Anda di halaman 1dari 24

TINJAUAN PUSTAKA

PERAN DAN KEAKTIFAN PETUGAS TB

Oleh
dr. I Made Sutarga, M.Kes

Program Studi Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana
2017
TINJAUAN PUSTAKA

PERAN DAN KEAKTIFAN PETUGAS TB

1.1 Penemuan Pasien TB paru

Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui serangkaian

kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan

laboratoris, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB,

sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh agar tidak menularkan penyakitnya

kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan terduga pasien,

diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini membutuhkan

adanya pasien yang memahami dan sadar akan keluhan gejala TB, akses terhadap

fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan kompeten untuk melakukan pemeriksaan

terhadap gejala dan keluhan tersebut. Upaya penemuan pasien TB dapat dilakukan

dengan menggunakan strategi yaitu (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2014):

1. Penemuan pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan secara pasif (pasif case

finding). Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan secara pasif

harus didukung dengan promosi secara aktif (active promotion) oleh petugas

kesehatan bersama masyarakat.

2. Penemuan pasien TB dapat dilakukan secara intensif pada kelompok populasi

terdampak TB dan populasi rentan. Upaya penemuan secara intesif harus didukung

dengan kegiatan promosi yang aktif sehingga semua terduga TB dapat ditemukan

secara dini.
3. Pelibatan semua fasilitas kesehatan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan

mengurangi keterlambatan pengobatan.

4. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap kelompok khusus yang rentan atau

berisiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan kelompok HIV, Diabetes mellitus

dan malnutrisi. Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang berisiko

tinggi terjadinya penularan TB, seperti: lapas/rutan, tempat penampungan pengungsi,

daerah kumuh, tempat kerja, asrama dan panti jompo. Anak dibawah umur lima

tahun yang kontak dengan pasien TB. Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB

resistan obat.

5. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan gejala dan tanda yang

sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis kesehatan paru (Practical

Approach to Lung health = PAL), Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS),

Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS) akan membantu meningkatkan

penemuan pasien TB di faskes, mengurangi terjadinya misopportunity dan sekaligus

dapat meningkatkan mutu layanan.

6. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala

utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk

dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,

sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,

berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
1.2 Tugas dan Fungsi Petugas Pelaksana TB Paru Puskesmas Dalam Penemuan

Kasus

1.2.1 Petugas TB

1. Membuat materi penyuluhan penyakit TB. Materi penyuluhan penyakit TB

dapat berupa gambaran penyakit TB, cara penularan penyakit, pencegahan

penyakit, gejala penyakit dan pengobatan penyakit (Dirjen P2PL Kemenkes RI,

2009).

2. Memberi penyuluhan penyakit TB di masyarakat.

3. Melakukan penjaringan suspek TB secara pasif maupun aktif melalui

kunjungan kontak serumah maupun melalui jejaring TB.

4. Memberi KIE tentang penyakit TB dan pelaksanaan pengobatan TB di

puskesmas kepada pasien TB paru.

5. Melakukan koordinasi dengan fasyankes pemerintah/swasta dalam penemuan

suspek TB.

6. Melakukan pencatatan dan pelaporan TB secara manual maupun online.

Pencatatan tersebut antara lain (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2014):

a. Mengisi buku daftar suspek formulir TB.06.

b. Mengisi formulir permohonan laboratorium TB.05 untuk pemeriksaan

dahak.

c. Mengisi kartu identitas penderita pada formulir TB.02 dan kartu

pengobatan penderita pada formulir TB.01.

d. Mengisi formulir register TB fasilitas kesehatan yaitu TB.03


7. Melakukan analisis pencapaian program setiap triwulan dan akhir tahun.

Analisis pencapaian dalam upaya penemuan kasus tersebut dapat dilihat dari

(Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2014):

a. Proporsi suspek yang diperiksa dahaknya

b. Proporsi pasien terkonfirmasi bakteriologis diantara seluruh terduga TB

c. Proporsi pasien terkonfirmasi bakteriologis diantara seluh pasien TB

tercatat

1.2.2 Petugas Laboratorium

1. Melaksanakan pengambilan dahak.

Petugas memberi penjelasan yang benar tentang cara mengeluarkan dahak

yaitu pasien kumur dengan air, menarik nafas dalam 2-3 kali dan hembuskan

dengan kuat kemudian batukkan dengan keras dari dalam dada. Bila dahak

sulit keluar maka petugas meminta pasien untuk melakukan olahraga ringan

kemudian menarik nafas dalam beberapa kali kemudian bila terasa batuk nafas

ditahan selama mungkin lalu batukkan. Pada malam hari sebelum tidur pasien

diminta untuk banyak minum air dan menelan 1 tablet gliseril guayakolat 200

mg (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2012).

2. Membuat preparat BTA

Sediaan apus dahak yang baik adalah (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2012):

a. Berasal dari dahak mukopurulen, bukan air liur

b. Berbentuk spiral-spiral kecil berulang (coil type) yang tersebar merata

berukuran 2x3 cm
c. Tidak terlalu tebal atau tipis

d. Setelah dikeringkan sebelum diwarnai tulisan pada surat kabar 4-5 cm

dibawah sediaan apus masih terbaca

3. Melakukan pencatatan pada formulir register laboratorium TB.04

1.2.3 Dokter Poli Umum

1. Mendiagnosis pasien

Mutu dari penetapan kriteria suspek sampai diagnosis dapat dilihat dari

proporsi pasien baru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB. Angka

ini antara 5-15%. Apabila lebih kecil dari 5% menandakan penetapan kriteria

suspek yang terlalu longgar dan apabila lebih dari 15% menandakan penetapan

kriteria suspek terlalu ketat. Apabila hasil pemeriksaan BTA pada seluruh uji

dahak SPS menghasilkan hasil negatif maka hal ini tidak menyingkirkan

diagnosis TB. Tes cepat dan biakan dapat dilakukan apabila akses

memungkinkan (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2014).

2. Menentukan klasifikasi pasien

Pasien TB berdasarkan hasil pemeriksaannnya dapat dikategorikan menjadi

pasien tuberkulosis paru BTA positif atau pasien tuberkulosis paru BTA

negatif. Berdasarkan tipe pasien maka dapat dikategorikan menjadi kasus baru,

kasus kambuh, kasus pindahan atau kasus drop-out (Dirjen P2PL Kemenkes

RI, 2014) .

1.3 Teori Perilaku Kesehatan

Teori perilaku dari Lawrence Green mengemukakan bahwa terdapat tiga faktor

yang dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku yaitu faktor predisposisi (pre-
disposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing

factor). Faktor predisposisi adalah faktor-faktor yang mempermudah atau

mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan,

kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya. Faktor pemungkin atau pendukung

perilaku adalah fasilitas, sarana dan prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi

terjadinya perilaku seseorang. Faktor penguat adalah faktor-faktor yang mendorong atau

memperkuat terjadinya perilaku yang berasal dari atasan dan rekan kerja (Notoatmodjo,

2010:52-53).

1.3.1 Faktor Predisposisi

1.3.1.1 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan memiliki hubungan terhadap penemuan suspek TB paru

karena tingkat pendidikan yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang baik (Ratnasari,

2015). Pendidikan seseorang akan memengaruhi keterampilannya, pengetahuannya dan

kecakapannya dalam bekerja (Aditama, Zulfikar, & Baning.R, 2013). Hal ini berbeda

dengan penelitian yang dilakukan di Puskesmas Kota Makasar menemukan tidak ada

perbedaan pencapaian angka penemuan kasus antara petugas yang berpendidikan tinggi

ataupun berpendidikan rendah. Apabila petugas memiliki pendidikan tinggi namun jarang

mengikuti pertemuan-pertemuan yang berhubungan dengan pengendalian TB maka akan

menimbulkan keaktifan yang rendah (Ayulestari, Thaha, & Arsyad, 2011) .

Pengetahuan seseorang yang akan membentuk tindakan dalam suatu keaktifan

tidak hanya didapat dari pendidikan formal, pengetahuan ini bisa saja diperoleh dari

berbagai sumber misalnya media massa, buku pedoman, poster, maupun dari pelatihan.
Selain tingkat pendidikan, latar belakang pendidikan juga berperan dalam menentukan

keaktifan petugas. Latar belakang pendidikan adalah salah satu hal yang perlu

diperhatikan oleh kepala puskesmas saat menetapkan petugas TB. Hal ini dikarenakan

latar belakang pendidikan akan menentukan pengetahuan dan keterampilan seseorang

yang akan digunakan untuk menjalankan tugasnya sebagai petugas pelaksana program

TB (Nugraini, Krisna Eksapa & Widya Hary Cahyati, 2015).

1.3.1.2 Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tau seseorang terhadap

objek melalui indera yang dimilikinya. Dengan sendirinya pada waktu penginderaan

sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian

dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan merupakan salah satu domain perilaku yang

artinya seseorang melakukan tindakan dapat dipengaruhi oleh pengetahuan yang

dimilikinya (Notoatmodjo, 2010:31).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari (2015), didapatkan hasil

yang bermakna antara pengetahuan yang dimiliki oleh petugas program TB terhadap

angka penemuan kasus TB. Rendahnya angka penemuan kasus disebabkan oleh

pengetahuan petugas TB yang rendah terhadap strategi DOTS. Rendahnya pengetahuan

ini juga dipengaruhi oleh pelatihan yang dilakukan oleh petugas. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Duhri & Thaha (2012), sebagian besar pemegang program TB paru

memiliki pengetahuan yang rendah karena petugas tidak mampu menyebutkan kegiatan

penemuan kasus secara lengkap misalnya menjaring suspek, diagnosis, dan menentukan

klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Pengetahuan sangat dominan untuk membentuk
tindakan seseorang. Informasi merupakan sumber pengetahuan. Petugas seharusnya

memiliki pengetahuan untuk dapat disalurkan kepada masyarakat. Apabila petugas tidak

memiliki pengetahuan yang cukup maka akan terjadi kekeliruan pemberian informasi

kepada masyarakat (Rye, Djam, & Hadiwijoyo, 2009). Hasil penelitian tersebut berbeda

dengan hasil yang diperoleh oleh Duhri & Thaha (2012) bahwa responden yang memiliki

pengetahuan yang tinggi maupun yang memiliki pengetahuan yang rendah sama-sama

berpeluang untuk memiliki kinerja yang baik dalam penemuan kasus TB paru.

1.3.1.3 Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,

yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Sikap belum

merupakan suatu tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan

predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup. Dalam menentukan sikap seseorang,

pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Sikap terdiri

atas tiga komponen pokok yaitu:

1. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek

2. Penilaian secara emosional seseorang terhadap suatu objek

3. Kecenderungan untuk bertindak, artinya sikap merupakan komponen yang

mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk

bertindak atau berperilaku terbuka.

Perbuatan sebagai cermin daripada sikap jika berlaku secara terus menerus dalam

jangka waktu yang cukup lama akan mengendap menjadi tingkah laku yang sifatnya

sudah menyatu dengan sikap. Sikap seseorang terhadap pekerjaannya akan


mempengaruhi pelaksanan kerja dan hasilnya. Sikap seseorang dapat dipengaruhi oleh

pekerjaan yang ditugaskan kepadanya dan situasi lingkungan kerja seperti peraturan-

peraturan ditempat kerja (Moenir, 1988:102). Berdasarkan penelitian Ratnasari (2015)

didapatkan hubungan yang bermakna antara sikap dengan pencapaian petugas terhadap

case detection rate. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Maryun (2007) yang

menyatakan bahwa sikap berpengaruh terhadap penemuan kasus, dikarenakan salah satu

faktor yang mempengaruhi kinerja adalah sikap individu karena jika sikap individu

terhadap objek tertentu baik maka tingkat kinerja individu semakin tinggi.

Hasil penelitian Saomi et.al.,(2015) di Eks Karesidenan Pati mengenai faktor yang

mempengaruhi penemuan kasus TB paru, didapatkan hasil bahwa sikap petugas TB yang

kurang baik disebabkan karena petugas kurang memiliki minat menjadi petugas TB.

Petugas merasa jika tugas dan tanggungjawab sebagai petugas pelaksana program TB

memiliki risiko yang tinggi dan beban yang berat. Berdasarkan penelitian kualitatif yang

dilakukan oleh (Minardo, 2014) menghasilkan triangulasi bahwa petugas pelaksana

program TB merasa terbebani dengan target-target yang harus dicapai dan tidak

diimbangi dengan pemahaman kondisi dilapangan.

1.3.1.4 Motivasi

Motivasi adalah suatu kekuatan yang memberikan dorongan kepada manusia

untuk berperilaku tertentu, sehingga motivasi sangat terkait dengan keinginan, dorongan,

dan tujuan. Seseorang mempunyai motivasi untuk memenuhi kebutuhan dan tujuannya

agar terjadi suatu keseimbangan. Motivasi seseorang dibedakan menjadi motivasi yang

berasal dari dalam diri (internal) dan motivasi dari luar diri seseorang (eksternal)

(Notoatmodjo, 2010:120). Motivasi seseorang untuk bekerja biasanya ditunjukan oleh


aktivitasnya yang terus-menerus, dan yang berorientasi pada tujuan. Seseorang dikatakan

memiliki motivasi apabila perilakunya diarahkan kepada tujuan-tujuan organisasi dan

aktivitasnya tidak mudah terganggu dengan gangguan kecil. Faktor yang dapat

mempengaruhi motivasi seseorang yang sifatnya individual adalah kebutuhan, tujuan dan

kemampuan. Sedangkan yang tergolong pada faktor-faktor yang berasal dari organisasi

adalah insentif, keamanan pekerjaan, hubungan kerja, pengawasan, pujian dan beban

kerja (Gomes, 2003: 179-198).

Berdasarkan penelitian Ayulestari et al. (2011) variabel motivasi tidak memiliki

hubungan dengan kinerja petugas karena petugas yang memiliki motivasi yang tinggi

maupun rendah tetap memiliki peluang untuk memiliki kinerja yang baik. Pada dasarnya

motivasi berasal dari diri setiap orang. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian

Ratnasari (2015) bahwa tidak ada hubungan antara motivasi petugas dengan pencapaian

petugas terhadap case detection rate. Petugas pelaksana program TB memiliki motivasi

yang baik apabila mampu menyelesaikan tugas tepat waktu dan sesuai dengan prosedur

kerja serta merasa puas dengan pekerjaan yang sudah dilakukannya. Hal yang dapat

menyebabkan motivasi petugas baik adalah apabila tugas tersebut memiliki tujuan yang

jelas, menantang pengembangan diri dan mendapatkan promosi jabatan apabila sudah

memiliki kinerja baik (Maryun, 2007).

Salah satu hal yang dapat memengaruhi motivasi petugas adalah adanya insentif

atau kompensiasi. Salah satu cara untuk meningkatkan prestasi kerja, motivasi dan

kepuasan kerja karyawan adalah melalui kompensasi. Kompensasi adalah segala sesuatu

yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk hasil pekerjaannya (Handoko,

2014: 142-152). Insentif merupakan stimulus yang menarik seseorang untuk melakukan
perilaku tertentu karena mendapatkan imbalan yang menyenangkan baginya. Insentif

merupakan salah satu hal yang dapat membentuk motivasi seseorang yang berasal dari

luar diri seseorang (Notoatmodjo, 2010:123).

Berdasarkan penelitian Rye et al.,(2009) didapatkan hasil bahwa tidak ada

hubungan yang bermakna antara pemberian insentif dengan kinerja petugas dalam

penemuan kasus TB. Hal ini dikarenakan insentif yang diberikan kepada masing-masing

petugas TB sama nilainya tanpa memperhitungkan hasil kerja petugas tersebut.

Berdasarkan penelitian Maryun (2007) dapat diketahui bahwa selain insentif dalam

bentuk uang, 76,9% petugas setuju bahwa pengakuan masyarakat lebih diharapkan

dibandingkan dengan mendapatkan imbalan tinggi. Selain pengakuan dari masyarakat,

pengakuan dari rekan kerja dan atasan juga akan dapat menambah motivasi petugas

dalam bekerja (Minardo, 2014).

1.3.2 Faktor Pemungkin

1.3.2.1 Ketersediaan Sarana

Berdasarkan penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Nugraini et al. (2015)

mengenai evaluasi input capaian CDR di Puskesmas Kota Semarang didapatkan bahwa

rendahnya pencapaian CDR di puskesmas dipengaruhi oleh faktor ketersediaan sarana

dan prasarana yang belum memenuhi standar. Sarana dan prasarana yang tidak lengkap,

kualitas bahan diagnostik yang kurang baik, keterlambatan distribusi pot sputum,

formulir pencatatan dan pelaporan yang tidak lengkap, dan buruknya kualitas dahak dari

pasien dapat menghambat petugas dalam menemukan kasus baru, dan mempengaruhi

capaian CDR TB paru.


Informasi tuberkosis mengenai gejala dan pengobatannya dapat disebarkan

dengan memasang poster-poster TB di puskesmas sehingga masyarakat yang berkunjung

dapat membacanya. Tidak tersedianya sarana informasi berupa poster di puskesmas

mengakibatkan penyakit TB kurang terakses oleh masyarakat sehingga masyarakat tidak

mengetahui tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi gejala TB (Rye et al., 2009).

Berdasarkan penelitian Maryun (2007), didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang

kuat antara ketersediaan sarana (mikroskofis, obat dan transportasi) dengan keaktifan

petugas pelaksana program TB dalam penemuan kasus baru TB BTA positif, hal ini

dikarenakan sarana yang disediakan di puskesmas akan sangat membantu kegiatan yang

dilakukan oleh petugas. Kurangnya ketersediaan sarana transportasi merupakan salah satu

kendala yang dihadapi petugas dalam penemuan kasus TB (Duhri & Thaha, 2012).

Salah satu sarana yang harus tersedia di puskesmas untuk melakukan

pengambilan dahak pasien adalah tempat pengambilan dahak. Dahak adalah bahan

infeksius yang dapat menularkan penyakit kepada orang disekitarnya, oleh sebab itu

tempat berdahak haruslah jauh dari kerumunan orang. Harus diperhatikan pula arah angin

pada saat berdahak sehingga droplet tidak mengenai petugas. Pengumpulan dahak

dilakukan di ruang terbuka dan mendapat sinar matahari langsung atau di ruangan dengan

ventilasi yang baik untuk mengurangi kemungkinan penularan akibat percikan dahak

yang infeksius. Tempat pengumpulan dahak dilengkapi dengan prosedur mengeluarkan

dahak, tempat cuci tangan dengan air mengalir dan sabun. Tempat yang dilarang untuk

mengeluarkan dahak adalah di ruangan tertutup dengan ventilasi yang buruk, misalnya

toilet, ruang kerja, ruang tunggu atau ruang umum lainnya (Dirjen P2PL Kemenkes RI,

2012).
1.3.2.2 Tugas Rangkap

Beban kerja adalah volume yang dibebankan kepada seorang pekerja dan

merupakan tanggungjawabnya untuk menyelesaikannya. Beban kerja tinggi dapat

ditimbulkan apabila petugas merangkap pekerjaan dilain bidang. Beban pekerjaan yang

ditanggung oleh petugas pelaksana program TB di puskesmas disertai dengan beban dari

tugas-tugas lainnya dapat berdampak terhadap penurunan prestasi kerja. Beban kerja

yang cukup banyak dapat menimbulkan terbengkalainya tugas yang salah satunya

penemuan pasien baru TB BTA positif (Maryun, 2007).

Hasil penelitian Ratnasari (2015) yang mendapatkan hasil bahwa ada hubungan

antara tugas rangkap dengan pencapaian petugas terhadap penemuan kasus TB BTA

positif pada program TB paru di Kabupaten Rembang. Apabila seseorang merangkap

suatu pekerjaan yang terlalu berat maka hasilnya tidak akan maksimal dan tidak fokus

pada masing-masing bidangnya. Adanya tugas rangkap yang dijalankan oleh petugas TB

akan mengakibatkan kurangnya perhatian petugas terhadap pasien yang berkunjung

dengan gejala-gejala TB (Rye et al., 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Ahwan (2014) mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara tugas rangkap

pengelola program TB paru dengan penemuan kasus TB di Kabupaten Boyolali.

Pengelola yang mempunyai tugas rangkap memiliki peluang sama dengan pengelola yang

tidak mempunyai tugas rangkap dalam menemukan kasus TB.

1.3.2.3 Masa Kerja

Pengalaman seseorang melaksanakan tugas tertentu secara terus menerus untuk

waktu yang lama biasanya meningkatkan kedewasaan teknisnya. Masa kerja dapat

menjadi salah satu indikator produktivitas kerja. Semakin lama seseorang bekerja dalam
suatu organisasi semakin tinggi pula produktivitasnya karena petugas semakin

berpengalaman dan terampil menyelesaikan tugas yang dipercayakan kepadanya. Namun

penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan belum semua memberikan bukti yang

konklusif terhadap hal ini (Siagian, 2004:90).

Berdasarkan penelitian Ratnasari (2015) dapat diketahui bahwa tidak ada

hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan pencapaian penemun kasus TB paru

BTA positif. Petugas yang memiliki masa kerja lama yaitu lebih dari 2 tahun tidak

berbanding lurus dengan kualitas kinerjanya. Hasil penelitian berbeda didapatkan Husein

& Sormin (2012) yang mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara lama kerja

dengan kinerja petugas program TB terhadap penemuan kasus TB baru di Kabupaten

Lampung Selatan. Masa bekerja berpengaruh terhadap kinerja karena lamanya bekerja

berpengaruh terhadap pengalaman seseorang dalam bekerja (Aditama et al., 2013).

1.3.3 Faktor Penguat

1.3.3.1 Pelatihan

Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan

keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan kompetensi dan keaktifan petugas.

(Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2014). Pelatihan dalam program P2TB dibedakan menjadi:

a. Pendidikan atau pelatihan sebelum bertugas (preservice training) Dengan

memasukkan materi Program Pengendalian Tuberkulosis dalam

pembelajaran/kurikulum Institusi pendidikan tenaga kesehatan. (Fakultas

Kedokteran, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas

Farmasi dan lain-lain).

b. Pelatihan dalam tugas (in service training)


1) Pelatihan dasar program TB (initial training in basic DOTS implementation)

a) Pelatihan TB yang terakreditasi nasional dengan kurikulum standar

b) On the job training/kalakarya (pelatihan ditempat tugas/refresher): telah

mengikuti pelatihan sebelumnya tetapi masih ditemukan masalah dalam

keaktifannya, dan cukup diatasi hanya dengan dilakukan supervisi.

2) Pelatihan lanjutan (continued training/advanced training): pelatihan ini untuk

mendapatkan pengetahuan dan keterampilan program dengan materi yang lebih

tinggi dari materi pelatihan dasar (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2014).

Pelatihan adalah suatu proses meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

seseorang yang telah melalui pendidikan formal agar dapat bekerja sesuai dengan

tugasnya sehingga terjadi peningkatan kualitas kerja (Maryun, 2007). Berdasarkan

penelitian Ahwan (2014) didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi

pelatihan petugas dengan penemuan kasus baru TB di Kabupaten Boyolali. Pelatihan

tidak berpengaruh pada penemuan kasus TB BTA positif karena sebagain petugas

puskesmas sudah mengikuti pelatihan namun kendala yang muncul adalah seringnya

terjadi pergantian staf secara cepat sehingga staf yang telah dilatih justru dipindah

dibagian lain. Pergantian staf yang cepat karena keterbatasan sumberdaya manusia

mengakibatkan terjadinya mutasi jabatan sehingga materi pelatihan tidak bisa

direalisasikan oleh petugas (Aditama et al., 2013).

Hasil penelitian Ratnasari (2015) menyatakan terdapat hubungan yang signifikan

antara pelatihan petugas terhadap penemuan kasus TB BTA positif. Pelatihan

memberikan dampak jangka panjang terhadap motivasi petugas untuk bertanggung jawab

lebih besar terhadap keberhasilan program. Pelatihan yang dilaksanakan adalah suatu
proses mentransfer pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan

khusus petugas sehingga terjadi peningkatan keaktifan. Hasil penelitian di Palu

mendapatkan bahwa petugas yang telah mendapatkan pelatihan DOTS berpeluang 5,8

kali untuk menemukan pasien TB BTA positif dibandingkan dengan petugas yang tidak

mendapatkan pelatihan DOTS (Rye et al., 2009).

1.3.3.2 Supervisi

Supervisi TB bertujuan untuk meningkatkan kinerja petugas melalui suatu proses

yang sistematis untuk meningkatkan pengetahuan petugas, meningkatkan keterampilan

petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas.

Hal-hal yang perlu dilakukan selama supervisi adalah observasi, diskusi, bantuan teknis,

bersama-sama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan, mencari pemecahan

permasalahan bersama-sama dan memberikan laporan berupa hasil temuan serta

memberikan rekomendasi dan saran perbaikan. Supervisi harus dilaksanakan secara rutin

dan teratur pada semua tingkatan yaitu (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2014):

1. Supervisi ke faskes (misalnya: Puskesmas, RS, BBKPM/BKPM, termasuk

laboratorium) harus dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.

2. Supervisi ke kabupaten/kota dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.

3. Supervisi ke provinsi dilaksanakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.

Kegiatan penting yang dilakukan selama supervisi di faskes adalah melakukan

review catatan dan buku-buku register; diskusi kegiatan dan masalahnya bersama

petugas; melakukan pengamatan saat petugas bekerja; melakukan wawancara dengan

pasien TB dan PMO, bila memungkinkan; melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik;

memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif dan inisiatif;


melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas diinstitusi tersebut; dan

memberikan umpan balik saran yang jelas, realistis, sederhana, dan dapat dilaksanakan

(Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2014).

Pada saat proses supervisi, petugas dan supervisor dapat melakukan pemecahan

masalah dengan mencari tahu penyebab masalah yang paling mungkin, setelah itu

mencari solusi yang dapat mengurangi dampak masalah dan solusi yang dipilih juga

dapat memotivasi petugas. Bila solusi atas masalah tidak dapat ditemukan maka

supervisor bersama petugas dapat mendiskusikan dengan pimpinan unit kerja (Dirjen

P2PL Kemenkes RI, 2014). Supervisor juga harus memberikan umpan balik kepada

petugas dengan cara meberikan informasi kepada karyawan tentang apa yang harus

dilakukan untuk memperbaiki perilaku mereka (Dharma, 2000:125).

Supervisi adalah suatu alat yang dapat digunakan untuk meningkatkan keaktifan

dan minat bekerja petugas apabila dilakukan dengan cara yang tepat. Supervisi yang baik

dilakukan dengan cara memantau kerja petugas, memberikan bimbingan dan pemecahan

masalah atas permasalahan yang dihadapi petugas (Minardo, 2014). Berdasarkan

penelitian Husein & Sormin (2012) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

petugas TB, mendapatkan hasil bahwa kualitas supervisi berpengaruh terhadap kinerja

petugas. Supervisi yang jarang dilaksanakan dan kurang mampu mendatangkan manfaat

bagi petugas cenderung akan menurunkan semangat petugas dalam bekerja.


1. DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A., M.Thaha, I. L., & Ansariadi. (2012). Kinerja Petugas TB Dalam Pencapaian

Angka Kesembuhan TB Paru Di Puskesmas Kabupaten Sidrap Tahun 2012.

Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS Makassar, 1–14.

Aditama, W., Zulfikar, & Baning.R. (2013). Evaluasi Program Penanggulangan

Tuberkulosis Paru di Kabupaten Boyolali. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional,

Vo.7 No.6.

Ahwan, R. (2014). Hubungan Antara Karakteristik Individu Pengelola Program TB

Puskesmas dengan Angka Penemuan Kasus TB Di Kabupaten Boyolali. Program

Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

Ayulestari, D., Thaha, I. L. M., & Arsyad, D. S. (2011). Hubungan Kinerja Petugas

Dengan Case Detection Rate (CDR) Di Puskesmas Kota Makassar, 1–10.

Dahlan, S. (2009). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan (4th ed.). Jakarta: Salemba

Medika.

Dharma, A. (2000). Manajemen Supervisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan. (2016). Capaian Case Detection Rate Kabupaten

Tabanan 2013-2016 dan Capaian Case Detection Rate per-Puskesmas di

Kabupaten Tabanan Tahun 2015. Tabanan.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali. (2016). Capaian Case Detection Rate (CDR) Provinsi
Bali Tahun 2013-2015. Denpasar.

Dirjen P2PL Kemenkes RI. (2009). Buku Saku Kader Program Penanggulangan TB.

Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

82
Dirjen P2PL Kemenkes RI. (2012). Standar Prosedur Operasional Pemeriksaan

Mikrokopis TB. Jakarta.

Dirjen P2PL Kemenkes RI. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.

Jakarta.

Dirjen P2PL Kemenkes RI. (2015). Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan. Jakarta.

Duhri, A. P., & Thaha, I. L. M. (2012). Kinerja Petugas Puskesmas Dalam Penemuan

Penderita TB Paru Di Puskesmas Kabupaten Wajo.

Fatussalamah, & ‘Afi, R. (2014). Pengaruh Pelatihan dengan Penjaringan Suspek

Tuberkulosis Anak Oleh Petugas Puskesmas. Berkala Epidemiologi, 2(3), 368–379.

Gomes, F. C. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia (2nd ed.). Yogyakarta: Andi

Offset.

Gutsfeld, C., Olaru, I. D., Vollrath, O., & Lange, C. (2014). Attitudes about Tuberculosis

Prevention in the Elimination Phase  : A Survey among Physicians in Germany.

Plos One, 9(11). http://doi.org/10.1371/journal.pone.0112681

Handoko, H. (2014). Manajemen Personalia & Sumberdaya Manusia (2nd ed.).

Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.

Hariadi, E., Iswanto, & Ahma, R. A. (2009). Hubungan Faktor Petugas Puskesmas

Dengan Cakupan Penderita Tuberculosis Paru BTA Positif. Berita Kedokteran

Masyarakat, 25(4), 189–194.


Husein, R. D., & Sormin, T. (2012). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja

Petugas Program Tb Paru Terhadap Penemuan Kasus Baru Di Kabupaten Lampung

Selatan. Jurnal Keperawatan, VIII(1), 52–59.

Kemenkes RI. (2011). Strategi Nasional Pengendalian Tb Di Indonesia 2010-2014.

Jakarta.

Kemenkes RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta.

Kemenkes RI. (2015). Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia. Jakarta.

Khan, K., Campbell, A., Wallington, T., & Gardam, M. (2006). The Impact Of Physician

Training And Experience On The Survival Of Patients With Active Tuberculosis.

Canadian Medical Association, 175(7), 749.

Kusuma, N. A., Djudi, M., & Prasetya, A. (2016). Pengaruh Pelatihan Terhadap

Kemampuan Kerja dan Kinerja Karyawan (Studi Pada Karyawan Para-Medis Rsia

Buah Hati Pamulang Tangerang Selatan). Administrasi Bisnis (JAB), 31(1), 199–

208.

Martiningrum, Z. R. (2013). Determinan Error Rate Puskesmas Rujukan Mikroskopis

(PRM) dan Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) Di Kabupaten Jember.

Univeristas Jember.

Maryani. (2015). Hubungan Tingkat Pengetahuan Petugas Kesehatan Tentang

Tuberkulosis Dengan Peranan Petugas Kesehatan Dalam Penemuan Suspek

Tuberkulosis Di Puskesmas Kertasura. Program Studi S-1 Keperawatan Stikes

Kusuma Husada Surakarta.


Maryun, Y. (2007). Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Petugas

Program TB Paru Terhadap Cakupan Penemuan Kasus Baru BTA (+) di Kota

Tasikmalaya Tahun 2006., 1–125.

Minardo, J. (2014). Analisis Determinan Motivasi Petugas Tuberkulosis Paru Dalam

Penemuan Kasus Di Kabupaten Semarang (Studi Kasus Di Beberapa Puskesmas)

Tahun 2012. Prosiding Konferensi Nasional Ii Ppni Jawa Tengah, 253–261.

Minardo, J., Sriatmi, A., & Arso, S. P. (2015). Analisis Determinan Motivasi Petugas

Tuberkulosis Paru dalam Penemuan Kasus di Kabupaten Semarang ( Studi Kasus di

Beberapa Puskesmas ). Manajemen Kesehatan Indonesia, 03(01).

Moenir, A. S. (1988). Kepemimpinan Kerja Peranan, Teknik dan Keberhasilannya (1st

ed.). Jakarta: Jakarta.

Notoatmodjo, S. (2010). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Rineka

Cipta.

Nugraini, Krisna Eksapa, Widya Hary Cahyati, E. F. (2015). Evaluasi Input Capaian Case

Detection Rate (Cdr) Tb Paru Dalam Program Penanggulangan Penyakit TB Paru

(P2TB) Puskesmas Tahun 2012 (Studi Kualitatif Di Kota Semarang). Unnes

Journal of Public Health, 4(2), 143–152.

Parera, L., & Talarima, B. (2016). Faktor yang Berhubungan dengan Ketrampilan

Petugas Laboratorium dalam Penegakan Diagnosis Penyakit TB Melalui Hasil

Cross Check. Global Health Science, 1(2), 59–65.

Permatasari, R. (2014). Analisis Kinerja Petugas P2TB dalam Penemuan Kasus TB Paru
di Puskesmas Wilayah Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul. Universitas Respati

Yogyakarta.

Rahmawaty, D., & Rochmah, thinni N. (2014). Pengaruh Kompetensi dan Self-

Leadership Terhadap Kinerja Petugas Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB)

Puskesmas Di Kabupaten Jember. Administrasi Kesehatan Indonesia,

2(September), 169–177.

Ratnasari, D. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pencapaian Petugas

Terhadap Case Detection Rate (CDR) Pada Program TB Paru Di Kabupaten

Rembang. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan.

Rye, A., Djam, Y., & Hadiwijoyo, Y. (2009). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Penemuan Penderita Tb Paru Di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah, 25(2), 59–

68.

Saomi, Eva Emaliana, Widya Hary Cahyati, S. I. (2015). Hubungan Karakteristik

Individu Dengan Penemuan Kasus TB Paru Di Eks Karesidenan Pati Tahun 2013.

Unnes Journal of Public Health, 4(1), 15–22.

Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2011). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis (Edisi

ke-4). Jakarta: Sagung Seto.

Siagian, S. P. (2004). Teori Motivasi Dan Aplikasinya (3rd ed.). Jakarta: PT Asdi

Mahasatya.

Sumartini, N. P. (2014). Penguatan Peran Kader Kesehatan Dalam Penemuan Kasus

Tuberkulosis (TB) BTA Positif Melalui Edukasi Dengan Pendekatan Theory Of

Planned Behaviour (TPB). Kesehatan Prima, 8(1), 1246–1263.

Sutinbuk, D., Mawarni, A., & W, L. R. K. (2012). Analisis Kinerja Penanggung Jawab
Program Tb Puskesmas Dalam Penemuan Kasus Baru Tb Bta Positif Di Puskesmas

Kabupaten Bangka Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Media Kesehatan

Masyarakat Indonesia, 11(2), 142–150.

Trisna, E., & Ilyas, H. (2013). Analisa Faktor-Faktor yang Berpengaruh dengan Kinerja

Perawat Penatalaksanaan Tuberkulosis, IX(1), 71–78.

Triwijayanti, R., Dwiantoro, L., & Warsito, B. E. (2016). Karakteristik Individu

Terhadap Kejenuhan Perawat. Nursing and Health, 2(1), 35–40.

Tuharea, R., Suparwati, A., & Sriatmi, A. (2014). Analisis Faktor-Faktor yang

Berhubungan dengan Implementasi Penemuan Pasien Tb Paru dalam Program

Penanggulangan Tb di Puskesmas Kota Semarang. Manajemen Kesehatan

Indonesia, 02(02).

Vandan, N., Ali, M., Prasad, R., & Kuroiwa, C. (2008). Physicians Knowledge Regarding

The Recommended Anti-Tuberculosis Prescribed Medication Regimen: A Cross-

sectional Survey From Lucknow, India. Southeast Asian Jornal of Tropical

Medicine and Public Health, 39(6), 1072.

WAHYUDI, E. (2010). Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Motivasi Kader Dengan

Penemuan Suspek Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Sanankulon. Program

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

WHO. (2015). Global Tuberculosis Reports 2015.

Wijaya, I. M. K. (2013). Pengetahuan, Sikap dan Motivasi Terhadap Keaktifan Kader

Dalam Pengendalian Tuberkulosis. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(11), 137–144.

Anda mungkin juga menyukai