Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terapi komplementer saat ini menjadi isu penting di banyak negara. Amerika Serikat
menjadi negara yang menerapkan pengobatan komplementer dan alternatif. Terapi
komplementer dan kedokteran alternatif di Amerika Serikat merupakan lingkup yang luas dari sumber
penyembuhan yang meliputi sistem kesehatan, modalitas dan praktek yang didasari oleh teori dan
kepercayaan mereka. Pengobatan komplementer bisa diartikan sebagai metode penyembuhan yang
caranya berbeda dari pengobatan konvensional di dunia kedokteran, yang mengandalkan obat kimia
dan operasi. Di Amerika terapi komplementer kedokteran dibagi empat jenis terapi, yaitu Chiropractic,
teknik relaksasi, terapi masase, akupunktur, dan terapi komplementer lainnya yang dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan. Terdapat sekitar 627 juta orang adalah pengguna terapi alternatif dan 386 juta
orang yang mengunjungi praktik. Hal ini menggambarkan semakin populernya terapi komplementer
dan alternatif di masyarakat Internasional (Alzakastar, 2011).

Kemajuan dan pertumbuhan terapi komplementer yang cepat menunjukkan bahwa


banyak individu yang merasa tidak puas dengan pengobatan konvensional dan
mungkin mengalami efek samping akibat pengobatan jangka panjang. Hal ini tampak
bahwa sejak dua dekade terakhir, masyarakat Indonesia yang pergi ke ahli terapi
alternatif dibandingkan ke ahli kesehatan konvensional seperti dokter umum, dokter
spesialis, atau konsultan. Pengobatan alternatif lebih banyak dipilih masyarakat karena
dianggap lebih murah dan tidak ada efek samping (Wahyuningsih, 2012).

Adanya manfaat beragam terapi komplementer selain lebih murah dan tanpa efek
samping, dapat juga meningkatkan kontrol, pertimbangan proses membuat keputusan,
teknik invasif minim, dan kelengkapan perawatan holistik. (Snyder dan Lidsquit, 2010).
Filosofi dasar terapi komplementer dan alternatif dalam keperawatan adalah konsep
healer yang harus dipahami oleh setiap perawat untuk meningkatkan pengetahuan dan
keahlian dalam melaksanakan konseling pada klien yang menggunakan terapi
komplementer, menilai efektifitas terapi komplementer, dan harus mengetahui hasil-
hasil pengetahuan terkait dan reaksi-reaksi1yang merugikan sebelum memberikan terapi
komplementer. Profesi keperawatan saat ini telah meyakini bahwa terapi komplementer
bersumber pada manusia yang berciri holistik, dan asuhan holistik sudah merupakan
Universitas Indonesia
2

keharusan untuk sebuah pelayanan yang profesional. Hal ini dapat menjadi peluang bagi
perawat untuk meningkatkan kepuasan klien dengan memberikan terapi komplementer
(Mariano, 2007).

Berdasarkan uraian di atas, kelompok berusaha membahas tentang terapi komplementer


dan alternatif yang dapat dilakukan oleh perawat sebagai bentuk pelayanan keperawatan
yang holistik dengan mempertahankan aspek etik dan legal pemberian asuhan
keperawatan profesional.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mahasiswa spesialis dalam
menjalankan perannya pada praktik keperawatan komplementer secara holistik.

1.2.2 Tujuan khusus


a. Memahami dan menjelaskan definisi dan perbedaan antara terapi komplementer
dan terapi alternatif.
b. Memahami dan menjelaskan jenis-jenis tindakan terapi komplementer yang
dapat di kerjakan oleh perawat.
c. Memahami dan menjelaskan keperawatan komplementer dan keperawatan
holistik.
d. Memahami dan menjelaskan syarat sebagai perawat holistik.
e. Memahami dan menjelaskan aspek etik dan legal dalam keperawatan
komplementer.
f. Memahami dan menjelaskan kebijakan hukum bagi perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan komplementer
g. Analisa kasus keperawatan komplementer

1.2.3 Sistematika Penulisan


BAB I : Pendahuluan meliputi Latar belakang, Tujuan, dan
Sistematika penulisan

BAB II : Tinjauan literatur keperawatan komplementer dan alternatif

BAB III : Analisa kasus

BAB IV : Penutup

Universitas Indonesia
3

BAB II
TINJAUAN LITERATUR

2.1 Definisi Terapi Komplementer


“Terapi komplementer dan alternatif didefinisikan sebagai sekelompok sistem
pelayanan kesehatan dan medis, praktik, serta produk yang sangat beragam, dan bukan
bagian dari pengobatan konvensional” (National Center for Complementary and
Alternative Medicine/ NCCAM, 2006; dalam Black & Hawks, 2014).

Menurut PERMENKES RI No. 1109/MENKES/PER/IX/2007, pengobatan


komplementer-alternatif adalah “pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan

Universitas Indonesia
4

kualitas, keamanan, dan efektifitas yag tinggi yang berlandaskan ilmu pengetahuan
biomedik, yang belum diterima dalam kedokteran konvensional”.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi komplementer dan
alternatif adalah pengobatan atau perawatan yang berbeda dari praktik tradisional
formal yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di tatanan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Menurut NCCAM (1996) dalam Black (2014), terapi komplementer dan alternatif
tidak sama. Terapi komplementer digunakan bersamaan dengan pengobatan
konvensional. Dengan kata lain, terapi komplementer merupakan pelengkap dari terapi
konvensional. Terapi komplementer disebut juga dengan allopathy atau biomedis.
Contoh terapi komplementer adalah aromaterapi yang digunakan untuk membantu
klien mengurangi ketidaknyamanan pasca bedah. Sementara terapi alternatif
digunakan sebagai pengganti pengobatan terapi konvensional. Contoh terapi alternatif
adalah menggunakan terapi diet sebagai pengganti terapi bedah, radiasi, dan
kemoterapi pada klien kanker.

2.2 Jenis Tindakan Komplementer yang Dapat4 Dilakukan Perawat


Dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan, pasal 30 ayat 2
butir (m) disebutkan bahwa perawat berwenang melakukan penatalaksanaan
keperawatan komplementer dan alternatif. Jenis tindakan komplementer yang dapat
dilakukan perawat antara lain (Kozier et al, 2008; Snyder & Lidsquit, 2010):
a) Mind-Body-Spirit Therapy, yang terdiri dari imagery, music intervention, humor,
yoga, biofeedback, meditation, prayer, storytelling, journalling, animal assisted
therapy.
b) Energy and Biofields Therapy, meliputi light therapy, magnet therapy, healing
touch, reiki, acupresure, reflexology, dan creating optimal healing environments.
c) Manipulative and Body-based Therapy, terdiri dari massage, exercise, tai chi,
relaxation therapies.
d) Biologically Based Therapy, meliputi aroma therapy, herbal medicine, dan
functional foods and nutraceutical.
Universitas Indonesia
5

2.3 Kaitan Keperawatan Komplementer dengan Keperawatan Holistik


“Holism” dalam filosofi perawatan kesehatan diilhami oleh Florence Nightingale,
yang meyakini bahwa “care” berfokus pada kesatuan, kesejahteraan, dan inter-relasi
dari manusia, peristiwa, dan lingkungan. Keperawatan holistik berfokus pada promosi
kesehatan dan kesejahteraan, mendampingi dalam pemulihan, serta mencegah dan
mengurangi penderitaan (Mariano, 2007). Melalui pendekatan holistik, individu
mendapatkan perawatan tidak hanya berdasarkan gejala yang dialaminya saja.
Individu dipandang unik, maka dua orang dengan penyakit yang sama dapat dirawat
dengan cara yang sangat berbeda. Perawatan pada satu level akan mempengaruhi
keseluruhan level.

Keperawatan holistik mengintegrasikan modalitas komplementer, seperti relaksasi,


meditasi, guided imagery, pernafasan, Reiki dengan intervensi keperawatan
tradisional. Hal ini terlihat dari ilmu pengetahuan keperawatan, teori keutuhan
(wholeness), ekspertise, caring dan intuisi di mana perawat dan klien menjadi partner
terapeutik dalam suatu proses mutual penyembuhan, penyeimbangan, dan keutuhan.

Perawat holistik melakukan pengkajian holistik, memilih intervensi yang tepat, dan
mendampingi klien mengeksplorasi self-awareness, spiritual, dan transformasi
pribadinya dalam proses penyembuhan. Mereka bekerja untuk mengurangi tanda dan
gejala yang dialami klien, menyediakan konseling dan pendidikan kesehatan, dan
menuntun klien dalam membuat keputusan antara penggunaan pengobatan tradisional
dan pengobatan komplementer-alternatif (Mariano, 2007).

2.4 Persyaratan Menjadi Perawat Holistik


Keperawatan holistik didefinisikan sebagai “semua bentuk praktik keperawatan yang
bertujuan menyembuhkan individu secara utuh” (American Holistic Nurses
Association/ AHNA, 2007). Perawat holistik adalah instrumen penyembuhan dan
fasilitator dalam proses penyembuhan. Perawat holistik menghargai pengalaman
subyektif, nilai dan kepercayaan individu tentang kesehatan.

AHNA telah menyusun suatu standar praktik untuk keperawatan holistik melalui
empat tahap, beberapa diantaranya adalah tentang penetapan standar bagi seorang
perawat holistik dan sertifikasi perawat holistik (Antigoni and Dimitrios, 2009).
Universitas Indonesia
6

Artinya, untuk menjadi seorang perawat holistik haruslah memenuhi standar yang
telah ditetapkan dan lulus uji kompetensi dari AHNA.
Adapun standar bagi keperawatan holistik mengacu pada lima nilai inti praktik yaitu:
1. Philosophy and Education; menekankan bahwa keperawatan holistik berdasarkan
filosofi kerja holisme dan komitmen pada edukasi, refleksi, dan pengetahuan.
2. Holistic Ethics, Nursing Theory and Research; menekankan keperawatan
profesional berlandaskan teori, bersumber pada riset, dan terikat pada prinsip-
prinsip etik untuk menuntun pada praktik yang kompeten, ilmiah, dan berprinsip.
3. Holistic Nursing Self-care; berdasarkan keyakinan bahwa perawat harus terlibat
dalam self care untuk meningkatkan kesehatan dan kesadaran personal, sehingga
perawat dapat melayani klien dengan bertindak sebagai instrumen penyembuhan.
4. Holistic Communication, Therapeutic Environment and Cultural Competence;
menekankan pada persyaratan yang dibutuhkan bagi perawat untuk bersama klien
menyusun tujuan bersama dalam kesehatan dan penyembuhan.
5. Holistic Caring Process; menekankan evolusi proses keperawatan dari pengkajian
hingga perawatan terapeutik sesuai dengan pola-polaa, masalah, dan kebutuhan
klien dalam atmosfer caring.

Praktik keperawatan holistik mengharuskan perawat untuk mengintegrasikan self care,


self responsibility, spiritualitas, dan refleksi dirinya, yang akan membawa perawat
pada kesadaran yang lebih luas akan adanya interkoneksi diri, orang lain, alam, dan
jiwa. Kesadaran ini akan meningkatkan pemahaman perawat terhadap individu serta
hubungan mereka dengan sesama manusia dan komunitas global, memungkinkan
perawat menggunakan kesadaran ini untuk memfasilitasi proses penyembuhan.

2.5 Aspek Etik dan Legal Terapi Komplementer


a) Keselamatan
Tinjauan revisi dari Amnerican Nurses Association tentang Kode Etik
Keperawatan dengan Pernyataan Interpretatif pada tahun 2001 menyatakan bahwa
“Perawat mendukung, mendampingi, dan melindungi kesehatan, keselamatan, dan
hak-hak klien”. Keselamatan merupakan dasar etik keperawatan, oleh karena itu
harus dipertanyakan: Seberapa aman terapi komplementer yang diberikan? Synder
& Lindsquit (2001) dalam Silva & Ludwick (2001) menyebutkan terdapat lebih
dari 1800 terapi komplementer-alternatif, tetapi dalam penggunaannnya harus
berdasarkan pertimbangan keamanan dan keselamatan klien. Perlu ditelaah efek

Universitas Indonesia
7

samping, bukti klinis manfaat dan kegunaan dari terapi yang diberikan, atau izin
dari pihak yang berwenang.

b) Lingkup Praktik
Dalam praktik komplementer-alternatif, hal penting lain yang harus digarisbawahi
adalah: Terapi mana yang masuk dalam lingkup praktik keperawatan? Menurut
Silva & Ludwick (2001), Royal College of Nurse (RCN) telah mengidentifikasi 11
nilai yang berkaitan dengan implementasi terapi komplementer. Nilai-nilai ini
akan membatasi perawat dalam hal lingkup praktik keperawatan komplementer.
Salah satunya, kompetensi perawat untuk melakukan terapi harus berdasarkan
standar praktik dari RCN.

Standar lain tentang terapi komplementer-alternatif dibuat oleh AHNA. Seperti


dikutip dari Frisch (2001), AHNA telah menerbitkan standar praktik keperawatan
holistik, yang salah satunya berisi tentang sertifikasi perawat holistik sebagai
salah satu bentuk praktik keperawatan spesialistik. Meskipun ANHA telah
menetapkan standar dan lingkup untuk keperawatan holistik, masih dibutuhkan
pertimbangan etik mengenai hal tersebut. Contohnya, adanya kebingungan
tentang sifat dan peran perawat yang disebut praktisioner holistik, di mana letak
perbedaan antara praktik keperawatan tradisional dengan keperawatan holistik,
bolehkah seorang perawat melakukan terapi komplementer tanpa ada sertifikat,
dan sebagainya.

Bahaya dapat timbul bagi perawat maupun klien bila lingkup praktik
komplementer-alternatif tidak jelas. Bagi klien, bahaya dapat terjadi saat perawat
yang tidak terlatih mempraktikkan terapi komplementer pada dirinya. Sedangkan
bahaya bagi perawat adalah saat mempraktikkan terapi komplementer di luar
lingkup praktik yang menjadi tanggung jawabnya.

c) Keanekaragaman Budaya
Perkembangan keragaman budaya menjadi salah satu pertimbangan etik dalam hal
bagaimana keragaman ini mempengaruhi praktik pelayanan kesehatan. Leonard
(2001) dalam Silva & Ludwick (2001), menjelaskan bahwa perawat memiliki
tradisi bekerja dengan individu dan komunitas dengan budaya yang beragam,
salah satu aspeknya adalah tradisi yang berhubungan dengan terapi
Universitas Indonesia
8

komplementer-alternatif. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa tradisi ini


diartikan sebagai kompetensi budaya dalam keperawatan yang meliputi ketelitian
dan kenetralan perawat dalam menilai riwayat penggunaan terapi komplementer-
alternatif oleh klien.

Dilema etik yang mungkin muncul terkait keragaman budaya ini adalah bentrokan
tentang nilai-nilai kesehatan yang dianut klien. Dalam hal ini, Weston (2002)
menyarankan agar perawat dan klien mengidentifikasi apa yang dianggap benar
oleh masing-masing pihak dan mengintegrasikan nilai-nilai yang diperselisihkan.

2.6 Kebijakan Hukum Pelayanan Keperawatan Komplementer


Penggunaan terapi komplementer oleh petugas kesehatan di tatanan klinik maupun
komunitas adalah salah satu bentuk perkembangan terbaru di bidang pelayanan
kesehatan (O’Regan et al, 2009). Perawat sebagai salah satu profesional kesehatan
juga memiliki wewenang untuk melakukan praktik keperawatan komplementer ini,
dengan mengacu pada peraturan yang ada.

Di Indonesia, kebijakan hukum yang mengatur tentang pelayanan keperawatan


tertuang dalam peraturan dan undang-undang berikut:
a) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan, pasal 30 ayat 2 butir
m menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan
keperawatan di bidang upaya kesehatan masyarakat, perawat berwenang
melakukan penatalaksanaan keperawatan komplementer dan alternatif.
b) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1109/MENKES/PER/IX/2007 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan
Komplementer-Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Universitas Indonesia
9

BAB III
ANALISA KASUS

3.1 Kasus Pemicu


Seorang klien lansia berusia 58 tahun tengah dirawat di Ruang Penyakit Dalam Laki-
lakisejak 17 hari lalu dengan diagnosa hipertensi dan hipertrofi prostat. Sebuah kateter
urin terpasang sejak saat masuk dirawat. Kateter selalu diganti setiap 72 jam dan klien
tidak menampakkan tanda-tanda infeksi yang signifikan selain suhu subfebril, pegal
pinggang, mengeras pada perut bagian bawah, dan rasa sakit pada lokasi kateter.

Mengingat telah lama dirawat, klien menjadi tidak sabaran dan cepat marah. Klien
mengeluh pada keluarga yang menunggu tidak merasa menjadi sembuh atau
berkuranag penyakitnya karena obat-obatan yang diberikan dokter tidak memberikan
dampak yang baik. Klien meminta pulang atau jika tidak diizinkan pulang, ia meminta
keluarga untuk membawakan rebusan daun sembung, daun mangkokan, dan daun keji
beling supaya lancar buang air kecilnya, serta perasan buah mengkudu ditambah sedikit
garam untuk menurunkan darah tingginya. Menurut yang bersangkutan, ramuan ini
telah menjadi ramuan tradisi dalam keluarga selama berpuluh tahun. Untuk pegal
pinggang dan tegang perutnya klien minta dipanggilkan tukang pijat refleksi
langganannya.

3.2 Analisa / Pembahasan Kasus


Kasus ini menyebutkan bahwa klien merasa kondisinya tidak membaik setelah dirawat
dalam jangka waktu yang lama, sehingga klien meminta pulang selanjutnya
menggunakan terapi komplementer dan alternatif berupa pijat refleksi dan obat-
obatan/ramuan tradisional yang turun temurun dipercaya dapat mengobati penyakitnya
(rebusan daun kembung, daun mangkokan, dan daun keji beling, perasan buah
mengkudu ditambah sedikit garam).

Terapi herbal yang terlihat dalam kasus harus disikapi dengan baik oleh seorang
perawat holistik, dimana peran perawat sangat penting seperti perawat harus mampu
10
menganalisis kegunaan dan efek samping dari obat-obatan yang diberikan, perawat

Universitas Indonesia
10

juga harus berkonsultasi dengan tenaga kesehatan lain, tenaga analis maupun dengan
ahli pijat refleksi yang tersertifikasi.
Berikut tinjauan ilmiah tentang obat herbal yang digunakan klien adalah:
3.2.1 Mengkudu
Mengkudu merupakan spesies Morinda citrifolia. Kandungan mengkudu sendiri
ada bermacam-macam di antaranya morindon, morindin, morindanigrin,
antrakuinon, klororubin, monometil eter, damnacanthal, asperulosida, saranjidiol,
sterol, resin, glikosida, zat kapur, protein, zat besi, karoten, asam glutamat, asam
askorbat, tirosin, tiamin, asam ursalat, proxeronin, skopoletin, asam benzoat, asan
oktoanoat, potasium, terpenoid, glukosa, eugenol, heksanal, glikosidaflavon, asam
oleat dan asam palmitat. Beberapa glikosida flavonol yang baru telah berhasil
diidentifikasi, yaitu glikosida iridoid dari daun mengkudu, ester asam lemak
trisakarida, rutin, dan asam asperulosida pada buah mengkudu.

Dr. Steven M. Hall, M. D., wakil dari Lembaga Konsumen Keluarga Amerika
Serikat (1996) menyatakan bahwa mengkudu mempunyai khasiat meningkatkan
kadar serotonin, mengurangi rasa letih, menormalkan kadar glukosa dalam darah,
meningkatkan fungsi reseptor pada dinding - dinding sel,m enormalkan siklus
haid, menyeimbangkan kondisi hormon, mengurangi nyeri saraf, mengurangi
edema dan kejang - kejang otot, meningkatkan fungsi kelenjar tiroid dan adrenal,
menyeimbangkan sistem imunitas tubuh.

3.2.2 Daun Kembung


Daun kembung (Teh daun jati Cina) memiliki khasiat seperti:
a. Mengurangi kolesterol.
b. Membersihkan sisa-sisa kotoran pada usus.
c. Menurunkan Berat Badan.
Namun daun kembung atau yang akrab dengan nama teh daun jati Cina ini
memiliki efek samping sehingga sebelum mengkonsumsi daun ini perlu untuk
memperhatikan beberapa hal di bawah ini:
1) Bagi yang menderita masalah pencernaan disarankan minum teh 2 hari sekali
saja.
Universitas Indonesia
11

2) Tidak disarankan minum teh daun jati cina apabila sedang haid, alasannya
kebanyakan wanita mengalami PMS syndrom dengan perut kembung, otot
perut terasa kencang, apabila anda minum teh daun jati cina akan menambah
ketidaknyamanan dalam masa menstruasi.
3) Bagi yang masih baru atau belum pernah minum teh daun jati cina ini, maka
penyeduhannya jangan terlalu kental. Teh diseduh dengan air panas 400 ml
karena biasanya lemak akan luntur bersama air seni sebelum BAB. Karena
reaksi tiap orang berbeda, apabila kurang bereaksi maka penyajiannya teh
bisa dikentalkan.
4) Biasanya teh daun jati Cina ini bereaksi minimal 7 jam, jadi sebaiknya
minumlah sebelum tidur malam hari sehingga pagi hari akan lancar BAB, dan
tidak mengganggu kegiatan keesokan harinya.
5) Apabila mengalami BAB yang berlebihan, sebaiknya hentikan atau kurangi
dosis pemakaian.

3.2.3 Daun Mangkok


Daun mangkok dengan nama spesies Nothopanax scutellarium Merr
mengandung zat kalsium oksalat, peroksidase, amygdalin, fosfor, besi, lemak,
protein, vitamin A, B1, C, saponin, tannin dan flavonoid. Jenis flavonoidnya
adalah flavonol seperti kuersetin, kaemferol dan mirisetin dan flavonn seperti
luteolin dan apigenin. Daun mangkokan secara empiris diketahui memiliki
khasiat untuk mengobati radang payudara, melancarkan pengeluaran ASI,
menghilangkan bau badan, pengobatan rambut yang rontok, dapat
menyembuhkan kesulitan buang air kecil dan sebagai anti inflamasi
(Dalimartha 1999 dalam Handojo 2011)
3.2.4 Daun Keji Beling (Stachytarpheta mutabilis, Vahl)
Tanaman keji beling (stachytarpheta mutabilis) memiliki banyak mineral
seperti kalium, kalsium, dan natrium serta unsure mineral lainnya. Disamping
itu juga terdapat asam silikat, tannin, dan glikosida.

3.2.5 Pijat Refleksi


Refleksologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang pijat di titik-titik
tubuh tertentu. Ilmu ini berasal dari Cina. Pijat refleksi dapat dilakukan dengan
tangan dan benda-benda lain berupa kayu, plastik, atau karet. Pemijat
mempunyai pengetahuan tentang titik saraf manusia khususnya pada bagian

Universitas Indonesia
12

telapak kaki dan tangan. Pijat refleksi sering dijadikan pengobatan alternatif
untuk berbagai penyakit yang umum seperti pada jantung, pencernaan, bahkan
untuk masalah kesuburan.

Manfaat Pijat dapat membantu penyembuhan berbagai penyakit fisik. Berbagai


masalah kesehatan bisa diatasi dengan pijatan yang tepat. Badan yang lelah
juga dapat segar kembali setelah dipijat. Namun, pijat tidak hanya berguna
untuk kesembuhan penyakit fisik, tetapi juga dapat membantu membuat rileks
pikiran sehingga dapat mengurangi stres dan membuat nyaman. Pada beberapa
kasus, pijatan juga dapat membantu penderita insomnia atau sulit tidur.
Klien meminta untuk dipanggilkan tukang pijat refleksi langganannya untuk
pegal pinggang dan tegang perut. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut mengenai
kegunaan dari pijat refleksi terutama untuk pegal pinggang dan tegang perut.

Patofisiologi terjadinya rasa pegal dan tegang perut pada klien disebabkan
adanya peningkatan tekanan pada lumen ginjal. Dimana semuanya berawal dari
Hiperplasia prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urine. Sehingga terjadi peningkatan tekanan intravesikal.
Untuk mengeluarkan urine, vesika urinaria harus berkontraksi lebih kuat.
Kontraksi yang terus-menerus ini akan menyebabkan perubahan anatomik
vesika urinaria berupa hipertrofi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sakula dan divertikel vesika urinaria.

Peristiwa terjadinya Perubahan struktur pada vesika urinaria dirasakan klien


sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (prostastismus).
Selanjutnya Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian
vesika urinaria, tidak terkecuali pada kedua meatus uretra. Tekanan pada kedua
meatus uretra akan menimbulkan aliran balik urine dari vesika urinaria ke
ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Jika keadaan ini berlangsung terus,
dapat mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal.

Universitas Indonesia
13

Terapi pemijatan yang dilakukan oleh tukang pijat langganan klien tidak akan
efektif untuk menurunkan nyeri pinggang dan rasa tegang pada perut bagian
bawah bahkan bila terus dipaksakan dapat menyebabkan adanya ruptur pada
organ bagian dalam perkemihan. Hal ini disebabkan oleh tekanan intra
abdomen yang tinggi.

Pada kasus ini, seharusnya perawat lebih menganjurkan klien untuk dilakukan
teknik akupunktur atau akupresur seperti penekanan/pemijatan pada titik – titik
tertentu di daerah kaki ataupun tangan.

3.3 Aspek Etik dan Legal Pemberian Terapi Komplementer


Berdasarkan kasus, perawat berperan dalam mengakomodasi keinginan klien dengan
cara memberikan advice dan mendampingi klien dan keluarga dalam proses
pengambilan keputusan (terapi herbal). Aspek keamanan dan kefektifan terapi herbal
yang dipilih klien, menjadi pertimbangan perawat. Delapan aspek etik yang perlu
diperhatikan oleh perawat dalam kasus ini, antara lain;
1. Respect, yaitu perawat menghormati / menghargai klien.
2. Outonomy, dengan menghargai dan menghormati hak klien dalam menentukan
pilihan terapi.
3. Beneficence . Perawat memberikan tindakan keperawatan yang dapat meningkatkan
rasa nyaman pada klien dengan mengintegrasikan prinsip mind-body-spirit dan
modalitas (cara menyatakan sikap terhadap suatu situasi) dalam kehidupan sehari-
hari dan praktek keperawatannya
4. Non-maleficence. Perawat tidak dengan sengaja menimbulkan kerugian / cidera klien.
5. Veracity ( kejujuran ) . Perawat memberikan informasi secara jujur dan lengkap
terkait terapi komplementer yang dipilih oleh klien .
6. Kridensialitas ( kerahasiaan )
7. Fidelity ( kesetiaan ) . Tanggung jawab perawat dalam tim-asuhan keperawatan
kepada individu, pemberi kerja , pemerintah dan masyarakat.
8. Justice ( keadilan ). Semua klien harus mendapatkan pelayanan yang sama sesuai
dengan kebutuhannya.

Beberapa landasan/dasar hukum bagi perawat untuk melakukan terapi komplementer


dalam memberikan asuhan keperawatan yang holistik dan professional seperti:
a. Prinsip etik tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1109 Tahun
2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas
Universitas Indonesia
14

pelayanan kesehatan dan merupakan landasan hukum bagi perawat dalam


memberikan terapi komplementer. Sehingga bentuk pelayanan keperawatan
komplementer dapat dilakukan dalam bentuk tindakan mandiri bilamana perawat
tersebut telah tersertifikasi dan mendapat rekomendasi dari organisasi profesi
terkait jenis terapi komplementer yang akan digunakan ke klien.
b. Keputusan Menkes RI No 1076/Menkes/SK/VII/2003 yang mengatur tentang
penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, dimana dalam peraturan tersebut
diuraikan cara- cara mendapatkan izin praktek pengobatan tradisional beserta
syarat- syaratnya
c. Keputusan Menkes RI Nomor 121 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Medik
Herbal.
. BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan makalah ini adalah :
4.1.1. Terapi komplementer telah lama dilakukan dalam pelayanan kesehatan yang harus
dilaksanakan berdasarkan evidence based nursing.
4.1.2. Terapi komplementer dan alternatif yang dapat dikerjakan perawat adalah terapi
yang telah terbukti secara ilmiah dengan keamanan kefektifan yang tidak
merugikan antara lain; Mind-Body-Spirit Therapy, Energy and Biofiedls therapy,
Manipulative and body based therapy, dan Biologically based therapy.
4.1.3. Pelaksanaan terapi komplementer harus dilakukan oleh perawat yang sudah
teregistrasi dan mendapatkan izin, memiliki pengetahuan berbasis bukti, potensi
manfaat dan risiko terapi tertentu , serta kekuatan-kekuatan yang mendukung atau
menentang terapi ini.
4.1.4. Pelaksanaan terapi komplementer harus memperhatikan prinsip etik, peraturan
yang berlaku, serta prinsip etik dan legal terhadap klien sebagai penerima
layanan.

4.2 Saran
Adapun saran terkait kasus adalah :

Universitas Indonesia
15

4.2.1 Diharapkan kepada praktisi keperawatan untuk dapat mengembangkan terapi


komplementer dengan meningkatkan praktik berdasarkan evidence based dalam
tatanan pelayanan klinik.
4.2.2 Perawat holistik harus mengetahui kondisi klien secara utuh sehingga mampu
memberikan perawatan baik secara bio-psiko-sosial dan spiritual.
4.2.3 Perawat harus mengetahui dan menganalisis kegunaan dan efek samping dari
obat-obatan dan terapi alternatif yang digunakan oleh klien.

DAFTAR REFERENSI
16

Alzakastar. (2011). Terapi-terapi Komplementer.


http://id.scribd.com/doc/67137881/terapi-terapi- komplementer. diakses tanggal
16 Mei 2014.

American Holistic Nurses Association (2007). What Is Holistic Nursing?


http://www.ahna.org/About-Us/What-is-Holistic-Nursing, diakses 25-5-2015.

Antigoni dan Mitrios (2009). Nurse’s Attitudes Towards Complementary Therapies.


Diunduh di www.HSJ.GR-Health Science Journal Users’.
Black, J. M., & Hawk, J. H. (2014). Medical surgical nursing : clinical management for
positive outcomes (8th Ed.). St. Louis, Missouri : Saunders Elseiver.
Departemen Kesehatan RI. (2007). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1109/MENKES/PER/IX/2007 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan
Komplementer-Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/04/PMK-No.-1109-ttg-
Penyelenggaraan-Pengobatan-Komplementer-Alternatif.pdf, diakses 25-5-2015.

Frisch, N. (May 31, 2001). "Standards for Holistic Nursing Practice: A Way to Think
About Our Care That Includes Complementary and Alternative Modalities". Online
Journal of Issues in Nursing. Vol. 6 No. 2, Manuscript 4. Available:
www.nursingworld.org/MainMenuCategories/ANAMarketplace/ANAPeriodicals/O
JIN/TableofContents/Volume62001/No2May01/HolisticNursingPractice.aspx

Keputusan MENKES RI No 1076/Menkes/SK/VII/2003 tentang penyelenggaraan


Pengobatan Tradisional. (2003).
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes Diakses tanggal 24 Mei
2015

Universitas Indonesia
16

Keputusan MENKES RI Nomor 121 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Medik
Herbal.(2008). http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes. Diakses
tanggal 24 Mei 2015.

Kozier, et all (2008). Fundamental of Nursing; Concept, Process, adn


Practice,International ed. Pearson Education International

Mariano, C. (2007). Holistic Nursing: Scope and Standar Practice. 24 Mei 2015.
www.jbpub.com

O’Regan, et al .(2010). Compelementar Therapies : A Challenge for Nursing Practice.


Diakses pada 30 april 2012 melalui www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20196323

Silva, Mary Cipriano and Ludwick, Ruth (November 1, 2001). "Ethics: Ethical Issues in
Complementary/Alternative Therapies" Online Journal of Issues in Nursing Vol. 7
No.1.Available:www.nursingworld.org//MainMenuCategories/ANAMarketplace/A
NAPeriodicals/OJIN/Columns/Ethics/EthicalIssues.aspx

Snyder, Mariah and Lindsquit Ruth.(2010). Complementary and alternative therapies in


nursing 6th ed. Springer Publishing Company ; New York

Undang-undang RI No. 38 tahun 2014 tentang keperawatan.


(2014).http://www.kemenkopmk.go.id/sites/default/files/produkhukum/UU%20No
mor%2038%20Tahun%202014.pdf Diakses tanggal 24 Mei 2015

Wahyuningsih, Merry. (2012). 6 Pengobatan Alternatif yang Saat ini Paling Digandrungi.
http://health.detik.com/read/2012/01/10/162304/1811869/763/6-pengobatan-
alternatif-yang-saat-ini-paling-digandrungi. diakses tanggal 17 Mei 2014

Weston, A. (2002). A practical companion to ethics (2nd ed.). New York: Oxford
University Press.

Universitas Indonesia
17

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai