Anda di halaman 1dari 16

there is no journeys end

Ada yang menyebut character and nation building ada yang mengucap nation and
character building. Salah satu dari sekian banyak ajaran Sukarno yang cukup penting. Jika
kita membaca sejarah ataupun mendengarkan kisah heroik masa lalu, kebanggaan berbangsa
dan bernegara pada masa lalu, maka bisa dikatakan, itulah buah dari pembangunan karakter
dan mental kebangsaan oleh Presiden Sukarno.
Dalam berbagai kesempatan, baik saat memberi wejangan, pidato, ataupun obrolan ringan
bersama para ajudan, Bung Karno sering menyelipkan muatan-muatan pembangunan karakter
bangsa. Ia menjadi begitu penting, karena di mata Sukarno, sebuah bangsa yang telah dijajah
3,5 abad (lebih) lamanya, tentunya meninggalkan banyak sekali kerusakan.
Yang nyata adalah, kerusakan mental. Mental bangsa terjajah yang terbiasa menjadi budak.
Jika tidak dibangkitkan mental dan karakter kebangsaan Indonesia, maka kita akan tetap
menjadi bangsa budak di antara bangsa-bangsa di dunia. Sukarno tampil tanpa lelah ke
seluruh pelosok negeri. Membakar jiwa rakyatnya.
Membakar dan membunuh mental budak di setiap jiwa dan otak bangsanya. Ia berorasi ia
mengajak bernyanyi ia mendongeng ephos Mahabharata ia berbagi mimpi tentang
kejayaan Indonesia ia menggandeng lengan rakyatnya untuk bangkit, menyingsingkan
lengan-baju, bekerja keras bangkit dari keterpurukan bangsa terjajah, menjadi bangsa yang
bermartabat dan disegani dunia.
Kerusakan material, mental, dan moral rakyat Indonesia akibat 3,5 abad dijajah Belanda, dan
3,5 tahun dijajah Jepang, adalah musuh terbesar Bung Karno saat didaulat bangsa ini
menjadi Presiden pertama Republik Indonesia. Ia tahu benar, membangun karakter
kebangsaan, bukan perkara mudah dan butuh seribu langkah.
Singkat kelimat, lihatlah sejarah. Tengok periode 1945 1965. Dalam berbagai pasang surut
kehidupan politik, sosial, ekonomi negara yang baru merdeka, Bung Karno melesat bak

mercu suar, menjadi ikon dunia, menjadi pahlawan bangsa-bangsa Asia Afrika. Pemimpin
negara mana yang tidak respek kepada Bung Karno? Negara mana yang berani macammacam kepada Bung Karno dan Indonesianya? Ia hadapi pemimpin-pemimpin negara adikuasa (waktu itu Amerika Serikat dan Uni Soviet) benar-benar dengan posisi berdiri sama
tinggi, duduk sama rendah.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, bangsa yang tadinya bernama Hindia Belanda, terjajah,
bermental budak, kini bangkit menjadi sebuah bangsa besar. Ditambah kharisma Presiden
yang begitu cerdas, ditunjang kemampuan berorasi yang menggelegar, menghipnotis sidang
PBB, sidang Asia-Afrika, sidang negara-negara Islam, hingga rapat-rapat akbar di seluruh
pelosok negeri.
Di Amerika, nama Sukarno berkibar-kibar. Baik dari perspektif buruk maupun baik. Bahkan
(menyimpang cerita), manta presiden Clinton pun (saat ia kecil) pernah terinspirasi oleh
sosok Sukarno. Di Soviet dan di Cina ia dielu-elukan sebagai orang besar. India begitu
memuja. Pakistan, Mesir, Arab Saudi, sampai-sampai di Italia, sekelompok sopir
menyambut Bung Karno dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
serasa takkan habis bertutur tentang kejayaan Sukarno dan kisah suksesnya membangun
karkter kebangsaan Indonesia. Membangun mental rakyat jajahan, menjadi rakyat yang
begitu bermartabat. Cinta Indonesia, dan tak gentar menghadapi negara mana pun. Itu karena
presidennya. Ingat kata-kata Bung Karno saat berseteru dengan dunia Barat? Inggris kita
linggis Amerika kita setrika!!!
Presiden dengan sederet mukjizat lepas dari sederet usaha percobaan pembunuhan, baik dari
ekstrim kanan maupun ekstrim kiri, yang semuanya didalangi negara-negara adi kuasa yang
tak suka dengan Sukarno. Apakah itu mengendurkan dan menyurutkan Sukarno? Sama sekali
tidak. Hidup mati ada di tangan Tuhan, ujarnya enteng, menanggapi usaha-usaha
pembunuhan terhadap dirinya.
Pertanyaannya adalah, ke mana karakter kebangsaan kita yang dulu begitu heroik, cinta
tanah air, dan bersatu untuk maju? Sejatinya sudah dikubur bersamaan dengan sukses besar
CIA bersama sejumlah jenderal kita yang terkutuk, melengserkan dan menistakan Sukarno di
akhir kekuasaannya. Mengubur dalam-dalam semua ajaran Bung Karno. Memenjarakan
semua orang Sukarno. Dan membelokkan sejarah tentang Sukarno.
Dengan sedih, pasca G-30-S/PKI, Bung Karno pernah berkata, Bangsa kita mundur 20
tahun. Itu artinya kembali ke titik proklamasi. Lantas pondasi apa yang dibangun pasca
tahun 1965 sampai hari ini? Liberalisme. Hasilnya? Utang negara yang membuat bulu
roma berdiri. Pola hidup liberal yang mengikis nilai-nilai ke-Timur-an kita. Mental
bobrok abdi negara (semakin banyak dibentuk lembaga anti korupsi, semakin banyak kasus
korupsi baru). Silakan dilanjutkan sendiri.
Izinkan saya merenungkan kata-kata Bung Karno, Revolusi adalah suatu hal yang harus
dijalankan dengan aksimu dan idemu sendiri. For a fighting nation there is no journeys
end. (roso daras)
Published in:

Uncategorized

on 23 Januari 2012 at 07:21 Comments (7)


Tags: Bung Karno, character and nation building, nation and character building

Rakyat, Separuh Nafas Bung Karno

Ada begitu banyak kutipan dan kalimat yang


diucap lebih dari sekali oleh Bung Karno. Ya, repetisi. Misal soal humanismenya Gandhi.
Misal tentang anti imperialisme dan kolonialisme. Termasuk tentang rakyat sebagai
separuh nafasnya. Rakyat bagi Bung Karno, ibarat rahim ibu yang telah melahirkannya ke
dunia.
Tidak heran jika naluri, instink kerakyatannya begitu tajam. Tidak dalam arti harfiah, tetapi
ibarat satu orang rakyatnya tersakiti nun di pedalaman negeri, jeritannya terdengar hingga ke
relung hati Sukarno. Sama sekali tidak heran jika body language Sukarno seirama benar
dengan genderang kemauan rakyat.
Protokol bisa ia terabas. Penjagaan bisa ia kelabui. Apa pun ia tabrak, jika alasannya adalah
untuk dekat dengan rakyat. Karena itu, mengalir cerita nyata kebiasaan Sukarno
menyelinap di malam buta beserta dua-tiga orang pengawal, berpakaian ala kadarnya, dan
membaur di tengah hiruk-pikuk Pasar Senen. Atau kebiasaannya menyelinap keluar, berkaus
oblong, bersandal jepit, dan mencegat penjual sate ayam keliling. Memesannya, dan
menyantapnya di trotoar jalan.
Dengan kapasitasnya sebagai seorang presiden, seorang kepala negara, ia bisa sewaktu-waktu
bertemu rakyatnya. Setidaknya, menyelipkannya di antara kepadatan aktivitas. Seperti
peristiwa awal tahun 60-an. Usai menerima kunjungan seorang duta besar, seperti biasa,
Bung Karno mengantar hingga ke tangga istana.
Saat Bung Karno melihat sang Duta Besar sempat menghentikan sedetik-dua pandangannya
ke arah helikopter yang terparkir, spontan Bung Karno bertanya, Pernahkah Tuan naik
helikopter? Kebetulan si duta besar menjawab, Belum. Sontak, Bung Karno bukannya
berbalik masuk kembali ke Istana, melainkan menggandeng lengan duta besar itu ke arah
helikopter.
Diajaknya sang dubes naik helikopter. Pilot dan pengawal yang senatiasa sigap dan siaga,
tidak perlu waktu lama untuk membuat capung besi itu mengudara. Arah yang dituju adalah

Sukabumi. Tidak terlalu jauh dari Ibukota. Pada sebuah lapangan terbuka, pilot diperintahkan
untuk mendarat.
Bayangkan. Tahun 60-an, di saat penduduk desa masih gemar mencium sensasi aroma asap
knalpot, tiba-tiba kedatangan helikopter. Seketika massa pun berdatangan ke arah lapangan.
Dalam waktu sekejap, suasana sudah seperti rapat akbar. Bung Karno pun turun dan
menghampiri mereka.
Di tengah kerumunan rakyat, bagi Bung Karno, laksana hidup menjadi lebih hidup lagi. Ia
bercengkerama. Berdialog. Bahkan mengajak bernyanyi bersama. Satu jam cukup. Bung
Karno pun berpamitan dan kembali ke Istana. Moment tadi, laksana suntikan darah segar bagi
Sukarno untuk kembali melakoni hari-harinya yang berat. (roso daras)
Published in:

Human Interest

on 19 Januari 2012 at 05:05 Comments (11)


Tags: body language, Bung Karno, Gandhi

Misteri Cinta Terakhir Bung Karno

Belum lama ini beredar sebuah buku tentang


cinta terakhir Bung Karno, yang tertambat pada seorang wanita muda belia bernama Heldy.
Tidak sedikit kemudian yang mengonfirmasi informasi yang ada alam buku itu. Saya jujur
menjawab, Tidak tahu. Atau jawaban senada lainnya, seperti Hanya Bung Karno dan
Tuhan yang tahu.
Bicara Bung Karno dan cinta, yang spontan terlintas di benak adalah sebuah julukan baginya,
Bung Karno, manusia bergelimang cinta. Dari anak-anak, ia sudah berenang di samudera
cinta sang ibu, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. Kakeknya, Raden Hardjodikromo tak kalah
dalam mencurahkan kasih sayang. Ia bahkan sempat menikmati momong Sukarno kecil di
Tulungagung.
Sebagai bocah usia sekolah, teman-temannya pun begitu mencintainya. Bukan saja karena
Bung Karno begitu murah hati, tetapi ia juga seorang sahabat sejati bagi kawan-kawannya
yang dirundung masalah. Memasuki HBS di Surabaya, adalah masa terindah dalam hidupnya.

Di Kota Pahlawan itulah cinta pertama bersemi, cinta buta buat Mien Heissels, seorang noni
Belanda. Berturut-turut ia memacari tiga noni Belanda yang lainnya.
Saat bersamaan, ia mulai beranjak nalar dan menenggelamkan diri dalam dunia pergerakan
bersama HOS Cokroaminoto. Jalan hidup Bung Karno selanjutnya, adalah karpet cinta. Cinta
yang meluap-luap dari segenap rakyat Indonesia yang rindu kebebasan. Rakyat mengeluelukannya dengan penuh cinta dan harap.
Pasca klimaks perjuangan meraih kemerdekaan kehidupan pribadinya pun begitu
berpelangi cinta. Dari Utari ke Inggit. Dari Inggit ke Fatmawati. Dari Fatma ke Hartini. Dari
Hartini ke Ratna Sari Dewi. Dari Ratna ke Hariyatie. Dari Hariyatie ke Yurike. Dari Yurike ke
Heldy. Benarkah cinta Bung Karno berakhir di Heldy? Sekali lagi, jawabnya hanya Tuhan
dan Bung Karno saja yang tahu.
Sekira sebelum lebaran, seorang kawan yang merupakan sahabat kakak saya,
menginformasikan sebuah cinta terpendam antara Bung Karno dengan seseorang yang saat
ini masih hidup, dan tinggal di bilangan Banyumas, Jawa Tengah. Bukan hanya itu dalam
suatu perjalanan ke Surabaya beberapa tahun lalu, seorang sahabat bahkan mengajak saya
menjumpai keluarga dari salah satu cinta Sukarno yang terkubur dalam.
Cinta itu, konon bersemi sekilat halilintas, dalam fase jeda sejenak di Surabaya, menanti
kedatangan kapal yang akan membawanya ke tempat pembuangan di Ende. Ahhh. Bicara
cinta Bung Karno, bikin pusing. Karenanya, cukuplah saya patrikan julukan baginya,
manusia bergelimang cinta. Cinta orang tua dan kerabat, cinta sahabat, cinta rakyat,
dan cinta sejuta wanita. (roso daras)
Published in:

Human Interest

on 18 Desember 2011 at 05:48 Comments (15)


Tags: Bung Karno, Hardjodikromo, Heldy, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben

Semaun masih Hidup?

ass. wr. wb.sebagaimana kutipan yg saudara muat ..Oleh Bung Karno, kalimat Musso
itu diulanginya dalam penuturan kepada Cindy Adams. Itu artinya, tidak sedikit pemahamanpemahaman baru yang Bung Karno peroleh dari Musso. Musso sendiri empat tahun lebih
tua dari Bung Karno yang kelahiran 1901. Adapun teman seperjuangan Musso antara lain
Alimin, Semaun, dan Darsono. (Musso dan Sukarno, Guru dan seteru,,28 agustus 2011).
saya sekarang masih hidup dan tinggal di Indonesia.. Anda bisa dipersilahkan hub. saya..
dalam minggu2 ini saya ada di Jakarta..
Satu lagi, komen dari pembaca blog yang terhormat. Kali ini, datang dari Semaun999.
Menjadi menarik, karena dia (setidaknya dalam komen yang saya kutipkan di atas), mengaku
sebagai Semaun, yang tokoh PKI itu, dan telah dinyatakan wafat pada tahun 1971.
Tokoh komunis Indonesia kelahiran Mojoagung, Jombang Jawa Timur tahun 1899 itu, juga
dikenal sebagai teman Bung Karno. Mereka tinggal sama-sama di kediaman HOS
Cokroaminoto, di Peneleh Surabaya. Jika benar Semaun masih hidup, maka usianya
sekarang kurang lebih 112 tahun.
Saya dipersialakan menghubungi dia, berhubung tidak ada alamat dan nomor telepon, maka
saya pun me-reply email beliau. Sekarang, saya menunggu. Eh, siapa tahu Semaun masih
hidup. Ini tentu berita sangat besar.
Di atas saya posting, foto Semaun muda, dan foto Semaun yang saya dapatkan dari alamat
(profil) email yang bersangkutan. (roso daras)
Published in:

Uncategorized

on 14 November 2011 at 05:26 Comments (26)


Tags: Bung Karno, komunis, Semaun

Mengunjungi Paman Ho

Ho Chi Minh seorang bapak bagi bangsanya, Vietnam. Dia begitu dipuja dan dikenang
bukan saja sebagai proklamator kemerdekaan, tetapi juga figur anak bangsa yang menjadi
panutan. Sejarah hidupnya yang begitu menarik, serta perjuangannya mengusir penjajah dari
bumi Vietnam, serta upayanya menyatukan Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, telah terukir
dalam tinta emas sejarah Vietnam.
Bangsa Vietnam, bukanlah bangsa yang melupakan sejarah. Jasa besar Paman Ho, begitu
diagungkan. Sampai-sampai, jazadnya tak dibiarkan terkubur menjadi tanah. Bangsa Vietnam
mengawetkannya, dan menempatkannya dalam sebuah musoleum yang begitu agung di pusat
kota Hanoi: Ho Chi Minh Mausoleum.
Tak beda jauh dengan musoleum di lapangan Tiananmen, Beijing, tempat disemayamkan
jazad Mau Tse Tung atau Mao Zedong, maka konsep musoleum Ho Chi Minh tak beda jauh.
Ia terletak di hamparan lapangan luas, dijaga ketat tentara, dan untuk masuk, harus antri
dengan takzim, masuk satu per satu, tidak boleh mengabadikan, tidak boleh berhenti, tidak
diizinkan pula bersuara keras.
Di belakang bangunan musoleum, adalah istana negara, tempat Ho Chi Minh memimpin
negerinya. Di dalam kompleks istana, terdapat rumah tempat tinggal Ho Chi Minh, lengkap
dengan garasi berisi tiga mobil tua, terdiri atas dua mobil buatan Rusia dan satu mobil
Peugeot 404 hadiah dari seorang warganya. Di dalam taman, terdapat pula kolam yang luas,
serta rumah panggung, yang sempat dihuni Ho Chi Minh untuk istirahat dan bekerja.
Di luar komplek istana, berdiri museum Ho Chi Minh dengan megahnya. Nyaris semua
koleksi benda berharga milik Ho Chi Minh tersimpan dan tersusun rapi. Foto-foto Ho Chi
Minh begitu lengkap dan terawat. Termasuk foto-fotonya saat berkunjung ke Indonesia tahun
1959. Saya belum cek di literatur, berapa luas keseluruhan area, mulai dari musoleum,
komplek istana hingga museum. Ukuran sederhananya adalah: Cukup membuat betis pegal
usai melakukan tour.
Ada tiga buku yang menarik perhatian saya. Ho Chi Minh, the Nation and the Times 1911
1946 tulisan Pham Xanh, dan Ho Chi Minh Stories Told on the Trail tulisan T. Lan, dan
terakhir Ho Chi Minh A Journey tulisan Lady Borton. Baru sekilas-sekilas saja saya baca.

Buku terakhir sangat menarik, yakni menceritakan perjalanan panjang Ho Chi Minh selama
kurang lebih 30 tahun mengembara.
Niatnya, akan saya share dalam postingan selanjutnya. Bila perlu bersambung. Sebab,
sungguh Ho Chi Minh adalah orang besar. Lebih dari itu, dia sahabat Bung Karno. Tak heran
jika dalam banyak kebijakan, terdapat banyak kemiripan. Siapa lebih besar di antara
keduanya? Bung Karno, tentu saja. Sayang, bangsa kita tidak memberinya penghargaan
sebesar bangsa Vietnam menghargai Ho Chi Minh, atau bangsa Cina menghargai Mau Tse
Tung. (roso daras)
Published in:

Situs

on 19 Oktober 2011 at 07:22 Comments (4)


Tags: Bung Karno, hanoi, ho chi minh, ho chi minh mausoleum, vietnam

Bung Karno Vs Kartosuwiryo dalam Buku

Alhamdulillah yaaa Sesuatu bangettt Buku Bung Karno


Vs Kartosuwiryo telah selesai cetak. Bahkan, sudah nyaris terdisplay di toko-toko buku,
Senin, 10 Oktober 2011 lalu. Ya, itu tanggal yang dijadwalkan penerbit Imania untuk
mendisplay buku ini. Luar Jawa malah lebih dulu, pak Roso, ujar seorang manajer di
penerbitan Imania, penerbit buku saya itu.
Biasanya, saya rajin mengabarkan kepada khalayak ihwal kemunculan buku baru itu. Bukan
saja bertujuan promosi supaya bukunya terbeli, lebih dari itu, dorongan berbagi kepada
sesama Sukarnois begitu besar. Tapi, mengingat kesibukan, saya memang tidak, atau belum
melakukannya. Hhhmmm, apa jadinya kalau sudah dipromosikan tanggal 10 Oktober bisa
dibeli di toko buku, tapi ternyata tidak ada barangnya?

Kalau tidak salah ingat, tanggal 12 Oktober, manajer Imania menelepon, meminta maaf
tentang buku saya yang belum bisa dipasarkan. Saya tanya alasan, dia menjawab direksi
keberatan dengan sebagian isi kata pengantar buku. Sempat mereka meminta izin untuk
menghapus kata pengantar. Saya tentu saja keberatan. Kata pengantar justru penting untuk
conditioning pembaca masuk pada materi buku. Kalau ujug-ujug pembaca disodori materi
tanpa pengantar, sama saja kita disuruh makan singkong rebus tanpa air. Bayangkan saja.
Saya menolak. Lantas si manajer meminta saya melakukan editing, saya juga menolak.
Bukan saya tidak mau kompromi. Alasan saya ada dua, pertama, saya memang benar-benar
sedang tidak ada waktu untuk mengedit kata pengantar. Kedua, berhubung yang keberatan
adalah direksi, maka seyogianya pihak penerbit yang mengedit. Bukankah begitu? Maka saya
usul, Silakan diedit seperlunya. Saya menyetujui, dan lanjutkan proses cetak ulang dan
pendistribusiannya ke toko-toko buku.
Begitulah sekelumit romansa yang mewarnai kelahiran buku Bung Karno Vs Kartosuwiryo,
Membongkar Sumber Dana DI/TII ini. Tidak seperti dua judul sebelumnya yang dicetak di
Imania, maka pada buku ketiga ini, rasa merasa terhormat, karena direksi penerbit itu tibatiba menjadi begitu perhatian. Mulai dari usul pemilihan topik, hingga gonta-ganti cover.
Dalam pikiran yang selalu saya usahakan untuk positif, tentu saja saya senang karena itu
artinya mereka menganggap penting.
Penting bisa diartikan, materi buku ini memang patut mendapat perhatian ekstra. Penting bisa
juga berarti, buku ini memang punya nilai jual. Entahlah. Yang pasti, buku ini memang beda
dari kedua serial terdahulu. Ini lebih fokus pada sekelumit kiprah Bung Karno yang
bersinggungan dengan Islam. Khususnya Islam garis keras.
Tetapi, format buku secara umum, tidak terlalu menyimpang dari kedua buku terdahulu.
Tetap bersumber dari postingan saya di blog ini. Mudah-mudahan tetap enteng-berisi. Saya
berharap, sekalipun topiknya cukup berat, tetapi tetap bisa dinikmati secara santai.
Pertanyaannya tentu: Kapan buku itu bisa didapat? Penerbit yang punya kapasitas menjawab.
Hanya saja, kepada saya mereka mengatakan, pencetakan ulang kata pengantar, sebentar
kok. Mudah-mudahan akhir Oktober 2011 ini sudah beredar di toko-toko buku. (roso daras)
Published in:

Pustaka

Uncategorized

on 14 Oktober 2011 at 02:58 Comments (10)


Tags: buku roso daras, Bung Karno, DI/TII, Kartosuwiryo

Sukarno, Presiden Miskin

Penulis buku Fatmawati Sukarno, The First


Lady menuliskan pada bagian ke-6 kalimat sebagai berikut: Sukarno, mungkin satusatunya presiden termiskin di dunia. Semasa hidupnya, ia hanya memiliki satu rumah di
Batutulis, Bogor. Untuk melukiskan kemiskinannya, kepada Cindy Adams, Bung Karno
pernah bertutur, Dan, adakah kepala negara lain yang lebih melarat dari aku, dan sering
meminjam-minjam (uang) dari ajudannya?.
Kita tentu harus melihatnya secara proporsional. Sebagai presiden, lazimnya tentu hidup
dalam keadaan serba berkecukupan. Setidaknya, banyak hal yang menjadi beban negara.
Meski begitu, kita juga mengetahui, bahwa selama menjabat, Bung Karno tinggal di istana.
Istana negara milik negara. Bung Karno sendiri tercatat hanya memiliki sebuah rumah di
Batu Tulis, Bogor. Rumah-rumah yang lain, ia belikan untuk istri-istrinya.
Sedangkan rumah Batu Tulis pun, selengsernya Bung Karno langsung disita Sekretariat
Negara. Aneh. Entah atas dasar apa, rumah milik pribadi Bung Karno satu-satunya itu
diambil oleh negara. Bahkan, Gubernur DKI Ali Sadikin, pernah memberi ebuah rumah dan
sebidang untuk tinggal keluarga Sukarno.
Bukan hanya itu, semua harta pribadi milik Bung Karno yang ia tinggalkan di Istana, saat ia
diasingkan oleh rezim baru, sebatas hanya didata, tetapi barang-barangnya raib entah
kemana. Sungguh geram jika melihat kenyataan itu. Sebuah rezim yang diawali dengan
konspirasi busuk bersama kekuatan asing, disusul oleh aksi menjarah harta mantan
presidennya. Itulah pondasi Ode Baru.
Tidak berhenti sampai di situ. Anak-anak Bung Karno pun terkena getahnya. Mereka tidak
pernah mewarisi harta Bung Karno yang berlebihan. Mereka juga harus bekerja untuk
nenopang hidupnya. Guntur dipaksa berhenti sekolah, dan bekerja membantu ibunya. Mega,
Rachma, Sukma hidup bersama suaminya. Mereka masih sering berkumpul di rumah ibunya,
di Jl. Sriwijaya 26, Jakarta Selatan. Kehidupan Fatmawati sendiri jauh dari kemewahan,
sekalipun ia janda presiden, mantan first lady negara ini.
Dan ini cerita nyata menggambarkan betapa sederhananya keluarga mendiang Bung Karno.
Manakala hujan turun deras, air masuk karena atap yang bocor. Beberapa bagian langit-langit
rumahnya bahkan tampak rapuh dan rusak. Sebagai janda presiden, Fatmawati tidak
menerima tunjangan barang sepeser. Ia, baru menerima tunjangan resmi pada Juni 1979,
sembilan tahun setelah kematian Sukarno!
Lebih ironis, ketika tahun 1972, rumah di Jalan Sriwijaya harus ditinggalkan karena tak kuat
menanggung biaya perawatan rutin. Fatma mengontrakan rumah itu. Rumah yang telah
menemaninya dalam kesedihan dan kesepiannya. Uang kontrakan dipakai antara lain
membiayai Guruh kuliah di Belanda. Fatma sendiri hidup bersama ibunya, Khadijah di Jalan

Cilandak V, Jakarta Selatan, tak jauh dari lokasi yang sekarang terkenal dengan Rumah Sakit
Fatmawati. Namun saat itu, jalan menuju rumahnya sempit dan berlumpur. (roso daras)
Published in:

Human Interest

on 17 September 2011 at 03:44 Comments (20)


Tags: Batu Tulis, Bung Karno, fatmawati

Tumpas Pemberontakan PKI Madiun dalam Dua Minggu

Penumpasan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, tak


lepas dari peran penting Panglima Besar Jenderal Soedirman. Pas tanggal 18 September
1948, saat matahari condong ke barat, kabar itu sampai ke pemerintah pusat di Yogyakarta.
Kabar gawat, yang mewartakan meletusnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI)
di Madiun.
Saat berita itu tiba di Istana (waktu itu dikenal dengan sebutan Gedung Agung), Panglima
Soedirman tengah berada di Magelang. Yang pegang kendali ketika itu adalah Kolonel AH
Nasution selaku Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Dialah yang segera
dipanggil Presiden Sukarno menghadapnya di Gedung Agung.
Kepada Presiden Sukarno, ia memaparkan rencana operasi penumpasan pemberontakan PKI
di Madiun. Di sela-sela rapat di Gedung Agung, yang antara lain juga dihadiri Menko
Keamanan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Segera setelah tuntas Nasution memaparkan
konsep penumpasan pemberontakan, berkata Bung Karno, Sebagai seorang yang telah
berbulan-bulan langsung berhadapan dengan PKI, baik sebagai pejabat maupun pribadi, saya
dapat konsepsikan dengan segera rencana pokok untuk menindak PKI.
Tak lama, keluarlah keputusan presiden. Intinya, berupa perintah kepadaa Angkatan Perang
Republik Indonesia untuk menyelamatkan pemerintah dalam menindak pemberontakan, dan

menangkap tokoh-tokohnya, serta membubarkan organisasi-organisasi pendukungnya, atau


simpatisannya.
Sidang kabinet untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun itu hanya berlangsung
kurang dari setengah jam. Setelah itu, Presiden Sukarno menyerahkan mandat pelaksanaanya
kepada Jenderal Soedirman. Sementara, untuk pelaksanaannya, Nasution masih menunggu
sidang kabinet, yang rencananya baru akan digelar menjelang tengah malam.
Nah, pada sidang kabinet itu, Jenderal Soedirman sudah hadir. Tidak banyak perdebatan
dalam sidang kabinet yang membahas penumpasan pemberontakan PKI di Madiun. Hanya
Haji Agus Salim saja yang berkomentar. Katanya, Kalau sudah begini, tentulah menjadi
tugas tentara. Sidang itu hanya berlangsung beberapa menit untuk kemudian memutuskan
penumpasan pemberontakan tadi.
Jenderal Soedirman segera menugaskan Kolonel Nasution dan Letkol Soeharto Komandan
Brigade X untuk bergerak pada malam itu juga, dan menyampaikan laporannya keesokan
harinya. Maka malam itu juga, tentara berhasil melucuti persenjataan Front Demokrasi
Rakyat Yogyakarta. Di samping itu, menangkapi sejumlah pentolan yang berafiliasi ke PKI,
seperti Alimin, Djoko Sudjono, Abdulmadjid, Tan Ling Djie, Sakirman, dan Siauw Giok
Tjan.
Semua penerbitan yang berafiliasi ke PKI juga diberangus, percetakannya disegel. Posterposter dan spanduk-spanduk Front Demokrasi Rakyat dibersihkan, dan diganti poster-poster
bertuliskan, Kami hanya mengakui pemerintah Sukarno-Hatta. Keseluruhan operasi itu
selsai sebelum ayam berkokok. Persis sesuai instruksi Jenderal Soedirman.
Pagi hari menjelang siang, Jenderal Soedirman sudah menerima laporan lengkap dari Kolonel
Nasution dan Letkol Soeharto. Setelah itu, dilanjutkan Rapat Dewan Siasat Militer. Panglima
Soedirman kemudian mengeluarkan keputusan-keputusannya. Antara lain, mengangkat
Kolonel Sungkono sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur. Ia mengirim Brigade II
Siliwangi di bawah pimpina Letnan Kolonel Sadikin, guna merebut kembali Madiun.
Sedangkan Letnan Kolonel Koesno Oetomo memimpin Brigade I Siliwangi buat merebut
Purwodadi, Blora, Pati, dan Kudus.
Keseluruhan operasi penumpasan pemberontakan PKI Madiun itu hanya diberi waktu dua
minggu. Prajurit tuntas mengemban tugas, hingga tertangkapnya semua pentolan PKI, bahkan
hingga ke eksek
Published in:

Uncategorized

on 30 Agustus 2011 at 17:25 Comments (6)


Tags: AH Nasution, Bung Karno, Jenderal Soedirman, pki madiun

Musso dan Sukarno, Guru dan Seteru

Bersyukur, sebuah rumah di Jl. Peneleh VII No. 29-31 Surabaya itu dilestarikan. Kini, rumah
itu dikenal sebagai rumah kos Bung Karno. Benar, itulah rumah peninggalan keluarga HOS
Cokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Dalam sekian kali posting yang menuturkan
riwayat rumah itu, tidak pernah lupa saya menyinggung pertemanan yang kental antara
Sukarno, Musso, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo.
Tiga nama di tengah, belakangan kita kenal sebagai tokoh kiri Indonesia. Sedangkan nama
yang terakhir, menjelma menjadi imam Darul Islam, ekstrim kanan. Kedua kubu tadi lantas
dicatat dalam sejarah perjalanan Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari riak revolusi.
Kembali ke rumah Peneleh VII, yang sempat dihuni sekitar 30 pemuda Indonesia, Sukarno
adalah satu di antaranya. Periode 1915 1920, Bung Karno mondok di rumah itu, bersekolah
di HBS (Hogere Burger School). Di pondokan itu, juga bercokol tokoh pemuda yang
terbilang senior saat itu, Musso.
Muso sendiri saat itu menjabat aktivis Sarekat Islam pimpinan Cokroaminoto. Selain di
Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau
Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Tak ayal, Muso menjadi salah seorang sumber
ilmu Bung Karno dalam setiap percakapan. Seperti misalnya saat Musso menyoal penjajahan
Belanda, Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsabangsa.
Oleh Bung Karno, kalimat Musso itu diulanginya dalam penuturan kepada Cindy Adams. Itu
artinya, tidak sedikit pemahaman-pemahaman baru yang Bung Karno peroleh dari Musso.
Musso sendiri empat tahun lebih tua dari Bung Karno yang kelahiran 1901. Adapun teman
seperjuangan Musso antara lain Alimin, Semaun, dan Darsono.
Alam perjuangan menuju Indonesia merdeka itulah yang mengakibatkan pada akhirnya
mereka terpisah. Muso misalnya, pernah ditangkap polisi Hindia Belanda sebagai aktivis
politik (Sarekat Islam) dan dijebloskan ke penjara. Bung Karno hanya bisa memantau dari
pekabaran yang ada. Nah, keluar dari penjara tahun 1920 itulah, Musso tidak lagi aktif di
Sarekat Islam, dan menggabungkan diri ke Partai Komunis Indonesia.

Sejak itu, Bung Karno dan Musso berpisah. Musso dengan gerakan kirinya. Bung Karno
dengan kuliah serta gerakan nasionalis yang ia kembangkan bersama teman-teman seideseideologi. Pada saat itu, perjuangan menuju kemerdekaan, disokong oleh semua aliran. Yang
kiri, yang kanan, yang tengah semua, tanpa kecuali, memiliki andil memerangi penjajah.
Karena itu, dalam banyak kesempatan, Bung Karno tegas menyebut, Komunis pun berjasa
untuk kemerdekaan Indonesia.
Syahdan, hingga proklamasi 17 Agustus 1945, Sukarno-lah yang muncul ke tampuk
pimpinan pergerakan serta didaulat menjadi Presiden pertama untuk Republik Indonesia yang
baru saja merdeka. Pasca proklamasi, bangsa ini langsung memasuki kancah revolusi fisik
yang sebenarnya. Perang berkobar di seluruh penjuru negeri. Perang antara jiwa bergelora
yang baru terbebas dari penjajahan, dengan tentara sekutu yang diboncengi Belanda, yang
hendak menancapkan kembali kuku-kuku jajahannya di bumi pertiwi.
Dua sahabat, Musso Sukarno, baru berjumpa sekitar 30 tahun kemudian, tepatnya pada 13
Agustus 1948 di Istana Negara. Banyak saksi sejarah yang melukiskan betapa
mengharukannya pertemuan itu. Mereka berpelukan begitu hangat. Nyaris tanpa kata-kata,
kecuali mata yang sembab dirundung haru. Dari pandangan mata kedua tokoh ini sudah
tergambar, betapa tatapan mata mereka telah berbicara. Betapa mereka melakukan dialog
hebat melalui bola-bola mata keduanya.
Sejurus kemudian, manakala suasana sudah mencair, Bung Karno memecah keheningan
dengan menceritakan hal-hal yang hebat tentang Musso. Katanya, Musso ini dari dulu
memang jago. Ia yang paling suka berkelahi. Ia jagi pencak (silat). Selain itu, Bung Karno
juga menceritakan hobi Musso bermain musik. Satu lagi yang khas, Musso selalu
menyingsingkan lengan bajunya sebelum berpidato.
Itulah obrolan dua sahabat. Bagaimana dengan perbedaan ideologi keduanya? Tentu saja,
Bung Karno menyinggung tentang perkembangan politik internasional. Bung Karno nyerocos
berbicara tentang perkembangan komunisme di dunia, dan ini membuat Musso ternganga.
Demi melihat itu, Bung Karno cepat menjawab, Saya ini kan masih tetap muridnya Marx,
Pak Cokroaminoto, dan Pak Musso.
Usai pertemuan yang lebih bernuansa kangen-kangenan itu keduanya langsung kembali
kepada habitatnya. Sukarno sebagai Presiden dengan kesibukan mengatur sistem tata-negara
yang masih begitu rentan Muso dan PKI-nya tetap konsisten dengan visi dan misinya.
Yang terjadi setelah itu, sungguh mencengangkan. Persisnya tiga-puluh-tujuh hari setelah
pertemuan Bung Karno dan Musso, pecahlah peristiwa monumental, Pemberontakan Madiun.
Terjadilah perang statemen antara Musso dan Bung Karno. Mereka pun saling memaki di
media. Puncak pernyataan Bung Karno yang terkenal waktu itu adalah, Pilih Musso atau
Sukarno. Alhasil, pemberontakan Madiun berhasil ditumpas, dan para tokohnya dihukum.
Apa kata Bung Karno tentang Musso pada bukunya yang ditulis Cindy Adams? Ia tetap
menghormati Musso sebagai salah seorang gurunya. Ajaran Jawa mengatakan, seseorang
yang menjadi guru kita, harus dihormati lebih dari orangtua. (roso daras)
Published in:

Human Interest

Uncategorized

on 28 Agustus 2011 at 05:20 Comments (4)


Tags: alimin, Bung Karno, cokroaminoto, Musso, PKI, Semaun

Tirakat Bung Karno di Pulau Bunga

Empat tahun masa pembuangan Bung Karno


di Ende, Pulau Flores (1934 1938) bisa disebut sebagai masa tirakat. Apa itu tirakat? Dalam
kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah tirakat yang bermaksud mendekatkan diri
kepada tuhan, berupa perilaku, hati, dan pikiran. Tirakat adalah bentuk upaya spiritual
seseorang dalam bentuk keprihatinan jiwa dan badan untuk mencapai sesuatu dengan jalan
mendekatkan diri kepada tuhan.
Ritual orang bertirakat ada bermacam-macam. Penganut Kejawen misalnya, biasa
melakukannya dengan bersemedhi atau bertapa-brata. Bagi orang muslim, berpuasa juga
salah satu bentuk tirakat. Bisa juga dalam bentuk lain lagi, sepanjang diniatkan sebagai upaya
spiritual, bentuk keprihatinan jiwa dan badan untuk mencapai sesuatu dengan fokus menjaga
hubungan vertikal yang intens antara kita dan Yang Di Atas.
Flores berarti bunga. Pulau Flores juga disebut Pulau Bunga. Mungkin karena di pulau ini
banyak tumbuh bunga-bunga cantik. Bagi Sukarno. masa-masa pembuangan di Ende adalah
masa-masa bertirakat. Ia melewatkan waktu-waktunya dengan membaca, bersosialisasi,
dan bertirakat.
Komunikasi dengan pihak luar, banyak ia lakukan dengan surat-menyurat. Salah satu yang
terukir dalam sejarah hidupnya adalah surat-menyurat seputar kajian Islam dengan gurunya di
Bandung, Tuan A. Hassan. Di luar itu, Bung Karno banyak bertafakur di ruang shalat,
sekaligus ruang semedhi. Ia bisa duduk berjam-jam di tempat itu.
Selepas ashar, Bung Karno biasanya berjalan kaki kurang lebih satu kilometer mengarah ke
pantai. Di bawah pohon sukun, Bung Karno duduk. Sikapnya diam. Mulutnya terkunci.
Tatapannya menerawang. Otaknya berkecamuk tentang banyak hal. Salah satunya adalah
merenungkan ideologi bangsa, ketika kemerdekaan diraih kelak.

Tercatat tanggal 18 Oktober 1938 Bung Karno meninggalkan Ende, menuju tempat buangan
baru di Bengkulu. Praktis sejak itu, Bung Karno tak lagi menginjakkan kakinya di Ende.
Kelak, 12 tahun setelahnya, persisnya tahun 1950, ya lima tahun setelah proklamasi
kemerdekaan, barulah Bung Karno kembali ke Ende. Bukan sebagai orang interniran atau
buangan, melainkan sebagai Presiden Republik Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi.

Ketika itulah, Bung Karno kembali


bernostalgia ke tempat buangannya dulu, dan meresmikan rumah yang dulunya milik H.
Abdullah Ambuwaru itu sebagai situs bersejarah. Dalam kesempatan itu pula Bung Karno
menunjuk pohon sukun tempat ia belasan tahun sebelumnya acap duduk di bawahnya,
merenungkan banyak hal, satu di antaranya adalah butir-butir Pancasila. Yang menarik
adalah, pohon sukun itu bercabang lima.
Sepuluh tahun kemudian, tahun 1960, pohon sukun itu mati. Oleh pemerintah daerah
setempat, segera ditanam pohon sukun yang baru. Apa yang terjadi beberapa tahun
kemudian? Pohon itu tumbuh subur, dan (tetap) bercabang lima. Pohon itu masih berdiri
hingga hari ini. (roso daras)

Anda mungkin juga menyukai