Disusun Oleh :
Kelompok 8
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah pengembangan mahasiswa dengan baik.
Dalam pembuatan makalah ini, tidak lupa kami sampaikan terimah kasih kepada
Dosen mata kuliah Keperawatan Komunitas II ibu Ns. Anita Sri Gandaria Purba, S.Kep.
M.Kep., yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, terdapat kesalahan-kesalahan yang membuat makalah ini
tidak sempurna. Sekian dulu, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, jika dalam penulisan ada
kata-kata yang kurang mengenai hati. Terima kasih.
Penulis kelompok
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dengan
pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam
pengobatan modern. Terminology ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang
menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan. Terapi komplementer juga
ada yang menyebutkan dengan pengobatan holistic, pendapat ini didasari oleh bentuk terapi
yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk
mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi.
Perkembangan terapi komplementer akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak negara.
Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan
di Amerika Serikat dan negara lainnya (Snyder & Lindquis, 2002). Estimasi di Amerika
Serikat 627 juta orang adalah pengguna terapi alternatif dan 386 juta orang yang
mengunjungi praktik konvensional (Smith et al., 2004). Data lain menyebutkan terjadi
peningkatan jumlah pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada tahun 1991
menjadi 42% di tahun 1997 (Eisenberg, 1998 dalam Snyder & Lindquis, 2002).
Klien yang menggunakan terapi komplemeter memiliki beberapa alasan. Salah satu
alasannya adalah filosofi holistik pada terapi komplementer, yaitu adanya harmoni dalam diri
dan promosi kesehatan dalam terapi komplementer. Alasan lainnya karena klien ingin terlibat
untuk pengambilan keputusan dalam pengobatan dan peningkatan kualitas hidup
dibandingkan sebelumnya. Sejumlah 82% klien melaporkan adanya reaksi efek samping dari
pengobatan konvensional yang diterima menyebabkan memilih terapi komplementer (Snyder
& Lindquis, 2002).
Terapi komplementer yang ada menjadi salah satu pilihan pengobatan masyarakat. Di
berbagai tempat pelayanan kesehatan tidak sedikit klien bertanya tentang terapi
komplementer atau alternatif pada petugas Kesehatan seperti dokter ataupun perawat.
Masyarakat mengajak dialog perawat untuk penggunaan terapi alternatif (Smith et al., 2004).
Hal ini terjadi karena klien ingin mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan pilihannya,
sehingga apabila keinginan terpenuhi akan berdampak ada kepuasan klien. Hal ini dapat
menjadi peluang bagi perawat untuk berperan memberikan terapi komplementer.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dan jenis-jenis terapi komplementer?
2. Bagaimanakah focus terapi komplementer dalam keperawatan komunitas?
3. Bagaimanakah peran perawat dan Teknik dalam terapi komplementer pada
keparawatan komunitas?
C. Tujuan Masalah
1. Mahasiswa memahami definisi dan jenis-jenis terapi komplemnenter.
2. Mahasiswa memahami focus komplementer dalam keperawatan komunitas.
3. Mahasiswa memahami peran perawat dan teknik komplementer pada keperwatan
komunitas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Terapi Komplementer
a. Definisi
Menurut WHO (World Health Organization), pengobatan komplementer
adalah pengobatan non-konvensional yang bukan berasal dari negara yang
bersangkutan. Jadi untuk Indonesia, jamu misalnya, bukan termasuk
pengobatan komplementer tetapi merupakan pengobatan tradisional.
Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah pengobatan yang sudah dari
zaman dahulu digunakan dan diturunkan secara turun – temurun pada suatu
negara. Tapi di Philipina misalnya, jamu Indonesia bisa dikategorikan sebagai
pengobatan komplementer.
Terapi komplementer adalah cara penanggulangan penyakit yang
dilakukan sebagai pendukung kepada pengobatan medis konvensional atau
sebagai pengobatan pilihan lain diluar pengobatan medis yang konvensional.
Kramlich (2014) menyebutkan terapi komplementer merupakan cara atau
terapi tambahan bersamaan dengan pengobatan kompensional. Pendapat lain
mendefinisikan sebagai beragam praktik dan produk terkait dengan kesehatan
yang penggunaanya diluar biomedis konpensional (Hall, Leach, Brosnan, &
Collns, 2017).
Jadi terapi komplementer adalah tindakan yang diberikan sebagai bagian
dari keperawatan kesehatan, terdiri dari berbagai macam bentuk praktik
kesehatan selain tindakan konpensional, ditunjukkan untuk meningkatkan
derajat kesehatan ditahap pencegahan primer, sekunder dan tersier yang
diperoleh melalui pendidikan khusus yang didasari oleh ilmu – ilmu
kesehatan.
3. Aromaterapi
Tumbuhan aromatis dan ekstraknya telah digunakan pada kosmetik dan
parfum serta untuk keperluan religious selama ribuan tahun, meskipun hanya
sedikit kaitannya dengan penggunaan terapeutik minyak-minyak atsiri. Dasar-
dasar aromaterapi berkaitan dengan Rene-Maurice Gattefosse, seorang ahli kimia
pembuat parfum dari Prancis, yang pertama kali menggunakan istilah aromaterapi
pada tahun 1928 (Heinrich et al., 2009).
Aromaterapi adalah penggunaan terapeutik zat-zat aromatic yang
diekstraksi dari tumbuhan. Kelompok paling penting pada zat-zat ini adalah
minyak atsiri. Minyak ini biasanya diperoleh dari bahan tumbuhan (misalnya akar,
daun, bunga, biji) dengan cara destilasi, meskipun tindakan fisik (menggunakan
pengempaan dan tekanaan) adalah metode yang digunakan untuk memperoleh
beberapa minyak atsiri, terutama yang diperoleh dari kulit buah sitrus. Beberapa
aspek penting untuk penggunaan minyak atsiri dalam aromaterapi dijelaskan
berikut ini (Heinrich et al., 2009) :
1. Aromaterapis menyakini bahwa minyak atsiri dapat digunakan tidak hanya
untuk pengobatan dan pencegahan penyakit, tetapi juga efeknya terhadap
mood, emosi dan rasa sehat.
2. Aromaterapi diklaim sebagai suatu terapi holistik; dalam hal ini, aromaterapis
memilih suatu minyak atsiri, atau kombinasi minyak atsiri, disesuaikan
dengan gejala, kepribadian, dan keadaan emosi masing-masing klien.
Pengobatan dapat berubah pada kunjungan pasien berikutnya.
3. Minyak atsiri dijelaskan tidak hanya dengan rujukan terhadap reputasi sifat-
sifat farmakologisnya (misalnya antibakteri, antiradang), tetapi juga melalui
hal-hal yang tidak dikenali pada obat-obat kovensional (misalnya
keseimbangan, member energi).
4. Aromaterapis menyakini bahwa kandungan minyak atsiri, atau kombinasi
minyak, bekerja secara sinergistis untuk meningkatkan efikasi atau
mengurangi terjadinya efek-efek merugikan yang terkait dengan kandungan
kimia tertentu.
Aromaterapi digunakan secara luas sebagai suatu pendekatan untuk
meredakan stres, dan banyak minyak atsiri diklaim sebagai ‘perelaksasi’. Banyak
aromaterapis juga mengklaim bahwa minyak atsiri dapat digunakan dalam
pengobatan berbagai kondisi. Banyak pengguna menggunakan sendiri minyak
atsiri untuk perawatan kecantikkan, membantu relaksasi, atau mengobati
penyakit ringan tertentu, banyak diantaranya tidak cocok untuk pengobatan
sendiri. Aromaterapi juga digunakan dalam berbagai pelayanan kesehatan
kovensional, seperti dalam perawatan paliatif, unit perawatan intesif, unit
kesehatan jiwa dan pada unit-unit khusus yang merawat pasien HIV/AIDS, cacat
fisik, dan ketidakmampuan belajar yang parah (Heinrich et al., 2009).
Metode paling lazim yang digunakan oleh aromaterapis untuk
penggunaan minyak atsiri adalah dengan pemijatan, yaitu tetesan dua sampai
tiga minyak atsiri diencerkan dalam pembawa berupa minyak sayur, seperti
minyak biji anggur, minyak jojoba dll. Metode lain untuk penggunaan minyak atsiri
yang dilakukan oleh aromaterapis atau dalam perawatan sendiri antara lain
(Heinrich et al., 2009) :
1) Penambahan minyak atsiri ke dalam air mandi dan air untuk mencuci kaki (air
harus diaduk dengan kuat untuk membantu disperse).
2) Dihirup
3) Kompres
4) Digunakan dalam peralatan aromaterapi (misalnya alat pembakar dan
penguap).
Beberapa praktisi menganjurkn penggunaan minyak atsiri secara oral,
yang disebut ‘aromatologi’. Namun minyak atsiri tidak boleh digunakan untuk
pemakaian internal tanpa pengawasan medis. Beberapa aromatis juga
menyatakan bahwa minyak atsiri dapat diberikan malalui vagina (misalnya,
melalui tampon atau douche) atau secara rektal, tetapi pemberian melalui rute-
rute ini dapat menyebabkan iritasi membran dan tidak dianjurkan (Heinrich et al.,
2009).
Biasanya, minyak atsiri mengandung sekitar 100 atau lebih kandungan
kimia, kebanyakan terdapat pada konsentrasi dibawah 1%, meskipun beberapa
kandungan terdapat pada konsentrasi yang jauh lebih rendah. Beberapa minyak
atsiri mengandung satu atau dua kandungan utama, serta sifat-sifat terapeutik
dan toksikologis minyak tersebut sebagian besar dimiliki oleh kandungan kimia
tersebut. Namun, kandungan-kandungan lain yang terdapat pada konsentrasi
rendah mingkin penting. Komposisi suatu minyak atsiri akan bervariasi tergantung
pada lingkungan dan kondisi pertumbuhan tumbuhan tersebut, bagian tumbuhan
yang digunakan, serta pada metode panen, ekstraksi, dan penyimpanan (Heinrich
et al., 2009).
Minyak-minyak atsiri harus merujuk pada nama binomial latin spesies
tumbuhan yang menghasilkan minyak tersebut. Bagian tumbuhan yang digunakan
harus dinyatakan secara khusus, dan terkadang spesifikasi lebih lanjut diperlukan
untuk menjelaskan jenis senyawa kimia dalam suatu tumbuhan tertentu;
misalnya, Thymus vulgaris CT timol menjelaskan jenis senyawa kimia suatu spesies
timi yang memiliki timol sebagai kandungan kimia utamanya (Heinrich et al.,
2009).
Minyak atsiri diyakini bekerja dengan cara memberikan efek-efek
farmakologis setelah Absorpsi ke dalam peredaran darah dan melalui efek
aromanya terhadap sistem olfaktori. Terdapat bukti bahwa minyak atsiri
diabsorpsi ke dalam peredaran darah setelah penggunaan secara topical (yaitu
pemijatan) dan setelah dihirup, meskipun jumlah yang memasuki peredaran darah
kemungkinan sangat kecil. Terdapat bukti bahwa minyak tea tree yang digunakan
secara topical efektif dalam pengobatan infeksi-infeksi kulit tertentu, tetapi
penelitian-penelitian ini belum menguji aromaterapi yang dipraktikkan oleh
aromaterapis (Heinrich et al., 2009).
Sedikit efek merugikan yang berkaitan dengan pengobatan aromaterapi telah
dilaporkan;sebagian besar laporan berkaitan dengan kasus-kasusdermatitis kontak
pada pasien atau aromaterapis. Efek merugikan sementara yang bersifat
ringan,seperti mengantuk, sakit kepala dan mual, dapat terjadi setelah
pengobatan aromaterapi. Secara umum disarankan untukmenghindari
penggunaan minyak atsiri selam kehamilan, terutama selama trimester
pertama.Penggunaan minyak atsiri tertentu juga harus dihindari oleh pasien
epilepsy (Heinrich et al., 2009).
4. Terapi Pengobatan Bunga
Pengobatan bunga Bach dikembangkan oleh Dr Edward Bach (1886-
1936), seorang dokter dan ahli homeopati. Teorinya adalah bahwa dengan
mengobati respons emosional dan mental pasien terhadap penyakitnya,
gejala-gejala fisik akan dapat diredahkan. Ia mengidentifikasi 38 keadaan
psikologis negative (misalnya iri, putus asa, rasa bersalah, tidak dapat
memutuskan) dan mencari obta-obat alam yang dapat digunakan untuk
memperbaiki berbagai keadaan pikiran yang negatif ini (Heinrich et al.,
2009).
Berbagai jenis obat bunga banyak tersedia untuk dipilih sendiri dan
terapi mandiri.Selain itu beberapa orang menjalani pelatihan untuk menjadi
praktisi pengobatan dengan bunga; hal ini meliputu beberapa professional
pelayanan kesehatan, seperti beberapa dokter umum, yang menggunakan
obat-obatan bunga beserta praktik medis konvensional yang mereka
lakukan setiap hari (Heinrich et al., 2009).
Bach mengembangkan 38 obat bunga, di antaranya terdiri atas
bunga-bunga liar tunggal dan pohon-pohon berbunga, dan 1 yang diperoleh
dari mata air alami. Ia bertujuan bahwa masing-masing obat digunakan
untuk keadaan emosional atau mental tertentu. Misalnya:
Gentian (Gentiana amarella) untuk perasaan murung.
Holly (Ilex aquifolium) untuk perasaan iri.
Impatiens (Impatiens glandulifera) untuk ketidaksabaran.
Pinus (Pinus sylvestris) untuk rasa bersalah.
Rock rose (Helianthemum nummularium) untuk perasaan takut.
Perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan langsung misalnya dalam praktik
pelayanan kesehatan yang melakukan integrasi terapi komplementer (Snyder & Lindquis,
2002). Perawat lebih banyak berinteraksi dengan klien sehingga peran koordinator dalam
terapi komplementer juga sangat penting. Perawat dapat mendiskusikan terapi
komplementer dengan dokter yang merawat dan unit manajer terkait. Sedangkan sebagai
advokat perawat berperan untuk memenuhi permintaan kebutuhan perawatan
komplementer yang mungkin diberikan termasuk perawatan alternatif (Smith et al.,2004).
Perawat yang telah mendapatkan pengakuan dari organisasi profesi atau lembaga
tersertifikasi dapat melakukan intervensi terapi komplementer untuk praktik ataupun
penelitian. Penelitian yang dilakukan perawat tetap harus menggunakan pertimbangan etik
dan standar yang sesuai dengan batasan yang berlaku. Perawat yang terlibat aktif dalam
penelitian terapi komplementer, salah satu diantara ketua atau anggota tim interdisiplin
harus memiliki kemampuan atau sertifikat tersebut (Snyder & Lindquist, 2010). Perawat
dalam memberikan terapi komplementer dalam asuhan keperawatan dilakukan sesuai
langkah proses keperawatan. Hal ini sesuai undang-undang yang berlaku di Indonesia
tentang tugas dan wewenang perawat dalam penatalaksanaan tindakan komplementer dan
alternatif. Proses keperawatn penting digunakan bertujuan untuk mengidentifikasi,
mencegah, mengatasi masalah aktual atau potensial dalam status kesehatan (Bertnan et al,
2015).
Sdf
D.