Anda di halaman 1dari 6

BAB 8

MELANJUTKAN PERJUANGAN

Ratusan pengagum Bung Karno menyambut beliau


ketika pulang dari rumah Penjara Sukamiskin. Termasuk
M.Husni Thamrin yang sempat berkata:1
“Mata Bung menyinarkan cahaya baru.”
“Tidak,” Jawabku.”Mata saya menonjol karena semakin kurus.”
“Tidak,” Ia menegaskan”mata Bung jadi sangat besar. Saya melihat
adanya cahaya baru di dalamnya.”
Walau kelesuan selama di penjara belum terobati,
namun pada tanggal 2 Januari 1932, dengan kereta api cepat,
Bung Karno berangkat ke Surabaya untuk bicara pada Kongres
Indonesia Raya, yang diundur sampai tanggal 2 Januari itu.
Semula Kongres Ini direncanakan berlangsung pada tanggal 25
Desember 1931, tapi oleh Panitia, diundur demi bisa hadirnya
Bung Karno. Pidato Bung Karno di Surabaya ini, adalah pidato
pertama Bung Karno setelah keluar dari rumah penjara dan
menurut Bung Karno pidato itu adalah pidato yang paling terkenal
yang pernah di ucapkan selama hidupnya.2
“Pidato yang paling terkenal yang pernah ku ucapkan selama
hidupku.”
Sekeluarnya dari penjara, Bung Karno bertekad untuk
membenahi PNI serta menggalang persatuan kembali. Sayangnya,
pada waktu Bung Karno keluar dari penjara itu, PNI sudah
dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang oleh
penguasa Belanda. Setelah dibubarkan dan dinyatakan ‘terlarang’,
maka oleh Sartono dan kawan–kawan yang ada di luar penjara,
membentuk partai baru, bernama “Partai Indonesia”, dengan
singkatan Partindo. Walaupun program Partindo bersifat
revolusioner dan non-kooperasi, akan tetapi partai ini tidak dapat
berkembang maju, karena tidak ada tokoh yang menjadi lambang
pergerakan.

1 Ibid, Hal, 161.


2 Ibid.
Pada mulanya Bung Karno ingin menyatukan antara
Partindo dengan PNI–Pendidikan (Pendidikan Nasional Indonesia)
Pimpinan Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Setelah dua kali
mengadakan tukar pikiran secara mendasar dengan Bung Hatta,
Bung Karno menyimpulkan bahwa Pendirian Hatta untuk
mencetak kader sebagai penggerak rakyat untuk kemudian bisa
memperjuangkan kemerdekaan, tidak dapat dipilih sebagai
partner dalam mencapai Indonesia merdeka. Sementara menurut
Bung Karno, bila dipakai metode perjuangan Hatta, maka
perjuangan kemerdekaan akan memakan waktu yang sangat lama.
Tentang lamanya waktu, Bung Hatta menyatakan3
”Kemerdekaan tidak akan tercapai selagi saya masih hidup.”
Ketiadaan titik temu cara berfikir antara Bung Karno
dengan Bung Hatta, mengantar Bung Karno akhirnya terpaksa
menghentikan upaya mempersatukan Partindo dengan PNI–
Pendidikan. Sementara ia sendiri memilih untuk masuk Partindo.
Hatta dan Syahrir mendirikan PNI pendidikan tidak lama
setelah kembali dari Eropa. Berazaskan “Kedaulatan Rakyat”
Medngambil nama PNI, walau bukan partai, melainkan Pendidikan
Nasional Indonesia, menyebabkan banyak orang menduga, bahwa
PNI Hatta sama isinya dengan PNI Bung Karno. Dan setelah
Sartono mendirikan Partindo (Partai Indonesia), banyak rakyat
yang bingung untuk memilih mana di antara dua partai itu yang
sama dengan PNI 1927.
Hampir setahun lamanya setelah keluar dari penjara itu,
Bung Karno berupaya menyatukan kembali antara PNI dengan
Partindo, namun tidak berhasil. Maka kemudian Bung Karno
memilih masuk Partindo, tanggal 28 Juli 1932. Begitu Bung
Karno masuk ke dalam Partindo, Bung Karno kembali melakukan
penggemblengan rakyat langsung ke daerah–daerah. Berbagai
rintangan, seperti dikuntit oleh intel PID (Polisi Rahasia Belanda)
ketiadaan ongkos untuk mencapai lokasi dimana diadakan rapat
umum Partindo, semuanya itu tidak menyebabkan Bung Karno
terhenti untuk berpidato langsung di depan rakyat banyak. Bung

3 Moh. Hatta. “Memoir”, (Jakarta. Tintamas Indonesa, Singapure; 1979) Hal, 163.
Karno menyadari bahwa pidato yang diucapkannya kepada rakyat
itu, diterima rakyat, bukan karena kehebatan retorikanya,
melainkan karena problem yang diutarakannya itu, memang
menyentuh hati nurani rakyat.
Di luar arena gerakan Bung Karno, sekitar tahun 1932
muncul peristiwa “Pemberontakan Kapal 7” (seven provincien).
Kapal itu adalah kapal perang milik Belanda, yang semua
perwiranya terdiri dari orang Belanda dan anak buahnya adalah
orang Indonesia.59 Peristiwa Kapal 7 itu membawa pengaruh bagi
kaum pergerakan. Para propagandis (yang biasa berpidato di
depan rakyat), sangat diincar oleh PID dan bila terdapat isi pidato
yang menyinggung “Kapal 7” pembicara itu langsung ditangkap.
Dalam satu rapat umum di kota Solo, Bung Karno
menyaksikan kehadiran beberapa orang dari kalangan Keraton
dan rakyat banyak lainnya. Bung Karno bicara paling pertama
dengan perkiraan, bila nanti masalah kapal 7 dibicarakan,
sebaiknya yang mengutarakannya adalah Bung Karno. Sebab jika
pembicaraan lain yang berpidato dan menyinggung Kapal 7, polisi
langsung membubarkan rapat umum. Walau Bung Karno
menyinggung “Peristiwa Kapal 7“ Ia hanya dibawa ke kantor polisi,
setelah rapat di bubarkan. Bung Karno tidak ditahann, ia hanya
diberi peringatan keras. Tidak lama setelah Peristiwa di Solo itu,
pemerintah Belanda mengeluarkan larangan:60
“Dilarang membaca Koran ‘Pikiran Rakyat’, dan dilarang memakai
peci”
Salah seorang anggota Partindo menanyakan mengenai
kehebatan suara Bung Karno ketika berpidato di depan puluhan
ribu rakyat. Lalu kata Bung Karno:61
“Kusampaikan kepadanya, sebabnya ialah karena ini bukan
kemauan saya pribadi untuk memperjuangkan kemerdekaan. Ini
adalah kemauan Tuhan. Saya menjalankan kata–kata Tuhan.
Untuk pekerjaan inilah saya dilahirkan.”
Walau Bung Karno sadar bahwa tugasnya
membangkitkan semangat rakyat adalah “Kemauan Tuhan”,

59 Cindy Adams Op.cit,. Hal, 168.


60 Ibid. Hal, 170.
61 Ibid. Hal, 168.
namun semakin ketatnya pengawasan PID terhadapnya,
mengharuskan Bung Karno coba menghindar. Beliau pergi ke
sebuah desa Pangalengan di bagian selatan Jawa Barat sekitar
bulan Maret Tahun 1933, di mana Bung Karno konsentrasi
menulis risalah yang ia sebut judulnya “MENCAPAI INDONESIA
MERDEKA” (MIM). Isi pokok dari risalah MIM ini adalah cara–cara
yang paling mungkin untuk mencapai kemerdekaan Indonesia,
sesuai dengan watak penjajahan sebagai thesa dan watak Rakyat
Indonesia sebagai anti-thesa melawan penjajahan itu.
Risalah MIM oleh pihak Belanda dianggap sangat
mengganggu kekuasaan mereka sehingga peredaran atas risalah
MIM.” Dinyatakan sebagai “terlarang”. Risalah tersebut dicari
kemana saja, baik oleh pengikut–pengikut Bung Karno, maupun
oleh pihak Belanda. Dari pihak Belanda mengerahkan pasukan
PID-nya menggeledah rumah–rumah penduduk, dan apabila
risalah itu kedapatan pada seseorang, maka kepala keluarga dari
rumah bersangkutan ditahan, untuk dimintai keterangan.
Seorang pemuda Indonesia, yang kelak menjadi Menteri Republik
Indonesia, mengisahkan bagaimana ibunya menyembunyikan
risalah tersebut, pada saat kampung mereka di geledah oleh
aparat kolonial. Ternyata Ibunya demikian rapi menyembunyikan
risalah tersebut dengan meletakkan buku tersebut dalam
kukusan, antara dalam lapisan tutup pisang. Dengan begitu,
tatkala polisi menggeledah seisi rumah, kukusan yang diatas
tungku itu tidak dibuka.52
Pada suasana seperti itulah, Bung Karno mengadakan
sebuah pertemuan di rumah M. Husni Thamrin pada tanggal 1
Agustus 1933, di Jakarta.53
“Pertemuan itu selesai sudah lewat tengah malam. Ketika aku turun
rumah menuju jalan raya, di sana sudah berdiri seorang Komisaris
Polisi, menungguku dengan tenang di depan rumah. Kejadian ini
adalah pengulangan kembali dari penangkapan yang terdahulu.
Dia mengucapkan kata–kata yang sama: “Tuan Soekarno, atas
nama Sri Ratu saya menangkap tuan.”

52 Saifuddin Zuhri. “Berangkat dari Pesantren.” (Jakarta. Gunung Agung, 1987) Hal, 76.
53 Cindy Adams. Op,cit.Hal, 169.
Polisi langsung membawa Bung Karno ke Kantor
Hofpbiro, (Kadapol) (yang pada waktu itu terletak di lapangan
Monas sekarang). Sebelum terjadi tanya jawab, pihak polisi
membiarkan Bung Karno duduk di ruang depan, dikawal oleh
polisi bersenjata lengkap. Dalam menanti panggilan untuk
pemeriksaan, Bung Karno membandingkan antara dirinya dengan
Nehru, termasuk tentang apa yang bakal dihadapinya setelah
penangkapan sekarang ini. Lalu terlintas dalam pikiran :54
”Satu–satunya yang dapat kulihat dalam pikiranku hanyalah
permainan bulu tangkis dan bolanya yang terbang kian kemari
menurut kemauan dari pemainnya. Nehru yang telah sebelas kali
keluar masuk penjara pada satu kurun waktu menyamakan dirinya
dengan dengan bola Bulu Tangkis
Sambil duduk disana aku berkata kepada diriku, ”Tidak Karno!
engkau lebih menyerupai sebuah ranting dalam unggun kayu bakar
yang sedang menyala.” kenapa begitu?
”Aku bertanya kepada diriku sendiri,” karena ranting itu turut
mengambil bagian dalam menyalakan api yang berkobar–kobar,
akan tetapi di balik itu, iapun dimakan api yang hebat itu. Keadaan
ini sama dengan keadaanmu. Engkau turut mengambil bagian
dalam mengobarkan apinya revolusi, akan tetapi “percakapan
dengan diriku sendiri terputus.”
Pemeriksaan di Hopbiro tidak berlangsung lama dan
kemudian Bung Karno dibawah ke Rumah Penjara Sukamiskin.
Di penjara ini Bung Karno tidak lagi ditempatkan pada sel yang
lama, melainkan pada sebuah sel isolasi yang terpisah dari
penghuni penjara lainnya. Bung Karno melukiskan dirinya selama
delapan bulan dalam sel isolasi itu bagaikan pertapa bisu, karena
selama itu sama sekali tidak berhubungan dengan siapa pun.
Setelah itu pemeriksaan mulai dilakukan. Bung Karno
dihujani dengan beribu pertanyaan, padahal Gubernur Jenderal
cukup dengan keputusan sendiri, mampu memerintahkan
’Pembuangan. Tanpa diadili lebih dahulu, hukuman sudah
dijatuhkan dan Bung Karno dibuang ke tempat yang jauh. Secara
rahasia, Bung Karno dikeluarkan dari rumah Penjara Sukamiskin,
dimasukkan ke dalam gerbong khusus pada kereta api expres

54 Ibid. Hal, 172.


menuju Surabaya. Tujuan akhir adalah Pulau Bunga di Flores.
Dalam gerbong kereta api lain, ternyata istrinya Inggit, ikut serta
dibarengi oleh mertuanya, Ibu Asmi dan anak angkat Ratna
Juami. Sesampainya di Surabaya, Bung Karno dimasukkan
dalam sel, sedang keluarganya di tempatkan di Hotel. Dalam sel
penjara itulah orang tua Soekarno, yaitu Pak Soekemi dan Ibu
Idayu sempat menjenguk Bung Karno. Soekemi yang
mengharapkan putranya menjadi seorang Pahlawan seperti Karna
dalam Mahabarata, menangis tersedu menyaksikan puteranya. Ia
merasa tidak berdaya sama sekali untuk menolong putranya itu
Ibu Idayulah, sementara air matanya mengalir, tetap
berusaha menghibur puteranya Soekarno agar tetap bersemangat
dan dengan caranya yang khas membisikkan ,
“sudah suratan takdir bahwa Soekarno menyusun pergerakan yang
menyebabkan ia di penjarakan, lalu dibuang dan kemudian dia
akan membebaskan kita semua. Soekarno bukan lagi kepunyaan
orang tuanya, ia sudah menjadi kepunyaan rakyat Indonesia. Kami
mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan kenyataan ini.” 55
Pertemuan dengan orang tuanya hanya berlangsung tiga
menit. Keesokan harinya, Bung Karno dibawa ke pelabuhan.
Walaupun dirahasiakan, tetapi rakyat sempat tahu dan mereka
berjejal sepanjang jalan menuju pelabuhan, sambil melambaikan
Bendera Merah Putih. Ende, Flores adalah tempat tinggal
Soekarno berikutnya.

55 Ibid. Hal, 174.

Anda mungkin juga menyukai