya;
71

e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian


pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
kepada pejabat berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau
pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat

Pasal 59
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari
pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan
peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai milik umum.

Pasal 60

(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilaksanakan dengan
mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu, dan
aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilakukan
masyarakat secara turun temurun dapat diterapkan sepanjang
memperhatikan faktor-faktor daya dukung lingkungan, estetika
lingkungan, lokasi, dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat
menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.
72

Bagian Ketiga
Peran Masyarakat

Pasal 61
Peran masyarakat dalam penataan ruang di Daerah dilakukan antara
lain melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

Pasal 62
Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
huruf a pada tahap perencanaan tata ruang dapat berupa :
a. memberikan masukan mengenai :
1. persiapan penyusunan rencana tata ruang;
2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;
3. pengidentifikasian potensi dan masalah wilayah atau kawasan;
4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau
5. penetapan rencana tata ruang.
b. melakukan kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah
dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata
ruang.

Pasal 63
Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
huruf b dalam pemanfaatan ruang dapat berupa :
a. masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;
b. kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang;
c. kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal
dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
d. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam
pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di
dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
73

e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta


memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan
hidup dan sumber daya alam; dan
f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 64
Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
huruf c dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat berupa:
a. masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan,
pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi;
b. keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi
c. pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
d. pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang
dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran
kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang
yang telah ditetapkan; dan
e. pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang
terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan
rencana tata ruang.

Pasal 65
(1) Peran masyarakat di bidang penataan ruang dapat disampaikan
secara langsung dan/atau tertulis.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
disampaikan kepada bupati.
(3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat
disampaikan melalui unit kerja terkait yang ditunjuk oleh Bupati.

Pasal 66
Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah
membangun sistem informasi dan dokumentasi penataan ruang yang
dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
74

Pasal 67
Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Kelembagaan
Pasal 68

(1) Dalam rangka koordinasi penataan ruang dan kerjasama antar


wilayah, dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
(2) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Badan Koordinasi
Penataan Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB IX
PENYIDIKAN

Pasal 69
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Pegawai Negeri Sipil Tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan
ruang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu
pejabat penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana dalam
penataan ruang;
b. melakukan pemeriksaaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
75

d. melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang


berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataaan
ruang;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan
penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil
pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak
pidana dalam bidang penataan ruang; dan
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Pejabat Penyidik
Kepolisian Negara RI.
(4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan,
Penyidik Pegawai Negeri Sipil melakukan koordinasi dengan
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui
Pejabat Penyidik Kepolisian Negara RI.
(6) Pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan tata cara proses
penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB X
KETENTUAN PIDANA

Pasal 70
(1) Setiap orang yang tidak mentaati Rencana Tata Ruang Wilayah
sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Peraturan Daerah ini yang
mengakibatkan:
a. tidak mentaati rencana tata ruang yang ditetapkan;
b. tidak memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan
ruang dari pejabat berweweng;
c. tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan
izin dalam pemanfaatan ruang;
76

d. tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh


ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan milik
umum;
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan
penerimaan negara dan disetorkan ke kas Negara.

BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 71
Rencana tata ruang wilayah Kabupaten menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di
wilayah kabupaten;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar
sektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f. penataan ruang kawasan strategis Kabupaten.

Pasal 72
(1) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gorontalo
adalah 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali 1 (satu)
kali dalam 5 (lima) tahun.
(2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan
dengan bencana alam skala besar dan/atau perubahan batas
teritorial wilayah yang ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gorontalo
dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga
dilakukan apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan
77

strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten


dan/atau dinamika internal wilayah.
(4) Dalam hal terdapat penetapan kawasan hutan oleh Menteri
Kehutanan terhadap bagian wilayah kabupaten yang kawasan
hutannya belum disepakati pada saat Perda ini ditetapkan,
rencana dan album peta sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
disesuaikan dengan peruntukan kawasan hutan berdasarkan hasil
kesepakatan Menteri Kehutanan.
(5) Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini,
sepanjang mengenai teknis pelaksanaan Rencana Tata Ruang
Wilayah, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 73
(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan
pelaksanaan yang berkaitan dengan penatan ruang Daerah yang
telah ada dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka :
a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai
dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai
dengan masa berlakunya;
b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak
sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku
ketentuan :
1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin
tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan
Peraturan Daerah ini;
2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya,
dilakukan penyesuaian dengan masa transisi berdasarkan
ketentuan perundang-undangan; dan
3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak
memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi
kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah
diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang
78

timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat


diberikan penggantian yang layak;
c. pemanfaatan ruang di Daerah yang diselenggarakan tanpa izin
dan bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, akan
ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini.
d. pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketetentuan Peraturan
Daerah ini, agar dipercepat untuk mendapatkan izin yang
diperlukan.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 74
Peraturan Daerah tentang RTRW Kabupaten Gorontalo dilengkapi
dengan Rencana/ Materi teknis RTRW Kabupaten Gorontalo dan
album peta dengan skala minimal 1: 50.000 yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah RTRW Kabupaten
Gorontalo.

Pasal 75
(1) Jangka waktu RTRW Kabupaten Gorontalo adalah 20 tahun (dua
puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5
(lima) tahun.
(2) Dalam lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan
bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara
dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan dengan Undang-
Undang, RTRW Kabupaten Gorontalo dapat ditinjau kembali lebih
dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat 2(dua) juga
dilakukan apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan
strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten
dan/atau dinamika internal kabupaten.
80

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO
NOMOR 4 TAHUN 2013
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN GORONTALO
TAHUN 2012-2032

I. UMUM
Ruang Wilayah Kabupaten Gorontalo sebagai sub sistem dari Ruang
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sebagai kesatuan wadah
yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, merupakan karunia Tuhan Yang
Maha Esa kepada masyarakat Kabupaten Gorontalo yang perlu disyukuri,
dilindungi dan dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta makna
yang terkandung dalam falsafah dan dasar negara Pancasila.
Secara geografis, letak Kabupaten Gorontalo sangat strategis dengan
batas Kabupaten Gorontalo Utara di sebelah Utara, Kota Gorontalo dan
Kabupaten Bone Bolango disebelah Timur, Teluk Tomini di sebelah Selatan
dan Kabupeten Boalemo disebelah Barat.
Sumber daya alam maupun sumber daya buatan yang terkandung di
wilayah Kabupaten Gorontalo, seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan
pertambangan merupakan sumber daya yang sangat potensial untuk
menunjang pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggungjawab, yang semuanya itu bertujuan untuk mensejahterakan
masyarakat Kabupaten Gorontalo.
Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas
wilayah. Namun untuk mewujudkan ruang wilayah Kabupaten yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah
yang nyata, luas dan bertanggungjawab, maka penataan ruang Kabupaten
Gorontalo menuntut kejelasan pendekatan dalam proses perencanaannya
demi menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan
antar daerah, antara Pusat dan Daerah, antar sektor, dan antar pemangku
kepentingan. Dalam Peraturan Daerah ini, penataan ruang didasarkan pada
81

pendekatan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan


kawasan, dan nilai strategis kawasan.
Dalam rangka pengembangan Kabupaten Gorontalo, khususnya
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan pada
masa yang akan datang sesuai dengan potensi daerah, diperlukan adanya
kesatuan perencanaan pembangunan wilayah. Untuk itu, Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Gorontalo harus benar-benar serasi dan terpadu
penyusunannya dalam satu kesatuan sistem dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota di sekitarnya.
Penataan ruang wilayah Kabupaten Gorontalo sebagai suatu sistem
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu
dengan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan
ruang.
Fungsi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten adalah :
a. Sebagai arahan bagi pembangunan daerah Kabupaten Gorontalo ;
b. Sebagai landasan kebijakan tentang arahan pemanfaatan ruang di
wilayah Kabupaten Gorontalo sesuai dengan kondisi wilayah dan
berasaskan pembangunan yang berkelanjutan dalam 20 (dua puluh
tahun) mendatang;
c. Sebagai bahan rujukan bagi penyusunan rencana program pembangunan
daerah dalam 1 (satu) tahun dan 5 (lima) tahun ; dan
d. Sebagai sarana untuk mewujudkan keterkaitan dan kesinambungan
perkembangan antara wilayah di dalam wilayah Kabupaten Gorontalo ;
Kegunaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gorontalo adalah sebagai
pedoman dalam penyusunan program pembangunan 20 (dua puluh) tahunan,
5 (lima) tahunan dan program pembangunan tahunan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
82

Pasal 3
Yang dimaksud dengan “kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten
Gorontalo” adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar
dan dasar dalam pemanfaatan ruang darat, laut dan udara termasuk
ruang di dalam bumi untuk mencapai tujuan penataan ruang.
Yang dimaksud dengan “strategi penataan ruang wilayah Kabupaten
Gorontalo” adalah langkah-langkah pelaksanaan kebijakan penataan
ruang.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Yang dimaksud dengan rencana struktur ruang wilayah Kabupaten
Gorontalo adalah arahan perwujudan sistem perkotaan dalam wilayah
Kabupaten dan jaringan prasarana wilayah Kabupaten yang
dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah Kabupaten selain untuk
melayani kegiatan skala Kabupaten yang meliputi sistem jaringan energi
dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan
sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan/waduk dari
daerah aliran sungai.
Dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Gorontalo digambarkan
sistem perkotaan dalam wilayah Kabupaten dan peletakan jaringan
prasarana wilayah yang menurut peraturan perundang-undangan,
pengembangan dan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah
Daerah Kabupaten dengan sepenuhnya memperhatikan struktur ruang
yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan
RencanaTata Ruang Wilayah Propinsi.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
83

Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud tower/Base Transceiver Station (BTS) yang biasa
dikenal dengan sebutan menara telekomunikasi adalah menara yang
berfungsi menjembatani perangkat komunikasi pengguna dengan
jaringan menuju jaringan lain
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
84

Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan ”zero delta q policy” adalah keharusan
agar tiap bangunan tidak boleh mengakibatkan bertambahnya
debit air ke sistem saluran drainase atau sistem aliran sungai.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur
tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air
laut dan memelihara kesuburan tanah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”Kawasan yang memberikan perlindungan
terhadap kawasan di bawahnya” berada pada ketinggian lebih dari
2.000 (dua ribu) meter di atas permukaan laut (dpl) dengan
kemiringan lebih dari 40% (empat puluh) persen, bercurah hujan
tinggi atau mampu meresapkan air ke dalam tanah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”kawasan perlindungan setempat” adalah
kawasan yang meliputi sempadan pantai, sempadan sungai dan
saluran irigasi, kawasan sekitar danau/waduk/rawa, kawasan
sekitar mata air, kawasan sempadan jalan dan ruang terbuka hijau
(RTH)
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ”kawasan rawan bencana alam” adalah
daerah yang diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami
bencana alam seperti banjir, gempa bumi, longsor dan lain-lain.
85

Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”Sungai Besar” adalah sungai yang
mempunyai daerah pengaliran seluas 500 km2 (lima ratus
kilometer persegi) atau lebih.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”Sungai Kecil adalah sungai yang
mempunyai daerah pengaliran seluas kurang dari 500 km2
(lima ratus kilometer persegi).
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud ”kawasan sekitar danau” adalah kawasan tertentu di
sekeliling danau yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi danau.
Kriteria garis sempadan pagar terhadap danau paling sedikit 50 (lima
puluh) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat
Kriteria garis sempadan bangunan terhadap danau paling sedikit
100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ”kawasan sekitar mata air” adalah kawasan
di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting
mempertahankan kelestarian fungsi mata air.
86

Kriteria garis sempadan kawasan sekitar mata air paling sedikit 200
(dua ratus) meter dari mata air.
Ayat (6)
Yang termasuk ruang terbuka hijau kota antara lain meliputi hutan
kota, taman kota, jalur memanjang sepanjang sempadan sungai dan
jalur hijau di sepanjang jaringan jalan yang didominasi komunitas
tumbuhan
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Kawasan lindung geologi adalah kawasan
yang memiliki fungsi utama melindungi lingkungan geologi.
Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan geologi adalah
segenap bagian kulit bumi yang mempengaruhi secara langsung
terhadap kondisi dan keberadaan masyarakat. Karena itu, batuan
(termasuk tanah), bentang alam, dan air merupakan faktor geologi
yang mendukung keberlanjutan manusia untuk mempertahankan
hidup. Sedangkan faktor pembatas/kendala seperti gempa bumi,
letusan gunung api, longsor, dan sebagainya merupakan faktor
geologi yang menimbulkan kerentanan bagi keberlangsungan hidup
manusia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kawasan cagar alam geologi adalah kawasan
lindung geologi yang memiliki keunikan lingkungan geologi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
87

Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Kawasan peruntukan peternakan overlay dengan kawasan
peruntukan lainnya.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”kawasan peruntukan perikanan tangkap”
adalah kawasan yang diperuntukan untuk memperoleh ikan di
perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau
cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk
memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani,
mengolah dan/atau mengawetkannya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”kawasan peruntukan budidaya perikanan”
adalah kawasan yang diperuntukan untuk memelihara,
membesarkan dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya
dalam lingkungan yang terkontrol, ternasuk kegiatan yang
88

menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan,


mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
huruf a
Yang termasuk dalam mineral logam meliputi litium, berilium,
magnesium, kalium, kalsium, emas, tembaga, perak, timbal,
seng, timah, nikel, mangaan, platina, bismuth, molibdenum,
bauksit, air raksa, wolfram, titanium, barit, vanadium, kromit,
antimoni, kobalt, tantalum, cadmium, galium, indium, yitrium,
magnetit, besi, galena, alumina, niobium, zirkonium, ilmenit,
khrom, erbium, ytterbium, dysprosium, thorium, cesium,
lanthanum, noibium, neodymium, hafnium, scandium,
aluminium, palladium, rhodium, osmium, ruthenium, iridium,
selenium, telluride, stronium, germanium, dan zenotin.
huruf b
Yang termasuk dalam mineral bukan logam meliputi: intan,
korundum, grafit, arsen, pasir kuarsa, fluorspar, kriolit,
yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk, mika,
magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay, zeolit, kaolin,
feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang, pirofilit,
kuarsit, zirkon, wolastonit, tawas, batu kuarsa, perlit, garam
batu, clay, dan batu gamping untuk semen, sedangkan yang
termasuk dalam batuan meliputi pumice, tras, toseki, obsidian,
marmer, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth), slate,
granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit, basalt, trakhit,
leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon,
chert, kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkersikan,
gamet, giok, agak, diorit, topas, batu gunung quarry besar,
kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai
ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir
alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan tanah
setempat, tanah merah (laterit), batu gamping, onik, pasir laut,
dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam atau
89

unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau


dari segi ekonomi pertambangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kawasan peruntukan industri” adalah
kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku,
barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi dengan nilai
yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang
bangun dan perekayasaan industri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Kawasan peruntukan pariwisata overlay dengan kawasan
peruntukan lainnya, baik kawasan lindung maupun kawasan
budidaya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
90

Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “peraturan zonasi” adalah ketentuan
yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan
ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap
blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana
rinci tata ruang.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
91

Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan “izin lokasi” adalah izin yang diberikan
kepada pemohon untuk memperoleh ruang yang diperlukan
dalam rangka melakukan aktivitasnya.
Izin lokasi merupakan dasar untuk melakukan pembebasan
lahan dalam rangka pemanfaatan ruang. Izin lokasi diberikan
berdasarkan izin prinsip apabila berdasarkan peraturan daerah
yang berlaku diperlukan izin prinsip.
Izin lokasi diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh
tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang
berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk
menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha
penanaman modalnya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “izin mendirikan bangunan (IMB)
adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk
membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi
dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan
persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
Ayat (5)
Cukup jelas
92

Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
93

Pasal 68
Ayat (1)
Kelembagaan Penataan Ruang Daerah mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku..
Bentuk Koordinasi Penyelenggaraan Penataan Ruang Daerah adalah
koordinasi penyelenggaraan penataan ruang lintas sektor, berupa:
1. keterlibatan antar instansi/dinas/sektor terkait dalam Kabupaten
melalui forum koordinasi penataan ruang dengan tetap
memperhatikan kewenangan masing-masing
instansi/dinas/sektor tersebut;
2. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang lintas wilayah,
berupa kerjasama antar Pemerintah Kabupaten yang berbatasan
guna mensinergikan rencana tata ruang masing-masing daerah;
dan
3. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang lintas pemangku
kepentingan, berupa pelibatan para pemangku kepentingan
lainnya (masyarakat, dunia usaha, perguruan tinggi dan lain-lain)
dalam penyelenggaraan penataan ruang yang diatur dalam
ketentuan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas.
94

Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 169

Anda mungkin juga menyukai