Anda di halaman 1dari 3

Ketika Oom Ben Berandai-andai

aBoEpRIJaDI sanToso
Wartawan

p ernahkah anda bayangkan republik kita ini sebesar asia Tenggara dengan ibukota
bukan Jakarta, tapi manila, dan Jawa cuma periferinya? Benedict R’o.G. anderson
berandai-andai, tapi dia tidak sedang berkhayal ketika dia menulis ini dalam kolomnya di
mingguan Editor 12 Januari 1991:

“andaikata Tuwan-tuwan kumpeni berhasil ngejambret kota manila dari tangan


spanyol .. Dengan Filipina di tangannya, dan suatu kawasan maritim yang jauh
lebih luas dari kawasannya alRI kite yang tercinta, yaitu dari malaka sampai ping-
gir kepulauan nippon, mungkin sekali markas Besarnya akan dipindahkan dari
Betawi ke Timur. mungkin ke makasar, tapi lebih mungkin lagi ke manila..”1

kenyataan semacam ini jauh dari apa yang dapat kita bayangkan di masa kini. Di situ,
demikian Ben, “posisi Jawa bisa terjungkir balik menjadi suatu ‘sabrang’ jauh-jauh, macam
Irian Barat sekarang ini. .. karena tuwan-tuwan kumpeni mata duitan, bukan misionaris,
malahan masa bodo terhadap agama, bisa juga proses Islamisasi Filipina, yang sudah mulai
sebelum spanyol nongol, diteruskan sampai komplit.”
semua itu tak pernah terjadi gara gara Inggris menggertak Belanda dan mengancam
keadidayaan VoC di asia. Dalam ungkapan Ben: “pasti karena merasa kasihan kalau pak
Harto tidak berkesempatan menjadi presiden daripada suatu negara tersendiri, Dewi sejarah
diam-diam menggoda Inggris untuk gebukin Belanda di Eropa Barat (dan) saking kagetnya
tuwan kumpeni cepet-cepet mengambil keputusan untuk berdamai dengan raja spanyol.”
VoC lalu urungkan niat (1600-1662) untuk “ngejambret” manila.
Dan andaikata Inggris dan Belanda tidak saling-tukar jajahan, “pasti (Inggris)-lah,
bukan Jepang yang memelopori gagasan kawasan kemakmuran Bersama di asteng .. lucu
ya? .. Rupanya si Dewi sejarah sangat cinta terhadap cicit-cicit Homo Javanensis ..”
sejarah memang terdiri dari sejumlah “kecelakaan” yang signifikansinya dapat kita
temukan ketika kita berandai-andai, namun tanpa berkhayal. pengandaian terjadi dengan

* Dengan terima kasih kepada pipit Rochijat yang menyediakan arsipnya.


1. “mantra ‘andaikata’ Dewi sejarah,” majalah berita mingguan Editor no. 18, Thn IV, 12 Januari 1991.
membentuk jalin-kelindan dengan observasi-observasi yang cermat—asalkan bertolak dari
data sejarah yang sahih.
Ben tidak menuliskan metodenya, namun sepertinya dia menerapkan suatu “metode”
karena sejarah dan masyarakat bergerak dengan imajinasi mereka yang menjalaninya.
menanggapi resensi karya masyhurnya Imagined Communities, dia mengingatkan sengaja
memilih kata “imagined” (terbayangkan), bukan “imaginary” (khayalan).
“Ingat saja ‘imagine’-nya John lennon,” saran Ben bersungguh-sungguh. Bagi peng-
amat, berimajinasi adalah sebuah cara untuk membangun perspektif sejarah, tapi bagi
masyarakat dan penguasa, berimajinasi adalah bagian dari perjalanan kehidupan politik —
di mana intervensi “Dewi sejarah” memastikan apa apa yang terjadi.
Imaginative pada sisi pengamat, dalam arti daya membangun gambaran untuk meraih
temuan-temuan krusial, merupakan kata kunci yang, meminjam istilah Ben, “dikotbahkan”
oleh sahabatnya, onghokham. Ben dan ong, seingat saya dari mengenal mereka di tahun
1970-80an, sering saling merujuk.
“permainan” nalar dan imajinasi ini juga tampak dalam tulisan Ben tentang tumbuh-
nya nasionalisme Timor Timur di bawah pendudukan Indonesia.2 Di negeri terjajah tanpa
industri percetakan dan penerbitan ini, kapitalisme-cetak tak berpengaruh terhadap sentimen
nasionalis. maka Ben harus menjawab pertanyaannya sendiri tentang Tim-Tim, yakni de-
ngan menunjuk betapa mustahil bagi para penjajah di Jakarta untuk membangun konsensus
bahwa rakyat Tim-Tim adalah bagian dari, dan sebangsa dengan, Indonesia. mereka tak
pernah dijajah Belanda, dan tak mungkin merayakan “kebesaran” majapahit yang me-
nonjolkan Jawa; bahkan mengkhayalkan “sesama rumpun rasial” pun tak layak karena se-
olah-olah mengklaim Filipina dan lain lain.
Walhasil, “kebersamaan” Indonesia dan Tim-Tim itu akhirnya buntu karena peng-
alaman sejarah dan mitos-mitos yang berbeda. sebaliknya, perilaku yang sok superior dan
skala kekerasan yang meluas oleh penguasa Indonesialah yang melahirkan suatu bangsa baru,
Timor leste.
meski mengendap di bawah permukaan politik kala itu, aspek-aspek tersebut dapat
digali dengan mendalami sejarah dan gaya bahasa mereka.
Bahasa dan sastra merupakan jendela untuk memandang dunia dari sudut pandang
masyarakat yang dikajinya. Dan bahasa, pada gilirannya, berkait-erat dengan kesadaran dan
perilaku selaku warga (citizenship). Ben yang campuran aristokrat Inggris-Irlandia menembus
kaitan itu dengan berandai-andai menjadi orang Indonesia berbahasa prokem. keasyikannya
di situ –yang jenaka, kadang sinis dan sarkastis—sekaligus mengungkap posisinya selaku
pembangkang.
pada 1982, dalam sebuah acara diskusi di amsterdam, dua manusia menarik perhatian
Ben: yang satu “mirip petruk, tinggi, kurus agak serem merek ngarab Jawa, berpakaian hitam

2. Benedict anderson, “Imagining East Timor,” Arena Magazine no. 4, april-may 1993,
http://www.ci.uc.pt/timor/imagin.htmad
dan sering menguap” (pipit); satu lagi “berbadan tegap-kekar – seorang Brahmana Bali yang
drop-out jadi gali ganteng di kuta” (komang).3 keduanya mewakili dunia urakan — ke-
balikan dari dunia priyayi dan kenegaraan yang tertata dan rapi jali: sejajar dengan diko-
tomi ‘Jago’ versus ‘pahlawan’. Di situ, jago, meski tak kalah penting, selalu terlupakan,
sedangkan pahlawan resminya terhormat.
Di sinilah surat-menyurat Ben dengan aktivis pipit Rochijat di Berlin Barat selama
30an tahun menjadi ego-documents yang menarik karena berkaca pada sejarah negeri.
pada 14 oktober 1985, Ben menulis: “pipit selalu mengelak jadi ‘kawan baik’ pembaca.
keradikalan ini cocok dengan sifat seorang jago. karena selama revolusi Indonesia, orang-
orang paling radikal –sehingga dibasmi oleh pahlawan sosialis, kominis, nasionalis dan
agama—adalah para jago yang brengsek, berani dan bernyali”.4
lalu pada 28 oktober 1985: Ben, si ‘oom kolonel’, menulis kepada pipit, penulis
artikel “saya pkI atau Bukan pkI” (1984) yang mengajak orang merenung:5

“abang sersan yang baek, kalow orang melupakan bencana 1965-1966 atow ber-
tingkah seolah-olah itu tak pernah terjadi .. kalau begitu ya itu semua hanya akan
menghukum Indonesia untuk mengulangi bencana itu.”

Belakangan, tragedi-tragedi yang tak tuntas –priok, lampung, mei 1998, Wiji Thukul,
munir—seperti nyata dalam korespondensinya, membuat Ben cemas.
personifikasi jago di tengah gunjang-ganjing Indonesia itu digandrunginya sehingga
persahabatannya dengan para “jago” tadi, dan dengan generasi muda umumnya, tak pernah
putus. Betapa ironis, tak lama setelah kuliahnya dan publikasi bukunya tentang anarkisme
dan nasionalisme versi bahasa Indonesia, Ben meninggalkan mereka untuk selamanya.
Dalam suratnya tertanggal 25 oktober 2013, Ben menulis “Hari terachir(ku) pasti
tidak lama lagi.” lalu dia berpesan kepada “abang sersan” pipit yang akan pensiun:
“nikmatilah hari tua dengan menyerang setan-setan — bukan ngorok, diem, tak peduli dan
lain-lain. Tabik!”6
selamat jalan, hormat dan terima kasih untukmu, oom Ben. Tabik!

3. surat “antara pahlawan dan Jago”, tanpa tanggal, arsip pipit R. kartawijaya.
4. arsip pipit R. kartawijaya.
5. pipit R. kartawijaya, “saya pkI atau Bukan pkI,” Majalah Gotong Royong, ppI perhimpunan pelajar
Indonesia, Berlin Barat, april 1984.
6. arsip pipit R. kartawijaya.

Anda mungkin juga menyukai