Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA


PADA KLIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL

Disusun oleh:
Istikhomah
P1337420718021
Florence Nightingale I

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG


PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN MAGELANG

TAHUN 2021
A. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya (Damayanti dan Iskandar, 2014). Salah satu penanganan
pasien dengan isolasi sosial adalah penerapan strategi pertemuan.
Isolasi sosial adalah juga merupakan kesepian yang dialami oleh individu
dan dirasakan saat didorong oleh keberadaan orang lain dan sebagai
pernyataan negatif atau mengancam (Nanda, 2018).
Menarik diri merupakan keadaan dimana sesorang menemukan kesulitan
dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain (Towsend dalam
Muhith, 2015).
Isolasi sosial adalah satu diagnosis keperawatan berdasarkan tanda
negative dari klien skizofrenia. (Massom, 2016).
Isolasi sosial merupakan kondisi kesendirian yang dialami oleh individu
dan di persepsikan disebabkan orang lain dan swbagai kondisi yang negative
dan mengancam (Townsend, 2010).

B. Rentang Respon Sosial


Menurut Stuart (dalam Damayanti dan Iskandar, 2014) menyatakan bahwa
manusia adalah makhluk sosial, untuk mencapai kepuasan dalam kehidupan,
mereka harus membina hubungan interpersonal yang positif. Individu juga
harus membina saling tergantung yang merupaan keseimbangan antara
ketergantungan dan kemandirian dalam suatu hubungan.

Respon adaptif Respon


maladaptif

Menyendiri Kesepian Manipulasi


Otonomi Menarik diri Impulsif
Bekerja sama ketergantungan Narkisisme
Interdependen

Gambar 1. Rentang respon sosial (Damayanti dan Iskandar, 2014).


Respon adaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang
masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya linkungannya yang
umum berlaku dan lazim dilakukan oleh semua orang (Damayanti dan
Iskandar, 2014). Respon ini meliputi:

a. Solitude (menyendiri)
Adalah respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang
telah dilakukan di lingkungan sosialnya juga suatu cara mengevaluasi diri
untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya.
b. Otonomi
Adalah kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, perasaan, dalam berhubungan sosial.
c. Mutualisme ( bekerja sama)
Adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu
mampu untuk saling memberi dan menerima.
d. Interdependent (saling ketergantungan )
Adalah suatu hubungan saling tergantung antara induvidu dengan orang
lain dalam rangka membina hubungan interpersonal.

Respon maladaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah


yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya lingkungannya yang
umum berlaku dan tidak lazim dilakukan oleh semua orang (Damayanti dan
Iskandar, 2014). Respon ini meliputi:
a. Kesepian
Kondisi dimana individu merasa sendiri dan terasing dari lingkungannya,
merasa takut dan cemas.
b. Menarik diri
Merupakan suatu keadaan dimana individu menemukan kesulitan dalam
membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.
c. Ketergantungan (dependent)
Akan terjadi apabila individu gagal mengemangkan rasa percaya diri
akan kemampuannya. Pada gangguan hubungan sosial jenis ini orang lain
diperlakukan sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah
pengendalian orang lain, dan individu cenderung berorientasi pada diri
sendiri atau tujuan, bukan pada orang lain.
d. Manipulasi
Merupakan gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu yang
menganggap orang lain sebagai objek. Individu tersebut tidak dapat
membina hubungan sosial secara mendalam.
e. Impulsif
Individu impulsif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu
belajar dari pengalaman, tidak dapat diandalkan.
f. Narsisme
Individu mempunyai harga diri yang rapuh, selalu berusaha untuk
mendapatkan penghargaan dan pujian yang teru menerus, sikapnya
egosentris, pencenburu dan marah jika orang lain tidak mendukungnya.

C. Perkembangan Hubungan Sosial


Menurut Stuart dan Sundden diekmbangkan oleh Mustika Sari
(dalam Damayanti dan Iskandar, 2014). Untuk mengembangkan hubungan
sosial positif, setiap tugas perkembangan sepanjang daur kehidupan
diharapkan silalui sengan sukses sehingga kemampuan membina hubungan
sosial dapat menghasilkan kepuasan bagi individu. Tahap-tahap
perkembangan individu dalam berhubungan terdiri dari:
1. Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan
biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara ibu dan
anak, akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal
ini sangat penting karena akan mempengaruhi hubungannya dengan
lingkungan di kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan dalam
mengembangkan rasa percaya pada masa ini akan mengalami kesulitan
untuk berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.
2. Masa Kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri,
mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina
hubungan dengan teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah
lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini dapat membuat anak
frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan yang konsisten dan adanya
komunikasi terbuka dalam keluarga dapat menstimulus anak tumbuh
menjadi individu yang interdependen, Orang tua harus dapat memberikan
pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi dari dirinya, maupun
sistem nilai yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak
mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan,
berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.
3. Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim dengan
teman sejenis, yang mana hubungan ini akan mempengaruhi individu
untuk mengenal dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di
masyarakat. Selanjutnya hubungan intim dengan teman sejenis akan
berkembang menjadi hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini
hubungan individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti
daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila
remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut,
yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada
remaja.
4. Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan hubungan
interdependen antara teman sebaya maupun orang tua. Kematangan
ditandai dengan kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain
dan menerima perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang
lain. Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan
menikah dan mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan
interpersonal pada dewasa muda adalah saling memberi dan menerima
(mutuality). 
5. Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-anak
terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan individu
untuk mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan
pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan tetap
mempertahankan hubungan yang interdependen antara orang tua dengan
anak.
6. Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan
fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan
atau peran. Dengan adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada
orang lain akan meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki
harus dapat dipertahankan. Memiliki kontak sosial yang sedikit atau
hidup sendiri tidak menjamin kesepian (Mullins, Johnson, & Andreson,
1987). Dalam faktanya, bagi lansia adanya waktu dengan keluarga
mungkin saja kurang mengenakkan daripada mengunjungi tetangga atau
seseorang dalam kelompok usianya. Ini dapat dihubungkan dengan fakta
bahwa hubungan dengan keluarga cenderung menjadi lazim sementara
berhubungan dengan teman adalah masalah pilihan (Singh& Misra,
2009).

D. Etiologi
Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptive. Menurut Stuart
dan Sundeen (dalam Damayanti dan Iskandar, 2014), belum ada kesimpulan
yang spesifik tentang penyebab gangguan yang mempengaruhi hubungan
interpersnal. Salah satu penyebab menarik diri adalah faktor kepribadian ,
Faktor lainnya yang mungkin mempengaruhi antara lain yaitu :
a. Faktor Predisposisi
Berbagai faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah :
1) Faktor perkembangan
Setiap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan
pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang
lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian, dan kehangatan
dari Ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang
dapat membuat terbentuknyarasa percaya diri dan dapat
mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lan maupun
lingkunan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat penting
dalam masa ini, agar anak tidak merasa diperlakukan sebagai objek.
2) Faktor Komunikasi dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga yang dapat menjadi kontribusi
untuk mengembangkan gangguan tingkah laku:
 Sikap bermusuhan/hostilitas
 Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
 Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan
untuk mengungkapkan pendapatnya.
 Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaraananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga,
kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam
pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan
musyawarah.
 Ekspresi emosi yang tinggi
 Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat
bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)
3) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan
faktor pendukung terjadinya gangguan hubungan. Dapat juga
disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh
suatu keluarga, seperti anggota tidak prosuktif diasingkan dari
lingkungan sosial.
4) Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung yang menyebabkan
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh jelas
mempengaruhi adalah otak. Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan
pada keluarga yang anggota keluarganya ada yang menderita
skizofrenia. Klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam
hubungan sosial terdapat kelainan pada struktur otak seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat volume otak serta perubahan
struktur limbik.
b. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor
internal maupun eksternal, meliputi:
1. Stressor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah
dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua,
kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara.
Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
2. Stressor Biokimia
 Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi
terjadinya skizofrenia.
 Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah
akan meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu
kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan
dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan
indikasi terjadinya skizofrenia.
 Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan
pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami
penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme,
adanya peningkatan maupun penurunan hormon
adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku
psikotik.
 Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan
gejala-gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang
dapat merubah stuktur sel-sel otak.
3. Stressor Biologis dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering
terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
4. Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan
yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan
individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai
masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.

E. Tanda dan Gejala Isolasi Sosial


a) Tanda dan Gejala
Menurut Stuart & Sundeen (2006), tanda dan gejala isolasi sosial yang
dapat ditemukan dengan wawancara, adalah:
1. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
4. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
5. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
6. Pasien merasa tidak berguna
7. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
Menurut Towsend dan Carpenito (1998) isolasi sosial sering
ditemukan dengan adanya tanda dan gejala berikut:
1. Kurang sopan
2. Apatis(acuh tak acuh terhadap lingkungan)
3. Ekspresi wajah kurang berseri
4. Tidak merawat diri dan memperhatikan kebersihan diri
5. Komunikasi verbal kurang
6. Menyendiri atau mengisolasi diri
7. Kurang sadar atau tidak peduli lingkungan sekitarnya
8. Asupan makanan terganggu
9. Retensi urine dan feses
10. Aktivitas menurun
11. Kurang energy(tenaga)
12. Rendah diri
13. Posisi tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin(khususnya pada
posisi tidur)
14. Menolak berhubungan dengan orang lain

b) Mekanisme Koping
Individu yang mengalami respon social maladaptif menggunakan
berbagai mekanisme dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme
tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah hubungan yang spesifik
(Gail,W Stuart 2006).
Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian antisocial
antara lain proyeksi, splitting dan merendahkan orang lain, koping yang
berhubungan dengan gangguan kepribadian ambang splitting, formasi
reaksi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang lain, merendahkan orang lain dan
identifikasi proyeksi.
c) Sumber Koping
Sumber koping berhubungan dengan respon sosial maladaptif
meliputi keterlibatan dalam hubungan keluarga, hubungan dengan hewan
peliharaan dan penggunaan kreatifitas untuk mengekspresikan stress
interpersonal misalnya kesenian, musik atau tulisan (Ernawati
Dalami,2009).
F. Batasan Karakteristik Isolasi Sosial
Batasan karakteristik dengan isolasi sosial menurut NANDA, 2018, dibagi
menjadi dua yaitu Onektif dan Subjektif
a. Objektif
1. Tidak ada system pendukungan
2. Perilaku yang tidak sesuai dengan perkembangan
3. Afek datar
4. Tidak ada kontak mata
5. Ketidaksesuaian budaya
6. Sakit
7. Tindakan tidak berarti
8. Anggota subkultur tertentu
9. Preokupasi dengan pikiran sendiri
10. Menunjukan permusuhan
11. Tindakan berulang
12. Afek sedih
13. Ingin sendirian
14. Riwayat ditolak
15. Menarik diri
b. Subjektif
1. Merasa tidak aman ditempat umum
2. Perasaan beda dari orang lain
3. Kesendirian yang disebabkan orang lain
4. Tidak mempunyai tujuan

G. Akibat Isolasi Sosial


Salah satu ganguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri
atau isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga yang bisa
asien dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan,
kekecewaan, dan kecemasan (Prabowo,2014:112).
Perasaan tidak berharga menyebabkan pasien makin sulit dlam
mengembangkan berhubungan dengan orang lain. Akibatnya pasien menjadi
regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya
perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Pasien semakin
tenggelam dalam perjalinan terhadap penampilan dan tingkah laku masa lalu
yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lajut halusinasi
(Stuart dan Sundeen dalam Dalami, dkk 2009).
H. Mekanisme Koping Isolasi Sosial
Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang
merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme yang
sering digunakan pada isolasi sosial adalah regresi, represi, isolasi
( Damaiyanti,2014).
1. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.
2. Represi adalah persaan dan pikiran yang tidak dapat diterima secara
sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
3. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan
timbulnya kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dnegan
motivasi atau bertentangan antara sikap dan perilaku.

Mekanisme koping yang muncul yaitu:


1) Perilaku curiga : regresi, represi
2) Perilaku dependen: regresi
3) Perilaku manipulatif : regresi, represi
4) Menarik diri/ isolasi : regresi, represi, isolasi

I. Penatalaksanaan
a. Terapi Psikofarma
Terapi psikofarma terbagi dalam dua golongan yaitu golongan generasi
pertama (typical) dan golongan generasi kedua (atypical). Dalam berbagai
penelitian sebagian besar responden (klien isolasi sosial) mendapatkan
terapi psikofarma golongan generasi pertama sehingga terlihat jelas
penurunan tanda dan gejala negative yang ada pada klien. Hal ini sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa psikofarma obat generasi golongan
pertama sendiri kurang memberikan respon pada klien isolasi sosial dan
tidak memberikan efek yang baik pada pemulihan fungsi kognitif klien
(sadock dan sadock, 2007).
1) Chlorpromazine(CPZ)
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan
menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial
dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental:
faham, halusinasi. Gangguan perasaan  dan perilaku yang aneh atau
tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari,
tidak mampu bekerja, berhubungan sosial dan melakukan kegiatan
rutin. Mempunyai efek samping gangguan otonomi (hypotensi)
antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi,
hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal (distonia akut,
akathsia sindrom parkinson). Gangguan endoktrin (amenorhe).
Metabolic (Soundiee). Hematologik, agranulosis. Biasanya untuk
pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap penyakit hati,
penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
2) Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi mental
serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek samping
seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung tersumbat
mata kabur , tekanan infra meninggi, gangguan irama jantung.
Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy,
kelainan jantung (Andrey, 2010).
3) Trihexyphenidil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca encepalitis dan
idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan
fenotiazine. Memiliki efek samping diantaranya mulut kering,
penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi,
konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine. Kontraindikasi
terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut
sempit, psikosis berat psikoneurosis (Andrey, 2010).
b. Electro Convulsive Therapy (ECT)/ Terapi Kejang Listrik
Electro Convulsive Therapy (ECT) atau yang lebih dikenal dengan
Elektroshock adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energy shock
listrik dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan untuk terapi
pasien gangguan jiwa yang tidak berespon kepada obat psikiatri pada dosis
terapinya. ECT pertama kali diperkenalkan oleh 2 orang neurologist italia
Ugo Cerletti dan Lucio Bini pada tahun 1930. Diperkirakan hampir 1 juta
orang didunia mendapat terapi ECT setiap tahunnya dengan intensitas antara
2-3 kali seminggu.
ECT Adalah bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang
(Grandmal) dengan mengalirkan arus listrik kekuatan rendah (2-3 joule)
melalui electrode yang ditempelkan di beberapa titik pada pelipis kiri/kanan
(lobus  frontalis) klien.ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik
yang dapat memberi efek terapi (Therapeutic Clonic Seizure) setidaknya 15
detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang
kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti
dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan
memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat
meningkatkan kadar serum Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF) pada
pasien depresi yang tidak responsive terhadap terapi farmakologis. Bagi
pelayanan keperawatan disarankan dapat memberikan komunikasi terapeutik
dengan baik dan benar dan secara terus-menerus untuk meningkatkan
kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial. Serta diharapkan keluarga dapat
membantu kelangsungan proses peningkatan kemampuan berinteraksi klien,
dengan memberikan komunikasi yang baik dan benar terhadap klien apabila
klien berada di lingkungan rumah.
Terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan perawat pelaksana
dalam implementasi asuhan keperawatan dengan tanda gejala klien isolasi
sosial. Perawat pelaksana yang memiliki kemampuan dalam implementasi
asuhan keperawatan isolasi sosial yang tinggi dapat membantu menurunkan
tanda dan gejala pada klien isolasi sosial. Tujuan asuhan keperawatan pada
klien isolasi sosial adalah untuk melatih ketrampilan klien isolasi sosial,
sehingga merasa nyaman dalam situasi sosial dan melakukan interaksi sosial
(Frisch & Frisch. 2006).
c. Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat diberikan
strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan masing-masing
strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu, perawat
mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi dengan pasien
mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi dan tidak
berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara berkenalan, dan
memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan orang lain ke
dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadwal
kegiatan harian pasien, memberi kesempatan pada pasien mempraktikkan
cara berkenalan dengan satu orang, dan membantu pasien memasukkan
kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan
harian. Pada SP tiga, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien,
memberi kesempatan untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan
menganjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya
(Stuart & Sundeen, 2006).
d. Terapi kelompok
Menurut Stuart & Sundeen (2006), aktivitas pasien yang mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi
tiga yaitu:
1) Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
sehari-hari yang meliputi:
 Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien sewaktu
bangun tidur.
 Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua
bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan
BAK.
 Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
 Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
keperluan berganti pakaian.
 Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu,
sedang dan setelah makan dan minum.
 Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan
dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan
kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
 Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan
dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak
menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak merokok
sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya tanpa tujuan
yang positif.
 Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk
pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini
perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala primer yang
muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan
gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana pasien mau
mengawali tidurnya.
2) Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial
pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:
 Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya
menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan sebagainya.
 Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa,
menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan
dan sebagainya.
 Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu
berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling
menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam berkomunikasi.
 Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kemampuan
bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).
 Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.
 Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata
krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun
orang lain.
 Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang
bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya,
seperti tidak meludah sembarangan, tidak membuang puntung
rokok sembarangan dan sebagainya.

e. Therapy Lingkungan
Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek
lingkungan harus mendapat perhatian khusus dalam kaitannya untuk
menjaga dan memelihara kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan erat
dengan stimulus psikologi seseorang yang akan berdampak pada
kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan memberikan dampak baik
pada kondisi fisik maupun kondisi psikologis seseorang (Deden
Dermawan& Rusdi,2013)
f. Cognitif Behavioral Therapy (CBT) dan Social Skills Trainning (SST)
Perkembangan riset lain juga menjelaskan bahwa Cognitive
Behavioral Therapy (CBT) dan Social Skills Training (SST) efektif untuk
meningkatkan kualitas hidup klien skizofrenia usia muda, namun terapi
tersebut tidak ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan spesifik klien
skizofrenia usia pertengahan dan usia lanjut.(McQuaid, 2000).
Terdapat perubahan kemampuan interaksi social pasien isolasi
social sebelum dan sesudah pemberian Social Scills Therapy di tiap
pelaksanaan sesinya. Sehingga psikoterapi ini dapat direkomendasikan
sebagai tindakan keperawatan dalam meningkatkan kemampuan interaksi
social pasien dengan isolasi social.
g. Keterampilan Sosial
Latihan keterampilan sosial telah terbukti efektif dalam meningkatkan
kemampuan adaptasi sosial, komunikasi, interaksi sosial, mengurangi
tingkat kekambuhan selain untuk meningkatkan harga diri. Jadi,
keterampilan social merupakan kemampuan dasar dalam berinteraksi.
(Hapsari dkk, 2012).
h. Terapi Kognitif
Tujuan umum dalam intervensi terhadap klien dengan gangguan hubungan
social adalah klien dapat mencapai kepuasan interpersonal yang maksimal
dan dapat membina dan mempertahankan dalam hubungan dengan orang
lain, tujuan khusus yang terdapat pada klien isolasi social antara lain
membina hubungan saling percaya, klien mengetehui penyebab isolasi
social dan klien dapat berinteraksi dengan orang lain. Tujuan khusus untuk
keluarga adalah keluarga dapat merawat klien dirumah dengan baik salah
satu bentuk psikoterapi yang dapat kita terapkan adalah terapi kognitif.
(Nyumirah, 2013)
J. Pohon Masalah

Resiko gangguan persepsi sensori: halusinasi


effect

Isolasi sosial: menarik diri

Core problem

Gangguan konsep diri: harga diri rendah


causa

Gambar 2. Pohon masalah (Damayanti dan Iskandar,2014)


Asuhan Keperawatan Isolasi Sosial

1. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu dikaji


a. Masalah keperawatan:
1) Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi…
2) Isolasi sosial: menarik diri
3) Gangguan konsep diri: harga diri rendah
b. Data yang perlu dikaji
1) Resiko perubahan persepsi sensori : halusinasi
Data Subjektif:
 Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak
berhubungan dengan stimulus nyata
 Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus
yang nyata
 Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus
 Klien merasa makan sesuatu
 Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya
 Klien takut pada suara/bunyi/gambar yang dilihat dan
didengar
 Klien ingin memukul/melempar barang-barang
Data Objektif:
 Klien berbicara dan tertawa sendiri
 Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu
 Klien berhebti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan
sesuatu
 Disorientasi
2) Isolasi Sosial : menarik diri
Data Subyektif:
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-
apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu
terhadap diri sendiri.
Data Obyektif:
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternatif tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup.
3) Gangguan konsep diri : harga diri rendah
Data subyektif:
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-
apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu
terhadap diri sendiri.
Data obyektif:
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternatif tindakan, ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.

2. Diagnosa Keperawatan
a) Isolasi sosial: menarik diri
b) Gangguan konsep diri : harga diri rendah
3. Fokus Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1: Isolasi Sosial
Tujuan Umum :
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi
halusinasi
Tujuan Khusus :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan : Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan
prinsip komunikasi terapeutik dengan cara :
a) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
b) Perkenalkan diri dengan sopan
c) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
d) Jelaskan tujuan pertemuan
e) Jujur dan menepati janji
f) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g) Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar
klien
2) Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Tindakan:
a) Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-
tandanya.
b) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan
penyebab menarik diri atau mau bergaul
c) Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-
tanda serta penyebab yang muncul
d) Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan
perasaannya
3) Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain
dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Tindakan :
a) Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika
terjadi halusinasi ( tidur, marah, menyibukkan diri dll)
b) Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan
berhubungan dengan orang lain
 Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan
perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan prang lain
 Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan
dengan orang lain.
 Beri reinforcement positif terhadap kemampuan
mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungan
dengan orang lain.
c) Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan
dengan orang lain.
 Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan
perasaan dengan orang lain.
 Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan
dengan orang lain.
 Beri reinforcement positif terhadap kemampuan
mengungkapkan perasaan tentang kerugian tidak berhubungan
dengan orang lain
4) Klien dapat melaksanakan hubungan sosial
Tindakan:
a) Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
b) Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain
melalui tahap :
 K–P
 K – P – P lain
 K – P – P lain – K lain
 K – Kel/Klp/Masy
c) Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah
dicapai.
d) Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
e) Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam
mengisi waktu
f) Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
g) Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan
ruangan
5) Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan
orang lain
Tindakan:
a) Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila
berhubungan dengan orang lain.
b) Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan
dengan orang lain.
c) Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan
perasaan manfaat berhubungan dengan oranglain
6) Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
Tindakan:
a) Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
 Salam, perkenalan diri
 Jelaskan tujuan
 Buat kontrak
 Eksplorasi perasaan klien
b) Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
 Perilaku menarik diri
 Penyebab perilaku menarik diri
 Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
 Cara keluarga menghadapi klien menarik diri
c) Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada
klien untuk berkomunikasi dengan orang lain.
d) Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk
klien minimal satu kali seminggu
e) Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai
oleh keluarga

Diagnosa 2 : harga diri rendah


Tujuan Umum :
Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
a) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip
komunikasi terapeutik dengan cara :
b) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal.
c) Perkenalkan diri dengan sopan
d) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
e) Jelaskan tujuan pertemuan.
f) Jujur dan menepati janji
g) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
h) Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar
klien.
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
Tindakan:
a) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
b) Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negatif
c) Utamakan memberikan pujian yang realistis.
3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan
4. Tindakan:
a) Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat
digunakan selama sakit.
b) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.
5. Klien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki
Tindakan:
a) Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap
hari sesuai kemampuan
 Kegiatan mandiri
 Kegiatan dengan bantuan sebagian
 Kegiatan yang membutuhkan bantuan total
b) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien..
c) Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan.
6. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan
kemampuannya.
Tindakan:
a) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.
b) Beri pujian atas keberhasilan klien.
c) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
7. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan:
a) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara
merawat klien dengan harga diri rendah.
b) Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat.
c) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

KLIEN DENGAN ISOS : MENARIK DIRI

A. Klien
1. Kondisi Klien
 Klien marah-marah
 Kurang lebih 2 bulan ini klien diam saja, tidak bekerja, tidak mau
makan, tidak mau mandi, sering duduk menyendiri, banyak tidur-
tiduran
 Ekspresi wajah tampak sedih, dan sering ngomel-ngomel
2. Diagnosa Keperawatan
Resiko perubahan sensori persepsi: halusinasi berhubungan dengan
menarik diri.
3. Tujuan Khusus
TUK 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
TUK 2. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
4. Tindakan Keperawatan
 Bina hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi
terapeutik
 Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dengan tanda-
tandanya

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)

 SP 1 Klien :
Membina hubungan saling percaya, membantu klien mengenal
penyebab isolasi sosial, membantu klien mengenal keuntungan
berhubungan dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain,
dan mengajarkan klien berkenalan.
Orientasi:
Selamat pagi Ibu, Saya Mahasiswa Fakuitas Ilmu Kesehatan
Universitas Kristen Satya Wacana, yang akan merawat bapak
berapa hari kedepan. Nama Dian Adi Widia Benda, saya lebih
senang dipanggil Dian.”
“Siapa nama Ibu? Senang dipanggil siapa?”
“Apa keluhan Ibu W hari ini?” Bagaimana kalau kita bercakap-
cakap tentang keluarga dan teman-teman Ibu W? Mau dimana kita
bercakap-cakap? Bagaimana kalau di ruang tamu? Mau berapa
lama, Ibu W? Bagaimana kalau 15 menit?”
Kerja:
(Jika klien baru) ”Siapa saja yang tinggal serumah? Siapa yang
paling dekat dengan Ibu W? Siapa yang jarang bercakap-cakap
dengan Ibu W? Apa yang membuat Ibu W jarang bercakap-cakap
dengannya?”
(Jika klien sudah lama dirawat)
”Apa yang dirasakan selama Ibu W dirawat disini? O.. Ibu W
merasa sendirian? Siapa saja yang Ibu W kenal di ruangan ini”
“Apa saja kegiatan yang biasa dilakukan dengan teman yang Ibu
W kenal?”
“Apa yang menghambat Ibu W dalam berteman atau bercakap-
cakap dengan klien yang lain?”
”Menurut Ibu W apa saja keuntungannya kalau kita mempunyai
teman ? Wah benar, ada teman bercakap-cakap. Apa lagi ? (sampai
klien dapat menyebutkan beberapa) Nah kalau kerugiannya tidak
mampunyai teman apa ya Ibu W ? Ya, apa lagi ? (sampai klien
dapat menyebutkan beberapa) Jadi banyak juga ruginya tidak
punya teman ya. Kalau begitu maukah ibu W belajar bergaul
dengan orang lain ?” Bagus. Bagaimana kalau sekarang kita
belajar berkenalan dengan orang lain”
“Begini lho Ibu W, untuk berkenalan dengan orang lain kita
sebutkan dulu nama kita dan nama panggilan yang kita suka, asal
kita, dan hobi. Contoh: Dian Adi Widia Benda, saya senang
dipanggil Dian. Asal saya dari NTT, hobi saya menyanyi.”
“Selanjutnya Ibu W menanyakan nama orang yang diajak
berkenalan. Contohnya begini: Nama Bapak siapa? Senang
dipanggil apa? Asalnya dari mana/ Hobinya apa?”
“Ayo Ibu W dicoba! Misalnya saya belum kenal dengan Ibu W
coba berkenalan dengan saya!”
“Ya bagus sekali! Coba sekali lagi. Bagus sekali”
“Setelah berkenalan dengan orang tersebut Ibu W bisa
melanjutkan percakapan tentang hal-hal yang menyenangkan Ibu
W bicarakan. Misalnya tentang cuaca, tentang hobi, tentang
keluarga, pekerjaan dan sebagainya.”
Terminasi:
”Bagaimana perasaan Ibu W setelah kita latihan berkenalan?”
” Ibu W tadi sudah mempraktekkan cara berkenalan dengan baik
sekali”
”Selanjutnya Ibu W dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari
tadi selama saya tidak ada. Sehingga lebih siap untuk berkenalan
dengan orang lain. Ibu W mau praktekkan ke klien lain. Mau jam
berapa mencobanya. Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan
hariannya.”
”Besok pagi jam 10 saya akan datang kesini untuk mengajak Ibu
W berkenalan dengan teman saya, perawat N. Bagaimana, mau
kan?”
”Baiklah, sampai jumpa. Selamat pagi!”
 SP 2 Klien : Mengajarkan klien berinteraksi secara bertahap
(berkenalan dengan orang pertama -seorang perawat).
Orientasi :
“Selamat Pagi!”
“Bagaimana perasaan ibu W hari ini”.”Sudah dingat-ingat lagi
pelajaran kita tetang berkenalan »Coba sebutkan lagi sambil
bersalaman dengan Suster!”
”Bagus sekali, masih ingat. Nah seperti janji saya, saya akan
mengajak ibu W mencoba berkenalan dengan teman saya perawat
N. Tidak lama kok, sekitar 10 menit ”
“ Ayo kita temui perawat N disana”
Kerja :
(Bersama-sama Ibu W, saudara mendekati perawat N)
“Selamat pagi perawat N, ini ibu W ingin berkenalan dengan N“
“ Baiklah Ibu W, Ibu W bisa berkenalan dengan perawat N seperti
yang kita praktekkan kemarin“
(klien mendemontrasikan cara berkenalan dengan perawat N :
memberi salam, menyebutkan nama, menanyakan nama perawat,
dan seterusnya)
“Ada lagi yang Ibu W ingin tanyakan kepada perawat N . Coba
tanyakan tentang keluarga perawat N“
“Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, Ibu W bisa sudahi
perkenalan ini. Lalu Ibu W bisa buat janji bertemu lagi dengan
perawat N, misalnya jam 1 siang nanti“
“Baiklah perawat N, karena Ibu W sudah selesai berkenalan, saya
dan ibu W akan kembali ke ruangan. Selamat pagi“
(Bersama-sama klien saudara meninggalkan perawat N untuk
melakukan terminasi dengan Ibu W di tempat lain)
Terminasi:
“Bagaimana perasaan Ibu W setelah berkenalan dengan perawat
N”
”Ibu W tampak bagus sekali saat berkenalan tadi”
”Pertahankan terus apa yang sudah Ibu W lakukan tadi. Jangan
lupa untuk menanyakan topik lain supaya perkenalan berjalan
lancar. Misalnya menanyakan keluarga, hobi, dan sebagainya.
Bagaimana, mau coba dengan perawat lain. Mari kita masukkan
pada jadwalnya. Mau berapa kali sehari? Bagaimana kalau 2 kali.
Baik nanti Ibu W coba sendiri. Besok kita latihan lagi ya, mau jam
berapa? Jam 10? Sampai besok.”
 SP 3 Klien : Melatih klien berinteraksi secara bertahap
(berkenalan dengan orang kedua-seorang klien).
Orientasi:
“Selamat pagi! Bagaimana perasaan hari ini?
”Apakah Ibu W bercakap-cakap dengan perawat N kemarin siang”
(jika jawaban klien: ya, saudara bisa lanjutkan komunikasi
berikutnya orang lain
”Bagaimana perasaan Ibu W setelah bercakap-cakap dengan
perawat N kemarin siang”
”Bagus sekali Ibu W menjadi senang karena punya teman lagi”
”Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan orang lain,
yaitu klien O”
”seperti biasa kira-kira 10 menit”
Kerja:
(Bersama-sama Ibu W, saudara mendekati klien )
”Selamat pagi , ini ada klien saya yang ingin berkenalan.”
”Baiklah Ibu W, Ibu W sekarang bisa berkenalan dengannya
seperti yang telah Ibu W lakukan sebelumnya. ”
(klien mendemontrasikan cara berkenalan: memberi salam,
menyebutkan nama, nama panggilan, asal dan hobi dan
menanyakan hal yang sama). ”
”Ada lagi yang ingin ditanyakan kepada O”
”Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, Ibu W bisa sudahi
perkenalan ini. Lalu bisa buat janji bertemu lagi, misalnya bertemu
lagi jam 4 sore nanti”
(S membuat janji untuk bertemu kembali dengan O)
”Baiklah O, karena Ibu W sudah selesai berkenalan, saya dan Ibu
W akan kembali ke ruangan Ibu W. Selamat pagi”
(Bersama-sama klien saudara meninggalkan perawat O untuk
melakukan terminasi dengan Ibu W di tempat lain).
Terminasi:
“Bagaimana perasaan Ibu W setelah berkenalan dengan O”
”Dibandingkan kemarin pagi, Ibu W tampak lebih baik saat
berkenalan dengan O” ”pertahankan apa yang sudah Ibu W
lakukan tadi. Jangan lupa untuk bertemu kembali dengan O jam 4
sore nanti”
”Selanjutnya, bagaimana jika kegiatan berkenalan dan bercakap-
cakap dengan orang lain kita tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi
satu hari Ibu W dapat berbincang-bincang dengan orang lain
sebanyak tiga kali, jam 10 pagi, jam 1 siang dan jam 8 malam, Ibu
W bisa bertemu dengan N, dan tambah dengan klien yang baru
dikenal. Selanjutnya Ibu W bisa berkenalan dengan orang lain lagi
secara bertahap. Bagaimana Ibu W, setuju kan?”
”Baiklah, besok kita ketemu lagi untuk membicarakan pengalaman
S. Pada jam yang sama dan tempat yang sama ya. Sampai besok..
Selamat pagi”

B. Keluarga

1. Tujuan: setelah tindakan keperawatan keluarga mampu merawat pasien


isolasi sosial
2. Tindakan: Melatih Keluarga Merawat Pasien Isolasi sosial
a. Keluarga merupakan sistem pendukung utama bagi pasien untuk dapat
membantu pasien
b. mengatasi masalah isolasi sosial ini, karena keluargalah yang selalu
bersama-sama dengan pasien sepanjang hari.
3. Tahapan melatih keluarga agar mampu merawat pasien isolasi sosial di
rumah meliputi:
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien.
b. Menjelaskan tentang:
a) Masalah isolasi sosial dan dampaknya pada pasien.
b) Penyebab isolasi sosial.
c) Cara-cara merawat pasien dengan isolasi sosial, antara lain:
 Membina hubungan saling percaya dengan pasien dengan cara
bersikap peduli dan tidak ingkar janji.
 Memberikan semangat dan dorongan kepada pasien untuk
bisa melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain
yaitu dengan tidak mencela kondisi pasien dan memberikan
pujian yang wajar.
 Tidak membiarkan pasien sendiri di rumah.
 Membuat rencana atau jadwal bercakap-cakap dengan pasien.
c. Memperagakan cara merawat pasien dengan isolasi sosial
 Membantu keluarga mempraktekkan cara merawat yang telah
dipelajari, mendiskusikan yang dihadapi.
 Menyusun perencanaan pulang bersama keluarga

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP) Keluarga

 SP 1 Keluarga: Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang


masalah isolasi sosial, penyebab isolasi sosial, dan cara merawat
pasien dengan isolasi sosial
Peragakan kepada pasangan saudara komunikasi dibawah ini
Orientasi:
“Assalamu’alaikum Pak”
”Perkenalkan saya perawat H, saya yang merawat, anak bapak, S, di ruang
Mawar ini”
”Nama Bapak siapa? Senang dipanggil apa?”
” Bagaimana perasaan Bapak hari ini? Bagaimana keadaan anak S
sekarang?”
“Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang masalah anak Bapak
dan cara perawatannya”
”Kita diskusi di sini saja ya? Berapa lama Bapak punya waktu? Bagaimana
kalau setengah jam?”
Kerja:
”Apa masalah yang Bp/Ibu hadapi dalam merawat S? Apa yang sudah
dilakukan?”
“Masalah yang dialami oleh anak S disebut isolasi sosial. Ini adalah salah
satu gejala penyakit yang juga dialami oleh pasien-pasien gangguan jiwa
yang lain”.
”Tanda-tandanya antara lain tidak mau bergaul dengan orang lain,
mengurung diri, kalaupun berbicara hanya sebentar dengan wajah
menunduk”
”Biasanya masalah ini muncul karena memiliki pengalaman yang
mengecewakan saat berhubungan dengan orang lain, seperti sering ditolak,
tidak dihargai atau berpisah dengan orang–orang terdekat”
“Apabila masalah isolasi sosial ini tidak diatasi maka seseorang bisa
mengalami halusinasi, yaitu mendengar suara atau melihat bayangan yang
sebetulnya tidak ada.”
“Untuk menghadapi keadaan yang demikian Bapak dan anggota keluarga
lainnya harus sabar menghadapi S. Dan untuk merawat S, keluarga perlu
melakukan beberapa hal. Pertama keluarga harus membina hubungan
saling percaya dengan S yang caranya adalah bersikap peduli dengan S
dan jangan ingkar janji. Kedua, keluarga perlu memberikan semangat dan
dorongan kepada S untuk bisa melakukan kegiatan bersama-sama dengan
orang lain. Berilah pujian yang wajar dan jangan mencela kondisi pasien.”
“Selanjutnya jangan biarkan S sendiri. Buat rencana atau jadwal bercakap-
cakap dengan S. Misalnya sholat bersama, makan bersama, rekreasi
bersama, melakukan kegiatan rumah tangga bersama.”
”Nah bagaimana kalau sekarang kita latihan untuk melakukan semua cara
itu”
” Begini contoh komunikasinya, Pak: S, bapak lihat sekarang kamu sudah
bisabercakap-cakap dengan orang lain.Perbincangannya juga lumayan
lama. Bapak senang sekali melihat perkembangan kamu, Nak. Coba kamu
bincang-bincang dengan saudara yang lain. Lalu bagaimana kalau mulai
sekarang kamu sholat berjamaah. Kalau di rumah sakit ini, kamu sholat di
mana? Kalau nanti di rumah, kamu sholat bersana-sama keluarga atau di
mushola kampung. Bagiamana S, kamu mau coba kan, nak ?”
”Nah coba sekarang Bapak peragakan cara komunikasi seperti yang saya
contohkan”
”Bagus, Pak. Bapak telah memperagakan dengan baik sekali”
”Sampai sini ada yang ditanyakan Pak”
Terminasi:
“Baiklah waktunya sudah habis. Bagaimana perasaan Bapak setelah kita
latihan tadi?”
“Coba Bapak ulangi lagi apa yang dimaksud dengan isolasi sosial dan
tanda-tanda orang yang mengalami isolasi sosial”
“Selanjutnya bisa Bapak sebutkan kembali cara-cara merawat anak bapak
yang mengalami masalah isolasi sosial:”
“Bagus sekali Pak, Bapak bisa menyebutkan kembali cara-cara perawatan
tersebut”
“Nanti kalau ketemu S coba Bp/Ibu lakukan. Dan tolong ceritakan kepada
semua keluarga agar mereka juga melakukan hal yang sama.”
“Bagaimana kalau kita betemu tiga hari lagi untuk latihan langsung kepada
S ?”
“Kita ketemu disini saja ya Pak, pada jam yang sama”
“Assalamu’alaikum”
 SP 2 Keluarga: Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat
pasien dengan masalah isolasi sosial langsung dihadapan pasien
Orientasi:
“Assalamu’alaikum Pak/Bu”
” Bagaimana perasaan Bpk/Ibu hari ini?”
”Bapak masih ingat latihan merawat anak Bapak seperti yang kita pelajari
berberapa hari yang lalu?”
“Mari praktekkan langsung ke S! Berapa lama waktu Bapak/Ibu Baik kita
akan coba 30 menit.”
”Sekarang mari kita temui S”
Kerja:
”Assalamu’alaikum S. Bagaimana perasaan S hari ini?”
”Bpk/Ibu S datang besuk. Beri salam! Bagus. Tolong S tunjukkan jadwal
kegiatannya!”
(kemudian saudara berbicara kepada keluarga sebagai berikut)
”Nah Pak, sekarang Bapak bisa mempraktekkan apa yang sudah kita
latihkan beberapa hari lalu”
(Saudara mengobservasi keluarga mempraktekkan cara merawat pasien
seperti yang telah dilatihkan pada pertemuan sebelumnya).
”Bagaimana perasaan S setelah berbincang-bincang dengan Orang tua S?”
”Baiklah, sekarang saya dan orang tua ke ruang perawat dulu”
(Saudara dan keluarga meninggalkan pasien untuk melakukan terminasi
dengan keluarga)
Terminasi:
“ Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah kita latihan tadi? Bapak/Ibu
sudah bagus.”
“Mulai sekarang Bapak sudah bisa melakukan cara merawat tadi kepada
S”
“Tiga hari lagi kita akan bertemu untuk mendiskusikan pengalaman Bapak
melakukan cara merawat yang sudah kita pelajari. Waktu dan tempatnya
sama seperti sekarang Pak”
“Assalamu’alaikum”
 SP 3 Keluarga: Membuat perencanaan pulang bersama keluarga
Orientasi:
“Assalamu’alaikum Pak/Bu”
”Karena besok S sudah boleh pulang, maka perlu kita bicarakan perawatan
di rumah.”
”Bagaimana kalau kita membicarakan jadwal S tersebut disini saja”
”Berapa lama kita bisa bicara? Bagaimana kalau 30 menit?”
Kerja:
”Bpk/Ibu, ini jadwal S selama di rumah sakit. Coba dilihat, mungkinkah
dilanjutkan di rumah? Di rumah Bpk/Ibu yang menggantikan perawat.
Lanjutkan jadwal ini di rumah, baik jadwal kegiatan maupun jadwal
minum obatnya”
”Hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah perilaku yang
ditampilkan oleh anak Bapak selama di rumah. Misalnya kalau S terus
menerus tidak mau bergaul dengan orang lain, menolak minum obat atau
memperlihatkan perilaku membahayakan orang lain. Jika hal ini terjadi
segera hubungi perawat K di puskesmas, Puskesmas terdekat dari rumah
Bapak, ini nomor telepon puskesmasnya: (0651) 554xxx
”Selanjutnya perawat K tersebut yang akan memantau perkembangan S
selama di rumah
Terminasi
”Bagaimana Pak/Bu? Ada yang belum jelas? Ini jadwal kegiatan harian S
untuk dibawa pulang. Ini surat rujukan untuk perawat K di PKM. Jangan
lupa kontrol ke PKM sebelum obat habis atau ada gejala yang tampak.
Silakan selesaikan administrasinya!”
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, mukhripah & Iskandar. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung:


PT. Refika Aditama.
Eko Prabowo.(2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Kusumawati, Farida & Hartono, Rudi. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta : Salemba Medika.

Stuart dan Sundeen. 2006. Buku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC .

Trimelia. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarata Timur :


TIM.

Afnuhazi, Ns.Ridhyalla. 2015. Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Dermawan, D. & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep Dan Kerangka Kerja

Nyumirah, S (2013). Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif, Afektif,


dan Perilaku) melalui penerapan terapi perilaku kognitif di RSJ. Jurnal
Keperawatan Jiwa, 1 (No.2), 121-128

Rachmawati, U. . K. B. A. & W. I. Y. (2015). Tindakan Keperawatan pada Klien,


Keluarga, dan Kader Kesehatan Jiwa dengan Diagnosa Keperawatan
Isolasi Sosial di Komunitas. Jurnal Keperawatan Jiwa, 3 (No.2) , 97-106

Anda mungkin juga menyukai