Anda di halaman 1dari 16

REFRAT

KEJANG EPILEPSI PADA ANAK DAN MANAJEMEN


Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi salah satu syarat dalam menempuh program
Pendidikan Profesi Dokter bagian Ilmu Kesehatan Anak
di Rumah Sakit Islam Sultan Agung

Pembimbing:
Dr. dr. Sri Priyantini M, Sp.A

Oleh:
Septhia Luthfiyah Anjani
30101700162

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2021

1
KEJANG EPILEPSI PADA ANAK DAN MANAJEMEN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Epilepsi merupakan penyakit pada otak yang menyerang sel-sel saraf yang terlalu

aktif mengirimkan muatan listrik secara cepat dan kuat yang akan mengganggu fungsi

normal pada otak. [ CITATION Har20 \l 1033 ]. Epilepsi merupakan masalah pediatrik

yang sering terjadi pada usia dini dibandingkan usia dewasa [ CITATION And16 \l

1033 ]. Epilepsi merupakan salah satu penyebab penyakit di bidang saraf anak terbanyak

yang dapat berdampak pada proses pembelajaran, tumbuh kembang, dan kualitas hidup

anak[ CITATION And16 \l 1033 ].

Kejadian epilepsi tergolong cukup tinggi. Insiden epilepsi diperkirakan lebih banyak

terjadi di negara berkembang dibandingkan negara industri[ CITATION Har20 \l 1033 ].

Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2017, sebanyak 50 juta penduduk dunia

memiliki epilepsi dan hampir sebanyak 80% diantaranya berasal dari negara-negara

dengan pendapatan rendah dan menengah. Di Indonesia, insidensi epilepsi anak

terbanyak terjadi pada kelompok usia 1 – 5 tahun yaitu sebesar 42%[ CITATION

Nas20 \l 1033 ]. Kasus epilepsi di Indonesia berjumlah paling sedikit 700.000-1.400.000

kasus dengan pertambahan 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan sekitar 40%-

50% dari prevalensi tersebut terjadi pada anak-anak [ CITATION Har20 \l 1033 ].

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Patofisiologi Epilepsi

Sel saraf memiliki tiga komponen penting. Komponen pertama adalah nukleus untuk

mengatur metabolisme sel, komponen kedua adalah akson yang memiliki ujung yang

bercanbang, dimana ujung-ujung dari akson akan membentuk komponen ketiga yaitu,

terminal sinaptik. Terminal sinaptik ini akan mengeluarkakn neurotransmitter kedalam

celah sinaptik. Di sebrang dari celah sinaptik terdapat membran postsinaptik yang

mengandung reseptor pengikat neurotransmitter. Jika neurotransmitter yang dilepaskan

berkaitan dengan reseptor, maka akan terjadi perubahan lokal pada sistem elektrik

neuron. Perubahan tersebut berupa eksitasi maupun inhibisi pada impuls saraf yang akan

menghasilkan potensial aksi. Epilepsi terjadi karena pelepasan muatan listrik yang

berlebihan dan tidak teratur di otak, sehingga faktor-faktor inhibisi dan eksitasi aktivitas

listrik otak mengalami ketidakseimbangan yang akan menyebabkan terjadinya kejang

pada epilepsi.

Terdapat beberapa teori patofisiologi epilepsi, adalah sebagai berikut:

1. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak

Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang.

Sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem

neuronal yang berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang

berlebihan. Sistem inhibisi juga diaktifkan saat kejang, tetapi tidak dapat untu

mengontrol eksitasi yang berlebihan, sehingga tejadi kejang.

Excitatory Postsynaptic Potentials (EPSPs) dihasilkan oleh ikatan molekul

pada reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau ion Ca dan

3
tertutupnya saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi.

Berlawanan dengan Inhibitory Postsynatic Potentials (IPSs) disebabkan karena

meningkatnya permeabilitas membran terhadap Cl dan K, yang akhirnya

menyebabkan hiperpolarisasi membran.

Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter dan neuromedulator, akan

tetapi reseptor glutamate yang paling penting dan paling banyak diteliti untuk

eksitasi epilepsi. Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter pada susunan saraf

pusat adalah Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Semua struktur otak depann

menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan fisiopatogenesis pada

kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan fungsi GABA dapat

mengakibatkan serangan kejang.

2. Mekanisme sinkronisasi

Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa

hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar

neuron yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal.

Potensial aksi yang terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan ke neuron-

neuron lain yang berdekatan dan pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik

yang berlebihan dan bersifat berulang.

3. Mekanisme epileptogenesis

Trauma otak dapat mengakitbatkan epilepsi. Iskemia, trauma, neurotoksin dan

trauma lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini

mati, akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan

dengan neuron diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung untuk mudah

terangsang.

4. Mekanisme peralihan interiktal-iktal

4
Mekanisme yang memproduksi sinyal, sinkronisitas dan penyebaran aktivitas

sel saraf termasuk kedala teori transisi interiktal-iktal. Dari berbagai penelitian,

mekanisme transisi ini tidak berdiri sendiri melainkan hasil dari beberapa

interaksi mekanisme yang berbeda. Terdapat dua teori mengenai transisi

interiktal-iktal, yaitu mekanisme nonsinaptik dan sinaptik. Pada nonsinaptik

adanya aktivitas iktal-interiktal yang berulang menyebabkan peningkatan kalium

ekstrasel sehingga eksitabilitas neuron meningkat. Aktivitas pompa Na-K sangat

berperan dalam mengatur eksitabilitas neuronal. Hipoksia atau iskemia dapat

menyebabkan kegagalan pompa Na-K sehingga meningkatkan transisi interiktal-

iktal.

Teori sinaptik ini menyebutkan bahwa penurunan efektivitas mekanisme

inhibisi sinaps ataupun peningkatan aktivitas eksitasi sinaps dapat mencetuskan

epilepsi.

5. Mekanisme neurokimiawi

Mekanisme epilepsi sangat dipengaruhi oleh keadaan neurokimia pada sel-sel

saraf, misalnya sifat neurotransmitter yang dilepaskan, ataupun adanya faktor

tertentu yang menyebabkan gangguan keseimbangan neurokimia seperti

pemakaian obat-obatan. Selain GABA dan glutamate yang merupakan

neurotransmitter penting dalam epilepsi, terdapat beberapa produk kimiawi lain

yang juga ikut berperan seperti misalnya golongan opioid yang dapat

menyebabkan inhibisi interneuron, ataupun katekolamin yang dapat menurunkan

ambang kejang. Selain itu gangguan elektrolit akibat kegagalan pengaturan

pompa ionic juga ikut mencetuskan serangan epilepsi. Beberapa zat kimia

terbukti dapat memicu terjadinya epilepsi, yaitu alumina hydroxide gel yang

menyebabkan degenerasi neuron, kematian neuron dan penurunan aktivitas

5
GABAergik, pilokapin yang menyebabkan pembengkakan pada dendrit, soma

dan astrosit, dan pada tahap akhir menyebabkan kematian sel. Asam kainat

terbukti dapat menginduksi kejang dengan cara memacu reseptor excitatory

amino acid (EAA) [ CITATION Yol19 \l 1033 ].

6. Patofisiologi berdasarkan mekanisme imun.

Teori mengenai mekanisme imun masih jarang diperbincangkan dan masih

memerlukan pembuktian lebih lanjut. Teori ini menyebutkan bahwa reaksi

imunologis atau inflamasi menyebabkan berbagai penyakit neurologis termasuk

epilepsi. Reaksi inflamasi pada sistem saraf pusat merupakan akibat dari aktivasi

sistem imun adaptif maupun nonadaptif. Penelitian yang dilakukan pada binatang

percobaan memperlihatkan bahwa selama aktivitas epilepsi terjadi pelepasan

mediator inflamasi oleh mikroglia, astrosit dan neuron [ CITATION Ver14 \l

1033 ].

2.2 Dasar Diagnosis

Menurut Kemenkes RI No.HK.01.07 pada tahun 2017 dikatakan bahwa diagnosis

epilepsi dapat ditegakkan apabila terdapat dua atau lebih kejang tanpa provokasi dena

interval 24 jam atau lebih atau apabila terdapat manifestasi khas yang tidak dicetuskan

oleh demam, gangguan elektrolit atau metabolik akut, trauma, atau kelainan intrakranial

akut lainnya [ CITATION Kem17 \l 1033 ].

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil

pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat

serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.

1. Anamnesis

Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis epilepsi.

Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan

6
sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi

yang sangat penting dan merupakan kunci diagnosis.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :

a. Pola / bentuk serangan

b. Lama serangan

c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan

d. Frekuensi serangan

e. Faktor pencetus

f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

g. Usia saat terjadinya serangan pertama

h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan

i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya

j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-

tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala,

gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau

sinus. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya

keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota

tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektro Enchepalo Grafi (EEG)

Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling

sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk

menegakkan diagnosis epilepsi. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :

7
a) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di

kedua hemisfer otak

b) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat

dibanding seharusnya

c) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak

normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak,

paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara

paroksimal.

Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan

prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat

anti epilepsi (OAE).

b. Neuroimaging

Dua pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan

(CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan

dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan

tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hippocampus

kiri dan kanan [ CITATION Adr15 \l 1033 ].

2.3 Diagnosis Banding

Diagnosis banding epilepsi adalah kejang non-epileptik dan serangan paroksismal

bukan kejang. Yang termasuk kejang non-epileptik adalah kejang demam, kejang refleks,

kejang anoksik, kejang akibat withdrawal alkohol, kejang yang dicetuskan obatobatan

atau bahan kimiawi lainnya, kejang pascatrauma, dan kejang akibat kelainan metabolik

atau elektrolit akut[ CITATION Kem17 \l 1033 ].

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu

rektal lebih dari 38o C) akibat suatu proses ekstra kranial. Menurut Consensus Statement

8
on Febrile Seizures, kejang demam adalah bangkitan kejang pada bayi dan anak,

biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi

tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab lain. Penggolongan kejang

demam menurut kriteria Nationall Collaborative Perinatal Project adalah kejang demam

sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam

yang lama kejangnya kurang dari 15 menit, umum dan tidak berulang pada satu episode

demam. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit

baik bersifat fokal atau multipel. Kejang demam berulang adalah kejang demam yang

timbul pada lebih dari satu episode demam.

2.4 Penatalaksanaan

Status epilepstikus konvulsivus pada anak merupakan keadaan kegawatdaruratan yang

mengancam jiwa dengan risiko terjadinya gejala sisa neurologis. Risiko ini tergantung

dari penyebab dan lamanya terjadi kejang berlangsung. Makin lama kejang yang

berlangsung maka makin sulit untuk menghentikannya [ CITATION Ira17 \l 1033 ].

Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus dilakukan

secara sering dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis

anti-konvulsan pada tatalaksana status epileptikus sangat bervariasi. Berikut adalah

alogaritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK

Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.[ CITATION Ism16 \l 1033 ]

9
Gambar 1. Alogaritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus
Keterangan:

Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2

mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.

Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan

yang sama.

Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis

yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan

teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit.

Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia;

 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)

 5 mg (usia 1 – 5 tahun)

 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)

10
 10 mg (usia ≥ 10 tahun)

Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah

pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap

dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.

Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun

disesuaikan dengan kondisi rumah sakit.

Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan

tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan

dengan pemberian rumatan bila diperlukan.

Penghentian kejang dibagi berdasarkan waktu: 0 – 5 menit, 5 – 10 menit, 10 – 30

menit dan > 30 menit. Pembagian ini untuk membedakan tindakan yang dilakukan,

pemberian obat-obatan dan menilai apakah pasien sudah masuk ke dalam SE atau bahkan

sudah menjadi SE refrakter. Pembagian waktu penghentian kejang yaitu [ CITATION

Ira17 \l 1033 ] :

Pre Hospital: 0-5 menit

 Longgarkan pakaian pasien, dan miringkan. Letakkan kepala lebih rendah dari

tungkai unutk mencegah aspirasi bila pasien muntah

 Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik, bila ada berikan oksigen.

 Pada saat di rumah dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kg (berat badan < 10

kg = 5 mg; sedangkan bila berat badan > 10 kg =10 mg) dosis maksimal adalah

10mg / dosis.

 Maksimal dapat diberikan 2 kali dengan interval 5 menit

 Bila keadaan pasien stabil, pasien dibawa ke rumah sakit terdekat.

Impending SE: 5-10 menit

11
 Bila saat tiba di rumah sakit pasien kejang kembali. Dapat diberikan diazepam

rektal 1 kali dengan dosis yang sama.

 Lakukan pemasangan akses intravena. Pengambilan darah untuk pemeriksaan:

darah rutin, glukosa dan elektrolit

 Bila masih kejang berikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgbb secara intravena (kecepatan

5 mg/menit). y Jika didapatkan hipogikemi, berikan glukosa 25% 2 ml/kg berat

badan.

Status epileptikus: 10 – 30 menit

 Cenderung menjadi status konvulsivus

 Berikan fenitoin 20 mg/kg intravena dengan pengenceran setiap 10 mg fenitoin

diencerkan dengan 1 ml NaCl 0,9% dan diberikan dengan kecepatan 50

mg/menit. Dosis maksimal adalah 1000 mg fenitoin.

 Bila kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20 mg/kg intravena bolus

perlahan–lahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dosis maksimal yang diberikan

adalah 1000 mg fenobarbital.

 Bila kejang masih berlangsung diberikan midazolam 0,2 mg/kg diberikan bolus

perlahan dilanjutkan dengan dosis 0,02 – 0,06 mg/kg/jam yang diberikan secara

drip. Cairan dibuat dengan cara 15 mg midazolam berupa 3 ml midazolam

diencerkan dengan 12 ml NaCl 0,9% menjadi 15 ml larutan dan diberikan perdrip

dengan kecepatan 1 mg/jam.

Refrakter SE: 30 -60 menit

 Bila kejang berhenti dengan pemberian fenitoin dan selama perawatan timbul

kejang kembali diberikan fenitoin tambahan dengan dosis 10 mg/kg intravena

dengan pengenceran. Dosis rumatan fenitoin selanjutnya adalah 5 – 7 mg/kg

intravena dengan penegnceran diberikan 12 jam kemudian.

12
 Bila kejang berhenti dengan fenobarbital dan selama perawatan timbul kejang

kembali diberikan fenobarbital tambahan dengan dosis 10 mg/kg intravena secara

bolus langsung. Dosis rumatan fenobarbital adalah 5 – 7 mg/kg intravena

diberikan 12 jam kemudian

 Bila kejang berhenti dengan midazolam, maka rumatan fenitoin dan fenobarbital

tetap diberikan.

 Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan analisa gas darah, elektrolit, gula

darah. Koreksi kelainan yang ada. Awasi tanda-tanda depresi pernapasan.

13
BAB III

RANGKUMAN

Epilepsi adalah salah satu kelainan neurologi kronik yang bisa terjadi pada segala usia

terutama pada usia anak. Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan

gejala yang khas yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara

berlebihan dan paroksismal. Epilepsi ditandai dengan sedikitnya 2 kali atau lebih kejang

tanpa provokasi dengan interval waktu lebih dari 24 jam. Diagnosis epilepsi didasarkan

atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis.

Prognosis pasien dengan SE tergantung dari etiologi, usia, lamanya kejang. dan tata

laksana kejang teratasi. Tata laksana penyebab kejang memegang peranan penting dalam

mencegah kejang berulang setelah kejang teratasi. Kemungkinan teratasinya SE

konvulsivus dapat menjadi SE bukan konvulsivus. Gejala sisa yang sering terjadi pada

SE konvulsivus adalah gangguan intelektual, defisit neurologi atau epilepsi. Angka

kematian berkisar 16 - 32%. Diperlukan juga untuk dilakukan pemantauan jangka

panjang untuk memantau adanya komplikasi pada pasien.

14
DAFTAR PUSTAKA

Adrian, S. (2015). Pengaruh Penyuluhan Tentang Penyakit Epilepsi Anak Terhadap

Peningkatan Pengetahuan Masyarakat Umum. Jurnal Kedokteran Diponegoro 3.1.

Andrianti, P. T., Gunawan, P. I., & Hoesin, F. (2016). Profil Epilepsi Anak dan Keberhasilan

Pengobatannya di RSUD Dr. Soetomo Tahun 2013. Sari Pediatri 18.1, 34-39.

Hardiyanti, Nito, P. J., & Hesiyana, N. (2020). Hubungan Pengetahuan Orang Tua Dengan

Tingkat Kekambuhan Pada Anak Epilepsi: Literature Review. Proceeding of Sari

Mulia University Nursing National Seminars, 89-98.

Irawan, M. (2017). Rekomendasi tatalaksana UKK Neurologi IDAI. Prosiding Simposium

LXXIII Masalah Kesehatan Neonatus sampai Remaja, 174.

Ismael, S., Pusponegoro, H., & Widodo, D. P. (2016). Rekomendasi penatalaksanaan status

epileptikus. IDAI.

Kemenkes, R. (2017). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

HK.01.07/MENKES/367/2017 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

Tatalaksana Epilepsi Pada Anak. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor HK.01.07/MENKES/367/2017 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan

Kedokteran Tatalaksana Epilepsi Pada Anak.

Nasution, G. T., Sobana, S. A., & Lubis, L. (2020). Karakteristik anak epilepsi di Sekolah

Luar Biasa Negeri (SLBN) Cileunyi Bandung tahun 2018. Bali Anatomy Journal 3.1,

1-10.

Vera, R., Dewi, M. A., & Nursiah. (2014). Sindrom Epilepsi Pada Anak. Majalah

Kedokteran Sriwijaya46.1.

Yolanda, N. G. (2019). Faktor Faktor Yang Berpengaruh Pada Kejadian Epilepsi Intraktabel

Anak di RSUP Dr.Karyadi Semarang. Diponegoro Medical Journal 8.1.

15
16

Anda mungkin juga menyukai