Anda di halaman 1dari 16

TERAPI KOMPLEMENTER DALAM KEPERAWATAN KOMUNITAS

Disusun Oleh :
Kelompok 8
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah pengembangan mahasiswa dengan baik.

Judul makalah kami adalah "Terapi komplementer dalam Keperawatan Komunitas".


Dalam tulisan ini dibahas beberapa rumusan masalah, salah satunya adalah bagaimanakah peran
perawat dan teknik dalam terapi komplemeter pada keperawatan komunitas.

Dalam pembuatan makalah ini, tidak lupa kami sampaikan terimah kasih kepada
Dosen mata kuliah Keperawatan Komunitas II ibu Ns. Anita Sri Gandaria Purba, S.Kep.
M.Kep., yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini, terdapat kesalahan-kesalahan yang membuat makalah ini
tidak sempurna. Sekian dulu, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, jika dalam penulisan ada
kata-kata yang kurang mengenai hati. Terima kasih.

Penulis kelompok
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dengan
pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam
pengobatan modern. Terminology ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang
menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan. Terapi komplementer juga
ada yang menyebutkan dengan pengobatan holistic, pendapat ini didasari oleh bentuk terapi
yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk
mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi.
Perkembangan terapi komplementer akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak negara.
Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan
di Amerika Serikat dan negara lainnya (Snyder & Lindquis, 2002). Estimasi di Amerika
Serikat 627 juta orang adalah pengguna terapi alternatif dan 386 juta orang yang
mengunjungi praktik konvensional (Smith et al., 2004). Data lain menyebutkan terjadi
peningkatan jumlah pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada tahun 1991
menjadi 42% di tahun 1997 (Eisenberg, 1998 dalam Snyder & Lindquis, 2002).
Klien yang menggunakan terapi komplemeter memiliki beberapa alasan. Salah satu
alasannya adalah filosofi holistik pada terapi komplementer, yaitu adanya harmoni dalam diri
dan promosi kesehatan dalam terapi komplementer. Alasan lainnya karena klien ingin terlibat
untuk pengambilan keputusan dalam pengobatan dan peningkatan kualitas hidup
dibandingkan sebelumnya. Sejumlah 82% klien melaporkan adanya reaksi efek samping dari
pengobatan konvensional yang diterima menyebabkan memilih terapi komplementer (Snyder
& Lindquis, 2002).

Terapi komplementer yang ada menjadi salah satu pilihan pengobatan masyarakat. Di
berbagai tempat pelayanan kesehatan tidak sedikit klien bertanya tentang terapi
komplementer atau alternatif pada petugas Kesehatan seperti dokter ataupun perawat.
Masyarakat mengajak dialog perawat untuk penggunaan terapi alternatif (Smith et al., 2004).
Hal ini terjadi karena klien ingin mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan pilihannya,
sehingga apabila keinginan terpenuhi akan berdampak ada kepuasan klien. Hal ini dapat
menjadi peluang bagi perawat untuk berperan memberikan terapi komplementer.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dan jenis-jenis terapi komplementer?
2. Bagaimanakah focus terapi komplementer dalam keperawatan komunitas?
3. Bagaimanakah peran perawat dan Teknik dalam terapi komplementer pada
keparawatan komunitas?

C. Tujuan Masalah
1. Mahasiswa memahami definisi dan jenis-jenis terapi komplemnenter.
2. Mahasiswa memahami focus komplementer dalam keperawatan komunitas.
3. Mahasiswa memahami peran perawat dan teknik komplementer pada keperwatan
komunitas.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Terapi Komplementer
a. Definisi
Menurut WHO (World Health Organization), pengobatan komplementer
adalah pengobatan non-konvensional yang bukan berasal dari negara yang
bersangkutan. Jadi untuk Indonesia, jamu misalnya, bukan termasuk
pengobatan komplementer tetapi merupakan pengobatan tradisional.
Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah pengobatan yang sudah dari
zaman dahulu digunakan dan diturunkan secara turun – temurun pada suatu
negara. Tapi di Philipina misalnya, jamu Indonesia bisa dikategorikan sebagai
pengobatan komplementer.
Terapi komplementer adalah cara penanggulangan penyakit yang
dilakukan sebagai pendukung kepada pengobatan medis konvensional atau
sebagai pengobatan pilihan lain diluar pengobatan medis yang konvensional.
Kramlich (2014) menyebutkan terapi komplementer merupakan cara atau
terapi tambahan bersamaan dengan pengobatan kompensional. Pendapat lain
mendefinisikan sebagai beragam praktik dan produk terkait dengan kesehatan
yang penggunaanya diluar biomedis konpensional (Hall, Leach, Brosnan, &
Collns, 2017).
Jadi terapi komplementer adalah tindakan yang diberikan sebagai bagian
dari keperawatan kesehatan, terdiri dari berbagai macam bentuk praktik
kesehatan selain tindakan konpensional, ditunjukkan untuk meningkatkan
derajat kesehatan ditahap pencegahan primer, sekunder dan tersier yang
diperoleh melalui pendidikan khusus yang didasari oleh ilmu – ilmu
kesehatan.

b. Jenis-jenis Terapi Komplementer


1. Akupuntur
Di Cina, praktek akupunktur telah dimulai dari zaman batu dengan
menggunakan batu tajam atau Bian Shi. Jarum batu Akupuntur yang
diperkirakan sudah ada sejak 3000 SM ditemukan oleh ahli arkeolog di
pedalaman Mongolia. Pengobatannya sangat individudan dilakukan
berdasarkan intuisi, subjektif dan pengalaman pribadi, bukan atas dasar
penelitian medis. Akupuntur melibatkan penusukan jarum dalam berbagai
ukuran ke dalam “titik meridian” dalam tubuh manusia dengan tujuan
untuk mengalihkan Chi (energi vital tubuh) untuk meningkatkan
keseimbangan tubuh atau mengembalikan kesehatan tubuh (Hadibroto
dkk, 2006).
Titik Meridian adalah jalur yang sangat penting dalam tubuh
manusia sebagai tempat mengalir Chi. Chi mengalir dalam tubuh manusia
memberikan energi vital untuk organtubuh agar organ-organ tubuh dapat
berfungsi dengan baik.Maka sangat penting untuk memastikan bahwa Chi
dapat mengalir dengan bebas untuk memastikan bahwa struktur dan fungsi
organ tubuh bagian dalam bekerja dengan efektif (Hadibroto dkk, 2006).
Jarum ditusukkan ke titik meridian untuk mempengaruhi Chi yang
mengalir ke organ tubuh bagian dalam, untuk meningkatkan struktur dan
fungsi mereka. Jarum juga dapat digunakan untuk daerah tertentu yang
terasa sakit yang mungkin berhubungan dengan masalah dalam tubuh,
seperti cedera akibat olahraga. Sebagai contoh, sebuah jarum ditusukkan
ke daerah tendon yang tertarik atau otot yang kelelahan akan
meningkatkan aliran Chi ke area tersebut. Yang akan menghilangkan rasa
sakit dan mempercepat proses penyembuhan (Hadibroto dkk, 2006).
Akupuntur dapat menyebabkan beberapa reaksi fisik, baik di sekitar
daerah dimana akupuntur dilakukan atau di daerah lain karena sel syaraf
yang menghubungkan organ keotak. Ini dapat mengaktifkan berbagai
sistem dalam otak dan tubuh. Rasa sakit di salurkan melalui hormon urat
syaraf, terutama yang berhubungan dengan penerima rasa sakit. Pereda
rasa sakit yang diberikan oleh morfin bekerja pada penerima yang sama
dengan hormon urat syaraf ini. Endorphin yang diproduksi oleh
otak adalah pengganti alami dari morfin dan bekerja dengan cara yang
sama.
2. Herbalisme Medis
Herbalisme medis- penggunaan obat dari tumbuhan untuk
pencegahan dan pengobatan penyakit- memiliki sejarah sepanjang sejarah
umat manusia. Di inggris, metode ini memiliki dasar sejarah yang
sebagian dalam model Galenis “cairan tubuh” (darah, empedu hitam,
empedu kuning lender)”temperamen”-nya (misalnya panas, dingin,
lembab), dan kepercayaan bahwa penyakit disebabkan oleh
ketidakseimbangan cairan-cairan ini. Herba digunakan untuk memperbaiki
ketidakseimbangan ini dan serig digambarkan sebagai,
misalnya,”pemanas”, atau”pendingin”, seperti peppermint, akan
digunakan untuk mengobati kondisi-kondisi “panas” seperti demam. Di
inggris, herbalisme jugadi ambil dari tradisi-tradisi lain, misalnya
penggunaan herba di Amerika utara oleh Samuel Thomson, meskipun
Thomson sendiri pada awalnya di pengaruhi oleh herbalisme di Eropa
(Heinrich et al., 2009).
Kini, herbalisme modern, yang dipraktikkan oleh herbalis
medis,diambil dari pengetahuan tradisional, tetapi metode ini semakin
banyak di tapsirkan dan diterapkan dalam konteks modern. Sebagai
contoh, herbalis menggunakan pengetahuan terkini mengenai penyebab
dan akibat penyakit serta beberapa alat diagnosisi, seperti pengukuran
tekanan darah, yang di gunakan dalam pengobatan dalam pengobatan
konvensional. Beberapa aspek herbalisme zaman modern lainnya adalah
sebagai berikut (Heinrich et al., 2009):
1) Herbalisme menggunakan suatu pendekatan holistik dengan
mempertimbangkan perasaan sehat pasien secara pisikologis dan
emosional, juga kesehatan fisik.
2) Herbalis memilih herbal berdasarkan pada basis individual untuk setiap
pasien (sesuai dengan pendekatan holistic) sehingga kemungkinan besar
pasien-pasien dengan gejele fisik yang sama akan menerima kombinasi
herba yang berbeda.
3) Herbalis juga bertujuan untuk menggidentifikasi penyebab dasar (misalnya
stres) penyakit pasien dan mempertimbangkan hal ini dalamrencana
pengobatan.
4) Herba di gunakan untuk merangsang kemempuan penyembuhan tubuh,
untuk “memperkuat” system tubuh, dan untuk “memperbaiki” fungsi tubuh
yang terganggu, bukan untuk mengobati gejala-gejala yang muncul secara
langgsung.
5) Herba mungkin di gunakan, misalnya, dengan tujuan untuk “mengeliminasi
toksin” atau “merangsang” peredaran darah. Tujuannya adalah untuk
penyembuhan jangka panjang dari kondisi-kondisi tertentu.
Salah satu prinsip dasar herbalisme adalah bahwa kandungan herba yang
berbeda bekerja bersama dalam beberapa cara (yang tidak dapat di jelaskan)
sehingga menghasilkan efek-efek bermanfaat. Herbalis medis mengobati
berbagai macam kondisi akut (misalnya infeksi), dan yang lebih lazim, kondisi
kronis. Beberapa contoh gangguan yang biasanya dikonsultasikan orang kepada
herbalis yaitu (Heinrich et al., 2009)
a) Sindrom iritasi usus
b) Sindrom pramenstruasi
c) Gejala- gejala menopause
d) Eksim
e) Jenis-jenis arthritis
f) Depresi
g) Jerawat dan kondisi lainnya
h) Sistitis
i) Migrain
j) Sindrom lelah kronis
Herbalis biasanya merespon obat-obat herbal, seperti tingtur, meskipun
terkadang menggunakan formulasi yang lebih pekat (ekstrak cair). Jika suatu
resep memerlukan beberpa herba, tingtur dan ekstrak cair di campur menjadi
suatu campuran. Beberapa herbalis akan menyiapkan bahan-bahan
persediaannya sendri, sementara bahan yang lain dibeli dari pemasok khusus
dan sebagian besar memberikan resep herbalnya sendiri. Formulasi oral lainnya
(tablet, kapsul) dan sediaan herba topikal juga dapat di resepkan (Heinrich et al.,
2009).
Terdapat sekumpulan bukti klinis yang signifikan tentang manfaat dan
resiko potensial yang berkaitan dengan penggunaan obat herbal tertentu.
Ikhtisar mengenai beberapa herba paling penting yang umum di gunakan dapat
dilihat pada bagiab B buku ini. Sebagian besar informasi ini berkaitan dengan
penggunaan obat herbal tertentu yang diformulasikan sebagai sediaan
fitofarmasi dan di gunakan dengan cara yang sama dengan sediaan farmasi
konfensional, biasanya dibawah pengawasan seorang docter, untuk mengobati
gejala-gejala penyakit. Penelitien tentang efikasi dan keamanan obat herbal dan
kombinasi obat herbal yang telah di gunakan oleh praktisi obat herbal sangat
sedikit. Selain itu, efikasi dan keamanan herbalisme sebagai salah satu
pendekatan pengobatan belum di evaluasi secara ilmiah (Heinrich et al., 2009).

3. Aromaterapi
Tumbuhan aromatis dan ekstraknya telah digunakan pada kosmetik dan
parfum serta untuk keperluan religious selama ribuan tahun, meskipun hanya
sedikit kaitannya dengan penggunaan terapeutik minyak-minyak atsiri. Dasar-
dasar aromaterapi berkaitan dengan Rene-Maurice Gattefosse, seorang ahli kimia
pembuat parfum dari Prancis, yang pertama kali menggunakan istilah aromaterapi
pada tahun 1928 (Heinrich et al., 2009).
Aromaterapi adalah penggunaan terapeutik zat-zat aromatic yang
diekstraksi dari tumbuhan. Kelompok paling penting pada zat-zat ini adalah
minyak atsiri. Minyak ini biasanya diperoleh dari bahan tumbuhan (misalnya akar,
daun, bunga, biji) dengan cara destilasi, meskipun tindakan fisik (menggunakan
pengempaan dan tekanaan) adalah metode yang digunakan untuk memperoleh
beberapa minyak atsiri, terutama yang diperoleh dari kulit buah sitrus. Beberapa
aspek penting untuk penggunaan minyak atsiri dalam aromaterapi dijelaskan
berikut ini (Heinrich et al., 2009) :
1. Aromaterapis menyakini bahwa minyak atsiri dapat digunakan tidak hanya
untuk pengobatan dan pencegahan penyakit, tetapi juga efeknya terhadap
mood, emosi dan rasa sehat.
2. Aromaterapi diklaim sebagai suatu terapi holistik; dalam hal ini, aromaterapis
memilih suatu minyak atsiri, atau kombinasi minyak atsiri, disesuaikan
dengan gejala, kepribadian, dan keadaan emosi masing-masing klien.
Pengobatan dapat berubah pada kunjungan pasien berikutnya.
3. Minyak atsiri dijelaskan tidak hanya dengan rujukan terhadap reputasi sifat-
sifat farmakologisnya (misalnya antibakteri, antiradang), tetapi juga melalui
hal-hal yang tidak dikenali pada obat-obat kovensional (misalnya
keseimbangan, member energi).
4. Aromaterapis menyakini bahwa kandungan minyak atsiri, atau kombinasi
minyak, bekerja secara sinergistis untuk meningkatkan efikasi atau
mengurangi terjadinya efek-efek merugikan yang terkait dengan kandungan
kimia tertentu.
Aromaterapi digunakan secara luas sebagai suatu pendekatan untuk
meredakan stres, dan banyak minyak atsiri diklaim sebagai ‘perelaksasi’. Banyak
aromaterapis juga mengklaim bahwa minyak atsiri dapat digunakan dalam
pengobatan berbagai kondisi. Banyak pengguna menggunakan sendiri minyak
atsiri untuk perawatan kecantikkan, membantu relaksasi, atau mengobati
penyakit ringan tertentu, banyak diantaranya tidak cocok untuk pengobatan
sendiri. Aromaterapi juga digunakan dalam berbagai pelayanan kesehatan
kovensional, seperti dalam perawatan paliatif, unit perawatan intesif, unit
kesehatan jiwa dan pada unit-unit khusus yang merawat pasien HIV/AIDS, cacat
fisik, dan ketidakmampuan belajar yang parah (Heinrich et al., 2009).
Metode paling lazim yang digunakan oleh aromaterapis untuk
penggunaan minyak atsiri adalah dengan pemijatan, yaitu tetesan dua sampai
tiga minyak atsiri diencerkan dalam pembawa berupa minyak sayur, seperti
minyak biji anggur, minyak jojoba dll. Metode lain untuk penggunaan minyak atsiri
yang dilakukan oleh aromaterapis atau dalam perawatan sendiri antara lain
(Heinrich et al., 2009) :
1) Penambahan minyak atsiri ke dalam air mandi dan air untuk mencuci kaki (air
harus diaduk dengan kuat untuk membantu disperse).
2) Dihirup
3) Kompres
4) Digunakan dalam peralatan aromaterapi (misalnya alat pembakar dan
penguap).
Beberapa praktisi menganjurkn penggunaan minyak atsiri secara oral,
yang disebut ‘aromatologi’. Namun minyak atsiri tidak boleh digunakan untuk
pemakaian internal tanpa pengawasan medis. Beberapa aromatis juga
menyatakan bahwa minyak atsiri dapat diberikan malalui vagina (misalnya,
melalui tampon atau douche) atau secara rektal, tetapi pemberian melalui rute-
rute ini dapat menyebabkan iritasi membran dan tidak dianjurkan (Heinrich et al.,
2009).
Biasanya, minyak atsiri mengandung sekitar 100 atau lebih kandungan
kimia, kebanyakan terdapat pada konsentrasi dibawah 1%, meskipun beberapa
kandungan terdapat pada konsentrasi yang jauh lebih rendah. Beberapa minyak
atsiri mengandung satu atau dua kandungan utama, serta sifat-sifat terapeutik
dan toksikologis minyak tersebut sebagian besar dimiliki oleh kandungan kimia
tersebut. Namun, kandungan-kandungan lain yang terdapat pada konsentrasi
rendah mingkin penting. Komposisi suatu minyak atsiri akan bervariasi tergantung
pada lingkungan dan kondisi pertumbuhan tumbuhan tersebut, bagian tumbuhan
yang digunakan, serta pada metode panen, ekstraksi, dan penyimpanan (Heinrich
et al., 2009).
Minyak-minyak atsiri harus merujuk pada nama binomial latin spesies
tumbuhan yang menghasilkan minyak tersebut. Bagian tumbuhan yang digunakan
harus dinyatakan secara khusus, dan terkadang spesifikasi lebih lanjut diperlukan
untuk menjelaskan jenis senyawa kimia dalam suatu tumbuhan tertentu;
misalnya, Thymus vulgaris CT timol menjelaskan jenis senyawa kimia suatu spesies
timi yang memiliki timol sebagai kandungan kimia utamanya (Heinrich et al.,
2009).
Minyak atsiri diyakini bekerja dengan cara memberikan efek-efek
farmakologis setelah Absorpsi ke dalam peredaran darah dan melalui efek
aromanya terhadap sistem olfaktori. Terdapat bukti bahwa minyak atsiri
diabsorpsi ke dalam peredaran darah setelah penggunaan secara topical (yaitu
pemijatan) dan setelah dihirup, meskipun jumlah yang memasuki peredaran darah
kemungkinan sangat kecil. Terdapat bukti bahwa minyak tea tree yang digunakan
secara topical efektif dalam pengobatan infeksi-infeksi kulit tertentu, tetapi
penelitian-penelitian ini belum menguji aromaterapi yang dipraktikkan oleh
aromaterapis (Heinrich et al., 2009).
Sedikit efek merugikan yang berkaitan dengan pengobatan aromaterapi telah
dilaporkan;sebagian besar laporan berkaitan dengan kasus-kasusdermatitis kontak
pada pasien atau aromaterapis. Efek merugikan sementara yang bersifat
ringan,seperti mengantuk, sakit kepala dan mual, dapat terjadi setelah
pengobatan aromaterapi. Secara umum disarankan untukmenghindari
penggunaan minyak atsiri selam kehamilan, terutama selama trimester
pertama.Penggunaan minyak atsiri tertentu juga harus dihindari oleh pasien
epilepsy (Heinrich et al., 2009).
4. Terapi Pengobatan Bunga
Pengobatan bunga Bach dikembangkan oleh Dr Edward Bach (1886-
1936), seorang dokter dan ahli homeopati. Teorinya adalah bahwa dengan
mengobati respons emosional dan mental pasien terhadap penyakitnya,
gejala-gejala fisik akan dapat diredahkan. Ia mengidentifikasi 38 keadaan
psikologis negative (misalnya iri, putus asa, rasa bersalah, tidak dapat
memutuskan) dan mencari obta-obat alam yang dapat digunakan untuk
memperbaiki berbagai keadaan pikiran yang negatif ini (Heinrich et al.,
2009).
Berbagai jenis obat bunga banyak tersedia untuk dipilih sendiri dan
terapi mandiri.Selain itu beberapa orang menjalani pelatihan untuk menjadi
praktisi pengobatan dengan bunga; hal ini meliputu beberapa professional
pelayanan kesehatan, seperti beberapa dokter umum, yang menggunakan
obat-obatan bunga beserta praktik medis konvensional yang mereka
lakukan setiap hari (Heinrich et al., 2009).
Bach mengembangkan 38 obat bunga, di antaranya terdiri atas
bunga-bunga liar tunggal dan pohon-pohon berbunga, dan 1 yang diperoleh
dari mata air alami. Ia bertujuan bahwa masing-masing obat digunakan
untuk keadaan emosional atau mental tertentu. Misalnya:
 Gentian (Gentiana amarella) untuk perasaan murung.
 Holly (Ilex aquifolium) untuk perasaan iri.
 Impatiens (Impatiens glandulifera) untuk ketidaksabaran.
 Pinus (Pinus sylvestris) untuk rasa bersalah.
 Rock rose (Helianthemum nummularium) untuk perasaan takut.

Bach juga mengembangkan suatu sediaan yang dinamakan obat


penyelamat (Recue Remedy), yang merupakan kombinasi lima obat lainnya:
Impatiens (Impatiens glandulifera), bintang Betlehem (Ornithogalum
umbellatum), prem ceri (Prunus cerasifera), Rock rose (Helianthemum
nummularium), dan Clematis (Clematis vitalba). Bach menganjurkan
sediaan ini untuk digunakan dalam situasi yang sulit mendesak, seperti
syok, sangat ketakutan dan kehilangan (Heinrich et al., 2009).
Obat-obat bunga Bach disiapkan dari tingtur induk yang dibuat dari
bahan-bahan tumbuhan dan mata air alami dengan menggunakan suatu
metode infus (penjemuran) atau metode ‘pendidihan’.Obat-obat bunga
biasanya digunakan secara oral (2-4 tetes ditambahkan pada air dingin dan
diminum sedikit-sedikit), meskipun pada beberapa kasus, tetesan dapat
diteteskan langsung dibawah lidah dan bahkan pada pergelangan tangan atau
pelipis. Obat penyelamat juda tersedia dalam bentuk krim untuk penggunaan
luar (Heinrich et al., 2009).
Meskipun terdapat banyak laporan yang bersifat anekdot mengenai
keuntungan obat-obat bunga, tidak ada penelitian eksperimenta maupun
klinis tentang efek-efeknya yang terkenal. Obat-obat bunga diklaim secra luas
sama sekali tidak menimbulkan efek merugikan. Efek-efek merugikan tidak
mungkin terjadi, mengingat bahwa sediaan tersebut hanya mengandung
bahan-bahan yang sangat encer. Namun, karena obat-obat bunga
mengandung alkohol, obat-obat ini mungkin tidak sesuai untuk beberapa
orang. Penggunaan suatu obat bunga secara berlebihan dapat mengkwatirkan
jika seseorang mengandalkan terapi mandiri dengan menggunakan obat-obat
bunga untuk kondisi-kondisi seperti ansietas atau depresi, yang mungkin
membutuhkan penanganan medis dan bantuan professional lainnya (Heinrich
et al., 2009).

B. Fokus Terapi Komplementer Dalam Keperawatan Komunitas


Perawat penting mengenal terapi komplementer, karena masyarakat termasuk di
Indonesia masih banyak yang menggunakan terapi tradisional. Menurut pengalaman penulis
selama praktek keperawatan di masyarakat lebih banyak melakukan tindakan awal dengan
cara tradisional sebelum pergi ke pelayanan kesehatan, sehingga perlu pengetahuan yang
cukup untuk membantu masyarakat dalam member informasi berbagai jenis tindakan. Klien
dapat memilih tindakan yang tepat sesuai dengan masalah yang dialaminya. Perawat yang
menguasai terapi komplementer juga dapat memberikan tindakan sesuai kebutuhan klien.
Hal ini sesuai dengan tujuan penyelenggaraan terapi komplementer dan alternative yaitu
memberi pelindungan kepada klien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan serta member kepastian hukum kepeda masyarakat dan tenaga pengobatnya
(Permenkes RI No 1109, 2007). Kondisi saat ini sudah banyak perawat yang mengenal dan
kompeten melakukan terapi komplementer di Indonesia.
Prinsip keperawatan yang perlu diaplikasikan dalam melaksanakan terapi
komplementer dan alternative adalah holistik, komprehensif, dan kontinu. Prinsip holistik
pada terapi komplementer sesuai dengan pendekatan perawat yang mengacu pada
kebutuhan biologis, psikologis, social, cultural dan spiritual (Berman, et al 2015; Potter,
Perry, Stockert & Hall, 2013).
Level pencegahan terdiri dari primer, sekunder, dan tersier (Edelman & Mandle, 2010).
Terapi komplementer dapat dilakasanakan disemua level pencegahan tersebut misalnya
seseorang yang ingin lebih sehat dengan konsumsi suplemen nutrisi, pencegahan sekunder
misalnya menggunakan herbal unutk menyembuhkan penyakitdan contoh tersier
menggunakan massage untuk membantu anggota gerak yang lumpuh untuk meningkatkan
fungsi dan mempertahankan tubuhnya. Terapi komplementer mengajarkan individu
mengubah perilaku seseorang untuk memperbaiki respon fisik terhadap setres dan
peningkatan tanda masalah fisik seperti kekakuan otot, ketidaknyamanan pada perut, nyeri
atau gangguan tidur (Potter, Perry, Stockert & Hall, 2013). Penerapan terapi komplementer
dalam semua level ini sesuai dengan prinsip komprehensif dalam keperawatan. Terapi
komplementer untuk semua level pencegahan tersebut juga memperhatikan system klien.

C. Peran Perawat Dan Teknik Dalam Terapi Komplementer Pada Keperawatan


Komunitas
a. Peran Perawat Dan Teknik Dalam Terapi Komplementer Pada Keperawatan
Komunitas
Peran perawat yang dapat dilakukan dari pengetahuan tentang terapi
komplementer diantaranya sebagai konselor, pendidik kesehatan, peneliti, pemberi
pelayanan langsung, koordinator dan sebagai advokat. Sebagai konselor perawat dapat
menjadi tempat bertanya, konsultasi, dan diskusi apabila klien membutuhkan informasi
ataupun sebelum mengambil keputusan. Sebagai pendidik kesehatan, perawat dapat
menjadi pendidik bagi perawat di sekolah tinggi keperawatan seperti yang berkembang
di Australia dengan lebih dahulu mengembangkan kurikulum pendidikan (Crips & Taylor,
2001). Peran perawat sebagai peneliti di antaranya dengan melakukan berbagai
penelitian yang dikembangkan dari hasilhasil evidence-based practice.

Perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan langsung misalnya dalam praktik
pelayanan kesehatan yang melakukan integrasi terapi komplementer (Snyder & Lindquis,
2002). Perawat lebih banyak berinteraksi dengan klien sehingga peran koordinator dalam
terapi komplementer juga sangat penting. Perawat dapat mendiskusikan terapi
komplementer dengan dokter yang merawat dan unit manajer terkait. Sedangkan sebagai
advokat perawat berperan untuk memenuhi permintaan kebutuhan perawatan
komplementer yang mungkin diberikan termasuk perawatan alternatif (Smith et al.,2004).

Beberapa terapi komplementer telah diintegrasikan kedalam praktik keperawatan dari


masa ke masa, perluasan ruang lingkup dari terapi ini merupakan sebuah kebutuhan bahwa
perawat melakukan pengembangan panduan untuk digunakan dalam pelayanan. Kunci
untuk mendapatkan keterampilan terapi komplementer seorang perawat membutuhkan
pendidikan lanjutan atau khusus (Snyder & Lindquist, 2010). Pendidikan tersebut dapat
dilakukan secara mandiri di institusi yang terakreditasi, adapun pelatihan terapi
komplementer yang telah diakui oleh Badan PPSDM (Pusat Pengembangan Sumber Daya
Manusia) Kesehatan RI yang telah dikembangkan adalah akupuntur dan akupresur untuk
tenaga kesehatan.

Perawat yang telah mendapatkan pengakuan dari organisasi profesi atau lembaga
tersertifikasi dapat melakukan intervensi terapi komplementer untuk praktik ataupun
penelitian. Penelitian yang dilakukan perawat tetap harus menggunakan pertimbangan etik
dan standar yang sesuai dengan batasan yang berlaku. Perawat yang terlibat aktif dalam
penelitian terapi komplementer, salah satu diantara ketua atau anggota tim interdisiplin
harus memiliki kemampuan atau sertifikat tersebut (Snyder & Lindquist, 2010). Perawat
dalam memberikan terapi komplementer dalam asuhan keperawatan dilakukan sesuai
langkah proses keperawatan. Hal ini sesuai undang-undang yang berlaku di Indonesia
tentang tugas dan wewenang perawat dalam penatalaksanaan tindakan komplementer dan
alternatif. Proses keperawatn penting digunakan bertujuan untuk mengidentifikasi,
mencegah, mengatasi masalah aktual atau potensial dalam status kesehatan (Bertnan et al,
2015).

Perawat menggnakan proses keperawatan dengan mempertimbangkan klien menjadi


mampu mengenali kesehatannya sendiri dan menghormati pengalaman subjektifnya yang
relevan dalam memelihara kesehatan atau pendampingan dalam pemulihan. Dala model
kesehatan holistik klien dilibatkan dalam proses pemulihan dan juga pemeliharaan
kesehatan (Edelman dan Mandle, 2010). Artinya seseorang perawat yang melakukan
intervensi komplementer harus menggunakan pendekatan proses keperawatan, jika tidak
demikian makan praktik yang dilakukan identik dengan pengobat tradisional (batra).
Kebutuhan praktik keperawatan lanjut dalam memberikan terapi komplementer yang
terintegrasi antara intervensi konvensional dengan tradisional dapat memunculkan
dileme terhadap penghargaan imbalan jasa (Gaydos, 2001).

Sdf
D.

Anda mungkin juga menyukai