Anda di halaman 1dari 24

KONSELING PADA ODHA DAN CAREGIVER

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 8A

1. Havabeen Octavia (032017010)


2. Citra Tiur Rotua Simamora (032017035)
3. Yuleen Natasya Telaumbanua (032017037)
4. Nurtalenta Lafau (032017042)
5.

PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTA ELISABETH MEDAN

2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
penyertaannya sehingga kami kelompok 8 (delapan) dapat menyelesaikan makalah
kami yang berjudul “KONSELING PADA ODHA DAN CAREGIVER”.

Kami menyadari bahwa makalah kami ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap saran dan kritik yang dapat
membangun dari semua pihak untuk membantu dalam penyempurnaan makalah ini
ke depannya.

Kami pun mengharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat dan


membantu menambah ilmu pengetahuan terutama berguna dalam menunjang
berjalannya diskusi yang baik.

Medan, 21 Juni 2019

Kelompok 8A

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………….....i
DAFTAR ISI…………………………………………… ……………………...ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang.................................................................................................1
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum.................................................................................3
1.2.2 Tujuan khusus................................................................................3

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS


2.1 Pengertian konseling........................................................................................4
2.2 Pengkajian bio, psiko, spiritual dan kultural pada klien dengan HIV/AIDS..4
2.2.1 Biologis..........................................................................................4
2.2.2 Psikologis.......................................................................................5
2.2.3 Sosial..............................................................................................8
2.2.4 Spiritual..........................................................................................8
2.2.5 Kultural..........................................................................................9
2.3 Pemeriksaan fisik dan diagnostik pada klien dengan HIV/AIDS..................10
2.4 Prinsip komunikasi pada klien dengan HIV/AIDS........................................15
2.5 Hidup bersama ODHA dalam komunitas atau masyarakat............................17
BAB 3 PENUTUP
3.1 KESIMPULAN………………………………………………...…........20
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................

ii

3
DAFTAR PUSTAKA

A, Hallen. 2005. Bimbingan & Konseling. Jakarta: Ciputat Pres Djoerban, Zubairi.
1999. Membidik Aids; Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA. Yogyakarta:
Yayasan Galang

Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada.

Hamid, Achir Yani S, Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2008.

Phillips LA. Stigma and Substance Use Disorders: Research, Implications, and
PotentialL Solutions. Journal of Drug Addiction, Education, and Eradication.
2011;7(2):91.

Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Gramedia Widiasarana


Indonesia, Jakarta, 1991

4
Bab 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Komunikasi merupakan hal yang fundamental bagi kehidupan manusia.
Dengan berkomunikasi, manusia dapat menyampaikan gagasan dan
mentransferkan pesannya kepada khalayak luas dengan tujuan mempengaruhi
perilaku orang lain untuk mengambil keputusan tertentu.. Proses penyampaian
informasi mengenai isu-isu kesehatan oleh komunikator kepada komunikan inilah
biasa dikenal dengan komunikasi kesehatan.
Di Indonesia, banyak penyakit yang sudah menjadi masalah kesehatan bagi
masyarakat, salah satunya HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS yang terjadi diibaratkan
seperti fenomena gunung es, sebab apa yang terlihat di atas itu hanya nampak
kecil, sementara kondisi dibawah yang lebih besar justru tidak terdeteksi.
Karenanya, setiap tahun jumlah penderita mengalami peningkatan dan tidak
sedikit yang meninggal. Laporan Kementerian Kesehatan, sejak pertama kali
kasus HIV ditemukan pada tahun 1987 hingga bulan September 2014, tercatat
sebanyak 150.296 orang telah terinfeksi HIV, dimana 55.799 orang di antaranya
telah pada tahap AIDS. Persentase AIDS pada laki-laki sebanyak 54%, dan
perempuan 29%, sementara itu 17% tidak melaporkan jenis kelamin. Jumlah
AIDS tertinggi tercatat pada ibu rumah tangga (6.539), diikuti wiraswasta (6.203),
tenaga non-profesional/karyawan (5.638) dan petani/peternak nelayan (2.324).
(www.aidsindonesia.or.id).
Program penanggulangan HIV/AIDS yang ada yaitu melalui pengamanan
darah, komunikasi-informasi dan edukasi (KIE) telah berjalan cukup baik, namun
program pelayanan dan dukungan tersebut masih sangat terbatas, khususnya
program konseling dan tes sukarela atau biasa dikenal dengan Voluntary
Counselling and Testing (VCT). Di negara maju, VCT sudah menjadi komponen

5
utama dalam program penanggulangan HIV/AIDS, namun di negara berkembang
seperti di Indonesia, VCT belum merupakan
strategi yang besar. (Rimawati dkk, 2011). Karena strategi kesehatan hanya
difokuskan untuk mengurangi angka kematian dari penyakit menular yang dapat
dicegah saja.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS pasal 3 dijelaskan bahwa tujuan
dari penanggulangan HIV/AIDS yaitu a) menurunkan hingga meniadakan infeksi
HIV baru; b) menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh
keadaan yang berkaitan dengan AIDS; c) meniadakan diskriminasi terhadap
ODHA; d) meningkatkan kualitas hidup ODHA; dan e) mengurangi dampak
sosial ekonomi dari penyakit HIV dan AIDS pada individu, keluarga, dan
masyarakat. Poin a, b, dan c juga merupakan salah satu strategi terbaru
penanggulangan HIV/AIDS yang digulirkan pada ASEAN Summit ke 19 di Nusa
Dua, Bali bulan November 2011 yaitu Getting to Zero, meliputi : Zero New HIV
Infections, Zero Discrimination, Zero AIDS-Related Deaths.
(culturalstudiesforum.wordpress.com). Eksistensi klinik VCTterutama di rumah
sakit sangatlah dibutuhkan. Selain membantu tugas pemerintah dalam
mewujudkan Getting to Zero sebagai indikator keberhasilan pembangunan
nasional, VCT juga merupakan gerbang utama untuk memperoleh informasi
mengenai HIV/AIDS, melakukan konseling dan tes, pencegahan dan pelayanan
bagi ODHA. Tak terkecuali di Kabupaten Karanganyar, keberadaan klinik VCT
merupakan wadah kepedulian terhadap permasalahan HIV/AIDS di wilayah
tersebut.
Membangun kedekatan dengan pasien HIV mutlak diperlukan agar suatu
hubungan dapat tumbuh dan berkembang yang dilakukan dengan jalan
menanamkan kepercayaan pada diri pasien HIV kepada dokter/konselor sampai
timbul keterbukaan dalam proses komunikasi dalam pelaksanaan HIV Voluntary
Counseling and Testing antara dokter dan pasien, kemudian ditemukan

6
penggunaan komunikasi antar pribadi yang pada akhirnya menimbulkan perasaan
empati, keakraban dan keterbukaan antara dokter dan pasien. Tujuan akhir dalam
program konseling VCT ini adalah agar pasien HIV tersebut dapat mandiri dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan mempunyai motivasi dan semangat
yang kuat untuk berjuang hidup. Berbeda dengan kedua penelitian diatas yang
meneliti bagaimana peran dan proses komunikasi antarpribadi antara konselor
dengan pasien untuk pembentukkan diri ODHA. Penelitian ini lebih menekankan
pada penerapan komunikasi antarpribadi yang konselor jalin dengan ODHA demi
tujuan membangkitkan kesadaran ODHA untuk merubah perilaku beresikonya.
Terdapat pula perbedaan pada metode yang digunakan dan obyek penelitian,
sehingga membuat hasil yang akan didapatkan menjadi berbeda pula.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti
pemanfaatan komunikasi antarpribadi oleh konselor kepada ODHA di Klinik
VCT RSUD Kabupaten Karanganyar guna tujuan perubahan perilaku yang lebih
bertanggung jawab.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum

Agar mahasiswa/I mengetahui tentang konseling pada ODHA atau


caregiver.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Agar mengetahui apa pengertian dari konseling
2. Agar mengetahui bagaimana konseling pada ODHA atau caregiver
3. Agar mengetahui pengkajian apa saja yang di lakukan pada klien ODHA
4. Agar bagaimana hidup bersama ODHA dalam komunitas atau masyarakat

7
Bab 2
Pembahasan
2.1 Pengertian konseling
Konseling HIV/AIDS merupakan strategi komunikasi perubahan perilaku
yang bersifat rahasia dan saling percaya antara klien dan konselor. Tujuan konseling
yaitu untuk meningkatkan kemampuan klien menghadapi tekanan dan pengambilan
keputusan terkait HIV/AIDS (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Praktik konseling
dilakukan oleh konselor yang memiliki keterampilan dasar konseling dan pemahaman
luas mengenai HIV/AIDS. Selain itu, konselor harus memahami tentang prinsip
konseling yaitu adanya jaminan kerahasiaan mengenai data-data klien. Dengan
kerahasiaan dirinya yang terjamin, tentu hal tersebut membuat klien mau terbuka
mengenai masalahnya kepada konselor.

2.2 Pengkajian bio, psiko, spiritual dan kultural pada klien dengan HIV/AIDS
2.2.1 Biologis
a. Respons Biologis (Imunitas)
Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut
limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun
kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat
fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang
disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian
menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC).
Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya
bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian
intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse
transcripatase yang terdiri dari DNA polimerase dan ribonuclease. Pada inti
yang mengandung RNA, dengan enzim DNA polimerase menyusun kopi
DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuclease memusnahkan RNA asli. Enzim

8
polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang
tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja, 2000).
Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan
masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus
disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+,
kemudian bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis
(Stewart, 1997). Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien,
juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel
mikroglia di otak, sel – sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar
limfe, sel- sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit. Efek dari infeksi
pada sel mikroglia di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah
diare yang kronis (Stewart, 1997). Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan
akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien.
Setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien
yang terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama
bertahuntahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+ mengalami
penurunan jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200 –
300/ul setelah terinfeksi 2 – 10 tahun (Stewart, 1997).
2.2.2 Psikologis
Reaksi Psikologis Pasien HIV
Reaksi Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai
a. Shock (kaget,goncanganbatin)Merasa bersalah, marah,tidak
berdayaRasa takut, hilang akal,frustrasi, rasa sedih, susah,acting out
b. Mengucilkandiri, Merasa cacat dan tidakberguna, menutup diri,
Khawatir menginfeksi oranglain, murung
c. Membukastatus secaraterbatas, Ingin tahu reaksi orang
lain,pengalihan stres, ingindicintaiPenolakan, stres, konfrontasi
d. Mencari oranglain yang HIVpositifBerbagi rasa,
pengenalan,kepercayaan, penguatan,dukungan

9
sosialKetergantungan, campurtangan, tidak percaya padapemegang
rahasia dirinya
e. Status khusus Perubahan keterasinganmenjadi manfaat
khusus,perbedaan menjadi hal yangistmewa, dibutuhkan olehyang
lainnyaKetergantungan, dikotomikita dan mereka (sema
orangdilihat sebagai terinfeksi HIVdan direspon seperti itu),
overidentification
f. Perilakumementingkanorang lainKomitmen dan kesatuankelompok,
kepuasanmemberi dan berbagi,perasaan sebagi kelompok
Pemadaman, reaksi dankompensasi yang berlebihan
g. Penerimaan Integrasi status positif HIVdengan identitas
diri,keseimbangan antarakepentingan orang laindengan diri sendiri,
bisamenyebutkan kondisiseseorangApatis, sulit berubah.

Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit Kubler „Ross


(1974) menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit,
yaitu.
a. Pengingkaran (denial)
Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku
pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna rasional
dan dampak emosional dari diagnosa. Pengingkaran ini dapat disebabkan
karena ketidaktahuan pasien terhadap sakitnya atau sudah mengetahuinya
dan mengancam dirinya. Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien
“saya di sini istirahat.” Pengingkaran dapat berlalu sesuai dengan
kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima sebagai alat yang
berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin
perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri
yang mencolok tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini
merupakan buffer untuk menerima kenyataan yang sebenarnya.

10
Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera berubah menjadi
fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999).
b. Kemarahan (anger)
Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase
pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik
dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan mengalihkan
kemarahan pada segala sesuatu yang ada disekitarnya. Biasanya
kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan timbul penyesalan. Yang
menjadi sasaran utama atas kemarahan adalah perawat, semua tindakan
perawat serba salah, pasien banyak menuntut, cerewet, cemberut, tidak
bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama, sangat marah,
mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga
mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan
keluarga segan untuk datang, hal ini akan menyebabkan bentuk
keagresipan (Hudak & Gallo, 1996).
c. Sikap tawar menawar (bargaining)
Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir dan merasakan
bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan
mulai membina hubungan dengan Tuhan, meminta dan berjanji
merupakan ciri yang jelas yaitu pasien menyanggupi akan menjadi lebih
baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat
sembuh (Achir Yani, 1999).
d. Depresi
Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan
pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien
mencoba perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat
emosional adalah kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah,
penyesalan yang dalam, kesepian dan waktu untuk menangis berguna pada
saat ini. Perilaku fase ini termasuk mengatakan ketakutan akan masa

11
depan, bertanya peran baru dalam keluarga intensitas depresi tergantung
pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999).
e. Penerimaan dan partisipasi
Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi, kepedihan
dari kesabatan yang menyakitkan berkurang dan bergerak menuju
identifikasi sebagai seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan
sebagai seorang cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika
perlu dan tidak membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau
terlalu memaksakan keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak & Gallo,
1996). Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada keadaan stres yang
kronis akan menimbulkan perubahan adaptasi dari jaringan atau sel.
Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki hormon kortisol dapat
terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam teori adaptasi dari
Roy dikenal dengan mekanisme regulator.
2.2.3 Sosial
Interaksi social
Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, mis. Kehilangan
karabat/orang terdekat, teman, pendukung rasa takut untuk
mengungkapkannya pada orang lain, takut akan penolakan/kehilangan
pendapatan. Isolasi, keseian, teman dekat ataupun pasangan yang meninggal
karena AIDS. Mempertanyakan kemampuan untuk tetap mandiri, tidak
mampu membuat rencana.
Tanda : perubahan oada interaksi keluarga/ orang terdekat.aktivitas yang tak
terorganisasi.
2.2.4 Spiritual
Respons Adaptif Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson
(2000) dan Kauman & Nipan (2003). Respons adaptif Spiritual, meliputi:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan

12
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial.
Orang bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus
asa dan bunuh diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa
sekecil apapun kesembuhan, misalnya akan memberikan ketenangan dan
keyakinan pasien untuk berobat.
b. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan
kepada pasien untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang
dialaminya. Dibalik semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud
dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri
kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara terus
menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan
selama sakit.
c. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati
dalam menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang
kuat, akan tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut
biasanya mempunyai keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya.
Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat
menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan atau
mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan
memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi kemampuannya (Al.
Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang
diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam
kehidupannya.
2.2.5 Kultural
Faktor budaya berkaitan juga dengan fenomena yang muncul dewasa ini
dimana banyak ibu rumah tangga yang “baik-baik” tertular virus HIV /AIDS
dari suaminya yang sering melakukan hubungan seksual selain dengan

13
istrinya. Hal ini disebabkan oleh budaya permisif yang sangat berat dan
perempuan tidak berdaya serta tidak mempunyai bargaining position (posisi
rebut tawar) terhadap suaminya serta sebagian besar perempuan tidak
memiliki pengetahuan akan bahaya yang mengancamnya.
Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi
masalah HIV /AIDS Selama ini adalah melaksanakan bimbingan sosial
pencegahan HIV /AIDS, pemberian konseling dan pelayanan sosial bagi
penderita HIV /AIDS yang tidak mampu. Selain itu adanya pemberian
pelayanan kesehatan sebagai langkah antisipatif agar kematian dapat
dihindari, harapan hidup dapat ditingkatkan dan penderita HIV /AIDS dapat
berperan sosial dengan baik dalam kehidupannya.

2.3 Pemeriksaan fisik dan diagnostik pada klien dengan HIV/AIDS


Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik, Tanda dan Gejala
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik HIV dilakukan oleh dokter untuk mengetahui
kondisi kesehatan pasien saat ini. Pemeriksaan HIV meliputi antara lain:
a. Suhu
Demam umum pada orang yang terinfeksi HIV, bahkan bila tidak ada
gejala lain. Demam kadang-kadang bisa menjadi tanda dari jenis penyakit
infeksi tertentu atau kanker yang lebih umum pada orang yang
mempunyai sistem kekebalan tubuh lemah . Dokter akan memeriksa suhu
Anda pada setiap kunjungan.
b. Berat.
Pemeriksaan berat badan dilakukan pada setiap kunjungan. Kehilangan
10% atau lebih dari berat badan Anda mungkin akibat dari sindrom
wasting, yang merupakan salah satu tanda-tanda AIDS , dan yang paling
parah Tahap terakhir infeksi HIV. Diperlukan bantuan tambahan gizi yang
cukup jika Anda telah kehilangan berat badan.

14
c. Mata.
Cytomegalovirus (CMV) retinitis adalah komplikasi umum AIDS. Hal
ini terjadi lebih sering pada orang yang memiliki CD4 jumlah kurang dari
100 sel per mikroliter (MCL). Termasuk gejala floaters, penglihatan
kabur, atau kehilangan penglihatan. Jika terdapat gejala retinitis CMV,
diharuskan memeriksakan diri ke dokter mata sesegera mungkin.
Beberapa dokter menyarankan kunjungan dokter mata setiap 3 sampai 6
bulan jika jumlah CD4 anda kurang dari 100 sel per mikroliter (MCL).
d. Mulut
Infeksi Jamur mulut dan luka mulut lainnya sangat umum pada orang
yang terinfeksi HIV. Dokter akan akan melakukan pemeriksaan mulut
pada setiap kunjungan. pemeriksakan gigi setidaknya dua kali setahun.
Jika Anda beresiko terkena penyakit gusi (penyakit periodontal), Anda
perlu ke dokter gigi Anda lebih sering.
e. Kelenjar getah bening
Pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati) tidak selalu
disebabkan oleh HIV. Pada pemeriksaan kelenjar getah bening yang
semakin membesar atau jika ditemukan ukuran yang berbeda, Dokter akan
memeriksa kelenjar getah bening Anda pada setiap kunjungan.
f. Perut.
Pemeriksaan abdomen mungkin menunjukkan hati yang membesar
(hepatomegali) atau pembesaran limpa (splenomegali). Kondisi ini dapat
disebabkan oleh infeksi baru atau mungkin menunjukkan kanker. Dokter
akan melakukan pemeriksaan perut pada kunjungan setiap atau jika Anda
mengalami gejala-gejala seperti nyeri di kanan atas atau bagian kiri atas
perut Anda.
g. Kulit.
Kulit merupakan masalah yang umum untuk penderita HIV.
pemeriksaan yang teratur dapat mengungkapkan kondisi yang dapat

15
diobati mulai tingkat keparahan dari dermatitis seboroik dapat sarkoma
Kaposi . Dokter akan melakukan pemeriksaan kulit setiap 6 bulan atau
kapan gejala berkembang.
h. Ginekologi terinfeksi.
Perempuan yang HIV-memiliki lebih serviks kelainan sel daripada
wanita yang tidak memiliki HIV. Perubahan ini sel dapat dideteksi dengan
tes Pap. Anda harus memiliki dua tes Pap selama tahun pertama setelah
anda telah didiagnosa dengan HIV. Jika kedua pemeriksaan Pap Smear
hasilnya normal, Anda harus melakukan tes Pap sekali setahun. Anda
mungkin harus memiliki tes Pap lebih sering jika Anda pernah memiliki
hasil tes abnormal.

Pemeriksaan fisik secara menyeluruh akan memberikan


informasi tentang keadaan kesehatan Anda saat ini. Pada Pemeriksaan
selanjutnya dokter akan menggunakan informasi ini untuk melihat apakah
status kesehatan Anda berubah.

2. Tanda dan gejala


Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 
gejala yaitu
gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
a. Gejala mayor:
1) Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
2) Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
4) Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
5) Demensia/ HIV ensefalopati
b. Gejala minor:
1) Batuk menetap lebih dari 1 bulan

16
2) Dermatitis generalisata
3) Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
4) Kandidias orofaringeal
5) Herpes simpleks kronis progresif
6) Limfadenopati generalisata
7) Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
8) Retinitis virus Sitomegalo

A. Penatalaksanaan Pasien Dengan HIV/AIDS


Penatalaksanaan HIV - AIDS pada dasarnya meliputi aspek Medis Klinis,
Psikologis dan Aspek Sosial.
1. Aspek Medis meliputi :
a. Pengobatan Suportif.
Penilaian gizi penderita sangat perlu dilakukan dari awal sehingga
tidak terjadi hal hal yang berlebihan dalam pemberian nutrisi atau terjadi
kekurangan nutrisi yang dapat menyebabkan perburukan keadaan
penderita dengan cepat. Penyajian makanan hendaknya bervariatif
sehingga penderita dapat tetap berselera makan. Bila nafsu makan
penderita sangat menurun dapat dipertimbangkan pemakaian obat
Anabolik Steroid.
Proses Penyedian makanan sangat perlu diperhatikan agar pada saat
proses tidak terjadi penularan yang fatal tanpa kita sadari. Seperti
misalnya pemakaian alat-alat memasak, pisau untuk memotong daging
tidak boleh digunakan untuk mengupas buah, hal ini di maksudkan untuk
mencegah terjadinya penularan Toksoplasma, begitu juga sebaliknya
untuk mencegah penularan jamur.
b. Pencegahan dan pengobatan infeksi Oportunistik.
Meliputi penyakit infeksi Oportunistik yang sering terdapat pada
penderita infeksi HIV dan AIDS.

17
1. Tuberkulosis
Sejak epidemi AIDS maka kasus TBC meningkat kembali. Dosis INH
300 mg setiap hari dengan vit B6 50 mg paling tidak untuk masa satu tahun.
2. Toksoplasmosis
Sangat perlu diperhatikan makanan yang kurang masak terutama
daging yang kurang matang. Obat :  TMP-SMX  1 dosis/hari.
3. CMV
Virus ini dapat menyebabkan Retinitis dan dapat menimbulkan
kebutaam. Ensefalitis, Pnemonitis pada paru, infeksi saluran cernak yang
dapat menyebabkan luka pada usus. Obat  :  Gansiklovir kapsul 1 gram tiga
kali sehari.
4. Jamur
Jamur yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah
jamur Kandida. Obat  :  Nistatin  500.000 u per hari Flukonazol 100 mg per
hari.
B. Pengobatan Antiretroviral (ARV)
a. Jangan gunakan obat tunggal atau 2 obat.
b. Selalu gunakan minimal kombinasi 3 ARV disebut “HAART” (Highly
Active Anti Retroviral therapy).
c. Kombinasi ARV lini pertama pasien naïve (belum pernah pakai ARV
sebelumnya) yang dianjurkan : 2NRTI + 1 NNRTI.
2. Aspek Psikologis, meliputi :
a. Perawatan personal dan dihargai.
b. Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-masalahnya.
c. Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya.
d. Tindak lanjut medis.
e. Mengurangi penghalang untuk pengobatan.
f. Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka

18
3. Aspek Sosial.
a. Seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk dukungan
dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal:
b. Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan
diperhatikan.
c. Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
d. Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang
dalam mengatasi suatu masalah. (Nursalam, 2007).
e. Dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan yang akrab atau
kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber
dukungan sosial yang paling penting. House (2006) membedakan empat
jenis dimensi dukungan social :
f. Dukungan Emosional
Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap pasien
dengan HIV AIDS yang bersangkutan
g. Dukungan Penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat / penghargaan positif untuk orang lain itu,
dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu
dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain
h. Dukungan Instrumental
Mencakup bantuan langsung misalnya orang memberi pinjaman uang,
kepada penderita HIV AIDS yang membutuhkan untuk pengobatannya
i. Dukungan Informatif
Mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana.

2.4 Prinsip komunikasi pada klien dengan HIV/AIDS


Prinsip-prinsip dalam konseling harus berkenaan dengan sasaran
pelayanan, masalah individu, tujuan dan proses penanganan masalah,
program pelayanan, dan pelaksanaan pelayanan. Sedangan prinsip dasar

19
dalam voluntary counseling and testing ada 4, yaitu rahasia, sukarela,
konseling dan persetujuan.
1. Rahasia.
Hasil pemeriksaan hanya boleh diketahui oleh yang
bersangkutan dan konselor yang menanganinya. Boleh dibukakan
statusnya kepada orang lain, dengan melalui persetujuan dari yang
bersangkutan atau yang bersangkutan menyampaikan sendiri.
2. Sukarela.
Untuk tes HIV sifatnya sukarela (voluntary), tidak ada paksaan
dari konselor. Konselor hanya mengajaknya secara persuasive,
terutama bagi klien yang memiliki risiko tinggi untuk terpapar HIV.
3. Konseling.
Mempelajari pengalaman-pengalaman hidup klien, dalam
mengatasi permasalahan yang dapat menimbulkan stres atau depresi
pada dirinya. Mempelajari latar belakang perilaku berisiko klien
termasuk diantaranya kemungkinan-kemungkinan melukai diri sendiri
atau melukai orang lain, seandainya hasilnya positif. Menilai
pemahaman klien mengenai HIV/AIDS, konseling, keuntungan-
keuntungannya melakukan VCT, dll. Persetujuan. Klien harus mengisi
formulir persetujuan untuk melakukan tes (inform concent), yang
kemudian akan ditandatangani oleh klien dan konselor.
Namun selain prinsip dasar tersebut prinsip-prinsip yang
lainnya adalah empati, mendengarkan, memberikan informasi yang
tepat, dan alih tangan. Sedang menurut Prayitno dan Erma Amti
(2003, ) menyatakan bahwa prinsip-prinsip konseling adalah
berkenaan dengan sasaran pelayanan, masalah individu, program
layanan, pelaksanaan layanan, tujuan dan proses penanganan masalah.

20
2.5 Hidup bersama ODHA dalam komunitas atau masyarakat
Stigma dari masyarakat tercermin dari persepsi perlakuan negatif
berupa penghindaran, penghinaan, penolakan dalam pergaulan sosial, dan
kehilangan pekerjaan. Perlakuan negatif muncul dari ketakutan tertular,
dimana seseorang merasa tidak nyaman pada saat kontak langsung dengan
ODHA maupun dengan benda-benda yang digunakan oleh ODHA.
1. Self Stigma
Masalah utama yang menjadi stigma dalam diri ODHA pecandu
narkoba suntik adalah ketakutan. Ketakutan menimbulkan resistansi
terhadap tes HIV, rasa malu untuk memulai pengobatan, dan dalam
beberapa hal, keengganan untuk menerima pendidikan tentang HIV. Self
stigma menyebabkan ODHA pecandu narkoba suntik ketakutan untuk
memulai pengobatan karena takut tidak konsisten mengkonsumsi obat.
Ketakutan lainnya adalah penerimaan masyarakat tentang statusnya
sebagai ODHA. Ketakutan ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman
tentang HIV dan tes HIV, bagaimana HIV ditularkan, risiko bagi orang
lain, ke mana untuk pengujian, biaya pengujian berapa, masalah berapa
lama waktu menunggu hasil tes, merasa tidak memiliki siapa pun untuk
mendapatkan dukungan moral, dan bayangan prosedur rumah sakit yang
rumit. Selain itu juga karena merasa malu tentang status sebagai
pengguna narkoba, ketakutan apabila hasil tes positif, bayangan
kematian akibat AIDS, reaksi dari keluarga, teman-teman dan
masyarakat jika positif terinfeksi HIV, stigmatisasi. Tidak ada obat untuk
AIDS, obat ARV apakah tersedia, apakah harganya mahal, atau apakah
memiliki efek samping dan ketakutan tidak dapat melakukan apa-apa
jika positif terinfeksi HIV Dibandingkan dengan bentuk stigma dari luar
seperti dari masyarakat, bentuk self stigma memiliki pengaruh lebih kuat
pada keseluruhan kesejahteraan ODHA, terutama kesehatan psikologis
mereka. Self stigma bagi ODHA merupakan bentuk internalisasi stigma,

21
dimana seseorang melabeli dirinya sebagai tidak dapat diterima oleh
masyarakat karena memiliki masalah penyakit HIV
2. Stigma sebagai hambatan pencarian pengobatan
Adanya stigma terhadap ODHA berdampak terhadap program
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Kelompok yang berisiko
akan takut melakukan test HIV karena takut apabila status HIV mereka
positif maka mereka akan dikucilkan. ODHA cenderung menunda
pengobatan karena adanya ketakutan untuk mengungkapkan status HIV
mereka. Stigma terhadap ODHA dapat terjadi karena kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang HIV/ AIDS. Apabila masyarakat
memiliki pengetahuan yang cukup mengenai faktor risiko, transmisi,
pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS maka stigma terhadap ODHA
dapat berkurang.
Faktor lain yang mengganggu kemampuan untuk mendapatkan
perawatan adalah hambatan bahwa individu yang menggunakan narkoba
menghadapi diskriminasi dalam hal perawatan kesehatan, pekerjaan
(yang mempengaruhi imbalan kerja dan keuangan untuk membayar
pengobatan), dan manfaat layanan publik. Individu yang merasa ter-
stigma akan mengurangi kemungkinan untuk mencari bantuan, mungkin
juga akan memilih mengakhiri pengobatan, dan mungkin akan
mengurangi kepercayaan diri individu terhadap kemampuan mereka
untuk menolak adiksi narkoba. Penelitian dari O’ Laughin Hanand
menunjukkan pentingnya pengobatan yang melibatkan partner untuk
mengembalikan hubungan sosial dan mengintegrasikan kembali ODHA
di dalam masyarakat. Agar terjadi kepatuhan pada ODHA yang
mengikuti pengobatan maka partner memiliki peran sosial yang sangat
penting. Mereka akan memotivasi ODHA untuk patuh terhadap
pengobatan, memberantas stigma, mengembalikan harapan dan
mengurangi perbedaan sosial. Semua cara ini dilakukan untuk

22
melakukan normalisasi terhadap ODHA dalam rangka menghilangkan
isolasi sosial dan mengembalikan koneksi ODHA dengan orang lain.

23
Bab 3

Penutup

3.1 Kesimpulan

Konseling HIV/AIDS merupakan strategi komunikasi


perubahan perilaku yang bersifat rahasia dan saling percaya antara
klien dan konselor. Tujuan konseling yaitu untuk meningkatkan
kemampuan klien menghadapi tekanan dan pengambilan keputusan
terkait HIV/AIDS. Praktik konseling dilakukan oleh konselor yang
memiliki keterampilan dasar konseling dan pemahaman luas mengenai
HIV/AIDS. Prinsip-prinsip dalam konseling harus berkenaan
dengan sasaran pelayanan, masalah individu, tujuan dan proses
penanganan masalah, program pelayanan, dan pelaksanaan pelayanan.
Sedangan prinsip dasar dalam voluntary counseling and testing ada 4,
yaitu rahasia, sukarela, konseling dan persetujuan. Namun selain
prinsip dasar tersebut prinsip-prinsip yang lainnya adalah empati,
mendengarkan, memberikan informasi yang tepat, dan alih tangan.
Sedang menurut Prayitno dan Erma Amti (2003, ) menyatakan bahwa
prinsip-prinsip konseling adalah berkenaan dengan sasaran pelayanan,
masalah individu, program layanan, pelaksanaan layanan, tujuan dan
proses penanganan masalah.

24

Anda mungkin juga menyukai