Oleh
dr. I Made Sutarga, M.Kes
kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan
laboratoris, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB,
sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh agar tidak menularkan penyakitnya
kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan terduga pasien,
diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini membutuhkan
adanya pasien yang memahami dan sadar akan keluhan gejala TB, akses terhadap
fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan kompeten untuk melakukan pemeriksaan
terhadap gejala dan keluhan tersebut. Upaya penemuan pasien TB dapat dilakukan
harus didukung dengan promosi secara aktif (active promotion) oleh petugas
terdampak TB dan populasi rentan. Upaya penemuan secara intesif harus didukung
dengan kegiatan promosi yang aktif sehingga semua terduga TB dapat ditemukan
secara dini.
3. Pelibatan semua fasilitas kesehatan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan
4. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap kelompok khusus yang rentan atau
berisiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan kelompok HIV, Diabetes mellitus
dan malnutrisi. Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang berisiko
daerah kumuh, tempat kerja, asrama dan panti jompo. Anak dibawah umur lima
tahun yang kontak dengan pasien TB. Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB
resistan obat.
5. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan gejala dan tanda yang
sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis kesehatan paru (Practical
6. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala
utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
1.2 Tugas dan Fungsi Petugas Pelaksana TB Paru Puskesmas Dalam Penemuan
Kasus
1.2.1 Petugas TB
penyakit, gejala penyakit dan pengobatan penyakit (Dirjen P2PL Kemenkes RI,
2009).
suspek TB.
dahak.
Analisis pencapaian dalam upaya penemuan kasus tersebut dapat dilihat dari
tercatat
yaitu pasien kumur dengan air, menarik nafas dalam 2-3 kali dan hembuskan
dengan kuat kemudian batukkan dengan keras dari dalam dada. Bila dahak
sulit keluar maka petugas meminta pasien untuk melakukan olahraga ringan
kemudian menarik nafas dalam beberapa kali kemudian bila terasa batuk nafas
ditahan selama mungkin lalu batukkan. Pada malam hari sebelum tidur pasien
diminta untuk banyak minum air dan menelan 1 tablet gliseril guayakolat 200
Sediaan apus dahak yang baik adalah (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2012):
berukuran 2x3 cm
c. Tidak terlalu tebal atau tipis
1. Mendiagnosis pasien
Mutu dari penetapan kriteria suspek sampai diagnosis dapat dilihat dari
ini antara 5-15%. Apabila lebih kecil dari 5% menandakan penetapan kriteria
suspek yang terlalu longgar dan apabila lebih dari 15% menandakan penetapan
kriteria suspek terlalu ketat. Apabila hasil pemeriksaan BTA pada seluruh uji
dahak SPS menghasilkan hasil negatif maka hal ini tidak menyingkirkan
diagnosis TB. Tes cepat dan biakan dapat dilakukan apabila akses
pasien tuberkulosis paru BTA positif atau pasien tuberkulosis paru BTA
negatif. Berdasarkan tipe pasien maka dapat dikategorikan menjadi kasus baru,
kasus kambuh, kasus pindahan atau kasus drop-out (Dirjen P2PL Kemenkes
RI, 2014) .
Teori perilaku dari Lawrence Green mengemukakan bahwa terdapat tiga faktor
yang dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku yaitu faktor predisposisi (pre-
disposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing
perilaku adalah fasilitas, sarana dan prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi
terjadinya perilaku seseorang. Faktor penguat adalah faktor-faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku yang berasal dari atasan dan rekan kerja (Notoatmodjo,
2010:52-53).
karena tingkat pendidikan yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang baik (Ratnasari,
kecakapannya dalam bekerja (Aditama, Zulfikar, & Baning.R, 2013). Hal ini berbeda
dengan penelitian yang dilakukan di Puskesmas Kota Makasar menemukan tidak ada
perbedaan pencapaian angka penemuan kasus antara petugas yang berpendidikan tinggi
ataupun berpendidikan rendah. Apabila petugas memiliki pendidikan tinggi namun jarang
tidak hanya didapat dari pendidikan formal, pengetahuan ini bisa saja diperoleh dari
berbagai sumber misalnya media massa, buku pedoman, poster, maupun dari pelatihan.
Selain tingkat pendidikan, latar belakang pendidikan juga berperan dalam menentukan
keaktifan petugas. Latar belakang pendidikan adalah salah satu hal yang perlu
diperhatikan oleh kepala puskesmas saat menetapkan petugas TB. Hal ini dikarenakan
yang akan digunakan untuk menjalankan tugasnya sebagai petugas pelaksana program
1.3.1.2 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tau seseorang terhadap
objek melalui indera yang dimilikinya. Dengan sendirinya pada waktu penginderaan
dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan merupakan salah satu domain perilaku yang
yang bermakna antara pengetahuan yang dimiliki oleh petugas program TB terhadap
angka penemuan kasus TB. Rendahnya angka penemuan kasus disebabkan oleh
ini juga dipengaruhi oleh pelatihan yang dilakukan oleh petugas. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Duhri & Thaha (2012), sebagian besar pemegang program TB paru
memiliki pengetahuan yang rendah karena petugas tidak mampu menyebutkan kegiatan
penemuan kasus secara lengkap misalnya menjaring suspek, diagnosis, dan menentukan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Pengetahuan sangat dominan untuk membentuk
tindakan seseorang. Informasi merupakan sumber pengetahuan. Petugas seharusnya
memiliki pengetahuan untuk dapat disalurkan kepada masyarakat. Apabila petugas tidak
memiliki pengetahuan yang cukup maka akan terjadi kekeliruan pemberian informasi
kepada masyarakat (Rye, Djam, & Hadiwijoyo, 2009). Hasil penelitian tersebut berbeda
dengan hasil yang diperoleh oleh Duhri & Thaha (2012) bahwa responden yang memiliki
pengetahuan yang tinggi maupun yang memiliki pengetahuan yang rendah sama-sama
berpeluang untuk memiliki kinerja yang baik dalam penemuan kasus TB paru.
1.3.1.3 Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,
yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Sikap belum
merupakan suatu tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup. Dalam menentukan sikap seseorang,
pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Sikap terdiri
Perbuatan sebagai cermin daripada sikap jika berlaku secara terus menerus dalam
jangka waktu yang cukup lama akan mengendap menjadi tingkah laku yang sifatnya
pekerjaan yang ditugaskan kepadanya dan situasi lingkungan kerja seperti peraturan-
didapatkan hubungan yang bermakna antara sikap dengan pencapaian petugas terhadap
case detection rate. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Maryun (2007) yang
menyatakan bahwa sikap berpengaruh terhadap penemuan kasus, dikarenakan salah satu
faktor yang mempengaruhi kinerja adalah sikap individu karena jika sikap individu
terhadap objek tertentu baik maka tingkat kinerja individu semakin tinggi.
Hasil penelitian Saomi et.al.,(2015) di Eks Karesidenan Pati mengenai faktor yang
mempengaruhi penemuan kasus TB paru, didapatkan hasil bahwa sikap petugas TB yang
kurang baik disebabkan karena petugas kurang memiliki minat menjadi petugas TB.
Petugas merasa jika tugas dan tanggungjawab sebagai petugas pelaksana program TB
memiliki risiko yang tinggi dan beban yang berat. Berdasarkan penelitian kualitatif yang
program TB merasa terbebani dengan target-target yang harus dicapai dan tidak
1.3.1.4 Motivasi
untuk berperilaku tertentu, sehingga motivasi sangat terkait dengan keinginan, dorongan,
dan tujuan. Seseorang mempunyai motivasi untuk memenuhi kebutuhan dan tujuannya
agar terjadi suatu keseimbangan. Motivasi seseorang dibedakan menjadi motivasi yang
berasal dari dalam diri (internal) dan motivasi dari luar diri seseorang (eksternal)
aktivitasnya tidak mudah terganggu dengan gangguan kecil. Faktor yang dapat
mempengaruhi motivasi seseorang yang sifatnya individual adalah kebutuhan, tujuan dan
kemampuan. Sedangkan yang tergolong pada faktor-faktor yang berasal dari organisasi
adalah insentif, keamanan pekerjaan, hubungan kerja, pengawasan, pujian dan beban
hubungan dengan kinerja petugas karena petugas yang memiliki motivasi yang tinggi
maupun rendah tetap memiliki peluang untuk memiliki kinerja yang baik. Pada dasarnya
motivasi berasal dari diri setiap orang. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian
Ratnasari (2015) bahwa tidak ada hubungan antara motivasi petugas dengan pencapaian
petugas terhadap case detection rate. Petugas pelaksana program TB memiliki motivasi
yang baik apabila mampu menyelesaikan tugas tepat waktu dan sesuai dengan prosedur
kerja serta merasa puas dengan pekerjaan yang sudah dilakukannya. Hal yang dapat
menyebabkan motivasi petugas baik adalah apabila tugas tersebut memiliki tujuan yang
jelas, menantang pengembangan diri dan mendapatkan promosi jabatan apabila sudah
Salah satu hal yang dapat memengaruhi motivasi petugas adalah adanya insentif
atau kompensiasi. Salah satu cara untuk meningkatkan prestasi kerja, motivasi dan
kepuasan kerja karyawan adalah melalui kompensasi. Kompensasi adalah segala sesuatu
yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk hasil pekerjaannya (Handoko,
2014: 142-152). Insentif merupakan stimulus yang menarik seseorang untuk melakukan
perilaku tertentu karena mendapatkan imbalan yang menyenangkan baginya. Insentif
merupakan salah satu hal yang dapat membentuk motivasi seseorang yang berasal dari
hubungan yang bermakna antara pemberian insentif dengan kinerja petugas dalam
penemuan kasus TB. Hal ini dikarenakan insentif yang diberikan kepada masing-masing
Berdasarkan penelitian Maryun (2007) dapat diketahui bahwa selain insentif dalam
bentuk uang, 76,9% petugas setuju bahwa pengakuan masyarakat lebih diharapkan
pengakuan dari rekan kerja dan atasan juga akan dapat menambah motivasi petugas
mengenai evaluasi input capaian CDR di Puskesmas Kota Semarang didapatkan bahwa
dan prasarana yang belum memenuhi standar. Sarana dan prasarana yang tidak lengkap,
kualitas bahan diagnostik yang kurang baik, keterlambatan distribusi pot sputum,
formulir pencatatan dan pelaporan yang tidak lengkap, dan buruknya kualitas dahak dari
pasien dapat menghambat petugas dalam menemukan kasus baru, dan mempengaruhi
mengetahui tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi gejala TB (Rye et al., 2009).
Berdasarkan penelitian Maryun (2007), didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang
kuat antara ketersediaan sarana (mikroskofis, obat dan transportasi) dengan keaktifan
petugas pelaksana program TB dalam penemuan kasus baru TB BTA positif, hal ini
dikarenakan sarana yang disediakan di puskesmas akan sangat membantu kegiatan yang
dilakukan oleh petugas. Kurangnya ketersediaan sarana transportasi merupakan salah satu
kendala yang dihadapi petugas dalam penemuan kasus TB (Duhri & Thaha, 2012).
pengambilan dahak pasien adalah tempat pengambilan dahak. Dahak adalah bahan
infeksius yang dapat menularkan penyakit kepada orang disekitarnya, oleh sebab itu
tempat berdahak haruslah jauh dari kerumunan orang. Harus diperhatikan pula arah angin
pada saat berdahak sehingga droplet tidak mengenai petugas. Pengumpulan dahak
dilakukan di ruang terbuka dan mendapat sinar matahari langsung atau di ruangan dengan
ventilasi yang baik untuk mengurangi kemungkinan penularan akibat percikan dahak
dahak, tempat cuci tangan dengan air mengalir dan sabun. Tempat yang dilarang untuk
mengeluarkan dahak adalah di ruangan tertutup dengan ventilasi yang buruk, misalnya
toilet, ruang kerja, ruang tunggu atau ruang umum lainnya (Dirjen P2PL Kemenkes RI,
2012).
1.3.2.2 Tugas Rangkap
Beban kerja adalah volume yang dibebankan kepada seorang pekerja dan
ditimbulkan apabila petugas merangkap pekerjaan dilain bidang. Beban pekerjaan yang
ditanggung oleh petugas pelaksana program TB di puskesmas disertai dengan beban dari
tugas-tugas lainnya dapat berdampak terhadap penurunan prestasi kerja. Beban kerja
yang cukup banyak dapat menimbulkan terbengkalainya tugas yang salah satunya
Hasil penelitian Ratnasari (2015) yang mendapatkan hasil bahwa ada hubungan
antara tugas rangkap dengan pencapaian petugas terhadap penemuan kasus TB BTA
suatu pekerjaan yang terlalu berat maka hasilnya tidak akan maksimal dan tidak fokus
pada masing-masing bidangnya. Adanya tugas rangkap yang dijalankan oleh petugas TB
dengan gejala-gejala TB (Rye et al., 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Ahwan (2014) mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara tugas rangkap
Pengelola yang mempunyai tugas rangkap memiliki peluang sama dengan pengelola yang
waktu yang lama biasanya meningkatkan kedewasaan teknisnya. Masa kerja dapat
menjadi salah satu indikator produktivitas kerja. Semakin lama seseorang bekerja dalam
suatu organisasi semakin tinggi pula produktivitasnya karena petugas semakin
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan belum semua memberikan bukti yang
hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan pencapaian penemun kasus TB paru
BTA positif. Petugas yang memiliki masa kerja lama yaitu lebih dari 2 tahun tidak
berbanding lurus dengan kualitas kinerjanya. Hasil penelitian berbeda didapatkan Husein
& Sormin (2012) yang mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara lama kerja
Lampung Selatan. Masa bekerja berpengaruh terhadap kinerja karena lamanya bekerja
1.3.3.1 Pelatihan
(Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2014). Pelatihan dalam program P2TB dibedakan menjadi:
tinggi dari materi pelatihan dasar (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2014).
seseorang yang telah melalui pendidikan formal agar dapat bekerja sesuai dengan
penelitian Ahwan (2014) didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi
tidak berpengaruh pada penemuan kasus TB BTA positif karena sebagain petugas
puskesmas sudah mengikuti pelatihan namun kendala yang muncul adalah seringnya
terjadi pergantian staf secara cepat sehingga staf yang telah dilatih justru dipindah
dibagian lain. Pergantian staf yang cepat karena keterbatasan sumberdaya manusia
memberikan dampak jangka panjang terhadap motivasi petugas untuk bertanggung jawab
lebih besar terhadap keberhasilan program. Pelatihan yang dilaksanakan adalah suatu
proses mentransfer pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan
mendapatkan bahwa petugas yang telah mendapatkan pelatihan DOTS berpeluang 5,8
kali untuk menemukan pasien TB BTA positif dibandingkan dengan petugas yang tidak
1.3.3.2 Supervisi
petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas.
Hal-hal yang perlu dilakukan selama supervisi adalah observasi, diskusi, bantuan teknis,
memberikan rekomendasi dan saran perbaikan. Supervisi harus dilaksanakan secara rutin
dan teratur pada semua tingkatan yaitu (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2014):
review catatan dan buku-buku register; diskusi kegiatan dan masalahnya bersama
memberikan umpan balik saran yang jelas, realistis, sederhana, dan dapat dilaksanakan
Pada saat proses supervisi, petugas dan supervisor dapat melakukan pemecahan
masalah dengan mencari tahu penyebab masalah yang paling mungkin, setelah itu
mencari solusi yang dapat mengurangi dampak masalah dan solusi yang dipilih juga
dapat memotivasi petugas. Bila solusi atas masalah tidak dapat ditemukan maka
supervisor bersama petugas dapat mendiskusikan dengan pimpinan unit kerja (Dirjen
P2PL Kemenkes RI, 2014). Supervisor juga harus memberikan umpan balik kepada
petugas dengan cara meberikan informasi kepada karyawan tentang apa yang harus
Supervisi adalah suatu alat yang dapat digunakan untuk meningkatkan keaktifan
dan minat bekerja petugas apabila dilakukan dengan cara yang tepat. Supervisi yang baik
dilakukan dengan cara memantau kerja petugas, memberikan bimbingan dan pemecahan
penelitian Husein & Sormin (2012) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
petugas TB, mendapatkan hasil bahwa kualitas supervisi berpengaruh terhadap kinerja
petugas. Supervisi yang jarang dilaksanakan dan kurang mampu mendatangkan manfaat
Abbas, A., M.Thaha, I. L., & Ansariadi. (2012). Kinerja Petugas TB Dalam Pencapaian
Vo.7 No.6.
Surakarta.
Ayulestari, D., Thaha, I. L. M., & Arsyad, D. S. (2011). Hubungan Kinerja Petugas
Dahlan, S. (2009). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan (4th ed.). Jakarta: Salemba
Medika.
Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan. (2016). Capaian Case Detection Rate Kabupaten
Dinas Kesehatan Provinsi Bali. (2016). Capaian Case Detection Rate (CDR) Provinsi
Bali Tahun 2013-2015. Denpasar.
Dirjen P2PL Kemenkes RI. (2009). Buku Saku Kader Program Penanggulangan TB.
82
Dirjen P2PL Kemenkes RI. (2012). Standar Prosedur Operasional Pemeriksaan
Jakarta.
Dirjen P2PL Kemenkes RI. (2015). Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta.
Duhri, A. P., & Thaha, I. L. M. (2012). Kinerja Petugas Puskesmas Dalam Penemuan
Gomes, F. C. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia (2nd ed.). Yogyakarta: Andi
Offset.
Gutsfeld, C., Olaru, I. D., Vollrath, O., & Lange, C. (2014). Attitudes about Tuberculosis
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Hariadi, E., Iswanto, & Ahma, R. A. (2009). Hubungan Faktor Petugas Puskesmas
Jakarta.
Kemenkes RI. (2015). Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Khan, K., Campbell, A., Wallington, T., & Gardam, M. (2006). The Impact Of Physician
Kusuma, N. A., Djudi, M., & Prasetya, A. (2016). Pengaruh Pelatihan Terhadap
Kemampuan Kerja dan Kinerja Karyawan (Studi Pada Karyawan Para-Medis Rsia
Buah Hati Pamulang Tangerang Selatan). Administrasi Bisnis (JAB), 31(1), 199–
208.
Univeristas Jember.
Program TB Paru Terhadap Cakupan Penemuan Kasus Baru BTA (+) di Kota
Minardo, J., Sriatmi, A., & Arso, S. P. (2015). Analisis Determinan Motivasi Petugas
Notoatmodjo, S. (2010). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Nugraini, Krisna Eksapa, Widya Hary Cahyati, E. F. (2015). Evaluasi Input Capaian Case
Parera, L., & Talarima, B. (2016). Faktor yang Berhubungan dengan Ketrampilan
Permatasari, R. (2014). Analisis Kinerja Petugas P2TB dalam Penemuan Kasus TB Paru
di Puskesmas Wilayah Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul. Universitas Respati
Yogyakarta.
Rahmawaty, D., & Rochmah, thinni N. (2014). Pengaruh Kompetensi dan Self-
2(September), 169–177.
Rye, A., Djam, Y., & Hadiwijoyo, Y. (2009). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Penemuan Penderita Tb Paru Di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah, 25(2), 59–
68.
Individu Dengan Penemuan Kasus TB Paru Di Eks Karesidenan Pati Tahun 2013.
Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2011). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis (Edisi
Siagian, S. P. (2004). Teori Motivasi Dan Aplikasinya (3rd ed.). Jakarta: PT Asdi
Mahasatya.
Sutinbuk, D., Mawarni, A., & W, L. R. K. (2012). Analisis Kinerja Penanggung Jawab
Program Tb Puskesmas Dalam Penemuan Kasus Baru Tb Bta Positif Di Puskesmas
Trisna, E., & Ilyas, H. (2013). Analisa Faktor-Faktor yang Berpengaruh dengan Kinerja
Tuharea, R., Suparwati, A., & Sriatmi, A. (2014). Analisis Faktor-Faktor yang
Indonesia, 02(02).
Vandan, N., Ali, M., Prasad, R., & Kuroiwa, C. (2008). Physicians Knowledge Regarding