Anda di halaman 1dari 28

1

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


DENGAN CHRONIC RENAL

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2
1. EVA WULANDARI 1. ATENG ASMUDIN
2. ANNISA 2. FRESY ROSIKA P
3. RIO ADI ISMANTO 3. SUDIYONO
4. HELDAWATI 4. RETNO ADE SAPUTRA
5. BIMA ADITIA PRATAMA 5. MIKDA AZALI
6. SITI NURBAITI 6. MUHAMMAD ARIFUDIN
7. DEVI MARDIANA SARI 7. SETIAWAN PRIADI
8. ZULHIDASARI 8. AGUNG HERMAWAN
9. MUHAMMAD PRATAMA 9. BUDI SANTOSO
10. EKA KARTIKASARI 10. RITNO SETYA NINGRUM
11. RIZKI MARTA DIANA AMASDA 11. SUHANDOKO
12. OKTA ZULFIKRI

PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN KONVERSI UNIVERSITAS AISYAH


PRINGSEWU LAMPUNG TAHUN 2021

1
2

DAFTAR ISI

HALAM COVER ..................................................................................................... 1


DAFTAR ISI............................................................................................................. 2
BAB II
1. Latar belakang......................................................................................... 3
2. Tujuan penulisa ....................................................................................... 3
BAB II
1. Definisi.................................................................................................... 4
2. Klasifikasi .............................................................................................. 4
3. Etiologi ................................................................................................... 5
4. Patofisiologi............................................................................................ 6
5. Pathway .................................................................................................. 8
6. Manifestasi klinis................................................................................... 9
7. Komplikasi ............................................................................................. 10
8. Penatalaksanaan.................................................................................... 11
9. Pencegahan ........................................................................................... 13
10. Hasil penelitian tata laksana sistem perkemihan ............................... 14
11. Peran dan fungsi perawat..................................................................... 15
12. Konsep asuhan keperawatan .............................................................. 19
BAB III
1. Kesimpulan ............................................................................................ 28
DAFTAR ISI

2
3

BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
CKD merupakan salah satu penyakit yang memiliki prevalensi cukup tinggi
dari tahun ke tahun disemua Negara. Menurut International Society ofNephrology
(ISN) & International Federation of Kidney Foundation (IFKF) yaitu lembaga yang
mendirikan world kidney day, jumlah pasien penderita CKD pada tahun 2025
diperkirakan akan terus meningkat di Asia Tenggara, Mediterania dan Timur Tengah
serta Afrika mencapai lebih dari 380 juta orang (Oxtavia, Jumaini, & Lestari, 2013).
Perkembangan penyakit tidak menular saat ini mengalami perubahan
peningkatan di Indonesia yang dapat membahayakan jiwa penderitanya, salah satunya
adalah gagal ginjal. Gagal ginjal (kidney failure) adalah kasus penurunan fungsi ginjal
yang terjadi secara akut (kambuhan) maupun kronis (menahun) (Syaifuddin, 2012).
Penyakit ginjal dijuluki sebagai silent disease karena sering kali tidak menunjukkan
tanda-tanda peringatan, dan jika tidak terdeteksi akan memperburuk kondisi penderita
dari waktu ke waktu (Kementrian kesehatan RI/Kemenkes RI, 2016).
Penyakit CKD merupakan penyakit yang bersifat irreversible, artinya tidak bisa
menjadi normal kembali.Salah satu yang bisa dilakukan hanyalah mempertahankan
fungsi ginjal yang ada, seperti transplantasi ginjal dan hemodialisa atau cuci darah,
yang dapat mencegah kematian tetapi tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan
fungsi ginjal secara keseluruhan (Kemenkes RI, 2013). Menurut Sudoyo, dkk (2009),
pasien CKD yang membutuhkan terapi pengganti ginjal yaitu CKD tahap akhir atau
stadium V dimana GFR kurang dari 15ml/menit. Pada saat terjadi kegagalan fungsi
ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit
dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksisk uremik) didalam darah,
disanalah seseorang dikatakan mengalami Choronic Kidney Disease (CKD) (Muttaqin
& Sari, 2011).

b. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui tentang konsep penyakit dan askep pada pasien CKD

3
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
Menurut Smeltzer dan Bare (2015) CKD atau gagal ginjal kronis merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga
terjadi uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalamdarah). Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (KDOQI), CKD merupakan kerusakan ginjal yang terjadi
dengan penurunan GFR (Glomerular Filtration rate).
Sementara National Kidney Foundation (NKF) menyatakan gagal ginjal kronik
terjadi apabila berlaku kerusakan jaringan ginjal atau menurunnya glomerulus
filtration rate (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih.

2. Klasifikasi
Penyakit CKD selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFRyang tersisa
(Muttaqin & Sari, 2011). Price dan Wilson (2012) menjelaskan perjalanan klinis
umum CKD progresif dibagi menjadi tiga stadium yaitu:
a. Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal) Pada stadium pertama kreatinin serum
dan kadar BUN normal dan asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat
terdeteksi dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti tes
pemekatan urine. Muttaqin dan Sari (2011) menjelaskan penurunan cadangan
ginjal yang terjadi apabila GFR turun 50% dari normal.

b. Stadium 2 (insufisiensi ginjal) Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak
(GFR besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini BUN mulai meningkat
diatasnormal, kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal, azotemia
ringan, timbul nokturia dan poliuri.

c. Stadium 3 (gagal ginjal stadium akhir / uremia) Stadium ketiga disebut penyakit
ginjal stadium akhir (ERSD) yang dapat terjadi apabila 90% massa nefron telah
hancur, nilai GFR 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin
sebesar 5-10 ml permenit atau kurang. Pada tahap ini kreatinin serum dan kadar
BUN meningkat sangat menyolok sebagai respons terhadap GFR yang mengalami
sedikit penurunan.

4
5

KDOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat


penurunan GFR yaitu:
1) Stage1: Kidney damage with normalor increased GFR (>90 mL/min/1.73m2 )
2) Stage2: Mild reduction in GFR (60-89 mL/min/1.73 m2 )
3) Stage3: Moderate reduction in GFR (30-59 mL/min/1.73 m2 )
4) Stage4: Severe reductionin GFR (15-29mL/min/1.73 m2 )
5) Stage5: Kidney failure(GFR< 15Ml/min/1.73 m2 or dyalisis)

Kelebihan ataupun kekurangan cairan ini dapat meningkatkan morbiditas dan


mortalitas pada pasien yang menjalani hemodialisis (Pace, 2007), terutama yang
berhubungan dengan komplikasi kardiovaskulernya. Beberapa komplikasi akibat
kegagalan mengatur asupan cairan pada pasien gagal ginjal antara lain; hipertensi
yang tak terkendali, hipotensi intradialisis, edema perifer, asites, efusi pleura dan
gagal jantung kongestif.

3. Etiologi
Begitu banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya CKD. Akan
tetapi, apapun penyebabnya, respons yang terjadi adalah penurunan fungsi ginjal
secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan CKD bisa
disebabkan dari ginjal sendiri maupun dari luar ginjal (Muttaqin & Sari, 2011). Price
dan Wilson (2012) mengkategorikan ada delapan kelas yang menjadi penyebab
tersering dari penyakit CKD yaitu :
a. Penyakit infeksi tubulointerstitial : Pielonefritis kronik atau refluks nefropati.
b. Penyakit peradangan glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah penyebab gagal ginjal pada sepertiga pasien yang
membutuhkan dialisis atau transplantasi. Glomerulonefritis adalah peradangan
ginjal bilateral, biasanya timbul pasca infeksi streptococcus. Untuk glomerulus akut,
gangguan fisiologis utamanya dapat mengakibatkan eksresi air, natrium dan zat-zat
nitrogen berkurang sehingga timbul edema dan azotemia, peningkatan aldosterone
menyebabkan retensi air dan natrium. Untuk glomerulonefhritis kronik, ditandai
dengan kerusakan glomerulus secara progresif lambat, akan tampak ginjal
mengkerut, berat lebih kurang dengan permukaan bergranula. Ini disebabkan
jumlah nefron berkurang karena iskemia, karena tubulus mengalami atropi, fibrosis
intestisial dan penebalan dinding arteri (Haryono, 2013).
5
6

c. Penyakit vaskuler hipertensif seperti nefrosklerosis benigna, nefroklerosis maligna,


dan stenosis arteri renalis.
d. Gangguan jaringan ikat seperti lupus eritematosus sistemik, poliarterites nodosa,
dan sklerosis sistemik progresif.
e. Penyakit kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan asidosis
tubulus ginjal.
f. Gangguan metabolik yang dapat mengakibatkan CKD antara lain diabetes melitus,
gout, hiperparatiroidisme dan amiloidosis.
g. Netropati toksik akibat penyalahgunaan analgesik dan nefropati timah.
h. Nefropati obstruksi Traktus urinarius bagian atas: batu, neoplasma, fibrosis
retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah: hipertrofi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra.

4. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Penyakit CKD dimulai pada fase awal gangguan, keseimbangan cairan,
penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung
pada ginjal yang sakit (Muttaqin & Sari, 2011).
Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab yaitu infeksi,
vaskuler, zat toksik, obstruksi saluran kemih yang pada akhirnya akan terjadi
kerusakan nefron sehingga menyebabkan penurunan GFR dan menyebabkan CKD,
yang mana ginjal mengalami gangguan dalam fungsi eksresi dan fungsi non-eksresi
(Nursalam,2007). Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka
gejala akan semakin berat. Banyak masalah muncul pada CKD sebagai akibat dari
penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan kliresn
(substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal). Menurunnya filtrasi
glomerulus (akibat tidak berungsinya gromeruli) klirens kreatinin akan menurun dan
kadar kreatinin serum akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN)
juga meningkat (Smeltzer & Bare, 2015)

6
7

Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin


secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir. Terjadi penahanan cairan dan natrium,
sehingga beresiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin-angiotensin dan kerjasama
keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Sindrom uremia juga bisa menyebabkan
asidosis metabolik akibat ginjal tidak mampu menyekresi asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekrsi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu menyekresi ammonia (NH3-
) dan megapsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan eksresi fosfat dan asam
organik yang terjadi, maka mual dan muntah tidak dapat dihindarkan (Smeltzer &
Bare, 2015). Penurunan sekresi eritropoetin sebagai faktor penting dalam stimulasi
produksi sel darah merah oleh sumsum tulang menyebabkan produk hemoglobin
berkurang dan terjadi anemia sehingga peningkatan oksigen oleh hemoglobin
berkurang maka tubuh akan mengalami keletihan,angina dan napas sesak.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme.
Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah
satunya meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi
melaui glomerulus ginjal maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan sebaliknya,
kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi
parathhormon dari kelenjar paratiroid, tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat merspons
normal terhadap peningkatan sekresi parathormon sehingga kalsium ditulang menurun,
menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang. Selain itu, metabolit
aktif vitamin D yang secara normal dibuat di ginjal menurun seiring dengan
berkembangnya gagal ginjal (Smeltzer & Bare, 2015).

7
8

5. Klinikal Pathway

8
9

6. Manifestasi klinis
Smeltzer & Bare (2015) menjelaskan bahwa setiap sistem tubuh dipengaruhi
oleh kondisi uremia pada pasien CKD, maka pasien akan memperlihatkan sejumlah
tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala tergantung pada bagian dan tingkat
kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari pada usia pasien diantaranya yaitu:
a. Kardiovakuler
1) Hipertensi
2) Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
3) Edema periorbital
4) Friction rub pericardial
5) Pembesaran vena leher
b. Integumen
1) Warna kulit abu-abu mengkilat
2) Kulit kering, besisik
3) Pruritus
4) Ekimosis
5) Kuku tipis dan rapuh
6) Rambut tipis dan kasar Penimbunan pigmen urine (terutama urokrom) bersama
anemia pada insufisiensi ginjal lanjut akan menyebabkan kulit pasien menjadi
putih – putih seakan berlilin dan kekuning – kuningan. Jika kadar BUN sangat
tinggi, maka pada bagian kulit yang banyak keringat akan timbul kristal – kristal
urea yang halus dan berwarna putih. Memar pada kulit terjadi karena
peningkatan fragilitas kapiler.
c. Pulmoner
1) Ronkhi basah kasar (krekels)
2) Sputum kental dan lengket
3) Napas dangkal
4) Pernapasan kussmaul
d. Gastrointerstinal
1) Napas berbau amonia
2) Ulserasi dan perdarahan pada mulut
3) Anoreksia, mual dan muntah
4) Konstipasi dan diare

9
10

5) Perdarahan pada saluran cerna


e. Neurologi
1) Kelemahan dan keletihan
2) Konfusi
3) Disorientasi
4) Kejang
5) Kelemahan pada tungkai
6) Rasa panas pada telapak kaki
7) Perubahan perilaku
f. Muskuloskeletal
1) Kram otot
2) Kekuatan otot hilang
3) Fraktur tulang
4) Foot drop
g. Reproduktif
1) Amenore
2) Atrofil testiskuler

7. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smletzer dan Bare (2015)
yaitu :
a. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diet berlebihan.
b. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin-
angiostensin-aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialisis.
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar
alumunium.

10
11

8. Penatalaksanaan
Menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan mencegah komplikasi merupaka
tujuan dari penatalaksanaan pasien CKD (Muttaqin& Sari, 2011). Menurut Suharyanto
dan Madjid (2009) pengobatan pasien CKD dapat dilakukan dengan tindakan
konservatif dan dialisis atau transplatansi ginjal.
a. Tindakan konservatif Tindakan konservatif merupakan tindakan yang bertujuan
untuk meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif.
1) Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan. Intervensi diet perlu pada
gangguan fungsi renal dan mencakup pengaturan yang cermat terhadap masukan
protein, masukan cairan untuk mengganti cairan yang hilang, masukan natrium
untuk mengganti natrium yang hilang dan pembatasan kalium (Smeltzer & Bare,
2015).
2) Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga
mengurangiasupan kalium dan fosfat, serta mengurangi produksi ion hydrogen
yang berasal dari protein. Brunner dan Suddart (2016), menjelaskan protein
yang diperbolehkan harus mengandung nilai biologis yang tinggi (produk susu,
keju, telur, daging).
3) Diet rendah kalium Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal
ginjal lanjut. Asupan kalium dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40-80
mEq/hari. Penggunanaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kadar
kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia.
4) Diet rendah natrium Diet natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g
Na). Asupan natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi
5) Pengaturan cairan Cairan yang diminimum penderita gagal ginjal tahap lanjut
harus di awasi dengan seksama. Parameter yang terdapat untuk diikuti selain
data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah
pengukuran Berat badan harian.

b. Pencegahan dan pengobatan komplikasi


1) Hipertensi
Hipertensi dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan cairan. Pemberian
obat antihipertensi seperti metildopa (aldomet), propranolol, klonidin. Apabila
penderita sedang mengalami terapi hemodialisa, pemberian antihipertensi
11
12

dihentikan karena dapat mengakibatkan hipotensi dan syok yang diakibatkan


oleh keluarnya cairan intravaskuler melalui ultrafiltrasi. Pemberian diuretik
seperti furosemid (Lasix).
2) Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan komplikasi yang paling serius, karena bila K+ serum
mencapai sekitar 7 mEq/L, dapat mengakibatkan aritmia dan juga henti jantung.
Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena,
yang akan memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan pemberian kalsium
glukonat 10%.
3) Anemia
Anemia pada pasien CKD diakibatkan penurunan sekresi eritropoeitin oleh
ginjal. Pengobatannya adalah pemberian hormon eritropoeitin selain dengan
pemberian vitamin dan asam folat, besi dan tranfusi darah.
4) Asidosis
Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO3 - plasma dibawah angka 15
mEq/L. Bila asidosis beratakan dikoreksi dengan pemberian Na HCO3 -
(Natrium Bikarbonat) parenteral. Koreksi pH darah yang berlebihan dapat
mempercepat timbulnya tetani, maka harus dimonitor dengan seksama.
5) Diet rendah fosfat
Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat fosfat didalam
usus. Gel yang dapat mengikat fosfat harus dimakan bersama makanan. f)
Pengobatan hiperurisemia Obat pilihan untuk mengobati hiperurisemia pada
penyakit ginjal lanjut adalah pemberian alopurinol. Obat ini menggurangi kadar
asam urat dengan menghambat biosintesis sebagian asam urat total yang
dihasilkan tubuh.

c. Dialisis dan transplatansi


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit CKD stadium 5, yaitu pada
GR kurang dari 15ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa dialisis atau
transplantasi ginjal (Sudoyo, dkk, 2010). Dialisis dapat digunakan untuk
mempertahankan penderita dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia
donor ginjal (Suharyanto &Madjid ,2009) Menurut Smeltzer (2016)
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien CKD yaitu :

12
13

1) Mengkaji status cairan dan mengidentifikasi sumber potensi ketidak seimbangan


cairan pada pasien.
2) Menetap program diet untuk menjamin asupan nutrisi yang memadai dan sesuai
dengan batasan regimen terapi.
3) Mendukung perasan positif dengan mendorong pasien untuk meningkatkan
kemampuan perawatan diri dan lebih mandiri.
4) Memberikan penjelasan dan informasi kepada pasien dan keluarga terkait
penyakit CKD, termasuk pilihan pengobatan dan kemungkinan komplikasi.
5) Memberi dukungan emosional.

9. Pendidikan Kesehatan : Pencegahan Primer, Sekunder dan Tersier


Pendidikan kesehatan adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang
melalui teknik praktek belajar atau instruksi dengan tujuan mengubah dan
mempengaruhi perilaku manusia secara individu, kelompok, maupun masyarakat
untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat.
a. Pencegahan primer
berupa intervensi sebelum efek kesehatan terjadi untuk mencegah timbulnya
penyakit ginjal sebelum proses penyakit ginjal dimulai. Pencegahan primer harus
menitikberatkan pada perubahan faktor risiko dan mengatasi kerusakan struktural
ginjal serta saluran kemih, dan juga pencegahan terhadap paparan faktor
lingkungan dan nefrotoksin. Dengan cara meningkatkan kesadaran dan
pengetahuan individu tentang faktor risiko yang paling penting dan langkah–
langkah pencegahan untuk penyakit ginjal merupakan factor penting dalam
pencegahan primer penyakit ginjal kronis

b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder berupa diagnosis dini gangguan ginjal yang dapat dilakukan
dengan pemeriksaan urin dan darah untuk mengetahui fungsi ginjal. Dengan
demikian pengobatan dapat dilakukan sedini mungkin.Pada orang yang telah
mengalami penyakit ginjal, dilakukan pencegahan sekunder berupa kontrol
tekanan darah, kontrol gula darah dan menghindari diet tinggi protein dan tinggi
garam. Pencegahan sekunder ini hendaknya menjadi tujuan utama dalam
melakukan edukasi dan intervensi klinis. Beberapa tindakan pencegahan yang
direkomendasikan untuk menunda kebutuhan dialisis maupun transplantasi ginjal
13
14

pada pasien Chronic Renal stadium menengah dan stadium lanjut adalah melalui
penatalaksanaan komorbid, seperti uremia dan penyakit jantung, serta diet rendah
protein.

c. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier merupakan langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah
terjadinya kompliksi yang lebih berat yang menjadikan komplikasi menjadi lebih
berat, kecatatan dan kematian, diantaranya cuci darah/Hemodialisis dan
transplantasi ginjal

10. Integrasi Hasil Penelitian tentang Tatalaksana Gangguan Sistem Perkemihan


a. Kateterisasi Urin
Kateterisasi urin adalah pemasukan selang yang terbuat dari plastik atau karet
melalui uretha menuju ke kandung kemih (vesica urinaria). Kateterisasi urin
bertujuan:
1) Melancarkan pengeluaran urin pada klien yang tidak dapat mengontrol miksi
atau mengalami obstruksi pada saluran kemih.
2) Memantau pengeluaran urin pad aklien yang mengalami gangguan
hemodinamik. Karena kateterisasi urin meresiko bagi klien untuk mengalami
Urinaria Tractus Infection (UTI) atau Infeksi Saluran Kemih (ISK) dan
menyebabkan trauma pada uretra, maka kateterisasi lebih dianjurkan untuk
pemasangan sementara.

b. Bladder training
Bladder training merupakan prosedur yang dilakukan untuk mengembalikan
kontrol terhadap keinginan berkemih. Secara umum, bladder training dilakukan
sejak sebelum kateter hingga setelah kateter dilepas.

c. Kegel Exercise
Latihan kegel atau latihan otot panggul adalah latihan yang bertujuan untuk
menguatkan otot perianal (pubococcygeus). Penundaan berkemih: pada pasien
yang mengalami inkontinensia, penundaan berkemih dapat membantu mengontrol
urin. Caranya, saat merasa ingin berkemih, tunda berkemih selama 5 menit. Jika
berhasil, maka tingkatkan waktu penundaan berkemih misalnya menjadi 10 menit.
14
15

Lakukan hal tersebut secara bertahap hingga mencapai waktu 3-4 jam. Jika
keinginan berkemih sering muncul sebelum batas waktu yang anda targetkan,
lakukan teknik relaksasi. Tarik nafas anda dalam-dalam dan pelan. Kegel exercise
bisa diakukan juga untuk membantu menunda berkemih Penjadwalan berkemih:
beberapa orang mengontrol inkontinensia dengan pergi berkemih secara teratur.
Hal ini berarti bahwa pasien pergi berkemih pada jam yang telah ditentukan
meskipun belum merasa ingin berkemih. Pasien bisa dijadwalkan berkemih setiap
jam, lalu secara bertaham ditingkatkan hingga waktu yang sesuai untuk pasien.

11. Peran dan Fungsi Perawat Pada Gangguan Sistem Perkemihan


a. Peran
1) Advokasi
Adalah tindakan membela hak-hak pasien dan bertindak atas nama
pasien. Perawat mempunyai kewajiban untuk menjamin diterimanya hak-hak
pasien. Perawat harus membela pasien apabila haknya terabaikan (Vaartio, 2005;
Blais, 2007). Advokasi juga mempunyai arti tindakan melindungi, berbicara atau
bertindak untuk kepentingan klien dan perlindungan kesejahteraan (Vaartio,
2005).
Perannya sebagai advokat, perawat diharapkan mampu untuk
bertanggung jawab dalam membantu pasien dan keluarga dengan gangguan
sistem perkemihan agar dapat menginterpretasikan informasi dari berbagai
pemberi pelayanan yang diperlukan untuk mengambil persetujuan atas tindakan
keperawatan yang diberikan kepadanya serta mempertahankan dan melindungi
hak-hak pasien. Hal ini harus dilakukan, karena pasien yang sakit dan dirawat di
rumah sakit akan berinteraksi dengan banyak petugas kesehatan.Seringkali
pasien mengalami ketakutan dan kecemasan berlebihan terhadap penyakitnya.
Perawat atau tim kesehatan lain seharusnya dapat memberikan saran mengenai
pengobatan dan proses kesembuhannya. Saran yang diberikan dapat mengurangi
kecemasan yang dialami pasien sehingga dapatmenunjang keberhasilan
pengobatan selanjutnya (Soetjiningsih, 2008).

2) Edukator
Pasien atau keluarga dengan gangguan pada sistem perkemihan berhak
mendapatkan pengetahuan mengenai pengertian, etiologi, tanda dan gejala dari
15
16

penyakit yang diderita nya tersebuh, hingga tindakan dan pengobatan yang dapat
dilakukan guna mengubah perilaku pasien hidup sehat.

3) Pemberi Asuhan Keperawatan


Perawat memfokuskan asuhan pada kebutuhan kesehatan klien secara
holistic, meliputi upaya untuk mengembalikan kesehatan emosi, spiritual dan
sosial. Selain itu, dalam perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat
memberikan perawatan dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar
manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan
menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis
keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat dan
sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi
tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatannya dilakukan dari
yang sederhana sampai yang kompleks.

4) Kolaborator
Peran perawat berkolaborasi dengan tim kesehatan yang terdiri dari
dokter, fisioterapi, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi
pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat
dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.

5) Konsultan
Perawat menjadi sarana konsultasi terhadap masalah atau tindakan
keperawatan yang tepat untuk diberikan kepada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan.

6) Pembaharu
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan
perencanaan,kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan
metode pemberian pelayanan keperawatan.

7) Rehabilitator
perawat berperan sebagai rehabilitator dengan membantu klien
beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut.
16
17

8) Komunikator
Keperawatan mencakup komunikasi dengan klien dan keluarga, antar sesama
perawat dan profesi kesehatan lainnya, sumber informasi dan komunitas. Dalam
memberikan perawatan yang efektif dan membuat keputusan dengan klien dan
keluarga tidak mungkin dilakukan tanpa komunikasi yang jelas. Kualitas komunikasi
merupakan faktor yang menentukan dalam memenuhi kebutuhan individu, keluarga
dan komunitas. (Potter & Perry, 2005).

b. Fungsi Perawat
Fungsi perawat terdiri dari 3 yaitu independen, dependen, dan interdependen.
Fungsi perawat ini dijalankan sesuai dengan perannya dalam memberikan
pelayanan keperawatan dan disesuaikan dengan kondisi riil dari pasien. Berikut ini
penjelasan mengenai fungsi perawat yang lebih detail.

1) Fungsi Independen
Fungsi independen perawatan adalah fungsi mandiri dan tidak
tergantung pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya
dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan
dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti;
a) pemenuhan kebutuhan fisiologis (pemenuhan kebutuhan oksigenasi,
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit, pemenuhan kebutuhan nutrisi,
pemenuhan kebutuhan aktivitas dan lain-lain),
b) pemenuhan kebutuhan dan kenyamanan,
c) pemenuhan kebutuhan cinta mencintai,
d) pemenuhan kebutuhan harga diri dan,
e) aktualisasi diri.

17
18

2) Fungsi Dependen
Fungsi dependen perawat adalah segala tindakan yang dilakukan oleh
perawat atas delegasi dari perawat spesialis, dokter, ahli gizi, radiologi atau
bagian lain yang mempunyai kewenangan lebih untuk menjalankan tindakan
keperawatan kepada pasien seperti pemberian obat, pemasangan infus atau
tindakan penyuntikan. Hal ini biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada
perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.

3) 3. Fungsi Interdependen
Fungsi interdependen perawat adalah fungsi yang dilakukan dalam
kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan di antara satu dengan yang
lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerja
sama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan
keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks.Keadaan ini
tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun
lainnya, seperti dokter dalam memberikan tindakan pengobatan bekerjasama
dengan perawat dalam pemantauan reaksi onat yang telah diberikan

12. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus Chronic Kidney Desease (CKD)
a. Pengkajian
1) Pengumpulan Data Awal
a) Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register dan
diagnosa medis.
b) Identitas Penangung jawab Meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan,
alamat, dan hubungan

b. Riwayat Kesehatan
Keluhan utama merupakan hal-hal yang dirasakan oleh pasien sebelum
masuk ke rumah sakit. Pada pasien dengan gagal ginjal kronik biasanya
didapatkan keluhan utama yang bervariasi, mulai dari urine keluar sedikit

18
19

sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera
makan (anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas bau
(amonia), dan gatal pada kulit (Muttaqin& Sari, 2011).

c. Riwayat Kesehatan Sekarang


Biasanya pasien mengalami penurunan frekuensi urine, penurunan
kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit,
adanya nafas berbau amonia, rasa sakit kepala, dan perubahan pemenuhan
nutrisi (Muttaqin & Sari, 2011).

d. Riwayat Kesehatan Dahulu


Biasanya pasien berkemungkinan mempunyai riwayat penyakit gagal
ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung, penggunaan obat-obat
nefrotoksik, penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang
berulang, penyakit diabetes mellitus, dan hipertensi pada masa sebelumnya
yang menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat
pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis
obat kemudian dokumentasikan (Muttaqin & Sari, 2011).

e. Riwayat Kesehatan Keluarga


Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik, riwayat
menderita penyakit gagal ginjal kronik.

f. Pola-Pola Aktivitas Sehari-Hari


1) Pola Aktivitas / Istirahat
Biasanya pasien mengalami kelelahan ekstrim,kelemahan, malaise,
gangguan tidur (insomnia/gelisah atau samnolen), penurunan rentang
gerak (Haryono, 2013).
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Biasanya pasien mual, muntah, anoreksia, intake cairan inadekuat,
peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan
(malnutrisi), nyeri ulu hati, rasa metalik tidak sedap pada mulut
(pernafasan amonia) (Haryono,2013).

19
20

3) Pola Eliminasi
Biasanya pada pasien terjadi penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria
(gagal tahap lanjut), abdomen kembung, diare konstipasi, perubahan
warna urin (Haryono 2013).
4) Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, menolak,
ansietas, takut, marah, mudah, perubahan kepribadian, kesulitan
menentukan kondisi, contoh tidak mampu bekerja, mempertahankan
fungsi peran.
5) Pola reproduksi dan seksual
Penurunan libido, amenorea, infertilitas(Haryono, 2013)

g. Pemeriksaan Fisik
1) Keluhan umum dan tanda-tanda vital Keadaan umum pasien lemah dan
terlihat sakit berat. Tingkat kesadaran menurun sesuai dengan tingkat
uremia dimana dapat mempengaruhi system saraf pusat. Pada hasil
pemeriksaan vital sign, sering didapatkan adanya perubahan pernafasan
yang meningkat, suhu tubuh meningkat serta terjadi perubahan tekanan
darah dari hipertensi ringan hingga menjadi berat (Muttaqin & Sari,2011).
2) Pengukuran antropometri: Penurunan berat badan karena kekurangan
nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
3) Kepala
a) Mata : konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur,
edema periorbital.
b) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
c) Hidung : biasanya ada pernapasan cuping hidung
d) Mulut : nafas berbau amonia, mual,muntah serta cegukan, peradangan
mukosa mulut.
4) Leher : terjadi pembesaran vena jugularis.
5) Dada dan toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal
dan kusmaul serta krekels, pneumonitis, edema pulmoner, friction rub
pericardial.
6) Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
7) Genital : atropi testikuler, amenore.
20
21

8) Ekstremitas : Capitally revil time > 3 detik, kuku rapuh dan kusam serta
tipis, kelemahan pada tungkai, edema, akral dingin, kram otot dan nyeri
otot, nyeri kaki, dan mengalami keterbatasan gerak sendi.
9) Kulit : ekimosis, kulit kering, bersisik, warna kulit abu-abu, mengkilat atau
hiperpigmentasi, gatal (pruritus), kuku tipis dan rapuh, memar (purpura),

h. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium Menurut Muttaqin (2011) dan Rendi & Margareth (2012)
hasil pemeriksaan laboratoium pada pasien gagal ginjal kronik adalah :
a) Urine, biasanya kurang dari 400ml / 24 jam (oliguria) atau urine tidak
ada (anuria). Warna secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan
pus, bakteri, lemak fosfat, dan urat sedimen kotor. Kecoklatan
menunjukkan adanya darah. Berat jenis urine kurang dari 0,015 (metap
pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat). Protein, derajat tinggi
proteinuria (3-4) secara kuat menunjukkan kerusakan glomerulus.
b) Laju endap darah meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan
hipoalbuminemia. Anemia normoster normokrom dan jumlah
retikulosit yang rendah.
c) Ureum dan kreatinin meninggi, biasanya perbandingan antara ureum
dan kreatinin kurang lebih 20:1. Perbandingan bisa meninggi oleh
karena perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan
steroid dan obstruksi saluran kemih. Perbadingan ini berkurang ketika
ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet rendah protein dan tes
Klirens Kreatinin yang menurun.
d) Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia:
biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya
diuresis.
e) Hipoklasemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis
vitamin D3 pada pasien CKD.
f) Alkalin fosfat meninggi akibat gangguan metabolisme tulang, terutama
isoenzim fosfatase lindin tulang.
g) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia, umumnya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein.

21
22

h) Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada


gagal ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
i) Hipertrigleserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan
peninggian hormon insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
j) Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan Ph yang
menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semua
disebabkan retensi asam-asam organik pada gagal ginjal.

2) Pemeriksaan Diagnostik lain


Pemeriksaan radiologis menurut Sudoyo,dkk (2009) dan Muttaqin &
Sari (2011) meliputi:
a) Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya
batu atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk
keadaan ginjal, bisa tampak batu radio – opak, oleh sebab itu penderita
diharapkan tidak puasa.
b) Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises dan
ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada
keadaan tertentu, misalnya usia lanjut, diabetes mellitus, dan nefropati
asam urat. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering
tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah
mengalami kerusakan.
c) Ultrasonografi (USG) untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal
parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system
pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
d) Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari
gangguan (vaskuler, parenkim, eksresi) serta sisa fungsi ginjal.
e) Elektrokardiografi (EKG) untuk melihat kemungkinan: hipertropi
ventrikel kiri, tanda-tanda pericarditis, aritmia, gangguan elektrolit
(hiperkalemia).

22
23

c. Diagnosa Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan dd edema anasarka dan atau edema perifer
b. Gangguan perukaran gas dd pola nafas abnormal
c. Resiko ketidak seimbangan nutrisi dd ketidakmampuan mencerna makanan
d. Resiko intolerasi aktivtas dd gangguan pernafasan

d. Inervensi keperawatan
a. Kelebihan volume cairan dd edema anasarka dan atau edema perifer
Intervensi yang dapat dilakukan
1) Observasi
a) Periksa tanda dan gejala hipervolemia (disnea, edema, JVC/CVP
meningkat, suara nafas tambahan)
b) Inentifkasi penyebab
c) Monitor status hemodinamik
d) Monitor input dan output
e) Monit tanda hemokonsentrasi ( kadar natrium, BUN, hamatokrit, berat
jenis urine)
f) Monitor tanda pengingkatan tekanan onkotik plasma (kadara protein, dan
albumin meninggkat)
g) Monitor kecepatan infus secara ketat
h) Monitor efek samping deuretik (hipotensi ortortostatik, hipovolemia,
hipokalemia, hiponatremia)
2) Teraupetik
a) Timang berat badan setiap hari
b) Batasi asupan cairan dan garam
c) Tinggikan kepala tempat tidur 30-400
3) Edukasi
a) Anjurkan melapor jika haluaran urine <0,5 mL/kg/jam dalam 6 jam
b) Anjurkan melapor jika BB bertambah >1 kg dalam 1 hari
c) Anjurkan cara mengukur dan mencatat asupan harian
d) Anjurkan cara membatasi cairan
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian deuretik
b) Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat deuretik
23
24

c) Kolaborasi pemberian CRRT (continuous renal replecement therapy) jika


perlu

b. Gangguan perukaran gas dd pola nafas abnormal


Intervensi yang dapat dilakukan
1) Intervensi pendukung
a) Dukungan baerhenti merokok
b) Dukunagn ventilasi
c) Edukasi berneti merokok
d) Edukais pengukuran respirasi
e) Edukais fiosterapi dada
f) Fisioterapi dada
g) Insersi jalan nafas buatan
h) Konsul via telfon
i) Manajemn jalan nafas
j) Manajemen jalan nafas buatan
k) Pencegahan aspirasi
l) Pemberian obat-obatan
m) Pengaturan posisi

c. Resiko ketidak seimbangan nutrisi dd ketidakmampuan mencerna makanan


Intervnsi yang dapat dilakukan
1) Edukasi nutrisi
2) Edukasi diet
3) Konseling nutrsi
4) Indentifikasi resiko
5) Pemantuan nutrisi
6) Pemantuan ttv
7) Pemberian makanan

d. Resiko intoleransi aktivitas dd gangguan pernafasan


Intervensi yang dapat dilakukan
1) Dukugan perawatan diri
2) Edukasi untuk aktivitas/tidur
24
25

3) Latihan pernafasan
4) Manajemen nutrisi
5) Pemantuan respirasi
6) Penganturan posisi

e. Evaluasi atau kriteria hasil


1) Hipervolemia
Luaran utama Keseimbangan cairan

Luaran tambahan Keseimbangan asam basa


Keseimbangan elektrolit
Status cairan
Tingkat kepatuhan
Manajemen kesehtan
Perfusi renal
Curah jantung

2) Gangguan pertukaran gas


Luaran utama Pertukaran gas
Luaran tambahan Keseimbangan asam basa
Perfusi paru
Tingkat delarium
Konservasi energi
Respon ventilais mekanik
Konservasi energi

25
26

3) Resiko defisit nutrisi


Luaran utama Status nutrisi
Luaran tambahan Berat badan
Eliminasi fekal
Fungsi gastroistestinal
Nafsu makan
Prilaku meningktakan berat badan
Status menelan
Tingkat depresi

4) Resiko intolerasi aktivitas


Luaran utama Toleransi aktivitas
Luaran tambahan Tingakat keletihan
Curah jantung
Konservasi energi

26
27

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Menurut Smeltzer dan Bare (2015) CKD atau gagal ginjal kronis merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga
terjadi uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
KDOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat
penurunan GFR menjadi 5 stage. Smeltzer & Bare (2015) menjelaskan bahwa setiap
sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia pada pasien CKD, maka pasien akan
memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala tergantung
pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal. Dalam upaya pencegahan Chronic Renal,
dibagi menjadi tiga, yaitu : pencegahan primer, sekunder dan tersier.
Perawat memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam memberikan
tindakan layanan keperawatan dalam dunia kesehatan, peran perawat tersebut
diantaranya : pemberi asuhan keperawatan, pembuat keputusan klinis, advokat,
rehabilitator, komunikator, penyuluh, kolaborator, edukator, konsultan, pembaharu.
Fungsi perawat diantaranya : fungsi independen, dependen, dan interdependen.

27
28

DAFTAR PUSTAKA

Andra, S.W., & Yessie, M.P. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah
Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika

Black, J & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R. Jakarta:Salemba
Emban Patria

Nurarif & Kusuma, 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Dan
NANDA NIC-NOC Jilid 2 Medaction

Nurarif & Kusuma, (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Dan
NANDA NIC-NOC Jilid 2 Medaction

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keprawatan, Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI

28

Anda mungkin juga menyukai