Istilah terapi komplementer banyak digunakan belakangan ini perawat dan beberapa
profesioanal kesehatan lain menyebutnya dengan terapi komplementer, sedangkan National
Center For Complementary and Alternative Medicine (NCCAM) sejak 2015 berganti nama
menjadi National Center Complementary and Integratif Health (NCCIH) menyebutnya
dengan pengobatan komplementer dan alternatif. Sebutan ini karena terdiri dari sekelompok
sistem dan praktik keperawatan kesehatan yang beragam, dan produk yang bukan menjadi
bagian dan pengobatan konvensional(Lindquist, Snyder, & Tracy, 2014). Definisi terapi
komplementer adalah terapi yang digunakan selain keperawatan kesehatan tradisional
(Stanhope & Lancaster, 2014). Kramlich (2014) menyebutkan terapi komplementer
merupakan cara atau terapi tambahan bersamaan dengan pengobatan konvensional. Pendapat
lain mengidentifikasikan sebagai beragam praktik dan produk terkait dengan kesehatan yang
penggunaannya diluar biomedis konvensional (Hall,Leach, Brosnan, & Collins, 2017)
Pendapat diatas disukung oleh Collage of Nurses of Ontario/CNO (2014), bahwa tindakan
komplementer merupakan terapi yang digunakan untuk melengkapi praktik keperawatan
kesehatan konvensional, termasuk cara pengobatan seperti terapi herbal dan pengobatan
manual seperti refleksi dan akupuntur. Sedangkan peraturan Kementerian Kesehatan
Indonesia menyebutkan bahwa pengobatan komplementer alternatif sebagai pengobatan non
konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
menggunakan upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif yang diperoleh
melalui pendidikan terstruktur dengan melalui kualitas, keamanan,efektivitas yang tinggi
berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik, upaya ini belum diterima kedokteran konvensional
(Permenkes RI, No. 1109, 2007). Definisi yang telah dijelaskan diatas menunjukan bahwa
terapi komplementer adalah tindakan yang diberikan sebagai bagian dari keperawatan
kesehatan, terdiri dari berbagai macam bentuk praktik kesehatan selain tindakan
konvensional, ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan di tahap pencegahan primer,
sekunder, dan tersier dan diperoleh melalui pendidikan khusus yang didasari oleh ilmu-ilmu
kesehatan.
Prinsip keperawatan yang perlu diaplikasikan dalam melaksanakan terapi komplementer dan
alternatif adalah holistik, komperhensif, dan kontinum. Prinsip holistik pada terapi
komplementer sesuai dengan pendekatan perawat yang mengacu pada kebutuhan biologis,
psikologis, sosial, kultural, dan spiritual (Berman, et al, 2015; Potter,Perry, Strockert & Hall,
2013).artinya perawat dalam melaksanakan terapi komplementer perlu berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan bio-psiko-sosio kurtural dan spiritual klien. Perawat dapat
menggunakan prinsip ini karena mengakui adanya kemampuan alami dalam pemulihan tubuh
dalam menggabungkan berbagai intervensi sebagai komplementer termasuk memberikan
terapi musik, life review, relaksasi, healing touch, dan guided imanegery(imajinasi tertuntun)
karena terapi tersebut menyesuaikan kondisi dan kemampuan klien, nin invansif yang
ekonomis, dan non farmakologi (Potter, Perry, Strocket & Hall). Pandangan yang memenuhi
semua aspek ini dapat diterapkan dalam beberapa level pencegahan.
Level pencegahan terdiri dari primer, sekunder, dan tersier (Edelman & Mandle, 2010).
Terapi komplementer dapat dilakukan di semua level pencegahan tersebut misalnya
seseorang yang ingin lebuh cepat sehat dengan konsumsi suplemen nutrisi, pencegahan
sekunder misalnya menggunakan herbal, untuk menyembuhkan penyakitnya dan contoh
tersier menggunakan massase untuk embantu anggota gerak yang lumpuh atau meningkatkan
fungsi dan mempertahankan tubuhnya. Terapi komplementer mengajarkan individu untuk
mengubah perilaku seseorang untuk memperbaiki res.
pon fisik terhadap stress dan peningkatan tanda masalah fisik seperti kekakuan otot,
ketidaknyamanan pada perut, nyeri atau gangguan tidur (Potter, Perry, Strocket & Hall,
2013).Penerapan terapi komplementer dalam semua level ini sesuai dengan prinsip
komperhensif dalam keperawatan (Potter, Perry, Strocket & Hall). Terapi komplementer
untuk semua level pencegahan tersebut juga memperhatikan sistem klien.
Klien sebagai individu yang memiliki sistem yang saling terkait di dalam tubuh dan
lingkungannya. Gangguan yang ada pada diri seseorang akan mempengaruhi sistem klien
sebagai individu, keluarga ataupun anggota masyarakat (Stanhope & Lanchester, 2014).
Misalnya klien dengan gangguan psikososial akan berdampak pada diri dan keluarganya.
Menurut Stozier & Carpenter (2008), terapi komplementer melakukan psikoterapi yang
dianggap sebagai bagian dari sistem yang melengkapi untuk proses penyembuhan selain
pengobatan konvensional. Terapi komplementer juga dapat digunakan dalam membantu klien
untuk memenuhi kebutuhan psikososial tersebut. Sebagai contoh terapi relaksasi yang
dipadukan dengan hipnotis dapat membantu kondisi rileks pada klien, keluarga ataupun
kelompok dengan masalah psikososial tersebut. Artinya terapi komplementer dapat
digunakan diberbagai level pencegahan dengan memperhatikan sistem yang ada pada klien.
Intervensi keperawatan melalui pencegahan diberbagai level ini dapat dilakukan dalam
keadaan sehat dan sakit, di berikan disemua tingkat pelayanan kesehatan. Prinsip kontinum
dilakukan pada klien dalam keadaan sehat dan sakit hingga sehat kembali yang dirawat
dirumah ataupun di pelayanan kesehatan ataupun secara mandiri ataupun kolaborasi, artinya,
memenuhi prinsip kontinum. Pelayanan kesehatan yang diberikan hendaknya dilakukan
secara integrasi untuk mendapatkan hasil terbaik untuk klien. Pelayanan kesehatan
terintegrasi menekankan pentingnya hubungan antara terapis atau praktisi dengan klien, fokus
pada individu secara menyeluruh menginformasikan berdasarkan bukti, dan menggunakan
pendekatan terapeutik yang tepat, pelayanan kesehatan profesional dan lintas disiplin
sehingga mencapai kesehatan yang optimal (Kreitzer et al,2009 dalam Potter, Perry, Strocket
& Hall, 2013). Pemberian terapi yang berkelanjutan baik di pelayanan rumah ataupun di
pelayanan kesehatan secara konvensional maupun komplementer diharapkan dapat
memberikan intervensi terbaik untuk kebutuhan klien (Stanthope & Lanchaster, 2014).
Artinya terpau komplementer dapat diberikan diberbagai level layanan sesuai dengan
kebutuhan dan ketersediaannya, hal ini menunjukkan bahwa terapi komplementer apabila
diberikan pada seseorang telah sesuai prinsip dan konsep keperawatan.
Peran Perawat
Peran perawat dalam terapi komplementer dari salah satu jurnal mengatakan bahwa peran
perawat yaitu memberikan asuhan keperawatan komperhensif yang tidak hanya mengkaji
fisik atau biologik, namun juga psikologik, sosial, dan spiritual, sehingga kesemasan yang
mempengaruhi psikososial klien dapat diantisipasi (Shari, Suryani & Emaliyawati, 2014).
Terapi untuk mengatasi kecemasan dalam ranah keperawatan klinis selain farmakologi adalah
non farmakologimenggunakan terapi komplementer. Perawat sebagai pemberi asuhan
keperawatan, memberikan terapi komplementer sebagai salah satu intervensi yang dapat
diberikan selain memberi obat konvensional sebagai peran kolaboratif, penggunaan terapi
komplementer dapat diberikan namun efeknya membutuhkan waktu, tetap dapat
dipertimbangkan pemberiannya karena intervensi ini menggunakan pendekatan holistik
dalam melengkapi kebutuhan klien, dalam hal fisik, psikologis, sosial, kultural dan spiritual.
Perawat dalam memberikan terapi komlementer dalam asuhan keperawatan dilakukan sesuai
langkah proses keperawatan. Hal ini sesuai dengan undang-undang yang berlaku di indonesia
tentang tugas dan wewenang perawat dalam penatalaksanaan tindakan komplementer dan
alternatif. Proses keperawatan penting digunakan bertujuan tuntuk mengidentifikasi,
mencegah, mengatasi masalah aktual atau potensial dalam status kesehatan (Berman et al,
2015). Proses keperawatan berfokus pada lima langkah utama, pengkajian, diagnosis,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (Potter, Perry, Stockert & Hall, 2013). Proses ini
membantu perawat memahami klien, dengan memperlakukannya secara holistik. Saat
melakukan tindakan terapi komplementer yang perlu diidentifikasi tidak hanya kesehatan
emosional dan mental serta fisik klien, tetapi juga latar belakang klien seperti, nilai-nilai,
keyakinan, etnis, agama, dan budaya serta mengidentifikasi berbagai faktor ini penting untuk
kesehatan klien.