Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terapi komplementer akhir-akhir ini menjadi isu di banyak negara.


Masyarakat menggunakan terapi ini dengan alasan keyakinan, keuangan, reaksi obat
kimia dan tingkat kesembuhan. Klien yang menggunakan terapi komplemeter
memiliki beberapa alasan. Salah satu alasannya adalah filosofi holistik pada terapi
komplementer, yaitu adanya harmoni dalam diri dan promosi kesehatan dalam terapi
komplementer. Alasan lainnya karena klien ingin terlibat untuk pengambilan
keputusan dalam pengobatan dan peningkatan kualitas hidup dibandingkan
sebelumnya. Sejumlah 82% klien melaporkan adanya reaksi efek samping dari
pengobatan konvensional yang diterima menyebabkan memilih terapi komplementer
(Snyder & Lindquis, 2002).

Penyebab kematian tertinggi di dunia disebabkan karena penyakit jantung,


kedua kanker, ketiga penyakit serebrovaskular dan ke empat adalah
pneumonia/influenza Menurut Albrecht (2006). Jenis terapi komplementer yang
diberikan sesuai dengan indikasi yang dibutuhkan. Contohnya pada terapi sentuhan
memiliki beberapa indikasinya seperti meningkatkan relaksasi, mengubah persepsi
nyeri, menurunkan kecemasan, mempercepat penyembuhan, dan meningkatkan
kenyamanan dalam proses kematian (Hitchcock et al., 1999).

Peran yang dapat diberikan perawat dalam terapi komplementer atau alternatif
dapat disesuaikan dengan peran perawat yang ada, sesuai dengan batas
kemampuannya. Definisi tersebut menunjukkan terapi komplemeter sebagai
pengembangan terapi tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan terapi modern
yang mempengaruhi keharmonisan individu dari aspek biologis, psikologis, dan
spiritual. Hasil terapi yang telah terintegrasi tersebut ada yang telah lulus uji klinis
sehingga sudah disamakan dengan obat modern. Kondisi ini sesuai dengan prinsip
keperawatan yang memandang manusia sebagai makhluk yang holistik (bio, psiko,
sosial, dan spiritual). Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan
pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi
individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk
mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith et al., 2004).

1.2 Tujuan

1.1.1 Tujuan Umum


Agar mahasiswa/I mampu memberikan perawatan paliatif pada
pasien penderita penyakit terminal melalui terapi komplementer.
1.1.2 Tujuan khusus
a. Agar mahasiswa/mahasiswa mengetahui terapi komplementer pada
pasien hipertensi dengan penyakit terminal.
b. Agar mahasiswa/mahasiswi paham akan peran perawat paliatif
pada pasien penyakit terminal.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa itu yang dimaksud terapi komplementr
b. Apa tindakan keperawatan paliatif dalam menangani penyakit terminal
melalui terapi komplementer.
c. Mengetahui peran dan fungsi perawat paliatif dalam memberi terapi
komplementer.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Defenisi

Kanker merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit kardiovaskuler,


dimana gejalanya hampir tidak terkontrol dalam 70 % hingga 80 % kasus kanker,
terutama bila fase penyembuhan telah berakhir dan pasien masuk ketahapan paliatif.
(Falkensteiner, Mantovan, Miiller & Them, 2011). Berbagai gejala penyakit dan efek
samping pengobatan banyak dikeluhkan oleh pasien kanker. Penggunaan terapi
komplementer dalam pengobatan kanker sudah tidak asing lagi digunakan untuk
mengatasi berbagai gejala yang ditimbulkan kanker. Walaupun terapi farmakologi
sudah terbukti, namun pasien yang menjalani kemoterapi selalu mengalami efek
samping obat, diantaranya nausea, fatigue, ansietas, dan nyeri. Tidak hanya
kemoterapi yang memiliki efek samping namun obat-obat farmakologis untuk
mengatasi gejala lainnya juga demikian (Ayoub, 2013) Masalah psikologis sebagai
dampak dari gangguan fisik banyak terjadi pada pasien penyakit kronis, terutama
kanker. Masalah psikologis atau distres, istilah yang disepakati oleh National
Comprehensive Cancer Network (NCCN) dikarenakan lebih pantas dan dapat
diterima, yang didefenisikan sebagai pengalaman emosional banyak dari hal yang
tidak menyenangkan akibat psikologis (kognitif, prilaku, emosional), sosial dan/atau
spiritual yang mengganggu kemampuan terhadap koping kanker yang efektif, gejala
fisik dan pengobatannya. Distres berlangsung terus menerus, mulai dari perasaan
normal dari kondisi yang rapuh, kesedihan dan ketakutan menghadapi masalah yang
kemudian menjadi ketidak berdayaan, seperti depresi, cemas, panik, isolasi sosial dan
krisis spiritual. (NCCN, 2013). Kejadian distres pada semua tahapan kanker menurut
Cancer Journey Action Group (2009), mencapai 35% hingga 45% di Amerika utara,
sehingga di Amerika disepakati distres perlu dikaji pada pasien kanker saat awal
kedatangan dan pada kondisi tertentu sehingga 80 distres dinyatakan sebagai tanda-
tanda vital ke-6 setelah nyeri pada pasien kanker. Ayoub (2013) menyatakan, dari
semua kondisi distres, cemas atau ansietas merupakan permasalahan yang paling
sering ditemukan pada pasien kanker. Cemas merupakan gangguan multidimensional
yang dapat dihubungkan dengan gejala lain seperti depresi. Cemas biasa muncul
mengawali pengobatan, kuatir akan efek samping, dan kekuatiran akan rekuren
penyakit setelah pengobatan. Cemas memperburuk persepsi pasien akibat gejala fisik
dan resiko pengobatan yang dijalani. Bila tidak tertangani, pasien kanker dapat tidak
mengikuti lagi pengobatan yang direkomendasikan sehingga memperparah gejala
fisik.

2.2 Terapi Komplementer

Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan


dalam pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke
dalam pengobatan modern (Andrews et al., 1999). Terminologi ini dikenal sebagai
terapi modalitas atau aktivitas yang menambahkan pendekatan ortodoks dalam
pelayanan kesehatan (Crips & Taylor, 2001). Terapi komplementer juga ada yang
menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi
yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu
untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith et al.,
2004). Pendapat lain menyebutkan terapi komplementer dan alternatif sebagai sebuah
domain luas dalam sumber daya pengobatan yang meliputi sistem kesehatan,
modalitas, praktik dan ditandai dengan teori dan keyakinan, dengan cara berbeda dari
sistem pelayanan kesehatan yang umum di masyarakat atau budaya yang ada
(Complementary and alternative medicine/CAM Research Methodology Conference,
1997 dalam Snyder & Lindquis, 2002).

Definisi tersebut menunjukkan terapi komplemeter sebagai pengembangan


terapi tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan terapi modern yang
mempengaruhi keharmonisan individu dari aspek biologis, psikologis, dan spiritual.
Hasil terapi yang telah terintegrasi tersebut ada yang telah lulus uji klinis sehingga
sudah disamakan dengan obat modern. Kondisi ini sesuai dengan prinsip keperawatan
yang memandang manusia sebagai makhluk yang holistik (bio, psiko, sosial, dan
spiritual).

2.3 Macam Terapi Komplementer

Terapi komplementer ada yang invasif dan noninvasif :

1. Contoh terapi komplementer invasif adalah akupuntur dan cupping


(bekam basah) yang menggunakan jarum dalam pengobatannya.
2. Sedangkan jenis non-invasif seperti
a. terapi energi (reiki, chikung, tai chi, prana, terapi suara).
b. terapi biologis (herbal, terapi nutrisi, food combining.
c. terapi jus, terapi urin, hidroterapi colon.
d. terapi sentuhan modalitas; akupresur, pijat bayi, refleksi, reiki, rolfing,
dan terapi lainnya (Hitchcock et al., 1999)

2.4 Peran Perawat

Peran perawat sebagai peneliti di antaranya dengan melakukan berbagai


penelitian yang dikembangkan dari hasilhasil evidence-based practice. Peran perawat
yang dapat dilakukan dari pengetahuan tentang terapi komplementer diantaranya
sebagai konselor, pendidik kesehatan, peneliti, pemberi pelayanan langsung,
koordinator dan sebagai advokat. Sebagai konselor perawat dapat menjadi tempat
bertanya, konsultasi, dan diskusi apabila klien membutuhkan informasi ataupun
sebelum mengambil keputusan. Sebagai pendidik kesehatan, perawat dapat menjadi
pendidik bagi perawat di sekolah tinggi keperawatan seperti yang berkembang di
Australia dengan lebih dahulu mengembangkan kurikulum pendidikan (Crips &
Taylor, 2001). Perawat dapat mendiskusikan terapi komplementer dengan dokter
yang merawat dan unit manajer terkait. Sedangkan sebagai advokat perawat berperan
untuk memenuhi permintaan kebutuhan perawatan komplementer yang mungkin
diberikan termasuk perawatan alternatif (Smith et al.,2004).

2.5 Jenis Terapi Komplementer

Terapi pijat didefinisikan oleh Vickers dan Zollman (1999) sebagai


manipulasi lembut jaringan tubuh untuk membawa perbaikan umum dalam
kesehatan. Pijat telah digunakan sejak berabad-abad lalu sebagai pengobatan medis
tradisional dari banyak Kebudayaan kuno seperti Cina, Mesir, Yunani, Hindu, Jepang
dan Roma. Terapi pijat modern dikembangkan oleh Henrik Ling, Swedia dalam
latihan dan gerakan-gerakan tertentu (Holey dan Cook, 2003). Pijat kemudian
diklasifikasikan sebagai terapi berbasis sentuhan yang secara tradisional
menggunakan berbagai teknik tekanan (stroke) termasuk effleurage, petrissage dan
remasan (kneading) (Sherman et al, 2006) Pijatan yang bermakna bagi kesejahteraan
atau kesembuhan pasien disebut juga dengan pijat terapeutik (Cavaye, 2012). Pada
pasien kanker, menurut Walters (2010), pijatan sebaiknya jangan dilakukan pada area
kanker, dikarenakan beberapa studi menunjukkan sel epitel payudara dapat berpindah
ke nodus limfe akibat pijatan. Untuk itu, penekanan langsung pada lokasi tumor
sebaiknya dihindarkan. Aspek kenyamanan pasien harus diperhatikan oleh terapis
dalam pemberian pijat. Pemberian pijat dapat dilakukan pada saat pasien menjalani
tahapan/stadium penyakit kanker apa saja, selagi ia didapati distres.

Pijatan selama sesi kemoterapi dilaporkan oleh Billhult, Victorin & Bergbom
(2007) memberikan rasa nyaman, mengurangi rasa tidak mudah, tidak ingin, perasaan
negatif sehubungan dengan pengobatan kemoterapi. Kejadian distres pada semua
tahapan kanker menurut Cancer Journey Action Group (2009), mencapai 35% hingga
45% di Amerika utara. RS Kanker Dharmais, sebagai rumah sakit pusat rujukan
kanker nasional, dari hasil observasi praktikan selama bulan Februari-Maret 2014
diruang poliklinik, ruang 81 diagnostik dan ruang rawat inap kelas III Teratai,
didapatkan hampir sebagian besar pasien kanker, menjalani pemeriksaan dan
menjalani pengobatan, mengalami distres. Penilaian dengan ESASpada Maret 2014 di
3 kamar dengan jumlah pasien 16 orang di ruang rawat inap Teratai RSKD
didapatkan 2 orang (12,5 %) cemas berat, 9 orang (56,3 %) cemas ringan, sisanya 5
orang (31,3%) cemas sedang. Gejala lain yang turut dirasakan pada pasien adalah
nyeri, cemas, gangguan tidur, konstipasi, mukositis. Penanganan gejala pada pasien
selama ini dilakukan dengan upaya farmakologis, tindakan non farmakologis yang
dilakukan hanya berupa komunikasi terapeutik. Berdasarkan telaahan beberapa jurnal
dalam sistematik review Ernst(2009), terapi pijat terbukti mampu mengurangi
depresi, ansietas, nausea, nyeri, sehingga praktikan ingin menerapkan intervensi pijat
terapeutik tersebut pada pasien kanker di RS Kanker Dharmais. Dari fenomena
distres pada pasien kanker payudara yang menjalani sesi kemoterapi, maka
pertanyaan klinis yang muncul adalah: Apakah pemberian terapi pijat pada pasien
kanker diruangan rawat inap dapat mengurangi distres? TUJUAN PENULISAN
Memaparkan aplikasi pijat terapeutik untuk mengurangi distress sebagai suatu
Evidence Based Nursing (EBN). METODE PENULISAN Tulisan ini berupa case
study pelaksanaan EBN selama praktek residensi keperawatan ( ) FIK UI, yang
berlangsung di RS Kanker Dharmais Jakarta. Untuk mengidentifikasi suatu evidence
based, maka dilakukan melalui analisa PICO, secara rinci adalah: P atau Population,
adalah Pasien kanker diruangan rawat inap mengalami distress.
BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Tujuan utama perawatan paliatif adalah membantu semua pasien disegala usia
dengan penyakit yang mengancam nyawa beserta keluarga mereka, selamat
terjadinya seluruh fase penyakit, tidak bergantung durasi, hingga kesembuhan atau
kematian, dan periode kehilangan. Perawatan paliatif dilakukan dengan perhatian
interdisiplin terlatih terhadap nyeri dan gejala mengganggu lainnya; emosional,
spiritual, dan bantuan praktikal; asistensi dalam pengambilan keputusan kompleks,
dan koordinasi dengan kesinambungan pelayanan kesehatan. Tujuannya adalah untuk
membantu pasien dan keluarga mencapai kualitas hidup terbaik sejalan dengan nilai,
kebutuhan, dan keinginan mereka. Kondisi ini sesuai dengan prinsip keperawatan
yang memandang manusia sebagai makhluk yang holistik (bio, psiko, sosial, dan
spiritual).
DAFTAR PUSTAKA

Dwi Dahlia Susanti,2011,Pengalaman Spiritual Perempuan dengan Kanker


Serviks:Depok,Vol 14,No 1.

Darma Satria,2013, Complementary and Alternative Medicine (CAM): Fakta atau


Janji?,Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala,Vol IV,No 3.

Anda mungkin juga menyukai